IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Objek...

19
19 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Kelompok jamaah produksi yang menjadi fokus penelitian ini terletak di empat kelurahan dalam dua kecamatan di kota Salatiga, yaitu: 1. Kelurahan Kalibening (Dusun Kalibening) merupakan salah satu Kelurahan yang berada di Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga. Kelurahan Kalibening memiliki luas keseluruhan wilayah + 91,18 Ha. Kelurahan Kalibening berbatasan wilayah dengan: Kelurahan Sidorejo Kidul di sebelah utara; Kelurahan Tingkir Lor di sebelah timur; Kelurahan Tingkir Lor di sebelah selatan; dan Kelurahan Ledok di sebelah barat. Kelurahan Kalibening memiliki 9 RT dalam 3 RW. Jumlah keseluruhan penduduk di Kalibening sebanyak 2.117 jiwa, dengan rincian: 1.061 laki-laki dan 1.056 perempuan. 2. Kelurahan Tingkir Lor (Dusun Krajan) merupakan salah satu Kelurahan yang berada di Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga. Kelurahan Tingkir Lor memiliki luas keseluruhan wilayah + 177,3 Ha. Kelurahan Tingkir Lor berbatasan wilayah dengan: Kelurahan Kalibening di sebelah utara; Kelurahan Tingkir Tengah di sebelah timur; Kelurahan Tingkir Tengah di sebelah selatan; dan Kelurahan Tingkir tengah di sebelah barat. Kelurahan Tingkir Lor memiliki 24 RT dalam 8 RW. Jumlah keseluruhan penduduk di Tingkir Lor sebanyak 4.986 jiwa, dengan rincian: 2.470 laki-laki dan 2.516 perempuan. 3. Kelurahan Tingkir Tengah (Dusun Wiroyudan) merupakan salah satu Kelurahan yang berada di Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga. Kelurahan Tingkir Tengah memiliki luas keseluruhan wilayah + 134,5 Ha. Kelurahan Tingkir Tengah berbatasan wilayah dengan: Kelurahan Tingkir Lor di sebelah utara; Desa Tegal Waton di sebelah timur; Desa Bener di sebelah selatan; dan Kelurahan Cebongan di sebelah barat. Kelurahan Tingkir Lor memiliki 32 RT dalam 10 RW. Jumlah keseluruhan penduduk di Tingkir Lor sebanyak 5.491 jiwa, dengan rincian: 1.398 laki-laki dan 1.574 perempuan. 4. Kelurahan Bugel (Dusun Sawo) merupakan salah satu Kelurahan yang berada di Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga. Kelurahan Bugel memiliki luas keseluruhan wilayah + 260,62 Ha. Kelurahan Tingkir Lor berbatasan wilayah dengan: Kelurahan Pabelan, Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang di

Transcript of IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Objek...

19

19

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

Kelompok jamaah produksi yang menjadi fokus penelitian ini terletak di

empat kelurahan dalam dua kecamatan di kota Salatiga, yaitu:

1. Kelurahan Kalibening (Dusun Kalibening) merupakan salah satu Kelurahan

yang berada di Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga. Kelurahan Kalibening

memiliki luas keseluruhan wilayah + 91,18 Ha. Kelurahan Kalibening

berbatasan wilayah dengan: Kelurahan Sidorejo Kidul di sebelah utara;

Kelurahan Tingkir Lor di sebelah timur; Kelurahan Tingkir Lor di sebelah

selatan; dan Kelurahan Ledok di sebelah barat. Kelurahan Kalibening

memiliki 9 RT dalam 3 RW. Jumlah keseluruhan penduduk di Kalibening

sebanyak 2.117 jiwa, dengan rincian: 1.061 laki-laki dan 1.056 perempuan.

2. Kelurahan Tingkir Lor (Dusun Krajan) merupakan salah satu Kelurahan yang

berada di Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga. Kelurahan Tingkir Lor memiliki

luas keseluruhan wilayah + 177,3 Ha. Kelurahan Tingkir Lor berbatasan

wilayah dengan: Kelurahan Kalibening di sebelah utara; Kelurahan Tingkir

Tengah di sebelah timur; Kelurahan Tingkir Tengah di sebelah selatan; dan

Kelurahan Tingkir tengah di sebelah barat. Kelurahan Tingkir Lor memiliki

24 RT dalam 8 RW. Jumlah keseluruhan penduduk di Tingkir Lor sebanyak

4.986 jiwa, dengan rincian: 2.470 laki-laki dan 2.516 perempuan.

3. Kelurahan Tingkir Tengah (Dusun Wiroyudan) merupakan salah satu

Kelurahan yang berada di Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga. Kelurahan

Tingkir Tengah memiliki luas keseluruhan wilayah + 134,5 Ha. Kelurahan

Tingkir Tengah berbatasan wilayah dengan: Kelurahan Tingkir Lor di sebelah

utara; Desa Tegal Waton di sebelah timur; Desa Bener di sebelah selatan; dan

Kelurahan Cebongan di sebelah barat. Kelurahan Tingkir Lor memiliki 32 RT

dalam 10 RW. Jumlah keseluruhan penduduk di Tingkir Lor sebanyak 5.491

jiwa, dengan rincian: 1.398 laki-laki dan 1.574 perempuan.

4. Kelurahan Bugel (Dusun Sawo) merupakan salah satu Kelurahan yang berada

di Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga. Kelurahan Bugel memiliki luas

keseluruhan wilayah + 260,62 Ha. Kelurahan Tingkir Lor berbatasan wilayah

dengan: Kelurahan Pabelan, Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang di

20

20

sebelah utara; Kelurahan Kauman Kidul di sebelah timur; Kelurahan Salatiga

di sebelah selatan; dan Kelurahan Sidorejo Lor di sebelah barat. Kelurahan

Bugel memiliki 20 RT dalam 6 RW. Jumlah keseluruhan penduduk di Tingkir

Lor sebanyak 3.297 jiwa, dengan rincian: 1.665 laki-laki dan 1.632

perempuan.

4.2 Identitas Singkat Narasumber

Narasumber yang berasal dari kelompok jamaah produksi (kader dan

anggota kelompok), maupun narasumber pengamat (RT) memiliki peran ganda,

artinya di satu sisi ia bisa berperan sebagai partisipan, tetapi di sisi lain ia bisa

berperan sebagai key informant. Penentuan peran narasumber sebagai partisipan

ataukah sebagai key informant tergantung pada konteks yang sedang diteliti.

Untuk memperoleh pemahaman, tabel berikut ini akan membantu menjelaskan

identitas singkat masing-masing narasumber.

Tabel 4.2 Daftar Narasumber

No. Nama Lokasi Status

1 Ariyani Kalibening Kader JP

2 Jaelani Kalibening Anggota JP

3 Sugeng Kalibening Ketua RT

4 Halis Tingkir Lor Kader JP

5 Mukri Tingkir Lor Anggota JP

6 Munir Tingkir Lor Ketua RT

7 Siti Tingkir Tengah Kader JP

8 Nurhadi Tingkir Tengah Anggota JP

9 Parman Tingkir Tengah Ketua RT

10 Andi Bugel Kader JP

11 Mahmudan Bugel Anggota JP

12 Muhwasin Bugel Ketua RT

21

21

4.3 Pemberdayaan Masyarakat Pada Kelompok Jamaah Produksi

4.3.1 Pemberdayaan Masyarakat Pada Kelompok Jamaah Produksi Kali

Bening

Jamaah produksi Kalibening awal dibentuk sebagai desa percontohan

program jamaah produksi. Jamaah produksi pada Kalibening dikaderi oleh Ibu

Ariyani yang beranggotakan 20 orang. Ibu Ariyani dipilih sebagai kader karena

sebelum adanya jamaah produksi beliau sudah memiliki kelompok dan dianggap

dapat menggerakkan kelompoknya tersebut. Anggota kelompok ini didominasi

oleh remaja yang umumnya ikut kelompok ini untuk mencari pendapatan

sampingan diluar pendapatan utamanya. Anggota kelompok ini didominasi oleh

buruh ataupun karyawan.

Kelompok jamaah produksi ini memiliki perkumpulan rutin yang diadakan

satu bulan sekali pada minggu terakhir. Agenda perkumpulan rutin kelompok ini

membahas mengenai ide baru tentang keberlangsungan jamaah produksi,

permasalahan yang terjadi di lapangan, pendapat anggota, dan solusi yang dimiliki

oleh anggota. Untuk mencapai kesepakatan akan hasil dari permasalahan yang ada

kelompok ini menggunakan metode musyawarah agar diperoleh solusi yang

cocok untuk masalah yang ditemukan. Walaupun diadakan perkumpulan rutin

namun masih banyak anggota yang kurang partisipatif karena untuk pelaksanaan

masih banyak didominasi oleh orang-orang tertentu.

Jamaah produksi ini memiliki aktifitas produksi utama yaitu

pembudidayaan jamur kuping namun sedang stagnan karena faktor cuaca

(kemarau). Cuaca panas (kemarau) menjadi penghambat karena menyebabkan

banyak jamur hasil budidaya menjadi terlalu kering sebelum usia optimal untuk

pemetikan. Walaupun saat ini posisi usaha budidaya jamur kuping sedang stagnan

namun direncanakan untuk dijalankan lagi saat cuaca lebih mendukung untuk

melakukan pembudidayaan. Penanaman jamur kuping pada daerah ini

(Kalibening) dilakukan di dua tempat yaitu pada tempat Bapak Jaelani dan Bapak

Budi.

Menurut Bapak Jaelani bentuk usaha yang dilakukan awalnya sudah bagus

dan dapat membantu perekonomian, namun untuk pemberdayaan masyarakat

dianggap belum maksimal. Diharapkan untuk ke depannya dapat dilakukan

22

22

pengawasan ataupun tindakan khusus untuk menarik partisipasi warga dan juga

diharapkan adanya bantuan dalam bentuk materi dari pemerintah untuk

mengembangkan jamaah produksi pada daerah ini. Selain hal diatas salah satu

faktor yang dianggap Bapak Jaelani menyebabkan partisipasi dari masyarakat

pasif adalah kondisi usaha yang sulit berkembang karena kurangnya dana.

Menurut bapak Sugeng selaku ketua RT 4 aktifitas jamaah produksi

terhambat karena cuaca yang tidak mendukung dan memang menjadi faktor utama

vakumnya usaha budidaya jamur yang telah dilaksanakan, sehingga menyebabkan

berhentinya produksi jamur kuping. Terdapat permasalahan lain yang terjadi pada

jamaah produksi Kalibening, yaitu partisipasi masyarakat yang pasif,

pembudidayaan jamur yang dilakukan oleh Bapak Budi, Bapak Jaelani dan Ibu

Ariyani yang memang berminat dan berniat melakukan budidaya jamur,

masyarakat lain sering hanya ikut meramaikan suasana (datang untung bercakap-

cakap) dan lebih parahnya terdapat masyarakat yang hanya terlibat pada awal

usaha pembentukan usaha namun tidak ikut andil setelah usaha budidaya jamur

ini berjalan. Bapak Sugeng beranggapan bahwa yang berpeluang paling besar

membenahi jamaah produksi ini adalah pemerintah, pemerintah memiliki peran

besar guna memfasilitasi warga dalam aspek pengawasan dan pembiayaan.

4.3.2 Pemberdayaan Masyarakat Pada Kelompok Jamaah Produksi

Tingkir Lor

Jamaah produksi Tingkir Lor memfokuskan usahanya ke dalam budidaya

lele konsumsi. Budidaya lele dilakukan secara individu, setiap anggota membuat

kolam dengan ukuran 1m2

yang berlokasi disamping rumah tiap anggota, setiap

individu akan bertanggung jawab merawat kolam yang telah diberikan kepada

masing-masing anggota. Kolam yang diperoleh beserta bibit dan kebutuhan lain

(terpal, pakan) diperoleh dari bantuan pemerintah dengan total sebesar Rp

10.000.000,00.

Budidaya lele dipilih sebagai aktifitas utama jamaah produksi Tingkir Lor

karena lele memiliki kekebalan dan ketahanan yang lebih kuat terhadap cuaca dan

kondisi lingkungan daripada kebanyakan ikan. Budidaya ini sudah dilakukan

selama kurang lebih dua tahun.

23

23

Budidaya lele dilakukan menggunakan 13,5 kg atau ± 500 bibit untuk

setiap kolam. Tingkat bertahan hidup lele pada setiap kolam pun berbeda-beda

antara 15% hingga 50%. Hal ini akan dipengaruhi bagaimana kondisi kolam dan

perawatan yang diberikan oleh pemilik kolam.

Budidaya lele jamaah produksi Tingkir Lor rata-rata dapat memperoleh

hasil tiga kali panen walaupun terdapat sekitar 25% anggota mengundurkan diri

sebelum memperoleh hasil panen pertama. Waktu yang diperlukan dari awal

pembibitan hingga panen paling cepat selama 2,5 bulan dan paling lama bisa

mencapai 5 bulan tergantung pada besar lele dan kualitas lele. Untuk

pembudidayaan sendiri dilakukan oleh anggota pria, anggota wanita melakukan

aktifitas pemasaran dari hasil budidaya.

Penjualan lele dilakukan melalui media online, sms, dan jual di tempat.

Namun di luar itu ada anggota yang menjual sendiri di luar jamaah produksi

Tingkir lor. Lele hasil produksi jamaah produksi Tingkir Lor dijual dengan harga

rata-rata Rp 20.000,00/kg. Budidaya lele yang paling berkembang merupakan

milik Bapak Munir (ketua RT) yang hingga saat ini sudah berkembang menjadi

tujuh kolam.

Anggota kelompok jamaah produksi Tingkir Lor hingga tahun 2015

berjumlah 16 orang, angka ini mengalami penurunan dari jumlah awal anggota

yang berjumlah 22 anggota. Seperti jamaah produksi lainnya, terdapat

permasalahan yang tidak jauh berbeda dan masih seputar terdapatnya anggota

pasif. Namun tidak hanya anggota pasif saja tetapi juga menyerahnya anggota saat

terjadi kegagalan pertama. Anggota jamaah produksi Tingkir Lor merupakan

buruh batu, buruh tani dan ibu-ibu rumah tangga tanpa mata pencaharian utama.

Pada jamaah produksi Tingkir Lor tidak ada pengikat yang pasti untuk setiap

anggotanya sehingga anggota dapat dengan mudah keluar dari jamaah produksi.

Jadwal pertemuan rutin dilakukan tiap minggu walaupun merupakan rapat

tidak formal dengan jadwal yang tidak ditentukan terlebih dahulu (fleksibel).

Pertemuan akan tetap dilakukan setiap minggu dengan waktu yang menyesuaikan

tiap anggota. Pertemuan rutin ini membahas mengenai budidaya lele dari

permasalahan yang terjadi, proses budidaya lele hingga pemasaran Lele.

24

24

Menurut Ibu Halis selaku kader pada jamaah produksi Tingkir Lor

mengatakan bahwa permasalahan yang terjadi disebabkan oleh kurang sabarnya

anggota dalam membudidayakan lele dan minat anggota yang muncul pada saat

awal pembudidayaan.

Pihak pemerintah belum memberikan pendidikan khusus untuk budidaya

lele pada Tingkir Lor. Budidaya lele dipelajari sendiri dan dipraktekkan sendiri

tanpa adanya andil pemerintah selain pada faktor pembiayaan. Selain dipelajari

sendiri informasi juga pernah diperoleh melalui penyuluhan pertanian.

4.3.3 Pemberdayaan Masyarakat Pada Kelompok Jamaah Produksi

Tingkir Tengah

Jamaah produksi Tingkir Tengah dibentuk dengan tujuan untuk memberi

nilai tambah secara materi guna membantu masyarakat meningkatkan

perekonomiannya serta memberdayakan masyarakat Tingkir Tengah. Dalam

jamaah produksi ini pemerintah berperan sebagai penyokong dana yang ditujukan

sebagai modal untuk memulai usaha yang harapannya dapat dikembangkan.

Pada awal pembentukan jamaah produksi ini masyarakat antusias untuk

menggeluti usaha ini dikarenakan masyarakat melihat dengan tujuan dibentuknya

jamaah produksi maka akan memberi dampak positif bagi masyarakat, khususnya

secara materi. Jamaah produksi ini berawal dari 20 anggota yang sekarang

berkembang menjadi 30 anggota (2015) namun banyak anggota yang pasif bahkan

ada yang sengaja tidak ikut.

Jamaah produksi Tingkir Tengah dibentuk dengan tujuan yang sama

seperti pada kelompok jamaah produksi yang lain dengan cita-cita yaitu, dapat

memiliki penghasilan dua kali Upah Minimum Regional (UMR). Pemerintah juga

memberikan nominal yang sama sebagai modal awal jamaah produksi Tingkir

Tengah yaitu sebesar Rp 10.000.000,00.

Jamaah produksi Tingkir Tengah memfokuskan bentuk usaha peternakan

kelinci, usaha peternakan kelinci diawali dengan usulan Ibu Siti yang sebelumnya

sudah mulai beternak kelinci secara independen. Peternakan kelinci memiliki nilai

ekonomis yang tinggi sehingga disetujui oleh masyarakat untuk dipraktekkan.

Seiring berjalannya waktu juga karena keterbatasan pengetahuan banyak kelinci

yang mati dan ada juga yang menjual kelinci modal sebelum berhasil dikembang

25

25

biakkan. Permasalahan tersebut disebabkan karena perawatan yang tidak

memadai, kebanyakan anggota beralasan mereka lebih fokus pada pekerjaan

utamnya sehingga tidak sempat merawat kelinci secara memadai dan selain itu

menurut mereka lebih baik untuk menjual kelinci modal daripada kelinci modal

mati.

Perkumpulan pada jamaah produksi Tingkir Tengah tidak pernah

dilakukan secara rutin. Perkumpulan dilakukan tidak terjadwal dan lebih sering

dilakukan saat sedang ada masalah yang ditemukan di lapangan. Pertemuan juga

biasanya membahas mengenai perkembangan peternakan kelinci dan

permasalahannya serta solusi untuk menangani permasalahan yang ada.

Perkumpulan secara non formal menggunakan metode musyawarah untuk

mencapai keputusan, namun secara nyata kebanyakan anggota rapat tidak

memberikan pendapat dan hanya mengikuti apa pendapat kader sehingga terjadi

komunikasi satu arah. Menurut Ibu Siti selaku kader hal ini mungkin disebabkan

oleh tingkat pendidikan anggota yang merupakan lulusan SD ataupun tidak

bersekolah sehingga kurang mengerti mengenai materi rapat.

Permasalahan di atas berimbas pada sangat pentingnya peran kader pada

jamaah produksi. Kader akan berpengaruh penting untuk menjelaskan program-

program yang dimiliki sedetail mungkin dan pendampingan yang harus giat

dilakukan.

Menurut Ibu Siti selaku kader jamaah produksi Tingkir Tengah

perkembangan peternakan kelinci milik ibu Siti ini cukup baik karena pada awal

pembentukan hanya memiliki 18 kelinci indukan dan 2 kelinci jantan, namun saat

ini kelinci yang dimiliki ibu Siti terhitung sebanyak 150 ekor. Hal ini dianggap

cukup membanggakan. Peternakan kelinci milik ibu siti dapat berkembang hampir

10 kali lipat jumlah kelinci awal, namun perkembangan itu tidak terjadi tanpa

hambatan.

Menurut beliau seharusnya peternakan kelinci binaan jamaah produksi

Tingkir Tengah dapat berkembang lebih baik. Permasalahan utama yang dianggap

menjadi salah satu faktor kegagalan adalah pasifnya partisipasi masyarakat baik

dalam hal pembahasan masalah dan pemecahan masalah yang dihadapi. Selain itu

hambatan lain yang tidak kalah merugikan adalah banyaknya kelinci yang mati

26

26

karena kurang mengertinya masyarakat mengenai bagaimana cara perawatan

kelinci, namun juga tidak sedikit yang tetap berjalan hingga saat ini.

Kelinci anakan produk dari jamaah produksi Tigkir Tengah biasanya

dihargai antara Rp 20.000,00 – Rp 30.000,00. Uniknya kelinci-kelinci produksi

dari jamaah produksi Tingkir Tengah selalu dicari dan tidak pernah dilakukan

penjualan secara langsung.

Selain peternakan kelinci, jamaah produksi Tingkir Tengah juga

memanfaatkan limbah kelinci yang tidak lain adalah urin sebagai salah satu

produknya. Urin kelinci pada Tingkir Tengah dihargai Rp 1.000,00/liter. Ide

pemanfaatan urin kelinci sebagai penambah penghasilan sangat baik namun

terkendala dengan personil dan bentroknya pekerjaan ini dengan pekerjaan primer

dari tiap individu sehingga tidak dapat berlanjut.

Hingga tahun 2015 perkembangan jamaah produksi Tingkir Tengah

terhitung berhenti, hanya di tempat Ibu siti yang masih mengusahakan ternak

kelinci, itu pun belum dapat mencapai cita-cita yang diinginkan. Hal ini

disebabkan karena belum adanya sistem yang mengatur aktifitas dari jamaah

produksi.

Perkembangan jamaah produksi Tingkir Tengah dianggap dapat lebih jauh

lagi berkembang namun terkendala dengan faktor penghambat lain yang tidak

kalah penting yaitu adanya kelompok pemberdayaan lain seperti kelompok

pemberdayaan perempuan dan bank sampah sehingga minat dari masyarakat

untuk ikut andil dalam jamaah produksi bersaing dengan dua kelompok

pemberdayaan diatas.

Menurut Bapak Parman tingkat pencapaian jamaah produksi masih dapat

dikembangkan lagi. Walaupun jumlah kelinci yang dimiliki bertambah hingga

lebih dari 9 kali lipat namun kelinci tersebut milik satu anggota saja dan secara

nyata usaha jamaah produksi Tingkir Tengah ini sekitar 95% berhenti. Untuk

mengembalikan minat dan partisipasi masyarakat menurut Bapak Parman

diperlukan adanya tindakan khusus dan penjelasan kepada masyarakat mengenai

pentingnya penghasilan sampingan diluar penghasilan utama untuk

mensejahterakan individu.

27

27

4.3.4 Pemberdayaan Masyarakat Pada Kelompok Jamaah Produksi Bugel

Pembentukan jamaah produksi Bugel tidak berbeda dengan jamaah

produksi di tempat lain, yaitu bertujuan untuk memberdayakan masyarakat guna

meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar. Jamaah produksi Bugel berfokus

pada peternakan bebek, selain bebek jamaah produksi Bugel juga memiliki

kegiatan lain yaitu usaha catering khusus untuk memberdayakan anggota

perempuan. Jamaah produksi Bugel ini sudah berusia sekitar 1,5 tahun dan sudah

memperoleh sekali pencairan dana hibah dari pemerintah sebesar Rp

10.000.000,00.

Hal unik yang terjadi pada jamaah produksi Bugel adalah menjadi satunya

jamaah produksi Bugel dengan RT setempat sehingga dalam hal rapat, kas, dan

kegiatan lebih didominasi oleh RT. Melalui program Jamaah produksi, diharapkan

kegiatan yang dilakukan benar-benar cocok dan dapat memberikan hasil yang

terus menerus untuk masyarakat.

Anggota pada jamaah produksi ini berjumlah 15 orang, permasalahan yang

terjadi pun tidak jauh berbeda dari kelompok jamaah produksi yang lain yang

masih seputar partisipasi pasif dari anggota. Untuk menjadi anggota jamaah

produksi Bugel tidaklah rumit, hanya dibutuhkan keinginan untuk ikut andil sudah

dapat menjadi anggota namun belum ada peraturan resmi mengenai keaktifan dan

partisipasi anggota, hal inilah yang mungkin menyebabkan partisipasi pasif

anggota masih dirasakan.

Anggota pada jamaah produksi ini menganggap bahwa pekerjaan

utamanya lebih menarik daripada aktifitas usaha kelompok dan hasil dari aktifitas

usaha tidak dapat diterima dalam waktu dekat sehingga mengakibatkan adanya

partisipasi pasif. Permasalahan partisipasi pasif yang terjadi akhirnya diselesaikan

dengan memasrahkan bebek kepada salah satu anggota dan kemudian setelah hasil

produksi dapat diperoleh baru dilakukan bagi hasil setelah dilakukan pengurangan

akan biaya-biaya yang dibutuhkan.

Pertemuan rutin biasanya diadakan sebulan sekali bergiliran pada rumah

anggota-anggota RT karena sekaligus ikut di dalam perkumpulan RT. Agenda

pembahasan pada pertemuan rutin seputar perkembangan peternakan bebek, kas

usaha, dan pesanan catering dan kue. Anggota jamaah produksi Bugel tidak hanya

28

28

laki-laki saja namun juga ada anggota perempuan. Untuk anggota perempuan

biasanya mewakilkan dirinya kepada suaminya sehingga pertemuan rutin jamaah

produksi dapat dilakukan sekaligus pertemuan RT.

Hingga saat ini produk yang dihasilkan dari peternakan bebek hanya telur

bebek saja, belum dilakukan penjualan produk daging maupun hewan. Dari 50

ekor bebek yang dimiliki dapat menghasilkan 20-25 butir telur dalam sehari. Telur

bebek tersebut kemudian diolah menjadi telur asin yang kemudian dipasarkan.

Belum ada bebek yang diremajakan karena keterbatasan modal yang dialami.

Tujuan utama pemasaran sebenarnya berada pada supermarket namun

karena modal yang belum mencukupi sehingga standar yang dibutuhkan untuk

memasarkan produknya ke supermarket belum dapat dipenuhi. Harapan anggota

ke depannya produk dapat dipasarkan ke supermarket dengan diberinya tambahan

modal untuk diolah kembali demi meningkatkan kualitas dan kuantitas produk

yang dihasilkan, selain itu anggota juga menginginkan untuk memasarkan

produknya ke penjual martabak dan sedang diusahakan.

Selain peternakan bebek juga terdapat usaha catering dan produksi kue

yang saat ini produksinya dilakukan by order. Selain dua usaha tersebut jamaah

produksi ini sedang ingin merintis usaha baru yaitu budidaya belut yang hingga

saat ini masih dalam tahap pembahasan.

Hasil penjualan produk bebek langsung dimasukkan ke kas RT untuk

digunakan membeli pakan bebek dan perawatan bebek. Selain digunakan untuk

hal diatas kas juga sering digunakan untuk membiayai keperluan RT, hal inilah

yang dianggap sebagian warga menyebabkan tidak dapat berkembangnya

peternakan bebek pada jamaah produksi Bugel.

4.4 Analisis Pemberdayaan Pada Jamaah Produksi

Fahrudin (nd) mengemukakan bahwa ada delapan prinsip yang digunakan

dalam pemberdayaan masyarakat. Delapan prinsip yang digunakan adalah:

1. Dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil.

2. Pemberian tanggung jawab kepada kelompok tersebut.

3. Kepemimpinan kelompok dilakukan oleh anggota kelompok.

4. Pendidik berperan sebagai fasilitator.

5. Proses pembelajaran dilakukan secara demokratis.

29

29

6. Kesatuan pemahaman antara kelompok dan pendidik tentang upaya mencapai

tujuan.

7. Peningkatan status sosial ekonomi dan kemampuan politik mereka dalam

masyarakat.

8. Dampak bagi kemajuan diri dan masyarakat yang mencakup pembelajaran

orang lain, dan partisipasinya dalam pembangunan masyarakatnya.

Pemberdayaan masyarakat yang terdapat pada objek penelitian jika dilihat

dari delapan prinsip yang terdapat pada teori di atas maka pemberdayaan yang

dilakukan tidak dapat dikatakan sebagai pemberdayaan yang baik karena masih

terdapat prinsip yang tidak terpenuhi. Ringkasan gambaran pemberdayaan

masyarakat pada objek penelitian disajikan pada tabel 4.4a.

Tabel 4.4a Gambaran Pemberdayaan Masyarakat Berdasarkan Prinsip

Pemberdayaan Fahrudin di Empat Lokasi Penelitian

Prinsip Pemberdayaan

(Fahrudin, nd)

Pemberdayaan Yang

Terjadi Keterangan

Awal Sekarang

1. Dilakukan dalam

kelompok-kelompok

kecil*

terpenuhi terpenuhi

Kelompok jamaah

produksi merupakan

kelompok kecil (20-

30 anggota)

2. Pemberian tanggung

jawab kepada kelompok

tersebut

terpenuhi terpenuhi Kelompok mengatur

aktifitasnya sendiri

3. Kepemimpinan kelompok

dilakukan oleh anggota

kelompok

terpenuhi terpenuhi

Ketua kelompok

diambil dari internal

kelompok

4. Pendidik berperan sebagai

fasilitator terpenuhi terpenuhi

Kader selaku

pendidik berperan

sebagai fasilitator

5. Proses pembelajaran

dilakukan secara

demokratis

terpenuhi tidak

Karena adanya

partisipasi pasif

sehingga menjadi

tidak demokratis

6. Kesatuan pemahaman

antara kelompok dan

pendidik

terpenuhi terpenuhi

Sudah satunya

pemahaman antara

kelompok dan

pendidik

30

30

Tabel 4.4a Lanjutan

Prinsip Pemberdayaan

(Fahrudin, nd)

Pemberdayaan Yang

Terjadi Keterangan

Awal Sekarang

7. Peningkatan status sosial

ekonomi dan kemampuan

politik

terpenuhi tidak

Tidak terjadi

peningkatan di

semua kelompok,

gagalnya aktifitas

8. Dampak bagi kemajuan

diri dan masyarakat terpenuhi tidak

Tidak terjadi

peningkatan

kemajuan diri dan

partisipasi pada

pembangunan

masyarakat.

menurut Kumar (2000) kelompok kecil merupakan kelompok yang

beranggotakan 15-25 orang.

Pengembangan masyarakat yang dilakukan pada objek penelitian belum

mencakup delapan prinsip diatas, terdapat beberapa kelompok yang dari

kedelapan prinsip tersebut belum terpenuhi semuanya (ada yang terpenuhi namun

hanya untuk sementara waktu dan kemudian tidak muncul kembali). Prinsip yang

tidak terpenuhi adalah prinsip kelima, prinsip ke tujuh dan prinsip ke delapan.

Prinsip kelima tidak terpenuhi karena menurun dan pasifnya partisipasi

masyarakat, hal tersebut mengakibatkan proses pembelajaran tidak dapat

tersampaikan secara maksimal dan demokratis, yang secara lanjut akan berimbas

pada terhambatnya aktifitas kelompok yang diberdayakan karena pembelajaran

tidak dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan semua anggota kelompok

khususnya anggota yang memiliki partisipasi pasif, pada kelompok jamaah

produksi yang diteliti anggota tidak berpartisipasi secara aktif pada saat

pengambilan keputusan sehingga keputusan yang tercapai hanya mencakup

kebutuhan dari pihak-pihak yang berpartisipasi aktif.

Pada keempat kelompok jamaah produksi terdapat prinsip lain yang tidak

terpenuhi, yaitu prinsip ke tujuh. Peningkatan status sosial ekonomi dan

kemampuan politik yang terjadi pada empat kelompok tidak berlangsung terus

menerus namun semakin berkurang bahkan hingga menghilang (tidak terjadi

peningkatan, atau gagalnya aktifitas). Prinsip terakhir yang tidak terpenihi adalah

31

31

prinsip ke delapan karena kemajuan dan partisipasi yang ada hanya bersifat

semantara.

Jamaah produksi dibentuk dengan tujuan utama untuk meningkatkan

kesejahteraan buruh tani dan petani penggarap termasuk perempuan melalui

pengembangan kelompok usaha bersama (jamaah produksi) dengan prinsip

keadilan, kelestarian lingkungan dan kesetaraan laki – laki dan perempuan.

Tujuan utama jamaah produksi (komunikasi pribadi, 2015a)1 kemudian

dibagi lagi ke dalam beberapa tujuan yang lebih spesifik yaitu :

1. Meningkatnya kesadaran petani laki-laki dan perempuan akan hak-hak buruh

tani dan petani penggarap (terutama hak terhadap tanah, sumber produksi dan

ekonomi) dan kesadaran pentingnya berorganisasi.

2. Berkembangnya organisasi tani yang solid dan efektif untuk memperjuangkan

kepentingan petani dan perempuan.

3. Berkembangnya usaha produksi dan ekonomi (jamaah produksi) bagi buruh

tani, petani penggarap dan perempuan melalui berbagai macam usaha

produktif dan ekonomi.

Penilaian efektifitas pemberdayaan dilakukan dengan cara

membandingkan hasil pemberdayaan dengan tujuan yang ingin dicapai, seperti

disajikan pada tabel 4.4b.

Tabel 4.4b Efektifitas Pemberdayaan Masyarakat Pada Kelompok Jamaah

Produksi

Tujuan Pemberdayaan

Jamaah Produksi Hasil Pemberdayaan Jamaah Produksi

1. Meningkatnya kesadaran

petani akan pentingnya

berorganisasi

Tiga dari empat kelompok jamaah produksi

tujuan pertama terpenuhi kecuali pada jamaah

produksi tingkir lor, terjadi penurunan jumlah

anggota

2. Berkembangnya organisasi

tani yang solid dan efektif

Tidak terdapat kelompok yang aktifitas

usahanya meningkat, dapat dilihat dari jumlah

individu yang aktif dalam kegiatan kelompok

dan aktifitas yang dilakukan kelompok

3. Berkembangnya usaha

produksi dan ekonomi

Tidak terdapat kelompok yang aktifitas

usahanya meningkat, dapat dilihat dari jumlah

individu yang aktif dalam kegiatan kelompok

dan aktifitas yang dilakukan kelompok

1 Maksum, Komunikasi Pribadi, Jamaah Produksi, 27 Agustus 2015.

32

32

Pemberdayaan yang telah dilakukan oleh jamaah produksi pada keempat

lokasi pada masa-masa awal sudah memenuhi tujuan, namun belum maksimal

dikarenakan tidak adanya penekanan mengenai hak terhadap tanah. Tujuan

pertama tersebut terpenuhi namun tidak pada semua kelompok karena terdapat

kelompok yang jumlah anggotanya semakin berkurang (Tingkir Lor), walaupun

juga terdapat kelompok yang memiliki anggota yang bertambah (Tingkir Tengah)

ataupun stagnan (Kalibening dan Bugel).

Tujuan kedua tidak tercapai pada semua kelompok, karena kelompok yang

ada tidak mengalami perkembangan. Dari keempat kelompok yang ada tidak

terdapat kelompok yang aktifitas usahanya meningkat, hal ini dapat dilihat dari

jumlah individu yang aktif dalam kegiatan kelompok dan aktifitas yang dilakukan

kelompok. Tujuan ketiga juga tidak tercapai karena alasan yang sama.

Pemberdayaan yang dilakukan oleh jamaah produksi pada kelompok

jamaah produksi Tingkir Tengah, Kalibening dan Bugel dapat dikatakan belum

efektif karena dengan melihat dari tujuan yang harus dicapai belum ada kelompok

jamaah produksi yang dapat mencapai semua tujuan yang ada, namun pada

jamaah produksi daerah Tingkir lor dapat dikatakan tidak efektif karena dari

ketiga tujuan yang harus dicapa tidak ada yang terpenuhi.

4.5 Dampak Pemberdayaan yang Telah Dilakukan

Pemberdayaan yang telah dilakukan oleh jamaah produksi belum dapat

dirasakan masyarakat secara riil, namun secara sempit dirasakan oleh beberapa

individu tertentu;

– Pada Kelurahan Kalibening kegiatan didominasi oleh Ibu Ariani (kader),

Bapak Budi (anggota) dan Bapak Jaelani (Anggota).

– Pada Kelurahan Tingkir Lor didominasi oleh Bapak Munir (ketua RT).

– Pada Kelurahan Tingkir Tengah didominasi oleh Ibu Siti (kader).

– Pada Kelurahan Bugel didominasi oleh pihak RT.

Dampak pemberdayaan yang dilakukan oleh jamaah produksi antara lain

adalah:

33

33

1. Peningkatan pengetahuan masyarakat pada bidang ekonomi.

Masyarakat dilatih mengenai bentuk usaha tertentu untuk dikembangkan

masing-masing. Pelatihan tersebut kemudian dipraktekkan kedalam aktifitas

usaha setiap kelompok.

2. Peningkatan kesadaran masyarakat untuk berorganisasi.

Masyarakat dibagi dalam kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan

antara 15-20 anggota yang kemudian melakukan aktifitasnya secara

berkelompok. Kesadaran masyarakat untuk berorganisasi meningkat namun

tidak berlangsung secara terus menerus karena pada kelompok yang diteliti

mengalami penurunan partisipasi masyarakat dan penurunan jumlah anggota

kelompok.

3. Peningkatan perekonomian masyarakat.

Perekonomian masyarakat yang tergabung dalam kelompok-kelompok kecil

jamaah produksi jika dilihat dari aktifitas jamaah produksi pada awalnya

meningkat namun seiring dengan berjalannya waktu peningkatan

perekonomian akibat dari pemberdayaan yang dilakukan oleh jamaah

produksi tidak dapat dirasakan secara maksimal yang dikarenakan oleh

pasifnya masyarakat dan berbagai tindakan masyarakat yang mengakibatkan

aktifitas yang seharusnya dilakukan tidak dapat dilakukan seperti penjualan

barang modal dan kesalahan penanganan masalah. Peningkatan

perekonomian hanya dirasakan oleh individu-individu tertentu yang dapat

mengelola aktifitas yang dilakukannya sendiri dengan benar.

4.6 Permasalahan yang Terjadi Pada Jamaah Produksi dan Alternatif

Solusinya

Pada setiap jamaah produksi yang menjadi objek penelitian terdapat

beberapa permasalahan yang sama. Salah satunya adalah minimnya partisipasi

masyarakat dalam pengembangan jamaah produksi khususnya pada aktifitas

kelompok dan proses pemecahan masalah.

Kramer dan Tjokroamidjojo dalam Rohman (2012) yang membagi

partisipasi ke dalam tiga tahapan seperti :

1. Partisipasi atau keterlibatan dalam proses penentuan arah, strategi dan

kebijaksanaan pembangunan yang dilakukan pemerintah.

34

34

2. Keterlibatan dalam memikul beban dan tanggung jawab dalam pelaksanaan

kegiatan pembangunan.

3. Keterlibatan dalam memetik dan memanfaatkan pembangunan secara

berkeadilan

Jika dilihat dari tahapan diataas maka terjadinya penurunan partisipasi

masyarakat yang terjadi pada keempat objek penelitian terjadi sejak tahapan

kedua. Dalam pelaksanaan kegiatan di keempat objek penelitian didominasi oleh

individu-individu tertentu, pelaksanaan kegiatan didominasi oleh individu yang

benar-benar mengerti tentang kegiatan yang dilakukan dan pada objek penelitian

yang diamati yang mendominasi kegiatan adalah kader dari setiap kelompok.

Selain didominasinya partisipasi oleh salah satu individu tertentu juga terdapat

hilangnya partisipasi (tidak ikut berpartisipasi lagi) yang diakibatkan oleh banyak

hal seperti masyarakat menyerah akibat kegagalan pertama, masyarakat merasa

kurang mampu, masyarakat merasa adanya kesenjangan akibat lebih suksesnya

hasil produksi dari salah satu anggota, dan selain itu masyarakat merasa adanya

bidang produksi lain yang lebih menarik dari aktifitas yang sedang dilakukan.

Untuk memecahkan masalah partisipasi diatas dapat dilakukan perubahan

model partisipasi dari yang partisipasi setiap anggotanya dibagi merata (setiap

masyarakat melakukan aktifitas yang sama) menjadi partisipasi setiap masyarakat

dikelompokan menjadi lima jenis seperti yang dikatakan oleh Pasaribu dan

Simanjuntak (1986), sebgai berikut:

a. Partisipasi buah pikiran

b. Partisipasi tenaga

c. Partisipasi harta benda

d. Partisipasi keterampilan dan kemahiran

e. Partisipasi sosial

Dengan dibaginya bentuk partisipasi yang diberikan maka setiap

masyarakat dapat memberikan partisipasi sesuai kemampuannya dan lebih

membuka kemungkinan untuk berpartisipasi lebih luas. Selain dua hal di atas,

dengan adanya bentuk partisipasi yang dibagi sesuai jenisnya diharapkan akan

meningkatkan partisipasi masyarakat oleh karena masyarakat akan berpartisipasi

sesuai kemampuan yang mau mereka berikan.

35

35

Partisipasi dibagi dalam lima jenis harus diawasi dan dibentuk sistemnya

agar tidak terjadi kesenjangan partisipasi dan anggapan bahwa partisipasi salah

satu individu lebih besar daripada yang lain sehingga berhak atas sesuatu yang

lebih (iri).

Minimnya partisipasi dapat juga diatasi dengan menyerahkan perawatan

atas aktifitas yang dilakukan kepada pihak ketiga seperti yang dilakukan oleh

jamaah produksi Kelurahan Bugel, namun hal ini akan menimbulkan biaya baru

untuk timbal balik pada pihak ketiga.

Partisipasi masyarakat akan terwujud sebagai kegiatan nyata apabila

terpenuhi faktor-faktor yang mendukungnya (Slamet, 1994), yaitu:

a. Adanya kesempatan, yaitu adanya suasana atau kondisi lingkungan yang

disadari orang tersebut bahwa dia berpeluang untuk berpartisipasi.

b. Adanya kemauan, yaitu adanya sesuatu yang mendorong atau menumbuhkan

minat dan sikap mereka untuk termotivasi berpartisipasi, misalnya berupa

manfaat yang dapat dirasakan atas partisipasinya tersebut.

c. Adanya kemampuan, yaitu adanya kesadaran atau keyakinan pada dirinya

bahwa dia mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi, bisa berupa pikiran,

tenaga, waktu, atau sarana dan material lainnya.

Bila dilihat dari ketiga faktor di atas maka permasalahan berfokus pada

dua faktor yaitu kemauan dan kemampuan. Seiring berjalannya waktu kemauan

masyarakat semakin berkurang hal ini disebabkan tidak adanya tindakan

penumbuhan motivasi secara berlanjut, pada umumnya tindakan penumbuhan

motivasi pada objek penelitian dilakukan pada awal pembentukan. Untuk

mengatasi permasalahan pada faktor ini maka akan lebih baik jika dilakukan

tindakan untuk menjaga motivasi secara berlanjut agar kemauan masyarakat tidak

semakin berkurang bahkan hingga hilangnya kemauan masyarakat seperti yang

terjadi pada objek penelitian.

Masalah lain juga terjadi pada faktor kemampuan masyarakat.

Kemampuan masyarakat berbeda-beda bahkan ada beberapa individu yang

dianggap memiliki kemampuan yang lebih besar dikarenakan tingkat penyerapan

materi saat proses penumbuhan kemampuan (pemberian pendidikan) berbeda-

beda, hal ini didukung oleh pendapat Ibu Siti selaku kader jamaah produksi yang

36

36

mengatakan bahwa permasalahan timbul karena banyak anggota yang hanya

merasakan pendidikan dasar atau tidak bersekolah sehingga terjadi kurangnya

timbal balik. Untuk mengatasi permasalahan yang timbul akibat adanya perbedaan

tingkat pendidikan maka akan lebih baik jika pada pendidikan yang diberikan

lebih berfokus pada praktek atau contoh tindakan langsung pada saat pendidikan,

hal ini didukung oleh wawancara singkat peneliti kepada masyarakat yang

memperoleh tanggapan masyarakat mengenai lebih mudahnya masyarakat

memahami pendidikan yang diberikan bila disertai contoh nyata.

Permasalahan juga terjadi pada bidang keuangan, permasalahan yang

terjadi adalah tidak dibedakannya antara setiap entitas ekonomi yang berbeda.

Sohidin (2002), menjelaskan bahwa setiap entitas ekonomi harus dibedakan, bila

tidak dilakukannya pembedaan maka akan terjadi masalah pada perhitungan

keuangannya baik itu dalam hal biaya maupun modal. Permasalah mengenai

entitas ekonomi ini dengan jelas terjadi pada objek penelitian Kelurahan Bugel,

akibat tidak adanya pembedaan entitas ekonomi maka terjadinya penggunaan dana

salah satu entitas yang bila dilihat lebih lanjut berasal dari entitas lain, hal ini

memperlambat pertumbuhan entitas lain tersebut yang tidak lain adalah jamaah

produksi Bugel. Untuk memecahkan masalah ini maka harus dipisahkan antara

setiap entitas dengan jelas sehingga tidak ada entitas yang dirugikan.

Faktor lain selain faktor-faktor di atas juga menjadi penyebab

permasalahan yang terjadi pada objek penelitian, salah satu faktor penting

terjadinya penyebab permasalahan adalah faktor pengawasan. Pengawasan yang

dilakukan pada umumnya hanya diberikan pihak pemerintah pada saat proses

pembentukan dan seiring berjalannya waktu menghilang hingga tidak ada sama

sekali, selain itu pengawasan lain juga dilakukan oleh pihak internal sendiri.

Pengawasan yang tidak dilakukan secara berlanjut akan menyebabkan

semakin tingginya kemungkinan untuk terjadinya permasalahan baik itu akibat

kelalaian maupun kecurangan. Kecurangan terjadi secara nyata pada beberapa

daerah yang dijadikan objek penelitian, kecurangan yang paling mudah dilihat

adalah dijualnya aset yang seharusnya menjadi modal jamaah produksi pada

daerah tertentu.

37

37

Pengawasan yang dilakukan oleh pihak internal akan berakibat secara

nyata terhadap kelompok yang diawasi, karena dengan adanya pengawas yang

tidak independen maka tindakan yang dilakukan tidak dapat diberikan secara

objektif (Arens, 2010). Tindakan dan pendapat pengawas akan banyak

dipengaruhi oleh penilaian subjektif pengawas yang dikarenakan pengawas juga

memiliki ikatan dengan objek yang diawasi, hal ini didukung oleh pendapat

Bapak Munir selaku ketua RT yang mengemukakan bahwa tindakan pengawas di

pengaruhi rasa pekewuh terhadap masyarakat sekitar yang tidak lain adalah

tetangga.

Hal lain yang tidak kalah penting diperhatikan adalah ketersediaan sistem

yang memadai untuk mengatur serta mengawasi kegiatan (aktifitas usaha

kelompok) yang dilakukan. Menurut Ibu Siti selaku kader jamaah produksi

Kelurahan Tingkir Tengah belum adanya sistem yang mengatur kegiatan jamaah

produksi mengakibatkan terlalu fleksiblenya kegiatan jamaah produksi serta tidak

teraturnya aktifitas jamaah produksi yang mengakibatkan sulitnya dilakukan

pengawasan. Adanya sistem akan mempermudah pengaturan aktifitas, manajemen

masalah, serta mempermudah pengawasan untuk setiap aktifitas.

Adanya sistem harus diikuti dengan dibentuknya faktor pengikat untuk setiap

anggota, sehingga anggota tidak dapat keluar masuk kedalam aktifitas kelompok

dengan mudah. Permasalahan ini sangat jelas terlihat pada jamaah produksi

Tingkir Lor, dengan mudahnya anggota untuk keluar berimbas pada menurunnya

jumlah anggota yang berarti terbuang percumanya nominal yang seharusnya

digunakan untuk modal aktifitas kelompok. Untuk menghindari permasalahan ini

maka sebaiknya dibentuk sistem yang cocok dengan aktifitas kelompok yang

dapat memanfaatkan sumberdaya kelompok secara maksimal, serta faktor

pengikat yang jelas untuk meminimalisasi terbuangnya nominal modal secara

cuma-cuma.