IV HASIL DAN PEMBAHASANmedia.unpad.ac.id/thesis/200120/2016/200120160001_4_1251.pdf ·...
Transcript of IV HASIL DAN PEMBAHASANmedia.unpad.ac.id/thesis/200120/2016/200120160001_4_1251.pdf ·...
40
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Desa Cikandang merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan
Cikajang Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Desa Cikandang merupakan desa
pokok yang telah mengalami pemekaran wilayah sebanyak dua kali, yaitu Desa
Simpang dan Desa Margamulya. Luas wilayah Desa Cikandang sebesar 1.622,488
ha yang terdiri dari 2 dusun (kampung), 13 RW dan 39 RT. Pemilihan Desa
Cikandang sebagai lokasi penelitian dikarenakan bertepatan dengan adanya lokasi
TTP yang dikembangkan oleh Badan Litbang Pertanian.
4.1.1. Keadaan Geografis dan Administratif
Wilayah Kabupaten Garut secara umum merupakan dataran tinggi dengan
kondisi alam berbukit dan pegunungan, serta wilayah Kabupaten Garut memiliki
iklim tropis dengan kondisi curah hujan yang tinggi serta jumlah hari hujan yang
cukup banyak. Kecamatan Cikajang merupakan salah satu kecamatan yang berada
di wilayah Kabupaten Garut dengan luas wilayah berkisar 12.039,09 ha, dengan
ketinggian antara 1.200-1.300 meter diatas permukaan laut. Batas wilayah
Kecamatan Cikajang yaitu sebelah utara, berbatasan dengan Kecamatan Cisurupan
dan Cigedug, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Banjarwangi, sebelah
selatan berbatasan dengan Kecamatan Pakenjeng dan Cisompet, dan sebelah barat
berbatasan dengan Kecamatan Pamulihan. Sebagian besar desa-desa yang berada
di Kecamatan Cikajang terletak pada daerah dataran tinggi, salah satunya yaitu
Desa Cikandang. Peta wilayah Kecamatan Cikajang dapat dilihat pada Gambar 3.
41
Gambar 3. Peta Wilayah Kecamatan Cikajang (Sumber: KecamatanCikajang, 2017)
Desa Cikandang merupakan salah satu wilayah yang berada pada ketinggian
1.310 meter diatas permukaan laut, dengan suhu udara berkisar antara 19°C-26°C
sehingga cocok untuk wilayah pertanian, perkebunan dan peternakan. Secara
administratif, Desa Cikandang berbatasan dengan Desa Margamulya di sebelah
utara dan barat, berbatasan dengan Kecamatan Pamulihan di sebelah selatan, dan
berbatasan dengan Desa Simpang di sebelah timur.
42
Pemanfaatan lahan di Kecamatan Cikajang sebagian besar berupa hutan,
pertanian dan non pertanian. Wilayah pertanian di Kecamatan Cikajang sebagian
besar dikelola oleh perorangan atau kepemilikan pribadi, sedangkan wilayah hutan
merupakan wilayah milik pemerintah UPTD Kehutanan yang dikelola bersama
masyarakat setempat. Data penggunaan lahan di wilayah Kecamatan Cikajang
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Luas Wilayah Desa/Kel Dirinci Menurut Lahan Pertanian dan NonPertanian di Kecamatan Cikajang, Tahun 2017
Desa Hutan Pertanian Non pertanian JumlahCikajang - 47,40 52,70 100,10Cikandang 674,00 503,81 21,40 1.199,21Margamulya 492,16 1.287,50 30,30 1.809,96Simpang 1.266,00 671,00 99,00 2.036,00
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Garut (2018)
4.1.2. Penduduk dan Tenaga Kerja
Jumlah penduduk Kecamatan Cikajang pada tahun 2017 sebanyak 86.182
jiwa dan jumlah rumah tangga sebanyak 21.687 KK, dengan sebagian besar
jumlah anggota keluarga berkisar antara 3 sampai 4 orang. Banyaknya jumlah
anggota keluarga akan mempengaruhi beban dan tanggungan dari setiap rumah
tangga, terutama pada kepala keluarga. Data jumlah penduduk Cikajang menurut
pekerjaan utama dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan Utama di KecamatanCikajang, Tahun 2017
Pekerjaan Banyaknya Persentase(1) (2) (3) %
Tanaman pangan dan palawija 2.317 5.44Holtikultura 12.463 29.24Perkebunan 3.154 7.40Perikanan 1.231 2.89Perternakan 3.387 7.95Kehutanan 4.084 9.58Pertambangan dan Penggalian 431 1.01Industri 1.678 3.94Listrik dan gas 41 0.10
43
Konstruksi 902 2.12Jumlah 29.688
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Garut (2018)
4.1.3. Keadaan Sosial dan Budaya Masyarakat
Nilai sosial dan budaya yang berkembang di masyarakat Kecamatan
Cikajang berbasis agraris-agamis sehingga mencerminkan tradisi kehidupan
petani yang religius. Sesuai dengan kondisi alam yang terletak pada dataran tinggi,
maka tradisi masyarakat petani di daerah ini merupakan petani sayuran. Nilai yang
berkembang pada masyarakat bersumber dari tradisi Sunda, salah satu tradisi
diantaranya yaitu seni ketangkasan domba. Diketahui masyarakat sangat
menghayati seni ketangkasan domba meskipun sering kali berbenturan dengan
nilai-nilai yang bersumber dari agama salah satunya agama Islam.
Nilai agama Islam nampak dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat
sekitar semisal dapat diamati dari aktivitas pengajian, ada yang mengkhususkan
bagi wanita (ibu-ibu) serta adapula yang mengkhususkan bagi pria (bapak-bapak).
Cara berpakaian maupun perilaku masyarakat Kecamatan Cikajang yang
cenderung Islami tampak terlihat dalam keseharian. Meskipun masih
dipeliharanya nilai-nilai tradisi, diketahui pula berkembangnya nilai-nilai modern
yang tercermin seperti dari pentingnya nilai pendidikan bagi anak, berkembangnya
seni modern (musik) terutama dikalangan remaja, serta adanya toleransi terhadap
program pemerintah seperti Keluarga Berencana (KB) dan sebagainya.
Sosial masyarakat petani di Kecamatan Cikajang masih menggambarkan
adanya pembagian peran, status dan kedudukan sosial yang tegas dalam pola
kehidupan sehari-hari. Status sosial yang termasuk kelas atas yaitu petani pemilik
lahan luas dengan jumlah yang sedikit, serta umumnya memiliki ternak domba
dalam jumlah yang banyak dengan kualitas ternak yang unggul, termasuk pada
ternak domba tipe tangkas. Diketahui bahwa sebagian besar lahan pertanian di
44
wilayah Kecamatan Cikajang dimiliki oleh petani dari luar desa, sehingga petani
yang berada di wilayah tersebut hanya sebagai petani penggarap, buruh tani dan
sebagai petani penyewa lahan.
Ketokohan agama (ulama) juga memiliki status sosial yang tinggi dan
memiliki pengaruh yang kuat serta sebagai contoh teladan. Adanya tokoh sentral
dari tokoh agama dengan pengaruh yang kuat dapat berfungsi dalam
mengintegrasikan kelompok yang berorientasi pada adat istiadat (budaya) dengan
kelompok yang berorientasi pas nilai agama.
4.1.4. Identitas Informan Peternak dan Keterampilan Pemeliharaan Ternak
Identitas informan yang berkerjasama dengan TTP Cikajang dilihat dari
empat karakteristik, yaitu aspek umur, tingkat pendidikan formal, pengalaman
beternak dan pekerjaan pokok.
4.1.4.1. Umur Informan
Umur informan dalam penelitian ini berkisar antara 18-67 tahun yang
diuraikan pada Tabel 4. Sebagian besar peternak tergolong pada rentang usia-usia
produktif (15-59 tahun) yaitu sebesar 81,25%. Hal ini menunjukkan sebagian
besar peternak memiliki potensi dapat bekerja dengan baik, pendapat ini didukung
oleh Munandar (2001) golongan usia 15-59 tahun merupakan golongan usia
produktif, karena masih kuat untuk beternak domba dan masih bisa mengikuti
aktivitas lain yang mendukung kegiatan tersebut.
Tabel 4. Umur Peternak yang Bekerja Sama dengan TTP CikajangNo Identitas Uraian Jumlah %1 Umur (tahun) < 15 0 0
15-59 13 81,25> 59 3 18,75
45
Sumber: Data Primer (2019)
4.1.4.2. Tingkat Pendidikan Formal
Tingkat pendidikan informan bervariasi dari SD, SMP, SMA sampai S1
yang tampak pada Tabel 5. Mayoritas pendidikan formal peternak sebesar 75%
hanya menempuh pendidikan SD dan SMP, ini akan berpengaruh terhadap
keberhasilan program. Hal ini lebih rendah dibandingkan pada penelitian Azikiwe
et al., (2013) bahwa petani di Afrika Selatan berpendidikan rendah sebesar
79,34% pria dan 80,67% wanita petani dengan pendidikan SD sebanyak 17,33%
pria dan 13,33% wanita, pendidikan SMP sebanyak 12,67% pria dan 15,33%
wanita, serta pendidikan sebanyak SMA 34,67% pria dan 34% wanita, serta
14,67% pria dan 18% wanita tidak memiliki pendidikan sekolah formal tetapi
aktif dalam pertanian, sementara itu petani dengan pendidikan tinggi 20,67% pria
dan 19,33% wanita sudah merupakan petani yang komersial. Pendidikan yang
rendah menyebabkan informan kurang adaptif terhadap inovasi teknologi.
Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Mosher (1979) dikutip dari Sulistyati et al.,
(2010), pendidikan mempengaruhi kecepatan suatu adopsi inovasi namun
pendidikan bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan cepat lambatnya
seseorang dalam mengadopsi inovasi-inovasi baru. Selain umur, pendidikan,
pengalaman juga mempengaruhi tingkat keberhasilan suatu kegiatan.
Tabel 5. Tingkat Pendidikan Formal Peternak yang Bekerja Sama denganTTP Cikajang
No Identitas Uraian n %1 Pendidikan Formal SD 6 37,5
SMP 6 37,5SMA 3 18,75S1 1 6,25
Sumber: Data Primer (2019)
46
4.1.4.3. Pengalaman Beternak
Aspek pengalaman beternak juga mempengaruhi tingkat keberhasilan suatu
kegiatan, berdasarkan pengalaman seseorang dapat mempelajari masalah yang
akan terjadi serta membantu dalam pengambilan keputusan. Pengalaman beternak
adalah lamanya berkecimpung pada kegiatan usaha domba yang dijelaskan pada
Tabel 6.
Tabel 6. Pengalaman Beternak Peternak yang Bekerja Sama dengan TTPCikajang
No Identitas Uraian n %1 Pengalaman Beternak < 5 3 18,75
5-10 1 6,25>10 12 75
Sumber: Data Primer (2019)
Pengalaman beternak informan bervariasi dari 1-57 tahun. Sebanyak 75%
informan berpengalaman beternak lebih dari 10 tahun. Pengalaman yang diperoleh
informan secara turun-temurun dan cenderung mempertahankan pola-pola yang
ada, pemahaman tentang berternak domba dan pengobatan terhadap ternak masih
cenderung tradisional. Hal ini lebih rendah dibandingkan pada penelitian Siswati
et al., (2015) pengalaman peternak di Desa Cibuntu Kecamatan Pesawahan
Kabupaten Kuningan yang bervariasi dari 1-40 tahun dengan pengalaman
terbanyak pada 1-5 tahun sebanyak 55,07% . Jumlah tersebut menunjukkan
peternak dominan tergolong peternak baru.
4.1.4.4. Pekerjaan Pokok
Pekerjaan pokok informan mayoritas tidak dibidang peternakan dapat dilihat
pada Tabel 7. Mata pencaharian atau pekerjaan pokok sebagian besar informan
buruh tani 50%, petani 31,25% sedangkan sebagai peternak hanya sebesar 6,25%.
47
Berdasarkan data pekerjaan pokok informan, dapat diketahui bahwa masih banyak
informan yang menjadi peternak sebagai usaha sampingan yang berpotensi
ditingkatkan menjadi usaha pokok. Hal ini serupa dengan penelitian Siswati et al.,
(2015) mata pencaharian responden di Desa Cibuntu sebagian besar sebagai petani
sebanyak 58 orang yaitu 84,06% sedangkan untuk beternak domba masih
dianggap usaha sampingan yang merupakan sumber tambahan keluarga.
Tabel 7. Pekerjaan Pokok Peternak yang Bekerja Sama dengan TTPCikajang
No Identitas Uraian n %4 Pekerjaan Pokok Petani 5 31,25
Buruh 8 50Peternak 1 6,25Wirasasta 1 6,25ASN 1 6,25
Sumber: Data Primer (2019)
4.1.4.5. Keterampilan Pemeliharaan Ternak
Domba yang dipelihara rata-rata antara 4-7 ekor per rumah tangga rata-rata
5 ekor, bahkan ada yang lebih mencapai 80 ekor dengan tujuan pemeliharaan
pembibitan domba dan domba tangkas. Lokasi usaha ternak domba umumnya
dalam satu kawasan di Desa Cikandang.
Sistem pemberian pakan dilakukan tiga kali sehari yakni berupa hijauan,
seperti rumput dan limbah pertanian seperti labu siam, wortel, singkong dan bahan
lainnya tergantung kebiasaan peternak dalam memberikan pakan. Pemberian
pakan berupa hijauan diberikan pada pagi dan malam hari, sedangkan pakan yang
berasal dari limbah pertanian diberikan pada siang hari. Pemberian pakan
dilakukan pada pagi hari pukul sekitar 06.00 WIB sebelum peternak mencari
48
rumput, pemberian pakan pada siang hari berkisar pukul 12.00 WIB, dan sore hari
pukul 18.00 WIB.
Dalam satu hari hijauan yang diperlukan Domba Garut di Kecamatan
Cikajang rata-rata mencapai 6 kg berat segar hijauan per ekor. Peternak dalam
menyediakan hijauan pakan melakukan sistem cut and carry yang ditampilkan
pada Gambar 4.
Gambar 4. Pola Penyedian Hijauan Pakan Ternak ( Sumber Data Primer2019)
Perawatan Domba Garut yang dilakukan peternak pada umumnya terdiri
dari pemandian, pencukuran bulu, pemberian suplemen, dan pencegahan penyakit.
Frekuensi pemandian domba pejantan dilakukan satu sampai empat minggu sekali
dan khusus domba betina atau indukan dimandikan setelah melahirkan anaknya.
Pencukuran bulu untuk pejantan berkisar satu sampai tiga bulan sekali karena
pertumbuhan bulu pejantan lebih cepat dibandingkan dengan betina. Sedangkan
pencukuran bulu betina bisa dilakukan 3-5 bulan sekali.
Dalam perawatan Domba Garut, peternak juga memberikan suplemen untuk
domba agar nafsu makan tetap terjaga, suplemen yang biasa diberikan adalah
gayemi. Untuk pencegahan penyakit, peternak setiap tiga bulan sekali memberikan
obat cacing kepada masing-masing domba. Obat cacing yang digunakan adalah
49
albenol-2 500 bolus. Untuk domba muda, satu tablet untuk empat domba dan
untuk domba dewasa satu tablet untuk dua domba diberikan tiga bulan sekali.
Dalam penanganan penyakit Domba Garut para peternak di Kecamatan Cikajang
masih bersifat tradisional. Penyakit yang sering diderita adalah kudis, kembung,
cacingan, dan mencret. Penyakit kudis bersifat menular yang berpindah melalui
kontak dengan domba yang terinfeksi. Menurut Mulyono (2003), penyakit kudis
disebabkan oleh Sarcoptes scabei, Psoroptes communis var. ovis, Choriopteso
ovis. Untuk penyembuhan, peternak hanya memandikan domba secara rutin setiap
hari menggunakan air hangat dan bagian kudis dioles oli bekas agar tidak gatal.
Penyakit kembung pada Domba Garut di Kecamatan Cikajang biasanya
terjadi karena pola pemberian pakan hijauan yang tidak teratur. Menurut Mulyono
(2003), penyakit kembung terjadi karena domba tidak mampu menghilangkan gas
yang dihasilkan pada lambung pertama (rumen). Gas timbul akibat domba terlalu
banyak makan hijauan legum, pemberian pakan tidak teratur, domba terlalu lapar
dan makan hijauan yang masih berembun. Peternak di Kecamatan Cikajang dalam
menangani penyakit kembung pada domba masih tradisional yaitu diberi minum
air kelapa secara berkala sampai sembuh.
Selain itu, cacingan dan mencret merupakan penyakit yang sering diderita
Domba Garut di Kecamatan Cikajang. Hal ini disebabkan peternak dalam
pencarian pakan hijauan masih terlalu pagi sehingga rumput masih dalam keadaan
berembun dan tercemar oleh telur-telur cacing. Untuk mengatasi cacingan dan
mencret peternak memberi pakan hijauan berupa daun jambul kuda, daun
kaliandra, pete cina, dan asem jawa sebagai obat tradisonal dan medis. Menurut
Mulyono (2003), pencegahan penyakit cacingan dan mencret yaitu hindari pakan
hijauan yang telah tercemari oleh siput, hindari memotong hijauan yang masih
berembun dan jangan meletakkan potongan rumput di atas tanah.
50
Penggemukan domba dilakukan hingga bobot siap jual berkisar rataan 20-30
kg, sedangkan untuk penjualan sebagai bakalan berumur 4-7 bulan tergantung
permintaan. Khusus usaha ternak domba tangkas memiliki pasar tersendiri,
bahkan terkadang domba diantar langsung ke konsumen dan tidak jarang
penjualannya berlangsung di tempat–tempat kontes ternak. Alur pemasaran ternak
Domba Garut tipe pedaging dan tipe tangkas afkir di Desa Cikandang dapat dilihat
pada Gambar 5.
Gambar 5. Rantai Pemasaran Ternak Domba di Desa Cikandang LaporanAkhir TTP 2015. (Data Sekunder 2015)
4.1.5. Parameter Produksi Ternak
Produktivitas seekor ternakdipengaruhi oleh faktor internal (genetik) daneksternal (lingkungan) dan juga interaksi keduafaktor tersebut. Faktor
Peternak
Bandar
Kelompoktani
Pasar Lokal / Jakarta
Konsumen
51
eksternal bersifat temporer (berubah-ubah) dari waktu ke waktu dan tidakdapat diwariskan kepada keturunannya, sedangkanfaktor internal (genetik) bersifat baka, tidak akanberubah selama hidupnya sepanjang tidak terjadi mutasidari gen penyusun-nya dan dapat diwariskankepada keturunannya. Kedua hal inilah yangmenyebabkan produktivitas ternak berbeda dari suatulokasi dengan lokasi
52
lainnya. Besarnya produktivitas dapat diestimasi
dengan besarnya nilaipemuliaan (NP) yang dimilikinya dan pada ternakbetina (induk) dengan mengestimasi kemampuanberproduksi atau most probable producing ability(MPPA). Apabila seekor ternak memiliki NP danMPPA yang tinggi dapat diprediksi ternak tersebutakan memiliki
53
produktivitas yang tinggipula serta dapat di-wariskan kepadaketurunannya(Hardjosubroto, 1994).Produktivitas seekor ternakdipengaruhi oleh faktor internal (genetik) daneksternal (lingkungan) dan juga interaksi keduafaktor tersebut. Faktor eksternal bersifat temporer (berubah-ubah) dari waktu ke waktu dan tidakdapat diwariskan kepada
54
keturunannya, sedangkanfaktor internal (genetik) bersifat baka, tidak akanberubah selama hidupnya sepanjang tidak terjadi mutasidari gen penyusun-nya dan dapat diwariskankepada keturunannya. Kedua hal inilah yangmenyebabkan produktivitas ternak berbeda dari suatulokasi dengan lokasi lainnya. Besarnya produktivitas dapat diestimasi
55
dengan besarnya nilaipemuliaan (NP) yang dimilikinya dan pada ternakbetina (induk) dengan mengestimasi kemampuanberproduksi atau most probable producing ability(MPPA). Apabila seekor ternak memiliki NP danMPPA yang tinggi dapat diprediksi ternak tersebutakan memiliki produktivitas yang tinggipula serta dapat di-
56
wariskan kepadaketurunannya(Hardjosubroto, 1994).Produktivitas seekor ternakdipengaruhi oleh faktor internal (genetik) daneksternal (lingkungan) dan juga interaksi keduafaktor tersebut. Faktor eksternal bersifat temporer (berubah-ubah) dari waktu ke waktu dan tidakdapat diwariskan kepada keturunannya, sedangkanfaktor internal (genetik)
57
bersifat baka, tidak akanberubah selama hidupnya sepanjang tidak terjadi mutasidari gen penyusun-nya dan dapat diwariskankepada keturunannya. Kedua hal inilah yangmenyebabkan produktivitas ternak berbeda dari suatulokasi dengan lokasi lainnya. Besarnya produktivitas dapat diestimasi
dengan besarnya nilaipemuliaan (NP) yang
58
dimilikinya dan pada ternakbetina (induk) dengan mengestimasi kemampuanberproduksi atau most probable producing ability(MPPA). Apabila seekor ternak memiliki NP danMPPA yang tinggi dapat diprediksi ternak tersebutakan memiliki produktivitas yang tinggipula serta dapat di-wariskan kepadaketurunannya(Hardjosubroto, 1994).
59
Produktivitas ternak dipengaruhi oleh faktor internal (genetik) dan eksternal
(lingkungan) maupun interaksi antara kedua faktor tersebut. Faktor eksternal tidak
dapat diwariskan kepada keturunannya karena bersifat berubah-ubah dari waktu ke
waktu, sedangkan faktor internal (genetik) dapat diwariskan kepada keturunannya
karena bersifat tetap sehingga tidak akan berubah selama hidupnya sepanjang
tidak terjadi mutasi genetik penyusunnya. Kedua faktor tersebut merupakan
penyebab produktivitas ternak yang berbeda dari suatu lokasi dengan lokasi yang
lain (Suhada et al., 2009).
Produktivitas seekor ternakdipengaruhi oleh faktor internal (genetik) daneksternal (lingkungan) dan juga interaksi keduafaktor tersebut. Faktor eksternal bersifat temporer (berubah-ubah) dari waktu ke waktu dan tidakdapat diwariskan kepada
60
keturunannya, sedangkanfaktor internal (genetik) bersifat baka, tidak akanberubah selama hidupnya sepanjang tidak terjadi mutasidari gen penyusun-nya dan dapat diwariskankepada keturunannya. Kedua hal inilah yangmenyebabkan produktivitas ternak berbeda dari suatulokasi dengan lokasi lainnya. Besarnya produktivitas dapat diestimasi
61
dengan besarnya nilaipemuliaan (NP) yang dimilikinya dan pada ternakbetina (induk) dengan mengestimasi kemampuanberproduksi atau most probable producing ability(MPPA). Apabila seekor ternak memiliki NP danMPPA yang tinggi dapat diprediksi ternak tersebutakan memiliki produktivitas yang tinggipula serta dapat di-
62
wariskan kepadaketurunannya(Hardjosubroto, 1994).4.1.5.1. Interval Kelahiran
Interval kelahiran adalah jarak antar per kelahiran pada domba atau biasa
disebut dengan lambing interval. Peternak Domba Garut yang bekerja sama
dengan TTP Cikajang di Desa Cikandang dalam mengawinkan Domba Garut
sudah terpola dengan baik. Hal ini terbukti setiap dua tahun Domba Garut mampu
3 kali beranak, dengan siklus 5 bulan masa kebuntingan setelah dikawinkan
beranak, masa laktasi atau menyusui 4 bulan dan setelah 2 – 3 bulan kelahiran
dapat dikawinkan lagi. Masa kering minimal 2 bulan sebelum kelahiran anak
diperlukan untuk mempersiapkan perkembangan embrio yang sedang bunting dan
mempersiapkan produksi susu pada periode laktasi berikutnya. Hal ini dapat
dilihat pada Gambar 6.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
0
1
1
1
2
1
3
1
4
1
5
1
6
1
7
1
8
1
9
2
0
2
1
2
2
2
3
2
4
I
II
III
Gambar 6. Kalender Reproduksi Domba Garut Pada Peternak yang BekerjaSama dengan TTP Cikajang
Keterangan gambar: I anak pertama II anak kedua III anak ketiga
63
Masa bunting Melahirkan dan menyusui bulan pertama
Masa menyusui Masa kering
Hasil wawancara dengan peternak yang bekerja sama dengan TTP Cikajang
dapat dilihat pada Tabel 8. Lambing interval terbanyak pada jarak kelahiran 8
bulan yaitu sekitar 68,75% dari 16 informan. Hal ini sejalan dengan pendapat
Jarmuji (2010) yang menyatakan bahwa domba memiliki siklus reproduksi dengan
jarak kelahiran yaitu 8 bulan sehingga dalam 2 tahun seekor induk domba
sedikitnya menghasilkan tiga ekor anak pada kelahiran tunggal ataupun 1,5 ekor
anak per induk per tahun. Pola perkawinan Domba Garut yang telah diterapkan
peternak mulai dari mengawinkan hingga mengawinkan lagi membutuhkan waktu
8 bulan sehingga dalam waktu 2 tahun Domba Garut dapat beranak sebanyak 3
kali.
Tabel 8. Lambing Interval Domba Garut Pada Peternak yang Bekerja Sama dengan TTP Cikajang
No Informan Lambing Interval 8 Bulan 10 Bulan 12 Bulan
............................................ % ......................................1 A √ ─ ─2 B ─ √ ─3 C √ ─ ─4 D √ ─ ─5 E √ ─ ─6 F √ ─ ─7 G ─ √ ─8 H √ ─ ─9 I √ ─ ─10 J √ ─ ─11 K √ ─ ─12 L ─ ─ √13 M ─ ─ √14 N √ ─ ─15 O √ ─ ─16 P ─ √ ─
64
Jumlah 68,75 18,75 12,5Sumber: Data Primer (2019)
4.1.5.2. Umur sapih
Umur penyapihan berbeda-beda tergantung dari manajemen pemeliharaan.
Domba Garut yang telah diterapkan peternak yang bekerja sama dengan TTP
Cikajang usia sapih 3 hingga 5 bulan. Data umur sapih Domba Garut di Desa
Cikandang di sajikan pada Tabel 9.
Berdasakan data yang disajikan pada Tabel 9, kebanyakan peternak menyapih
anak Domba Garut pada umur 4 bulan yaitu sebesar 68,75%. Hasil ini lebih besar
dibandingkan dengan Subandriyo (1995) yang menyatakan standar umur sapih
domba yaitu 90 hari atau 3 bulan.
Penyapihan yang dilakukan oleh peternak pada umur 4 bulan agar kondisi
daya tahan tubuh ternak lebih kuat untuk mencegah kematian dan dapat
memaksimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak domba. Hal ini sesuai
dengan pendapat Campbell et al., (2003) dalam Somanjaya et al., (2015) yang
menyatakan bahwa anak domba dapat disapih dari induknya sekitar 2-5 bulan.
Tabel 9. Umur Sapih Domba Garut Pada Peternak yang Bekerja Sama dengan TTP Cikajang
No Informan Umur Sapih 3 Bulan 4 Bulan 5 Bulan
............................................ % ........................................1 A √ ─ ─2 B ─ √ ─3 C ─ √ ─4 D ─ √ ─5 E ─ √ ─6 F ─ √ ─7 G ─ ─ √8 H ─ √ ─9 I ─ √ ─10 J ─ √ ─11 K ─ √ ─12 L ─ ─ √
65
13 M ─ ─ √14 N ─ √ ─15 O ─ √ ─16 P ─ ─ √
Jumlah 6,25 68,75 25Sumber: Data Primer (2019)
4.1.5.3. Jumlah Anak per Kelahiran
Tipe kelahiran ternak domba terdiri dari kelahiran tunggal dan kelahiran
kembar. Seekor induk mampu melahirkan satu, dua, tiga bahkan lebih dari tiga ekor
anak dalam sekali beranak. Data rata-rata jumlah anak per kelahiran anak Domba
Garut pada peternak yang bekerja sama dengan TTP Cikajang disajikan pada
Tabel 10.
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 10, diketahui 100% dari 16
informan yang menghasilkan anakan domba 2 ekor per kelahiran. Ternak domba
mempunyai tingkat kesuburan atau fertilitas dicerminkan oleh keteraturan induk
beranak kembar. Dimsoski et al., (1999) dan Inounu et al., (1999) menyatakan bahwa
faktor yang mempengaruhi jumlah anak dalam kelahiran ialah faktor genotipe,
manajemen dan interaksi antara manajemen dengan paritas induk, bangsa induk serta
pertambahan bobot badan induk.
Jumlah anak per kelahiran kembar dua memiliki tingkat kematian yang tinggi,
hal ini dikarenakan kurangnya nutrisi yang diberikan induk dalam bentuk air susu.
Iniquez et al., (1993) dalam Jarmuji (2010) menyatakan bahwa daya tahan hidup
anak domba yang dilahirkan per induk hingga mencapai usia sapih, terutama yang
terlahir kembar dua atau lebih memiliki tingkat kematian yang mencapai 40-60%.
Tabel 10 Jumlah Anak per Kelahiran Domba Garut Pada Peternak yang Bekerja Sama dengan TTP Cikajang
No Informan Rata-rata Jumlah Anak per Kelahiran (ekor)1 2 3
1 A ─ √ ─2 B ─ √ ─
66
3 C ─ √ ─4 D ─ √ ─5 E ─ √ ─6 F ─ √ ─7 G ─ √ ─8 H ─ √ ─9 I ─ √ ─10 J ─ √ ─11 K ─ √ ─12 L ─ √ ─13 M ─ √ ─14 N ─ √ ─15 O ─ √ ─16 P ─ √ ─
Jumlah (%) 0 100 0Sumber: Data Primer (2019)
4.1.5.4. Bobot Lahir per Kelahiran
Bobot lahir merupakan berat saat anak domba (cempe) baru dilahirkan oleh
induknya. Bobot lahir juga merupakan sifat penting yang mempengaruhi daya
tahan hidup dan pertumbuhan domba selama hidupnya (Ghasemi et al., 2019).
Menurut Gunawan dan Noor (2006) bahwa bobot lahir mempunyai korelasi positif
dengan bobot sapih, sehingga bobot lahir yang lebih tinggi akan menentukan
bobot sapih yang tinggi pula.
Hasil rata-rata bobot lahir Domba Garut pada peternak yang bekerja sama
dengan TTP Cikajang untuk jantan 2,16 kg dan betina 2,09 kg. Hal ini lebih
rendah dibandingkan dengan bobot lahir Domba Garut jantan dan betina sesuai
SNI yaitu sebesar 2,8 kg dan 2,4 kg (SNI 7532:2009). Menurut penelitian
Pusparini, et al., (2015), berat lahir pada Domba Garut jantan dan betina di
UPTD-BPPTDK Margawati Garut yaitu sebesar 2,38 kg dan 2,44 kg, sedangkan
menurut penelitian Istiqomah et al., (2006), bahwa berat lahir Domba Garut jantan
dan betina yaitu sebesar 2,37 kg dan 2,29 kg. Data bobot Domba Garut pada
peternak yang bekerja sama dengan TTP Cikajang disajikan pada Tabel 11.
67
Tabel 11. Bobot Lahir Domba Garut pada Peternak yang Bekerja Samadengan TTP Cikajang
No Informan Rata-rata Bobot Lahir Kembar Dua/ Twin (kg)♂ ♀
1 A 2,5 2,22 B 2 23 C 2,6 2,44 D 2,5 2,25 E 2 26 F 2,4 2,27 G 2 28 H 2,5 2,49 I 2 210 J 2 211 K 2 212 L 2 213 M 2 214 N 2 215 O 2 216 P 2 2
Rata-rata 2,16 2,09Sumber: Data Primer (2019)
Rendahnya bobot lahir pada Domba Garut yang dipelihara oleh peternak
yang bekerja sama dengan TTP Cikajang dikarenakan kurangnya kualitas nutrisi
yang diberikan pada ternak. Peternak hanya memberikan rumput lapangan dan
limbah pertanian yang tersedia tanpa adanya tambahan konsentrat sebagai pakan
penguat dalam memenuhi kebutuhan pakan, sehingga hal ini menyebabkan
rendahnya bobot induk yang berdampak pada rendahnya bobot lahir anak.
Menurut Inounu et al., (1999) bahwa rendahnya bobot induk akan menyebabkan
kelahiran anak dengan bobot yang rendah juga. Ditambahkan pula oleh Campbell
et al., (2003) bahwa rendahnya bobot induk berhubungan dengan kualitas pakan
yang diberikan.
Bobot lahir dipengaruhi oleh rumpun domba, paritas induk, jenis kelamin,
tipe kelahiran, kondisi intra-uterin (lingkungan fetus), genotip induk dan anak,
68
lingkungan induk, nutrisi induk pada masa kebuntingan, Body Condition Score
(BCS) induk, lama kebuntingan, dan umur induk (Inounu et al., 1999; Istiqomah
et al., 2006; Ilham, 2015; Thomas et al., 2015).
4.1.5.5. Umur Domba Garut Pertama Kali Dikawinkan
Menurut Inounu et al., (2003) bahwa Domba Garut memiliki umur pubertas
yang lebih awal dibandingkan domba impor. Ditambahkan oleh Dudi (2002)
bahwa pubertas pada domba terjadi pada umur 6-12 bulan, meskipun diketahui
domba betina mencapai dewasa kelamin pada umur 6-8 bulan. Data umur
pengawinan Domba Garut pada peternak yang bekerja sama dengan TTP Cikajang
berdasarkan rekording disajikan pada Tabel 12.
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 12, umur domba pertama kali
dikawinkan pada umur 10 dan 12 bulan yang paling banyak dilakukan yaitu
masing-masing sebesar 43,75%. Menurut wawancara dilapangan umur 10 dan 12
bulan merupakan umur yang baik karena sudah dewasa kelamin dan dewasa tubuh
sehingga menghasilkan kualitas anak yang baik. Hal ini sejalan dengan pernyataan
Hastono dan Masbulan (2000) bahwa induk domba siap dikawinkan pertama kali
pada umur 12 bulan. Hal serupa telah dilaporkan Devendra dan Burn (1994)
menyatakan bahwa ternak betina muda dikawinkan setelah mencapai bobot hidup
75% dari bobot hidup dewasa, karena dikhawatirkan apabila beranak masih terlalu
kecil, pertumbuhan berikutnya menjadi terhambat yang pada akhirnya akan
berpengaruh terhadap kesuburan, bobot hidup dan daya hidup anak-anaknya.
Dapat dikatakan bahwa apabila domba betina telah memenuhi 75% bobot dewasa
pada umur yang lebih cepat, maka domba betina dapat dikawinkan lebih cepat.
Tabel 12. Umur Pengawinan Domba Garut Pada Peternak yang BekerjaSama dengan TTP Cikajang
No Informan Umur Pertama Kali dikawinkan
69
8 Bulan 10 Bulan 12 Bulan1 A √ ─ ─2 B ─ √ ─3 C ─ √ ─4 D ─ √ ─5 E ─ ─ √6 F ─ ─ √7 G ─ √ ─8 H ─ √ ─9 I ─ ─ √10 J √ ─ ─11 K ─ ─ √12 L ─ ─ √13 M ─ √ ─14 N ─ ─ √15 O ─ ─ √16 P ─ √ ─
Jumlah (%) 12,5 43,75 43,75Sumber: Data Primer (2019)
4.2. Peran TTP Terhadap Pemberdayaan Peternak Domba Di DesaCikandangTaman Teknologi Pertanian dibangun dengan berlandaskan pada prinsip
keterpaduan, pendekatan bisnis, keberlanjutan, pemanfaatan ilmu pengetahuan
dan teknologi, serta pemberdayaan masyarakat. Diharapkan adanya TTP di
masyarakat dapat menjadi pusat percontohan dan alih teknologi melalui kegiatan
informasi pertanian peternakan, demonstrasi, pelatihan dan pemagangan yang
mengikutsertakan masyarakat pada seluruh proses kegiatan tersebut.
Peran TTP terhadap pemberdayaan peternak di Desa Cikandang sebagai
tempat untuk penerapan teknologi pertanian hulu-hilir berwawasan agrobisnis
yang bersifat spesifik lokasi, tempat untuk percontohan dan penerapan inovasi
yang telah dikembangkan di TSP, dan tempat pelatihan, pemagangan, inkubasi
kemitraan usaha, diseminasi teknologi, dan pusat advokasi bisnis ke masyarakat
luas (Syakir, 2016).
70
4.2.1. Sistem pemberdayaan
Pendekatan utama pada konsep pemberdayaan ialah bahwa masyarakat tidak
dijadikan obyek dari suatu proyek pembangunan, namun sebagai subyek dalam
pembangunannya sendiri. Menurut Munawar (2011) pendekatan yang dipakai
berdasarkan konsep pemberdayaan masyarakat sebagai model pembangunan yakni
meliputi:
1) Pertama, targeted yaitu upayanya harus terarah kepada yang memerlukan,
dengan program yang dirancang untuk mengatasi masalahnya serta sesuai
dalam kebutuhannya.
2) Kedua, mengikutsertakan bahkan dilaksanakan oleh masyarakat yang
menjadi sasaran, dengan tujuannya yaitu efektifnya bantuan karena sesuai
kebutuhan mereka yang sekaligus meningkatkan keberdayaan (empowering)
masyarakat dalam pengalaman merancang, melaksanakan, mengelola dan
mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya.
3) Ketiga, menggunakan pendekatan kelompok, yang dikarenakan secara
individual masyarakat dengan ekonomi rendah sulit memecahkan
masalahnya sendiri. Disamping itu, bahwa kemitraan usaha antar kelompok
dengan kelompok yang lebih baik saling mengguntungkan dan dapat
memajukan kelompok tersebut.
TTP Cikajang telah menerapkan pendekatan-pendekatan berdasarkan
konsep pemberdayaan masyarakat dengan adanya target sasaran peternak domba
yang tergabung dalam dalam gapoktan Cikandang Agro yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan protein hewani terutama yang berasal dari domba. Peternak
diikutsertakan dalam merancang, melaksanakan, mengelola, dan
mempertanggungjawabkan program yang dibuat untuk peningkatan pengetahuan,
sikap, dan keterampilan serta peningkatan ekonominya.
71
Menurut Munawar (2011) bahwa pemberdayaan merupakan konsep
pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai masyarakat untuk
membangun paradigma baru dalam pembangunan yang bersifat people-centered,
participatory. Dalam kerangka ini upaya untuk memberdayakan masyarakat
(empowering) dapat dikaji dari 3 (tiga) aspek :
1) Enabling yakni menciptakan suasana yang memungkinkan potensi
masyarakat yang dapat berkembang.
2) Empowering yakni memperkuat potensi yang dimiliki oleh masyarakat
melalui langkah-langkah nyata yang menyangkut penyediaan berbagai input
dan pembukaan dalam berbagai peluang yang dapat membuat masyarakat
semakin berdaya.
3) Protecting yaitu melindungi dan membela kepentingan dari masyarakat
lemah.
Pendekatan pemberdayaan pada intinya memberikan tekanan pada otonomi
pengambilan keputusan dari kelompok masyarakat yang berlandaskan pada
sumberdaya pribadi, langsung, demokratis dan pembelajaran sosial. Penerapan
program pemberdayaan peternak Domba Garut oleh TTP dimulai dari Tahun
2015, untuk mempercepat proses adopsi inovasi baru melalui penyebaran
informasi, demonstrasi dan pelatihan-pelatihan teknologi budidaya domba.
Diketahui bahwa TTP dibangun dengan berlandaskan pada prinsip keterpaduan,
pendekatan bisnis, keberlanjutan, pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi,
serta pemberdayaan masyarakat. Kehadiran TTP di masyarakat menjadi pusat
percontohan dan alih teknologi melalui kegiatan informasi pertanian peternakan,
demonstrasi, pelatihan dan pemagangan yang mengikutsertakan masyarakat pada
seluruh proses kegiatan tersebut.
72
Berdasarkan hasil penelitian diseminasi teknologi yang diberikan TTP,
peternak umumnya mendapatkan pengetahuan dibidang peternakan yang lebih
tinggi melalui informasi yang diberikan TTP meliputi juknis peternakan (87,5%),
leaflet-leaflet peternakan (56,25%), dan diskusi (100%), yang dirata-ratakan
sebesar 81,25%. Diseminasi teknologi yang diberikan TTP melalui demonstrasi
seperti pengolahan limbah pertanian sebagai sumber pakan (56,25%), penanganan
sanitasi lingkungan kandang dan domba (56,5%), manajemen kesehatan domba
(68,75%) dan manajemen reproduksi (68,75%), memperoleh nilai rata-rata sebesar
62,5%, sedangkan hasil yang lebih rendah ditemukan pada diseminasi teknologi
melalui pelatihan seperti pembuatan mineral blok (56,25%), pembuatan pupuk
organik padat atau kompos (62,5%), pembuatan pupuk organik cair atau POC
(50%) dan pembuatan silase (43,75%) dengan nilai rata-rata sebesar 52,12%.
Sementara itu, hasil penelitian Sary (2015) menyatakan tingkat partisipasi petani
dalam program pemberdayaan melalui teknologi informasi (pelatihan dan
pembinaan yang intensif) memiliki partisipasi sangat tinggi sebesar 21,43% dan
partisipasi tinggi sebesar 78,57%. Hasil peran TTP dalam pemberdayaan dapat
dilihat pada Tabel 13.
Diseminasi teknologi yang diberikan TTP dalam bentuk informasi memiliki
partisipasi yang paling banyak dikarenakan peternak lebih tertarik dan waktu yang
lebih fleksibel dalam melakukan diskusi informal dengan pihak TTP dan juga
tersedianya sumber informasi dalam bentuk juknis dan leaflet yang bisa
dimanfaatkan kapan saja. Sementara itu rendahnya pengetahuan yang di dapat
dalam program demonstrasi dan pelatihan dikarenakan waktu pelaksanaan
kegiatan yang tidak bisa mengakomodasi semua peternak sehingga menyebabkan
partisipasinya rendah.
73
Tabel 13. Pemberdayaan Peternak Domba Garut pada Peternak yangBekerja Sama dengan TTP Cikajang
No Diseminasi Teknologi
Uraian Ya Tidakn % n %
1 Informasi Juknis peternakan 14 87,5 2 12,5Leaflet-leaflet peternakan 9 56,25 7 43,75Diskusi 16 100 0 0Rata-rata 81,25 18,75
2 Demonstrasi Pengolahan limbah pertaniansebagai sumber pakan
9 56,25 7 43,75
Penanganan sanitasi lingkungan,kandang dan domba
9 56,25 7 43,75
Manajemen kesehatan domba 11 68,75 5 31,25Manajemen reproduksi 11 68,75 5 31,25Rata-rata 62,5 37,5
3 Pelatihan Pembuatan mineral blok 9 56,25 7 43,75Pembuatan pupuk organi padat(kompos)
10 62,5 6 37,5
Pembuatan pupuk organik cair(POC)
8 50 8 50
Pembuatan Silase 7 43,75 9 56,25Rata-rata 52,12 46,88
Sumber: Data primer (2019)
Peran TTP dalam pemberdayaan alih teknologi menunjukkan hasil yang
baik, namun masih perlu ditingkatkan terutama melalui pelatihan-pelatihan di
bidang peternakan. Informasi teknologi yang diperoleh oleh peternak dari TTP
diharapkan dapat di adopsi dalam menjalankan usaha peternakan. Azikiwe et al.,
(2013) menyatakan bahwa penyediaan layanan penyuluhan berkualitas sangat
mendorong adopsi dan peningkatan produktivitas serta pendapatan pertanian.
Peran lain TTP Cikajang sebagai tempat pendidikan bagi siswa dan
mahasiswa, tempat penelitian, dan magang yang terbuka untuk umum baik
instansi pemerintah, swasta, kelompok dan pribadi. TTP Cikajang juga
memprogramkan pola kemitraan dengan peternak, di sekitar TTP dengan sistem
bagi hasil 50% untuk Peternak dan 50 % untuk TTP.
74
Dalam pemberdayaan masyarakat (empowerment) sebagai model
pembangunan yang berbasis rakyat, bahwa menggerakkan partisipasi masyarakat
bukan hanya esensial untuk mendukung kegiatan pembangunan yang digerakkan
oleh pemerintah, tetapi juga agar masyarakat dapat berperan lebih besar dalam
kegiatan yang dilakukan. Dengan demikian, menjadi tugas penting manajemen
pembangunan terhadap proses pembimbingan, pengarahan dan menciptakan iklim
yang mendukung kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat. Data
tersebut sejalan dengan penelitian Teo et al., (2007) mengatakan bahwa secara
garis besar inisiatif organisasi merupakan hal yang sangat diperlukan untuk
mempercepat proses adopsi inovasi baru melalui penyebaran teknologi dan
informasi.
4.2.1.1. Pengembangan Potensi
Saenab dan Waryati (2005) menyebutkan bahwa faktor penting yang perlu
diperhatikan dalam pengembangan ternak ruminansia besar atau kecil yaitu
ketersediaan sumber hijauan pakan yang dapat dikonsumsi. Kabupaten Garut
merupakan kabupaten yang kaya akan potensi komoditas pertanian mulai dari
tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perkebunan, kelautan dan kehutanan,
semua mempunyai potensi untuk dikembangkan dengan baik. Terutama bidang
peternakan seperti Komoditas Domba Garut, dan bidang tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan dan kehutanan yang bisa dimaanfaatkan sebagai sumber
hijauan untuk pakan ruminansia.
TTP merupakan suatu kawasan implementasi inovasi yang telah
dikembangkan pada Taman Sains Pertanian (TSP), berskala pengembangan dan
berwawasan agribisnis hulu-hilir yang bersifat spesifik lokasi dengan kegiatan
yang meliputi penerapan teknologi pra-produksi, produksi, pra-panen, pasca
panen, pengolahan hasil dan pemasaran, sebagai wahana pelatihan dan
75
pembelajaran bagi masyarakat serta pengembangan kemitraan agribisnis dengan
swasta (Balitbangtan, 2016).
Strategi yang dijalankan dalam pengembangan taman teknologi yakni : 1)
Keterpaduan yang berarti mengitegrasikan beragam usahatani dan industri
hulu-hilir dalam suatu usahatani terpadu yang bersiklus biologi; 2) Business
approach yaitu mengelola seluruh aktivitas dengan pendekatan secara bisnis
sebagai model pusat penerapan IPTEK yang mandiri; 3) Sustainability
(keberlanjutan) yaitu berarti memanfaatkan sumber daya yang ada secara
berkelanjutan untuk menjamin keberlangsungan program; 4) Pemberdayaan
masyarakat yang berarti memberdayakan masyarakat melalui pendidikan,
pelatihan, dan keterlibatan seluruh kegiatan; 5) Pemanfaatan IPTEK yaitu
pemanfaatan IPTEK dalam seluruh kegiatan demi peningkatan efisiensi produksi,
keragaman dan kualitas produk serta nilai tambah melalui proses adaptasi,
integrasi dan pengembangan (Kemenristek, 2002).
Upaya pemberdayaan masyarakat tidak hanya dalam penguatan individu
tetapi pula pranata-pranata sosial yang ada, sehingga upaya tersebut dapat pula
meningkatkan harkat dan martabat masyarakat bawah (grass root) yang dengan
segala keterbatasannya belum mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan,
kebodohan, dan keterbelakangan. Perlunya menanamkan nilai-nilai budaya
modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan dan tanggung jawab yang yang hal
tersebut merupakan bagian penting dalam upaya pengembangan pemberdayaan.
TTP dibangun dengan berlandaskan pada prinsip keterpaduan, pendekatan
bisnis, keberlanjutan, pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
pemberdayaan masyarakat. Kehadiran TTP di masyarakat sebagai pusat
percontohan dan alih teknologi melalui kegiatan-kegiatan pelatihan dan
pemagangan dengan mengikutsertakan masyarakat pada kegiatan di kawasan
76
tersebut. Salah satu TTP yang dibangun pada tahun 2015 yakni TTP Cikajang
yang berlokasi di Desa Cikandang Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut Jawa
Barat.
4.2.1.2. Memperkuat Potensi
Usaha domba merupakan usaha yang memiliki potensi dan memiliki
keunggulan yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan pendapatan keluarga
petani peternak. Kabupaten Garut memiliki luas lahan pertanian (lahan bukan
sawah) terluas di Jawa Barat dengan luas 106,522 ha (BPS Provinsi Jawa Barat,
2017), sehingga memungkinkan penggunaan limbah hasil pertanian dapat
termanfaatkan. Letak yang strategis juga menjadi potensi dalam memasok produk
hewani bagi kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta, dikarenakan sarana
transportasi yang cukup memadai. Hasil penelitian Tanuwiria et al., (2007),
menyebutkan bahwa potensi pakan yang berasal dari rumput-rumputan dan limbah
tanaman pangan di wilayah Kabupaten Garut yaitu sebesar 414.211,11 ton
BK/tahun, dengan potensi pakan asal rumput sebesar 151.395,65 ton BK/tahun
dan potensi pakan asal limbah tanaman pangan sebesar 262.815,46 ton BK/tahun.
Diketahui pula berdasarkan data BPS Kabupaten Garut (2017) bahwa populasi
domba di Kabupaten Garut pada tahun 2016 mencapai 1.305.259 ekor. Dengan
populasi domba sebesar 1.305.259 ekor tersebut, membutuhkan pakan yakni
sebesar 295.164,744 ton BK/tahun, yang perhitungan ini didasarkan pada
pernyataan Ashari et al., (1999) dalam Tanuwiria et al., (2007) bahwa kebutuhan
pakan pada setiap satuan ternak domba sebesar 9,1 x 0,07 kg BK/hari yaitu 0,637
kg BK/hari. Sehingga potensi hijauan dan limbah pertanian yang dapat
dimanfaatkan masih tinggi yaitu sebesar 119.046,366 ton BK/tahun, serta adanya
potensi untuk menambah populasi domba sebesar 526.439 ekor.
77
Minat peternak terhadap usaha Domba Garut juga merupakan potensi besar,
sesuai dengan hasil penelitian yang dapat dilihat pada Tabel 14, dimana sebanyak
56,25% peternak memanfaatkan tenaga kerja keluarga. Sementara itu 100%
peternak memanfaatkan limbah pertanian dan rumput lapang sebagai pakan
ternak, memelihara ternak untuk mengatasi masalah keuangan (simpanan),
memelihara domba tidak terlalu sulit, tidak memerlukan lahan dan modal yang
besar, juga mudah beradaptasi, serta cepat berkembang biak dan 93,75% peternak
memelihara ternak sebagai usaha sampingan.
Tabel 14. Potensi Usaha Domba Garut pada Peternak yang Bekerja Samadengan TTP Cikajang
No Uraian Ya Tidakn % n %
1 Memanfaatkan tenaga kerja keluarga 9 56,25 7 43,752 Memanfaatkan limbah pertanian dan rumput
lapang16 100 0 0
3 Memecahkan masalah keuangan 16 100 0 04 Memelihara domba tidak sulit 16 100 0 05 Tidak memerlukan lahan yang luas 16 100 0 06 Tidak membutuhkan modal yang besar 16 100 0 07 Mudah beradaptasi 16 100 0 08 Cepat berkembang biak 16 100 0 09 Sebagai usaha sampingan 15 93,75 1 6,25
Sumber: Data Primer (2019)
Menurut Setyono et al., (1994) bahwa domba lebih disukai petani peternak
karena; (1) dapat memanfaatkan tenaga kerja keluarga, (2) memanfaatkan limbah
pertanian dan rumput lapang, (3) mendukung sistem produksi tanaman melalui
pupuk kandang, (4) dapat memecahkan kebutuhan uang tunai, (5) secara tidak
langsung dapat meningkatkan status pemiliknya, (6) mudah beradaptasi dengan
berbagai lingkungan, (7) cepat berkembang biak, (8) kurang memerlukan lahan
dan modal yang relatif besar, (9) secara pemeliharaannya tidak terlalu sulit
sehingga banyak yang dipelihara oleh petani sebagai usaha sampingan
78
Domba Garut yang dipelihara oleh peternak merupakan tipe pedaging dan
tipe tangkas (seni), dengan pemeliharaan dan performa tipe pedaging dan tipe
tangkas berbeda yang berbeda pula. Domba Garut tipe tangkas diarahkan lebih
pada pembentukkan fisik yang kuat, yang biasanya dibentuk melalui
latihan-latihan yang dilakukan peternak, sedangkan Domba Garut tipe pedaging
lebih diarahkan untuk pertambahan bobot badan. Seleksi domba antara tipe
tangkas dan tipe daging dilakukan dengan melihat induk dan pejantan serta
melihat performa dari anak yang lahir. Dengan cara ini peternak dapat
meningkatkan pendapatan, karena Domba Garut tipe tangkas memiliki harga yang
lebih mahal daripada Domba Garut tipe pedaging.
Menurut Badar et al., (2014) secara ekonomi, beternak domba ini mampu
menjadi mata pencaharian penyangga bagi petani atau sebagai tabungan keluarga
karena domba dapat dijual kapan saja jika keluarga petani tersebut membutuhkan
keuangan, misalnya untuk menyekolahkan anak, perkawinan, ataupun kebutuhan
lainnya. Ditambahkan pula oleh FAO (2002) dan Jarmuji (2010) bahwa selain
adaptif terhadap lingkungan, domba juga mampu memanfaatkan hijauan yang
nilai nutrisinya rendah, seperti jerami padi dan limbah pertanian, tahan terhadap
penyakit dan parasit, mampu beranak lebih dari satu (prolific), umur dewasa
kelamin relatif cepat, serta tidak mengenal musim kawin.
4.2.1.3. Kemandirian
Kemandirian merupakan karakteristik yang diharapkan pada proses
pemberdayaan. Kemandirian adalah kemampuan peternak dalam memenuhi
kebutuhan sendiri, pengendalian diri, serta dapat memelihara dan
mempertahankan mata pencaharian. Kemandirian merupakan suatu tahapan dari
proses pemberdayaan yang dilakukan secara kronologis sebagai upaya mengubah
masyarakat yang kurang atau belum berdaya, yang proses ini melalui perubahan
79
pengetahuan, sikap perilaku sadar dan kecakapan psikomotorik. Dimensi
kemandirian dijelaskan oleh indikator : 1) ketergantungan akan bantuan dan 2)
pemenuhan akan kebutuhan (Sulistyati et al., 2011).
Kerja sama yang dilakukan TTP Cikajang dengan peternak domba dimulai
pada tahun 2015 sampai saat sekarang, dengan jumlah bantuan yang diterima
bervariasi di mulai dari 2-65 ekor. Adanya variasi dalam jumlah bantuan ternak
yang diterima tergantung pada seleksi yang dilakukan pihak TTP terhadap
peternak dilihat dari rekam jejak (track record), kesiapan peternak, ketersediaan
kandang dan rekomendasi dari ketua kelompok. Data bantuan ternak dari TTP
terhadap peternak disajikan pada Tabel 15.
Proses pemberdayaan yang dilakukan TTP masih belum bisa membuat
peternak menjadi mandiri, hal ini dapat dilihat peternak masih tergantung terhadap
program-program bantuan dari pemerintah. Ketergantungan peternak terhadap
program bantuan dari luar untuk mengatasi masalah, dan masih berharap untuk
dapat memperoleh jika ada bantuan lagi. Hal ini berbanding terbalik dengan
pernyataan Sulistyani (2004) bahwa pemberdayaan tidak menjadikan masyarakat
masuk dalam perangkap ketergantungan, akan tetapi sebaliknya harus
mengantarkan pada proses kemandirian.
Tabel 15. Ternak Bantuan dari TTP pada Peternak yang Bekerja Samadengan TTP Cikajang
NoInforman
TahunMulai
Pelaksanaan
Jumlah ternak yang diTerima
Jumlah ternakyang
digulirkan(sampai tahun
2019)Jantan Betina
....................... ekor ...........................1 A 2015 65 0 652 C 2015 0 3 83 D 2015 2 11 3
80
4 F 2015 1 4 15 G 2015 0 3 26 H 2015 1 8 27 K 2015 1 8 08 I 2016 0 7 129 P 2016 0 3 210 E 2016 1 4 311 B 2017 0 2 712 J 2017 0 3 013 O 2017 4 3 614 M 2018 0 6 015 N 2018 1 3 016 L 2019 0 6 0
Sumber: Data Primer (2019)
4.2.2 Mekanisme Kegiatan
Mekanisme kegiatan yang dilakukan dalam pemberdayaan peternak,
melaksanakan kegiatan-kegiatan yang strategis yang dapat mengubah atau
memperkuat peternak meliputi : 1) peningkatan pengetahuan (informasi inovasi
teknologi dan demonstrasi), 2) perubahan sikap perilaku (pelatihan dan
pemagangan), dan 3) kecakapan keterampilan (penerapan). Rancangan
pelaksanaan program harus memberikan ruang kepada peternak untuk
membangun dirinya sendiri, dalam mobilisasi dan pemanfaatan seluruh potensi
yang ada dilingkungannya.
4.2.2.1. Peningkatan Pengetahuan
TTP Cikajang sebagai tempat pusat percontohan dan alih teknologi melalui
kegiatan informasi pertanian peternakan, dapat meningkatkan pengetahuan
masyarakat luas terutama peternak yang bekerja sama dengan TTP Cikajang.
Peningkatan pengetahuan yang didapat peternak melalui diseminasi teknologi
yang diberikan TTP memeberikan dampak positif dan pengetahuan peternak
dalam budidaya ternak domba. Peternak yang memperoleh diseminasi teknologi
81
sebesar 81.25% dari media informasi TTP, 62.5% dari media demonstrasi TTP,
dan 52,12% dari media pelatihan yang diberikan oleh TTP.
Serupa dengan penelitian Dewi et al., (2013) pada Koperasi Unit Desa
(KUD) Batu melakukan penyuluhan usaha peternakan sapi perah melalui proses
penyampaian informasi-informasi terbaru menurut pola yang telah dikembangkan
oleh ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru, yang diharapkan kemampuan dan
keterampilan peternak dapat berkembang dan dapat diterapkan dalam usaha
peternakan.
4.2.2.2. Perubahan Sikap Perilaku
Rendahnya tingkat pendidikan formal, tidak ada usaha pokok dan
pengalaman beternak yang turun-temurun merupakan penyebab peternak kurang
adaptif terhadap modernisasi. Tawaran terhadap suatu perubahan dianggap
sebagai suatu hal yang belum pasti dan banyak mengundang resiko, sehingga
peternak lebih cenderung mempertahankan pola-pola yang sudah ada
(Koentjaraningrat, 1993). Hal ini membutuhkan pembinaan yang perlu
ditingkatkan dalam program yang lebih intensif. Pembinaan ini penting untuk
meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan peternak yang berkerja sama
dengan TTP. Apabila komponen kelembagaan yang terkait bekerja dengan baik,
maka akan terjadi peningkatan kemitraan usaha. Menurut Sulistyati et al., (2011)
bahwa peternak dengan pendidikan formal rendah dapat diperbaiki dengan
pendidikan non-formal, serta adanya pemberdayaan merupakan suatu usaha
perubahan perilaku meliputi kognitif (pengetahuan), afektif (pemahaman), dan
psikomotorik (keterampilan) ke arah yang lebih baik.
82
4.2.2.3. Kecakapan Keterampilan
TTP Cikajang sebagai pusat demonstrasi peternakan dan pelatihan dengan
mengikutsertakan masyarakat terutama peternak yang bekerja sama dengan TTP
Cikajang pada seluruh proses kegiatan dalam kawasan tersebut. Hal ini dirancang
untuk meningkatkan potensi kecakapan dan keterampilan peternak melaksanakan
usaha beternaknya. Data hasil kecakapan keterampilan peternak disajikan pada
Tabel 16.
Tabel 16. Kecakapan Keterampilan Peternak yang Bekerja Sama denganTTP Cikajang
No Uraian Ada Kadang-kadang Tidak
n % n % n %1 Pengolahan limbah pertanian
sebagai sumber pakan 0 0 5 31,25 11 68,75
2 Penanganan sanitasilingkungan, kandang dandomba
4 25 4 25 8 50
3 Manajemen kesehatan domba 5 31,25 5 31,25 6 37,54 Manajemen reproduksi 6 37,5 4 25 6 37,55 Pembuatan mineral blok 0 0 3 18,75 13 81,256 Pembuatan pupuk organik
padat (kompos) 0 0 4 25 12 75
7 Pembuatan pupuk organik cair(POC) 0 0 3 18,75 13 81,25
8 Pembuatan Silase 0 0 5 31,25 11 68,75Sumber: Data Primer (2019)
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penerapan ilmu yang
disampaikan dalam suatu pelatihan atau demontrasi yang diperoleh hampir
semuanya tidak diterapkan oleh peternak. Rendahnya penerapan inovasi teknologi
baru dalam usaha ternak pada peternak yang bekerja sama dengan TTP Cikajang
dipengaruhi oleh kebiasaaan turun temurun dalam memelihara ternak secara
tradisional, aktivitas lain di luar beternak, atau ketidak fokusan terhadap ternak
dikarenakan hampir mayoritas usaha ternak adalah sebagai usaha sampingan.
83
Penyebab lainnya yaitu diketahui bahwa peternak merasa nyaman dengan hasil
yang didapat dari cara beternak yang telah dilaksanakannya tanpa menerapkan
inovasi-inovasi teknologi. Hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian
Prasetyo dan Awaludin (2016) yang menemukan penerapan adopsi teknologi
usaha peternakan di kelompok ternak (kasus di peternakan Lembah Meru
Kabupaten Jember) tergolong rendah, dengan hanya sebanyak 5% dari anggota
kelompok ternak yang berusaha mengadopsi dan mencari inovasi teknologi.
4.3. Hubungan Kerja Sama Pola Kemitraan dalam Pemberdayaan PeternakDomba di Desa Cikandang
Disebutkan oleh Purnaningsih (2007) bahwa konsep kemitraan mengacu
pada konsep kerja sama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha
besar disertai pembinaan dengan memperhatikan prinsip saling menguntungkan
dan memperkuat, serta pola kemitraan mengandung pengertian bahwa telah terjadi
proses pembaharuan (inovasi = sesuatu yang baru) terhadap pola kemitraan dalam
banyak hal dari waktu ke waktu hingga saat ini.
Peran TTP Cikajang sebagai inkubasi kemitraan dan pusat advokasi bisnis
kemasyarakat, juga melakukan kerja sama usaha antara TTP dan peternak disertai
pembinaan dan pengembangan usaha. Indikator hubungan kerja sama pola
kemitraan TTP Cikajang dan peternak dapat dilihat berdasarkan prinsip kerja
sama, mekanisme kerja sama, hak dan kewajiban, serta sistem pertukaran.
4.3.1. Prinsip Kerja Sama
Kerja sama usaha ternak domba antara TTP Cikajang dan peternak di Desa
Cikandang dilakukan untuk mengembangkan budidaya Domba Garut dalam hal
kualitas dan kuantitas. Usaha ternak domba yang dikembangkan terdiri atas usaha
ternak pembibitan domba dan penggemukan domba. Peran pemerintah dalam
84
mengatur kemitraan usaha peternakan tercantum dalam Peraturan Menteri
Pertanian No.13/Permentan/Pk.240/5/2017 tentang Kemitraan Usaha Peternakan.
Dijelaskan bahwa kemitraan usaha peternakan adalah kerja sama antar usaha
peternakan atas dasar prinsip saling memerlukan, memperkuat, menguntungkan,
menghargai, bertanggung jawab dan ketergantungan, serta dijelaskan pula bahwa
kemitraan usaha peternakan dapat dilakukan dengan pola seperti inti plasma, bagi
hasil, sewa, perdagangan umum dan sub-kontrak.
Prinsip kerja sama terhadap peternak yang bermitra dengan TTP mengikuti
sistem pola inti plasma dengan sistem gaduh, yang menurut Ridha (2018) pola
gaduhan merupakan salah satu pola agribisnis yang dilakukan oleh petani untuk
mendapatkan bantuan modal dalam mengupayakan usahanya, dengan harapan
adanya pengembalian atas usahanya berupa bagi hasil untuk penguatan
kelembagaan peternakan.
Salah satu bantuan pemerintah yang berbentuk sistem gaduhan yaitu dengan
permodalan bagi usaha ternak tradisional. Faktor-faktor yang dapat mendorong
munculnya sistem gaduhan menurut Simatupang et al., (1994) dalam Zulfamita
(2009) ialah dikarenakan belum berkembangnya lembaga keuangan desa, bentuk
usaha ternak masih bersifat keluarga, masih banyaknya keluarga yang
berpendapatan rendah, desa yang bersangkutan memiliki potensi produksi yang
cukup.
4.3.1.1. Perjanjian Kerja Sama
Adanya kesepakatan oleh masing-masing pihak untuk menandatangani
perjanjian kerja sama dalam usaha pengelolaan ternak Domba Garut berdasarkan
ketentuan-ketentuan serta syarat-syarat yang telah diatur dalam pasal-pasal. Surat
perjanjian pengelolaan ternak Domba Garut disajikan pada Lampiran 1. Apabila
85
terjadi perselisihan antara kedua belah pihak mengenai pelaksanaan perjanjian,
maka kedua belah pihak telah menyepakati untuk menyelesaikannya secara
musyawarah, sedangkan apabila terjadi perselisihan yang tidak dapat diselesaikan
secara musyawarah, maka kedua belah pihak telah menyepakati untuk
menyerahkan penyelesaian kepada pihak yang berwajib. Hal-hal yang belum
diatur dalam perjanjian ini, maka akan diadakan musyawarah.
4.3.1.2. Sistem Pembagian Hasil
Sistem pembagian hasil terhadap peternak yang bermitra dengan TTP
mengikuti pola inti plasma dengan sistem gaduh, yang menurut Ridha (2018)
harapan dalam sistem pola gaduh yaitu pengembalian atas usahanya yakni berupa
bagi hasil untuk penguatan kelembagaan peternakan.
Pada Tabel 17 dapat dilihat pembagian hasil meliputi pihak TTP sebagai
inti dan pihak peternak sebagai plasma. Jika terjadi kelahiran anak satu maka
pembagiannya yakni setengah dari nilai jual (rupiah), untuk kelahiran anak dua
ekor maka pembagiannya yakni satu ekor bagi inti dan satu ekor bagi plasma,
untuk kelahiran anak tiga ekor pembagiannya yakni satu ekor bagi inti dan dua
ekor bagi plasma pada kelahiran pertama dan sebaliknya, dua ekor untuk inti dan
satu ekor untuk plasma pada kelahiran berikutnya. Peternak menyerahan
pembagian hasil anak setelah umur lepas sapih yang pola bagi hasil ini merupakan
kesepakatan bersama antara TTP dan peternak. Data pembagian hasil ternak
disajikan lengkap pada Tabel 17.
Tabel 17. Pembagian Hasil Ternak Antara TTP (inti) dan Peternak (plasma)
No Anakan Pembagian Hasil1 1 50:50 dari nilai rupiah anakan2 2 1 untuk TTP dan 1 untuk plasma3 3 1 untuk TTP 2 plasma kelahiran pertama, 2 untuk
TTP 1 plasma kelahiran berikutnyaSumber: Data Primer (2019)
86
Sistem pembagian hasil anakan domba oleh TTP Cikajang dan peternak
menunjukkan hasil yang sepadan dengan tidak merugikan satu sama lain. Hal ini
serupa dengan penelitian Tribudi (2017) yang menyatakan bahwa sistem gaduhan
pada ternak sapi potong di Desa Slorok Kecamatan Kromengan Kabupaten
Malang dalam program Sarjana Membangun Desa yakni menerima penjualan dan
nilai akhir ternak, dengan hak yang diterima oleh masing-masing pihak berupa
nilai dari penjualan anak sapi sebesar 50%.
4.3.2. Mekanisme Kerja Sama
Program utama di budidaya ternak Domba Garut, menerapkan sistem “DO’I
KEREN” (Domba Indukan Kedah Reuneuh) yang artinya domba induk yang
dipelihara di TTP wajib bunting dengan ketentuan, domba indukan yang selama 6
(enam) bulan tidak bunting akan diganti dengan yang lebih produktif, sehingga
produktifitas domba tetap terjaga setiap tahunnya. Adanya persyaratan dalam
mekanisme pola kemitraan usaha yang merupakan dasar dari kerja sama yang
harus dipenuhi. Persyaratan tersebut ditentukan bersama oleh kedua belah pihak
(inti dan plasma) dengan alasan untuk mempermudah hubungan timbal balik
antara kedua belah pihak demi kelancaran jalannya suatu usaha kemitraan. Hafsah
(2000) menyebutkan bahwa kemitraan usaha mengandung pengertian yakni
terdapatnya hubungan kerja sama usaha antara badan usaha yang sinergis dengan
bersifat sukarela serta dilandasi prinsip saling membutuhkan, menghidupi dan
memperkuat untuk hasil usaha yang positif ataupun solusi terbaik bagi kedua
belah pihak.
4.3.2.1. Dasar kemitraan
Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 pasal 1 angka 13 tentang
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, disebutkan bahwa kemitraan merupakan kerja
87
sama dalam keterkaitan usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung, atas
dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan
yang melibatkan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah dengan usaha besar.
Tabel 18. Dasar Kemitraan Peternak yang Bekerja Sama dengan TTPCikajang
No Uraian Ada Tidakn % n %
1 Mempunyai tujuan yang sama 16 100 0 02 Saling menguntungkan 16 100 0 03 Saling mempercayai 16 100 0 04 Bersifat saling terbuka 15 93,75 1 6,255 Menjalin kerja sama jangka panjang 13 81,25 3 18,756 Secara terus menerus perbaikan 9 56,25 7 43,75
Sumber: Data Primer (2019)
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 18, semua peternak di daerah
Cikandang diketahui mempunyai tujuan yang sama yaitu berhasil dalam
mengembangkan ternaknya serta mendapatkan hasil setinggi mungkin, saling
menguntungkan dalam pola kemitraan, bersifat saling terbuka dalam kendala yang
dihadapi dan menjalin hubungan terus-menerus karena keterbatasan modal serta
dapat pembimbingan ternak dalam hal penyakit, pakan dan pemasaran. Akan
tetapi perbaikan dalam suatu kemitraan baik dari pengarahan ataupun mutu ternak,
peternak hanya menerima saja program yang disediakan oleh pihak TTP hal ini
dipengaruhi oleh keterbatasannya wawasan peternak dalam mengebangkan
inovasi terhadap ternaknya.
Umumnya masyarakat di Kecamatan Cikajang memelihara domba sebagai
usaha sampingan, mayoritas utama penghasilan mereka adalah sebagai petani dan
buruh tani. Menurut Badar et al., (2014) secara ekonomi, beternak domba ini
mampu menjadi mata pencaharian penyangga bagi petani atau sebagai tabungan
keluarga, karena domba dapat dijual kapan saja jika keluarga petani tersebut
88
membutuhkan keuangan, semisal untuk menyekolahkan anak, perkawinan ataupun
kebutuhan lainnya.
4.3.3. Hak dan Kewajiban
Hak dan kewajiban pada hubungan kerja sama pola kemitraan yang tertulis
dalam surat perjanjian pengelolaan ternak Domba Garut meliputi hak dan
kewajiban pihak pertama yaitu TTP Cikajang dan pihak kedua yaitu peternak.
4.3.3.1. Hak dan kewajiban pihak pertama
Hak- hak pihak pertama antara lain :
1) Membatalkan perjanjian dan menarik ternak yang telah diserahkan
apabila pihak kedua tidak mengikuti arahan dan bmbingan pihak
pertama.
2) Menerima hasil dari pembagian hasil anakan setelah lepas sapih.
Kewajiban- kewajiban pihak pertama antara lain :
1) Pihak pertama menyerahkan ternak Domba Garut kepada pihak kedua.
2) Pihak pertama berkewajiban melaksanakan monitoring terhadap
proses pemeliharaan dan perkembangan ternak yang dilaksanakan oleh
pihak kedua.
3) Pihak pertama berkewajiban untuk menindaklanjuti segala laporan
pihak kedua yang berhubungan dengan kondisi ternak.
4) Pihak pertama akan menindaklanjuti laporan pihak kedua berdasarkan
laporan yang dapat dipertanggungjawabkan.
5) Pihak pertama berkewajiban menukarkan atau menerima kembali
domba yang tidak produktif setelah 6 bulan dipelihara oleh pihak
kedua.
89
4.3.3.2. Hak dan kewajiban pihak kedua
Hak- hak pihak kedua antara lain :
1) Menerima dengan baik penyerahan ternak dari pihak pertama untuk
dipelihara sebaik mungkin berdasarkan pengarahan-pengarahan dan
bimbingan teknis dari petugas yang telah ditunjuk oleh pihak pertama.
2) Menerima hasil dari pembagian hasil anakan yang telah disepakati
bersama.
Kewajiban-kewajiban pihak kedua antara lain :
1) Memelihara ternak yang diterima dengan baik sesuai dengan
perjanjian.
2) Mengikuti dan melaksanakan petunjuk dan bimbingan teknis yang
diberikan oleh petugas yang ditunjuk oleh pihak pertama.
3) Melaporkan dengan segera kepada pihak pertama jika terjadi sesuatu
terhadap ternak yang dipelihara.
4) Menanggung resiko terhadap ternak yang dipelihara sesuai ketentuan
yang berlaku dalam perjanjian ini.
Hak dan kewajiban pihak pertama dan kedua tidak sepenuhnya dilakukan
dalam penerapan dilapangan, hal ini dikarenakan kurangnya kesadaran dari
masing-masing pihak yang bermitra dan takut akan resiko terjadinya konflik sosial
di masyarakat.
4.3.4. Sistem Pertukaran
Teori pertukaran sosial menurut Raho (2007) berangkat dari asumsi “saya
memberi supaya engkau memberi”, yang skema memberi dan mendapatkan
kembali jumlah yang sama ini menimbulkan begitu banyak pertukaran atau
tingkah laku yang dipertukarkan dalam kehidupan social. Ditambahkan pula oleh
Ritzer dan Goodman (2017) dalam teori pertukaran Homans yang memandang
90
perilaku sosial sebagai pertukaran aktivitas, ternilai ataupun tidak dan kurang
lebih menguntungkan bagi dua orang yang saling berinteraksi.
Menurut Sapari (2018) setiap masyarakat dalam siklus hidupnya pasti
mengalami perubahan yang sifatnya cepat, sedang, ataupun lambat, biasanya
perubahan dalam masyarakat lebih berkenaan kepada nilai, pola, susunan dan
stratifikasi dalam organisasi, lembaga masyarakat atau secara umum terjadi di
dalam masyarakat itu sendiri. Sistem pertukaran terhadap peternak di daerah
Cikandang disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19. Sistem Pertukaran Sosial Peternak yang Bekerja Sama denganTTP Cikajang
No Uraian Ada Tidakn % n %
1 Proposisi Sukses 13 81,25 3 18,752 Proposisi Stimulus 0 0 16 1003 Proposis Nilai 10 62,5 6 37,5
Sumber: Data Primer (2019)Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 19, diketahui bahwa gambaran
sistem pertukaran sosial lebih cenderung pada proposisi sukses sebesar 81,25%
dan diikuti dengan proporsi nilai sebesar 62,5%, namun tidak seorangpun peternak
mengalami proporsi stimulus (dapat dilihat pada Lampiran 2). Tingginya proporsi
sukses disebabkan oleh peternak merasakan ada keuntungan ekonomi yang
diperoleh dari imbalan ketika peternak dapat memproduksi anakan dari gaduhan
domba yang diterima dari TTP. Hal ini menyebabkan peningkatan populasi ternak
dan secara tidak langsung dapat meningkatkan pendapatan peternak yang
dijelaskan pada Tabel 18. Ritzer dan Goodman (2017) menyatakan bahwa
proporsi sukses ialah apabila seseorang sering melakukan suatu tindakan dan
orang tersebut mendapat imbalan dari apa yang telah dilakukan.
Proporsi nilai juga mendapatkan persentase yang tinggi, hal ini dikarenakan
peternak merasakan imbalan yang diberikan lebih dari yang diharapkan dan
91
cenderung bersifat nonekonomi seperti lebih dihargai, dihormati, lebih
terpandang, dan lebih dikenal antar peternak, baik dalam kawasan TTP Cikajang
maupun di luar kawasan. Wardani (2016) menyatakan proporsi nilai dalam teori
Homans yaitu semakin tinggi nilai atau imbalan dari hasil tindakan seseorang bagi
dirinya, maka semakin besar kemungkinan ia melakukan tindakan serupa.
Sedangkan tidak adanya angka proporsi stimulus dikarenakan peternak tidak
pernah mendapat stimulan/dorongan yang memberikan ransangan terhadap apa
yang dilaksanakan sebelumnya. Berdasarkan teori Homans dalam Wardani (2016)
adanya dorongan tertentu di masa lalu atau sekumpulan dorongan yang
menyebabkan tindakan seseorang diberi hadiah, sehingga besar kemungkinan
melakukan tindakan serupa di masa kini yang didasari oleh dorongan yang sama
seperti di masa lalu.
4.4. Dampak Kerja Sama Pola Kemitraan dan Pemberdayaan terhadapKinerja PeternakMenurut Rosmaladewi (2012) bahwa upaya pemberdayaan masyarakat
merupakan salah satu upaya pengentasan kemiskinan yang sudah banyak
dilaksanakan di berbagai daerah.. Ditambahkan pula oleh Sulistyati et al., (2011),
yang menyatakan bahwa pemberdayaan dapat mengantarkan masyarakat ke dalam
proses untuk menganalisis masalah dan peluang yang ada serta mencari jalan
keluar sesuai sumber daya yang dimiliki.
Keberdayaan peternak merupakan tingkat berkembangnya potensi peternak
dalam peran sebagai manajer usahatani, pemelihara ternak dan individu otonom
(Yunasaf et al., 2011). Penelitian ini melihat keberdayaan peternak dari segi
keberdayaan peternak sebagai pemelihara ternak dan keberdayaan peternak
sebagai individu otonom.
92
4.4.1. Keberdayaan Peternak Sebagai Pemelihara
Menurut Sulistyati et al., (2011) bahwa keberdayaan sebagai pemelihara
ternak merupakan tingkat berkembangnya kemampuan peternak dalam menguasai
dan melaksanakan aspek teknis beternak, dilihat berdasarkan kemampuan dalam
melaksanakan panca usahaternak, kemampuan dalam mengevaluasi, dan
kemampuan dalam mengembangkan usaha peternakan.
Keberdayaan peternak sebagai pemelihara yang berkerja sama dengan TTP
Cikajang dapat dilihat dari indikator peningkatan pengetahuan, pemahaman dan
keterampilan dengan parameter bibit, pakan, manajemen, penyakit dan pemasaran.
Hasil penelitian keberdayaan peternak sebagai pemelihara dapat dilihat pada Tabel
20.
Berdasarkan data pada Tabel 20, diterangkan pengetahuan peternak tentang
parameter tergolong tinggi dengan jumlah ≥75%. Hal ini diperoleh dari adanya
diseminasi teknologi yang diberikan TTP terhadap peternak melalui
informasi-informasi, demonstrasi dan pelatihan-pelatihan. Sedangkan peningkatan
pemahaman dan keterampilan menunjukkan jumlah yang tergolong rendah
≤43,5%. Namun pada parameter bibit dalam indikator peningkatan pemahaman
menunjukan hasil yang tergolong tinggi 75%, dikarenakan peternak umumnya
telah cukup tahu dan melaksanakan cara pemilihan bibit yang baik. Rendahnya
hasil indikator peningkatan pemahaman dan peningkatan keterampilan
kemungkinan disebabkan oleh tingkat pendidikan formal peternak yang rendah,
tidak ingin mengambil resiko mengenai hal-hal baru, merasa nyaman dengan
usaha ternak yang dijalankan, dan merasa terbebani dengan inovasi-inovasi baru.
Tabel 20. Keberdayaan Peternak sebagai Pemelihara Ternak yang BekerjaSama dengan TTP Cikajang
No Keberdayaan Uraian Ada Tidakn % n %
93
1 Peningkatan pengetahuan Bibit 16 100 0 0 Pakan 16 100 0 0Manajemen 13 81,25 3 18,75Penyakit 12 75 4 25Pemasaran 14 87,5 2 12,5
2 Peningkatan pemahaman Bibit 12 75 4 25Pakan 7 43,75 9 56,25Manajemen 6 37,5 10 62,5Penyakit 7 43,75 9 56,25Pemasaran 7 43,75 9 56,25
3 Peningkatan keterampilan Bibit 7 43,75 9 56,25Pakan 5 31,25 11 68,75Manajemen 5 31,25 11 68,75Penyakit 4 25 12 75Pemasaran 5 31,25 11 68,75
Sumber: Data Primer (2019)
Berdasarkan pendapat Yunasaf et al., (2011) bahwa rendahnya tingkat
pendidikan formal dari responden menjadikan kecilnya kemungkinan responden
dalam menerima inovasi dan melaksanakannya dengan cepat. Ditambahkan pula
oleh Romjali (2018) bahwa kendala-kendala dalam proses alih teknologi kepada
petani atau peternak, antara lain: kesiapan dalam menerima teknologi baru,
metode diseminasi, sarana prasarana pendukung teknologi tersebut dan
ketersediaan sumber daya manusia (SDM) sebagai media untuk transfer teknologi.
4.4.2. Keberdayaan Peternak Sebagai Individu Otonom
Menurut Sulistyati et al., (2011) bahwa keberdayaan peternak sebagai
individu otonom merupakan tingkat berkembangnya kemampuan peternak dalam
menghadapi berbagai resiko dan usaha untuk memenuhi kebutuhannya, dengan
indikator dimensi yaitu meliputi kemampuan dalam menghadapi resiko,
kemampuan dalam memperjuangkan hak, dan kemampuan dalam melaksanakan
kewajiban. Sejauh ini, peternak di daerah Cikandang dalam mengambil keputusan
telah memahami perihal menghadapi berbagai resiko dan usaha untuk memenuhi
kebutuhannya. Halnya dalam menjual atau pananganan ternak yang sakit yang
94
memungkinkan bisa ditolong dan tidak bisa ditolong. Untuk ternak yang sakit
memungkinkan bisa ditolong dilakukan pengobatan secara tradisional maupun
menggunakan medis. Untuk ternak yang tidak memungkinkan ditolong peternak
lebih memilih menjual langsung ke konsumen atau dikonsumsi sendiri untuk
memperkecil kerugian. Hasil penelitian keberdayaan peternak sebagai individu
otonom yang bekerja sama dengan TTP Cikajang dalam peningkatan populasi dan
peningkatan pendapatan setelah bergabung dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Peningkatan Populasi dan Peningkatan Pendapatan SetelahBergabung TTP Cikajang
No Keterangan Sebelum Sesudah1 Peningkatan populasi domba 148 ekor 249 ekor
Ada Tidak2 Peningkatan pendapatan 81,25% 18,75%
Sumber: Data Primer (2019)
Berdasarkan hasil data yang disajikan pada Tabel 21, peningkatan populasi
domba peternak sebesar 101 ekor dan peternak yang merasakan peningkatan
pendapatan setelah bergabung dengan TTP sebesar 81,25%. Peningkatan
pendapatan ini berasal dari populasi ternak dan pemenfaatkan limbah ternak yang
diolah menjadi kompos (pupuk organik padat) dan POC (pupuk organik cair), baik
yang dijual atau dimanfaatkan pada kebun sendiri. Peningkatan populasi dan
pendapatan yang dirasakan peternak, memperlihatkan program kemitraan yang
diberikan TTP menunjukkan hasil yang baik. Menurut Rosmaladewi (2012) dari
hasil pelatihan, pembinaan, dan pendampingan yang intensif dari berbagai
lembaga yang tergabung dalam pola kemitraan dapat meningkatkan pendapatan
kelompok/peternak dan peningkatan jumlah ternak pada asing-masing kelompok
yang dilakukan di Desa Barusari dan Padaasih Kecamatan Pasirwangi Kabupaten
Garut.
95
Parameter-parameter dalam keberdayaan peternak sebagai individu otonom
meliputi pengambilan keputusan dalam proses produksi, proses manajemen dan
proses pemasaran. Pengambilan keputusan pada proses produksi peternak
umumnya melakukan pencarian bibit-bibit unggul dari domba pejantan tangkas
dengan harapan mendapatkan keturunan yang lebih baik. Proses manajemen,
peternak melakukan perawatan pemberian pakan, kesehatan ternak dan kebersihan
kandang dan lingkungan tanpa ketergantungan dengan pihak lain. Pengambilan
keputusan dalam proses pemasaran yang dilakukan peternak yaitu dengan
melakukan seleksi penjualan ternak dengan klasifikasi ternak sebagai pedaging,
bibit, dan tangkas. Peternak bebas menjual ternaknya pada konsumen langsung,
pedagang pengumpul atau melalui TTP Cikajang, sedangkan untuk ternak
gaduhan TTP Cikajang penjualan ternak perlu diketahui oleh pihak TTP.
Hasil penelitian Yunasaf et al., (2011) menemukan bahwa kurangnya
optimal dari kebedayaan peternak sapi perah di Kabupaten Bandung Barat yakni
dalam perannya peternak sebagai manajer dan sebagai individu otonom.
Domba Garut yang dipelihara oleh peternak merupakan tipe pedaging dan
tipe tangkas (seni), dengan pemeliharaan dan performa tipe pedaging dan tipe
tangkas berbeda yang berbeda pula. Domba Garut tipe tangkas diarahkan lebih
pada pembentukkan fisik yang kuat, yang biasanya dibentuk melalui
latihan-latihan yang dilakukan peternak, sedangkan Domba Garut tipe pedaging
lebih diarahkan untuk pertambahan bobot badan. Seleksi domba antara tipe
tangkas dan tipe daging dilakukan dengan melihat induk dan pejantan serta
melihat performa dari anak yang lahir. Dengan cara ini peternak dapat
meningkatkan pendapatan, karena Domba Garut tipe tangkas memiliki harga yang
lebih mahal daripada Domba Garut tipe pedaging.
96
Dalam hal pemasaran, umumnya petani tidak mengalami kesulita, terutama
menjelang hari raya Islam seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Penjualan domba
tergantung pesanan, dengan jumlah permintaan tertinggi yaitu pada saat hari raya
Idul Adha (sekitar 50%). Transaksi penjualan biasanya dilakukan ditempat tinggal
petani sendiri, antara petani langsung dengan pedagang pengumpul atau
konsumen langsung dan juga ke pasar-pasar di sekitar Cikajang. Pemasaran umum
dilakukan adalah pedagang pengumpul datang langsung ke lokasi kandang.
Penentuan harga didasarkan atas kondisi ternak.