IV HASIL DAN PEMBAHASANmedia.unpad.ac.id/thesis/200120/2016/200120160001_4_1251.pdf ·...

57
40 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Cikandang merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Desa Cikandang merupakan desa pokok yang telah mengalami pemekaran wilayah sebanyak dua kali, yaitu Desa Simpang dan Desa Margamulya. Luas wilayah Desa Cikandang sebesar 1.622,488 ha yang terdiri dari 2 dusun (kampung), 13 RW dan 39 RT. Pemilihan Desa Cikandang sebagai lokasi penelitian dikarenakan bertepatan dengan adanya lokasi TTP yang dikembangkan oleh Badan Litbang Pertanian. 4.1.1. Keadaan Geografis dan Administratif Wilayah Kabupaten Garut secara umum merupakan dataran tinggi dengan kondisi alam berbukit dan pegunungan, serta wilayah Kabupaten Garut memiliki iklim tropis dengan kondisi curah hujan yang tinggi serta jumlah hari hujan yang cukup banyak. Kecamatan Cikajang merupakan salah satu kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Garut dengan luas wilayah berkisar 12.039,09 ha, dengan ketinggian antara 1.200-1.300 meter diatas permukaan laut. Batas wilayah Kecamatan Cikajang yaitu sebelah utara, berbatasan dengan Kecamatan Cisurupan dan Cigedug, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Banjarwangi, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pakenjeng dan Cisompet, dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Pamulihan. Sebagian besar desa-desa yang berada di Kecamatan Cikajang terletak pada daerah dataran tinggi, salah satunya yaitu Desa Cikandang. Peta wilayah Kecamatan Cikajang dapat dilihat pada Gambar 3.

Transcript of IV HASIL DAN PEMBAHASANmedia.unpad.ac.id/thesis/200120/2016/200120160001_4_1251.pdf ·...

40

IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Desa Cikandang merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan

Cikajang Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Desa Cikandang merupakan desa

pokok yang telah mengalami pemekaran wilayah sebanyak dua kali, yaitu Desa

Simpang dan Desa Margamulya. Luas wilayah Desa Cikandang sebesar 1.622,488

ha yang terdiri dari 2 dusun (kampung), 13 RW dan 39 RT. Pemilihan Desa

Cikandang sebagai lokasi penelitian dikarenakan bertepatan dengan adanya lokasi

TTP yang dikembangkan oleh Badan Litbang Pertanian.

4.1.1. Keadaan Geografis dan Administratif

Wilayah Kabupaten Garut secara umum merupakan dataran tinggi dengan

kondisi alam berbukit dan pegunungan, serta wilayah Kabupaten Garut memiliki

iklim tropis dengan kondisi curah hujan yang tinggi serta jumlah hari hujan yang

cukup banyak. Kecamatan Cikajang merupakan salah satu kecamatan yang berada

di wilayah Kabupaten Garut dengan luas wilayah berkisar 12.039,09 ha, dengan

ketinggian antara 1.200-1.300 meter diatas permukaan laut. Batas wilayah

Kecamatan Cikajang yaitu sebelah utara, berbatasan dengan Kecamatan Cisurupan

dan Cigedug, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Banjarwangi, sebelah

selatan berbatasan dengan Kecamatan Pakenjeng dan Cisompet, dan sebelah barat

berbatasan dengan Kecamatan Pamulihan. Sebagian besar desa-desa yang berada

di Kecamatan Cikajang terletak pada daerah dataran tinggi, salah satunya yaitu

Desa Cikandang. Peta wilayah Kecamatan Cikajang dapat dilihat pada Gambar 3.

41

Gambar 3. Peta Wilayah Kecamatan Cikajang (Sumber: KecamatanCikajang, 2017)

Desa Cikandang merupakan salah satu wilayah yang berada pada ketinggian

1.310 meter diatas permukaan laut, dengan suhu udara berkisar antara 19°C-26°C

sehingga cocok untuk wilayah pertanian, perkebunan dan peternakan. Secara

administratif, Desa Cikandang berbatasan dengan Desa Margamulya di sebelah

utara dan barat, berbatasan dengan Kecamatan Pamulihan di sebelah selatan, dan

berbatasan dengan Desa Simpang di sebelah timur.

42

Pemanfaatan lahan di Kecamatan Cikajang sebagian besar berupa hutan,

pertanian dan non pertanian. Wilayah pertanian di Kecamatan Cikajang sebagian

besar dikelola oleh perorangan atau kepemilikan pribadi, sedangkan wilayah hutan

merupakan wilayah milik pemerintah UPTD Kehutanan yang dikelola bersama

masyarakat setempat. Data penggunaan lahan di wilayah Kecamatan Cikajang

dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Luas Wilayah Desa/Kel Dirinci Menurut Lahan Pertanian dan NonPertanian di Kecamatan Cikajang, Tahun 2017

Desa Hutan Pertanian Non pertanian JumlahCikajang - 47,40 52,70 100,10Cikandang 674,00 503,81 21,40 1.199,21Margamulya 492,16 1.287,50 30,30 1.809,96Simpang 1.266,00 671,00 99,00 2.036,00

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Garut (2018)

4.1.2. Penduduk dan Tenaga Kerja

Jumlah penduduk Kecamatan Cikajang pada tahun 2017 sebanyak 86.182

jiwa dan jumlah rumah tangga sebanyak 21.687 KK, dengan sebagian besar

jumlah anggota keluarga berkisar antara 3 sampai 4 orang. Banyaknya jumlah

anggota keluarga akan mempengaruhi beban dan tanggungan dari setiap rumah

tangga, terutama pada kepala keluarga. Data jumlah penduduk Cikajang menurut

pekerjaan utama dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan Utama di KecamatanCikajang, Tahun 2017

Pekerjaan Banyaknya Persentase(1) (2) (3) %

Tanaman pangan dan palawija 2.317 5.44Holtikultura 12.463 29.24Perkebunan 3.154 7.40Perikanan 1.231 2.89Perternakan 3.387 7.95Kehutanan 4.084 9.58Pertambangan dan Penggalian 431 1.01Industri 1.678 3.94Listrik dan gas 41 0.10

43

Konstruksi 902 2.12Jumlah 29.688

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Garut (2018)

4.1.3. Keadaan Sosial dan Budaya Masyarakat

Nilai sosial dan budaya yang berkembang di masyarakat Kecamatan

Cikajang berbasis agraris-agamis sehingga mencerminkan tradisi kehidupan

petani yang religius. Sesuai dengan kondisi alam yang terletak pada dataran tinggi,

maka tradisi masyarakat petani di daerah ini merupakan petani sayuran. Nilai yang

berkembang pada masyarakat bersumber dari tradisi Sunda, salah satu tradisi

diantaranya yaitu seni ketangkasan domba. Diketahui masyarakat sangat

menghayati seni ketangkasan domba meskipun sering kali berbenturan dengan

nilai-nilai yang bersumber dari agama salah satunya agama Islam.

Nilai agama Islam nampak dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat

sekitar semisal dapat diamati dari aktivitas pengajian, ada yang mengkhususkan

bagi wanita (ibu-ibu) serta adapula yang mengkhususkan bagi pria (bapak-bapak).

Cara berpakaian maupun perilaku masyarakat Kecamatan Cikajang yang

cenderung Islami tampak terlihat dalam keseharian. Meskipun masih

dipeliharanya nilai-nilai tradisi, diketahui pula berkembangnya nilai-nilai modern

yang tercermin seperti dari pentingnya nilai pendidikan bagi anak, berkembangnya

seni modern (musik) terutama dikalangan remaja, serta adanya toleransi terhadap

program pemerintah seperti Keluarga Berencana (KB) dan sebagainya.

Sosial masyarakat petani di Kecamatan Cikajang masih menggambarkan

adanya pembagian peran, status dan kedudukan sosial yang tegas dalam pola

kehidupan sehari-hari. Status sosial yang termasuk kelas atas yaitu petani pemilik

lahan luas dengan jumlah yang sedikit, serta umumnya memiliki ternak domba

dalam jumlah yang banyak dengan kualitas ternak yang unggul, termasuk pada

ternak domba tipe tangkas. Diketahui bahwa sebagian besar lahan pertanian di

44

wilayah Kecamatan Cikajang dimiliki oleh petani dari luar desa, sehingga petani

yang berada di wilayah tersebut hanya sebagai petani penggarap, buruh tani dan

sebagai petani penyewa lahan.

Ketokohan agama (ulama) juga memiliki status sosial yang tinggi dan

memiliki pengaruh yang kuat serta sebagai contoh teladan. Adanya tokoh sentral

dari tokoh agama dengan pengaruh yang kuat dapat berfungsi dalam

mengintegrasikan kelompok yang berorientasi pada adat istiadat (budaya) dengan

kelompok yang berorientasi pas nilai agama.

4.1.4. Identitas Informan Peternak dan Keterampilan Pemeliharaan Ternak

Identitas informan yang berkerjasama dengan TTP Cikajang dilihat dari

empat karakteristik, yaitu aspek umur, tingkat pendidikan formal, pengalaman

beternak dan pekerjaan pokok.

4.1.4.1. Umur Informan

Umur informan dalam penelitian ini berkisar antara 18-67 tahun yang

diuraikan pada Tabel 4. Sebagian besar peternak tergolong pada rentang usia-usia

produktif (15-59 tahun) yaitu sebesar 81,25%. Hal ini menunjukkan sebagian

besar peternak memiliki potensi dapat bekerja dengan baik, pendapat ini didukung

oleh Munandar (2001) golongan usia 15-59 tahun merupakan golongan usia

produktif, karena masih kuat untuk beternak domba dan masih bisa mengikuti

aktivitas lain yang mendukung kegiatan tersebut.

Tabel 4. Umur Peternak yang Bekerja Sama dengan TTP CikajangNo Identitas Uraian Jumlah %1 Umur (tahun) < 15 0 0

15-59 13 81,25> 59 3 18,75

45

Sumber: Data Primer (2019)

4.1.4.2. Tingkat Pendidikan Formal

Tingkat pendidikan informan bervariasi dari SD, SMP, SMA sampai S1

yang tampak pada Tabel 5. Mayoritas pendidikan formal peternak sebesar 75%

hanya menempuh pendidikan SD dan SMP, ini akan berpengaruh terhadap

keberhasilan program. Hal ini lebih rendah dibandingkan pada penelitian Azikiwe

et al., (2013) bahwa petani di Afrika Selatan berpendidikan rendah sebesar

79,34% pria dan 80,67% wanita petani dengan pendidikan SD sebanyak 17,33%

pria dan 13,33% wanita, pendidikan SMP sebanyak 12,67% pria dan 15,33%

wanita, serta pendidikan sebanyak SMA 34,67% pria dan 34% wanita, serta

14,67% pria dan 18% wanita tidak memiliki pendidikan sekolah formal tetapi

aktif dalam pertanian, sementara itu petani dengan pendidikan tinggi 20,67% pria

dan 19,33% wanita sudah merupakan petani yang komersial. Pendidikan yang

rendah menyebabkan informan kurang adaptif terhadap inovasi teknologi.

Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Mosher (1979) dikutip dari Sulistyati et al.,

(2010), pendidikan mempengaruhi kecepatan suatu adopsi inovasi namun

pendidikan bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan cepat lambatnya

seseorang dalam mengadopsi inovasi-inovasi baru. Selain umur, pendidikan,

pengalaman juga mempengaruhi tingkat keberhasilan suatu kegiatan.

Tabel 5. Tingkat Pendidikan Formal Peternak yang Bekerja Sama denganTTP Cikajang

No Identitas Uraian n %1 Pendidikan Formal SD 6 37,5

SMP 6 37,5SMA 3 18,75S1 1 6,25

Sumber: Data Primer (2019)

46

4.1.4.3. Pengalaman Beternak

Aspek pengalaman beternak juga mempengaruhi tingkat keberhasilan suatu

kegiatan, berdasarkan pengalaman seseorang dapat mempelajari masalah yang

akan terjadi serta membantu dalam pengambilan keputusan. Pengalaman beternak

adalah lamanya berkecimpung pada kegiatan usaha domba yang dijelaskan pada

Tabel 6.

Tabel 6. Pengalaman Beternak Peternak yang Bekerja Sama dengan TTPCikajang

No Identitas Uraian n %1 Pengalaman Beternak < 5 3 18,75

5-10 1 6,25>10 12 75

Sumber: Data Primer (2019)

Pengalaman beternak informan bervariasi dari 1-57 tahun. Sebanyak 75%

informan berpengalaman beternak lebih dari 10 tahun. Pengalaman yang diperoleh

informan secara turun-temurun dan cenderung mempertahankan pola-pola yang

ada, pemahaman tentang berternak domba dan pengobatan terhadap ternak masih

cenderung tradisional. Hal ini lebih rendah dibandingkan pada penelitian Siswati

et al., (2015) pengalaman peternak di Desa Cibuntu Kecamatan Pesawahan

Kabupaten Kuningan yang bervariasi dari 1-40 tahun dengan pengalaman

terbanyak pada 1-5 tahun sebanyak 55,07% . Jumlah tersebut menunjukkan

peternak dominan tergolong peternak baru.

4.1.4.4. Pekerjaan Pokok

Pekerjaan pokok informan mayoritas tidak dibidang peternakan dapat dilihat

pada Tabel 7. Mata pencaharian atau pekerjaan pokok sebagian besar informan

buruh tani 50%, petani 31,25% sedangkan sebagai peternak hanya sebesar 6,25%.

47

Berdasarkan data pekerjaan pokok informan, dapat diketahui bahwa masih banyak

informan yang menjadi peternak sebagai usaha sampingan yang berpotensi

ditingkatkan menjadi usaha pokok. Hal ini serupa dengan penelitian Siswati et al.,

(2015) mata pencaharian responden di Desa Cibuntu sebagian besar sebagai petani

sebanyak 58 orang yaitu 84,06% sedangkan untuk beternak domba masih

dianggap usaha sampingan yang merupakan sumber tambahan keluarga.

Tabel 7. Pekerjaan Pokok Peternak yang Bekerja Sama dengan TTPCikajang

No Identitas Uraian n %4 Pekerjaan Pokok Petani 5 31,25

Buruh 8 50Peternak 1 6,25Wirasasta 1 6,25ASN 1 6,25

Sumber: Data Primer (2019)

4.1.4.5. Keterampilan Pemeliharaan Ternak

Domba yang dipelihara rata-rata antara 4-7 ekor per rumah tangga rata-rata

5 ekor, bahkan ada yang lebih mencapai 80 ekor dengan tujuan pemeliharaan

pembibitan domba dan domba tangkas. Lokasi usaha ternak domba umumnya

dalam satu kawasan di Desa Cikandang.

Sistem pemberian pakan dilakukan tiga kali sehari yakni berupa hijauan,

seperti rumput dan limbah pertanian seperti labu siam, wortel, singkong dan bahan

lainnya tergantung kebiasaan peternak dalam memberikan pakan. Pemberian

pakan berupa hijauan diberikan pada pagi dan malam hari, sedangkan pakan yang

berasal dari limbah pertanian diberikan pada siang hari. Pemberian pakan

dilakukan pada pagi hari pukul sekitar 06.00 WIB sebelum peternak mencari

48

rumput, pemberian pakan pada siang hari berkisar pukul 12.00 WIB, dan sore hari

pukul 18.00 WIB.

Dalam satu hari hijauan yang diperlukan Domba Garut di Kecamatan

Cikajang rata-rata mencapai 6 kg berat segar hijauan per ekor. Peternak dalam

menyediakan hijauan pakan melakukan sistem cut and carry yang ditampilkan

pada Gambar 4.

Gambar 4. Pola Penyedian Hijauan Pakan Ternak ( Sumber Data Primer2019)

Perawatan Domba Garut yang dilakukan peternak pada umumnya terdiri

dari pemandian, pencukuran bulu, pemberian suplemen, dan pencegahan penyakit.

Frekuensi pemandian domba pejantan dilakukan satu sampai empat minggu sekali

dan khusus domba betina atau indukan dimandikan setelah melahirkan anaknya.

Pencukuran bulu untuk pejantan berkisar satu sampai tiga bulan sekali karena

pertumbuhan bulu pejantan lebih cepat dibandingkan dengan betina. Sedangkan

pencukuran bulu betina bisa dilakukan 3-5 bulan sekali.

Dalam perawatan Domba Garut, peternak juga memberikan suplemen untuk

domba agar nafsu makan tetap terjaga, suplemen yang biasa diberikan adalah

gayemi. Untuk pencegahan penyakit, peternak setiap tiga bulan sekali memberikan

obat cacing kepada masing-masing domba. Obat cacing yang digunakan adalah

49

albenol-2 500 bolus. Untuk domba muda, satu tablet untuk empat domba dan

untuk domba dewasa satu tablet untuk dua domba diberikan tiga bulan sekali.

Dalam penanganan penyakit Domba Garut para peternak di Kecamatan Cikajang

masih bersifat tradisional. Penyakit yang sering diderita adalah kudis, kembung,

cacingan, dan mencret. Penyakit kudis bersifat menular yang berpindah melalui

kontak dengan domba yang terinfeksi. Menurut Mulyono (2003), penyakit kudis

disebabkan oleh Sarcoptes scabei, Psoroptes communis var. ovis, Choriopteso

ovis. Untuk penyembuhan, peternak hanya memandikan domba secara rutin setiap

hari menggunakan air hangat dan bagian kudis dioles oli bekas agar tidak gatal.

Penyakit kembung pada Domba Garut di Kecamatan Cikajang biasanya

terjadi karena pola pemberian pakan hijauan yang tidak teratur. Menurut Mulyono

(2003), penyakit kembung terjadi karena domba tidak mampu menghilangkan gas

yang dihasilkan pada lambung pertama (rumen). Gas timbul akibat domba terlalu

banyak makan hijauan legum, pemberian pakan tidak teratur, domba terlalu lapar

dan makan hijauan yang masih berembun. Peternak di Kecamatan Cikajang dalam

menangani penyakit kembung pada domba masih tradisional yaitu diberi minum

air kelapa secara berkala sampai sembuh.

Selain itu, cacingan dan mencret merupakan penyakit yang sering diderita

Domba Garut di Kecamatan Cikajang. Hal ini disebabkan peternak dalam

pencarian pakan hijauan masih terlalu pagi sehingga rumput masih dalam keadaan

berembun dan tercemar oleh telur-telur cacing. Untuk mengatasi cacingan dan

mencret peternak memberi pakan hijauan berupa daun jambul kuda, daun

kaliandra, pete cina, dan asem jawa sebagai obat tradisonal dan medis. Menurut

Mulyono (2003), pencegahan penyakit cacingan dan mencret yaitu hindari pakan

hijauan yang telah tercemari oleh siput, hindari memotong hijauan yang masih

berembun dan jangan meletakkan potongan rumput di atas tanah.

50

Penggemukan domba dilakukan hingga bobot siap jual berkisar rataan 20-30

kg, sedangkan untuk penjualan sebagai bakalan berumur 4-7 bulan tergantung

permintaan. Khusus usaha ternak domba tangkas memiliki pasar tersendiri,

bahkan terkadang domba diantar langsung ke konsumen dan tidak jarang

penjualannya berlangsung di tempat–tempat kontes ternak. Alur pemasaran ternak

Domba Garut tipe pedaging dan tipe tangkas afkir di Desa Cikandang dapat dilihat

pada Gambar 5.

Gambar 5. Rantai Pemasaran Ternak Domba di Desa Cikandang LaporanAkhir TTP 2015. (Data Sekunder 2015)

4.1.5. Parameter Produksi Ternak

Produktivitas seekor ternakdipengaruhi oleh faktor internal (genetik) daneksternal (lingkungan) dan juga interaksi keduafaktor tersebut. Faktor

Peternak

Bandar

Kelompoktani

Pasar Lokal / Jakarta

Konsumen

51

eksternal bersifat temporer (berubah-ubah) dari waktu ke waktu dan tidakdapat diwariskan kepada keturunannya, sedangkanfaktor internal (genetik) bersifat baka, tidak akanberubah selama hidupnya sepanjang tidak terjadi mutasidari gen penyusun-nya dan dapat diwariskankepada keturunannya. Kedua hal inilah yangmenyebabkan produktivitas ternak berbeda dari suatulokasi dengan lokasi

52

lainnya. Besarnya produktivitas dapat diestimasi

dengan besarnya nilaipemuliaan (NP) yang dimilikinya dan pada ternakbetina (induk) dengan mengestimasi kemampuanberproduksi atau most probable producing ability(MPPA). Apabila seekor ternak memiliki NP danMPPA yang tinggi dapat diprediksi ternak tersebutakan memiliki

53

produktivitas yang tinggipula serta dapat di-wariskan kepadaketurunannya(Hardjosubroto, 1994).Produktivitas seekor ternakdipengaruhi oleh faktor internal (genetik) daneksternal (lingkungan) dan juga interaksi keduafaktor tersebut. Faktor eksternal bersifat temporer (berubah-ubah) dari waktu ke waktu dan tidakdapat diwariskan kepada

54

keturunannya, sedangkanfaktor internal (genetik) bersifat baka, tidak akanberubah selama hidupnya sepanjang tidak terjadi mutasidari gen penyusun-nya dan dapat diwariskankepada keturunannya. Kedua hal inilah yangmenyebabkan produktivitas ternak berbeda dari suatulokasi dengan lokasi lainnya. Besarnya produktivitas dapat diestimasi

55

dengan besarnya nilaipemuliaan (NP) yang dimilikinya dan pada ternakbetina (induk) dengan mengestimasi kemampuanberproduksi atau most probable producing ability(MPPA). Apabila seekor ternak memiliki NP danMPPA yang tinggi dapat diprediksi ternak tersebutakan memiliki produktivitas yang tinggipula serta dapat di-

56

wariskan kepadaketurunannya(Hardjosubroto, 1994).Produktivitas seekor ternakdipengaruhi oleh faktor internal (genetik) daneksternal (lingkungan) dan juga interaksi keduafaktor tersebut. Faktor eksternal bersifat temporer (berubah-ubah) dari waktu ke waktu dan tidakdapat diwariskan kepada keturunannya, sedangkanfaktor internal (genetik)

57

bersifat baka, tidak akanberubah selama hidupnya sepanjang tidak terjadi mutasidari gen penyusun-nya dan dapat diwariskankepada keturunannya. Kedua hal inilah yangmenyebabkan produktivitas ternak berbeda dari suatulokasi dengan lokasi lainnya. Besarnya produktivitas dapat diestimasi

dengan besarnya nilaipemuliaan (NP) yang

58

dimilikinya dan pada ternakbetina (induk) dengan mengestimasi kemampuanberproduksi atau most probable producing ability(MPPA). Apabila seekor ternak memiliki NP danMPPA yang tinggi dapat diprediksi ternak tersebutakan memiliki produktivitas yang tinggipula serta dapat di-wariskan kepadaketurunannya(Hardjosubroto, 1994).

59

Produktivitas ternak dipengaruhi oleh faktor internal (genetik) dan eksternal

(lingkungan) maupun interaksi antara kedua faktor tersebut. Faktor eksternal tidak

dapat diwariskan kepada keturunannya karena bersifat berubah-ubah dari waktu ke

waktu, sedangkan faktor internal (genetik) dapat diwariskan kepada keturunannya

karena bersifat tetap sehingga tidak akan berubah selama hidupnya sepanjang

tidak terjadi mutasi genetik penyusunnya. Kedua faktor tersebut merupakan

penyebab produktivitas ternak yang berbeda dari suatu lokasi dengan lokasi yang

lain (Suhada et al., 2009).

Produktivitas seekor ternakdipengaruhi oleh faktor internal (genetik) daneksternal (lingkungan) dan juga interaksi keduafaktor tersebut. Faktor eksternal bersifat temporer (berubah-ubah) dari waktu ke waktu dan tidakdapat diwariskan kepada

60

keturunannya, sedangkanfaktor internal (genetik) bersifat baka, tidak akanberubah selama hidupnya sepanjang tidak terjadi mutasidari gen penyusun-nya dan dapat diwariskankepada keturunannya. Kedua hal inilah yangmenyebabkan produktivitas ternak berbeda dari suatulokasi dengan lokasi lainnya. Besarnya produktivitas dapat diestimasi

61

dengan besarnya nilaipemuliaan (NP) yang dimilikinya dan pada ternakbetina (induk) dengan mengestimasi kemampuanberproduksi atau most probable producing ability(MPPA). Apabila seekor ternak memiliki NP danMPPA yang tinggi dapat diprediksi ternak tersebutakan memiliki produktivitas yang tinggipula serta dapat di-

62

wariskan kepadaketurunannya(Hardjosubroto, 1994).4.1.5.1. Interval Kelahiran

Interval kelahiran adalah jarak antar per kelahiran pada domba atau biasa

disebut dengan lambing interval. Peternak Domba Garut yang bekerja sama

dengan TTP Cikajang di Desa Cikandang dalam mengawinkan Domba Garut

sudah terpola dengan baik. Hal ini terbukti setiap dua tahun Domba Garut mampu

3 kali beranak, dengan siklus 5 bulan masa kebuntingan setelah dikawinkan

beranak, masa laktasi atau menyusui 4 bulan dan setelah 2 – 3 bulan kelahiran

dapat dikawinkan lagi. Masa kering minimal 2 bulan sebelum kelahiran anak

diperlukan untuk mempersiapkan perkembangan embrio yang sedang bunting dan

mempersiapkan produksi susu pada periode laktasi berikutnya. Hal ini dapat

dilihat pada Gambar 6.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 1

0

1

1

1

2

1

3

1

4

1

5

1

6

1

7

1

8

1

9

2

0

2

1

2

2

2

3

2

4

I

II

III

Gambar 6. Kalender Reproduksi Domba Garut Pada Peternak yang BekerjaSama dengan TTP Cikajang

Keterangan gambar: I anak pertama II anak kedua III anak ketiga

63

Masa bunting Melahirkan dan menyusui bulan pertama

Masa menyusui Masa kering

Hasil wawancara dengan peternak yang bekerja sama dengan TTP Cikajang

dapat dilihat pada Tabel 8. Lambing interval terbanyak pada jarak kelahiran 8

bulan yaitu sekitar 68,75% dari 16 informan. Hal ini sejalan dengan pendapat

Jarmuji (2010) yang menyatakan bahwa domba memiliki siklus reproduksi dengan

jarak kelahiran yaitu 8 bulan sehingga dalam 2 tahun seekor induk domba

sedikitnya menghasilkan tiga ekor anak pada kelahiran tunggal ataupun 1,5 ekor

anak per induk per tahun. Pola perkawinan Domba Garut yang telah diterapkan

peternak mulai dari mengawinkan hingga mengawinkan lagi membutuhkan waktu

8 bulan sehingga dalam waktu 2 tahun Domba Garut dapat beranak sebanyak 3

kali.

Tabel 8. Lambing Interval Domba Garut Pada Peternak yang Bekerja Sama dengan TTP Cikajang

No Informan Lambing Interval 8 Bulan 10 Bulan 12 Bulan

............................................ % ......................................1 A √ ─ ─2 B ─ √ ─3 C √ ─ ─4 D √ ─ ─5 E √ ─ ─6 F √ ─ ─7 G ─ √ ─8 H √ ─ ─9 I √ ─ ─10 J √ ─ ─11 K √ ─ ─12 L ─ ─ √13 M ─ ─ √14 N √ ─ ─15 O √ ─ ─16 P ─ √ ─

64

Jumlah 68,75 18,75 12,5Sumber: Data Primer (2019)

4.1.5.2. Umur sapih

Umur penyapihan berbeda-beda tergantung dari manajemen pemeliharaan.

Domba Garut yang telah diterapkan peternak yang bekerja sama dengan TTP

Cikajang usia sapih 3 hingga 5 bulan. Data umur sapih Domba Garut di Desa

Cikandang di sajikan pada Tabel 9.

Berdasakan data yang disajikan pada Tabel 9, kebanyakan peternak menyapih

anak Domba Garut pada umur 4 bulan yaitu sebesar 68,75%. Hasil ini lebih besar

dibandingkan dengan Subandriyo (1995) yang menyatakan standar umur sapih

domba yaitu 90 hari atau 3 bulan.

Penyapihan yang dilakukan oleh peternak pada umur 4 bulan agar kondisi

daya tahan tubuh ternak lebih kuat untuk mencegah kematian dan dapat

memaksimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak domba. Hal ini sesuai

dengan pendapat Campbell et al., (2003) dalam Somanjaya et al., (2015) yang

menyatakan bahwa anak domba dapat disapih dari induknya sekitar 2-5 bulan.

Tabel 9. Umur Sapih Domba Garut Pada Peternak yang Bekerja Sama dengan TTP Cikajang

No Informan Umur Sapih 3 Bulan 4 Bulan 5 Bulan

............................................ % ........................................1 A √ ─ ─2 B ─ √ ─3 C ─ √ ─4 D ─ √ ─5 E ─ √ ─6 F ─ √ ─7 G ─ ─ √8 H ─ √ ─9 I ─ √ ─10 J ─ √ ─11 K ─ √ ─12 L ─ ─ √

65

13 M ─ ─ √14 N ─ √ ─15 O ─ √ ─16 P ─ ─ √

Jumlah 6,25 68,75 25Sumber: Data Primer (2019)

4.1.5.3. Jumlah Anak per Kelahiran

Tipe kelahiran ternak domba terdiri dari kelahiran tunggal dan kelahiran

kembar. Seekor induk mampu melahirkan satu, dua, tiga bahkan lebih dari tiga ekor

anak dalam sekali beranak. Data rata-rata jumlah anak per kelahiran anak Domba

Garut pada peternak yang bekerja sama dengan TTP Cikajang disajikan pada

Tabel 10.

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 10, diketahui 100% dari 16

informan yang menghasilkan anakan domba 2 ekor per kelahiran. Ternak domba

mempunyai tingkat kesuburan atau fertilitas dicerminkan oleh keteraturan induk

beranak kembar. Dimsoski et al., (1999) dan Inounu et al., (1999) menyatakan bahwa

faktor yang mempengaruhi jumlah anak dalam kelahiran ialah faktor genotipe,

manajemen dan interaksi antara manajemen dengan paritas induk, bangsa induk serta

pertambahan bobot badan induk.

Jumlah anak per kelahiran kembar dua memiliki tingkat kematian yang tinggi,

hal ini dikarenakan kurangnya nutrisi yang diberikan induk dalam bentuk air susu.

Iniquez et al., (1993) dalam Jarmuji (2010) menyatakan bahwa daya tahan hidup

anak domba yang dilahirkan per induk hingga mencapai usia sapih, terutama yang

terlahir kembar dua atau lebih memiliki tingkat kematian yang mencapai 40-60%.

Tabel 10 Jumlah Anak per Kelahiran Domba Garut Pada Peternak yang Bekerja Sama dengan TTP Cikajang

No Informan Rata-rata Jumlah Anak per Kelahiran (ekor)1 2 3

1 A ─ √ ─2 B ─ √ ─

66

3 C ─ √ ─4 D ─ √ ─5 E ─ √ ─6 F ─ √ ─7 G ─ √ ─8 H ─ √ ─9 I ─ √ ─10 J ─ √ ─11 K ─ √ ─12 L ─ √ ─13 M ─ √ ─14 N ─ √ ─15 O ─ √ ─16 P ─ √ ─

Jumlah (%) 0 100 0Sumber: Data Primer (2019)

4.1.5.4. Bobot Lahir per Kelahiran

Bobot lahir merupakan berat saat anak domba (cempe) baru dilahirkan oleh

induknya. Bobot lahir juga merupakan sifat penting yang mempengaruhi daya

tahan hidup dan pertumbuhan domba selama hidupnya (Ghasemi et al., 2019).

Menurut Gunawan dan Noor (2006) bahwa bobot lahir mempunyai korelasi positif

dengan bobot sapih, sehingga bobot lahir yang lebih tinggi akan menentukan

bobot sapih yang tinggi pula.

Hasil rata-rata bobot lahir Domba Garut pada peternak yang bekerja sama

dengan TTP Cikajang untuk jantan 2,16 kg dan betina 2,09 kg. Hal ini lebih

rendah dibandingkan dengan bobot lahir Domba Garut jantan dan betina sesuai

SNI yaitu sebesar 2,8 kg dan 2,4 kg (SNI 7532:2009). Menurut penelitian

Pusparini, et al., (2015), berat lahir pada Domba Garut jantan dan betina di

UPTD-BPPTDK Margawati Garut yaitu sebesar 2,38 kg dan 2,44 kg, sedangkan

menurut penelitian Istiqomah et al., (2006), bahwa berat lahir Domba Garut jantan

dan betina yaitu sebesar 2,37 kg dan 2,29 kg. Data bobot Domba Garut pada

peternak yang bekerja sama dengan TTP Cikajang disajikan pada Tabel 11.

67

Tabel 11. Bobot Lahir Domba Garut pada Peternak yang Bekerja Samadengan TTP Cikajang

No Informan Rata-rata Bobot Lahir Kembar Dua/ Twin (kg)♂ ♀

1 A 2,5 2,22 B 2 23 C 2,6 2,44 D 2,5 2,25 E 2 26 F 2,4 2,27 G 2 28 H 2,5 2,49 I 2 210 J 2 211 K 2 212 L 2 213 M 2 214 N 2 215 O 2 216 P 2 2

Rata-rata 2,16 2,09Sumber: Data Primer (2019)

Rendahnya bobot lahir pada Domba Garut yang dipelihara oleh peternak

yang bekerja sama dengan TTP Cikajang dikarenakan kurangnya kualitas nutrisi

yang diberikan pada ternak. Peternak hanya memberikan rumput lapangan dan

limbah pertanian yang tersedia tanpa adanya tambahan konsentrat sebagai pakan

penguat dalam memenuhi kebutuhan pakan, sehingga hal ini menyebabkan

rendahnya bobot induk yang berdampak pada rendahnya bobot lahir anak.

Menurut Inounu et al., (1999) bahwa rendahnya bobot induk akan menyebabkan

kelahiran anak dengan bobot yang rendah juga. Ditambahkan pula oleh Campbell

et al., (2003) bahwa rendahnya bobot induk berhubungan dengan kualitas pakan

yang diberikan.

Bobot lahir dipengaruhi oleh rumpun domba, paritas induk, jenis kelamin,

tipe kelahiran, kondisi intra-uterin (lingkungan fetus), genotip induk dan anak,

68

lingkungan induk, nutrisi induk pada masa kebuntingan, Body Condition Score

(BCS) induk, lama kebuntingan, dan umur induk (Inounu et al., 1999; Istiqomah

et al., 2006; Ilham, 2015; Thomas et al., 2015).

4.1.5.5. Umur Domba Garut Pertama Kali Dikawinkan

Menurut Inounu et al., (2003) bahwa Domba Garut memiliki umur pubertas

yang lebih awal dibandingkan domba impor. Ditambahkan oleh Dudi (2002)

bahwa pubertas pada domba terjadi pada umur 6-12 bulan, meskipun diketahui

domba betina mencapai dewasa kelamin pada umur 6-8 bulan. Data umur

pengawinan Domba Garut pada peternak yang bekerja sama dengan TTP Cikajang

berdasarkan rekording disajikan pada Tabel 12.

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 12, umur domba pertama kali

dikawinkan pada umur 10 dan 12 bulan yang paling banyak dilakukan yaitu

masing-masing sebesar 43,75%. Menurut wawancara dilapangan umur 10 dan 12

bulan merupakan umur yang baik karena sudah dewasa kelamin dan dewasa tubuh

sehingga menghasilkan kualitas anak yang baik. Hal ini sejalan dengan pernyataan

Hastono dan Masbulan (2000) bahwa induk domba siap dikawinkan pertama kali

pada umur 12 bulan. Hal serupa telah dilaporkan Devendra dan Burn (1994)

menyatakan bahwa ternak betina muda dikawinkan setelah mencapai bobot hidup

75% dari bobot hidup dewasa, karena dikhawatirkan apabila beranak masih terlalu

kecil, pertumbuhan berikutnya menjadi terhambat yang pada akhirnya akan

berpengaruh terhadap kesuburan, bobot hidup dan daya hidup anak-anaknya.

Dapat dikatakan bahwa apabila domba betina telah memenuhi 75% bobot dewasa

pada umur yang lebih cepat, maka domba betina dapat dikawinkan lebih cepat.

Tabel 12. Umur Pengawinan Domba Garut Pada Peternak yang BekerjaSama dengan TTP Cikajang

No Informan Umur Pertama Kali dikawinkan

69

8 Bulan 10 Bulan 12 Bulan1 A √ ─ ─2 B ─ √ ─3 C ─ √ ─4 D ─ √ ─5 E ─ ─ √6 F ─ ─ √7 G ─ √ ─8 H ─ √ ─9 I ─ ─ √10 J √ ─ ─11 K ─ ─ √12 L ─ ─ √13 M ─ √ ─14 N ─ ─ √15 O ─ ─ √16 P ─ √ ─

Jumlah (%) 12,5 43,75 43,75Sumber: Data Primer (2019)

4.2. Peran TTP Terhadap Pemberdayaan Peternak Domba Di DesaCikandangTaman Teknologi Pertanian dibangun dengan berlandaskan pada prinsip

keterpaduan, pendekatan bisnis, keberlanjutan, pemanfaatan ilmu pengetahuan

dan teknologi, serta pemberdayaan masyarakat. Diharapkan adanya TTP di

masyarakat dapat menjadi pusat percontohan dan alih teknologi melalui kegiatan

informasi pertanian peternakan, demonstrasi, pelatihan dan pemagangan yang

mengikutsertakan masyarakat pada seluruh proses kegiatan tersebut.

Peran TTP terhadap pemberdayaan peternak di Desa Cikandang sebagai

tempat untuk penerapan teknologi pertanian hulu-hilir berwawasan agrobisnis

yang bersifat spesifik lokasi, tempat untuk percontohan dan penerapan inovasi

yang telah dikembangkan di TSP, dan tempat pelatihan, pemagangan, inkubasi

kemitraan usaha, diseminasi teknologi, dan pusat advokasi bisnis ke masyarakat

luas (Syakir, 2016).

70

4.2.1. Sistem pemberdayaan

Pendekatan utama pada konsep pemberdayaan ialah bahwa masyarakat tidak

dijadikan obyek dari suatu proyek pembangunan, namun sebagai subyek dalam

pembangunannya sendiri. Menurut Munawar (2011) pendekatan yang dipakai

berdasarkan konsep pemberdayaan masyarakat sebagai model pembangunan yakni

meliputi:

1) Pertama, targeted yaitu upayanya harus terarah kepada yang memerlukan,

dengan program yang dirancang untuk mengatasi masalahnya serta sesuai

dalam kebutuhannya.

2) Kedua, mengikutsertakan bahkan dilaksanakan oleh masyarakat yang

menjadi sasaran, dengan tujuannya yaitu efektifnya bantuan karena sesuai

kebutuhan mereka yang sekaligus meningkatkan keberdayaan (empowering)

masyarakat dalam pengalaman merancang, melaksanakan, mengelola dan

mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya.

3) Ketiga, menggunakan pendekatan kelompok, yang dikarenakan secara

individual masyarakat dengan ekonomi rendah sulit memecahkan

masalahnya sendiri. Disamping itu, bahwa kemitraan usaha antar kelompok

dengan kelompok yang lebih baik saling mengguntungkan dan dapat

memajukan kelompok tersebut.

TTP Cikajang telah menerapkan pendekatan-pendekatan berdasarkan

konsep pemberdayaan masyarakat dengan adanya target sasaran peternak domba

yang tergabung dalam dalam gapoktan Cikandang Agro yang bertujuan untuk

memenuhi kebutuhan protein hewani terutama yang berasal dari domba. Peternak

diikutsertakan dalam merancang, melaksanakan, mengelola, dan

mempertanggungjawabkan program yang dibuat untuk peningkatan pengetahuan,

sikap, dan keterampilan serta peningkatan ekonominya.

71

Menurut Munawar (2011) bahwa pemberdayaan merupakan konsep

pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai masyarakat untuk

membangun paradigma baru dalam pembangunan yang bersifat people-centered,

participatory. Dalam kerangka ini upaya untuk memberdayakan masyarakat

(empowering) dapat dikaji dari 3 (tiga) aspek :

1) Enabling yakni menciptakan suasana yang memungkinkan potensi

masyarakat yang dapat berkembang.

2) Empowering yakni memperkuat potensi yang dimiliki oleh masyarakat

melalui langkah-langkah nyata yang menyangkut penyediaan berbagai input

dan pembukaan dalam berbagai peluang yang dapat membuat masyarakat

semakin berdaya.

3) Protecting yaitu melindungi dan membela kepentingan dari masyarakat

lemah.

Pendekatan pemberdayaan pada intinya memberikan tekanan pada otonomi

pengambilan keputusan dari kelompok masyarakat yang berlandaskan pada

sumberdaya pribadi, langsung, demokratis dan pembelajaran sosial. Penerapan

program pemberdayaan peternak Domba Garut oleh TTP dimulai dari Tahun

2015, untuk mempercepat proses adopsi inovasi baru melalui penyebaran

informasi, demonstrasi dan pelatihan-pelatihan teknologi budidaya domba.

Diketahui bahwa TTP dibangun dengan berlandaskan pada prinsip keterpaduan,

pendekatan bisnis, keberlanjutan, pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi,

serta pemberdayaan masyarakat. Kehadiran TTP di masyarakat menjadi pusat

percontohan dan alih teknologi melalui kegiatan informasi pertanian peternakan,

demonstrasi, pelatihan dan pemagangan yang mengikutsertakan masyarakat pada

seluruh proses kegiatan tersebut.

72

Berdasarkan hasil penelitian diseminasi teknologi yang diberikan TTP,

peternak umumnya mendapatkan pengetahuan dibidang peternakan yang lebih

tinggi melalui informasi yang diberikan TTP meliputi juknis peternakan (87,5%),

leaflet-leaflet peternakan (56,25%), dan diskusi (100%), yang dirata-ratakan

sebesar 81,25%. Diseminasi teknologi yang diberikan TTP melalui demonstrasi

seperti pengolahan limbah pertanian sebagai sumber pakan (56,25%), penanganan

sanitasi lingkungan kandang dan domba (56,5%), manajemen kesehatan domba

(68,75%) dan manajemen reproduksi (68,75%), memperoleh nilai rata-rata sebesar

62,5%, sedangkan hasil yang lebih rendah ditemukan pada diseminasi teknologi

melalui pelatihan seperti pembuatan mineral blok (56,25%), pembuatan pupuk

organik padat atau kompos (62,5%), pembuatan pupuk organik cair atau POC

(50%) dan pembuatan silase (43,75%) dengan nilai rata-rata sebesar 52,12%.

Sementara itu, hasil penelitian Sary (2015) menyatakan tingkat partisipasi petani

dalam program pemberdayaan melalui teknologi informasi (pelatihan dan

pembinaan yang intensif) memiliki partisipasi sangat tinggi sebesar 21,43% dan

partisipasi tinggi sebesar 78,57%. Hasil peran TTP dalam pemberdayaan dapat

dilihat pada Tabel 13.

Diseminasi teknologi yang diberikan TTP dalam bentuk informasi memiliki

partisipasi yang paling banyak dikarenakan peternak lebih tertarik dan waktu yang

lebih fleksibel dalam melakukan diskusi informal dengan pihak TTP dan juga

tersedianya sumber informasi dalam bentuk juknis dan leaflet yang bisa

dimanfaatkan kapan saja. Sementara itu rendahnya pengetahuan yang di dapat

dalam program demonstrasi dan pelatihan dikarenakan waktu pelaksanaan

kegiatan yang tidak bisa mengakomodasi semua peternak sehingga menyebabkan

partisipasinya rendah.

73

Tabel 13. Pemberdayaan Peternak Domba Garut pada Peternak yangBekerja Sama dengan TTP Cikajang

No Diseminasi Teknologi

Uraian Ya Tidakn % n %

1 Informasi Juknis peternakan 14 87,5 2 12,5Leaflet-leaflet peternakan 9 56,25 7 43,75Diskusi 16 100 0 0Rata-rata 81,25 18,75

2 Demonstrasi Pengolahan limbah pertaniansebagai sumber pakan

9 56,25 7 43,75

Penanganan sanitasi lingkungan,kandang dan domba

9 56,25 7 43,75

Manajemen kesehatan domba 11 68,75 5 31,25Manajemen reproduksi 11 68,75 5 31,25Rata-rata 62,5 37,5

3 Pelatihan Pembuatan mineral blok 9 56,25 7 43,75Pembuatan pupuk organi padat(kompos)

10 62,5 6 37,5

Pembuatan pupuk organik cair(POC)

8 50 8 50

Pembuatan Silase 7 43,75 9 56,25Rata-rata 52,12 46,88

Sumber: Data primer (2019)

Peran TTP dalam pemberdayaan alih teknologi menunjukkan hasil yang

baik, namun masih perlu ditingkatkan terutama melalui pelatihan-pelatihan di

bidang peternakan. Informasi teknologi yang diperoleh oleh peternak dari TTP

diharapkan dapat di adopsi dalam menjalankan usaha peternakan. Azikiwe et al.,

(2013) menyatakan bahwa penyediaan layanan penyuluhan berkualitas sangat

mendorong adopsi dan peningkatan produktivitas serta pendapatan pertanian.

Peran lain TTP Cikajang sebagai tempat pendidikan bagi siswa dan

mahasiswa, tempat penelitian, dan magang yang terbuka untuk umum baik

instansi pemerintah, swasta, kelompok dan pribadi. TTP Cikajang juga

memprogramkan pola kemitraan dengan peternak, di sekitar TTP dengan sistem

bagi hasil 50% untuk Peternak dan 50 % untuk TTP.

74

Dalam pemberdayaan masyarakat (empowerment) sebagai model

pembangunan yang berbasis rakyat, bahwa menggerakkan partisipasi masyarakat

bukan hanya esensial untuk mendukung kegiatan pembangunan yang digerakkan

oleh pemerintah, tetapi juga agar masyarakat dapat berperan lebih besar dalam

kegiatan yang dilakukan. Dengan demikian, menjadi tugas penting manajemen

pembangunan terhadap proses pembimbingan, pengarahan dan menciptakan iklim

yang mendukung kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat. Data

tersebut sejalan dengan penelitian Teo et al., (2007) mengatakan bahwa secara

garis besar inisiatif organisasi merupakan hal yang sangat diperlukan untuk

mempercepat proses adopsi inovasi baru melalui penyebaran teknologi dan

informasi.

4.2.1.1. Pengembangan Potensi

Saenab dan Waryati (2005) menyebutkan bahwa faktor penting yang perlu

diperhatikan dalam pengembangan ternak ruminansia besar atau kecil yaitu

ketersediaan sumber hijauan pakan yang dapat dikonsumsi. Kabupaten Garut

merupakan kabupaten yang kaya akan potensi komoditas pertanian mulai dari

tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perkebunan, kelautan dan kehutanan,

semua mempunyai potensi untuk dikembangkan dengan baik. Terutama bidang

peternakan seperti Komoditas Domba Garut, dan bidang tanaman pangan,

hortikultura, perkebunan dan kehutanan yang bisa dimaanfaatkan sebagai sumber

hijauan untuk pakan ruminansia.

TTP merupakan suatu kawasan implementasi inovasi yang telah

dikembangkan pada Taman Sains Pertanian (TSP), berskala pengembangan dan

berwawasan agribisnis hulu-hilir yang bersifat spesifik lokasi dengan kegiatan

yang meliputi penerapan teknologi pra-produksi, produksi, pra-panen, pasca

panen, pengolahan hasil dan pemasaran, sebagai wahana pelatihan dan

75

pembelajaran bagi masyarakat serta pengembangan kemitraan agribisnis dengan

swasta (Balitbangtan, 2016).

Strategi yang dijalankan dalam pengembangan taman teknologi yakni : 1)

Keterpaduan yang berarti mengitegrasikan beragam usahatani dan industri

hulu-hilir dalam suatu usahatani terpadu yang bersiklus biologi; 2) Business

approach yaitu mengelola seluruh aktivitas dengan pendekatan secara bisnis

sebagai model pusat penerapan IPTEK yang mandiri; 3) Sustainability

(keberlanjutan) yaitu berarti memanfaatkan sumber daya yang ada secara

berkelanjutan untuk menjamin keberlangsungan program; 4) Pemberdayaan

masyarakat yang berarti memberdayakan masyarakat melalui pendidikan,

pelatihan, dan keterlibatan seluruh kegiatan; 5) Pemanfaatan IPTEK yaitu

pemanfaatan IPTEK dalam seluruh kegiatan demi peningkatan efisiensi produksi,

keragaman dan kualitas produk serta nilai tambah melalui proses adaptasi,

integrasi dan pengembangan (Kemenristek, 2002).

Upaya pemberdayaan masyarakat tidak hanya dalam penguatan individu

tetapi pula pranata-pranata sosial yang ada, sehingga upaya tersebut dapat pula

meningkatkan harkat dan martabat masyarakat bawah (grass root) yang dengan

segala keterbatasannya belum mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan,

kebodohan, dan keterbelakangan. Perlunya menanamkan nilai-nilai budaya

modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan dan tanggung jawab yang yang hal

tersebut merupakan bagian penting dalam upaya pengembangan pemberdayaan.

TTP dibangun dengan berlandaskan pada prinsip keterpaduan, pendekatan

bisnis, keberlanjutan, pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta

pemberdayaan masyarakat. Kehadiran TTP di masyarakat sebagai pusat

percontohan dan alih teknologi melalui kegiatan-kegiatan pelatihan dan

pemagangan dengan mengikutsertakan masyarakat pada kegiatan di kawasan

76

tersebut. Salah satu TTP yang dibangun pada tahun 2015 yakni TTP Cikajang

yang berlokasi di Desa Cikandang Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut Jawa

Barat.

4.2.1.2. Memperkuat Potensi

Usaha domba merupakan usaha yang memiliki potensi dan memiliki

keunggulan yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan pendapatan keluarga

petani peternak. Kabupaten Garut memiliki luas lahan pertanian (lahan bukan

sawah) terluas di Jawa Barat dengan luas 106,522 ha (BPS Provinsi Jawa Barat,

2017), sehingga memungkinkan penggunaan limbah hasil pertanian dapat

termanfaatkan. Letak yang strategis juga menjadi potensi dalam memasok produk

hewani bagi kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta, dikarenakan sarana

transportasi yang cukup memadai. Hasil penelitian Tanuwiria et al., (2007),

menyebutkan bahwa potensi pakan yang berasal dari rumput-rumputan dan limbah

tanaman pangan di wilayah Kabupaten Garut yaitu sebesar 414.211,11 ton

BK/tahun, dengan potensi pakan asal rumput sebesar 151.395,65 ton BK/tahun

dan potensi pakan asal limbah tanaman pangan sebesar 262.815,46 ton BK/tahun.

Diketahui pula berdasarkan data BPS Kabupaten Garut (2017) bahwa populasi

domba di Kabupaten Garut pada tahun 2016 mencapai 1.305.259 ekor. Dengan

populasi domba sebesar 1.305.259 ekor tersebut, membutuhkan pakan yakni

sebesar 295.164,744 ton BK/tahun, yang perhitungan ini didasarkan pada

pernyataan Ashari et al., (1999) dalam Tanuwiria et al., (2007) bahwa kebutuhan

pakan pada setiap satuan ternak domba sebesar 9,1 x 0,07 kg BK/hari yaitu 0,637

kg BK/hari. Sehingga potensi hijauan dan limbah pertanian yang dapat

dimanfaatkan masih tinggi yaitu sebesar 119.046,366 ton BK/tahun, serta adanya

potensi untuk menambah populasi domba sebesar 526.439 ekor.

77

Minat peternak terhadap usaha Domba Garut juga merupakan potensi besar,

sesuai dengan hasil penelitian yang dapat dilihat pada Tabel 14, dimana sebanyak

56,25% peternak memanfaatkan tenaga kerja keluarga. Sementara itu 100%

peternak memanfaatkan limbah pertanian dan rumput lapang sebagai pakan

ternak, memelihara ternak untuk mengatasi masalah keuangan (simpanan),

memelihara domba tidak terlalu sulit, tidak memerlukan lahan dan modal yang

besar, juga mudah beradaptasi, serta cepat berkembang biak dan 93,75% peternak

memelihara ternak sebagai usaha sampingan.

Tabel 14. Potensi Usaha Domba Garut pada Peternak yang Bekerja Samadengan TTP Cikajang

No Uraian Ya Tidakn % n %

1 Memanfaatkan tenaga kerja keluarga 9 56,25 7 43,752 Memanfaatkan limbah pertanian dan rumput

lapang16 100 0 0

3 Memecahkan masalah keuangan 16 100 0 04 Memelihara domba tidak sulit 16 100 0 05 Tidak memerlukan lahan yang luas 16 100 0 06 Tidak membutuhkan modal yang besar 16 100 0 07 Mudah beradaptasi 16 100 0 08 Cepat berkembang biak 16 100 0 09 Sebagai usaha sampingan 15 93,75 1 6,25

Sumber: Data Primer (2019)

Menurut Setyono et al., (1994) bahwa domba lebih disukai petani peternak

karena; (1) dapat memanfaatkan tenaga kerja keluarga, (2) memanfaatkan limbah

pertanian dan rumput lapang, (3) mendukung sistem produksi tanaman melalui

pupuk kandang, (4) dapat memecahkan kebutuhan uang tunai, (5) secara tidak

langsung dapat meningkatkan status pemiliknya, (6) mudah beradaptasi dengan

berbagai lingkungan, (7) cepat berkembang biak, (8) kurang memerlukan lahan

dan modal yang relatif besar, (9) secara pemeliharaannya tidak terlalu sulit

sehingga banyak yang dipelihara oleh petani sebagai usaha sampingan

78

Domba Garut yang dipelihara oleh peternak merupakan tipe pedaging dan

tipe tangkas (seni), dengan pemeliharaan dan performa tipe pedaging dan tipe

tangkas berbeda yang berbeda pula. Domba Garut tipe tangkas diarahkan lebih

pada pembentukkan fisik yang kuat, yang biasanya dibentuk melalui

latihan-latihan yang dilakukan peternak, sedangkan Domba Garut tipe pedaging

lebih diarahkan untuk pertambahan bobot badan. Seleksi domba antara tipe

tangkas dan tipe daging dilakukan dengan melihat induk dan pejantan serta

melihat performa dari anak yang lahir. Dengan cara ini peternak dapat

meningkatkan pendapatan, karena Domba Garut tipe tangkas memiliki harga yang

lebih mahal daripada Domba Garut tipe pedaging.

Menurut Badar et al., (2014) secara ekonomi, beternak domba ini mampu

menjadi mata pencaharian penyangga bagi petani atau sebagai tabungan keluarga

karena domba dapat dijual kapan saja jika keluarga petani tersebut membutuhkan

keuangan, misalnya untuk menyekolahkan anak, perkawinan, ataupun kebutuhan

lainnya. Ditambahkan pula oleh FAO (2002) dan Jarmuji (2010) bahwa selain

adaptif terhadap lingkungan, domba juga mampu memanfaatkan hijauan yang

nilai nutrisinya rendah, seperti jerami padi dan limbah pertanian, tahan terhadap

penyakit dan parasit, mampu beranak lebih dari satu (prolific), umur dewasa

kelamin relatif cepat, serta tidak mengenal musim kawin.

4.2.1.3. Kemandirian

Kemandirian merupakan karakteristik yang diharapkan pada proses

pemberdayaan. Kemandirian adalah kemampuan peternak dalam memenuhi

kebutuhan sendiri, pengendalian diri, serta dapat memelihara dan

mempertahankan mata pencaharian. Kemandirian merupakan suatu tahapan dari

proses pemberdayaan yang dilakukan secara kronologis sebagai upaya mengubah

masyarakat yang kurang atau belum berdaya, yang proses ini melalui perubahan

79

pengetahuan, sikap perilaku sadar dan kecakapan psikomotorik. Dimensi

kemandirian dijelaskan oleh indikator : 1) ketergantungan akan bantuan dan 2)

pemenuhan akan kebutuhan (Sulistyati et al., 2011).

Kerja sama yang dilakukan TTP Cikajang dengan peternak domba dimulai

pada tahun 2015 sampai saat sekarang, dengan jumlah bantuan yang diterima

bervariasi di mulai dari 2-65 ekor. Adanya variasi dalam jumlah bantuan ternak

yang diterima tergantung pada seleksi yang dilakukan pihak TTP terhadap

peternak dilihat dari rekam jejak (track record), kesiapan peternak, ketersediaan

kandang dan rekomendasi dari ketua kelompok. Data bantuan ternak dari TTP

terhadap peternak disajikan pada Tabel 15.

Proses pemberdayaan yang dilakukan TTP masih belum bisa membuat

peternak menjadi mandiri, hal ini dapat dilihat peternak masih tergantung terhadap

program-program bantuan dari pemerintah. Ketergantungan peternak terhadap

program bantuan dari luar untuk mengatasi masalah, dan masih berharap untuk

dapat memperoleh jika ada bantuan lagi. Hal ini berbanding terbalik dengan

pernyataan Sulistyani (2004) bahwa pemberdayaan tidak menjadikan masyarakat

masuk dalam perangkap ketergantungan, akan tetapi sebaliknya harus

mengantarkan pada proses kemandirian.

Tabel 15. Ternak Bantuan dari TTP pada Peternak yang Bekerja Samadengan TTP Cikajang

NoInforman

TahunMulai

Pelaksanaan

Jumlah ternak yang diTerima

Jumlah ternakyang

digulirkan(sampai tahun

2019)Jantan Betina

....................... ekor ...........................1 A 2015 65 0 652 C 2015 0 3 83 D 2015 2 11 3

80

4 F 2015 1 4 15 G 2015 0 3 26 H 2015 1 8 27 K 2015 1 8 08 I 2016 0 7 129 P 2016 0 3 210 E 2016 1 4 311 B 2017 0 2 712 J 2017 0 3 013 O 2017 4 3 614 M 2018 0 6 015 N 2018 1 3 016 L 2019 0 6 0

Sumber: Data Primer (2019)

4.2.2 Mekanisme Kegiatan

Mekanisme kegiatan yang dilakukan dalam pemberdayaan peternak,

melaksanakan kegiatan-kegiatan yang strategis yang dapat mengubah atau

memperkuat peternak meliputi : 1) peningkatan pengetahuan (informasi inovasi

teknologi dan demonstrasi), 2) perubahan sikap perilaku (pelatihan dan

pemagangan), dan 3) kecakapan keterampilan (penerapan). Rancangan

pelaksanaan program harus memberikan ruang kepada peternak untuk

membangun dirinya sendiri, dalam mobilisasi dan pemanfaatan seluruh potensi

yang ada dilingkungannya.

4.2.2.1. Peningkatan Pengetahuan

TTP Cikajang sebagai tempat pusat percontohan dan alih teknologi melalui

kegiatan informasi pertanian peternakan, dapat meningkatkan pengetahuan

masyarakat luas terutama peternak yang bekerja sama dengan TTP Cikajang.

Peningkatan pengetahuan yang didapat peternak melalui diseminasi teknologi

yang diberikan TTP memeberikan dampak positif dan pengetahuan peternak

dalam budidaya ternak domba. Peternak yang memperoleh diseminasi teknologi

81

sebesar 81.25% dari media informasi TTP, 62.5% dari media demonstrasi TTP,

dan 52,12% dari media pelatihan yang diberikan oleh TTP.

Serupa dengan penelitian Dewi et al., (2013) pada Koperasi Unit Desa

(KUD) Batu melakukan penyuluhan usaha peternakan sapi perah melalui proses

penyampaian informasi-informasi terbaru menurut pola yang telah dikembangkan

oleh ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru, yang diharapkan kemampuan dan

keterampilan peternak dapat berkembang dan dapat diterapkan dalam usaha

peternakan.

4.2.2.2. Perubahan Sikap Perilaku

Rendahnya tingkat pendidikan formal, tidak ada usaha pokok dan

pengalaman beternak yang turun-temurun merupakan penyebab peternak kurang

adaptif terhadap modernisasi. Tawaran terhadap suatu perubahan dianggap

sebagai suatu hal yang belum pasti dan banyak mengundang resiko, sehingga

peternak lebih cenderung mempertahankan pola-pola yang sudah ada

(Koentjaraningrat, 1993). Hal ini membutuhkan pembinaan yang perlu

ditingkatkan dalam program yang lebih intensif. Pembinaan ini penting untuk

meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan peternak yang berkerja sama

dengan TTP. Apabila komponen kelembagaan yang terkait bekerja dengan baik,

maka akan terjadi peningkatan kemitraan usaha. Menurut Sulistyati et al., (2011)

bahwa peternak dengan pendidikan formal rendah dapat diperbaiki dengan

pendidikan non-formal, serta adanya pemberdayaan merupakan suatu usaha

perubahan perilaku meliputi kognitif (pengetahuan), afektif (pemahaman), dan

psikomotorik (keterampilan) ke arah yang lebih baik.

82

4.2.2.3. Kecakapan Keterampilan

TTP Cikajang sebagai pusat demonstrasi peternakan dan pelatihan dengan

mengikutsertakan masyarakat terutama peternak yang bekerja sama dengan TTP

Cikajang pada seluruh proses kegiatan dalam kawasan tersebut. Hal ini dirancang

untuk meningkatkan potensi kecakapan dan keterampilan peternak melaksanakan

usaha beternaknya. Data hasil kecakapan keterampilan peternak disajikan pada

Tabel 16.

Tabel 16. Kecakapan Keterampilan Peternak yang Bekerja Sama denganTTP Cikajang

No Uraian Ada Kadang-kadang Tidak

n % n % n %1 Pengolahan limbah pertanian

sebagai sumber pakan 0 0 5 31,25 11 68,75

2 Penanganan sanitasilingkungan, kandang dandomba

4 25 4 25 8 50

3 Manajemen kesehatan domba 5 31,25 5 31,25 6 37,54 Manajemen reproduksi 6 37,5 4 25 6 37,55 Pembuatan mineral blok 0 0 3 18,75 13 81,256 Pembuatan pupuk organik

padat (kompos) 0 0 4 25 12 75

7 Pembuatan pupuk organik cair(POC) 0 0 3 18,75 13 81,25

8 Pembuatan Silase 0 0 5 31,25 11 68,75Sumber: Data Primer (2019)

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penerapan ilmu yang

disampaikan dalam suatu pelatihan atau demontrasi yang diperoleh hampir

semuanya tidak diterapkan oleh peternak. Rendahnya penerapan inovasi teknologi

baru dalam usaha ternak pada peternak yang bekerja sama dengan TTP Cikajang

dipengaruhi oleh kebiasaaan turun temurun dalam memelihara ternak secara

tradisional, aktivitas lain di luar beternak, atau ketidak fokusan terhadap ternak

dikarenakan hampir mayoritas usaha ternak adalah sebagai usaha sampingan.

83

Penyebab lainnya yaitu diketahui bahwa peternak merasa nyaman dengan hasil

yang didapat dari cara beternak yang telah dilaksanakannya tanpa menerapkan

inovasi-inovasi teknologi. Hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian

Prasetyo dan Awaludin (2016) yang menemukan penerapan adopsi teknologi

usaha peternakan di kelompok ternak (kasus di peternakan Lembah Meru

Kabupaten Jember) tergolong rendah, dengan hanya sebanyak 5% dari anggota

kelompok ternak yang berusaha mengadopsi dan mencari inovasi teknologi.

4.3. Hubungan Kerja Sama Pola Kemitraan dalam Pemberdayaan PeternakDomba di Desa Cikandang

Disebutkan oleh Purnaningsih (2007) bahwa konsep kemitraan mengacu

pada konsep kerja sama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha

besar disertai pembinaan dengan memperhatikan prinsip saling menguntungkan

dan memperkuat, serta pola kemitraan mengandung pengertian bahwa telah terjadi

proses pembaharuan (inovasi = sesuatu yang baru) terhadap pola kemitraan dalam

banyak hal dari waktu ke waktu hingga saat ini.

Peran TTP Cikajang sebagai inkubasi kemitraan dan pusat advokasi bisnis

kemasyarakat, juga melakukan kerja sama usaha antara TTP dan peternak disertai

pembinaan dan pengembangan usaha. Indikator hubungan kerja sama pola

kemitraan TTP Cikajang dan peternak dapat dilihat berdasarkan prinsip kerja

sama, mekanisme kerja sama, hak dan kewajiban, serta sistem pertukaran.

4.3.1. Prinsip Kerja Sama

Kerja sama usaha ternak domba antara TTP Cikajang dan peternak di Desa

Cikandang dilakukan untuk mengembangkan budidaya Domba Garut dalam hal

kualitas dan kuantitas. Usaha ternak domba yang dikembangkan terdiri atas usaha

ternak pembibitan domba dan penggemukan domba. Peran pemerintah dalam

84

mengatur kemitraan usaha peternakan tercantum dalam Peraturan Menteri

Pertanian No.13/Permentan/Pk.240/5/2017 tentang Kemitraan Usaha Peternakan.

Dijelaskan bahwa kemitraan usaha peternakan adalah kerja sama antar usaha

peternakan atas dasar prinsip saling memerlukan, memperkuat, menguntungkan,

menghargai, bertanggung jawab dan ketergantungan, serta dijelaskan pula bahwa

kemitraan usaha peternakan dapat dilakukan dengan pola seperti inti plasma, bagi

hasil, sewa, perdagangan umum dan sub-kontrak.

Prinsip kerja sama terhadap peternak yang bermitra dengan TTP mengikuti

sistem pola inti plasma dengan sistem gaduh, yang menurut Ridha (2018) pola

gaduhan merupakan salah satu pola agribisnis yang dilakukan oleh petani untuk

mendapatkan bantuan modal dalam mengupayakan usahanya, dengan harapan

adanya pengembalian atas usahanya berupa bagi hasil untuk penguatan

kelembagaan peternakan.

Salah satu bantuan pemerintah yang berbentuk sistem gaduhan yaitu dengan

permodalan bagi usaha ternak tradisional. Faktor-faktor yang dapat mendorong

munculnya sistem gaduhan menurut Simatupang et al., (1994) dalam Zulfamita

(2009) ialah dikarenakan belum berkembangnya lembaga keuangan desa, bentuk

usaha ternak masih bersifat keluarga, masih banyaknya keluarga yang

berpendapatan rendah, desa yang bersangkutan memiliki potensi produksi yang

cukup.

4.3.1.1. Perjanjian Kerja Sama

Adanya kesepakatan oleh masing-masing pihak untuk menandatangani

perjanjian kerja sama dalam usaha pengelolaan ternak Domba Garut berdasarkan

ketentuan-ketentuan serta syarat-syarat yang telah diatur dalam pasal-pasal. Surat

perjanjian pengelolaan ternak Domba Garut disajikan pada Lampiran 1. Apabila

85

terjadi perselisihan antara kedua belah pihak mengenai pelaksanaan perjanjian,

maka kedua belah pihak telah menyepakati untuk menyelesaikannya secara

musyawarah, sedangkan apabila terjadi perselisihan yang tidak dapat diselesaikan

secara musyawarah, maka kedua belah pihak telah menyepakati untuk

menyerahkan penyelesaian kepada pihak yang berwajib. Hal-hal yang belum

diatur dalam perjanjian ini, maka akan diadakan musyawarah.

4.3.1.2. Sistem Pembagian Hasil

Sistem pembagian hasil terhadap peternak yang bermitra dengan TTP

mengikuti pola inti plasma dengan sistem gaduh, yang menurut Ridha (2018)

harapan dalam sistem pola gaduh yaitu pengembalian atas usahanya yakni berupa

bagi hasil untuk penguatan kelembagaan peternakan.

Pada Tabel 17 dapat dilihat pembagian hasil meliputi pihak TTP sebagai

inti dan pihak peternak sebagai plasma. Jika terjadi kelahiran anak satu maka

pembagiannya yakni setengah dari nilai jual (rupiah), untuk kelahiran anak dua

ekor maka pembagiannya yakni satu ekor bagi inti dan satu ekor bagi plasma,

untuk kelahiran anak tiga ekor pembagiannya yakni satu ekor bagi inti dan dua

ekor bagi plasma pada kelahiran pertama dan sebaliknya, dua ekor untuk inti dan

satu ekor untuk plasma pada kelahiran berikutnya. Peternak menyerahan

pembagian hasil anak setelah umur lepas sapih yang pola bagi hasil ini merupakan

kesepakatan bersama antara TTP dan peternak. Data pembagian hasil ternak

disajikan lengkap pada Tabel 17.

Tabel 17. Pembagian Hasil Ternak Antara TTP (inti) dan Peternak (plasma)

No Anakan Pembagian Hasil1 1 50:50 dari nilai rupiah anakan2 2 1 untuk TTP dan 1 untuk plasma3 3 1 untuk TTP 2 plasma kelahiran pertama, 2 untuk

TTP 1 plasma kelahiran berikutnyaSumber: Data Primer (2019)

86

Sistem pembagian hasil anakan domba oleh TTP Cikajang dan peternak

menunjukkan hasil yang sepadan dengan tidak merugikan satu sama lain. Hal ini

serupa dengan penelitian Tribudi (2017) yang menyatakan bahwa sistem gaduhan

pada ternak sapi potong di Desa Slorok Kecamatan Kromengan Kabupaten

Malang dalam program Sarjana Membangun Desa yakni menerima penjualan dan

nilai akhir ternak, dengan hak yang diterima oleh masing-masing pihak berupa

nilai dari penjualan anak sapi sebesar 50%.

4.3.2. Mekanisme Kerja Sama

Program utama di budidaya ternak Domba Garut, menerapkan sistem “DO’I

KEREN” (Domba Indukan Kedah Reuneuh) yang artinya domba induk yang

dipelihara di TTP wajib bunting dengan ketentuan, domba indukan yang selama 6

(enam) bulan tidak bunting akan diganti dengan yang lebih produktif, sehingga

produktifitas domba tetap terjaga setiap tahunnya. Adanya persyaratan dalam

mekanisme pola kemitraan usaha yang merupakan dasar dari kerja sama yang

harus dipenuhi. Persyaratan tersebut ditentukan bersama oleh kedua belah pihak

(inti dan plasma) dengan alasan untuk mempermudah hubungan timbal balik

antara kedua belah pihak demi kelancaran jalannya suatu usaha kemitraan. Hafsah

(2000) menyebutkan bahwa kemitraan usaha mengandung pengertian yakni

terdapatnya hubungan kerja sama usaha antara badan usaha yang sinergis dengan

bersifat sukarela serta dilandasi prinsip saling membutuhkan, menghidupi dan

memperkuat untuk hasil usaha yang positif ataupun solusi terbaik bagi kedua

belah pihak.

4.3.2.1. Dasar kemitraan

Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 pasal 1 angka 13 tentang

Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, disebutkan bahwa kemitraan merupakan kerja

87

sama dalam keterkaitan usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung, atas

dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan

yang melibatkan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah dengan usaha besar.

Tabel 18. Dasar Kemitraan Peternak yang Bekerja Sama dengan TTPCikajang

No Uraian Ada Tidakn % n %

1 Mempunyai tujuan yang sama 16 100 0 02 Saling menguntungkan 16 100 0 03 Saling mempercayai 16 100 0 04 Bersifat saling terbuka 15 93,75 1 6,255 Menjalin kerja sama jangka panjang 13 81,25 3 18,756 Secara terus menerus perbaikan 9 56,25 7 43,75

Sumber: Data Primer (2019)

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 18, semua peternak di daerah

Cikandang diketahui mempunyai tujuan yang sama yaitu berhasil dalam

mengembangkan ternaknya serta mendapatkan hasil setinggi mungkin, saling

menguntungkan dalam pola kemitraan, bersifat saling terbuka dalam kendala yang

dihadapi dan menjalin hubungan terus-menerus karena keterbatasan modal serta

dapat pembimbingan ternak dalam hal penyakit, pakan dan pemasaran. Akan

tetapi perbaikan dalam suatu kemitraan baik dari pengarahan ataupun mutu ternak,

peternak hanya menerima saja program yang disediakan oleh pihak TTP hal ini

dipengaruhi oleh keterbatasannya wawasan peternak dalam mengebangkan

inovasi terhadap ternaknya.

Umumnya masyarakat di Kecamatan Cikajang memelihara domba sebagai

usaha sampingan, mayoritas utama penghasilan mereka adalah sebagai petani dan

buruh tani. Menurut Badar et al., (2014) secara ekonomi, beternak domba ini

mampu menjadi mata pencaharian penyangga bagi petani atau sebagai tabungan

keluarga, karena domba dapat dijual kapan saja jika keluarga petani tersebut

88

membutuhkan keuangan, semisal untuk menyekolahkan anak, perkawinan ataupun

kebutuhan lainnya.

4.3.3. Hak dan Kewajiban

Hak dan kewajiban pada hubungan kerja sama pola kemitraan yang tertulis

dalam surat perjanjian pengelolaan ternak Domba Garut meliputi hak dan

kewajiban pihak pertama yaitu TTP Cikajang dan pihak kedua yaitu peternak.

4.3.3.1. Hak dan kewajiban pihak pertama

Hak- hak pihak pertama antara lain :

1) Membatalkan perjanjian dan menarik ternak yang telah diserahkan

apabila pihak kedua tidak mengikuti arahan dan bmbingan pihak

pertama.

2) Menerima hasil dari pembagian hasil anakan setelah lepas sapih.

Kewajiban- kewajiban pihak pertama antara lain :

1) Pihak pertama menyerahkan ternak Domba Garut kepada pihak kedua.

2) Pihak pertama berkewajiban melaksanakan monitoring terhadap

proses pemeliharaan dan perkembangan ternak yang dilaksanakan oleh

pihak kedua.

3) Pihak pertama berkewajiban untuk menindaklanjuti segala laporan

pihak kedua yang berhubungan dengan kondisi ternak.

4) Pihak pertama akan menindaklanjuti laporan pihak kedua berdasarkan

laporan yang dapat dipertanggungjawabkan.

5) Pihak pertama berkewajiban menukarkan atau menerima kembali

domba yang tidak produktif setelah 6 bulan dipelihara oleh pihak

kedua.

89

4.3.3.2. Hak dan kewajiban pihak kedua

Hak- hak pihak kedua antara lain :

1) Menerima dengan baik penyerahan ternak dari pihak pertama untuk

dipelihara sebaik mungkin berdasarkan pengarahan-pengarahan dan

bimbingan teknis dari petugas yang telah ditunjuk oleh pihak pertama.

2) Menerima hasil dari pembagian hasil anakan yang telah disepakati

bersama.

Kewajiban-kewajiban pihak kedua antara lain :

1) Memelihara ternak yang diterima dengan baik sesuai dengan

perjanjian.

2) Mengikuti dan melaksanakan petunjuk dan bimbingan teknis yang

diberikan oleh petugas yang ditunjuk oleh pihak pertama.

3) Melaporkan dengan segera kepada pihak pertama jika terjadi sesuatu

terhadap ternak yang dipelihara.

4) Menanggung resiko terhadap ternak yang dipelihara sesuai ketentuan

yang berlaku dalam perjanjian ini.

Hak dan kewajiban pihak pertama dan kedua tidak sepenuhnya dilakukan

dalam penerapan dilapangan, hal ini dikarenakan kurangnya kesadaran dari

masing-masing pihak yang bermitra dan takut akan resiko terjadinya konflik sosial

di masyarakat.

4.3.4. Sistem Pertukaran

Teori pertukaran sosial menurut Raho (2007) berangkat dari asumsi “saya

memberi supaya engkau memberi”, yang skema memberi dan mendapatkan

kembali jumlah yang sama ini menimbulkan begitu banyak pertukaran atau

tingkah laku yang dipertukarkan dalam kehidupan social. Ditambahkan pula oleh

Ritzer dan Goodman (2017) dalam teori pertukaran Homans yang memandang

90

perilaku sosial sebagai pertukaran aktivitas, ternilai ataupun tidak dan kurang

lebih menguntungkan bagi dua orang yang saling berinteraksi.

Menurut Sapari (2018) setiap masyarakat dalam siklus hidupnya pasti

mengalami perubahan yang sifatnya cepat, sedang, ataupun lambat, biasanya

perubahan dalam masyarakat lebih berkenaan kepada nilai, pola, susunan dan

stratifikasi dalam organisasi, lembaga masyarakat atau secara umum terjadi di

dalam masyarakat itu sendiri. Sistem pertukaran terhadap peternak di daerah

Cikandang disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19. Sistem Pertukaran Sosial Peternak yang Bekerja Sama denganTTP Cikajang

No Uraian Ada Tidakn % n %

1 Proposisi Sukses 13 81,25 3 18,752 Proposisi Stimulus 0 0 16 1003 Proposis Nilai 10 62,5 6 37,5

Sumber: Data Primer (2019)Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 19, diketahui bahwa gambaran

sistem pertukaran sosial lebih cenderung pada proposisi sukses sebesar 81,25%

dan diikuti dengan proporsi nilai sebesar 62,5%, namun tidak seorangpun peternak

mengalami proporsi stimulus (dapat dilihat pada Lampiran 2). Tingginya proporsi

sukses disebabkan oleh peternak merasakan ada keuntungan ekonomi yang

diperoleh dari imbalan ketika peternak dapat memproduksi anakan dari gaduhan

domba yang diterima dari TTP. Hal ini menyebabkan peningkatan populasi ternak

dan secara tidak langsung dapat meningkatkan pendapatan peternak yang

dijelaskan pada Tabel 18. Ritzer dan Goodman (2017) menyatakan bahwa

proporsi sukses ialah apabila seseorang sering melakukan suatu tindakan dan

orang tersebut mendapat imbalan dari apa yang telah dilakukan.

Proporsi nilai juga mendapatkan persentase yang tinggi, hal ini dikarenakan

peternak merasakan imbalan yang diberikan lebih dari yang diharapkan dan

91

cenderung bersifat nonekonomi seperti lebih dihargai, dihormati, lebih

terpandang, dan lebih dikenal antar peternak, baik dalam kawasan TTP Cikajang

maupun di luar kawasan. Wardani (2016) menyatakan proporsi nilai dalam teori

Homans yaitu semakin tinggi nilai atau imbalan dari hasil tindakan seseorang bagi

dirinya, maka semakin besar kemungkinan ia melakukan tindakan serupa.

Sedangkan tidak adanya angka proporsi stimulus dikarenakan peternak tidak

pernah mendapat stimulan/dorongan yang memberikan ransangan terhadap apa

yang dilaksanakan sebelumnya. Berdasarkan teori Homans dalam Wardani (2016)

adanya dorongan tertentu di masa lalu atau sekumpulan dorongan yang

menyebabkan tindakan seseorang diberi hadiah, sehingga besar kemungkinan

melakukan tindakan serupa di masa kini yang didasari oleh dorongan yang sama

seperti di masa lalu.

4.4. Dampak Kerja Sama Pola Kemitraan dan Pemberdayaan terhadapKinerja PeternakMenurut Rosmaladewi (2012) bahwa upaya pemberdayaan masyarakat

merupakan salah satu upaya pengentasan kemiskinan yang sudah banyak

dilaksanakan di berbagai daerah.. Ditambahkan pula oleh Sulistyati et al., (2011),

yang menyatakan bahwa pemberdayaan dapat mengantarkan masyarakat ke dalam

proses untuk menganalisis masalah dan peluang yang ada serta mencari jalan

keluar sesuai sumber daya yang dimiliki.

Keberdayaan peternak merupakan tingkat berkembangnya potensi peternak

dalam peran sebagai manajer usahatani, pemelihara ternak dan individu otonom

(Yunasaf et al., 2011). Penelitian ini melihat keberdayaan peternak dari segi

keberdayaan peternak sebagai pemelihara ternak dan keberdayaan peternak

sebagai individu otonom.

92

4.4.1. Keberdayaan Peternak Sebagai Pemelihara

Menurut Sulistyati et al., (2011) bahwa keberdayaan sebagai pemelihara

ternak merupakan tingkat berkembangnya kemampuan peternak dalam menguasai

dan melaksanakan aspek teknis beternak, dilihat berdasarkan kemampuan dalam

melaksanakan panca usahaternak, kemampuan dalam mengevaluasi, dan

kemampuan dalam mengembangkan usaha peternakan.

Keberdayaan peternak sebagai pemelihara yang berkerja sama dengan TTP

Cikajang dapat dilihat dari indikator peningkatan pengetahuan, pemahaman dan

keterampilan dengan parameter bibit, pakan, manajemen, penyakit dan pemasaran.

Hasil penelitian keberdayaan peternak sebagai pemelihara dapat dilihat pada Tabel

20.

Berdasarkan data pada Tabel 20, diterangkan pengetahuan peternak tentang

parameter tergolong tinggi dengan jumlah ≥75%. Hal ini diperoleh dari adanya

diseminasi teknologi yang diberikan TTP terhadap peternak melalui

informasi-informasi, demonstrasi dan pelatihan-pelatihan. Sedangkan peningkatan

pemahaman dan keterampilan menunjukkan jumlah yang tergolong rendah

≤43,5%. Namun pada parameter bibit dalam indikator peningkatan pemahaman

menunjukan hasil yang tergolong tinggi 75%, dikarenakan peternak umumnya

telah cukup tahu dan melaksanakan cara pemilihan bibit yang baik. Rendahnya

hasil indikator peningkatan pemahaman dan peningkatan keterampilan

kemungkinan disebabkan oleh tingkat pendidikan formal peternak yang rendah,

tidak ingin mengambil resiko mengenai hal-hal baru, merasa nyaman dengan

usaha ternak yang dijalankan, dan merasa terbebani dengan inovasi-inovasi baru.

Tabel 20. Keberdayaan Peternak sebagai Pemelihara Ternak yang BekerjaSama dengan TTP Cikajang

No Keberdayaan Uraian Ada Tidakn % n %

93

1 Peningkatan pengetahuan Bibit 16 100 0 0 Pakan 16 100 0 0Manajemen 13 81,25 3 18,75Penyakit 12 75 4 25Pemasaran 14 87,5 2 12,5

2 Peningkatan pemahaman Bibit 12 75 4 25Pakan 7 43,75 9 56,25Manajemen 6 37,5 10 62,5Penyakit 7 43,75 9 56,25Pemasaran 7 43,75 9 56,25

3 Peningkatan keterampilan Bibit 7 43,75 9 56,25Pakan 5 31,25 11 68,75Manajemen 5 31,25 11 68,75Penyakit 4 25 12 75Pemasaran 5 31,25 11 68,75

Sumber: Data Primer (2019)

Berdasarkan pendapat Yunasaf et al., (2011) bahwa rendahnya tingkat

pendidikan formal dari responden menjadikan kecilnya kemungkinan responden

dalam menerima inovasi dan melaksanakannya dengan cepat. Ditambahkan pula

oleh Romjali (2018) bahwa kendala-kendala dalam proses alih teknologi kepada

petani atau peternak, antara lain: kesiapan dalam menerima teknologi baru,

metode diseminasi, sarana prasarana pendukung teknologi tersebut dan

ketersediaan sumber daya manusia (SDM) sebagai media untuk transfer teknologi.

4.4.2. Keberdayaan Peternak Sebagai Individu Otonom

Menurut Sulistyati et al., (2011) bahwa keberdayaan peternak sebagai

individu otonom merupakan tingkat berkembangnya kemampuan peternak dalam

menghadapi berbagai resiko dan usaha untuk memenuhi kebutuhannya, dengan

indikator dimensi yaitu meliputi kemampuan dalam menghadapi resiko,

kemampuan dalam memperjuangkan hak, dan kemampuan dalam melaksanakan

kewajiban. Sejauh ini, peternak di daerah Cikandang dalam mengambil keputusan

telah memahami perihal menghadapi berbagai resiko dan usaha untuk memenuhi

kebutuhannya. Halnya dalam menjual atau pananganan ternak yang sakit yang

94

memungkinkan bisa ditolong dan tidak bisa ditolong. Untuk ternak yang sakit

memungkinkan bisa ditolong dilakukan pengobatan secara tradisional maupun

menggunakan medis. Untuk ternak yang tidak memungkinkan ditolong peternak

lebih memilih menjual langsung ke konsumen atau dikonsumsi sendiri untuk

memperkecil kerugian. Hasil penelitian keberdayaan peternak sebagai individu

otonom yang bekerja sama dengan TTP Cikajang dalam peningkatan populasi dan

peningkatan pendapatan setelah bergabung dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 21. Peningkatan Populasi dan Peningkatan Pendapatan SetelahBergabung TTP Cikajang

No Keterangan Sebelum Sesudah1 Peningkatan populasi domba 148 ekor 249 ekor

Ada Tidak2 Peningkatan pendapatan 81,25% 18,75%

Sumber: Data Primer (2019)

Berdasarkan hasil data yang disajikan pada Tabel 21, peningkatan populasi

domba peternak sebesar 101 ekor dan peternak yang merasakan peningkatan

pendapatan setelah bergabung dengan TTP sebesar 81,25%. Peningkatan

pendapatan ini berasal dari populasi ternak dan pemenfaatkan limbah ternak yang

diolah menjadi kompos (pupuk organik padat) dan POC (pupuk organik cair), baik

yang dijual atau dimanfaatkan pada kebun sendiri. Peningkatan populasi dan

pendapatan yang dirasakan peternak, memperlihatkan program kemitraan yang

diberikan TTP menunjukkan hasil yang baik. Menurut Rosmaladewi (2012) dari

hasil pelatihan, pembinaan, dan pendampingan yang intensif dari berbagai

lembaga yang tergabung dalam pola kemitraan dapat meningkatkan pendapatan

kelompok/peternak dan peningkatan jumlah ternak pada asing-masing kelompok

yang dilakukan di Desa Barusari dan Padaasih Kecamatan Pasirwangi Kabupaten

Garut.

95

Parameter-parameter dalam keberdayaan peternak sebagai individu otonom

meliputi pengambilan keputusan dalam proses produksi, proses manajemen dan

proses pemasaran. Pengambilan keputusan pada proses produksi peternak

umumnya melakukan pencarian bibit-bibit unggul dari domba pejantan tangkas

dengan harapan mendapatkan keturunan yang lebih baik. Proses manajemen,

peternak melakukan perawatan pemberian pakan, kesehatan ternak dan kebersihan

kandang dan lingkungan tanpa ketergantungan dengan pihak lain. Pengambilan

keputusan dalam proses pemasaran yang dilakukan peternak yaitu dengan

melakukan seleksi penjualan ternak dengan klasifikasi ternak sebagai pedaging,

bibit, dan tangkas. Peternak bebas menjual ternaknya pada konsumen langsung,

pedagang pengumpul atau melalui TTP Cikajang, sedangkan untuk ternak

gaduhan TTP Cikajang penjualan ternak perlu diketahui oleh pihak TTP.

Hasil penelitian Yunasaf et al., (2011) menemukan bahwa kurangnya

optimal dari kebedayaan peternak sapi perah di Kabupaten Bandung Barat yakni

dalam perannya peternak sebagai manajer dan sebagai individu otonom.

Domba Garut yang dipelihara oleh peternak merupakan tipe pedaging dan

tipe tangkas (seni), dengan pemeliharaan dan performa tipe pedaging dan tipe

tangkas berbeda yang berbeda pula. Domba Garut tipe tangkas diarahkan lebih

pada pembentukkan fisik yang kuat, yang biasanya dibentuk melalui

latihan-latihan yang dilakukan peternak, sedangkan Domba Garut tipe pedaging

lebih diarahkan untuk pertambahan bobot badan. Seleksi domba antara tipe

tangkas dan tipe daging dilakukan dengan melihat induk dan pejantan serta

melihat performa dari anak yang lahir. Dengan cara ini peternak dapat

meningkatkan pendapatan, karena Domba Garut tipe tangkas memiliki harga yang

lebih mahal daripada Domba Garut tipe pedaging.

96

Dalam hal pemasaran, umumnya petani tidak mengalami kesulita, terutama

menjelang hari raya Islam seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Penjualan domba

tergantung pesanan, dengan jumlah permintaan tertinggi yaitu pada saat hari raya

Idul Adha (sekitar 50%). Transaksi penjualan biasanya dilakukan ditempat tinggal

petani sendiri, antara petani langsung dengan pedagang pengumpul atau

konsumen langsung dan juga ke pasar-pasar di sekitar Cikajang. Pemasaran umum

dilakukan adalah pedagang pengumpul datang langsung ke lokasi kandang.

Penentuan harga didasarkan atas kondisi ternak.