fileUntuk itu sistem pertanian Revolusi Hijau perlu dievaluasi, dimana dalam peningkatan produksi...
Transcript of fileUntuk itu sistem pertanian Revolusi Hijau perlu dievaluasi, dimana dalam peningkatan produksi...
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan pertanian merupakan bagian internal dari
pembangunan nasional. Sebagai bagian dari pembangunan nasional
maka, pembangunan pertanian bertujuan untuk meningkatkan pendapatan
dan kesejahtraan petani dan nelayan khususnya serta masyarakat
pertanian pada umumnya melalui peningkatan produksi pertanian baik
kualitas maupun kuantitasnya (Haryanto dan Sucipto, 2003).
Sejak dikembangkannya revolusi hijau dan diadopsi oleh petani, ilmu
dan teknologi pertanian mengalami perubahan secara besar-besaran
terutama di negara sedang berkembang, sehingga menghilangkan atau
melupakan teknologi tradisional yang secara turun temurun berkembang
dalam budaya setempat. Revolusi hijau ini berdampak pada makin
dikenalnya pupuk anorganik dan penggunaannya oleh petani. Bahkan saat
ini petani sudah tergantung pada pupuk anorganik dalam setiap aktivitas
budidaya tanamannya. Tanaman tanpa pupuk anorganik berarti kegagalan
memperoleh produksi yang memadai pada periode tanam tersebut
(Anonim, 2003).
Bila dilihat dari hasil panen, memang harus diakui bahwa pertanian
tradisional (organik) tidak mampu mengimbangi dari pertanian
konvensional yang memakai pupuk anorganik dan pestisida untuk
membasmi hama. Namun model pertanian ini memiliki dampak yang
sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia, tidak hanya pada
kerusakan lingkungan pencemaran air tanah dan air permukaan oleh bahan
kimia pertanian, namun juga membahayakan kesehatan manusia dan
hewan karena pestisida (Sutanto, 2006).
Dampak lain dari sistem pertanian intensif dan penggunaan input
bahan kimia yang terus menerus menyebabkan kerusakan sifat fisik tanah,
meningkatkan daya ketahanan (imunitas) hama dan patogen terhadap
bahan kimia tertentu, serta berbagai masalah pencemaran lingkungan.
Untuk itu sistem pertanian Revolusi Hijau perlu dievaluasi, dimana dalam
peningkatan produksi pertanian tersebut selalu menggunakan pupuk
anorganik dengan dosis tinggi, untuk disesuaikan secara bertahap menjadi
sistem pertanian organik yang selalu mengacu pada kelestarian
sumberdaya alam pertanian dan kesehatan yang menggunakan
bioteknologi (Anonim, 2003).
Tujuan dari sistem pertanian organik ini adalah menghasilkan bahan
pangan dengan kualitas nutrisi tinggi serta jumlah yang cukup. Dengan
bertani organik, interaksi sistem dan daur alamiah yang mendukung semua
bentuk kehidupan terjadi secara efektif, hingga dapat membatasi terjadinya
semua bentuk pencemaran lingkungan yang mungkin dihasilkan oleh
kegiatan pertanian (Darliana, 2003).
Dalam rangka melaksanakan upaya yang dimaksud secara berdaya
guna dan berhasil guna, diperlukan rencana yang tepat dan dapat
dilaksanakan dengan baik. Adapun upaya yang dilakukan yaitu
memasyarakatkan pertanian organik dengan memanfaatkan limbah
pertanian yang belum dikelola yang salah satunya dengan pembuatan
bokashi. Bokashi (bahan organik kaya akan sumber hayati) adalah hasil
fermentasi bahan organik (jerami, sampah organik, pupuk kandang)
dengan menggunakan teknologi EM (Effective Microorganisms), sehingga
dapat digunakan sebagai pupuk organik untuk menyuburkan tanah dan
meningkatkan pertumbuhan tanaman dan meningkatkan produksi. Bokashi
mengandung unsur hara bermutu tinggi dan zat-zat bioaktif lainnya yang
dapat merangsang pertumbuhan dan produksi tanaman, tidak
menyebabkan polusi dan pencemaran lingkungan serta tidak berbahaya
bagi kesehatan manusia (Saranga, 2000).
Berdasarkan hasil survey yang kami lakukan di Kabupaten Takalar
khususnya di Desa Pakkabba Kecamatan Galesong Utara, petani masih
sebahagian besar menggunakan pupuk anorganik pada budidaya
pertanamannya. Maka dari itu penulis mengambil lokasi ini untuk
mengadakan suatu penyuluhan mengenai bokashi. Di Pakkabba bahan-
bahan untuk pembuatan bokashi cukup tersedia, misalnya saja jerami, luas
areal pertanaman untuk komoditi padi yaitu 348 ha, dimana setelah
melakukan panen padi didapatkan jerami, selain itu padi juga dapat
menghasilkan dedak halus dan sekam yang mana bahan ini juga dapat
digunakan dalam pembuatan bokashi. Disamping bahan-bahan tersebut,
perlu juga ditambahkan pupuk kandang. Jenis pupuk kandang yang
digunakan yaitu pupuk kandang ayam, karena hewan yang paling banyak
dipelihara di desa tersebut adalah ayam ras yang berjumlah 125.000 ekor
dan ayam buras dengan jumlah 1.652 ekor (Badan Pusat Statistik,
Kecamatan Galesong Utara Dalam Angka, 2006). Dengan melihat hal
tersebut maka sangatlah mudah untuk mendapatkan bahan dalam
pembuatan bokashi ayam. Bokashi ayam ini akan diaplikasikan pada
tanaman sawi.
Tanaman sawi bila ditinjau dari aspek ekonomis dan bisnisnya layak
untuk dikembangkan atau diusahakan untuk memenuhi permintaan
konsumen yang cukup tinggi serta adanya peluang pasar internasional
yang cukup besar. Pengembangan budidaya sawi mempunyai prospek
baik untuk mendukung upaya peningkatan pendapatan petani, peningkatan
gizi masyarakat, perluasan kesempatan kerja, pengembangan agribisnis,
peningkatan pendapatan negara melalui pengurangan impor dan memacu
laju pertumbuhan ekspor. Kelayakan pengembangan budidaya sawi antara
lain ditunjukkan oleh adanya keunggulan komparatif kondisi wilayah tropis
Indonesia yang sangat cocok untuk komoditas tersebut. Disamping itu
umur panen sawi relatif pendek dan hasilnya memberikan keuntungan yang
memadai.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar
Tahun 2006 khususnya di Kecamatan Galesong Utara menunjukkan bahwa
luas areal tanam sawi di Kecamatan Galesong Utara yaitu 21,2 ha dan luas
panen yaitu 21,2 ha. Dari luas panen tersebut menghasilkan produksi
201,40 ton dengan rata-rata produksi 9,50 ton/ha. Untuk mendapatkan hasil
panen sawi yang berkualitas, sehat dan ramah lingkungan, maka alternatif
yang ditempuh khususnya dalam peningkatan pendapatan petani adalah
penggunaan bokashi ayam pada tanaman sawi.
Setelah dilaksanakannya penyuluhan ini, maka diharapkan petani
dapat memahami dan mau mencoba menerapkan teknologi pertanian
organik yang disuluhkan, sehingga dapat memberikan manfaat bagi petani
itu sendiri dan pencemaran lingkungan dapat dikurangi.
Cara yang dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana
penerapan teknologi pupuk organik tersebut dapat diterima dan bermanfaat
bagi petani, serta berbagai faktor yang berkaitan dengan pelaksanaan di
lapangan, maka respon petani dalam kegiatan tersebut menarik untuk
dicermati dalam rangka memasyarakatkan kembali budidaya organik yang
sangat bermanfaat dalam mempertahankan dan meningkatkan
produktivitas lahan, dengan demikian respon petani mempunyai peranan
penting dalam keberhasilan pelaksanaan penyuluhan mengenai penerapan
teknologi bokashi sehingga merupakan salah satu permasalahan yang
menarik untuk diteliti.
B. Permasalahan
Adapun permasalahan yang didapatkan adalah :
1 Tingginya intensitas penggunaan pupuk anorganik terhadap tanaman
sawi.
2 Petani belum memanfaatkan limbah kotoran ayam dan limbah tanaman
padi sebagai bahan bokashi.
3 Bagaimana respon/pengaruh bokashi ayam terhadap pertumbuhan dan
produksi sawi.
C. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai adalah :
1. Untuk mengurangi penggunaan pupuk anorganik terhadap tanaman
sawi.
2. Agar petani mau memanfaatkan limbah kotoran ayam dan limbah
tanaman padi sebagai bahan bokashi.
3. Untuk mengetahui respon/pengaruh bokashi ayam terhadap
pertumbuhan dan produksi tanaman sawi.
D. Kegunaan
1. Sebagai bahan pertimbangan yang dapat digunakan dalam
merumuskan kebijakan dan strategi pengembangan usahatani melalui
penerapan teknologi pertanian organik.
2. Sebagai bahan informasi bagi petani tentang manfaat bokashi ayam
terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman.
3. Sebagai bahan bacaan pustaka bagi mahasiswa yang membutuhkan.
E. Hipotesis
1. Petani merespon adanya teknologi penggunaan bokashi ayam pada
tanaman sawi.
2. Penggunaan pupuk anorganik terhadap tanaman sawi dapat dikurangi.
3. Petani mau memanfaatkan limbah kotoran ayam dan limbah tanaman
padi sebagai bahan bokashi.
4. Penggunaan bokashi ayam berpengaruh baik terhadap pertumbuhan
dan produksi tanaman sawi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Teknologi Pertanian Organik
1. Pengertian Pertanian Organik
Pertanian organik adalah mengembangkan prinsip-prinsip memberi
makanan untuk tanaman, dan bukan memberi makanan langsung pada
tanaman melainkan membangun kesuburan tanah, dimana memindahkan
hara secepatnya dari sisa tanaman, kompos dan pupuk kandang menjadi
biomassa tanah yang selanjutnya setelah mengalami mineralisasi akan
menjadi hara dalam larutan tanah, dengan kata lain unsur hara didaur ulang
melalui satu atau lebih tahapan bentuk senyawa organik belum diserap
tanaman (Sutanto, 2006).
Menurut Saranga (2000), pertanian organik adalah sistem pertanian
yang mendorong terbentuknya tanah dan tanaman yang sehat dengan
melakukan praktek-praktek budidaya tanaman seperti daur ulang hara pada
bahan-bahan organik (limbah organik), rotasi tanaman, pengolahan tanah
yang tepat serta menghindari penggunaan pupuk anorganik dan pestisida
sintetik.
2. Tujuan Pertanian Organik
Menurut Kasumbogo (1997), tujuan pertanian organik adalah :
a. Menghasilkan makanan dengan kualitas nutrisi yang tinggi dalam
jumlah yang cukup.
b. Mendorong dan meningkatkan daur ulang dalam sistem usahatani
dengan mengaktifkan kehidupan jasad renik, flora dan fauna tanah,
tanaman dan hewan.
c. Memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah secara berkelanjutan.
d. Memanfaatkan bahan-bahan yang mudah didaur ulang baik didalam
maupun diluar usahatani.
e. Membatasi terjadinya bentuk pencemaran lingkungan yang mungkin
dihasilkan oleh kegiatan pertanian.
f. Mempertimbangkan dampak yang lebih luas kegiatan usahatani
terhadap kondisi fisik dan sosial.
3. Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pertanian Organik
Berkembangnya suatu sistem, dalam hal ini sistem budidaya, tentu mempunyai
kelebihan maupun kekurangan apabila dibandingkan dengan sistem yang lain. Demikian
pula sistem pertanian organik mempunyai kelebihan dan kekurangan dibandingkan
dengan sistem pertanian non-organik (Pracaya, 2004).
a. Kelebihan
1) Tidak menggunakan pupuk maupun pestisida anorganik sehingga tidak
menimbulkan pencemaran lingkungan, baik pencemaran tanah, air,
maupun udara, serta produknya tidak mengadung racun.
2) Tanaman organik mempunyai rasa yang lebih manis dibandingkan
tanaman non-organik.
3) Produk tanaman organik lebih mahal.
b. Kekurangan
1) Kebutuhan tenaga kerja lebih banyak, terutama untuk pengendalian
hama dan penyakit. Umumnya pengendalian hama dan penyakit masih
dilakukan secara manual. Apabila menggunakan pestisida alami, perlu
dibuat sendiri karena pestisida ini belum ada di pasaran.
2) Penampilan fisik tanaman organik kurang bagus (misalnya berukuran
kecil dan daun berlubang-lubang) dibandingkan dengan tanaman yang
dipelihara secara non-organik (Pracaya, 2004).
4. Bokashi
Menurut Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur (2004), bokashi
awalnya merupakan istilah Jepang yang berarti humus hutan yang lama
dengan kandungan unsur hara yang tinggi dan mikroorganisme yang
menguntungkan. Kemudian istilah bokashi di Indonesia dikembangkan
menjadi singkatan dengan kepanjangan “Bahan Organik Kaya Akan
Sumber Hayati“. Perbedaan prinsip antara bokashi dan kompos terletak
pada penguraian bahan organiknya. Proses penguraian bokashi adalah
melalui fermentasi yang dilakukan oleh mikroorganisme, sedangkan proses
penguraian yang terjadi pada kompos adalah pembusukan.
Bokashi juga merupakan hasil fermentasi bahan organik (jerami,
sampah organik, pupuk kandang) dengan teknologi Effective
Mikroorganisms 4 (EM4), sehingga dapat digunakan sebagai pupuk organik
tanaman. Teknologi EM adalah budidaya pertanian untuk meningkatkan
kesehatan dan kesuburan tanah dan tanaman dengan menggunakan
mikroorganisme yang bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman.
Mikroorganisme yang terdapat didalam EM antara lain adalah
Streptomyces, Lactobacillus. Ditemukan pertama kali oleh Teroi Higa dari
Universitas Ryukyus Jepang (Ajam, 1999).
Bahan organik yang umumnya digunakan tidak mengandung racun,
bahkan banyak mengandung unsur hara, sebagian diantaranya penting
bagi pertumbuhan tanaman. Pemupukan dengan bokashi bertujuan untuk
menambah kandungan humus tanah, untuk menaikkan jumlah hara tanah
yang dapat diambil oleh tanaman, dan memperbaiki sifat fisik, kimia dan
biologi tanah. Bokasi ini dapat dibuat dalam waktu singkat (7–14 hari) dan
dapat langsung digunakan sebagai pupuk organik (Sutanto, 2006). Adapun
jenis bokasi yang akan kami buat nantinya di lokasi adalah bokashi ayam.
Karena di lokasi tersebut banyak dipelihara ayam dan kotoran dari ayam
tersebut tidak dimanfaatkan secara optimal, maka dari itu kami mengambil
jenis bokashi ini. Adapun cara pembuatan dari bokashi ayam ini dapat
dilihat pada Lampiran 10.
Menurut Ismawati (2005), bahwa kandungan hara dalam kotoran
ayam tiga kali lebih besar daripada kotoran hewan ternak lainnya. Karena
didalam 1 kg kotoran ayam dapat diperoleh 0,45 kg pupuk organik. Untuk
lebih jelasnya kandungan dari kotoran ayam dan kotoran hewan lain
disajikan pada Lampiran 12.
B. Tanaman Sawi
Sawi termasuk tanaman daun dari keluarga Cruciferae yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi setelah kubis-krop, kubis bunga dan
broccoli. Sawi ini rasanya enak dan lezat apabila dilalap masak ataupun
disayur lodeh, juga sering dibuat asinan oleh orang-orang Cina. Sebagai
sayuran daun, sawi kaya akan sumber vitamin dan mineral. Kandungan
gizi dari sawi ini disajikan pada Tabel 1 di bawah ini
Tabel 1. Kandungan dan komposisi gizi sawi tiap 100 gram bahan
Kandungan dan Komposisi Gizi
Sawi
1 2
Energi (Kal) Protein (gr) Lemak (gr) Karbohidrat (gr) Serat (gr) Abu (gr) Fosfor (mg) Zat Besi (mg) Natrium (mg) Kalium (mg) Vitamin A (S.I) Thiamine (mg) Riboflavin (mg) Niacin (mg) Vitamiin C (mg) Air (gr) Kalsium (mg)
21.0 1.8 0.3 3.9 0.7 0.9
33.0 4.4
20.0 323.0
3.600.0 0.1 0.1 1.0
74.0 -
147.0
22.0 2.3 0.3 4.0
- -
38.0 2.9
- 220.0
6460.0 0.1
- -
102.0 92.2
220.0 Sumber : 1) Direktorat Gizi Dep. Kes R.I (1981)
2) Food and Nutrition Research Center. Hand Book No 1 Manila (1964)
Sawi kaya akan sumber vitamin A, sehingga berdaya guna dalam
mengatasi masalah kekurangan vitamin A atau penyakit rabun ayam
(Xerophthalmia) yang sampai kini menjadi masalah dikalangan anak balita.
Kandungan nutrisi lain pada sawi berguna juga untuk kesehatan tubuh
manusia yaitu memperbaiki daya kerja buah pinggang (Rukmana, 2007).
1. Taksonomi dan Morfologi Tanaman Sawi
a. Taksonomi
Menurut Haryanto (2003), klasifikasi dalam tatanama (sistematika)
tumbuhan, sawi termasuk ke dalam :
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Angiospermae
Sub Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Papavorales
Famili : Cruciferae atau Brassicaceae
Genus : Brassica
Spesies : Brassica chinensis L. atau B. Juncea L.
b. Morfologi
Menurut Rukmana (2007), sistem perakaran tanaman sawi memiliki
akar tunggang (radix primaria) dan cabang-cabang akar yang bentuknya
bulat panjang (silidris). Akar ini fungsinya untuk mengisap air dan zat
makanan dari dalam tanah, serta menguatkan berdirinya batang tanaman.
Batang (caulis) sawi pendek sekali dan beruas-ruas. Batang ini berfungsi
sebagai alat pembentuk dan penopang daun. Pada umumnya daun-daun
sawi bersayap dan bertangkai panjang yang berbentuk pipih. Struktur
bunga sawi tersusun dalam tangkai bunga yang tumbuh memanjang dan
bercabang banyak.
2. Budidaya Tanaman Sawi
Budidaya tanaman sawi menurut Rukmana (2007) adalah:
a. Syarat Tumbuh
1) Syarat Iklim
Sawi dikenal sebagai tanaman sayuran daerah iklim sedang (sub
tropis), tetapi berkembang pesat di daerah panas (tropis), dengan suhu 270
C – 320 C, serta ketinggian tempat 5–1.200 mdpl.
2) Syarat Tanah
Sawi dapat ditanam pada jenis tanah lempung berpasir, tanahnya
subur, gembur, banyak mengadung bahan organik (humus), tidak
menggenang (becek), tata udara dalam tanah berjalan dengan baik dan pH
tanah antara 6 – 7 .
b. Budidaya
1) Penyiapan benih dan pembibitan
Benih sawi sebaiknya disemaikan dulu selama satu bulan (berdaun
4-5 helai).
2) Penyiapan lahan (pengolahan lahan)
3) Penanaman dan pemeliharaan tanaman
Waktu tanam yang paling baik adalah pada akhir musim hujan
(Maret) atau awal musim hujan (Oktober). Jarak tanam yang digunakan 25
x 25 cm. Pemeliharaan tanaman sawi meliputi kegiatan penyulaman,
penyiraman, penyiangan (pendangiran), dan pemupukan susulan
4) Perlindungan tanaman
Perlindungan tanaman sawi diutamakan terhadap gangguan hama
dan penyakit. Prinsip perlindungan tanaman dari organisme pengganggu
tanaman (OPT) ini dilakukan secara terpadu.
5) Panen
Sawi dapat dipanen pada umur antara 25–40 hari setelah tanam
(HST). Cara panen sawi adalah mencabut seluruh bagian tanaman atau
memotong bagian batang diatas tanah.
Pemanenan sawi hijau dilakukan 1 kali. Dengan pemeliharaan yang
baik, hasil panen sawi hijau saat musim kemarau sekitar 20-30
ton/ha (rata-rata 25 ton), tergantung dari varietas yang ditanam. Tetapi
produksi tersebut dapat menurun hingga 40 persen pada musim hujan.
III. METODE PELAKSANAAN
A. Tempat dan Waktu
Lokasi penelitian dilaksanakan di Desa Pakkabba Kecamatan
Galesong Utara Kabupaten Takalar. Yang berlangsung selama tiga bulan
dan dilaksanakan mulai September sampai Desember 2014.
B. Alat dan Bahan
Alat dan bahan dalam penelitian yaitu timbangan, termometer,
cangkul/sekop, ember, karung goni, gelas ukur, gembor, sendok makan,
kotoran ayam, dedak, sekam padi, gula pasir, kapur tembok, EM4, air dan
benih sawi.
Sedangkan alat dan bahan dalam melalukan penyuluhan adalah
kuesioner, LPM, folder, kamera, dan alat tulis menulis.
C. Pelaksanaan
1. Penelitian
Metode penelitian dilakukan dalam bentuk demonstrasi plot pada
lahan usahatani yang terdiri dari dua perlakuan yaitu tanpa bokashi ayam
(P0) dan menggunakan bokashi ayam (P1). Variabel yang diamati yaitu
tinggi tanaman, jumlah daun dan berat basah pada tanaman sawi pada saat
panen.
Pelaksanaan penelitian yang dilakukan meliputi :
a. Penyiapan benih dan pembibitan
Benih yang digunakan berasal dari toko tani. Benih ini sebelum
ditanam disemaikan /dibibitkan terlebih dahulu
b. Penyiapan lahan penanaman (pengolahan lahan)
Lahan diolah dengan cara dicangkul sedalam 25–30 cm sampai
tanahnya cukup gembur. Luas lahan yang digunakan dalam
penerapan penelitian adalah 5 x 13 m atau 65 m2 dengan
menggunakan jarak tanam 25 x 25 cm. Sebelum lahan ditanami, lahan
diberi bokashi ayam dan tanah dicangkul kembali agar pupuk
tercampur dengan tanah.
c. Penanaman
Pindahkan benih yang telah disemaikan ke lahan yang telah diolah
dan diatur jarak tanamnya.
d. Pemeliharaan tanaman
Pemeliharaan tanaman meliputi: penyulaman, penyiraman,
penyiangan, pemupukan susulan. Dalam pemupukan susulan pupuk
yang digunakan adalah pupuk organik cair yang dibuat dari buah–
buah runyam.
e. Perlindungan tanaman
Perlindungan tanaman yang dilakukan dengan melakukan
penyemprotan dengan menggunakan pestisida nabati daun sirsak
yang dibuat sendiri.
f. Panen dan pasca panen
Panen dilakukan apabila sawi sudah berumur 30–40 hari setelah
tanam. (lihat pada Lampiran 14 dan 15) setelah panen dilakukan
kegiatan penyortiran antara sawi yang baik dan yang tidak baik.
Setelah itu dilakukan penimbangan.
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan maka
diharapkan adanya respon petani terhadap penggunaan bokashi ayam
pada tanaman sawi yakni berupa tanggapan/menjawab (apatis/antusias),
partisipasi, penilaian, dan pemahaman.
2. Metode Pengumpulan data
Data yang diperlukan adalah data primer dan data sekunder. Data
primer yaitu data yang diperoleh dari hasil survey dan wawancara langsung
dengan petani dan menggunakan kuesioner (daftar pertanyaan lihat pada
Lampiran 2) yang berkaitan dengan masalah yang diteliti dengan cara: (a)
wawancara, yaitu pengumpulan data dengan cara mengajukan pertanyaan-
pertanyaan yang telah disiapkan, (b) pencataan, yaitu pengumpulan data
dengan cara mencatat hal-hal yang belum tercantum dalam daftar
pertanyaan, dan (c) observasi, yaitu pengumpulan data dengan cara
mengamati secara langsung objek yang diteliti untuk melengkapi data yang
diperoleh dari hasil wawancara dan pencatatan
Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari instansi
pemerintah dan instansi terkait untuk melengkapi data yang dibutuhkan.
3. Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian yaitu dengan
menggunakan Uji Standar Deviasi/Error (Kerlinger, 1990). Rumus yang
digunakan dalam Uji Standar Error adalah sebagai berikut :
Standar Error (SE) = n
SDDeviasidarS )(tan
n = Jumlah Populasi
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Keadaan Umum Wilayah
1. Identifikasi Potensi Wilayah
Pelaksanaan penelitian dilaksanakan di Dusun Julumata Desa
Pakkabba Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar. Adapun batas-
batas Desa Pakkabba adalah sebagai berikut :
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Barombong
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Bontolanra’
c. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Aengbatu-batu
d. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tinggimae Kabupaten Gowa
Luas wilayah Desa Pakkabba adalah 20,2 km2 (2.020 ha) yang
letaknya 5 km dari ibukota kecamatan, 30 km dari ibukota kabupaten dan
20 km dari ibukota propinsi yang merupakan ibukota Propinsi Sulawesi
Selatan. Desa Pakkabba terbagi atas 5 dusun yaitu : (1) Dusun Julumata,
(2) Dusun Sa’gebongga, (3) Dusun Parappa, (4) Dusun Pakkabba, dan (5)
Dusun Aengtowa.
Desa Pakkabba memiliki ketinggian 0–5 meter dari permukaan laut.
Dengan jenis tanahnya Alluvial dimana tingkat keasaman tanah (pH)
4,5–5,5. Letak topografi Desa Pakkabba adalah datar dengan kemiringan
50 dan rata-rata curah hujan 1500 mm/tahun yang memiliki musim kering
pada bulan April s/d September dan musim hujan pada bulan November s/d
Maret.
2. Identifikasi Potensi Sumberdaya Manusia
Pada Tabel 2 menyajikan data penggolongan umur penduduk Desa
Pakkabba, penggolongan umur ini tentunya dapat mempengaruhi
seseorang dalam menerima dan menerapkan suatu inovasi dan teknologi
yang didapatkan, karena semakin lanjut usia seseorang maka semakin
terbatas kemampuan untuk melakukan suatu kegiatan.
Tabel 2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Umur di Desa Pakkabba Kecamatan Galesong Utara kabupaten Takalar
No Umur Jumlah penduduk (orang) Persentase (%)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12
0 – 4
5 – 9
10 – 14
15 – 19
20 – 24
25 – 29
30 – 34
35 – 39
40 – 45
46 – 50
51 – 55
>56
522
474
451
402
375
340
404
381
429
360
368
283
10.90
9.90
9.42
8.40
7.83
7.10
8.43
7.96
8.96
7.51
7.68
5.91
Total 4789 100.00
Sumber : Data Profil Desa Pakkabba, Tahun 2006
Dari Tabel 2, terlihat bahwa jumlah penduduk di Desa Pakkabba
adalah 4.789 jiwa yang mana terdiri dari laki-laki yang berjumlah 2.391
jiwa dan perempuan berjumlah 2.397 jiwa. Umur petani yang produktif yaitu
umur 15 sampai dengan umur 55 tahun cukup besar dengan jumlah 3.059
jiwa. Jumlah ini menandakan bahwa jumlah tenaga produktif yang tersedia
di Desa Pakkabba cukup banyak dan sangat potensial untuk mengelola
usahatani dan juga sebagai pelaksana pembangunan desa cukup tersedia.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Soekartawi (1988) bahwa semakin
muda umur seseorang biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu dan
mau bekerja keras, dengan demikian mempunyai semangat dan kemauan
lebih cepat untuk merespon suatu inovasi.
Mata pencaharian penduduk di Desa pakkabba sangat beragam,
yaitu petani, buruh tani, pegawai negeri, peternak, nelayan, montir, sopir,
swasta dan pertukangan. Untuk lebih jelasnya lihat pada Tabel 3 dibawah
ini.
Tabel 3. Komposisi Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian di Desa Pakkabba
Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar
No Mata Pencaharian Jumlah (Orang ) Persentase (%)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Petani
Buruh tani
Buruh swasta
Pegawai Negeri
Peternak
Nelayan
Montir
Supir
320
415
46
11
5
166
3
18
28,50
36,90
4,09
0,98
0,44
14,8
0,27
1,62
9. Pertukangan 139 12,40
Total 1.123 100,00
Sumber : Data Profil Desa Pakkabba, Tahun 2006
Pada Tabel 3 diatas memperlihatkan bahwa jumlah penduduk
berdasarkan mata pencaharian di Desa Pakkabba didominasi oleh buruh
tani yaitu sebanyak 415 orang (36,9 persen), selanjutnya petani sebanyak
320 orang (28,5 persen), selanjutnya nelayan sebanyak 166 orang
(14,8 persen), selanjutnya pertukangan sebanyak 139 orang
(12,4 persen), selanjutnya buruh swasta sebanyak 46 orang
(4,09 persen), selanjutnya supir sebanyak 18 orang (1,62 persen),
selanjutnya Pegawai Negeri 11 orang (0,98 persen), selanjutnya peternak
5 orang (0,44 persen), dan terakhir adalah montir sebanyak 3 orang
(0,27 persen).
Tabel 4. Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa
Pakkabba Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar
No Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang ) Persentase (%)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Belum sekolah
Tidak pernah sekolah
Pernah sekolah tapi tidak
tamat
Tamat SD
SLTP
SLTA
D1
799
196
473
613
613
91
2
28,67
7,04
16,97
21,99
21,99
3,27
0,07
Total 2787 100,00
Sumber : Data Profil Desa Pakkabba, Tahun 2006
Berdasarkan Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa keadaan penduduk
berdasarkan tingkat pendidikan yang paling dominan adalah belum sekolah
yaitu sebanyak 799 orang (28,76 persen), kemudian disusul oleh tamat SD
dan tamat SLTP yaitu masing-masing sebanyak 613 orang (21,99 persen),
kemudian pernah sekolah tetapi tidak tamat yang berjumlah 473 orang
(16,97 persen), kemudian tidak pernah sekolah sebanyak 196 orang (7,04
persen), dan tamat SLTA sejumlah 91 orang (3,27 persen) serta yang
terakhir adalah Perguruan Tinggi D1 sebanyak 2 orang (0,07 persen).
Dengan rendahnya tingkat pendidikan maka hal tersebut dapat
mempengaruhi daya serap terhadap inovasi yang disampaikan melalui
penyuluhan maka dari itu perlu dilakukan pembinaan yang lebih intensif
guna meningkatkan kualitas, keterampilan dan kemandirian untuk
meningkatkan pendapatan dan kesejahtraan rakyat.
Tetapi apabila semakin tinggi pendidikan, semakin baik respon petani
terhadap teknologi yang diberikan (teknologi pembuatan bokashi). Hal ini
dipertegas dengan pendapat Soekartawi (1988), yang menyatakan mereka
yang berpendidikan tinggi adalah relatif cepat dalam menerima/merespon
suatu inovasi begitu juga sebaliknya, mereka yang berpendidikan rendah
agak sulit merespon/menerima suatu inovasi yang disampaikan.
Tabel 5. Keadaan Kelompok Tani di Desa Pakkabba Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar
No Nama Kelompok Tani Jumlah (Orang
)
Kelas Kemampuan
1.
2.
3.
4.
Sikatutui
Julumata
Ronggayya
Taipamalisi’
40
25
25
25
Pemula
Lanjut
Pemula
Lanjut
Total 115
Sumber : Data Dari PPL Desa Pakkabba, Tahun 2007
Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa keadaan kelompok tani di Desa Pakkabba ada 4
kelompok tani. Dimana ada 2 kelompok kelas kemampuan pemula dan 2 kelompok lagi kelas
kemampuannya lanjut. Ini berarti tingkat kemampuan dalam menerima informasi dan teknologi
masih rendah, sehingga masih perlu pembinaan dari penyuluh setempat.
Tabel 6. Kelembagaan Di Desa Pakkabba Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar
No Kelembagaan Desa Jumlah (Unit)
A. Kelembagaan Umum
- Kantor Desa - Toko - Pasar - Puskesmas - Posyandu - SDN / SDI - TK - Balai Desa - LKMD - Mesjid - Usaha Peternakan - Usaha Perikanan - Usaha Perkebunan
1
3
1
1
1
3
3
1
1
6
5
10
10
B. Sub Sektor Tanaman Pangan
- Penggilingan Padi - Traktor Roda 2 - Bajak - Cangkul
9
24
216
515
Sumber : Data Profil Desa Pakkabba, Tahun 2006
3. Identifikasi Potensi Sumberdaya Alam
Tabel 7. Penggunaan Lahan di Desa Pakkabba Kecamatan Galesong
Utara Kabupaten Takalar
No Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase
(%)
1.
2.
3.
4.
5.
Lahan Sawah
- Pengairan Teknis - Semi Pengairan - Sederhana Tegalan
Pekarangan
Perkebunan
Tambak
35,00
71,76
245,49
10,00
32,25
10,00
22,00
8,21
16,83
57,56
2,34
7,56
2,34
5,16
Jumlah 426,50 100,00
Sumber : Data Profil Desa Pakkabba, Tahun 2006
Tabel 7 menunjukkan bahwa lahan yang terluas adalah lahan sawah
berjumlah 352,25 ha (82,59 persen) yang terdiri dari lahan sawah
berpengairan teknis 35 ha (8,21 persen), lahan sawah semi pengairan
71,76 ha (16,83 persen) dan lahan sawah sederhana/tadah hujan 245,49
ha (57,56 persen) ; tegalan seluas 10 ha (2,34 persen) ; pekarangan seluas
32,25 ha (7,56 persen) ; perkebunan seluas 10 ha (2,34 persen) dan
terakhir tambak dengan luas 22 ha (5,16 persen).
Tabel 8. Luas Tanaman Musim Tanam Tahun 2007 di Desa Pakkabba
Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar
No Jenis Tanaman Luas (Ha) Persentase (%)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Padi
Kedelai
Kacang Panjang
Tomat
Sawi
Bayam
Cabe
Kangkung
Mentimun
348
2
10
7
4
8
5
1,5
1
90,04
0,52
2,58
1,81
1,03
2,07
1,28
0,38
0,29
Total 386,5 100,00
Sumber : Data Profil Desa Pakkabba, Tahun 2006
Pada Tabel 8 menunjukkan bahwa jenis komoditi padi yang
mempunyai areal pertanaman yang terluas yaitu 348 ha (90,04 persen),
kemudian disusul oleh komoditi kacang panjang dengan luas areal 10 ha
(2,58 persen), selanjutnya komoditi bayam dengan luas areal 8 ha
(2,07 persen), selanjutnya komoditi tomat dengan luas areal 7 ha
(1,81 persen), selanjutnya komoditi sawi dengan luas areal 4 ha
(1,03 persen), selanjutnya komoditi kedelai dengan luas areal 2 ha
(0,52 persen), selanjutnya komoditi kangkung dengan luas areal 1,5 ha
(0,38 persen) dan yang paling kecil areal pertanamannya yaitu komoditi
mentimun dengan luas yaitu 1 ha (0,29 persen).
Dengan melihat data luas areal tanaman padi yang luas itu berarti
setelah petani melakukan panen padi maka limbah padi berupa jerami,
sekam dan dedak cukup banyak. Karna cukup banyaknya limbah padi maka
limbah tersebut dapat dipergunakan secara baik yaitu dengan cara
mengolahnya dengan membuatnya sebagai pupuk organik bokashi yang
dicampurkan dengan kotoran ayam.
Tabel 9. Jumlah Ternak Di Desa Pakkabba Kecamatam Galesong Utara
Kabupaten Takalar
No Jenis Ternak Jumlah (Ekor) Persentase (%)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Sapi
Kerbau
Kuda
Kambing
Ayam Kampung
Ayam Ras
Itik
2
5
2
78
1.652
125.000
1.700
0,002
0,004
0,002
0,062
1,290
97,320
1,320
Jumlah 128.439 100,000
Sumber : Data Profil Desa Pakkabba, Tahun 2006
Pada Tabel 9 menunjukkan bahwa jumlah ternak yang terbanyak yaitu
ayam ras dengan jumlah 125.000 ekor (97,32 persen), kemudian disusul
oleh ayam kampung dengan jumlah 1.652 ekor (1,29 persen), selanjutnya
itik dengan jumlah 1.700 ekor (1,32 persen), selanjutnya kambing 78 ekor
(0,062 persen), selanjutnya 5 ekor (0,004 persen) dan terakhir yaitu sapi
dan kuda masing-masing 2 ekor (0,002 persen). Dengan adanya jumlah
ternak ayam yang banyak maka akan sangat mudah mendapatkan bahan-
bahan dalam pembuatan bokashi berupa kotoran ayam yang dicampurkan
dengan limbah hasil pertanaman padi.
B. Hasil Kajian
a. Tinggi Tanaman
Tabel 14. Tinggi Tanaman Sawi Umur 7 HST
Ulangan Perlakuan
P0 P1
U1 4.18 6.48
U2 4.5 6.23
4.34 6.36
SD 0.23 0.18
SE 0.19 0.15
TT SE
P0 4.34 0.19
P1 6.36 0.15
Untuk melihat lebih jelas perbedaan tinggi tanaman sawi pada umur
7 HST antara perlakuan bokashi dan tanpa bokashi lihat pada Gambar 2 di
bawah ini.
Gambar 2. Grafik Tinggi Tanaman Sawi Umur 7 HST
Pengukuran kedua tinggi tanaman sawi dilaksanakan pada umur 14
HST. Dari pengukuran didapatkan data kemudian diolah menggunakan uji
standar error dan hasil yang didapatkan adalah berbeda nyata antara
perlakuan bokashi dan tanpa bokashi. Untuk lebih rinci mengenai
perhitungannya lihat pada Tabel 15
Tabel 15. Tinggi Tanaman Sawi Umur 14 HST
Ulangan Perlakuan
P0 P1
U1 6.64 12.36
U2 7.33 13.46
6.985 12.91
SD 0.49 0.78
-
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
P0 P1
Tin
gg
i T
an
am
an
(cm
)
Perlakuan
SE 0.41 0.65
TT SE
P0 6.99 0.41
P1 12.91 0.65
Untuk melihat lebih jelas perbedaan tinggi tanaman sawi pada umum
14 HST antara perlakuan bokashi dan tanpa bokashi yaitu lihat pada
Gambar 3 yang ada di bawah ini.
Gambar 3. Grafik Tinggi Tanaman Sawi Umur 14 HST
Pengukuran ketiga tinggi tanaman sawi dilaksanakan pada umur 21
HST. Dari pengukuran didapatkan data kemudian diolah lagi menggunakan
uji standar error dan hasil yang didapatkan adalah berbeda nyata antara
perlakuan bokashi dan tanpa bokashi. Untuk lebih rinci mengenai
perhitungannya lihat pada Tabel 16
Tabel 16. Tinggi Tanaman Sawi Umur 21 HST
Ulangan Perlakuan
P0 P1
U1 12.58 22.94
- 2.00 4.00 6.00 8.00
10.00 12.00 14.00 16.00
P0 P1
Tin
gg
i T
an
am
an
(cm
)
Perlakuan
U2 15.08 25.15
13.83 24.05
SD 1.77 1.56
SE 1.49 1.31
TT SE
P0 13.83 1.49
P1 24.05 1.31
Untuk dapat melihat adanya perbedaan tinggi tanaman sawi pada
umur 28 HST antara perlakuan bokashi dan tanpa bokashi secara jelas lihat
pada Gambar 4 yang ada di bawah ini.
Gambar 4. Grafik Tinggi Tanaman sawi umur 21 Hst
Pengukuran keempat tinggi tanaman sawi dilaksanakan pada umur
28 HST. Dari pengukuran didapatkan data kemudian diolah lagi
menggunakan uji standar error dan hasil yang didapatkan adalah berbeda
nyata antara perlakuan bokashi dan tanpa bokashi. Untuk lebih rinci
mengenai perhitungannya disajikan pada Tabel 17
Tabel 17. Tinggi Tanaman Sawi Umur 28 HST
-
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
P0 P1
Tin
gg
i T
an
am
an
(cm
)
Perlakuan
Ulangan Perlakuan
P0 P1
U1 29.72 33.99
U2 31.97 34.88
30.85 34.44
SD 1.59 0.63
SE 1.34 0.53
TT SE
P0 30.85 1.34
P1 34.44 0.53
Untuk melihat lebih jelas perbedaan tinggi tanaman sawi pada umur
28 HST antara perlakuan bokashi dan tanpa bokashi lihat Gambar 5 yang
ada dibawah ini.
Gambar 5. Grafik tinggi tanaman sawi umur 28 Hst
Untuk melihat lebih jelas perbedaan laju pertambahan tinggi
tanaman sawi dari umur 7 sampai 28 HST antara perlakuan bokashi dan
tanpa bokashi lihat pada Gambar 6 berikut ini.
26.00 27.00 28.00 29.00 30.00 31.00 32.00 33.00 34.00 35.00 36.00
P0 P1
Tin
gg
i T
an
am
an
(cm
)
Perlakuan
Gambar 6. Grafik Laju Pertumbuhan Tinggi Tanaman Sawi
b. Jumlah daun
Berdasarkan hasil pengukuran terhadap jumlah daun pada tanaman
sawi maka didapatkanlah data jumlah daun tanaman sawi pada umur 7
HST. Data yang telah ada diuji dengan menggunakan uji standar error atau
standar deviasi. Setalah diuji maka hasil yang didapatkan adalah berbeda
nyata antara perlakuan bokashi dan tanpa bokashi. Untuk lebih mengetahui
hasil perhitungan dari uji standar error lihat pada Tabel 18 berikut ini.
Tabel. 18 Jumlah Daun Sawi Umur 7 HST
Ulangan Perlakuan
P0 P1
U1 1.72 2.6
U2 2.08 2.71
1.90 2.66
SD 0.25 0.08
SE 0.21 0.07
TT SE
P0 1.90 0.21
P1 2.66 0.07
-
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
40.00
7 HST 14 HST 21 HST 28 HST
Pert
am
bah
an
Tin
gg
i T
an
am
an
Saw
i (C
m)
UMUR HST
P0
P!
Untuk melihat lebih jelas perbedaan jumlah daun tanaman sawi pada
umur 7 HST antara perlakuan bokashi dan tanpa bokashi lihat pada Gambar
7 dibawah ini.
Gambar 7. Grafik Jumlah Daun tanaman sawi umur 7 HST
Pengukuran kedua mengenai jumlah daun tanaman sawi
dilaksanakan pada umur 14 HST. Dari pengukuran didapatkan data
kemudian diolah lagi menggunakan uji standar error dan hasil yang
didapatkan adalah berbeda nyata antara perlakuan bokashi dan tanpa
bokashi. Untuk lebih rinci mengenai perhitungannya lihat pada Tabel 19
Tabel 19. Jumlah Daun Sawi Umur 14 HST
Ulangan Perlakuan
P0 P1
U1 2.99 3.87
U2 2.61 3.66
2.80 3.77
SD 0.27 0.15
SE 0.23 0.12
TT SE
-
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
P0 P1
Ju
mla
h D
au
n (
hela
i)
Perlakuan
P0 2.80 0.23
P1 3.77 0.12
Untuk melihat perbedaan jumlah daun tanaman sawi pada umur 14
HST antara perlakuan bokashi dan tanpa bokashi lihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Grafik jumlah daun tanaman sawi umur 14 HST
Pengukuran ketiga mengenai jumlah daun tanaman sawi
dilaksanakan pada umur 21 HST. Dari pengukuran didapatkan data
kemudian diolah lagi menggunakan uji standar error dan hasil yang
didapatkan adalah berbeda nyata antara perlakuan bokashi dan tanpa
bokashi. Untuk lebih rinci mengenai perhitungannya dapat lihat pada Tabel
20
Tabel 20. Jumlah Daun Sawi Umur 21 HST
Ulangan Perlakuan
P0 P1
U1 3.61 6.51
U2 3.97 6.1
3.79 6.31
SD 0.25 0.29
SE 0.21 0.24
TT SE
-
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
P0 P1
Ju
mla
h D
au
n (
he
lai)
Perlakuan
P0 3.79 0.21
P1 6.31 0.24
Untuk melihat lebih jelas perbedaan jumlah daun tanaman sawi umur
21 HST antara perlakuan bokashi dan tanpa bokashi lihat pada Gambar 9
dibawah ini.
Gambar 9. Jumlah daun tanaman sawi pada umur 21 HST
Pengukuran keempat jumlah daun tanaman sawi dilaksanakan pada
umur 28 HST. Dari pengukuran didapatkan data kemudian diolah lagi
menggunakan uji standar error dan hasil yang didapatkan adalah berbeda
nyata antara perlakuan bokashi dan tanpa bokashi. Untuk lebih rinci
mengenai perhitungannya lihat pada Tabel 21
Tabel 21. Jumlah Daun Sawi Umur 28 HST
Ulangan Perlakuan
P0 P1
U1 2.03 2.6
U2 2.33 2.71
2.18 2.66
SD 0.21 0.08
- 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50
P0 P1
Ju
mla
h D
au
n (
he
lai)
Perlakuan
SE 0.18 0.07
TT SE
P0 2.18 0.18
P1 2.66 0.07
Untuk melihat jelas perbedaan jumlah daun pada umur 28 HST
antara perlakuan bokashi dan tanpa bokashi lihat pada Gambar 10 dibawah
ini.
Gambar 10. Grafik jumlah daun tanaman sawi umur 28 HST
Untuk melihat lebih jelas perbedaan laju pertambahan jumlah daun
tanaman sawi dari umur 7 sampai 28 HST antara perlakuan bokashi dan
tanpa bokashi lihat pada Gambar 11 berikut ini.
0
1
2
3
4
5
6
7
7 HST 14 HST 21 HST 28 HST
Ju
mla
h D
au
n T
an
. saw
i (H
ela
i)
Umur Tanaman sawi
P0
P1
-
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
P0 P1
Ju
mla
h D
au
n (
he
lai)
Perlakuan
Gambar 11. Grafik Laju Pertambahan Jumlah daun Tanaman sawi
c. Berat Basah
Pengukuran berat basah tanaman sawi dilakukan setelah panen
sawi. Sawi yang telah dipanen ditimbang. Data hasil dari penimbangan
diolah dengan menggunakan uji standar error. Dari pengolahan data
tersebut didapatkan perbedaan yang nyata terhadap sawi yang
menggunakan bokashi dan yang tidak menggunakan bokashi. Untuk lebih
rinci mengenai perhitungannya lihat pada Tabel 22
Tabel 22. Berat basah tanaman sawi dengan uji standar error
Ulangan Perlakuan
P0 P1
U1 18 25
U2 22 28
20.00 26.50
SD 2.83 2.12
SE 2.38 1.78
TT SE
P0 20.00 2.38
P1 26.50 1.78
Untuk melihat jelas perbedaan berat basah antara perlakuan bokashi
dan tanpa bokashi lihat pada Gambar 12 dibawah ini :
Gambar 12. Grafik berat basah tanaman sawi
2. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahawa perlakuan
dengan bokashi ayam secara umum memberikan respon yang baik
terhadap pertumbuhan tanaman sawi yang meliputi tinggi tanaman, jumlah
daun dan berat basah.
Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan uji standar error
menunjukkan bahwa antara perlakuan yang menggunakan bokashi dan
tanpa bokashi terlihat adanya perbedaan yang nyata dari kedua perlakuan
tersebut.
Hal ini terjadi karena 4 minggu sebelum penanaman lahan diberi
bokashi. Yang mana bokashi ini dapat memberikan hasil apabila disebar 2-
3 minggu sebelum tanam. Karena bokashi itu sendiri memerlukan waktu
untuk menguraikan bakteri-bakteri yang menguntungkan dalam tanah
sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah. Penggunaan bokashi
ayam dapat menambah kandungan humus tanah, menaikkan jumlah hara
-
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
P0 P1
Bera
t B
as
ah
Perlakuan
tanah yang diambil oleh tanaman, dan memperbaiki sifat fisik kimia dan
biologi tanah.
Apabila tanah sebagai media tumbuh tanaman subur maka dapat
dihasilkan tanaman yang tumbuh dengan baik dan mencapai tingkat
produksi yang tinggi. Hal ini diperkuat oleh Soegiman (1982) bahwa suatu
tanaman akan tumbuh dan mencapai tingkat produksi tinggi apabila unsur
hara yang dibutuhkan tanaman berada dalam keadaan cukup tersedia dan
berimbang di dalam tanah dan unsur N, P, K merupakan tiga unsur dari
enam unsur hara makro yang mutlak diperlukan oleh tanaman. bila salah
satu unsur tersebut kurang atau tidak tersedia dalam tanah, akan
mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman.
Lebih lanjut lagi diutarakan oleh Sutedjo (1992) bahwa pertumbuhan
dan perkembangan suatu jenis tanaman selain ditentukan oleh
ketersediaan unsur hara yang tersedia dalam tanah, kebutuhan akan unsur
hara makro dan mikro bagi tanaman harus tersedia dalam keadaan
berimbang dalam tanah.
Sarief (1989) menjelaskan bahwa pertumbuhan awal tanaman akan
membutuhkan jumlah unsur hara yang banyak, hal ini seiring dengan
pendapat Setyati (1988) bahwa dengan tersedianya unsur hara dalam
jumlah yang cukup dan seimbang untuk proses pertumbuhan tanaman,
proses pembelahan, proses fotosintesis, dan proses pemanjangan sel akan
berlangsung cepat yang mengakibatkan beberapa organ tanaman tumbuh
cepat terutama pada fase vegetatif.
Sedangkan perlakuan yang tidak menggunakan bokashi
memberikan hasil yang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena tanaman
hanya tergantung dari hara yang ada pada media dimana tanaman
tertsebut tumbuh dan air tersedia. Keadaan ini yang menyebabkan
kebutuhan hara tiidak terpenuhi sehingga pertumbuhan vegetatif kurang
normal dan tidak mampu mendukung pertumbuhan dan produksi tanaman
sawi.
Hal ini sesuai dengan penjelasan yang dikemukakan Setyamidjaja
(1986) bahwa pemberian pupuk yang sesuai dengan jenis kebutuhan
tanaman, maka akan aktif mendorong pertumbuhan dan perkembangan
seluruh jaringan pada tanaman
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dengan
bokashi ayam memberikan respon baik terhadap pertumbuhan dan
produksi tanaman sawi. Sedangkan berdasarkan hasil pengujian
dengan menggunakan uji standar error menunjukkan bahwa antara
perlakuan yang menggunakan bokashi dan tanpa bokashi terlihat
adanya perbedaan yang nyata dari kedua perlakuan tersebut.
2. Tingginya penggunaan pupuk an organik terhadap tanaman sangat
berdampak negatif terhadap tanaman dan juga tanahnya. Upaya yang
dilakukan yaitu dengan menggunakan bokashi ayam. Pupuk ini tidak
merusak dan ramah lingkungan, sehingga dengan penggunaannya
dapat mengurangi atau menghilangkan penggunaan pupuk anorganik
terhadap tanaman khususnya sawi.
B. Saran
1. Penggunaan bokashi ayam sebagai pupuk organik yang ramah
lingkungan diharapkan memperoleh dukungan dari pemerintah
Kabupaten Takalar sebagai kebijaksanaan pembangunan pertanian
darah khususnya pemerintah desa setempat hendaknya selalu
memberikan motivasi kepada petani dalam pemanfaatan limbah
pertanian menjadi pupuk organik.
DAFTAR PUSTAKA
Agresti A dan Barbara F, 1986. Statistical Methods for the Sosial Sciences Second Edition D. Ellen. Publising Company, San Fransisco, California.
Ajam K, 1999. Pupuk Organik Bokashi. Ekstensia Vol.10 hal. 56 Otonomi Pertanian, Otonomi Penyuluhan Pertanian. Pusat Pembinaan Penyuluhan Pertanian. Jakarta.
Anonim, 1997. Pedoman Pengembangan Pembinaan Kelembagaan Kelompok Tani Nelayan. Departemen Pertanian Pusat Penyuluhan Pertanian. Jakarta
, 2002a. Kebijaksanaan Nasional Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta
, 2002b. UU. RI No. 16 Tahun 2002 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Departemen Pertanian. Jakarta
, 2003. Revolusi Hijau (Modernisasi Pertanian)
Anonim, 2004. Pembuatan Pupuk Bokashi. Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur. http//: www.goole.co.id
Darliana, B. 2003. Partisipasi Masyarakat Terhadap Pertanian Organik. Universitas Hasanuddin. Makassar
Haryanto E, 2003. Sawi dan Selada. Edisi Revisi. Penebar Swadaya, Jakarta
Haryanto H dan Sucipto, 2003. Pengaruh Penggunaan Beberapa Jenis Pupuk Organik Terhadap Produksi Jagung. Jurnal Teknologi, No.2 Tahun XV
Ismawati E, 2005. Pembuatan dan Aplikasi Pupuk Organik Padat. Penebar Swadaya. Jakarta
Kasumbogo U, 1997. Peranan Pertanian Organik Dalam Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Seminar Nasional Pertanian Organik, Yayasan Bumi Lestari. Jakarta.
Kartasapoetra, 1998. Teknologi Penyuluhan Pertanian. Bina Agraha. Jakarta
Kerlinger, F.V, 1990. Azas-Azas Penelitian Behavioral (Terjemahan L.R Simatupang). Gajah mada Universitas Press. Yogyakarta
Mardikanto T, 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Penerbit Sebelas Maret University Press. Surakarta
, 2003. Redivinisi dan Revitalisasi Penyuluhan Pembangunan. IPB Press. Bogor
Nardawati A, 2006. Budidaya Padi Organik. Karya Ilmiah Penugasan Akhir (STPP) Malang
Padmowihardjo S, 2002a. Metode Penyuluhan Pertanian. Universitas Terbuka. Jakarta
, 2002b. Evaluasi Penyuluhan Pertanian. Universitas Terbuka. Jakarta
Pracaya, 2004. Bertanam Sayuran Organik. Di Kebun, Pot, dan Polibag, Penebar Swadaya. Jakarta
Rukmana R, 2007. Bertanam Petsai dan Sawi. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Saranga P, 2000. Penerapan Pertanian Organik (Organic Farming), Akademi Penyuluhan Pertanian Gowa
Sarief. S, (1989), Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana, Bandung
Setyamidjaja. D, 1986. Pupuk dan Pemupukan. CV Simplex, Jakarta
Setyati. S, 1988. Pengantar Agronomi. PT. Gramedia, Jakarta
Soegiman, 1982. Ilmu Tanah (telah diterjemahkan) Bhratara Karya Aksara, Jakarta
Soekartawi, 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Universitas Indonesia, Jakarta
Sri Rejeki N, 1998. Perencanaan Program Penyuluhan. Teori dan Praktek. Penerbitan Universitas Atma Jaya. Yogyakarta
Sutanto R, 2006. Penerapan Pertanian Organik. Pemasyarakatan dan Pengembangannya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Sutedjo, M.M, 1992. Analisa Tanah, Air dan Jaringan Tanaman. PT Rineka Cipta Jakarta
Van Den Ban A.W dan Hawkins H S, 2005. Penyuluhan Pertanian.
Penerbit Kanisius. Jakarta