ISTISHAB

11
Andriano Januar M. Kaspul Anwar Driya Primasthi Present:

Transcript of ISTISHAB

Page 1: ISTISHAB

Andriano JanuarM. Kaspul AnwarDriya Primasthi

Present:

Page 2: ISTISHAB

ISTISHAB

Page 3: ISTISHAB

A. Definisi Istishab Istishab menurut bahasa berarti ”mencari sesuatu yang

ada hubungannya”. Menurut istilah ulama fiqh, ialah tetap berpegang pada

hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut.Dari pengertian istishab di atas, dapat dipahami bahwa istishab itu ialah:

• Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali jika telah ada yang mengubahnya.

• Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang lalu.

Page 4: ISTISHAB

Keadaan yang pernah terjadi di masa lalu itu ada 2 macam, yaitu:1. nafi adalah dalam keadaan tidak pernah ada sesuatu (hukumnya). Contoh: di masa lalu tidak pernah ada ada hukum tentang kewajiban puasa di bulan Syawal karena memang tidak ada dalil syara’ yang mewajibkannya. Keadaan tersebut tetap berlaku sampai masa kini hingga masa depan karena memang tidak ada dalil yang mewajibkannya.2. tsubut adalah dalam keadaan telah ada sesuatu (hukumnya). Contoh: bila tadi pagi seseorang berwudhu untuk shalat subuh, maka ketika ingin melaksanakan shalat dhuha ia tidak perlu berwudhu kembali selama tidak ada bukti bahwa wudhunya pada waktu subuh belum batal.

Page 5: ISTISHAB

B. Dasar Hukum IstishabSebenarnya istishab itu bukanlah cara menetapkan hukum, tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikan. Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sebenarnya istishab itu tidak lain hanyalah untuk mempertahankan hukum yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum yang baru. Istishab bukanlah merupakan dasar atau dalil untuk menetapkan hukum yang belum tetap, tetapi ia hanyalah menyatakan bahwa telah pernah ditetapkan suatu hukum di masa lalu dan belum ada yang mengubahnya.

Page 6: ISTISHAB

C. Macam-Macam Istishaba. Istishab berdasar penetapan akal

segala sesuatu itu pada asasnya mubah (boleh) digunakan, dimanfaatkan atau dikerja-kan oleh manusia. Hal ini berarti bahwa hukum mubah itu tetap berlaku sampai ada dalil syara’ yang mengubah atau mengecualikannya. Seperti sebelum turunnya ayat 90 surat al-Mâidah, kaum muslimin dibolehkan meminum khamar setelah turun ayat tersebut diharamkan meminum khamar. Dengan demikian ayat tersebut mengecuali-kan khamar dari benda-benda lain yang dibolehkan meminumnya.

Page 7: ISTISHAB

b. Istishab berdasarkan hukum syara’Sesuai dengan ketetapan syara’ bahwa apabila telah terjadi akad nikah yang dilakukan oleh seorang laki-Iaki dengan seorang perempuan dan akad itu lengkap rukun-rukun dan syarat-syaratnya, maka kedua suami isteri itu halal atau boleh (mubah) hukumnya melakukan hubungan sebagai suami-isteri. Ketetapan mubah ini telah berlaku selama mereka tidak pernah bercerai) walaupun mereka telah lama berpisah dan selama itu pula si isteri dilarang kawin dengan laki-laki lain. Menyatakan bahwa hukum syara’ itu tetap berlaku bagi kedua suami-isteri itu, pada hakikatnya mengokohkan hukum syara’ yang pernah ditetapkan.

Page 8: ISTISHAB

c. Istishab al-baro’ah al ashliyyahPada dasarnya seseorang bebas dari beban hukum, kecuali ada dalil atau petunjuk yang menetapkan berlakunya beban hukum atas orang tersebut. Contoh: seseorang bebas dari kewajiban puasa Syawal karena memang tidak ada dalil yang mewajibkannya

d. Istishab hukum Ijma’Mengandung arti mengukuhkan pemberlakuan hukum yang telah ditetapkan oleh ijma’ ulama

Page 9: ISTISHAB

e. Istishab dalil umum atau nashDalil yang menetapkan hukum umum, dapat dilaksanakan setelah ada dalil lain yang menjelaskannya. Meng-istishab-kan dalil umum umum berarti hukum umum dilaksanakan apa adanya sebelum menemukan dalil yang men-takhsis-nya (Nash dilaksanakan menurut apa adanya sebelum menemukan dalil yang menasakhnya)

Page 10: ISTISHAB

D. Kaidah dalam Istishab dan DasarnyaPara ulama merumuskan kaidah pokok:

“Apa yang ditetapkan dengan sesuatu yang meyakinkan tidak dapat dihilangkan dengan sesuatu yang meragukan”

Kaidah pokok tersebut didasarkan pada beberapa hadist nabi, diantaranya:

1. Hadist dari Abu Hurairah menurut riwayat Muslim“Bila salah seorang di antaramu merasakan pada perutnya sesuatu, kemudian dia ragu apakah ada sesuatu yang keluar dari perutnya itu atau tidak, janganlah ia keluar dari masjid sampai ia mendengar suara atau mencium bau”

2. Hadist dari Abu Sa’id al-Khudri menurut riwayat Muslim“ Apabila salah seorang diantaramu ragu dalam shalatnya apakah tiga rakaat atau empat rakaat, maka hendaklah ia buang apa yang meragukan dan mengambil apa yang meyakinkan”

Page 11: ISTISHAB

TERIMA KASIH