Istihadhah

8
ISTIHADHAH Varyzcha Hafiza Istihadhah adalah keluarnya darah terus-menerus pada seorang wanita tanpa henti sama sekali atau berhenti sebentar seperti dua hari atau tiga hari yang bukan pada waktunya (haid atau nifas). Dalam hal ini terdapat tiga kondisi wanita mustahadhah , yaitu: 1. Apabila jangka waktu haid telah dikenal olehnya, sebelum istihadhah. Maka dalam keadaan ini, jangka waktu yang telah kenal itu dianggap sebagai masa haid, sedang selebihnya sebagai istihadhah. Ini berdasarkan hadits Ummu Salamah: Bahwa ia meminta fatwa kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengenai seorang wanita yang selalu mengeluarkan darah. Maka ujar Nabi: “ Hendaklah ia memperhatikan bilangan malam dan siang yang dilaluinya dalam haid, begitu pun letak hari-hari itu dan setiap bulan, lalu menghentikan shalat pada waktu-waktu tersebut. Kemudian hendaklah ia mandi dan menyumbat kemaluannya dengan kain lalu shalat .” (Hr Malik dan Syafi’i serta yang berlima kecuali Turmudzi) Berkata Khatthabi: “ini adalah ketentuan bagi wanita yang setiap bulan di waktu dalam keadaan sehat dan sebelum datang penyakit, mempunyai hari haid-haid tertentu. Kemudian ia istihadhah mengeluarkan darah yang terus menerus mengalir. Maka perempuan ini disuruh oleh Nabi meninggalkan shalat pada tiap bulan sebanyak hari ia biasa haid, yakni sebelum ia ditimpa penyakit itu. Jika bilangan hari itu telah penuh, maka hendaklah ia mandi satu kali dan setelah itu ia pun menjadi suci.” 1

Transcript of Istihadhah

Page 1: Istihadhah

ISTIHADHAHVaryzcha Hafiza

Istihadhah adalah keluarnya darah terus-menerus pada seorang wanita tanpa henti sama

sekali atau berhenti sebentar seperti dua hari atau tiga hari yang bukan pada waktunya (haid

atau nifas).

Dalam hal ini terdapat tiga kondisi wanita mustahadhah, yaitu:

1. Apabila jangka waktu haid telah dikenal olehnya, sebelum istihadhah. Maka dalam

keadaan ini, jangka waktu yang telah kenal itu dianggap sebagai masa haid, sedang

selebihnya sebagai istihadhah. Ini berdasarkan hadits Ummu Salamah:

Bahwa ia meminta fatwa kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengenai

seorang wanita yang selalu mengeluarkan darah. Maka ujar Nabi: “ Hendaklah ia

memperhatikan bilangan malam dan siang yang dilaluinya dalam haid, begitu pun letak

hari-hari itu dan setiap bulan, lalu menghentikan shalat pada waktu-waktu tersebut.

Kemudian hendaklah ia mandi dan menyumbat kemaluannya dengan kain lalu shalat.”

(Hr Malik dan Syafi’i serta yang berlima kecuali Turmudzi)

Berkata Khatthabi: “ini adalah ketentuan bagi wanita yang setiap bulan di waktu dalam

keadaan sehat dan sebelum datang penyakit, mempunyai hari haid-haid tertentu.

Kemudian ia istihadhah mengeluarkan darah yang terus menerus mengalir. Maka

perempuan ini disuruh oleh Nabi meninggalkan shalat pada tiap bulan sebanyak hari ia

biasa haid, yakni sebelum ia ditimpa penyakit itu. Jika bilangan hari itu telah penuh, maka

hendaklah ia mandi satu kali dan setelah itu ia pun menjadi suci.”

2.  Apabila wanita tidak mengetahui masa haidnya, namun dirinya dapat membedakan antara

darah haid dan darah istihadhah dengan mengetahui ciri-cirinya. Ia harus memperhatikan

dengan baik darah haidnya, sehingga ia dapat membedakan mana darah haid dan mana

darah istihadhah. Hal ini berdasarkan sabda Rasul kepada Fatimah bintu Abi Hubaisy :

“ jika darah itu haid, maka sesungguhnya darahnya kehitaman dan dikenali. Jika

demikian kondisi darahnya maka tahanlah dirimu dari melakukan shalat. Sedangkan jika

kondisi darahnya tidak demikian , maka berwudhulah dan shalatlah karena sesungguhnya

itu hanyalah dari urat (rahim) yang terbuka.” (HR. Abu Dawud dam An Nasa’I dan

dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim)

1

Page 2: Istihadhah

3. Tidak mempunyai waktu haid yang jelas dan tidak bisa membedakan darahnya secara

tepat. Misalnya jika istihadhah yang dialaminya terjadi terus-menerus mulai dari saat

pertama kali melihat darah, sementara darahnya memiliki satu sifat saja atau berubah-ubah

dan tidak mungkin dianggap sebagai darah haid. Dalam kondisi seperti ini, hendaklah ia

mengambil kebiasaan wanita pada umunnya. Jadi masa haidnya adalah enam atau tujuh

hari pada setiap bulan dihitung mulai dari saat pertama kali mendapati darah. Sedang

selebihnya adalah istihadhah. Bila ia lupa hari pertama haidnya, maka ia memulainya pada

awal bulan sabit.

Berdasarkan hadits Hamnah binti Jahsy, “Saya pernah haid yang sangat banyak dan lama,

maka saya pergi kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakannya.

Maka ia dapat saya jumpai di rumah saudara Zainab binti Jahsy, maka saya bertanya:

“Ya Rasulullah, saya ditimpa haid yang banyak dan lama. Maka bagaimanakah pendapat

Anda sedangkan saya dilarang shalat dan puasa?”

“Saya anjurkan kepadamu memakai kapas, karena itu menghisap darah.”

“tetapi ini lebih banyak lagi,” ujar Hamnah.

“Kalau begitu ikatlah erat-erat dengan kain”

“tetapi tetap mengalir deras”

“Kalau begitu boleh pilih salah satu di antara dua perkara, dan jika telah dikerjakan

salah satu di antaranya maka tak perlu lagi yang lain. Tetapi jika kau sanggup melakukan

keduanya, itu terserah padamu.”

Sabda Rasul “Ini hanya disebabkan gangguan setan, maka jadikanlah masa haidmu 6

atau 7 hari dengan sepengetahuan Allah, kemudian mandilah, hingga bila rasanya dirimu

sudah suci dan bersih, maka shalatlah selama 24 atau 23 hari, dan berpuasalah.

Demikian itu sah bagimu. Selanjutnya lakukanlah itu pada tiap bulan sebagai haid dan

sucinya perempuan lain pada waktu masing-masing. Dan jika kau sanggup mengundurkan

shalat Dhuhur dan menyegerakan shalat Ashar, maka mandilah dan lakukanlah shalat

Dhuhur dan Ashar secara jama’ atau merangkap. Kemudian kau undurkan pula shalat

Maghrib dan majukan Isya dengan mand dan menjama’ kedua shalat, lalu di waktu Subuh

kau mandi pula lalu sembahyang. Cara terakhir inilah yang lebih saya sukai.”

(Hr Ahmad, Abu Daud, dan Turmudzi yang mengatakan “hadits ini hasan lagi shahih”

ketika ditanyakan pendapat Bukhari “hadits itu hasan.”)

Dan ketika memberi ulasan tentang hadits ini Khattabi berkata “Wanita itu rupanya masih

hijau belum berpengalaman dan tidak dapat membedakan darahnya. Darah itu terus keluar

menyebabkan ia bingung. Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam

2

Page 3: Istihadhah

mengembalikannya kepada adat lahir dan kebiasaan yang berlaku di lingkungan kaum

wanita, sebagaimana disuruhnya menyesuaikan masa haid setiap bulan itu sekali waktu

saja, sebagai lazimnya keadaan mereka.

Hukum-hukum perempuan yang istihadhah

Wanita yang istihadhah wajib mandi satu kali saat selesai masa haidnya dan ia tidak wajib

mandi setelah itu sampai datang waktu haid, dan ia wajib berwudhu untuk setiap shalat.

Dasar hal itu adalah hadits yang diriwayatkan dalam Shahihain, dari Aisyah radhiyallahu

‘anha, ia berkata: ‘Fatimah binti Abi Hubaisy datang kepada Nabi Muhammad Shalallahu

‘alaihi wa sallam seraya berkata: ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya aku adalah wanita yang

selalu haid, maka aku tidak pernah suci, apakah aku harus meninggalkan shalat?

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak, sesungguhnya itu adalah urat

(pembuluh darah), bukan haid. Oleh karena itu bila tiba masa haidmu maka tinggalkanlah

shalat, dan apabila berlalu (masa haidmu) maka bersihkanlah darah darinya, kemudian

berwudhu untuk setiap shalat sampai datang waktu itu (tiba masa kebiasaan haid).” HR.

al-Bukhari 320, 325, 331 dan Muslim 333.

Dan diriwayatkan pula dalam Shahihain, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha: ‘Sesungguhnya

Ummu Habibab istihadhah selama tujuh tahun. Ia bertanya kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi

wa sallam tentang hal itu, beliau menyuruh dia mandi seraya bersabda: “Ini adalah urat

(pembuluh darah).” Maka ia mandi untuk setiap shalat.’ HR. al-Bukhari 327 dan Muslim

334

Asy-Syaikh Shiddiq berkata dalam Syarah ar-Raudhah, “Tidak datang dalam satu hadits pun

(yang shahih) adanya kewajiban mandi untuk setiap shalat (bagi wanita istihadhah), tidak

pula mandi setiap dua kali shalat dan tidak pula setiap hari. Tapi yang shahih adalah

kewajiban mandi ketika selesai dari waktu haid yang biasanya (menurut ‘adat) atau

selesainya waktu haid dengan tamyiz sebagaimana datang dalam hadits Aisyah

dalam Shahihain dan selainnya dengan lafadz, “Maka apabila datang haidmu, tinggalkanlah

shalat dan bila berlalu cucilah darah darimu dan shalatlah.” Adapun dalam Shahih Muslim

disebutkan Ummu Habibah mandi setiap akan shalat, maka ini bukanlah hujjah karena hal itu

dilakukan atas kehendaknya sendiri dan bukan diperintahkan oleh Nabi –shallallaahu ‘alaihi

wa sallam-, bahkan yang ada, Nabi mengatakan kepadanya, “Diamlah engkau (tinggalkan

shalat) sekadar hari haidmu kemudian (bila telah suci) mandilah.” 

Ibnu Taimiyyah –rahimahullahu ta’ala- berpendapat bahwasannya mandi setiap shalat ini

hanyalah sunnah tidak wajib menurut pendapat imam yang empat, bahkan yang wajib bagi

3

Page 4: Istihadhah

wanita istihadhah adalah wudhu setiap shalat lima waktu menurut pendapat jumhur,

diantaranya Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad. 

Wanita yang istihadhah hendaknya mencuci kemaluan sebelum berwudhu dan ditutup dengan

kain atau kapas untuk menahan atau mengurangi najis. Hal ini berdasarkan sabda Rasul

kepada Hamnah bintu Jahsyin: “ Aku arahkan agar kamu menggunakan kapas, karena dia

akan bisa menahan darah” dia berkata sesungguhnya alirannya deras sekali. Beliau bersabda:

“kalau begitu pakailah kain.” Dia berkata masih terlalu deras. Beliau bersabda “ikatlah

dengan kuat.” (Al Hadist, diriwayatkan oleh Abu dawud kitabut thaharah N0.281, At

Tirmidzi, kitabut thaharah (128) dan Ahmad (6/282)) Jika cara – cara di atas sudah

ditempuh, tapi darah tetap darah tetap keluar. Nabi bersabda kepada Fatimah bitu Abi

Hubaisy : “Tinggalkanlah shalat selama hari – hari haidmu, kemudian mandilah dan lakukan

wudhu untuk setiap kali hendak shalat, kemudian shalatlah walaupun darah tetap keluat dan

menetes di alas shalat.“ (HR. Ahmad (6/42) dan Ibnu Majah (kitabut thaharah, 624))

Tentang hukum suami untuk menggauli istrinya saat istihadhah para ulama berbeda pendapat

tentang kebolehannya, jika tidak dikhawatirkan penderitaan dengan meninggalkanya. Adapun

pendapat yang benar dalam permasalah ini adalah kebolehannya secara mutlak. Karena

banyak wanita yang mengalami istihadhah di massa Rosulullah, ternyata Allah dan Rasul-nya

tidak melarang para suaminya untuk menggaulinya , bahkan pada firmanNya :

“ Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita dari tempat keluarnya haid.”

(Al Baqarah : 222)

Menjadi dalil bahwa tidak wajib menjauhi mereka kecuali pada tempat keluar darah haid

tersebut dan sebagai isyarat tetap menjalankan shalat, maka mengaulinya lebih ringan

permasalahanya. Adapun mengqiyaskan dengan hukum menggauli wanita yang sedang haid,

maka qiya yan tidak benar. Karena dua perkara tersebut berbeda.

Jadi perempuan yang mengalami istihadhah sama seperti perempuan suci. Ia boleh shalat,

berpuasa, membaca quran, i’tikaf, dan melakukan ibadah lainnya. Hal ini telah menjadi ijma’

atau kesepakatan bersama.

Keputihan

Ada sebuah kaidah dalam hukum fiqih tentang hal-hal yang membatalkan wudhu, salah

satunya adalah keluarnya suatu benda lewat kemaluan depan atau belakang. Begitu ada

benda ke luar dari dalam tubuh, lewat salah satu dari dua kemaluan itu, maka batal wudhu'

seseorang. Wujudnya bisa padat, cair atau gas. Semua benda yang ke luar itu mengakibatkan

batal wudhu, kecuali bila yang ke luar itu berupa air mani.

4

Page 5: Istihadhah

Para ulama mengatakan bahwa keputihan itu pada hakikatnya adalah darah penyakit. Di

dalam bab darah wanita, keputihan termasuk ke dalam kelompok darah istihadhah. Berbeda

dengan haidh dan nifas, darah istihadhah tidak mewajibkan mandi janabah, tetapi hanya

mewajibkan wudhu'. Namun di sisi lain, darah istihadhah itu sendiri adalah benda najis,

sehingga selain wajib berwudhu' juga wajib untuk dibersihkan sebagaimana layaknya air

kencing. Keputihan dalam bahasa fiqih termasuk kategori Wady (al Wadii), yaitu cairan

kental berwarna putih, biasanya keluar setelah kencing. Para ulama sepakat bahwa keputihan

adalah najis. Hal ini berdasarkan hadits dari Aisyah Radhiyallahu'anha: "Sesungguhnya

keputihan itu (al Wadii) yang keluar setelah kencing, maka cucilah kemaluannya, berwudhu

dan tidak perlu mandi." (HR. Ibnu Al Mundzir)

Kalau darah keputihan itu ke luar dan membasahi pakaian, berarti pakaian itu menjadi najis.

Tidak sah hukumnya bila dipakai untuk shalat. Perlu diganti dengan pakaian lain yang suci.

sebagaimana hadits Asma binti Abu Bakar Radhiyallahu'anhuma, ia berkata: "Telah datang

seorang wanita kepada Rasulullah Saw, lantas wanita tersebut bertanya: Salah seorang

diantara kami bajunya terkena darah haidh, apa yang mesti kami perbuat? Rasul menjawab:

Gosoklah (noda itu) dengan jari tangan, basuhlah dengan air, setelah itu ia telah bisa

memakainya (kembali) untuk shalat." (HR. Bukhari/I/hal. 66 dan Muslim/I/hal. 240/no. 110)

Menurut hadits diatas bahwa cara membersihkan najis yang mengenai pakaian adalah dengan

mencucinya. Hal ini juga sejalan dengan firman Allah Swt: "Dan pakaianmu bersihkanlah."

(QS. Al Mudatsir: 4) Untuk menghindari gonta ganti pakaian, biasanya para wanita

menggunakan pembalut wanita. Sehingga begitu akan shalat, cukup diganti atau dibuka

pembalutnya saja.

Daftar PustakaFiqih Sunnah vol I: Sayyid SabiqFiqih Wanita edisi lengkap: Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidahhttp://www.referensimuslim.com http://www.rumahfiqih.com

5