ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2...

104
Tahun III, Nomor 2, Juli 2016 ISSN: 2087-913X Hikmatul Faizah Muyassaroh, dkk Proses Berpikir Siswa Tipe Kepribadian Idealist dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Muhammad Ikmal, dkk Proses Berpikir Matematis Siswa dalam Menyelesaikan Soal Matematika PISA Dwi Susanti, dkk Analisis Berpikir Pseudo Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Pertidaksamaan Kuadrat Berdasarkan Aktivitas Problem Solving Tyas Pramukti Kirnasari, dkk Defragmenting Struktur Berpikir untuk Memperbaiki Kesalahan Siswa dalam Memecahkn Masalah Persamaan Kuadrat Pratiwi Dwi Warih Sitaresmi, dkk Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Melalui Pembelajaran Learning Cycle 5E Syaiful Hamzah Nasution Model Pembelajaran Kooperatif Menggunakan GeoGebra pada Matakuliah Matematika Dasar II Iva Nurmawanti, dkk Identifikasi Pola Siswa SMP Berdasarkan Teori Gestalt Rivatul Ridho Elvierayanti, dkk Gesture Siswa dalam Memecahkan Masalah Matematika Ahmad Bahrul Samsudin, dkk Pengembangan Instrumen untuk Mengamati Kreativitas Siswa SMP Tabita Wahyu Triutami, dkk Peningkatan Level Kemampuan Siswa SMP Kategori Prestruktural dalam Menyelesaikan Soal Geometri Melalui Pemberian Scaffolding Iwan Surya Dinata, dkk Investigasi Proses Berpikir Reflektif Siswa Ditinjau Dari Tempat Tinggal JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA Tahun III No.2 Hal. 103-201 Malang, Juli 2016 ISSN: 2087-913X JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Transcript of ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2...

Page 1: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Tahun III, Nomor 2, Juli 2016

ISSN: 2087-913X

Hikmatul Faizah Muyassaroh, dkk Proses Berpikir Siswa Tipe Kepribadian Idealist dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Muhammad Ikmal, dkk Proses Berpikir Matematis Siswa dalam Menyelesaikan Soal Matematika PISA Dwi Susanti, dkk Analisis Berpikir Pseudo Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Pertidaksamaan Kuadrat Berdasarkan Aktivitas Problem Solving Tyas Pramukti Kirnasari, dkk Defragmenting Struktur Berpikir untuk Memperbaiki Kesalahan Siswa dalam Memecahkn Masalah Persamaan Kuadrat Pratiwi Dwi Warih Sitaresmi, dkk Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Melalui Pembelajaran Learning Cycle 5E Syaiful Hamzah Nasution Model Pembelajaran Kooperatif Menggunakan GeoGebra pada Matakuliah Matematika Dasar II Iva Nurmawanti, dkk Identifikasi Pola Siswa SMP Berdasarkan Teori Gestalt Rivatul Ridho Elvierayanti, dkk Gesture Siswa dalam Memecahkan Masalah Matematika Ahmad Bahrul Samsudin, dkk Pengembangan Instrumen untuk Mengamati Kreativitas Siswa SMP Tabita Wahyu Triutami, dkk Peningkatan Level Kemampuan Siswa SMP Kategori Prestruktural dalam Menyelesaikan Soal Geometri Melalui Pemberian Scaffolding Iwan Surya Dinata, dkk Investigasi Proses Berpikir Reflektif Siswa Ditinjau Dari Tempat Tinggal

JURNAL PEMBELAJARAN

MATEMATIKA Tahun III No.2

Hal. 103-201

Malang,Juli2016

ISSN:

2087-913X

JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Page 2: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

ISSN: 2087-913X

JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Tahun III, Nomor 2, Juli 2016

Terbit dua kali setahun berisi tulisan ilmiah tentang pembelajaran matematika dalam bentuk: • temuan

penelitian • pengalaman praktis pembelajaran matematika • kajian kepustakaan • gagasan konseptual • klinik

matematika atau • rekreasi matematika

Ketua Penyunting

Erry Hidayanto

Wakil Ketua Penyunting

Edy Bambang Irawan

Penyunting Pelaksana

Syaiful Hamzah Nasution

Indriati Nurul Hidayah

Tri Hapsari Utami

Abdul Qohar

Alamat Penyunting dan Tata Usaha: Jurusan Matematika FMIPA UNIVERSITAS NEGERI MALANG.

JL. Semarang 5 Malang 65145 Gedung O7(Gedung Matematika). Telepon (0341) 552182 (langsung). Email:

[email protected]. Fax. (0341) 552182. Harga langganan Rp. 25.000,00 per-eksemplar

ditambah ongkos kirim.

JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA diterbitkan oleh Jurusan Matematika Fakultas Matematika

dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang di bawah pembinaan Tim Pengembang Jurnal

Universitas Negeri Malang. Dekan: Markus Diantoro. Ketua Jurusan: Sudirman.

Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain. Naskah

diketik di atas kertas HVS ukuran A4 spasi ganda sepanjang kurang lebih 20 halaman, dengan format seperti

tercantum pada Petunjuk bagi Penulis di bagian belakang jurnal ini. Naskah yang masuk dievaluasi dan

disunting untuk keseragaman format, istilah, dan tata cara lainnya.

Page 3: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Tahun III, Nomor 2, Juli 2016

Hikmatul Faizah

Muyassaroh, Ipung

Yuwono, Sudirman

Proses Berpikir Siswa Tipe Kepribadian Idealist dalam Menyelesaikan

Masalah Matematika

103 – 109

Muhammad Ikmal,

Gatot Muhsetyo,

Abadyo.

Proses Berpikir Matematis Siswa dalam Menyelesaikan Soal Matematika

PISA

110 – 119

Dwi Susanti,

Purwanto,

Erry Hidayanto.

Analisis Berpikir Pseudo Siswa dalam Menyelesaikan Masalah

Pertidaksamaan Kuadrat Berdasarkan Aktivitas Problem Solving

120 – 127

Tyas Pramukti

Kirnasari, Abdur

Rahman Asari, Santi

Irawati.

Defragmenting Struktur Berpikir untuk Memperbaiki Kesalahan Siswa

dalam Memecahkan Masalah Pertidaksamaan Kuadrat

128 – 138

Pratiwi Dwi Warih

Sitaresmi, I Nengah

Parta, Swasono

Rahardjo.

Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Melalui Pembelajaran

Learning Cycle 5E

139 – 146

Syaiful Hamzah

Nasution

Model Pembelajaran Kooperatif Menggunakan GeoGebra pada Matakuliah

Matematika Dasar II

147 – 153

Iva Nurmawanti, Edy

Bambang Irawan, I

Made Sulandra

Identifikasi Pola Siswa SMP Berdasarkan Teori Gestalt 154 – 161

Rivatul Ridho

Elvierayani, Edy

Bambang Irawan,

Sudirman

Gesture Siswa dalam Memecahkan Masalah Matematika 162 – 172

Ahmad Bahrul

Samsudin, Gatot

Muhsetyo, Tjang

Daniel Chandra

Pengembangan Instrumen untuk Mengamati Kreativitas Siswa SMP

173 – 179

Tabita Wahyu

Triutami, Purwanto,

Abadyo

Peningkatan Level Kemampuan Siswa SMP Kategori Prestruktural dalam

Menyelesaikan Soal Geometri Melalui Pemberian Scaffolding

180 – 191

Iwan Surya Dinata,

Toto Nusantara,

Susiswo

Investigasi Proses Berpikir Reflektif Siswa Ditinjau dari Tempat Tinggal 192 – 201

Page 4: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,
Page 5: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

103

PROSES BERPIKIR SISWA TIPE KEPRIBADIAN IDEALIST

DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA

Hikmatul Faizah Muyassaroh, Ipung Yuwono, Sudirman

Universitas Negeri Malang

[email protected], [email protected], [email protected]

Abstract: In daily life people always face the problem. When solve the problem, everyone often use

different strategies. The process of thinking is required in order to solve problems. One of strategy in

solving the problem is a framework developed by Polya. In this framework there are four phases: (1)

understand the problem, (2) develop a plan of settlement, (3) implement the plan, and (4) to re-examine

the results obtained. The thought process in solving the problem further studied by Piaget's theory of

assimilation and accommodation personality type is one of the things that affects the person's thinking

process. The purpose of this study was to determine the thinking of students who have the personality type

idealist in solving mathematical problems. The results of this study stated that the thinking of students

who have the personality type idealist is: (a) occurs assimilation at the stage of understanding the

problem, namely that students can identify what is known and questioned on the given issue, (b) occurs

assimilation for developing the settlement plan , that students can mention the plan for settlement of the

given problem based on what is known right, (c) occurs assimilation in stages to solve the problem

according to plan, ie the students resolve the issue in accordance with a plan drawn up earlier, and (d)

does not occur assimilation and accommodation on stage to re-examine the results obtained, it happened

because the students do not do a re-examination of the results obtained.

Keywords: process of thinking, personality type, idealist

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses berpikir siswa yang memiliki tipe

kepribadian idealist dalam menyelesaikan masalah matematika. Penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif eksploratif.

Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa proses berpikir siswa yang memiliki tipe kepribadian idealist

adalah: (a) terjadi asimilasi pada tahap memahami masalah, yaitu siswa dapat mengidentifikasi hal yang

diketahui dan ditanya pada masalah yang diberikan, (b) terjadi asimilasi pada tahap menyusun rencana

penyelesaian, yaitu siswa dapat menyebutkan rencana penyelesaian dari masalah yang diberikan

berdasarkan hal yang diketahui dengan benar, (c) terjadi asimilasi pada tahap menyelesaikan masalah

sesuai perencanaan, yaitu siswa menyelesaikan masalah sesuai dengan rencana yang disusun sebelumnya,

dan (d) tidak terjadi asimilasi maupun akomodasi pada tahap memeriksa kembali hasil yang diperoleh, hal

itu terjadi karena siswa tidak melakukan pemeriksaan kembali terhadap hasil yang diperoleh.

Kata kunci: proses berpikir, tipe kepribadian, idealist

Mata pelajaran matematika diberikan kepada

siswa mulai dari tingkat sekolah dasar sampai

perguruan tinggi. Salah satu tujuan adanya mata

pelajaran matematika sesuai Permendiknas RI No 22

Tahun 2006 adalah memecahkan masalah yang

meliputi kemampuan memahami masalah,

merancang model matematika, menyelesaikan

model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

Sedangkan pada kurikulum 2013, menyatakan

bahwa tujuan mata pelajaran matematika antara lain

agar siswa dapat: (1) memiliki kemampuan berpikir

kritis, logis, analitik, dan kreatif, kemampuan

pemecahan masalah, dan kemampuan

mengkomunikasikan gagasan serta budaya

bermatematika, (2) memahami konsep matematika,

menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan

mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara

luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan

masalah, (3) menggunakan penalaran pada pola dan

sifat, melakukan manipulasi matematika dalam

membuat generalisasi, menyusun bukti, atau

menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika,

(4) mengembangkan sikap menghargai kegunaan

matematika dalam kehidupan yaitu memiliki rasa

ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari

matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam

pemecahan masalah di kehidupan sehari-hari (dunia

nyata), dan (5) mengembangkan sikap dan perilaku

yang sesuai dengan nilai-nilai dalam matematika dan

pembelajarannya. Berdasarkan pemaparan tersebut,

dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah

matematika merupakan salah satu tujuan utama

diberikan mata pelajaran matematika.

Page 6: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

104, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

Salah satu permasalahan yang ada di bidang

pendidikan matematika adalah rendahnya

kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.

Hal ini ditunjukkan dengan hasil-hasil penelitian

terkait dengan pemecahan masalah matematika oleh

siswa, baik di tingkat sekolah dasar, sekolah

menengah, maupun perguruan tinggi. Padahal

kemampuan pemecahan masalah matematik menjadi

kemampuan yang penting yang harus dimiliki siswa

(Stacey, 2013: 39). Hal itu dikarenakan penyelesaian

masalah dapat mengarahkan pada pengkombinasian

keahlian dan konsep untuk berurusan dengan situasi

matematik khusus yang disebut masalah (Giganti,

2007: 15).

Suatu masalah biasanya memuat situasi yang

mendorong seseorang untuk menyelesaikan, tetapi

tidak mengetahui secara langsung langkah yang

harus dilakukan. Suatu soal matematika dikatakan

sebagai suatu masalah jika soal tersebut menarik

siswa untuk menyelesaikannya dan bersifat tidak

rutin. Soal yang seperti ini biasanya dalam

penyelesaiannya menuntun siswa untuk mengguna-

kan gabungan beberapa konsep matematika yang

telah dipelajari. Untuk dapat menyelesaikan

masalah, siswa harus menguasai hal-hal yang telah

dipelajari sebelumnya, yaitu mengetahui, memahami

secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu.

Tetapi, memiliki kemampuan, pemahaman, dan

keterampilan menggunakan konsep-konsep saja

tidaklah cukup. Siswa juga harus menghubungkan

dan menggunakan informasi yang dimilikinya secara

tepat pada situasi baru yang dihadapinya.

Proses berpikir diperlukan saat menyelesaikan

masalah matematika. Hal itu dikarenakan ketika

seseorang mencari cara untuk menyelesaikan

masalah, pasti terdapat proses berpikir yang

mengikutinya. Proses tersebut dimulai dari

memahami masalah yang sedang dihadapi, meren-

canakan cara yang akan digunakan untuk menyele-

saikan masalah tersebut, dan mencari cara atau jalan

keluar untuk menyelesaikannya.

Menurut Mulyono (2010) proses berpikir

merupakan proses yang dimulai dari penerimaan

informasi, pengolahan, penyimpanan, dan

pemanggilan informasi dari dalam ingatan.

Sependapat dengan Siswono (2002) yang

menyatakan bahwa proses berpikir adalah proses

yang dimulai dengan menerima data, mengolah dan

menyimpan di dalam ingatan serta memanggil

kembali dari ingatan pada saat dibutuhkan untuk

pengolahan selanjutnya. Berdasarkan dua pendapat

tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa proses

berpikir adalah aktivitas mental siswa dalam

menyelesaikan masalah yang diberikan, yang dapat

dilihat ketika siswa memahami masalah,

merencanakan penyelesaian, melakukan rencana

tersebut, dan memeriksa kembali jawaban tersebut

secara tertulis maupun lisan.

Pada saat berpikir, informasi-informasi dan

data yang masuk diolah di dalam otak. Dengan

demikian, perlu dilakukan penyesuaian atau bahkan

perubahan terhadap informasi yang sudah ada

sebelumnya. Proses demikian dinamakan adaptasi.

Terdapat dua cara adaptasi terhadap informasi baru

yang masuk, yaitu asimilasi dan akomodasi.

Menurut Piaget, asimilasi adalah proses memahami

objek atau peristiwa baru berdasarkan skema yang

telah ada . Sedangkan akomodasi adalah proses

perubahan skema yang telah ada agar sesuai dengan

situasi baru. Asimilasi dan akomodasi terus

berlangsung sampai terjadi keseimbangan.

Kemampuan siswa dalam menyelesaikan

masalah matematika sebenarnya dapat dilatih. Ide

mengenai pemecahan masalah salah satunya

dikemukakan oleh Polya (1973). Polya mengem-

bangkan empat langkah pemecahan masalah yaitu

memahami masalah (understanding the problem),

menyusun rencana (make a plan), melaksanakan

rencana yang telah disusun (carry out a plan), dan

memeriksa kembali hasil pemecahan (look back at

the completed solution). Menurut Alacaci dan

Dogruel (2011) langkah pemecahan masalah yang

dikembangkan oleh Polya dapat menumbuhkan

kesadaran bagi siswa tentang cara berpikir dalam

memecahkan masalah. Dengan menggunakan

langkah-langkah pemecahan masalah yang dikem-

bangkan oleh Polya, siswa diharapkan dapat lebih

runtut dan terstruktur dalam memecahkan masalah

matematika.

Apabila dilakukan pengamatan pada proses

pemecahan masalah, akan ditemukan adanya

perbedaan antar individu dalam menyelesaikan

masalah matematika. Ada yang segera mengambil

langkah begitu perintah telah dimengerti dan

mencoba-coba hingga sampai pada cara yang benar.

Namun, ada juga yang tidak mengambil tindakan

tetapi memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang

ada berkaitan dengan pemecahan masalahnya

sebelum mengambil tindakan secara konkret.

Salah satu hal yang mempengaruhi proses

berpikir siswa adalah tipe kepribadian yang dimiliki

oleh setiap individu. Sesuai dengan pendapat Okike

(2014) yang menyatakan bahwa perbedaan

kepribadian yang dimiliki masing-masing individu

menyebabkan mereka memecahkan masalah dengan

pendekatan dan pengambilan keputusan yang

berbeda. Pernyataan tersebut juga didukung oleh

Dewiyani (2014: 97) yang menyatakan bahwa setiap

tipe kepribadian memiliki perbedaan proses berpikir

dalam menyelesaikan masalah.

Keirsey merupakan salah satu ahli yang

membagi tipe kepribadian menjadi empat, yaitu:

artisan, guardian, idealist, dan rational. Pada

Page 7: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Muyassaroh, dkk. Proses Berpikir Siswa Tipe Idealist dalam Menyelesaikan Masalah Matematika, 105

penelitian ini hanya dibatasi pada siswa yang

memiliki tipe kepribadian idealist. Individu tipe

idealist merupakan individu yang percaya akan

intuisi dan secara alami tertarik untuk bekerja sama

dengan orang lain, baik bekerjasama dalam

pendidikan, konseling, atau pelayanan sosial.

Individu tipe ini percaya bahwa hidup penuh dengan

kemungkinan yang menunggu untuk diwujudkan.

Menurut Dewiyani (2010), siswa dengan tipe

idealist, cenderung dapat melihat suatu masalah

dengan sudut pandang yang luas, dan tidak hanya

terpaku pada masalah yang dihadapi. Lebih lanjut

Dewiyani (2009) mengungkapkan, pengajar dapat

membuat variasi soal yang cukup luas kepada tipe

ini, karena justru banyaknya variasi soal akan

membuat tipe ini lebih tertarik. Tipe idealist tidak

lebih dari 15%-20% dari penduduk di dunia, tapi

kemampuan mereka untuk menginspirasi orang

memberikan pengaruh yang lebih besar dari jumlah

mereka (Keirsey: 1998).

METODE

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan

pendekatan kualitatif dan jenis penelitian yang

digunakan adalah deskriptif eksploratif. Hal itu

dipilih karena peneliti ingin memperoleh data yang

mendalam dan detail secara alami tentang proses

berpikir siswa yang memiliki tipe kepribadian

idealist dalam menyelesaikan masalah matematika.

Subjek dari penelitian ini adalah siswa kelas VIIIH

SMP Negeri 20 Malang. Pemberian angket KTS

(Keirsey Temperament Shorter) melibatkan semua

siswa dalam satu kelas. Berdasarkan hasil angket

tersebut, dipilih siswa dengan tipe kepribadian

idealist. Selanjutnya pemberian tes masalah

matematika pada siswa terpilih. Dua siswa yang

menjawab soal dengan lengkap akan

dipertimbangkan sebagai subjek penelitian.

Penentuan subjek tersebut selain berdasar pada hasil

tes masalah matematika, juga berdasar pada

masukan dari guru yang mengajar matematika di

kelas tersebut.

Instrumen utama pada penelitian ini adalah

peneliti sendiri. Instrumen pendukungnya adalah

angket KTS, tes masalah matematika, dan

wawancara berbasis tugas. Pengumpulan data

dilakukan dengan angket, tes, dan wawancara. Data

yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan

menggunakan teknik analisis data kualitatif yang

dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1992: 15).

Teknik analisis data yang dimaksud terdiri dari tiga

tahap yang dilakukan secara berurutan, yaitu (1)

mereduksi data, (2) menyajikan data, dan (3)

verifikasi data / kesimpulan.

Untuk menguji kredibilitas data dan diperoleh

temuan data yang absah, maka dilakukan triangulasi.

Menurut Sugiyono (2013: 273) triangulasi dapat

diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai

sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu.

Dengan demikian terdapat triangulasi sumber,

triangulasi teknik, dan triangulasi waktu. Dalam

penelitian ini triangulasi yang digunakan adalah

triangulasi sumber, yaitu dengan membandingkan

data dari satu subjek dengan subjek yang lain. Data

proses berpikir siswa pertama dibandingkan dengan

yang kedua. Hal ini dimaksudkan agar peneliti dapat

memperoleh hasil yang benar-benar valid mengenai

proses berpikir siswa yang mempunyai tipe

kepribadian idealist.

Tahap-tahap yang dilaksanakan dalam

penelitian ini adalah: tahap persiapan, tahap

pelaksanaan, dan tahap penyelesaian. Tahap

persiapan meliputi: (a) mengaji teori-teori tentang

proses berpikir, masalah matematika, dan tipe

kepribadian, (b) melakukan observasi awal, (c)

menyusun dan merancang penelitian sesuai dengan

fenomena yang sering terjadi dan kajian kepustakaan

yang relevan, (d) menyusun, memvalidasi, dan

merevisi instrumen pendukung penelitian, (e)

melakukan observasi ke sekolah dan melakukan

wawancara dengan guru matematika untuk

menentukan kelas penelitian, dan (f) memberikan

angket kepribadian untuk menentukan siswa terpilih.

Pada tahap pelaksanaan meliputi: (a) memberikan

tes masalah matematika pada siswa terpilih yang

memiliki tipe kepribadian idealist, (b) menganalisis

hasil tes masalah matematika yang telah diselesaikan

siswa, (c) melakukan wawancara dengan 2 subjek

terpilih untuk melihat proses berpikir siswa, dan (d)

menganalisis data hasil tes dan data hasil

wawancara. Sedangkan pada tahap penyelesaian

meliputi: (a) memaparkan hasil penelitian yang

diperoleh, (b) membuat kesimpulan akhir penelitian,

dan (c) menyusun laporan hasil penelitian.

HASIL

Pada penelitian ini, yang dimaksud dengan

proses berpikir adalah aktivitas mental siswa dalam

menyelesaikan masalah yang diberikan, yang dapat

dilihat ketika siswa memahami masalah,

merencanakan penyelesaian, melakukan rencana

yang telah disusun, dan memeriksa kembali jawaban

yang telah diperoleh secara tertulis maupun lisan

sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Polya

(1973). Penelitian ini hanya dibatasi pada proses

berpikir asimilasi dan akomodasi, serta tidak

melakukan pengamatan pada proses berpikir

ekuilibrasi. Hal itu dikarenakan proses berpikir

ekuilibrasi sulit untuk dilakukan pengamatan dalam

penelitian. Asimilasi merupakan proses

pengintegrasian stimulus baru ke dalam skema yang

sudah terbentuk. Akomodasi merupakan proses

Page 8: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

106, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

pengintegrasian stimulus baru melalui pembentukan

skema baru atau pengubahan skema lain untuk

menyesuaiakan dengan stimulus yang diterima.

Dengan menggunakan kerangka berpikir dari Polya,

siswa diharapkan dapat lebih runtut dan terstruktur

dalam menyelesaikan masalah.

Berikut akan dipaparkan proses berpikir siswa

dengan tipe kepribadian idealist dalam menyelesai-

kan masalah matematika.

Masalah

Warta Kota Malang dan Harian Malang Raya

merupakan dua agen koran di Malang yang mencoba

untuk merekrut penjual. Gambar 1 menunjukkan

sistem pembayaran yang dilakukan agen koran

kepada penjual.

(a) (b)

Gambar 1. Poster sistem pembayaran yang dilakkan agen koran kepada penjual

Fandi berjualan Koran Warta Kota Malang,

sedangkan Candra berjualan Koran Harian Malang

Raya. Jika banyaknya koran yang mereka jual sama,

maka penjualan koran yang ke berapa gaji Fandi dan

Candra sama?

Siswa 1

Dalam menyelesaikan masalah Siswa 1

terlebih dahulu menuliskan hal yang diketahui dan

ditanya dari soal, tetapi informasi yang dituliskan

kurang lengkap. Siswa 1 tidak memberikan

keterangan tentang koran yang dijual oleh Fandi dan

Candra. Tapi saat proses wawancara berlangsung,

Siswa 1 mampu menyebutkan hal-hal yang diketahui

dan ditanya dari masalah yang diberikan dengan

lengkap. Berdasarkan pemaparan tersebut dikatakan

bahwa Siswa 1 mampu mengidentifikasi hal yang

diketahui dan ditanya dari soal. Dengan demikian,

dikatakan bahwa terjadi asimilasi saat Siswa 1

memahami masalah.

Berdasarkan informasi yang telah diperoleh,

selanjutnya Siswa 1 mulai menyusun rencana yang

akan dilakukan untuk menyelesaikan soal. Siswa 1

menyamakan banyaknya koran yang terjual, yaitu

dengan mengibaratkan keduanya berhasil menjual

250 koran. Selanjutnya masing-masing ditambah Rp

1.000,00 untuk penjualan per Koran Warta Kota

Malang dan ditambah Rp 3.000,00 untuk penjualan

per Koran Harian Malang Raya. Berdasarkan

pemaparan tersebut, dikatakan bahwa Siswa 1 dapat

menyebutkan rencana yang digunakan untuk

menyelesaikan masalah yang diberikan. Dengan

demikian, dikatakan bahwa terjadi asimilasi saat

Siswa 1 menyusun rencana penyelesaian.

Berdasarkan rencana yang telah disusun oleh

Siswa 1, penghitungannya terhenti saat Fandi

menjual 253 Koran Warta Kota Malang dan Candra

menjual 301 Koran Harian Malang Raya. Pada

penjualan tersebut keduanya memperoleh gaji yang

sama. Penghitungan Siswa 1 terhenti karena pada

penjualan tersebut gaji yang diperoleh keduanya

sama. Disini dapat terlihat adanya kesalahan

pemahaman yang dilakukan oleh Siswa 1. Siswa 1

hanya mendasarkan penghitungannya pada besarnya

gaji yang mereka peroleh sama. Padahal selain gaji

yang mereka peroleh sama, jumlah koran yang

WARTA KOTA MALANG

PEKERJAAN

Dengan GAJI MENARIK

DALAM WAKTU SINGKAT

Dengan menjual Koran Warta

Kota Malang, Anda akan

mendapatkan Rp525.000,00

dalam satu minggu dan

tambahan Rp1.000,00 per

koran yang Anda jual.

HARIAN MALANG RAYA

BUTUH UANG TAMBAHAN? JADILAH PENJUAL KORAN KAMI

Anda akan memperoleh:

Rp2.500,00 per koran untuk 250

koran pertama yang Anda jual

dalam satu minggu dan tambahan

Rp500,00 untuk setiap koran yang

Anda jual selanjutnya.

Page 9: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Muyassaroh, dkk. Proses Berpikir Siswa Tipe Idealist dalam Menyelesaikan Masalah Matematika, 107

mereka jual juga harus sama. Tetapi saat

dikonfirmasi tentang kesesuaian antara hasil yang

diperoleh dengan yang ditanyakan pada soal, Siswa

1 mulai menyadari bahwa hasil yang diperoleh tidak

sesuai dengan yang ditanyakan. Berdasarkan

pemaparan tersebut dapat dikatakan bahwa Siswa 1

dapat menyelesaikan masalah yang diberikan sesuai

dengan rencana yang disusun sebelumnya dengan

lancar. Tetapi skema yang dimiliki Siswa 1 dalam

menyelesaikan masalah kurang tepat. Dengan

demikian, dapat dikatakan bahwa terjadi asimilasi

subjektif saat Siswa 1 menyelesaikan masalah sesuai

perencanaan

Setelah memperoleh jawaban, Siswa 1 tidak

melakukan pemeriksaan terhadap hasil yang

diperoleh. Sebelum Siswa 1 mengetahui ketidak-

sesuaian antara hasil dan hal yang ditanyakan dari

soal, Siswa 1 meyakini bahwa jawaban yang

diperoleh adalah benar. Tetapi setelah mengetahui

bahwa hasil yang diperoleh tidak sesuai, Siswa 1

tidak yakin dengan jawaban tersebut. Dengan

demikian, dikatakan bahwa tidak terjadi asmilasi

maupun akomodasi saat Siswa 1 memeriksa kembali

hasil yang diperoleh

Siswa 2

Seperti halnya Siswa 1, Siswa 2 dalam

menyelesaikan masalah juga menuliskan hal yang

diketahui dan ditanya dari soal terlebih dahulu.

Informasi yang dituliskan Siswa 2 juga kurang

lengkap karena tidak memberikan keterangan

tentang koran yang dijual oleh Fandi dan Candra.

Tetapi informasi tersebut disampaikan oleh Siswa 2

pada saat wawancara berlangsung. Berdasarkan

pemaparan tersebut dikatakan bahwa Siswa 2

mampu mengidentifikasi hal yang diketahui dan

ditanya dari masalah yang diberikan. Dengan

demikian, dikatakan bahwa terjadi asimilasi saat

Siswa 2 memahami masalah.

Pada tahap menyusun rencana, Siswa 2

menentukan gaji yang diterima oleh Fandi dan

Candra pada penjualan ke 250. Selanjutnya Siswa 2

menghitung selisih dari banyaknya penjualan koran

yang sama. Siswa 2 menyatakan bahwa terdapat

pola saat menghitung selisisih dari gaji penjualan

sejumlah koran tersebut yaitu setiap penambahan

satu koran yang terjual selisihnya berkurang Rp

2.000,00. Siswa 2 beranggapan bahwa pada

penjualan tertentu selisihnya akan nol, yaitu saat gaji

Fandi dan Candra sama. Berdasarkan pemaparan

tersebut dikatakan bahwa Siswa 2 dapat

menyebutkan rencana penyelesaian yang digunakan

untuk menyelesaikan masalah yang diberikan.

Dengan demikian, disimpulkan bahwa terjadi

asimilasi saat Siswa 2 menyusun rencana

penyelesaian.

Pada saat menyelesaikan masalah sesuai

perencanaan, Siswa 2 membagi selisih gaji pada

penjualan yang ke-250 dengan Rp 2.000,00 dan

hasilnya ditambah dengan 250. Dari penghitungan

yang dilakukan oleh Siswa 2, diperoleh pada

penjualan koran yang ke-325 gaji Fandi dan Candra

sama. Berdasarkan pemaparan tersebut disimpulkan

bahwa Siswa 2 dapat menyelesaikan masalah sesuai

dengan perencanaan yang telah dibuat serta

algoritma penghitungan yang dilakukan juga benar.

Dengan demikian, disimpulkan bahwa terjadi

asimilasi saat Siswa 2 menyelesaikan masalah sesuai

perencanaan.

Pada tahap memeriksa kembali jawaban yang

diperoleh, Siswa 2 hanya meyakini jawaban yang

telah diperoleh tanpa melakukan pemeriksaan

kembali terhadap jawaban yang diperoleh. Dengan

demikian, dikatakan bahwa tidak terjadi asimilasi

maupun akomodasi saat Siswa 2 memeriksa kembali

hasil yang diperoleh.

PEMBAHASAN

Berdasarkan paparan data diperoleh hasil

bahwa terjadi asimilasi saat Siswa 1 dan Siswa 2

memahami masalah. Siswa 1 dan Siswa 2 dapat

menjelaskan kembali hal yang diketahui dan ditanya

pada masalah berdasarkan informasi yang diberikan.

Hasil tersebut sesuai dengan beberapa penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh Yuwono (2010),

Dewiyani (2015), dan Mufarrihah (2016). Yuwono

(2010) menyatakan bahwa siswa dengan tipe

kepribadian idealist dapat menuliskan hal yang

diketahui dan ditanya dari soal yang diberikan.

Dewiyani (2015) menyatakan bahwa siswa dengan

tipe kepribadian idealist menuliskan kembali

informasi penting untuk digunakan dalam

menyelesaikan masalah tanpa bantuan variabel.

Sedangkan Mufarrihah (2016) menyatakan bahwa

siswa dengan tipe kepribadian idealist mampu

mengetahui hal-hal yang diketahui dan ditanya pada

soal. Dengan demikian, dikatakan bahwa terjadi

asimilasi saat Siswa 1 dan Siswa 2 memahami

masalah.

Hasil analisis berikutnya diperoleh bahwa

terjadi asimilasi saat Siswa 1 dan Siswa 2 menyusun

rencana penyelesaian. Siswa 1 dan Siswa 2 dapat

menyusun rencana penyelesaian dari masalah yang

diberikan berdasarkan hal yang diketahui dengan

lancar dan benar. Hal itu sesuai dengan penelitian

yang dilakukan oleh Widodo (2012) yang

menyatakan bahwa siswa dengan tipe idealist dapat

merencanakan penyelesaian masalah dan dapat

mengintegrasikan langsung persepsi atau

pengalaman baru dalam skema pikirannya. Dengan

demikian, dikatakan bahwa terjadi asimilasi saat

Page 10: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

108, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

Siswa 1 dan Siswa 2 menyusun rencana

penyelesaian.

Selanjutnya dari paparan diperoleh bahwa

terjadi asimilasi saat Siswa 1 dan Siswa 2

menyelesaikan masalah. Hal itu dikarenakan baik

Siswa 1 maupun Siswa 2 dapat menyelesaikan

masalah sesuai dengan rencana yang telah disusun

sebelumnya. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian

yang dilakukan oleh Widodo (2012), yang

menyatakan bahwa siswa dengan tipe kepribadian

idealist mampu melaksanakan rencana yang disusun

sebelumnya untuk menyelesaikan masalah. Dengan

demikian, dikatakan bahwa terjadi asimilasi saat

Siswa 1 dan Siswa 2 menyelesaikan masalah sesuai

perencanaan.

Berdasarkan paparan data diperoleh bahwa

tidak terjadi asimilasi maupun akomodasi pada

Siswa 1 dan Siswa 2 saat memeriksa kembali hasil

yang diperoleh. Siswa 1 dan Siswa 2 tidak

melakukan pemeriksaan kembali hasil yang

diperoleh. Hal tersebut sesuai dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Mufarrihah (2016)

yang menyatakan bahwa siswa dengan tipe

kepribadian idealist tidak mampu memeriksa

kembali hasil pekerjaan yang diperoleh. Dengan

demikian, dikatakan bahwa tidak terjadi asimilasi

dan akomodasi saat Siswa 1 dan Siswa 2 memeriksa

kembali hasil yang diperoleh.

Secara keseluruhan proses berpikir yang

dilakukan oleh Siswa 1 dan Siswa 2 sesuai dengan

karakteristik dari individu yang memiliki tipe

kepribadian idealist yang dikemukakan oleh

Keirsey. Menurut Keirsey (1998), individu dengan

tipe kepribadian idealist dapat menjadikan masalah

sebagai kesempatan untuk menghasilkan dan

menerapkan berbagai ide dan solusi kreatif.

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dari

penelitian, beberapa hal yang dapat disimpulkan

baerkaitan dengan proses berpikir siswa SMP Negeri

20 kelas VIIIH yang memiliki tipe kepribadian

idealist dalam menyelesaikan masalah matematika

adalah sebagai berikut: (a) terjadi asimilasi pada

tahap memahami masalah, yaitu siswa dapat

mengidentifikasi hal yang diketahui dan ditanya

pada masalah yang diberikan, (b) terjadi asimilasi

pada tahap menyusun rencana penyelesaian, yaitu

siswa dapat menyebutkan rencana penyelesaian dari

masalah yang diberikan berdasarkan hal yang

diketahui dengan benar, (c) terjadi asimilasi pada

tahap menyelesaikan masalah sesuai perencanaan,

yaitu siswa menyelesaikan masalah sesuai dengan

rencana yang disusun sebelumnya, dan (d) tidak

terjadi asimilasi maupun akomodasi pada tahap

memeriksa kembali hasil yang diperoleh, yaitu siswa

tidak melakukan pemeriksaan kembali terhadap hasil

yang diperoleh.

Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah disusun,

maka beberapa saran yang dapat dikemukakan

antara lain: (1) bagi para pendidik untuk

membiasakan adanya tahap memeriksa kembali hasil

yang diperoleh untuk meminimalisir adanya

kesalahan yang dilakukan oleh siswa, (2) adanya

penelitian lanjutan baik materi maupun subjek yang

berbeda.

DAFTAR RUJUKAN

Alacici, C & Dogruel, M. 2011. Solving A Stability

Problem By Polya’s Four Steps. International

Journal of Electronics, Mechanical and

Mechatronics Engineering, 1(1): 19-28.

Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Kurikulum

Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Badan

Standar Nasional Pendidikan

Dewiyani, S. 2009. Karakteristik Proses Berpikir

Siswa dalam Mempelajari Matematika

Berbasis Tipe Kepribadian. Prosiding

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan

Penerapan MIPA. Fakultas MIPA Universitas

Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009

Dewiyani, S. 2010. Model Pembelajaran

Matematika Berbasis Pemecahan Masalah

Berdasar Penggolongan Tipe Kepribadian,

(Online),

(http://eprints.uny.ac.id/12295/1/M_Pend_24_

Dwiyani.pdf), diakses 25 September 2015

Dewiyani, S & Sagirani, T. 2014. Inculcation

Method of Character Education Based on

Personality Types Classification in Realizing

Indonesia Golden Generation. International

Journal of Evaluation and Research in

Education (IJERE), 3(2): 91-98.

Dewiyani, S. 2015. Improving Students Soft Skills

using Thinking Process Profile Based on

Personality Types. International Journal of

Evaluation and Research in Education

(IJERE), 4(3): 118-129.

Giganti, P. 2007. Why Teach Problem Solving, Part

I: The World Needs Good Problem Solvers!.

ComMuniCator, 31(4): 15-16

Keirsey, D. 1998. Please Understand Me II

Temperament Character Intelligence. United

States of America: Prometheus Nemesis Book

Company

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013.

Materi Pelatihan Guru Implementasi

Kurikulum 2013 SMP/MTs Matematika.

Page 11: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Muyassaroh, dkk. Proses Berpikir Siswa Tipe Idealist dalam Menyelesaikan Masalah Matematika, 109

Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya

Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan

Penjamin Mutu Pendidikan.

Miles, M & Huberman, M. 1992. Analisis Data

Kualitatif. Jakarta: Penerbit Universitas

Indonesia

Mufarrihah, I. 2015. Kemampuan Komunikasi

Matematis Siswa Kelas IX Sekolah Mengah

Pertama dalam Memecahkan Masalah

Matematika Berdasarkan Tipe Kepribadian

Siswa (Studi Kasus di SMP Negeri 1

Gondangwetan Pasuruan). Tesis tidak

diterbitkan. Surakarta: PPs UNS.

Mulyono. 2010. Proses Berpikir Mahasiswa dalam

Mengonstruksi Konsep Matematika.

Prosiding Seminar Nasional Sains dan

Teknologi. Fakultas Teknik Universitas

Wahid Hasyim Semarang.

Okike, E.U. & Amoo, O.A. 2014. Problem Solving

and Dicision Making: Consideration of

Individual Differences in Computer

Programming Skills Using Myers Briggs

Type Indicator (MBTI) and Chidamber and

Kemerer Java Metrics (CKJM). Journal of

Applied Information Science and Technology.

7(1): 27-34.

Polya, G. 1973. How to Solve It (A New Aspect of

Mathematical Method). New Jersey: Priceton

University Press.

Siswono, T. Y. E. 2002. Proses Berpikir Siswa

dalam Pengajuan Soal. Jurnal Nasional

“MATEMATIKA”, Jurnal Matematika atau

Pembelajarannya Tahun VIII. ISSN: 0852-

7792 (44-50).

Stacey, K. 2013. What is Mathematical Thinking

and Why Is It Important?. Australia.

University of Melbourne.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif,

Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta

Widodo, S. A. 2012. Proses Berpikir Mahasiswa

dalam Menyelesaikan Masalah Matematika

Berdasarkan Dimensi Healer. Makalah

disajikan dalam Seminar Nasional

Matematika dan Pendidikan Matematika,

Jurusan Pendidikan Matematika UNY,

Yogyakarta, 10 November 2012

Yuwono, A. 2010. Profil Siswa SMA dalam

Memecahkan Masalah Matematika Ditinjau

dari Tipe Kepribadian. (Online),

(http://core.ac.uk/download/file/478/1235135

3.pdf), diakses 07 Maret 2016.

Page 12: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

110

PROSES BERPIKIR MATEMATIS SISWA DALAM MENYELESAIKAN

SOAL MATEMATIKA PISA

Muhammad Ikmal1, Gatot Muhsetyo2, Abadyo3

Universitas Negeri Malang

[email protected]

Abstract: This study was done for describing students mathematical process in solving PISA

mathematics problems. The study implemented qualitative approach. The subject of this study were two

second semester students of SMP Negeri Malang, and they were decided based on their work in doing

contextual literacy mathematics problems. The level four of PISA algebraic mathematics problems were

used to test the students. The result of the study was description of students’ mathematical thingking

processes in three phases, entry, attack and review. These processes were (a) know, want, and introduce

in entry phase, (b) try, maybe, and why in attack phase, and (3) check, reflect, and extend ib review

phase. In tracking a series of phases, return phase happened from attach phase to entry phase, and from

review phase to attack phase. Aspect check was the only activity of review phase, different with attack

phase and entry phase, all aspects happened in activity.

Keywords: thingking process, mathematical thingking, PISA Mathematics Problems

Abstrak: Penelitian dilakukan untuk mendeskripsikan proses berpikir matematis siswa dalam

menyelesaikan soal matematika PISA. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Subjek dalam

penelitian adalah siswa SMP Negeri 5 Malang kelas IX semester II. Subjek penelitian terdiri dari 2 siswa

yang ditetapkan berdasarkan hasil pengerjaan soal konteks literasi matematika. Soal matematika PISA

yang digunakan dalam penelitian ini merupakan soal level 4 dengan topik aljabar. Hasil penelitian berupa

deskripsi proses berpikir matematis siswa yang didasarkan pada tiga tiga fase yaitu entry, attack dan

review. Proses berpikir matematis siswa dalam menyelesaikan soal matematika PISA dilakukan melalui

rangkain fase dalam berpikir matematis. Fase yang dilalui siswa dalam menyelesaiakn soal matematika

PISA adalah fase entry yang mencakup aspek know, want dan introduce, fase attack yang mencakup

aspek try maybe dan why dan fase terakhir yang dilalui adalah fase review yang mencakup aspek check,

refleck dan extend. Dalam serangkain fase yang dilalui siswa terjadi proses kembali ke fase sebelumnya

yaitu dari fase attack ke fase entry dan fase review ke fase attack. Dalam fase review terjadinya kegiatan

hanya berlangsung dalam aspek check, berbeda dengan fase entry dan fase attack yang setiap aspek

terjadi kegiatan dalam fase tersebut.

Kata kunci: Proses Berpikir, Berpikir Matematis, Soal Matematika PISA

Dalam era globalisasi saat ini matematika

memiliki peranan yang sangat penting. Veloo, dkk

(2015:325) mengemukakan bahwa matematika

merupakan salah satu kunci menuju tujuan

pembangunan masyarakat ilmiah yang berorientasi

pada teknologi. Matematika juga berperan dalam

menghasilkan generasi yang kompeten di bidang

ilmu pengetahuan dan teknologi untuk terus maju

dalam era globalisasi. Silva (2013) mengemukakan

bahwa perkembangan pesat di bidang teknologi

informasi dan komunikasi dilandasi oleh

perkembangan matematika di bidang teori bilangan,

aljabar, analisis, teori peluang dan matematika

diskrit.

Dalam pembelajaran dan penerapan

matematika, siswa dapat mengembangkan

kemampuan berhitung, bernalar, keterampilan

berpikir dan keterampilan pemecahan masalah.

Jonassen (2010) mengemukakan bahwa kemampuan

pemecahan masalah sangat dibutuhkan siswa pada

segala usia dalam keterampilan belajar sepanjang

hayat. Metallidou (2009:76) mengartikan

pemecahan masalah sebagai "perilaku yang

diarahkan pada tujuan yang membutuhkan

representasi mental yang sesuai dengan masalah.

Menurut Hayes (1980) masalah merupakan

“adanya kesenjangan antara apa yang diharapkan

(apa yang seharusnya) dengan kenyataan yang

sekarang dan itu tidak tahu bagaimana menemukan

cara untuk menyelesaikannya." Oleh karena itu

menyelesaikan atau menemukan “cara” merupakan

bagian penting dari pemecahan masalah. Reif (1981)

mengemukakan bahwa suksesnya pemecah masalah

dalam memahami masalah disebabkan dari adanya

deskripsi masalah yang dibangun untuk mencari

solusi yang tepat. Individu memecahkan berbagai

Page 13: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Ikmal, dkk. Proses Berpikir Matematis Siswa dalam Menyelesaikan Soal Matematika PISA, 111

jenis masalah dari berbagai kompleksitas sepanjang

siklus dari hidup mereka (Mataka, 2014:164)

Memnun, dkk (2012:172) mengemukakan

bahwa pembelajaran yang memungkinkan siswa

untuk memperoleh dan melatih keterampilan

pemecahan masalah yang dapat digunakan dalam

mengatasi setiap masalah yang dihadapi selama

menjalankan kehidupan, merupakan salah satu dari

prioritas dan tujuan utama dari pendidikan saat ini.

Pemecahan masalah yang merupakan fokus dalam

pembelajaran matematika hendaknya dimulai

dengan adanya masalah-masalah yang bersifat

kontekstual. Dengan membiasakan pemecahan

masalah kontekstual, siswa secara bertahap dapat

memahami peran matematika yang tidak hanya

digunakan dalam pendidikan formal tetapi juga

digunakan dalam menjalankan kehidupan sehari-

hari. Lange (1987) mengemuakan bahwa

penggunaan masalah berbasis konteks dapat

mengembangkan wawasan siswa tentang kegunaan

matematika untuk memecahkan masalah dalam

kehidupan sehari-hari. Graumann, (2011)

menambahkan bahwa tujuan inti dari pendidikan

matematika adalah mengembangkan kemampuan

siswa untuk menerapkan matematika dalam

kehidupan sehari-hari.

Penggunaan matematika dalam kehidupan

sehari-hari menyiratkan arti dari literasi matematika.

Literasi matematika merupakan kemampuan

individu untuk mengidentifikasi dan memahami

peran matematika dalam kehidupan sehari-hari,

membuat penilaian yang didasarkan pada

pengetahuan matematika sebagai upaya untuk

memenuhi kebutuhan hidup individu saat ini dan

dimasa depan sebagai warga negara yang

konstruktif, prihatin dan reflektif (OECD, 2006:12).

Wong (2005:94) mengartikan literasi matematika

sebagai kemampuan individu dalam menerapkan

pengetahuan dan keterampilan matematika di situasi

dan konteks yang berbeda dalam kehidupan sehari-

hari.

Stacey (2010) mengemukakan bahwa literasi

matematika melibatkan komponen dan proses

pemodelan matematika yang berhubungan dengan

merumuskan masalah dunia nyata dalam bentuk

matematika formal yang kemudian diselesaikan

sebagai masalah matematika, dan solusi matematika

yang diperoleh diartikan sebagai jawaban terhadap

masalah dunia nyata. Pada tahap formulasi, pemecah

masalah menghadapi masalah yang terletak dalam

konteks nyata dan kemudian secara bertahap

memilah aspek realitas, mengenali hubungan

matematis yang mendasari, dan menggambarkan

pemecahan masalah matematika. Pada tahap

interpretasi, pemecah masalah memperhitungkan

hasil matematika dan menemukan makna dalam

konteks dunia nyata.

Literasi matematika merupakan salah satu

aspek penilaian dalam studi PISA. PISA merupakan

singkatan dari program penilaian pelajar

internasional yang mengukur pengetahuan dan

keterampilan siswa berusia 15 tahun yang mendekati

akhir wajib belajar (Stacey, 2011:95). PISA menilai

kinerja siswa dan mengumpulkan data tentang siswa,

keluarga dan faktor kelembagaan yang dapat

membantu untuk menjelaskan perbedaan kinerja di

negara-negara di seluruh dunia (OECD, 2007:9).

PISA dalam studinya menguji siswa dengan

menggunakan tes yang diselengarakan secara

internasional. Tes literasi matematika dalam PISA

disusun berdasarkan konten dan proses matematika.

Hayat & Yusuf (2010) mengemukakan bahwa

konten matematika dalam PISA terdiri dari 4 bagian

yaitu: (1) perubahan dan hubungan (change and

relationship) berkaitan dengan pengetahuan dan

pelajaran aljabar termasuk persamaan dan

pertidaksamaan, ekspresi aljabar, representasi yang

digunakan dalam menggambarkan pemodelan dan

menafsirkan fenomena perubahan. (2) Ruang dan

bentuk (space and shape) mencakup pengetahuan

gemometri yang digunakan untuk mengenali bentuk,

mencari persamaan dan perbedaan dalam berbagai

dimensi dan representasi bentuk, serta mengenali

ciri-ciri suatu benda dalam hubungannya dengan

posisi benda tersebut. Konten ruang dan bentuk

berkaitan dengan fenomena yang ditemui dalam

dunia visual: pola, sifat objek, posisi dan orientasi,

representasi dari objek, decoding dan encoding dari

informasi visual, pengaturan, dan interaksi yang

dinamis dengan bentuk nyata serta dengan

representasi. (3) Bilangan (quantity) mencakup

hubungan dari penggunaan bilangan dan pola

bilangan yang berkaitan dengan kemampuan untuk

memahami berbagai representasi dari perhitungan,

dan menilai interpretasi dan argumentasi

berdasarkan kuantitas. Konten bilangan meliputi:

kemampuan bernalar secara kuantitatif,

mempresentasikan sesuatu dalam angka, memahami

langkah-langkah matematika dan melakukan

penafsiran. (4) Probabilitas dan ketidakpastian

(uncertainty): ketidakpastian merupakan fenomena

yang menjadi inti dari analisis matematis pada

berbagai situasi masalah yang melibatkan

penggunaan statistika dan teori probabilitas.

Proses matematika dalam PISA

dikelompokkan ke dalam tiga kelompok (Hayat &

Yusuf, 2010) yaitu: (1) komponen proses reproduksi

(reproduction cluster): siswa diharapkan dapat

mengulang kembali definisi suatu hal dalam

matematika. Dari segi keterampilan, siswa dapat

mengerjakan perhitungan sederhana yang mungkin

membutuhkan penyelesaian tidak terlalu rumit dan

umum dilakukan. (2) komponen proses koneksi

(connection cluster): siswa diminta untuk dapat

Page 14: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

112, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

membuat keterkaitan antara beberapa gagasan dalam

matematika, membuat hubungan antara materi ajar

yang dipelajari dengan kehidupan nyata di sekolah

dan masyarakat. Siswa dapat memecahkan soal yang

berkaitan dengan pemecahan masalah dalam

kehidupan tetapi masih sederhana. (3) komponen

proses refleksi: proses matematisasi dalam

komponen refleksi meliputi kompetensi siswa dalam

mengenali dan merumuskan keadaan dalam konsep

matematika, membuat model sendiri tentang

keadaan tersebut, melakukan analisis, berpikir kritis,

dan melakukan refleksi atas model itu, serta

memecahkan masalah dan menghubungkannya

kembali pada situasi semula.

Soal literasi matematika dalam PISA terdiri

atas 6 level, soal yang diujikan merupakan soal

kontekstual yang permasalahannya diambil dari

dunia nyata. Level soal dalam PISA

menggambarkan kecakapan siswa dalam

memecahkan masalah matematika sehari-hari.

Kecakapan yang merupakan literasi matematika

dalam PISA merujuk pada kemampuan siswa

kemampuan siswa dalam merumuskan masalah

secara matematis berdasarkan konsep dan hubungan

yang melekat pada masalah tersebut.

Setiawan dkk, (2014:249) mengemukakan

bahwa dalam PISA soal literasi matematis level 1

dan 2 termasuk kelompok soal dengan skala bawah

yang mengukur kompetensi reproduksi. Soal-soal

disusun berdasarkan konteks yang cukup dikenal

oleh siswa dengan operasi matematika yang

sederhana. Soal literasi matematis level 3 dan 4

termasuk kelompok soal dengan skala menengah

yang mengukur kompetensi koneksi. Soal-soal skala

menengah memerlukan interpretasi siswa karena

situasi yang diberikan tidak dikenal atau bahkan

belum pernah dialami oleh siswa. Sedangkan, soal

literasi matematis level 5 dan 6 termasuk kelompok

soal dengan skala tinggi yang mengukur kompetensi

refleksi. Soal-soal ini menuntut penafsiran tingkat

tinggi dengan konteks yang sama sekali tidak

terduga oleh siswa.

Menurut Lange (1990:76) literasi matematika

melibatkan beberapa kompetensi yaitu: (a)

mathematical argumentation, (b) mathematical

communication, (c) modeling, (d) problem posing

and solving, (e) representation, (f) symbols, (g) tools

and technology, (h) mathematical thinking and

reasoning. Hal ini berarti dalam penyelesaiakan soal

literasi matematika PISA melibatkan proses berpikir

matematis. Berpikir matematis merupakan

serangkaian proses yang meliputi: conjecturing,

penalaran dan pembuktikan, abstraksi, generalisasi

dan spesialisasi (Breen dan O’shea, 2010:39).

Stacey (2014:39) mengartikan berpikir

matematis sebagai kegiatan yang sangat kompleks

yang melibatkan hubungan dari dua pasang proses

yaitu (specialising and Generalising) dan

(Conjecturing and Convincing). Dari dua pasang

proses tersebut dapat di identifikasi empat proses

dasar yakni (a) specializing: mencoba kasus khusus,

melihat contoh-contoh, (b) generalizing: mencari

pola dan hubungan, (c) conjecturing: memprediksi

hubungan dan hasil (d) convincing: menemukan dan

mengkomunikasikan alasan mengapa sesuatu itu

benar. Stacey (2014) menambahkan bahwa

generalizing merupakan proses mencari pola atau

hubungan yang berkaitan dengan permasalahan yang

dihadapi dan dapat digunakan untuk memeriksa

suatu dugaan. Sedangkan conjecturing adalah proses

memprediksi hubungan dari bagian-bagian yang

telah ditentukan. Dalam proses conjecturing terjadi

proses dugaan, penentuan, menggunakan atau

memanipulasi dugaan terkait hubungan-hubungan

antar bagian dalam permasalahan yang dihadapi dan

menguraikan proses penyelesaiannya.

Mason, dkk (2010: 144) mendefinisikan

berpikir matematika sebagai proses dinamis yang

memungkinkan seseorang untuk memperluas

pemahaman dan meningkatkan kompleksitas ide

dalam menyelesaikan masalah yang terjadi melalui

serangkaian fase yaitu: entry, attack dan review.

Fase entry terjadi saat seseorang melakukan

pencarian terhadap arti maksud dari masalah yang

dihadapi. Fase attack terjadi saat seseorang berusaha

untuk menemukan penyelesaian masalah melaui

penggunaan cara-cara yang logis dan dapat dipahami

orang lain. Fase review merupakan tahapan

penyelesaian masalah yang melibatkan penggunaan

ide-ide yang diperoleh dari pengalaman.

Berdasarkan uraian di atas peneliti melakukan

penelitian lebih lanjut tentang “proses berpikir

matematis siswa dalam menyelesaikan soal

matematika PISA” yang ditinjau berdasarkan

terjadinya serangkaian fase yaitu: entry, attack dan

review. Penelusuran proses berpikir matematis siswa

dalam menyelesaikan soal matematika PISA

dilakukan dengan dengan mengambarkan peta

kognitif yang memuat rangkaian fase yaitu entry,

attack dan review. Dalam setiap fase terdapat

serangkaian aspek yang mencakup terjadinya

beberapa kegiatan. Aspek dalam fase entry terdiri

dari: know, want dan introduce, aspek dalam fase

attack terdiri dari: try maybe dan why dan pada fase

review mencakup aspek check, reflect dan extend.

METODE

Penelitian yang dilakukan menggunakan

pendekatan kualitatif yang mana peneliti bertindak

sebagai instrumen utama yang berperan sebagai

perancang, pengumpul, penganalisis data dan terlibat

langsung dalam proses penelitian. Data yang

dikumpulkan dalam penelitian berupa lembar

Page 15: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Ikmal, dkk. Proses Berpikir Matematis Siswa dalam Menyelesaikan Soal Matematika PISA, 113

aktivitas dan kata-kata atau kalimat siswa yang

dipaparkan sesuai dengan apa yang terjadi di

lapangan. Dalam penelitian ini terdapat batasan

permasalahan yang ditentukan dalam fokus

penelitian yaitu proses berpikir siswa dalam

menyelesaikan soal matematika PISA.

Subjek yang digunakan dalam penelitian

adalah siswa SMP Negeri 5 Malang kelas IX terdiri

dari 2 siswa yang ditetapkan berdasarkan hasil

pengerjaan soal konteks literasi matematika.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini

berupa alat rekam, lembar wawancara dan lembar

tugas yang berisi soal matematika PISA. Alat rekam

yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam

penelitian ini adalah: (a) alat rekam gambar (kamera

digital yang mempunyai kemampuan merekam

gambar), (b) alat rekam suara (hp). Alat rekam

gambar digunakan untuk merekam semua ekspresi

siswa ketika menyelesaikan lembar tugas, sedangkan

alat rekam suara digunakan untuk merekam

ungkapan verbal siswa yang diungkapkan dengan

suara. Lembar tugas terdiri dari soal-soal

matematika PISA yang dipilih berdasarkan konten

dan konteks pada PISA. Lembar tugas yang

diberikan kemudian digunakan untuk mengetahui

gambaran proses berpikir matematis siswa saat

menyelesaikan soal matematika PISA. Lembar

wawancara digunakan untuk menggali lebih dalam

tentang proses berpikir siswa ketika menyelesaikan

lembar tugas. Instrument berupa lembar wawancara

dan lembar tugas yang berisi soal-soal matematika

PISA terlebih dahulu divalidasi sebelum digunakan

dilapangan. Validasi instrument dilakukan untuk

memastian bahwa instrumen sudah layak

diujicobakan di lapangan.

Pengumpulan data dalam penelitian ini

menggunakan metode Think Out Loud. Dalam

proses penyelesaian masalah, siswa diminta untuk

mengungkapkan secara keras apa yang sedang

dipikirkan. Peneliti merekam ungkapan verbal dari

siswa ketika menyelesaikan masalah. Dua langkah

penting dari metode Think Out Loud adalah sebagai

berikut. (1) siswa menuliskan atau menyatakan

kesadaran berpikirnya ketika menyelesaikan

masalah (lebih dalam dari sekedar menjelaskan

prilaku yang ditampakkan), (2) siswa harus

melaporkan apa yang benar-benar mereka pikirkan

saat ini (bukan sekedar apa yang mereka ingat saat

yang lalu). Untuk memperoleh gambaran proses

berpikir siswa yang representatif, maka dilakukan

langkah-langkah sebagai berikut: (1) siswa diberi

tugas untuk menyelesaikan masalah berupa soal

matemtika PISA, sekaligus menuliskan dan

mengungkapkan secara verbal apa yang dipikirkan

saat menyelesaikan masalah tersebut, (2) peneliti

merekam ungkapan verbal dan perilaku (ekspresi)

dari siswa, (3) peneliti mengemukakan pertanyaan,

hanya jika diperlukan untuk lebih mendalami apa

yang sedang dipikirkan oleh siswa.

Analisis data dalam penelitian dilakukan

dengan menggunakan metode perbandingan tetap.

Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

(1) mentranskrip data verbal yang terkumpul, (2)

menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai

sumber, yaitu dari hasil think out louds, dan

wawancara (jika ada), (3) mengadakan reduksi data

dengan membuat abstraksi. Abstraksi merupakan

usaha membuat rangkuman yang inti, proses, dan

pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga untuk tetap

berada di dalamnya, (4) menyusun dalam satuan-

satuan dengan membuat coding, (5) menggambarkan

struktur berpikir siswa dalam menyelesaikan

masalah realistik, dan (6) penarikan kesimpulan.

PEMBAHASAN

Proses berpikir S1 dalam mengerjakan soal

matematika PISA

Proses berpikir matematis S1 dalam

menyelesaikan soal matematika PISA di paparkan

berdasarkan langkah-langkah penyelesaian yang

dilakukan yang kemudian disajikan dalam bentuk

peta kognitif. Penyelesaian soal matematika PISA

oleh S1 dilakukan dari memahami masalah yang ada

pada soal. Dalam memahami masalah, S1 membaca

soal. S1 memahami masalah dengan

mengidentifikasi hal-hal yang diketahui dan yang

ditanyakan dalam soal. Setelah mengidentifikasi

permasalahan, langkah selanjutnya yang dilakukan

S1 adalah menyederhanakan permasalahan. Dalam

menyederhanakan permasalahan, S1 mengubah

masalah yang ada pada soal yang merupakan

masalah dunia nyata dalam bentuk masalah

matematika (matematika formal). S1 memisalkan

bangun segienam dengan 𝑠 dan bangun persegi

panjang dengan 𝑝. Selanjutnya S1 membuat

persamaan untuk masing-masing tower dari 3 tower

yang ada dalam soal. Untuk tower 1 yang tersusun

dari 3 bangun segienam dan 3 bangun persegi

panjang dengan tinggi 21 m diubah kedalam bentuk

persamaan 3𝑠 + 3𝑝 = 21 . Kemudian untuk tower

2 yang tersusun dari 3 bangun segienam dan 2

bangun persegi panjang dengan tinggi 19 m diubah

kedalam bentuk persamaan 3𝑠 + 2𝑝 = 19 dan

untuk tower 3 yang tersusun dari 2 bangun persegi

panjang dan 1 bangun segienam diubah kedalam

bentuk persamaan 2𝑝 + 𝑠 yang tinggi belum

diketahui. Adapun bukti pekerjaan S1 ditunjukkan

pada Gambar 1.

Page 16: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

114, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

Gambar 1 Proses penyederhanaan masalah yang dilakukan S1

Gambar 1 menunjukkan proses penyederhana-

an masalah yang dilakukan S1 pada soal matematika

PISA. Setelah menyederhanakan permasalahan,

langkah selanjutnya yang dilakukan S1 adalah

menentukan solusi permasalahan. Dalam menentu-

kan solusi permasalahan, S1 menduga bahwa dengan

melakukan eliminasi pada dua persamaan yang

sebelumnya telah dibuat yakni persamaan untuk

tower 1 dan persamaan untuk tower 2 dapat

diperoleh tinggi dari bangun persegipanjang yang

telah dimisalkan dengan 𝑝. S1 kemudian melakukan

eliminasi pada persamaan 3𝑠 + 3𝑝 = 21 dan

persamaan 3𝑠 + 2𝑝 = 19 dan memperoleh nilai

𝑝 = 2. Nilai 𝑝 = 2 yang diperoleh kemudian

disubstitusikan ke salah satu persamaan dan

memperoleh nilai 𝑠 = 5. Selanjutnya S1

mensubstitusikan nilai 𝑝 = 2 dan nilai 𝑠 = 5 ke

persamaan 3 untuk memperoleh tinggi tower 3. S1

memperoleh tinggi tower 3 sama dengan 9 m. S1

kemudian menyimpulkan bahwa tinggi tower 3 yang

tersusun dari 2 bangun persegi panjang dan 1

bangun segienam adalah 9 m. Proses penyelesaian

S1 ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Penyelesaian S1 pada soal matematika PISA

Gambar 2 merupakan penyelesaian yang

dilakukan S1 dalam menentukan solusi permasalah-

an. Pada akhir penyelesaian, S1 mengecek kembali

hasil jawaban yang telah diperoleh dengan

mengamati setiap langkah dalam proses

penyelesaian yang dilakukan. Pengecekan kembali

dilakukan S1 untuk memastikan bahwa proses

penyelesaian sudah benar. S1 kemudian menyimpul-

kan bahwa tinggi tower 3 yang tersusun dari 2

bangun persegi panjang dan 1 bangun segienam

adalah 9 m. S1 lalu meyakini bahwa ia telah

menemukan solusi dari permasalahan yang ada

dalam soal.

Adapun peta kognitif S1 dalam mengerjakan

soal matematika PISA berdasarkan paparan langkah-

langkah penyelesaian yang dilakukan disajikan

dalam Gambar 3.

.

Gambar 3. Peta Kognitif S1 dalam Menyelesaikan Soal Matematika PISA 1

Page 17: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Ikmal, dkk. Proses Berpikir Matematis Siswa dalam Menyelesaikan Soal Matematika PISA, 115

Tabel 1. Arti Kode Pada Gambar 3. Kode Arti Kode

P1 Membaca soal dengan seksama

P2 Mencoba memahami masalah yang ada pada soal

P3 Ingin menyelesaikan soal

P4 Membuat model matematika untuk menyederhanakan masalah dalam soal dengan memisalkan

bangun segienam dengan s dan bangun persegi panjang dengan p

P5 Mengubah bentuk tower 1 dalam bentuk persamaan 3𝑠 + 3𝑝 = 21

P6 Mengubah bentuk tower 2 dalam bentuk persamaan 3𝑠 + 2𝑝 = 19

P7 Mengubah gambar tower 3 menjadi persamaan 2𝑝 + 𝑠 = … ?

P8 Mengajukan konjektur bahwa dengan melakukan eliminasi pada 2 persamaan dapat diperoleh

tinggi bangun persegi panjang yang dimisalkan dengan 𝑝

P9 Menguji konjektur dengan melakukan eliminasi pada dua persamaan yakni tower 1 dan tower

2 dan memperoleh nilai 𝑝 = 2

P10 mensubstitusikan nilai 𝑝 = 2 ke persamaan 3𝑠 + 3𝑝 = 21 dan memperoleh nilai 𝑠 = 5

P11 Menentukan tinggi tower 3 dengan mensubtitusikan nilai 𝑝 = 2 dan nilai 𝑠 = 5 ke

persamaan 2𝑝 + 𝑠 dan memperoleh nilai 9

P12 Menyimpulkan jawaban akhir yang diperoleh yaitu tower 3 yang tersusun dari 2 bangun

persegi panjang dan 1 bangun segienam tingginya adalah 9 m

P13 Mengecek kembali jawaban yang telah diperoleh

P14 Meyakini telah menemukan solusi dari masalah

Berdasarkan gambar 3 dapat dinyatakan

bahwa rangkaian fase yang dilalui oleh S1 dalam

menyelesaikan soal matematika PISA adalah entry –

attack – review – attack. Dari rangkaian fase yang

dilalui tampak bahwa terjadi proses kembali ke fase

sebelumnya yakni dari fase review ke fase attack.

Terjadinya proses kembali ke fase sebelumnya

disebabkan S1 melakukan pengecekan kembali

jawaban yang telah diperoleh untuk memastikan

bahwa jawaban tersebut sudah benar. Karena

jawaban akhir S1 bernilai benar maka rangkaian fase

yang dilalui oleh S1 mengarahkan S1 menemukan

solusi.

Dari pengamatan terhadap fase entry, terdapat

kegiatan untuk masing-masing aspek yakni know,

want dan introduce. Kegiatan panggilan informasi-

informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang

ada dalam soal pada fase entry mendasari dan

mendukung proses selanjutnya pada fase attack.

Tampak bahwa dalam aspek introduce pada fase

entry terjadi beberapa kegiatan. Kegiatan-kegiatan

tersebut merupakan proses spesializing dan

generalizing yang dilakukan S1 dalam menentukan

solusi permasalahan. Dalam proses specializing S1

menyederhanakan permasalahan dengan membuat

model matematika. S1 memisalkan bangun persegi

panjang dengan p dan bangun segienam dengan s.

Selanjutnya S1 membuat generalisasi dengan

mengubah bentuk dari masing-masing tower

kedalam bentuk persamaan linear dua variabel.

Dari pengamatan pada fase attack, terdapat

kegiatan untuk semua aspek dalam fase ini. Tampak

bahwa pada aspek try terdapat 3 kegiatan berupa

pengujian konjektur yang dilakukan oleh S1.

Konjektur diuji oleh S1 dengan menerapkan konsep

eliminasi dan substitusi yang kemudian memperoleh

nilai untuk masing-masing variabel. Dalam aspek

maybe terdapat kegiatan berupa pengajuan konjektur

terkait solusi permasalahan. Untuk aspek why,

kegiatan yang terjadi berupa proses menyimpulkan

jawaban akhir yang diperoleh dan proses meyakini

telah memperoleh solusi dari masalah.

Pada fase review hanya terjadi satu kegiatan.

Kegiatan dalam fase review hanya terjadi pada aspek

check. Kegiatan dalam aspek check berupa proses

pengecekan kembali jawaban yang telah diperoleh.

S1 mengecek kembali jawaban yang diperoleh

dengan mengamati setiap langkah dalam proses

penyelesaian yang dilakukan. Pengecekan kembali

dilakukan oleh S1 untuk memastikan bahwa proses

penyelesaian yang dilakukan sudah benar.

Proses berpikir S2 dalam mengerjakan soal

matematika PISA

Proses berpikir matematis S2 dalam

menyelesaikan soal matematika di paparkan

berdasarkan langkah-langkah penyelesaian yang

dilakukan yang kemudian disajikan dalam bentuk

peta kognitif.

Penyelesaian soal matematika PISA oleh S2

diawali dengan membaca soal dan dilanjutkan

dengan memahami masalah yang ada pada soal.

Adapun bukti wawancaranya sebagai berikut:

P : Apa yang pertama kali kamu lakukan ketika

menyelesaikan soal yang pertama ini ?

S1 : Saya baca dulu soalnya. Setelah itu saya

coba pahami masalahnya..

Page 18: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

116, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

Proses memahami masalah oleh S2 dilakukan

dengan mengamati gambar yang ada pada soal. Dari

mengamati gambar S2 menyimpulkan bahwa dalam

gambar yang diketahui adalah tinggi tower 1 yaitu

21 m dan tersusun dari 3 bangun persegi panjang

dan 3 bangun segienam. Sedangkan tinggi tower 2

yaitu 19 m dan tersusun dari 3 bangun segienam dan

2 bangun persegi panjang. Kemudian yang

ditanyakan adalah tinggi tower 3 yang tersusun dari

2 bangun persegi panjang dan 1 bangun segienam.

Dari memahami masalah, S1 kemudian

membuat konjektur bahwa permasalahan dapat

diselesaikan menggunakan konsep sistem persamaan

linear dua variabel. Dalam menggunakan konsep

sistem persamaan linear dua variabel, S2

memisalkan bangun segienam dengan 𝑥 dan bangun

persegi panjang dengan 𝑦. Selanjutnya S2 mengubah

bentuk dari masing-masing tower ke dalam

persamaan linear dua variabel. S2 mengubah bentuk

tower 1 dalam bentuk persamaan 3𝑥 + 3𝑦 = 21 . Tower 2 diubah dalam bentuk persamaan 3𝑥 + 2𝑦 = 19 dan tower yang tingginya merupakan

permasalah dalam soal diubah dalam bentuk 2𝑥 + 𝑦. Adapun bukti pekerjaan S1 ditunjukkan pada

Gambar 4.

Gambar 4. Proses penyederhanaan masalah yang dilakukan S2

Gambar 4 menunjukkan proses penyederha-

naan masalah yang dilakukan S2 pada soal

matematika PISA. Dalam gambar 4, tampak

bahwa S2 menyederhanakan permasalahan

dengan mengubah masalah yang ada pada soal

dalam bentuk matematika formal. Setelah

menyederhanakan permasalahan, langkah

selanjutnya yang dilakukan S2 adalah menentukan

solusi permasalahan. Dalam menentukan solusi

permasalahan, S2 menggunakan konsep eliminasi

dan substitusi yang merupakan bagian dari konsep

sistem persamaan linear dua variabel. Adapun

bukti pekerjaan S2 ditunjukkan pada Gambar 5.

.

Gambar 5. Penyelesaian S2 pada soal matematika PISA

Gambar 5 menunjukkan proses penyelesaian

yang dilakukan S2 dalam menentukan solusi

permasalahan dari soal matematika PISA. Dalam

Gambar 5 tampak bahwa S2 terlebih dulu

melakukan eliminasi pada dua persamaan yang

sebelumnya telah dibuat yaitu persamaan 3𝑥 + 3𝑦 = 21 dan persamaan 3𝑥 + 2𝑦 = 19. Dari

melakukan eliminasi pada dua persamaan, S2

memperoleh nilai 𝑦 = 2 yang kemudian

disubstitusikan pada persamaan 3𝑥 + 3𝑦 = 21

dan memperoleh nilai 𝑥 = 5. Nilai 𝑦 = 2 dan 𝑥 = 5

yang telah diperoleh S2 kemudian digunakan untuk

menentukan tinggi tower 3. Dalam menentukan

tinggi tower 3, S2 mensubstitusikan nilai 𝑦 = 2 dan

𝑥 = 5 ke dalam persamaan 2𝑥 + 𝑦 dan

memperoleh nilai 9. Setelah memperoleh tinggi

tower 3 yang merupakan solusi permasalahan, S2

kemudian mengecek ketepatan perhitungan pada

setiap langkah penyelesaian yang telah dilakukan.

Pengecakan ketepatan perhitungan dilakukan untuk

menyakini bahwa tidak terjadi kesalahan

perhitungan ketika menentukan solusi permasalahan.

Setelah mengecek kembali ketepatan perhitungan

yang dilakukan S2 kemudian menyimpulkan dan

menyakini bahwa tinggi tower 3 adalah 9 m.

Adapun peta kognitif S1 dalam

menyelesaiakn soal matematika PISA berdasarkan

paparan langkah-langkah penyelesaian yang

dilakukan disajikan dalam Gambar 6.

Page 19: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Ikmal, dkk. Proses Berpikir Matematis Siswa dalam Menyelesaikan Soal Matematika PISA, 117

Gambar 6. Peta Kognitif S2 dalam Menyelesaikan Soal Matematika PISA 1

Tabel 1. Arti Kode Pada Gambar 3

Kode Arti Kode

P1 Membaca soal dengan seksama

P2 Mencoba memahami masalah yang ada pada soal

P3 Ingin menyelesaikan soal

P4 Membuat konjektur berupa dugaan bahwa permasalahan dapat diselesaikan menggunakan

konsep sistem persamaan linear dua variabel.

P5 Menguji konjektur dengan terlebih dulu menyederhanakan permasalahan dengan memisalkan

bangun segienam dengan x dan bangun persegi panjang dengan y

P6 Mengubah bentuk tower 1 dalam bentuk persamaan 3𝑥 + 3𝑦 = 21

P7 Mengubah bentuk tower 2 dalam bentuk persamaan 3𝑥 + 2𝑦 = 19

P8 Mengubah bentuk tower 1 dalam bentuk persamaan 2𝑝 + 𝑠 P9 Melakukan eliminasi pada persamaan 3𝑥 + 3𝑦 = 21 dengan persamaan 3𝑥 + 2𝑦 = 19 dan

memperoleh nilai 𝑦 = 2

P10 Mensubstitusikan nilai 𝑦 = 2 ke persamaan 3𝑥 + 3𝑦 = 21 dan memperoleh nilai 𝑥 = 5

P11 Mensubtitusikan nilai 𝑦 = 2 dan nilai 𝑥 = 5 ke persamaan 2𝑝 + 𝑠 untuk menentukan tinggi

tower 3

P11 Mengecek kembali ketepatan perhitungan pada setiap langkah penyelesaian yang telah

dilakukan.

P12 Menyimpulkan bahwa tinggi tower 3 adalah 9 m

P13 Meyakini telah menemukan solusi dari masalah

Berdasarkan gambar 6 dapat dinyatakan

bahwa rangkaian fase yang dilalui oleh S2 dalam

menyelesaikan soal matematika PISA adalah entry -

attack - entry - attack - review - attack. Dari

rangkaian fase yang dilalui tampak bahwa terjadi

proses kembali ke fase sebelumnya. Proses kembali

ke fase sebelumnya terjadi pada fase attack ke fase

entry dan fase review ke fase attack. Dalam fase

entry terjadi proses generalizing. Terjadinya proses

generalizing dilakukan S1 dalam aspek introduce.

Proses generalizing dilakukan S1 dengan mengubah

masalah yang pada soal dalam bentuk matematika

formal. S1 mengubah bentuk dari masing-masing

tower yang ada pada soal dalam bentuk persamaan

linear dua variabel. Dalam fase entry juga terjadi

serangkaian kegiatan. Kegiatan dalam fase entry

terjadi pada aspek know dan want. Kegiatan dalam

aspek know didasarkan pada proses memahami

masalah yang dilakukan S2 dengan membaca soal.

Pada aspek want, kegiatan yang terjadi didasarkan

pada proses menentukan solusi permasalahan yang

dilakukan S2 setelah memahami masalah. Pada

aspek introduce, kegiatan yang terjadi didasarkan

pada proses penyederhaan malasah yang dilakukan

dengan mengubah masalah yang ada pada soal

dalam bentuk matematika formal (masalah

matematika).

Dari pengamatan pada fase attack, terdapat

serangkaian kegiatan untuk semua aspek dalam fase

ini. Dalam aspek maybe terjadi proses conjecturing.

S2 menduga bahwa solusi permasalahan dapat

ditentukan dengan menggunakan konsep sistem

persamaan linear dua variabel. Dalam aspek try,

kegiatan yang terjadi berupa pengujian konjektur.

Dalam menguji konjektur S2 melakukan proses

specializing dengan memisalkan bangun segienam

dengan 𝑥 dan bangun persegi panjang dengan 𝑦.

Kegiatan yang juga terjadi dalam aspek try berupa

penggunaan konsep eliminasi dan substitusi untuk

menentukan solusi permasalahan.

Pada fase review hanya terjadi satu kegiatan.

Kegiatan dalam fase review hanya terjadi pada aspek

check. Kegiatan dalam aspek check berupa proses

pengecekan kembali jawaban yang telah diperoleh.

S2 mengecek kembali ketepatan perhitungan pada

setiap langkah penyelesaian yang dilakukan.

Page 20: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

118, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

Pengecakan ketepatan perhitungan dilakukan untuk

menyakini bahwa tidak terjadi kesalahan

perhitungan ketika menentukan solusi permasalahan.

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan

yang sebelumnya telah diuraikan, dapat disimpulkan

bahwa terjadinya proses berpikir matematis siswa

dilakukan dari serangkaian fase yang dilalui yang

didalamnya terdapat beberapa aspek yang mencakup

serangkaian kegiatan. Fase yang dilalui siswa dalam

berpikir matematis adalah fase entry, attack dan

review. Dalam fase entry terdapat aspek know, want

dan introduce. Untuk fase attack terdapat aspek try

maybe dan why dan dalam fase review terdapat

aspek check, reflect dan extand.

Dari fase yang dilalui dalam berpikir

matematis mencakup terjadinya proses specializing,

generalizing dan conjecturing. Terjadinya proses

specializing dilakukan dengan memisalkan bangun

yang menyusun setiap tower dalam bentuk variabel.

Generalizing dilakukan dengan mengubah bentuk

dari masing-masing tower ke dalam bentuk

persamaan linear dua variabel. Proses conjecturing

terjadi dari adanya dugaan yang dibuat oleh masing-

masing subjek ketika menentukan solusi

permasalahan.

Rangkaian fase dalam berpikir matematis

yang dilalui oleh masing-masing subjek dalam

menyelesaikan soal matematika PISA adalah entry –

attack – review. Dari rangkaian fase yang dilalui

terjadi proses kembali ke fase sebelumnya yakni dari

fase attack ke fase entry dan fase review ke fase

attack. Terjadinya proses kembali ke fase

sebelumnya disebabkan dari adanya pengecekan

kembali jawaban yang telah diperoleh untuk

memastikan bahwa jawaban tersebut sudah benar.

Dalam fase entry, terdapat kegiatan untuk masing-

masing aspek yakni know, want dan introduce.

Kegiatan panggilan informasi-informasi yang

berkaitan dengan permasalahan yang ada dalam soal

pada fase entry mendasari dan mendukung proses

selanjutnya pada fase attack. Tampak bahwa dalam

aspek introduce, try dan maybe pada fase entry dan

attack terjadi beberapa kegiatan. Kegiatan-kegiatan

yang terjadi merupakan proses spesializing dan

generalizing yang dilakukan oleh masing-masing

subjek dalam menentukan solusi permasalahan.

Untuk aspek why, kegiatan yang terjadi berupa

proses menyimpulkan jawaban akhir yang diperoleh

S1 dan kegiatan meyakini bahwa telah memperoleh

solusi dari permasalahan. Pada fase review hanya

terjadi satu kegiatan yaitu pada aspek check.

Kegiatan dalam aspek check berupa proses

pengecekan kembali jawaban yang telah diperoleh

untuk memastikan tidak terjadi kesalahan dalam

setiap langkah penyelesaian yang dilakukan.

Saran Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, peneliti

menyampaikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Terjadinya berpikir matematis yang

digambarkan dalam peta kognitif tidak begitu

menampakkan empat proses dasar dalam

berpikir matematis yaitu specializing,

generalizing conjecturing dan convincing oleh

sebab itu disarankan dalam penelitian

selanjutnya yang meneliti tentang proses

berpikir matematis siswa agar menggunakan

motede yang dapat menggambarkan dengan

jelas terjadinya proses specializing,

generalizing conjecturing dan convincing.

2. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa tidak

terdapat empat langkah polya dalam

penyelesaian masalah oleh masing-masing

sebjek oleh sebab itu untuk memperoleh

gambaran proses berpikir matematis siswa

dengan jelas disarankan menggunakan dasar

tinjauan empat langkah penyelesaian masalah

menurut Polya.

DAFTAR RUJUKAN

Breen, S. & O’Shea, A. 2010. Mathematical

Thinking and Task Design. Irish Math. Soc.

Bulletin: 39-49.

Graumann, G. 2011. Mathematics for problem in the

everyday world. In J. Maasz & J. O'Donoghue

(Eds.). Real-world problems for secondary

school mathematics students: case studies (pp.

113-122). Rotterdam: Sense Publishers.

Hayat, B. & Yusuf, S. 2010. Benchmark

Internasional Mutu Pendidikan. Jakarta: Bumi

Aksara.

Hayes, J. (1980). The Complete Problem Solver.

Philadelphia, The Franklin Institute.

Jonassen, D. H. (2010). Research issues in problem

solving. The 11th International Conference on

Education Research New Educational

Paradigm for Learning and Instruction

Lange, J. D. 1987. Mathematics, insight and

meaning. Utrecht: OW & OC,

Rijksuniversiteit Utrecht.

. 1990. Mathematics for Literacy.

Quantitative Literacy: Why Numeracy Matters

for Schools and Colleges.

Mason, J., Burton, L., & Stacey, K. (1985). Thinking

mathematically. New York: Prentice Hall

Mason, J. dkk. 2010. Thinking Mathematically.

Second Edition. London: Pearson Education

Limited.

Page 21: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Ikmal, dkk. Proses Berpikir Matematis Siswa dalam Menyelesaikan Soal Matematika PISA, 119

Mataka, L.M. dkk. 2014. The Effect of Using an

Explicit General Problem Solving Teaching

Approach on Elementary Pre-Service

Teachers’ Ability to Solve Heat Transfer

Problems. International Journal of Education

in Mathematics, Science and Technology. Vol.

2(3): 164-174

Memnun, D. S, dkk. 2012. A Research on the

Mathematical Problem Solving Beliefs of

Mathematics, Science and Elementary Pre-

Service Teachers in Turkey in terms of

Different Variables. International Journal of

Humanities and Social Science. Vol. 2: 172-

184

Metallidou, P. (2009). Pre-service and in-service

teachers’ metacognitive knowledge about

problem-solving strategies. Teaching and

Teacher Education, 25, 76-82

OECD. 2006. Assessing Scientific, Reading and

Mathematical Literacy: A Framework for

PISA 2006. Paris: OECD Publishing

. 2007. Executive Summary PISA 2006:

Science Competencies for Tomorrow’s World.

Paris: OECD Publishing.

Schoenfeld, A. H. (1992a). Comments from the

guest editor. The Journal of the Learning

Sciences. Vol 2: 137-139

Setiawan, dkk. (2014). Soal Matematika dalam PISA

Kaitannya dengan Literasi Matematika dan

Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi.

Prosiding Seminar Nasional Matematika.

Silva, E.Y. 2013. Pengembangan Soal Matematika

Model PISA pada Konten Uncertainty untuk

Mengukur Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematika Siswa Sekolah Menengah

Pertama.

Stacey, K. 2010. Mathematical and Scientific

Literacy Around The World. Journal of

Science and Mathematics Education in

Southeast Asia. Vol. 33(1): 1-16.

. 2011. The PISA View of Mathematical

Literacy in Indonesia. Journal on

Mathematics Education. Vol. 2(2): 95-126

. 2014. What Is Mathematical Thinking and

Why Is It Important ?. Journal of

Mathematics Behavior. 39-48

Reif, F. (1981). Teaching problem solving: A

scientific approach. The Physics Teacher, 19,

310-316

Veloo, A. dkk. 2015. Types of Student Errors in

Mathematical Symbols, Graphs and Problem-

Solving. Asian social science. Vol. 11(15):

324-334.

Wong, K.M. 2005. Mathematical Literacy of Hong

Kong’s 15-Year-Old Students in PISA.

Educational Journal. Vol. 31(2): 92-120

Page 22: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

120

ANALISIS BERPIKIR PSEUDO SISWA DALAM MENYELESAIKAN

MASALAH PERTIDAKSAMAAN KUADRAT BERDASARKAN AKTIVITAS

PROBLEM SOLVING

Dwi Susanti1; Purwanto2; Erry Hidayanto3

Pascasarjana, Universitas Negeri Malang [email protected],[email protected], [email protected]

Abstract: Mistake thinking pseduo can occur due to a mismatch with the thinking process of students

when solving problems. It is highly detrimental to the student when the student is able to fix the answer

after carry out reflection, because teachers only see students' abilities based on the completion of a given

without knowing their incompatibility with the thinking of students. Therefore, this study aimed to

describe the mistakes thinking pseudo students in problem solving quadratic inequalities. Subjects in this

study were high school students who have studied the quadratic inequalities. Data collection was

performed by the method think out-loud. The result showed that the occurrence of mistake thinking

pseudo students in solving quadratic inequalities by problem solving is as follows. 1) students' mistakes in

making assumptions at the time to understand the problem (understanding the problem), 2) the

incompleteness substructure think the students at the time to understand the problem (understanding the

problem). 3) the incompleteness of the substructure think students in the planning process how settlement

(devise a plan).

Keywords: mistake thinking pseduo, quadratic inequalities.

Abstrak: Kesalahan berpikir pseduo dapat terjadi akibat ketidaksesuaian proses berpikir siswa dengan

jawaban yang ditemukan pada saat menyelesaikan masalah. Hal tersebut sangat merugikan siswa apabila

siswa mampu membenahi jawabannya setelah melakukan refleksi, karena guru hanya melihat

kemampuan siswa berdasarkan penyelesaian yang diberikan tanpa mengetahui adanya ketidaksesuaian

dengan proses berpikir siswa. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan terjadinya

berpikir pseudo-salah siswa dalam menyelesaikan masalah pertidaksamaan kuadrat. Subjek dalam

penelitian ini adalah siswa SMA yang sudah mempelajari materi pertidaksamaan kuadrat. Pengambilan

data dilakukan dengan metode think out-loud. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa terjadinya berpikir

pseudo-salah siswa dalam menyelesaikan soal pertidaksaman kuadrat berdasarkan pemecahan masalah

adalah sebagai berikut. 1) kesalahan siswa dalam membuat asumsi pada saat memahami masalah

(understanding the problem), 2) Ketidaklengkapan substruktur berpikir siswa pada saat memahami

masalah (understanding the problem). 3) ketidaklengkapan substruktur berpikir siswa dalam proses

merencanakan cara penyelesaian (devise a plan).

Kata Kunci: Pseudo-salah, Pertidaksamaan Kuadrat.

Kesalahan dalam menyelesaikan masalah

matematika sering dilakukan siswa ketika

menyelesaikan soal yang bertipe pemecahan

masalah. Pemecahan masalah (problem solving)

menjadi subjek susbtansial yang banyak diteliti

dalam beberapa dekade terakhir (Pape, 2004; Peled

& Hershkovitz, 2004; Wu & Adams, 2006;

Chapman, 2005). Dari penelitian-penelitian tersebut

diperoleh bahwa pemecahan masalah merupakan

bagian yang penting dalam proses pembelajaran

matematika. Hal ini juga ditegaskan dalam NCTM

(2000) bahwa pemecahan masalah harus menjadi

fokus utama di dalam kurikulum matematika.

Pembelajaran dengan pemecahan masalah dapat

mengubah pandangan siswa tentang matematika dari

semula berupa pelajaran prosedural menjadi

matematika sebagai proses berpikir (Yudariah dan

Tall, 1994). Lebih lanjut, Yudariah dan Tall

mengatakan bahwa tujuan dari pembelajaran

pemecahan masalah adalah menyediakan siswa

pandangan alternatif tentang matematika sebagai

aktivitas kehidupan. Pemecahan masalah sangat

penting sebagai cara melakukan, belajar, dan

mengajar matematika (Chapman ,2005). Pemecahan

masalah dianggap sebagai jantung pembelajaran

matematika karena skill tersebut bukan hanya untuk

mempelajari subjek tetapi lebih menekankan pada

perkembangan metode kemampuan berpikir (Pimta,

Tayruakham, & Nuangchalerm, 2009). Dari uraian

tersebut menunjukkan bahwa kemampuan

Page 23: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Susanti, dkk. Analisis Berpikir Pseudo Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Pertidaksamaan…, 121

pemecahan masalah merupakan kemampuan yang

sangat penting dimiliki oleh siswa. Oleh karena itu

proses berpikir siswa akan dikaji berdasarkan

aktivitas problem soving.

Dalam penelitian yang dilakukan Subanji

(2007), menyatakan bahwa terjadinya kesalahan

berpikir yang tak sebenarnya (pseudo) penalaran

kovariasional diawali dari ketidaksempurnaan proses

asimilasi dan akomodasi yang mengakibatkan

ketidaksempurnaan dalam pembentukan struktur

berpikir. Kesalahan berpikir siswa dapat dilihat

berdasarkan kesesuaian proses berpikirnya dengan

jawaban yang dihasilkan. Jawaban benar belum

tentu dihasilkan dari suatu proses berpikir yang

benar, begitu pula sebaliknya jawaban salah juga

belum tentu dihasilkan dari proses berpikir yang

salah. Hal tersebut dapat terjadi apabila siswa tidak

benar-benar menggunakan pikirannya untuk

memecahkan masalah atau siswa tersebut

mengalami pemecahan masalah-pseudo (Vinner,

1997). Selanjutnya, Subanji menyatakan bahwa

apabila jawaban siswa benar, tetapi tidak dapat

memberikan justifikasi terhadap jawabannya, maka

siswa tersebut dikatakan mengalami berpikir

“pseudo” benar. Dengan kata lain pemahaman siswa

tidak sesuai dengan jawaban benar yang diperoleh

siswa. Apabila jawaban siswa salah, tetapi setelah

dilakukan refleksi siswa dapat membenahi

jawabannya sehingga menjadi jawaban yang benar,

maka siswa dikatakan mengalami berpikir “pseudo”

salah. Hal ini menunjukkan bahwa proses berpikir

siswa pada saat menyelesaikan masalah sebelum

refleksi masih belum sesungguhnya (pseudo).

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan

peneliti pada siswa MAN 3 Malang yang pernah

mendapatkan materi pertidaksamaan kuadrat. Ketika

siswa dihadapkan pada soal pertidaksamaan kuadrat,

siswa tersebut tidak dapat menyelesaikan soal

dengan benar terbukti dari jawaban yang dituliskan

dikertas. Peneliti meminta siswa untuk menjelaskan

bagaimana proses memperoleh jawaban tersebut.

Selanjutnya siswa menjelaskan bahwa untuk

menyelesaikan soal pertidaksamaan kuadrat tersebut,

pertama adalah dengan melakukan perhitungan

aljabar. Kemudian siswa menjelaskan langkah

keduanya adalah melakukan pemfaktoran untuk

mencari titik-titik batas dari pertidaksamaan kuadrat.

Untuk langkah yang terakhir siswa menjelaskan cara

untuk menentukan himpunan selesaian dengan

melakukan uji titik. Dari langkah-langkah jawaban

yang dipaparkan siswa, terlihat bahwa ia telah

memahami masalah dengan baik dan merencanakan

penyelesaian dengan benar. Akan tetapi pada saat

melaksanakan rencana penyelesaian siswa tidak

menyadari adanya kesalahan yang dilakukan,

sehingga siswa menghasilkan jawaban yang salah.

Hal ini menunjukkan bahwa jawaban yang telah

dituliskan siswa belum merepresentasikan

pemahamannya. Siswa mengambil keputusan secara

spontan, tanpa melakukan refleksi secara maksimal,

sehingga jawaban yang dihasilkan salah. Menurut

Vinner (1997) siswa tersebut mengalami berpikir

pseudo, suatu keadaan dimana siswa tidak benar-

benar menggunakan pikirannya untuk

menyelesaikan masalah. Keadaan dimana siswa

tidak dapat memberikan jawaban yang benar

mengakibatkan guru menganggap siswa tidak

mampu menyelesaikan permasalahan yang diberikan

tanpa memandang adanya ketidaksesuaian dengan

proses berpikir.

Beberapa tahun terakhir telah banyak peneliti

yang mengkaji tentang pemahaman siswa dalam

menyelesaikan pertidaksamaan kuadrat. Ureyen,

Mahir dan Ceten, (2006) mengungkapkan kesulitan

siswa dalam menyelesaikan masalah pertidaksamaan

kuadrat terletak pada penentuan solusi. Kesulitan

lain yang dialami siswa yaitu kurangnya pemahaman

pada aritmetika sehinggs melakukan kesalahan pada

prosedur aljabar dan disisi lain tidak adanya makna

menjadi dasar dari kegagalan untuk memahami

konsep dan prosedur aljabar (Blanco & Garrote,

2007). Sedangkan Tsamir dan Bazzini (2004)

menemukan bahwa siswa sekolah menengah atas

berpikir bahwa solusi pertidaksamaan hanyalah satu

nilai meskipun mereka menemukan solusi dalam

bentuk himpunan. Pada penelitian tersebut belum

ada yang mengkaji tentang berpikir-pseudo siswa

dalam menyelesaikan masalah pertidaksamaan

kuadrat. Oleh karena itu penelitian ini akan

mengungkapkan terjadinya berpikir pseudo-salah

siswa dalam menyelesaikan soal pertidaksamaan

kuadrat berdasarkan aktivitas problem solving.

METODE

Penelitian ini tergolong penelitian kualitatif

yang bertujuan untuk mendeskripsikan terjadinya

berpikir pseudo-salah siswa dalam menyelesaikan

masalah pertidaksamaan kuadrat. Instrumen

penelitian ini adalah peneliti sendiri yang dipandu

dengan instrumen lembar tugas menyelesaikan

masalah pertidaksamaan kuadrat dan instrumen

pedoman wawancara. Penelitian ini dilaksanakan di

kelas X IPA MAN 3 Malang pada semester genap

tahun 2015/2016 kepada siswa yang “sudah”

mempelajari materi pertidaksamaan kuadrat. Siswa

yang menjadi subjek penelitian adalah siswa yang

sudah mendapatkan materi pertidaksamaan kuadrat.

Subjek dalam penelitian ini dipilih berdasarkan

sampling purpossive, yang diambil dengan

mempertimbangkan kemampuan komunikasinya

agar pengungkapan proses berpikir dapat dilakukan

dengan baik. Peneliti mengambil 3 siswa sebagai

subjek penelitian yang berdasarkan tingkat

Page 24: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

122, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

kemampuan siswa (rendah, sedang, dan tinggi).

Penentuan subjek seperti ini diharapkan masing-

masing subjek dapat mewakili dan menggambarkan

kondisi yang sebenarnya di lapangan. Penetapan

kategori kemampuan matematika siswa didasarkan

pada hasil belajar matematika siswa dan berdasarkan

masukan dari guru mata pelajaran matematika.

Pada proses pemilihan subjek, siswa diminta

untuk menyelesaikan soal pertidaksamaan kuadrat

dan mengungkapkan dengan keras apa yang sedang

dipikirkan (think out loud). Selanjutnya dari jawaban

siswa dikelompokkan menjadi jawaban salah dan

jawaban benar. Siswa yang memiliki jawaban salah

akan dipertimbangkan menjadi subjek penelitian,

karena tujuan penelitian ini untuk mengungkapkan

terjadinya berpikir pseudo-salah. Akhir penetuan

subjek yang dipilih yaitu siswa yang memiliki

jawaban salah, akan tetapi setelah melakukan

refleksi siswa mampu memberikan jawaban yang

benar.

HASIL

Penelitian ini mendeskripsikan terjadi berpikir

pseudo-salah siswa dalam menyelesaikan masalah

pertidaksamaan kuadrat. Untuk itu dipaparkan 3

subjek penelitian dengan karakteristik yang berbeda,

yaitu subjek 1 (S1) adalah siswa yang

berkemampuan rendah, subjek 2 (S2) siswa yang

berkemampuan sedang, dan subjek 3 (S3) siswa

yang berkemampuan tinggi. Deskripsi struktur

berpikir masing-masing siswa yang dibandingkan

dengan struktur masalah pertidaksamaan kuadrat.

Deskripsi Proses Berpikir Pseudo S1 dalam Menyelesaikan Masalah Pertidaksamaan Kuadrat

Diagram 1. Struktur Masalah dan Struktur Berpikir S1 dalam Menyelesaikan Masalah

Pertidaksamaan Kuadrat

Diagram 1 menunjukkan struktur masalah

pertidaksamaan kuadrat yang dibuat peneliti dan

struktur berpikir yang dibuat oleh S1. Garis putus-

putus menunjukkan terjadinya berpikir pseudo-salah

S1. Garis putus-putus pada gambar 1 juga

menunjukkan konsep-konsep yang digunakan untuk

menyelesaikan masalah belum terhubung dengan

baik.

Pada saat menyelesaikan masalah

pertidaksamaan kuadrat, S1 telah mengenal dan

memahami masalah. Meskipun S1 tidak menuliskan

yang diketahui dan yang ditanyakan, tetapi

pemahaman masalah yang dilakukan S1 dapat

diketahui dari gambar yang dibuatnya. S1

mengetahui ukuran tinggi kotak sama dengan ukuran

potongan setiap sudut karton. S1 juga mengetahui

panjang dan lebar kotak adalah sama berdasarkan

potongan sudut karton yang sama-sama dipotong 8

cm. Akan tetapi, dalam memahami yang diketahui,

yaitu pernyataan ‘volume minimal kotak’ , S1

menginterpretasikannya ke dalam bentuk persamaan

kuadrat.

Dalam merencanakan cara penyelesaian, S1

mengungkapkan bahwa langkah pertama yang harus

dilakukan adalah mencari volume balok terlebih

dahulu. Selanjutnya S1 memulai dengan

merencanakan mencari model matematika dari

volume minimal dan informasi panjang, lebar serta

tinggi kotak yang telah dipahaminya.

Pada saat melaksanakan rencana

penyelesaian, Pertama melalui asumsi bahwa

volume yang terbentuk berupa persamaan kuadrat,

S1 mensubstitusikan pemisalan p dan tinggi kotak

yang berukuran 4 cm ke persamaan volume sehingga

Page 25: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Susanti, dkk. Analisis Berpikir Pseudo Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Pertidaksamaan…, 123

diperoleh 4

5762 p . Selanjutnya, S1 melakukan

perhitungan aljabar berdasarakan langkah-langkah

penyelesaian persamaan kuadrat, dan memperoleh

selesaian p = ± 12 cm. Dalam hal ini S1 memahami

bahwa nilai panjang tidak berlaku negatif, jadi S1

memilih selesaian 12p

. Kemudian S1

menghubungkan selesaian tersebut dengan panjang

karton minimal sebelum dipotong, yaitu dengan

menambahkan potongan setiap dua sudut karton

yang berjumlah 8 cm pada selesaian yang diperoleh,

sehingga mendapatkan panjang kotak minimal

adalah 20 cm. Akan tetapi setelah memperoleh

jawaban 20 cm, S1 menuliskan himpunan selesaian

dengan menghubungkan panjang minimal kotak

yang diperoleh dengan pernyataan ‘volume minimal

kotak’ yang diketahui. Selanjutnya pada akhir

jawaban, S1 menuliskan panjang karton sebelum

dipotong harus lebih dari sama dengan 20 cm.

Kesimpulan yang dituliskan S1 tersebut memiliki

arti bahwa jawaban yang dituliskan lebih dari satu

nilai.

Pada tahap pengecekan kembali (refleksi), S1

melakukan pengecekan kembali terhadap jawaban

akhir yang ditemukan, tetapi tidak melakukan

refleksi terhadap proses penyelesaian yang

dilakukan dan kesalahan asumsi yang dibuat pada

saat memahami masalah.

Deskripsi Proses Berpikir Pseudo S2 dalam Menyelesaikan Masalah Pertidaksamaan Kuadrat

Diagram 2. Struktur Masalah dan Struktur Berpikir S2 dalam Menyelesaikan Masalah

Pertidaksamaan Kuadrat

Diagram 2 menunjukkan struktur masalah

pertidaksamaan kuadrat yang dibuat peneliti dan

struktur berpikir yang dibuat oleh S2. Garis putus-

putus menunjukkan terjadinya berpikir pseudo-salah

S2. Garis putus-putus pada gambar 2 juga

menunjukkan konsep-konsep yang digunakan untuk

menyelesaikan masalah belum terhubung dengan

baik.

Pada saat menyelesaikan masalah

pertidaksamaan kuadrat, S2 telah mengenal masalah,

dan mengenal strategi pemecahannya. S2 telah

mengetahui bahwa kotak yang akan terbentuk

berbentuk balok. Selanjutnya S2 juga telah

mengetahui bahwa pemotongan setiap sudut karton

merupakan tinggi kotak yang terbentuk yang

berukuran 4 cm. S2 juga mengetahui hubungan

antara panjang dan lebar kotak yang dibentuk adalah

sama. Hal tersebut terlihat dari variabel x yang

digunakan S2 untuk menyatakan panjang dan lebar

karton.

Pada saat proses merencanakan cara

penyelesaian, S2 tidak menyadari perencanaan yang

dibuat, akan tetapi S2 mampu mengungkapkan

sebagian rencana yang tidak disadari. S2

merencanakan cara penyelesaian dengan

menghubungkan syarat volume minimal dengan

panjang, lebar dan tinggi kotak untuk memperoleh

bentuk pertidaksamaan kuadrat.

Pada saat melaksanakan rencana

penyelesaian, pertama S2 mensubstitusikan variabel

Page 26: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

124, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

x yang mewakili panjang dan lebar serta tinggi kotak

yang berukuran 4 cm ke dalam pertidaksamaan

volume kotak, sehingga diperoleh model

5764 xx . Perbedaan mendasar pada proses

pelaksanaan rencana penyelesaian S1 dan S2 yaitu,

S2 telah mampu memahami dan menuliskan makna

‘volume minimal kotak’ sehingga mendapatkan

model pertidaksamaan kuadrat. Kemudian S2

melakukan operasi aljabar sehingga diperoleh

bentuk 05764 2 x . Untuk menyelesaikan

pertidaksamaan kuadrat tersebut, S2 merencanakan

untuk menentukan titik batas dengan cara

melakukan pemfaktoran. Berdasarkan pemfaktoran

yang dilakukan, S2 memperoleh hasil

0)242)(242( xx . Selanjutnya S2 membuat

garis bilangan untuk memperoleh himpunan

selesaian. Akan tetapi S2 tidak menuliskan secara

rinci proses dalam memilih daerah yang diarsir yang

merupakan himpunan selesaian. Meskipun S2 tidak

dapat mengungkapkan secara jelas langkah-langkah

penyelesaian yang dilakukan, Tetapi S2 dapat

menentukan himpunan selesaian dengan benar

Pada tahap pengecekan kembali (atau

refleksi), S2 menyatakan tidak melakukan

pengecekan kembali terhadap jawaban yang

diperoleh.

Deskripsi Proses Berpikir Pseudo S3 dalam Menyelesaikan Masalah Pertidaksamaan Kuadrat

Diagram 3. Struktur Masalah dan Struktur Berpikir S3 dalam Menyelesaikan Masalah

Pertidaksamaan Kuadrat

Diagram 3 menunjukkan struktur masalah

pertidaksamaan kuadrat yang dibuat peneliti dan

struktur berpikir yang dibuat oleh S3. Garis putus-

putus menunjukkan terjadinya berpikir pseudo-salah

S3. Garis putus-putus pada gambar 3 juga

menunjukkan konsep-konsep yang digunakan untuk

menyelesaikan masalah belum terhubung dengan

baik.

Pada saat menyelesaikan masalah

pertidaksamaan kuadrat, S3 tidak menuliskan hal

yang diketahui dan juga yang ditanyakan, tetapi dari

gambar yang dibuat oleh S3 menunjukkan bahwa

telah terjadi proses pemahaman masalah. S3

menggambar hasil pemotongan karton sebagai

persegi dengan panjang sisi 8x , dengan

mengabaikan seluruh sisi yang merupakan sisa dari

pemotongan setiap sudut karton. S3 menganggap

bangun yang terbetuk berupa kubus dengan panjang

sisinya 8x . Selanjutnya S3 telah mengetahui

bahwa panjang dan lebar kotak yang terbentuk

berukuran sama. Akan tetapi S3 belum

menghubungkan antara pemotongan setiap sudut

karton yang berbentuk persegi yang berukuran 4 cm

dengan tinggi kotak yang akan terbentuk. Sehingga

S3 secara spontan menganggap tinggi kotak sama

dengan panjang dan lebar kotak. Persamaan proses

pemahaman yang dilakukan S3 dan S1 yaitu, S3

juga melakukan kesalahan dengan menginterpretasi-

Page 27: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Susanti, dkk. Analisis Berpikir Pseudo Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Pertidaksamaan…, 125

kan ‘volume minimal kotak’ menjadi bentuk

persamaan kuadrat.

Dalam merencanakan cara penyelesaian, S3

tidak menyadari perencanaan yang dibuat akan

tetapi S3 mampu mengungkapkan sebagian rencana

yang tidak disadari. Awalnya S3 secara spontan

merencanakan untuk menetukan luas permuakaan

kubus. Akan tetapi setelah menyadari kesalahan

yang dibuat dengan melakukan refleksi, S3

merencanakan untuk menentukan model dari

informasi volume yang diketahui.

Pada saat melaksanakan rencana

penyelesaian, pertama S3 menganggap bahwa untuk

menentukan model matematika dari permasalahan

tersebut dengan menggunakan luas permukaan

kubus, sehingga diperoleh 2)8(5 xL . Akan

tetapi setelah melakukan perhitungan aljabar, S3

baru menyadari kesalahan yang dilakukan dalam

merencanakan penyelesaian. S3 menyadari bahwa

terdapat informasi yaitu ‘volume minimal kotak’

yang belum digunakan dalam merencanakan cara

penyelesaian. Selanjutnya S3 menggunakan

informasi volume tersebut untuk menentukan model

matematikanya. Ketika menyadari kesalahan yang

dilakukan, S3 melaksanakan rencana penyelesaian

dengan mensubstitusikan variabel panjang, lebar dan

tinggi kotak ke persamaan volume kotak, sehingga

memperoleh 3)8(576 x . Kesalahan yang

dilakukan S3 sama dengan S1 yaitu tidak dapat

merepresentasikan pernyataan ‘volume minimal’

secara tepat, sehingga model yang diperoleh berupa

persamaan kuadrat. S3 juga melakukan kesalahan

perhitungan aljabar tanpa disadarinya. Karena

kesalahan tersebut, mengakibatkan terputusnya

penyelesaian masalah yang dilakukan S3 sebelum

mendapatkan hasil akhir.

Pada tahap pengecekan kembali (atau

refleksi), S3 melakukan pengecekan kembali hanya

ketika menentukan model matematika. Selain itu S3

tidak melakukan refleksi terhadap proses

penyelesaian yang dilakukan dan kesalahan asumsi

yang dibuat.

PEMBAHASAN

Pembahasan tentang proses berpikir siswa

dalam menyelesaikan persamaan kuadrat meng-

gunakan empat langkah pemecahan masalah ber-

dasarkan Polya (2004), yaitu: memahami masalah,

merencanakan cara penyelesaian, melaksanakan

rencana, dan melakukan pengecekan kembali.

S1 merupakan siswa yang berkemampuan

tinggi. Berdasarkan hasil penelitian, S1 mampu

menceritakan kembali apa yang diketahui dan

ditanyakan. Hanya saja pada bagian yang diketahui,

S1 melakukan kesalahan dalam menginterpretasikan

pernyataan ‘volume minimal kotak’ menjadi sebuah

persamaan kuadrat. Menurut Subanji (2007)

kejadian yang dialami S1 merupakan karakteristik

berpikir pseudo, karena bekerja secara spontan tanpa

melihat kebermaknaan masalah. Dalam tahap ini

Menurut Polya (2004), S1 sedang berada pada tahap

“understanding the problem” atau memahami

masalah. Pada tahap ini, S1 mengawali dengan

kesalahan asumsi yang yang dilakukan. Pada saat

merencanakan cara penyelesaian, S1 tidak

mengungkapkan rencana penyelesaian secara

lengkap. Menurut Polya (2004), S1 melakukan tahap

“devise a plan” atau merencanakan cara

penyelesaian. Pada tahap ini, diawali dengan

ketidaklengkapan rencana yang dibuat oleh S1.

Dalam melaksanakan rencana penyelesaian, S1

mampu memperoleh model matematika dengan cara

substitusi. Akan tetapi karena diawali kesalahan

asumsi, sehingga S1 memperoleh jawaban yang

salah. Menurut Vinner (1997) S1 sedang mengalami

berpikir pseudo, karena S1 tidak benar-benar

melakukan kontrol terhadap apa yang ia pikirkan

sehingga menemukan hasil yang salah. Dalam hal

ini menurut Polya (2004), S1 telah melakukan tahap

“carry out the plan” atau melaksanakan rencana. S1

melakukan pengecekan kembali terhadap jawaban

yang diperoleh akan tetapi tidak pada proses yang

dilakukan. S1 mencoba kembali untuk

menghubungkan selesaian yang diperoleh dengan

informasi pada masalah. Hal ini menunjukkan

pemahaman S1 pada masalah sudah mengarah pada

jawaban benar, hanya saja proses penyelesaiannya

salah dan tidak terurut secara lengkap. Dalam tahap

ini menurut Polya (2004), S1 telah melakukan tahap

“look back” atau melakukan refleksi terhadap

jawaban yang diperoleh.

S2 merupakan siswa yang berkemampuan

sedang. Pada saat memahami masalah S2 mampu

menceritakan kembali apa yang diketahui dan

ditanyakan pada masalah. Dalam tahap ini Menurut

Polya (2004), S2 telah melakukan tahap

“understanding the problem” atau memahami

masalah. Pada saat merencanakan cara penyelesaian,

S2 tidak menyadari perencanaan yang dibuat, namun

S2 mampu mengungkapkan rencana yaitu harus

menggunakan bentuk pertidaksamaan kuadrat untuk

menyelesaikan masalah tersebut. Hanya saja S2

tidak melakukan rencanaan penyelesaian untuk

menghubungkan selesaian dengan hal yang

ditanyakan. Menurut Polya (2004), S2 melakukan

tahap “devise a plan” atau merencanakan cara

penyelesaian. Proses merencanakan cara

penyelesaian yang dilakukan oleh S2 diawali dengan

ketidaklengkapan rencana yang dibuat oleh S2. Pada

saat melaksanakan rencana penyelesaian, S2 mampu

memperoleh model matematika dengan

mensubstitusikan pemisalan panjang, lebar dan

Page 28: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

126, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

tinggi kotak ke pertidaksamaan volume kotak.

Proses penyelesaian yang dilakukan S2 telah sesuai

dengan struktur masalah yang dibuat oleh peneliti,

yaitu berdasarkan penyelesaian pertidaksamaan

kuadrat. Namun pada saat menentukan himpunan

selesaian yang memenuhi, S2 langsung mengambil

kesimpulan himpunan selesaian tersebuat sebagai

akhir jawaban. Dalam hal ini, Menurut Subanji

(2007) kejadian yang dialami S2 merupakan

karakteristik berpikir pseudo, karena bekerja secara

spontan tanpa melihat kebermaknaan masalah.

Menurut Polya (2004) S2 telah melakukan tahap

“carry out the plan” atau melaksanakan rencana.

Dalam proses melaksanakan rencana penyelesaian

yang dilakukan oleh S2 diawali dengan kesalahan

asumsi yang dilakukan. S2 menyatakan belum

melakukan pengecekan kembali terhadap jawaban

yang diperoleh dan hal ini menyebabkan S2 tetap

pada jawaban yang salah. Menurut Vinner (1997)

siswa seperti ini merupakan siswa yang sedang

mengalami berpikir pseudo karena tidak melakukan

refleksi terhadap apa yang dia kerjakan.

S3 merupakan siswa yang berkemampuan

rendah. Dalam proses memahami masalah S3

mampu menceritakan kembali apa yang diketahui

dan ditanyakan. Hanya saja pada bagian yang

diketahui, S3 melakukan kesalahan dalam

menginterpretasikan pernyataan, pertama S3

menganggap bahwa tinggi kotak adalah sama

dengan panjang dan lebar kotak dan kedua S3

menganggap bahwa persamaan kuadrat sebagai

representasi dari pernyataan ‘volume minimal

kotak’. Menurut Subanji (2007) kejadian yang

dialami S3 merupakan karakteristik berpikir pseudo,

karena bekerja secara spontan tanpa melihat

kebermaknaan masalah yang dihadapi. Dalam tahap

ini Menurut Polya (2004), S3 sedang berada pada

tahap “understanding the problem” atau memahami

masalah. Dalam proses memahami masalah yang

dilakukan S3 diawali dengan kesalahan asumsi dan

ketidaklengkapan informasi yang dipahami. Pada

saat merencanakan cara penyelesaian, S3 tidak

menyadari perencanaan yang dibuat. Akan tetapi S3

mampu mengungkapkan sebagian rencana yang

tidak disadari. S3 hanya mengungkapkan langkah

awal yang perlu dilakukan yaitu menentukan

pertidaksamaan dari apa yang diketahui. Menurut

Polya (2004), S3 melakukan tahap “devise a plan”

atau merencanakan cara penyelesaian. Pada proses

merencanakan cara penyelesaian yang dilakukan

oleh S3 diawali dengan ketidaksadaran dan

ketidaklengkapan rencana yang dibuat S3.

Selanjutnya dengan refleksi diri yang dilakukan

melalui peta kognitif, S3 mampu membuat rencana

dengan lengkap. Pada saat melaksanakan rencana

penyelesaian, pelaksanaan yang dilakukan S3 tidak

sesuai dengan apa yang diungkapkan. Awalnya S3

melakukan kesalahan dengan menetukan luas

permukaan kotak, S3 berasumsi bahwa untuk

memperoleh pertidaksamaan dengan menggunakan

luas permukaan kotak. Dalam hal ini S3 melewatkan

informasi mengenai ‘volume minimal’ pada proses

memahami masalah. Setelah melakukan refleksi, S3

menyadari kesalahan yang dilakukan, sehingga S3

menggunakan informasi ‘volume minimal’. Akan

tetapi karena kesalahan asumsi pada saat proses

memahami masalah, sehingga model yang diperoleh

S3 berupa persamaan kuadrat. Menurut Vinner

(1997) S3 sedang mengalami berpikir pseudo,

karena S3 tidak benar-benar melakukan kontrol

terhadap apa yang ia pikirkan sehingga menemukan

hasil yang salah. S3 tampak melakukan pengecekan

kembali terhadap jawaban yang diperoleh. Akan

tetapi S3 hanya melakukan pengecekan pada

sebagian jawaban yang diperolehnya, sehingga S3

menyadari kesalahan asumsi yang dilakukan yaitu

menggunakan luas permukaan untuk menetukan

model matematika. Dalam hal ini menurut Polya

(2004), S3 telah melakukan tahap “look back” atau

melakukan refleksi terhadap jawaban yang

diperoleh.

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan,

dapat disimpulkan bahwa terjadinya berpikir

pseudo-salah siswa dalam menyelesaikan masalah

pertidaksamaan kuadrat berdasarkan tahap

pemecahan masalah diawali dengan kesalahan siswa

dalam membuat asumsi pada saat memahami

masalah (understanding the problem). Kesalahan

asumsi yang dibuat terjadi akibat cara berpikir siswa

yang spontan tanpa melihat kebermaknaan masalah

yang dihadapi. Terjadinya berpikir pseudo yang

kedua karena ketidaklengkapan substruktur berpikir

siswa pada saat memahami masalah (understanding

the problem). Ketidaklengkapan substruktur berpikir

siswa terjadi akibat adanya informasi yang

terlewatkan atau tidak digunakan pada saat

memahami masalah. Kesalahan asumsi pada saat

memahami masalah dan ketidaklengakpan

substruktur berpikir pada saat memahami masalah

mengakibatkan siswa memperoleh jawaban salah

pada saat melakukan proses melaksanakan rencana

(carry out the problem). Terjadi berpikir pseudo

yang ketiga karena ketidaklengkapan substruktur

berpikir siswa dalam proses merencanakan cara

penyelesaian (devise a plan). Ketidaklengkapan

substruktur berpikir siswa terjadi akibat kesalahan

dalam memahami masalah.

Saran

Dari hasil penelitian ini, bagi peneliti, guru,

dan pemerhati proses pembelajaran perlu untuk

Page 29: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Susanti, dkk. Analisis Berpikir Pseudo Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Pertidaksamaan…, 127

memahami proses berpikir siswa dalam

menyelesaikan masalah, sehingga dapat memberikan

perlakuan yang diperlukan siswa untuk

meningkatkan kemampuannya dalam menyelesaikan

masalah.

DAFTAR RUJUKAN

Blanco, J. Lorenzo dan Garrote, Manuel. 2007.

Difficulties in Learning Inequalities in

Students of the First Year of Pre-University

Education in Spain. Eurasia Journal of

Mathematics, Science & Technology

Education, 2007, 3(3), 221-229.

Chapman, O. 2005. Constructing Pedagogical

Knowledge of Problem Solving: Preservice

Mathematics Teachers. Proceedings of the

29th Converence of the International Group

for the Psychology of Mathematics education,

2: 225-232. Melbourne: PME.

Subanji. 2007. Proses Berpikir Penalaran

Kovariasional Pseudo dalam

Mengkonstruksi Grafik Fungsi Kejadian

Dinamik Berkebalikan. Disertasi tidak

diterbitkan. Universitas Negeri Surabaya.

Jupri, A.; Drijvers, P.H.M.; Heuvel-Panhuizen,

M.H.A.M. van den. 2012. Investigating

Indonesian students’ difficulties in initial

algebra . Utrecht University Repository

(Conference lecture).

National Council of Teachers of Mathematics

(2000). Principles and Standards for

Schools Mathematics. Reston, VA: NCTM.

Pape, S.J. 2004. Middle School children’s Problem

Solving Behaviour: A Cognitive Analysis

from a reading Comprehension Perspective.

Journal for Research in Mathematic

Education, 35(3): 187-219.

Peled, I. & Hershkovitz, S. 2004. Evolving

Research of Mathematics Teacher

Educators: The Case of Non-Standard Issues

in Solving Standard Problems. Journal of

Mathematics Teacher Education, 7: 299-

327.

Pimta, S.,Tayruakham, S., & Nuangchalerm, P.

2009. Factors Influencing Mathematic

Problem-Solving Ability of Sixth Grade

Students. Journal of Social Sciences, 5(4):

381-385.

Tsamir, P., & Bazzini, L. (2004). Consistencies

and inconsistencies in student’s solution to

algebraic ‘singlevalue’ inequalities.

Mathematics Education Science

Technology, 35(6), 793-812.

Ureyen, M., Mahir, N. dan Cetin, N. 2006. The

Mistakes Made by the Students Taking a

Calculus Course in Solving Inequalities.

International Journal for Mathematics

Teaching and Learning ISSN 1473 –

0111(November, 2006).Turkey: Department

of Mathematics, Anadolu University,

Eskisehir.

Vinner,S.1997. The Pseudo-Conceptual And The

Pseudo-Analytical Thought Processes In

Mathematics Learning. Educational Studies

in Mathematics 34, pp. 97-129.

Wu, M. dan Adams, R. 2006. Modelling

Mathematics Problem Solving Item

Responses Using Multidimensional IRT

Model. Mathematics Education Research

Journal, 18 (2): 93 -113.

Yudariah & Tall, D. 1994. Changing Attitudes to

Mathematics through Problem Solving. Proceedings

of the Eighteenth Conference for the Psychology of

Mathematics Education, Lisbon, Portugal, IV, 401–

408.

Page 30: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

128

DEFRAGMENTING STRUKTUR BERPIKIR UNTUK MEMPERBAIKI

KESALAHAN SISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH

PERSAMAAN KUADRAT

1Tyas Pramukti Kirnasari, 2A. R. As’ari, 3Santi Irawati

1,2,3Universitas Negeri Malang

E-mail: [email protected], [email protected], [email protected]

Abstract. Defragmenting of thinking structure is a rearrangement of student’s thinking structure to be a

complete thinking structure. The aim of this research is to describe defragmenting of thinking structure

that can improve student’s mistakes in solving quadratic equation problems. This research is a

descriptive qualitative research which involving three students grade XI at SMAN 6 Malang that having

mistakes in solving quadratic equation problems. The research results show that student’s mistakes which

are analyzed by Polya’s problem solving are: (1) understanding problems, (2) planning strategies of

solution, (30 doing the planning of solution, and (4) rechecking. Student’s mistakes in determining

quadratic equation are caused by numbers in that quadratic equation problem is too large, strategies

those are implemented in determining factors of the quadratic equation is is just trial and error, and

formulas those are used by students are not correct. Defragmenting of thinking structure is implemented

through scaffolding, conflict cognitive and disequlibration.

Keywords: defragmenting, thinking structure, student’s mistake, quadratic equation problems.

Abstrak: Defragmenting struktur berpikir merupakan penataan ulang struktur berpikir siswa menjadi

struktur berpikir yang lengkap. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan defragmenting

struktur berpikir yang dapat memperbaiki kesalahan siswa dalam memecahkan masalah persamaan

kuadrat. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Subjek penelitian adalah 3 siswa kelas

XI MIPA SMA Negeri 6 Malang yang mengalami kesalahan dalam memecahkan masalah persamaan

kuadrat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesalahan yang dialami siswa berdasarkan langkah

pemecahan masalah polya adalah: (1) memahami masalah, (2) merencanakan strategi penyelesaian, (3)

melaksanakan rencana penyelesaian dan 4) mengecek kembali. Kesalahan siswa dalam menentukan

persamaan kuadrat dikarenakan bilangan yang terdapat pada persamaan kuadrat terlalu besar, cara yang

digunakan dalam menentukan faktor-faktor persamaan kuadrat adalah cara coba-coba serta rumus yang

digunakan siswa untuk menentukan faktor-faktor persamaan kuadrat kurang tepat. Defragmenting

struktur berpikir dilakukan dengan scaffolding, conflict cognitive dan disequlibrasi.

Kata kunci: defragmenting, struktur berpikir, kesalahan siswa, masalah persamaan kuadrat.

Pemecahan masalah sangat penting sebagai

cara melakukan, belajar dan mengajar matematika

(Chapman, 2005). Dalam pembelajaran matematika,

pemecahan masalah adalah suatu hasil yang ingin

dicapai dan merupakan kemampuan yang

diharapkan dapat diperoleh oleh siswa. Pemecahan

masalah dianggap sebagai jantung pembelajaran

matematika karena skill tersebut bukan hanya untuk

mempelajari subjek tetapi lebih menekankan pada

perkembangan metode kemampuan berpikir (Pimta,

dkk, 2009). Pemecahan masalah dapat memberikan

siswa kesempatan untuk mempelajari konsep-konsep

baru dan kesempatan untuk menerapkan

keterampilan yang telah dipelajari (Chapman, 2005).

Dalam memecahkan masalah matematika perlu

adanya strategi penyelesaian masalah. Menurut

Polya (Yuan, 2013) terdapat strategi penyelesaian

masalah yang bersifat umum yang terdiri dari empat

langkah, antara lain: (1) memahami masalah, (2)

merencanakan penyelesaian, (3) melaksanakan

rencana penyelesaian, dan (4) memeriksa kembali

prosedur dan hasil penyelesaian. Dengan menuliskan

strategi penyelesaian masalah siswa mampu

mengorganisasikan pemikiran mereka serta dapat

mengumpulkan, menganalisa dan menginterpretasi

data (Bicer, dkk, 2013). Namun pada kenyataannya,

kemampuan pemecahan masalah siswa di Indonesia

dapat dikategorikan masih rendah bila melihat

peringkat Indonesia pada PISA (Programme for

International Student Assessment). Indonesia pada

PISA 2009 menduduki peringkat 61 dari 65 negara

peserta. Sedangkan pada PISA 2012 berada pada

peringkat dua dari bawah dari 65 negara peserta

(OECD, 2013). Kurangnya kemampuan pemecahan

siswa dapat dilihat dari bagaimana siswa mengalami

kesalahan dalam memilih operasi yang digunakan

dalam menyelesaikan suatu masalah (Cullaste,

2011). Siswa mampu mengerjakan masalah

Page 31: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Kirnasari, dkk. Defragmenting Struktur Berpikir Untuk Memperbaiki Kesalahan Siswa…, 129

matematika yang berhubungan langsung dengan

konsep matematika tetapi siswa mengalami kesulitan

ketika berhadapan dengan masalah yang ber-

hubungan dengan kehidupan sehari-hari (Yuan,

2013). Menurut Menganti (2015), kesulitan siswa

dalam memecahkan masalah matematika seringkali

tercermin dalam bentuk kesalahan matematika.

Dalam penelitian ini, persamaan kuadrat

dipilih sebagai konsep yang dikaji karena

penerapannya banyak dijumpai dalam kehidupan

sehari-hari, berkaitan dengan topik matematika dan

ilmu pengetahuan yang lain. Persamaan kuadrat

dalam kurikulum 2013 merupakan salah satu materi

wajib yang dipelajari di SMA/MA untuk kelas X

semester genap. Beberapa kompetensi dasar materi

persamaan kuadrat sangat erat kaitannya dengan

pemecahan masalah, yaitu: (1) memahami persama-

an dan fungsi kuadrat, memilih strategi dan me-

nerapkan untuk menyelesaikan persamaan kuadrat

serta memeriksa kebenaran jawabannya dan (2)

menganalisis persamaan kuadrat dari data terkait

masalah nyata dan menentukan model matematika

berupa persamaan kuadrat dan fungsi kuadrat.

Melalui kompetensi dasar tersebut diharapkan siswa

mampu menggunakan konsep dan prinsip persamaan

kuadrat dalam memecahkan masalah.

Berdasarkan hasil wawancara dengan guru

matematika di SMAN 6 Malang, diperoleh informasi

bahwa dalam pembelajaran matematika guru sering

memberikan tugas berupa pemecahan masalah,

termasuk dalam materi persamaan kuadrat. Namun

pada kenyataannya siswa masih mengalami

kesalahan dalam memecahkan masalah berkaitan

dengan materi persamaan kuadarat. Untuk

menguatkan pernyataan tersebut peneliti melakukan

uji pendahuluan. Berdasarkan uji pendahuluan di

kelas X MIA yang telah menerima materi persamaan

kuadrat diperoleh hasil bahwa masih terdapat siswa

yang mengalami kesalahan dalam memecahkan

masalah persamaan kuadrat. Dari beberapa hasil

jawaban siswa pada uji pendahuluan diketahui

bahwa siswa masih mengalami kesalahan dalam

memecahkan masalah persamaan kuadrat.

Diantaranya adalah kesalahan dalam membuat

model matematika yang sesuai dengan masalah,

menyelesaikan model matematika yang telah dibuat,

serta tidak mengecek kembali jawaban yang telah

diperolehnya. Selain itu siswa masih belum dapat

mengaitkan dengan baik konsep-konsep yang telah

mereka pelajari untuk memecahkan masalah

persamaan kuadrat. Kesalahan-kesalahan siswa

dalam memecahkan masalah persamaan kuadrat

perlu mendapat perhatian. Karena apabila tidak

segera diatasi kesalahan tersebut akan berdampak

secara beruntun ke masalah matematika berikutnya.

Kesalahan-kesalahan siswa dalam memecah-

kan masalah persamaan kuadrat berhubungan

dengan struktur berpikir siswa dalam memecahkan

masalah. Kesalahan yang dilakukan siswa menun-

jukkan bahwa siswa masih belum mampu

mengaitkan pengetahuan yang mereka miliki untuk

memecahkan masalah perrsamaan kuadrat. Hal

tersebut dikarenakan belum adanya kesesuaian

antara struktur berpikir siswa dengan masalah yang

diberikan. Struktur berpikir merupakan struktur

kognitif yang terbentuk ketika siswa menyelesaikan

suatu permasalahan (Barnard & Tall, 1997). Untuk

memperbaiki kesalahan tersebut perlu dilakukan

defragmenting struktur berpikir siswa dalam

memecahkan masalah persamaan kuadrat.

Defragmenting didefinisikan sebagai restrukturisasi

berpikir pada individu. Restrukturisasi struktur

berpikir merupakan teknik yang sering digunakan

untuk mengubah pola pikir yang kurang adaptif pada

individu (Maag, 2004). Dalam restrukturisasi proses

berpikir individu diajarkan untuk mengubah

kesalahan berpikir sehingga menjadi lebih realistis.

Dengan melakukan defragmenting diharapkan siswa

tidak mengalami kesalahan dalam setiap proses

memecahkan masalah. Restrukturisasi pengetahuan

yang telah terpecah-pecah dapat meningkatkan

kinerja siswa dalam menyerap setiap konsep yang

diberikan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Agustinsa (2014), dijelaskan bahwa efektifitas

defragmenting yang dilakukan dapat ditunjukkan

dengan: 1) siswa mampu mengingat, menjelaskan,

dan memahami materi atau konsep yang diperlukan

untuk memecahkan masalah, 2) siswa mampu

memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dibuat dan

memberikan jawaban yang benar. Defragmenting

selain dapat memperbaiki kesalahan siswa, juga

dapat merestrukturisasi proses berpikir siswa

menjadi proses berpikir yang benar. Selain itu

menurut Sakif (2014) dalam penelitiannya, struktur

berpikir siswa sebelum dan sesudah proses

defragmenting mengalami perubahan yakni yang

awalnya kurang lengkap dan tidak sesuai dengan

struktur masalah setelah didefrag, struktur

berpikirnya sudah sesuai dengan struktur masalah.

Efektivitas defragmenting yang dilakukan peneliti

terbukti dapat menata dan memperbaiki proses

berpikir siswa yang awalnya salah menjadi proses

berpikir yang benar.

Defragmenting struktur berpikir dalam

penelitian ini dilakukan dengan menggunakan dua

langkah yang diungkapkan oleh McKay & Fanning,

(2000), yaitu: 1) identifikasi kesalahan berpikir dan

2) menata ulang pikiran yang salah menjadi benar.

Dalam penelitian ini, langkah identifikasi kesalahan

berpikir dilakukan dengan membandingkan struktur

berpikir subjek penelitian dengan struktur masalah

yang telah dibuat oleh peneliti. Struktur berpikir

siswa dibuat oleh peneliti dengan melihat hasil

Page 32: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

130. JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

wawancara terhadap subjek penelitian berdasarkan

kesalahan subjek penelitian dalam mengerjakan tes

awal. Sedangkan penataan ulang struktur berpikir

dilakukan dengan pemetaan kognitif. Melalui

pemetaan kognitif, peneliti mengajak subjek

penelitian untuk mengingat materi atau konsep-

konsep yang berkaitan dengan masalah yang

diberikan. Dalam langkah ini dilakukan proses

disequilibrasi, conflict cognitive, serta scaffolding.

Berdasarkan fakta-fakta diatas, maka peneliti

akan melakukan penelitian dan perencanaan yang

tepat defragmenting struktur berpikir melalui

pemetaan kognitif diharapkan dapat memperbaiki

kesalahan siswa dalam memecahkan masalah

persamaan kuadrat. Penelitian kualitatif ini berjudul

“Defragmenting Struktur Berpikir untuk

Memperbaiki Kesalahan Siswa dalam Memecahkan

Masalah Persamaan Kuadrat”. Tujuan penelitian ini

adalah untuk mendeskripsikan defragmenting

struktur berpikir yang dapat memperbaiki kesalahan

siswa dalam memecahkan masalah persamaan

kuadrat.

METODE

Penelitian ini berjenis kualitatif deskriptif.

Penelitian ini bertujuan mengungkap bagaimana

defragmenting struktur berpikir melalui pemetaan

kognitif untuk memperbaiki kesalahan siswa dalam

memecahkan masalah persamaan kuadrat. Penelitian

ini dilakukan di SMAN 6 Malang pada semester

genap tahun pelajaran 2015/2016. Subjek penelitian

merupakan siswa yang sudah mempelajari materi

persamaan kuadrat. Pada penelitian ini, subjek

penelitian adalah siswa kelas XI MIA. Subjek

penelitian dipilih dengan mempertimbangkan

kesalahan yang dilakukan siswa ketika memecahkan

masalah persamaan kuadrat. Siswa dikatakan

mengalami kesalahan dalam memecahkan masalah

persamaan kuadrat apabila siswa tidak dapat

melakukan langkah-langkah pemecahan masalah

dengan benar. Penentuan subjek penelitian juga

mempertimbangkan tingkat kemampuan matematika

siswa serta kemampuan komunikasi siswa dalam

mengemukakan gagasan. Penentuan ini berdasarkan

pada hasil uji pendahuluan yang diberikan serta

masukan dari wali kelas dan guru matematika di

kelas tersebut. Penentuan subjek seperti ini

diharapkan masing-masing subjek dapat menjadi

wakil yang menggambarkan kondisi yang

sebenarnya di lapangan.

Dalam penelitian ini, seluruh siswa diminta

untuk memecahkan masalah persamaan kuadrat

secara individu dengan menuliskan langkah-langkah

kerja dengan jelas. Adapan masalah yang diberikan

sebagai berikut.

1. Pak Aziz melakukan perjalanan dari Malang

menuju Tulungagung dengan mengendarai mobil.

Jarak antara Malang dan Tulungagung adalah

120 km. Pada saat perjalanan pulang

(Tulungagung ke Malang), Pak Aziz mengetahui

bahwa jika dia menambah kecepatan rata-ratanya

dengan 10 km/jam dari kecepatan rata-rata saat

dia berangkat (Malang ke Tulungagung), maka

dia dapat menghemat 10 menit dari total waktu

perjalanannya. Tentukan kecepatan rata-rata Pak

Aziz pada saat berangkat!

2. Selembar karton berbentuk persegi panjang akan

dibuat kotak tanpa tutup dengan cara membuang

persegi seluas 2×2 cm2 di masing-masing

pojoknya. Panjang kotak 4 cm lebihnya dari lebar

kotak dan volume kotak itu adalah 90 cm3.

Tentukan panjang dan lebar dari karton itu!

Setelah siswa tersebut memperoleh

penyelesaian, peneliti memeriksa kebenaran jawaban

siswa. Apabila siswa tersebut memperoleh jawaban

benar dengan langkah-langkah pemecahan masalah

yang benar maka siswa tersebut tidak dapat

dijadikan sebagai subjek penelitian karena tidak

mengalami kesalahan dalam memecahkan masalah.

Apabila sebaliknya siswa melakukan kesalahan

dalam langkah-langkah pemecahan masalah, maka

siswa tersebut dapat dijadikan subjek dan prosesnya

dilanjutkan. Subjek penelitian dipilih hingga

memeproleh data jenuh, artinya banyak subjek

tergantung pada kebutuhan pada saat penelitian

dilakukan. Data yang dikumpulkan dalam penelitian

ini berupa kata-kata, kalimat-kalimat yang

mendeskripsikan kesalahan siswa dalam

menyelesaikan masalah dan proses defragmenting

struktur berpikir siswa serta proses dan hasil belajar

siswa selama pemberian tindakan.

Dalam penelitian ini kehadiran peneliti adalah

pada saat sebelum diadakan tes, waktu pelaksanaan

tes, saat mengadakan wawancara dengan siswa dan

pada saat pemberian defragmenting. Peneliti

bertindak sebagai perencana, pengumpul data baik

data hasil tes siswa, wawancara, maupun data

temuan lain selama peneliti mengadakan penelitian

di lapangan, penganalisis data dan sebagai pelopor

hasil penelitian. Pada penelitian ini, instrumen utama

dalam pengumpulan data adalah peneliti sendiri.

Sedangkan instrumen pendukung dalam penelitian

ini adalah lembar tugas, pedoman wawancara dan

alat rekam. Alur analisis data yang digunakan adalah

alur dari Miles dan Hubberman (dalam sugiyono

2008), yaitu mereduksi data, menyajikan data, dan

menarik kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Struktur Berpikir S1 dalam Memecah-

kan Masalah Persamaan Kuadrat

Tabel 1 menggambarkan perbedaan atau

perubahan struktur berpikir S1 dalam memecahkan

Page 33: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Kirnasari, dkk. Defragmenting Struktur Berpikir Untuk Memperbaiki Kesalahan Siswa…, 131

masalah 1 sebelum dan setelah proses defrag-

menting.

Sebelum defragmenting struktur berpikir S1

belum lengkap dan tidak sesuai dengan masalah

struktur. Kode e3 (berwarna merah) menunjukkan

bahwa S1 masih mengalami kesalahan dalam

mencari solusi masalah. Kesalahan tersebut

disebabkan karena S1 tidak dapat mengaitkan

informasi-informasi pada masalah untuk

memecahkan masalah. Oleh karena itu, peneliti

mengajak S1 untuk melakukan refleksi atau

mencoba memperbaiki kesalahan-kesalahan yang

telah S1 lakukan dengan membuat peta kognitif.

Peta kognitif S1 disajikan pada Gambar 1 berikut ini

Tabel 1. Struktur Berpikir S1 Sebelum dan Setelah Defragmenting pada Masalah 1

Sebelum Defragmenting Setelah Defragmenting

Gambar 1. Peta Kognitif S1 pada masalah 1

Defragmenting awal dilakukan dengan

memunculkan kondisi disequilibrasi yaitu kondisi

dimana terjadi ketidakseimbangan dalam pikiran

siswa sehingga diharapkan siswa mampu melakukan

refleksi dan menciptakan kondisi equilibrium.

Selanjutnya, peneliti memberikan scaffolding kepada

S1 sehingga S1 mampu mengaitkan informasi-

informasi pada masalah untuk memecahkan

masalah. Setelah pemberian scaffolding S1

mengalami kesalahan dikarenakan tidak mengubah

Page 34: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

132. JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

satuan waktu dari menit ke jam. Oleh karena itu,

peneliti memunculkan disequilibrasi dan conflict

cognitive. Setelah defragmenting S1 mampu

memperoleh persamaan kuadrat dengan tepat.

Namun, karena bilangan pada persamaan kuadrat

terlalu besar S1 tidak dapat menentukan faktor-

faktor dari persamaan kuadrat tersebut. Sehingga

peneliti kembali memunculkan conflict cognitive

sehingga siswa mampu menentukan faktor-faktor

dari persamaan kuadrat dan menentukan solusi dari

masalah. S1 mengecek kembali solusi masalah yang

telah diperolehnya setelah peneliti memberikan

scaffolding.

Tabel 2. Struktur Berpikir S1 Sebelum dan Setelah Defragmenting pada Masalah 2

Sebelum Defragmenting Setelah Defragmenting

Sebelum defragmenting struktur berpikir S1

belum lengkap dan tidak sesuai dengan struktur

masalah. Kode berwarna merah menunjukkan bahwa

S1 masih mengalami beberapa kesalahan dalam

mencari solusi masalah. Kesalahan tersebut

disebabkan karena S1 tidak memahami informasi-

informasi pada masalah. Oleh karena itu, peneliti

mengajak S1 untuk melakukan refleksi atau

mencoba memperbaiki kesalahan-kesalahan yang

telah S1 lakukan dengan membuat peta kognitif.

Peta kognitif S1 disajikan pada Gambar 2 berikut

ini.

Gambar 2. Peta Kognitif S1 pada masalah 2

Defragmenting awal dilakukan dengan

memunculkan kondisi disequilibrasi sehingga

diharapkan siswa mampu melakukan refleksi dan

menciptakan kondisi equilibrium. Selanjutnya,

peneliti memberikan scaffolding kepada S1 sehingga

S1 mampu mencermati informasi-informasi pada

masalah dan kemudian mencari keterkaitan antara

informasi-informasi tersebut. Setelah pemberian

scaffolding S1 mengalami kesalahan dikarenakan

menganggap ukuran kotak dan karton sama. Oleh

karena itu, peneliti memunculkan conflict cognitive.

Setelah itu, S1 membuat persamaan untuk mencari

lebar kotak dari subtitusi pemisalan panjang dan

lebar balok kedalam persamaan volume kotak. Dari

hasil subtitusi S1 memperoleh persamaan kuadrat.

Selanjutnya S1 mencari faktor-faktor dari persamaan

kuadrat sehingga diperoleh panjang dan lebar kotak.

Kemudian S1 dapat menentukan panjang dan lebar

karton. Peneliti melakukan scaffolding karena S1

tidak mampu mengecek kembali solusi yang

diperolehnya.

Deskripsi Struktur Berpikir S2 dalam

Memecahkan Masalah Persamaan Kuadrat

Tabel 3 berikut menggambarkan perbedaan

atau perubahan struktur berpikir S2 dalam

memecahkan masalah 1 sebelum dan setelah proses

defragmenting.

Page 35: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Kirnasari, dkk. Defragmenting Struktur Berpikir Untuk Memperbaiki Kesalahan Siswa…, 133

Sebelum defragmenting struktur berpikir S2

belum lengkap dan tidak sesuai dengan masalah.

Kode e3 (berwarna merah) menunjukkan bahwa S2

masih mengalami kesalahan dalam mencari solusi

masalah. Kesalahan tersebut disebabkan karena S2

tidak dapat mengaitkan informasi-informasi pada

masalah untuk memecahkan masalah. Oleh karena

itu, peneliti mengajak S2 untuk melakukan refleksi

atau mencoba memperbaiki kesalahan-kesalahan

yang telah S2 lakukan dengan membuat peta

kognitif. Peta kognitif S2 disajikan pada Gambar 3.

Tabel 3. Struktur Berpikir S2 Sebelum dan Setelah Defragmenting pada Masalah 1

Sebelum Defragmenting Setelah Defragmenting

Gambar 3. Peta Kognitif S2 pada masalah 1

Defragmenting awal dilakukan dengan

memunculkan kondisi disequilibrasi sehingga

diharapkan siswa mampu melakukan refleksi dan

menciptakan kondisi equilibrium. Selanjutnya,

peneliti memberikan scaffolding kepada S2 sehingga

S2 mampu mengaitkan informasi-informasi pada

masalah untuk memecahkan masalah. Setelah

pemberian scaffolding S2 mengalami kesalahan

Page 36: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

134. JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

dikarenakan tidak mengubah satuan waktu dari

menit ke jam. Oleh karena itu, peneliti

memunculkan disequuilibrasi dan conflict cognitive.

Setelah defragmenting S2 mampu memperoleh

persamaan kuadrat dengan tepat. Namun, karena

bilangan pada persamaan kuadrat terlalu besar S2

tidak dapat menentukan faktor-faktor dari persamaan

kuadrat tersebut. Sehingga peneliti kembali

memunculkan conflict cognitive sehingga siswa

mampu menentukan faktor-faktor dari persamaan

kuadrat dan menentukan solusi dari masalah. S2

mengecek kembali solusi masalah yang telah

diperolehnya setelah peneliti memberikan

scaffolding.

Tabel 4. Struktur Berpikir S2 Sebelum dan Setelah Defragmenting pada Masalah 2

Sebelum Defragmenting Setelah Defragmenting

Sebelum defragmenting struktur berpikir S2

belum lengkap dan tidak sesuai dengan masalah.

Kode e3 dan e4 (berwarna merah) menunjukkan

bahwa S2 masih mengalami kesalahan dalam

mencari solusi masalah. Kesalahan tersebut

disebabkan karena S2 mengalami kesalahan dalam

memahami apa yang ditanyakan pada masalah. Oleh

karena itu, peneliti mengajak S2 untuk melakukan

refleksi atau mencoba memperbaiki kesalahan-

kesalahan yang telah S2 lakukan dengan membuat

peta kognitif. Peta kognitif S2 disajikan pada

Gambar 4 berikut ini.

Gambar 4. Peta Kognitif S2 pada masalah 2

Defragmenting awal dilakukan dengan

memunculkan kondisi disequilibrasi sehingga

diharapkan siswa mampu melakukan refleksi dan

menciptakan kondisi equilibrium. Karen kesalahan

yang dilakukan S2 adalah kesalahan dalam

memahami apa yang ditanyakan pada masalah maka

peneliti kembali memunculkan kondisi

disequilibrasi. Setelah itu, S2 membuat persamaan

untuk mencari lebar kotak dari subtitusi pemisalan

panjang dan lebar balok kedalam persamaan volume

Page 37: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Kirnasari, dkk. Defragmenting Struktur Berpikir Untuk Memperbaiki Kesalahan Siswa…, 135

kotak. Dari hasil subtitusi S1 memperoleh

persamaan kuadrat. Selanjutnya S2 mengalami

kesalahan dalam menenetukan faktor-faktor dari

persamaan kuadrat. Dalam menentukan faktor-faktor

persamaan kuadrat S2 menggunakan cara coba-coba.

Oleh karena itu, peneliti memunculkan conflict

cognitive sehingga S2 dapat memperbaiki

kesalahannya. Setelah memperoleh solusi masalah

S2 melakukan tahap mengecek kembali.

Deskripsi Struktur Berpikir S2 dalam

Memecahkan Masalah Persamaan Kuadrat

Tabel 5 berikut menggambarkan perbedaan atau

perubahan struktur berpikir S2 dalam memecahkan

masalah 1 sebelum dan setelah proses

defragmenting.

Tabel 5. Struktur Berpikir S3 Sebelum dan Setelah Defragmenting pada Masalah 1

Sebelum Defragmenting Setelah Defragmenting

Sebelum defragmenting struktur berpikir S3

belum lengkap dan tidak sesuai dengan masalah.

Kode e3 (berwarna merah) menunjukkan bahwa S2

masih mengalami kesalahan dalam mencari solusi

masalah. Kesalahan tersebut disebabkan karena S2

tidak dapat mengaitkan informasi-informasi pada

masalah untuk memecahkan masalah. Oleh karena

itu, peneliti mengajak S2 untuk melakukan refleksi

atau mencoba memperbaiki kesalahan-kesalahan

yang telah S2 lakukan dengan membuat peta

kognitif. Peta kognitif S2 disajikan pada Gambar 5

berikut ini.

Gambar 5. Peta Kognitif S3 pada masalah 1

Defragmenting awal dilakukan dengan

memunculkan kondisi disequilibrasi sehingga

diharapkan siswa mampu melakukan refleksi dan

menciptakan kondisi equilibrium. Selanjutnya,

peneliti memberikan scaffolding sehingga S3

mampu memperbaiki kesalahannya dalam membuat

Page 38: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

136. JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

pemisalan dan mampu mengaitkan informasi-

informasi pada masalah untuk memecahkan

masalah. Setelah pemberian scaffolding S3 mampu

memperoleh persamaan kuadrat dengan tepat.

Namun, S3 mengalami kesalahan dalam menentukan

faktor-faktor persamaan kuadrat karena rumus yang

digunakannya kurang tepat. Oleh karena itu, penelitu

memunculkan conflict cognitive sehingga siswa

mampu menentukan faktor-faktor dari persamaan

kuadrat dan menentukan solusi dari masalah. S1

mengecek kembali solusi masalah yang telah

diperolehnya setelah peneliti memberikan

scaffolding.

Tabel 6. Struktur Berpikir S2 Sebelum dan Setelah Defragmenting pada Masalah 2

Sebelum Defragmenting Setelah Defragmenting

Sebelum defragmenting struktur berpikir S3 belum

lengkap dan tidak sesuai dengan masalah. Kode e3

(berwarna merah) menunjukkan bahwa S3 masih

mengalami kesalahan dalam mencari solusi masalah.

Kesalahan tersebut disebabkan karena S3 tidak dapat

mengaitkan informasi-informasi pada masalah untuk

memecahkan masalah. Oleh karena itu, peneliti

mengajak S3 untuk melakukan refleksi atau

mencoba memperbaiki kesalahan-kesalahan yang

telah S3 lakukan dengan membuat peta kognitif.

Peta kognitif S3 disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Peta Kognitif S3 pada masalah 2

Defragmenting awal dilakukan dengan

memunculkan kondisi disequilibrasi sehingga

diharapkan siswa mampu melakukan refleksi dan

menciptakan kondisi equilibrium. Karen kesalahan

yang dilakukan S3 adalah kesalahan dalam

memahami apa yang ditanyakan pada masalah maka

peneliti kembali memunculkan kondisi

disequilibrasi. Setelah itu, S3 membuat persamaan

untuk mencari lebar kotak dari subtitusi pemisalan

panjang dan lebar balok kedalam persamaan volume

kotak. Dari hasil subtitusi S3 memperoleh

persamaan kuadrat. S3 mampu menentukan faktor-

faktor persamaan kuadrat dan memperoleh solusi

masalah. Setelah memperoleh solusi masalah S2

melakukan tahap mengecek kembali.

Dari uraian di atas, Defragmenting struktur

berpikir melalui pemetaan kognitf dilakukan

berdasarkan kesalahan yang dialami oleh siswa.

Menurut Subanji (2015), pemetaan kognitif

menunjukkan arah berpikir sehingga menjadi

petunjuk arah untuk mengambil langkah berikutnya.

Langkah-langkah yang dituliskan mencerminkan apa

yang sedang dipikirkan dan dapat digunakan untuk

menelusuri kesalahan berpikir. Defragmenting

dilakukan untuk memperbaiki kesalahan siswa

dalam memecahkan masalah persamaan kuadrat.

Sebelum membuat peta kognitif peneliti melakukan

defragmenting awal, peneliti memunculkan kondisi

disequilibrasi yaitu kondisi dimana terjadi

ketidakseimbangan dalam pikiran siswa sehingga

Page 39: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Kirnasari, dkk. Defragmenting Struktur Berpikir Untuk Memperbaiki Kesalahan Siswa…, 137

diharapkan siswa mampu melakukan refleksi dan

menciptakan kondisi equilibrium. Kondisi

equilibrium merupakan kondisi keseimbangan dalam

pikiran yang ditunjukkan oleh benarnya siswa dalam

menjawab permasalahan yang ada. Dengan

tantangan yang menimbulkan rasa penasaran, akan

berlangsung proses berpikir menuju keseimbangan

yang disebut equilibrium (Subanji, 2015).

Selanjutnya defragmenting yang dilakukan

untuk memperbaiki kesalahan ketiga siswa dalam

tahap memahami masalah adalah dengan pemberian

scaffolding. Scaffolding dilakukan dengan mengajak

ketiga siswa mencermati informasi-informasi pada

masalah dan kemudian mencari keterkaitan antara

informasi-informasi tersebut. Menurut Coggins

(2007), scaffolding tipe ini termasuk activing prior

knowledge by first focusing on what students know

and understand (mengaktfikan pengetahuan yang

dimiliki siswa dengan memfokuskan apa yang siswa

ketahui dan pahami).

Setelah defragmenting pada tahap memahami

masalah ketiga siswa mampu mengaitkan informasi-

informasi pada masalah. Selanjutnya karena ketiga

siswa mengalami kesalahan dalam tahap

merencanakan strategi penyelesaian maka peneliti

melakukan disequilibrasi dan conflict cognitive.

Conflict cognitive dilakukan dengan memberikan

pertanyaan atau contoh yang dapat membentuk

konflik sehingga akhirnya ketiga siswa menyadari

kesalahan yang dilakukaknnya. Hal ini sesuai

dengan pendapat Subanji (2015) yang menyatakan

bahwa conflict cognitive dilakukan ketika siswa

mengalami kesalahan yang memerlukan suatu

contoh yang dapat digunakan untuk membentuk

konflik kognitif.

Selanjutnya untuk membantu ketiga siswa

memeperbaiki kesalahan dalam melaksanakan

rencana penyelesaian peneliti melakukan conflict

cognitive. Kesalahan ketiga siswa dalam tahap ini

berkaitan dengan menentukan faktor-faktor

persamaan kuadrat. Oleh karena itu, conflict

cognitive dilakukan dengan cara memberikan contoh

persamaan kuadrat yang bilangannya lebih besar

atau lebih kecil, serta memberikan pertanyaan

tentang berapa banyak faktor-faktor dari persamaan

kuadrat. Untuk memperbaiki kesalahan pada tahap

mengecek kembali peneliti memberikan scaffolding.

Scaffolding dilakukan dengan mengajak ketiga siswa

untuk mengecek kembali solusi masalah yang telah

diperolehnya.

Defragmenting yang dilakukan mampu

membuat ketiga siswa memperbaiki kesalahan-

kesalahannya sehingga memperoleh solusi masalah

yang benar. Menurut Wahono (2009) setelah

dilakukan defragmentasi, semua data yang ter-

defrag akan saling terhubung dan tertata sehingga

memudahkan untuk mengambil dan menjelaskan

setiap data yang akan diambil. Setelah

defragmenting struktur berpikir ketiga siswa dalam

memecahkan masalah sudah saling terkait. Dengan

terkaitnya struktur berpikir ketiga siswa

mengakibatkan siswa belajar secara bermakna.

Subanji (2014) menjelaskan bahwa seseorang

dikatakan belajar secara bermakana apabila siswa

tersebut dapat mengaitkan antara apa yang dipelajari

(pengetahuan baru) dengan apa yang sudah

diketahui (pengetahuan lama). Belajar bermakna

menggambarkan proses seseorang dalam

mengonstruksi pengetahuan. Konstruksi

pengetahuan akan terbentuk secara baik apabila ada

kaitan apa yang sedang dipelajari dengan

pengetahuan yang sudah dimiliki.

PENUTUP

Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan yang

sudah diuraikan pada bab sebelumnya, dapat

disimpulkan bahwa kesalahan yang dilakukan ketiga

siswa dalam memecahkan masalah persamaan

kuadrat diawali dengan kesalahan siswa dalam

memahami masalah. Kesalahan pada tahap

memahami masalah menyebabkan kesalahan pada

tahap-tahap selanjutnya. Ketiga siswa juga

mengalami kesalahan dalam menentukan faktor-

faktor persamaan kuadrat. Kesalahan ketiga siswa

dalam menentukan persamaan kuadrat dikarenakan

bilangan yang terdapat pada persamaan kuadrat

terlalu besar, cara yang digunakan dalam

menentukan faktor-faktor persamaan kuadrat adalah

cara coba-coba serta rumus yang digunakan siswa

untuk menentukan faktor-faktor persamaan kuadrat

kurang tepat.

Defragmenting awal yang dilakukan untuk

memperbaiki kesalahan ketiga siswa dalam

memecahkan masalah adalah dengan menciptakan

disequlibrasi. Selanjutnya defragmenting yang

dilakukan untuk memperbaiki kesalahan ketiga

siswa dalam tahap memahami masalah dan

mengecek kembali adalah dengan pemberian

scaffolding. Untuk memperbaiki kesalahan ketiga

siswa dalam tahap merencanakan strategi

penyelesaian dan melaksanakan rencana

penyelesaian dilakukan defragmenting dengan cara

menciptakan disequilibrasi dan conflict cognitive.

Sedangkan untuk memperbaiki kesalahan ketiga

siswa dalam menentukan faktor-faktor persamaan

kuadrat dilakukan defragmenting dengan cara

memunculkan conflict cognitive.

Efektivitas defragmenting yang dilakukan oleh

peneliti dapat ditunjukkan dengan adanya perubahan

struktur berpikir ketiga siswa menjadi struktur

berpikir yang benar. Sebelum defragmenting

struktur berpikir ketiga siswa awalnya kurang

Page 40: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

138. JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

lengkap dan tidak sesuai dengan struktur masalah.

Namun, setelah defragmenting struktur berpikir

ketiga siswa sudah sesuai dengan struktur masalah.

Saran

Dari hasil penelitian ini, peneliti menyampaikan

beberapa saran sebagai berikut.

1. Peneliti, guru, dan pemerhati proses

pembelajaran perlu untuk memahami struktur

berpikir siswa dalam memecahkan masalah,

sehingga dapat memberikan perlakuan

(defragmenting melalui pemetaan kognitif) yang

diperlukan siswa untuk meningkatkan

kemampuannya dalam memecahkan masalah.

2. Penelitian selanjutnya juga disarankan untuk

meneliti tentang defragmenting struktur berpikir

untuk memperbaiki kesalahan siswa dalam

memecahkan masalah pada materi matematika

yang lain. Sehingga tidak hanya mengetahui

kesalahan siswa dalam memecahkan masalah

persamaan kuadrat dan bentuk defragmenting

yang dilakukan tetapi dapat diketahui juga

kesalahan siswa dalam memecahkan masalah

matematika yang lain dan karakteristik

defragmenting yang dilakukan.Bagi peneliti lain

yang tertarik dengan penelitian seperti yang

penulis lakukan, penelitian dapat mengambil

subjek berdasarkan gaya kognitif lainnya seperti

gaya kognitif field dependent dan field

independent atau berdasarkan tipe kepribadian

yang berbeda-beda.

DAFTAR RUJUKAN

Agustinsa. 2014. Defragmenting Proses Berpikir

Melalui Pemetaan Kognitif (Cognitive

Mapping) untuk Memperbaiki Kesalahan

Siswa dalam Memecahkan Masalah Proporsi.

Tesis tidak diterbitkan. Malang: Pascasarjana

UM.

Barnard, T. & Tall, D. O. (Ed). 1997. Cognitive

Units, Connections, and Mathematical Proof.

In E. Pehkonen. Proceeding of the 21th

Annual Conference for the Psychology of

Mathematics Education. Vol. 2 (pp.41-48).

Bicer, A., Capraro, M. R., & Capraro, M. M. 2013.

Integrating Writing into Mathematics

Classroom to Increase Students’ Mathematical

Difficulties. International Electronic Journal

of Mathematics Education, Vol. 6 (1):40-59.

Chapman, O. 2005. Costructing Pedagogical

Knowledge of Problem Solving: Preservice

Mathematics Teacher. Proceeding of The 29th

Converence of The Internasional Group for

The Psychology of Mathematics Education,

2(2): 225-232.

Coggins, D., Kravin, D., Coates, D., Carol, D.M.

2007. English Language Learners in the

Mathematics Classrooms (Online).

http://www.pgcsn.org/~rosa/esoln/scaffoldingf

eb09.pdf. (diakses tanggal 16 Mei 2016).

Cullaste, I. C. 2011. Cognitive Skill of Mathematical

Problem Solving of Grade 6 Children.

International Journal of Innovative

Interdisciplinary Research Issue 1.

Maag, J. W. 2004. Behavior Management: From

Theoritical Implications to Practical

Applications 2nd. California: Thomson

Warsworth.

McKay, M. & Fanning, P. (2000). Self Esteem: A

Proven Program of Cognitive Techniques for

Assesing Improving & Maintining Your Self-

esteem. Oakland: New Harbinger Publications,

Inc.

Menganti, S. 2015. Defragmenting Struktur Berpikir

Siswa dalam Mmemecahkan Masalag

Persamaan Linier Satu Variabel melalui

Refleksi. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS

UM.

OECD. 2013. PISA 2012 Result in Focus What 15-

Year-Olds Know and What They Can Do with

What They Kow.

Pena, S. & Guitierrez. 2007. Cognitive Maps: an

Overview and their Applicaton for Student

Modeling. National Polytechnic Institute,

10(4): 299-327.

Sakif, S. 2014. Defragmenting Proses Berpikir

Siswa Melalui Pemtaan Kognitif untuk

Memperbaiki Kesalahan Siswa dalam

Memecahkan Masalah Aljabar. Tesis tidak

diterbitkan. Malang: Pascasarjana UM.

Subanji, 2014. Revitalisasi Pembelajaran Bermakna

dan Penerapannya dalam Pembelajaran

Matematika Sekolah (Online).

http://teqip.com/wp-

content/uploads/2014/03/Kelompok-MAT-

1.pdf. (diakses tanggal 27 Mei 2016).

Subanji. 2015. Teori Kesalahan Konstruksi Konsep

dan Pemecahan Masalah Matematika.

Malang: UM Press.

Wahono, R.S. 2009. Defragmentasi Otak, (Online),

(http://romisatriawahono.net/

2009/08/10/defragmentasi-otak/), diakses 11

Agustus 2015.

Yuan, S. 2013. Incorporating Polya’s Problem

Solving Method in Remedial Mathematics.

Journal of Humanistic Mathematics. Vol. 3

No. 1.

Page 41: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

139

PENINGKATAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS MELALUI

PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 5E

Pratiwi Dwi Warih Sitaresmi1, I Nengah Parta2, Swasono Rahardjo2

Prodi Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang1, Jurusan Matematika Universitas Negeri Malang2

[email protected]

Abstract: Objective Research and development is to describe the process and results of development

characterized Learning Cycle 5E to students of class VIII are valid, practical and effective to improve

students' mathematical connection. Expected product specification is characterized by the RPP and LKS

Learning Cycle 5E. This study uses Plomp development model (2007) which consists of three stages:

preliminary research, prototyping phase and assessment phase. Based on the results of trial, showed that

the developed learning tools valid criteria, practical, and effective.

Keywords: Learning Cycle 5E, mathematical connection, Pythagorean Theorem

Abstrak: Tujuan penelitian dan pengembangan ini adalah untuk mendeskripsikan proses dan hasil

pengembangan perangkat bercirikan Learning Cycle 5E untuk siswa kelas VIII yang valid, praktis dan

efektif yang dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa. Spesifikasi produk yang

diharapkan adalah RPP dan LKS bercirikan Learning Cycle 5E. Penelitian ini menggunakaan model

pengembangan Plomp (2007) yang terdiri dari tiga tahap yaitu preliminary research (penelitian awal),

prototyping (tahap perancangan prototipe) dan assessment phase (tahap asesmen). Berdasarkan hasil uji

coba lapangan, menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran yang dikembangkan memenuhi kriteria

valid, praktis, dan efektif.

Kata kunci: Learning Cycle 5E, koneksi matematis, teorema pythagoras

Pendidikan merupakan salah satu faktor

terpenting dalam perkembangan individu, dan kita

dituntut untuk memperoleh, memilih, dan mengolah

informasi dan pengetahuan. Salah satu mata

pelajaran yang dapat mendukung hal tersebut adalah

matematika. Oleh karena itu, kita dituntut untuk

dapat meningkatkan kualiatas pembelajaran

matematika yang dilakukan sebagai salah satu upaya

untuk membantu proses pembangunan dalam bidang

pendidikan. Salah satu cara untuk dapat

meningkatkan kualitas pembelajaran matematika

adalah menerapkan strategi pembelajaran yang dapat

mendukung terwujudnya tujuan pembelajaran

matematika yang sesungguhnya. Menurut

Cornellius (dalam Abdurrahman, 2003: 253), tujuan

pembelajaran matematika di sekolah diantaranya

adalah untuk memberikan perangkat dan

keterampilan yang perlu untuk penggunaannya

dalam dunianya, kehidupan sehari-hari, dan dengan

mata pelajaran lain. Pendapat tersebut juga sejalan

dengan Davis, tujuan pembelajaran matematika

salah satunya memberikan sumbangan pada

permasalahan sains, teknik, filsafat, dan bidang-

bidang lainnya. Tujuan pembelajaran matematika

tersebut dapat diwujudkan dengan mengembangkan

salah satu kemampuan matematis, yaitu kemampuan

koneksi matematis. Kemampuan koneksi matematis

merupakan kemampuan yang penting untuk

dikembangkan pada siswa sekolah menengah.

Melalui koneksi saat mempelajari konsep

matematika, siswa dapat menghubungkan konsep-

konsep matematika yang telah dipelajari sebagai

pengetahuan dasar untuk memahami konsep yang

baru, sehingga siswa tidak mengalami kesulitan

dalam mempelajari matematika. Selain itu, dengan

melihat hubungan antara konsep matematika dan

kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, siswa akan

mengetahui banyak manfaat dari matematika (The

Ontario Curriculum Grades 1-8: 2005: 16). Hal ini

sesuai dengan standar kurikulum yang dinyatakan

NCTM (2000), terdapat lima standar yang

mendeskripsikan keterkaitan antara pemahaman

matematika dengan kompetensi matematika yaitu

kemampuan pemecahan masalah (problem solving),

kemampuan komunikasi (communication),

kemampuan penalaran (reasoning), kemampuan

koneksi (connection), dan kemampuan representasi

(representation)”.

Berdasarkan tes awal yang dilakukan pada

materi teorema Pythagoras kelas VIII diperoleh

hasil bahwa kemampuan koneksi matematis siswa

masih rendah. Sebagian besar siswa kesulitan dalam

menghubungkan konsep yang sebelumnya telah

diketahui. Mereka belum mampu mengenali

hubungan antara konsep-konsep matematika yang

harus digunakan untuk menyelesaikan permasalahan

Page 42: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

140. JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

yang membutuhkan pengaitan dalam

penyelesaiannya. Siswa juga belum bisa menentukan

langkah-langkah apa yang akan dipakai untuk

menyelesaiakn permasalahan. Untuk mengatasi

rendahnya kemampuan koneksi matematis,

diperlukan perubahan dalam pembelajarannya.

Iskandar (2010: 10) yakin bahwa dalam

pembelajaran bermakna terjadi kaitan-kaitan antara

pengetahuan terdahulu yang merupakan konsep-

konsep umum dengan konsep baru. Pembelajaran

bermakna terjadi bila pengetahuan baru terkait

dengan konsep yang sudah ada atau konsep lama.

Berdasarkan hasil wawancara dengan

beberapa siswa, diketahui bahwa pembelajaran

masih menggunakan metode ceramah. Pembelajaran

di kelas hanya berorientasi pada pengerjaan latihan

soal-soal saja. Guru belum mendorong siswa untuk

dapat mengungkapkan pendapat mereka serta

menggunakan pengetahuan awal mereka dalam

memahami situasi baru. Selain itu, Lembar Kegiatan

Siswa (LKS) yang ada hanya berisi ringkasan

materi dan belum memberikan kesempatan siswa

untuk membangun pemahaman mereka sendiri

tentang suatu materi tertentu. Menurut Jacob, salah

satu penyebab rendahnya kemampuan koneksi

matematis siswa terletak pada faktor model

pembelajarannya atau penggunaan strategi-metode-

teknik mengajar. Penggunaan model pembelajaran

konvensional yang selama ini sering digunakan lebih

menitikberatkan keaktifan guru dan siswa kurang

diberikan kesempatan untuk mengembangkan

kemampuan dan pengetahuan yang didapatnya

hanya terbatas pada apa yang ia pelajari sehingga

kemampuan berpikirnya tidak berkembang secara

optimal, termasuk kemampuan koneksi

matematisnya. Learning Cycle (LC) merupakan

salah satu model pembelajaran yang memperhatikan

kemampuan awal yang dimiliki oleh siswa (Purniati

dkk, 2009: 3). LC 5E juga memfasilitasi proses

pembelajaran dan memberikan kesempatan kepada

siswa untuk belajar secara bermakna (Lorsbach,

2002). Diharapkan dengan menerapkan

pembelajaran LC 5E dapat memperbaiki

pembelajaran matematika di kelas.

Metode yang telah dipilih dapat digunakan

dalam penyusunan perangkat pembelajaran yang

akan dikembangkan. Dalam penelitian ini perangkat

pembelajaran yang dimaksud adalah RPP dan LKS.

Perangkat pembelajaran perlu disusun dengan baik

agar tujuan pembelajaran tercapai. Menurut Nur

(2002) dan Devi, Sofiraeni, & Khairuddin, (2009: 1)

bahwa perangkat pembelajaran memberikan

kemudahan dan dapat membantu guru dalam

mempersiapkan dan melaksanakan kegiatan belajar

mengajar di kelas. Beberapa penelitian yang relevan

yang dilakukan oleh penelitian Kusuma (2011)

menunjukkan adanya peningkatan kemampuan

pemahaman konsep matematika siswa setelah

melalui pembelajaran dengan Learning Cycle 5E.

Penelitian Sumarni (2014) mengemukakan bahwa

kemampuan koneksi matematis siswa yang

memperoleh pembelajaran melalui Learning Cycle

5E lebih baik daripada siswa yang memperoleh

pembelajaran konvensional.

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti

ingin mengembangkan perangkat pembelajaran yang

dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematis

siswa. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian

dengan judul “ Pengembangan Perangkat

Pembelajaran Bercirikan Learning Cycle 5E untuk

Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis

Siswa pada Materi Teorema Pythagoras Kelas VIII”.

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan

perangkat pembelajaran matematika bercirikan

Learning Cycle 5E yang valid, praktis, dan efektif

untuk meningkatkan kemampuan koneksi matematis

pada materi Teorema Pythagoras.

Perangkat pembelajaran yang dikembangkan

dikatakan valid apabila telah divalidasi oleh

validator dan memenuhi kriteria kevalidan mencapai

minimal 3 dengan memperhatikan saran dan

komentar dari validator. Perangkat pembelajaran

dikatakan praktis apabila hasil pengamatan

keterlaksanaan pembelajaran yang memenuhi

kategori baik atau sangat baik. Perangkat

pembelajaran dikatakan efektif apabila 1) aktivitas

siswa selama pembelajaran memenuhi kategori

minimal baik, 2) unjuk kerja siswa dalam LKS

memenuhi kriteria baik, dan 3) kemampuan koneksi

matematis siswa mengalami peningkatan minimal 1

dalam rentang skor 0-4. Kemampuan koneksi

matematis siswa dikatakan meningkat secara

klasikal apabila minimal 70% siswa mengalami

peningkatan kemampuan koneksi matematis.

.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian

pengembangan. Model penelitian pengembangan

dalam penelitian ini menggunakan model

pengembangan Plomp (2007). Dalam model

pengembangan Plomp (2007) terdapat tiga tahap,

yaitu (1) preliminary research (penelitian awal), (2)

prototyping phase (tahap perancangan prototipe),

dan (3) assessment phase ( tahap asesmen). Uji coba

dilakukan di MTsN Kota Probolinggo. Subjek uji

coba adalah 27 siswa kelas VIII MTsN Kota

Probolinggo.

Pada penelitian awal, kegiatan yang peneliti

lakukan adalah menganalisis kebutuhan dan

konteks. Pada tahap perancangan prototipe, kegiatan

yang dilakukan adalah menyusun RPP, merancang

format dan isi LKS, menyusun instrumen peneltian,

serta memvalidasi produk dan instrumen penilaian.

Page 43: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Sitaresmi, dkk. Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Melalui Pembelajaran…, 141

Aspek yang akan dinilai dari perangkat

pembelajaran yang dikembangkan adalah kevalidan,

kepraktisan, dan keefektifan. Instrumen penilaian

dalam penelitian ini terdiri dari (1) lembar validasi,

(2) lembar observasi, dan tes kemampuan koneksi

matematis. Lembar validasi ini digunakan untuk

menilai tingkat kevalidan produk dan instrumen

penliaian. Instrumen yang disusun terdiri dari

lembar validasi RPP, lembar validasi LKS, lembar

validasi observasi guru, dan lembar validasi

observasi siswa. Uji kepraktisan diperoleh dari

lembar observasi aktivitas guru. Sedangkan uji

keefektifan dilihat dari aktivitas siswa, unjuk kerja

siswa dalam menyelesaaikan LKS, dan tes

kemampuan koneksi. Perangkat pembelajaran

dikatakan efektif apabila tercapai indikator-

indikator: 1) aktivitas siswa selama pembelajaran

memenuhi kategori minimal baik, 2) unjuk kerja

siswa dalam LKS memenuhi kriteria baik, dan 3)

banyak siswa yang mengalami peningkatan

kemampuan koneksi matematis ≥ 70%.

HASIL

Hasil dan Analisis Data

Berdasarkan penelitian awal, diperoleh

informasi bahwa pembelajaran Matematika di

MTsN Kota Probolinggo, guru masih menggunakan

metode ceramah. Pembelajaran hanya berfokus pada

LKS dan pengerjaan latihan soal yang ada pada

LKS. Latihan soal yang ada pada LKS hanya

mengaplikasikan konsep yang telah dipahami siswa,

kurang menyediakan aktivitas bagi siswa. LKS juga

belum mengakomodasi upaya untuk meningkatkan

kemampuan koneksi matematis siswa.. Pada

kegiatan meninjau literatur, peneliti mengkaji teori

tentang kemampuan koneksi matematis dan teori

tentang Learning Cycle 5E. Berdasarkan hasil

pengkajian teori mengenai kemampuan koneksi

matematis, terdapat beberapa definisi yang

dikemukakan oleh para ahli. NCTM (2000: 274)

menguraikan standar koneksi matematis, yaitu (1)

Mengenali dan menggunakan keterhubungan

(koneksi) diantara ide-ide matematika; (2)

Memahami bagaimana ide-ide matematika saling

terkait dan membangun satu sama lain sehingga

menghasilkan suatu keterkaitan secara lengkap; (3)

Mengenali dan menggunakan konsep-konsep

matematika dalam konteks di luar matematika.

Adapun indikator kemampuan koneksi matematis

dalam penelitian ini yaitu siswa mampu: (1)

menerapkan berbagai hubungan diantara konsep atau

prosedur matematika, (2) menerapkan hubungan

antar konsep atau prosedur matematika dengan topik

disiplin ilmu lain (Ilmu Fisika), dan (3) menerapkan

hubungan antar konsep atau prosedur matematika

dengan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari.

Pembelajaran dilaksanakan sebanyak tiga kali

pertemuan. Pertemuan pertama membahas tentang

indikator (1) menemukan Teorema Pythagoras dan

(2) menentukan panjang sisi segitiga siku-siku jika

dua sisi lain diketahui barisan aritmetika. Pertemuan

kedua tentang indikator (1) menentukan bilangan

tripel Pythagoras dan (2) menentukan jenis-jenis

segitiga berdasarkan hubungan antara kuadrat

panjang sisi terpanjang dengan jumlah kuadrat

panjang sisi yang lain. Pertemuan ketiga membahas

indikator (1) menemukan perbandingan panjang sisi

pada segitiga siku-siku yang memiliki sudut

istimewa dan (2) menentukan panjang diagonal pada

bangun datar menggunakan prinsip Pythagoras.

Pada kegiatan pengembangaan, peneliti

mengembangkan produk yang berupa RPP dan LKS

bercirikan penemuan terbimbing dan instrumen

penelitian. Langkah pembelajaran pada RPP

disesuaikan dengan tahap-tahap Learning Cycle 5E

untuk meningkatkan kemampuan koneksi matematis

siswa. Kegiatan siswa pada LKS disesuaikan dengan

tahap-tahap Learning Cycle 5E, yaitu engagement,

exploration, explanation, elaboration, dan

evaluation

Berdasarkan validasi yang dilakukan oleh tiga

validator, diperoleh hasil validasi (1) RPP dengan

diperoleh rata-rata keseluruhan aspek �̅�𝑡 = 3,38. (2)

LKS dengan rata-rata keseluruhan aspek �̅�𝑡 = 3,18,

(3) lembar observasi aktivitas guru dengan rata-rata

keseluruhan aspek �̅�𝑡 = 3,62, (4) lembar observasi

siswa dengan rata-rata keseluruhan aspek �̅�𝑡 = 3,62,

dan (5) tes kemampuan koneksi matematis siswa

dengan rata-rata keseluruhan aspek �̅�𝑡 = 3,27.

Berdasarkan kriteria kevalidan yang telah

ditetapkan, maka perangkat pembelajaran dan

instrumen penilaian telah memenuhi kriteria valid.

Meskipun demikian, peneliti tetap melakukan revisi

berdasarkan saran atau komentar dari validator.

Setelah dilakukan validasi dan revisi,

selanjutnya dilakukan uji coba untuk mengetahui

kepraktisan dan keefektifan perangkat pembelajaran.

Uji coba kecil dilakukan kepada 27 siswa kelas VIII

MTsN Kota Probolinggo. Uji kepraktisan dinilai dari

hasil lembar observasi aktivitas guru. Berdasarkan

hasil analisis data observasi aktivitas guru, diperoleh

rata-rata keseluruhan indikator �̅�𝑡 = 3,28.

Berdasarkan kriteria yang telah ditentukan,

keterlaksanaan perangkat pembelajaran (aktivitas

guru) masuk dalam kategori baik. Oleh karena itu,

perangkat pembelajaran yang dikembangkan

memenuhi kriteria kepraktisan.

Tingkat keefektifan produk dilihat dari lembar

observasi aktivitas siswa, unjuk kerja siswa dalam

LKS, dan tes kemampuan koneksi matematis siswa.

Berdasarkan Berdasarkan hasil analisis data

observasi aktivitas siswa, diperoleh rata-rata

keseluruhan indikator �̅�𝑡 = 3,19. Berdasarkan

Page 44: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

142. JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

kriteria yang telah ditentukan, tingkat keaktifan

siswa termasuk dalam kategori tinggi. Berdasarkan

hasil analisis, skor unjuk kerja siswa dalam LKS

mencapai rata-rata �̅�𝑡 = 3,58. Berdasarkan kriteria

unjuk kerja siswa dalam LKS ini termasuk dalam

kategori baik. Selanjutnya, berdasarkan hasil analisis

data tes kemampuan koneksi matematis, sebanyak

27 siswa atau 100% siswa mengalami peningkatan

kemampuan koneksi matematis setelah penerapan

perangkat pembelajaran. Sehingga dapat dikatakan

perangkat pembelajaran memenuhi kriteria

keefektifan.

PEMBAHASAN

Peneltian pengembangan ini telah

menghasilkan perangkat pembelajaran berupa

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan

Lembar Kegiatan Siswa (LKS) bercirikan Learning

Cycle 5E. Pengembangan perangkat pembelajaran

ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan

koneksi matematis siswa. Selain RPP dan LKS,

dikembangkan instrumen yang mendukung penilaian

perangkat pembelajaran, yaitu lembar validasi,

lembar observasi aktivitas guru, lembar observasi

aktivitas siswa, dan tes kemampuan koneksi

matematis.

Perangkat pembelajaran yang berupa RPP dan

LKS bercirikan Learning Cycle 5E dapat melatih

siswa untuk mengerti hubungan atau keterkaitan

suatu materi dalam matematika dengan materi yang

akan dipelajari. Selain itu, dengan pembelajaran

Learning Cycle 5E ini dapat membantu siswa untuk

belajar materi tertentu dengan memberikan

keterkaitan materi yang akan dipelajari dengan dunia

nyata. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumarni

(2014), bahwa melalui Learning Cycle 5E yaitu pada

tahap engagement dimana guru membangkitkan

minat siswa untuk belajar materi tertentu dengan

memberikan keterkaitan materi yang akan dipelajari

dengan dunia nyata. Selain itu, pada tahap ini guru

membangkitkan ingatan siswa mengenai materi

prasyarat untuk mempelajari materi yang akan

dipelajari. Oleh karena siswa dirangsang dan dilatih

untuk mengaitkan suatu materi tertentu dengan

materi lain, serta mengaitkan materi yang akan

dipelajari dengan dunia nyata, maka kemampuan

koneksi matematis siswa dapat meningkat. Hal

tersebut sependapat dengan Yuniawati (2011) yang

mengatakan bahwa kemampuan koneksi matematis

dapat membuka nalar siswa untuk memahami kaitan

ide-ide antar matematika, matematika dengan mata

pelajaran yang lain, dan antar kehidupan sehari-hari

sehingga siswa akan memahami setiap materi

matematika dengan lebih baik.

Pada pertemuan pertama, siswa masih

kesulitan untuk mengikuti kegiatan pembelajaran

yang baru. Siswa cenderung pasif dan enggan dalam

menyampaikan pendapat. Selain itu, siswa juga

merasa kesulitan dalam menyelesaikan

permasalahan-permasalahan yang ada pada LKS.

Hal ini dimungkinkan siswa belum terbiasa

menyelesaikan permasalahan yang membutuhkan

keterkaitan antara materi yang lain dengan materi

yang akan dipelajari. Menurut Heruman (2007) dan

Herman (1999) dalam matematika, setiap konsep

berkaitan dengan konsep lain, dan suatu konsep

menjadi prasyarat bagi konsep yang lain. Siswa akan

lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu

didasari kepada apa yang telah diketahui siswa

tersebut. Karena itu untuk mempelajari suatu materi

matematika yang baru, pengalaman belajar yang lalu

akan mempengaruhi proses belajar.

Pada pertemuan kedua dan ketiga, siswa

mulai bias beradaptasi dengan pembelajaran yang

baru. Namun guru masih harus tetap ekstra

mengelolah kelas pada saat proses pembelajaran

berlangsung. Siswa mulai termotivasi untuk

mengikuti kegiatan pembelajaran. Hal ini

dikarenakan siswa dilibatkan langsung dalam

kegiatan pembelajaran melalui diskusi, mereka tidak

hanya duduk diam, mendengarkan dan mencatat

kembali apa yang dicatat guru di papan tulis.

Ngalimun (2013) berpendapat penerapan

pembelajaran Learning Cycle 5E memberi

keuntungan pada siswa, antara lain: (1)

meningkatkan motivasi belajar karena dilibatkan

secara aktif dalam proses pembelajaran, (2)

pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa

dan guru bersama-sama aktif. Selain itu, kegiatan-

kegiatan pada LKS membantu mengembangkan

kemampuan koneksi matematis siswa karena

permasalahan yang disusun membutuhkan

keterkaitan dengan materi lain dalam

penyelesaiannya, baik materi lain dalam matematika,

disiplin ilmu lain, dan kehidupan sehari-hari.

Pembelajaran dirancang dalam bentuk diskusi.

Siswa mendiskusikan dan menyelesaikan

permasalahan yang ada pada LKS, selanjutnya guru

membimbing dan mengarahkan diskusi kelas untuk

mendiskusikan hasil pengerjaan LKS. Diskusi kelas

berlangsung dengan menunjuk salah satu kelompok

untuk menjelaskan hasil diskusi mereka tentang

suatu permasalahan, sedangkan kelompok yang lain

memperhatikan dan memberikan tanggapan atas

jawaban tersebut. Adanya kegiatan diskusi

kelompok dapat memberikan kesempatan kepada

siswa untuk belajar secara bermakna yang

selanjutnya dapat meningkatkan kemampuan

pemahaman konsep matematika. Hal ini sesuai

dengan pendapat Mediatati (2012) yang menjelaskan

salah satu pembelajaran yang berpeluang besar dapat

meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa

adalah dengan menerapkan pembelajaran dimana

siswa diberikan tugas untuk diselesaikan dalam

Page 45: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Sitaresmi, dkk. Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Melalui Pembelajaran…, 143

kelompok. Menurutnya, interaksi tatap muka

memudahkan siswa untuk saling bertukar pikiran

dalam memahami pelajaran dan mencari solusi

untuk menyelesaikan suatu permasalahan.

Permasalahan yang dirancang pada LKS

bersifat kontekstual, tidak rutin, dan dalam

penyelesaiannya membutuhkan pengaitan-pengaitan

antar materi matematika, matematika dengan

disiplin ilmu lain, dan matematika dengan kehidupan

sehari-hari. Dengan memberikan tugas atau soal-soal

koneksi matematis dapat melatih siswa untuk

terbiasa mengingat materi-materi yang pernah

dipelajari, sehingga ingatan siswa terhadap materi

yang dipelajari akan bertahan lama. Hal ini

sependapat dengan Heryani (2014) yang mengatakan

bahwa kemampuan siswa dalam menyelesaikan

soal-soal koneksi matematis tergolong rendah, hal

tersebut dikarenakan kurangnya kesempatan siswa

untuk berlatih mengerjakan soal-sola koneksi

matematis. Jika siswa jarang berlatih mengerjakan

soal-soal koneksi matematis, maka ingatan siswa

terhadap materi yang dipelajari tidak bertahan lama

sehingga siswa akan kesulitan membangun

pengetahuan baru dari pengetahuan yang sudah

dipelajari sebelumnya.

Penerapan perangkat pembelajaran tersebut

berdampak pada kemampuan koneksi matematis

siswa. Berdasarkan hasil tes koneksi matematis

siswa, tidak ada siswa yang memperoleh skor

dibawah 3 dari rentang skor 0 sampai 4. Sebanyak

27 siswa mengalami peningkatan kemampuan

koneksi matematis. Hal ini dimungkinkan karena

siswa sudah terbiasa dengan soal-soal koneksi.

Mereka dapat menghubungkan antar konsep dalam

matematika, dapat menentukan rumus apa yang akan

dipakai jika dihadapkan pada soal-soal yang

berkaitan dengan masalah kehidupan sehari-hari,

serta dapat menyelesaikan soal terkait menuliskan

masalah kehidupan sehari-hari ke dalam model

matematika. Menurut Permana & Sumarmo (2007),

pemahaman siswa tentang koneksi antar konsep atau

ide-ide matematika akan memfasilitasi kemampuan

mereka untuk menyelesaikan masalah lain dalam

matematika atau disiplin ilmu lain.

Selain berdampak pada kemampuan koneksi

matematis siswa, penerapan perangkat pembelajaran

yang dikembangkan dikelas juga memberikan

dampak lain. Perancangan perangkat pembelajaran

bercirikan Learning Cycle 5E meningktakan

keaktifan siswa selama pembelajaran di kelas.

Pembelajaran yang sebelumnya berpusat pada guru

menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa. Hal

ini dikarenakan siswa tida hanya duduk diam,

mendengarkan penjelasan dari guru, kemudian

mencatat kembali apa yang dicatat guru di papan

tulis. Siswa belajar secara mandiri, bersama-sama

dengan teman kelompoknya untuk memahami

pelajaran. Menurut Cohen dan Clough (dalam

Fajaroh dan Dasna, 2004), penerapan Learning

Cycle 5E melibatkan siswa secara aktif dalam proses

pembelajaran, dan membantu mengembangkan sikap

ilmiah siswa sehingga pembelajaran menjadi lebih

bermakna. Sumarni (2014) berpendapat bahwa

kemampuan koneksi matematis siswa yang

memperoleh pembelajaran Learning Cycle 5E lebih

baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran

konvensional.

Berdasarkan hasil analisis data hasil uji coba

kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan yang

dijelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa

perangkat pembelajaran yang dikembangkan

memenuhi kriteria kevalidan, kepraktisan, dan

keefektifan. Sehingga dapat dijadikan sebagai salah

satu alternatif bahan ajar untuk siswa SMP dalam

pembelajaran materi Teorema Pythagoras.

Perangkat pembelajaran yang berupa RPP dan

LKS bercirikan Learning Cycle 5E dapat melatih

siswa untuk mengerti hubungan atau keterkaitan

suatu materi dalam matematika dengan materi yang

akan dipelajari. Selain itu, dengan pembelajaran

Learning Cycle ini dapat membantu siswa untuk

belajar materi tertentu dengan memberikan

keterkaitan materi yang akan dipelajari dengan dunia

nyata. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumarni

(2014), bahwa melalui Learning Cycle 5E yaitu pada

tahap engagement dimana guru membangkitkan

minat siswa untuk belajar materi tertentu dengan

memberikan keterkaitan materi yang akan dipelajari

dengan dunia nyata. Selain itu, pada tahap ini guru

membangkitkan memori siswa mengenai materi

prasyarat untuk mempelajari materi yang akan

dipelajari. Oleh karena siswa dirangsang dan dilatih

untuk mengaitkan suatu materi tertentu dengan

materi lain, serta mengaitkan materi yang akan

dipelajari dengan dunia nyata, maka kemampuan

koneksi matematis siswa dapat meningkat. Hal

tersebut sependapat dengan Yuniawati (2011) yang

mengatakan bahwa kemampuan koneksi matematis

dapat membuka nalar siswa untuk memahami kaitan

ide-ide antar matematika, matematika dengan mata

pelajaran yang lain, dan antar kehidupan sehari-hari

sehingga siswa akan memahami setiap materi

matematika dengan lebih baik.

Pembelajaran dirancang dalam bentuk diskusi

kelompok dan diskusi kelas. Siswa mendiskusikan

dan menyelesaikan permasalahan yang ada pada

LKS, selanjutnya guru membimbing dan

mengarahkan diskusi kelas untuk mendiskusikan

hasil pengerjaan LKS. Diskusi kelas berlangsung

dengan menunjuk salah satu kelompok untuk

menjelaskan hasil diskusi mereka tentang suatu

permasalahan, sedangkan kelompok yang lain

memperhatikan dan memberikan tanggapan atas

jawaban tersebut. Adanya kegiatan diskusi

Page 46: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

144. JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

kelompok dapat memberikan kesempatan kepada

siswa untuk belajar secara bermakna yang

selanjutnya dapat meningkatkan kemampuan

pemahaman konsep matematika. Hal ini sesuai

dengan pendapat Mediatati (2012) yang menjelaskan

salah satu pembelajaran yang berpeluang besar dapat

meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa

adalah dengan menerapkan pembelajaran dimana

siswa diberikan tugas untuk diselesaikan dalam

kelompok. Menurutnya, interaksi tatap muka

memudahkan siswa untuk saling bertukar pikiran

dalam memahami pelajaran dan mencari solusi

untuk menyelesaikan suatu permasalahan.

Permasalahan yang dirancang pada LKS

bersifat kontekstual, tidak rutin, dan dalam

penyelesaiannya dibutuhkan pengaitan-pengaitan

antar materi matematika, matematika dengan

disiplin ilmu lain, dan dengan kehidupan sehari-hari.

Dengan memberikan tugas atau soal-soal koneksi

matematis dapat melatih siswa untuk terbiasa

mengingat materi-materi yang pernah dipelajari,

sehingga ingatan siswa terhadap materi yang

dipelajari akan bertahan lama. Hal ini sependapat

dengan Heryani (2014) yang mengatakan bahwa

kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal

koneksi matematis tergolong rendah, hal tersebut

dikarenakan kurangnya kesempatan siswa untuk

berlatih mengerjakan soal-sola koneksi matematis.

Jika siswa jarang berlatih mengerjakan soal-soal

koneksi matematis, maka ingatan siswa terhadap

materi yang dipelajari tidak bertahan lama sehingga

siswa akan kesulitan membangun pengetahuan baru

dari pengetahuan yang sudah dipelajari sebelumnya.

Selain berdampak pada kemampuan koneksi

matematis siswa, penerapan perangkat pembelajaran

yang dikembangkan dikelas juga memberikan

dampak lain. Perancangan perangkat pembelajaran

bercirikan Learning Cycle 5E meningktakan

keaktifan siswa selama pembelajaran di kelas.

Pembelajaran yang sebelumnya berpusat pada guru

menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa. Hal

ini dikarenakan siswa tida hanya duduk diam,

mendengarkan penjelasan dari guru, kemudian

mencatat kembali apa yang dicatat guru di papan

tulis. Siswa belajar secara mandiri, bersama-sama

dengan teman kelompoknya untuk memahami

pelajaran. Menurut Cohen dan Clough (dalam

Fajaroh dan Dasna, 2004), penerapan Learning

Cycle 5E melibatkan siswa secara aktif dalam proses

pembelajaran, dan membantu mengembangkan sikap

ilmiah siswa sehingga pembelajaran menjadi lebih

bermakna. Sumarni (2014) berpendapat bahwa

kemampuan koneksi matematis siswa yang

memperoleh pembelajaran Learning Cycle 5E lebih

baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran

konvensional.

Berdasarkan hasil analisis data hasil uji coba

kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan yang

dijelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa

perangkat pembelajaran yang dikembangkan

memenuhi kriteria kevalidan, kepraktisan, dan

keefektifan. Sehingga dapat dijadikan sebagai salah

satu alternatif bahan ajar untuk siswa SMP dalam

pembelajaran materi Teorema Pythagoras.

Berdasarkan catatan pada saat uji coba

lapangan menunjukkan adanya kelebihan dan

kekurangan dari perangkat pembelajaran yang

dikembangkan. Adapun kelebihan perangkat

pembelajaran yang telah dikembangkan antara lain:

1. Langkah pembelajaran dalam RPP yang disusun

secara terperinci sesuai dengan tahap-tahap

Learning Cycle 5E, sehingga mempermudah guru

model dalam melaksanakan pembelajaran. Hal

ini berdasarkan respon positif yang diberikan

oleh guru model dimana guru tersebut merasa

mudah dalam menerapkan perangkat

pembelajaran.

2. Aktivitas-aktivitas yang dirancang mampu

menciptakan suasana belajar yang

menyenangkan. Hal ini dibuktikan dengan

adanya peningkatan aktivitas siswa dalam setiap

pertemuan.

3. Permasalahan-permasalahan yang dirancang

dalam LKS mampu membantu siswa untuk

terbiasa menyelesaikan soal-soal koneksi

matematis, serta mampu membantu siswa untuk

memahami materi Teorema Pythagoras. Hal ini

terlihat berdasarkan hasil unjuk kerja siswa yang

meningkat pada setiap pertemuannya.

4. Aktivitas dalam pembelajaran memungkinkan

siswa untuk terlibat dalam interaksi sosial dengan

teman sebaya, sehingga meningkatkan motovasi

siswa untuk belajar. Hal tersebut terlihat dengan

adanya partisipasi aktif pada saat diskusi

kelompok maupun diskusi kelas.

Adapun kekurangan penerapan pembelajaran

Learning Cycle 5E ini sebagai berikut:

1. Dalam melaksanakan pembelajaran memerlukan

pengolahan kelas yang lebih terencana dan

terorganisasi. Hal ini berdasarkan komentar/

saran yang dituliskan salah satu observer pada

salah satu pertemuan, bahwa kontrol guru dalam

diskusi kelompok masih kurang.

2. Pengerjaan kegiatan dalam LKS memerlukan

waktu dan tenaga yang lebih banyak karena

adanya kegiatan diskusi kelas dalam setiap tahap

pembelajaran. Hal tersebut berdasarkan hasil

unjuk kerja siswa dalam LKS yang terkadang

belum tuntas.

3. Penggunaan bahasa dan simbol yang digunakan

dalam LKS kurang mudah dipahami, sehingga

siswa mengalami kesulitan dalam memahami

kalimat dalam setiap kegiatan. Hal tersebut

Page 47: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Sitaresmi, dkk. Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Melalui Pembelajaran…, 145

berdasarkan komentar/ saran yang dituliskan oleh

observer, dimana dalam salah satu kegiatan

diskusi kelompok siswa sering bertanya pada

guru model tentang maksud dari pertanyaan yang

dituliskan.

PENUTUP

Kesimpulan

Perangkat pembelajaran bercirikan Learning

Cycle 5E pada materi Teorema Pythagoras kelas

VIII memiliki karakteristik diantaranya, (1)

Perangkat pembelajaran berupa RPP dan LKS

memenuhi kriteria valid, karena perangkat

pembelajaran telah sesuai dalam mengimplemen-

tasikan pembelajaran learning Cycle 5E pada materi

Teorema Pythagoras. Ini terlihat dari hasil analisis

data kevalidan RPP dan LKS masing-masing

diperoleh rata-rata keseluruhan aspek �̅�𝑡 = 3,38 dan

�̅�𝑡 = 3,18. Berdasarkan kriteria kevalidan, RPP dan

LKS dapat dinyatakan valid dengan revisi atas saran/

komentar validator, (2) Perangkat pembelajaran

memenuhi kriteria keprakrisan, karena perangkat

pembelajaran mudah digunakan, guru model

mempertimbangkan untuk menggunakannya

kembali dalam kegiatan pembelajaran. Selain itu,

Berdasarkan hasil analisis data observasi aktivitas

guru, diperoleh rata-rata keseluruhan indikator �̅�𝑡 =3,28. Berdasarkan kriteria yang telah ditentukan,

keterlaksanaan perangkat pembelajaran (aktivitas

guru) masuk dalam kategori baik. Oleh karena itu,

perangkat pembelajaran yang dikembangkan

memenuhi kriteria kepraktisan, (3) Perangkat

pembelajaran memenuhi kriteria efektif, karena

perangkat pembelajaran dapat meningkatkan

kemampuan koneksi matematis siswa sesuai dengan

tujuan awal pengembangan produk, aktivitas siswa

selama proses pembelajaran sangat baik, serta hasil

unjuk kerja siswa dalam LKS baik. Berdasarkan

hasil analisis data observasi aktivitas siswa,

diperoleh rata-rata keseluruhan indikator �̅�𝑡 = 3,19,

sehingga tingkat keaktifan siswa termasuk dalam

kategori tinggi. Untuk skor unjuk kerja siswa dalam

LKS mencapai rata-rata �̅�𝑡 = 3,58. Berdasarkan

kriteria unjuk kerja siswa dalam LKS ini termasuk

dalam kategori baik. Selain itu, sebanyak 27 siswa

(≥ 70%) mengalami peningkatan kemampuan

koneksi matematis. Berdasarkan kriteria keefektifan,

maka perangkat pembelajaran memenuhi kriteria

keefektifan.

Saran

Peneliti memberikan saran- saran untuk

meningkatkan kualitas produk, diantaranya :

a. Pembelajaran matematika menggunakan

perangkat pembelajaran bercirikan Learning

Cycle 5E hendaknya dijadikan sebagai salah satu

alternatif pembelajaran di jenjang SMP sebagai

upaya untuk meningkatkan kemampuan koneksi

matematis siswa.

b. Dalam melaksanakan pembelajaran, guru agar

benar-benar memahami dan menguasai materi

dan langkah pembelajaran yang telah dirancang.

c. Dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran,

diharapkan guru lebih bersungguh-sungguh dan

aktif dalam pengelolaan kelas, terutama pada saat

pembagian kelompok dilakukan secara merata

dengan kemampuan siswa yang heterogen.

DAFTAR RUJUKAN

Abdurrahman, Mulyono. 2003. Pendidikan Bagi

Anak Kesulitan Belajar. Jakarta: Rineka

Cipta.

Fajaroh, F & Dasna, I. W. 2004. Penggunaan Model

Pembelajaran Learning Cycle untuk

Meningkatkan Motivasi Belajar dan Hasil

belajar Kimia Zat Aditifdalam Bahan

Makanan pada Siswa Kelas II SMU Negeri 1

Tumpang-Malang. Jurnal Pendidikan dan

Pembelajaran. Vol 11 (2), 112-122.

Heryani, Y. 2014. Peningkatan Kemampuan

Koneksi dan Komunikasi Matematik Melalui

Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw

pada Peserta Didik SMK Negeri di kabupaten

Kuningan. Jurnal Pendididkan dan Keguruan.

Vol. 1, No. 1.

Hobri. 2010. Metodologi Penelitian Pengembangan

(Aplikasi pada Penelitian Pendidikan

Matematika). Jember: Pena Salsabila.

Iskandar, Srini Murtinah. 2010. Strategi

Pembelajaran Konstruktivistik dalam Kimia.

Malang: FMIPA Universitas Negeri Malang.

Kusuma, I.L. 2011. Implementasi Model

Pembelajaran Learning Cycle “5E” untuk

Meningkatkan Pemahaman Konsep

Matematika Siswa SMP N 4 Sewon Kelas

VIIIA”. UNY: tidak diterbitkan. (Online).

http://eprints.uny.ac.id/1854/ (diakses tanggal

12 Juni 2015).

Lorsbach, A. W. 2002. The Learning Cycle as A tool

for Planning Science Instruction. (Online)

http://www.coe.ilstu.edu/scienceed/lorsbach/2

57lrcy.html (diakses tanggal 3 Desember

2014).

Mediatati, N. 2012. Penerapan Model Pembelajaran

Kooperatif Tipe Learning Together untuk

Meningkatkan Keaktifan dan Hasil Belajar

Siswa Kelas X B pada Mata Pelajaran PKN di

SMK PGRI II Salatiga. Jurnal Satya Widya.

Vol. 28, No. 1.

NCATE/NCTM Program Standards. 2003.

Programs for Initial Preparation of

Page 48: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

146. JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

Mathematics Teachers. (Online) http://www

(diakses tanggal 23 Februari 2015).

NCTM. 2000. Principles and Standard for School

Mathematics. United States: Reston, VA

Author.

Plomp, T. 2007. Educational design-based research:

An introduction. An Introduction to

Educational Design-based research.

Prosiding disajikan dalam seminar di East

China Normal University, Shangai, China,

23-26 November 2007: SLO Netherlands

Institute for Curriculum Development.

Purniati, Tia, Yulianti, Kartika, dan Sispiyati, Ririn.

2009. Penerapan Model Siklus Belajar Untuk

Meningkatkan Pemahaman Konsep

Mahasiswa Pada Kapita Seleksta

Matematika. Jurnal Penelitian, 9 (1). (Online),

http://jurnal.upi.edu, (diakses tanggal 18

November 2011).

Sumarni. 2014. Penerapan Learning Cycle 5E

Untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi

dan Komunikasi Matematika Serta Self-

Regulated Learning Matematika Siswa. Tesis

UPI: tidak diterbitkan. (Online).

respository.upi.edu (diakses tanggal 9 Oktober

2015)

The Ontario Curriculum, Grades 1-8: Mathematics.

2005. (Online) http://www.edu.gov.on.ca.

(diakses tanggal 17 Maret 2015).

Yuniawati. 2011. Penerapan Pembelajaran

Matematika dengan Strategi REACT untuk

Meningkatkan kemampuan Koneksi dan

Representasi Matematik Siswa Sekolah

Dasar. Edisi Khusus no. 2.

Page 49: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

147

MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF MENGGUNAKAN

GEOGEBRA PADA MATAKULIAH MATEMATIKA DASAR II

Syaiful Hamzah Nasution

Jurusan Matematika, Fakultas MIPA Universitas Negeri Malang

[email protected]

Abstract: In the course of Basic Mathematics II with topic transformation of the graph y=sin x and y=cos

x in the form y = A sin (Bx + C) + D or y = A cos(Bx + C) + D, student tended to memorize formulas.

Most students do not conduct investigations or make simulations about the effect of A, B, C, and D

coefficients in the general form of the trigonometric equation y=A sin(Bx+C)+D or y=A cos(Bx + C)+D.

Hence, Student do not understand the effect of A, B, C, and D coefficients in the general form of

trigonometry equation. The purpose of this study was to describe the cooperative learning model using

GeoGebra software in the course of Basic Mathematics II. This study focused in topic transformation of

the graph y=sin x and y = cos x in y=A sin(Bx+C)+D form or y = A cos(Bx+C)+D form, and in topic

trigonometry identity. The result shown that implementation of cooperatice learning model using

GeoGebra improve student understanding, and encourages student to express ideas and make

conclusions based on observation and simulation.

Keywords: cooperative learning, GeoGebra, basic mathematics II.

Abstrak: Dalam perkuliahan Matematika Dasar II pada materi transformasi grafik y = sin x dan y = cos x

dalam bentuk y = A sin (Bx + C) + D atau dalam bentuk y = A cos(Bx + C) + D serta pada materi

identitas trigonometri, mahasiswa cenderung menghafal rumus. Sebagian besar mahasiswa tidak

melakukan investigasi atau simulasi tentang pengaruh A, B, C dan D pada bentuk umum persamaan

trigonometri y = A sin(Bx + C) + D atau y = A cos(Bx + C)+ D serta pada materi identitas trigonometri.

Hal ini berakibat mahasiswa kurang memahami pengaruh A, B, C dan D pada bentuk umum persamaan

trigonometri tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan model pembelajaran kooperatif

menggunakan software GeoGebra pada matakuliah Matematika Dasar II. Fokus penelitian ini pada materi

transformasi grafik y = sin x dan y = cos x dalam bentuk y = A sin (Bx+C)+D atau dalam bentuk y=A

cos(Bx+C)+D serta pada materi identitas trigonometri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan

model pembelajaran kooperatif menggunakan GeoGebra meningkatkan pemahaman mahasiswa,

mendorong mahasiswa untuk melakukan pengamatan dan simulasi, dan mendorong mahasiswa untuk

menyampaikan ide dan membuat kesimpulan berdasarkan pengamatan dan simulasi.

Kata kunci: Pembelajaran Kooperatif, GeoGebra, Matematika Dasar II.

Matakuliah Matematika Dasar II merupakan

matakuliah wajib bagi mahasiswa S1 Pendidikan

Matematika di Jurusan Matematika Universitas

Negeri Malang. Fokus utama matakuliah ini adalah

membahas konsep trigonometri dan penerapannya.

Matakuliah Matematika Dasar II memiliki beban 3

sks dengan 3 js.

Berdasarkan pengalaman peneliti selama

mengampu matakuliah Matematika Dasar II

diperoleh informasi bahwa selama mempelajari

materi transformasi grafik siny x dan cosy x

dalam bentuk sin( )y A Bx C D atau dalam

bentuk cos( )y A Bx C D , mahasiswa cende-

rung menghafal pengaruh A, B, C, dan D terhadap

grafik fungsi siny x atau cosy x . Dalam

pembelajaran, sebagian besar mahasiswa tidak

melakukan investigasi atau simulasi tentang

pengaruh , , ,A B C dan D pada bentuk umum

persamaan trigonometri sin( )y A Bx C D atau

cos( )y A Bx C D .Hal ini berakibat mahasiswa

kurang memahami pengaruh , , ,A B C dan D pada

bentuk umum persamaan trigonometri tersebut.

Mahasiswa memperoleh hasil yang kurang

memuaskan ketika menyelesaikan soal yang

berkaitan dengan transformasi grafik siny x atau

cosy x dalam bentuk sin( )y A Bx C D atau

dalam bentuk cos( )y A Bx C D , Selain itu,

pada materi identitas trigonometri, mahasiswa juga

cenderung untuk menghafal rumus identitas

trigonometri tanpa melakukan investigasi atau

simulasi terhadap beberapa identitas trigonometri.

Hal ini menyebabkan mahasiswa seringkali kesulitan

untuk menyelesaikan soal terkait masalah identitas

trigonometri.

Untuk mengatasi masalah tersebut, peneliti

mempunyai ide untuk mendesain pembelajaran

Page 50: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

148. JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

dengan melibatkan diskusi secara aktif antar

mahasiswa. Selain itu peneliti membuat lembar kerja

yang didesain untuk mencatat hasil visualisasi dan

simulasi tentang pengaruh , , ,A B C dan D pada

grafik fungsi trigonometri sin( )y A Bx C D .

Untuk membuat visualisasi dan simulasi tersebut

dibutuhkan software GeoGebra. Oleh karenanya,

peneliti mendesain pembelajaran dengan meng-

gunakan model pembelajaran kooperatif. Tujuan

menerapkan model pembelajaran ini adalah untuk

memberikan kesempatan kepada mahasiswa

melakukan diskusi dengan teman sekelompok.

Pemilihan software GeoGebra karena software ini

mampu memberikan visualisasi dan simulasi yang

baik. Selain itu GeoGebra mudah digunakan.

Menurut Hamdani (2011:30), pembelajaran

kooperatif diterapkan strategi belajar dengan

sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil,

yang tingkat kemampuannya berbeda. Saat

menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap anggota

kelompok harus saling bekerjasama dan saling

membantu untuk memahami materi pelajaran.

Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan

belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok

belum menguasai bahan pelajaran. Johnson &

Johnson (1994:278) me-nyatakan bahwa tujuan

pokok belajar kooperatif adalah memaksimalkan

belajar pebelajar untuk peningkatan prestasi

akademik dan pemahaman baik secara individu

maupun secara kelompok.

Hohenwarter dan Fuchs (2004) menyatakan

GeoGebra adalah software geometri interaktif yang

menawarkan kemungkinan memasukkan persamaan

aljabar secara langsung. Software GeoGebra

mendorong pebelajar untuk mempelajari matematika

melalui eksperimen. Dengan GeoGebra sangat

mungkin untuk mengamati parameter dari suatu

persamaan. GeoGebra sangat bermanfaat sebagai

media pembelajaran matematika dengan beragam

aktivitas sebagai berikut: (1) sebagai media

demonstrasi dan visualisasi, (2) sebagai alat bantu

konstruksi, dan (3) sebagai alat bantu proses

penemuan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan

Nasution (2012), belajar kooperatif dapat

mendorong siswa berdiskusi untuk memahami suatu

konsep dan memecahkan masalah yang diberikan

secara bersama sama. Dalam menyelesaikan tugas

kelompoknya, setiap anggota kelompok harus saling

bekerjasama dan saling membantu untuk memahami

materi pelajaran. Berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Widyaningrum dan Murwanintyas

(2012), penggunaan GeoGebra dapat meningkatkan

motivasi dan hasil belajar.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti menerap-

kan model pembelajaran kooperatif menggunakan

software GeoGebra pada matakuliah Matematika

Dasar II. Penelitian ini dibatasi pada materi

transformasi grafik fungsi siny x atau cosy x

dalam bentuk sin( )y A Bx C D atau dalam

bentuk cos( )y A Bx C D dan identitas trigono-

metri.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif.

Peneliti menggambarkan penerapan pembelajaran

kooperatif menggunakan GeoGebra untuk mening-

katkan pemahaman mahasiswa pada matakuliah

Matematika Dasar II dengan materi transformasi

grafik fungsi siny x atau cosy x dalam bentuk

sin( )y A Bx C D atau cos( )y A Bx C D

dan identitas trigonometri. Penelitian ini dilakukan

pada mahasiswa kelas CZ Program Studi Pendidikan

Matematika FMIPA UM semester gasal 2015/2016.

Instrumen penelitian dalam penelitian ini

sebagai berikut: (1) peneliti sebagai instrumen

utama, (2) lembar kerja mahasiswa, disusun sebagai

panduan saat mahasiswa menggunakan GeoGebra,

(3) Rubrik penilaian unjuk kerja yang dikembangkan

ber-dasarkan indikator sebagai berikut: (a) menun-

jukkan pemahaman terhadap masalah, (b) menun-

jukkan kemampuan mem-buat kesimpulan, (c) me-

nunjukkan kemampuan komunikasi, dan (d) mampu

menyelesaikan masalah, (4) pedoman wawancara.

Instrumen ini dikembangkan untuk memperoleh data

tentang pendapat atau komentar mahasiswa

terhadapa peneraan pembelajaran kooperatif

menggunakan GeoGebra, dan (5) angket. Data

diperoleh melalui observasi, hasil pekerjaan

mahasiswa, angket dan wawancara.

Data yang diperoleh dari observasi adalah

data yang berhubungan dengan fokus masalah, yaitu

data tentang penerapan model pembelajaran

kooperatif menggunakan GeoGebra matakuliah

Matematika Dasar II. Data hasil pekerjaan

mahasiswa diperoleh dari lembar kerja mahasiswa.

Data tentang respon mahasiswa terhadap

pembelajaran kooperatif meng-gunakan GeoGebra

diperoleh melalui angket dan wawancara.

Teknik analisis data yang digunakan adalah

analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif yang

meliputi analisis hasil jawaban lembar kerja, keter-

laksanaan pembelajaran dengan model kooperatif

menggunakan GeoGebra.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tahap Persiapan

Pada tahap ini peneliti menyiapkan instrumen

penelitian dan hal yang dibutuhkan saat penelitian.

Pada tahap ini peneliti menyusun soal pretes,

melakukan pretes, menyusun kelompok berdasarkan

Page 51: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

149

pretes, menyusun lembar kerja mahasiswa dan

media dengan menggunakan GeoGebra, menyusun

rubrik penilaian unjuk kerja, menyusun pedoman

wawancara, dan angket. Dibutuhkan waktu lima hari

dalam tahap persiapan.

Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti

menyusun dan melakukan pretes. Pretes ini

dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran tentang

penguasaan materi prasyarat. Pretes diikuti oleh 25

mahasiswa dari 26 total mahasiswa kelas CZ. Hasil

dari pretes selain untuk mendapat gambaran

penguasaan materi prasyarat, juga dijadikan sebagai

bahan masukan untuk membagi kelompok. Dari total

26 mahasiswa dibagi menjadi 7 kelompok. Satu

kelompok terdiri dari 4 – 5 mahasiswa dengan

kemampuan yang bervariasi berdasarkan hasil

pretes.

Gambar 1. File Kegiatan 2.gbb yang dikembangkan menggunakan GeoGebra.

Setelah pretes dilakukan peneliti menyusun

instrumen penelitian. Peneliti menyusun lembar

kerja mahasiswa 1 (LKM1) dengan materi

transformasi grafik fungsi sinus dan lembar kerja

mahasiswa 2 (LKM2) dengan materi transformasi

grafik fungsi kosinus serta lembar kerja mahasiswa 3

(LKM3) dengan materi identitas dan persamaan

trigonometri. Selain itu peneliti juga membuat media

menggunakan GeoGebra. Media yang dibuat diberi

nama file kegiatan 2.ggb, file kegiatan 3.gbb, dan

file kegiatan 4.gbb digunakan dalam LKM1. File

kegiatan 6.gbb, file kegiatan 7.ggb dan file kegitan

8.gbb digunakan dalam LKM2. Contoh file kegiatan

2.gbb dapat dilihat di Gambar 1. Bentuk file

kegiatan 3, 4, 6, 7 dan 8 serupa dengan file kegiatan

2.gbb. Sedangkan file grafik.pdf yang dibuat dengan

GeoGebra digunakan dalam LKM3. Sumber belajar

lain untuk mahasiswa adalah buku Algebra and

Trigonometry edisi keempat yang ditulis oleh

Beecher, Penna, dan Bitinger.

Tujuan dan kegiatan pembelajaran dalam

LKM1 dan LKM2 adalah dengan menggunakan

software GeoGebra, mahasiswa mengamati dan

membuat kesimpulan tentang transformasi dari

grafik fungsi sinus (LKM1) dan kosinus (LKM2).

Tujuan dan kegiatan pembelajaran dalam LKM3

adalah mahasiswa dapat membuktikan identitas

trigonometri dan menyelesaikan masalah yang

berkaitan dengan persamaan trigonometri.

Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah instrumen penelitian selesai dibuat,

dilakukan pelaksanaan penelitian. Pelaksanaan

penelitian dilakukan dalam 4 kali pertemuan.

Pertemuan 1 untuk materi transformasi grafik fungsi

siny x dalam bentuk sin( )y A Bx C D ,

pertemuan 2 untuk materi transformasi grafik fungsi

cosy x dalam bentuk cos( )y A Bx C D , per-

temuan 3 untuk materi identitas trigonometri dan

pertemuan 4 untuk tes.

Pertemuan 1

Sebelum pertemuan pertama dimulai, peneliti

telah membagi mahasiswa menjadi 7 kelompok.

Tiap kelompok terdiri dari 4 – 5 mahasiswa.

Penentuan jumlah mahasiswa dalam satu kelompok

mengacu pada pendapat Slavin (1995). Ketika

memulai pembelajaran, peneliti memberikan

apersepsi dan menjelaskan tujuan pembelajaran,

yakni transformasi grafik siny x dalam bentuk

sin( ) .y A Bx C D Setelah menyampaikan tujuan

pembelajaran, peneliti meminta mahasiswa untuk

Page 52: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

150. JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

berkumpul dalam kelompok. Kemudian peneliti

memberikan LKM1, file kegiatan 2.gbb, file

kegiatan 3.gbb, dan file kegiatan 4.gbb. Kemudian

peneliti meminta mahasiswa untuk membuka file

kegiatan 2.gbb, file kegiatan 3.gbb, dan file kegiatan

4.gbb dengan menggunakan GeoGebra. Setelah file

dibuka, peneliti menjelaskan secara singkt

bagaimana cara menggunakan file kegiatan 2, 3, dan

4 dengan GeoGebra. Setelah penjelasan singkat

berakhir, peneliti meminta mahasiswa untuk

melakukan diskusi.

LKM1 terdiri dari lima kegiatan. Pada

kegiatan 1 mahasiswa diminta untuk

menggambarkan grafik fungsi sinus dengan domain

[-4π, 4π]. Pada kegiatan 2, mahasiswa diminta untuk

mengamati pengaruh nilai A dari grafik fungsi

siny A x terhadap siny x . Pada kegiatan 3

mahasiswa diminta untuk mengamati pengaruh nilai

B dari grafik fungsi sin .y Bx Pada kegiatan 4

mahasiswa di-minta untuk mengamati pengaruh C

pada grafik fungsi sin( ).y x C Pada kegiatan 5

mahasiswa diminta untuk mengamati pengaruh D

pada grafik fungsi sin .y x D Setelah

menyelesaikan lima kegiatan tersebut mahasiswa

diminta membuat kesimpulan secara umum tentang

pengaruh A, B, C, dan D pada transformasi grafik

siny x dalam bentuk sin( ) .y A Bx C D

Selama pembelajaran berlangsung terlihat

mahasiswa aktif dalam diskusi kelompok. Mereka

mengamati dengan serius visualisasi dan simulasi

melalui GeoGebra. Hasil yang diperoleh melalui

visualisasi dan simulasi menggunakan GeoGebra

didiskusikan dengan sesama anggota kelompok

kemudian dicatat pada LKM1. Selama pembelajaran

berlangsung, peneliti sebagai dosen memantau

jalannya diskusi dengan mengunjungi tiap kelompok

untuk melihat hasil diskusi kelompok. Selama

diskusi berlangsung, peneliti juga memberikan

scafolding bagi kelompok yang memang

memerlukan petunjuk atau arahan dalam

menyelesaikan masalah pada LKM1. Kegiatan

diskusi kelompok dapat dilihat pada Gambar 2.

Pada saat pembelajaran berlangsung, maha-

siswa tidak mengalamai kesulitan mengoperasikan

GeoGebra. Hal ini karena GeoGebra mudah diguna-

kan. Hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan

GeoGebra dalam kelas adalah ketersediaan aliran

listrik yang memadai. Jika menggunakan laborato-

rium, maka harus diperhatikan masalah ketersediaan

listrik apabila padam. Saat pembelajaran, mahasiswa

menggunakan laptop, sehingga apabila listrik

padam, tidak mengganggu pembelajaran.

Setelah diskusi selesai, peneliti memberikan

kesempatan kepada mahasiswa untuk menyajikan

hasil diskusi kelompok. Tidak semua kelompok

menyajikan hasil diskusinya, hanya beberapa

kelompok yang menyajikan hasil diskusi. Kelompok

lain menyimak dan memberikan tanggapan apabila

ada kesimpulan yang berbeda dengan kelompok

yang menyajikan hasil diskusi. Dari hasil penyajian

kelompok, diperoleh informasi bahwa mahasiswa

memahami dengan baik tentang pengaruh koefisien

, ,A B C , dan D pada transformasi grafik fungsi

siny x ke dalam bentuk sin( )y A Bx C D .

Gambar 2. Kegiatan diskusi kelompok.

Page 53: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Nasution, Model Pembelajaran Kooperatif Menggunakan GeoGebra…, 151

Hasil jawaban mahasiswa pada LKM1

menunjukkan bahwa mahasiswa memahami dengan

baik tentang pengaruh koefisien , ,A B C , dan D

pada transformasi grafik fungsi siny x ke dalam

bentuk sin( )y A Bx C D . Semua kelompok

memberi-kan jawaban yang benar. Gambar 3 berikut

meru-pakan scan lembar jawaban salah satu

kelompok.

Gambar 3. Scan kesimpulan secara umum dari salah satu kelompok pada LKM1

Pertemuan 2

Kegiatan pembelajaran pada pertemuan 2

tidak jauh berbeda dengan kegiatan pembelajaran

pada pertemuan 1. Peneliti membagi kelompok

seperti pada pertemuan 1. Ketika memulai

pembelajaran, peneliti memberikan apersepsi dan

menjelaskan tujuan pembelajaran, yakni

transformasi grafik cosy x dalam bentuk

cos( ) .y A Bx C D Setelah menyampaikan

tujuan pembelajaran, peneliti meminta mahasiswa

untuk berkumpul dalam kelompok. Kemudian

peneliti memberikan LKM2, file kegiatan 6.gbb, file

kegiatan 7.gbb, dan file kegiatan 8.gbb. Peneliti

tidak perlu lagi memberikan penjelasan tentang cara

penggunaan GeoGebra karena pada pertemuan 1

mahasiswa tidak mengalami kesulitan untuk

menggunakan GeoGebra.

LKM2 terdiri dari lima kegiatan. Pada

kegiatan 1 mahasiswa diminta untuk

menggambarkan grafik fungsi kosinus dengan

domain [-4π, 4π]. Pada kegiatan 2, mahasiswa

diminta untuk mengamati pengaruh nilai A dari

grafik fungsi cosy A x terhadap cosy x . Pada

kegiatan 3 mahasiswa di-minta untuk mengamati

pengaruh nilai B dari grafik fungsi cos .y Bx

Pada kegiatan 4 mahasiswa di-minta untuk

mengamati pengaruh C pada grafik fungsi

cos( ).y x C Pada kegiatan 5 mahasiswa diminta

untuk mengamati pengaruh D pada grafik fungsi

cos .y x D Setelah menyelesaikan lima kegiatan

tersebut mahasiswa diminta membuat kesimpulan

secara umum tentang pengaruh A, B, C, dan D pada

transformasi grafik cosy x dalam bentuk

cos( ) .y A Bx C D

Dari pertemuan 2 terlihat bahwa mahasiswa

terampil dalam menggunakan GeoGebra dan terlibat

aktif dalam diskusi kelompok. Mahasiswa tidak

merasa canggung dalam menyampaikan pendapat

baik dalam diskusi kelompok atau diskusi kelas.

Dari hasil pekerjaan mahasiswa pada LKM2

diperoleh informasi bahwa mahasiswa memahami

dengan baik materi transformasi grafik cosy x ke

dalam bentuk cos( ) .y A Bx C D

Pertemuan 3.

Pertemuan 3 membahas tentang identitas

trigonometri. Pada pertemuan ini, pembagian

kelompok tetap seperti pada pertemuan 1 dan per-

temuan 2. Ketika memulai pembelajaran, peneliti

menjelaskan tujuan pembelajaran, yakni identitas

trigonometri. Setelah menyampaikan tujuan

pembelajaran, peneliti meminta mahasiswa untuk

berkumpul dalam kelompok. Kemudian peneliti

memberikan LKM3 beserta file grafik.pdf sebagai

file panduan LKM3. File grafik.pdf memuat

beberapa gambar grafik fungsi trigonometri yang

dibuat dengan menggunakan GeoGebra. Gambar 4

adalah salah satu halaman dari file grafik.pdf.

LKM3 terdiri dari 8 kegiatan. Pada kegiatan

1, mahasiswa diminta untuk mendata grafik pada file

grafik.pdf yang memiliki kesamaan. Hasil tersebut

kemudian ditulis mahasiswa pada kegiatan 1 LKM

3. Pada kegiatan 2, kegiatan 3, kegiatan 4, kegiatan

Page 54: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

152. JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

5, kegiatan 6, kegiatan 7, dan kegiatan 8, mahasiswa

diminta untuk membuktikan identitas trigonoetri

yang diberikan. Dalam membuktikan identitas

trigonometri tersebut, mahasiswa dipandu langkah

demi langkah.

Mahasiswa terlibat aktif dalam diskusi

kelompok. Tidak ada kendala untuk menjawab

masalah yang disajikan di kegiatan pada LKM3.

Mahasiswa dapat membuktikan identitas trigono-

metri yang ada pada LKM3.

Gambar 4. Gambar grafik fungsi trigonometri pada file grafik.pdf.

Pertemuan 4.

Pada pertemuan 4 dilakukan tes. Materi tes

meliputi transformasi grafik siny x atau cosy x

dalam bentuk sin( )y A Bx C D atau dalam

bentuk cos( )y A Bx C D dan identitas trigono-

metri. Tes diikuti oleh 26 mahasiswa. Jumlah soal

tes adalah lima butir dengan alokasi waktu 100

menit. Hasil tes disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil tes mahasiswa.

Nilai Angka (x) Huruf Jumlah Mahasiswa

x ≥ 85 A 7

80 ≤ x < 85 A- 9

75 ≤ x < 80 B+ 4

70 ≤ x < 75 B 3

65 ≤ x < 70 B- 2

60 ≤ x < 65 C+ 1

55 ≤ x < 60 C 0

40 ≤ x < 55 D 0

0 ≤ x < 40 E 0

Hasil Wawancara dengan Mahasiswa

Setelah pembelajaran berakhir, peneliti me-

lakukan wawancara ke beberapa mahasiswa. Dari

hasil wawancara diperoleh informasi bahwa secara

umum mahasiswa merespon baik pembelajaran

kooperatif menggunakan GeoGebra. Mahasiswa

merasa terbantu dengan adanya visualisasi dan

simulasi menggunakan GeoGebra. Dengan adanya

model pembelajaran kooperatif, mahasiswa dapat

berdiskusi antar sesama anggota kelompok.

Mahasiswa dapat dengan mudah menyampaikan

pendapat, ide atau saran tanpa merasa canggung.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan.

Simpulan dari penelitian ini adalah sebagai

berikut: (1) penerapan pembelajaran kooperatif

dapat mendorong mahasiswa untuk melakukan

diskusi, menyampaikan ide atau pendapat, dan

mengurangi rasa canggung atau malu dalam

berpendapat (2) penggunaan software GeoGebra

dapat memberikan visualisasi dan simulasi yang

baik untuk materi transformasi grafik fungsi

siny x atau cosy x ke dalam bentuk

sin( )y A Bx C D atau ke dalam bentuk

cos( )y A Bx C D dan pada materi identitas

trigonometri, (3) dengan adanya model

pembelajaran kooperatif menggunakan GeoGebra,

mahasiswa dapat membuat kesimpulan berdasarkan

hasil pengamatan dan simulasi, (4) pemahaman

mahasiswa terhadap materi rata rata meningkat, dan

(5) dari hasil wawancara dengan mahasiswa, respon

mahasiswa terhadap pembelajaran kooperatif

menggunakan GeoGebra baik. Mahasiswa terbantu

dengan simulasi yang ditampilkan oleh GeoGebra

ketika melakukan diskusi kelompok.

Page 55: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Nasution, Model Pembelajaran Kooperatif Menggunakan GeoGebra…, 153

Saran

Model pembelajaran kooperatif menggunakan

GeoGebra dapat dijadikan sebagai alternatif dalam

mengajarkan Matematika Dasar II. Dalam meng-

gunakan GeoGebra, sebaiknya satu laptop atau

komputer digunakan oleh dua mahasiswa. Dalam

pembelajaran kooperatif, satu kelompok sebaiknya

terdiri atas 4-6 mahasiswa.

DAFTAR PUSTAKA

Beecher, Judith., Penna & Bitingger. 2012. Algebra

and Trigonometry 4th Edition. Boston:

Pearson Education, Inc.

Hamdani, 2011. Strategi Belajar Mengajar. Ban-

dung: CV Pustaka Setia.

Hohenwarter, M. & Fuchs, K. (2004). Combination

of Dynamic Geometry, Algebra, and Calculus

in the Software System Geogebra. Tersedia di:

www.geogebra.org/publications/pecs_2004.pd

f. Diakses: 5 Mei 2016.

Johnson, D.W. dan Johnson, R.T. 1994. Learning

Togother and Alone: Cooperative, Compe-

titive, and Individualistic Learning, Fourth

Edition. Massachusets: Allyn & Bacon

Nasution, Syaiful Hamzah. 2012. Penerapan Pem-

belajaran Kooperatif Berbantuan Media

Google SketchUp 8 untuk Memahamkan

Konsep Jarak pada Dimensi Tigas Kelas X.

Tesis, tidak diterbitkan.

Slavin, R.E. 1995. Cooperative Learning: Theory,

Research and Practice 2nd Edition. Boston:

Allyn and Bacon.

Widyaningrum, Yulia dan Enny Murwanintyas.

2012. Pengaruh Media Pembelajaran

GeoGebra terhadap Motivasi dan Hasil

Belajar Siswa Pada Materi Grafik Fungsi

Kuadrat di Kelas X SMA Negeri 2 Yogyakarta

Tahun Pelajaran 2012/2013. Prosiding

Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan

Matematika FMIPA UNY.

.

Page 56: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

154

IDENTIFIKASI POLA SISWA SMP BERDASARKAN TEORI GESTALT

Iva Nurmawanti1, Edy Bambang Irawan2, I Made Sulandra3

Universitas Negeri Malang

[email protected]

Abstract: Learning the patterns is an important activity in mathematics. However, many junior high

school students difficulty to identify the patterns. There are also students who are able to identify patterns

by looking at the structure of the image and then used to determine the rules.The purpose of this study to

describe the strategy of identifying patterns in the junior high school students to identify the patterns

based on Gestalt law , consist of law of proximity, law of similarity, law of closure, and the law of

continuity. The research subjects in this study were three students of seventh grade in SMPN 1

Tulungagung that identifies patterns by using different Gestalt Law. The subjects have communication

skills both written and spoken. Data collection instrument in this research is the problem of the number

pattern in the form of pictures and interview guidelines. This research is a descriptive study with

qualitative approach. The data in this study are test score and interviews. The result showed that the S1,

S2, and S3 using the law of proximity, similarity, closure, and / or continuity. Law of proximity used by S1,

S2, and S3. Law of similarity used by S1, for S3 used law of similarity and proximity in the process of

identifying patterns. S1 and S3 are also using law of closure, for S3 used law of similarity and proximity

in the process of identifying patterns. S2 used law of continuity.

Keywords: patterns identification , Gestalt theory, numbers patterns

Abstrak: Belajar dengan pola merupakan kegiatan yang penting dalam matematika. Namun siswa SMP

masih banyak yang mengalami kesulitan mengidentifikasi pola. Tetapi ada juga siswa yang mampu

mengidentifikasi pola yaitu dengan melihat struktur gambar dan selanjutnya digunakan untuk menentukan

aturannya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan strategi identifikasi pola siswa SMP dalam

mengidentifikasi pola berdasarkan hukum Gestalt yaitu kedekatan (law proximity), hukum kesamaan (law

of similarity), hukum penutupan (law of closure), dan hukum kesinambungan (continuity). Subjek

penelitian dalam penelitian ini adalah 3 siswa SMPN 1 Tulungagung kelas VIIA yang mengidentifikasi

pola dengan menggunakan Hukum Gestalt yang berbeda. Subjek dipilih yang memiliki kemampuan

komunikasi baik secara tulis maupun lisan. Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini adalah soal

tentang pola bilangan dalam bentuk gambar dan pedoman wawancara. Jenis penelitian ini adalah

penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data yang dikumpulkan berupa hasil tes tentang pola

dan wawancara. Hasil analisis data menunjukkan bahwa S1, S2, dan S3 menggunakan hukum proximity,

similarity, closure, dan/ atau continuity. Hukum proximity digunakan S1, S2, dan S3. Hukum similarity

digunakan S1, untuk S3 menggunakam hukum similarity dan proximity dalam satu proses identifikasi

pola. S1 dan S3 juga menggunakan hukum closure, untuk S3 menggunakam hukum similarity dan

proximity dalam satu proses identifikasi pola. Hukum continuity digunakan S2. Kata kunci: identifikasi pola, Teori Gestalt, pola bilangan.

Pola sebagai jantung dari matematika dan

kamu dapat menemukan pola dengan mencari pada

bentuk (shapes), bilangan (numbers), dan banyak

benda lain (Holt, Rinehart, & Winston, 2006:1).

Zazkis dan Liljedahl (2002) juga menyatakan bahwa

pola sebagai jantung dan jiwa dari matematika dan

banyak prinsip dasar matematika sekolah muncul

sebagai generalisasi dari pola pada bilangan dan

bentuk (shape). Guerrero and Rivera (2002)

menjelaskan bahwa “pattern as a rule between the

elements of a series of mathematical objects which

are constructed”. Menurut Muhsetyo (2015: 110)

pola merupakan hubungan atau relasi, yaitu sifat

atau karakteristik bersama dari beberapa keadaan,

fakta, data kasus, atau kejadian. Berdasarkan pola

yang diperoleh dari beberapa keadaan tersebut

kemudian seseorang mempunyai bahan dasar untuk

memprediksi, menduga, atau menebak adanya aturan

yang berlaku secara umum, sebagai pernyataan

umum (generalisasi) dari sejumlah data atau fakta.

Barbosa, dkk (2007) menjelaskan bahwa

pemberian tugas untuk mengeksplorasi pola dapat

berkontribusi pada pengembangan kemampuan yang

berhubungan dengan penyelesaian masalah,

menganalisis kasus khusus, mengorganisasi data

dengan cara yang sistematis, membuat dugaan dan

Page 57: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Nasution, Model Pembelajaran Kooperatif Menggunakan GeoGebra…, 155

generalisasi. Pemberian masalah yang menantang

tentang pola juga dapat meningkatkan berpikir

kreatif siswa dan dapat mengembangkan

kemampuan matematika siswa (Barbosa, dkk, 2012).

Kennedy, Tipps, dan Johnson (2008:359) juga

menjelaskan bahwa menemukan dan menggunakan

pola merupakan strategi yang penting dalam

kehidupan, berpikir matematis, dan menyelesaikan

masalah. Oleh karena itu, pada sekolah tingkat

menengah, siswa harus sering mempunyai

pengalaman yang beragam dengan penalaran

matematis yang salah satunya melalui kegiatan

menguji pola dan struktur untuk menemukan

keteraturan (NCTM, 2000: 262).

Oleh karena pola merupakan hal yang penting

dalam pembelajaran matematika di Indonesia belajar

tentang pola juga terdapat dalam kurikulum. Pada

kurikulum 2013 disebutkan bahwa siswa harus dapat

menggunakan pola dan generalisasi dalam

menyelesaikan masalah (Permendiknas, 2013). Pada

kurikulum 2013 pola dipelajari siswa SMP di tingkat

awal yaitu kelas VII. Di SMA siswa juga belajar

tentang pola pada materi barisan dan deret. Oleh

sebab itu, materi pola pada kelas VII harus dikuasai

dengan baik oleh siswa.

Namun masih ada kesulitan siswa dalam

melakukan identifikasi. Siswa belum menemukan

cara yang tepat dalam menentukan aturan pola.

Berikut contoh kesulitan yang dialami siswa pada

Gambar 1 berikut.

Gambar 1. Contoh soal tentang pola

Berikut jawaban siswa yang tidak mampu

menyelesaikan masalah tersebut.

Untuk mendapatkan kejelasan dari pekerjaan

tertulis siswa tersebut dilakukan wawancara.

Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa siswa

tersebut tidak mampu mencari aturan dari pola.

Menurut siswa ada bilangan yang tetap gambar ke-1,

ke-2, dan ke-3 yaitu bilangan 3. Selanjutnya ada

bilangan genap yang dijumlahkan dengan 3 pada

masing-masing gambar. Sehingga untuk gambar ke-

4 siswa menjulahkan bilangan 3 dengan suatu

bilangan genap. Namun aturan untuk bilangan genap

yang dijumlahkan tidak sesuai dengan aturan pada

pada gambar ke-1, ke-2, dan ke-3. Sehingga siswa

salah dalam menentukan banyak korek api pada

gambar ke-15. Hasil kesalahan siswa ini juga

didukung oleh penelitian yang pernah dilakukan

oleh Lian dan Idris (2006) yang neyatakan bahwa

kesalahan yang biasa dilakukan siswa yaitu

kesalahan dalam mencari pola.

Oleh karena pola merupakan bagian dari

materi yang penting dalam pembelajaran matematika

di sekolah ada beberapa peneliti melakukan

penelitian tentang pola. Salah satunya yaitu Rivera

dan Becker (2005) dimana berdasarkan penelitian

yang dilakukan ada 23 strategi yang strategi yang

berbeda ditemukan. Strategi tersebut kemudian

diidentifikasi berdasarkan tiga jenis, (1) numerik,

yang hanya menggunakan isyarat yang didirikan dari

setiap pola yang terdaftar sebagai urutan bilangan

atau ditabulasikan dalam tabel untuk menurunkan

aturan, (2) figural, yang hanya berlaku di

generalisasi tugas yang menggambarkan pola

menggunakan diagram, dan bergantung sepenuhnya

pada isyarat visual yang didirikan langsung dari

struktur figur (gambar) untuk memperoleh aturan.

Selanjutnya Rivera dan Becker (2008) menemukan

strategi lain dari siswa yaitu kombinasi dari kedua

pendekatan numerik dan figural.

Rivera & Becker (2008) juga menyatakan

bahwa ada dua strategi yang digunakan siswa dalam

menggeneralisasi pola fugral yaitu generalisasi

konstruktif dan dekonstruktif. Generalisasi

konstruktif, yang terjadi ketika pola figural yang

diberikan dalam tugas generalisasi dipandang

sebagai kompisisi dari gambar yang tidak tumpang

Page 58: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

156, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

tindih dan merupakan aturan yang dinyatakan

langsung sebagai jumlah dari beberapa sub

komponen. Generalisasi dekonstruktif, yang terjadi

ketika pola figural divisualisasikan terdiri dari

komponen yang tumpang tindih, dan aturannya

dinyatakan secara terpisah dengan menghitung

setiap komponen diagram dan kemudian

mengurangkan setiap bagian yang tumpang tindih.

Gambar berikut ini sebagai contoh dari strategi

konstruktif dan dekonstruktif dari siswa.

Gambar 2. Strategi konstruktif dalam

generalisasi pola

Gambar 3. Strategi dekonstruktif dalam

generalisasi pola

Ada strategi figural lain yang ditemukan

digunakan siswa dalam proses melakukan

generalisasi yaitu pada saat melakukan identifikasi.

Identifikasi merupakan kegiatan awal dalam proses

generalisasi. Hal ini sesuai dengan penjelasan

Dyndal (2007) yang menyatakan ada empat langkah

dalam proses generalisasi yaitu pemodelan langsung,

identifikasi pola, tes pembuktian dari pola,

menemukan aturan untuk kasus umum. Strategi

tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 4. Strategi figural lain

Strategi yang digunakan siswa tersebut bukan

merupakan strategi konstruktif dan dekonstruktif.

Namun strategi tersebut jika berdasarkan Teori

Gestalt merupakan strategi penutupan (closure).

Oleh sebab penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsiskan strategi identifikasi berdasarkan

Teori Gestalt. Teori Gestalt merupakan ide tentang

pengelompokan yaitu berdasarkan karakteristik

stimulus yang ada menyebabkan kita mempunyai

struktur atau penafsiran bidang visual atau masalah

dengan cara tertentu dari stimulus tersebut

(Hochberg, 2010:234).

METODE

Penelitian ini merupakan penilitian kualitatif.

Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang

bermaksud untuk memahami fenomena-fenomena

tentang apa yang dialami subjek penelitian, misalnya

perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain,

secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam

bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks

khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan

berbagai metode ilmiah (Moleong, 2006). Data yang

diperoleh pada penelitian ini akan dideskripsikan

berdasarkan hasil pekerjaan siswa dari soal tentang

pola, sehingga jenis penelitian ini adalah deskriptif

kualitatif. Penelitian ini dilakukan di SMPN 1

Tulungagung. Subjek dalam penelitian ini adalah 3

siswa SMPN 1 Tulungagung kelas VIIA. Ketiga

siswa tersebut yang dipilih berdasarkan strategi

figural yang digunakan dalam mengidentifikasi pola.

Strategi figural yang memiliki karakteristik keempat

Hukum Gestalt. Hal ini disebabkan agar diperoleh

deskripsi kemampuan siswa menyelesaikan soal

berdasarkan keempat Hukum Gestalt tersebut.

Tahap-tahap pengumpulan data dalam

penelitian ini meliputi tahap persiapan, tahap

pelaksanaan, tahap analisis data, dan penulisan

laporan. Pada tahap persiapan, kegiatan yang

dilakukan yaitu menyusun isntrumen penelitian.

Instrumen dalam penelitian ini terdiri dari satu soal

dengan gambar pada soal tersebut dapat

diidentifikasi menggunakan keempat Hukum

Gestalt. Selanjutnya instrumen tersebut divalidasi

oleh dosen pascasarjana matematika UM.

Selanjutnya tahap pelaksanaan dilakukan dengan

memberikan soal tersebut kepada calon subjek

penelitian. Calon kelompok subjek tersebut adalah

41 siswa kelas VII A yang menggunakan strategi

figural dengan hukum Gestalt berbeda. Selain itu

juga dipilih yang memiliki kemampuan komunikasi

yaitu komunikasi tulis dan lisan yang baik .

Kemampuan komunikasi tulis dilihat berdasarkan

kejelasan hasil pekerjaan tertulis siswa. Sedangkan

kemampuan komunikasi lisan dipilih berdasarkan

pendapat dari guru matematika siswa. Berdasarkan

kriteria pemilihan subjek tersebut terpilihlah 3

subjek yaitu S1, S2 dan S3. Selanjutnya berdasarkan

data hasil tes dan wawancara, data tersebut

dianalisis. Analisis data dalam penelitian ini

dilakukan dengan menggunakan metode

perbandingan tetap (constant comparative method)

yang dikemukakan oleh Glaser dan Strauss (dalam

Moleong, 2014: 288). Analisis data tersebut

Page 59: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Nurmawanti, Identifikasi Pola Siswa SMP Berdasarkan Teori Gestalt, 157

meliputi: reduksi data, kategorisasi, sintesisasi, dan

menyusun hipotesis kerja.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan subjek yang dipilih, S1, S2, dan

S3 menggunakan hukum proximity, similarity,

closure, dan/ atau continuity dalam mengidentifikasi

pola. Berikut soal tentang pola yang digunakan

dalam penelitian ini.

Hasil pekerjaan S1 yang menggunakan

hukum proximity, closure dan similarity dalam

mengidentifikasi aturan pola tersebut disajikan

dalam Gambar 5.

Gambar 5. Hasil pekerjaan S1

Hukum similarity digunakan S1 untuk

mengidentifikasi pola pada cara pertama dan cara

kedua. Pada cara yang pertama, S1 menentukan

aturan Gambar ke-1, ke-2, dan ke-3. Sebelum S1

menentukan aturan pada masing-masing gambar, ia

menginterpretasikan bahwa objek-objek pada

barisan Gambar no 1 memiliki kesamaan. Kesamaan

dari ketiga objek pada Gambar no1 tersebut adalah

sama-sama memiliki kelompok noktah yang

banyaknya ada 2 dan tersusun pa ling belakang dari

masing-masing objek. Selanjutnya kesamaan

tersebut digunakan oleh S1 sebagai acuan untuk

menentukan aturan pada masing-masing gambar.

Berikut cuplikan hasil wawancara dengan S1 yang

merupakan penjelasan cara pertama tersebut.

P : jelaskan bagaimana cara yang kamu gunakan

untuk menentukan banyak noktah pada

Gambar ke-4?

S1 : dengan membuat rumus untuk polanya Bu.

P : bagaimana cara yang kamu gunakan untuk

menentukan rumusnya?

S1 : dengan melihat gambarnya Bu.

P : jelaskan cara yang kamu gunakan untuk

menentukan aturan pada masing-masing

gambar tersebut!

S1 : pada gambar-gambar ini (menunjuk

jawabannya) memiliki dua-dua ini kan Bu.

Nah dua noktah yang dibelakang ini dijadikan

acuan untuk menentukan aturannya. Untuk

gambar pertama kan ada dua kotak ini yang

Page 60: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

158, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

depan 1 dan yang belakang 2. Jadi aturannya

1+2. Untuk gambar yang ini (menunjuk

Gambar ke-2) 3+2. 3 untuk yang ini

(menunjuk pada kotak pertama pada Gambar

ke-2) dan 2 ini untuk yang belakang

(menunjuk kotak kedua pada Gambar ke-2).

Gambar ketiga juga sama Bu caranya.

Pada cara yang kedua, S1 mengidentifikasi

pola dengan menginterpretasikan masing-masing

gambar untuk menemukan aturannya. S1 tersebut

memberikan arti pada Gambar no 1 bahwa masing-

masing objek pada gambar tersebut memiliki

kesamaan. Kesamaannya yaitu sama-sama memiliki

banyak noktah satu yang tersusun di depan.

Selanjutnya banyaknya noktah 1 tersebut digunakan

sebagai acuan dalam menentukan aturannya.

Untuk cara yang ketiga yang digunakan S1

mengidentifikasi pola dengan menggunakan hukum

closure . Hal ini dilakukan dengan menambahkan

satu noktah pada Gambar ke-1, ke-2, dan ke-3.

Selanjutnya S1, melihat bahwa gambar tersebut

merupakan gambar yang tersusun penuh.

Berdasarkan pemahaman tentang apa yang

dilihatnya tersebut S1 menggunakannya untuk

menentukan aturan pada Gambar ke-1, ke-2, dan ke-

3.

Identifikasi yang dilakukan siswa dengan cara

keempat dengan menggunakan hukum proximity.

Hal ini itunjukkan S1 dengan memberikan arti pada

masing-masing gambar. S1 memberikan arti bahwa

gambar-gambar tersebut tersusun dengan

kelompok-kelompok tertentu. S1 menggunakan

jarak untuk mengelompokkan noktah-noktah

penyusun gambar tersebut. Pemberian jarak tersebut

bertujuan untuk menunjukkan adanya pola yang

tampak pada masing-masing gambar tersebut.

Berdasarkan penggunaan hukum gestalt untuk

memberikan arti masing-masing gambar tersebut, S1

membuat aturan masing-masing gambar.

Selanjutnya berdasarkan aturan masing-masing

gambar tersebut digunakan s1 untuk mencari

hubungan antara penyusun gambar dengan posisi

gambar untuk menentukan aturan umumnya. Aturan

umum dibuat oleh S1 untuk menentukan banyak

noktah pada gambar ke-4 dan ke-15. Berikut proses

yang dilakukan S1 untuk menentukan atuan umum

pola tersebut pada cara yang pertama berdasarkan

cuplikan wawancara berikut.

P : Bagaimana cara kamu menemukan n +(n − 1) + 2?

S1 : Untuk membuat aturan umum kan harus

disesuaikan dengan U nya Bu. Nah, 2 ini

sebagai acuannya. Jadi tidak boleh diubah.

Untuk yang pertama karena sudah sesuai

dengan U nya (menunjuk tulisan U1 di

jawaban tertulisnya) maka tidak perlu diubah.

Sedangkan untuk yang kedua ini kan belum

sesuai karena U2. Jadi 3 harus diubah

menadi 2+1. Untuk yang ke-3 karena U3 5

harus diubah menjadi 3+2. Jadi karena sudah

sesuai dengan U nya maka aturannya 𝑛 +(𝑛 − 1) + 2.

Untuk menentukan banyaknya noktah pada

Gambar ke-4, S2 menggunakan 3cara. Berikut hasil

pekerjaan S2 secara tertulis.

Cara yang pertama dilakukan oleh S2 dengan

menggunakan hukum continuity. S2 mencari

hubungan antara masing-masing gambar. Hubungan

yang digunakan S2 adalah hubungan kesinambungan

pada gambar-gambar di soal. Ada hubungan yang

terus berlanjut yaitu adanya penambahan dua noktah

dari gambar pertama ke gambar selanjutnya.

Hubungan tersebut diperoleh S2 dengan melihat

penyusun masing-masing gambar.

Untuk cara yang kedua dan ketiga, S2

menggunakan hukum proximity. Pada cara yang

kedua untuk menentukan aturan masing-masing

gambar dengan memberikan jarak pada masing-

masing gambar tersebut sehingga membentuk dua

Page 61: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Nurmawanti, Identifikasi Pola Siswa SMP Berdasarkan Teori Gestalt, 159

kelompok, yaitu kelompok atas dan kelompok

bawah. berdasarkan hal tersebut digunakan S2 untuk

menentukan aturan masing-masing gambar.

Selanjutnya aturan masing-masing gambar tersebut

digunakan untuk menentukan aturan umum dari pola

tersebut. Untuk menentukan aturan umum S2

menggambar gambar keempat dulu dan

diidentifikasi aturannya seperti gambar sebelumnya.

Selain itu juga digunakan S2 untuk menentukan

banyak noktah pada gambar ke-4. Sedangkan aturan

umum digunakan S2 untuk menentukan banyak

noktah pada gambar ke-15.

Cara yang ketiga seperti yang dilakukan pada

cara kedua yaitu dengan memberikan jarak terhadap

masing-masing gambar S2 membagi masing-masing

gambar menjadi beberapa kelompok. Pada Gambar

ke-1 dimaknai memiliki dua kelompok yaitu

kelompok yang memiliki banyak noktah 2 dan

banyak noktah 1. Sehingga aturan yang diperoleh

untuk Gambar ke-1 adalah 2+1. Berdasarkan

pemberiak arti pada Gambar ke-1, S2 memberikan

arti bahwa Gambar ke-2 juga tersusun dari

kelompok-kelompok yang memiliki banyak noktah

masing-masing 2 ada dua kelompok dan satu

kelompok yang memiliki banyak noktah 1. Aturan

yang didapatkan S2 berdasarkan har tersebut adalah

2+2+1. Selanjutnya dengan cara yang sama S2

memberikan arti bahwa Gambar ke-3 terdiri dari

kelompok-kelompok yang masing-masing memiliki

banyak noktah 2 yaitu sebanyak tiga kelompok.

Selain itu juga memiliki kelompok dengan banyak

noktah 1. Berdasarkan aturan masing-masing

gambar yang telah dibuat digunakan S2 untuk

menentukan aturan umum yang selanjutnya

digunakan untuk menentukan banyak noktah pada

gambar ke-15.

Pada cara pertama S3 menggunakan hukum

proximity yaitu dengan memberikan jarak tertentu

untuk membagi masing-masing gambar menjadi

beberapa kelompok. Pada Gambar ke-1, ke-2, dan

ke-3, S3 membagi gambar-gambar tersebut masing-

masing terdiri dari dua kelompok. Kelompok yang

pertama yaitu kelompok noktah yang berada di atas

dan kelompok yang berada di bawah. Selanjutnya

karena S3 belum melihat adanya hubungan yang dari

kelompok gambar yang bawah dengan bilangan

pada gambar ia melihat susunan noktah pada

kelompok yang bawah. S3 memberikan makna

bahwa kelompok noktah yang bawah tersusun dari

noktah sebanyak bilangan yang menunjukkan urutan

gambar dan di tambah satu. Selanjutnya berdasarkan

hal tersebut S3 menentukan rumus umum yaitu

𝑈𝑛 = 𝑛 + (𝑛 + 1). Rumus umum tersebut

selanjutnya digunakan S3 untuk menentukan banyak

noktah pada Gambar ke-4 dan ke-15.

Identifikasi cara yang kedua dilakukan dengan

menggunakan hukum similarity. S3 melihat adanya

kesamaan pada masing-masing gambar tersebut

yaitu sama-sama memiliki kuantitas yang tetap yaitu

3 noktah. Selanjutnya S3 menggunakan hukum

proximity untuk mengidentifiksi aturan bagian

ygambar yang tidak tetap pada Gambar ke-1, ke-2,

ke-3, dan ke-4. Hukum proximity dugunakan S2

untuk membagi bagian gambar menjadi beberapa

kelompok. Selanjutnya berdasarkan hal tersebut

dibuat aturan masnig-masing gambarnya.

Identifikasi cara ketiga dilakukan S3 dengan

menggunakan hukum closure. S3 memberikan satu

noktah pada bagian pojok yang masih memiliki

celah agar tertutup. Selanjjutnya seteah menutup

gambar-gambar tersebut, S3 menggunakan hukum

proximity untuk membuat kelompok pada gambar

yang tertutup tadi. Penggunakan hukum proximity

untuk mencari hubungan antara posisi gambar

dengan kuantitas penyusun gambar guna ditemukan

aturan umumnya.

Untuk cara yang keempat S3 menggunakan

hukum proximity. S3 membagi masing-masing

gambar menjadi dua kelompok yaitu yang depan dan

yang belakang. Selanjutnya untuk bagian belakang

Page 62: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

160, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

S3 membagi menjadi kelompok lagi untuk

menentukan aturan masing-masing gambar yang

dihubungkan dengan posisi gambar. Pencarian

hubungan tersebut untuk menentukan aturan

umumnya. Berdasarkan aturan umum yang dibuat

tersebut digunakan S3 untuk menetukan banyak

noktah bpada gambar ke-4 dan ke-15.

Berdasarkan paparan data di atas, telah

diketahui hukum Gestalt yang digunakan tidak

tunggal oleh masing-masing subjek. Hal ini

disebabkan karena adanya kebutuhan dalam

menyelesaikan soal di atas. Pada soal tentang pola di

atas siswa di tuntut untuk mencari cara sebanyak

mungkin yang digunakan. Sehinnga hukum gestalt

yang digunakan tidak tunggal. Selain itu berdasarkan

strategi yang digunakan dalam mengidentifikasi

berdasarkan Hukum Gestalt tersebut ditemukan

aturan umum yang berbeda-beda. Hal ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan oleh Dyndal

(2007) juga yang menjelaskan bahwa identifikasi

pola merupakan hal yang penting dalam menemukan

tipe simbolisasi pada generalisasi.

Untuk hukum continuity hanya dilakukan S2

untuk menentukan banyak noktah pada gambar ke-4.

Sedangkan untuk banyak noktah pada gambar ke-15,

S2 menggunakan aturan umum. Menurut S2

menggunakan hukum continuty untuk menentukan

gambar ke-15 teralu lama. Hal ini sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Lannin, Barker, &

Townsend (2006) aturan umum umumnya dianggap

lebih berguna dan berlaku dari aturan rekursif.

Ketika seseorang menggunakan aturan rekursif

untuk posisi yang jauh akan menjadi melelahkan.

Bagi siswa yang belum mempelajari materi

aljabar kaitannya dengan operasi aljabar strategi

dengan menggunakan teori gestalt ini dapat

digunakan untuk mengenalkan siswa kemampuan

aljabar awal. Hal ini berarti dengan strategi ini dapat

digunakan siswa dalam membangun berpikir aljabar

siswa. Hashemi, dkk (2013) menjelaskan bahwa

melatih siswa bekerja dengan pola dapat

berkontribusi pada kemampuan berpikir aljabar

siswa. Selain itu berdasarkan penelitian yang

dilakukan Rivera (2010) dijelaskan bahwa Gestalt

effect membahas masalah yang relevan untuk pola

yang berguna, hal itu merupakan kriteria struktur

dasar dari aljabar.

PENUTUP

Kesimpulan

Berikut deskripsi strategi identifikasi S1, S2,

dan S3 dengan menggunakan Teori Gestalt

identifikasi pola dapat dilakukan dengan

menggunakan empat strategi. Keempat strategi

untuk identifikasi pola adalah sebagai berikut.

1. Proximity, identifikasi yang dilakukan dengan

menggunakan strategi ini oleh S1, S2, dan S3

yaitu komposisi gambar-gambar pada pola figural

dipandang memiliki jarak tertentu. Pemberian

jarak yang dilakukan pada masing-masing

gambar tersebut dapat dibuat beberapa kelompok

tertentu pada masing-masnig gambar.

Pengelompokan tersebut selanjutnya digunakan

untuk menentukan aturan masing-masing gambar.

2. Similarity, strategi ini dilakukan oleh S1 dan S3

dengan melihat adanya ciri-ciri yang sama pada

komposisi dari objek-objek pada pola.

Selanjutnya berdasarkan ciri-ciri yang sama

tersebut digunakan untuk menentukan kuantitas

yang tetap pada masing-masing aturan yang

dibuat untuk masing-masing gambar.

3. Closure, dengan menggunakan strategi ini S1 dan

S3 melihat komponen-komponen gambar pada

pola bergambar yang memiliki celah dapat

ditutup sehingga membentuk objek yang utuh.

Selanjutnya dilakukan identifikasi pada

komponen setelah ditutup tersebut, digunakan S1

dan S3 untuk menentukan aturan masing-masing.

Selanjutnya berdasarkan aturan yang dibuat S1

dan S3 mrengurangi dengan bilangan yang

menggambarkan kuantitas yang ditambahkan.

4. Continuity, strategi ini digunakan S3 untuk

melihat adanya kesinambungan antara gambar

sebelumnya dengan gambar setelahnya.

Kesinambungan tersebut berkaitan dengan

bagaimana gambar setelahnya dibentuk dari

gambar sebelumnya. Ada kuantitas tertentu yang

ditambahkan dari gambar sebelumnya.

DAFTAR RUJUKAN

Barbosa, dkk. 2007. The influence of visual

strategies in generalization: a study with 6th

grade students solving a pattern task.

Proceedings of the Fifth Congress of the

European Society for Research in

Mathematics Education, 2007, pp. 844-851

Barbosa, dkk. 2012. Pattern Problem Solving Tasks

As A Mean To Foster Creativity In

Mathematics. Proceedings of the 36th

Conference of the International Group for the

Psychology of Mathematics Education, Vol. 4,

171-178. Taipei, Taiwan: PME.

Barbosa. A, Vale I., Palhares P. 2009. Exploring

Generalization With Visual Patterns:Tasks

Developed With Pre-Algebra Students.

Comunication International Meating on

Pattern. Viana de Castelo

Dyndal, J. 2007. High School Students’ Use of

Patterns and Generalisations. Proceedings of

the 30th annual conference of the

Page 63: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Nurmawanti, Identifikasi Pola Siswa SMP Berdasarkan Teori Gestalt, 161

Mathematics Education Research Group of

Australasia J. Watson & K. Beswick (Eds),

Vol.1. Merga Inc.

Guerrero, L. dan Rivera, A. 2002. Explorationof

Pattern and Recursive Functions. Dalam D.S.

Mewborn, P. Sztajn, D.Y. White, H.G. Heide,

R.L Bryant &K. Nooney (Eds.), Proceedings

of Annual Meeting of The North American

Chapter of International Group for The

Psychology of Mathematics Education (24th,

Athens, Georgia, October 26-29) (Vol. 1-4,

pp. 262-272). Athens, Georgia: PME: NA.

Hashemi, dkk. 2013. Generalization in the Learning

of Mathematics. Proceedings of the 2nd

International Seminar on Quality and

Affordable Education. Center of Mathematics

Education.

Hochberg, 2010. Educational Psychoogy Theory and

Practice. USA: Pearson.

Holt, Rinehart, Winston. 2006. Patterns and figures.

In Wisconsin Center for Education Research

& Freudenthal Institute (Eds.), Mathematics

in Context. Chicago: Encyclopædia

Britannica, Inc.

Kennedy, L.M., Tipps, S., dan Johnson, A. 2008.

Guiding Children’s Learning of Mathematics.

Boston: Houghton Mifflin Company.

Lannin. J., Barker, D. & Townsend, B. (2006).

Algebraic generalisation strategies: Factors

influencing student strategy selecti on.

Mathematics Education Research Journal,

18(3), 3–28.

Muhsetyo, Gatot. 2015. Menghayati Kekayaan dan

Keindahan Matematika. Universitas Negeri

Malang.

Moleong, Lexy j. 2006. Metode Penelitian

Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda.

NCTM. 2000. Principle and Standards for School

Mathematics. Reston, V.A: Author.

Permendiknas RI No 68. 2013. Peraturan Menteri

Pendidikan Nasional republik Indonesia

Nomor 68 tentang KD dan Struktur

Kurikulum Sekolah Menengah Pertama dan

Madrasah Tsanawiyah.Jakarta.

Rivera & Becker, 2005. Generalization Strategies Of

Beginning High School Algebra Students.

Proceedings of the 29th Conference of the

International Group for the Psychology of

Mathematics Education, Vol. 4, pp. 121-128.

Melbourne: PME.

Rivera & Becker,2008 . Middle school children s

cognitive perceptions of constructive and

deconstructive generalizations involving

linear figural patterns. ZDM Mathematics

Education 40(1), 65-82.

Rivera, F. 2010. Visual Templates in Pattern

Generalization Activity. 73:297-328.

Springer.

Zazkis, R. dan Liljedahl, P. 2002. Generalization Of

Patterns: The Tension Between Algebraic

Thinking And Algebraic Notation. Netherland:

Kluwer Academic Publishers.

Page 64: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

162

GESTURE SISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA

Rivatul Ridho Elvierayani1, Edy Bambang Irawan2, Sudirman3

Universitas Negeri Malang

[email protected], [email protected], [email protected]

Abstract: During the process of solving the problem, all the spontaneous actions undertaken is the

natural state of students when dealing with problems. Does it have a big impact in helping students solve

mathematical problems?. In this study will be revealed about the role of student action or gesture of

students in solving mathematical problems. Subjects were selected four students at a junior high school in

Malang city. Researchers recorded all the activities of the students while solving a mathematical problem

to determine the students' gesture. The results showed that students using deictic and representational

gestures to communicate their mathematical ideas, to understand the problem at hand and also acts as a

guide in solving mathematical problems.

Keywords:Problem solving, gesture, deictic gesture, representasional gesture

Abstrak: Pada saat proses memecahkan masalah, segala tindakan spontan yang dilakukan merupakan

keadaan alami siswa ketika berhadapan dengan masalah. Apakah tindakan tersebut berpengaruh besar

dalam membantu siswa memecahkan masalah matematika?. Dalam penelitian ini akan diungkap

mengenai peranan tindakan siswa atau gesture siswa dalam memecahkan masalah matematika. Subjek

yang dipilih ada empat siswa di sebuah SMP kota Malang. Peneliti merekam segala aktivitas siswa saat

memecahkan masalah matematika untuk mengetahui gesture siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

siswa menggunakan gesture deiktik dan representasional untuk mengomunikasikan ide-ide matematis

mereka, memahami masalah yang sedang dihadapinya dan juga berperan sebagai pembimbing dalam

menyelesaikan masalah matematika.

Kata kunci: pemecahan masalah, gesture, gesture deiktik, gesture representasional

Pemecahan masalah (problem solving)

merupakan salah satu ketrampilan proses yang perlu

dimiliki siswa dalam pembelajaran matematika. Hal

ini sesuai dengan National Council of Teachers of

Mathematics (2000) bahwa pemecahan masalah

merupakan ketrampilan dalam berpikir matematika

tingkat tinggi untuk dapat mengembangkan

kemampuan berpikirnya. Saat memecahkan masalah

matematika, peneliti banyak menemui siswa yang

mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tipe soal

berbentuk soal cerita. Hal ini diperkuat oleh

penelitian yang telah dilakukan oleh Croteau (2004)

dan Chan, dkk (2006) bahwa siswa masih

mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah

matematika berbentuk soal cerita materi aljabar dan

geometri. Saat siswa memecahkan masalah

matematika peneliti mencoba mengamati proses

pemecahan masalah yang dilakukan oleh siswa.

Peneliti mulai tertarik dengan segala tindakan yang

dilakukan siswa dalam memecahkan masalah

matematika. Baru-baru ini, banyak penelitian yang

mengkaji tentang kognisi yang diwujudkan

(embodied cognition) salah satunya mengenai

Theories of Embodied Cognition yang diungkap oleh

Caroline, dkk (2012). Teori ini menjelaskan bahwa

kemampuan kognitif seseorang berhubungan dengan

tindakan dan persepsi dari orang tersebut. Teori

inilah yang mendasari bahwa tubuh terlibat dalam

proses berpikir yang sedang dilakukan. Saat

seseorang dihadapkan dengan masalah, secara tidak

langsung seseorang tersebut memikirkannya

sebentar dan secara spontan menanggapi masalah

tersebut dengan berinteraksi melibatkan gerakan

tubuh mereka. Hosteter & Alibali (2008)

berpendapat bahwa gesture muncul dari persepsi dan

simulasi motorik yang mendasari bahasa dan

bayangan mental seseorang. Gesture menurut

Becvar, dkk (2008) adalah semua gerakan tubuh,

khususnya lengan dan tangan yang terintegrasi baik

dengan ucapan maupun tidak dan digunakan sebagai

alat untuk mengomunikasikan sesuatu. Gesture

sering dilakukan siswa dalam mempelajari konsep

baru di kelas, selain itu saat dihadapkan masalah

matematika gesture juga berperan penting dalam

memecahkan masalah tersebut.

Saat memecahkan masalah, siswa sering

menggunakan gesture disertai dengan ucapan, hal ini

digunakan untuk memperjelas pengguna gesture

kepada pendengar tentang apa yang sedang

dipikirkannya (McNeill, 1992). Sehingga gesture

sering nampak jika ada seseorang yang melihatnya.

Namun, terkadang siswa juga menggunakan gesture

ketika tidak ada seorang pun yang melihatnya.

Sehingga gesture yang ia gunakan bertujuan untuk

Page 65: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Elvierayani, dkk. Gesture Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika, 163

dirinya sendiri dalam proses pemecahan masalah

matematika tersebut. Gesture sangat berhubungan

erat dengan pemecahan masalah matematika, seperti

yang diungkap oleh Francaviglia & Servidio (2011)

bahwa gesture memberikan strategi komunikasi

yang baik dalam menyelidiki proses berpikir

matematis siswa dalam memecahkan masalah.

Penelitian tentang penggunaan gesture dalam

memecahkan masalah matematika telah banyak

dilakukan diantaranya Goldin-Meadow dan

rekannya (Church & Goldin-Meadow, 1986; Alibali

& Goldin-Meadow, 1993; Goldin-Meadow, Alibali,

& Church, 1993; dan Goldin-Meadow & Alibali,

1995) melakukan penelitian mengenai pemecahan

masalah konservasi bilangan dan ekivalensi.

Hasilnya menunjukkan bahwa siswa seringkali

menggunakan gesture untuk mempelajari konsep

baru untuk menjelaskan pemahaman mereka.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,

peneliti mempelajari dan meneliti secara mendalam

peranan gesture siswa dalam memecahkan masalah

matematika, karena Alibali & Nathan (2011)

mengatakan bahwa gesture memberikan bukti

bahwa tubuh terlibat dalam berpikir dan berbicara

mengenai ide-ide yang diekspresikan melalui

gesture. Selain itu tujuan dari penelitian ini yaitu

ingin mengungkap peranan gesture yang dilakukan

siswa untuk dirinya sendiri dalam memecahkan

masalah matematika. Goldin-Meadow (2009)

menjelaskan bahwa seseorang juga menggunakan

gesture ketika tidak ada seseorang yang melihatnya.

Penelitian ini hanya difokuskan pada gesture pada

gerakan lengan dan tangan. Berdasarkan McNeill

(1992) dan Alibali & Nathan (2011) jenis gesture

yang dikaji dibedakan menjadi dua yaitu gesture

deiktik dan gesture representasional. Gesture deiktik

merupakan gesture menunjuk yaitu gesture yang

menunjuk ke objek, kejadian, lokasi atau orang.

Gesture representasional merupakan gesture dengan

bentuk lintasan tangan maupun lengan yang dapat

menggambarkan aspek-aspek dari pemaknaan

mereka. Berpijak pada kajian teori dan kajian

empiris yang telah dilakukan oleh peneliti, maka

dapat dibuat kerangka kerja gesture siswa selama

memecahkan masalah matematika. Hal ini diurakan

pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Kerangka Kerja Gesture Siswa selama Memecahkan Masalah

Jenis Gesture Deskripsi Perilaku Siswa selama Diskusi

Deiktik Gesture yang digunakan untuk

menunjuk objek, orang

ataupun suatu hal.

Menunjuk dengan jari tangan (jempol, telunjuk, tengah,

manis ataupun kelingking) pada suatu objek (bilangan, kata,

gambar, grafik) baik disertai ucapan maupun tidak.

Menunjuk dengan bantuan alat tulis (pensil, bolpoin,

penggaris) sebagai pengganti jari tangan pada suatu objek

baik disertai ucapan maupun tidak.

Representasional Gesture yang menggambarkan

ide-ide konkrit dan abstrak,

isi, atau peristiwa yang

disampaikan secara verbal

maupun non verbal.

Membuat lintasan gerak dengan jari tangan (seperti:

menggerakkan jari telunjuk secara melingkar, membuat

lintasan garis) baik di udara maupun di atas kertas.

Membuat lintasan gerak dengan alat tulis sebagai pengganti

jari tangan namun tidak meninggalkan bekas coretan.

Membuat lintasan gerak dengan tangan maupun lengan

menyerupai objek yang dibicarakan saat menjelaskan

kepada teman diskusinya (seperti: membuat lengkungan

dengan tangan untuk menjelaskan mengenai grafik fungsi

kuadrat).

METODE

Penelitian ini termasuk dalam penelitian

kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif.

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan secara

rinci peranan gesture siswa dalam memecahkan

masalah matematika. Penelitian ini dilakukan dalam

satu kelas yang berjumlah 20 siswa di salah satu

SMP di kota Malang, kemudian siswa dibagi

menjadi 10 kelompok dan diberi lembar tugas.

Subjek dipilih berdasarkan pengamatan lagsung saat

siswa melakukan variasi gesture dalam memecahkan

masalah matematika secara kelompok. Instrumen

lembar tugas yang digunakan dalam penelitian ini

adalah instrumen lembar tugas soal cerita berjumlah

dua soal diambil dari salah satu soal PISA

(Programme for International Student Assessment)

dan TIMSS (Trends in International Mathematics

and Science Study). Hal ini dilakukan karena soal-

soal matematika dalam studi PISA dan TIMSS lebih

banyak mengukur kemampuan siswa untuk bernalar,

memecahkan masalah dan berargumentasi daripada

soal-soal yang mengukur kemampuan teknis seperti

mengingat dan menghitung semata. Data penelitian

ini diambil dari rekaman audio-visual (video) siswa

selama proses memecahkan masalah matematika

Page 66: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

164, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

secara kelompok. Ada empat subjek dari dua

kelmpok yang dipilih dalam penelitian ini yang

diambil peneliti untuk dilakukan proses pengambilan

data selanjutnya melalui wawancara subjek dan

mengeksplorasi penggunaan gesture yang dilakukan

selama memecahkan masalah matematika hingga

data lengkap, kemudian data dianalisis. Analisis data

mengikuti tahapan dari Johnson, B. & Christensen

L. (2004) yakni dilakukan dengan tekhnik

transkripsi, segmentasi, kodding dan

pengkategorissian hingga penarikan kesimpulan.

HASIL

Berdasarakan hasil penelitian yang telah

dilakukan mengenai peranan gesture dalam

memecahkan masalah yang diajukan oleh peneliti,

peneliti mengamati dua kelompok terpilih dari

sepuluh kelompok yang ditentukan sebelumnya.

Sepuluh kelompok yang telah ditentukan,

pembagian kelompoknya telah dilakukan oleh guru

kelasnya secara heterogen sesuai dengan proses

pembelajaran kooperatif. Pemilihan kedua kelompok

subjek ini didasarkan pada banyaknya variasi

gesture yang dilakukan selama memecahkan

masalah matematika juga kejenuhan data mengenai

peranan gesture selama proses pemecahan masalah

walaupun bentuk gesture yang dilakukan berbeda.

Dua kelompok subjek terpilih berasal dari kelompok

siswa berkemampuan tinggi dengan siswa

berkemampuan sedang dan siswa berkemampuan

sedang dengan siswa berkemampuan rendah.

Masing-masing kelompok subjek menggunakan

gesture deiktik, gesture representasional.

Peranan gesture dalam kelompok 1

Kelompok 1 merupakan kelompok siswa

berkemampuan tinggi dan siswa berkemampuan

sedang. Banyaknya gesture yang mereka lakukan

selama memecahkan masalah matematika sebanyak

56 gesture diantaranya 33 gesture menunjuk, 23

gesture representasional.

Peranan gesture S1

Saat diberikan soal, awalnya S1 mengerjakan

soal nomor 1, pada menit ke 00:05 S1 membaca soal

dengan gerakan tangan menunjuk (gesture deiktik),

S1 menggunakan jari telunjuk tangan kirinya pada

setiap kata dan gambar. Hal ini dilakukan oleh

keduanya untuk memperjelas soal dan untuk

memahami maksud soal yang diberikan pada dirinya

sendiri. Sehingga S1 melakukannya tanpa disertai

dengan ucapan yang melengkapi penggunaan

gesturenya.

Gambar 1. Gesture deiktik untuk memahami

masalah

Selanjutnya mulai menit 01:05 S1 melakukan

gesture deiktik dan gesture representasional untuk

mencoba membantu S2 dengan cara menunjuk

setiap gambar dengan jari telunjuk tangan kirinya

dan membuat gerakan melingkar tanpa

menimbulkan bekas dengan pensilnya pada hasil

jawaban yang dituliskan oleh S2 pada sebuah kertas.

Hal ini dilakukan S1 semata-mata untuk membantu

memfokuskan rencana penyelesaian yang dituliskan

oleh S2 pada dirinya sendiri.

Gambar 2. Gesture representasional untuk

memahami masalah

Semua variasi gesture yang dilakukan S1 di

awal saat memahami masalah dan merencanakan

penyelesaian semata-mata digunakan sendiri untuk

lebih memusatkan perhatiannya tentang masalah

yang sedang dihadapinya.

Pada menit ke 02:19 S1 mencoba melakukan

variasi gesture, baik gesture deiktik maupun gesture

representasional dengan menunjuk dan membuat

gerakan melingkar dengan pensilnya tanpa

meninggalkan bekas pada gambar timbangan.

Gesture tersebut dilakukan S1 untuk membantu

mengongkritkan ide nya dalam menyelesaikan

rencana penyelesaian yang dilakukan oleh S2.

Karena adanya kendala dalam memecahkan

masalah, S1 mencoba membaca soal kembali dengan

suara keras dan menggunakan gesture deiktik

dengan menunjuk menggunakan jari kelingking

tangan kirinya pada setiap kata yang ada pada soal.

Selain itu S1 juga menggunakan gesture

representasional dengan menunjuk dan membuat

lintasan melingkar dengan salah satu jari telunjuk di

gambar timbangan 1 dan jari tengah menunjuk di

menunjuk pada

lembar tugas

Membuat lintasan

melingkar pada gambar

timbangan

Page 67: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Elvierayani, dkk. Gesture Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika, 165

timbangan 2 dengan tangan kirinya. Gesture ini

dilakukan secara bersamaan. Gesture yang dilakukan

S1 digunakan untuk dirinya sendiri untuk

memfokuskan masalah yang sedang dipikirkannya.

Selanjutnya S1 berdiskusi dengan S2 mengenai

rencana selesaian yang dilakukan. Keduanya saling

menggunakan gesture deiktik saat berdiskusi, hingga

pada akhir diskusi S1 menggunakan gesture

representasional dengan membuat simbol lima

dengan tangan kirinya untuk mengongkritkan

jawaban hasil diskusinya. Selama S2 menuliskan

hasil jawaban S1 menggunakan gesture deiktik

untuk membantu memfokuskan S2 dalam

menuliskan hasil jawaban selesaian.

Selanjutnya pada saat mengerjakan soal

nomor 2, S1 membaca soal dengan suara lantang dan

mulai menit ke 00:02 menggunakan gesture deiktik

dengan menunjuk menggunakan pensil pada setiap

kata yang ada pada soal. Hal ini dilakukan S1

semata-mata untuk lebih menfokuskan perhatiannya

pada masalah yang dihadapinya. Diskusi sempat

terhenti karena S1 tidak memahami maksud soal.

LIA juga menggunakan gesture representasional

untuk merepresentasikan maksud soal pada grafik

dengan membuat lintasan dengan pensil yang

digerakkan dari ujung kiri ke ujung kanan sumbu 𝑥

(seperti pada Gambar 4.4) pada gambar di lembar

tugas namun tidak meninggalkan bekas coretan pada

kertas.

Gambar 3. Gesture representasional untuk

merepresentasikan pemahaman masalah

Dilihat dari peranannya, variasi gesture yang

dilakukan S1 ditujukan kepada dirinya sendiri untuk

lebih memahami dan mengerti maksud soal dan

penyelesaian yang diinginkan pada masalah yang

dihadapinya. Diskusi terus berlanjut hingga S1

memberikan alasan jawaban dari hasil

pemahamannya dengan disertai gesture yang tertera

pada Gambar 4 di bawah ini:

Gambar 4. Gesture representasional (a) koordinat

kartesius (b) grafik lengkung (fungsi kuadrat)

(c) perpotongan garis (d) garis sejajar oleh S1

Awalnya S1 menggunakan gesture deiktik

yang tidak lain digunakannya untuk menarik

perhatian S2 tentang ide yang akan disampaikannya.

Sehingga keduanya fokus pada apa yang akan

dibicarakan. Selanjutnya gesture representasional

digunakan untuk menggambarkan tentang hubungan

grafik dan fungsi. Sehingga kedua gesture ini

berperan untuk mengkongkritkan ide ataupun

gagasan yang ada di pikiran mereka. Selain itu

berperan pula dalam memahami dan menemukan

pemecahan dari suatu permasalahan.

Peranan gesture S2

Awalnya S2 mengerjakan soal nomor 1, pada

menit ke 00:05 S2 membaca soal dengan gerakan

tangan menunjuk (gesture deiktik), S2 menggunakan

pensilnya untuk menunjuk setiap kata dan gambar

tanpa meninggalkan bekas coretan. Hal ini dilakukan

olehnya untuk memperjelas soal dan untuk

memahami maksud soal yang diberikan pada dirinya

sendiri. Selanjutnya S2 siswa berkemampuan tinggi

mulai menit ke 01:00 menulis rencana penyelesaian

dengan menggunakan konsep persamaan linear,

namun tidak memperoleh hasil jawaban yang

menurutnya tepat. Selanjutnya S2 mempunyai ide

untuk menyelesaikan masalah dengan menggunakan

konsep logika, S2 menggunakan gesture deiktik

dengan menunjuk menggunakan pensil pada setiap

gambar pada timbangan untuk menjelaskan rencana

selesaian yang dilakukan kepada teman diskusinya.

Selama mereka berdiskusi keduanya saling

menggunakan gesture deiktik untuk menunjuk

gambar disertai dengan ucapan. Hal ini dilakukan

untuk menegaskan ucapan yang disampaikannya.

Diskusi berlanjut pada nomor 2, S2 kembali

membaca soal tanpa disertai ucapan namun

Page 68: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

166, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

menggunakan gesture menggunakan tangan

kanannya menunjuk pada gambar grafik untuk

memfokuskan maslalah yang sedang dihadapinya.

Ketika S1 tidak memahami masalah yang sedang

dihadapinya S2 memberikan bantuan dengan

menggunakan gesture representasional seperti yang

ditunjukkan pada Gambar 5. berikut untuk

menyampaikan pemahamannya terhadap masalah

yang sedang dihadapi oleh keduanya.

Gambar 5. Gesture representasional menjelaskan

pemahaman S2 kepada S1

Diskusi berlanjut sampai keduanya

menemukan jawaban akhir dari masalah dengan

bantuan gesture. Ketika gesture bersesuaian dengan

ucapan maka perhatian dalam proses diskusi terjalin

dengan baik.

Peranan gesture dalam kelompok 2

Kelompok 2 terdiri dari kelompok siswa

berkemampuan sedang dan siswa berkemampuan

rendah. Dalam diskusi ini jumlah gesture yang

mereka lakukan sebanyak 76 gesture, 57 diantaranya

merupakan gesture deiktik dan 19 gesture yang lain

merupakan gesture representasional.

Peranan gesture S3

Pada menit ke 00:04 S3 mulai menggunakan

gesture setelah membaca soal nomor 1. Gesture

pertama yang dilakukan S3 adalah gesture deiktik.

Gesture ini dilakukan dengan menunjuk gambar

timbangan tiga menggunakan pensil sebagai

pengganti jari tangan kanannya. Gesture ini

dilakukan setelah S3 selesai membaca soal tanpa

disertai ucapan. Gesture deiktik yang digunakan

semata mata berperan untuk memahami masalah

yang diberikan sebelum didiskusikan kepada

rekannya. Diskusi berlanjut dengan penggunaan

gesture deiktik higga pada menit ke 00:28 S3

menggunakan gesture representasional disertai

dengan ucapan. Gesture ini dilakukan S3 bersamaan

dengan gesture deiktik, dan dilakukan dengan

menggunakan kedua tangannya dimana tangan

kanan memegang pensil dan menunjuk gambar

timbangan 2, sedangkan ibu jari dan telunjuk tangan

kirinya membuat gerakan seperti mencubit untuk

mengambil 2 silinder pejal dan 1 bola di timbangan

2 dan dipindahkan ke timbangan 3 (seperti pada

Gambar 6). Berdasarkan hasil wawancara hal ini

dilakukan S3 untuk memfokuskan masalah yang

sedang dihadapinya

.

Gambar 6. Gesture deiktik dan representasional oleh S3

Selama memahami masalah pada menit ke

00:42, S3 selalu menggunakan gesture deiktik

dengan kedua tangannya tanpa disertai ucapan,

gesture ini dilakukan dengan tangan kanan

memegang pensil menunjuk sebuah gambar

timbangan dan jari telunjuk tangan kirinya

menunjuk gambar timbangan yang lain. Gesture ini

dilakukan S3 sampai pada menit ke 01:37. Karna S3

merasa belum memahami masalah yang diinginkan

pada soal nomor satu, S3 melanjutkan mengerjakan

soal nomor 2. Sama halnya seperti sebelumnya

selama memahami masalah S3 menggunakan

gesture menunjuk dan representasional dengan

menunjuk gambar grafik dan membuat lintasan

melingkar. Karena dirasa soal nomor dua lebih susah

dari soal nomor satu, S3 kembali mengerjakan soal

nomor satu.

Selama melanjutkan mengerjakan soal nomor 1,

S3 mendengarkan pendapat dari teman diskusinya,

dan setelah memahami rencana selesaian yang

diberikan, S3 kembali mengambil alih diskusi

dengan menjawab hasil selesaian dari soal nomor 1.

Ketika menemui kendala dalam perhitungannya, S3

menggunakan gesture representasional untuk

mengongkritkan ide yang sedang dipikirkannya.

Setelah menemukan jawaban, S3 menulis hasil

jawaban disertai gesture deiktik dengan cara S3

menulis menggunakan tangan kanannya, sedangkan

Page 69: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Elvierayani, dkk. Gesture Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika, 167

tangan kirinya melakukan gesture deiktik dengan

menujuk mengunakan ibu jari dan telunjuknya pada

setiap timbangan secara bergantian. Hal ini

dilakukan S3 untuk dirinya sendiri. Peranan gesture

yang dilakukan S3 digunakan untuk memusatkan

perhatiannya dalam menuliskan hasil selesaian yang

dilakukan.

Gambar 7. Gesture deiktik saat menuliskan selesaian

Saat mengerjakan soal nomor dua, pada saat

memahami masalah S3 membaca soal secara lantang

disertai gesture deiktik dan gesture representasional.

Gesture deiktik dilakukan dengan menunjuk setiap

kata pada soal dengan menggunakan jari telunjuk

tangan kirinya dan gesture representasional

dilakukan beriringan dengan gesture deiktik dengan

cara membuat lintasan garis lurus pada sumbu 𝑥 dan

membuat lintasan lengkung seperti huruf U pada

grafik di soal dengan pensil di tangan kanannya

tanpa menimbulkan bekas coretan. Setelah

memahami masalah S3 memulai membuat rencana

selesaian dengan mendiskusikannya kepada teman

diskusinya menggunakan gesture deiktik dan

representasional disertai dengan ucapan seperti pada

Gambar 8 di bawah ini.

Gambar 8. Variasi gesture S3 saat merencanakan selesaian

Terlihat bahwa S3 menggunakan variasi

gesture baik berupa gesture deiktik maupun gesture

representasional untuk memberikan penjelasan

kepada rekan diskusinya mengenai rencana selesaian

yang sedang dipikirkannya. S3 merepresentasikan

grafik fungsi dan menjelaskan titik potong negatif

pada gafik fungsi tersebut. Gesture ini dilakukan S3

untuk mengongkritkan idenya dan membantu teman

diskusinya memahami selesaian dari soal tersebut.

Peranan gesture S4

Pada awalnya S4 membaca soal nomor 1,

mulai menit ke 00:08 S4 menggunakan gesture

deiktik dengan menunjuk gambar timbangan 2

menggunakan pensil dengan tangan kanannya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan S4, gesture

deiktik yang digunakan semata mata berperan untuk

memahami masalah yang diberikan. Selama

memahami masalah S4 sering menggunakan gesture

deiktik dengan menunjuk setiap kata dan gambar.

Setelah memahami apa yang ditanyakan pada soal,

S4 memberanikan diri dengan mengusulkan rencana

selesaian dengan mengubah dulu berat satu silinder

pejal sama dengan tiga bola bejal, namun teman

diskusinya terlihat masih ragu dengan jawaban yang

diberikan oleh S4, sehingga diskusipun hening

sampai 2 menit. Karena teman diskusinya mengajak

berindah pada soal nomor 2, S4 mwncoba mengikuti

kemauan rekan diskusinya dan kembali memahami

masalah dengan menggunakan gesture. Gesture

yang digunakan adalah gesture deiktik dengan cara

menunjuk gambar grafik pada lemar soal (perhatikan

Gambar 9.). Hal ini semata-mata dilakukan untuk

dirinya sendiri sebagai cara untuk memudahkannya

dalam memahami maksud soal yang sedang

dibacanya.

Page 70: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

168, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

Gambar 9. Gesture deiktik S4 saat membaca soal

Selama memecahkan masalah, S4

menggunakan variasi gesture untuk membantunya

dalam memecahkan masalah yang sedang

dhadapinya. Seperti pada saa memberikan

argumentasinya mengenai rencana selesaian yang

dilakukan untuk melanjutkan jawaban nomor satu,

S4 memberikan pendapat disertai gesture deiktik.

Hasilnya menunjukkan bahwa dengan bantuan

gesture yang dilakukan 4 dapat memberikan

pengaruh baik terhadap teman diskusinya untuk

kembali menyelesaikan masalah nomor 1, dan

berhasil untuk menemukan jawaban akhir dari soal

nomor 1. Dengan bantuan gesture ini S4 dapat

mengongkritkan ide yang ada di pikirannya untuk

memberikan usulan mengenai rencana selesaian

yang digunakan untuk memecahkan masalah.

Selanjutnya, S4 kembali memberikan

konstribusinya dalam berdiskusi dengan

memeberikan pendapat disertai gesture mengenai

masalah fungsi pada soal nomor 2. S4 berpendapat

bahwa S4 pernah menemui masalah yang disajikan

dari guru kelasnya. S4 merepresentasikan grafik

lengkung dengan empat kondisi (perhatikan Gambar

10). Dilihat dari peranannya gesture tersebut

digunakan S4 untuk memberikan bantuan kepada

teman diskusinya tentang konsep fungsi yang pernah

didapatkannya, selain itu juga digunakan untuk

mengongkritkan ide/gagasan yang dipikirkannya

kepada teman dikusinya.

Gambar 4.17 Gesture representasional oleh S4 untuk merepresentasikan grafik lain (a) lengkung ke kiri (b)

lengkung ke kanan (c) lengkung ke bawah (d) lengkung ke atas

Gesture yang dilakukan S4 memberikan

pengaruh ang besar kepada teman diskusinya

sebagai ide untuk menyelesaikan maslaah yang

sedang dihadapinya. Dari ide awal yang dmunculkan

S4 melalui gesture yang dilakukannya dapat menjadi

jembatan penghubung antara ide yang diberikan S4

dengan hasil jawaban yang diberikan oleh teman

diskusinya dalam menjawab masalah lembar tugas

nomor 2.

Dari semua gesture yang dilakukan oleh siswa

dalam memecahkan masalah matematika, peneliti

dapat membuat beberapa hasil temuan dari peranan

gesture yang digunakan siswa dalam memecahkan

masalah matematika. Hal tersebut diuraikan peneliti

dalam Tabel 2.

PEMBAHASAN

Gesture Siswa dalam Memecahkan Masalah

Matematika

Data hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam

memecahkan masalah matematis yang diberikan

oleh peneliti, siswa melakukan variasi gesture.

Variasi gesture yang dilakukan siswa dapat di-

golongkan berdasarkan klasifikasi yang dilakukan

oleh McNeill (1992) mengenai gesture proporsional.

Jenis gesture proporsional tersebut terdiri dari

gesture ikonik, gesture metaforik dan gesture

deiktik. Selanjutnya menurut Alibali & Nathan

(2007) gesture ikonik dan gesture metaforik disebut

sebagai gesture representasional. Sehingga dalam

penelitian ini semua siswa melakukan dua jenis

gesture yaitu gesture deiktik dan gesture

representasional.

menunjuk gambar

grafik

Page 71: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Elvierayani, dkk. Gesture Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika, 169

Tabel 2. Peranan Gesture Siswa dalam Memecahkan Masalah Matematika

Jenis Peranan

Deiktik Memahami masalah.

Memperjelas soal.

Memusatkan perhatian untuk melaksanakan rencana selesaian.

Menegaskan ucapan.

Menunjukkan kepada orang lain

Memusatkan perhatian orang lain

Memusatkan perhatian bersama.

Representasional Mengongkritkan ide/gagasan yang dipikirkannya.

Memahami maksud soal.

Memberikan bantuan kepada orang lain.

Menjelaskan ide/gagasan kepada orang lain

Membantu memahami masalah.

Membantu menyelesaikan rencana selesaian.

Memusatkan perhatian bersama.

Gesture deiktik merupakan gesture yang

paling sering digunakan saat memecahkan masalah

yang diberikan. Dari ketiga kelompok jumlah

gesture deiktik yang dilakukan sebanyak 117 dari

173 gesture yang dilakukan. Fakta ini sesuai dengan

pernyataan yang diungkap oleh Alibali & Nathan

(2007) dalam salah satu penelitiannya diperoleh

bahwa 56% pembelajaran matematika menggunakan

gesture, 21% diantaranya menggunakan gesture

deiktik, 20% diantaranya gesture representasional

dan sisanya gesture menulis. Data hasil penelitian

menunjukkan bahwa gesture deiktik dilakukan siswa

dengan dua cara, terkadang tanpa ucapan dan paling

sering digunakan disertai dengan ucapan. Gesture

deiktik yang dilakukan tanpa ucapan digunakan

untuk dirinya sendiri sebelum menyampaikan apa

yang dipikirkan kepada lawan bicaranya, hal ini

sesuai dengan pendapat Alibali dan Nathan (2011)

bahwa siswa mengekspresikan pengetahuan baru

dalam bentuk gesture sebelum mereka

menyampaikannya dengan perkataan. Sedangkan

gesture deiktik yang digunakan bersamaan dengan

ucapan digunakan untuk menunjukkan suatu hal

kepada lawan bicaranya. Seperti yang dikatakan oleh

McNeill (1992) bahwa gesture dan ucapan

mengkombinasikan pengungkapan makna yang

tidak sepenuhnya ditangkap oleh pembicara jikalau

hanya dilakukan salah satu saja. Dengan kata lain

gesture deiktik yang disertai dengan ucapan

memberikan penegasan bagi pembicara untuk

menyampaikan apa yang dipahaminya. Dari

keempat siswa dalam data penelitian, gesture deiktik

yang digunakan untuk dirinya sendiri terjadi di awal

kegiatan baik gesture tersebut disertai ucapan

maupun tidak disertai ucapan. Hal ini dilakukan

siswa untuk memahami masalah. Selain itu gesture

ini juga digunakan siswa untuk memperjelas maksud

soal yang sedang dibacanya. Sehingga dengan

gesture yang digunakan dapat merepresentasikan

apa yang sedang dipahaminya. Gesture deiktik yang

digunakan untuk orang lain dilakukan siswa

bersamaan dengan ucapan. Hal ini dilakukan saat

berdiskusi untuk menunjukkan suatu hal kepada

orang lain, entah itu dengan menunjuk gambar, kata

ataupun gafik. Gesture deiktik yang dilakukan siswa

dalam memecahkan masalah di penelitian ini,

hampir sering dilakukan oleh siswa yang

berkemampuan sedang. Mereka menggunakan

gesture tersebut untuk dirinya sendiri dalam

memahami maksud soal dan merepresentasikan soal

ketika mereka selesai membacanya. Setelah

memahami maksud soal mereka menggunakan

kembali gesture deiktik untuk disampaikan kepada

rekan diskusinya dan terkadang juga digunakan

untuk bersama. Hal ini dilakukan siswa karena

mereka merasa dengan melakukan gesture tersebut

mereka dapat berperan aktif dalam menyelesaikan

masalah matematika secara kelompok.

Dalam penelitian ini penggunaan gesture

representasional ditemui dalam tiga cara baik itu

disertai ucapan maupun tidak disertai ucapan.

Pertama siswa menggunakan gesture

representasional di atas kertas, kedua dilakukan

diatas meja dan ketiga dilakukan di udara. Gesture

representasional yang dilakukan siswa diatas kertas

ditujukan pada gambar timbangan dan grafik.

Gesture ini sering berbentuk lintasan bentuk, baik

itu lintasan bentuk melingkar yang digunakan untuk

merepresetasikan informasi yang dianggap penting

dalam pikirannya, lintasan garis lurus untuk

merepresentasikan sumbu 𝑥 sebagai daerah asal

suatu fungsi dan lintasan grafik lengkung seperti

huruf U untuk merepresentasikan dengan jelas grafik

fungsi kuadrat. Gesture yang dilakukan ini

digunakan sebagai penggambaran objek yang sedang

dipikirkan siswa saat berdiskusi dengan rekan

kerjanya. Hal ini sejalan dengan pendapat Alibali &

Nathan (2011) bahwa gesture representasional lebih

Page 72: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

170, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

sering digunakan untuk menyatakan persepsi secara

visual. Gesture representasional dalam penelitian ini

digunakan siswa baik untuk dirinya sendiri, untuk

orang lain dan digunakan untuk bersama-sama (diri

sendiri dan orang lain). Gesture representasional

yang digunakan untuk diri sendiri banyak dilakukan

tanpa ucapan verbal. Gerakan yang dilakukan

cenderung membuat lintasan bentuk seperti lintasan

melingkar, lintasan garis lurus dan lintasan grafik U

di atas kertas. Hal ini dilakukan untuk

mengongkritkan apa yang sedang dipahaminya

setelah membaca soal. Gesture yang digunakan

untuk diri sendiri ditemui di awal kegiatan. Gesture

representasional yang digunakan untuk orang lain

selalu disertai dengan ucapan verbal. Gesture ini

dilakukan baik di atas kertas, di atas meja maupun

diudara, hal ini digunakan untuk menjelaskan

sesuatu baik itu pemaham siswa terhadap soal, ide,

maupun gagasan dalam merencanakan selesaian.

Gesture representasional yang digunakan untuk

kepentingan bersama, cenderung disertai dengan

ucapan. Hal ini dilakukan ketika siswa

merencanakan selesaian dan menuliskan rencana

selesain yang dilakukan diatas kertas. Hal ini

digunakan untuk memusatkan perhatian bersama

dalam menyelesaikan masalah yang sedang

dihadapinya. Selain itu juga digunakan untuk

membantu memfokuskan hal yang dianggap penting

saat menuliskan rencana selesaian.

Peranan Gesture dalam Memecahkan Masalah

Matematika

Gesture deiktik merupakan gesture menunjuk

yang ditujukan pada suatu objek, tempat, atau

inskripsi pada suatu lingkungan fisik. Dalam

penelitian ini gesture deiktik digunakan untuk

menunjuk objek berupa gambar, grafik maupun

tulisan. Peranan gesture deiktik dalam memecahkan

masalah secara kelompok terbagi menjadi tiga

bentuk. Pertama, gesture deiktik digunakan sebagai

alat untuk menegaskan ucapan. Di awal kegiatan,

siswa membaca soal baik secara lantang maupun

tidak disertai dengan jari tangan menunjuk setiap

kata pada soal yang dibacanya. Hal ini berperan

untuk memusatkan perhatian siswa saat memahami

masalah yang sedang dihadapinya. Sesuai dengan

pendapat Alibali & Nathan (2011) bahwa gesture

deiktik secara khusus sangat menarik untuk

digunakan karena hal tersebut merupakan penandaan

secara spontan untuk memperjelas suatu hal. Kedua,

gesture deiktik berperan untuk menunjukkan kepada

orang lain. Gesture ini dilakukan bersamaan dengan

ucapan. Ucapan-ucapan yang sering digunakan

dalam penelitian ini seperti “ini kan” atau “ini lho

domainnya” ada pula “1 balok pejal” dan ucapan-

ucapan tersebut bersamaan dengan menunjuk

tulisan, gambar timbangan maupun grafik. Dengan

bantuan gesture deiktik penerima gesture

(pendengar) dapat dengan mudah mengetahui apa

yang dimaksud pengguna gesture ketika

menyampaikan objek pembicaraannya. Sehingga

pendengar terpusat dengan apa yang ditunjuk oleh

pengguna gesture tersebut. Ketiga, gesture deiktik

ini berperan untuk menunjukkan posisi suatu titik.

Gesture ini digunakan ketika siswa mengerjakan

masalah fungsi. Dari data hasil penelitian siswa

menggunakan gesture menunjuk untuk menentukan

titik-titik koordinat pada grafik. Gesture ini

dilakukan baik disertai ucapan maupun tidak disertai

ucapan oleh pengguna gesture. Di akhir kegiatan,

saat menuliskan rencana selesaian secara tidak sadar

siswa menggunakan gesture menunjuk baik itu

dilakukan sendiri sebagai penulis jawaban dan

pengguna gesture ataupun dilakukan orang lain

(pendikte) kepada penulis. Hal ini dilakukan sebagai

alat bantu dalam memusatkan perhatian siswa ketika

menuliskan suatu hal yang dimaksud dalam

pikirannya. Berdasarkan hasil wawancara, rata-rata

siswa mengatakan bahwa dengan gerakan menunjuk

yang dilakukannya dalam memecahkan masalah

matematika dilakukan secara tidak sadar dan

memberikan peranan penting dalam memusatkan

perhatian mereka selama mengerjakan masalah.

Sehingga mereka dengan mudah dapat memahami

soal dan mengetahui informasi-informasi penting

yang ada pada soal.

Dalam penelitian ini gesture representasional

digunakan untuk mengambarkan objek nyata

(timbangan), tindakan yang dilakukan pada objek

nyata seperti memindahkan gambar bola pejal pada

gambar timbangan, objek matematika (berupa grafik

fungsi kuadrat, diagram panah suatu fungsi),

tindakan pada objek matematika (berupa titik-titik

koordinat pada grafik fungsi kuadrat), dan simbol

matematika (bilangan 2 dan 5). Hal ini sejalan

dengan pendapat Alibali & Nathan (2011) bahwa

gesture representasional digunakan siswa untuk

menunjukkan simulasi motorik dan persepsi tentang

bahasa dan gambar juga merefleksikan konsep-

konsep melalui tubuhnya. Gesture ini juga banyak

digunakan untuk mempersepsikan secara visual.

Melalui Hostetter & Alibali (2008), gesture

representasional digunakan ketika siswa

mengaksikan komponen-komponen yang diberikan

melalui simulasi yang ditentukan oleh kognitifnya.

Sehingga keduanya berpendapat bahwa gesture

representasional digunakan untuk mensimulasikan

sebuah aksi. Dalam penelitian ini, pendapat para ahli

tersebut benar adanya, karena siswa dalam

memecahkan masalah mensimulasikan persepsi

mereka (membanyangkan timbangan dan grafik

fungsi) dengan aksi (seperti memindahkan setiap

Page 73: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Elvierayani, dkk. Gesture Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika, 171

benda di timbangan agar timbangan tiga seimbang,

juga melakukan gerakan merangkul untuk

memudahkan representasi grafik fungsi) saat

berpikir tentang masalah yang dihadapinya. Gesture

representasional yang dilakukan oleh seorang siswa

tidak menutup kemungkinan berperan untuk dirinya

sendiri, Dalam penelitian ini gesture

representasional yang digunakan untuk dirinya

sendiri berperan dalam mengongkrtikan ide ataupun

gagasan yang sedang dipikirkannya dalam

mengahadapi masalah. Gesture representasional juga

dilakukan siswa untuk memberitahukan kepada

orang lain. Dalam hal ini gesture berperan sebagai

scaffolding atau alat bantu untuk teman diskusinya.

Hal ini mendukung dugaan Francaviglia & Servidio

(2011) bahwa gesture digunakan sebagai suatu

scaffolding kognitif yang membantu siswa dalam

menyelesaikan masalah matematika.

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan,

dapat disimpulkan bahwa selama berdiskusi

memecakan masalah matematika siswa

menggunakan variasi gesture. Gesture yang

dilakukan siswa meliputi gesture deiktik dan gesture

representasional. Peranan gesture menurut jenisnya

dapat dikelmpokkan sebagai berikut: (1) Gesture

deiktik berperan sebagai alat untuk menegaskan

ucapan, untuk memusatkan perhatian pada suatu

masalah dan untuk menunjukkan objek maupun

posisi suatu hal dalam masalah yang dihadapi.

Gesture deiktik membantu siswa selama

memecahkan masalah meskipun gesture ini tidak

terencana dan efektif digunakan sebagai penuntut

siswa selama mencari strategi dalam memecahkan

masalah. (2) Gesture representasional berperan

dalam membantu orang lain dalam memecahkan

masalah (scaffolding). Berperan juga untuk

mengongkritkan ide/gagasan tentang apa yang

sedang dipikirkannya. Selain itu gesture

representasional juga digunakan sebagai alat untuk

menarik perhatian dan memusatkan perhatian siswa

selama memecahkan masalah. Dengan gesture

representasional siswa dapat terbantu dalam

mengurangi beban kerja siswa selama memecahkan

masalah. Sehingga siswa lebih terbantu beban

kognitifnya dengan representasi gerak yang

dilakukannya.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah

dilakukan, ada beberapa saran yang dapat dibuat

peneliti berkaitan dengan gesture diantaranya: (1)

Gesture sangat berperan dalam memecahkan

masalah matematika sehingga alangkah baiknya bagi

para pengajar agar lebih aktif dalam menggunakan

gesture dalam proses pembelajaran yang dilakukan,

karena siswa lebih mudah memahami konsep

maupun gagasan yang disampaikan dengan

menggunakan gesture. (2) Gesture merupakan

pengetahuan yang diwujudkan (embodied cognition)

sehingga peneliti lanjutan mungkin dapat melihat

proses berpikir siswa berdasarkan gesture yang

digunakan.

DAFTAR RUJUKAN

Alibali, M. W. & Nathan, M. J. 2007. Teachers’

Gestures as a Means Scaffolding Student’s

Understanding: Evidence from an Early

Algebra Lesson. In R. Goldman, R. Pea, B.

Barron & S.J. Derry (Eds), Video Research in

the Learning Sciences, Mahwa, NJ: Erlbaum

Alibali, M.W. & Goldin-Meadow, S. 1993. Gesture–

speech Mismatch and Mechanisms of

Learning: What the Hands Reveal about a

Child’s State of Mind. Cognitive Psychology,

25: 468–523.

Alibali, M.W. & Nathan, M.J. 2011. Embodiment in

Mathematics Teaching and Learning:

Evidence from Learner’s and Teahcer’s

Gestures. The Journal of The Learning

Sciences. Hal: 247-286

Becvar, A., Hollan, J., dan Hutchins, E. 2008.

Representational Gestures as Cognitive

Artifacts for Developing Theories in a

Scientific Laboratory. Ackerman, M.S., (eds)

Resources, Co-Evolution and Artifacts:

Theory in CSCW . Hal: 117-143.

Caroline C, W., Walkington, C., Boncoddo, R.,

Srisurichan, R., Pier, E., Nathan, A., &

Alibali, M. 2012. Invisible Proof: The Role Of

Gesture And Action In Proof. Journal of

Memory and Languange, (Online), Vol. 43,

No. 3,

(http://cwalkington.com?PME2012_Presentas

ion_V15.pdf, diakses Desember 2015)

Chan, H., Tsai, P., Huang, T.Y. 2006. Web-based

Learning in a Geometry Course. Educational

Technology & Society, 9(2), pp.133-140.

Church, R.B. & Goldin-Meadow, S. 1986. The

Mismatch Between Gesture and Speech as an

Index of Transitional Knowledge. Cognition,

23: 43–71.

Croteau, Ethan A.,Heffernan,Neil T. &

Koedinger,Kenneth R.2004.Why Are Algebra

Word Problem Difficult?. Intelligent Tutoring

Systems Lecture Notes in Computer

Science,Vol. 3220, Hal: 240-250.

Page 74: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

172, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

Francaviglia, M. & Servidio, R. 2011. Gesture as a

Cognitive Support to Solve Mathematical

Problems. Psychology, 2 (2): 91-97.

Goldin-Meadow, S. & Alibali, M.W. 1995.

Mechanisms of Transfer: Learning with a

Helping Hand. Psychology of Learning and

Motivation, 33: 115–157.

Goldin-Meadow, S., Alibali, M.W. & Church, R. B.

1993. Transitions in Concept Acquisition:

Using the Hand to Read the Mind.

Psychological Review, 100: 279-297.

Goldin-Meadow, S., Susan, W. C & Zachary, A. M.

2009. Gesturing Gives Children New Ideas

About Math. Association for Psychological

Science, 1-6.

Hostetter, A.B. & Alibali, M.W. 2008. Visible

Embodiment: Gestures as Simulated Action.

Psychonomic Bulletin & Review. 15 (3): 495-

514

Johnson, B., Christensen, L.. 2004. Educatioonal

Research Quantitative, Qualitative, and

Mixed Approaches Second edition. United

States: Pearson Education, Inc.

McNeill, D. 1992 Hand and Mind: What Gesture

Reveal about Thought. Chicago: Chicago

University Press.

Page 75: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

173

PENGEMBANGAN INSTRUMEN UNTUK MENGAMATI

KREATIVITAS SISWA SMP

Ahmad Bahrul Samsudin1, Gatot Muhsetyo2, Tjang Daniel Chandra3

Universitas Negeri Malang123, Pascasarjana- Universitas Negeri Malang123

e-mail1: [email protected]

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana proses pengembangan

instrumen yang digunakan untuk mengamati kreativitas matematika siswa SMP. Kreativitas merupakan

hal yang sangat penting untuk dimiliki siswa dalam belajar matematika. Terdapat tiga indikator yang

dikembangkan oleh para ahli yaitu kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), dan kebaruan

(Originality). Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian pengembangan. Subjek dalam penelitian ini

adalah siswa SMP kelas VII A di MTs Muhammadiah 1 Taman Sidoarjo berjumlah 26 siswa semester

genap Tahun Ajaran 2015/2016. Output dari penelitian ini adalah produk yaitu berupa Lembar Kerja

Siswa (LKS) dan lembar essay kreativitas essay berbasis Open-ended.penelitian ini menggunakan metode

pengembangan plomp (2010) yang terdiri dari tiga fase yaitu preliminary research (penelitian awal),

prototyping phase (fase pengembangan), dan assessment phase (fase penilaian). Hasil analisis kevalidan

instrumen secara keseluruhan masuk dalam kategori valid yakni LKS 80,88%, RPP 82,81%, lembar tes 1

dan tes 2 berturut-turut bernilai 81,25% dan 84,37%.

Kata Kunci: Kreativitas, Instrumen, Pengembangan

Salah satu studi internasional yang meneliti

seputar ranah kemampuan kognitif siswa SMP yaitu

TIMSS (Trends in Mathematics and Science Study)

yang diadakan oleh IEA (International Association

for the Evaluation of Educational Achievement).

Aspek pemahaman, penerapan, dan penalaran

dalam ranah kemampuan kognitif seperti yang

diterapkan pada TIMSS dapat digunakan untuk

menunjukkan profil kemampuan berpikir siswa. Dari

ketiga aspek tersebut, aspek pemahaman dan

penerapan termasuk dalam kemampuan berpikir

dasar. Sedangkan aspek penalaran termasuk dalam

kemampuan berpikir tingkat tinggi. Berpikir kreatif

merupakan tingkat tertinggi seseorang dalam

berpikir. Krulick dan Rudnik (1995) menyebutkan

bahwa urutan tingkatan berpikir manusia dari paling

rendah hingga yang paling tinggi yakni di mulai dari

ingatan (recall), berpikir dasar (basic thinking),

berpikir kritis (critical thinking), dan berpikir kreatif

(creative thinking). Secara hirarkis, tingkat berpikir

tersebut disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1: Tingkatan Berpikir Krulik dan Rudnick

Kreativitas merupakan hasil produk dari

aktivitas berpikir kreatif. Cropley (dalam Siswono,

2008) menyatakan bahwa setidaknya, paling sedikit

terdapat dua pemikiran utama dalam penggunaan

istilah kreativitas. Di satu sisi, kreativitas merujuk

pada sebuah pemikiran khusus atau fungsi mental

yang sering disebut sebagai pemikiran divergen.

Pada sisi lain, kreativitas merujuk pada produk yang

dipandang kreatif, seperti karya seni, arsitektur, atau

musik. Kreativitas merupakan produk dari berpikir

kreatif, yaitu suatu kesatuan atau kombinasi dari

berpikir logis dan divergen untuk menghasilkan

sesuatu yang baru.

Sebagai negara berkembang, Indonesia

membutuhkan calon tenaga-tenaga kreatif yang

mampu memberi sumbangan bermakna kepada ilmu

pengetahuan, teknologi dan kesenian, serta kepada

kesejahteraan bangsa dan negara pada umumnya.

Sehubungan dengan hal ini pendidikan hendaknya

tertuju pada pengembangan kreativitas siswa agar

kelak dapat memenuhi kebutuhan pribadi,

masyarakat bahkan negara (Munandar, 2012).

Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 juga

mengungkapkan bahwa salah satu standar

kelulusan siswa dalam mata pelajaran matematika

SMP/MTs adalah Kreativitas.

Kreativitas ini sangat dibutuhkan di masa

depan setiap siswa, oleh karenanya setiap siswa

haruslah mendapatkan pelatihan bagaimana

mengembangkan kreativitas mereka disekolah.

Ervync (1991) menyatakan bahwa kreativitas

memainkan peranan penting dalam siklus penuh

Page 76: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

174, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

dalam berpikir matematis. Polya (1973)

mendefinisikan pengetahuan matematika sebagai

informasi dan know-how. Know-how yang dimaksud

disini adalah kemampuan untuk menyelesaikan

masalah yang memerlukan pendapat, keaslian, dan

kreativitas. Fakta dilapangan menunjukan bahwa

banyak guru matematika baik di pendidikan dasar

maupun menengah masih kurang memperhatikan

kreativitas siswa-siswanya. Dari wawancara yang

dilakukan peneliti terhadap salah guru matematika di

MTs Muhammadiyah 1 Taman, secara umum hal ini

disebabkan karena guru tidak memahami bagaimana

mengamati kreativitas dalam pembelajaran terutama

di matapelajaran matematika. Mengamati yang

dimaksud oleh guru tersebut adalah mengukur dan

melatihkan kreativitas.

Salah satu instrumen penilaian yang dapat

mengamati keterampilan berpikir kreatif siswa

adalah instrumen soal essay yang menuntut jawaban

kreatif (Marwiyah,dkk. 2015). Instrumen ini

haruslah disesuaikan dengan penilaian komponen

berpikir kreatif menurut ahli. Ismaimuza (2010)

mengatakan bahwa kreativitas adalah kemampuan

menemukan hubungan atau keterkaitan baru, melihat

sesuatu dari perspektif baru, atau membentuk

kombinasi baru dari dua atau lebih konsep yang ada

dalam pikiran. Siswono (2008) dan Shriki (2013)

mendefinisikan kreativitas yang berhubungan

dengan proses kreatif meliputi kelancaran (fluency),

keluwesan (flexibillity), dan kebaruan (originality).

Berikut indikator kreativitas dari segi proses dapat

diuraikan dalam tabel 1. berikut ini:

Tabel 1. Indikator Kreativitas

Indikator Deskripsi

Kelancaran

(Fluency)

Mengacu pada bermacam-macam interpretasi atau jawaban terhadap

sebuah masalah

Keluwesan

(flexibility)

Kemampuan menyelesaikan masalah dari sudut pandang berbeda dengan

benar

Kebaruan

(Originality)

Hasil penyelesaian masalah yang mengacu pada kemampuan siswa dalam

menjawab masalah dengan jawaban berbeda-beda tetapi tetap bernilai benar

atau satu jawaban yang “unik atau tidak biasa” dilakukan oleh siswa pada

tingkat kemampuannya. (diadaptasi dari Laily, dkk .2013)

Instrumen berupa essay selain digunakan

untuk mengetahui bentuk profil kemampuan siswa,

juga dapat digunakan sebagai sarana melatih

kemampuan siswa untuk berpikir pada tingkat yang

lebih tinggi (Rofiah,dkk. 2013). Soal-soal yang

digunakan sebagai latihan dapat berisi pertanyaan

yang menuntut siswa menggunakan kreativitas

dalam hal pemecahan masalah matematika. Agar

dapat menjawab pertanyaan tersebut, diperlukan

penalaran tingkat tinggi yaitu cara berpikir logis

yang tinggi. Berpikir logis yang tinggi sangat

diperlukan oleh siswa dalam proses pembelajaran di

kelas, khususnya dalam menjawab pertanyaan

karena siswa perlu menggunakan pengetahuan,

pemahaman, dan keterampilan yang dimilikinya dan

menghubungkannya dalam situasi baru.

Berdasarkan hal-hal tersebut, masalah dalam

penelitian ini adalah bagaimana mengembangkan

instrumen untuk mengamati kreativitas matematika

siswa SMP?

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan

bagaimana proses pengembangan instrumen yang

digunakan untuk mengamati kreativitas matematika

siswa SMP

METODE

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian

pengembangan. Subjek dalam penelitian ini adalah

siswa SMP kelas VII A di MTs Muhammadiah 1

Taman Sidoarjo berjumlah 26 siswa. Output dari

penelitian ini adalah produk yaitu berupa Lembar

Kerja Siswa (LKS) dan lembar essay kreativitas.

LKS dan lembar essay ini berbasis Open-ended,

yaitu berisikan soal atau permasalahan terbuka

bersifat Non-algoritmik, Cenderung kompleks

(membutuhkan kemampuan analisis sehingga

menemukan pola baru dalam menyelesaikan soal),

Membutuhkan usaha untuk menemukan struktur

dalam ketidakteraturan yang bertujuan melatih

kreativitas siswa.

Model Penelitian Pengembangan dalam

penelitian ini menggunakan model pengembangan

Plomp (2010:25). Terdapat 3 fase dalam

pengembangan Plomp (2010) yaitu: (1) preliminary

research (penelitian awal), (2) prototyping phase

(fase pengembangan), dan (3) assessment phase

(fase penilaian). Model pengembangan Plomp

mudah dipahami dan cocok digunakan dalam

melakukan proses penelitian pengembangan

instrumen.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian Awal (Preliminary Research)

Pada fase penelitian awal ini dilakukan

aktivitas yang meliputi: (a) meninjau literatur; (b)

menganalisis kebutuhan dan konteks; (c)

mengembangkan kerangka konseptual dan teoritis

Page 77: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Samsudin, dkk. Pengembangan Instrumen untuk Mengamati Kreativitas Siswa SMP, 175

untuk penelitian. Berikut diuraikan masing-masing

aktivitasnya.

a. Meninjau literatur

Dalam aktivitas ini peneliti melakukan kajian

teori mengenai pendekatan yang cocok digunakan

dalam instrumen essay untuk mengamati kreativitas

siswa. Pendekatan yang cocok untuk dikembangkan

dalam instrumen tersebut adalah berisi tentang soal

berbasis Open-ended. Hal tersebut berdasarkan

beberapa hasil kajian teori para ahli tentang

hubungan kreativitas dan soal open-ended.

Menurut Shimada (1997) menyatakan bahwa

pendekatan open ended berawal dari pandangan

bagaimana mengevaluasi kemampuan siswa secara

objektif dalam kreativitas. Sementara itu Nohda

(2001) mengatakan tujuan pendekatan open-ended

adalah untuk membantu mengembangkan aktivitas

yang kreatif dari siswa dan kemampuan berpikir

matematis mereka dalam memecahkan masalah.

Indikator pengukuran kreativitas siswa dan

pendekatan open-ended di jelaskan oleh Krulick dan

Rudnick (1995) pada tabel 2 berikut

Tabel 2. Hubungan Pendekatan Open-ended dengan Indikator Kreativitas

Komponen Kreativitas Penjelasan Komponen Kreativitas Open-ended

Kelancaran

(fluency)

Mengacu pada bermacam-macam

interpretasi atau jawaban terhadap

sebuah masalah.

Siswa menghasilkan

lebih dari satu jawaban

benar.

Keluwesan

(flexibility)

Kemampuan menyelesaikan masalah

dari sudut pandang berbeda dengan

benar.

Siswa menemukan

sedikitnya dua

keragaman jawaban

benar

Kebaruan

(Originality)

Hasil penyelesaian masalah yang

mengacu pada kemampuan siswa

dalam menjawab masalah dengan

jawaban berbeda-beda tetapi tetap

bernilai benar atau satu jawaban yang

“unik atau tidak biasa” dilakukan oleh

siswa pada tingkat kemampuannya.

Siswa diberi kesempatan

mengajukan jawaban-

jawaban unik menurut

pemikirannya sendiri

(diadaptasi dari Krulick dan Rudnick .1995)

Hal tersebut juga didukung oleh beberapa

kajian pendapat ahli lainya seperti berikut.

1. Menurut Cropley dalam Siswono (2008)

kreativitas merupakan produk dari berpikir

kreatif, yaitu suatu kesatuan atau kombinasi dari

berpikir logis dan divergen untuk menghasilkan

sesuatu yang baru

2. Menurut Suherman (2003), tujuan dari

pendekatan open-ended adalah membantu

mengembangkan kegiatan kreatif dan pola pikir

matematika siswa melalui problem solving

secara simultan

3. Menurut Silver (1997), Hamza and Griffith

(2006) Mendesain pembelajaran yang dapat

memberikan siswa kesempatan yang lebih untuk

mengeksplorasi permasalahan yang memberikan

banyak solusi dapat meningkatkan kemampuan

siswa dalam bepikir kreatif.

4. Suherman (2003) juga mengatakan bahwa

Permasalahan open-ended adalah sebuah

permasalahan yang mempunyai banyak jawaban

benar.

5. Menurut Becker dan Shimada (1997)

mendeskripsikan pembelajaran open-ended

sebagai pembelajaran yang dimulai dari

mempresentasikan masalah open-ended,

kemudian pembelajaran berlanjut dengan

penggunaan banyak jawaban benar dengan tujuan

untuk memberikan pengalaman pada siswa dalam

menemukan sesuatu yang baru.

Berdasarkan penjelasan beberapa pendapat

tersebut peneliti memilih open-ended sebagai dasar

mengembangkan Instrumen yang digunakan dalam

mengamati kreativitas siswa.

b. Menganalisis Kebutuhan dan Konteks

Tujuan dari tahap ini adalah untuk

menganalisis kebutuhan apa saja yang diperlukan

sebagai alternatif menyelesaikan masalah yang

ditemui dalam kegiatan pembelajaran matematika,

dan menganalisis konteks apa saja yang terkait

dengan kebutuhan tersebut. Kegiatan yang dilakukan

pada tahap identifikasi kebutuhan diantaranya adalah

identifikasi kondisi siswa dan wawancara guru

tentang kelemahan pembelajaran. Sedangkan

kegiatan yang dilakukan pada analisis konteks

adalah meninjau materi.

Identifikasi kondisi siswa dilakukan dengan

memberikan soal open-ended kepada 26 siswa SMP

kelas VII MTs Muhammadiyah 1 Taman Sidoarjo

untuk mengetahui kreativitasnya. Hasil dari

pemberian tersebut diketahui bahwa kreativitas

siswa masih rendah. Karena masih banyak siswa

yang belum bisa mengerjakan soal yang diberikan.

Untuk analisis kelemahan pembelajaran

dilakukan wawancara secara tidak terstruktur dengan

Page 78: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

176, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

guru mata pelajaran matematika di MTs

Muhammadiyah 1 Taman Sidoarjo tersebut dan

meneliti lembar kerja siswa (LKS) yang digunakan

oleh siswa. Dari wawacara tersebut didapatkan hasil

bahwa:

1. Guru sangat berperan aktif dalam pembelajaran,

sedangkan siswa berperan sebagai pendengar

(audience). Setelah menyampaikan materi, guru

memberikan contoh soal dan dilanjutkan dengan

latihan soal.

2. Soal-soal yang diberikan merupakan soal tertutup

(closed problem) dan bukan termasuk soal

melatih kreativitas. Ini disebabkan keterbatasan

waktu dan bahan ajar sehingga guru jarang

bahkan tidak pernah memberikan soal terbuka

(open problem).

3. Guru hanya menggunakan LKS dan buku paket

yang tersedia. Guru jarang sekali membuat LKS

sendiri. LKS tidak berisi masalah open-ended.

Dari analisis masalah yang diuraikan di atas,

maka kebutuhan dapat diidentifikasi. Kebutuhan

tersebut adalah: (1) diperlukan mengembangkan

LKS yang digunakan sebagai bahan ajar siswa untuk

melakukan kegiatan-kegiatan melatih kreativitas; (2)

diperlukan mengembangkan lembar essay berisi soal

open-ended untuk mengukur kreativitas siswa.

c. Mengambangkan Kerangka Konseptual dan

Teoritis

Aktivitas yang dilakukan pada tahap ini yakni

merancang sebuah kerangka konseptual dan teoritis

yang digunakan untuk mengembangkan produk

berdasarkan pada tinjauan literatur dan penelitian

awal yang telah dilakukan. Merancang kerangka

konseptual dan juga teoritis dilakukan untuk

membuat rancangan RPP, LKS, dan tes kreativitas

yang disesuaikan dengan teori yang dapat melatih

dan mengukur kreativitas, yaitu dengan pendekatan

open-ended.

Lembar Kerja Siswa (LKS) yang

dikembangkan berisikan satu aktivitas, pendalaman

aktivitas, dan latihan soal – soal open-ended.

Aktivitas berisikan masalah yang dalam proses

menyelesesaikannya melatihkan kelancaran

(Fluency),keluwesan (flexibility), dan kebaruan

(originality). Sedangkan tes kreativitas berisikan

masalah-masalah open-ended yang tiap butir soalnya

dapat memunculkan komponen kreativitas siswa

ketika proses pengerjaan. Dengan langkah-langkah

tersebut diharapkan kreativitas siswa dapat

dilatihkan dan diukur karena kegiatan-kegiatan yang

akan dilakukan dalam aktivitas LKS sudah

disesuaikan dengan langkah-langkah untuk

mengamati indikator kreativitas. LKS juga

dirancang dengan tampilan yang menarik agar siswa

tertarik untuk mengerjakan LKS tersebut.

Aktivitas lain yang dilakukan yakni meninjau

materi yang digunakan dalam pengembangan

instrumen. Peneliti meninjau materi yang cocok

digunakan untuk mengamati kreativitas kelas VII

SMP. Dari hasil kaji materi ini peneliti memutuskan

untuk menggunakan materi segitiga dan segiempat.

Menurut Siswono (2007) materi segitiga dan

segiempat dapat digunakan dalam mengidentifikasi

kemampuan berpikir kreatif siswa.

Fase Pengembangan (prototyping Phase)

Fase ini bertujuan untuk mengembangkan

Produk Instrumen untuk mengamati kreativitas

siswa. Produk yang dikembangkan adalah Lembar

Kerja Siswa (LKS) dan tes kreativitas, dan lembar

validasi. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini

adalah menyusun Instrumen meliputi: a)

menentukan materi, kompetensi dasar (KD),

indikator, dan tujuan pembelajaran, b) menyusun

LKS, c) menyusun RPP, d) menyusun tes

kreativitas.

a) Menentukan Materi, Kompetensi Dasar (KD),

Indikator, dan Tujuan Pembelajaran

Untuk menyusun LKS dan tes kreativitas

peneliti perlu memilih materi, Kompetensi Dasar,

indikator, dan tujuan pembelajaran terlebih dahulu.

Berdasarkan pada penelitian awal pada kajian

literatur, materi yang sesuai untuk meningkatkan

kreativitas siswa SMP adalah segitiga dan

segiempat. Dari materi tersebut, peneliti

memfokuskan pada Kompetensi Dasar (KD)

“Memahami sifat bangun datar dan

menggunakannya untuk menentukan keliling dan

luas”. Kemudian dari KD ini peneliti menyusun

indikator pembelajaran yang disesuaikan dengan

indikator kreativitas, yaitu dapat berpikir lancar

(fluency), dapat berpikir luwes (flexibility), dapat

menentukan solusi baru (originality) terhadap

masalah luas segitiga dan segiempat. Dari indikator

tersebut maka tujuan pembelajarannya adalah

melalui pembelajaran berbasis open-ended siswa

dapat berpikir lancar (fluency), dapat berpikir luwes

(flexibility), dapat menentukan solusi baru

(originality) terhadap masalah luas segitiga dan

segiempat.

b) Lembar Kerja Siswa (LKS)

LKS berbasis open-ended disusun dengan

memberikan soal atau masalah yang memiliki

banyak solusi benar atau memiliki banyak cara

penyelesaian. LKS yang dikembangkan terdiri dari

tiga LKS, yaitu LKS 1 terkait menentukan luas

segitiga dan segiempat dengan berbagai cara, LKS 2

terkait masalah hubungan luas segitiga dan

segiempat terhadap luas bangun yang lebih komplek,

sedangkan LKS 3 terkait mengaplikasikan luas

segitiga dan segiempat pada kehidupan nyata. Pada

Page 79: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Samsudin, dkk. Pengembangan Instrumen untuk Mengamati Kreativitas Siswa SMP, 177

LKS 1 dan LKS 2 diberikan dua aktivitas

pembelajaran berkelompok yang terdiri dari

“aktivitas” dan “mendalami aktivitas”, dan aktivitas

pembelajaran individu yakni “mengerjakan soal

open-ended”. Sedangkan pada LKS 3 hanya

diberikan aktivitas mandiri saja yang berisi tentang

masalah-masalah nyata. Dalam menyelesaikan soal

yang sajikan pada langkah “aktivitas” dan

“mendalami aktivitas” di LKS 1 dan LKS 2,

diberikan cara dan petunjuk untuk menyelesaikan

soal, dimana ketika siswa melakukan proses mencari

solusi soal open-ended yang disajikan sesuai

petunjuk, siswa secara tidak langsung akan

mengasah kemampuan berpikir lancar (fluency) dan

kemampuan berpikir luwes (flexibility) mereka.

Kemudian pada langkah “mengerjakan soal open-

ended” siswa secara individu diminta mengerjakan

soal open-ended yang disajikan dengan tujuan

melatih tiga komponen kreativitas mereka yakni

fluency, flexibility, originality. Pada LKS 3 siswa di

latih secara individu mengerjakan masalah nyata

yang open-ended untuk mengasah secara mendalam

tiga komponen kreativitas mereka.

c) Tes kreativitas

Tes kreativitas yang disusun terdiri dari dua

macam yaitu tes I dan tes II. Masing-masing tes

kemampuan kreativitas tersebut disusun essay yang

berisi 3 masalah open-ended mencakup materi luas

segitiga dan segiempat dengan tingkat kesulitan

yang setara. Seperti pada Gambar 2

Gambar 2: Kesetaraan Soal

Tes 1 diberikan kepada siswa sebelum

pemberian lembar kerja siswa (LKS) berbasis open-

ended. Sedangkan tes 2 diberikan kepada siswa

setelah pemberian lembar kerja siswa (LKS). Dari

tes 1 dan tes 2 akan diperoleh perbedaan hasil tes

kemampuan kreativitas siswa, sehingga perbedaan

tersebut dapat dipakai sebagai pedoman mengukur

kreativitas.

Fase Penilaian (Assessment Phase)

LKS dan tes kreativitas yang telah disusun dalam

tahap pengembangan, selanjutnya dilakukan tahap

penilaian. Penilaian pada penelitian ini yakni hanya

sampai dengan diujikan pada validator ahli. Setelah

Instrumen telah selesai disusun, peneliti melakukan

validasi. Validasi ini dilakukan oleh dua validator

ahli. Pada tahap uji validasi ini terdapat fase iterasi,

yaitu apabila hasil validasi prototipe instrumen ini

belum mencapai kriteria valid maka peneliti akan

merevisi terhadap prototipe instrumen yang

dikembangkan sesuai dengan saran dan komentar

para validator. Apabila hasil yang telah direvisi

masih belum juga mencapai kriteria valid untuk

yang kedua kalinya, maka peneliti akan melakukan

revisi lagi. Begitu seterusnya sampai perangkat

pembelajaran yang dihasilkan memenuhi kriteria

valid.

Prosedur untuk menilai kevalidan perangkat

pembelajaran yakni meminta penilai ahli tentang

kelayakan prototipe yang telah dibuat. Penilaian ini

menggunakan lembar validasi yang diberikan

kepada validator dengan dilampiri Instrumen yakni

lembar kerja siswa (LKS) serta tes kreativitas.

Analisis terhadap hasil validasi yang dilakukan

validator ditentukan dari presentase rataan skor

kevalidan dengan menggunakan rumus berikut.

𝑆𝑣 = 𝑆𝑟

𝑆𝑚𝑥 100%

𝑆𝑣: Presentase hasil validasi

𝑆𝑟: Rataan skor validasi dari

masing-masing validator

𝑆𝑚: Skor maksimal yang

dapat diperoleh

Kesimpulan analisis data disesuaikan dengan

kriteria dalam Tabel 3 berikut.

Page 80: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

178, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

Tabel 3 Kriteria Validitas

𝑺𝒗 Kriteria Keterangan

𝟕𝟓% ≤ 𝑆𝑣 ≤ 100% Valid Tidak perlu rivisi

𝟓𝟎% ≤ 𝑆𝑣 < 75% Belum valid Revisi kecil

𝟐𝟓% ≤ 𝑆𝑣 < 50% Belum valid Revisi besar

𝟎% ≤ 𝑆𝑣 < 25% Tidak valid Belum dapat digunakan

(diadaptasi dari Hobri, 2010)

Data akhir penilaian validator terhadap

instrumen diperoleh setelah pengembang melakukan

revisi instrumen berdasarkan saran dan komentar

dari para validator. Data tersebut berupa data

kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif

berupa nilai rata-rata yang diperoleh dari hasil

penskoran lembar validasi perangkat pembelajaran

oleh dua validator. Sedangkan data kualitatif berupa

saran serta komentar terhadap instrumen dari para

validator, baik yang tercatat pada kolom lembar

validasi maupun yang tidak tercatat.

Hasil validasi LKS oleh validator 1 dan 2

yakni sebesar 80,88%. Ini berarti LKS tergolong

kriteria valid tanpa revisi, sedangkan RPP memiliki

nilai 82,81%. Ini berarti RPP masuk dalam kriteria

valid. Untuk lembar tes 1 dan tes 2 berturut-turut

bernilai 81,25% dan 84,37%. Jadi lembar tes

tergolong dalam kriteria valid.

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan pengembangan instrumen untuk

mengamati kreativitas matematika pada siswa SMP

yang telah dilakukan, dapat disimpulkan instrumen

yang disusun memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Instrumen berbasis open-ended atau berisi

tentang soal dan masalah terbuka

2. Aspek kreativitas siswa ada tiga komponen yakni

kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility),

kebaruan(originality)

3. Aspek kreativitas dapat diamati melalui

pemberian soal atau masalah terbuka (open-

ended)

4. Hasil kevalidan instrumen keselueruhan dalam

kategori yakni LKS 80,88%, RPP 82,81%,

lembar tes 1 dan tes 2 berturut-turut bernilai

81,25% dan 84,37%

Saran

Berdasarkan pengembangan instrumen untuk

mengamati kreativitas siswa SMP, peneliti dapat

memberikan beberapa saran, yaitu:

1. Tampilan instrumen sebaiknya di buat semenarik

mungkin agar siswa tertarik untuk mengerjakan

instrumennya.

2. Untuk penelitian yang selanjutnya sebaiknya

ditambahkan aktivitas uji coba kelompok kecil

dan uji coba lapangan yang bertujuan untuk

mengukur tingkat keefektifan instrumen yang

telah dikembangkan

DAFTAR RUJUKAN

Ervync, G. (1991). “Mathematical Creativity”.

Dalam Tall, D. Advanced Mathematical

Learning. London: Kluwer Academic

Publisher

Ismaimuza, D. (2010). Kemampuan Berpikir

Kritis dan Kreatif Matematis Siswa SMP

melalui Pembelajaran Berbasis Masalah

dengan Strategi Konflik Kognitif. Disertasi

pada PPs UPI. (Unpublished)

Krulik, Stephen & Rudnick, Jesse A. (1995). The

New Sourcebook for Teaching Reasoning and

Problem Solving in Elementary School.

Needham Heights, Massachusetts: Allyn &

Bacon.

Marwiyah, Siti, Kamid, Risnita. (2015).

Pengembangan Instrumen Penilaian

Keterampilan Berpikir Kreatif pada Mata

Pelajaran IPA Terpadu Materi Atom, Ion, dan

Molekul SMP Islam Al Falah. Edu-Sains

Volume 4 (1)

Munandar,U. (2012). Pengembangan Kreativitas

Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.

Nohda, N. (2001). A study of Open-Appoach Method

in School Mathematics. Teaching- Focusing

on Mathematical Problem Solving Activities.

(online).

Polya, George. (1973). How To Solve It.

Princetown, New Jersey:Princetown

University Press.

Peraturan Pemerintah Pendidikan Nasional Nomor

22 Tahun 2006. Standar Isi untuk Satuan

Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta:

Departeman Pendidikan Nasional.

Rofiah, Emi, Nonoh Siti Aminah, Elvin Yusliana

Ekawati (2013). Penyusunan Instrumen Tes

Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Fisika

Pada Siswa SMP. Jurnal Pendidikan Fisika

Vol.1 No.2(17)

Siswono, Tatag Yuli Eko. (2008). Model

Pembelajaran Berbasis Pengajuan Dan

Page 81: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Samsudin, dkk. Pengembangan Instrumen untuk Mengamati Kreativitas Siswa SMP, 179

Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan

Kemampuan Berpikir Kreatif. Surabaya:

Unesa University Press.

Siswono, Tatag Yuli Eko. (2007). Penjenjangan

Kemampuan Berpikir Kreatif Dan Identifikasi

Tahap Berpikir Kreatif Siswa Dalam

Memecahkan Dan Mengajukan Masalah

Matematika. Disertasi tidak dipublikasikan.

Surabaya: Pascasarjana Universitas Negeri

Surabaya.

Shriki, A. (2013). A Model for Assessing the

Developmentof Students’ Creativity in the

context of Problem Posing. Journal

Creative Education, Vol. 4(430-439)

Shimada, S dan Becker J.P. (1997). The open-ended

approach: A new Proposal for Teaching

Mathematics. Virginia: National Cauncil of

Teachers of Mathematics

Suherman, E. et al. (2003). Strategi Pembelajaran

Matematika Kontemporer (Edisi Revisi).

Bandung: JICA-FPMIPA UPI.

Silver, E. A. (1997). “Fostering Creativity through

Instruction Rich in Mathematical Problem

Solving and Problem Posing”. The

International Journal on Mathematics

Education, Vol 29(3).

Page 82: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

180

PENINGKATAN LEVEL KEMAMPUAN SISWA SMP KATEGORI

PRESTRUCTURAL DALAM MENYELESAIKAN SOAL GEOMETRI

MELALUI PEMBERIAN SCAFFOLDING

Tabita Wahyu Triutami1, Purwanto2, Abadyo3

Universitas Negeri Malang [email protected], [email protected], [email protected]

Abstract: SOLO (Structure of Observed Learning Outcomes) taxonomy is one way to determine the level

of students ability to solve geometry problems. The tests and interviews for students of class IX-A SMP 2

Banyuwangi showed that there were students in prestructural level which having difficulty in solving

geometry problems. Therefore, the provision of scaffolding to these students is needed to overcome the

difficulties and to increase ability level. The purpose of this study is to describe the provision of

scaffolding that can increase the level of junior high school students ability in the prestructural category

in solving geometry problems. The type of the research is case study of descriptive qualitative approach.

Subjects in this study is students under prestructural level category in solving geometry problems. The

results showed that the scaffolding can increase the level of student ability from prestructural to

relational in solving geometry problems. The scaffolding which can increase the level of student ability

from prestructural to relational in solving geometry problems is scaffolding level 2 (i.e. explaining

(showing and telling) and reviewing (students explaining and justifying; prompting and probing

questions; parralel modeling)).

Keywords: geometry problems, level of ability, SOLO taxonomy, scaffolding

Abstrak: Salah satu cara untuk mengetahui level kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal geometri

adalah dengan menggunakan taksonomi SOLO. Hasil tes dan wawancara menunjukkan bahwa masih ada

siswa kelas IX-A SMPN 2 Banyuwangi yang kemampuannya berada pada level prestructural sehingga

mereka mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal geometri. Oleh karena itu, perlu pemberian

scaffolding yang dapat mengatasi kesulitan siswa tersebut sehingga level kemampuan siswa tersebut

dapat meningkat. Artikel ini disusun berdasarkan hasil penelitian tentang pemberian scaffolding yang

dapat meningkatkan level kemampuan siswa SMP kategori prestructural dalam menyelesaikan soal

geometri. Jenis penelitian adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Subjek pada

penelitian merupakan satu siswa yang memiliki level kemampuan prestuctural dalam menyelesaikan

soal geometri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian scaffolding dapat meningkatkan level

kemampuan siswa dari prestructural menjadi relational dalam menyelesaikan soal geometri. Scaffolding

yang dapat meningkatkan level kemampuan siswa dari prestructural menjadi relational dalam

menyelesaikan soal geometri adalah scaffolding level 2 yaitu explaining (showing and telling) dan

reviewing (students explaining and justifying; prompting and probing questions; parralel modeling ).

Kata kunci: soal geometri, level kemampuan, taksonomi SOLO, scaffolding

Proses berpikir siswa dalam menyelesaikan

suatu permasalahn dapat diklasifikasikan menjadi

beberapa tingkatan atau level yang berbeda sesuai

dengan kemampuannya. Level kemampuan siswa

selalu menjadi perhatian pendidik (Guven & Baki,

2010), tidak terkecuali pada materi geometri. Salah

satu cara untuk mengetahui level kemampuan siswa

dalam menyelesaikan soal geometri adalah dengan

menggunakan taksonomi SOLO (Structure of

Observed Learning Outcomes). Taksonomi SOLO

merupakan teori yang dikembangkan oleh Biggs &

Collis (1982). Biggs & Collis (dalam Lian & Yew,

2011) menyatakan bahwa ketika siswa menjawab

tugas yang diberikan, respons mereka menampilkan

urutan serupa di seluruh tugas. Respons tersebut

akan meningkat dari yang sederhana sampai yang

abstrak ( Biggs & Collins dalam Chan dkk, 2002).

Respons tersebut menunjukkan adanya identifikasi

tahap ketika seorang siswa sedang beroperasi atau

berpikir (Biggs & Collis dalam Lian & Yew, 2011).

Tahapan perkembangan kognitif tersebut yang

kemudian dikenal dengan taksonomi SOLO.

Taksonomi SOLO terdiri dari lima level yang

didasarkan pada respons yang diberikan mulai dari

yang terendah sampai yang tertinggi, yaitu

prestructural, unistructural, multistructural,

relational, dan extended abstract (Biggs & Collis,

1982 : 24-25). Tabel 1 berikut ini merupakan

indikator level kemampuan dalam menyelesaikan

soal geometri berdasarkan Taksonomi SOLO yang

disusun berdasarkan skema respon taksonomi SOLO

oleh Biggs & Collis (1982 : 24-25) dan deskripsi

setiap level taksonomi SOLO oleh Chick (1998).

Page 83: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Triutami, dkk. Peningkatan Level Kemampuan Siswa SMP …, 181

Tabel 1. Indikator Level Kemampuan Siswa berdasarkan Taksonomi SOLO Level Kemampuan

Siswa Indikator Pekerjaan Siswa

Prestructural Pekerjaan siswa tidak relevan dengan masalah dalam soal.

Siswa tidak melakukan identifikasi terhadap konsep – konsep yang terkait.

Menuliskan fakta – fakta yang tidak ada hubungannya dengan masalah dalam soal.

Tidak menuliskan apapun, menghindari soal.

Unistructural Siswa menggunakan satu informasi yang terdapat dalam soal, satu proses dan satu konsep

untuk mencari solusi.

Siswa menggunakan proses/konsep berdasarkan data yang terpilih tetapi kesimpulan yang

diperoleh tidak relevan.

Siswa tidak memahami masalah tetapi dapat melakukan satu proses yang tepat.

Multistructural Siswa menggunakan lebih satu informasi yang terdapat dalam soal, lebih dari satu proses dan

konsep untuk mencari solusi.

Siswa dapat membuat beberapa hubungan dari beberapa informasi tetapi ada sedikitnya satu

proses yang dilakukan salah sehingga kesimpulan yang diperoleh tidak relevan.

Siswa menggunakan beberapa informasi tetapi tidak terdapat hubungan dari informasi –

informasi tersebut sehingga tidak dapat menarik kesimpulan.

Relational Siswa menggunakan semua informasi untuk mengaplikasikan konsep atau proses lalu

memberikan hasil sementara dan menghubungkan dengan informasi atau proses yang lain

sehingga dapat menarik kesimpulan yang relevan.

Extended abstract Siswa menggunakan semua informasi untuk mengaplikasikan konsep atau proses lalu

memberikan hasil sementara dan menghubungkan dengan informasi atau proses yang lain

sehingga dapat menarik kesimpulan yang relevan.

Siswa dapat membuat generalisasi dari hasil yang diperoleh, yaitu menemukan lebih dari satu

cara untuk menyelesaikan masalah.

Siswa dapat mengaplikasikan domain atau konsep lain di luar geometri untuk menyelesaikan

masalah.

Pada tanggal 1 Maret 2016 peneliti

memberikan tes 1 kemampuan menyelesaikan soal

geometri kepada 36 siswa kelas IX-A SMPN 2

Banyuwangi. Tes tersebut berisikan dua butir soal,

butir soal pertama disusun untuk menjangkau

kemampuan siswa hingga pada level relational

Taksonomi SOLO, sedangkan butir soal kedua

disusun untuk menjangkau kemampuan siswa

hingga pada level extended abstract Taksonomi

SOLO. Gambar 1 berikut ini merupakan instrumen

tes yang diberikan.

Gambar 1. Instrumen Tes 1

Hasil tes dan wawancara menunjukkan bahwa

masih ada siswa yang kemampuannya berada pada

level prestructural dalam menyelesaikan soal

geometri. Siswa tersebut tidak memahami konsep

yang ada pada soal nomor 1 dan 2 sehingga semua

proses dan konsep yang digunakannya untuk

mencari besar ∠𝐵𝑂𝐶, ∠𝐴𝑂𝐵 ∠𝐶𝑂𝐵, ∠𝐷𝑂𝐸, dan

∠𝐵𝐶𝐷 salah dan sama sekali tidak berhubungan

dengan masalah yang dicari. Siswa tersebut juga

tidak melakukan identifikasi terhadap informasi

yang ada pada soal dan konsep yang terkait dengan

informasi tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya

suatu bantuan yang dapat mengatasi kesulitan siswa

tersebut. Bantuan yang diberikan harus disesuaikan

Page 84: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

182, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

dengan tingkat perkembangan siswa yang dikenal

dengan konsep Zone of Proximal Delopment (ZPD).

ZPD adalah jarak antara tingkat perkembangan

sesungguhnya (batas bawah ZPD), yaitu

kemampuan memecahkan masalah secara mandiri

dengan tingkat perkembangan potensial (batas atas

ZPD) yaitu kemampuan memecahkan masalah di

bawah bimbingan orang dewasa dan teman sejawat

(Veer,2007). Bantuan untuk mengembangkan

pengalaman anak – anak yang berada dalam zona

perkembangan proksimal mereka ini kemudian

dikenal dengan scaffolding.

Wood, Buner, & Ross ( dalam Anghileri,

2006) mengemukakan gagasan tentang scaffolding

yaitu bantuan orang dewasa kepada anak – anak dan

secara perlahan – lahan bantuan tersebut akan

ditinggalkan ketika anak tersebut telah mampu

menyelesaikan permasalahan sendiri. Hunter (2012)

menyatakan bahwa scaffolding adalah pembelajaran

yang terjadi sebagai hasil dari interaksi sosial antara

individu dengan pengetahuan lebih dan kurang.

Guru yang dianggap mempunyai pengetahuan lebih

akan membangun dinding pengetahuan dan

kemampuan yang akan digunakan untuk membantu

siswa (melakukan scaffolding) untuk mendapatkan

kemampuan matematika yang lebih lanjut/tinggi.

Amiripour (2012) dalam penelitiannya menyatakan

scaffolding yang efektif dalam pembelajaran di kelas

antara lain : menggunakan pola, menggunakan

umpan balik, mengorganisasi respons siswa,

menggunakan instrumen pembelajaran,

menempatkan siswa sebagai instruktur,

menghilangkan miskonsepsi, dan menggunakan

masalah nyata. Hasil dari penelitian Amiripour

(2012) menunjukkan bahwa siswa dapat melakukan

komunikasi sosial dan mereka dapat belajar konsep

matematika secara benar melalui aktivitas

scaffolding dalam pembelajaran matematika.

Anghileri (2006) mengusulkan tiga tingkatan

dari penggunaan scaffolding. Tingkatan tersebut

antara lain, level 1 : environmental provisions

(classroom organization, artefacts), level 2 :

explaining, reviewing, and restructuring, dan level 3

: developing conceptual thinking. Scaffolding pada

level 1 merupakan scaffolding yang diberikan secara

berkelompok, sedangkan untuk level 2 dan 3

merupakan scaffolding yang diberikan secara

individu kepada siswa. Berdasarkan latar belakang

tersebut, peneliti berkeinginan untuk melakukan

penelitian tentang peningkatan kemampuan siswa

SMP kategori prestructural dalam menyelesaikan

soal geometri melalui pemberian scaffolding. Tujuan

penelitian ini adalah untuk mendapatkan deskripsi

mengenai pemberian scaffolding yang dapat

meningkatkan level kemampuan siswa SMP kategori

prestructural dalam menyelesaikan soal geometri.

Pada penelitian ini pemberian scaffolding hanya

difokuskan pada level 2 dan level 3 scaffolding oleh

Anghileri karena nantinya pemberian scaffolding

pada siswa dilakukan secara tatap muka dan satu

persatu. Pemberian scaffolding dikatakan berhasil

jika siswa dengan level kemampuan prestructural

dalam menyelesaikan soal geometri dapat meningkat

menjadi level relational atau exrended abstract.

METODE

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif

dengan pendekatan studi kasus. Subjek pada

penelitian ini merupakan satu siswa (S1) yang

memiliki level kemampuan prestuctural dalam

menyelesaikan soal geometri. Pemilihan subjek ini

didasarkan pada hasil tes 1, rekomendasi guru, dan

kemampuan siswa dalam menyampaikan

gagasannya. Instrumen yang digunakan pada

penelitian ini merupakan instrumen tes, pedoman

wawancara, dan pedoman pemberian scaffolding

yang sebelumnya telah divalidasi oleh dua orang

validator yang merupakan dosen pascasarjana prodi

pendidikan matematika Universitas Negeri Malang.

Instrumen berisikan dua butir soal, butir soal

pertama disusun untuk menjangkau kemampuan

siswa hingga pada level relational Taksonomi

SOLO, sedangkan butir soal kedua disusun untuk

menjangkau kemampuan siswa hingga pada level

extended abstract Taksonomi SOLO. Instrumen tes

1 diberikan pada tes awal sedangkan instrumen tes 2

diberikan setelah pemberian scaffolding. Pedoman

pemberian scaffolding berisikan rencana pemberian

scaffolding kepada siswa disesuaikan dengan

kesulitannya dalam menyelesaikan tes 1. Gambar 2

berikut ini merupakan instrumen tes 2.

Gambar 2. Instrumen Tes 2

Page 85: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Triutami, dkk. Peningkatan Level Kemampuan Siswa SMP …, 183

Sumber data utama dalam rancangan

penelitian ini adalah hasil tes dan wawancara.

Analisis data hasil wawancara dalam penelitian ini

dianalisis dengan menggunakan teknik transkripsi,

segmentsi, kodding dan pengkategorian serta

penarikan kesimpulan (Johnson & Christensen, 2004

: 501). Penarikan kesimpulan dilakukan berkaitan

dengan jenis scaffolding yang diberikan dan level

kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal

geometri berdasarkan taksonomi SOLO setelah

pemberian scaffolding. Level kemampuan siswa

dalam menyelesaikan soal geometri dikategorikan

berdasarkan pada indikator pada Tabel 1 dan skema

respon taksonomi SOLO oleh Biggs & Collis (1982

: 24-25).

HASIL

Pemberian Scaffolding kepada S1

Berdasarkan hasil tes dan wawancara

didapatkan hasil bahwa S1memiliki kemampuan

menyelesaikan soal geomtri pada level

prestructural. S1 tidak dapat mengerjakan semua

soal pada tes 1 dengan benar. S1 belum menguasai

konsep - konsep yang ada pada soal tes 1 (penamaan

sudut, sudut keliling, sudut pusat, hubungan antara

sudut keliling dan sudut pusat yang menghadap

busur yang sama, dan sudut perpotongan antara dua

tali busur) sehingga semua proses yang

digunakannya dalam menyelesaikan soal salah.

Proses pemberian scaffolding kepada S1 tercantum

dalam Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Deskripsi Pemberian Scaffolding S1

No

Soal

Deskripsi

Pekerjaan S1

Masalah yang

Dihadapi S1

Bentuk Scaffolding yang

Diberikan

Reaksi S1 Terhadap

Scaffolding yang

Diberikan

Komponen

Scaffolding :

Kegiatan

yang

dilakukan

1 Semua proses

yang

dilakukan S1

dalam

menyelesaikan

soal nomor 1

salah

S1 tidak

memahami

penamaan sudut

(S1menganggap

∠𝐴𝐶𝐵, ∠𝐵𝐴𝐶,

dan ∠𝐶𝐵𝐴 sama

saja)

Peneliti memberikan

penjelasan tentang

penamaan sudut yang benar

dan memberikan berbagai

macam contoh sudut serta

bagaimana menamakannya.

Selanjutnya, peneliti

menanyakan tentang sudut –

sudut yang diketahui di soal

dan meminta S1 untuk

menunjukkan sudut yang

dimaksud pada gambar.

Setelah mendengarkan

penjelasan peneliti, S1

mulai paham dengan

penamaan sudut dan

dapat menunjukkan

sudut yang diketahui di

soal pada gambar

dengan benar.

Explaining :

Showing and

telling

Reviewing

:Students

Explaining

and Justifying

S1 mengatakan

bahwa ∠𝐵𝑂𝐶

adalah sudut siku

– siku kemudian

sudut keliling (S1

tidak memahami

sudut pusat dan

sudut keliling)

Peneliti menjelaskan bahwa

sudut pusat adalah sudut

yang titik sudutnya ada di

titik pusat lingkaran dan

sudut keliling adalah sudut

yang terbentuk oleh dua tali

busur yang berpotongan

pada lingkaran sehingga titik

sudutnya ada pada lingkaran

(di kelilingnya lingkaran ).

Selanjutnya, peneliti

menanyakan informasi yang

ada di soal nomor 1

termasuk sudut pusat atau

keliling.

Setelah mendengar

penjelasan peneliti, S1

dapat menyebutkan

mana sudut pusat dan

sudut keliling dari

sudut – sudut yang

diketahui dan

ditanyakan di soal.

Explaining :

Showing and

telling

Reviewing

:Students

Explaining

and Justifying

S1 tidak

memahami

konsep antara

sudut pusat dan

sudut keliling

yang menghadap

busur yang sama

( S1 menganggap

Peneliti menerangkan

bahwa besar sudut pusat

adalah dua kali sudut

keliling atau besar sudut

keliling adalah dua kali

sudut pusat hanya berlaku

kalau sudut pusat dan

sudut keliling tersebut

Explaining :

Showing and

telling

Reviewing

:Students

Page 86: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

184, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

No

Soal

Deskripsi

Pekerjaan S1

Masalah yang

Dihadapi S1

Bentuk Scaffolding yang

Diberikan

Reaksi S1 Terhadap

Scaffolding yang

Diberikan

Komponen

Scaffolding :

Kegiatan

yang

dilakukan

besar sudut pusat

itu dua kalinya

sudut keliling

yang mana saja

tanpa melihat

busur yang

dihadap sama atau

tidak).

menghadap busur yang

sama. Selanjutnya,

peneliti memberikan

beberapa persoalan

tentang konsep yang baru

saja dijelaskan untuk

melihat pemahaman S1.

Peneliti kemudian

memberikan pertanyaan

tentang sudut keliling apa

yang sesuai yang dapat

digunakan untuk mencari

besar sudut pusat, yaitu

∠𝐵𝑂𝐶 dan ∠𝐴𝑂𝐵.

Setelah

mendengarkan

penjelasan peneliti

tentang hubungan

sudut pusat dan

sudut keliling, S1

dapat menjawab

bahwa ∠𝐵𝑂𝐶 =2∠𝐵𝐴𝐶 dan

∠𝐴𝑂𝐵 = 2∠𝐴𝐶𝐵.

Explaining

and Justifying

S1 tidak dapat

menemukan besar

∠𝐴𝐶𝐵 yang

nantinya akan

digunakan untuk

mencari besar

∠𝐴𝑂𝐵.

Peneliti memberitahukan

bahwa besar ∠𝐴𝐶𝐵 dapat

dicari dengan menjumlahkan

besar ∠𝐴𝐶𝑂 dan ∠𝑂𝐶𝐵.

Karena sudut ∠𝐴𝐶𝑂 sudah

diketahui , peneliti meminta

S1 untuk mencari besar

∠𝑂𝐶𝐵 dengan menggunakan

segitiga 𝐵𝑂𝐶.

S1 tidak bisa

menjawab.

Explaining :

Showing and

telling

Peneliti kemudian

menjelaskan bahwa segitiga

𝐵𝑂𝐶 sama kaki, kemudian

memberikan pertanyaan :

“Kalau 𝐵𝑂𝐶 ini sama kaki,

berarti besar ∠𝑂𝐶𝐵 dan

∠𝐶𝐵𝑂 ini bagaimana ?”

“Dari informasi tersebut,

coba sekarang kamu cari

besar ∠𝑂𝐶𝐵.”

S1 menjawab bahwa

besar ∠OCB dan

∠𝐶𝐵𝑂 sama, namun

tidak bisa mencari

besar ∠𝑂𝐶𝐵.

Reviewing :

Prompting

Question

Peneliti memberikan

masalah lain yang mirip

dengan masalah yang

dihadapi S1 :

“Misalkan ada segitiga

𝐴𝐵𝐶, besar ∠𝐶𝐵𝐴 adalah

35°, besar ∠𝐵𝐴𝐶 adalah

75°. Berapakah besar

∠𝐴𝐶𝐵 ?”

S1 dapat menjawab

soal tersebut dengan

benar, selanjutnya S1

akhirnya dapat

menjawab bahwa

∠𝑂𝐶𝐵 =1

2(180° −

∠𝐵𝑂𝐶). Setelah

menemukan besar

∠𝑂𝐶𝐵, selanjutnya S1

mencari besar

∠𝐴𝐶𝐵,yaitu besar

∠𝑂𝐶𝐵 ditambah

dengan besar ∠𝐴𝐶𝑂.

Dari besar ∠𝐴𝐶𝐵, S1

menemukan besar

∠𝐴𝑂𝐵, yaitu ∠𝐴𝑂𝐵 =2∠𝐴𝐶𝐵.

Reviewing :

Parallel

Modelling

2 Semua proses

yang

dilakukan S1

dalam

menyelesaikan

soal nomor 2

salah

S1 tidak

memahami

informasi yang

diketahui di soal

yaitu ∠𝐶𝐹𝐵 dan

∠𝐶𝐴𝐵.

Peneliti memberikan

pertanyaan – pertanyaan

sebagai berikut :

“∠𝐶𝐹𝐵 itu merupakan sudut

yang terbentuk dari

perpotongan apa dengan

apa? Perpotongannya

S1 menyebutkan

bahwa ∠𝐶𝐹𝐵 adalah

sudut perpotongan

antara 𝐶𝐷 dan 𝐵𝐸 dan

∠𝐵𝐴𝐶 adalah sudut

keliling.

Reviewing :

Probing

Question

Page 87: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Triutami, dkk. Peningkatan Level Kemampuan Siswa SMP …, 185

No

Soal

Deskripsi

Pekerjaan S1

Masalah yang

Dihadapi S1

Bentuk Scaffolding yang

Diberikan

Reaksi S1 Terhadap

Scaffolding yang

Diberikan

Komponen

Scaffolding :

Kegiatan

yang

dilakukan

dimana?”

“Bagaimana dengan ∠𝐶𝐴𝐵

?”

Peneliti menegaskan

kembali kepada S1 bahwa

∠𝐶𝐹𝐵 itu adalah sudut

yang terbentuk karena

perpotongan tali busur 𝐵𝐸

dan 𝐶𝐷 di dalam

lingkaran.

Peneliti kemudian

menanyakan beberapa

pertanyaan kepada S1 :

“Sudut keliling itu apa

tadi ? Titik sudutnya harus

dimana tadi ? Kalau sudut

pusat kan titik sudutnya di

pusat lingkaran, kalau

sudut keliling ?”

“Apakah ∠𝐶𝐴𝐵 itu sudut

keliling ?”

Dari pernyataan S1

tentang ∠𝐶𝐴𝐵, peneliti

menegaskan kembali

bahwa ∠𝐶𝐴𝐵 itu adalah

sudut perpotongan antara

tali busur 𝐶𝐸 dan 𝐵𝐷 di

luar lingkaran.

Dari pertanyaan

tersebut, S1

menyadari

kesalahannya bahwa

∠𝐶𝐴𝐵 bukan sudut

keliling karena titik

sudutnya ada di luar

lingakaran. S1

kemudian

mengatakan bahwa

∠𝐶𝐴𝐵 adalah sudut

perpotongan antara

𝐵𝐴 dan 𝐶𝐴.

Reviewing :

Probing

Question

S1 tidak tahu cara

mencari besar

∠𝐶𝑂𝐵 dan

∠𝐷𝑂𝐸 dengan

menggunakan

besar ∠𝐶𝐹𝐵 dan

∠𝐶𝐴𝐵.

Peneliti menerangkan

bahwa besar sudut

perpotongan antara dua

tali busur di dalam

lingkaran itu sama saja

dengan setengah dari

jumlah busur yang

terpotong, sehingga

∠𝐶𝐹𝐵 =1

2(∠𝐶𝑂𝐵 +

∠𝐷𝑂𝐸). Peneliti juga

menerangkan bahwa besar

sudut perpotongan antara

dua tali busur di luar

lingkaran itu sama saja

dengan setengah dari

selisih busur yang

terpotong, sehingga

∠𝐶𝐴𝐵 =1

2(∠𝐶𝑂𝐵 −

∠𝐷𝑂𝐸).

Peneliti kemudian

meminta S1 memakai

konsep tersebut dan

informasi tentang

besar ∠𝐶𝐹𝐵 dan ∠𝐶𝐴𝐵

untuk mencari besar

∠𝐶𝑂𝐵 dan ∠𝐷𝑂𝐸.

S1 bingung tidak bisa

menjawab.

Explaining :

Showing and

telling

Developing

Conceptual

Thinking :

Making

connections

Page 88: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

186, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

No

Soal

Deskripsi

Pekerjaan S1

Masalah yang

Dihadapi S1

Bentuk Scaffolding yang

Diberikan

Reaksi S1 Terhadap

Scaffolding yang

Diberikan

Komponen

Scaffolding :

Kegiatan

yang

dilakukan

Peneliti lalu menjelaskan :

“Kamu kan tadi punya

∠𝐶𝐴𝐵 =1

2(∠𝐶𝑂𝐵 −

∠𝐷𝑂𝐸) dan ∠𝐶𝐴𝐵 = 25°

berarti kan 25 =1

2(∠𝐶𝑂𝐵 − ∠𝐷𝑂𝐸). Itu

dapatnya yang pertama.

Lalu selanjutnya kan tadi

punya ∠𝐶𝐹𝐵 =1

2(∠𝐶𝑂𝐵 +

∠𝐷𝑂𝐸) dan ∠𝐶𝐹𝐵 = 70°,

berarti kan 70 =1

2(∠𝐶𝑂𝐵 − ∠𝐷𝑂𝐸).

Sekarang kamu punya dua

persamaan 25 =1

2(∠𝐶𝑂𝐵 − ∠𝐷𝑂𝐸) dan

70 =1

2(∠𝐶𝑂𝐵 − ∠𝐷𝑂𝐸).

Masing – masing persamaan

bisa disederhanakan tidak?”

S1 dapat

menyederhanakan

persamaan tersebut

menjadi :

50= ∠𝐶𝑂𝐵 − ∠𝐷𝑂𝐸

140 = ∠𝐶𝑂𝐵 − ∠𝐷𝑂𝐸

Explaining :

Showing and

telling

S1 tidak dapat

menemukan besar

∠𝐶𝑂𝐵 dan ∠𝐷𝑂𝐸

dari sistem

persamaan betikut

:

5= ∠𝐶𝑂𝐵− ∠𝐷𝑂𝐸

140= ∠𝐶𝑂𝐵− ∠𝐷𝑂𝐸

Peneliti memberikan

ilustrasi masalah yang lebih

sederhana.

“Misalkan ada sistem

persamaan

𝑥 + 𝑦 = 10 𝑥 − 𝑦 = 5

Selesaikan sistem

persamaan linier dua

variabel di atas untuk

mendapatkan nilai 𝑥 dan

𝑦.”

S1 dapat

menyelesaikan masalah

tersebut dengan benar,

dari situ S7 dapat

menemukan besar

∠𝐶𝑂𝐵 dan ∠𝐷𝑂𝐸

dengan menggunakan

proses eliminasi dan

substitusi dari sistem

persamaan

∠𝐶𝑂𝐵 + ∠𝐷𝑂𝐸 = 140 ∠𝐶𝑂𝐵 − ∠𝐷𝑂𝐸 = 50

Reviewing :

Parallel

Modelling

S1 tahu bahwa

besar ∠𝐵𝐶𝐷

adalah setengah

kali besar ∠𝐵𝑂𝐷,

namun S1 tidak

dapat mencari

besar ∠𝐵𝑂𝐷.

Peneliti memberikan

pertanyaan kepada S1 :

“∠𝐶𝑂𝐵 ditambah ∠𝐸𝑂𝐶

ditambah ∠𝐷𝑂𝐸 terus

ditambah sudut ∠𝐵𝑂𝐷 itu

jadinya nanti apa ?

Keempat sudut itu

ditambahkan jadinya apa

?”

Dari pertanyaan

tersebut S1 menyadari

bahwa jika sudut

∠𝐶𝑂𝐵, ∠𝐸𝑂𝐶, ∠𝐷𝑂𝐸,

dan ∠𝐵𝑂𝐷

ditambahkan akan

menjadi satu lingkaran,

sehingga ∠𝐵𝑂𝐷 =360 − (∠𝐶𝑂𝐵 +∠𝐶𝑂𝐸 + ∠𝐸𝑂𝐷).

Setelah menemukan

besar ∠𝐵𝑂𝐷, S1

mencari besar ∠𝐵𝐶𝐷

yaitu setengah besar

∠𝐵𝑂𝐷.

Reviewing :

Prompting

Question

Level Kemampuan S1 Setelah Pemberian

Scaffolding

Setelah pemberian scaffolding, S1

mengerjakan tes 2. Untuk tes 2 soal nomor 1, S1

mencari besar ∠𝐴𝑂𝐶 dengan menggunakan

informasi tentang besar ∠𝑂𝐴𝐶 (diketahui) dan

konsep segitiga sama kaki serta jumlah sudut dalam

segitiga pada segitiga 𝐶𝑂𝐴. S1 mengetahui bahwa

segitiga COA sama kaki karena mempunyai dua sisi

yang sama panjang yaitu 𝑂𝐴 dan 𝑂𝐶 (jari – jari

lingkaran) sehingga ∠𝑂𝐴𝐶 = ∠𝐴𝐶𝑂. Kemudian

besar ∠𝐴𝑂𝐶 yang diperoleh digunakan untuk

mencari besar refleks ∠𝐴𝑂𝐶, yaitu ∠𝐶𝑂𝐴 dengan

menggunakan konsep jumlah sudut satu lingkaran

Page 89: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Triutami, dkk. Peningkatan Level Kemampuan Siswa SMP …, 187

penuh. Informasi tentang besar refleks ∠𝐴𝑂𝐶

kemudian digunakan untuk mencari besar ∠𝐴𝐵𝐶

dengan menggunakan konsep hubungan antara sudut

pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang

sama. Selanjutnya, S1 menggunakan informasi

tentang besar ∠𝐴𝐵𝐶, ∠𝐵𝐶𝐴, ∠𝐴𝐶𝑂, ∠𝐶𝑂𝐴, dan

∠𝑂𝐴𝐶 untuk mencari besar ∠𝐶𝐴𝐵 dengan

menggunakan konsep jumlah sudut dalam

segiempat. Gambar 3 berikut ini merupakan respon

S1 dalam menjawab tes 2 soal nomor 1.

Gambar 3. Skema Respon S1 untuk Tes 2 Soal Nomor 1

Tabel 2. Keterangan Kode dalam Skema Respon S1 untuk Tes 2 Soal nomor 1 No Kode Keterangan

1 Informasi atau klu yang diberikan yang dapat mendorong respons

2

Respons, baik perantara atau hasil akhir

3

Konsep atau proses yang diharapkan sebagai bagian dari geometri

4 InfJrLing Informasi tentang jari – jari lingkaran pada gambar

5 InfSdtOAC Informasi besar ∠𝑂𝐴𝐶 yang ada pada soal

6 InfSdtBCA Informasi besar ∠𝐵𝐶𝐴 yang ada pada soal

7 Ksp SgtSmKk Konsep tentang segitiga sama kaki

8 KspJmlSdtSgt Konsep tentang jumlah sudut segitiga

9 KspJmlSdtPtr Konsep jumlah sudut putar atau jumlah sudut satu lingkaran penuh

10 KspSdtPstKel Konsep tentang hubungan antara sudut pusat dan sudut keliling

yang menghadap busur yang sama

11 KspJmlSdtSgmpt Konsep tentang jumlah sudut segiempat

12 KesPrtrSdtACO Kesimpulan perantara yang didapat tentang besar ∠𝐴𝐶𝑂

13 KesAkhSdtAOC Kesimpulan akhir yang didapat tentang besar ∠𝐴𝑂𝐶

14 KesPrtrSdtCOA Kesimpulan perantara yang didapat tentang besar ∠𝐶𝑂𝐴

15 KesPrtrSdtABC Kesimpulan perantara yang didapat tentang besar ∠𝐴𝐵𝐶

16 KesAkhSdtCAB Kesimpulan akhir yang didapat tentang besar ∠𝐶𝐴𝐵

17 Level SOLO Relational

Untuk soal tes 2 nomor 2, S1 mampu

mengerjakan semua soal, baik 2a maupun 2b,

dengan benar. S1 mencari besar ∠𝐻𝑂𝐺 dan ∠𝐼𝑂𝐽

(2a) dengan menggunakan informasi besar ∠𝐻𝐿𝐺

dan ∠𝐻𝐾𝐺. S1 menerapkan konsep besar sudut

perpotongan antara dua tali busur di dalam lingkaran

sehingga mendapatkan

∠𝐻𝐿𝐺 =1

2(∠𝐻𝑂𝐺 + ∠𝐼𝑂𝐽)

80 =1

2(∠𝐻𝑂𝐺 + ∠𝐼𝑂𝐽)

160 = ∠𝐻𝑂𝐺 + ∠𝐼𝑂𝐽 dan besar sudut perpotongan antara dua tali busur di

luar lingkaran sehingga mendapatkan

∠𝐻𝐾𝐺 =1

2(∠𝐻𝑂𝐺 − ∠𝐼𝑂𝐽)

35 =1

2(∠𝐻𝑂𝐺 − ∠𝐼𝑂𝐽)

70 = ∠𝐻𝑂𝐺 − ∠𝐼𝑂𝐽.

Selanjutnya, S1 mendapatkan sistem persamaan

linier dua variabel sebagai berikut

∠𝐻𝑂𝐺 + ∠𝐼𝑂𝐽 = 160

∠𝐻𝑂𝐺 − ∠𝐼𝑂𝐽 = 70.

S1 kemudian melakukan prosedur eliminasi dan

subtitusi pada sistem persamaan di atas untuk

menemukan besar ∠𝐻𝑂𝐺 dan ∠𝐼𝑂𝐽.

Untuk soal nomor 2b yaitu mencari besar

∠𝐺𝑂𝐼, pertama S1 menggunakan informasi besar

∠𝐻𝐿𝐺 dan konsep sudut bertolak belakang untuk

mendapatkan besar ∠𝐼𝐿𝐽. Selanjutnya S1

menggunakan informasi tentang besar ∠𝐼𝐿𝐽 dan

∠𝐽𝐼𝐻 serta konsep jumlah sudut dalam segitiga pada

segitiga 𝐼𝐿𝐽 untuk mendapatkan besar ∠𝐺𝐽𝐼.

Informasi tentang besar ∠𝐺𝐽𝐼 tersebut kemudian

digunakan S1 untuk mencari besar ∠𝐺𝑂𝐼 dengan

menggunakan konsep hubungan antara sudut pusat

dan keliling yang menghadap busur yang sama.

Gambar 4. berikut ini menggambarkan respon S1

dalam menjawab tes 2 soal nomor 2.

Page 90: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

188, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

Gambar 4. Skema Respon S1 untuk Tes 2 Soal Nomor 2

Tabel 3. Keterangan Kode dalam Skema Respon S1 untuk Tes 2 Soal nomor 2 No Kode Keterangan

1 Informasi atau klu yang diberikan yang dapat mendorong respons

2

Respons, baik perantara atau hasil akhir

3

Konsep atau proses yang diharapkan sebagai bagian dari geometri

4

Konsep atau proses abstrak yang diambil dari luar domain geometri

5 InfSdtHKG Informasi besar ∠𝐻𝐾𝐺 yang ada pada soal

6 InfSdtHLG Informasi besar ∠𝐻𝐿𝐺 yang ada pada soal

7 InfSdtJIH Informasi besar ∠𝐵𝐶𝐴 yang ada pada soal

8 KspPerpTbDlmLing Konsep tentang besar sudut perpotongan antara dua tali busur di

dalam lingkaran

9 KspPerpTbLuLing Konsep tentang besar sudut perpotongan antara dua tali busur di

luar lingkaran

10 KspSisPerLiDuaVar Konsep sistem persamaan linier dua variabel

11 KspSdtPstKel Konsep tentang hubungan antara sudut pusat dan sudut keliling

yang menghadap busur yang sama

12 KspJmlSdtSgt Konsep tentang jumlah sudut segitiga

13 KspSdtTb Konsep sudut bertolak belakang

14 KesPrtrPers1 Kesimpulan perantara yang didapat yaitu persamaan ∠𝐻𝑂𝐺 + ∠𝐼𝑂𝐽 = 160

15 KesPrtrPers2 Kesimpulan perantara yang didapat yaitu persamaan ∠𝐻𝑂𝐺 − ∠𝐼𝑂𝐽 = 70

16 KesAkhSdtHOGIOJ Kesimpulan perantara yang didapat tentang besar ∠𝐻𝑂𝐺 dan ∠𝐼𝑂𝐽

17 KesPrtrSdtILJ Kesimpulan akhir yang didapat tentang besar ∠𝐼𝐿𝐽

18 KesPrtrSdtGJI Kesimpulan akhir yang didapat tentang besar ∠𝐺𝐽𝐼

19 KesAkhSdtGOI Kesimpulan perantara yang didapat tentang besar ∠𝐺𝑂𝐼

20 Level SOLO Relational

Dari hasil pekerjaan S1 dan wawancara untuk

soal nomor 2, S1 dapat menggunakan semua

informasi yang ada dalam soal serta dapat

mengaplikasikan konsep atau proses dengan benar

lalu memberikan hasil sementara dan

menghubungkan dengan informasi atau proses yang

lain sehingga dapat menarik kesimpulan yang

relevan. S1 juga dapat menggunakan konsep lain

diluar geometri, namun S1 belum dapat membuat

generalisasi dengan mencari cara lain untuk

menyelesaikan masalah. Berdasarkan skema respon

Taksonomi SOLO oleh Biggs & Collis (1982 : 24-

25) dan indikator level kemampuan siswa

berdasarkan Taksonomi SOLO dalam Tabel 1 dapat

dikatakan bahwa kemampuan S1 berada pada level

relational dalam mengerjakan tes 2. Level

kemampuan S1 meningkat dari prestructural menjadi

relational.

PEMBAHASAN

Scaffolding untuk Meningkatkan Level

Kemampuan Siswa Kategori Prestructural dalam

Menyelesaikan Soal Geometri

Page 91: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Triutami, dkk. Peningkatan Level Kemampuan Siswa SMP …, 189

Ada beberapa konsep yang tidak dipahami S1

ketika mengerjakan tes 1 soal nomor 1, yaitu

penamaan sudut (S1 menganggap ∠𝐴𝐶𝐵, ∠𝐵𝐴𝐶,

dan ∠𝐶𝐵𝐴 sama saja), sudut pusat, sudut keliling

dan hubungan antara sudut pusat dan sudut keliling

yang menghadap busur yang sama (S1 menganggap

besar sudut pusat itu dua kalinya sudut keliling yang

mana saja tanpa melihat busur yang dihadap sama

atau tidak). Peneliti kemudian memberikan

scaffolding level 2 yaitu explaining (showing and

telling) dan dilanjutkan dengan reviewing (students

expalining and justifying). Anghileri (2006)

mengatakan bahwa dalam strategi showing and

telling guru memegang kontrol dan melakukan

percakapan yang terstruktur (diskusi satu arah/guru

saja yang menjelaskan) sehingga kegiatan yang

dilakukan peneliti adalah memberikan penjelasan

tentang konsep – konsep yang tidak dimengerti oleh

S1. Untuk melihat apakah S1 sudah memahami

konsep yang dijelaskan atau tidak maka selanjutnya,

peneliti melakukan scaffolding berupa reviewing

(students expalining and justifying). Hal tersebut

sesuai dengan pendapat Anghileri (2006) yang

mengatakan bahwa students expalining and

justifying dapat memberikan informasi kepada guru

tentang pemahaman siswa terhadap suatu konsep

matematika. Hasil dari scaffolding tersebut adalah

S1 dapat memahami informasi yang ada pada tes 1

soal nomor 1 serta dapat menjelaskan bahwa

∠𝐵𝑂𝐶 = 2∠𝐵𝐴𝐶 dan ∠𝐴𝑂𝐵 = 2∠𝐴𝐶𝐵 (yang

ditanyakan pada soal tes 1 nomor 1).

Kesulitan selanjutnya yang dihadapi S1 dalam

menyelesaikan tes 1 soal nomor 1 adalah S1 tidak

tahu bagaimana cara menemukan besar ∠𝐴𝐶𝐵.

Peneliti kemudian memberikan scaffolding level 2

yaitu explaining ( showing and telling) dan

dilanjutkan dengan reviewing (prompting questions).

Peneliti memberikan penjelasan sedikit terkait

dengan cara menemukan besar ∠𝐴𝐶𝐵, yaitu dengan

menjumlahkan besar ∠𝐴𝐶𝑂 (diketahui di soal ) dan

∠𝑂𝐶𝐵. Selanjutnya, peneliti memberikan pertanyaan

pertanyaan pendorong (prompting) kepada S1 agar

S1 dapat menghubungkan antara konsep segitiga

sama kaki dan informasi yang diketahui di soal

untuk mendapatkan besar ∠𝑂𝐶𝐵. Wood dalam

Anghileri (2006) mengatakan bahwa strategi

prompting questions dapat menuntun proses

berpikir siswa menuju ke arah solusi yang telah

ditetapkan sebelumnya. Hasil yang didapat dari

scaffolding tersebut adalah S1 dapat menjelaskan

bahwa besar ∠OCB dan ∠𝐶𝐵𝑂 sama, namun tidak

bisa mencari besar ∠𝑂𝐶𝐵. Oleh karena itu, peneliti

kemudian memberikan scaffolding level 2 yaitu

reviewing (parallel modelling) dengan meminta

siswa untuk menyelesaikan masalah lain yang lebih

sederhana yang mempunyai tipe yang sama dengan

masalah orisinil yang dihadapi siswa (Anghileri,

2006). Hasil dari scaffolding tersebut adalah S1

dapat menemukan besar ∠𝑂𝐶𝐵 sehingga dapat

menyelesaikan tes 1 soal nomor 1.

Untuk tes 1 soal nomor 2, S1 tidak memahami

informasi yang ada pada soal tentang ∠𝐶𝐹𝐵 dan

∠𝐶𝐴𝐵. Peneliti kemudian memberikan scaffolding

level 2 yaitu reviewing (probing questions). Hal

tersebut sesuai dengan pendapat Anghileri (2006)

bahwa strategi probing questions dapat menggali

pengetahuan yang ada di pikiran siswa untuk dapat

digunakan sebagai dasar dalam memahami

pengetahuan yang baru. Hasil yang didapat dari

scaffolding tersebut adalah S1 dapat menjelaskna

bahwa ∠𝐶𝐹𝐵 dan ∠𝐶𝐴𝐵 masing – masing adalah

sudut perpotongan antara dua tali busur di dalam dan

luar lingkaran, namun S1 tidak mengetahui konsep

tentang besar sudut perpotongan antara dua tali

busur di dalam dan luar lingkaran serta tidak dapat

menghubungkan konsep tersebut untuk mencari

besar ∠𝐶𝑂𝐵 dan ∠𝐷𝑂𝐸. Peneliti kemudian

memberikan scaffolding level 2 yaitu explaining (

showing and telling) dimana peneliti menjelaskan

tentang konsep besar sudut perpotongan antara dua

tali busur di dalam dan luar lingkaran dan

menjelaskan cara menemukan besar ∠𝐶𝑂𝐵 dan

∠𝐷𝑂𝐸 dengan menggunakan konsep tersebut

sampai didapatkan suatu sistem persamaan linier dua

variabel

∠𝐶𝑂𝐵 + ∠𝐷𝑂𝐸 = 140

∠𝐶𝑂𝐵 − ∠𝐷𝑂𝐸 = 50.

Hasil yang didapat dari scaffolding tersebut

adalah S1 tidak dapat menemukan besar ∠𝐶𝑂𝐵 dan

∠𝐷𝑂𝐸 dari sistem sistem persamaan linier dua

variabel yang ada, oleh karena itu peneliti kemudian

memberikan scaffolding level 2 yaitu reviewing

(parallel modelling) dengan meminta S1 untuk

menyelesaikan suatu sistem persamaan linier

variabel yang lebih sederhana dan umum. Hasil yang

didapat dari scaffolding tersebut adalah S1 dapat

menemukan besar ∠𝐶𝑂𝐵 dan ∠𝐷𝑂𝐸, namun S1

tidak dapat menghubungkan informasi tersebut

dengan informasi lain yang ada pada soal untuk

menemukan besar ∠𝐵𝑂𝐷 yang nantinya akan

digunakan untuk mencari besar ∠𝐵𝐶𝐷. Peneliti

kemudian memberikan scaffolding level 2 yaitu

reviewing (prompting questions) sehingga S1 dapat

menemukan besar ∠𝐵𝐶𝐷 dan menyelesaikan tes 1

soal nomor 2.

Setelah pemberian scaffolding, S1 mengerja-

kan tes 2. Dari hasil tes dan wawancara didapatkan

bahwa level kemampuan S1dalam menyelesaikan

soal geometri meningkat dari prestructural ke

relational. Sebelumnya, S1 sama sekali tidak

mampu mengerjakan soal tes 1, setelah pemberian

scafffolding S1 sudah memahami konsep konsep

yang ada pada soal dan dapat menggunakan semua

Page 92: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

190, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

informasi yang ada dalam soal serta dapat

mengaplikasikan konsep atau proses dengan benar

lalu memberikan hasil sementara dan menghubung-

kan dengan informasi atau proses yang lain sehingga

dapat menarik kesimpulan yang relevan. S1 juga

dapat menggunakan konsep lain diluar geometri,

yaitu sistem persamaan dua variabel. Hal ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan Rakhman (2015)

yang mengatakan bahwa siswa dengan level

relational dalam menyelesaikan soal geometri

memahami informasi – informasi yang ada dalam

soal dan ditanyakan dalam soal dengan baik, namun

informasi yang diberikan belum mampu untuk

menyelesaikan soal yang diberikan dengan baik,

siswa harus menentukan informasi lain sebelum

dapat digunakan untuk menentukan selesaian akhi

PENUTUP

Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

pemberian scaffolding dapat meningkatkan level

kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal

geometri dari prestructural menjadi relational.

Setelah pemberian scaffolding, siswa mampu

menggunakan semua informasi yang ada pada soal

untuk mengaplikasikan konsep atau proses dalam

geometri maupun diluar geometri, lalu memberikan

hasil sementara dan menghubungkan dengan

informasi atau proses yang lain sehingga dapat

menarik kesimpulan yang relevan. Scaffolding yang

dapat meningkatkan level kemampuan siswa dalam

menyelesaikan soal geometri dari prestructural

menjadi relational adalah scaffolding level 2 yaitu

explaining (showing and telling) dan reviewing

(students explaining and justifying; prompting and

probing questions; parralel modeling ). Kegiatan

yang dilakukan dalam pemberian scaffolding berupa

menjelaskan konsep – konsep dalam geometri ysng

belum dipahami siswa; menunjukkan kepada siswa

masalah apa yang dicari penyelesainnya dalam soal

dan menuntun siswa untuk menemukan cara

menyelesaikannya; memberikan pertanyaan pen-

dorong (prompting) dan penggali/penyelidik

(probing) kepada siswa; membuat masalah yang

lebih sederhana namum memiliki karakteristik yang

sama dengan masalah original siswa dan meminta

siswa untuk menyelesaikannya; serta melakukan

tanya jawab dengan siswa dengan tujuan untuk

menggali apa yang diketahui dan tidak diketahui

oleh siswa, siswa menemukan sendiri letak

kesalahnnya, dan siswa dapat memberikan pem-

benaran maupun menyalahkan hasil pekerjaannya

sendir

Saran

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan

bahwa siswa masih belum dapat mencapai level

extended abstract dalam menyelesaikan soal

geometri. Untuk itulah perlu ada penelitian lebih

lanjut yang membahas tentang pemberian scaf-

folding agar level kemampuan siswa dalam

menyelesaikan soal geometri meningkat dari

prestructural menajdi extended abstract. Pada

penelitian ini, subjek penelitian difokuskan hanya

pada satu siswa saja, untuk penelitian lebih lanjut

perlu adanya subjek pembanding untuk melihat

variasi pemberian scaffolding yang dapat diberikan

kepada siswa dengan level kemampuan pre-

structural dalam menyelesaikan soal geometri.

DAFTAR RUJUKAN

Amiripour,Parvaneh.,Modifi,Somayeh Amir.,&

Shahvarani,Ahmad.2012. Scaffolding as

Effective Method for Mathematical

Learning.Indian Journal of Science and

Technology,(online),5(9):3328-3331,

(http://www.indjst.org/index.php/indjst/article

/view/30681), diakses 15 November 2014.

Anghileri,J.2006.Scaffolding Practices that Enhance

Mathematics Learning. Journal of

Mathematics Teacher Education,

(online),9(1):33-52,(

http://link.springer.com/article/10.1007/s1085

7-006-9005-9#/page-1), diakses 15 November

2014.

Biggs, John B.,& Collis, Kevin F.1982.Evaluation

The Quality of Learning : The SOLO

taxonomy (Structure of The Observed

Learning Outcome).Academic Press,Inc.

Chan,dkk.2002.Applying the Structure of the

Observed Learning Outcomes (SOLO)

Taxonomy on Student's Learning Outcomes:

An empirical study.Journal of Assessment &

Evaluation in Higher Education,27(6):511-

527,(online),

(http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/

0260293022000020282#abstract), diakses 8

September 2015.

Chick,Helen.1998. Cognition in the Formal Modes:

Research Mathematics and the SOLO

Taxonomy.Mathematics Education Research

Journal, (online),10(2): 4-26,

(http://link.springer.com/article/10.1007/BF03

217340), diakses 4 Oktober 2015.

Guven,Bulent.,& Baki,Adnan.2010.Characterizing

Student Mathematics Teachers’ Level of

Understanding in Spherical Geometry.Journal

of Mathematical Education in Science and

Technology,(online), 41(8):991-

Page 93: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Triutami, dkk. Peningkatan Level Kemampuan Siswa SMP …, 191

1031,(http://www.tandfonline.com/doi/full/10.

1080/0020739X.2010.500692#abstract),

diakses 19 September 2015.

Hunter,Roberta.2012.Coming to “Know”

Mathematics through Being Scaffolded to

“Talk and Do” Mathematics. International

Journal for Mathematics Teaching and

Learning, Desember 2012.

Johnson, B., Christensen, L.. 2004. Educatioonal

Research Quantitative, Qualitative, and

Mixed Approaches Second edition. United

States: Library of Congress Cataloging-in-

Publicatiom Data.

Lian, Lim Hooi.,& Yew, Wun Thiam. 2011.

Developing Pre-algebraic Thinking in

Generalizing Repeating Pattern Using SOLO

Model. US-China Education Review

A,(online), 6:774-78, ISSN 1548-6613,

(http://eric.ed.gov/?q=Developing+Prealgebra

ic+Thinking+in+Generalizing+Repeating+Pat

tern+Using+SOLO+Model&id=ED529402),

diakses tanggal 19 September 2015.

Rakhman, Anang Fatur.2015.Profil Respon Siswa

dalam Menyelesaikan Soal Geometri Kelas X

SMA Negeri 1 Grati Pasuruan Berdasarkan

Taksonomi SOLO. Tesis tidak diterbitkan.

Malang:MIPA UM.

Veer, Rene Van Der. 2007. Lev Vygotsky. New

York. Continuum International Publishing

Group

Page 94: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

192

INVESTIGASI PROSES BERPIKIR REFLEKTIF SISWA

DITINJAU DARI TEMPAT TINGGAL

Iwan Surya Dinata1 ;Toto Nusantara2; Susiswo3

Universitas Negeri Malang [email protected]

Abstract: Reflective Thinking is meaningful thinking based on argument and purpose. This thinking of

this involves solving problems, formulating conclusions, considering matters related, and make decisions.

The process of reflective thinking in this research includes: (1) the presentation of the problem situation,

(2) clarification of the problem, (3) the formation of a hypothesis, test and modify, (4) specifies the action

on the basis of a decision best. This study describes the process of reflective thinking of students who

attend the rural environment and the city. Subject taken from high-ability students from SMP Negeri 1

Malang as students who attend school in the city and students from SMP Negeri 1 Wagir as students who

attend the rural environment. The conclusion from this research is reflective thinking processes of

students from rural s environment in solving geometry problems as follows: the step to understand the

problem of students do (a) presentation of the problem situation; and (b) to clarify the issue. On

completion of the planned measures students' problems from city environment can use reflective thinking

processes, namely(a) provide information that is given (b) clarify that asked (c) determine action on the

basis of the best decisions. Steps taken from doing the plan is : (a) specify the actions based on the best

decisions, (b) Establishment of a hypothesis, test and modify. In the back testing step : (a) take any action

based on the best decisions (b) the test results obtained. While the students who come from rural

environment can only do reflective thinking process of formulating the problem came to implementing the

plan. In step look back, the student can not do reflective thinking.

Key Word : Processes Thinking, Reflective Thinking, Geometry Problem

Abstrak: Berpikir reflektif adalah berpikir yang bermakna yang didasarkan pada alasan dan tujuan.

Berpikir jenis ini merupakan jenis pemikiran yang melibatkan pemecahan masalah, perumusan

kesimpulan, memperhitungkan hal-hal yang berkaitan, dan membuat keputusan-keputusan. Proses

berpikir reflektif yang digunakan dalam penelitian ini adalah menurut Hullfish dan Smith (1964) yang

meliputi: (1) penyajian situasi masalah, (2) klarifikasi masalah, (3) pembentukan hipotesis, menguji dan

memodifikasi, (4) menentukan tindakan atas dasar keputusan terbaik. Artikel ini disusun berdasarkan

hasil penelitian proses berpikir reflektif siswa yang bersekolah dilingkungan desa dan siswa yang

bersekolah dilingkungan kota. Subjek diambil dari siswa yang berkemampuan tinggi SMP Negeri 1

Malang sebagai siswa yang bersekolah dikota dan siswa SMP Negeri 1 Wagir sebagai siswa yang

bersekolah dilingkungan desa. Kesimpulan yang dapat diperoleh adalah proses berpikir reflektif siswa

dari desa dalam menyelesaikan masalah geometri sebagai berikut: pada langkah memahami masalah

siswa melakukan (a) penyajian situasi masalah; dan (b) mengklarifikasi masalah. Pada langkah

merencanakan penyelesaian masalah siswa dari lingkungan kota dapat menggunakan proses berpikir

reflektif yaitu dengan (a) menyajikan informasi yang diberikan (b) mengklarifikasi yang ditanyakan (c)

menentukan tindakan atas dasar keputusan terbaik. Pada langkah melaksanakan rencana yang dilakukan

yaitu (a) menentukan tindakan atas dasar keputusan terbaik, (b) Pembentukan hipotesis, menguji dan

memodifikasi. Pada langkah memeriksa kembali yaitu (a) melakukan tindakan atas dasar keputusan

terbaik (b) pengujian hasil yang diperoleh. Sedangkan pada siswa yang berasal dari lingkungan desa

hanya dapat melakukan proses berpikir reflektif dari merumuskan masalah sampai pada melaksanakan

rencana. Pada langkah melihat kembali, siswa tersebut tidak dapat melakukan pemikiran reflektif.

Kata Kuci: Proses Berpikir, Berpikir Reflektif, Memecahkan Masalah Geometri

Belajar merupakan suatu kegiatan mental

dalam diri setiap manusia yang melibatkan proses

berpikir. Tujuannya adalah untuk mencapai berbagai

macam kompetensi, keterampilan dan sikap.

Sedangkan berpikir merupakan suatu kegiatan

mental yang melibatkan kerja otak, dan berpikir juga

berarti berjerih payah secara mental untuk

memahami sesuatu yang dialami atau mencari jalan

keluar dari masalah yang dihadapi. Menurut Saragih

(2008) tujuan utama dalam belajar matematika

adalah kemampuan pemecahan masalah dan salah

satu karakteristik utama matematika adalah memiliki

struktur yang saling terkait. Sehingga, dalam

mempelajari matematika seseorang harus mampu

Page 95: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Dinata, dkk. Investigasi Proses Berpikir Reflektif Siswa Ditinjau dari Tempat Tinggal, 193

mengorganisasikan pengetahuan yang dimilikinya

untuk memecahkan suatu permasalahan matematika

yang dihadapinya.

Pembelajaran matematika disekolah tidak

hanya menekankan pada pemberian rumus-rumus

melainkan juga untuk dapat menyelesaikan berbagai

masalah matematis. Salah satu berpikir matematis

yang mendukung kemampuan pemecahan masalah

siswa dalam pembelajaran matematika adalah

berpikir reflektif (reflective thingking). Hal ini

terkait dengan kebutuhan siswa untuk memecakan

masalah yang dihadapinya. Dewey (dalam Rodgers,

2002) situasi yang terjadi pada saat seseorang

mengalami kebingungan (perplexity) dan melakukan

penyelidikan berulang-ulang sampai menemukan

penyelesaian (inquiry) aktivitas ini disebut berpikir

reflektif. Menurut Sezer (2008) Berpikir reflektif

adalah kemampuan mengidentifikasi apa yang sudah

diketahui, menerapkan pengetahuan yang dimiliki

dalam situasi lain, memodifikasi pemahaman

berdasarkan informasi dan pengalaman-pengalaman

baru. Peserta didik yang berfikir reflektif menjadi

sadar dan mengendalikan pembelajaran mereka

dengan aktif mengakses apa yang mereka ketahui,

apa yang mereka perlu tahu dan bagaimana mereka

menjembatani kesenjangan. Dengan demikian,

berpikir reflektif adalah berpikir yang bermakna

yang didasarkan pada alasan dan tujuan. Berpikir

jenis ini merupakan jenis pemikiran yang melibatkan

pemecahan masalah, perumusan kesimpulan,

memperhitungkan hal-hal yang berkaitan, dan

membuat keputusan-keputusan.

Banyak ahli yang menyatakan pentingnya

berpikir reflektif dalam proses belajar seperti

Zemelman, Daniels, dan Hyde (1993) Tok (2008),

Sezer (2008), Lee (2005) dan Gurol (2011).

Zemelman, Daniels, dan Hyde (1993) percaya

bahwa belajar yang paling kuat terjadi ketika peserta

didik menggunakan berpikir reflektifnya untuk

memecahkan masalah. peserta didik menggunakan-

nya dengan cara meninjau kesesuaian langkah yang

mereka lakukan dengan konsep dasar dan

mengevaluasi perubahan apa yang mungkin

diinginkan dalam situasi pemecahan masalah. Tok

(2008) menyatakan bahwa kegiatan berpikir reflektif

meningkatkan prestasi akademik siswa di kelas sains

dan berpengaruh secara positif terhadap perilaku

siswa pada proses pembelajaran. Keterampilan

berpikir reflektif meningkatkan motivasi siswa

secara langsung, mengembangkan pemikiran mereka

dan mengembangkan kemampuan memecahkan

masalah. Sedangkan Lee (2005) menyatakan

berpikir reflektif dapat mengembangkan penalaran

guru dan siswa. Salah satu cara untuk meningkatkan

berpikir reflektif siswa adalah dengan memberikan

sejumlah keterampilan memecahkan masalah, oleh

karena itu disarankan bagi calon guru perlu

melakukan proses berpikir reflektif dalam proses

pembelajaran sehingga dapat meningkatkan

profesionalismenya.

Kemampuan berpikir reflektif belum menjadi

bagian tujuan pembelajaran matematika yang

penting oleh guru. Pada umumnya guru hanya

melihat pekerjaan siswa berdasarkan hasil akhir dari

penyelesaian masalah yang dikerjakan, tanpa

memperhatikan bagaimana proses penyelesaian

masalah itu. Jika jawaban siswa berbeda dengan

kunci jawaban, biasanya guru langsung

menyalahkan jawaban siswa tanpa menelusuri

proses siswa menjawab demikian. Dalam

pembelajaran matematika di SMP, siswa terkadang

tidak menyadari apa yang telah mereka alami dan

pelajari. Sehingga peran guru untuk meningkatkan

kesadaran siswa sangat penting. Sabandar (2010)

mengungkapkan bahwa berpikir reflektif masih

jarang dibiasakan oleh guru dan dikembangkan pada

siswa sekolah menengah. Hal ini didukung oleh

Hepsi Nindia sari (2010) dalam studi

pendahuluannya memperoleh beberapa temuan salah

satunya yaitu lebih dari 60% siswa sekolah

menengah belum mampu menyelesaikan tugas-tugas

berpikir reflektif matematis, misalnya tugas

menginterpretasikan, mengaitkan dan mengevaluasi.

Oleh karena itu diperlukan upaya guru untuk melatih

kemampuan berpikir reflektif siswa khususnya

dalam memecahkan masalah matematika.

Poyraz dan Usta (2013) menenliti proses

berpikir reflektif mahasiswa calon guru dilihat dari

beberapa variabel. Poyraz dan Usta (2013)

menemukan bahwa calon guru yang tinggal dikota

atau metropolitan memiliki kecenderung pemikiran

lebih reflektif daripada orang-orang yang dibesarkan

di sebuah desa tidak menunjukkan hal tersebut. Hal

ini dipengaruhi oleh kepribadian masing-masing

individu tetapi juga dipengaruhi oleh tempat tinggal

orang tersebut. Poyraz dan Usta juga

mengungkapkan bahwa asal sekolah menengah atas

dari sekolah calon guru sebelum masuk perguruan

tinggi tidak mempengaruhi proses berpikir reflektif

mereka. Dari temuan Poyraz dan Usta (2013) dalam

artikel ini akan dibahas karakteristik berpikir

reflektif siswa SMP ditinjau dari tempat tinggal dan

asal sekolah siswa tersebut.

METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan

deskriptif kualitatif. Penelitian dilakukan untuk

mengungkapkan kejadian dari gejala-gejala yang

muncul dari subjek penelitian. Kejadian tersebut

digunakan untuk merumuskan karakteristik proses

berpikir reflektif siswa dalam memecahkan masalah

geometri. Dalam penelitian deskriptif tidak

memberikan perlakuan, manipulasi atau

Page 96: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

194, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

pengubahan, tetapi menggambarkan kondisi apa

adanya.

Penelitian ini di laksanakan di SMP Negeri 1

Wagir dan SMP Negeri 1 Malang pada semester

genap tahun pelajaran 2015-2016. Subjek penelitian

dipilih masing-masing sekolah 1 orang siswa SMP

kelas VII disekolah tersebut. Siswa yang bersekolah

di SMP Negeri 1 Malang ditetapkan sebagai siswa

yang memiliki lingkungan perkotaan, sedangkan

siswa yang berasal dari SMP Negeri 1 Wagir

sebagai siswa yang memiliki lingkungan sekolah

pedesaan. Subjek dipilih berdasarkan hasil tes

pemecahan masalah dengan melihat langkah-

langkah penyelesaian pemecahan masalah dan

dilihat dari sudut pandang ada tidaknya pemikiran

reflektif yang dilakukan pada saat menyelesaikan tes

pemecahan masalah.

Karakteristik penelitian kualitatif menurut

Moleong (2005) antara lain: (1) mempunyai latar

alamiah (natural setting) karena data yang diperoleh

sesuai dengan kejadian atau fenomena asli di

lapangan. (2) peneliti bertindak sebagai instrumen

utama, karena disamping sebagai pengumpul data,

peneliti juga terlibat langsung dalam proses

penelitian. (3) hasil penelitian bersifat deskriptif,

karena data yang dikumpulkan bukan berupa angka-

angka melainkan berupa kata-kata atau kalimat. (4)

peneliti lebih mementingkan proses dari pada hasil.

(5) adaya batasan masalah. (6) analisis data

cenderung induktif. (7) adanya batasan yang

ditentukaN.

Teknik pemilihan subjek dalam penelitian

menggunakan teknik purposive sampling. Teknik

purposive sampling yaitu suatu cara pengambilan

informasi sumber data dengan pertimbangan tertentu

(Sugiono, 2012). Pertimbangan tertentu ini

merupakan kriteria pemilihan subjek yaitu: (1) telah

mendapat pembelajaran mengenai segiempat, (2)

siswa yang dipilih berasal dari seklah yang berbeda

dengan lingkungan pendidikan yang berbeda pula,

(3) berdasarkan informasi dari guru matematika

yang mengajar, siswa yang dapat mengkomunikasi-

kan idenya dengan jelas baik secara lisan maupun

tulisan, dan (4) mempunyai potensi memenuhi

karakteristik proses berpikir reflektif yang

dikonstruksikan, yaitu siswa berkemampuan tinggi

pada masing-masing sekolah.

Teknik pengumpulan data yang digunakan

yaitu wawancara berbasis tugas. Teknik wawancara

tersebut menggunakan hasil tes pemecahan masalah

sebagai pijakan untuk melakukan wawancara.

Peneliti mencari dan menggali informasi secara

mendalam untuk mendapatkan data yang

dibutuhkan. Sebagai sember utama, peneliti akan

berinteraksi langsung dan sebagai pewawancara

dengan subjek penelitian. Peneliti dituntut mampu

menyesuaikan diri dan berinteraksi secara tuntas

dengan fenomena yang sedang terjadi. Data

penelitian dikumpulkan dengan instrumen bantu

berupa instrumen tes pemecahan. Sebelum

digunakan dalam penelitian, terlebih dahulu

dilakukan validasi instrumen. Validasi dilakukan

untuk mendapatkan kesesuaian isi dari instrumen

yang digunakan.

PEMBAHASAN.

Analisis Subjek S (Siswa Kota)

Dari tugas pemecahan masalah kedua soal

nomor 1 yang diselesaikan oleh subjek S, pada

langkah memahami masalah subjek S menuliskan

jawaban sebagai berikut:

Gambar 1 Hasil Pekerjaan Subjek S Pada Saat

Memahami Masalah

Berdasarkan hasil pekerjaan pada Gambar 1,

Subjek S dapat menyajikan situasi masalah dengan

mengidentifikasi informasi yang diberikan seperti

menuliskan keliling lahan pabrik yang dimiliki 400

m dan panjang lahan 20 meter lebihnya dari lebar.

Subjek S dapat mengklarifikasi pertanyaan yang

diberikan yaitu panjang dan lebar lahan pabrik.

Berikut adalah hasil wawancara terhadap subjek S:

P : Apakah kamu paham dengan soal yang

diberikan?

S : Iya, paham

P : Coba ceritakan informasi apa saja yang

diberikan pada soal?

S : Ini buat dinding pagar yang bentuknya persegi

panjang. Panjangnya 20 meter lebihnya dari

lebarnya. Kelilingnya 400 meter.

P : Coba sebutkan apa saja yang ditanyakan pada

soal?

S : Panjang dan lebar lahan pabrik

Dari hasil pekerjaan siswa dan wawancara

yang dilakukan pada langkah memahami masalah,

subjek S dapat memahami masalah dengan baik.

Proses berpikir reflektif yang dilakukan oleh subjek

S saat memahami masalah adalah dengan

menyajikan situasi masalah, menuliskan informasi

yang tersedia pada soal seperti keliling lahan pabrik

400 meter dan panjang pabrik 20 meter lebihnya dari

lebar, subjek S menuliskan 𝑝 = 20 + 𝑙. Selain itu

Page 97: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Dinata, dkk. Investigasi Proses Berpikir Reflektif Siswa Ditinjau dari Tempat Tinggal, 195

subjek S juga dapat mengklarifikasi pertanyaan pada

soal yaitu panjang dan lebar lahan pabrik.

Pada langkah merencanakan penyelesaian

masalah subjek S dapat memeriksa kecukupan

informasi yang diberikan dengan meyakini bahwa

informasi yang diberikan cukup untuk

menyelesaikan masalah. berikut hasil wawancara

yang dilakukan oleh subjek S:

P : Dari informasi yang diberikan apakah sudah

cukup untuk menyelesaikan soal tersebut?

S : Iya sudah cukup

P : Apakah kamu membuat sketsa untuk

memperjelas maksud soal?

S : Iya saya buat ini.

P : Dari sketsa yang kamu buat dengan informasi

yang diberikan bagaimana kamu

menghubungkannya?

S : Lebarnya itu l dan panjangnya itu saya ganti

dengan 20 + l karena pada soal panjangnya 20

meter lebihnya dari lebar. Ini kelilingnya 400

meter.

Setelah meyakini bahwa informasi yang

diberikan cukup untuk menyelesaikan masalah,

subjek S membuat sketsa gambar untuk memperjelas

maksud soal. Subjek S mengklarifikasi masalah dan

informasi yang ada pada soal dengan sketsa gambar

yang dibuat. berikut sketsa gambar yang dibuat oleh

subjek S:

Gambar 2 Sketsa Gambar Subjek S Saat

Merencanakan Penyelesaian

Subjek S menggambar sketsa bertujuan untuk

memperjelas maksud soal. Subjek S memberikan

simbol untuk lebar persegi janhang dengan l dan

panjang persegi panjang dengan 20 + l . subjek S

juga menuliskan keliling persegi panjang 400 m.

Dalam merencanakan strategi penyelesaian subjek S

menggunakan konsep keliling persegi panjang untuk

menentukan panjang dan lebar lahan pabrik.

Dari hasil pekerjaan siswa dan wawancara

terhadap subjek S, proses berpikir reflektif yang

dilakukan oleh subjek S pada langkah merencanakan

penyelesaian adalah menyajikan masalah dengan

merepresentasikan dalam bentuk gambar untuk

memperjelas maksud soal. Subjek S mengklarifikasi

pertanyaan dengan cara menghubungkan identifikasi

fakta dengan sketsa gambar yang dibuat. subjek S

menentukan tindakan atas dasar keputusan terbaik

dengan memilih konsep yang sesuai dengan masalah

yang dihadapi. Subjek S memilih konsep keliling

persegi panjang.

Pada langkah melaksanakan rencana, subjek S

menggunakan konsep keliling persegi panjang.

Subjek S mensubtitusi informasi yang ada pada soal

seperti keliling lahan pabrik, dan 𝑝 = 20 + 𝑙 pada

rumus keliling persegi panjang 𝐾 = 2𝑝 + 2𝑙 sehingga bentuk persamaannya menjadi 400 =2(20 + 𝑙) + 2𝑙, subjek S melakukan algoritma

perhitungan sehingga didapat lebar lahan pabrik

adalah 90 meter. Untuk menentukan panjang lahan

pabrik, subjek S mensubtitusikan hasil yang didapat

pada persamaan 𝑝 = 20 + 𝑙 sehingga panjang lahan

pabrik yang diperoleh adalah 110 meter. Berikut

adalah hasil pekerjaan subjek S:

Gambar 3 Hasil pekerjaan Subjek S Saat

melaksanakan rencana

Berikut adalah kutipan wawancara terhadap

subjek S pada langkah melaksanakan rencana:

P : Bagaimana cara kamu untuk menyelesaikan

soal nomor 1?

S : Saya menggunakan rumus keliling itu 2p + 2l,

saya masukkan angka-angkanya 400 = 2(20

+l) + 2l, terus 400 = 40 + 2l +2l, jadi 400 =

40 + 4l, kemudian saya kurangkan 400-40 =

4l, jadi 360 = 4l, l = 360

4= 90 𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟.

Selanjutnya saya cari panjangnya diketahui

panjang sama dengan 20 + l, jadi 20 + 90 =

110 meter.

Berdasarkan hasil jawaban tertulis dan

wawancara, subjek S mampu berpikir reflektif pada

saat melaksanakan rencana yaitu menentukan

tindakan atas dasar keputusan terbaik dengan

menggunakan konsep yang sesuai dengan masalah

yang dihadapi. Subjek S menggunakan konsep

keliling persegi panjang untuk menentukan panjang

dan lebar lahan pabrik. Pembentukan hipotesis,

menguji dan memodifikasi dengan mensubtitusikan

panjang sama dengan 20 + l , lebarnya l dan keliling

lahan pabrik 400 m. Kemudian subjek S melakukan

algoritma perhitungan sehingga mendapatkan lebar

lahan pabrik. Setelah mendapatkan lebar, subjek

Page 98: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

196, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

mensubtitusikan lebar yan diperoleh pada persamaan

𝑝 = 20 + 𝑙 didapat panjang lahan pabrik.

Pada langkah melihat kembali, subjek S

meyakini kesimpulan yang dibuat sudah sesuai

dengan informasi yang diberikan dan masalah pada

soal. Pada saat melakukan proses penyelesaian

subjek S melakukan kesalahan dalam melakukan

algoritma perhitungan, subjek S mengalikan angka

20 sebanyak 2 kali sehingga hasil yang diperoleh

tidak sesuai. Berikut petikan wawancara yang

dilakukan terhadap subjek S.

P : Apakah kamu yakin dengan strategi yang kamu

lakukan?

S : Iya yakin

P : Bagaimana kamu bisa yakin dengan strategi

yang kamu lakukan sudah sesuai dengan

informasi yang ada?

S : Iya karena ini yang ditanya adalah panjang

dan lebar, terus yang diketahui adalah

kelilingnya sama panjangnya 20 meter lebih

sama lebarnya. Sudah sesuai dengan

informasinya.

P : Apakah ada kesalahan dalam penyelesaian?

S : Ada sedikit kesalahan. Awalnya saya tulis 2.40

+ 2l + 2l, karena salah makanya saya coret.

P : Apakah kamu yakin dengan hasil yang kamu

peroleh?

S : Iya yakin

P : Apakah kamu mengoreksi kembali hasil yang

kamu peroleh tadi?

S : Iya saya koreksi.

P : Bagaimana kamu mengecek kembali hasil yang

kkamu peroleh?

S : Pertama saya baca kembali soal yang

diberikan supaya paham, kemudian saya cek

strategisaya ini kemudian saya menghitung

kembali. Dari hasil saya hitung 110.2 + 90.2

sama dengan 220+180 hasilnya 400. Hasilnya

sudah sesuai.

P : Apa yang dapat kamu simpulkan dari

pemecahan masalah yang kamu lakukan?

S : Jadi panjangnya 110 dan lebarnya 90.

Berdasarkan kutipan wawancara, subjek S

mampu berpikir reflektif pada langkah melihat

kembali yaitu, meyakini kebenaran yang diperoleh

berdasarkan tindakan atas dasar keputusan terbaik

dengan membaca kembali soal yang diberikan,

meyakinkan konsep yang digunakan sesuai dengan

masalah yang dihadapi, kemudian subjek S mencoba

menghitung kembali hasil yang diperoleh. Setelah

mendapatkan hasil, subjek S melakukan pengujian

ulang kembali dengan menyesuaikan keliling lahan

pabrik 400 meter. Panjang dan lebar yang diperoleh

disubtitusikan pada konsep keliling persegi panjang

dan memastikan bahwa hasilnya adalah 400 meter.

Masalah

PPS

B C

Cl

D E

PPS Cl

At

FG

H

J

At

HTM

Ms

Mr

Mlk

Mrk

L

M

HTM HTM

HTM

I

At

At

Diagram 1 Struktur Berpikir Subjek dalam Memecahkan Masalah Geometri

Page 99: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Dinata, dkk. Investigasi Proses Berpikir Reflektif Siswa Ditinjau dari Tempat Tinggal, 197

Keterangan:

PPS : Presence of Problem Situation

Cl : Clarification

At : Action taken

HTM : Hypotheses formed, Tested, and Modified

Ms : Memahami masalah

Mr : Merencanakan penyelesaian

Mlk : Melaksanakan rencana

Mrk : Memeriksa kembali

: Alur proses reflektif

: Alur proses reflektif dua arah

: Aktivitas Memahami masalah

: Aktivitas Merencanakan penyelesaian

: Aktivitas Melaksanakan rencana

: Aktivitas Memeriksa kembali

Analisis Subjek AA (Siswa Desa)

Berikut adalah hasil pekerjaan subjek AA

dalam memecahkan tugas pemecahan masalah

pertama nomor 1 :

Gambar 4 Hasil Pekerjan Subjek AA dalam

Menyelesaikan Soal Nomor 1

Pada langkah memahami masalah subjek AA

tidak menyajikan informasi yang disediakan pada

soal, sehingga kurang memahami soal yang

diberikan. Subjek AA langsung pada proses

pemecahan masalah tanpa melakukan penyajian

situasi masalah. berikut adalah kutipan wawancara

yang menunjukkan hal tersebut.

P : Apakah kamu paham dengan soal yang

diberikan?

AA : paham

P : Coba kamu ceritakan informasi yang

disediakan pada soal?

AA : Pabrik sepatu itu mau dikasih dinding pagar

dari lahan pabrik tersebut yang

berbentukpersegi panjang. Lahan pabrik

tersebut diketahui panjangnya 20 meter

lebihnya dari lebar. Pajang didindig pagar

yang dibuat ini panjangnya 400 meter.

P : Apakah kamu bisa menyebutkan apa saja

yang ditanyakan dalam soal?

AA : Panjang dan lebar lahan pabrik

Berdasarkan hasil pekerjaan siswa dan

wawancara yang dilakukan, subjek AA hanya

mampu membaca soal yang diberikan. Subjek AA

tidak menyajikan situasi masalah dan klarifikasi

masalah yang diberikan, sehingga subjek AA kurang

memahami soal yang diberikan. Subjek AA tidak

terbiasa dengan penyajian informasi sebagai langkah

penyelesaian. Subjek AA mampu menyebutkan

pertanyaan yang ada pada soal. Sehingga subjek AA

pada saat memahami masalah hanya dapat

menyebutkan pertanyaan yang pada soal pada saat

wawancara. Sehingga dapat disimpulkan subjek AA

tidak menggunakan proses berpikir reflektifnya pada

saat memahami masalah.

Pada langkah merencanakan penyelesaian,

subjek AA menunjukkan aktivitas membuat rencana

penyelesaian dengan membuat lebih dari satu

rencana penyelesaian. Berikut adalah hasil aktivitas

siswa dalam merencanakan penyelesaian masalah.

Gambar 5 Hasil aktivitas siswa dalam merencanakan penyelesaian

Page 100: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

198, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

Berdasarkan Gambar 5 terlihat bahwa subjek

AA mencoba merencanakan penyelesaian dengan

membuat sketsa gambar pada kertas coretan yang

diberikan. Subjek AA juga membuat lebih dari satu

rencana penyelesaian. Pertama subjek AA mencoba

memilih konsep luas persegi panjang, kemudian

menggunakan konsep keliling persegi panjang

dengan menyimbolkan panjang persegi sebagai 20 +

l dan lebar l. Berikut adalah hasil wawancara yang

dilakukan kepada subjek R.

P : Apakah kamu membuat sketsa gambar untuk

memperjelas maksud soal?

AA : Iya. Saya buat

P : Dari sketsa gambar dan informasi pada soal,

bagaimana kamu menghubungkannya?

AA : Panjangnya 20 meter lebihnya dari l, terus ini

lebarnya l, 400 itu panjang eluruh dinding

pagar.

Berdasarkan hasil pekerjaan siswa dan

wawancara yang dilakukan, subjek AA pada langkah

merencanakan penyelesaian masalah menggunakan

proses berpikir reflektifnya dengan merepresentasi-

kan masalah dalam bentuk sketsa gambar, subjek

AA juga dapat menghubungkan informasi yang

diberikan pada soal dengan menuliskan panjang

lahan pabrik 20 + 𝑙 dan lebar pabrik l. Subjek AA

memilih konsep lus persegi dan keliling persegi.

Pada langkah melaksanakan rencana, subjek

AA menggunakan konsep keliling ppersegi panjang.

Berikut hasil pekerjaan subjek AA pada langkah

melaksanakan rencana.

Gambar 6. Penyelesaian Masalah Subjek AA Pada

langkah melaksanakan rencana

Berikut ini adalah hasil wawancara yang

dilakukan kepada subjek AA:

P : Untuk menjawab soal no 1 apakah kamu

mempunyai rencana awal?

AA : Awalnya saya agak bingung juga bagaimana

ngerjain soal no 1, jadi saya gunakan rumus

keliling 𝐾 = 2×(𝑝 + 𝑙) terus saya masukkan

p = 20 + l , jadi p sama dengan 400 dibagi 2

hasilnya 200 terus dikurang 20, jadi hasil p

nya 180, untuk l nya 180 dikurang 20 hasilnya

160 m.

Berdasarkan hasil pekerjaan siswa dan

wawancara yang dilakukan terhadap subjek AA

menggunakan konsep keliling persegi panjang 𝐾 =2×(𝑝 + 𝑙) untuk menentukan panjang dan lebar

lahan pabrik. Subjek AA menusbtitusikan

panjangnya 20 + l, lebarnya l dan kelilingnya 400.

Subjek AA membagi 400 dengan 2, hasilnya

kemudian dikurangkan 20 hasilnya 180 sebagai

panjang lahan pabrik. Untuk menentukan lebar

pabrik dengan mengurangkan panjang dengan 20,

didapat lebar lahan pabrik 160. Dari proses

pengerjaan yang dilakukan subjek AA terlihat

bahwa subjek AA dapat memilih konsep yang kaitan

dengan masalah yang diberikan. akan tetapi pada

langkah memodifkasi menguji dan membuat

hipotesis, subjek AA melakukan langkah yang tidak

tepat. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada langkah

melakukan rencana subjek hanya mampu

menentukan tindakan atas dasar keputusan terbaik

dengan menggunakan konsep yang tepat sesuai

dengan masalah yang dihadapi.

Pada langkah melihat kembali subjek AA

tidak meyakini hasil yang diperoleh, subjek AA juga

tidak melakukan pengecekaan ulang untuk

meyakinkan jawaban yag diperoleh. Berikut kutipan

wawancra yang dilakukan terhadap subjek AA.

P : Apakah kamu yakin dengan jawaban yang

kamu peroleh?

AA : tidak yakin

P : Apakah kamu memeriksa kembali hasil yang

diperoleh?

AA : tidak

P : Apa yang dapat kamu simpulkan dari

pemecahan masalah ini?

AA : Jadi panjangnya 180 meter dan lebarnya 160

meter

Berdasarkan kutipan wawancara yang

dilakukan, subjek AA tidak melakukan proses

berpikir reflektif pada langkah melihat kembali.

Subjek AA tidak meyakini jawaban yang diperoleh

serta tidak melakukan pengecekan ulang untuk

mengetahui langkah-langkah yang mungkin kurang

tepat.

Page 101: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Dinata, dkk. Investigasi Proses Berpikir Reflektif Siswa Ditinjau dari Tempat Tinggal, 199

Masalah

PPS

B C

Cl

D E

PPS Cl

At

FG

H

At

HTM

Ms

Mr

Mlk

Mrk

MHTM

HTM

I

At

E

F

HTM

At

Keterangan:

PPS : Presence of Problem Situation

Cl : Clarification

At : Action taken

HTM : Hypotheses formed, Tested, and Modified

Ms : Memahami masalah

Mr : Merencanakan penyelesaian

Mlk : Melaksanakan rencana

Mrk : Memeriksa kembali

PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan,

proses berpikir reflektif siswa ditinjau dari tempat

tinggal. Siswa yang bersekolah di kota lebih banyak

melakukan proses berpikir reflektif dari pada siswa

yang bersekolah di desa. Pada langkah memahami

masalah siswa kota melakukan (a) penyajian situasi

masalah; dan (b) mengklarifikasi masalah. untuk

siswa dari desa hanya dapat melakukan klarifikasi

masalah tampa melakukan penyajian masalah.

Pada langkah merencanakan penyelesaian

masalah siswa kota dapat menggunakan proses

berpikir reflektif yaitu dengan (a) menyajikan

informasi yang diberikan dengan cara

merepresentasikan dalam bentuk sketsa gambar

untuk memperjelas maksud soal. (b) Subjek S

mengklarifikasi yang ditanyakan dengan cara

menghubungkan identifikasi fakta dengan sketsa

gambar yang dibuat. (c) Subjek S menentukan

tindakan atas dasar keputusan terbaik yaitu dengan

membuat lebih dari satu cara penyelesaian kemudian

menentukan strategi terbaik yang diyakini

mendapatkan hasil yang benar dan logis. Sedangkan

siswa dari desa hanya dapat melakukan pemilihan

konsep yang berkaitan dengan masalah.

Pada langkah melaksanakan rencana siswa

dari kota mampu berpikir reflektif yaitu (a)

menentukan tindakan atas dasar keputusan terbaik

dengan memilih salah satu strategi yang diyakini. (b)

Pembentukan hipotesis, menguji dan memodifikasi

Diagram 2 Struktur Berpikir Subjek AA dalam Memecahkan Masalah Geometri

Page 102: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

200, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016

dengan menentukan perkalian bilangan untuk

mendapatkan hasil 20 serta perbandingannya 5:1, (c)

menjelaskan pemilihan rumus luas persegi panjang

yang digunakan untuk menentukan panjang dan

lebar. Sedangkan siswa dari desa hanya dapat

menggunakan konsep yang berkaitan dengan

masalah. namun pada langkah pengoprasian

persamaan masih mengalami kesalahan.

Pada langkah memeriksa kembali siswa dari

kota mampu berpikir reflektif yaitu (a) meyakini

kebenaran jawaban yang diperoleh berdasarkan

tindakan atas dasar keputusan terbaik yaitu dengan

menjelaskan pemilihan konsep yang dipilih untuk

menentukan panjang dan lebar dengan menggunakan

konsep luas persegi panjang. Meyakini cara yang

dipilih menghasilkan kesimpulan yang benar dan

logis dari beberapa cara yang dimiliki untuk

mendapatkan kesimpulan benar dan logis. (b) juga

melakukan pengujian hasil yang diperoleh dengan

mengalikan panjang dan lebar yang diperoleh dan

memastikan hasil dari perkalian tersebut merupakan

luas jalan yang akan dibuat. sedangkan siswa dari

desa tidak dapat melakukan proses berpikir reflektif.

Sedangkan siswa yang tinggal di desa hanya

dapat melakukan proses berpikir reflektif pada

langkah memahami masalah sampai melaksanakan

rencana. Sedangkan pada langkah melihat kembali

subjek tersebut tidak melakukan prmikiran reflektif.

Pada langkah memahami masalah, subjek dapat

mengklarifikasi masalah yang diberikan. Kemudian

pada langkah merencanakan penyelesaian, subjek

dapat memilih konsep yang berkaitan dengan

masalah. selanjutnya pada langkah melaksanakan

rencana subjek dapat menggunakan konsep yang

berkaitan namun pada langkah pengoprasian bentuk

persamaan masih mengalami kesalahan.

Maka dapat disimpulkan bahwa siswa yang

tinggal di kota memiliki pemikiran yang lebih

reflektif dibanding siswa yang tinggal di desa. Hal

ini disebabkan oleh interaksi yang komplek yang

diterima siswa kota dibanding stimulus yang didapat

oleh siswa dari desa. Stimulus tersebut yang

berperan dalam mengembangkan pemikiran reflektif

yang dimiliki seseorang. Hal tersebut sejalan dengan

temuan yang diperoleh Poyraz dan Usta (2013)

menemukan bahwa calon guru yang tinggal dikota

atau metropolitan memiliki kecenderung pemikiran

lebih reflektif daripada orang-orang yang dibesarkan

di sebuah desa tidak menunjukkan hal tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Alacaci,C dan Dogruel,M. 2011. Solving A Stability

Problem By Polya’s Four Step. International

Journal of Electronics Mechanical and

Mechatronical Engineering. 1 (1): 19-28

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian.

Jakarta: Rineka Cipta.

Ayazgök, Büşra And Aslan, Hatice. 2013. The

Review Of Academic Perception, Level Of

Metacognitive Awareness And Reflective

Thinking Skills Of Science And Mathematic

University Students. Procedia - Social And

Behavioral Sciences 141 ( 2014 ) 781 – 790

Chee dan Pou. 2012. Reflective Thinking and

Teaching Practices: A Precursor For

Incorporating Critical Thinking Into the

Classroom. International Journal of

Instruction. Vol 5. No 1. (e-ISSN: 1308-

1470)

Christensen &johnson. 2004. Educational Research

Quantitative , Qualitative, and Mixed

Approches second Edition. USA : Personal

Education, Inc.

Dewey J. 1933. How We Think: A Restatement of the

Relation of Reflective Thinking to the

Educative Process, Boston, MA: D.C., Heath

and Company.

Gurol. A. 2011. Determining the reflective thinking

skills of pre-service teachers in learning and

teaching process. Energy Education Science

and Technology Part B: Social and

Educational Studies 2011 Volume (issue)

3(3): 387-402

Henderson, Napan, and Monteiro. 2004.

Encouraging reflective learning: An online

challenge. Beyond the comfort zone:

Proceedings of the 21st ASCILITE

Conference (pp. 357-364). Perth, 5-8

December.

Hudojo, Herman. 2003. Pengembangan Kurikulum

Dan Pembelajaran Matematika. Malang.

Universitas Negeri Malang

Maureen, L. 2003. Using Critical Incidents to

Promote and Assess Reflective Thinking in

Preservice Teachers. Carfax Publising Vol. 4,

No. 2.

Moleong, L.J, 2007. Metodologi Penelitian

Kualitatif. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya

Mora and Rodriguez.2013. Cognitive Processes

Developed By Students When Solving

Mathematic Problems Within technological

Enviroments. TME 10 (1):109-136

Phan, Huy P. 2006. Examining of student learning

approaches, reflective thinking and

epistimologi beliefs. Electronic Journal of

Research in Educational Psychology, No. 10,

Vol 4(3). 2006

Polya, G. 1973. How To Solve It. 2nd ed, Princeton:

Princeton University Press. ISBN 0-691-

08097-6.

Page 103: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Dinata, dkk. Investigasi Proses Berpikir Reflektif Siswa Ditinjau dari Tempat Tinggal, 201

Poyraz, Cengiz And Usta, Seda. 2013.Investigation

Of Preservice Teachers’ Reflective Thinking

Tendencies In Terms Of Various Variances.

Journal On New Trends In Education And

Their Implications April 2013 Volume: 4

Sabandar, Jozua. 2009. Berpikir Reflektif dalam

Pembelajaran Matematika.

Saragih, Sehatta. 2008. Mengembangkan

Keterampilan Berpikir Matematika

(http://eprints.uny.ac.id/6947/1/P-

25%20Pendidikan(sehata).pdf diakses pada

tanggal 10 Februari 2015)

Skemp, R. 1982. The Psychology of Learning

Mathematics. USA. Peguin Books.

Solso, Robert. L. Dkk. 2008. Cognitive Psychology.

8-Th Edition. Allyn And Bacon. Boston.

Suharna, Hery. 2012. Berpikir Reflektif (Reflective

Thinking) Siswa SD Berkemampuan

Matematika Tinggi Dalam Pemahaman

Pemecahan Masalah Matematika.

Tok S. 2008.The Impact of Reflective Thinking

Activities on Student Teachers’ Attitudes

Toward Teaching Profession, Performance

and Reflections, J Educ Sci;33:104-117

Zehavi and Mann. 2006. Instrumented Techniques

and Reflective Thinking in Analytic

Geometry. Weizmann Institute of Science

(Israel). TMME. Vol 2 No 2.

Page 104: ISSN: 2087 JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKAmatematika.fmipa.um.ac.id/jurnal/JPM TAHUN III NO 2 2016.pdf · secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu. Tetapi, memiliki kemampuan,

Petunjuk Bagi Penulis

1. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia, belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain, diketik

dengan spasi rangkap pada kertas A4, panjang 10 – 20 halaman dan diserahkan paling lambat 2 bulan

sebelum penerbitan dalam bentuk ketikan di atas kertas A4 sebanyak 2 eksemplar dan pada file, diketik

dengan menggunakan pengolah kata MS Word. Naskah yang masuk dievaluasi oleh Penyunting Ahli

atau Pakar.

2. Artikel yang dimuat dalam artikel ini meliputi tulisan tentang pembelajaran matematika baik SD, SMP,

SMA, maupun perguruan tinggi dalam bentuk: • temuan penelitian • pembelajaran matematika •

pengalaman pratis • kajian kepustakaan • gagasan konseptual • klinik matematika atau • rekreasi

matematika.

3. Semua karangan ditulis dalam bentuk esai, disertai judul sub bab (heading) masing-masing bagian,

kecuali bagian pendahuluan yang disajikan tanpa judul sub bab. Peringkat judul sub bab dinyatakan

dengan jenis huruf yang berbeda (semua huruf dicetak tebal/bold, jika diketik dengan komputer), cetak

miring, dan letaknya pada tepi kiri halaman, dan bukan dengan angka, sebagai berikut.

PERINGKAT 1 (HURUF BESAR SEMUA, TEBAL, RATA TEPI KIRI)

Peringkat 2 (Huruf Besar-Kecil, Tebal, Rata Tepi Kiri)

Peringkat 3 (Huruf Besar-Kecil, Tebal-Miring, Rata Tepi Kiri)

4. Sistematika artikel hasil telaah adalah: judul, nama penulis (tanpa gelar akademik), abstrak (maksimum

200 kata), kata kunci, pendahuluan (tanpa judul sub bab) yang berisi latar belakang dan tujuan atau

ruang lingkup tulisan, bahasan utama (dapat dibagi ke dalam beberapa sub bagian), penutup atau

kesimpulan, dan daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk).

5. Sistematika artikel hasil penelitian adalah: judul, nama penulis (tanpa gelar akademik), abstrak

(maksimum 200 kata), kata kunci, pendahuluan (tanpa judul sub bab) yang berisi latar belakang, sedikit

tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian, metode penelitian, hasil dan pembahasan, kesimpulan dan saran,

dan daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk).

6. Daftar rujukan disajikan mengikuti tatacara seperti contoh berikut dan diurutkan secara alfabetis dan

kronologis.

Sutawidjaja, A. 2005. Matematika, XI (2) hal. 137 – 150. Malang: Jurusan Matematika FMIPA UM.

Kahfi, M.S. 1991. Geometri Transformasi 1. Malang: Proyek OPF IKIP MALANG. 1991.

7. Sumber rujukan sedapat mungkin merupakan pustaka-pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan yang

diutamakan adalah sumber-sumber primer berupa laporan penelitian (termasuk skripsi, tesis, disertasi)

atau artikel-artikel penelitian dalam jurnal dan/atau majalah ilmiah.

8. Contoh naskah cetak dibaca oleh penulis.

9. Tatacara penyajian kutipan, rujukan, tabel, dan gambar mengikuti ketentuan dalam Pedoman Penulisan

Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, dan Laporan Penelitian (Universitas Negeri

Malang, 2010). Naskah diketik dengan memperhatikan aturan tentang penggunaan tanda baca dan ejaan

yang dimuat dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (Depdikbud, 1987).

10. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh mitra bestari (reviewer) yang ditunjuk oleh penyunting

menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan (revisi)

naskah atas dasar rekomendasi/saran dari mitra bestari atau penyunting. Kepastian pemuatan atau

penolakan naskah akan diberitahukan secara tertulis atau lewat e-mail.

11. Pemeriksaan dan penyuntingan cetak-coba dikerjakan oleh penyunting dan/atau dengan melibatkan

penulis. Artikel yang sudah dalam bentuk cetak-coba dapat dibatalkan pemuatannya oleh penyunting

jika diketahui bermasalah.

12. Segala sesuatu yang menyangkut perijinan pengutipan atau penggunaan software komputer untuk

pembuatan naskah atau ihwal lain yang terkait dengan HAKI yang dilakukan oleh penulis artikel,

berikut konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggungjawab penulis artikel

tersebut.