ISSN: 1907-4336

18
KONSEP TAZKIYYAH AL-NAFS (PEMBERSIHAN JIWA) AL-GHAZALI Dyah Nawangsari Abstrak Pembentukan perilaku ideal merupakan tujuan dari pendidikan yang harus tidak sekedar dalam tataran teori tetapi juga harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari- hari. Salah satu upaya pembentuka karakter adalah melalui pembersihan jiwa (tazkiyyah al-nafs) dari segala penyakit hati, sebab hati merupakan cerminan tingkah laku manusia. Konsep pembersihan jiwa (tazkiyyah al-nafs) itu sendiri bisa diambil dari karya-karya Al Ghazali yakni Ihya’ Ulum al Di>n (وم الدينإحياء عل), dan diperkuat lagi dalam kitab Bida>yat al-Hida>yah (بداية الهداية). Kitab ini berisi tentang ajaran etika di dalam hidup manusia, baik dalam hubungannya dengan Tu- han, maupun dalam hubungannya dengan manusia lain. Kata Kunci : Tazkiyyah al-nafs, Penyakit hati A. Konsep Tazkiyyah al-Nafs Tazkiyyah al-nafs berasal dari Bahasa Arab yang terdiri dari dua kata yaitu tazkiyyah (تزكية) dan al-nafs (النفس). Secara kebahasaan (etimologi) tazkiyyah berarti menyucikan, menguatkan dan mengembangkan. Sedangkan al-nafs adalah diri atau jiwa seseorang. Dengan demikian istilah tazkiyyah al-nafs memiliki makna mensucikan, menguatkan dan mengembangkan jiwa sesuai dengan potensi dasarnya (fitrah) yakni potensi iman, islam, dan ihsan kepada Allah. Adapun secara istilah makna tazkiyyah Jurusan Tarbiyah STAIN Jember ISSN: 1907-4336

Transcript of ISSN: 1907-4336

Page 1: ISSN: 1907-4336

KONSEP TAZKIYYAH AL-NAFS (PEMBERSIHAN JIWA) AL-GHAZALI

Dyah Nawangsari

Abstrak Pembentukan perilaku ideal merupakan tujuan dari

pendidikan yang harus tidak sekedar dalam tataran teori

tetapi juga harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-

hari. Salah satu upaya pembentuka karakter adalah melalui

pembersihan jiwa (tazkiyyah al-nafs) dari segala penyakit hati,

sebab hati merupakan cerminan tingkah laku manusia.

Konsep pembersihan jiwa (tazkiyyah al-nafs) itu sendiri bisa

diambil dari karya-karya Al Ghazali yakni Ihya’ Ulum al

Di>n (إحياء علوم الدين), dan diperkuat lagi dalam kitab Bida>yat

al-Hida>yah (بداية الهداية). Kitab ini berisi tentang ajaran etika di

dalam hidup manusia, baik dalam hubungannya dengan Tu-

han, maupun dalam hubungannya dengan manusia lain.

Kata Kunci : Tazkiyyah al-nafs, Penyakit hati

A. Konsep Tazkiyyah al-Nafs

Tazkiyyah al-nafs berasal dari Bahasa Arab yang terdiri

dari dua kata yaitu tazkiyyah (تزكية) dan al-nafs (النفس). Secara

kebahasaan (etimologi) tazkiyyah berarti menyucikan, menguatkan

dan mengembangkan. Sedangkan al-nafs adalah diri atau jiwa

seseorang. Dengan demikian istilah tazkiyyah al-nafs memiliki

makna mensucikan, menguatkan dan mengembangkan jiwa

sesuai dengan potensi dasarnya (fitrah) yakni potensi iman, islam,

dan ihsan kepada Allah. Adapun secara istilah makna tazkiyyah

Jurusan Tarbiyah STAIN Jember

ISSN: 1907-4336

Page 2: ISSN: 1907-4336

Konsep tazkiyyah al-nafs (Pembersihan Ji-

wa) al-Ghazali

2 |

al-nafs adalah penyucian jiwa dari segala penyakit dan cacat,

merealisasikan berbagai maqām kepadanya, dan menjadikan asmā'

dan shifāt sebagai akhlaknya.1

Kata tazkiyyah al-nafs sering digunakan al-Ghazālī untuk

menyebutkan upaya-upaya pembersihan jiwa, penyucian diri.2

Adapun upaya itu meliputi: murāqabah al-qalb wa al-jawārih

(kesadaran hati dan anggota badan), ta’addub al-‘abd zhāhiran wa

bāthinan (tata krama lahir batin seorang hamba), bashīrah bi ‘uyuub

1 Said Hawwa, al-Mustakhlish Fī Tazkiyah al-Anfus, (Jakarta: Robbani

Press, 1998), vii. 2 Meskipun demikian dalam kitab Bidāyah al-Hidāyah, al-Ghazālī justru

menggunakan kata tersebut untuk menyebut penyakit lisan yang kelima yang

harus senantiasa dihindari, sebagaimana ungkapan beliau:

”(Penyakit lisan) yang kelima adalah tazkiyyah al-nafs (menganggap baik

diri sendiri). Allah SWT telah berfirman: ‘Janganlah engkau mengatakan

dirimu suci. Dialah (Allah) yang paling mengetahui tentang orang yang ber-

takwa’ (QS. An-Najm:32). Dulu ada seorang bertanya kepada seorang

cendekiawan, apakah kebenaran yang tidak baik itu? Dia lalu menjawab,

yaitu pujian seseorang kepada dirinya sendiri. Janganlah engkau

membiasakan memuji diri sendiri, sebab hal itu akan mengurangi derajatmu

di mata orang-orang dan menyebabkan engkau dimurkai oleh Allah SWT.

Apabila engkau ingin mengetahui, bahwa pujianmu terhadap diri sendiri itu

tidak dapat menambah tinggi derajatmu di kalangan orang lain, maka

perhatikanlah teman-teman yang suka memuji-muji diri mereka

dihadapanmu dengan menyebutkan kelebihan, pangkat dan kekayaaannya.

Coba engkau rasakan, bagaimana perasaan hatimu memprotes atau tidak

menyukai mereka, dan betapa berat perasaanmu menerima sikap mereka,

kemudian bagaimana engkau mencaci-caci mereka atas pujian mereka

terhadap diri sendiri mereka, ketika mereka pergi dari sisimu. Maka dari itu,

ketahuilah, bahwa mereka juga seperti itu ketika mendengar engkau sedang

memuji-muji dirimu dengan menceritakan kelebihan, pangkat dan harta

kekayaan. Mereka mencela kamu di dalam hatinya seketika itu dan akan

mencacimu dengan terang-terangan sewaktu engkau pergi dari sisi mereka”.

Lihat: Imam Abu Hamid al-Ghazali, Bidāyah al-Hidāyah, Tuntunan

Mencapai Hidayah Ilahi. terj. H.M. Fadlil Sa’id An-Nadwi. (Surabaya: Al-

Hidayah,1418 H), 143-144.

Page 3: ISSN: 1907-4336

Dyah Nawangsari

Volume 9. No. 1. September 2014 | 3

al-nafs wa āfāt al-a’māl (pengetahuan tentang kekurangan diri dan

efek perbuatan), hudhūr al-qalb (kehadiran hati), kaff al-jawārih

(menjaga anggota badan), hifzh al-a’dlā’ wa al-qalb ‘an al-ma’āshī

(menjaga anggota badan dan hati dari maksiat) dan tathhīr al-qalb

(penyucian hati).

Tazkiyyah al-nafs sendiri bertujuan untuk membentuk

keharmonisan hubungan manusia dengan Allah, dengan sesama

manusia dan makhluk-Nya dan dengan diri manusia sendiri.

Secara khusus al-Ghazali berpendapat bahwa tujuan tazkiyyah

al-nafs terdiri dari empat komponen (rubu’), yakni; (1) Rubu’ iba-

dah yakni membentuk manusia yang ‘ālim, mu’min, ‘ābid,

muqarrib, mau beramal, berdoa, berzikir, sadar akan akan

keterbatasan umurnya, mau menjadikan al-Qur’an sebagai pe-

doman hidupnya, dan mampu menjadikan seluruh aktivitas

hidupnya bernilai ibadah kepada Allah. (2) Rubu’ adat guna

membentuk manusia yang berakhlak dan beradab dalam bermu-

amalah dengan sesamanya, yang sadar akan hak, kewajibannya,

tugas, dan tanggung jawabnya dalam hubungan dengan ke-

hidupan pribadi, keluarga, masyarakat, negara, dan agama. (3)

Rubu’ muhlikat dalam rangka membentuk manusia yang bersikap

i’tidāl (seimbang) terhadap dirinya sendiri di dalam mem-

pergunakan potensi yang dimilikinya. Dengan i’tidāl terhadap

dirinya, akan memudahkan manusia dalam membebaskan diri

dari akhlak tercela dan memperoleh kesehatan jiwa (shihhiyyah al-

nafs). (4) Rubu’ munjiyat, untuk membentuk manusia yang be-

rakhlak mulia terhadap dirinya sendiri. 3

Dengan demikian, tujuan tazkiyyah al-nafs adalah mem-

bentuk manusia yang taat, takwa, dan beramal saleh dalam

hidupnya, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat,

3 Lihat: A.F. Jaelani, Penyucian Jiwa (Tazkiyat Al-Nafs) & Kesehatan

Mental, (Jakarta: AMZAH, 2000), 65–66.

Page 4: ISSN: 1907-4336

Konsep tazkiyyah al-nafs (Pembersihan Ji-

wa) al-Ghazali

4 |

negara, maupun agama. Orang yang taat, takwa, dan beramal

saleh adalah orang yang bersikap i’tidāl dalam berakhlak dan

memiliki kesehatan jiwa dalam hidupnya. Ia dekat dengan Allah

dan selalu memperoleh kemenangan. Dapat dikatakan tujuan

khusus tazkiyyah al-nafs antara lain:

1. Pembentukan manusia yang bersih akidahnya, suci jiwanya,

luas ilmunya, dan seluruh aktivitas hidupnya bernilai ibadah.

2. Membentuk manusia yang berjiwa suci dan berakhlak mulia

dalam pergaulan dengan sesamanya, yang sadar akan hak

dan kewajiban, tugas serta tanggung jawabnya.

3. Membentuk manusia yang berjiwa sehat dengan terbebasnya

jiwa dari perilaku tercela yang membahayakan jiwa itu

sendiri.

4. Membentuk manusia yang berjiwa suci dan berakhlak mulia,

baik terhadap Allah, diri sendiri maupun manusia seki-

tarnya.4

B. Macam-macam Penyakit Hati Yang Utama

Pembahasan tentang konsep Tazkiyyah al-nafs, harus di-

awali kajian tentang berbagai penyakit hati, sebab dengan pema-

haman ini akan bisa ditentukan terapi pengobatannya. Al-

Ghazali mengemukakan bahwa hati (al-Qalb) memiliki dua mak-

na. Makna pertama adalah segumpal daging yang terletak di da-

da sebelah kiri yang berisi rongga penuh darah, atau disebut juga

dengan jantung. Adapun makna yang kedua adalah sesuatu

yang amat halus (lathīfah), tidak kasat mata, tidak dapat diraba,

bersifat spiritual ilahiah yang merupakan jati diri dan hakikat

manusia yang memiliki potensi untuk mengenal, mengetahui,

mengerti, memahami dan merasakan.5

4 Sholihin, Tasawuf Tematik, (Bandung: CV Pustaka Setia , 2003), 145. 5 al-Ghazali, Benang Tipis Antara Halal dan Haram. terj. Ahmad Shiddiq.

(Surabaya: Putra Pelajar, 2002), 310.

Page 5: ISSN: 1907-4336

Dyah Nawangsari

Volume 9. No. 1. September 2014 | 5

Para ulama’ banyak membuat ibarat/perumpamaan bagi

hati. Al-Ghazālī mengibaratkannya sebagai cermin yang dapat

memantulkan segala sesuatu dan juga sebagai tuan yang

menjadikan segala sesuatu dalam diri sebagai alat dan

pelayannya.6 Muhammad Husain Ya’qub setelah menyitir hadis

Nabi dalam Shahīh al-Bukhārī dan Shahīh Muslim mengibaratkan

hati seperti tanah. Ada tanah yang gembur, dapat menerima air

dan menumbuhkan pepohonan (gambaran hati yang menerima

hidayah yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain), ada tanah

yang kering namun dapat menahan air (gambaran hati yang

menerima hidayah yang bermanfaat bagi orang lain namun tidak

memberi manfaat pada dirinya), ada juga tanah yang datar dan

gersang, yang tidak dapat menahan air apalagi menumbuhkan

pohon (gambaran hati orang yang tidak dapat menerima hidayah

Allah sama sekali).7

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah membagi hati menjadi

tiga macam; pertama hati yang sehat, yakni hati yang selalu

menerima, mencintai dan mendahulukan kebenaran. Hati yang

seperti ini akan selamat, dan terbebas dari setiap syahwat serta

keinginan yang bertentangan dengan perintah Allah. Disamping

itu juga selamat dari setiap syubhat dan ketidakjelasan yang me-

nyeleweng dari kebenaran. Kedua hati yang mati, yang tidak

mengenal siapa Tuhannya, sehingga tidak menerima kebenaran

dan tidak taat padanya. Ketiga hati yang sakit, yang hidup namun

6 Ibid. 312-313. Juga dalam al-Ghazali, Bahagia Senantiasa. terj. Dedi

Slamet Riyadi dan Fauzi Faishal Bahreisy, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Se-

mesta, 2007), 13–14.

7 Muhammad Husain Ya’qub. Iltizam, The Moslem Reborn. terj. Ahmad

Fadhil. (Jakarta: Sahara Publishers, 2007), 180-181.

Page 6: ISSN: 1907-4336

Konsep tazkiyyah al-nafs (Pembersihan Ji-

wa) al-Ghazali

6 |

mengandung penyakit, terkadang dekat pada kebinasaan namun

juga terkadang dekat dengan keselamatan.8

Peran hati bagi anggota tubuh ibarat raja bagi para

prajuritnya. Semua tunduk dan patuh kepadanya. Apabila hati itu

rusak/jelek, maka rusak/jelek juga amal perbuatan yang dilakukan

oleh si pemilik hati. Rasulullah SAW bersabda,

ألا إن فى الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله و إذا فسدت فسد

) ) رواه البخارىو مسلم سد كله ألا وهى القلب الج Artinya:

“Bahwa dalam diri setiap manusia terdapat segumpal

daging, apabila ia baik maka baik pula seluruh amal-

nya, dan apabila ia itu rusak maka rusak pula seluruh

perbuatannya. Gumpalan daging itu adalah hati”. (HR.

al-Bukhārī dan Muslim). 9

Dikarenakan hati merupakan kunci perilaku manusia,

maka pembenaran dan pelurusan hati merupakan sesuatu yang

harus diseriusi oleh para penempuh jalan menuju Allah. Men-

gobati penyakit-penyakit hati merupakan bentuk ibadah yang

utama bagi seseorang. Untuk itu diperlukan pemahaman tentang

macam-macam penyakit hati disertai cara pengobatannya. Al-

Ghazālī dalam Kitab Bidāyah al-Hidāyah mengemukakan,

8 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ighātsah al-Lahfān, Manajemen Kalbu: Me-

lumpuhkan Senjata Syetan, terj. Ainul Haris Umar Arifin Thayib, (Jakarta:

Darul Falah, 1423 H), 1-5.

9 Muhy al-Dīn Abī Zakariyā Yahyā bin Syaraf al-Nawawī, al-Adzkār al-

Muntakhabah min Kalām Sayyid al-Abrār. Surabaya: Al-Hidayah tt), 363.

Page 7: ISSN: 1907-4336

Dyah Nawangsari

Volume 9. No. 1. September 2014 | 7

Artinya:

“Ketahuilah, bahwa sifat-sifat tercela yang ada didalam

hati itu banyak, dan cara membersihkan dari sifat-sifat tercela itu

perlu waktu lama, pengobatannya pun juga sulit dan teori dan

praktek mengobati itu pun telah lenyap, karena kelalaian

makhluk itu sendiri terhadap dirinya sendiri dan karena mereka

telah sibuk mengejar kemewahan hidup di dunia. Kami

sebenarnya telah menjelaskan masalah ini dalam Ihyā’ Ulūm al-

Dīn pada bab al-Muhlika>t dan bab al-Munjiya>t. Meskipun

demikian, kami masih menganggap perlu memperingatkan

kepadamu sekarang ini mengenai tiga sifat hati yang sangat jelek,

yaitu sifat yang sering terdapat pada hati para ulama’ pada

zaman sekarang. Tujuannya, agar engkau waspada dan

menjauhkan sifat tersebut dari hatimu, karena sifat-sifat itu

termasuk perkara yang membawa kebinasaan pribadi. Tiga sifat

yang merupakan pokok dari segala kejelekan itu ialah: hasud,

riyā’ dan ‘ujub”.10

Berdasarkan pernyataan tersebut, al-Ghazali

mengatakan bahwa penyakit hati sangatlah banyak. Namun al-

Ghazali menyimpulkan ada 3 (tiga) penyakit hati yang sangat

utama, yang merupakan pokok dari segala kejelekan. Ketiga

10 al-Ghazali, Bidāyah al-Hidāyah……….,159.

Page 8: ISSN: 1907-4336

Konsep tazkiyyah al-nafs (Pembersihan Ji-

wa) al-Ghazali

8 |

penyakit hati itu adalah hasad, riyā’ dan ‘ujub. Penjelasan dari mas-

ing-masing adalah sebagai berikut:

1. Hasad

Hasad merupakan cabang dari kekikiran karena orang

yang memiliki sifat hasad selalu merasa keberatan atau tidak

senang jika Allah SWT memberikan nikmat, baik berupa ilmu,

harta atau pengaruh kepada orang selainnya dan dia

mengharapkan atau sangat senang jika nikmat tersebut lepas

dari tangan orang yang menerimanya, meskipun dia tidak

mendapat nikmat seperti itu. Al-Ghazali juga menyatakan bahwa

orang yang memiliki sifat hasad akan selalu tersiksa batinnya

selama hidup di dunia dan di akhirat ia akan mendapat siksa.11

Dengan kata lain, orang yang memiliki sifat hasad, hat-

inya tidak akan pernah merasa tenang, bahkan selalu gelisah apa-

bila orang lain memperoleh kegembiraan. Seorang pendengki

adalah orang yang berhati kerdil, karena sifat dengki tidak

mungkin dimiliki oleh orang yang berjiwa besar. Dalil naqli ten-

tang hasad diantaranya adalah Firman Allah dalam Surat al-Syūrā

ayat 14:

قوا إلا من بعد ما جاءهم العلم بغيا بينهم ولولا كلمة سبقت من ربك إ لى أجل مسم ى وما تفر

(42:14) لقضي بينهم وإن الذين أورثوا الكتاب من بعدهم لفي شك منه مريب

Artinya:

“Dan mereka (ahli Kitab) tidak berpecah belah, kecuali

setelah datang pada mereka ilmu pengetahuan, karena

kedengkian di antara mereka. Kalau tidaklah karena sesuatu ke-

tetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulunya (untuk me-

nangguhkan azab) sampai kepada waktu yang ditentukan,

pastilah mereka telah dibinasakan. Sesungguhnya orang-orang

yang diwariskan kepada mereka Al-Kitab (Taurat dan Injil)

11 Ibid, 131.

Page 9: ISSN: 1907-4336

Dyah Nawangsari

Volume 9. No. 1. September 2014 | 9

sesudah mereka, benar-benar berada dalam keraguan yang

menggoncangkan tentang kitab itu” (QS. al-Syūrā: 14).12

2. Riyā’ (Pamer)

Secara bahasa riyā’ artinya memperlihatkan atau me-

mamerkan. Dalam Kitab Bidāyah al-Hidāyah, al-Ghazali

mengemukakan,

Artinya:

“Adapun riyā’ itu sama dengan syirik terselubung, yaitu

salah satu perbuatan syirik. Arti riyā’ ialah upayamu mencari

perhatian dari orang lain, untuk memperoleh kedudukan dan

pengaruh. Sedangkan cinta kedudukan itu bagian dari menuruti

hawa nafsu. Karena penyakit riyā’ inilah banyak orang menjadi

binasa dan yang menyebabkan mereka binasa itu adalah manusia

sesamanya sendiri”.13

Dari pernyataan al-Ghazali tersebut, beliau menyatakan

bahwa riyā’ sama dengan syirik terselubung. Beliau juga

mendefinisikan riyā’ sebagai perbuatan mencari perhatian dari

orang lain, untuk memperoleh kedudukan dan pengaruh. Sifat

riyā’ inilah yang banyak membinasakan manusia. Riyā’ adalah

perkara yang tercela, yaitu melakukan ibadah bukan karena Allah

12 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: J-ART, 2005), 485.

13 al-Ghazali, Bidāyah al-Hidāyah………,162.

Page 10: ISSN: 1907-4336

Konsep tazkiyyah al-nafs (Pembersihan Ji-

wa) al-Ghazali

10 |

melainkan agar manusia melihat ibadahnya untuk selanjutnya

berharap manusia memujinya, menyanjungnnya bahkan mungkin

memberikan harta kepadanya. Perbuatan riyā’ merupakan

perbuatan yang tercela, karena melakukan amal perbuatannya

tidak untuk mencari ridha Allah melainkan mencari perhatian,

pujian dan sanjungan dari orang lain. Orang yang memiliki sifat

riyā’ pasti jauh dari sifat ikhlas.

Sebagaimana sifat hasad, sifat riyā’ juga dapat mengha-

pus amal kebaikan yang telah dilakukan. Allah menjelaskan da-

lam firman-Nya Surat Al-Baqarah ayat 264 sebagai berikut:

يا أيها الذين آمنوا لا تبطلوا صدقاتكم بالمن والذى كالذي ينفق ماله رئاء

واليوم الخر فمثله كمثل صفوان عليه تراب فأصا به الناس ولا يؤمن بالل

لا يهدي القوم ا كسبوا والل وابل فتركه صلدا لا يقدرون على شيء مم

(2:264) الكافرين

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu

menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-

nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang

yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia

tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka

perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada

tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia

bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari

apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk

kepada orang-orang yang kafir” (QS. al-Baqarah: 264).14

3. ‘Ujub (Bangga Diri)

14 Depag RI, Al-Qur’an ……….,45.

Page 11: ISSN: 1907-4336

Dyah Nawangsari

Volume 9. No. 1. September 2014 | 11

Secara bahasa ‘ujub berarti al-Zahw (kebanggaan) dan al-

Kibr (kesombongan). ‘Ujub merupakan kesombongan yang ada

didalam batin dikarenakan merasa memiliki kesempurnaan dida-

lam ilmu atau amal. Dalam Kitab Bidāyah al-Hidāyah, al-Ghazali

menyatakan,

Artinya:

“Sifat ‘ujub, sombong dan bangga dengan dirimu sendiri

adalah satu penyakit hati yang sulit diobati. ‘Ujub ialah me-

mandang mulia kepada diri sendiri dan memandang remeh orang

lain”.15

Dari pernyataan al-Ghazālī tersebut, beliau menyatakan

bahwa‘ujub adalah memandang mulia diri sendiri dan me-

mandang remeh orang lain. Beliau juga mendefinisikan‘ujub se-

bagai sifat merasa diri serba berkecukupan dan berbangga hati

atas nikmat yang ada, dan lupa jika kelak akan sirna.‘Ujub meru-

pakan induk dari sifat takabbur. Sedang al-Qurthubi

mengemukakan ‘ujub adalah melihat diri serba sempurna dan

serba baik, sambil melupakan anugerah Allah SWT. Jika sifat ini

diarahkan pada orang lain, maka menjadi kesombongan.16 ‘Ujub

adalah perasaan puas dengan diri sendiri, merasa diri sangat

sempurna, dan menganggap segala pekerjaan dalam masyarakat

tidak akan selesai kalau tanpa diri Perangai ‘ujub ini akan

membuat seseorang lupa akan kekurangannya sendiri dan justru

akan selalu ingat kekurangan orang lain.17

15 al-Ghazālī, Bidāyah al-Hidāyah………,164.

16 Ya’qub, 2007. Iltizam,………154.

17 Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 2001), 157-158.

Page 12: ISSN: 1907-4336

Konsep tazkiyyah al-nafs (Pembersihan Ji-

wa) al-Ghazali

12 |

Selain mendefinisikan ‘ujub, dalam Kitab Bidāyah al-

Hidāyahal-Ghazālī juga memberikan tanda-tanda dari sifat ‘ujub.

Di antara tanda sifat ‘ujub yang nampak pada lisan adalah

kebiasaan berkata siapa saya, apa kamu tidak tahu saya dan siapa

kamu. Ucapan seperti ini sama dengan perkataan iblis yang

terkutuk, sebagaiman diceritakan dalam firman Allah dalam Al-

Qur’an Surat al-A’rāf ayat 12:

ا منعك ألا تسجد إذ أمرتك قال أنا خير منه خلقتني من نار وخلقته قال م

(7:12) من طين

Artinya:

“Iblis menjawab: "Saya lebih baik daripadanya. Engkau

ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”

(QS. al-A’rāf: 12).18

C. Metode Mengobati Penyakit Hati

1. Metode Mengobati Hasad (Dengki)

Hasad (kedengkian) merupakan penyakit yang berat

bagi hati, dan hanya bisa diobati dengan ilmu dan amal. Al-

Ghazālī sebagaimana dikutip oleh Hawwa mengemukakan, ilmu

yang bermanfaat bagi penyakit kedengkian ialah mengetahui

secara pasti bahwa kedengkian sangat berbahaya bagi dunia dan

agama pendengki dan justru sangat bermanfaat bagi dunia dan

agama orang yang didengki.19 Kedengkian berbahaya bagi

keberagamaan karena kedengkian sama saja dengan membenci

ketentuan (qadr) Allah, tidak suka kepada nikmat-Nya yang telah

18 Depag RI, Al-Qur’an ………., 153.

19 Said.Hawwa, al-Mustakhlish Fī Tazkiyah al-Anfus, ( Jakarta: Robbani

Press, 1998), 211-212.

Page 13: ISSN: 1907-4336

Dyah Nawangsari

Volume 9. No. 1. September 2014 | 13

dibagikan di antara para hamba-Nya, dan tidak mau menerima

keadilan-Nya yang ditegakkan-Nya di dalam kerajaan-Nya

dengan kebijaksanaan-Nya. Sedangkan bahaya kedengkian ter-

hadap dunia pendengki adalah menjadi sakit dan tersiksa di

dunia. Pendengki akan senantiasa dalam keadaan sedih dan gun-

dah apabila musuh-musuhnya tidak dijauhkan Allah dari

berbagai nikmat yang dilimpahkan-Nya kepada mereka. Adapun

amal yang bermanfa'at dalam mengobati kedengkian adalah

dengan menghukum kedengkian.20

Secara rinci obat untuk mengobati hasad dengan mene-

lusuri sebab-sebab kedengkian seperti kesombongan, egoisme

dan besarnya ambisi terhadap hal yang tidak bermanfaat. Hal-hal

ini merupakan komponen penyakit hasad. Untuk mengikis habis

penyakit hasad, maka harus dengan mengikis komponennya.

Apabila masih mencintai kedudukan, pasti ia masih mendengki

orang lain yang mendapatkan kedudukan dan tempat di hati

manusia. Tindakan yang paling mudah dilakukan adalah

dengan mengurangi kesedihannya atas dirinya dan tidak men-

ampakkan dengan lisan dan tangannya, tetapi tidak dapat

menghindarinya sama sekali.

2. Metode Mengobati Riyā’ (Pamer)

Sebagaimana telah diketahui bahwa riyā' dapat mem-

batalkan amal, menjadi penyebab kemurkaan Allah, dan terma-

suk pembinasa yang terbesar. Menghadapi hal seperti ini, kita

harus berusaha keras menyingkirkannya, sekalipun dengan mu-

jahadah dan bersusah payah, karena tidak akan ada kesembuhan

kecuali dengan meminum obat yang pahit.

Al-Ghazālī dalam Hawwa mengemukakan dua maqām

untuk menyembuhkan riyā'. Kedua maqām itu adalah:

20 Ibid.

Page 14: ISSN: 1907-4336

Konsep tazkiyyah al-nafs (Pembersihan Ji-

wa) al-Ghazali

14 |

a. Maqām pertama: mencabut akar-akar riyā' dan menggusur ha-

bis dasar-dasarnya.

b. Maqām kedua: menolak hal yang timbul dari riyā' pada saat

melaksanakan ibadah.21

3. Metode Mengobati ‘Ujub (Bangga Diri)

Untuk mengobati ‘ujub, harus tahu hal-hal yang bisa

dipakai untuk ‘ujub, sehingga dalam memberikan pengobatan

tidak terjadi kesalahan. Menurut al-Ghazālī, ada delapan hal

yang mendorong untuk ‘ujub yakni;

a. ‘Ujub dengan fisiknya, misalnya kecantikan, postur tubuh,

kekuatan dan lain-lain. Pengobatan jenis ‘ujub ini adalah

dengan tafakkur tentang berbagai kotoran batinnya, tentang

mula pertama penciptaan dan akhir kesudahannya, tentang

bagaimana wajah yang cantik dan tubuh yang gemulai itu

akan terkoyak-koyak oleh tanah dan membusuk di kubur

hingga menjijikkan.

b. ‘Ujub dengan kedigdayaan dan kekuatan. Terapinya ialah

dengan mengetahui bahwa sakit sehari saja bisa melemahkan

kekuatannya dan bisa jadi Allah akan mencabut kekuatan

yang dibangga-banggakannya hanya dengan sebab pelang-

garan yang paling ringan.

c. ‘Ujub dengan intelektualitas, kecerdasan dan kecermatan da-

lam menganalisis berbagai problematika agama dan dunia.

Terapinya ialah bersyukur kepada Allah atas karunia intel-

ektualitas yang telah diberikan kepadanya, dan merenungkan

bahwa dengan penyakit paling ringan yang menimpa otaknya

sudah bisa membuatnya berbicara melantur dan gila sehingga

menjadi bahan tertawaan orang. Hendaklah ia menyadari

keterbatasan akal dan ilmunya. Apa yang tidak diketahuinya

lebih banyak ketimbang yang diketahuinya.

21 Ibid. 192 -195

Page 15: ISSN: 1907-4336

Dyah Nawangsari

Volume 9. No. 1. September 2014 | 15

d. ‘Ujub dengan nasab yang terhormat. Terapi penyakit ini ada-

lah mengetahui bahwa jika ia menyalahi perbuatan dan

akhlak nenek moyangnya dan mengira bahwa ia akan disu-

sulkan dengan mereka maka sesungguhnya ia bodoh, tetapi

jika meneladani nenek moyangnya maka hendaknya menge-

tahui bahwa nenek moyangnya, tidak pernah '‘ujub bahkan

mereka senantiasa merasa khawatir terhadap dirinya. Mereka

mulia karena ketaatan, ilmu dan sifat-sifat terpuji, bukan

dengan nasab. Hendaklah ia mencari kemuliaan dengan apa

yang membuat mereka mulia. Kemuliaan hanya bisa didapat

dengan dengan taqwa bukan dengan nasab.

e. ‘Ujub dengan nasab para penguasa yang zhālim dan para pen-

dukung mereka, bukan nasab agama dan ilmu. Terapinya

adalah merenungkan tentang berbagai kehinaan mereka dan

tindakan-tindakan kezhaliman mereka terhadap para hamba

Allah, kerusakan yang mereka lakukan terhadap agama Al-

lah, dan bahwa mereka adalah orang-orang yang dimurkai

Allah.

f. ‘Ujub dengan banyaknya jumlah anak, pelayan, budak,

keluarga, kerabat, pendukung dan pengikut. Terapinya ada-

lah merenungkan tentang kelemahannya dan kelemahan

mereka,

g. ‘Ujub dengan harta. Terapinya adalah merenungkan tentang

keburukan-keburukan harta kekayaan, hak-haknya yang ban-

yak, dan para pendengkinya yang rakus. Kemudian memper-

hatikan keutamaan orang-orang fakir dan bahwa mereka akan

masuk surga terlebih dahulu pada hari kiamat.

h. ‘Ujub dengan pendapat yang salah. Terapi ‘ujub ini lebih berat

ketimbang terapi ‘ujub yang lainnya, karena pemilik pendapat

yang salah tidak mengetahui kesalahannya. Tidak akan men-

gobati penyakit, orang yang tidak tahu bahwa dirinya ber-

Page 16: ISSN: 1907-4336

Konsep tazkiyyah al-nafs (Pembersihan Ji-

wa) al-Ghazali

16 |

penyakit. Terapinya secara umum ialah hendaknya ia selalu

menuduh pendapatnya sendiri dan tidak terpedaya, kecuali

jika secara pasti didukung oleh al-Qur'an atau al-Sunnah atau

dalil aqli yang sahih yang memenuhi berbagai persyaratann-

ya.22

DAFTAR PUSTAKA

Bruinnessen, Martin Van, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia,

(Bandung: Mizan, 1992).

Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: J-ART, 2005).

Dhofier, Zamaksyari Tradisi Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,

(Jakarta: LP3ES, 1984).

Imam Abu Hamid al-Ghazali, Bidāyah al-Hidāyah, Tuntunan

Mencapai Hidayah Ilahi. terj. H.M. Fadlil Sa’id An-

Nadwi. (Surabaya: Al-Hidayah, 1418 H).

______________, Bidāyah al-Hidāyah, (Beirut: Dar Sader, 1998).

_______________, Benang Tipis Antara Halal dan Haram. terj. Ah-

mad Shiddiq. (Surabaya: Putra Pelajar, 2002).

______________, Metode Menaklukkan Jiwa Perspektif Sufistik, (Ban-

dung: Mizan, 2002).

______________, Bahagia Senantiasa. terj. Dedi Slamet Riyadi dan

Fauzi Faishal Bahreisy, ( Jakarta: PT Serambi Ilmu

Semesta, 2007).

22 Ibid, 221–226.

Page 17: ISSN: 1907-4336

Dyah Nawangsari

Volume 9. No. 1. September 2014 | 17

Hawa, Said. al-Mustakhlish Fī Tazkiyah al-Anfus, ( Jakarta: Robbani

Press, 1998).

Humaini, Konsep Tazkiyatun Nafs dalam Al-Quran dan Im-

plikasinya dalam Pengembangan Pendidikan Islam,

(Skripsi, UIN Maliki, Malang, 2008).

Jaelani, A.F. Penyucian Jiwa (Tazkiyat Al-Nafs) & Kesehatan Mental,

(Jakarta: AMZAH, 2000).

al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim, Ighātsah al-Lahfān, Manajemen Kalbu:

Melumpuhkan Senjata Syetan, terj. Ainul Haris Umar

Arifin Thayib, (Jakarta: Darul Falah, 1423 H).

Madjid, Nurkholis, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan,

(Jakarta: Paramadina, 1997).

al-Nawawī, Muhy al-Dīn Abī Zakariyā Yahyā bin Syaraf. tt. al-

Adzkār al-Muntakhabah min Kalām Sayyid al-Abrār, (Su-

rabaya: Al-Hidayah, tt).

Sholihin, Tasawuf Tematik, (Bandung: CV Pustaka Setia , 2003).

Page 18: ISSN: 1907-4336

ISSN: 1907-4336