ISSN 0854-4425 JURNAL BIOLOGI INDONESIA · Hasil tersebut di perkuat oleh hasil analisa...
Transcript of ISSN 0854-4425 JURNAL BIOLOGI INDONESIA · Hasil tersebut di perkuat oleh hasil analisa...
J. Biol. Indon. Vol 7, No.2 (2011)
Vol. 7, No. 2 Desember 2011Akreditasi: No 816/D/08/2009
BOGOR, INDONESIA
JURNALBIOLOGIINDONESIA
ISSN 0854-4425
JURNALBIOLOGIINDONESIA
ISSN 0854-4425
Deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatra, Indonesia Suyadi
195
Study of Pteridophyte Diversity and Vegetation Analysis in Jatikerep Legonlele and Nyamplung, Karimunjawa Island Central Jawa Fahreza Saputra & Labibah Qotrunnada
207
Javan Leaf Monkey (Trachypithecus auratus) Movement in a Fragmented Habitat, at Bromo Tengger Semeru National Park, East Java, Indonesia M.Hari Subarkah, Novianto Bambang Wawandono, Satyawan Pudyatmoko, Subeno , Sandy Nurvianto, & Arif Budiman
213
Impact of Invasive Ant Species in Shaping Ant Community Structure on Small Islands in Indonesia Akhmad Rizali, Abdul Rahim, Bandung Sahari, Lilik Budi Prasetyo, & Damayanti Buchori
221
Relationship Different Riparian Vegetation Cover with Stream Conditions in Cikapinis Stream, West Jawa Della Kemalasari & Devi N. Choesin
231
Affect of Canopy Stratum and Methods of Breaking Seed Dormancy on Seedling Growth of Calliandra tetragona Beth. and Acacia tamarindifolia (L.) Willd. Indriani Ekasari
243
Shoot Tip Culture of Nepenthes albomarginata Lobb ex Lindl. In Vitro Lazarus Agus Sukamto, Mujiono, Djukri, & Victoria Henuhili
251
Variasi Gen Mitokondria Cytochrome b pada Dua Jenis Burung Kakatua Putih (Cacatua alba dan C. moluccensis) Dwi Astuti
263
JURNALBIOLOGIINDONESIA
ISSN 0854-4425
J. Biol. Indon. Vol 7, No. 2 (2011)
Jurnal Biologi Indonesia diterbitkan oleh Perhimpunan Biologi Indonesia.Jurnal ini memuat hasil penelitian ataupun kajian yang berkaitan dengan masalah biologiyang diterbitkan secara berkala dua kali setahun (Juni dan Desember).
Editor Pengelola
Dr. Ibnu MaryantoDr. I Made Sudiana
Deby Arifiani, S.P., M.ScDr. Izu Andry Fijridiyanto
Dewan Editor Ilmiah
Dr. Abinawanto, F MIPA UIDr. Achmad Farajalah, FMIPA IPB
Dr. Ambariyanto, F. Perikanan dan Kelautan UNDIPDr. Aswin Usup F. Pertanian Universitas Palangkaraya
Dr. Didik Widiyatmoko, PK Tumbuhan, Kebun Raya Cibodas-LIPIDr. Dwi Nugroho Wibowo, F. Biologi UNSOED
Dr. Parikesit, F. MIPA UNPADProf. Dr. Mohd.Tajuddin Abdullah, Universiti Malaysia Sarawak Malaysia
Assoc. Prof. Monica Suleiman, Universiti Malaysia Sabah, MalaysiaDr. Srihadi Agungpriyono, PAVet(K), F. Kedokteran Hewan IPB
Y. Surjadi MSc, Pusat Penelitian ICABIOGRADDrs. Suharjono, Pusat Penelitian Biologi-LIPI
Dr. Tri Widianto, Pusat Penelitian Limnologi-LIPIDr. Witjaksono Pusat Penelitian Biologi-LIPI
Alamat RedaksiSekretariat
d/a Pusat Penelitian Biologi - LIPIJl. Ir. H. Juanda No. 18, Bogor 16002 , Telp. (021) 8765056
Fax. (021) 8765068Email : [email protected]; [email protected]
Website : http://biologi.or.id
Jurnal ini telah diakreditasi ulang dengan nilai A berdasarkan SK Kepala LIPI 816/D/2009 tanggal 28 Agustus 2009.
J. Biol. Indon. Vol 7, No.2 (2011)
KATA PENGANTAR
Jurnal Biologi Indonesia yang diterbitkan oleh PERHIMPUNAN BIOLOGIINDONESIA edisi volume 7 nomer 2 tahun 2011 memuat 17 artikel lengkap, tujuhartikel diantaranya telah dipresentasi pada seminar ATCBC di Bali 2010. Penulispada edisi ini sangat beragam yaitu dari Balai Penelitian Besar Penelitian Bioteknologidan Sumber daya Genetik Pertanian Bogor, Balai Tanaman Sayuran Lembang,Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor Kementerian Pertanian, BATAN.
Fak. MIPA-Biologi Universitas Indonesia, Fakultas Kehutanan UGMYogyakarta, Fakultas Kehutanan dan Fakultas Pertanian IPB Bogor, Sekolah TinggiHayati dan Departemen Tehnik Kimia ITB Bandung, Fakultas Pertanian Universi-tas Borneo, Tarakan, Universitas Negeri Yogyakarta, Fakultas Sain dan TehnologiUniversitas Islam Hidayatullah Jakarta, Kebun Raya Cibodas LIPI, Puslit BiologiLIPI, Puslit Oseanografi LIPI, PEKA dan Asosiasi Pelestari Curik Bali, TamanSafari Cisarua Bogor. Topik yang dibahas pada edisi ini meliputi bidang Botani,mikrobiologi, zoologi, remote sensing.
Editor
J. Biol. Indon. Vol 7, No. 2 (2011)
UCAPAN TERIMA KASIH
Jurnal Biologi Indonesia mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepadapara pakar yang telah turut sebagai penelaah dalam Volume 7, No 2, Juni 2011:
Drs. Roemantyo, Puslit Biologi-LIPIDr. Dwi Astuti, Puslit Biologi-LIPIM.Fathi Royani, MA., Puslit Biologi-LIPIDr. Iwan Saskiawan, Puslit Biologi-LIPIDrs. Ary Wahyono, Puslit Kemasyarakatan-LIPIMuhamad Irham MSc., Puslit Biologi-LIPIDr. Enung Fuad, Puslit Bioteknologi-LIPIDrs. Boeadi, Puslit Biologi LIPI (Purna Bakti)Dr. Edi Mirmanto, Puslit Biologi-LIPI
Sebagian dari edisi ini dibiayai oleh DIPA Puslit Biologi-LIPI 2011
J. Biol. Indon. Vol 7, No.2 (2011)
DAFTAR ISI
Deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatra, Indonesia Suyadi
195
Study of Pteridophyte Diversity and Vegetation Analysis in Jatikerep Legonlele and Nyamplung, Karimunjawa Island Central Jawa Fahreza Saputra & Labibah Qotrunnada
207
Javan Leaf Monkey (Trachypithecus auratus) Movement in a Fragmented Habitat, at Bromo Tengger Semeru National Park, East Java, Indonesia M.Hari Subarkah, Novianto Bambang Wawandono, Satyawan Pudyatmoko, Subeno , Sandy Nurvianto, & Arif Budiman
213
Impact of Invasive Ant Species in Shaping Ant Community Structure on Small Islands in Indonesia Akhmad Rizali, Abdul Rahim, Bandung Sahari, Lilik Budi Prasetyo, & Damayanti Buchori
221
Relationship Different Riparian Vegetation Cover with Stream Conditions in Cikapinis Stream, West Jawa Della Kemalasari & Devi N. Choesin
231
Affect of Canopy Stratum and Methods of Breaking Seed Dormancy on Seedling Growth of Calliandra tetragona Beth. and Acacia tamarindifolia (L.) Willd. Indriani Ekasari
243
Shoot Tip Culture of Nepenthes albomarginata Lobb ex Lindl. In Vitro Lazarus Agus Sukamto, Mujiono, Djukri, & Victoria Henuhili
251
Variasi Gen Mitokondria Cytochrome b pada Dua Jenis Burung Kakatua Putih (Cacatua alba dan C. moluccensis) Dwi Astuti
263
Kajian Pendahuluan: Perpindahan Gen dari Tanaman Kentang Transgenik Katahdin RB ke Tanaman Kentang Non Transgenik A. Dinar Ambarwati, M. Herman, Agus Purwito , Eri Sofiari,& Hajrial
Aswidinoor
277
Virus Influenza Novel H1N1 Babi di Indonesia NLP Indi Dharmayanti, Atik Ratnawati, & Dyah Ayu Hewajuli
289
Karakterisasi Produk Biosolubilisasi Lignit oleh Kapang Indigenus dari Tanah Pertambangan Batubara di Sumatera Selatan Irawan Sugoro, Sandra Hermanto,D. Sasongko,D. Indriani & P. Aditiawati
299
J. Biol. Indon. Vol 7, No. 2 (2011)
Potensi Virus Avian Influenza H5NI Isolat A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 Sebagai Vaksin R. Indriani, NLP I Dharmayanti, R.M.A Adjid, & Darminto
Variasi dan kekerabatan genetik pada dua jenis baru belimbing (Averrhoa leucopetala Rugayah et Sunarti sp nov dan A. dolichorpa Rugayah et Sunarti sp nov., Oxalidaceae) berdasarkan profil Random Amplified Polymorphic DNA Kusumadewi Sri Yulita
Pengaruh Dinamika Faktor Lingkungan Terhadap Sebaran Horisontal dan Vertikal Katak
Hellen Kurniati
Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912 di Bali Bagian Barat Mas Noerdjito, Roemantyo &Tony Sumampau
Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Semusim Habitat Curik Bali (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) di Kawasan Labuan Lalang, Taman Nasional Bali Barat Roemantyo
Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan Manusia dengan Tumbuhan dan Lingkungannya Eko Baroto Walujo
195
Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 195-206 (2011)
Deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatra, Indonesia
SuyadiIndonesian Institute of Sciences (LIPI), M.Sc in Information Technology for Natural Re-
sources Management, Bogor Agricultural University (IPB)
ABSTRAK
Deforestasi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Sumatra, Indonesia. Studi inimenerangkan deforestasi dan penyebabnya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)yang merupakan habitat bagi berbagai satwa liar yang terancam punah. Penelitian inimenghubungkan metode penginderaan jauh dengan metode wawancara untuk memperkirakanlaju deforestasi dan mengetahui penyebab deforestasi. Hasil wawancara menunjukan bahwapenggundulan hutan di TNBBS di mulai sejak tahun 1960an, lebih awal dari perkiraan sebelumnya.Hasil tersebut di perkuat oleh hasil analisa citra-satelit yang menunjukan bahwa sebelum 1972tutupan hutan seluas 46.100 ha atau sekitar 13% dari luas hutan di TNBBS telah hilang. Rata-rata laju deforestasi sejak 1972 hingga 2006 adalah 0,64% per tahun. Hanya sekitar 67.225 hahutan yang tersisa pada 2006 dari 310.670 ha hutan pada tahun 1972, atau sekitar 22% tutupanhutan telah hilang sejak 1972 hingga 2006. Laju deforestasi di TNBBS paling tinggi di hutanperbukitan (9.01 km2/tahun), kemudian hutan dataran rendah (7.55 km2/tahun), and hutanpegunungan (3.43 km2/tahun). Deforestasi tertinggi terjadi pada dekade pertama (1972-1985),setiap tahunnya seluas 28 km2 hutan di babat habis, kemudian pada dekade berikutnya (1986-1996) deforestasi hanya 15 km2/tahun, namun pada dekade terakhir deforestasi meningkat kembali(21 km2/tahun). Pelaku yang secara fisik membabat hutan di TNBBS adalah petani yang tinggaldi dalam dan di sekitar hutan. Meskipun demikian, yang menjadi penyebab terpenting deforestasidi TNBBS adalah penyebab tidak langsung seperti illegal logging, Hak Pengusahaan Hutan,tingginya harga kopi, lemahnya penegakan hukum, dan situasi sosial-ekonomi di tingkat lokaldan nasional. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor external yang mendorong petani untukmembuka hutan di TNBBS atau memperluas lahan garapannya.
Kata kunci: Deforestasi, Penyebab deforestasi, Survei wawancara, Penginderaan jauh,Taman Nasional Bukit Barisan
INTRODUCTION
Bukit Barisan Selatan National Park(BBSNP) is the third-largest protectedarea on the Indonesian island of Sumatra,and tropical deforestation constitutes oneof the greatest threats to its conserva-tion. The United Nations FrameworkConvention on Climate Change/
UNFCCC (2007) declared that the inter-national community faces the urgent taskof reducing tropical deforestation as oneof a suite of measures to reduce the im-pacts of global climate change and tomaintain biological diversity. One of manyresponses of conservation biologists tothis threat has been to develop an arrayof tools for measuring and monitoring
196
Suyadi
deforestation, many of which use re-motely sensed data collected by satellites(Saatchi et al. 2001). Satellite-baseddatasets can provide fine-scale measuresof deforestation rates; however, manyaspects of deforestation processes thatare related to social phenomena (includ-ing causes of deforestation) cannot bemeasured using satellite sensors (Turneret al. 2001). Therefore, approaches thatlink administrative and remote-sensingdata are important for understandingtrends in and causes of deforestation.Most studies linking remote-sensing ob-servations and administrative data havebeen undertaken at the scale of the ad-ministrative units (Wood & Skole 1998).However, Mertens et al. (2000) do inte-grate remote-sensing data and householdsurveys to understand the impact of mac-roeconomic change on deforestation pro-cesses in South Cameron.
BBSNP contains some of the larg-est tracts of tropical forest remaining onSumatra and is a good example of thedramatic loss of tropical forest in Indo-nesia. Although BBSNP was declared aWorld Heritage site by UNESCO (deci-sion 28COM 14B.5), in the past decadeBBSNP's forest cover has declined dra-matically. Since the early 1970s, much ofthe forest cover in BBSNP has beencleared, but there are conflicting esti-mates of the scale and rates of loss. Forexample, Kinnaird et al. (2003) found thatbetween 1985 and 1999 the park lostmore than 661 km2 of forest (28%). Onother hand, Gaveau et al. (2007) showedthat the average rate of deforestation from1972 to 2002 in an area of 1.17 million hain southwest Sumatra that includes
BBSNP was 1.69% per year.In addition, BBSNP is also a perfect
example of the complex causes of de-forestation. BBSNP has a long border ofapproximately 700 km, and the park isthere are villages, agriculture, and plan-tation forestry adjacent to the park(Kinnaird et. al. 2003). The high rates ofinteraction between the people and theforest in the area that borders BBSNPmay induce humans to enter the park toclear more forest. Consequently, wildlifesuch as tigers (Panthera tigrissumatrae) and elephants (Elephassumatranus) also travel outside the parkborders and damage crops and livestock.In addition, conflicts over land ownershipbetween Lampung-based local groupsand the government, as well as conflictsamong governmental institutions, havepromoted further deforestation (Kusworo2000; Verbist et al. 2004).
The dramatic loss of forest cover inBBSNP is attributed to variety of factorsincluding illegal logging, timber conces-sions (denoted HPHs in Indonesia), con-version to agriculture (by opportunisticsettlers and those arriving throughIndonesia's official transmigration pro-gram), development of estate crops, andforest fires (Sunderlin et al. 2001;Suyanto et al. 2000; Holmes 2002). How-ever, information about the causes ofdeforestation in BBSNP is lacking.Gaveau et al. (2007) reports that coffeeprices, law enforcement, and rural pov-erty are the primary causes of defores-tation in southwest Sumatra (includingBBSNP). Suyadi & Gaveau (2007) showthat in a small area (Pemerihan) withinBBSNP, the cause of deforestation is il-
197
Deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park
legal logging.This study integrates a time series
of satellite images and interview data tomeasure deforestation rates and to de-termine the root causes of deforestationin BBSNP. The detailed objectives areto provide an estimate of deforestationrates and maps of deforestation patternsand to unravel the causes of deforesta-tion in BBSNP. This study documents theextent of deforestation in the park from1972 to 2006 and examines the causesof deforestation using interview data.This information is crucial for future con-servation because BBSNP's forest ishome to some of the world's most en-dangered large mammals and is withinthe major watershed for southwesternSumatra.
MATERIALS AND METHODS
Bukit Barisan Selatan National Park(BBSNP) is the third-largest protectedarea (356,800 ha) on the Indonesian is-
land of Sumatra (Figure 1). Located insouthwestern portion of the island (4o 31'to 5o 57' S and 103o 34' to 104o 43' E), itforms part of the provinces of Lampungand Bengkulu. The park extends 150 kmalong the Bukit Barisan mountain rangeand is composed of diverse topographythat ranges from the coastline in the southto forested mountains in the north. Rain-fall is seasonal, ranging from 3,000 mmto 4,000 mm annually, and temperaturesfluctuate between 22oC and 35oC. Thepark is narrow in shape, with a perimetergreater than 700 km in length, and is bor-dered by villages, agriculture, and plan-tations (Kinnaird et al. 2003). Encroach-ments for agriculture and illegal loggingare rife in BBSNP. Forest loss has be-come the greatest threat to the conser-vation of Bukit Barisan Selatan NationalPark.
This study uses LANDSAT imagesacquired in the years 1972, 1976, 1978,1982, 1985, 1989, 1994, 1997, 2000, 2002,2004, and 2006 to detect forest-cover
Figure. 1. Study area in southern Sumatra showing Bukit Barisan Selatan National Park(BBSNP) and forest type based on elevation.
198
Suyadi
change across Bukit Barisan SelatanNational Park. All images had cloud coverof less than 2.0% and the LANDSATimages from 2006 are Scan Line Cor-rector (SLC) off which the gaps havebeen filled by Wildlife Conservation So-ciety (WCS). The images were geo-ref-erenced using 2006 scenes that wereverified with Ground Control Points(GCPs) collected in the field by staff ofWCS using Global Positioning Systems(GPS). All data were projected to theUniversal Transverse Mercator (UTM)projection, Zone 48 South.
Forest and non-forest land-coverclasses were classified using a supervisedMaximum Likelihood Classification(MLC). I edited the classification resultsby manual on-screen digitization (particu-larly in areas where the MLC algorithmoften produces misclassification errors).For land-cover change analyses, I usedpost-classification comparisons and time-series analyses (via transition matrixes),with forest cover at each point in timeused as the base forest cover for the nextpoint in time. This method detected thearea of deforestation and any fluctuationsin deforestation rates over time. Analy-ses were conducted via spatial analysesusing a GIS software (ArcView 9.2) withgeo-processing extensions. In this paper,forest refers to non-modified forest ar-eas of old-growth vegetation dominatedby closed-canopy tree cover (50%). De-forestation or forest loss is defined ascomplete removal of forest cover overan area equivalent to 1 ha. Non-forestcomprises agricultural areas, grasslands,village enclaves, and unknown, non-for-ested vegetation types.
The study used a 30-m resolutionASTER Digital Elevation Model (DEM)to categories forest types by elevation.Three elevation-based categories wereselected using the classification systemof the Indonesian Ministry of Forestryand Kinnarid et al. (2003). The classesare lowland forest (0-500 m), hill forest(501-1000 m), and submontane forest(>1001 m). The ASTER DEM was as-sembled at the BBSNP office. TheBBSNP boundary (at a scale of 1:25,000)was obtained from the BBSNP office andwas corrected in the field using GPS tech-nology by a team from the BBSNP Of-fice, WCS, and World Wildlife Fund(WWF). Logging trails, road networks,and villages were assembled from WCSdata. Locations of illegal logging weremanually interpreted through on-screendigitization and were verified in the fieldwith a GPS.
This research used data from inter-views conducted in 2005-2006 in 1384households within selected villages in andaround the Park. Interviews were con-ducted using Indonesian and local lan-guages (Lampungnese and Javanese).Before interviewing in each village, theWCS team and I conducted group dis-cussions (focus groups) to identify thespecific characteristics of the local soci-ety. The respondents were farmers whoown cultivated land in or within 5 km ofthe park boundary and villagers who la-bored on these farms. In order to avoidreticence, (especially in areas where con-flicts with park management are fre-quent) the interviews began with non-sensitive questions about conservation ingeneral, progressively focused more spe-
199
Deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park
cifically on deforestation, and finally ad-dressed issues concerning the respon-dents' own farmland in Bukit BarisanSelatan National Park.
Semi-open interview techniqueswere used in this research with a stan-dardized questionnaire that addressed thefollowing: 1) personal details (includinghousehold demographics); 2) farmingpractices; 3) respondent origins (i.e., mi-grants or indigenous residents); 4) landownership; 5) respondent expectationsabout increased land scarcity; and 6) re-spondent attitudes towards the surround-ing forest. The questions included whenrespondents first cleared forest cover forfarmland, for what reasons farmerscleared forest cover, and the area of for-est that was cleared. These questionsserved to make the data more compa-rable to forest-cover data from time-se-ries of satellite images
I assembled time-series statistics(1972 to 2006) on annual international (USdollar) and local (Indonesian Rupiah, Rp)coffee prices from the International Cof-fee Organization's (ICO) indicator pricereports and statistics on human popula-tion from the provincial government. Thelocal coffee price time-series data weredeflated by the Consumer Price Index(CPI, 2006=100) for southern Sumatrato account for the increase in local con-sumer prices and agricultural input pricesover time.
The study also used local and na-tional historic records about governmentpolicies, socio-economic issues, law en-forcement (including evictions of peoplefrom BBSNP), timber concessions (le-gal logging), and illegal logging. All of
these data were collected from theBBSNP office, the Directorate Generalof Forest Protection and Nature Conser-vation (PHKA), and provincial govern-ment.
RESULTS
The Patterns of Deforestation inBukit Barisan Selatan National Park(BBSNP)
The household interview surveysshow that forest clearing in Bukit BarisanSelatan National Park (BBSNP) beganin the 1960s. The image analyses justifythis finding and show that before 1972,approximately 46,100 ha of forest coverin BBSNP was lost representing a 13%loss of the total area of BBSNP (356,800ha). The image analyses also indicate thatthe majority (80%) of forest conversionresulted from agricultural development.The interview data indicate that the firstforest clearing in BBSNP occurred inSidorejo (Kaur, Bengkulu) in 1961, fiveyears after transmigrants from Java cameto a village (Desa Trans Kulik) nearBBSNP (±2 km from the park boundary).Subsequently, deforestation began inPemerihan (West Lampung) in 1966 andin Way Nipah (Tanggamus) and Suoh(West Lampung) in 1970.
From 1972 to 2006, deforestation inthe BBSNP averaged 20 km2 (0.64%)per year. In total, 67,225 ha of the origi-nal 310,670 ha of forest that was presentin 1972 were lost, representing a 22%loss from 1972 to 2006. The trends inforest loss from 1972 to 2006 are plottedin Figure 2 and mapped in Figure 3. Fig-ure 2 showed that two peaks in forest
200
Suyadi
loss occurred in 1978-1982 and 1997-2000. The average rate of deforestationis alarmingly high and results in decliningforest cover. In contrast, the average rateof reforestation is only 1.13 km2 per year(representing 0.94% per year).
Forest loss in BBSNP began at thebuffer of the park and has progressedtowards the park interior. The averagerate of deforestation in the 10-km bufferis 1.83% per year, and the rate is higherinside the park. Deforestation rates inBBSNP vary with elevation. Deforesta-tion rates in lowland forests (0-500 m),which represent 43% of the area ofBBSNP, were 7.55 km2/year. In hill for-ests (501-1000 m), which represent 38%of the park area, they were 9.01 km2/year, and in montane forests (>1001 m)they were 3.43 km2/year. Figure 4 showsthat (as was the case for rates of totalforest loss in BBSNP) peak forest lossin all three forest types occurred during1978-1982 and 1997-2000. In the recentyears (2004-2006), the rate of forest lossin lowland forests has decreased gradu-ally, but forest loss in hill forests and mon-tane forests has tended to increase. De-
Figure 2. Forest loss in Bukit Barisan Selatan National Park, 1972-2006.
forestation rates also vary with slope. Onrelatively flat slopes (0-20°), forest lossaveraged 16.5 km2/year but the ratedropped to 0.8 km2/year on the steepestslopes (>40°).
Based on the temporal patterns ofdeforestation, the study period was di-vided into three decades of deforestation.The highest deforestation rate in BBSNP(about 28 km2 per year) occurred in thefirst decade (1972-1985). In the seconddecade (1986-1996), the deforestationrate decreased to 15 km2 per year. In themost recent decade (1997-2006), the de-forestation rate in the park increased andapproximately 21 km2 of forest coverwere lost per year (Figure 5).
The Causes of Deforestation in BukitBarisan Selatan National Park
The agents who play the most im-portant physical roles in forest-coverchange in BBSNP are the farmers wholive in and around the park. These agentsoperate in separate locations and havelittle contact with one another; their fewinteractions are not sufficient to drivefarmers to clear forest. Farmers them-
201
Deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park
Figure 3. The spatial distribution of forest loss in Bukit Barisan Selatan National Park, 1972-2006
Figure 4. Forest loss in the three types of forest in Bukit Barisan Selatan National Park, 1972-
2004
0
5
10
15
20
25
30
1972-1985 1986-1996 1997-2006
Decades (Years)
Fore
st lo
ss (k
m²/y
ear)
Figure 5. The three decades of deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park
selves are not the primary cause of de-forestation; instead, there are externalfactors that drive farmers to clear forestcover in BBSNP. The external factorsare varied, and differ according to thelocation. The interview surveys showedthat transmigration was one of the exter-nal factors that induced farmers to clear
more forest in Sidorejo, BBSNP in 1961.This factor resulted in relatively moreopen access to the forest. The other ex-ternal factors that spurred farmers werethe political crisis in 1965 and the actionsof timber concession companies(Perusahaan HPH) in the 1970s. Linearregression analyses indicate that logging
202
Suyadi
trails that were built by concession com-panies are significantly correlated withforest loss (r2= 0.771, p = 0. 085). Theseexternal factors drove farmer to clearmore forest cover in the areas ofPemerihan, Way Nipah, and Suoh. Im-age analyses indicate that deforestationrates caused by timber concessions inthese areas were higher than deforesta-tion rates caused by transmigration (inSidorejo for example).
Image analyses also show that de-forestation rates increased dramaticallyin 1978-1982 and 1997-2000 (54.28 km2
and 44.48 km2 per year, respectively).The regression analyses indicate that thecauses of deforestation (the external fac-tor) in these years were high coffeeprices in 1978 (r2 = 0.484, p = 0.058) andhigh coffee prices again in 1997 (r2 =0.494, p = 0.061). A linear regressionmodel (Figure 6) indicates that local cof-fee prices closely predicted deforestationrates inside BBSNP (P = 0.005, r2 = 0.47).Thus, higher local prices for coffee in-duced faster deforestation (b = 0.029, P= 0.028).
DISCUSSION
This research shows that defores-tation in Bukit Barisan Selatan NationalPark has occurred since the 1960s. How-ever, Kinnaird et al. (2003) report thatdeforestation in BBSNP began in 1985,and Gaveau et al. (2007) show that de-forestation in BBSNP began in 1972.These are two essential sides in the on-going debate over the rate of deforesta-tion in BBSNP. On the one hand,Kinnaird et al. (2003) estimate that thedeforestation rate in BBSNP from 1985to 1999 was 2.0% per year; they pre-dicted that in 2010 about 70% of theBBSNP would be agricultural lands orvillage enclaves. On the other hand,Gaveau et al. (2007) finds that the aver-age rate of deforestation in BBSNP from1972 to 2002 was 0.63% per year. Thecurrent study shows that the average rateof deforestation from 1997 to 2006 was0.64% per year and that 69% of the areaof BBSNP is currently forest and 31% isagricultural lands.
Figure 6. Results of the linear regression (solid line) between forest loss and local coffeeprices.
203
Deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park
Suyadi & Gaveau (1997) found thatthe external cause that drives farmers toclear forest in Pemerihan, BBSNP is il-legal logging. They explain that illegal log-ging causes limited damage to the forest,but that this illegal activity prompted farm-ers to go inside the park and to clear moreforest for agricultural land.
The causes of deforestation inBBSNP are complex and vary with placeand time. Thus, this study does not onlyfocus on a single set of deforestation driv-ers, but recognizes several forms of de-forestation causes that each play a sig-nificant role in the process of forest con-version. The three levels of deforesta-tion causes suggested by Sunderlin &Resosudarmo (1996) are agents, imme-diate causes, and underlying causes. InBBSNP, the agents that physically clearforest are farmers. The immediate causesof deforestation (which trigger agents toclear more forest cover) are timber con-cessions, illegal logging, and high coffeeprices. Finally, the underlying causes ofdeforestation (which directly influence thebehavior of the immediate causes) arelack of law enforcement and local andnational socio-economic conditions. Themost important causes of deforestationin BBSNP are the immediate and theunderlying causes because these causestrigger more clearing of forest cover byfarmers.
This study applies the three-levelsexplanation suggested by Sunderlin &Resosudarmo (1996) to clarify the causesof deforestation in the three decades dur-ing which deforestation occurred (Figure5). The immediate causes of increasingdeforestation in the first decade (1972-
1985) were timber concessions (r2 =0.771) and high coffee prices (r2 =0.484); lack of law enforcement was anunderlying cause. In areas where this se-quence took place, farmers (the agents)merely filled a "vacuum" created by theloggers. In the second decade (1986-1996), deforestation in BBSNP decreaseddue to strong law enforcement after thethird World Parks Congress (WPC) heldin Bali in 1982. During this time, hundredsof families were evicted from thePemerihan area in BBSNP (including myfamily and myself). In the most recentdecade (1997-2006), deforestation ratesin the park increased because of the highcoffee prices that occurred as an effectof the Asian economic crisis of 1997-1998and because of illegal logging that was aresult of lack of law enforcement afterthe fall of President Suharto in 1998. Bothof these factors had had a direct influ-ence on the behavior of the illegal log-gers and farmers. Figure 7 illustrates thepatterns of forest loss and the causes ofincrease or decrease in deforestationrates.
Management ImplicationsThis study and two previous studies
(Kinnaird et. al. 2003) showed that de-forestation is one of the greatest threatsto the conservation of BBSNP. Loss offorest has proven to be one of the mostdifficult and complex problems facingIndonesia's conservation agencies. If weare to conserve the forests of BBSNP,we must take immediate and dramaticactions and a holistic approach. Forestmanagement should focus on strategicefforts such as conserving the remaining
204
Suyadi
forests as well as forest restoration, lawenforcement, increasing the participationof local people, increasing financial sup-port, and increasing the incomes of farm-ers around the park.
Forest management must concen-trate on conserving the remaining forestwithin the park. Managers may also needto consider restoration of lost or heavilydisturbed forest and of the forest edge.The strong law enforcement present inthe early 1980s in BBSNP greatly re-duced deforestation especially in thesouthern portion of BBSNP. Therefore,law enforcement is necessary to safe-guard the integrity of BBSNP from farm-ers who would otherwise clear the for-est. Keane et al. (2008) suggested thatlaw enforcement interventions are alsonecessary to protect endangered species.Law enforcement is also important forreducing illegal logging activities (Suyadi& Gaveau 2007).
This study found that in recent years,the deforestation rate in hill and montaneforests has tended to increase. The ma-jority of hill and montane forests locatedin northern BBSNP that contain "active"encroachments have experienced little
Figure 7. The trends in and causes of increase or decrease in deforestation over threedecades.
regrowth. I predict that deforestation inthe northern section of the park be willhigher than deforestation in the southernsection. Gaveau et al. (2007) classifiedthe northern section of the park into alow law-enforcement zone in which ac-cessibility for rangers is difficult andranger patrols are lacking. On other hand,accessibility for farmers is easy (near).Therefore, the study suggests that rangerpatrols should also be focused in thenorthern section of the park. The parkmanager should reactivate the patrol of-fices or may also consider building newpatrol offices in the northern section ofthe park. This is important for creatingbetter accessibility of northern section forrangers.
CONCLUSIONS
Deforestation in Bukit BarisanSelatan National Park began in the 1960s,which is earlier than previous estimations.Forest loss between 1972 and 2006 pro-ceeded at an average rate of 20 km2 peryear or 0.64% per year. More than 22%of the forest in Bukit Barisan SelatanNational Park was lost from 1972 to
205
Deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park
2006. This indicates that deforestation isone of the greatest threats to the conser-vation of BBSNP. Deforestation has oc-curred in lowland forests, higher-eleva-tion hill forests and montane forests, butin recent years, deforestation in hill andmontane forests has tended to increasegradually. This study predicts that thedeforestation rate in the northern sectionof the park (which contains a large areaof hill forest and montane forest) will behigher than deforestation in the southernsection, which is dominated by lowlandforest.
The agents that have the main physi-cal role in forest clearing in BBSNP arefarmers that live in and around the park.However, the most important of thecauses of deforestation are immediatecauses such as timber concessions, ille-gal logging, and high coffee prices; thesecauses induce farmers to cleared moreforest. Finally, lack of law enforcementand socio-economic conditions are theimportant underlying causes that drive theimmediate causes.
ACKNOWLEDGMENTS
This study was supported by theRussell E. Train Education for NatureProgram of the World Wildlife Fund, theRoyal Geographical Society (with IBG)with a Royal Dutch Shell InternationalLeadership and Capacity BuildingProgramme Bursary, and the WildlifeConservation Society. I would like to ex-press gratitude to Mr. Russel E. Train, toDr. Marion Adeney for review, and com-ments, to Dr. Margaret F. Kinnaird andDr. David Gaveau. Special thanks are
given to the interview teams from Wild-life Conservation Society, Center for In-ternational Forestry Research, and LSMUlayat.
REFERENCES
Gaveau, DLA., Wandono, & H., F.Setiabudi. 2007. Three decades ofdeforestation in southwest Sumatra:have protected areas halted forestloss and logging, and promoted re-growth?. Biol.Cons 134: 495-504.
Holmes, DA. 2002. The predicted extinc-tion of lowland forests in Indone-sia. Pages 7-13 In E. Wickrama-nayake, E. Dinerstein, C. J.Loucks, D. M. Olson, J. Morrison,J. Lamoreux, M. McKnight, & P.Hedao, editors. Terrestrial ecore-gions of the Indo-Pacific: a con-servation assessment. IslandPress, Washington, D.C.
Keane, A., JPG. Jones, E. Jones, & G.,Milner-Gulland. 2008. The sleepingpoliceman: understanding issues ofenforcement and compliance inconservation. Animal Cons 11: 75-82.
Kinnaird, MF., EW. Sanderson, TG.O'Brien, HT. Wibisono, & G.Woolmer. 2003. Deforestationtrends in a tropical landscape andimplications for endangered largemammals. Cons. Biol. 17: 245-257.
Kusworo, A. 2000. Perambah hutan ataukambing hitam? Potret sengketakawasan hutan di Lampung.Pustaka Latin, Bogor.
Mertens, B., WD. Sunderlin, & O.Ndoye. 2000. Impact of macroeco-
206
Suyadi
nomic change on deforestation inSouth Camerron: Integration ofhousehold survey and remotely-sensed data. World Development28: 983-999.
Saatchi, S., D. Agosti, K. Alger, J. Delabie,& J. Musinsky. 2001. Examiningfragmentation and loss of primaryforest in the southern Bahian At-lantic Forest of Brazil with radarimagery. Cons. Biol. 15: 867-875.
Sunderlin, WD., A. Angelsen, DP.Resosudarmo, &A. Dermawan.2001. Economic crisis, small farmerwell-being and forest cover changein Indonesia. World Development29: 767-782.
Sunderlin, WD. & IAP. Resosudarmo.1996. Rates and causes of defor-estation in Indonesia: towards aresolution of the ambiguities. Oc-casional Paper No.9. Center forInternational Forestry Research,Bogor.
Suyadi, & DLA. Gaveau, 2007. AkarPenyebab Deforestati di SekitarSungai Pemerihan, Taman NasionalBukit Barisan Selatan, LampungBarat. Jurnal Berita Biologi 8(4):279-290
Suyanto, S., RA. Dennis, I. Kurniawan,F. Stolle, P. Maus,& G. Applegate.2000. The underlying causes and
impact of fires in South-east Asia.Site 1. Sekincau, Lampung Prov-ince, Indonesia. CIFOR, ICRAFand USFS, Bogor, Indonesia.
The United Nations Framework Conven-tion on Climate Change (UNFCCC). 2007. Decision2/CP.13: Re-ducing emissions from deforesta-tion in developing countries: ap-proaches to stimulate actions. In:United Nations Climate ChangeConference. Bali, Indonesia.
Turner, W., EJ. Sterling, & AC. Janetos.2001. Contributions of remote sens-ing to biodiversity conservation: aNASA approach. Cons. Biol. 15:832-834.
Verbist, B., & G. Pasya. 2004. Perspektifsejarah status kawasan hutan,konflik dan negosiasi diSumberjaya, Lampung Barat-Propinsi Lampung. Agrivita 26: 20-28.
Wood, CH., & D. Skole. 1998. Linkingsatellite, census and survey data tostudy deforestation in the BrazilianAmazon. Pages 70-93 In D.Liverman, E. F. Moran, R. R.Rinduss, & P. C. Stern, editors.People and pixels: linking remotesensing and social science. Na-tional Academy Press, Washington,DC.
Received: Juli 2010Accepted: April 2011
207
Jurnal Biologi Indonesia 7 (2):207-212 (2011)
Study of Pteridophyte Diversity and Vegetation Analysis in JatikerepLegonlele and Nyamplung, Karimunjawa Island Central Jawa
Fahreza Saputra & Labibah Qotrunnada
Department of Biology, University of IndonesiaE-mail: [email protected]
ABSTRAK
Kajian Diversitas Pteridofit dan Analisis Vegetasi di Jatikerep Legonlele dan Nyamplung,Pulau Karimunjawa, Jawa Tengah. Kajian Pteridofit dan analisis vegetasi dilakukan di tigalokasi di Kep.Karimunjawa Jawa Tengah. Tujuan dari kajian ini untuk mendata Pterydofityang dapat tumbuh di kawasan dataran rendah dengan kondisi tanah berpasir dan rendahjumlah curah hujannya. Tiga belas jenis Pteridofit dapat ditemukan di kawasan tersebut denganjenis yang mendominasi adalah Lygodium flexuosurydom diikuti oleh Pteris vittata, Lygodiummicrophyllum, Lindsaea ensifolia, Pteris ensiformis, Nephrolepis brownii, Chelianthestenuifolia, Nephrolepis hirsutula, Cyclosorus extensus, Blechnum finlaysonianum, Taenitisblechnoides, Abacopteris triphylla, dan Pteris semipinnata . Indeks diversitas dikawasantersebut sanga rendah (Shannon-Wiener (H’) = 1.5462). Unsur tanah dan pH tidak banyakmempengaruhi signifikan diversitas Pterydofit.
Kata kunci: Karimunjawa; Pteridofit diversitas; dataran rendah.
INTRODUCTION
Pteridophyte is a seedless vascularplant which can be distributed in high andlow topographic positions (Sastrapradja1979). Several studies of tropical rainforest have documented that thedistribution of plant group is correlatedwith topographic position (Tuomisto &Poulsen 2000). The distribution ofpteridophyte which is rooted in the hillytopographic area, the highest number ofspecies and species diversity were foundin the valley or lower parts of the slopesand changed with bryophytes in thehigher slopes (Djalil 2000). When thetopographic position was regularly flat,
the distribution and species diversity werefound in the highest parts of the slopes(Tuomisto & Poulsen 2000).
Several studies of pteridophytediversity were conducted at hightopographic position in Gunung GedePangrango National Park. The result wasthat pteridophyte diversity is affected bytopographic position. Aspleniumcaudatum, Polysticum proliticans,Athyrium montanum, Dryopterishirtipes, and Pteris biuarita were foundmore abundance in the high slope (Djalil,2000). In contrast, several studiesresulted that some genera of Lygodiummostly found in the low topographicposition. Lygodium can grow in the
208
Saputra & Qotrunnada
ground which is lies 1.500 m asl, lesscanopy, and soil pH is mostly low (Siregaret al. 2004).
Study of pteridophyte diversity needsto be conducted in order to examine thevalue of the pteridophyte in the ecologicalsystem and also ethnobotany (Sastra-pradja 1979; Siregar dkk. 2004 ). Studyof pteridophyte diversity has never beenconducted in lowland rain forest ofKarimunjawa National Park. This studyneeds to be conducted to examine thepteridophyte diversity in lowland rainforest, dry soil, and low amount ofrainfall. We also recorded several abioticfactors to examine the correlationbetween pteridophyte diversity and itsenvironment.
MATERIALS AND METHODS
Field work was conducted at threesites of Karimunjawa Island: Jatikerep (5°52’3"S, 110°25’56" E), Legonlele(5°51’37" S, 110°26’46" E), and Nyam-plungan (5°50’8"S, 110°25’46"E). Thereare no soil differences in Jatikerep,Legonlele and Nyamplungan. Karimun-jawa soil texture is lithosol. Thetopographic character is a range of hillswith quartz sand, mica sand, and silt sandas main soil composition. KarimunjawaIsland lies in 0 – 506 m above sea level.Annual average precipitation exceeds3000 mm and average temperatureranges 30 — 31°C.
All pteridophytes which are rootedin the ground were recorded followingthe plot method. Thirty plots of 10 m x10 m were separated randomly inJatikerep, Legonlele and Nyamplungan.
The coverage was also measured. Inorder to know the effect of environmentcondition to the pteridophyte diversity,some abiotic factors were also recordedin each plot. The soil moisture wasrecorded using soil meter and soil pH wasrecorded using pH meter.
Number of relative frequency,number of species density, and numberof dominance were calculated in orderto measure indices of important value.Species diversity was measured withShannon-Wiener diversity indices.
In order to know the correlationbetween abiotic factor and pteridophytediversity, the diversity in each plot wasmeasured. The diversity in each plot wasalso correlated with pH and soil moistureusing correlation analysis.
RESULTS
The total number of species ofterrestrial pteridophyte recorded within30 plots was 13 species. Blechnumorientale, Dicranopteris linearis,Lyndsaea ensifolia, and Stenochlaenapalustris were also found outside theplots. The total number of pteridophyteindividuals found within one plot variedbetween 3 and 40 individuals per plot;the mean is 18 individuals per plot.
The most abundance pteridophytewas Lygodium flexuosum which wasrepresented by 396 individuals in 30 plotswith indices of important value 1.331.Then it is followed by Pteris vittata,Lygodium microphyllum, Lindsaeaensifolia, Pteris ensiformis, Nephro-lepis brownii, Chelianthes tenuifolia,Nephrolepis hirsutula, Cyclosorus
209
Study of Ptridophyte Diversity and Vegetation Analysis
extensus, Blechnum finlaysonianum,Taenitis blechnoides, Abacopteristriphylla, and Pteris semipinnatarespectively (Table 1). Based on thenumerical analysis, the diversity ofpteridophyte in Karimunjawa is low withindices of Shannon – Wiener = 1.54.
Pteridophyte diversity wascorrelated with soil conditions. Thediversity was not greater at sites with highpH condition (Figure 1) and was greaterat sites with high moisture (Figure. 2).Although soil conditions have correlatedwith pteridophyte diversity, the
Figure 1. The correlation between pteridophyte diversity (H') and soil pH was negative.Higher soil pH has a tendency to decrease pteridophyte diverstity. But, the correlationis not significant.
Species Den Dom F Rden Rdom FR IIVAbacopteris tryphilla 0.0003 0.00023 0.0333 0.0019 0.0022 0.0175 0.0217Blechnum finlaysonianum 0.0007 0.00178 0.067 0.0039 0.0169 0.0358 0.0558Cyclosorus 0.0053 0.0018 0.033 0.0313 0.0167 0.0175 0.0654Lygodium flexsuosum 0.0973 0.0398 0.733 0.569 0.3762 0.3859 1.3313Lindsaea microphylum 0.0133 0.0064 0.3 0.0779 0.0613 0.1578 0.2971Lygodium microphylum 0.0047 0.0247 0.167 0.0273 0.2333 0.0877 0.3483Nephrolepis brownii 0.011 0.004 0.067 0.0643 0.0379 0.0351 0.1372Nephrolepis hirsitula 0.0036 0.00135 0.067 0.0215 0.0129 0.0351 0.0693Pteris ensiformis 0.005 0.0085 0.067 0.0294 0.0801 0.0351 0.1445Pteris semipinnata 0.0003 0.00004 0.033 0.0019 0.0004 0.0175 0.0199Pteris vittata 0.0246 0.0138 0.167 0.1443 0.1301 0.0877 0.362Cheilanthes tenuifolia 0.002 0.0015 0.133 0.0117 0.0137 0.0701 0.0955Taenitis blechnoides 0.0027 0.00194 0.033 0.0156 0.0183 0.0175 0.0514
0.1707 0.10584 1.9003 1 1 1.0003 2.9994
Table 1. Density (Den), Dominance (Dom), Frequency (F), Relative density (RDen), Relativedominance (RDom), Frequency Relative (FR) were calculated to measure Indices ofImportant Value (IIV). Indices of Important Value of Lygodium flexuosum was thehighest.
210
Saputra & Qotrunnada
correlation was not significant.Numerical analysis using SPSS 16resulted that there is no significantcorrelation between pteridophytediversity with soil pH and pteridophytediversity with soil moisture (Table 2).
DISCUSSION
On the study, pteridophyte diversityin Karimunjawa is low with H’ = 1.546.The range of low indices of diversity is 1to 1.5 (Rasidi 2003). Lygodiumflexuosum was measured to be the mostabundance species in Karimunjawa.Lygodium can grow well in the lowland,less canopy, and dry soil (Darma et al.2003).
Soil moisture and soil pH has atendency to affect diversity. Pteridophytediversity is greater while soil moisture ishigh while pteridophyte diversity is less
greater while the soil pH is high. Althoughit was has a tendency, Pteridophytediversity in Karimunjawa was notaffected significantly with environmentcondition. Several studies also resultedthat there is no significant correlationbetween pteridophyte diversity andenvironment condition: soil moisture andsoil pH (Djalil 2000, Richard et al. 2000).
Next study need to be conducted inorder to examine the correlation betweenpteridophyte diversity and itsenvironment. This study used Shannon– Wiener indices to measure the diversityin each plot. Generally, Shannon –Wiener indices is used to measure thediversity in one area which is representedby severals sample. Thus, next study tomeasure the correlation betweendiversity and its environment conditionneed to be conducted with anothermethod.
Figure. 2. The correlation between pteridophyte diversity (H') and soil moisture was posi-tive. Higher soil pH has a tendency to increase pteridophyte diverstity. But, thecorrelation is not significant.
211
Study of Ptridophyte Diversity and Vegetation Analysis
PLOT H’ pH Moist. 1 0.68709 7 3 2 0 7 1 3 0 7 1 4 1.1358 7 1 5 0.90026 7 1 6 0 7 1 7 0.34883 7 3 8 0.63651 7 1 9 0 7 1
10 0.26714 7.1 0.9 11 0.69315 7 1 12 0.68291 7 1 13 0.16794 7 1 14 0.27119 7 1 15 0 7 1 16 0.56234 7 1 17 0.69176 7 1 18 0.5402 7 1 19 0 7 1 20 0 7 1 21 0.26405 7 1 22 0.80806 7.2 1 23 0.63903 7 3.5 24 0 7.2 0.8 25 0 7.2 0.8 26 0 7.1 0.8 27 1.07338 7.2 0.9 28 0.62109 7 1 29 0.60017 7 1 30 0 7.2 0.8
Table 2. The environment condition in each plot. H' is diversity in each plot correlated to soilpH and soil mositure.
ACKNOWLEDGEMENTS.
We are grateful to persons who helpin the field work: Abdul Rahim, AnnisaBalqis, Bregas Adi Luhur, Diny
Hartiningtyas, Sentot Tri Prabowo, ZulfaHanif, Dhimar Adi Permana, MaulanaAkbar, Tiara Dewi, Nabila Chairunnisa,Febrial Hikmah and help in the processof numerical analysis: Agung Sedayu.
212
Saputra & Qotrunnada
REFERENCES
Darma, IDP., HM. Siregar & M. Siregar.2003. Paku Ata (Lygodiumcircinatum (Burm.f.) Sw.) forhandicraft production in Bali.Botanic Garden InternationalConference, Bali BotanicalGarden, Indonesia, July 15 – 18,2003.
Djalil , A. 2000. Pola heterogenitas sertaperbandingan komposisi danstruktur komunitas tumbuhanpaku di hutan pegununganbawah dan pegunungan ataslereng utara Gunung Gede,Jawa Barat. Departemen BiologiFMIPA UI
Holtum, RE. 1959. Flora of MalesianaSer. II Pteridophyta 1. MartinusNijhoff/Dr.W. Junk Publishers, TheHague: xxiii + 62
Rasidi, S. 2003. Ekologi Tumbuhan.Cetakan I Universitas Terbuka,Jakarta
Richard, M. T. Bernhardt, & G. Bell.2000. Environmental heterogeneityang the spatial structure of fernspecies diversity in one hectare ofold-growth forest. Ecography 23:231 – 245.
Sastrapadja, S., JJ. Afriastini, D.Daernaedi & E. Wijaya. 1979.Jenis Paku Indonesia. LembagaBiologi Nasional. LIPI. Bogor.
Siregar, M., IM. Ardaka, IK. Sudiarka.,IDP. Dharma, & HM. Siregar.2004. Penelitian pendahuluankesesuaian tumbuh paku ata(Lygodium circinatum (Burm.f.)Sw.) pada ketinggian tempat yangberbeda. Laporan Teknik “EkaKarya” Bali:129 – 134
Tuomisto, H.& AD. Poulsen. 2000.Pteridophyte diversity and speciescomposition in four Amazonian rainforest. J. Veget. Sci. 11: 383 – 396.
Received: Juli 2010Accepted: April 2011
213
Jurnal Biologi Indonesia 7(2):213-220 (2011)
Javan Leaf Monkey (Trachypithecus auratus) Movement in a Frag-mented Habitat, at Bromo Tengger Semeru National Park, East Java,
Indonesia
M.Hari Subarkah ¹, Novianto Bambang Wawandono ²,Satyawan Pudyatmoko ³, Subeno ³, Sandy Nurvianto ³, & Arif Budiman ¹
¹ Wildlife researcher at Wildlife Laboratory Faculty of Forestry Gadjah Mada University,² Biodiversity Conservation, Departement of Forestry
³Faculty of Forestry Gadjah Mada University. E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Pergerakan Lutung budeng (Trachypithecus auratus) didaerah habitat terfragmentasi TamanNasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur, Indonesia. Pergerakan lutung budeng didaerah habitat terfragmentasi diamati dengan metode transek. Hasil kajian menunjukkan bahwaada empat kelompok masing masing beranggotakan 12 (grup A), 16 (grup B), 15 (grup C) dan12 lutung (grup D). Penelitian yang dilakukan disekitar hunian penduduk, jalan, hutanterdegradasi dan jalan-jalan setapak mengindikasikan bahwa lutung dalam aktivitas hariannyamemerlukan waktu 32,82% diantaranya digunakan untuk makan, 30,97% untuk istirahat dansisanya 31,79 untuk pergerakan perpindahan. Lutung dalam aktivitasnya 50,53% menggunakanwilayah puncak kanopi tumbuhan, 41,99%menggunakan kanopi tumbuhan bagian tengah danhanya 2,49 % yang menggunakan kanopi bawah.
Kata kunci: Lutung budeng (Trachypithecus auratus), habitat terfragmentasi
INTRODUCTION
Most primate species live in tropicalforests, (Mittermeier & Cheney 1987;Chapman et al. 2006) where 2 majorthreats are habitat destruction and hunt-ing by human (Mittermeier & Cheney1987). Alteration of forests into agricul-tural land, degraded function of the con-servation area, are several causes de-creasing the primate population. Primatepopulations, like those other organisms,face the challenges of coping with thedynamic of their habitat, because habitatare continually changing and primate must
adapt to changes in order to survive; fail-ure to adapt dooms species to extinction(Isabirye-Basuta & Jeremiah 2008;Sharkley1996, Newsome et al. 2005).
Habitat loss and fragmentation areassociated with fewer resources, greaterisolation, and more intense and far-reach-ing edge effects (Laurance & Bierregaard1997), and both are considered was ma-jor threats to wildlife. Unless the currentrate of forest conversion is halted, it isinevitable that more and more primatepopulations will live in an isolated frag-ment (Isabirye-Basuta & Jeremiah 2008).Understanding the biology behind the dis
214
Subarkah et al.
tinction between species at risk and morepersistent species should help inform con-servation efforts (Gibbons & Harcourt2009).
Coban Trisula are an intensive usedareas in Bromo Tengger Semeru NationalPark, consist of 3 natural waterfalls, andalso the habitat for the vurnerable of javanleaf monkey (IUCN 2010). In addition totourism, this region is also intensively usedby local people to take the wood, fodder,mushrooms, honey, medicine and kindsof forest fruits for consumption. The lo-cation immediatelies adjacent to the cul-tivation, split by a highway connectingBromo and district of Malang and locatedbetween Gubugklakah and Ngadas vil-lages. This condition has turned the areafragmented. This study aims to determinethe daily movements in the area of CobanTrisula as forms of javan leaf monkey ad-aptation in fragmented habitat.
MATERIALS AND METHODS
The study sites was at Coban Trisularesort conservation area, Bromo TenggerSemeru National Park, at coordinate 08o
00'11.5"- 07o 59'52.3"LS and 112o
51'51.6"-112o 52'21.4"BT, at 1335-1591m asl, covering 89 hectares. Administra-tively it is located in the Gubugklakah vil-lage Malang, East Java. This researchwas conducted in August-December2009 and January 2010.
The methods used during the studywere: 1) Population survey of Javan lan-gurs using Line Transect Method(Strukhsaker 1981) conducted oneceeach month, and then calculated the av-erage number of individuals found; 2)
vegetation data collected using PointCentered Quarter-Method (Mueller-Dumbois & Ellenberg 1974) only to thelevel of the tree with a minimum diam-eter of 35cm, measured at breast height,and 3) observations of daily activity ofJavan langurs using Focal Animal Sam-pling method (Lehner 1976) by observ-ing the feeding, social, resting and mov-ing.
RESULTS
Coban Trisula and surounding areintensif used areas, as ecotourism object.The object were consisting three naturalwaterfalls, namely upper coban, middlecoban and down coban, flows in Lajingriver. The management has created semipermanent trail to reach the object, about600 meters long. The object was openedonly in weekend, and visited by touristabout 50 - 100 peoples a day.
Coban Trisula located as the borderof Bromo Tengger Semeru NationalPark, directly connected withlocalvillagers cultivation. The area is alsocut by permanent road connecting Bromomountain and district Malang and 3 vil-lages that are Ranu Pani village, Ngadasvillage and Gubugklakah village. Insidethe area there are many trail used by lo-cal villagers taking any resources needed.These facilities make villagers and visi-tors can access freely. Inside the loca-tion, there are three natural rivers that isSadam river, Lajing river and Amprongriver.
Illegal cutting for cabin, firewoodand cattle food for cows and goat arethe biggest contribution to the habitat loss
215
Javan Leaf Monkey (Trachypithecus auratus) Movement
Figure 1. Habitat type of javan leaf monkey (Trachypithecus auratus) at Coban Trisula.
Figure 2. Ilegal cutting for cabin and cattle food.
and habitat fragmentation inside and out-side the area. It was done by local vil-lagers from Gubugklakah village, Tosarivillage and Duwet village. Illegal cuttingis intensive in the dry season, and de-creasing in rainy season. It was createda "hole" in the area and formed a liaisonat each habitat corridor that is used formoving by Javan leaf monkey to explorethe home range.
The population survey was con-ducted a month over study period. Itshowed a population density of 55 indi-
viduals that are divided into four groups.Group 1 was up to 12 individuals, group2 was 12 individuals, group 3 was 15 in-dividuals and group 4 was16 individuals.Sex ratio is 1:1.5 (19 males and 29 fe-males). The age structure and sex ratioof each group are presented in the Table1.
The table shows, density of javanleaf monkey at Coban Trisula is 0,6individu per hectare. The density washigher than in Blok Ireng-Ireng whichconsisted of 64 individuals at area 428
216
Subarkah et al.
No Groups Population, age structure and sex ratio
Adult Sub-adult Juvenile Total Male Female Male Female 1 Group 1 3 6 2 - 1 12 2 Group 3 2 4 1 1 4 12 3 Group 2 3 6 3 2 1 15 4 Group 4 3 6 2 4 1 16
Total 11 22 8 7 7 55
Table 1. Population, age structure and sex ratio of javan leaf monkey at Coban Trisula andsurrounding
hectars, means 0,1 individu per hectare.The observation samples consist of group1 and group 2, while group 3 and group 4are considered equal. Observations weredone on daily behavior, exploiting stratacanopies, canopy height and density oftrees used in its daily activities.
To determine the density of treesused for moving, feeding and other ac-tivities, vegetation analysis was con-ducted using the Centre Point-QuadratMethod. The density of trees is 228.7individuals per hectare, the average dis-tance between trees is 7.34 meters, theaverage tree height is 8.40 meters, av-erage canopy width is 7.13 meters andcanopy density is 41.51% (scale 3 ofBraun-Blanquet Scale). Species foundinclude Danglo (Engelhardtia spicata),Tritih (Nitrocous sp), Preh (Ficus spp),Anggrung (Trema orientalis), Bodak(Nauclea orientalis), Blarang (Maca-
ranga sp), Dadap (Erythrina orien-talis), Nyampuh Sentul (Actinodaphnesp) and Salam (Syzygium polyanthum).
DISCUSSION
Canopy level used by javan leafmonkey were different from any activi-ties. During the observations, canopylevel used by javan leaf monkey is pre-sented in the Figure3
The charts shows (Table 2), canopyused at top level are 50,53%, at middlelevel are 41,99% and lower canopy used4,98%. It seems associated with the habitof javan leaf monkey as arboreal primate.Utilization of canopy level was associ-ated with the height and canopy density,and diversity of tree species such as feed-ing trees, shelter and so forth. For ex-ample, Preh (Ficus spp), was used as afeeding trees, resting and social activi-
Table 2. Height and canopy density (in average) of trees at core area in home range.
Item/ Activities
Resting Feeding Social Sleeping
Height (m)
Canopy Density
(%)
Height (m)
Canopy Density
(%)
Height (m)
Canopy Density
(%)
Height (m)
Canopy Density
(%) Group 1 23.86 47.95% 24.77 53.33% 26.47 57.35% 27.67 58.33% Group 2 24.08 47.88% 20.87 45.00% 25.00 52.78% 25.57 52.86%
Overlapping 25.11 53.42% 23.55 54.50% 28.92 55.00% 29.20 59.50%
217
Javan Leaf Monkey (Trachypithecus auratus) Movement
ties, also as moving trees to other areas.Equitable form of branching, 45% canopydensity, 20 meters height and shape ofthe rounded canopy javan leaf monkeyused top, middle and lower canopy level.But, Anggrung (Trema orientalis), av-erage height 20 meters and a canopydensity 25%, more often utilized as aresting trees and social activities at themiddle canopy. While types of Bodak(Nauclea orientalis), with the sameheight and canopy density 40%, moreoften utilized as resting trees social ac-tivities on top, middle and lower canopylevel. During observations, sometimesjavan leaf monkey found above theground to find insects, consuming sev-
eral species of plants and shrubs aroundthe river, some areas where there are nohuman activities.
Daily activities of javan leaf monkey,showed on Figure 4
Average percentage of daily activityof javan leaf monkey for rest and socialactivities amounted to 30.97%. Bothactivities were performed in the samespan of time before afternoon (07.30 -10.00 am) and in the afternoon (12.00 -14.30 pm). Social activities that werefound during the observation is groomingand playing, but no breeding activity hadbeen found. Foraging and eatingapproximately 31.82% & wereperformed by all individuals' javan leaf
Figure 4. Canopy level used by javan leaf monkey
Figure 3. Percentage of time budget in javan leaf monkey daily activity
Foraging & Eating, 31.82%
Moving & Ranging, 31.79%
Resting andSocial Activity,
30.97%
50.53%
41.99%
4.98% 2.49%
Top Canopy Middle Canopy Lower Canopy Above the Ground
Canopy Level
218
Subarkah et al.
monkey in the morning (06.00 - 07.30 am)and afternoon periods (14.30 - 17.00 pm).While moving activity and ranging isapproximately 31.79%, which isperformed in the morning, afternoon andevening at the home range in each group.
Based on the observation andcalculation above, it is known that thejavan leaf monkey have good adaptabilityto the state of the fragmented habitat.Utilization of trees were various in dailyactivities formed important areas andfrequently visited, known as core area.Core areas used by javan leaf monkeyare closely linked with the height anddensity of tree canopies. Height of treeswas used by Javan langurs to avoidharassment and threats from both humanand predator. While the canopy densityselected by javan leaf monkey wasmainly to protect themselves fromsunlight, rain, wind and low temperatures.Utilization of core areas in resting,feeding, social activities and sleeping wasdifferent one to another, and arepresented in the Table 2 below. In theobservation of home range, there isoverlapping between home range group1 and group 2. At each home range oftwo groups, there are a core area usedjointly by the Group 1 and Group 2.
Resting activities were spread onseveral trees on the top and middlecanopy level, on average height of 23.86meters in home range of Group 1, 24.08meters in home range of Group 2 and25.11 meters in overlapping home range.Higher trees were used by javan leafmonkey in circumstances of potentialnuisance and threat. When interferenceor threat appears, javan leaf monkey can
move easily to another tree and hide. Theaverage number of canopy density are47.95% used by group 1, 47.88% usedby the Group 2 and 53.42% in overlappinghome range, because Javan langurs areadequately shielded from sunlight, rain,wind, low temperature and relativelyhidden from predators.
At feeding activity, the averageheight of trees that was used by group 1is 24.77 m, 20.87 m in group 2 and 23.55m in overlapping home range. Theaverage number of canopy density was53.33% in Group 1, 45.00% in group 2and 54.50% in overlapping home range.Canopy height and density associatedwith the volume of feed that is available,although sometimes javan leaf monkeyalso moved above the ground to eatinsects, several types of shrubs and plantssuch as kecubung (Brugmansia sp),kaliandra (Calliandra calothyrsus),mencokan (Debregeasia sp).
Social activities carried out duringresting time such as grooming, playingand mating. At the core areas, socialactivities are carried out on trees withan average height of 26.47 m in group 1,25.00 m in group 2 and in overlappinghome range 28.92 m. Canopy density inGroup 1 amounted to 57.35%, in Group2 was 52.78% and in overlapping homerange of 55.00%. While playing, javanleaf monkey used top and middle canopylevel to practice running, jumping,wrestling and climbing. This activity wascarried out by sub-adult and juvenile,occasionally watched by their mother.Sometimes another adult female or malesoccasionally join into. Grooming andother social activities are often carried
219
Javan Leaf Monkey (Trachypithecus auratus) Movement
out by two or more individuals, alternately,conducted on middle canopy level or abranching tree or large tree trunks andflat. Another social activity is breeding.However, during observations the socialactivity was not found.
Javan leaf monkey stopped theiractivities by entering the aleeping treesat 17:30 to 18:00. Selection of trees tosleep are very important because javanleaf monkey must ensure that the treehas well-height and high densitycanopies. The average numbers of treeheight are 27.67 m in group 1, 25.57 m ingroup 2 and 29.10 m in overlappinghome. Canopy density in sleeping treeof group 1 was 58.33%, group 2 was52.86% and in overlapping home rangewere 59.50%. Sleeping trees used werehigher and more densely than the heightand canopy density trees for otheractivities. Tree height based on a bettersense of security from the threat ofpredators, whereas high canopy densityfor shelter from the wind and cold air,and from the rain.
CONCLUSIONS
These observations concluded thatjavan leaf monkey was able to adapt tothe fragmented habitat areas. Height andcanopy density of trees have importantfunctions in supporting the daily activitiesof Javan langurs such as feedingbehavior, resting, social activities andmoving. Tree height associated with asense of preferential because they feelsafe from harassment and threat ofpredators. While the density of thecanopy allows protecting the body from
sunlight, wind, rain, low temperature aswell as a place to hide from threats andpredators and human disturbance.
In Coban Trisula Resort, conflict ofinterest between human and javan leafmonkey could become a serious threatto the existence or the preservation ofthese animals, which are death and/ordisplacement to another areas or habitatsthat are more supportive. Therefore,conservation action to conserve javanleaf monkey has to be taken in the future.
ACKNOWLEDGEMENTS
Many thanks to Mr. NoviantoBambang Wawandono, Director ofBiodiversity Conservation, Departementof Forenstry, The Nature Conservancy(TNC), Directorate General of HigherEducation (DIKTI), Bogor AgriculturalUniversity (IPB), The IndonesianBiological Society (PBI), Association forTropical Biology and Conservation(ATBC), Bromo Tengger SemeruNational Park and all staff, and manymany people are not name here.
REFERENCES
Chapman, CA., MJ. Chapman & HAC.Eeley. 2006. What hope forAfrican Primate Diversity?.African J. Ecol. 44: 116-133
Dumbois, DM. & H. Ellenberg. 1974.Aims and Method of VegetationEcology. John Wiley & Sons. NewYork, London, Sydney, Toronto
Gibbons, MA. & AH. Harcourt. 2009.Biological correlates of extinctionand persistence of primates in small
220
Subarkah et al.
forest fragments: a global analysis.Trop. Cons.Sci. 2 (4):388-403.
IUCN. 2010. IUCN Red List ofThreatened Species. www.iucnredlist.org. Downloaded on 20 June2010.
Isabirye, B., M. Gilbert & SL. Jeremiah.2008. Primate Population and TheirInteraction with Changing habitat.Int. J. Primatology. 18th, 2008.
Laurance, WF. & RO. Bierregaard.1997. Tropical Forest Remnants.Ecology, management, andconservation of fragmentedcommunities. Chicago: Universityof Chicago Press.
Lehner, PN. 1976. Handbook ofEthological Methods. GarlangSTPM Press, New York &London. 395.
Mittermeier, RA. & DL. Cheney. 1987.Conservation of Primates and TheirHabitat. In B. B. Smuts, DLCheney, RM. Seyfarth, RW.Wrangham, & TT. Struhsaker(Eds.), Primate Societies. ChicagoUniversity Press. 475-490.
Newsome D., D. Ross & M. Susan.2005. Wildlife Tourism. Aspects of
Tourism. Channel View Publica-tions. Clevedon. Buffalo. Toronto.152.
Shackley, M. 1996. Wildlife Tourism.ITP. International ThomsonBusiness Press. An InternationalPublishing Company. London.Bonn. Boston. Singapore. Tokyo.299.
Struhsaker, TT. 1981. Census Methodsfor Estimating Densities. In:Subcommittee on Conservation ofNatural Population, Committee onNonhuman Primates, Division ofBiological Sciences, Assembly ofLife Sciences & National ResearchCouncil (eds) Techniques for thestudy of primate populationecology. Nation Academy Press,Washington, pp 36-80
Wawandono, BW. 2010. PemodelanDaya Dukung Habitat LutungJawa (Modelling of Javan LangurHabitat Carrying Capacity).[Disertation]. Gadjah MadaUniversity. Yogyakarta.
Received: July 2010Accepted: Aprl 2011
221
Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 221-230 (2011)
Impact of Invasive Ant Species in Shaping Ant Community Structure onSmall Islands in Indonesia
Akhmad Rizali1,2*, Abdul Rahim3, Bandung Sahari2, Lilik Budi Prasetyo4, &Damayanti Buchori2
1Department of Plant Protection, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University2PEKA Indonesia Foundation (Indonesian Nature for Conservation Foundation)
3Department of Agrotechnology, Faculty of Agriculture, Borneo University, Tarakan4Department of Forest Resources Conservation and Ecotourism,
Bogor Agricultural UniversityE-mail: [email protected]
ABSTRAK
Dampak Invasiv Species Semut pada Pembentukan Struktur Komunitas Semut di KawasanPulau-Pulau Kecil di Indonesia. Peneletian tentang pengaruh spesies invasif di kawasanpulau-pulau kecil menjadi perhatian konservasi yang sangat penting,teristimewa pengaruhnyaterhadap fauna lokal dan teristimewa untuk semut-semut endemik yang menjadi kajian padapenelitian ini. Pada kajian ini penelitian dilakukan di tiga pulau yaitu Pulau Bokor, Rambut danUntung Jawa. Semut diambil menggunakan metode pitfall trap. Metode penghitungan denganmodel korelasi dan linier digunakan untuk mengukur penyebarannya secara acak di setiappulau. Diperoleh tiga species invasif dua diantaranya yaitu Solenopsis geminata danParatrechina longicornis dapat dijumpai di ketiga pulau tersebut sedangkan untuk Anoplolepisgracilipes hanya dijumpai di Pulau Rambut. A. gracilipes dan S. geminata merupakan spesiesyang melimpah dan komposisi keterdapatannya berkorelasi dengan faktor habitat (F2, 52 =19.469, p<0.001).
Kata kunci: Semut, keragaman jenis, spesies invasif
INTRODUCTION
Alien invasive ant species are majorthreats to local biodiversity especiallyindigeneous ants in certain area (Holwayet al. 2002). As anthrophilic species,invasive ants have ability to occupyhuman-modified habitats, e.g. in urbanhabitat (Gibb & Hochli 2002), ability fornesting in human structure (Schultz &McGlynn 2000) and are easily dispersedby humans. Therefore, with its rapid
adaptive mechanism and high competitiveability, invasive ants have negativeimpacts on the existence of local ants.For example, invasive speciesLinepithema humile (Argentine ant) hasstrongly affected native ant communitiesin fragmented coastal scrub habitats inSouthern California (Suarez et al. 1998).
Habitat fragmentation facilitates theestablishment of invasive ants (Holwayet. al. 2002). In small island, habitatfragmentation and occurrence of invasive
222
Rizali et al
ants can have a great negative impacton local species since the survival ofspecies is very restricted by theavailability of limited nature resource andspace (Donlan & Wilcox 2008). Invasivespecies in small island are able to displaceindigeneous species and shape biotichomogenization which makes populationsof native species especially prone toextinction (e.g. Cole et al. (1992), theoccurrence of Hypoponera opacicepsand Solenopsis papuana causeddisappearing native ants in HawaiiIslands). As consequences, this invasionmay affect to change the ecologicalfunction on whole ecosystem in the smallisland.
This research investigated theimplication of invasive ant to local antcommunity in Thousand IslandsArchipelago, Indonesia that has neverbeen conducted in this area. Thearchipelago is located in the northern seaof Jakarta Bay and consisted of 160unique islands with size less than 1 km2(Alamsyah 2003). Although, this numberdoes not include several islands that havebeen disappeared several years ago(UNESCO 1997). Several islands of theSanctuary have been dramaticallymodified and used for living and tourismand those will bring new threats for manyant species (some of which may beendemic) through habitat modificationand migration of invasive species fromother places. Previous study by Rizaliet al. (2008) indicated that humanactivities have aided the distribution ofinvasive alien ant species Anoplolepisgracilipes and Solenopsis geminata
in several small islands of ThousandIslands.
MATERIALS AND METHODS
Ecological observation wasconducted in three different islands ofThousand Islands Archipelago (Figure 1)i.e. (1) Untung Jawa Island (representshigh populated island), (2) Rambut Island(represents as unique habitat where from160 islands, only this island marine birdsbreed and live), and (3) Bokor Island(represents as unexplored islandcharacterized by very diverse habitatsand as a protected area) (Figure 1; detailsee Table 1). To determined the habitattypes on each island, Quick bird mapswere used for mapping and quantify theislands characteristics with GISsoftware.
To assess the impact of invasive antson local ant species, pitfall trapping andleaf litter sampling were carried out in 5m x 5 m plots. The number of plots oneach island differs based on habitat types(Table 1) and randomization using GIStool (with minimum distance among plotsis 75 m).
Plot observations were carried outtwo days on each island from March toMay 2008 (Table 1). In each plot, fourpitfall traps were positioned 5 m aparton a diagonal line across the sample plot.All specimens were stored in small vialswith 70% alcohol and given a label in thefield before being sorted and identifiedin the laboratory. Ants were identifiedusing relevant taxonomic literature (e.g.Bolton 1994) and the reference collectionof Seiki Yamane (Kagoshima University,
223
Impact of Invasive Ant Species in Shaping Ant
Figure 1. Map of study sites in the Thousand Islands Archipelago (Kepulauan Seribu) offJakarta, Indonesia (inset). (a) Bokor Island (represents as unexplored island character-ized by very diverse habitats and as a protected area), (b) Rambut Island (represents asprotected area with swamp forest), and (c) Untung Jawa Island (represents as highpopulated island).
Island No. plot Description Date of sampling
Bokor 16 Natural forest with dense canopy dominating with Dysoxylum amooroides, Sterculia futida, and Allophylus cobbe. Area 16,34 ha include sea shore
17& 18 March 2008
8 & 9 April 2008
16 & 17 May 2008
Rambut 17 Natural forest with dominance mangrove plants (Dysoxylum amooroides, Guettarda speciosa, Allophylus cobbe. Area 45,80 ha but only around 20 ha that possible for plotting. This island is island marine birds
14 & 15 March 2008
10 & 11 April 2008
18 & 19 May 2008
Untung Jawa
25 High populated island and tourist island. Area 39,12 ha, dominancy by settlement and with planted tree Annona squamosa, Thespesia populena and Artocarpus communis
12 & 13 March 2008
12 & 13 April 2008
13 & 14 May 2008
Table 1. Number of plots and description for each island in Thousand Island Archipelago
224
Rizali et al
Japan) regarded as one of the mostcomplete collections of identified Asianants in the world.
Diversity partitioning modified fromClough et al. (2007) was used todetermine the difference of antcommunities among islands. The totalobserved ã-obs, for each island can bepartitioned as ã-obs = á + âP + âI whereá is the mean á-diversity per plot on eachisland, âP is the between-plots â-diversity, and âI the mean between-islands â-diversity
The correlation between invasiveant and ant diversity were assessedusing Spearman rank correlation. Theoccurrence of invasive ant (presence-absence) was compared with numberof individual and species richness ofthe other ants within island andbetween islands. Impacts of invasiveants and the habitat types (island) weretested simultaneously in general linearmodels (GLMs) with island as a fixedvariable and plots nested within island.All analyses were done with STATISTICA
6.0 (StatSoft 2001).Differences in ant community
structure were quantified usingSørensen’s index for similarity based onpresence/absence of species, which wascalculated with the Biodiv97 macro forMicrosoft Excel (Messner, pers. comm.).The similarity matrix was then reducedto a two-dimensional ordination usingnon-metric multidimensional scaling(NMDS) performed with STATISTICA 6.0(StatSoft 2001).
RESULTS
Ant diversity partitioning betweenislands
In total from three islands, we found62,902 individual belongs to 32 speciesof ant (Table 2). The most abundanceand highest ant species richness wasfound in Untung Jawa (27 species).However, five other ant species were notfound in this island and only found inBokor and Rambut. Based on diversitypartitioning shown similar pattern that thehighest mean á is also found in UntungJawa (Figure 2). Although, Bokor haslowest mean á, the â between islands ishighest compare with the others (Fig 2).This means that there still many of antspecies in Bokor unexplored from thisresearch.
Spatial distribution and abundance ofinvasive ant species
Three invasive ant species were re-corded during this observation i.e.Anoplolepis gracilipes, Paratrechinalongicornis, and Solenopsis geminata.P. longicornis and S. geminata werefound in all islands, whereas A.gracilipes was only found in UntungJawa (Table 2 and 3). Based on the oc-currences of invasive ant per plot oneach island, P. longicornis seems tohave ability to spread on whole habitatwithin island (Table 3). In contrast, S.geminata seems does not have ability tospread especially in Bokor which is only8 plots recorded from 16 plots in total(Table 3).
The most abundance of invasive antwas found in Untung Jawa which is domi-
225
Impact of Invasive Ant Species in Shaping Ant
Species Bokor Rambut Untung Jawa Mar Apr May Tot Mar Apr May Tot Mar Apr May Tot
Dolichoderinae 1. Dolichoderus thoracicus 5 2 9 16
2. Iridomyrmex anceps 3 3 9 31 9 49 30584 5476 8802 44862 3. Tapinoma melanocephalum 6 5 11 23 41 55 119 221 204 414 839
Formicinae 4. Anoplolepis gracilipes 1747 2559 1451 5757
5. Camponotus reticulatus 1 1 1 1 6. Camponotus sp.47 of SKY 40 30 48 118 23 35 56 114 26 41 17 84 7. Oecophylla smaragdina 1 1 1 3 6 3 6 15 8. Paratrechina longicornis 35 93 116 244 279 309 386 974 822 314 1101 2237 9. Paratrechina sp.17 of SKY 8 8 5 21
10. Paratrechina sp.24 of SKY 3 6 20 29 4 5 23 32 190 128 123 441 11. Polyrachis acuata 1 1 5 5 Myrmicinae 12. Cardiocondyla nuda 1 1 9 3 12
13. Crematogaster difformis 1 1 5 9 8 22 1 1 14. Crematogaster sp.10 of SKY 1 1 1 3 1 4 3 8 1 2 3 15. Monomorium destructor 28 14 54 96 117 94 209 420 150 36 70 256 16. Monomorium floricola 1 8 9 6 3 4 13 421 136 149 706 17. Monomorium monomorium 1 1 10 3 16 29 47 30 93 170 18. Monomorium sp.04 of SKY 4 1 5 19. Oligomyrmex sp.10 of SKY 1 1 1 2 3 2 3 2 7 20. Pheidole sp.01 117 143 194 454 191 164 254 609 93 26 49 168 21. Pheidole sp.02 2 4 6 22. Pheidole sp.03 3 3 23. Solenopsis geminata 11 6 12 29 31 29 30 90 2053 897 1057 4007 24. Solenopsis sp.02 12 16 7 35 8 1 6 15 17 3 7 27 25. Strumigenys emmae 1 2 3 1 1 2 1 1 2 26. Tetramorium pacificum 7 23 48 78 1 2 1 4 27. Tetramorium smithi 32 22 7 61 48 2 13 63 28. Tetramorium walshi 1 23 28 52 160 173 199 532 1014 833 1291 3138
Ponerinae 29. Anochetus graeffei 1 1 2 4 2 5 7 1 8 9
30. Hypoponera sp.01 2 2 2 3 5 31. Odontomachus similimus 33 56 60 149 220 228 283 731 11 16 19 46 32. Ponera 1 1
Table 2 Number of individual and ant species diversity per month in each island in ThousandIsland Archipelago; Tramp species are printed in bold. SKY = from the referencecollection of Seiki Yamane (Kagoshima University, Japan).
nated by A. gracilipes (Figure 3). Basedon box-plot analysis, abundance of inva-sive ant per plot every month in UntungJawa is always higher than other islands.While, Bokor has lowest population ofinvasive species especially S. geminata
which only 29 individual collected fromthree months sampling in this island.
Impact the occurrence of invasivespecies
Within all islands, the occurrences
226
Rizali et al
Figure 2.Alpha and beta- (between-plot and between-islands) and ãobs-diversity values forthe ant species richness in the Thousand Islands Archipelago; Error bars are ± 1 SE ofthe means.
Items Island Bokor Rambut Untung Jawa
(a) Plot Total of plots 16 17 25 Plots with invasive ant 15 17 25 A. gracilipes 18 P. longicornis 14 15 25 S. geminata 8 14 22 (b) Species richness Total of species 22 26 27 Non-invasive 20 24 24 Invasive 2 2 3 (c) Number of individual Total of individual 1,330 3,843 62,902 Non-invasive 1,057 2,779 50,901 Invasive A. gracilipes 5,757 P. longicornis 244 974 2,237 S. geminata 29 90 4,007
Table 3. Proportion of (a) plots with and without invasive ant species, (b) species richnessand (c) number of individual of invasive and non-invasive ant that found in each islandin Thousand Island Archipelago.
227
Impact of Invasive Ant Species in Shaping Ant
of invasive ant have correlations with antabundance and species richness on eachplot within island. Based on Spearmanrank correlation, the presence of A.gracilipes has correlation with ant abun-dance (r=0.71, p<0.05) and ant speciesrichness (r=0.46, p<0.05) on each plot.The similar pattern also found in S.geminata that has correlation with antabundance (r=0.51, p<0.05) and ant spe-cies richness (r=0.38, p<0.05). We alsofound that A. gracilipes and S. geminatacan co-occur which has correlation bothin abundance and ant species richness(r=0.38, p<0.05).
Figure 3. Box-plot of three invasive species on each island per month and all monthssampling in the Thousand Islands Archipelago
From the GLM analysis, the occur-rences of invasive species have no sig-nificant effects to ant communities(p>0.05). Island (habitat types) is themain factor that affects ant species com-position (F2, 52 = 19.469, p<0.001).However, based on NMDS analysis, thesimilarities of ant species compositionbetween plots per month on each islandare differed and unstable (Fig 4). Thereare other factors that affect ant speciescomposition on the islands.
228
Rizali et al
DISCUSSION
Untung Jawa as high populated is-land consists of high population of inva-sive species. The highest abundance ofinvasive species in this island depictedthat habitats in Untung Jawa are suitablefor invasive species which can co-existwith human. The human structure andtheir activities can support the nestingsites and food for invasive species(McKinney & Lockwood 2001; Olden et.al. 2004). Although invaded by invasivespecies, Bokor and Rambut both as pro-tected area and with low intensity of hu-man disturbance have very low abun-dance of invasive species. Habitat con-ditions on these islands may have contri-bution to protect from increasing popu-lation by invasive species.
For example, S. geminata as hot cli-mate specialist, this species can welladapt in habitat such as settlement area,forest edge, and agriculture area (Ness& Bronstein 2004), whereas Bokor andRambut have only few area suitable forthis species due to covered by forest(Figure 1, Table 1). Therefore, this spe-cies is able to act efficiently in open area(Perfecto & Vandermeer 1996), such asUntung Jawa, S. geminata has correla-tion with both abundance and speciesrichness of other ants. It means that theoccurrence of this species may affect theother ant species.
Another finding, A. gracilipes wasonly found in Untung Jawa. The exist-ence of settlements and human activi-ties in this island may role as an impor-tant factor for A. gracilipes to well adaptand has high abundance. In previous re-
search, this species was also only re-corded in the islands that have settlementand human activities inside (Rizali et al.2008). Even if the island have a lot ofHomopteran insects, this species couldwell adapt and will have high densitiesdue to associations with them (Hill etal. 2003). Agroforestry habitat such ascacao plantation was also possible assuitable habitat for A. gracilipes due tohabitat disturbance and suitable of mi-croclimate (Bos et al. 2008). In UntungJawa, the occurrence of this species hascorrelation with other ant species. Thehigh abundance of this species in UntungJawa may have negative impact to localant communities due to very competitiveand has occupation mechanism.
The different pattern was found forP. longicornis. Although this species isless abundance than other invasive spe-cies, they could widely spread in differ-ent habitat within island as well as dif-ferent island. Based on McGlynn (1999)and Brown (2000), P. longicornis haveability to spread and well adapt in vari-ous habitat condition. In Thousand Is-land Archipelago, the occurrence of thisspecies seems have no effect to local antcommunities.
However, the occurrence of inva-sive ant in certain habitat may have di-rect and indirect effect to local ant com-munities. Invasive ant that have abilityin occupying and dominating in new habi-tat, as consequence cause disappearingof local ant communities and even be-come extinct due to can not compete withinvasive species (Holway et al. 2002).Habitat disturbance and habitat fragmen-tation also have important role in support-
229
Impact of Invasive Ant Species in Shaping Ant
ing the existence of invasive ant (Suarezet. al. 1998). In conclusion, the combi-nation of both invasive species and habi-tat fragmentation will significantly effecton decreasing local ant species.
ACKNOWLEDGEMENTS
We are grateful to Iyus Rahman andNina Herlina for support and coopera-tion during field research. This researchproject was funded by the Biodiversity,Ecology and Health Fund, Wildlife Trust,USA (Ref Log #: 07-08-259, 2006/2007Grant Award).
REFERENCES
Bolton, B. 1997. Identification Guideto the Ant Genera of the World.London: Harvard University Press.
Bos, MM., JM. Tylianakis, I. Steffan-Dewenter& T. Tscharntke. 2008.The invasive Yellow Crazy Ant andthe decline of forest ant diversityin Indonesia cacao agroforest.BioL. Invasion 10(8): 1399-1409.
Brown WL. 2000. Divesity of Ants. In:Ants: Standard Methods forMeasuring and MonitoringBiodiversity (Agosti D, Mejer JD,Alonso LE, Schultz TR, eds).Washington: Smithsonian InstitutionPress.
Clough, Y., A. Holzschuh, D. Gabriel, T.Purtauf, D. Kleijn, A. Kruess, I.Steffan-Dewenter&T. Tscharntke.2007. Alpha and beta diversity ofarthropods and plants in organicallyand conventionally managed wheatfields. J.Appl. Ecol. 44: 804-812.
Donlan, CJ & C.Wilcox. 2008. Diversity,invasive species and extinctions ininsular ecosystems. J. App. Ecol.45: 1-10
Eubanks MD, SA. Blackwell, CJ.Parrish, ZD. Delamar & HH.Sanders. 2002. Intraguild preda-tion of beneficial arthropods by redimported fire ants in cotton. Envir.Ento.31: 1168-1178
Gibb, H & DF.Hochuli, 2003. Coloniza-tion by a dominant ant facilitatedby anthropogenic disturbance: af-fect on assemblages composition,biomass and resource use. Oikos103: 469-478
Hill, M., K. Holm, T.Vel, NJ. Shah & P.Matyot. 2003. Impact of the in-troduced yellow crazy ant Anoplo-lepis gracilipes on Bird Island,Seychelles. J. Biod. Cons12: 1969-1984
Hölldobler B & Wilson EO, 1990. TheAnts. Canada: Harvard UniversityPress
Holway DA, L.Lach, AV.Suarez, ND.Tsutsui & TJ. Case. 2002. Thecauses and consequences of ant in-vasions. Ann. Rev. Ecol. Sys. 33:181-233
McGlynn TE, 1999. The worldwidetransfer of ants: geographical dis-tribution and ecological invasions.J.Biogeo. 26: 535-538
McKinney ML & JL. Lockwood. 2001.Biotic homogenization: a sequentialand selective process. In: BioticHomogenization (Lockwood JL,McKinney ML, eds). New York:Kluwer Academic.
Ness JH & JL. Bronstein, 2004. The Ef-
230
Rizali et al
fects of Invasive Ants on Prospec-tive ant Mutualists. Biological ofInvasions 6: 445-461
Olden JD, NL. Poff, MR. Douglas, ME.Douglas & KD. Faucsh. 2004.Ecological and evolutionary conse-quences of biotic homogenization.Trends. Ecol. Evol. 19 (1): 18-24
Perfecto I & J. Vandermeer.1996. Mi-croclimatic changes and the indi-rect loss of ant diversity in a tropi-cal agroecosystem. Cons. Ecol.108 (3): 577-582.
Rizali A., MM. Bos, D.Buchori, S.Yamane & CH.Schulze. 2008. Antsin tropical urban habitats: the
myrmecofauna in a densely popu-lated area of Bogor, West Java,Indonesia. HAYATI J. Biosciences15: 77-84
Schultz TR & TP. McGlynn. 2000. Theinteractions of Ants with other or-ganism. In: Agosti et al. eds. Ants:Standard Methods for Measur-ing and Monitoring Biodiversity. Washington: Smithsonian Institu-tion Press
Suarez AV, DT. Bolger & TJ. Case. 1998.Effect of fragmentation and inva-sion on native ant communities inCoastal Southtern California. J.Ecol. 79(6): 2041-2055.
Received: Juli 2010Accepted: April 2011
231
Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 231-242 (2011)
Relationship Different Riparian Vegetation Cover with Stream Conditionsin Cikapinis Stream, West Jawa
Della Kemalasari & Devi N. ChoesinSchool of Life Sciences and Technology, Institut Teknologi Bandung Institute of Technology
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Hubungan antra Perbedaan Tutupan Vegetasi Riparian pada Kondisi Air mengalir di kawasanCikapinis, Jawa Barat. Vegetasi memiliki peran sangat penting di kawasan perairan yangmengalir; banyak hubungan antara tutupan vegetasi dengan aliran air dan strukturmakroinvertebrata yang menghuninya. Oleh sebab itu penelitian dirancang di kawasan aliranCikapinis Jawa barat dengan mengambil contoh stasion penelitian yang terbagi menjadi tigalokasi yaitu di hulu, tengah dan hilir. Kawasan tengah merupakan kawasan yang terbuka karenakebakaran 8 bulan sebelum penelitian. Kawasan hulu merupakan kawasan dengan kondisibanyak tertutup oleh tumbuhan perdu yang agak berbeda dengan kondisi kawasan hilir dandiikuti dengan kawasan tengah. Di kawasan tebangan, kandungan kimia air yaitu nitrat danorthophosphat meningkat dan diikuti penurunan indeks diversitas makroinvertebrata, rendahnyakelimpahan teristimewa terjadi pada alga larva Petrophila sp. Analisis Komponen (PCA) yangdigunakan pada penelitian ini mengindikasikan adanya pengaruh antara vegetasi riparian dankondisi fisik kimia air. Keeratan hubungan terlihat antara rendahnya tutupan vegetasi, tingginyasuhu udara, intensitas sinar, kondisi tanah, nitrat, dan orthophosphat.
Kata kunci: Vegetasi riparian, Aliran air, Kondisis fisik kimia, Makroinvertebrata, logging.
INTRODUCTION
Riparian vegetation is an importantfeature of the landscape because itfunctions as a corridor (Forman 2001).Riparian vegetation affects streamprocesses as both sink and source ofmatter and energy. As a sink, riparianvegetation dissipates energy of flowingwater, while retaining and absorbingnutrients and particles from the uplandarea. As a source, the production of leaflitter and woody debris contributes matterto the stream ecosystem, an importantresource for organisms in first-orderstreams which depend mainly on
allochthonous (outside) sources of energy(Tabacchi et al. 1998 in Heartsill-Scalley&Aide 2003). Riparian vegetation alsoprovides canopy coverage to thestreambank (Sweeney etal. 2004), thusreducing diurnal temperature fluctuation,in both the terrestrial and aquatichabitats.
As a consequence of the above,deforestation in riparian areas may affectthe ecological assemblages in streamecosystems, due to the lack of shade,which causes high level of solar radiationto the stream, leading to highertemperatures (Sweeney et al. 2004); andloss of woody debris and leaf litter, which
232
Kemalasari & Choesin
will alter the stream from beingallochthonous (terrestrial-basedproductivity) to autochthonous (algal-driven) (Heartsill-Scalley and Aide2003). The above changes, coupled withexcess nutrients transported by runoff,will result in organic enrichment andchanges in macroinvertebrate assem-blages (Iwata et al. 2003). In otherwords, change in riparian vegetation dueto deforestation minimizes its potential tofilter nutrients from uplands to streams.
To date, numerous studies haveemphasized the importance of temperateriparian ecosystems, but information ontropical riparian ecosystems, is still verylimited (Iwata et al. 2003). One caseexample to study the effects of ripariandeforestation on tropical streamecosystems is to assess Cikapinis stream,located in Ciamis Regency, southern partof West Java, which has a recent historyof extensive riparian logging in 2008,eight months before this study wasconducted.
The objective of this study was toassess the relationship between riparianvegetation and: (1) stream water quality,and (2) stream macroinvertebratecommunity, in Cikapinis stream. It ishypothesized that riparian vegetationcondition is related to both stream waterquality and the macroinvertebratecommunity.
MATERIALS AND METHODS
The study was conducted alongCikapinis stream in Ciamis Regency, inthe southern part of West Java province,Indonesia. The upstream is located at
07°35’51.5" (S) and 108°24’37.9" (E),with the elevation of area sampledvarying between 156 meters a.s.l. at thedownstream to 170 meters a.s.l. at theupstream area. Topography of thelandscape was characterized by hillysteep uplands consisting of mixed forest-tree plantation or rice paddy fields in areasthat are less steep; all are relativelyremote from settlements. Cikapinis is asmall first-order stream with a length ofapproximately 4 km and width between0.8 and 3.5 meters. Part of the riparianarea around the midstream of Cikapinisstream experienced extensive logging andwas deforested on July 2008. The loggingitself eliminated a total forest area ofapproximately 5,700 ha (Perum Perhutani2008) and most of the study area wasburned until almost no vegetation wasleft. This condition lasted for about fivemonths; in a field survey conducted inDecember, only red-colored bare soil andburned tree stumps remained.
Cikapinis stream was sampled atthree stations: upstream (station 1),midstream (station 2), and downstream(station 3); with the general assumptionthat station 1 can be used as referencearea without disturbance in terms oflogging, station 2 as a logged area, andstation 3 as an area with less loggingdisturbance. The initial design of the studywas to compare the stream with areference stream without loggingimpacts, located nearby, with similarupstream conditions. However, due tofield conditions and technical difficulties,the study was then conducted on onlyone stream; this approach is still
233
Relationship Different Riparian Vegetation Cover
considered acceptable, as in the study ofOsborne and Kovacic (1993).
Riparian vegetation was assessedfor structure and composition in fourplots, measuring 10 x 10 m, placedalternately on either side of the streamon each station. Vegetation structureassessment included measurements ofherbaceous and shrub vegetation cover,density, and frequency; tree basal areaand density; and number of species.Terrestrial physico-chemical factorswere also measured for microclimate andsoil characteristics. Microclimateparameters measured included lightintensity, air temperature, and relativehumidity, while soil characteristicsmeasured were pH, temperature, andrelative humidity. All parameters weremeasured with three times replicationwithin each station.
Streambank structures at the threestations were described based onmeasurements of width, water depth andaverage stream water velocity.Furthermore, stream physico-chemicalcharacteristics were measured threetimes for replications, with temperatureand dissolved oxygen assessed onlocation, while pH, orthophosphate,biological oxygen demand, and dissolvedcarbon dioxide concentrations wereanalyzed in the Aquatic EcosystemAnalysis laboratory, School of LifeSciences and Technology, InstitutTeknologi Bandung. Biological oxygendemand, pH, and dissolved carbondioxide concentrations were measuredusing titration method, whileorthophosphate concentration wasmeasured using stannous chloride-
spectrophotometry method. Nitrateconcentration was measured usingStandard Methods for the Examinationof Water and Wastewater 20th 1998 inEnvironmental Engineering Waterlaboratory, Faculty of Civil andEnvironmental Engineering, InstitutTeknologi Bandung.
Macroinvertebrate samples werecollected from five sampling points ateach station using a Surber net orEykman grab, depending on the type ofsubstrate. Macroinvertebrate sampleswere filtered with 35 nm mesh metal filter,put into clear sample plastic bagsmeasuring 60 x 100 cm, then preservedwith 40% formaldehyde. Species wereanalyzed under a light microscope andidentified using Pennak (1953), Dharma(2005), van Benthem Jutting (1953), andMerritt and Cummins (1996) asreferences in the Aquatic EcosystemAnalysis laboratory, School of LifeSciences and Technology, InstitutTeknologi Bandung. The macroin-vertebrate community was analyzedusing the Shannon (H') diversity indexand Sørensen similarity coefficient (CS),and percentage of Importance Value.Vegetation coverage was analyzedstatistically using non-parametric test ofKruskal Wallis, while the rest variablesexcept for macroinvertebrate wereanalyzed using Principal ComponentAnalysis (PCA) with SPSS 16 statisticalprogram. Macroinvertebrate analysisdoes not included in PCA due to itscomplexity which could generate anotherPCA plot itself.
PCA was used to identify underlyingvariables, or factors, that explain the
234
Kemalasari & Choesin
pattern of correlations within a set ofobserved variables, and was thus usedto generate hypotheses regarding causalmechanisms (SPSS 2004). The firstcomponent has maximum variance andsuccessive components explainprogressively smaller portions of thevariance. Prior to analysis, all data whichhave different measurement units werestandardized using the Z-score method.The Kaiser criterion was applied to retainall factors with eigenvalues exceeding avalue of 1 (Statistica 1991 cited inRachmansah 2009). Using the first andsecond extracted components as axes, aCartesian graph of variables was madeto assess detectable pattern in the data.
RESULTS
In general, riparian vegetation withina width of ten meters along Cikapinisstream was composed of herbaceousplants and shrubs. Station 1 exhibited thehighest Shannon diversity index (H') forall categories (herbs=2.32; shrubs=0.75;trees=0.99), indicating that riparianvegetation at station 1 was more diversethan other stations with the presence ofCocos nucifera (coconut), the onlyspecies tree present among all otherstations. The Shannon diversity index forstations 2 and 3 shrubs have zero valuesbecause each station was only composedof a single species, i.e., Paraserianthesfalcataria, with the same density.Riparian vegetation cover wassignificantly different among all stationsfor herbaceous cover, shrub cover, andtree basal area (non-parametric Kruskal-Wallis test; P<0.05). Overall, station 1
exhibited the highest value in allcategories, i.e., herbaceous vegetationcover, shrub cover, stem basal area, andnumber of species. Station 2 had thelowest vegetation cover, with herbaceousvegetation and shrubs covering less than50% of the area. Station 3 contained thelowest number of species from allstations, but had an herbaceous coverageof 100% (Figure 1).
In general, microclimate at station 1was relatively favorable, withtemperatures ranging between 27.2 to27.8 °C (Table 1), lower than the othertwo stations. On the other hand,temperatures in logged areas or station2 measured within the highest range(31.1 - 33.9°C), with a light intensityrange of (17,170 to 190,500 lux), thereforesuggesting a positive relationshipbetween the two variables.
Furthermore, soil temperature wasfound highest at the logged area, andlowest at areas with no logging. This maybe related to light intensity and airtemperature (Table 2) which mayincrease temperatures on exposed andless vegetated soil.
The area with highest coverageexhibited the lowest average watertemperature (25.4°C), while the areawith lowest vegetation coverageexhibited the highest water temperature(29.9°C) (Table 3). This suggests theriparian vegetation function of shading thestream bank so that water temperaturedoes not fluctuate rapidly during the day.
Nitrate measurements were foundhighest at the logged area, i.e., up to 0.779mg/L and averaged about 0.651 mg/L;while lowest nitrate concentration was
235
Relationship Different Riparian Vegetation Cover
found at the upstream area (0.090 mg/L), with an average of about 0.363 mg/L(Table 3). Contrary to the downstreamaccumulation effect, nitrate concentra-tions in station 3 were lower than in loggedarea (0.229-0.464 mg/L). This maysuggest that riparian vegetation cover atthe downstream area was able to absorbexcess nitrate from the logged arealocated in midstream. Stream waterorthophosphate concentrations are lowon area that are relatively covered withvegetation (station 1=0.952 to 1.160mg/L; station 3=0.952-1.370 mg/L); whilearea with less vegetation coverageexhibited highest level of orthophosphate(1.056-1.797 mg/L) (Table 3).Relationship analysis between riparianvegetation cover and stream conditionswas examined by Principal Component
Analysis (PCA) statistical test. Theanalysis yielded six principal componentsfrom seventeen variables accounted. Thefirst principal component accounted formost of the total variance explained andreached a value of 49.8 %; whereas thesecond component which accounted forthe next smaller progressive numberreached 14.5%. The relative position ofthe variables on the graph indicates thedegree of similarity (Figure 2).
The first component (Component 1)was positively correlated with watertemperature, water alkalinity, dissolvedoxygen concentration in water, soil pHand temperature; and negativelycorrelated with relative air humidity andcarbon dioxide concentration in water.Accordingly, the Component 1 axis wasregarded as a habitat character
Figure 1. Percent cover of riparian vegetation in three stations
Microclimate parameters Station 1 2 3
Temperature (°C) 27.2 – 27.8 31.1 – 33.9 26.7 – 30.0 Relative humidity (%RH) 84 – 86 78 – 85 76.5 – 77 Light intensity (lux) 11,200 – 89,500 17,170 – 190,500 2,380 – 4,560
Table 1. Range of microclimate measurements at the three stations
236
Kemalasari & Choesin
associated with an open-to-shadedgradient.
Component 2 was positivelycorrelated with soil organic content andair temperature, and negatively withwater pH and soil mineral content. Theaxis was interpreted as a habitat gradientof burned-area character.
On the other hand, less vegetatedareas as represented by positive valuesof component 1, might be associated withthe environmental characters of high lightintensity, high nitrate and orthophosphate,and also higher bulk density, as relativelyevident from the previous discussion. Onthe center of the axes, variables such aslight intensity, bulk density, nitrate andorthophosphate are clustered, indicatinga strong association among thosevariables. This suggests that highernitrate and orthophosphate concentra-tions might concur with condition of highsoil bulk density and light intensity. Onemechanism that may involve the conditionabove is runoff, because increased lightintensity will cause dryness of soil andincreased bulk density value, which inturn may affect stream nutrientconcentration, particularly during therainy season.
Meanwhile, inversely related valuesof soil organic and mineral content werelargely separated by component 2, whichsuggests higher soil organic content instation 2 from clearance burning. Watertemperature, alkalinity, and soil pH arealso somewhat grouped into a distinctcluster. This suggests that all of the aboveparameters are interlinked one to another.
In conclusion, PCA analysisgenerated two components that mayexplain all of the variances in all of thevariables, i.e open-to-shaded area andburned area characteristics. All variablesincluded in the analysis followed the twocharacteristics above to explain generalrelationship between riparian vegetationcover and stream condition.
Furthermore, the relationshipanalysis between riparian vegetationcover with macroinvertebrate communi-ties had to be done separately and issummarized in Table 4, with increasingShannon diversity index in line withincreasing vegetation cover. In addition,the functional feeding groups formacroinvertebrate species that havehighest importance values differed fromone station to another (Table 4).
Macroinvertebrate community onstation 2 had a higher abundance-to-
Soil parameters Station 1 2 3
Temperature (°C) 22.0 – 26.0 30.0 – 32.0 29.0 – 30.0 pH 6.0 – 6.4 6.2 – 6.8 6.4 – 6.8 Humidity (%) 70.39 – 92.97 55.98 – 80.26 48.74 – 84.82 Organic content (%) 76.09 – 88.69 92.67 – 92.99 85.54 – 92.43 Mineral content (%) 11.31 – 23.91 7 – 7.33 7.57 – 14.45 Bulk density 0.71 – 0.76 0.80 – 0.87 0.59 – 1.00
Table 2. Range of soil measurements at the three stations
237
Relationship Different Riparian Vegetation Cover
richness ratio among all stations (A/R=23.36) (Table 4). This suggests thatriparian vegetation logging may have hadconsiderable impact on macroinver-tebrate species. Stressed environmentswill affect sensitive species that maypotentially be eliminated, thus reducingthe richness of the community.
DISCUSSION
The shrubs at all stations weredominated by Paraserianthesfalcataria, herbaceous cover at stations2 and 3 were mainly composed of severalnative species and a few species of grass(e.g., Crassocephalum crepidioidesand Paspalum conjugatum withimportance values of 20.04% and29.85% respectively). Grass buffers canalso intercept pollutants (Lee et al. 2003,in Sweeney et al. 2004), but not aseffective as trees or shrubs. The denseground cover may be effective intrapping sediments from upland andpreventing the movement of debris duringstorm events, but it gives minimal shadingto streams that may support algal
productivity, as assumed to be the caseat station 3.
Highest measurement of soil bulkdensity at station 2 may indicate moresoil compaction in the logged area.Increased bulk density will also lead todecreased porosity and soil infiltrationrates (Prakoso 2005 in Syaufina 2008),thus becoming more susceptible to factorscausing erosion and floods. Soil organiccontent in the logged area also reachedthe highest value of up to 92.99%.Organic carbon content tends to increaseeight months after clearance burning(Yudasworo 2001 in Syaufina 2008).
This suggests that loss of riparianvegetation decreased the potential of theriparian area to absorb nutrients beforewashing into the stream bank. Slightdifferences in concentration exceedingnormal levels may have to be consideredbecause increasing water temperaturesmay amplify the reactivity of pollutantsand hence the effects of logging wouldbe more severe. Increased levels ofphosphorus in water often results inimmediate enhancements of rates ofalgal photosynthesis and growth (Hartand Robinson 1990 cited in Wetzel 2001),
Water parameters Station 1 2 3
Temperature (°C) 25.3 - 25.4 29.8 - 29.9 29.6 - 29.7 Dissolved oxygen (mg/L) 7.65 - 7.97 7.68 - 7.69 7.88 - 7.89 pH 7.13 - 7.18 8.13 - 8.15 8.10 - 8.13 Dissolved carbon dioxide (mg/L) 60 – 70 30 - 40 30 – 45 Alkalinity (m.eq/L) 76 – 83 258 - 266 274 – 277 Total suspended solid (g) 0.02 - 0.05 0.10 - 0.11 0.11 - 0.13 Nitrate concentration (mg/L) 0.090 - 0.603 0.43 - 0.779 0.229 - 0.464 Orthophosphate concentration (mg/L) 0.952 - 1.160 1.056 - 1.797 0.952 - 1.370
Table 3. Stream water parameters at the three stations
238
Kemalasari & Choesin
as assumed to be the major factor forhigh diatom productivity observed(Asthary 2009).
Furthermore, vegetation cover isinterpreted to have similar characteristicswith soil humidity, water CO2 and relativeair humidity, while on the other hand, isinversely related to soil and watertemperature (Fig. 2). Stream watervalues for CO2 indeed has an inverserelation to pH and air temperature(Wetzel 2001) due to the water buffering
system of inorganic carbon. Thisprobably means that high cover of riparianvegetation might affect the stream tohave lower water temperature, lower pHand high CO2 content.
PCA plot showed that vegetationcover is related to soil humidity, waterCO2 and relative air humidity; while onthe other hand, is inversely related to soiland water temperature. Less vegetatedareas might be associated with high lightintensity, bulk density, nitrate and
Station Vegetation coverage Abun-dance
Rich-ness A/R H’ Cs
Macroinvertebrate Species of Highest Importance-Value
% IV
Feeding Groups
1
(upstream - highest
vegetation coverage)
28 17 1.65 2.56
Stat.1 to
Stat.2=
35.71
Stat.1 to
Stat.3=
26.08
Stat.2 to
Stat.3=
1.5
Heptageniidae 2* Melanoides tuberculata
21 18
Algal scraper Grazer
2
(midstream - lowest vegetation coverage)
257 11 23.36 1.67
Petrophila sp.* Heptageniidae 1* Ephemerellidae 1*
35 23 19
Algal scraper Algal scraper Algal scraper
3
(downstream -
medium vegetation coverage)
473 29 16.31 2.46
Melanoides maculata Syncera woodmasoniana** Lymnaea sp.2
18 17 14
Grazer Grazer Grazer
Table 4. Macroinvertebrate species abundance and richness in the three stations.
239
Relationship Different Riparian Vegetation Cover
orthophosphate, as represented byclustered positive value in component 1,indicating a strong association amongthose variables.
Increasing light intensity will causeincreased soil dryness and bulk density,which in turn may affect nutrient runoff,particularly during the rainy season.Higher nutrient runoff to the stream maybe associated with high diatomproductivity, which supported the life ofaquatic insect community in logged areacompared with other stations. In otherwords, the alterations of riparian area areindirectly associated with streamconditions and stream macroinvertebratecommunities.
Based on Table 4, station 1 with highvegetation coverage is assumed to havea more diverse macro invertebratecommunity, so that species with differentfunctional feeding groups (e.g. algal
scraper and grazer) but with the sameactivities (herbivores) can coexist in onelocation. This might be due to thepresence of predators that have a stronginteraction and effect on its prey, keepingan overall balance of species abundanceand composition. The presence of fishas top predator (Kemalasari 2009,unpublished data) suggests that streambiotic integrity is still preserved, alongwith diverse fauna found in station 1.Paine (1969 in Molles 2005) concludedthat predators may increase speciesdiversity. Therefore, the presence of fishin station 1 as top-predator indicates arelatively good stream condition.
Diversity index was found highestin station 1 (H’=2.56), contrasts with thelowest in station 2 or logged area(H’=1.67). Species composition in station2 was almost entirely aquatic insectlarvae and dominated by aquatic moth
Figure 2. Principal Component Analysis plot for environmental variables and vegetationcover
240
Kemalasari & Choesin
larvae Petrophila sp., a genus ofLepidoptera which has an aquatic larvalstage (Merritt and Cummins 1996). Thelarvae have an exceptional importancevalue of 35% and thus became a singledominant species on the community. Thepresence of Petrophila sp. is considereda subject to further study about itscorrelations with deforestation indicative.The abundance of the species wasprobably due to high supply of diatoms(Asthary 2009) as increasing lightintensity favor the growth of abundantperiphytic algae, in addition to streamorthopshosphate concentration. Sourcesof nutrients from the adjacent area wouldincrease productivity of diatoms, whichwill further increase dissolved oxygencontent, as was evident during daymeasurements. As the vegetation canopyshades incident light and reduces watertemperatures thus inûuencing primaryproductivity (Boothroyd et al. 2001), theabsence of riparian vegetation will shadeout the stream bank and increase lightpenetration into stream, and thus increaseaquatic primary production from algae(autochthonous source). The lightpenetration may also lead to highfluctuation of diurnal temperature(Sweeney et.al 2004) that may notsupport many species, as indicated bylow diversity index in the logged area.
Another possible explanationregarding the distinct difference in macroinvertebrate composition in station 2 wasthe difference in substrate type. Substrateplays an important role in determiningmacro invertebrate composition onstream (Molles 2005), although anoversimplified food chain may suggest an
environmental stress condition (Mason1981). The absence or low number ofpredators suggests a stressed orimbalance environment where one orseveral species takes advantage ofremaining abundant resources while theothers cannot survive by reductionmechanisms of competitive exclusion.
Increasing light penetration in station3 due to lack of vegetation canopy alsofavored algae supply for gastropods andbivalves, coupled with more alkalinewater that is crucial for shell growth(Pennak 1953). Although the abundanceof species was very high, it was relativelycomparable to its number if species (i.e.species richness) so that abundance-to-richness ratio is kept lower than that ofthe logged area in station 2.
In conclusion, vegetation cover onthe three stations may have indirectrelationships with macroinvertebratecommunities. Several factors may alsoinvolve in determining the condition, i.esubstrate, predators, and localmicroclimate conditions. But in general,riparian vegetation condition may be agood predictor of the stream conditionand its macroinvertebrate communities.
CONCLUSIONS
Based on the results of this study, itcan be concluded that:
Upstream riparian vegetation,reaching 100% coverage of herbs, shrubsand trees is associated with lower watertemperature, nitrate and orthophosphateconcentrations, and a more diversemacroinvertebrate community.
241
Relationship Different Riparian Vegetation Cover
Low vegetation cover is associatedwith high stream nutrient concentration,solar radiation (light intensity) and soilbulk density. One mechanism that mayconnect all the above parameters isrunoff, which becomes particularlyapparent in rainy season.
Riparian deforestation leads tohigher water temperature and algalproductivity that may favor tolerantherbivorous macroinvertebrate species,but on the contrary, reduces sensitivespecies as well as overall speciesdiversity.
Stream macroinvertebrate assem-blages along the deforested riparian areais marked by the abundance ofPetrophila sp, an aquatic caterpillarlarvae, together with the abundance ofmayfly families (Heptageniidae andEphemerellidae), which indicate loggingactivities on the area.
The relationship between riparianvegetation cover with stream conditionis largely explained by two factors orcharacteristics, i.e., open-to-shaded areaand burned area. All variables measuredfollow those characteristics to explain thecomplex relationship found in Cikapinisstream and its riparian area.
Riparian vegetation may be a goodpredictor of the stream condition and itsmacroinvertebrate communities.
REFERENCES
Asthary, PB.2009. Struktur danKomunitas Diatom Perifiton diSungai Cikapinis, KabupatenCiamis, Jawa Barat. Skripsi
Sarjana Program Studi BiologiSITH ITB.
Boothroyd, IKG, Quinn JM, Langer ER,Costley KJ, Steward G (2004)Riparian Buffers Mitigate Effectsof Pine Plantation Logging on NewZealand Streams: 1. RiparianVegetation Structure, StreamGeomorphology and Periphyton.For. Ecol.Manag. 194:199-213.
Dharma, B. 2005 Recent and FossilIndonesian Shells. Conchbooks,Hackenheim.
Forman, RTT (2001) Land Mosaics: TheEcology of Landscape andRegions. Cambridge UniversityPress, Cambridge.
Heartsill-Scalley, T & TM. Aide 2003.Riparian Vegetation and StreamCondition in a Tropical Agriculture- Secondary Forest Mosaic. Ecol.Appl. 13 (1) : 225 - 234.
Iwata, T, S. Nakano, M. Inoue 2003.Impacts of Past Riparian Defores-tation on Stream Communities in aTropical Rain Forest in Borneo.Ecol. Appl. 13 (2) : 461 - 473.
Merritt, RJ & KW. Cummins. 1996. AnIntroduction to the Aquatic Insectsof North America. Taken fromwww.googlebooks.com [accessedAugust 6, 2009].
Molles Jr, MC. 2005. Ecology, 3rd edn.McGraw-Hill, New York.
Osborne, LL. DA. Kovacic.1993.Riparian Vegetated Buffer Strips inWater-Quality Restoration andStream Management. FreshwaterBio. 29 : 243 - 258.
242
Kemalasari & Choesin
Pennak, RW (1953) FreshwaterInvertebrates of the United States.Ronald Press, New York:
Sweeney, BW, TL. Bott, JK. Jackson,LA. Kaplan, JD. Newbold, LJ.Standley, WC. Hession, RJ.Horwitz. 2004. Riparian Defores-tation, Stream Narrowing, and Lossof Stream Ecosystem Services.Proc. Nat. Acad. Sci 101 (39) :14132 - 14137.
Syaufina, L. 2008. Kebakaran Hutan danLahan di Indonesia : Perilaku Api,
Penyebab, dan Dampak Kebaka-ran. Bayumedia Publishing,Malang.
van Benthem Jutting, WSS. 1953.Systematic Studies of the Non-Marine Mollusca of the Indo-Australian Archipelago V. CriticalRevision of the JavaneseFreshwater Gastropods. Treubia22:19-73.
Wetzel, RG. 2001. Limnology : Lake andRiver Ecosystems, 3rd edn. SanDiego: Academic Press.
Received: Juli 2010Accepted: April 2011
243
Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 243-249 (2011)
INTRODUCTION
Plant propagation is the importantpoint of species to survive and existenceon the earth. Commonly, a speciesreproduction process result a seed. A
seed contains the embryo from which anew plant will grow under properconditions. Seed also usually contain asupply of stored energy and it is wrappedin the seed coat or testa. The seed coathelps protect the embryo from
Affect of Canopy Stratum and Methods of Breaking Seed Dormancy onSeedling Growth of Calliandra tetragona Beth. and Acacia
tamarindifolia (L.) Willd.
Indriani EkasariCibodas Botanical Garden- Indonesia Institute of Sciences, (LIPI).
Email: [email protected].
ABSTRAKPengaruh Strata Tajuk Pohon dan Metode Pemecah Dormansi Biji Terhadap PertumbuhanSemai Kaliandra (Calliandra tetragona Benth.) dan Akasia (Acacia tamarindifolia (L.)Willd.) Fase semai merupakan langkah awal untuk pertumbuhan suatu pohon. Diduga terdapatbeberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan semai yang berasal dari biji. Beberapa faktortersebut antara lain pengaruh penerimaan cahaya matahari terhadap letak buah pada stratatajuk pohon serta metode pemecahan dormansi biji pada tipe biji ortodok menjadi sangatpenting untuk diperhatikan. Sedangkan jenis-jenis pohon yang diuji pada studi ini adalahKaliandra (Calliandra tetragona Benth.) dan Akasia (Acacia tamarindifolia (L.) Willd.). Keduajenis pohon ini merupakan jenis tanaman multi fungsi karena dapat digunakan sebagai tanamanperintis (pioneer species). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan semaiyang paling baik dengan menentukan letak buah pada posisi strata tajuk serta menentukanmetode pemecah dormansi biji yang paling tepat untuk biji ortodok. Lokasi penelitian berada diwilayah UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas-LIPI. Pengujian pengambilanbuah pada kedua jenis pohon dibagi menjadi 2 strata tajuk (atas dan bawah) dan metodepemecahan dormansi biji dibagi menjadi 3 (kontrol, fisik dan mekanis). Setiap satu jenis pohonterdapat 6 kombinasi perlakuan. Sedangkan setiap kombinasi perlakuan berisikan 100 biji danhanya 20 semai yang dihitung untuk sample pada tiap kombinasi perlakuan. Penelitian inidilakukan hingga semai berumur 3 bulan. Parameter pengamatan pertumbuhan semai ini adalahpanjang batang dan panjang akar. Hasil ANOVA didapatkan hasil pertumbuhan batang keduajenis pohon tersebut signifikan (0,026) pada level 5% untuk interaksi jenis pohon, strata tajukpohon dan metode pemecahan dormansi. Hasil pada pertumbuhan panjang akar terlihatsignifikan (4,239) pada level 5% untuk interaksi antara jenis tanaman dan strata tajuk pohon.Sedangkan interaksi antara metode pemecah dormansi dan jenis pohon signifikan (20,332)pada level 1%.
Kata kunci: Strata tajuk, Pemecah dormansi biji, Pertumbuhan semai.
244
Indriani Ekasari
mechanical injury and from drying out.The seed coat also causes dormancy seedviability such as seed on Fabaceaefamily. Fabaceae has an orthodox seedcharacteristic to storage. The orthodoxseed was has ability to be stored the seedfor years even though centuries. Seeddormancy stage has usually occurs so thatthe seed metabolic on ripening stage wasnot active (Schmidt 2002). Seeds ofannual Fabaceae have physicaldormancy level, which means that seedsneed scarification method to open theseed coat, but under natural conditions,germination occurs in response to rainfall(Dauro et al. 1997 in Baskin & Baskin2001). Some artificial softening of water-impermeable seed coats are mechanicalscarification, acid scarification, enzymes,organic solvent, percussion, highatmospheric pressures, wet heat, dryheat, etc. Sahupala (2007) said thatmechanical and physical scarificationcould be chosen to break the dormancyon Fabaceae seeds. Smith et al. (2003)said that seed collection activity shouldaim to ensure that seed had beencollected at peak quality such that theirlongevity in the seed bank is optimal. Seedmaturity was therefore an importantconsideration; harvest too early andlosses may be incurred because the seedshave not yet acquired desiccationtolerance and because the seeds looseviability more rapidly in storage due toimpaired longevity.
Kaliandra (Calliandra tetragonaBenth.) and Akasia (Acacia tamarin-difolia (L.) Willd.), from Fabaceaefamily or well known as legumes, werethe chosen species in this study. C.
tetragona species, which has whiteflowers, has proved to be slower growingthan C. calothyrsus. Kaliandra treesmature rapidly and usually flower andbear fruit within their first year. InIndonesia they set flower year-round butmost seed produced in June-September.Akasia leaves were used to in rationsmixed with ammoniated rice straw andmaize hominy, it was evaluated forgrowing goats in Venezuela. The role oflegumes, with their nitrogen fixingcapability, energy resources as fuel woodand woodland understories, should be animportant component of prairerestoration or rangeland rehabilitationefforts in the future (Dittus & Muir2010). To obtain seed for planting, thepods are collected when they turn brown.After 1 or 2 days of drying in the sun,they open to expose the seed inside. Theseeds can be germinated withouttreatment, but they germinate morequickly if boiling water is poured overthem and they are allowed to cool andsoak for 24 hours or seed physicalscarification (Anonymous 1983).
Seedling quality depends on theability to produce new roots quickly, awell developed root system, a large rootcollar diameter and a balanced shoot: rootratio. The shoot : root ratio is an importantmeasure for seedling survival. It relatesthe transpiring area (shoot) and to thewater absorbing area (root) (www.-w o r l d a g ro f o re s t r y c e n t re . o rg - /N u r s e r y M a n u a l s / C o m m u n i t y /SeedQuality.pdf). The reason to dividecanopy strata for seed procurement wasthe difference of sunlight absorbed bycanopy. van Noordwijk & Lusiana (2002)
245
Affect of Canopy Stratum and Methods of Breaking Seed
said that sunlight as one of environmentalfactors that might influence tree growthsuch as the growth of fruits, trunks,leaves and roots. The two other factorsare nutrients and water. Sitompul (2002)also said that plant biomass productionincluding the economical part (part forharvesting) was resulted by photo-synthesis process. Sunlight is as animportant source for photosynthesisprocess on plant. Also it influenced theproduction of seeds as photosynthesisresult. Meanwhile, the canopy stratifi-cation was the important point to knowwhich canopy strata has good seeds togerminate. The aims of this study wereto compare 2 tree canopy stratumposition to collect the fruits and 3 methodsof breaking seed dormancy on Kaliandraand Akasia seedlings growth as bio-energy resources.
MATERIALS AND METHODS
The research was conducted inCibodas Botanical Garden (CBG) areafor 4 months from July until November2009. The activities included seedprocurement, seed selection, observationon seed germination and seedling growthmeasurements (shoot and root length).The seeds were collected from standson CBG. After seed selection has beendone, the seeds were sowed into sandmedia in the pot-tray inside CBG’s glasshouse. The data of seed viability werecollected every 2 days. Themeasurement of shoot and root lengthwere collected in the end of observationor when the seedlings was 3 months oldafter germination. The experimental
design consisted of 2 legume species: 1)Kaliandra (Calliandra tertagonaBenth.) and 2) Akasia (Acaciatamarindifolia (L.) Willd.), 2 canopystratification: 1) upper canopy and 2)below canopy; and 3 breaking seeddormancy methods: 1) control, 2)mechanical and 3) physical. Theexamined species were Kaliandra andAkasia, from Fabaceae family, wereselected for this study based on theirpotential for rehabilitation area(Anonymous 1983). To abrasive surfaceof seed coat on sand paper was appliedfor mechanical breaking seed dormancymethod. To soaking seed in to warmwater (80º C) for 12 hours was done asphysical scarification method. Eachexperimental unit consisted ofcombination between canopystratification and breaking seeddormancy. There are 6 treatment unitson seed observation. Each treatment unithas 100 seeds and only 20 seedlings weremeasured for shoot and root length. Theshoot length was measured from bottompoint of stem until point of growth of stem.The root length was measured from upperpoint of root growth until point of growthof root. One Way ANOVA was used inthis data analysis to find the affect ofcanopy stratification and breaking seeddormancy to seedlings growth.
RESULTS
The lowest seed viability wasshowed by Kaliandra’s seed on seed pro-curement from below canopy and con-trol breaking seed dormancy (14%). Thehighest percentage of seed viability
246
Indriani Ekasari
(93%) on Akasia’s seed is showed byseed procurement from upper canopyand control breaking seed dormancy. Thelowest percentage of seed viability (50%)on Akasia’s seed is showed by seed pro-curement from lower canopy and physi-cal breaking seed dormancy. On aver-age the percentage of mechanical break-ing seed dormancy method was lowerthan physical and control methods forAcacia’s seed germination.
Figure 1 showed the percentage ofseed viability versus treatment onseedling growth for Kaliandra dan Akasiaspecies.
The data of shoot growth interac-tions among canopy stratification, break-ing seed dormancy and two examinedspecies was significant. The data forshoot growth of Kaliandra dan Akasiaspecies can be seen on Table 1. Shootgrowth on seedlings of two species wereaffected by different canopy strata ofseed procurement and breaking seed dor-mancy methods. The seeds which wereharvested from different canopy stratahave different ripen physiology.
The data of root growth interactionsbetween canopy stratification and twoexamined species was significant. Thereason was seeds have diverseandcomplex responses to the environ-mental stress during seed developmentand it decreased seed quality. Dewley& Black (1994) said that stresses suchas water deficits, low or hightemperature, nutrient deprivation, andshading can occur at any time duringseed development. The effect of thesestresses on seed development may bemagnified and greater than the sum ofthe individual stresses. Furthermoreinteractions between breaking seeddormancy methods and two examinedspecies was significant choosing the rightbreaking seed dormancy method wasimportant for Fabaceae’s seeds. The datafor shoot growth of Kaliandra dan Akasiaspecies can be seen on Table 2.
DISCUSSION
Seed germination rates anduniformity are important factors inestablishing viable native species. Manylegumes have high percentage of
Figure 1. Graphic for percentage of seed viability versus treatment on seedling growth for
Kaliandra and Akasia species
247
Affect of Canopy Stratum and Methods of Breaking Seed
hardseededness. The most common andsuccessful methods for increasing waterupake by legume seed includesmechanical (seedcoat abrasion),immersion in sulphuric acid, and soakingin hot water (Haferkamp and others1984; Muir and Pitman 1987 in Dittus andMuir 2010). Kaliandra (Calliandratetragona Benth.) and Akasia (Acaciatamarindifolia (L.) Willd.) have anorthodox seed type and they also havedifferent ability to break the seeddormancy (Hong et al. 1998).Kaliandra’s seeds have very low abilityto breaking seed dormancy in controlmethod for breaking seed dormancy. This
Table 1. One Way ANOVA for shoots growth of Kaliandra and Akasia species.
Table 2. One Way ANOVA for shoots length of Kaliandra and Akasia species.
Source Df Mean Square
F
Canopy strata Breaking seed dormancy Species Canopy strata X Breaking seed dormancy Canopy strata X Species Breaking seed dormancy X Species Canopy strata X Breaking seed dormancy X Species Error
1 2 1 2 1 2 2
108
4.219 81.389
306.241 0.887
37.744 68.909 10.883
2.870
1.470ns 28.358** 106.704** 0.309ns 13.151** 24.010** 3.792*
Source Df Mean Square
F
Canopy strata Breaking seed dormancy Species Canopy strata X Breaking seed dormancy Canopy strata X Species Breaking seed dormancy X Species Canopy strata X Breaking seed dormancy X Species Error
1 2 1 2 1 2 2
108
10.561 174.481 140.833
7.899 37.856
181.592 17.980
8.931
1.182ns 19.535** 15.768** 0.884ns 4.239* 20.332** 2.013ns
condition was different to Akasia’s seeds,they could break seed dormancy incontrol method. the data showed that allseeds which were collected from uppercanopy have higher percentage on seedviability than from the lower canopy. OnKaliandra’s seed, the unit for seedprocurement from upper canopy andmechanical breaking seed dormancyshowed the highest percentage ofviability (100%). Different canopystratification has an affect on seedgermination on Kaliandra. The uppercanopy has received more sunlightradiation than lower canopy, it increasesthe ability of seed germination. Sitompul
248
Indriani Ekasari
(2002) said that the affect of sunlightradiation on plant growth can be seenclearly on plant that grows below anotherplant. The plant growth was slower thanplant that grows upper the below plant.The mechanical breaking seed dormancyhas the higher affect on seed viability thanother breaking seed dormancy forKaliandra’s seed. Baskin and Baskin(2001) said that is caused by mechanicalbreaking seed dormancy method willcreate a small hole in the seed coat andwater enters through this opening.
Baskin & Baskin (2001) said thatthe mechanical method did not work wellfor thick-coated seeds like those of Aca-cia spp.
It occurs when photosynthesis wasnot in good process in all canopy strata.Schmidt (2000) said that the highphysiology quality was needed to gainviability capacity and high seed vigor, andit will (Bewley & Black 1994) take alonger time for very young embryos togerminate than older ones and the formerdependent on the nutrient medium forsurvival than the latter. This is becauseearly during development the embryosinitially lack sufficient nutrients to supporttheir development to the germinationstage, and also lack nutrients and storedreserves to support germination and post-germination growth.
CONCLUSIONS
1.There were 2 canopy strata division forseed procurement, they were uppercanopy and lower canopy. The highestpercentage for seed viability onKaliandra (Calliandra tetragona
Benth.) and Akasia (Acaciatamarindifolia (L.) Willd.) was on seedprocurement from upper canopy.2.There were 3 breaking seed dormancymethods, they were control, physical andmechanical. The highest percentage forseed viability on Kaliandra was onmechanical breaking seed dormancymethod. And for Akasia seed was oncontrol breaking seed dormancy method.3.The data of shoot growth interactionsamong canopy stratification, breakingseed dormancy and two examinedspecies was significant. The data of rootgrowth interactions between canopystratification and two examined specieswas significant. Also for interactionsbetween breaking seed dormancymethods and two examined species wassignificant.
REFERENCES
Anonymous. 1983. Calliandra: A VersatileSmall Tree for the Humid Tropics.Innovations in Tropical Refores-tation. Report of an Ad Hoc of theAdvisory Committee on Techno-logy Innovation Board on Scienceand Technology for InternationalDevelopment Office of Internatio-nal Affairs National researchCouncil. National Academic Press.Washington, D.C. USA.
Baskin, CD. & JM. Baskin. 2001. Seeds.Ecology, Biogeography, andEvolution of Dormancy andGermination. Scool of BiologicalSciences. University of Kentucky.Academic Press. USA.
249
Affect of Canopy Stratum and Methods of Breaking Seed
Bewley, JD & M. Black. 1994. Seeds.Physiology of Development andGermination. Second Edition.Plenum Press. New York. USA.
Dittus, DA. & JM. Muir. 2010. BreakingGermination Dormancy of TexasNative Perennial HerbaceousLegumes. J. Nat. Plants 11:5-10.
Hong, TD., S. Linington & RH. Ellis.1998. Compendium of Informationon Seed Storage Behaviour.Volume Two I-Z. Royal BotanicGardens, Kew. England.http://dictionary.sensagent.com/seed/en-en/, 2009
Sahupala, A. 2007. Teknologi Benih.Pelatihan Penanaman Hutan diMaluku dan Maluku Utara,Ambon. Panitia ImplementasiProgram NFP-FAO RegionalMaluku dan Maluku Utara.Indonesia.
Schmidt, L. 2002. Pedoman PenangananBenih Tanaman Hutan Tropis danSub Tropis. Direktorat Jendral
Rehabilitasi Lahan dan PerhutananSosial. Departemen Kehutanan.Jakarta. Indonesia.
Smith, RD., JB. Dickie,SH. Linington,HW. Pritchard, &RJ. Probert.2003. Seed Conservation. TurningScience Into Practice. RoyalBotanic Garden Kew. England.
Van Noordwijk. M & B.Lusiana. 2002.WaNuLCAS. Model Simulasiuntuk Sistem Agroforestri.International Centre for Researchon Agroforestry. Southeast AsianRegional Research Programme.Bogor. Indonesia.
Sitompul, SM. 2002. Radiasi dalamSistem Agroforestri. Bahan Ajar 5.WaNuLCAS. Model Simulasiuntuk Sistem Agroforestri. Inter-national Centre for Research onAgroforestry. Southeast AsianRegional Research Programme.Bogor. Indonesia.
w w w. w o r l d a g r o f o r e s t r y . o r g /NurseryManuals/Community/SeedQuality.pdf, 2010.
Received: Juli 2010Accepted: April 2011
251
Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 251-261 (2011)
Shoot Tip Culture of Nepenthes albomarginata Lobb ex Lindl. In Vitro
Lazarus Agus Sukamto1, Mujiono2, Djukri2, & Victoria Henuhili2
1Research Center for Biology – Indonesian Institute of Sciences. Jl. Raya Jakarta - BogorKm 46 Cibinong 16911, E-mail: [email protected]
2Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta
ABSTRAK
Kultur Pucuk Tanaman Nepenthes albomarginata Lobb ex Lindl. secara In Vitro. N.albomarginata adalah kantong semar kerah putih (white collared pitcher plant), salah satutanaman pemakan serangga yang sangat menarik sebagai tanaman hias. Tanaman ini terancampunah karena pengambilan dan kerusakan habitatnya. Penelitian perbanyakan secara in vitrodilakukan dengan menggunakan pucuk tanaman N. albomarginata pada media formulasisetengah Murashige and Skoog (1/2 MS) dengan tambahan zat pengatur tumbuh 6-benzyladenine (BA) 1 mg l-1 dengan atau tanpa kombinasi dengan á-naphthalene acetic acid(NAA) atau 4 amino 3,5,6, trichloropicolinic acid (Picloram) 0.5, 1, 1.5, and 2 mg l-1. Perlakuankombinasi BA 1 mg l-1 dengan NAA 0.5 mg l-1 menghasilkan pertambahan tinggi tanamanterbesar. Tanaman menghasilkan jumlah daun terbanyak pada kontrol. Perlakuan BA 1 mg l-1
menumbuhkan tunas aksilar terbanyak, sedangkan kombinasinya dengan NAA 1.5 mg l-1
merupakan perlakuan yang dapat menghasilkan tunas adventif. Kombinasi BA 1 mg l-1 danNAA 2 mg l-1 menginduksi kalus terbaik. Tanaman yang dihasilkan belum membentuk akar,tetapi pertumbuhan lebih lanjut dapat membentuk perakaran dan dapat hidup di luar botolkultur setelah diaklimasi.
Kata kunci: Nepenthes albomarginata, tanaman pemakan serangga, kantong semar, kulturpucuk tunas, in vitro
INTRODUCTION
Carnivorous plant has an adaptationstrategy to unfavorable conditions, mostlyto low nutrient availability in wet and acidsoils (Adamec 1997), considers havingcriteria of catching or trapping prey, ab-sorbs metabolites from prey, and utilizesthese metabolites for growth and devel-opment (Lloyd 1942). The plants consistof over 600 species, out of a total about300,000 species of vascular plants in theworld (Adamec 1997). The genus Ne-penthes produce pitchers from its leaf
tips, consists of 129 species, the largestgenus of carnivorous plant in the world(Anonym 2010). There are many newnatural and artificial hybrids among thegenus Nepenthes (D'Amato 1998; Ano-nym 2010; Merbach & Merbach 2010).The distribution of Nepenthes is restrictedto tropical areas of the old world. Its habi-tats are very diverse: limestone cliffs thatcontinually damp, sand areas that havewet and dry season, swamps that underwater part of the year, sea shores, epi-phytes on tree plants, and creepers onthe surface of the soil (Pietropaolo &
252
Sukamto et al.
Pietropaolo 1986).These plants have been used for
medication, the fluid of unopened pitch-ers have been used as a laxative, rem-edy for burns, coughs, inflamed eyes, bedwetter's, fever, stomachache, dysentery,and various skin disorders. The openpitchers have been used as pots to carrywater and cook food, the vines have beenused as a cordage; and use for ornamen-tal purposes (Perry & Metzger 1980;Pietropaolo & Pietropaolo 1986; Phillips& Lamb 1996; D'Amato1998;Puspitaningtyas & Wawangningrum2007).
N. albomarginata is one of the car-nivorous plants, a tropical plant native toBorneo, Sumatra, and the Malay Penin-sular, characterized by coriaceous leaf intexture and lack of petioles, tendrils areup to 20 cm long, an attracted white col-lar of velvety hairs directly beneath theperistome, pitcher size can be up to 15cm high, the color usually is green, butthere are red, purple, and black forms. Itfeeds mainly on termites (D'Amato 1998;Moran et. al. 2001; Merbach & Merbach2010).
Nepenthes spp. in Southeast Asiaare in danger of extinction because of overexploitation, clear-cut deforesting, areaconversion to settlements, mount erup-tion, climate change, and pollution(D'Amato 1998; Puspitaningtyas &Wawangningrum 2007). These plantscould be propagated by seed, stem cut-ting, air layering, and ground layering(Pietropaolo & Pietropaolo 1986). Sexualpropagation by seed has pollination prob-lem because male and female flowersoccurred on different plants. Vegetative
propagation by cutting or layering takeslong time and low results. Vegetativepropagation by tissue culture (in vitro) isa good choice to get a lot number of uni-form plants in relatively short time in or-der to conserve, reduce exploitation onwild stocks, and replenish declining popu-lations in the habitat.
Some carnivorous plants had beenpropagated successfully by tissue culture,such as Cephalotus follicularis (Adamset al. 1979a), Dionaea muscipula(Teng1999; Jang et al. 2003), Droseraintermedia, D. hilaris, D. brevifolia, D.rotundifolia, D. capensis, D. binata,D. omissa, D. peltata, D. indica(Kulkulczansa 1991; Anthony 1992;Sukamto 1999; Kim & Jang 2004;Jayaram & Prasad 2007), Drosophyllumlusitanicum (Goncalves & Romano,2005), Nepenthes khasiana (Latha &Seeni 1994), Pinguicula moranensis, P.lusitanica (Adams et al. 1979b;Goncaves et. al. 2008), and Urticulariainflexa (Ram et al. 1972). The best for-mulation of culture medium was ½ MS(Anthony 1992; Kim & Jang 2004;Goncalves et al. 2008). There is no re-port on N. albomarginata tissue culture;those successes on other carnivorousplants could be used as references for invitro propagation of N. albomarginata.
MATERIALS AND METHODS
Seeds of N. albomarginata origi-nated from West Sumatra, grown in vitroon half strength of macro and micro ele-ments of MS basal medium formulation(Murashige & Skoog 1962). Plantletsgrown from the seeds in vitro were cut
253
Shoot Tip Culture of Nepenthes albomarginata Lobb ex Lindl.
their 1 cm shoot tips with five leaves usedas explants. Each explant was grown oneach culture bottles that contain 20 mlmedium of ten series treatments with 12replications. There were 120 shoot tipexplants of N. albomarginata for experi-mental study.
Media culture based on MS basalmedium consisted of Mg SO4.7H2O 185mg l-1, CaCl2.2H2O 220 mg l-1, KNO3950 mg l-1, NH4.NO3 825 mg l-1,KH2PO4 85 mg l-1, FeSO4.7H2O 13.9mg l-1, MnSO4.7H2O 11.15 mg l-1,ZnSO4.7H2O 4.3 mg l-1, H3BO3 3.1 mgl-1, glycine 2 mg l-1, vitamin B1 0.1 mg l-1, vitamin B6 0.5 mg l-1, nicotinic acid0.5 mg l-1, KI 0.415 mg l-1, CoCl2.6H2O0.0125 mg l-1, CuSO4.5H2O 0.0125 mgl-1, NaMoO4.2H2O 0.0125 mg l-1, myo-inositol 100 mg l-1, sucrose 20 g l-1, andphytagel 2 g l-1 with addition of BA at 1mg l-1 with or without NAA or Picloramat 0.5, 1, 1.5, 2 mg l-1. The pH was ad-justed to 5.7 - 5.8, before it was auto-claved. The medium of 20 ml was pouredinto 100 ml culture bottle, autoclaved at1210C and 1 kg cm-2 pressure for tenminutes.
The experimental design was a ran-domized complete design (RCD) with onefactor of hormone doses. There were tentreatments: (1) 0.5 MS (control), (2) BA1 mg l-1, (3) BA 1 mg l-1 + NAA 0.5 mgl-1, (4) BA 1 mg l-1 + NAA 1 mg l-1, (5)BA 1 mg l-1 + NAA 1.5 mg l-1, (6) BA 1mg l-1 + NAA 2 mg l-1, (7) BA 1 mg l-1+ Picloram 0.5 mg l-1, (8) BA 1 mg l-1 +Picloram 1 mg l-1, (9) BA 1 mg l-1 +Picloram 1.5 mg l-1, (10) BA 1 mg l-1 +Picloram 2 mg l-1. The cultures were in-cubated at 26 ± 1 0C under 16:8 photo-
period with TL lamp 40 watt.The parameter growth of increas-
ing plantlet height, increasing leaf num-ber, axillary shoot number, adventitiousshoot number, percentage of dried leaf,percentage of forming calli, quantitativeand qualitative calli, and root formationwere recorded every 2 weeks until 12weeks of culture (WOC). Increasingplantlet height was measured bysubstracting plantlet height to plantletheight 2 weeks before. This measure-ment was also same for increasing leafnumber. Axillary shoot is the shoot grownfrom node, whereas adventitious shoot isthe shoot grown from other parts of thenode. Good callus is white color, wet, andcan grow further, whereas bad callus isblack color, dry, and did not grow further.Data were analyzed with analysis of vari-ance (ANOVA) to know differencesamong treatments, followed withDuncan's multiple range test (DMRT),Procedure of Statistical Product and Ser-vice Solution (SPSS) 12.00 for Windows.
RESULTS
Increasing Plantlet Height and LeafNumber
Hormone treatments were not sig-nificantly different on increasing plantletheights of N. albomarginata but the av-erage of plantlet height was higher incontrol than other treatments on 2 WOC.The explants produced the highest plant-lets on 4 WOC in media with addition ofBA 1 mg l-1 or its combination with NAA1 mg l-1. Later on, shoot tips of N.albomarginata produced the highestplantlets on 6 - 12 WOC in media with
254
Sukamto et al.
addition of BA 1 mg l-1 + NAA 0.5 mg l-1. Increasing plantlet height decreased byincreasing NAA doses combined withBA; even combination of BA and Piclo-ram at 1 - 2 mg l-1 did not have any in-creasing plantlets height (Figure 1 A; Table1).
N. albomarginata shoot tips pro-duced the highest leaf number in controlon 2 - 4 WOC. The addition of BA 1 mgl-1 + NAA 0.5 mg l-1 produced the high-est leaf number on 6 - 10 WOC. Theaddition NAA at higher dose than 0.5 mgl-1 inhibited leaf growth (Figure 1 B).Later on, N. albomarginata producedthe highest leaf number in control on 12WOC (Table 1).
Axillary and Adventitious ShootNumbers
Shoot tip explants of N.albomarginata have not produced any
axillary shoot on 2 WOC. They startedto produce axillary shoots at BA 1 mg l-1treatment or it's combined with NAA 0.5mg l-1 and NAA 1.5 mg l-1 on 4 WOC.Axillary shoot number at BA 1 mg l-1was significantly higher compared tothose other treatments on 6 - 12 WOC,its combination with NAA inhibited pro-ducing axillary buds. The combination ofBA and Picloram did not produce anyaxillary shoot (Figure 2 A; Table 1).
Shoot tip explants of N.albomarginata started to produce adven-titious shoots in media with addition ofBA 1 mg l-1 + NAA 1.5 mg l-1 on 6 WOC(Figure 2 B). The other treatments didnot produce any adventitious shoot (Table1)
Dried leafExplants had been cut and grown in
media culture, became stress and showed
Hormone Treatments
(l-1)
Increasing Shoot Numbers Dried Leaf (%)
Callus Formation
Height (mm)
Leaf Number
Axillary Adventi. % Quan
tit.
Qualit.
1/2 MS (Control) 3.50 ab 5.58 a 0.00 b 0.00 a 24.12 de 0.00 c - -
BA 1.0 3.50 ab 4.92 ab 1.58 a 0.00 a 9.20 e 0.00 c - -
BA 1.0+NA 0.5 4.08 a 5.42 a 0.17 b 0.00 a 12.02 e 8.33 bc + bad
BA 1.0+NA 1.0 3.58 ab 4.92 ab 0.00 b 0.00 a 39.25 d 8.33 bc + bad
BA 1.0+NA 1.5 2.83 b 3.83 bc 0.08 b 0.25 a 59.67 c 8.33 bc + good
BA 1.0+NA 2.0 1.67 c 3.58 c 0.00 b 0.00 a 61.37 c 41.67 a ++++ good
BA 1.0+Pic 0.5 1.18 c 1.64 d 0.00 b 0.00 a 80.62 b 0.00 c - -
BA 1.0+Pic 1.0 0.00 d 0.27 e 0.00 b 0.00 a 94.15 ab 36.36 ab +++ good
BA 1.0+Pic 1.5 0.00 d 0.00 e 0.00 b 0.00 a 100.00 a 25.00 abc ++ bad
BA 1.0+Pic 2.0 0.00 d 0.00 e 0.00 b 0.00 a 100.00 a 33.33 ab ++ bad
Table 1. Effects of BA, combined with NAA or Picloram on growth, dried leaf and callus formation of N. albomarginata shoot tip on 12 WOC
Notes: Means in the same group followed by the same letter in the columns are not significantly different based on DMRT test at the 5% level
255
Shoot Tip Culture of Nepenthes albomarginata Lobb ex Lindl.
A) B)
Figure 1. Effect of hormone treatments on increasing plantlet height (A) and increasing leaf
number (B) of N. albomarginata every 2 WOC A) B)
Figure 2. Effect of hormone treatments on axillary shoot number (A) and adventitious shootnumber (B) of N. albomarginata every 2 WOC
drying their leaves 24.12%. The additionof BA 1 mg l-1 and its combination withNAA 0.5 mg l-1 could decrease dried leaf9.20% and 12.02% consecutively, eventhough it was not significantly different.Combination of BA 1 mg l-1 with NAA
0.5 - 2 mg l-1 increased substantially thedried leaf, even combination of BA 1 mgl-1 with Picloram 0.5 - 2 mg l-1 causeddeadly the explants, especially all explantsdied at Picloram 1,5 - 2 mg l-1 (Figure3a; Table 1).
A) B)
Figure 3. Effect of hormone treatments on dried leaf percentage (A) and calli percentage (B)of N. albomarginata every 2 WOC
256
Sukamto et al.
Callus formationShoot tip explants of N.
albomarginata started to produce cal-lus in BA 1 mg l-1 + NAA 1.5 mg l-1on 6 WOC. Then, producing calli oc-curred in BA 1 mg l-1 combined withNAA 1 - 2 mg l-1 or Picloram 1 - 2 mgl-1 on 8 WOC (Figure 3b). The best calliproduction occurred on combination BA1 mg l-1 with NAA 2 mg l-1 (Table 1).Resulted calli of N. albomarginata werewet, white color, and compact on BA 1mg l-1 + NAA 2 mg l-1, but white colorand friable on BA 1 mg l-1 + Picloram 1mg l-1 treatments.
Root formationAll plantlets derived from the treat-
ments did not produce any root. How-ever, eventually, plantlets grew furthercould produce pitchers and roots in vitro(Figure 4). These plantlets were accli-matized and could survive in mixturemedia of soil, sand, compost, coco peat,and burned rice hulls in vivo.
DISCUSSION
The average of plantlet height of N.albomarginata was higher in control thanother treatments on 2 weeks of culture.It could be the shoot tip explants havenot adapted on media with addition ofexogenous hormones. Later on, shoot tipsof N. albomarginata produced the high-est plantlets in media with addition of BA1 mg l-1 + NAA 0.5 mg l-1 on 6 - 12weeks of culture. It showed the shoot tipshave adapted to BA and NAA hormones.Increasing plantlet height decreased byincreasing NAA doses combined withBA. It indicated that combination of BA1 mg l-1 and low dose of NAA (0.5 mg l-1) caused synergism effect. This resultwas agreed with Windasari (2004) onshoot tip culture of Chrysanthemummorifolium; Goleniowski et. al. (2003) onmeristem culture of Origanum vulgare xapplii. The high dose of NAA greatlystimulate ethylene formation, which it in-hibits elongation of stems and roots(Salisbury & Ross, 1978). Combinationof BA and Picloram at 1 - 2 mg l-1 did
Figure 4. N. albomarginata culture in vitro (left) and . N. albomarginata ac climatized invivo (right)
257
Shoot Tip Culture of Nepenthes albomarginata Lobb ex Lindl.
not have any increasing plantlets height.It because Picloram considers as hor-mone and also strong herbicide that isstronger than other auxins for inhibitingorganogenesis (Davis & Olson 1993) andPicloram disturbs DNA transcription andRNA translation that inhibits producingenzyme for growth regulator (Salisbury& Ross 1978).
N. albomarginata plantlets pro-duced the highest leaf number in controlon 2 - 4 weeks of culture, but the addi-tion of BA 1 mg l-1 + NAA 0.5 mg l-1produced the highest leaf number on 6 -10 weeks of culture. It showed the plant-lets have adapted to BA and NAA hor-mones and caused synergism effect toimprove increasing leaf number on lowerdose of NAA. The same result had beenreported by Chairunnisa (2004) on in-creasing leaf number of Chrysanthemum.NAA is an auxin that could increase leafnumber (Lyndon 1990). However, theaddition NAA at dose higher than 0.5 mgl-1 inhibited leaf growth. The similar re-sult also reported by Windasari (2004) onChrysanthemum morifolium. Later on,N. albomarginata produced the highestleaf number in control on 12 weeks ofculture. It could be plantlets had been ex-posure long enough to the hormones thatinhibited producing leaf number.
Plantlets of N. albomarginata pro-duced axillary shoots that was signifi-cantly higher at BA 1 mg l-1 comparedto those other treatments on 6 - 12 weeksof culture. It showed that BA is an im-portant cytokinin that releases apicaldominance and stimulates outgrowth ofaxillary shoot (Bidwell 1979). The addi-tion of NAA inhibited activity of BA and
also inhibited producing axillary buds. Itrelated to the ratio cytokinin to auxin thatis an important to control morphogenesis,high values of ratio cytokinin to auxinstimulate shoot formation (Skoog &Miller 1957). Combination of BA and Pi-cloram did not produce any axillary shoot.It showed that Picloram is stronger auxinthan NAA that inhibited axillary shootformation of N. albomarginata.
Plantlets of N. albomarginata pro-duced adventitious shoots only in mediawith addition of BA 1 mg l-1 + NAA 1.5mg l-1. It showed that combination ofBA 1 mg l-1 and NAA 1.5 mg l-1 wasthe right dose for initiating adventitiousshoots. This result has agreed withBidwell (1979) that interaction of cytoki-nin with auxin at the right dose could in-duce organ formation.
The addition of BA 1 mg l-1 and itscombination with 0.5 mg l-1 NAA inhib-ited leaf senescence, because cytokininsincluding BA could prevent chlorophyllloss (Bidwell 1979) and inhibits leaf se-nescence (Salisbury & Ross1978; DeKlerk 2010). Dried leaf of N.albomarginata explants decreased overtwice by addition of BA 1 mg l-1. Differ-ent result was obtained by Sukamto(2001), which BA mg l-1 increased twicedead explants. It happened because ofmedia, micro-environment (light & tem-perature) and culture period differences.Combination of BA 1 mg l-1 with NAAor Picloram 0.5 - 2 mg l-1 increased sub-stantially the dried leaf. It happened be-cause auxins (NAA & Picloram) couldincrease ethylene, high ethylene accumu-lation in the bottle culture caused leafsenescence (George 1996; De Klerk
258
Sukamto et al.
2010). NAA and Picloram at high con-centration could kill plants and catego-rize as effective herbicides (Salisbury &Ross 1978).
Shoot tip explants of N. albomar-ginata could produce callus at BA 1 mgl-1 + NAA 1.5 mg l-1, BA 1 mg l-1 +NAA 1 - 2 mg l-1 or Picloram 1 - 2 mg l-1 but did not produced any callus on con-trol, BA 1 mg l-1, BA + NAA or Piclo-ram at doses 0.5 mg l-1. It showed shoottip tissues of N. albomarginata did nothave enough auxin endogen. Ratio cyto-kinin to auxin is an important to controlmorphogenesis; low values of ratio cyto-kinin to auxin stimulate callus formation(Skoog & Miller 1957). Plant tissuesformed callus because of wounded tis-sue or stress (Kyte 1990). Resulted calliof N. albomarginata from BA 1 mg l-1+ NAA 2 mg l-1 were wet, white color,and compact, whereas from BA 1 mg l-1+ Picloram 1 mg l-1 were white color andfriable. Calli structures are important forfurther morphogenesis. Compact callistructures are usually produce adventi-tious shoot, whereas friable structure in-dicated embryogenic calli (Torres 1989).The similar results of Picloram effectwere reported by Vaverde et al. (1987)in embryogenesis of pejibaje palm; Omar& Novak (1990) in callogenesis of datepalm; Davis & Olson (1993) in organo-genesis of spurge.
All plantlets derived from the treat-ments did not produce any root. This ex-periment was only use 0.5 MS and BA +NAA or Picloram but did not use NAAalone or other auxins. Adventitious rootdevelopment is usually promoted by auxintreatment (Salisbury & Ross 1978). It
could be affected by inhibition of BA cy-tokinin to auxin's function or MS strength,and the auxin type. This result confirmedby Goncalves & Romano (2005) that thehighest rooting frequency was 0.25 MSand indole-3-butyric acid (IBA) at 0.2 mgl-1 on Drosophyllum lusitanicum cul-ture; Goncalves et al. (2008) reportedthat 0.25 MS and indole acetic acid (IAA)at 0.2 mg l-1 produced the highest root-ing frequency, NAA at 0.5 mg l-1 sup-pressed completely rooting response onPinguicula lusitanica culture.
This experiment revealed that shoottip culture of N. albomarginata couldgrow on 0.5 MS media with or withoutaddition of hormones, but axillary andadventitious shoots could not formed oncontrol. The highest increasing height ofplantlets occurred on combination BA 1.0mg l-1 and NAA 0.5 mg l-1, whereas thehighest increasing leaf number on con-trol. The best formation of axillary shootsoccurred on BA 1.0 mg l-1, whereas ad-ventitious shoot only occurred on BA 1mg l-1 + NAA 1.5 mg l-1. The best cal-lus occurred on BA 1 mg l-1 + NAA 2mg l-1. All plantlets did not produce rootbut eventually, plantlets grew further couldproduce pitchers and roots in vitro, alsosurvived after acclimatization in vivo. Thissuccessful propagation of N.albomarginata could be used for con-servation and increasing population.
ACKNOWLEDGMENTS
The authors thank to Dra. Hartuti-ningsih M. Siregar and Dr. Irawati whogave fruits of N. albomarginata for ex-per iments .
259
Shoot Tip Culture of Nepenthes albomarginata Lobb ex Lindl.
REFERENCES
Adams, RM., SS. Koenigsberg, & RW.Langhans. 1979a. In vitro propa-gation of Cephalotus follicularis(Australian pitcher plant). Hort.Sci. 144:512-513.
Adams, RM., SS. Koenigsberg, & RW.Langhans. 1979b. In vitro propa-gation of the butterwort Pinguiculamoranensis H.B.K. HortScience14(6):701-712.
Adamec, L. 1997. Mineral nutrition ofcarnivorous plants: a review. Bot.Rev. 63(3): 272-299.
A n o n y m o u s . 2 0 1 0 . N e p e n t h e salbomarginata. Wikipedia, theFree Encyclopedia. http://en.wiki-ped ia .o rg /wik i /Nepen thes_albomarginata.
Anthony, JL. 1992. In vitro propagationof Drosera spp. HortScience27(7):850.
Bidwell, RG.S. 1979. Plant Physiology.2nd ed. Macmillan Publishing Co.,Inc. New York.
Chairunnisa. 2004. Pengaruh PemberianZat Pengatur Tumbuh TerhadapPertumbuhan Chrysanthemumgrowth (Chrysanthemum sp. var.surf). [Skripsi]. Bogor: InstitutPertanian Bogor.
D'Amato, P. 1998. The Savage Garden,Cultivating Carnivorous Plants.Ten Speed Press. California.
Davis, DG. & PA. Olson. 1993. Organo-genesis in leafy spurge (Euphorbiaesula L.). In Vitro Cell Dev. Biol.Plant 29:97-101.
De Klerk, GJ. 2010. Plant hormones. In:
Kors, F.T.M. (ed.), Plant Cell andTissue Culture, Phytopathology,Biochemicals. Duchefa Cataloque2010-2012. Duchefa BiochemieB.V., The Netherlands. h. 18-23.
George, EF. 1996. Plant Propagationby Tissue Culture. Part 2 In Prac-tice. 2nd ed. Exegetics Limited.Great Britain.
Goleniowski, M., E. Flamarique, & P.Bima. 2003. Micropropagation oforegano (Origanum vulgare x appliifrom meristem tips. In Vitro CellDev. Biol. Plant 39:125-128.
Goncalves, S. & A. Romano. 2005.Micropropagation of Drosophyllumlusitanicum (Dewy pine), an endan-gered West Mediterranean en-demic insectivorous plant. Biod.Cons.14:1071-1081.
Goncalves, S., AL. Escapa, Grevenstuk,& A. Romano. 2008. An efficientin vitro propagation protocol forPinguicula lusitanica, a rare insec-tivorous plant. Plant Cell TissueOrgan Cult. 95:239-243.
Jang, GW., KS. Kim, & R.D. Park. 2003.Micropropagation of Venus fly trapby shoot culture. Plant Cell TissueOrgan Cult. 72:95-98.
Jayaram, K. & MNV. Prasad. 2007.Rapid in vitro multiplication ofDrosera indica L.: a vulnerable,medicinally important insectivorousplant. Plant Biotechnol. Rep.1:79-84.
Kim, KS. & GW. Jang. 2004. Micropro-pagation of Drosera peltata, a tu-berous sundew, by shoot tip culture.Plant Cell Tissue Organ Cult.77:211-214.
260
Sukamto et al.
Kukulczanka, K. 1991. Micropropagationand in vitro germplasm storage ofDroseracea. Botanic GardensMicropropagation News 1(4):37-42.
Kyte, L. 1990. Plants from Test Tubes,An Introduction to Micropropa-gation. Timber Press. Oregon.
Latha, PG. & S. Seeni. 1994. Multiplica-tion of the endangered IndianPitcher plant (Nepenthes khasiana)through enhanced axillary branch-ing in vitro. Plant Cell Tissue Or-gan Cult. 38:69-71.
Lloyd, FE. 1942. The CarnivorousPlants. Chronica Botanica Com-pany. Waltham, Mass., USA.
Lyndon, RF. 1990. Plant Development,The Cellular Basis. UnwinHyman Ltd. London.
Merbach, M. & D. Merbach. 2010. Ne-penthes from Borneo - Nepenthesalbomarginata. http://nepenthes.merbach.net/english/_albomargi-nata.html.
Moran, JA., MA. Merbach, NJ.Livingston, CM. Clarke, & WE.Booth. 2001. Termite prey special-ization in the pitcher plant Nepen-thes albomarginata - evidence fromstable isotope analysis. Ann. Bot.88:307-311.
Murashige, T. & F. Skoog. 1962. A re-vised medium for rapid growth andbioassays with tobacco tissue cul-tures. Physiol. Plant. 15:473-497.
Omar, MS. & FJ. Novak. 1990. In vitroplant regeneration and ethylmetha-nesulphonate (EMS) uptake in so-matic embryos of date palm (Phoe-
nix dactylifera L.). Plant Cell Tis-sue Organ Cult. 20:185-190.
Perry, LM. & J. Metzger. 1980. Medici-nal Plants of East and SoutheastAsia: Attributed Properties andUses. The MIT Press. England.
Phillips, A. & A. Lamb. 1996. Pitcher-plants of Borneo. Natural HistoryPublications (Borneo) Sdn. Bhd.,Malaysia.
Pietropaolo, J. & P. Pietropaolo. 1986.Carnivorous Plants of the World.Timber Press. Oregon.
Puspitaningtyas, DM. & H. Wawang-ningrum. 2007. Diversitas Nepen-thes di Taman Nasional SulasihTalang-Sumatra Barat. Biodiver-sitas 8(2):152-156.
Ram, MHY., H. Harada, & JP. Nitsch.1972. Studies on growth and flow-ering in axenic cultures of insec-tivorous plants: effects of photope-riod, ethrel, morphactin and a fewother growth substances and meta-bolic inhibitors on Urticulariainflexa. Z. Pflanzenphysiol. 68:235-253.
Salisbury, F.B. & C.W. Ross. 1978. Plantphysiology. 3rd ed. WadsworthPublishing Company. California.
Skoog, F. & CO. Miller. 1957. Chemicalregulation of growth and organ for-mation in plant tissues cultured invitro. Symp. Soc. Exp. Biol.11:118-140.
Sukamto, L.A. 1999. Kultur daunDrosera omissa Diels secara invitro. Buletin Kebun Raya Indo-nesia 9(1):1-6.
Sukamto, LA. 2001. Kultur Nepenthes
261
Shoot Tip Culture of Nepenthes albomarginata Lobb ex Lindl.
gracilis secara in vitro. ProsidingSymposium Nasional PengelolaanPemuliaan dan Plasma Nutfah.Bogor. 22 - 23 Agustus 2000. 685-690.
Teng, WL. 1999. Source, etiolation andorientation of explants affect in vitroregeneration of Venus fly-trap(Dionaea muscipula). Plant CellRep. 18:363-368.
Torres, KC. 1989. Tissue Culture Tech-niques for Horticultural Crops.Chapman & Hall. New York.
Received: January 2011Accepted: Aprl 2011
Vaverde, R., O. Arias, & TA. Thorpe.1987. Picloram-induced somaticembryogenesis in pejibaye palm(Bactris gasipaes H.B.K.). PlantCell Tissue Organ Cult. 10:149-156.
Windasari, A. 2004. Pengaruh KombinasiAuksin dan Sitokinin padaPerbanyakan Krisan Pot (Chrysan-themum morifolium) VarietasDelano Red Secara In Vitro.[Skripsi]. Bogor: Institut PertanianBogor.
263
Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 263-276 (2011)
Variasi Gen Mitokondria Cytochrome b pada Dua Jenis Burung KakatuaPutih (Cacatua alba dan C. moluccensis)
Dwi AstutiBidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Cibinong Science Centre, Jl. Raya Jakarta-
Bogor, Cibinong-Indonesia. E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Variation in The Mitochondrial Cytochrome b Gene in The Two White Cockatoo Species(Cacatua alba and C. molucensis). DNA sequence variation in the 791-bp of mitochondrialcytocrome b gene in the two white cockatoo species (C. alba and C. moluccensis) wereanalyzed in this study. Two pairs of internal primers used to amplify two fragments ofcytochrome b from 30 individuals cockatoo. The results show that there were genetic variationsamong individuals of C. alba and C. moluccensis. Twenthy eight haplotypes occured in 30individuals studied; 14 haplotypes (Hca1-Hca14) in 16 individuals of C. alba, and 14 haplotypes(Hcm1-Hcm14)in 14 individuals of C. moluccensis. Hca5 was dominant and owned by 3individuals (H37, KBS62, 28, BBP88). Within C. alba there were 18 variable sites, 0.00701 ofnucleotide diversity (Pi), 0.975 ± 0.035 of haplotype diversity (Hd), and 0.005 ± 0.002 of meangenetic distance. Whitin C. moluccensis there were 18 variable sites, 0.00830 of Pi, and 0.9999± 0.028 of Hd, and 0,010 ± 0.002 (0.001-0.010) mean genetic distance. Divergence between C.alba and C. moluccensis was 0.064 ± 0.088 %. Neigbor-joining (NJ) analysis showed two mainclusters consisted of : C. alba and C. moluccensis separately, and indicated that althoughthere were some variations in the DNA sequences, but the individuals within a species remainclustered in the same cluster.
Key words: genetic variation, mitochndrial cytochrome b, cockatoo bird, Cacatua alba, Cacatuamoluccensis
PENDAHULUAN
Di dunia terdapat 11 jenis kakatuaputih yg termasuk dalam marga Cacatua.Enam jenis diantaranya terdapat danendemik di kepulauan Indonesia, dan C.alba dan C. moluccensis merupakankakatua yang endemik di kepulauanMaluku. Menurut Forshaw (1989)secara umum burung kakatua memilikijambul di kepalanya dan paruh besar yangmelengkung dan kuat. C. moluccensismemiliki bulu tubuh dengan warna pink,
panjang tubuh 52 cm. C. alba bulutubuhnya putih dengan panjang tubuh 46cm.
Saat ini populasi kedua jenis kakatuatersebut di alam cenderung mengalamipenurunan, sehingga tercatat dalam danmenjadi prioritas dalam WorldConservation Union, IUCN 2006, dantermasuk ke dalam to appendics CITES;dimana C. moluccensis di dalamappendics I dan C. alba di dalamappendics II.
264
Dwi Astuti
Untuk tujuan conservasi dari keduajenis kakatua ini, maka berbagai penelitiandan kegiatan lain dilakukan baik secaraex-situ maupun in-situ. Semenjakpenangkaran diketahui berperan pentingdi dalam mekanisme konservasi satwalangka, maka upaya koservasi kedua jeniskakatua ini dilakukan di beberapa TamanMargasatwa dan penangkaran. Dariperspektif konservasi, harus diprioritas-kan pada kuantifikasi dan karakterisasitingkat diversitas genetiknya bagi semuasatwa terancam punah, karena ini dapatmenuntun kita dalam mengevaluasi efekgenetik dari perubahan populasi padamasa mendatang dan dapat dijadikansebagai petunjuk dalam pengelolaankonservasi yang bertujuan untuk menjagatingkat diversitas saat sekarang (Roques& Negro 2005). Satwa terancam punahmemiliki ciri dengan tingkat variasi genetikyang rendah, khususnya bila dibanding-kan dengan jenis kerabat yang tidakterancam punah (Ardern & Lambert1997; Spielman et al. 2004). Jadidiperlukan pengetahuan tentang variasiditingkat molekuler dengan menggunakananalisis penanda molekuler.
Penanda molekuler telah bergunauntuk menjawab berbagai pertanyaanmenyangkut upaya konservasi dan biologipopulasi pada berbagai jenis burung ,misal pada S. albifrons (Whittier et al.2006). DNA mitokondria adalah penandagenetik yang sangat penting digunakandalam mempelajari evolusi, kekerabatan,dan variasi genetik pada berbagai taxahewan (Kocher et al. 1989, Ingman etal. 2000) dan juga sering digunakan untukmengevaluasi diversitas genetik padaberbagai jenis burung (Gill et al. 2005;Martens et al. 2006). .
Cytochrome b adalah salah satu darigen pada mitokondria yang mengkodeprotein dan diketahui sebagai penandaDNA dalam mengungkap sejarah evolusihewan (Kocher et al. 1989; Montgelardet al. 1997; Prusak et al. 2004) bahkanuntuk mempelajari variasi genetik padatingkatan jenis maupun marga padamamalia, burung, reptile, ikan dan hewanvertebrata lainnya. Pada ikan margaCynolebia, cytochrome b menunjukkantingkat divergensi sekuen yang tinggi (28%) antara jenis-jenis ikan tersebut (Garciet al. 2000), namun pada Macruronusmenujukkan kurangnya diferensiasigenetik (Olavarria et al. 2006).
Pada penelitian ini dilakukan analisispada sekuen DNA dari mitokondriacytochrome-b pada dua jenis burungkakatua; Cacatua alba dan C.moluccensis untuk mengetahui variasigenetik diantara individu dalam satu jenis(intraspecies) maupun beda jenis(interspecies).
BAHAN DAN CARA KERJA
Tiga puluh (30) sampel darah darimasing-masing individu burung kakatua(C. alba dan C. moluccensis) dikoleksidari taman Margasatwa, penangkaran,maupun Taman Burung di Indonesia.Darah dipreservasi dengan etanol absolutdi dalam tabung plastik 2 mL dan disimpandalam almari es pada temperatus 4 ºC diLaboratorium Genetika, Bidang Zoologi-Puslit Biologi_LIPI, Cibinong. DNA totaldiekstraksi dari masing-masing sampel,dengan menggunakan DNA ExtractionMini Kid Qiagen. Larutan DNA yangdidapat di simpan dalam almari es 4 ºCdan untuk selanjutnya digunakan pada
265
Variasi Gen Mitokondria Cytochrome b pada Dua Jenis Burung
L14841 L15424
H15547 H15767
791-bp
cytochrome b
proses analisis berikutnya. Probocigeraterrimus digunakan sebagai outgroupdalam mengkonstruksi pohon NJ.
Dua fragmen dari gen cytochromeb diamplifikasi melalui proses PCRdengan menggunakan dua pasang primerinternal: L14841 (Kocher et al. 1989) /H 15547 dan L15424/H15767 (Edwardset al. 1991). Posisi primer-primer inidigambarkan pada Figure 1. Larutanuntuk PCR dibuat dalam volume 20 ìL ,dan dalam kondisi 35 siklus dari(denaturasi 94°C - 1 menit; penempelan52°C -1 min; ekstensi 72°C -2 menit) dandilengkapi dengan 1 x siklus pada 72°C -10 min. Selanjutny 3 mL dari produk PCRdielektroforesis pada 1 % gel agarose dandirendam dalam larutan ethidium bromide,dan divisualisasi di bawah ultravioletilluminator. Sisa larutan produk PCRdipurifikasi dengan QIAquick(QIAGEN) dan kemudian disekuenDNA-nya pada dua sisi (forward-reverse) using the ABI Prism™ 3100automated sequencer. Primer yangdigunakan sama dengan primer PCR.
Proses mensejajarkan (aligment)sekuen DNA dari semua individu yangditeliti, dilakukan dengan denganmenggunakan perangkat lunak ProSeqsoftware. Karakter data sekuen DNA
seperti komposisi basa, subtitusi transisi-transversi, jarak genetik, situs bervariasi,dan sekuen variasi dianslisis mengguna-kan perangkat lunak MEGA3 (Kumar etal. 2004) . Diversitas nukleotida dandiversitas haplotipe dianalisis denganperangkat lunak DnaSP4. Data tersebutjuga dikonfirmasi ke asam amino untukmengetahui apakah fragmen DNA yangteramplifikasi adalah bener-benar targetyang diinginkan. Untuk mengkonfirmasibahwa variasi genetik yang terdapatdiantara individu dalam satu spesies tidakmempengaruhi dalam pengelompoka-nnya, maka dikonstruksi pohon neighbor-joining (Saitou & Nei 1987) berdasarkanKimura’s 2-parameter distance padaMEGA3 dan nilai bootstrap dianalisisdengan 1000 x pengulangan.
HASIL
Pasangan primer L14841/ H 15547mengamplifikasi fragmen DNAsepanjang sekitar 760-bp, sedangkanL15424-H15767 mengamplifikasifragmen 370-bp. Pada proses menseja-jarkan data sekuen DNA (aligment),sepanjang sekitar 100-bp data sekuenposisinya overlapping diantara dua setprimer tersebut. Disamping itu,
Gambar 1 Posisi dari primer-primer yang digunakan dalam mengamplifikasi gen cytochrome b. Garis tebal dengan angka 791- bp adalah posisi dan panjang sekuen DNA yang dianalisis pada penelitian ini.
266
Dwi Astuti
beberapa data sekuen DNA daribeberapa individu kakatua yang ditelititidak lengkap, sehingga hanya 791-bpyang dianalisis pada penelitian kali ini.Hasil dari proses menterjemahkan datasekuen DNA menjadi asam amino,menunjukkan bahwa fragmen ataupunsekuen DNA yang teramplifikasi, benar-benar merupakan gen target, iniditunjukkan dengan tidak terdapatnyastop codon sebagi ciri khas dari genpengkode protein.
Komposisi basa timin, sitosin, adenin,dan guanin pada sekuen DNAcytochrome b sepanjang 791-bpditampilkan dalam Tabel 1. Kompo-sisinya meliputi 40.3 % basa purine dan59, 7 % basa pirimidin. Komposisi guaninpaling rendah (14,2 %) dan sitosintertinggi (34,2 %). Ini juga terlihat padacytochrome b baik pada C. albamaupun C. moluccensis jika keduaspesies ini dianalisa secara terpisah.
Substitusi transisi dan transversiTransisi merupakan substitusi antara
dua basa purin (adenin dan guanin) atau
Posisi codon
Komposisi basa
C. alba C. moluccensis (C. alba & C. moluccensis)
T C A G T C A G T C A G
Total 25.8 34.0 26.5 13.7 25.5 34.4 25.7 14.4 25.5 34.2 26.1 14.2
ke-1 23.5 29.2 24.8 22.6 23.3 29.1 24.8 22.8 23.6 29.0 24.8 22.6
ke-2 38.6 28.0 20.0 13.4 38.4 28.0 20.3 13.3 38.5 27.6 20.1 13.7
ke-3 15.3 44.7 34.9 5.1 14.9 46.2 32.0 6.9 14.4 46.1 33.4 6.2
Tabel 1 : Komposisi basa di dalam 791-bp gen cytochrom b pada kakatua yang diteliti
antara dua basa pirimidin (timin dansitosin). Tranversi merupakan substitusibasa antara purin dan pirimidin. Table 2menampilkan frekuensi substitusi basayang terjadi pada 30 data sekuencytochrome b sepanjang 791-bp,terdapat 23 substitusi yang bersifattransisi, yang meliputi 11 purin (T <-->C) dan 12 pirimidin (A <--> G).Sedangkan substitusi transversi hanya 5.Jumlah transisi lebih banyak daritransversi, ditunjukkan baik pada C. albamaupun C. moluccensis.
Pada 30 individu yang dianalisis,substitusi basa terjadi paling banyak padaposisi codon 3 (20 substitusi) diikuti codonpertama (5 substitusi) dan kedua (4substitusi). Begitu juga jika analisisdilakukan secara terpisah, baik pada C.alba maupun C. moluccensis menunjuk-kan substitusi basa yang juga mengikutipola yang sama yaitu substitusi palingbanyak terjadi pada posis codon ketiga,diikuti posisi pertama dan kedua (Tabel2).
Jarak genetik antara individu-individuC. alba dengan C. moluccensis
267
Variasi Gen Mitokondria Cytochrome b pada Dua Jenis Burung
(between species) adalah 0.064 ± 0.088.Sedangkan jarak genetik di antaraindividu-individu di dalam satu jenis(within species) kakatua adalah 0.005 ±0.002 (0.001 – 0.015) pada C. alba, dan0.010 ± 0.002 (0.001-0.010) pada C.moluccensis.
Variasi sekuen DNA, diversitasnukleotida, haplotipe, dandiversitas haplotipe.
Dari semua data sekuen DNAsepanjang 791-bp pada 30 individukakatua, terjadi substitusi basa pada 63situs, ini menunjukkan adanya situs yangbervariasi (variable sites) sebesar sekitar8,8 % . Di antara individu-individu C.alba terdapat 18 (2,42 %) situs yangbervariasi , dan di antara individu-individuC. moluccensis terdapat 19 (2,44 %)situs yang bervariasi. Terdapatnyasubstitusi basa dintara sekuen DNAcytochrome b ini memperlihatkan adanyasusunan basa yang bervariasi dan jugatipe substitusi basanya, sehingga padapenelitian ini terdeteksi adanya haplotipe-
Positi kodon
C. alba C. moluccensis C. alba + C. moluccensis
ii si sv ii si sv ii si sv
Total 785 4 2 783 5 3 763 23 5
Ke-1 263 1 0 262 1 1 259 4 1
Ke-2 263 0 1 263 0 1 261 2 2
Ke-3 259 3 1 258 4 1 243 18 2
Catatan: ii = pasangan identik, si = transisi, sv = transversi.
Table 2 : Rata-rata frekuensi substitusi basa di dalam 791-bp dari cytochrome b pada C.alba dan C. moluccensis
haplotipe dari sekuen DNA gencytochrome b, baik dintara maupunantara jenis kakatua yang diteliti.
Jumlah situs yang mengalamisubsitusi diantara dua jenis C. alba danC. moluccensis relatif sedikit bahkankurang dari 10 %. Namun demikian darisejumlah situs yang bervariasi itumengahsilkan nilai diversitas nukleotidamaupun diversitas haplotipe yang tinggi.
Analisis dari seluruh 30 individu (16C. alba dan 14 C. moluccensis) yangditeliti secara keseluruhan terdapat 28haplotipe di dalam 791- bp cytochromeb. Haplotipe ini meliputi 14 haplotipe(Hca1-Hca14) terdapat pada C. alba,dan 14 haplotipes (Hcm1-Hcm14) padaC. moluccensis. Tiga individu (H37,KBS62, dan BBP88) memiliki haplotipeyang sama yaitu Hca5. Ini artinya bahwahaplotipe Hca5 adalah paling dominandan ketiga individu tersebut memilikiurutan sekuen DNA yang sama atautidak tejadi substitusi basa diantaraketiganya. Mengejutkan, bahwa di antaraindividu-individu C. moluceensis, tidak
268
Dwi Astuti
ada satupun individu yang memiliki urutansekuen DNA yang sama. Sehingga inimemunculkan haplotipe yang berbedasatu dengan lainnya dan tidak adahaplotipe yang dominan pada C.moluccensis. Situs yang bervariasi,variasi sekuen DNA, dan gambaranhaplotipe disajikan pada Tabel 3.
Parameter diversitas meliputi ba-nyaknya variasi, diversitas nukleotida,jumlah dan diversitas haplotipe yangterdapat pada sekuen DNA cytochromeb pada semua individu (Tabel 4).
Tabel 4 menunjukkan, bahwadiversitas nukleotida dan haplotipe dariC. moluccensis relatif lebih tinggi dariC. alba.
Analisis Neighbor-joining Analisis pohon Neighbor-joining
(NJ) menghasilkan 2 kelompok yangterpisah secara jelas yaitu: 1) kelompokyang terdiri dari individu-individu C.alba, dan 2) kelompok individu-individuC. moluccensis, yang masing-masingdidukung dengan nilai bootstrap 100 %.Kedua jenis dipisahkan dengandivergensi sekuen 6,4 %. Kelompok C.alba terbagi menjadi 2 kelompok utama,sedangkan pada C. moluccensis duaindividu Bn9 dan Bn10 terpisah dariindividu-individu lainnya. Individu-individuC. moluccensis dengan kode BBPterpisah dari individu-individu TMR danKBY, namun pengelelompokan di dalamkelompok C. alba maupun kelompok C.moluccensis hanya didukung nilaiboostrap kurang dari 50 %. Pohon NJ(Gambar 2) memperlihatkan bahwaindividu-individu satu jenis mengelompokpada kelompok yang sama.
DISKUSI
Komposisi basa pada kedua kakatuaini sesuai dengan cytochrome b padaburung lain (e.g Turdus: Pan et al. 2007),vertebrata lain (Prusak & Grzybowski2004) termasuk ikan (Abol-Munafi et al.2007). Ciri khas dari gen pengkodeprotein termasuk cytochrome b adalahkomposisi guanin menempati palingrendah dan sitosin yang tertinggi(Avise1994). Seperti yang dikatakan olehBrown et al. (1982) bahwa biasanyasubstituti transisi lebih dominan terjadidibandingan dengan transversi. Basapurin (A ad G) memperlihatkan terjadinyasaturasi pada tingkat divergensi yangrendah dibandingkan pirimidin (T dan C),itu menyebabkan frekuensi A dan Gmenjadi jauh berbeda dari frekuensi Cdan T (Kocher & Carleton 1997). Polasubstitusi basa dimana substitusi palingbanyak terjadi pada posisi codon ketiga,diikuti posisi pertama dan kedua, inisesuai dengan pola substitusi pada DNAmitikondria khususnya gen cytochromeb pada beberapa kelompok burunglainnya misalkan Turdus (Pan et al.2007).
Hasil analisis terhadap jarak genetikmenunjukkan dengan pasti, bahwa antaradua jenis yang berbeda memiliki jarakgenetik lebih tinggi dibandingkan dengandi antara individu-individu pada jenis yangsama (intraspecies). Rata-rata jarakgenetik antara individu pada C.moluccensis (0.010 ± 0.002) lebih tinggidari C. alba (0.005 ± 0.002), dan jarakdi antara kedua jenis adalah 0.064 ±0.088. Jarak genetik pada Oryx 0.062(Khan et al. 2008). Dilaporkan Dai et
269
Variasi Gen Mitokondria Cytochrome b pada Dua Jenis Burung
Tabl
e 3
: Situ
s nuk
leot
ida y
ang
berv
aria
si d
an ti
pe h
aplo
tipe d
i dal
am 7
91-b
p se
kuen
DN
A d
ari g
en cy
toch
rom
e b N
oSa
mpe
lJe
nis
Situ
s nu
kleo
tida
yan
g be
rvar
iasi
11
11
11
11
12
22
22
33
33
33
Hap
loti
pe2
22
46
67
89
02
33
55
88
90
17
78
00
45
99
23
61
48
43
60
36
29
26
03
29
54
61
78
03
57
06
1B
n11
C. a
lba
AA
CT
AG
AA
AA
GT
AG
CT
CC
TG
AA
AC
TA
CG
GA
CA
Hca
12
Bn1
2C
. alb
a.
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
.T
.H
ca2
3H
35C
. alb
a.
..
..
..
..
G.
..
..
..
..
..
..
.C
..
..
..
.H
ca3
4H
36C
. alb
aG
..
..
A.
..
G.
..
.T
..
..
..
..
..
..
..
..
.H
ca4
5H
37C
. alb
a.
..
..
..
..
G.
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
.H
ca5
6H
38C
. alb
a.
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
.A
.T
.H
ca6
7B
PP
6C
. alb
a.
..
.C
..
..
G.
..
..
..
..
..
G.
.C
.
T.
.G
..
Hca
78
KB
Y5
C. a
lba
G.
..
..
..
.G
..
..
T.
..
..
..
..
..
..
..
..
Hca
89
KB
S62
C. a
lba
..
..
..
..
.G
..
..
..
..
A.
.G
G.
..
..
..
..
Hca
910
KB
S67
C. a
lba
..
..
..
..
..
..
..
..
..
A.
..
..
..
..
..
..
Hca
1011
BB
P88
C. a
lba
..
..
..
..
.G
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
Hca
1112
BB
P19
C. a
lba
G.
..
..
..
.G
..
..
..
..
..
..
G.
..
T.
..
..
Hca
1213
BB
P20
C. a
lba
GC
..
..
..
.G
..
..
..
..
..
..
..
C.
..
..
..
Hca
1314
TMI1
6C
. alb
aG
C.
..
..
..
G.
..
..
..
.A
..
..
..
..
..
..
.H
ca14
15TM
R57
C. a
lba
GC
..
..
..
.G
..
..
..
..
A.
..
..
..
..
..
..
Hca
1516
TMR
58C
. alb
aG
C.
..
..
..
G.
..
.T
..
.A
..
..
..
..
..
..
.H
ca16
17B
N9
C. m
oluc
cens
isG
.T
C.
.G
CT
GA
CG
A.
CT
TA
CG
G.
AC
..
A.
GT
GH
cm1
18B
N10
C. m
oluc
cens
isG
.T
C.
.G
CT
GA
CG
A.
CT
TA
CG
G.
AC
..
A.
G.
GH
cm2
19B
BP
13C
. mol
ucce
nsis
GC
TC
..
GC
TG
AC
GA
.C
TT
AC
GG
..
CG
..
.G
TG
Hcm
320
BB
P14
C. m
oluc
cens
isG
CT
C.
A G
CT
GA
CG
A.
CT
TA
CG
G.
.C
G.
..
GT
GH
cm4
21B
BP
78C
. mol
ucce
nsis
GC
TC
..
GC
TG
AC
GA
.C
TT
AC
GG
..
CG
..
.G
TG
Hcm
522
BB
P79
C. m
oluc
cens
isG
CT
C.
.G
CT
GA
CG
A.
CT
TA
CG
G.
.C
GT
A.
GT
GH
cm6
23B
BP
80C
. mol
ucce
nsis
GC
TC
..
GC
TG
AC
GA
.C
TT
AC
GG
..
CG
..
.G
TG
Hcm
724
BB
P81
C. m
oluc
cens
isG
CT
C.
.G
CT
GA
CG
A.
CT
TA
CG
G.
.C
G.
..
GT
GH
cm8
25K
BY
2C
. mol
ucce
nsis
G.
TC
..
GC
TG
AC
GA
.C
TT
AC
GG
.A
C.
.A
.G
TG
Hcm
926
TMR
52C
. mol
ucce
nsis
G.
TC
..
GC
TG
AC
GA
.C
TT
AC
GG
..
C.
.A
.G
TG
Hcm
1027
TMR
53C
. mol
ucce
nsis
GC
TC
..
GC
TG
AC
GA
.C
TT
AC
GG
..
C.
TA
.G
TG
Hcm
1128
TMR
54C
. mol
ucce
nsis
G.
TC
.A
GC
TG
AC
GA
.C
TT
AC
GG
..
C.
.A
.G
TG
Hcm
1229
TMR
55C
. mol
ucce
nsis
G.
TC
..
GC
TG
AC
GA
.C
TT
AC
GG
..
C.
.A
.G
TG
Hcm
1330
TMR
56C
. mol
ucce
nsis
G.
TC
..
GC
TG
AC
GA
.C
TT
AC
GG
..
C.
.A
.G
TG
Hcm
14
270
Dwi AstutiTa
bel 3
. Lan
juta
n N
oSa
mpe
lJe
nis
Si
tus
nukl
eoti
da y
ang
berv
aria
si4
44
44
55
55
55
55
56
66
66
66
66
77
77
77
Hap
loti
pe2
35
88
33
45
67
78
90
12
23
46
89
23
34
78
62
93
94
72
84
13
24
05
45
62
86
41
23
59
61
Bn1
1C
. alb
aC
CA
AT
CT
TA
AA
TC
AA
CG
GT
AC
GC
AG
TC
TA
Hca
12
Bn1
2C
. alb
a.
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
Hca
23
H35
C. a
lba
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
.H
ca3
4H
36C
. alb
a.
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
Hca
45
H37
C. a
lba
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
.H
ca5
6H
38C
. alb
a.
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
Hca
67
BP
P6
C. a
lba
..
C.
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
.H
ca7
8K
BY
5C
. alb
aT
..
..
..
..
..
..
..
..
..
.T
..
..
..
..
Hca
89
KB
S62
C. a
lba
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
.H
ca9
10K
BS6
7C
. alb
a.
..
..
..
..
..
..
..
..
.C
..
..
..
..
..
Hca
1011
BB
P88
C. a
lba
T.
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
..
.H
ca11
12B
BP
19C
. alb
a.
.C
..
..
..
G.
..
..
..
..
.T
..
..
..
..
Hca
1213
BB
P20
C. a
lba
..
C.
..
..
.G
..
..
..
..
C.
..
..
..
..
.H
ca13
14TM
I16
C. a
lba
..
..
..
..
.G
..
..
..
..
..
..
..
..
..
.H
ca14
15TM
R57
C. a
lba
..
C.
..
..
.G
..
..
..
..
..
..
..
..
..
.H
ca15
16TM
R58
C. a
lba
..
C.
..
..
.G
..
..
..
..
..
..
..
..
..
.H
ca16
17B
N9
C. m
oluc
cens
is.
.T
GC
TC
.G
GG
..
CC
.A
A.
..
T.
.A
CT
.G
Hcm
118
BN
10C
. mol
ucce
nsis
..
TG
CT
C.
GG
G.
.C
CT
A.
C.
..
G.
AC
TA
GH
cm2
19B
BP
13C
. mol
ucce
nsis
.T
TG
CT
C.
GG
GC
.C
C.
A.
..
..
GT
AC
TA
GH
cm3
20B
BP
14C
. mol
ucce
nsis
.T
TG
CT
C.
GG
GC
.C
CT
AA
C.
.T
G.
AC
TA
GH
cm4
21B
BP
78C
. mol
ucce
nsis
.T
TG
CT
CA
GG
GC
.C
C.
AA
..
.T
G.
AC
TA
GH
cm5
22B
BP
79C
. mol
ucce
nsis
.T
TG
CT
C.
GG
GC
.C
C.
AA
..
.T
G.
AC
TA
GH
cm6
23B
BP
80C
. mol
ucce
nsis
.T
TG
CT
C.
GG
GC
TC
C.
AA
..
.T
.T
AC
TA
GH
cm7
24B
BP
81C
. mol
ucce
nsis
.C
TG
CT
C.
GG
GC
.C
C.
AA
..
.T
G.
AC
T.
GH
cm8
25K
BY
2C
. mol
ucce
nsis
..
TG
CT
C.
GG
G.
.C
C.
AA
..
.T
G.
AC
T.
GH
cm9
26TM
R52
C. m
oluc
cens
is.
.T
GC
TC
AG
GG
.T
CC
.A
A.
..
TG
.A
CT
.G
Hcm
1027
TMR
53C
. mol
ucce
nsis
.T
TG
CT
C.
GG
G.
.C
C.
AA
..
.T
G.
AC
T.
GH
cm11
28TM
R54
C. m
oluc
cens
is.
.T
GC
TC
.G
GG
..
CC
.A
AC
..
TG
.A
CT
.G
Hcm
1229
TMR
55C
. mol
ucce
nsis
..
TG
CT
C.
GG
G.
.C
C.
AA
..
.T
G.
AC
T.
GH
cm13
30TM
R56
C. m
oluc
cens
is.
.T
GC
TC
.G
GG
..
CC
.A
AC
..
TG
.A
CT
.G
Hcm
14
271
Variasi Gen Mitokondria Cytochrome b pada Dua Jenis Burung
Parameter genetika
C. alba C. moluccensis Total
Jumlah individu (n) 16 14 30 Jumlah situs bervariasi (S) 18 19 63 Diversitas nukleotida/ asam amino (Pi) 0,00701 0,00830 0,03353 Jumlah haplotipe (h) 14 14 28 Diversitas haplotipe (Hd): 0.975 ± 0.035 0.9999 ± 0.027 0.991 ± 0.012
Table 4. Parameter-parameter diversitas mitokondria DNA gen cytochrome b di dalam 791-bp pada dua jenis kakatua (C. alba dan C. moluccensis)
TMR54 C. moluccensis
TMR53 C. moluccensis
KBY2 C. moluccensisTMR55 C. moluccensis
TMR56 C. moluccensis
TMR52 C. moluccensis
BBP81 C. moluccensisBBP14 C. moluccensis
BPP13 C. moluccensisBBP10 C. moluccensis
Bn9 C. moluccensisBBP78 C. moluccensis
BBP79 C. moluccensis
Bn10 C. moluccensis
Bn11 C. alba
H36 C. alba
BBP88 C. albaKBS62 C. alba
H37 C. alba
H38 C. alba H35 C. alba
BBP6 C. alba Bn12 C. alba KBS67 C. alba
KBY5 C. alba
TMI16 C. alba
BBP20 C. alba TMR57 C. alba
TMR58 C. alba
BBP19 C. alba
P. aterrimus
100
100
Gambar 2. Pohon Neighbor-joining (NJ) dari 30 individu C. alba dan C. moluccensis yangdikonstruksi berdasarkan substitusi transisi dan transversi pada 791 bp sekuen DNAgen cytochrome b. Nilai-nilai bootsrap di bawah 50 % tidak ditampilkan.
272
Dwi Astuti
al. (2010), bahwa divergensi sekuenDNA cytochrome b di antara individu-individu pada jenis burung yang sama(within species) berkisar dari 0 (Parusdichrous) hingga 2,8 % (Aegithalosconcinnus), dan antara dua jenis dalamsatu marga sebesar 8,10 ± 0.007(Aegithalos) dan 0.077 ± 0.005 (Parus).Individu-individu dari populasi yang samadibedakan oleh 1 % divergensi sekuen,sedangkan divergensi sekuen antaralokasi yang berbeda sebesar 0.25% - 8%,dan antara dua jenis 3 %- 21 %.Divergensi intraspesifik secara ekstrimbervariasi dari 0 hingga 1% padasebagian besar kasus tetapi bisa lebihtinggi pada bebrapa jenis burung (4.1%antara dua individu S. collaris, dan 5.3%-6.3% di antara S. castaneiventris(Lijtmaer et al. 2004).
Jumlah situs yang bervariasidiantara individu pada jenis yang samapada kedua kakatua ini tidak lebih dari10 %, tetapi kedua kakatua ini memilikinilai diversitas tinggi. Dilaporkan olehGermin et al. ( 2007) bahwa di antarapopulasi burung Alectoris chukardiversitas haplotipenya tinggi (0,85 %)demikian juga dengan diversitasnukleotidanya di dalam populasi 0,17 %- 0, 25 %. Pada burung Taiko yangberstatus terancam punah juga memilikidiversitas haplotipe (0,68 %) dannukleotida (0,13 %) (Lawrence &Taylor 2008 ), dan pada mamalia kecil(Lontra felina) yang terancam punahdengan diversitas haplotipe 0.86 dandiversitas nukleotida 0.0117 (Valqui et al.2010). Tingginya nilai diversitasdipengaruhi oleh beberapa faktormisalnya karena seleksi terkadang
mendukung retensi keanekaragamangenetik yang sangat tinggi dalam populasikecil dan terisolasi (Kaeuffer et al. 2007),kemungkinan kenyataan bahwa adaburung yang belum ditemukan berbiak ditempat lain, sehingga dapat meningkat-kan estimasi ukuran populasi. Keaneka-ragaman genetik relatif tinggi pada jenislangka dapat menunjukkan bahwapenurunan jumlah populasi tersebutterjadi relatif baru-baru ini (Moritz 1994).
Tingginya keanekaragaman genetikwalaupun secara substansial adapenurunan populasi telah ditunujukkanpada satwa berumur panjang dengankematangan seksual tertunda sepertiburung Taiko (Lawrence & Taylor,2008), Ornate Box Turtle Terrapeneornate (Kuo &Janzen 2004) ; Orang-utanPongo pygmaeus (Goossens et al. 2005),Copper Redhorse Moxostoma hubbsi(Lippe et al. 2006). Hal ini menunjukkanbahwa ciri-ciri sejarah kehidupangenerasi lama dan kematangan sexualyang tertunda dapat menjadi buffer(penyangga) hilangnya variasi genetik,terutama ketika penurunan terjadi baru-baru ini. Teori genetika populasimemprediksi bahwa severe bottleneckstidak dapat secara drastis mengurangikeragaman genetik ketika merekaberakhir dengan jumlah populasi yangkecil (Amos & Balmford 2001). Kakatuajuga merupakan burung berumur panjang,bisa hidup mencapai umur 80 tahun danreproduksi lambat dengan dewasakelamin dicapai paling cepat pada umur3-4 tahun (Forshaw 1989), sehingga bisamengurangi tingkat pergeseran genetiktetapi juga memperlambat pemulihanjumlah populasinya. Jadi wajar jika pada
273
Variasi Gen Mitokondria Cytochrome b pada Dua Jenis Burung
kakatua yang di teliti di sini memiliki nilaidiversitas genetik yang tinggi, walaupopulasi di alam mengalami penurunan.Dari hasil ini diharapkan dapatmemberikan informasi dasar dalamprogram pelestarian burung kakatua baikdi alam maupun di penangkaran. Sepertidikatakan oleh Iyengar et al. ( 2007)bahwa perspectif yang memiliki nilaiglobal tentang program penangkaranyang lebih efektif, adalah denganperlunya mengetahui dan merawatdiversitas genetik untuk menjaga jenis-jenis terancam punah, dan dimungkinkandalam mendukung upaya konservasi ini,karena secara nyata dapat berkontribusidi dalam program penangkaran danstrategi reintroduksi untuk konservasiberbagai satwa yang terancam punah(Russello & Amato 2007).
Secara keseluruhan rata-rata jumlahbasa yang bervariasi (k) dan nilaidiferensiasi pada C. alba lebih rendahdari C. moluccensis. Demikian jugauntuk nilai diversitas nukleotida dandiversitas haplotipe. Pada penelitian initidak diketahui lokasi maupun populasiindividu-individu tersebut, karena sampeldarah di koleksi dari individu-individu yangsudah berada di taman Margasatwamaupun tempat penangkaran. Inikemungkinan individu-individu berasaldari populasi yang berbeda, bahkanmungkin dari pulau-pulau yang berbeda,atau berkaitan dengan isolasigeografiknya (Randi et al. 2006). Sepertidikatakan oleh Forshaw (1989) bahwaC. moluccensis hanya tersebar diCeram, Saparua and Haruku, dan C.alba terdistribusi Obi, Bacan,Halmahera. Dikatakan bahwa perbe-
daan sejarah populasi dan hidup sertaekologi reproduksi hewan dapat berefekpada kecepatan penurunan dan diversitasgenetiknya (Kuo & Janzen 2004).
Nilai divergensi sekuen atau jarakgenetik antara individu-individu satu jenisdan antara individu-individu beda jeniskakatua, sangat jelas bedanya.Perbedaan jarak genetik ini berimplikasipada pengelompokan yang terjadi padahasil analisis neighbor-joining, dimanaindividu-individu beda jenis padapenelitian ini berada pada kelompok yangberbeda dan individu-individu sejenismengelokpok pada kelompok yang sama,seperti ditunjukkan pada pohon NJ.
KESIMPULAN
Jumlah situs yang mengalamisubstitusi basa dan bervariasi padaindividu-individu sejenis kurang dari 10% dari panjang basa cytochrome b yangdianalisis, namun diversitas nukleotida/asam amino maupun haplotipe padaindividu-individu C. alba maupun C.moluccensis yang diteliti, relatif tinggi.Analisis neigbor joining memisahkankelompok antara C. alba dan C.moluccensis, dengan nilai divergensisekuen 6,4 %.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih disampaikan kepadasdr. Agus Kundarmasno dan AlwinMarakamah yang telah membantu dalamproses koleksi sampel darah, staf diLaboratorium Genetika, Bidang Zoologi-Puslit Biologi LIPI atas kerjasamanya.Penelitian ini didukung oleh JICA
274
Dwi Astuti
Konservation Project dan JSPS CoreUniversity Project.
DAFTAR PUSTAKA
Abol-Munafi AB, MA. Ambak, P.Ismail,BM. Tam. 2007. Molecular datafrom the cytochrome b forphylogeny of Channidae (channasp.) in Malaysia. Biotechnology 6(1): 22-27.
Amos W, & A. Balmford. 2001. Whendoes conservation genetics matter?Heredity 87:257– 265
Ardern SL, DM.Lambert 1997. Is theBlack Robin in genetic peril? MolEcol 6:21–28
Avise JC. 2004. Molecular markers,natural history, and evolution.2nd edn. Sinauer Associates,Massa-chusetts
Brown WM, EM. Prager, A. Wang, &AC. Wilson. 1982. MitochondrialDNA sequences of primates: tempoand mode of evolution. J. Mol.Evol. 18: 225–239.
Crochet, PA., JD. Lebreton, & F.Bonhomme. 2002. Systematics oflarge white-headed gulls: patternsof mitochondrial DNA variation inwestern European taxa. Auk 119:603-620.
Dai C, K. Chen, R. Zhang, X. Yang, Z.Yin , H. Tian, Z. Zhang, Y. Hu, F.Lei. 2010. Molecular phylogeneticanalysis among species of Paridae,Remizidae and Aegithalos based onmtDNA sequences of COI and cytb. Chinese Birds 1(2):112–123
Edwards SV, P. Artander, & AC.Wilson.1991. Mitochondrial resolution ofa deep branch in the geneologicaltree for perching birds. ProceedigRoyal Society london. Science 243:99-107.
Forshaw JM. 1989. Parrots of the World.Tird Edn. Lansdowne Editions,Sydney, Australia.
Garci AG, G. Wlasiuk & EP. Lessa.2000. High levels of mitochondrialcytochrome b divergence in annualkillifishes of the genus Cynolebias(Cyprinodontiformes, Rivulidae).Zool. J. Linnean Soc.129: 93–110
Gill FB, B. Slkas, FH. Sheldon. 2005.Phylogeny of titmice (Paridae): II.Species relationships based onsequences of the mitochondrialcytochrome-b gene. Auk. 122:121–143.
Goossens B, L. Chikhi, MF. Jalil,M.Ancrenaz, I. Lackman Ancre-naz, M. Mohamed, P. Andau, &MW. Bruford. 2005. Patterns ofgenetic diversity and migration inincreasingly fragmented anddeclining Orang-utan (Pongopygmaeus) populations from Sabah,Malaysia. Mol. Ecol. 14:441–456
Guerrini, M., P. Panayides, P. Hadjigerou,L.Taglioli, F. Dini,. & F. Barbanera.2007. Lack of genetic structure ofCypriot Alectoris chukar (Aves,Galliformes) populations asinferred from mtDNA sequencingdata. Animal Biodiv. Cons. 30.1:105–114.
Ingman M, H. Kaessmann, S. Paabo.,& U. Gyllensten. 2000. Mitochon-drial genome variation and the
275
Variasi Gen Mitokondria Cytochrome b pada Dua Jenis Burung
origin of modern humans. Nature408: 708-713.
IUCN (The World Conservation Union).2006. 2006 IUCN red list ofthreatened species. http://www.iucnredlist.org, Cited 13 Nov 2006
Iyengar A, T. Gilbert, T. Woodfine, JM.Knowles. 2007. Remnants ofancient genetic diversity preservedwithin captive groups of scimitar-horned oryx (Oryx dammah). Mol.Ecol. 16: 2436-2449.
Kaeuffer R, DW. Coltman, JL. Chapuis,D. Pontier, &D. Reale. 2007.Unexpected heterozygosity in anisland Mouflon population foundedby a single pair of individuals. ProcRoyal. Soc B 274:527–533.
Kocher TD, WK. Thomas, A. Meyer,SV. Edwards, S. Paabo, FX.Villablanca, & AC. Wilson. 1989.Dynamics of mitochondrial DNAevolution in animals: amplificationand sequencing with conservedprimes. Proc. Nat. Acad. SciUSA.86: 6196–200.
Kocher RD & KL Carleton. 1997. Basesubstitution in fish mitochondrialDNA: patters and rates. InMolecular systematics of Fish.Kocher, TD and Ca Stepien (Eds.).Academic Press: San Diego.
Kuo C-H, & FJ. Janzen. 2004. Geneticeffects of a persistent bottleneckon a natural population of OrnateBox Turtles (Terrapene ornata).Cons. Gen. 5:425–437
Khan HA, IA. Arif, AA. Al Homaidan,& AH. Al Farhan. 2008.Application of 16S rRNA,cytochrome b and control region
sequences for understanding thephylogenetic relationships in Oryxspecies. Cons.Gen. 9:1293–1301
Kumar S, K. Tamura, & M. Nei. 2004.MEGA3. Integrated software formolecular evolutionary geneticsanalysis and sequence alignment.Briefings in Bioinformatics 5:150-163
Lijtmaer DA, NMM. Sharp, PL. Tubaro,SC. Lougheed. 2004. Molecularphylogenetics and diversificationof the genus Sporophila (Aves:Passeriformes). Mol.Phyl.Evol.33: 562–579
Lippe C, P. Dumont, L. Bernatchez2006). High genetic diversity andno inbreeding in the endangeredCopper Redhorse, Moxostomahubbsi (Catostomidae, Pisces): thepositive sides of a long generationtime. Mol Ecol 15:1769–1780
Martens J, DT. Tietze, & YH. Sun. 2006.Molecular phylogeny of Parus(Periparus), a Eurasian radiationof tits (Aves: Passeriformes:Paridae). Zool. Abh. Mus. TierkdDresden. 55:103–120.
Montgelard C, FM. Catzeflis, E. Douzery.1997. Phylogenetic relationships ofartiodactyls and cetaceans asdeduced from comparison ofcytochrome b and 12S rRNAmitochondrial sequences. Mol. BiolEvol. 14: 550–9.
Moritz, C. 1994 Applications ofmitochondrial DNA analysis inconservation: a critical review. MolEcol. 3:401–411
Olavarria C, F. Balbontin, R.Bernal, &C.Baker. 2006. Lack of divergence
276
Dwi Astuti
in the mitochondrial cytochrome bgene between Macruronusspecies (Pisces: Merlucciidae) inthe Southern Hemisphere. Shortcommunication. New ZealandJ.Mar. Freshwater Res. 40: 299–304.
Pan QW, FM. Lei, ZH. Yin, A. Kristin,& P. Kanuch. 2007. Phylogeneticrealationships within Turdusspecies: mitochondrial cytochrome-b gene analysis. Ornis Fennica84: 1-11.
Prusak B, G. Grzybowski, & G. Zieba.2004 Taxonomic position of Bisonbison (Linnaeus, 1758) and Bisonbonasus (Linnaeus, 1758) basedon analysis of cytb gene. Anim. SciPap Rep. 22: 27–35.
Prusak B & T. Grzybowski. 2004. Non-random base composition in codonsof mitochondrial cytochrome bgene in vertebrates. ActaBiochimica Polonica 51 (4): 897–905
Randi, E., C. Tabarroni. & S. Kark 2006.The role of history vs. demographyin shaping genetic populationstructure across an ecotone: chukarpartridges (Alectoris chukar) asa case study. Diversity andDistributions, 12: 714–724.
Rocha-Olivares A, CA. Kimbrell, BJ.Eitner & RD. Vetter. 1999.Evolution of a MitochondrialCytochrome b Gene Sequence in
the Species-Rich Genus Sebastes(Teleostei, Scorpaenidae) and ItsUtility in Testing the Monophyly ofthe Subgenus Sebastomus.Molecular Phylogenetics andEvolution 11 (3): 426–440.
Roques S, & JJ. Negro. 2005. MtDNAgenetic diversity and populationhistory of a dwindling raptorial bird,the Red Kite (Milvus milvus). BiolCons. 126:41–50
Russello MA & G. Amato. 2007. On thehorns of a dilemma: molecularapproaches refine ex situconservation in crisis. Mol. Ecol.16: 2405-2406.
Spielman D, BW. Brook, & R.Frankham. 2004. Most speciesare not driven to extinction beforegenetic factors impact them. Proc.Natl Acad Sci USA 101:15261–15264
Saitou N & M. Nei. 1987 The neighbor-joining method: A new method forreconstructing phylogenetic trees.Mol Biol Evol 4: 406–425
Whittier JB, JR. Leslie. RA.van DenBussche. 2006. Genetic variationamong subspecies of Least Tern(Sterna antillarum): implications forconservation. Waterbirds 29:176–184.
Memasukkan: Desember 2010Diterima: Mei 2011
277
Jurnal Biologi Indonesia 7(2): 277-287 (2011)
Kajian Pendahuluan: Perpindahan Gen dari Tanaman Kentang TransgenikKatahdin RB ke Tanaman Kentang Non Transgenik
A. Dinar Ambarwati1, M. Herman1, Agus Purwito2 , Eri Sofiari3, & HajrialAswidinnoor2
1 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya GenetikPertanian, Jl. Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111
2 Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,Kampus Darmaga, Bogor 16680
3 Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang, Jl. Tangkuban Perahu 517, Lembang,Bandung 40391
ABSTRACT
Preliminary study: Gene transfer from transgenic potato Katahdin RB to non transgenicpotato. One of the concerns associated with the release of transgenic crops, is the possibilityof the gene flow from transgenic crops to neighboring crops of the same species or to relatedspecies. In plants, gene flow is a routine process occur through the natural hybridization. Theopportunity for gene flow occur depends principally on two factors, the degree of sexualcompatibility between donor and recipient species, and the physical distance between thetwo. The experiment was conducted to determine whether the gene flow from transgenicpotato Katahdin RB to non transgenic was occurred, based on selection using a 50 mg/lkanamycin, and to estimate gene flow mediated by natural hybridization at different isolationdistances. Preliminary result indicated that a rapid and simple method using MS0 liquid mediawith kanamycin 50 mg/l was effective for screening the seeds. There was a gene flow fromtransgenic potato Katahdin RB to non transgenic, based on a rapid and simple selectionmethod using 50 mg/l of kanamycin as selectable marker. The isolation distance used in thestudy were 0.8, 1.6, 2.4, 3.2, 4.0, 4.8, 5.6, 6.4, 7.2, 8.0, 8.8, 9.6, 10.4, and 11.2 m from the row oftransgenic potato Katahdin RB. The gene flow through natural hybridization at a isolationdistances of (0.8 - 1.6 m), (2.4 – 4 m), and (4.8 – 6.4 m) from transgenic to non transgenic plantswere 13.78, 10.92, and 3.82%, respectively. At a distance of 7.2 – 8 m, the frequency of gene flowwas declined to 0%. The frequency of gene flow from transgenic potatoes to non transgenicpotatoes markedly decreased by increasing the isolation distance, and was negligible at 7.2 m.
Key words : natural hybridization, transgenic potato RB, kanamycin selection
PENDAHULUAN
Kentang transgenik pertama kalidiuji di lapangan uji terbatas atau LUT(confined field trial) di UnitedKingdom pada tahun 1987. Selama
kurun waktu empat tahun berikutnya,terdapat lebih dari 70 permohonan ujikentang transgenik di LUT yang telahdisetujui di seluruh dunia (Chasseray &Duesing 1992), hampir 2% dari seluruhpercobaan LUT kentang transgenik di
278
Ambarwati dkk.
dunia dilakukan di Amerika Tengah danSelatan, kurang lebih 8% adalah untuksifat toleran herbisida, 58% untukketahanan terhadap serangga hama,bakteri, cendawan patogen, dan sisanyauntuk sifat perbaikan kualitas dan gen-gen penanda (Goy & Duesing 1995).
Untuk tanaman transgenik yangakan dikembangkan di Indonesia dandigunakan sebagai bahan pangan danpakan seperti jagung, kedelai, kentang,harus memenuhi persyaratan keamananhayati. Dalam rangka pengaturankeamanan hayati telah dikeluarkanPeraturan Pemerintah (PP) Nomor 21Tahun 2005 tentang Keamanan HayatiProduk Rekayasa Genetik (Herman2009). Dalam PP No. 21 Tahun 2005yang dimaksud dengan keamanan hayatiadalah keamanan lingkungan, keamananpangan, dan/atau keamanan pakan.
Salah satu aspek yang perlu dikajisehubungan dengan tanaman transgenikadalah kemungkinan risiko terjadinyaperpindahan gen (gene flow) ke tana-man sekerabat atau ke kerabat liar(McPartlan & Dale 1994; Messeguer2003). Perpindahan gen merupakansuatu peristiwa yang terjadi secara rutinmelalui persilangan alami. Kemungkinanterjadinya perpindahan gen tergantungdari dua faktor, yaitu tingkat kompatibi-litas seksual dan jarak isolasi antaraspesies donor dan spesies penerima(McPartlan & Dale 1994). Jarak isolasiadalah jarak tanam antara baris tanamantransgenik ke kentang non transgenik.
Pada tanaman, perpindahan gendapat terjadi melalui penyebaran serbuksari (pollen), biji, atau organ vegetatif (Lu2008). Perpindahan gen dapat diukur
dengan mengidentifikasi suatu tanamandalam suatu populasi, dengan marka(marker) genetik (transgen) yang khas,dan mengikuti keberadaan markatersebut pada generasi lebih lanjut melaluiteknik molekuler (Latta et al.1998).Analisis perpindahan gen dengan metodeseleksi secara cepat untuk suatutransgen, dianggap sebagai cara yangefisien untuk identifikasi tanaman.Analisis laboratorium seperti SouthernBlot, ELISA, uji aktivitas enzimmerupakan metode yang mahal,memerlukan waktu lama, terutama ketikamenganalisis sejumlah besar populasitanaman (Howe & Feng 2004). Seleksicepat dan sederhana (simple) telahdilakukan oleh Weide et al. (1989); DeBlock et al. (1984) dan McPartlan &Dale (1994).
Evaluasi perpindahan gen sehubu-ngan dengan penanaman kentangtransgenik telah dilakukan di Kanada danAmerika Serikat (Love 1994). Pengujiantingkat penyerbukan silang pada berbagaijarak isolasi dari tanaman kentangtransgenik toleran herbisida klorsulfurondilakukan oleh Tynan et al. (1990);McPartlan & Dale (1994), sedangkanSkogsmyr (1994) mengkaji frekuensipenyebaran transgen dari tanamankentang transgenik yang mengandunggen penanda gus dan nptII. Banyaknyafaktor yang mempengaruhi terjadinyaperpindahan gen menyebabkan kuantifi-kasi perpindahan gen tidak mudahdilakukan (Messeguer 2003). Informasimengenai jarak isolasi minimal yangdisyaratkan dari tanaman transgenik ketanaman non transgenik diperlukan dalamstrategi manajemen berkaitan dengan
279
Kajian Pendahuluan: Perpindahan Gen dari Tanaman Kentang
perpindahan gen (Conner 2006),disamping faktor lain seperti isolasi fisikatau biologis (Celis et al. 2004).
Di Indonesia, kajian perpindahan gendari tanaman kapas transgenik Bt(CryIAc) ke kapas non Bt sudahdilakukan di Sulawesi Selatan (Purwitoet al. 2001), sedangkan analisis perpinda-han gen untuk tanaman kentang transge-nik RB belum pernah dilaporkan diIndonesia. Pada penelitian ini dilakukanstudi pendahuluan untuk mengetahuiterjadinya perpindahan dari tanamankentang transgenik RB ke tanamankentang non transgenik, menggunakanmetode seleksi cepat dengan markakanamisin 50 mg/l dan tingkat persila-ngan alami pada berbagai jarak isolasiantara tanaman kentang transge-nik RBdengan tanaman kentang non transgenik,yang berkaitan dengan perpindahan gen.
BAHAN DAN CARA KERJA
Kajian perpindahan gen dilakukan diBalai Penelitian Tanaman Sayuran,Lembang, Oktober 2008-Mei 2009.Materi genetik yang digunakan adalahtanaman kentang transgenik KatahdinSP951 yang membawa gen RB sebagaisumber serbuk sari, dan Katahdin nontransgenik, Granola serta Atlantic.Transgenik Katahdin SP951 dan Katahdinnon transgenik diperoleh dari UniversitasWisconsin, Amerika Serikat melaluikerjasama USAID - ABSP (Agricultu-ral Biotechnology Support Project) II.
Materi yang digunakan adalah bijihasil persilangan antara tanaman kentangtransgenik Katahdin SP951 denganAtlantic. Biji disterilisasi dengan alkohol
70% dan dikecambahkan dalam cawanpetri yang berisi media MS0 (MS tanpapenambahan zat pengatur tumbuh). Bijiyang berkecambah ± 0.3 – 0.5 cmdiseleksi, baik pada media MS0 padatdengan penambahan 50, 75 dan 100 mg/l kanamisin maupun pada media MS0 cairdengan penambahan kanamisin 50 dan75 mg/l. Biji berkecambah yang dapattahan atau lolos pada seleksi kanamisin,ditanam dalam pot kecil berisi mediacampuran arang sekam, tanah dan pupukkandang dalam perbandingan volume2:1:1. Untuk mengkonfirmasi terjadinyaperpindahan gen pada tanaman yang lolosseleksi kanamisin, dilakukan analisisPCR. Daun tanaman diambil untukdiisolasi DNAnya (Fulton et al. 1995)kemudian dilakukan analisis molekulerPCR, dengan primer 1-5(5’-CTCATTTTACCCCTACAA-3’) dan primer 3-5 (5’-CGCAAAACCTGGGAAAAT-3’) sertaprimer cf1 (5’-TAAGCATGAGTTGGAATAACT-3’) dan primer cr1 (5’-CGGTCAGAAGAGGATAAGGGA-3').
Umbi kentang transgenik KatahdinSP951, Katahdin non transgenik, Granoladan Atlantic ditumbuhkan sampai muncultunas (± 2-3 cm) kemudian ditanam dilapang. Tanah diolah dalam bedenganberukuran 0.4 x 6 m untuk setiap barisnomor tanaman yang akan diuji, kemudiandibuat lubang tanam yang berjarak 40 cmpada tiap bedengan. Jarak antar barisbedengan adalah 0.8 m. Bibit tanamanditanam pada setiap lubang, danpemupukan dilakukan dengan pupukkandang 30 ton/ha, NPK (15-15-15) 800kg/ha, dengan dosis ¾ diberikan pada saattanam dan 1/4 bagian pada saat tanamanberumur 30 hari. Pemeliharaan terhadap
280
Ambarwati dkk.
organisme pengganggu tumbuhan (OPT)dilakukan dengan penyemprotaninsektisida maupun fungisida. Tanamantransgenik Katahdin SP951 ditanamdalam satu baris bedengan, ditengah-tengah plot. Sedangkan tanaman nontransgenik Katahdin, Granola, danAtlantic ditanam secara berseling padasatu baris bedengan, dengan berbagaijarak isolasi mengikuti pola tanam padabudidaya kentang, yaitu 0.8, 1.6, 2.4, 3.2,4.0, 4.8, 5.6, 6.4, 7.2, 8.0, 8.8, 9.6, 10.4,dan 11.2 m dari baris tanaman transgenik.Plot percobaan dan pertanaman di lapangdisajikan pada Gambar 1.
Seleksi secara cepat dilakukanmenggunakan kanamisin sebagai markaseleksi. Semua buah yang terbentuk padatanaman non transgenik pada berbagaijarak isolasi, diproses untuk mendapatkanbiji. Semua biji disterilkan dengan alkohol70% dan direndam dalam larutan GA31500 ppm selama satu malam untukpematahan dormansi. Biji dikecambah-kan dalam cawan petri yang berisi mediaMS0 (MS tanpa penambahan zatpengatur tumbuh) cair. Biji yangberkecambah ± 0.3 – 0.5 cm dipindahkanke media seleksi yaitu MS0 cair denganpenambahan kanamisin 50 mg/l,sedangkan biji yang tidak berkecambahdianggap tidak mempunyai viabilitasuntuk tumbuh sehingga tidak diseleksi.Biji yang tahan dan tumbuh membentuktunas daun hijau atau tidak mengalamibleaching selama diseleksi dalam mediakanamisin, dianggap telah lolos seleksi.Perpindahan gen melalui tingkatpersilangan alami diamati pada jarakisolasi 0.8 – 1.6 m, 2.4 – 4 m, 4.8 – 6.4 mdan 7.2 – 8 m dari tanaman transgenik
ke tanaman non transgenik, berdasarkanbiji berkecambah yang lolos seleksikanamisin.
HASIL
Uji pendahuluan introgresi genmelalui persilangan alami denganmetode seleksi secara cepat
Uji pendahuluan seleksi secara cepatuntuk biji hasil persilangan, menunjukkanbahwa semua biji yang diseleksi ternyatasemuanya tahan dan dapat tumbuh,setelah ± 3 minggu pada media MS0padat dengan kanamisin 50, 75, maupun100 mg/l (Gambar 2). Seleksi dengan caraini ternyata tidak efektif karena tidak bisamenyeleksi biji tahan dan tidak tahan,sehingga perlu dicari alternatif lainnya.
Seleksi pada media MS0 cair, baikdengan kanamisin 50 maupun 75 mg/ldapat menyeleksi biji berkecambah yangtahan dan tidak tahan. Biji berkecambahyang lolos seleksi kanamisin selanjutnyadianalisis secara molekuler untukmemastikan ada tidaknya introgresi genRB. Dari semua tanaman yang lolosseleksi kanamisin 50 mg/l maupun 75 mg/l ternyata positif mengandung gen RB,dengan munculnya produk amplifikasiberukuran 619 bp untuk produk N-termdan 840 bp untuk produk C-term (Gambar3). Untuk tahap selanjutnya seleksidilakukan menggunakan media MS0 cairdengan kanamisin 50 mg/l karena sudahbisa menyeleksi biji yang tahan dan tidaktahan.
Kajian perpindahan genPenelitian pada berbagai jarak isolasi
yaitu 0.8 - 11.2 m antara tanaman
281
Kajian Pendahuluan: Perpindahan Gen dari Tanaman Kentang
0.8 1.6 2.4 3.2 4.0 …… 11.2 m
0.8 m 0.8 m
x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x40 cm
6 m
x : Transgenik Katahdin SP951- : Non transgenik
11.2 m 4.0 3.2 2.4 1.6 0.8
transgenik Katahdin SP951 dengan nontransgenik menunjukkan bahwa buahhanya terbentuk pada jarak isolasi 0.8sampai 8 m (Tabel 1). Sebanyak 6 buahkentang sudah gugur sebelum masaksehingga tidak dapat diproses untukseleksi lebih lanjut, karena belumterbentuk biji. Biji yang berasal dari 67buah yaitu sebanyak 7772 biji diprosesuntuk diseleksi lebih lanjut. Seleksi bijihasil persilangan alami dalam mediakanamisin 50mg/l ditampilkan padaGambar 4. Biji dengan kecambah ± 0.3sampai 0.5 cm (Gambar 4a) dipindahkanke media seleksi. Setelah kurang lebih 4– 6 minggu diseleksi, daun tanaman yangtahan akan tetap hijau segar dandianggap telah lolos seleksi kanamisin,
sedangkan tunas daun yang tidak tahan,akan berubah warnanya menjadi kuningpucat atau putih (Gambar 4b) atau samasekali tidak tumbuh tunas daun (Gambar4 c) dan dianggap tidak lolos seleksi.Semaian tahan dapat ditanam dandipelihara dalam media arang sekam danpupuk kandang (Gambar 4d).
Tidak semua biji yang diproses dapatberkecambah. Kemampuan biji untukdapat berkecambah berkisar dari 35.08sampai 60.52% (Tabel 1). Seleksi hanyadilakukan pada biji yang mempunyaiviabilitas untuk berkecambah. Hasilseleksi dengan metode secara cepatmenggunakan kanamisin 50 mg/l,menunjukkan bahwa 55 sampai 82% bijiberkecambah tidak tahan dalam seleksi,
Gambar 1 Plot percobaan (atas) dan penanaman di lapang pada analisis perpindahan gen(bawah)
282
Ambarwati dkk.
A B
M 1 2 3 4 5 6 7 8 9
840 bp 619 bp
M 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Gambar 3 Hasil amplifikasi PCR: A) N-term end dan B) C term-end pada biji hasilpersilangan yang lolos seleksi kanamisin. M: 1 Kb DNA ladder, 1-3: biji lolos seleksikanamisin 50 mg/l, 4 – 6: biji lolos seleksi kanamisin 75 mg/l, 7: transgenik KatahdinSP951, 8: Atlantic, 9: H2O.
Jarak isolasi
(m)
Jumlah buah
Jumlah
biji
Biji
berkecambah yang
diseleksi*
Seleksi kanamisin 50 mg/l
Tunas daun
hijau**
Tunas daun
kuning**
Tunas daun
putih**
Tidak tumbuh tunas
daun**
0.8 -1.6
20
2234
1139 (50.98)
157 (13.78)
93 (8.17)
138 (12.12)
751 (65.94)
2.4 - 4.0
28
2708
1639 (60.52)
179 (10.92)
184 (11.23)
212 (12.93)
1064 (64.92)
4.8 - 6.4
24
2805
996 (35.08)
38 (3.82)
50 (5.02)
89 (8.94)
819 (82.23)
7.2 - 8.0
1
25
9 (36)
0 (0)
1 (11.11)
3 (33.33)
5 (55.56)
*: Persentase dihitung dari jumlah biji, **: Persentase dihitung dari biji berkecambah yang diseleksi
Tabel 1 Seleksi cepat biji hasil persilangan alami tanaman kentang transgenik dengan nontransgenik pada berbagai jarak isolasi
a b c
Gambar 2 Seleksi biji pada media MS0 padat, semua dapat tumbuh pada kanamisin 50 mg/l (a),75 mg/l (b) dan 100 mg/l (c).
283
Kajian Pendahuluan: Perpindahan Gen dari Tanaman Kentang
setelah 4 sampai 6 minggu dalam mediaseleksi kanamisin.
Persentase tingkat persilangan alamiuntuk mengetahui terjadinya perpindahangen dari tanaman kentang transgenik RBke tanaman kentang non transgenikdengan metode seleksi cepat, ditentukanberdasarkan biji berkecambah yang dapattahan atau lolos seleksi kanamisin denganmembentuk tunas daun hijau. Pada jarakisolasi 0.8 sampai 1.6 m dari tanamantransgenik ke tanaman non transgenik,terjadi persilangan alami sebesar 13.78%(Tabel 2). Pada jarak isolasi 2.4 - 4 m
yang ditandai dengan tidak adanyapertumbuhan lebih lanjut, dan tidak dapatmembentuk tunas daun. Sebanyak 5sampai 33% biji dapat tumbuhmembentuk tunas daun hijau, namundemikian dalam perkembangannya tunasdaun mengalami bleaching menjadikuning atau putih setelah 1 sampai 2minggu dalam seleksi kanamisin. Hal inimengindikasikan bahwa biji tersebut tidaktahan. Sebaliknya, biji berkecambah yangmampu bertahan, akan tumbuh memben-tuk tunas daun yang tetap berwarna hijau,
Jarak isolasi (m)
Biji berkecambah yang diseleksi
Lolos seleksi kanamisin*
Tumbuh jadi tanaman**
0.8 -1.6
1139 157 (13.78)
5 (3.18)
2.4 - 4.0 1639
179 (10.92) 4 (2.23)
4.8 - 6.4 996
38 (3.82) 1 (2.63)
7.2 - 8.0 9
0 (0) 0 (0)
*: Persentase dihitung dari biji berkecambah yang diseleksi, **: Tanaman berasal dari tunas lolos seleksi kanamisin
Gambar 4. Seleksi biji hasil persilangan alami. Perkecambahan biji pada media MS0 cair (a),Biji berkecambah yang diseleksi dalam media MS0 cair + kanamisin 50 mg/l, dengantunas daun hijau, kuning atau putih (b) atau tidak dapat membentuk tunas daun (c) dansemaian yang ditanam dan dipelihara dalam media arang sekam dan pupuk kandang (d).
Tabel 2 Perpindahan gen melalui persilangan alami berdasarkan seleksi kanamisin pada berbagaijarak isolasi
A B C D
284
Ambarwati dkk.
dan 4.8 - 6.4 m, berturut-turut terjadipersilangan alami sebesar 10.92% dan3.82%, dan pada jarak isolasi 7.2 - 8 mtidak ada lagi persilangan alami karenatidak ada biji berkecambah yang lolosseleksi kanamisin. Persentase tingkatpersilangan alami semakin kecil denganbertambah jauhnya jarak isolasi. PadaTabel 2 dapat dilihat bahwa tidak semuabiji berkecambah yang lolos seleksikanamisin dapat tumbuh menjaditanaman dengan akar dan daun. Dapatdikatakan bahwa terjadinya perpindahangen melalui persilangan alami dapatmempengaruhi viabilitas dan mengham-bat pertumbuhan tanaman.
PEMBAHASAN
Seleksi introgresi gen melaluipersilangan alami dilakukan mengguna-kan media MS0 cair dengan kanamisin50 mg/l karena sudah bisa menyeleksibiji yang tahan dan tidak tahan. Pertimba-ngan pemakaian ini mengacu pada prosestransformasi tanaman kentang. Seleksitransforman RB dilakukan dengan mediaZIG (Cheng & Veilleux 1991) yangmengandung kanamisin 50 mg/l. Plasmidbiner pCLD04541 yang digunakan untuktrans-formasi kentang, selain mengan-dung gen RB juga membawa gen nptII,sehingga tanaman yang lolos seleksikanamisin akan mengandung gen RB(Song et al. 2003).
Seleksi cepat dan simpel untukintrogresi gen dilakukan oleh Weide etal. (1989) di rumah kaca menggunakanmarka seleksi kanamisin. Tanamantransgenik tomat muda dengan tigasampai empat daun, disemprot larutan
kanamisin. Daun tanaman yang tidaktahan berubah menjadi putih dalam waktu7 hari, sedangkan tanaman dengan dauntetap hijau dan tidak ada nekrosismenunjukkan tanaman tahan danmengandung produk gen seleksi. DeBlock et al. (1984) menguji ketahananbiji F1 hasil penyerbukan tanamantembakau transgenik, yang diseleksi padamedia padat B5 dengan penambahan 100mg/l kanamisin. Biji yang tahan dapatberkecambah dan membentuk semaiansetelah 3 minggu,biji yang peka meskipundapat berkecambah, tetapi setelah 1minggu kecambah tidak dapat tumbuh,mengalami etiolasi dan mati setelah 2minggu dalam media seleksi. Skriningketahanan pada biji dari persilangan alamitanaman kentang transgenik varietasDesiree dengan non transgenik dilakukanoleh McPartlan & Dale (1994). Bijidisterilisasi dan ditanam pada media MS0padat dengan 200 mg/l kanamisin.Semaian dikategorikan sebagai pekaapabila mengalami bleaching ataumemutih, sedangkan tanaman yang tahanmasih tetap hijau setelah 2 bulan dalammedia seleksi.
Perpindahan gen melalui persila-ngan alami pada penelitian ini adalahsebesar 0 – 13.78%. Menurut Plaisted(1980) perkiraan tingkat penyerbukansilang tanaman kentang pada kondisilapang berkisar dari 0 sampai 20%,meskipun beberapa penelitian lainmenunjukkan bahwa potensi terjadinyapenyerbukan silang relatif kecil, danpenyebaran serbuk sari pada umumnyaterbatas (Harding & Harris 1994).Kemungkinan terjadinya transfer genmelalui persilangan alami ditentukan oleh
285
Kajian Pendahuluan: Perpindahan Gen dari Tanaman Kentang
jarak fisik antara spesies donor danspesies penerima (McPartlan & Dale1994) serta sistem perkawinan dan modelpenyerbukan (Messeguer 2003; Lu2008). Menurut Treu dan Emberlin(2000) tingkat penyebaran serbuk saripada tanaman kentang berhubungandengan jenis serangga penyerbuk ataupolinator. Bumblebees, seperti Bombusfunebris di Peru dan Bombus impatiensdi Amerika Serikat merupakan polinatoryang baik untuk kentang (OECD 1997),yang bergerak atau berpindah hanyapada jarak yang pendek diantara bunga,sehingga sebagian besar serbuk saritertahan atau tersimpan disekitar sumberserbuk sari (Skogsmyr 1994).
McPartlan & Dale (1994) menga-mati frekuensi perpindahan gen padaberbagai jarak isolasi antara tanamankentang transgenik Desiree toleranherbisida dengan non transgeniknya.Pada kentang transgenik ditanam secaraberseling dengan non transgenik, ataupada jarak tanam dimana daunnya salingbersinggungan, frekuensi progeni tana-man non transgenik yang mengandunggen ketahanan kanamisin berkisar dari23.1 sampai 28.8%. Pada jarak isolasi 3dan 10 m, frekuensinya berkurangmasing-masing menjadi 2% dan 0.017%.Dengan bertambah jauhnya jarak isolasisampai 20 m, tidak lagi terjadipenyerbukan silang antara tanamankentang transgenik dan non transgenik.
Pengujian dispersal transgen melaluiserbuk sari dari tanaman kentangtransgenik toleran herbisida klorsulfuronke tanaman non transgenik yangdilakukan di New Zealand (Tynan et al.1990), menunjukkan pada jarak isolasi
1.5 sampai 3 m frekuensi hibrida yangmengandung marka transgen sebesar1%, dan pada jarak 3-4.5 m, frekuensi-nya turun menjadi 0.05%. Pada jarakisolasi 4.5 - 6 m dan 9 sampai 10 m tidakdijumpai hibrida yang toleran klorsulfuron,atau tidak ada perpindahan gen.Beberapa penelitian lapang pada tanamankentang transgenik yang mengandungtransgen sebagai penanda, menunjukkanbahwa penyebaran transgen oleh serbuksari ke tanaman kentang lainnya sangatterbatas dan tidak terjadi pada jarak lebihdari 10 m (Conner & Dale 1996).
Tindakan manajemen untuk memini-malkan pindahnya transgen yangdimediasi serbuk sari, dapat dilakukandengan pembatas fisik, meliputi isolasispasial, yaitu menanam spesies laindiantara plot tanaman transgenik dengannon transgenik, isolasi temporal yaitudengan perbedaan waktu tanam antaratransgenik dengan non transgenik sertapembatas biologi, seperti penggunaantanaman transgenik mandul jantan (Lu2008). Disamping itu, informasi mengenaijarak isolasi minimal yang disyaratkan daritanaman transgenik ke non transgenik,diperlukan untuk strategi manajemenperpindahan gen (Conner 2006).
KESIMPULAN
Perpindahan gen terjadi melaluipersilangan alami dari tanaman kentangtransgenik RB ke tanaman kentang nontransgenik, berdasarkan metode seleksisecara cepat dengan marka kanamisin50 mg/l.
Perpindahan gen melalui persilanganalami pada jarak isolasi (0.8 - 1.6 m), (2.4-
286
Ambarwati dkk.
4 m), dan (4.8–6.4 m) dari tanamankentang transgenik RB ke tanaman nontransgenik, berturut- turut s 13.78, 10.92,dan 3.82%. Pada jarak isolasi (7.2 – 8m) sudah tidak terjadi persilangan alami(0%).
Persentase perpindahan gen melaluipersilangan alami semakin menurundengan bertambah jauhnya jarak isolasi.
DAFTAR PUSTAKA
Celis, C., M. Scurrah, S. Cowgill, S.Chumbiauca, J. Green, J. Franco,G. Main, D. Kilzebrink, RGF.Visser, & HJ. Atkinson. 2004.Environmental biosafety andtransgenic potato in a centre ofdiversity for this crop. Nature 432:222-225.
Conner, AJ. & PJ. Dale. 1996. Reconsi-deration of pollen dispersal datafrom field trials of transgenic pota-toes. Theor. Appl. Genet. 92(5):505-508.
Conner, AJ. 2006. Biosafety evaluationof transgenic potatoes: Gene flowfrom transgenic potatoes. Interna-tional Symposium, Ecological andEnvironmental Biosafety ofTransgenic Plants.127-140.
Chasseray, E. & J. Duesing. 1992. Fieldtrials of transgenic plants anoverview. Agro-Food-IndustryHi-Tech 3(4):5-10.
Cheng, J. & RE. Veilleux . 1991. Geneticanalysis of protoplast cultureabilityin Solanum phureja. PlantScience. 75: 257-265.
De-Block, M., L. Herrera-Estrella, M.Van Montagu, J. Schell, & P.
Zambryski. 1984. Expression offoreign genes in regenerated plantsand in their progeny. The EMBOJ. 3(8):16 81-1689.
Fulton, TM., J. Chunwongse, & SD.Tanksley. 1995. Microprep protocolfor extraction of DNA from plants.Plant Mol. Biol. Rep. 13(3):207-209.
Goy, PA. & JH. Duesing. 1995. Frompots to plots: genetically modifiedplants on trial. Bio/Technology13:454-458.
Harding, K. & PS. Harris. 1994. Riskassessment of the release ofgenetically modified plants. Areview. MAFF.
Herman, M. 2009. Pengaturan keama-nan tanaman PRG di Indonesia.Dalam: Purwantara B & M.Thohari (eds.). Tanaman ProdukRekayasa Genetik dan Kebija-kan Pengembangannya. Volume2. Status global tanaman produkrekayasa genetik dan regulasi-nya. Balai Besar Penelitian danPengembangan Biotekno-logi danSumber Daya Genetik Pertanian.Badan Penelitian dan Pengemba-ngan Pertanian, DepartemenPertanian. 105-132.
Howe, AR. & PCC. Feng. 2004. Assayfor the detection of selectablemarker expression in plants. PatentApplication Publication. 1-10.
Latta, RG., YB. Linhart, D. Fleck, & M.Elliot. 1998. Direct and indirect esti-mates of seed versus pollen move-ment within a population of ponde-rosa pine. Evolution 52:61-67.
287
Kajian Pendahuluan: Perpindahan Gen dari Tanaman Kentang
Love, SL. 1994. Ecological risk ofgrowing transgenic potatoes in theUnited States and Canada. Amer.Potato J. 71:647-658.
Lu, BR. 2008. Transgene escape fromGM crops and potential biosafetyconsequences: An environmentalperspective. Collection ofBiosafety Reviews 4:66-141.
Messeguer, J. 2003. Gene flowassessment in transgenic plants.Plant Cell, Tissue and OrganCulture 73:201-212.
McPartlan, HC. & PJ. Dale. 1994. Anassessment of gene transfer bypollen from field grown transgenicpotatoes to non transgenic potatoesand related species. TransgenicResearch 3:216-225.
[OECD] Organization for EconomicCooperation and Development.1997. Consensus Document on theBiology of Solanum tuberosumsubsp. tuberosum (Potato). OECDEnvironmental Health SafetyPublications, Series on Harmoni-zation of Regulatory Oversightin Biotechnology. No 8. Envir-onment Directorate. Paris. 27.
Purwito, A., H. Aswidinnoor, & N. Amin.2001. Gene flow kapas transgenikdi Sulawesi Selatan: Jarak danfrekuensi persilangan luar padakapas transgenik. Laporan KajianKapas Bt sub bidang AnalisisRisiko Lingkungan. Makalahdipresentasikan dalam DiskusiIlmiah tentang Evaluasi PelepasanTerbatas Kapas Bt di SulawesiSelatan. Bogor, 21 November 2001.
Plaisted, RL. 1980. Potato. In : Fehr WR.& HH. Hadley (eds.). Hybridisa-tion of crop plants. AmericanSociety of Agronomy, Madison.483-494.
Song, J., JM. Bradeen, SK. Naess, JA.Raasch, SW. Wielgus, GT.Haberlach, J. Liu, H. Kuang, S.Austin-Phillips, CR. Buell, JP.Helgeson, & J. Jiang. 2003. GeneRB cloned from Solanumbulbocastanum confers broadspectrum resistance to potato lateblight. Proc. Natl. Acad. Sci. USA100: 9128-9133.
Skogsmyr, I. 1994. Gene dispersal fromtransgenic potatoes to conspe-cifics: A field trial. Theor. App.Gen. 88:770-774.
Treu, R. & J. Emberlin. 2000. Pollendispersal in the crops Maize (Zeamays), Oil seed rape (Brassicanapus ssp oleifera), Potatoes(Solanum tuberosum), Sugar beet(Beta vulgaris ssp vulgaris) andWheat (Triticum aestivum). SoilAssociation.
Tynan, JL., MK. Williams, & AJ. Conner.1990. Low frequency of pollendispersal from a field trial oftransgenic potatoes. J. Gen.Breed. 44:303-306.
Weide, R., M. Koornneef, & P. Zabel.1989. A simple, nondestructivespraying assay for the detection ofan active kanamycin resistancegene in transgenic tomato plants.Theor. Appl. Genet.78:169-172.
Memasukkan: Maret 2011Diterima: Juni 2011
289
Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 289-297 (2011)
Virus Influenza Novel H1N1 Babi di Indonesia
NLP Indi Dharmayanti1, Atik Ratnawati1, & Dyah Ayu Hewajuli1
1Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. RE Martadinata 30, BogorE-mail: [email protected]
ABSTRACT
Novel H1N1 influenza virus in Swine in Indonesia. Novel H1N1 influenza virus occurred sinceApril 2009 has caused mortality in human population. In Indonesia, this situation requireintensive surveillance to prevent reassortant probability between the H5N1 virus and novelH1N1 virus. This study conduct preliminary surveillance of novel H1N1 virus circulation byusing Real Time-Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (qRT-PCR), that validatedby CDC to detect novel H1N1 virus. Result of this study revealed that the influenza novelH1N1 virus was detected in swine/pigs in Indonesia especially in Bulan island and two individualsample from Kapok slaughter house in Jakarta. These findings showed that in Indonesia thenovel H1N1 virus is not only found in human but also has circulated in swine in Indonesia.
Key words: pig/swine, influenza novel H1N1 virus
PENDAHULUAN
Virus influenza A/H1N1 pertamakali diisolasi dari babi pada tahun 1930(Shope 1931). Mulai dari tahun 1930-ansampai akhir tahun 1990 virus swineinfluenza pada babi yang bersirkulasi diUSA relatif stabil. Antigenisitas virus inirelatif stasis sampai tahun 1998 danselama waktu itu antigenic drift terjadipada virus H1 manusia yang akhirnyamenciptakan suatu jarak antara virusswine influenza dengan virus seasonalflu pada manusia (Garten et al. 2009).
Pada tanggal 29 April 2009, WorldHealth Organization (WHO) mengu-mumkan bahwa telah terjadi penyebaranyang sangat cepat (rapid globalspread) virus influenza strain H1N1yang dideteksi pada minggu sebelumnyadan dengan cepat menjadi pandemi fase5 (global pandemic alert level to
phase 5) (www.who.int/csr/disease/swineflu/). Fase 5 mengindikasikantransmisi virus dari manusia ke manusiadari strain influenza yang berasal darihewan dari satu bagian negara di duniadan dengan cepat menyebar ke bagianlain di dunia.
Pada akhir bulan April, genomkomplit virus ini sudah diketahui dandiketahui sebagai novel reassortant(Dawood et al. 2009). Virus ini dengancepat menginfeksi populasi manusiahampir di seluruh negara dan mencipta-kan pandemi yang banyak menimbulkankerugian akibat morbiditas dan mortalitas-nya pada populasi manusia.
Ratusan laporan penelitian, reviewdan kesimpulan tentang virus ini telahdipublikasi dalam waktu enam bulan.Semua studi menyimpulkan bahwa virusnovel H1N1 yang menginfeksi populasimanusia kemungkinan terjadi sekitar
290
Dharmayanti dkk.
bulan Januari 2009 (Smith et al. 2009;Traser et al. 2009). Semua laporanpenelitian tersebut menyetujui bahwaenam dari gen virus yaitu yang mengkodeprotein polimerase (PB2, PB1 dan PA),hemaglutinin (HA), nukleoprotein (NP)dan non-struktural (NS) menunjukkantripple reassortant dari virus influenzayang ditemukan pada babi di AmerikaUtara pada tahun 1998, sedangkan genlainnya yaitu yang mengkode proteinneuraminidase (NA) dan protein matrix(MP) dari Eurasian avian-like viruslineage yang diisolasi di Eropa sekitartahun 1979 (Brockwell et al. 2009;Shinde et al. 2009; Olsen et al. 2002;Richt et al. 2003; Pensaert et al.1981;Brown et al. 1997; Scholtissek et al.1983; Webster et al. 1992).
Hampir semua negara di duniamelaporkan telah terinfeksi virus novelH1N1 termasuk Indonesia. Di Indonesia,data jumlah kumulatif infeksi Flu A H1N1sampai dengan 23 Agustus 2009sebanyak 1.005 orang dengan 5 orang diantaranya meninggal dunia. (www.dep-kes.go.id). Hal ini harus diwaspadaikarena Indonesia masih mempunyaimasalah dengan virus influenza H5N1dan telah menjadi endemis, sehinggadengan teridentifikasinya novel H1N1pada manusia di Indonesia, tentu menjadihal serius yang perlu diperhatikandiantaranya adalah kemungkinanterjadinya reassortant antara virus H5N1dengan virus influenza lainnya termasukvirus novel H1N1.
Babi berperan penting dalam ekologivirus influenza dikarenakan babi sensitifterhadap reseptor mamalia dan unggas.Sel saluran nafas babi mengandung
reseptor sialyloligosac-charides yangmemiliki reseptor avian yaitu N-acetyl-neuraminic acid-a2,3-galactose dan N-acetylneuraminic acid-a2,6-galactoseyang merupakan reseptor virus influenzauntuk mamalia (Ito et al. 1998; Rogers& Paulson 1983) atau salah satu peyebabbabi diduga berperan sebagai mixingvessel virus influenza dari spesiesberbeda dan menyediakan tempat untukreassortant adaptasi bagi inang(Scholtissek 1990).
Babi yang dapat berperan sebagaimixing vessel dari virus influenza ini,menjadi kunci utama untuk memulaisurveilans, pendataan dan evaluasimengetahui situasi virus influenza yangbersirkulasi di Indonesia. Pada penelitianini dilakukan pengambilan sampel dibeberapa lokasi sebagai upaya untukmengetahui penyebaran virus influenzaterutama virus influenza novel H1N1pada babi di Indonesia. Pada studi inidilakukan pendeteksian virus novel H1N1pada babi dari rumah potong hewan(RPH) Kapok, Jakarta, peternakan babidi pulau Bulan-Riau (pengekspor babiuntuk Singapura) dan Kota Batam yangdekat dengan dengan Singapura.Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei2009 sampai Nopember 2010.
BAHAN DAN CARA KERJA
Pool/individual usapan nasal babidilakukan isolasi RNA. RNA yangdihasilkan kemudian dijadikan templateuntuk uji RT-PCR dan qRT-PCR.Pengujian RT-PCR menggunakan primerNucleoprotein, primer H1, H5 danprimer N1 untuk mendeteksi adanya virus
291
Virus Influenza Novel H1N1 Babi di Indonesia
avian influenza subtipe H1N1; pengujianqRT-PCR dilakukan dengan mengguna-kan primer dan probe sesuai denganCDC protocol realtime RT-PCR untukinfluenza A (H1N1) (WHO 2009).
Prosesing sampel yang berasal dariusapan nasal dilakukan sesuai denganprosedur CDC (2009). Isolasi RNAdilakukan dengan menggunakan QIAmpRNA mini kit (Qiagen) yang tersediasecara komersial. Reaksi RT-PCRdilakukan dengan menggunakanSuperscript III one Step RT-PCRsystem (Invitrogen). Primer NP, H5 danH1 serta program RT-PCR yangdigunakan sesuai dengan Lee et al.(2001). Prosedur dan program untuksubtiping N1 yang digunakan sesuaidengan Wright et al. (1995). Hasilamplifikasi divisualisasi dengan uvtransluminator. Pengujian qRT-PCRdilakukan dengan menggunakan primerdan probe sesuai dengan CDC protocolrealtime RT-PCR for influenza A (H1N1)(WHO 2009).
Swab nasal babi yang teridetifikasipositif virus influenza atau novel H1N1dengan metode qRT-PCR dan RT-PCRditanam pada sel MDCK. Semuapekerjaan pembuatan inokulum daninokulasi virus pada sel MDCK dilakukandi Laboratorium dengan fasilitas BSL-3.
HASIL
Identifikasi virus novel H1N1 padaRPH Kapuk Jakarta
Pada bulan Mei 2009, sebanyak 103pool sampel usapan nasal berhasildikoleksi dari 558 babi dari beberapasuplier/kongsi babi di Jakarta yang
sebagian besar memperoleh babi tersebutdari Jawa Tengah (Tabel 1). Seluruh babiberumur sekitar 6-8 bulan berasal darispesies lokal.
Seratus tiga pool usapan nasal yangdiidentifikasi dengan primer influenza Adan subtipe H5 hanya dua sampel yangpositif terdeteksi adanya virus H5N1yaitu kode pool sampel D19 dan D100dari kongsi yang berbeda tetapi berasaldari daerah yang sama yaitu Solo, JawaTengah. Seratus satu sampel sisanyatidak terdeteksi adanya virus influenza A,sedangkan identifikasi virus yangdilakukan setahun kemudian tepatnyapada bulan Mei 2010, memperlihatkansebanyak 102 pool swab nasal yangdikoleksi dari 460 babi umur 6-8 bulan,tidak terdeteksi adanya infeksi virusinfluenza A (Tabel 1). Identifikasiselanjutnya pada bulan Oktober-Nopember 2010, delapan sampelindividual yang dikoleksi dari RPH Kapuk(kiriman dari BKHI Jakarta)menunjukkan 2 sampel positif teridenti-fikasi virus influenza novel H1N1.
Identifikasi virus novel H1N1 padapeternakan babi di pulau Bulan
Pool sampel nasal babi yang didugaterinfeksi virus novel H1N1 dari pulauBulan. Hasil identifikasi menunjukkanbahwa pool sampel S1, S2, S10 dan S11selain terdeteksi adanya virus swine fluH1 juga terdeteksi adanya virus novelH1N1 yang merupakan virus pandemisaat ini. Pool sampel S5 merupakanpool sampel yang terdeteksi adanyavirus novel H1N1 dan subtipe H5, danPada pool sampel S6 terdeteksi adanyavirus H1 seasonal flu, H5 dan novel
292
Dharmayanti dkk.
Lokasi dan Bulan Pengambilan sampel
Jumlah babi/ Pool sampel
Hasil RT-PCR/qRT-PCR
RPH Kapok (Mei 2009) 558/103 2 Pool sampel positif H5N1
RPH Kapok (Mei 2010) 460/102 Semua pool sampel negatif influenza A
RPH Kapok (Okt-Nop 2010)
8 individual 2 individual sampel positif Novel H1N1
Tabel 1. Identifikasi sampel swab nasal babi dari RPH Kapok dengan menggunakan RT-PCRkonvensional dan RealTime RT-PCR menggunakan beberapa set primer
H1N1, sedangkan S7dan S8 kemung-kinan terdeteksi adanya virus H1seasonal flu karena tidak dapat terdeteksiketika diamplifikasi dengan primer SwineFlu A. Pool sampal S9 terdeteksi adanyavirus subtipe H5 dan H1 (Tabel 2).Keberhasilan mengidentifikasi virusinfluenza subtipe H1 seasonal flu dan H5pada babi mengindikasikan bahwa babidapat terinfeksi virus avian influenza danvirus influenza manusia.
Sampel swab nasal babi yangdikoleksi dari Kota Batam, KepulauanRiau yang relatif dekat dengan Singapuramenunjukkan bahwa tidak terdeteksiadanya virus novel H1N1 (Tabel 3).
Infeksi sel MDCK dengan virusnovel H1N1
Sel MDCK yang diinfeksi olehinokulum sampel positif virus novel H1N1secara qRT-PCR memperlihatkanadanya Cythopathic Effect (CPE) yangmenunjukkan adanya pertumbuhan virus(Gambar 1). Selanjutnya sel MDCKyang membentuk CPE diidentifikasi ulangdengan menggunakan metode qRT-PCRseperti yang telah dilakukan sebelumnya.Hasil identifikasi ulang menunjukkan
bahwa sel MDCK yang membentuk CPEpositif terdeteksi adanya virus novelH1N1 (Gambar 1b). Hasil identifikasiulang virus dari supernatan sel MDCKmenunjukkan positif virus novel H1N1.
Penelitian ini menunjukkan bahwatelah berhasil diidentifikasi virus novelH1N1 pada babi di Indonesia meskipundalam lokasi yang terbatas. Mengapa halini terjadi masih belum diketahui denganpasti, apakah babi terinfeksi dari manusiayang lebih dahulu terinfeksi oleh virusnovel H1N1. Hal ini memerlukan kajianlebih lanjut.
PEMBAHASAN
Sirkulasi virus novel H1N1 yangtercatat sampai tanggal 13 Juni 2010,menunjukkan bahwa lebih dari 214negara termasuk Indonesia melaporkankasus konfirmasi pandemic influenzaH1N1 2009 dan lebih dari 18.172meninggal dunia akibat infeksi virus ini(WHO 2010). Di lain pihak sirkulasi virusini pada babi, khususnya di Indonesiasampai penelitian ini di lakukan belumpernah dilaporkan kejadian infeksi virusnovel H1N1 pada babi. Pada penelitian
293
Virus Influenza Novel H1N1 Babi di Indonesia
Tabel 2. Identifikasi sampel swab nasal babi dari pulau Bulan(*) dengan menggunakan RT-PCR konvensional dan RealTime RT-PCR menggunakan beberapa set primer
(*) Kiriman dari BPPV Bukittinggi
(a) (b)
SwFluA
(qRT-PCR)
S1 + _ _ + + +S2 + _ _ + + +S3 + _ _ _ _ _S4 + _ _ _ _ _S5 ++ + _ _ _ +S6 + + _ + _ +S7 + _ _ + _ _S8 + _ _ + _ _S9 + + _ + _ _S10 + _ _ + + +S11 + _ _ + + +
Kode pool sampel
Hasil Identifikasi dengan RT-PCR dan qRT-PCR
dengan set primer
Flu A H5 N1 H1SwH1(qRT-PCR) novel
Gambar 1. Sel MDCK (a) normal (sel tampak penuh dan confluent) ; (b) Sel MDCK diinfeksisampel S10 yang positif terdeteksi adanya virus influenza novel H1N1 (sel tampakterpisah-pisah dan bergerombol).
ini virus novel H1N1 berhasil dideteksipada babi di pulau Bulan dan beberapababi yang berasal dari rumah potong babidi Jakarta. Hasil pengamatan klinismemperlihatkan bahwa babi-babitersebut tampak sehat dan tidakmenunjukkan gejala klinis influenza.Berdasarkan data penelitian Lange et al.
(2009) menyebutkan bahwa penelitianekperimental pada babi yang diinfeksidengan virus novel H1N1 (A/Regensburg/D6/09/H1N1) secaraintranasal menimbulkan gejala klinis khasinfluenza berupa demam, bersin,keluarnya lendir dari hidung dan diareterjadi mulai satu hari setelah inokulasi
294
Dharmayanti dkk.
virus. Babi yang terinfeksi ini dapatmenulari babi lainnya tetapi tidak dapatmenginfeksi ayam yang ditandai dengantidak adanya gejala klinis, sero konversiataupun ekskresi virus. Tidak dapatterinfeksinya ayam oleh virus novel H1N1juga didukung oleh penelitian Babiuk etal. (2010) yang menyatakan bahwa virusnovel H1N1 tidak patogen pada ayam.Data yang menunjukkan bahwa ayamtidak peka terhadap virus ini memberikansedikit keuntungan terhadap kita karenasituasi virus H5N1 yang masih
bersirkulasi pada ayam di Indonesia,setidaknya tidak bertambah burukdengan hadirnya virus novel H1N1 ini.Pada hasil penelitian ini menunjukkkanbahwa sebagian besar babi yang ditelitipada penelitian ini memperlihatkan tidakterdeteksinya virus novel H1N1menginfeksi babi di Indonesia kecualibabi di pulau Bulan dan individual sampelswab nasal babi dari RPH Kapuk yangdikoleksi sekitar Oktober-Nopember2010. Terdeteksinya virus novel H1N1dari babi di RPH Kapok pada akhir tahun
Tabel 3. Identifikasi sampel swab nasal babi dari Kota Batam (*) dengan menggunakan RT-PCR konvensional dan RealTime RT-PCR menggunakan beberapa set primer
(*) Kiriman dari BPPV Bukittinggi
SwFluA SwH1(qRT-PCR) (qRT-PCR) novel
SA1 + _ _ _ _ _
SA2 + _ _ _ _ _
SA3 + _ _ _ _ _
SA4 + _ _ _ _ _
SA5 + _ _ _ _ _
SA6 + _ _ _ _ _
SA7 + _ _ _ _ _
SA8 + _ _ _ _ _
SA9 + _ _ _ _ _
SA10 + _ _ _ _ _
SA11 + _ _ _ _ _
SA12 + _ _ _ _ _
SA13 + _ _ _ _ _
SA14 + _ _ _ _ _
SA15 + _ _ _ _ _
SA16 + _ _ _ _ _
SA17 + _ _ _ _ _
Kode pool sampel
Hasil Identifikasi dengan RT-PCR dan qRT-PCR
Flu A H5 N1 H1
295
Virus Influenza Novel H1N1 Babi di Indonesia
2010, menunjukkkan bahwa peransurveilans dan monitoring virus ini masihharus terus dilakukan. Kekhawatiranakan terjadinya reassortant virus H5N1dan virus H1N1 atau dengan virusseasonal flu lainnya harus tetapdiwaspadai, dikarenakan babi sangat pekaterhadap infeksi avian dan influenza virusmanusia, genetic reaasortament antaraavian dan influenza manusia dapat terjadiketika virus ini menginfeksi secarabersama-sama pada seekor babi(Scholtissek 1990). Potensi meningkat-nya virulensi yang kemungkinan terjadireassortant antara highly patogenic H5N1dengan virus novel H1N1 khususnya diIndonesia membutuhkan suatu perenca-naan kemungkinan terjadinya pandemireassortant virus-virus tersebut (Brock-well-Staats et al. 2009).
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkanbahwa di Indonesia telah terdeteksi virusnovel H1N1 pada babi pada salah satupeternakan di Pulau Bulan pada tahun2009 dan dua sampel dari RPH Kapukjuga berhasil diideteksi adanya virus novelH1N1. Hal ini memperlihatkan bahwasirkulasi virus influenza novel H1N1masih harus diwaspadai.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kepada drhYuli Miswati dan drh M Syibli (BPPVBukittinggi) serta drh Irma Budiarti(BKHI Jakarta) atas kontribusinya.Ucapan terima kasih juga kepada Nana
Suryana dan Teguh Suyatno atas bantuanteknisnya.
DAFTAR PUSTAKA
Babiuk, S., R. Albrecht, Y. Berhene, P.Marszal, JA. Richt, A. Garcia-Satre, J. Pasick, & Weingartl, H.2010. 1908 and 2009 H1N1influenza viruses are not patho-genic in birds. J. Gen Virol. 91 :339-342
Brockwell-Staats C., RG.Webster, & RJ.Webby. 2009. Diversity ofinfluenza viruses in swine and theemergence of a novel humanpandemic influenza A (H1N1).Influenza and Other RespiratoryViruses. 3: 207-213
Brown IH., S. Ludwig, CW. Olsen, C.Hannoun, C. Scholtissek , VS.Hinshaw, PA. Harris, JW. McCau-ley, I. Strong, & DJ. Alexander.1997. Antigenic and geneticanalyses of H1N1 influenza Aviruses from European pigs. J.Gen. Vir. 78: 553-562
Dawood FS, S. Jain, L. Finelli, MW.Shaw, S. Lindstrom, RJ. Garten,LV. Gubareva, X. Xu, CB. Bridges,TM. Uyeki. 2009. Emergence ofa novel swine-origin influenza A(H1N1) virus in humans. N Engl JMed. 360 : 2605-615
Garten, RJ, CT. Davis, CA. Russell, B.Shu, S. Lindstrom, A. Balish, WM.Sessions, X. Xu, E. Skepner, V.Deyde, M. Okomo-Adhiambo, LGubareva, J Barnes, CB. Smith,SL. Emery, MJ. Hillman, P.Rivailler, J. Smagala, M. de Graaf,
296
Dharmayanti dkk.
D F. Burke, RAM. Fouchier, CPappas, CM. Alpuche-Aranda, H.López-Gatell, H. Olivera, I. López,CA. Myers, D. Faix, PJ. Blair, C.Yu, KM. Keene, PD Dotson, Jr.,DBoxrud, AR. Sambol, SH. Abid,K St. George, T. Bannerman, AL.Moore, DJ. Stringer, P. Blevins,Gail J. Demmler-Harrison, M.Ginsberg, P. Kriner, S. Waterman,S. Smole, HF. Guevara, EA.Belongia, PA. Clark, ST. Beatrice,R. Donis, J. Katz, L. Finelli, CB.Bridges, M. Shaw, DB. Jernigan,TM. Uyeki, DJ. Smith, AI. Klimov,& NJ. Cox. 2009. Antigenic andgenetic characteristics of swine-origin 2009 A(H1N1) influenzaviruses circulating in humans.Science. 325:197-201
Ito T, JN. Couceiro JN, & S. Kelm. 1998.Molecular basis for the generationin pigs of influenza A viruses withpandemic potential. J Virol.72:7367–7373.
Lee, MS., PC. Chang, JH. Shien, MC.Cheng,& HP. Shieh. 2001.Identification and subtyping ofavian influenza viruses by reversetranscription-PCR. J.Virol.Methods. 97: 13-22.
Lange, E., D. Kalthoff, U. Blohm, JP.Teifke, A. Breithaupt, C. Maresh,E. Starick, S. Fereidouni, B.Hoffman, TC. Mettenleiter, M.Beer, & TW. Vahlenkamp. 2009.Pathogenesis and transsimission ofthe novel swine-origin influenzavirus A/H1N1 after experimentalinfection of pigs. J. Gen Virol. 90:2119-2123
Olsen, CW. 2002. The emergence ofnovel swine influenza viruses inNorth America. Virus Res. 85:199-210.
Pensaert, M., K. Ottis , J. Vanderputte,MM. Kaplan, & PA. Buchmann.1981. Evidence for the naturaltransmission of influenza A virusfrom wild ducks to swine and itspotential for man. Bulletin of theWorld Health Organization.59:75-78
Richt, JA., KM. Lager, BH. Janke, RD.Woods, RG. Webster,& RJ. Webby.2003. Pathogenic and antigenicproperties of phylogene-ticallydistinct reassortant H3N2 swineinfluenza viruses cocircula-ting inthe United States. J. Clin.Microbiol. 41:3198-3205
Rogers, GN., JC. Paulson. 1983.Receptor determinants of humanand animal influenza virus isolates:differences in receptor specificityof the H3 hemagglutinin based onspecies of origin. Virol. 127:361–373.
Scholtissek, C., H. Burger, PA.Bachmann, & C. Hannoun. 1983.Genetic relatedness of hemagglu-tinins of the H1 subtype ofinfluenza A viruses isolated fromswine and birds. Virology. 129:521-523
Scholtissek C. 1990. Pigs as the ‘‘mixingvessel’’ for the creation of newpandemic influenza A viruses. MedPrinciples Pract. 2:65–71
Shinde V, Bridges CB, TM. Uyeki, B.Shu, A. Balish, X. Xu, S.Lindstrom,LV. Gubareva, V. Deyde, RJ.
297
Virus Influenza Novel H1N1 Babi di Indonesia
Garten, M. Harris, S. Gerber, F.Vagasky, F. Smith, MD, NealPascoe, K. Martin, D. Dufficy,K.Ritger, C. Conover, P. QuinliskA. Klimov, JS. Bresee, & L.Finelli. 2009. Triple-reassortantswine influenza A (H1) in humansin the United States, 2005-2009. N.Engl. J. Med. 360: 2616-2625
Shope, RE. 1931. Swine influenza. III.Filtration experiments and etiology.J. Exp. Med. 54 : 373–385
Smith, GJ., D. Vijaykrishna, J. Bahl, SJ.Lycett, M. Worobey, OG. Pybus,SK. Ma, CL. Cheung, & J.Raghwani. 2009. Origins andevolutionary genomics of the 2009swine-origin H1N1 influenza Aepidemic. Nature. 459 : 1122–1125
Webster, RG., WJ. Bean, OT. Gorman,TM. Chambers, & Y. Kawaoka.1992. Evolution and ecology ofinfluenza A viruses. Microbiol.Rev. 56:152-179.
WHO, 2010. Pandemic (H1N1) 2009 -update 105.http://www.who.int.diakses 20 Juni 2010.
WHO, 2009. CDC Protocol of realtimeRT-PCR for influenza A (H1N1).Revision 30 April 2009. The WHOCollaborating Centre for influenzaat CDC Atlanta, United States ofAmerica.
Wright, KE., GAR. Wilson, GD.Novosad, C. Dimock, D. Tan, D& JM. Weber. 1995. Typing andsubtyping of influenza viruses inclinical samples by PCR. J. ClinMicrobiol. 33:1180–1184
Memasukkan: Februari 2011Diterima: Juni 2011
299
Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 299-308 (2011)
Karakterisasi Produk Biosolubilisasi Lignit oleh Kapang Indigenus dariTanah Pertambangan Batubara di Sumatera Selatan
1),2)Irawan Sugoro, 3)Sandra Hermanto, 4)Dwiwahju Sasongko,2)Dea Indriani & 2) Pingkan Aditiawati
1)Pusat Aplikasi Teknologi Radiasi – BATAN Pasar Jumat, 2)Sekolah Ilmu dan TeknologiHayati - Institut Teknologi Bandung, 3) Program Studi Kimia FST UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 4)Departemen Teknik Kimia – Institut Teknologi BandungEmail: [email protected]
ABSTRACT
Characterization of Lignite Biosolubilization Products by Indigenous Moulds from Soil ofCoal Mining in South Sumatera. Biosolubilization of coal is a potential technology of convert-ing solid coal to liquid fuel and chemicals at ambient condition. Our previous research hassuccessfully isolated four moulds from soil at coal mining - South Sumatera and has potency aslignite biosolubilization agent, i.e. T1, T2, T4, T5. The objective of this research was to charac-terize of lignite biosolubilization products by four isolates. The method used was sub-mergedculture. Cultivation medium was MSS+ (minimal salt + sucrose 0,1% + yeast extract 0,01% +lignite 5 %). Incubation was conducted at room temperature for 28 days. The result showed thatall indigenos moulds have different ability in lignite biosolubilization. The highestbiosolubilization occurred after 7 days of incubation belonging to T1 isolate. However, GC-MSanalysis showed the largest percentage of hydrocarbon compound which equivalent to gaso-line and diesel was T5 after 7 days of incubation.
Key words: Biosolubilization, lignite, moulds, coal.
PENDAHULUAN
Batubara menjadi sumber energiyang penting di dunia seiring dengansemakin terbatasnya cadangan minyakdan gas alam. Data menunjukkan bahwacadangan batubara, minyak dan gas alamhingga akhir tahun 2007 sebesar 462,6,164,5 dan 163,3 triliun ton, dengan asumsitingkat konsumsi tahun 2007, cadanganbatubara akan memenuhi kebutuhanenergi untuk 146 tahun ke depan,sedangkan minyak untuk 50 tahun dangas alam untuk 63 tahun (IEA 2009).
Data pada akhir tahun 2010menunjukkan bahwa Indonesia memilikisumber daya dan cadangan batubaraIndonesia sebesar 104,8 miliar dan 20,98miliar ton. Cadangan batubara Indonesiadidominasi oleh jenis lignit (kandungankalori rendah) sebesar 59%, subbituminus(kandungan kalori sedang) sebesar 27%,dan bituminus mencapai 14%, sedangkanantrasit kurang dari 0,5% (ESDM 2010).Secara alamiah. Atas dasar data tersebutmaka penggunaan batubara yang efisienmenjadi sangat penting untuk diteliti.
Batubara banyak digunakan untuk
300
Sugoro dkk.
pembangkit tenaga listrik dan panas.Umumnya jenis batubara yang digunakanadalah kualitas rendah dari jenis lignitsebesar 96,4 %. Hal tersebut dapatmengakibatkan polusi udara yang cukupserius. Emisi dari pembakaran lignitterutama berupa sulfur oksida (SOx), ni-trogen oksida (NOx), karbon dioksida(CO2) dan logam berat (Xu dkk 2000).Oleh karena itu, pembakaran lignit secaralangsung bukan merupakan teknologiyang baik dilihat sisi perlindunganlingkungan, sehingga dibutuhkan teknologibaru untuk penanganannya.
Biosolubilisasi adalah salah satuteknologi yang menjanjikan denganmemanfaatkan mikroba untuk mencair-kan padatan batubara sehingga diperolehsumber energi dengan produk bersih.Produk biosolubilisasi yang berupa cairanhitam menyimpan 97,5% dari nilaipemanasan lignit mentah (Shi dkk 2009).Dibandingkan dengan liquefaksi termalbatubara, biosolubilisasi memilikibeberapa keuntungan, yaitu prosesdilakukan dalam kondisi suhu dan tekananatmosfer, mikroba dapat menggunakanhidrogen dari air dan tidak membutuhkanenergi eksternal hidrogen untukmembentuk lignit tersolubilisasi. Mikrobadapat mencairkan batubara denganbantuan enzim pada kondisi suhu dantekanan atmosfer, sedangkan prosestermal membutuhkan suhu dan tekananyang tinggi. Peningkatan rasio H/Cproduk batubara cair diperoleh denganmemanfaatkan hidrogen dari air,sedangkan proses termal perlu proseshidrogenasi yang menyebabkan biayaoperasi tinggi. Produk yang dihasilkanpun tidak menghasilkan SOx dan NOx
selama proses pembakaran dan itulahsumber energi bersih (Fakoussa &Hofrichter 1999). Batubara dicairkandengan cara menggunakan suhu dantekanan sangat tinggi. Disamping itu,penelitian ini mendukung programpemerintah melaui Peraturan Presiden.No.5 Tahun 2006 mengenai KebijakanEnergi Nasional (KEN), dimana penggu-naan batubara akan ditingkatkan menjadi33% dan batubara yang dicairkan sebesar2 % pada tahun 2025 untuk mengurangiketergantungan terhadap minyak bumi.
Biosolubilisasi batubara menjadimenarik untuk diteliti lebih dalam denganalas an yang telah dijelaskan di atas. Hasilsolubilisasi yang rendah dan dibutuhkan-nya waktu konversi yang lama menjadihambatan pengembangan biosolubilisasibatubara serta jenis batubara yangberbeda untuk setiap lokasi. Salah satucara untuk mengatasi masalah tersebutadalah dengan memanfaatkan kapangindigenus di pertambangan batubarauntuk memudahkan saat pengaplikasiankarena secara alami telah teradaptasidengan substrat batubara. Hasil penelitiansebelumnya menunjukkan telah diperoleh8 isolat kapang dari tanah dan batubara.Penelitian ini menggunakan 4 isolatkapang hasil isolasi dari tanah pertamba-ngan batubara di Tanjung Enim, SumateraSelatan, yaitu kapang kode T1, T2, T4dan T5 (Sugoro dkk. 2011). Kapangtersebut memiliki kemampuan mengso-lubilisasi batubara kualitas rendah sepertilignit, akan tetapi belum diketahuikarakteristik produknya. Oleh sebab itu,penelitian ini bertujuan untuk mengetahuikarakteristik produk biosolubilisasi darikeempat kapang tersebut.
301
Karakterisasi Produk Biosolubilisasi Lignit oleh Kapang
BAHAN DAN CARA KERJA
Alat utama yang digunakan adalahGas Chromatograph Mass Spectrometer(GC-MS) untuk analisa hidrokarbon hasilbiosolubilisasi, Fourier Transform InfraRed (FTIR) Spectrum One Perkin Elmeruntuk identifikasi profil gugus fungsibatubara sebelum dan setelahbiosolubilisasi, Spektrofotometer UV-VisSpectronic Genesys, mikroskop, LaminarAir Flow Cabinet (LAFC), pH meterHANNA Instruments HI 8520 dansaringan berukuran 100 mesh. Bahanyang digunakan adalah batubara jenislignit dengan ukuran 100 mesh, 4 jenisisolat kapang berasal dari tanahpertambangan Tanjung Enim - SumateraSelatan (kode T1, T2, T4, dan T5), me-dium Minimal Salt (MS/1g NH4(SO4),0,52 g MgSO4.7H2O, 5 g KH2PO4, 0,005g FeSO4.7H2O, 0,003 g MnCl2.4H2O dan0,003 g ZnSO4.7H2O lalu ditambahakuades hingga volumenya mencapai1000 ml dan pH 5,5), medium PDMA(Potatoes Dextrose Agar : MS (1 : 1) +serbuk batubara 0,1%), medium MSS+(MS + sukrosa 0,1 % + ekstrak ragi0,01% + batubara 5%), benzena,heksana, dietil eter dan serbuk KBrkering.
Kapang diremajakan dalam mediumPDMA dan diinkubasi selama 4 harihingga dihasilkan spora. Kemudian sporadilepaskan dari miselia dan sebanyak 5%v/v (106 sel spora/ml) diinokulasikan kedalam 30 ml medium MSS. Kulturdiinkubasi menggunakan shaking incu-bator dengan kecepatan 150 rpm dansuhu ruang selama 28 hari. Pencuplikansampel kultur dilakukan pada hari ke - 0,
7, 14, 21, dan 28 untuk pengukuran pHmedium, kolonisasi, kadar asam humatdan fulvat, analisis gugus fungsi batubaradengan FTIR dan analisis produkbiosolubilisasi dengan GC-MS.
Pengukuran asam humat dan fulvatdilakukan dengan menambahkan asamklorida (HCl) 4 N ke dalam supernatansampel hingga pH mencapai 1. SetelahpH mencapai nilai yang diinginkankemudian dilakukan sentrifugasi selama20 menit (8000) rpm. Dari proses tersebutdidapatkan supernatan dan pelet yangterpisah di dasar tabung sentrifugasi.Supernatan yang didapatkan kemudiandipindahkan ke dalam tabung terpisah dandiukur absorbansinya menggunakanspekrofotometer pada panjang gelombang280 nm. Setelah proses asidifikasimenggunakan HCl 4 N, maka endapanyang didapatkan dari hasil sentrifugasidiperlakukan lebih lanjut yakni denganmembilasnya menggunakan aquadeshingga pH-nya mencapai nilai 4. Setelahitu dilakukan pengukuran absorbansinyadengan menggunakan spektrofotometerpada panjang gelombang 450 nm(Fakuosa & Frost 1998).
Analisis gugus fungsi batubarasebelum dan setelah biosolubilisasidilakukan dengan FTIR pada kisaranfrekuensi 4000- 450 cm-1 resolusi 4 cm-1.Batubara hasil biosolubilisasi terlebihdahulu dioven pada suhu 55oC. Sampeldicampurkan dengan serbuk KBr keringdengan lumpang agate dengan perban-dingan 1:100 hingga benar-benarhomogen. Campuran tersebut dicetakdengan handy press. Cakram KBr yangsudah terbentuk dimasukkan ke dalamKBr disc holder dan direkam dengan alat
302
Sugoro dkk.
spektrofotometer FTIR (Shi dkk 2009).Analisis hasil solubilisasi batubara
oleh kapang dengan menggunakan GC-MS. Supernatan hasil biosolubilisasiditambahkan pelarut dengan perbandi-ngan 1:1. Pelarut yang digunakan adalahcampuran benzena : heksana : dietil eterdengan perbandingan 3:1:1. campuran laludiaduk, didiamkan beberapa saat sampaiterbentuk fase atas dan bawah. Fase atasselanjutnya dimasukkan ke dalam vialuntuk dianalisis dengan alat GC-MS.Kontrol yang digunakan adalah batubarayang dilarutkan dalam medium MSS+,kemudian diekstrak dengan pelarut yangsama (Silva dkk 2007).
HASIL
Perubahan pH Medium dan Koloni-sasi
Biosolubilisasi yang dilakukan olehkeempat isolat kapang pada penelitian inimenghasilkan pH yang asam. Nilai pHawal seluruh kapang pada hari ke-0, yaituberkisar antara 4,25 - 4,5. Selanjutnyahingga hari ke 21 inkubasi, pH mengalamipenurunan berkisar antara 3,31-4,5.Setelah hari ke 28 inkubasi pH cenderungmengalami sedikit peningkatan berkisar
antara 3,49 - 3,55 (Tabel 1). Hal ini,didukung pula hasil pengamatanmikroskopis yang menunjukkan terjadinyainteraksi berupa kolonisasi miselia kapangpada batubara (Gambar 1). Kolonisasikapang setelah 7 hari inkubasimenunjukkan hasil berbeda-beda dankolonisasi terbaik dilakukan oleh kapangT2.
Kandungan Asam Humat dan Fulvatpada Produk Solubilisasi Batubara
Pengukuran asam humat dan fulvatpada produk solubilisasi batubaradilakukan melalui penentuan absorban-sinya secara kualitatif pada panjanggelombang 450 nm (asam humat) dan 280nm (asam fulvat). Pada Gambar 2 terlihatgrafik perubahan absorbansi asam humatdan fulvat yang menunjukkan kecenderu-ngan pola perubahan yang sama antarisolat. Peningkatan asam humat terjadisetelah hari ke-7 dan cenderung stasionersetelah hari ke-14 untuk isolat kapang T1dan T4, sedangkan kandungan asamhumat isolat kapang T2 dan T4mengalami peningkatan lebih lanjut. Hasilberbeda terjadi pada kandungan asamfulvat yang mengalami kenaikan hinggahari ke-7 untuk semua isolat kapang dan
Tabel 1. Nilai perubahan pH Medium untuk isolat kapang T1, T2, T4, dan T5 kapang dalammedium MSS yang diinkubasi pada suhu kamar dan agitasi 150 rpm.
Hari Rata-rata nilai pH
T1 T2 T4 T5 0 3,93 3,84 3,92 3,94 7 3,26 3,41 3,35 3,265 14 3,02 2,24 3,13 3,035 21 3,085 3,31 3,245 3,125 28 3,08 3,315 3,195 3,12
303
Karakterisasi Produk Biosolubilisasi Lignit oleh Kapang
setelahnya mengalami penurunan.Kandungan asam fulvat tertinggi terjadipada isolat kapang T5 dengan nilaiabsorbansi 0,74.
Spektrum FTIR Batubara HasilBiosolubilisasi
Identifikasi gugus fungsi batubarahasil degradasi dengan menggunakanFTIR digunakan untuk mengkarakterisasilignit mentah (kontrol) dan lignit yang telahdiberi perlakuan selama prosesbiosolubilisasi (Gambar 3). Hasil analisaFTIR menunjukkan, batubara lignitmengandung gugus hidroksil fenol (O-H)
pada daerah serapan 3200-3550 cm-,gugus alkana (C-H) 2850-3000 cm-,gugus (C=C) aromatik pada daerah 1500-1600 cm-, gugus fosfor (P-H) di daerah2440-2280 cm-, dan gugus alkohol (C-O)pada daerah serapan 970-1250 cm.Setelah terjadi proses solubilisasi,spektrum yang dihasilkan pada sampeldibandingkan dengan spektrum kontrolbatubara lignit. Gugus O-H fenol, C-Ofenol C-H alkana, dan C=C aromatikpada semua kapang mengalamipenurunan sedangkan gugus P-H posforpada sampel T1 meningkat.
T1
T4 T5
T2
Gambar 1. Kolonisasi batubara oleh isolat kapang TI, T2, T4, dan T5 dalam medium MSSyang diinkubasi pada suhu kamar dan agitasi 150 rpm (miselia; tanda panah hijau;batubara: tanda panah kuning ; perbesaran 400 x).
00.020.040.060.080.10.120.140.160.180.2
0 7 14 21 28
T1
T2
T4
T5
waktu (hari)
Absorbansi as. humat
00.10.20.30.40.50.60.70.80.91
0 7 14 21 28
T1
T2
T4
T5
waktu (hari)
Absorbansi as.fulvat
Gambar 2. Perubahan nilai absorbansi asam humat dan fulvat supernatan medium hasil
biosolubilisasi batubara oleh kapang hasil T1, T2, T4 dan T5 dalam medium MSS yangdiinkubasi pada suhu kamar dan agitasi 150 rpm
304
Sugoro dkk.
Hasil Analisis GCMS ProdukBiosolubilisasi Batubara
Sampel yang digunakan adalahperwakilan dari setiap kapang yangmemiliki hasil absorbansi solubilisasiterbesar yaitu T1, T4, dan T5 pada harike-7 inkubasi serta T2 pada hari ke-4inkubasi. Kontrol yang digunakan adalahbatubara yang dilarutkan dalam mediumminimal salt. Hasil identifikasi mengguna-kan GC-MS (Tabel 2) menunjukkan padakontrol terdeteksi 18 senyawa hidrokar-bon, sedangkan kapang T1 terdeteksi 11senyawa, T4 terdeteksi 17 senyawa, T5terdeteksi 11 senyawa, dan T2 terdeteksi13 senyawa. Pada kontrol terdapatsenyawa dengan rantai karbon panjangyang tidak terdapat pada ke-4 sampelyaitu n-heneikosil siklopen-tana (C26H52)dan n-nonakosana (C29H60). Senyawanapthalene (C10H8) baik pada kontrolmaupun perlakuan pada masing-masingkapang memiliki persentase area yangtertinggi dibandingkan dengan senyawalain yang terdeteksi. Jika dibandingkandengan kontrol, analisis terhadap keempatsampel menunjukkan terjadi peningkatan
persentase area pada rantai karbonpendek. Peningkatan persentase areaterjadi pada senyawa C9H18, C10H8 ,C12H26, dan C14H30. Senyawa baruseperti senyawa C11H24 dan C15H35terbentuk pada perlakuan menggunakankapang T4 dan T2.
PEMBAHASAN
Perubahan pH medium merupakanindikator terjadinya pertumbuhan ataumetabolisme kapang selama prosesbiosolubilisasi. Hal ini didukung hasilpengamatan mikroskopis setiap kapangyang mampu tumbuh dan mengkolonisasibatubara (Gambar 1). Penurunan pH yangterjadi dapat disebabkan terbentuknyaasam-asam organik dan juga dapatdisebabkan telah terjadinya desulfurisasi.Dimana sulfur dalam batubara terlarut kedalam medium cair dalam bentuk ionsulfat (SO42-) sehingga terbentuk asamsulfat. Jenis asam organik diantaranyaadalah asam karboksilat dan asam fulvatyang merupakan senyawa humat yangterdapat dalam batubara (Hammel 1996).
Gambar 3. Pola spektrum endapan batubara hasil biosolubilisasi oleh keempat isolat kapanghasil analisis dengan FTIR.
305
Karakterisasi Produk Biosolubilisasi Lignit oleh Kapang
T2 T4 T51 2,4-dimetil-1-heptena (C9H18 ) 0,64 0,96 - -2 2,4-dimetilheptana(C9H 20 ) - 4,71 3,33 2,693 4-metiloktana (C9H20 ) 1,04 1,47 2,15 -4 3-etil-2-metilheksana (C9H20) 1,82 - - -5 Naptalena ( C10H8 ) 30,38 45,23 61,22 52,156 Undekana,3,7-dimetil (C11H24) - - - -7 3,7-Dimetildekana (C12H26 ) 3,42 9,45 6,83 4,308 Dekana,3,7,-dimetil (C12H26) - 2,88 - -9 n-dodekana (C12H26) 0,67 - 1,44 0,87
10 4-metildodekana (C13H28) - 3,27 - -11 5-metil-5-propilnonana(C13H28) - - 1,60 1,3312 5-isobutilnonana(C13H28 ) - 6,66 1,49 5,8713 5-sek-butilnonana (C13H28 ) - - - 1,0314 5-butilnonana (C13H28) 0,93 - - -15 n-tetradekana (C14H30) 2,45 8,17 5,15 3,2216 4,6-dimetildodekana (C14H30) 4,00 - - -17 Dodekana,4,6-dimetil (C14H30) - - - -18 4,6-dimetildodekana (C14H30 ) 1,70 - - -19 n-Pentadekana(C15H35) - - - 2,0720 2,6,10-trimetiltetradekana(C17H36) 0,48 - - -21 2,6,10-trimetiltetradekana(C17H36) - - - -22 n-heptadekana(C17H36 ) 7,56 - - 2,8823 2-metilheksadekana (C17H36) 2,42 - 10,88 -24 n-oktadekana (C18H38) 2,43 14,38 1,92 2,1825 n-nonadekana (C19H40) 11,69 - - 18,6426 9-metilnonadekana (C20H42) - - - -27 2,6,10,14-tetrametilheksadekana(C20H42) 6,6 - - -28 2,6,11,15-tetrametilheksadekana(C20H42 ) - 2,81 - 2,7729 2,6,10,14-tetrametilheptadekana (C21H44) - - - -30 n-dokosana (C22H46) - - 4,00 -31 n-trikosana(C23H48) - - - -32 n-heneicosylcyclopentana (C26H52) 3,05 - - -33 n-nonakosana (C 29H60) 18,73 - - -
100 100 100 10018 11 11 13
31,91--
Total % Area 100Total senyawa 17
-0,56
--
1,56-
-0,331,57
--
11,15
--
8,78-
4,06-
4,19-
0,69-
1,061,83
0,722,261,00
-27,340,99
No. Nama Senyawa
% Area
KontrolKode isolat
T1
Tabel 2. Senyawa Hasil Biosolubilisasi Batubara Menggunakan GC-MS.
Penurunan nilai pH tidak terjadisecara terus-menerus sampai akhir masainkubasi. Setelah memasuki hari ke-28inkubasi nilai pH mengalami sedikitkenaikan (Tabel 1). Kemungkinan
kenaikan pH medium disebabkanterbentuknya senyawa amonia hasilsolubilisasi senyawa piridin dalambatubara kemudian larut dalam mediumdan bereaksi dengan air membentuk
306
Sugoro dkk.
amonium hidroksida (NH4OH) yangbersifat basa lemah (Ying dkk 2010).
Terjadinya penurunan pH didukungpula dengan hasil pengukuran absorbansiasam humat dan fulvat yang terlarut.Menurut Stevenson (1982) batubaraterutama jenis lignit, merupakan senyawaorganik yang berpotensi kaya akansubstansi humat. Substansi humatmemiliki kontribusi besar sebagai mantelsuatu partikel. Kondisi itu kemungkinanbesar proses solubilisasi batubara ditandaidengan melarutnya beberapa lapisansubstansi humat tersebut ke dalam me-dium. Oleh karena itu pengukuranterhadap keberadaan substansi humatberupa asam humat dan asam fulvatdalam medium dapat dijadikan sebagaiacuan atau faktor uji dalam memastikanterjadinya biosolubilisasi batubara.
Tingginya nilai absorbansi asamhumat pada awal inkubasi karenabatubara masih mengandung banyaksenyawa aromatik yang memiliki ikatanterkonjugasi yang merupakan komponenutama penyusun asam humat dalambatubara. Penurunan kadar asam humatpada awal inkubasi (hari ke-7) diikutidengan kenaikan kadar asam fulvat(Gambar 2). Penurunan nilai absorbansiasam humat yang berimplikasi padapeningkatan nilai asam fulvat disebabkanoleh penguraian ikatan konjugasi padasenyawa aromatik dimana naftasena yangmerupakan penyusun utama asam humatterurai menjadi senyawa yang lebihsederhana seperti naftalena yangmerupakan penyusun utama asam fulvat(Zylstra & Kim 1997). Kondisi tersebutmenyebabkan konsentrasi asam fulvatyang terlarut dalam medium mulai
mengalami peningkatan. Setelah hari ke-7 inkubasi, kadar asam humat mengalamikenaikan, sedangkan asam fulvatmengalami penurunan hingga akhirinkubasi. Kemungkinan yang terjadiadalah pelepasan asam humat di batubarayang tinggi karena aktivitas kapang danasam fulvat yang terlarut dalam mediummengalami proses degradasi lanjut.
Terjadinya biosolubilisasi batubaradapat dilihat dari adanya perubahan gugusfungsi batubara. Menurut Scott & Lewis(1990), perubahan ini disebabkanbiosolubilisasi yang dilakukan oleh kapangterhadap batubara yang merupakanproses oksidatif. Struktur lignit didegra-dasi menjadi senyawa fenolik dan alifatiklignin hasil degradasi cincin aromatik.Peningkatan P-H posfor dan penurunangugus O-H, C-O fenol, C-H alkana danC=C aromatik pada sampel yangdibandingkan dengan kontrol menunjuk-kan bahwa telah terjadi perubahanstruktur lignit menjadi senyawa yang lebihsederhana atau terlarut dalam medium.
Hal ini didukung pula dari hasilanalisis GC-MS supernatan medium yangmenunjukkan adanya senyawa-senyawabaru yang berasal dari batubara.Penurunan komposisi dan konsentrasisenyawa mengindikasikan terjadinyabiosolubilisasi. Proses biosolubilisasi inimenyebabkan pemutusan rantai karbonoleh kapang menjadi rantai yang lebihsederhana dan sebagian digunakan untukproses metabolisme kapang dimanaselama masa inkubasi kapang mengguna-kan sumber karbon pada senyawabatubara tersebut untuk proses metabolis-menya. Bukti terjadinya biosolubilisasiadalah terdeteksinya senyawa napthalene
307
Karakterisasi Produk Biosolubilisasi Lignit oleh Kapang
(C10H8) pada medium yang lebih tinggidibandingkan kontrol. Senyawa inimerupakan komponen utama asam fulvatdan sesuai dengan hasil pengukuranabsorbansi asam fulvat yang menunjuk-kan terjadinya peningkatan pada hari ke-7 (Gambar 3). Hasil berbeda ditunjukkanoleh Sugoro dkk (2009), produk biosolubili-sasi oleh kapang Penicillium sp. tidakmendeteksi adanya senyawa naftalenekarena batubara yang digunakan adalahdari jenis subbituminus.
Jika dibandingkan dengan komposisisenyawa hidrokarbon yang terdapat padabensin dengan jumlah atom karbonsebanyak 4 sampai 12, dan minyak solaryang memiliki panjang rantai karbon 10sampai 13 (American Petroleum Institute2001). Senyawa hidrokarbon yangterdapat pada keempat sampel hasilsolubilisasi batubara lignit memilikikemiripan dengan jumlah atom karbonpada bensin dan solar. Produk tertinggiyang setara dengan bensin dihasilkan olehkapang T5 dengan persentase areasebesar 74,97, disusul oleh T1,T2 dan T4dengan persentase area berturut-turutsebesar 64,7; 60,01 dan 37,19. Produktertinggi yang setara dengan solardihasilkan oleh kapang T5 dengan(72,58%), disusul oleh T1,T2 dan T4berturut-turut sebesar 64,49; 65,52 dan36,1%.
Dari keempat kapang yangdigunakan untuk proses biosolubilisasiternyata yang terbaik mendegradasibatubara kompleks menjadi senyawayang setara dengan komponen bensin dansolar adalah kapang T5 pada hari ke-7inkubasi. Dengan demikian hasildegradasi batubara oleh keempat kapang
indigenus ini, memiliki potensi sebagaienergi alternatif penganti bahan bakarminyak yang setara dengan bensin dansolar.
KESIMPULAN
Keempat isolat kapang indigenusmemiliki kemampuan yang berbeda dalammensolubilisasi batubara. Hasil analisisFTIR menunjukkan terjadinya penurunanabsorbansi gugus O-H fenol, C-O fenolC-H alkana, dan C=C aromatik padasemua kapang yang mengindikasikanterjadinya reaksi oksidasi enzimatikselama proses biosolubilisasi. Hasilanalisis GC-MS menunjukkan bahwakapang T5 pada hari ke-7 inkubasimenghasilkan persentase senyawahidrokarbon terbesar dengan komposisikarbon yang setara dengan bensin dansolar.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih kamisampaikan kepada DIKTI melalui pro-gram Hibah Stranas 2010 yang telahmendanai penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
American Petroleum Institute. 2001.Properties of Fuels. http://www.afdc.energy.gov.pdf.
ESDM. 2011. Lokakarya Energi Barudan Terbarukan. ITB. Bandung
Fakoussa R & M Hofrichter. 1999. Bio-technology and Microbiology ofCoal Degradation. Appl. Micro-biol. Biotech. 52: 25-40.
308
Sugoro dkk.
Fakuosa RM &J Frost. 1998. Productionof Water-Soluble Coal-Substanceby Partial Microbial Liquefaction ofUntreated Hard Coal. Resor. Con-serve. Recycle.251-60.
Hammel KE. 1996. Extracelluler FreeRadicalbiochemistry of LigninolyticFungi. New J Chem. 20:195-198.
IEA 2009. International Energy Outlook.http : www.ieo.org.
Scott CD & SN Lewis. 1990. Solubiliza-tion of Coal by Microbial Action.In: Wise, L..D. (editor). Bioproces-sing and Biotreatment of Coal.Marcel Dekker Inc.New York
Selvi V.A. & R Banerje. 1982. Coal bio-technology : Bio-conversion of Dif-ferent Rank Indian Coal for TheExtraction of Liquid Fuel and Fer-tilizer. Appl. Biochem. Biotech. 7:16-21.
Shi K Y, XX. Tao, SD.Yin & YLvZP.Du. 2009. Bio-solubilization ofFushun lignite. The 6th ProceedingConference on Mining Science danTechnology in Procedia EarthPlanet. Sci. I. 627-633.
Silva, ME, CJ. Vengadajellum, HA Janjua,STL Harrison, SG Burton & DACowan. 2007. Degradation of lowrank coal by Trichoderma atrovirideES11. J. Indus. Microbiol.Biotech. 34:625-631.
Stevenson, FJ. 1982. Humus Chemistry,Genesis, Composition, Reaction.John Willey dan sons Inc. NewYork. Hlm. 443
Sugoro I, T Kuraesin, MR. Pikoli, SHermanto & P Aditiawati. 2009.Isolasi dan Seleksi Fungi PelakuSolubilisasi Batubara Subbituminus.J. Biologi Lingkungan Al-Kaunyah. (3):75-87
Sugoro I, D Sasongko, D Indriani & PAditiawati. 2010. Isolasi danSeleksi Fungi dari PertambanganBatubara sebagai Agen Biosolubili-sasi Batubara dalam LaporanPenelitian Hibah UnggulanStrategis Nasional Tahap I. ITB.
Xu XH, CH Chen & HY Qi. 2000. De-velopment of Coal CombustionPollution Control for SO2 and NOxin China. Fuel Proces. Tech. 62(2/3): 153-160.
Ying D, T Xiuxiang, K Shi, & L Yang.2010. Degradation of Lignite ModelCompounds by the Action of WhiteRot Fungi. Mining Sci. Tech. 20:0076-0081
Zylstra GJ & E Kim. 1997. AromaticHydrocarbon Degradation bySphingomonas yanoikuyae B1. J.Indus. Microbiol. Biotech. 408-414.
Memasukkan Januari 2011Diterima: Mei2011
309
Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 309-320 (2011)
Potensi Virus A/Ck/West Java/PWT-Wij/2006 Sebagai Vaksin
R. Indriani, NLP. I. Dharmayanti, R.M.A Adjid, & DarmintoBalai Besar Penelitian Veteriner, PO Box 151, JL. RE Martadinata 30 , Bogor 16114
ABSTRACT
Potential virus A/Ck/West Java/PWT-Wij/06 for Vaccin. Vaccination program for controllingavian influenza (AI) virus infection in poultry have been emerged during the past 5 years inIndonesia. However, due to the mutation character of this virus the available vaccines were nolonger effective. Therefore a new local isolate of avian influenza virus A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 was studied. The virus, formulated as inactive vaccine, was injected in to 3 weeks oldof layer chickens intramuscularly. At 3 weeks after vaccination, vaccinated chickens werechallenged against seven local isolates of HPAI H5N1 intranasaly. Unvaccinated chickenswere included in the challenge test as control. Results showed that the vaccine produced100% protection against A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 (homologous), A/Ck/West Java/1067/2003, A/Ck/West Java/Hj-18/2007, and A/Ck/Payakumbuh/BPPVRII/2007; produced 90%protection against A/Ck/BB149/5/2007, and 80% protection against A/Ck/West Java/Hamd/2006 isolates. The vaccine also stoppped viral shedding by day 5 to 7 after challange. Thisstudy indicate that the new local isolate of avian influenza A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 hasgood potency as vaccine with broad spectrum against a range of AI viruses available inIndonesia.
Key words: avian influenza, HPAI, H5N1,vaccine, poultry.
PENDAHULUAN
Penyakit avian influenza (AI) telahdibuktikan ada di Indonesia sejak akhirtahun 2003 (Dharmayanti dkk. 2004;Wiyono dkk. 2004) dan, disebabkan olehvirus yang termasuk dalam familiOrthomyxoviridae. Informasi darilapangan menunjukkan kasus penyakit AImasih sering terjadi pada peternakanunggas baik komersial (sektor 2 dan 3)maupun unggas peliharaan (sektor 4)(Komunikasi pribadi 2010). Kejadian inididuga karena vaksin-vaksin AI yangdipergunakan untuk pencegahanterhadap serangan virus AI sudah tidak
dapat lagi memberikan proteksi atauperlindungan yang baik. Banyak vaksininaktif AI subtype H5 komersial yangditawarkan dan merupakan wujudkontribusi dalam penanggulanganpenyakit AI di Indonesia, namunkeberadaan dan kemampuannya di dalammemproteksi ayam (unggas) danpenurunan sheeding virus dari infeksi AIsubtype H5 lapang belum diketahui pasti.
Swayne (2007) menegaskan bahwavaksin yang beredar di Indonesia tidakefektif lagi terhadap isolat virus AI yangdiketahui telah bermutasi. Beberapa virusvaksin yang beredar di Indonesia sepertiH5N2 (StrainA/Ck/Mexico/232/ 94/
310
Indriani dkk.
CPA), H5N2 (A/Turkey/England /N28/73) dan H5N9 (A/Turkey/ Wisconsin/68(H5N9)/ LSPV-4H5N9OA01) tidaklagi mampu menahan serangan virus AIA/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006. Ayamyang telah divaksin tersebut mengalamikematian antara 60 – 100%. Sementaraitu vaksin AI yang terbuat dari isolat lokalH5N1 tahun 2003 memperlihatkantingkat kematian antara 40 - 50 %.
Virus AI H5N1 yang menyebabkanoutbreak pertama pada tahun 2003mempunyai motif asam aminoPQRERRRKKR//G pada cleavage sitegen HA. Pada tahun 2005 dan 2006, virusAI (khususnya dari daerah Jawa Barat)diketahui telah mengalami mutasi padacleavage site gen HA, yaitu sekuenasam aminonya telah mengalamiperubahan menjadi PQRESRRKKR//G,dimana posisi R/arginin digantikan olehS/serin (Dharmayanti dkk. 2006).Adanya perubahan tersebut mem-buktikan bahwa telah terjadi antigenicdrift pada isolat virus AI yang ada diIndonesia, termasuk virus AI A/Ck/WestJava/Pwt-Wij/2006 yaitu pada epitope A(posisi asam amino 124, 131, dan 137)(Dharmayanti dan Darminto, 2009).Selanjutnya virus ini disebut sebagaivarian virus AI. Berdasarkan cladeprediction pada Gen Bank, virus AI A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 ini termasukdalam clade 2.1.3 (WWW. fluegenome.org).
Dharmayanti dkk. (2008) menyata-kan bahwa terdapat enam keragamangenetik pada virus-virus AI Indonesiayang telah berhasil diisolasi dari tahun2003-2007, dan dari hasil tersebutterdapat 3 kelompok keragaman genetik
yang dapat digunakan sebagai kandidatvaksin baru, salah satunya adalahkelompok yang didalamnya terdapat virusAI A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006.
Temuan-temuan Swayne (2007) danDharmayanti dkk. (2008) inilah yangmendorong untuk dilakukan penelitian ini,yaitu untuk mengetahui dan membuktikanpotensi isolat virus A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 jika digunakan sebagai vaksinyang kemudian ditantang dengan berbagaiisolat virus AI yang beredar pada kondisilapangan di Indonesia.
Pembuatan vaksin AI di Indonesiabukanlah hal yang baru, Indriani dkk.(2006) dari penelitiannya telahmenghasilkan prototipe vaksin AI yangdibuat dari virus AI A/Ck/West Java/1067/2003. Namun virus AI di Indonesiamasih dan terus mengalami mutasisehingga vaksin yang ada tidak efektiflagi menahan varian virus AI yang baru,maka secara berkala perlu dilakukanevaluasi atas keputusan dan kebijakanprogram vaksinasi yang telah diambiloleh pemerintah. Salah satunya adalahmengevaluasi dan mencari virus AI baruyang tepat untuk digunakan sebagaivaksin di Indonesia.
BAHAN DAN CARA KERJA
Hewan coba pada uji vaksin adalahayam layer komersial yang induknyadivaksin, bukan ayam SPF. Hal inidimaksudkan agar kondisi ayam samaseperti kondisi ayam yang ada dilapangan, namun ayam tersebutdiupayakan tidak lagi memiliki antibodi AIpada saat divaksin dengan caramembiarkan ayam tersebut sampai
311
Potensi Virus Avian Influenza H5NI Isolat A/Ck/West Java/
berumur 3 minggu. Sejumlah ayamdikelompokan menjadi 2 kelompok besar,yaitu: (1) Kelompok 1: ayam divaksinasidengan vaksin AI isolat lokal A/Ck/WestJava/Pwt-Wij/2006 dan (2) Kelompok2: yang tidak divaksinasi sebagai kontrol.
Isolat lokal virus AI dengan identitasA/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 diguna-kan sebagai bahan dasar vaksin. Virusini berasal dari wabah AI pada tahun2006 yang terjadi pada peternakan ayampetelur di Purwakarta, Jawa Barat,diisolasi dan telah diidentifikasi olehDharmayanti dkk. (2008). Vaksin dibuatdengan kandungan virus 108 ELD50 per0,1 ml, diinaktivasi dengan Beta-propiolacton (1:2000-4000) sesuaiprosedur OIE (2004), dan selanjutnyadiformulasikan dalam bentuk vaksinemulsi. Adapun formula vaksin adalahair-minyak dengan perbandingan 30 : 70,yaitu 30% cairan virus (dalam phosphatebuffer saline) dan 70% Montanide Isa70 VG Adjuvant (Seppic SA, FRANCE).Dalam penggunaannya vaksin inaktif AIini dicampur secara hati-hati, kemudianvaksin ini disuntikkan secara intramuskular ke hewan coba dengan dosis0,3 ml per ekor (konsentrasi massaantigen AI setara 480 HAU). Vaksinasihewan coba dilakukan pada saat ayamberumur 3 minggu.
Untuk mendapatkan gambaran dandinamika antibodi AI dalam hewan cobaakibat vaksinasi secara lengkap, makapemeriksaan antibodi AI dalam tubuhayam dilakukan pada saat sebelum dansetelah ayam divaksinasi. Darah ayamdiambil secara berkala (setiap duaminggu) mulai dari ayam berumur nol hari(DOC) sampai dengan ayam berumur 20
minggu. Sementara itu pemeriksaanantibodi juga dilakukan pada ayamberumur nol hari (DOC), 3 minggu (saatvaksinasi), dan pada saat ayam berumurumur 6 minggu (3 minggu setelahvaksinasi atau pada saat akan diujitantang). Serum ayam yang dihasilkankemudian periksa dengan uji Haemag-glutinasi Inhibisi (HI) menggunakanantigen terbuat dari isolat AI A/Ck/WestJava/Pwt-Wij/2006 dengan kadar 4 HAunit (OIE, 2004; Indriani dkk. 2004).
Untuk mengetahui tingkat proteksivaksin, ada 7 isolat virus AI H5N1 yangdigunakan sebagai virus tantang. Virus-virus tantang tersebut adalah virus AIisolat lokal dengan kode 1) A/Ck/WestJava/Pwt-Wij/2006; 2) A/Ck /West Java/Hamd/2006; 3) A/Ck/ West java/HJ-18/2007; 4) A/Ck/West Java/1067/2003; 5)A/Ck/Payakumbuh/BPPVRII/2007; 6)A/Ck/BB149/ 5/07; dan 7) A/Ck/ Maros/BBVM/44(17)/2008. Pada setiap ujitantang dengan isolat virus AI, 10 ekorayam dari Kelompok 1 dan 10 ekor ayamdari Kelompok 2 digunakan dalampengujian.
Uji tantang hewan coba dilakukanpada minggu ke 6 (pada saat 3 minggusetelah hewan coba divaksinasi). Ujitantang dilakukan dengan cara menetes-kan virus tantang pada setiap ayamdengan kandungan virus 106 ELD50 per0,1 ml secara intranasal (Swayne, 2007).Uji tantang dilaksanakan di LaboratoriumBSL-3 (Lab. Zoonosis) menggunakanfasilitas kandang isolator BSL-3.
Setelah hewan coba diuji tantang,dilakukan pengamatan setiap hari selama2 minggu terhadap gejala klinis, patologisdan pemeriksaan shedding virus. Gejala
312
Indriani dkk.
klinis yang diamati adalah kelesuan,membungkuk, enggan atau sulit berdiritegak, sayap menggantung, dan kematian(Damayanti dkk. 2004). Bedah bangkaidilaksanakan pada ayam yang matiuntuk mengamati perubahan patologismakroskopik, termasuk melihat kemung-kinan terjadinya lesi lokal pada tempatdilakukannya vaksinasi. Pengambilansampel dari oropharingeal dan kloakadilakukan secara berkala menggunakankapas bertangkai (cotton swab) dimulaipada hari ke 2 setelah tantang, selanjut-nya pada hari ke 5, 7, 9, 12 dan 14 untukmengetahui adanya shedding virus.Pemeriksaan shedding virus dilakukandengan cara isolasi virus pada telur ayamtertunas specific pathogenic free (SPF)berumur 9-11 hari.
Sampel dari oropharingeal dankloaka hewan coba pertama-tama disentrifugasi pada kecepatan 1.000 x g,selanjutnya cairan atas (supernatant) darihasil sentrifugasi tadi diambil dandiinokulasikan ke telur ayam SPFtertunas berumur 9-11 hari. Telur ayamSPF tertunas yang telah di infeksitersebut kemudian disimpan pada alatpengeram telur dengan suhu 36-370Cuntuk selama 3 hari. Telur yang matiakibat infeksi diambil cairan allantiosnyadan selanjutnya dilakukan pembuktianadanya virus AI dengan uji agglutinasi seldarah merah ayam. Jika dalam pengujianhasilnya negative maka cairan tersebutdiinokulasikan lagi ke dalam telur ayamSPF tertunas sedikitnya 2 kali lintasan,kemudian diuji lagi terhadap adanya virusAI dengan cara yang sama.
HASIL
Kandungan Antibodi AI pada HewanCoba Sebelum dan Setelah Vaksinasi
Hasil pemeriksaan kandunganantibody AI pada hewan coba sebelumdilakukan vaksinasi seperti terlihat dalamGambar 1. Pada saat ayam berumur satuhari (DOC) kandungan antibody AIadalah 4,8±0,97 log2, kemudian menjadi0,1±0,39 log2 pada saat ayam berumur 2minggu, dan mendekati nilai nol pada saatayam berumur 3 minggu (pada saatayam divaksinasi).
Setelah ayam divaksin dengan virusA/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006, makaterlihat adanya peningkatan kandunganantibody AI secara bertahap, yaitu8,36±0.73log2 (ayam berumur 6 minggu,atau 3 minggu setelah vaksinasi). Rataantiter antibodi kemudian menurun secaraperlahan menjadi 7,23±0,42 log2 (ayamumur 8 minggu) , 6,96±0,57 log2 (ayamumur 10 minggu), 6,06±0,73 log2 (ayamumur 12 minggu), 5,65±0,65 log2 (ayamumur 14 minggu), 5,0±0,83 log2 (ayamumur 16 minggu), 4,95±0,77 log2 (ayamumur 18 minggu) dan 4,5±0,66 log2 (ayamumur 20 minggu). Sementara itu padaayam kontrol (tidak divaksinasi)kandungan antibodi maternal terhadapAI H5N1 sangat rendah atau nol hinggaayam berumur 20 minggu.
Pengamatan klinis pada ayam yangdivaksinasi tidak menunjukkan adanyakelainan, baik dalam bentuk lesi lokalpada tempat vaksinasi maupun gejalaklinis umum lainnya seperti kelesuan dandemam. Selain itu ayam masih lincah dansegar tidak terlihat penurunan nafsumakan.
313
Potensi Virus Avian Influenza H5NI Isolat A/Ck/West Java/
Tingkat Proteksi, Gejala Klinis,Patologis, Shedding Virus dan Kandu-ngan Antibodi AI Setelah Uji Tantang
Pada saat ayam berumur 6 minggu(3 minggu setelah vaksinasi), hewancoba (hewan yang divaksin, hewan tidakdivaksin/control) ditantang dengan virusAI. Tingkat proteksi vaksin terhadap ujitantang dengan 7 isolat virus AI dapatdilihat pada Gambar 2.
Hewan coba yang tidak divaksin(kontrol) mengalami gejala klinis dankematian setelah dilakukan uji tantangdengan tingkat kematian sebesar 100%.Sebaliknya hewan coba yang divaksindan ditantang masing-masing oleh 7 isolatvirus AI tingkat kematiannya antara 0 -20%, atau proteksinya 80-100%, dengangejala klinis yang bervariasi.
Hewan yang tidak divaksin (kontrol)memperlihatkan gejala klinis kelesuan,membungkuk, enggan atau sulit berdiri
20 m
gg
18 m
gg
16 m
gg
14 m
gg
12 m
gg
10 m
gg8 m
gg6 m
gg3 m
gg2m
gg1 m
ggDoc
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
Umur ayam (minggu)
Titer antibodi (log2)
Gambar 1: Kandungan antibodi AI pada hewan coba sebelum dan setelah vaksinasi yang diukur dengan uji HI menggunakan antigen AI homolog A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006
tegak, berbaring dan lesu/sayapnya turun.Kematian hewan terlihat mulai pada harike 1 hingga 2 hari setelah uji tantangdengan mean dead time (MDT) 1,4 –1,8 hari (Tabel 1.). Perubahan patologianatomi atau makroskopik memeperli-hatkan adanya odem pada kepala danmuka, hemoragi dan necrosis padadaerah pial dan jengger, adanya cyanosisdi bawah kulit didaerah kepala dan kaki.Pada organ jantung, limpa dan proventri-kulus terlihat adanya hemoragi(petechia), pada paru-paru terjadikongesti, serta adanya cairan disekitarjantung, ureter dan ginjal.
Sementara itu pada hewan cobayang divaksin, gejala klinis sepertitersebut pada hewan kontrol tidak begitutampak, kecuali pada kelompok hewancoba yang ditantang dengan virus A/Ck/BB149/5/2007, dan virus A/Ck/WestJava/Hamd/2006. Secara lebih rinci
314
Indriani dkk.
sebagai berikut: ayam yang divaksin tidakmemperlihatkan gejala klinis dan tidakada kematian setelah di tantang denganvirus AI A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006,A/Ck/West Java/HJ-18/2007, A/Ck/WestJava/1067/2003, A/Ck/BPPVRII/Payakumbuh/ 2007, dan A/Ck/Maros/BBVM/44 (17)/2008. Sementara padahewan coba yang divaksin dan diujitantang dengan virus AI A/Ck/BB/149/5/2007, 1 dari 10 ekor ayam atau 10%mati pada hari ke 2 setelah tantangdengan gejala klinis kelesuan. Demikianhalnya dengan hewan coba yang divaksindan diuji uji tantang dengan virus AI A/Ck/West Java/Hamd/2006, terjadikematian pada 2 dari 10 ekor ayam dengangejala klinis kelesuan (Gambar 3). Ayamyang mati setelah uji tantang terbukti matiakibat oleh virus AI tantang yangditunjukkan dengan berhasilnya isolasiulang virus AI pada telur SPF tertunas.
Pada pemeriksaan adanya sheddingvirus dari ayam yang divaksin kemudianditantang dengan virus A/Ck/West Java/
Gambar 2. Tingkat proteksi ayam yang divaksin dengan virus A/Ck/West Java/ Pwt- Wij/2006 masing-masing terhadap uji tantang 7 isolat virus AI pada saat ayam berumur 6 minggu (3 minggu setelah vaksinasi)
PwtWij/06 9/06, A/Ck/West Java/HJ-18/2007 dan A/Ck/West Java/1067/2003 tidakmemperlihatkan adanya shedding virustantang baik melalui oropharingealmaupun kloaka. Sementara kelompokayam yang ditantang dengan virus A/Ck/Payakumbuh/ BPPVRII/2007, AI A/Ck/West Java/Hamd/2006, serta A/Ck/BB/149/5/2007 shedding virus terdeteksipada hari ke 2 baik melalui oropharingealdan kloaka. Pada ayam yang ditantangdengan virus A/Ck/Maros/BBVM/44(17)/2008 shedding virus terdeteksipada hari ke 2 melalui oropharingeamaupun kloaka serta pada hari ke 5melalui kloaka (Tabel 1).
PEMBAHASAN
Dari 6 kelompok virus AI diIndonesia diprediksi ada kelompok virusyang memiliki potensi sangat tinggi untukdigunakan sebagai vaksin, yaitu kelompok1, 5 dan 6. Kelompok 1 terdiri dari virus-virus A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 dan
315
Potensi Virus Avian Influenza H5NI Isolat A/Ck/West Java/
3
2 1
4
Gambar 3. Perubahan Pathologi anatomi berupa; cyanosis di bawah kulit didaerah kaki (1)dan kepala (2), odem pada daerah muka dan kepala (2), hemoragi dan necrosis padadaerah pial dan jengger (2), hemoragi didalam lemak jantung, spleen dan proventiculusjuga adanya cairan disekitar jantung (3), kongesti pada paru, uretes di dalam uneteasdan ginjal (4)
A/Ck/West Java/HJ-18/ 2007, kemudianKelompok 5 terdiri dari virus A/Ck/BBPVRII/ Payakumbuh/2007,Kelompok 6 terdiri dari virus A/Ck/ WestJava/Hamd/2006, A/Ck/BB/149/5/2007,dan A/Ck/Maros/BBVM /44(17)/2008.
Swayne (2007) membuktikan bahwavirus AI A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006sangat virulen dan ketika digunakansebagai virus tantang pada uji vaksin,maka tidak satupun vaksin yang diujimampu menahan serangan virus inidengan tingkat kematian mencapai 50-60%, atau proteksi vaksin berkisar 40-50%. Vaksin-vaksin tersebut adalahvaksin yang beredar di Indonesia.
Uji vaksin menunjukkan adanyapeningkatan antibodi AI dalam tubuhhewan coba. Antibodi ini terus meningkatmencapai puncaknya pada saat ayamberumur 6 minggu atau minggu ke 3setelah vaksinasi (kandungan antibodi
8,36±0.73log2) kemudian menurunsecara perlahan dan pada saat ayamberumur 20 minggu kandunganantibodinya 4,5±0,66 log2. Sementara itupada hewan coba yang tidak divaksinasi(kontrol) antibodinya tetap rendahmencapai nol sampai ayam berumur 20minggu. Tidak adanya antibodi padahewan control menunjukkan bahwaselama percobaan berlangsung tidakterjadi infeksi alam oleh virus AI dilingkungan tersebut. Dengan demikianmaka antibodi yang dihasilkan setelahvaksinasi adalah antibodi yang dirangsangoleh vaksin dan kekebalan yangditimbulkan adalah kekebalan akibatvaksinasi, bukan karena kontaminasi atauinfeksi alam. Indriani dkk. (2005) jugamelaporkan hal yang serupa pada hewancoba yang divaksin pada umur 3 minggu,tidak ada antibodi pada saat tersebut,
316
Indriani dkk.
Tabe
l 1. D
ata
tingk
at k
esak
itan,
ting
kat k
emat
ian
dan
shed
ding
viru
s pad
a he
wan
cob
a se
tela
h uj
i tan
tang
.
K
esak
itan
Kem
atia
n Is
olas
i Vir
us H
ari k
e 2
Isol
asi V
irus
Har
i ke
5 Is
olas
i Vir
us H
ari k
e 7
irus
Tan
tang
sa
kit/t
otal
m
ati/t
otal
(p
ositi
f/tot
al)
(p
ositi
f/tot
al)
(p
ositi
f/tot
al)
ew
an C
oba
(M
DT
)
Oro
phar
inge
al
kloa
ka
Oro
phar
inge
al
kloa
ka
Oro
phar
inge
al
kloa
ka
/ck/
wj/P
wt-W
ij/20
06
aksi
nasi
0/
10
0/10
0/
10
0/10
0/
10
0/10
0/
10
0/10
on
trol
10/1
0 10
/10(
1,4)
10
/10
10/1
0 td
td
td
td
/c
k/w
j/Ham
d/20
06
aksi
nasi
2/
10
2/10
(2,0
) 2/
10
2/10
0/
10
0/10
0/
10
0/10
on
trol
10/1
0 10
/10(
1,8)
10
/10
10/1
0 td
td
td
td
/c
k/H
j-18/
2007
ak
sina
si
0/10
0/
10
0/10
0/
10
0/10
0/
10
0/10
0/
10
ontro
l 10
/10
10/1
0(1,
7)
10/1
0 10
/10
td
td
td
td
/ck/
BPP
V
Pyk/
2007
ak
sina
si
0/10
0/
10
1/10
1/
10
0/10
0/
10
0/10
0/
10
ontro
l 10
/10
10/1
0(1,
7)
10/1
0 10
/10
td
td
td
td
/ck/
BB
/149
/5/2
007
aksi
nasi
1/
10
1/10
(2,0
) 1/
10
2/10
0/
10
0/10
0/
10
0/10
on
trol
10/1
0 10
/10(
1,8)
10
/10
10/1
0 td
td
td
td
/c
k/w
j/106
7/20
03
aksi
nasi
0/
10
0/10
0/
10
0/10
0/
10
0/10
0/
10
0/10
on
trol
10/1
0 10
/10(
1,8)
10
/10
10/1
0 td
td
td
td
/c
k/B
BM
/44(
17)2
008
aksi
nasi
0/
10
0/10
(2,0
) 1/
10
2/10
0/
10
1/10
0/
10
0/10
on
trol
10/1
0 10
/10(
1,7)
10
/10
10/1
0 td
td
td
td
Ket
eran
gan:
td=
tidak
dila
kuka
n/he
wan
tida
k ad
a ka
rena
tela
h m
ati
317
Potensi Virus Avian Influenza H5NI Isolat A/Ck/West Java/
antibodi kemudian terus meningkat secarabertahap hingga mencapai puncaknya4,14 log2 pada minggu ke delapan dankemudian menurun hingga mencapaikandungan antibodi 2,38 log2 pada mingguke duabelas setelah vaksinasi. Perbedaantingginya titer antibodi pasca vaksinasidalam studi ini disebabkan formulasiadjuvant yang digunakan di dalam vaksinyaitu, adjuvant komersial Montanide Isa70 VG Adjuvant (Seppic SA, FRANCE),sementara pada studi pengembanganprototipe vaksin AI H5N1 (Indrianidkk.,2005) menggunakan adjuvantdengan formulasi (4 bagian Drakeol 6VRyang mengandung 10% arlacel 80 dan1% Tween 80)
Pada saat uji tantang ayam-ayamyang divaksinasi memiliki tingkat proteksiyang tinggi, yaitu e” 90%, kecualiterhadap virus A/Ck/West Java/Hamd/2006. Waktu shedding virus diketahuitidak melebihi 7 hari setelah uji tantang.Hal ini membuktikan bahwa vaksinmenginduksi kekebalan sehingga dapatmencegah kematian tinggi serta mampumenahan replikasi virus yangberkepanjangan pada tempat predileksitumbuhnya, baik pada saluran pencer-naan (kloaka) maupun pada saluranpernafasan (oropharingeal).
Dengan demikian dari hasil ujitantang ini maka vaksin AI yang dibuatdari isolat virus AI A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 telah memenuhi persyaratandimana proteksinya minimal 90%terhadap 6 isolat virus AI berbeda denganwaktu shedding virus tidak lebih dari 7hari. Berdasarkan ketentuan FOHI(2007) vaksin ini dikategorikan sebagaivaksin yang baik dan memenuhi
persyaratan untuk dapat digunakan diIndonesia.
Selanjutnya, meskipun vaksinmemberikan proteksi 80% terhadapinfeksi virus AI dari kelompok A/Ck/WestJava/Hamd/2006, penggunaannya padatingkat lapangan dapat dipertimbangkanmengingat vaksin ini memiliki tingkatproteksi yang baik dan spektrum yangluas terhadap kelompok virus AI lainnya,termasuk kelompok virus AI tahun 2003bila masih ada di lapangan.
Hewan yang tidak divaksin (kontrol)memperlihatkan kematian hewan mulaipada hari ke 1 hingga 2 hari setelah ujitantang dengan mean dead time (MDT)1,4 – 1,8 hari (Tabel 1.), keadaan ini miripseperti yang pernah di lakukan olehSwayne dan Patinn (2006) ayamterinfeksi oleh virus HPAI antara 1,5 –5,5 MDT. Selanjutnya perubahanpatologi anatomi atau makroskopik yangterlihat, seperti odem pada kepala danmuka, hemoragi dan necrosis padadaerah pial dan jengger, adanya cyanosisdi bawah kulit didaerah kepala dan kaki,hemoragi (petechia) di organ jantung,limpa dan proventrikulus, kongesti di paru-paru terjadi kongesti, adanya cairandisekitar jantung, ureter dan ginjal.Keadaan ini bisa saja disebabkan olehagen virus lain, namun hasil isolasi danidentifikasi virus membuktikan bahwapenyebabnya adalah virus AI yangdigunakan dalam uji tantang, termasukkematian pada beberapa hewan cobayang divaksinasi.
OIE (2004) menetapkan batas titerantibodi yang dianggap protektif yaitu e”4log2, sementara Indriani dkk. 2004dalam studi deteksi respon antibodi
318
Indriani dkk.
dengan uji hemagglutinasi inhibisi dantiter proteksi terhadap virus AvianInfluenza subtipe H5N1, memperlihatkanayam yang memiliki titer antibodi 3log2mampu memberikan proteksi terhadapinfeksi virus tantang H5N1 homolog.Dengan demikian maka ayam yang telahdivaksinasi dengan virus AI isolat A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 ini diperkirakanakan memiliki proteksi terhadap infeksivirus AI homolog sampai dengan ayamberumur 20 minggu.
Meskipun proteksi vaksin nilainyaada yang tidak mencapai 100% padakasus uji tantang dengan virus A/Ck/West Java/Hamd/2006 dan virus A/Ck/BB149/5/07, vaksin tadi mampumengurangi dan memberhentikanshedding virus tantang dari ayam-ayamtersebut sampai dengan hari ke 5 dan harike 7 pasca tantang. Swayne dkk.( 2006)juga menjelaskan adanya penurunanashedding virus HPAI tantang sebesar104-5 ELD50 per ml pada 2 hari pascainfeksi. Hal ini tentunya dapatmenggambarkan kondisi di lapangandimana hewan yang divaksin tadi dapatmengurangi kontaminasi lingkungan darivirus HPAI H5N1 yang menginfeksinyaserta tentunya dapat mengurangitransmisi virus AI ini ke unggas lainnya(Swayne dkk. 2006).
Sebagai contoh gambaran yang lebihburuk yaitu pada ayam-ayam yangmendapat vaksin AI H5N2. Meskipunvaksin dapat mencegah kematian yangtinggi terhadap virus tantang HPAIH5N1, namun waktu shedding virustantang mencapai lebih dari 30 harisetelah uji tantang. Keadaan ini tentu sajaakan lebih berbahaya, yaitu dapat
mengkontaminasi lingkungan danmemberikan peluang terjadinya penularanvirus ke unggas lain dalam waktu yangcukup lama (komunikasi Dr VarkentinAndres (2008); Indriani dkk. 2009).Swayne dkk. (1997) juga menjelaskanbahwa efektifitas immunisasi dapatdiartikan adanya kemampuan mengura-ngi transmisi secara kontak langsungvirus HPAI diantara unggas dalam suatupeternakan komersial di lapangan
KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil penelitian ini telah membukti-kan bahwa virus AI isolat A/Ck/WestJava/Pwt-Wij/2006 yang digunakansebagai vaksin mampu memberikan dayaproteksi tinggi dengan spectrum luasterhadap berbagai virus AI yangdigunakan dalam penelitian ini yangberasal dari di berbagai daerah diIndonesia. Virus ini direkomendasikanuntuk digunakan sebagai seed vaksinoleh produsen vaksin nasional dandigunakan dalam pengendalian penyakitAI di Indonesia.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini terlaksana atasanggaran DIPA Bbalitvet 2008.Penghargaan dan ucapan terimakasihdisampaikan kepada semua kolega diBPPV Bukittinggi, Banjarbaru danBBVet Maros atas kontribusi isolat virusAI. Terimakasih juga diberikan kepadaHeri Hoerudin, Apipudin, Teguh Suyatno,Nana Suryana teknisi Kelompok PenelitiVirologi Bbalitvet.
319
Potensi Virus Avian Influenza H5NI Isolat A/Ck/West Java/
DAFTAR PUSTAKA
Dharmayanti, NLP. I., R. Damayanti, A.Wiyono, R. Indriani, dan Darminto.2004. Identifikasi Virus AvianInfluenza Isolat Indonesia denganReverse Transcriptase-Polyme-rase Chain Rection (PT-PCR).JITV. 9(3):136 - 142
Damayanti R., NLP. I. Dharmayanti, A.Wiyono, R. Indriani, dan Darminto.2004. Gambaran klinis danpatologis pada ayam yangterserang Flu Burung sangatpatogenik (HPAI) di beberapapeternakan di Jawa timur dan Jawabarat. JITV. 9(3):128 - 135
Dharmayanti, NLP. I, R. Indriani &Darminto. 2006. Dinamika VirusAvian Influenza Setelah 2 tahunbersirkulasi di Indonesia. LaporanAkhir Penelitian tahun 2006.Bbalitvet.Bogor. Indonesia
Dharmayanti, NLP. I., R. Indriani, RHartawan, DA. Hewajuli, A.Ratnawati dan Darminto. 2008.Pemetaan Genetik Virus AvianInfluenza di Indonesia 2007. J. BiolIndonesia. 5 (2) : 155-171
Dharmayanti, NLP. I dan Darminto.2009. Mutasi Virus AI di IndonesiaAntigenic Drift Protein Hemaglu-tinasi (HA) Virus Influenza H5N1Tahun 2003 – 2006. MediaKedokteran Hewan 25(1): 1 - 8
Direktorat Jendral Bina ProduksiPeternakan. 2004. FarmakopeObat Hewan Indonesia. Edisi 2.Vaksin Influenza Inaktif. 73-74.
Indriani, R., NLP.I. Dharmayanti, L.Parede, A.Wiyono, dan Darminto.
2004. Deteksi Respon Antibodidengan Uji Hemagglutinasi Inhibisidan titer proteksi terhadap virusAvian Influenza subtipe H5N1.JITV. 9(3):204 - 209
Indriani, R., NLP.I. Dharmayanti,T.Syafriati, A.Wiyono, dan RMAAdjid. 2005. PengembanganPrototipe Vaksin Inaktif AvianInfluenza (AI) H5N1 Isolat Lokaldan Aplikasinya Pada Hewan Cobadi Tingkat Laboratorium. JITV10(4): 315 - 321
Indriani, R., NLP.I. Dharmayanti, RMAAdjid dan Darminto. 2009. Efikasivaksin AI yang beredar di Indone-sia. Laporan Akhir Penelitian tahun2009. Bbalit-vet.Bogor. Indonesia
Office International des Epizooties. 2004.Manual Of Standards for Diagnos-tik tests and vaccines. pp 212– 219
Swayne, DE. 2007. Progress report ofvaccine efficacy. InternationalAvian Influenza vaccination.Jakarta 11-12 Juni 2007. FMPI,DEPTAN, USDA.
Swayne, DE., JR. Beek, & TR. Mickle.1997. Efficacy of recombinant fowlpox vaccine in protecting chickensagainst highly pathogenic Mexican-origin H5N2 avian influenza virus.Avian Dis. 41: 910-922
Swayne, D. E, Chang-Wong Lee and ESpackman. 2006. InactivatedNorth American and EuropeanH5N2 avian Influneza virusvaccines protect chickens fromAsian H5N1 high pathologenicityavaian influenza virus. AvianPatho. 35(2), 141_/146
320
Indriani dkk.
Swayne, D.E., & M. Patinn-Jackwood.2006. Pathogenicity of avianinfluenza viruses in poultry. DevBiol (Basel). 124:61-67.
Wiyono, A., R. Indriani, NLP.I.Dharmayanti, R. Damayanti, danDarminto. 2004. Isolasi danKarakterisasi Virus Highly
Pathogenic Avian Influenzasubtipe H5 dari ayam asal Wabahdi Indonesia. JITV. 9(3):61 – 71.
WWW.fluegenome.org. 2007. Genoty-ping Influenza A Viruses with FullGenome Seguences.
Memasukkan: Februari 2011Diterima: Mei 2011
321
Jurnal Biologi Indonesia 7(2): 321-330 (2011)
Variasi dan kekerabatan genetik pada dua jenis baru belimbing (Averrhoaleucopetala Rugayah et Sunarti sp nov dan A. dolichorpa Rugayah etSunarti sp nov., Oxalidaceae) berdasarkan profil Random Amplified
Polymorphic DNA
Kusumadewi Sri Yulita
Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi- LIPI, Jl. Raya Bogor Km 46, Cibinong 16911, Email:[email protected]
ABSTRACT
Genetic variation and relatedness of two new species of star fruit (Averrhoa leucopetalaRugayah et Sunarti sp nov and A. dolichorpa Rugayah et Sunarti sp nov., Oxalidaceae)based on Random Amplified Polymorphic DNA. Two wild species of Averrhoa from Papuaand Gorontalo respectively has recently been described. These two species were previouslytreated as ‘intermediate species’ between A. carambola and A. blimbi on the basis ofmorphological characters. This present study aimed to assess genetic variation and geneticrelatedness of the two species compared to their relatives (A. carambola and A. blimbi) byusing Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). Five RAPD primers (OPA 9E, OPA 13,OPB 7, OPB 18 dan OPN 12) were used to amplify total DNA genom and produced 31 bands towhich 90.32% were polymorphic. These bands were ranging in size from 300-1700 bp. DNAfingeprints for each species was indicated by differences in RAPD profiles resulted fromamplification of five primers. Clustering analysis was performed based on RAPD profilesusing the UPGMA method. The genetic similarity range between 0.25-1.00 indicating widerange of genetic variations observed. Results also indicated that the two species weregenetically distant from A. carambola and A. blimbi, thus supported the recent morphologicaltreatment.
Key words: Averrhoa, RAPD profiles, genetic variations.
PENDAHULUAN
Belimbing (Averrhoa L.) merupakanbuah yang cukup populer di Indonesia dansudah lama dibudidayakan untukdimanfaatkan sebagai buah meja, sayurdan obat. Ada dua jenis belimbing yangdikenal oleh masyarakat luas, yaitubelimbing wuluh (A. blimbi L.) danbelimbing manis (Averrhoa carambolaL). Belimbing tersebar luas di Asia
Tenggara, namun ada yang mendugaberasal dari Amerika Selatan (Brasil)walaupun adapula dugaan bahwa asalusul belimbing adalah Asia Tenggara(Samson 1997).
Selain kedua jenis belimbing ini,beberapa ahli taksonomi tumbuhan(Kooders & Valeton 1903; Kunth 1931)telah mengenal beberapa taksa belimbingdibawah tingkat jenis, yaitu A.carambola var angusticepala Projek
322
Kusumadewi Sri Yulita
(dari Amerika Selatan), A. carambola f.acida K. & V. dan A. carambola f.dulcis K. & V (dari Jawa), serta A.blimbi f. papuana Kunth. (dari Papua).
Rugayah & Sunarti (2008) mendes-kripsikan dua jenis baru belimbing, yaituAverrhoa leucopetala Rugayah etSunarti sp nov dan Averrhoadolichorpa Rugayah et Sunarti sp nov.berdasarkan koleksi hidup belimbing yangada di Kebun Raya Bogor yang masing-masing berasal dari Gorontalo (Sulawesi)dan Papua. Sebelumnya kedua jenisbelimbing ini dinyatakan sebagai jenis‘intermedia’ antara belimbing manis danbelimbing wuluh karena memilikikarakter morfologi yang merupakancampuran antara belimbing manis danbelimbing wuluh. Berdasarkan penga-matan morfologi yang telah merekalakukan, mereka menemukan perbedaankarakter daun, perbungaan, bunga danbuah kedua jenis baru ini denganbelimbing wuluh dan belimbing manis.Berdasarkan karakter vegetatif, A.leucopetala dan A. dolichorpa miripdengan A. carambola, sedangkanberdasarkan karakter generatif keduajenis tersebut lebih mirip dengan A. blimbi(Rugayah & Sunarti 2008).
Penggunaan karakter selainmorfologi, misalnya anatomi, sitologi danmolekuler sudah umum dilakukan untukmengklarifikasi status taksonomi suatutakson. Random Amplified Polymor-phic DNA (RAPD) merupakan salahsatu marka molekuler yang telah banyakdigunakan sebagai tool untuk memecah-kan dan mengklarifikasi masalahtaksonomi, seperti deteksi hibrid (Allanet al. 1997; Ferdinandez & Coulman
2002; Shasany et al. 2005), spesieskompleks (Stammers et al . 1994;Sebastiani et al. 2001; Zervakis et al.2001) dan kekerabatan genetik(Ferdinandez & Coulman 2002; Martinet al. 2002 ). RAPD dilakukan denganmenggunakan teknik amplifikasi PCRterhadap total DNA genom denganmenggunakan primer tunggal yang dibuatsecara random. Kelebihan utama dariRAPD adalah proses yang cepat danefesiensi biaya dalam hal operasional.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuikeragaman dan kekebaratan genetik A.leucopetala dan A. dolichorpa dengankerabatnya yaitu belimbing manis danbelimbing wuluh berdasarkan profilRAPD.
BAHAN DAN CARA KERJA
Sampel belimbing yang dianalisissejumlah delapan aksesi (Tabel 1), yangterdiri atas A. leucopetala (1 aksesi)yang berasal dari Gorontalo dan A.dolichorpa (2 aksesi) yang berasal dariPapua dikoleksi dari Kebun Raya Bogor.Selain dua jenis ini juga dilakukan koleksiterhadap belimbing wuluh (2 aksesi) danbelimbing manis (3 kultivar) dari KebunPlasma Nutfah LIPI (cv Dewi danRawasari) dan dari Kabupaten Demak(cv Kunir). Sampel dikoleksi dalambentuk daun yang dikeringkan dalamsilica gel.
Total DNA genom diisolasi denganmenggunakan protokol CTAB (Doyle &Doyle 1990) yang dimodifikasi denganperlakuan RNAse 200 μg/mL. Lima μLtotal DNA genom dielektrophoresisdalam 0.7% gel agarosa dalam larutan
323
Variasi dan Kekerabatan Genetik pada Dua Jenis Baru
Nomor aksesi
Nama jenis Asal
IP3 A. leucopetala Gorontalo VI.C.310ª A. dolichorpa Papua (Koleksi KRB) VII.D.96 A. dolichorpa Papua (Koleksi KRB) B3 A. carambola cv Dewi KPN-CSC B4 A. carambola cv Rawasari KPN-CSC B20 A. carambola cv Kunir Kabupaten Demak, Jawa Tengah TT401 A. blimbi Jawa Barat TT402 A. blimbi Jawa Barat
Tabel 1. Daftar nama sampel belimbing.
penyangga TAE, kemudian diwarnaidengan ethidium bromida dan difotodengan menggunakan gel documen-tation system (Atto Bioinstrument).DNA yang telah diisolasi disimpan dalam-20ºC.
Amplifikasi RAPD dilakukandengan menggunakan lima primer RAPD(Operon Technologies Almeda, Calif.,USA) dalam mesin PCR Takarathermocycler mengikuti protokolWilliams et al. (1990), sebagai berikut:denaturasi pada 94°C selama 2 menuit,diikuti oleh 45 siklus amplifikasi yangterdiri atas fase denaturasi pada suhu94°C selama 1 menit, fase penempelanprimer pada suhu 36°C selama 1 menitdan tahap pemanjangan pada suhu 72°Cselama 2 menit. Siklus ini dilanjutkandengan tahap pemanjangan pada suhu72°C selama 2 menit yang diakhiri dengantahap pendinginan hasil PCR pada suhu25°C. Volume reaksi total PCR adalah15 ml yang terdiri atas 1x PCR PCRGreen Master Mix (Promega), 2 μMprimer (Operon Technologies Almeda,Calif., USA), dan ~10 ng DNA template.Hasil amplifikasi PCR kemudiandipisahkan secara elektroforesis dalam
2% gel agarosa yang direndam dalamlarutan penyangga TAE 1X padategangan listrik 50 Volt selama 120 menit.Gel agarosa kemudian diwarnai dalam 0.5mg/ml larutan etidium bromida dandivisualisasi serta difoto menggunakan geldocumentation system (Atto Bioinstru-ment). Reaksi PCR diulang sebanyakdua kali untuk memastikan keberulangandan konsistensi hasil PCR.
Pita RAPD diskor secara manualberdasarkan profil RAPD hasil foto gelelektroforesis. Setiap pita RAPDdianggap sebagai satu lokus putatif.Hanya lokus yang menunjukkan pita yangjelas yang digunakan untuk diskor 1 bilaada pita dan 0 bila tidak ada pita. Analisisdata dilakukan dengan menggunakanprogram NTSys-PC (NumericalTaxonomy System, versi 2.02i, Rohlf1998). Data yang telah diskor kemudiandikelompokkan hingga membentukmatriks binari di program MicrosoftExcel. Matriks tersebut kemudian diolahmenggunakan program SIMQUAL(Similarity for qualitative data) untukmenghitung koefisien kesamaan Jaccard.Matriks kesamaan ini kemudiandigunakan untuk membuat dendrogram
324
Kusumadewi Sri Yulita
UPGMA (unweighted pair groupmethod with aritmethical average) danPrincipal coordinate analysis.
HASIL
Profil Umum Pita RAPD
Amplifikasi PCR-RAPD terhadaptotal DNA genom dari kedelapan aksesibelimbing dengan menggunakan limaprimer (OPA 9E, OPA 13, OPB 7, OPB18 dan OPN 12) menghasilkan 31 pitaDNA yang dapat diskor. Jumlah pita yangdihasilkan berkisar antara 2 (OPB 18)hingga 11 (OPN 12) dengan ukuran pitaberkisar antara 300 pb hingga 1700 bp(Tabel 2). Dari keseluruhan pita ini, 90.32% adalah pita polimorfik dengan rata-ratajumlah pita polimorfik 5.4 per primer.
Variasi genetik yang dijumpai padaseluruh aksesi belimbing umumnyadiperoleh dari perbedaan profil RAPD.Sebagian besar 31 pita RAPD dijumpai
Tabel 2. Nama primer, urutan DNA, pita polimorfik dan sebarannya pada setiap jenis / kultivar. Huruf cetak tebal adalah nukleotida tambahan. 1) A. leucopetala, 2) A. dolichorpa, 3) A. carambola, 4) A. blimbi.
pada seluruh aksesi (Gambar 1a-e). Pitaumum yang dijumpai pada seluruh aksesiadalah OPA 9E ukuran 900 bp, OPA 13ukuran 800 bp dan OPB 18 ukuran 600bp (Tabel 2; Gambar 1a, b dan d). Selainitu, dijumpai pula pita spesifik yang hanyadijumpai pada jenis atau aksesi tertentu(Tabel 2; Gambar 1a-e) yang dapatdigunakan untuk karakterisasi jenis ataukultivar tertentu dapat digunakan untukkarakterisasi jenis A. carambola dan A.blimbi karena terdapat pita spesifikukuran 1100 pada jenis A. carambolaserta pita ukuran 350 dan 650 bp padajenis A. blimbi (Gambar 1a). Sedangkanprimer OPA 13 dapat digunakan untukkarakterisasi jenis A. carambola dan A.dolichorpa karena terdapatnya pitaspesifik ukuran 1200, 1500, 1700 padaA. carambola cv Rawasari, serta pitaukuran 600 bp pada A. dolichorpa(Gambar 1b). OPB 7 dapat digunakanuntuk karakterisasi kultivar belimbing
Nama primer
Urutan DNA primer Jumlah dan ukuran pita terpendek-terpanjang (bp)
Ukuran pita umum (bp)
Ukuran pita unik pada setiap jenis belimbing (bp) 1 2 3 4
OPA 9E 5′ TTGGGTAACGCC 3′ 4 (350-1100) 900 - - 1100 350 650
OPA 13 5′CAGCACCCAC 3′ 6 (600-1700) 800 - 600 1200, 1500, 1700 (cv Rawasari)
OPB 7 5′ GGTGACGCAG 3′ 7 (350-1700) - - - 350 (cv Kunir) 1200 (cv Dewi)
-
OPB 18 5’ CCACAGCAGT 3’ 2 (600-1500) 600 - - 1500 - OPN 12 5′ CACAGACACC 3′′ 11 (300-1400) - - 110
0 900 300, 600
325
Variasi dan Kekerabatan Genetik pada Dua Jenis Baru
manis dengan terdapatnya pita spesifikukuran 350 bp pada A. carambola cvKunir dan 1200 bp pada A. carambolacv Dewi (Gambar 1c). Sedangkan OPB18 hanya dapat digunakan untukkarakterisasi ketiga kultivar belimbingmanis (Gambar 1d). Primer OPN dapatdigunakan untuk karakterisasi A.carambola (pita ukuran 900 bp) dan A.blimbi (pita ukuran 300 dan 600 bp)(Gambar 1e).
a b
c d
M 1 2 3 4 5 6 7 8
M 1 2 3 4 5 6 7 8 M 1 2 3 4 5 6 7 8
M 1 2 3 4 5 6 7 8 M
1 2 3 4 5 6 7 8 M
900 bp 800 bp
600 bp
500 bp
1000 bp
2000 bp
1500 bp
100 bp
100 bp
500 bp
1000 bp 1200 bp 1500 bp 2000 bp 3000 bp
100 bp
500 bp
1000 bp
1500 bp 2000 bp
3000 bp
3000 bp
Analisis pengelompokkanAnalisis kluster menunjukkan
pemisahan tanaman belimbing ke dalamkluster yang mengelompok berdasarkanjenisnya (Gambar 2). Nilai koefisienkesamaan genetik kedelapan aksesi dukuberkisar antara 25% hingga 100%. Hasilanalisis kluster menunjukkan adanya tigakluster (A, B dan C). Kluster A (koefisienkesamaan 42%) terdiri atas A.
Gambar 1. Profil sidik RAPD delapan aksesi belimbing dengan menggunakan primer OPA9E (a), OPA 13 (b), OPB 7 (c), OPB 18 (d) dan OPN 12 (e). M: GeneRuler 100 bp plus(Fermentas), 1: A. leucopetala, 2-3: A. dolichorpa, 4-6: A. carambola, 7-8: A. blimbi.Anak panah garis putus-putus: pita umum. Anak panah garis solid: pita spesifik.Ukuran pita spesifik sesuai dengan Tabel 2.
326
Kusumadewi Sri Yulita
leucopetala dan A. dolichorpa, klusterB (koefisien kesamaan 51%) terdiri atastiga kultivar blimbing manis (A.carambola) dan kluster C (koefisienkesamaan 85%) terdiri atas dua aksesibelimbing wuluh (A. blimbi) (Gambar 2).Sementara itu, diagram ordinasi 3-dimensi menunjukkan pengelompokkanyang serupa dengan hasil analisis kluster(Gambar 3).
PEMBAHASAN
Pengamatan terhadap pola pitaDNA hasil amplifikasi menunjukkan profilDNA yang berbeda-beda. Perbedaan inidisebabkan oleh perbedaan urutannukleotida pada keempat primer yangdigunakan, sehingga menyebabkanperlekatan primer di sepanjang DNAgenom sampel juga berbeda. Pita yangdihasilkan setelah amplifikasi DNA
Coefficient0.25 0.44 0.63 0.81 1.00
1
2
3
4
5
6
7
8
Gambar 2. Diagram pengelompokkan UPGMA berdasarkan koefiesien kesamaan Jaccard pada delapan aksesi belimbing. 1: A. leucopetala, 2-3: A. dolichorpa, 4-6: A. carambola, 7-8: A. blimbi. Garis putus-putus vertikal: garis referensi.
dengan PCR sangat bergantung padabagaimana primer mengenal daerahkomplemennya pada cetakan (template)DNA yang digunakan. Semakin banyaksitus penempelan dari primer yangdigunakan, maka semakin banyak jumlahpita DNA yang dihasilkan (Tingey et al.1994).
Secara umum, hasil amplifikasi totalDNA genom sampel belimbing denganmenggunakan primer terpilih menghasil-kan serangkaian pita-pita, diantaranyaada pita-pita yang umum dijumpai padaseluruh sampel dan adapula pita spesifikyang hanya ditemukan pada spesies/kultivar tertentu. Keseluruhan profil pitayang dihasilkan dari amplifikasi primerRAPD inilah yang merupakan sidik DNAsetiap jenis/kultivar.
Hasil amplifikasi dengan menggu-nakan lima primer RAPD menunjukkanbahwa terdapat kemiripan yang cukup
327
Variasi dan Kekerabatan Genetik pada Dua Jenis Baru
87
654
32
1
Gambar 3. Diagram tiga-dimensi PCA pada delapan aksesi belimbing. 1-2: A. leucopetala, 2-3: A. dolichorpa, 4-6: A. carambola, 7-8: A. blimbi. Lingkaran menunjukkanpengelompokkan yang sesuai dengan diagram UPGMA pada Gambar 6.
tinggi antara profil RAPD pada A.leucopetala dan A. dolichorpa. Namuntidak ada pita spesifik yang dapatdigunakan untuk mengkarakterisasi A.leucopetala. Sedangkan A. dolichorpadapat dikarakterisasi dengan menggu-nakan primer OPA 13 pada ukuran 600bp dan primer OPN 12 pada ukuran 1100bp (Gambar 1b dan 1e). Selain itu,belimbing manis (A. carambola) dapatdikarakterisasi dengan menggunakanprimer OPA 9E pada ukuran 1100 bp,OPB 18 pada ukuran 1500 bp, serta OPN12 pada ukuran 900 bp (Gambar 1a, cdan e). Karakterisasi kultivar padabelimbing manis ini dapat dideteksidengan menggunakan primer OPA 13(Gambar 1b). Belimbing wuluh (A.blimbi) dapat dikarakterisasi denganmenggunakan primer OPA 9E pada
ukuran 350 dan 650 bp, serta primer OPN12 pada ukuran 300 dan 600 bp (Gambar1d dan 1e). Ada atau tidaknya pita DNAspesifik sangat dipengaruhi oleh situspenempelan primer pada cetakan DNA.Weising et al. (1995) berpendapat bahwaada beberapa hal yang menyebabkanperbedaan pita DNA yang teramplifikasi,yaitu (1) perubahan nukleotida padasampel yang mencegah terjadinyaamplifikasi, (2) delesi pada pelekatanprimer, (3) insersi yang menyebabkandaerah pelekatan primer terlalu jauhuntuk menyokong terjadinya amplifikasidan (4) insersi dan delesi yang mengubahproduk amplifikasi.
Setiap primer juga menghasilkanproduk amplifikasi yang berbedaspesifitasnya untuk setiap jenis/kultivar.
328
Kusumadewi Sri Yulita
Dalam hal ini primer OPB 7 sangatpolimorfik sehingga tidak menghasilkanpita umum untuk semua jenis yangdiamplifikasi, sehingga primer ini kurangcocok bila digunakan untuk karakterisasijenis/kultivar belimbing (Gambar 1c).Sebaliknya primer OPB 18 (Gambar 1d)menghasilkan produk PCR denganpolimorfisme yang cukup rendah danhanya berguna untuk karakterisasibelimbing manis. Dengan demikian,primer ideal yang direkomendasi untukdigunakan pada karakterisasi jenis dankultivar belimbing adalah OPA 9E, OPA13 dan OPN 12 (Gambar 1a, b dan e).
Hasil analisis pengelompokkanmenunjukkan rentang kesamaan genetikantara 25-100% mengindikasikan adanyavariasi genetik yang cukup tinggi diantarakeempat jenis belimbing. Kelompokbelimbing wuluh memiliki nilai koefiesienkesamaan yang lebih tinggi (85%)dibanding belimbing manis (51%). Nilaikoefisien kesamaan genetik yang tinggidiantara belimbing wuluh artinyakeragaman genetik yang lebih sempit.Hal ini mungkin karena belimbing manismemiliki banyak lebih kultivar hasilbudidaya yang lebih intensif dibandingkanbelimbing wuluh, sehingga memilikikeragaman genetik belimbing manis lebihluas daripada belimbing wuluh. Kisarankoefisien sekitar 50% dengan markaRAPD dapat menunjukkan adanyainterspesifik hibrid, sedangkan kisaran61%-99% merupakan kesamaan genetikdalam tingkat spesies pada tumbuhanLilac (Marsolais et al. 1993), 56% padaMentha spicata dan 49% pada M.Arvensis (Shasany et al. 2005). Di dalamkluster belimbing manis (B), cv Kunir
terpisah dari cv Dewi dan cv Rawasariyang membentuk kelompok dengankoefisien kesamaan 64%. Untukmengetahui apakah perbedaan inidisebabkan oleh intraspesifik hibrid padacv Kunir, memerlukan studi lebih lanjut.
A. leucopetala dan A. dolichorpamembentuk kelompok tersendiri (42%)yang terpisah dari kelompok belimbingwuluh-belimbing manis (B&C, koefisienkesamaan 32.5%). Sesuai dengan hasilpengamatan morfologi yang dilakukanoleh Rugayah & Sunarti (2008), keduajenis ini memang berbeda secaramorfologi dari belimbing wuluh danbelimbing manis. Perbedaan propertigenetik kedua jenis belimbing tersebutdapat mengindikasikan proses radiasiadaptif tersendiri di wilayah perseba-rannya di Pulau Papua dan Sulawesi.Secara geografi, kawasan Sulawesi danPapua serta pulau-pulau diantaranyamemang memiliki sejarah geologi yangberbeda dengan kawasan Malesiabagian Barat, dipisahkan oleh garisWallacea.
Dengan demikian, hasil penelitian inimendukung hasil penelitian Rugayah &Sunarti (2008) yang mendeskripsikan A.leucopetala dan A. dolichorpa menjadijenis baru yang terpisah dari A. averrhoadan A. blimbi. Hasil penelitian jugamenunjukkan bahwa marka RAPDcukup potensial untuk karakterisasi jenisdan kultivar belimbing, serta memecah-kan permasalahan taksonomi sepertispesies kompleks yang ada pada jenis-jenis belimbing. Untuk kerja lanjutan,penggunakan data molekuler yang lebihsensitif mendeteksi polimorfisme padatingkat nukleotida seperti DNA
329
Variasi dan Kekerabatan Genetik pada Dua Jenis Baru
sequencing kemungkinan besar akanmenghasilkan resolusi hasil analisiskluster yang lebih baik.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini sepenuhnya didukungoleh dana proyek DIPA tahun 2009 yangberjudul “Kajian genetika plasma nutfahbuah-buahan Indonesia” Pusat PenelitianBiologi-LIPI. Terima kasih kepada IbuDra. Inggit, Dr. Rugayah, Dr Siti Sunarti,Dr. Teguh Triono, dan Dr. MarlinaArdiyani yang telah berbaik hatimemberikan material DNA belimbingwuluh, belimbing A. dolicharpa dan A.leucopetala. Terima kasih juga kepadaHerlina dan Fajarudin Ahmad atasbantuan teknis yang telah diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Allan, GJ., C. Clark & LH. Reiseberg.1997. Distribution of parentalDNA markers in Encelia virgi-nensis (Asteraceae: Helian-theae),a diploid species of putative hybridorigin. Pl. Syst. Evol. 205: 205-221.
Doyle, JJ. & JL. Doyle. 1990. Isolationof plant DNA from fresh tissue.Focus. 12: 13-15.
Ferdinandez, YSN. & BE. Coulman.2002. Evaluating genetic variationand relationships among twobromegrass species and theirhybrid using RAPD and AFLPmarkers. Euphytica 125: 281-291.
Kooders, SH. & TH. Valeton. 1903.Oxalidaceae. Bijdrage No.9Boomsroten op Java. Mededee-
lingen uit’s Land Plantentuin 61:106-113. G. Kolff & Co. Batavia.
Kunth, R. 1930. Oxalidaceae (Averr-hoa). Dalam: Engler, A.(ed.). Pfl.R. Verlag von Wilhem Engelmann.Leipzig. 95: 417-419.
Marsolais, JV., JS. Pringle & BN. White.1993. Assessment of randomamplied polymorphic DNA(RAPD) as genetic markers fordetermining the origin of inter-specific lilac hybrids. Taxon 42:531-537.
Martin, C., E. Uberhuaga & C. Perez.2002. Application of RAPDmarkers in the characterisation ofChrysanthemum varieties and theassessment of somaclonal varia-tion. Euphytica 127: 247-253.
Rohlf, FJ. 1998. NTSYS-PC. NumericalTaxonomy and MultivariateAnalysis. Version 1.8. ExeterSoftware, New York.
Rugayah & S. Sunarti. Two new wildspecies of Averrhoa (Oxalidaceae)from Indonesia. Reinwardtia12(4): 325-334.
Samson, JA. 1997. Averrhoa L. Dalam:.Verheij, E.W.M & R.E. Coronel(eds). Buah-buahan yang dapatdimakan. PROSEA Sumber DayaNabati Asia Tenggara 2 . PTGramedia Pustaka Utama, Jakarta.109-112.
Shasany, AK., MP. Darokar, S. Dhawan,AK. Gupta, S. Gupta, AK. Shukla,NK. Patra & SPS. Khanuja. 2005.J. Heredity 96(5): 542-549.
Sebastiani, F., RR. Meiswinkel, LM.Gomulski, CR. Guglielmino, PS.Mellor, AR. Malacrida & G.
330
Kusumadewi Sri Yulita
Gasperi. 2001. Molecular differen-tiation of the Old World Culicoidesimicola species complex (Diptera,Ceratopogonidae), inferred usingrandom amplified polymorphicDNA markers. Mol.Ecol. 10(7):1773-1786.
Stammers, M., J. Harris, GM. Evans,MD. Hayward & JW. Forster.1995. Use of PCR (RAPD)technology to analyse phylogeneticrelationships in the Lolium/Festucacomplex. Heredity 74: 19-27.
Tingey, SV., JA. Rafalski & MK.Hanafey. 1994. Genetic analysiswith RAPD markers. Dalam:Coruzzi C. & P. Puidormenech
(eds). Plant Mol. Biol. Pringer.Berlin. 491-498.
Williams, JGK., AR. Kubelik, KJ. Livak,JA. Rafalski & SV. Tingey. 1990.DNA
polymorphisms amplified by arbitraryprimers are useful as geneticmarkers. Nuc. Acids Res. 18: 6531-6535.
Zervakis, GI., G. Venturella & K.Papadopoulou. 2001. Geneticpolymorphism and taxonomicinfrastructure of Pleurotuseryngii species-complex asdetermined by RAPD analysis,isozyme profiles and ecomorpho-logical characters. Microbiology147: 3183-3194.
Memasukkan Maret 2011Diterima: Juli 2011
331
Jurnal Biologi Indonesia 7(2): 331-340 (2011)
Pengaruh Dinamika Faktor Lingkungan Terhadap Sebaran Horisontal danVertikal Katak
Hellen KurniatiBidang Zoologi, Puslit Biologi-LIPI, Gedung Widyasatwaloka-LIPI, Jalan Raya Cibinong km
46, Cibinong 16911, Jawa barat, Email: [email protected]
ABSTRACT
The Effect of Environmental Factors on the Horizontal and Vertical Movement of Frogs. Fourenvironmental factors (moon phase, air temperature, water temperature and air humidity) weremeasured to determine the impact of environmental factors on the dynamics of horizontal andvertical spread of the frog Rana erythraea, R. nicobariensis and Occidozyga lima in a wetlandarea of Ecology Park, LIPI Campus Cibinong. Observation was done follows transect line(100 meters long) and set along the edge of the lake where the habitat was more diversecompared to the other sites. Observations were carried out from July to November 2009. Theposition of individual frogs (distance from water’s edge and height from the ground or water)was recorded and then grouped into intervals of 100 cm distance and height each. Correlationanalysis between the number of individuals per unit distance or height with environmentalfactors was measured using the statistical program SPSS version 16.0. The results of thisstudy proved that the air and water temperature as well as air humidity have significant effecton horizontal and vertical ecological distribution of R. erythraea and R. nicobariensis; whereasfour environmental factors had no impact on horizontal distribution of O. lima. The movementof R. erythraea was strongly positively correlated with air temperature, but strongly negativelycorrelated with air humidity; however the abundance of R. nicobariensis was strongly negativelycorrelated with air temperature and strongly positively correlated with air humidity. Mixedvegetation of species Leerxia hexandra and Eleocharis dulcis at a distance between 0-100 cmfrom the edge of the water and height between 0-100 cm from the ground constituted thepreferred microhabitat of frog species R. erythraea and R. nicobariensis.
Key words: Environmental factors, Rana erythraea, Rana nicobariensis, Occidoziga lima,Ecology Park, wetland.
PENDAHULUAN
Jenis-jenis katak yang bersifatakuatik ataupun semi-akuatik selalumelakukan pergerakan pindah tempatuntuk menjauhi atau mendekati perairan.Berdasarkan penelitian Inger (2009),jenis-jenis katak asli hutan yang bersifatsemi-akutik dapat melakukan perpinda-
han tempat sampai lebih dari 200 meterdari perairan, sedangkan jenis yangbersifat semi-arboreal dapat berada lebihdari satu meter di atas vegetasi sekitarperairan. Dari penelitian Inger (2009)pada tujuh jenis katak asli hutan yangkerap dijumpai yang bersifat akuatik,semi-akutik dan semi-arboreal di Borneotidak mengkaitkan faktor-faktor
332
Hellen Kurniati
lingkungan terhadap distribusi horizontaldan vertikal. Untuk mengetahui dampakfaktor lingkungan terhadap pergerakanindividu katak, maka dilakukanpengamatan terhadap jenis-jenis non-hutan yang hidup di lahan basah EcologyPark, Kampus LIPI, Cibinong yangterletak pada posisi LS 060 29’ 40.2" ;BT 1060 51’ 06.3" dengan ketinggiantempat 165 meter dari permukaan laut(dpl).
Tiga jenis katak mendominasi lahanbasah Ecology Park, yaitu Ranaerythraea, R. nicobariensis danOccidozyga lima (Kurniati, 2010).Kelimpahan ketiga jenis katak tersebutsangat berasosiasi kuat dengan beberapajenis vegetasi lahan basah yang tumbuhdi sekitar dan di dalam perairan danau(Kurniati 2010). Bila dilihat darihabitatnya, R. erythraea dan R.nicobariensis bersifat semi-akuatik dansemiarboreal, mereka kadang kaladijumpai pada habitat tanpa air atau diatas vegetasi yang tumbuh di sekitardanau, sedangkan O. lima bersifatakuatik penuh (Kurniati 2010). Jumlahindividu, penyebaran horizontal danvertikal ketiga jenis katak tersebut penuhdinamika. Berdasarkan dinamikatersebut maka dilakukan penelitian untukmengetahui pengaruh faktor lingkungan(fase bulan, suhu udara, suhu air dankelembaban udara) terhadap pergerakankatak.
BAHAN DAN CARA KERJA
Penelitian ini dilakukan selama limabulan (Juli-November 2009) dengan 14kali pengamatan untuk mengetahui
pengaruh lingkungan (fase rembulan,kelembaban dan suhu udara dan suhu air)terhadap penyebaran horizontal danvertikal katak R. erythraea, R.nicobariensis dan O. lima di lahan basahEcology Park.
Digunakan metode transek Jaeger(1994) dengan kerja sebagai berikut:
a. Transek sepanjang 100 meterdibentang di bagian tepi danau yangmempunyai habitat paling beragam. Talirafia digunakan sebagai pengukur jaraktransek. Tali rafia sepanjang 100 meterdiberi nomor sebanyak 10 untukmenandakan jarak setiap 10 meter. Awaldari nomor pada 10 meter pertama adalah1. Tali rafia dibentang satu jam sebelumpengamatan dimulai pada satu sisiperairan dengan mengikuti alur dari tepidanau.
b. Pengamatan dilakukan denganberjalan perlahan menyusuri tepi danau;antara pukul 20.30-23.00 malam harimenggunakan lampu senter yangbersinar kuat untuk menyilaukan matanyasupaya katak tetap diam ditempat.
c. Luas areal yang diamati adalah 10meter ke lebar kanan kiri tepi danau.
d. Tiap katak yang dijumpai dicatat diatas lembar data; jaraknya dari tepidanau dan tingginya dari air atau tanah.
e. Posisi katak dalam lembar datakemudian dikelompokkan menurut satuanjarak dari tepi danau untuk mengetahuipenyebarannya secara horizontal, yaitudengan pengelompokan: 1) <0 cm: untukyang tercatat di dalam air; 2) 0-100 cm,>100-200 cm, >200-300 cm, >300-400cm, >400-500 cm, >500-600 cm dan>600-700 cm: untuk yang di luar arealperairan. Pengelompokan secara vertikal
333
Pengaruh Dinamika Faktor Lingkungan Terhadap Sebaran
berdasarkan tinggi dari tanah atau air,yaitu: 0-100 cm, >100-200 cm dan >200-300 cm.
Catatan tentang fase rembulan,kelembaban udara, suhu udara dan suhuair melengkapi data lingkungan yangkemungkinan besar mempengaruhipenyebaran horizontal dan vertikalindividu ketiga jenis katak tersebut padamikrohabitatnya. Alat yang digunakanuntuk mengukur suhu udara dan suhu air:thermometer digital (ketelitian satu digitdibelakang koma) merk SATO modelSK-2000 MC; pengukur kelembabanudara: thermo-hygrometer merk Isuzumodel 3-1167-01; untuk fase rembulanselama pengamatan berpedoman kepada:h t t p : / / w w w. t i m e a n d d a t e . c o m /worldclock/moonrise.html.
Semua data yang diperoleh diujidengan program statistik SPSS versi16.0. Analisis korelasi dipakai untukmenguji pengaruh dinamika parameterlingkungan (fase rembulan, kelembabandan suhu udara dan suhu air) terhadapjumlah individu yang dijumpai pada satuanjarak dari tepi danau dan satuan tinggidari tanah atau air. Hasil analisis berbedanyata pada taraf kepercayaan 95% (pd” 0.05).
HASIL
Jumlah kehadiran individu tiga jeniskatak yang mendominasi lahan basahEcology Park sepanjang 100 meterpanjang transek selama 14 kalipengamatan sangat bervariasi. JumlahR. erythraea berkisar antara 48-151individu, R. nicobariensis antara 10-35individu dan O. lima antara 2-18 individu
(Tabel 1). Faktor lingkungan yang nyatamempengaruhi jumlah kehadiran individuR. erythraea adalah suhu udara (r =0.681; p = 0.018); pada R. nicobariensisadalah suhu udara (r = -0.573; p = 0.032)dan kelembaban udara (r = 0.572; p =0.033); tetapi keempat faktor lingkunganyang diukur (fase rembulan, suhu udara,suhu air dan kelembaban udara) tersebuttidak berpengaruh nyata pada kehadiranO. lima.
Hasil dari pengelompokan jumlahindividu ketiga jenis katak tersebutberdasarkan penyebarannya secarahorizontal dan vertikal terhadap faktorlingkungan memperlihatkan indikasi yangkuat untuk jarak dan tinggi tertentu. Hasilanalisis statistik setiap jenis adalah sebagaiberikut:
R. erythraeaFaktor lingkungan yang
berpengaruh nyata pada penyebaranhorizontal individu R. erythraea adalahsuhu udara, suhu air dan kelembabanudara. Suhu udara berkorelasi positifkuat pada jumlah individu untuk jarak>100-200 cm dan >200-300 cm (Tabel2), semakin naik suhu udara selamapengamatan maka jumlah individu padajarak tersebut semakin banyak. Jaraktersebut sangat terkait dengan lebarnyabagian tepi danau yang ditumbuhivegetasi lahan basah. Jumlah rata-rataindividu paling banyak adalah pada jarak0-100 cm (42.71±19.71 individu; Tabel2); pada jarak ini tidak ada faktorlingkungan berpengaruh nyata padakehadiran individu R. erythraea. Suhuudara berkorelasi positif kuat pada jumlahindividu untuk ketinggian 0-100 cm (Tabel
334
Hellen Kurniati
2); pada ketinggian ini rata-rata jumlahindividu paling banyak (102.79±27.74individu; Tabel 2). Ketinggian inisepertinya merupakan mikrohabitat yangdisukai individu R. erythraea, karenadaun rumpun vegetasi paling padat yangkemungkinan besar menjaga kestabilansuhu mikroklimat dari dinamika suhuudara lingkungan. Suhu air berkorelasipositif kuat pada jumlah individu untukjarak >100-200 cm; sedangkankelembaban udara berpengaruh negatifkuat pada kehadiran individu R.erythraea pada jarak <0 cm (di dalamperairan danau). Jarak <0 cm merupakanareal yang terbuka, sedikit sekali rumpunvegetasi yang tumbuh di sini,kemungkinan besar dinamikakelembaban udara sangat terasa bagiindividu R. erythraea. Kondisi ini
mengindikasikan menurunnyakelembaban udara memicu jumlahindividu meningkat pada jarak <0 cm.Untuk mengatasi turunnya kelembabanudara, individu R. erythraea yang beradapada areal terbuka bergerak mendekatiair.
Hasil penelitian ini mengindikasikanpenyebaran horizontal dan vertikalindividu R. erythraea dipengaruhi olehfaktor suhu udara dan suhu air yangberkorelasi positif, sedangkankelembaban udara berkorelasi negatif.Untuk meminimalkan faktor lingkunganyang dinamis, individu R. erythraeamencari mikrohabitat yang nyaman yangtersedia di rumpun vegetasi lahan basahdi sekitar perairan danau (Kurniati 2010).Fungsi rumpun vegetasi ini sangat pentingbagi kehidupan katak R. erythraea
Waktu Pengamatan
(2009)
Jumlah Individu (sepanjang transek 100 meter)
Fase Bulan (%)
Suhu Udara (0C)
Suhu Air (0C)
Kelembaban Udara(%)
R. erythraea R. nicobariensis O. lima
9 Juli 104 12 5 98.4 27.5 26.7 63
16 Juli 151 14 7 44.3 26.5 26.0 72
23 Juli 137 15 4 2.0 26.4 26.1 94
6 Agustus 118 11 2 100 27.3 28.8 73
13 Agustus 131 16 18 59.6 27.7 28.2 77
20 Agustus 118 16 17 0.1 27.8 28.4 68
3 September 111 10 11 99.0 27.3 29.3 73
10 September 116 26 7 73.8 25.8 28.0 90
24 September 120 19 11 32.8 24.7 27.8 96
15 Oktober 79 35 9 12.4 25.3 26.8 90
29 Oktober 91 17 11 81.3 26.6 29.3 84
12 November 77 25 8 24.7 25.4 27.9 88
19 November 64 17 7 6.2 25.3 26.1 91
25 November 48 20 7 55.5 23.7 27.2 97
Rataan±SD 104.64±29.25 18.07±6.74 8.86±4.50
49.29±37.21 26.24±1.24 27.61±1.15 82.57±11.28
Tabel 1. Jumlah individu tiga jenis katak dominan di Ecology Park selama 14 kali pengamatanbeserta empat faktor lingkungan yang diukur.
335
Pengaruh Dinamika Faktor Lingkungan Terhadap Sebaran
Kor
elas
i D
enga
n Fa
ktor
L
ingk
unga
n
Jara
k D
ari T
epi P
erai
ran
(dan
au)
Tin
ggi D
ari T
anah
Ata
u A
ir
<0 c
m
(jum
lah
indi
vidu
)
0-10
0 cm
(j
umla
h in
divi
du)
>100
-200
cm
(j
umla
h in
divi
du)
>200
-300
cm
(j
umla
h in
divi
du)
>300
-400
cm
(j
umla
h in
divi
du)
>400
-500
cm
(j
umla
h in
divi
du)
>500
-600
cm
(j
umla
h in
divi
du)
>600
-700
cm
(j
umla
h in
divi
du)
0-10
0 cm
(j
umla
h in
divi
du)
>100
-200
cm
(j
umla
h in
divi
du)
>200
-300
cm
(j
umla
h in
divi
du)
Rat
aan±
SD
3.71
±5.3
0 42
.71±
19.7
1 20
.50±
6.05
24
.07±
8.81
7.
64±5
.57
5.36
±3.8
2 1.
00±2
.45
0.29
±1.0
7 10
2.79
±27.
74
1.79
±4.3
0 0.
07±0
.27
Fase
Bul
an
r = 0
.358
p
= 0.
209
r = 0
.039
p
= 0.
894
r = 0
.236
p
= 0.
416
r = 0
.161
p
= 0.
583
r = -0
.199
p
= 0.
495
r = -0
.357
p
= 0.
210
r = 0
.167
p
= 0.
568
r = -0
.39
p =
0.89
6 r =
0.1
53
p =
0.60
1 r =
-0.2
80
p =
0.33
2 r =
-0.3
66
p =
0.19
8 Su
hu U
dara
r =
0.4
03
p =
0.15
3 r =
0.5
14
p =
0.06
0 r =
0.5
57
p =
0.03
9**
r = 0
.586
p
= 0.
028*
*
r = -0
.261
p
= 0.
367
r = -0
.282
p
= 0.
329
r = -0
.199
p
= 0.
494
r = 0
.061
p
= 0.
835
r = 0
.635
p
= 0.
015*
* r =
0.1
05
p =
0.72
1 r =
0.0
38
p =
0.89
7
Suhu
Air
r = -0
.310
p
= 0.
281
r = -0
.138
p
= 0.
639
r = 0
.580
p
= 0.
030*
*
r = 0
.346
p
= 0.
226
r = -0
.058
p
= 0.
850
r = -0
.191
p
= 0.
514
r = 0
.112
p
= 0.
703
r = -0
.404
p
= 0.
152
r = 0
.098
p
= 0.
740
r = -0
.427
p
= 0.
128
r = -0
.379
p
= 0.
181
Kel
emba
ban
Uda
ra
r = -0
.628
p=
0.01
6**
r = -0
.343
p
= 0.
230
r = -0
.412
p
= 0.
144
r = -0
.366
p
= 0.
198
r = 0
.323
p
= 0.
260
r = 0
.352
p
= 0.
216
r = 0
.273
p
= 0.
345
r = -0
.270
p
= 0.
351
r = -0
.488
p
= 0.
077
r = 0
.168
p
= 0.
567
r = 0
.292
p
= 0.
312
** b
erbe
da n
yata
pad
a p
= 0.
05
Tabe
l 2. K
orel
asi a
ntar
a fa
ktor
ling
kung
an d
an ju
mla
h in
divi
du p
ada
setia
p sa
tuan
jara
k da
n tin
ggi j
enis
R. e
ryth
raea
.
336
Hellen Kurniati
dalam menghadapi perubahan alamifaktor lingkungan.
R. nicobariensisFaktor lingkungan yang
berpengaruh nyata terhadap dinamikajumlah individu R. nicobariensis adalahsuhu udara pada jarak 0-100 cm dengannilai korelasi negatif kuat, kemudiankelembaban udara pada jarak yang samadengan nilai korelasi positif kuat (Tabel3). Kondisi yang terjadi pada individu R.nicobariensis terhadap suhu udara dankelembaban udara merupakan kebalikandari individu R. erythraea; pada R.nicobariensis, semakin rendahnya suhuudara selama pengamatan menyebabkanbertambahnya individu pada jarak 0-100cm. Rendahnya suhu udara biasanyadiikuti dengan naiknya kelembabanudara, karena kedua faktor iniberhubungan dengan kondisi lingkunganyang basah setelah hujan. Rata-ratajumlah individu pada jarak 0-100 cm daritepi perairan adalah terbanyak (7.79±4.56individu; Tabel 3); di dalam jarak initerdapat rumpun vegetasi Leerxia
hexandra dan Eleocharis dulcis yangjuga merupakan mikrohabitat yangdisukai R. nicobariensis dan R.erythraea (Kurniati 2010).
Kelembaban udara berkorelasipositif kuat terhadap jumlah individu R.nicobariensis pada ketinggian 0-100 cm(Tabel 3), jumlah individu bertambahsejalan dengan naiknya kelembabanudara. Pada ketinggian ini rata-ratajumlah individu R. nicobariensisterbanyak (18.07±6.74 individu; Tabel 3),begitu pula jumlah rata-rata individu R.erythraea (lihat Tabel 2). Antara individuR. erythraea dan R. nicobariensisterjadi persaingan untuk mendapatkanmikrohabitat di sepanjang 100 meterpanjang transek yang terdapat rumpunvegetasi. Berdasarkan hasil analisis,korelasi jumlah individu dua jenis ini adalahnegatif, tetapi tidak cukup kuat (r = -0.423; p = 0.132). Hasil regresi linier(Rn=28.28-0.09753Re) memperlihatkanbahwa terjadi kecenderunganmenurunnya jumlah individu R.nicobariensis bila jumlah individu R.erythraea bertambah (Gambar 1).
Korelasi Dengan Faktor
Lingkungan
Jarak Dari Tepi Perairan (danau) Tinggi Dari Tanah/Air
<0 cm
0-100 cm
>100-200 cm
>200-300 cm
>300-400 cm
>400-500 cm
0-100 cm
Rataan±SD 0.07±0.27 7.79±4.56 5.00±2.99 3.57±2.50 1.29±1.20 0.36±0.50 18.07±6.74 Fase Bulan r = 0.080
p = 0.786 r = -0.417 p = 0.138
r = -0.368 p = 0.195
r = -0.019 p = 0.947
r = 0.194 p = 0.507
r = -0.217 p = 0.456
r = -0.430 p = 0.124
Suhu Udara r = 0.339 p = 0.236
r = -0.656 p =
0.011**
r = -0.400 p = 0.157
r = 0.193 p = 0.508
r = -0.095 p = 0.748
r = -0.271 p = 0.349
r = -0.573 p = 0.032**
Suhu Air r = 0.147 p = 0.617
r = -0.227 p = 0.436
r = 0.063 p = 0.831
r = -0.228 p = 0.434
r = 0.319 p = 0.266
r = -0.373 p = 0.189
r = -0.175 p = 0.550
Kelembaban Udara
r = -0.142 p = 0.628
r = 0.556 p =
0.039**
r = 0.475 p = 0.086
r = -0.217 p = 0.456
r = 0.270 p = 0.350
r = 0.317 p = 0.269
r = 0.572 p = 0.033**
Tabel 3. Korelasi antara faktor lingkungan dan jumlah individu pada setiap satuan jarak dantinggi jenis R. nicobariensis.
** berbeda nyata pada p d” 0.05
337
Pengaruh Dinamika Faktor Lingkungan Terhadap Sebaran
O. limaFaktor-faktor lingkungan yang
diukur tidak ada yang berpengaruh nyatakepada dinamika jumlah individu O. lima(Tabel 4). Kemungkinan karena sifatkatak ini yang akuatik penuh dapatmengatasi kondisi tidak nyaman daridinamika faktor lingkungan denganberendam diri di dalam air. Jenis O. limamempunyai kebiasaan membenamkan
tubuhnya di dalam air, hanya matanyaterlihat di permukaan air (Iskandar 1998;Kurniati 2010). Katak ini biasanya aktifmengeluarkan suara dan duduk di atasdaun Teratai yang mengapung tidak jauhdari tepi danau.
Penyebaran horizontal individu O.lima maksimum pada jarak >100-200 cm.Jarak 0-200 cm merupakan perairan yangdangkal dengan kedalaman sekitar 40 cm
Korelasi Dengan Faktor Lingkungan
Jarak Dari Tepi Perairan (danau)
<0 cm (jumlah individu)
0-100 cm (jumlah individu)
>100-200 cm (jumlah individu)
Rataan±SD 6.00±4.42 2.57±3.01 0.29±0.61
Fase Bulan r = 0.013 p = 0.964
r = -0.288 p = 0.318
r = -0.120 p = 0.682
Suhu Udara r = 0.418 p = 0.137
r = -0.115 p = 0.696
r = -0.409 p = 0.146
Suhu Air r = 0.236 p = 0.416
r = 0.276 p = 0.340
r = -0.039 p = 0.894
Kelembaban Udara r = -0.318 p = 0.268
r = 0.142 p = 0.629
r = 0.343 p = 0.230
** berbeda nyata pada p d” 0.05
R. erythraea
R. n
icob
arie
nsis
1501251007550
35
30
25
20
15
10
Rn = 28.28 - 0.09753 Re
Gambar 1. Grafik regresi linier antara jumlah individu R. erythraea dan R. nicobariensis pada100 meter panjang transek.
Tabel 4. Korelasi antara faktor lingkungan dan jumlah individu pada setiap satuan jarak untukjenis O. lima.
338
Hellen Kurniati
dan dasar perairan berlumpur. Jenis inibanyak dijumpai di persawahan (Iskandar1998) yang berair dangkal dan dasarberlumpur. Kemungkinan besar katak initidak dijumpai lebih dari 200 cm di dalamperairan danau Ecology Parkdisebabkan dalamnya air pada bagianpertengahan danau.
PEMBAHASAN
Suhu udara berpengaruh nyatapada kehadiran individu R. erythraea danR. nicobariensis, tetapi pada R.erythraea suhu udara berkorelasi positif,makin tinggi suhu udara selamapengamatan maka jumlah kehadiranindividu makin bertambah; sedangkanpada R. nicobariensis berkorelasinegatif, makin rendah suhu udara selamapengamatan maka kehadiran individumakin banyak. Bertambahnya jumlahindividu R. erythraea sejalan denganmeningkatnya suhu udara mengindika-sikan jenis ini aktif bergerak menyebarpada lokasi transek yang diamati.Sebagian besar individu aktif berada padarumpun vegetasi lahan basah L.hexandra dan E. dulcis yang tumbuh dibagian tepi danau (Kurniati 2010).Kemungkinan besar rumpun vegetasi inimerupakan mikrohabitat yang nyamanbagi individu R. erythraea dalammenjaga kestabilan suhu mikroklimat.Kondisi sebaliknya terjadi pada R.nicobariensis, semakin rendah suhulingkungan dan bertambahnya ke-lembaban udara maka jumlah individuyang hadir semakin bertambah. Jenis inijuga terlihat aktif bersuara di sela-selarumpun vegetasi L. hexandra dan E.
dulcis yang juga dihuni individu R.erythraea (Kurniati 2010). Ke-mungkinan besar fenomena inimerupakan strategi kedua jenis katak iniuntuk meminimalkan persaingan dalammendapatkan mikrohabitat yang nyamanpada rumpun vegetasi yang disukaimereka. Jenis O. lima mempunyairelung terpisah dengan R. erythraea danR. nicobariensis; mikrohabitat jugaberbeda, O. lima bersifat akuatik penuh,sedangkan R. erythraea dan R.nicobariensis bersifat semi-akuatik dansemi-arboreal. Kehadiran O. lima tidakbanyak dipengaruhi faktor-faktorlingkungan yang diukur kemungkinanbesar karena sifatnya yang akuatikpenuh.
Penyebaran horizontal individu R.erythraea lebih jauh (Tabel 2)dibandingkan individu R. nicobariensis(Tabel 3), mereka dapat mencapai jarak>600-700 cm dari tepi perairan,sedangkan R. nicobariensis hanyamencapai jarak >400-500 cm; selain itupenyebaran vertikal individu R.erythraea (Tabel 3) juga lebih tinggidapat mencapai >200-300 cm daripermukaan tanah (Tabel 5), sedangkanR. nicobariensis maksimum hanya 0-100 cm. Jumlah individu yang banyakpada R. erythraea kemungkinan besarmenjadi penyebab utama lebarnyapergerakan individu R. erythraea untukmeminimalkan kompetisi antar individu;kondisi ini membuat individu R.nicobariensis harus berkompetisi agarmendapatkan mikrohabitat yang nyamandi rumpun vegetasi.
Sifat biologi R. erythraea yangaktif sejalan dengan meningkatnya suhu
339
Pengaruh Dinamika Faktor Lingkungan Terhadap Sebaran
udara, sedangkan R. nicobariensis aktifsejalan dengan menurunnya suhu udarakemungkinan basar berpengaruh besarterhadap distribusi vertikal kedua jeniskatak ini. Di Kalimantan distribusivertikal R. erythrae mulai dari 0-500meter dpl, sedangkan R. nicobariensisantara 100-1150 meter dpl (Inger 2005).Di Jawa R. erythraea dapat dijumpaimulai dari dataran rendah sampaiketinggian 1110 meter dpl, sedangkan R.nicobariensis mulai dari daerah pantaisampai ketinggian 1500 meter dpl(Iskandar 1998; Kurniati dkk 2000;Kurniati 2003; Liem 1973).
Berdasarkan ukuran tubuh, jantandewasa R. erytrhraea asal Jawaberkisar antara 30-45 mm, betina antara50-75 mm; sedangkan jantan dewasa R.nicobariensis asal Jawa berkisar antara35-45 mm, betina antara 45-50 mm(Iskandar, 1998). Kisaran ukuran tubuhjantan dewasa kedua jenis katak ini tidakjauh berbeda, sedangkan kisaran ukurantubuh betina dewasa berbeda nyata,betina R. erythraea lebih besardibandingkan betina R. nicobariensis.Kemungkinan lebih besarnya ukurantubuh pada betina R. erythraea menjadipenyebab jenis ini merasa nyaman hiduppada daerah dataran rendah dengan suhulingkungan yang hangat. Untukmembuktikan ini perlu dilakukanpenelitian yang lebih mendalam mengenaifisiologi katak R. erythraea.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapatdisimpulkan: (1) Suhu udara berpengaruhnyata pada dinamika jumlah individu R.
erythraea dan R. nicobariensis padaareal transek sepanjang 100 meter.Korelasi pada R. erythraea positif kuat,sedangkan pada R. nicobariensisnegatif kuat; (2) Penyebaran horizontaldan vertikal individu R. erythraeadipengaruhi oleh faktor suhu udara dansuhu air yang berkorelasi positif kuat,sedangkan kelembaban udara berkorelasinegatif kuat; (3) Penyebaran horizontaldan vertikal individu R. nicobariensisdipengaruhi oleh faktor suhu udara yangberkorelasi negatif kuat, sedangkankelembaban udara berkorelasi positifkuat; (4) Rumpun vegetasi lahan basahpada jarak dan ketinggian 0-100 cmmerupakan mikrohabitat yang disukai R.erythraea dan R. nicobariensis; (5)Faktor lingkungan (fase bulan, suhuudara, suhu air dan kelembaban udara)tidak berpengaruh nyata padapenyebaran horizontal O. lima.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima ksih kepada WahyuTri Laksono dan Saiful yang telahmembantu sepenuhnya penelitian dilapangan. Ucapan terima kasih jugadiberikan kepada Proyek KegiatanInsentif Bagi Peneliti Dan PerekayasaDIKTI-LIPI tahun 2009 yang telahmembiayai seluruh kegiatan penelitianini. Terakhir kali ucapan terima kasihdiberikan kepada Dr. Arjan Boonmanyang telah membantu dalammemperbaiki abstrak bahasa Inggris.
340
Hellen Kurniati
DAFTAR PUSTAKA
Inger, RF. 2005. The systematics andzoogeography of the amphibiansof Borneo. Natural HistoryPublication (Borneo). KotaKinabalu.
Inger, RF. 2009. Contributions to thenatural history of seven species ofbornean frogs. Fieldiana Zool.(116): 1-25.
Iskandar, DT. 1998. Amfibi Jawa danBali. Puslitbang Biologi-LIPI.Bogor.
Jaeger, RG. 1994. Transect sampling.Dalam : Heyer, WR., MA.Donnely, RW. McDiarmid, LC.Hayek & MS. Foster (editors).Measuring and monitoringbiological diversity, standardmethod for amphibians Smithso-
nian Institution Press. Washington.103-107
Kurniati, H. W. Crampton, A. Goodwin,A. Locket & S. Sinkins. 2000.Herpetofauna diversity of Ujungkulon National Park: An inventoryresults in 1990. J. Biol. Res. 6 (2):113-128.
Kurniati, H. 2003. Amphibians andreptiles of Gunung HalimunNational Park, West Java,Indonesia. Research Center forBiology-LIPI. Cibinong.
Kurniati, H. 2010. Keragaman dankelimpahan jenis katak sertahubungannya dengan vegetasi padalahan basah “Ecology Park”,Kampus LIPI Cibinong. BeritaBiologi. 10 (3):283-296
Liem, DSS. 1973. The frogs and toadsof Tjibodas National Park, Mt.Gede, Java, Indonesia. ThePhilippine J. Sci. 100 (2): 131-161.
Memasukkan: April 2011Diterima: Juli 2011
341
Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 341-359 (2011)
Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi Stresemann,1912 di Bali Bagian Barat
Mas Noerdjito 1,3), Roemantyo 1), &Tony Sumampau 2,3)
1)Research Centre for Biology – LIPI, CSC, jl Raya Jakarta Bogor, Km 46, Cibinong2) Taman Safari Indonesia, Cisarua-Bogor
3) Asosiasi Pelestari Curik Bali, TSI, Cisarua-Bogor
ABSTRACT
Habitat Reconstruction of Bali Starling Leucopsar rothschildi Stresemann 1912 in WesternPart of Bali Island. Bali Starling Leucopsar rothschildi Stresemann 1912 is an endemic speciesof north western part of lowland of Bali Island. The land use changes of original habitat BaliStraling to resettlement and agriculture area since the year 1980, has caused this speciesmoved to the marginal habitat in the Prapatagung Peninsula and resided in Telukkelor areas. Inwet season this bird in Prapatagung Peninsula can have enough food from vegetation in themonsoon forest in Telukkelor, but in dry season the birds must look for the food in evergreenforest near Prapatagung. At the end of 2005, this species was categorized as an extinct speciesin the wild, but population in captured are still abundant. In 2007 and 2008, the release of thisbird in the nature has been done in Prapatagung peninsula area. In following year birdmonitoring showed that some pairs of these birds can breed sucessfully.The development of Bali province has caused the end of adding more the electrical powersupply from Java electrical power system. To transmite the electrical power to Bali, extra highvoltage electrical power transmission infrastructure (SUTET) that will be passing and cuttingthe lowland forest ecosystem in Prapatagung Peninsula is needed. Other infrastructures suchas Jawa–Bali bridge and high way were under studied to develop in similar area. Theinfrastructures were assumed will decrease the carrying capacity of evergreen forest insupporting Bali Starling food especially during dry season. Based on the recent condition,study on the habitat recovery of Bali Starling should was conducted especially on the originalhabitat that already changed. The results showed that local state land tenure of Sumberklampok,Sumberbatok, Tegalmuara and Tanjunggelap as in the past known as Bali Starling habitatshould be returned back their function as home of Bali Starling. To support this action plantinventarisation has been conducted to understand the rest of plant diversity in supportingBali Starling conservation.
Key words: Bali starling, Leucopsar rothschildi, reconstruction, habitat.
PENDAHULUAN
Burung Curik bali Leucopsarrothschildi (Stresemann, 1912)merupakan satwa endemik Indonesia.Secara alami, spesies ini hanya terdapat
di dataran rendah pulau Bali bagian baratlaut, antara Bubunan dengan Gilimanuk(Paardt 1926); namun tidak terdapat disemenanjung (Sem.) Prapatagung (Balendkk. 2000). Pertambahan penduduk
342
Noerdjito dkk.
menyebabkan hampir seluruh habitatCurik bali dialihfungsikan untukmendukung kehidupan masyarakat;antara Bubunan dengan Banyuwedangdiubah menjadi lahan pertanian danpemukiman sedangkan kawasanSumberklampok dan Sumberbatokdiubah menjadi perkebunan kelapa dankapuk. Perubahan tersebut, diduga,menyebabkan berkurang atau terputus-nya daur ketersediaan pakan dan/ atauhilangnya tempat persarangan bagi Curikbali sehingga pada tahun 1980 populasiCurik bali yang tersisa tergeser ke Sem.Prapatagung (Balen dkk. 2000).Perpindahan ke tempat yang tidak pernahmereka huni sebelumnya dapat diartikanbahwa Sem. Prapatagung sebenarnyabukan kawasan yang sepenuhnya dapatmendukung kehidupan Curik bali; atausebenarnya hanya merupakan daerah“marginal” bagi kehidupan Curik bali.
Di Sem. Prapatagung, Curik balimenempati hutan musim (monsoonforest) di sekitar pos Telukkelor sampaipos Lampumerah. Pada musim hujan,hutan musim bersemi dan diikuti denganmeledaknya populasi serangga pakanCurik bali di berbagai spesies tumbuhanyang sedang menghijau. Pada musimkemarau, pada saat daun-daun di hutanmusim berguguran, serangga pakanmaupun buah-buahan tidak lagi tersediadi daerah ini. Akibatnya, Curik baliterpaksa harus mencari pakan di hutanmala hijau (evergreen forest) dansekitarnya di daerah antara posPrapatagung dengan pos Tegalbunder.Dikenal 2 jalur terbang Curik bali darihutan musim menuju hutan mala hijau,yaitu: (1) melalui Lampumerah –
Batulicin – Prapatagung; (2) melaluiTelukbrumbun – Tanjungkotal -Tegalbunder. Oleh karena itu, adanyahutan mala hijau yang cukup luas sangatdiperlukan bagi kelestarian Curik bali dialam.
Oleh berbagai sebab, pada saatmelakukan survei pada Desember 2005,Noerdjito bersama beberapa wartawananggota Forum Komunikasi Satwa LiarIndonesia (FOKSI, tidak dipublikasikan)sama sekali tidak dapat menemukanCurik bali yang hidup bebas di Sem.Prapatagung. Kenyataan ini dikuatkanoleh keterangan beberapa petugaslapangan TN Bali Barat. Sadar akanfungsi penting Curik bali bagi (a)kelestarian alam, (b) kebanggaanmasyarakat Bali, (c) hubungan diplomatikdengan negara sahabat, serta (d) masihadanya Curik bali di berbagai lembagakonservasi maupun di tangan masyarakatmaka pada tahun 2006 dibentuklahAsosiasi Pelestari Curik Bali (APCB).Misi utama APCB adalah membantuDep Kehutanan untuk memulihkanpopulasi Curik bali di alam. Sejak awalAPCB bekerjasama dengan berbagaiInstansi Pemerintah (terutama PuslitBiologi – LIPI yang telah melakukanpenelitian lebih dahulu) serta lembagakonservasi eks-situ (terutama TamanSafari Indonesia) lainnya. Disepakatibahwa pemulihan populasi Curik baliakan dilakukan di Sem. Prapatagung.Pemulihan diawali dengan mengembali-kan kemampuan individu-individu Curikbali yang telah beberapa generasi hidupdi dalam sangkar sehingga dapatbertahan hidup di alam bebas. Tempatpelepasliaran dipilih di tempat perkem-
343
Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi
bangbiakannya, yaitu di hutan musim didekat pos Telukbrumbun, Telukkotal dandi Tanjunggelap. Pada tahun 2007 dan2008 sebagian dari hasil penangkaranlembaga konservasi dilepasliarkan di tigatempat tersebut dan beberapa diantaranya berhasil berkembang biak.
Kenyataan menunjukkan bahwa,bagi manusia, setiap jengkal lahan bersifatmultiguna. Hal ini berlaku juga bagikawasan Sem. Prapatagung. Di satu sisi,sampai dengan tahun 2008, peruntukanSem. Prapatagung masih “mutlak”sebagai kawasan pelestarian Curik bali.Namun di sisi lain, untuk mendukungpariwisata, Pulau Bali memerlukanpasokan listrik dari pembangkit di Jawa.Pada akhir tahun 2010 telah disepakatibahwa pasokan listrik dari Jawa akandilakukan melalui saluran udara tegangantinggi (SUTET). Menara di ujung Jawaakan dibangun di Watudodol sedangkandi ujung Bali akan dibangun di dekat posLampumerah. Kedua menara tersebutdibangun setinggi 375 meter. Listrikkemudian dialirkan melalui jalur posLampumerah, Batulicin, pos Prapatagungkemudian diseberangkan ke gardu indukGilimanuk. Selain SUTET, menurutrencana, antara Watudodol di Jawa Timurdengan pos Lampumerah di Bali jugaakan dibangun jembatan penghubungJawa Bali. Direncanakan pula, untukmenghubungkan ujung jembatan di posLampumerah dengan jalur jalanGilimanuk – Singaraja di Sumberklampokakan dibangun jalan penghubung melaluiBatulicin, pos Prapatagung dan posTegalbunder. Secara rinci, rencana jalurbelum ada.
Namun untuk menghindari hal-halyang tidak diinginkan, yang mungkin baruakan timbul dikemudian hari, maka dinilaiperlu untuk segera melakukan kajianulang dampak pembangunan SUTETserta kemungkinan jalur jalan tembus daripos Lampumerah ke pos Sumberklampokterhadap fungsi hutan mala hijau sebagaisumber kehidupan Curik bali di musimkemarau. Jika pembangunan tersebutdiperkirakan akan berdampak negatifmaka perlu segera dilakukan penyediaanhabitat baru atau merestorasi bekashabitat Curik bali di lahan yang masihmemungkinkan. Penelusuran bekashabitat Curik bali dapat dilakukan denganmengumpulkan data habitat di masalampau serta mengobservasi beberapakawasan yang diperkirakan masihmemiliki komponen habitat yang miripdengan habitat Curik bali di masa lampauuntuk ditelaah struktur, komposisi dan tipevegetasinya. Dengan modal datatersebut diharapkan model dan konstruksihabitat Curik bali dapat dibangun kembali.
BAHAN DAN CARA KERJA
Menelusuri pengaruh SUTET danrencana jalan tembus terhadap eko-sistem dataran rendah yang dilalui,terutama hutan mala hijau.1.Melakukan pencitraan (analisis spasial)di Sem. Prapatagung untuk menggam-barkan tipe ekosistem dan batas hutanmala hijau.2. Memperkirakan kemungkinan jalurjalan tembus berdasarkan kekerasanbatuan dasar serta topografi yang tidakterlalu berbukit-bukit.
344
Noerdjito dkk.
3.Menumpangsusunkan jalur SUTETdan rencana jalan di atas peta citra ad.A.1.Menelusuri tipe habitat Curik bali dimasa silam.
1. Mencari dan merekonstruksi petalama yang memuat gambaran ekosistemBali masa lalu.
2. Menumpangsusunkan titik-titikkoleksi spesimen Curik bali ke atas petalama ad. B.1.
3. Menelusur tipe tanah serta curahhujan kawasan Bali bagian barat.
4. Menentukan kawasan bekashabitat Curik bali yang memilikikemungkinan untuk direhabilitasi.
Penelusuran spesies tumbuhan dihabitat Curik bali.
1. Menelusur spesies tumbuhan dikawasan bekas ekosistem savanamaupun hutan mala hujau di Bali bagianbarat.
2. Metoda yang dipakai adalahtransek.
HASIL
Pengaruh SUTET dan rencana jalanterhadap ekosistem dataran rendahserta hutan mala hijau:
Dari peta Citra Ikonos May 20, 2009(Space Imaging 2000) yang telah diberireferensi geografi: WGS1984 UTMZone 50S dalam Proyeksi TransverseMercator, Datum: DWGS 1984digambarkan tempat-tempat penting yangterkait dengan konservasi Curik bali dikawasan hutan Bali bagian barat(Gambar 1) serta hutan mala hijau(Gambar 2).
Berdasarkan pertimbangan bahwamembuat jalan di atas pantai berlumpur,hutan bakau atau pun perbukitan akanmemerlukan biaya yang sangat tinggimaka diperkirakan jalur jalan tembus posLampumerah - Batulicin - pos Prapat-agung - pos Tegalbunder akan melawatijalur sebagaimana tergambarkan padaGambar 2.
Setelah peta citra di tumpang-susunkan dengan peta rencana pemasa-ngan SUTET dan peta kemungkinanjalan tembus terlihat bahwa dataranrendah antara pos Lampumerah denganpos Sumberklampok terpotong-potongmenjadi beberapa segmen; sedangkanhutan mala hijau akan terpotong oleh jalantembus.
Menelusuri tipe habitat Curik bali dimasa silam.
Diperoleh beberapa peta topografilama yang diterbitkan sebelum tahun1950 (van Carnbee, P. Baron Melvill1856; Topographisch bureau, 1905;Koninklijke Vereeniging Java Motor Club,1922; Topographische Dienst 1932;Topographische Dienst 1935 dan ArmyMap Service 1950). Dari peta-petatersebut, Topographische Dienst (1935)dinilai cukup menggambarkan ekosistemBali bagian barat dimasa lampau. Petatersebut kemudian diberi referensigeografi: WGS1984 UTMZone 50Sdengan Projection Transverse Mercator,Datum: DWGS1984.
Data keterdapatan Curik bali dimasalampau hasil kompilasi titik temuan olehBalen dkk. (2000) yang ditumpangsu-sunkan di atas Topographische Dienstmenunjukkan bahwa pada masa lampau
345
Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi
Gambar 2. Peta rencana SUTET, perkiraan letak jembatan Jawa- Bali dan perkiraan jalantembus dari pos Lampumerah sampai pos Sumberklampok. Citra Ikonos May 20, 2009(Space Imaging 2000) dan Shuttle Radar Topography Mission (USGS 2004) dengankawasan hutan mala hijau (evergreen forest). Citra Ikonos telah di beri referensi geografi:WGS1984 UTMZone 50S. Projection: Transverse Mercator, Datum: DWGS 1984
Gambar 1. Citra Ikonos May 20, 2009 (Space Imaging 2000) dengan tempat-tempat pentingdi kawasan hutan Bali bagian barat. Citra Ikonos telah di beri referensi geografi:WGS1984 UTM Zone 50S. Projection: Transverse Mercator, Datum: DWGS1984
346
Noerdjito dkk.
Curik bali umumnya hidup di savana danhutan campuran basah.
Secara teoritis, seluruh savana danhutan campuran basah di Bali bagianbarat yang telah dialihfungsikan dapatdipulihkan kembali; namun biayapembebasan lahan diperkirakan akansangat tinggi. Ekosistem savana danhutan campuran basah yang seharusnyadapat dipulihkan tanpa melakukanpembebasan lahan adalah lahan miliknegara. Lahan tersebut terdapat diSumberklampok, Sumberbatok,Tegalmuara dan Tanjunggelap. Keempatkawasan ini menjadi sangat pentingartinya bagi kelestarian Curik balisehingga dapat disebutkan sebagaikawasan penting keanekaragamanhayati.
Bagian utara Bali bagian baratmemiliki iklim kering dengan curah hujanyang sangat rendah, sehinggadikelompokkan ke dalam kategori D4 (3- 4 bulan basah dan lebih dari 6 bulankering). Sedangkan bagian selatanmemiliki iklim yang lebih basah sehinggadikelompokkan ke dalam kategori D3 (3- 4 bulan basah dan 4 - 6 bulan kering).Dari peta tanah (RePPProt 1989) terlihatbahwa sebaran utama Curik bali, di pantaiutara berada di atas tanah andosol danregosol sedangkan di bagian selatanberada di atas tanah aluvial. Denganperbedaan tipe tanah masih sangat sulituntuk untuk mempersempit pemilihanlokasi rehabilitasi lahan. Namun denganmemperhatikan peta sistem lahan(RePPProt 1989) diketahui bahwa
Gambar 3. Sebaran alami curik bali (Leucopsar rothschildi Stresemann 1912) sebelumtahun 1950. Sumber: Topografische dienst, Batavia 1935). Peta telah di beri referensigeografi: WGS1984 UTMZone 50S. Projection: Transverse Mercator, Datum:DWGS1984
347
Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi
hampir seluruh daerah sebaran Curik baliberada di atas batuan aluvium. Kawasanyang berada di atas batuan aluvium yangkepemilikannya masih berada di tanganNegara c.q. Pemerintah DaerahKabupaten Buleleng hanyalahSumberklampok - Sumberbatok. Dengandemikian, Sumberklampok - Sumber-batok merupakan lokasi prioritas untukdirekonstruksi menjadi habitat Curik balikembali.
Penelusuran spesies tumbuhan dihabitat Curik bali.
Dari hasil penelusuran dijumpai 146spesies tumbuhan; termasuk walikukun(Schoutenia ovata), kaliombo(Terminalia microcarpa), kemloko(Phyllanthus emblica) serta talok(Grewia koordensis) yang biasadimanfaatkan Curik bali untuk bersarang.Hasil selengkapnya dapat dilihat dilampiran.
PEMBAHASAN
SUTET dan jalan tembusPeta keberadaan jalur kabel serta
letak tiang SUTET yang ditumpang-susunkan pada peta citra menunjukkanbahwa bakal jaringan ini berada cukupjauh dari hutan mala hijau sehingga,berdasarkan jarak, seolah-olahpembangunan SUTET tidak akanberpengaruh negatif bagi keberlanjutan-nya hutan mala hijau (Gambar 2).Namun dengan dibangunnya SUTETmaka akan terjadi perubahan strukturdan komposisi vegetasi di kawasan jalurterbang Curik bali yang melaluiLampumerah – Batulicin – Prapatagung.
Perubahan struktur ini diperkirakan akanmenyebabkan ekosistem lebih terbukasehingga dapat mempermudah burung-burung pemangsa menyambar Curik baliyang sedang terbang atau pun yangsedang hinggap untuk beristirahat. Selainitu, dalam proses pembuatannya,tentunya semua bahan akan diangkutmelalui jalan yang telah ada sehingga adakemungkinan perlu dilakukan pelebaranatau pelurusan jalan yang memilikipeluang timbulnya gangguan terhadapkehidupan berbagai jenis satwa.Gangguan mungkin juga dapat timbul daripancaran medan listrik yang cukup besardari SUTET terhadap berbagai spesiessatwa yang beraktivitas di dekatnya.Bagi manusia, medan listrik dari SUTETsangat merugikan kesehatan.
Memperkirakan jalur jalan tembusdilakukan berdasarkan pertimbanganbahwa pembangunan jalan akanmenghindari hutan mangrove, lahanberlumpur serta tempat-tempat dengantopografi berbukit-bukit. Hasil perkiraan,jalan tembus akan memotong ujung hutanmala hijau sebagaimana tersaji dalamGambar 2. Dampak negatif yang timbulbukan hanya munculnya akibatpengalihfungsian tegakan hutan menjadibadan jalan beserta sempadannya tetapijuga dampak fragmentasi yang timbul.Dampak fragmentasi adalah tergeser-nya ekotone menjauhi badan dansempadan jalan sehingga akanmempersempit luasan hutan mala hijau.Ekotone yang mungkin timbul diperkira-kan dapat mencapai 500 meter dari sisisempadan jalan sehingga luas hutan malahijau yang efektif fungsinya diperkirakanhanya akan tersisa sekitar 0,6 sampai 0,5
348
Noerdjito dkk.
bagian; secara tepat, lebar ekotone yangmungkin akan timbul perlu diteliti lebihlanjut.
Kompilasi data yang disampaikanoleh Balen (2000) menunjukkan bahwasejak tahun 1991 - 1994 jumlah Curik baliyang dapat bertahan hidup di SemPrapatagung hanya berkisar antara 34 –55 ekor. Dengan demikian dapatdiperkirakan bahwa pada musim hujan,hutan musim hanya dapat menyediakantempat persarangan maksimal bagi 27pasang Curik bali; atau pada musimkemarau, hutan mala hijau hanya dapatmendukung pakan bagi sekitar 55 ekorCurik bali. Padahal untuk dapat lestaripopulasi optimal (minimum viablepopulation) burung produktif adalah 500ekor. Oleh karena itu, ada atau pun tidakadanya program pemasangan SUTETmaupun pembuatan jalan penghubung,untuk melestarikan Curik bali di alamperlu dicarikan atau dibuatkan habitatyang lebih luas.
Menelusuri tipe habitat Curik bali dimasa silam.
Tampilan kawasan Bali bagian baratyang disajikan pada beberapa seri peta-peta topografi lama yang diterbitkansebelum tahun 1950 (van Carnbee,P.Baron Melvill 1856; Topographischbureau 1905; Koninklijke VereenigingJava motor club 1922; Topographischedienst 1932; Topographische dienst 1935dan Army Map Service 1950),menunjukkan bahwa sampai sekitartahun 1930 an kawasan pulau Bali bagianbarat belum banyak dihuni olehmasyarakat; bahkan masih merupakanhutan yang belum banyak disentuh oleh
penduduk. Sejak tahun 1922, pemerintah(Belanda) mulai membuka kesempatandengan menyewakan beberapa kawasan(persil/lahan) untuk diusahakan olehpihak swasta di Sem Prapatagung. Sejakawal tahun 1926 dan 1930 an, kawasanhutan di Telukterima - Sumberrejo dansekitarnya telah dibuka oleh pemerintahBelanda untuk dijadikan perkebunankelapa, hutan jati dan pemukimanpenduduk (Voogd 1937). Sejak saat itulahdidatangkan banyak pekerja, baik dariMadura maupun Bali sendiri. Pada tahun1936 hutan di daerah Celukan bawang,terutama yang cukup air, juga dibukadijadikan sawah. Sedangkan di bagianbaratnya, mulai dari Grogak, dibuka untukkawasan pemukiman dan usahapertanian lahan kering (Voogd 1937).Pada tahun 1950 an kawasan ini menjadilebih ramai karena meningkatnyakegiatan perkebunan dan bertambahnyapemukiman akibat dibuatnya infrastrukturjalan.
Dari penumpangsusunan daerahsebaran Curik bali masa lampau denganpeta topografi lama (TopografischeDienst 1935) terlihat bahwa tempatdidapatnya spesimen koleksi di Bubunan,Celukanbawang, Grogak, Pulaki, Goris,Labuhanlalang, Sumberbatok, Sumber-klambok, Sumberrejo dan Gilimanuksemuanya berada di ekosistem savanadan hutan campuran basah (Gambar 3).Jika sebaran Curik bali masa lampauditumpangsusunkan pada citra satelittahun 2009 (Space Imaging 2000),tampak bahwa habitat Curik baliumumnya sudah berubah fungsinya.Kawasan Gilimanuk sudah menjadikawasan pemukiman padat; kawasan
349
Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi
Sumberklampok, Telukterima sampai keBubunan merupakan desa yang cukuppadat; kawasan hutan produksi di sebelahtimur Sumberklampok dan Sumberbatoktelah dibuka dijadikan hutan kemasyara-katan; kawasan Tegalmuara telahmenjadi hutan tanaman; kawasanTanjunggelap telah ditetapkan sebagaizona pemanfaatan yang dikelola olehpihak swasta. Dengan demikian terlihatbahwa perombakan habitat Curik balitelah dimulai oleh penjajah Belanda sejaktahun 1922 dan terus dilanjutkan sampai2 - 3 tahun lalu dengan mengubahkawasan hutan produksi di sebelah timurSumberklampok dan Sumberbatokmenjadi hutan kemasyarakatan.
Sebagaimana disebutkan di atas,ekosistem savana dan hutan campuranbasah yang seharusnya dapat dipulihkantanpa melakukan pembebasan lahanadalah lahan milik negara. Lahantersebut terdapat di Sumberklampok,Sumberbatok, Tegalmuara dan Tanjung-gelap. Sedangkan berdasarkan batuanpendukungnya Sumberklampok -Sumberbatok merupakan lokasi prioritasuntuk direkonstruksikan menjadi habitatCurik bali kembali.
Penelusuran spesies tumbuhan dihabitat Curik bali.
Penelusuran pustaka terhadapspesies tumbuhan di kawasan hutanmusim habitat Curik bali menunjukkankomposisi tumbuhan dengan perawakanherba, perdu/semak dan pohon. TN BaliBarat sendiri memiliki daftar tumbuhandengan jumlah sekitar 175 spesies.Beberapa spesies tumbuhan hutan sekitarPrapatagung (Voogd 1937) antara lain
Lantana camara, Mimosa invisa,Melanolephis glandulosa, Zanthoxyl-lum rhetza, Schoutenia ovata. Dikawasan sekitar G Prapatagung (300 m)terdapat tegakan Manilkara kaukimurni; di daerah pantai tumbuh Pemphisacidula, Premna integrifolia,Guettarda speciosa dan juga beberapaspesies tumbuhan mangrove sepertiRhizophora apiculata, Avicienia spp.,Luminitzera sp., Ceriops tagal,Ceriops decandra. Di sekitarGilimanuk tercatat ada Borassusflabellifer, Ziziphus nummularia,Acacia leucophloea dan Phyllanthusemblica. Umumnya spesies-spesiestersebut juga terdapat di kawasan savanadekat Sumberbatok, Sumberklampok,hingga sampai di sekitar Telukterima.Kemudian ditemukan juga tumbuh disepanjang pantai utara pulau Bali bagianbarat mulai dari Labuanlalang, sekitarBanyuwedang, Pegametan, Pamuteransampai di sekitar Bubunan dekatSingaraja. Spesies-spesies herba yangbanyak ditemukan adalah dari sukuPoaceae dan didominasi oleh rumput(Isachne globosa) sehingga tampakseperti karpet hijau. Sedangkan dipinggirnya lebih banyak ditumbuhi alang-alang (Imperata cylindrica).
Observasi lapangan yang dilakukandi hutan Tanjunggelap ditemukan sekitar146 spesies tumbuhan yang tergolongdalam 119 marga dan 45 suku (lihatlampiran). Spesies yang dilaporkan inibaru berasal dari kawasan hutanTanjunggelap yang luasnya kira-kirakurang dari sepertiga dari seluruhkawasan TN Bali Barat. Suku-suku darikelompok Fabaceae, Euphorbiaceae,
350
Noerdjito dkk.
Poaceae, Rutaceae dan Malvaceaeadalah yang paling sering dijumpaianggota spesiesnya. Beberapa spesiestumbuhan yang terdapat di kawasan initergolong dalam spesies yang sudahsemakin sulit ditemukan, antara lainRauvolfia serpentina, Santalum sp.(cendana), Strychnos lucida, Zizyphushorsfieldii, Zizyphus rotundifolia,Brucea javanica, Protium javanicum,Flacourtia indica dan Zanthoxylumrhetsa. Sedangkan beberapa spesiesternyata memiliki assosiasi dengan Curikbali baik sebagai penyedia pakan, tempatbersarang dan mengasuh anak. Spesies-spesies tersebut antara lain adalahAcacia leucophloea, Lantana camara,Erythrina variegata, Passiflorafoetida, Strychnos lucida, Sterculiafoetida, Deeringia sp., Zizipus sp. danbeberapa spesies Ficus spp. (Sieber1978.; Sungkawa dkk. 1974; Helvoortdkk. 1986; Soewelo 1976).
Jika ditinjau dari kondisi alamkawasan yang memiliki curah hujan yangrendah vegetasi kawasan ini menunjuk-kan keragaman yang cukup tinggi(Oldemann 1980). Jumlah yangmencapai 146 spesies tumbuhan disebuah kawasan hutan semusim disebuahhutan Tanjunggelap dengan luas sekitar600 hektar menunjukkan keanekaraga-man yang cukup tinggi. Jika dibanding-kan dengan spesies-spesies vegetasi yangdilaporkan oleh Voogd (1937), tampakbanyak di antara spesies yang masihdapat ditemukan di kawasan observasiseperti Acacia leucophloea, Coryphautan, Borassus flabelifer, Schouteniaovata, Grewia eriocarpa, Albizialebbeckoides, Azadirachta indica,
Schleichera oleosa, Vitex pubescens,Ziziphus nummularia, Phyllanthusemblica, Manilkara kauki, Sterculiafoetida, Erythrina variegata, Tamarin-dus indica. Namun kemung-kinan besarstruktur dan komposisinya telah berbedakarena ada kemungkinan beberapaspesies sudah semakin terbataspopulasinya. Walaupun demikian, untukmemulihkan kawasan Sumberklampok,Sumberbatok, Tegalmuara dan Tanjung-gelap menjadi savana dan hutancampuran basah, di kawasan ini masihtersedia cukup banyak spesies sebagai-mana dihasilkan dalam inventarisasi ini.
Tercatat pula bahwa terdapat spesiespendatang seperti Acacia nilotica,Acacia auriculiformis (akasia), Cissussp, Dalbergia latifolia (sonokeling),Tectona grandis (jati), Pterocarpusindicus (angsana), Gliricidia sepium(gamal), Leucaena leucocephala(lamtoro) dan Widelia biflora, tampakmulai berkembang di kawasan ini.Spesies-spesies pendatang ini perlusegera dikendalikan pertumbuhannyakarena dapat menjadi sangat dominansehingga dapat mengalahkan spesiestumbuhan asli kawasan ini.
KESIMPULAN
Baik SUTET maupun (rencana)jalan penghubung antara jembatan Jawa-Bali dengan jaringan jalan yang telah adadapat dipastikan akan berdampakterpotong-potong (fragmentasi) danmenyempitnya berbagai ekosistemdataran rendah antara pos Lampumerahdengan pos Sumberklampok di SemPrapatagung. Salah satu tipe ekosistem
351
Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi
yang akan terganggu adalah satu-satunyahutan mala hijau yang saat ini merupakansatu-satunya penyedia pakan Curik balidi musim kemarau.
Baik pembangunan SUTET maupunjalan penghubung antara jembatan Jawa-Bali dengan jaringan jalan yang telah adaharus tetap terlaksana namun Curik balijuga harus tetap lestari dan berfungsi didalam ekosistem hutan Bali bagian barat.Untuk melestarikan Curik bali perlumerevitalisasi habitat Curik bali yangmasih merupakan tanah negara. Habitatpaling sesuai untuk di-revitalisasi adalahSumberbatok, Sumberklampok, Tegal-muara dan Tanjunggelap.
Telah teridentifikasi 146 spesiestumbuhan yang diperlukan untukmendukung kehidupan Curik bali; baiksebagai tempat penyedia pakan secaraberkelanjutan maupun tempat untukbersarang.
Berbagai spesies tumbuhanpendatang telah teridentivikasi kebera-daannya di hutan Bali bagian barat. Jikadibiarkan, hal ini sangat membahayakankelestarian ekosistem, termasukkelestarian Curik bali.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasihkepada Dr. Balgooy, Dr. Welzen, Dr. deWilde, Dr. Adema, dan Dr. Berg dariHerbarium Leyden Belanda yang telahmembantu dalam mengidentifikasibeberapa spesies spesimen koleksi yangtelah dikumpulkan. Ucapan terimakasihjuga kami sampaikan kepada Joko
Waluyo SHut yang banyak memberipenjelasan tentang rencana tapakSUTET serta Sdr Putu Yasa yang banyakmembantu kegiatan di hutan mala hijau.
Penelitian ini dibiayai oleh ProyekDIKTI – LIPI di Pusat Penelitian Biologitahun 2010 dengan tambahan dana dariAPCB.
DAFTAR PUSTAKA
Army Map Service 1954. Singaradja T -503, Indonesia, scale 1:250.000.Corps of Engineer US Army,Washington DC. Army MapService, Corps of Engineer.
Bakosurtanal 1999. Peta Rupa Bumi danTopografi Digital, Skala 1:250.000.Bakosurtanal 1999.
Balen, van S., IWA. Dirgayusa, IMWA.Putra & Herbert H.T. Prins.2000.Status and distribution of theendemic Bali Starling Leucopsarrothschildi. Oryx 34 (3): 188-197.
Hadiwidjojo, MMP., H. Samodra &TC.Amin 1998. Peta GeologiLembar Bali, Nusatenggara. P3Geologi.
Noerdjito, M. 2005. Pola PersaranganCurik Bali Leucopsar rothschildiStresemann 1912 dan Kerabatnyadi Taman Nasional Bali Barat.Berita Biologi 7(4): 215-222.
Paardt, Th. van der 1926. ManoekPoetih; Leucopsar rothschildi.Tropische Natuur 15(5): 169-173.
USGS 2004, Shuttle Radar TopographyMission, 3 Arc Second sceneSRTM_ffB03_p117r066, UnfilledUnfinished 2.0, Global Land CoverFacility, University of Maryland,
352
Noerdjito dkk.
College Park, Maryland, February2000.
RePPProt 1989. Land System, LandUse. Review of phase I results.Java and Bali. Land ResourcesDepartement, Overseas Develop-ment Administration, UnitedKingdom and Derektorat JendralBina Program - Direktorat JenderalPenyiapan Pemukiman, Depar-temen Transmigrasi.
Sungkawa, W., D. Natawirya, RS.Amongprawira & F. Kurnia 1974.Pengamatan Jalak Putih (Leuco-psar rothschildi) di Taman Perlin-dungan Alam Bali Barat. LaporanNo. 95. Lembaga Penelitian Hutan.(ii + 29) hlm.
Voogd, CNA. 1937. Botanischeaantekeningen van de KleineSoenda. Eilanden III. Bali Zoals eentoerist het niet ziet. Trop. Natuur26: 1-9, 37-40.
Space Imaging (2000), IKONOS, LevelStandard Geometrically Corrected,GeoEye, Dulles, Virginia, May 20,2009
353
Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi
Suk
uS
pesi
esPe
raw
akan
Nam
a D
aera
hT
empa
t tum
buh
Aca
ntha
ceae
Acan
thus
ilic
ifoliu
s L.
Poho
nJe
ruju
Pant
aiA
cant
hace
aeBa
rler
ia s
pPe
rdu
Aca
ntha
ceae
(lan
dep
?)T
anah
Ter
buka
Am
aran
tace
aeD
eeri
ngia
sp
Mer
amba
tB
ayem
ang
inH
utan
/bel
ukar
Ano
nace
aeU
vari
a ru
fa B
l.M
eram
bat
Bay
em a
ngin
Hut
an/b
eluk
arA
piac
eae
Hyd
roco
tyle
sp
Her
baan
tana
n be
sar,
Mid
osar
i, H
utan
/bel
ukar
Apo
cyna
ceae
Alst
onia
ang
ustif
olia
Miq
.Po
hon
Pule
(Rau
fulfi
a)H
utan
/bel
ukar
Apo
cyna
ceae
Rauv
olfia
ser
pent
ina
(L.)
Bth
. Ex
Perd
uPu
le p
anda
kH
utan
/bel
ukar
Apo
cyna
ceae
Thev
etia
per
uvia
na (P
ers.
) Pe
rdu
Kon
tol s
emar
Hut
an/b
eluk
arA
reca
ceae
Nyp
a fr
utic
ans
Wur
mb
Man
grov
eN
ipa
Pant
aiA
scle
piad
acea
eC
allo
trop
is g
igan
tea
(Will
d.)
Perd
uC
allo
trop
isT
anah
A
ster
acea
eAg
erat
um c
onyz
oide
s L.
Her
baPe
nguk
anH
utan
/bel
uka r
Ast
erac
eae
Blum
ea la
cera
(Bur
m. f
.) D
C.
Her
baB
lum
eaH
utan
/bel
ukar
Ast
erac
eae
Euph
ator
ium
odo
ratu
m L
.H
erba
Tek
elan
, Kiri
nyuh
Hut
an/b
eluk
arA
ster
acea
eSp
ilant
hes
spH
erba
Spila
nthe
sH
utan
/bel
ukar
Ast
erac
eae
Vern
onia
cin
erea
(L.)
Less
.H
erba
Ver
noni
aT
anah
terb
uka
Ast
erac
eae
Wid
elia
bifl
ora
(L.)
DC
.H
erba
Wid
elia
Tan
ah te
rbuk
aB
igno
niac
eae
Dol
icha
ndro
ne s
path
acea
(L.f.
) Po
hon
Kay
u Ja
ran
Hut
an/b
eluk
arB
igno
niac
eae
Rade
rmac
hera
sp.
Po
hon
Bun
ga tr
ompe
tH
utan
/bel
ukar
Bor
agin
acea
eC
arm
ona
retu
sa (V
ahl)
Mas
amun
ePe
rdu
Kes
inge
n/ke
sine
nH
utan
/bel
ukar
Bor
agin
acea
eC
ordi
a di
chot
oma
Fors
t.f.
Poho
nK
enda
l, K
enda
l ala
sH
utan
/bel
ukar
Bor
agin
acea
eC
ordi
a m
ixa
Lin
nPo
hon
Ken
dal b
anyu
Hut
an/b
eluk
arB
orag
inac
eae
Cor
dia
sp.
Po
hon
Ken
dal
Hut
an/b
eluk
arB
urse
race
aePr
otiu
m ja
vani
cum
Bur
m. f
.Po
hon
Tre
ngul
unH
utan
/bel
ukar
Cap
parid
acea
eC
rate
va o
dora
Buc
h-H
am.
Poho
nK
ayu
sono
kH
utan
/bel
ukar
Lam
pira
n 1:
Spe
sies
tum
buha
n ya
ng d
item
ukan
di k
awas
an h
utan
mus
im T
anju
ngge
lap
TN B
ali B
arat
.
354
Noerdjito dkk.
Suk
uS
pesi
esPe
raw
akan
Nam
a D
aera
hT
empa
t tum
buh
Con
volv
ulac
eae
Ipom
oea
sp.
H
erba
Kop
i-kop
ian
Hut
an/b
eluk
arC
onvo
lvul
acea
eM
erre
mia
trid
enta
ta (L
.) H
allie
r.f.
Mer
amba
tH
utan
/bel
ukar
Con
volv
ulac
eae
Pora
na v
olub
ilis
Bur
m.f.
Mer
amba
tB
un d
ingi
n-di
ngin
Hut
an/b
eluk
arC
ucur
bita
ceae
Luffa
aeg
yptia
ca M
err.
Mer
amba
tB
ligo,
Gam
bas
alas
Hut
an/b
eluk
arEu
phor
biac
eae
Brey
nia
virg
ata
(Bl.)
Mue
l.Arg
.Pe
rdu
Kat
u hu
tan
Hut
an/b
eluk
arEu
phor
biac
eae
Brid
elia
mon
oica
(Lou
r.) M
err.
Poho
nA
suli
Hut
an/b
eluk
arEu
phor
biac
eae
Cro
ton
sp.
Po
hon
Pati
kala
hH
utan
/bel
ukar
Euph
orbi
acea
eC
roto
n ar
gyta
tus
Bl.
Poho
nPu
tihan
Hut
an/b
eluk
arEu
phor
biac
eae
Euph
orbi
a hi
rta
L.
Her
bapa
tikan
mas
Tan
ah te
rbuk
a
Euph
orbi
acea
eEx
coec
aria
aga
lloch
a L
.Po
hon
But
a-bu
ta, K
ayu
buta
-bu
ta/m
enen
gen
Pant
ai
Euph
orbi
acea
eG
loch
idio
n s
p.
Poho
nA
mer
Tan
ah te
rbuk
aEu
phor
biac
eae
Jatr
opa
sp
Perd
uJa
rak
Tan
ah te
rbuk
aEu
phor
biac
eae
Phyl
lant
hus
embl
ica
L.
Poho
nK
emlo
koH
utan
/bel
ukar
Euph
orbi
acea
ePh
ylla
nthu
s ni
ruri
L.H
erba
Men
iran
Tan
ah te
rbuk
aFa
bace
aeAb
rus
prec
ator
ius
L.M
eram
bat
Saga
, Sag
a m
anis
Hut
an/b
eluk
a rFa
bace
aeAc
acia
nilo
tica
(L.)
Will
d ex
Del
.Po
hon
Aka
sia
Hut
an/b
eluk
arFa
bace
aeAc
acia
sp.
Po
hon
Suli
Hut
an/b
eluk
arFa
bace
aeAc
asia
leuc
ophl
oea
(Rox
b.) W
illd.
Poho
nPi
lang
Hut
an/b
eluk
arFa
bace
aeAl
bizi
a s
p.
Poho
nK
ibih
ang
Hut
an/b
eluk
arFa
bace
aeAl
bizi
a le
bekk
oide
s (D
C.)
Bth
.Po
hon
Tek
ikH
utan
/bel
ukar
Faba
ceae
Bauh
inia
sp
Perd
uB
auhi
nia/
Tig
a ka
ncu
Hut
an/b
eluk
arFa
bace
aeC
alop
ogon
ium
muc
unoi
des
Des
vM
eram
bat
Kac
anga
nT
anah
terb
uka
Lam
pira
n 1.
Lan
juta
n
355
Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi
Suk
uS
pesi
esPe
raw
akan
Nam
a D
aera
hT
empa
t tum
buh
Faba
ceae
Cas
sia
sp.
Perd
uG
amal
laut
Tan
ah te
rbuk
aFa
bace
aeC
assi
a su
ratte
nsis
Bur
m.f.
Perd
uK
emba
ng k
unin
gT
anah
terb
uka
Faba
ceae
Cas
sia
alat
a L
. Pe
rdu
Ket
epen
gT
anah
terb
uka
Faba
ceae
Dal
berg
ia la
tifol
iaPo
hon
Sono
kelin
gH
utan
/bel
ukar
Faba
ceae
Des
mod
ium
sp
Her
baD
esm
odiu
mT
anah
terb
uka
Faba
ceae
Dic
hros
tach
ys c
iner
ia (L
.) W
.& A
.Po
hon
Hut
an/b
eluk
arFa
bace
aeEr
ythr
ina
vari
egat
a Pe
rdu
Hut
an/b
eluk
arFa
bace
aeM
imos
a pu
dica
L.
Perd
uM
imos
aT
anah
terb
uka
Faba
ceae
Orm
ocar
pum
sen
noid
es
Perd
uSi
da p
aksa
Tan
ah te
rbuk
aFa
bace
aePh
aner
a fu
lfa (B
l. Ex
Kor
th.)
Bth
.M
eram
bat
Bun
Ket
epen
gH
utan
/bel
ukar
Faba
ceae
Pong
amia
sp.
Po
hon
Kua
nji
Hut
an/b
eluk
arFa
bace
aeSe
sban
ia c
anna
bina
(Ret
z.) P
oir.
Perd
uG
eren
g-ge
reng
,enc
eng-
Hut
an/b
eluk
arFa
bace
aeTa
mar
indu
s in
dica
L.
Poho
nA
sem
Hut
an/b
eluk
arFl
acou
tiace
aeFl
acou
rtia
indi
ca(B
urm
.f.) M
err.
Poho
nke
m/ru
kem
Hut
an/b
eluk
arFl
acou
tiace
aeFl
acou
rtia
sp.
Pe
rdu
Bus
tam
Hut
an/b
eluk
arLa
mia
ceae
Oci
mum
bas
illic
um L
.H
erba
Lam
pes
Tan
ah te
rbuk
aLa
urac
eae
Lits
ea s
pPo
hon
Hut
an/b
eluk
arLe
eace
aeLe
ea s
pPo
hon
Gira
ng-g
irang
Hut
an/b
eluk
arLo
gani
acea
eSt
rych
nos
luci
da R
.Br.
Poho
nK
ayu
pahi
t, K
ipah
itH
utan
/bel
ukar
Lyth
race
aePe
mph
is a
cidu
la J
.R.&
G.F
orst
.Pe
rdu
Sent
igi
Pant
aiM
alva
ceae
Abut
ilon
indi
cum
(L.)
Swee
t.Pe
rdu
Kap
asan
Hut
an/b
eluk
arU
rtic
acea
eBo
ehm
eria
sp
Perd
uB
oehm
eria
Tan
ah te
rbuk
aM
alva
ceae
Hib
iscu
s til
iace
usL.
Poho
nW
aru
Hut
an/b
eluk
arM
alva
ceae
Sida
rho
mbo
idea
L.H
erba
Sida
gori
Tan
ah te
rbuk
a
Lam
pira
n 1.
Lan
juta
n
356
Noerdjito dkk.
Suk
uS
pesi
esPe
raw
akan
Nam
a D
aera
hT
empa
t tum
buh
Mal
vace
aeTh
espe
sia
popu
lnea
(L.)
Sola
nd.e
x Po
hon
war
u la
ut, R
ami-r
amia
nH
utan
/bel
ukar
Mal
vace
aeTh
espe
sia
lam
pas
(Cav
.) D
alz.
&
Perd
uT
hesp
esia
Hut
an/b
eluk
arM
elia
ceae
Azad
irac
hta
indi
ca J
uss.
Man
grov
eIn
tara
nH
utan
/bel
ukar
Mel
iace
aeXy
loca
rpus
gra
natu
m K
oen.
Poho
nN
yirih
Hut
an/b
eluk
arM
elia
ceae
Xylo
carp
us m
oluc
cens
is (L
amk)
Po
hon
bent
awas
(nyi
rih)
Hut
an/b
eluk
arM
enis
perm
acea
Fibr
aure
a s
pM
eram
bat
Fibr
aure
aH
utan
/bel
ukar
Mor
acea
eFi
cus
spPo
hon
Bun
utH
utan
/bel
ukar
Mor
acea
eFi
cus
mic
roca
rpa
L.Po
hon
Apa
kH
utan
/bel
ukar
Mor
acea
eFi
cus
vire
ns A
iton.
Poho
nH
utan
/bel
ukar
Mor
acea
eFi
cus
supe
rba
Miq
.Po
hon
Kre
sek
Hut
an/b
eluk
arM
orac
eae
Stre
blus
asp
er L
our.
Poho
nPu
ngut
, Ser
utH
utan
/bel
ukar
Myr
sina
ceae
Aegi
cera
s flo
ridu
m R
.& S
.Pe
rdu
Cab
e-ca
be/p
isan
g-pi
sang
Hut
an/b
eluk
arM
yrsi
nace
aeAr
disi
a hu
mili
s V
ahl
Perd
uLe
mpe
niH
utan
/bel
ukar
Myr
tace
aeM
elal
euca
leuc
aden
dron
(L.)
L.Po
hon
Kay
u Pu
tihH
utan
/bel
ukar
Myr
tace
aeO
sbor
nea
octo
dont
a F
.v. M
.Po
hon
Gel
am-g
elam
Hut
an/b
eluk
arM
yrta
ceae
Syzy
gium
sp
Poho
nK
elam
pok
Hut
an/b
eluk
arO
laca
ceae
Ola
x im
bric
ata
Rox
bM
eram
bat
mel
ati h
utan
Hut
an/b
eluk
arPa
ssifl
orac
eae
Pass
iflor
a fo
etid
aL.
Mer
amba
tSa
ntie
tH
utan
/bel
ukar
Peda
liace
aeJo
seph
inia
impe
ratr
icis
Ven
t.Pe
rdu
Kec
ubun
g ka
siha
nH
utan
/bel
ukar
Poac
eae
Axon
ophu
s co
mpr
esus
(Sw
artz
) H
erba
pahi
tan
(Axo
nopu
s)T
anah
terb
uka
Poac
eae
Cyn
odon
dac
tyto
n(L
.) Pe
rs.
Her
baru
mpu
t kaw
atan
Tan
ah te
rbuk
aPo
acea
eEl
eusi
ne in
dica
(L.)
Gae
rtn.
Her
baA
ndro
pogo
n? (j
ampa
ng)
Tan
ah te
rbuk
aPo
acea
eO
toch
loa
nodo
saD
andy
Her
baA
lang
kel
ing/
prin
g-T
anah
terb
uka
Poac
eae
Poga
nath
erum
pan
iceu
m(L
amk)
H
erba
Prin
g-pr
inga
nT
anah
terb
uka
Lam
pira
n 1.
Lan
juta
n
357
Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi
Suk
uS
pesi
esPe
raw
akan
Nam
a D
aera
hT
empa
t tum
buh
Poac
eae
Spin
ifex
litto
rius
(Bur
m. f
.) M
err.
Her
baju
kut l
arar
ian
Tan
ah te
rbuk
a/
Poac
eae
Them
eda
argu
ens
(L.)
Hac
k.H
erba
Pada
ng m
erak
Tan
ah te
rbuk
a/
Rha
mna
ceae
Zizi
phus
hor
sfie
ldii
Bl.
Mer
amba
tK
etke
t buk
alH
utan
/bel
ukar
Rha
mna
ceae
Zizi
phus
rot
undi
folia
Lam
kPe
rdu
Bek
olH
utan
/bel
ukar
Rhi
zopo
race
aeBr
ugui
era
cylin
dric
a (L
.) B
l.M
angr
ove
Tin
jang
put
ihPa
ntai
Rhi
zopo
race
aeBr
ugui
era
gym
norr
hiza
(L.)
Lmk
Man
grov
eT
inja
ng (b
akau
), T
inja
ng P
anta
iR
hizo
pora
ceae
Cer
iops
aus
tral
is
Man
grov
eT
ingi
Pant
aiR
hizo
pora
ceae
Cer
iops
taga
l (P
err.)
C.B
.Rob
ins.
Man
grov
eT
ingi
Pant
aiR
hizo
pora
ceae
Lum
nitz
era
race
mos
a W
illd.
Man
grov
eK
eduk
duk
Pant
aiR
hizo
pora
ceae
Rhiz
opho
ra a
nam
alay
ana
Man
grov
eT
anja
ngPa
ntai
Rhi
zopo
race
aeRh
izop
hora
api
cula
ta B
l.M
angr
ove
Tan
jang
sle
ngkr
eng
Pant
aiR
hizo
pora
ceae
Rhiz
opho
ra la
mar
ckii
Man
grov
eT
anja
ngPa
ntai
Rhi
zopo
race
aeRh
izop
hora
muc
rona
ta L
mk
Man
grov
ePa
ntai
Rhi
zopo
race
aeRh
izop
hora
sty
losa
Grif
f.M
angr
ove
Tin
jang
gan
dul
Pant
aiR
ubia
ceae
Borr
eria
sp
Her
baB
orre
riaT
anah
terb
uka
Rub
iace
aeC
anth
ium
hor
ridu
m B
l.Pe
rdu
Land
epan
Tan
ah te
rbuk
aR
ubia
ceae
Mey
na g
rise
a (K
ing
&G
ambl
e)
Perd
uD
elim
oan
Hut
an/b
eluk
arR
ubia
ceae
Mor
inda
citr
ifolia
L.Po
hon
Tib
ahH
utan
/bel
ukar
Rub
iace
aeM
usae
nda
sp.
Pe
rdu
Tan
ah te
rbuk
aR
utac
eae
Cla
usen
a s
p.
Perd
uK
lau
Hut
an/b
eluk
a rR
utac
eae
Fero
niel
la s
pPe
rdu
Ken
gken
gH
utan
/bel
ukar
Rut
acea
eG
lyco
smis
sp.
Pe
rdu
Kem
unin
g al
asH
utan
/bel
ukar
Rut
acea
eM
icro
mel
um s
pPe
rdu
Dur
i-dur
ian
(jeru
k-H
utan
/bel
ukar
Rut
acea
eM
icro
mel
um m
inut
um (F
orts
t.f.)
Poho
nK
ayu
bok
Hut
an/b
eluk
ar
Lam
pira
n 1.
Lan
juta
n
358
Noerdjito dkk.
Suk
uS
pesi
esPe
raw
akan
Nam
a D
aera
hT
empa
t tum
buh
Rut
acea
eTo
dalia
sp.
Pe
rdu
Hut
an/b
eluk
arR
utac
eae
Zant
hoxy
lum
rhe
tsa
(Rox
b.) D
C.
Poho
npa
ngka
l bua
yaH
utan
/bel
ukar
Sant
alac
eae
Den
drom
yza
sp.
Pe
rdu
Hut
an/b
eluk
arSa
ntal
acea
eSa
ntal
um s
p.
Poho
nC
enda
naH
utan
/bel
ukar
Sapi
ndac
eae
Dod
onae
a vi
scos
aJa
cq.
Poho
nK
ayu
was
emH
utan
/bel
ukar
Sapi
ndac
eae
Gui
oa s
p.
Poho
nH
utan
/bel
ukar
Sapi
ndac
eae
Lepi
sant
hes
rubi
gino
sum
(Rox
b.)
Poho
nK
ilayu
Hut
an/b
eluk
arSa
pind
acea
eSc
hlei
cher
a ol
eosa
(Lou
r.) O
ken
Poho
nke
sam
biH
utan
/bel
ukar
Sapo
tace
aeM
imus
ops
elen
giL.
Po
hon
Tan
jung
Hut
an/b
eluk
arSi
mar
ouba
ceae
Bruc
ea ja
vani
ca (L
.) M
err.
Perd
uK
ayu
mak
asar
Hut
an/b
eluk
arSo
nner
atia
ceae
Sonn
erat
ia a
lba
J.E
.Sm
ithM
angr
ove
Prap
at/P
idad
aH
utan
/bel
ukar
Ster
culia
ceae
Gua
zum
a ul
mifo
lia L
mk
Poho
nG
ua s
uma
(jati
Bel
anda
)H
utan
/bel
ukar
Ster
culia
ceae
Hel
icte
res
ixor
a L
.Pe
rdu
Tap
en-t
apen
(ulir
-ulir
)H
utan
/bel
ukar
Ster
culia
ceae
Her
itier
a lit
tora
lisD
ryan
d.ex
Po
hon
Dun
gun
Hut
an/b
eluk
arSt
ercu
liace
aeSt
ercu
lia s
p.
Perd
uH
utan
/bel
ukar
Ster
culia
ceae
Ster
culia
foet
ida
L.
Poho
nK
epuh
Hut
an/b
eluk
arT
iliac
eae
Berr
ya c
ordi
folia
(Will
d.)B
urr.
Poho
nK
apal
anH
utan
/bel
ukar
Tili
acea
eG
rew
ia e
rioc
arpa
Juss
.Po
hon
Tre
ngay
unan
,Kan
tabi
bi/
Hut
an/b
eluk
arT
iliac
eae
Scho
uten
ia o
vata
Kor
th.
Poho
nW
alik
ukun
Hut
an/b
eluk
arU
lmac
eae
Cel
tis p
hilip
ensi
s Po
hon
Kite
joH
utan
/bel
ukar
Ulm
acea
eTr
ema
cann
abin
aLo
ur.
Perd
uH
utan
/bel
ukar
Ulm
acea
eTr
ema
orie
ntal
e B
I. Po
hon
angg
erun
gH
utan
/bel
ukar
Urt
icac
eae
Boeh
mer
ia s
pPe
rdu
Boe
hmer
iaT
anah
terb
uka
Lam
pira
n 1.
Lan
juta
n
359
Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi
Suk
uS
pesi
esPe
raw
akan
Nam
a D
aera
hT
empa
t tum
buh
Ver
bena
ceae
Avic
enni
a m
arin
a(F
orsk
.)Vie
rh.
Man
grov
eA
pi-a
piPa
ntai
Ver
bena
ceae
Avic
enni
a of
ficin
alis
L.
Man
grov
eA
pi-a
piPa
ntai
Ver
bena
ceae
Clo
rode
ndru
m in
erm
e (L
.)Gae
rtn.
Perd
uG
ambi
r lau
tH
utan
/bel
ukar
Ver
bena
ceae
Lant
ana
cam
ara
L.Pe
rdu
Ker
asi
Tan
ah te
rbuk
aV
erbe
nace
aeTe
cton
a gr
andi
sPo
hon
Jati
Hut
an/b
eluk
arV
erbe
nace
aeVi
tex
pube
scen
s V
ahl
Poho
nK
lipe/
laba
nH
utan
/bel
ukar
Ver
bena
ceae
Vite
x tr
ifolia
ta L
.Po
hon
Laba
n, L
iligu
ndi
Hut
an/b
eluk
arV
itace
aeC
issu
s re
pens
Lam
kM
eram
bat
Gira
ng-g
irang
Hut
an/b
eluk
ar
Lam
pira
n 1.
Lan
juta
n
Memasukkan Juli 2010Diterima: Agustus 2011
361
Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 361-374 (2011)
Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Semusim Habitat Curik Bali(Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) di Kawasan Labuan Lalang,
Taman Nasional Bali Barat
RoemantyoPusat Penelitian Biologi – LIPI, Cibinong Science Centre, Jl Raya Jakarta – Bogor, Km 46.
Cibinong, Bogor. E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Vegetation structure and composition of Bali Starling (Leucopsar rothschildi Stresemann,1912) Habitat at Labuan Lalang monsoon forest, Bali Barat National Park. Research wasconducted in Labuan Lalang monsoon forest, Bali Barat National Park in May 2010 to identifytheir vegetation structure and composition of plant species communities in this area. Thisinformation was important as basic data for developing model for habitat reconstruction ofendemic Bali starling birds (Leucopsar rothschildi Stresemann 1912). Several ecologicalparameters information such as name species, frequency, density and abundance of individualspecies were collected for qualitative an quantitative analyses.The result showed that 93 species belonging 84 genera and 37 families were found in this area.Some plant species were recorded as endangered such as Strycnos lingustrina, Helicteresixora, Protium javanicum, Rauvolfia serpentina, Zanthoxylum rhetza, Ziziphus rotundifolia,Ceriops tagal, Flacourtia indica, and Santalum album. The important species that composedin this forest were dominated by Grewia ericocarpa , Schoutennia ovata (Tiliaceae) andfollowed by Vitex trifoliata and Abutilon indicum. The species diversity and evenness indexof Shannon-Wiener indicated that species diversity in this forest were not too high and thepopulations on unstable condition. Principal Coordinat Analyses (PCO) on the tree height andaltitude data of every tress showed that tree species associated to Bali starling were found onthe 10 – 25 m tree hiehgt community and occupied in the area of 40 – 60 m asl. The problems andreal condition of the area as the habitat of Bali starling were discussed in this paper.
Key words: vegetation, species diversity, Bali starling, Bali Barat National Park
PENDAHULUAN
Penelitian eksplorasi yang dilakukanoleh Arinasa dkk. (2010), menunjukkantidak kurang 146 jenis tumbuhan yangdigolongkan dalam 45 suku dan 119marga telah dicatat terdapat di kawasanhutan semusim zona pemanfaatanLabuan lalang Taman Nasional Bali
Barat. Secara taksonomi karagamandaerah tersebut cukup tinggi, mengingatkawasan tersebut tergolong keringdengan curah hujan rendah dan bulanhujan yang pendek (Oldemann 1980).Disamping itu kawasan hutan zonapemanfaatan Labuan lalang yang luasnyahanya sekitar 600 hektar ini merupakanzona pemanfaatan yang dikelola sebagai
362
Roemantyo
tempat ekowisata bersama pihak swasta(Taman Nasional Bali Barat 2005).
Dari catatan sebelumnya diperolehinformasi bahwa jenis-jenis tumbuhanyang berassosiasi dengan Curik bali(Leucopsar rothschildi Stresemann1912) ditemukan di kawasan ini; sepertipohon Acacia leucophloea, Schouteniaovata, Grewia eriocarpa, Albizialebbeckoides, Azadirachta indica,Schleichera oleosa, Vitex pubescens,Ziziphus nummularia, Phyllanthusemblica, Manilkara kauki, Sterculiafoetida, Erythrina variegata, Tama-rindus indica (Helvoordt 1987, Balenet al. 2000, Arinasa dkk. 2011).Berdasarkan kajian Noerdjito (2005)kondisi lingkungan kawasan ini telahditelaah sebelumnya menunjukkan bentuk“miniatur” habitat asli Curik bali salahsatunya dapat dilihat di kawasan inimeskipun tidak lengkap. Hingga saat inimemang sudah sulit ditemukan habitatCurik bali di alam, mengingat kawasanhabitat Curik bali umumnya telah beralihfungsi. Namun demikian gambaranstruktur dan komposisi vegetasi habitat“miniatur” curik bali ini belumdiungkapkan secara rinci sehingga layakuntuk diteliti lebih lanjut.
Hasil kajian struktur dan komposisivegetasi ini diharapkan dapat dipakaisebagai dasar dalam pembuatan modelkonsep rekonstruksi habitat curik bali(Leucopsar rothschildi Stresemann1912) di Taman Nasional Bali Barat.
BAHAN DAN CARA KERJA
Data kualitatif dan kuantitatiftentang keanekaragaman jenis,
komposisi dan struktur vegetasidikumpulkan berdasarkan parameteryang mudah diukur. Parameter tersebutadalah nama dan jumlah jenis, jumlahindividu tiap jenis, luas tajuk tiap jenis,serta tinggi dari tiap individu. Semuaparameter yang dikumpulkan kemudiandiperhitungkan dengan membanding-kannya dengan satuan luas kawasansebagai cuplikan yang diteliti. Untukkeperluan tersebut maka penelitiandilakukan dengan membuat petak padakawasan hutan Labuan lalang (600hektar). Ada enam transek yang dibuatsesuai dengan metode “point –centeredQuarter Analyses” (Meuller-Dombois &Ellenberg 1974) sepanjang kira-kira 1 kmdi seluruh kawasan. Penempatan transekditentukan secara acak dari batas pinggirkawasan ke bagian tengah kawasanhutan zone pemanfaatan Labuan lalang.Untuk memudahkan pembuatan transekdigunakan peta kawasan hutan zonapemanfaatan Labuan lalang (TamanNasional Bali Barat 2005) dan di tumpangsusunkan pada citra Ikonos (SpaceImaging 2000) dengan referensi geografiberdasarkan Peta Rupa Bumi Indonesia,Provinsi Bali, Digital (Bakosurtanal2004). Posisi awal pembuatan cuplikandilakukan pada lembar peta denganmenentukan koordinatnya. Ada 6 posisikoordinat yang kemudian dengan GPSkoordinat tersebut dicari untuk dibuatpetak pengamatan. Posisi cuplikan yangdibuat transeknya digambarkan sepertipada peta pada Gambar 1.
Pada masing-masing transekkemudian dibuat sub petak yangberbentuk kuadran dengan ukuran 20 x20 m2. Jarak antar kuadran adalah 50 m,
363
Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Semusim Habitat
sehingga pada transek sepanjang kira-kira1 km diharapkan dapat dibuat sekitar 8 –10 kuadran yang disesuaikan dengankondisi lapangan. Untuk menentukanjalur digunakan GPS yang mengacu padapeta dasar yang profilnya dapat dilihatpada Gambar 2.
Dari enam transek (A s/d F) telahdibuat sebanyak 46 kuadran denganukuran 20 x 20 m. Sebaran vertikal danhorisontal masing-masing transek dapatdilihat pada Gambar 2. Seluruhparameter yang akan diukur baik jumlahjenis, jumlah individu tiap jenis, luas tajuk
Gambar 1:.Peta Lokasi pembuatan transek petak pengamatan. (Sumber peta: Citra Ikonos 29September 2008. Citra Ikonos telah di beri referensi geografi: WGS1984 UTM Zone50S. Projection: Transverse Mercator, Datum: DWGS 1984)
Gambar 2. Profil vertikal dan horisontal dari masing-masing transek (A – F) yang dibuat padalokasi pengamatan di zona pemanfaatan Labuan lalang Taman Nasional Bali Barat.
364
Roemantyo
tiap jenis, serta tinggi dari tiap individudilakukan di masing-masing kuadranyang dibuat. Pengukuran dilakukan padasemua tipe perawakan tumbuhan baikberupa pohon, perdu, semak dan herba.Tumbuhan yang memiliki perawakanpohon (diameter > 10 cm) termasukanakan (diameter 2- 10 cm) dicatatmasing 4 tegakannya yang memiliki jarakterdekat dengan titik awal kuadran, diukurdengan kriteria diameter setinggi dadadan ukuran tinggi pohonnya. Sedangkanuntuk perdu dan semak dibuat sub petakukuran 2 x 2 m2 di dalam kuadran 20 x20 m2 dihitung jenisnya dan luaspenutupan terhadap sub petak dalampersen (%) luas. Sedangkan untuk herbadan semai (seedling) dibuat subpetakyang lebih kecil 1 x 1 m2 di dalam subpetak 2 x 2m2, dihitung jenisnya dan luaspenutupannya terhadap sub petak dalampersen (%) luas.
Berdasarkan parameter tersebutdihitung frekuensi keterdapatan,kerapatan dan dominasi dari masing-masing jenis dari setiap transek yangdibuat dihitung nilai penting (Meuller-Dombois & Ellenberg 1974), indekkeragaman Shannon Wieners, dankemerataan (Magurran 1998; Ludwig &Reynolds 1988). Data potensi kawasanini dalam menjaga kemampuan untukmempertahankan diri dari perubahanstruktur dan komposisi secara alamidilakukan dengan menghitung keterda-patan semai dan anak pohon dari masing-masing jenis. Berdasarkan parameterrata-rata tinggi dan posisi masing-masingjenis pohon pada transek terhadapketinggian dari muka laut (Gambar 2)dibuat analisis ordinasinya denganmetoda Principal Coodinate Analyses
(PCO) dengan perangkat lunakMultivariate Statistical Package-MVSP3.2 (Kovack Computing Service 2010).Diharapkan dari analisis ini didapatkangambaran struktur dan komposisivegetasi yang terdapat di kawasan ini
HASIL
Keanekaragaman takson pada petakpengamatan
Pengamatan terhadap pencacahanjenis-jenis tumbuhan (pohon, anak pohon,semak/perdu dan herba) yang ditemukanpada petak pengamatan ada sebanyak 93jenis dengan keaneragaman taksonnyameliputi 37 suku, 84 marga. Jikadibandingkan dengan hasil eksplorasi(Arinase dkk. 2010), tampak bahwasecara taksonomi jenis-jenis yangditemukan di petak pengamatan tidakberbeda jauh jumlah sukunya yaitu 37suku di petak pengamatan dan 45 sukudi kawasan yang dieksplorasi. Namunjika ditinjau dari jumlah marga danjenisnya, terdapat perbedaan jumlah, yaitu84 marga dan 93 jenis di petakpengamatan dan 119 marga dan 146 jenisdi kawasan yang dieksplorasi. Hasilpecacahan dan eksplorasi (Arinase dkk.2010) ini menunjukkan adanya indikasisecara takson keanekaragaman jenistumbuhan yang mampu tumbuh dikawasan ini relatif cukup tinggi, namuntidak semua kelompok takson mampuberadaptasi dengan baik. Hanyakelompok takson tertentu saja denganjumlah terbatas yang mampu hidup padahabitat kawasan hutan musim ini.
Jenis tumbuhan yang terdapat didalam petak pengamatan didominasi oleh
365
Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Semusim Habitat
jenis-jenis yang berperawakan pohontermasuk mangrove (48,3 %), disusuloleh tumbuhan dengan perawakan herba(25,8%), perdu (19.3%), sisanya 6,6 %merupakan tumbuhan liana/climber yangtumbuh merambat pada pohon lain. Satuhal yang menarik di kawasan ini jarangditemukan jenis tumbuhan efifit (paku-pakuan, anggrek, dll.).
Struktur dan komposisi vegetasiAnalisis struktur dan komposisi
vegetasi dilakukan dengan carapencacahan jenis, jumlah serta ukuranatau luas penutupan masing-masingindividu tumbuhan baik yang berpera-wakan pohon, perdu semak danmerambat maupun herba (tumbuhanyang tidak berkayu). Dalam perhitungan,
tumbuhan yang berperawakan pohondipisahkan dengan tumbuhan perdusemak dan merambat.
1.Tumbuhan berperawakan pohonDari hasil pengamatan pada 6
transek yang dibuat tercatat ada sekitar41 jenis tumbuhan berperawakan pohon(termasuk jenis mangrove) yang terdapatdi dalam petak pengamatan. Jikadibandingkan dengan jumlah pohon hasileksplorasi (Arinase dkk. 2011), jumlahpohon yang ditemukan di dalam petakpengamatan ada sekitar 75 %. Artinyabahwa masih ada sekitar 25 % jenistumbuhan pohon lagi yang jumlahnyaterbatas sehingga tidak terhitung, karenaterdapat di luar petak yang diamati.Berdasarkan kelas diameter tercatat ada
Keterangan: 1. Tiliaceae. (G. eriocarpa, S. ovata); 2. Fabaceae (A. lebekkoides, T. indica, I. fagiferous);3. Verbenaceae (V. trifoliata); 4. Euphorbiaceae (C. argytatus, M. paniculatus); 5. Rhamnaceae (Z.rotundifolia) 6. Moraceae (F. microcarpa, F. virens); 7. Malvaceae (A. indicum ); 8. Sonneratiaceae(S. alba); 9. Rhizophoraceae (R. apiculata); 10. Myrtaceae (M. leucadendron); 11. Meliaceae (A.indica); 12. Loganiaceae (S. lucida).
Gambar 3. Diagram sebaran Nilai Indek Penting masing-masing takson serta jumlah pohondalam kelompok suku.
366
Roemantyo
18 jenis yang tergolong dalam 12 sukudan 17 marga yang memiliki diameter diatas 10 cm dengan nilai penting di atas10 %. Sebarannya takson dan Nilai IndekPenting dari jenis-jenis dengan nilai diatas10 % digambarkan pada diagram(Gambar 3.)
Tampak bahwa komposisi tumbuhanpohon kawasan ini dikuasai oleh jenis-jenis dari suku Tiliaceae dengan jenis G.ericocarpa dan S. ovata. Selain itu jugasuku Verbenaceae dengan jenis V.trifoliata menduduki lapis kedua yangmendominasi di kawasan ini dankemudian disusul oleh Abutilon indicum(kapasan) dan jenis-jenis dari sukuMoraceae seperti Ficus microcarpa danF. virens.
Analisis terhadap keragaman jenispohon di masing masing petakpengamatan (A – F) di Labuan lalangdengan kisaran nilai 1,7 – 2,51mengindikasikan bahwa kawasan iniberdasarkan klasifikasi Shannon-Wienertermasuk dalam kelas sedang. SedangkanIndek kemerataannya berkisar antara0,48 – 0,68 yang mengindikasikan bahwakawasan ini berdasarkan klasifikasiShannon-Wiener termasuk dalamkategori populasi jenisnya tidak begituseimbang (Gambar 4).
2. Profil tinggi pohon diameter > 10 cmSecara umum profil tinggi pohon
dengan diameter >10 cm menunjukkanada sekitar 16 jenis pohon yang memilikitinggi antara 2 sampai sekitar 25 m. Jenis-jenis pohon yang tinggi antara lain Acasialeucophloea, Ficus microcarpa,Abutilon indicum, Grewia eriocarpa,Schoutenia ovata, dan Tamarindus
indica. Jenis tersebut kanopinya cukupmelebar dan tampak menonjol di antarajenis-jenis pohon yang lain dengan tinggisekitar 20 – 25 m. Tercatat juga jenis-jenis pohon dengan ukuran sedangdengan tinggi antara 10 – 19 mmerupakan jenis pohon lapis keduaseperti Azadirachta indica, Crotonargytatus, Inocarpus fagiferous,Melaleuca leucadendron, Strychnoslucida, Vitex trifoliata, Ziziphusrotundifolia dll. Sedangkan beberapajenis merupakan pohon dengan ketinggiandi bawah 10 m seperti Phyllanthusemblica, Schleichera oleosa danFlacourtia indica. Secara umum rata-rata tinggi pohon kawasan ini berkisarantara 7 – 14 m.
3. Rekruitmen jenis-jenis pohonProses rekruitmen alami jenis-jenis
pohon di kawasan ini dianalisis denganmenggunakan parameter seberapabanyak anak pohon dan semainya yangditemukan di kawasan ini. Perhitunganterhadap jenis-jenis anak pohon (diameter2 – 9 cm) menunjukkan bahwa ada 26jenis tumbuhan yang tergolong dalam 16suku dan 24 marga. Beberapa individuanak pohon (11 jenis) hanya tercatatditemukan di dalam petak pengamatanseperti Alstonia angustifolia, Bauhiniahirsuta, Bruguiera gymnorrhiza,Ficus superba, Guazuma ulmifolia,Micromelum sp., Osbornea octodonta,Rhizophora stylosa, Syzygium sp.,Thespesia populnea, Xylocarpusmoluccensis. Sedangkan ada pulabeberapa jenis pohon yang anakpohonnya tidak ditemukan dalam petakpengamatan seperti Tamarindus indica,
367
Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Semusim Habitat
Azadirachta indica, Ficus microcarpa,dan Ficus virens.
Sedangkan pengamatan terhadapsemai pohon yang ditemukan di kawasanini ada sekitar 32 jenis yang tergolongdalam 13 suku dan 30 marga. Ada sekitar9 jenis semai pohon yang tidak ditemukanpohon induk maupun anak pohonnya dipetak pengamatan yaitu Ceiba pentan-dra, Dalbergia latifolia, Flacourtiaindica, Hibiscus tiliaceus, Litsea sp.,Trema orientalis, Vitex trifoliata,Xylocarpus sp., dan Zanthoxylumrhetsa. Sebaliknya ada sekitar 20 jenispohon dan anak pohon yang tidakditemukan semainya pada petakpengamatan. Jenis tersebut diantaranyaadalah Inocarpus fagife-rous, Alstoniaangustifolia, Bruguiera gymnorrhiza,Cordia dichotoma, Excoecariaagallocha, Ficus micro-carpa, Ficusvirens, Flacourtia indica, Guazumaulmifolia, Melaleuca leucadendron,Mimusops elengi, Phyllanthus emblica,Sonneratia alba, Rhizophora apicu-lata, Thespe-sia populnea, Rhizo-phora stylosa, Protium javanicum,Vitex trifoliate, Xylocarpus moluccen-sis, Syzygium sp.
PEMBAHASAN
Keterbatasan keberadaan tumbuhanefifit mengindikasikan bahwakelembaban kawasan di sini sangatrendah. Kawasan ini memiliki musimkering yang lebih panjang dibandingkandengan musim basah. Kawasan initergolong dalam Klassifikasi “Agro-Climatic” D4 (Oldemann dkk. (1980),dimana musim keringnya lebih dari 6
bulan. Sedangkan musim basahnyahanya 3-4 bulan. Rendahnya curah hujandan pendeknya musim hujan di kawasanini menjadikan kendala bagi pertumbuhanberbagai jenis tumbuhan. Karena ituhanya takson-takson tertentu saja yangbisa tumbuh di kawasan ini. Denganketerbatasan ekologis, kawasan inicenderung mendorong jenis-jenis yangtumbuh adalah yang mampu beradaptasipada kondisi dengan spesifikasi kering.Dari catatan temuan di kawasan ini,beberapa jenis tergolong langka dan sulitditemukan di tempat lain seperti Strycnoslingustrina, Helicteres ixora, Protiumjavanicum, Rauvolfia serpentina,Zanthoxylum rhetza, Ziziphus rotundi-folia, Ceriops tagal, Flacourtiaindica, Santalum album.
Dari data yang diperoleh tampakbahwa jenis-jenis yang dahulu pernahdicatat sebagai tumbuhan yang banyakterdapat di kawasan ini, saat ini sudahtidak menjadi jenis tumbuhan yang utama,seperti Schoutennia ovata, Grewiaeriocarpa, Phyllantus emblica, Albizialebbekoides, Azidirachta indica,Schleicera oleosa, Vitex pubescens,Zizyphus nummularia, Acasia leuco-phloea, Corypha utan dan Borassusflabellifer (Paardt 1929 dan Voogd1937). Perubahan komposisi tumbuhandi kawasan ini bisa diakibatkan olehperubahan status lahan yang seringterjadi di kawasan ini (Roemantyo, dkk.2010). Padahal kondisi alami kawasan inisangat ekstrem, dimana musim keringnyasangat pendek (Oldeman dkk. 1980).Dari hasil penelitian beberapa jenis masihterlihat mampu bertahan mendominasikawasan ini seperti Schoutennia ovata,
368
Roemantyo
Grewia eriocarpa, Azidirachta indica,Vitex trifoliata. Sedangkan jenis-jenislain seperti Phyllantus emblica, Albizialebbekoides, Schleicera oleosa,Zizyphus nummularia, Acasia leuco-phloea masih ditemukan terdapat dikawasan ini meskipun tidak mendominasikawasan. Jenis-jenis seperti Coryphautan dan Borassus flabellifer sudahjarang tampak tumbuh di kawasan ini.Beberapa tegakan masih terlihat namuntergolong sangat jarang.
Berdasarkan parameter jumlah jenisdan individunya, tampak bahwa keaneka-ragaman jenisnya tidak terlalu tinggi.Populasi dari masing-masing jenis yangtumbuh di kawasan ini berada pada posisiyang rentan terhadap keseimbangan danmudah sekali untuk berubah. Artinya jikaada tekanan terhadap kawasan ini(perubahan iklim, pemanfaatan lahan,bencana alam dll) maka jenis maupunjumlah populasi akan mudah menurun.Jika dibandingkan diantara lokasi petakpengamatan berdasarkan nilai indekskeanekaragaman jenis dan kemerataan
populasinya (Gambar 4), petak D adalahpetak yang paling rawan, dengankeragaman jenis yang terrendah dantingkat tekanan yang paling tinggi.Sedangkan petak F adalah kawasanyang memiliki keragaman jenis yang tinggidengan populasi yang paling stabil jikadibandingkan dengan lokasi lain.Observasi di lapangan menunjukkanbahwa petak D memiliki mikro-habitatyang berupa savanna yang didominasioleh jenis-jenis dari suku Poaceae. Dibeberapa tempat memiliki substrat yangberbatu karang dengan jenis-jenis semakbelukar. Jarangnya tumbuhan pohon yangmelindungi lantai dasar menyebabkankawasan ini mudah mengering pada saatmusim kemarau dan rawan terbakar.Sedang pada petak pengamatan F kondisimikro-habitatnya lebih lembab karenaterletak berdekatan dengan pantai yanglandai dengan substrat tanah yangterpengaruh pasang surut air laut.Sebagian kawasan ini tertutupi olehendapan lumpur. Banyak jenis pohonyang mendominasi di kawasan ini seperti
Gambar 4. Diagram sebar nilai indek keragaman dan kemerataan jenis pohon dengan diameter> 10 cm.
369
Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Semusim Habitat
Sonneratia alba, Abutilon indicum,Grewia eriocarpa, Tamarindusindica, Schoutenia ovata, Rhizophoraapiculata, Croton argytatus, Vitextrifoliata yang memiliki tajuk yang luasbesar menaungi lantai dasar hutan.Bahkan jenis-jenis pohon mangrove dikawasan ini selain kedua jenis(Sonneratia alba dan Rhizophoraapiculata ) masih banyak dijumpai.
Secara umum memang tidak banyakjenis pohon yang berukuran tinggi, danjuga jenis-jenis tersebut sebagian bukanmerupakan jenis yang dominan, sepertiAcasia leucophloea, Ficus micro-carpa, Abutilon indicum, Grewiaeriocarpa, Schoutenia ovata, danTamarindus indica. Namun kemungki-nan jenis-jenis tersebut merupakan pohon“kunci” untuk kawasan ini sebagai habitatcurik bali “miniatur” seperti yangdinyatakan oleh Noerdjito (2000). Jenistersebut tercatat sebagai pohon yangcukup kuat relatif masih hijau tajuknyameskipun musim kemarau melandakawasan ini. Acasia leucophloeamerupakan tempat persarangan,sedangkan jenis lain merupakan tempatsumber pakan curik bali
Ditemukannya semai dari jenis-jenispohon yang terdapat di dalam petakpengamatan memberikan indikasi bahwaproses permudaan alam jenis-jenistumbuhan di kawasan hutan ini dapatberjalan secara alami. Masalahnyaadalah apakah semua jenis yangditemukan mampu bertahan sehinggasampai menjadi pohon yang besar. Daricatatan anak pohon yang ditemukantampak bahwa tidak semua semaimampu tumbuh menjadi anak pohon.
Kondisi ini dapat dipahami, karenakondisi alam yang sangat berat dimanamusim hujan sangat pendek dan musimkemarau lebih dari 6 bulan (Oldeman dkk.1980.) Kondisi ini juga diperparah olehtipisnya lapisan tanah yang subur,terbatasnya unsur hara tanah dimanakawasan ini memiliki struktur berbatulepas dan berkapur (RePPProt 1989).
Berdasarkan analisis ordinasidengan menggunakan parameter rata-rata tinggi pohon didapatkan gambaranbahwa dari sekitar 41 jenis pohon yangterdapat diseluruh petak pengamatanumumnya (33 jenis) merupakankomunitas pohon dengan profil rata-rataketinggian yang hampir seragam(Gambar 5). Hanya sekitar 8 jenis yangmemiliki profil yang berbeda. Jenis-jenistersebut sebagain besar merupakankelompok komunitas mangrove sepertiBruguiera gymnorrhiza, Rhizophoraapiculata, Rhizophora mucronata,Rhizophora stylosa, dan Sonneratiaalba, dengan tinggi pohonnya kurang dari3 m. Terdapat 2 jenis mangrove yaituRhizophora mucronata dan Bruguieragymnorhiza yang memisah jauh dari jenismangrove lain. Dari catatan lapangankedua jenis mangrove tersebut memilikitinggi pohon 3 – 4 m, meskipun terdapatdi antara jenis-jenis mangrove lain.Tercatat 3 jenis yang merupakan komuni-tas jenis pohon yang tergolong memilikiketinggian sedang (3 – 5 m) sepertiPhyllanthus emblica, Schleicheraoleosa dan Flacourtia indica.
Jenis pohon Acacia leucophloea(pilang) yang biasa dipakai sebagaitempat bersarang curik bali tampakberada dalam satu komunitas dengan
370
Roemantyo
struktur dan komposisi pohon sepertijenis-jenis Ficus spp. (kresek dan apak),Tamarindus indica (asem), Abutilonindicum (kapasan), Grewia eriocarpa(talok), Schoutenia ovata (walikukun)yang diketahui menghasilkan buah pakanburung serta bunga dan daunnya disukaiserangga. Peran dari kehadiran seranggaperlu diteliti lebih mendalam, mengingatpada saat musim hujan datang populasiserangga ini cukup melimpah (Noerdjito2000). Dari data profil pohon jenis-jenistersebut tergolong dalam kelompok pohonyang tingginya di atas 10 m. Adanya jenismangrove yang tumbuh mengelompoksebagai komunitas mangrove berada
Keterangan: 1 A.indicum; 2 A.leucophloea; 3 A.nilotica; 4 A.lebekkoides; 5 A angustifolia; 6 A.indica; 7 B. gymnorrhiza; 8 Caesalpinia sp.; 9 C. alata; 10 C. dichotoma; 11 C. argytatus; 12E. agallocha; 13 F. virens; 14 F. superba; 15 F. indica; 16 G. eriocarpa; 17 Grewia sp.; 18 G.ulmifolia; 19 Leea sp. 20 Mallotus paniculatus; 21 M. leucadendron; 22 Micromelum sp.; 23M. elengi; 24 O.octodonta; 25 P. emblica; 26 P. javanicum; 27 R. apiculata; 28 R. mucronata;29 R. stylosa; 30 S. oleosa; 31 S. ovata; 32 S. alba; 33 S. asper; 34 S. lucida; 35 S.pycnanthum; 36 T. indica; 37 T. populnea; 38 V. trifoliata; 39 X. moluccensis; 40 Z. rhetsa; 41Z. rotundifolia.
Gambar 5. Pengelompokan jenis pohon pada kawasan Labuan lalang menggunakan parameterrata-rata tinggi pohon dengan analisis ordinasi Principal Coodinate Analyses (PCO).
kurang dari 2 km dari komunitas ini (lihatGambar 2) merupakan kombinasi yangbaik, mengingat jenis ini akan selalu hijausepanjang tahun dan juga merupakansumber pakan bagi satwa burungtermasuk curik bali.
Analisis ordinasi dengan mengguna-kan parameter rata-rata ketinggiantempat tumbuh dari permukaan laut(altitut) menunjukkan adanya pengelom-pokan yang lebih rinci. Ada 5 kelompoklokasi ketinggian pada masing-masingkomunitas pohon yang menunjukkanadanya komposisi jenis pohon yangberbeda (Gambar 6). Komunitas yangterdapat pada 0 – 10 m dpl umumnya
371
Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Semusim Habitat
– 60 m merupakan kawasan denganstruktur dan komposisi pohonnya sangatberagam. Ada sekitar 13 jenis pohon yangmenyusun komunitas pada kawasan ini,diantaranya adalah jenis-jenis pohon tinggidan bertajuk lebar seperti Acasialeucophloea, Albizia lebeckoides,beberapa jenis Ficus spp., Abutilonindicum, Grewia eriocarpa, Schoute-nia ovata, dan Tamarindus indica.Hampir semua jenis pohon yang terdapatdi dalam kelompok ini memiliki asosiasidengan curik bali seperti yang disebutkanoleh Helvoordt, 1987 dan Balen et al.2000 terdapat pada komunitas ini.
Pada kawasan petak pengamatan diatas 40 m dpl ini juga ditemukan jenispohon Acacia nilotica yang tumbuhbersama-sama dengan jenis-jenismemiliki asosiasi dengan curik bali.
Gambar 6. Pengelompokan jenis pohon pada kawasan Labuan lalang menggunakan parameterrata-rata ketinggian dari muka laut dengan analisis ordinasi Principal CoordinateAnalyses (PCO).
Keterangan: Lihat Gambar 5
merupakan jenis-jenis mangrove danjenis-jenis yang mampu beradaptasitumbuh di pinggir pantai sepertiExcoecaria agallocha (buta-buta),Streblus asper (serut), yang umumnyaterdapat pada petak transek F (Gambar2). Komunitas selanjutnya merupakanjenis pohon yang tumbuh pada 10 – 20 mdpl. seperti Osbornea octodonta,Guazuma ulmifolia, Cordia dichotoma(kendal), Leea sp. dan Strychnos lucida(kayu pahit). Pada ketinggian 20 – 30 mdpl terdapat struktur dan komposisi dariProtium javanicum (trengulun), Cassiaalata, Mimusops elengi (tanjung),Grewia sp. dan Thespesia populnea(waru laut). Pada ketinggian 30 – 40 mterdapat komposisi pohon Melaleucaleucadendron, Caesalpinia sp. danMicromelum. Pada ketinggian di atas 40
372
Roemantyo
Pohon Acacia nilotica termasuk dalamkelompok invasif yang dapat tumbuhmendominasi suatu kawasan. Pertumbu-hannya sangat cepat, mudah berkembangbiak dan memiliki kemampuan tumbuhbersaing dengan jenis-jenis lokal. Indikasipertumbuhannya sudah tampak daricukup banyaknya semai dan anakan jenisini tumbuh di kawasan ini. Pengendalianjenis ini perlu segera dilakukan mengingatpertumbuhannya terdapat di komunitasdi mana masih ditemukannya struktur dankomposisi pohon yang berasosiasi denganCurik bali.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasihkepada Dr. Balgooy, Dr. Welzen, Dr. deWilde, Dr. Adema, dan Dr. Berg dariHerbarium Leyden Belanda yang telahmembantu dalam mengidentifikasibeberapa jenis koleksi yang telahdikumpulkan. Penelitian ini dibeayai dariProyek DIKTI – LIPI di Pusat PenelitianBiologi tahun 2010.
KESIMPULAN
Jenis-jenis tumbuhan yang hidupsewaktu curik bali masih ditemukan hidupliar di habitat aslinya, tampak masihditemukan hidup dikawasan ini sepertiSchoutennia ovata, Grewia eriocarpa,Phyllantus emblica, Albizialebbekoides, Azidirachta indica,Schleicera oleosa, Vitex pubescens,Zizyphus nummularia, Acasialeucophloea, Corypha utan danBorassus flabellifer. Namun dari hasilpenelitian di kawasan ini menunjukkan
struktur dan komposisinya sudahberbeda, dimana beberapa jenis sudahmenjadi sulit menjadi jarang ditemukandi kawasan ini seperti Strycnoslingustrina, Helicteres ixora, Protiumjavanicum, Rauvolfia serpentina,Zanthoxylum rhetza, Ziziphusrotundifolia, Ceriops tagal, Flacourtiaindica, dan Santalum album.
Berdasarkan pada analisis ordinasiPrincipal Coordinate Analyses (PCO), didapatkan gambaran bahwa jenis-jenisyang berasosiasi dengan jurik baliumumnya merupakan komunitas pohonmemiliki profil dengan tinggi di atas 10m. Selain itu berdasarkan pada tempathidupnya komunitas ini terletak padaketinggian di atas 40 – 60 m dpl. Adanyakomunitas mangrove yang selalu hijau dikawasan ini yang terletak tidak jauh darikomunitas pohon yang berasosiasidengan curik bali akan memberikan nilaiekologis yang tinggi dalam dayadukungnya terutama pada saat musimkemarau terhadap habitat curik bali yanghidup liar maupun dilepasliarkan dikawasan ini.
Tampak jenis-jenis pendatang “baru”muncul di kawasan ini seperti Acacianilotica, Mimusops elengi, Ceibapentandra, Dalbergia latifolia danPterocarpus indicus yang tampakberkembang di antara jenis-jenis asli.Jenis-jenis tersebut perlu diperhatikankeberadaan dan perkembangbiakannya,mengingat termasuk jenis yang mudahtumbuh dan memiliki potensi untukmendominasi suatu kawasan, terutamaAcacia nilotica.
Keterbatasan akan kondisi danlingkungan yang kurang menguntungkan
373
Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Semusim Habitat
bagi pertumbuhan jenis-jenis tumbuhanmengakibatkan tidak terlalu tinggikeanekaragaman jenis. Jenis-jenistumbuhan yang tumbuh di kawasan inicenderung rawan terhadap perubahanlingkungan dan alih fungsi lahan. Dengandemikian struktur dan komposisivegetasinya juga mudah berubah. Adabeberapa jenis (11 jenis) yang tidakditemukan pohon besarnya, namunsemainya ditemukan di dalam petakpengamatan memberikan indikasikan pulabahwa terdapat jenis pohon yang tidakmelimpah namun kemampuanregenerasinya cukup baik.
Jenis-jenis asli kawasan ini yangperlu diperhatikan karena semakin sulitditemukan seperti Strycnos lingustrina,Helicteres ixora, Protium javanicum,Rauvolfia serpentina, Zanthoxylumrhetza, Ziziphus rotundifolia, Ceriopstagal, Flacourtia indica, Santalumalbum perlu dipantau pertumbuhannyadi alam. Selain memiliki potensi ekonomi(obat, tanaman hias, adat) peran ekologidi kawasan yang kering ini sangat berartidalam menyususun system habitat hutansemusim yang merupakan habitat curikbali.
DAFTAR PUSTAKA
Arinasa, IBK., Roemantyo & M.Ridwan. 2010. Eksplorasi FloraTaman Nasional Bali Barat:Keanekeragaman Flora KawasanHutan Zona Pemanfaatan LabuanLalang. Laporan PerjalananEksplorasi Flora di TamanNasionla Bali Barat. Proyek Dikti
2010 Laporan perjalanan internal,tidak dipublikasikan.
Balen, van S., IWA. Dirgayusa, IMWA.Putra & HT. Prins Herbert. 2000.Status and distribution of theendemic Bali Starling Leucopsarrothschildi. Oryx 34 (3): 188-197.
Helvoort, van BE., MN. Soetawidjaya &P. Hartojo, 1985. The Rothschild’sMynah (Leucopsar rothschildi):a Case for Captive or WildBreeding ? ICBP, Cambridge.
Kovack Computing Service. 2010.MultiVariate Statistic Package.Copyright 1985 - 2010. http://www.kovcomp.com
Ludwig, JA. & JF. Reynolds. 1988.Statistical Ecology: A PrimerMethods and Computing. JohnWilley & Sons, New York 337 p.
Magguran, AE.1988. EcologicalDiversity and Its Measurement.Chapman and Hall London.
Meuller-Dombois and Ellenberg, 1974.Aim and Methods of VegetationEcology. John Wiley and Sons,Inc. Canada.
Noerdjito, M. 2005. Pola PersaranganCurik Bali Leucopsar rothschildiStresemann 1912 dan Kerabatnyadi Taman Nasional Bali Barat.Berita Biologi 7(4): 215-222.
Oldemann, LR. L. Irsal & Muladi. 1980.Agro-Climatic Map of Bali NusaTenggara Barat and Nusateng-gara Timur. Scale 1 : 2.250.000.Central Research Institute forAgriculture. Bogor.
Paardt, 1929. Manoek putih: Leucopsarrothschildi. Tropisce Natuur 15:169 -173.
374
Roemantyo
Roemantyo, HIP. Utaminingrum & M.Ridwan. 2010. Peta keragamanekosistem serta tataguna lahansemenanjung Prapat Agung dansekitar Bali barat sebelum 1950.Laporan Perjalanan EksplorasiFlora di Taman Nasionla BaliBarat. Proyek Dikti 2010 Laporanperjalanan internal, tidakdipublikasikan.
Space Imaging. 2000. IKONOS, LevelStandard Geometrically Corrected,
Memasukkan: Mei 2011Diterima: Agustus 2011
GeoEye, Dulles, Virginia, 29September 2008
Taman Nasional Bali Barat 2005. Petabatas dan sarana prasarana TamanNasional Bali Barat (digital).Taman Nasional Bali Barat,Departemen Kehutanan.
Voogd, C.N.A. 1937. Botanischeaantekeningen van de KleineSoenda. Eilanden III. Bali Zoalseen toerist het niet ziet. Trop.Natuur 26: 1-9, 37-40.
375
Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 375-391 (2011)
Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan Manusiadengan Tumbuhan dan Lingkungannya
Eko Baroto WalujoHerbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi – LIPI
Ethnobotany Contributes to The Understanding Human Relationship with Plant and TheirEnvironment. The scope of ethnobotanical research has been developed to a broader scopefrom the originated word of ethnobotany was coined.. This discipline attempts to explainreciprocal relationships which occur between local societies and its natural world, in extant,between local societies and their cultures that reflected in the archeological records.Ethnobotany is also very closely related to the domestication of plants such as the speciesdomesticated, where these species domesticated, the purpose of domestication, the manner,and the status of the domesticated plants today. Etnobothany also concerns to the role ofplants in ecology, environment and phytogeography as conceived by tradition or by the localcommunities. In addition to its traditional role in economic botany and the exploration ofhuman cognition, ethnobotanical research has been applied to the practical areas such asbiodiversity prospecting and vegetation management. Thus ideally, ethnobotany shouldincludes rules and categorization acknowledged by local communities. Rules and categorizationare use to appropriately facing daily social situations in recognizing, interpreting and utilizingplant resources in their environment. In summary, the scope of research in ethnobotany isinterdisciplinary and ethnoscience as mentioned earlier and these scopes will be the mainfocus of discussion in this article. In particular, in its relation to the strategic position ofIndonesia based on wealth, diversity of plants, species and ecosystems and socio-culturallife.
Key Words: Ethnobotany, Localknowledge, Wisdom
PENDAHULUAN
Studi tentang hubungan manusia dantumbuhan atau tanaman adalah domainethnobotani yang mempelajari perananmanusia dalam memahami hubungannyadengan lingkungan-tempat merekatinggal, baik di lingkungan masyarakattradisional maupun masyarakat industri.Dalam konteks hubungan manusia danalam, lingkungan alam pada dasarnyamenyediakan sumber daya agar dapatdimanfaatkan oleh penghuninya untukkelangsungan hidup. Manusia sebagai
bagian dari penghuni alam itu diketahuipaling mudah menyesuaikan diri denganlingkungan dimana ia tinggaldibandingkan dengan makluk lainnya.Tanpa disadari bahwa manusia, baiksebagai individu atau dalam berkelompoksecara bertahap tumbuh dan salingbergantung dengan perkembangan sosialdan budayanya. Ini semua disebabkankarena manusia memiliki daya cipta, rasadan karsa. Berkat daya tersebut,manusia mampu menyesuaikan diridengan lingkungan dimana merekatinggal. Melalui daya itu pula maka
376
Eko Baroto Walujo
manusia berupaya memanfaatkansumber daya alam dan lingkunganberdasarkan pengalaman danpengetahuannya. Pada gilirannyapengetahuan mereka lambat laun jugamengalami perkembangan sesuai denganperubahan pola berfikir, perubahanlingkungan sosial, ekonomi danekologinya.
Perubahan semacam ini melahirkanberbagai tuntutan yang acapkalimendorong eksploitasi sumber daya alammeningkat secara signifikan. Artikel inimengulas hubungan antara manusia dantumbuhan, yang menjadi “domainpenelitian etnobotani”. Peranan etnobotani disini menjadi sangat penting.Karena, melalui penelitian etnobotani,diperoleh pemahaman tentangkeberhasilan maupun kekeliruanmasyarakat tradisional dalam memahamilingkungannya, dan dapat menghindarikesalahan yang sama pada masa kiniatau yang akan datang.
Etnobotani dan Sejarah Domesti-kasi Tumbuhan
Disiplin ilmu etnobotani berasosiasisangat erat dengan ketergantunganmanusia pada tumbuh-tumbuhan, baiksecara langsung maupun tidak langsungdalam memenuhi kebutuhan hidupnya.Bukti-bukti arkeologi sering dimanfaatkanuntuk menunjukkan bahwa pada awalperadaban dan ketergantungan manusiapada tumbuh-tumbuhan terbatas padapemanfaatan untuk mempertahankanhidup, yaitu dengan mengambil darisumber alam untuk pangan, sandang dansekedar penginapan (Walujo 2009).Semakin tinggi peradaban manusia,
ketergantungan manusia pada tumbuhanuntuk pangan, papan, pemeliharaankesehatan maupun keperluan lainnyasemakin meningkat. Terjadinyapeningkatan kebutuhan inilah yangmendorong dilakukan usaha untukmemudahkan pemanfaatan danpeningkatan produk hasil dari tumbuh-tumbuhan. Konsekuensinya adalahsemakin tinggi tingkat pengetahuan danpemahaman terhadap lingkungan alamyang kemudian didukung oleh teknologidikuasahi, semakin nyata pengaruhnyaterhadap pengetahuan pemanfaatantumbuhan. Dalam kaitannya dengansejarah pemanfaatan tumbuhan, prosesdomestikasi dan bercocok tanam,disinilah disiplin ilmu etnobotani itumenjadi sangat penting untukdikembangkan.
Memahami ilmu etnobotani, berartijuga memahami tentang sejarahpemanfaatan dan domestikasi tumbuhan.Untuk menelusuri sejarah pemanfaatan,budidaya dan domestikasi tumbuhan, paraahli etnobotani sering menggunakan buktikultural tidak langsung (non-kultural)dengan mengungkapkan melaluipenelitian paleoetnobotani. Penelitian inimenggunakan sisa kultigen tumbuhanyang terawetkan dalam proseskarbonisasi, cetakan pada batu, kerangkasilikat, tulang gigi, tanduk hewan dll.Melalui material paleoetnobotani itu jugakekerabatan suatu jenis tumbuhan yangdidomestikasi dapat ditelusuri, yaitudengan cara mengiden-tifikasi sifat ataukarakter morfologi (Renfrew 1976; Smith1986). Contoh temuan hasil penelitianpalaeo-etnobotani tentang pendataanradiokarbon Phaseolus vulgaris yang
377
Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan
dideteksi berangka tahun 7000 SM.,Phaseolus acutifolius (5000 SM),Phaseolus coccineus (2200 SM) yangkesemuanya ditemukan di Tehuachan-Mexico, dan Phaseolus lunatusberangka tahun 5300 SM di Chili, Peru.Pendataan ini membawa pada suatukesimpulan tentang awal waktu pertaniandi Amerika. Dalam penelitian tersebutjuga diketengahkan bahwa karaktermorfologi material biji dan polongP.vulgaris yang ditemukan padadasarnya sama dengan buncis-buncismodern yang ada pada saat ini. Inimemperlihatkan bahwa perkembanganbuncis yang dibudidayakan dandimanfaatkan sekarang ini masih miripdengan tipe-tipe pada awal budidaya.
Di Indonesia, hasil temuan di GuaUlu Leang1 (Maros-Sulawesi Selatan)yang dilaporkan oleh Poesponegoro &Notosusanto (2008) membuktikantentang domestikasi tanaman padi(Oryza sativa) melalui temuan sisa-sisabutiran padi dan sekam padi yangberasosiasi dengan gerabah. Temuan iniberangka tahun 2160 – 1700 SM.Diperkirakan bahwa domestikasitanaman padi telah dimulai di kawasanberiklim muson, yang memanjang dariIndia bagian timur laut, sebelah utaraVietnam hingga mencapai sebelahselatan China. Bukti awal domestikasitanaman padi ditemukan di situs Kiangsudan Chekiang di China, berangka tahun3300 – 4000 SM. Bukti lain berupa sekampadi yang digunakan sebagai tempergerabah yang ditemukan di Thailandtahun 3500 SM turut memperkuat dugaantentang domestikasi tanaman padi.
Fakta lain yang dipelajari Harlan &de Wet (1965) mengenai kelompoktertentu tumbuhan liar yang telahmengalami proses domestikasi sebagianbesar adalah jenis dari suku Gramineaedan Leguminosae, dan merupakantanaman budidaya utama. Sedangkansuku Cyperaceae, Ranunculaceae,Cactaceae, Caryophyllaceae, Portula-caceae, Berberidaceae, Papaveraceae,Saxifagraceae, Geraniaceae, Onagra-ceae, Apocynaceae, Asclepiadaceae,Plantaginaceae dll, merupakan suku-sukuyang dimanfaatkan sebagai tanamanbudidaya sampingan.
Domestikasi tumbuhan tidakterlepas dari sejarah dan asal usultanaman budidaya. De Candolle (1855)mempertegas bahwa sejarah pertanianjuga terkait erat dengan sejarahdomestikasi tumbuhan menjadi tanaman.Menurutnya, pertanian diawali dengandomestikasi jenis-jenis utama, yangtersebar di tiga daerah utama, yaitu Cina,Asia Barat Daya (termasuk Mesir),Inter-Tropikal Amerika. Masing-masingdaerah utama membudidayakan jenis-jenis tertentu, dan bahwa penyebarantanaman budidaya tidak merata sepertiyang diperkirakan banyak orang. Adabeberapa kawasan yang kaya dengankeragaman tanaman budidaya, namundemikian tidak sedikit pula yang miskindengan keanekaragaman jenisnya.Sebagai contoh diketengahkan ketidakmerataan kultivar gandum yang tersebardi seluruh dunia. Di benua Eropa danSiberia, gandum yang ditanam umumnyahanya beberapa kultivar saja. Berbedadengan di Timur Tengah, terutama diAnatoli, Palestina dan Syria, diketemukan
378
Eko Baroto Walujo
sejumlah kultivar gandum mulai yangberkromosom diploid, tetraploid sampaidengan heksaploid. Kemudian diAfghanistan hanya ditemukan kultivargandum yang heksaploid saja, diMediterania hanya yang tetraploid saja.Sebaliknya di Ethiopia ditemukan ratusankultivar gandum. Pada akhir studinyaVavilov (1926), mempertimbangkanpandangan ini dengan menggambarkanbahwa awal tanaman budidaya utamaadalah daerah tropik dan sub-tropik, yangterdiri atas 11 atau 12 pusat awal, yangdidasarkan pada konsep bahwa pusatkeanekaragaman ditetapkan sebagaipusat awal/ asal-usul. Pusat-pusat awalatau asal-usul tanaman budidaya tersebutberada di Cina, India, Indo-Malaya, AsiaTengah, Timur Tengah, Mediteran,Abesinia, Meksiko-Amerika Tengah,Amerika Selatan, Chili dan Brasil-Paraguay.
Semua fakta yang terkait denganpusat-pusat awal tanaman budidaya tadisenantiasa bersentuhan dengan aktifitasmanusia. Sehingga dengan berkem-bangnya tingkat sosial dan moralmanusia purba, mereka mulai memilihjenis-jenis yang mereka sukai. Tumbuhantersebut kemudian akan berubah daristatus liar akan mengalami penjinakandan karena adanya seleksi alam, akanmenurunkan variasi yang ada tetapi akanmeningkatkan variasi baru karenahibridisasi dan mutasi.
Hipotesa “rubbish-heap hypo-these” yang diperkenalkan olehEngelbrecht (1916) menganggap bahwadomestikasi tidak diciptakan manusiapertama, tetapi terjadi secara kebetulanyang berawal dari berkembangnya
kemampuan tumbuhan itu sendiri dalammempertahankan dirinya. Tumbuhantelah dikumpulkan dari berbagai tempatuntuk bahan pangan yang mula-mulasebagai tumbuhan liar, akan tumbuhmeliar ditempat-tempat pembuangan ataudisekitar tempat pemukiman manusiapurba di dekat dapur dan tumpukansampah. Jenis itu kemudian tumbuh danberadaptasi terhadap lingkungan yangbaru dan dipanen kembali. Terkait denganhipotesa ini, menguatkan pandanganKaplan et.al (2003) bahwa didalamdisiplin etnobotani terdapat seperangkatasumsi hubungan antara pola perilakudengan penataan sosio-kultural yangterintegrasi dalam bahasa, sistem kognitif,kaidah dan kode etik budaya tempatan.Dengan demikian maka didalam disiplinetnobotani, harus ada keterpaduan antararanah etnologi dan botani untuk salingmengisi dan menguatkan. Menurutnya,kajian etnobotani dapat melakukanevaluasi terhadap tingkat pengetahuandan fase-fase kehidupan masyarakatdalam kaitan dengan pemaknaan danpenggunaan tetumbuhan di dalam lingkupkehidupan sehari-hari.
Filosofi yang mendasari pemikiranahli etnobotani tentu bagaimana carapandang seorang ahli tumbuh-tumbuhan(botanis) berlaku sebagai seorangetnograf dan sebaliknya seorang etnologmampu memahami tumbuhan, bagaikanseorang ahli botani. Oleh karena itubidang etnobotani sangat berkepentinganmengikuti dari dekat perkembangan yangberlangsung baik di seputar persoalanetnik maupun dalam ranah botani (Putra,1985). Seterusnya Rifai & Walujo (1992),lebih merinci tentang pengertian disiplin
379
Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan
etnobotani harus mampu mengung-kapkan keterkaitan hubungan budayamasyarakat, terutama tentang persepsidan konsepsi masyarakat dalammemahami sumber daya nabati dilingkungan dimana mereka bermukim.Dengan demikian maka data etnobotaniadalah data tentang pengetahuan botanimasyarakat dan organisasi sosialnya,bukan data botani taksonomi, dan bukanpula data botani ekonomi atau cabangbotani lainnya. Sasarannya adalahmembuat hasil-hasil penelitian etnobotanimenjadi lebih akurat dan lebih replikabeldalam kerangka mereproduksi realitasbudaya seturut pandangan, penataan, danpenghayatan warga budaya dalammengenali, memaknai dan memanfaatkansumber daya nabati di lingkunganbudayanya. Ini berarti bahwa pemaparanetnobotani harus diungkapkan sehubu-ngan kaidah konseptual, kategori, kode,dan aturan kognitif “tempatan” (emik)untuk kemudian secara taat asasdibuktikan sehubungan dengan kategorikonseptual yang diperoleh dari latarbelakang ilmiah (etik). Sekalipun emik danetik itu dibedakan atas dasar epistemologi,namun keduanya tidak ada kaitan denganmetode penelitian, melainkan denganstruktur penelitian. Dengan demikianmaka pengujian emik dan etik bukanlahbagaimana pengetahuan itu diperoleh,melainkan bagaimana pengetahuan itudivalidasi (Walujo 2009). Itulah sebabnyapenelitian etnobotani merupakan studimultidisiplin yang tidak hanya menyangkutdisiplin Botani murni, seperti taksonomi,ekologi, sitologi, biokimia, fisiologi, tetapijuga ilmu sosial terutama antropologibudaya dan ilmu-ilmu lain dari Pertanian,
Kehutanan maupun Hortikultura yangbanyak memperhatikan persoalanperbanyakan, budidaya, pemanenan,pengolahan, ekonomi produksi, dan pasar.
Dengan demikian maka etnobotaniyang ideal harus mencakup semua aturandan kategori yang pasti dikenali olehmasyarakat warga tempatan gunabertindak tepat dalam berbagai situasisosial yang dihadapi sehari-hari dalammemahami, mengenali, memaknai danmemanfaatkan sumber daya nabati dilingkungannya. Ekspresi dan pemaknaanpengetahuan masyarakat tentang sumberdaya botani tadi dilakukan gunamenggambarkan suatu kebudayaan yangberimplikasi kepada definisi kebudayaansebagai suatu sistem pengetahuan atausistem ide.
Sejalan dengan pandangan Sturte-vant (1961), kecenderungan pengetahuanmasyarakat tersebut banyak berkaitandengan struktur bahasa, aturan kognitif,kaidah dan kode di satu pihak, denganpola perilaku serta penataan sosio-kulturaldi lain pihak. Disadari atau tidakpengetahuan tadi pada hakikatnyamerupakan pusaka leluhur hasil uji cobaratusan tahun yang tidak ternilai harganya,karena memiliki banyak keunggulan sifat.Sayangnya pengeta-huan yang didasarikearifan masyarakat seringkali dianggapsebagai “ilmu tua” yang disakralkansehingga tidak boleh diubah, diperbaiki,dikembangkankan, apalagi diinovasi.Kekonservatifan demikian membentukopini bahwa masyarakat tradisionalseolah-olah berjiwa statis, dan menolakdibawa maju apalagi berindustri yangsarat dengan pengetahuan, ilmu, danteknologi (Rifai 2006).
380
Eko Baroto Walujo
Kerancuan Pengertian: etnobotani,Botani Ekonomi dan Etnoekologi
Pada dasarnya etnobotani, botaniekonomi dan etnoekologi memiliki satubagian tinjauan yang sama yaitu manusiadengan lingkungan dalam sebuahkehidupan. Akan tetapi masing-masingmemiliki cakupan, tujuan dan sudutpandang yang berbeda. Etnobotani lebihmemfokuskan penelitian pada perspektifmanusia, alam dan tumbuh-tumbuhandalam konteks budayanya. Sedangkansudut pandang Botani Ekonomi, adalahmempelajari bagaimana tumbuhan atautanaman memiliki sifat dan kegunaansecara ekonomi bagi kehidupanmasyarakat (Wickent 1990). Melaluipenelitian ini masing-masing jenistumbuhan atau tanaman dikembangkansesuai dengan potensinya hinggamencapai hasil sesuai dengan yangdiinginkan. Dari sinilah pendekatanekonomi botani dijalankan.
Keinginan manusia kadang-kadangberlebihan, lebih sering tidak puas denganapa yang dihasilkan oleh tumbuhan atautanaman. Sifat seperti ini mendorongmanusia untuk mengeksploitasi tumbuhandan tanaman secara berlebihan. Semakinmeningkat peradaban manusia, semakinmeningkat pula kebutuhan dan tuntutan-nya. Tanpa disadari manusia mengeks-ploitasi sumber dayanya secaraberlebihan. Dampak negatif karena ulahmanusia ini akhirnya menimbulkan krisislingkungan yang pada beberapa dekadebelakangan menawarkan sebuahpendekatan, yaitu etnoekologi. Tujuannyaadalah membuktikan keabsahan secaraekologi tentang pengelolaan alamlingkungan oleh masyarakat.
Erat kaitan dengan kehidupanmasyarakat, terutama di pedesaan, upayapenggunaan lahan, baik yang diolahsecara langsung ataupun tidak langsungpada dasarnya berhubungan denganpemanfaatan dan pelestarian keane-karagaman hayati tumbuhan. Daripengertian ini, ketiga penelitian itu dapatdijalankan (penelitian enobotani,penelitian botani ekonomi dan peneltianetnoekologi). Hasil penelitian etnobotanidi berbagai kebun, pekarangan dantegalan dapat dipergunakan untukmembuktikan kekerabatan berbagaikultivar primitif pohon buah-buahan.Misalnya jenis-jenis kultivar lokal yangdijumpai pada sistem huma di pedalamanSumatera dan Kalimantan. Beberapajenis diantaranya selain memilikikekerabatan yang cukup banyak,ternyata juga memiliki nilai ekonomipenting yang berguna untuk penelitianbotani ekonomi. Jenis-jenis itu adalahdurian (Durio zibethinus), rambutan(Nephelium lappaceum), duku (Lan-sium domesticum), mundu (Garciniadulcis), sentul (Sandoricum koetjapi),perdu-perduan seperti rukam (Fla-courtia rukam), pisang (Musa xparadisiaca), buni (Antidesma bunius),tumbuhan liana, misalnya ubi-ubian(Dioscorea alata, D. penthaphylla, D.hispida) dan kacang-kacangan, misalnyakecipir (Psopocarpus tetragonolobus),kacang panjang (Vigna sinensis) sertaparia (Momordica charantia) dan ternarerumputan seperti jahe-jahean, jahe(Zingiber officinale), kunyit (Curcumadomestica), dan serai (Cymbopogonnardus).
381
Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan
Dalam berbagai penelitianetnoekologi, pola-pola adaptasi bercocoktanam masyarakat tempatan di berbagaitipologi lingkungan alam atau lansekapadalah contoh yang mudah dipahami.Lansekap hutan bagi masyarakat yangtinggal sekitarnya merupakan lingkunganyang sangat penting bagi kehidupan.Oleh karena itu secara ekologi budaya,hutan merupakan lingkungan fisik yangkeberadaannya perlu dikelola dengan baikkarena dipercaya merupakan tumpuanhidup dan wadah berkembangnya sistemekonomi, sosial dan budaya. Sesuaidengan prinsip yang ditetapkan secarabersama, tidak hanya pada pengelolaanhutan, akan tetapi seluruh lansekap yangmereka kenali akan dikelola berdasarkanketetapan bersama pula.
Pengetahuan tentang “sabulu-ngan” bagi masyarakat Siberut adalahsalahsatu contoh kearifan lokal yangmewakli sebuah gambaran menyatunyakehidupan manusia dengan alam.Kebersamaan dalam menetapkan tataaturan tentang pengelolaan lingkungantidak sekedar membagi-bagi kawasanuntuk berbagai kepentingan, semisalkawasan untuk pertanian, peternakan,perburuan, dan pemukiman, akan tetapijuga bermakna religius. Menurut orangSiberut, ada tiga dewa yang dihormatidalam ajaran sabulungan. Pertama “TaiKaleleu”, yakni dewa hutan dan gunung.Pesta adat atau punen mulia yangdilakukan sebelum berburu dipersembah-kan kepada dewa ini. Kedua adalah “TaiLeubagat Koat”, yang merupakan dewalaut atau dewa air. Air dihormati karenamemberikan kehidupan, tetapi kadang-kadang juga menimbulkan badai. Tai
Leubagat Koat layaknya Dewa Syiwadalam agama Hindu. Ketiga, “TaiKamanua”, dewa langit, sang pemberihujan dan kehidupan. Ketiga dewa itulahyang dipercaya oleh masyarakat Siberutdalam menjaga keseimbangan alam(Romana 2006).
Jika orang Siberut lebih mengutama-kan pengelolaan berdasarkan atas asaskepercayaan (religius), maka orangDawan di Pulau Timor, orang Dayak Ibandi pedalaman Kalimantan, dan orangMelayu Belitung dalam merepresen-tasikan keseimbangan dengan caramengenali dan membagi-bagi lingkungandalam satuan-satuan lansekap berdasar-kan atas asas kepentingan, yaitu untukkegiatan bertani, berburu, dan meramu.Oleh karena itu pengenalan danpembagian satuan-satuan lingkungan itumereka lakukan dengan sangat rinci.Masyarakat Atoni yang berbahasaDawan di pulau Timor, mengenalilingkungannya dengan membagi ke dalamsatuan-satuan lansekap yang diciri olehwanda (fisiognomi) vegetasi penutupnya(Walujo 1990). Etnik Dawan mengenalperlindungan hutan alami secara adat,yang dalam bahasa Dawan disebut nasi.Kawasan hutan yang menyatu dandikeramatkan disebut kiuk tokok).Kedua lansekap tadi memberi cerminantipe vegetasi asli di daerah itu. Di antarapola sebaran vegetasi asli ini terdapatmosaik lansekap lain yang berupa lahanpertanian (lele dan po’an), padangsabana (hu sona), dan pemukiman(kintal dan kuan).
Setiap mosaik lansekap memilikikarakter vegetasi penutup yang berbeda-beda. Pada lansekap yang asli, yang
382
Eko Baroto Walujo
dilindungi oleh kekuatan adat, vegetasiasli di dominansi oleh keluarga jeruk-jerukan (Rutaceae) terutama Micro-mellum pubescens dan keluarga jarak-jarakan (Euphorbiaceae) terutamaMallotus philippensis dan jenispenunjang lain Ervatamia orientalis,Allophyllus cobbe, Paveta indica,Ehretia accuminata, Wrightia calycinadan Schleichera oleosa. Diantararatusan jenis yang dikenali olehmasyarakat Dawan beberapa jenis kayumemiliki nilai kultural dan ekonomipenting. Jenis itu adalah matani(Ptrerocarpus indicus), haumeni(Santalum album), usapi (Schleiceraoleosa), nunuh tili (Ficus benjamina),kabesak (Acacia leucophloea), kiu(Tamarindus indica) dan nek fui(Bombac ceiba). Bagian ini merupakankajian yang sangat baik dalam perspektifpenelitian botani ekonomi.
Dalam pengelolaan satuan lansekap,masyarakat Dayak juga mengenaliistilah-istilah yang menggambarkansatuan-stauan lansekap, misalnya empaqyang berarti hutan primer dan jekauberarti hutan sekunder (Soepardiyono1998). Di dalam kategori jekau initerdapat beberapa sub-kategori, yaitujekau jue (hutan sekunder tua), jekaubuet (hutan sekunder muda ), jekaumetan (belukar), kelimeng (ladang kecil),bekan (ladang yang baru ditinggalkan).Sedikit berbeda sistem yang diprak-tekkan masyarakat Dayak Meratus diKalimantan Selatan. Etnik ini membagiwilayah hutan kedalam satuan-satuanlansekap berdasarkan fungsinya, yakni:(1) pariyun, adalah hutan tempat hewandan tumbuhan yang dilindungi, tidak boleh
di manfaatkan kecuali hanya untukkepentingan upacara adat. (2) Katuanatau hutan alas yang memang disediakanuntuk tempat berburu, mencari gaharu,damar dan kayu. (3) Lasi atau pelasianadalah hutan yang khusus diperuntukkanuntuk berladang, berkebun dan beternak.(4) Hutan milik, adalah merupakan kebuntanaman buah, pohon kayu, bambu, rotanmilik pribadi.
Praktik pengelolaan dan peng-organisasian satuan-satuan lansekap dariberbagai kelompok etnik yang diuraikandi atas adalah menjadi bagian normakehidupan masyarakat lokal yangterbentuk dari pengalaman empirik yangdiulang-ulang kemudian berkembangmenjadi sistem religi dan pranata sosialmasyarakat. Pemaknaan terhadapsatuan-satuan lansekap tadi dilandasiatas keyakinan bahwa alam semestadengan segala isinya adalah ciptaan YangMaha Agung. Berdasarkan keyakinanterhadap alam semesta yang dihayati,maka mengembangkan pola-pola sikapperilaku memelihara, memanfaatkan danmengelola alam yang berkelanjutan danlestari. Di kalangan komunitas etnik yangmasih harmonis ini, manusia merupakanbagian integral dari alam, serta perilakupenuh tanggung jawab, penuh sikaphormat dan peduli terhadap kelangsungankehidupan di alam semesta.
Berdasarkan pengertian dan contohdiatas maka ditinjau dari obyek yangdipelajari oleh tiga disiplin keilmuan tadiadalah sama yaitu manusia, alam,lingkungan dan tumbuh-tumbuhan.Ketiga tiganya memiliki keterkaitan satusama lain dan keterkaitan itu tidakmenunjuk pada hubungan satu cabang
383
Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan
ilmu merupakan bagian cabang ilmulainnya. Botani ekonomi bukanmerupakan bagian dari etnobotani. Begitupula bukan merupakan bagian darietnoekologi atau sebaliknya. Dalamkonteks ke Indonesiaan, prinsip dasarsemacam ini hendaknya menjadipegangan cara pandang para penelitietnobotani, botani ekonomi danetnoekologi untuk melihat keaneka-ragaman etnik di Indonesia. Carapandang seperti ini tidak hanyamemberikan pemahaman kita terhadapflora yang khas Indonesia yang semakinbanyak dikenali, tetapi yang lebih pentingadalah bahwa perlu adanya kesadaranbahwa pluralitas masyarakat Indonesiajustru merupakan potensi tumbuhnyaketahanan sosial dan budaya bangsaIndonesia.
Memahami Keanekaragaman Penge-tahuan dan Pemaknaan Tumbuhan.
Disiplin ilmu etnobotani dan botaniekonomi memberi wawasan bahwasumber daya tumbuhan memegangperanan penting dalam memenuhikebutuhan dasar manusia, baik untukmencukupi kebutuhan sandang, pangan,kesehatan maupun papan. Dalam halpangan, misalnya tercatat tidak kurangdari 3000 jenis dari 200.000 jenistumbuhan berbunga dilaporkan ternyatasangat bermanfaat untuk pangan. Darijumlah tersebut baru kira-kira 200 jenisyang telah didomestikasi menjaditanaman budidaya. Sayangnya, pendu-duk dunia saat ini hanya mengandalkangandum, padi, jagung dan kentangsebagai pangan utama (Swaminathan1981; Hawkes 1983; Sastrapradja 2006).
Indonesia adalah sebuah Negarayang memiliki karakteristik yang sangatunik. Selain kaya sumber daya alam,Indonesia juga memiliki keanekaragamankelompok etnis yang memiliki kehidupansosial yang unik dan budaya yangberbeda. Kebhinekaan suku-suku bangsajika dipadukan dengan keanekaragamanhayati yang terdapat di berbagaikepulauan Indonesia, maka tidakmengherankan jika tumbuh berkembangberbagai sistem pengetahuan tentangalam dan lingkungan. Keragaman sistempengatahuan lokal ini bergantung padatipe ekosistem alam dan ekologi budayamasyarakat, iklim terutama curah hujan,dan adat-istiadat yang dipercaya olehberbagai kelompok suku di Indonesia(Walujo et.al 1991).
Meskipun bangsa Indonesia sejakdahulu kala hidup ditengah-tengahkekayaan sumber daya alam, akan tetapisejarah juga mencatat bahwa keba-nyakan tanaman pangan dan tanamanperdagangan berasal dari negara lain.Kekayaan dan keanekaragaman jenisyang dimiliki bangsa Indonesia ini belummemberikan dampak positif terhadapkesejahteraan masyarakatnya. Jumlahtumbuhan, hewan maupun mikroba yangsudah diketahui potensi, kegunaan dandimanfaatkan oleh masyarakat masihsedikit. Baru sekitar 10% dari jumlahspesies tumbuhan di Indonesia yangtelah dimanfaatkan oleh masyarakatsebagai bahan pangan, tanaman hias,obat-obatan, bahan bangunan, bahanindustri, dan lain-lainnya.
Berbicara mengena jenis tumbuhanberguna, Indonesia dan Indo-Chinadicatat sebagai pusat-pusat dunia tempat
384
Eko Baroto Walujo
asal tanaman budidaya. Vavilov, menurutcatatan Zeven & Zhukovsky (1967)Indonesia merupakan kawasan yangbanyak ditemukan kerabat jenis-jenis liaryang berpotensi ekonomi. Jauh sebelumpenelitian Vavilov mengenai pusat asaltanaman budidaya, de Candolle telahmenunjukkan bahwa terdapat tigakawasan pertanian utama yaitu, AsiaSelatan Barat, China, dan AmerikaTropika. Setelah itu Vavilov melanjutkanpenelitiannya mengenai pusat-pusat duniatentang tempat asal tanaman budidayayaitu, Asia Selatan-Barat, Asia Tenggara(termasuk Indonesia), Mediteranian,Abisinia, dan Amerika. Indonesia, sebagaisalahsatu pusat Asia Tenggara, versiVavilov, atau pusat Indochina-Indonesia,versi Zeven dan Zhukovsky, atau lingkarpulau-pulau selatan, versi Li Hui-Lin(1970).
Menurut Vavilov, kawasan yangdisebut di atas kaya akan jenis jahe-jahean, pisang, padi tebu, kacang-kacangan (kara pedang, Canavaliagladiata; benguk, Mucuna pruriens;kecipir, Psophocarpus tetragonolobus;petai, Parkia speciosa; jengkol,Pithecellobium jiringa), bambu, kelapa,ubi-gembili, mangga dll. Li juga sepakatdengan Vavilov bahwa di pulau-pulaunusantara merupakan pusat buah-buahanseperi manggis (Garcinia mangostana),rambutan (Nephelium lappaceum), dandurian (Durio zibethinus), jeruk nipis(Citrus aurantica). Li juga menambah-kan bahwa, karena pada umumnya dikawasan pulau-pulau di lingkar selatanselalu menghijau sepanjang tahun maka,masyarakat tidak ada dorongan untukmembudidayakan sayur-sayuran, karena
selalu tersedia sepanjang tahun dan dapatlangsung dipanen dari jenis liarnya.
Dalam hal pangan, masyarakatIndonesia, mengenal padi sebagai sumberpangan utama, selain jagung dan ubikayu. Namun di berbagai tempat masihada yang mengandalkan sagu, ubi jalar,talas dan pisang sebagai sumber panganpenting. Terkait dengan keanekaragamandalam pembudidayaan, ternyatabeberapa jenis tanaman pangan telahmengalami evolusi, sejalan denganperkembangan budayanya. Dari siniterungkap bahwa perbaikan mututanaman tadi nampaknya disesuaikandengan kehendak dan kebutuhanmasyarakat. Pada kasus masyarakattradisional, para “pembudidayatradisional” secara tidak sengaja telahmemilah-milah kultivar-kultivar ungguluntuk dibudidayakan secara turuntemurun. Contohnya, bermacam-macamvarietas padi lokal telah berkembang diberbagai lahan di seluruh Indonesia sejakratusan tahun lalu. Tiap daerah memilikivarietas andalan, misalnya masyarakatDayak paling tidak mengenal varietaslokal pare bentian, pare kenyah,masyarakat Jawa Barat mengenal padivarietas cianjur, Jawa Tengah denganrojo lele dan Jawa Timur dengan berasmentiknya (Sastrapraja 1998).Sementara itu hasil penelitian Walujo(1994) menyebutkan bahwa di Wamena-Pegunungan tinggi Jayawijaya, Papua,para pembudidaya tradisional, suku Dani,sejak ratusan tahun melakukan kegiatanbudidaya tanaman pangan. Dengansegala aktivitas bertaninya, secara tidaksengaja mereka telah melahirkanberbagai kultivar lokal tanaman budidaya,
385
Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan
diantaranya 10 kultivar lokal pisang(Musa sp.), 4 kultivar lokal ubi yangterdiri atas 3 jenis (Dioscorea alata,Dioscorea aculeata, Dioscoreabulbifera), 3 kultivar lokal keladi yangdibedakan berdasarkan warna umbinya(Colocasia esculenta), 2 kultivar lokalbuah merah (Pandanus conoideus),kelapa hutan (Pandanus juliatinus,Pandanus brosimos), dan paling tidakada 5 kultivar lokal kecipir (Psopho-carpus tetragonolobus). Variasikultivar ini merupakan sumber plasmanutfah yang tidak ternilai harganya untukkepentingan pengembangan sumber dayapangan lokal dan untuk pengembanganilmu pengetahuan khususnya dalambidang pertanian.
Sejalan dengan penggunaantumbuhan pangan, tumbuhan untukkesehatan juga telah berlangsung sejakmunculnya peradaban manusia dimukabumi. Tradisi pengobatan ini dapatditelusuri kembali lebih dari lima mileniayang silam dengan munculnya dokumentertulis dari peradaban kuno Cina, Indiadan di Timur Tengah. Dengan kata lainpenggunaan tumbuhan untuk memenuhikebutuhan umat manusia dalam bidangpengobatan adalah budaya yang samatuanya dengan sejarah peradaban umatmanusia. Penggunaan ramuan tumbuhansecara empirik, berlangsung selamabeberapa abad diiukuti oleh penemuanbeberapa senyawa bioaktif. Penemuanalkaloid morfin, striknin dan kuinin padaawal abad ke 19 merupakan era barudalam penggunaan tumbuh-tumbuhansebagai bahan obat dan hal ini merupakantitik awal penelitian tumbuh-tumbuhanobat secara modern. Dunia kefarmasian
kemudian maju dengan pesat berkatditemukannya teknik-teknik kromatografidan penentuan struktur molekul secaraspektroskopi.
Di Indonesia, penggunaan tumbuhanuntuk obat tradisional merupakan salahsatu mata rantai penting dalam membantumeningkatkan kesehatan masyarakat.Menyadari hal itu perlu diadakanpenelitian secara ilmiah dan sistematis.Data yang dicatat oleh Eisei Indonesia(1986) dalam bukunya Medicinal HerbIndex in Indonesia, disebutkan ada 7000jenis tanaman dan tumbuhan memilikikasiat obat dan aromatik. CatatanKoorders yang disitasi oleh Alrasyid(1991), juga menyebutkan bahwa hutanIndonesia memiliki tidak kurang dari 9606jenis tumbuhan yang dikelompokkan kedalam tanaman obat. Dari jumlah tersebutternyata baru 3-4% yang telah berhasildibudidayakan dan dimanfaatkan secarakomersial. Selanjutnya menurut dokumenyang dimiliki Direktorat POM-Departemen Kesehatan RI (1991), barusekitar 283 jenis tanaman obat yangterdaftar dan digunakan oleh IndustriObat Tradisional di Indonesia (Pranoto1999).
Seiring dengan kemajuan zaman dantoleransi masyarakat terhadap masuknyakebudayaan luar menyebabkan secaraperlahan jenis-jenis tanaman asingmelebur dalam kehidupan sehari-haripelbagai suku bangsa kita. Masuknyakebudayaan Hindu dan Budha membuatleluhur bangsa Indonesia mulaimenyadari gatra estetika tetumbuhan.Mereka mencoba memperkenalkanmakna dan arti tanaman seroja(Nelumbium nuciferae) dan pohon bodi
386
Eko Baroto Walujo
(Ficus religiosa) sebagai pohon suci.Bagi orang Hindu, tumbuh-tumbuhanhampir selalu hadir dalam dunia ritualnya.Tiga komponen bagian tumbuhan yangdigunakan sebagai sarana upacara ritualpemujaan. Segala bunga yang dipersem-bahkan saat uacara merupakan simbolkesucian dan ketulusan saat melakukanyajna, segala dedaunan yang dirangkaidalam bentuk banten merupakan simboltumbuh dan berkembangnya pikiran yangsuci, dan berbagai buah dan makananyang disajikan di dalam bantenmerupakan simbol para ilmuwan surga(Miartha, 2004). Tidak hanya Hindu,kebudayaan Islampun memperkenalkandelima (Punica granatum), kurma(Phoenix dactylifera), salam koja(Clausena sp.) dan kemudian orangChina membawa shio (Michelia figo),lobak (Raphanus sativus), dan teh(Camelia sinensis). Sedangkankedatangan bangsa Eropa membawatidak kurang dari 2000 jenis sepertijagung, buncis, kentang, cabai, ubi kayu,kelapa sawit, karet, kopi dan tanamanhias (Rifai 1988, 1988a, 1989).
Akhir-akhir ini, penggunaan tumbu-han dan tanaman untuk tanaman hiasmeningkat secara drastis, sejalan dengantumbuhnya kesadaran akan lingkunganhidup yang sehat. Upaya untukmempopulerkan dan mengembang-kantanaman hias disadari bahwa komoditeini mendatangkan nilai ekonomi yangcukup menggembirakan. Kehadiran danperkembangan keanekaragaman tana-man hias tidak luput dari perkembanganlingkungan hijau di perkotaan danpekarangan. Faktor estetika, kenikmatan,kebahagiaan, kenyamanan yang
terangkum dalam ekosistem pekarangandan taman-taman kota, turut andil dalampengembangan tanaman hias. Karenafactor-faktor itu maka elemen pendukungtanaman menjadi pertimbangan yangpenting. Menurut Hasim (2009),keindahan visual tanaman dapat dilihatberdasarkan bentuk percabangan, bentukkeseluruhan, tekstur, warna, dan aroma.Misalnya ketapang (Terminaliacatappa), yangliu (Salix babylonica),kecubung (Datura sp.) adalah contohtanaman dengan system percabanganyang menarik. Tanaman dengan aromadaun yang segar, misalnya daun dilem(Pogostemon cablin), pandan wangi(Pandanus amarillifolius). Tanamandengan bunga harum, misalnya mawar(Rosa hybrida), melati (Jasminumsambac), cempaka (Michelia champa-ca). Belum lagi dengan pohon-pohonpinggir jalan seperti kiara payung(Filicium decipiens), tanjung (Mimu-sops elingi), mahoni (Switeniamahagoni), angsana (Pterocarpusindicus), kenari (Canarium spp.), asamjawa (Tamarindus indica) dan banyaklagi jenis lainnya. Tidak terkecualitanaman hias di pekarangan yang jenis-jenis tanaman hias yang dikembangkanerat kaitannya dengan individupemiliknya.
Akhirnya, praktik pengorganisasiansatuan-satuan lansekap dan pemanfaatantetumbuhan merupakan pengetahuanyang telah teruji secara empirik danmenjadi bagian norma kehidupanmasyarakat lokal. Pemaknaan terhadapsatuan-satuan lansekap besertakeanekaragaman sumber daya hayati tadidilandasi atas keyakinan bahwa alam
387
Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan
semesta dengan segala isinya adalahciptaan Yang Maha Agung. Berdasar-kan keyakinan terhadap alam semestayang dihayati, menumbuhkan pola-polasikap perilaku memelihara, meman-faatkan dan mengelola alam yangberkelanjutan dan lestari. Di kalangankomunitas etnik yang masih harmonis ini,manusia merupakan bagian integral darialam, serta perilaku penuh tanggungjawab, penuh sikap hormat dan peduliterhadap kelangsungan kehidupan di alamsemesta.
Dalam konteks inilah makakeseluruhan satuan-satuan lansekapbeserta keanekaragaman unsurnya akanmampu menjaga kestabilan ekosis-temnya. Ini semua akan menghasilkanketahanan lingkungan yang menjaminterjelmanya pertumbuhan kesejahteraanmayarakat serta dalam jangka panjangmemapankan kemajuan kebudayaanbangsanya. Prinsip seperti ini sebaiknyamenjadi cara pandang melihat keaneka-ragaman etnik di Indonesia yang tidakhanya memberikan pemahamanterhadap flora yang khas Indonesia yangsemakin banyak dikenali, tetapi yanglebih penting adalah bahwa perlu adanyakesadaran bahwa pluralitas masyarakatIndonesia justru merupakan potensitumbuhnya ketahanan sosial dan budayabangsa Indonesia.
KESIMPULAN
Prinsip dasar ekologi dalampenelitian etnobotani menjadi bagianpenting dalam konteks pengungkapankeanekaragaman hayati tumbuhan bagikelangsungan hidup manu-sia dan
kemanusiaan, terutama bagi pemba-ngunan bangsa. Jenis-jenis tumbuhanbaik liar maupun budidaya, merupakansumber seluruh sumber daya biologi,tempat manusia mendapatkan seluruhkebutuhan hidup, baik untuk kebutuhanmakan, kesehatan maupun produkindustri. Oleh karena itu penelitianetnobotani dilakukan dalam kaitan dengankonservasi (pemanfaatan berkelanjutan)yang menjadi bagian prinsip hidup hakikikarena mampu menghasilkan manfaatekonomi dan pembangunan bangsa(national building).
Opini masyarakat yang memper-tentangkan kekhasan dan keunikanpengetahuan masyarakat lokal dengankemajuan spektakuler ilmu pengetahuandan teknologi perlu disikapi penuhkearifan. Logika berfikir yang mendasaripenelitian etnobotani, etnoekologi danbotani ekonomi diharapkan mampumempersandingkan dan bahkanmenguak pengetahuan masyarakat untukdijadikan sebagai dasar dalampengembangan ilmu pengetahuan danteknologi. Oleh karena itu bidangkeilmuan etnobotani, etnoekologi danbotani ekonomi harus dikembangkanmenjadi sebuah bidang kajian interdisiplinyang menggambarkan gabunganetnoscience dan ilmu pengetahuan alamuntuk meninjau hubungan antara manusiadan lingkungannya terutama yangmenyangkut sumber daya tumbuhan.Oleh sebab itu, dalam mensikapi hal iniperlu ada kesepakatan bahwamemahami budaya pengetahuan, ilmu,dan teknologi merupakan sebuah prasaratuntuk pengembangan inovasi teknologidan pembangunan ekonomi. Dengan
388
Eko Baroto Walujo
demikian kekhasan masing-masingkelompok etnis dengan keunikanpengetahuannya tidak perlu diperten-tangkan dengan kemajuan spektakulerpengetahuan, ilmu dan teknologi yangdewasa ini sedang mengemuka.
Kearifan lokal yang tumbuh dalaminteraksi manusia dengan manusia, ataumanusia dengan lingkungan dansebaliknya, pada hakekatnya adalah demimencari solusi konstruktif jangkapanjang. Keseluruhan proses ini sejalandengan para ilmuwan dalam menilitimelakukan kegiatan mengamati,menirukan, dan memberikan nilai tambahterhadap persoalan lingkungan besertafenomena yang ada di dalamnya. Bilakesadaran/kognitif seperti ini dipertajamdengan hasil kerja Iptek “modern”,sangat diyakini bahwa pola relasi danrekayasa manusia Indonesia denganlingkungan bisa berlangsung secara lebihmantap dan langgeng. Bumi tidak akanmelupakan keramahan bila kita tidak lupauntuk mengembangkan kearifan leluhursaat hidup menumpang di dalamnya. Olehkarena itu terdapat beberapa sumberpokok intelektual yang diketahui memilikiandil dalam penelitian etnobotani, yaituetnoscience, etnoekologi, ekologi manusiadan geografi lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, SA, EH. Hakim, L. Makmur,D. Mujahidin, YM Syah &LD.Yuliawati. 2002. Strategi UntukObat-obatan yang Berasal dariTumbuh-tumbuhan. ProsidingSimposium Nasional II Tumbu-
han Obat dan Aromatik. Kehati,LIPI, APINMAP, UNESCO,JICA.
Cuff, EC. & GCF. Payne. 1980.Perspective in Sociology. London:George Allen and Unwin. Bab Idan V.
Castetter, EF.1944. The domain ofEtnobiology. American Naturalist:1 – 78.
Engelbrecht, T. 1916. Über dieEntstehung eineger feldmässigangebauter Kulturpflanzen, Geogr.Z, pp. 328-334; quoted byDarlington, C.D. (1963). Chromo-some Botany and the Origins ofCultifated Plants. (2nd ed).London.
Harlan, JR. & de Wet. 1965. Somethoughts about weeds, Econ. Bot.19. Pp. 16-24.
Hawkes, J.1983. The Diversity of CropPlants. Harvard University Press,Cambridge Mass. 184 pp.
Harshberger, JW.,1895. Some ideas.Philadelphia Evening Telegram.December 5
Harshberger, JW. 1896. The purpose ofEthnobotany. Amer. Antiquarian .17:2.
Hasim, Iin (2009). Tanaman HiasIndonesia. Penerbit PenebarSwadaya. Cimanggis, Depok.
IBSAP.2003. Indonesia BiodiversityStrategy and Action Plant.BAPPENAS.
Kaplan, D & RA. Manners 2003. TeoriBudaya (terjemahan) LandungSimatupang. Pustaka Pelajar. EdisiIII. 294 hal.
389
Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan
Li, Hui-Lin. 1970. The Origin ofCultivated Plants in SoutheastAsia. Econ. Bot. 24: 3-19.
Miartha, IW. 2004. Dunia Flora dalamPerspektif Ajaran Hindu. ProsidingSeminar Konservasi TumbuhanUpacara Agama Hindu. UPT BalaiKonservasi Tumbuhan KebunRaya Eka Karya Bali. 7 Oktober2004.
Plotkin, MJ. 1991. Traditional knowledgeof medicinal plants the search fornew jungle medicines. In Akerele,O.Heywood, H.& Synge, H. (Eds).The conservation of medicinalplants. Cambride University.Press, Cambride.
Poesponegoro, MD & N.Notosusanto.2008. Sejarah Nasional Indo-nesia I. Edisi Pemutakhiran.Cetakan ke 2. Jakarta: BalaiPustaka.
Pranoto, G. 1999. Potensi dan strategiindustrialisasi obat tradisionalIndonesia. Makalah dalam SeminarNasional Pendayagunaan potensiObat Tradisional Indonesia sebagaiUnsur dalam Sistem PelayananKesehatan. BPPT, 9 Maret 1999.
Putra, HSA. 1985. Etnosians danetnometodologi: sebuah perban-dingan. Masyarakat Indonesia.Majalah Ilmu-ilmu SosialIndonesia. 12 (2): 103-134.
Renfrew, JW 1976. Palaeoethnobotany.The prehistoric food plants of thenear East and Europe. ColumbiaUniv. Press, New-York.
Rifai, MA. 1988. Landasan Citra danJatidiri Kebun Indonesia:AkarSejarah Pertamanan Kita. ASRI,
Majalah Interior, Taman &Lingkungan. 66: 57-59.
Rifai, MA. 1988. Landasan Citra danJatidiri Kebun Indonesia: ModalSumber Daya yang Tersedia.ASRI, Majalah Interior, Taman &Lingkungan. 66: 87-90.
Rifai, MA. 1989. Landasan Citra danJatidiri Kebun Indonesia: PengaruhDari Tamadun Timur. ASRI,Majalah Interior, Taman &Lingkungan. 76: 34-35.
Rifai, MA. 2006. Pengembangan PraktikIptek dalam Kehidupan Tradisional:Kasus Manusia Madura. Doc.Rifai. Herbarium Bogoriense.
Romana, F. 2006. “Sabulungan”, Keari-fan Mentawai Menjaga Hutan.www.kompas.com/kompas-cetak/0605/22/tanahair.
Sastrapradja, D, S. Adisoemarto, K.Kartawinata., S. Sastrapradja, &MA. Rifai. 1989. KeanakeragamanHayati untuk Kelangsungan HidupBangsa. Puslitbang Bioteknologi-LIPI.
Setijati, S. 1998. Sumber Daya Hayatiuntuk Ketahanan Pangan Indo-nesia, dalam Sumber Daya Alamsebagai Modal dalam Pemba-ngunan Berkelanjutan. LIPI.
Setijati, S. 2006. Mengelola SumberDaya Tumbuhan di Indonesia,Mampukah Kita?. Enam Dasa-warsa Ilmu dan Ilmuwan diIndonesia. Naturindo. 209 – 232.
Soepardiyono. 1998. PengetahuanKeanekaragaman Tumbuhan danPemanfaatan Satuan LansekapMasyarakat Etnis Dayak di TamanNasional Bentuan Karimun dan
390
Eko Baroto Walujo
Sekitarnya. [Thesis]. ProgramStudi Biologi, Program PascaSarjana. Universitas IndonesiaSmith, C.E.Jr. 1986. Import ofpalaeo ethnobotanical facts. Econ.Bot. 40 : 267-278.
Sturtevant, WC. 1961. Taino agricul-ture in J. Wilbert (ed) Theevolution of horticulturalsystems in native South America,Antropologica Supplement Public,2, Caracas: Soc. De CienciasNaturales La Salla, 69-82.
Swaminathan, MS. 1981. Building aNational Food Security System.Indian Environment Society, NewDelhi. 138 pp.
Vavilov, NI. 1926. Studies on the Originof Cultivated Plants. Bull.Appl.Bot. 16 (2): 139 – 248.
Walujo, EB. 1989. Sili, Rumah TinggalSuku Dani di Lembah Baliem.ASRI, Majalah Interior, Taman &Lingkungan. 76: 36-39.
Walujo, EB. 1990. The Spatial Envir-onmental Organization and the Lifeof Dawan People in Timor,Indonesia. Makalah dalam SecondInternational Conggress ofEthnobiology. Kunming (China),22-26 Oktober 1990.
Walujo, EB., H.Soedjito, EA. Widjaja &MA. Rifai. 1991. PenguasaanEtnoekologi Secuplikan Masyara-kat Etnis di Indonesia. MakalahUtama pada KIPNAS V. LIPI1991.
Walujo, EB.1992. Keterintegrasian IlmuSosial dengan Ilmu-ilmu Lain diIndonesia. Bunga Rampai Meto-dologi Penelitian. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan,Dirjen Pendidikan Tinggi, Direkto-rat Pembinaan Penelitian danPengabdian Masyarakat. 173 – 176
Walujo, EB. 1994. Masyarakat Mukokodi Lembah Balim Irian Jaya: SuatuTinjauan Etnobotani. DalamPembangunan Masyarakatpedesaan: Suatu Telaah AnalitisMasyarakat Wamena, IrianJaya. Pustaka Sinar Harapan 119– 130 p.
Walujo, EB. 2004. Pengumpulan DataEtnobotani. Pedoman Pengum-pulan Data KeanekaragamanFlora. Pusat Penelitian Biologi –LIPI. Bogor.
Walujo, EB. 2007. Penggalian KearifanBudaya Lokal dalam Pengemba-ngan Ilmu Pengetahuan danTeknologi. Paper dipresen-tasikan dalam Seminar Bahasadan Sastera, Sidang ke 46MABBIM dan Sidang ke 12MASTERA. Kuala Lumpur-Malaysia, 13-14 Maret 2007.
Walujo, EB., AP. Keim & MJ.Satsuitoeboen. 2007. KajianEtnotaksonomi Pandanus conoi-deus Lamarck untuk Menjem-batani Pengetahuan Lokal danIlmiah. Berita Biologi 8 (5): 391-404.
Walujo, EB. 2009. Etnobotani: Memfa-silitasi penghayatan, pemutakiranpengetahuan dan kearifan lokaldengan mengguna-kan prinsip-prinsip dasar ilmu pengetahuan.Prosiding Seminar Enobotani IV.Cibinong Science Center-LIPI, 18Mei 2009.
391
Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan
Wikens, GE. 1990. What is economicbotany. Econ. Bot. 44 (1): 12-28
Zeven, AC. & PM. Zhukovsky. 1967.Dictionary of the CultivatedPlants and Their Centre ofDiversity. Centre for AgriculturalPublishing and Documentation.Wageningen 219 pp.
Memasukkan: Juni 2011Diterima: Agustus 2011
J. Biol. Indon. Vol 7, No.2 (2011)
PANDUAN PENULIS
Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah disusun dengan urutan:JUDUL (bahasa Indonesia dan Inggris), NAMA PENULIS (yang disertai dengan alamat Lembaga/Instansi), ABSTRAK (bahasa Inggris, maksimal 250 kata), KATA KUNCI (maksimal 6 kata),PENDAHULUAN, BAHAN DAN CARA KERJA, HASIL, PEMBAHASAN, UCAPANTERIMA KASIH (jika diperlukan) dan DAFTAR PUSTAKA.
Naskah diketik dengan spasi ganda pada kertas HVS A4 maksimum 15 halaman termasukgambar, foto, dan tabel disertai CD. Batas dari tepi kiri 3 cm, kanan, atas, dan bawah masing-masing 2,5 cm dengan program pengolah kata Microsoft Word dan tipe huruf Times New Romanberukuran 12 point. Setiap halaman diberi nomor halaman secara berurutan. Gambar dalambentuk grafik/diagram harus asli (bukan fotokopi) dan foto (dicetak di kertas licin atau di scan).Gambar dan Tabel di tulis dan ditempatkan di halam terpisah di akhir naskah. Penulisan simbol α,β, χ, dan lain-lain dimasukkan melalui fasilitas insert, tanpa mengubah jenis huruf. Kata dalambahasa asing dicetak miring. Naskah dikirimkan ke alamat Redaksi sebanyak 3 eksemplar (2 eksemplartanpa nama dan lembaga penulis).
Penggunaan nama suatu tumbuhan atau hewan dalam bahasa Indonesia/Daerah harusdiikuti nama ilmiahnya (cetak miring) beserta Authornya pada pengungkapan pertama kali.
Daftar pustaka ditulis secara abjad menggunakan sistem nama-tahun. Contoh penulisanpustaka acuan sebagai berikut :
Jurnal :Hara, T., JR. Zhang, & S. Ueda. 1983. Identification of plasmids linked with polyglutamate
production in B. subtilis. J. Gen. Apll. Microbiol. 29: 345-354.Buku :Chaplin, MF. & C. Bucke. 1990. Enzyme Technology. Cambridge University Press. Cambridge.Bab dalam Buku :Gerhart, P. & SW. Drew. 1994. Liquid culture. Dalam : Gerhart, P., R.G.E. Murray, W.A. Wood,
& N.R. Krieg (eds.). Methods for General and Molecular Bacteriology. ASM., Washington.248-277.
Abstrak :Suryajaya, D. 1982. Perkembangan tanaman polong-polongan utama di Indonesia. Abstrak
Pertemuan Ilmiah Mikrobiologi. Jakarta . 15 –18 Oktober 1982. 42.Prosiding :Mubarik, NR., A. Suwanto, & MT. Suhartono. 2000. Isolasi dan karakterisasi protease
ekstrasellular dari bakteri isolat termofilik ekstrim. Prosiding Seminar nasional IndustriEnzim dan Bioteknologi II. Jakarta, 15-16 Februari 2000. 151-158.
Skripsi, Tesis, Disertasi :Kemala, S. 1987. Pola Pertanian, Industri Perdagangan Kelapa dan Kelapa Sawit di
Indonesia.[Disertasi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.Informasi dari Internet :Schulze, H. 1999. Detection and Identification of Lories and Pottos in The Wild; Information
for surveys/Estimated of population density. http//www.species.net/primates/loris/lorCp.1.html.
J. Biol. Indon. Vol 7, No. 2 (2011)
Kajian Pendahuluan: Perpindahan Gen dari Tanaman Kentang Transgenik Katahdin RB ke Tanaman Kentang Non Transgenik A. Dinar Ambarwati, M. Herman, Agus Purwito , Eri Sofiari,& Hajrial Aswidinoor
277
Virus Influenza Novel H1N1 Babi di Indonesia NLP Indi Dharmayanti, Atik Ratnawati, & Dyah Ayu Hewajuli
289
Karakterisasi Produk Biosolubilisasi Lignit oleh Kapang Indigenus dari Tanah Pertambangan Batubara di Sumatera Selatan Irawan Sugoro, Sandra Hermanto,D. Sasongko,D. Indriani & P. Aditiawati
299
Potensi Virus Avian Influenza H5NI Isolat A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 Sebagai Vaksin R. Indriani, NLP I Dharmayanti, R.M.A Adjid, & Darminto
309
Variasi dan kekerabatan genetik pada dua jenis baru belimbing (Averrhoa leucopetala Rugayah et Sunarti sp nov dan A. dolichorpa Rugayah et Sunarti sp nov., Oxalidaceae) berdasarkan profil Random Amplified Polymorphic DNA Kusumadewi Sri Yulita
321
Pengaruh Dinamika Faktor Lingkungan Terhadap Sebaran Horisontal dan Vertikal Katak Hellen Kurniati
331
Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912 di Bali Bagian Barat Mas Noerdjito, Roemantyo &Tony Sumampau
341
Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Semusim Habitat Curik Bali (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) di Kawasan Labuan Lalang, Taman Nasional Bali Barat Roemantyo
361
Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan Manusia dengan Tumbuhan dan Lingkungannya Eko Baroto Walujo
375