Islam, Demokrasi Dan Partisipasi Sosial Politik Web viewMereka yang pernah mencoba menyususn teori...
Transcript of Islam, Demokrasi Dan Partisipasi Sosial Politik Web viewMereka yang pernah mencoba menyususn teori...
KEBARADAAN DEMOKRASI DALAM TATANAN POLITIK ISLAM
A.Preface
Dalam khasanah kajian sosio-politik yang sedang mengebumi, agama
sering dimaksudkan sebagai “sistem kepercayaan, ibadah, perilaku, dan lain-lain
yang didalamnya terkandung aturan (kode etik) dan filosof. Tetapi Islam,
mempunyai keterwujudan lain, yang juga merupakan tatanan sosial dan sekaligus
kode kehidupan yang lengkap. Dalam pandangan Islam, agama-agama Nasrani
dan Yahudi juga memiliki tatanan sosial namun tidak selengkap dan seutuh
Islam.1
Pengertian Islam yang dijelaskan diatas, maka orang muslim mendekati
terhadap Islam melalui cara yang berbeda-beda. Pertama; pendekatan tekstual,
qur’an hadits, kedua; pendekatan fiqih, ketiga; pendekatan historism, keempat;
pendekatan konstektual-kondisional. Konsekwensi dari berbeda pendekatan ini,
cara memahami Islam-pun berbeda.
Karena itu, Islam yang kita pahami paling tidak mengandung ajaran;
aqidah, ibadah, dan manhaj. “Aqidah, tercermin dalam dua kalimah syahadat dan
rukun Iman. Ibadah, tercermin dalam shalat, zakat, puasa dan haji. Dan Manhaj,
tercermin dalam siyasi (politik), iqtishodi (ekonomi), askary (keamanan, militer),
akhlaqi (moral-etika), ijtima’i ( sosial kemasyarakatan), dan ta’lim (pendidikan
dan pengajaran)”.2 Karena itu, tidak heran jika muncul pemahaman umat Islam
yang memandang, bahwa Islam tidak hanya agama unggulan atau suatu keyakinan
tata ibadah, tetapi juga sebagai pandangan hidup dan budaya yang mampu dan
layak menata seluruh umat manusia. Al-Qur’an dan Hadits mengandung semacam
tatanan konstitusional sebagai landasan perilaku orang-beriman, dan tatanan
konstitusional ini sesuai bagi semua orang disemua tempat dan waktu.3
1 Al-Buraey, A. Muhammad. Islam Landasan Al-ternatif Administrasi pembangunan (ter.), (Jakarta: CV. Rajawali, 1986). Hal. 49.
2Said Hawa. Al-Islam, (Al-Qaahirah: maktab Wahbah, 1987. Hal. 10.3David Sagiv. Islam Otentisitas Liberalisme (ter.), (Yogyakarta: LkiS, 1997).4.
1
Dari pemahaman sebagian besar umat Islam, maka tidak heran sampai hari
ini banyak orang Islam yang memahami dengan anggapan, “Islam tak terpisahkan
dari negara, ibadah dan jihad”. Inti dari pemaham ini, pada dasarnya Islam adalah
agama yang mengatur kehidupan manusia dari berbagai dimensi kehidupan. Yang
paling penting lagi, agama ini tidak memisahkan antara kehidupan dunia dan
kehidupan akherat, antara Mesjid dan Negara.
Jadi, Islam membicarakan seluruh dimensi kehidupan. Apakah itu masalah
ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, ketahanan, masalah politik dan lain-lain
yang menyangkut kehidupan manusia didunia. Maududi, menegaskan bahwa,
”ditetapkan pula hukuman untuk kejahatan-kejahatan tertentu dan demikian juga
ditetapkan prinsip-prinsip kebijaksanaan fiskal dan moneter. Ini semua tidak dapat
kita praktekan kecuali jika ada suatu negara Islam yang akan menegakkannya.
Dan disinilah letaknya kebutuhan akan adanya suatu Negara Islam”.4 Lanjutnya,
prinsip dasar Islam adalah bahwa manusia, baik secara individu atau secara
kelompok, harus menyerahkan semua hak atas kekuasaan, legislasi serta
penguasaan atas sesamanya, semua ini menurutnya, hanya merupakan hak Allah
semata. Beliau sambil menunjukan mengutip ayat-ayat alqur’an.5
Jika memahami Islam seperti dikemukakan diatas maka, “kepentingan
Islam membangun suatu komunitas politik berdasarkan wahyu Tuhan, adalah
cukup jelas asal-usulnya, bahkan walau sekilas saja. Disamping menunjukan jalan
bagi keselamatan individu, Islam sejak awal sudah merupakan sebuah agama
sosial yang menetapkan kode etik bagi tindakan sosial. Islam juga sebuah agama
politik yang menyatukan dan mengatur kaum Mukminin”.6 Hal semacam ini,
sangat jelas ungkapan-ungkapan dalam kitab suci al-qur’an, yang menegaskan
“tujuan al-qur’an adalah menegakkan sebuah tata masyarakat yang etis dan
4 Abd A’la al-Maududi. Hukum Dan Konstitusi Sistem Politik Islam (ter.), (Bandung: Mizan, 1995). Hal. 187.
5 (QS.12: 40); (QS. 3: 154); (QS.16: 116); QS. 5: 44).6 Binnaz Toprak. Islam Dan Politik di Turki (ter.), (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1999). Hal. 41.
2
egalitarian terlihat dalam celaannya terhadap disekuillibrium ekonomi dan ketidak
adilan sosial didalam masyarakat Mekkah pada waktu itu”.7
Karenanya sangat jelas, Islam berbicara universal, Islam tidak hanya
mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, tetapi juga meletakkan
peraturan-peraturan dasar mengenai hubungan-hubungan antar manusia dan
kepentingan-kepentingan mereka secara umum, dengan tujuan menciptakan
kesejahteraan.8 Ada istilah yang sangat bagus terhadap keuniversalan Islam ini,
yang disebut dengan “tiga D” (din, agama; dunya, dunia; dan dawlah, negara)…
karena itu Islam adalah sebuah totalitas yang padu yang menawarkan pemecahan
terhadap semua masalah kehidupan. Islam harus diterima keseluruhannya, dan
harus diterapkan dalam keluarga, ekonomi dan politik.9
Akhirnya kita paham bahwa, Islam bukanlah agama yang berbicara
masalah –masalah spritual saja semata-mata sebagaimana difahami secara keliru
oleh sementara orang, yang berpendapat bahwa Islam terbatas pada persoalan
tentang jalinan hubungan antara manusia sebagai hamba dengan Tuhannya, tanpa
ambil bagian dalam persoalan tentang penyelenggaraan urusan kemasyarakatan
serta aturan-aturan tingkah-lakunya. Yang sebenarnya, Islam berbicara universal.10
Dari keuniversalan inilah , Islam bertujuan menyatukan antara dunia dan akhirat
dalam suatu organisasi spritual, dan organisasi yang tidak memisahkan antara
tugas-tugas keduniaan dan tuas-tugas keagamaan. Secara mendasar Islam tidak
pernah bergeser dari tujuan penyatuan itu walaupun terjadi perubahan-perubaban
pada bentuk-bentuk lahirnya atau adat-istiadat masyarakat.11.Tegasnya, kita tidak
mempunyai alasan sama sekali untuk melakukan pemisahan antara Islam dan
masyarakat, baik dari sudut pandang Islam yang hakiki maupun dari pengamatan
7 Fazrurahman. Tema P okok Al-Qur’an (ter.), (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983).Hal. 55.
8 Jhon L. Esposito. Islam Dan Pembangunan Ensiklopedi Masalah-Masalah (ter.), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994). Hal. 167.
9 Effendy, Bahtiar. Islam Dan Negara Transformasi Pemikiran Dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998). Hal. 7.
10Jhon L. Esposito. Islam Dan Pembangunan Ensiklopedi Masalah-Masalah (ter.), hal. 167.11 Jhon L. Esposito. Dinamika Kebangunan Islam Watak, Proses Dan Tantangan (ter.), (Jakarta:
Rajawali Press, 1987). 215.
3
terhadap proses sejarah Islam itu sendiri; alasan-alasan semacam itu jika benar-
benar ada hanya dapat dikenakan kepada agama Kristen di Eropa.
Jika seorang Muslim masih beranggapan bahwa Islam hanya berperan
sebagai petunjuk yang berlaku dalam ursan-urusan ruhaniah, sedangkan untuk
urusan keduniaan ia mencampakkan Islam dan menggantinya dengan sistem
berfikir atau sistem sosial yang sepenuhnya bersifat man-made dan berdasarkan
pada etik situasional yang tanpa arah, maka ia adalah seorang muslim sekuler.12
Dari uraiana diatas, kita dapat memahami Islam dalam pembahasan ini,
sebagai berikut:
1. Semua para Nabi pada dasarnya adalah membawa ajaran Islam, dan
dengan membawa missi yang sama;
2. Islam mengandung tiga komponen dasar; aqidah, ibadah dan, manhaj.
Dalam manhaj inilah dasar politik Islam bisa dikembangkan dan
dilakukan sejak awal kemunculan Islam;
3. Dari manhaj Islam ini, Islam dijadikan sebagai pandangan hidup dan
budaya yang mampu dan layak menata seluruh kehidupan;
4. Karena itu, Islam tak terpisahkan dari negara, ibadah dan jihad. Dan
dengan demikian, Islam tidak memisahkan antara kehidupan dunia dan
akhirat; antara mesjid dan negara;
5. Islam sejak awal sudah merupakan sebuah tatanan agama sosial yang
menetapkan kode etik bagi tindakan sosial. Jika demikian, Islam juga
sebuah agama politik;
6. Dari sudut pengalaman dan tindakan; Muhammad saw adalah seorang
pemimpin politik dan juga seorang Nabi;
7. Atas dasar diatas, Islam pada awalnya muncul merupakan; gerakan
protes terhadap supremasi ekonomi dan politik kelas-kelas penguasa
Mekkah dan;
8. Karena itu, Islam itu sangat universal.
12 Umaruddin Masdar. Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999). Hal. 98.
4
B. Sumber Politik Islam.
Dari uraian diatas, kita dapat memahami bahwa Islam adalah; agama,
negara, ibadah, pemimpin, pegangan dan pedang. Dengan demikian, pemerintahan
yang berdaulat dan berpolitik adalah sebagian dari Islam. Mendirika negara wajib
bagi kaum muslimin, apabila mereka meremehkannya mereka berdosa.13Karena
itu, dari mana sumber politik Islam itu muncul ? membicarakan sumber politik
Islam, paling tidak ada empat sumber, yaitu: Pertama, Politik Islam bersumber
pertama dan paling utama adalah berasal dari Al-Qur’an. Sekalipun dalam al-
qur’an sesungguhnya tidak menyebutkan kata-kata secara langsung tentang politik
(Siyasah). Akan tetapi al-qur’an secara tegas menyebutkan dan mengarahkan
kepada tindakan, yang dalam hal ini disebutkan dengan kata-kata ”Khalifah”. Jika
kita ingin jujur, ”setiap mukmin adalah khalifah Tuhan sesuai dengan kemampuan
individunya. Dengan demikian, dia secara individu bertanggung jawab kepada
Tuhan”.14 Dalam Al-qur’an kata khalifah, pertama istilah ini tertuju kepada
Adam,15 dan selanjutnya, secara tegas dan khusus yang menunjukan kekuasaan
dimuka bumi, istilah ini diberikan kepada Daud,16 untuk terlibat dalam kekuasaan
dunia, mengurus pemerintahan dengan cara adil dan bijaksana.
Dari sini diperoleh informasi bahwa, pengangkatan khalifah dalam al-
qur’an ditujukan kepada Nabi Adam dan Nabi Daud. khalifah pertama adalah
manusia pertama (Adam) dan ketika itu belum ada masyarakat manusia, berbeda
dengan keadaan pada masa Nabi Daud. Beliau menjadi khalifah setelah berhasil
membunuh Jalut.17
Menurut Quraish Shihab, menunjukan bahwa Daud memperoleh
kekuasaan tertentu dalam mengelola suatu wilayah, dan dengan demikian kata
khalifah pada ayat yang membicarakan pengangkatan Daud adalah kekhalifahan
13Sayyid Sabiq. Unsur-unsur DInamika Dalam Islam (ter.), (Jakarta: Internusa, 1981), hal. 187. 14Abd A’la al-Maududi, hal. 169.15(QS.Al-baqarah[2]: 30).16(QS.Shad [38]: 26). 17 M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996). Hal. 423. Dan perhatikan
QS. Al-Baqarah,[2]: 251.
5
dalam arti kekuasaan mengelola wilayah atau dengan kata lain kekuasaan
politik.18
Dalam Al-Qur’an, disebutkan pula kata-kata hukum, dan ulil amri yang
juga merupakan sumber politik dalam Islam. Jika hukum tersebut dalam Al-
Qur’an dinisbathkam kepada manusia secara umum, ini menunjukan bahwa
manusia harus berbuat, bertindak dan memutuskan secara hukum. Dimaksudkan
adalah hukum Allah, secara adil dan bijaksana. Secara khusus, hukum tersebut
harus dilaksanakan tertuju kepada penguasa. Jadi disini, seorang penguasa yang
memegang kekuasaan politik atau kekuasaan wilayah ia harus berpegang teguh
kepada hukum Allah dalam memutuskan segala hal; dengan cara adil dan
bijaksana. Pelaksananya adalah seorang pemimpin yang memiliki otoritas
politik.19
Kedua ayat ini,20 dinilai oleh para ulama sebagai prinsip-prinsip pokok
yang menghimpun ajaran Islam tentang kekuasaan atau pemerintahan. Bahkan
Rasyid Ridla, seorang pakar tafsir, berpendapat bahwa, “Seandainya tidak ada
ayat lain yang berbicara tentang hal pemerintahan, maka ayat ini telah amat
memadai”.21 Atas dasar pandangan diatas, bahwa konsep Islami mengenai
kehidupan sebagaimana yang telah dipaparkan oleh al-qur’an adalah bahwa
manusia harus membaktikan semua kehidupannya demi Allah. Perintah-perintah
Allah-lah yang harus diikuti dalam semua aspek kegiatan manusia. Al-Qur’an
tidak hanya meletakkan prinsip-prinsip moralitas dan etika, melainkan juga
memberikan tuntunan-tuntunan di bidang-bidang; politik, sosial dan ekonomi.22
Lanjutnya, bahwa Iman terhadap keesaan dan kekuasaan Allah merupakan
landasan sistem sosial dan moral Islam yang ditanamkan oleh para Rasul. Dari
sinilah filsafat politik Islam mengambil titik pijak.
Kedua, politik Islam bersumber dari hadist yang mengarahkan manusia
kedalam keteraturan. Keteraturan manusia perlu adanya seorang pemimpin dan
yang dipimpin. Kedua belah pihak saling ketergantungan. Hadist ini merupakan
18 Ibid., hal. 423.19Perhatikan QS.an Nisa,[4]: 58-59. 20 Perhatikan QS. An Nisa, [4]: 58-59.21M. Quraish Shihab, hal. 426.22Abd A’la al-Maududi, hal. 156.
6
bagian dari sumber politik Islam, Sekalipun tidak secara langsung menyebutkan
kata-kata siyasi (politik), tapi langsung menyebutkan perlunya pigur dan
tindakan. Berikut ini hadist Nabi yang berkaitan dengan pemimpin, yang dinukil
dari Sa’id Hawa,23 dalam kitab (al-Islam). 1) sabda Nabi: ”Orang yang taat pada
Allah, mesti mentaatiku (Rasulullah), dan orang yang mentaatiku harus mentaati
pemimpin-pemimpinmu.” 2) sabda Nabi: ”Tidak ada Nabi setelahku, akan tetapi
akan datang khulafa (pengganti-pengganti)ku pemimpin-pemimpin yang banyak.”
Para Sahabat bertanya, apakah mereka akan memimpin kami ya Rasulullah? Nabi
menjawab:” Tepatilah ”bai’at”, sesuai dengan urutan; yang pertama
diutamakan,...”. 3) dalam hadist lain Nabi bersabda: ”Akan ada setelahku
pemimpin-pemimpin, akan hadir pemimpin yang baik dengan segala kebaikannya,
dan akan muncul seorang pemimpin yang jahat dengan segala kejahatannya,
dengarlah dan taatilah pemimpin-pemimpin itu, jika sesuai dengan al-haq. Jika
pemimpin itu baik, maka kebaikan itu bagimu, dan jika pemimpin itu jahat, maka
kejahatan itu bagimu dan bagi mereka”.4) Sabda Nabi:” Jika ada tiga orang dalam
suatu kampung, maka salah satu diantara mereka harus ada yang menjadi
pemimpin.” (didalam kitab Musand Imam Ahmad Ibn Hanbal yang diriwayatkan
oleh Abdullah Ibn Umar ra.) 5) Sabda Nabi: ”Jika kalian bepergian tiga orang,
maka salah satu diantara mereka harus ada yang menajdi pemimpin.” (HR. Abu
Daud). Hadist-hadist Nabi tersebut menunjukan perlunya seorang imam
(pemimpin). Atas dasar paparan diatas, maka bagi umat Islam, seluruh dimensi
kehidupan jangan keluar dari aqidah Islam. Dan aqidah Islam inilah, yang
mewajibkan umat untuk berusaha membentuk sistem pemerintahan sendiri yang
bersumber dari al-qur’an dan hadist nabi saw. Agar iman mereka menjadi benar
dan hidup mereka pun benar-benar berada dijalan yang benar.
Ketiga, politik Islam bersumber dari pengalaman Islam awal.
Dimaksudkan adalah Islam semasa Rasulullah saw baik ketika di Mekkah atau di
Madinah. Pengalaman dan tindakan kedua Islam semasa para khulafa al-rasyidin.
Pada masa Nabi adalah; pengalaman hijrah dari Mekkah ke Madinah, pengalaman
23Said Hawa. Al-Islam, (Al-Qaahirah: maktab Wahbah, 1987).
7
Bai’at Aqobah I dan II, pengalaman musyawarah Nabi ketika perang Uhud,
perang handaq, dalam Hudaibiyah, dalam Piagam Madinah, dan yang tidak bisa
dibantah lagi adalah kehidupan masyarakat Madinah, yang merupakan bukti
sejarah masyarakat muslim yang langsung dipimpin oleh Nabi. Jika boleh disebut
dalam bahasa kekinian, Madinah merupakan Negara Islam yang sangat ideal, dan
merupakan rujukan bagai masyarakat Islam kemudian. Sabiq, yang diungkap
kembali oleh Fattah, beranggapan bahwa:
“Semenjak zaman Rasulullah, pemerintahan termasuk bagian yang terpenting dari Islam. Dan Rasulullah-lah sebagai kepala negara di samping sebagai Rasul Allah dan Nabi. Setelah beliau wafat, para sahabat Rasulullah segera membai’at (mengangkat) salah satu diantara mereka sebagai kepala negara (pemimpin). Maka jelaslah, bahwa dalam Islam harus ada pemerintahan dan itu tidak bisa diingkari lagi. Karena itu, Akidah Islam mewajibkan umat untuk berusaha membentuk sistem mereka sendiri yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadist Nabi saw.agar iman mereka menjadi benar dan hidup mereka pun benar-benar berada di jalan benar”.24
Dari pengalaman hijrahnya Muhammad dari Mekah ke Madinah untuk
mengkonsolidasikan umat Islam, perlawanannya terhadap warga Mekah baik
dalam front politik maupun ekonomi yang mengakibatkan tiga pertempuran dan
perubahan jalur perdagangan Mekah, serta menyerahnya warga Mekah,
menunjukan bahwa Muhammad adalah seorang pemimpin politik dan juga
seorang Nabi.25 Hal ini menunjukan, bahwa Islam pada awalnya muncul sebagai
gerakan protes terhadap supremasi ekonomi dan politik kelas-kelas penguasa
Mekkah. Perlawanan warga Mekkah terhadap Nabi Muhammad dan para
pengikutnya pertama-tama bukan alasan-alasan teologis. Mereka memandang
agama baru itu sebagai ancaman terhadap kepentingan ekonomi mereka dan
struktur oligarki masyarakat Mekkah.26
Smith mengemukakan fakta sejarah, yang dijadikan sebagai sumber politik
Islam, bahwa sifat organik dari Islam sangat jelas. Sejarah penanggalan Muslim
24 Huwaydi, Fahmi. Demokrasi Oposisi Dan Masyarakat Madani (ter.), (Bandung: Mizan, 1996), hal. 206.
25 Toprak, Binnaz. Islam Dan Politik di Turki (ter.), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hal. 42.
26Ibid., hal. 42.
8
berasal dari fakta politik, yaitu saat mulai berdirinya masyarakat muslim di
Madinah.... Islam tidak pernah kehilangan inspirasi dan perspektif dasar untuk
mengembangkan suatu idiologi perubahan sosial. Bagi ajaran Islam, ada satu
ajaran yang tidak mungkin salah: bahwa Tuhan berperan dalam sejarah manusia
sebagai pemeran-serta, dan tujuan kehadiran-Nya di mika bumi adalah untuk
mewujudkan keadilan sosial.27
Fakta sejarah lain yang dijadikan sebagai sumber pokok politik Islam
adalah, tentang Bai’at. Pelaksanaan Bai’at ini, pernah dilaksanakan oleh generasi
pertama. Dua belas pemuda Yatsrib yang telah beriman bertemu dengan Nabi di
Aqabah. Di hadapan Nabi mereka menyatakan kesaksiaannya memeluk agama
Islam, dan mereka secara bersama-sama mengangkat tangan Nabi seraya
bersumpah bahwa mereka tidak akan menyembah sesuatu selain Allah semata.
Sumpah inilah yang dikenal sebagai perjanjian”Aqobah I”.28 Demikian juga pada
Aqobah II, merupakan cermin dari Bai’at. Bai’at juga pernah dilaksanakan dalam
pengangkatan Abu Bakar Shidiq setelah wafat Rasulullah saw. Ketika, Umar
mengangkat tangan Abu Bakar seraya menyampaikan sumpah setia kepadanya
dan membai’atnya sebagai khalifah.29 Fakta sejarah ini menunjukan bahwa Bai’at
pernah terjadi dikalangan kaum muslimin, dan baru beberapa abad kemudian
diteorikan oleh Al-Mawardi.30
C. Doktrin Politik Islam
Membicarakan Islam dan politik di Indonesia melibatkan kekhawatiran
dan harapan lama yang mencekam. Daerah itu penuh dengan ranjau kepekaan dan
kerawanan, sehingga pekerjaan harus dilakukan dengan kehati-hatian secukupnya.
Tapi berhati-hati tidaklah berarti membiarkan diri terhambat dan kehilangan
tenaga untuk melangkah, sebab jelas pembicaraan harus dilakukan juga mengingat
27 Donald Eugene Smith. Agama Dan Modernisasi Politik Suatu Kajian Analitis (ter.), (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), hal. 264.
28 Ali, K. Sejarah Islam (ter.), (Jakarta: Srigunting, 1977), hal. 38.29Ibid., hal. 90-91. 30Pulungan, Fiqih Siyasah Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), hal. 74.
9
berbagai alasan dan keperluan.31 Karena itu, untuk memulai kajian Islam dan
politik, sebaiknya kita menelusuri terlebih dahulu doktrin Islam tentang politik,
dan mnelusuri perbedaan pemahaman dikalangan para ulama dan para pemerhati
politik Islam, tentang sistem politik Islam.
Dikalangan para ulama klasik atau modern, mayoritas diantara mereka
sepakat bahwa dalam Islam memiliki doktrin politik. Dalam bahasan ini, penulis
hanya mengambil salah satu pendapat ulama modern dan lebih dekat kepada kita.
Siradj,32 ia mengemukakan doktrin Islam selain mengemban syari’ah dan aqidah –
meskipun tidak sharih- juga membicarakan missi siyasah (politik). Ketiga elemen
tersebut merupakan unsur-unsur yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan
umat Islam. Disamping itu juga dari sini pula akar pemicu timbulnya ikhtilaf
(kontroversi) dikalangan mereka. Lanjutnya, dalam Islam, conern umat Islam
terhadap politik sudah muncul semenjak awal lahirnya Islam. Pertikaian kaum
muslimin dengan kaum musrikin mustahil mampu diatasi jika tidak memakai
strategi (baca:politik) yang jitu. Namun, politik yang dimaksudkan Islam, jelas
yang berperadaban, bermoral, humanis, tidak menghalalkan segala cara serta yang
mengacu pada suatu kaidah fiqih (legalitas Islam), ”Tasharruful imam ’ala-
ra’iyyah, manuthun bil-mashlahah”[bahwa kebijakan penyelenggara negara atas
rakyat senantiasa harus mengedepankan kemaslahatan].33
Berbeda dengan pandangan diatas, bahwa politik Islam tidak bisa
dilepaskan dari sejarah Islam yang multiinterpretatif semacam ini. Pada sisi lain,
hampir setiap Muslim percaya akan pentingnya prinsip-prinsip Islam dalam
kehidupan politik. Pada saat yang sama, karena sifat Islam yang multiinterpretatif
itu, tidak pernah ada pandangan tunggal mengenai bagaimana seharusnya Islam
dan politik dikaitkan secara pas. Bahkan, sejauh yang dapat ditangkap dari
perjalanan diskursus intelektual dan historis pemikiran dan praktik politik Islam,
31 Nurcholish Madrid. Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 3.
32 Said Aqiel Siradj. Islam Kebangsaan Fiqih Demokrasi Kaum Santri, (Jakarta: Psutaka Ciganjur, 1999), 3.
33Ibid., 3.
10
ada banyak pendapat yang berbeda-beda bahkan saling bertentangan –mengenai
hubungan yang sesuai antara Islam dan politik.34
Dari uraian diatas, kita bisa menarik kesimpulan tentang doktrin politik
Islam. Pertama, Islam memiliki doktrin politik, atau Islam mengatur sistem
politik Islam. Kedua, Islam tidak menentukan sistem baku doktrin politik Islam.
Kedua kesimpulan ini, yang mengemuka kepermukaan, akan kita bahas secara
jelas dan lengkap dalam; politik Islam dalam sorotan dibawah ini.
D. Telisik Politik Dalam Islam
Pendapat pertama ini, penulis akan kemukakan beberapa ahli yang serius
menyoroti terhadap Politik Islam, dari masa kemasa, yang menyatakan
pendapatnya, bahwa Islam juga bicara masalah politik. Misalnya, Abu ‘Ala Al-
Maududi, Hasan Al-banna, Syeikh Mahmud Syaltut, Sayyid Qutub, Sayyid Sabiq,
Saefuddin Abdul Fatah, dan dari pemerhati politik Islam Indonesia yaitu, Amien
Rais. Sementara dari kalangan orientalis, penulis ambil yang sangat serius
memperhatikan perkembangan Islam yaitu; Donald E. Smith dan Grunebaun.
Sekali lagi penulis kemukakan pandangan Maududi bahwa,Islam
membicarakan seluruh dimensi kehidupan. Apakah itu masalah ekonomi, sosial,
budaya, pendidikan, ketahanan, masalah politik dan lain-lain yang menyangkut
kehidupan manusia di dunia. Maududi, menegaskan bahwa konsep Islam
mengenai kehidupan sebagaimana yang telah dipaparkan oleh al-Qur’an adalah
bahwa manusia harus membaktikan semua kehidupannya demi Allah. Perintah-
perintah Allah yang harus diikuti dalam semua aspek kegiatan manusia. Al-
Qur’an tidak hanya meletakkan prinsip-prinsip moralitas dan etika, melainkan
juga memberikan tuntunan-tuntunan di bidang politik, sosial dan ekonomi.
Ditetapkan pula hukuman untuk kejahatan-kejahatan tertentu dan demikian juga
ditetapkan prinsip-prinsip kebijaksanaan fiskal dan moneter. Ini semua tidak dapat
34 Effendy, Bahtiar. Islam Dan Negara Transformasi Pemikiran Dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.
11
kita praktekkan kecuali jika ada suatu negara Islam yang akan menegakkannya.
dan disinilah letaknya kebutuhan akan adanya suatu Negara Islam.35
Prinsip Maududi, ketika menyoroti politik Islam, beranggapan bahwa iman
terhadap keesaan dan kekuasaan Allah merupakan landasan sistem sosial dan
moral Islam yang ditanamkan oleh para Rasul. Dari sinilah filsafat politik Islam
mengambil titik pijak. Prinsip dasar Islam adalah bahwa makhluk manusia, baik
secara individual atau secara kelompok, harus menyerahkan semua hak atas
kekuasaan, legislasi serta penguasaan atas sesamanya.36 Semua ini, menurut
Maududi, hanya merupakan hak Allah semata.37
Karena itu, Islam bukanlah agama yang berbicara masalah-masalah
spritual saja semata-mata sebagaimana difahami secara keliru oleh sementara
orang, yang berpendapat bahwa Islam terbatas pada persoalan tentang jalinan
hubungan antara manusia sebagai hamba dengan Tuhannya, tanpa ambil bagian
dalam persoalan tentang penyelenggaraan urusan kemasyarakatan serta aturan-
aturan tingkahlakunya. Yang sebenarnya, Islam berbicara universal.38 Dari
keuniversalan inilah, Islam bertujuan menyatukan antara dunia dan akhirat dalam
suatu organisasi spritual, dan organisasi yang tidak memisahkan antara tugas-
tugas keduniaan dan tugas-tugas keagamaan. Secara mendasar Islam tidak pernah
bergeser dari tujuan penyatuan itu walaupun terjadi perubahan-perubahan pada
bentuk-bentuk lahirnya atau adat-istiadat masyarakatnya.39 Tegasnya, kita tidak
mempunyai alasan sama sekali untuk melakukan pemisahan antara Islam dan
masyarakat, baik dari sudut pandang Islam yang hakiki maupun dari pengamatan
terhadap proses sejarah Islam itu sendiri; alasan-alasan semacam itu jika benar-
benar ada hanya dapat dikenakan kepada agama Kristen di Eropa.
Jadi, yang benar dalam Islam adalah; agama, negara, ibadah, pemimpin,
pegangan dan pedang. Dengan demikian, pemerintahan yang berdaulat dan 35 Abd A’la al-Maududi, hal.186-187. 36 Ibid.., hal. 156.37 Al-Maududi dengan menyitir ayat-ayat al-Qur’an: (QS 12: 40; QS 3: 154; QS 16: 116; QS 5:
44).
38 Syaltut dalam Esposito, hal. 167.39 Qutub dalam Esposito, hal. 215.
12
berpolitik adalah sebagian dari Islam. Mendirikan negara wajib bagi kaum
muslimin, apabila mereka meremehkannya mereka berdosa.40Lanjutnya,
Semenjak zaman Rasulullah, pemerintahan termasuk bagian yang terpenting dari
Islam. Dan Rasulullah-lah sebagai kepala negara disamping Rasul Allah dan Nabi.
Setelah beliau wafat, para sahabat Rasulullah segera membai’at (mengangkat
salah satu diantara mereka sebagai kepala negara (pemimpin) . Maka jelaslah,
bahwa dalam Islam harus ada pemerintahan dan itu idak bisa diingkari.
Atas dasar paparan diatas, maka bagi umat Islam, seluruh dimensi
kehidupan jangan keluar dari aqidah Islam. Dan aqidah Islam inilah, yang
mewajibkan umat untuk berusaha membentuk sistem pemerintahan sendiri yang
bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits SAW.agar iman mereka menjadi benar dan
hidup mereka pun benar-benar berada dijalan yang benar. Aqidah Islam
memerintahkan pemeluknya untuk menolak sistem-sistem lain yang tidak
bersumber darinya, meskipun ada kemiripan dengan sistem mereka, karena
penerimaan kaum muslimin terhadap sistem tersebut tanpa dasar yang jelas dapat
mengakibatkan kepada penerimaan kekalahan sistem mereka dan sistem akidah
mereka, serta menimbulkan keraguan padanya, yang akhirnya menjadi jalan untuk
mengeluarkan mereka dari aqidah yang mereka yakini.41
Karenanya, umat Islam jangan memisahkan kehidupan anatara dunia dan
akhirat. Dalam ajaran Islam, kehidupan yang dikhotomis-yang membedakan
secara dualistis antara yang profan dan yang sakral, dunia dan ukhrawi, religius
dan sekuler, dan lain sebagainya- tidak dikenal dalam cara berfikir seorang
muslim. Seluruh dimensi kehidupan Muslim bertumpu pada tauhid, sebagai
essensi dari seluruh ajaran Islam. Tauhid harus menjiwai dan mewarnai seluruh
bidang kegiatan hidup kaum Muslimin.42
Pandangan-pandangan diatas, yang dikemukakan oleh para ahli dalam
bidang ke-Islaman, diperjelas dan dipertegas oleh sebagian orintalis yang jujur.
Smith misalnya, ia mengemukakan bahwa Al-Qur’an merupakan rekaman wahyu
40 Sayyid Sabiq., hal. 187. Dengan menyitir ayat-ayat al-Qur’an: QS.5: 49;QS. 12: 67 dan; QS.4: 105.41 Fattah dalam Fahmi Huwaydi, hal. 206. 42 Rais dalam Dedy, hal. 171.
13
Allah bagi umat manusia. Ini merupakan penyempurnaan dari wahyu yang pernah
diterima oleh Ibrahim, Musa, dan Yesus, yang mereka merupakan pendahulu
sebelum Rasul pembawa agama Islam.43 Ia berargumen, bahwa sifat organik dari
Islam sangat jelas. Sejarah penanggalan Muslim berasal dari fakta politik, yaitu
saat mulai berdirinya masyarakat muslim di Madinah… Islam tidak pernah
kehilangan inspirasi dan perspektif dasar untuk mengembangkan suatu idiologi
perubahan sosial.Bagi ajaran Islam, ada satu ajaran yang tidak mungkin salah:
bahwa Tuhan berperan dalam sejarah manusia sebagai pemeran-serta, dan tujuan
kehadiran –Nya di muka bumi adalah untuk mewujudkan keadilan sosial.
Pandangan senada, dikemukakan oleh orintalis lain, yaitu Grunebaun.
Menurutnya, para sahabat Nabi, diistimewakan oleh fakta sejarah bahwa mereka
menyatukan “agama, moral kekuatan dan kemampuan politik”. Kemenangan yang
dicapainya membuka lembaran sejarah, termasuk ketika khulafa ar- rasyidin, yang
mampu menyeimbangkan secara sempurna kegiatan-kegiatan agama dengan
politik, praktis dan rohaniah, aspirasi dan aktivis. Demi kebahagiaan umat
manusia, Islam mulai menancapkan pengaruhnya sejalan dengan perkembangan
umat manusia sendiri.44 Hal ini menunjukan, pentingnya agama (Islam) sebagai
variabel dalam proses pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan bahkan politik.
Anggapan semacam ini, perlu dipertahankan dalam keyakinan seorang muslim
sejati.
Untuk mendukung alasan diatas, Watt menyebut Nabi Muhammad saw.
Sebagai seorang negarawan dengan mengemukakan empat alasan. Pertama,
Muhammad saw. memiliki bakat sebagai seorang yang mampu melihat sesuatu
sebelum terjadi karena didukung wahyu dan kejeniusannya; kedua, kearifannya
sebagai negarawan beliau tunjukan dalam menerapkan struktur ajaran al-Qur’an
yang global secara kongkrit melalui kebijaksanaannya yang tepat; ketiga,
reformasinya di bidang sosial yang berwawasan jauh dan ditunjang oleh strategi
politiknya yang akurat; keempat, beliau memiliki kemampuan sebagai
43 Smith, hal. 264.44Grunebaun dalam Al-Bureay,hal. 139.
14
administrator dan arif dalam menunjuk para pembantunya untuk melaksanakan
tugas-tugas administrasi.45
Pandangan kedua, penulis akan kemukakan pendapat yang beranggapan
bahwa “Islam tidak ikut campur dalam urusan politik, atau paling tidak bahwa
Islam tidak mengatur secara pasti hal-hal yang berkaitan dengan urusan politik
negera/pemerintahan”. Sebagian diantara mereka adalah; Ali Abd Raziq,
Muhammad Husein Haikal, Muhammad Imara, dari pemikir muslim Indonesia
Nurcholish Madjid, dan Abdurrahman Wahid.
Dalam bahasa yang sangat vulgar, bahwa Nabi Muhammad sebenarnya
bukan seorang pemimpin politik (negarawan), melainkan hanya seorang Rasul
yang membawa Risalah agama murni. Nabi tidak pernah mencoba dan
memerintahkan untuk mendirikan pemerintahan atau negara. Nabi adalah utusan
Tuhan dalam masalah-masalah keagamaan, bukan kepala negara yang mengurusi
masalah-masalah politik.46
Beliau mengabdikan dirinya semata-mata untuk menyiarkan agama dalam
arti murni tanpa adanya kecenderungan apa pun yang menjurus kepada kekuasaan
yang bersifat sementara (temporal sovereignty), sebab beliau tidak pernah
mengemukakan himbauan atau perintah dengan mengatasnamakan suatu
pemerintah tertentu. Pendapat yang serupa ini menegaskan bahwa Nabi tidak
memiliki baik kekuasaan yang bersifat sementara atau pun pemerintahan, tidak
mendirikan kerajaann dalam arti politik dan yang semacam itu. Beliau hanyalah
seorang Nabi, sama seperti para Nabi sebelumnya, bukan raja, bukan pendiri suatu
negara dan juga tidak pernah memerintahkan untuk mendirikan sutu kerajaan
tertentu yang memiliki kekuasaan sementara seperti itu.47 Ia juga menolak semua
argumentasi para pemikir Sunni klasik, bahwa menegakan khilafah merupakan
suatu kewajiban. Menurutnya, lembaga khilafah tidak mempunyai landasan
normatif baik dari Al-Qur’an, Sunnah maupun Ijma.
45 Watt dalam Pulungan, hal. 78.46 Raziq dalam Umaruddin Masdar, hal. 55. 47 Ibid., hal. 41-42.
15
Atas dasar pemikiran itu, Islam bukan suatu agama yang serba lengkap
dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan.48 Karenanya, tidak ada
patokan bagi sistem politik Islam yang tertentu. Mereka yang pernah mencoba
menyususn teori bagi sistem semacam itu, biasanya hanya melukiskan pautan
historis dari suatu tatanan yang memungkinkan dilaksanakannya ajaran Islam.49
Ada anggapan yang pesimis terhadap Islam, dengan ungkapan, jika Islam
merupakan agama yang bersifat universa l(mendunia), atau katakanlah, sebagai
pandangan hidup yang berlaku untuk segala zaman, untuk seluruh umat manusia
dan untuk segala tempat, maka mengapa Islam tidak juga menyajikan jawaban
yang memadai terhadap persoalan-persoalan utama di bidang ekonomi dan politik
yang kita hadapi.50
Argumennya adalah, Islam sebagai agama tidak menentukan suatu sistem
pemerintahan tertentu bagi kaum muslimin, karena logika tentang kesesuaian
agama untuk sepanjang masa dan tempat menuntut agar soal-soal yang selalu akan
berubah oleh kekuatan evolusi harus diserahkan kepada akal manusia (untuk
memikirkannya), dibentuk menurut kepentingan umum dan dalam kerangka
prinsip-prinsip umum yang telah digariskan agama ini.51 Pendapat semacam ini,
seakan-akan mengenyampingkan bahwa Islam tidak pernah berperan dalam
membentuk pemerintahan. Padahal fakta sejarah, telah membuktikan pada kita
bahwa Muhammad SAW.sebagai Nabi dan kepala pemerintahan pada masa itu
telah membuktikan, dengan mendirikan masyarakat Madinah yang pluralistik.
Argumen lain, dari kelompok ini dikemukakan oleh Abd Rahman Wahid
yang mengamati masalah-masalah ke-Islaman di Indonesia. Ia mengemukakan
bahwa Islam tidak mengenal konsep pemerintahan yang definitif. Dalam
persoalan yang paling pokok, misalnya, suksesi kekuasaan, ternyata Islam tidak
konsisten; terkadang memakai istikhlaf, bai’at dan ahl halli wal aqd (sistem
formatur). Dalam pandangannya, padahal soal suksesi adalah soal yang cukup
urgen dalam masalah kenegaraan. “kalau memang Islam punya konsep, tentu
48 Haikal dalam Sjadzali, Munawir. Islam Dan Tata negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993), hal. 2.
49Al-Mahdi dalam Esposito, hal. 299.50 AK. Brohi dalam Esposito, hal. 242..51 Imara dalam Effendy, hal, 13.
16
tidak terjadi demikian”.52 Sepertinya, pendapat ini melupakan nilai-nilai Islam
yang terkandung dalam Al-qur’an. Bahwa kita, dianjurkan untuk berlaku adil,
amanah, bijaksan, saling menghargai, musyawarah dan nilai-nilai lainnya.
Semuanya ini, memerlukan suatu instrumen atau semacam lembaga, dan lembaga
yang paling tinggi adalah apa yang kita namakan negara atau pemerintahan.
Pandangan yang populer tahun tujuh puluhan, dikemukakan Nurcholish
Madjid, dalam kerangka pikirnya yang absolut hanyalah Allah semata, sedang
persoalan negara Islam, partai Islam atau idiologi Islam tidaklah sakral, karena al-
Qur’an juga tak memerintahkan pembentukan pranata-pranata semacam itu.
Dalam bingkai premis tersebut kemudian dia menyerukan “ Islam Yes, Partai
Islam No !“,53 sebuah jargon yang dikemukakan untuk mendorong umat Islam
agar mengarahkan komitmen mereka kepada nilai-nilai Islam, bukan kepada
institusi-institusi kendatipun memakai nama Islam.
Pandangan ketiga, merupakan sintesa dari pandangan-pandangan diatas.
Pandangan ini cukup bijaksana, tidak menggiring Islam ke kancah politik dan juga
tidak mendorong Islam harus keluar dari dunia politik.
Islam, merupakan rancangan risalah sebelum ia menjadi rancangan politik.
Karena masalah demikian, maka banyak para pengkaji atau pemerhati di dunia
Islam menggunakan sejarah sebagai bahan pembantu ketika mereka berbicara
masalah sistem politik. Mereka menjadikan pendapat-pendapat para fuqoha atau
sistem-sistem yang ada pada masa lalu sebagai rujukan. Padahal semuanya itu
bukan merupakan hal yang mengikat kita untuk mengikutiya.54 Pandangan ini,
mengakui Islam terlibat dalam dunia politik, tapi politik bukan segala-galanya
sebagai tujuan hidup manusia. Yang penting dalam Islam bagaimana cara
mempertahankan aqidah Islam yang benar dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
Karena itu, penting untuk dicatat bahwa pendapat seperti ini juga
mengakui bahwa al-Qur’an mengandung “nilai-nilai dan ajaran yang bersifat 52 Abdurrahman Wahid dalam Malik, Dedy Djamaluddin dan Idi Subandy Ibrahim. Zaman Baru
Islam Indonesia, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), hal. 169.53 Madjid dalam Aminuddin. Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia,
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999), hal. 146.54Qardhawi dalam Huwaydi, hal. 120.
17
etis…mengenai aktivitas sosial politik umat manusia.”Ajaran-ajaran ini mencakup
prinsip-prinsip tentang “keadilan, keamaan, persaudaraan, dan kebebasan”.55 Yang
pokok, Islam adalah agama risalah, atas dasar risalah inilah para ahli
menginterpretasikan, bahwa Islam mengatur seluruh kehidupan dunia, termasuk
masalah-masalah politik.
Dengan kata lain, al-Qur’an tidak memberikan suatu pola teori kenegaraan
yang pasti dan kering yang harus diikuti oleh umat Islam di berbagai negeri.
Alasan untuk ini tidak sulit untuk dicari. Pertama, al-Qur’an pada prinsipnya
adalah petunjuk etik bagi manusia; ia bukanlah sebuah kitab ilmu politik. Kedua,
sudah merupakan suatu kenyataan bahwa institusi-institusi sosio-politik dan
organisasi manusia selalu berubah dari masa-ke masa. Atau, dengan memakai
ungkapan lain, diamnya al-Qur’an dalam masalah ini “berarti memberikan suatu
jaminan yang sangat esensial dan sengaja terhadap kekakuan hukum dan
sosial….” Tujuan terpenting al-Qur’an adalah agar nilai-nilai dan perintah-
perintah etiknya dijunjung tinggi dan bersifat mengikat atas kegiatan-kegiatan
sosio-politik ummat manusia. Nilai-nilai ini bertalian secara organik dengan
prinsip-prinsip keadilan, persamaan, dan kemerdekaan yang juga menempati
posisi sentral dalam ajaran moral al-Qur’an. Dari perspektif ini, sutu negara
hanyalah dapat dikatakan bercorak Islam manakala keadilan dan lain-lainnya itu
benar-benar terwujud dan terasa di dalamnya, dan mempengaruhi seluruh
kehidupan rakyat.56 Atas dasar inilah, seharusnya kita mmemahami adanya
semangat untuk tidak memandang partai politik dijadikan sebagai alat perjuangan
yang segala-galanya bagi umat Islam. Kalaupun umat Islam didorong kedalam
partai Islam misalnya, PPP, PKS, PBB, PKB, PAN dan lain partai yang berbasis
Islam dan bermasakan Islam, itu bukan satu-satunya bagi penyaluran politik dan
perjuangan secara total bagi kaum muslimin.
E. Demokrasi
1. Islam Awal Paling Demokrasi
55 Ma’arif dalam Effendy, hal. 1356 Ahmad Syafii Ma’arif. Studi tentang Percaturan Dalam Konstituante Islam Dan Masalah
kenegaraan, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1985), hal. 16.
18
Demokrasi merupakan salah satu ciri nilai-nilai atau etika politik Islam,
yang identik dengan musyawarah.57 Ini menunjukan betapa pentingnya
musyawarah dalam kehidupan manusia; dalam bermasyarakat, keluarga dan
dalam kehidupan politik Kenegaraan. “Rasulullah pernah musyawarah ketika
dalam perang Uhud, ketika dalam perang handaq, dan dalam perjanjian
Hudaibiyah, hal ini menunjukan bahwa musyawarah adalah wajib bagi kaum
muslimin”.58 Dalam Piagam Madinah tersirat pelaksanaan musyawarah, yang
menyatakan bahwa bila orang mukmin hendak mengadakan perdamaian harus
atas dasar persamaan dan adil diantara mereka, mengandung konotasi bahwa
untuk mengadakan perjanjian itu harus disepakati dan diterima bersama. Hal ini
tentu saja hanya bisa dicapai melalui suatu prosedur, yaitu musyawarah diantara
mereka.59
Demikian juga seterusnya, khalifah empat bermusyawarah lantas di bai’at
sebagai pemimpin umat Islam pada masanya. Inilah fakta sejarah yang dijadikan
sebagai sumber bagi politik Islam. Apakah fakta sejarah masa Rasulullah atau
setelahnya. Hal ini, tak terbantahkan lagi, sekalipun banyak kalangan yang
beranggapan, bahwa Islam dan bahkan Nabi bukan sebagai pemimpin atau kepala
negara. Dari pengalaman umat Islam awal ini, maka umat Islam paling
demokratis dalam berbagai hal.
Tidak ada kesepakatan tanpa musyawarah, sehingga dalam istilah bahasa
ketatanegaraan kita muncul ungkapan, ”musyawarah untuk mufakat,” dan ini pula
kata kunci dari demokrasi kemodern-an. Karena musyawarh itu penting bagi
kehidupan manusia, maka Islam menganjurkan seluruh kehidupan manusia yang
bersifat hubungan antar sesama manusia, seharusnya dimusyawarahkan terlebih
dahulu. Apa lagi ha-hal yang berkaitan dengan politik kekuasaan.
2.Apa Demokrasi itu?
57(QS. Al-Imran[3]: 159) 58Al-Ansyary, hal. 57.59Pulungan, hal. 208.
19
Apa yang dimaksud dengan demokrasi,60 dalam bahasa Arab, kata syura
secara harfiah bermakna sebagai proses memeras madu dari sarang lebah.61 Dalam
kaitannya dengan masalah politik dan administrasi dalam masyarakat, hal itu
berarti adanya dialog yang terus-menerus antar – pemeranserta (partisipasi) –
yaitu penguasa dan yang diperintah – sehingga tercapai kata sepakat.
Syura/demokrasi, merupakan bagian dari nilai-nilai politik Islam. Karena itu, Nabi
Muhammad dalam berbagai kesempatan, baik dalam keadaan damai dan dalam
keadaan perang, jika akan memutuskan sesuatu masalah, beliau selalu
bermusyawarah. Musyawarah ini dilakukakan, terutama dalam hal-hal yang
berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dan kenegaraaan atau dalam masalah
poitik. Inilah karakteristi Islam awal, paling demokratis dalam mengelola
pemerintahan negara.
Dari mana perintah hidup secara demokratis/musyawarah itu muncul?
Jawabannya dari al-Qur’an. Mari kita perhatikan narasi al-qur’an dibawah ini
yang berkaitan dengan syura/demokrasi.
”....Maka maafkanlah mereka dan mohonlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam (segala) urusan. Jika kemudian kau mengambil keputusan, tawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-oranag yang bertawakal”.62
”Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”.63 38).
Dari dua ayat diatas menunjukan betapa pentingnya bermusyawarah/hidup
demokrasi bagi kita, dalam kehidupan bermasyarakat dan berpolitik. Karena
musyawarh merupakan perintah Allah, perintah itu bisa wajib dan juga bisa sunat.
Dalam kehidupan bermasyarakat musyawarah bisa dikategorikan wajib fardlu.
Musyawarah,64 pernah dilaksanakan pada masa Islam awal, sehingga tidak
ada bagian dari kehidupan politik yang terbebas darinya. Sedemikin jelasnya
60 Demokrasi bagian dari syura.61Ishaque dalam al-Buraey, hal. 340.62QS.Ali Imran[3]: 15963QS.Al-Syura[42]: 38.64 Musywarah salah satu cirri dari demokrasi, karena itu Islam sangat memperhatikan
bermusyawarah dalam berbagai hal.
20
perintah tersebut, sehingga tidak satupun penafsiran yang dapat mengubah
maknanya. Lebih jauh lagi, peringatan diatas merupakan deskripsi yang unik
tentang pengalaman nyata masyarakat Islam permulaan. Nabi Muhammad sendiri
selalu bermusyawarah dengan para sahabatnya tentang negara, politik,
peperangan, dan hubungan Internasional. Misal, ketika Ummat Islam harus
berperang menghadapi musuh, Nabi menyarankan agar bertahan di dalam kota
(Madinah) saja. Namun para sahabat mengusulkan agar menyambut dan
memerangi musuh. Nabi mendengarkan pendapat bagian terbesar yang muncul
dalam musyawarah, dan akhirnya diputuskan untuk menyambut musuh di luar
kota. Walau hasilnya mengecewakan. 65
Musyawarah/demokrasi pernah juga terlaksana sebelum Nabi Muhammd
Saw. ketika Sulaiman (sebagai Nabi dan Raja) pada waktu itu, memerintahkan
kepada Ratu Bilqis (kerajaan Saba’) untuk tunduk dan beriman kepada Allah.
dengan isi surat sebagai berikut:
”Berkata ia (Bilqis: ”Hai pembesar-pembesar sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia. Sesungguhnya surat itu, dari Sulaiman dan sesungguhnya (isi)nya: ”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri”. Berkatalah dia (Bilqis): ”Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majlis(ku)”. Mereka menjawab: ”kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada ditanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan”.66
Kisah antara Ratu Bilqis dengan Sualaiman diatas yang diabadikan dalam
Al-Qur’an, menunjukan bahwa musyawarah/demokrasi telah terlaksana pertama
kali dalam lapangan politik dan ketatanegaraan pernah terjadi masa lalu. Bilqis
seorang ratu yang bijak memusyawarahkan terlebih dahulu seluruh urusan
pemerintahan dan kenegaraan; dalam keadaan damai dan dalam keadaan perang.
Demikian pentingnya urusan yang berkaitan dengan politik, maka tak bisa
65 Muhammada asad, hal. 44.66QS. An-Naml,[27]: 29-33.
21
dielakkan lagi musyawarah diletakan dalam posisi yang sangat penting dalam
kehidupan politik kekuasan. Jelasnya, satu langkah pun musyawarah/demokrasi
tidak boleh ditinggalkan, Muhammad Saw. sendiri selalu melakukan hal ini. Bagi
kita sekarang musyawarah/demokrasi sangat fundamental dalam memutuskan
segala hal. Demikian pentingnya musyawarah/demokrasi.
Dari mana kita memulai musyawarah/hidup secara demokratis? Pertama;
musyawarah/demokrasi bisa kita mulai dari dalam kehidupan rumah tangga.67
Misalnya, ”bagaimana seharusnya hubungan suami istri saat mengambil
keputusan yang berkaitan dengan rumahtangga dan anak-anak, sepeti menyapi
anak. Al-Qur’an memberi petunjuk agar persoalan itu (dan juga persoalan-
persoalan rumah tangga lainnya) dimusyawarahkan antar suami istri”.68 kedua;
musyawarah/demokrasi bisa kita lakukan dalam kehidupan masyarakat, masalah-
masalah politik dan juga dalam kekuasaan negara.69
3.Batasan Demokrasi
Dalam hal apa saja batasan musyawarah yang bisa kita lakukan? Al-
Buraey (1986) menyebutkan, ”syura atau musyawarah, kendati demikian,
mempunyai dua batasan. Pertama; syura tidak diterapkan pada berbagai masalah
yang sudah jelas pengaturannya didalam al-qur’an dan assunah, keduanya diakui
sebagai sumber utama hukum perdata ataupun pidana (syari’ah). Masalah-masalah
tersebut, apabila sudah ada aturan yang jelas, menurut definisi berada diluar
jangkauan syura. Yang menjadi poko bahasan syura adalah hal-hal yang berkaitan
dengan penafsiran, atau pelaksanaan dan penampilan.70 Kedua; syura/demokrasi
adalah proses dan prosedur dalam pengambilan keputusan. Apabila sebuah
masalah atau isu dibawa ke syura, maka pendapat atau hasil akhir yang dicapai
oleh pemeranserta tidak boleh bertentangan dengan perintah-perintah yang sudah
jelas diatur di dalam Islam, baik yang dimuat di dalam al-qur’an atau pun pada as-
sunah.
67QS.al-Baqarah[2]: 233.68 M. Quraish Shihab 69 (QS. Ali Imran[3]: 159)70 Al-Buraey (1986)
22
4.Urgensi Demokrasi
Kenapa demokrasi diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam
politik kenegaraan? Ada beberapa alasan bahwa demokrasi itu perlu kita lakukan.
Pertama; demokarsi sangatlah diperlukan, untuk membatasi kekeliruan manusia,
kerakusan dan kedzaliman sang penguasa. Karenanya, beberapa ahli
mengomentari tentang musyawarah ini. Kerr dalam Al-Buraey, menyebutkan
”syura merupakan cara efektif untuk membatasi kekuasaan eksekutif, dan
menutup celah bagi kemunculan diktator sebagai penguasa. Ummat Islam
berpendapat bahwa syura merupakan perwujudan asli dari perwakilan atau
pemerintahan konstitusional dalam Islam”.71 Karena demokrasi saat ini sangat
diperlukan untuk membatasi kekuasaan politik dan kesewenang-wenangan
kekuasaan.
Nama yang muncul kemudian dalam mewujudkan musyawarah tersebut,
maka dinamakan dewan, di kita terkenal dengan; Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) baik pusat atau daerah, atau majlis permusyawaratan di kita ada Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dulu sebelum reformasi bertugas memilih
dan memberhentikan Presiden, dan ada juga dalam hal-hal tertentu baik dalam
organisasi atau dalam urusan lain muncul dewan konsultasi dan atau penasehat.
Ini mununjukan betapa pentingnya musyawarah/demokrasi itu dalam
mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Hal ini harus dimulai
dengan membiasakan hidup yang menjunjung tinggi demokrasi dan bersifat
transparansi dalam tata kelola pemerintahan.
Kedua; musyawarah/demokrasi itu diperlukan dalam kehidupan kita
karena merupakan azas hukum yang timbul dari hasil kesepakatan bersama.
Mahmud Tsaltut, dalam kitabnya,” Al-Islam Aqidah Wa syari’ah” menyebutkan,
”Syura merupakan azas hukum yang baik dan benar, karena syura salah satu jalan
untuk menjelaskan kebenaran dan mengetahui beberapa pendapat yang matang.
Al-qur’an memerintahkan untuk hal ini, dan syura merupakan salah satu unsur
dari tegaknya daulah Islamiyah”.72 Menurut Azhary, menyebutkan ayat Qur’an,73
71 Kerr dalam Al-Buraey (1986: 90)72 Mahmud Tsaltut (1992: 43973 QS. 42: 38.
23
apabila dijadikan sebagai suatu garis hukum maka ia dapat dirumuskan sebagai
berikut: ”hai Muhammad engkau wajib bermusyawarah dengan para sahabat
dalam memecahkan setiap masalah kenegaraan”, atau secara lebih umum: ”Umat
Islam wajib bermusyawarah dalam memecahkan setiap masalah kenegaraan”.74
Kewajiban ini terutama dibebankan kepada setiap penyelenggara kekuasaan
negara dalam melaksanakan kekuasaannya.
Ketiga; Musyawarah/demokrasi perlu dilakukan dalam lapangan
administrasi sekalipun, hal ini perlu untuk menghindari kecurangan sekelompok
penguasa eksekutif yang memainkan peran. Al-Buraey, menyebutkan,”dalam
administrasi, syura memainkan peranan penting sebagai proses pembuat
keputusan, sehingga merupakan pengendali kekuasaan dan kewenangan.”75
F. Partisipasi Sosial Politik
Sebelum memaparkan partisipasi politik Islam, terlebih dahulu kita
kemukakan arti dari pertisipasi. Pertama, partisipasi secara umum; kedua,
Partisipasi politik. Hal ini, dimaksdukan supaya lebih jelas dalam memahami apa
itu arti partisipasi sosial politik Islam.
1. Partisipasi Sosial
Pertama, partisipasi secara umum. Davis (1979) misalnya, memandang
partisipasi sebagai keterlibatan mental/pikiran dan emosi seseorang didalam
situasi kelompok dan mendorongnya untuk memberikan sumbangan kepada
kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap
uaha yang dilakukannya.
Didalam jabaran partisipasi yang dikemukakan oleh Davis (1979), ada tiga
unsur yang perlu mendapat perhatian khusus, yaitu; 1) partisipasi/keikut sertaan,
sesungguhnya merupakan suatu keterlibatan mental dan perasaan, lebih dari pada
keterlibatan secara jasmaniah; 2) kesediaan memberikan sesuatu sumbangan
kepada usaha mencapai tujuan kelompok; 3) setiap pemeran harus memiliki
tanggung jawab, yaitu rasa sence of belongingnes.76 74 Azhary (1992: 83),75 Al-Buraey (1986: 340)76 (Santoso Poetro, 1986: 13).
24
Rumusan dan unsur partisipasi yang dikemukakan oleh Davis (1979)
tersbut, tidak berbeda jauh dengan konsep-konsep partisipasi yang dikemukakan
oleh ahli-ahli lainnya. Gordon W. Allport,77 memandang, partisipasi sebagai “the
person who participaties is ego invalved instead of morely taks involved
(keterlibatan diri (ego) seseorang dalam suatu kegiatan, lebih dari pada sebagai
rutinitas tugasnya. Secara sederhana partisipasi didefinisikan sebagai keterlibatan
aktif warga masyarakat baik secara perorangan, kelompok, ataupun dalam
kesatuan masyarakat, dalam bentuk proses pembuatan keputusan bersama,
pelaksanaan program pelayanan sosial, dan pembangunan masyarakat, atas dasar
raa kesadaran dan tanggung jawab sosialnya.78
Paparan tentang partisipasi diatas, menunjukan bahwa setiap pemeran
partisipasi harus memiliki integrasi dan transendensi, dalam rangka perbuatan
bersama dengan manusia lain, mempertahankan hirarki nilai-nilai. Dalam
kehidupan masyarakat Indonesia yang menonjol rasa solidaritas yang tinggi,
kodrat pribadi dan kodrat sosial sebagai prasyarat partisipatif aktif adalah hal yang
perlu mendapat perhatian. Kpnsep tentang kehidupan pribadi dan sosial dalam
aksiologi masyarakat dan aksiologi etika merupakan wacana pembangunan yang
tidak dapat dipiahkan. Kebersamaan manusia berhubungan erat dengan
pengalaman pribadi. Realitas partisipasi yang ada pada diri setiap individu
memungkinkan manusia bereksistensi dan berbuat bersama dengan pribadi lain
dalam mencapai nilai pribadi. Partisipasi sebagaimunsur pokok pribadi adalah
sekaligus sebagai faktor pembentuk setiap kebersamaan manusia.79
Selain unsur transedensi dan integrasi yang perlu dipahami dalam
kerangka partisipasi masyarakat, unsur lain yang tidak kalah pentingnya adalah
unsur ruang tempat manusia melakukan peran-peran pribadi dan sosialnya. Unsur
ruang ini dalam istilah partisipasi yang dikemukakan oleh Santoso Sastro Poetro
(1986) disebut kelompok. Menurut Poetro, seseorang berpartisipasi harus
77 Gordon W. Allport, (dalam Satro Poetro, 1986: 12)78 (Holil Soelaiman dalam Iskandar, 1999: 181).
79 (Djadjaatmaja, 1988: 69).
25
memerlukan kelompok yang teratur, dan setiap kelompok yang teratur harus
memiliki kriteria: 1) strukur organisasi; 2) pemimpin; 3) anggota; 4) norma; dan
tujuan yang hendak dicapai.80
Dengan sejumlah kriteria ini, diharapkan pendefinisian secara esensi yang
menyeluruh tentang kelompok sebagai kumpulan organisasi yang bereksistensi
dalam keseluruhan konstalasi, saling menerima tanggung jawab, dan berguna
dalam memenuhi kebutuhan masing-masing individu pemeran.81 Karena itu,
kelompok sebagai unsur penting dalam partisipasi merupakanvisi psikologis dan
sosial. Kelompok adalah gerakan psikis yang determinan dan berinteraksi dengan
sesamanya secara tatap muka dengan serangkaian pertemuan, dimana masing-
masing anggota saling menerima impresi atau apersepsi anggota lain yang
membuat masing-masing individu bereaksi sebagai reaksi individu dari individu
lainnya.82 Jadi, kelompok dalam hal ini harus dipandang sebagai tempat saling
ketergantungan, sebagai kelompok berinteraksi antara dua individu atau lebih
dalam mencapai tujuan bersama.
Sementara itu menurut Maskun (1993), partisipasi suatu kelompok
masyarakat sebagai parthership sistem adalah hal yang dapat diciptakan.
Partisipasi masyarakat dapat diciptakan apabila dapat dihidupkan sikap aling
percaya antara perangkat kelompok dan anggota kelompok. Selanjutnya,
Maskun(1993) memaparkan, sikap penciotaan kondisi aling percaya dan saling
pengertian ini-pun tidak dapat tumbuh dengan begitu saja, tetapi dibutuhkan suatu
uaha yang menbuat masyarakat memiliki pengertian tentang aturan yang dilandasi
pada prinsip saling ketergantungan dan saling membutuhkan antara aparat dan
anggota kelompok masyarakat.
Yang menurut Poetro, bahwa dalam menumbuhkan partisipasi kelompok,
harus dipengaruhi oleh pendidikan, agama, motivasi, kesempatan kerja dan
peluang berpartisipasi.83 Sejumlah unsur pengaruh ini, oleh Maskun (1993),
dikelompokan dalam empat kelompok unsur, yaitu pemahaman timbal-balik
80 (Poetro, 1986: 15)81(Yusuf, 1989: 19 82 Ibid., hal.80.83 Poetro,1986
26
antara masyarakat dan pemerintah, sikap solidaritas yang tinggi dari masyarakat
atas good will, terpenuhinya kepentingan-kepentingan masyarakat oleh
pemerintah, dan terdapatnya usaha yang memotivasi, dan stimulus yang
mendorong kreativitas masyarakat.
Disisi lain Poetro mengemukakan, bahwa partisipasi masyarakat bukanlah
suatu pekerjaan, akan tetapi merupakan suatu sarana untuk mencapai tujuan dari
suatu pembangunan.84 Supaya hal ini bisa dicapai, maka partisipasi masyarakat
muslim haruslah dibina kearah yang lebih sehat dengan meletakkan masyarakat
sebagai subjek aktif. Karena itu, partisipasi masyarakat muslim dalam partai
politik misalnya, bukanlah suatu akhir dari tujuan pembangunan politik, akan
tetapi merupakan langkah awal dalam menata kembali kehidupan bermasyarakat
dan bernegara yang baik.
Sementara itu, dalam pandangan Odang, partisipasi masyarakat meliputi
partisipasi yang bersifat lahiriah atau nyata seperti kesediaan memberikan
sumbangan berupa uang dan tenaga; dan partisipasi yang bersifat psikologis
berupa keterlibatan pikiran dan perasaan melalui sikap dan tindakan terhadap
suatu aktivitas.85 Jadi, partisipasi bukanlah keikutsertaan karena terpaksa, tetapi
karena menyadari akan tanggung jawab sebagai anggota kelompok.
Dibawah ini, ada beberapa bentuk partisipasi yang dikemukakan Holil
Sulaiman sebagai berikut:
1) Partisipasi langsung dalam kegiatan bersama secara fisik dan tatap muka;
2) Partisipasi dalam bentuk iuran uang atau barang, dana dan sarana;
3) Partisipasi dalam proses pengambilan keputuisan, dan
4) Partisipasi dalam bentuk dkungan.
Berdasarkan uraian-uraian partisipasi diatas, maka dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa:
1) partisipasi adalah keterlibatan langsung atau tidak langsung
seseorang dalam suatu aktivitas;
84 Ibid., hal.23.85 Odang (1996: 75),
27
2) Partisipasi bukanlah merupakan tujuan akhir dari suatu perbuatan
akan tetapi merupakan proses dalam menuju tujuan bersama yang
diarahkan;
3) Partisipasi bia keterlibatan langsung secara fisik, bisa juga
keterlibatan/keikutsertaan berupa pikiran, perasaan, sumbangan
dana berupa uang, atau hanya sekedar dukungan saja; dan
4) Partisipasi juga merupakan kesediaan memberikan sesuatu
sumbangan kepada usaha mencapai tujuan kelompok.
2.Partisipasi Politik
Partisipasi politik, menurut Mc Closky, didefinisikan sebagai kegiatan
sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam
proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, berperan
dalam proses pembentukan kebijakan umum.86 Lebih dari itu, partisipasi politik
didefinisikan sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta
secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pemimpin negara dan
secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public
policy). Bentuk partisipasi yang sangat umum adalah pemberian suara dalam
pemilu. Menjadi anggota sebuah kelompok kepentingan “interest group”, menjadi
anggota suatu partai politik, mengadakan rapat umum, mengadakan hubungan
“contacting” dengan pengambil keputusan atau “decision maker”, adalah beberapa
bentuk partisipasi politik yang lain.87
Secara sederhana, partisipasi politik diartikan sebagai “kegiatan warga
negara biasa yang sengaja maupun tidak sengaja berkaitan, dan karena itu
mempengaruhi kebijakan pemerintah. Partisipasi politik dapat dilakukan secara
pribadi maupun kelompok, spontan maupun dimobilisasi, legal maupun ilegal”.88
Nurcholish, menegaskan partisipasi politik itu sendiri sesungguhnya cukup
problematik. Jangankan di suatu negeri yang masih sedang berkembang seperti
86 (Mc Closky dalam Eva, 1999: 198).87 (Miriam Budiardjo, 1996: 183). 88 (Legowo, 1987: 605)
28
negeri kita; di negeri yang telah majupun, atau bahkan paling maju semisal
Amerika, partisipasi politik itu merupakan problema.89
Paparan diatas, menunjukan bahwa untuk mewujudkan partisipasi politik
yang benar, dan terarah memang sangat sulit kita temukan. Biasanya
meningkatnya partisipasi politik disuatu negara berbarengan dengan proses
demokratisasi. Di Indonesia tandas Madjid (1995), proses demokratisasi itu tidak
akan berjalan lancar dan terarah dengan baik jika tidak didukung oleh kesadaran
bagian terbesar warga negara yang terdiri dari kaum Muslimin akan hak dan
kewajiban sosial-politik mereka.
Suatu keterangan umum lainnya dari usaha-usaha pemerintah untuk
membatasi partisipasi politik adalah bahwa para elit yang memerintah di negara-
negara yang baru itu sering khawatir akan hancurnya nilai-nilai kepentingan
mereka sendiri. Pertama-tama, haruslah dicatat bahwa hanya sedikit elit yang mau
mengakui bahwa mereka memang membatasi partisipasi rakyat. Mereka akan
berkata bahwa mereka mengizinkan, dan sesungguhnya menganjurkan, partisipasi
politik massal sepanjang partisipasi itu sejalan dengan nilai-nilai mereka.90
Dari uraian diatas ada dua bentuk mobilisasi politik yang berkaitan dengan
partisipasi politik yaitu; 1) mobilisasi politik yang positif dan ; 2) mobilisasi
politik yang bersifat negatif. Tiga hal yang perlu dipertimbangkan bagi adanya
mobilisasi politik positif yaitu: 1) perlu adanya kecenderungan demokratis
dekalangan penguasa politik; 2) adanya pandangan bahwa mobilisasi politik
tersebut adalah sarana untuk menumbuhkan dan sementara waktu-bukan tujuan
akhir-karena tujuan akhirnya adalah pengembangan partisipasi politik.91
Berkaitan dengan partisipasi politik Islam, masyarakat Islam paling dini
itu modern. Diantaranya ialah tingkat partisipasi politik yang terbuka dan tinggi
dari seluruh jajaran anggota masyarakat. Juga keterbukaan dan kemungkinan
posisi pimpinan masyarakat itu untuk diuji kemampuan mereka berdasarkan
89 (Madjid, 1995: 558).90 (Weiner, t.th: 146).
91 (Rauf, 1991: 13).
29
ukuran-ukuran yang universal (berlaku bagi semua orang), yang dilambangkan
dalam usaha melembagakan kepemimpinan tidakberdasarkan warisan atau
keturunan, tetapi berdasarkan pemilihan (apapun bentuk teknis pemilihan itu pada
masa tersebut).92
Lanjut Madjid (1995), karena keterbukaannya ciri utama masyarakat
universalistik seperti Islam ialah adanya kesempatan bagi partisipasi sosial-politik
yang luas, sedangkan masyarakat partikularistik dengan membatasi partisipasi itu
hanya kepada kalangan tertentu yang memenuhi syarat menurut ukuran-ukuran
askriptif tertentu. Atas dasar urau diatas, umat Islam sejak awal memiliki
partisipasi politik sangat tinggi. Hal ini bisa kita telusuri semenjak Rasulullah saw
meninggal dunia, sesegera mungkin para sahabat membai’at Abu bakar untuk
mengganti kekosongan kepemimpinan di masyarakat Islam mandinah pada waktu
itu, walaupun Ali tidak ikut serta karena masih berduka cita. Kebiasaan partisipasi
politik Islam seperti yang dilakukan oleh Islam awal, diikuti pula 0leh Umat Islam
selanjutnya, walaupun berbeda cara, karena berbeda situasi dan kondisi umat
Islam yang mengalami perubahan-perubahan dalam penerapan sistem politik
Islam.
92 (Bellah dalam Madjid, 1995: 559).
30
SUMBER KEPUSTAKAAN
Al-Buraey, A. Muhammad. Islam Landasan Al-ternatif Administrasi pembangunan (ter.), (Jakarta: CV. Rajawali, 1986).
Al-Maududi, Abd A’la. Hukum Dan Konstitusi Sistem Politik Islam (ter.), (Bandung: Mizan, 1995).
Ali, K. Sejarah Islam (ter.), (Jakarta: Srigunting, 1977). Aqiel Siradj, Said. Islam Kebangsaan Fiqih Demokrasi Kaum Santri, (Jakarta:
Psutaka Ciganjur, 1999).
Departemen Agama. Al-Qur’an dan Terjemahnya.Effendy, Bahtiar. Islam Dan Negara Transformasi Pemikiran Dan Praktik Politik
Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998).Eugene Smith, Donald. Agama Dan Modernisasi Politik Suatu Kajian Analitis
(ter.), (Jakarta: CV. Rajawali, 1985).Esposito, Jhon L. Islam Dan Pembangunan Ensiklopedi Masalah-Masalah (ter.),
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994). Hal. 167.Fazrurahman. Tema P okok Al-Qur’an (ter.), (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983).Hawa, Said. Al-Islam, (Al-Qaahirah: maktab Wahbah, 1987).Huwaydi, Fahmi. Demokrasi Oposisi Dan Masyarakat Madani (ter.), (Bandung:
Mizan, 1996).Masdar, Umaruddin. Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang
Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999). Hal. 98.Madjid, Nurcholish. Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta: Paramadina, 1999). Sagiv, David. Islam Otentisitas Liberalisme (ter.), (Yogyakarta: LkiS, 1997).Syafii Ma’arif, Ahmad. Studi tentang Percaturan Dalam Konstituante Islam Dan
Masalah kenegaraan, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1985), hal. 16.Sabiq, Sayyid. Unsur-unsur DInamika Dalam Islam (ter.), (Jakarta: Internusa,
1981).Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996). Toprak,Binnaz. Islam Dan Politik di Turki (ter.), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999). Utsman, Abdul Karim. Ma’alim al-Tsaqafah al-Islamiyat, (Beirut, Muassasah al-Risalah, 1985), hal. 171.Pulungan. Fiqih Siyasah Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1999).
31