ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK -...

31
. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK ISLAM DAN PEMERINTAHAN Diskursus mengenai konsep politik dan kenegaraan dalam masyarakat Islam memang sudah berlangsung sejak lama. Perdebatan yang paling menonjol terjadi setelah runtuhnya kekhalifahan Islam Turki Utsmaniy pada tahun 1924 dan diawali dengan terbitnya sebuah buku karya Syaikh Ali Abdul Al Raziq berjudul Al Islam Wa Ushul Al Hukm, setahun setelah keruntuhan tersebut. Buku ini telah menimbulkan kontroversi disebabkan berisi gugatan terhadap keberadaan Khilafah Islam. Dalam pandangan Ali Abdul Raziq, kekhilafahan bukanlah sebuah sistem politik melainkan sistem keduniawian. Pemikiran ini merupakan peletak pertama pandangan sekuler, yaitu memisahkan agama dengan politik dan negara. Munculnya suara sumbang yang mempertanyakan kembali keterlibatan agama dalam pemerintahan dan negara merupakan lagu lama yang diputar ulang para sekularis. Dua poin penting yang selalu dilantunkan adalah Pertama, perlu dihindari terjadinya politisasi agama, yang memanipulasikan sentimen agama dalam rangka kekuasaan dan mengagamakan politik. Sebab politisasi agama memindahkan agama yang seharusnya ada pada wilayah komunitas ke wilayah negara. Politisasi agama harus menjadi menjadi musuh agama dan sekaligus musuh politik. Kedua, negara-pemerintahan harus dibuat sekuler agar dapat netral atas keberagaman agama dan keyakinan, serta tidak menjadi instrumen agama tertentu. Hal ini selaras dengan pendapat Mortimer (1991), yaitu pemisahan negara dan agama sehingga negara tidak menjadi instrumen agama tertentu. Semua pemeluk agama adalah warga negara yang memiliki kedudukan hukum dan hak-hak yang sama. Dengan kata lain, negara tidak memberikan favouritism, priveledge kepada agama tertentu ataupun kepada interpretasi agama tertentu dan membuat sebuah negara sekuler, jika negara itu tidak menjadikan kitab suci agama tertentu sebagai konstitusinya dan tidak menjadikan hukum agama tertentu sebagai hukum nasional. Negara harus steril dan dinetralkan dari agama dan hukum agama sebab negara dibuat untuk melayani warga negara yang memiliki agama dan juga interpretasi yang berbeda- beda. Dalam sebuah negara modern, apapun identitas dan agama warganegara, ia layak mempunyai hak dan kedudukan hukum yang sama. Memeluk agama tertentu tidak harus membuat mereka didiskriminasikan, baik dari hak-hak sosialnya, ataupun dari kesempatannya dalam percaturan politik. Prinsip kesamaan ini sulit dipenuhi jika negara itu memainkan favouritisme atas agama tertentu atau malah menjadikan kitab suci agama tertentu sebagai konstitusi dan dasar hukum nasional. Kata kunci negara sekuler bukan di tingkat keterlibatan dengan pemerintah, tetapi pada equal treatment (perlakuan yang sama) atas keberagaman agama. Untuk mengontrol pelaksanaan prinsip itu, kekuasaan pemerintah dibatasi dengan apa yang disebut Hak Asasi Manusia (HAM). Setahun setelah kekhalifahan Islam di Turki runtuh, Ali Abdur Raziq menerbitkan bukunya yang sangat kontroversial, Al Islam wa Ushul Al hukm. Dalam kitab tersebut, Ia menyatakan bahwa Islam tidak memiliki ajaran tentang sistem kenegaraan. Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul seperti halnya para rasul

Transcript of ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK -...

Page 1: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad

115

115

ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK I S L AM DA N P EM E R I NT A HA N

Diskursus mengenai konsep politik dan kenegaraan dalam masyarakat Islam memang sudah berlangsung sejak lama. Perdebatan yang paling menonjol terjadi setelah runtuhnya kekhalifahan Islam Turki Utsmaniy pada tahun 1924 dan diawali dengan terbitnya sebuah buku karya Syaikh ’Ali Abdul Al Raziq berjudul Al Islam Wa Ushul Al Hukm, setahun setelah keruntuhan tersebut. Buku ini telah menimbulkan kontroversi disebabkan berisi gugatan terhadap keberadaan Khilafah Islam. Dalam pandangan ’Ali Abdul Raziq, kekhilafahan bukanlah sebuah sistem politik melainkan sistem keduniawian. Pemikiran ini merupakan peletak pertama pandangan sekuler, yaitu memisahkan agama dengan politik dan negara.

Munculnya suara sumbang yang mempertanyakan kembali keterlibatan agama dalam pemerintahan dan negara merupakan lagu lama yang diputar ulang para sekularis. Dua poin penting yang selalu dilantunkan adalah Pertama, perlu dihindari terjadinya politisasi agama, yang memanipulasikan sentimen agama dalam rangka kekuasaan dan mengagamakan politik. Sebab politisasi agama memindahkan agama yang seharusnya ada pada wilayah komunitas ke wilayah negara. Politisasi agama harus menjadi menjadi musuh agama dan sekaligus musuh politik. Kedua, negara-pemerintahan harus dibuat sekuler agar dapat netral atas keberagaman agama dan keyakinan, serta tidak menjadi instrumen agama tertentu. Hal ini selaras dengan pendapat Mortimer (1991), yaitu pemisahan negara dan agama sehingga negara tidak menjadi instrumen agama tertentu. Semua pemeluk agama adalah warga negara yang memiliki kedudukan hukum dan hak-hak yang sama. Dengan kata lain, negara tidak memberikan favouritism, priveledge kepada agama tertentu ataupun kepada interpretasi agama tertentu dan membuat sebuah negara sekuler, jika negara itu tidak menjadikan kitab suci agama tertentu sebagai konstitusinya dan tidak menjadikan hukum agama tertentu sebagai hukum nasional. Negara harus steril dan dinetralkan dari agama dan hukum agama sebab negara dibuat untuk melayani warga negara yang memiliki agama dan juga interpretasi yang berbeda-beda. Dalam sebuah negara modern, apapun identitas dan agama warganegara, ia layak mempunyai hak dan kedudukan hukum yang sama. Memeluk agama tertentu tidak harus membuat mereka didiskriminasikan, baik dari hak-hak sosialnya, ataupun dari kesempatannya dalam percaturan politik. Prinsip kesamaan ini sulit dipenuhi jika negara itu memainkan favouritisme atas agama tertentu atau malah menjadikan kitab suci agama tertentu sebagai konstitusi dan dasar hukum nasional.

Kata kunci negara sekuler bukan di tingkat keterlibatan dengan pemerintah, tetapi pada equal treatment (perlakuan yang sama) atas keberagaman agama. Untuk mengontrol pelaksanaan prinsip itu, kekuasaan pemerintah dibatasi dengan apa yang disebut Hak Asasi Manusia (HAM).

Setahun setelah kekhalifahan Islam di Turki runtuh, Ali Abdur Raziq menerbitkan bukunya yang sangat kontroversial, Al Islam wa Ushul Al hukm. Dalam kitab tersebut, Ia menyatakan bahwa Islam tidak memiliki ajaran tentang sistem kenegaraan. Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul seperti halnya para rasul

Page 2: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

116

lainnya. Tugasnya hanyalah mengajak manusia kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti yang luhur. Nabi tidak pernah menjadi kepala negara dan Islam yang dibawa oleh Nabi saw. hanyalah agama yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan urusan kenegaraan. Islam adalah agama bukan negara, Islam adalah sikap hidup dan bukan pemerintahan, Islam adalah pandangan spiritual dan bukan institusi politik. Bahkan DR. Faraj Foda menyatakan bahwa sejarah Islam membuktikan bahwa percampuran antara agama dan politik telah bertanggung jawab atas kekerasan dan intoleransi. Dalam gerakan Islam, Negara agama tidak dapat diterima oleh dunia Islam. Demikian pula, Amien Rais (Kompas, 10/11/97) bahwa kata negara Islam atau Islamic state atau Ad Daulah Al Islamiyah tidak ada dalam Al Qur-an dan As sunnah. Tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan negara. Sebagai contoh, ia menunjukkan kata dulah pada surat Al Hasyr ayat 7 maupun kata nudawil pada surat Ali Imran 140. Menurutnya, walaupun kata-kata itu memiliki akar kata yang sama dengan kata daulah, pengertian negara sama sekali tidak terkandung.

Akan tetapi pendapat mereka ditentang oleh para cendekiawan muslim lainnya. Dr. Muhammad Immara misalnya, ia menyatakan bahwa hanya negara saja yang dapat menjadi instrumen untuk menjalankan kewajiban-kewajiban syariat. Dalam Islam, agama dan negara itu tidak dapat dipisahkan untuk menjalankan prinsip Islam. Tanpa adanya negara, pemenuhan prinsip Islam seperti pengelolaan zakat, penerapan hudud, dan pengaturan sistem hukum Islam tidak dapat berlangsung. Dalam pemikiran politik, perumusan konsep kenegaraan merupakan masalah yang mendasar. Bagi kaum muslimin, keberadaan negara merupakan instrumen yang paling penting dalam rangka merealisasikan tata nilai dan aturan Islam, menjamin kesejahteraan rakyat, dan menjaga komunitas masayarakat Islam (di dalamnya pun terdapat non-muslim yang dilindungi). Di pihak lain, Barat memiliki trauma historis tersendiri setelah kekalahannya pada Perang Salib. Akibatnya ”Islam politik“ dikhawatirkan mengancam kepentingan-kepentingan negara-negara Barat. Kondisi seperti ini sangat besar pengaruhnya terhadap diskursus konsep kenegaraan dalam Islam. Salah satu kritik tajam para ilmuwan politik yang meragukan tentang keabsahan politik Islam adalah ketidakrincian Islam dalam mengatur masalah kenegaraan. Dengan perkataan lain, Islam hanyalah menawarkan prinsip-prinsip dasar berupa landasan etika dan moral, bukan konsep baku dan terperinci. Dr. Abdelwahab El Efendi dalam bukunya Who Needs an Islamic State? (Grey Seal London:1991) melontarkan kritik-kritik tajam terhadap para para pemikir politik Islam, diantaranya Imam Al Mawardi, Hasan Al Banna, Jamaluddin Al Afghaniy, Abu A‘la Al Maududi, Hasan At Turabi, dll. Efendi menyatakan para politikus tersebut tidak pernah berpikir serius tentang politik Islam dan bersifat utopis. Kesalahan mereka adalah terletak pada Khulafa-ur Rasyidin sebagai model penguasa Islam. Akibatnya, mereka menetapkan kriteria pemerintahan menurut model Khulafa-u Rasyidin itu. Mereka tidak memikirkan tentang institusi yang harus dimiliki oleh suatu negara, mekanisme pengalihan kekuasaan, dan batasan-batasan kekuasaan. Oleh karena itu, kata Al Efendi, umat Islam harus menghilangkan ilusi akan datangnya negara utopia itu yang akan mengembalikan

Page 3: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad

117

117

zaman keemasan Islam. Umat Islam tidak perlu lagi berpikir tentang negara karena sudah final. Benarkah demikian? Tulisan ini berupaya untuk membahas dari beberapa aspek yang berkaitan dengan hal tersebut di atas. Pendapat Tentang Islam dan Pemerintahan

Pendapat pertama menyatakan Islam (dalam aqidahnya) merupakan pola kehidupan yang diturunkan Allah SWT. untuk mengatur kehidupan manusia dan untuk mengatur kehidupan masyarakat manusia tersebut, Allah SWT. memberikan aturan dan hukum bagi manusia untuk dilaksanakan di dalam kehidupannya. Hukum pengaturan kehidupan manusia pasti dan selalu berkait dengan urusan politik. Jadi, politik dalam Islam bukan saja ada tetapi merupakan ma’lumun minaddin bidhdharurrah (sesuatu yang sudah jelas diketahui wajib adanya) sebagaimana telah diketahuinya kewajiban tentang hal yang berkaitan dengan shalat, zakat, shaum, dll. Oleh sebab itu, mempertanyakan ada atau tidaknya politik dalam ajaran Islam sama sekali tidak relevan dengan fakta yang terdapat di dalam ajaran Islam itu sendiri. Bahkan sangat jelas. Pendapat ini didukung oleh Al Mawardi, Al Ghazali, Ibnu Taimiyah (kalangan ulama salaf), Rasyid Ridha, Al Maududi, Taqiyuddin An Nabhani, Sayyid Qutb, Hasan Al Bana, dll. (kalangan ulama mutaakhirin). Pendapat kedua, pendapat di atas mendapat tentangan dari Thaha Husein, dan Ali Abdur Raziq yang menulis kitab Al Islam wa Ushulul Hukm (1925) dimana dinyatakan bahwa agama tidak ada kaitannya sama sekali dengan politik dan sistem politik, sebab Islam merupakan agama yang semata-mata hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Pendapat ketiga, Islam merupakan agama yang sempurna dan mengatur seluruh aspek kehidupan manusia termasuk masalah politik. Islam jelas mempunyai sistem politik, hanya saja ia sebatas memberikan garis-garis besar atau pokok-pokok dan substansi, sedangkan rinciannya diserahkan kepada manusia sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Pendapat ini menyatakan bahwa jika prinsip-prinsip, aturan-aturan yang ada, dan secara substansial sesuai atau tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dituju ajaran Islam, walaupun tidak seratus persen sebagaimana yang termuat dalam Al-Qur’an Al-Karimdan Sunnah maka masyarakat itu sudah dikategorikan masyarakat Islam(i). Pandangan Tentang Politik Dalam Islam

Islam merupakan sistem kehidupan yang berbeda dengan Kapitalisme-sekularisme, sosialisme dan komunisme. Di dalam masyarakat Islam, seluruh individu, kelompok masyarakat, maupun pemerintahan merupakan pelaksana aturan-aturan dan hukum syariat Islam. Adapun pembuat hukum syariat itu (al musyarri’) adalah Allah SWT. Islam tidak memberi kewenangan bagi manusia untuk menetapkan hukum. Manusia berkewajiban untuk menggali (istinbath) hukum dari sumber-sumber hukum Islam, yaitu Al-Qur’an Al-Karimdan Sunnah Rasulullah SAW. Dengan demikian, Kedaulatan (As Siyadah) dalam perspektif hukum Islam hanya milik syara’ (Allah SWT sebagai Al Hakim) dan bukan di tangan rakyat atau wakil rakyat. Bertalian dengan pandangan tersebut di atas, jika wakil rakyat kaum muslimin berkumpul untuk membuat undang-undang (sebagai badan legislatif)

Page 4: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

118

dengan pendapat akal atau hawa nafsu mereka, berarti mereka telah menjadikan kedaulatan itu bukan lagi di tangan syara’, melainkan di tangan manusia. Hal inilah sebenarnya yang merupakan esensi dari demokrasi, yaitu menempatkan kedaulatan di tangan rakyat. Dalam pandangan demokrasi, manusia (para wakilnya di lembaga legislatif) yang berhak mengarahkan perjalanan masyarakat dan pemerintahan, yaitu dengan adanya undang-undang atau peraturan yang dibuat untuk mengikat kepala negara dan rakyat. Dalam pandangan Aqidah Islam mengajarkan manusia agar mereka senantiasa terikat dengan hukum syara’ dan hanya melaksanakan aturan tersebut, baik hal itu mengikat kepa negara ataupun masyarakat. Allah SWT. berfirman: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak pula patut bagi wanita mukmin apabila Allah dan rasulNya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka” (QS.Al Ahzab:36). Berkaitan dengan itu pula kemudian Allah mengecam manusia tatkala ia memutuskan hukum di luar aturanNya, sebagimana Allah SWT. berfirman: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-oang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (Muhammad) dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak bertahkim kepada thagut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thagut tersebut” (QS.An Nisaa’:60).

Muhammad Ali Ash Shabuniy dalam Shofwat Tafaasir, juz I hal. 262 menafsirkan thagut dalam ayat itu adalah Ka’ab bin Asyraf, seorang tokoh Yahudi, yang sangat memusuhi Rasulullah SAW. Makna thagut tersebut adalah orang atau pihak di luar Islam yang dijadikan rujukan untuk bertahkim. Oleh sebab itu keberadaan majelis ummah (syura) dalam pandangan Islam bukanlah sebagai pembuat hukum (badan legislatif) sebagaimana parlemen dalam sistem demokrasi Barat. Adapun keberadaan dan fungsi majelis ummah adalah majelis yang terdiri dari orang-orang yang mewakili aspirasi kaum muslimin agar menjadi pertimbangan khalifah, dan tempat khalifah meminta masukan dalam urusan-urusan kaum muslimin. Mereka mewakili ummat dalam melakukan muhasabah (kontrol dan koreksi) terhadap para pejabat pemerintahan (Hukkam). Untuk melakukan kontrol dan koreksi tersebut tolak ukurnya jelas dan tetap, yaitu hukum syara’. Jika terjadi perselisihan dalam proses hubungan penguasa dan rakyatnya maka keduanya merujuk pada rujukan yang sama, yaitu Al-Qur’an Al-Karim dan Sunnah Rasulullah SAW. Hal inilah yang diperintahkan syara’ (Allah SWT) kepada manusia dalam firmanNya: “...Jika kamu (ulil amri dan rakyat) berlain pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah hal itu kepada Al-Qur’an Al-Karimdan Rasul (Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian” (QS.An Nisaa’:59). Peranan Majelis Ummah (Wakil Rakyat) Dalam Islam Nabhaniy dalam kitab Nidzamu l-hukmi fil Islam (h.212) menjelaskan bahwa Majelis ummah dalam pandangan Islam merupakan majelis yang para anggotanya adalah wakil rakyat dan berfungsi untuk menyampaikan aspirasi atau suara rakyat

Page 5: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad

119

119

terhadap penguasa baik berupa kritikan maupun usulan. Adapun haknya adalah sebatas pada penyampaian dan tidak memiliki kewenangan dalam penentuan atau pembuatan hukum maupun perundangan. Karena kedudukan anggota Majelis Ummah sebagai wakil rakyat, maka hak ini (muwakalah) juga dimiliki oleh kaum wanita sebagaimana halnya laki-laki. Tentu saja, apalagi persoalan yang akan diwakilkan itu berkaitan erat dengan problematika wanita sebab tidak mungkin mewakilkannya kepada laki-laki. Perhatikan peristiwa yang terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khatthab ra. dimana beliau sebagai kepala negara berniat menetapkan batasa mahar (mas kawin) bagi wanita agar tidak terlalu tinggi dan tidak menyulitkan bagi seorang laki-laki untuk menikah (maksimal 400 dinar emas) (landasannya kemaslahatan masyarakat). Ternyata kebijakkan itu ditentang oleh seorang wanita dengan menyampaikan sebuah firman Allah SWT. ”...sedang kamu telah memberikan kepada seorang (wanita) diantara mereka harta yang banyak (tanpa adanya batasan). Maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya meskipun hanyak sedikit...” (QS.An Nisaa’:20) dimana wahyu Allah itu tidak membatasi jumlah mahar. Mendengar teguran (kritikan) tersebut, Umar berkata: “Benarlah wanita itu dan salahlah Umar”. Dalam kisah yang lain adalah ketika Umar hendak mengambil keputusan tentang berapa lama para tentara mujahidin akan dikirim untuk bertugas ke perbatasan (meninggalkan isteri dan keluarga). Beliau meminta pendapat para wanita (kaum ibu) untuk menetapkan berapa lama waktu yang layak bagi mereka ditinggalkan suami dan ayah anak-anak mereka. Setelah mengumpulkan pendapat dari para wanita itulah maka Umar memutuskan waktu 4 bulan bagi para tentara untuk bertugas di perbatasan dan setelah 4 bulan maka mereka harus diganti oelh pasukan yang lain secara bergilir.

Kedua contoh di atas menunjukkan betapa suara kaum wanita tetap diakui keberadaannya untuk mengurusi berbagai problematika kemasyarakatan, baik atas nama dirinya maupun diwakilkan pada wakil wanita yang lain. Oleh sebab itulah, dalam pandangan Islam, seorang wanita dibolehkan menjadi anggota majelis ummah selama majelis ummah itu berperan sebagai penyampaian pendapat atau kritik dan tidak sebagai penetap atau pembuat hukum. Oleh sebab itulah dalam pandangan Islam, seorang penguasa dalam menentukan kebijakannya harus bersandar kepada hukum dan aturan Islam tidak boleh kepada yang lainnya. Hal ini disebabkan para pemimpin dan aparatnya merupakan penjaga, pengatur dan penjamin terselenggaranya kehidupan bermasyarakat yang sesuai dengan ketentuan syara’. Sebagaimana rakyat yang dipimpinnya, pemimpin beserta aparatnya senantiasa terikat dengan sistem dan hukum Islam sebagai konsekuensi logis dari keimanannya. Dengan demikian, tujuan yang ingin dicapai dari mekanisme ini adalah adanya jaminan Islam dapat terealisasikan secara sempurna dan lurus di tengah masyarakat. Keran itulah, kritik, saran dan nasehat dari kalangan masyarakat merupakan bagian yang harus dan lazim dalam kehidupan masyarakat Islam. Demikian pula halnya, jika suatu ketika masyarakat cenderung kepada keburukan yang bertentangan dengan aturan Islam, maka dalam hal ini, penguasa tidak boleh

Page 6: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

120

memperturutkan dan mengikuti kemauan rakyat, tetapi justru harus menyadarkannya, dan jika perlu memaksa rakyatnya kembali pada Islam. Lebih dari hal itu, sesungguhnya Islam mengharuskan agar di kalangan masyarakat terdapat sekelompok umat (jamaah) yang melakukan aktivitas amar ma’ruf nahyi munkar, baik terhadap masyarakat ataupun terhadap para pemimpin umat, terutama ketika tampak dengan jelas terjadinya penyimpangan dan berbagai bentuk kemaksiatan yang bertentangan dengan aturan syara’ (QSAl Imran:104). Jadi, keberadaan sekelompok masyarakat yang senantiasa melakukan aktivitas amar ma’ruf nahti munkar adalah haq (benar), dijamin oleh aturan Islam, yaitu menjadi pendukung kebenaran, penasehat dan pelurus terhadap penyimpangan atau kekurangan yang mungkin terjadi di tengah masyarakat. Sehingga kelompok (jamaah, dll) tersebut berkedudukan sebagai mitra pemerintah dalam menjalankan amanah Allah SWT. Adapun pembahasan wanita dalam posisi penguasa maka terdapat nash-nash hadits Rasulullah yang melarang secara tegas terhadap hal ini, yaitu ketika Rasulullah SAW. bersabda yang diriwayatkan melalui Abi Bakrah: “Tidaklah akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya (hukum dan kekuasaan) kepada seorang wanita”. Hadits ini muncul ketika kerajaan Persia kehilangan rajanya, lalu rakya memilih seorang pengganti, yitu anak perempuan Kisra. Lalu berita ini menyebar dan didengar oleh Rasulullah SAW. dan beliau saw. mengatakan hadits tersebut di atas kepada para shahabatnya. Pemberitaan Rasul saw. ini menjadi penjelasan bagi kita bahwa kaum wanita diatur oleh Islam untuk tidak menempati posisi sebagai penguasa dalam suatu sistem pemerintahan (sebagai kepala negara, panglima angkatan bersenjata, gubernur, dll). Adapun penguasa yang dimaksudkan dalam hal ini adalah posisi yang berkaitan erat dengan pengambilan kebijakan dan keputusan hukum atau pemerintahan; tidak termasuk bagian urusan politik yang hanya sebatas pada perwakilan suara, administrasi dan hal lain yang tidak berkaitan dengan pengambilan atau penetapan hukum. Pengaturan bagi wanita menduduki posisi penguasa ini pada hakekatnya tidak berkaitan dengan merendahkan posisi wanita atau memuliakan laki-laki. Aturan ini hanyalah ketetapan dari Allah SWT. untuk dilaksanakan oleh manusia. Tidak sebagaimana yang seringkali ditudingkan bahwa Islam menyudutkan posisi kaum wanita. Pria dan wanita keduanya bisa mulia dan hina tergantung sejauh mana keterikatan dan ketakwaannya kepada aturan Allah SWT. Pandangan Fuqaha Tentang Islam dan Negara

Islam adalah agama yang sempurna dan menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Artinya, Islam telah menjangkau dan menerangkan peraturan semua perbuatan manusia dalam segala aspek kehidupannya secara sempurna dan menyeluruh, termasuk di dalamnya aspek politik dan kenegaraan. Allah berfirman:

”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah kucukupkan kepada kalian nikmatKu, dan telah Kuridlai Islam itu menjadi agama bagi kalian“ (QS.Al Maaidah:3).

Page 7: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad

121

121

Dalam ayat yang lain: ”Dan Kami turunkan kepadamu al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu“ (QS. An Nahl:89). Dengan demikian, Islam tidak pernah melalaikan dan mendiamkan satupun perbuatan manusia, apalagi aspek politik dan kenegaraan yang sangat berpengaruh pada masyarakat luas. Mengatakan Islam tidak punya konsep politik dan negara sama saja dengan menganggap bahwa Islam tidak sempurna. Tentu saja, kesempurnaan Islam itu tidak berarti semua hukum-hukumnya sudah tersedia secara instant, seperti ensiklopedia sehingga tinggal diterapkan begitu saja. Tentu tidak demikian, sebab terkadang Islam menjelaskan suatu perbuatan dengan nash Al Quan dan As Sunnah, dan terkadang dengan menetapkan isyara/tanda dalam Al-Qur’an Al-Karimdan As Sunnah yang menunjukkan suatu status hukum. Untuk yang kedua ini, umat Islam tidak bisa hanya berpangku tangan saja, tetapi harus mengerahkan daya pikir untuk berijtihad guna mengetahui hukum-hukumnya (lihat: Abdul Qadim Zallum dalam Ad Dimuqratiyyah, Nidzamun Kufrun:32-33). Berdasarkan keyakinan akan kesempurnaan Islam itulah, maka wajar jika para ulama yang tsiqah menyusun formulasi hubungan agama dan politik, serta negara sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Abdul Qadir Audah dalam kitabnya Al Islam Wa Audla‘una As Siyasah hal 19 menyatakan bahwa ”Islam itu bukan sekedar agama (ritual) belaka, akan tetapi ia adalah agama dan (di antaranya terdapat) negara. Dan sudah menjadi tabiat agama Islam bahwa ia memiliki negara untuk melaksanakan Islam“. Demikian pula Muhammad Al Ghazali dalam kitab Ma‘rakat Al Mushhaf hal. 68 menyatakan bahwa ”Islam tanpa negara adalah bagaikan pohon tanpa buah atau bagaikan tubuh tanpa nyawa“. Sementara itu Imam Al Ghazali menyatakan dalam Al Iqtishad fil I‘tiqad hal. 199 menyatakan bahwa agama dan kekuasaan (baca: negara) bagaikan dua saudara kemabar. Dikatakan pula bahwa aga,ma sebagai fondasi (asas) dan kekuasaaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yan tidak memiliki pondasi akan runtuh, sedangkan segala sesuatu yang tidak berpenjaga akan hilang lenyap“. Muhammad bin Al Mubarak dalam kitab Al Hukmu wa Ad Daulah hal. 11menyatakan bahwa ” Al-Qur’an Al-Karimmengandung hukukm-hukum yang mustahil dapat diterapkan tanpa adanya pemerintahan dan negara yang mengambil dan menerapkan hukum-hukum itu. Maka sesungguhnya mendirikan negara dan menjalankan tugas pemerintahan dan kekuasaan adalah bagian substansi ajaran Islam. Islam tidak akan tegak sempurna tanpa negara dan bahkan keIslaman kaum muslimin pun tidak akan sempurna tanpa negara“ . Syaikh Abdurahmah Al Jaziri dalam kitabnya Al Fiqhu ’ala Al Madzahib Al Arba‘ah juz V hal. 614 menegaskan bahwa ”Para Imam (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi‘iy, dan Ahmad bin Hanbal) telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardlu dan kaum muslimin wajib memiliki seorang khalifah yang akan menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orang-orang yang didzalimi“. Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Fishal Fil Milal wal Ahwa‘ wan Nihal juz IV hal.87 menyatakan bahwa ”Seluruh golongan Ahlu Sunnah, Murjiah, syiah dan Khawarij telah sepakat mengenai kewajiban Imamah, dan bahwa umat wajib mentaati imam yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syariat yang dibawa Rasulullah SAW. ” Masih pada kitab yang sama beliau menyatakan ”Seluruh ahlu sunnah bersepakat mengenai keberadaan imamah (khalifah) adalah wajib adanya dalam rangka memelihara urusan kaum muslimin berdasarkan

Page 8: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

122

syariat Islam, sehingga umat ini wajib tunduk kepada seorang imam yang adil yang melaksanakan semua hukum Allah SWT. tersebut“ (jilid 4:97). Imam Al ’Aji dalam kitab Al mawaqib, jilid VIII:346 menyatakan bahwa ”Dengan diangkatnya seorang imam, maka hal tersebut dapat menjauhkan mudlarat (bahaya) yang fatal. Malah kami beranggapan bahwa menganggkat imam adalah kemaslahatan yang paling pokok bagi kaum muslimin, serta hal ini merupakan tujuan yang paling mulia untuk menegakkan agama“

Seluruh ulama Islam di sepanjang masa telah sepakat bahwa hukum menegakkan khilafah merupakan fardlu (wajib). Mereka menjadikan kewajiban ini sebagai fardlu yang paling penting, bahkan menganggapnya sebagai sebaik-baik amalan bertaqarrub kepada Allah SWT. Mereka juga tidak berselisih pendapat dalam hal status kewajiban menegakan khilafah adalah fardlu kifayah. Oleh sebab itu, Imam Al Mawardi menyatakan: ”Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwasanya hukum mengeakkan khilafah adalah fardlu kifayah, seperti halnya Jihad. Apabila sudah ada di antara individu-individu masyarakat yang berusaha menegakkannya dan memiliki kemampuan, maka fardlu itu gugur atas seluruh kaum muslimin“ (Perhatikan Ahkamush Shulthaniyyah :5). Dalam fardlu kifayah, dapat saja status sebagian orang dianggap lebih wajib melakukannya daripada yang lain. Dengan kata lain dilaksanakan oleh setipa orang ssuai dengan kemampuan masing-masing. Barang siapa kemampuannya lebih besar maka kewajibannya lebih besar daripada orang yang kemampuannya kecil, sekalipun sama-sama diwajibkan. Oleh karena itu Imam Asy Syathibiy ketika membahas fardlu kifayah, seperti hukum mengangkat khalifah, wali, atau hakum dll., beliau menyatakan: ”Tuntutan itu ditujukan kepada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan fardlu yang diperintahkan itu“ (Lihat Al Muwafaqaat, jilid I, juz I:119). Beliau pun beranggapan bahwa melaksanakan fardlu semacam itu adalah suatu upaya kemaslahatan umum yang diperintahkan kepada seluruh kaum muslimin untuk melaksanakannya. Bahkan Imam Syamsudin Al Mahalli menyatakan: ”Dapat saja terjadi kewajiban kifayah itu berubah menjadi fardlu ’ain, yaitu apabila hanya ada satu orang yang dapat melaksanakannya, seperti halnya apabila di suatu daerah tidak ada dokter kecuali hanya satu orang, amka menolong orang-orang sakit di daerah itu hukumnya wajib ’ain atasnya (Lihat Syarah Matan Jam‘ul Jawaami‘, jilid I:133). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah saat membahas amar ma‘ruf dan nahyi munkar menyatakan ”Hukum aktivitas tersebut adalah wajib atas setiap muslim yang memiliki kemampuan, dan statusnya adalah fardlu kifayah. Namun, fardlu tersebut bisa berubah menjadi fardlu ’ain atas orang-orang yang mampu apabila kewajiban tersebut belum dilaksanakan oleh yang lain ( Majmu‘ul Fatawaa, jilid XXVIII:65). Demikianlah, masalah ini telah menjadi sesuatu yang ma‘luumun minaddiin bidldlarurah, sesuatu yang harus dimaklumi kepentingannya dalam agama Islam dan bagi kaum muslimin. Esensi tentang hal itu dapat kita perhatikan pula pada ucapan Abu Bakar Ra., ”Sesungguhnya Muhammad saw. telah meninggal, dan agama ini membutuhkan seseorang yang mau bertanggung jawab (terhadap pelaksanaan hukum Islam/syariat Islam) (Imam Al ’Aji, ibidem, jilid VIII:345). Bahkan Umar bin Khattab menyatakan ”Tak ada Islam tanpa jamaah, tak ada jamaah tanpa imaarah (imaaratul muslimin/khalifah), dan tak ada imaarah tanpa ada ketaatan“ (Imam Syarastani, Nihayatul Iqdam fi Ilm Al Kalam:479). Imam Syarastani berkomentar tentang sikap para sahabat Rasulullah SAW. ini dengan menyatakan“ Abu Bakar dan para shahabat tidak pernah membayangkan pada suatu waktu (kaum muslimin) tidak mempunyai imam/khalifah. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa para sahabat secara bulat telah bersepakat bahwa kaum

Page 9: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad

123

123

muslimin wajib adanya Imam /khalifah. Ijma ini menjadi suatu dalil yang qath‘iy tentang adanya imamah/khalifah“. (ibidem:480) Jadi, jelaslah bahwa kepaduan antara agama dan politik-kenegaraan merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan di dalam Islam dan hal itu merupakan sesuatu yang telah disepakati oleh para ulama disepanjang zaman (Perhatikan pula Ensiklopedi Ijmak, Sa‘di Abu Habieb, Terj. KH. A. Sahal Machfudz & H.A. Musthafa Bisri dengan Kata Pengantar KH. Abdurahman Wahid, Pustaka Firdaus, hal.312.) REALITA MASA RASULULLAH SAW. (SUNNAH FI’LIYAH)

Islam adalah agama bukan dalam pengertian terminologi Barat, yaitu seperangkat tata cara upacara ritual dan budi pekerti. Islam tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dan dengan dirinya sendiri. Islam merupakan sebuah mabda, yaitu aqidah yang melahirkan seperangkat sistem peraturan kehidupan. Islam lebih dari sekedar agama dalam pengertian Barat dan bahkan lebih dari sekedar pengertian ideologi dalam terminologi Barat. Ajaran Islam yang terkadung dalam Al-Qur’an Al-Karimdan As Sunnah serta apa yang pernah direalisasikan oleh Rasulullah SAW. (sunnah fi’liyah) sepanjang perjalanan kenabiannya, terutama pada periode Madinah telah memperlihatkan dan menegaskan hal itu. Sementara fakta sejarah pun menunjukkan bahwa ketika tentara Madinah yang dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW. menaklukkan kota Makkah, jumlahnya sekitar 10.000 orang (Lihat Azyumardi Azra, Suplemen Ensiklopedi Islam, hlm. 106). Demikian pula tatkala Rasulullah SAW. memimpin tentara Madinah ke Tabuk dalam rangka memerangi tentara imperium Rumawi yang ada di sana, jumlah tentara yang beliau saw. bawa adalah sekitar 30.000 orang (Lihat Ibnu Katsir, al-Bidayah wan Nihayah, Juz 3 hlm. 593). Sejarah pun menunjukkan bahwa Rasulullah SAW. mengangkat wali atau gubernur di Yaman, wali Madinah, wali Makkah, dan wali Bahrain. Rasulullah SAW. mengangkat sejumlah hakim/qadhi di sejumlah kota atau daerah untuk mengadili perkara-perkara yang terjadi di masyarakat. Rasulullah SAW. pun mengrim surat-surat politik kepada sejumlah kepala negara besar ataupun kecil untuk mengajak masuk Islam dan bergabung di bawah naungan Daulah Islamiyah. Artinya, fakta sejarah menunjukkan bahwa kepemimpinan Rasulullah SAW. itu adalah kepemimpinan level negara. Sekadar sebagai perbandingan, negara Madinah pada saat Rasulullah SAW. wafat telah meliputi seluruh wilayah jazirah Arab yang kini meliputi kurang lebih 7 negara (Arab Saudi, Yaman Utara/Selatan, Uni Emirat Arab, Qatar, Oman, dan Bahrain). Ini 4 kali luasan gabungan negara Prancis dan Jerman. Nyatalah, tidak ada alasan mengatakan bahwa Rasulullah SAW. tidak membangun negara, Islam tidak memiliki konsepsi tentang kenegaraan, Islam hanyalah pesan moral yang tidak pernah memerintahkan pendirian negara, Nabi hanya diutus menyempurnakan kemuliaan akhlak tidak ada sangkut pautnya dengan penegakan negara, agama Islam hanyalah urusan pribadi dengan Tuhan yang bersifat sakral dan jangan dicampur dengan urusan politik kenegaraan yang bersifat profan, dan lain-lain yang merupakan refleksi dari sikap menutup diri dari informasi yang benar tentang Islam.

Page 10: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

124

Langkah-langkah Rasulullah yang dapat kita fahami sebagai langkah seorang kepala negara dapat kita lihat dalam beberapa bukti berikut: Pertama, Baiat Aqabah. Pada musim haji tahun kedua belas kenabian, 12 penduduk Yastrib bertemu dengan Rasulullah di Aqabah, Mina. Mereka masuk Islam menyusul 6 orang saudara mereka yang telah masuk Islam pada tahun sebelumnya. Selain masuk Islam, mereka mengucapkan janji setia (bai’at) kepada nabi saw. untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak berdusta, serta tidak akan menghianati Nabi. Inilah Bai’ah Aqabah yang pertama. Kemudian pada musim haji berikutnya sebanyak 73 penduduk Yastrib yang sudah masuk Islam berkunjung ke Makkah dan bertemu dengan Nabi di Aqabah. Mereka mengucapkan bai’at yang isinya sama dengan bai’ah yang pertama. Hanya saja pada yang kedua ini ada isyarat jihad. Mereka menyerahkan kekuasaan atas kota Yastrib kepada beliau dan meminta beliau saw. untuk berhijrah ke kota itu. Mereka berjanji akan membela nabi saw. sebagaimana mereka membela anak dan isteri mereka. Bai’ah ini dikenal dengan Bai’ah Aqabah kedua. Munawir Syadzali dalam bukunya Islam dan Tata Negara (1993), kedua bai’ah ini merupakan batu pertama bangunan negara Islam. Bai’ah tersebut merupakan janji setia beberapa penduduk Yastrib kepada Rasulullah SAW., yang merupakan bukti pengakuan atas Muhammad saw. sebagai pemimpin, bukan hanya sebagai seorang Rasul; sebab pengakuan sebagai Rasul tidak melalui bai’ah tetapi syahadat.

Kedua, Piagam Madinah. Umat Islam mulai hidup bernegara setelah Rasulullah SAW. hijrah ke yastrib, yang kemudian berubah menjadi Madinatur Rasul atau madinah Al Munawwarah. Di Madinahlah untuk pertama kalinya lahir satu komunitas Islam yang bebas dan merdeka di bawah pimpinan Nabi saw., yang terdiri dari kaum muhajirin dan kaum Anshar. Dalam struktur negara yang didirikan Rasulullah, juga terdapat komunitas non-muslim dari kalangan Yahudi dan Nasrani yang menjadi ahlu dzimmah. Di samping itu, di dalam dan sekitar kota Madinah terdapat 4 kabilah Yahudi yang merupakan komunitas dengan struktur kekuasaan atau negara tersendiri. Untuk mengatur hubungan intern antarkomunitas itu dengan masyarakat Islam yang baru muncul, maupun hubungan bertetangga baik dengan negara Yahudi, Rasulullah memaklumkan satu piagam yang dikenal dengan Piagam (watsiqah) Madinah. Banyak pakar politik Islam, antara lain Muhammad Hamidullah, Zainal Abidin Ahmad, Munawwir Syadzali, juga pakar politik non-Islam seperti Montgomery Watt menyatakan bahwa Piagam tersebut sebagai konstitusi negara tertulis yang pertama di dunia. Di awal piagam itu ditulis Bismillahirrahmanirrahiim. Apa yang bisa dimengerti dari kalimat ini adalah bahwa piagam itu dibuat dalam konteks ketaatan kepada Allah SWT. Pasal yang paling penting diketahui adalah pasal 23 dan pasal 42 yang menyatakan “Bila kami sekalian berbeda pendapat dalam sesuatu hal, hendaklah perkaranya diserahkan pada ketentuan Allah dan Muhammad”. Kalimat ini jelas sekali senada dengan Al-Qur’an Al-Karimsurat An Nisaa ayat 59 yang memerintahkan kepada masyarakat Islam bila bersengketa tentang suatu perkara dalam kehidupan bernegara agar dikembalikan kepada Allah dan rasulNya. Dalam

Page 11: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad

125

125

konteks kehidupan saat ini, tanpa kehadiran Rasul saw., tentunya petunjuk nash Al-Qur’an Al-Karimtersebut berarti: “merujuk kepada Al-Qur’an Al-Karimdan Sunnah Rasulullah SAW. Piagam Madinah merupakan konstitusi negara yang berasaskan Islam.

Ketiga, Peran sebagai kepala Negara. Setibanya di Madinah, Rasulullah SAW. segera melakukan langkah-langkah di berbagai bidang untuk mengatur kehidupan masyarakat Islam pertama itu. Jika dicermati dengan kaca mata saat ini, apa yang dilakukan tersebut memang merupakan peran seorang kepala negara. Peran tersebut secara garis besar dapat dibagi dalam dua peran: peran dalam negeri dan luar negeri.

Rasulullah SAW. mengembangkan SDM agar dihasilkan manusia yang

tangguh dengan mendidik kaum muslimin, baik Anshar maupun muhajirin, agar memiliki kepribadian Islam. Di samping itu beliau saw. mendorong umat untuk menguasai ilmu dan teknologi. Rasulullah bersabda: “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina, sebab menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim” (HR. Thabrani).

Di bidang ekonomi, Rasulullah menekankan benar kepada umatnya agar memiliki etos kerja tinggi dan melarang untuk melakukan riba dan judi. hanya bergiat disektor riil saja pertumbuhan ekonomi masyarakat berujung pada peningkatan kesejahteraan hidup. Selain mendorong pertumbuhan, Rasulullah mengambil langkah-langkah agar pemerataan dapat terjadi. Misalnya, Rasulullah SAW. membagi harta fai’iy bani Nadhir hanya kepada orang Muhajirin yang umumnya mereka itu miskin, tidak kepada orang Anshar yang sudah kaya, agar harta tidak terakumulasi pada orang-orang kaya semata, sebagaimana firman Allah SWT.:

“...agar harta jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kalian”. (QS. Al Hasyr: 7).

Untuk meningkatkan kesejahteraan, Rasulullah pernah membangun suatu tempat pengobatan untuk orang-orang sakit dan membiayainya dengan harta baitul mal. Untuk menjamin terlaksananya sistem dengan baik, Rasulullah mencegah korupsi dan riswah (suap) dengan ancaman di samping menjamin kesejahteraan pegawai negara. Beliau bersabda: “Siapa saja yang mengerjakan sesuatu untuk kami dan ia tidak memiliki tempat tinggal, maka ia berhak mendapat tempat tinggal, atau ia tidak memiliki seorang isteri hendaklah ia menikah, atau ia tidak memiliki kendaraan maka ia berhak mendapatkan kendaraan”.

Di samping itu semua, ada satu hal yang patut untuk dicatat bahwa Rasulullah SAW. mampu melahirkan gerakan ekonomi umat yang baru dan berhasil menggusur dominasi ekonomi negara tetangganya, yahudi di madinah.

Di bidang pemerintahan, sebagai kepala pemerintahan, Rasulullah mengangkat beberapa orang sahabat untuk menjalankan beberapa fungsi yang diperlukan agar manajemen pengaturan masyarakat berjalan dengan baik. Rasul mengangkat Abu Bakar dan Umar bin Khatthab sebagai wazir (pembantu kepala negara). Juga mengangkat beberapa sahabat sebagai wali (setingkat gubernur) untuk memimpin wilayah (setingkat propinsi) Islam, diantaranya Muadz bin Jabal sebagai

Page 12: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

126

wali sekaligus qadhi di Yaman. Di bidang militer, Rasulullah memimpin langsung beberapa peperangan atau mengatur strategi sebagaimana ditunjukkan pada perang Badar dan Uhud. Sebagai kepala negara, Rasulullah melaksanakan hubungan dengan negara-negara lain (‘alaqat dualiyah). Menurut Muhammad Tahir Azhari dalam bukunya Negara Hukum (1992), Rasulullah SAW. mengirim sekitar 30 surat kepada kepala negara lain, diantaranya Muqauqis penguasa Mesir, Kisra Persia, Kaisar Heraclius penguasa tertinggi Romawi di Palestina. Nabi mengajak mereka masuk Islam. dari sini jelaslah bahwa politik luar negeri Islam adalah dakwah semata, yaitu ajakan masuk Islam, jika tidak bersedia diminta untuk tunduk pada pemerintahan Islam, dan jika tidak maka dilakukan futuhat. Beberapa Prinsip Dasar Pemerintahan Dalam Islam Al-Qur’an Al-Karim sebagai pedoman dan asas bagi negara dan masyarakat telah menentukan sistem kehidupan dan pemerintahan dalam bentuk konsepsi dan prinsip-prinsip asasinya. Penjelasan Al-Qur’an Al-Karim dalam hal ini sama dengan penjelasan hukum-hukum Islam lainnya, seperti shalat, zakat, jual beli (ekonomi), dll. Al-Qur’an Al-Karim menjelaskan pokok-pokok permasalahan pemerntahan. Penjelasan terperincinya dapat diperhatikan pada praktika Rasulullah SAW (sunnah rasul) dalam aktifitas pemerintahan beliau dan masa sesudahnya (kekhalifahan). Dalam kenyataan dan faktanya, Al-Qur’an Al-Karim dalam memaparkan hukum-hukumnya tidak menerangkan secara pan legistik, yaitu tidak menetapkan seluruh perincian aturan kehidupan (sosial, politik, budaya, hukum, ekonomi, pemerintahan, dll). Oleh karena itu, keadaan tersebut memerlukan penjelasan dari Rasulullah SAW. secara menyeluruh dan detail. Beberapa prinsip dasar sistem pemerintahan dalam Islam, yaitu:

1. Masalah Kedaulatan Islam memerintahkan kaum muslimin dan penguasanya hanya taat, patuh, dan tunduk pada hukum syariat Islam. Ketentuan ini berdasarkan pada firman Allah SWT, antara lain: QS Al An‘aam:57, Yusuf: 40 dan 67, Asy Syuraa: 10, Al Maaidah:60,65,105. Di bawah ini dikutipkan ayat-ayat tersebut: ”Tidak ada yang berhak untuk memutuskan hukum kecuali hanya Allah“ (QS.Al An‘am:57) “ …Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) manakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin… ” (QS. Al Maaidah:50)

Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang siapa yang berwenang mennetukan kedaulatan. Oleh sebab itu, tidaklah patut ada yang lebih baik dalam menentukan hukum kecuali Allah. Kemudian Rasulullah SAW. menjelaskan hal tersebut yang merupakan ayat-ayat hukum yang bersifat pan legalistik. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid Al Qasimiy dari Ali bin Abi Thalib, Nabi saw. bersabda: ” Kewajiban imam (pemimpin, khalifah) adalah menjalankan urusan (hukum terhadap masyarakat dan negara) menuruti apa yang diturunkan Allah dan menyampaikan manah. Apabila ia menjalankannya ( hukumtersebut), maka kewajiban rakyat untuk mentaatinya“ . Jadi jelas bahwa kewajiban kepala negara adalah menerapkan hukum Allah SWT. dan menjadikannya sebagai landasan dalam roda pemerinahannya.

2. Masalah Kekuasaan

Page 13: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad

127

127

Dalam praktek masa kekhalifahan Islam, Islam telah menyerahkan hal ini kepada kepala negara (khalifah) yang terpilih dalam pemilihan umum. Kepala negara diangkat oleh ummat. Oleh sebab itu, dalam Islam kekuasaan berada di tangan ummat. Siapapun yang terpilih maka ia berhak menduduki jabatan sebagai kepala negara. Ketentuan ini berdasarkan nash-nash Al Qur-an antara lain surat An Nur:55 dan Al Hajj:41.

3. Kewajiban mengangkat kepala negara (khalifah) 4. Ketentuan Islam mengenai persyaratan kepala negara 5. Badan-Badan dalam struktur pemerintahan yang memiliki fungsi berikut ini fungsi menjalankan aturan (pemerintahan), fungsi mensejahterakan masyarakatnya, fungsi menjaga keamanan dan pertahanan negara, fungsi peradilan, fungsi pendidikan, fungsi politik luar negeri (diplomatik), dll

Keseluruhan aspek tersebut terdapat dalam praktika kehidupan Rasulullah SAW dan khulafaurrasyidin serta kekhalifahan setelahnya.

Memang benar, bahwa tidak kita jumpai satu teks pun dalam Quran dan Sunnah yang menyebut secara harfiah tentang negara Islam atau Ad Daulah Al Islamiyyah, apalagi istilah Islamic State. Akan tetapi makna kata itu beliau sebut dengan istilah Daarul Muhajirin sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Sulaiman bin Buraidah: “Serulah mereka kepada Islam, maka apabila mereka menyambutnya, terimalah mereka dan hentikanlah peperangan atas mereka. Kemudian ajaklah mereka berpindah dari negerinya (daarul kufur) ke daarul muhajirin (madinah)...”

Al-Qur’an Al-Karimdan As Sunnah menggunakan istilah sulthan dan mulk dalam menyebut tentang kekuasaan negara. Misalnya firman Allah SWT.:

“dan katakanlah: “Yaa Tuhanku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan (sulthan) yang menolong” (QS. Al Israa:80).

Ibnu Hisyam meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Ishaq bahwasanya para pembesar Quraisy telah datang kepada Abu Thalib, paman Belaiu saw. lalu Rasulullah pun menjawab permintaan mereka dengan mengatakan: “Yaa, berikanlah satu kalimat kepadaku sehingga kalian berkuasa atas orang-orang Arab (tamlikuuna bihal arab) dan orang-orang ajam (nonArab) pun akan tunduk kepada kalian” Abu Jahalpun menjawab: yaa, akan kami beri sepuluh kalimat” lalu rasul mengatakan: “Ucapkanlah laa Ilaaha Illalah dan buanglah sembahan-sembahan kalian selain Dia”. para pembesar Quraisy tidak setuju dan pergi ( Sirah Nabawiyah, juz 1:417).

Dari hadits ini dapat dipahami bahwa kejuangan Rasulullah SAW adalah menegakkan kekuasaan dengan asas kalimat tauhid. Selain itu membatasi penafsiran dalam firman Allah surat Al Maidah 42-50 hanya pada peradilan (qadla) sungguh merupakan penafsiran yang sempit. Sebab ayat-ayat tersebut jelas merupakan ayat-ayat penerapan seluruh hukum Allah (dalam taurat bagi Yahudi, Injil bagi Nasrani, dan Al-Qur’an Al-Karim bagi seluruh umat manusia sejak diutusnya Nabi saw.), termasuk di dalamnya masalah peradilan. Bakan dalam ayat 42 secara jelas kita mengerti bahwa Rasulullah SAW. sebagai kepala negara di Madinah diberi pilihan oleh Allah ketika datang orang yahudi yang tidak menjadi warga negara (bukan ahlu dzimmah) meminta beliau memutuskan perkara atau berpaling dari mereka, begitu kata Imam Al Qurthubiy dalam kitab Jaami’ li Ahkami Al Quran, juz VI:184.

Page 14: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

128

Jadi jelaslah, bahwa istilah-istilah yang menunjukkan pada kekuasaan atau negara itu ada dalam Al-Qur’an Al-Karim dan Sunnah. Bahkan beliau saw. berpesan bahwa yang menggantikan beliau sebagai kepala negara adalah para khalifah dari kalangan kaum muslimin yang diangkat dengan baiat untuk menjalankan sistem kenegaraan yang berpedoman pada manhaj nubuwwah dalam pemerintahannya.

Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Abi Hazmi yang mendengar dari Abu Hurairah, yaitu sabda Rasulullah SAW.: “dahulu bani Israil selalu dipimpin para nabi. Setiap kali seorang nabi m,eninggal segera diganti oleh nabi lain, dan sesungguhnya tidak akan ada lagi nabi sesudahku, tetapi nanti akan muncul para khalifah”. Dalam hadits yang lain rasul saw. bersabda: “telah datang suatu masa kenabian atas kehendak Allah, kemudian berakhir. Setelah itu akan datang masa khilafah rasyidah sesuai dengan garis kenabian atas kehendak Allah, kemudian akan berakhir. lalu, akan datang masa kekuasaan (Islam) yang terdapat di dalamnya banyak kezaliman (mulkan ‘adludlan) atas kehendak Allah, kemudian akan berakhir pula. lantas akan datang zamannya para diktator (mulkan jabariyyan) atas kehendak Allah pula dan iapun akan berakhir. kemudian (terakhir) akan datang kembali masa khilafah rasyidah dengan garis kenabian sehingga Islam akan meliputi seluruh permukaan bumi ini” (HR. Imam Ahmad dan Al Bazzar).

Pesan-pesan itulah yang dipahami para sahabat sehingga setelah Rasulullah wafat, mereka berembuk di Tasqifah Bani Sa’idah untuk menentukan kepala negara yang menggantikan beliau saw. memimpin kaum muslimin dengan menjalankan sistem pemerintahan. Abu Bakar sebagai khalifah pertama berkata: “Sesungguhnya Muhammad saw. telah tiada, dan agama (Islam) ini membutuhkan seseorang yang mau bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Syariat” (Lihat Imam Al ‘Aaji dalam Al Mawaaqif:345). Peranan Kepala Negara Dalam Islam

Terdapat sejumlah sifat yang harus dimiliki oleh para penguasa atau pejabat muslim sebagai tanggung jawabnya kepada Allah SWT. sehubungan dengan kedudukannya sebagai pemerintah dan dalam kaitannya dengan rakyat yang diperintah dan dipimpinnya. Dalam pandangan Islam seorang penguasa harus memiliki karakter dasar pemimpin, diantaranya berkepribadian kuat, bertakwa, rifq (lemah lembut, santun) terhadap rakyatnya, dan tidak menjadi seorang munaffir (arogan, suka menghardik, serta membeuat kebencian rakyatnya). Kuat merupakan sifat dasar yang harus dimiliki seorang penguasa. Orang yang lemah tidak layak menjadi penguasa. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Dzarr ra. Yang berkata: ”Aku berkata: ”Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak mengangkatku sebagai pejabat?“. Rasululah saw. menepuk pundakku lalu bersabda: ” Wahai Abu Dzarr, sesungguhnya anda seorang yang lemah, sedangkan jabatan itu adalah amanah dan jabatan itu akan menjadi kehinaan dan sesalan di hari kiamat kecuali orang yang mengambil jabatan itu dengan hak (proses pengangkatan yang benar) dan melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya dalam jabatan itu“.

Yang dimaksud dengan sifat yang kuat bagi seorang penguasa adalah kuat keperibadiannya, baik kuat cara berfikirnya (aqliyah) maupun cara pengendalian hawa-hawa nafsunya (nafsiyah). Seorang penguasa muslim harus memahami berbagai urusan pemerintahan dan hubungan sosial politik dalam perspektif Islam. Ia harus dapat mengendalikan diri sebagai seorang pemimpin dalam perspektif

Page 15: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad

129

129

Islam. Kepribadian yang kuat memungkinkan seorang pemimpin berkuasa dan mengendalikan. Oleh karena itu, ia harus membebaskan diri dari tindakan pengendalian yang buruk. Untuk itu ia harus memiliki sifat taqwa, baik dalam kehidupan pribadinya maupun dalam memelihara setiap urusan umat. Imam Muslim dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Sulaiman bin Buraidah dari bapaknya yang berkata: ”Adalah Rasulullah jika mengangkat seorang amir jaisy (komandan perang), belia saw. menasehati amir itu agar bertakwa dan bersikap baik kepada kaum muslimin yang berjuang bersamanya (menajdi bawahannya)“.

Penguasa yang senantiasa bertakwa dan takut serta wasapada kepada Allah, baik dalam keadaan rahasia maupun terang-terangan akan menjauhkan dirinya dari sikap-sikap kediktatoran kepada rakyatnya. Namun demikian sifat takwa itu tidak berarti menghalanginya dari sikap keras. Sebab ia selalu merasa diawasi Allah SWT. dan terikat dengan perintah dan larangan Allah SWT. Lantaran tabiat alamiah seorang penguasa itu keras, maka syariat memerintahkannya untuk bersikap rifq (lemah lembut) dan tidak mempersulit rakyat. Diriwayatkan dari isteri Rasulullahs aw. Aisyah ra yang berkata: ” Aku mendengar Rasulullah berdoa di rumah ini: ” Ya Allah, siapa saja yang berwenang atas urusan pemerintahan umatku lalu mempersulit urusan mereka maka persulitlah urusan dia (di akhirat). Dan siap saja yang memegang urusan pemerintahan umatku lalu ia bersikap lemah lembut maka santunilah dia“ (HR. Muslim). Rasulullah memerintahkan kepada para pejabat muslim untuk selalu menjadi mubasysyir (yang menggembirakan) dan bukan munaffir (penghardik yang menjengkelkan). Diriwayatkan hadits dari Abu Musa yang berkata: Adalah Rasulullah SAW. jika beliau mengutus salah seorang sahabatnya menjadi pejabat daerah , beliau saw. bersabda: ” Gembirakanlah, jangan engkau menghardik dan mudahkanlah jangan kau persulit“ (HR Muslim).

Itulah beberapa karakter dasar yang harus dimiliki oleh seorang penguasa atau pejabat muslim. Dalam kaitannya dengan tugas memimpin dan memelihara urusan rakyat, seorang penguasa mesti memiliki karakter/sifat sebagai berikut:

Pertama, menasehati rakyat, Kedua, tidak menyentuh harta milik umum (kaum muslimin), Ketiga, memerintahkan kaum muslimin dengan Islam semata. Allah SWT.

mengharamkan seorang penguasa muslim yang tidak menasehati rakyatnya dan menipu umat. Diriwayatkan dari Ma‘qil bin Yasar yang berkata, aku mendengar Nabi bersabda: ” Tidaklah seorang hamba yang memberinya tanggung jawab, Allah p[ilih dia untuk memelihara urusan rakyat lalu dia tidak menasehati mereka melainkan dia tidak menemukan (menghirup) angin surga“ (HR. Bukhari). Diriwayatkan dari Abu Said yang berkata: Bersabda Rasulullah SAW. : ”Setiap pengkhianat pada hari kiamat memiliki bendera yang akan menjulang tinggi sesuai dengan tingkat pengkhianatnnya, ketahuilah tak ada pengkhianat yang paling besar pengkhianatannya selain dari pemimpin rakyat“. Bersusah payah dalam mengurus urusan rakyat dan menasehati rakyat sangat ditekankan oleh Rasulullah SAW. kepada para pejabat sebagai bagian dari tanggung jawab mereka. Tidak menyentuh harta milik umum adalah karakter pejabat. Diriwayatkan dari Abu Humaid As Sa‘idiy bahwa Nabi saw. menunjuk Abu Latabiyah sebagai pejabat yang berwenang untuk mengambil pembayaran zakat Bani Sulaim. Suatu ketika ia mendatangi Rasulullah SAW. untuk melaporkan hasil tugasnya. Ia berkata: ” Ini untuk anda (negara) dan ini hadiah yang mereka berikan sebagai hadiah kepadaku

Page 16: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

130

(pribadi)“. Rasulullah SAW. bersabda kepadanya: ”Kenapa anda tidak duduk di rumah bapak-ibumu saja sehingga datang hadiah anda itu jika anda adalah orang yang benar?“ Rasyulullah pun bangkit dan berpidato di hadapan orang banyak. Stelah mengucapkan puji-pujian kepada Allah beliau bersabda: ”Amma ba‘du. Sesungguhnya aku telah menunjuk sejumlah orang di antara kalian untuk menjadi pejabat pada sejumlah urusan yang telah Allah kuasakan kepadaku. Lalu salah seorang dari kalian yang menjabat itu datang kepadaku sambil berkata: ” Ini untuk anda (negara) dan ini untuk saya (pribadi). Kenapa dia tidak duduk-duduk di rumah ibu bapaknya saja sehingga hadiah tersebut datang jika dia orang yang benar? Demi Allah, tidak salah seorang pejabat dari kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya, melainkan pada hari kiamat dia akan datang dengan membawanya“ (HR. Bukhari). Memerintah dengan aturan syariat Islam merupakan suatu keharusan sekaligus pembatasan bagi penguasa dalam perspektif Islam. Allah SWT. mewajibkan setiap penguasa untuk mengambil keputusan politik maupun hukum dengan Kitabullah (Al-Quran) dan Sunnah Rasulullah SAW. Perhatikan firman Allah dalam QS. 5: 44, 45, 47, dan 50. Tatkala Nabi saw. sebagai kepala negara mengutus Muaz bin Jabal menjadi gubernur ke Yaman, beliau bertanya: ”Dengan apa anda mengambil kepuutsan?“ Dengan kitabullah, kata Muadz. ”Jika tidak anda jumpai hal itu di dalamnya? ”tanya Rasullullah kembali. Dengan sunnah Rasulullah, jawab Muadz. ”Jika anda tidak menjumpai di dalamnya? Lanjut Rasulullah. Aku berijtihad dengan pendapatku, jawab Muadz. Rasulullah pun bersabda: ”Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah kepada apa (cara pengambilan keputusan) yang dikehendaki Allah dan rasulNya“. Ijtihad yang dikemukakan oleh Muadz itu tentunya adalah ijtihad syar‘iy, yaitu ijtihad atau penggalian hukum untuk mengambil keputusan dengan mendasarkan diri kepada dalil-dalil syra‘ (Al-Qur’an Al-Karimdan Sunnah). Pengambilan keputusan dengan menunjuk kepada hukum-hukum Allah merupakan karakter setiap penguasa muslim dalam Islam. Penguasa muslim tidak akan mengambil keputusan dengan hawa nafsu atau arahan-arahan selain hukum Islam. Allah SWT. berfirman dalam rangka mengingatkan RasulNya agar konsisten dalam memerintah dengan hukum-hukum Allah, sebagai Allah berfirman: ”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan hukum yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka suapya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu“ (QS.Al Maaidah:49). Peranan Ulama Dalam Islam

Akibat kuatnya proses depolitisasi dan deIslamisasi yang panjang, telah terjadi kesenjangan jarak yang lebar antara kaum muslimin, terutama para ulama dengan aktivitas politik. Bahkan tak sedikit, kaum muslimin yang beranggapan bahwa aktivitas politik itu kotor dan najis sehingga harus ditinggal. Pandangan seperti ini tentu tidak benar dan harus segera diperbaiki. Sebetulnya bagi kaum muslimin, terlebih para ulamanya, bergelut dalam masalah politik adalah hal yang sangat wajar, bahkan merupakan suatu kewajiban. Hal ini karena, politik di dalam ajaran Islam didefinisikan sebagai langkah-langkah strategi dalam kerangka untuk pemeliharaan urusan umat (ri'ayatu syu-unil ummah). Sebagai pelaksana praktis politik adalah daulah (negara). Sedangkan umat melakukan muhasabah (kritik, saran,

Page 17: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad

131

131

dan nasihat) kepada kepala negara. Politik secara bahasa berasal dari kata Saasa - yaSuusu - Siyasaatan yang memiliki pengertian mengurus kepentingan seseorang. Dalam Qamus Al Muhith dinyatakan bahwa Sustu ar ra‘iyyata siyaasatan berarti saya memerintahnya dan melarangnya. Pengertian ini dapat pula diambil dari hadits-hadits yang menunjukkan aktivitas penguasa, kewajiban untuk melakukan koreksi (muhasabah), serta pentingnya mengurus kepentingan kaum muslimin. Berkaitan dengan ini Rasulullah SAW. bersabda: ”Seseorang yang ditetapkan Allah (dalam kedudukan) mengurus kepentingan umat dan dia tidak memberikan nasihat kepada mereka (umat), maka dia tidak akan mencium bau surga“ (HR. Bukhari dari Ma‘qil bin Yasar ra.) Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW. bersabda: lain Rasulullah SAW ”Seseorang yang memimpin kaum muslimin dan dia mati sedangkan ia menipu mereka (umat) maka Allah akan mengharamkan ia masuk ke dalam surga“ (HR. Bukhari dan Muslim dari Ma‘qil bin Yasar ra., lafadz bagi Bukari) ”Akan terdapat para penguasa, maka kalian (ada yang) mengakui perbuatannya dan (ada yang) mengingkarinya. Siapa saja yang mengakui perbuatannya (karena tidak bertentangan dengan hukum syara‘), maka dia tidak diminta tanggung jawabnya, dan siapa saja yang mengingkari perbuatannya maka ia akan selamat. Tetapi siapa saja yang ridla (dengan perbuatannya yang bertentangan dengan hukum syara‘) dan mengikutinya (maka dia berdosa). Para sahabat bertanya: ”Apakah kita tidak memerangi mereka?“ Beliau Saw. menjawab: ”Tidak, selama mereka menegakkan shalat (hukum-hukum Islam)“ (HR. Muslim dari Ummu Salamah ra.) ”Barang siapa yang bangun pagi hari dan perhatiannya kepada selain Allah, maka ia tidak berurusan dengan Allah. Dan barang siapa yang bangun dan tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin)“ (HR Hakim dan Khathib dari Khudzaifah ra.) ”Aku berbai‘at kepada Rasulullah untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan menasehati setiap muslim“ (HR. Bukhari dan Muslim) Hadits-hadits di atas berkenaan dengan penguasa dan kedudukannya, pengoreksian umat terhadap penguasa, atau hubungan antarmuslim dalam mengurus kepentingan mereka dan untuk saling menasehati. Semua hal itu menunjukkan makna politik, yaitu mengurus kepentingan umat.

Jadi definisi politik tersebut merupakan definisi syar‘iy yang berasal dari dalil-dalil syara‘. Berkenaan dengan hal itu, politik (siyasah) dalam Islam memiliki makna mengatur urusan-urusan umat, baik berkenaan dengan urusan dalam negeri atau luar negeri. Aktivitas politik tentu saja dilakukan oleh negara sebab negara merupakan institusi yang melaksanakan hal itu secara praktis. Artinya, secara internal negara dalam Islam berfungsi untuk melaksanakan seluruh hukum-hukum Islam dalam seluruh wilayah kekuasaannya. Negara memberlakukan aturan mengenai hubungan antarindividu (muamalah), melaksanakan sistem hukum pidana (hudud), memelihara akhlak dan etika, menjamin pelaksanaan ibadah, dan mengatur urusan rakyat sesuai dengan syara‘. Secara eksternal, negara mengatur politik luar negeri dalam kaitannya dengan negara, umat, dan bangsa lain, serta mendakwahkan Islam ke seluruh dunia. Pada sisi yang lain aktivitas politik pun dilakukan umat dan ulama, yaitu dalam rangka untuk mengoreksi penguasa dan aparaturnya dalam melaksanakan tugas.

Page 18: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

132

Sehubungan dengan melakukan koreksi (muhasabah) terhadap penguasa oleh umat, Islam telah mewajibkan kaum muslimin untuk melakukan itu. Adanya kewajiban untuk menaati penguasa, meskipun ia berbuat zalim atau merampas hak-hak rakyat; bukan berarti bahwa kaum muslimin boleh mendiamkan saja kezaliman tersebut. Penguasa harus ditaati, namun ia juga harus dikoreksi. Allah SWT. memerintahkan dengan tegas untuk mengganti para penguasa jika mereka merampas hak-hak rakyat atau tidak melaksanakan tugas-tugasnya, atau mengabaikan kepentingan umat dan melanggar aturan Islam, atau penguasa berhukum kepada hukum selain Islam. Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Salamah ra. bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Akan terdapat para penguasa, maka kalian (ada yang) mengakui perbuatannya dan (ada yang) mengingkarinya. Siapa saja yang mengakui perbuatannya (karena tidak bertentangan dengan hukum syara‘), maka dia tidak diminta tanggung jawabnya, dan siapa saja yang mengingkari perbuatannya maka ia akan selamat. Tetapi siapa saja yang ridla (dengan perbuatannya yang bertentangan dengan hukum syara‘) dan mengikutinya (maka dia berdosa). Para sahabat bertanya: ”Apakah kita tidak memerangi mereka?“ Beliau Saw. menjawab: ”Tidak, selama mereka menegakkan shalat (hukum-hukum Islam)“ Dalam riwayat Muslim yang lain dikatakan: ”Siapa saja yang membenci perbuatannya (karena bertentangan dengan hukum syara‘) maka dia tidak dimintai tanggung jawabnya dan siapa saja yang mengingkari perbuatannya maka ia akan selamat. Tetapi siapa saja yang ridla dan mengikutinya (maka ia berdosa)“

Rasulullah SAW. memerintahkan kaum muslimin untuk menentang penguasa yang menyimpang dari hukum Islam dengan berbagai cara sesuai kemampuannya, yaitu dengan tangannya selama bukan perang fisik, dengan lisannya melalui pernyataan-pernyataan yang baik-benar, atau dengan hatinya apabila mereka tidak mampu mengerjakan kedua hal sebelumnya. Rasulullah SAW. menganggap siapa saja yang tidak menentang perbuatan haram penguasa adalah sekutu dalam dosa. ”Siapa saja yang ridla terhadap apa yang mereka kerjakan dan mengikuti perbuatan itu, maka dia tidak akan terbebas dan selamat dari dosa“

Lebih jauh lagi, dalil-dalil yang memerintahkan amar ma‘ruf dan nahyi munkar merupakan dalil adanya kewajiban untuk mengoreksi penguasa, karena dalil tersebut berlaku umum, baik penguasa maupun selainnya. ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan (Islam) dan memerintahkan kepada yang ma‘ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung“ (QS.Al Imran:104) ”(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di atas bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma‘ruf dan mencegah perbuatan munkar“ (QS. Al Hajj:41)

Dalam sejarah, Kaum muslimin sangat terbiasa dalam menggeluti masalah-masalah politik, baik lokal maupun internasional maupun demi memelihara kepentingan umat dan negaranya, baik di dalam maupun di luar negeri. Rasulullah SAW bersabda : ”Siapa saja yang bangun pagi-pagi dan tidak memperhatikan urusan (kepentingan) kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin) (Al-Hadits).

Perhatian kaum muslimin terhadap politik internasional diabadikan dalam QS. Ar-Ruum 1-4 yang menceritakan kasus kekalahan Rum (ahli Kitab) atas Persia (Majusi musyrik).

Page 19: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad

133

133

“Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi di negeri yang terdekat. Dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun lagi...“ (QS. Ar Rum 1-4).

Sebab-sebab turunnya ayat ini --berupa konfrontasi pemikiran antara kaum muslimin dengan kaum musyrikin Quraisy-- menunjukkan bahwa kaum muslimin juga memperhatikan dan membahas perkembangan hubungan dan situasi internasional yang berlangsung saat itu.

Oleh karena itu image yang tidak benar terhadap aktivitas politik haruslah segera diubah. Tugas ini tentu saja diemban oleh para ulama karena merekalah yang memiliki kapasitas untuk melakukan hal itu dengan seluruh potensi ilmu yang dimilikinya. Beberapa langkah strategis yang mungkin untuk dilakukan para ulama dalam kerangka untuk membangkitkan umat ini, di antaranya:

Pertama, harus dibangun kesadaran politik umat (wa'ie siyasi), yaitu kesadaran umat tentang bagaimana memelihara urusannya. Untuk itu, para ulama harus menanamkan dalam jiwa kaum muslimin prinsip bahwa umat Islam hanya akan memecahkan seluruh problematika kehidupannya dengan ide/konsepsi dengan ideologi yang dimilikinya, yaitu Islam (QS. An Nahl 89) dan dengan metode yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.(QS. Al Ahzab 21).

Kedua, para ulama harus menggalakkan kajian-kajian fiqh yang lebih luas --tidak hanya sekedar masalah, bersuci, shalat, shaum, dan haji-- yaitu kajian fiqh yang menjelaskan syariat Islam tentang masalah-masalah kenegaraan, perundang-undangan, hukum-hukum pidana dan perdata, hubungan internasional, ekonomi, sosial, dan pendidikan dengan merujuk kepada induk kitab-kitab fiqih yang mu'tabarah. Dengan demikian pandangan kaum muslimin terhadap agamanya sendiri semakin jelas dan tidak salah paham terhadap fiqih Islam (lihat An-Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz II/7).

Ketiga, selain itu hendaknya ulama --muslim intelektual-- tidak hanya "bersembunyi" di dalam pesantren/lembaganya. Selain mengkaji kitab-kitab fiqih Islam klasik, selayaknya mereka selalu berusaha mengkaitkan kajiannya dengan fakta aktual. Mereka --para ulama itu--mestinya senantiasa memanfaatkan segala sarana dan kesempatan yang dimiliki untuk menjelaskan bagaimana pandangan Islam tentang berbagai persoalan yang sedang berkembang. Dengan demikian kaum muslimin tidak akan mudah terkecoh oleh arus globalisasi yang mengatasnamakan modernisasi, demokrasi, kebebasan, dan hak asasi. Ulama Membangun Kesadaran Masyarakat Realitas keberadaan ulama merupakan aspek penting bagi suatu proses transformasi suatu masyarakat. Oleh sebab itu, para ulama haruslah menentukan target apa yang dilakukan untuk memperbaiki masyarakat. Untuk menentukan hal ini terdapat dua hal mendasar yang harus difahami, yaitu apa yang menjadi persoalan utama umat ini dan bagaimana memecahkan persoalan utama tersebut.

Berkaitan dengan yang pertama, jelas bahwa persoalan utama umat Islam ini adalah tidak diterapkannya aturan Islam secara menyeluruh di dalam mengatur aktivitas masyarakat. Hal ini telah menjadi sebab pangkal hancurnya umat Islam. Berkaitan dengan hal yang kedua, target aktivitas para ulama haruslah diarahkan pada pemecahan persoalan ini. Dengan demikian tujuan aktivitas amar ma‘ruf dan nahyi munkar yang dilakukan ulama adalah bagaimana upaya untuk isti‘naafu al

Page 20: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

134

hayati Al Islamiyyah (melanjutkan kembali kehidupan Islami). Untuk dapat mencapai tujuan tersebut dalam pengertian menerapkan seluruh aturan dan hukum yang berdasarkan pada aqidah Islam, maka tentu saja diperlukan keberadaan sistem Islam sebagai institusi yang berwenang untuk melaksanakan Islam.

Untuk itulah maka, para ulama harus mendidik umat dengan Islam. Sebab salah satu fungsi ulama adalah memahamkan pemikiran Islam yang mendalam serta menjelaskan dengan gamblang dan terperinci metodologi untuk meralisasikan Islam kepada umat. Telah terbukti bahwa selama ini umat tidak mengerti apa diperjuangkan, bahkan telah terjadi disintegrasi dengan hilangnya ukhuwah Islamiyyah di tengah umat. Tujuan dilakukannya tatsqiif (pembinaan) ini adalah membentuk umat yang memiliki syakshiyyah Islamiyyah (kepribadian Islami), yaitu terbentuknya dua aspek pokok (1) aqliyah Islamiyyah (cara berfikir yang Islami) dan (2) nafsiyyah Islamiyyah (jiwa yang Islami).

Berikutnya adalah tahapan yang sangat penting, yaitu para ulama melakukan perang pemikiran. Tujuannya adalah untuk menciptakan dan mengubah opini di tengah masyarakat Hal ini ditujukan dalam rangka mengubah pemahaman masyarakat, sehingga masyarakat mendukung dan searah dengan pemahaman yang disampaikan para ulama. Untuk itu masyarakat harus disadarkan terutama tentang kewajiban dan tanggung jawab mereka terhadap Islam, umat harus menerapkan aturan Islam secara menyeluruh sebagai konsekuensi logis dari aqidahnya Dorongan keimanan inilah yang pertama kali harus dibangkitkan di tengah masyarakat agar mereka menuntut penerapan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Harus juga disadarkan bahwa Islam adalah agama yang memecahkan segenap persolan kehidupan mereka, mulai ekonomi, politik, pemerintahan, hukum, pendidikan, dan segenap aspek kemasyarakatan lainnya. Apabila masyarakat dididik hanya dengan simbol dan jargon-jargon kosong, dilenakan dengan retorika tanpa makna, serta dibius dengan euphoria dan histeria massa yang emosional maka kondisi ini dapat mengarah pada bentuk-bentuk dan tradisi anarkhis akibat ashabiyyah (fanatisme) secara membabi buta. Disamping itu, harus dibentuk suatu opini dan kesadaran untuk menolak setiap konsepsi pemikiran yang bertentang dengan Islam, seperti sekularisme-kapitalisme, sosialisme-komunisme, dan konsepsi lainnya yang bertentangan dengan nilai Islam. Bersamaan dengan hal itu, para ulama harus menjelaskan solusi konkret yang menggantikan konsepsi-konsepsi yang bertentangan dengan Islam tersebut. Perubahan pemikiran masyarakat dan penolakannya terhadap setiap nilai yang bertentangan dengan Islam inilah sebagai kunci utama penerimaan umat terhadap ulama dan dukungan mereka atas para ulama itu. Jadi, proses penyadaran umat ini merupakan aspek penting terhadap perjuangan para ulama. Pengertian Syura dalam Islam Syura atau pengambilan pendapat dalam Islam biasanya dilakukan Kepala Negara (khalifah) atau pihak-pihak yang berwenang untuk mengambil keputusan sebagaimana perintah Allah SWT.: “Dan bermusyawarahlah engkau (Muhammad) dengan mereka dalam suatu urusan. Kemudian apabila kamu membulatkan tekad (membuat keputusan) maka bertakwalah kepada Allah” (QS.Al Imran:159)

Page 21: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad

135

135

Pertanyaan yang muncul: Pendapat mana yang mengikat kepala negara (khalifah) untuk dilaksanakan? Pendapat mana yang bisa diambil berdasarkan suara mayoritas (voting)? Pendapat mana yang tidak perlu melalui suara mayoritas bahkan cukup dari seorang atau beberapa orang rakyat atau wakil rakyat? Kapan khalifah sama sekali tidak perlu merujuk kepada rakyat atau wakil rakyat? Berkaitan dengan hal itu terdapat 4 hal yang harus diperhatikan: Pertama, pendapat yang berbentuk hukum syara’ atau penetapan hukum syara’. Dalam masalah ini tidak dikenal adanya tawar-menawar pendapat baik merupakan suara mayoritas ataupun minoritas. Seluruh manusia harus terikat dengan ketentuan hukum syara’, terutama yang bersifat pasti, seperti masalah hukum perzinahan dan pencurian, keharaman khamar (alkohol), dll. Pelakunya akan dikenakan hukum sesuai ketentuan syara’. Dalam perkara seperti ini para wakil rakyat atau rakyat itu sendiri tidak berhak untuk memberikan pendapat yang mengubah hukum syara’ disebabkan adanya kemaslahatan yang tampak. Demikian pula khalifah, sebab ia hanya pelaksana hukum syara’. Suatu kelancangan terhadap Allah SWT. jika rakyat atau para wakilnya mengubah hukum tersebut. Jika hal itu terjadi maka akan muncul fenomena seperti beberapa negeri Eropa dimana parlemen menyetujui (berdasarkan suara mayoritas) adanya aborsi, premarital atau ekstramarital, prostitusi, lesbianisme, homoseksualisme dimana hubungan tersebut dianggap sebagai hubungan yang manusiawi sepanjang tidak melanggar hak individu. Dalam perkara seperti itu, Khalifah wajib meninggalkan apa yang dinyatakan oleh rakyat atau para wakilnya secara mutlak, walaupun disepakati oleh mayoritas rakyat. Pada masa Rasulullah SAW. pernah terjadi protes yang dilakukan Umar bin Khattab yang tidak sepakat tentang isi perjanjian Hudaibiyah yang kelihatannya sangat menguntungkan kafir Quraisy. Rasulullah SAW. menolak pendapat Umar tersebut dengan sabdanya: “Sesungguhnya aku ini merupakan hamba Allah dan RasulNya, dan aku tidak akan menentang perintahNya dan tidak akan mundur/atau mening-galkannya” (Shirah Ibnu Hisyam, juz 3: 365-366). Kedua, pendapat yang berupa defenisi (ta’rif) suatu perkara, baik definisi syar’i seperti definisi hukum syara’ itu sendiri maupun definisi di luar syar’i, seperti definisi akal, masyarakat, dll. Bertalian dengan hal itu, jika definisi itu berupa definisi syar’i maka harus merujuk kepada sumber syariat, yaitu Al-Qur’an Al-Karim dan Sunnah RasulNya. Seperti definisi tentang perzinahan, pencurian dll. Sedangkan definisi yang bukan syar’i harus sesuai dengan kenyataan yang ada, seperti definisi masyarakat bahwa masyarakat bukan semata kumpulan individu yang berinteraksi melainkan juga adanya perasaan, pemikiran, dan sistem atau aturan. Jadi dalam penetapan ini tidak berlaku prinsip mayoritas. Ketiga, pendapat yang menunjuk pada konsep/pemikiran tentang sesuatu (pokok bahasan) atau tentang suatu bidang keahlian yang hanya diketahui oleh seorang ahli atau pakar. Dalam perkara ini, pendapat yang terkait dengan ilmu atau keahlian ilmu tertentu harus diambil berdasarkan pendapat orang yang ahli dalam masalah ini dan bukan berdasarkan suara mayoritas (seperti pengertian virus yang berbeda antara pengertian dokter/virus penyakit, ahli komputer/virus komputer, atau ustadz/virus aqidah). Keempat, perkara yang terkait dengan pilihan dari berbagai aktivitas yang akan dijalankan. Perkara ini diambil berdasarkan pendapat mayoritas, karena

Page 22: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

136

termasuk dalam perkara mubah yang boleh kita laksanakan atau meninggalkannya. Rasulullah SAW. menerima pendapat mayoritas kaum muslimin ketika memutuskan untuk menghadapi musuh bukan di kota Madinah tetapi di luar kota Madinah (bukit Uhud). Ketika sebagian sahabat menyarankan agar Beliau saw. agar menarik keputusannya maka Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak layak bagi seorang nabi apabila telah mengenakan pakaian besinya lalu akan menanggalkannya lagi sehingga ia selesai berperang” (Shirah Ibnu Hisyam, juz 3:8). Pernyataan Rasulullah SAW. menunjukkan persetujuan beliau untuk berperang di luar kota Madinah, meskipun secara pribadi beliau cenderung untuk bertahan di dalam kota Madinah, menunggu musuh. Hal ini menunjukkan bahwa yang wajib adalah menjalankan hukumnya, yaitu berperang menghadapi musuh. Adapun bagaimana cara untuk menghadapi hal itu, apakah bertahan ataukah menyongsong di luar kota (dimana kedua pilihan tersebut boleh dilakukan) dapat diputuskan berdasarkan suara terbanyak (mayoritas).

Berdasarkan hal itu, seorang Khalifah harus memahami kapan ia mengambil pendapat dari rakyat atau para wakilnya, kapan mengambil pendapat dari para pakar ilmu, atau bahkan kapan seorang khalifah boleh mengambil atau meninggalkan (tidak terikat). Jadi, pengertian syura berbeda dengan pengertian musyawarah yang sering disalahpahami dan disalahpahamkan oleh masyarakat. Islam dan Demokrasi

Islam adalah sebuah sistem ajaran yang diturunkan Allah SWT. untuk mengatur kehidupan manusia, baik individu maupun sosial. Dalam masalah individu, Islam memberikan tuntunan yang sangat jelas tentang aspek keimanan (aqidah), ibadah, makanan, minuman, pakaian, dan akhlak. Adapun dalam kaitannya dengan hubungan interaksi manusia lain, Islam memberikan aturan muamalah, ekonomi, sosial, politik, pemerintahan, perang, dll; termasuk tentang bagaimana cara pengambilan keputusan. Agar tercipta kehidupan serasi dan harmoni, Islam menganjurkan pemimpin (Kepala negara dan aparaturnya) bermusyawarah sebelum mengambil keputusan. Islam mengajarkan untuk memperhatikan dan menghormati pendapat orang lain. Rasulullah SAW. berdasarkan hadits riwayat Imam Turmudzi dari Abu Hurairah adalah seorang pribadi yang gemar bermusyawarah. Abu Hurairah menyatakan:

��ـ���ـ� � رأ�ـ� ا�ـ�ا اآـ�� ـ��ورة ـ� رـل ا� �ـ�� � ا� ��� و ـ�”Aku tidak melihat seorangpun yang begitu sering bermusyawarah melebihi Rasulullah SAW. terhadap para sahabatnya“ (HR. Turmudzi)

Dalam suatu hadits yang diriwayatkan Al Hasan ra. dinyatakan:

� 'ـ��ور %ـم %ـ$ ا� هـ�وا "ر!ـ� � ا ـ�هـ”Tidaklah bermusyawarah suatu kaum, melainkan mereka akan mendapatkan petunjuk yang tepat bagi urusan mereka“

Sedangkan dua firman Allah SWT. dalam Al-Qur’an menunjukkan bahwa

syura atau musyawarah merupakan ciri khas kaum muslimin. Allah SWT. berfirman:

Page 23: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad

137

137

”Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka“ (QS. Asy Syura:38) ”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu berkeras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tersebut“ ( QS. Al Imran:159) Dengan demikian, syura atau pengambilan pendapat (akhdzur ra‘yi) itu khusus dilakukan dengan kaum muslimin. Adapun pengeluaran pendapat (ibda‘ur ra‘yi) berdasarkan sunnah Rasulullah SAW. dapat berasal dari siapapun juga, baik muslim maupun nonmuslim.

Dalam bermusyawarah untuk mengambil suatu keputusan, seorang pemimpin tidak harus terikat dengan suara mayoritas. Dalam hal menyangkut pendapat yang memerlukan keahlian dan ketepatan, maka ia harus mengambil pendapat yang benar, kendapun hanya didukung oleh seorang saja. Rasulullah SAW. menerima pendapat Hubab bin Mundzir, seorang yang memang sangat mengenal medan Badar, saat ia menyarankan Rasulullah SAW memindahlan pasukan ke tempat yang lebih baik dalam perang Badar. Sementara dalam masalah teknis dan strategi pelaksanaan suatu perkara yang bersifat mubah (terdapat pilihan didalamnya), seorang pemimpin itu harus mengambil pendapat mayoritas; tanpa melihat apakah pendapat yang didukung mayoritas itu tepat atau tidak. Hal yang seperti itu dilakukan Rasulullah SAW. menjelang perang Uhud, dimana sebagian besar pasukan kaum muslimin menghendaki menyongsong musuh di luar Madinah, sedangkan beliau sendiri bersama para tokoh sahabat berpendapat sebaliknya. Meskipun sebagian sahabat menyesal dan memohon Rasulullah saw. menarik kembali keputusan beliau, Rasulullah SAW. menolak dan tetap melaksanakan apa yang telah ditetapkan berdasarkan suara mayoritas itu. Keteguhan Rasulullah SAW. ini merupakan penjelasan riil dari sabda beliau:

, ا'ـ+ـ0ـ*)� /ـ. ـ�ـرة � -�,ـ+ـ*()�”Bila kalian bedua telah bersepakat dalam urusan masyurah, maka tidak selayaknya

kalian meninggalkannya“ (HR. Imam Ahmad dari Ibnu Ghanam Al Asy‘ariy) Hanya saja, tuntunan untuk mengambil keputusan dengan suara mayoritas

dalam musyawarah hanya berlaku dalam perkara-perkara penerapan hukum (tathbiqul ahkam) yang hukumnya mubah. Misalnya saja, jihad itu hukumnya wajib. Adapun melaksanakan hukum jihad, yaitu hendak menyongsong musuh di dalam kota atau di luar kota bersifat mubah, boleh ditetapkan berdasarkan suara mayoritas. Jadi tidak boleh pukul rata untuk segala perkara.

Berkaitan hal itu, umat Islam tidak memerlukan musyawarah untuk menetapkan apakah shalat, shaum Ramadhan, menunaikan zakat, berhaji, melaksanakan hukum hudud, dll, itu hukumnya wajib ataukah tidak. Perkara tersebut merupakan perkara yang diwajibkan syariat Islam; wajib bagi umat Islam melaksanakannya. Umat Islam tidak perlu bermusyawarah apakah zina, segala bentuk perjudian, riba (bunga uang), dan sebagainya yang termasuk perkara haram

Page 24: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

138

dilarang ataukah tidak, karena setiap yang haram harus ditinggalkan dan negara berkewajiban untuk melarangnya. Berkaitan hal itu, tidak diperlukan adanya perundang-undangan yang disahkan parlemen. Hal ini disebabkan, semua perkara itu telah jelas tertulis dalam Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah. Penguasa muslim tinggal melaksanakan hukum-hukum yang ada dalam dua sumber itu.

Apabila terdapat perkara baru yang belum jelas status hukumnya, maka para mujtahid akan berijtihad. Kemudian kepala negara memilih berdasarkan kekuatan dalil, bukan pendapat manusia semata, baik mayoritas maupun minoritas, salah satu hasil ijtihad itu untuk dijadikan hukum negara. Hukum inilah yang akan diterapkan di tengah kehidupan masyarakat. Maka, jika kita mengkaji perihal syura dan musyawarah dalam Islam, di samping membaca ayat-ayat tentang musyawarah, juga harus memperhatikan ayat-ayat yang berkenaan dengan wajibnya melaksanakan hukum-hukum Allah. Di antaranya:

“Dan apa saja yang dibawa oleh Rasul, maka ambillah. Sedangkan apa yang dilarangnya, amak tinggalkanlah. Bertakwalah engkau kepada Allah, karena Allah Maha keras siksaNya“ (QS. Al Hasyr: 7)

”Dan hendaklah engkau menghukumi di antara mereka dengan apa yang Allah turunkan. Dan janganlah sekali-kali engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Hati-hatilah engkau terhadap mereka, karena mereka ingin menyesatkanmu dari sebagian apa yang diturunkan Allah kepadamu“ (QS. Al Maidah:49)

Tanpa mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dan Al Hadits secara komprehensif dengan pemahaman dalam konteks hukum (Fahman tasyri‘iyyan), kita akan mudah tergelincir pada simpulan yang keliru, seperti menyamaratakan pemahaman syura dan demokrasi.

Harus diakui bahwa terdapat kecenderungan kuat di kalangan sebagaian umat Islam untuk melakukan kesalahan yang disebut Fallacy of composition. Artinya menganggap sama dua perkara yang sebenarnya berbeda secara mendasar atau asas, hanya karena secara kebetulan terdapat kesamaan beberapa unsurnya. Sebagai salah satu pola logika, asalkan tepat penerapannya maka cara itu dapat diterima. Tetapi menggunakan cara berfikir seperti itu untuk semua hal tentu sangat berbahaya. Bisakah kita menerima ketika orang menyamakan mentimun dengan durian hanya karena keduanya sama-sama dapat dimakan dan pohonnya memiliki daun ?. Demikian pula dapatkah kita menyamakan manusia dengan kera hanya karena secara fisik banyak unsur kesamaan antara keduanya. Tentu saja menyatakan sama merupakan tindakan kecerobohan yang tidak berlandaskan pada keadaan fakta. Tidak sedikit masyarakat Islam menyatakan bahwa syura dalam Islam itu sama dengan demokrasi, hanya karena kebetulan dalam ajaran Islam terdapat ajaran musyawarah yang salah satu jenisnya adalah pengambilan keputusan dengan suara terbanyak (ra‘yul aktsariyah) sebagaimana hal itu terjadi pada demokrasi. Padahal antara musyawarah dalam Islam dan demokrasi itu terdapat perbedaan yang sangat mendasar. Paling tidak terdapat 4 faktor yang menunjukkan perbedaan mendasar itu, yaitu:

Page 25: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad

139

139

1. Perbedaan asas atau landasan yang digunakan. Azas yang digunakan pada faham demokrasi adalah sekularisme, yaitu faham yang mengajarkan pemisahan agama dari kehidupan. Artinya memisahkan agama dari urusan sosial, ekonomi, politik dan pemerintahan (Public domain). Agama hanya dipandang sebatas urusan individu, personal, subjektif, vertikal dalam arti hubungan manusia dengan Tuhannya belaka. Dengan landasan ini, prinsip-prinsip ajaran agama (Islam) yang qathiy (pasti) tidak boleh diikutsertakan dalam setiap pengambilan keputusan. Artinya pembicaraan sepenuhnya berdasarkan pada rasionalitas akal semata dengan pertimbangan keuntungan material atau maslahat. Wahyu Al-Qur’an Al-Karimdan sunnah Rasulullah SAW. tidak digunakan dan bahkan ditinggalkan. Adapun syura atau musyawarah dalam Islam berlandaskan pada asas aqidah Islam. Artinya, seorang muslim melakukan musyawarah karena memang ajaran Islam menuntun untuk bermusyawarah dalam hal yang memang boleh atau diizinkan untuk dimusyawarahkan. Di luar itu, maka seorang muslim diajarkan untuk menerima ketentuan Islam tersebut dengan kerelaan, karena yakin bahwa ketentuan Allah SWT., Dzat yang maha Mengetahui adalah yang terbaik dan benar dalam setiap ketetapanNya. Dengan demikian perkara wajib-tidaknya shalat, shaum Ramadhan, zakat, haji, hukum had, tidak dapat dimusyawarahkan, begitu pula tentang keharaman perjudian dengan segala bentuknya, keharaman riba dengan setiap jenisnya, keharaman minuman keras dengan segala nama yang digunakannya. Hal itu disebabkan ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT. Adapun dalam demokrasi setiap sesuatu lahir dari aspek musyawarah, perhatikan dalam penetapan undang-undang dan hukum, terlepas apakah hal itu sesuai dengan nilai-nilai agama ataukah tidak.

2. Perbedaan Tujuan yang hendak dicapai. Pengambilan pendapat dalam sistem demokrasi dilaksanakan untuk mewujudkan apa yang disebut dengan kedaulatan rakyat. Prinsip ini mengajarkan bahwa rakyatlah yang memiliki kehendak. Hal ini terutama nampak di bidang hukum. Maka musyawarah dalam sistem demokrasi diadakan terutama untuk menetapkan hukum atau peraturan yang hendak diterapkan di tengah masyarakat, dengan atau tanpa mempertimbangkan ajaran agama. Syariat agama hanya dianggap sebagai salah satu, bukan satu-satunya sumber rujukan. Karena itu wajar saja bila produk hukum dalam sistem demokrasi sering kali bertabrakan dengan syariat Islam. Adapun syura dalam Islam dilaksanakan dalam rangka mengetahui atau melaksanakan hukum Allah SWT.

3. Perbedaan objek. Pengambilan pendapat dalam sistem demokrasi dilakukan dalam semua perkara, baik itu menyangkut masalah teknis, strategis, maupun penerapan hukum. Pengambilan keputusan yang diambil dengan voting menjadikan kelompok yang memiliki anggota terbanyak itulah yang selalu menang. Apalagi jika terjadi money politics, maka hukum atau peraturan yang dihasilkan tentu saja akan cenderung berpihak kepada kelompok terbanyak. Jika mereka mengatakan bahwa minuman keras itu boleh diproduksi dan dijual bebas, seperti yang terjadi AS, atau homoseksual adalah perbuatan legal, maka keputusan itulah yang menjadi hukum buat masyarakat. Sementara syura dalam ajaran Islam dilaksanakan tidak dalam masalah tasyri‘ (penetapan hukum syariat), karena penetapan hukum dilakukan melalui nash-nash syara‘ yang tegas dan

Page 26: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

140

jelas, serta ijtihad syar‘iy para mujtahid. Musyawarah dilakukan dalam perkara mubah (teknis pelaksanaan suatu perkara atau strategi), sebagaimana dilakukan Rasulullah SAW. ketika menetapkan strategi menghadapi lawan dalam perang Uhud: menyongsong musuh di dalam atau di luar Madinah. Ketika itu Rasulullah mengikuti suara terbanyak yang menghendakai pasukan kaum muslimin menjemput lawan di luar Madinah, meskipun beliau saw. meninggalkan pendapatnya sendiri. Akan tetapi Rasulullah SAW. tidak pernah bermusyawarah dalam masalah li‘an (suami isteri bertengkar akibat salah satu menuduh yang lain berzina) dengan para sahabatnya, ketika beliau ditanya perkara itu. Bahkan beliau saw. menunggu wahyu untuk menjawabnya, karena hal tersebut merupakan penetapan tasyri‘ yang menjadi hak Allah SWT., bukan hak mayoritas ataupun minoritas pendapat masyarakat.

4. Perbedaan kedudukan. Pengambilan pendapat mayoritas dalam sistem demokrasi harus selalu dilakukan, sehingga acap kali terjadi satu produk hukum memerlukan pembahasan bertahun-tahun. Di samping itu undang-undang yang telah dihasilkan bersusah payah itupun suatu saat dapat berubah, jika parlemen mendatang dikuasasi partai berhaluan lain menghendaki. Sementara syura dalam Islam hukumnya sunnah. Dilakukan lebih baik, tidak dilakukan tidak menjadi masalah, maka pengambilan keputusan, apalagi itu menyangkut hukum dalam Islam dapat dilakukan dengan cepat, praktis dan benar karena berlandaskan pada nash-nash yang pasti benar.

Islam dan HAM

Rincian HAM menurut PBB meliputi: hak hidup, hak kemerdekaan, hak bebas dari rasa takut, hak sama di depan hukum, hak bebas dari penganiyaan dan tindakan sewenang-wenang lainnya, hak tidak ditahan/dibuang secara sewenang-wenang, hak kebebasan berekspresi, hak keamanan pribadi, hak untuk bebas bergerak, hak berkeluarga, hak beragama, hak berserikat dan berkumpul, hak untuk turut dalam pemerintahan (hak untuk dipilih dan memilih), hak atas jaminan sosial, hak atas pekerjaan, hak atas upah yang layak, hak atas pendidikan , hak budaya, hak menentukan nasib sendiri (hak bangsa), hak atas peradilan bebas (tak ada campur tangan kekuasaan), hak bebas dari rasa lapar. Lalu sejauh manakah HAM yang telah dirinci oleh PBB itu telah memberikan solusi bagi peri kehidupan manusia? Mari kita urut sejarah dan fakta yang terjadi berkaitan dengan slogan ini. HAM telah dijadikan sebagai slogan Revolusi Perancis pada tahun 1789 dan kemudian dijadikan sebagai piagam dalam konstitusi Perancis yang ditetapkan tahun 1791. Sebelum itu, slogan-slogan HAM diangkat pula dalam revolusi Amerika tahun 1776. Secara umum, HAM kemudian diadopsi oleh seluruh negara Eropa pada abad ke-19. Hanya saja HAM pada saat itu masih merupakan urusan dalam negeri masing-masing. HAM baru menjadi peraturan internasional setelah PD II dan setelah berdirinya PBB, yaitu pada saat diumumkannya Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia pada tahun 1948. Kemudian pada tahun 1961 Deklarasi itu disusul dengan Perjanjian Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Pada tahun 1966 diumumkan pula Perjanjian Internasional Tentang HAM, Ekonomi, Budaya, dan Sosial.

Page 27: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad

141

141

Pada tahun 1993 di Wina diadakan konferensi tentang HAM untuk organisasi-organisasi non pemerintah atau NGO (Non Govermental Organization). Konferensi ini menghasilkan Deklarasi Wina Bagi NGO Tentang HAM, yang menegaskan keuniversalan HA M dan keharusan penerapannya secara sama rata atas seluruh manusia tanpa memperhatikan perbedaan latar belakang budaya dan undang-undang. Selain itu, deklarasi ini menolak klaim bahwa HAM itu mengandung nuansa perbedaan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Dengan demikian, jika HAM diterapkan di negeri-negeri Islam maka artinya deklarasi ini telah menolak dan tidak memberikan tempat untuk penerapan Islam. Untuk mengokohkan posisi HAM sebagai aturan internasional, AS menjadikan HAM sebagai salah satu basis strategi politik luar negerinya. Ini terjadi pada akhir dasawarsa 70-an di masa Presiden Jimmy Carter. Sejak saat itu, Deplu AS selalu mengeluarkan evaluasi tahunan mengenai komitmen negara-negara di dunia untuk menerapkan HAM. Evaluasi tahunan itu juga menilai sejauh mana negara-negara itu memberikan toleransi kepada rakyatnya untuk menjalankan HAM. Sejak saat itu pula, AS menjadikan evaluasi itu sebagai landasan bagi sikap yang diambilnya terhadap negara-negara yang oleh Washington dianggap tidak terikat dengan prinsip-prinsip HAM. Misalnya Washington mengaitkan komoditas gandumnya untuk Uni Soviet dengan toleransi Uni Soviet kepada warga negaranya yang Yahudi untuk berimigrasi ke Israel di Palestina. AS juga menjadikan HAM sebagai justifikasi untuk melakukan intervensi militer di Haiti pada tahun 1994. Namun, seperti halnya kebijakan luar negeri AS pada umumnya, kebijakan Washington yang bertumpu pada HAM terhadap dunia itu juga bersifat diskriminatif. AS hanya menutup mata dan tidak mengganggu-gugat sedikitpun negara-negara tertentu yang melanggar HAM karena kepentingan AS mengharuskan demikian. Terhadap negara seperti ini, AS hanya mengeluarkan kecaman dan kutukan dengan lisan saja (contoh agresi Israel terhadap bangsa Palestina). Tetapi AS dapat bersikap ganas terhadap negara-negara pelanggar HAM yang lain, misalnya dengan mengambil tindakan militer di Haiti. Atau mengambil tindakan ekonomi dan perdagangan seperti yang dilakukan terhadap RRC. Atau mengambil tindakan politik dan diplomatik sebagaimana yang dilaksanakannya kepada banyak negara. Semua itu dilakukan AS demi tuntutan kepentingan-kepentingannya dan hegemoninya atas negara-negara tertentu. Kongres Amerika 10 Juni 1997 mengesahkan rancangan undang-undang yang isinya antara lain mengkritik hak asasi manusia di Timor-Timur yang disponsori Senator Patrick Kennedy anggota kongres dari daerah pemilihan Rhode Island, yang kebanyakan rakyatnya keturunan portugis, ia juga wakil presiden Komisi Independen Dunia untuk Kelautan, lembaga bentukan PBB tahun 1995 yang dipimpin Presiden Portugal Mario Soares. Menurut Robert L. Barry, Duta Besar Amerika di Jakarta 1992-1995, agresifitas serangan kongres ini akibat gencarnya lobi Kristen di Amerika.

Kasus pembantaian etnik di Bosnia dan Kosovo adalah bukti konkrit bahwa slogan HAM pun pilih-pilih, karena meskipun pengadilan internasional memutuskan para penjahat perang di bekas negara Yugoslavia harus diseret ke meja hijau karena membersihkan etnis muslim Bosnia, namun pelaksanaannya tidak pernah diselesaikan . Bahkan AS, Inggris, dan Perancis, 3 dari 5 negara kuat yang

Page 28: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

142

duduk di DK PBB menolak memerintahkan pasukan dibawah pimpinan NATO ini, yang berjumlah 30.000 orang , diharapkan bisa menahan pemimpin Bosnia-Serbia, Radovan Karadzic dan Ratko Mladic . Akar Pemikiran HAM

Dr. Abdul Qadim Zallum dalam bukunya Al Hamlah Al Amrikiyyah lil Qadla-i ‘Al Islam (1996: 20) menyatakan bahwa ide dasar pemikiran tentang Hak Asasi Manusia (HAM) berasal dari cara pandangan kehidupan Barat (Kapitalisme-Liberalisme) terhadap tabiat manusia, hubungan individu dengan masyarakat/negara, tentang fakta masyarakat, dan tugas negara. Demikian pula, Dr. Sulaiman Mamar (Media Indonesia, 6/12/96) menyatakan bahwa akar atau inti persoalan dari berbagai perbincangan mengenai HAM adalah kedudukan manusia sebagai individu dan hubungannya dengan lembaga, organisasi, dan pemerintah.

Kapitalisme memandang tabiat manusia pada dasarnya adalah baik, tidak jahat. Kejahatan yang muncul dan dilakukan oleh manusia disebabkan pengekangan terhadap kehendak atau keinginan manusia. Oleh sebab itulah, kehendak atau keinginan manusia itu harus dibiarkan bebas-lepas agar dia mampu menunjukkan tabiat baiknya yang asli. Dari hal inilah muncul ide kebebasan/liberal (freedom) yang menjadi salah satu ide yang menonjol dalam ideologi Kapitalisme. Dalam pemikiran Kapitalisme mengenai hubungan individu dengan masyarakat, maka ide pemikiran ini memandang bahwa hubungan itu bersifat kontradiktif. Oleh karena itu harus ada pemeliharaan individu dari dominasi masyarakat sebagaimana harus ada jaminan dan pemeliharaan terhadap kebebasan-kebebasan individu. Jadi, kepentingan individu harus didahulukan daripada kepentingan masyarakat (individualistis). Atas dasar inilah, pandangan kapitalisme menetapkan bahwa tugas pokok negara adalah menjamin kepentingan individu dan memelihara kebebasannya. Adapun tentang fakta masyarakat, Kapitalisme berpandangan bahwa masyarakat merupakan sekumpulan invidu yang hidup bersama di satu tempat. Apabila kepentingan-kepentingan individu ini terjamin penuh maka secara alami akan terjamin pula kepentingan masyarakat. Pandangan-pandangan tersebut di atas telah menjadi dasar apa yang disebut sebagai kebebasan individu yang harus dipelihara sebagai landasan HAM, yang meliputi Kebebasan beragama/beraqidah ( Freedom of religion), kebebasan berpendapat (freedom of speech), kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), dan kebebasan berperilaku (Personal freedom). Kebebasan individu inilah yang telah menjadikan manusia dalam masyarakat Barat tidak ubahnya seperti kawanan ternak yang hanya bernafsu meraup sebanyak mungkin kenikmatan artifisial (fisik). Ironisnya, kenikmatan seperti ini mereka anggap sebagai puncak kebahagiaan. Padahal hakekatnya mereka tidak pernah mengecap cita rasa kebahagiaan sedikitpun, sebab kehidupan mereka senantiasa bergelimang dengan penderitaan, keguncangan, dan keresahan yang tidak berakhir. Kebebasan seksual yang menghasilkan AIDS, aborsi yang merajalela, angka perceraian yang semakin tinggi, angka kecelakaan yang tinggi akibat mabuk hanyalah sebagian kecil dari contoh masyarakat kapitalisis. Atas dasar pandangan kapitalis ini pulalah, HAM hanyalah slogan yang berpihak pada yang kuat, pada ketamakan dan nafsu penjajahan yang tidak

Page 29: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad

143

143

berperikemanusian, bagai gerombolan binatang yang buas; yang kuat memakan yang lemah. HAM dalam Pandangan Syariat Islam Sesungguhnya seluruh pemikiran kapitalisme mengenai tabiat manusia, hubungan individu dengan masyarakat, fakta masyarakat, dan tugas negara merupakan pemikiran yang bertentangan dengan fitrah manusia. Tabiat manusia sesungguhnya bukanlah baik seperti yang dinyatakan dalam kapitalisme. Begitu pula manusia bukanlah bertabiat jahat seperti dalam pandangan gereja yang sangat banyak dipengaruhi dari filsafat-filsafat kuno Yunani yang dibangun atas dasar pandangan bahwa manusia telah mewarisi dosa Adam.

Karena pada kenyataanya manusia memiliki naluri dan kebutuhan jasmani yang menuntut adanya pemuasan. Allah SWT. telah mengaruniakan kepada manusia akal, yang dengan akalnya ini ketika manusia memiliki kehendak untuk memuaskan naluri dan kebutuhan jasmaninya ia akan memilih cara yang diridhai Allah SWT. (dengan ketaatan kepadaNya) maka pada saat itu ia dikatakan telah berbuat kebaikkan (baik). Namun, apabila dia memenuhi kebutuhan naluri dan jasmaninya dengan cara yang dimurkai Allah SWT. (melakukan maksiat) maka ia telah berbuat kejahatan atau keburukan.

Dengan demikian, tabiat manusia itu berpotensi untuk baik atau buruk sekaligus, tergantung pilihannya terhadap peraturan memenuhi kebutuhan naluri dan jasmaninya. Sebagaimana firman Allah SWT.:

“Dan demi jiwa (manusia) serta penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah lah yang mengilhamkan kepada jiwa itu memilih (jalan) kefasikan (kemaksiatan) dan ketakwaan (ketaatan kepada Allah).” (QS. Asy Syams:7-8). Pada ayat yang lain Allah SWT. berfirman: “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya (yaitu manusia) dua jalan (baik dan buruk)” (QS. Al Balad:10). Demikian pula apa yang dilontarkan paham kapitalisme mengenai hubungan individu dan masyarakat/negara yang menurut mereka merupakan hubungan kontradiktif (bertentangan) juga merupakan kekeliruan , karena pada dasarnya hubungan individu dan masyarakat adalah hubungan yang bersifat saling melengkapi, sebab individu adalah bagian dari masyarakat, seperti halnya tangan merupakan bagian dari tubuh manusia. Sebagaimana tubuh tidak lengkap tanpa tangan, maka tangan pun tidak ada artinya jika terpisah dari tubuh. Dalam hal ini Islam telah menetapkan hak-hak bagi individu sebagaimana Islam telah menetapkan hak-hak bagi masyarakat. Hak-hak tersebut bukan saling bertentangan atau berlawanan, tetapi saling melengkapi. Demikian pula, Islam telah mengatur kewajiban masing-masing dan menyerahkan pelaksanaannya kepada negara untuk menjamin keseimbangan antara dua pihak, agar masing-masing tidak melanggar atau mendominasi pihak lainnya. Sebab masing-masing harus mendapatkan hak-haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Berkaitan dengan hal itu, tidak ada gambaran yang lebih indah untuk menunjukkan hubungan antara individu dan masyarakat selain dari sabda Rasulullah SAW.:

Page 30: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

144

“Perumpamaan orang-orang yang mencegah berbuat maksiat dan yang melanggarnya adalah seperti kaum yang diundi dalam sebuah kapal. Sebagian mendapatkan bagian atas dan sebagaian yang lain di bawah. Jika orang-orang yang berada di bawah membutuhkan air maka mereka harus melewati orang-orang yang berada di atasnya. Maka berkatalah orang-orang yang berada di bawah: “Andai saja kami boleh melubangi (dinding kapal) pada bagian kami, tentu kami tidak akan menyakiti orang-orang yang berada di atas kami”. tetapi jika yang demikian itu dibiarkan oleh orang-orang yang berada di atas (padahal mereka tidak menghendaki), niscaya binasalah seluruhnya. dan jika mereka mencegah melakukan hal itu, maka ia selamat dan selamatlah semuanya” (HR. Bukhari, Ahmad, Turmudzi).

Akan tetapi tatkala muncul berbagai macam masalah dalam kehidupan

manusia maka dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW. bersabda: “Akan ada sesudahku orang-orang yang mementingkan dirinya sendiri dan perkara yang kalian benci. Mereka bertanya: “Yaa, Rasulullah, apa yang kau perintahkan kepada kami?. Rasulullah menjawab: “Kalian hendaklah menunaikan yang wajib atas kailian. Dan kalian meminta kepada Allah hak yang menjadi hak kalian” Pendapat kapitalisme yang menyatakan bahwa masyarakat merupakan kumpulan individu yang hidup bersama di suatu tempat merupakan pendapat yang keliru. Sebab masyarakat bukan hanya sekumpulan invidu yang hidup bersama di suatu tempat saja melainkan pula terdiri dari kesatuan ide/pemikiran, perasaan-perasaan yang ada pada diri individu tersebut, dan adanya suatu sistem aturan yang diterapkan dalam kehidupan mereka. Dengan kata lain, masyarakat merupakan sekumpulan individu yang memiliki interaksi terus-menerus yang disatukan oleh pemikiran, perasaan, dan aturan yang sama. Oleh karena itu, penumpang kapal atau kereta api tidak dapat dikategorikan sebagai masyarakat, sekalipun jumlahnya mencapai ribuan. Sebaliknya, penduduk desa kecil bisa membentuk sebuah masyarakat, sekalipun jumlahnya hanya beberapa ratus jiwa saja. Jika kita memperhatikan Islam sebagai sebuah sistem nilai, maka kita menjumpai Islam telah menjelaskan tentang segi kemanusiaan dan hak-hak manusia, yaitu: 1. Islam telah memuliakan manusia dan telah menempatkan posisi manusia sebagai makhluk paling mulia. Allah SWT. berfirman: ”Kami telah memuliakan anak-anak keturunan Adam“ (QS. Al Isra‘: 70)

2. Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik dan sempurna. Allah SWT. berfirman: ”Yang telah menciptakan kamu, lalu menyempurnakan kejadianmu, dan menjadikan (susunan tubuhmu) itu seimbang, dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu“ (QS. Al Infithar: 7-8)

3. Allah telah menciptakan akal pada diri manusia sebagai objek pembebanan hukum (manath at takliif) dan menganugerahkan kepadanya kemampuan belajar. Allah SWT. berfirman: ”Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang ingkar“ (QS. Al Insan:3)

Page 31: ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK - blogs.unpad.ac.idblogs.unpad.ac.id/paiarabunpad/files/2013/11/10.-Islam-Dalam... · . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad 115 115 ISLAM DALAM DIMENSI POLITIK

. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad

145

145

4. Allah telah membebankan pada manusia tanggung jawab untuk beribadah kepadaNya dan mengemban risalahNya. Allah telah mengutus para rasul dan nabi untuk menyampaikan syariatNya. Allah berfirman:

”Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan menghianatinya dan dipikullah amanat itu oleh manusia...“ (QS. Al Ahzab: 72)

5. Allah telah memberikan kuasa pada manusia dalam urusan dunia dan harta untuk menerapkan aturan dan syariat Allah SWT. dan memanfaatkan harta tersebut untuk beribadah kepadaNya. Allah SWT. berfirman:

”Allah telah berjanji kepada orang-orang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal shaleh bahwa Dia sungguh akanmenjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa“ ( QS. An Nur: 55).

Dalam ayat lain Allah berfirman: ”Nafkahlah sebagian dari harta kalian yang Allah telah menjadikan kalian menguasainya“ (QS. Al Hadiid:7). Allah berfirman: ”Dia menundukkan untuk kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripadanya“ (QS. Al Jatsiyah: 13)

6. Islam telah memberikan jaminan bagi manusia untuk hidup dengan mulia dalam lingkup aturan Allah SWT. Allah telah menjelaskan aturannya yang berkenaan dengan tujuan syariat itu adalah untuk memelihara jiwa manusia, harta, akal, kehormatan, keturunan, dan agamanya dengan seperangkat hukum syara‘ yang diterapkan dalam kehidupan manusia. Rasulullah dan generasi shahabat telah membuktikan hal ini, di antaranya: 1. Islam telah mengalihkan manusia dari beribadah kepada berhala (paganisme) menjadi hanya beribadah kepada Allah semata.

2. Islam telah menghancurkan berbagai ikatan primordial atas kesukuan, kebangsaan dan menggantikannya dengan ikatan akidah, sebuah ikatan yang tidak membedakan antara Arab dan nonArab, berkulit puti dan hitam, dll.

3. Islam memberikan jaminan kepada warga negara nonmuslim kehidupan yang mulia, dan tentram. Mereka memperoleh hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat seperti uyang dimiliki kaum muslimin. Mereka pun tidak akan dipaksa untuk meninggalkan agama yang mereka yakini. Allah berfirman: ”Tidak ada paksaan dalam (memeluk) agama (Islam)“ (QS. Al Baqarah: 256). Dalam ayat lain Allah berfirman: ”janganlah kalian berdebat dengan ahlul kitab, melainkan dengan cara yang baik“ (QS. Al Ankabut: 46)

4. Setiap orang berada dalam kehidpan Islam dan masyarakatnya akan merasakan kehidupan yang aman dan sejahtera dalam segala bidang.