Isi.pdf
-
Upload
rhandy-septianto -
Category
Documents
-
view
63 -
download
7
Transcript of Isi.pdf
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran
mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat konsentrasinya
dalam sirkulasi darah.. Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Prancis “jaune” yang berarti
kuning. Ikterus sebaiknya diperiksa dibawah cahaya terang siang hari, dengan melihat sklera
mata, dan kalau ini terjadi konsentrasi bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dL (34 sampai
43 umol/L). Jika ikterus sudah jelas dapat dilihat dengan nyata maka bilirubin mengkin
sebenarnya sudah mencapai angka 7 mg%. 1
Bilirubin merupakan produk pemecahan hemoglobin normal yang dihasilkan dari sel
darah merah tua oleh sistem retikuloendotelial. Bilirubin tak terkonjugasi yang ti dak larut
ditransportasikan ke hati terikat dengan albumin. Bilirubin ditransportasikan melewati
membran sinusoid hepatosit kedalam sitoplasma. Enzim uridine diphosphate–glucuronyl
transferase mengkonjugasikan bilirubin tak-terkonjugasi yang tidak larut dengan asam
glukoronat untuk membentuk bentuk terkonjugasi yang larut-air, bilirubin monoglucuronide
dan bilirubin diglucuronide. Bilirubin terkonjugasi kemudian secara aktif disekresikan kedalam
kanalikulus empedu. Pada ileum terminal dan kolon, bilirubin dirubah menjadi urobilinogen,
10-20% direabsorbsi kedalam sirkulasi portal. Urobilinogen ini diekskresikan kembali kedalam
empedu atau diekskresikan oleh ginjal didalam urin.2
Munculnya jaundice (ikterus) pada pasien adalah sebuah kejadian yang dramatis
secara visual. Jaundice selalu berhubungan dengan penyakit penting, meskipun hasil akhir
jangka panjang bergantung pada penyebab yang mendasari jaundice. Jaundice adalah
gambaran fisik sehubungan dengan gangguan metabolisme bilirubin. Kondisi ini biasanya
disertai dengan gambaran fisik abnormal lainnya dan biasanya berhubungan dengan gejala-
gejala spesifik. Kegunaan yang tepat pemeriksaan darah dan pencitraan, memberikan
perbaikan lebih lanjut pada diagnosa banding. Umumnya, jaundice non-obstruktif tidak
membutuhkan intervensi bedah, sementara jaundice obstruktif biasanya membutuhkan
intervensi bedah atau prosedur intervensi lainnya untuk pengobatan.3
Ada 3 tipe ikterus yaitu ikterus pre hepatika (hemolitik), ikterus hepatika
(parenkimatosa) dan ikterus post hepatika (obstruksi). Ikterus obstruksi (post hepatika) adalah
ikterus yang disebabkan oleh gangguan aliran empedu antara hati dan duodenum yang terjadi
2
akibat adanya sumbatan (obstruksi) pada saluran empedu ekstra hepatika. Ikterus obstruksi
disebut juga ikterus kolestasis dimana terjadi stasis sebagian atau seluruh cairan empedu dan
bilirubin ke dalam duodenum.3
Jaundice merupakan manifestasi yang sering pada gangguan traktus biliaris, dan
evaluasi serta manajemen pasien jaundice merupakan permasalahan yang sering dihadapi oleh
ahli bedah. Serum bilirubin normal berkisar antara 0,5 – 1,3 mg/dL; ketika levelnya meluas
menjadi 2,0 mg/dL, pewarnaan jaringan bilirubin menjadi terlihat secara klinis sebagai
jaundice. Sebagai tambahan, adanya bilirubin terkonjugasi pada urin merupakan satu dari
perubahan awal yang terlihat pada tubuh pasien.4
Bilirubin merupakan produk pemecahan hemoglobin normal yang dihasilkan dari sel
darah merah tua oleh sistem retikuloendotelial. Bilirubin tak terkonjugasi yang tidak larut
ditransportasikan ke hati terikat dengan albumin. Bilirubin ditransportasikan melewati
membran sinusoid hepatosit kedalam sitoplasma. Enzim uridine diphosphate–glucuronyl
transferase mengkonjugasikan bilirubin tak-terkonjugasi yang tidak larut dengan asam
glukoronat untuk membentuk bentuk terkonjugasi yang larut-air, bilirubin monoglucuronide
dan bilirubin diglucuronide. Bilirubin terkonjugasi kemudian secara aktif disekresikan kedalam
kanalikulus empedu. Pada ileum terminal dan kolon, bilirubin dirubah menjadi urobilinogen,
10-20% direabsorbsi kedalam sirkulasi portal. Urobilinogen ini diekskresikan kembali kedalam
empedu atau diekskresikan oleh ginjal didalam urin.5
Umumnya diagnosis ikterus obstruktif secara klinik ditegakkan dengan cara imaging.
Pemeriksaan ultrasonografi mudah membedakan penyebab ikterus ekstra hepatik atau intra
hepatik dengan melihat pelebaran dari saluran empedu dengan ketepatan 95%. Tindakan biopsi
umumnya hanya dilakukan untuk evaluasi dari ikterus intra hepatik. Pada kasus tertentu tidak
selalu mudah untuk menegakkan diagnosis ikterus obstruktif ektrahepatik atau intra hepatik.
Kadang-kadang saluran empedu tidak terlihat jelas pada pemeriksaan USG untuk menentukan
letak obstruksi, karena bagian distal saluran empedu sukar terlihat pada 30-50% kasus,
sehingga dibutuhkan pemeriksaan patologi anatomi dengan tindakan biopsi hepar dalam
memastikan diagnosis ikterus obstruktif ekstrahepatik.8,13-16 Berikut ini dilaporkann sebuah
kasus ikterus obstruktif yang mula-mula tidak bisa ditegakkan diagnosisnya dengan imaging,
tetapi kemudian akhirnya diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi.1
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi Sistem Hepatobilier.
I. Hepar
Hepar bertekstur lunak, lentur, dan terletak di bagian atas cavitas abdominalis tepat di
bawah diafragma. Sebagian besar hepar terletak di profunda arcus costalis dextra, dan
hemidiaphragma dextra memisahkan hepar dari pleura, pulmo, pericardium dan cor. Hepar
terbentang ke sebelah kiri untuk mencapai hemidiaphragma sinistra. Hepar berwarna
cokelat kemerahan dan dikelilingi oleh selubung fibrosa yang dikenal sebagai kapsul
Glisson. Permukaan atas hepar yang cembung melengkung di bawah kubah diaphragma.
Facies visceralis atau posteroinferior, membentuk cetakan visera yang letaknya berdekatan
sehingga bentuknya menjadi tidak beraturan. Hepar dibagi menjadi lobus hepatis dexter
yang besar dan lobus hepatis sinister yang kecil oleh perlekatan ligamentum peritoneale,
ligamentum falciforme. Lobus hepatis dexter dibaginlagi menjadi lobus quadratus dan lobus
caudatus oleh adanya vesica biliaris, vesica ligamentum teres, vena cava inferior dan fissura
ligamenti venosi.6
4
Porta hepatis atau hilus hepatis, terdapat pada facies visceralis dan terletak diantara
lobus caudatus dan lobus quadratus. Pada tempat ini terdapat ductus hepaticus dexter dan
sinister, ramus dexter dan sinister arteri hepatica, vena portae hepatis, serta serabut-serabut
saraf simpatis dan parasimpatis. Disini terdapat beberapa kelenjar limfe hepar. Kelenjar
limfe ini menampung cairam limfe hepar dan vesica biliaris dan mengirimkan serabut
eferennya ke nodi lymphoidei coeliaci. Vena centralis pada masing-masing lobulus
bermuara ke vana hepatica. Di dalam ruangan di antara lobulus terdapat canalis hepatis yang
berisi cabang arteri hepatica, vena portae hepatis dan sebuah cabang ductus choledocus
(trias hepatis). Darah arteri dan vena berjalan diantara sel-sel hepar melalui sinusoid dan
dialirkan ke vena centralis.6
a. Ligamentum Hepatis
Ligamentum falciforme yang merupakan lipatan ganda peritoneum, berjalan keatas
dari umbilicus ke hepar. Ligamentum ini mempunyai pinggir bebas berbentuk bulan sabit
dan mengandung ligamentum teres hepatis yang merupakan sisa vena umbilicalis.
Ligamentum falciforme berjalan ke permukaan anterior dan kemudian ke permukaan
superior hepar dan akhirnya membelah menjadi dua lapis. Lapisan kanan membentuk
lapisan atas ligamentum coronarium, lapisan kiri membentuk lapisan atas ligamentum
triangulare sinistrum. Bagian kanan ligamentum coronarium dikenal sebagai ligamentum
triangulare dextrum. Ligamentum teres hepatis berjalan kedalam fissura yang terdapat
5
pada facies visceralis hepatis dan bergabung dengan ramus sinister vena portae hepatis
di porta hepatis.6
Ligamentum venosum arantii, suatu pita fibrosa yang merupakan sisa ductus
venosus, melekat pada ramus sinister vena portae hepatis dan berjalan keatas di dalam
fissura pada facies visceralis hepar dan di atas melekat pada ramus sinister vena portae
hepatis dan berjalan ke atas di dalam fissura pada facies visceralis hepar, dan di atas
melekat pada vena cava inferior.6
b. Perdarahan.6
i. Arteria.
Arteri hepatica propria, cabang truncus coeliacus, berakhir dengan bercabang
menjadi ramus dexter dan sinister yang masuk ke dalam porta hepatis.
ii. Venae.
Vena portae hepatis bercabang dua menjadi dua cabang terminal yaitu ramus
dexter dan sinister yang masuk portae hepatis dibelakang arteri. Vena hepaticae (tiga
buah atau lebih) muncul dari pars posterior hepatis dan bermuara ke dalam vena cava
inferior.
c. Sirkulasi darah melalui hepar
Pembuluh-pembuluh darah yang mengalirkan darah ke hepar adalah arteria
hepatica propria (30%) dan vena portae hepatis (70%). Arteria hepatica propria
6
membawa darah yang kaya oksigen ke hepar dan vena porta membawa darah yang kaya
akan hasil metabolisme pencernaan yang diabsorbsi dari tractus gastrointestinalis.
Darah arteri dan vena dialirkan ke vena centralis masing-masing lobuli hepatis
melalui sinusoid hepar. Vena centrale mengalirkan darah ke vena hepatica dextra dan
sinistra, dan vena-vena ini meninggalkan pars posterior hepar dan bermuara langsung ke
dalam vena cava inferior.6
d. Duktus Biliaris Hepatis
Empedu disekresikan oleh sel-sel hepar, disimpan dan dipekatkan di dlaam vesica
biliaris, kemudian dikeluarkan ke duodenum. Ductus biliaris hepatis terdiri atas ductus
hepaticus dexter dan sinister, ductus hepaticus sinister, ductus hepaticus communis,
dustus choledocus, vesica biliaris dan ductus cysticus.6
Cabang-cabang interobulares ductus choledocus terkecil terdapat didalam canalis
hepatis; cabang-cabang ini menerima canaliculi biliaris; cabang-cabang ini saling
berhubungan satu dengan yang lain dan secara bertahap membentuk saluran yang lebih
besar, sehingga akhirnya pada portae hepatis membentuk ductus hepaticus dexter dan
sinister.
Ductus hepaticus dexter mengalirkan empedu dari lobus hepatis dexter dan
ductus hepaticus sinister mengalirkan empedu dari lobus hepatis sinister, lobus caudatus,
dan lobus quadratus.6
e. Ductus Hepaticus
Ductus hepaticus dexter dan sinister keluar dari lobus hepatis dexter dan sinister
pada portae hepatis. Keduanya segera bersatu membentuk ductus hepaticus communis.
Panjang ductus hepaticus communis sekitar 1,5 inci (4 cm) dan berjalan turun di pinggir
bebas omentum minus. Ductus ini bergabung dengan ductus cysticus dari vesica biliaris
yang ada di sisi kanannya membentuk ductus choledocus.6
f. Ductus Choledocus
Panjang ductus choledocus sekitar 3 inci (8 cm). Pada bagian pertama
perjalanannnya, ductus ini terletak di pinggir bebas kanan omentum minus, didepan
foramen epipoicum. Disini ductus choledocus terletak di depan pinggir kanan vena portae
hepatis dan pada sisi kanan arteri hepatica. Pada bagian kedua perjalanannya, ductus
terletak di belakang pars superior duodenum di sebelah kanan arteria gastroduodenalis.
Pada bagian ketiga perjalanannya, ductus terletak di dalam sulcus yang terdapat pada
facies posterior caput pancreatis. Disini, ductus choledocus bersatu dengan ductus
pancreaticus.
7
Ductus choledocus berakhir dibawah dengan menembus dinding medial pars
descendens duodenum kira-kira di pertengahan panjangnya. Biasanya ductus choledocus
bergabung dengan duvtus pancreaticus, dan bersama-sama bermuara ke dalam ampula
kecil di dinding duodenum, yang disebut ampulla hepatopancreatica (ampulla vater).
Ampulla ini bermuara ke dalam lumen duodenum melalui sebuah papilla kecil, yaitu
papilla duodeni major.
Bagian terminal kedua ductus beserta ampulla dikelilingi oleh serabut otot
sirkuler yang disebut musculus sphincter ampullae (sphincter oddi). Kadang ductus
choledocus dan pancreaticus major bermuara ke dalam duodenum pada tempat yang
terpisah.6
II. Vesica Biliaris (Kandung Empedu)
Vesica biliaris adalah sebuah kantong berbentuk buah pir yang terletak pada
permukaan bawah (facies visceralis) hepar. Vesica biliaris mempunyai kemampuan
menampung empedu sebanyak 30-50 ml dan menyimpannya, serta memekatkan empedu
dengan cara mengabsorbsi air. Vesica biliaris terbagia atas fundus, corpus dan collum.
Fundus vesica billiaris berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawahmargo inferior
hepar, penonjolan ini merupakan tempat fundus bersentuhan dengan dinding anterior
abdomen setinggi ujung cartilago costalis IX dextra. Corpus vesica biliaris terletak dan
berhubungan dengan facies visceralis hepar dan arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum
vesicae biliaris melanjutkan diri sebagai dustus cysticus, yang berbelok ke dalam omentum
minus dan bergabung dengan sisi kanan ductus hepaticus communis untuk membentuk
ductus choledocus. Peritoneum meliputi seluruh bagian fundus vesicae biliaris dan
menghubungkan corpus dan collum vesicae billiaris dengan facies visceralis hepar.6
a. Perdarahan
Arteria cystica, cabang arteria hepatica dextra. Vena cystica mengalirkan darah
langsung ke vena portae. Sejumlah arteria dan venae kecil juga berjalan di antara hepar
dan vesica biliaris.6
b. Aliran limfe
Cairan limfe mengalir ke nodus cysticus yang terletak dekat collum vesicae billiaris.
Dari sini, pembuluh limfe berjalan ke nodi hepatici dengan berjalan sepanjang perjalanan
arteria hepatica communis dan kemudian ke nodi coelici.6
c. Persyarafan
8
Saraf simpatis dan parasimpatis membentuk plexus coeliacus. Vesica biliaris
berkontraksi sebagai respon terhadap hormon kolesistokinin yang dihasilkan oleh tunica
mukosa duodenum karena masuknya makanan berlemak dari gaster.6
d. Ductus Cysticus
Panjang ductus cyticus sekitar 1,5 inci (3,8 cm) dan menghubungkan collum vesicae
biliaris dengan ductus hepaticus communis untuk membentuk ductus choledocus.
Biasanya ductus cysticus berbentuk seperti huruf S dan berjalan turun dengan jarak yang
bervariasi pada pinggir bebas kanan omentum minus.6
Tunica mukosa ductus cysticus menonjol untuk membentuk plica spiralis yang
melanjutkan diri dengan plica yang sama pada collum vesicae biliaris. Plica ini umumnya
dikenal sebagai “valvula spiralis”. Fungsi valvula spiralis adalah untuk mempertahankan
lumen terbuka secara konstan.6
III. Fisiologi Sistem Hepatobilier.7,8
a. Fisiologi Hepar
Hepar adalah organ metabolik terbesar dan terpenting dalam tubuh. Organ ini
penting bagi sistem pencernaan untuk sekresi garam empedu, tetapi hati juga
melakukan berbagai fungsi lain, mencakup hal-hal diantaranya :
Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak, protein) setelah
penyerapan mereka dari saluran pencernaan.
Detoksifikasi atau degradasi zat-zat sisa dan hormon serta obat dan senyawa asing
lainnya.
Sintesis berbagai protein plasma, mencakup protein yang penting untuk pembekuan
darah serta untuk mengangkut hormon tiroid, steroid dan kolesterol dalam darah.
Penyimpanan glikogen, lemak, besi, tembaga dan banyak vitamin.
Pengaktifan vitamin D, yang dilaksanakan oleh hati bersama dengan ginjal.
Pengeluaran bakteri dan sel darah merah yang usang berkat adanya makrofag
residen.
Ekskresi kolesterol dan bilirubin, yang terakhir adalah produk penguraian yang
berasal dari destruksi sel darah merah yang sudah usang.
Walaupun fungsinya sangat beragam, spesialisasi sel-sel di dalam hati sangat
sedikit. Tiap-tiap sel hati atau hepatosit tampaknya mampu melaksanakan berbagai
tugas metabolik diatas, kecuali aktivitas fagositik yang dilaksanakan oleh makrofag
9
residen atau yang lebih dikenal dengan sel kupfer. Spesialisasi berlangsung di organel
yang sangat berkembang di dalam hepatosit. Untuk melaksanakan berbagai tugas
tersebut, hati secara anatomis tersusun sedemikian rupa, sehingga setiap hepatosit dapat
berkontak langsung dengan darah dari dua sumber; darah yang langsung datang dari
saluran pencernaan dan darah arteri yang langsung datang dari aorta. Darah vena
memasuki hati melalui hubungan vaskuler yang khas dan kompleks yang dikenal
sebagai sistem porta hati.
Hati tersusun menjadi unit fungsional yang dikenal sebagai lobulus, yaitu
susunan heksagonal jaringan yang mengelilingi sebuah vena sentral. Di tepi luar setiap
potongan lobulus terdapat tiga pembuluh : cab. a.hepatika, cab v. portae dan duktus
biliaris. Darah dari cabang hepatika dan vena portae tersebut mengalir dari perifer
lobulus ke dalam luar kapiler yang melebar yang disebut sinusoid. Sinusoid ini terdapat
di antara barisan sel-sel hati ke vena sentral seperti jari-jari bagian ban sepeda.
b. Fisiologi Kandung Empedu
Hepar memproduksi empedu terus-menerus dan diekskresikan melalui
kanalikuli biliaris. Orang dewasa normal rata-rata memproduksi empedu hepar
sebanyak 500 sampai 1000 ml sehari. Sekresi empedu responsif terhadap neurogenik,
humoral, dan rangsangan kimia. Stimulasi vagal meningkatkan sekresi empedu,
sedangkan stimulasi saraf splenikus menurunkan aliran empedu. Asam klorida,
sebagian protein pencerna dan asam lemak dalam duodenum merangsang pelepasan
hormone sekretin dari duodenum yang kemudian, meningkatkan produksi empedu dan
aliran empedu. Empedu mengalir dari hepar melalui duktus hepatika menuju duktus
hepatika komunis, lalu ke kandung empedu, kemudian melalui duktus biliaris komunis,
dan akhirnya masuk ke duodenum.
Empedu terdiri dari cairan alkalis encer yang serupa dengan sekresi NaHCO3
pankreas serta beberapa konstituen organik, termasuk garam-garam empedu,
kolesterol, lesitin dan bilirubin. Konstituen organik berasal dari aktivitas hepatosit,
sedangkan air, NaHCO3, dan garam anorganik lain ditambahkan di sel-sel duktus.
Walaupun tidak mengandung enzim pencernaan apapun, empedu penting untuk proses
pencernaan dan penyerapan lemak, terutama melalui aktivitas garam empedu. PH dari
empedu hepatik biasanya netral atau sedikit basa, tetapi bervariasi dengan diet. Garam
empedu primer yaitu cholat dan chenodeoxycholate, disintesis dalam hepar yang
berasal dari kolesterol. Mereka terkonjugasi disana dengan taurin dan glisin, dan
10
bertindak dalam empedu sebagai anion (asam empedu) yang diseimbangkan dengan
natrium.
Garam empedu diekskresikan ke dalam empedu oleh hepatosit dan membantu
dalam pencernaan dan penyerapan lemak di usus halus. Pada usus halus, sekitar 80%
dari asam empedu yang terkonjugasi diserap di ileum terminal. Sisanya, di-
dehidroksilasi (dekonjugasi) oleh bakteri usus, lalu membentuk asam empedu sekunder
yaitu deoxycholate dan lithocholate. Asam empedu sekunder ini diserap di kolon, lalu
ditranspor ke hepar, dikonjugasikan, dan disekresikan ke dalam empedu. Akhirnya,
sekitar 95% dari asam empedu diserap kembali dan dikembalikan melalui sistem vena
portal ke hepar yang disebut sirkulasi enterohepatik. Lima persen diekskresikan dalam
tinja, meninggalkan sejumlah kecil asam empedu.
Kolesterol dan fosfolipid yang disintesis dalam hepar merupakan lipid utama
yang ditemukan dalam empedu. Sintesis fosfolipid dan kolesterol oleh hepar diregulasi
oleh asam empedu. Warna empedu berasal dari adanya pigmen bilirubin diglukuronida,
yang merupakan produk metabolisme dari pemecahan hemoglobin, dan terdapat dalam
empedu dengan konsentrasi 100 kali lebih besar dari pada di dalam plasma. Di dalam
usus halus, bakteri mengubahnya menjadi urobilinogen, sebagian kecil diserap dan
disekresikan ke dalam empedu.
Kandung empedu, duktus biliaris, dan sfingter Oddi bertindak bersama-sama
untuk menyimpan dan mengatur aliran empedu. Fungsi utama dari kandung empedu
adalah untuk mengkonsentrasikan dan menyimpan empedu hepatik dan mengirim
empedu ke duodenum sebagai respon terhadap makanan.
Sfingter Oddi mengatur aliran empedu (dan juga cairan Pankreas) ke dalam
duodenum, mencegah regurgitasi isi duodenum ke kandung empedu, dan mengalihkan
11
empedu ke kandung empedu. Sfingter Oddi adalah struktur kompleks yang secara
fungsional terlepas dari otot-otot duodenum dan menciptakan zona tekanan tinggi
antara duktus biliaris dan duodenum.
c. Fisiologi Sfringter Oddi.
Sfingter Oddi berukuran panjang sekitar 4 sampai 6 mm dan memiliki tekanan
istirahat basal sekitar 13 mmHg di atas tekanan duodenum. Pada manometry, sfingter
Oddi menunjukkan kontraksi phasic dengan frekuensi sekitar empat kali per menit dan
dengan amplitudo 12 sampai 140 mmHg. Motilitas spontan dari sfingter Oddi diatur
oleh sel-sel interstitial melalui input hormon intrinsic dan ekstrinsik dan aksi neuron sel
otot polos.Relaksasi terjadi dengan kenaikan CCK, menyebabkan amplitudo kontraksi
phasic berkurang dan penurunan tekanan basal, sehingga memungkinkan terjadi
peningkatan aliran empedu ke dalam duodenum.
d. Metabolisme Bilirubin
Bilirubin adalah produk pemecahan dari katabolisme heme normal. Bilirubin
terikat pada albumin dalam sirkulasi dan dikirim ke hati. Dalam hepar, bilirubin
dikonjugasikan menjadi asam glukuronat dalam reaksi katalisasi oleh enzim glucuronil
transferase, yang membuatnya larut dalam air. Setiap molekul bilirubin bereaksi dengan
dua molekul asam diphosphoglucuronic uridin untuk membentuk bilirubin
diglucuronida. Glukuronida ini kemudian diekskresikan ke dalam kanalikuli biliaris.
Sejumlah kecil bilirubin glukuronida lolos ke dalam darah dan kemudian
diekskresikan dalam urin. Sebagian besar bilirubin terkonjugasi diekskresikan dalam
usus sebagai buangan, karena mukosa usus relatif tidak permeabel terhadap bilirubin
terkonjugasi. Namun, mukosa usus reatif permeable terhadap bilirubin tak terkonjugasi
dan urobilinogen yang merupakan derivat dari bilirubin yang dibentuk oleh aksi bakteri.
Dengan demikian, beberapa bilirubin dan urobilinogen direabsorpsi dalam sirkulasi
portal, lalu diekskresikan kembali oleh hepar atau masuk ke dalam sirkulasi dan
diekskresikan ke dalam urin.
2.2. Obstruksi Ikterus (Jaundice).
2.2.1. Definisi.
Ikterus berasal dari bahasa Yunani yang mempunyai arti kuning. Nama lain dari
ikterus yaitu jaundice yang berasal dari bahasa Perancis yang berarti kuning. Dimana
keadaan tersebut muncul karena adanya peningkatan pigmen empedu di dalam jaringan
dan serum.darah . berdasarkan pernyataan tersebut maka ikterus adalah warna kuning
12
pada sklera, mukosa, dan kulit yang disebabkan oleh akumulasi pigmen empedu di dalam
jaringan, dan darah (> 2 mg / 100 ml serum). 5,9
Pada keadaan ikterik yang disebabkan karena obstruksi pada bilier (kolestasis)
dimana terjadinya sumbatan aliran empedu dari hati ke kandung empedu atau dari kandung
empedu ke usus halus. Obstruksi ini dapat terjadi pada berbagai tingkatan dalam biliari
sistem mulai dari saluran empedu yang kecil (kanalikuli) sampai ampula Vateri. Penyebab
obstruksi bilier secara klinis terbagi dua yaitu intrahepatik (hepatoseluler) yaitu terjadi
gangguan pembentukan empedu dan ekstrahepatik (obstruktif) yaitu terjadi hambatan
aliran empedu.10
2.2.2. Epidemiologi.
Angka kejadian obstruksi bilier (kolestasis) diperkirakan 5 kasus per 1000 orang
per tahun di AS. Angka kesakitan dan kematian akibat obstruksi bilier bergantung pada
penyebab terjadinya obstruksi. Mayoritas kasus yang terbanyak adalah kolelitiasis (batu
empedu). Di Amerika Serikat, 20% orang tua berusia ≥65 tahun menderita kolelitiasis
(batu empedu) dan 1 juta kasus baru batu empedu didiagnosa setiap tahunnya. Resiko
terjadinya kolelitiasis terkenal dengan kriteria 4F yaitu female, fourty, fat, dan fertile.
Resiko terjadinya batu empedu meningkat pada usia >40 tahun. Insiden teringgi terjadi
pada usia 50-60 tahun. Berdasarkan jenis kelamin wanita lebih sering terkena kolelitiasis
dari pada pria. Hampir 25% wanita AS menderita batu empedu dengan 50% diantaranya
berusia 75 tahun, dan 20% pria dengan usia yang sama menderita batu empedu. Rasio
penderita wanita terhadap pria yakni 3:1 pada kelompok usia dewasa masa reproduktif dan
berkurang menjadi >2:1 pada usia di atas 70 tahun. Faktor predisposisi terjadinya batu
empedu antara lain obesitas terutama pada wanita, kehamilan, penurunan berat badan
yang cepat, kontrasepsi oral, dan diabetes mellitus.11,12,13
Faktor genetik juga terlibat pada pembentukan batu empedu yang dibuktikan oleh
prevalensi batu empedu yang tersebar luas di antara berbagai berbagai bangsa dan
kelompok etnik tertentu. Prevalensi paling menyolok pada suku Indian Pima di Amerika
Utara (>75%), Chili dan kaukasia di Amerika Serikat. Prevalensi terendah pada orang
Asia.11
Jenis batu empedu yang banyak ditemukan adalah batu kolesterol (75%),
berhubungan dengan obesitas terutama pada wanita. Pada penderita diabetes mellitus
paling banyak ditemukan mixed stones (80%), sedangkan batu kolesterol murni hanya
10%. 25% dari batu empedu merupakan batu pigmen (bilirubin, kalsium, and berbagai
13
material organik lainnya) berhubungan dengan hemolisis dan sirosis. Sedangkan batu
pigmen hitam ditemukan pada kolelitiasis yang tidak sembuh dengan medikamentosa.13
Batu kolesterol banyak ditemukan di negara barat (80-90%), sedangkan batu
pigmen sekitar 10%. Batu pigmen lebih banyak ditemukan di negara Asia dan Afrika.
Walaupun demikian akhir-akhir ini batu kolesterol meningkat di Asia dan Afrika, terutama
di Jepang ketika westernisasi pola diet dan gaya hidup.11
Di negara Barat 10-15% pasien batu empedu juga disertai batu saluran empedu.
Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer di dalam saluran
empedu intra atau ekstrahepatik tanpa melibatkan kandung empedu. Batu saluran empedu
primer lebih banyak ditemukan pada pasien di wilayah Asia dibandingkan dengan pasien
di negara Barat.12
2.2.3. Etiologi.
Sumbatan saluran empedu dapat terjadi karena kelainan pada dinding saluran
misalnya adanya tumor atau penyempitan karena trauma (iatrogenik). Batu empedu dan
cacing askaris sering dijumpai sebagai penyebab sumbatan di dalam lumen saluran.
Pankreatitis, tumor kaput pankreas, tumor kandung empedu atau anak sebar tumor ganas
di daerah ligamentum hepatoduodenale dapat menekan saluran empedu dari luar
menimbulkan gangguan aliran empedu. Beberapa keadaan yang jarang dijumpai sebagai
penyebab sumbatan antara lain kista koledokus, abses amuba pada lokasi tertentu,
divertikel duodenum dan striktur sfingter papila vater. Ringkasnya etiologi disebabkan
oleh: koledokolitiasis, kolangiokarsinoma, karsinoma ampulla, karsinoma pankreas,
striktur bilier. 10,14
Beberapa keadaan yang jarang dijumpai sebagai penyebab sumbatan antara lain
kista koledokus, abses amuba pada lokasi tertentu, divertikel duodenum dan striktur
sfingter papila vater.15
Penyebab terjadinya jaundice obstruktif adalah adanya obstruktif post hepatik
yang antara lain disebabkan oleh15 :
1. Obstruksi dalam lumen saluran empedu:
Batu
Parasit (ascaris)
2. Kelainan di dinding saluran empedu
14
Atresia bawaan
Striktur traumatic
Tumor saluran empedu
3. Penekanan saluran empedu dari luar
Tumor caput pancreas
Tumor ampula Vateri
Pankreatitis
Metastasis di dalam ligamentum hepaoduodenale
2.2.4. Klasifikasi.
Obstruksi ikterik atau jaundice yang disebabkan karena kolestasis secara etiologi
dibedakan menjadi 2 bagian yaitu intrahepatik dan ekstrahepatik, yaitu :4,10
1. Obstruksi bilier (kolestasis) intrahepatik
Kolestasis intrahepatik umumnya terjadi pada tingkat hepatosit atau membran
kanalikuli. Penyebab tersering kolestasis intrahepatik adalah hepatitis, keracunan obat,
penyakit hati karena alkohol dan penyakit hepatitis autoimun. Penyebab yang kurang sering
adalah sirosis hati bilier primer, kolestasis pada kehamilan, karsinoma metastatik, dan
penyakit-penyakit lain yang jarang.
Peradangan intrahepatik mengganggu ekskresi bilirubin terkonjugasi dan
menyebabkan ikterus. Hepatitis A merupakan penyakit self limited dan dimanifestasikan
dengan adanya ikterus yang timbul secara akut. Hepatitis B dan C akut sering tidak
menimbulkan ikterus pada tahap awal (akut), tetapi dapat berjalan kronik dan menahun, dan
mengakibatkan gejala hepatitis menahun atau bahkan sudah menjadi sirosis hati. Alkohol
dapat mempengaruhi gangguan pengambilan empedu dan sekresinya, sehingga
mengakibatkan kolestasis.
Penyebab yang lebih jarang adalah hepatitis autoimun. Dua penyakit autoimun yang
berpengaruh pada sistem bilier tanpa terlalu menyebabkan reaksi hepatitis adalah sirosis
bilier primer dan kolangitis sklerosing. Sirosis bilier primer merupakan penyakit hati
bersifat progresif dan terutama mengenai perempuan paruh baya. Gejala yang mencolok
adalah rasa lelah dan gatal yang sering merupakan penemuan awal, sedangkan kuning
15
merupakan gejala yang timbul kemudian. Kolangitis sklerosis primer (Primary Sclerosing
Cholangitis/PSC) merupakan penyakit kolestatik lain, lebih sering pada laki-laki, dan
sekitar 70% menderita penyakit peradangan usus. PSC dapat mengarah pada kolangio
karsinoma. Obat seperti anabolik steroid dan klorpromazid sekarang diketahui merupakan
penyebab langsung dari kolestasis dengan mekanisme yang tidak diketahui. Golongan
diuretik tiazid dapat meningkatkan resiko terbentuknya batu empedu. Amoksisillin dengan
asam klavulanat (Augmentin) sering menyebabkan kolestasis akut yang menyerupai
keadaan obstruksi bilier. Drug induced jaundice memberikan gejala pruritus, namun hanya
terdapat pada sebagian pasien, dan gejala ini segera hilang apabila penggunaan obat tersebut
dihentikan.
2. Obstruksi bilier (kolestasis) ekstrahepatik
Penyebab paling sering obstruksi bilier (kolestasis) ekstrahepatik adalah batu duktus
koledokus dan kanker pankreas. Penyebab lainnya yang relatif jarang adalah striktur jinak
(operasi terdahulu) pada duktus koledokus, karsinoma duktus koledokus, pankreatitis, dan
kolangitis sklerosing, AIDS-related cholangiopathy, TB bilier, dan infeksi parasit (Ascaris
lumbricoides). Kolestasis mencermin kegagalan seksresi empedu.
Efek patofisiologi mencerminkan efek balik empedu (bilirubin, garam empedu, dan
kolesterol) ke dalam sirkulasi sistemik dan kegagalannya untuk masuk untuk eksresi.
Retensi bilirubin menghasilkan campuran hiperbilirubinemia dengan kelebihan bilirubin
konjugasi masuk ke dalam urin. Tinja sering berwarna pucat karena lebih sedikit yang dapat
mencapai usus halus. Penigkatan garam empedu dalam sirkulasi diperkirakan sebagai
penyebab keluhan gatal (pruritus), walaupun sebenarnya hubungannya belum jelas
sehingga patogenesis gatal masih belum bisa diketahui dengan pasti.
Garam empedu dibutuhkan untuk penyerapan lemak dan vitamin K. Gangguan eksresi
garam empedu dapat mengakibatkan steatorrhea dan hipoprotombinemia. Pada keadaan
kolestasis yang berlangsung lama, dapat menyebabkan gangguan penyerapan Ca dan
vitamin D dan vitamin lain yang larut dalam lemak dapat terjadi dan dapat menyebabkan
osteoporosis atau osteomalasia. Retensi kolesterol dan fosfolipid mengakibatkan
hiperlipidemia.
16
Gambar. Klasifikasi Ikterus11
2.2.5. Patofisiologi.
Secara umum, obstruksi bilier menyebabkan terjadinya ikterus obtruktif. Ikterus
(jaundice) yaitu perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran
mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya
dalam darah. Bilirubin sebagai akibat pemecahan cincin heme dari metabolisme sel darah
merah. Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal pada sklera mata, dan ini
menunjukkan kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl, sedangkan jika ikterus
jelas dapat dilihat dengan nyata maka bilirubin diperkirakan sudah mencapai 7 mg/dl.
Tahapan metabolisme bilirubin berlangsung melalui 3 fase yaitu fase prehepatik,
intrahepatik, dan pascahepatik, atau dikenal juga melalui tahapan 5 fase yaitu (1) fase
pembentukan bilirubin dan (2) transpor plasma, terjadi pada fase prahepatik, (3) liver
uptake dan (4) konyugasi, pada fase intrahepatik, serta (5) ekskresi bilirubin pada fase
ekstrahepatik.4
17
Gambar. Metabolisme normal bilirubin7
Empedu merupakan sekresi multi-fungsi dengan susunan fungsi, termasuk
pencernaan dan penyerapan lipid di usus, eliminasi toksin lingkungan, karsinogen, obat-
obatan, dan metabolitnya, dan menyediakan jalur primer ekskresi beragam komponen
endogen dan produk metabolit, seperti kolesterol, bilirubin, dan berbagai hormon.15
Pada obstruksi jaundice, efek patofisiologisnya mencerminkan ketiadaan komponen
empedu (yang paling penting bilirubin, garam empedu, dan lipid) di usus halus, dan
cadangannya, yang menyebabkan tumpahan pada sirkulasi sistemik. Feses biasanya
menjadi pucat karena kurangnya bilirubin yang mencapai usus halus. Ketiadaan garam
empedu dapat menyebabkan malabsorpsi, mengakibatkan steatorrhea dan defisiensi
vitamin larut lemak (A, D, K); defisiensi vitamin K bisa mengurangi level protrombin.
Pada kolestasis berkepanjangan, seiring malabsorpsi vitamin D dan Ca bisa menyebabkan
osteoporosis atau osteomalasia.15
Retensi bilirubin menyebabkan hiperbilirubinemia campuran. Beberapa bilirubin
terkonjugasi mencapai urin dan menggelapkan warnanya. Level tinggi sirkulasi garam
empedu berhubungan dengan, namun tidak menyebabkan, pruritus. Kolesterol dan retensi
18
fosfolipid menyebabkan hiperlipidemia karena malabsorpsi lemak (meskipun
meningkatnya sintesis hati dan menurunnya esterifikasi kolesterol juga punya andil); level
trigliserida sebagian besar tidak terpengaruh.15
Penyakit hati kolestatik ditandai dengan akumulasi substansi hepatotoksik, disfungsi
mitokondria dan gangguan pertahanan antioksidan hati. Penyimpanan asam empedu
hidrofobik mengindikasikan penyebab utama hepatotoksisitas dengan perubahan sejumlah
fungsi sel penting, seperti produksi energi mitokondria. Gangguan metabolisme
mitokondria dan akumulasi asam empedu hidrofobik berhubungan dengan meningkatnya
produksi oksigen jenis radikal bebas dan berkembangnya kerusakan oksidatif.15
Bila kadar bilirubin sudah mencapai 2 – 2,5 mg/dl maka sudah telihat warna kuning
pada sklera dan mukosa sedangkan bila sudah mencapai > 5 mg/dl maka kulit tampak
berwarna kuning . 17
Ikterus obstruksi terjadi bila :17
1. Terjadinya gangguan ekskresi bilirubin dari sel-sel parenkim hepar ke
sinusoid. Hal ini disebut ikterus obstruksi intra hepatal. Biasanya tidak disertai
dengandilatasi saluran empedu. Obstruksi ini bukan merupakan kasus bedah.
2. Terjadi sumbatan pada saluran empedu ekstra hepatal. Hal ini disebut sebagai
ikterus obstruksi ekstra hepatal. Oleh karena adanya
sumbatan maka akan terjadi dilatasi pada saluran empedu . Karena adanya
obstruksi pada saluran empedu maka terjadi refluks bilirubin direk (bilirubin
terkonyugasi atau bilirubi II) dari saluran empedu ke dalam darah sehingga
menyebabkan terjadinya peningkatan kadar bilirubin direk dalam darah.
Bilirubin direk larut dalam air, tidak toksik dan hanya terikat lemah pada
albumin. Oleh karena kelarutan dan ikatan yang lemah pada albumin maka
bilirubin direk dapat diekskresikan melalui ginjal ke dalam urine yang
menyebabkan warna urine gelap seperti teh pekat. Urobilin feses berkurang
sehingga feses berwarna pucat seperti dempul (akholis) . Karena terjadi
peningkatan kadar garam-garam empedu maka kulit terasa gatal-gatal
(pruritus).
19
Klasifikasi tipe sumbatan pada ikterus obstruksi terbagi atas 4 tipe yaitu :17
1. Tipe I : Obstruksi komplit.
Obstruksi ini memberikan gambaran ikterus. Biasanya terjadi karena
tumor kaput pancreas, ligasi duktus biliaris komunis, kolangiokarsinoma, tumor
parenkim hati primer atau sekunder.
2. Tipe II : Obstruksi intermiten.
Obstruksi ini memberikan gejala-gejala dan perubahan biokimia yang
khas serta dapat disertai atau tidak dengan serangan ikterus secara klinik.
Obstruksi dapat disebabkan oleh karena koledokolitiasis, tumor periampularis,
divertikel duodeni, papiloma duktus biliaris, kista koledokus, penyakit hati
polikistik, parasit intra bilier, hemobilia.
3. Tipe III : Obstruksi inkomplit kronis.
Dapat disertai atau tidak dengan gejala-gejala klasik atau perubahan
biokimia yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya perobahan patologi pada
duktus bilier atau hepar. Obstruksi ini dapat disebabkan oleh karena striktur
duktus biliaris komunis ( kongenital, traumatik, kolangitis sklerosing atau post
radiotherapy ), stenosis anastomosis bilio-enterik, stenosis sfingter Oddi,
pankreatitis kronis, fibrosis kistik, diskinesia.
4. Tipe IV : Obstruksi segmental.
Obstruksi ini terjadi bila satu atau lebih segmen anatomis cabang biliaris
mengalami obstruksi. Obstruksi segmentalini dapat berbentuk obstruksi
komplit, obstruksi intermiten atau obstruksi inkomplit kronis. Dapat disebabkan
oleh trauma (termasuk iatrogenik), hepatodokolitiasis, kolangitis sklerosing,
kolangiokarsinoma.
Kolestasis menyebabkan peningkatan sintesis dan sekresi alkali fosfatase, sehingga
terjadi kerusakan sel hepatosit. Hal ini akan menghambat sintesis protein dan faktor-faktor
pembekuan. Fungsi detoksifikasi pun akan menurun. Akibatnya akan terjadi peningkatan
asam empedu dan alkali fosfatase di dalam darah.16
20
Gambar . Kolestasis4
Efek primer kolestasis terutama menyerang fungsi hati dan usus, sedangkan efek
sekundernya mempengaruhi tiap sistem organ. Efek primer meliputi retensi empedu,
regurgitasi empedu ke dalam serum, dan penurunan sekresi bilier ke dalam usus. Efek
sekundernya menyebabkan pemburukan penyakit hati serta penyakit sistemik. Kolestasis
menyebabkan beberapa kondisi berikut, yaitu :16
1. Retensi konjugasi dan regurgitasi bilirubin ke dalam serum
Peningkatan kadar serum bilirubin terkonjugasi merupakan tanda primer
kolestasis. Hal ini menyebabkan jaundice yang dapat dideteksi dengan ikterus sklera
dan urine berwarna gelap.
2. Peningkatan kadar serum bilirubin non konjugasi
21
Laju konjugasi bilirubin mengalami penurunan akibat jejas hepatosit. Laju
produksi bilirubin dapat pula mengalami peningkatan akibat hemolisis yang dapat
menyertai kolestasis.
3. Hiperkolemia (peningkatan kadar garam empedu serum).
4. Pruritus.
5. Hiperlipidemia
Pada kolestasis, kolesterol serum mengalami peningkatan karena terjadi
gangguan degradasi dan ekskresi metabolik. Dengan penurunan pembentukan empedu,
kolesterol mengalami retensi sehingga kandungan kolesterol pada membran meningkat,
menyebabkan penurunan fluiditas dan fungsi membran.
6. Xanthoma
Xanthoma terutama terjadi pada kolestasis obstruktif disebabkan deposisi
kolesterol ke dalam dermis.
7. Gangguan perkembangan
Gangguan perkembangan adalah efek klinis terpenting dari kolestasis. Terjadi
malabsorpsi, anoreksia, penggunaan nutrien yang rendah (penurunan kadar serum
protein), gangguan hormon dan jejas jaringan sekunder.
2.2.6. Manifestasi Klinis.
Dalam praktik klinis sehari hari gejala kolestasis ekstrahepatik dan intrahepatik
sukar untuk dibedakan. Karakteristik dari kolestasis yaitu ikterus (jaundice), perubahan
warna urin menjadi lebih kuning gelap karena eksresi bilirubin melalui ginjal meningkat,
tinja pucat akibat terhambatnya aliran bilirubin ke usus halus dan berbau busuk serta
mengandung banyak lemak (steatorrhea) karena aliran empedu terhambat ke usus halus
sehingga absorpsi lemak terganggu, dan gatal (pruritus) yang menyeluruh akibat retensi
empedu di kulit. Kolestasis kronik dapat menimbulkan pigmentasi kulit kehitaman,
ekskoriasi karena pruritus, sakit tulang karena absorpsi kalsium dan vitamin D berkurang
sehingga lama kelamaan jaringan tulang berkurang, perdarahan intestinal karena absorpsi
vitamin K terganggu dan endapan lemak kulit (xantelasma atau xantoma). Gambaran
keluhan seperti yang disebutkan tidak tergantung penyebabnya. Selain itu dapat disertai
22
keluhan sakit perut, dan gejala sistemik (seperti anoreksia, muntah, demam), atau
tambahan gejala lain yang tergantung pada penyebab terjadinya obstruksi bilier.4
Pasien dengan obstruksi bilier karena batu empedu dapat dibagi menjadi tiga
keompok yaitu pasien dengan batu asimtomatik, simtomatik, dan dengan komplikasi batu
empedu (kolesistitis akut, kolangitis, dan pankreatitis). Sebagian besar (80%) pasien
dengan batu empedu tanpa gejala. Gejala batu empedu yang dapat dipercaya adalah kolik
bilier yaitu nyeri diperut atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang dari 12 jam.
Biasanya lokasi nyeri di perut kanan atas atau epigastrium yang dapat menjalar ke
punggung bagian kanan atau bahu kanan. Nyeri ini bersifat episodik dan dapat dicetuskan
oleh makan makanan berlemak atau dapat juga tanpa suatu pencetus dan sering timbul
malam hari. Terkadang nyeri dapat dirasakan di daerah substernal atau prekordial atau di
kuadran kiri atas abdomen. Batu kandung pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan
punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif
apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung
empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik
nafas. Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba
hati dan sklera ikterik.9,16,18
Kolestasis ekstrahepatik dapat diduga dengan adanya kandung empedu teraba
(Courvoisier sign). Jika sumbatan karena keganasan kaput pankreas sering timbul kuning
yang tidak disertai gejala keluhan sakit perut (painless jaundice). Kadang-kadang apabila
kadar bilirubin telah mencapai kadar yang lebih tinggi sering warna kuning sklera mata
memberi kesan berbeda dimana ikterus lebih memberi kesan kehijauan (greenish jaundice)
pada kolestasis ekstrahepatik dan kekuningan (yellowish jaundice) pada kolestasis
intrahepatik.4,9,10
2.2.7. Diagnosis.
1. Anamnesis.17
Mata, badan menjadi kuning, kencing berwarna pekat seperti air teh, badan
terasa gatal (pruritus), disertai atau tanpa kenaikan suhu badan, disertai atau tanpa
kolik diperut kanan atas. Kadang-kadang feses berwarna keputih-putihan seperti
dempul. Tergantung kausa ikterus obstruksi yaitu :
A. Bila kausa oleh karena batu.
23
Penderita mengalami kolik hebat secara tiba-tiba tanpa sebab yang jelas.
Keluhan nyeri perut di kanan atas dan menusuk ke belakang. Penderita tampak
gelisah dan kemudian ada ikterus disertai pruritus. Riwayat ikterus biasanya
berulang. Riwayat mual ada, perut kembung, gangguan nafsu makan disertai
diare. Warna feses seperti dempul dan urine pekat seperti air teh.
B. Bila kausa oleh karena tumor.
Gejalanya antara lain : penderita mengalami ikterus secara tiba-tiba,
tidak ada keluhan sebelumnya, Biasa penderita berusia diatas 40 tahun. Terjadi
penurunan berat badan, kaheksia berat, anoreksia dan anemis memberi kesan
adanya proses keganasan.
2. Pemeriksaan Fisik.
Pemeriksaan fisik meliputi perabaan hati, kandung empedu, limpa, mencari
tanda-tanda stigmata sirosis hepatis, seperti spider naevi, eritema palmaris, bekas
garukan di kulit karena pruritus, tanda-tanda asites. Anemi dan limpa yang membesar
dapat dijumpai pada pasien dengan anemia hemolitik. Kandung empedu yang
membesar menunjukkan adanya sumbatan pada saluran empedu bagian distal yang
lebih sering disebabkan oleh tumor (dikenal hukum Courvoisier).14
Hukum Courvoisier : “Kandung empedu yang teraba pada ikterus tidak
mungkin disebabkan oleh batu kandung empedu”. Hal ini biasanya menunjukkan
adanya striktur neoplastik tumor (tumor pankreas, ampula, duodenum, CBD), striktur
pankreatitis kronis, atau limfadenopati portal.19
Pemeriksaan faal hati dapat menentukan apakah ikterus yang timbul disebabkan
oleh gangguan pada sel-sel hati atau disebabkan adanya hambatan pada saluran
empedu.1
Diagnosa klinis untuk pemeriksaan jaundice obstruktif antara lain :3
a. Peningkatan level bilirubin direk (terkonjugasi) (> 0,4 mg/ml), Normal = 0,1-0,3
mg/ml.
b. Peningkatan level bilirubin indirek (tak terkonjugasi) (> 0,8 mg/ml), Normal = 0,2-
0,8 mg/ml.
24
c. Tidak adanya bilirubin dalam urin atau peningkatan bilirubin urin (konsentrasi tinggi
dalam darah).
d. Peningkatan urobilinogen (> 4 mg/24 jam) tergantung pada kemampuan hati untuk
mengabsorbsi urobilinogen dari sistem portal, Normal = 0-4 mg/hari.
e. Menurunnya urobilinogen fekal (< 40 mg/24 jam), Normal = 40-280 mg/hari, karena
tidak mencapai usus.
f. Peningkatan alkalin fosfat dan level kolesterol karena tidak dapat diekskresi ke
kandung empedu secara normal.
g. Pada kasus penyakit hati yang sudah parah, penurunan level kolesterol
mengindikasikan ketidakmampuan hati untuk mensintesisnya.
h. Peningkatan garam empedu yang menyebabkan deposisi di kulit, sehingga
menimbulkan pruritus.
i. Pemanjangan waktu PTT (Prothrombin Time) (> 40 detik) dikarenakan penurunan
absorbsi vitamin K.
Gambar. Alur Pasien dengan Ikterus.
3. Pemeriksaan Penunjang.
a. Pemeriksaan Laboratorium.
Tes laboratorium harus dilakukan pada semua pasien jaundice termasuk serum
bilirubin direk dan indirek, alkali fosfatase, transaminase, amilase, dan hitung sel
darah lengkap. Hiperbilirubinemia (indirek) tak terkonjugasi terjadi ketika ada
25
peningkatan produksi bilirubin atau menurunnya ambilan dan konjugasi hepatosit.
Kegagalan pada ekskresi bilirubin (kolestasis intrahepatik) atau obstruksi bilier
ekstrahepatik menyebabkan hiperbilirubinemia (direk) terkonjugasi mendominasi.
Elevasi tertinggi pada bilirubin serum biasanya ditemukan pada pasien dengan
obstruksi maligna, pada mereka yang levelnya meluas sampai 15 mg/dL yang
diamati. Batu kandung empedu umumnya biasanya berhubungan dengan
peningkatan lebih menengah pada bilirubin serum (4 – 8 mg/dL). Alkali fosfatase
merupakan penanda yang lebih sensitif pada obstruksi bilier dan mungkin meningkat
terlebih dahulu pada pasien dengan obstruksi bilier parsial.1
Bilirubin direk meningkat lebih tinggi dari bilirubin indirek lebih mungkin
disebabkan oleh sumbatan saluran empedu dibanding bila bilirubin indirek yang
jelas meningkat. Pada keadaan normal bilirubin tidak dijumpai di dalam urin.
Bilirubin indirek tidak dapat diekskresikan melalui ginjal sedangkan bilirubin yang
telah dikonjugasikan dapat keluar melalui urin. Karena itu adanya bilirubin lebih
mungkin disebabkan akibat hambatan aliran empedu daripada kerusakan sel-sel hati.
Pemeriksaan feses yang menunjukkan adanya perubahan warna feses menjadi akolis
menunjukkan terhambatnya aliran empedu masuk ke dalam lumen usus (pigmen
tidak dapat mencapai usus).2
b. Hematologi.
Meningkatnya level serum bilirubin dengan kelebihan fraksi bilirubin
terkonjugasi. Serum gamma glutamyl transpeptidase (GGT) juga meningkat pada
kolestasis. Umumnya, pada pasien dengan penyakit batu kandung empedu
hiperbilirubinemia lebih rendah dibandingkan pasien dengan obstruksi maligna
ekstra-hepatik. Serum bilirubin biasanya < 20 mg/dL. Alkali fosfatase meningkat
10 kali jumlah normal. Transaminase juga mendadak meningkat 10 kali nilai
normal dan menurun dengan cepat begitu penyebab obstruksi dihilangkan.
Meningkatnya leukosit terjadi pada kolangitis. Pada karsinoma pankreas dan
kanker obstruksi lainnya, bilirubin serum meningkat menjadi 35-40 mg/dL, alkali
fosfatase meningkat 10 kali nilai normal, namun transamin tetap normal.1
26
Penanda tumor seperti CA 19-9, CEA dan CA-125 biasanya meningkat pada
karsinoma pankreas, kolangiokarsinoma, dan karsinoma peri-ampula, namun
penanda tersebut tidak spesifik dan mungkin saja meningkat pada penyakit jinak
percabangan hepatobilier lainnya.2
c. Pencitraan.
Pada obstruksi ikterik perlu dilakukan pencitraan, hal ini mempunyai
beberapa tujuan gunamnenentukan diagnosis, yaitu :
Memastikan adanya obstruksi ekstrahepatik (yaitu membuktikan apakah
jaundice akibat post-hepatik dibandingkan hepatik).
Untuk menentukan level obstruksi.
Untuk mengidentifikasi penyebab spesifik obstruksi.
Memberikan informasi pelengkap sehubungan dengan diagnosa yang
mendasarinya (misal, informasi staging pada kasus malignansi).
i. USG1
Pemeriksaan pencitraan pada masa kini dengan sonografi sangat
membantu dalam menegakkan diagnosis dan dianjurkan merupakan pemeriksaan
penunjang pencitraan yang pertama dilakukan sebelum pemeriksaan pencitraan
lainnya. Dengan sonografi dapat ditentukan kelainan parenkim hati, duktus yang
melebar, adanya batu atau massa tumor. Ketepatan diagnosis pemeriksaan
sonografi pada sistem hepatobilier untuk deteksi batu empedu, pembesaran
kandung empedu, pelebaran saluran empedu dan massa tumor tinggi sekali. Tidak
ditemukannya tanda-tanda pelebaran saluran empedu dapat diperkirakan
penyebab ikterus bukan oleh sumbatan saluran empedu, sedangkan pelebaran
saluran empedu memperkuat diagnosis ikterus obstruktif.1
27
Pada pemeriksaan USG akan memperlihatkan ukuran duktus biliaris,
mendefinisikan level obstruksi, mengidentifikasi penyebab dan memberikan
informasi lain sehubungan dengan penyakit (mis, metastase hepatik, kandung
empedu, perubahan parenkimal hepatik). Identifikasi obstruksi duktus dengan
akurasi 95%, memperlihatkan batu kandung empedu dan duktus biliaris yang
berdilatasi, namun tidak dapat diandalkan untuk batu kecil atau striktur. Juga
dapat memperlihatkan tumor, kista atau abses di pankreas, hepar dan struktur
yang mengelilinginya.1
ii. Pemeriksaan Radiologi Invasif.1,14
Pemeriksaan foto polos abdomen kurang memberi manfaat karena sebagian
besar batu empedu radiolusen. Kolesistografi tidak dapat digunakan pada
pasien ikterus karena zat kontras tidak diekskresikan oleh sel hati yang
sakit.
CT-scan : memberi viasualisasi yang baik untuk hepar, kandung empedu,
pankreas, ginjal dan retroperitoneum; membandingkan antara obstruksi
intra- dan ekstrahepatik dengan akurasi 95%. CT dengan kontras digunakan
untuk menilai malignansi bilier.
28
ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancre atography) dan PTC
(Percutaneus Transhepatic Cholangiography) : menyediakan visualisasi
langsung level obstruksi. Namun prosedur ini invasif dan bisa
menyebabkan komplikasi seperti kolangitis, kebocoran bilier, pankreatitis
dan perdarahan.
EUS (endoscopic ultrasound) : memiliki beragam aplikasi, seperti staging
malignansi gastrointestinal, evaluasi tumor submukosa dan berkembang
menjadi modalitas penting dalam evaluasi sistem pankreatikobilier. EUS
juga berguna untuk mendeteksi dan staging tumor ampula, deteksi
29
mikrolitiasis, koledokolitiasis dan evaluasi striktur duktus biliaris benigna
atau maligna. EUS juga bisa digunakan untuk aspirasi kista dan biopsi lesi
padat.
MRCP (Magnetic Resonance Cholangio-Pancreatography): merupakan
teknik visualisasi terbaru, non-invasif pada bilier dan sistem duktus
pankreas. Hal ini terutama berguna pada pasien dengan kontraindikasi
untuk dilakukan ERCP. Visualisasi yang baik dari anatomi bilier
memungkinkan tanpa sifat invasif dari ERCP. Tidak seperti ERCP, MRCP
adalah murni diagnostik.
2.2.8. Tatalaksana
1. Tindakan operatif.20
a. Drainase.
1. Drainase ke luar tubuh (drainase eksterna)
Drainase eksterna dilakukan dengan mengalihkan aliran empedu ke luar
tubuh misalnya dengan pemasangan pipa naso bilier atau pipa T pada
duktus koledokus atau kolesistostomi.
2. Drainase interna (pintasan bilio-digestif).
Drainase interna dapat dilakukan dengan membuat pintasan bilio-digestif
antara lain hepatiko-jejunostomi, koledoko-duodenostomi atau kolesisto-
jejunostomi. Drainase interna pertama kali dilaporkan oleh Pareiras et al
dan Burchart pada tahun 1978, dan presentase munculnya kembali ikterus
obstruksi setelah dilakukan pintasan adalah 0 – 15 % tergantung dari tehnik
operasi yang digunakan.
b. Kolesistektomi.
Terapi terbanyak pada penderita batu kandung empedu adalah dengan operasi.
Kolesistektomi dengan atau tanpa eksplorasi duktus komunis tetap merupakan
tindakan pengobatan untuk penderita dengan batu empedu simptomatik.
30
Pembedahan untuk batu empedu tanpa gejala masih diperdebatkan, banyak ahli
menganjurkan terapi konservatif. Sebagian ahli lainnya berpendapat lain
mengingat “silent stone” akhirnya akan menimbulkan gejala-gejala bahkan
komplikasi, maka mereka sepakat bahwa pembedahan adalah pengobatan yang
paling tepat yaitu kolesistektomi efektif dan berlaku pada setiap kasus batu
kandung empedu kalau keadaan umum penderita baik. Indikasi kolesistektomi
sebagai berikut :
1. Adanya keluhan bilier apabila mengganggu atau semakin sering atau berat.
2. Adanya komplikasi atau pernah ada komplikasi batu kandung empedu.
3. Adanya penyakit lain yang mempermudah timbulnya komplikasi misalnya
Diabetes Mellitus, kandung empedu yang tidak tampak pada foto kontras
dan sebagainya
c. Kolesistostomi
Beberapa ahli bedah menganjurkan kolesistostomi dan dekompresi cabang-
cabang saluran empedu sebagai tindakan awal pilihan pada penderita kolesistitis
dengan resiko tinggi yang mungkin tidak dapat diatasi dengan kolesistektomi
dini. Indikasi dari kolesistostomi adalah :
1. Keadaan umum sangat buruk misalnya karena sepsis
2. Penderita yang berumur lanjut, karena ada penyakit lain yang berat yang
menyertai, kesulitan teknik operasi.
3. Tersangka adanya pankreatitis.
Kerugian dari kolesistostomi mungkin terselipnya batu sehingga sukar
dikeluarkan dan kemungkinan besar terjadinya batu lagi kalau tidak diikuti
dengan kolesistektomi.
d. Sfingerotomy endosokopik, PTBD (perkutaneus transhepatik bilirian drainage)
, Pemasangan “T Tube ” saluran empedu koledoskop dan Laparatomi
kolesistektomi pemasangan T Tube.
2. Tindakan non operatif.20
a. Terapi medika mentosa.
Pengobatan ikterus sangat bergantung penyakit dasar penyebabnya.
Beberapa gejala yang cukup mengganggu misalnya gatal (pruritus) pada
keadaan kolestasis intrahepatik, pengobatan penyakit dasarnya sudah
mencukupi. Pruritus pada keadaan irreversibel (seperti sirosis bilier primer)
biasanya responsif terhadap kolestiramin 4-16 g/hari PO dalam dosis terbagi
31
dua yang akan mengikat garam empedu di usus. Kecuali jika terjadi kerusakan
hati yang berat, hipoprotrombinemia biasanya membaik setelah pemberian
fitonadion (vitamin K1) 5-10 mg/hari SK untuk 2-3 hari.1
Pemberian suplemen kalsium dan vitamin D dalam keadaan kolestasis
yang ireversibel, namun pencegahan penyakit tulang metabolik
mengecewakan. Suplemen vitamin A dapat mencegah kekurangan vitamin
yang larut lemak ini dan steatorrhea yang berat dapat dikurangi dengan
pemberian sebagian lemak dalam diet dengan medium chain trigliceride.1
b. Terapi disolusi
Penggunaan garam empedu yaitu asam Chenodeodeoxycholat (CDCA) yang
mampu melarutkan batu kolesterol invitro, secara invivo telah dimulai sejak
1973 di klinik Mayo, Amerika Serikat juga dapat berhasil, hanya tidak
dijelaskan terjadinya kekambuhan.Pengobatan dengan asam empedu ini dengan
sukses melarutkan sempurna batu pada sekitar 60 % penderita yang diobati
dengan CDCA oral dalam dosis 10 – 15 mg/kg berat badan per hari selama 6
sampai 24 bulan. Penghentian pengobatan CDCA setelah batu larut sering
timbul rekurensi kolelitiasis.
Pemberian CDCA dibutuhkan syarat tertentu yaitu :
1. Wanita hamil
2. Penyakit hati yang kronis
3. Kolik empedu berat atau berulang-ulang
4. Kandung empedu yang tidak berfungsi.
c. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsi (ESWL)
ESWL merupakan litotripsi untuk batu empedu dimana dasar terapinya adalah
disintegrasi batu dengan gelombang kejut sehingga menjadi partikel yang lebih
kecil. Pemecahan batu menjadi partikel kecil bertujuan agar kelarutannya dalam
asam empedu menjadi meningkat serta pengeluarannya melalui duktus sistikus
dengan kontraksi kandung empedu juga menjadi lebih mudah.
d. Dietetik
Prinsip perawatan dietetic pada penderita batu kandung empedu adalah
memberi istirahat pada kandung empedu dan mengurangi rasa sakit, juga untuk
memperkecil kemungkinan batu memasuki duktus sistikus. Di samping itu
untuk memberi makanan secukupnya untuk memelihara berat badan dan
keseimbangan cairan tubuh. Pembatasan kalori juga perlu dilakukan karena
32
pada umumnya batu kandung empedu tergolong juga ke dalam penderita
obesitas. Bahan makanan yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan
makanan juga harus dihindarkan. Kadang-kadang penderita batu kandung
empedu sering menderita konstipasi, maka diet dengan menggunakan buah-
buahan dan sayuran yang tidak mengeluarkan gas akan sangat membantu.
2.2.9. Komplikasi.15
Salah satu penyulit dari drainase interna pada ikterus obstruktif adalah gagal ginjal
akut (GGA). GGA pada penderita ikterus obstruktif lanjut pasca drenase interna sampai saat
ini masih merupakan komplikasi klinis yang mempunyai risiko kematian tinggi. Pada
penderita ikterus obstruktif lanjut yang mengalami tindakan pembedahan sering mengalami
komplikasi pasca operatif. Komplikasi ini berhubunga dengan endoktoksemia sistemik
terjadi melalui 2 mekanisme yang pertama, tidak adanya empedu pada traktus
gastrointestinal yang bersifat “detergen like” sehingga terjadi transolakasi endotoksin
melalui mukosa usus. Dengan tidak adanya empedu dan cinjugated bilirubin di traktus
gastrointestinal akan menganggu funngsi barier usus sehingga terjadi over growth bakteri,
terutama bakteri gram negatif, yang dapat menyebabkan translokasi bakteri maupun
endotoksinnya kedalam sirkulasi. Mekanisme kedua, ikterus obstruktif menyebabkan
menurunnya fungsi kupffer sebagai “clearance of endotoxin” sehingga endotoksin semakin
meningkat di dalam sirkulasi.
Perubahan hemodinamika ginjal yang terjadi pada pasien denga ikterus obstruktif
bersifat reversible. Oleh karena itu harus segera dilakukan intervensi optimal untuk
mencegah semakin memburuknya fungsi ginjal. Pencegahan terjadinya gagal ginjal akut
pada pembedahan ikterus obstruktif dengan melakukan ekspansi volume cairan dari
intaseluler menuju ekstraseluler dan menurunkan terjadinya endotoksinemia.6
Komplikasi yang terjadi pada ikterus obstruktif adalah sepsis primer, perdarahan
gastrointestinal, koagulopati, gangguan penyembuhan luka bedah dan gagal ginjal akut
(GGA).
2.2.10. Prognosis.17
Bahaya akut dari ikterus obstruksi adalah terjadinya infeksi saluran empedu
(kolangitis akut), terutama apabila terdapat nanah di dalam saluran empedu dengan
33
tekanan tinggi seperti kolangitis piogenik akut atau kolangitis supuratifa. Kematian terjadi
akibat syok septic dan kegagalan berbagai organ. Selain itu sebagai akibat obstruksi kronis
dan atau kolangitis kronis yang berlarut-larut pada akhirnya akan terjadi kegagalan faal
hati akibat sirosis biliaris. Ikterus obstruksi yang tidak dapat dikoreksi baik secara medis
kuratif maupun tindakan pembedahan mempumnyai prognosis yang jelek diantaranya
akan timbul sirosis biliaris.
Bila penyebabnya adalah tumor ganas mempunyai prognosis jelek.
Penyebab morbiditas dan mortalitas adalah :
a. Sepsis khususnya kolangitis yang menghancurkan parenkim hati.
b. “Hepatic failure” akibat obstruksi kronis saluran empedu.
c. “Renal failure”.
d. Perdarahan gastro intestinal.
34
BAB III
PENUTUP
Secara umumnya, obstruksi jaundice adalah perubahan warna kulit, sclera mata atau
jaringan lainnya (mebran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan bilirubin yang
meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Obstruksi jaundice dapat terjadi akibat
adanya hambatan saluran empedu. Sumbatan saluran empedu dapat terjadi karena kelainan
pada dinding saluran empedu misalnya adanya tumor atau penyempitan karena trauma
(iatrogenik).
Manifestasi klinis dari obtruksi jaundice dapat berupa mata, badan menjadi kuning,
urine berwarna pekat seperti teh, badan terasa gatal (pruritus), disertai atau tanpa kenaikan suhu
badan, disertai atau tanpa kolik perut kanan atas, kadang-kadang feses berwarna keputih-
putihan seperti dempul. Tergantung dari penyebab ikterus obstruksi. Untuk diagnosis dari
obetruksi jaundice bisa dilakukan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Dilakukan pemeriksaan labolatorium yang meliputi pemeriksaan darah, urine dan
feses rutin. Pemeriksaan fungsi hati bisa dijumpai adanya kenaikan dari bilirubin direct
(tekonjugasi), alkali fosfatase meningkat 2-3 kali diatas normal. Serum transminase (SGOT,
SGPT) dan Gamma GT sedikit meninggi. Selain itu juga bisa dilakukan pencitraan untuk
menentukan penyebab obstruksi seperti pemeriksaan USG, CT Scan abdomen, ERCP
(Endoskopic Retrograde Cholangio Pancreatography) dll.
Pengobatan ikterus sangat bergantung penyakit dasar penyebabnya.
DAFTAR PUSTAKA
35
1. Lesmana L.: Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2000. 380-384.
2. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2005. 570-9.
3. I J Beckingham. 2001. ABC Of Diseases Of Liver, Pancreas, And Biliary System
Gallstone Disease. Dalam: British Medical Journal Vol 13, Januari 2001: 322 (7278): 91–
94. Available from : http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=1119388
[diakses pada tanggal 10 Oktober 2015].
4. Sulaiman A. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK.UI; 2006. 422-5.
5. Price, Sylvia Anderston. Patofisiologi Konsep Klinis Preose-Proses Penyakit. Jilid 1.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1994. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-
prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery). Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 2000. 459-464.
6. Snell. Richard S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta : EGC .
2006
7. Sherwood, Lauralee. Fisiologi manusia dari Sel ke Sistem, Edisi I. Jakarta : EGC. 2001.
8. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta :
EGC; 2008. p. 843
9. Lesmana L.: Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.
10. Bonheu J.L, Ells P.F. Biliary Obstruction 2009. http://www.emedicine.com [ Diakses
tanggal 14 Oktober 2015].
11. Sulaiman A, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Edisi I. Jakarta : Jayabadi; 2007.9,14-5,
161, 165, 171, 174, 175.
12. McPhee S. J, Papadakis M. A, Tierney L. M. Biliary Obstruction. In : Current Medical
Diagnosis and Treatment. San Fransisco : Mc Graw Hill; 2007. e-book.
13. Ferri FF. Cholelithiasis. In : Ferri’s Clinical Advisor. 10th Edition. USA : Mosby Elsevier;
2008. e-book.
14. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery).
Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000. 459-464.
15. Kasper Dennis, Harrison Tinsley Randolph. 2005. Harrison Principle’s of Internal
Medicine 16th. New York: Mc Graw Hills Publishing. 1880-1890.
36
16. Sulaiman A, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Edisi I. Jakarta : Jayabadi; 2007.9,14-5,
161, 165, 171, 174, 175.
17. Podolsky D.K, Issel B.K, Penyakit Kandung Empedu dan Duktus Biliaris, Harrison;
Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Volume 4, Edisi 13, EGC, Jakarta, 2000, Hal. 1688-
1693.
18. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2005. 573.
19. Sujono Hadi. 1983. Nyeri Epigastrik Penyebab dan Pengelolaannya. Dalam: Cermin
Dunia Kedokteran No. 4, 1983: 29. Available From:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/03_NyeriEpigastrik.pdf/03_NyeriEpigastrik.html
[diakses pada tanggal 10 Oktober 2015].
20. Adeyinka, Adisa Charles. JAUNDICE. Associated professor of Surgery.Abia State
University Teaching Hospital. ABA Nigeria, 2010.