Isihgy
-
Upload
syahrul-hamidi-nasution -
Category
Documents
-
view
35 -
download
2
description
Transcript of Isihgy
I. STATUS PASIEN
1. Identitas Pasien
Nama : An. C
Umur : 19 tahun
Alamat : Palas, Bandar Lampung
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Status : Belum Menikah
Suku bangsa : Lampung
Tanggal masuk : 27 Januari 2014
Dirawat yang ke : 1 (RSAM)
2. Riwayat Penyakit
Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara auto dan alloanamnesis
Keluhan utama : Nyeri Kepala (setelah kecelakaan)
Keluhan Tambahan : Muntah dan nyeri di tempat luka (luka di atas alis
mata kanan dan di pipi kanan)
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri kepala setelah mengalami kecelakaan
30 menit yang lalu. Pasien mengendarai mobil dan menabrak pohon. Selain
mengeluhkan nyeri kepala, pasien juga mengeluhkan nyeri di tempat luka,
yaitu di atas alis mata kanan dan di pipi kanan. Saat kejadian pasien
mengatakan bahwa mobil yang dikendarainya menabrak pohon dan kepala
pasien membentur setir mobil. Setelah itu pasien langsung tidak sadarkan
diri dan oleh teman-temannya semobil yang selamat pasien langsung dibawa
ke rumah sakit. Setibanya di rumah sakit pasien sadar, waktu antara pasien
pingsan dan sadar kurang lebih 15-20 menit. Setelah itu pasien tidak pernah
1
pingsan lagi. Setelah sadar pasien muntah-muntah, muntah berisi makanan
dan tidak menyembur. Tidak ada keluar darah atau cairan yang keluar dari
hidung dan telinga. Saat ditanyakan, pasien mengetahui apa yang baru saja
terjadi dengan dirinya. Tidak ada keluhan kelemahan kedua lengan dan
tungkai. Saat mengendarai mobil, pasien tidak sedang sakit. Pasien dan
teman-temannya menyangkal adanya riwayat kejang sebelumnya, menderita
ayan, sering bengong atau mengelamun, menggunakan narkoba, minum
alkohol, maupun mengkonsumsi obat-obatan seperti obat batuk, obat
penenang, obat tidur dan obat flu. Gangguan pendengaran disangkal,
penglihatan dobel disangkal, bicara pelo tidak ada.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami kecelakaan waktu SD, tungkai kiri pasien patah.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada
3. Pemeriksaan Fisik
Status Present
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4V4M6
Vital sign
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 84 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36, 7 C
Gizi : kesan cukup
Status Generalis
Kepala
Rambut : Berwarna hitam, tidak mudah dicabut, distribusi
merata
2
Mata : Konjungtiva ananemis, sklera tidak ikterik, pupil
isokor, reflek cahaya (+/+)
Telinga : Simetris, tidak terdapat sekret
Hidung : Napas cuping hidung (-), septum deviasi (-)
Mulut : sianosis (-)
Leher
Pembesaran KGB : Tidak ada pembesaran KGB regio coli
Pembesaran tiroid : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
JVP : 5 cmH2O
Trakea : Di tengah
Thoraks
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ics IV linea midclavicula
sinistra
Perkusi : Pekak
Batas kanan : ICS 4 linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS 5 linea midclavicularis sinistra
Batas atas : ICS 2 linea parasternalis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop
(-)
Pulmo
Inspeksi : Pergerakan dada kanan dan kiri simetris saat stasis
dan dinamis
Palpasi : Fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Bunyi napas vesikular di kedua lapang paru,
rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Datar dan lemas, tidak terlihat deformitas
3
Palpasi : Nyeri tekan (-), turgor baik, hepar tak teraba
membesar, limpa tak teraba membesar, tidak teraba
massa
Perkusi : Timpani
Aukultasi : Bising usus normal
Ekstremitas
Superior : Akral hangat, edema (-/-), sianosis (-/-),ikterik (-/-)
Inferior : Akral hangat, edema (-/-), sianosis (-/-),ikterik (-/-)
4. Pemeriksaan Neurologi
Saraf Cranialis Kanan/Kiri
N. Olfaktorius (N.I)
Daya penciuman hidung : Normosmia
N.Optikus (N.II)
Tajam penglihatan : > 6/60 (bed site)
Lapang penglihatan : Normal
Tes warna : Normal
Fundus okuli : Tidak dilakukan
N. Occulomotorius, N. Trochlearis, N. Abducen (N.III-NIV-N.VI)
Kelopak mata
Ptosis : ( - / - )
Endopthtalmus : ( - / - )
Exophtalmus : ( - / - )
Pupil
Diameter : 3 mm / 3 mm
Bentuk : bulat / bulat
Isokor/anisokor : isokor / isokor
Posisi : di tengah / di tengah
Refleks cahaya langsung : ( + / + )
Refleks cahaya tidak langsung : ( + / + )
4
Gerakan bola mata
Medial : normal
Lateral : normal
Superior : normal
Inferior : normal
Oblikus superior : normal
Oblikus inferior : normal
Refleks pupil akomodasi : normal
Refleks pupil konvergensi : normal
N. Trigeminus (N.V)
Sensibilitas
Ramus oftalmikus : normal
Ramus maksilaris : normal
Ramus mandibularis : normal
Motorik
M. Maseter : normal
M. Temporalis : normal
M. Pterigoideus : normal
Reflek
Reflek kornea (Sensoris N.V, motoris N.VII) : ( + / + )
Reflek bersin : Tidak dilakukan
N. Fascialis (N.VII)
Inspeksi wajah sewaktu
Diam : simetris
Tertawa : sulit dinilai
Meringis : simetris
Bersiul : Tidak dilakukan
Menutup mata : Simetris
Pasien disuruh untuk
Mengerutkan dahi : Tidak dapat dilakukan
Manutup mata kuat-kuat : Tidak dapat dilakukan
Menggembungkan pipi : Tidak dapat dilakukan
5
Sensoris
Pengecapan 2/3 depan lidah : normal
N. Acusticus (N.VIII)
N. Cochlearis
Ketajaman pendengaran : normal
Tinitus : Tidak ada
N. Vestibularis
Test vertigo : Tidak dilakukan
Nistagmus : Tidak dilakukan
N. Glossopharingeus dan N.Vagus (N.IX dan NX)
Suara bindeng/nasal : Tidak ada
Posisi uvula : Tidak dilakukan
Palatum mole : Tidak dilakukan
Arcus palatoglosus : Tidak dilakukan
Arcus pharingeus : Tidak dilakukan
Reflek batuk : Tidak dilakukan
Reflek muntah : Tidak dilakukan
Peristaltik usus : normal
Bradikardi : Tidak ada
Takikardi : Tidak ada
N. Accesorius (N. XI)
M. Sternocleidomastoideus : normal
M. Trapezius : normal
N. Hipoglosus (N. XII)
Atropi : tidak ada
Fasikulasi : tidak ada
Deviasi : tidak ada
Tanda perangsangan selaput otak
Kaku kuduk : ( - / - )
Kernig sign : ( - / - )
Lasseque test : ( - / - )
Brudzinsky I : ( - / - )
6
Brudzinsky II : ( - / - )
7
Sistem motorik Superior ka / ki Inferior ka/ki
Gerak aktif / aktif aktif / aktif
Kekuatan otot 5 / 5 5 / 5
Tonus normotonus / normotonus normotonus /
normotonus
Klonus ( - / - ) ( - / - )
Atropi eutrofi / eutrofi eutrofi / eutrofi
Reflek fisiologis Bicep ( + / + ) Pattela ( + / + )
Tricep ( + / + ) Achiles ( + / + )
Reflek patologi Hoffman Trommer ( - / - ) Babinski ( - / - )
Chaddock ( - / - )
Oppenheim ( - / - )
Schaefer ( - / - )
Gordon ( - / - )
Gonda ( - / - )
Sensibilitas
Eksteroseptif / rasa permukaan (superior / inferior)
Rasa raba : normal
Rasa nyeri : normal
Rasa suhu panas : normal
Rasa suhu dingin : normal
Propioseptif / rasa dalam
Rasa sikap : normal
Rasa getar : normal
Rasa nyeri dalam : normal
Fungsi kortikal untuk sensibilitas
Asteriognosis : -
Grafognosis : -
Koordinasi
Tes tunjuk hidung : normal
Tes pronasi supinasi : normal
Susunan saraf otonom
8
Miksi : tidak ada kelainan
Defekasi : tidak ada keainan
Fungsi luhur
Fungsi bahasa : normal
Fungsi orientasi : normal
Fungsi memori : normal
Fungsi emosi : normal
Pemeriksaan penunjang
Rontgen kepala : tidak menunjukkan adanya kelainan
RESUME
Pasien laki-laki, usia 19 tahun, mengeluh nyeri kepala setelah mengalami
kecelakaan kurang lebih 30 menit SMRS. Pasien mengendarai mobil dan
menabrak pohon, posisi saat kecelakaan kepala pasien membentur setir
mobil dan menyebabkan pasien pingsan. Setibanya di RS, pasien sadar dan
muntah-muntah, muntah tidak menyembur, jarak waktu antara pasien
pingsan dan sadar kembali sekitar 15-20 menit, setelahnya pasien tidak
pernah pingsan lagi. Tidak ada keluar darah dan cairan dari hidung dan
telinga, tidak ada keluhan kelemahan pada kedua lengan dan tungkai. Pasien
menyangkal adanya gangguan pendengaran dan penglihatan ganda, bicara
pelo tidak ada.
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4V4M6
Kekuatan otot : Ekstremitas superior ka / ki ( 5 / 5 )
Ekstremitas inferior ka / ki ( 5 / 5 )
- Fungsi sensorik : Normal
- Fungsi otonom : Normal
DIAGNOSIS
9
Klinis : penurunan kesadaran, vulnus laceratum regio frontalis
dextra dan maksilaris dextra
Topis : lintasan retikularis asendens difus
Patologis : komosio serebri
Etiologi : cedera kepala ringan
DIAGNOSIS BANDING
Kontusio serebri
Laserasio serebri
Epidural hematom
Subdural hematom
PENATALAKSANAAN
Primary survey (ABCDE)
Secundary survey
Wound toilet
Hecting
TT 0,5 cc IM
IVFD RL xx gtt/menit
Ceftriaxon inj 1 gr/12 jam
Ketorolac 1 amp/12 jam
Ondancentron 4 gr/ 8 jam
PEMERIKSAAN PENUNJANG
CT SCAN kepala, rontgen thorax, lab DL, GDS, elektrolit
PROGNOSA
o Quo ad vitam : dubia ad bonam
o Quo ad fungtionam : dubia ad bonam
o Quo ad sanationam : dubia ad bonam
10
II. TINJAUAN PUSTAKA
CEDERA KEPALA
A.Definisi
Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi
setelah trauma kepala ,yang dapat melibatkan kulit kepala ,tulang dan jaringan
otak atau kombinasinya (Standar Pelayanan Medis ,RS Dr.Sardjito). Cedera
kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas .
(Mansjoer Arif ,dkk ,2000)
B.Pendahuluan
Cedera kepala adalah cedera yang mengenai kepala dan otak, baik yang terjadi
secara langsung maupun tidak langsung. Tulang tengkorak yang tebal dan keras
membantu melindungi otak. Tetapi meskipun memiliki helm alami, otak sangat
peka terhadap berbagai jenis cedera. Otak bisa terluka meskipun tidak terdapat
luka yang menembus tengkorak.
Kerusakan otak bisa terjadi pada titik benturan dan pada sisi yang berlawanan.
Cedera percepatan-perlambatan kadang disebut coup contrecoup (bahasa Perancis
untuk hit-counterhit). Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau
menghancurkan saraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling
otak. Bisa terjadi kerusakan pada jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan
hebat. Perdarahan, pembengkakan dan penimbunan cairan (edema) memiliki efek
yang sama yang ditimbulkan oleh pertumbuhan massa di dalam tengkorak.
Karena tengkorak tidak dapat bertambah luas, maka peningkatan tekanan bisa
merusak atau menghancurkan jaringan otak. Karena posisinya di dalam tengkorak,
maka tekanan cenderung mendorong otak ke bawah. Otak sebelah atas bisa
11
terdorong ke dalam lubang yang menghubungkan otak dengan batang otak,
keadaan ini disebut herniasi.
Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan batang otak melalui
lubang di dasar tengkorak (foramen magnum) ke dalam medula spinalis. Herniasi
ini bisa berakibat fatal karena batang otak mengendalikan fungsi vital (denyut
jantung dan pernafasan). Cedera kepala yang tampaknya ringan kadang bisa
menyebabkan kerusakan otak yang hebat. Usia lanjut dan orang yang
mengkonsumsi antikoagulan (obat untuk mencegah pembekuan darah), sangat
peka terhadap terjadinya perdarahan disekeliling otak (hematoma subdural).
Anatomi
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang
membungkusnya. Tampak perlindungan tersebut, otak yang lembut akan mudah
sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Dan begitu rusak, neuron tidak
dapat diperbaiki lagi. Tepat diatas tengkorak terletak galea aponeurotika yaitu
jaringan fibrosa, padat, dapat digerakan dengan bebas, yang membantu menyerap
kekuatan trauma eksternal. Diantara kulit dan galea terdapat lapisan lemak dan
lapisan membran dalam yang mengandung pembulu-pembuluh darah besar yang
bila robek, sukar mengadakan vasokontriksi sehingga dapat menyebabkan
kehilangan darah bermakna. Tepat dibawah galea terdapat ruang subaponeurotik
yang mengandung vena emisaria dan diploika, pembuluh ini dapat membawa
infeksi dari kulit sampai ke dalam tengkorak.
12
Gambar 1: Tabula dan pembuluh darah di kepala.
Tulang tengkorak terdiri dari dua dinding atau tabula yang dipisahkan oleh
tulang berongga. Dinding luar disebut tabula eksterna dan dinding bagian dalam
disebut tabula interna yang mengandung alur-alur yang berisi arteria meningea
anterior, media, dan posterior. Apabila arteria tersebut terkoyak maka akan
tertimbun dalam ruang epidural.
Meningens terdiri dari tiga lapis dari luar ke dalam yaitu dura mater, arakhnoid, dan pia mater. Dura adalah membran yang liat, semitranlusen, tidak elastis dan melekat erat dengan permukaan dalam tengkorak.
13
Gambar 2 : Lapisan meningens dan tempat perdarahan.
Fungsinya (1) melindungi otak, (2) menutupi sinus-sinus vena, (3)
membentuk periosteum tabula interna. Bagian tengah dan poterior disuplai oleh a.
Meningea media yang bercabang dari a. Vertebralis dan a. Carotis interna.
Arakhnoid adalah membran fibrosa halus dan elastis, membran ini tidak melakat
dengan dura mater, ruangan antara kedua membran disebut ruang subdural. Vena-
vena otak yang melewati ruangan ini hanya mempunyai sedikit jaringan
penyokong sehingga mudah sekali terkena cedera dan robek pada trauma kepala.
Diantara arakhnoid dan pia mater terdapat ruang subarakhnoid yang melebar dan
mendalam pada daerah tertentu dan memungkinkan sirkulasi cairan serebrospinal.
Pia mater adalah membran halus yang memiliki sangat banyak pembuluh darah
halus dan merupakan satu-satunya lapisan meningeal yang masuk ke dalam semua
sulkus dan membungkus semua girus.
14
C.Patofisiologi
Trauma secara langsung akan menyebabkan cedera yang disebut lesi primer.
Lesi primer ini dapat dijumpai pada kulit dan jaringan subkutan, tulang tengkorak,
jaringan otak, saraf otak maupun pembuluh-pembuluh darah di dalam dan di
sekitar otak. Pada tulang tengkorak dapat terjadi fraktur linier (±70% dari fraktur
tengkorak), fraktur impresi maupun perforasi. Fraktur linier pada daerah temporal
dapat merobek atau menimbulkan aneurisma pada arteria meningea media dan
cabang-cabangnya; pada dasar tengkorak dapat merobek atau menimbulkan
aneurisma a. karotis interna dan terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan
telinga. Fraktur yang mengenai lamina kribriform dan daerah telinga tengah dapat
menimbulkan rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebro spinal lewat hidung
atau telinga.
Fraktur impresi dapat menyebabkan peningkatan volume dalam tengkorak,
hingga menimbulkan herniasi batang otak lewat foramen magnum. Juga secara
langsung menyebabkan kerusakan pada meningen dan jaringan otak di bawahnya
akibat penekanan. Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang
hemoragik pada daerah coup dan countre coup. Kontusio yang berat di daerah
frontal dan temporal sering kali disertai adanya perdarahan subdural dan intra
serebral yang akut. Tekanan dan trauma pada kepala akan menjalar lewat batang
otak kearah kanalis spinalis; karena adanya foramen magnum, gelombang tekanan
ini akan disebarkan ke dalam kanalis spinalis. Akibatnya terjadi gerakan ke bawah
dari batang otak secara mendadak, hingga mengakibatkan kerusakan kerusakan di
batang otak. Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf,
kerusakan pada batang otak, ataupun sekunder akibat meningitis atau kenaikan
tekanan intrakranial.
Kerusakan pada saraf otak I kebanyakan disebabkan oleh fraktur lamina
kribriform di dasar fosa anterior maupun countre coup dari trauma di daerah
oksipital. Pada gangguan yang ringan dapat sembuh dalam waktu 3 bulan.
Dinyatakan bahwa ± 5% penderita tauma kapitis menderita gangguan ini.
Gangguan pada saraf otak II biasanya akibat trauma di daerah frontal. Mungkin
traumanya hanya ringan saja (terutama pada anak-anak), dan tidak banyak yang
mengalami fraktur di orbita maupun foramen optikum. Dari saraf-saraf penggerak
15
otot mata, yang sering terkena adalah saraf VI karena letaknya di dasar tengkorak.
Ini menyebabkan diplopia yang dapat segera timbul akibat trauma, atau sesudah
beberapa hari akibat dari edema otak.
Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis, midriasis dan refleks
cahaya negatif sering kali diakibatkan hernia tentorii. Gangguan pada saraf V
biasanya hanya pada cabang supraorbitalnya, tapi sering kali gejalanya hanya
berupa anestesi daerah dahi hingga terlewatkan pada pemeriksaan. Saraf VII dapat
segera memperlihatkan gejala, atau sesudah beberapa hari kemudian. Yang
timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih kembali, karena penyebabnya adalah
edema. Kerusakannya terjadi di kanalis fasialis, dan seringkali disertai perdarahan
lewat lubang telinga. Banyak didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma
kepala, misalnya gangguan pendengaran maupun keseimbangan. Edema juga
merupakan salah satu penyebab gangguan. Gangguan pada saraf IX, X dan XI
jarang didapatkan, mungkin karena kebanyakan penderitanya meninggal bila
trauma sampai dapat menimbulkan gangguan pada saraf-saraf tersebut. Akibat
dari trauma pada pembuluh darah, selain robekan terbuka yang dapat langsung
terjadi karena benturan atau tarikan, dapat juga timbul kelemahan dinding arteri.
Bagian ini kemudian berkembang menjadi aneurisma.
16
Gambar 3: Patofisiologi cedera kepala.
17
D.Klasifikasi Cedera Kepala
18
Berdasarkan mekanisme
Cedera kepala tertutup
Cedera kepala terbuka
Berdasarkan beratnya
cedera kepala ringan
cedera kepala sedang
cedera kepala berat
Berdasarkan morfologi
Kulit
Vulnus
Laserasi
Hematom subkutan,
Hematom subgaleal
Fraktura tengkorak
Kalvaria
Linear atau stelata
Depressed atau nondepressed
Basilar
Lesi Intrakranial
Fokal
Kontusio serebri
Hematom epidural
Hematom subdural
Perdarahan subarakhnoid
Perdarahan intraserebral
Diffuse
Konkusi ringan
Konkusi klasik
Cedera aksonal difusa
Gambar 4: Klasifikasi cedera kepala.
Berdasarkan Mekanisme
Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai tertutup dan penetrans
atau terbuka. Walau istilah ini luas digunakan dan berguna untuk membedakan
titik pandang, namun sebetulnya tidak benar-benar dapat dipisahkan. Misalnya
fraktura tengkorak depres dapat dimasukkan kesalah satu golongan tersebut,
tergantung kedalaman dan parahnya cedera tulang. Sekalipun demikian, untuk
kegunaan klinis, istilah cedera kepala tertutup biasanya dihubungkan dengan
kecelakaan kendaraan, jatuh dan pukulan, dan cedera kepala penetrans lebih
sering dikaitkan denganluka tembak dan luka tusuk.
1. Trauma kepala terbuka
Trauma kepala ini menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi
duramater. Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk otak.
Fraktur longitudinal sering menyebabkan kerusakan pada meatus akustikus
interna, foramen jugularis dan tuba eustachius. Setelah 2-3 hari akan tampak
battle sign (warna biru dibelakang telinga diatas os mastoid) dan otorrhoe
(liquor keluar dari telinga). Perdarahan dari telinga dengan trauma kepala
hampir selalu disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak. Fraktur basis
tengkorak tidak selalu dapat dideteksi oleh foto rontgen, karena terjadi sangat
dasar. Tanda-tanda klinik yang dapat membantu mendiagnosa adalah :
a. Battle sign ( warna biru/ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid )
b. Hemotipanum ( perdarahan di daerah gendang telinga )
c. Periorbital ecchymosis ( mata warna hitam tanpa trauma langsung )
d. Rhinorrhoe ( liquor keluar dari hidung )
e. Otorrhoe ( liquor keluar dari telinga)
Komplikasi pada trauma kepala terbuka adalah infeksi, meningitis dan
perdarahan.
19
Gambar 5: Tanda Cedera Kepala.
2. Trauma kepala tertutup
Secara klasik kita kenal pembagian : komosio, kontusio dan laserasio serebri.
Pada komosio serebri kehilangan kesadaran bersifat sementara tanpa kelainan
PA. Pada kontusio serebri terdapat kerusakan dari jaringan otak, sedangkan
laserasio serebri berarti kerusakan otak disertai robekan duramater. Trauma
kepala dapat menyebabkan cedera pada otak karena adanya aselerasi,
deselerasi dan rotasi dari kepala dan isinya. Karena perbedaan densitas antara
tengkorak dan isinya, bila ada aselerasi, gerakan cepat yang mendadak dari
tulang tengkorak diikuti dengan lebih lambat oleh otak. Ini mengakibatkan
benturan dan goresan antara otak dengan bagian-bagian dalam tengkorak yang
menonjol atau dengan sekat-sekat duramater. Bila terjadi deselerasi
(pelambatan gerak), terjadi benturan karena otak masih bergerak cepat pada
saat tengkorak sudah bergerak lambat atau berhenti. Mekanisme yang sama
terjadi bila ada rotasi kepala yang mendadak. Tenaga gerakan ini
menyebabkan cedera pada otak karena kompresi (penekanan) jaringan,
peregangan maupun penggelinciran suatu bagian jaringan di atas jaringan
yang lain. Ketiga hal ini biasanya terjadi bersama-sama atau berturutan.
Kerusakan jaringan otak dapat terjadi di tempat benturan (coup), maupun di
tempat yang berlawanan (countre coup). Diduga countre coup terjadi karena
gelombang tekanan dari sisi benturan (sisi coup) dijalarkan di dalam jaringan
20
otak ke arah yang berlawanan; teoritis pada sisi countre coup ini terjadi
tekanan yang paling rendah, bahkan sering kali negatif hingga timbul kavitasi
dengan robekan jaringan. Selain itu, kemungkinan gerakan rotasi isi tengkorak
pada setiap trauma merupakan penyebab utama terjadinya countre coup,
akibat benturan-benturan otak dengan bagian dalam tengkorak maupun tarikan
dan pergeseran antar jaringan dalam tengkorak. Yang seringkali menderita
kerusakan-kerusakan ini adalah daerah lobus temporalis, frontalis dan
oksipitalis.
A. Komusio serebri ( Gegar otak )
Merupakan bentuk trauma kapitis ringan, dimana terjadi pingsan (kurang dari
10 menit ). Gejala lain mungkin termasuk pusing, noda-noda didepan mata dan
linglung. Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap,
setelah terjadinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik
yang nyata. Konkusio menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak
menyebabkan kerusakan struktural yang nyata. Hal ini bahkan bisa terjadi
setelah cedera kepala yang ringan, tergantung kepada goncangan yang
menimpa otak di dalam tulang tengkorak. Konkusio bisa menyebabkan
kebingungan, sakit kepala dan rasa mengantuk yang abnormal; sebagian besar
penderita mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam atau hari.
Beberapa penderita merasakan pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi
pelupa, depresi, emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan. Gejala-
gejala ini bisa berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu,
jarang lebih dari beberapa minggu. Penderita bisa mengalami kesulitan dalam
bekerja, belajar dan bersosialisasi. Keadaan ini disebut sindroma pasca
konkusio. Sindroma pasca konkusio masih merupakan suatu teka-teki; tidak
diketahui mengapa sindroma ini biasanya terjadi setelah suatu cedera kepala
yang ringan. Para ahli belum sepakat, apakah penyebabkan adalah cedera
mikroskopi atau faktor psikis. Pemberian obat-obatan dan terapi psikis bisa
membantu beberapa penderita sindroma ini. Yang lebih perlu dikhawatirkan
selain sindroma pasca konkusio adalah gejala-gejala yang lebih serius yang
bisa timbul dalam beberapa jam atau kadang beberapa hari setelah terjadinya
21
cedera. Jika sakit kepala, kebingungan dan rasa mengantuk bertambah parah,
sebaiknya segera mencari pertolongan medis. Biasanya, jika terbukti tidak
terdapat kerusakan yang lebih berat, maka tidak diperlukan pengobatan. Setiap
orang yang mengalami cedera kepala diberitahu mengenai pertanda
memburuknya fungsi otak. Selama gejalanya tidak semakin parah, biasanya
untuk meredakan nyeri diberikan asetaminofen. Jika cederanya tidak parah,
aspirin bisa digunakan setelah 3-4 hari pertama.
B. Kontusio serebri (Memar otak )
Merupakan perdarahan kecil / ptechie pada jaringan otak akibat pecahnya
pembuluh darah kapiler. Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan
yang hemoragik pada daerah coup dan countre coup, dengan piamater yang
masih utuh pada kontusio dan robek pada laserasio serebri. Kontusio yang
berat di daerah frontal dan temporal sering kali disertai adanya perdarahan
subdural dan intra serebral yang akut. Sebagai kelanjutan dari kontusio akan
terjadi edema otak.Penyebab utamanya adalah vasogenik, yaitu akibat
kerusakan B.B.B. (blood brain barrier). Disini dinding kapiler mengalami
kerusakan ataupun peregangan pada sel-sel endotelnya. Cairan akan keluar dari
pembuluh darah ke dalam jaringan otak karena beda tekanan intra vaskuler dan
interstisial yang disebut ekanan perfusi. Bila tekanan arterial meningkat akan
mempercepat terjadinya edema dan sebaliknya bila turun akan memperlambat.
Edema jaringan menyebabkan penekanan pada pembuluh-pembuluh darah
yang mengakibatkan aliran darah berkurang. Akibatnya terjadi iskemia dan
hipoksia. Asidosis yang terjadi akibat hipoksia ini selanjutnya menimbulkan
vasodilatasi dan hilangnya auto regulasi aliran darah, sehingga edema semakin
hebat. Hipoksia karena sebab-sebab lain juga memberikan akibat yang sama.
Jika otak membengkak, maka bisa terjadi kerusakan lebih lanjut pada jaringan
otak; pembengkakan yang sangat hebat bisa menyebabkan herniasi otak.
22
Gejala dari kontusio adalah pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi
pelupa, depresi, emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan. Biasanya
gejala berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Sindroma
pasca konkusio yaitu kesulitan dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi.
Kontusio serebri dan robekan otak lebih serius daripada konkusio. MRI
menunjukkan kerusakan fisik pada otak yang bisa ringan atau bisa
menyebabkan kelemahan pada satu sisi tubuh yang diserati dengan
kebingungan atau bahkan koma.
C. Perdarahan intracranial
Merupakan penimbunan darah di dalam otak atau diantara otak dengan tulang
tengkorak. Hematoma intrakranial bisa terjadi karena cedera atau stroke.
Perdarahan karena cedera biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak
sebelah luar (hematoma subdural) atau diantara pembungkus otak sebelah luar
dengan tulang tengkorak (hematoma epidural). Kedua jenis perdarahan diatas
biasanya bisa terlihat pada CT scan atau MRI. Sebagian besar perdarahan
terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejala dalam beberapa menit.
Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering terjadi pada usia lanjut
dan membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah beberapa jam
atau hari. Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan
pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan jaringan otak. Hematoma
yang luas juga akan menyebabkan otak bagian atas atau batang otak
mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi penurunan
kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi tubuh,
gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian. Bisa juga
terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.
Hematoma epidural
Hematoma epidural berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara
meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak
telah merobek arteri. Darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi
sehingga lebih cepat memancar. Gejala berupa sakit kepala hebat bisa segera
23
timbul tetapi bisa juga baru muncul beberapa jam kemudian. Sakit kepala
kadang menghilang, tetapi beberapa jam kemudian muncul lagi dan lebih parah
dari sebelumnya. Selanjutnya bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa
ngantuk, kelumpuhan, pingsan dan koma. Diagnosis dini sangat penting dan
biasanya tergantung kepada CT scan darurat. Pada pemeriksaan dengan CT-
Scan akan tampak gambaran massa hiperdens dengan bentuk bikonveks
(double convex sign), atau ada pula yang menyebutnya sebagai gambaran
football shaped yang secara tipikal terletak di bagian temporal tengkorak.
Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di
dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan
pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan.
Hematoma subdural
Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak.
Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau
beberapa saat kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi
pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua
keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya
tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan
adanya genangan darah dan didapatkan gambaran hiperdens berbentuk konkaf
atau menyerupai bulan sabit, atau sering disebut crescentic sign. Hematoma
subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang
tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada
dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar,
yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui
pembedahan.
Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
1). Sakit kepala yang menetap
2). Rasa mengantuk yang hilang-timbul
3). Linglung
24
4). Perubahan ingatan
5). Kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
Berdasarkan Beratnya
A. Cedera kepala ringan (GCS 13-15)
Biasanya terjadi penurunan kesadaran dan apabila ada penurunan kesadaran hanya
terjadi beberapa detik sampai beberapa menit saja. Tidak ditemukan kelaianan
pada pemeriksaan CT-scan, LCS normal, dapat terjadi amnesia retrograde.
B. Cedera kepala sedang (GCS 9-12)
Dapat terjadi penurunan kesadaran yang berlangsung hingga beberapa jam. Sering
tanda neurologis abnormal, biasanya disertai edema dan kontusio serebri. Terjadi
juga drowsiness dan confusion yang dapat bertahan hingga beberapa minggu.
Fungsi kognitif maupun perilaku yang terganggu dapat terjadi beberapa bulan
bahkan permanen.
C. Cedera kepala berat (GCS <8)
Terjadi hilangnya kesadaran yang berkepanjangan atau yang disebut koma.
Penurunan kesadaran dapat hingga beberapa bulan. Pasien tidak mampu
mengikuti, bahkan perintah sederhana, karena gangguan penurunan kesadaran.
Termasuk juga dalam hal ini status vegetatif persisten. Tanpa memperdulikan nilai
SKG, pasien digolongkan sebagai penderita cedera kepala berat bila :
1. Pupil tak ekual
2. Pemeriksaan motor tak ekual.
3. Cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau adanya jaringan otak
yang terbuka.
4. Perburukan neurologik.
5. Fraktura tengkorak depressed.
25
Berdasarkan Morfologi
Cedera kulit : vulnus, laserasi, hematom subkutan, hematom subgaleal
Luka dapat menimbulkan perdarahan, pembengkakan setempat, nyeri setempat,
nyeri pada pergerakan dan dirawat sebagaimana mestinya. Perdarahan subgaleal
dapat besar sekali hingga menimbulkan pembengkakan yang hebat dan bentuk
kepala menjadi besar tidak teratur. Pada keadaan ini perlu diberi balut yang
menekan dan bila teraba lunak dapat dipungsi untuk mengeluarkan darah yang
cair.
Fraktur tengkorak
Patah tulang tengkorak merupakan suatu retakan pada tulang tengkorak. Mungkin
tampak pada kalvaria atau basis, mungkin linier atau stelata, mungkin terdepres
atau tidak terdepres. Fraktur tengkorak biasanya terjadi pada tempat benturan.
Garis fraktur dapat menjalar sampai basis cranii. Patah tulang tengkorak bisa
melukai arteri dan vena, yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga
di sekeliling jaringan otak. Patah tulang di dasar tengkorak bisa merobek
meningens. Cairan serebrospinal (cairan yang beredar diantara otak dan
meningens) bisa merembes ke hidung atau telinga yang menandakan adanya
fraktur basis cranii. Depresi pada kepala atau muka (sunken eye) menandakan
terjadi fraktur maksila. Bakteri kadang memasuki tulang tengkorak melalui patah
tulang tersebut, dan menyebabkan infeksi serta kerusakan hebat pada otak.
Sebagian besar patah tulang tengkorak tidak memerlukan pembedahan, kecuali
jika pecahan tulang menekan otak atau posisinya bergeser.
Cedera aksonal difusa
Kerusakan akson oleh karena adanya proses akselerasi dan deserelasi yang terjadi
pada otak sewaktu terjadinya trauma kepala. Otak memiliki beberapa lapisan yang
membentuknya. Pada saat terjadinya trauma, lapisan – lapisan ini akan ikut
bergeser. Pergerakkan tiap lapisan ini akan berbeda – beda. Ilustrasi dibawah ini
26
menunjukkan adanya penarikan neuron akibat perbedaan waktu pergeseran yang
bias menyebabkan akson teregang, terpuntir, terputus, dan terjepit. Akibatnya
cairan dan ionic akan masuk ke axon dan menyebakan pembengkakkan, yang
nantinya akan menyebakkan kerusakkan neuron. Akson terputus dan akson bagian
distal akan terpisah. Pada stadium lanjut, akan terjadi kematian akson pada ujung
distal
E.Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis pada pasien cedera kepala yang kesadarannya cukup baik
mencakup pemeriksaaan neurologis yang lengkap, sedangkan pada penderita yang
kesadarannya menurun dapat digunakan pedoman yaitu :
1. Tingkat kesadaran dengan mengitung nilai GCS
2. Kekuatan fungsi motorik
3. Ukuran pupil dan responnya terhadap cahaya
4. Gerakan bola mata
F.Pemeriksaan penunjang
1. Foto polos cranium ( schullder )
Foto polos tengkorak adalah prosedur mutlak yang dikerjakan pada setiap
cedera kepala. Foto ini membantu mendiagnosa dini adanya fraktur pada
tulang tengkorak.
2. Pemeriksaan CT-Scan
CT scan merupakan metode standar terpilih untuk cedera kepala baik
ringan sampai berat terutama dikerjakan pada pasien – pasien yang mengalami
penurunan kesadaran dan terdapat tanda – tanda peningkatan tekanan
intrakranial. Selain untuk melihat adanya fraktur tulang tengkorak, CT scan
juga dapat melihat adanya perdarahan otak, efek desakan pada otak dan bisa
digunakan sebagai pemantau terhadap perkembangan perdarahan pada otak.
27
G.Penanganan Cedera Kepala
I. Cedera kepala ringan
Bila dijumpai penderita sadar dan berorientasi dengan GCS 13 – 15.
Terdiri atas :
a. Simple head injury
Tidak ada penurunan kesadaran
Adanya trauma kepala ( pusing )
b. Commotio cerebri ( gegar otak )
Adanya penurunan kesadaran ( pingsan > 10 menit )
Amnesia retrograde
Pusing, sakit kepala, muntah
Tidak ada defisit neurologis
Manajemen
1. Airway
Periksa dan bebaskan jalan nafas dari sumbatan.
Lendir, darah,muntahan, benda asing : lakukan penyedotan dengan
suction, pasang NGT
Posisi kepala dalam posisi netral, tidak miring ke kanan atau ke kiri.
Lakukan intubasi endotrakeal terutama pada pasien GCS ≤ 7 tetapi
sebelumnya harus diyakini tidak ada fractur cervical.
Foto rontgen cervical lateral dapat menjadi pilihan sebelum melakukan
tindakan intubasi. Apabila didapatkan fractur cervical, maka tindakan
yang dilakukan adalah tracheostomi.
2. Breathing
Perhatikan gerak napasnya, jika terdapat tanda – tanda sesak segera pasang
oksigen.
3. Circulation
Periksa tekanan darah dan denyut nadi. Jika ada tanda – tanda syok segera
pasang infuse. Bila disertai dengan perdarahan yang cukup banyak bisa
28
ditambah dengan tranfusi darah ( whole blood ). Pasang kateter untuk
memonitoring balans cairan.
4. Setelah kondisi pasien stabil, Periksa tingkat kesadaran pasien, perhatikan
kemungkinan cedera spinal. Adanya cedera/ luka robek atau tembus. Jika ada
luka robek, bersihkan lalu di jahit.
5. Foto rontgen tengkorak.
Dilakukan pada posisi AP dan Lateral.
6. CTscan kepala.
Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada semua cedera kepala, kecuali pada
pasien – pasien yang asimptomatik tidak perlu dilakukan.
7. Observasi
Kriteria rawat :
a. Amnesia post traumatika lebih dari 1 jam
b. Riwayat kehilangan kesadaran lebih dari 15 menit
c. Penurunan tingkat kesadaran
d. Nyeri kepala sedang hingga berat
e. CT scan abnormal ( adanya fraktur, perdarahan )
f. Otorrhea, rhinorrhea
g. Semua cedera tembus
h. Indikasi sosial ( tidak ada pendamping di rumah )
Penderita yang tidak memiliki gejala seperti di atas diperbolehkan pulang
setelah dilakukan pemantauan di rumah sakit dengan catatan harus kembali ke
rumah sakit bila timbul gejala-gejala ( observasi 1 x 24 jam ) seperti :
Mengantuk dan sukar dibangunkan
Mual dan muntah hebat
Kejang
Nyeri kepala bertambah hebat
Bingung, tidak mampu berkonsentrasi
29
Gelisah
8. Terapi simtomatik
II. Cedera kepala sedang
Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap dapat mengikuti
perintah sederhana ( GCS 9 – 12 ). Walau dapat mengikuti perintah,
namun dapat memburuk dengan cepat. Karenanya harus ditindak hampir
seperti halnya pasien cedera kepala berat tapi aspek kedaruratannya tidak
begitu akut. Penanganannya sama seperti pada cedera kepala ringan
ditambah dengan pemeriksaan darah. Bila kondisi membaik,pasien boleh
pulang dan control di poli. Pemeriksaan CT scan perlu diulang apabila
kesadaran pasien tidak membaik. Pada keadaan ini pasien harus dirawat
untuk di observasi.
III. Cedera kepala berat
Penderita kelompok ini tidak dapat mengikuti segala perintah sederhana
karena adanya gangguan kesadaran ( GCS 3 – 8).
Cedera kepala berat dapat dibagi menjadi :
a. Contusio cerebri
Pingsan > 10 menit
Kegelisahan motorik
Sakit kepala, muntah
Kejang
Pada kasus berat dapat dijumpai pernapasan cheyne stokes
Amnesia anterogard
b. Laceratio cerebri
Biasanya didapat pada fraktur terbuka maupun tertutup.
Penangan kasus ini mencakup :
30
Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip ABC seperti pada
cedera kepala ringan.
Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau
gangguan di bagian tubuh lainnya.
Pemeriksaan neurologis, meliputi : reflex buka mata, reflex cahaya
pupil, respon motorik, respon verbal, respon okulo sefalik ( Doll’s
eye ).
Pemeriksaan penunjang : CT-scan, angiografi.
Rawat selama 7 – 10 hari.
Beri manitol 20 % ( 1 gr/BB ) bolus dalam 5 menit.
Furosemid ( 0,3 – 0,5 mg/BB ) diberi bersama manitol.
Antikonvulsan : fenitoin dan fenobarbital.
H.Indikasi Operasi
Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan
neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan
sebagai berikut :
- Volume massa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah
supratentorial
- Volume massa hematom lebih dari 20 ml di daerah infratentorial
- Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
- Tanda fokal neurologis semakin berat
- Terdapat gejala TIK yang meningkat lebih dari 25 mmHg( sakit kepala
hebat, muntah proyektil)
- Pada pemeriksaan CT-Scan terdapat pendorongan garis tengah sampai
lebih dari 3 mm atau penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan
ulang
31
I.Prognosis
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami
penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan
beratnya kerusakan otak yang terjadi. Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh
beberapa area, sehingga area yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan
fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur
penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya,
semakin berkurang. Kemampuan berbahasa pada anak kecil dijalankan oleh
beberapa area di otak, sedangkan pada dewasa sudah dipusatkan pada satu area.
Jika hemisfer kiri mengalami kerusakan hebat sebelum usia 8 tahun, maka
hemisfer kanan bisa mengambil alih fungsi bahasa.
Kerusakan area bahasa pada masa dewasa lebih cenderung menyebabkan
kelainan yang menetap. Beberapa fungsi (misalnya penglihatan serta pergerakan
lengan dan tungkai) dikendalikan oleh area khusus pada salah satu sisi otak.
Kerusakan pada area ini biasanya menyebabkan kelainan yang menetap. Dampak
dari kerusakan ini bisa diminimalkan dengan menjalani terapi rehabilitasi.
Penderita cedera kepala berat kadang mengalami amnesia dan tidak dapat
mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesadaran.
Jika kesadaran telah kembali pada minggu pertama, maka biasanya ingatan
penderita akan pulih kembali.
32
1.
33
III. ANALISIS KASUS
Penegakkan diagnosa pada pasien ini berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan data yang
mengarahkan pada diagnosis cedera kepala ringan.
Anamnesis Definisi cedera kepala dan Pembagian
Laki-laki-laki, 19 tahun
Pasien datang dengan keluhan
nyeri kepala setelah mengalami
kecelakaan 30 menit yang lalu.
Pasien mengendarai mobil dan
menabrak pohon. Selain
mengeluhkan nyeri kepala, pasien
juga mengeluhkan nyeri di tempat
luka, yaitu di atas alis mata kanan
dan di pipi kanan. Saat kejadian
pasien mengatakan bahwa mobil
yang dikendarainya menabrak
pohon dan kepala pasien
membentur setir mobil. Setelah itu
pasien langsung tidak sadarkan
diri dan oleh teman-temannya
semobil yang selamat pasien
langsung dibawa ke rumah sakit.
Setibanya di rumah sakit pasien
sadar, waktu antara pasien pingsan
dan sadar kurang lebih 15-20
menit. Setelah itu pasien tidak
pernah pingsan lagi. Setelah sadar
pasien muntah-muntah, muntah
berisi makanan dan tidak
Trauma kapitis adalah trauma
mekanik terhadap kepala baik secara
langsung yang menyebabkan
gangguan fungsi neurologis yaitu
gangguan fisik, kognitif, fungsi
psikososial baik temporer maupun
permanen.
Klasifikasi trauma kapitis
berdasarkan:
Patologi:
Komosio serebri
Kontusio serebri
Laserasio serebri
Berat ringannya:
-Cedera kepala ringan
GCS > 13
Tidak terdapat kelainan pada CT Scan
otak
Tidak memerlukan tindakan operasi
Lama dirawat di RS < 48 jam
-Cedera kepala sedang
GCS 9-13
Ditemukan kelainan pada CT Scan
otak
Memerlukan tindakan operasi untuk
lesi intrakranial
Dirawat di RS setidaknya 48 jam
-Cedera kepala berat, bila dalam
34
menyembur. Tidak ada keluar
darah atau cairan yang keluar dari
hidung dan telinga. Saat
ditanyakan, pasien mengetahui apa
yang baru saja terjadi dengan
dirinya. Tidak ada keluhan
kelemahan kedua lengan dan
tungkai. Saat mengendarai mobil,
pasien tidak sedang sakit. Pasien
dan teman-temannya menyangkal
adanya riwayat kejang
sebelumnya, menderita ayan,
sering bengong atau mengelamun,
menggunakan narkoba, minum
alkohol, maupun mengkonsumsi
obat-obatan seperti obat batuk,
obat penenang, obat tidur dan obat
flu. Gangguan pendengaran
disangkal, penglihatan dobel
disangkal, bicara pelo tidak ada.
waktu 48 jam setelah trauma, nilai
GCS < 9
Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan temuan-temuan defisit neurologis, kedua
belas nervus kranialis normal, fungsi motorik, sensorik, dan autonom baik.
Pemeriksaan penunjang untuk menunjang diagnosis, yaitu foto rontgen kepala
tidak ditemukan adanya kelainan. Foto polos kepala memiliki sensitivitas dan
spesifitas yang rendah dalam mendeteksi perdarahan intrakranial. CT Scan kepala
merupakan standard baku untuk mendeteksi perdarahan intrakranial. Semua
pasien dengan GCS < 15 sebaiknya menjalani pemeriksaan CT Scan, sedangkan
pada pasien dengan GCS 15, CT Scan dilakukan hanya dengan indikasi tertentu
seperti :
- Nyeri kepala hebat
35
- Adanya tanda-tanda fraktur basis kranii
- Adanya riwayat cedera yang berat
- Muntah lebih dari 1 kali
- Penderita lansia (usia > 65 tahun) dengan penurunan kesadaran atau
amnesia
- Kejang
- Riwayat gangguan vaskuler atau menggunakan obat-obat antikoagulan
- Amnesia, gangguan orientasi, berbicara, membaca, dan menulis
- Rasa baal pada tubuh
- Gangguan keseimbangan atau berjalan
Penatalaksanaan pada pasien cedera kepala dilakukan secara terpadu dimulai
dengan primary survey, resusitasi dan penatalaksanaan, secondary
survey,stabilisasi dan transport. Primary survey ini meliputi airway, breathing,
circulation, disability, exposure. Secondary survey meliputi evaluasi terhadap
kepala dan leher, thoraks, abdomen, dan ekstremitas. Transportasi boleh
dilaksanakan jika penderita telah diresusitasi secara adekuat dan penderita dalam
keadaan stabil. Semuanya dilaksanakan dengan prinsip do no further harm.
Prognosis pada pasien adalah dubia ad bonam. Cedera kepala bisa menyebabkan
kematian atau penderita bisa mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya
kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi.
Pemeriksaan neurologis juga dapat memperkirakan prognosis. Pemeriksaan
neurologis yang harus segera dilakukan terhadap penderita cedera kepala setelah
resusitasi meliputi :
- Tingkat kesadaran
- Pupil dan pergerakan bola mata, termasuk saraf kranial
- Reaksi motorik terhadap berbagai rangsang dari luar
- Reaksi motorik terbaik
- Pola pernapasan.
36
Tetapi harus diingat bahwa hasil penilaian yang paling prediktif dalam perkiraan
prognosis adalah penilaian yang dilakukan setelah 24 jam post resusitasi karena
penilaian sebelumnya masih banyak dipengaruhi oleh keadaan sistemik yang
belum begitu stabil. Pada pasien ini pemeriksaan neurologis yang dilakukan
setelah 24 jam post resusitasi, tidak menunjukkan suatu kelaianan yang berarti
bahkan menunjukkan perbaikan.
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Sidharta, Priguna. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Penerbit : Dian
Rakyat. Jakarta : 2009
2. Price SA, Wilson LM. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf. In : Pendit
BU, Hartanto H, Wulansari P, Mahanani DA, Editors. Patofisiologi :
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, 6th ed. Jakarta : EGC ; 2005
3. David, Bernath. Head Injury. Available at : www.e-medicine.com.
Accessed on : 22 Juny 2013
4. Neural System Development - Cerebrospinal Fluid. Available at:
http://embryology.med.unsw.edu.au/Notes/neuron6a.htm. Accessed on :
22 Juni 2013
5. Anatomy & Causes: Cranial Anatomy. Available at:
http://dryogeshgandhi.com/cranial.htm. Accessed on : 22 Juni 2013
38