Isi - Tugas Mandiri Periodonsia II

download Isi - Tugas Mandiri Periodonsia II

of 38

Transcript of Isi - Tugas Mandiri Periodonsia II

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Penulisan makalah Penyakit Infeksi Serta Kaitannya Dengan Bidang Periodontal dilakukan untuk memenuhi syarat mata kuliah periodontal 2 semester VI. Makalah ini membahas tentang infeksi hepatitis, HIV/AIDS, dan penyakit paruparu (pulmonary diseases) terutama TBC dan pneumonia. Hepatitis adalah istilah yang sering digunakan untuk peradangan yang terjadi pada hati, di mana terjadi peradangan yang difus pada hati,umumnya disebabkan oleh infeksi virus hepatitis. Infeksi virus ini juga mampu mengakibatkan inflamasi hati yang berakhir pada nekrosis atau sirosis hati (Banker, 2003). Hepatitis dapat disebabkan oleh virus hepatitis maupun reaksi autoimun. Penderita hepatitis autoimun, dapat terinfeksi juga oleh virus hepatitis sehingga terjadi infeksi berat dari 2 sumber, biasanya prognosis jelek. Penularan hepatitis dapat melalui minuman dan makanan yang terkontaminasi dari pasien dan cairan tubuh pasien (saliva, darah, cairan otak, urine, seksual dll). Dokter gigi yang pasti akan terkontaminasi saliva dan darah dari pasien mempunyai resiko tinggi terhadap penyebaran virus hepatitis, sehingga diperlukan proteksi lebih terhadap dokter, asisten, pasien, orang lain, serta lingkungan di sekitarnya (Sujono, 2000). Pada perawatan periodontal, dokter gigi wajib mengerti keadaan pasien tersebut, sehingga pasien tidak diberikan perawatan yang merupakan kontraindikasi terhadap penyakit yang dideritanya. Pada pasien hepatitis, dokter gigi diharapkan untuk mengurangi tindakan bedah karena pasien hepatitis mengalami gangguan pembekuan darah. HIV/AIDS bukan penyakit baru dan semua orang tahu akan akibat yang bisa ditimbulkan infeksi HIV terutama bila sudah berkembang menjadi AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Sistem pertahanan tubuh seseorang akan turun drastis dimana flu biasa dapat menyebabkan pasien AIDS tidak dapat beraktifitas dengan dampak terparah, meninggal. Hal ini dikarenakan sistem imun pasien sangat rendah,

1

2

sehingga flu yang seharusnya tidak mematikan, dapat memberikan berbagai macam komplikasi dah gagal organ. Setelah infeksi primer, terdapat empat sampai sebelas hari masa antara infeksi mukosa dan viremia permulaan, viremia dapat terdeteksi selama sekitar 8-12 minggu. Virus akan menyebar ke seluruh tubuh melalui organ limfoid. Pada tahap ini terdapat penurunan jumlah CD4 sel T yang beredar secara signifikan. Respon imun terhadap HIV terjadi satu minggu sampai tiga bulan setelah infeksi, viremia plasma menurun, dan level sel CD4 kembali meningkat. Tetapi, respon imun tidak mampu menyingkirkan infeksi antara secara sempurna, dan sel-sel yang terinfeksi HIV menetap dalam kelenjar limfe (Brooks, 2002). Lalu akan terjadi penurunan jumlah CD4 pasien hingga dibawah 200 sel/ml, tingkat kekebalan menurun secara signifikan dan kemungkinan penyakit yang berhubungan dengan HIV bertambah (Gupta,2001). Kandidiasis di mulut dan oral hairy leukoplakia sering terlihat pada tahap ini (Brooks, 2002) yang disertai xerostomia, NUG/NUP, dan oral hygiene buruk. Dengan tanda dan gejala khas dari HIV/AIDS, dokter gigi dapat memberikan informasi kepada pasien untuk membantu proteksi lingkungannya serta memberikan rujukan kepada dokter yang lebih kompeten. Pasien dengan yang terinfeksi HIV, biasanya tidak mempunyai gejala awal (layaknya orang sehat), sehingga dokter harus selalu menganggap bahwa setiap pasien adalah sumber infeksi. Pada bidang periodontal, pasien selalu diindikasikan untuk dilakukan profilaksis karena sistem imun pasien sangat rendah. Dokter gigi hanya boleh melakukan scaling, root planning, dan debridement pada pasien HIV/AIDS yang disertai pemberian obat kumur klorheksidin glukonat atau dokter gigi memiliki surat rujukan dari dokter lain bahwa pasien tersebut aman untuk dilakukan perawatan. Penyakit paru-paru adalah suatu penyakit atau gangguan yang terjadi pada paru-paru atau yang menyebabkan paru-paru tidak bekerja dengan benar. Pada makalah ini akan dibahas tentang TBC dan pneumonia, karena kedua penyakit ini mempunyai prevalensi cukup tinggi dan tingkat infeksius tinggi. TBC (Tuberculosis) dan pneumonia menyebar melalui udara. Hanya orang-orang yang sakit dengan bakteri TB/pneumoni di paru-paru mereka yang bisa menularkan. Ketika orang tertular batuk, bersin, berbicara atau meludah, mereka mendorong kuman TBC

3

(mycobacterium tuberculosis) dalam bentuk basil ke udara. Sejumlah kecil bakteri tersebut dapat menimbulakn infeksi. Dokter gigi pada saat merawat pasien, mempunyai tingkat paparan yang tinggi. Saat melakukan perawatan, jarak hidung dokter gigi dan mulut pasien tidak mencapai 0.5 meter. Paparan yang didapat oleh dokter gigi merupakan paparan langsung dan tidak menutup kemungkinan lingkungan sekitar (termasuk udara) ikut terpapar bakteri TB maupun pneumonia. Sebab, pasien dengan TBC dan pneumonia cenderung batuk dan meludah untuk mengeluarkan dahak. Berbagai macam cara dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi silang antara lain dengan pemakaian proteksi diri yaitu masker, kacamata pelindung, sarung tangan, baju praktek, maupun penutup rambut dan kebersihan lingkungan tempat kerja yang meliputi cara pembersihan alat dan lingkungan (Wibowo et al., 2009). Pada perawatan periodontal, pasien tidak memiliki kontraindikasi perawatan periodontal, namun sebaiknya dokter gigi lebih

meningkatkan proteksi diri. Karena pasien TBC dan pneumonia sangat mudah untuk menularkan infeksi bakteri tersebut ke orang sekitarnya. Dengan demikian penulis tertarik untuk menulis makalah Penyakit Infeksi Serta Kaitannya Dengan Bidang Periodontal ini.

1.2 Tujuan Penulisan makalah ini bertujuan untuk : Memberikan informasi kepada pembaca tentang penyakit infeksi. Memberikan wawasan kepada pembaca tentang tindakan perawatan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan oleh dokter gigi pada pasien dengan penyakit infeksi. Mengetahui pentingnya proteksi dokter gigi terhadap penyakit infeksi.

4

1.3 Manfaat Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: Pembaca dapat menambah pengetahuan tentang penyakit infeksi Pembaca mengerti tindakan perawatan apa saja yang boleh dilakukan untuk penderita penyakit infeksi seperti, hepatitis, HIV/AIDS, TBC, pneumonia. Pembaca khususnya teman sejawat dokter gigi sadar dan mau meningkatkan proteksi terhadap dirinya, orang lain, dan lingkungan di sekitarnya terhadap penyakit infeksi.

5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hepatitis 2.1.1 Definisi dan etiologi Hepatitis adalah istilah yang sering digunakan untuk peradangan yang terjadi pada hati, di mana terjadi peradangan yang difus pada hati,umumnya disebabkan oleh infeksi virus hepatitis. Infeksi virus ini juga mampu mengakibatkan inflamasi hati yang berakhir pada nekrosis atau sirosis hati (Banker, 2003). Penyebab dari hepatitis dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu virus, infeksi bakteri, bahan hepatotoksik, alkohol, autoimun, dan gizi yang buruk. Masing-masing penyakit hepatitis memiliki penyebab dan pola penurunan sendiri, walaupun pada umumnya memiliki tanda dan gejala yang sama (Sujono, 2000). 1. Hepatitis virus Secara umum penyebaran virus hepatitis adalah dengan 2 cara yaitu secara per oral (oral-faecal route) dan parinteral (melalui transfuse atau pemberian produk darah). Hepatitis A disebabkan oleh VHA yang dapat berkembang biak secara epidemik, sporadik maupun endemik. Penyebaran secara epidemik dapat terjadi karena ada kontaminasi virus pada makanan maupun persediaan air, kasus-kasus sporadik dapat terjadi karena adanya kontak langsung dengan penderita dan penyebaran secara endemik biasanya terjadi pada negara-negara berkembang yang sanitasinya rendah (Sujono, 2000). Penyakit hepatitis B disebabkan oleh VHB yang berbentuk DNA, biasanya ditularkan secara vertikal oleh seorang ibu yang terinfeksi kepada anak yang dikandungnya, penggunaan jarum suntik yang berulang-ulang, transmisi secara seksual. Air susu ibu dan urin yang mengandung antigen virus jug dapat menularkan virus ini. Transmisi hepatitis B memerlukan perhatian yang khusus bagi praktisi kedokteran gigi karena virus hepatitis B dapat ditularkan melalui alat yang tidak disterilisasi dengan baik (Sujono, 2000).

5

6

Infeksi virus hepatitis C merupakan bentuk kronis dari infeksi virus hepatitis non-A dan non-B, ditularkan secara parentral. Hepatitis ini membutuhkan perhatian cukup besar bagi praktisi kedokteran gigi karena penularannya dapat melalui jarum suntik dengan resiko 1,8% dengan rentang 0-1% (Sujono, 2000). 2. Hepatitis autoimun Hepatitis autoimun paling sering ditemui pada anak perempuan, walaupun dapat terjadi juga pada anak laki-laki. Hepatitis ini dapat terjadi karena dapat dipicu oleh penggunaan obat-obatan (misalnya pernoline), atau berhubungan dengan penyakit-penyakit autoimun seperti Wilson Disease, Sjogren syndrome, atau hemolitik anemia. Selain itu, faktor keturunan juga berperan dalam terjadinya penyakit tersebut (Sujono, 2000). Hepatitis kronis aktif sebagai kelanjutan dari penyakit ini dapat terjadi sebagai akibat dari ko-infeksi atau super-infeksi dengan virus hepatitis B, C, dan D. Menurut penyebab utamanya hepatitis autoimun bukanlah penyakit menular, namun apabila terjadi ko-infeksi atau superinfeksi virus hepatitis maka tetap perlu diwaspadai penularan virus dan faktor resikonya (Sujono, 2000). 3. Hepatitis Fulminan Hepatitis fulminan dapat diartikan sebagai hepatitis akut yang berkembang sangat cepat dan dapat berakibat fatal. Penyebabnya yang paling umum adalah virus hepatitis B, dan infeksi rangkap virus hepatitis B dengan virus hepatitis A dan C. Penyakit ini juga dapat disebabkan oleh keracunan, hepatitis autoimun, dan obatobatan (misalnya acetaminophen dan bahan anestesi) dan leukemia. Penyakit ini dapat menimbulkan koma hepatikum yang dapat berakibat pada kematian (Sujono, 2000).

2.1.2 Gejala klinis Secara umum penyakit hepatitis virus mengenal 4 stadium yang timbul akibat proses peradangan, yaitu: 1. Masa tunas (inkubasi).

7

Yaitu sejak masuknya virus pertama kali sampai menimbulkan gejala secara klinis. Masa tunas dari masing-masing virus penyebab hepatitis tidaklah sama. Kerusakan sel-sel hati pada umumnya terjadi pada masa ini (Banker, 2003). 2. Fase predormal (preikterus). Fase ini berlangsung beberapa hari. Timbul gejala dan keluhan pada penderita seperti badan terasa lemas, cepat lelah lesu, anoreksia, mual dan muntah, perasaan tidak enak dan nyeri pada abdomen, demam, malgia, dan diare (Banker, 2003). 3. Fase ikterus (kuning). Biasanya setelah suhu badan menurun, warna kencing penderita berubah menjadi kuning pekat. Bagian putih mata (sclera), palatum, dan kulit berwarna kekuningkuningan. apabila terjadi hambatan aliran empedu yang masuk ke usus maka tinja akan berwarna pucat seperti dempul yang disebut dengan faeces acholis. Ikterus akan timbul apabila kadar bilirubin dalam serum melebihi 2mg/dl. Pada saat ini penderita atau orang di sekitarnya baru menyadari bahwa penderita mengidap hepatitis atau sakit kuning. Selama minggu pertama fase ikterus, warna kuning akan terus meningkat, selanjutnya menetap. Setelah 7-10 hari, warna kuning pada mata dan kulit akan berkurang. Fase ikterus berlangsung sekitar 2-3 minggu (Banker, 2003). 4. Fase penyembuhan (konvalesen). Ditandai dengan adanya keluhan yang ada pada warna kuning mulai menghilang. Penderita akan merasa lebih segar walaupun masih mudah lelah. Pada umunya penyembuhan sempurna baik secara klinis maupun laboratories memerlukan waktu 6 bulan setelah timbulnya penyakit. (Askandar, 2007). Tidak semua penyakit hepatitis memiliki gejala klasik seperti di atas. Pada sebagian orang infeksi dapat terjadi dengan gejala yang lebih ringan (subklinis) atau tanpa gejala sama sekali (asimtomatik). Namun ada juga yang menjadi berat dan berakhir dengan kematian seperti yang terjadi pada hepatitis fulminan. Hepatitis fulminan dapat mengakibatkan koma hepatikum bahkan sampai pada kematian yang ditandai dengan penurunan fungsi hati yang berat berupa kematian sel parenkim hati yang luas, kadar bulirubin yang sangat tinggi dan peningkatan jumlah sel darah putih (Banker, 2003).

8

2.1.3 Patogenesis Pada manusia hati merupakan target organ bagi virus hepatitis B. Virus Hepatitis B (VHB) mula-mula melekat pada reseptor spesifik di membran sel hepar kemudian mengalami penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Dalam sitoplasma VHB melepaskan mantelnya, sehingga melepaskan nukleokapsid. Selanjutnya nukleokapsid akan menembus dinding sel hati. Di dalam inti asam nukleat VHB akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel pada DNA hospes dan berintegrasi; pada DNA tersebut. Selanjutnya DNA VHB memerintahkan gel hati untuk membentuk protein bagi virus baru dan kemudian terjadi pembentukan virus baru. Virus ini dilepaskan ke peredaran darah, mekanisme terjadinya kerusakan hati yang kronik disebabkan karena respon imunologik penderita terhadap infeksi. Apabila reaksi imunologik tidak ada atau minimal maka terjadi keadaan karier sehat. Gambaran patologis hepatitis akut tipe A, B dan Non A dan Non B adalah sama yaitu adanya peradangan akut diseluruh bagian hati dengan nekrosis sel hati disertai infiltrasi sel-sel hati dengan histiosit. Bila nekrosis meluas (masif) terjadi hepatitis akut fulminan. Bila penyakit menjadi kronik dengan peradangan dan fibrosis meluas didaerah portal dan batas antara lobulus masih utuh, maka akan terjadi hepatitis kronik persisten. Sedangkan bila daerah portal melebar, tidak teratur dengan nekrosis diantara daerah portal yang berdekatan dan pembentukan septa fibrosis yang meluas maka terjadi hepatitis kronik aktif. (Harrison, 2005).

2.1.4 Pemeriksaan laboratorium Hepatitis virus akut ditandai dengan meningkatnya kadar aminotransferase (ALT=SPGT) dan aspartate aminotransferse (AST=SGOT), yang kadang-kadang bisa mencapai 100 kali nilai normal. Kadar SGPT umumnya lebih tinggi daripada SGOT. Pada sebagian besar penyakit hati yang akut, kadar ALT lebih tinggi atau sama dengan kadar AST. Pada saat terjadi kerusakan jaringan dan sel-sel hati, kadar AST meningkat 5 kali nilai normal. ALT meningkat 1-3 kali nilai normal pada perlemakan hati, 3-10 kali nilai normal pada hepatitis kronis aktif dan lebih dari 20 kali nilai normal pada hepatitis virus akut dan hepatitis toksik (Harrison, 2005).

9

Peningkatan aminotransferase terjadi dengan cepat dan diikuti oleh hiperbilirubinemia, terutama yang tidak terkonjugasi (bilirubin indirek). Pada bentuk yang lebih ringan khususnya anak-anak, bisa didapatkan tidak adanya peningkatan bilirubin serum yang nyata. Peningkatan bilirubin bisa didapatkan dalam beberapa hari setelah penurunan kadar aminotransferase serum. Jaundice nyata (bilirubin >20mg/dl) yang menetap lebih dari 1 minggu pada hepatitis virus akut bisa merupakan tanda kegagalan hati berat dan berkaitan dengan prognosis yang buruk (Harrison, 2005). Kadar albumin serum umumnya tidak menurun, kecuali pada kasus sub akut yang lebih berat selama minggu pertama penyakit. Prothrombin time dapat terganggu dan pemanjangan ini berkaitan dengan derajat kegagalan fungsinal hati. Indikator prognosis yang lebih dapat dipercaya pada hepatitis virus akut yang berat adalah pemeriksaan secara serial dari faktor koagulasi (khususnya faktor V) dan inhibitor koagulasi (antitrombin III). Penurunan di bawah 30 sampai 50% dari harga normal umumnya menunjukkan penurunan yang berat dari masa hati fungsional. Bila terjadi trombositopenia ( 3000 copies/mm3. Untuk itu digunakan pemeriksaan dengan tes Elisa (Enzim linked immunosorbent assay) sebagai pemeriksaan penyaring, yang apabila positif lebih lanjut dikonfirmasikan dengan pemeriksaan Westren Immunoblot (WB). Telah diperkenalkan cara pemeriksaan yang lebih akurat yaitu tes PCR atau Polymerase Chain Reactions. (Rachimhadhi, 1992).

2.2.5 Cara penularan HIV dapat ditemukan pada darah, air susu ibu, sekresi vagina dan sperma. Pada cairan-cairan inilah virus dapat ditularkan. Selain itu, HIV juga dapat ditemukan pada saliva, air mata, urin, cairan serebrospinal, dan cairan amnion, tapi tidak bersifat menularkan (Cottone,2000). Penularan HIV dapat terjadi melalui kontak atau pencampuran dengan cairan tubuh yang mengandung virus seperti: melakukan hubungan seksual dengan penderita yang terinfeksi HIV, menggunakan jarum suntik yang telah terkontaminasi HIV, kontak kulit atau membran mukosa yang terluka dengan darah dan produk darah yang telah terkontaminasi HIV, menerima transplatasi organ atau jaringan termasuk tulang atau transfusi darah dari penderita HIV, dan penularan dari ibu hamil pengidap HIV kepada janin saat kehamilan, proses kelahiran maupun saat menyusui (Cottone, 2000). 2.2.6 Gejala klinis AIDS AIDS mempunyai spectrum yang luas pada gambaran klinis. Pada awal permulaan terdapat gejala-gejala seperti terkena flu. Penderita merasa lelah yang

20

berkepanjangan dan tanpa sebab, kelenjar-kelenjar getah bening dileher, ketiak, pangkal paha membengkak selama berbulan bulan, nafsu makan menurun/hilang, demam yang terus menerus mencapai 39 derajat Celcius atau berkeringat pada malam hari, diarrhea, berat badan turun tampa sebab, luka-luka hitam pada kulit atau selaput lendir yang tidak bias ssembuh, batuk-batuk yang berkepanjangan dan dalam kerongkongan, mudah memar atau pendarahan tanpa sebab (Trijatmo,1992). Gejala-gejala awal ini sering disebut AIDS Related Complex (ARC). Bila keadaan penyakit ini meningkat, penyakit ganas lain berkembang seperti: radang paru (penumocytis carinii), kandiasis oesophagus, cytomegalovirus atau herpes, sarcoma kaposi, tumor ganas pembuluh darah (Trijatmo,1992).

2.2.7 Manifestasi AIDS dirongga mulut Sekitar 95% penderita AIDS mengalami manifestasi pada daerah kepala dan leher sebagaimana juga menurut Shiod dan Pinborg 1987. Manifestasi di mulut seringkali merupakan tanda awal infesi HIV yang biasanya disertai xerostomia, NUG/NUP, oral hygiene buruk (Rachimhadhi,1992).

2.2.8 Hubungan HIV dengan penyakit Periodontal Pada penderita yang terinfeksi HIV atau penderita yang mengalami gangguan imunitas. Linear gingival eritema (LEG), NUG dan NUP pada umumnya sering dilaporkan pada penderita yang terinfeksi HIV. A. Linear Gingival Eritema Linear gingival erythema dahulu merupakan HIV gingivitis. Prevalensi dari tipe gingivitis ini bervariasi pada penelitian-penelitian, berkisar antara 0%-48%. Kriteria presumtif. Merah menyala, berbentuk pita dengan lebar 2-3 mm pada margin gingiva disertai ptechiae atau lesi merah difus pada attached gingiva dan mukosa mulut. Perdarahan selama menyikat gigi. Perdarahan spontan pada kasus berat. Rasa sakit jarang dikeluhkan (Gomez,2002).

21

Kriteria definitif. Tidak diketahui kriteria untuk memastikan diagnostik dari linear gingivitis erythema. Lesi ini sama seperti gambaran klinis yang terjadi pada neutropenia. Karena itu, klinisi harus melakukan pemeriksaan darah lengkap dan analisis pada sel darah putih (Gomez,1999). B. Necrotizing ulcerative gingivitis (NUG). Kriteria presumtif. Destruksi pada satu atau lebih dari papila interdental disertai dengan nekrosis, ulserasi. Destruksi ini terbatas pada margin gingiva. Pada tahap akut (acute necrotizing ulcerative gingivitis), jaringan gingiva tampak merah menyala dan bengkak, disertai oleh jaringan nekrotik abu-abu kekuningan yang mudah berdarah. Gejala yang dirasakan pasien yaitu mudah berdarah saat menyikat gigi, sakit, dan adanya halitosis. (Gomez,2002) Kriteria definitif. Diagnosis ditentukan secara klinis. Terdapat respon terhadap pemberian antibiotik sistemik dan local debridement. Gejala menghilang bertahap diatas 3-4 minggu, tetapi sering rekuren. NUG dapat muncul pada tahap awal dari necrotizing ulcerative periodontitis. (Gomez,1999) C. Necrotizing ulcerative periodontitis (NUP). Kriteria presumtif. Nekrosis jaringan lunak yang parah, dekstruksi perlekatan periodontal dan tulang pada waktu singkat. Perdarahan gingiva spontan atau berdarah saat menyikat gigi, sakit pada tulang rahang. Pada kasus berat, tulang rahang dapat terbuka. Tahap akhir NUP ditandai resesi gingiva yang parah karena destruksi tulang yang cepat dan nekrosis jaringan lunak. (Gomez,2002) Kriteria definitif. Terdapat pembentukan poket karena hilangnya jaringan lunak ataupun jaringan keras. Destruksi jaringan dapat meluas sampai ke muco-gingival junction. NUP bersifat kronis, ulserasi akan terlihat selama periode aktif tetapi tidak ada pada periode tidak aktif. (Gomez,1999).

2.2.8 Penanganan penyakit periodontal pasien HIV/AIDS Penanganan yang boleh dilakukan adalah scalin, root planning dan debridement, pemberian agen antimikroba kemoterapi (povidon iodin 10%, klorheksidin glukonat 0.12%-0.2%, atau antiseptik listerine) secara topikal atau

22

irigasi subgingival serta obat-obatan antimikrobial dan antifungal, contoh: metronidazole, fluconazole (Gomez, 2002).

2.3 Penyakit paru-paru (Pulmonary disease) Penyakit paru-paru adalah suatu penyakit atau gangguan yang terjadi pada paruparu atau yang menyebabkan paru-paru tidak bekerja dengan benar. Ada tiga jenis utama dari penyakit paru-paru: (Kraft, 2007) 1. Penyakit saluran napas (Airway disease) Penyakit-penyakit ini mempengaruhi tabung (saluran udara) yang membawa oksigen dan gas lainnya ke dalam dan keluar dari paru-paru. Penyakit-penyakit ini biasanya menyebabkan penyempitan atau penyumbatan saluran udara. termasuk asma, emfisema, dan bronkitis kronis. 2. Paru penyakit (Lung Tissue disase) Penyakit-penyakit ini mempengaruhi struktur jaringan paru-paru. Jaringan parut atau peradangan dari jaringan membuat paru-paru tidak dapat memperluas sepenuhnya (penyakit paru restriktif). Hal tersebut menyeabkan paru-paru sulit untuk menghirup oksigen dan melepaskan karbondioksida. Fibrosis paru dan sarkoidosis adalah contoh dari penyakit jaringan paru-paru. 3. Penyakit sirkulasi paru paru (Lung circulation diseases) Penyakit-penyakit ini mempengaruhi pembuluh darah di paru-paru. Hal ini disebabkan oleh peradangan jaringan parut, atau pembuluh darah sehingga mempengaruhi kemampuan paru-paru untuk mengambil oksigen dan melepaskan karbondioksida. Penyakit ini juga dapat mempengaruhi fungsi jantung.

Selain itu, terdapat jenis penyakit paru obstruktif kronik (COPD), juga dikenal sebagai paru-paru obstruktif penyakit kronis (COLD), penyakit saluran napas obstruktif kronis (COAD), keterbatasan aliran udara kronis (CAL) dan penyakit pernafasan obstruktif kronis (CORD), adalah terjadinya bronkitis kronis dan emfisema, keduanya didefinisikan sebagai penyakit paru-paru di mana saluran napas menjadi menyempit (U.S. National Institutes of Health, 2010). Hal ini menyebabkan

23

keterbatasan aliran udara ke dan dari paru-paru, menyebabkan sesak nafas (dyspnea). Dalam praktek klinis, COPD didefinisikan sebagai aliran udara yang khas rendah pada tes fungsi paru-paru (Nathell, 2007). PPOK disebabkan oleh partikel berbahaya atau gas, paling sering oleh karena merokok, yang memicu respon inflamasi abnormal pada paru-paru (Rabe, 2007). Diagnosis PPOK membutuhkan tes fungsi paru. Strategi manajemen yang penting adalah berhenti merokok, vaksinasi, rehabilitasi, dan terapi obat (sering menggunakan inhaler). Beberapa pasien pergi untuk memerlukan terapi jangka panjang oksigen atau transplantasi paru-paru (Rabe, 2007).en

Ada beberapa tanda-tanda COPD yang dapat dideteksi meskipun mereka dapat dilihat pada penyakit lainnya. Beberapa orang yang menderita COPD dan tidak menunjukkan tanda-tanda. Tanda-tanda umum adalah: *Tachypnea, tingkat pernapasan cepat *Wheezing atau crackles dalam paru-paru terdengar melalui stetoskop *Waktu untuk menghembuskan nafas lebih lama dibanding pada saat menghirup udara. *Aktif menggunakan otot-otot di leher untuk membantu pernafasan

2.3.1 Macam penyakit paru-paru a. Beberapa penyakit paru paru yang sering terjadi antara lain (Kraft, 2007) : 1. Asthma 2. Atelectasis 3. Bronchitis 4. COPD (chronic obstructive pulmonary disease) 5. Emphysema 6. Lung cancer 7. Pneumonia 8. Pulmonary edema b. Beberapa contoh penyakit paru-paru yang lain antara lain: 1. Asbestosis

24

2. Aspergilloma 3. Aspergillosis 4. Aspergillosis - acute invasive 5. Bronchiectasis 6. Bronchiolitis obliterans organizing pneumonia (BOOP) (Kraft, 2007) : 7. Eosinophilic pneumonia 8. Metastatic lung cancer 9. Necrotizing pneumonia 10. Pleural effusion 11. Pneumoconiosis 12. Pneumonia in immunodeficient patient 13. Pneumothorax 14. Pulmonary actinomycosis 15. Pulmonary alveolar proteinosis 16. Pulmonary anthrax 17. Pulmonary arteriovenous malformation 18. Pulmonary fibrosis 19. Pulmonary embolus 20. Pulmonary histiocytosis X (eosinophilic granuloma) 21. Pulmonary hypertension 22. Pulmonary nocardiosis 23. Pulmonary tuberculosis 24. Pulmonary veno-occlusive disease 25. Rheumatoid lung disease 26. Sarcoidosis

2.3.1.1 Tuberculosis (TBC/TB) Tuberkulosis (TB) adalah salah satu penyakit paru-paru dan tergolong penyakit menular. Seperti flu pada umunya, TB menyebar melalui udara. Hanya orang-orang yang sakit dengan TB di paru-paru mereka yang bias menularkan. Ketika orang

25

tertular batuk, bersin, berbicara atau meludah, mereka mendorong kuman TBC (mycobacterium tuberculosis) dalam bentuk basil ke udara. Sejumlah kecil bakteri tersebut dapat menimbulakn infeksi (WHO, 2010). Waktu tidak diobati, setiap orang dengan penyakit TB aktif akan menulari ratarata antara 10 dan 15 orang setiap tahun. Tapi orang yang terinfeksi basil TB tidak selalu tertular. Sistem kekebalan dinding bakteri bentuk basil dari TB yang dilindungi oleh lapisan lilin tebal, bisa tertidur selama bertahun-tahun. Pada saat kekebalan tubuh seseorang melemah, kemungkinan menjadi sakit lebih besar (WHO, 2010). Secara keseluruhan, sepertiga dari populasi dunia saat ini terinfeksi dengan basil TB. 5-10% orang yang terinfeksi basil TB (tetapi yang tidak terinfeksi HIV) menjadi sakit atau berpotensi menularkan TB dalam beberapa waktu selama hidup mereka. Orang dengan HIV dan infeksi TBC jauh lebih mungkin mengembangkan TB (WHO, 2010).

2.3.1.1.1 Patogenesis Infeksi TB dimulai ketika mikobakteri mencapai alveoli paru, di mana mereka menyerang dalam endosomes makrofag alveolar Daerah utama infeksi di paru-paru oleh bakteri TB disebut fokus Ghon. Bakteri selanjutnya diangkut oleh sel dendritik sehingga tidak memungkinkan replikasi. Penyebaran lebih lanjut adalah melalui aliran darah ke jaringan lain dan organ yang mana lesi TB sekunder dapat berkembang di bagian lain dari paru-paru (terutama apeks lobus atas), kelenjar getah bening perifer, ginjal, otak, dan tulang.Semua bagian tubuh dapat dipengaruhi oleh penyakit ini, meskipun jarang mempengaruhi jantung, otot rangka, pankreas dan tiroid (Houben, 2005);(Gupta, 2005). Tuberkulosis diklasifikasikan sebagai salah satu kondisi peradangan granulomatosa yang dicirikan dengan keadaan makrofag, limfosit T, limfosit B, dan fibroblas di antara sel-sel yang agregat untuk membentuk granuloma, dengan limfosit mengelilingi makrofag yang terinfeksi. Granuloma mencegah penyebaran bakteri TB dan menghasilkan suatu lingkungan lokal untuk interaksi sel-sel sistem kekebalan tubuh. Bakteri di dalam granuloma dapat menjadi aktif dan menghasilkan infeksi

26

laten. Efek lain dari granuloma TB manusia adalah pengembangan kematian sel yang abnormal (nekrosis) di pusat tuberkel. Secara histologis, pada dahak pasien terlihat tekstur menyerupai keju putih lembut yang 2005);(Gupta, 2005). disebut nekrosis caseous (Houben,

Gambar 2.2 Necrosis kaseosa (Google.com, 2012). Jika bakteri TB dapat masuk ke aliran darah dari jaringan yang rusak, bakteri TB akan menyebar ke seluruh tubuh sehingga menyebabkan banyak infeksi. Penandanya dalah muncul bentukan tuberkel putih kecil di jaringan. Bentuk parah penyakit TB adalah yang paling umum pada bayi dan orang tua dan disebut tuberkulosis milier (Houben, 2005);(Gupta, 2005).

2.3.1.1.2 Diagnosa Tuberkulosis yang didiagnosis secara definitif dengan mengidentifikasi organisme penyebab (Mycobacterium tuberculosis) dalam sampel klinis (misalnya, dahak atau nanah. Diagnosis dapat dilakukan dengan menggunakan pencitraan (sinarX atau scan), uji kulit tuberkulin (Mantoux), atau, Interferon Gamma Rilis Assay (IGRA) (Anonim, 2003);(Konstantinos, 2010). Masalah utama pada diagnosis tuberkulosis adalah kesulitan dalam kultur organisme ini tumbuh lambat di laboratorium (memakan waktu 4 sampai 12 minggu untuk darah atau kultur dahak). Sebuah evaluasi medis yang lengkap untuk TB harus mencakup riwayat medis, pemeriksaan fisik, rontgen dada, pap mikrobiologi, dan kultur. Termasuk pula tes tuberkulin kulit, tes serologis. Interpretasi tes kulit

27

tuberkulin tergantung pada faktor risiko seseorang untuk infeksi dan pengembangan menjadi penyakit TBC, seperti terpapar kasus lain dari TB atau imunosupresi. Beberapa Tes TB baru telah dikembangkan dengan akurasi yang tinggi dan cepat misalnya tes polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA bakteri. (Anonim, 2003);(Konstantinos, 2010).

2.3.1.1.3 Bahaya Kontaminasi Silang Tuberculosis Penyebaran bakteri mycobacterium secara aerosol yang dihasilkan selama prosedur perawatan gigi terdokumtasikan sebagai berikut. 1. Stevens (1963) menemukan bahwa koloni bakteri tumbuh di piring ditempatkan di daerah hidung dentists dan mulut sementara melakukan prosedur gigi dengan handpiece turbin udara. 2. Belting et al (1964) memperoleh sebuah kultur mycobacterium TBC pada media yang ditempatkan pada berbagai jarak dari mulut pasien dengan tuberculosis aktif mulut sementara dokter gigi dioperasikan handpiece rotor udara di rongga mulut mereka tanpa pemotongan struktur gigi. Metode air-off diproduksi koloni hampir dua kali lebih banyak sebagai metode air-on. Konsentrasi tertinggi bakteri ditemukan di depan dari mulut pasien, tidak peduli metode mana yang digunakan. 3. Miller dan Mick (1978) melaporkan bahwa 42% dari satu gigi kelas dikonversi ke tuberkulin positif antara mereka mahasiswa dan tahun tahun senior. Angka kematian calon dokter gigi di AS karena penyakit pernafasan adalah 113% dari populasi umum antara 1968 dan 1972. Dewan Bahan Gigi et al, 1988

mengatakan bahwa mikroorganisme udara dapat menyebabkan penyakit menular seperti flu biasa, pneumonia, tuberculosis, herpes,hepatitis B and AIDS.

2.3.1.1.4 Sterilisasi Mycobacterium tergolong bakteri yang mudah tertularkan dari penderita TB ke sekitar. Untuk itu diperlukan sterilisasi. Beberapa zat kimia telah dicoba untuk sterilisasi ekstraksi gigi manusia dengan berbagai keberhasilan. Sterilisasi gigi yang digunakan dalam pengajaran dan laboratorium harus menjadi perhatian. Karena

28

prosedur ekstraksi riskan akan terjadinya kontaminasi, adanya sterilisasi sangat penting untuk dilakukan. Namun beberapa kesulitan pada saat prosedur ekstraksi dilakukan sering terjadi dikarenakan, 1. Gigi manusia selalu terkontaminasi. 2. Sulit dilakukan pensterilisasian bentuk dan struktur gigi. 3. Gigi bisa terkena efek bahaya oleh karene efek prosedur sterilisasi. Berikut adalah tata cara pengendalian infeksi pada saatekstraksi dilakukan 1. Gigi yang telah diekstraksi (digunakan untuk pendidikan tenaga kesehatan gigi) harus diklasifikasiskan sebagai spesimen klinis karena mengandung darah. 2. Semua tenaga medis yang mengumpulkan, mengangkut atau memanipulasi gigi yang telah diekstraksi harus menangani gigi tersebut sama seperti spesimen dan biopsi. 3. Sebelum gigi hasil ekstraksi dimanipulasi pada saat pelatihan pendidikan kesehatan gigi, gigi pada mulanya harus dibersihkan dari material melekat yang berasal dari pasien dengan menggosok menggunakan deterjen dan air atau menggunakan pembersih ultrasonik. 4. Gigi harus disimpan dan direndam dalam larutan natrium hipoklorit (bahan pemutih dengan perbandingan 1:10 dibanding air) 5. Tenaga kesehatan gigi yang menangani gigi hasil ekstraksi harus menggunakan sarung tangan dan membuangnya setelah prosedur usai dilakukan. Tangan kemudian juga harus dicuci. Tambahan pelindung diri juga perlu dipakai semisal penutup muka, masker bedah, kacamata pelindung. 6. Semua peralatan yang digunakan harus sudah tersterilisasikan setelah semua prosedur usai.

2.3.1.2. Pneumonia Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) biasanya disebabkan oleh masuknya kuman bakteri, yang ditandai oleh gejala klinis batuk, demam tinggi dan disertai adanya napas cepat ataupun tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam. Dalam pelaksanaan Pemberantasan Penyakit

29

ISPA

(P2ISPA)

semua

bentuk

pneumonia

baik

pneumonia

maupun

bronchopneumonia disebut pneumoni. Pneumonia yang ada di kalangan masyarakat umumnya disebabkan oleh bakteri, virus, mikoplasma (bentuk peralihan antara bakteri dan virus) dan protozoa. a. Bakteri Pneumonia yang dipicu bakteri bisa menyerang siapa saja, dari bayi sampai usia lanjut. Sebenarnya bakteri penyebab pneumonia yang paling umum adalah Streptococcus pneumoniae sudah ada di kerongkongan manusia sehat. Begitu pertahanan tubuh menurun oleh sakit, usia tua atau malnutrisi, bakteri segera memperbanyak diri dan menyebabkan kerusakan. Balita yang terinfeksi pneumonia akan panas tinggi, berkeringat, napas terengah-engah dan denyut jantungnya meningkat cepat. b. Virus Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus. Virus yang tersering menyebabkan pneumonia adalah Respiratory Syncial Virus (RSV). Meskipun virus-virus ini kebanyakan menyerang saluran pernapasan bagian atas, pada balita gangguan ini bisa memicu pneumonia. Tetapi pada umumnya sebagian besar pneumonia jenis ini tidak berat dan sembuh dalam waktu singkat. Namun bila infeksi terjadi bersamaan dengan virus influenza, gangguan bisa berat dan kadang menyebabkan kematian. c. Mikoplasma Mikoplasma adalah agen terkecil di alam bebas yang menyebabkan penyakit pada manusia. Mikoplasma tidak bisa diklasifikasikan sebagai virus maupun bakteri, meski memiliki karakteristik keduanya. Pneumonia yang dihasilkan biasanya berderajat ringan dan tersebar luas. Mikoplasma menyerang segala jenis usia, tetapi paling sering pada anak pria remaja dan usia muda. Angka kematian sangat rendah, bahkan juga pada yang tidak diobati. d. Protozoa Pneumonia yang disebabkan oleh protozoa sering disebut pneumonia pneumosistis. Termasuk golongan ini adalah Pneumocystitis Carinii Pneumonia (PCP). Pneumonia

30

pneumosistis sering ditemukan pada bayi yang prematur. Perjalanan penyakitnya dapat lambat dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan, tetapi juga dapat cepat dalam hitungan hari. Diagnosis pasti ditegakkan jika ditemukan P. Carinii pada jaringan paru atau spesimen yang berasal dari paru

2.3.1.2.1 Klasifikasi pneumonia Klasifikasi pneumonia adalah sebagai berikut : - Berdasarkan Umur a. Kelompok umur < 2 bulan 1) Pneumonia berat Bila disertai dengan tanda-tanda klinis seperti berhenti menyusu (jika sebelumnya menyusu dengan baik), kejang, rasa kantuk yang tidak wajar atau sulit bangun, stridor pada anak yang tenang, mengi, demam (38C atau lebih) atau suhu tubuh yang rendah (di bawah 35,5 C), pernapasan cepat 60 kali atau lebih per menit, penarikan dinding dada berat, sianosis sentral (pada lidah), serangan apnea, distensi abdomen dan abdomen tegang. 2) Bukan pneumonia Jika anak bernapas dengan frekuensi kurang dari 60 kali per menit dan tidak terdapat tanda pneumonia seperti di atas. b. Kelompok umur 2 bulan sampai < 5 tahun 1) Pneumonia sangat berat Batuk atau kesulitan bernapas yang disertai dengan sianosis sentral, tidak dapat minum, adanya penarikan dinding dada, anak kejang dan sulit dibangunkan. 2) Pneumonia berat Batuk atau kesulitan bernapas dan penarikan dinding dada, tetapi tidak disertai sianosis sentral dan dapat minum. 3) Pneumonia Batuk atau kesulitan bernapas dan pernapasan cepat tanpa penarikan dinding dada. 4) Bukan pneumonia (batuk pilek biasa) Batuk atau kesulitan bernapas tanpa pernapasan cepat atau penarikan dinding dada.

31

5) Pneumonia persisten Balita dengan diagnosis pneumonia tetap sakit walaupun telah diobati selama 10-14 hari dengan dosis antibiotik yang kuat dan antibiotik yang sesuai, biasanya terdapat penarikan dinding dada, frekuensi pernapasan yang tinggi, dan demam ringan.

-

Berdasarkan Etiologi Penyebab Streptokokus pneumonia Streptokokus piogenesis Stafilokokus aureus Klebsiela pneumonia Eserikia koli Yersinia pestis Legionnaires bacillus Tipe Pneumonia Pneumoni bakterial Legionnaires disease

Grup Bakteri

Aktinomisetes

Aktinomisetes Israeli Nokardia asteroides

Aktinomisetes pulmonal Nokardia pulmonal Kokidioidomikosis Histoplasmosis Blastomikosis Aspergilosis Mukormikosis Q fever Chlamydial Pneumonia Pneumonia mikoplasmal Pneumonia virus

Fungi

Kokidioides imitis Histoplasma kapsulatum Blastomises dermatitidis Aspergilus Fikomisetes

Riketsia Klamidia Mikoplasma Virus

Koksiela burneti Chlamydia trachomatis Mikoplasma pneumonia Influenza virus, adeno Virus respiratory Syncytial

Protozoa

Pneumositis karini

Pneumonia pneumosistis (pneumonia plasma sel)

32

2.3.1.2.2 Patogenesis Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului dengan infeksi saluran napas atas akut selama beberapa hari. Selain didapatkan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat mencapai 40 derajat celcius, sesak napas, nyeri dada dan batuk dengan dahak kental, terkadang dapat berwarna kuning hingga hijau. Pada sebagian penderita juga ditemui gejala lain seperti nyeri perut, kurang nafsu makan, dan sakit kepala (LumbanBatu, 2011). Pada umumnya pneumonia termasuk kedalam penyakit menular yang ditularkan melalui udara. Sumber penularan adalah penderita pneumonia yang menyebarkan kuman ke udara pada saat batuk atau bersin dalam bentuk droplet. Inhalasi merupakan cara terpenting masuknya kuman penyebab pneumonia kedalam saluran pernapasan yaitu bersama udara yang dihirup, di samping itu terdapat juga cara penularan langsung yaitu melalui percikan droplet yang dikeluarkan oleh penderita saat batuk, bersin dan berbicara kepada orang di sekitar penderita, transmisi langsung dapat juga melalui ciuman, memegang dan menggunakan benda yang telah terkena sekresi saluran pernapasan penderita (LumbanBatu, 2011). Berbagai spesies anaerob fakultatif rongga mulut yang telah dikultur dariparuparu yaitu, Porphyromonas gingivalis, Bacteroides gracillus, Bacteroidesoralis, Bacteroides buccae, Eikenella corrodens, Fusobacterium nucleatum,Prevotella intermedia, Fusobacterium necrophorum, Actinobacillus actinomycetemcomitans, Peptostreptococcus, Clostridium dan Actinomyces. Bakteri yang terdapat pada saku periodontal memanfaatkan cairan crevicular gingiva sebagai sumber nutrisi unsur hara karbon dan nitrogen, serta faktor-faktor pertumbuhan penting seperti mineral dan vitamin, sehingga dapat berkembang biakdan berkomunikasi dengan menggunakan sinyal biokimiawi satu dengan yang lainnya (LumbanBatu, 2011). Bakteri rongga mulut yang dilepaskan dari plak gigi melalui sekresi saliva dapat masuk ke saluran pernapasan bawah dan menyebabkan pneumonia.Bakteri patogen periodontal seperti Porphyromonas gingivalis, Fusobacterium nucletum, dll dapat berasosiasi dengan bakteri patogen pernafasan seperti Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumonia, dll. Selain itu, sitokin dari jaringan periodontal

33

yang tidak sehat masuk ke saliva melalui cairan crevicular kemungkinan dapat merangsang perkembangan proses inflamasi lokal dan menyebabkan infeksi pada paru (LumbanBatu, 2011).

2.3.1.2.3 Pemeriksaan laboratorium 1. Pemeriksaan dahak Mempunyai banyak keterbatasan Usahakan bebas dari kontaminan, dengan berbagai cara : sputum dicuci dg garam faali, diambil sputum yang mengandung darah dan nanah kavum orofaring dibersihkan dulu dengan cara berkumur aspirasi trakeal memakai bronkosokopi pungsi transtorakal spesimen yg diperoleh dilakukan pengecatan gram & kultur (Soedarsono, 2012).

Gambar 2.3 Pengecatan gram dari sediaan sputum pasien pneumonia (Soedarsono, 2012). 2. Darah Umumnya lekositosis ringan sampai tinggi Hitung jenis bergeser ke kiri ( shift to the left) LED dapat juga tinggi Kultur darah dapat positif pada 20-25 % (Soedarsono, 2012). penderita yang tidak diobati

34

3. Foto toraks PA / lateral Abnormalitas radiologis pada pneumonia disebabkan karena pengisian

alveoli oleh cairan radang berupa : opasitas/peningkatan densitas ( konsolidasi ) disertai dengan gambaran air bronchogram. Bila didapatkan gejala klinis pneumonia tetapi gambaran radiologis negatif, maka ulangan foto toraks harus diulangi dalam 24-48 jam untuk menegakkan diagnosis (Soedarsono, 2012). 4. Analisa gas darah Hipoksemia & hipokarbia Asidosis respiratorik pada stadium lanjut (Soedarsono, 2012).

Gambar 2.4 Foto toraks pasien pneumonia (Soedarsono, 2012).

2.3.1.2.4 Proteksi dokter gigi Berbagai macam cara dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi silang antara lain dengan pemakaian proteksi diri yaitu masker, kacamata pelindung, sarung tangan, baju praktek, maupun penutup rambut dan kebersihan lingkungan tempat kerja yang meliputi cara pembersihan alat dan lingkungan (Wibowo et al., 2009).

35

BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan Dokter gigi wajib mengetahui indikasi dan kontraindikasi perawatan periodontal untuk pasien dengan penyakit infeksi. Dokter gigi juga diharapkan mengerti gejala klinis dan tanda-tanda yang khas dari pasien agar dokter dapat memberikan rencana perawatan yang efektif dan efisien. Bila penyakit pasien berada di luar kompetensi dokter gigi, sebaiknya dirujuk kepada dokter yang lebih kompeten. Dokter gigi juga dapat membantu menemukan penyakit infeksi yang diderita pasien dan memberikan informasi kepada pasien untuk dirujuk kepada dokter dengan kompetensi tertentu. Dokter gigi sangat rentan terhadap penyebaran penyakit infeksi karena selalu kontak dengan darah dan saliva pasien (bahan kontaminan dengan tingkat infeksius tinggi). Sehingga berbagai macam cara dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi silang antara lain dengan pemakaian proteksi diri yaitu masker, kacamata pelindung, sarung tangan, baju praktek, maupun penutup rambut dan kebersihan lingkungan tempat kerja yang meliputi cara pembersihan alat dan lingkungan.

35

36

DAFTAR PUSTAKA

Agarwal R, Malhotra P, Awasthi A, Kakkar N, Gupta D (2005). Dendritic cells andMycobacterium tuberculosis: which is the Trojan horse?". Pathol Biol (Paris) 53 (1): 3540. Banker DD. 2003. Virus Hepatitis. Indian Journal of Medicine Science. 57 (8) : 363368. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Medical microbiology. Lange medical book, 2002: 516-529. Core Curriculum on Tuberculosis: What the Clinician Should Know". Centers for Disease Control and Prevention (CDC), Division of Tuberculosis Elimination. 2000, updated August 2003 Cottone JA, Terezhalmy GT, Molinari JA. Mengendalikan Penyebaran Infeksi pada Praktik Dokter Gigi. Alih Bahasa. Juwono, Lilian. Jakarta: Widya Medika, 2000: 62-90. Daliemunthe, SH. Keterkaitan Antara Penyakit Periodontal Dengan Penyakit Saluran Pernapasan. Diakses dari http://repository.usu.ac.id/ . Diunggah pada Maret 2010. Fita, TF. 2011. Gambaran Radiologis Pneumonia Pada Pasien Laki-Laki Umur 60 Tahun. Sumber: fkumyecase.net. Diakses tanggal 21 Maret 2012. Gomez FR. Dental Considerations for the Paediatric AIDS/HIV Patient. Oral Disease. 2002.; 8 (Suppl.2): 49-54. Gomez FR, Flaitz C, Catapano P, et all. Classification, Diagnostic Criteria, and Treatment Recommendations for Orofacial Manifestations in HIV-infected Pediatric Patients. Journal of Paediatric Dentistry. 1999, 23(2): 85-96. Google. 2012. Google search (www.google.com) : nekrosis kaseosa. Diakses tanggal 22 Maret 2012. Gupta G. Current Concepts in HIV Pathogenesis and Treatment. J Calif Dent Assoc 2001. Harrison. 2005. Principle of Internal Medicine Edisi 9 : Gangguan Hepatobilier dan Pankreas. Penterjemah Adhi Dharma. Jakarta Utara : Penerbit Buku Kedokteran.

37

Houben E, Nguyen L, Pieters J (2006). "Interaction of pathogenic mycobacteria with the host immune system". Curr Opin Microbiol 9 (1): 7685. ^ Herrmann J, Lagrange P (2005). Konstantinos A. 2010. "Testing for tuberculosis". Australian Prescriber 33 (1): 1218 Kraft M. Approach to the patient with respiratory disease. In: Goldman L, Ausiello D, eds. Cecil Medicine. 23rd ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2007:chap 83. Layton TL, Davis-McFarland E. Pediatric human immunodeficiency virus and acquired immunodeficiency syndrome: an overview. Semin Speech Lang. 2000;21(1):7-17. Laude TA. Manifestations of HIV disease in children. Clin Dermatol. Jul-Aug 2000;18(4):457-67. LumbanBatu, YS. Pneumonia. Diakses dari http://repository.usu.ac.id/ . Diunggah pada Maret 2011. Nathell, L.; Nathell, M.; Malmberg, P.; Larsson, K. 2007. "COPD diagnosis related to different guidelines and spirometry techniques". Respiratory research 8 (1): 89. Nikita V Lolayekar, Vidya Bhat S, Sham S Bhat. Disinfection Methods of Extracted Human Teeth. J Oral Health Comm Dent 2007;1(2):27-29. Pusat Data dan Informasi. Situasi HIV/AIDS di Indonesia Tahun 1987-2006. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2006. Rabe KF, Hurd S, Anzueto A, et al. 2007. "Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease: GOLD Executive Summary". Am. J. Respir. Crit. Care Med. 176 (6): 53255. Rachimhadhi T, Anthony RL. Hendarmin MLS. Sindrom AIDS,

PenanggulanganPenyebarannya dalam praktek dokter gigi. Cetakan I, Jakarta: EGC, 1992:24-57 Soedarsono, IP. 2012. Pneumonia. Surabaya : FK UNAIR. Sujono, H. 2000. Hepatologi. Bandung: Penerbit Mandar Maju. Hal. 54, 58, 159-61, 219-10

38

Sully, C., Cawson RA. 1992. Hepatic Disease in: Medical problems in dentistry ed 3th. Dallas: Wright. Hal. 220-33. Tjokoprawiro, A. 2007. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Surabaya: Airlangga University press. Hal. 121-123. Trijatmo R, dkk. Sindrome AIDS Penanggulangan Penyebarannya dalam praktek dokter gigi. Jakarta: EGC, 1992:1-54. Wibowo T, Parisihni K, Haryanto D. 2009. Proteksi Dokter Gigi Sebagai Pemutus Rantai Infeksi Silang. Jurnal PDGI vol 58, No.2. World Health Organization, 2010. Media Centre: Toberculosis "What is COPD?". National Heart Lung and Blood Institute. U.S. National Institutes of Health. June 01, 2010. http://www.nhlbi.nih.gov/.