Isi Proposal Ka Husen

36
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Abalon atau yang lebih dikenal dengan sebutan mata tujuh merupakan salah satu jenis moluska dari kelas gastropoda yang memiliki nilai ekonomis penting karena harganya yang dapat mencapai 70€/kg (Leighton, 2008), abalon sangat berpotensi untuk dibudidayakan dan diharapkan dapat memenuhi permintaan pasar yang terus meningkat setiap tahun menjadi salah satu penyebab tingginya angka eksploitasi terhadap abalon. Semakin tingginya permintaan konsumen sebagai akibat dari semakin meluasnya negara tujuan ekspor terhadap komoditas ini seperti China, Taiwan, Jepang, Eropa dan Korea (Leighton, 2008), menyebabkan penangkapan abalon di alam semakin meningkat. Tingginya angka eksploitasi dan kegiatannya yang terus berkesinambungan menyebabkan populasi abalon di alam mengalami penurunan hingga mencapai kira-kira 30% dari populasinya (Gordon and Cook, 2001). Oleh karena itu, kegiatan penangkapan terhadap abalon dalam rangka

description

proposal penelitian

Transcript of Isi Proposal Ka Husen

PROPOSAL

PAGE

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Abalon atau yang lebih dikenal dengan sebutan mata tujuh merupakan salah satu jenis moluska dari kelas gastropoda yang memiliki nilai ekonomis penting karena harganya yang dapat mencapai 70/kg (Leighton, 2008), abalon sangat berpotensi untuk dibudidayakan dan diharapkan dapat memenuhi permintaan pasar yang terus meningkat setiap tahun menjadi salah satu penyebab tingginya angka eksploitasi terhadap abalon.

Semakin tingginya permintaan konsumen sebagai akibat dari semakin meluasnya negara tujuan ekspor terhadap komoditas ini seperti China, Taiwan, Jepang, Eropa dan Korea (Leighton, 2008), menyebabkan penangkapan abalon di alam semakin meningkat. Tingginya angka eksploitasi dan kegiatannya yang terus berkesinambungan menyebabkan populasi abalon di alam mengalami penurunan hingga mencapai kira-kira 30% dari populasinya (Gordon and Cook, 2001). Oleh karena itu, kegiatan penangkapan terhadap abalon dalam rangka memenuhi permintaan pasar harus diarahkan dan difokuskan pada kegiatan budidaya yang memberikan jaminan hasil yang lebih baik dibandingkan hasil kegiatan penangkapan di alam.

Oleh karena itu, untuk menjamin ketersediaan stok abalon diperlukan adanya suatu usaha pengembangan teknik budidaya. Salah satu teknik budidaya saat ini yang dikembangkan dengan menggunakan prinsip-prinsip budidaya secara intensif, dimana lahan yang digunakan terbatas, pemberian pakan yang teratur, dan mudahnya dilakukan kontrol terhadap lingkungan. Sistem budidaya tersebut dikenal dengan budidaya system tertutup atau resirkulasi tertutup.

Sistem tertutup pada prinsipnya adalah menggunakan kembali (re-use) air untuk budidaya, sehingga dapat mengurangi penggunaan air dari luar sistem. Dalam pelaksanaannya, air yang digunakan tidak berhubungan langsung dengan sumbernya tetapi melewati filter, pergantian air dapat dikatakan tidak pernah dilakukan, dan hanya penambahan air untuk mengganti air yang hilang akibat penguapan. Air yang telah digunakan diresirkulasikan kembali ke masing-masing wadah. Untuk menjaga agar kondisi kualitas air dalam wadah tetap baik, maka diterapkan sistem biofilter (Yudha, 2005).

Sistem resirkulasi tertutup memiliki beberapa kelebihan, antara lain ramah lingkungan, aman dari pencemaran yang terjadi di lingkungan perairan luar tambak, minimalisir dampak merebaknya suatu penyakit di lingkungan luar, serta parameter kualitas air cenderung lebih stabil. Dari segi lingkungan, sistem ini juga dapat menghemat sumberdaya air yang digunakan. Beberapa kelemahan sistem ini antara lain terjadinya akumulasi bahan organik yang berasal dari sisa pakan, dan kotoran organisme. Selain itu dengan keterbatasan ruang maka dapat menyebabkan kompetisi untuk memperoleh makanan (Yudha, 2005).

Sehubungan dengan pentingnya aplikasi sistem resirkulasi tertutup dan masih terdapat beberapa kendala yang ada, maka perlu dilakukan penelitian. B. Rumusan masalah

Usaha pengembangan industri budidaya abalon untuk skala hacthery dan budidaya telah ditempuh dengan berbagai cara, diantaranya dengan sistem budidaya intensif yang dilakukan di hatchery dengan sistem flow through, exchange 100% (pergantian air 100%) dengan padat penebaran yang tinggi menyebabkan penggunaan air yang berlebihan sehingga mengeluarkan biaya yang besar dalam bidang operasionalnya. Oleh karena itu, telah berkembang sistem budidaya resirkulasi, dimana penggunaan lahan yang digunakan terbatas, menghemat sumberdaya air yang digunakan, dan lebih menghemat biaya operasional. Namun, disisi lain sistem resirkulasi tertutup masih ditemukan beberapa kelemahan diantaranya terjadinya akumulasi bahan organik yang berasal dari sisa pakan, dan kotoran organisme. Selain itu, keterbatasan ruang dapat menyebabkan kompetisi untuk memperoleh makanan menjadi salah satu kendala yang dihadapi dalam sistem sirkulasi air. Dengan adanya penelitian ini yang mempelajari tingkat kepadatan yang berbeda dalam sistem resirkulasi untuk mendapatkan petumbuhan yang terbaik dengan padat tebar yang sesuai, sehingga diharapkan dapat mendukung usaha budidaya abalon secara berkelanjutan.C.Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kepadatan berbeda terhadap pertumbuhan juvenil abalon pada sistem resirkulasi.

Kegunaan dari penelitian ini adalah dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi masyarakat pembudidaya abalon tentang pengaruh kepadatan dalam sistem resirkulasi tertutup untuk mendapatkan petumbuhan juvenil abalon yang terbaik dengan padat tebar yang sesuai.

II.TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi

Berdasarkan Vaught (1989) dalam Mgaya (1995) dalam Effendy (2000) klasifikasi Haliotis asinina adalah :

Phylum : Mollusca, Linnaeus 1758

Class : Gastropoda, Cuvier, 1797 Sub Class : Prosobranchia, H.M. Edwards, 1848 Ordo : Archeogastropoda, Thielle, 1929 Super Family : Pleurotomarioidea, Swainson, 1840 Family : Haliotidae, Rafinesque, 1815 Genus : Haliotis Linnaeus, 1758 Species : H. asinina Linnaeus, 1758B. Morfologi dan Anatomi

Ciri-ciri yang paling umum dari Haliotis adalah berbentuk seperti telinga dan memiliki pusat cangkang berbentuk lingkaran yang berukuran kecil dan terletak di bagian posterior. Pada bagian anterior yakni mantel tepi cangkang akan muncul lubang yang berfungsi dalam proses respirasi. Lubang tersebut akan bertambah jumlahnya seiring dengan bertambahnya ukuran cangkang, sampai terbentuk di sepanjang sisi kiri cangkang. Ketika abalon sedang rileks, tentakel dan mata akan menonjol dari bagian anterior ke cangkang. Penonjolan tersebut merupakan epipodium yang merupakan perluasan dari kaki dan merupakan sensor kecil tentakel (Fallu, 1991).

Untuk mengetahui secara jelas morfologi abalon (H. asinina) dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Morfologi Abalon (H. asinina)

Abalon memiliki satu cangkang yang terletak pada bagian atas. Pada cangkang tersebut terdapat lubang-lubang dalam jumlah yang sesuai dengan ukuran abalon, semakin besar ukuran kerang abalon maka semakin banyak lubang yang terdapat pada cangkang. Lubang-lubang tersebut tertata rapi mulai dari ujung depan hingga belakang cangkang. Kerang abalon juga mempunyai mulut yang terletak di bawah cangkang serta sepasang mata (Tisna, 2008).

C. Makanan dan Kebiasaan Makan

Abalon adalah jenis binatang nokturnal, pada siang hari atau suasana terang abalon cenderung bersembunyi di karang-karang dan pada malam hari lebih aktif melakukan gerakan berpindah tempat untuk mencari makanan (Buen-Ursua, 2007).

Abalon secara umum bersifat herbivor dan memakan berbagai macam makroalga tetapi mereka menampakkan perbedaan preverensi jika diberikan suatu pilihan. Abalon dewasa menyukai alga berwarna merah, tetapi mereka bertoleransi beberapa alga berwarna cokelat dan hijau (Umar, 2000).D. Sistem Resirkulasi

Budidaya sistem tertutup diartikan sebagai sistem sirkulasi terus berjalan pada wadah penampungan air terakhir diletakkan pompa untuk menarik air, pada wadah sistem paralel yang telah di siapkan, namun pengantian air dapat dilakukan bila perlu. Pengadaan oksigen merupakan hal yang sangat penting dalan sistem ini sehingga diperlukan peralatan aerasi dan purifikasi untuk membantu berlangsunya sistem (Komaruddin. 1992).

Cara pembersihan air yang telah dikembangkan dengan teknologi yang sederhana yaitu dengan menggunakan sistem saringan halus, pasir kasar dan batu gamping dengan menggunakan ijuk sebagai pembatas dari lapisan bahan tersebut dan juga dikatakan penggunaan media saringan dengan ukuran butiran yang halus akan mengeluarkan air dengan kualitas yang baik (Suriawiria, 1994)

Biofilter merupakan filter yang memanfaatkan organisme hidup. Biofilter yang paling umum digunakan yaitu biofilter yang memanfaatkan bantuan jasad-jasad renik, khususnya dari golongan pengurai amoniak. Fungsi utama biofilter adalah mengurangi atau menghilangkan amoniak dari air. Seperti diketahui organisme akuatik melepaskan amonia (NH3 dan NH4) ke dalam air yang jumlahnya bergantung pada jumlah pakan yang dikonsumsi (Msuya dan Noeri, 2002).

Masalah kualitas air dapat diatasi secara biologi dengan memanfaatkan bakteri atau tumbuhan (Neori et al., 2004). Tumbuhan, misalnya alga, melakukan fotosintesis dengan memanfaatkan energi matahari dan kelebihan nutrien (terutama N, C dan P) dan menghasilkan air yang bersih dan kaya oksigen (Troell et al., 2003; Neori et al., 2004). Sistem ini menciptakan sebuah ekosistem mini dimana alga yang autotrof dapat menyeimbangkan kondisi nutrient, pH, oksigen dan CO2 perairan. Oleh karenanya, tumbuhan dapat mengurangi dampak budidaya terhadap lingkungan dan menstabilkannya secara lebih efisien.

Prinsip utama dalam pemanfaatan makroalga sebagai biofilter adalah meminimalisir kadar amonia di perairan. Spesies makroalga yang banyak digunakan dalam penelitian biofilter adalah Ulva spp dan Gracilaria spp., dimana kedua jenis ini memiliki kapasitas tertinggi dalam menyerap nutrien (Neori et al., 1998; 2004; Schuenhoff, et al., 2003 ).

Penurunan kualitas lingkungan pada umumnya disebabkan oleh pencemaran dari luar dan pengotoran karena kegiatan pemeliharaan itu sendiri. Pencemaran yang berasal dari pemeliharaan yaitu berupa sisa pakan dan buangan dari proses metabolisme hewan yang dipelihara. Apabila masukan buangan ini berlangsung terus menerus akan memberikan dampak negatif terhadap lingkungan budidaya yang pada akhirnya akan menyebabkan kegagalan pemeliharaan (Murtiati, dkk, 2007).

Fungsi utama biofilter adalah mengurangi atau menghilangkan amonia dari air. Seperti diketahui, organisme budidaya melepaskan amonia (NH3 dan NH4) ke dalam air yang jumlahnya bergantung pada jumlah pakan yang dikonsumsi. Secara umum dapat dikatakan bahwa pada setiap 1 kg pakan akan menghasilkan 37 g amonia. Amonia juga dihasilkan oleh bakteri, jamur, dan sisa pakan. Oleh karena itu, dapat diperkirakan berapa banyak konsentrasi amonia yang dikeluarkan setiap hari yang perlu dinetralisir oleh biofilter. Biofilter juga dapat dilakukan dengan menggunakan media tanaman air makroalga seperti Gracilaria spp. (Chow, et al., 2001; Buschman, et al., 2005) dan Ulva spp. (Hayashi, et al., 2008).Fungsi dan peran utama biofilter makroalga dalam suatu sistem pemeliharaan adalah pengambilan dan konversi metabolit beracun dan polutan. Makroalga, dapat menyerap nutrient dari air sekaligus menghasilkan efluent yang bersih dan kaya oksigen sehingga dapat diresirkulasi kembali ke bak atau tangki pemeliharaan ikan. Hirata et al (1991) dalam Neori et al (2004) mengkalkulasikan manfaat yang dapat diperoleh dalam sistem resirkulasi, dimana setiap kg Ulva dapat memproduksi oksigen yang cukup untuk menyuplai kebutuhan oksigen 2 kg organisme budidaya. Konsumsi oksigen makroalga pada malam hari juga jauh lebih rendah daripada oksigen yang dapat diproduksi per harinya.

Makroalga merupakan komoditas yang paling umum digunakan sebagai biofilter karena aman dan telah digunakan untuk konsumsi manusia, untuk konsumsi bagi organisme budidaya (abalon dan bulu babi) (Neori et al, 2004).

Biofiltrasi dengan tumbuhan, misalnya alga, bersifat asimilatif. Alga melakukan fotosintesis dengan memanfaatkan energi matahari dan kelebihan nutiren (terutama N, C dan P). Sistem ini akan menciptakan sebuah ekosistem mini dimana tumbuhan autotrof menjadi penyeimbang bagi organisme yang dipelohara dan bakteri heterotrof, baik dalam penyeimbangan nutrient maupun pH, oksigen dan CO2. Oleh karenanya, tumbuhan dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan dari pemeliharaan terhadap lingkungan dan menstabilkannya. Alga, terutama makroalga, merupakan tumbuhan yang paling sesuai sebagai biofilter dikarenakan produktivitasnya yang tinggi, serta memiliki nilai ekonomis (Neori et al., 2004).

Mmochi et al. (2002) menyatakan bahwa kualitas air pada lingkungan pemeliharaan dikontrol oleh beberapa faktor yang kompleks. Jumlah oksigen terlarut dikontrol oleh faktor fotosintesis, respirasi ikan dan mikroorganisme. Selain itu, sejumlah besar material organik membutuhkan oksigen pada proses dekomposisi, yang menyebabkan jumlahnya akan berkurang. Masalah kualitas air diatasi dengan dua tindakan utama, yaitu diasimilasi oleh bakteri menjadi gas dan asimilasi oleh tumbuhan menjadi biomassa.

Menurut Hannafy dan Kraan (2007), makroalga mampu menyerap nitrogen dari air laut seiring dengan peningkatan biomassanya. Dalam percobaan yang dilakukan, Ulva mampu menyerap 90% komponen nitrogen. Data ini mengindikasikan bahwa dengan membudidayakan makroalga dalam system budidaya terpadu, polusi nutrient dapat diatasi.

Efisiensi penyerapan nutrien maksimal oleh Ulva rotundata yang berperan sebagai biofilter dalam budidaya terpadu bersama beberapa hewan laut dengan tingkat penyerapan 83,4% amonia, 96,2% fosfat (Msuya dan Neori, 2002).

Msuya dan Neori (2002) menyatakan bahwa selama enam minggu percobaan yang dilakukan, Ulva reticular dapat menyerap lebih banyak nitrogen dibandingkan Gracillaria crassa atau Chaetomorpha dan Euchema denticulata. Laju pertumbuhan, hasil panen, kandungan nutrient dan pembersihan N oleh beberapa jenis makroalga dalam percobaan yang dilakukan di Makoba, Zanzibar.

Ulva sp. yang digunakan sebagai biofilter menyerap lebih banyak nutrien berwarna hijau tua (lebih gelap dibandingkan thallus pada Ulva yang menyerap lebih sedikit nutrient berwarna hijau muda. (Hayashi, et al., 2008).

Tumbuhan memperoleh nitrogen dari bahan organik yang berasal dari sisa pakan, dan kotoran organisme berupa amonia (NH3), ion nitrit (N02- ), dan ion nitrat (N03- ). Bakteri yang dapat mengikat nitrogen secara langsung, yakni Azotobacter sp. yang bersifat aerob dan Clostridium sp. yang bersifat anaerob. Nostoc sp. dan Anabaena sp. (ganggang biru) juga mampu menambat nitrogen. Nitrogen yang diikat biasanya dalam bentuk amonia. Amonia ini akan dinitrifikasi oleh bakteri nitrit, yaitu Nitrosomonas dan Nitrosococcus sehingga menghasilkan nitrat yang akan diserap oleh tumbuhan. (Anonim, 2008).

Beberapa genera bakteri (misalnya Azetobacter, Clostridium, dan Rhodospirillum) mampu untuk mengikat molekul-molekul nitrogen guna dijadikan senyawa-senyawa pembentuk tubuh mereka, misalnya protein. Jika sel-sel itu mati, maka timbullah zat-zat hasil urai seperti CO2 dan NH3 (gas amoniak). Sebagian dari amoniak terlepas ke udara dan sebagian lain dapat dipergunakan oleh beberapa genus bakteri (misalnya Nitrosomonas dan Nitrosococcus) untuk membentuk nitrit. Nitrit dapat dipergunakan oleh genus bakteri yang lain untuk memperoleh energi daripadanya. Oksidasi amoniak menjadi nitrit dan oksidasi nitrit menjadi nitrat berlangsung di dalam lingkungan yang aerob. Peristiwa seluruhnya disebut nitrifikasi. Pengoksidasian nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh Nitrobacter (Anonim, 2008).

Di alam, fosfor terdapat dalam dua bentuk, yaitu senyawa fosfat organic (pada tumbuhan dan hewan) dan senyawa fosfat anorganik (pada air dan tanah). Mikroba pelarut P yang melepaskan ikatan P dari mineral liat dan menyediakannya bagi tanaman. Banyak sekali mikroba yang mampu melarutkan P, antara lain: Aspergillus sp, Penicillium sp, Pseudomonas sp dan Bacillus megatherium. Mikroba yang berkemampuan tinggi melarutkan P, umumnya juga berkemampuan tinggi dalam melarutkan K (Anonim, 2008).

E. Pertumbuhan dan Kepadatan

Dalam istilah sederhana pertumbuhan dapat dirumuskan sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu. Selanjutnya Tang (2002) menyatakan bahwa tingkat individu pertumbuhan didefinisikan sebagai proses perubahan ukuran (panjang, berat atau volume) pada periode waktu tertentu. Djajasewaka (1985) menyatakan bahwa pertumbuhan adalah suatu proses hayati yang terus menerus terjadi di dalam tubuh ikan yang ditandai dengan pertambahan berat dan panjang ikan.Daya dukung lahan sangat perlu dipertimbangkan untuk menentukan padat tebar (stocking density) dan ukuran benih, tingkah laku dan sifat yang dimiliki oleh biota juga dapat dijadikan sebagai dasar dalam penentuan padat tebar. Diantara sifat kerang abalone yang dapat dijadikan dasar penentuan padat tebar adalah sifat pergerakan yang lamban dan kemampuan yang menempel pada substrak, hal tersebut memungkinkan untuk dilakukan penebaran dengan padat tebar tinggi karena abalone tidak memerlukan areal yang luas dalam beraktifitas (Tahang, 2005).

Huet (1972) dalam Agus (1992) menyatakan bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain keturunan, kuantitas, kualitas makanan, suhu, dan besarnya ruangan yang ditempati.

Larva abalon yang berumur 60 hari bisa mencapai panjang 5-10 mm. Pada saat itu larva sudah memasuki ukuran juvenil dan dapat mengkonsumsi makroalga dengan kepadatan mencapai 60 individu/meter persegi. (SEAFDEC, 1997).

Kepadatan yang digunakan dalam penelitian yang membandingkan pertumbuhan juvenil abalon yang dipelihara dalam sistem flow trough dan sistem resirkulasi yaitu 26 individu/keranjang dengan luasan keranjang (0,25 m x 0,25 m x 0,3m) (Badillo et al, 2007).F. Kualitas Air

Lokasi untuk pembesaran abalon adalah perairan karang yang terlindung dari gelombang dan angin yang kuat; abalon membutuhkan media air yang bersih dan jernih. Nilai parameter kualitas air untuk suhu 27-30 derajat celcius, salinitas 29-33 ppt, pH antara 7,6-81 dan DO 3,27-6,28 ppm. Jika akan dipelihara di bak, kualitas airnya harus diusahakan sama seperti di perairan karang. (Fishblogs, 2009).

Parameter kualitas air yang menunjang untuk pertumbuhan abalone pada system resirkuasi NH3 0-0.025 mg/l, NO2- 0-0.5 mg/l, NO3- 0-50 mg/l, dan DO 90-100% atau 6.5- 8 mg/l (Leighton, 2008).

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini berlangsung selama 120 hari, mulai November-Februari 2015 di Hatchery Abalon Desa Tapulaga Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian.

NoAlatSatuanKegunaanJumlah Unit

1.Blower-Aerasi1

2.Jangka sorongMmPengukuran panjang cangkang1

3.Timbangan elektrikGrPengukuran berat tubuh1

4,Hand refractometerPptPengukuran salinitas air wadah1

5.Termometer(CPengukuran suhu air wadah1

6.Keranjang -Wadah pakan konsumsi abalone1

7.

8.pH Indikator

Pompa-

-Pengukuran pH air wadah

Meresiskulasi air1

1

9.Kamera-Dokumentasi1

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 2.Tabel 2. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian

NoBahanKegunaanJumlah

1.Juvenil abalon (H. asinina)Hewan uji90 individu

2.G. verrucosaPakan -

3.Ulva sp. dan Galaxaura sp.Biofilter-

C. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan

Pada tahap ini dilaksanakan persiapan-persiapan berupa pengadaan dan pembersihan keranjang (ukuran 25 cm x 10 cm x 10 cm) yang akan digunakan sebagai wadah pemeliharaan abalon, pengadaan pakan uji berupa G. verrucosa (dari Desa Torokeku Kecamatan Tinanggea, Kabupaten Konawe Selatan), pengadaan biofilter Ulva sp. dan Galaxaura sp., dan pengadaan hewan uji (juvenil abalon ukuran 1-3 cm) hasil produksi hatchery.

Persiapan alat-alat penunjang yang digunakan dalam penelitian ini yaitu blower, batu aerasi, selang aerasi, pipa untuk menghubungkan wadah penelitian yang satu dan yang lain serta dihubungkan dengan pompa air.

2. Tahap Sistem OperasionalPada tahap ini dilaksanakan kegiatan diantaranya mengisi bak pemeliharaan dengan air laut, kemudian pemasangan blower untuk supply oksigen dengan sambungan pipa dan selang yang terhubung dengan bak pemeliharaan dan bak biofilter. Penempatan juvenil abalon ke dalam keranjang yang merupakan wadah pemeliharaan dengan kepadatan 5 individu, 10 individu, dan 15 individu, kemudian keranjang tersebut diletakkan ke dalam bak pemeliharaan. Pembuangan air dari bak pemeliharaan melalui pipa yang telah dilubangi akan membawa buangan dari proses metabolisme juvenil abalon, akan melewati wadah filter yang terdiri dari karang mati, spons dan waring sebagai saringan, kemudian air yang dikeluarkan akan masuk ke dalam wadah biofilter Ulva sp., kemudian masuk ke dalam wadah biofilter kedua melalui pipa penghubung yang telah berisi biofilter Galaxaura sp. masing-masing seberat 500 gram, air yang telah melalui perlakuan biofilter akan masuk ke dalam wadah penampungan akhir yang kemudian akan dipompa naik ke bak pemeliharaan, dan begitu seterusnya sistem resirkulasi berjalan. Kecepatan air yang mengalir dari wadah penampungan ke bak pemeliharaan pada penelitian ini adalah 300 ml/menit sehingga resirkulasi air yang terjadi selama 24 jam mencapai 432 l.

Adapun gambar instalasi resirkulasi tersebut dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Desain Biofilter Sistem Tertutup: A= wadah pemeliharaan; B = wadah filter; C1 = wadah biofilter ulva ; C2 = wadah biofilter Galaxaura; C3 = wadah penampungan akhir.

Pada penelitian ini, pergantian air dapat dikatakan tidak pernah dilakukan, dan hanya penambahan air untuk mengganti air yang hilang akibat penguapan. Untuk mengganti air yang hilang tersebut dilakukan penambahan air, hingga tinggi air sama dengan saat penelitian dimulai.3. Tahap Pemeliharaan

Pemeliharaan dilakukan selama 75 hari dengan pengambilan data pengukuran panjang berat abalone setiap 15 hari. Pemberian pakan rumput laut (G. veruccosa) secara ad libitum dalam satu keranjang, dilakukan setiap 3 hari sekali yaitu pada sore hari dengan dosis pemberian pakan 20% dari bobot tubuh/ hari. Penambahan air pada bak penampungan akhir dilakukan setiap 3 minggu untuk mengganti air yang hilang akibat penguapan hingga tinggi air sama dengan saat penelitian dimulai.D. Perlakuan

Perlakuan untuk mengetahui laju pertumbuhan juvenil abalon dengan menggunakan 3 perlakuan dengan 3 kali ulangan yang terdiri dari :

1. Kepadatan I (5 individu) 2. Kepadatan II (10 individu) 3. Kepadatan III (15 individu) E. Parameter yang diamati

Parameter yang akan diamati dalam penelitian ini adalah pertumbuhan hewan uji (perubahan cangkang dan berat tubuh), yang dapat dihitung dengan formula matematis.

1. Pertumbuhan MutlakPertumbuhan mutlak diukur dengan dua cara yaitu perhitungan pertumbuhan berdasarkan perubahan cangkang dan perhitungan pertumbuhan berdasarkan perubahan berat tubuh dengan menggunakan rumus :

a. Pertumbuhan mutlak berdasarkan perubahan panjang cangkang yaitu :

Li = Lt Lo (Effendy, 2000)

Dimana : Li = pertumbuhan mutlak panjang rata-rata interval (mm)

Lt = panjang rata-rata pada waktu-t (mm)

Lo= panjang rata-rata pada awal penelitian (mm)b. Pertumbuhan mutlak berdasarkan perubahan berat tubuh yaitu :

Wi = Wt Wo

Dimana : Wi = Pertumbuhan mutlak berat tubuh rata-rata interval (g).

Wt = Berat tubuh rata-rata pada waktu-t (g)

Wo = Berat tubuh rata-rata pada awal penelitian (g)

2. Laju Pertumbuhan Spesifik (LPS)

Perhitungan LPS dilakukan dengan menggunakan rumus :

LPS = Ln (Wt) Ln (Wo) x 100 %

T

Dimana : Ln = Logaritma natural

Wo = Berat rata-rata individu awal penelitian (g)

Wt = Berat rata-rata individu pada akhir penelitian (g)

t = Waktu penelitian (hari)

3. Kualitas Air

Untuk menentukan kelayakan kualitas media pemeliharaan terhadap hewan uji selama penelitian maka dilakukan pengukuran kualitas air. Beberarapa parameter kualitas air yang diamati selama penelitian dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Parameter kualitas air pada closed system sebagai data penunjang dalam

penelitian

ParameterWaktu PengamatanAlat ukur

SuhuSetiap 2 mingguTermometer

SalinitasSetiap 2 mingguHand refractometer

PhSetiap 2 minggupH indicator

Ammonia

NitritSetiap 3 minggu

Setiap 3 mingguTetra test/uji lab

Tetra test/uji lab

NitratSetiap 3 mingguTetra test/uji lab

PosfatSetiap 3 mingguTetra test/uji lab

Metode dan teknik analisis kualitas air yang digunakan untuk pengukuran amonia, nitrit, nitrat, dan posfat dapat dilihat pada lampiran 6.F. Rancangan Percobaan

Dalam penelitian ini rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK), ada 3 taraf perlakuan dengan 3 kali ulangan, jadi terdapat 9 unit percobaan, dengan menggunakan metode Gasperz (1994), yaitu :

Yij = + Ti + ij

Dimana :

= Nilai tengah populasi

Ti = Pengaruh aditif (koefisien regresi parsial dari perlakuan ke i)

ij = Galat percobaan dari perlakuan ke-I pada pengamatan ke-j

i = jumlah perlakuan

j = Jumlah ulangan pada setiap perlakuan

Posisi unit-unit setelah pengacakan pada masing-masing perlakuan seperti terlihat pada gambar 3. Gambar 3. Posisi unit-unit penelitian

Perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini terdiri dari perlakuan A dengan padat penebaran 15 ind./0.12 m2, perlakuan B dengan padat penebaran 10 ind./0.12 m2, dan perlakuan C dengan padat penebaran 5 ind./0.12 m2. Sedangkan kelompoknya terdiri dari kelompok 1 dengan perlakuan A1, B1, dan C1 (panjang 2,51 cm 3,0 cm/bobot tubuh 2,51 gr -3,5 gr), perlakuan A2, B2, dan C2 (panjang 2,01 cm 2,5 cm/bobot tubuh 1,51 gr -2,5 gr), dan perlakuan A3, B3, dan C3 (panjang 1,51 cm 2,0 cm/bobot tubuh 0,5 gr -1,5 gr).

G. Analisis Data

Untuk mengetahui pengaruh perlakuan maka dilakukan analisis data dengan menggunakan SPSS 15 computer software. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) akan dilakukan jika ada perbedaan nyata antar perlakuan Gasperz (1994).

DAFTAR PUSTAKA

Agus, M. 1992. Pengaruh substrat terhadap Laju Pertumbuhan Lola Trochus niloticus di Perairan Labuangan Kecamatan Mallusetahi Kabupaten Barru. Tesis Fakultas Peternakan Jurusan Perikanan Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang.Akkae, 1986. Percobaan Budidaya Udang Putih (Penaeus marguenesis) di Tambak dengan Padat Penebaran yang berbeda. Tesis Fakultas Peternakan Jurusan Perikanan Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang.

Badillo, L., M.Segovia., and R.S. Bernal., 2007. Effect of two Stocking Densities On the Growth dan Mortality of the Pink Abalon Haliotis corrugate in Recirculating and flow trough systems. Journal of Shellfish Research 26:801-807.

Anonim, 2008 Biogeokimia.. www. //blog.wordpress.com/2008/11/17/daurbiogeokimia/.

Buen-Ursua. S. M. 2007. Abalon Biology. Lecture Notes and Practical Guides. Aquculture Departemen.

Buschmann, H., A., Hernndez-Gonzlez, M., Astudillo, C., Luca Fuente, L., Alfonso Gutierrez, A., Aroca, G., 2005. Seaweed cultivation, product development and integrated aquaculture studies in Chile. World Aquaculture 36: 51-53.Chow, F., Macchiavello, J., Cruz, S. S., Fonk, E., Olivares, J. 2001. Utilization of Gracilaria chilensis (Rhodophyta: Gracilariaceae) as a biofilter in the Depuration of effluents from tank cultures of fish, oysters, and sea urchins. Worls Aquaculture Society 32: 215-220.

Djajasewaka, H., 1995. Pakan Ikan (Makanan Ikan). CV. Yasaguna. Jakarata.

Effendy, I.J. 2000. Study on Early Developmental Stages of Donkey Ear Abalon (Haliotis asinina). Linneaus 1758. Institute of Aquakulture College of Fisheries University of the Philippines in the Visayas. Miag-ao, Illoilo. Philippin 1: 1-12.Fallu, R. 1991. Abalon Farming. Fishing News Book. England. Fallu, R. 1991. Abalone farming. Fishing News Book. Oxford.

Fishblogs. 2009. Budidaya kerang Abalon. Www. abalone/budidaya-abalon.html. Laut-Lombok, Ntb. file:///I:/abalone/satriokelautan.wordpress.htm

Gasperz, V. 1994. Metode Perancangan Percobaan. Armico. Bandung.

Gordon, H. R. and P. Cook. 2001. World abalone supply, markets and pricing: historical, current and future. Journal of Shellfish Research 20: 567-570.

Hanniffy, D., dan Kraan, S., 2007. BIOPURALG: reducing the environmental impact of land based aquaculture through cultivation of seaweeds. Irish Seaweed Centre, MRI National University of Ireland. Galway.

Hayashi, L., Yokoya, S., N., Ostini, S., Pereira, R., Braga, S., E., Oliveira, E., 2008. Nutrients removed by Kappaphycus alvarezii (Rhodophyta, Solieriaceae) in integrated cultivation with fishes in re-circulating water. Aquaculture 227: 185-191.Komarudin, O. 1992. Pemeliharaan Ikan dalam Sistem Tertutup (Resirkulasi). Balitkanwar. Bogor. Leighton, D. L., 2008. Abalon Hatchery Manual. Aquaculture Technical Section, Aquaculture Development Division. Co. Dublin, Ireland.

Mmochi, J., A., Dubi, M., A., Mamboya, A., F., Mwandya, W., A., 2002. Effects of Fish Culture on Water Quality of an Integrated Mariculture Pond Sistem. Institute of Marine Science. University of Dar es Salaam. Tanzania.

Msuya, E., F., and Amir Neori, A., 2002. Ulva reticulata and Gracilaria crassa: Macroalgae That Can Biofilter Effluent from Tidal Fishponds in Tanzania. Western Indian Ocean J. Mar. Sci 1: 117126.

Murtiati, dkk,. 2007. Penggunaan Biokalisator Pada Budidaya Udang Galah. Jurnal Budidaya Air Tawar 4: 19-26. Neori, A., Norman L.C., Sphigel, M. 1998. .The Integrated culture of seaweed, abalone, fish and clams in modular intensive land-based sistem: II. Performance and nitrogen partitioning within an abalone (Haliotis tuberculata) and macroalgae culture sistem. Aquacultural 17: 215-239.

Neori, A., Chopin, T., Troell, M., Buschmann, H., A., Kraemer, P., G., Halling, C., Shpigel, M., Yarish, C., 2004. Integrated aquaculture: Rationale, evolution and state of the art emphasizing seaweed biofiltration in modern mariculture. Aquakultur 231, 361-391.

Pantjara, B., 1994. Budidaya Abalon dengan Pakan yang Berbeda di Karamba Jaring Apung. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Maros.

Schuenhoff, A., Shpigel, M., Lupatsch, I., Ashkenazi, A., Msuya, F. E., Neori, A. 2003. A semi-recirculating integrated sistem for the culture of fish and seaweed. Aquaculture 221: 167-181.

SEAFDEC, 1997. Highlights Aquaculture For Food Sufficiency and Industry Stability. Aquaculture Dapartment Suuthest Asian Fisheries Developmnt Centre. Philippines.

Suriawiria, U. 1994. Air Dalam Kehidupan dan Lingkungan Yang Sehat. Alumni. Bandung

Tang, U.M., 2002. Manajemen Pembenihan Ikan. UNRI Press. Pekanbaru.Tisna, K. 2008. Teknik Budidaya Abalon (Haliotis asinina). Juknis Abalon BBL Lombok. Pacitan-Jawa Timur.Tisna, K. 2008. Teknik Budidaya Abalon (Haliotis asinina). Juknis Abalon BBL Lombok. Pacitan-Jawa Timur.

Tisna Kesit. 2008. Pemeliharaan Kerang Abalon (Haliotis asinina) dengan Metode Pen-Culture (Kurungan Tancap) dan Keramba Jaring Apung (Kja). Juknis Abalon BBL Lombok.

Tahang, M. 2005. Budidaya Abalon pada Bak 4 x 3 x 2 m. Jurnal. Balai Budidaya Laut Lombok

Troell, M., Halling, C., Neori, A., Chopin, T., Buschmann, H., A., Kautsky., Yarish, C., 2003. Integrated Mariculture: asking the right question. Aquaculture 226: 69-90.Umar, Syafifuddin Bin Andy. 2000. Food and growth in Haliotis (review). Jurnal Perikanan. 2: 1-12.Wula, R., 2004. Pengaruh Penggunaan Jenis Pakan Rumput Laut yang Berbeda terhadap Perkembangan Gonad Abalon (Haliotis asinina) Jenis Kelamin Jantan dan Betina di Hatchery. Jurusan Perikanan UNHALU. Kendari.

Yudha, I. G., 2005. Aplikasi Sistem Resirkulasi Tertutup (closed recirculation system) dalam Pengelolaan Kualitas Air Tambak Udang Intensif. Seminar Lampung. Lampung.Zonneveld, N., E. A. Huisman dan J.H. Boon, 1991. Prinsip-prinsip Budidaya. Gramedia. Jakarata

A1

B2

A3

B1

A2

C3

C1

C2

B3

C33

C2

C13

B

A

A

A11