IReduksi DataIISajian Data file/Data... · Web viewMemberikan istirahat mingguan 1 (satu) hari...
Transcript of IReduksi DataIISajian Data file/Data... · Web viewMemberikan istirahat mingguan 1 (satu) hari...
A. Judul Penelitian : IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 13
TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN (Studi Kasus
Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja terkena Pemutusan
Hubungan Kerja di Kota Gorontalo).
B. Latar Belakang Masalah
Manusia mempunyai kebutuhan yang beraneka ragam dalam hidupnya.
Untuk dapat memenuhi semua kebutuhan tersebut manusia dituntut untuk
bekerja, baik bekerja yang diusahakan sendiri maupun bekerja pada orang lain.
Seperti yang di ungkapkan dalam jurnal Internasional yang berjudul Termination
for Incompetence yang menyatakan bahwa:
Work is one of the most fundamental aspects in a person's life, providing the individual with a means of financial support and, as importantly, a contributory role in society. A person's employment is an essential component of his or her sense of identity, self-worth and emotional well-being. Accordingly, the conditions in which a person works are highly significant in shaping the whole compendium of psychological, emotional and physical elements of a person's dignity and self respect.1
Maksud dari jurnal internasional di atas menjelaskan mengenai arti
dari pekerjaan, jadi yang dimaksut dengan Pekerjaan adalah salah satu aspek
yang paling fundamental dalam hidup seseorang, salah satu cara yang digunakan
seseorang untuk mencari penghasilan dan memberikan kontribusi yang besar
kepada masyarakat, pekerjaan seseorang merupakan komponen penting dari rasa
identitas, harga diri dan kesejahteraan emosional. Oleh karena itu, dengan
bekerja dapat membentuk seluruhringkasan martabatdan harga diri.
Pekerja menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain. Sedangkan yang dimaksud dengan pemberi kerja
1 anice Payne, Shane Sawyer, Barrister & Solicitor, Student-at-law, Nelligan O’Brien Payne Nelligan O’Brien Payne.Jurnal.2004. hlm. 4
1
2
adalah pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau
badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain.
Pada Jurnal Internasional yang berjudul “Termination of Labor
Contracts and Unfair Dismissal Under Turkish Labor Law” menjelaskan
mengenai pengertian pemberi kerja atau pengusa. Menurut jurnal tersebut yang
dimaksud dengan pengusaha adalah :
“According to the Labor Code, the employer’s representative is any person
acting in the establishment on behalf of the employer and is the one who is
in charge of the administration of the work, the establishment as well as
the enterprise.2”
Menurut jurnal internasional di atas yang dimaksud dengan
pengusaha/ pemberi kerja adalah setiap orang yang bertindak dalam pendirian
perusahaan yang biasa disebut dengan majikan dan orang yang bertanggung
jawab atas administrasi pekerjaan.
Hubungan antara pekerja dengan pemberi kerja atau pengusaha secara
yuridis, pekerja adalah bebas karena prinsip di negara Indonesia tidak
seorangpun boleh diperbudak maupun diperhamba, namun secara sosiologis
pekerja ini tidak bebas karena pekerja sebagai orang yang tidak mempunyai
bekal hidup yang lain selain tenaganya. Terkadang pekerja dengan terpaksa
menerima hubungan kerja dengan pengusaha meskipun memberatkan bagi diri
pekerja itu sendiri, lebih-lebih lagi pada saat ini banyaknya jumlah tenaga kerja
yang tidak sebanding dengan lapangan pekerjaan yang tersedia.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menyebutkan definisi hubungan kerja, yaitu “hubungan kerja adalah hubungan
antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkanperjanjian kerja, yang
mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”.
2 Levent Akint. Dermination of Labor Contracts and Unfair Dissmisal Under Turkhis Labor law Volume 25. No 4Jurnal.Vol.25.2005, hlm. 566
3
“Obyek hukum dalam hubungan kerja tertuang di dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan dan kesepakatan kerja bersama/ perjanjian kerja
bersama.Kedudukan perjanjian kerja adalah di bawah peraturan perusahaan,
sehingga apabila ada ketentuan dalam perjanjian kerja yang bertentangan dengan
peraturan perusahaan, maka yang berlaku adalah peraturan perusahaan”3.
Sebelum terjadi hubungan kerja, biasanya antara pengusaha atau pemberi
kerja membuat sebuah perjanjian yang berhubungan dengan hak dan kewajiban
masing-masing dalam melaksanakan hubungan kerja. Perjanjian yang dimaksud
adalah perjanjian kerja, di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 pada
Pasal 1 dijelaskan mengenai parjanjian kerja. Jadi yang dimaksud dengan
perjanjian kerja adalah “perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau
pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak”.
“Obyek dalam perjanjian kerja, yaitu hak dan kewajiban masing-
masing secara timbal balik yang meliputi syarat-syarat kerja atau hal lain akibat
adanya hubungan kerja. Syarat-syarat kerja selalu berkaitan dengan upaya
peningkatan produktivitas bagi majikan dan upaya peningkatan kesejahteraan
oleh buruh”4.
Masalah ketenagakerjaan yang terpenting adalah soal pemutusan hubungan
kerja atau biasa yang kita kenal dengan istilah PHK. Berakhirnya hubungan kerja
bagi pekerja berarti kehilangan mata pencaharian yang berarti pula permulaan
masa pengangguran dengan segala akibatnya , sehingga untuk menjamin
kepastian dan ketenteraman hidup bagi pekerja seharusnya tidak ada pemutusan
hubungan kerja .
Seperti telah kita ketahui bahwa kasus Pemutusan Hubungan Kerja yang
melibatkan pihak pengusaha dengan pihak tenaga kerja banyak terjadi di
berbagai perusahaan. Apabila Pemutusan Hubungan Kerja sesuai dengan aturan-
3 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Jakarta : Sinar Grafika Offset.2009. hlm. 40
4Ibid, hlm. 40
4
aturan yang berlaku maka hal itu bukan merupakan suatu masalah, misalnya saja
pada awal krisis moneter terjadi perampingan tenaga kerja pada perusahaan
sehingga banyak tenaga kerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja, hal ini
dimaksudkan agar pengeluaran perusahaan tidak terlalu besar karena harga
kebutuhan mengalami kenaikan akibat krisis moneter itu.
Meskipun PHK merupakan hal yang wajar dalam dunia
ketenagakerjaan, pelaksanaannya tidak semudah yang dibayangkan karena di
dalamnya masih ada berbagai macam kepentingan (dalam pengertian
positif).Selain itu, tata caranya pun membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga
(pikiran).Oleh karena itu, PHK harus merupakan upaya terakhir yang dilakukan.
Itulah sebabnya, pengusaha, pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah, dengan
segala upaya harus mengusahakan agar tidak terjadi PHK seperti pengaturan
waktu kerja, penghematan, pembenahan metode kerja, dan memberikan
pembinaan kepada pekerja. Namun dalam kenyataannya membuktikan bahwa
pemutusan hubungan kerja tidak dapat dicegah seluruhnya.
Jika segala upaya telah dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari,
maksud PHK tersebut wajib dirundingkan oleh pengusaha dan pekerja/serikat
pekerja. Dalam hal perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan,
pengusaha hanya dapat mem-PHK dengan pekerja setelah memperoleh
penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI).
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (25) Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 pengertian pemutusan hubungan kerja yaitu :”Pengakhiran
hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berkhirnya hak
dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha”.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, dijelaskan bahwa PHK dapat terjadi karena bermacam sebab.
Untuk beberapa ketentuan, diperlukan adanya Penetapan dari lembaga
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial untuk sahnya PHK tersebut,
5
namun terdapat juga ketentuan jenis PHK yang tidak memerlukan ketentuan
penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
“Sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan
pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan
peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja
dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan5.”
Pemerintah telah menetapkan kebijakan dibidang ketenagakerjaan yang
dirumuskan dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Berdasarkan ketentuan
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, pembangunan ketenagakerjaan
berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945. Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu pembangunan ketenagakerjaan
dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang
sejahtera, adil, makmur dan merata baik materiil maupun spiritual.
Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pembangunan ketenagakerjaan
diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional
lintas sektoral pusat dan daerah. Hal ini dijelaskan lebih lanjut dalam
penjelasannnya, yaitu :
”Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas
pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil dan
merata. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan
keterkaitan dengan berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pengusaha dan
pekerja/ buruh. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan
secara terpadu dalam bentuk kerja sama yang saling mendukung”.
Tenaga kerja memliki peran dan kedudukan yang penting sebagai pelaku
dalam mencapai pembangunan. Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan
atas asas keterpaduan dan kemitraan. Oleh karena itu, sebagaimana ditetapkan 5Ibid, hlm. 6
6
dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
bahwa pembangunan Ketenagakerjaan bertujuan untuk:
1. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan
manusiawi;
2. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang
sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
3. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan
kesejahteraan dan;
4. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
Perlindungan pekerja dari kekuasaan pengusaha terlaksana apabila
peraturan-peraturan dalam bidang perburuhan yang mengharuskan atau memaksa
majikan bertindak seperti dalam perundang-undangan tersebut benar
dilaksanakan semua pihak karena keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara
yuridis saja, tetapi juga diukur secara sosiologis, dan filosofis.
Peraturan perundang-undangan yang ada ditujukan untuk pengendalian.
Baik pemberi pekerja maupun yang diberi pekerjaan, masing-masing harus
terkendali atau masing-masing harus menundukkan diri pada segala ketentuan
dan peraturan yang berlaku, harus bertanggungjawab dalam melaksanakan
kegiatan masing-masing sesuai dengan tugas dan wewenangnya, hingga
keserasian dan keselarasan akan selalu terwujud.
”Perlindungan hukum dalam pemutusan hubungan kerja yang terpenting
adalah menyangkut kebenaran status pekerja dalam hubungan kerja serta
kebenaran alasan PHK. Alasan yang dipakai dasar untuk menjatuhkan PHK
dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu, alasan yang diizinkan dan
alasan yang tidak diizinkan untuk di- PHK6.”
PHK selalu memiliki akibat hukum, baik bagi pengusaha maupun bagi
buruh/ pekerja sendiri. Akibat hukum dimaksud adalah bentuk pemberian
kompensasi upah kepada pekerja yang hubungan kerjanya diputus oleh 6Ibid, hlm. 167
7
pengusaha. Upah merupakan salah satu perwujudan riil dari pemberian
kompensasi. Bagi pengusaha, upah adalah perwujudan dari kompensasi yang
paling besar diberikan kepada pekerja. Apabila PHK tidak dapat dicegah atau
dihindari, maka pekerja yang di PHK oleh majikan sesuai dengan alasan yang
mendasari terjadinya PHK akan mendapatkan uang pesangon, penghargaan masa
kerja dan uang ganti kerugian. Kesemuanya itu dimaksudkan berfungsi sebagai
jaminan pendapatan.
Sehubungan PHK memiliki dampak yang sangat kompleks dan
cenderung menimbulkan perselisihan, maka mekanisme dan prosedur PHK diatur
sedemukian rupa agar pekerja tetap mendapatkan perlindungan yang layak dan
memperoleh hak-haknya sesuai dengan ketentuan.
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa pemerintah memberikan
perlindungan terhadap pekerja yang mengalami PHK, perlindungan ini
diwujudkan dengan adanya peraturan-peraturan yang dibuat untuk melindungi
hak-hak pekerja yang di PHK. Oleh karena itu pengusaha sebagai salah satu
pihak yang berhubungan dengan hukum ketenagakerjaan harus mematuhi dan
mentaati segala aturan yang ada di dalam aturan-aturan mengenai
ketenagakerjaan, khususnya mengenai PHK yang dilakukan oleh pengusaha
terhadap pekerja. Pengusaha harus memperhatikan hak-hak pekerja yang di PHK
sesuai dengan peraturan yang ada dan dalam melakukan PHK Pengusaha harus
menggunakan alasan yang sesuai dengan peraturan yang ada.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian mengenai pelaksanaan PHK di Kota Gorontalo,
Provinsi Gorontalo. Karena pemerintah telah menetapkan kebijakan berupa
peraturan mengenai perlindungan hukum kepada pekerja dalam hal PHK,
penulis ingin mengetahui mengenai penerapan nyata dalam pelaksanaan PHK
di Kota Gorontaloyang, Provinsi Gorontalo dalam hal alasan yang mendasari
PHK, prosedur PHK dan kompensasi yang diberikan terhadap pekerja yang di
PHK apakah sudah sesuai dengan peraturan yang ada. Dalam penulisan Tesis
8
ini penulis mengambil judul IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG
NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN (Studi
Kasus Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja terkena Pemutusan
Hubungan Kerja di Kota Gorontalo).
C. Perumusan Masalah
“Perumusan masalah dalam suatu penelitian ( hukum ) menjadi titik sentral,
perumusan masalah yang tajam disertai dengan isu-isu hukum akan
memberikan arah dalam menjawab pertanyaan atau isu hukum yang
diketengahkan7.”
Dalam penelitian ini, maka penulis merumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Apakah alasan Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh
Perusahaan di Gorontalo oleh sesuai dengan peraturan perundang-
undangan mengenai ketenagakerjaan?
2. Bagaimana Prosedur Pemutusan Hubangan Kerja di Kota Gorontalo?
3. Apakah Perlindungan Hukum terhadap Tenaga Kerja yang mengalami
Pemutusan Hubungan Kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan
tentang ketenagakerjaan?
D. Tujuan Penelitian
7 Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT Grafindo Persada, 2004. hlm.
37
9
Suatu kegiatan penelitian harus mempunyai tujuan yang hendak dicapai
dengan jelas agar penelitian yang dilakukan memberikan manfaat terhadap
siapapapun yang membacanya.
Tujuan penelitian diperlukan untuk memberikan arah yang jelas dalam
melaksanakan suatu penelitian. Tujuan penelitian harus dinyatakan dengan
jelas dan singkat, tujuan penelitian yang dinyatakan dengan terang dan jelas
akan dapat memberikan arah pada penelitiannya.8
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Tujuan Obyektif
a. Mengetahui alasan Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh
Perusahaan di Gorontalo oleh sesuai dengan peraturan perundang-
undangan mengenai ketenagakerjaan;
b. Mengetahui Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja di Kota Gorontalo;
dan
c. Mengetahui Perlindungan Hukum terhadap Tenaga Kerja yang
mengalami Pemutusan Hubungan Kerja, apakah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memenuhi tugas akhir sebagai syarat memperoleh gelar Magister
Hukum pada Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
b. Untuk menambah wawasan dalam memperluas pemahaman akan arti
penting ilmu hukum dalam teori dan praktek.
c. Untuk lebih memahami dan mengkaji permasalahan hukum sesuai
dengan perkembangan masyarakat sehingga dapat disumbangkan kepada
8Ibid, hlm. 39
10
khalayak sebagai tambahan ilmu pengetahuan khususnya mengenai
keabsahan Pemutusan Hubungan Kerja.
E. Manfaat Penelitian
Salah satu faktor pemilihan masalah dalam penelitian ini adalah hasil
penelitian ini dapat memberi manfaat karena nilai dari sebuah penelitian
ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari adanya penelitian
tersebut. Adapun manfaat yang penulis harapkan dari penelitian ini antara lain;
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya, hukum administrasi
negara mengenai ketenagakerjaan pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-
penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk mengembangkan penalaran, membentuk pola berfikir yang dinamis,
sekaligus untuk mengembangkan kemampuan penulis dalam mengkritisi
persoalan-persoalan hukum yang diharapkan dapat dipakai sebagai bahan
evaluasi tentang Pemutusan Hubungan Kerja dalam perspektif Hukum
Ketenagakerjaan;
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan pemahaman
bagi pihak-pihak terkait yang interest terhadap persoalan tentang
Pemutusan Hubungan Kerja dalam perspektif Hukum Ketenagakerjaan.
F. Landasan Teori
1. Tinjauan tentang Hubungan Kerja
11
a. Pengertian Hubungan Kerja Hubungan kerja yang terjadi antara pengusaha dan pekerja
memiliki beberapa pengertian, yaitu :
1) Dalam Pasal 1 ayat (15) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa “hubungan kerja adalah
hubungan antara pengusaha dengan pekerja/ buruh berdasarkan
perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan
perintah”.
2) Yang dimaksud dengan hubungan kerja menurut Zainal Asikin adalah
“Hubungan antara Buruh dan Majikan setelah adanya Perjanjian Kerja,
yaitu suatu perjanjian dimana pihak kesatu, siburuh mengikatkan
dirinya pada pihak lain, si majikan untuk bekerja dengan mendapatkan
upah, dan majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan
si buruh dengan membayar upah9.
3) Menurut Lalu Husni dalam bukunya yang berjudul “ Hukum
Ketenagakerjaan Indonesia” yang disebut dengan “hubungan kerja
adalah hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang terjadi setelah
adanya perjanjian kerja.10”
Berdasarkan ketentuan Pasal 50 Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003, hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara
pengusaha dengan pekerja/buruh.Setiap hubungan kerja diawali dengan
kesepakatan perjanjian kerja.Perjanjian kerja yang dibuat oleh pekerja dan
pengusaha tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama yang
dibuat oleh pengusaha dengan serikat pekerja yang ada di perusahaannya.
b. Perjanjian Kerja
1) Pengertian Perjanjian Kerja
9Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan.Jakarta : PT Grafindo Persada 1993, hlm. 6510 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia.Jakarta : PT Grafindo
Persada.2003, hlm. 39
12
“Perjanjian kerja merupakan dasar dari terbentuknya hubungan
kerja.Perjanjian kerja adalah sah apabila memenuhi syarat sahnya
perjanjian dan asas-asas hukum perikatan11”. Bukti bahwa seseorang
bekerja pada orang lain atau pada sebuah perusahaan adalah adanya
perjanjian kerja yang berisi tentang hak-hak dan kewajiban masing-
masing pihak. Berikut ini pengertian tentang perjanjian kerja :
a) Pengertian perjanjian kerja dalam Pasal 1601 huruf a KUH Perdata.
Persetujuan perburuhan adalah perjanjian yang diselenggarakan oleh serikat-serikat buruh yang telah terdaftar pada kementerian Perburuhan (Sekarang departemen Tenaga Kerja) dengan majikan, majikan-majikan, perkumpulan majikan yang berbadan hukum yang pada umumnya atau semata-mata memuat syarat-syarat yang diperhatikan perjanjian kerja.
b) Pengertian perjanjian kerja dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan
pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak,
dan kewajiban para pihak”.
a) Imam Soepomo dalam Lalu Husni
“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu
buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada
pihak lain yakni majikan, dan majikan mengikatkandiri untuk
mempekerjakan buruh dengan membayar upah12.
2) Unsur-Unsur dalam Perjanjian Kerja
a) Adanya unsur work atau pekerjaan
11Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 4112Lalu Husni, Op. Cit. hlm 35
13
Dalam perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang
diperjanjikan (obyek perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah
dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya seizin majikan dapat menyuruh
orang lain. Hal ini dijelaskan dalam KUHPdt Pasal 1603 huruf a yang
berbunyi : “ Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya : hanyalah
dengan seizin majikan ia dapat menyuruh seorang ketiga
menggantikannya.”
“Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat
pribadi karena bersangkutan dengan ketrampilan/ keahliannya,
karena itu menurut hukum jika pekerja meninggal dunia, maka
perjanjian kerja tersebut putus demi hukum.”
“Pekerjaan itu bebas sesuai dengan kesepakatan antara buruh
dan majikan, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum”13.
b) Adanya unsur perintah
“Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja
oleh pengusaha adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada
perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang
diperjanjikan.14”
“Di dalam hubungan kerja kedudukan majikan adalah
pemberi kerja, sehingga ia berhak dan sekaligus berkewajiban untuk
memberikan perintah-perintah yang berkaitan dengan
pekerjaannya”.15
c) Adanya waktu
”Adanya waktu yang dimaksudkan adalah dalam melakukan
pekerjaan harus disepakati jangka waktunya.Unsur jangka waktu
13Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 3614Lalu Husni, Op. Cit. hlm . 37-3815Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 37
14
dalam perjanjian kerja dapat dibuat secara tegas dalam perjanjian
kerja yang diperbuat.16”
d) Adanya upah
“Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja,
bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seseorang pekerja bekerja
pada pengusaha adalah untuk memperoleh upah.Sehingga jika tidak
ada unsur upah, maka suatu hubungan tersebut bukan merupakan
hubungan kerja.17”
3) Syarat Sah Perjanjian Kerja
Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan pada Pasal 52 ayat (1) dijelaskan tentang syarat sahnya
perjanjian kerja adalah:
a) Kesepakatan kedua belah pihak;
Sepakat yang dimaksudkan adanya kesepakatan antara pihak-
pihak yang melakukan perjanjian.Kesepakatan yang terjadi antara
buruh dan majikan secara yuridis haruslah bersifat bebas.18
b) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
“Hukum perburuhan membagi usia kerja dari tenaga kerja
menjadi anak-anak (14 tahun ke bawah), orang muda (14-18 tahun),
dan orang dewasa (18 tahun ke atas)”19.
Ketentuan Pasal 1320 ayat (2) BW, yaitu adanya kecakapan
untuk membuat perikatan.Orang yang membuat suatu perjanjian
harus cakap menurut hukum.Pada asasnya setiap orang yang sudah
dewasa atau akil balig dan sehat pikirannya adalah cakap menurut
hukum.
16Lalu Husni, Op.Cit. hlm. 37-3817Ibid, hlm. 37-3818Asri Wijayanti. Op. Cit. hlm. 4319Ibid, hlm. 43
15
c) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan;
Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan obyek dari
perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha, yang akibat
hukumnya melahirkan hak dan kewajiban para pihak
d) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku;
Sebab yang halal menunjuk pada obyek hubungan kerja boleh
melakukan pekerjaan apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.20
Keempat syarat tersebut bersifat komulatif artinya harus
dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut
sah. Syarat kemauan bebas kedua belah pihak dan kemampuan atau
kecakapan kedua belah pihak dalam membuat perjanjian dalam
hukum perdata disebut sebagai syarat subyektif, sedangkan syarat
adanya pekerjaan yang dijanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan
tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
peraturan perundang undangan yang berlaku disebut sebagai syarat
obyektif.21 Jika syarat obyektif tidak dipenuhi oleh syarat subyektif,
maka akibat dari perjanjian tersebut adalah dapat dibatalkan.22
4) Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kerja
a) Kewajiban Buruh/ Pekerja
20Ibid, hlm. 4521Lalu Husni. Op.Cit. hlm. 39-4022Asri Wijayanti, Op.Cit. hlm. 45
16
Dalam KUHPerdata ketentuan mengenai kewajiban buruh/
pekerja diatur dalam Pasal 1603, 1603 huruf a, 1603 huruf b, dan
1603 huruf c KUHPerdata yang pada intinya sebagai berikut :
(1) Buruh/ pekerja wajib melakukan pekerjaan, melakukan pekerjaan
adalah tugas utama dari seorang pekerja yang harus dilakukan
sendiri, meskipun demikian dengan seizing pengusaha dapat
diwakilkan;
(2) Buruh/ pekerja wajib mentaati aturan dan petunjuk majikan/
pengusaha, dalam melakukan pekerjaannya buruh/ pekerja wajib
mentaati petunjuk yang diberikan oleh pengusaha. Aturan yang
wajib ditaati oleh pekerja sebaiknya dituangkan dalam peraturan
perusahaan sehingga menjadi jelas ruang lingkup dari petunjuk
tersebut; dan
(3) Membayar kewjiaban ganti rugi dan denda, jika buruh/ pekerja
melakukan perbuatan yang merugikan perusahaan baik karena
kesengajaan atau kelalaian, maka sesuai dengan prinsip hukum
pekerja wajib membayar ganti-rugi dan denda.
b) Kewajiban Majikan/ Pengusaha
Kewajiban Pengusaha menurut Lalu Husni23 adalah:
“Kewajiban memberikan istirahat/ cuti, pihak majikanan/
pengusaha diwajibkan untuk memberikan istirahat tahunan kepada
pekerja secara teratur.24”
Waktu istirahat atau cuti sesuai dengan Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan ayat (2) meliputi:
(1) Memberikan istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya
setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus
dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
23 Lalu Husni, Op. Cit. hlm. 42-4324Ibid, hlm. 42-43
17
(2) Memberikan istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu;
(3) Memberikan cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas)
hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja
selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan
(4) Memberikan istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan
dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-
masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja
selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan
yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak
lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan
selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam)
tahun.
(5) Kewajiban mengurus perawatan dan pengobatan, majikan/
pengusaha wajib mengurus perawatan / pengobatan bagi pekerja
yang bertempat tinggal dirumah majikan (Pasal 1602
KUHPerdata);
(6) Kewajiban memberikan surat keterangan, kewajiban ini
didasarkan pada ketentuan Pasal 1602 huruf a KUHPerdata yang
menentukan bahwa majikan/ pengusaha wajib memberikan surat
keterangan yang diberi tanggal dan dibubuhi tanda tangan.
Dalam surat keterangan tersebut dijelaskan mengenai sifat
pekerjaan yang dilakukan, lamanya hubungan kerja dan;
(7) Kewajiban membayar upah. “Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan
dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha
18
atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan
dibayarkan menurut perjanjian kerja”.25
5) Hak-hak Buruh Dalam Perjanjian Kerja
Hak adalah sesuatu yang harus diberikan kepada seseorang
sebagai akibat dari kedudukan atau status dari seseorang.Demikian buruh
juga mempunyai hak-hak karena statusnya itu. Adapun hak-hak dari
buruh itu dapat dirinci sebagai berikut, yaitu :26
a) Hak mendapatkan upah;
b) Hak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusian;
c) Hak bebas memilih dan pindah pekerjaan sesuai bakat dan
kemampuannya;
d) Hak atas pembinaan keahlian kejuruan untuk memperoleh serta
menambah keahlian dan ketrampilan;
e) Hak mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan, serta
perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama;
f) Hak mendapatkan pembayaran penggantian istirahat tahunan, bila
ketika ia di PHK ia sudah mempunyai masa kerja sekurang-
kurangnya 6 bulan terhitung dari saat ia berhak atas istirahat
tahunan yang terakhir;
g) Hak atas upah penuh saat istirahat tahunan;
h) Hak mendirikan dan menjadi anggota Serikat Pekerja Nasional.
c. Perjanjian Kerja Bersama
1) Pengertian Perjanjian Kerja Bersama
25Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 10726 Nurwati, Tinjauan Yuridis Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Serikat
Pekerja.Vol. 1. No.2
19
Perjanjian Kerja Bersama ( Istilah sebelumnya Perjanjian
Perburuhan, kemudian Kesepakatan Kerja Bersama ) memiliki
beberapa pengertian sebagai berikut:
a) Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1601 ayat (1)
disebutkan bahwa perjanjian perburuhan adalah
“ Peraturan yang dibuat oleh seorang atau beberapa orang
perkumpulan majikan yang berbadan hukum dan atau beberapa
serikat buruh yang berbadan hukum, mengenai syarat-syarat kerja
yang harus di indahkan pada waktu membuat perjanjian kerja.”
b) Menurut Pasal 1 ayat (21) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan yang dimaksud dengan Perjanjian Kerja
Bersama adalah
Perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
2) Masa Berlakunya KKB
Masa berlakunya KKB paling lama 2 tahun dan hanya dapat
diperpanjang satu kali untuk paling lama 1 tahun dan pelaksananya
harus disetujui secara tertulis oleh pengusaha dan serikat pekerja.
Menurut Lalu Husni 27, KKB sekurang-kurangnya memuat :
a) Hak dan kewajiban pengusaha;
b) Hak dan Kewajiban serikat pekerja serta pekerja;
c) Tata tertib perusahaan;
d) Jangka waktu berlakunya KKB;
e) Tanggal mulai berlakunya KKB; dan
27 Lalu Husni, Op. Cit. hlm. 46-47
20
f) Tanda tangan para pihak pembuat KKB.28
3) Hubungan Antara Perjanjian Kerja dengan Perjanjian Perburuhan/
KKB
Hubungan perjanjian kerja dengan KKB menurut Lalu Husni
adalah :29
a) Perjanjian perburuhan/KKB merupakan perjanjian induk dari perjanjian kerja;
b) Perjanjian kerja tidak dapat mengenyampingkan perjanjian perburuhan, bahkan sebaliknya perjanjian kerja dapat dikesampingkan oleh perjanjian perburuhan/ KKB jika isinya bertentangan;
c) Ketentuan yang ada dalam perjanjian perburuhan/ KKB secara otomatis beralih dalam isi perjanjian kerja yang dibuat dan
d) Perjanjian perburuhan / KKB merupakan jembatan untuk menuju perjanjian kerja yang baik.
2. Tinjauan tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
a. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Yang dimaksud dengan Pemutusan Hubungan Kerja ( PHK ) adalah:
1) Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 pada Pasal 1 ayat
(25) yang dimaksud dengan Pemutusan hubungan kerja adalah :
“Pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh
dan pengusaha.”
2) Menurut Asri Wijayanti dalam Bukunya yang berjudul “Hukum
Ketenagakerjaan Pasca Reformasi” yang dimaksud dengan Pemutusan
Hubungan Kerja adalah:
“Suatu keadaan di mana si buruh berhenti bekerja dari
majikannya.”30
28Ibid, hlm. 46-4729Ibid, hlm. 4930Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 159
21
3) Menurut Keputusan Menteri dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor : Kep/ 78/ Men/ 2001 yang dimaksud dengan Pemutusan
hubungan kerja adalah :
“Pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha dengan
pekerja/buruh berdasarkan ijin Panitia Daerah atau Panitia Pusat.”
4) Lalu Husni menyebutkan bahwa,
“Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan
kerja antara pengusaha dan pekerja karena berbagai sebab.”31
b. Dasar Hukum Pengaturan Pemutusan Hubungan Kerja ( PHK )
Sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan
pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja
dan peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan
tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan.
Untuk itulah sangat diperlukan adanya perlindungan terhadap
tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/ buruh dan
menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskrimasi atas dasar
apa pun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/ buruh dan keluarganya
dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.32
Hukum Pemutusan Hubungan Kerja adalah bagian yang paling
rumit dari Hukum Perburuhan karena mengatur hubungan yang rawan atau
mengatur masalah-masalah to be or not to be. Oleh karena itu ketentuan
tentang PHK bersifat bivalent, yaitu perdata dan publik.Bersifat perdata
berarti cenderung njimet, mengatur secara mendetail, karenanya sulit
memahaminya.33
31Lalu Husni, Op. Cit. hlm. 17032Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 633Darwan Prinst, Hukum Ketenaga Kerjaan Indonesia, Alumni, Bandung, .2000. hlm.169
22
“Sumber hukum ketenagakerjaan Indonesia yang tertulis tersebar
ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan belum terkodifikasi
dengan baik, sehingga kita harus mencari sendiri berbagai peraturan yang
tersebar apabila akan dipergunakan untuk dasar hukum dalam memecahkan
suatu masalah.”34
Agar efektifnya penegakan hukum bidang perburuhan dalam
penyelesaian PHK, perlu didukung dengan peraturan perundangan yang
lengkap dan perubahan, perbaikan Undang-undang No. 12 Tahun 1984
menjadi Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
sehingga tenaga kerja mendapat perlindungan. Di samping itu perlu
memper-timbangkan korporasi sebagai subyek hukum pidana. Di sisi lain
perlu adanya pengamalan etika, moral dan tanggung jawab sosial perusahaan
(korporasi) terhadap tenaga kerja dalam kehidupan sehari-hari. Demikian
pula peningkatan Sumber.Daya Manusia (SDM) penegak hukum sebagai
petugas yang handal dan tangguh khususnya dalam praktik penyelesaian
PHK mutlak diperlukan.35
Adapun beberapa dasar hukum pengaturan PHK adalah :
1) Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan;
2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial;
3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kepmenakertrans)
Nomor Kep-150/MEN/2000 tentang Penyelesaian Perselisihan
Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangaon, Uang
Penghargaan Masa Kerja, dan Ganti Kerugian dari Perusahaan,
tertanggal 20 Juni 2000;dan
4) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kepmenakertrans)
Nomor Kep-150/ MEN/ 2001 tertanggal 4 Mei 2001. Kepmenakertrans
34Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. [email protected],16/01/16
23
Nomor Kep-78/MEN/ 2001 ini merupakan revisi dari
Kepmenakertrans Nomor Kep-150/MEN/2001
c. Jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
1) Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Majikan/ Pengusaha
“PHK oleh majikan dapat terjadi karena alasan apabila buruh
tidak lulus masa percobaan, apabila majikan mengalami kerugian
sehingga menutup usaha, atau apabila buruh melakukan kesalahan”.36
Pemberhentian di anggap tidak layak menurut Lalu Husni
apabila :37
a) Tidak menyebut alasan;
b) Alasannya dicari-cari/ alasan yang palsu; dan
c) Bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang atau
kebiasaan.
Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 pada Pasal
154 pengusaha tidak perlu melakukan PHK dalam hal :
a) pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana
telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b) pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri,
secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi
adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya
hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu
untuk pertama kali;
c) pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan
ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
36Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 16237Lalu Husni, Op.Cit. hlm. 131-132
24
perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-
undangan; atau
d) pekerja/buruh meninggal dunia
Menurut Djumialdji38 pengusaha dilarang melakukan
pemutusan hubungan kerja dengan alasan :
a) pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit
menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui
12 (dua belas) bulan secara terus menerus;
b) Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya
karena memenuhi kewajiban terhadap Negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c) Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan
agamanya;
d) Pekerja/buruh menikah;
e) Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur
kandungan, atau menyusui bayinya;
f) Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan
perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya didalam satu
perusahaan, kecuali telah diatur didalam peraturan
perusahaa, atau perjanjian kerja bersama;
g) Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/ atau
pengurus serikat pekerja/ serikat buruh, pekerja/buruh
melakukan kegiatan serikat pekerja/buruh diluar jam kerja,
atau didalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja
atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama;
38 Djumialdji, Perjanjian Kerja. Jakarta : Sinar Grafika Offset.2006, hlm. 49-50
25
h) Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang
berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan
tindak pidana kejahatan;
i) Karena perbedaan paham,agama, politik, suku, warna
kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status
perkawinan; dan
j) Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat
kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang
menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu
penyembuhannya belum dapat dipastikan.39
Menurut Pasal 158 ayat (1) Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003, Pengusaha/ Majikan dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja dengan alasan Pekerja/buruh telah melakukan
kesalahan berat sebagai berikut :
a) melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang
dan/atau uang milik perusahaan;
b) memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan
sehingga merugikan perusahaan;
c) mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan,
memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan
zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d) melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan
kerja;
e) menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi
teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f) membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan;39Ibid, hlm. 49-50
26
g) dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan
dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang
menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h) dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja
atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i) membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang
seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara;
atau
j) melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan
yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan
alasan sebagaimana dimaksud di atas dapat memperoleh uang
penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4)
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003.
Kesalahan berat diatas berdasarkan ketentuan Pasal 158
ayat (2) harus didukung dengan bukti :
a) Pekerja/buruh tertangkap tangan;
b) Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkuta; atau
c) Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang
berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung
sekurang-kurangnya dua orang saksi.
a) Pemutusan Hubungan Kerja Karena Perubahan Status,
Penggabungan, Peleburan, atau Perubahan Kepemilikan
Perusahaan
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi peru-bahan status,
penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan
dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka
27
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh karena perubahan status, penggabungan, atau
peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima
pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas
uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2),
uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156
ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156
ayat (4).
b) Pemutusan Hubungan Kerja Karena Perusahaan Tutup
Disebabkan Perusahaan Mengalami Kerugian Secara Terus
Menerus
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan
perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua)
tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
“Uang pesangon dan uang penghargan masa kerja
perhitungan didasarkan pada upah sebulan terakhir sebelum terkena
PHK. Upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan yang bersifat tetap
( Pasal 157 ayat (1) ). Sedang uang penggantian hak antara lain
28
berupa cuti tahunan yang belum diambil, biaya ongkos pulang,
penggantian perumahan dan kesehatan.”40
c) Pemutusan Hubungan Kerja Karena Perusahaan Tutup Bukan
Karena Mengalami Kerugian
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena
mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena
keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan
efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon
sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan
masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
d) Pemutusan Hubungan Kerja Karena Perusahaan Pailit
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/ buruh karena perusahaan pailit, dengan ketentuan
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
2) Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Buruh/ Pekerja
PHK oleh buruh dapat terjadi apabila buruh mengundurkan diri atau
terdapat alasan yang mendesak yang mengakibatkan buruh minta di-
PHK. Pengunduran diri buruh dapat dianggap terjadi apabila buruh
mangkir paling sedikit dalam waktu 5 hari kerja berturut-turut dan telah 40 Annisrul Nur. Pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja Disebabkan Oleh Tutupnya Perusahaan
Karena Mengalami Kerugian (Kajian pada Perusahaan yang Berbentuk Badan Hukum Perseroan Terbatas)”. Vol 8, No 1.
29
dipanggil oleh pengusaha 2 kali secara tertulis, tetapi pekerja tidak dapat
memberikan keterangan tertulis dengan alat bukti yang sah.41
Seorang buruh yang akan mengakhiri hubungan kerja harus
mengemukakan alasan-alasannya kepada pihak majikan. Alasan mendesak
adalah suatu keadaan sedemikian rupa sehingga mengakibatkan bahwa
buruh tersebut tidak sanggup untuk meneruskan hubungan kerja. Alasan-
alasan mendesak dimaksud di antaranya :42
a) Apabila majikan menganiaya, menghina secara kasar atau melakukan
ancaman yang membahayakan si buruh atau anggota keluarganya;
b) Apabila majikan membujuk buruh atau anggota keluarganya untuk
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang atau
tata susila; dan
c) Majikan tidak membayar upah sebagaimana menstinya/ tidak tepat
waktu.
Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, Pekerja/buruh
dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal
pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut :
a) menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
b) membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c) tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama
3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
d) tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/
buruh;
e) memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar
yang diperjanjikan; atau
41Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 5542Lalu Husni, Op. Cit. hlm. 133
30
f) memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan,
kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan
tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
3) Hubungan Kerja Putus demi Hukum
Selain diputuskan oleh majikan atau buruh, hubungan kerja juga
dapat putus/ berakhir demi hukum, artinya hubungan kerja tersebut harus
putus dengan sendirinya. Hubungan kerja putus demi hukum apabila :43
a) Buruh/ pekerja dalam masa percobaan;
b) Buruh/ pekerja mengundurkan diri tanpa syarat atau karena
memasuki usia pensiun;
c) Buruh/ pekerja meninggal dunia; dan
d) Hubungan kerja/ perjanjian kerja yang diadakan untuk waktu tertentu
dan waktu yang ditentukan itu telah berakhir/ lampau, jadi dengan
selesainya suatu kontrak kerja, maka hubungan kerja putus dengan
sendirinya.
4) Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pengadilan
Yang dimaksud dengan pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan
ialah pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan perdata biasa atau
permintaan yang bersangkutan berdasarkan alasan penting.Alasan
penting adalah disamping alasan mendesak juga karena perubahan
keadaan pribadi atau kekayaan pemohon atau perubahan keadaan
dimana pekerjaan yang dilakukan sedemikian rupa sifatnya, sehingga
adalah layak untuk memutuskan hubungan kerja.44
43Ibid, hlm. 133-13444Ibid, hlm.. 131-135
31
d. Prosedur PHK oleh Pengusaha
Menurut Lalu Husni, tata cara PHK yang dilakukan oleh pengusaha
adalah:45
1) Pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan
kerja;
2) Setelah dilakukan segala usaha dimana pemutusan hubungan kerja tidak
dapat dihindarkan, maka pengusaha harus merundingkan maksudnya
untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja dengan organisasi pekerja
yang bersangkutan/ yang ada diperusahaan atau dengan karyawan/ tenaga
kerja/ pekerja sendiri dalam hal tenaga kerja tersebut tidak menjadi
anggota salah satu organisasi pekerja;
3) Bila perundingan tersebut nyata-nyata tidak menghasilkan persetujuan
paham, pengusaha hanya dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
dengan tenaga kerja setelah mendapat izin dari Panitia Perselisihan
Perburuhan Daerah ( P4D) bagi pemutusan hubungan kerja perseorangan
dan Panitia Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) bagi pemutusan
hubungan kerja secara besar-besaran;
4) P4D dan P4P menyelesaikan permohonan izin pemutusan hubungan kerja
dalam waktu sesingkat-singkatnya menurut tata cara yang berlaku untuk
penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dalam hal P4D atau P4P
memberikan izin, maka dapat ditetapkan pula kewajiban pengusaha untuk
memberikan kepada tenaga kerja/ karyawan yang bersangkutan uang
pesangon, uang jasa, dang anti kerugian lainnya;
5) Hal-hal yang harus dimuat dalam permohonan izin pemutusan hubungan
kerja oleh pengusaha adalah :
a) Nama dan kedudukan perusahaan;
b) Nama orang yang bertanggung jawab di perusahaan;45Ibid, hlm. 127-130
32
c) Nama dari karyawan/ tenaga kerja yang dimintakan pemutusan
hubungan kerja;
d) Umur dan jumlah keluarga si pekerja;
e) Jumlah masa kerja dari setiap tenaga kerja yang dimintakan pemutusan
hubungan kerja;
f) Penghasilan terakhir berupa uang dan catu tiap bulannya;
g) Alasan-alasan pengusulan pemutusan hubungan kerja secara
terperinci.
6) Permohonan izin pemutusan hubungan kerja tidak dapat diberikan apabila
pemutusan hubungan kerja tersebut didasarkan atas :
a) Hal-hal yang berhubungan dengan keanggotaan serikat pekerja atau
dalam rangka pembentukan serikat pekerja dan melaksanakan tugas-
tugas atau fungsi serikat pekerja diluar jam kerja;
b) Pengaduan pekerja/ tenaga kerja kepada yang berwajib mengenai
tingkah laku pengusaha yang terbukti melanggar peratuan Negara dan
c) Paham agama, aliran, suku, golongan atau jenis kelamin.
7) Permohonan izin pemutusan hubungan kerja dapat diberikan dalam hal
tenaga kerja/ pekerja melakukan kesalahan berat
e. Kompensasi PHK
1) Hak-hak tenaga kerja yang terkena PHK
Berdasarkan ketentuan di dalam Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 dijelaskan bahwa bila terjadi PHK, pengusaha diwajibkan
membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan
uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Menurut Lalu Husni
Hak-hak yang diterima oleh pekerja/ buruh yang mengalami PHK
adalah :46
a) Uang pesangon46Ibid, hlm. 142
33
“Uang pesangon adalah pembayaran dalam bentuk uang dari
pengusaha kepada pekerja sebagai akibat adanya PHK yang
jumlahnya disesuaikan dengan masa kerja pekerja.”47
Menurut Asri Wijayanti, besarnya uang pesangon ditetapkan
paling sedikit sebagai berikut :48
(1) masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua)
tahun, 2 (dua) bulan upah;
(2) masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga)
tahun, 3 (tiga) bulan upah;
(3) masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat)
tahun, 4 (empat) bulan upah;
(4) masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5
(lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
(5) masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6
(enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
(6) masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7
(tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
(7) masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8
(delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah; dan
(8) masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan
upah.
b) Uang Penghargaan Masa Kerja
“Uang penghargaan masa kerja atau dalam peraturan
sebelumya disebut dengan uang jasa adalah uang penghargaan
47 Ibid, hlm. 13548Asri Wijayanti, Op.Cit. hlm. 173
34
pengusaha kepada pekerja yang besarnya dikaitkan dengan lamanya
masa kerja”.49
Menurut Asri Wijayanti, besarnya uang penghargaan masa
kerja ditetapkan paling sedikit sebagai berikut :50
(1) masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6
(enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
(2) masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9
(sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
(3) masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari
12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
(4) masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari
15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
(5) masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang
dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
(6) masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang
dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
(7) masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan
upah; dan
(8) masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10
(sepuluh) bulan upah.
c) Uang Ganti Rugi
“Uang ganti kerugian adalah pemberian berupa uang dari
pengusaha kepada pekerja sebagai pengganti dari hak-hak yang
belum diambil seperti istirahat tahunan, istirahat panjang, biaya
perjalanan pulang ketempat dimana pekerja diterima bekerja dll.”51
49Lalu Husni, Op. Cit. hlm. 13550Asri wijayanti, Op. Cit. hlm. 17351Lalu Husni, Op. Cit. hlm. 135
35
Dalam Pasal 24 Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 150
tahun 2000 disebutkan bahwa ganti rugi meliputi :
(1) Istirahat tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
(2) Ganti kerugian atas istirahat panjang bilamana perusahaan yang
bersangkutan berlaku peraturan istirahat panjang dan pekerja
belum mengambil istirahat itu menurut perbandingan antara
masa kerja pekerja dengan masa kerja yang ditentukan untuk
dapat mengambil istirahat panjang;
(3) Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya
ketempat dimana pekerja diterima bekerja;
(4) Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan
ditetapkan sebesar 15% ( lima belas persen ) dari uang
pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja/ jasa, apabila
masa kerjanya memenuhi syarat untuk mendapatkan uang
penghargaan masa kerja/ jasa; dan
(5) Hal-hal lain yang ditetapkan oleh panitian daerah atau panitia
pusat.
Tabel 1 :
Hak-hak Pekerja yang di PHK dikaitkan dengan alasan PHK52
Alasan Pesangon Penghargaan Masa Kerja
Ganti Rugi Perumahan, Perawatan
dan Pengobatan
Keterangan
PHK Demi HukumMasa Kontrak Kerja HabisTidak Lulus Masa PercobaanMeninggal Dunia 2x 1x 1x Pasal 166PHK Oleh BuruhMengundurkan Diri 1x Pasal 162 ayat
52 Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 174
36
(1) dan (2) (ditambah uang pisah )
Alasan Mendesak 1x 1x 1x Pasal 169 ayat (2) ( apabila tuduhan pekerja tidak terbukti dinyatakan oleh lembaga PPHI maka tidak berhak uang pesangon dan UPMK)
Pensiun 2x 1x 1x Pasal 167 ayat (2)( pekerja diikutkan program pension tidak mendapat uang pesangon, jika diikutkan tetapi jumlahnya lebih kecil selisihnya dibayarkan pengusaha Psl 167 ayat (1)
PHK Oleh MajikanKesalahan Buruh Ringan
1x 1x 1x Pasal 162/3
Kesalahan Buruh Berat
1x 1x Pasal 160/7
Perusahaan Tutup Pailit
1x 1x 1x Pasal 65
Force mejeur 1x 1x 1x Pasal 164/1Ada efisiensi 2x 1x 1x Pasal 164/3Perubahan status, milik, lokasi, buruh menolak
1x 1x 1x Pasal 163/1
Perubahan status, milik, lokasi,
2x 1x 1x Pasal 163/2
37
majikan menolakPekerja sakit berkepanjangan mengalami cacat akibat kecelakaan kerja
2x 2x 1x Pasal 172
Keterangan :
1x : Hak yang diperoleh dikalikan 1x
2x : Hak yang diperoleh dikalikan 2x
Jika semua hak diperoleh, maka 1 komponen dikalikan terlebih dahulu,
kemudian dijumlahkan dengan komponen hak yang lain yang sudah
dikalikan, dan hasilnya adalah seluruh hak yang diterima.
2) Komponen Upah sebagai Dasar Perhitungan Kompensasi PHK
a) Pengertian Upah
(1) Menurut Darwan Prints yang dimaksud dengan upah adalah :
“Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari
pengusaha kepada buruh atas prestasi berupa pekerjaan atau
jasa yang telah atau akan dilakukan oleh Tenaga Kerja dan
dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang.”53
(2) Menurut Asri Wijayanti, yang dimaksud dengan upah adalah:
Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan54.
53Darwan Print, Op. Cit. hlm. 14754 Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 102
38
Upah pada prinsipnya hanya diberikan apabila pekerja
masuk kerja. Prinsip ini dikenal dengan no work no pay.55 Upah
sebagai dasar pemberian uang pesangon, uang jasa dan uang
kerugian terdiri dari :56
(1) Upah pokok;
(2) Segala macam tunjungan yang bersifat tetap yang diberikan
kepada pekerja keluarganya; dan
(3) Harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja
secara Cuma-Cuma harus dibayar kepada pekerja sebagai
sibsidi maka sebagai upah dianggap selisih antara harga
pembelian dengan yang harus dibayar oleh pekerja.
3. Tinjauan tentang Kebijakan
a. Teori Kebijakan
Teori yang akan dipergunakan dalam rangka penelitian tentang
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG KETENAGAKERJAAN (Studi Kasus Perlindungan Hukum
Terhadap Tenaga Kerja terkena Pemutusan Hubungan Kerja di Kota
Gorontalo sebagai landasan pemikiran adalah teori kebijakan dari Thomas
R. DYE.
Berbicara tentang perspektif kebijakan publik mengarahkan
perhatian kita untuk mengkaji proses pembuatan kebijakan (policy making
process) oleh pemerintah (government) atau pemegang kekuasaan dan
dampaknya terhadap masyarakat luas (public). Thomas R. Dye
mendefinisikan kebijakan publik sebagai “ is whatever government
55Ibid. hlm. 11556Lalu Husni, Op. Cit. hlm. 138
39
choose to do is on not to do” .secara sederhana pengertian kebijakan
publik dirumuskan dalam kalimat sebagai berikut:57
a. Apa yang dilakukan oleh pemerintah (What government do?)b. Mengapa dilakukan tindakan itu (Why government do?)
c. Dan apa terjadi kesenjangan antara apa yang ingin diperbuat dengan kenyataan (what defference it makes?)
Kebijakan publik (public policies) sebagai rangkaian pilihan yang
kurang lebih satu unsur dengan unsur lainnya saling berhubungan
termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak yang dibuat oleh
badan-badan pejabat pemerintah yang diformulaikan ke dalam isu-isu
publik dari masalah pertahanan, energi, kesehatan sampai kepada
permasalahan pendidikan, kesejahteraan dan kejahatan.
Sistem kebijakan publik adalah produk manusia yang subjektif
yang diciptakan melalui pilihan-pilihan yang sadar oleh para pelaku
kebijakan sekaligus realitas objektif yang diwujudkan dalam tindakan-
tindakan yang dapat diamati akibat-akibat yang ditimbulkannya,
setidak-tidaknya menyangkut 3 (tiga) unsur penting yaitu :58
(1) Pelaku kebijakan
(2) Kebijakan publik
(3) Lingkungan kebijakan
Ketertiban antara hukum dan kebijakan publik akan semakin
relevan pada saat hukum diimplementasikan. Proses implementasi selalu
melibatkan lingkungan dan kondisi yang berbeda di tiap tempat, karena
memiliki ciri-ciri struktur sosial yang tidak sama. Demikian pula
57 Thomas R Dye, Understanding Public Policy, State University, Florida, 1981, hlm. 77
58 Ibid, hlm. 89
40
keterlibatan lembaga di dalam proses implementasi selalu akan bekerja di
dalam konteks sosial tertentu sehingga terjadi hubungan timbal balik yang
dapat saling mempengaruhi.
Proses implementasi kebanyakan diserahkan kepada lembaga
pemerintah dalam berbagai jenjang /tingkat, baik propinsi maupun tingkat
kabupaten. Setiap jenjang pelaksanaan pun masih membutuhkan
pembentukan kebijaksanaan lebih lanjut dalam berbagai bentuk peraturan
perundang-undangan untuk memberikan penjabaran lebih lanjut.
Apabila sarana yang dipilih adalah hukum sebagai suatu proses
pembentukan kebijaksanaan publik, maka faktor-faktor non hukum akan
selalu memberikan pengaruhnya dalam proses pelaksanaannya. Untuk
mengantisipasi hal ini diperlukan langkah-langkah kebijaksanaan
meliputi:
(1) menggabungkan rencana tindakan dari suatu program dengan
menetapkan tujuan, standart pelaksana, biaya dan waktu yang jelas;
(2) melaksanakan program dengan memobilisasi struktur, staf, biaya,
resources, prosedur, dan metode, dan
(3) membuat jadual pelaksanaan (time schedule) dan monitoring untuk
menjamin bahwa program tersebut berjalan terus sesuai rencana.
Dengan demikian, jika terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan
program tersebut akan segera diambilkan tindakan yang sesuai. Secara
singkat, pelaksanaan suatu program melibatkan unsur penetapan waktu,
perencanaan dan monitoring.
Berangkat dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa
pembentukan peraturan perundang-undangan hendaknya disertai dengan
action plan. Di Indonesia, untuk dapat melakukan program-program
pemerintah, maka perlu dijabarkan lebih konkrit dalam bentuk peraturan
41
perundangan. Gledden mengklasifikasikan kebijaksanaan itu menurut
tinggi rendahnya tingkatan/level, yaitu :59
(1) kebijaksanaan politis (political policy); (2) kebijakan eksekutif (executive policy); (3) kebijaksanaan administratif (administrative policy); dan(4) kebijaksanaan teknis atau operasional (techniocal or operasional
policy). Mengenai tingkatan kebijaksanaan ini telah tampak di dalam perundang-undangan di Indonesia.
b. Proses Kebijakan Publik
Proses analisis kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas
intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis.
Aktivitas politis tersebut nampak dalam serangkaian kegiatan yang
mencakup penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan,
implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Sedangkan aktivitas
perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan, monitoring, dan
evaluasi kebijakan adalah aktivitas yang lebih bersifat intelektual.
Dalam penyusunan agenda kebijakan ada tiga kegiatan yang perlu
dilakukan yakni : 60
(1) membangun persepsi di kalangan stakeholder bahwa sebuah fenomena benar-benar dianggap sebagai masalah. Sebab bisa jadi suatu gejala oleh sekelompok masyarakat tertentu dianggap masalah, tetapi oleh sebagian masyarakat yang lain atau elite politik bukan dianggap sebagai masalah;
(2) membuat batasan masalah; dan
(3) memobilisasi dukungan agar masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah. Memobilisasi dukungan ini dapat dilakukan dengan cara mengorganisir kelompok-kelompok yang ada dalam
59 Tjokroamidjojo, Kebijakan-Kebijakan Pemerintah, Alumni, Bandung, 1974, hlm. 11560 A.G Subarsono, Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 11
42
masyarakat, dan kekuatan-kekuatan politik, publikasi melalui media massa dan sebagainya.
Pada tahap formulasi dan legitimasi kebijakan, analisis kebijakan
perlu mengumpulkan dan menganalisis informasi yang berhubungan
dengan masalah yang bersangkutan, kemudian berusaha mengembangkan
alternatif-alternatif kebijakan, membangun dukungan dan melakukan
negosiasi, sehingga sampai pada sebuah kebijakan yang dipilih.
Tahap selanjutnya adalah implementasi kebijakan. Pada tahap ini
perlu dukungan sumber daya, dan penyusunan organisasi pelaksanaan
kebijakan. Dalam proses implementasi sering ada mekanisme intensif dan
sanksi agar implementasi suatu kebijakan berjalan dengan baik. Dari
tindakan kebijakan akan dihasilkan kinerja dan dampak kebijakan, dan
proses selanjutnya adalah evaluasi terhadap implementasi, kinerja, dan
dampak kebijakan. Hasil evaluasi ini bermanfaat bagi penentuan
kebijakan baru di masa yang akan datang, agar kebijakan yang akan
datang lebih baik dan lebih berhasil.
c. Lingkungan Kebijakan
Lingkungan kebijakan, seperti adanya pengangguran, kriminalitas,
krisis ekonomi, gejolak politik yang ada pada suatu Negara akan
mempengaruhi atau memaksa pelaku atau aktor kebijakan untuk
meresponsnya, yakni memasukkannya ke dalam agenda pemerintah dan
selanjutnya melahirkan kebijakan publik untuk memecahkan masalah-
masalah yang bersangkutan. Misalnya kebijakan pengembangan investasi
yang dapat menyerap tenaga kerja, kebijakan penegakan hukum untuk
mengatasi kriminalitas, kebijakan pengurangan pajak untuk memacu
pertumbuhan ekonomi, dan kebijakan keamanan untuk mengatasi gejolak
politik .
43
Teori sistem berpendapat bahwa pembuatan kebijakan publik tidak
dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan. Tuntutan terhadap kebijakan
dapat dilahirkan karena pengaruh lingkungan, dan kemudian
dotransformasikan ke dalam suatu sistem politik. Dalam waktu yang
bersamaan ada keterbatasan dan konstrain dari lingkungan yang akan
mempengaruhi policy makers. Faktor lingkungan tersebut antara lain:
karakteristik geografi, seperti sumber daya alam, iklim, dan topografi;
variable demografi seperti: banyaknya penduduk, distribusi umur
penduduk, lokasi spasial, kebudayaan politik; struktur sosial; dan sistem
ekonomi. Dalam kasus tertentu, lingkungan internasional dan kebijakan
internasional menjadi penting untuk dipertimbangkan61
Prinsipnya ada dua variabel lingkungan, yakni variabel kebudayaan
politik (political culture variable) dan variabel sosial ekonomi (socio
economic variable)
(1) Kebudayaan politik. Setiap masyarakat memiliki budaya yang berbeda,
dan ini berarti nilai dan kebiasaan hidup berbeda dari satu masyarakat
ke masyarakat yang lain. Kebudayaan oleh seseorang pakar
Antropologi Clyde Kluckhohn didefinisikan sebagai the total life way
of people, the sosial legacy the individual acquires from his group
(keseluruhan cara hidup masyarakatan dan warisan sosial yang
dipereoleh dari kelompoknya). Sebagian besar ilmuwan berpendapat
bahwa kebudayaan masyarakat dapat membentuk atau mempengaruhi
tindakan sosial, tetapi bukan satu-satunya penentu. Kebudayaan hanya
salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku masyarakat.
Kebudayaan politik adalah bagian dari kebudayaan masyarakat, yang
mencakup nilai, kepercayaan dan sikap tentang apa yang akan
61 Ibid, hlm. 15
44
dilakukan oleh pemerintah dan bagaimana melakukannya serta
bagaimana menjalin hubungan dengan warganegaranya.
(2) Kondisi sosial ekonomi. Kebijakan publik sering dipandang sebagai
instrument untuk menyelesaikan konflik antara berbagai kelompok
dalam masyarakat, dan antara pemerintah dengan privat. Salah satu
sumber konflik, khususnya dalam masyarakat yang maju, adalah
aktivitas ekonomi. Konflik dapat berkembang dari kepentingan yang
berbeda antara perusahaan besar dan kecil, pemilik perusahaan dan
buruh, debitor dan kreditor, customer dan penjual. Petani dengan
pembeli hasil-hasil pertanian, dan sebagainya. Hubungan antara
kelompok-kelompok yang berbeda di atas dapat dikurangi atau
diselesaikan dengan kebijakan pemerintah dalam wujud perubahan
ekonomi atau pembangunan. Kebijakan pemerintah dapat melindungi
kelompok yang lemah dan menciptakan keseimbangan hubungan
antara kelompok yang berbeda.
Dalam pandangan seorang pakar politik David Easton
sebagaimana dikutip oleh Dye (1981), kebijakan publik dapat dilihat
sebagai suatu sistem yang terdiri dari input, konversi, dan output.
Dalam konteks ini ada dua variabel makro yang mempengaruhi
kebijakan publik, yakni lingkungan domestik dan lingkungan
internasional.62 Baik lingkungan domestik maupun lingkungna
internasional /global dapat memberikan input yang berupa dukungan
dan tuntutan terhadap sebuah sistem politik. Kemudian para aktor
dalam sistem politik akan memproses atau mengonversi input tersebut
menjadi output yang berwujud peraturan dan kebijakan. Peraturan dan
kebijakan tersebut akan diterima oleh masyarakat, selanjutnya
masyarakat akan memberikan umpan balik dalam bentuk input baru
kepada sistem politik tersebut. Apabila kebijakan tersebut memberikan 62 Ibid, hlm. 17
45
intensif, maka masyarakat akan mendukungnya. Sebaliknya, apabila
kebijakan tersebut bersifat disinsentif.
d. Sistem Kebijakan Publik
Analisis kebijakan merupakan proses kajian yang mencakup lima
komponen, dan setiap komponen dapat berubah menjadi komponen yang
lain melalui prosedur metodologi tertentu, seperti perumusan masalah,
peramalan, rekomendasi, pemantauan, dan evaluasi. Sebagai contoh,
prosedur peramalan akan menghasilkan masadepan kebijakan, dan
rekomendasi akan melahirkan aksi kebijakan, dan pemantauan akan
menghasilkan hasil-hasil kebijakan, serta evaluasi akan melahirkan kinerja
kebijakan. Melakukan analisis kebijakan berarti menggunakan kelima
prosedur metodologi tersebut, yakni merumuskan masalah kebijakan,
melakukan peramalan, membuat rekomendasi, melakukan pemantauan, dan
melakukan evaluasi kebijakan.
d. Jenis-jenis Kebijakan
Secara tradisional, pakar ilmu politik mengategorikan kebijakan
publik ke dalam kategori : 63
(1) Kebijakan substantif (misalnya : kebijakan perburuhan, kesejahteraan sosial, hak-hak sipil, masalah luar negeri dan sebagainya);
(2) kelembagaa (misalnya :kebijakan legislatif, kebijakan judikatif, kebijakan departemen);
(3) kebijakan menurut kurun waktu tertentu ( misalnya: kebijakan masa reformasi, kebijakan masa Orde baru dan Kebijakan masa Orde Lama).
63 Ibid, hal. 19
46
Kategori lain tentang kebijakan dibuat oleh James Anderson sebagai
berikut:64
(1) Kebijakan substantive vs kebijakan procedural. Kebijakan substantive adalah kebijakan yang menyangkut apa yang akan dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan kebijakan procedural adalah bagaimana kebijakan substantive tersebut dapat dijalankan.
(2) Kebijakan distributive vs kebijakan regulatori vs kebijakan re distributive. Kebijakan distributive menyangkut distribusi pelayananan atau kemanfaatan pada masyarakat atau segmen masyarakat tertentu atau individu. Kebijakan regulatori adalah kebijakan yang berupa pembatasan atau pelarangan terhadap perilaku individu atau kelompok masyarakat. Sedangkan kebijakan re distributive adalah kebijakan yang mengatur alokasi kekayaan pendapatan, pemilikan atau hak-hak diantara berbagai kelompok dalam masyarakat.
(3) Kebijakan material vs kebijakan simbolis. Kebijakan material adalah kebijakan yang memberikan keuntungan sumber daya konkrit pada kelompok sasaran. Sedangkan kebijakan simbolis adalah kebijakan yang memberikan manfaat simbolis pada kelompok sasaran.
(4) Kebijakan yang berhubungan deangan barang umum (public goods) dan barang privat (privat goods). Kebijakan public goods adalah kebijakan yang bertujuan mengatur pemberian barang atau pelayanan publik. Sedangkan kebijakan yang berhubungan dengan private goods adalah kebijakan yang mengatur penyediaan barang atau pelayanan untuk pasar bebas.
4. Teori Bekerjanya Hukum
Hukum tumbuh hidup dan berkembang di dalam masyarakat.
Hukum merupakan sarana menciptakan ketertiban dan ketentraman bagi
kedamaian dalam hidup sesama warga masyarakat. Hukum tumbuh dan
berkembang bila warga masyarakat itu sendiri menyadari makna kehidupan
hukum dalam kehidupannya. Sedangkan tujuan dari hukum itu sendiri adalah
untuk mencapai suatu kedamaian dalam masyarakat65. Oleh karena itu hukum
melindungi kepentingan manusia, misalnya kemerdekaan, transaksi manusia
64 Ibid, hal. 2665 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press, 1986, hlm. 13
47
satu dengan yang lain dalam masyarakat pasar dan sebagainya. Di samping
itu juga untuk mencegah selanjutnya menyelesaikan pertentangan yang dapat
menumbuhkan perpecahan antara manusia dengan manusia, antara manusia
dengan lembaga.
Berdasarkan fungsi hukum, baik sebagai sarana rekayasa sosial
mampu sebagai sarana kontrol sosial, maka setiap peraturan yang mengatur
retribusi diciptakan untuk dijalankan sesuai dengan tujuan dan makna yang
dikandungnya. Warga masyarakat (individu) sebagai pihak yang dituju oleh
suatu peraturan wajib dengan lapang hati dan penuh pengertian patuh kepada
hukum tersebut. Adanya peraturan-peraturan hukum dan lembaga-lembaga
serta aparat penegak hukum yang dilengkapi dengan sarana dan fasilitas yang
diperlukan tanpa didukung oleh kesadaran warga masyarakat sebagai
individu anggota masyarakat, maka kemungkinan hukum itu mengalami
banyak hambatan dalam penerapannya, karena perilaku individu bermacam-
macam.
Dalam suatu masyarakat yang pluralistik, penyimpangan yang
dilakukan seseorang menjadi kebiasaan bagi lainnya. Dalam keadaan
demikian diperlukan kontrol sosial, dalam arti mengendalikan tingkah laku
pekerti warga masyarakat agar selalu tetap konform dengan keharusan-
keharusan norma, hampir selalu dijalankan dengan berdasarkan kekuatan
sanksi66. Seringkali kontrol sosial tidak terlaksana secara penuh dan
konsekuen, bukan karena kondisi-kondisi objektif yang tidak memungkinkan,
tetapi karena sikap toleran agen-agen kontrol sosial terhadap pelanggaran-
pelanggaran yang terjadi. Mengambil sikap toleran yaitu sementara
pelanggar norma lepas dari sanksi yang seharusnya dijatuhkan67. Di samping
66 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum. Paradigma dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Perklumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HuMa), 1986, hlm. 19
67 Ibid, hlm. 58
Lembaga Pembuat Peraturan
Lembaga penerapan peraturan
Pemegang Peran
Umpan Balik
Norm
a
Umpan Balik
48
itu, kadar ketaatannya juga dipengaruhi oleh sanksi dari peraturannya atau
dari hukum dan para aparat penegak hukumnya. Sehingga tidak jarang pula
terlihat kesenjangan antara perilaku yang diharapkan dengan maksud dan
tujuan peraturn dengan perilaku yang diwujudkan.
Keefektifan hukum bila dikaitkan dengan badan-badan penegak
hukumnya, maka faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain adalah
undang-undang yang mengaturnya harus dirancang dengan baik
(perancangan undang-undang) dan mereka yang bekerja sebagai pelaksana
hukum harus memusatkan tugasnya dengan baik pula. Hukum agar bisa
berfungsi sebagai sarana rekayasa sosial bagi masyarakat biasa dan
masyarakat pejabat (pegawai), maka dapat dipakai pula pendekatan dengan
mengambil teori Robert Siedman yang menyatakan bahwa bekerjanya
hukum dalam masyarakat itu melibatkan tiga komponen dasar, yaitu pembuat
hukum (Undang-undang), birokrat pelaksana dan pemegang peranan. Dengan
mencoba untuk menerapkan pandangan tersebut di dalam analisisnya
mengenai bekerjanya hukum di dalam masyarakat. Model tentang bekerjanya
hukum itu dilukiskan di dalam bagan sebagai berikut:
Gambar 1: Bagan Teori Robert Siedman dan Chamblis68
Faktor-faktor sosial dan
personal lainnya
68 Robert Siedman dan Chamblis, Law, Order and Power, Reading, Mass: Affison – Wesly 1971, hlm. 12
49
Norma
aktivitas penerapan
Faktor-faktor sosial dan faktor-faktor sosial dan personal lainnya personal lainnya
Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa pelaksana hukum,
perilakunya ditentukan pula peranan yang diharapkan daripadanya, namun
harapan itu tidak hanya ditentukan oleh peraturan-peraturan saja, melainkan
juga ditentukan oleh faktor-faktor lainnya, termasuk faktor yang ikut
menentukan bagiamana respon yang diberikan oleh pemegang peran adalah
sebagai berikut69:
a. Sanksi-sanksi yang terdapat di dalamnya
b. Aktifitas dari lembaga-lembaga atau badan-badan pelaksana hokum
c. Seluruh kekuatan sosial, politik dan lainnya yang bekerja atas diri
pemegang peran itu.
5. Teori Implementasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, implementasi berarti :70
a. Pelaksanaan yaitu Pelaksanaan merupakan kegiatan yang dilaksanakan
oleh suatu badan atau wadah secara berencana, teratur dan terarah guna
mencapai tujuan yang diharapkan.
b. Penerapan, Kamus Blacks’s Law merumuskan secara pendek bahwa to
implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for
carrying out (menimbulkan dampak/ akibat terhadap sesuatu). Kalau
pandangan ini diikuti, maka implementasi kebijaksanaan keputusan dapat
dipandang sebagai suatu proses melaksanaan keputusan kebijaksanaan
69 Ibid, hlm. 1270 Kanus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2003, hlm 319
50
(biasanya dalam bentuk Undang-Undang, peraturan pemerintah,
keputusan peradilan, pemerintah eksekutif atau dekrit persiden).
Teori Implementasi yang dipergunakan adalah teori Implementasi
Hans Kelsen. Salah satu ciri yang menonjol pada teori Kelsen adalah
paksanaan. Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu
berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarkhi tata susunan,
dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar
pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian
seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih
lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif yaitu norma dasar (grundnorm).
Sehingga, norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu
norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan semakin
abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah kedudukannya, akan
semakin konkrit norma tersebut. Norma yang paling tinggi, yang
menduduki puncak piramida, disebut oleh Kelsen dengan nama
Grundnorm (norma dasar).
Dalam hubungannya dengan penulisan ini, implementasi diberi
batasan : berlakunya suatu hukum atau peraturan perUndang-Undangan di
dalam masyarakat.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa proses implementasi adalah keputusan
dasar biasanya dalam bentuk Undang-Undang namun dapat pula
berbentuk perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau
keputusan badan peradilan. Pada umumnya, keputusan tersebut
mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi dengan menyebutkan
secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara
untuk menstruktur atau mengatur proses implementasinya. Proses ini
berlangsung setelah melalui beberapa tahapan tertentu, yang biasanya
51
diawali dengan kebijakan dalam bentuk kebijakan bentuk pelaksanaan
keputusan oleh badan pelaksananya.
Memperhatikan pendapat tersebut di atas maka dapat diambil
kesimpulan bahwa pengertian implementasi adalah suatu proses yang
melibatkan sejumlah sumber-sumber didalamnya termasuk manusia, dana,
kemampuan organisional, baik oleh pemerintah maupun oleh swasta
(individu atau kelompok untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya oleh pembuat kebijakan).
Sebagai suatu pendekatan untuk pengambilan keputusan, yang
memperhitungkan baik keputusan yang fundamental maupun keputusan
yang inkramental dan memberikan urutan teratas bagi proses pembuatan
kebijakan fundamental yang memberikan arahan dasar dan proses-proses
pembuatan kebijaksanaan dan inkramental yang melapangkan jalan bagi
keputusan-keputusan itu tercapai.71
6. Penelitian yang Relefan
Penelitian yang relefan dengan penelitian ini antara lain :
a. Penelitian Tesis Yamitema T. J. Laoly, 2008 : Perlindungan Hukum
Terhadap buruh yang Dikenakan Pemutusan Hubungan Kerja, Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, yang meneliti tentang Hak Pekerja Buruh
PT. Panen Lestari Internusa yang terkena Pemutusan hubungan Kerja
b. Penelitian tesis Annisa Sativa, 200b. Program pascasarjana Universitas
Sumatera Utara dengan Judul Peranan Pengadilan Hubungan Industrial
dalam Memberikan Kepastian Hukum terhadap Perkara pemutusan
Hubungan Kerja (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri Medan). Fokus penelitiannya tentang Apakah
yang menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya PHK, Bagaimana
71 Ibid, hlm. 193
52
kompensasi yang diberikan terhadap pekerja/buruh yang di PHK
berdasarkan putusan hakim PHI serta Bagaimana peranan hakim PHI
dalam memberikan kepastian hukum terhadap kasus-kasus PHK.
c. Penelitian Tesis Eko Ibnu Fattah, 2014, Program Pascasarjana Universitas
Airlangga, Surabaya, dengan Judul Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
karena usis Pensiun dan Kompensasinya. Fokus penelitian yang dilakukan
tentang Kompensasi yang diberikan sehubungan dengan adanya
Pemutusan Hubungan kerja (PHK) karena usia Pensiun.
Perbedaan dengan penelitian ini bahwa penelitian ini memfokuskan
pada Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh Perusahaan di
Gorontalo, apaka sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai
ketenagakerjaan, Prosedur Pemutusan Hubangan Kerja di Kota Gorontalo
serta Perlindungan Hukum terhadap Tenaga Kerja yang mengalami
Pemutusan Hubungan Kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan
tentang ketenagakerjaan.
7. Kerangka Pemikiran
Gambar 1
Kerangka Pemikiran
1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003
2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Kepmenakertrans) Nomor Kep-150/MEN/2000
4) Kepmenakertrans Nomor Kep-78/MEN/ 2001
Implementasi Kebijakan Pemerintah
53
Teori Bekerjanya Hukum
Keterangan :
Perlindungan hukum bagi buruh sangat diperlukan mengingat
kedudukannya yang lemah. Disebutkan oleh Zainal Asikin, yaitu :
”Perlindungan hukum dari kekuasaan majikan terlaksana apabila peraturan perundang-undangan dalam bidang perburuhan yang mengharuskan atau memaksa majikan bertindak seperti dalam perundang-undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak karena keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi diukur secara sosiologis dan filosofis .”72
“Intervensi pemerintah dalam bidang perburuhan/ ketenagakerjaan
dimaksudkan untuk tercapainya keadilan di bidang perburuhan/
ketenagakerjaan karena jika hubungan antara pekerja dengan pengusaha
72Zainal Asikin, Op. Cit. hlm. 5
Perusahaan
Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Perusahaan
Alasan PHK Pemberian Kompensasi
Prosedur PHK
Ada tidaknya perlindungan hukum terhadap tenaga kerja PHK
Premis Konklusi ( Premis Kesimpulan)
54
diserahkan kepada para pihak saja, maka pengusaha sebagai pihak yang kuat
akan menekan pekerja sebagai pihak yang lemah secara sosial ekonomi .” 73
Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh pengusaha
haruslah memiliki alasan yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan
kepada para pekerja/buruh dan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Prosedur/ cara PHK yang
dilakukan pengusaha pun harus sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dengan terjadinya PHK, pekerja/ buruh akan mendapatkan haknya, yaitu
kompensasi yang meliputi, uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan
uang ganti kerugian.
Pemutusan Hubungan Kerja yang diteliti dalam penulisan hukum ini
adalah pemutusan hubungan kerja yang terjadi Kota Gorontalo. Dari peristiwa
hukum yang terjadi di Kota Gorontalo tersebut akan timbul akibat hukumnya,
yaitu mengenai perlindungan hukum terhadap pekerja yang mendapatkan
PHK. Apakah alasan, prosedur dan kompensasi yang diberikan oleh
Perusahaan sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
mengenai ketenagakerjaan.
G. Metode Penelitian
Dua syarat utama yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian
ilmiah dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan yakni penelitian harus
lebih dulu memahami konsep dasar ilmu pengetahuan dan metodelogi penelitian
disiplin ilmu tersebut. Lebih jelasnya, dalam suatu penelitian hukum, konsep
dasar tentang ilmu hukum menyangkut system kerja dan isi ilmu hukum haruslah
sudah dikuasai. Selanjutnya, baru penguasaan metodelogi penelitian sebagai
pertanggung jawaban ilmiah terhadap komunitas pengemban ilmu hukum.74
73Lalu Husni, Op. Cit. hlm. 574 Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif.Surabaya : Bayu Media 2005,
hlm. 26
55
“Metode dan system membentuk hakikat ilmu.Sistem berhubungan dengan
konsep dan isi ilmu, sedangkan metode berkaitan dengan aspek formal.
Tepatnya, system berarti keseluruhan pengetahuan yang teratur atau totalitas isi
dari ilmu, sementara itu metode secara harfiah menggambarkan jalan atau cara
totalitas ilmu tersebut dicapai dan dibangun.”75
Maka metode penelitian adalah cara yang teratur dan terpikir secararuntut
dan baik dengan menggunakan metode ilmiah yang bertujuan untuk menemukan,
mengembangkan dan guna menguji kebenaran maupun ketidak benaran dari
suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa. Metode merupakan cara yang utama
yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian,
jumlah dan jenis yang dihadapi. Akan tetapi, dengan mengadakan klarifikasi
yang berdasarkan pada pengalaman, dapat ditentukan teratur dan terpikirnya alur
yang runtut dan baik untuk mencapai maksud 76. Penelitian merupakan suatu
kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan
secara metodologis, sistematis, dan konsisten 77. Penelitian dapat diartikan pula
suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu
pengetahuan, gejala atau hipotesa, usaha mana dilakukan dengan metode
ilmiah78.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa metode penelitian
adalah cara yang teratur dan terpikir secara runtut dan baik dengan menggunakan
metode ilmiah yang bertujuan untuk menemukan, mengembangkan maupun guna
menguji kebenaran maupun ketidakbenaran dari suatu pengetahuan, gejala atau
hipotesa. Untuk dapat memperoleh hasil penelitian yang dapat
dipertanggungjawabkan secara keilmuan maka diperlukan metode penelitian
yang dapat dijadikan pedoman dalam melakukan penelitian. Seorjono Soekanto
dan Sri Mamudji menyatakan bahwa “penelitian merupakan suatu sarana pokok
75Ibid, hlm. 2676Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah. Transito, Yogyakarta, 1990, hlm. 13177Soerjono Soekanto, Op. Cit, hlm. 4278Sutrisno Hadi, Metodologi Penelitian Hukum. UNS Press, Surakarta, 1989, hlm. 4
56
dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi”. Hal demikian
disebabkan penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran sistematis,
metodologi dan konsisten.79
Ada dua syarat yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian
dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan adalah peneliti harus terlebih duu
memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi penelitian disiplin
ilmunya.80Penelitian hukum, konsep ilmu hukum dan metodologi yang
digunakan di dalam suatu penelitian memainkan peran yang sangat signifikan
agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam kemiskinan
relevansi dam aktualitasnya.81
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif, yaitu suatu tata
cara penelitian yang menghasilkan data diskriptif-analitis. Data diskriptif yaitu
apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga
perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh82.
Metode penelitian kualitatif dikembangkan untuk mengkaji kehidupan
manusia dalam kasus-kasus terbatas, kasuistis sifatnya, namun mendalam, total
menyeluruh, dalam arti tidak mengenal pemilihan-pemilihan gejala secara
konseptual ke dalam aspek-aspeknya yang eksklusif (disebut variabel). Metode
kualitatif dikembangkan untuk mengungkap gejala-gejala kehidupan masyarakat
itu sendiri dan diberi kondisi mereka tanpa diintervensi oleh peneliti atau
naturlistik83
79 29 Soejono Soekarnto dan Sri Mamdji, Penelitian Hukum Normatif, CV. Rajawali, Jakarta, 1985, hlm.1
80Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum, 2006, hlm.2681Ibid, hlm. 2882 Soerjono Soekanto, Op.Cit. hlm. 250
83 Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Kualitatif, Gramedia, Jakarta, 2001, hlm. 54
57
Dalam mempelajari hukum, tentunya tidak boleh lepas dari 5 (lima) konsep
hukum yang menurut Soetandyo Wignjosoebroto seperti dikembangkan oleh
Setiono adalah sebagai berikut:84
1. Hukum adalah asas-asas moral atau kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal (yang menurut bahasa Setiono disebut sebagai hukum alam)
2. Hukum merupakan norma atau kaidah yang bersifat positif di dalam sistem perundang-undangan;
3. Hukum adalah keputusan-keputusan badan peradilan dalam penyelesaian kasus atau perkara (in concreto) atau apa yang diputuskan oleh hakim;
4. Pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variable sosial yang empiric ;
5. Manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi mereka (yang menurut bahasa Setiono disebut sebagai hukum yang ada dalam benak manusia).
Penelitian ini mendasarkan pada konsep hukum yang ke-5, yang
menurut Soetandyo Wignjosoebroto, seperti yang dikembangkan oleh
Setiono85 yaitu hukum yang ada dalam benak manusia. Penelitian ini akan
menggali pendapat-pendapat, ide-ide, pikiran-pikiran dari pelaku peristiwa
secara langsung dan mendalam sehingga diperoleh informasi dan data-data
yang akurat, yang penulis perlukan dalam penulisan ini.
Apabila dilihat dari bentuknya, penelitian ini termasuk ke dalam
bentuk penelitian evaluatif. Menurut Setiono86, yang dimaksud dengan
penelitian yang berbentuk evaluatif adalah penelitian yang dimaksudkan
untuk menilai program-program yang dijalankan
Penelitian hukum empiris ini dilakukan melalui observasi dan
wawancara mendalam (in depth interview) dengan para responden dan
narasumber yang berkompeten dan terkait dengan masalah yang diteliti (objek
84 Setiono. OP. Cit. hlm. 385 Setiono, Metode Penelitian Hukum. Surakarta : Program Pascasarjana UNS. 2005, hlm. 786 Ibid, hlm. 6
58
yang diteliti), untuk mendapatkan data primer dan akan dilakukan pula
dengan studi kasus.
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang dipilih oleh penulis adalah :
1. Dinas Ketenaga Kerjaan Kota Gorontalo.
2. Perpustakaan Pascasarjana UNS
3. Perpustakaan Universitas Sebelas Maret
4. Perpustakaan Fakultas Hukum UNS
Alasan pengambilan Lokasi Penelitian tersebut, karena data tersedia,
lengkap serta layak untuk dilakukan penelitian.
C. Jenis dan Sumber Data
1. Jenis Data
Data yang dikumpulkan terutama merupakan data pokok yaitu data
yang paling relevan dengan pokok permasalahan yang diteliti. Namun
untuk kelengkapan dan keutuhan dari masalah yang diteliti, maka akan
disempurnakan dengan penggunaan data pelengkap yang berguna untuk
melengkapi data pokok dan data pelengkap tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Data primer, adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat atau
data dasar87. Adapun yang termasuk dalam data primer dalam
87 Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press. Hlm.. 12
59
penelitian ini adalah pihak-pihak yang terkait dalam Pemutusan
Hubungan Kerja yang dilakukan oleh Perusahaan di Gorontalo.
b. Data sekunder, adalah data yang berasal dari data-data yang sudah
tersedia misalnya, dokumen resmi, surat perjanjian atau buku-buku.
Data Sekunder dapat berupa bahan hukum Primer, Sekunder maupun
Tertier88. Adapun yang termasuk Bahan Hukum Primer dalam
penelitian ini meliputi :
1) Undang-Undang Dasar 1945
2) Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan;
3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial;
4) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Kepmenakertrans) Nomor Kep-150/MEN/2000 tentang
Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
danPenetapan Uang Pesangaon, Uang Penghargaan Masa Kerja,
dan Ganti Kerugian dari Perusahaan, tertanggal 20 Juni 2000;
dan
5) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Kepmenakertrans) Nomor Kep-150/ MEN/ 2001 tertanggal 4
Mei 2001. Kepmenakertrans Nomor Kep-78/MEN/ 2001 ini
merupakan revisi dari Kepmenakertrans Nomor
Kep-150/MEN/2001.
2. Sumber Data
Sumber data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini meliputi:
a. Sumber Data Primer
Sumber Data Primer adalah sumber data yang diperoleh secara
langsung dari lapangan yang meliputi keterangan atau data hasil
88 Setioo, Op. Cit. hlm.6
60
wawancara kepada pejabat yang berwenang dalam hal Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) di Kota Gorontalo.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber Data Sekunder merupakan sumber data yang
didapatkan secara langsung berupa keterangan yang mendukung data
primer. Sumber data sekunder merupakan pendapat para ahli,
dokumen-dokumen, tulisan-tulisan dalam buku ilmiah, dan literatur-
literatur yang mendukung data. Data sekunder dalam penelitian ini
meliputi :
1) Bahan-bahan hukum Primer :
a) Undang-Undang Dasar 1945;
b) Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan;
c) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial;
d) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Kepmenakertrans) Nomor Kep-150/MEN/2000 tentang
Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
danPenetapan Uang Pesangaon, Uang Penghargaan Masa
Kerja, dan Ganti Kerugian dari Perusahaan, tertanggal 20 Juni
2000; dan
e) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Kepmenakertrans) Nomor Kep-150/ MEN/ 2001 tertanggal 4
Mei 2001. Kepmenakertrans Nomor Kep-78/MEN/ 2001 ini
merupakan revisi dari Kepmenakertrans Nomor
Kep-150/MEN/2001.
2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang erat
hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu
menganalisis dan memahami bahan hukum primer adalah :
61
a) Hasil Penelitian yang berkaitan dengan Ketenagakerjaan;
b) Buku-buku terkait dengan Hukum Ketenagakerjaan
3) Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan
informasi tentang bahan hukum primer dan bahan sekunder,
misalnya :
a) Kamus Besar Bahasa Indonesia
b) Kamus Umum Lengkap Inggris –Indonesia, Indonesia- Inggris
c) Kamus Hukum
D. Teknik Pengumpulan data
Teknik Pengumpulan data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Wawancara
Dalam studi lapangan ini penulis melaksanakan kegiatan
wawancara, yaitu suatu metode pengumpulan data dengan cara mendapatkan
keterangan secara lisan dari seorang responden dengan bercakap-cakap
secara langsung. Wawancara ini bertujuan untuk mengumpulkan keterangan
tentang kehidupan manusia serta pendapat-pendapat mereka89. Secara umum
ada dua jenis teknik wawancara, yaitu wawancara terpimpin (terstruktur) dan
wawancara dengan teknik bebasa (tidak terstruktur) yang disebut wawancara
mendalam (in-depth interviewing)90. Dalama wawancara ini dilakukan
dengan cara mengadakan komunikasi langsung dengan pihak-pihak yang
dapat mendukung diperolehnya data yang berkaitan dengan permasalahan
89 Burhan Ashofa, Op. Cit. hlm. 9590 H. B. Sutopo. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press. 1998, hlm. 58
62
yang diteliti guna memperoleh data baik lisan maupun tulisan atas sejumlah
data yang diperlukan.
Metode wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode campuran, dengan menggabungkan metode terpimpin (terstruktur)
dengan metode bebas (tidak terstruktur) dengan cara, penulis membuat
pedoman wawancara dengan pengembagan secara bebas sebanyak mungkin
sesuai kebutuhan data yang ingin diperoleh. Metode wawancara ini
dilakukan dalam rangka memperoleh data primer serta pendapat-pendapat
dari para pihak yang berkaitan Pemutusan Hubungan Kerja di Kota
Goropantalo. Wawancara dilakukan kepada pejabat Dinas Tenaga Kerja
Kota Gorontalo.
2. Studi Pustaka
Dalam studi ini penulis mengumpulkan data dengan cara
membaca, memahami dan mengumpulkan bahan-bahan Hukum yang akan
diteliti, yaitu dengan membuat lembar dokumen yang berfungsi untuk
mencatat informasi atau data dari bahan-bahan Hukum yang diteliti yang
berkaitan dengan masalah penelitian yang sudah dirumuskan terhadap:
a. Buku-buku literatur.
b. Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang ada hubungannya dengan
penelitian ini.
c. Dokumen
E. Teknik Analisis Data
63
Data yang telah terkumpul dengan lengkap dari lapangan harus
dianalisis. Dalam tahap analisis data, data yang telah terkumpul diolah dan
dimanfaatkan sehingga dapat dipergunakan untuk menjawab persoalan
penelitian. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
kualitatif karena data yang diperoleh bukan angka atau yang akan di-angkakan
secara statistic. Menurut Soerjono Soekanto, analisis data kualitatif adalah
suatu cara analisis yang menghasilkan data diskriptif analitis, yaitu apa yang
dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilaku yang
nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh91.
Dalam operasionalisasinya, peneliti membatasi permasalahan yang
diteliti dan juga membatasi pada pertanyaan-pertanyaan pokok yang perlu
dijawab dalam penelitian. Dari hasil penelitian tersebut data yang sudah
diperoleh disusun sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti kemudian
data tersebut diolah dalam bentuk sajian data. Setelah pengumpulan data
selesai, peneliti melakukan penarikan kesimpulan atau verifikasi berdasarkan
semua hal yang terdapat dalam reduksi data maupun sajian datanya. Misalnya
untuk mengetahui jawaban, tentang bagaimana Penerbitan sertipikat
pengganti dan perlindungan hukum terhadap pemegang sewrtipikat pengganti
guna menciptakan kepastian hukum di Kantor Pertanahan Kabupaten
Sukoharjo, maka penulis menanyakan langsung ke pokok permasalahannya.
Kemudian dari jawaban yang diperoleh tersebut diolah menjadi sajian data
untuk kemudian dianalisis. Setelah data tersebut selesai dianalisis kemudian
disimpulkan. Apabila di dalam kesimpulannya dirasa kurang mantap, maka
penulis kembali melakukan kegiatan pengumpulan data yang sudah terfokus
dan juga pendalaman data.
Model analisis kualitatif yang digunakan adalah model analisis interaktif
yaitu model analaisis data yang dilaksanakan dengan menggunakan tiga 91 Soerjono Soekanto, Op. Cit. hlm. 154
64
tahap/komponen berupa reduksi data, sajian data serta penarikan
kesimpulan/verivikasi dalam suatu proses siklus antara tahap-tahap tersebut
sehingga data terkumpul akan berhuibungan satu dengan lainnya secara
oromatis92.
Dalam penelitian ini proses analisis sudah dilakukan sejak proses
pengumpulan data masih berlangsung. Peneliti terus bergerak di antara tiga
komponen analisis dengan proses pengumpulan data selama proses data terus
berlangsung. Setelah proses pengumpulan data selesai, peneliti bergerak diantara
tiga komponen analisis dengan menggunakan waktu penelitian yang masih
tersisa..
Agar lebih jelas proses/siklus kegiatan dari analisis tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:93
Gambar : 2
Bagan model analisis data interaktif (Interactive Model Of Analysis)
92 HB. Sutopo, Op. Cit. hlm. 8693Ibid, hlm. 87
Pengumpulan Data
II
Sajian Data
I
Reduksi Data
III
Penarikan Kesimpulan
65
Ketiga Komponen tersebut dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut
1. Reduksi data
Diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul
dari catatan-catatan di lapangan. Reduksi data berlangsung terus-menerus
bahkan sebelum data benar-benar terkumpul sampai sesudah penelitian
lapangan, sampai laporan akhir lengkap tersusun. Reduksi data bukanlah
merupakan suatu hal yang terpisah dari analisis dan merupakan bagian
dari analisis.
2. Penyajian Data
Merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan
adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
3. Menarik Kesimpulan/Verifikasi
Dari permulaan pengumpulan data, seorang analis kualitatif mulai
mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan,
konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat dan proposisi. Kesimpulan-
kesimpulan itu akan ditangani dengan longgar, tetap terbuka dan skeptis,
tetapi kesimpulan sudah disediakan, mula-mula belum jelas meningkat lebih
terperinci dan mengakar dengan kokoh. Kesimpulan-kesimpulan juga di
verifikasi selama penelitian berlangsung. Singkatnya makna-makna yang
muncul dari data harus diuji kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya
yakni merupakan validitasnya94
Model analisis ini merupakan proses siklus dan interaktif. Seorang
peneliti harus bergerak diantara empat sumbu kumparan itu selama
94 Soerjono Soekanto,, Op. Cit. hlm. 18-19
66
pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolak-balik diantara kegiatan
reduksi, penyajian, dan penarikan kesimpulan/verifikasi selama sisa waktu
penelitiannya. Kemudian komponen-komponen yang diperoleh adalah
komponen-komponen yang benar-benar mewakili dan sesuai dengan
permasalahan yang diteliti. Setelah analisis data selesai, maka hasilnya akan
disajikan secara deskriptif yaitu secara apa adanya sesuai dengan
permasalahan yang diteliti dan data-data yang diperoleh.
H. Jadwal Penelitian
Penelitian ini direncanakan selama 3 (tiga) bulan yang akan dimulai bulan
Januari 2016 sampai dengan Maret 2016, dengan rincian sebagai berikut :
BAGAN JADWAL PENELITIAN
No KegiatanBulan
Jan 2016 Peb 2016 Maret 20161 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
IPersiapan Penelitian1. Literatur2. Proposal3. Seminar4. Perijinan 5. Questioner
II Pelaksanaan Penelitian1. Pengumpulan Data2. Analisis Data3. Pembuatan Laporan
Penyusunan ThesisIII Revisi dan Penggandaan Thesis
67
DAFTAR PUSTAKA
A.G Subarsono,2005, Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Amiruddin dkk. 2004.Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT Grafindo
Persada
Annisrul Nur.2005.” Pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja Disebabkan Oleh Tutupnya Perusahaan Karena Mengalami Kerugian (Kajian pada Perusahaan yang Berbentuk Badan Hukum Perseroan Terbatas)”. Vol 8, No 1.
Asri Wijayanti. 2009. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Jakarta : Sinar Grafika Offset.
Asri Wijayanti, S.H.,MH. Perlindungan Hukum Bagi Pekerja yang di PHK Karena MelakukanKesalahan Berat. http://ejournal.umm.ac.id> [ 16/01/16 pukul 20:30]
Burhan Ashshofa, 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta, Gramedia
Consuelo.1993. Pengantar Metode Penelitian.Jakarta : UI Press.
Djumialdji.S.H, M.Hum. 2006. Perjanjian Kerja. Jakarta : Sinar Grafika Offset.
Erna Febru Aries S.Teknik Analisis Data Dalam Penelitian.http://ardhana12.wordpress.com> [21 Oktober 2010 pukul 17:30]
H. B. Sutopo. 1988. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press
Janice Payne, Shane Sawyer, Barrister & Solicitor, Student-at-law, Nelligan O’Brien Payne Nelligan O’Brien Payne. 2004. Termination for Incompetence
Johnny Ibrahim.2005. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif.Surabaya : Bayu Media.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Lalu Husni.2000.Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia.Jakarta : PT Grafindo Persada.
Levent Akin.2005.Termination of Labor Contracts and Unfair Dismissal Under Turkish Labor Law. Journal, Volume 25. No 4
68
Nurwati.2006. Tinjauan Yuridis Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Serikat Pekerja.Vol. 1. No.2
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam Hukum Positif Indonesia.legal logika forum.com> [16/01/16 pukul 20.00]
Peter Mahmud Marzuki.2010.Penelitian Hukum.Jakarta:Kencana.
Robert Siedman dan Chamblis, 1971, Law, Order and Power, Reading, Mass: Affison – Wesly
Setiono, 2005, Metode Penelitian Hukum. Surakarta : Program Pascasarjana UNS.
Soerjono Soekanto, S.H., M.A. 2010. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum.Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Soejono Soekarnto dan Sri Mamdji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, CV. Rajawali
Supranto.2003. Metode Penelitian Hukum dan Statistik.Jakarta : PT Rineka Cipta.
Syam, Syafri (1997)Penegakkan Hukum Perburuhan: Studi Tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Di Kotamadya Jambi. Masters thesis, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro >( [email protected] ,[ 16 Januari 2016 pukul 20.15 ]
Tjokroamidjojo, 1974, Kebijakan-Kebijakan Pemerintah, Bandung, Alumni
Thomas R Dye, 1981, Understanding Public Policy, State University, Florida,
Zainal Asikin dkk.1993.Dasar-Dasar Hukum Perburuhan.Jakarta : PT Grafindo Persada.
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja / Buruh
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Indistrial
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kepmenakertrans) Nomor Kep-150/MEN/2000 tentang Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangaon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Ganti Kerugian dari Perusahaan, tertanggal 20 Juni 2000
69
Keputusan Menteri dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Kep/ 78/ Men/ 2001 revisi dari Kepmenakertrans Nomor Kep-150/MEN/2001