Internship
-
Upload
aan-khaerisman -
Category
Documents
-
view
269 -
download
1
Transcript of Internship
Internship, Dilema Dokter Baru di Indonesia
HL | 27 February 2013 | 13:03 Dibaca: 1880 Komentar: 0 3 aktual
Internship, dilema dokter baru di Indonesia
Ilustrasi/Admin (kompas.com)
Program dokter magang atau yang lebih kita kenal dengan istilah internship, akhir-akhir ini menjadi topik yang begitu banyak dibahas khususnya oleh para dokter tamatan baru di Indonesia. Suatu program yang dirancang sedemikian rupa yang mewajibkan para dokter yang baru tamat untuk magang di rumah sakit daerah dan puskesmas-puskesmas yang telah ditetapkan oleh kolegium dan konsil kedokteran Indonesia selama lebih kurang satu tahun (terdiri dari delapan bulan di rumah sakit dan empat bulan di puskesmas). Menarik untuk mengamati fenomena internship ini, mengingat ada begitu banyak pro dan kontra tentang perlu atau tidaknya para dokter baru menjalani program ini, tentang bagaimana hak dan kewajiban para pelaksana internship, dan hal hal lainnya.
Dalam pada ini, program dokter internship sendiri bukanlah suatu program yang baru. Di Indonesia, program ini memang baru dijalankan (dilaksanakan pertama kali di Indonesia oleh dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang angkatan 20041), terkait dengan adanya perubahan kurikulum pendidikan kedokteran Indonesia yang mengacu pada Kurikulum Inti Pendidikan Dokter Indonesia (KIPDI) III2, dimana salah satu perubahannya adalah dengan diadakannya suatu sistem pembelajaran yang disebut PBL (Problem Based Learning). Para dokter lulusan KIPDI III diharapkan akan menjadi dokter layanan primer yang berorientasi dokter keluarga. Dan untuk mengimplementasikan rencana ini, dibentuklah suatu program bernama internship, sesuai peraturan menteri kesehatan RI No.299/Menkes/Per/II/20103. Di negara lain, seperti Amerika Serikat, program ini sendiri sudah dimulai sejak akhir abad ke-19, dan terus mengalami penyesuaian seiring berjalannya waktu. Tapi intinya tidak berubah, internship berarti periode magang setelah meraih gelar dokter4.
Jepang sebagai salah satu negara maju juga sudah menerapkan program internship untuk dokter-dokter yang baru tamat sejak lebih kurang 10 tahun yang lalu. Rata-rata dokter tersebut
menjalani internship selama 2 (dua) tahun. Fase ini dikenal dengan istilah jyunia residento (Junior resident). Pada tahun pertama disebut J1 (J-one) dan tahun kedua disebut J2 (J-two). Semua dokter yang baru tamat di jepang wajib menjalani periode ini. Khusus untuk lulusan JMU (Jichi Medical University) di kota Tochigi, para dokter yang baru tamat, diwajibkan untuk kembali ke daerah asal masing-masing untuk menjalani internship selama 9 (sembilan) tahun. JMU mendapat perlakuan khusus dari pemerintah Jepang, karena semua mahasiswa kedokteran disini merupakan wakil dari daerah yang dibiayai penuh oleh pemerintah daerahnya masing-masing mulai dari awal kuliah sampai tamat menjadi dokter, sehingga ada kewajiban untuk mengabdi di daerah asal selama sembilan tahun setelah tamat dan meraih gelar dokter dari JMU. Setelah selesai menjalani masa internship dua tahun ini, kemudian masing-masing dokter dibebaskan memilih, apakah ingin menjadi klinisi atau peneliti di laboratorium. Dengan dukungan dana penelitian yang melimpah dan adanya penghargaan khusus terhadap para “researcher”, tidak sedikit pula yang memutuskan untuk menjadi peneliti yang nantinya akan bekerja penuh di laboratorium.
Sebenarnya program Internship ini sendiri terasa sangat bermanfaat, karena disinilah fase pematangan diri menjadi dokter yang sebenarnya. Pada masa inilah kita memiliki kesempatan untuk belajar cara menangani pasien dengan baik, melakukan manajemen holistik pada pasien, memilih terapi yang sesuai dengan klinis pasien, dan meningkatkan skill dan kompetensi dibidang kedokteran. Dan secara tidak langsung juga menjadi tempat untuk mempersiapkan mental supaya tidak “gamang” nantinya saat bekerja langsung di masyarakat. Karena jujur, pada kenyataannya praktek di lapangan akan sangat berbeda dengan pada saat masa-masa kuliah, demikian pula hal nya pada masa menjalani kepaniteraan klinik atau co-ass/dokter muda. Meskipun saat magang di klinik sebagai dokter muda, kita dihadapkan pada berbagai kasus yang ada, namun pada prakteknya tidak begitu banyak kesempatan untuk dapat melakukan manajemen pasien dengan baik dan menyeluruh, disamping jumlah dokter muda yang juga terkadang tidak ideal untuk berjalannya sebuah siklus sehingga tidak begitu “full” dalam mempelajari semua kasus yang ada di bagian atau rotasi yang sedang dijalani. Layaknya simbiosis mutualisme, program internship ini bermanfaat bagi semua pihak. Bermanfaat bagi peserta internship khususnya dan bagi wahana internship serta masyarakat pada umumnya.
Tidak ada yang salah dengan internship. Secara teori, ini adalah program yang bagus. Namun sayang, implementasinya di lapangan terkadang jauh berbeda dengan apa yang diharapkan, sehingga wajar jika banyak penolakan untuk menjalani program ini. Contoh pertama dari sisi penghasilan. Saya tidak mau munafik, tapi semua pasti butuh uang untuk biaya hidup. Walaupun dokter bertugas mengabdi pada masyarakat dan merupakan penyedia jasa bidang sosial, yang bagi sebagian besar masyarakat akan dianggap tidak etis jika dokter lebih mementingkan penghasilan diatas tugasnya sebagai pengabdi masyarakat, namun pada akhirnya dokter tetaplah manusia biasa yang butuh uang untuk mencukupi kehidupan sehari-hari. Bukan untuk hidup matrealistis, tapi untuk mendapatkan hidup yang “layak”. Saya sebenarnya tidak mau membandingkan masalah penghasilan, tapi memang inilah realita yang ada. Saya ambil contoh di Jepang. Di sini, para dokter tamatan baru yang notabene dokter internship, diberi penghasilan, yang jika di kurskan ke rupiah, berkisar Rp20 (dua puluh) juta perbulan, diluar upah dinas jaga sebesar Rp2juta per shift. Meskipun internship masih dalam fase “belajar”, toh secara tidak langsung mereka bekerja untuk wahana dimana mereka ditempatkan. Efeknya, para dokter tersebut bisa fokus bekerja dari pagi sampai malam tanpa perlu memikirkan hal lain diluar tugas
pokok dokter,memberikan pelayanan maksimal untuk pasien. Walaupun biaya hidup di jepang termasuk tinggi, tapi dengan penghasilan seperti itu sudah jauh lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Di Indonesia, bahkan UMR buruh DKI Jakarta per bulannya lebih tinggi dari gaji/BHD (Bantuan Hidup Dasar) para dokter internship yang hanya berkisar Rp 1.3 juta/bulan, itu pun masih ada hambatan berupa pembayaran yang sering telat, kalau tidak mau dibilang sering dirapel per tiga bulan. Bukan hal yang aneh rasanya jika kita mendapatkan hak atas kewajiban yang sudah kita lakukan. Ketidakpuasan masyarakat atas pelayanan dokter di Indonesia dan seringnya media memberitakan pelayanan dokter Indonesia yang tidak sebagus negara tetangga, menjadi imbas atas rentetan kenyataan ini. Sayang, kebanyakan masyarakat dan media hanya melihat dari satu sisi sahaja.
Contoh lainnya dari sisi kejelasan kerja antara peserta internship dengan dokter pendamping dan dokter senior yang berada di wilayah kerja yang sama. Tidak ada pembagian tugas yang jelas dan tertulis antara internship dan pendamping. Tugas dan tanggung jawab antara kedua belah pihak seperti terus berada dalam wilayah abu-abu. Tak jarang, internship dijadikan tempat untuk melepaskan tanggung jawab, dibebani kerja yang begitu banyak dengan dalih dokter internship adalah dokter yang baru tamat yang masih butuh banyak pengalaman. Walaupun tidak semua pendamping dan dokter senior yang berbuat demikian. Banyak yang menyangkal, tapi memang inilah yang terjadi di lapangan. Terkadang karena ada dokter internship, dokter senior sering tidak berada di tempat dan otomatis semua pekerjaan yang harusnya lakukan dokter senior dilimpahkan ke internship. Apakah alasan ini ada hubungannya dengan masalah penghasilan yang disebut di atas, yang memaksa para dokter mencari penghasilan tambahan diluar tempat tugas utama atau ada alasan-alasan lainnya, saya juga tidak bisa memberi jawaban. Internship secara harfiah berarti masa transisi, dimana dibutuhkan bimbingan dan support dalam bekerja, bukan malah begitu saja dibiarkan bekerja sendiri tanpa ada pengawasan. Kembali saya ambil contoh di jepang. Internship disini dibimbing penuh oleh konsulen dibagian yang bersangkutan. Misalnya di bagian jantung dan pembuluh darah (Jyunkanki-Naika) di RS JMU. Disini, penanganan pasien dibagi berdasarkan tim, dimana satu tim terdiri dari 1 orang dokter muda, 1 orang junior residen, 1 orang senior residen, dan 1 orang spesialis/konsulen, yang bertanggung jawab terhadap lebih kurang 5-10 orang pasien. Dalam melakukan manajemen pasien, junior residen tidak dilepas begitu saja, tidak dibiarkan dalam kebingungan. Semua dibimbing dan diawasi. Pada akhirnya junior residen akan mendapat pembelajaran yang benar, melakukan manajemen pasien dengan benar dan berkesinambungan. Bukan manajemen “kira-kira” yang membuat para internship menjadi kebingungan sendiri, yang ujung-ujungnya akan menimbulkan rasa ketidakpuasan oleh pasien yang datang berobat. Senada dengan itu, tidak adanya persamaan beban kerja antar wahana internship sering menimbulkan kerancuan dan keengganan untuk menjalankan program ini. Misalnya di daerah A, dokter internship diwajibkan kerja di poliklinik, jaga bangsal, dinas jaga, kerja 6 hari dalam seminggu. Di daerah B, dokter internship hanya masuk kerja 5 hari seminggu tanpa ada jadwal tugas di poliklinik, dll.
Dengan berbagai masalah diatas, wajar rasanya jika banyak yang menginginkan penghapusan program internship karena dinilai tidak memberi manfaat. Saya juga tidak memungkiri, ada banyak juga hambatan dalam program internship ini yang justru muncul dari peserta internship itu sendiri. Seperti tidak serius dalam bekerja, etos kerja yang rendah, atau juga hal-hal lainnya. Tapi itupun hanya bersifat personal, bukan secara keseluruhan. Memang internship di Indonesia termasuk program yang baru, yang tentu butuh waktu dan adaptasi untuk bisa berjalan sesuai
dengan apa yang diharapkan. Paling tidak dimulai dari penyamaan visi dan misi tentang apa dan bagaimana program internship, hak dan kewajiban dokter internship maupun dokter pendamping internship, dan tentunya yang tidak kalah penting adalah mengenai BHD. Tidak perlu rasanya harus sama seperti negara-negara lain, tapi minimal bisa memenuhi standar hidup yang “layak” untuk resiko dan beban kerja yang dihadapi para dokter internship. Terakhir, saya mohon maaf seandainya tulisan ini kurang berkenan. Saya hanya berharap, kiranya program ini bisa menjadi lebih baik lagi dimasa mendatang. Tidak semudah membalik telapak tangan, tapi semoga dengan dukungan dan pengertian dari semua “stakeholder” yang ada, program internship ini bisa menjadi lebih baik lagi dan dapat memberi manfaat untuk semua, baik bagi peserta internship itu sendiri, dokter pendamping internship, wahana tempat penyedia program internship, dan khususnya bagi masyarakat sebagai pemakai dan pengguna jasa pelayanan kesehatan.
Eijiro Sugiyama Edison, MD
Division of Cardiovascular Medicine
Jichi Medical University
Tochigi-Japan
Dokter internship RSUD Pariaman dan Puskesmas Naras Pariaman
Sumatera Barat, Indonesia
Periode 31 maret 2010 – 1 april 2011
Sumber :
1.http://edukasi.kompas.com/read/2010/12/15/15520316/2014..Internship.Diikuti.10.000.Dokter
2. http://id.wikipedia.org/wiki/Dokter
3. http://www.philipjusuf.com/2012/01/peraturan-menteri-kesehatan-nomor-2052menkesperx2011-tentang-izin-praktik-dan-pelaksanaan-praktik-kedokteran/
4. Wentz DK, Ford FC. A brief history of internship. JAMA 1984; 24:3390-4
PROGRAM MAGANG BAGI CALON DOKTER DINILAI MERUGIKAN
JAKARTA - Program internship (magang) untuk calon dokter dinilai tidak beradab dan akan
merugikan masyarakat. Pasalnya, untuk mendapatkan izin praktik, calon dokter tak hanya harus
lulus uji kompetensi dokter Indonesia (UKDI) tapi juga menjalani internship selama delapan bulan
yang terdiri dari empat bulan di RSUD dan empat bulan di Puskesmas.
"Ini penindasan namanya, kenapa untuk menjadi dokter harus melewati jalan yang tidak beradab.
Mereka sudah mengeluarkan uang banyak sampai jual aset, kok regulasinya diperpanjang lagi,"
kritik Arif Mahardi, anggota Komisi IX DPR RI dalam rapat kerja dengan Menkes, Senin (26/11).
Ketua Komisi IX DPR RI Ribka Tjiptaning juga berpendapat senada. Menurutnya, pemerintah yang
membuat dokter menjadi pebisnis. Jiwa melayani pasien mulai terkikis karena untuk menjadi
berpraktik mereka harus melalu serangkaian regulasi yang tidak beradap.
"Harusnya sebelum calon dokter lulus dari fakultas, mereka harus ikut UKDI setelah itu jadi dokter
PTT. Tidak perlu lagi ikut internship karena masyarakat butuh dokter," ujarnya.
Dengan panjangnya regulasi, lanjut politisi PDIP ini, dokter pun terpaksa menekan dan menindas
pasien. Dokter juga menajdi pilih-pilih dalam menangani pasien. "Kalau yang operasi mau diladeni.
Sedangkan yang tidak operasi dibiarkan," ujarnya.
Aksi protes legislator terhadap internship akhirnya berujung pada penolakan yang dituangkan dalam
kesimpulan rapat Komisi IX. Seluruh fraksi kecuali Fraksi Partai Demokrat menolak intership
dilanjutkan.
"Kita butuh banyak dokter, jadi jangan ditambah-tambah lagi persyaratannya. Apalah artinya
sertifikat kompetensi kalau attitude jelek. Dokter tak hanya cerdas saja tapi skill dan attitudenya
harus bagus," tegas Ribka.
Sementara Menkes Nafsiah Mboi mengatakan, pihaknya akan melakukan kajian bersama dengan
Mendikbud tentang pendidikan dokter. Pada prinsipnya Menkes mengaku siap meniadakan program
internship itu.
"Kami siap meniadakan internship tapi harus dengan cara elegan, makanya itu kami masih harus
mengkaji lagi. Kami juga mengharapkan Komisi IX untuk berkoordinasi dengan Komisi X agar dalam
kurikulum Fakultas Kedokteran dimasukkan tentang penanganan langsung ke pasien. Sebab,
lulusan kedokteran kebanyakan hanya jago teori tapi praktiknya kurang," bebernya.(Esy/jpnn)
Sumber : JPNN.com
Menimbang Kembali InternshipOPINI | 17 February 2013 | 00:28 Dibaca: 76 Komentar: 0 Nihil
Abad 20 dikenal sebagai era modern.Beberapa filsuf bahkan mengkalim beberapa decade ini sebagai masa radikalisasi modernitas.Masa dimana modernitas merasuki seluruh sendi-sendi kehidupan manusia.Pakar sosiolog dan filsuf pun sepakat bahwa modernitas meniscayakan profesionalisme. Berbagai profesiberlomba-lomba menyediakan system yang baik agar dapat menjawab tantangan pasar. System yang baik itu dimulai dari system pendidikan, deskripsi pekerjaan, rekrutmen dsb.
Dokter sebagai salah satu tenaga professionaldibidang kesehatan menata system tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan seperti penataan kompetensi dokter Indonesia disertai uji kompetensi dokter Indonesia (CBT dan OSCE), perubahan kurikulumdan meluncurkan UU praktek kedokteran. Berbagai upaya itu dirasa belum cukup untuk menghasilkan dokter professional. Produk dokter yang dihasilkandari masa kuliah selama 5 tahun masih dirasa belum cukup kompeten, sehingga pemerintah melalui kementrian kesehatan meluncurkan permenkes no 299 tahun 2010 tentang internship. Internship didefinisikan sebagai pemantapan mutu profesi dokter untuk menerapkan kompetensi yang diperoleh selama pendidikan, secara terintegrasi, komprehensif, mandiri serta menggunakan pendekatan kedokteran keluarga dalam rangka pemahiran dan penyelarasan antara hasil pendidikan dengan praktik di lapangan. Intinya internship bertujuan untuk mematangkan kempetensi dokter yang dihasilkan.Secara tekhnis, program internship diwajibkan kepada seluruh dokter yang telah lulus UKDI, dijalankan selama setahun di RS tipe C, tipe D atau puskesmas di ibukota provinsi atau ibukota kabupaten. 5 dokter internship akan disupervisi oleh seorang dokter pembimbing dan dokter pembimbing wajib mengadakan evaluasi kasus tiga bulan sekali. Karena peserta internship adalah dokter (bukan lagi mahasiswa) maka dokter yang sedang menjalani internship diberikan biaya hidup sebesar Rp. 1.200.000 per bulan. Bagi yang tidak menjalankan internship maka tidak akan diberikan Surat tanda registrasi (STR) yang berarti dokter tersebut dilarang berpraktek dimanapun diwilayah Indonesia.
Upaya menghasilakn dokter professional melalui program internship ini akhirnya menuai polemik. Masalah pertama adalah bagaimana mungkin dokter yang telah lulus UKDI masih dianggap tidak berkompetensi?logikanya adalah setiap orang yang telah lulus uji kompetensi artinya telah berkompetensi.Kedua adalah persoalan biaya hidup. Bagaimana mungkin dokter dituntut professional dalam bekerja sementara upahnya dibawah Upah minimum regional (UMR). Bagaimana mungkin dokter yang merupakan tenaga professional dibayar dibawah UMR?ketiga adalah berbagai persoalan teknis yang terjadi dilapangan seperti intimidasi atau pembebana kerja kepada dokter internship, biaya hidup yang telat dibayar, wahana yang tidak siap dsb. Bagaimana mungkin system yang dikelola secara tidak professional akan menghasilkan produk yang tidak professional?
Layangan penolakan internship oleh komisi IX DPR RI dua bulan yang lalu semakin meyakinkan kita betapa internship ini produk yang perlu dipertanyakan. Indikasibahwa internship adalah akal-akalan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dokter murah diseluruh
wilayah Indonesia pun berkembang.Dengan internship, pemerintah tentu tidak perlu repot-repot membayar mahal tenaga dokter.
Menurut penulis, permenkes no 299 tahun 2010 sebagai dasar yuridis hadirnya intership bukanlah jawaban atas tuntutan profesionalisme. Substansi intership adalah pematangan kompetensi dokter. Seharusnya proses pematangan ini terintegrasi di dalam system pendidikan kedokteran. Usaha pemandirian dokter harusnya terintegrasi dengan pendidikan kedokteran sehingga produk pendidikan kita adalah produk yang siap pakai bukanlah produk gagal yang masih dianggap belum mandiri. Jadi, subtansi pemandirian ini bisa dimasukkan setelah melewati masa coass dan sebelum menjadi dokter. Olehnya, upaya kemenkes ini adalah upaya yang salah alamat dan salah langkah. Salah alamat karena tanggung jawab kualitas dokter ada ditangan kementrian pendidikan. Selain itu, kecilnya biaya hidup yang diberikan akibat minimalnya APBN kesehatan (tidak sampai 3%). Bandingkan dengan Malaysia yang mampu memberikan biaya hidup sekitar Rp. 10juta perbulan kepada dokter internshipnya. Salah langkah karena sekali lagi, program internship bukanlah jawaban atas tuntutan profesionalisme.
Semoga pemerintah dengan segera mengevaluasi internship dan segera memperbaikinya. Semoga kualitas dokter semakin professional di masa mendatang. MERDEKA.
Dr, Sonny Fadli (PMI Surabaya)
Dokter Internship: Sebuah Inovasi Atau Regresi
OPINI | 13 November 2012 | 21:46 Dibaca: 3294 Komentar: 0 Nihil
Program Dokter Internship. Istilah ini mulai akrab di telinga mahasiswa kedokteran sejak beberapa tahun yang lalu. Pengertian awamnya ialah magang dokter baru. ‘Embrio’ dari program ini adalah sejak diberlakukannya proyek Dikti yakniWorksforce and Service ( HWS ) pada tahun 2003. Semangat dari adanya program ini adalah untuk mengaplikasikan KBK di instansi pendidikan dokter seluruh Indonesia. Hal ini mengacu pada SK Mendiknas RI No.045/SK/2002 serta SK Dirjen Dikti Depdiknas RI No. 1386/D/T/2004. Setiap lulusan dokter baru produk kurikulum KBK harus mengikuti program dokter Internship selama 1 tahun sebelum mendapatkan STR (Surat Tanda Registrasi) tetap yang nantinya bisa dipakai untuk mengurus Surat Ijin Praktek (SIP) mandiri.
Singkat cerita, sebelumnya kurikulum pendidikan dokter (kurikulum konvensional) ditempuh selama enam tahun, setelah lulus sebagai dokter selanjutnya mereka akan diarahkan untuk mengikuti Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) guna mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) yang kemudian dilanjutkan dengan penerimaan Surat Ijin Praktek (SIP) sebagai bukti legalitas berpraktek.
Sementara pada kurikulum pendidikan dokter berbasis kompetensi (KBK), para lulusan dokter baru menempuh masa studi 5,5 tahun, setelah lulus mengikuti UKDI dan langsung mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) namun dengan ketentuan penggunaanya hanya berlaku di rumah sakit jejaring atau tempat pelayanan kesehatan terakreditasi yang sebelumnya telah ditentukan oleh Pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pusat, Lembaga Kedokteran Konsil Indonesia (KKI) sekaligus Departemen Kesehatan. Setelah satu tahun berpraktek, selanjutnya para dokter baru bisa mendapatkan SIP.
Program dokter internship sudah berjalan sejak tahun 2010, dipelopori lulusan dokter dari fakultas kedokteran Universitas Andalas, dan saat ini sudah diikuti oleh hampir seluruh fakultas kedokteran di Indonesia. Dalam dua tahun internship berjalan ini, banyak permasalahan muncul mulai status dokter internship itu sebagai dokter atau koass, pendistribusian dokter internship, permasalahan tidak boleh berpraktek mandiri, dan tunjangan hidup yang minimal.
Dokter internship sering menggerutu mengenai statusnya saat menjalankan program dokter internship. Hal ini bisa dirasakan saat menjalankan masa tugasnya baik sewaktu 4 bulan di puskesmas maupun 8 bulan di RS. Tujuan dari program dokter internship yakni pendistribusian dokter di daerah sekaligus untuk mematangkan kompetensi. Selama ini pendistribusian tenaga dokter internship tidak tepat. Dalam satu wahana atau daerah, di satu instansi RS bisa terisi sepuluh dokter internship, sedangkan di satu puskesmas bisa terisi lima orang dokter internship. Hal ini menyebabkan penumpukan tenaga dokter bukan penyebaran yang tepat sesuai dengan tujuan internship itu sendiri. Dampaknya bisa mempengaruhi kinerja
dokter internship, tak khayal sering dijumpai dokter internship hanya sebagai asisten dokter umum PNS, sekedar menyalin resep, sekedar membantu pemeriksaan fisik. Dokter internship mendapatkan kewenangan medis yang sangat minimal, tidak mendapatkan kewenangan medis yang utuh layaknya dokter yang diakui kompetensinya. Bukankah hal demikian tidak jauh berbeda dengan masa studi selama menjadi koass. Apa hal semacam ini bekorelasi dengan konsep pematangan kompetensi dokter??
Meskipun sudah mendapatkan “SIM” telah dinyatakan lulus Uji Kompetensi Dokter Indonesia, seorang dokter internship dibatasi dalam hal berpraktek mandiri. Tidak jelas alasan mengenai pembatasan praktek mandiri ini. Entah Pembatasan praktek mandiri ini muncul akibat mempertanyakan mutu kelulusan dari kurikulum pendidikan dokter berbasis kompetensi atau ada alasan lainnya. Dokter internship hanya diperbolehkan praktek di dua tempat yang dipilihkan dengan tunjangan hidup yang minimal yakni 1,2 juta per bulan, dan dibayarkan tiap tiga bulan. Dokter internship tidak mendapatkan jasa pelayanan medis. Dokter internship tidak mendapatkan insentif daerah. Dokter internship tidak mendapatkan asuransi kesehatan dsb. Ini berlaku untuk semua peserta internship bahkan bagi dokter internship yang ditempatkan di luar jawa sekalipun yang tentunya dengan biaya kebutuhan hidup yang relatif lebih mahal. Ini adalah sebuah ironi yang dibuat oleh kementrian kesehatan terhadap lulusan dokter yang ingin mandiri dalam hal memenuhi kebutuhan hidup layaknya lulusan sarjana lainnya. Apakah hal semacam ini bisa dikategorikan melanggar hak untuk hidup dan berkembang, pelanggaran hak asasi manusia??
Program dokter internship ini sebenarnya punya tujuan yang sama dengan dokter PTT. Namun program dokter PTT punya keunggulan bisa memenuhi kesejahteraan sesuai dengan kewajiban yang dijalankannya. Apakah tidak sebaiknya memakai program wajib PTT saja karena dari segi pendistribusian pun sangat tepat pada daerah-daerah terpencil dan sangat terpencil yang memang membutuhkan tenaga dokter. Atau program dokter internship ini jangka panjangya dipakai untuk ‘melukir’ program dokter PTT dengan dokter internship. Tentunya dibalik itu ada suatu tendensi melakukan pemerataan dokter dengan anggaran minimal.
Memang program dokter internship ini tidak hanya berlaku di Indonesia saja. Literatur-literatur pendidikan standar kedokteran telah memaklumatkan adanya pemahiran kompetensi praktik. World Federation for Medical Education (WFWE)global standard, misalnya, meletakan magang sebagai postgraduate education. Sedangkan medical teacher tahun 1982 mencantumkan magang pada tahap ke empat, competent practise. Hanya saja berbeda penerjemahannya. Di negara-negara persemakmuran Inggris (Commonwealth) program ini di sebut housemanship, sedangkan di Amerika Serikat dan negara maju lainnya dikenal internship yang masa kerjanya satu sampai tiga tahun.
Jika kita ‘mengintip’ negeri tetangga Malaysia, seorang lulusan baru yang menjalani internship mendapat gaji sebesar 7juta hinga 10 juta per bulan. Jika kita ‘menengok’ ke negeri kanguru, disana pemerataan dokter memakai dalil ‘Dokter yang mau ditempatkan di daerah mendapatkan gji dua kali lipat dari gaji dokter di kota’. Terbukti hal ini efektif menarik minat dokter untuk ke daerah dan tercapai pemerataan dengan baik.
Dengan fakta demikian apakah program dokter internship di Indonesia bisa disebut inovasi atau malah sebuah regresi. Apakah tidak sebaiknya pemerintah duduk bersama, dalam
hal ini melakukan reevaluasi bersama DPR , instansi pendidikan dokter, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan dokter peserta internship untuk merumuskan hal-hal yang sifatnya konstruktif untuk program dokter internship. Semua itu semata demi perbikan program dokter internship, demi perbaikan mutu dokter di Indonesia, demi pelayanan kesehatan terbaik untuk masyarakat luas di seluruh Indonesia.
Atau pemerintah menunggu aksi massa dokter internship Indonesia layaknya para buruh dan para hakim yang menuntut kesejahteraan??
Kontak penulis: 085649474286 / 26C461DF
IDI SARANKAN BUBARKAN FAKULTAS KEDOKTERAN BERAKREDITASI C
JAKARTA - Jumlah fakultas kedokteran di Indonesia cukup banyak, mencapai 72 fakultas. Hanya 14 fakultas kedokteran yang memiliki akreditasi A. Sementara sisanya terakreditasi B dan yang paling banyak C. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab masih banyaknya dokter di Indonesia tidak lulus Ujian Kompetensi Dokter (UKD).
Menurut Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr Prijo Sidipratomo SpRad (K), sebagian besar dokter yang gagal dalam UKD berasal dari fakultas kedokteran yang terakreditasi C.
"UKD itu sangat terkait dengan wajah fakultas kedokteran dimana dokter tersebut dihasilkan. Seringkali peserta UKD yang tidak lulus berasal dari fakultas kedokteran yang tidak bagus,"jelas Prijo di Jakarta, kemarin (27/9).
Prijo memaparkan, fakultas-fakultas kedokteran yang masih terakreditasi C membutuhkan asistensi lebih jauh. Dia memaparkan, pemerintah juga bisa memberikan pancingan dengan insentif. "Kalau ada insentif, mungkin fakultas-fakultas kedokteran yang nilainya masih C bisa termotivasi untuk segera meningkatkan akreditasinya," jelasnya.
Selain itu, kata Prijo, pemerintah juga bisa memberlakukan kebijakan UKD yang lain. Pihaknya menyarankan agar pelaksanaan UKD tidak disamaratakan bagi seluruh fakultas kedokteran. Fakultas kedokteran dengan akreditasi A dan B sebaiknya diperbolehkan mengadakan UKD mandiri. "Tentunya dengan diawasi oleh profesi.
Sementara mereka yang belum mendapatkan akreditasi A dan B harus mengikuti UKD yang digelar oleh tim UKD Nasional. Dengan begitu, setiap fakultas kedokteran akan berlomba-lomba mempertahankan akreditas atau meningkatkan akreditasi,"paparnya.
Prijo melanjutkan, setiap fakultas diberikan waktu setidaknya lima tahun untuk memperbaiki akreditasinya. Namun, jika sampai jangka waktu tersebut , akreditasinya masih C, maka sebaiknya fakultas kedokteran tersebut dibubarkan. "Lima tahun tidak ada perubahan, nilai akreditasi tidak ada perbaikan (masih C), sebaiknya dibubarkan atau ditutup,"lanjutnya.
Prijo menambahkan, pemerintah juga harus tegas dalam menetapkan aturan UKD. Setidaknya, ada batasan untuk mengikuti UKD Nasional. "Intinya Dirjen Dikti Kemendikbud dan Konsil Kedokteran Indonesia bisa tegas. Di luar negeri itu, batasan mengikuti UKD hanya tiga kali. Di sini tidak ada batasannya, sehingga seorang dokter yang tidak lulus bisa berulang kali ikut ujian," imbuh dia.
Sebelumnya, Ketua Komite Internship Dokter Indonesia Prof dr Mulyohadi Ali SpF (K) memaparkan jika sebanyak 35 persen dokter di Indonesia tidak lulus uji kompetensi . Hal tersebut disebabkan, masih rendahnya sumber daya manusia serta kelengkapan fasilitas pendidikan di Indonesia.
Kompetensi dokter adalah kemampuan dokter dalam melakukan praktik profesi kedokteran yang meliputi ranah kognitif, psikomotor, dan afektif. Setelah lulus uji kompetensi, yang bersangkutan akan menerima dan sertifikat kompetensi yang merupakan surat tanda pengakuan terhadap
kemampuan seorang dokter atau dokter gigi untuk menjalankan praktik kedokteran di seluruh Indonesia. (Ken)
SERATUS TAHUN LAGI ?
Oleh :
Pada awal abad ke-20, kebanyakan sekolah kedokteran di Amerika adalah
sejenis sekolah kedokteran yang disebut proprietary medical school.[1, 2]
Kata proprietary sendiri sering diterjemahkan secara bebas menjadifor profit.
Sekolah kedokteran jenis ini dimiliki oleh sekumpulan dokter yang juga
sekaligus sebagai pengajar. Ada yang bilang bahwa memiliki proprietary
medical school pada saat itu adalah semacam bisnis sampingan yang wajar
untuk para dokter.
Materi pelajaran yang diajarkan sangat superfisial dan singkat. [1, 2]
Umumnya pola pendidikan pada sekolah kedokteran macam ini adalah kuliah
selama 32 minggu. Pembelajaran berupa kuliah didaktik, membaca buku teks,
dan menghafal segala hal yang bisa dihafal. Tidak ada praktikum di
labratorium atau praktik klinik pada pasien.
Selain proprietary medical school ini, ada juga sekolah kedokteran yang
berafiliasi dengan universitas sepertiHarvard Medical School, the University of
Pennsylvania School of Medicine, University of Michigan School of Medicine,
dan Johns Hopkins University School of Medicine. [1, 2] Pada sekolah
kedokteran yang berafiliasi dengan universitas, pendidikan ditempuh selama
tiga tahun (kecuali di Johns Hopkins empat tahun).
Kurikulum di sekolah kedokteran yang berafiliasi dengan universitas
mengharuskan praktikum ilmiah di laboratorium, dan universitas
mempekerjakan dokter-dokter lulusan Perancis dan Jerman yang telah lebih
dahulu maju dalam bidang experimental medicine. Selain itu, praktik klinik di
rumah sakit juga menjadi metode mengajar utama. [1, 2]
Tertantang oleh kinerja lulusan dokter yang tidak merata dan ketiadaan
standar tentang pendidikan kedokteran, maka American Medical Association’s
council on Medical Education bekerja sama dengan Carnegie Foundation for
the Advancement of Teaching mengadakan survey ke sekolah kedokteran di
Amerika Serikat dan Kanada, baik sekolah kedokteran yang berafiliasi dengan
universitas maupun proprietary medical school.[1, 2]
Untuk melaksanakan amanah ini, Presiden Carnegie Foundation menunjuk
Abraham Flexner, seorang pendidik, namun bukan seorang dokter. Dalam
melaksanakan studi terhadap 155 sekolah kedokteran di Amerika Serikat dan
Kanada, Flexner didampingi Dr NP Colwell dari American Medical
Association’s council on Medical Education. Sebagai model ideal untuk
pembading standar sekolah kedokteran yang dikunjunginya, Flexner mengacu
pada model pendidikan di Johns Hopkins University School of Medicine. [1, 2]
Setelah melakukan surveynya sepanjang tahun 1909, Pada tahun 1910
Abraham Flexner mempublikasikan laporannya yang terkenal berjudul
“Medical Education in the United States and Canada”.[1, 2] Laporan ini lazim
disebut “Flexner Report”. Setidaknya ada empat masalah yang disoroti
Flexner: (1) standarisasi, (2) integrasi, (3) tradisi belajar yang kurang tepat,
dan (4) pembentukan profesionalisme.
Tantangan di bidang standarisasi adalah tidak adanya standar yang harus
diikuti program studi di sekolah kedokteran. Tidak ada kesepakatan mana
yang have to know mana yang nice to know. Selain itu, peserta didik dinilai
kurang siap menjalani pendidikan kedokteran karena kebanyakan langsung
menjalani pendidikan kedokteran setelah menamatkan sekolah menengah
tanpa menjalani masa persiapan terlebih dahulu.
Masalah kedua adalah integrasi. Saat itu pendidikan kedokteran di Amerika
masih kurang mengintegrasikan sains dan ilmu pengetahuan. Kurang terjadi
hubungan antara apa yang menjadi hasil penelitian dan praktik sehari-hari.
Ibaratnya, perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran dan praktik
kedokteran berjalan sendiri-sendiri.
Flexner juga mendapati tradisi belajar yang kurang tepat, yaitu peserta didik
diharuskan menghafal sedemikian banyak fakta namun kurang praktik klinik di
rumah sakit. Fakta yang dihafalkan biasanya bersifat dogmatis dan menjadi
semacam tradisi tanpa dasar ilmiah yang jelas.
Masalah terakhir adalah pembentukan profesionalisme. Saat itu para
pengajar di sekolah kedokteran belum terstandarisai. Karena itulah, Flexner
melaporkan bahwa ada pengajar yang sebenarnya tidak qualified untuk
mengajar. Selain itu, para pengajar ini juga tidak terstandarisasi
kemampuannya, sehingga ilmu dan teladan yang diajarkan ke anak didiknya
pun kurang bisa dipertanggungjawabkan.
Laporan Flexner ini berdampak sangat dramatis. Akibat publikasi yang sangat
gencar dan kritikan pedas dari masyarakat melalui media pada saat itu,
kebanyakan proprietary medical school bergabung menjadi satu atau gulung
tikar sama sekali. Dari 155 sekolah kedokteran di Amerika dan Kanada,
akhirnya hanya tersisa 31 sekolah kedokteran yang layak beroperasi.
***
Bagaimana dengan Indonesia? Sepengamatan saya, masalah yang
ditemukan Flexner seratus tahun yang lalu juga terjadi di negara kita saat ini.
Kita sudah punya akreditasi sekolah kedokteran, namun sedihnya tidak
sampai 20 dari 72 sekolah kedokteran yang terakreditasi A. Kurikulum sudah
terstandar namun masih berbeda penafsiran dan implementasi.
Integrasi sudah mulai dirintis dengan sistem kurikulum berbasis kompetensi
yang mengharuskan mahasiswa belajar ilmu dasar sekaligus penerapannya
di praktik sehari-hari secara sekaligus. Meskipun demikian, di beberapa
tempat masih saja ada tradisi konsulen-based medicine (konsulen selalu
benar meskipun bukti ilmiah berkata lain). Kultur hirarkis menghambat
penerapan sains dan ilmu kedokteran berbasis bukti di beberapan tempat.
Tradisi belajar yang terlalu menekankan pada menghafal masih kental di
negara ini. kasihan juga mahasiswa, dipaksa menghafal sesuatu yang tidak
jelas apa gunanya. Beberapa tempat banyak membaca sedikit bekerja. Ini
membuat mahasiswa jadi pintar otaknya tapi tidak terampil tangannya.
Beberapa tempat malah kurang membaca banyak bekerja. Memang sih
mahasiswa jadi terampil, tapi kurang dasar pengetahuan serta kemampuan
mawas dirinya. Kebanyakan mahasiswa kedokteran di Indonesia ini, menurut
saya, masih berpikir seperti tukang dan bukan seperti dokter.
Pembentukan identitas profesi juga kurang baik di negara ini. Di beberapa
tempat mahasiswa, yang seharusnya masih idealis, terpajan dengan
pembimbing yang menerima gratifikasi dari perusahaan farmasi. Beberapa
pembimbing bahkan melakukannya secara terang-terangan di depan
mahasiswa. Belum lagi kultur gratifikasi yang seolah mengharuskan
mahasiswa mentraktir semua pihak mulai dari petugas administrasi, perawat,
residen, hingga staf pengajar. Entah identitas profesi dokter macam apa yang
terbentuk di benak para calon dokter yang dididik dalam kultur seperti ini.
Kalau begini kondisinya, kapan pendidikan kedokteran negara ini mau maju?
Seratus tahun lagi?
Rujukan
1. Cooke M, Irby DM, O’Brien BC. Educating physicians: a call for reform of
medical school and residency. Stanford : Jossey Bass Higher and Adult
Education Series; 2010. p. 11-33.
2. Ludmerer KM. Commentary: understanding the Flexner Report. Acad Med
2010; 85: 193-6.
KAJIAN STRATEGIS
PROGRAM INTERNSHIP KEDOKTERAN INDONESIA
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN
UNUD
PENDAHULUAN
Dikti sejak tahun 2003 hingga 2008 telah menjalankan proyek
yang bernama Health Worksforce and Service ( HWS ). HWS ini
adalah suatu proyek yang didalamnya mempersiapkan dan
menerapkan KBK di seluruh Institusi Pendidikan Dokter.
Diberlakukannya kurikulum pendidikan kedokteran berbasis
kompetensi (KBK) yang dikukuhkan lewat SK Mendiknas RI
No.045/SK/2002 serta SK Dirjen Dikti Depdiknas RI No.
1386/D/T/2004 menuntut institusi pendidikan kedokteran di
Indonesia untuk mulai berbenah. Program ini pada awalnya
dilakukan secara bertahap, tetapi pada hasil akhirnya, seluruh
Institusi Pendidikan Dokter telah berhasil menerapkannya.
Dalam sistem HWS ini, mahasiswa yang mengikuti KBK harus
melanjutkan program pemutakhiran kompetensi melalui
internship
Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) mewajibkan
lulusan fakultas kedokteran untuk ikut program internship
(pemagangan) selama setahun. Program itu sebagai salah satu
syarat bagi calon dokter yang nantinya akan mengajukan surat
tanda registrasi (STR). Surat itu sendiri bakal dipakai untuk
mengajukan izin praktek kedokteran.
Banyak harapan yang disandangkan pada program Internsip
Dokter Indonesia ini. Seperti juga tertuang dalam Peraturan KKI
No.1/2010 Pasal 3 tentang Tujuan Umum yang mengharapkan
program ini memberikan kesempatan kepada dokter yang baru
lulus pendidikan kedokteran untuk memakhirkan kompetensi
yang diperoleh selama pendidikan ke dalam pelayanan primer
dengan pendekatan kedokteran keluarga.
Sedangkan Tujuan Khusus internsip ini, tak lain adalah untuk:
1. Mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang
diperoleh selama pendidikan dan menerapkan dalam pelayanan
primer;
2. Mengembangkan keterampilan teknis, klinis, pribadi dan
profesi yang menjadi dasar praktik kedokteran;
3. Memikul tanggung-jawab pelayanan pasien sesuai
kewenangan yang diberikan;
4. Meningkatkan kemampuan dalam pembuatan keputusan
profesional media dalam pelayanan pasien dengan
memanfaatkan layanan diagnostik dan konsultasi.
5. Bekerja dalam batas kewenangan hukum dan etika;
6. Berperan aktif dalam tim pelayanan kesehatan multi disiplin;
7. Menggali harapan dan jenjang karir lanjutan; serta
8. Memperoleh pengalaman dan mengembangkan strategi dalam
menghadapi tuntutan profesi terkait dengan fungsinya sebagai
praktisi medis.
kebutuhan dokter di Indonesia kurang lebih mencapai 20 ribu
orang. Tiap tahun, diprediksikan ada 3.000-5.000 lulusan
kedokteran. Artinya, kebutuhan dokter di Indonesia baru bisa
dipenuhi sekitar 6-7 tahun.Kendati demikian Kemendiknas
bersama Kemenkes tidak akan buru-buru mencetak lulusan
dokter secara masif. Kuantitas dokter yang dihasilkan harus
berbanding lurus dengan kompetensi yang dimiliki. Untuk itulah
internship harus jalan. Sehingga ada balancing antara kebutuhan
ideal dengan kebutuhan masyarakat.
Keberadaan program internship tentunya membuat pengajuan
surat izin praktik (SIP) menjadi semakin sulit. Langkah ini
dilakukan untuk memberikan jaminan kesehatan yang lebih baik
kepada masyarakat. Selain itu, dengan adanya program
internship Kementrerian kesehatan optimis kualitas dokter di
Indonesia dapat ditingkatan. Para dokter baru dapat langsung
dihadapkan dengan kasus, sehingga tidak terpaku pada ilmu
yang didapatkan di ruang kuliah.
Batas waktu maksimal internship adalah dua tahun. Jika dalam
waktu dua tahun dokter belum dapat menyelesaikan, biaya
internship tidak lagi ditanggung pemerintah. Dalam
pelaksanaannya, pemerintah menyiapkan dana Rp 76 miliar bagi
lulusan 10 fakultas kedokteran. Pertama Unand, sembilan
lainnya adalah UI, Universitas Gadjah Mada, Universitas
Airlangga, Universitas Hasanuddin, Universitas Soedirman,
Universitas Islam Sultan Agung, Universitas Tanjung Pura, dan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Program Internship kedokteran merupakan satu langkah maju
yang diambil oleh kementrian kesehatan untuk meningkatkan
kualitas dari dokter Indonesia. Program ini juga dapat menilai
sejauh mana perkembangan dunia pendidikan dokter Indonesia.
Diharapkan program internship dapat menjadi tolak ukur
akreditasi untuk sebuah institusi pendidikan dokter di Indonesia.
RUMUSAN MASALAH
1. Pembiayaan program internship
2. Kesiapan stakeholder yang terlibat dalam internship
3. Tumpang tindih kurikulum konvensional dan KBK
4. Pemetaan akan kebutuhan tenaga medis
PEMBAHASAN
1. Pembiayaan Program Internship
Program internship adalah program yang diberlakukan untuk
institusi yang sudah menerapkan Kurikulum berbasis
Kompetensi. Sampai saat ini terdapat 1 institusi yakni
Universitas Andalas yang sudah mulai melaksanakan program
internship ini, dan terdapat sembilan institusi lain yang sudah
bersiap untuk melaksanakan program ini ditahun 2010.
Pemerintah sendiri sudah menyiapkan kurang lebih 76 milyar
untuk mahasiswa kedokteran lulusan dari sepuluh institusi
diatas.
Pertanyaan besar timbul ketika cita-cita dari program ini adalah
diterapkan disemua institusi pendidikan dokter di Indoneia. Bisa
dibayangkan sampai tahun 2010 saja sudah ada 71 institusi
pendidikan dokter yang tersebar diselur uh tanah air. Jumlah ini
kemungkinan akan terus berkembang mengingat adanya
persaingan antar pemerintah daerah untuk mendirikan institusi
pendidikan dokter di daerahnya. Bila kondisi ini terus belanjut
berapa biaya yang harus ditanggung pemerintah dalam
menjalankan program ini.
Kondisi ini menimbulkan suatu stigma negative akan
keberhasilan dari program ini. Departemen KASTRAT FK UNUD
melihat kondisi ini memiliki potensi untuk menghambat
pencapaian tujuan dari program ini. Terlebih lagi kekhawatiran
yang timbul adalah bilamana nanti program ini dijalankan dan
akhirnya menemui hambatan pembiayaan, masalah ini akhirnya
akan dibebankan pada peserta dari program Intertnship ini.
Kekhawatiran ini dirasa tidak berlebihan mengingat belum
jelasnya status dari peserta intership itu sendiri. Apakah status
peserta Intership ini adalah seorang mahasiswa atau seorang
dokter. Jika peserta memang seorang mahasiswa sudah
sepantasnya peserta memberikan kontribusi dalam pembiayaan
program ini. Namun jika peserta dari program ini dinyatakan
seorang dokter, kondisi ini sudah seharusnya berbalik dimana
pemerintahlah yang seharusnya memberikan insentif dan
tunjangan atas jasa yang sudah diberikan oleh seseorang dengan
profesi dokter.
2. Kesiapan Stakeholder yang Terlibat dalam Internship
Internship merupakan program yang melibatkan banyak pihak.
Kesuksesan dari program ini terletak pada kesiapan semua pihak
dalam menghadapi program internship ini. Pelaksanaan program
ini melibatkan rumah sakit, klinik dokter keluarga, puskesmas,
balkesmas dan klinik layanan primer lainnya baik milik
pemerintah maupun swasta.
Departemen KASTRAT BEM FK UNUD juga melihat kriteria
diatas memiliki potensi masalah mengingat masih banyak
tempat-tempat pelayanan kesehatan yang belum terakreditasi.
Terlebih lagi jika melihat dari sasarannya, dimana untuk
menghindari penumpukkan tenaga medis bukan tidak mungkin
seorang dokter baru ditempatkan pada tempat pelayanan
kesehatan primer di daerah terpencil. Pertanyaan yang timbul
adalah apakah tempat pelayanan primer didaerah terpencil ini
sudah memiliki fasilitas pelayanan yang menunjang
pengembangan kemampuan dokter baru ini?. Kekhawatiran lain
yang timbul adalah apakah tempat pelayanan kesehatan ini
sudah siap untuk menyambut kehadiran dokter baru ini.
Dokter-dokter yang menjadi penyelia telah dibuat kriteria
penyelia/supervisi. Salah satu kriteria penyelia adalah dokter
senior yang bekerja di klinik, dengan begitu program
pelatihannya tentu lebih mudah. Tapi bisa juga penyelia itu dari
luar RS tersebut, untuk itu KDI telah mengatur itu. Staf pengajar
di FK bisa menjadi penyelia. Kriteria lain dari penyelia dari
program internship ini adalah dokter yang masih aktif praktik
minimum 2 tahun. Kondisi ini juga berpotensi menimbulkan
masalah mengingat pemetaan tenaga medis di Indonesia belum
merata. Dokter spesialis maupun dokter umum lebih banyak
memilih praktek di klinik atau tempat pelayanan kesehatan
primer yang ada di daerah perkotaan atau daerah padat
penduduk. Dengan kata lain melihat mekanisme yang sudah
dibuat oleh dikti dimana para dokter baru akan memiliki penyelia
ndekatkan dokter baru dengan yang juga seorang dokter,
tentunya akan menumpuk tenaga medis didaerah perkotaan
untuk mendekatkan dokterbaru dengan penyelianya.
Kekhawatiran lain yang timbul adalah belum pahamnya penyelia
akan mekanisme program internship ini. Masalah ini tentunya
akan membingungkan para dokter baru. Terlebih lagi kelulusan
sorang dokter baru juga ditentukan dari penilaian seorang
penyelia. Sesuai Pasal 6 Peraturan KKI No.1/2010, apabila
setelah melewati jangka waktu tertentu peserta Internsip tidak
memenuhi persyaratan sesuai ketentuan, maka dinyatakan tidak
dapat melanjutkan program Internsip dan tidak boleh berpraktik
profesi dokter. Ketentuan diatas semakin menambah
kekhawatiran seorang dokter baru karena boleh atau tidaknya
seorang dokter berpratek ditentukan dengan kelulusannya dari
program Internship.
3. Tumpang Tindih Kurikulum Konvensional dan KBK
Sampai saat ini masih banyak mahasiswa yang menempuh fase
dokter muda yang mengacu pada kurikulum konvensional.
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana sendiri mulai
menerapkan kurikulum KBK mulai tahun 2006. Mahasiswa yang
masih menggunakan kurikulum konvensional yang saat ini
berada pada jenjang dokter muda adalah dari angkatan 2005-
2004.
Kondisi inilah yang menjadi pertanyaan oleh mahsiswa yang ada
pada jenjang dokter muda khususnya angkatan 2004-2005.
Apakah mereka harus atau boleh mengikuti program ini. Karena,
jika dilihat dari tujuan umum dari program ini yaitu memberikan
kesempatan kepada dokter yang baru lulus pendidikan
kedokteran untuk memakhirkan kompetensi yang diperoleh
selama pendidikan ke dalam pelayanan primer dengan
pendekatan kedokteran keluarga, semua dokter baru yang lulus
terhitung setelah program ini dijalankan baik itu yang
menjalankan kurikulum konvensional, maupun KBK memiliki
kesempatn yang sama untuk memakhirkan kompetensinya.
Belum jelas alasan mengapa hanya lulusan KBK yang diberikan
kesempatan untuk menjalani program internship ini. Jika masa
studi KBK yang lebih singkat daripada masa studi kurikulum
konvensional yang lebih lama yang menjadi alasannya, secara
tidak langsung kami melihat bisa menilai kurikulum KBK belum
bisa menghasilkan lulusan yang benar-benar siap
mengaplikasikan ilmunya, sehingga diperlukan waktu untuk
mengasah kembali ilmu yang didapat.
Program internship juga menuntut mahasiwa memiliki jiwa
mandiri dan siap mengabdi, mengingat program ini
memungkinkan mahasiswa yang sudah lulus menjadi dokter akan
ditempatkan didaerah-daerah yang masih kekurangan tenaga
kesehatan. Namun jika dilihat dari proses perkuliahan selama ini
sangat jarang sekali ditanamkan nilai-nilai pengabdian dan
kemandirian. Nilai-nilai ini mungkin didapat oleh mahasiswa
yang aktif mengembangakan softskillnya melalui kegiatan
kemahasiswaan. Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana
dengan mahasiswa yang apatis dan study oriented. Tidak bisa
dipungkiri banyak sekali mahasiswa-mahasiswa yang hanya
memikirkan nilai dan kelulusan mata kulaiah tanpa mau
memikirkan pengembangan diri secara menyeluruh.
4. Pemetaan akan Kebutuhan Tenaga Medis
Anggota Komisi Intenship dari wadah Assosiasi Institusi
Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) ,sekaligus kepala Unit
Problem Based Learning (PBL) FK Unair Prof. Dr. N. Margarita
Rehatta, dr., Sp.AnKIC menyampaikan rumah sakit jejaring yang
ditujukan adalah berdasarkan jumlah kuota yang dibutuhkan,
dalam arti rumah sakit mana yang kekurangan tenaga medis,
disitulah para dokter baru akan ditempatkan. Diantaranya bisa di
rumah sakit, klinik dokter keluarga, puskesmas, balkesmas dan
klinik layanan primer lainnya baik milik pemerintah maupun
swasta, yang telah terakreditasi. “semisal kawasan Jawa timur
sudah padat , tidak menutup kemungkinan para dokter baru
akan ditempatkan di Rumah sakit jejaring di luar daerah” .
Melihat dari kutipan diatas dibutuhkan pemetaan tenaga medis
yang jelas. Bukan hanya jumlah yang perlu diketahui dalam
pemetaan ini, tapi jenis tenaga medis apa yang dibutuhkan
apakah dokter spesialis atau dokter umum. Menurut dr. Prijo
Sidipratomo Sp.Rad (Ketua PB IDI pusat ) dalam talkshow AFTA,
menyampaikan bahwa Indonesia belum memiliki pemetaan yang
jelas akan kebutuhan tenaga medis. Melihat dari kondisi ini
memungkinkan terjadi penumpukkan dokter disalah satu daerah
yang akhirnya mengurangi kesempatan dari dokter baru itu
sendiri untuk mengembangkan kemampuannya. Pada akhirnya
dikhawatirkan konsep program internship ini menjadi program
yang akhirnya tidak efektif dan tidak sampai pada tujuan dari
program ini.
PENUTUP
Secara garis besar kami menyambut baik dengan adanya
program internship ini. Jika melihat konsep dan tujuan dari
program ini banyak sekali manfaat yang didapat oleh seorang
dokter baru dalam mengembangkan kompetensinya. Namun
mengingat ini merupakan program baru, perlu sosialisasi yang
lebih massif untuk memberikan kejelasan terhadap konsep hyang
sudah dibuat. Semua masalah diatas kami yakini pasti sudah ada
jawabannya akan tetapi belum tersosialisasi dengan baik
sehingga banyak menimbulkan kekhawatiran, kebingungan, dan
pertanyaan yang butuh klarifikasi dari pihak pengambil
kebijakan.
Rekomendasi :
1. Kementerian kesehatan melalui dinas kesehatan daerah
mengadakan dialog dengan mahasiswa sebagai upaya sosialisasi
programinternship, sekaligus menerima masukkan dari
mahasiswa terkait pelaksanaan program ini
2. Memasukkan kurikulum kemahasiswaan sebagaimkurikulum
wajib untuk dikembangkan oleh semua institusi untuk
membentuk dokter-dokter yang mandiri dan siap mengadi
dimana saja.
3. Dibuatkan sebuah buku pedoman internship yang diberikan
tidak hanya pada dosen atau pengelola fakultas, tapi juga pada
mahasiswa yang nantinya akan menjalankan program ini,
sehingga mahasiswa memahami dari awal program ini dan
diharapkan mampu menyiapakan diri untuk menjalani program
internship ini.
4. Segala kebijakan yang berkaitan dengan proses kelulusan
seorang dokter, baik dari pre klinik, klinik, sampai dengan
magang ( Internship) diharpakan disosialisasikan dari awal masa
kuliah sehingga tidak menimbulkan kekhawatiran yang akhirnya
menjurus pada stigma negative yang berkaiatan dengan
kebijakan tersebut.
PROGRAM PEMBINAAN INSTITUSI PENDIDIKAN KEDOKTERAN DALAM RANGKA PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN DOKTER
LATAR BELAKANGPendidikan dokter memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan nasional. Dokter sebagai tenaga strategis mempunyai tugas yang mulia untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sebagai salah satu indikator dalam indeks pembangunan manusia. Pendidikan dokter sendiri memiliki sejarah yang sangat panjang yang kental dengan nilai-nilai moral dan etika. Keberlangsungan profesi luhur dokter menjadi hal yang harus terus dipertahankan dalam nuansa penuh dengan etika dan memperhatikan martabat profesi kedokteran. Melihat tinjauan tersebut, maka upaya peningkatan kualitas pendidikan dokter menjadi hal yang tidak lepas dari upaya pewarisan nilai-nilai luhur profesi dokter. Dalam konteks ini maka peran masyarakat profesi sangat penting. Pilar pendidikan dokter meliputi institusi pendidikan kedokteran sendiri, ditunjang oleh kolegium sebagai pengampu keilmuan, organisasi profesi, asosiasi rumahsakit pendidikan sebagai wahana pendidikan, konsil kedokteran dan pemerintah. Keikutsertaan berbagai pihak dalam pendidikan dokter ini akan ikut mendukung penetapan kebijakan pendidikan dokter yang selalu berorientasi pada peningkatan kualitasPermasalahan pendidikan dokter tidak lepas dari pemenuhan kebutuhan tenaga dokter itu sendiri. Sampai saat ini masih banyak diperlukan tenaga dokter yang akan mengisi daerah-daerah di seluruh Indonesia, khususnya di daerah terdepan. Merespons hal tersebut perkembangan pendidikan dokter di Indonesia telah sampai pada tahap peningkatan jumlah institusi pendidikan kedokteran yang sangat cepat pada periode tahun 2000-an. Saat ini terdapat 31 institusi pendidikan dokter negeri dan 41 swasta. Pertumbuhan yang cepat ini memiliki sisi positif dalam percepatan pemenuhan kebutuhan jumlah, namun dikhawatirkan dapat mengurangi mutu penyelenggaraan pendidikan.Parameter penilaian mutu pendidikan yang telah dikembangkan saat ini adalah melalui mekanisme penjaminan mutu eksternal untuk institusi dengan system akreditasi. Data menunjukkan bahwa sementara ini baru 16 FK yang berakreditasi A, 12 akreditasi B, 4 akreditasi C, dan sisanya masih belum melaksanakan akreditasi. Sebagian institusi yang telah terakreditasi mengalami kadaluwarsa akreditasnya. Mekanisme lain untuk menjamin mutu lulusan yang melambangkan kualitas penyelenggaraan pendidikan adalah uji kompetensi. Dari penyelenggaraan UKDI sampai saat ini ditemukan kondisi bahwa 8 FK berkontribusi terhadap 50% jumlah retaker, sementara 8 FK lainnya terhadap 25% sisanya. Hasil UKDI memiliki hubungan yang cukup bermakna dengan akreditasi
institusinya. Data ini memperlihatkan fakta disparitas yang cukup besar diantara institusi penyelenggara pendidikan dokter.Melihat idealisme pendidikan kedokteran dan fakta yang ada saat ini maka diperlukan program yang sistematis secara nasional untuk meningkatkan kualitas institusi pendidikan kedokteran dalam menyelenggarakan program pendidikan. Perhatian pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah diwujudkan melalui Program Hibah Kompetisi Peningkatan Kualitas Pendidikan Dokter (PHK PKPD). PHK PKPD diberikan kepada 41 institusi pendidikan kedokteran yang terbagi dalam Tier A 10 institusi, Tier B 20 institusi dan Tier C 11 institusi. Sementara itu 31 institusi pendidikan kedokteran belum berkesempatan memperoleh PHK PKPD, namun terlibat dalam berbagai kegiatan pengembangan khususnya terkait sistem akreditasi dan uji kompetensi.Pada institusi yang menerima PHK PKPD ditemukan permasalahan masih rendahnya penyerapan anggaran khususnya pada tahun 2011. Penyerapan rata-rata anggaran pada Tier A mencapai39 % (15%-85%), Tier B 27% (3%-63%) dan Tier C 30% (5%-60%). Rendahnya penyerapan akan berkorelasi dengan rendahnya pelaksanaan aktivitas yang dapat mempengaruhi pencapaian indikator. Indikator yang ingin dicapai adalah peningkatan kualitas di institusi penerima PHK PKPD yang tercermin dari peningkatan trend nilai rata-rata UKDI, disamping status akreditasinya. Secara kualitatif dirasakan masih belum efektif berjalan program kemitraan diantara institusi pada tier A dengan tier B. Berbagai permasalahan implementasi PHK PKPD dapat dianalisis secara berjenjang dari segi penyelenggara proyek (CPCU), Universitas dan Yayasan, Fakultasdan Unit PelaksanaProyek (PIU). Dari penyelenggara proyek (CPCU) masih diperlukan penguatan SDM yang mengelola secara substansi dari aspek pengembangan program pendidikan dokter, yang bertugas secara day-to-day untuk mengantisipasi permasalahan yang ada. Dari sisi universitas dan yayasan diperlukan advokasi terus menerus untuk mendukung implementasi terkait kebijakan pengelolaan keuangan dan pengadaan serta kemitraan antara tier A dan tier B. Pada tingkat fakultas diperlukan komitmen pimpinan (Dekan) yang senantiasa memfasilitasi Unit PelaksanaProyek (PIU) untuk dapat menyelenggarakan proyek dengan baik. Fasilitasi ini berupa arahan kebijakan serta penyiapan sumber daya untuk teknis penyelenggaraan proyek. Sementara itu dari segi Unit Pelaksana Proyek (PIU) sendiri diharapkan komitmen dan kesiapan teknis dalam merencanakan dan melaksanakan setiap kegiatan sesuai dengan jadwal. Permasalahan ini perlu dipetakan pada setiap grantees sehingga dapat dilakukan upaya pemecahan masalah yang paling tepat.Disamping permasalahan pada penerima PHK PKPD, juga ditemukan permasalahan di institusi non-penerima PHK PKPD. Permasalahan ini adalah gap yang terjadi antara praktik penyelenggaraan pendidikan terhadap standar pendidikan dan standar kompetensi yang telah disahkan oleh KKI. KKI telah melaksanakan bimbingan teknis dan menemukan permasalahan utama adalah pada kesiapan sumber daya terutama dosen tetap. Selain itu kesiapan RS Pendidikan dan wahana pendidikan klinik lainnya masih belum tersedia dengan baik. Ketidaksiapan sumberdaya ini diperparah dengan penerimaan mahasiswa dalam jumlah yang berlebihan tanpa melihat daya dukung sumber daya ini. Ketidak-konsistenan penyelenggaraan pendidikan terhadap standar ini menjadi akar masalah terhadap status akreditasi yang tidak mengalami peningkatan berarti dari waktu ke waktu, serta kontribusi terhadap peningkatan jumlah retaker.AIPKI sebagai satu-satunya organisasi yang mewadahi kepentingan seluruh institusi pendidikan kedokteran di Indonesia perlu mengantisipasi berbagai permasalahan diatas. Terhadap institusi penerima PHK PKPD perlu dilakukan pemetaan masalah dan analisis akar masalah secara mendalam untuk setiap institusinya. Kedua aktivitas ini akan memunculkan intervensi yang sesuai
sehingga akan lebih efektif dan efisien. Intervensi yang ada selanjutnya perlu dilakukan monitoring dan evaluasi untuk peningkatan efektivitas terus menerus. Hal yang sama juga berlaku untuk institusi yang belum menerima PHK PKPD. Proses ini dilakukan terus menerus, paling tidak dalam masa implementasi proyek bagi institusi penerima PHK PKPD. Dalam melakukan intervensi dan monev ini, peran AIPKI Wilayah sangat penting mengingat tantangan geografis yang ada. Dengan sistematika pemecahan masalah yang berdasarkan pada action research, prinsip kewilayahan dan kejelasan deadline atau time frame, maka berbagai permasalahan yang ada dapat dipecahkan.