“INTERAKSI SOSIAL ANTAR PASIEN NAPZA PADA...
Transcript of “INTERAKSI SOSIAL ANTAR PASIEN NAPZA PADA...
“INTERAKSI SOSIAL ANTAR PASIEN NAPZA PADA PROGRAM THERAPEUTIC
COMMUNITY DI RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT JAKARTA”
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh:
RATIH EKA SUSILAWATI
1110054100002
PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H / 2014 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, September 2014
Ratih Eka Susilawati
i
ABSTRAK
Ratih Eka Susilawati
Interaksi Sosial Antar Pasien NAPZA Pada Program Therapeutic Community Di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta
Penyalahgunaan NAPZA semakin menjadi masalah serius yang harus dicari solusi penyembuhannya. Penggunaan NAPZA dapat berdampak kepada kerusakan-kerusakan, bukan hanya kerusakan fisik maupun psikis tetapi juga dapat merusak kemampuan pengguna NAPZA dalam berinteraksi sosial di masyarakat. Untuk itu, tempat rehabilitasi selain untuk upaya pemulihan dari ketergantungan terhadap NAPZA juga diharapkan menjadi tempat untuk membantu pengguna NAPZA membangun kembali kemampuan interaksi sosialnya. Hal ini tentu akan bermanfaat karena dapat membuat mantan pecandu lebih siap untuk kembali ke masyarakat saat mereka keluar dari tempat rehabilitasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk interaksi sosial yang terjadi antar pasien NAPZA pada program Therapeutic Community dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi interaksi sosial yang terjadi antar pasien pada program Therapeutic Community.
Metodologi penelitian yang digunakan adalah dengan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Adapun pengumpulan data dilakukan dengan tiga metode yaitu: observasi, wawancara dan dokumentasi. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori interaksi sosial yang mencangkup bentuk-bentuk serta faktor-faktor interaksi sosial yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto dalam buku Sosiologi Suatu Pengantar tahun 2002.
Penelitian ini menemukan bahwa, interaksi sosial yang terjadi antar pasien NAPZA menjadi jauh lebih baik dari pada saat mereka masuk pertama kali untuk menjalani program TC. Interaksi sosial disini mencangkup bentuk-bentuk interaksi sosial yang terjadi antar pasien NAPZA pada program therapeutic community. Bentuk-bentuk interaksi sosial yang terjadi diantaranya kerja sama, persaingan, pertikaian dan akomodasi. Kerja sama dilakukan setiap hari antar pasien dalam berbagai kegiatan yang ada di dalam program TC seperti morning meeting, function dan group, kerja sama yang dilakukan didasari oleh sikap saling tolong menolong satu sama lain agar kegiatan yang dijalankan bisa berjalan dengan baik sehingga dapat berpengaruh pada proses pemulihannya. Persaingan terjadi antara kelompok dengan kelompok, dalam hal ini persaingan terjadi di dalam kegiatan olah raga yang dilakukan pada sore hari. Dalam menjalankan berbagai kegiatan pasien tidak luput dari pertikaian atau konflik, pertikaian sering terjadi karena adanya perbedaan pendapat antara pasien satu dengan pasien lainnya. Dalam menyelesaikan konflik atau pertikaian yang terjadi antar pasien dibutuhkan proses akomodassi dengan bantuan chief yang bertugas untuk menyelesaikan pertikaian yang ada.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillahi robbil alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kesehatan dan keselamatan kepada kita semua hingga saat ini.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada baginda Rasulullah
SAW sebagai suri tauladan kita menuju jalan yang di ridhoi Allah SWT.
Berkat rahmat dan ridho Allah SWT penyusunan skripsi ini dapat
diselesaikan dengan judul “ Interaksi Sosial Antar Pasien NAPZA Pada
Program Therapeutic Community Di Rumah Sakit Ketergantungan Obat
(RSKO) Jakarta” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Strata
Satu (S1) pada program Studi Kesejahteraan Sosial, Dalam menyusun penulisan
skripsi ini, penulis menyadari banyak menemui kesulitan terutama dalam
mengumpulkan data-data yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan
pengalaman yang penulis miliki. Namun, dengan bimbingan dari berbagai pihak,
akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan, walaupun penulis menyadari
dari penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan.
Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa
penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak
yang telah memberi banyak dukungan, baik dukungan moril maupun dukungan
materil. Dengan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih sedalam-
dalamnya kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan motivasi
kepada penulis untuk menyelesaikannya. Ucapan terima kasih tersebut terutama
kepada:
iii
1. Pertama-tama saya panjatkan puji syukur kepada Allah SWT yang telah
memberikan kesehatan dan pemikiran yang jernih kepada penulis, karena
berkat rahmat, hidayah serta pertolongan-Nya skripsi yang dibuat dapat
terselesaikan, karena Penulis sadar tanpa rahmat dan hidayah-Nya, Penulis
bukanlah apa-apa.
2. Yang terhormat dan terkasih orang tua penulis yaitu Bapak Adi Sukirno
dan Ibu Ngatinah atas kasih sayang, do’a, bimbingan, dan motivasinya
yang selalu diberikan kepada penulis. Semoga Allah SWT selalu
mencurahkan karunia dan nikmat yang tiada henti sebagai balasan yang
telah diberikan kepada penulis.
3. Bapak Ismet Firdaus, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah baik,
selalu support dan sabar membimbing penulis dengan memberikan nasehat
dan saran yang tidak akan penulis lupakan, karena atas semua itulah
penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
4. Bapak Dr. H. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Ibu Siti Napsiyah, M.SW dan Bapak Ahmad Zaky, M.Si sebagai Ketua
Program Studi Kesejahteraan Sosial dan Sekretaris Program Studi
Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Kesejahteraan Sosial dan seluruh Dosen
Staff Pengajar Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah
mengajarkan ilmu yang bermanfaat sebagai bekal untuk meraih cita-cita
dimasa depan dan seluruh Staff Usaha serta Staff Perpustakaan Fakultas
iv
Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan Staff Perpustakan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
7. Kepada Bapak Dr. Laurentius Panggabean, SpKJ, MS selaku Direktur
Utama Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta yang telah mengijinkan
penulis untuk dapat melakukan penelitian di RSKO Jakarta.
8. Kepada Bapak Agus Darmawan, S.Sos selaku Pembimbing di Rumah
Sakit Ketergantungan Obat Jakarta dan Bapak Syarifhudin, S.Sos yang
selalu memberi arahan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan. Tidak lupa kepada para Konselor dan Seluruh Pasien
NAPZA di Rehabilitasi Halmahera House yang telah banyak membantu
penulis.
9. Untuk adiku tersayang Bunga Dewi Arum Sari dan Adam Zamalludin
yang selalu memberikan motivasi, dan mendo’akan penulis agar dapat
menyelesaikan skripsi ini.
10. Spesial untuk Agung Setiyawan, ST terima kasih untuk kesabaran, waktu,
tenaga, materi, dan kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis
dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini sehingga dapat memacu dan
menyemangati penulis. Semoga Allah SWT selalu meridhoi langkah kita
kedepannya.
11. Untuk Sahabat-sahabat penulis yakni Asisah, Ilmawati Hasanah, Nur
hikmah, Syarifah Lubna Asseggaf dan Epidasari terima kasih telah
memberikan banyak kesan, semangat, do’a serta canda tawa kepada
penulis. Terima kasih selalu ada untuk penulis saat suka maupun duka,
terima kasih selalu membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan
v
terima kasih untuk semua yang telah diberikan selama ini. Peluk cium
untuk kalian.
12. Untuk Teman-teman Penulis Juwita Deca Ryane, Fifi Nurmagfiroh, Ayu
Ratna Sari dan Seluruh Teman-teman Kessos 2010 terima kasih atas
kebersamaan kalian.
13. Terakhir, kepada pihak yang telah membantu dan berpartisipasi dalam
penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Dengan
tidak mengurangi rasa hormat, penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Akhirnya atas semua ini, penulis mendo’akan semoga Allah SWT
membalas jasa-jasa mereka sesuai dengan amal dan perbuatan yang telah
diberikan dan harapan penulis semoga penulisan skripsi ini ada manfaat baik
untuk Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, maupun bagi masyarakat pada
umumnya. Aamiin yaa Rabbal’alamin
Ciputat, September 2014
Ratih Eka Susilawati
vi
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ...................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ix
BAB 1 PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................... 8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 8 D. Metodologi Penelitian .............................................................. 9
1. Pendekatan Penelitian ........................................................ 9 2. Jenis Penelitian ................................................................... 10 3. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................ 11 4. Sumber Data ....................................................................... 11 5. Teknik Pemilihan Informan ............................................... 12 6. Teknik Pengumpulan Data ................................................. 13 7. Teknik Analisa Data ........................................................... 15 8. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ................................ 15 9. Tinjauan Pustaka ................................................................ 18 10. Pedoman Penulisan Skripsi ................................................ 20
E. Sistematika Penulisan ............................................................... 20
BAB II KAJIAN TEORI A. Interaksi Sosial ......................................................................... 22
1. Pengertian Interaksi Sosial ................................................. 22 2. Syarat-Syarat Interaksi Sosial ............................................ 24 3. Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial ......................................... 27 4. Faktor-Faktor Yang Mendasari Interaksi Sosial ................ 32
B. Pasien NAPZA ......................................................................... 36 1. NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif
Lainnya ............................................................................... 36
vii
a. Pengertian Narkotika .................................................... 36 b. Pengertian Psikotropika ................................................ 37 c. Pengertian Zat Adiktif .................................................. 39
2. Penyebab Penyalahgunaan Narkotika ................................ 39 3. Dampak Penyalahgunaan NAPZA ..................................... 41 4. Pasien Napza ...................................................................... 42
a. Pengertian Pasien .......................................................... 42 C. Metode Therapeutic Community .............................................. 43
1. Pengertian Metode ............................................................. 43 2. Konsep Therapeutic .......................................................... 44 3. Karakteristik Metode Therapeutic Community ................. 48 4. Nilai-Nilai di dalam Metode Therapeutic Community ...... 50 5. Terapi Kelompok ............................................................... 51
BAB III GAMBARAN UMUM LEMBAGA A. Latar Belakang Berdirinya RSKO Jakarta ............................... 56 B. Visi dan Misi RSKO Jakarta .................................................... 59 C. Program Lembaga .................................................................... 60
1. Perencanaan Program ......................................................... 60 2. Rencana Jangka Pendek, Menengah dan Panjang.............. 60 3. Teknik Perencanaan ........................................................... 61 4. Monitoring dan Evaluasi .................................................... 71
D. Jangkauan Layanan .................................................................. 72 1. Deskripsi Target Layanan .................................................. 72 2. Penjangkauan dan Perekrutan ............................................ 72 3. Kriterian Pemilihan Pasien ................................................. 73
E. Sarana dan Prasarana ................................................................ 73
BAB IV TEMUAN DATA DAN ANALISIS INTERAKSI SOSIAL ANTAR PASIEN NAPZA PADA PROGRAM THERAPUTIC COMMUNITY A. Hasil Temuan............................................................................ 75
1. Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial Antar Pasien NAPZA pada Program Therapeutic Community Tahap Fase Primary ..... 75 a. Kerja Sama (Coorperation).......................................... 75 b. Persaingan (Competition) ............................................. 85 c. Pertikaian (Conflict) ..................................................... 89 d. Akomodasi (Accomodation)......................................... 96
2. Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial Antar Pasien NAPZA pada Program Theraputic Community Tahap Fase Re-Entry ..... 98 a. Kerja Sama (Coorperation) .......................................... 98
viii
b. Persaingan (Competition) ............................................. 103 c. Pertikaian (Conflict) ..................................................... 106 d. Akomodasi (Accomodation) ......................................... 108
B. Analisis Interaksi Sosial Antar Pasien NAPZA Pada Program Theraputic Community .............................................. 110 1. Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial Antar Pasien NAPZA
Pada Program Theraputic Community................................ 110 a. Kerja Sama (Coorperation) .......................................... 111 b. Persaingan (Competition) ............................................. 112 c. Pertikaian (Conflict) ..................................................... 113 d. Akomodasi (Accomodation) ......................................... 115
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................... 117 B. Saran ......................................................................................... 122
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Teknik Pemilihan Informan
Tabel 2 : Jadwal Kegiatan Pasien Primary di RSKO Jakarta
Tabel 3 : Jadwal Kegiatan Pasien Re-Entry di RSKO Jakarta
Tabel 4 : Jumlah Konselor dan Pasien Rehabilitasi di RSKO Jakarta
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Tempat Penelitian.
Gambar 2 : Tempat Instalasi Rehabilitasi Halmahera House di RSKO Jakarta.
Gambar 3 : Tempat yang di Pakai Dalam Kegiatan Morning Meeting.
Gambar 4 : Tempat untuk Group Lecture, Profesional session, Religius class.
Gambar 5 : Tempat untuk Group Confrontation, Na meeting, Encounter.
Gambar 6 : Kegiatan Function.
Gambar 7 : Tempat untuk Berolah Raga.
Gambar 8 : Tempat atau Ruangan Kamar Pasien.
Gambar 9 : Tempat atau Ruangan Untuk Makan Bersama.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
NAPZA kini merupakan salah satu masalah yang serius, tidak saja
pada tingkat lokal dan nasional melainkan juga pada tingkat internasional.
Bagaimana tidak, dari tahun ke tahun penyalahgunaan NAPZA semakin
meningkat.
Pada awalnya NAPZA hanya digunakan sebagai alat bagi ritual
keagamaan di samping itu juga dipergunakan untuk pengobatan. Adapun jenis
NAPZA pertama yang digunakan pada mulanya adalah candu atau lazim
disebut sebagai madat atau opium.1 Namun di sisi lain, penggunaan NAPZA
dapat menyebabkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila
dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama.2
Terkait dengan penyalahgunaan NAPZA, di Indonesia telah terjadi
peningkatan yang cenderung tajam. Data terbaru dari Badan Narkotika
Nasional (BNN) menyebutkan, dalam kurun waktu lima tahun terakhir dari
tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 jumlah kasus penyalahgunaan
narkotika di Indonesia terus merangkak naik. Pada tahun 2009 tercatat ada
2.112.503 kasus. Lalu tahun berikutnya naik lagi menjadi 2.222.100 kasus,
1 Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya Alternative Penanggulangan Tindak Pidana
Narkotika Oleh Anak, (Malang: Umum Press, 2009), h.3. 2 Taufik Makarao dkk, Tindak Pidana Narkotika, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007), h.17.
2
kenaikan itu semakin bertambah dan yang terakhir pada tahun 2013 jumlah
penyalahguna semakin bertambah menjadi 2.578.524 kasus.3
Permasalahan NAPZA di Indonesia dari tahun ke tahun semakin
bertambah. Awal mula nya muncul pada tahun 1969, lalu pada tahun 1975
pemerintah menyatakan jumlah penyalahgunaan narkotika terdapat 5000
orang. Selanjutnya, pada tahun 1990 atau 15 tahun kemudian dinyatakan
jumlahnya meningkat menjadi 85.000 orang dan terus bertambah dengan
seiring berjalannya waktu. Ibarat gunung es, kasus penyalahgunaan NAPZA
tampak yang berada di permukaan lebih kecil dibandingkan dengan yang tidak
tampak. Dengan kata lain artinya bila ada satu yang menyalahgunakan
NAPZA berarti ada sepuluh orang lain di belakangnya yang
mengkonsumsinya.4
NAPZA sudah seharusnya diperangi dengan dua sudut yaitu yang
pertama, supply reduction dan yang kedua adalah demand reduction. Upaya
supply reduction adalah upaya penegakan hukum, pencegahan penyelundupan
dan peredaran narkotika. Sedangkan upaya demand reduction adalah lebih
kepada upaya di bidang prevensi, terapi dan juga rehabilitasi.5 Dari penelitian
yang dilakukan oleh Dadang Hawari telah dapat dibuktikan bahwa sebenarnya
seorang penyalahguna/ketergantungan NAPZA adalah seorang yang
mengalami gangguan kejiwaan, orang yang sakit dan seorang pasien yang
memerlukan pertolongan terapi serta rehabilitasi. Penyalahgunaan NAPZA
3 “Kasus Narkoba di Indonesia Naik Tajam, “ artikel ini diakses pada tanggal 14-april-
2014 “http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/puslitdatin/kasus-narkoba-di-Indonesia-naik-tajam.html.
4Dadang Hawari, AL-QUR’AN Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2004), cet. Ke-3, h.236-265.
5 Ibid, h.267-268.
3
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang akan berdampak pada
kriminalitas, disabilitas, morbiditas dan mortalitas. Oleh karena itu
seyogyanya penanganan seorang penyalahguna/ketergantungan NAPZA
adalah dengan melakukan rehabilitasi.6
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surah Al-Maidah/5 ayat 90
berikut:
���ن ����� �� أ��� +ه ا�-�� آ��+ا إ&�� ا�(�' وا���)' وا"&%�ب وا"ز م ر�� �� ��� ا��
�3405 012/+ن
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum arak, khamar, berjudi, berkurban tentang berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan tersebut agar kamu mendapat keberuntungan”. (Qs. Al-Maidah ayat 90) Penyalahgunaan NAPZA adalah penyalahgunaan salah satu atau
beberapa jenis narkotika secara berkala atau teratur di luar indikasi medis,
sehingga menimbulkan gangguan kesehatan fisik, psikis dan gangguan fungsi
sosial.7
Dalam hal ini diharapkan pemerintah dapat menangani permasalahan
NAPZA dengan serius agar dapat meminimalisir penyalahguna yang kian
bertambah. Perlu penanganan khusus yang dilakukan untuk menangani
pengguna NAPZA. Menjalani rehabilitasi adalah tindak lanjut yang
dianjurkan pemerintah kepada pengguna NAPZA agar penyalahguna dapat
memantapkan kepribadian untuk bisa kembali bersosialisasi dengan
masyarakat. Dijelaskan rehabilitasi adalah upaya memulihkan dan
6 Ibid, h.2-3 7 Astwin, Pengertian Narkoba, artikel ini diakses pada tanggal 20-februari-2014 dari
http://astwin.Blogspot.com/2009/03-pengertian-narkoba.
4
mengembalikan kondisi para mantan penyalahguna atau ketergantungan
NAPZA agar kembali sehat, dalam arti fisik, psikologis, sosial dan spiritual
keagamaan.8 Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 54 Undang-Undang No 35
Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa, pecandu narkotika dan
korban penyalahgunaan NAPZA wajib menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial.
Berbagai program rehabilitasi NAPZA menjadi salah satu langkah
yang serius dalam penanganan penyalahgunaan NAPZA. Adanya program
rehabilitasi di Indonesia sesuai dengan pasal 1 butir 16 UU No. 35/2009
tentang narkotika yang menyebutkan bahwa rehabilitasi medis adalah suatu
kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari
ketergantungan NAPZA. Dan butir lainnya tentang narkotika adalah pasal 1
butir 17 UU No. 35/2009 menyatakan bahwa rehabilitasi sosial adalah suatu
proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik fisik, mental, maupun sosial
agar mantan pecandu NAPZA dapat kembali melaksanakan fungsi sosial
dalam kehidupan masyarakat.9
Rehabilitasi pada pengguna NAPZA menjadi penting karena seseorang
yang telah menyalahgunakan NAPZA akan mengalami penurunan dan
kerugian. Antara lain, merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan
kemampuan belajar, ketidakmampuan untuk membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk, mana yang halal dan mana yang haram, perubahan
mental dan prilaku anti sosial, merosotnya produktivitas kerja, gangguan
kesehatan, mempertinggi kecelakaan lalu lintas, kriminalitas, dan tindakan
8 Dadang Hawari, Penyalahgunaan dan Ketergantungan Napza, (Jakarta: FKUI, 2000), h.132.
9 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang narkotika.
5
kekerasan lainnya baik yang kuantitatif maupun kualitatif dan akhirnya
kematian sia-sia.10
Resiko psikososial penyalahgunaan NAPZA akan mengubah seseorang
menjadi pemurung, pencemas, depresi, paranoid dan mengalami gangguan
jiwa yang akan menimbulkan sikap bodoh, tidak perduli dengan penampilan,
sekolah, rumah, menjadi pemalas serta tidak ada sopan santun dan tidak peduli
dengan norma masyarakat, hukum dan agama. Resiko psikososial NAPZA
selanjutnya dapat mengganggu kemampuan pengguna dalam berinteraksi
sosial, baik di lingkungan keluarga, teman maupun masyarakat sekitarnya.
Dengan adanya gangguan-gangguan yang diderita oleh pecandu, akan ada
halangan bagi mereka untuk mengembangkan kemampuan berinteraksi secara
sosial di masyarakat, padahal interaksi sosial bagi seorang individu sangat
penting untuk menjalankan sebuah hubungan sosial yang dinamis dan
menjalankan fungsi serta peranannya. Sedangkan dalam proses rehabilitasi,
interaksi sangat dibutuhkan karena dapat membantu para pengguna dalam
beradaptasi dengan pengguna lainnya di dalam proses pemulihan. Interaksi
sosial yang dibangun di dalam tempat rehabilitasi akan dapat membantu para
pengguna untuk menjadi bahan perbandingan ketika keluar nanti bisa atau
tidaknya mereka berinteraksi sosial dengan baik di masyarakat. Sebab apabila
interaksi sosialnya tidak berjalan dengan baik di tempat rehabilitasi
kemungkinan besar ketika pengguna berinteraksi dengan masyarakat juga
tidak akan berjalan baik atau tidak wajar.
10 Dadang Hawari, AL-QUR’AN Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa,
(Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2004), cet. Ke-3, h.242.
6
Terapi rehabilitasi korban penyalahgunaan NAPZA semakin tumbuh
dan berkembang di masyarakat baik melalui sistem rumah sakit, panti ataupun
tempat keagamaan. Salah satu program penanganan bagi korban
penyalahgunaan NAPZA yang profesional dan dibutuhkan pada saat ini
adalah penerapan program Therapeutic Community (TC), yaitu sistem
pelayanan terpadu di dalam tempat rehabilitasi.
Metode Therapeutic Community mulai berkembang pada tahun 1963
dengan didirikannya Daytop Village di New York Amerika Serikat dan
sekarang telah berkembang di 63 negara.11 Therapeutic Community pada
mulanya ditunjukan untuk pasien-pasien psikiatri yang dikembangkan sejak
perang dunia kedua. Asal mulanya therapeutic community adalah kelompok
synanon di Amerika Serikat yaitu self-help group atau kelompok kecil yang
saling membantu dan mendukung proses pemulihan yang awalnya sangat
dipengaruhi oleh gerakan alcoholic anonymous. Therapeutic community
adalah metode rehabilitasi sosial yang di tunjukan kepada korban
penyalahgunaan NAPZA, yakni sebuah keluarga yang terdiri atas orang-orang
yang mempunyai masalah sama dan memiliki tujuan yang sama yaitu
menolong orang lain untuk menolong dirinya sendiri sehingga terjadi
perubahan tingkah laku di dalam diri pecandu. Tujuan dari TC adalah
merubah tingkah laku pecandu dari tingkah laku negatif ke arah tingkah laku
yang positif.12 Metode therapeutic community cukup berhasil di laksanakan di
11 Ayu Oktaviani, Skripsi (Lingkungan Fisik Rumah Rehabilitasi Pengguna Narkoba
dengan Metode Therapeutic Community : Studi Kasus di UNITRA Lido BNN dan FAN Campus), Fakultas Teknik UI, 2010.
12 Winanti, “Pendahuluan Therapeutic Community (TC)”, artikel diakses pada 13 November 2014 dari lapas narkotika.file.wordpress.com/2008/07 therapeutic community.rev1_1doc.pdf.
7
luar negeri, sebanyak 80% pasien NAPZA berhasil bertahan pada kondisi
terbebas dari zat dalam waktu yang cukup lama, apabila pasien berhasil
mengikuti tahapan sampai dengan selesai. Atas dasar keberhasilan tersebut
maka Kementrian Kesehatan RI mempertimbangkan untuk menerapkan dan
menggunakan metode therapeutic community dalam merehabilitasi pecandu
NAPZA.13
Salah satu tempat rehabilitasi yang berada dibawah pengawasan
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia yang menggunakan metode
therapeutic community adalah Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta
yang terletak di jalan Lapangan Tembak No. 75 Cibubur, Jakarta Timur. Awal
mula penerapan metode therapeutic community sendiri pada tahun 2003, dan
sampai dengan sekarang sudah hampir 75% metode tersebut berhasil
digunakan untuk pemulihan pasien dari ketergantungan terhadap NAPZA di
Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta.14 Dengan adanya metode tersebut
diharapkan Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta tidak hanya mampu
membantu para pengguna NAPZA bebas dari ketergantungannya tetapi juga
dapat membantu memulihkan kondisi psikososial mereka dari tingkah laku
negatif ke arah tingkah laku yang positif, dengan begitu pasien NAPZA dapat
membangun interaksi sosialnya dengan baik di lingkuan keluarga, teman
maupun masyarakat.
Berkaitan dengan hal di atas maka peneliti tertarik untuk membahas
bagaimana interaksi sosial yang dilakukan antar pasien NAPZA pada program
13 Ayu Oktaviani, Skripsi (Lingkungan Fisik Rumah Rehabilitasi Pengguna Narkoba
dengan Metode Therapeutic Community : Studi Kasus di UNITRA Lido BNN dan FAN Campus), Fakultas Teknik UI, 2010.
14 Wawancara Pribadi dengan Kepala Konselor di Unit Rehabilitasi RSKO Jakarta,
Jakarta 21 November 2014.
8
therapeutic community dengan judul “Interaksi Sosial Antar Pasien NAPZA
Pada Program Therapeutic Community di Rumah Sakit Ketergantungan
Obat (RSKO) Jakarta “.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah dan memperjelas permasalahan yang akan
dibahas, dalam penulisan skripsi ini penulis hanya memfokuskan
penelitian pada interaksi sosial yang dijalani antar pasien NAPZA pada
program Theraputic Community.
2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan permasalahan adalah bagaimana bentuk-bentuk
interaksi sosial antar pasien NAPZA pada program therapeutic coomunity?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
bentuk-bentuk interaksi sosial antar pasien NAPZA pada program
Therapeutic Community.
2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut:
a. Manfaat teoritis
9
1) Memberi sumbangan perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya mengenai interaksi sosial yang terjadi di dalam
program Therapeutic Community antar pasien NAPZA.
2) Dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi peneliti selanjutnya
pada kajian yang sama tetapi pada ruang lingkup yang lebih
luas dan mendalam tentang interaksi sosial pada program
Therapeutic Community.
b. Manfaat Praktis
1) Penelitian ini dapat memberikan masukan bagi pasien NAPZA
dalam membangun interaksi sosial antar pasien program
therapeutic community.
D. Metodologi Penelitian
Metode penelitian merupakan strategis umum yang dipakai dalam
pengumpulan dan analisis data yang diperlakukan guna menjawab
permasalahan yang diselidiki. Penggunaan metodologi ini dimaksudkan untuk
menentukan data valid, akurat dan signifikan dengan permasalahan sehingga
dapat digunakan untuk mengungkapkan permaslahan yang diteliti.
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaiamana
interaksi sosial yang terjadi antar pasien NAPZA pada program theraputic
community di RSKO Jakarta. Peneliti berusaha memahami dan
mendeskripsikan interaksi sosial yang terjadi antar pasien pada program
10
therapeutic community. Oleh karena itu, peneliti menggunakan
pendekatan kualitatif.
Sebagaimana yang di ungkapkan Bogdan dan Taylor yang dikutip
oleh Lexy J. Moelong, bahwa pendekatan kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati.15
Berbagai data yang diperoleh dari wawancara, observasi maupun
dokumentasi yang penulis dapatkan dari berbagai sumber yang terkait
dengan penelitian akan diolah sehingga dapat memperoleh gambaran yang
jelas mengenai bagaimana interaksi sosial yang terjadi pada saat
mengikuti therapeutic community di RSKO Jakarta.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian deskriptif yaitu
usaha mengungkapkan suatu masalah atau keadaan atau peristiwa
sebagaimana adanya sehingga bersifat untuk mengungkapkan fakta.16
Jadi gambaran yang dipaparkan secara objektif tentang keadaan
sebenarnya dari objek yang diselidiki pada saat sekarang berdasarkan
fakta-fakta yang tampak. Oleh karena itu dibutuhkan data-data sebagai
penguat dalam penelitian tersebut. Data yang di kumpulkan berupa kata-
kata, gambar dan bukan angka-angka.17 Data dalam penelitian ini dapat
15 Lexy J. Moelong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 2001), Cet Ke-15, h.4. 16 Hadari Nawawi, Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
2005), Cet Ke-11, h.3. 17 Lexy J. Moelong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosda Karya,
2006), h.11.
11
berasal dari wawancara catatan lapangan, catatan atau memo dan
dokumen resmi lainnya.
3. Tempat dan Waktu Penelitian
a. Tempat Penelitian
Penelitian pada skripsi ini dilakukan di Rumah Sakit
Ketergantungan Obat Jakarta. Yang beralamat di jalan Lapangan
Tembak Raya No.75 Cibubur, Jakarta Timur. Alasan penulis memilih
tempat tersebut adalah penulis ingin meneliti tentang bagaimana
interaksi sosial yang terjadi antar pasien NAPZA pada program
Theraputic Community yang berbasis rumah sakit atau medis. Dan
juga jarak yang tidak terlalu jauh bagi peneliti.
b. Waktu Penelitian
Peneliti akan melakukan penelitian ini pada bulan Juli sampai
dengan bulan September 2014.
4. Sumber Data
Untuk menetapkan sumber data, peneliti mengklasifikasinnya
berdasarkan jenis data yang dibutuhkan. Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan sumber data, yaitu:
a. Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung
dari subyek penelitian, yaitu Kepala unit Rehabilitasi, Konselor
dan para Pasien NAPZA dan pihak Lembaga.
b. Sumber data sekunder, diperoleh melalui catatan-catatan,
dokumen, foto maupun benda-benda tertulis lainnya yang
berhubungan dengan penelitian.
12
5. Teknik Pemilihan Informan
Sesuai karakteristik penelitian kualitatif, dalam pemilihan
informan penelitian ini dipilih dengan sengaja atau non random
(purposive sampling), yaitu sample yang ditarik dengan sengaja.18
Dimana pada teknik purposive sampling tersebut dimaksudkan
untuk memberikan keluluasaan kepada peneliti dalam menyeleksi
informan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Yang terpenting di sini
bukanlah jumlah informan khususnya, melainkan potensi dari tiap kasus
untuk memberikan pemahaman teoritis yang lebih baik mengenai aspek
yang dipelajari.
Dalam penelitian ini, terdapat informan utama dan informan
pendukung. Beberapa kriteria informan yang menjadi sasaran terkait
dengan penelitian yaitu:
Kriteria untuk pemilihan residen adalah:
a. Pasien NAPZA Program Reguler
b. Pasien Laki-laki
c. Pasien yang Berusia 20-30 Tahun
Pasien NAPZA program reguler adalah pasien yang sedang
menjalani proses rehabilitasi pada program therapeutic community
karena dapat memberikan pendapat mengenai bagaimana interaksi sosial
yang terjadi dalam program tersebut. Pasien laki-laki di pilih karena
pasien laki-laki berada dalam fase primary dan re-entry. Dan pasien yang
berusia 20-30 tahun agar lebih terarah dan tidak berbeda-beda.
18 Lexy J. Moelong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
2006), h.224.
13
6. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang objektif maka dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan metode pengumpulan data yang bersifat kualitatif,
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Observasi (pengamatan)
Observasi adalah usaha untuk memperoleh dan
mengumpulkan data dengan melakukan pengamatan langsung
dilapangan terhadap suatu kegiatan secara akurat, serta mencatat
fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hungan antara
aspek dalam fenomena tersebut.19 Peneliti melakukan pengamatan
dilapangan dengan cara mengumpulkan data-data lapangan serta
data-data yang ada.
b. Wawancara
Wawancara yaitu peneliti mengumpulkan data yang
diperoleh dari pengajuan secara lisan kepada informan.
Wawancara dengan semua informan di lakukan di RSKO Jakarta
dengan catatan tulisan tangan.
Tabel 1
Pengambilan Informan
Adapun yang akan di wawancarai adalah, yaitu:
No Informan Info yang dicari Jumlah Metode Pengumpulan
Data
19 E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi, (Jakarta:
LPSP3-UI, 1998), Cet Ke-1, h.62.
14
1. Pekerja Sosial (PEKSOS) dan Kepala Konselor di Unit Rehabilitasi Halmaher House RSKO Jakarta
Gambaran program Therapeutic Community dan Pelaksanaannya.
2 Org Wawancara bebas, terstruktur, dokumen dan observasi.
2. Konselor di RSKO Jakarta
Temuan data tentang pelaksanaan program therapeutic community dan kemajuan para pasien saat berinteraksi sosial dengan hasil yang dicapai.
4 Org Observasi langsung dan wawancara.
3. Klien Aktivitas pasien di tempat rehabilitasi serta perubahan yang dirasakan.
4 Org Observasi langsung dan wawancara.
Jumlah 10 Org
Wawancara ini dilakukan untuk memperoleh data dari
sumber langsung tentang masalah yang akan diteliti. Wawancara
ini akan dilakukan secara bebas, tetapi tetap menggunakan
pedoman wawancara agar pertanyaan yang terarah.
c. Studi Kepustakaan (Library Reseacrh)
Studi kepustakaan yaitu peneliti mengumpulkan,
membaca dan mempelajari berbagai macam bentuk data tertulis
baik yang berupa data tentang interaksi sosial pada program
therapeutic community, pasien NAPZA serta hasil penelitian di
perpustakaan yang dapat dijadikan bahan analisa untuk hasil
15
dalam penelitian ini. Teknik ini digunakan untuk memperoleh
data yang telah didokumentasikan dalam buku.
7. Teknik Analisis Data
Analisis mempunyai kedudukan yang sangat penting jika dilihat
dari tujuan penelitian. Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan
dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-
milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistensikannya, mencai
dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang di
pelajari, dan memutuskan apa yang dapat di ceritakan kepada orang lain.20
Bedasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa analisis
data yang peneliti gunakan dalam penelitian dengan cara mengumpulkan
data yang berkaitan dengan penelitian yaitu mengenai bentuk-bentuk
interaksi sosial pada program therapeutic community. data seputar
interaksi sosial pada program TC peneliti dapatkan ketika mengikuti
program TC. Setelah mengumpulkan, lalu menyusun, menyajikan,
kemudian menganalisis dan menyimpulkan.
8. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Data yang digali, dikumpulkan dan dicatat dalam kegiatan
penelitian. Untuk menjaga keabsahan data dalam penelitian ini
diperlukan teknik pemeriksaan.
Adapun teknik yang digunakan untuk menjaga keabsahan data
adalah sebagai berikut:
1. Kriteria Kredibilitas/Kepercayan
20 Lexy J. Moelong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007).
Edisi Revisi, h.28.
16
Fungsi kriterium kredibilitas ini adalah untuk
melaksanakan inkuiri sedemikian rupa sehingga tingkat
kepercayaan penemuannya dapat dicapai, kemudian
mempertunjukkan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan
dengan jalan pembuktian oleh penulis pada kenyataan ganda yang
sedang diteliti.
Kriterium kredibilitas ini menggunakan dua tehnik
pemeriksaan, yaitu:
a. Ketekunan Pengamatan
Dimaksudkan untuk menemukan ciri-ciri dan
unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan
persoalan atau isu dalam penelitian ini dan kemudian
memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.
Dengan kata lain, penulis mengadakan pengamatan
kepada subjek penelitian yaitu para pasien program
reguler di RSKO Jakarta. Sehingga data yang didapat
benar-benar valid, objektif dan saling mendukung, untuk
keperluan pengecekan atau sebagai pembanding data
tersebut (triangulasi).
b. Triangulasi
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsaan
data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Hal tersebut
dapat dicapai melalui: (a) membandingkan data hasil
wawancara dengan pengamatan penelitian. Misalnya
17
peneliti membandingkan hasil wawancara subyek
penelitian dengan hasil temuan pengamatan lapangan. (b)
membandingkan keadaan dan persepektif seseorang
dengan berbagai pendapat dan pandangan orang lain. (c)
membandingkan hasil wawancara dengan hasil dokumen
yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Wawancara
tersebut untuk keperluan pengecekan atau sebagai
pembanding terhadap data tersebut.21
2. Kriterium Kepastian
Mengutip pendapat Scriven, yang menyatakan bahwa
masih ada unsur ‘kualitas’ yang melekat pada konsep objektivitas.
Hal ini dapat digali, dari pengertian bahwa jika sesuatu objektif,
berarti dapat dipercaya, faktual dan dapat dipastikan. Dari sini
peneliti dapat membuktikan bahwa data-data yang diperoleh dari
hasil rekaman wawancara informan dan observasi terhadap
subyek penelitian.
Kepastian dengan teknik pemeriksaan audit, kepastian
auditor dalam hal ini ialah objektif atau tidak tergantung pada
persetujuan beberapa orang terhadap pandangan, pendapat dan
penemuan seseorang. Dapatlah dikatakan bahwa pengalaman
seseorang itu subjektif, sedangkan jika disepakati oleh beberapa
orang barulah dapat dikatakan objektif.
21 Lexy J. Moelong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosda
Karya, 2006), h.331.
18
9. Tinjauan Pustaka
Dalam penyusunan skripsi ini sebelum peneliti mengadakan
penelitian lebih lanjut kemudian menyusunnya menjadi sebuah karya
ilmiah, maka langkah-langkah awal yang peneliti akan lakukan adalah
mengkaji terlebih dahulu terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu.
Setelah peneliti melakukan suatu kajian kepustakaan, peneliti akhirnya
menemukan beberapa hasil penelitian yang membahas tentang narkotika.
Di antaranya adalah hasil penelitian karya Mohammad Khafid Rossid
(104052001988) mahasiswa jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam
dengan judul “Efektifitas Konseling pada Rehabilitasi NAPZA di
Rumah Sakit Khusus Darma Graha BSD”. Dalam karya tersebut
menjelaskan bagaimana efektifitas dari konseling untuk korban NAPZA,
namun dalam karya tersebut tidak menjelaskan kegiatan apa saja yang
dilakukan untuk melihat efektifitas atau tidak layanan konseling di
Rumah Sakit tersebut. Dan yang menjadi pembeda antara skripsi ini
dengan skripsi peneliti adalah peneliti hanya terfokus kepada interaksi
sosial yang dilakukan antar pasien NAPZA pada program therapeutic
community dan bukan berpusat kepada konselingnya atau bukan melihat
bagaimana penanganan pengguna NAPZA seperti penelitian-penelitian
sebelumnya.
Selanjutnya penulis juga dapat membandingkan pada judul skripsi
“Gambaran Interaksi Sosial Pada Anak dengan Kesulitan Belajar
(Studi Deskriptif Pada 3 Siswa dengan Kesulitan Belajar di SD
Pantara)”. Yang disusun oleh Sabrina Alya Paramitha (0606096534)
19
mahasiswi jurusan Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia. Dalam
skripsi tersebut berisi tentang gambaran mengenai interaksi sosial pada
anak dengan kesulitan belajar dan juga berisi tentang hambatan apa saja
yang terjadi dalam berkomunikasi pada anak dengan kesulitan belajar.
Sedangkan yang menjadi pembeda antar skripsi tersebut dengan penulis
adalah penulis membahas tentang bentuk-bentuk interaksi sosial antar
pasien NAPZA pada program theraputic community tetapi dalam hal ini
skripsi tersebut juga dijadikan penulis untuk menjadi referensi pada
pembuatan pedoman wawancara bagi informan.
Selanjutnya tinjauan pustaka lain yang peneliti gunakan adalah
skripsi karya Nina Riyanti Januarita (108052000014) Mahasiswa
jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2013 dengan jdul skripsi “Interaksi Sosial Para Pengguna
NAPZA Dalam Mengikuti Metode Therapeutic Community Di Panti
Sosial Pamardi Putra (PSPP), Galih Pakuan Putat Nutug-Bogor”
dalam karya tersebut menjelsakan bagaimana interaksi sosial para
pengguna NAPZA dalam mengikuti metode therapeutic community dan
juga menjelaskan tentang faktor penghambat dan pendukung pada
metode tersebut. Dan yang menjadi pembeda dalam karya tersebut
dengan karya penulis adalah dalam skripsi ini penulis menjelaskan
bagaimana bentuk-bentuk interaksi sosial antar pasien NAPZA pada
program TC yang di dalamnya mencangkup kerja sama, persaingan,
pertentangan/pertikaian, dan juga akomodasi.
20
Dan terakhir adalah hasil penelitian karya Tino Hapsoro
Tertanto dengan judul “Gambaran Status Depresi Pada Pecandu
Narkoba Yang Berada Dalam Pusat Rehabilitasi (12 Step dan
Therapeutic Community)”. Dalam karya mahasiswa jurusan Psikologi
Universitas Indonesia ini fokus pembahasannya mengenai status depresi
pecandu narkoba di pusat rehabilitasi dan yang menjadi pembeda antara
skripsi ini dengan skripsi peneliti adalah peneliti hanya terfokus kepada
interaksi sosial yang terjadi antar pasien napza pada program therapeutic
community.
10. Pedoman Penulisan Skripsi
Untuk tujuan mempermudah, tehnik penulisan yang dilakukan
dalam skripsi ini merujuk pada buku pedoman penulisan kaya ilmiah
(Skripsi, Tesis dan Disertasi) yang diterbitkan CeQDA (Center For
Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta) sebagai pedoman penulisan skripsi ini.
E. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahsan dalam skripsi ini penulis menguraikan dalam
beberapa BAB, yaitu:
BAB I, Pendahuluan, yang membahas tentang latar belakang masalah,
pembatasan dan peumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian.
Metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
BAB II, Menguraikan landasan teori, yang mencangkup pengertian interaksi
sosial, bentuk-bentuk interaksi sosial, pengertian NAPZA, pasien
21
NAPZA, pengertian therapeutic community, teori dalam
Therapeutic Community, dan karakteristik Therapeutic Community.
BAB III, Gambaran Umum Lembaga, menjelaskan tentang profil lembaga,
yang mencangkup latar belakang berdirinya, visi dan misi. Sarana
dan prasarana, dan struktur organisasi.
BAB IV, Memaparkan gambaran umum program Theraputic Community di
RSKO Jakarta, temuan analisa yakni, bagaimana bentuk-bentuk
interaksi sosial antar pasien pada program Therapeutic Community.
BAB V, Merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran dari
semua permasalahan yang ada dalam skripsi ini.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
22
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Interaksi Sosial
1. Pengertian Interaksi Sosial
Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang paling mulia di antara
mahluk-mahluk lainnya. Berbeda dengan mahluk lain yang biasanya
mahluk tersebut secara keseluruhan perilakunya dikendalikan oleh naluri
yang diperoleh sejak awal hidupnya. Hewan tidak perlu menentukan apa
yang harus dimakannya atau diperbuatnya karena hal itu diatur oleh naluri.
Sedangkan manusia merupakan mahluk tak berdaya karena dilengkapi
oleh naluri yang relatif tidak lengkap. Oleh sebab itu, manusia kemudian
mengembangkan kebudayaan untuk mengisi kekosongan yang tidak diisi
oleh naluri. Manusia adalah mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri
tanpa berhubungan dengan yang lainnya, karena satu dengan yang lainnya
saling berkaitan dan saling membutuhkan. Manusia berkembang secara
bertahap melalui interaksi dengan masyarakat yang lainnya agar dapat
mengerti dengan apa yang diinginkan orang lain.22
Interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial dinamis yang
menyangkut hubungan antar perseorangan, individu dengan kelompok,
dan kelompok dengan kelompok lainnya. Interaksi sosial merupakan kunci
dalam sendi-sendi kehidupan sosial karena tanpa berlangsungnya proses
interaksi tidak mungkin terjadi aktivitas dalam kehidupan sosial. Secara
22 Yusran Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar Tinjauan Pemikiran Sosiologi Persepktif
Islam, (Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008), h.50.
23
sederhana interaksi sosial dapat terjadi apabila dua orang saling bertemu,
saling mengatur, saling berkenalan dan saling mempengaruhi. Pada saat
itulah interaksi sosial terjadi.23
Menurut Bimo Walgito dalam bukunya yang berjudul Psikologi
Sosial mengatakan bahwa Interaksi sosial adalah hubungan antara individu
satu dengan yang lain, individu satu dapat mempengaruhi individu yang
lain atau sebaliknya, jadi terdapat adanya hubungan yang saling timbal
balik. Hubungan tersebut dapat antara individu dengan individu, individu
dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok. Di dalam interaksi
sosial ada kemungkinan individu dapat menyesuaikan dengan yang lain,
atau sebaliknya. Pengertian penyesuaian disini dalam arti luas, yaitu
bahwa individu dapat meleburkan diri dengan keadaan di sekitarnya, atau
sebaliknya individu dapat mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan
dalam diri individu, sesuai dengan apa yang diinginkan oleh individu yang
bersangkutan.24
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa,
Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial dinamis yang
menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-
kelompok manusia maupun antara orang perorangan dengan kelompok
manusia.25 Sedangkan menurut Bonner mengemukaan bahwa, Interaksi
sosial ialah suatu hubungan antara dua orang atau lebih sehingga kelakuan
23 Ibid, h.57. 24 Bimo Walgito, Psikologi Sosial (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: CV Andi
Offset,2003). H.65. 25 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002), h.61.
24
individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan
individu yang lain dan sebaliknya.
Dari beberapa pengertian di atas penulis dapat menyimpulkan
bahwa interaksi sosial adalah hubungan dua orang atau lebih yang saling
mempengaruhi satu sama lain sehingga terjadinya suatu hasil yang dapat
dicapai bersama.
Dalam mempelajari interaksi sosial digunakan pendekatan tertentu,
yang dikenal dengan nama interactionist perspective. Di antara berbagai
pendekatan yang digunakan untuk mempelajari interaksi sosial, dijumpai
pendekatan yang dikenal dengan nama interaksionisme simbolik (symbolic
interactionism). Pendekatan ini bersumber pada pemikiran George dan
Herbet Mead. Dari kata interaksionisme sudah nampak bahwa sasaran
pendekatan ini ialah interaksi sosial; kata simbolik mengacu pada
penggunaan simbol-simbol dalam interaksi.26
2. Syarat-Syarat Interaksi Sosial
Secara teoritis, sekurang-kurangnya ada dua syarat bagi terjadinya
suatu interaksi sosial, yaitu terjadinya kontak sosial dan komunikasi.
Terjadinya suatu kontak sosial tidaklah semata-mata tergantung dari
tindakan, tetapi juga tergantung kepada adanya tanggapan terhadap
tindakan tersebut. Sedangkan aspek terpenting dari komunikasi adalah bila
seseorang memberikan tafsiran pada sesuatu.27
26 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi Edisi Revisi, (Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004), h.35. 27 J. Dwi Narwoko, Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta:
Kencana, 2007), h.16.
25
Dalam buku sosiologi yang berjudul Sosiologi Sebuah Pengantar
karya Yusran Razak juga menjelaskan secara rinci bahwa suatu interaksi
sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat
sebagai berikut:
1. Adanya kontak sosial (Social Contact).
Kata kontak berasal dari bahasa latin, yaitu con atau cum
(bersama-sama) dan tango (menyentuh) jadi artinya bersama-sama
menyentuh. Kontak sosial mempunyai dua sifat. Yang pertama
bersifat primer, artinya terjadi apabila hubungan diadakan secara
langsung yang berhadapan muka. Yang kedua bersifat sekunder
artinya suatu kontak memerlukan suatu perantara.
Kontak sosial dapat terjadi melalui dua cara. Cara yang
pertama adalah verbal/gestural, yaitu kontak yang terjadi melalui
saling menyapa, saling berbicara, dan berjabat tangan. Cara kedua
adalah non verbal/non-gestural yaitu kontak yang tidak
mepergunakan kata kata-atau bahasa melainkan dengan adanya
isyarat.
2. Adanya komunikasi (communication)
Arti terpenting komunikasi adalah seseorang memberikan
tafsiran pada prilaku orang lain. Tafsiran tersebut dapat berwujud
melalui pembicaraan, gerak-gerik badan atau sikap perasaan-
perasaan yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. 28
28 Ibid, h.59.
26
Komunikasi melalui syarat-syarat sederhana adalah bentuk
paling elementer dan yang paling pokok dalam komunikasi.
Karakteristik dari komunikasi manusia adalah mereka tidak
terbatas hanya menggunakan isyarat-isyarat fisik sebagaimana
halnya dilakukan binatang. Di dalam berkomunikasi manusia
menggunakan kata-kata, yakni simbol-simbol suara yang
menganduk arti bersama dan bersifat standar. Dalam hal ini, tidak
perlu selalu ada hubungan yang intristik antara satu bunyi tertentu
dengan respon yang disimbolkan. Simbol di sini berbeda dengan
tanda. Makna sebuah tanda biasanya identik dengan bentuk
fisiknya dan dapat di tangkap dengan panca indera, sedangkan
simbol bisa abstrak.29
Interaksi sosial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Interaksi sosial baru bisa berlangsung apabila dilakukan
minimal dua orang atau lebih.
b. Adanya interaksi dari pihak lain atas komunikasi dan kontak
sosial.
c. Adanya hubungan timbal balik yang saling mempengruhi
antara satu dan yang lainnya.
d. Interaksi cenderung bersifat positif, dinamis, dan
berkesinambungan.
e. Interaksi cenderung menghasilkan penyesuaian diri bagi
subjek-subjek yang menjalin interaksi.
29 J. Dwi Narwoko, Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta:
Kencana, 2007), h.17.
27
f. Berpedoman pada norma-norma atau kaidah-kaidah secara
acuan dalam interaksi.30
3. Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial
Berlangsungnya suatu proses interaksi menurut Soerjono Soekanto
didasarkan pada berbagai bentuk, antara lain dapat berupa kerja sama
(coorperation), persaingan (competition), pertentangan/pertikaian
(conflict) dan juga akomodasi (accomodation).
a. Kerja sama (coorperation)
Kerja sama adalah suatu bentuk proses sosial, dimana di
dalamnya terdapat aktifitas tertentu yang ditunjukan untuk mencapai
tujuan bersama dengan saling membantu dan saling memahami
terhadap aktifitas masing-masing.31
Bentuk dan pola-pola kerja sama dapat dijumpai pada semua
kelompok manusia. Kebiasaan-kebiasaan dan sikap-sikap demikian
dimulai sejak masa kanak-kanak didalam kehidupan keluarga atau
kelompok-kelompok kekerabatan. Atas dasar itu, anak tersebut akan
menggambarkan bermacam-macam pola kerja sama setelah menjadi
dewasa. Bentuk kerja sama tersebut berkembang apabila orang dapat
digerakan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada
kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari mempunyai manfaat
bagi semua. Juga harus ada iklim yang menyenangkan dalam
pembagian kerja serta balas jasa yang akan diterima. Dalam
30 Yusran Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar Tinjauan Pemikiran Sosiologi Persepkitf
Islam, (Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008), h.59. 31 Abdulsyani, Sosiologi Skematika, Teori, Dan Terapan, (Jakarta: PT. Bumi Aksara,
2002), h.156.
28
perkembangan selanjutnya, keahlian-keahlian tertentu diperlukan bagi
mereka yang bekerja sama, supaya rencana kerja samanya dapat
terlaksana dengan baik.32
Kerja sama timbul karena orientasi orang perorangan terhadap
kelompoknya (yaitu in group-nya) dan kelompok lainnya (yang
merupakan out group-nya). Kerja sama mungkin akan bertambah kuat
apabila ada bahaya luar yang mengancam atau tindakan-tindakan luar
yang menyinggung kesetiaan yang secara tradisional atau institusional
telah tertanam didalam kelompok, dalam diri seseorang atau
segolongan orang. Kerja sama dapat bersifat agresif apabila kelompok
dalam jangka waktu yang lama mengalami kekecewaan akibat
perasaan tidak puas, karena keinginan-keinginan pokoknya tak dapat
terpenuhi oleh karena adanya rintangan-rintangan yang bersumber dari
luar kelompok itu. Keadaan tersebut dapat menjadi lebih tajam lagi
apabila kelompok demikian merasa tersinggung atau dirugikan sistem
kepercayaan atau dalam salah satu bidang agresif dalam kebudayaan.
Betapa pentingnya fungsi kerja sama, digambarkan oleh Charles H.
Cooley sebagai berikut33 :
“Kerja sama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerja sama yang bersama”.
32 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002), h.72. 33 Ibid., h. 73.
29
Sehubungan dengan pelaksanaan kerja sama, ada lima bentuk
kerja sama, yaitu:
1. Kerukunan yang mencangkup gotong royong dan tolong
menolong.
2. Bargaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran
barang-barang dan jasa-jasa antara dua organisasi atau lebih.
3. Ko-optasi, yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur baru
dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu
organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya
kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan.
4. Koalisi, yaitu kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang
mempunyai tujuan-tujuan sam. Koalisi dapat menghasilkan
keadaan yang tidak stabil untuk sementara waktu, karena dua
organisasi atau lebih tersebut kemungkinan mempunyai struktur
yang tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Akan tetapi
karena maksud utama adalah untuk mencapai satu tujuan
bersama, maka sifatnya adalah kooperatif.
5. Joint-ventrue, yaitu kerja sama dalam perusahaan proyek-
proyek tertentu. Misalnya, pemboran minyak, pertambangan
batu bara, perfilman, perhotelan dan seterusnya.34
b. Persaingan (competition)
Persaingan merupakan suatu usaha dari seseorang untuk
mencapai sesuatu yang lebih dari pada yang lainnya. Sesuatu itu bisa
34 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002), h.74-75.
30
berbentuk harta benda atau popularitas tertentu. Persaingan biasanya
bersifat individu, apabila hasil dari persaingan itu dianggap cukup
untuk memenuhi kepentingan pribadi. Akan tetapi apabila hasilnya
dianggap tidak mencukup bagi seseorang, maka persaingan bisa terjadi
antar kelompok, yaitu antara satu kelompok kerja sama dengan
kelompok kerja sama yang lainnya. Dengan kata lain, bahwa terjadinya
persaingan oleh karena ada perasaan atau anggapan seseorang bahwa
ia akan lebih beruntung jika tidak bekerja sama dengan orang lain.
Orang lain dianggap dapat memperkecil hasil suatu kerja. Persaingan
ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu persaingan pribadi dan
persaingan kelompok. Persaingan pribadi adalah persaingan yang
berlangsung antara individu dengan individu atau individu dengan
kelompok secara langsung. Sedangkan persaingan kelompok adalah
persaingan yang berlangsung antara kelompok dengan kelompok.
Menurut Soedjono Dirdjosisworo, persaingan merupakan suatu
kegiatan yang berupa perjuangan sosial untuk mencapai tujuan, dengan
bersaing terhadap yang lain, namun secara damai atau setidak-tidaknya
tidak saling menjatuhkan.35
c. Pertikaian atau Pertentangan (conflict)
Pertikaian adalah bentuk persaingan yang berkembang secara
negatif, artinya di satu pihak bermaksud untuk mencelakakan atau
paling tidak berusaha untuk menyingkirkan pihak lainnya. Singkatnya
pertikaian dapat diartikan sebagai usaha penghapusan keberadaan
35 Abdulsyani, Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan,(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002),
h.157.
31
pihak lain. Menurut Soedjono, pertikaian adalah suatu bentuk dalam
interelasi sosial dimana terjadi usaha-usaha pihak yang satu berusaha
menjatuhkan pihak yang lain, atau berusaha mengenyahkan yang lain
yang menjadi rivalnya. Hal ini terjadi mungkin karena perbedaan
pendapat antara pihak-pihak tersebut. Pertikaian ini bisa berhubungan
dengan masalah-masalah ekonomi, politik, kebudayaan dan
sebagainya. Kemudian menurut Soerjono Soekanto menjelaskan
bahwa “pertentangan adalah suatu proses sosial dimana orang
perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi
tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan
ancaman dan/atau kekerasan”.
Kendatipun demikian, pertikaian tidak selamanya disertai
kekerasan bahkan ada pertikaian yang berbentuk lunak dan mudah
untuk dikendalikan misalnya pertentangan antara orang-orang dalam
seminar, dimana perbedaan pendapat bisa diselesaikan secara ilmiah
atau sekurang-kurangnya tidak emosional.36
d. Akomodasi (accomodation)
Akomodasi adalah suatu keadaan hubungan antara kedua belah
pihak yang menunjukan keseimbangan yang berhubungan dengan nilai
dan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Akomodasi
sebenarnya suatu bentuk proses sosial yang merupakan perkembangan
dari bentuk pertikaian, dimana masing-masing pihak melakukan
penyesuaian dan berusaha mencapai kesepakatan untuk tidak saling
36Abdulsyani, Sosiologi Skematika, Teori Dan Terapan, (Jakarta: PT Bumi Aksara,
2002), h.158.
32
bertentangan. Menurut Soerjono Soekanto dalam buku Sosiologi Suatu
Pengantar mengatakan bahwa, “akomodasi adalah suatu keadaan
dimana suatu pertikaian atau konflik, mendapat penyelesaian, sehingga
terjalin kerja sama yang baik kembali”. Tujuan akomodasi dapat
berbeda-beda sesuai dengan situasi yang dihadapinya, yaitu: yang
pertama untuk mengurangi pertentangan orang perorangan atau
kelompok-kelompok manusia sebagai perbedaan paham. Akomodasi
disini bertujuan untuk menghasilkan suatu sintesa antara kedua
pendapat tersebut, agar menghasilkan suatu pola yang baru. Yang
kedua untuk mencegah meledaknya suatu pertentangan, untuk
sementara waktu atau secara temporer. Yang ketiga akomodasi
terkadang diusahakan untuk memungkinkan terjadinya kerja sama
antara kelompok-kelompok sosial yang sebagai akibat faktor-faktor
sosial psikologis dan kebudayaan, hidupnya terpisah seperti halnya
yang dijumpai pada msayarakat-masyarakat yang mengenai sistem
berkasta. Dan yang keempat mengusahakan peleburan antara
kelompok-kelompok sosial yang terpisah, misalnya melalui
perkawinan campuran atau asimilasi dalam arti yang luas.37
4. Faktor-Faktor Yang Mendasari Interaksi Sosial
Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada berbagai
faktor, antara lain faktor imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati. Faktor-
37 Ibid., h.156.
33
faktor tersebut dapat bergerak sendiri-sendiri secara terpisah maupun
dalam keadaan tergabung.38
1. Faktor Imitasi
Imitasi berasal dari kata imitation, yang berarti peniruan.
Meskipun manusia memiliki pola dasar masing-masing yang uni
(individualis), tetap saja dalam diri manusia ada keinginan untuk
meniru seperti orang lain atau kelompok. Dengan demikian imitasi
merupakan proses seseorang mencontoh orang lain atau kelompok.
Faktor imitasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam
proses interaksi sosial. Salah satu segi positifnya adalah bahwa imitasi
dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-
nilai yang berlaku. Namun demikian, imitasi mungkin pula
mengakibatkan terjadinya hal-hal yang negatif dimana misalnya, yang
ditiru adalah tindakan-tindakan yang menyimpang. Kecuali dari pada
itu imitasi juga dapat melemahkan atau bahkan mematikan
pengembangan daya kreasi seseorang.39
2. Faktor Sugesti
Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu
pandangan atau sesuatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian
diterima oleh pihak lain. Jadi proses ini sebenarnya hampir sama
dengan imitasi akan tetapi titik tolaknya berbeda. Berlangsungnya
38 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002), h. 63. 39 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002), h.63
34
sugesti dapat terjadi karena pihak yang menerima dilanda oleh emosi,
hal mana menghambat daya berpikirnya secara rasional.
Proses sugesti terjadi apabila orang yang memberikan
pandangan adalah orang yang berwibawa atau mungkin karena sifatnya
yang otoriter. Kiranya mungkin pula bahwa sugesti terjadi oleh sebab
yang memberikan pandangan atau sikap merupakan bagian terbesar
dari kelompok yang bersangkutan atau masyarakat.40
3. Faktor Identifikasi
Identifikasi merupakan kecenderungan-kecenderungan atau
keinginan-keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan
pihak lain. Indentifikasi sifatnya lebih mendalam dari pada imitasi,
oleh karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses
ini. Proses identifikasi dapat berlangsung dengan sendirinya (secara
tidak sadar), maupun dengan disengaja oleh karena seringkali
memerlukan tipe-tipe ideal tertentu didalam proses kehidupannya.
Walaupun dapat berlangsung dengan sendirinya, proses identifikasi
berlangsung dalam suatu keadaan di mana seseorang yang
beridentifikasi benar-benar mengenal pihak lain (yang menjadi
idealnya), sehingga pandangan, sikap maupun kaidah-kaidah yang
berlaku dalam pihak lain tadi dapat melembaga dan bahkan
menjiwainya. Nyatalah bahwa berlangsungnya identifikasi
mengakibatkan terjadinya pengaruh-pengaruh yang lebih mendalam
ketimbang proses imitasi dan sugesti walaupun ada kemungkinan
40
Ibid.,
35
bahwa pada mulanya proses identifikasi diawali oleh imitasi dan
sugesti.
Menurut Polak, identifikasi berjalan lebih jauh dari pada
simpati. Dengan demikian dimaksudkan bahwa orang dapat ikut
merasakan apa yang dirasakan orang lain. Tetapi identifikasi seolah-
olah diri kita sendiri yang menjadi dia. Seseorang yang
mengidentifikasikan diri dengan orang lain biasanya akan menirunya,
merasa simpati dengannya dan terkena sugestinya. Tetapi sebaliknya,
imitasi, simpati dan sugesti tidak perlu disertai dengan identifikasi.41
4. Faktor Simpati
Proses simpati sebenarnya merupakan proses dimana seseorang
merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan
memegang peranan yang sangat penting, walaupun dorongan utama
pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk
bekerja sama dengannya. Inilah perbedaan utamanya dengan
identifikasi yang didorong oleh keinginan-keinginan untuk belajar dari
pihak lain yang dianggap kedudukannya lebih tinggi dan harus
dihormati karena mempunyai kelebihan-kelebihan atau kemampuan-
kemampuan tertentu yang patut dijadikan contoh. Proses simpati akan
dapat berkembang didalam suatu keadaan dimana faktor saling
mengerti dan terjamin.
Hal-hal tersebut di atas merupakan faktor-faktor minimal yang
menjadi dasar bagi berlangsungnya proses interaksi sosial, walaupun
41 Polak Mayor, Sosiologi Suatu Buku Pengantar Ringkas, (Jakarta: PT. Ikhtiar, 1979),
h.68.
36
didalam kenyataannya proses tadi memang sangat kompleks, sehingga
kadang-kadang sulit mengadakan pembeda tegas antara faktor-faktor
tersebut. Akan tetapi dapatlah dikatakan bahwa imitasi dan sugesti
terjadi lebih cepat, walau pengaruhnya kurang mendalam bila
dibandingkan dengan identifikasi dan simpati yang secara relatif agak
lebih lambat proses berlangsungnya.42
B. Pasien NAPZA
1. NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adikitif Lainnya)
a. Pengertian Narkotika
Narkotika berasal dari bahasa inggris “narcitics” yang berarti
obat yang menidurkan atau obat bius.43
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Narkotika adalah obat
untuk menenangkan syaraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan
rasa ngantuk atau rangsangan (opium, ganja, dsb).44Kemudian
Departemen Agama RI, Mengungkapkan bahwa Narkotika adalah
bahan atau zat aktif yang bekerja pada sistem syaraf, dapat
menyebabkan hilangnya kesadaran dan rasa sakit, dan dapat pula
menyebabkan ketergantungan atau adiksi. Jenis-jenisnya adalah
putaw, ganja, kokain, morfin, hasish dan opium.45
42
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 64.
43 S. Warjowarsito dan Tito W, Kamus Lengkap Bahasa Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, (Bandung: 1998), h.122.
44 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), h.609.
45 Departemen Agama RI, Penyalahgunaan Narkoba Oleh Masyarakat Sekolah, (Jakarta: 2003), h.4.
37
Dalam buku A. Kadarmanta menurut pasal 1 butir (1) Undang-
Undang nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika (UU No.22/1997):
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman sintesis
maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.46
b. Pengertian Psikotropika
Psikotropika merupakan salah satu zat yang dapat digunakan
untuk pengobatan dan dapat berbahaya jika digunakan dengan dosis
yang berlebihan.
Di dalam buku Penggunaan Penyalahgunaan NARKOBA Oleh
Masyarakat Sekolah, Psikotropika adalah zat atau bahan yang bekerja
pada sistem syaraf pusat, dapat menyebabkan perubahan pada aktifitas
mental dan prilaku, dan dapat menyebabkan ketergantungan atau
adiksi. Jenis-jenisnya yaitu ekstasi, shabu-shabu, LSD, pil BK,
rohypnol, magadon, valium, mandrax.47
Kemudian Hari Sasangka mengungkapkan bahwa
“Psikotropika adalah obat yang bekerja pada atau mempengaruhi
fungsi psikis, kelakuan, atau pengalaman”.48
Adapun jenis-jenis psikotropika berdasarkan Undang-Undang
No. 5 tahun 1997 psikotropika dibedakan menjadi empat golongan,
yaitu:
46 Gatot Sumpramono, Hukum Narkoba Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2007), h.159. 47 Departemen Agama RI, Penggunaan Penyalahgunaan NARKOBA Oleh Masyarakat
Sekolah, (Jakarta:2003), h. 4. 48 Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, (Jakarta:Mandar
Maju, 2003), cet. Ke-1, h.125-126.
38
1. Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat
digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan
dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat yang
mengakibatkan sindroma ketergantungan.
2. Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat
untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi yang
mengakibatkan sindroma ketergantungan.
3. Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat
untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
sedang yang mengakibatkan sindroma ketergantungan.
4. Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat
untuk pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi
dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
ringan yang mengakibatkan sindroma ketergantungan.49
Dari beberapa pengertian diatas penulis memahami bahwa
psikotropika merupakan zat yang bisa menjadi obat untuk pengobatan
jika digunakan dalam dosisi yang sesuai akan tetapi akan menjadi zat
yang dapat merusak susunan sistem syaraf pusat jika dikonsumsi
secara berlebihan.
49 Ibid, h. 125-126
39
c. Pengertian Zat adiktif Lainnya
Hari Sasangka menjelaskan bahwa “zat-zat adiktif lainnya
yaitu selain narkotika dan selain psikotropika. Penggunaannya dapat
menimbulkan ketergantungan, contohnya adalah rokok, kelompok
alkohol dan minuman lain yang memabukkan dan menimbulkan
ketagihan, cafein pada kopi dan jamur pada tahi sapi”.50
2. Penyebab Penyalahgunaan Narkotika
Ketika seseorang memutuskan untuk mengkonsumsi NAPZA
terdapat beberapa penyebab yang ditemukan sehingga seseorang sering
mengkonsumsinya. Menurut Dadang Hawari yang terdapat didalam
bukunya, terdapat tiga faktor penyebab penyalahgunaan NAPZA ditinjau
dari sudut pandang psikodinamik, yaitu: faktor predisposisi, faktor
kontribusi dan faktor pencetus.
a. Faktor predisposisi
Merupakan gangguan kepribadian (anti sosial), kecemasan
dan depresi. Seseorang dengan gangguan kepribadian tidak mampu
untuk berfungsi secara wajar dan efektif dalam menjalani
kehidupan sehari-hari atau bergaul dengan lingkungan sosial.
Untuk mengatasi ketidakmampuan berfungsi secara wajar dan
untuk menghilangkan kecemasan dan depresinya itu maka orang
cenderung menyalahgunakan NAPZA. Upaya ini dimaksudkan
untuk mencoba mengobati dirinya sendiri atau sebagai bentuk
pelarian.
50 Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Mandar
Maju, 2003), cet. Ke-1, h.43.
40
b. Faktor kontribusi
Merupakan kondisi keluarga yang terdiri dari tiga
komponen, yaitu keutuhan keluarga, kesibukan keluarga dan
hubungan interpersonal antar keluarga. Seseorang yang berada
dalam kondisi keluarga yang tidak baik akan merasa tertekan dan
ketertekanan itu dapat menjadi faktor penyerta bagi dirinya sendiri
terlibat dalam penyalahgunaan NAPZA.
Kondisi keluarga yang tidak baik atau disfungsi keluarga
yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Keluarga tidak utuh.
2. Kesibukan orang tua.
3. Hubungan interpersonal yang tidak baik.
c. Faktor pencetus
Merupakan pengaruh teman kelompok sebaya dan NAPZA
itu sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Hawari menyebutkan
bahwa pengaruh kelompok teman sebaya mempunyai andi sebesar
81,3 % bagi seseorang yang terlibat penyalahgunaan NAPZA.
Sedangkan tersedianya dan mudahnya NAPZA diperoleh
mempunyai andil 88 % bagi seseorang yang terlibat
penyalahgunaan NAPZA.51
Ditinjau dari pendekatan kesehatan jiwa, pemakai zat
dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu:
51 Dadang Hawari, Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA : Narkotika, Alkohol dan
Zat adikitif lain, (Jakarta: FKUI, 2006), h. 24-29.
41
a. Experimental Use, yaitu pemakaian zat yang tujuannya
ingin mencoba, sekedar memenuhi rasa ingin tahu.
b. Sosial Use, disebut juga recreational use yaitu penggunaan
zat-zat tertentu pada waktu resepsi (minum wishky) atau
untuk mengisi waktu senggang (merokok) atau pada waktu
pesta ulang tahun atau waktu berkemah (menghisap ganja
bersama teman-teman).
c. Situasional Use, yaitu penggunaan zat pada saat mengalami
ketegangan, kekecewaan, kesedihan dan sebaginya dengan
maksud menghilangkan perasaan-perasaan tersebut.
d. Abuse atau penyalahgunaan, yaitu suatu pola penggunaan
yang bersifat patologik, paling sedikit satu bulan lamanya
sehingga menimbulkan gangguan fungsi sosial.
e. Dependent Use, yaitu bila sudah dijumpai toleransi dan
gejala putus zat bila pemakaian zat dihentikan atau
dikurangi dosisnya.52
3. Dampak Penggunaan NAPZA
Pemakaian NAPZA dapat mengakibatkan dampak yang negatif
terhadap penggunanya, terutama bila dilakukan dengan cara
disalahgunakan. Selain merusak kesehatan dampak lain adalah kecanduan.
Kecanduan menyebabkan prilaku obsesif komplusif, artinya pengguna
harus terus menerus menggunakan NAPZA untuk menghindari rasa sakit.
Kemudian terhadap ekonomi dampak penggunaan NAPZA semakin besar.
52 Satya Joewana, Gangguan Penggunaan Zat : Narkotika, Alkohol dan Zat Adiktif Lain,
(Jakarta: PT. Gramedia, 1989), h. 13-14.
42
Dampak kesehatan bagi penyalahgunaan NAPZA terdiri dari dampak
langsung karena zat aktifnya, baik kesehatan fisik aupun kesehatan psikis.
Seperti HIV, Hepatitis C, rusaknya organ-organ tubuh. Dan secara psikis
NAPZA merusak hubungan sosial dan perubahan kejiwaan.53
4. Pasien NAPZA
a. Pengertian Paisen
Kata pasien berasal dari bahasa Indonesia analog dengan kata
patient dari Bahasa Inggris. Patient diturunkan dari bahasa latin yaitu
patiens yang memiliki kesamaan arti dengan kata kerja pati yang
artinya menderita.54
Ada beberapa pengertian pasien yang penulis kutip dari
beberapa buku, berikut uraian pengertian pasien:
1) Menurut Christine Brooker dalam bukunya Kamus Saku
Perawat:
a. Pasien adalah penderita penyakit yang mendapatkan
penanganan medis dan/atau asuhan keperawatan.
b. Klien yang memanfaatkan jasa pelayanan kesehatan.55
2) Menurut Barbara F. Weller dalam buku Kamus Saku Perawat,
pasien adalah orang yang sakit atau yang menjalani
pengobatan karena menderita penyakit.56
53 A. Kadarmata, Narkoba Pembunuh Karakter Bangsa, (Jakarta: Forum Media Utama,
2010), h. 54-56. 54 Wikipedia,“Pengertian Pasien”,artikel ini diakses 17 Juli 2014 dari http://wikipedia.
Org.id/2014/0116/Index.html. 55 Christine Brooker, Kamus Saku Keperawatan, (Jakarta: EGC, 2001), h. 309 56 Barbara F. Weller, Kamus Saku Perawat, (Jakarta: EGC, 2005), h.508.
43
3) Menurut Bahder Djohan, paisen adalah seseorang yang
menderita penyakit jasmaniah maupun rohaniah.57
Dari beberapa pengertian pasien diatas penulis dapat menarik
kesimpulan, pasien adalah seseorang yang menderita suatu penyakit
baik jasmaniah maupun rohaniah yang mendapatkan pengobatan dan
perawatan medis. Dalam hal penyakit pasien ada penyakit yang dapat
sembuh dengan sendirinya tetapi umumnya setiap penderita
memerlukan bantuan dari seorang dokter dan seorang perawat.58
C. Therapeutic Community
1. Pengertian Metode
Metode atau cara sering sekali didengar dimanapun, karena dalam
berbagai kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan kita selalu
menggunakan metode atau cara baik dalam kehidupan yang sederhana
maupun yang sulit sekalipun.
Sedangkan metode secara etimologi adalah berasal dari dua kata
yaitu meta artinya melalui dan hodos artinya jalan atau cara. Dalam bahasa
Yunani metode berasal dari kata methados (jalan). Dalam pengertian yang
lebih luas, metode bisa pula diartikan sebagai “segala sesuatu atau cara
yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan”.59
57 Bahder Djohan, Hubungan Antara Dokter, Perawat, dan Pasien Dalam Pembangunan
Mental Bangsa Kita, (Jakarta: PT.Sinar Hudaya, 1972), h.15. 58 Ibid., h. 15-16. 59 M. Lutfi, Dasar-Dasar Bimbingan dan Penyuluhan (Konseling) Islam, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008), h.120.
44
Dari beberapa pengertian diatas penulis dapat dipahami bahwa
pengertian metode yang dimaksud adalah cara atau jalan dengan sistematis
untuk mencapai hasil yang sempurna.
2. Konsep Therapeutic
Kata terapi sering sekali didengar dalam berbagai bentuk
pengobatan dan penyembuhan baik pengobatan medis ataupun non medis.
Dan terapi telah banyak digunakan dipusat-pusat penelitian, rehabilitasi,
rumah sakit dan Departemen Kesehatan.
Secara etimologi perkataan “terapi” berasal dari bahasa Inggris,
yakni “therapy” dan dalam bahasa Indonesia dimaknai dengan
“pengobatan, perawatan dan penyembuhan”. Sedangkan dalam kamus
istilah Konseling dan Terapi, therapeutic ialah menunjuk pada sifat
menyembuhkan atau menyehatkan.60
Untuk pertama kalinya program Therapeutic Community atau yang
biasa disebut TC di implementasikan oleh James Moerono pada tahun
1934, yang disebut juga sebagai Bapak dari Psychodrama. TC juga di
implementasikan oleh Maxwell Jones pada tahun 1952 untuk orang-orang
yang mengalami gangguan kejiwaan. Program TC pertama kali dijalankan
untuk sebuah rehabilitasi ketergantungan obat di Amerika bagi para
pecandu pengguna jarum suntik, sebagai akibat gagalnya terapi yang
selama ini telah diberikan oleh sebuah rumah sakit.61
60 Andi Mapiare A.T, Kamus Istilah Konseling dan Terapi, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2006), h.334. 61Instalasi Rehabilitasi Halmahera House RSKO Jakarta, Walking Paper Reguler
Program.
45
Menurut Satya Joewana dalam bukunya Gangguan Penggunaan Zat
: Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya:
“Therapeutic Community adalah suatu bentuk terapi sosial atau terapi milieu, orang-orang berkumpul untuk tinggal bersama dan bekerja bersama-sama dengan tujuan yang sama yaitu mendapat terapi. Dimana anggotanya mendapat kesempatan untuk mengubah sifat-sifatnya dari yang belum terlepas dari ketergantungan menjadi lepas. Dalam therapeutic communty pasien merupakan faktor yang aktif dalam terapi”.62
Dalam jurnal penelitian dari Gouw Aij Lien, “therapeutic
community adalah sebagai pusat perawatan dan rehabilitasi untuk
gangguan kecanduan zat yang menyediakan berbagai kelompok untuk
memfasilitasi perubahan yang positif dan meningkatkan proses pemulihan
untuk klien kecanduan”.63 Kemudian jurnal David dan Wendi
mengemukakan bahwa:
“Model therapeutic community diterapkan dengan kedua pengaturan yaitu pasien rawat dan pasien jalan. Komunitas ini mengadakan terapi filsafat umum bhawa lingkungan dari lingkungan theraputik dalam dan dari dirinya sendiri merupakan bagian terpenting dari pemulihan. Prinsip dari therapeutic community adalah tanggung jawab diri sendiri, pembuatan keputusan bersama dan komunikasi terbuka serta keyakinan bahwa setiap anggota masyarakat, staff dan pasien lama adalah agen dalam pemulihan”.64
Therapeutic Community merupakan salah satu teknik
penyembuhan atau rehabilitasi. TC adalah kumpulan atau komunitas
dengan masalah yang sama tinggal ditempat yang sama, memiliki
seperangkat peraturan, filosofi, norma dan nilai yang semuanya dijalankan
62 Satya Joewana, Gangguan Penggunaan Zat : Narkotika, Alkohol dan zat adiktif lain,
(Jakarta: PT. Gramedia, 1989), h. 121. 63 Gouw Aij Lien, Group Psychotherapies For Subtance Addiction Client in Therapeutic
Community Setting, Psikomedia – Jurnal Psikologi Maranatha, Vol. 5 No. 5, September 2008. 64 David dan Wendi, Treating post-traumatic stress disorder in a therapeutic community:
the experience of Canadian psychiatric hospital, tehrapeutic community : the journal international for therapeutic community and supportive organization 21 (2) : 105-118 summer 2000.
46
demi pemulihan masing-masing. Jadi dalam TC sumber penyembuhan
utamanya tidak tergantung pada individu tetapi pada dorongan atau
kekuatan kelompok/komunitas. Konsep dasar TC memilih untuk
mengembangkan sistem hirarki yang ketat pada organisasi sosial. Tujuan
dari TC ini adalah bagaimana seorang individu mengolah sub-kultur yang
dianut pecandu ke arah sub-kultur masyarakat luas (mainstream society),
menuju kehidupan yang sehat dan produktif. Meskipun si pecandu sendiri
memiliki beberapa nilai untuk mempertahankan pemulihannya.65
Dari beberapa pengertian diatas, maka penulis memahami bahwa
therapeutic community adalah suatu bentuk terapi untuk pemulihan dari
ketergantungan yang penerapannya dilakukan secara komunitas agar
mereka dapat memecahkan masalah sendiri, masalah komunitas yang
dilakukan bersama-sama.
De Leon menyebutkan therapeutic community memiliki empat
kerangka teori. Kerangka teori ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi
kepentingan klinis, penelitian dan pengembangan dalam ruang lingkup
adiksi dan masalah-masalah yang menyertainya.66
Pertama, TC didenifisikan sebagai bentuk self-help approach yang
unik. Therapeutic memiliki makna menggunakan pendekatan interaksi
sosial dan psikologikal sebagai tujuan utamanya dalam merubah gaya
hidup dan identitas individu sedangkan makana dari therapeutic
65 Ibid. 66 Tito Hapsoro Tertanto, Gambaran Status Depresi Pada Pecandu Narkoba yang Berada
dalam Pusat Rehabilitasi (12 Steps dan Therapeutic Community), (Skripsi SI Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008), h.23.
47
community merupakan metode yang digunakan dalam mencapai perubahan
yang diinginkan dalam tiap individu.
Kedua, secara esensi TC dibentuk dari kumpulan konsep-konsep,
kepercayaan, asumsi-asumsi dan pengetahuan klinis yang telah melalui
proses penelitian dan observasi lebih dari 30 tahun yang memiliki fokus
terhadap adiksi dan ilmu kejiwaan.67
Ketiga, TC diatur kedalam tiga komponen, meliputi perspektif,
model dan metode. Secara persepektif menggambarkan bagaimana TC
memandang gangguan penyalahgunaan narkoba, individu yang
menyalahgunakan narkoba, proses pemulihan yang dijalani dan dinilai
hidup yang dianut. Dalam perawatan program TC dilatih atau diajarkan
bagaimana mereka belajar untuk lebih mengenal diri mereka melalui
interaksi sosial dengan rekan sebaya dan komunitas.
Keempat, menjelaskan bagaimana ketiga komponen utama
(persepektif, model dan metode) bekerja secara bersama dan saling
berhubungan dalam proses perubahan yang dialami. Ketiga elemen
tersebut bertujuan untuk memfasilitasi perubahan gaya hidup dan identitas
individu. Untuk memperoleh perubahan yang optimal membutuhkan
respon dari interaksi individu dalam komunitas dan internalisasi dalam
proses belajar.68
TC merupakan program rumatan yang memiliki perencanaan
tinggal 15 sampai dengan 24 bulan. Programnya berfokus pada
resosialisasi dari individu dan komunitas sebagai saran perubahan yang
67 Ibid, h.23. 68 Ibid, h.24.
48
dilakukan oleh residen, staff dan lingkungan sosial sebagai komponen aktif
dari treatmen tersebut.
3. Karakteristik Metode Therapeutic Community
Teori yang mendasari metode therapeutic community (TC) adalah
pendekatan behavioral dimana berlaku sistem reward
(penghargaan/penguatan) dan punisment (hukuman) dalam mengubah
suatu prilaku. Selain itu digunakan juga pendekatan kelompok, dimana
sebuah kelompok di jadikan suatu media untuk mengubah suatu prilaku.
TC adalah sekelompok orang dengan masalah yang sama, mereka
berkumpul untuk saling membantu dalam mengatasi masalah yang di
hadapinya. Dengan kata lain, man helf man to help himself, yaitu
seseorang menolong orang lain untuk menolong dirinya sendiri. Dalam
program TC kesembuhan di ciptakan lewat perubahan persepsi/pandangan
alam (the renewal of worlview) dan penemuan diri (self discovery) yang
menolong pertumbuhan dan perubahan (growth and change).69
TC merupakan suatu wujud kehidupan nyata dalam bentuk
simulasi. Di dalam metode TC ada berbagai norma dan falsafah yang
dianut untuk membentuk perilaku yang lebih baik. Norma-norma dan
falsafah yang di tanamkan dalam TC tersebut kemudian berkembang
menjadi suatu budaya dalam TC yang di dalamnya mencangkup:
1. The creed (philosophy) Merupakan filosofi atau falsafah yang
dianut dalam TC. Falsafah ini merupakan kerangka dasar berfikir
dalam program TC yang harus dipahami dan dihayati oleh seluruh
pasien.
69 Winanti, “Pendahuluan Therapeutic Community”.
49
2. Unwritten Philosophy Merupakan nilai-nilai dasar yang tidak
tertulis, tetapi harus dipahami oleh residen. Karena inilah nilai-nilai
atau norma-norma yang hendak dicapai dalam program tersebut.
3. Cardinal Rules Merupakan peraturan utama yang harus dipahami
dan ditaati dalam program TC, yaitu tidak di perkenankan
menggunakan narkoba, tidak di perkenankan melakukan hubungan
seksual dalam bentuk apapun, dan tidak di perkenankan melakukan
kekerasan fisik.
Didalam metode TC juga terdapat empat struktur pilar
utama, yaitu:
a. Behavioral management shapping (pembentukan tingkah
laku)
Pemangkasan sikap dan perilaku negatif yang terbentuk
akibat pola pemakaian, serta pembentukan nilai-nilai yang
baru.
b. Emotional/psychological development (pengendalian emosi
dalam psikologi)
Pengembangan dari pembentukan emosi, serta identifikasi
gejala-gejala psikologis akibat gangguan obat-obatan.
c. Spiritual/intelectual (pengembangan pemikiran dan
kerohanian)
Pembentukan pola pikir yang efektif, serta meningkatkan
lagi aspek-aspek spiritual.
d. Vocational/survival skills (keterampilan kerja dan
keterampilan bersosial serta bertahan hidup)
50
Perubahan prilaku yang di arahkan pada
peningkatan kemampuan dan ketrampilan pasien yang dapat
di terapkan untuk menyelesaikan tugas-tugas sehari-hari
maupun masalah dalam kehidupannya.
e. Tool’s of the house
Merupakan alat-alat atau instrumen yang ada dalam
TC yang di gunakan untuk membentuk prilaku. Penerapan
tool’s of the house yang benar di harapkan dapat membawa
perubahan prilaku yang lebih baik.
f. Struktur (hirarki) fungsi kerja
Di dalam TC di kenal adanya kelompok-kelompok
yang terbagi dalam departemen (divisi), dimana pasien
yang berada dalam departemen tersebut akan menjalankan
tugasnya setiap hari sesuai dengan fungsi kerjanya masing-
masing. Hal ini diperlukan untuk menjaga kelangsungan
operasional kegiatan sehari-hari serta sebagai latihan
ketrampilan dan meningkatkan tanggung jawab pasien
terhadap komunitasnya.
4. Nilai-Nilai di dalam metode Therapeutic Community
Di dalam penerapannya metode TC juga mempunyai nilai-nilai atau
konsep dasar atau tonggak utama, yaitu:
a. Familly mileu concept (konsep kekeluargaan)
Untuk menyamakan persamaan di kalangan komunitas supaya
bersama menjadi bagian dari sebuah keluarga.
51
b. Peer presurre (tekanan rekan sebaya)
Proses dimana setiap anggota keluarga memberikan tekanan yang
positif sehingga dapat memicu perubahan yang positif.
c. Sesi terapi
Bentuk pembinaan emosional/psikologis dan nalar/kognitif melalui
penyampaian pesan akan nilai dan moral secara terapi.
d. Sesi agama
Menyangkut kehidupan beragama dan penerapannya dalam
kehidupan sehari-hari, memahami hubungan dengan orang lain dan
dengan dirinya sendiri serta hubungannya dengan Tuhan.
e. Role modeling (model panutan)
Pengembangan diri melalui panutan/model, dalam hal ini harus
dipilah antara sisi positif dan negatif dari setiap individu yang akan
dijadikanpanutan.70
5. Terapi Kelompok
Terapi kelompok merupakan salah satu metoda pekerja sosial yang
menggunakan kelompok sebagai media dalam pertolongan profesionalnya.
a. Definisi Terapi Kelompok
Menurut National Association of Social Work/ NASW seperti
yang dikutip Edi Suharto menjelaskan bahwa terapi kelompok adalah
suatu pelayanan kepada kelompok yang tujuan utamanya untuk
membantu anggota-anggota kelompok memperbaiki penyesuaian
sosial mereka (Social Adjusment), dan tujuan keduanya untuk
70 Ibid,.
52
membantu kelompok mencapai tujuan-tujuan yang disepakati oleh
masyarakat.71
Adapun menurut American Association of Group Worker &
Grace L. Coyle dalam Edi Suharto menerangkan bahwa terapi
kelompok memungkinkan berbagai jenis kelompok berfungsi
sedemikian rupa, sehingga interaksi kelompok dan kegiatan-kegiatan
program memberikan kontribusi pada pertumbuhan individu-individu
dalam pencapaian tujuan-tujuan sosial yang diinginkan.72
Bedasarkan definisi terapi kelompok diatas dapat disimpulkan
bahwa terapi kelompok merupakan suatu bentuk pelayanan kepada
sekelompok anggota untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anggota
guna membantu mencegah permasalahan sosial yang dihadapinya,
serta mendorong keterlibatan individu dalam mengikuti program-
program kegiatan yang dapat membantu mengembalikan
keberfungsian dirinya di mata masyarakat.
b. Jenis-Jenis Terapi Kelompok
Dalam kaitannya dengan terapi kelompok, terdapat beberapa
jenis kelompok yang sering digunakan sebagai media pertolongan
menurut Zastrow dalam Edi Suharto, yaitu:73
a. Kelompok Percakapan Sosial
Kelompok ini merupakan tipe yang paling terbuka dan paling
informal. Tidak memiliki rencana kegiatan yang dirumuskan secara
71 Edi Suharto, Ph.D., Pekerja Sosial di Dunia Industri: Memperkuat Tanggung Jawab
Sosial Perusahaan (Jakarta: Aditama, 2007), h. 38. 72 Ibid., h. 38. 73 Edi Suharto, Ph.D., Pekerja Sosial di Dunia Industri: Memperkuat Tanggung Jawab
Sosial Perusahaan (Jakarta: Refika Aditama, 2007), h. 39-41.
53
jelas dan formal, namun memiliki topik yang diperbincangkan.
Para anggota mungkin saja memiliki beberapa tujuan tertentu,
yakni memiliki teman baru untuk dapat mengetahui sejauh mana
relasi ini dapat dikembangkan.
b. Kelompok Rekreasi
Tujuan kelompok ini adalah untuk menyelenggarakan kegiatan
rekreatif atau latian olah raga. Dibentuknya kelompok ini adalah
suatu keyakinan bahwasanya kegiatan rekreasi dan interaksi yang
terjadi dalam kelompok ini dapat membantu membangun karakter
yang dapat mencegah prilaku-prilaku maladaptif.
c. Kelompok Keterampilan Rekreasi
Tujuan kelompok ini untuk menyelenggarakan kegiatan rekreatif,
juga untuk meningkatkan keterampilan tertentu dianatara para
anggotanya. Berbeda dengan kelompok rekreasi, kelompok ini
memiliki penasihat, pelatih atau instruktur serta memiliki orientasi
tugas yang lebih jelas.
d. Kelompok Pendidikan
Fokus kelompok ini adalah untuk memperoleh pengetahuan dan
keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks. Pemimpin
kelompok ini biasanya berasal dari seorang profesional yang
menguasai keahlian tertentu.
e. Kelompok Pemecahan Masalah dan Pembuatan Keputusan
Kelompok ini melibatkan klien atau penerima pelayanan dan para
petugas pemberi pelayanan di suatu lembaga Kesejahteraan Sosial.
54
Bagi klien, tujuan bergabungnya dengan kelompok ini ialah untuk
menemukan pendekatan yang dapat digunakan sebagai sumber-
sumber baru dalam memenuhi kebutuhan baru, sedangkan bagi
para pemberi pelayanan, kelompok ini dijadikan sarana untuk
mengembangkan rencana penyembuhan bagi klien atau
sekelompok klien merumuskan keputusan.
f. Kelompok Mandiri
Kelompok mandiri menekankan kepada para anggotannya terhadap
kelompok bahwa mereka memiliki masalah, pernyataan para
anggotanya kepada kelompok mengenai pengalamannya di masa
lalu, dan rencana pemecahan masalah di masa depan, serta apabila
salah seorang anggota kelompok berada pada krisis, anggota
kelompok tersebut disarankan untuk menghubungi anggota lain
yang kemudian mendapinginya sampai krisis tersebut berkurang.
Kelompok mandiri banyak mengalami keberhasilan dalam
memecahkan masalah anggotanya, adalah karena para anggotanya
memiliki pemahaman diri mengenai masalahnya yang membantu
dia dalam membantu orang lain. Pengalaman mereka merasakan
penderitaan dan akibat-akibat dari permasalahannya, membuat para
anggota termotivasi untuk mencarikan jalan baik bagi dirinya
maupun bagi anggota lain yang sependeritaan. Para anggota juga
mendapat manfaat berdasarkan prinsip terapi tolong menolong,
para penolong mendapat kepuasan psikologis dengan menolong
orang lain.
55
g. Kelompok Sosialisasi
Tujuan dibentuknya kelompok ini adalah untuk mengembangkan
atau merubah sikap-sikap dan prilaku para anggota kelompok agar
lebih dapat diterima secara sosial. Kelompok sosialisasi biasanya
memfokuskan pada pengembangan keterampilan sosial,
peningkatan kepercayaan diri, dan perencanaan masa depan.
h. Kelompok Penyembuhan
Kelompok penyembuhan ini umumnya beranggotakan orang-orang
yang mengalami masalah personal dan emosional yang berat atau
serius. Tujuan dari kelompok ini ialah mengupayakan agar para
anggota kelompok mampu menggali masalahnya secara mendalam
dan kemudian mengembangkan satu atau lebih strategi dalam
pemecahan masalah.
i. Kelompok Sensitivitas
Kelompok ini dikenal dengan nama kelompok pertemuan atau
kelompok pelatihan. Dalam kelompok ini setiap anggota
berinteraksi satu sama lain secara mendalam dan saling
mengungkapkan masalahnya sendiri secara terbuka.
56
BAB III
GAMBARAN UMUM LEMBAGA
A. Latar Belakang Berdirinya RSKO Jakarta
Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta digagas pada
tahun 1971 oleh Bapak Ali Sadikin. Pada waktu itu, Bapak Ali Sadikin
menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Beliau menggagas berdirinya RSKO
tidak sendirian tetapi bekerjasama dengan dr. Herman Susilo, MPH sebagai
kepala dinas kesehatan DKI Jakarta, Prof. Dr. Kusumanto Setyonegoro
sebagai kepala DITKESWA DepKes, dan bagian psikiatri FKUI. Masa
kepemimpinan RSKO yang pertama dipimpin oleh Direktur Utama (Alm) dr.
Erwin Widjono, SpKJ pada tahun 1972 sampai dengan tahun 1987. Kemudian
pada tanggal 06 November 1971 terbentuklah nama Drug Dependence Unit
(DDU) yang terletak di kompleks Rumah Sakit Fatmawati dan diresmikan
pada tanggal 12 April 1972 oleh Bapak Ali Sadikin.
Pasien pertama yang berobat berjenis kelamin perempuan dengan
ketergantungan morphine (morphine addict). Pasien tersebut dirawat pada
tanggal 03 Juli 1972 dan selanjutnya ditetapkan sebagai tanggal beroperasinya
RSKO. Pada tahun 1974, DDU berubah menjadi Lembaga Ketergantungan
Obat (LKO) dengan tujuan utama adalah usaha penanganan NAPZA yang
bersifat komperhensif dan jangka panjang, meliputi bidang preventif, kuratif,
dan rehabilitatif. Narkotika menarik dan unik karena selalu berkembang baik
dari segi jenisnya, pemulihannya, cara penanggulangannya, dan lain
sebagainya. Maka dari itu, RSKO penanganannya bersifat komperhensif yakni
57
penanganan penyalahgunaan NAPZA dengan berbagai macam disiplin
keilmuan, antara lain: Dokter, Perawat, Pekerja Sosial, Psikolog atau Psikiater,
Ahli fisioterapi, dan lain-lain.74
Masa kepemimpinan RSKO yang kedua dipimpin oleh dr. Al Bachri
Husin, SpKJ pada tahun 1987 sampai dengan tahun 1997. Beliau seorang figur
yang luar biasa. Beliau mau turun langsung sewaktu-waktu, artinya beliau
bersedia dihubungi kapan saja walaupun jabatan beliau adalah seorang
Direktur Utama. Dahulu pada masa kepemimpinan beliau, perawat dan tenaga
medis sangat terbatas atau sedikit. Untuk mengatasi hal tersebut, pihak RSKO
melatih tenaga medis bagi para dokter, psikolog, pekerja sosial dan perawat
untuk melaksanakan pelatihan dasar NAPZA.
Pada tahun 1990, RSKO mendapatkan bantuan dari masyarakat Eropa
berupa seperangkat alat laboratorium urinalisis. Alat ini sangat canggih dan
hanya satu-satunya yang memiliki alat yaitu RSKO pada tahun 1990. Masa
kepemimpinan yang ketiga dipimpin oleh Direktur utama (Alm) dr. Sudirman,
MA, SpKJ pada tahun 1997 sampai dengan tahun 2005. Beliau sangat berjasa
dalam menangani pemindahan RSKO Fatmawati ke Cibubur. Beliau sangat
lihai dalam menangani pemimdahan dan mengusahakan lahan pinjaman bagi
RSKO Cibubur, Jakarta Timur. RSKO dibawah pimpinan (Alm) dr. Sudriman,
MA, SpKJ berhasil memperjuangkan pengakuan akreditasi melalui SK Dirjen
YanMedik DepKes RI Nomor YM. 00.03.2.2.1.951 pada tanggal 23 Mei 2000
yang meliputi bidang Administrasi Manajemen, pelayanan Medik, Gawat
Darurat, dan Keperawatan. Perubahan kelembagaan dari tipe C menjadi tipe B
74 Buku Kilas Balik 30 Tahun Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta, h.7.
58
Non Pendidikan diperoleh pada tanggal 14 Juni 2002 melalui SK MenKes RI
Nomor 732/MenKes/SK/VI/2002. Tanah seluas 15.204 m2 diperoleh
berdasarkan izin prinsip Gubernur DKI Jakarta No. 3797/1.771.5 pada tanggal
11 November 1999. Upaya merealisasikan gedung RSKO Cibubur, Jakarta
Timur diperoleh dari pembuatan Master Plan berdasarkan surat-surat Ditjen
YanMedik No. PR. 02.01.6.1.6620. pada tanggal 15 Oktober 2002 dilakukan
saat opening RSKO Cibubur yang menandai dimulainya operasional RSKO
Cibubur.
Masa kepemimpinan yang keempat dipimpin oleh dr. Ratna Mardianti.
S, SpKJ pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2008. Sejak masa jabatan
beliau berakhir sebagai Direktur, RSKO sempat mengalami kekosongan
selama beberapa tahun. Jadi tidak ada Direkturnya semenjak dr. Ratna lengser.
RSKO mulai ada Direktur Utama kembali pada tanggal 1 Februari 2007 dan
sejak saat itu, RSKO sudah beroperasi secara penuh di Cibubur, yaitu di jalan
Lapangan tembak Nomor 75 Cibubur-Jakarta Timur. Telp. (021) 87711968-69
Fax. (021) 87711970, Website: www.rsko-jakarta.com.
Masa kepemimpinan yang kelima dipimpin oleh DR. dr. Fidiansjah,
SpKJ pada tahun 2009 sampai dengan tahun 2010. Beliau mempunyai masa
bakti yang lama. Sebelum beliau menjadi seorang Direktur Utama, beliau
berprofesi sebagai seorang dokter di RSKO Cibubur. Masa kepemimpinan
yang keenam dipimpin oleh Direktur Utama dr. Diah Setia Utami, SpKJ,
MARS pada tahun 2010 sampai dengan 2012. Beliau menjabat di RSKO
Cibubur, Jakarta Timur selama 2 tahun. Beliau merupakan teman dr.
59
Fidiansjah, SpKJ. Kemudian RSKO pada masa kepemimpinan yang keenam
ini sistem pelayanannya berubah menjadi Badan Layanan Umum (BLU).
Masa kepemimpinan yang ketujuh dipimpin oleh Dr. Laurentius
Panggabean, SpKJ, MS pada tahun 2012 sampai dengan saat ini. Semenjak
RSKO menggunakan sistem Badan Layanan Umum (BLU), sistem
keuangannya juga ikut berubah. Kini, RSKO dapat mengelola pendapatannya
sendiri dan digunakan untuk mengelola pengembangan RSKO itu sendiri.
B. Visi dan Misi RSKO Jakarta
Berdasarkan hasil dari Renstra RSKO Cibubur-Jakarta Timur tahun
2009 sampai dengan 2014 :
VISI RSKO : “Sebagai pusat layanan dan kajian nasional
maupun regional dalam Bidang Gangguan yang Berhubungan dengan Zat
(GBZ)”.
MISI RSKO :
a. Melaksanakan upaya preventiv, promotif, kuratif, dan rehabilitatif
bagi masyarakat umum dalam bidang GBZ dan penyakit terkait
serta memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat umum.
b. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga profesi serta
masyarakat umum dalam bidang GBZ.
c. Melaksanakan penelitian dan pengembangan dalam bidang GBZ.
60
C. Program Lembaga
1. Perencanaan Program
Dalam merencanakan program, RSKO menerapkan model
perencanaan yaitu Bottom Up, artinya benar-benar dari bawah. Pimpinan
mendapatkan masukan dari para pegawai atau karyawan. Misalnya,
mengajukan pengadaan pelatihan, mengajukan penambahan fasilitas, dan
lain-lain. Pengajuan berasal dari pegawai atau karyawan yang disampaikan
ke tingkat manajer, lalu didiskusikan. Jadi semacam case conference.
Apabila disetujui, maka sudah pasti rencana yang telah dibuat segera
dilaksanakan. Sedangkan teknik perencanaannya berdasarkan analisa
kebutuhan RSKO.75
2. Rencana Jangka Pendek, Menengah, dan Panjang
a. Rencana Jangka Pendek dan Menengah
Rencana jangka pendek dan menengah dilaksanakan selama
satu tahun sekali dalam bentuk pengajuan dan perencanaan kegiatan.
Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Mengusulkan kebutuhan ATK
2. Bahan-bahan computer
3. Barang cetakan
4. Peningkatan keterampilan staff
5. Penelitian
6. Dll.
75 Wawancara Pribadi dengan Bapak Agus Darmawan, Jakarta 16 Juli 2014.
61
b. Rencana Jangka Panjang
Rencana jangka panjang merupakan sesuatu yang akan dicapai
dalam jangka satu sampai dengan lima tahun. Tujuan yang ditetapkan
telah mengacu kepada visi dan misi RSKO. Rencana jangka panjang
RSKO, diantaranya:
a. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang
NAPZA.
b. Memperluas cangkupan layanan tentang NAPZA (RSKO
sudah bisa memberikan pelayanan bagi pasien dual diagnosis).
c. Meningkatkan pendapatan RSKO guna meningkatkan kualitas
pelayanan Rumah Sakit.
d. Menyelenggarakan pemeliharaan saran dan prasarana sesuai
standar.
e. Mewujudkan RSKO sebagai Rumah Sakit pendidikan.
f. Meningkatkan profesionalisme Sumber Daya Manusia (SDM).
g. Meningkatkan penelitian dan pengembangan dalam bidang
gangguan yang berhubungan dengan zat (GBZ).
3. Teknik Perencanaan
1. Teknik perencanaan penyembuhan pada klien
Penyembuhan merupakan fokus utama yang dilakukan setiap
rumah sakit bagi para pasiennya. Begitupun RSKO yang
menggunakan beberapa cara dalam menyembuhkan pasien yang
berhubungan dengan zat beserta penyakit-penyakit yang
menyertainya. Untuk para pasien rawat inap akan melalui proses
62
detoksifikasi yang lebih dikenal dengan Medical Psikiatik Evaluation
(MPE) pasien menjalani pemulihan fisik selama 1 sampai 3 minggu
atau yang lebih di kenal dengan program detoksifikasi. Setelah
menjalani program detoksifikasi, pasien dapat meneruskan perawatan
rehabilitasi yang masih satu instansi dengan program detoksifikasi.
Model program rehabilitasi yang dipakai oleh RSKO adalah TC yang
berbasis Rumah Sakit. Artinya ada sentuhan-sentuhan medis dalam
prakteknya. Selain itu ada pula penerapan 12 Steps Narcotic
Anonymous.
TC merupakan suatu kumpulan/komunitas orang dengan
masalah yang sama tinggal di tempat yang sama, memiliki
seperangkat peraturan, filosofi dan norma dan nilai serta kultur yang
disepakati, dipahami, dan dianut bersama. Hal tersebut dijalankan
demi pepemulihan diri masing-masing. Artinya dalam program ini
kelompoklah yang berperan penting dalam penyembuhan setiap pasien
GBZ. Tujuan dari program tersebut adalah mengembalikan dari
tingkah laku yang negatif ke arah tingkah laku yang positif.
Terdapat dua jenis bentuk penyembuhan yang ada di RSKO,
yaitu subsitusi dan simptomatis. Subsitusi adalah dengan memberikan
zat pengganti NAPZA, sedangkan simptomatis adalah memberikan
pengobatan sesuai dengan keluhan pasien. Pasien yang menjalani
pengobatan di RSKO ada dua pilihan program yaitu program rawat
jalan dan program rawat inap. Adapun penjelasannya adalah sebagai
berikut:
63
a. Program Rawat Jalan
Dalam instalansi rawat jalan terdapat berbagai jenis
layanan salah satu diantaranya adalah Program Terapi
Rumatan Metadon (PTRM). Dalam program ini proses
perencanaan penyembuhan dilakukan dengan cara substitusi
dimana para pasien GBZ diberikan penganti NAPZA berupa
methadone. Mereka yang mendaftarkan diri sebagai pasien
methadone akan mempunyai perlindungan hukum tersendiri
dan mempunyai kartu IPWL (Institusi Penerimaan Wajib
Lapor), yaitu kartu tanda bukti status pasien methadone.
Dalam meningkatkan progres penyembuhan pasien,
dosis methadone akan dikurangi secara berkala sesuai dengan
perkembangan positif yang ada pada pasien. Selain itu
pengurangan juga harus berdasarkan rujukan dari dokter.
Sedangkan mereka yang diketahui mencampur methadone-nya
dengan bahan lain.76
b. Instalasi Rawat Inap
Langkah awal yang dilakukan dalam penanganan
pasien rawat inap adalah, pasien akan menjalankan proses
detoksifikasi atau penghilangan racun-racun yang terdapat
didalam tubuh pasien. Setelah melakukan detoksifikasi, jika
pasien merupakan rujukan dari keluarga maka pasien bisa
memilih apakah akan melanjutkan ke program selanjutnya,
76 Wawancara Pribadi dengan Bapak Agus Darmawan, Jakarta 17 Juli 2014.
64
yaitu program rehabilitasi atau langsung kembali ke
lingkungannya masing-masing, namun biasanya pihak Rumah
Sakit akan memberikan rekomendasi untuk melanjutkan ke
program rehabilitasi. Jika pasien merupakan putusan
pengadilan maka dirinya wajib melanjutkan program
rehabilitasi untuk menjalani perawatan sesuai dengan
keputusan pengadilan. Pasien yang diutuskan melanjutkan ke
program rehabilitasi maka mereka akan menjalankan beberapa
program dan fase. Namun sebelum itu, pasien juga akan
menjalani evaluasi psikososial untuk menyesuaikan program
yang akan didapatkan oleh pasien sesuai dengan hasil diagnosa
atau evaluasi psikososial kesehatan tersebut. Di dalam
rehabilitasi terdapat dua program yang diperuntukkan untuk
pasien NAPZA, diantaranya sebagai berikut:
a. Spesial Program
Merupakan program yang diperuntukkan bagi pasien
atau klien yang mempunyai masalah dengan diagnosa
kecanduan terhadap NAPZA dan dengan gangguan fisik dan
atau gangguan mental (dual diagnosis). Dalam penerapnnya
spesial program tidak menggunakan metode TC, tetapi terdapat
metode tersendiri untuk menangani para pasiennya.
b. Program Reguler
Merupakan tahap adaptasi guna menyesuaikan diri klien
terhadap program pemulihannya yang akan dijalani. Dalam
65
penerapan program reguler RSKO menggunakan metode TC
dengan dibantu para pekerja profesional yakni konselor yang
sudah berpengalaman. Pemilihan pasien reguler program untuk
mengikuti metode TC, pasien harus sehat secara medis yang
artinya pasien tidak boleh mempunyai gangguan fisik ataupun
mental yang di derita karena dengan begitu pasien akan lebih
bisa menjalani program TC dengan lebih baik.
Selama menjalani proses pemulihan di program reguler,
pasien akan menjalani 2 tahapan program dan terdiri dari
beberapa fase dengan menunjukkan tingkat kemajuan dari
proses pemulihan, meliputi:
1. Program primary, yang terdiri dari beberapa fase yakni:
a). Fase induction
Merupakan tahap adaptasi yang bertujuan untuk
penyesuaian diri pasien terhadap program pemulihannya
yang akan dijalani. Dalam fase ini biasanya dibutuhkan
waktu selama satu setengah bulan.77 Pasien induction
mendapatkan tantangan yang mungkin terbesar di hidupnya
ketika dia harus melepaskan ketergantungannya terhadap
NAPZA dan subtitusi NAPZA, memisahkan dirinya dari
lingkungan lama yang lebih nyaman, sementara itu
beradaptasi kedalam suatu lingkungan “asing” yang
kesannya “intimidatif”. Sifat-sifat negatif seorang pecandu
77Brosur Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta, Profil Halmahera House
Rehabilitation Center.
66
masih nampak kental seperti banyaknya penyangkalan,
manipulasi, berbohong, mencari alasan, tidak menerima
dan lain-lain.78
b). Fase primary
Bertujuan untuk mengarahkan pasien untuk
menerima dan menyadari bahwa dirinya adalah seorang
pecandu yang membutuhkan pertolongan. Motivasi dari
dalam diri, serta menyadari bahwasanya di samping
masalah penyalahgunaan NAPZA ada masalah yang jauh
lebih penting yaitu masalah prilaku dan bagaimana cara
merubahnya. Biasanya dalam fase ini membutuhkan waktu
dua sampai dengan tiga bulan.
c). Fase Pre-Re-Entry
Merupakan stabilisasi sikap dan prilaku hidup sehat.
Pemantapan kondisi emosi dan keseimbangan psikologi.
Proses simulasi fungsi-fungsi kognitif, pemantapan sikap
dan prilaku bertanggung jawab serta proses interaksi sosial
dengan keluarga sebagai basis utama. Fase ini merupakan
masa persiapan untuk menjalani fase Re-Entry yang
biasanya dibutuhkan waktu selama satu sampai dengan dua
bulan untuk menjalaninya. Tujuan dari fase ini adalah untuk
melatih jiwa kepemimpinan (leader skill) dan dapat
berkoordinasi dengan sesama familly dan staff. Belajar
78Buku Panduan Instalasi Halmahera House RSKO Jakarta, Walking Paper Reguler
Program.
67
untuk lebih memahami secara mendalam berbagai
komponen program, belajar untuk dapat menjelaskan inti
dari berbagai macam permasalahan (issue), yang
menyangkut rumah, tingkah laku, pola pikir dan perasaan
yang ada. Belajar untuk mulai berinteraksi dengan
masyarakat luar, dengan keluarga sebagai basis utama.79
2. Program re-entry, merupakan pengembangan sikap dan
prilaku bertanggung jawab dan proses pengenalan serta
pemantapan sikap dan prilaku hidup sehat di dalam keluarga
dan lingkungan sosial. Menambah wawasan untuk
mempersiapkan diri untuk masa depan. Mendaya gunakan
penalaran, dan mengembangkan keterampilan sosial dalam
kehidupan bermasyarakat. Mengimplementasikan
kemampuan dan keterampilan yang telah dicapai. Mampu
mewujudkan sikap dan prilaku yang bertanggung jawab
dengan kualitas hidup yang lebih baik di dalam integrasinya
dalam masyarakat dalam status pemulihannya. Dalam fase
ini biasanya membutuhkan waktu sesuai kebutuhannya.
Dalam program Re-Entry terdiri dari beberapa fase yakni
sebagai berikut:
a). Fase orientasi
Terdiri dari pengenalan terhadap program primary,
assesment ulang pada klien untuk melihat
peningkatan/perubahan yang telah dicapai. Target dan
79 Wawancara Pribadi dengan Konselor RSKO, Jakarta 19 Juli 2014.
68
evaluasi dalam fase ini adalah pasien telah memahami dan
mengerti maksud dan tujuan fase orientasi pasien di
program re-entry. Pasien mengerti memahami tujuan dari
program re-entry secara umum. Telah memahami dan
mengaplikasikan peraturan, prosedur, budaya yang ada di
program re-entry.
b). Fase A
Pada fase ini pasien mulai melakukan interaksi
dengan masyarakat umum, bermula dari keluarga sebagai
lingkungan kecil. Pasien di persiapkan untuk menghadapi
berbagai hambatan dalam bersosialisasi (konflik
nilai/norma/pandangan masyarakat, keluarga maupun antar
individu). Pelaksanaan sesi edukasi dan pengaplikasian
relapse prevention. Pelaksanaan sesi individual konseling
yang terfokus pada perencanaan klien. Percobaan kembali
ke rumah tanpa pendamping dengan waktu 24 jam, saat
weekend.
Target dan evaluasi dalam fase ini adalah pasien tetap
menunjukan sikap dan prilaku yang bertanggung jawab,
dapat dipercayai baik komunitas terapi maupun keluarga.
Pasien memiliki rencana yang cukup matang, jelas dan
rasional berkaitan dengan education/vocational.
c). Fase B
Dalam fase ini pengintegrasian konsep pemulihan
kedalam kehidupan sehari-hari tertanam jauh, sejalan
69
dengan pasien bergerak maju ke arah pengembangan karir
dan tujuan hidup seperti yang telah di rencanakan dalam
fase A. Fase ini lebih mengarah kepada penyempurnaan
target fase A sekaligus transisi ke fase C dimana pasien
akan jauh lebih sering berada diluar fasilitas. Pasien terus
mendapat bimbingan untuk menyelesaikan berbagai
permasalahan yang mungkin timbul dari sosialisasinya
dengan masyarakat umum. Proses pengaplikasian nilai-nilai
TC yang telah didapat dilingkungan masyarakat yang lebih
luas.
Target dan evaluasi dalam fase ini adalah pasien secara
konsisten menunjukan peningkatan kemampuan untuk
memecahkan masalah. Pasien menunjukan peningkatan
performa dalam kegiatan homeleave nya, pasien
menunjukan peningkatan kemampuan dalam menghadapi
situasi dan kondisi beresiko tinggi untuk relapse.
d). Fase C
Merupakan fase dimana pasien
mengimplementasikan seluruh kemampuan dan
keterampilan yang didapat selama menjalani resindential
treatment baik bagi dirinya sendiri maupun bagi lingkungan
sosialnya (masyarakat umum). Dalam fase ini pasien akan
lebih banyak tinggal diluar. Pelaksanaan edukasi dan
pengaplikasian relapse prevention makin intens. Persiapan
70
penyelesaian program re-entry dan masuk kedalam
aftercare program.
Target dan evaluasi dalam hal ini adalah pasien dapat
memahami peran dan fungsinya dimasyarakat, sesuai
dengan kemampuan dan keterampilannya. Pasien memiliki
status identitas. Pasien memiliki tujuan dan arah yang jelas
dalam educational/vocational. Pasien memahami
bagaimana cara terus memelihara pemulihannya. Pasien
mampu menunjukan sikap dan prilaku sosial yang secara
konsisten bertanggung jawab serta dapat dipercaya.80
Setelah menjalani program primary dan re-entry pasien juga
harus menjalani fase aftercare. Aftercare program merupakan satu
tingkat dimana seoarang pecandu kembali membangun hidup
dengan keluarga di lingkungan masyarakat, pasien yang telah
menyelesaikan program residensial secara otomatis menjadi bagian
dari aftercare dan dibawah monitor komunitas aftercare.
Adapun tujuannya menyediakan dukungan bagi anggotanya
kembali ke masyarakat serta bertujuan untuk memastikan
penyelesaian keseluruhan program pemulihannya. Secara terus
menerus memberikan motivasi untuk melanjutkan pemulihannya
dan mencegah terjadinya relapse atau kambuh kembali. Dalam fase
ini dibagi menjadi dua yang pertama adalah in house atau didalam
rumah rehabilitasi dan yang kedua adalah reguler program biasanya
80Buku Panduan Instalasi Halmahera House RSKO Jakarta, Walking Paper Reguler
Program.
71
satu bulan sekali untuk test urin dan konseling dengan konselor
sesuai dengan kesepakatan.81
Didalam penerapan program TC di RSKO Jakarta
mempunyai banyak peraturan utama yang harus di ikuti oleh para
pasien rehabilitasi yakni peraturan pertama adalah Cardinal Rules.
1. No Drugs (tidak dibenarkan memakai narkotika, alkohol, dan
zat adiktif lainnya)
2. No Sex (tidak ada sex)
3. No Violence (tidak melakukan kekerasan)
4. No Vandalism (tidak boleh melakukan pengrusakan
barang/property fasilitas).82
4. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan bimbingan lanjut
ketika pasien sudah berada diluar lingkungan RSKO, yaitu dengan
melakukan home visit. Jadi untuk home visit instansi memiliki biaya
khusus untuk bimbingan lanjut, yaitu dengan program home visit yang
diajukan setahun sekali. Jadi home visit tidak hanya memperdalam data-
data tetapi bisa dilakukan saat pasien berada di dalam, misalnya untuk
dapat memberi pelayanan kepada pasien kita harus mengetahui
permasalahannya secara mendalam bisa dilakukan home visit. Namun
untuk home visit seperti itu bukanlah untuk monitoring dan evaluasi.
81Brosur Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta, Profil Halmahera House
Rehabilitation Center. 82 Buku Panduan Instalasi Rehabilitasi Halmahera House RSKO Jakarta, Walking Paper
Reguler Program.
72
Perbedaan antara monitoring dan evaluasi yakni, monitoring
dilakukan sambil berjalan ketika pasien masih berada di dalam atau di luar
tapi pelayanan belum selesai. Sedangkan evaluasi dilakukan ketika
pelayanan sudah selesai. Fasilitas monitoring dan evaluasi bisa melalui
home visit.83
Dalam hal monitoring dan evaluasi proses penyembuhan
pasien/residen terdapat beberapa alasan kenaikan fase diantaranya:
1. Kondisi atau progress yang sudah layak naik fase. Kriteria layak
yaitu residen memahami program dan mengetahui apa kebutuhan
untuk pemulihan dirinya sesuai fase yang ia jalani.
2. Bahwa kenaikan fase dibutuhkan klien untuk melanjutkan
hidupnya secara produktif.84
D. Jangkauan Layanan
1. Deskripsi Target Layanan
Layanan yang di mulai ialah pasien mulai masuk dilakukan
detoksifikasi/penghilangan racun. Mengikuti rehabilitasi dengan program
TC berbasis Rumah Sakit setelah itu After Care. Selain itu untuk program
rawat jalan, dapat mengikuti salah satu programnya salah satunya adalah
PTRM.85
2. Penjangkauan dan Perekrutan
Proses perekrutan di Rumah Sakit Ketergantungan Obat yang
terjadi sampai saat ini ialah pasien datang ke RSKO baik dia datang
83 Wawancara Pribadi dengan Agus Bapak Darmawan, Jakarta 17 Juli 2014. 84 Wawancara Pribadi dengan Konselor RSKO, Jakarta 18 Juli 2014. 85 Wawancara Pribadi dengan Konselor RSKO, Jakarta 18 Juli 2014.
73
sendiri, di antar kelurga dan ada juga dari putusan pengadilan atau
biasanya rujukan dari LP. Dalam penjangkauannya, Pihak RSKO
menerima pasien secara umum (Nasional) bahkan WNA asalkan mereka
merupakan pasien yang berhubungan dengan zat maupun penyakit
bawaannya. Sedangkan perekrutannya sendiri, Klien langsung mendatangi
RSKO, baik secara individual, diantar oleh pihak keluarga maupun
berdasarkan rujukan pihak kepolisisan termasuk putusan pengadilan.
Bagi mereka yang mempunyai masalah dalam hal ekonomi, bisa
mengurus persyaratan seperti Kartu Pelayanan JAMKESMAS, GAKIN
maupun SKTM, dengan penambahan data seperti KK, KTP, Surat rujukan
Puskesmas sesuai kebutuhan.
3. Kriteria Pemilihan Pasien
RSKO tidak memilih-milih karakteristik pasien, jika pasien
memang membutuhkan pertolongan medis maka akan dilayani oleh medis
karena peraturan Rumah Sakit.
E. Sarana dan Prasarana
Fasilitas layanan kesehatan yang tersedia antara lain:
1. Instalasi Gawat Darurat
a. Pelayanan Umum dan NAPZA
2. Instalasi Rawat jalan
a. Poliklinik Umum
b. Poliklinik Spesialis yang terdiri dari: Klinik Jiwa, Klinik NAPZA,
Klinik Penyakit Dalam, Klinik Saraf, Klinik Kebidanan dan
74
Kandungan, Klinik Anak, Klinik Kulit dan Kelamin, Klinik Gigi
dan Mulu, Klinik Psikologi, dan Klinik Gizi.
3. Instalasi Rawat Inap
a. Ruang perawatan NAPZA
b. Detoksifikasi (VIP, Kelas I, Kelas II, Kelas III)
c. Rehabilitasi (Kelas III)
d. Ruang Komplikasi Medik
e. Ruang High Care Unit
f. Fasilitas Penunjang Medik
4. Instalasi Farmasi
5. Instalasi Laboratorium Toksiologi
6. Instalasi Laboratorium Patologi Klinik
7. Instalasi Radiologi
8. Instalasi Rehabilitasi Medik
9. Instalasi Pemusalaraan Jenazah86
86 Brosur Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta, Profil RSKO Jakarta.
75
BAB IV
HASIL TEMUAN DAN ANALISIS
Berdasarkan hasil temuan penulis dapat diperoleh suatu informasi
mengenai interaksi sosial antar pasien NAPZA pada program therapeutic
community di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta. Pada bab ini,
hasil temuan penulis dijelaskan melalui teori interaksi sosial yang
dikemukakan oleh Soerjono Soekanto. Adapun sub bab yang akan dibahas
diantaranya ialah mengenai bentuk-bentuk interaksi sosial antar pasien
NAPZA pada program therapeutic community.
A. Hasil Temuan
1. Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial Antar Paisen NAPZA pada
Program TC Tahap Fase Primary
a. Kerja Sama
Kerja sama merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang
terjadi antar pasien NAPZA pada program TC. Tahapan primary
merupakan program awal bagi pasien NAPZA dalam mengikuti
therapeutic community. Dalam tahapan ini bertujuan untuk mengarahkan
pasien menerima dan menyadari bahwa dirinya adalah seorang pecandu
yang membutuhkan pertolongan. Motivasi dari dalam diri, serta menyadari
bahwasannya disamping masalah penyalahgunaan narkoba, ada masalah
yang jauh lebih penting yaitu masalah prilaku, dan bagaimana cara
merubahnya. Memperkenalkan program TC serta filosofi dan prinsip yang
dipakai dalam masa pemulihan pasien di Halmahera House. Seperti yang
76
di ungkapkan oleh Broh Okto selaku kepala konselor di unit Rehabilitasi
Halmahera House:
“tahapan program primary merupakan tahapan awal dimana pasien akan menyadari bahwa dirinya membutuhkan pertolongan tidak hanya dalam ketergantungan terhadap narkoba tetapi juga masalah lain yakni masalah prilaku.”87
Pernyataan tersebut juga didukung oleh pemaparan dari Pekerja
Sosial di RSKO, Bapak Agus Darmawan:
“tahapan primary merupakan tahap awal pengenalan program TC serta pengenalan kultur dan peraturan-peraturan yang ada di Halmahera House.”88
Dari pemaparan kedua informan diatas dapat terlihat bahwa
program primary berfungsi untuk membantu menyadarkan pasien bahwa
dirinya adalah seorang pecandu yang membutuhkan pertolongan baik
dalam hal ketergantungan terhadap NAPZA, serta masalah prilaku yang
ada di dalam diri pasien. Pemberitahuan kepada pasien akan masalah yang
di deritanya. Dalam tahapan ini interaksi sosial sangat diperlukan karena
pasien akan mendapatkan nasihat, pengarahan serta pembelajaran dari
pasien lainnya, hal tersebut dapat dilihat dari kutipan wawancara yang
penulis lakukan dengan Broh Okto, selaku kepala konselor di Halmahera
House:
“dalam hal ini interaksi sosial sangat diperlukan antara pasien satu dengan pasien lainnya seperti mendapat nasihat, pengarahan serta pembelajaran dari pasien lainnya agar proses pemulihan yang dijalankan bisa berjalan dengan baik.”89
87 Wawancara pribadi dengan Broh Okto selaku Kepala Konselor di Unit Rehabilitasi
Halmahera House. Jakarta, 18 Agustus 2014. 88 Wawancara pribadi dengan Bapak Agus Darmawan selaku Pekerja Sosial di RSKO.
Jakarta, 17 Juli 2014. 89
Wawancara pribadi dengan Broh Okto selaku Kepala Konselor di Unit Rehabilitasi Halmahera House. Jakarta, 18 Agustus 2014.
77
peran dari konselor sangat lah penting karena agar dapat
memperkenalkan pasien terhadap program serta norma-norma yang
berlaku serta membantu pasien untuk bertanggung jawab dengan bekerja
secara team. Tidak hanya peran konselor yang sangat penting tetapi juga
peran ketua kelompok dalam tahapan ini sangat lah penting karena agar
pasien baru bisa menyadari bahwa mereka adalah sebuah team yang
tujuannya adalah pemulihan dari ketergantungannya terhadap NAPZA.
Di dalam membangun sebuah team harus ada kerja sama satu sama
lain agar tujuan yang ingin dicapai bisa terlaksana dengan baik. Kerja
sama yang di bangun pada tahap ini awalnya cukup sulit biasa nya terjadi
di dalam fase induction karena pasien baru yang belum bisa menerima
keberadaannya di dalam tempat rehabilitasi. Dibutuhkan peran dari
konselor dan juga ketua kelompok terhadap pasien yang baru demi tujuan
pemulihan bersama. Peran konselor dalam hal ini adalah membantu
mereka agar dapat berpikir positif dan juga membantu mereka untuk
menyadari bahwa disini adalah keluarga mereka atau sebuah team yang
tujuannya adalah sama-sama ingin sembuh dari ketergantungan dengan
begitu mereka bisa dengan baik menjalankan pemulihannya di berbagai
kegiatan yang ada di dalam program TC.
Hal tersebut dibenarkan oleh kepala konselor di unit rehabilitasi
Halmahera House dari kutipan berikut, Broh Okto:
“pada tahap primary terdapat fase induction yang dalam hal ini awalnya cukup sulit untuk membangun kerja sama untuk
78
menjadi sebuah team butuh peran dari konselor, buddy serta ketua kelompok agar pasien sadar tujuan mereka”.90
Penulis juga menanyakan mengenai hal yang sama kepada salah
satu pasien baru di tahapan primary, informan R:
“awalnya saya sangat sulit membangun kerja sama, soalnya kan belum bisa menerima jadi masih ga ada pikiran untuk ngejalanin semuanya sama-sama”. Dari pemaparan kedua informan tersebut dapat diketahui bahwa
kerja sama yang di lakukan pada pasien baru di tahapan primary atau
berada pada fase induction cukup sulit di lakukan karena berbagai macam
faktor, salah satu nya adalah karena pasien yang belum bisa menerima
keberadaannya. Dalam hal ini pasien sulit untuk bekerja sama dengan
pasien lainnya karena belum bisanya pasien untuk menerima
keberadaannya untuk pemulihan. Hal tersebut tentu akan sangat
mengganggu pasien di dalam menjalankan berbagai kegiatan yang ada di
dalam program TC.
Dari hasil observasi yang dilakukan penulis terhadap informan R
yakni pasien baru pada tahap primary fase induction dalam mengikuti
kegiatan yang ada di dalam program TC, pasien memang belum bisa
menerima keberadaannya terlihat dari kegiatan morning meeting yang di
ikuti oleh pasien pada pagi hari. Pasien terlihat diam saja dan sangat pasif
dalam kegiatan tersebut tetapi pada saat itu juga peran ketua kelompok
membantu pasien agar tidak hanya menjadi penonton tetapi setiap anggota
keluarga juga harus berpartisipasi dengan mengambil peran dan tanggung
90
Wawancara pribadi dengan Broh Okto selaku Kepala Konselor di Unit Rehabilitasi Halmahera House. Jakarta, 18 Agustus 2014.
79
masing-masing untuk memberi kontribusinya terhadap komunitas.
Misalnya dengan bertanya, mengeluarkan pendapat agar pasien bisa
dengan sendirinya beradaptasi untuk menjalani dalam berbagai kegiatan.91
Setelah beberapa minggu informan R akhirnya menyadari
keberadaannya disini adalah untuk pemulihan dan komunitas ini adalah
keluarganya. Informan R juga sudah bisa beradaptasi dengan
lingkungannya yang baru, menyadari bahwa dirinya adalah sebuah team
yang harus memenangkan suatu tujuan yakni pemulihan dari
ketergantungan terhadap NAPZA dan memangkas prilaku-prilaku negatif
yang ada di dalam diri informan. Dengan begitu pasien pun bisa menjalani
kegiatan bersama-sama dengan pasien lainnya. Berikut adalah kutipan
wawancara penulis dengan informan R:
“kalo sekarang sih sudah bisa bekerja sama dengan yang lain, soalnya mereka juga baik-baik dan selalu membantu saya dalam berbagai kegiatan”.92
Kerja sama dilakukan dalam berbagai kegiatan yang ada di dalam
program TC. Kerja sama biasa dilakukan antar sesama pasien dengan
saling membantu satu sama lain di setiap kegiatan. Kerja sama ini di
bangun untuk kebaikan diri pasien itu sendiri agar pasien bisa hidup rukun
dengan pasien lainnya.
Hal tersebut di dukung oleh pemaparan dari konselor pribadi
informan R, Broh Taufan:
“kerja sama dilakukan dalam berbagai kegiatan, karena TC yang bersifat komunitas atau kelompok jadi semuanya dilakukan secara bersama-sama.”93
91 Hasil Observasi pribadi pada kegiatan Morning Meeting, Jakarta Agustus 2014. 92 Wawancara Pribadi dengan Informan R, Jakarta 12 Agustus 2014. 93 Wawancar Pribadi dengan Konselor Broh Tufan, Jakarta 13 Agustus 2014.
80
Dari hasil pemaparan kedua informan tersebut dapat diketahui
bahwa kerja sama dilakukan dalam berbagai macam kegiatan setiap
harinya yang ada di dalam program TC. Kerja sama dilakukan pada setiap
pasien, bentuk kerja sama yang dilakukan adalah dengan tanggung jawab
dari aktifitas-aktifitas pasien tersebut yang artinya adalah pasien wajib
menjalankan peranannya masing-masing yang akan dibantu oleh pasien
lainnya demi tujuan yang sama.
Dari hasil temuan lapangan terlihat kerja sama yang dilakukan
pasien NAPZA pada program TC berlangsung setiap hari pada semua
kegiatan karena semua kegiatan membutuhkan kerja sama antar pasien
NAPZA selain berkerja sama demi pemulihan, bentuk lain dari kerja sama
yang dilakukan antar pasien NAPZA adalah dengan saling tolong
menolong antar pasien dalam berbagai kegiatan sehari-hari misalnya
kegiatan bangun pagi, morning meeting (merupakan kegiatan yang
dilakukan setiap pagi untuk mengawali hari), fuction (kegiatan kebersihan
yang tujuannya untuk melatih pasien untuk hidup lebih sehat), dan group
(merupakan kegiatan yang di dalamnya terdiri dari berbagai macam
kegiatan yang menunjang program therapeutic community).
Hal tersebut dibenarkan oleh salah satu informan pasien primary,
terlihat dari kutipan wawancara informan D:
“kerja sama dilakukan dalam berbagai kegiatan contohnya morning meeting, lalu function dan group yang ada di program TC”.94
94 Wawancara Pribadi dengan Informan D, Jakarta 08 Agustus 2014.
81
Penulis juga menanyakan hal serupa pada konselor dari informan
D, yakni broh Nasrul:
“kerja sama dilakukan dalam berbagai kegiatan yang ada di dalam program TC, bentuk kerja sama ialah dengan saling membantu satu sama lain dalam mencapai tujuannya. Kerja sama dilakukan dari awal pagi hari sampai malam pada malam hari. Kegiatan yang dilakukan biasanya morning meeting, function, group”.95
Dari pemaparan kedua informan tersebut dapat di lihat bahwa kerja
sama dilakukan dalam setiap kegiatan yang ada di dalam program TC.
Kegiatan yang dilakukan adalah bangun pagi, ketika bangun pagi untuk
mengawali hari ada proses kerja sama yang dilakukan antara informan D
dengan pasien lainnya yang sebelumnya pada saat di luar tidak pernah
dilakukan oleh informan D yaitu dengan cara saling tolong menolong,
membantu satu sama lain dengan membangunkan pasien lain agar bisa
memulai aktifitas-aktifitas sehari-hari. Karena ketika sudah berada dalam
program pasien harus mengikuti semua kegiatan TC yang bersifat
komunitas atau kelompok jadi semua kegiatan tidak bisa dilakukan sendiri
melainkan harus dilakukan bersama-sama dan saling bekerja sama.
Selain bangun pagi kedua informan juga mengatakan bahwa
kegiatan lain yang harus dilakukan dengan bekerja sama adalah dalam
kegiatan morning meeting, morning meeting merupakan pertemuan yang
dilakukan setiap pagi dan dihadiri oleh seluruh anggota rumah yang
bertujuan sebagai pembuka hari yang selalu dipimpin oleh mayor on dutty
(staff).96 Dalam hal ini semua informan sebagai anggota keluarga harus
bekerja sama dengan pengatur rumah atau (COD/Chief), untuk mau
95 Wawancara Pribadi dengan Konselor Broh Nasrul, Jakarta 14 Agustus 2014.
96 Hasil Observasi Pribadi pada Kegiatan Morning Meeting, Jakarta Agustus 2014.
82
mengikuti kegiatan ini di setiap paginya. Selain itu dalam kegiatan
morning meeting kerja sama yang dilakukan informan dengan pasien lain
adalah dengan saling tolong menolong mengingatkan akan kesalahan
pasien lain atau memotivasi pasien lain demi pemulihan bersama.97 Karena
dalam kegiatan morning meeting ada tahapan memberi peringatan antar
pasien dan juga memotivasi antar pasien lain agar bisa jauh lebih baik dan
membantu pasien lain yang sedang mempunyai masalah. Selain kegiatan
morning meeting menurut kedua informan kegiatan yang membutuhkan
kerja sama adalah fuction. Kedua informan menyebutkan bahwa kegiatan
lain yang membutuhkan kerja sama antar pasien dalam kegiatan sehari-
hari pada program TC adalah fuction, function merupakan kegiatan rutin
yang dilakukan pasien untuk membersihkan rumah rehabilitasi. Fuction
dilakukan setiap harinya pada pagi dan sore hari dengan tujuan yakni
mengajarkan pasien untuk hidup lebih bersih dan teratur. Dalam kegiatan
ini pasien diwajibkan untuk saling bekerja sama antar sesama pasien
karena dalam kegiatan ini tidak bisa dilakukan sendiri melainkan harus
berkordinasi antar pasien agar pembagian tugas bersih-bersih bisa adil dan
tidak pilih-pilih.98 Selain fuction kegiatan lain yang dilakukan bersama-
sama adalah group. Semua informan mengatakan dalam group
membutuhkan kerja sama antara pasien satu dengan pasien lainnya.
Misalnya saja dalam group seminar atau group lainnya, sama halnya
dengan kegiatan morning meeting di dalam group ini kerja sama dilakukan
97Hasil Observasi Pribadi Dalam Kegiatan Morning Meeting Terhadap semua Informan,
Jakarta Agustus 2014. 98 Hasil Observasi Pribadi Dalam Kegiatan Function Terhadap Semua Informan, Jakarta
Agustus 2014.
83
antara pengatur rumah dengan anggota rumah agar group yang sudah
dijadwalkan bisa berjalan dengan baik. misalnya pengatur rumah mengatur
anggota rumah agar tepat waktu dalam menghadiri group yang sudah di
jadwalkan agar tidak ada pasien yang telat.
Dalam bekerja sama antara pasien satu dengan pasien lainnya
dalam menjalankan berbagai kegiatan yang ada pada program TC tentu
akan berdampak kepada interaksi yang dilakukan pasien dengan pasien
lainnya, hal tersebut dapat dilihat dari kutipan wawancara yang dilakukan
penulis terhadap informan D:
“dengan bekerja sama dengan pasien lainnya kegiatan yang dijalankan akan menjadi lebih baik sehingga interaksi yang dijalankan juga akan menjadi lebih baik”99
Pernyataan tersebut didukung oleh Broh Narul, yakni konselor
pribadi dari informan D:
“dengan bekerja sama dengan saling tolong menolong satu sama lain akan berdampak kepada berbagai kegiatan yang akan dijalankan pasien dan hal tersebut tentu akan dapat mempengaruhi interaksi yang dijalankan pasien dengan pasien lainnya”100
Dari pemaparan kedua informan tersebut dapat diketahui bahwa
dalam bekerja sama antara pasien satu dengan pasien lainnya akan
berdampak pada berbagai macam kegiatan yang dijalankan pada program
TC, sehingga ketika pasien dapat bekerja sama dengan baik dalam
berbagai kegiatan dengan pasien lainnya tentu interaksi yang dilakukan
juga akan menjadi lebih baik dan pasien juga dapat lebih fokus di dalam
menjalankan proses pemulihannya.
99 Wawancara Pribadi dengan Informan D, Jakarta 08 Agustus 2014. 100 Wawancara Pribadi dengan Konselor Broh Nasrul, Jakarta 12 Agustus 2014.
84
Dalam membangun kerja sama antar pasien kedua informan
mengalami kendala yakni jika ada salah satu pasien yang sulit untuk diatur
atau diberi tahu. Hal tersebut akan bisa menggangu kegiatan yang setiap
hari di jalankan. Berikut kutipan wawancara penulis dengan salah satu
informan, yakni informan R:
“kendala sih pasti ada, biasanya ada salah satu pasien yang sulit untuk diatur”.101
Penulis juga menanyakan hal yang sama kepada konselor dari
informan R, Broh Taufan:
“saya lihat kendala klien pada saat membangun kerja sama dengan pasien lain adalah ketika pasien lain tidak bisa di ajak kompromi dengan klien”102
Dari hasil pemaparan kedua informan tersebut dapat di lihat bahwa
dalam bekerja sama, informan juga mengalami kendala yakni jika ada
salah satu pasien tidak bisa diatur atau tidak bisa untuk diajak kompromi.
Dengan begitu dalam menjalani kegiatan informan akan terganggu dan
akan berakibat tidak baik kepada interaksinya. Dari informan R dan
informan D pada saat mereka sedang kesal atau bahkan sedang marah
tidak sama sekali mengganggu kerja sama yang mereka lakukan dengan
pasien lain dalam kegiatan yang mereka kerjakan sehari-hari.103
Dari pengamatan penulis, kerja sama yang dilakukan semua
informan berjalan cukup baik karena semua kegiatan yang dilakukan harus
dengan kerja sama antar pasien. Kerja sama ini bersifat tolong menolong,
tolong menolong untuk saling mengingatkan akan kesalahan yang
101
Wawancara Pribadi dengan Informan R, Jakarta 12 Agustus 2014. 102 Wawancara Pribadi dengan Konselor Broh Taufan, Jakarta 13 Agustus 2014. 103 Hasil Observasi terhadap Informan R dan Informan D dalam kegiatan Group, Jakarta
Agustus 2014.
85
dilakukan pasien lain atau membantu satu sama lain. Semua informan
saling bergotong royong dan saling tolong menolong dalam menjalankan
semua kegiatan selain itu semua informan juga mengingatkan akan
kesalahan yang dilakukan pasien lain. Itu semua dilakukan semata-mata
demi tujuan bersama yaitu pulih dari ketergantungan terhadap NAPZA
dan juga merubah tingkah laku yang negatif menjadi tingkah laku yang
positif. Dengan bekerja sama antara pasien satu dengan pasien lainnya
sehingga kegiatan yang dijalankan pada program TC akan menjadi lebih
baik dan interaksi yang dilakukan pasien satu dengan pasien lainnya juga
akan menjadi lebih baik.
b. Persaingan (competition)
Bentuk kedua dari interaksi sosial adalah Persaingan. Berbeda
dengan kerja sama dalam tahapan ini persaingan memang sengaja dibuat
untuk tujuan yang baik kepada pasien yaitu agar pasien mengerti dan
memahami bahwa mereka bisa bersaing secara sehat atau tidak saling
menjatuhkan dan dengan bersaing pasien akan mencapai tujuan yang
diinginkan. Hal tersebut di jelaskan oleh kepala unit rehabilitasi
Halmahera House, Broh Okto:
“dalam fase primary sebetulnya tidak diperkenankan terjadi persaingan antar pasien. Namun dalam program TC persaingan sengaja dibuat dalam satu kegiatan. Contohnya adalah kegiatan olah raga yang didalam nya terdapat beberapa permainan. Dengan begitu pasien akan mengerti tentang arti persaingan namun secara sehat dan dapat menumbuhkan keinginan dalam diri pasien agar dapat memenangkan permainan tersebut”.104
104 Wawancara Pribadi dengan Broh Okto Selaku Kepala Konselor di Unit Rehabilitasi
Halmahera House, Jakarta 18 Agustus 2014.
86
Penulis juga menanyakan hal serupa kepada salah satu Informan,
yakni inforrman R:
“dalam fase ini persaingan di luar akal sehat sih ga ada yaa mba, tetapi kalo persaingan yang sehat ada kaya setiap sore ada waktu untuk olah raga nah disitu di isi dengan bermain sepak bola, biasanya antara kelompok primary sama re-entry sih.”105
Dari pemaparan kedua informan tersebut dapat di lihat bahwa
sebenarnya persaingan tidak dianjurkan berada dalam fase ini, pasien
dilarang untuk bersaing dengan pasien lainnya diluar kegiatan yang
terdapat pada program TC. Hanya saja persaingan sengaja dibuat di dalam
kegiatan agar pasien bisa menumbuhkan prilaku yang baik dengan
bersaing secara sehat dan juga menumbuhkan keinginan dalam diri pasien
agar dapat mencapai suatu tujuan yakni kemenangan.
Dari hasil observasi yang penulis lakukan dalam kegiatan olah raga
pada saat sore hari, penulis melihat persaingan itu memang benar-benar
sengaja di buat untuk pasien. Konselor dengan sengaja memperbolehkan
pasien untuk bermain sepak bola melawan fase yang lain, pada saat itu
fase primary melawan fase re-entry. Terlihat bahwasanya persaingan
bersifat sehat karena dalam hal ini konselor menumbuhkan nilai-nilai yang
baru kepada pasien agar pasien bisa berprilaku secara baik. Dalam
permainan sepak bola tersebut terlihat pasien fase primary sangat antusias
untuk memenangkan permainan tersebut. Baik fase primary maupun re-
entry sama-sama bersaing untuk memenangkan permaianan tersebut.106
105
Wawancara Pribadi dengan Informan R, Jakarta 12 Agustus 2014. 106
Hasil Observasi Terhadap Kegiatan Olah Raga, Jakarta Agustus 2014.
87
Dengan bersaing secara sehat pasien akan mengerti nilai-nilai yang
baru agar dapat menjadi prilaku yang jauh lebih baik. permainan sebak
bola tidak hanya menjadi wadah bagi pasien untuk bersaing secara sehat
tetapi juga membentuk prilakunya agar bisa menjadi jauh lebih baik. Hal
tersebut dijelaskan oleh Broh Okto selaku kepala konselor di unit
rehabilitasi Halmahera House Jakarta, sebagai berikut:
“permainan sepak bola sengaja dibuat agar pasien mengerti nilai-nilai yang baru dari hal-hal yang kecil. Permainan sepak bola tentu akan mengajarkan pasien selain untuk hidup sehat tetapi juga tau bagaimana cara bersaing secara sehat dengan tidak menjatuhkan pasien lainnya.”107
Penulis juga menanyakan hal yang sama kepada salah satu pasien
primary yang mengikuti permainan sepak bola, informan D:
“persaingan terjadi pada kegiatan olah raga pada saat sore hari, kami selaku pasien di ajarkan untuk tetap bersaing secara sehatdengan tidak menjatuhkan satu sama lain”.108
Dari hasil pemaparan kedua informan tersebut persaingan memang
dilakukan. Persaingan itu bersifat kelompok antar kelompok yakni antara
pasien fase primary melawan pasien fase re-entry. Persaingan tersebut
bersifat sehat karena tidak saling menjatuhkan satu sama lain tetapi dengan
tujuan yang sama.
Senada keterangan dari informan R sama dengan keterangan
informan D yang menjelaskan bahwa persaingan itu ada tetapi persaingan
yang bersifat sehat karena dilakukan untuk bersenang-senang. Dalam hal
ini sama seperti keterangan informan D dan informan R pun menjelaskan
bahwa persaingan biasanya ada karena ingin merebutkan suatu tujuan
107 Wawancara Pribadi dengan Broh Okto Selaku Kepala Konselor di Unit Rehabilitasi, Jakarta 18 Agustus 2014.
108 Wawancara Pribadi dengan Informan D, Jakarta 08 Agustus 2014.
88
misalnya pada saat sore hari ketika ada permainan sepak bola antara group
primary dan group re-entry, disini informan bersama pasien lain bersaing
untuk memenangkan permainan sepak bola.
Hal tersebut bisa dilihat dari kutipan wawancara penulis dengan
informan R:
“Persaingan biasanya dilakukan pada saat ada permainan sepak bola atau permainan lain. Disni saya bersama pasien lain bersaing untuk memenangkan permainan tersebut”.109
Penulis juga menanyakan hal yang sama kepada konselor dari
informan R, Broh Taufan:
“Kalo persaingan ringan contohnya pada saat sore hari yang dijadwalkan untuk berolah raga. Antar kelompok melakukan persaingan dengan bermain sepak bola untuk memenangkan persaingan tersebut.”110
Dari hasil pemaparan dari kedua informan dapat di lihat bahwa
persaingan terjadi pada saat sore hari dalam kegiatan olah raga. Persaingan
tersebut bersifat positif karena pasien tidak melakukan dengan cara
kekerasan.
Hasil pengamatan yang dilakukan penulis pada semua informan
pada fase primary tentang pesaingan, memang persaingan terjadi pada saat
jadwal untuk kegitan berolah raga pada sore hari. Penulis melihat pasien
re-entry dan pasien primary bersaing dalam permainan sepak bola. Mereka
bersaing untuk merebutkan suatu tujuan yakni untuk memenangkan
pertandingan.111 Permainan sepak bola memang tidak di adakan setiap hari
109 Wawancara Pribadi dengan Informan R, Jakarta 12 Agustus 2014. 110 Wawancara Pribadi dengan Konselor Broh Taufan, Jakarta 13 Agustus 2014. 111 Hasil Observasi Pribadi Terhadap Semua Informan, Jakarta Agustus 2014.
89
hanya saja dalam satu minggu sesekali pasti mereka melakukan
permainan tersebut.
c. Pertikaian (conflict)
Bentuk ketiga dari interaksi sosial adalah pertikaian. Di dalam
menjalankan program TC tidak di pungkiri telah terjadi banyak pertikaian
dari para pasien, seperti yang di jelaskan oleh salah satu informan fase
primary, informan D:
“dalam fase ini pertikaian sering terjadi, karena banyaknya pasien yang sulit untuk di beritahu”.112 Penulis juga menanyakan hal serupa kepada konselor D, yakni
Broh Nasrul:
“dalam fase primary pertikaian hampir sering terjadi karena banyak pasien yang belum bisa mengatur emosinya dan juga ketika ada pasien lain yang sulit untuk diberi tahu”.113
Dari pemamparan kedua informan tersebut dapat di lihat
bagaimana pertikaian bisa terjadi di dalam kegiatan yang ada pada
program TC. Pertikaian sendiri terjadi karena pada fase ini pasien belum
bisa mengatur emosinya dengan baik. Hal tersebut tentu akan menggangu
kegiatan yang sedang dijalani oleh pasien.
Pertikaian sering dialami oleh semua informan di fase primary,
baik informan R maupun informan D. Pertikaian biasanya terjadi karena
salah satu dari pasien sulit untuk diatur serta dari sindiran-sindiran yang
diberikan oleh pasien lain kepada informan yang berujung kepada
pertikaian, biasanya pertikaian terjadi di dalam kegiatan maupun di luar
112 Wawancara dengan Informan D, Jakarta 08 Agustus 2014. 113 Wawancara Pribadi dengan Konselor Broh Nasrul, Jakarta 14 Agustus 2014.
90
kegiatan. Hal tersebut bisa di lihat dari kutipan wawancara yang penulis
lakukan terhadap informan R:
“Pertikaian sering terjadi karena ada pasien yang susah untuk diatur dan susah untuk dibilangin dengan cara yang baik”.114
Penulis juga menanyakan hal serupa kepada konselor pribadi dari
informan R, Broh Taufan:
“pertiakain sering terjadi karena berbagai macam faktor salah satunya karena pasien lain yang sulit untuk di atur oleh pasien lainnya. Dengan kejadian seperti itu akan dapat menimbulkan konflik walaupun disini adalah komunitas tetapi tidak dipungkri jika di dalam suatu komunitas terjadi banyak konflik”. 115
Dari hasil pemaparan kedua informan tersebut dapat di lihat bahwa
pertikaian memang sering terjadi di dalam kegiatan yang ada di program
TC. Pertikaian terjadi karena beberapa faktor yang salah satunya adalah
jika ada salah satu pasien yang sulit untuk di beri masukan oleh pasien
lainnya, padahal masukan tersebut adalah untuk kebaikan dirinya sendiri.
Dari hasil observasi yang di lakukan penulis, pertikaian memang
terjadi karena ada salah satu pasien yang sulit untuk diberitahu oleh pasien
lainnya. Terlihat pada saat informan R mengikuti kegiatan encounter pada
hari kamis sore. Informan R mengungkapkan kekesalannya kepada S
(pasien lain di fase primary) dengan cara menyatakan dirinya bahwa
informan R sudah kesal dengan S, karena sifat nya yang jorok sulit untuk
di beritahu. Informan R mengungkapkan dengan cara berteriak kepada
pasien S karena rasa kesal di dalam dirinya di simpan selama satu minggu
114 Wawancara Pribadi dengan Informan R, Jakarta 12 Agustus 2014. 115 Wawancara Pribadi dengan Konselor, Broh Taufan, Jakarta 13 Agustus 2014.
91
dan baru saat ini di ungkapkan. Informan R pun terlihat sangat kesal
dengan S.116
Encounter merupakan sebuah kegiatan group dimana setiap
anggota di bebaskan untuk mengespresikan persaannya terhadap anggota
lain dengan cara yang pantas dan sesuai dengan regulasi yang berlaku. Hal
tersebut senada dengan kutipan wawancara yang penulis lakukan dengan
kepasalah satu informan, informan D:
“encounter merupakan kegiatan dimana anggota keluarga dibebaskan meluapkan perasaannya terhadap anggota lain”.117 Penulis juga menanyakan mengenai hal serupa kepada konselor
pribadi D, Broh Nasrul:
“encounter merupakan kegiatan dimana pasien meluapkan persaannya terhadap pasien lainnya, dalam hal ini pasien selama satu minngu diberi pelajaran yaitu mengonrol persaanya sampai kegiatan itu terlakasana”.118
Dari pemaparan kedua informan tersebut dapat di lihat dalam
kegiatan TC encounter adalah wadah yang diperuntukkan untuk pasien
mengungkapkan kekesalannya kepada pasien lain. Dalam hal ini pasien
juga di ajarkan bagaimana dirinya harus mengkontrol emosinya agar tidak
meledak pada saat itu, karena kegiatan encounter hanya di adakan
seminggu sekali.
Dari hasil obeservasi yang penulis lakukan dalam kegiatan
encounter, pada kegiatan ini informan D juga megungkapkan
kekesalannya kepada Y (pasien lain di fase primary). Informan D kesal
karena Y mempunyai sikap yang jorok, Y adalah pasien primary yang
116 Hasil Observasi dalam Kegiatan Encounter, Jakarta Agustus 2014. 117 Wawancara Pribadi terhadap Informan D, Jakarta 08 Agustus 2014. 118 Wawancara Pribadi dengan Konselor Broh Taufan, Jakarta 13 Agustus 2014.
92
memang sulit untuk di atur sifatnya yang jorok jarang menggosok gigi,
jarang mandi dsb membuat informan D kesal. Informan D memang sangat
kesal tetapi cara mengungkapkannya tidak sampai memakai emosi,
informan D hanya memberitahu jika yang dilakukan oleh pasien Y adalah
salah. Informan D pun memberitahu kepada Y agar Y bisa berubah, hal
tersebut tentu untuk kebaikan Y sendiri. Tetapi ada pasien lain yaitu P
yang tidak setuju dengan pernyataan informan D, P mengatakan bahwa
pasien Y tidak usah diberitahu atau diberi masukan karena tidak akan ada
gunanya. P mengatakan kepada informan D bahwa tidak usah perduli
terhadap Y karena percuma memberitahu kepada Y tidak akan pernah
didengar. Tetapi informan D pun menjawab pendapat P, dia menjelaskan
bahwa mereka adalah keluarga yang harus saling mengingatkan satu sama
lain bukannya malah menjauhi keluarganya yang mempunyai kesalahan.
Setelah berbicara seperti itu P pun terdian dan perdebadatan pun dapat
diselesaikan. Dalam hal ini terlihat bahwa perdebatan terjadi antara
informan D dan juga P masih bisa diselesaikan atau tidak menggunakan
emosi atau kekerasan. 119
Selain encounter pertikaian atau konflik juga sering terjadi dalam
kegiatan group, salah satu nya adalah pada saat lecture group. Seperti
wawancara yang dilakukan penulis terhadap salah satu informan, Informan
D:
“kalo pertikaian kecil sih sering dalam kegiatan lecture group, lecture merupakan kegiatan yang di dalam nya berisi seminar. Dalam kegiatan ini banyak perbedaan pendapat antara
119 Hasil Observasi dalam Kegiatan Encounter, Jakarta Agustus 2014.
93
pasien satu dengan pasien lainnya dan itu diperbolehkan ko mba.”120
Penulis juga menanyakan kepada konselor D mengenai hal serupa,
Broh Taufan:
“perbedaan pendapat sering terjadi di dalam kegiatan lecture group dimana dalam kegiatan itu banyak perbedaan pendapat hal ini tentu diperbolehkan karena pasien memang harus berperan aktif didalam lingkungannya”.121 Dari pemaparan kedua informan diatas dapat di lihat bahwa di
dalam menjalankan kegiatan yang ada pada program TC pasien pun sering
berbeda pendapat antara pasien satu dengan pasien lainnya. Kegiatan
lecture group merupakan kegiatan yang di dalamnya berisi seminar yang
berhubungan dengan adiksi. Dalam hal ini biasanya pasien sering berdebat
karena pengetahuannya yang lebih antara pasien satu dengan pasien
lainnya. Tetapi cara pengungkapannya tidak emosional melainkan dengan
cara memberi tahu kepada pasien lainnya. Dalam hal ini pertikaian dengan
perbedaan pendapat diperbolehkan karena pasien memang dituntut untuk
berperan aktif di dalam lingkungannya dalam menjalankan berbagai
kegiatan yang ada di dalam program TC. Kegiatan tersebut dapat menjadi
wadah untuk mengembangkan prilaku pasien yang awalnya pasif menjadi
lebih aktid di lingkungannya.
Dari hasil observasi yang penulis lakukan dalam kegiatan lecture
group pada hari senin pukul 11.30 WIB, ada perbedaan pendapat antara
informan D dan juga G (pasien lain di fase primary). Dalam kegiatan kali
ini informan D terlihat menentang pendapat dari G karena menurut
120 Wawancara Pribadi dengan Informan D, Jakarta 15 Agustus 2014. 121 Wawancara Pribadi dengan Konselor Broh Taufan, Jakarta 13 Agustus 2014.
94
informan D pendapatnya kurang masuk diakal. Dalam sesi kali ini
membahas tentang bagaimana penanganan seorang pecandu yang
mengalami depresi. Menurut pendapat G pecandu yang mengalami hal
tersebut hendaknya tidak direhabilitasi tetapi dengan penanganan keluarga
saja. Informan D pun langsung menentang pendapat dari G karena
menurutnya pecandu yang seperti itu lebih baik di rehabilitasi karena
dengan begitu pasien agar bisa melupakan kejadian-kejadian yang lalu
yang membuatnya menjadi depresi. Dalam hal ini terlihat bagaimana
berbedaan pendapat antara informan D dan juga pasien G, tetapi walupun
mereka berbeda pendapat masih bisa diselesaikan dengan cara yang baik
atau tidak emosional.122
Dalam hal ini penulis juga menanyakan bagaimana perasaan
informan pada saat perbedaan pendapat dengan pasien lain, informan D:
“perasaan saya sih biasa aja, kalo saya tau itu tidak benar yaa saya harus menentang pendapat pasien lain”.123
Penulis juga menanyakan hal yang sama kepada konselor dari
infroman D, Broh Nasrul:
“perbedaan pendapat sering terjadi, dalam hal ini saya tidak akan menyalahkan klien”.124
Dari pemaparan kedua informan tersebut dapat di lihat bahwa
perbedaan pendapat sering terjadi di dalam berbagai kegiatan, Broh Nasrul
selaku konselor tidak akan menyalahkan informan karena informan
menentang pendapat pasien lain. Asal itu di lakukan dengan cara yang
benar atau tidak dengan cara yang emosional.
122 Hasil Observasi dalam Kegiatan Lecture Group, Jakarta Agustus 2014. 123 Wawancara Pribadi dengan Informan D, Jakarta 08 Agustus 2014. 124 Wawancara Pribadi dengan Konselor Broh Nasrul, Jakarta 13 Agustus 2014.
95
Selain lecture group perbedaan pendapat juga sering terjadi di
dalam confrontation group, seperti yang di ungkapkan salah satu
informan, Informan R:
“perbedaan pendapat juga sering terjadi di dalam kegiatan confrontation, dalam hal ini sering terjadi karena pembahas layak atau tidaknya pasien yang melakukan permohonan di setujui”.125
Penulis juga menanyakan mengenai hal serupa kepada konselor
pribadi informan R, Broh Taufan:
“confrontation merupakan kegiatan yang di dalamnya sering terjadi perbedaan pendapat antara pasien satu dengan pasien lainnya”.126
Dari pemaparan kedua informan tersebut dapat diketahui bahwa
dalam kegiatan lecture group bisa menimbulkan pertikaian karena
perbedaan pendapat antara pasien yang satu dengan pasien yang lainnya.
Dalam hal ini peran ketua kelompok sangat penting karena agar dapat
melerai jika pertiakain terjadi. Pertikaian dalam hal ini tidak menggunakan
emosi, pertikaian terjadi karena menentang pihak lawan untuk memenuhi
tujuannya yakni informan dapat ikut andil di dalam berbagai kegiatan
dengan mengeksplorasikan dirinya.
Pertikaian sengaja diperbolehkan dalam berbagai kegiatan
misalnya berbedaan pendapat antara pasien satu dengan pasien lainnya.
Hal itu dikarenakan pihak konselor mengingkan agar pasien dapat
mengungkapkan pendapatnya dengan cara menentang pendapat orang lain
tetapi masih dalam koridor atau tidak menggunakan kekerasan. Berikut
125 Wawancara Pribadi dengan Inforam R, Jakarta 12 Agustus 2014. 126 Wawancara Pribadi dengan Konselor Broh Taufan, Jakarta 13 Agustus 2014.
96
kutipan wawancara yang penulis lakukan dengan kepala unit rehabilitasi,
Broh Okto:
“dalam berbagai kegiatan pertikaian memang sengaja di perbolehkan misalnya dengan berpedaan pendapat dalam menjalankan kegiatan yang ada di dalam program TC. Kami sebagai konselor memang sengaja memperbolehkan pasien melakukan hal tersebut agar pasien lebih bisa mengeksplorasikan dirinya dan lebih peka terhadap keluarganya sendiri (pasien lainnya) dalam hal ini pasien memang dituntut untuk bisa aktif di dalam lingkungannya”.127
Dari pemaparan informan diatas dapat diketahui bahwa dalam
berbagai kegiatan yang ada di dalam program TC, pertikaian memang
sengaja di perbolehkan misalnya dengan perbedaan pendapat antara pasien
satu dengan pasien lainnya tetapi dengan cara tidak emosional. Hal
tersebut dikarenakan agar pasien lebih perduli terhadap pasien lainnya atau
lingkungannya dan juga pasien dapat mengeksplorasikan pendapat dirinya
dengan cara yang baik di dalam lingkungannya.
d. Akomodasi (accomodation)
Bentuk terakhir dari interaksi sosial adalah akomodasi yang
merupakan suatu keadaan dimana suatu pertikaian atau konflik, mendapat
penyelesaian sehingga terjalin kerja sama yang baik kembali.
Dari keterangan yang diberikan oleh semua informan di dalam fase
primary akomodasi berlangsung jika pertikaian sudah tidak bisa dilerai
oleh sesama pasien atau ketua kelompok melainkan harus dengan mayor
yang bertugas. Semua informan pun sering mengalami pertikaian dalam
kegiatan sehari-hari tetapi jika sampai mayor yang bertugas turun langsung
127 Wawancara Pribadi dengan Broh Okto Selaku Kepala Konselor di Unit Rehabilitasi
Halmahera House, Jakarta 18 Agustus 2014.
97
untuk menyelesaikan pertikaian semua informan tidak pernah
mengalaminya.
Berikut kutipan wawancara yang penulis lakungan dengan salah
satu informan, Informan R:
“pertikaian sering terjadi tetapi masih bisa diselesaikan dengan sesama pasien atau ketua kelompok, tetapi jika pertikaian sudah tidak bisa diselesaikan dengan ketua kelompok maka ketua kelompok akan menyerahkan kepada mayor atau staff yang bertugas”.128
Penulis juga menanyakan hal yang sama kepada konselor R, Broh
Tuafan:
“pertiakain memang sering terjadi tetapi masih bisa diselesaikan dengan sesama pasien atau dengan ketua kelompok. Jika memang tidak bisa maka diserahkan kepada mayor yang bertugas”.129
Dari hasil pemaparan kedua informan diatas dapat di lihat bahwa
pertikaian memang sering terjadi antara pasien satu dengan pasien lainnya
tetapi masih bisa diselesaikan dengan sesama pasien atau ketua kelompok.
Pertikaian yang terjadi dapat diselesaikan dengan cara yang baik. Dalam
hal ini pasien dapat menjalin kerja sama yang baik kembali.
Dari observasi yang dilakukan penulis terhadap kegitan encounter
akomodasi dilakukan oleh COD atau Chief yang bertugas sebagai
pelerainya dan ketika pertikaian mereka sudah diselesaikan hubungan
mereka pun langsung kembali membaik. Terlihat ketika Chief melerai
pertikaian antara informan R dan pasien S, dengan cara memberitahu
bahwa mereka adalah keluarga jadi tidak boleh ada pertikaian yang
128 Wawancara Pribadi dengan Informan R, Jakarta 12 Agustus 2014. 129
Wawancara Pribadi dengan Konselor Broh Taufan, Jakarta 13 Agustus 2014.
98
berlanjut, mereka semua mempunyai tujuan yang sama jadi tidak boleh
ada yang mengucilkan satu sama lain.
Penulis juga menanyakan kepada informan lain tentang bagaimana
bentuk penyelesaian jika terjadi pertikaian antara pasien satu dengan
pasien lainnya, Informan D:
“ketika terjadi pertikaian, bentuk penyelesaian adalah dengan adanya chief atau ketua kelompok yang bertugas”.130
Penulis juga menanyakan mengenai hal serupa kepada konselor D,
Broh Nasrul:
“jika terjadi pertikaian maka chief akan membantu menyelesaikannya”.131
Dari pemaparan kedua informan tersebut dapat di lihat bahwa jika
ada pertikaian harus langsung di selesaikan dengan bantuan chief atau
ketua kelompok yang sedang bertugas. Sehingga kerja sama dapat terjalin
kembali. Bentuk penyelesaian adalah dengan cara bermusyawarah bersama
pasien lainnya agar pertiakaian yang ada tidak berlanjut sampai keuar
kegiatan.
2. Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial Antar Pasien NAPZA pada Program
Theraputic Community Tahap Fase Re-Entry
a. Kerja Sama
Kerja sama merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang
terjadi antar pasien NAPZA pada program TC. Fase re-entry merupakan
fase kedua yang ada di dalam program TC. Fase re-entry merupakan
pengembangan sikap dan prilaku bertanggung jawab serta mempersiapkan
130 Wawancara Pribadi dengan Informan D, Jakarta 15 Agustus 2014. 131 Wawancara Pribadi dengan Konselor Broh Nasrul, Jakarta 14 Agustus 2014.
99
diri untuk masa depan. Dalam fase ini kerja sama juga di terapkan dalam
fase ini. Berikut kutipan wawancara dari salah satu informan fase re-entry,
Informan W:
“dalam fase ini kerja sama juga dibutuhkan mba, karena kita kan masih dalam kelompok komunitas dan masih mempunyai kepentinga-kepentingan yang sama yakni untuk pemulihan dari ketergantungan”.132
Penulis juga menanyakan hal yang sama kepada konselor dari
informan W, Broh Taufan:
“dalam fase ini kerja sama diterapkan dalam berbagai kegiatan yang ada di dalam program TC. Kita kan bersifat komunitas jadi tetap harus ada kerja sama”.133
Dari hasil pemaparan kedua informan tersebut dapat diketahui
bahwa dalam fase re-entry juga tetap di butuhkan kerja sama antara pasien
satu dengan pasien lainnya. Karena pada dasarnya pasien satu dan pasien
laiinnya mempunyai kepentingan yang sama yakni untuk bisa sembuh dari
ketergantungannya terhadap NAPZA. Dalam hal ini seluruh pasien
mempunyai kesadaran bahwa kerja sama yang saat ini di lakukan bersama
pasien lainnya akan membawa manfaat dikemudian hari.
Dalam fase ini kerja sama yang di lakukan antara pasien adalah
dengan tetap menjalankan kegiatan secara bersama-sama, seperti yang
oleh kepala konselor di unit rehabilitasi, Broh Okto:
“dalam fase ini kerja sama tetap di lakukan, pasien tetap menjalankan kegiatan secara bersama-sama dengan pasien lainnya. Kegiatan yang di lakukan akan bermanfaat bagi kehidupan kedepan”.134
132 Wawancara Pribadi dengan Informan W, Jakarta 07 Agustus 2014. 133 Wawancara Pribadi dengan Konselor Broh Taufan, Jakarta 13 Agustus 2014. 134
Wawancara Pribadi dengan Broh Okto Selaku Kepala Konselor di Unit Rehabilitasi Halmahera House, Jakarta 18 Agustus 2014.
100
Dari hasil kutipan wawancara yang penulis lakukan dengan kepala
unit rehabilitasi Halmahera House dapat di lihat bahwa pada fase ini kerja
sama juga penting di lakukan antara pasien satu dengan pasien laiinya,
karena sifatnya masih komunitas atau sebuah team dimana di dalamnya
seluruh pasien harus bekerja sama dengan pasien lainnya agar semua
kegiatan yang ada di dalam program TC dapat berjalan dengan baik.
Dalam hal ini kerja sama di jalankan dengan baik antara pasien
satu dengan pasien lainnya. Kerja sama di lakukan dalam berbagai
kegiatan yang di dalam program TC. Hal tersebut bisa di lihat dari kutipan
wawancara yang penulis lakukan dengan salah satu pasien re-entry,
Informan AM:
“kerja sama di lakukan dalam berbagai kegiatan di dalam program TC”.135
“kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama adalah function dan group”.136
Penulis juga menanyakan hal yang sama kepada konselor dari
informan AM, Broh Latif:
“kerja sama yang di lakukan dalam berbagai kegiatan yang ada di program TC, salah satunya adalah function dan group”.137
Dari pemaparan kedua informan di atas dapat diketahui bahwa
kerja sama dilakukan dalam berbagai kegiatan. Salah satunya adalah
function, function merupakan kegiatan rutin yang dilakukan setiap hari
pada pagi hari dan sore hari. Kegiatan ini bertujuan untuk mengajarkan
pasien untuk hidup lebih bersih dan teratur. Tentu saja kegiatan ini akan
bermanfaat untuk kehidupan pasien yang akan datang. Dalam kegiatan ini
135 Wawancara Pribadi dengan Informan AM, Jakarta 10 Jakarta 2014. 136 Wawancara Pribadi dengan Informan AM, Jakarta 10 Jakarta 2014. 137 Wawancara Pribadi dengan Konselor Broh Latif, Jakarta 13 Agustus 2014.
101
pasien harus bekerja sama dengan pasien lainnya karena dalam kegiatan
ini tidak bisa di lakukan secara sendiri-sendiri melainkan harus
berkordinasi antar pasien agar pembagian tugas bersih-bersih bisa adil dan
tidak pilih-pilih. Dalam kegiatan ini peran chief atau ketua kelompok juga
penting karena agar pembagian tugas merata agar kegiatan tersebut bisa
berjalan dengan baik.
Dari hasil observasi yang penulis lakukan dalam kegiatan function
pada fase re-entry memang kegiatan di jalankan secara bersama-sama.
Kegiatan tidak bisa dilakukan secana individu atau sendiri, dalam kegiatan
ini penulis melihat chief atau ketua kelompok membagikan tugas kepada
kelompok-kelompok kecil yang ada fase re-entry agar kegiatan function
bisa berjalan dengan baik. Hal tersebut tentu akan mempunyai manfaat
bagi pasien di kemudian hari, agar pasien bisa lebih bersih dan teratur di
kehidupannya.138
Selain function kerja sama yang di lakukan antara pasien satu
dengan pasien lainnya adalah tentang pekerjaan. Dalam fase ini pasien
sudah di perbolehkan untuk keluar rehabilitasi dengan melaksanakan
aktifitas-aktifitas lain di luar misalnya dengan bekerja. Dalam hal ini
pasien juga bekerja sama untuk mendapatkan pekerjaan bersama pasien
lainnya. Hal tersebut dapat di lihat dari wawancara yang informan lakukan
dengan Informan W:
“dalam hal mencari pekerjaan juga saya bekerja sama dengan pasien O (pasien lain di fase re-entry), saya dan dia sama-
138 Hasil Observasi Pribadi dalam Kegiatan Function, Jakarta Agustus 2014.
102
sama bekerja sama untuk mendapatkan pekerjaan di tempat yang sama.”139
Pernyataan tersebut di dukung oleh konselor dari informan W,
Broh Taufan:
“klien juga melakukan kerja sama dengan si O, klien dan O bekerja sama dengan mencari pekerjaan secara bersama-sama di tempat yang sama”.140
Dari pemaparan kedua informan tersebut dapat dilihat bahwa kerja
sama terjadi bukan hanya dalam berbagai kegiatan tetapi juga terjadi
antara pasien satu dengan pasien lainnya. Dalam hal ini informan W
bekerja sama dengan pasien O dalam hal mencari pekerjaan. Informan W
bersama-sama pasien O mencari pekerjaan di tempat yang sama. Kerja
sama ini berlangsung karena adanya kepentingan-kepentingan antara
informan W dengan pasien O tujuan agar mendapatkan pekerjaan. Hal
tersebut tentu akan bermanfaat bagi keduanya di kehidupan yang akan
datang.
Saat menjalani kerja sama semua informan tidak mengalami
banyak kendala hanya saja pasien terkadang kesal jika salah satu pasien
yang sulit untuk di atur oleh pasien lainnya. Hal tersebut dapat di lhat dari
kutipan wawancara yang penulis lakukan dengan informan AM:
“saat menjalin kerja sama dengan yang lain sebenarnya ga begitu susah tetapi kendalanya kalo ada pasien lain yang susah untuk di atur dan ga bisa untuk di kasih tau padahal kan tujuan kita disini sama”.141
Pernyataan tersebut di dukung dengan salah satu informan lainnya
dalam fase re-entry, Informan W:
139 Wawancara Pribadi dengan Informan W, Jakarta 07 Agustus 2014 140 Wawancara dengan Konselor Broh Taufan, Jakarta 13 Agustus 2014 141 Wawancara Pribadi dengan Informan AM, Jakarta 10 Agustus 2014.
103
“kerja sama yang saya lakuin selama ini bersama pasien lain sih tidak sulit mba, apalagi kan kita sudah fase re-entry jadi prilaku kita juga berubah jadi lebih baik. Hanya saja ada kendala jika kita bekerja sama dengan pasien yang sulit untuk di atur”.142
Dari pemaparan kedua informan tersebut dapat di lihat bahwa
dalam menjalin kerja sama dengan pasien lainnya juga terdapat berbagai
kendala yakni jika ada salah satu pasien yang sulit untuk di atur dan di
beritahu, hal tersebut tentu akan mengganggu kerja sama yang akan di
lakukan di setiap kegiatan.
b. Persaingan
Dalam fase ini persaingan jarang terjadi hanya saja kegiatan yang
menimbulkan persaingan hanya pada saat olah raga pada sore hari. Berikut
kutipan wawancara yang penulis lakukan dengan informan W:
“persaingan antara individu-individu gitu mah ga ada paling ada persaingan kelompok pas olah raga”.143
Penulis juga menanyakan hal serupa kepada konselor informan,
Broh Taufan:
“dalam fase ini tidak ada persaingan antara pasien satu dengan pasien lainnya, tapi kalo kelompok sih persaingan dalam kegiatan olah raga gitu”.144
Dari hasil pemaparan kedua informan tersebut dapat di lihat bahwa
kegiatan olah raga adalah wadah bagi para pasien agar bisa bersaing secara
sehat atau tidak saling menjatuhkan satu sama lain. Kegiatan tersebut
sengaja di lakukan agar bisa bersaingan dengan pasien lainnya secara sehat
atau sekurang-kurangnya tidak emosional. Tujuan dari persaingan tersebut
142
Wawancara Pribadi dengan Informan W, Jakarta 07 Agustus 2014. 143 Wawancara Pribadi dengan Informan W, Jakarta 07 Agustus 2014. 144 Wawancara dengan Konselor Broh Taufan, Jakarta 13 Agustus 2014.
104
adalah pasien di ajarkan untuk berusaha untuk bisa lebih dari pada yang
lainnya.
Dari hasil observasi yang penulis lakukan dalam kegiatan olah
raga, kegiatan tersebut memang sengaja di adakan oleh konselor karena
agar dapat melatih pasien hidup sehat selain itu pasien juga di ajarkan
bagaimana melakukan persaingan terhadap keluarga mereka sendiri namun
tidak saling menjatuhkan satu sama lain. Dalam kegiatan ini kelompok
primary melawan pasien re-entry, dalam permainan ini kedua kelompok
sangat antusias untuk memenangkan permainan tersebut. penulis melihat
bagaimana pasien primary berjuang untuk memenangkan permainan
tersebut.145
Selain di dalam kegiatan olah raga persaingan sering terjadi antara
pasien satu dengan pasien lainnya. Persaingan tersebut terjadi karena
perebutan pekerjaan. Hal tersebut dapat di lihat dari kutipan wawancara
yang penulis lakukan dengan Informan AM:
“iya sering terjadi persaingan kalo soal pekerjaan, karena pada fase ini kan sudah di perbolehkan untuk bekerja jadi kalo salah satu pasien yang sudah mendapatkan pekerjaan ada saja pasien lain yang ikut-ikutan pengen kaya pasien tersebut”.146
Pernyataan tersebut juga di dukung oleh konselor dari informan
AM, Broh Latif:
“iya persaingan dalam hal pekerjaan juga ada, jadi kalo ada salah satu pasien yang sudah bekerja pasien lain suka iri”.147
Dari pemaparan kedua informan tersebut dapat di lihat bahwa
persaingan terjadi tidak hanya antara kelompok dengan kelompok namun
145 Hasil Observasi dalam Kegiatan Olah Raga, Jakarta Agustus 2014. 146 Wawancara Pribadi dengan Informan AM, Jakarta 10 Agustus 2014. 147 Wancara dengan Konselor Broh Latif, Jakarta 13 Agustus 2014.
105
juga ada antara individu dengan individu lainnya. Persaingan individu
dengan individu ini terjadi karena perebutan pekerjaan antara pasien satu
dengan pasien lainnya.
Selain dalam hal pekerjaan persaingan juga terjadi di dalam
berbagai kegiatan yang ada di program TC. Pasien yang belum bekerja
bersaing dengan pasien lainnya untuk menjalankan berbagai kegiatan
dengan lebih baik. Berikut kutipan wawancara dengan salah satu informan
fase re-entry, informan W:
“persaingan sih ada mba, biasanya bersaing untuk lebih baik dalam menjalankan berbagai kegiatan TC agar bisa naik ke tahapan yang berikutnya dan di perbolehkan untuk bekerja”.148
Pernyataan tersebut juga di dukung dengan pernyataan dari
konselor pribadi dari informan W, Broh Tufan:
“persaingan yang saya lihat terjadi dalam beberapa kegiatan karena biasanya pasien akan bersaing dengan pasien lainnya agar bisa naik ke tahapan berikutnya, dengan begitu pasien bisa untuk bekerja jika pasien dengan baik dalam menjalankan berbagai kegiatan”.149
Dari hasil pemaparan kedua informan tersebut dapat dilihat bahwa
persaingan individu antar individu juga terjadi karena adanya keinginan
informan W untuk menjadi yang terbaik di dalam berbagai kegiatan yang
ada di dalam program TC, agar informan W bisa naik ke tahapan
berikutnya. Dengan begitu informan W akan di perbolehkan untuk bekerja.
Dalam hal ini persaingan yang terjadi antara informan W dengan pasien
lainnya di lakukan secara damai dan tidak saling menjatuhkan.
148
Wawancara Pribadi dengan Informan W, Jakarta 07 Agustus 2014. 149 Wawancara Pribadi dengan Konselor Broh Taufan, Jakarta 13 Agustus 2014.
106
Dari hasil observasi yang dilakukan penulis terhadap informan W,
dalam menjalankan berbagai kegiatan informan W memang terlihat ingin
lebih dari teman-teman pasien lain. Terlihat pada
c. Pertikaian
Bentuk ketiga dari interaksi sosial adalah pertikaian, pertikaian
sering terjadi karena perbedaan pendapat antara pasien satu dengan pasien
yang lainnya. Seperti yang telah di jelaskan oleh salah satu informan fase
re-entry, Informan W:
“pertikaian ini sering terjadi karena salah satu pasien yang berbeda pendapat dengan pasien lainnya”.150
Pernyataan tersebut di dukung oleh konselor informan dari W,
Broh Taufan:
“pertikaian sering terjadi di dalam berbagai kegiatan yang di program TC, perbedaan pendapat menjadi salah satu faktor penyebab pertikaian terjadi”.151
Dari hasil pemaparan diatas dapat di lihat bahwa pertikaian sering
terjadi di dalam kegiatan yang ada di dalam program TC, pertikaian
tersebut terjadi karena adanya faktor perbedaan pendapat antara pasien
satu dengan pasien lainnya. Perbedaan pendapat sering terjadi di dalam
kegiatan confrontation group, seperti kutipan wawancara yang penulis
lakukan dengan salah satu informan, Informan AM:
“perbedaan pendapat sering terjadi di dalam kegiatan confrontation, banyak perebedaan pendapat di dalamnya”.152
“confrontation merupakan group yang di buat untuk mempertanggung jawabkan permohonan dia”.153
150 Wawancara Pribadi dengan Informan W, Jakarta 07 Agustus 2014. 151 Wawancara Pribadi dengan Konselor Broh Tufan, Jakarta 13 Agustus 2014. 152
Wawancara Pribadi dengan Informan AM, Jakarta 10 Agustus 2014. 153
Wawancara Pribadi dengan Informan AM, Jakarta 10 Agustus 2014.
107
Pernyataan tersebut di dukung oleh konselor dari informan AM,
Broh Latif:
“kegiatan yang sering menimbulkan perbedaan pendapat adalah confrontation, merupakan komunikasi dasar pada saat pasien menegur, menanyakan, memberi masukan atas prilaku pasien lainnya”.154
Dari pemaparan kedua informan diatas terlihat pertikaian sering
terjadi dalam berbagai kegiatan salah satunya adalah dalam kegiatan
confrontation. Pertikaian dalam hal ini berupa perbedaan pendapat antara
pasien satu dengan pasien lainnya. Dalam kegiatan confrontation pasien
bebas mengungkapkan apa yang menurutnya tidak baik.
Dari hasil observasi yang penulis lakukan dalam kegiatan
confrontation terlihat pertikaian memang terjadi, dalam hal ini pertikaian
terjadi berupa perbedaan pendapat antara informan AM dengan B (pasien
lain di fase re-entry) T merupakan pasien baru di fase re-entry, T membuat
permohonan agar bisa naik ke fase berikutnya. Menurut B pasien T belum
layak untuk naik ke tahapan berikutnya karena T belum mengaplikasikan
yang di dapat pada fase primary, sedangkan informan AM berpendapat
bahwa T sudah layak untuk naik ke tahap berikutnya. Akhirnya perbedaan
pendapat pun dapat terselesaikan oleh chief yang bertugas, chief bertugas
untuk melerai perbedaan pendapat antara informan AM dan B, mereka
memang berbeda pendapat tetapi cara mengeluarkannya tidak dengan cara
yang emosional.
154 Wawancara Pribadi dengan Konselor Broh Latif, Jakarta 13 Agustus 2014.
108
d. Akomodasi
Akomodasi merukapakan bentuk terakhir di dalam interaksi sosial.
Dalam menjalankan berbagai kegiatan akomodasi sering terjadi.
Akomodasi merupakan suatu keadaan dimana suatu pertikaian atau konflik
mendapat penyelesaian sehingga terjalin kerja sama yang baik kembali.
Dari keterangan yang diberikan oleh semua informan di dalam fase
re-entry akomodasi berlangsung jika pertikaian sudah tidak bisa dilerai
oleh sesama pasien melainkan harus dengan ketua kelompok atau mayor
yang bertugas. Semua informan pun sering mengalami pertikaian dalam
kegiatan sehari-hari tetapi jika sampai mayor yang bertugas turun langsung
untuk menyelesaikan pertikaian semua informan tidak pernah
mengalaminya.
Berikut kutipan wawancara yang penulis lakungan dengan salah
satu informan, Informan W:
“pertikaian sering terjadi tapi masih bisa diselesaikan dengan sesama pasien atau ketua kelompok”.155
Hal tersebut di dukung oleh pemaparan dari konselor W, Broh
Tuafan:
“pertiakain memang sering terjadi tetapi masih bisa diselesaikan dengan sesama pasien atau dengan ketua kelompok.”156
Dari hasil pemaparan kedua informan diatas dapat di lihat bahwa
pertikaian memang sering terjadi antara pasien satu dengan pasien lainnya
tetapi masih bisa diselesaikan dengan adanya ketua kelompok yang
bertugas. Pertikaian yang terjadi dapat diselesaikan dengan cara yang baik
155 Wawancara Pribadi dengan Informan W, Jakarta 14 Agustus 2014. 156
Wawancara Pribadi dengan Konselor Broh Taufan, Jakarta 13 Agustus 2014.
109
yaitu dengan cara bermusyawarah antara pasien satu dengan pasien
lainnya atau memberi pengertian kepada pasien yang saling berdebat
dengan begitu pasien dapat menjalin kerja sama yang baik kembali.
Dari observasi yang dilakukan penulis terhadap kegitan
confrontation akomodasi dilakukan oleh COD atau Chief yang bertugas
sebagai pelerainya dan ketika pertikaian mereka sudah diselesaikan
hubungan mereka pun langsung kembali membaik. Terlihat ketika Chief
melerai pertikaian antara informan W dan pasien A, dengan cara
memberikan pengertian kepada kedua pasien tersebut.157
Penulis juga menanyakan kepada informan lain tentang bagaimana
bentuk penyelesaian jika terjadi pertikaian antara pasien satu dengan
pasien lainnya, Informan AM:
“ketika terjadi pertikaian, bentuk penyelesaian adalah dengan adanya chief atau ketua kelompok yang bertugas”.158
Penulis juga menanyakan mengenai hal serupa kepada konselor
AM, Broh Latif:
“jika terjadi pertikaian maka ketua kelompok yang bertugas akan membantu menyelesaikannya”.159
Dari pemaparan kedua informan tersebut dapat di lihat bahwa jika
ada pertikaian harus langsung di selesaikan dengan bantuan chief atau
ketua kelompok yang sedang bertugas. Sehingga kerja sama dapat terjalin
kembali. Bentuk penyelesaian adalah dengan cara bermusyawarah bersama
pasien lainnya agar pertiakaian yang ada tidak berlanjut sampai keluar
kegiatan.
157 Hasil Observasi dalam Kegiatan Confrontation, Jakarta Agustus 2014. 158 Wawancara Pribadi dengan Informan AM, Jakarta 10 Agustus 2014. 159 Wawancara Pribadi dengan Konselor Broh Latif, Jakarta 13 Agustus 2014.
110
B. Analisis
1. Interaksi Sosial Antar Paisen NAPZA pada Program Therapeutic
Community di RSKO Jakarta
Bedasarkan hasil temuan data yang penulis lakukan mengenai
interaksi sosial antar pasien NAPZA pada program therapeutic community,
penulis dapat mengetahui bahwa berlangsungnya suatu proses interaksi
sosial didasarkan pada berbagai bentuk di dalam menjalankan program
TC. Maka, untuk dapat melihat gambaran mengenai bentuk-bentuk
interaksi sosial yang terjadi di dalam program TC dapat berjalan dengan
baik atau tidak, penulis menggunakan teori yang dianggap relevan dengan
penelitian ini, yang mana sebagian besar menggunakan teori kelompok
mandiri. Teori kelompok mandiri menekankan pada pengakuan para
anggota terhadap kelompok bahwa dirinya memiliki masalah (dapat dilihat
pada bab 4 hal, 76) Dalam hal ini, pengguna NAPZA dapat menceritakan
pemasalahannya kepada kelompok mengenai kecanduannya terhadap
NAPZA dan pasien lainnya yang sudah menjalani pemulihan juga dapat
membagi pengalamannya di masa lalu untuk bersama-sama membuat
suatu perencanaan di masa depan bagi pasien yang masih membutuhkan
pertolongan. Pasien yang merasa dirinya bermasalah akan mendapatkan
manfaat berdasarkan prinsip-prinsip terapi, seperti berbagai macam
kegiatan yang di jalankan, saran, nasehat, dsb serta pasien lain yang
menolong pun juga akan mendapatkan kepuasan psikologis karena telah
menolong orang lain, seperti yang dijelaskan dalam teori kelompok
mandiri bab 2 (h. 47).
111
Dari beberapa bentuk interaksi sosial yang ada di dalam program
TC tersebut dapat dianalisis bahwa:
a. Kerja Sama
Berdasarkan hasil temuan lapangan penulis, kerja sama yang
dilakukan antar pasien NAPZA pada program TC awalnya sulit terjadi
karena pasien yang belum bisa menerima keberadaannya untuk
mengikuti program TC sebagaimana yang sudah dijelaskan oleh
informan R (dapat dilihat pada bab 4, h. 78). Dalam hal ini konselor
sangat berperan penting dalam merubah kebiasan pasien, karena
konselor akan memberikan penyadaran kepada pasien bahwa prilaku
atau kebiasaan pasien harus dirubah. Kerja sama dilakukan dalam
berbagai kegiatan untuk mencapai suatu tujuan yakni pulih dari
ketergantungan terhadap NAPZA. TC merupakan suatu kelompok
yang seluruh kegiatannya harus dilakukan secara bersama-sama
dengan saling bekerja sama satu sama lain sebagaimana yang sudah
dijelaskan oleh broh Taufan (dapat dilihat pada bab 4, h. 80). Kerja
sama yang dilakukan antara pasien satu dengan pasien lainnya dalam
berbagai kegiatan yang ada pada program TC meliputi, Function,
morning meeting, serta berbagai group yang ada.
Berbagai kegiatan yang dijalankan pasien diatas tentunya dapat
menciptakan suatu edukasi yang mana dapat merubah tingkah laku
para pasien dari tingkah laku yang negatif menuju tingkah laku yang
positif. Memberikan pengetahuan kepada pasien melalui adanya
kegiatan seperti function, morning meeting, serta group agar bisa
112
terbebas dari ketergantungan mereka terhadap NAPZA. Hal tersebut
tentu sudah menjadi satu contoh dimana para pasien secara tidak
langsung mendapatkan pelatihan untuk menjadi pribadi yang jauh
lebih baik kelak, sebagaimana yang terdapat dalam definisi teori
kelompok pendidikan (dapat dilihat pada bab 2, h. 37). Kerja sama
tersebut juga diterapkan oleh semua informan, salah satunya ialah
informan R yang mana dirinya menyadari bahwa kegiatan yang di
jalankan secara bersama-sama akan bermanfaat dikehidupannya kelak.
Kerja sama yang dilakukan adalah dengan cara saling membantu serta
saling menolong satu sama lain di dalam berbagai kegiatan (dapat
dilihat pada bab 4, h. 80). Hal ini telah membuktikan bahwa kerja
sama yang di lakukan dengan saling tolong menolong dalam berbagai
kegiatan yang di jalankan pasien bersama pasien lainnya mempunyai
tujuan dan akan bermanfaat bagi semua, sebagaimana yang dijelaskan
oleh Soerjono Soekanto bab 2, no.3 (h. 49).
b. Persaingan
Berdasarkan hasil temuan lapangan penulis, dalam
menjalankan pemulihan sebagai pasien sebenarnya persaingan tidak
boleh terjadi tetapi dalam hal ini konselor sengaja memberikan
kegiatan agar pasien dapat menumbuhkan persaingan yang ada di
dalam dirinya secara sehat sebagaimana yang telah dijelaskan oleh
broh Okto selaku kepala konselor di unit rehabilitasi Halmahera House
Jakarta (dapat dilihat pada bab 4, h. 86). Persaingan dalam hal ini
terjadi antara kelompok dan kelompok, antara kelompok primary dan
113
re-entry dalam kegiatan ini pasien dapat mengetahui bahwa persaingan
tidak hanya berarti negatif tetapi juga dapat berarti positif dengan
bersaing terhadap yang lain namun secara damai dan tidak saling
menjatuhkan (dapat dilihat pada bab 2, h. 30). Persaingan yang di buat
oleh konselor berupa adanya kegiatan yang ada pada sore hari dengan
melakukan permainan sepak bola antara pasien primary dan juga
pasien re-entry. Pada kegiatan tersebut terlihat adanya persaingan
antara kelompok primary dan juga kelompok re-entry yang sangat
antusias untuk memenangkan permainan tersebut. Dalam kegiatan
tersebut tentu dapat membangun rasa kepercayaan diri pasien untuk
dapat memenangkan permainan tersebut terhadap pasien lainnya
karena dalam hal ini pasien lain akan berperan sebagai lawan.
Disamping itu kegiatan olah raga ini tidak hanya membantu pasien
untuk hidup sehat, namun juga dapat melekatkan hubungan antara
pasien dengan kelompoknya yang mana dapat membantu pasien agar
bisa menjalankan pemulihannya dengan baik.
c. Pertikaian
Berdasarkan hasil temuan penulis, pertikaian sering terjadi di
dalam interaksi sosial antara pasien satu dengan pasien lainnya.
Pertikaian yang terjadi biasanya karena ada salah satu pasien yang sulit
untuk diberitahu oleh pasien lainnya sebagaimana yang telah
dijelaskan oleh informan D (dapat dilihat pada bab 4, h. 89), padahal
hal tersebut dilakukan oleh pasien lain agar pasien dapat mempunyai
prilaku yang lebih baik. Bentuk pertikaian yang terjadi dalam berbagai
114
kegiatan yang ada pada program TC biasanya karena perbedaan
pendapat antara pasien satu dengan pasien lainnya namun dalam hal ini
pertikaian bisa diselesaikan dengan cara bermusyawarah, sebagaimana
yang terdapat dalam pengertian pertikaian pada bab 2 (h. 30).
Berbagai kegiatan yang ada di dalam program TC dapat
menjadi wadah untuk pasien dalam mengeluarkan pendapatnya. Salah
satu kegiatan yang sering menimbulkan pertikaian adalah kegiatan
encounter (dapat dilihat pada bab 4, h. 91), dalam kegiatan ini dapat
terlihat adanya proses perdebadatan antara pasien satu dengan pasien
lainnya untuk memecahkan suatu permasalahan. Pasien akan
diperbolehkan mengeluarkan pendapatnya masing-masing dengan cara
mengeluarkannya di dalam berbagai kegiatan yang telah disediakan hal
ini dapat menjadi suatu solusi dalam mengembangkan prilaku pasien
yang tadinya pasif menjadi lebih aktif di dalam lingkungannya agar
suatu saat mereka bisa berfungsi dalam memberdayakan diri mereka
melalui kelebihan yang dimiliki, sebagaimana yang telah dijelaskan
pada bentuk teori kelompok pemecahan masalah dan pembuatan
keputusan pada bab 2 (h. 38). Teori kelompok pemecahan masalah ini
melibatkan penerima pelayanan dan pemberi pelayanan, dimana dalam
hal ini pasien yang mempunyai masalah sebagai penerima pelayanan
dapat menemukan suatu solusi untuk bisa memecahkan permasalahan
yang dihadapinya. Sedangkan bagi para pemberi pelayanan yakni
konselor telah menjadikan kegiatan encounter sebagai sarana para bagi
para pasien untuk dapat membantu pasien lainnya dengan
115
mengeluarkan pendapatnya agar pasien dapat berperan aktif di dalam
menjalankan berbagai kegiatan pada program TC.
d. Akomodasi
Berdasarkan hasil temuan lapangan penulis, akomodasi juga
sering terjadi dalam berbagai kegiatan yang ada di dalam program TC,
dalam hal ini akomodasi adalah suatu kedaan dimana suatu pertikaian
atau konflik dapat diselesaikan. Dalam menjalankan berbagai kegiatan
pasien tidak luput dari pertikaian dengan pasien lainnya, dengan begitu
akomodasi sangat penting karena sebagai wadah untuk menyelesaikan
pertikaian yang terjadi dan dapat membangun kerja samanya kembali.
Hal ini dapat di lihat dari berbagai kegiatan yang dijalani pasien,
kegiatan tersebut salah satu nya adalah kegiatan encounter dimana
dalam kegiatan tersebut pertikaian dengan bentuk perbedaan pendapat
sering terjadi. Dalam hal ini chief atau ketua kelompok yang bertugas
akan berperan sangat penting dalam hal akomodasi, karena lewat
dirinyalah akomodasi dapat terjadi. Dapat di lihat dalam kegiatan
primary ketika Chief melerai pertikaian antara informan R dan pasien
S karena perbedaan pendapat, dengan cara memberitahu bahwa mereka
adalah keluarga jadi tidak boleh ada pertikaian yang berlanjut, mereka
semua mempunyai tujuan yang sama untuk sama-sama dapat pulih dari
ketergantungan jadi tidak boleh ada yang mengucilkan pasien satu
dengan pasien lainnya (dapat dilihat pada bab 4, h. 98). Selain itu
dalam fase re-entry akomodasi juga sangat diperlukan karena tidak
dipungkiri pertikaian dengan perbedaan pendapat dalam fase ini juga
116
sering terjadi. Dapat di lihat dari kegiatan confrontation akomodasi
dilakukan oleh COD atau Chief yang bertugas sebagai pelerainya dan
ketika pertikaian mereka sudah diselesaikan hubungan mereka pun
langsung kembali membaik. Terlihat ketika Chief melerai pertikaian
antara informan W dan pasien A, dengan cara memberikan pengertian
kepada kedua pasien tersebut (dapat dilihat pada bab 4, h. 109). Hal
tersebut membuktikan bahwa adanya ketua kelompok dalam kegiatan
econfrontation dapat melerai suatu pertikaian dan mendapatkan
penyelesaian sebagaimana telah dijelaskan oleh Soerjono Sokeanto
pada bab 2 (h. 31).
117
BAB V
PENUTUP
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui interaksi sosial yang terjadi
antar pasien NAPZA pada program therapeutic community. Penelitian ini
dilakuakan di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta. Interaksi Sosial disini
mencangkup pada bentuk-bentuk interaksi sosial, bentuk-bentuk interaksi sosial
meliputi kerja sama, persaingan, pertikaian dan akomodasi yang mempengaruhi
interaksi sosial mereka.
A. Kesimpulan
Setelah menyelesaikan penelitian tersebut penulis dapat
menyimpulkan bahwa berlangsungnya suatu proses interaksi sosial
didasarkan pada berbagai bentuk di dalam menjalankan program
therapeutic community. Maka, untuk dapat melihat gambaran tentang
bentuk-bentuk interaksi sosial antar pasien NAPZA pada program TC,
penulis menggunakan teori yang dianggap relevan dengan penelitian ini,
yang mana sebagian besar menggunakan teori kelompok mandiri. Teori
kelompok mandiri menekankan pada pengakuan para anggota terhadap
kelompok bahwa dirinya memiliki masalah. Dalam hal ini, pengguna
NAPZA dapat menceritakan pemasalahannya kepada kelompok mengenai
kecanduannya terhadap NAPZA dan pasien lainnya yang sudah menjalani
pemulihan juga dapat membagi pengalamannya di masa lalu untuk
bersama-sama membuat suatu perencanaan di masa depan bagi pasien
yang masih membutuhkan pertolongan. Hal tersebut tentu akan dapat
118
mempengaruhi interaksi sosial yang akan dijalankan pasien NAPZA pada
program therapeutic commmunity dalam proses pemulihan. Dan bentuk-
bentuk interaksi sosial antar pasien NAPZA pada program therapeutic
community di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta sebagai berikut:
a. Kerja Sama
Bentuk interaksi sosial antar pasien NAPZA yang pertama
adalah kerja sama, kerja sama dilakukan dalam berbagai kegiatan
baik yang terjadwal maupun yang tidak terjadwal. Kerja sama
dilakukan dengan sesama pasien, konselor maupun orang lain.
Bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pasien adalah dengan
saling tolong menolong satu sama lain, memberi tahu akan
kesalahan yang dilakukan pasien lain dan begitu juga sebaliknya.
Itu semua dilakukan semata-mata demi tujuan bersama yaitu pulih
dari ketergantungan terhadap NAPZA dan juga merubah tingkah
laku yang negatif menjadi tingkah laku yang positif. Dengan
bekerja sama antara pasien satu dengan pasien lainnya kegiatan
yang dijalankan pada program TC akan menjadi lebih baik
sehingga interaksi yang dilakukan pasien satu dengan pasien
lainnya juga akan menjadi lebih baik. Selain itu pasien akan
menjadi lebih fokus dalam menjalankan pemulihannya, karena
dalam hal ini pasien tidak bisa melakukan berbagai kegiatan
dengan sendiri membutuhkan kerja sama dengan saling tolong
menolong antara pasien satu dengan pasien lainnya agar kegiatan
yang dijalankan bisa berjalan dengan baik, dengan begitu proes
119
pemulihan yang dijalankan akan berjalan dengan baik. Sikap saling
tolong menolong satu sama lain akan mempengaruhi interaksi
sosial yang dilakukan pasien di dalam menjalankan berbagai
kegiatan yang ada pada program TC, sehingga ketika pasien sudah
keluar pasien bisa mengaplikasikan sikap tolong menolong baik di
lingkungan keluarga, teman maupun masyarakat.
b. Persaingan
Bentuk interaksi yang kedua adalah persaingan, persaingan
ini terjadi di dalam kegiatan yang ada pada program therapeutic
community. Ada dua macam persaingan yang terjadi, yang
pertama antara individu dengan individu dan yang kedua adalah
kelompok dengan kelompok. Persaingan individu disini biasanya
terjadi karena mereka berpikir siapa yang bisa menjadi jauh lebih
baik dalam menjalankan berbagai kegiatan setiap harinya karena
dengan begitu mereka bisa cepat untuk naik ke fase yang
berikutnya sedangkan persaingan kelompok biasanya terjadi
karena mereka mengikuti permainan pada saat sore hari dan
mengharuskan mereka untuk bersaing secara sehat. Dengan
bersaing pasien akan menggali potensi yang ada di dalam dirinya
masing-masing. Seperti halnya persaingan kelompok dengan
kelompok, yang terjadi antara kelompok pasien fase primary
melawan kelompok pasien re-entry pada saat kegiatan sore hari
yakni bermain sepak bola, dalam hal ini pasien harus menjadi
sebuah team yang saling bekerja sama antara pasien satu dengan
120
pasien lainnya untuk memenangkan permainan tersebut. Dengan
kegiatan tersebut dapat menjadi sebuah wadah yang akan
menumbuhkan keinginan pada diri pasien agar dapat mencapai
suatu tujuan yang diinginkan. Dan dalam hal ini juga bisa
mengeratkan tali persaudaraan antara pasien dengan kelompoknya
masing-masing sehingga interaksi yang dilakukan pasien dengan
kelompoknya akan menjadi jauh lebih baik.
c. Pertikaian
Bentuk interaksi sosial yang ketiga adalah pertikaian, dalam
menjalankan berbagai kegiatan pasien tidak luput dari berbagai
konflik atau pertikaian. Pertikaian sering terjadi karena adanya
perbedaan pendapat antara pasien satu dengan pasien lainnya,
pertikaian dalam hal ini tentu sangat diperbolehkan karena dengan
perbedaan pendapat antara pasien satu dengan pasien lainnya
membuktikan bahwa pasien telah berperan aktif di dalam
menjalankan berbagai kegiatan pada program TC dan dalam hal ini
dapat menjadi solusi dalam mengembangkan prilaku pasien yang
tadinya pasif didalam lingkungan sekitar menjadi lebih aktif dan
peka terhadap lingkungan sekitarnya. Agar suatu saat ketika keluar
pasien bisa berfungsi dalam memberdayakan diri mereka melalui
kelebihan yang dimiliki.
d. Akomodasi
Bentuk interaksi sosial yang terakhir adalah akomodasi,
dalam menyelesaikan konflik atau pertikaian antar pasien dalam
121
program TC, biasanya dibutuhkan proses akomodasi dengan
bantuan chief atau staff yang bertugas untuk melerai pertikaian
atau konflik yang ada. Dengan adanya proses akomdasi manfaat
yang diterima pasien adalah ketika pasien sedang mengalami
pertikaian antara pasien satu dengan pasien lainnya tidak sampai
berlanjut sampai keluar kegiatan, sehingga kegiatan yang
dijalankan tidak terganggu dan pasien dapat menjalankan kerja
samanya lagi dengan pasien lainnya. Dengan begitu proses
pemulihan yang dijalani akan berjalan dengan baik. dalam hal ini
pasien akan diajarkan bahwa perbedaan pendapat antara satu
pasien dengan pasien lainnnya memang diperbolehkan karena
dengan begitu pasien akan menjadi aktif dan peka terhadap
lingkungannya tetapi dalam hal ini pasien juga akan menjadi tahu
bahwa ketika perbedaan pendapat terjadi harus ada proses
akomodasi agar pertikaian tidak berlanjut. Dengan begitu ketika
pasien keluar dan kembali pada lingkungannya pasien akan
menjadi tahu dalam perbedaan pendapat atau pertikaian proses
akomodasi harus terjadi agar tidak merugikan satu sama lain.
Hal-hal tersebut merupakan bentuk-bentuk yang mendasari
terjadinya proses interaksi sosial antar pasien NAPZA pada
program therapeutic community. Dalam hal ini bentuk interaksi
sosial di jalankan dalam berbagai macam kegiatan yang ada pada
program therapeutic community.
122
B. Saran
Saran untuk pihak-pihak yang terkait:
1. Kepada pasien NAPZA yang mengikuti program therapeutic
community hendaknya lebih bisa mengatur perkataan serta prilaku diri
sendiri agar tidak merugikan pasien lain. Karena jika mereka sulit
untuk diberi tahu oleh pasien lain maka hal tersebut akan
mempengaruhi bentuk interaksi sosial mereka yang diantaranya
adalah proses kerja sama yang dijalankan dalam kegiatan yang ada
pada program therapeutic community.
2. Hendaknya pasien NAPZA melakukan komunikasi yang lebih baik
kepada pasien lain karena dengan begitu dapat mengurangi pertikaian
yang terjadi dalam berbagai kegiatan pada program therapeutic
community. maka kegiatan yang dijalankan akan bisa menjadi lebih
baik lagi.
3. Hendaknya konselor menabah kegiatan yang akan menimbulkan
persaingan antara pasien satu dengan pasien lainnya agar pasien dapat
berfikir dan menggali potensi atau kelebihan yang ada di dalam
dirinya.
123
DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani. Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan. Jakarta: PT Bumi Aksara,
2002.
Adi, Kusno. Diversi Sebagai Upaya Alternative Penanggulangan Tindak Pidana
Narkotika Oleh Anak. Malang: Umum Press, 2009.
A.T, Mapiare Andi. Kamus Istilah Konseling dan Terapi. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2006.
Brooker, Christine. Kamus Saku Keperawatan. Jakarta: EGC, 2001.
Departemen Agama RI. Penyalahgunaan Narkoba Oleh Masyarakat Sekolah.
Jakarta, 2003.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 1998.
Djohan, Bahder. Hubungan Antara Doker, Perawat, dan Pasien Dalam
Pembangunan Mental Bangsa Kita. Jakarta: PT Sinar Hudaya, 1972.
Gerungan, W.A. Psikologi Sosial. Bandung: Eresco, 1987.
Hawari, Dadang. AL-QUR’AN Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa.
Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2004.
Joewana, Satya. Gangguan Penggunaan Zat: Narkotika, Alkohol dan Zat Adiktif
Lain. Jakarta: PT Gramedia, 1989.
Kadarmata, A. Narkoba Pembunuh Karakter Bangsa. Jakarta: Forum Media
Utama, 2010.
Lutfi, M. Dasar-Dasar Bimbingan Penyuluhan (Konseling) Islam. Jakarta:
124
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008.
Makarao, Taufik. dkk. Tindak Pidana Narkotika. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007.
Mayor, Polak. Sosiologi Suatu Buku Pengantar Ringkas. Jakarta: PT Ikhtiar,
1979.
Moelong, Lexy. J. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Cet ke-15. Bandung: PT
Remaja Rosda Karya, 2001.
Moelong, Lexy.J. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Rosda Karya,
2006.
Narwoko, J. Dwi dan Suyanto, Bagong. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan.
Jakarta: Kencana, 2007.
Nawari, Hadari. Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University
Presss, 2005.
Poerwandari, E. Kristi. Pendekatan Kualitatif Dalam Penelitian Psikologi.
Jakarta: LPSP3-UI, 1998. Cet Ke-1.
Razak, Yusran. Sosiologi Sebuah Pengantar Tinjauan Pemikiran Sosiologi
Persepektif Islam. Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008.
Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Sasangka, Hari. Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana.
Jakarta: Mandar Maju, 2003. Cet Ke-1.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002. Ed. Baru, Cet Ke 34.
Sumpramono, Gatot. Hukum Narkoba Indonesia. Jakarta: Djambatan, 2007.
Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi Edisi Revisi. Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004.
Warjowarsito, S dan W, Tito. Kamus Lengkap Bahasa Inggris-Indonesia,
Indonesia-Inggris. Bandung, 1998.
125
Weller, Barbara F. Kamus Saku Perawat. Jakarta: EGC, 2005.
Widjono, Erwin. dkk. Buku Pedoman Diagnosa dan Terapi Korban Narkotika
Untuk Dokter Umum dan Petugas Kesehatan Lainnya. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (DepKes RI), 1980.
Artikel dan Jurnal
Lien, Gouw Aij. “Group Psychotherapies For Subtance Addiction Client In
Therapeutic Community Setting”, Psikomedia. Jurnal Psikologi Marantha
Vol.5, no. 5 (September 2008).
Wendi dan David, “Treating Post-Traumatic Stress Disorder In a Therapeutic
Community: The Experience Of Canadian Psychiatric Hospital,
Therapeutic Community”: The Journal International For Therapeutic
Community and Supportive Organization 21 (2): 105-118 summer 2000.
Website
Astwin, “Pengertian Narkoba,” Artikel ini diakses pada 20 Februari 2014 dari
http://astwin.Blogspot.com/2009/03-pengertian-narkoba.
“Kasus Narkoba di Indonesia Naik Tajam,” diakses pada 15 April 2014 dari
http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/puslitdatin/kasusnaro
ba-di-Indonesia-naik-tajam.html.
Wikipedia “Pengertian Pasien.” Artikel diakses pada 17 Juli 2014 dari
http://wikipedia. Org.id/2014/0116/Index.html
Skripsi
Rossid, Mohammad Khafid. “Efektifitas Konseling Pada Rehabilitasi NAPZA di
Rumah Sakit Khusus Darma Graha BSD”. Skripsi S1 Fakultas Dakwah
126
dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2010.
Paramitha, Sabrina Alya. “Gambaran Interaksi Sosial Pada Anak Dengan
Kesulitan Belajar (Studi Deskriptif Pada 3 Siswa Dengan Kesulitan
Belajar di SD Pantara)”. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,
Universitas Indonesia, 2010.
Riyanti, Nina Januarita. “Interaksi Sosial Para Pengguna NAPZA Dalam
Mengikuti Metode Therapeutic Community Di Panti Sosial Pamardi Putra
(PSPP), Galih Pakuan Putat Nutug-Bogor”
Tertanto, Tito Hapsoro. “GambaranStatus Depresi Pada Pecandu Narkoba yang
Berada Dalam Pusat Rehabilitasi (12 Steps dan Therapeutic Community)”.
Skripsi S1 Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, 2008.
Lain-Lain
Brosur Rumah Sakit Ketergantungan Obat, Profil RSKO Jakarta.
Brosur Rumah Sakit Ketergantungan Obat, Profil Halmahera House
Rehabilitation Center.
Buku Kilas Balik 30 Tahun Rumah Sakit Ketergantungan Obat.
Instalasi Rehabilitasi Halmahera House RSKO Jakarta, Walking Paper Reguler
Program.
Wawancara
Wawancara Pribadi dengan Bapak Agus Darmawan, Jakarta Juli 2014
127
Wawancara Pribadi dengan Broh Okto Selaku Kepala Konselor di Unit
Rehabilitasi Halmahera House, Jakarta Agustus 2014.
Wawancara Pribadi dengan Konselor Broh Taufan, Jakarta 13 Agustus 2014.
Wawancara Pribadi dengan Konselor Latif, Jakarta 13 Agustus 2014.
Wawancara Pribadi dengan Konselor Broh Nasrul, Jakarta 14 Agustus 2014.
Wawancara Pribadi dengan Informan “W”, Jakarta 07 Agustus 2014.
Wawancara Pribadi dengan Informan “AM”, Jakarta 10 Agustus 2014.
Wawancara Pribadi dengan Informan “R”, Jakarta 12 Agustus 2014.
Wawancara Pribadi dengan Informan “D”, Jakarta 15 Agustus 2014.
LAMPIRAN
Pedoman Observasi
1. Bagaimana kerja sama yang dilakukan pasien bersama teman-temannya ?
2. Bagaiman bentuk kerja sama yang dilakukan pasien dan teman-temannya ?
3. Apakah ada kesulitan saat pasien membangun kerja sama dengan kelompok ?
4. Dalam hal apa yang biasanya pasien lakukan, sehingga berakibat adanya persaingan
dengan orang sekitar ?
5. Apakah pasien pernah melakukan pertikaian dengan teman-temannya ?
6. Dalam hal apa biasanya yang biasanya menjadi bahan pertikaian antara pasien dengan
teman-temannya ?
7. Bagaimana bentuk penyelesaian pasien dengan pasien lain saat melakukan pertikaian
?
8. Bagaimana prilaku pasien saat berkumpul bersama dengan teman-temannya ?
9. Bagaimana sifat dan sikap pasien saat berinteraksi dengan orang yang ada
disekitarnya ?
10. Bagaimana sikap pasien saat sedang marah dan sedih ?
11. Bagaimana sikap pasien terhadap teman-temannya ?
Pedoman Wawancara Pasien
Nama :
Waktu :
Program :
No Kategori Pertanyaan Jawaban Ket
NAPZA
1. Dasar Bagaimana sejarah awal pengenalan anda terhadap NAPZA ?
2. Jenis NAPZA apa saja yang anda gunakan ?
3. Dari siapa anda mengenal NAPZA ?
4. Sejak Kapan dan sudah berapa lama anda menggunakan NAPZA?
5. Apa alasan anda mengkonsumsi NAPZA?
6. Apa Dampak/pengaruh ketika anda mengkonsumsi NAPZA?
Therapeutic Community
7. TC Apa yang anda ketahui tentang program Therapeutic community ?
8. Menurut anda bagaimana pelaksanaan program TC? Berjalan baik/tidak?
9. Selama mengikuti program TC, bagaimana respon anda?
10. Apa motivasi anda selama mengikuti program TC?
11. Selama mengikuti program TC, apakah pengaruh positif/negatif yang anda terima?
12. Selama mengikuti program TC, ada atau tidak keinginan untuk kembali mengkonsumsi NAPZA?
13. Apa suka duka anda selama menjalani program TC?
Inteaksi Sosial 14. Dasar Bagaimana interaksi anda saat pertama
mengikuti program TC ?
15. Bagaimana interaksi anda dengan kelompok? Berjalan baik/tidak?
16. Bagaimana interaksi kelompok terhadap anda? Baik atau buruk?
17. Apakah anda merasakan perubahan saat berinteraksi dengan orang lain saat masuk
sampai dengan sekarang? Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial
18. Kerja Sama Apa yang anda ketahui tentang arti kerja sama?
19. Bagaimana kerja sama yang anda lakukan dengan kelompok pada program TC?
20. Apakah ada kesulitan saat anda membangun kerja sama dengan kelompok atau orang-orang sekitar?
21. Pada kegiatan apa biasanya anda melakukan kerja sama dengan kelompok atau orang lain?
22. Apa yang anda rasakan saat melakukan kerja sama dengan orang sekitar? Merasa terpaksa atau tidak?
23. Apakah ketika anda sedang marah atau kesal dengan pasien lain/kelompok, mengganggu kerja sama yang anda lakukan?
24. Persaingan Apa yang anda ketahui tentang arti persaingan?
25. Apakah anda pernah merasa bersaing pada kelompok saat menjalani program TC?
26. Pada kegiatan apa saja biasanya anda melakukan persaingan?
27. Ketika anda sedang merasa bersaing dengan sesama pasien atau kelompok, apakah anda merasa dirugikan/diuntungkan?
28. Pertikaian/ pertentangan
Apa yang anda ketahui tentang arti pertikaian/pertentangan?
29. Apakah anda pernah melakukan pertikaian/pertentangan antar pasien? Kalo ya, jelaskan!
30. Apa yang anda rasakan ketika sedang bertikai dengan pasien lain atau kelompok?
31. Apakah anda pernah melihat sesama pasien melakukan pertikaian/pertentangan?
32. Dalam kegiatan apa biasanya sering mendapat pertentangan dari teman anda/kelompok?
33. Akomodasi Bagaimana bentuk penyelesaian anda saat anda dan teman anda melakukan pertikaian?
34. Bagaimana interaksi anda terhadap teman-teman antar pasien ketika pertikaian sudah diselesaikan? Langsung membaik atau tidak?
Faktor-Faktor Interaksi Sosial
35. Imitasi
Apakah anda suka meniru prilaku/kebiasaan-kebiasaan orang disekitar anda?
36. Hal apakah yang anda tiru dari pasien lain? Apakah berpengaruh positif/negatif?
37. Apakah dengan kebiasaan anda meniru prilaku /kebiasaan orang lain, membuat anda tergantung pada orang tersebut?
38. Sugesti
Apakah anda dengan mudah mendapat pengaruh/pandangan dari orang lain?
39. Faktor apa yang membuat anda menjadi tersugesti oleh orang lain? Apakah anda sedang banyak pikiran, tidak percaya diri atau karena menyegani orang yang memberikan sugesti?
40. Apakah anda mudah tersugesti apabila menerima tekanan dari kelompok mayoritas?
41. Identifikasi
Apakah anda mempunyai keinginan untuk menjadi sama dengan orang lain?
42. Apakah proses pengidentifikasian anda berlangsung secara sengaja atau tidak sengaja?
43. Bagaimana proses awal sampai anda mengidentifikasi diri anda dengan orang lain, apakah diawali dengan imitasi atau sugesti?
44. Simpati
Apa yang biasanya anda lakukan apabila merasa simpati dengan orang lain?
45. Apakah anda bisa bersimpati setiap saat atau tergantung pada keadaan mood saja?
Pedoman Wawancara Untuk Konselor
Nama :
Waktu :
Lokasi :
Pasien :
No Kategori Pertanyaan Jawaban Ket
NAPZA dan TC
1. Dasar Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk proses pemuliahan dari ketergantungan NAPZA di RSKO Jakarta?
2. Program apa yang dipakai untuk pemulihan pasien NAPZA?
3. Apakah yang dimaksud dengan program theraputic community ?
4. Bagaimana tahapan/proses pelaksanaan program therapeutic community ?
5. Sejak kapan program TC ini digunakan ?
Interaksi Sosial 6. Dasar Bagaimana interaksi pasien saat pertama
mengikuti program TC ?
7. Bagaimana interaksi pasien dengan kelompok? Berjalan baik/tidak?
8. Apakah ada perubahan pasien dalam berinteraksi sosial dari awal masuk sampai dengan sekarang?
Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial
9. Kerja Sama Bagaimana kerja sama yang dilakukan pasien dengan pasien lainnya ? berjalan baik atau tidak ?
10. Bagaimana bentuk kerja sama yang pasien lakukan dengan kelompok pada program TC?
11. Apakah ada kesulitan saat pasien membangun kerja sama dengan kelompok atau orang-orang sekitar?
12. Pada kegiatan apa biasanya anda melakukan kerja sama dengan kelompok atau orang lain?
13. Apakah ketika sedang marah atau kesal dengan pasien lain/kelompok, mengganggu kerja sama yang anda lakukan?
14. Persaingan Apakah pasien pernah melakukan persaingan dengan pasien lain ?
15. Pada hal apa yang biasanya pasien lakukan hingga berdampak pada persaingan?
16.
Pertikaian/
pertentangan
Apakah pasien pernah melakukan pertikaian dengan pasien lain ?
17. Dalam hal apa yang biasanya menjadi bahan pertikaian oleh pasien dan teman-temannya ?
18. Akomodasi Bagaimana bentuk penyelesaian saat pasien dan teman-temanya melakukan pertikaian?
19. Bagaimana interaksi pasien terhadap teman-temannya ketika pertikaian sudah diselesaikan? Langsung membaik atau tidak?
Faktor-Faktor Interaksi Sosial
20. Imitasi Apakah pasien suka meniru prilaku/kebiasaan-kebiasaan orang disekitar?
21. Hal apakah yang biasanya ditiru oleh pasien dari orang lain? Apakah berpengaruh positif/negatif?
22. Apakah dengan kebiasaan pasien meniru prilaku /kebiasaan orang lain, membuat pasien tergantung pada orang tersebut?
23. Sugesti Apakah pasien dengan mudah mendapat pengaruh/pandangan dari orang lain?
24. Faktor apa yang membuat pasien menjadi tersugesti oleh orang lain? Apakah pasien sedang banyak pikiran, tidak percaya diri atau karena menyegani orang yang memberikan sugesti?
25. Apakah pasien mudah tersugesti apabila menerima tekanan dari kelompok mayoritas?
26. Identifikasi Apakah pasien mempunyai keinginan untuk menjadi sama dengan orang lain?
27. Apakah proses pengidentifikasian pasien berlangsung secara sengaja atau tidak sengaja?
28. Bagaimana proses awal sampai pasien mengidentifikasi dirinya dengan orang lain, apakah diawali dengan imitasi atau sugesti?
29. Simpati Apa yang biasanya pasien lakukan apabila merasa simpati dengan orang lain?
30. Apakah pasien bisa bersimpati setiap saat
atau tergantung pada keadaan mood saja? 31 Apakah pasien bisa memahami perasaan
pasien lain ?
A. Latar Belakang Informan I
Nama : “R”
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Nama Istri : “A”
Usia : 23 Tahun
Pekerjaan Paisen : Lembaga Pemerintah
Pendidikan : Sarjana
Agama : Islam
Klien dengan potongan rambut yang pendek agak botak menggunakan
kaca mata, berpenampilan rapih, warna kulit yang putih dengan tubuh yang kurus
dan tidak terlalu tinggi merupakan pasien putusan dari Kejaksaan Negeri
Tanggerang, menyalahgunakan Narkotika Golongan I dengan barang bukti satu
amplop warna hijau berisiskan satu bungkus plastik klip yang didalamnya berisi
shabu-shabu. Klien pertama kali mengenal NAPZA dari sepupunya sendiri yang
menawari barang kepadanya, pada saat itu klien masih kelas 3 SMP. Jenis
NAPZA yang pertama kali klien gunakan adalah ganja selanjutnya seiring dengan
berjalannya waktu klien telah merasakan semuanya dari shabu-shabu, ekstasi,
psikotropika dan lain sebagainya. Alasan klien menggunakan NAPZA karena
ingin coba-coba dan merasa penasaran, dan dampak dari penggunaan NAPZA ini
langsung di rasakan oleh klien yang menjadi kurang fokus, terkena penyakit
mental, tidak bisa berinteraksi dengan baik dengan banyak orang dan lain
sebagainya.
Klien telah menjalani dua kali masa rehabilitasi, pada saat yang pertama
klien sudah mencapai fase Re-Entry dan sudah diperbolehkan untuk bekerja tetapi
klien mulai relaps (atau menggunakan lagi) pada tahun 2014. Dalam studi
dokumen yang penulis lihat di rekam medik pasien klien tipe orang yang sering
marah, mood yang cepat berubah dan klien pun sering mendengar ada yang
memanggil atau halusinasi. Klien merupakan sulung dari dua bersaudara, klien
juga pernah menikah dan di karuniai satu orang putri. Karena banyaknya masalah
dan usia yang masih sangat muda untuk berkeluarga akhirnya klien memutuskan
untuk bercerai dengan istrinya. Klien tergolong kedalam keluarga menengah
keatas. Pada saat mengikuti program TC klien dengan mudah beradaptasi dengan
pasien lain karena sebelumnya klien sudah pernah menjalani program jadi sudah
tidak kaku seperti pada saat pertama kali klien mengikuti program. Karena
menurutnya ketika klien berada disini klien tidak lagi mengunakan topeng, klien
selalu mengeluhkan bahwasanya ketika klien berada diluar klien tidak menjadi
dirinya sendiri dan ketika berada disini klien merasa senang karena banyak teman
yang tidak memandang status, diperlakukan sama dengan yang lain dan tidak
dibeda-bedakan. Setelah satu bulan menjalani program perubahan yang dirasakan
adalah klien merasa jauh lebih tenang, lebih bisa berfikir, lebih bisa bersenang-
senang walaupun didalam rehabilitasi. Karena menurut klien, klien berada disini
itu bisa menjadi dirinya sendiri, tidak memakai topeng. Tidak seperti diluar yang
mesti ini dan harus itu. Perubahan itu pun juga sudah dilihat dari konselornya
sendiri yaitu Broh Taufan yang mengatakan bahwa klien sekarang jauh lebih
tenang, lebih disiplin, tidak ada masalah dengan teman-temannya dan juga
interaksinya pun bisa dibilang cukup baik dan karena hal itu klien bisa dengan
mudah menjalankan kegiatan yang ada di dalam program TC.
Transkip Wawancara Pasien
Nama : “R”
Waktu : Jakarta, 12 Agustus 2014 Pukul 10.00 WIB
Program : Primary
No Kategori Pertanyaan Jawaban Ket
NAPZA
1. Dasar Bagaimana sejarah awal pengenalan anda terhadap NAPZA ?
Awal saya mengenal NAPZA karena di tawari barang oleh sepupu saya sendiri dan rasa ingin coba-coba serta merasa penasaran.
2. Jenis NAPZA apa saja yang anda gunakan ? Awalnya ganja terus shabu-shabu, ekstasi, psikotropika dan lain sebagainya. Rata-rata udah dicobaiin sih.
3. Dari siapa anda mengenal NAPZA ? Saya mengenal NAPZA dari sepupu saya sendiri yang menawari barang tersebut kepada saya.
4. Sejak Kapan dan sudah berapa lama anda menggunakan NAPZA?
Kelas tiga SMP.
5. Apa alasan anda mengkonsumsi NAPZA? Ingin coba-coba. 6. Apa Dampak/pengaruh ketika anda
mengkonsumsi NAPZA? Dampaknya sih jadi kurang fokus, jadi banyak penyakit mental, ga bisa berinteraksi dengan baik sama masyarakat.
Therapeutic Community 7.
Apa yang anda ketahui tentang program Therapeutic community ?
TC itu program yang dibuat untuk pengguna NAPZA ditempat rehabilitasi.
8. Menurut anda bagaimana pelaksanaan program TC? Berjalan baik/tidak?
Menurut saya sih pelaksanaan TC sudah berjalan
TC dengan cukup baik yaa. Karena disini saling membantu satu sama lain.
9. Selama mengikuti program TC, bagaimana respon anda?
Saya masuk disini sekarang lebih bisa nerima, ga kaya waktu pertama kali menjalani program. Ini kan sudah kali keduanya jadi udah ga terlalu kaku.
10. Apa motivasi anda selama mengikuti program TC?
Yaa untuk merubah saya baik dalam berprilaku maupun kecanduan saya terhadap NAPZA.
11. Selama mengikuti program TC, apakah pengaruh positif/negatif yang anda terima?
Pengaruh positif yang saya terima selama mengikuti program TC adalah saya sudah lebih bisa disiplin, jauh lebih tenang, bisa berpikir dengan baik dan juga ketika saya disini saya tidak lagi menggunakan topeng yang dituntut ini dan itu. Lebih keperubahan prilaku sih.
12. Selama mengikuti program TC, ada atau tidak keinginan untuk kembali mengkonsumsi NAPZA?
keinginan itu sih pasti terbesit dipikiran.
13. Apa suka duka anda selama menjalani program TC?
Suka nya saya disini kaya liburan, dukanya yaa ga bisa ketemu sama keluarga.
Interaksi Sosial 14.
Dasar
Bagaimana interaksi anda saat pertama mengikuti program TC ?
Kurang baik, sering marah serta mood saya yang mudah berubah. Itu menggangu banget interaksi saya sama yang lain.
15. Bagaimana interaksi anda dengan kelompok? Berjalan baik/tidak?
Baik ko.
16. Bagaimana interaksi kelompok terhadap anda? Baik atau buruk?
Baik juga.
17. Apakah anda merasakan perubahan saat berinteraksi dengan orang lain saat masuk sampai dengan sekarang?
Yaa perubahan pasti ada mba, karena saat mengikuti program TC kan kita diajarkan ini dan itu untuk bisa lebih baik yang pasti.
Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial
18.
Kerja Sama
Apa yang anda ketahui tentang arti kerja sama?
Pembagian tugas bersama yang lain untuk mencapai suatu tujuan.
19. Bagaimana kerja sama yang anda lakukan dengan kelompok pada program TC?
Kerja sama yang saya lakukan dengan kelompok berjalan baik.
20. Apakah ada kesulitan saat anda membangun kerja sama dengan kelompok atau orang-orang sekitar?
Kesulitan sih pasti ada, biasanya ada salah satu pasien yang sulit untuk diatur.
21. Pada kegiatan apa biasanya anda melakukan kerja sama dengan kelompok atau orang lain?
Biasanya diawali dari bangun pagi dengan saling membangunkan, lalu morning meeting, function dan group.
22. Apa yang anda rasakan saat melakukan kerja sama dengan orang sekitar? Merasa terpaksa atau tidak?
Engga sih, seneng-seneng aja karena saling menolong satu sama lain.
23. Apakah ketika anda sedang marah atau kesal dengan pasien lain/kelompok, mengganggu kerja sama yang anda lakukan?
Engga sih.
24. Persaingan Apa yang anda ketahui tentang arti persaingan?
Dua orang atau lebih merebutkan untuk suatu tujuan.
25. Apakah anda pernah merasa bersaing pada kelompok saat menjalani program TC?
Pernah siih, tapi persaingan sehat yaa.
26. Pada kegiatan apa saja biasanya anda melakukan persaingan?
Biasanya kalo sore hari kan ada jadwal tuh olah raga, biasanya persaingann
pada saat permainan sepak bola. Disini saya bersama pasienlain bersaing untuk memenangkan permainan tersebut.
27. Ketika anda sedang merasa bersaing dengan sesama pasien atau kelompok, apakah anda merasa dirugikan/diuntungkan?
Yaa tergantung sih, kalo sifatnya kaya yang barusan saya jelasin yaa merasa diuntungkan kan memotivasi supaya bisa menang.
28. Pertikaian/ pertentangan
Apa yang anda ketahui tentang arti pertikaian/pertentangan?
Pertiakaian itu sama dengan konflik.
29. Apakah anda pernah melakukan pertikaian/pertentangan antar pasien? Kalo ya, jelaskan!
Pernah sih. Biasanya gara-gara salah paham dan ada pasien lain yang susah untuk diatur.
30. Apa yang anda rasakan ketika sedang bertikai dengan pasien lain atau kelompok?
Yaa sedih sih.
31. Apakah anda pernah melihat sesama pasien melakukan pertikaian/pertentangan?
Pernah ko, sering malah.
32. Dalam kegiatan apa biasanya sering mendapat pertentangan dari teman anda/kelompok?
Kalo pertikaian itu sih bisa kapan aja yaa namanya juga tinggal bareng-bareng tapi kalo sesi nya sendiri itu dalam kegiatan encounter sama circle group.
33. Akomodasi Bagaimana bentuk penyelesaian anda saat anda dan teman anda melakukan pertikaian?
Biasanya bentuk penyelesaian melalui pihak ketiga yaitu mayor yang bertugas.
34. Bagaimana interaksi anda terhadap teman-teman antar pasien ketika pertikaian sudah diselesaikan? Langsung membaik atau tidak?
Langsung membaik sih.
Faktor-Faktor Interaksi Sosial
35. Imitasi Apakah anda suka meniru prilaku/kebiasaan-kebiasaan orang disekitar anda?
Iyaa.
36. Hal apakah yang anda tiru dari pasien lain? Apakah berpengaruh positif/negatif?
Prilaku atau perbuatan teman-teman saya. Kaya cara berpakaian,
berpenampilan, mengatur waktu, mengendalikan diri sendiri, tidak emosial dan berinteraksi dengan baik antar pasien.
37. Apakah dengan kebiasaan anda meniru prilaku /kebiasaan orang lain, membuat anda tergantung pada orang tersebut?
Ga sih.
38. Sugesti Apakah anda dengan mudak mendapat pengaruh/pandangan dari orang lain?
Tergantung.
39. Faktor apa yang membuat anda menjadi tersugesti oleh orang lain? Apakah anda sedang banyak pikiran, tidak percaya diri atau karena menyegani orang yang memberikan sugesti?
Biasanya sih karena saya menyegani orang yang memberikan sugesti.
40. Apakah anda mudah tersugesti apabila menerima tekanan dari kelompok mayoritas?
Ga juga sih. Tapi biasanya saya konsultasiin lagi sama konselor saya.
41. Identifikasi Apakah anda mempunyai keinginan untuk menjadi sama dengan orang lain?
Engga sih. Jadi diri sendiri aja.
42. Apakah proses pengidentifikasian anda berlangsung secara sengaja atau tidak sengaja?
Kalo niru sih disengaja yaa mba.
43. Bagaimana proses awal sampai anda mengidentifikasi diri anda dengan orang lain, apakah diawali dengan imitasi atau sugesti?
Kayanya diawali sama peniruan dulu tapi itu juga liat-liat dulu orangnya.
44. Simpati Apa yang biasanya anda lakukan apabila merasa simpati dengan orang lain?
Yaa saya langsung berekasi mba, misalnya menghibur jika ada pasien lain yang bersedih.
45. Apakah anda bisa bersimpati setiap saat atau tergantung pada keadaan mood saja?
Setiap saat sih kan saya baik hati hehehehe.
B. Latar Belakang Informan III
Nama : “W”
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 26 tahun
Pekerjaan Pasien : Mahasiswa
Pendidikan : Diploma III
Agama : Islam
Klien yang berpotongan rambut pendek dengan tubuh yang agak gemuk
dengan tinggi yang standar bagi laki-laki pada umumnya dan warna kulit kuning
langsat dengan tanda banyak jerawat di wajahnya dan juga berpenampilan rapih
merupakan pasien Re-Entry di Halmahera House, klien berasal dari Jakarta. Klien
merupakan bungsu dari tiga bersaudara. Sejak SMP kelas 3 klien mulai mengenal
NAPZA. Awalnya klien mengenal NAPZA dari teman SMP nya yang
memberikan kepadanya, lalu dia pun terus menerus untuk coba-coba. NAPZA
yang pertama kali digunakan ialah ganja, lalu lama kelamaan merasakan semua
nya (shabu-shabu, ekstasi, dsb). Alasan klien menggunakan NAPZA agar pikiran
klien lebih tenang dan merasa tidak mempunyai beban. Klien masuk kedalam
keluarga menengah keatas.
Klien masuk kedalam Instalasi Rehabilitasi Halmahera House di RSKO
Jakarta pada pertengahan tahun 2014 yang diantar oleh keluarganya. Karena
keluarganya sudah lelah dan pusing melihat tingkah laku klien yang makin hari
makin tidak teratur. Klien merupakan tipikal orang yang mudah tersinggung,
sering marah, sering bertengkar dengan temannya, tidak mau mempunyai teman
serta acuh tak acuh dan itu semua berdampak kepada interaksinya pada saat
masuk kedalam tempat rehabilitasi ini. Pada awalnya klien memang tidak bisa
terima dengan sikap keluarganya atau bisa dibilang dia marah dengan keluarganya
karena memasukan dia kedalam tempat rehabilitasi. Seiring dengan berjalannya
waktu klien pun baru sadar dan bisa menerima sedikit demi sedikit keberadaannya
disini adalah untuk diri dia sendiri artinya untuk pemulihannya terhadap
ketergantungannya pada NAPZA. Selama kurang lebih tiga bulan mengikuti
program TC klien banyak mengalami perubahan yang cukup baik, dari perubahan
emosi yang tidak naik turun seperti di awal, perubahan interaksi antar pasien dan
juga perubahan pola hidup yang jauh lebih baik. Interaksi klien saat mulai masuk
sampai dengan saat ini pun sudah mengalami banyak perubahan, Motivasi klien
dalam mengikuti program TC selain untuk bisa pulih dari kecanduannya terhadap
NAPZA klien juga berharap bahwasanya ketika klien sudah menjalani suatu
program klien mendapatkan pelajaran-pelajaran baru yang bisa ditanamkan
didalam diri klien sehingga ketika keluar klien bisa mengimplementasikan
pelajaran yang sudah didapat di luar nanti.
Transkip Wawancara Pasien
Nama : “W”
Waktu : Jakarta, 07 Agustus 2014 Pukul 14.00 WIB
Program : Re-Entry
No Kategori Pertanyaan Jawaban Ket
NAPZA
1. Dasar Bagaimana sejarah awal pengenalan anda terhadap NAPZA ?
Awal pengenalan saya terhadap NAPZA itu dari teman saya mba, saya dikasih terus lama-lama ketagihan gitu.
2. Jenis NAPZA apa saja yang anda gunakan ?
Yang pertama saya gunakan pada waktu itu sih ganja, terus shabu, ekstasi dan banyak deh rata-rata sudah saya cobain.
3. Dari siapa anda mengenal NAPZA ? Dari teman SMP saya mba.
4. Sejak Kapan dan sudah berapa lama anda menggunakan NAPZA?
Sejak SMP kelas 3 mba.
5. Apa alasan anda mengkonsumsi NAPZA?
Alasannya saya menggunakan obat-obatan agar pikiran saya tenang mba. Karna setelah memakai obat-obatan itu misalnya lagi banyak masalah jadi kaya ga ada bebannya gitu. Dulu kan masalah saya banyak mba.
6. Apa Dampak/pengaruh ketika anda mengkonsumsi NAPZA?
Dampaknya ada yang positif dan negatif, kalo yang positif pikiran saya jadi bisa tenang sedikit tidak ada beban dan yang negtaif yaa saya jadi begini harus menjalani rehab, jauh dari keluarga, ga bisa kerja dan banyak lagi deh mba.
Therapeutic Community
7. TC Apa yang anda ketahui tentang program Therapeutic community ?
Yang saya tau siih mba, TC itu merupakan suatu program untuk komunitas pengguna obat-obatan atau NAPZA dimana orang-orang yang mempunyai masalah yang sama, tujuan yang sama dan tinggal ditempat yang sama untuk menjalani proses pemulihan.
8. Menurut anda bagaimana pelaksanaan program TC? Berjalan baik/tidak?
Sejauh ini sih berjalan dengan baik yaa mba, semua kegiatan sudah ada jadwalnya.
9. Selama mengikuti program TC, bagaimana respon anda?
Awalnya respon saya sangat tidak baik, saya merasa sangat marah terhadap keluarga saya. Saya belum bisa menerima keberadaan saya disini untuk mengikuti program pemulihan. Tapi seiring berjalannya waktu saya pun bisa menerima keberadaan saya disini. Selama tiga bulan mengikuti program, banyak perubahan yang saya rasakan. Saya lebih bisa mengatur emosi, interaksi saya terhadap pasien lain bisa lebih baik tidak seperti diawal masuk dan juga bisa merubah pola hidup jauh menjadi lebih baik.
10. Apa motivasi anda selama mengikuti program TC?
Yaa untuk bisa pulih mba dari ketergantungan saya akan obat-obatan, selain itu juga saya mau ketika menjalani program saya bisa mendapatkan pelajaran-pelajaran yang bisa dibawa hingga keluar nanti.
11. Selama mengikuti program TC, apakah pengaruh positif/negatif yang anda terima?
Positif nya saya bisa disiplin, bisa mengubah prilaku saya yang tadinya amburadul jadi lebih baik, bisa ngatur emosi dan bisa nambah temen. Negatif nya saya tidak bisa produktif mba artinya saya tidak bisa bekerja dan tidak bisa bertemu dengan keluarga.
12. Selama mengikuti program TC, ada atau tidak keinginan untuk kembali mengkonsumsi NAPZA?
Kalau keinginan pasti ada mba, tapi gimana kita ngaturnya aja. Percuma kalau keluar make lagi mendingan ga usah ikut program.
13. Apa suka duka anda selama menjalani program TC?
Suka nya bisa mengubah pola hidup jadi lebih baik, tau arti tentang pertemanan, tau bagaimana selalu membantu sesama, banyak temen baru. Kalo duka nya ga bisa ketemu sama anak dan keluarga.
Interaksi Sosial 14. Dasar Bagaimana interaksi anda saat pertama
mengikuti program TC ? Interaksi saya saat masuk disini parah banget mba, saya itu dulu ga mau punya temen, emosian, sering marah pokoknya beda banget sama sekarang. Yaa itu semua kan karena dampak dari obat-obatan mba jadi mengganggu interaksi saya dengan orang lain.
15. Bagaimana interaksi anda dengan kelompok? Berjalan baik/tidak?
Kalo sekarang interaksi saya dengan kelompok berjalan cukup baik ko mba.
16. Bagaimana interaksi kelompok terhadap anda? Baik atau buruk?
Interaksi kelompok terhadap saya juga berjalan cukup baik, mereka semua baik-baik.
17. Apakah anda merasakan perubahan saat berinteraksi dengan orang lain saat masuk sampai dengan sekarang?
Iya saya merasakan perubahan yang amat jauh berbeda mba, interaksi saya saat masuk saya kan ga banget maksudnya buruk gitu tetapi sekarang bisa dibilang cukup baik. Kan disini saya juga belajar membangun interaksi dengan yang lain sehingga ketika keluar saya bisa ngaplikasiin mba.
Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial
18. Kerja Sama Apa yang anda ketahui tentang arti kerja sama?
Dimana saat seseorang mempunyai kelemahan lalu saling membantu satu sama lain untuk mencapai suatu tujuan. Contohnya, pasien lain mempunyai kelemahan lalu dibantu oleh pasien lainnya.
19. Bagaimana kerja sama yang anda lakukan dengan kelompok pada program TC?
Kerja sama yang saya lakukan dengan kelompok berjalan cukup baik sih mba.
20. Apakah ada kesulitan saat anda membangun kerja sama dengan kelompok atau orang-orang sekitar?
Adaa mba, waktu pertama itu susah banget buat saya harus kerja sama dengan pasien lain tapi kalo sekarang sih kesulitannya yaa kalo ada pasien lain yang susah untuk diatur.
21. Pada kegiatan apa biasanya anda melakukan kerja sama dengan kelompok atau orang lain?
Kerja sama yang saya lakukan dengan teman-teman dilakukan setiap hari dari bangun tidur sampai beranjak untuk tidur lagi. Disini kan komunitas yaa mba jadi kita melakukan kerja sama setiap waktu. Terus ada morning meeting juga, function, group dsb.
22. Apa yang anda rasakan saat melakukan kerja sama dengan orang sekitar? Merasa terpaksa atau tidak?
Awalnya merasa terpaksa sih mba, tetapi sekarang engga karena menyadari bahwa setiap orang harus saling tolong menolong
satu sama lain. 23. Apakah ketika anda sedang marah atau
kesal dengan pasien lain/kelompok, mengganggu kerja sama yang anda lakukan?
Engga sih mba.
24. Persaingan Apa yang anda ketahui tentang arti persaingan?
Menurut saya persaingan itu adalah dimana sesorang ingin menjadi lebih dari orang lain itu namanya persaingan mba.
25. Apakah anda pernah merasa bersaing pada kelompok saat menjalani program TC?
Pernah mba.
26. Pada kegiatan apa saja biasanya anda melakukan persaingan?
Biasanya persaingan itu terjadi karena sama-sama merebutkan suatu tujuan, disini kan tujuannya untuk pemulihan jadi disini satu sama lain bersaing untuk kenaikan fase. Dalam kenaikan fase itu kan harus ada perubahan dari dalam diri kita sendiri maka dari itu saya dengan pasien lain bersaing untuk menjalankan kegiatan dengan baik.
27. Ketika anda sedang merasa bersaing dengan sesama pasien atau kelompok, apakah anda merasa dirugikan/diuntungkan?
Tergantung situasi kadang merasa dirugikan dan kadang merasa diuntungkan. Kalo persaingannya membuat saya bisa lebih baik kan menguntungkan mba tapi kalo sebaliknya yaa saya merasa dirugikan.
28. Pertikaian/
pertentangan
Apa yang anda ketahui tentang arti pertikaian/pertentangan?
Menurut saya pertikaian atau pertentangan itu perbedaan pendapat atau pemikiran yang akan berujung pada konflik.
29. Apakah anda pernah melakukan pertikaian/pertentangan antar pasien? Kalo ya, jelaskan!
Saya pernah melakukan pertikaian, waktu itu sih saya disindir dan saya tidak bisa menerima dengan sindiran dari pasien lain langsung saya balas dan malah berujung pertikaian.
30. Apa yang anda rasakan ketika sedang bertikai dengan pasien lain atau kelompok?
Yaaa kan lagi emosi mba jadi ga ngerasain apa-apa, kalo sudah ga emosi baru nyesel kenapa bisa berantem begitu. Tapi kan pertikaiannya ga sampe pukul-pukulan mba.
31. Apakah anda pernah melihat sesama pasien melakukan pertikaian/pertentangan?
Pernah ko, bahkan sampe ada yang main fisik.
32. Dalam kegiatan apa biasanya sering mendapat pertentangan dari teman anda/kelompok?
Biasanya sih dalam semua kegiatan mba, tapi kalo jadwal untuk meluapkan emosi itu pada kegiatan encounter dan circle.
33. Akomodasi Bagaimana bentuk penyelesaian anda saat anda dan teman anda melakukan pertikaian?
Bentuk penyelesaiannya biasanya dengan orang ketiga, ada mayor yang bertugas atau juga lewat konselor.
34. Bagaimana interaksi anda terhadap teman-teman antar pasien ketika pertikaian sudah diselesaikan? Langsung membaik atau tidak?
Biasanya sih langsung membaik mba.
Faktor-Faktor Interaksi Sosial
35. Imitasi Apakah anda suka meniru prilaku/kebiasaan-kebiasaan orang disekitar anda?
Suka ko mba, tapi yang positifnya yang saya ambil.
36. Hal apakah yang anda tiru dari pasien lain? Apakah berpengaruh positif/negatif?
Saya biasanya meniru prilaku kaya cara berpenampilan supaya lebih rapih dan lebih baik karena dulu kan saya cuek banget mba sama penampilan saya, saya juga meniru cara untuk disiplin waktu, cara meredam emosi supaya ga naik turun. Saya juga meniru cara orang lain pada saat berinteraksi, saya juga suka niru cara konselor bercanda dengan konselor lain dan pada saat konselor menyapa orang lain. Yaa berpengaruh positif kan untuk lebih baik.
37. Apakah dengan kebiasaan anda meniru prilaku /kebiasaan orang lain, membuat anda tergantung pada orang tersebut?
Membuat tergantung sih engga yaa mba.
38. Sugesti Apakah anda dengan mudah mendapat pengaruh/pandangan dari orang lain?
Mudah sih mba tapi saya juga pilih-pilih dulu siapa yang ngasih saya pandangan. Baik atau buruk untuk saya.
39. Faktor apa yang membuat anda menjadi tersugesti oleh orang lain? Apakah anda sedang banyak pikiran, tidak percaya diri atau karena menyegani orang yang memberikan sugesti?
Biasanya sih mba karena saya menyegangi orang yang memberikan sugesti. Kaya konselor gitu, kan saya selalu ngikutin apa yang dibilang konselor. Karena rasa nyaman juga sih yang didapet dari konselor makanya apa yang dibilang yaa saya laksanain.
40. Apakah anda mudah tersugesti apabila menerima tekanan dari kelompok mayoritas?
Engga sih mba. Paling yaa saya pikir-pikir lagi atau ga saya konsultasi lagi sama konselor saya.
41. Identifikasi Apakah anda mempunyai keinginan untuk menjadi sama dengan orang lain?
Engga sih mba, saya lebih baik jadi diri saya sendiri.
42. Apakah proses pengidentifikasian anda berlangsung secara sengaja atau tidak sengaja?
Kayanya sengaja deh mba, kan meniru dulu.
43. Bagaimana proses awal sampai anda mengidentifikasi diri anda dengan orang lain, apakah diawali dengan imitasi atau sugesti?
Biasanya lewat peniruan dulu jadi saya mencontoh prilaku dia.
44. Simpati Apa yang biasanya anda lakukan apabila merasa simpati dengan orang lain?
Yang saya lakukan biasanya menghibur pasien lain mba, kalo pasien lain lagi sedih gitu. maksudnya saya langsung bereaksi gitu.
45. Apakah anda bisa bersimpati setiap saat atau tergantung pada keadaan mood saja?
Setiap saat sih mba, Cuma pas diawal itu sulit untuk bersimpati dengan orang lain, tapi lama kelamaan saya merasa dihargai, maka dari itu saya belajar bersimpati dengan orang lain.
C. Latar Belakang Informan II
Nama : “D”
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 23 Tahun
Pekerjaan Pasien : Wiraswasta
Pendidikan : SLTA
Agama : Islam
Klien berpotongan rambut pendek dengan perawakan tubuh yang kurus,
tidak terlalu tinggi dan warna kulit kuning kecoklatan adalah pasien fase Primary
di Halmahera House. Klien merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Klien
mulai menggunakan NAPZA pada tahun 2010, awalnya klien ditawari barang
oleh temannya, klien pun merasa penasaran akhirnya klien mencoba dan lama
kelamaan ketagihan. Jenis Napza yang pertama kali digunakan oleh klien adalah
ganja lalu lama-kelamaan shabu-shabu, ekstasi dan hampir semuanya pernah
digunakan. Alasan klien menggunakan NAPZA adalah karena coba-coba, dampak
dari penggunaan NAPZA terhadap klien adalah klien menjadi susah untuk fokus,
tidak bisa berkonsentrasi lalu saat ingin berinteraksi dengan orang banyak merasa
minder atau malu. Dari hasil pengamatan yang dilakukan penulis terhadap klien
memang klien tipe orang yang sangat pemalu terhadap orang lain, merasa tidak
percaya diri dan juga kurang berinteraksi dengan pasien lain.
Sedangkan respon klien saat mengikuti program TC adalah awalnya klien
susah untuk menerima, menurutnya tidak ada orang yang ingin berada disini tetapi
seiring dengan berjalannya waktu sedikit demi sedikit sudah mulai bisa menerima.
Perubahan yang sudah klien terima adalah klien lebih bisa mengatur hidup
nya, bisa menjadi lebih disiplin, tepat waktu, lebih bisa mengatur emosi dan
berbaur dengan yang lain. Saat ini interaksinya pun cukup baik dengan antar
pasien lain, klien bisa melakukan kerja sama dengan pasien lain. Jika klien
melakukan kesalahan pasien lain langsung mengingatkan bahwa itu salah dan juga
banyak pengaruh positif yang diberikan oleh teman-teman terhadap klien agar
klien bisa berubah dan klien bersama teman-temannya saling mendukung satu
sama lain demi pemulihan masing-masing.
Transkip Wawancara Pasien
Nama : “D”
Waktu : Jakarta, 15 Agustus 2014 Pukul 14.00 WIB
Program : Primary
No Kategori Pertanyaan Jawaban Ket
NAPZA
1. Dasar Bagaimana sejarah awal pengenalan anda terhadap NAPZA ?
Awalnya saya ditawari barang oleh teman-teman saya, dan saya merasa penasaran makanya coba-coba dan akhirnya ketagihan.
2. Jenis NAPZA apa saja yang anda gunakan ? Ganja, shabu-shabu, ekstasi dan hampir semuanya udah digunakan.
3. Dari siapa anda mengenal NAPZA ? Dari temen-temen.
4. Sejak Kapan dan sudah berapa lama anda menggunakan NAPZA?
Dari tahun 2010.
5. Apa alasan anda mengkonsumsi NAPZA? Karena coba-coba.
6. Apa Dampak/pengaruh ketika mengkonsumsi NAPZA?
Susah untuk fokus, ga bisa berkonsentrasi lalu saat berinteraksi ngerasa minder sama orang lain.
Therapeutic Community
7. TC Apa yang anda ketahui tentang program Therapeutic community ?
Program TC adalah program yang dibuat untuk pecandu yang tujuannya mengembalikan nilai-nilai positif yang pernah ada didalam diri pecandu.
8. Menurut anda bagaimana pelaksanaan program TC? Berjalan baik/tidak?
Sejauh ini sih sudah berjalan dengan baik.
9. Selama mengikuti program TC, bagaimana respon anda?
Respon saya sih awalnya susah untuk
menerima, siapa sih mba yang mau dikurung disini dulu sih mikirnya gitu. Tapi setelah dijalanin ya sedikit demi sedikit sudah mulai bisa menerima dan banyak pelajaran yang bisa diambil dalam mengikuti program ini.
10. Apa motivasi anda selama mengikuti program TC?
Motivasi saya disini yaa agar bisa lebih baik semua-semuanya.
11. Selama mengikuti program TC, apakah pengaruh positif/negatif yang anda terima?
Pengaruh positifnya saya lebih bisa mengatur hidup saya, bisa disiplin, tepat waktu, lebih bisa mengatur emosi dan interaksi saya cukup baik dengan pasien lain ga minder lagi.
12. Selama mengikuti program TC, ada atau tidak keinginan untuk kembali mengkonsumsi NAPZA?
Engga sih.
13. Apa suka duka anda selama menjalani program TC?
Suka nya sih banyak perubahan yang didapat, dukanya ga bisa ketemu sama keluarga.
Inteaksi Sosial 14. Dasar Bagaimana interaksi anda saat pertama
mengikuti program TC ? Interaksi saya saat masuk itu bisa dibilang ga baik yaa mba.
15. Bagaimana interaksi anda dengan kelompok? Berjalan baik/tidak?
Kalo sekarang sih berjalan baik.
16. Bagaimana interaksi kelompok terhadap anda? Baik atau buruk?
Baik.
17. Apakah anda merasakan perubahan saat berinteraksi dengan orang lain saat masuk sampai dengan sekarang?
Perubahan itu pasti ada yaa kalo dulu cuek kalo sekarang yaa perhatian lah, semuanya dilakuin sama-sama dengan
pasien lain. Saling membantu satu sama lain yang akan berdampak pada interaksi sosial kita dengan orang lain.
Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial
18. Kerja Sama Apa yang anda ketahui tentang arti kerja sama?
Saling membantu satu sama lain.
19. Bagaimana kerja sama yang anda lakukan dengan kelompok pada program TC?
Baik ko.
20. Apakah ada kesulitan saat anda membangun kerja sama dengan kelompok atau orang-orang sekitar?
Kesulitan mah pasti ada mba.
21. Pada kegiatan apa biasanya anda melakukan kerja sama dengan kelompok atau orang lain?
Dari awal kegiatan sampe akhir kegiatan dilakukan dengan kerja sama.
22. Apa yang anda rasakan saat melakukan kerja sama dengan orang sekitar? Merasa terpaksa atau tidak?
Engga sih enak-enak aja.
23. Apakah ketika anda sedang marah atau kesal dengan pasien lain/kelompok, mengganggu kerja sama yang anda lakukan?
Engga ko.
24. Persaingan Apa yang anda ketahui tentang arti persaingan?
Persaingan itu bertarung ya untuk suatu tujuan.
25. Apakah anda pernah merasa bersaing pada kelompok saat menjalani program TC?
Pernah hehehe
26. Pada kegiatan apa saja biasanya anda melakukan persaingan?
Persaingan itu biasanya terjadi karena sutu tujuan, kalo saya sih persaingan itu biasanya karena untuk kenaikan fase. Jadi berlomba-lomba menjadi paling baik dalam menjalankan berbagai kegiatan.
27. Ketika anda sedang merasa bersaing dengan sesama pasien atau kelompok, apakah anda merasa dirugikan/diuntungkan?
Diuntungkan lah kan memacu untuk lebih baik.
28. Pertikaian/
pertikaian
Apa yang anda ketahui tentang arti pertikaian/pertentangan?
Pertikaian itu yaa semacam konflik kan.
29. Apakah anda pernah melakukan Pernah sih. Biasanya
pertikaian/pertentangan antar pasien? Kalo ya, jelaskan!
karena saalah paham gitu dan juga biasanya karena sindiran-sindiran yang ga bisa untuk diterima.
30. Apa yang anda rasakan ketika sedang bertikai dengan pasien lain atau kelompok?
Apa yaa kesel sih yang pasti.
31. Apakah anda pernah melihat sesama pasien melakukan pertikaian/pertentangan?
Pernah ko.
32. Dalam kegiatan apa biasanya sering mendapat pertentangan dari teman anda/kelompok?
Encounter dan circle group.
33. Akomodasi Bagaimana bentuk penyelesaian anda saat anda dan teman anda melakukan pertikaian?
Biasanya lewat mayor.
34. Bagaimana interaksi anda terhadap teman-teman antar pasien ketika pertikaian sudah diselesaikan? Langsung membaik atau tidak?
Langsung membaik sih tapi mungkin ada sedkit ada jarak dan itu pun ga lama. Sesuai kasus aja sih.
Faktor-Faktor Interaksi Sosial
35. Imitasi Apakah anda suka meniru prilaku/kebiasaan-kebiasaan orang disekitar anda?
Suka sih.
36. Hal apakah yang anda tiru dari pasien lain? Apakah berpengaruh positif/negatif?
Prilaku.
37. Apakah dengan kebiasaan anda meniru prilaku /kebiasaan orang lain, membuat anda tergantung pada orang tersebut?
Engga juga.
38. Sugesti Apakah anda dengan mudah mendapat pengaruh/pandangan dari orang lain?
mudah sih tapi liat-liat dulu orangnya. Maksudnya ga sembarangan orang gitu.
39. Faktor apa yang membuat anda menjadi tersugesti oleh orang lain? Apakah anda sedang banyak pikiran, tidak percaya diri atau karena menyegani orang yang memberikan sugesti?
Lebih kepada menyegani orang yang memberikan sugesti.
40. Apakah anda mudah tersugesti apabila menerima tekanan dari kelompok mayoritas?
Engga juga.
41. Identifikasi Apakah anda mempunyai keinginan untuk menjadi sama dengan orang lain?
Engga.
42. Apakah proses pengidentifikasian anda berlangsung secara sengaja atau tidak sengaja?
Engga sengaja.
43. Bagaimana proses awal sampai anda mengidentifikasi diri anda dengan orang
Lewat peniruan dulu.
lain, apakah diawali dengan imitasi atau sugesti?
44. Simpati Apa yang biasanya anda lakukan apabila merasa simpati dengan orang lain?
Saya langsung berekasi, maksudnya mencoba atau berusaha membantu orang itu.
45. Apakah anda bisa bersimpati setiap saat atau tergantung pada keadaan mood saja?
Setiap saat sih, tapi liat-liat dulu orang nya siapa ahahahaha.
D. Latar Belakang Informan IV
Nama : “AM”
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 25 Tahun
Pekerjaan Pasien : Karyawan Swasta
Pendidikan : SLTP
Agama : Islam
Klien dengan rambutnya yang berpotongan pendek, perawakan yang kurus
dengan warna kulit sawo matang dan tubuhnya yang tidak terlalu tinggi serta ada
tanda berupa tahi lalat didekat alis merupakan pasien fase Re-Entry di Halmahera
House, klien berasal dari Jakarta. Klien merupakan anak sulung dari lima
bersauara. Sejak SMP kelas 3 klien sudah mengenal NAPZA, klien mengenal
NAPZA pertama kali dari teman rumahnya yang memberikan kepadanya. Faktor
lingkungan yang buruk membuat klien dengan mudah mendapatkan obat-obatan
tersebut. Lama kelamaan klien pun ketagihan dan terus-menerus menggunakan
NAPZA, jenis NAPZA yang pertama kali digunakan adalah putaw, ganja, shabu-
shabu dan aprezolam. Alasan klien menggunakan NAPZA karena rasanya yang
enak, dan saat ia menggunakan klien merasa tidak mempunyai beban. Klien
masuk kedalam keluarga menengah kebawah. Klien masuk kedalam rehabilitasi
ini karena putusan dari Polres Jakarta Timur selama satu tahun delapan bulan.
Pada hari jum’at tanggal 15 bulan Maret 2013 klien diantar oleh pihak
kepolisian Resort Jakarta Timur ke RSKO Jakarta guna dilakukan pemeriksaan
medis terhadap klien. Ini pertama kalinya klien datang ke RSKO Jakarta untuk
menjalani pemeriksaan. Pada saat awal mengikuti program TC klien belum bisa
menerima bahkan interaksi yang dilakukan klien dengan pasien lain pun bisa
dibilang kurang baik tetapi akhirnya klien sadar dan berfikir bahwasanya ketika
klien berada disini adalah suatu keuntungan, karena mungkin memang ini yang
terbaik untuk dirinya. Karena klien adalah pasien putusan jadi dia berfikir
bahwasanya dari pada dia berada didalam penjara lebih baik dia menjalani
program ditempat rehabilitasi ini.
Dari hasil pengamatan penulis, klien memang cukup bisa menerima
keberadaannya disini itu terlihat dari semua kegiatan yang di jalankan klien
dengan baik. Dan juga dari hasil pengamatan ketika klien mengikuti semua group
yang ada pada program re-entry. Interaksi yang dilakukan klien terhadap teman-
temannya atau antar pasien NAPZA bisa dibilang cukup baik saat ini, karena saat
menjalani program klien menjadi tau bagaimana cara berinteraksi dengan baik dan
juga ketika klien mempunyai kesalahan banyak teman-temannya yang
memberitahu bahwa yang dilakukan klien salah, atau menolong klien misalnya
saja ketika klien kurang tepat waktu, kurang disiplin dan begitu pun sebaliknya
karena klien dan teman-temannya berharap adanya perubahan yang jauh lebih
baik sehingga ketika keluar klien dapat mengimplementasikan apa yang klien
dapat pada saat menjalani program.
Transkip Wawancara Pasien
Nama : “AM”
Waktu : Jakarta, 10Agustus 2014 Pukul 13.00 WIB
Lokasi : Re-Entry House
No Kategori Pertanyaan Jawaban Ket
NAPZA
1. Dasar Bagaimana sejarah awal pengenalan anda terhadap NAPZA ?
Awalnya sih saya dikasih teman saya tapi lama-kelamaan saya ketagihan dan terus-menerus menggunakan NAPZA.
2. Jenis NAPZA apa saja yang anda gunakan ?
Putaw, ganja, shabu-shabu dan aprezolam.
3. Dari siapa anda mengenal NAPZA ? Dari teman rumah saya.
4. Sejak Kapan dan sudah berapa lama anda menggunakan NAPZA?
Dari kelas tiga SMP
5. Apa alasan anda mengkonsumsi NAPZA?
Enak dan waktu saya gunain tuh kaya ga ada beban.
6. Apa Dampak/pengaruh ketika anda mengkonsumsi NAPZA?
Dampak nya jadi ga sadar, ga ada beban sama pikiran gitu kalo lagi gunain.
Therapeutic Community
7. TC Apa yang anda ketahui tentang program Therapeutic community ?
Program untuk pecandu.
8. Menurut anda bagaimana pelaksanaan program TC? Berjalan baik/tidak?
Berjalan cukup baik.
9. Selama mengikuti program TC, bagaimana respon anda?
Respon saya awalnya kurang baik tapi setelah lama-kelamaan disini berjalan cukup baik, akhirnya semua kegiatan saya jalani aja dari pada saya harus didalam penjara mendingan disini ngejalanin kegiatan yang positif untuk perubahan saya, yaa semoga dengan dapat pelajaran dari sini saya bisa berubah untuk lebih baik.
10. Apa motivasi anda selama mengikuti program TC?
Untuk bisa pulih dari kecanduan.
11. Selama mengikuti program TC, apakah pengaruh positif/negatif yang anda terima?
Pengaruh positif lah ya mba, banyak perubahan yang saya rasakan. Lebih kepada prilaku saya yang jauh lebih baik sih.
12. Selama mengikuti program TC, ada atau tidak keinginan untuk kembali mengkonsumsi NAPZA?
Kalo keinginan sih pasti ada, tapi kan disini diajarkan bagaimana kita supaya bisa ngendaliin.
13. Apa suka duka anda selama menjalani program TC?
Suka nya banyak, dukanya juga banyak ahahha. (sambil tertawa)
Interaksi Sosial 14. Dasar Bagaimana interaksi anda saat pertama
mengikuti program TC ? Awalnya saya belum bisa berinteraksi dengan baik.
15. Bagaimana interaksi anda dengan kelompok? Berjalan baik/tidak?
Kalo sekarang ini sih berjalan baik.
16. Bagaimana interaksi kelompok terhadap anda? Baik atau buruk?
Baik kok.
17. Apakah anda merasakan perubahan saat berinteraksi dengan orang lain saat masuk sampai dengan sekarang?
Yaa mba saya merasakan banyak perubahan dalam berinteraksi. Kan sudah banyak pelajaran yang saya dapat disini.
Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial
18. Kerja Sama Apa yang anda ketahui tentang arti kerja sama?
Saling membantu satu sama lain untuk suatu tujuan.
19. Bagaimana kerja sama yang anda lakukan dengan kelompok pada program TC?
Sejauh ini sih berjalan baik.
20. Apakah ada kesulitan saat anda membangun kerja sama dengan kelompok atau orang-orang sekitar?
Ada, ketika ada pasien lain yang sulit untuk diatur.
21. Pada kegiatan apa biasanya anda melakukan kerja sama dengan kelompok atau orang lain?
Banyak sih, kan ini program untuk komunitas jadi semua nya mesti dilakuin dengan kerja sama. Bangun pagi, morning meeting, function dan banyak deh.
22. Apa yang anda rasakan saat melakukan kerja sama dengan orang sekitar? Merasa terpaksa atau tidak?
Awalnya merasa terpaksa tapi lama kelamaan siih engga.
23. Apakah ketika anda sedang marah atau kesal dengan pasien lain/kelompok, mengganggu kerja sama yang anda
Engga siih mba. Tapi tergantung sama masalah nya dulu ahahahaha
lakukan? 24. Persaingan Apa yang anda ketahui tentang arti
persaingan? Merebutkan sesuatu.
25. Apakah anda pernah merasa bersaing pada kelompok saat menjalani program TC?
Engga sih, ngapain. Eh tapi ada deh persaingan sehat.
26. Pada kegiatan apa saja biasanya anda melakukan persaingan?
Biasanya permainan sepak bola. Antara pasien primary dan re-entry bersaing untuk memenangkan permainan. Lumayan hadiahnya hehehehe
27. Ketika anda sedang merasa bersaing dengan sesama pasien atau kelompok, apakah anda merasa dirugikan/diuntungkan?
Yaa di untungkan, kan dapet hadiah kalo menang. Buat semangat kalo bersaing itu.
28. Pertikaian/
pertentangan
Apa yang anda ketahui tentang arti pertikaian/pertentangan?
Konflik.
29. Apakah anda pernah melakukan pertikaian/pertentangan antar pasien? Kalo ya, jelaskan!
Pernah ko, namanya juga hidup masa ga pernah ada konflik sih.
30. Apa yang anda rasakan ketika sedang bertikai dengan pasien lain atau kelompok?
Apaa yaaaaa ... biasa aja sih.
31. Apakah anda pernah melihat sesama pasien melakukan pertikaian/pertentangan?
Pernah ko, bahkan ada yang sampe main fisik.
32. Dalam kegiatan apa biasanya sering mendapat pertentangan dari teman anda/kelompok?
Biasanya pertiakaian terjadi dalam berbagai kegiatan. Tapi disini sudah dijadwalkan untuk mengeluarkan emosi itu ada kegiatan namanya encounter dan circle group.
33. Akomodasi Bagaimana bentuk penyelesaian anda saat anda dan teman anda melakukan pertikaian?
Yaa berusaha untuk melerai. Kalo memang ga bisa yaa terpaksa memanggil mayor.
34. Bagaimana interaksi anda terhadap teman-teman antar pasien ketika pertikaian sudah diselesaikan? Langsung membaik atau tidak?
Langsung membaik siih.
Faktor-Faktor Interaksi Sosial
35. Imitasi Apakah anda suka meniru prilaku/kebiasaan-kebiasaan orang disekitar anda?
Suka mba.
36. Hal apakah yang anda tiru dari pasien lain? Apakah berpengaruh
Biasanya yang saya tiru itu prilaku, biasanya sih
positif/negatif? sumbernya dari temen-temen sendiri sama orang lain diluar.
37. Apakah dengan kebiasaan anda meniru prilaku /kebiasaan orang lain, membuat anda tergantung pada orang tersebut?
Ga siih.
38. Sugesti Apakah anda dengan mudah mendapat pengaruh/pandangan dari orang lain?
Liat-liat dulu yang ngasih pandangan. Biasanya saya dengan mudah menerima pandangan itu yaa dari konselor.
39. Faktor apa yang membuat anda menjadi tersugesti oleh orang lain? Apakah anda sedang banyak pikiran, tidak percaya diri atau karena menyegani orang yang memberikan sugesti?
Biasanya sih karena menyegani konselor saya. Saya menghormati dia begitu.
40. Apakah anda mudah tersugesti apabila menerima tekanan dari kelompok mayoritas?
Ga juga siih, tapi tergantung siih. Biasanya kalo dapet dari kelompok saya konsultasiin lagi dengan kelompok.
41. Identifikasi Apakah anda mempunyai keinginan untuk menjadi sama dengan orang lain?
Engga.
42. Apakah proses pengidentifikasian anda berlangsung secara sengaja atau tidak sengaja?
Kayanya ga sengaja deh.
43. Bagaimana proses awal sampai anda mengidentifikasi diri anda dengan orang lain, apakah diawali dengan imitasi atau sugesti?
Awalnya sih saya suka niru-niru dulu.
44. Simpati Apa yang biasanya anda lakukan apabila merasa simpati dengan orang lain?
Yang biasanya saya lakukan siih yaa membantu dia lah mencari solusi atas masalahnya.
45. Apakah anda bisa bersimpati setiap saat atau tergantung pada keadaan mood saja?
Kalo sekarang sih setiap saat.
Transkip Wawancara Konselor
Nama : Broh Taufan
Waktu : Jakarta, 13 Agustus 2014 Pukul 14.30 WIB
Lokasi : Halmahera House
Pasien : “R”
No Kategori Pertanyaan Jawaban Ket
NAPZA dan TC
1. Dasar Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk proses pemuliahan dari ketergantungan NAPZA di RSKO Jakarta?
Enam bulan sampai dengan satu tahun tetapi kemabli lagi tergantung kemajuan dan kebutuhan dari pasien tersebut.
2. Program apa yang dipakai untuk pemulihan pasien NAPZA?
Program therapeutic community.
3. Apakah yang dimaksud dengan program theraputic community ?
TC merupakan suatu komunitas pecandu dimana para pecandu tinggal ditempat yang sama, dengan masalah yang sama dan dengan tujuan bersama yaitu untuk pemulihan diri masing-masing. Tujuan TC sendiri adalah mengembalikan nilai-nilai atau norma-norma yang telah hilang dalam diri pecandu.
4. Bagaimana tahapan/proses pelaksanaan program therapeutic community ?
Dalam tahapan TC dibagi menjadi tiga fase, yakni primary, re-entry dan after care.
5. Sejak kapan program TC ini digunakan ? Program TC digunakan sejak dibukannya instalasi
rehabilitasi Halamhera House yakni pada tahun 2003.
Interaksi Sosial 6. Dasar Bagaimana interaksi pasien saat pertama
mengikuti program TC ? Kurang baik, sering marah serta mood yang mudah berubah-ubah yang bredampak kepada interaksinya dengan pasien lain.
7. Bagaimana interaksi pasien dengan kelompok? Berjalan baik/tidak?
Kalo sekarang saya melihatnya berjalan cukup baik.
9. Apakah ada perubahan pasien dalam berinteraksi sosial dari awal masuk sampai dengan sekarang?
Yaa ada, jauh lebih baik.
Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial
10. Kerja Sama Bagaimana kerja sama yang dilakukan pasien dengan pasien lainnya ? berjalan baik atau tidak ?
Kerja sama yang dilakukan R dengan teman-temannya berjalan cukup baik yaa.
11. Bagaimana bentuk kerja sama yang pasien lakukan dengan kelompok pada program TC?
Bentuk kerja sama yang dilakukan R adalah dengan saling tolong menolong antar sesama pasien. Hampir semua kegiatan yang ada di dalam program TC tidak bisa dilakukan sendiri melainkan harus saling membantu satu sama lain.
12. Apakah ada kesulitan saat pasien membangun kerja sama dengan kelompok atau orang-orang sekitar?
Saya melihat sih dalam diri R tidak ada kesulitan dalam membangun kerja sama antar pasien lain tetapi kendala yang ditemukan adalah jika ada pasien lain yang sulit untuk diatur atau
diberitau. 13. Pada kegiatan apa biasanya anda melakukan
kerja sama dengan kelompok atau orang lain?
Hampir semua kegiatan. Bangun pagi, fuction, morning meeting, makan bersama, dan banyak lagi.
14. Apakah ketika sedang marah atau kesal dengan pasien lain/kelompok, mengganggu kerja sama yang anda lakukan?
Kalo saat sih engga.
15. Persaingan Apakah pasien pernah melakukan persaingan dengan pasien lain ?
Persaingan yaa, pernah sih. Tapi untuk kasus-kasus yang berat tidak pernah.
16. Pada hal apa yang biasanya pasien lakukan hingga berdampak pada persaingan?
Kalo persaingan ringan contohnya pada saat sore hari yang dijadwalkan untuk berolah raga. Antar kelompok melakukan persaingan dengan bermain sepak bola untuk memenangkan persaingan tersebut.
17. Pertikaian/
pertentangan
Apakah pasien pernah melakukan pertikaian dengan pasien lain ?
Pernah.
18. Dalam hal apa yang biasanya menjadi bahan pertikaian oleh pasien dan teman-temannya ?
Biasanya karena salah paham. Dan biasanya diungkapkan pada saat sesi encounter dan circle group.
19. Akomodasi Bagaimana bentuk penyelesaian saat pasien dan teman-temanya melakukan pertikaian?
Bisanya bentuk penyelesaian melalu COD atau mayor yang bertugas.
20. Bagaimana interaksi pasien terhadap teman-temannya ketika pertikaian sudah diselesaikan? Langsung membaik atau tidak?
Biasanya langsung membaik yaa.
Faktor-Faktor Interaksi Sosial
21. Imitasi Apakah pasien suka meniru prilaku/kebiasaan-kebiasaan orang disekitar?
Suka.
22. Hal apakah yang biasanya ditiru oleh pasien dari orang lain? Apakah berpengaruh
Cara berprilaku untuk jauh lebih
positif/negatif? baik. 23. Apakah dengan kebiasaan pasien meniru
prilaku /kebiasaan orang lain, membuat pasien tergantung pada orang tersebut?
Tidak juga ko.
24. Sugesti
Apakah pasien dengan mudah mendapat pengaruh/pandangan dari orang lain?
Mudah ko.
25. Faktor apa yang membuat pasien menjadi tersugesti oleh orang lain? Apakah pasien sedang banyak pikiran, tidak percaya diri atau karena menyegani orang yang memberikan sugesti?
Biasanya karena faktor menyegani orang yang memberikan sugesti, seperti saya yang sebagai konselornya.
26. Apakah pasien mudah tersugesti apabila menerima tekanan dari kelompok mayoritas?
Tidak.
27. Identifikasi Apakah pasien mempunyai keinginan untuk menjadi sama dengan orang lain?
Tidak sih.
28. Apakah proses pengidentifikasian pasien berlangsung secara sengaja atau tidak sengaja?
Mungkin secara sengaja.
29. Bagaimana proses awal sampai pasien mengidentifikasi dirinya dengan orang lain, apakah diawali dengan imitasi atau sugesti?
Mungkin diawali dengan peniruan dan selanjutnya dilanjutkan oleh pemberian pandangan.
30. Simpati
Apa yang biasanya pasien lakukan apabila merasa simpati dengan orang lain?
Biasanya sih langsung berekasi.
31. Apakah pasien bisa bersimpati setiap saat atau tergantung pada keadaan mood saja?
Untuk saat ini sih setiap saat.
Apakah pasien bisa memahami perasaan pasien lain ?
Bisa.
Transkip Wawancara Konselor
Nama : Broh Taufan
Waktu : Jakarta, 13 Agustus 2014 Pukul 14.30 WIB
Lokasi : Halmahera House
Pasien : “W”
No Kategori Pertanyaan Jawaban Ket
NAPZA dan TC
1. Dasar Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk proses pemuliahan dari ketergantungan NAPZA di RSKO Jakarta?
Enam bulan sampai dengan satu tahun tetapi kembali lagi tergantung kemajuan dan kebutuhan dari pasien tersebut.
2. Program apa yang dipakai untuk pemulihan pasien NAPZA?
Program therapeutic community.
3. Apakah yang dimaksud dengan program theraputic community ?
TC merupakan suatu komunitas pecandu dimana para pecandu tinggal ditempat yang sama, dengan masalah yang sama, dan dengan tujuan bersama yaitu untuk pemulihan diri masing-masing. Tujuan TC sendiri adalah mengembalikan nilai-nilai atau norma-norma yang telah hilang dalam diri pecandu.
4. Bagaimana tahapan/proses pelaksanaan program therapeutic community ?
Dalam tahapan TC dibagi menjadi tiga fase, yakni primary, re-entry dan after care.
5. Sejak kapan program TC ini digunakan ? Program TC digunakan sejak dibukannya instalasi
rehabilitasi Halamhera House yakni pada tahun 2003.
Interaksi Sosial 6. Dasar Bagaimana interaksi pasien saat pertama
mengikuti program TC ? Pada saat pertama W mengikuti program TC, interaksi nya bisa dibilang kurang begitu baik. W adalah tipikal orang yang mudah marah, dan mudah tersinggung akibatnya dia tidak bisa berinterkasi dengan pasien lain dengan mudah. Tidak bisa bekerja sama dengan pasien lain dan juga pada saat diawal sering terjadi konflik antar sesama pasien.
7. Bagaimana interaksi pasien dengan kelompok? Berjalan baik/tidak?
Kalo sekarang karena sudah sekitar tiga bulan W berada disini, W banyak mengalami perubahan yang berdampak pada interaksinya. Interkasi yang dilakukan W saat ini berjalan cukup baik.
8. Apakah ada perubahan pasien dalam berinteraksi sosial dari awal masuk sampai dengan sekarang?
Yaa ada, jauh lebih baik.
Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial
9
Bagaimana kerja sama yang dilakukan pasien dengan pasien lainnya ? berjalan baik atau tidak ?
Kerja sama yang dilakukan W dengan orang lain berjalan cukup baik yaa. Bisa dilihat dalam kegiatan yang dilakukan W sehari-hari.
10.
Kerja Sama
Bagaimana bentuk kerja sama yang pasien lakukan dengan kelompok pada program TC?
Bentuk kerja sama yang dilakukan W adalah dengan saling tolong menolong antar sesama pasien. Hampir semua kegiatan yang ada di dalam program TC tidak bisa dilakukan sendiri melainkan harus saling membantu satu sama lain.
11. Apakah ada kesulitan saat pasien membangun kerja sama dengan kelompok atau orang-orang sekitar?
Tidak sih, tetapi yang saya lihat kendala W pada saat membangun kerja sama dengan pasien lain adalah ketika pasien lain tidak bisa di ajak kompromi dengan W.
12. Pada kegiatan apa biasanya anda melakukan kerja sama dengan kelompok atau orang lain?
Hampir semua kegiatan. Bangun pagi, fuction, morning meeting, makan bersama, dan banyak lagi.
13. Apakah ketika sedang marah atau kesal dengan pasien lain/kelompok, mengganggu kerja sama yang anda lakukan?
Kalo saat ini sih engga.
14. Persaingan Apakah pasien pernah melakukan persaingan dengan pasien lain ?
Persaingan yaa, pernah sih. Saya melihat W itu bersaing dengan pasien lain untuk lebih baik yaa. Persaingan positif. Yang akan menguntungkan dirinya sendiri.
15. Pada hal apa yang biasanya pasien lakukan hingga berdampak pada persaingan?
Yaa misalnya dalam kegiatan sehari-hari, siapa yang bisa jauh lebih baik. berlomba-lomba untuk menjadi lebih baik. Contohnya
berlomba-lomba untuk kenaikan fase, tapi balik lagi kepada pasiennya sih.
16.
Pertikaian/
pertentangan
Apakah pasien pernah melakukan pertikaian dengan pasien lain ?
Pernah, semua orang kan mempunyai konflik dalam hidup.
17. Dalam hal apa yang biasanya menjadi bahan pertikaian oleh pasien dan teman-temannya ?
Yang saya tau biasanya yang menjadi bahan pertikaian itu adalah sindiran-sindiran yang tidak bisa diterima oleh lawan.
18. Akomodasi
(Bentuk
Penyelesaian
dari
Pertikaian)
Bagaimana bentuk penyelesaian saat pasien dan teman-temanya melakukan pertikaian?
Biasanya melalui orang ketiga COD yang bertugas tapi kalo memang tidak bisa dilerai biasanya langsung memanggil mayor yang bertugas.
19. Bagaimana interaksi pasien terhadap teman-temannya ketika pertikaian sudah diselesaikan? Langsung membaik atau tidak?
Langsung membaik.
Faktor-Faktor Interaksi Sosial
20. Imitasi
(Peniruan)
Apakah pasien suka meniru prilaku/kebiasaan-kebiasaan orang disekitar?
Yaa.
21. Hal apakah yang biasanya ditiru oleh pasien dari orang lain? Apakah berpengaruh positif/negatif?
Yang paling sering ditiru oleh W adalah prilaku orang lain yang berdampak positif dan ngetaif. Tergantung bagaimana dia menyikapinya.
22. Apakah dengan kebiasaan pasien meniru prilaku /kebiasaan orang lain, membuat pasien tergantung pada orang tersebut?
Tidak juga.
23. Sugesti Apakah pasien dengan mudah mendapat pengaruh/pandangan dari orang lain?
Yaa bisa dengan mudah tetapi harus di lihat siapa yang memeberi sugesti.
24. Faktor apa yang membuat pasien menjadi tersugesti oleh orang lain? Apakah pasien sedang banyak pikiran, tidak percaya diri atau karena menyegani orang yang
Yang saya lihat sih yaa karena dia menyegani orang yang memberikan
memberikan sugesti? sugesti. Contohnya seperti saya konselornya, kalo saya bilang “A” yaa dia nurut aja.
25. Apakah pasien mudah tersugesti apabila menerima tekanan dari kelompok mayoritas?
Engga sih tetapi dia biasanya pasti di konsultasiin dulu sama saya. Jika itu baik yaa engga apa-apa tapi jika tidak yaa jangan.
26. Identifikasi
Apakah pasien mempunyai keinginan untuk menjadi sama dengan orang lain?
Engga sih.
27. Apakah proses pengidentifikasian pasien berlangsung secara sengaja atau tidak sengaja?
Sengaja.
28. Bagaimana proses awal sampai pasien mengidentifikasi dirinya dengan orang lain, apakah diawali dengan imitasi atau sugesti?
Sepertinya diwali oleh peniruan dahulu lalu dia akan mudah tersugesti tapi itu tidak berlangsung secara terus menerus.
29.
Simpati
Apa yang biasanya pasien lakukan apabila merasa simpati dengan orang lain?
Langsung berekasi yaa, mungkin bisa dengan cara menghibur dan sebagainya.
30. Apakah pasien bisa bersimpati setiap saat atau tergantung pada keadaan mood saja?
Kalau untuk sekarang sih setiap saat.
31 Apakah pasien bisa memahami perasaan pasien lain ?
Bisa ko.
Transkip Wawancara Konselor
Nama : Broh Nasrul
Waktu : Jakarta, 14 Agustus 2014 Pukul 13.00 WIB
Lokasi : Halmahera House
Pasien : “D”
No Kategori Pertanyaan Jawaban Ket
NAPZA dan TC
1. Dasar Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk proses pemuliahan dari ketergantungan NAPZA di RSKO Jakarta?
Enam bulan sampai dengan satu tahun tetapi kemabli lagi tergantung pada perubahan dan kebutuhan dari pasien tersebut.
2. Program apa yang dipakai untuk pemulihan pasien NAPZA?
Program therapeutic community.
3. Apakah yang dimaksud dengan program theraputic community ?
TC merupakan suatu program yang dibuat untuk pecandu yang didalam nya berisi orang-orang dengan masalah yang sama tinggal ditempat yang sma, memiliki seperangkat peraturan, filosofi, norma dan nilai-nilai serta kultur yang dianut bersama demi pemulihan masing-masing.
4. Bagaimana tahapan/proses pelaksanaan program therapeutic community ?
Dalam tahapan TC dibagi menjadi tiga fase, yakni primary, re-entry dan after care.
5. Sejak kapan program TC ini digunakan ? Program TC digunakan sejak dibukannya instalasi rehabilitasi
Halamhera House yakni pada tahun 2003.
Inteaksi Sosial 6. Dasar Bagaimana interaksi pasien saat pertama
mengikuti program TC ? kurang baik karena pasien yang sangat pemalu dan tidak merasa percaya diri yang berdampak kepada interaksinya dengan orang lain.
7. Bagaimana interaksi pasien dengan kelompok? Berjalan baik/tidak?
Kalo sekarang saya melihatnya berjalan cukup baik.
8. Apakah ada perubahan pasien dalam berinteraksi sosial dari awal masuk sampai dengan sekarang?
Yaa ada, jauh lebih baik yaa dibandingkan saat awal pertama masuk.
Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial
9. Kerja Sama Bagaimana kerja sama yang dilakukan pasien dengan pasien lainnya ? berjalan baik atau tidak ?
Saat ini kerja sama yang dilakukan pasien dengan teman-temannya berjalan cukup baik yaa.
10. Bagaimana bentuk kerja sama yang pasien lakukan dengan kelompok pada program TC?
Bentuk kerja sama yang dilakukan pasien adalah dengan saling tolong menolong antar sesama pasien. Memberi tahu jika ada pasien lain yang berbuat kesalahan.
11. Apakah ada kesulitan saat pasien membangun kerja sama dengan kelompok atau orang-orang sekitar?
Saya sih tidak melihat kesulitan pasien dalam melakukan kerja sama.
12. Pada kegiatan apa biasanya anda melakukan kerja sama dengan kelompok atau orang lain?
Hampir semua kegiatan. Bangun pagi, fuction, morning meeting, makan bersama, dan banyak lagi.
13. Apakah ketika sedang marah atau kesal dengan pasien lain/kelompok, mengganggu
Engga sih.
kerja sama yang anda lakukan? 14. Persaingan Apakah pasien pernah melakukan
persaingan dengan pasien lain ? Persaingan yaa, pernah sih.
15. Pada hal apa yang biasanya pasien lakukan hingga berdampak pada persaingan?
Yang saya lihat sih persaingan untuk berlomba-lomba menjadi jauh lebih baik yaa.
16. Pertikaian/
pertentangan
Apakah pasien pernah melakukan pertikaian dengan pasien lain ?
Pernah.
17. Dalam hal apa yang biasanya menjadi bahan pertikaian oleh pasien dan teman-temannya ?
Biasanya karena salah paham dan sindiran-sindiran yang tidak bisa diterima. Biasanya diungkapkan pada saat sesi encounter dan circle group.
18. Akomodasi Bagaimana bentuk penyelesaian saat pasien dan teman-temanya melakukan pertikaian?
Bisanya bentuk penyelesaian melalui mayor yang bertugas.
19. Bagaimana interaksi pasien terhadap teman-temannya ketika pertikaian sudah diselesaikan? Langsung membaik atau tidak?
Biasanya langsung membaik.
Faktor-Faktor Interaksi Sosial
20. Imitasi
Apakah pasien suka meniru prilaku/kebiasaan-kebiasaan orang disekitar?
Suka yaa.
21. Hal apakah yang biasanya ditiru oleh pasien dari orang lain? Apakah berpengaruh positif/negatif?
Biasanya cara berprilaku untuk jauh lebih baik.
22. Apakah dengan kebiasaan pasien meniru prilaku /kebiasaan orang lain, membuat pasien tergantung pada orang tersebut?
Tidak ko.
23. Sugesti Apakah pasien dengan mudah mendapat pengaruh/pandangan dari orang lain?
Cukup mudah.
24. Faktor apa yang membuat pasien menjadi tersugesti oleh orang lain? Apakah pasien sedang banyak pikiran, tidak percaya diri atau karena menyegani orang yang memberikan sugesti?
Biasanya karena faktor menyegani orang yang memberikan sugesti, seperti saya sebagai konselornya.
25. Apakah pasien mudah tersugesti apabila menerima tekanan dari kelompok mayoritas?
Tidak.
26. Identifikasi Apakah pasien mempunyai keinginan untuk menjadi sama dengan orang lain?
Tidak.
27. Apakah proses pengidentifikasian pasien berlangsung secara sengaja atau tidak sengaja?
Mungkin secara sengaja.
28. Bagaimana proses awal sampai pasien mengidentifikasi dirinya dengan orang lain, apakah diawali dengan imitasi atau sugesti?
Mungkin diawali dengan peniruan dan selanjutnya dilanjutkan oleh pemberian pandangan.
29. Simpati
Apa yang biasanya pasien lakukan apabila merasa simpati dengan orang lain?
Biasanya sih langsung berekasi.
30. Apakah pasien bisa bersimpati setiap saat atau tergantung pada keadaan mood saja?
Setiap saat.
31. Apakah pasien bisa memahami perasaan pasien lain ?
Bisa.
Transkip Wawancara Konselor
Nama : Broh Latif
Waktu : Jakarta, 13 Agustus 2014 Pukul 11.00 WIB
Lokasi : Halmahera House
Pasien : “AM”
No Kategori Pertanyaan Jawaban Ket
NAPZA dan TC
1. Dasar Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk proses pemuliahan dari ketergantungan NAPZA di RSKO Jakarta?
Kalo disini enam bulan sampai dengan satu tahun.
2. Program apa yang dipakai untuk pemulihan pasien NAPZA?
Program therapeutic community.
3. Apakah yang dimaksud dengan program theraputic community ?
TC merupakan program yang dibuat untuk pecandu saat menjalani rehabilitasi. Tujuannya adalah mengembalikan nilai-nilai atau norma-norma yang pernah hilang dalam diri pecandu.
4. Bagaimana tahapan/proses pelaksanaan program therapeutic community ?
Dalam tahapan TC dibagi menjadi tiga fase, yakni fase primary, fase re-entry dan yang terakhir after care.
5. Sejak kapan program TC ini digunakan ? Sejak dibukannya instalasi rehabilitasi Halamhera House pada tahun 2003.
Interaksi Sosial 6.
Bagaimana interaksi pasien saat pertama mengikuti program TC ?
Saat pertama interaksi pasien kurang baik karena dia belum bisa menerima keberadaanya disini
Dasar yang berdampak kepada interaksi nya pada orang lain.
7. Bagaimana interaksi pasien dengan kelompok? Berjalan baik/tidak?
Saat ini sudah berjalan cukup baik.
8. Apakah ada perubahan pasien dalam berinteraksi sosial dari awal masuk sampai dengan sekarang?
Interaksi klien pada saat masuk sampai dengan sekarang mengalami banyak perubahan. Yang awalnya dia kurang bisa menerima keberadaannya lama kelamaan mulai bisa berubah yang berdampak kepada cara dia berinteraksi dengan orang lain.
Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial
9.
Kerja Sama
Bagaimana kerja sama yang dilakukan pasien dengan pasien lainnya ? berjalan baik atau tidak ?
Kerja sama yang dilakukan klien sekarang ini berjalan cukup baik.
10. Bagaimana bentuk kerja sama yang pasien lakukan dengan kelompok pada program TC?
Bentuk kerja sama yang dilakukan klien adalah dengan saling tolong menolong antar sesama pasien.
11. Apakah ada kesulitan saat pasien membangun kerja sama dengan kelompok atau orang-orang sekitar?
Tidak.
12. Pada kegiatan apa biasanya anda melakukan kerja sama dengan kelompok atau orang lain?
Hampir semua kegiatan. Contohnya dari bangun pagi, morning meeting, group, fucntion, olah raga dan banyak lagi.
13. Apakah ketika sedang marah atau kesal dengan pasien lain/kelompok, mengganggu kerja sama yang anda lakukan?
Tidak.
14. Persaingan Apakah pasien pernah melakukan persaingan dengan pasien lain ?
Tergantung kasus sih. Kalo masalah individu tidak, Tetapi pada saat sore hari biasanya persaingan antar kelompok.
15. Pada hal apa yang biasanya pasien lakukan Biasanya pada saat
hingga berdampak pada persaingan? sore hari waktu nya untuk berolah raga, biasanya pasien primary dan pasien re-entry bersaing dalam permainan sepak bola. Ini persaingan positif.
16.
Pertikaian/pert
entangan
Apakah pasien pernah melakukan pertikaian dengan pasien lain ?
Pernah.
17. Dalam hal apa yang biasanya menjadi bahan pertikaian oleh pasien dan teman-temannya ?
Sindiran tapi sudah ada jadwalnya biasanya banyak pertikaian itu pada kegiatan encounter dan circle group.
18. Akomodasi
(Bentuk
Penyelesaian
dari
Pertikaian)
Bagaimana bentuk penyelesaian saat pasien dan teman-temanya melakukan pertikaian?
Dengan pihak ketiga, mayor yang berugas.
19. Bagaimana interaksi pasien terhadap teman-temannya ketika pertikaian sudah diselesaikan? Langsung membaik atau tidak?
Langsung membaik.
Faktor-Faktor Interaksi Sosial
20. Imitasi
(Peniruan)
Apakah pasien suka meniru prilaku/kebiasaan-kebiasaan orang disekitar?
Iyaa.
21. Hal apakah yang biasanya ditiru oleh pasien dari orang lain? Apakah berpengaruh positif/negatif?
Biasanya paling sering meniru prilaku yang bersumber dari teman-temannya. Yaa akan berpengaruh positif untuk dirinya.
22. Apakah dengan kebiasaan pasien meniru prilaku /kebiasaan orang lain, membuat pasien tergantung pada orang tersebut?
Tidak.
23. Sugesti
(Pemberian
suatu
pandangan
yang diterima
oleh pihak
lain)
Apakah pasien dengan mudah mendapat pengaruh/pandangan dari orang lain?
Yaa mudah.
24. Faktor apa yang membuat pasien menjadi tersugesti oleh orang lain? Apakah pasien sedang banyak pikiran, tidak percaya diri atau karena menyegani orang yang memberikan sugesti?
Mungkin karena menyegani orang yang memberikan sugesti. Seperti saya, mungkin karena saya yang menjadi konselornya jadi dia menyegani saya dan mudah menerima
sugesti dari saya. 25. Apakah pasien mudah tersugesti apabila
menerima tekanan dari kelompok mayoritas?
Tidak.
26. Identifikasi
Apakah pasien mempunyai keinginan untuk menjadi sama dengan orang lain?
Tidak.
27. Apakah proses pengidentifikasian pasien berlangsung secara sengaja atau tidak sengaja?
Mungkin disengaja.
28. Bagaimana proses awal sampai pasien mengidentifikasi dirinya dengan orang lain, apakah diawali dengan imitasi atau sugesti?
Diawali dengan imitasi lalu berlanjut kepada sugesti.
29.
Simpati
Apa yang biasanya pasien lakukan apabila merasa simpati dengan orang lain?
Yaa biasanya langsung berekasi. Tergantung kepada masalah orang tersebut.
30. Apakah pasien bisa bersimpati setiap saat atau tergantung pada keadaan mood saja?
Yang saya lihat sih setiap saat.
31. Apakah pasien bisa memahami perasaan pasien lain ?
Bisa.
HASIL WAWANCARA PENULIS DENGAN KEPALA KONSELOR DI
UNIT INSTALASI REHABILITASI HALMAHERA HOUSE
Lokasi : Instalasi Halmahera House RSKO Jakarta
Waktu : Senin, 18 Agustus 2014
1. Bagaimana sejarah awal progarm TC?
� Rumah sakit ketergantungan obat sejak tahun 2003 tepatnya pada
bulan Mei mulai membuka layanan rehabilitasi. Orientasi program
yang diterapkan adalah therapeutic community. Layanan rehabilitasi
ini digagas oleh Dr. Sudirman dan Ibu Risa selaku Psikolog pada saat
itu. TC di implementasikan bersamaan dengan dibukanya layanan
rehabilitasi yang ada di RSKO Jakarta.
2. Kenapa program TC dipilih oleh RSKO Jakarta untuk pemulihan pasien
dari ketergantungan pada NAPZA?
� Program TC dipilih karena pada saat itu banyak sekali yang
menggunakan heroin, dan banyak stigma bahwasanya program TC
cocok untuk pemulihan pengguna heroin pada saat itu, dan memang
kebanyakan tempat rehabilitasi memang menggunakan metode TC.
� Dan sampai sekarang sudah hampir 75% metode tersebut berhasil
digunakan untuk pemulihan pasien dari ketergantungan terhadap
NAPZA di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta
3. Apa tujuan dalam program TC?
� Tujuan TC ini adalah lebih memfokuskan kepada perubahan diri atau
perubahan prilaku, jadi kita sebagai mantan pecandu percaya bahwa
setiap pecandu pasti mengalami perubahan prilaku, banyak nilai-nilai
yang hilang karena pemakaian obat-obatan atau NAPZA, nah disini
kita akan mengembalikan nilai-nilai yang telah hilang supaya balik
lagi.
� Sekarang TC ini sudah bisa dimodifikasi sedemikian rupa sesuai
dengan kebutuhan artinya dalam menjalani program TC lama atau
sebentarnya masa rehabilitasi yang dijalani tergantung kepada
kebutuhan pasien itu sendiri.
4. Bagaimana tahapan pada program TC di RSKO Jakarta?
� Dalam program TC terdiri dari dua tahapan program dengan
menunjukan tingkat kemajuan dari proses pemulihan yang
berlandaskan performance based, meliputi program primary yang
terdiri dari fase induction, fase primary dan fase re-entry, selanjutnya
program re-entry yang terdiri dari fase orientasi, fase A, fase B serta
fase C, dan yang terakhir program after care.
� Tahapan program primary merupakan tahapan awal dimana pasien
akan menyadari bahwa dirinya membutuhkan pertolongan tidak hanya
dalam ketergantungan terhadap narkoba tetapi juga masalah lain yakni
masalah prilaku. Dalam hal ini interaksi sosial sangat diperlukan antara
pasien satu dengan pasien lainnya seperti mendapat nasihat,
pengarahan serta pembelajaran dari pasien lainnya agar proses
pemulihan yang dijalankan bisa berjalan dengan baik.
� Pada tahap primary terdapat fase induction yang dalam hal ini awalnya
cukup sulit untuk membangun kerja sama untuk menjadi sebuah team
butuh peran dari konselor, buddy serta ketua kelompok agar pasien
sadar tujuan mereka.
5. Bagaimana interaksi sosial yang dilakukan pasien NAPZA pada saat awal
masuk menjalani program TC?
� Interaksi sosial pasien pada saat masuk pertama kali untuk menjalani
program biasanya kurang baik karena kebiasaan buruk yang terbawa
dari luar ikut masuk kedalam, maka dari itu tujuan TC disini adalah
mengembalikan nilai-nilai positif yang ada di dalam diri pecandu
untuk pulih kembali dan bisa hidup seperti masyarakat pada umumnya.
6. Bagaimana kerja sama yang dilakukan antar pasien NAPZA tahap primary
pada saat menjalani program TC?
� Sejauh ini kerja sama yang dilakukan dengan baik, kerja sama
dilakukan dalam berbagai kegiatan yang ada di dalam program TC.
Kerja sama dilakukan dengan cara saling tolong menolong satu sama
lain dengan begitu proses pemulihan akan berjalan dengan baik.
7. Apakan pasien tahap primary maupun tahap re-entry sering mengalami
persaingan dengan pasien lain?
� Dalam fase primary maupun re-entry sebetulnya tidak diperkenankan
terjadi persaingan antar pasien. Namun dalam program TC persaingan
sengaja dibuat dalam satu kegiatan. Contohnya adalah kegiatan olah
raga yang didalam nya terdapat beberapa permainan. Dengan begitu
pasien akan mengerti tentang arti persaingan namun secara sehat dan
dapat menumbuhkan keinginan dalam diri pasien agar dapat
memenangkan permainan tersebut.
� Permainan sepak bola sengaja dibuat agar pasien mengerti nilai-nilai
yang baru dari hal-hal yang kecil. Permainan sepak bola tentu akan
mengajarkan pasien selain untuk hidup sehat tetapi juga tau bagaimana
cara bersaing secara sehat dengan tidak menjatuhkan pasien lainnya
8. Apakah pasien primary maupun re-entry sering mengalami pertikaian satu
sama lain?
� Dalam berbagai kegiatan pertikaian memang sengaja di perbolehkan
misalnya dengan berpedaan pendapat dalam menjalankan kegiatan
yang ada di dalam program TC. Kami sebagai konselor memang
sengaja memperbolehkan pasien melakukan hal tersebut agar pasien
lebih bisa mengeksplorasikan dirinya dan lebih peka terhadap
keluarganya sendiri (pasien lainnya) dalam hal ini pasien memang
dituntut untuk bisa aktif di dalam lingkungannya.
9. Bagaimana proses penyelesaian jika pertikaian sedang terjadi antara pasien
satu dengan pasien lainnya?
� Jika pertikaian sedang terjadi bentuk penyelesaian yang dilakukan
adalah dengan bantuan dari chief yang bertugas. Bentuk
penyelesaiannya bisa dengan bermusyawarah bersama. Dengan begitu
pertikaian tidak akan berkanjut samapi keluar kegiatan.
HASIL WAWANCARA PENULIS DENGAN PIHAK RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT JAKARTA
1. Sejak kapan RSKO didirikan?
Jawab: RSKO dahulu bernama Drug Dependence Unit (DDU). Nama
tersebut diberikan pada tanggal 06 November 1971 dan letaknya belum di
Cibubur. Pada tanggal 12 April 1972 DDU resmi beroperasi dikawasan
kompleks Rumah Sakit Fatmawati Jakarta.
2. Siapa yang menjadi pecentus didirikannya RSKO?
Jawab: RSKO didirikan pada tahun 1971 oleh Bapak Ali Sadikin. Pada
waktu itu, Bapak Ali Sadikin menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Beliau menggagas berdirinya RSKO tidak sendirian tetapi bekerja sama
dengan Dokter Herman Susilo, MPH sebagai Kepala Dinas Kesehatan
DKI Jakarta, Prof. Dr Kusumanto Setyonegoro sebagai Kepala DIKESWA
DepKes, dan bagian Psikiatri FKUI.
3. Bagaimana latar belakang berdirinya RSKO?
Jawab: RSKO didirikan pada tahun 1972, yang sebelumnya merupakan
salah satu unit RSUP Fatmawati Jakarta. Semula RSKO bernama Drug
Dependence Unit (DDU) yang diresmikan oleh Bapak Ali Sadikin selaku
Gubernur Jakarta pada waktu itu. Pada tahun 1974 DDU berubah nama
menjadi lembaga ketergantungan obat (LKO), dimana tujuan utamanya
adalah penanganan ketergantungan obat yang komprehensif dan bersifat
jangka panjang, meliputi bidang preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Kemudian pada tahun 1978, status LKO ditingkatkan menjadi Rumah
Sakit tipe C dengan nama rumah sakit ketergantungan obat (RSKO)
dibawah Departemen Kesehatan RI sebagai unit pelaksana fungsional dari
Dirjen pelayanan medik. RSKO di Cibubur resmi digunakan pada tanggal
15 Oktober 2002 secara bertahap dilakukan pemindahan seluruh aktifitas
rumah sakit dari Fatmawati ke Cibubur. Terhitung sejak tanggal 01
Februari 2007 hingga saat ini RSKO hanya berada pada satu lokasi, yaitu
di Jl. Lapangan Tembak No.75 Cibubur, Jakarta Timur.
4. Apa visi dan misi RSKO?
Jawab: Visi RSKO : sebagai pusat layanan dan kajian Nasional maupun
regional dalam bidang gangguan yang berhubungan dengan zat (GBZ).
Misi RSKO:
a. Melaksanakan upaya preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif bagi
masyarakat umum dalam bidang gangguan yang berhubungan dengan
zat (GBZ) dan penyakit terkait serta memberikan pelayanan kesehatan
bagi masyarakat umum.
b. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga profesi serta
masyarakat umum dalam bidang gangguan yang berhubungan dengan
zat (GBZ).
c. Melaksanakan penelitian dan pengembangan dalam bidang gangguan
yang berhubungan dengan zat (GBZ).
5. Fasilitas apa saja yang tersedia di RSKO?
Jawab: Fasilitas layanan kesehatan yang tersedia antara lain: Instalasi
gawat darurat terdapat pelayanan umum dan NAPZA, instalasi rawat jalan
terdapat poli klinik umum dan poli klinik spesialis meliputi; klinik jiwa,
klinik NAPZA, klinik penyakit dalam, klinik syaraf, klinik kebidanan dan
kandungan, klinik anak, klinik kulit dan kelamin, klinik gigi dan mulut,
klinik psikologis dan klinik gizi. Kemudian instalasi rawat inap terdapat
ruang perawatan NAPZA, yaitu detoxifikasi (VIP, kelas I, kelas II, kelas
III) DAN rehabilitasi (kelas III), ruang komplikasi medik, ruang high care
unit, dan fasilitas penunjang medik. Selain itu, terdapat instalasi farmasi,
instalasi laboratorium, toxiologi, instalasi laboratorium patologi, instalasi
radiologi, instalasi rehabilitasi medik, instalasi gizi, dan instalasi
pemusalaraan jenazah.
6. Bagaimana struktur kepimpinan RSKO?
Jawab: Pada dasarnya struktur kepemimpinan di RSKO terbagi menjadi
dua Direktorat. Pertama Direktorat Medik dan Keperawatan. Kemudian
yang kedua Direktorat Keuangan dan Administrasi Umum. Masing-masing
memiliki tugas tersendiri utnuk lebih lengkapnya dapat dilihat dibrosur
RSKO.
7. Bagaimana deskripsi pekerjaan dari Pekerja Sosial di RSKO?
Jawab: Depresi pekerjaan, atau yang dilakukan Pekerja Sosial di RSKO
antara lain: melakukan evaluasi sosial, melaksanakan terapi relaksasi
kepada pasien, dinamika kelompok, kunjungan rumah, melakukan
bimbingan sosial, melakukan bimbingan rohani, melakukan terapi rekreasi,
dan melaksanakan wisata alam terpadu. Selain itu Pekerja Sosial juga
melaksanakan tugas-tugas lainnya seperti melaksanakan prevensi dan
promosi pada masyarakat baik itu pelajar, guru, pekerja, pendidik serta
mahasiswa dan dosen dan juga lain sebagainya.
8. Seperti apakah penerapan kebijakan dan alur pengambilan keputusan di
RSKO?
Jawab: Penerapan kebijakan dan alur pengambilan keputusan yang ada di
RSKO adalah yang pertama dari jajaran direksi yaitu Direktur utama dan
para komite yang membuat kebijakan lalu turun ke seksi-seksi yang ada di
RSKO lalu turun ke kepala Instalasi dan sampai kepada anak buahnya atau
jajaran yang ada dibawahnya. Sama halnya dengan pengambilan
keputusan yang mutlak adalah direktur utama dia yang berhak mengambil
keputusan baru diserahkan kepada para seksi dan selanjutnya baru turun
kepada kepala instalasi-instalasi yang ada di RSKO Jakarta. Perencanaan
keputusan yang ada di RSKO harus diajukan terlebih dahulu kepada
Direktur Utama kemudian setelah diajukan baru mendapatkan instruksi
untuk melaksanakan pengajuan tersebut (non direktif).
9. Apa rencana jangka pendek, menengah dan panjang RSKO?
Jawab: Rencana jangka pendek dan menengah dilaksanakan selama satu
tahun sekali dalam bentuk pengajuan dan perencanaan kegiatan.
Diantaranya adalah sebagai berikut: Mengusulkan kebutuhan ATK,
Bahan-bahan computer, Barang cetakan, Peningkatan keterampilan staff,
Penelitian. Sedangkan rencana jangka panjang merupakan sesuatu yang
akan dicapai dalam jangka satu sampai dengan lima tahun. Tujuan yang
ditetapkan telah mengacu kepada visi dan misi RSKO. Rencana jangka
panjang RSKO, diantaranya:
a. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang
NAPZA.
b. Memperluas cangkupan layanan tentang NAPZA (RSKO sudah bisa
memberikan pelayanan bagi pasien dual diagnosis).
c. Meningkatkan pendapatan RSKO guna meningkatkan kualitas
pelayanan Rumah Sakit.
d. Menyelenggarakan pemeliharaan saran dan prasarana sesuai standar.
e. Mewujudkan RSKO sebagai Rumah Sakit pendidikan.
f. Meningkatkan profesionalisme Sumber Daya Manusia (SDM).
g. Meningkatkan penelitian dan pengembangan dalam bidang gangguan
yang berhubungan dengan zat (GBZ).
10. Siapa saja target layanan RSKO?
Jawab: Pada dasarnya yang menjadi target layanan RSKO adalah pasien
yang mengalami ketergantungan obat. Namun, RSKO juga melayani
pasien umum. Deskripsi layanan khusus pasien ketergantungan obat yaitu,
ketika pasien baru masuk dilakukan detoxifikasi/penghilangan racun.
Mengikuti rehabilitasi dengan program TC (Therapeutic Community)
berbasis Rumah Sakit setelah itu After Care. Selain itu melakukan
kegiatan untuk rawat jalan, baik yang mengikuti program rumatan
methadone/substitusi maupun dengan proses simptomatis (diobati sesuai
dengan kebutuhan).
11. Apakah RSKO memiliki kriteria pemilihan pasien?
Jawab: RSKO tidak memilih-milih karakteristik pasien, jika pasien
memang membutuhkan pertolongan medis maka akan dilayani oleh medis
karena peraturan peraturan rumah sakit.
12. Bagaimana proses penjangkauan dan perekrutan pasien RSKO?
Jawab: Proses perekrutan di Rumah Sakit Ketergantungan Obat yang
terjadi sampai saat ini ialah pasien datang ke RSKO baik dirinya datang
sendiri, di antar kelurga dan ada juga dari putusan pengadilan dan terakhir
biasanya rujukan dari LP. Dalam penjangkauannya, Pihak RSKO
menerima pasin secara umum (Nasional) bahkan WNA asalkan mereka
merupakan pasien yang berhubungan dengan zat maupun penyakit
bawaannya. Sedangkan perekrutannya sendiri, Klien langsung mendatangi
RSKO, baik secara individual, diantar oleh pihak keluarga maupun
berdasarkan rujukan pihak kepolisisan termasuk putusan pengadilan.
13. Bagaimana alur penerimaan pasien di RSKO?
Jawab: Untuk alur penerimaan pasien di RSKO bisa dilihat gambarnya di
brosur RSKO.
14. Bagaimana jika ada pasien RSKO yang mempunyai masalah ekonomi?
Jawab: Bagi mereka yang mempunyai masalah dalam hal ekonomi, bisa
mengurus persyaratan seperti Kartu Pelayanan JAMKESMAS, GAKIN
maupun SKTM, dengan penambahan data seperti KK, KTP, Surat rujukan
Puskesmas sesuai kebutuhan.
15. Bagaimana latar belakang pendidikan staff atau pegawai yang bekerja di
RSKO?
Jawab: Berdasarkan tingkatan pendidikan staff atau pegawai yang bekerja
di RSKO antara lain: S2 (16 orang), Spesialis (14 orang), S1 (64 orang),
D3 (98 orang), SMK (14 orang), STM (9 orang), SMEA (8 orang), SMA
(26 orang), SLTP (8 orang), SMF (2 orang), SMAK (1 orang), SD (3
orang).
16. Bagaimana jejaring RSKO dengan pihak luar?
Jawab: Ruang lingkup jejaring RSKO meliputi Nasional, Regional, dan
Internasional.
1. Nasional : Dengan kemenkes beserta mitra kerja kemenkes, dengan
lembaga pendidikan (kali ini UIN Syarif Hidayatullah Jakarta),
dengan institusi kesehatan (Dinas Kesehatan), dengan Institusi
penegak hukum, LSM, serta BNN.
2. Regional : bekerjasama dengan Institusi Donor, Ikatan Profesi Adiksi
Asia-Pasifik, serta Institusi lain yang bergerak di bidang NAPZA dan
HIV/AIDS.
3. Internasional : Jejaring RSKO bekerjasama dengan beberapa
organisasi internasional yang diantaranya WHO, UNODC, serta badan
PBB lainnya.
Selain itu RSKO juga sering menjadi fasilitator pelatihan VCT (Voluntery
Counseling and Testing) yang tidak hanya diakui oleh masyarakat akan
tetapi juga dunia (bagi Asia dan Pasifik Barat) dan juga RSKO sering
melakukan pertemuan rutin dengan Negara sedunia, ASEAN, Asia Pasifik
guna membahas masalah ketergantungan NAPZA dan HIV/AIDS.
Melakukan pertemuan tahunan terapi farmakologi untuk drugs dependency
tingkat Asia Tenggara dan Pasifik dibawah koordinasi University Adelaide
Australia.
Tabel 3
Jadwal Kegiatan Pasien Primary1
Waktu Senin Selasa Rabu Kamis Jum’at Sabtu Minggu 04.30 s/d
05.00 Shubuh Prayer
06.00 s/d 06.15
Wake up call, Coffe break
06.15 s/d 06.45
Personal Time
06.45 s/d 07.15
Wash up
07.15 s/d 08.00
Breakfast, Attitude room run
08.00 s/d 10.00
Morning Meeting Morning Briefing
10.00 s/d 11.15
Function
11.15 s/d 11.30
Break & Wash up
11.30 s/d 12.30
Lecture Group Profesional Seassion
Lecture Group Na Meeting
Sholat Jum’at
-
12.30 s/d 13.30
Dzuhur Prayer & Lunch
13.30 s/d 15.00
Siesta
15.00 s/d 16.00
Confrontation Group
Static Group
Confrontation Group
EncounterGroup
Religius Class
-
16.00 s/d 17.30
Recreation Hour (Sport & Music)
17.30 s/d 18.00
Fuction Groun Floor
18.00 s/d 20.00
Wash Up, Prayer & Dinner
20.00 s/d 21.00
Turn Over Meeting Saturday Night
Activity
-
21.00 s/d 21.30
Free Time & Supper
21.30 s/d 22.00
House Follow Up & Preparation
22.00 Curfew
1Buku Panduan Instalasi Rehabilitasi Halmahera House RSKO Jakarta, Walking Paper Reguler
Program.
Tabel 4
Jadwal Kegiatan Pasien Re-Entry2
Waktu Senin Selasa Rabu Kamis Jum’at Sabtu Minggu 04.30 – 05.00 Shubuh Prayer 05.00 – 08.00 Back For Activity 08.00 – 10.00 Morning Meeting Morning Briefing 10.00 – 11.15 Function 11.15 – 11.30 Break & Wash Up 11.30 – 12.30 Arvy Re-
Entry Session
Relapse Prevention Activity
Na Meeting Sholat Jum’at - -
12.30 – 13.30 Dzuhur Payer & Lunch 13.30 – 15.00 Siesta 15.00 – 16.00 Crackle
Barrel Static Group
Relapse Prevention
Group
Concern Group
Religius Activity
- -
16.00 – 17.30 Bersosialisasi dengan orang lain - - 17.30 – 18.00 Function Group Floor 18.00 – 20.00 Wash Up, Prayer & Dinner 20.00 – 21.30 Confrontation Group & reflection of the day Saturday
Night Activity
Weekend Reflection
21.30 -22.00 Free Time 22.00 Curview
Tabel 5
Jumlah Konselor dan Pasien di Instalasi Rehabilitasi Halmahera House
No. Nama Jumlah
1. Konselor 11 orang
2. Pasien Primary 7 orang
3. Pasien Primary Female 3 orang
4. Pasien Re-Entry 7 orang
5. Pasien Spesial Program 11 orang
Jumlah 39 orang
2 Wawancara Pribadi dengan Broh Okto Selaku Manager Program Halmahera House, Jakarta 20
Agustus 2014.
HASIL DOKUMENTASI
1. Gambar 1 Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Ketergantungan Obat
(RSKO) Jakarta yang beralamat di Jl. Lapangan Tembak Raya No. 75
Cibubur, Jakarta Timur. Telp (021) 87711967-68. Bertepatan persis di
depan pasar Cibubur Jakarta. Gambar diatas adalah gambar plang dan
kondisi bagian depan bangunan Rumah Sakit Ketergantungan Obat
Jakarta.
2. Gambar 2 Instalasi Rehabilitasi Halmahera House RSKO Jakarta.
Gambar diatas merupakan bagian depan atau pintu masuk dari
ruangan rehabilitasi Halmahera House di RSKO Jakarta, di dalamnya
berisi pasien Detox, Primary dan juga Spesial Program.
3. Tempat berlangsungnya kegiatan Morning Meeting
Gambar diatas merupakan ruangan atau tempat yang biasanya
dipakai oleh pasien Primary untuk melaksanakan kegiatan morning
meeting setiap hari senin sampai dengan jum’at pukul 08.00-10.00.
morning meeting merupakan pertemuan yang dilakukan setiap pagi dan
dihadiri oleh seluruh anggota rumah yang bertujuan sebagai pembuka hari
yang selalu dipimpin oleh mayor (staff) yang bertugas. Dalam kegiatan ini
membutuhkan kerja sama antara pengatur rumah yang bertugas dengan
seluruh anggota rumah agar kegiatan morning meeting bisa berjalan
dengan baik.
Dalam kegiatan morning meeting terdapat beberapa tahapan
diantaranya yang pertama adalah feeling check (yakni bagaiamana
perasaan yang dirasakan saat ini), lalu announcement (yakni
pemberitahuan atau pengumuman yang tujuannya memberi informasi baik
untuk komunitas maupun individu), selalunjutnya pull up (yakni satu
perangkat untuk membantu kesadaran/daya ingat dalam rumah serta
sebagai mata dan telinga rumah. Dilakukan dengan menuliskan berbagai
macam hal yang ada dalam rumah yang dinilai tidak sesuai), berikutnya
adalah pemberian motivasi lalu pemberian penghargaan (biasanya untuk
anggota rumah yang rajin/anggota rumah yang perubahannya memberikan
pengaruh yang positif kepada anggota rumah lainnya), setelah itu second
half (biasanya diisi dengan obrolan-obrola kecil sambil merokok),
memberikan berita lalu seluruh anggota rumah memberikan tanggapan
untuk tema hari ini dan yang terakhir ditutup dengan membacakan doa
kedamaian oleh seluruh anggota rumah. Dalam kegiatan ini biasanya
posisinya dengan membentuk lingkaran oleh seluruh anggota rumah
termasuk mayor yang bertugas.
4. Gambar 4 Tempat atau Ruangan untuk Group (Lecture Group, Profesional
Sesson, dan Religius Class).
Gambar diatas merupakan ruangan atau tempat untuk berbagai
kegiatan group yakni diantaranya lecture group (lecture group merupakan
work shop yang berisi tentang berbagai hal yaang berhubungan dengan
adiksi). Lalu profesional session (berisi seminar tentang kesehatan oleh
tenaga medis yang bertugas di RSKO Jakarta), selanjutnya religius class
(yang berisi tentang ceramah keagamaan oleh Peksos).
5. Gambar 5 Tempat atau Ruangan yang di Gunakan Untuk Kegiatan
Confrontation Group, Na Meeting, dan Encaounter Group.
Gambar diatas merupakan tempat atau ruangan yang dipakai untuk
kegiatan confrontation group (yang merupakan group dimana berisi untuk
mempertanggung jawabkan permohonan yang dilakukan misalnya
kenaikan fase dan juga mengevaluasi seluruh pasien oleh mayor dan
membahas prilaku negatif, mengungkapkan masalah yang dialami oleh
pasien serta mencari solusinya. Bertujuan untuk membantu para pasien
agar mampu melihat prilaku negatif yang ada di sekitar mereka kemudian
merenungkan dan dipecahkan masalah yang ada secara bersama-sama),
lalu ada na meeting (kegiatan yang berisi tentang pengalaman terdahulu
dari anggota rumah dengan cara sharing) dan selanjutnya adalah kegiatan
encounter group (dimana seluruh anggota rumah berhak mengeluarkan
perasaan yang ingin diungkapkan terhadap pasien lain).
6. Gambar 6 Kegiatan Function
Gambar diatas merupakan kegiatan function yang dilakukan oleh
seluruh anggota rumah. Function merupakan kegiatan untuk melatih para
pasien hidup sehat dan juga selalu menjaga kebersihan. Kegiatan ini
dilaksanakan setiap hari pada saat pagi dan sore hari.
7. Gambar 7 Tempat untuk Kegiatan Berolah Raga.
Gambar diatas merupakan tempat atau fasilitas untuk para pasien
melakukan kegiatan olah raga. Bertujuan untuk menyehatkan fisik para
pasien setelah fisik mereka rusak karena mengkonsumsi NAPZA.
8. Gambar 8 Tempat atau Ruang Kamar Pasien.
Gambar diatas merupakan tempat atau ruang kamar yang
digunakan oleh para pasien.di dalam ruangan ini terdiri dari 5 orang dalam
satu ruangan.
9. Gambar 9 Tempat atau ruangan yang di gunakan untuk makan bersama.
Gambar diatas merupakan tempat atau ruangan yang biasanya
dipakai untuk makan bersama oleh pasien atau seluruh anggota rumah.
Dalam kegiatan ini bertujuan untuk membangun kerja sama dan interaksi
yang baik dengan seluruh anggota keluarga.