INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley
Transcript of INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley
INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley
DALAM PENGAWETAN MENGGUNAKAN LARUTAN
FIKSATIF
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
SARJANA KEDOKTERAN
Oleh :
CHAERANI KURNIATIN
11161030000087
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2019 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
iii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
iv
LEMBAR PENGESAHAN
v
ABSTRAK
Chaerani Kurniatin. Fakultas Kedokteran. Intensitas Warna Otot Rangka
Tikus Sprague dawley Dalam Pengawetan Menggunakan Larutan Fiksatif.
2019.
Latar Belakang Kadaver merupakan salah satu instrumen penting pada
pembelajaran anatomi. Pengawetan kadaver berpengaruh pada kualitas kadaver.
Saat ini yang banyak digunakan untuk mengawetkan kadaver yaitu bahan kimia
seperti formalin, alkohol dan gliserin. Akan tetapi penggunaan formalin dalam
konsentrasi tinggi dapat berdampak negatif bagi kesehatan dan pada jaringan akan
tampak lebih gelap karena tingginya reaksi oksidasi. Penggunaan formalin
konsentrasi rendah memberikan efek fiksatif yang lebih singkat. Penambahan
alkohol akan menyebabkan jaringan menjadi tidak terlalu kaku, sedangkan
gliserin selain memberi efek fiksatif juga berfungsi sebagai emolien. Keberadaan
kulit yang mempunyai fungsi salah satunya sebagai sistem pertahanan atau barier
dapat mencegah masuknya zat dari luar tubuh. Hal tersebut diduga dapat
berpengaruh pada penetrasi zat fiksatif saat dilakukan proses pengawetan.
Tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui intensitas warna otot rangka tikus
Sprague dawley yang diawetkan menggunakan larutan fiksatif dengan perlakuan
dikuliti dan tidak dikuliti. Metode yang digunakan adalah metode eksperimental.
Sampel yang digunakan adalah 12 ekor tikus jantan Sprague dawley yang baru
saja mati (<2 jam). Tikus yang sudah mati sebagian dikuliti kemudian dimasukkan
ke dalam toples kaca yang berisi campuran larutan fiksatif. Toples kaca ditutup
rapat dan disimpan selama 10 bulan. Pengukuran intensitas warna dilakukan
dengan cara mencocokkan intensitas warna otot rangka dengan skala terang dan
gelap yang sudah dibuat menggunakan aplikasi Photoshop CS3. Hasil Intensitas
warna otot rangka tikus yang diawetkan menggunakan campuran larutan fiksatif
pada perlakuan yang dikuliti dan tidak dikuliti, semua sampel berada pada
kategori terang. Tidak ada perbedaan pada kedua perlakuan. Kesimpulan
Intensitas warna otot rangka berada pada kategori terang.
Kata kunci : formalin, alkohol, gliserin, otot rangka, dikuliti.
vi
ABSTRACT
Chaerani Kurniatin. Faculty of Medicine. Color Intensity of Sprague
dawley’s Skeletal Muscle in Preservation Using Fixative Solution. 2019.
Background Cadaver is one of the most important instrument on anatomy
teaching. Cadaver embalming has an effect on cadaver quality. Currently, the
most widely used to preserve cadavers are chemical agent such as formaldehyde,
alcohol an glycerin. However, the use of high consentration formalin has negative
impact on health and tissue so it will be looked darker because of the high
oxidation reaciton. The use of low consentration formalin provides shorter
fixative effect. The addition of alcohol will make the tissue is not stiff, while the
addition of glycerin besides giving a fixative effect, it also works as an emollient.
The presence of skin as barier, that can prevent the entry of other substance from
outside. It is also suspected, affecting penetration of fixative sustance during the
preservation. Purpose The purpose of this study is to determine the color intensity
of Sprague dawley’s skeletal muscle are preserved using fixative solution with
skinned and not skinned treatments. Methode The methode used is an
experimental design. The samples used were 12 male Sprague dawley mices that
had just died (<2 hours). Mices were partially skinned and than put into glass jars
containing mixture of fixative solution. The glass jars were closed tightly and
stored for 10 months. Measurement of color intensity is done by matching the
color intensity of skeletal muscle with light and dark scales that have been made
using Photoshop CS3 application. Result The color intensity of mices’ skeletal
muscle were preserved using fixative solution with skinned and not skinned
treatments, all samples were in the light category. There was no difference in both
treatments. Conclusion The color intensity of skeletal muscle is in light category.
Keyword : Formaldehyde, alcohol, glycerin, skeletal muscle, skinned.
vii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh,
Bismillahirrohmaanirrohim,
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya, sehingga laporan penelitian ini dapat selesai pada waktunya. Sholawat serta
salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, penutup para
Nabi dan Rasul yang telah membimbing umat manusia dari gelapnya zaman
jahiliyah menuju zaman yang penuh dengan cahaya ilmu pengetahuan.
Alhamdulillahirobbilalamin, selesainya penulisan laporan penelitian ini,
penulis menyadari bahwa laporan ini tidak dapat tersusun dengan baik tanpa
dukungan, bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Orang tua tercinta, Sobirun dan Parsiyah, serta orang tua saya di rantau
Farido dan Ny Ngatiyah yang selalu memberikan doa, kasih sayang dan
dukungan sepanjang hidup saya, terkhusus dalam menyelesaikan laporan
penelitian ini.
2. Kementrian Agama Republik Indonesia selaku penyedia Program Beasiswa
Santri Berprestasi (PBSB).
3. dr. Hari Hendarto, Ph.D., Sp.PD-KEMD selaku Dekan Fakultas Kedokteran
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. dr. Achmad Zaki, M.Epid., Sp.OT selaku ketua Program Studi
Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. dr. Lucky Brilliantina, M.Biomed dan Rr Ayu Fitri Hapsari, S.Si.,
M.Biomed selaku dosen pembimbing yang selalu memberi bimbingan, ilmu
dan arahan selama menjalankan dan menyusun laporan penelitian ini.
6. drg. Laifa Annisa Hendarmin, Ph.D selaku penannggung jawab modul riset
Program Studi Kedokteran angkatan 2016.
7. dr. Nurmila Sari, M.Kes dan dr. Devy Ariany, M.Biomed selaku penguji
skripsi.
8. Saudara dan sahabat saya Vina Izzatul Awaliyah, Siti Mutia Qutratuain,
Akbar Maulana Azhari Kotta dan Ahmad Faizun Ni’am yang terkumpul
dalam Backpacker ala-ala atas motivasi dan semangatnya.
9. Raden Muhammad Hidayat dan Muhammad Ilham Indraprasta, teman
sepenelitian yang sudah berjuang bersama menghadapi segala rintangan
selama penelitian dan penyusunan laporan penelitian.
10. Mas Panji, Pak Bacok dan Mba Din sebagai laboran anatomi dan histologi
atas bantuannya selama menjalankan penelitian ini.
11. Sahabat saya (alm) Syihabul Anam dan Dian Suci Utami yang telah
memotivasi saya untuk menyelesaikan laporan ini.
viii
12. Tempat curhat dan berbagi suka duka saya Hibban Ahmad Daffa dan Ratu
Nadia Cahyaningtias.
13. Teman-teman dan keluarga besar CSSMoRA UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta terkhusus MAESTRO 2016 yang selalu memberi dukungan dan
motivasi untuk segera menyelesaikan laporan penelitian ini.
14. Teman-teman Program Studi Kedokteran, PACEMAKER 2016 yang selalu
memberi semangat untuk menyelesaikan penelitian ini.
15. Seluruh pihak yang telah membantu dan memberi dukungan baik secara
langsung maupun tidak langsung yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa laporan penelitian ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk laporan penelitian ini agar kedepannya dapat jauh lebih baik.
Besar harapan penulis bahwa laporan penelitian ini dapat memberikan manfaat
bagi semua pihak. Semoga penelitian yang telah dilakukan bisa menjadi ilmu
yang bermanfaat sehingga menjadi amal jariyah dan diberkahi oleh Allah SWT.
Aamiin.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.
Ciputat, 20 November 2019
Chaerani Kurniatin
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................................ ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................... iii
ABSTRAK ..........................................................................................................................iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... xii
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 3
1.3 Hipotesis ............................................................................................................. 3
1.4 Tujuan ................................................................................................................. 3
1.4.1 Tujuan Umum ............................................................................................. 3
1.4.2 Tujuan Khusus ............................................................................................ 3
1.5 Manfaat ............................................................................................................... 3
1.5.1 Bagi Peneliti ................................................................................................ 3
1.5.2 Bagi Institusi ............................................................................................... 3
1.5.3 Bagi Masyarakat ......................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 5
2.1 Anatomi Otot Rangka ......................................................................................... 5
2.2 Kulit .................................................................................................................... 6
2.2.1 Histologi Kulit ............................................................................................ 6
2.2.2 Kulit Sebagai Barier .................................................................................... 9
2.3 Proses Pembusukan ........................................................................................... 11
2.4 Larutan Fiksatif ................................................................................................. 16
2.4.1 Formalin .................................................................................................... 16
2.4.2 Alkohol ..................................................................................................... 17
2.4.3 Gliserin ...................................................................................................... 17
x
2.4.4 Campuran Larutan..................................................................................... 18
2.5 Kadaver ............................................................................................................. 21
2.6 Kerangka Teori ................................................................................................. 22
2.7 Kerangka Konsep .............................................................................................. 23
2.8 Definisi Operasional ......................................................................................... 32
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................................. 25
3.1 Desain Penelitian .............................................................................................. 25
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................................... 25
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ........................................................................ 25
3.4 Variabel Penelitian ............................................................................................ 27
3.5 Cara Kerja Penelitian ........................................................................................ 27
3.6 Analisis Data ..................................................................................................... 28
3.7 Alur Penelitian .................................................................................................. 29
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 30
5.1 Hasil Pengamatan Intensitas Warna .................................................................. 30
5.2 Kekurangan Penelitian ...................................................................................... 32
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................ 33
5.1 SIMPULAN ...................................................................................................... 33
5.2 SARAN ............................................................................................................. 33
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 34
LAMPIRAN ...................................................................................................................... 38
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Tabel Intensitas Warna Otot Rangka Tikus .............................................. 34
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Vaskularisasi Otot Rangka ................................................................... 5
Gambar 2.2 Lapisan Kulit ........................................................................................ 6
Gambar 2.3 Lapisan Epidermis ................................................................................ 7
Gambar 2.4 Struktur Kimia Formalin ...................................................................... 10
Gambar 2.5 Faktor yang Mempengaruhi Dekomposisi............................................ 13
Gambar 2.6 Mekanisme Masuknya Zat ke dalam Kulit ........................................... 16
Gambar 4.1 Sediaan Otot Rangka Dikuliti dan Tidak Dikuliti ................................ 30
xiii
DAFTAR SINGKATAN
ATP Adenosine Triphosphate
UV Ultravolet
LG Lamellar Granules
CCE Comified Cell Envelope
PG Proteoglikan
GAG Glikosaminoglikan
BMI Body Mass Index
BPJ Berat Per Sejuta
NMF Natural Mouisturizing Factor
TEWL Transepidermal Water Lost
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Keterangan Lolos Kaji Etik ......................................................... 38
Lampiran 2 Foto Makroskopik ................................................................................. 39
Lampiran 3 Identitas Penulis .................................................................................... 41
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anatomi merupakan salah satu ilmu dasar yang penting dipelajari pada
pendidikan kedokteran. Proses pembelajaran anatomi menggunakan kadaver
sebagai salah satu media pembelajaran.1 Agar dapat dipelajari dengan baik, maka
kadaver harus diawetkan. Kadaver bisa dikatakan baik untuk pembelajaran
apabila kondisinya menyerupai ketika masih hidup.2
Metode dan teknik pengawetan kadaver sudah ada sejak zaman dahulu yang
berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Teknik budaya kuno
menggunakan bahan-bahan alami seperti madu, minyak cedar (Cedrus deodora),
kemenyan dan tar. Sedangkan untuk teknik modern yang digunakan saat ini yaitu
menggunakan bahan-bahan kimia seperti formalin, gliserin, alkohol, fenol, etanol,
mercurial, oxidizing agents dan pikrat.1,2,3
Pengawetan kadaver saat ini kebanyakan menggunakan larutan fiksatif.
Larutan fiksatif adalah larutan yang berfungsi mencegah autolisis dan degradasi
jaringan serta komponen jaringan sehingga dapat diamati secara anatomis maupun
mikroskopik.4
Larutan fiksatif terbagi menjadi 2 yaitu larutan fiksatif berbasis
formalin (formalin based solutions) dimana dalam larutan tersebut mengandung
>0% formaldehid dan larutan fiksatif berbasis non-formalin (non-formalin based
solutions) yaitu larutan fiksatif yang tidak mengandung formaldehid (0%
formaldehid).1 Larutan formalin merupakan larutan yang paling sering digunakan
sebagai larutan fiksatif.1,5,6
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga menggunakan campuran larutan
formalin-fenol dengan konsentrasi formalin 37%. Konsentrasi formalin yang
tinggi tersebut dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan diantaranya
yaitu iritasi kulit, konjungtivitis, infeksi saluran nafas dan juga bersifat
karsinogenik.6,7
Selain berdampak negatif bagi kesehatan, formalin konsentrasi
tinggi juga menyebabkan otot tampak lebih gelap atau kecoklatan karena
tingginya reaksi oksidasi.2,6
Penelitian Viskasari dkk (2012) tentang efektivitas
2
dari formalin konsentrasi rendah (5-7,5%) dengan campuran fenol dan gliserin
pada pengawetan kadaver mendapatkan hasil bahwa hasil pengawetan
menggunakan formalin konsentrasi rendah lebih bagus untuk pembelajaran
anatomi.6 Penggunaan formalin konsentrasi rendah memberikan efek fiksatif yang
lebih singkat, sehingga perlu ditambahkan campuran jenis larutan fiksatif lain.1
Penambahan gliserin dan fenol selain memberikan efek fiksatif, gliserin juga
berfungsi sebagai emolien sehingga jaringan yang diawetkan tidak terlalu kering.
Sedangkan penambahan fenol akan menyebabkan jaringan mejadi tidak terlalu
kaku atau keras.8
Proses pengawetan kadaver dapat dilakukan dengan dua teknik, yaitu teknik
supravital (injeksi) dan perendaman. Proses pengawetan dipengaruhi oleh
berbagai macam faktor, salah satunya yaitu ada tidaknya barier yang menghalangi
masuknya zat fiksatif.2
Kulit pada makhluk hidup mempunyai berbagai fungsi,
antara lain sistem pertahanan, metabolik, termoregulator dan organ sensori.
Sebagai sistem pertahanan, kulit dapat mencegah masuknya zat maupun
mikroorganisme dari luar tubuh.9 Lamanya waktu pengawetan juga
mempengaruhi kualitas dari kadaver. Efektivitas dari pengawetan dapat dilihat
setelah 8-12 bulan untuk kadaver yang digunakan pada pembelajaran anatomi.1
Otot rangka merupakan jaringan otot paling umum yang letaknya
superfisial, yaitu berada di bawah kulit.10
Setelah terjadi kematian, otot rangka
merupakan salah satu jaringan yang akan mengalami proses pembusukan.
Pembusukan adalah keadaan dimana jaringan lunak tubuh akan mengalami
kehancuran baik karena autolisis (penghancuran karena aktivitas enzim intrasel)
maupun karena pengaruh mikroorganisme yang akan mengalami perkembangan
seiring dengan waktu. Otot rangka merupakan jaringan yang termasuk lama
mengalami proses pembusukan.2,11
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui hasil pengawetan jaringan otot rangka. Menggunakan formalin
konsentrasi rendah (7,5%) dengan campuran alkohol dan gliserin. Diharapkan
dengan larutan fiksatif tersebut mampu mengurangi efek negatif paparan formalin
3
konsentrasi tinggi namun tetap menghasilkan kadaver yang baik untuk
pembelajaran anatomi.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana intensitas warna otot rangka tikus Sprague dawley setelah
diawetan menggunakan larutan fiksatif dengan metode perendaman ?
1.3 Hipotesis
Intensitas warna otot rangka menjadi lebih terang daripada otot rangka yang
diawetkan menggunakan larutan yang mengandung formalin konsentrasi tinggi.
1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui hasil pengawetan tikus Sprague dawley menggunakan larutan
fiksatif yang diberi perlakuan dikuliti dan tidak dikuliti.
1.4.2 Tujuan Khusus
Mengetahui intensitas warna otot rangka tikus Sprague dawley yang
diawetkan menggunakan larutan fiksatif dengan perlakuan dikuliti dan tidak
dikuliti.
1.5 Manfaat
1.5.1 Bagi Peneliti
1. Diketahuinya hasil pengawetan otot rangka menggunakan larutan fiksatif
yang mengandung formalin konsentrasi rendah.
2. Menambah ilmu pengetahuan tentang pengawetan kadaver.
3. Memperoleh gelar Sarjana Kedokteran.
1.5.2 Bagi Institusi
1. Menjadi referensi tentang campuran larutan fiksatif baru.
2. Menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya.
3. Diketahuinya perlakuan yang tepat yaitu dikuliti atau tidak dikuliti untuk
mendapat sediaan otot rangka yang baik sehingga dapat digunakan dalam
pembelajaran anatomi.
4
1.5.3 Bagi Masyarakat
Menambah pengetahuan bahwa formalin konsentrasi rendah (<10%)
bisa memberi efek baik pada proses pengawetan.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Otot Rangka
Otot rangka atau biasa disebut otot lurik merupakan salah satu jenis otot
paling umum dari jaringan otot yang bekerja secara volunter. Sel otot rangka
tersusun memanjang, paralel dan multinuklear, serta dibungkus oleh selubung
kolagen tipe 1. Susunannya yang beraturan menyebabkan otot rangka
memungkinkan untuk melakukan kontraksi yang kuat. Akan tetapi karena struktur
tersebut juga menyebabkan otot rangka mempunyai rentang kontraktil terbatas,
otot rangka hanya mampu memendek 30% dari panjang semula. Oleh karena itu,
apabila memerlukan rentang pergerakan yang lebih besar, diperlukan
pemanjangan yang bisa dilakukan oleh sistem tuas. Otot rangka dipersarafi oleh
saraf motor somatik, dan kadang disebut sebagai otot volunter karena
kontraksinya dimulai dibawah kendali kesadaran. Sistem vaskularisasinya
tergantung pada kebutuhan dan besarnya otot rangka.10
Gambar 2.1 Vaskularisasi Otot Rangka Sumber : Standring, Susan. 2016.
10
6
2.2 Kulit
2.2.1 Histologi Kulit
Gambar 2.2 Lapisan Kulit Sumber : Mescher, Anthony L. 2016.
9
Kulit merupakan organ paling berat yang ada pada tubuh manusia. Organ
kulit mempunyai beberapa fungsi, yaitu :9,12
1. Proteksi, yaitu kulit menyediakan sawar fisik terhadap suhu dan mekanik
terhadap gaya gesek serta patogen yang menyerang tubuh manusia. Kulit
mempunyai pigmen melanin yang melindungi dari radiasi sinar UV. Kulit juga
melindungi tubuh dari kehilangan atau ambilan air secara berlebihan.
2. Sensorik, dikulit terdapat banyak reseptor sensorik yang penting dalam
interaksi tubuh dengan lingkungan.
3. Termoregulator, dengan adanya lapisan lemak pada kulit berfungsi untuk
mempertahankan suhu tubuh, selain itu juga kulit dapat mempercepat
pengeluaran panas dengan produksi keringat.
4. Metabolik, yaitu fungsinya dalam sintesis vitamin D serta apabila terjadi
kelebihan elektrolit dalam tubuh dapat dikeluarkan bersama-sama dengan
keringat.
5. Sinyal seksual, yaitu feromon yang dihasilkan oleh kelenjar keringat apokrin.
Kulit tersusun atas tiga lapisan utama. Lapisan pertama yaitu epidermis,
kemudian dibawahnya ada lapisan dermis dan yang terdalam ada subdermis.9
Ketiga lapisan tersebut saling terkait dalam menjalankan fungsinya.
7
Gambar 2.3 Lapisan Epidermis Sumber : Mescher, Anthony L. 2016.
9
a. Epidermis
Epidermis bersifat dinamis yang aktif beregenerasi dan merespon terhadap
rangsangan dari luar tubuh. Penyusun terbesar dari lapisan ini adalah sel
keratinosit.9 Selain keratinosit, terdapat juga sel melanosit yang menghasilkan
melanin, sel Langerhans sebagai antigent presenting cell, serta sel Merkel yang
berfungsi sebagai reseptor mekanik. Keratinosit tersebut tersusun atas beberapa
lapisan yang menunjukkan terhadap proses diferensiasi secara dinamis. Tujuan
dari regenerasi tersebut yaitu menyediakan sawar pelindung tubuh.13
1) Stratum basalis
Lapisan ini adalah lapisan terdalam yang berbatasan dengan dermis. Tipe sel
pada stratum basalis yaitu berbentuk toraks yang berjajar di atas membran basalis.
Keratinosit dihubungkan dengan membran basalis oleh protein struktural yang
disebut hemidesmosom. Apabila terdapat gangguan pada hemidesmosom maka
kulit tidak mampu menahan tauma mekanis.12,13
Ciri khas dari lapisan ini adalah keratinosit yang aktif membelah dan
merupakan asal dari keratinosit pada seluruh lapisan epidermis. Terdapat berbagai
macam keratin yang dihasilkan oleh keratinosit, dimana dua macam keratin akan
berpasangan (α-heliks) kemudian membentuk ikatan yang nantinya menjadi
sitoskeleton. Sitoskeleton tersebut memberi kekuatan pada keratinosit untuk
menahan gaya mekanik pada kulit. Sitoplasma dari keratinosit mengandung
banyak melanin , yaitu pigmen warna yang tersimpan dalam melanosom. Melanin
berfungsi menyerap sinar UV yang berbahaya bagi DNA. Pada lapisan ini juga
terdapat sel Merkel.9,12
8
2) Stratum spinosum
Stratum spinosum berada di atas stratum basalis yang memiliki keratinosit
berbentuk poligonal dan berukuran lebih besar dibanding keratinosit pada stratum
basalis.12
Terdapat desmosom yang menyambung antar keratinosit. Desmosom ini
tersusun atas berbagai protein struktural, seperti desmoglein dan desmokolin,
yang memberikan kekuatan pada epidermis terhapat trauma fisis di permukaan
kulit.13
Keratinosit stratum spinosum membentuk lamellar granules (LG) yang
terdiri atas berbagai protein dan lipid dimana nantinya akan berguna dalam
pembentukan sawar lipid pada stratum korneum. Pada lapisan ini juga terdapat sel
Langerhans yang berfungsi sebagai sel penyaji antigen dan kemudian dipajankan
pada limfosit untuk dikenali.13
3) Stratum granulosum
Keratinosit pada stratum granulosum mengandung keratohyaline granules
yang berisi profilagrin dan loricrin, dimana kedua unsur tersebut penting dalam
pembentukan comified cell envelope (CCE).13
Secara alamiah, keratinosit pada
lapisan ini sudah mulai melakukan program apoptosis.9 Pada saat keratinosit mati,
profilagrin akan diubah menjadi filagrin yang nantinya akan bergabung dengan
filamen intrasitoplasma keratinosit menjadi makrofilamen, sebagian lagi ada yang
menjadi asam urokanat yang akan memberikan kelembaban pada stratum
korneum dan menyaring sinar UV. Sedangkan loricrin akan bergabung dengan
protein struktural desmosom dan berikatan dengan membran plasma desmosom,
yang kemudian nantinya akan menjadi CCE sebagai sawar di stratum
korneum.12,13
4) Stratum korneum
CCE (comified cell envelope) yang sudah mulai dibentuk akan ditata
bersama dengan lipid yang dihasilkan LG (lamellar granules). Matriks lipid
ekstraseluler ampuh menahan kehilangan air, mengatur permeabilitas,
deskuamasi, aktivitas peptida antimikroba, pengeluaran toksin serta penyerapan
zat kimia secara selektif. Keratinosit pada stratum korneum adalah kertinosit yang
sudah mati.13
9
b. Dermis
Dermis sebagian besar tersusun atas protein kolagen, terdapat juga protein
elastin yang memberi kulit kekuatan dan elastisitasnya. Kedua protein tersebut
tertanam dalam matriks proteoglikan (PG) dan glikosaminoglikan (GAG).9 PG
dan GAG tersebut dapat menyerap dan mempertahankan air dalam jumlah besar
sehingga berperan dalam proses pengaturan cairan.13
Selain itu di dermis juga terdapat fibroblas, makrofag dan sel mast.
Fibroblas berfungsi memproduksi matriks jaringan ikat serta protein kolagen dan
elastin. Makrofag sebagai elemen pertahanan tubuh. Pembuluh darah vena dan
arteri, serabut saraf, folikel rambut dan kelenjar juga terdapat pada lapisan ini.12,13
c. Subdermis
Lapisan subdermis tersusun atas jaringan lemak yang berfungsi
mempertahankan suhu tubuh dan cadangan energi, serta sebagai bantalan apabila
terdapat trauma. Sel-sel lemak tersebut terbagi menjadi lobus yang dipisahkan
oleh septa.13
2.2.2 Kulit Sebagai Barier
Sebagai organ terbesar, kulit berfungsi melindungi tubuh dari bahaya luar,
mencegah invasi mikroba, regulasi suhu dan mempertahankan hidrasi. Fungsi
proteksi kulit dilakukan oleh epidermis sebagai lapisan terluar. Stratum korneum
yang merupakan lapisan terluar dari epidermis, bertugas mempertahankan air
dalam tubuh serta adanya hydro-lipid film sebagai pertahanan pertama yang
berhubungan langsung dengan dunia luar. Stratum korneum tersusun atas
struktural yang tepat berupa korneosit (keratinosit yang mengalami kornifikasi),
NMF (natural mouisturizing factor), jumlah dan rasio lipid tepat, dimana semua
itu akan membentuk “brick and mortar barier”. Prekursor lipid yang berada di
stratum korneum mencakup FFA (free fatty acid), kolesterol dan ceramid.
Konsentrasi dan proporsi lipid inilah yang berfungsi sebagai barier esensial untuk
mencegah TEWL (transepidermal water lost). Fungsi kulit dalam
mempertahankan hidrasi dilakukan oleh keratin dan filagrin superfisial. Fungsi
barier terbesar dari stratum korneum mencakup 20-40% ketebalannya dari
permukaan.13,14
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi fungsi kulit sebagai
10
barier. Antara lain yaitu ras, usia, jenis kelamin, posisi anatomi, gaya hidup dan
indeks masa tubuh.15
Masuknya zat ke dalam kulit dapat terjadi melalui beberapa mekanisme,
yaitu15
:
a. Interseluler, yaitu zat masuk ke dalam kulit melalui celah antar sel yang ada
di stratum korneum. Mekanisme ini tergantung pada karakteristik zat yang
masuk. Partikel dengan ukuran 5-7 nm dapat masuk melalui mekanisme ini.
b. Transeluler, yaitu proses masuknya zat ke dalam kulit terjadi melalui sel
keratinosit. Mekanisme ini merupakan mekanisme yang paling selektif,
karena zat yang masuk melalui mekanisme ini berarti sudah melewati
berbagai macam lapisan struktural kulit.
c. Transapendageal, yaitu zat masuk melalui derifat dari kulit seperti kelenjar
sebasea, kelenjar keringat dan folikel rambut. Mekanisme ini biasanya
digunakan oleh zat yang larut dalam air. Ukuran partikel yang dapat masuk
melalui mekanisme ini yaitu sekitar 36 nm-210 μm.
Gambar 2.4 Mekanisme Masuknya Zat ke dalam Kulit
Sumber : Dabrowska, AK. 2017.15
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi permeabilitas kulit, yaitu posisi
anatomi dari kulit, usia, jenis kelamin dan jenis kulit. Faktor- faktor tersebut
dinilai berdasarkan ketebalan stratum korneum, densitas kelenjar dan folikel
rambut, tingkat hidrasi serta tingkat produksi keringat. Kulit tipis cenderung lebih
permeabel dari pada kulit tebal. Kepadatan folikel rambut dan jumlah kelenjar
11
berpengaruh pada penetrasi zat karena keduanya merupakan salah satu jalur
penetrasi zat untuk melewati barier kulit. Semakin tinggi tingkat hidrasi kulit
maka semakin permeabel pula bagian kulit tersebut. Selain itu tingkat dehidrasi
kulit yang tinggi dapat menyebabkan kulit menjadi kering kemudian pecah dan
meningkatkan permeabilitasnya.15,16
Karakteristik zat juga mempengaruhi penetrasinya pada kulit. Partikel yang
elastis lebih mudah masuk ke dalam kulit dibanding zat yang kaku.
Ukuran dan
pH larutan juga berpengaruh pada penetrasi zat melewati kulit.15
Zat yang
berukuran 5-7 nm atau 36 nm dapat masuk melalui mekanisme interseluler,
sedangkan zat yang berukuran lebih dari 36 nm sampai 210 μm dapat masuk
melalui mekanisme transapendageal. Zat dengan pH asam lebih mudah penetrasi
ke dalam kulit.16
Ada beberapa senyawa yang dapat meningkatan penetrasi zat
melalui kulit yaitu surfaktan, ester, asam lemak, alkohol, amina, terpena, alkana,
fosfolipid, sulfoksida dan amida.15
2.3 Proses Pembusukan
Pembusukan adalah proses penghancuran jaringan lunak yang terjadi setelah
kematian, karena proses autolisis maupun dekomposisi. Perubahan tersebut ada
yang terjadi secara dini dan lanjut. Perubahan awal yang dapat dinilai setelah
kematian adalah keadaan livor mortis, rigor mortis dan algor mortis.17
Livor
mortis adalah kondisi dimana terjadi pengumpulan darah di pembuluh darah
karena berhentinya proses sirkulasi dimana hal tersebut dipengaruhi oleh gaya
gravitasi. Jadi keadaan livor mortis ini dipengaruhi juga oleh posisi mayat.
Keadaan livor mortis ini sudah mulai terlihat 1-2 jam setelah kematian progresif
dan akan sempurna setelah 8-12 jam.17,18
Apabila proses livor mortis sudah
terjadi, warna akibat akumulasi darah tidak akan hilang walaupun dilakukan
perubahan posisi. Selanjutnya, tubuh akan mengalami kehilangan gerak karena
tidak ada lagi proses metabolisme sehingga tidak ada lagi mekanisme kontraksi
dan relaksasi dari otot. Rigor mortis terjadi pada 2-4 jam setelah kematian
progresif dan sempurna setelah 10-12 jam.17
Keadaan ini menetap selama 24-36
jam kemudian menghilang. Hal ini terjadi karena adanya perubahan pH akibat
konversi glikogen menjadi asam fosfat dan asam sarkolaktat sehingga yang
12
tadinya basa menjadi asam. Keadaan rigot mortis berkaitan dengan panas. Proses
rigor mortis akan muncul lebih awal pada tubuh yang mati dalam kondisi demam
atau peningkatan suhu tubuh.18
Selain livor dan rigor mortis, perubahan awal yang
terjadi setelah kematian adalah algor mortis. Algor mortis adalah keadaan
pendinginan suhu tubuh mayat sampai sesuai dengan suhu lingkungan. Penurunan
tersebut sekitar 1,5ᵒF-2,0ᵒF perjam selama dua belas jam pertama setelah
kematian. Kemudian penurunan suhu tersebut melambat sekitar 1ᵒF per jam
sampai sama dengan suhu lingkungan.17
Kerusakan tubuh mayat setelah kematian terbagi menjadi tahap autolisis dan
dekomposisi (putrefaksi terjadi secara anaerobik sedangkan pembusukan terjadi
secara aerobik).19
Autolisis adalah proses kematian sel karena aktivitas enzim
ekstrasel dan intrasel.19,20
Berhentinya sirkulasi darah menyebabkan terhentinya
suplai O2 ke sel, hal itu akan menyebabkan terjadinya penurunan pH intrasel.
Keadaaan ini akan memicu enzim hidrolisis untuk mencerna protein, lemak dan
karbohidrat yang akan menyebabkan membran sel kolaps.20
Secara umum, protein
diubah menjadi pepton, polipeptida dan asam amino. Proses inilah yang disebut
dengan proteolisis. Proteolisis ini menghasilkan substansi fenol dan gas seperti
karbon dioksida, hidrogen sulfida, amonia, dan metana. Hasil dari proteolisis ini
juga ada yang digunakan oleh bakteri sebagai bahan metabolisme sehingga
meningkatkan proses dekomposisi. Proses degradasi lemak lebih didominasi oleh
proses hidrolisis daripada proses oksidasi, hal tersebut terjadi karena sedikitnya
ketersediaan oksigen setelah kematian dan adanya aktifitas dari bakteri. Adanya
karbohidrat dalam tubuh setelah kematian, akan dipecah menjadi glukosa oleh
aktivitas mikroorganisme pada tahap awal dekomposisi. Glukosa yang teroksidasi
sempurna akan diubah menjadi karbon dioksida dan air, serta ada sebagian yang
tidak teroksidasi dengan sempurna.17
Akibat kolapsnya membran sel, molekul-molekul tersebut akan larut ke
dalam sirkulasi dan kemudian akan digunakan oleh bakteri-bakteri untuk
berkembang biak.20
Bakteri-bakteri tersebut bisa masuk kedalam sirkulasi darah
dan limfatik melalui usus. Bakteri utama penyebab pembusukan jaringan adalah
Clostridium welchii, biasanya banyak terdapat di usus besar.2,20
Sebagai hasil dari
proses pembusukan oleh bakteri ini adalah warna kehijauan pada mayat yang
13
sering ditemukan antara 24-48 jam setelah kematian. Warna hijau tersebut
merupakan sulfamethemoglobin dan besi sulfida yang ada di sekitar jaringan.
Kemudian bersama-sama menghasilkan hidrogen sulfida di usus besar.20
Bagian
luar kulit akan terlihat kendur karena aktivitas enzim hidrolisis yang
menyebabkan taut epidermis-dermis lepas.19
Setelah cadangan O2 dalam tubuh
habis, maka aktivitas bakteri yang meningkat adalah bakteri anaerob. Gula yang
digunakan oleh bakteri anaerob merupakan hasil pemecahan dari cadangan
karbohidrat berupa glikogen (3/4 jumlah glikogen ada di otot) serta tahap lanjut
dari penghancuran asam laktat untuk menghasilkan karbon dioksida dan air dalam
jumlah besar. Bakteri penghasil gas kemudian menyerang gaster, dinding usus dan
pembuluh darah. Setelah itu terjadi hemolisis darah yang terjadi di dalam
pembuluh darah, serta untuk darah yang tidak terdestruksi akan terdorong ke
perifer oleh gelembung gas. Hal tersebut menyebabkan adanya perubahan warna
tambahan yang disebut hemolisis infravaskular, marbling (butiran lemak) dan
sugilasi (bintik kecil rata pada daerah memar dan berbatas tidak tegas) yang
disebabkan oleh oksidasi pigmen empedu dan akumulasi hidrogen sulfida.
Adanya peningkatan kadar gas dalam tubuh menyebabkan jaringan tertekan
sehingga menyebabkan tubuh semakin membesar namun melunak.18
Proses pembusukan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Proses autolisis
terjadi karena adanya aktivitas enzim tubuh, sedangkan dekomposisi terjadi
karena berbagai faktor (gambar 2.12).
Gambar 2.5 Faktor yang mempengaruhi dekomposisi Sumber : Wescott, Daniel J. 2018.
18
14
Faktor abiotik yang berpengaruh pada proses dekomposisi antara lain
temperatur lingkungan, air, oksigen, keasaman, dan pakaian. Temperatur
lingkungan mempengaruhi reaksi kimia yang terjadi setelah kematian, proliferasi
dan metabolisme dari mikroba, serta pertumbuhan dan perkembangan dari
serangga nekrofagus. Secara umum, pada suhu optimal pertumbuhan mikroba,
kolonisasi dan perkembangan arthropoda terjadi paling cepat, sedangkan reaksi
kimia akan meningkat minimal 2 kali lipat apabila terjadi kenaikan suhu 10ᵒC.
Proses pembusukan paling optimal terjadi pada kisaran suhu 21ᵒC-38ᵒC.
Sedangkan pada suhu dibawah 10ᵒC dan diatas 38ᵒC proses pembusukan akan
menjadi lebih lambat. Air juga mempengaruhi proses dekomposisi dari segi
kelembaban, curah hujan dan kandungan air dalam tubuh. Apabila level
kelembaban turun dibawah 85% (lingkungan lembab) maka proses dekomposisi
akan meningkat, sedangkan apabila level kelembapan naik lebih besar dari 85%
(lingkungan kering) maka proses dekomposisi akan turun. Selain itu, ketersediaan
air juga berpengaruh pada pertumbuhan dari aktifitas mikroba. Jumlah air yang
cukup akan meningkatkan pertumbuhan dan proliferasi mikroba, dan sebaliknya
pada keadaan kelebihan atau kekurangan air maka pertumbuhan dan
perkembangan mikroba akan menurun. Faktor kadar pH dan tekanan oksigen juga
berpengaruh pada proses dekomposisi. Kadar pH yang rendah (asam) dapat
menyebabkan peningkatan pertumbuhan jamur. Pada keadaan terdapat oksigen,
proses pembusukan berlangsung lebih cepat, hal tersebut terjadi karena oksigen
digunakan oleh bakteri aerob yang berperan dalam proses dekomposisi. Pakaian
bisa berpengaruh mempercepat atau memperlambat proses pembusukan. Pakaian
akan mencegah mikroorganisme masuk kedalam tubuh sehingga memperlambat
proses pembusukan. Sedangkan disisi lain pakaian dapat menjaga temperatur dari
udara dingin sehingga tubuh dapat ditinggali beberapa jenis mikroorganisme yang
dapat mempercepat proses pembusukan.3,18,20,21
Adapun faktor biotik yang mempengaruhi pembusukan antara lain mikroba,
serangga, burung dan mamalia. Pada saat masih tersedia oksigen didalam
jaringan, maka yang banyak berkembang adalah bakteri aerob, apabila oksigen
sudah habis maka bakteri anaerob yang akan berkembang. Kemudian jika tubuh
mulai mengering maka bakteri tanah yang akan tumbuh lebih banyak. Selain itu,
15
aktifitas bakteri yang menghasilkan gas seperti gas metana, cadaverine,
putrescine, hidrogen sulfida dan amonia yang akan menyebabkan tubuh
menggembung dan mempengaruhi pH tubuh sehingga mempengaruhi proses
pembusukan. Selain bakteri, serangga juga berpengaruh pada proses pembusukan
terutama lalat dan kumbang. Pengaruh dari serangga ini dibagi menjadi pre-
kolonisasi yang berkaitan dengan deteksi serangga terhadap keberadaan mayat
dan post-kolonisasi yang berkaitan dengan proses penghancuran mayat oleh
serangga. Serangga akan hinggap karena bau yang dikeluarkan. Setelah itu
serangga akan bertelur di daerah yang terkena sinar matahari seperti lubang mulut,
hidung dan kemaluan. Setelah 8-14 jam telur akan menetas menjadi belatung yang
akan merusak jaringan lunak dan otot melalui proses perusakan protein sehingga
jaringan mencair. Selain serangga, mamalia dan burung juga berperan dalam
proses pembusukan yaitu berdasarkan kebiasaan makan.3,18,20
Pada penelitian mengenai gambaran makroskopik dan mikroskopik otot
rangka setelah kematian yang menggunakan babi sebagai hewan percobaan
mendapatkan hasil berupa perubahan makroskopik yang terlihat mulai 2 jam
setelah kematian, sedangkan perubahan mikroskopik dapat terlihat 30 menit
setelah kematian. Setelah membandingkan dengan proses perubahan pada organ
lain, otot rangka mengalami perubahan paling lambat setelah ginjal, pankreas,
hepar dan jantung. Adapun gambaran makroskopik yang diamati adalah warna
dan konsistensi otot rangka. Pada 30 menit setelah kematian otot masih berwarna
kemerahan dan lentur, namun konsistensinya semakin lama semakin lunak sampai
48 jam setelah kematian. Sedangkan untuk gambaran mikroskopik yang diamati
adalah perubahan mikroskopik serat otot rangka, nukleus dan corak lintang.
Nukleus otot tampak mengalami piknotik mulai dari 30 menit setelah kematian
dan mulai 2 jam setelah kematian serat otot nampak mengalami degenerasi
hidropik.21
Organ mengalami pembusukan dengan kecepatan yang berbeda-beda.2
Pada
dasarnya, organ yang memiliki banyak enzim adalah yang paling cepat
mengalami pembusukan.11
Kelompok organ berdasarkan kecepatan
pembusukannya adalah sebagai berikut :2
16
1. Early : jaringan intestinal, pankreas, medulla adrenal, lien, otak, usus, uterus
graviid, uterus post partum dan darah.
2. Moderate : jantung, ginjal, paru-paru, lambung, diafragma, otot polos dan
otot rangka.
3. Late : uterus non gravid dan prostat.
2.4 Larutan Fiksatif
2.4.1 Formalin
Formalin (CH2O) adalah larutan yang mengandung senyawa formaldehid
37% dalam air. Formalin juga dikenal dengan nama Formaldehyde, Formalin,
Methanal, Methylene oxide, Oxymethane, Formic aldehyde, Methyl aldehyde.7 Adapun
ciri-cirinya yaitu senyawa tidak berwarna seperti air, sedikit asam, memiliki
aroma yang sangat kuat, bersifat korosif, terurai jika dipanaskan dan melepas
asam formiat (asam metanoat).7,22
Menurut Badan POM, senyawa formaldehid
merupakan reduktor kuat yang akan bereaksi kuat dengan bahan pengoksidasi dan
berbagai senyawa organik.22
Gambar 2.6 Struktur Kimia Formalin Sumber : Environmental Health and Savety, 2016.
7
Menurut National Fire Protection Association (NFPA) menggolongkan
formalin sebagai bahan yang mudah terbakar dengan titik nyala dibawah 93ᵒC,
bahaya kesehatan termasuk golongan bahaya ekstrim dan tingkat kestabilan yang
stabil.23
Paparan jangka pendek formalin antara lain dapat menyebabkan iritasi
mukosa, rasa terbakar, berdebar serta mual dan muntah.7,23
Sedangkan paparan
jangka panjang dapat menyebabkan gangguan pada sistem organ, gangguan
kejiwaan dan pada wanita dapat mempengaruhi sistem reproduksi.23
17
Larutan formalin tersebut mempunyai berbagai fungsi yaitu sebagai
pembunuh kuman sehingga biasanya terkandung pada beberapa cairan pembersih,
bahan pembuatan pupuk lepas lambat (sustained release) dalam bentuk urea-
formaldehyde, bahan pengawet kosmetik dan pengeras kuku, bahan perekat pada
produk kayu lapis serta pada konsentrasi yang sangat kecil (<1%) digunakan
untuk mengawetkan berbagai barang konsumen seperti pembersih rumah tangga,
cairan pencuci piring, pelembut, sampo mobil, lilin dan pembersih karpet.7
2.4.2 Alkohol
Alkohol (C2H6O) adalah cairan jernih tidak berwarna, memiliki bau khas
dan menyengat, larut dalam air serta bersifat stabil. Apabila terpapar pada panas
atau api, alkohol bersifat mudah terbakar.
Alkohol biasanya digunakan sebagai pelarut atau penstabil bahan kimia di
laboratorium. Kontak dengan alkohol dapat menyebabkan iritasi yang
menimbulkan sensasi seperti terbakar pada mata, kulit dan saluran pernafasan.
Uap alkohol apabila terhirup dapat menyebabkan pusing dan lemas.24
2.4.3 Gliserin
Gliserin atau glycerol (C3H8O3) merupakan cairan dengan konsistensi
seperti sirup, tidak memiliki warna, pH netral dan tidak memiliki bau atau bau
ringan. Gliserin larut dalam etanol, sedikit larut dalam etil eter dan tidak larut
dalam benzena, karbon tetraklorida, kloroform, karbon disulfida dan eter
petrolium. Gliserin akan tercampur sempurna dan menjadi stabil dalam
pencampuran dengan air dan etanol (95%), serta akan mengkristal apabila
disimpan pada suhu rendah.2,24
Gliserin dengan konsentrasi 5-10% dapat meningkatkan densitas sampel
sehingga lapisan bagian bawah sampel gel menjadi baik. Efek osmotik dari
gliserin menyebabkan dehidrasi pada jaringan dan menurunkan tekanan cairan
serebrospinal.2,24
Gliserin apabila terkena mata dapat menyebabkan sensasi seperti terbakar
dan melebarkan pembuluh darah mata, namun tidak menimbulkan cedera yang
serius. Pada sistem respirasi, agar tidak menimbulkan efek samping maka hanya
diperlukan pemakaian alat pelindung pernafasan.24
18
2.4.4 Campuran Larutan
Menurut penelitian Ahmad (2011), kadaver disebut baik untuk proses
pembelajaran anatomi apabila tidak rusak atau membusuk sehingga dapat
dipelajari dengan baik dan kondisinya mendekati kondisi manusia yang masih
hidup. Otot masih berwarna merah tua seperti kondisi saat masih ada mioglobin
yang baik serta konsitensi ototnya tidak lunak ataupun kaku.2 Sedangkan menurut
Nader dkk (2017) kadaver yang sudah diawetkan masuk dalam kategori baik
untuk pembelajaran anatomi yaitu apabila memiliki karakter berupa organ dan
jaringannya harus terfiksasi untuk jangka waktu lama dengan penyusutan,
deformitas dan pengerasan yang minimal serta fleksibilitas yang terjaga.8
Konsentrasi formalin yang biasa digunakan untuk pengawetan kadaver
adalah 37%. Departemen Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,
dalam pengawetan kadaver menggunakan formalin-fenol dengan kandungan
formaldehid 37%. Pada konsentrasi tersebut apabila terpapar dalam jangka waktu
lama, akan menimbulkan efek toksik bagi dosen, teknisi dan mahasiswa.
Viskasari dkk (2012) menggunakan formalin 7,5% sebagai bahan fiksatif aktif,
gliserin, bubuk fenol dan air keran. Satu kadaver membutuhkan sekitar 16 L
cairan dengan komposisi 0,5 L gliserin, 500 g fenol bubuk dalam 0,5 L air keran,
3 L formalin 37% dan 12 L air keran. Hasil dari teknik pengawetan menggunakan
formalin konsentrasi rendah ini, menghasilkan kadaver dengan warna yang lebih
cerah sehingga apabila dilakukan pengamatan mikroskopik dapat terlihat
morfologi dan struktur detailnya seperti otot, neurovaskular dan organ internal
seperti ginjal serta hepar. Selain itu konsistensi otot dan organ internal yang
diawetkan menggunakan formalin konsentrasi rendah lebih elastis dan kering
serta tetap lembab. Serta untuk proses pembelajaran, penampilan dan detail
kadaver yang diawetkan menggunakan formalin konsentrasi rendah lebih baik
daripada kadaver yang menggunakan teknik pengawetan formalin konsentrasi
tinggi. Setelah diamati secara mikroskopik, tidak ditemukan jamur pada teknik
pengawetan ini.6
Pada penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Leipzig, Jerman
menggunakan campuran larutan etanol-gliserin untuk fiksasi dan timol untuk
konservasi. Adapun yang digunakan pada penelitian ini kadaver dengan tinggi
19
badan 170 cm dan massa tubuh 70 kg (BMI=24,2). Rasio etanol-gliserin yang
digunakan 0,7 L/kgBB kadaver. Gliserin yang digunakan adalah 5% dari volume,
tujuannya untuk menjaga fleksibilitas jaringan, sedangkan jumlah etanol 95% dari
volume. Hasil pengawetan menggunakan campuran etanol-gliserin, kadaver
tampak pucat dan turgid. Pengawetan menggunakan etanol-gliserin menghasilkan
spesimen otot yang lebih pucat namun tetap fleksibel. Guna pengamatan
mikroskopik, pengawetan menggunakan etanol-gliserin memberikan hasil yang
lebih bagus.25
Tujuan dari pengawetan ini adalah untuk menghentikan proses metabolisme
sel dan autolisis. Pengawetan menggunakan formalin menghambat gugus amino
dalam rantai peptida secara irreversibel. Struktur sekunder dan tersier protein
diawetkan menggunakan ikatan kimia. Rantai polipeptida dihubungkan melalui
ikatan silang (cross linked) dengan jembatan hidroksimetilen (jembatan metilen)
antara kelompok amino pada gugus lisin dan glutamin pada rantai protein yang
berbeda sehingga protein menjadi stabil dan bentuknya terjaga.2,6,25
Proses
tersebut terjadi melalui reaksi oksidatif yang membutuhkan waktu kurang lebih
24 jam. Formalin juga berperan dalam inaktivasi enzim proteolitik. Formalin
cepat menyusup ke dalam jaringan namun lambat dalam memfiksasi. Sedangkan
pengawetan menggunakan etanol-gliserin, campuran ini mendenaturasi protein
secara reversibel yang mempengaruhi lapisan hidrat dari struktur tersier. Ikatan
jembatan hidrogen menjadi terganggu. Gliserin mempunyai efek menstabilkan
protein dan mencegah agregasi protein sehingga kerusakan jaringan akibat
hancurnya protein dapat dicegah.2 Selain itu, gliserin pada pengawetan juga
berfungsi sebagai emolien atau pelembab karena jaringan yang diawetkan
menggunakan formalin akan cenderung menjadi kering.8 Pengawetan
menggunakan alkohol dapat menyebabkan jaringan menjadi rapuh karena sifatnya
yang melunakkan jaringan.2 Etanol-gliserin dapat digunakan untuk fiksasi
temporer karena efek reversibelnya pada struktur tersier. Akan tetapi, penggunaan
gliserin menyebabkan kerugian, yaitu dapat menyebabkan meningkatnya
pertumbuhan jamur.6,25
Proses pengawetan menggunakan bahan kimia dipengaruhi oleh beberapa
faktor yang nantinya dapat berpengaruh pada hasil pengawetan, seperti yang
20
dijelaskan dalam penelitian Ahmad (2011) yaitu jenis larutan yang digunakan,
konsentrasi larutan, volume pengawet, dapar/buffer, interval waktu, penetrasi, dan
suhu. Larutan yang digunakan dalam pengawetan harus sesuai dengan jaringan
yang akan diamati. Konsentrasi yang digunakan harus sesuai (yang terbaik adalah
formalin 10%) karena konsentrasi yang terlalu tinggi dapat merusak jaringan dan
menimbulkan artefak, sedangkan konsentrasi terlalu rendah dapat menyebabkan
efek fiksatif yang diperoleh tidak maksimal dan cepat terjadi pembusukan.
Volume pengawetan yang baik yaitu 10-20x volume jaringan yang akan difiksasi.
Lamanya proses fiksasi ditentukan oleh tebal tipisnya jaringan. Proses
pengawetan jaringan akan maksimal apabila dilakukan pada pH yang mendekati
netral (6-8), keadaan asam akan menyebabkan terbentuknya deposit hitam pada
jaringan yang merupakan pigmen heme-formalin. Semakin lama jaringan
diawetkan, jaringan menjadi semakin kering serta kehilangan organelnya.
Kemampuan penetrasi zat berpengaruh pula pada proses pengawetan dimana hal
itu menentukan kapan zat tersebut akan memfiksasi jaringan sehingga
menghentikan proses kerusakan. Suhu yang meningkat akan menyebabkan
peningkatan laju pengawetan.2,6
Pada pengawetan menggunakan formalin, hasil yang didapatkan yaitu
jaringan akan menjadi lebih keras konsistensinya. Menurut penelitian Ahmad
(2011) bahwasannya semakin tinggi kadar konsentrasi formalin maka jaringan
akan semakin keras. Hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi
larutan, dimana sesuai hukum osmoregulasi bahwa air yang berada di dalam sel
otot akan keluar dari sel untuk menyeimbangkan perbedaan konsentrasi yang ada,
sehingga otot menjadi lebih keras dan semakin mengkerut. Perbedaan osmolaritas
juga mempengaruhi struktur mikroskopik sel otot. Jarak endomisium ditemukan
paling lebar pada sediaan yang diawetkan menggunakan formalin 4% dan
campuran formalin 2,4%, fenol 2,4%, etanol 16,7% serta gliserin 2,4%. Adanya
air yang masuk ke rongga antar sel akibat perbedaan osmolaritas inilah yang
menyebabkan jarak antar sel semakin berjauhan. Pada sediaan yang diawetkan
menggunakan larutan formalin 25% jarak antar seratnya sangat berdekatan, hal
tersebut menunjukkan bahwa sudah banyak air yang keluar dari sel untuk
mencapai keseimbangan osmolaritas karena larutan yang hipertonis.2
21
2.5 Kadaver
Kadaver menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah mayat manusia
yang diawetkan.26
Dalam pendidikan kedokteran, kadaver merupakan salah satu
instrumen penting untuk pembelajaran anatomi selain buku atlas dan manekin.27
Kadaver dapat diperoleh melalui 2 metode, yaitu penyerahan (levering) dan
pemilikan (toe-eigening). Metode penyerahan yaitu dengan sistem wasiat dari
pemilik tubuh sedangkan metode pemilikan yaitu apabila dalam 2x24 jam setelah
kematian namun tidak ada keluarga yang datang ke rumah sakit, kemudian rumah
sakit memberikannya kepada universitas, maka status kepemilikan kadaver
menjadi milik universitas.27
Dalam Islam, masalah terkait wasiat mendonorkan tubuh masih menjadi pro
dan kontra dikalangan ulama. Ada yang membolehkan demi kemaslahatan
pendidikan kedokteran dan ada yang mengharamkan demi menjaga kehormatan
jenazah.28
Wallahu a’lam bisshawaab.
22
↑
pertumbuhan
bakteri
Jantung
berhenti
memompa
darah
Sistem imun
inaktif
Suplai O2
terhenti
Kematian
Metabolisme
anaerob sel
Aktivasi
enzim intrasel
Perubahan pH
intrasel
Peningkatan
kadar asam
laktat
Bakteri
menginvasi
jaringan
Digunakan
oleh bakteri
Mencerna
protein dan
karbohidrat
sel Sel hancur
Membran
sel kolaps
Materi hasil
pencernaan
keluar ke
pembuluh darah
Dekomposisi
Jaringan
tubuh rusak
Menyebar
ke seluruh
tubuh
Pembusukan
Autolisis
Gliserin Formalin Alkohol
Non-formalin
based Formalin based
Larutan Fiksatif
Inaktivasi
enzim
Anti-
mikroba
Hambat
agregasi
protein
Denaturasi
protein Stabilkan
formalin
Stabilkan
bentuk
protein
Efek
fiksatif
Pengawetan Stratum korneum
sebagai barier
Penetrasi zat melalui
mekanisme
interseluler, transeluler
dan transapendageal
Kulit
2.6 Kerangka Teori
Keterangan :
: Menghambat
?
23
2.7 Kerangka Konsep
Tidak dikuliti
Gliserin 80%
Dikuliti
Alkohol 70%
Tikus yang sudah
mati diawetkan
Formalin 7,5%
Memberi efek
fiksatif
Intensitas Warna
Otot rangka
Keterangan :
= variabel bebas
= variabel terikat
24
2.8 Definisi Operasional
No Variabel Definisi
Operasional Alat Ukur
Cara
Pengukuran
Skala
Pengukuran
1. Intensitas
warna otot
rangka
Keadaan
tingkatan
atau ukuran
intensnya
warna otot
rangka.29
Indra
penglihatan,
dokumentasi
menggunakan
kamera
Canon EOS
3000D dan
dicocokkan
dengan warna
dari
Photoshop
CS3.
Menilai warna
otot dengan
skala :
Terang
R : 255, G : 241,
B : 255. Color
photoshop CS3
Pantone process
coated DS 56-9
C
Gelap
R : 137, G : 115,
B : 110. Color
photoshop CS3
Pantone process
coated DS 323-9
C
Nominal
25
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah desain penelitian
laboratorium eksperimental.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
3.2.1 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari 2018 sampai Desember
2018.
3.2.2 Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di laboratorium anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jl. Kertamukti No. 05,
Pisangan, Ciputat, Tangerang Selatan.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Sampel pada penelitian ini menggunakan tikus yang baru saja mati <2 jam.
Penelitian tersebut menggunakan tikus jantan galur Sprague dawley dengan berat
150-300 gram. Hewan tersebut diperoleh dari Institut Pertanian Bogor (IPB).
Untuk menentukan jumlah sampel dalam setiap kelompok penelitian,
digunakan rumus mead, sebagai berikut :
Menggunakan rumus Mead, sejumlah 12 ekor
Rumus Mead :
E = N-B-T
Keterangan :
E : derajat kebebasan komponen kesalahan (10-20)
N : jumlah sampel dalam penelitian (dikurangi 1)
B : Blocking component menggambarkan pengaruh lingkungan yang
diperbolehkan dalam penelitian (dikurangi 1)
26
T : jumlah kelompok perlakuan (dikurangi 1)
E = N-B-T E = N-B-T
≥10 = (N-1)-0-(2-1) ≤ 20 = (N-1)-0-(2-1)
≥10 = N-1-1 ≤ 20 = N-1-1
≥10 = N-2 ≤ 20 = N-2
N ≥ 12 N ≤ 22
Jumlah sampel yang dibutuhkan adalah minimal 12 ekor dan maksimal 22 ekor.
Pada penelitian ini menggunakan 12 ekor tikus yang baru saja mati <2 jam
sebagai sampel yang akan dibagi menjadi dua kelompok perlakuan, sehingga
masing-masing kelompok terdiri dari 6 hewan percobaan.
3.3.1 Kriterian Inklusi
1. Tikus jantan strain Sprague dawley
2. Tikus baru saja mati <2 jam
3.3.2 Kriteria Eksklusi
1. Tikus sudah berbau busuk
2. Tikus sudah menunjukkan perubahan warna akibat pembusukan
Kelompok perlakuan :
Kelompok Dikuliti
Pada kelompok ini tikus yang baru saja mati dikuliti seluruh tubuhnya
sehingga langsung tampak otot rangkanya kecuali bagian kepala kemudian
langsung dimasukkan ke dalam campuran larutan fiksatif.
Kelompok Tidak Dikuliti
Pada kelompok ini tikus yang baru saja mati langsung dimasukkan ke dalam
campuran larutan fiksatif.
27
3.4 Variabel Penelitian
3.4.1 Variabel Bebas
Variabel bebas penelitian ini adalah perlakuan dikuliti dan tidak dikuliti.
3.4.2 Variabel Terikat
Variabel terikat penelitian ini adalah gambaran makroskopik jaringan otot
rangka setelah diawetkan, meliputi intensitas warna.
3.5 Cara Kerja Penelitian
3.5.1 Alat Penelitian
1. Tikus
2. Minor set
3. Ember
4. Toples kaca besar
5. Label
6. Spidol
7. Gelas ukur
8. Drum besar
9. Kayu panjang
3.5.2 Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan pada penelitian ini :
1. Formalin 37%
2. Gliserin 80%
3. Alkohol 70%
4. Air kran
5. Tikus yang baru saja mati <2 jam
3.5.3 Pembuatan Larutan
Dalam membuat campuran larutan untuk pengawetan digunakan rumus
pengenceran :
M1.V1 = M2.V2
Keterangan :
M1 = konsentrasi awal formalin
28
V1 = volume awal formalin
M2 = konsentrasi akhir formalin
V2 = volume akhir formalin
Proses pembuatan larutan :
1. Formalin 37% diencerkan menjadi 10% (Formalin 37% 10 liter + 27 liter air
kran).
2. Formalin 10% diencerkan menjadi formalin 7,5% (formalin 10% 11,25 liter
+ 3,75 liter air kran).
3. Masukkan formalin 7,5% ke masing-masing toples kaca sebanyak 1.125 ml.
4. Masukkan alkohol 70% ke dalam toples sebanyak 37,5 ml kemudian aduk
menggunakan metode konvensional.
5. Masukkan gliserin 80% ke dalam toples sebanyak 37,5 ml kemudian aduk
menggunakan metode konvensional.
3.5.4 Menguliti Tikus
Hewan coba merupakan tikus yang baru saja mati <2 jam dan merupakan
sisa dari penelitian lain. Sehingga pada alur penelitian ini tidak melalui proses
sacrifice. Bangkai tikus tersebut kemudian dikuliti sebanyak 6 ekor.
3.5.5 Perendaman Tikus Dalam Larutan
Tikus mati dimasukkan ke dalam larutan sesuai dengan kelompoknya.
Kemudian tutup toples menggunakan tutup yang telah dilapisi dengan kertas agar
tertutup rapat. Setelah itu simpan toples berisi tikus di lemari penyimpanan yang
ada di laboratorium anatomi dan ditunggu selama 10 bulan (Februari 2018-
Desember 2018).
3.5.6 Pengamatan Makroskopik Jaringan
Pada penelitian ini akan dilakukan pengamatan secara makroskopik yaitu
berupa intensitas warna jaringan otot. Setelah tikus diangkat dari dalam larutan
fiksatif, diamati secara makroskopik intensitas warnanya mendekati kategori
terang atau gelap.
3.6 Analisis Data
Data yang sudah diperoleh dari hasil pengamatan kemudian dideskripsikan
sesuai yang terlihat pada saat pengamatan.
29
3.7 Alur Penelitian
Tikus mati
Pembuatan
larutan fiksatif
Tidak
dikuliti
Dikuliti
Dikuliti seluruh bagian
tubuhnya kecuali
kepala dan ekor
Masing-masing tikus
dimasukkan ke
dalam toples berisi
campuran larutan
Tutup toples
sampai rapat
Bulan ke-10
Pengamatan intensitas
warna otot rangka
30
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Pengamatan Intensitas Warna
Hasil pengamatan intensitas warna otot rangka tikus setelah pengawetan
menggunakn larutan fiksatif dengan perlakuan dikuliti dan tidak dikuliti dapat
dilihat pada grafik (gambar 4.1).
Tabel 4.1 Tabel Intensitas Warna Otot Rangka Tikus
Perlakuan Intensitas warna
1 2 3 4 5 6
Dikuliti Terang Terang Terang Terang Terang Terang
Tidak
Dikuliti Terang Terang Terang Terang Terang Terang
Data pada tabel 4.1 menunjukkan bahwa hasil pengawetan otot rangka tikus
yang dikuliti dan tidak dikuliti menggunakan larutan fiksatif intensitas warna otot
rangka berada dalam kategori terang.
Pada tabel di atas menunjukkan tidak adanya perbedaan antara perlakuan
dikuliti dan tidak dikuliti. Intensitas warna otot setelah diawetkan tampak terang
seperti yang terlihat pada gambar 4.1 dengan perlakuan dikuliti dan tidak dikuliti.
Gambar 4.1 Sediaan otot rangka dikuliti (A) dan tidak dikuliti (B)
A. Dikuliti
B. ikuliti
B. Tidak Dikuliti
C. ikuliti
A B
31
Penelitian ini merupakan penelitian awal yang dilakukan di FK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Pada penelitian yang dilakukan oleh Gabriella dkk (2016)
mengenai keadaan otot rangka setelah kematian ditemukan perubahan gambaran
makroskopik dan mikroskopik otot rangka. Perubahan makroskopik berupa warna
sudah mulai bisa diamati 2 jam setelah kematian. Proses perubahan warna pada
jaringan terjadi karena adanya hemolisis darah yang terjadi akibat aktifitas bakteri
serta adanya akumulasi hidrogen sulfida.21
Hasil penelitian makroksopik pada intensitas warna jaringan otot setelah di
awetkan menggunakan formalin konsentrasi <10% (7,5%) mendapatkan hasil
intensitas warna yang terang dan tidak menghitam, hal tersebut didukung oleh
penelitian Viskasari, dkk (2012) yang menyatakan bahwa hasil pengawetan
menggunakan formalin 7,5% mendapatkan hasil warna yang lebih terang apabila
dibandingkan dengan yang diawetkan menggunakan formalin konsentrasi tinggi.6
Menurut penelitian Ahmad (2011) menyebutkan bahwasannya pengawetan
menggunakan formalin konsentrasi diatas 10% (25%) dapat menyebabkan
jaringan otot menjadi berwarna kecoklatan karena terjadinya reaksi oksidasi.2
Pada penelitian ini digunakan konsentrasi formalin dibawah 10% (7,5%) sehingga
reaksi oksidasi yang terjadi tidak terlalu kuat dan warna jaringan otot yang
diawetkan tidak berubah menjadi kecoklatan.2,6
Efek kulit pada pengawetan ini karena hanya dilakukan perendaman tanpa
injeksi zat melalui pembuluh darah atau pengawetan teknik supravital, maka kulit
diduga akan memperlambat proses penetrasi dari larutan fiksatif. Stratum
korneum merupakan lapisan yang berperan dalam menghambat penetrasi zat dari
luar tubuh. Larutan fiksatif masuk melewati kulit melalui mekanisme interseluler,
transeluler ataupun transapendageal, hal tersebut melihat ukuran partikel dan pH
zat fiksatif yang digunakan.24
Tidak ada perbedaan antara perlakuan pada tikus
yang dikuliti dan tidak dikuliti. Tidak adanya perbedaan pada kedua kelompok
yaitu karena pengaruh lamanya waktu perendaman sehingga kedua perlakuan
tetap mendapatkan efek fiksatif. Hal ini sesuai dengan penelitian Joy (2015) yang
menyatakan bahwa baik tidaknya kadaver untuk pembelajaran anatomi dapat
dinilai setelah diawetkan lebih dari 8-12 bulan.1
Pada peneletian ini pengawetan
dilakukan selama 10 bulan.
32
Menurut Ahmad (2011), bahwasannya salah satu kelemahan dari formalin
adalah memerlukan waktu minimal 1 hari untuk dapat digunakan dan dapat
menjadi asam apabila disimpan terlalu lama. Pada penelitian pembuatan larutan
dilakukan pada hari yang sama sehingga kemungkinan efek fiksatifnya berkurang
karena bentuk polimer formaldehid belum diubah sempurna menjadi monomer
formaldehid yang mempunyai efek fiksatif. Pada penelitian ini menunjukkan
bahwa penggunaan formalin dengan konsentrasi berapapun akan tetap
memberikan efek fiksatif pada jaringan.14
5.2 Kekurangan Penelitian
1. Homogenisasasi larutan tidak menggunakan mesin centrifuge, akan
tetapi menggunakan metode konvensional.
2. Pelarut menggunakan air kran biasa.
3. Larutan dibuat langsung pada saat itu dan tidak didiamkan terlebih
dahulu selama 2-3 hari, sehingga diduga efek fiksatif larutan muncul
lebih lambat.
4. Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini adalah sisa dari
penelitian lain, namun tidak ada pengaruhnya pada otot rangka yang
akan diteliti.
5. Tidak ada kelompok kontrol negatif.
33
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 SIMPULAN
Dari hasil penelitian intensitas warna otot rangka tikus Sprague dawley
dalam pengawetan melalui metode perendaman menggunakan larutan fiksatif
yang mengandung formalin konsentrasi rendah (7,5%) serta diberi perlakuan
dikuliti dan tidak dikulit didapatkan hasil intensitas warna otot rangka berada pada
kategori terang.
5.2 SARAN
1. Dilakukan penambahan macam-macam jenis dan konsentrasi larutan
fiksatif, terutama formalin dengan konsentrasi rendah.
2. Dilakukan teknik pengawetan supravital.
3. Perlu dilakukan penambahan kelompok kontrol negatif.
4. Mencari referensi yang lebih banyak mengenai perlakuan dikuliti dan
tidak dikuliti.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Balta, Joy Y., Cronin, Michael., Cryan, John F., O’mahony, Siobhain M.
Human Preservation Technique in Anatomy a 21th Century Medical
Education Perspective. Ireland : Wiley Periodicals; 2015.
2. Habibi, Ahmad Azwar. Penggunaan Beberapa Campuran Larutan Formalin
pada Pengawetan Jaringan Otot dan Otak Tikus (Tesis). Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2011.
3. Brenner, Erich. Human Body Preservation – Old and New Techniques.
Austria: Division for Clinial and Functional Anatomy, Department of
Anatomy, Histology and Embriology, Innsbruck Medical University; 2014.
p.316-344.
4. Musyarifah, Zulda., Agus, Salmiah. Proses Fiksasi pada Pemeriksaan
Histopatologis. Padang : Jurnal Universitas Andalas; 2018. Diunduh dari
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka pada tanggal 23 September 2019.
5. Suprianto, Abang., Ilmiawan, Muhammad In’am., trianto, Heru Fajar.
Perbandingan Efek Fiksasi Formalin Metode Intravital dengan Metode
Konvensional pada Kualitas Gambaran Histopatologis Hepar Tikus. Pontianak
: Universitas Tanjungpura; 2014. Diunduh dari
https://media.neliti.com/media/publications/193490-ID-none.pdf pada tanggal
23 September 2019.
6. Kalanjati, Viskasari P., Prasetiowati, Lucky., Alimsardjono, Haryanto. The
Use of Lower Formalin-Containing embalming Solution for Anatomy Cadaver
Preparation. Surabaya : Departemen Anatomi dan Histologi Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga; 2012. h.203-207
7. Environmental Health and Savety. Formaldehyde Safety Guidlines. Canada :
Concordia University; 2016, p.1-7.
8. Goodzari, Nader. Akbari, Ghasem. Tehrani, Payam R. Zinc Chloride, A New
Material for Embalming and Preservation of the Anatomical Specimens. Iran
: Anatomical Sciences ; 2017
9. Mescher, Anthony L. Junqueira Basic Histology Text and Atlas 14th Edition.
New York : Mc-Graw Hill Education; 2016, p.193-205.
35
10. Standring, Susan. Gray’s Anatomy 41th Edition. UK : Elsevier; 2016, p.103-
108.
11. Indriyastuti, A., Rohmah, IN. Perbandingan Antara Durasi Waktu Pembekuan
Terhadap Terjadinya Pembusukan Jaringan Hepar Pada Kelinci. Jurnal
Kedokteran Diponegoro. 2014. Diunduh dari
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico/index pada tanggal 21 Juli
2019.
12. Eroschenko, Victor P. diFIORE’S Atlas of Histology with Functional
Correlations 12th Edition. China : Lippincott Williams and Wilkins; 2013,
p.143-155
13. Menaldi, Sri Linuwih SW., Bramono, Kusmarinah., Indriatmi, Wresti. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 7. Jakarta : Badan Penerbit FK UI; 2018:3-
6.
14. Vaughn, Alexandra R., Clark, Ashley K., Sivamani, Raja K., Shi, Vivian Y.
Natural Oils for Skin-Barrier Repair : Ancient Compounds Now Backed by
Modern Science. Switzerland : Springer International Publishing. 2017.
Diunduh dari : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28707186 pada 3
September 2019
15. Dabrowska, AK., Spano, F., Derler, S., Adlhart, C., Spencer, ND., Rossi, RM.
The Relationship Between Skin Function, Barrier Properties, Body-Dependent
Factors. Switzerland : Wiley. 2017. Diunduh dari :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/29057509 pada 3 September 2019
16. Baroli, Biancamaria. Penetration of Nanoparticles and Nanomaterials in The
Skin : Fiction or Reality ?. Italy : Wiley Interscience ; 2009.
17. Janawa, RC., Wilson, Andrew S., Percival, Steven L. Decomposition of
Human Remains. University of Bradford. 2009. Diunduh dari :
https://www.researchgate.net/publication/225914421 pada 25 Juli 2019
18. Wescott, Daniel J. Recent Advances in Forensic Anthropology :
Decomposition Research. USA : Department of Anthropology, Texas State
university; 2018, p.327-342
36
19. Hau, Teo Chee., Hamzah, Noor Hazfalinda., Lian, Hing Hiang., Hamzah, Sri
Pawita Albakri Amir. Decomposition Process and Post Mortem Changes :
Review. Malaysia : Sains Malaysiana; 2014
20. Miller, Robyn Ann. The Affect of Clothing on Human Decomposition :
Implications for Estimating Time since Death. USA : University of Tennessee,
Knoxville; 2002
21. Nelwan, Gabriella B., Wangko, Sunny., Pasiak, Taufik F., Gambaran
Makroskopik dan Mikroskopik Otot Skelet pada Hewan Coba Postmortem.
Manado : Bagian Anatomi dan Histologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sam Ratulangi; 2016
22. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Formalin (Larutan
Formaldehid). Jakarta : Direktorat Pengawas Produk dan Bahan Berbahaya;
2008, h.1-8
23. Department of Licensing and Regulatory Affairs. Formaldehyde, Dalam:
General Industry and Construction Safety and Health Standard. USA :
Micighan University; 2018, p.3-7
24. US National Library of Medicine. Toxicology Data Network. Diunduh dari
https://toxnet.nlm.nih.gov/ pada 17 September 2019
25. Hammer, Neils., Loffler, Sabine., Feja, Christine., Sandrock, Mara., Schmidt,
Wolfgang. Ethanol-Glycerin Fixation With Thymol Conservation : Potential
Alternative to Formaldehyde and Phenol Embalming. Germany : Faculty of
Medicine, Institute of Anatomy, University of Leipzig ; 2012
26. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kadaver. Diunduh dari :
https://kbbi.web.id/kadaver pada 1 Desember 2019.
27. Yanti, Rizki Februamina., Soularti, Dirwan Suryo. The Ethics Review of
Cadaver Donor Disection. Yogyakarta : Departemen Forensik Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta; 2013. Diunduh dari :
https://docplayer.info/51225336-The-ethics-review-of-cadaver-donor-
decision-tinjauan-etika-keputusan-seorang-calon-pendonor-kadaver.html
pada 1 Desember 2019.
28. Fahriansah. Hukum Wasiat Pendonoran dan Transplantasi Organ Tubuh.
Langsa : IAIN Langsa; 2018.
37
29. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Intensitas. Diunduh dari :
https://kbbi.web.id/intensitas pada 1 Desember 2019.
38
LAMPIRAN
Lampiran 1
Surat Keterangan Lolos Kaji Etik
39
Lampiran 2
Foto Makroskopik
Dikuliti
Gambar 6.1 Sediaan otot
tikus 1 dikuliti
Gambar 6.2 Sediaan otot
tikus 2 dikuliti
Gambar 6.3 Sediaan
otot tikus 3 dikuliti
Gambar 6.4 Sediaan otot
tikus 4 dikuliti
Gambar 6.5 Sediaan otot
tikus 5 dikuliti
Gambar 6.6 Sediaan
otot tikus 6 dikuliti
40
(Lanjutan)
Tidak Dikuliti
Gambar 6.7 Sediaan otot
tikus 1 tidak dikuliti
Gambar 6.8 Sediaan otot
tikus 2 tidak dikuliti
Gambar 6.9 Sediaan otot
tikus 3 tidak dikuliti
Gambar 6.10 Sediaan
otot tikus 4 tidak dikuliti
Gambar 6.11 Sediaan
otot tikus 5 tidak dikuliti
Gambar 6.12 Sediaan
otot tikus 6 tidak dikuliti
41
Lampiran 3
Identitas Penulis
Identitas Penulis
Nama
NIM
: Chaerani Kurniatin
: 11161030000087
Tempat Tanggal Lahir
Agama
Alamat Sekarang
: Cilacap, 19 Desember 1998
: Islam
: Jl. H Khayar No.29 RT 08/06 Kel. Ciganjur, Kec.
Jagakarsa, Kota Jakarta Selatan, DKI Jakarta 12530
Alamat Asal : Sidamulya RT 001/011 Desa Sikanco, Kec. Nusawungu,
Kab. Cilacap, Jawa Tengah 53283
No.Hp
: 085842993192
Riwayat Pendidikan
2004-2010 : MI Negeri Sikanco, Nusawungu, Cilacap, Jawa
Tengah
2010-2013 : MTs Wathoniyah Islamiyah Kebarongan,
Kemranjen, Banyumas, Jawa Tengah
2013-2016 : MA Wathoniyah Islamiyah Kebarongan, Kemranjen,
Banyumas, Jawa Tengah
2016-sekarang : Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta