Manifesto Tikus Merah

download Manifesto Tikus Merah

of 43

Transcript of Manifesto Tikus Merah

  • MANIFESTO TIKUS MERAH

    Para jenderal bersekutu. Orang-orang kiri kongkalikong dengan cukong. Intelektual kiri sibuk masturbasi di subuh hari. Tepat ketika embun luruh dari daun kasturi, Tikus Merah

    keluar dari got-got gelap dan kotor. Ada wabah Tikus Merah di Indonesia.

    Indonesia terletak di persimpangan jalur perdagangan besar, antara Teluk Benggala

    dengan Laut Cina atau umum sering menyebut antara Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik. Persimpangan ini, pada awal peradaban manusia dan sampai saat ini, merupakan daerah yang penting bagi lalu lintas perdagangan, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan manusia. Luas wilayah Indonesia mencapai 1.900.000 kilometer persegi, atau lima puluh tujuh kali luas Belanda, empat kali luas Perancis dan hampir dua kali luas Pakistan. Dalam garis lintangnya, jarak antara Aceh di ujung timur dengan Papua di ujung barat sama dengan jarak antara Pantai Pasifik dengan Pantai Atlantik di Amerika.

    Posisi seperti itu membuat Indonesia berada di tempat yang strategis dalam percaturan ekonomi-politik dunia. Tapi kenyataannya Indonesia tak bisa lepas dari keterpurukan. Pepatah-pepatah kuno memuji Indonesia sebagai Suvarnadwipa: Tanah Emas. Tapi kini sebagian besar penduduknya hidup dalam kemelaratan.

    Mengapa tikus bisa mati di lumbung padi? Inilah yang akan kami jawab.

    I Kapitalisme Indonesia

    Dari Kapitalisme Militeristik sampai Badai Krisis

    Kapitalisme di Indonesia paska tumbangnya Soekarno sangat berlainan dengan kapitalisme di Eropa ketika Revolusi Perancis dan Inggris melanda benua itu. Perbedaan tersebut terutama terletak pada penguasaan aset-aset modal pada awal transisi dari Soekarno ke Soeharto. Dalam masa peralihan tersebut, tentara memegang peranan yang dominan dalam penguasaan modal: sebagai penjaga modal dan sekaligus sebagai pialang modal. Borjuasi pribumi yang mendapat ceceran modal dari program Benteng tahun 1957, akhirnya tergilas oleh naiknya tentara ke singgasana kekuasaan. Borjuasi pribumiyang sebagian besar priyayi-priyayi yang masuk dalam PNI dan Masyumiterlucuti hak-haknya. Mungkin borjuasi Tionghoa yang tersisa. Tapi tentaralah yang paling dominan sebagai penguasa aset-aset produksi.

    Tersebutlah sejak manusia mengenal kapal, Indonesia sudah banyak dikunjungi orang-orang dari berbagai negeri. Mereka berdagang dan bertukar ilmu pengetahuan.Tapi ketika bangsa-bangsa dari Utara mulai berdatangan pada Abad Pertengahan, tujuan itu bergeser. Orang-orang yang telah diberkahi oleh Paus sejak perjanjian Tordesillas, membelah samudera dengan slogan: Gold [emas], Gospel [agama Katolik] dan Glory [kejayaan]. Itulah masa ketika kapital mulai

    menjarah bumi-bumi di Selatan. Semenjak itu, selama ratusan tahun kekayaan Indonesia diboyong ke Utara.

    Semestinya Revolusi Agustus 1945 memungkas semua itu. Tapi tak semua putik akan tumbuh menjadi bunga. Belanda memang berhasil didepak, tapi Amerika Serikat datang sebagai gantinya. Modal mereka masuk, dan sekali lagi, seperti era Belanda, kekayaan Indonesia terus dibawa ke Utara. Tentu mereka bisa masuk karena ada yang membukakan pintu. Siapa saja pembuka pintu itu?

  • 1.Jalur Masuknya Modal Asing 1.1. Jalur Intelektual

    Universitas merupakan salah satu pembuka pintu agar Amerika Serikat [AS] bisa mempertahankan kepentingannya di Indonesiaterutama kepentingan modal. Setelah mereka terlibat dalam menyelesaikan kemelut antara Indonesia dan Belanda paska kemerdekaan, peranan AS meningkat. Ada dua intelektual Indonesia yang dijadikan kaki tangan AS di Indonesia: Sumitro Djoyohadikusumo dan Sudjatmoko. Oleh AS mereka dianggap sebagai orang-orang nasionalis yang sopan dibanding Soekarno yang meledak-ledak dan lebih condong ke kiri.

    Selepas perjanjian Konferensi Meja Budar [KMB], Sumitro yang beberapa waktu lamanya berada di AS, kembali ke Indonesia untuk menjadi Menteri Perdagangan dan Industri, dan dalam dua periode kabinet selanjutnya menjadi Menteri Keuangan. Dalam kurun waktu menjadi menteri pada tahun 1950-an inilah, sikap Sumitro sebagai orang AS dan Belanda ditunjukkan dengan memberikan peluang yang besar pada modal dari Utara untuk masuk ke Indonesia.

    Tentu saja Sumitro memerlukan pembantu-pembantu yang setia agar tugasnya bisa berjalan mulus. Lewat Yayasan The Ford Foundation [yang berdiri di Indonesia pada tahun 1953], Sumitro yang juga seorang dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, mementori kader-kader muda untuk bisa menjadi penerus dan pelayan yang baik bagi Tuan-tuan pemodal dari negeri Paman Sam. Mereka yang berpihak pada kapitalis Amerika disekolahkan ke ASterutama Universitas Berkeley dan Cornellseperti M. Sadli, Widjojo Nitisastro, Selosumardjan, dll. Mereka inilah yang kemudian menjadi arsitek-arsitek ekonomi yang pro kapitalis setelah Soeharto menjadi presiden.

    Ketika pembantaian terhadap orang-orang komunis dimulai, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia mengadakan seminar ekonomi. Orang-orang kepercayaan Amerika seperti Widjojo Nitisastro, M. Sadli dan Ali Wardana tampil sebagai pembicara. Hasil seminar tersebut kemudian dijadikan landasan pembangunan ekonomi Orba. Artinya, bahkan sebelum Soekarno benar-benar terguling, mereka sudah siap dengan cetak biru ekonomi pro kapitalis.

    Sampai kini intelektual-intelektual pro neoliberalisme terus digembleng di universitas-universitas di Indonesia. Yang menonjol kemudian dikirim ke AS agar semakin tebal keimanannya, bahwa hanya kapitalismelah yang dapat memberikan jaminan bagi kemakmuran ekonomi dunia. Setelah pulang mereka akan menjual negaranya pada sang Tuan di Utara. Dengan segepok teori-teori, mereka menyodorkan argumentasi-argumentasi ilmiah, bahwa pasar bebaslah yang mesti dianut. Agar tak terkesan seperti Malin Kundang, mereka menganjurkan agar orang-orang miskin diberi sedikit kue-kue agar tak memberontak.

    Tapi mereka tak sendiri. Ada sahabat baik yang digembleng di Lembah Tidar. Sahabat itu bernama tentara.

    1.2. Jalur Tentara

    Berbeda dengan Amerika, Siam, dan Jepang yang bisa memelihara angkatan bersenjata yang mandiri, Hindia Belanda hampir tidak dilengkapi dengan angkatan bersenjata pribumi. Mataram memang pernah mempunyai angkatan bersenjata yang besar, tetapi setelah Perang Diponegoro, Gubernur Jendral Belanda di Batavia hanya memperbolehkan kerajaan-kerajaan yang ada memiliki angkatan bersenjata untuk parade semata. Sedangkan tentara kolonial sendiri (KNIL) sebagian besar diambil dari luar Jawa (Ambon). Jadi, inti tentara Indonesia yang sesungguhnya tidak pernah mendapat didikan Barat. Sebagian lagi adalah didikan Jepang melalui PETA. Pasukan Republik yang mula-mula sekali melucuti tentara Jepang dan melawan Inggris (Sekutu), banyak diantaranya adalah gerombolan-gerombolan partisan -lebih banyak sebagai gerakan bawah tanah daripada sebagai tentara reguler- yang lebih dekat dengan golongan kiri. Situasi seperti ini membuat negara-negara kapitalis seperti AS menjadi khawatir. Apalagi dalam gelanggang Internasional menunjukkan bahwa posisi gerakan kiri sedang menguat sehingga bisa menyeret Indonesia yang baru merdeka ke dalam revolusi sosialis seperti yang terjadi di Tiongkok.

    Maka, AS yang peranannya semakin besar setelah KMB, mendekati kelompok-kelompok reaksioner seperti Hatta, PSI dan Masyumi untuk menghambat kemunculan tentara yang progresif. Sebagai imbalan, mereka memberikan bantuan-bantuan ekonomi dan mendesak Belanda untuk

  • segera mengakui Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Kelompok-kelompok reaksioner yang juga dalam posisi terancam menyambut tawaran pihak AS. Red draft Proposal dan Rasionalisasi

    Restrukturisasi (RERA) Hatta adalah bungkus untuk melakukan pembasmian terhadap gerakan kiri di Indonesia. Tentara dibersihkan dari unsur-unsur revolusionernyaseperti PESINDO dan hanya disisakan mereka-mereka yang mendapat didikan KNIL atau PETA. Sejak saat itu pengaruh AS masuk ke tentara Indonesia sebagai salah satu jalur untuk memudahkan masuknya modal.

    Sejak kegagalan CIA dalam pemberontakan PRRI/PERMESTAini merupakan usaha AS untuk menciptakan ketidakstabilan di Indonesia paska Pemilu 1955, dimana PKI menempati posisi 4 besar Amerika banyak mengubah strategi taktik untuk mempertahankan dominasinya di Indonesia. Mereka mulai mendekati perwira-perwira tentara yang anti terhadap gerakan kiri. Amerika memberikan bantuan sebesar $20 juta kepada tentara Indonesia, dan kemudian mulai memasukkan orang-orangnya ke SESKOAD (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat). SESKOAD didirikan pada tahun 1958 oleh perwira-perwira intelektual Indonesia yang pro kapitalis dan AS, namun anti komunisme. Orang-orang seperti Sumitro, Widjoyo, dan Sadli adalah pengajar-pengajar di SESKOAD. Dan, Soeharto merupakan salah satu produk dari sekolah komando itu.

    Melewati dua pintu di atas, modal AS bisa mulus masuk ke Indonesia. Lalu, darimana tentara mendapatkan ceceran modal sehingga mereka dapat membangun basis ekonomi untuk mengambil alih kekuasaan pada tahun 1965? 1.3. Borjuasi Bersenjata

    Keterlibatan tentara dalam bisnis sudah ada sejak Indonesia merdeka. Tentara Indonesia sejak awal diberi keleluasaan untuk mencari dana sendiri guna melancarkan operasi-operasi mereka. Berbagai laskar-laskar rakyat mencari dana secara mandiri guna membiayai perang gerilya melawan Belanda. Namun, penggalian dana secara sistematis baru dilakukan sejak RERA. Usaha-usaha tentara untuk mulai melakukan bisnisdengan alasan anggaran yang diberikan pemerintah kecilpaska RERA sering menimbulkan ketegangan. Setiap komandan-komandan wilayah mempunyai wewenang untuk mengembangkan bisnis sendiri, yang sering kali tanpa sepengetahuan orang-orang Jakarta. Peristiwa PRRI/PERMESTA dapat djadikan contoh tentang ketegangan yang terjadi antara penguasa teritorial di tingkat daerah dengan yang berada di pusat. Dalam peristiwa tersebut, Komando TT I/ Bukit Barisan di Sumatera dan Komando TT VII/Wirabuana di Sulawesi, untuk mendanai kerja-kerja operasionalnya melakukan penyelundupan karet di Sumatera dan kopra di Sulawesi. Ini tentu saja merugikan pemerintahan pusat maupun pimpinan tentara yang ada di Jakarta. Guna menertibkannya, mereka dibersihkandi samping alasan politik bahwa PRRI/PERMESTA didukung oleh CIA. Pola-pola penyelundupan ini merupakan hal yang wajar dalam bisnis tentara. Kostrad juga mengumpulkan dana lewat cara seperti itu. Soeharto juga melakukan hal sama ketika masih menjadi Pangdam Diponegoro.

    Setelah tahun 1957, keterlibatan bisnis tentara secara institusional semakin meningkat. Perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi oleh serikat-serikat buruh, sebagian besar diambil alih oleh tentara. Jenderal A.H Nasution mengambil prakarsa agar perusahaan-perusahaan tersebut ditempatkan di bawah tentara supaya terjamin keamanannya. Sejak saat itulah tentara menguasai bisnis dalam skala besar. Kondisi tersebut semakin kuat ketika Soeharto naik menjadi presiden. Soeharto menetapkan kerjasama antara tentara, borjuasi Tionghoa dan pemodal asing untuk membangun perekonomian Indonesia. Semakin tertancaplah peran tentara Indonesia sebagai pemilik modal, pialang modal dan sekaligus sebagai penjaga modal.

    Guna mengukuhkan peranannya di atas, perwira-perwira tentara ditempatkan diberbagai BUMN-BUMN dan membentuk unit-unit usaha baru. Kerjasama dengan borjuasi Tionghoa juga ditingkatkan. Kerjasama antara Liem Sioe Liong sahabat bisnis Soeharto semasa menjadi Pangdam Diponegoro dalam membangun Bank Windu Kencana, merupakan contoh bentuk kerjasama antara tentara dan pengusaha. Bank tersebut menjadi basis pencarian dana dan perluasan usaha sektor lain.

    Angkatan Darat [AD] merupakan kesatuan tentara yang mempunyai bisnis paling banyak. Melalui empat yayasan yang mereka miliki Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP), Induk Koperasi Angkatan Darat (Inkopod), Yayasan Kesejahteraan Korps Baret Merah (YK KOMBE) Angkatan

  • Darat mengembangkan bisnis-binisnya. Mereka bergerak dalam berbagai usaha, mulai dari transportasi, konstruksi, perikanan, HPH, dll.

    Nama Perusahaan/Proyek Keterangan Nama Perusahaan/Proyek Keterangan

    Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP): PT. Aerokarko Indonesia PT. Asuransi Cigna Indonesia

    PT. Cilegon Fabricators PT. Kayan River Indah Timber Plywood PT. Kultujaya Tri Utama

    PT.Lukita Wahana Sari PT. Meranti Sakti Indah Plywood PT. Meranti Sakti Indonesia

    PT. Panca Usaha Palopo Plywood PT. Pondok Indah Padang Golf PT. Privated Development Finance.Co

    PT. Sinkanoi Indonesia Lestari PT. Sumber Mas Indonesa PT. Sumber Mas Timber

    PT. Truba Anugerah Elektronik PT. Truba Gatra Perkasa PT. Truba Jurong Engineering

    PT. Truba Jurong Engineering Pie Ltd. PT. Truba Sadaya Industri PT. Sakai Sakti

    PT. Kayan River Timber Product PT. Sempati Air PT. Internasional Timber Corporation Indonesia (ITCI)

    PT. Bank Artha Graha PT. Danayasa Arthama Universitas Ahmad Yani Bandung

    Induk Koperasi Angkatan Darat (Inkopod): Duta Kartika Kencana Tour &Travels Kartika Plaza Hotel

    Kartika Aneka Usaha Kartika Buana Niaga Duta Kartika Cargo Service

    Orchid Palace Hotel

    Pemasok

    HPH

    Konstruksi

    Poperti

    Eks-impor

    Induk Koperasi Angkatan Darat (Inkopod): Kartika Cipta Sarana Mina Kartika Samudera

    Rimba Kartika Jaya Mitra Kartika Sejati Kartika Inti Perkasa

    Kartika Summa Mahkota Transindo Indah

    Yayasan Kesejahteraan Korps Baret Merah (YK KOMBE) Milik Kopassus:

    Operasi Prawita

    PT. Kobame Propetindo

    KMB Tribuana I (dalam rencana)

    Dalam Rencana

    Dalam rencana

    Konstruksi

    Perikanan Timber Shirimp

    Hoding comp. Holding comp. Holding comp.

    Kerjasama dengan

    Kadin untuk melatih & mengembangkan para anggota

    Kopassus menjadi wiraswastawan

    Pemilik Graha Cijantung Transportasi bisnis

    perkayuan di Kalimantan

    Distribusi metanol dari Pertamina

    Pengelolaaan pasar swalayan di berbagi negara

    Tabel 1: Perusahan Milik Angkatan Darat Walaupun tidak sebanyak Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara juga

    mengembangkan bisnisnya. Guna membungkus bisnis-bisnis tersebut, sama seperti Angkatan Darat, yaitu disamarkan dalam bentuk yayasan atau koperasi. Angkatan Laut lebih fokus pada bisnis perkapalan, penyulingan minyak dan produksi bahan kimia. Sedangkan Angkatan Udara berfokus pada pers, telekomunikasi dan perdagangan umum.

    Nama Perusahaan/Proyek Keterangan Nama Perusahaan/Proyek Keterangan

    Yayasan Bhumyanca (Yasbhum)

    Bank Bahari Admiral Lines Yala Trading

    Bhumyanca Film Bintara Beach Internasiona REsort

    Pulau Bayan Marina Club Karimun Kecil

    Sekolah-sekolah Hang Tuah Induk Koperasi AL (Inkopal) &Primer Koperasi AL(Primkopal):

    (Selain berbagai bisnis di atas, TNI AL juga mengembangkan berbagai bisnis, yang berada di bawah naungan

    Inkopal dan Primkopal)

    Perkapalan Suku cadang

    Penyulingan minyak mentah

    Usaha di Bawah Inkopal, yang cukup terkemuka

    adalah usaha bisnis

    Yayasan Adi Upaya:

    Bank Angkasa Aerokarto Indo Dirgantara Air Service

    Angkasa Puri Cardig PT. Mediarona Dirgantara

    PT. Kresna Puri Dirgantara

    PT. Kontruksi Dirgantara Induk Koperasi AU (Inkopau) &Primer Koperasi AU (Primkopau):

    (selain berbagai bisnis di atas, TNI AU juga mengembangkan berbagai bisnis yang berada di bawah naungan Inkopau

    dan Primkopau)

    PERS Telekomunikasi

    &perdagngan umum

  • bahan kimia yang berlokasi di Surabaya

    Tabel 2 : Perusahan Milik AL dan AU Selain ketiga angkatan di atas, Kepolisian juga memiliki bisnis. Paling tidak mereka

    mempunyai tiga yayasan: Yayasan Bisnis Bhakti dan Induk Koperasi Polisi (Inkoppol) serta Primer Koperasi Polisi (Primkoppol). Melalui tiga tangannya ini, Polisi mengembangkan usaha, dari bisnis perdagangan, HPH, perhotelan, serta garmen. Bahkan setelah pisah ranjang dari TNI, Polri menjalankan bisnis senjata secara mandiri.

    Nama Perusahaan/Proyek Keterangan

    Yayasan Bisnis Bhakti: PT. Tansa Trisna

    PT. Bhara Induk

    PT. Braja Tama

    PT. Braja Tara PT. Bhara Union

    PT. Asuransi Bhakti Bhayangkara PT. Sabta Pirsa Mandiri

    Gedung Bimantara Bank Yudha Bhakti

    Asuransi Bhakti Bhayangkara Induk Koperasi Polisi (Inkoppol) Dan primer Koperasi Polisi

    (Primkoppol) (selain berbagai bisnis di atas, Polri juga mengembangkan berbagai bisnis lain.

    Perdagangan umum,

    kayu, kimia, dan udang HPH dan Garmen Pergangan umum,

    HPHm, perhotelan, dan garmen Angkutan Bahan

    peledak Perdagangan Umum dan HPH

    Asuransi Adjuster Klaim asuransi

    Tabel 3 : Milik Kepolisian Selain secara kelembagaan, banyak perwira-perwira tentara yang membangun kerajaan

    bisnisnya sendiri. Mereka antara lain: Letjen. TNI (Purn) Ibn Sutowo, pemilik Nugra Santana Group (NSG) yang membawahi tidak kurang 30 anak perusahaan; Brigjen TNI (Purn) Sjarnoebi Said, yang sukses dengan bisnis otomotif Krama Yudha; Brigjen TNI Andi Soe, pemilik kelompok usaha Merannu yang membawahi sekitar 16 anak perusahaan; Mayjen TNI (Purn) Suhardiman yang pernah menangani berbagai perusahaan. Letjen TNI (Purn) Tahir, pengelola kelompok usaha Hanurata dengan 10 anak perusahaan; Jendral TNI (Purn) Benny Moerdani yang mempunyai usaha Batara Indra dengan sekitar 33 anak perusahaan.

    Ibnu Sutowo yang sempat menjadi Direktur Utama Pertamina mengembangkan kerajaan bisnis pribadinya. Di bawah naungan Nugraha Santana Group (NGS), ia mengembangkan usaha dalam berbagai bidang, mulai dari pembuatan dan perlawatan kapal, perhotelan, persewaan gedung, real estate, sampai bisnis perdagangan minyak.

    Nama Perusahaan Bidang Usaha

    PT Adiguna Shipbuilding and Engineering Pembangunan dan perawatan kapal, pengadaan fiber glass kapal

    PT Alas Helau Logging dan Investasi bangunan

    PT Artana Pasifik Hasil dan Asuransi Kelautan

    PT Bali Handara Country Clup Pengelolaan lapangan Golf, restoran, dan manajemen cottage

    PT Cipta Paramuda Sejati Persewan gedung dan konsultasi manajemen

    PT Delta Sentana Holding dan Trading

    PT FMC Santana Petroleum Equipment Perdagangan minyak bumi PT Hedra Ghraha Kontraktor

    PT Indobuild Co. Real estate dan hotel

    PT Inggom Shipyard Pembangunan dan reparasi kapal

    PT Intan Sengkunyit Pembangunan dan reparasi kapal

    PT Kertas Kraft Aceh Pabrik kertas

    PT Nisdemi Pengadaan mesin disel, generator, perakitan alat-alat kelautan

  • PT Nugra Sarana Bursa saham,pemasaran, manajemen properta, investasi

    PT Bank Pasifik Perbangkan

    PT Pelumin Tranportasi kargo, tandling crafts, kapal tunda

    PT Sarana Buana Hendra Perhotelan (antara lian Hotel Hilton)

    PT. Tirtajaya Shipyard Pembanguna dan reparasi kapal

    PT Tunas Tour and Travel Biro perjalanan

    PT Adiguna Mesin Tani agrikultural

    Tabel 4 : Imperium Ibnu Sutowo

    Benny Moerdani tidak mau ketinggalan dengan rekan-rekannya sesama tentara. Ketika memimpin pasukan Indonesia untuk invansi ke Timor-Timur, ia memanfaatkannya untuk membangun bisnis pribadi. Namun, dalam perkembangnya bisnis-bisnis yang dimiliki Benny banyak mengalami kebangkrutan dan kemudian digantikan oleh keluarga Cendana.

    Nama Perusahaan Bidang Usaha

    PT Adhi Baladika Agung Kontraktor umum

    PT Branata Mulia Industri pita rekaman

    PT Motollain Corporation Distribusi peralatan komunikasi

    PT Nee Diak Industri perkapalan

    PT Renpah kencana Eksportir kopi dan minyak cendana

    PT Wawasan Globalindo Sentosa Bursa saham

    PT Widya Dana Persada Bursa saham

    Tabel 5 : Usaha-usaha Benny

    Dalam bisnisnya, tentara juga banyak yang bekerjasama dengan modal asing. Kerjasama Krama Yudha Group milik Brigjen TNI (Purn) Sjarnoebi Said dengan pemodal asing bisa dijadikan contoh. Krama Yudha memiliki beberapa anak perusahaan, antara lain: PT Braja Mukti Cakara, PT Colt Engine Manufacturing, PT Karya Yasantara Cakti, PT Krama Yudha, PT Krama Yudha Motor, PT Krama Yudha Ratu Motor, PT Krama Yudha Tiga Berlian, PT Staco Tiga Berlian, PT Wira Dedana. Anak-anak perusahaan ini di dalamnya banyak melibatkan pemodal-pemodal asing untuk memperbesar kerajaan usahanya.

    Nama perusahaan PMA (dalam

    US $))

    PMDN (dalam

    RP)

    Modal Dasar Modal Ditempatkan

    Modal Disetor

    PT Braja Mukti Cakara - 3.025,0 1.000,0 700,0 700,0

    PT Colt Engine Manufacturing 140,9 - 23.275,0 4.987,5 4.987,5

    PT Karya Yasantara Cakti 5,7 - 375,9 375,9 375,9

    PT Krama Yudha - - 500 500 500

    PT Krama Yudha Motor - 6.300,0 1.500,0 500 500

    PT Krama Yudha Ratu Motor - 9.164,5 500 500 500

    PT Krama Yudha Tiga Berlian - - 748,0 748,0 748,0

    PT Staco Tiga Berlian - - 10.000,0 10.000,0 10.000,0

    PT Wira Dedana - - 15.000,0 3.000,0 3.000,0

    Total 146,0 18.489,5 52.898,9 21.311,4 16.311,4

    Tabel 6 : Kerjasama Mantan Perwira Tentara dan Pemodal Asing 1.3. Masuknya Modal Asing

    Sebagai balas jasa atas dukungan AS, tentara Indonesia yang berkuasa sejak tragedi berdarah tahun 1965, memberikan kemudahan bagi negara tersebut untuk menanamkan modal. Apalagi borjuasi nasional tidak mempunyai daya apa-apa untuk menguasai modal yang seharusnya menjadi haknya. Sementara itu, borjuasi Tionghoa yang karena ketangguhanya, juga mendapatkan modal dari tentara, walaupun tidak sebanyak yang didapatkan pemodal asing. Dominasi modal kapitalis internasional dapat kita lihat dari data di bawah ini:

    Bidang Usaha PMDN (dalam juta Rp) PMA (dalam juta Rp)

    Industri Makanan Industri Tektil

    165.247 185.988

    57.125 504.750

  • Industri Kayu Industri Kertas Industri Kimia

    Industri Mineral Bukan Logam Industri Logam Dasar Industri Barang Logam

    Industri Lainya

    74.851 58.881 167.501

    202.450

    66.210

    131.242 4.856

    27.937 14.312 187.937

    253.375

    157.437

    268.063 11.313

    Tabel 7 : Perbandingan Investasi Modal Borjuasi Pribumi Dan Borjuasi Asing Pada Tahun (1967-1979)

    Dari data di atas dapat dilihat dominasi modal asing tidak bisa dikalahkan oleh borjuasi nasional. Sedangkan borjuasi Tionghoa sebagian besar hanya menguasai non industri berat tidak pernah menguasi sektor-sektor ekstraktif seperti pertambangan dan minyak. Data-data di bawah ini dapat menunjukkan dominasi modal asing di Indonesia (dalam Juta $).

    Periode AS Kan Lln Hkn Jpg Korsel Mly Php Sing Taiw Thd Chn India Lln

    1995 2,770.5 10.5 14.1 1,763.3 3,792.0 674.7 877.0 31.2 1,468.5 567.4 34.5 17.4 5.7 3.1 1996 642.1 35.8 76.6 1,105.6 7,655.3 1,231.4 1,393.3 3.1 3,131.0 534.6 1,610.6 20.3 21.8 1,664.3 1997 1,017.7 6.2 88.9 251.0 5,421.3 1,409.9 2,289.3 0.0 2,298.6 3,419.4 19.1 23.5 5.9 31.6 1998 568.3 8.1 123.2 549.0 1,330.7 202.4 1,060.2 62.5 1,267.4 165.4 2.8 7.6 14.9 10.8 1999 136.7 3.2 4.3 76.9 644.3 263.0 186.1 4.9 731.1 1,489.3 8.4 57.9 12.5 3,011.7

    Tabel 8: Negara-negara Kapitalis Yang Menanamkan Modal di Indonesia Sejak awal, ketika Soeharto menjadi penguasa, harta kekayaan negeri ini memang dipersembahkan bagi modal asing. Sebagai hamba yang setia, Soeharto dan kroni-kroninya dilindungi oleh Tuan-tuan mereka. Tak mengherankan kalau ia bisa bertahan selama 30 tahun lebih menancapkan kekuasaanya di Indonesia. Dengan masa kekuasaan yang selama itu, tentu saja ia telah mempersembahkan upeti yang besar bagi para kapitalis internasional. Semenjak masa Tanam Paksa, pada masa rezim Soeharto inilah Indonesia bisa menjadi sapi perahan yang membuat bangsa-bangsa Utara bersuka cita. Karena sumber daya alam ada di pelosok-pelosok Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua, modal asing pun menggurita di sana. Kekayaan alam didudah dari perut bumi dan hutan-hutan mulai ditebangi. Suku-suku anak dalam yang sudah beratus-ratus tahun tinggal, mulai didesak untuk pergi karena tempat mereka akan diubah menjadi kawasan pertambangan atau HPH. Mereka yang selalu dipinggirkan dari proses pembangunan semakin tak karuan nasibnya: menjadi paria di negerinya sendiri. Semua itu masih harus ditambah kerusakan ekosistem yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bekas-bekas pertambangan dibiarkan begitu saja dan hutan semakin gundul. Tanah longsor dan banjir bandang merusak apa saja, termasuk manusianya. Begitulah nasib negeri setengah jajahan seperti Indonesia. 1.3. Borjuasi Nasional/Pribumi

    Perlu disebut dua borjuasi pribumi yang tumbuh sebelum dan sesudah Soekarno runtuh, yaitu Soedarpo Sastrosatomo dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dua borjuasi pribumi ini dapat bertahan setelah Orde Baru berkuasa. Soedarpo banyak bergerak dibidang perbankan. Ia banyak

  • membangun usahanya dengan borjuasi Tionghoa seperti Julius Tjahija, dan juga dengan perusahaan asing.

    Company Interests

    Soedarpo Corp. Ista Shiping Agency

    Perusahaan induk dan perdagangan

    PT Panurjawan Pelayaran antarpulau

    PT Samudera Indonesia Pelayaran internasional

    PT Bhaita Kapal penarik dan bergas

    PT Pahoka Pengangkutan kayu balok

    PT Indonesia National Bulk Carriers

    Angkutan barang-barang lepas

    PT Bank Amerta Bank

    PT Bank Niaga Bank devisa

    PT PDFC Institusi keuangan

    Tabel 9 : Perusahaan Soedarpo

    Sementara Sultan HB IX dalam mengembangkan bisnisnya banyak bekerjasama dengan investor asing, seperti dari Hongkong dan Belanda. Dalam pendirian Bank Dagang Nasional Indonesia, ia bekerjasama dengan Sjamsul Nursalim. Bidang usaha yang dikembangkan Sultan HB IX meliputi tekstil, hotel, kontraktor dan perusahaan kaset.

    Company Sector Shareholders

    PT.Molino Pramungka Perusahaan induk Sultan Hamengkubuwono dan Pramuka

    PT.Asia Indo Tobacco Tembakau dan rokok PT Molino Pramungka san Singapura

    PT. Urecon Properti T. Daud Muh. Suleiman & Ir. Tirtajaya

    PT. Urecon Utama Properti T. Daud Muh. Suleiman & Ir. Tirtajaya &Kasworo

    PT. BASF Pita rekaman PT Urecom, Teddy Chandrajaya

    PT. Tylor Woodrow Kontraktor PT Urecom Utama dan Inggris

    PT. Universal Realty Properti PT Urecom Utama dan Singapura

    PT. Chandra Jaya Perikanan PT Urecom Utama,

    PT. Nusantour Duta Pengelolaan kekayaan Sultan HB IX, Sri Budojo

    PT. Duta Merlin Hotel PT Nusatour Duta, PT Duta Indo Jaya dan Hongkong

    PT. Wavin Duta Jaya Pipa PVC PT Nusatour Duta, PT Pembanguan Jaya dan Belanda

    PT. Eastern Polymer Tekstil PT Nusatour Duta dan Hongkong

    PT. Jogjatex Tektsil Kasworo dan investor lain

    PT. BDNI PT Nusatour Duta &PT PT Nusatour Duta Jaya &Sjamsul Nursalim

    Tabel 10: Harta Keturunan Sultan Agung yang Telah Berubah Menjadi Borjuasi Pribumi

    Lama menjadi kacung pemerintah Belanda, borjuasi pribumi terlambat tumbuh. Selama

    masa kolonial mereka memilih menjadi pegawai kolonial dengan gaji bulanan daripada menjadi pengusaha seperti orang-orang Tionghoa. Bagi mereka, menjadi pedagang merupakan pekerjaan kotor yang akan melunturkan kepriyayian. Tak mengherankan ketika mendapat berkah dari program Benteng, mereka lebih suka menjual lisensi yang dimiliki pada borjuasi asing atau borjuasi Tionghoa. Borjuasi pribumi yang muncul pada masa Orba tidak lain hanya sebatas kroni Soeharto. Mereka sebagaimana bayi yang semenjak lahir sudah cacat, menetek terus menerus pada Sang Jenderal. Tak pernah mandiri. Selalu hidup dari belas kasihan. Sampai sekarang pun mereka tidak tumbuh sebagaimana mestinya. 1.4. Borjuasi Tionghoa

    Jumlah borjuasi Hoakiau tumbuh lebih banyak dibanding borjuasi pribumi. Mereka rata-rata

  • bergerak pada bidang manufacturing, perbankan, properti dan kontruksi. Beberapa mendirikan industri semen dan menguasai perusahaan-perusahaan rokok di Indonesia. Di antara kelompok raksasa adalah Astra Group dan kelompok Liem Sioe Liong. Kedua kelompok ini menggurita sampai saat ini.

    Ketangguhan borjuasi Tionghoa tak perlu diragukan lagi. Sejak zaman Belanda mereka telah bisa bersaing dengan pengusaha-pengusaha dari Eropa dan Timur Jauh. Tak jarang mereka menjadi korban rasisme, ditindas dan ditumpas, namun bisa bertahan. Orang-orang yang awalnya miskin di Negeri Naga sana, pergi ke Indonesia untuk memperbaiki nasib. Lewat kerja keras mereka tumbuh menjadi borjuasi yang tak gepeng oleh berbagai gencetan.

    Ketangguhan itulah yang membuat borjuasi pribumi iri. Tak jarang dalam setiap kesempatan politik, borjuasi Tionghoa menjadi sasaran untuk menumpahkan kemarahan. Dengan propaganda bahwa mereka orang asing yang mengeruk kekayaan Indonesia, borjuasi Tionghoa sering menjadi sasaran amuk massa. Dan akibatnya bukan hanya mereka yang menanggung. Etnis Tionghoa yang hidupnya biasa-biasa saja ikut menjadi korban. Peristiwa Mei 1998 merupakan contoh paling akhir bagaimana etnis Tionghoa menjadi korban rasisme.

    Tapi mereka tetap bertahan. Sepuluh besar orang terkaya di Indonesia masih diduduki oleh borjuasi Tionghoa. Rezim boleh berganti, tapi mereka bisa menyesuaikan diri. Sepertinya itulah keunggulan mereka.

    1.5. Proses Industrialisasi Kampungan

    Repelita merupakan konsep pembangunan yang dilakukan oleh rezim Soeharto. Seperti halnya raja Mataram, Soeharto memfokuskan pada pembangunan sektor pertanian dibanding sektor-sektor lain, terutama sektor industri. Juga seperti masa penjajahan Belanda, sektor-sektor ekonomi yang lain dibangun untuk mendukung sektor pertanianBelanda melakukan industrialisasi hanya untuk mendukung perkembangan produksi gula.

    Dalam program Repelita, misalnya, pada Pelita I, ditegaskan bahwa pembangunan industri ditekankan pada: i. Industri-industri yang mendukung dan saling berkaitan dengan sektor pertanian, terutama yang menghasilkan peralatan pertanian, dan memproses produk-produk pertanian; ii. Industri-industri yang dapat menghasilkan atau menghemat devisa dengan cara memproduksi barang-barang pengganti impor; iii. Industri yang relatif lebih banyak mengunakan tenaga kerja daripada tenaga mesin; iv. Industri yang mendorong usaha-usaha pembangunan regional.

    Memang berbeda dengan Rusia dan India yang proses industrialisasinya menitikberatkan pada industri dasar (besi, baja), industri berat (mesin-mesin untuk produksi tekstil) dan industri ringan (industri kosumsi), sedangkan industri pertanian mengikuti industri-industri ini. Di Indonesia yang berlaku adalah sebaliknya.

    Sayangnya, industri pertanian yang digembar-gemborkan hanya bertumpu pada teknologi kampungantenaga manusia dan hewan. Para petani tidak pernah bersentuhan dengan peralatan-peralatan modern. Tak mengherankan ketika negara lain mengalami kemajuan dalam industri pertaniannya karena didukung peralatan yang modern, petani Indonesia tak bisa berbuat banyak. Traktor memang mulai digunakan, tapi para petani harus berhadapan dengan galengan-galengan/pembatas sawah yang mereka buat sendiri. Peralatan yang modern itupun akhirnya

    tidak berfungsi dengan maksimal, para petani kembali lagi pada sapi dan luku. Inilah yang membuat kita terseok-seok menghadapi serbuan produk pertanian luar yang lebih murah dan lebih bagus mutunya.

    Selama Orde Baru, sebelum industri tekstil dibangun secara marak pada dekade tahun 80-an, yang ada hanyalah sisa-sisa puing reruntuhan industri warisan Belanda: pabrik gula. Bangunan-bangunan tua inilah yang dibanggakanpadahal sejak zaman Belanda sudah mengalami keruntuhan. Sialnya lagi, pabrik-pabrik gula yang sudah afkiran ini bak museum yang tidak pernah disentuh, dianggap barang keramat, begitu juga dengan alat-alatnya, dibiarkan tanpa diberi unsur modern sedikitpun. Akibatnya, inustri gula Indonesia tak berdaya menghadapi gempuran gula impor.

  • Masih berbau dengan tanah, Orde Baru kemudian banyak membuka lahan-lahan perkebunan di luar Jawaterutama Sumatera dan Sulawesi. Perkebunan kelapa sawit, karet, vanili, hutan tanaman industri, dll. Industri-industri ini masih dikerjakan dengan teknologi yang sederhana. Dan lagi-lagi tidak didukung oleh industri-industri yang maju. Yang ada di sekitar ladang-ladang perkebunan itu hanya gudang-gudang, tidak ada industri pengolahan bahan mentah menjadi barang jadi yang modern. Akibatnya, hanya mampu menjual dalam wujud barang mentah dengan harga yang murah.

    Konsep industri kampungan berdampak pada proses industrialisasi yang tersendat-sendat. Pembangunan sarana-sarana pendukung juga berjalan lambat. Barang-barang untuk industri dasar (baja, besi) hanya dijual dalam bentuk mentah ke luar negeri, bukan untuk membangun infrastruktur di dalam negeri. Industri untuk menghasilkan mesin-mesin juga tidak ada. Rezim Soeharto lebih suka mengimpor mesin-mesin.

    Persoalan selanjutnya adalah industrialisasi yang ada masih berpusat di Jawasedangkan di luar Jawa hanya di beberapa tempat. Jawa sebagai fokus industrialisasi mendapatkan segalanya: sarana pendidikan, tempat-tempat hiburan, transportasi, kesehatan sampai air bersih. Timbulah kesenjangan dalam tingkat kesadaran masyarakat di segala bidangilmu pengetahuan, pendidikan, politik, ekonomi, dan budaya. Masyarakat di Jawa sudah maju, sementara di luar Jawa masih tertatih-tatih mengeja aksara.

    Industri kampungan berakibat pula pada perkembangan proletariat. Tak mengherankan kalau jumlah petani masih banyak. Di negara-negara yang maju jumlah kaum pekerja akan lebih banyak daripada jumlah petani; industrialisasi pertanian membuat jumlah petani akan menyusut; kalaupun mereka bekerja di sektor pertanian, mereka bukan lagi petani seperti di Indonesia saat ini yang mempunyai sepetak dua petak tanah, tapi sudah berubah menjadi barisan proletariat sebagaimana buruh pabrik di kota. Sementara itu, buruh-buruh pabrik di kota seringkali bisa menjadi petani penggarap kembali. Rata-rata mereka masih mempunyai tanah warisan di desa, yang ketika terkena PHK akan kembali ke kampung untuk menggarap tanah. Ketika kesempatan di kota mulai terbuka lagi, mereka akan kembali menjadi buruh pabrik.

    Sementara itu, lambatnya industrialisasi juga berakibat tenaga-tenaga produktif di pedesaan tidak mampu diserap semuanya oleh pabrik-pabrik di kota. Dampaknya, sebagian tenaga kerja pergi ke luar negeri untuk menyambung hidup. Walaupun setiap tahun ada tenaga kerja Indonesia yang dihukum mati, disiksa, diperkosa, tapi karena menipisnya lapangan pekerjaan di dalam negeri, anak-anak bangsa itu lebih memilih mengadu peruntungan di Malaysia, Hongkong atau negara-negara di Timur Tengah.

    Proses industrialisasi kampungan inilah yang membuat Indonesia semakin terbelakang, tak mampu bersaing dengan negara-negara lain. Orde Baru memberikan warisan yang tetap dipertahankan sampai saat ini. Seperti seekor hamster dalam kurungan, tampak sudah bekerja keras berlari, tapi ternyata tak kemana-mana: jalan di tempat.

    Lantas krisis itu datang tak bisa dicegah.

    1.6. Krisis Kapitalisme di Indonesia Sejak pertengahan tahun 1997, kapitalisme yang selama ini dianggap sebagai sistem

    ekonomi yang paling baik, terkena badai krisis yang maha dahsyat. Kawasan Asia yang diramalkan akan menjadi surga baru bagi industrialisasi, berubah menjadi neraka yang mengerikan. Mulai dari Korea Selatan yang disebut-sebut sebagai salah satu Macan Asia mengalami kebangkrutan ekonomi, kemudian merembet ke Thailand, Filipina, Malaysia, dan akhirnya ke Indonesia. Seluruh ramalan yang ada menjadi buyar. Seperti halnya virus yang maha ganas, ternyata krisis tidak hanya terjadi di kawasan Asia, tapi telah menyebar ke Amerika Latin maupun Afrika. Bahkan negara-negara kampium kapitalis, Amerika Serikat dan Eropa, juga terhantam badai ini.

    Di Indonesia dampak krisis ekonomi begitu hebat. Seluruh sektor ekonomi mengalami keruntuhanbaik sektor pertanian, manufacturing, konstruksi, transportasi, perdagangan, dan jasa. Akibatnya, pertumbuhan sektor ekonomi yang rata-rata 7% menjadi nol bahkan sempat dibawah nol/minus. Posisi mata uang rupiah mengalami kemerosotan yang cukup tajam, dari Rp.

  • 2.300,- per satu dollar Amerika [ pada Juli 1997 sesaat sebelum krisis], menjadi Rp. 15.000,- per satu dollar Amerika pada 15 Juni 1998. Beberapa hari kemudian malah menjadi Rp.17.000,- per satu dollar Amerika. Secara riil, perkapita perkapita penduduk Indonesia merosot tajam sampai sekitar US $400 pada tahun 1998.

    Marilah kita babar dampaknya: Dari catatan pemerintah, pada 6 Juni 1998, jumlah pengangguran di Indonesia sekitar 15,4

    juta orang, atau sekitar 17,1% dari 90 juta angkatan kerja yang ada. Membengkaknya jumlah pengangguran baik secara kuantitas maupun kualitas ini berasal dari pengangguran akibat PHK, pengangguran terselubung karena jumlah jam kerja dan penghasilan yang rendah, serta pengangguran baru yang tidak dapat diserap karena hilangnya kesempatan kerja akibat pertumbuhan ekonomi yang minus. Berdasarkan laporan LBH Jakarta, selama krisis mereka mengaku menerima sekitar 300-an laporan tentang terjadinya PHK terhadap 7.500 pekerja hingga Agustus 1998. Secara nasional angka pengangguran mencapai 13 juta pekerja dari 90 juta angkatan tenaga kerja. Ini belum dihitung pengangguran terselubung yang melonjak hingga 33 juta tenaga kerja atau sekitar 37% dari total tenaga kerja yang ada.

    Krisis kapitalisme di Indonesia membuat tingkat inflasi pada tahun 1998 tinggi, hingga melebihi nilai 50%. Dampaknya sekitar 37% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 1999. Jumlah orang yang hidup dibawah garis kemiskinan ini 3 (tiga) kali lebih banyak dari jumlah yang diperkirakan pada tahun 1996, yaitu sekitar 11% dari total penduduk Indonesia.

    Biro Pusat Statistik melaporkan bahwa jumlah orang miskin pada Juni 1998 sama dengan jumlah penduduk miskin tahun 1976, yaitu sekitar 40,1% dari total penduduk Indonesia saat itu. Tahun 1976, jumlah penduduk miskin sekitar 54,2 juta orang dan pada Juni 1998 sekitar 79,4 juta orang. Pada tahun 1996, jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan sekitar 13,3% (22,5 juta Orang) dari keseluruhan penduduk Indonesia.

    Di akhir tahun 1998 saja, dengan menghitung tingkat ketergantungan (dependency ratio)

    sebesar 5, akan ada sekitar 100 juta penduduk yang tidak lagi bisa makan dengan teratur, karena 25 juta pekerja telah kehilangan pekerjaannya. Angka kemiskinan di pedesaan disebut-sebut meningkat hingga 59% dari 205 juta penduduk Indonesia. Apalagi dengan semakin tercekatnya kehidupan petani karena melonjaknya harga pupuk dan bibit tanaman. Jumlah keluarga miskin di ibukota Indonesia ini melonjak hingga 151.383 KK atau 300% bila dibandingkan jumlah keluarga miskin tahun 1997, yakni 50.461 KK.

    Yang paling parah terkena dampak dari krisis adalah kaum perempuan. Jumlah kematian ibu yang melahirkan semakin tinggi. Data dari UNICEF menunjukkan tentang hal ini. Pada tahun 1990 angka kematian ibu melahirkan sebanyak 450 orang dari 100.000 ibu yang melahirkan. Jumlah ini menurun pada tahun 1995 menjadi 390/100.000, dan meningkat lagi pada tahun 1998 menjadi 500/100.000. Krisis ekonomi telah menyebabkan pemenuhan gizi menurun dam lemahnya masyarakat untuk memeriksakan ibu yang hamil ke tempat-tempat medis.

    Dampak krisis kapitalisme memang tak bisa ditampik. Kapitalisme telah terbukti membuat rakyat semakin sengsara. Gembar-gembor bahwa meraka adalah juru selamat ternyata hanya menciptakan lubang untuk mengubur dirinya sendiri. Krisis tersebut sebetulnya bukti nyata: kapitalisme merupakan biang keladi terpuruknya Indonesia. Seperti kepundan gunung berapi, setiap saat kapitalisme siap meledak dan runtuh.

    Masihkah kita mau mempertahankannya? 1.6. Kesimpulan Dari uraian di muka maka dapat disimpulkan tentang kapitalisme di Indonesia sebagai berikut: 1. Kapitalisme di Indonesia tidak bisa melahirkan kelas borjuasi nasional yang tangguhbaik

    terhadap penguasaan alat-alat politik maupun ekonomi. Mereka hanya mendapatkan ceceran modal dari borjuasi bersenjata. Akibatnya, corak produksi kapitalisme di Indonesia tidak mengalami perkembangan yang wajar. Ia tumbuh cacat, bahkan sejak kelahirannya.

    2. Tentara Indonesia telah menjadi borjuasi bersenjata yang menguasai aset-aset ekonomi. Tentara bukan sebatas pemegang senjata, tapi juga menjadi pengusaha.

  • 3. Kapitalisme Indonesia tidak dibangun dengan basis industrialisasi modern, tetapi lebih mengadalkan tenaga manusia/teknologi tradisional. Ini diperparah dengan konsep industrialisasi yang hanya dipusatkan di pulau Jawa. Akibatnya terjadi kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa serta antara desa dan kota.

    4. Dominasi modal asing di Indonesia sejak zaman rezim Soeharto sampai saat ini sangat besar. Apalagi ketika neoliberalisme sedang gencar-gencarnya masuk ke Indonesia. Dengan kenyataan seperti itu kelas pekerja Indonesia tidak hanya dihisap oleh borjuasi nasional, borjuasi bersenjata, borjuasi Tionghoa, tetapi sudah masuk dalam hisapan sistem kapitalisme internasional.

    5. Sebagaimana sistem kapitalisme secara umum, kapitalisme di Indonesia juga rapuh. Krisis yang terjadi pada tahun 1997 merupakan bukti kalau pondasi kapitalisme tak pernah menjangkar kuat.

    II Problem Politik

    1. Tentara Yang Represif: Dwi Fungsi ABRI Menemukan Kemenangannya Tahun 1965 merupakan awal sebuah tragedi kemanusiaan. Korbannya melebihi Perang

    Baratayudha antara Pandawa dan Kurawa. Walaupun tidak ada peperangan, nyawa manusia bisa melayang dengan mudah. Tiga juta rakyat dibantai. Ribuan lainnya disiksa, dimasukkan dalam penjara, dan dibuang tanpa proses pengadilan. Ketika itu, anjing pun takut untuk menggonggong. Setiap mendengar tapak kaki tentara, daun tak jadi meluruh dari tangkainya. Udara tidak lagi mewartakan kesejukan, tapi dendang lagu kematian. Firaun pernah melakukan pembunuhan, Amangkurat secara brutal membantai rakyat Mataram, dan Hitler menghabisi keturunan Yahudi, tetapi semua itu tidak bisa melebihi kekejaman tentara Indonesia.

    Sejak saat itu sepatu lars tentara menginjak kedaulatan rakyat. Demokrasi moncong bayonet. Sungguh beda dengan yang terjadi di negeri yang beradab. Di negeri yang maju, demokrasi berarti menduduki kepala tentara: sipil berkuasa penuh terhadap tentara.

    Perlu mendapat catatan adalah tempat pembuangan Pulau Buru. Tempat ini akan mengingatkan pada kamp Nazi. Orang-orang yang dianggap ada sangkut pautnya dengan Partai Komunis Indonesia [PKI] ditempatkan dalam kamp itu. Mereka dibawa ke kamp tersebut tanpa proses peradilan. Pulau Buru adalah savana yang tanahnya tidak subur karena pada masa Belanda perkebunan dibakar untuk mempertahankan politik monopoli. Di Pulau Buru, hampir selama 14 tahun para tahanan politik diperlakukan seperti hewan dan dilucuti hak-haknya sebagai manusia. Kerja paksa di bawah siksaan hampir terjadi setiap hari. Hasil jerih payah mereka dikorupsi oleh tentara yang ada di sana. Hanya tentaralah yang bisa melakukan kebiadaban seperti itu. Dan ini semua terjadi pada zaman modern, bukan pada masa perbudakan

    Selepas Peristiwa 1965, pembantaian yang dilakukan oleh tentara untuk membendung perlawanan-perlawanan rakyat di daerah tak pernah surut. Laporan Amerika Serikat Tentang Pelaksanaan Hak-hak Azasi Manusia di Indonesia yang dikeluarkan tahun 1998 mencatat kekerasan demi kekerasan yang dilakukan tentara. Salah satu laporan menyebutkan:

    Secara historis, pembunuhan sewenang-wenang yang berkaitan dengan politik paling sering terjadi di daerah-daerah di mana gerakan separatis aktif, seperti Timor Timur, Aceh dan Irian Jaya. Pasukan keamanan terus mengambil tindakan keras terhadap gerakan separatis di ketiga wilayah itu. Selain pembunuhan yang terjadi di tiga daerah yang secara resmi disebut "kawasan bermasalah" ini, pihak keamanan membunuh demonstran mahasiswa tak bersenjata, dan ada juga berbagai laporan pembunuhan sewenang-wenang oleh pasukan keamanan dalam kasus-kasus yang melibatkan tuduhan kegiatan kejahatan biasa. Setelah kalem sejenak, tentara tampil babar lagi pada tahun 1973. Bumi Lorosae sasaran

  • mereka. Lars tentara menginjak-injak harkat dan martabat kemanusiaan rakyat bekas jajahan Portugal itu. Lepas dari mulut singa, masuk ke mulut buaya, itulah yang terjadi terhadap rakyat

    Timor Leste. Sejak dilangsungkan invansi militer, tanah Lorosae berubah menjadi merah darah. Kematian, penculikan, dan penyiksaan menjadi sahabat rakyat. Hampir 24 tahun lebih rakyat harus berkawan dengan maut. Dalam kurun waktu ini, 200 ribu lebih rakyat Timor Leste musnah, sebagian besar tidak tahu di mana kuburannya. Laporan Amerika Serikatwalaupun keakuratannya perlu kita ragukandapat menunjukkan kebengisan tentara Indonesia:

    Sumber-sumber yang dapat dipercaya memastikan adanya 37 pembunuhan sewenang-wenang di Timor Timur selama delapan bulan pertama tahun itu [Catatan: laporan ini buat tahun 1998]. Dalam sebuah kasus yang tengah diselidiki oleh Komnas HAM, aparat militer membunuh empat orang sipil Timor Timur pada Januari di dearah Bobonaro. Pasukan khusus membunuh seorang gembala di dekat Venilale pada Februari. Pada bulan April seorang wanita Timor Timur dan dua orang anaknya tewas ketika pihak militer menyerang rumahnya di Baucau. Dalam suatu serangan lain atas sebuah rumah di Baucau bulan Mei, dua orang lelaki Timor Timur tewas. Juga di bulan Mei, aparat militer kabarnya membunuh Costodoi da Silva Nunes ketika ia lari dari mereka di dekat Liquica. Pada Juni, Herman das Doares Soares ditembak di punggungnya oleh pasukan militer didekat Manatuto ketika ia mengumpulkan kayu dan meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Tapi memang sejarah selalu berlaku adil. Kekejaman yang dilakukan oleh tentara Indonesia

    dijadikan bara oleh rakyat untuk berlawan. Perlawanan mereka tak pernah kisut. Maju dan maju sampai akhirnya bermuara pada kemenanganya. Referendum yang dinantikan rakyat akhirnya datang juga. Tujuh puluh delapan koma lima persen rakyat menghendaki kemerdekaan. Negeri itu kini telah merdeka. Sekarang mereka bisa tersenyum dan membentuk masa depannya sendiri.

    Dari timur penindasan itu bergerak ke barat. Berselang dua tahun kemudian, giliran Tanah Rencong, Aceh, yang memerah. Daerah yang pernah jaya pada masa Sultan Iskandar Muda itu, berubah menjadi ajang pembantaian. Serambi Mekah itu bukan lagi menjadi tempat yang damai. Daerah itu memang kaya raya. Terletak di Selat Malaka yang selalu ramai sejak dahulu kala. Begitu juga dengan hasil alamnya. Aceh merupakan salah satu penghasil gas alam terbesar di Asia. Hutan negeri ini juga ijo royo-royo, seperti halnya hamparan permadani. Namun derita yang

    ada. Kekayaan alam yang melimpah tidak pernah dinikmati penduduknya. Semuanya di bawa ke Jakarta dan tidak kecil pula yang dibawa bangsa asing. Kalau kemudian mereka menuntut hak mereka, apakah salah? Dari sinilah kisah itu berawal: ketika rakyat menuntut haknya.

    Sejak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) lahir, terlahir pula penindasan tentara di sana. Rakyat yang melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan rezim Orba dituduh sebagai Gerombolan Pengacau Keamanan [GPK]. Mereka diburu-buru seperti anjing yang kudisan. Diperlakukan bak binatang yang sudah tidak ada harganya lagi. Mundurkah rakyat Aceh? Sejarah belum mencatat rakyat Aceh pernah menyerah terhadap penindasan. Lihat sendiri buktinya! Aceh adalah daerah yang terakhir kali bisa dikuasai penjajah Belanda. Mereka tetap teguh dalam berprinsip. Penculikan, penyiksaan, pembunuhan, dan pemenjaraan tidak pernah membuat mereka mundur selangkah pun. Sampai saat ini, bara api itu masih berkobar.

    Pembantaian yang dilakukan tentara Indonesia terhadap rakyat Aceh sungguh luar biasa. Komnas HAM mencatat bahwa pembunuhan, pemerkosaan, dan penyiksaan yeng terjadi di Aceh selama 1989-91 dan 1997-98 mencapai 368 kasus. Pada Oktober 1998 sebuah tim pencari fakta melaporkan 1.010 peristiwa penyiksaan di Aceh Utara antara tahun 1989 dan 1998. Sebagai gambaran, Laporan Amerika Serikat memberikan kesaksian sebagai berikut:

    Di Aceh ada laporan yang dapat dipercaya tentang kuburan massal dan pembunuhan yang dilakukan oleh pihak keamanan di masa lalu dan sampai 1998. Komnas HAM dan sebuah delegasi DPR melakukan penyelidikan atas kuburan massal, pembunuhan sewenang-wenang, penghilangan orang, perkosaan, dan

  • penganiayaan yang terjadi di Aceh sepanjang 1989-91 dan 1997-98. Komnas HAM mengunjungi Aceh dan membuat laporan awal yang memperkirakan adanya ratusan kejadian pembunuhan, penghilangan orang, dan penganiayaan. Menyusul laporan Komisi itu, pemerintah daerah mengizinkan sejumlah tim pencari fakta yang terdiri dari kalangan masyarakat, staf LSM, wartawan, pensiunan ABRI, dan pihak lain untuk melakukan penyelidikan lebih lengkap atas pelanggaran hak asasi di tiga kabupaten yang menderita paling parah di provinsi itu. Bulan Desember, Gubernur Aceh mengumumkan temuan tim-tim itu: Di tiga kabupaten antara 1989 dan pertengahan 1998, 1.021 orang Aceh dibunuh, 864 hilang sampai saat itu, 357 cacat, 1.376 wanita menjadi janda, 4.521 anak-anak menjadi yatim (paling tidak kehilangan satu orang tua), dan 681 rumah dibakar. Ada juga tuduhan yang dapat dipercaya bahwa ratusan wanita Aceh diperkosa selama sembilan tahun operasi militer. Laporan tentang penghilangan dan pelanggaran hak asasi serius lainnya berlanjut sampai Mei. Antara 24 dan 34 orang Aceh kabarnya diculik dari Desember 1997 sampai Mei dan tetap tidak ada kejelasan. Pangab ABRI mengunjungi Aceh pada Agustus dan meminta maaf atas "ekses" yang dilakukan oleh militer di provinsi itu; ia berjanji akan menarik semua satuan tempur yang biasanya tidak ditempatkan di sana, janji yang kemudian ditepati. Namun tingkat kehadiran tentara naik tajam lagi pada Desember sebagai tanggapan atas meningkatnya ketegangan dan bentrokan antara sipil dan militer. Ketegangan antara militer dan penduduk setempat di provinsi itu tetap tinggi, sebagaimana tercermin pada kerusuhan di Lhokseumawe pada akhir Agustus dan awal September. Selama kerusuhan di Lhokseumawe, seorang penduduk meninggal dan delapan lainnya luka-luka oleh tembakan dalam bentrokan dengan pihak keamanan. Sampai akhir tahun, gangguan dan kekerasan sipil sporadis terjadi di Kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur dan Pidie, dan dua orang lagi diculik dan mungkin dibunuh. Kembali lagi ke timur. Rakyat Papua juga mengalami nasib serupa. Sampai sekarang

    tentara Indonesia ditempatkan di sana untuk menjaga modal kapitalis internasional: PT. Freeport, tambang emas milik AS. Operasi militer semakin ditingkatkan ketika tuntutan rakyat Papua untuk memerdekaan diri semakin kuat. Satuan-satuan elit tentaraKopasusdidatangkan ke pulau yang kaya akan barang tambang tersebut. Penculikan, pembunuhan dan penangkapan secara sewenang-wenang sering terjadi. Gambarannya sebagai berikut:

    Di Irian Jaya, sebuah kelompok gereja mengeluarkan laporan pada Mei 1996 yang menuduh pihak militer bertanggung jawab atas pembunuhan sewenang-wenang terhadap 11 orang di dataran tinggi sisi selatan Irian Jaya tengah dalam suatu operasi militer yang bertujuan menangkap kaum separatis yang menyandera dan kemudian membunuh dua orang anggota kelompok peneliti pada Januari 1996. Komnas HAM kemudian memastikan pembunuhan itu dan terus menyelidiki 43 kematian lain yang menurut komisi gereja disebabkan oleh pihak militer. Dewan Gereja terus menyelidiki laporan kematian karena tembakan atas seseorang tidak dikenal setelah pihak keamanan membubarkan secara paksa sebuah demonstrasi besar yang mendukung kemerdekaan Irian Jaya di Biak pada 6 Juli 1998.

    Tak berhenti disitu. Menjelang kejatuhan Soeharto, tentara semakin brutal. Demonstrasi

    yang terjadi di mana-mana dihadapi dengan cara-cara kekerasan. Tentara melakukan pengejaran-pengejaran terhadap massa aksi sampai dalam kampus dan sekaligus melakukan pengrusakan fasilitas kampus. Marilah kita lihat gambarannya:

    Pihak keamanan memukuli empat peserta aksi sewaktu membubarkan sebuah demonstrasi besar di Yogyakarta pada 9 Mei 1998. Salah seorang korban meninggal

  • karena pemukulan itu. Pasukan keamanan menembak dan membunuh empat mahasiswa tak bersenjata yang ikut dalam demonstrasi besar dan damai di Universitas Trisaksi Jakarta pada 12 Mei 1998. Pasukan keamanan dan mahasiswa terlibat dalam konfrontasi singkat di sana, yang akhrinya diselesaikan melalui perundingan. Namun, ketika mahasiswa mulai mundur ke kampus, empat mahasiswa ditembak dan tewas. Kemarahan atas pembunuhan itu membantu menyulut kerusuhan yang terjadi di Jakarta pada 13 dan 14 Mei 1998. Pada 13 November 1998, aparat keamanan menembaki dan memukuli demonstrasi mahasiswa dan non-mahasiswa di Universitas Atmajaya. Setidaknya sembilan demonstran meninggal, dan seorang anggota keamanan tewas ketika dipukuli oleh demonstran. Empat demonstran pro-pemerintah juga tewas dalam sebuah insiden terpisah pada 13 November 1998, ketika mereka dipukuli oleh rakyat sipil. Komnas HAM membentuk sebuah tim pada akhir November 1998 untuk menyelidiki insiden 13 November. ABRI sebelumnya pada 22 November 1998 mengumumkan bahwa mereka akan mengambil tindakan hukum terhadap aparat yang terlibat dalam pemukulan wartawan pada 12 November dan dalam penembakan mahasiswa pada 13 November ketika sembilan demonstran (kebanyakan mahasiswa) tewas. Namun kekerasan itu tidak dapat membendung laju gerakan demokratik. Maka, tentara

    Indonesia kemudian membentuk tim khusus untuk melakukan cara-cara yang lebih tidak beradab untuk menghentikan rakyat yang berlawan. Beberapa aktivis diculik dan kemudian disiksa. Bahkan sampai saat ini ada yang belum ketahuan nasibnya dengan pasti. Inilah gambarannya:

    Pius Lustrilanang bersaksi secara terbuka di depan Komnas HAM pada 27 April bahwa para penculiknya menggunakan kabel listrik yang diikatkan di kakinya untuk menyetrumnya sewaktu mereka mengajukan pertanyaan mengenai kegiatan sejumlah tokoh oposisi. Mereka juga membenamkan kepalanya ke dalam air sampai ia tidak dapat bernapas dan menendang serta memukulinya. Siksaan dan interogasi itu berlanjut selama tiga hari pertama penahanannya tapi sesudah itu tidak lagi. Desmon Mahesa menyatakan secara terbuka pada 12 Mei bahwa pada hari pertama penahanannya ia disiksa sambil ditanyai mengenai kegiatan politiknya. Para penculiknya menutup matanya dan memborgol tanganya pada sebuah kursi. Mereka menggunakan sengatan listrik pada kaki dan kepalanya, serta memukul dan menendangnya. Mereka memaksanya membenamkan kepalanya ke dalam air sampai dia tidak bisa bernapas. Rahardjo Waluyo Djati pada 4 Juni secara terbuka menuturkan betapa ia juga dipukuli dan disetrum selama penahanannya. Para penculiknya juga memaksanya berbaring di atas balok es. Faisol Reza bersaksi pada 26 Juni bahwa selama penahanannya ia mengalami berbagai perlakuan buruk dan siksaan, termasuk pemukulan, sengatan listrik di beberapa bagian tubuhnya, disundut rokok, dan dilarang tidur. Ia ditanyai terutama mengenai perannya dalam Partai Rakyat Demokratik (PRD). Tidak hanya terhadap aksi-aksi mahasiswa saja tentara Indonesia melakukan tindakan

    brutal, tapi juga terhadap gerakan buruh yang mulai marak paska turunnya Soeharto. Aksi-aksi damai yang dilakukan oleh kaum buruh ini dihadapi dengan kekerasan oleh tentara. Kita dapat melihat contoh di bawah ini untuk melihat kebrutalan tentara Indonesia terhadap aksi buruh:

    Pada 25 Agustus, sejumlah 750 pekerja pabrik tekstil dari Jawa Tengah, kebanyakan wanita, mencoba berbaris ke sebuah organisasi lokal hak asasi di Jakarta di mana para pekerja itu melakukan mimbar bebas yang ditujukan kepada kantor perwakilan ILO. Ketika aparat keamanan berusaha mendorong mereka ke jalan, dan terjadi saling mendorong, aparat keamanan lalu memukuli para

  • demonstran itu dengan tongkat rotan dan menendangi mereka sampai mereka mundur. Sebanyak 19 demonstran menderita luka-luka. Sewaktu Soeharto berkuasa, represi juga dilakukan terhadap media massa. SIUP

    diterapkan untuk mengebiri kebebasan pers. Dengan kontrol yang ketat tersebut, rezim Soeharto berharap bisa mengedalikan opini yang berkembang di rakyat. Kasus pembredelan Tempo, Detik, dan Editor pada tahun 1994, dan bahkan jauh hari sebelumnya koran besar seperti Kompas pernah merasakan sensor terhadap pers yang dilakukan rezim Soeharto. Mendekati akhir kekuasaannya, Soeharto masih berusaha mengekang kebebasan pers. Fakta di bawah ini sebagai contohnya:

    Pada lima bulan pertama 1998, kritik masyarakat terhadap pemerintah meningkat, dan pers memuatnya dengan lebih terbuka. Namun, pemerintah masih berusaha mengendalikan media; pada bulan Maret pemerintah mengumumkan bahwa mereka akan mengadukan majalah Detektif dan Romantika ke pengadilan karena halamanan mukanya memuat gambar Presiden Soeharto waktu itu sebagai raja dalam kartu bridge. Redaktur majalah itu sebelumnya dipaksa meminta maaf kepada pemerintah. Pada bulan Mei Presiden Soeharto secara terbuka mengecam media cetak dan elektronik karena mengobarkan "perang urat syaraf" tentang Indonesia melalui pandangan mereka tentang ekonomi Indonesia. Beberapa wartawan yang meliput demonstrasi mahasiswa pada bulan Mei kabarnya mendapat intimidasi dari aparat. Dua wartawan asing yang tengah merekam bentrokan pada 6 Mei antara mahasiswa dan aparat keamanan di Jakarta dilaporkan dilempari batu dan ditembaki oleh polisi tapi selamat tanpa cidera. Seorang wartawan asing yang tengah merekam pasukan keamanan yang menembaki demonstran di Medan ditangkap dan diancam dengan pistol.

    Dalam sejarah Indonesia tak pernah tentara membela rakyat. Walaupun mereka selalu berkhotbah berasal dari rakyat, tapi kenyataan tak bisa ditipu: pembunuh terorganisir paling biadab. Tentara merupakan mesin penggilas kehidupan politik bangsa Indonesia sejak kelahirannya sampai sekarang. Sebagai pembungkam nomor satu, tentara Indonesia tak segan-segan melakukan aksi brutal yang mungkin saja tidak bisa dinalar akal waras. Tolong sebutkan wilayah mana di negeri ini yang belum mengalami kebengisan tentara Indonesia. Dengan kenyataan seperti itu, masihkah akan bersekutu dengan tentara?

    2. Borjuis Demokrat Yang Tidak Mempunyai Watak Demokratik

    Sejak awal borjuis demokrat Indonesia tidak dapat diandalkan. Zaman Soekarno mereka walaupun tak menguasai aset-aset ekonomi masih mampu menguasai panggung politik. Tapi pada era Soeharto mereka tidak memegang keduanya. Baik kekuasaan politik dan ekonomi sudah diambil alih oleh borjuis bersenjata: tentara. Borjuis demokrat tak mampu berbuat banyak di depan ksatria-ksatria bersenjata. Mereka lebih banyak menjadi kacung-kacung tentara dan menjadi birokratmenteri, dirjentetapi jarang yang mampu menjadi kepala daerahgubernur dan bupati pada era Orba dikuasai tentara maupun pensiunan tentarakalau beruntung mereka bisa menduduki jabatan sebagai direktur-direktur BUMNtetapi secara keseluruhan tentaralah yang berkuasa.

    Terhadap kekejaman yang dilakukan tentara seperti yang telah diuraikan di atas, apa yang mampu dilakukan borjuis demokrat? Tidak ada yang mereka lakukan, bahkan sekadar protes dalam hatipun sepertinya mereka tak berani. Dengan kata lain, mereka tak mampu membela hak mereka sendiri, apalagi membela hak rakyat.

    Demokrasi Multi Partai Zaman Habibie: Konsolidasi Sisa-sisa Orba untuk Tetap Berkuasa

  • Gerakan massa rakyat pada Mei 1998 memang berhasil menggulingkan simbol kediktatoran, tapi belum berhasil merontokan sistem kediktatoran itu sendiri. Dua penyangganyaGolkar dan tentaramasih berdiri kokoh. Akibatnya, transisi kekuasaan masih dipegang oleh sisa-sisa Orde Baru: Habibie. Tentara memang berhasil dipojokkan oleh gerakan demokratik, tetapi tidak terlucuti hak-haknya, dan Dwi Fungsi ABRI belum juga tergoyahkan.

    Melalui Habibie, borjuasi kroni Soeharto masih berusaha untuk menyelamatkan kekuasaan agar penguasaan mereka terhadap aset-aset ekonomi tetap terjaga. Usaha-usaha itu ditempuh dengan kendaraan Golkar dan tentara. Manuver-manuver politik dilakukan Habibiebaik dengan memberikan referendum kepada rakyat Timor Leste untuk menentukan nasibnya sendiri, maupun melalui janji akan melaksanakan Pemilu multi partaibertujuan untuk meyakinkan massa rakyat bahwa dia adalah seorang demokrat didikan Barat. Janji-janji itu memang dipenuhi. Rakyat Timor Leste akhirnya merdeka, dan Pemilu yang diikuti 48 kontestan dilaksanakan. Namun, ternyata bukan dukungan dari rakyat diperoleh Habibie, tapi kehancuran bagi dirinya sendiri, tersingkir dari panggung politik. Ia lupa ada ilusi baru: Megawati.

    Gagallah usaha Habibie untuk memimpin konsolidasi Orde Baru. Namun, tersingkirnya Habibie tidak berarti Golkar dan tentara tersingkirkan. Golkar walaupun tidak menempati posisi pertama, tetapi tetap mampu membayangi PDIP dan mengungguli partai-partai yang baru lahir. Mereka hanya banyak kehilangan suara di Jawayang menjadi basis PDIP dan PKBtetapi tidak di luar Jawa. Mereka inilah yang kemudian memimpin konsolidasi sisa-sisa Orde Baru untuk berkuasa kembali.

    Selain tetap bertahan di Partai Golkar, borjuasi kroni Orde Baru banyak juga yang lompat pagar ke partai-partai politik lainterutama PDIP. Kepindahan mereka bukan karena kesadaran untuk membangun demokrasi, tapi semata-mata untuk menyelamatkan modal. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka bahkan berhasil memecah belah partai-partai baru untuk menyingkirkan kekuatan-kekuatan yang sebelumnya anti Orde Baru.

    Lemahnya Gerakan Demokratik dalam Masa Multi Partai

    Ketika proses kejatuhan Soeharto, jumlah gerakan demokratik memang luar biasa banyaknya. Beratus-ratus komite aksi, baik komite aksi mahasiswa maupun rakyat berdiri, hampir menyebar diseluruh pelosok Indonesia. Namun, dalam perkembangan selanjutnya komite-komite ini tidak bisa dikonsolidasikan menjadi Front Popular seperti di Chili atau Dewan Rakyat seperti di Soviet. Semakin hari, komite-komite yang telah terbangun itu terus susut, dan yang masih tetap bertahan semakin terpolarisasi. Di antara gerakan mahasiswa yang selama proses penggulingan Soeharto menjadi katalisatorwalaupun sebelumnya didahului oleh KMKsetelah Soeharto terjungkal, terbelah menjadi dua: gerakan yang mengkritisi vs anti terhadap Orba. Sementara, ditingkat massa rakyat, jargon Refomasi memang menggema di mana-mana. Bagi rakyat, reformasi berarti mengganti kepala desa yang korup atau merebut tanah mereka yang dahulunya diserobot Orba. Aksi massa telah menjadi metode yang digunakan rakyat untuk mereformasibahkan di beberapa tempat, sempat digelar pengadilan rakyat. Tetapi hal inipun tidak bisa didorong menjadi kesadaran revolusioner karena bagi massa rakyat reformasi = melengserkan, bukan mengubah sistem.

    Konsolidasi yang gagal dari gerakan demokratik tersebut telah memuluskan jalan sisa-sisa Orba dan borjuis demokrat yang gradualis untuk melenggang menuju singgasana kekuasaan.

    3. Gus Dur: Gradualisme Borjuasi Indonesia

    Setelah Pemilu 1999, datanglah Sidang Istimewa [SI] MPR. Rakyat menghendaki segera

    terlepas dari lilitan krisis, dan mungkin dari sisa-sisa Orba. Sementara pihak internasional mendambakan pemerintahan yang "damai, tempat yang aman untuk akumulasi modal mereka di Indonesia yang sempat goyah akibat krisis ekonomi maupun gerakan massa rakyat menurunkan Soeharto. Pemerintahan (atau mungkin tepatnya rezim baru) akan menghadapi situasi-situasi yang indah: jumlah pengangguran yang mencapai angka 74 juta; perbankan yang sakit sehingga harus direstrukturisasi; masalah kapitalis kroni dan pengadilan Soeharto yang belum tuntas.

  • Demokrat borjuis yang ada dan lahir di Indonesia berbeda dengan sesama kelas mereka yang lahir di Eropa abad 17. Mereka ini tidak pernah terlibat dalam setiap monentum perubahan, hanya menikmati hasil dari jerih payah perjuangan orang lain. Jangan samakan mereka dengan para borjuasi yang ada di Prancis dan Inggris. Saudara mereka di Eropa ini penuh peluh untuk sampai pada tangga kekuasaan. Lihatlah bagaimana ganasnya Revolusi Prancis yang bisa-bisa mengantar leher Raja ke Gouletin, begitu juga kejamnya Revolusi Industri di Inggris atau perang saudara Amerika Serikat. Borjuasi Indonesia sama sekali tidak pernah mengalaminya. Maka jangan heran kalau selama ini mereka manja, cengeng dan serba tanggung. Ini tidak lepas dari masa kelam Indonesia, dari dua penjajahan yang ada. Kapitalisme di Indonesia dibawa oleh Belanda, bukan dari hasil jerih payah kelas borjuasi Indonesia. Kapitalisme cangkokan ini serba tidak tuntas.

    Lihat bagaimana borjuasi demokrat mendapatkan jatahnya. Tidak dengan suatu perjuangan, tapi dengan mengemis. Begitu juga setelah Indonesia merdeka, mental pengemis tetap mereka pertahankan. Kondisi itu lebih parah ketika rezim militer Soeharto yang berkuasa. Tidak segan-segan mereka meminta kepada militer untuk mendapatkan ijin usaha. Jangan heran ketika masa mereka sudah datang, ketika revolusi mereka sudah tiba, mereka tidak pernah tegas terhadap tentara karena punya hutang jasa yang begitu besar. Lihat saja. Ketika ratusan ribu mahasiswa dan rakyat turun ke jalan 12-14 Nopember 1998 dengan tuntutan Cabut Dwi Fungsi ABRI, apa yang mereka lakukan: sembunyi di Ciganjur. Nyawa 7 mahasiswa yang gugur di Semanggi ditukar dengan bunga duka: Dwi Fungsi ABRI akan dicabut 6 tahun lagi.

    Kebebalan mereka pun belum berakhir. Ketika kursi parlemen mereka direbut oleh tentara dengan 38 kursi gratis, mereka hanya terdiam, membisu, bagaikan patung Liberty di tengah kota New York. Sikap derma mereka terhadap tentara memang tiada taranya, belum ada duanya di dunia ini. Belum lagi sikapnya terhadap persoalan Timor Leste. Suatu tragedi kemanusian hanya ditukar dengan kursi presiden. Sikap mereka sungguh memalukan. Lihat saja Megawati dalam pidatonya 29 Juli 1999: tidak rela kalau Timor Leste lepas dari wilayah Indonesia. Namun, ucapan Mega berubah ketika rakyat Timor Leste berkata lain: 78,5% menghendaki merdeka. Dengan entang Mega berkata: kita harus menghormati keinginan rakyat Timor Leste, tapi dengan tidak lupa menyerang Habibie yang telah memberikan pilihan referendum. Begitu juga dengan Gus Dur, dengan gaya seorang nasionalis sejati, mengorbankan perang dengan Australia yang dianggap telah mencampuri urusan Indonesia. Sikap-sikap opurtunis mereka semakin kelihatan, dan bahayanya membawa nasionalisme gaya Hitler. Itulah wajah-wajah borjuis demokrat dengan watak-watak oportunis, penakut dan tentu saja moderat.

    Pemerintahan Gus Dur: Borjuasi Yang Berebut Balung Kekuasaan dan Modal Tinggalan Soeharto

    Naiknya Gus Durseorang borjuasi demokrat dan keturunan kyai dari Jawa Timurtelah

    mengubah peta perpolitikan di Indonesia. Ia memang tawanan bagi kekuatan borjuasi yang lain (Poros Tengah PAN, PBB, PK dan Golkar). Gus Dur bisa naik menjadi presiden di tengah situasi dimana kekuatan anti Megawati sangat kuat sekali berkembang ketika itu. Dari sinilah aliansi Poros Tengah dan Golkar menawan Gus Dur sebagai jaminan untuk menghadapi aliansi PDI-P dan PKB. Sidang Umum MPR 1999 akhirnya memilih Gus Dur menjadi presiden. Naiknya Gus Dur menjadi presiden diiringi dengan adanya amuk massa di berbagi daerahJakarta, Solo, Bali, dan Medanyang merasa dikhianati oleh MPR. Megawati yang sebelumnya calon utama presiden versi rakyat, dipecundangi kekuatan Poros Tengah dan Golkar.

    Sebagai seorang tawanan, Gus Dur tidak bisa leluasa dalam membentuk pemerintahannya. Gus Dur harus memasukkan kekuatan-kekuatan yang telah menaikkannya menjadi presiden. Akibatnya, kabinet Gus Dur menjadi rapuh, tidak ada kestabilan di dalamnya. Gus Dur harus tersibukkan untuk bongkar pasang orang-orang di kabinet. Kompromi politik dalam pemerintahan Gus Dur inilah yang sering menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.

    Pemerintahan koalisi Gus Dur mengalami pembusukan dari dalam. Langkah-langkah Gus Dur yang hendak membersihkan basis ekonomi dari sisa-sisa kekuatan Orde Baru di dalam

  • birokrasi dan lembaga strategis lainnya, selalu mendapat perlawanan. Pencopotan Jusuf Kalla [dari Partai Golkar] dan Laksamana Sukardi [dari PDI P], merupakan puncak konflik dalam pemerintahan Gus Dur, yang berakhir dengan diajukankannya hak interpelasi DPR untuk meminta penjelasan Gus Dur terhadap pencopotan kedua menteri tersebut. Sebelumnya, Gus Dur telah mencopot Hamzah Haz [dari PPP] dan Jenderal Wiranto [tentara] dari kabinet. Perebutan jabatan-jabatan pimpinan BUMN juga tak kalah serunya: Bulog, Jusuf Kalla digantikan Rizal Ramli; BPPN. Glen Yusuf (kroni Habibie/Golkar) digeser oleh Cacuk Sudariyanto; LKBN Antara, Parni Hadi (kroni Habibie/Golkar) diserahkan kepada Mohammad Sobari (orang NU yang dekat dengan Gus Dur); yang terakhir adalah penangkapan Gubernur BI, Syahrir Sabirin (Golkar), karena keterlibatannya dalam Skandal Bank Bali. Gradualisme Gus Dur: Dari Sidang Tahunan MPR Sampai Kejatuhannya Gus Dur memang tidak mendapat didikan Eropa/Amerika, ia mendapat didikan Timur Tengah. Sayup-sayup ia belajar demokrasi Barat yang menghasilkan gradualisme, dan sayup-sayup pula mendengar teori Marx sehingga ia membayangkan massa NUhasil singkritisme penyembah nenek moyang Jawa dan Islam yang dibawa para sunanadalah kelas pekerja. Di Indonesia, kegiatan demokrasi Gus Dur hanyalah Fordemkumpulan orang-orang yang frustasi menghadapi rezim Soeharto, dan kemudian membuat sekte baru, menjauhkan diri dari realitas rakyat. Jabatannya di NU lebih karena dia keturunan bangsawan NU. Inilah dia, yang bagi orang yang tersilaukan dianggap sebagai seorang demokrat yang akan mampu menuntaskan Revolusi Demokratik. Memang Gus Dur seorang pluralis sebagai warisan markantilisme Majapahit yang mau menerima kedatangan siapa saja untuk kemajuan perdagangankota Jombang tempat dia dilahirkan berdekatan dengan bekas ibu kota Majapahitdibanding dari pelajaran demokrasi yang dia dapatkan. Manuver politik adalah senjata yang paling disukai Gus Dur untuk mempertahankan kekuasaannya dan keselamatan kroni-kroni feodal NU, dibanding untuk menegakkan demokrasi. Dia mencoba mengadili koruptor, menyeret para jenderal, tapi cipika cipiki dengan Soeharto. Selama menjadi presiden, inilah warisan Gus Dur: Golkar yang berhasil mengkonsolidasikan diri lagi [dalam Pemilu 2004, Golkar bisa menjadi jawara pertama] dan tentara yang kembali menjadi penjagal demokrasi.

    4. Megawati dan Kembalinya Sisa-sisa Orde Baru Tak perlu panjang-panjang membahas Megawati. Yang Jelas dia telah melakukan aliansi

    jahat dengan Golkar dan tentara untuk kekuasannya. Dan yang jelas juga, dia seorang nyonya yang dengan senang hati menerima kedatangan modal asing ke Indonesia. Ia juga sangat sopan satun terhadap neoliberalisme. Aset negara diobral secara murah kepada asing. Tapi walaupun begitu, Mega dianggap bukan yang terbaik oleh Tuan-tuan modal. Karena itu, dalam Pemilu 2004, Tuan-tuan modal lebih memilih SBY. Tak mengherankan kalau SBY bisa mengalahkan Mega dalam Pilpres. Masihkah kita berharap dia akan menjadi presiden tahun 2014?

    5. SBY: Bangkitnya Para Jenderal Yang patut dicatat pada masa rezim SBY adalah semakin mengerucutnya konsolidasi

    borjuasi. Baik borjuasi lama maupun baru sudah bisa menata dirinya. Mereka sudah saling berkompromi untuk menguasai perekonomian Indonesia. Situasi ini membuat politik elit relatif stabil. SBY tidak mengalami masa-masa pertarungan yang keras antara faksi borjuasi sebagaimana masa Habibie, Gus Dur dan Megawati. Berkah ini digunakan oleh SBY untuk melakukan pencitraan diri bahwa dirinya mampu membawa Indonesia keluar dari krisis politik.

    Keadaan politik yang stabil kemudian digunakan oleh para jenderal didikan Orba untuk kembali bangkit. Dua nama yang perlu disebut adalah Prabowo Subianto dan Wiranto. Lewat Partai Gerindra, Prabowo membangun propaganda nasionalisme untuk mendapatkan simpati dari rakyat. Ia menempatkan diri sebagai anti tesis dari rezim SBY yang dianggap oleh berbagai

  • kalangan lembek. Dengan struktur politik yang semakin meluas, Prabowo semakin percaya diri untuk mencalonkan diri sebagai presiden.

    Sementara itu, Wiranto, jenderal gaek mantan ajudan Suharto, masih berambisi untuk menjadi presiden walaupun sudah kalah dalam dua kali Pilpres. Dengan menggandeng konglomerat didikan Cendana, Hary Tanoe, Wiranto dengan Partai Hanura-nya mencoba peruntungan pada Pemilu 2014 yang akan datang. Modal yang besar dari taipan-taipan yang mendukungnya diharapkan mampu mendudukan dirinya di kursi presiden. Jagal nomor satu dalam tragedi Timor Leste paska jajak pendapat, sedang memupur dirinya agar tampak bersih dengan menggandeng aktivis-aktivis kiri.

    Sikap SBY memang tak pernah tegas terhadap jenderal-jenderal pelanggar HAM seperti Prabowo dan Wiranto. Sementara gerakan demokratik juga tak mampu memberikan tekanan yang kuat agar mereka diadili. Di sisi lain rakyat tak peduli dengan masalah HAM karena memang tak terjangkau oleh isu-isu yang rata-rata diusung oleh kelas menengah perkotaan.

    Situasi inilah yang mesti dihadapi gerakan demokratik pada Pemilu 2014: tentara yang masih dominan dalam panggung politik Indonesia.

  • III Rakyat yang Berlawan

    A. Gerakan Mahasiswa 1. Masa Soeharto 1.1. GM Dari 1966 sampai 1997Ingin Perubahan Tanpa Mengubah Sistem

    Dalam pembabatan PKI dan penjatuhan Soekarno, peranan mahasiswa tak bisa disembunyikan. Mereka dengan bersukacita ikut melahirkan rezim Soeharto. Dan dengan demikian gerakan mahasiwa juga berperan dalam pembantaian terhadap 3,5 juta rakyat Indonesia yang dituduh sebagai anggota dan simpatisan PKI. Periode tersebut merupakan masa paling hitam dalam sejarah gerakan mahasiswa. Belum pernah terjadi sebelumnya mahasiswa terlibat dalam pembinasaan manusia dalam skala yang besar. Atau bisa dikatakan, Angkatan 66 merupakan angkatan yang berdiri di atas bangkai jutaan rakyat yang dibantai.

    Pada posisi kemenangan itu, gerakan mahasiswa menempatkan diri sebagai gerakan moral (moral force). Konsep moral force inilah kemudian mempengaruhi gerakan-gerakan mahasiswa selanjutnya. Ia mengibaratkan dirinya para cowboy yang turun ke tengah kota ketika

    ada kejahatan, begitu angkara bisa ditumpas, mereka akan kembali ke dalam kampus. Menempatkan diri setengah mesianitas: pembebas yang selalu bersih, tak mau tercemar politik.

    Tapi kenyataanya tak seperti itu. Setelah berhasil membuat Indonesia merah oleh genangan darah, para aktivis mahasiswa justru mencemplungkan diri dalam politik. Bisa kita sebut nama-nama seperti Sarwono Kusumaatmadja, Siswono, Akbar Tanjung, Marie Muhammad, Cosmas Batubara, dll. Masa-masa antara 1966-1971 merupakan masa-masa bulan madu gerakan mahasiswa dengan Orba. Anak-anak berjaket kuning itu telah menjadi bagian dari kekuasaan rezim Soeharto.

    Tapi tak selamanya begitu. Masa indah itu mulai retak ketika Arief Budiman dan aktivis mahasiswa lain mulai memprotes kebijaksanaan Orba. Tahun 1973 mereka menggugat pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Menurut kelompok Arief Budiman, pembangunan TMII tidak sesuai dengan situasi Indonesia. Bagi mereka proyek tersebut merupakan agenda ambisius belaka. Karena protes tersebut, Arief Budiman dijebloskan ke dalam bui. Sebelumnya Arief Budiman terkenal sebagai tokoh yang memproklamasikan golongan putih [golput]. Kemudian ia dan kawan-kawannya pada bulan Oktober 1973 mengadakan aksi ke gedung DPR/MPR untuk menyampaikan Petisi 24 Oktober. Isi petisi ini mengkritisi kebijaksanaan pembangunan Orba yang dianggap tidak populis. Tapi memang hanya sebatas itu. Perlawanan gerakan mahasiswa periode ini memang tidak meluas seperti halnya gerakan penumbangan Soekarno. Area perlawanan hanya berpusat di Jakarta dan tidak didukung dengan aksi massa yang besar. Gerakan hanya terfokus pada posisi sebagai gerakan moral; terbatas memberikan kritik yang loyal kepada kekuasaan yang ada.

    Setelah peristiwa itu, gerakan mahasiswa baru bangkit kembali pada awal tahun 1974. Ketika itu mahasiswa memprotes masuknya modal Jepang ke Indonesia. Kunjungan PM Jepang, Tanaka, diboikot dengan melakukan aksi massa besar-besaran di Jakarta. Ibu kota lumpuh total. Mahasiswa melakukan rally dari kampus UI Salemba menuju kampus Trisakti. Sementara rakyat

    asyik dengan aksinya sendiri: melakukan pembakaran terhadap mobil-mobil produk Jepang. Peristiwa ini yang kemudian terkenal dengan sebutan Malapetaka 15 Januari: Malari. Nama-nama seperti Hariman Siregar, Sjahrir, dll, muncul sebagai pembangkang kelas satu. Mereka diburu dan kemudian dipenjarakan. Fakta yang sulit ditampik, Malari bisa membesar tidak lepas dari konflik elit waktu itu. Yakni: pertarungan faksi Jendral Soemitro dan Ali Moertopo yang berebut posisi untuk dekat dengan Soeharto.

    Ada tiga pelajaran yang dapat kita ambil dari gerakan mahasiswa periode 1974. Pertama,

  • adanya kolaborasi dengan tentara. Paling tidak pada detik-detik akhir menjelang meletusnya Malari. Soemitro, seorang jenderal yang saat itu menjabat Pangkokamtib, terlihat aktif dalam aksi-aksi tersebut. Akibat peristiwa ini, gerakan mengalami kehancuran bersamaan dengan rontoknya tentara yang diajak berkolaborasi.

    Kedua, gerakan mahasiswa masih elitis. Mahasiswa tidak mau bergabung bersama rakyat.

    Gerakan tidak bisa memimpin massa-rakyat yang juga turun ke jalan. Rakyat akhirnya melakukan kerusuhan. Radikalisme massa kemudian digunakan oleh rezim sebagai palu godam untuk memukul aksi-aksi mahasiswa. Tentu saja dengan alasan telah mengganggu ketertiban umum dan menciptakan kekacauan.

    Ketiga, secara geografis gerakan tidak meluas. Gerakan yang hanya membesar di satu titik mengakibatkan mudah untuk dipatahkan. Kita lihat sendiri, ketika gerakan di Jakarta dilumpuhkan, perlawanan terhenti karena daerah-daerah lain tidak melakukan pembangkangan sama sekali.

    Membutuhkan waktu yang lama setelah Malari. Kurang lebih 4 tahun kemudian gerakan mahasiswa bangun kembali. Baru tahun 1978 aksi-aksi mahasiswa terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Aksi-aksi ini menolak pencalonan kembali Soeharto menjadi presiden. Karena aksi-aksi semakin membesar dan mengancam kekuasan Soeharto, maka tentara diperintahkan untuk menghentikannya.

    Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) dikepung panser. Mahasiswa membuat barikade dengan tidur-tiduran di sepanjang Jalan Ganesa. Aksi ini mampu bertahan beberapa minggu sebelum berhasil dibubarkan tentara. Sementara di Yogyakarta, tentara menembaki aksi mahasiswa di Universitas Gadjah Mada. Mahasiswa dikejar-kejar sampai ke dalam kampus, peristiwa ini kemudian terulang 20 tahun kemudian.

    Memang akhirnya perlawanan mahasiswa dapat dilumpuhkan oleh rezim Orba, namun setidaknya telah memberikan pelajaran berharga bagi sejarah perlawanan di Indonesia. Apabila kita simak, ada dua hal penting dalam gerakan mahasiswa periode ini. Pertama, gerakan setidaknya lebih maju dalam tuntutan politikmenolak pencalonan Soehartowalaupun belum sampai ke tahap mengkritisi sistem yang ada. Mereka melihat bahwa sosok Soehartolah yang menyebabkan Indonesia kacau balau. Sebagai solusinya Soeharto harus ditampik menjadi presiden.

    Gerakan waktu itu belum sadar, bahwa Soeharto telah membangun sistem birokrasi yang didukung oleh tentara, sehingga ketika posisi dia (Soeharto) terancam, dapat mengerahkan orang-orang yang mengelilingnya. Dan ini benar terjadi. Soeharto menghancurkan kehidupan politik mahasiswa di kampus. Pengekangan terhadap aktivitas mahasiswa dimulai. Soeharto juga mengerahkan tentara untuk merepresi gerakan mahasiswa.

    Kedua, gerakan 78 memang membesar di kota-kota seperti Bandung dan Yogyakarta, tapi lemah di pusat ekonomi politik, Jakarta. Hal ini memang berbeda dengan gerakan mahasiswa 74 di mana gerakan membesar di Jakarta tapi lemah di daerah-daerah tapi yang terjadi kemudian sama dengan gerakan 74, gerakan tetap mudah dipatahkan.

    Setelah kemenangan tertunda dari gerakan mahasiswa 78, rezim Soeharto mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut. Rezim berusaha memenjarakan mahasiswa agar tidak keluar dari kampus. Ketika Mendikbud dijabat oleh Doed Joesoef, dikeluarkan kebijaksanaan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK)/ Badan Koordinasi Kampus (BKK). Organisasi mahasiswa semacam Dewan Mahasiswa dibubarkan, seluruh kegiatan mahasiswa dilarang berhubungan dengan kehidupan politik praktis.

    Praktis sejak diberlakukan NKK/BKK, gerakan mahasiswa tertidur. Kebijaksanaan NKK/BKK kemudian lebih diperketat lagi. Ketika Mendikbud dijabat oleh Nugroho Notosusanto. Pemerintah memberlakukan depolitisasi, yaitu menyalurkan kegiatan mahasiswa pada lembaga kemahasiswaan formal seperti Senat Mahasiswa [Sema], Badan Eksekutif Mahasiswa [BEM], dll. Di luar itu dianggap ilegal. Dalam kurun waktu ini juga diberlakukan Sistem Kredit Semester (SKS). Aktivitas mahasiswa dipacu hanya untuk cepat selesai studi/kuliah dan meraih IP yang tinggi. Inilah hal-hal yang membuat mahasiswa mengalami depolitisasi dan semakin terasing dari lingkungannya.

  • Ada dua kecenderungan yang muncul kemudian. Pertama, mahasiswa kembali kepada gerakan awal 1900: munculnya kembali kelompok-kelopok diskusi. Kehadiran lingkaran-lingkaran diskusi dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, karena apabila diketahui oleh rezim bisa berakibat fatal. Kita dapat melihat nasib yang menimpa Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho dari kelompok diskusi Palagan yang dipenjara hanya karena memperjualbelikan buku Pramoedya Ananta Toer. Rezim memang tidak ambil peduli kepada siapapun yang akan kembali mengusik ketenangannya.

    Kedua, mereka yang melarikan ke luar negeri setelah represi 1978 membawa ide-ide kiri baru (New Left). Teori-teori yang sebetulnya sudah usang tersebut diterapkan dengan apa adanya,

    seperti halnya anak kecil yang baru melihat hal yang baru: ditiru begitu saja. Di tengah rasa demoralisasi, mereka mengatakan metode perjuangan harus diubah, yakni melalui pemberdayaan rakyat. Maka dalam kurun waktu itu beratus-ratus LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) didirikan.

    Ada baiknya kita bahas secara singkat kemunculan LSM, karena bagaimanapun berpengaruh kepada gerakan mahasiswa sampai saat ini. Berbarengan dengan terjadinya represi terhadap gerakan mahasiswa 1978, Barat yang merupakan pusat dari kapitalisme mulai menyadari bahwa kebijaksanaan mereka mulai menimbulkan keresahan sosial. Keadaan ini tentunya tidak dapat dibiarkan. Apabila dibiarkan bisa menjadi picu ledak bagi perlawanan rakyat secara luas. Maka mulailah disiapkan dana untuk membangun organisasi-organisasi yang seolah-olah anti negara dan berasal dari arus bawah. Organisasi inilah yang dipakai untuk masuk ke daerah-daerah api dan kemudian digunakan untuk menjaga api tersebut supaya tidak membesar. Organisasi ini juga digunakan untuk mendemoralisasi perlawanan rakyat. LSM pada kenyataanya mempunyai hubungan simbiosis mutualisme dengan kapitalis internasional. Kapitalis butuh LSM untuk mencegah terjadinya konflik sosial, sedangkan LSM butuh dana kapitalis untuk memperbesar perut mereka.

    Periode LSM pada akhirnya lewat. Walau bagaimanapun ketatnya rezim berusaha memagari gerak mahasiswa, lambat laun mahasiswa bisa lepas juga dari kungkungan yang ada . Mahasiswa yang mempunyai kesadaran politis keluar dari ruang-ruang diskusi dan kembali mulai turun ke jalan. Mereka mengambil strategi melingkar: melakukan aksi-aksi advoksi terhadap kasus-kasus rakyat. Mereka mencoba menyadarkan mayoritas mahasiswa yang terkena trauma dan mengalami depolitisasi dengan menunjukkan realitas-realitas yang ada di masyarakat: bahwa penindasan, pelanggaran HAM dan kesewenang-wenangan dilakukan oleh penguasa. Memang dalam kurun waktu itu banyak kasus-kasus yang menyentuh rakyat secara langsung, seperti penghapusan becak dan angling darmo, pengusuran tanah, masalah perburuhan sampai pem-PHK-an, yang kesemuanya tanpa perlawanan pihak yang ditindas.

    Strategi melingkar ini memang berhasilwalupun tidak maksimalmengusik hati para mahasiswa yang masih ada di dalam kampus untuk kembali terlibat dalam perlawanan terhadap penguasa. Awal-awal 1990 mulai muncullah organisasi mahasiswa ilegal bagi rezim. Ini merupakan perkembangan dari organisasi-organisasi bentukan gerakan mahasiswa akhir 19861990, yang awalnya berupa komite-komite aksi. Gerakan mahasiswa mencoba melakukan konsolidasi ditingkat nasional dan mulai mempermanenkan organ yang ada. Di Yogyakarta muncul Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY), di Surabaya muncul Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya (FKMS), di Manado lahir Forum Komunikasi Mahasiswa Manado (FKMM), dan organ-organ lain di Jakarta, Bandung, Solo, dan Semarang.

    Sejak munculnya organisasi-organisasi di atas, gerakan mahasiswa semakin menguat. Aksi-aksi mahasiswa mulai membesar kembali. Arus perlawanan mahasiswa timbul kembali. Di Yogyakarta, pada pertengahan tahun 1992, sekitar 12.000 mahasiswa Universitas Gadjah Mada dan universitas lain di Yogyakarta didampingi rektor UGM, Prof. Koesnadi Harjosoemantri, melakukan rally dari kampus UGM menuju DPRD I Yogyakarta. Mereka memprotes

    diberlakukannya Undang-undang Lalu Lintas No. 14/1992. Tahun 1993, ribuan mahasiswamayoritas mahasiswa Islammenduduki Gedung DPR/MPR, menuntut SDSB dihapuskan. Menteri Sosial waktu itu, Inten Soeweno, dengan menitikkan air mata mencabut pemberlakuan SDSB di depan anggota DPR, sementara di luar gedung ribuan mahasiswa terus menjalankan

  • aksinya. Satu tahun kemudian, mahasiswa di berbagai daerah memprotes dibredelnya Majalah

    Tempo, Detik, dan Editor. Beberapa aksi direpresi oleh tentara, seperti yang terjadi di Jakarta. Namun demikian aksi-aksi mahasiswa terus berlanjut. Tahun 1996, tepatnya bulan April, di Ujung Pandang, mahasiswa yang memprotes kebijaksanaan kenaikan tarif transportasi ditembaki oleh tentara. Sekitar 7 mahasiswa gugur dalam insiden tersebut. Aksi ini telah menimbulkan solidaritas di kalangan mahasiswa lain di berbagai daerah, seperti Jakarta, Surabaya, Lampung, Yogyakarta, Solo, dan Semarang, bahkan di Yogyakarta sempat terjadi bentrokan dengan tentara.

    Secara organisasi gerakan mahasiswa juga mengalami proses kemajuan. Konsolidasi di dalam dan di luar kampus mulai dilakukan dan dibentuk organ mahasiswa nasional. Pada bulan Agustus 1994, dideklarasikan organ mahasiswa nasional, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Berdirinya organisasi ini merupakan momentum bagi gerakan mahasiswa Indonesia untuk kembali menjadi gerakan politik. Program-program SMID antara lain menuntut dicabutnya Dwi Fungsi ABRI dan paket 5 UU Politik 1985, yang merupakan pondasi dari rezim Soeharto. Dan sejak saat ini aksi massa dikukuhkan menjadi metode perjuangan gerakan mahasiswa. Dalam perkembangannya SMID kemudian berafiliasi dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Periode 1994 dapat dikatakan merupakan masa terbukanya politik mahasiswa. Kemajuan-kemajuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

    1. Sentimen anti kediktatoran rezim Orde Baru Soeharto mulai meluas. 2. Keberanian rakyat untuk mempertahankan hak-haknya semakin tumbuh. 3. Jaringan dan wadah-wadah perlawanan mulai dibentuk diberbagai tempat dan sektor

    masyarakat. 4. Watak kerakyatan dalam perlawanan demokratik mulai muncul sebagai pendorong utama

    untuk memaksakan keterbukaan dengan mulai terangkatnya isu perburuhan dan tani (pertanahan).

    5. Unsur-unsur demokratik dan kerakyatan dalam perlawanan telah mampu berkembang dan berdiri di garda depan, baik dalam skala sektoral maupun wilayah tertentu.

    Sementara di dalam kampus mulai dibentuk organ mahasiswa sektor kampus.

    Sebelumnya, selama kurun waktu 1979-1995 hanya ada lembaga mahasiswa formal yang diakui oleh pemerintah, yaitu Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT). Tahun 1995 mulai dirintis berdirinya kembali Dewan Mahasiswa (Dema), yang sejak diberlakukannya NKK/BKK dimatikan keberadaannya. Maka muncullah Dema UGM, Dema UI dan Dema Universitas Sanata Dharma. Namun sebelum konsolidasi ini selesai, meletuslah Peristiwa 27 Juli 1996. Setelah Peristiwa Sabtu Kelabu, rezim Soeharto memburu-buru aktivis mahasiswa radikal dan aktivis PRD. Mereka dituduh sebagai dalang peristiwa tersebut. Dalam kurun waktu 1996 sampai akhir 1997, dapat dikatakan gerakan mahasiswa tiarap. Kalaupun ada aksi, hanya sebatas dilakukan oleh kelompok-kelompok mahasiswa radikal dengan memakai komite aksi yang bersifat musiman untuk terus melakukan perlawanan.

    1.2. Gerakan Mahasiswa 1998Mereka yang Merobohkan Simbol Kediktatoran

    Sejak September 1997 krisis ekonomi global ikut menyapu Indonesia. Nilai rupiah melemah terhadap dollar AS. Harga-harga barang kebutuhan pokok mulai merangkak naik. B