Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

80
INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV &AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN Laporan Hasil Penelitian Tim Universitas Katholik Atma Jaya Jakarta di Provinsi Jakarta UNIVERSITAS KATHOLIK ATMA JAYA JAKARTA PUSAT KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN KESEHATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UGM

Transcript of Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

Page 1: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

INTEGRASI UPAYAPENANGGULANGAN HIV &AIDSKE DALAM SISTEM KESEHATANLaporan Hasil Penelitian Tim Universitas Katholik Atma Jaya Jakarta

di Provinsi Jakarta

UNIVERSITAS KATHOLIKATMA JAYA JAKARTA

PUSAT KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN KESEHATANFAKULTAS KEDOKTERAN UGM

Page 2: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam Sistem Kesehatan di DKI Jakarta

Laporan Penelitian

Page 3: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

1

Daftar Istilah

ABPN Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional Alkes Alat Kesehatan APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Bappeda Badan Perencanaan Pembangunan Daerah BLUD Badan Layanan Umum Daerah BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial CSR Corporate Social Responsibility CST Care, Support, & Treatment Dinkes Dinas Kesehatan Provinsi FHI Family Health International GFATM Global Fund to Fight Aids, Tubercolosis, and Malaria HCPI HIV Cooperation Programme for Indonesia HR Harm Reduction (Pengurangan Dampak Buruk) Inpres Instruksi Presiden IPWL Institusi Penerima Wajib Lapor JAIS Jakarta AIDS Information System JKN Jaminan Kesehatan Nasional Kepmenkes Keputusan Menteri Kesehatan KPAK Komisi Penanggulangan AIDS tingkat Kota KPAP Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi LASS Layanan Alat Suntik Steril LKB Layanan Komprehensif dan berkesinambungan LSM Lembaga Swadaya Masyarakat MDGs Millenium Development Goals MPI Mitra Pembangunan Internasional Musrembang Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nakes Tenaga kesehatan NIK Nomor Induk Kependudukan ODHA Orang dengan HIV/AIDS PABM Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat PBI Penerima Bantuan Iuran PDP Perawatan Dukungan dan Pengobatan PMTST Perda Peraturan Daerah Pergub Peraturan Gubernur Renstra Rencana Strategi RKPD Rencana Kerja Pembangunan Daerah RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJP Rencana Pembangunan Jangka Panjang SDM Sumber Daya Manusia SIHA Sistem Informasi HIV-AIDS SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah SRAN Strategi Rencana Aksi Nasional SRAP Strategi Rencana Aksi Provinsi

Page 4: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

2

Sudinkes Suku Dinas Kesehatan SUFA Strategic Use of Anti Retro Viral UPT Unit Pelayanan Teknis VCT Voluntary Counseling and Testing

Page 5: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

3

Daftar Isi

DAFTAR ISTILAH 1

DAFTAR ISI 3

RINGKASAN EKSEKUTIF 4

I. PENDAHULUAN 8

A. SITUASI DAN UPAYA PENANGGULANGAN HIV AIDS DI DKI JAKARTA 8

B. PERTANYAAN PENELITIAN 12

C. TUJUAN 13

1. TUJUAN UMUM 13

2. TUJUAN KHUSUS 13

II. METODE 15

A. KERANGKA KONSEPTUAL 15

B. DESAIN DAN PROSEDUR PENELITIAN 16

C. LOKASI PENELITIAN DAN INFORMAN 16

D. ANALISA DATA 17

E. KETERBATASAN PENELITIAN 18

III. HASIL PENELITIAN 19

A. KONTEKS KEBIJAKAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA 19

B. SITUASI EPIDEMI DAN PERILAKU BERISIKO TERKAIT HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA 20

C. RESPON PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA 21

D. ANALISA PEMANGKU KEPENTINGAN PENANGGULANGAN HIV AIDS 26

E. PERAN PERGURUAN TINGGI 30

F. POLA INTEGRASI DI DKI JAKARTA 32

1. GAMBARAN INTEGRASI BERDASARKAN SUB SISTEM KESEHATAN DI DKI JAKARTA 32

2. TINGKAT INTEGRASI 58

IV. DISKUSI 66

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 69

A. KESIMPULAN 69

B. REKOMENDASI 70

DAFTAR PUSTAKA 72

Page 6: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

4

Ringkasan Eksekutif

Studi ini bertujuan untuk menganalisis tingkat integrasi kebijakan penanggulangan HIV dan

AIDS dalam Sistem Kesehatan di DKI Jakarta sehingga dapat dikembangkan rekomendasi

perbaikan kinerja penanggulangan HIV dan AIDS dalam jangka menengah. Desain studi ini

menggunakan pendekatan kualitatif yang menggunakan mode kerangka konseptual dan

analitik yang dikembangkan oleh Atun et al (2010a) dan Coker (2010) untuk mengukur

integrasi respon pencegahan, perawatan dukungan dan pengobatan (PDP) dan mitigasi

dampak yang dikembangkan untuk merespon permasalahan kesehatan tertentu ke dalam

sistem kesehatan. Penelitian ini menggunakan baik data primer maupun sekunder yang

dikumpulkan secara kumulatif. Data primer terkumpul dari 18 informan (7 laki-laki dan 10

perempuan, dan 1 waria) yang berkompeten membahas isu sistem kesehatan, program HIV

dan AIDS serta kualitas layanan termasuk perkembangan integrasi ke sistem layanan

kesehatan terutama di tingkat DKI Jakarta.

Prevalensi HIV di DKI Jakarta termasuk tinggi bila dibandingkan dengan provinsi lain dengan

angka prevalensi HIV ditemukan di kalangan populasi yang terkonsentrasi seperti penasun,

pekerja seks, LSL, dan waria. Prevalensi HIV di DKI Jakarta memberikan dampak kesehatan

yang cukup serius. Dari kasus HIV yang terlaporkan, sebanyak 22.8% masuk ke dalam tahap

AIDS dengan case rate kematian akibat AIDS mencapai 59.7%. Untuk menghadapi

permasalahan ini respon terkait HIV di DKI Jakarta mencakup respon pencegahan yang

berfokus pada pengguna napza suntik dan transmisi seksual melalui PMTS, respon PDP

termasuk Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) dan Strategic Use of ARV (SUFA),

dan mitigasi dampak. Layanan HIV sudah tersedia merata di semua kotamadya.

Banyak pemangku kepentingan yang terlibat dalam respon penanggulangan HIV AIDS di DKI

Jakarta. Pemangku kepentingan yang memiliki kepentingan dan kekuasaan tinggi adalah

Dinkes, Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP), Puskesmas, dan Mitra Pembangunan

Indonesia (MPI). Coorporate Social Responsibility (CSR) perusahaan swasta memiliki

kekuasaan tinggi dengan kepentingan rendah, sebaliknya Orang dengan HIV AIDS (ODHA)

sebagai penerima manfaat memiliki kekuasaan dan kepentingan rendah. Pemangku

kepentingan yang memiliki kepentingan tinggi namun kekuasaan rendah adalah Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM), Suku Dinas Kesehatan (Sudinkes), Komisi Penanggulangan AIDS

Page 7: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

5

Kota (KPAK), jaringan populasi kunci, dan lembaga Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Besarnya

kepentingan dan kekuasan banyak dipengaruhi oleh kepemilikan modal dan legitimasi payung

hukum untuk melaksanakan program terkait HIV dan AIDS.

Dalam pengukuran tingkat integrasi banyak data yang tidak tersedia untuk mengukur setiap

dimensi dalam sub-sistem kesehatan, terutama untuk melihat respon mitigasi dampak. Dari

data yang tersedia dapat disimpulkan bahwa PDP adalah respon HIV AIDS terbanyak yang

dimensinya sudah terintegrasi. Sub-sistem penyediaan farmasi dan alkes sudah terintegrasi

secara penuh di kedua dimensinya. Sedangkan dalam sub-sistem lain ada beberapa dimensi

yang sudah teringrasi secara penuh seperti dimensi regulasi, penganggaran proporsi distribusi

dan pengeluaran dan mekanisme pembayaran layanan dalam sub-sistem pembayaran

layanan, kompetensi SDM, singkronisasi sistem informasi dan ketersediaan layanan.

Sedangkan dalam respon pencegahan dimensi dalam sub-sistem yang sudah teringrasi baru

dalam tataran regulasi, penganggaran proporsi distribusi dan pengeluaran, singkronisasi

sistem informasi dan ketersediaan layanan. Beberapa dimensi seperti mekanisme

pembayaran dan sumber daya baru terintegrasi secara parsial. Sayangnya, dari keseluruhan

dimensi yang diukur dalam respon mitigasi dampak hanya tiga dimensi yang tersedia datanya,

yaitu regulasi, penganggaran proporsi distribusi dan pengeluaran serta mekanisme

pembayaran layanan dengan hasil pengukuran menunjukkan bahwa dimensi tersebut tidak

terintegrasi dengan sistem kesehatan di DKI Jakarta. Dengan tingkat integrasi respon

pencegahan, PDP dan mitigasi dampak di DKI Jakarta, cakupan respon masih belum maksimal.

Dari seluruh populasi kunci hanya waria yang sudah terjangkau sesuai target, sedangkan

sisanya baru mencapai dibawah 45 persen. Begitupun dengan cakupan PDP yang baru

mencapai 82% dari target dalam Renstra Dinkes dengan angka ODHA dalam ARV hanya

mencapai 44%.

Tingkat integrasi intervensi kesehatan di suatu daerah dapat dipengaruhi oleh beberapa

faktor. Kurangnya tingkat integrasi dalam repson mitigasi dampak umumnya terjadi ketika

respon HIV lebih berfokus pada masalah kesehatan masyarakat dan melupakan tantangan

pembangunan dan manajerial yang melingkupi permasalah HIV dan AIDS. Selain itu respon

HIV dan AIDS hanya dilihat sebagai masalah kesehatan saja sehingga fokus solusi terhadap

masalah tidak dapat keluar dari lingkup kesehatan, dan seringkali mengabaikan aspek sosial

dan ekonomi. Level integrasi yang berbeda dalam pemberian layanan umumnya terjadi

Page 8: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

6

berkaitan dengan ketersediaan anggaran, kurangnya kordinasi dan pendekatan yang berbeda

dalam monitoring/surveillance program. Pada prakteknya sistem kesehatan

mengkombinasikan intervensi yang terintegasi penuh dan tidak terintegrasi. Hal yang penting

adalah apakah tingkat integrasi suatu intervensi kesehatan terhadap sistem kesehatan

tersebut mampu memebrikan hasil dalam mengatasi masalah kesehatan yang ada. Untuk

meningkatkan kinerja respon HIV dan AIDS dalam kaitannya dengan sistem kesehatan maka

beberapa hal yang menjadi rekomendasi adalah sebagai berikut:

1. Melakukan kajian sosial dan ekonomi terkait dampak HIV dan AIDS jangka panjang,

terutama dengan adanya program SUFA yang berdampak pada peningkatan kualitas

hidup ODHA secara bermakna. Hasil dari kajian dapat digunakan untuk melakukan

inovasi program mitigasi dampak, termasuk memperluas cakupan kerjasama seperti

dengan instansi terkait seperti dinas sosial, badan pemberdayaan masyarkaat

perempuan dan keluarga berencana, badan pendidikan dan pelatihan provinsi;

2. Melakukan inovasi untuk mensiasati jumlah tenaga kesehatan yang terbatas dengan

melakukan task shifting atau perpindahan delegasi beberapa pekerjaan terkait HIV

yang dapat dilakukan oleh kader masyarakat, LSM atau populasi kunci seperti tes HIV

berbasis komunitas, konseling kepatuhan Anti Retro-Viral (ARV), konseling dan

assessment terkait kesehatan reproduksi, Program Pencegahan Penularan HIV Ibu ke

Anak (PPIA) dan Keluarga Berencana, registrasi dan sistem data manajemen;

3. Melakukan standarisasi kualitas layanan HIV dan AIDS sebagai jaminan mutu dalam

konteks kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM), Standard Operational Procedure

(SOP), supervisi, dan dukungan teknis untuk mengimplementasi program pencegahan,

perawatan, dukungan, pengobatan, dan mitigasi dampak;

4. Melakukan upaya persiapan SDM sejak dini dengan memasukan kurikulum HIV dan

AIDS dalam fakultas kedokteran atau fakultas kesehatan masyarakat untuk menjamin

keberlanjutan SDM yang bekualitas dan mengurangi beban pelatihan SDM;

5. Melakukan affirmative action agar lebih aktif bekerja sama dan melibatkan komunitas

terdampak HIV (LSM, komunitas populasi kunci) dalam perencanaan, monitoring, dan

evaluasi program;

6. Memperjelas kepemilikan data dari Sistem Informasi HIV AIDS (SIHA) dan Integrated

Behavioural and Biological Survey (IBBS) dan melakukan analisa yang lebih spesifik

Page 9: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

7

untuk setiap komponen Promosi Pencegahan dan PDP untuk kepentingan

pengembangan program di daerah, termasuk menyediakan data dan target capaian

untuk program terkait mitigasi dampak;

7. Memperhatikan dan mulai melakukan inventaris dampak desentralisasi terhadap

respon HIV dan AIDS seperti tidak meratanya jumlah staf dan kualitas layanan akibat

kurangnya komitmen kotamadya, serta melakukan upaya perbaikan dan solusi;

8. Memanfaatkan peran CSR perusaan swasta untuk terlibat secara aktif dalam isu HIV

secara berkelanjutan dan memfasilitasi kerjasama dengan LSM sebagai solusi

keterbatasan dana yang dikelola oleh LSM untuk respon HIV.

Page 10: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

8

I. PENDAHULUAN

A. Situasi dan upaya penanggulangan HIV AIDS di DKI Jakarta

Permasalahan HIV dan AIDS di DKI Jakarta cukup serius. Secara konsisten provinsi ini selalu

menduduki urutan lima kasus HIV dan AIDS tertinggi di Indonesia dalam lima tahun terakhir

(Kemkes, 2014). Sampai dengan September 2014 kasus HIV yang terlaporkan secara

kumulatif berjumlah 32.782 orang. Jumlah ini kebanyakan dikontribusikan dari populasi

beresiko tinggi seperti Wanita Pekerja Seks (WPS), Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL), Pengguna

Napza Suntik (Penasun), Lelaki Beresiko Tinggi (LBT), dan waria. Total estimasi populasi

beresiko tinggi terkena HIV di Jakarta adalah 854.340 orang (KPAP, 2013). Dengan situasi ini,

DKI Jakarta termasuk dalam kategori epidemi HIV terkonsentrasi. Bila tidak dikendalikan

dengan baik kemungkinan besar proporsi ODHA di DKI Jakarta akan meningkat di tahun

mendatang.

Untuk merespon situasi ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melakukan

serangkaian upaya penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta. Dengan mengacu pada

Strategi dan Rencana Aksi Penanggulangan HIV dan AIDS 2013-2017 (SRAP), Pemprov DKI

Jakarta bertujuan untuk mencegah dan mengurangi penularan HIV, meningkatkan kualitas

hidup ODHA serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV pada individu, keluarga

dan masyarakat. Empat program utama yang dilakukan di Pemprov DKI Jakarta adalah

pencegahan, perawatan, PDP), mitigasi dampak dan pengembangan kebijakan untuk

lingkungan yang kondusif. Melalui program yang dilakukan DKI Jakarta memiliki target SRAP

yang cukup ambisius yaitu (1) Menurunkan infeksi baru pada laki dan perempuan muda

sebanyak 50 persen; (2) Menurunkan infeksi baru pada bayi dan anak sebanyak 90 persen dan

menurunkan angka kematian terkait HIV sebesar 50%. Seluruh kegiatan terkait HIV dan AIDS

di DKI Jakartadikoordinir olehKPAP sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) No. 4 tahun 2008

tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Strategi dan arahan program yang terangkum dalam

SRAP diharapkan dapat memperluas cakupan dan pencapaian program HIV dan AIDS sehingga

berhasil mecapai target yang telah ditentukan.

Namun, perluasan program terkait HIV yang dilakukan juga dapat menimbulkan konsekuensi

lebih lanjut. Jumlah orang yang mengetahu status HIV akibat banyaknya jumlah tes HIV yang

dilakukan berdampak pada meningkatnya jumlah ODHA yang membutuhkan perawatan

Page 11: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

9

kesehatan. Hal ini tentunya membutuhkan sumber daya baik dalam material dan fisik yang

banyak. Untuk menghindari overburden maka upaya pencegahan penularan HIV pada

populasi kunci dan populasi umum harus dilakukan dengan lebih efektif. Selain itu,

mempersiapkan perawatan dan dukungan bagi ODHA dalam jangka panjang akibat dari

efektifitas pengobatan dalam menekan angka kematian ODHA juga harus dilakukan. Agar

Pemprov DKI Jakarta dapat merespon tantangan ini dengan baik, diperlukan integrasi

kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan serta

pengembangan model penyediaan layanan kesehatan yang melibatkan sektor dan program

lain (continuum of care) yang dilihat dari aspek promosi pecegahan, PDP dan mitigasi dampak.

Tentunya tantangan ke depan terkait penanggulangan HIV dan AIDS yang akan dihadapi DKI

Jakarta memerlukan ketersediaan sumber daya baik dari sisi SDM, anggaran, pengobatan, dan

perlengkapan perawatan terkait HIV. Tidak dapat dipungkiri bahwa pembiayaan

penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, termasuk DKI Jakarta masih bergantung pada

hibah dari inisiatif global baik bilateral maupun multilateral sebesar 40% (Nadjib, 2013).

Peran inisiatif kesehatan global yang sedemikian besar dalam penanggulangan HIV dan AIDS

di negara-negara berkembang ini telah memunculkan berbagai konsekuensi terhadap sistem

kesehatan seperti berkembangnya sistem ganda yaitu sistem penanggulangan HIV dan AIDS

dan sistem kesehatan pada umumnya, serta lemahnya insentif dari sistem kesehatan untuk

mendukung upaya penanggulangan HIV dan AIDS dan terbatasnya integrasi layanan HIV dan

AIDS dengan layanan kesehatan yang lain (Atun et al., 2010a; b; Conseil et al., 2013; Desai et

al., 2010; Dongbao et al., 2008; Kawonga et al., 2012; Shakarishvili et al. 2010). Demikian pula,

koordinasi berbagai upaya kesehatan dengan mengembangkan sistem perencanaan,

koordinasi dan monitoring yang terpisah dari upaya kesehatan lain. Situasi ini dikhawatirkan

akan memperburuk sistem kesehatan karena akan menggerus sumber daya yang tersedia

untuk penanggulangan HIV dan AIDS. Sehingga upaya untuk memperkuat sistem kesehatan

untuk memaksimalkan integrasi penanggulangan HIV dan AIDS dan sistem kesehatan

dibutuhkan (Atun et al., 2010; Coker et al., 2010; Kawonga, 2012).

Integrasi secara umum dikaitkan dengan upaya untuk mengadopsi dan melakukan asimilasi

upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam fungsi-fungsi pokok sistem kesehatan. Pada

tingkat penyediaan layanan, integrasi ini misalnya bisa dilakukan dengan menggabungkan

layanan khusus AIDS ke dalam layanan kesehatan umum, melibatkan berbagai program

Page 12: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

10

kesehatan dan sektor lain di dalam penanggulangan AIDS, menyatukan sistem pembiayaan

penanggulangan AIDS dalam pembiayaan kesehatan umum dan lain-lain. Sebuah kajian

tentang integrasi program AIDS dan TB di Indonesia, menunjukkan bahwa kedua program

tersebut cenderung belum terintegrasi dengan fungsi sistem kesehatan secara umum (e.g.

dari segi tata kelola, sistem Monitoring dan evaluasi (M&E), perencanaan, pembiayaan, dan

penyediaan layanan) (Desai et al., 2010; Coker et al., 2010). Lebih lanjut, penelitian PKMK

(2013) menunjukkan bahwa upaya penanggulangan HIV dan AIDS merupakan kebijakan yang

bersifat vertikal yang diinisiasi dan dikembangkan oleh pemerintah pusat dengan dukungan

penuh dari lembaga kesehatan global, tetapi lemah dalam integrasinya dengan sistem

kesehatan yang ada karena dibangun berdasarkan sistem yang berbeda dengan sistem

kesehatan nasional. Kedua, dalam era desentralisasi seperti saat ini, pemerintah daerah

dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS belum memiliki peran yang signifikan dalam

pengembangan kebijakan dan program baik pencegahan, PDP, dan mitigasi dampak.

Ditemukan bahwa; (a) dominasi peran pemerintah pusat dan lembaga mitra pembangunan

internasional (MPI) cenderung menempatkan pemerintah daerah sebagai pelaksana program

sehingga komitmen dan dukungan dana daerah terhadap upaya penanggulangan HIV dan

AIDS cenderung minimal; (b) pendanaan lokal (APBD) untuk program HIV dan AIDS cenderung

sangat terbatas dan biasanya digunakan untuk kepentingan pembiayaan kesekretariatan

KPAD; (c) masalah-masalah seputar akses layanan HIV dan AIDS oleh populasi kunci (e.g.

keterbatasan jam layanan, jumlah dan kualifikasi petugas kesehatan khusus AIDS, sistem

pembayaran, stigma & diskriminasi) masih terjadi baik di Puskesmas, RS dan klinik tes HIV

lainnya; dan (d) adanya overlapping fungsi antara KPAD dan Dinkes dalam program

penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat daerah.

Sebagai sebuah permasalahan kesehatan, upaya penanggulangan HIV dan AIDS tidak bisa

dilepaskan dari sistem kesehatan yang berlaku di sebuah negara. WHO (2007) mendefinisikan

sistem kesehatan adalah keseluruhan organisasi, kelembagaan dan sumberdaya yang

bertujuan utama untuk mewujudkan tercapainya derajat kesehatan masyarakat. Sistem

kesehatan ini mencakup berbagai upaya kesehatan yang dilakukan oleh sektor pemerintah

dan non pemerintah (organisasi masyarakat sipil dan sektor swasta) baik pada tingkat

nasional maupun sub nasional. Sistem kesehatan yang kuat akan memungkinkan respons

penanggulangan HIV dan AIDS yang berkelanjutan dan terintegrasi dengan upaya kesehatan

Page 13: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

11

yang lain. Beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya menyatakan bahwa integrasi

penanggulangan penyakit tertentu ke dalam sistem kesehatan memberikan dampak positif

terhadap keberlanjutan dan efektivitas intervensi serta mampu memperkuat sistem

kesehatan yang ada (Kawonga, Blaauw, & Fonn, 2012, Shigayeva, Atun, McKee, & Coker,

2012; Shigayeva, Atun, Mckee, & Coker, 2010). Sebaliknya, pada negara dengan sistem

kesehatan yang kurang kuat, integrasi dengan sistem kesehatan justru akan membahayakan

karena keterbatasan sumber daya tersedia menyebabkan adanya persaingan pendanaan

antar penanggulangan penyakit. Menurut Dudley & Garner (2011) integrasi penanggulangan

HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan yang berimplikasi pada alokasi pendanaan untuk HIV

dan AIDS yang berasal dari pemerintah yang harus bersaing dengan pendanaan bagi penyakit

yang lain (Dudley & Garner, 2011).

Permasalahan integrasi program penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan

bukan merupakan hal yang mudah dilakukan karena melibatkan banyak pemain (dan

kepentingan), infrastruktur, kebijakan dan sumber daya. Integrasi penanggulangan HIV dan

AIDS ke dalam sistem kesehatan menuntut upaya untuk meningkatkan efektivitas dan

aksesibilitas layanan HIV dan AIDS dengan memaksimalkan sumber daya dan infrastruktur

yang tersedia (Dudley and Garner, 2011). Upaya untuk mengintegrasikan dua pendekatan ini

sebenarnya berisiko karena hasil-hasil yang telah dicapai melalui pendekatan vertikal bisa

tidak tampak atau bahkan hilang. Selain itu, kenyataan bahwa belum terbangunnya sistem

kesehatan di tingkat daerah cenderung akan mendorong pengambil kebijakan untuk

meneruskan pendekatan vertikal (Godwin and Dickinson, 2012).

Meskipun demikian, sejauh ini belum ada kesimpulan yang jelas tentang pengaruh integrasi

intervensi khusus ini ke dalam sistem kesehatan terhadap status kesehatan masyarakat

umum karena masih terbatasnya studi tentang integrasi dan belum tersedianya metodologi

yang dinilai memadai Kawonga et al., 2012 dan Coker at al., 2010). Oleh karena itu isu yang

lebih mendasar bukan pada memilih satu pendekatan dari pada pendekatan yang lain atau

integrasi kedua pendekatan tersebut karena variabilitas dari konteks kebijakan yang beragam,

tetapi lebih melihat bahwa kedua pendekatan tersebut saling melengkapi dan perlu

diintegrasikan dalam porsi yang sesuai dengan kompleksitas penyediaan layanan kesehatan

yang terintegrasi dan berkelanjutan berdasarkan perencanaan, koordinasi dan manajemen

yang efektif (Dudley and Garner, 2011; Atun et al., 2010). Melakukan integrasi dengan

Page 14: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

12

komposisi yang tepat dan praktis merupakan tantangan terbesar dan memerlukan

pertimbangan yang sangat hati-hati.

Dengan demikian, permasalahan kebijakan yang perlu memperoleh perhatian dalam melihat

keterkaitan antara upaya penanggulangan HIV dan AIDS dan sistem kesehatan di Indonesia

adalah: (1) bagaimana mengembangkan respon kesehatan masyarakat agar bisa

mengakomodasi meningkatnya kompleksitas penanggulangan HIV dan AIDS dalam jangka

panjang; dan (2) bagaimana mengintegrasikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam

sistem kesehatan yang sudah ada untuk memastikan respon jangka panjang, meskipun sistem

kesehatan yang berlaku saat ini belum optimal karena adanya berbagai hambatan baik politik,

ekonomi dan sosial budaya. Pemahaman tentang dua isu kebijakan ini akan sangat membantu

dalam merancang sebuah program penanggulangan HIV dan AIDS yang berkelanjutan dan

efektif melalui berbagai upaya penyesuaian dari tingkat strategi dalam sistem kesehatan dan

penanggulangan HIV dan AIDS, penentuan prioritas dan mobilisasi sumber daya hingga

tingkat operasional dan layanan (Atun dan Bataringaya, 2011).

Untuk bisa menjawab dua isu kebijakan di atas, Pusat Penelitian HIV dan AIDS (PPH) Unika

Atma Jaya Jakarta bekerja sama dengan PKMK FK UGM melakukan penelitian tentang

bagaimana “Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS dalam Kerangka Sistem Kesehatan

di wilayah DKI Jakarta”. Penelitian ini dimaksudkan untuk memetakan berbagai kekuatan dan

kelemahan sistem kesehatan di DKI Jakarta dalam mendukung atau merespon permasalahan

HIV dan AIDS sehingga diharapkan bisa mengidentifikasi berbagai potensi dan peluang untuk

mengintegrasikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS ini ke dalam sistem kesehatan yang

ada.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, pertanyaan penelitian utama dalam studi ini adalah

“Seberapa jauh integrasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan di

DKI Jakarta?”

Sedangkan pertanyaan khusus meliputi:

1. Bagaimana konteks, proses dan substansi kebijakan dan program penanggulangan HIV

dan AIDS dalam kerangka sistem kesehatan yang berlaku di DKI Jakarta?

Page 15: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

13

2. Seberapa jauh konsistensi antara regulasi dan kebijakan HIV dan AIDS di tingkat

kotamadya dan provinsi di DKI Jakarta?

3. Seberapa jauh sinergi fungsi dan peran KPA, Dinkes, lintas sektoral, dan LSM dalam

penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta?

4. Seberapa besar proporsi, kesesuaian, distribusi dan keberlanjutan pendanaan yang ada

(e.g. Donor asing, APBN/D dan dana masyarakat) terhadap penanggulangan HIV dan

AIDS di DKI Jakarta?

5. Seberapa jauh hubungan kerja, ketenagaan dan pengembangan kapasitas antara

Sumber Daya Manusia (SDM) khusus AIDS non pemerintah dengan SDM kesehatan di

DKI Jakarta?

6. Seberapa jauh integrasi sistem pelaporan HIV dan AIDS dalam sistem informasi strategis

dan pemanfatan ‘I untuk pengembangan dan pelaksanaan kebijakan dan program di DKI

Jakarta?

7. Bagaimana pengadaan, rantai distribusi, dan portabilitas material pencegahan,

diagnostik dan terapi dalam kontek kebijakan jaminan kesehatan nasional di DKI

Jakarta?

8. Seberapa jauh partisipasi aktif masyarakat yang terdampak dalam penanggulangan HIV

dan AIDS di DKI Jakarta?

9. Bagaimana keterkaitan antara universitas dengan kebutuhan penanggulangan AIDS

dalam penyediaan sumber pengetahuan dan sumber daya manusia di DKI Jakarta?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Menganalisis tingkat integrasi kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS dalam Sistem

Kesehatan di DKI Jakarta sehingga dapat dikembangkan rekomendasi perbaikan kinerja

penanggulangan HIV dan AIDS dalam jangka menengah

2. Tujuan Khusus

1. Menganalisis konteks, proses dan substansi kebijakan dan program penanggulangan

HIV dan AIDS di DKI Jakarta dalam kerangka sistem kesehatan yang berlaku;

2. Mengukur konsistensi antara regulasi dan kebijakan HIV dan AIDS di DKI Jakarta, baik

di tingkat kotamadya maupun provinsi;

Page 16: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

14

3. Mengidentifikasi dan mengukur sinergi fungsi dan peran KPA, Dinkes, lintas sektoral,

dan LSM dalam penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta;

4. Mengukur proporsi, kesesuaian, distribusi dan keberlanjutan pendanaan yang ada

(e.g. Donor asing, APBN/D dan dana masyarakat) terhadap penanggulangan HIV dan

AIDS di DKI Jakarta;

5. Mengidentifikasi hubungan kerja, ketenagaan dan pengembangan kapasitas antara

Sumber Daya Manusia (SDM) khusus AIDS non pemerintah dengan SDM kesehatan di

DKI Jakarta;

6. Mengukur integrasi sistem pelaporan HIV dan AIDS dalam sistem informasi strategis

di DKI Jakarta dan pemanfatan evidence/bukti untuk pengembangan dan pelaksanaan

kebijakan dan program;

7. Mengukur pengadaan, rantai distribusi, dan portabilitas material pencegahan,

diagnostik dan terapi di DKI Jakarta dalam kontek kebijakan jaminan kesehatan

nasional;

8. Mengukur partisipasi aktif masyarakat yang terdampak dalam penanggulangan HIV

dan AIDS di DKI Jakarta; dan

9. Mengukur keterkaitan antara universitas dengan kebutuhan penanggulangan HIV dan

AIDS di DKI Jakarta dalam penyediaan sumber pengetahuan dan sumber daya

manusia.

Page 17: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

15

II. METODE

A. Kerangka Konseptual

Penelitian ini menggunakan model konseptual dan kerangka analitik yang dikembangkan oleh

Atun et al (2010a) dan Coker (2010) untuk mengukur integrasi respon pencegahan, PDP dan

mitigasi dampak yang dikembangkan untuk merespon permasalahan kesehatan tertentu ke

dalam sistem kesehatan. Integrasi dalam model konseptual ini didefinisikan sebagai tingkat

adopsi dan asimilasi intervensi kesehatan khusus ke dalam berbagai fungsi pokok dari sistem

kesehatan (Atun et al, 2010). Integrasi dalam sistem kesehatan melihat seberapa jauh

berbagai fungsi pokok dari sistem kesehatan didayagunakan secara bersama-sama

mendukung inovasi dalam penyelesaian permasalahan kesehatan tertentu dengan cara

membangun komitmen antar aktor dalam sektor kesehatan dan memanfaatkan teknologi dan

sumber daya yang tersedia (WHO, 2007). Dalam konteks di Indonesia, berbagai fungsi pokok

sistem kesehatan tersebut mencakup manajemen dan regulasi kesehatan; pembiayaan; SDM;

informasi strategis; penyediaan layanan, dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana

ditentukan dalam sistem kesehatan nasional di Indonesia (Perpres 72 tahun 2012).

Seberapa jauh integrasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan akan

dipengaruhi oleh (1) karakteristik permasalahan, kebijakan, dan program HIV dan AIDS

(pencegahan, PDP dan dampak mitigasi), (2) interaksi berbagai aktor-aktor yang

berkepentingan di dalam sistem kesehatan dan upaya penanggulangan HIV dan AIDS, (3)

karakteristik sistem kesehatan dan interakasi antar fungsi-fungsi pokok dalam sistem

kesehatan, dan (4) konteks politik, sosial, dan budaya dimana penanggulangan HIV dan AIDS

ini dilaksanakan termasuk desentralisasi (Atun et al, 2010, Coker et al, 2010). Beranjak dari

pemahaman ini, maka model konseptual untuk penelitian ini dikembangkan dengan

mengasumsikan bahwa keempat komponen saling berinteraksi secara bersama-sama

berpengaruh terhadap tingkat integrasi dan menentukan kinerja sistem kesehatan yang

meliputi cakupan, aksesiblitas, pemerataan, kualitas dan keberlanjutan dalam upaya

penanggulangan HIV dan AIDS. Model konseptual bisa dilihat pada gambar 1 di bawah ini.

Page 18: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

16

Gambar 1. Kerangka Konseptual

B. Desain dan prosedur penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk menjawab pertanyaan penelitian

yang ditetapkan. Dalam desain awal, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan dua

metode yaitu diskusi kelompok terarah dan wawancara mendalam. Namun pada

pelaksanaannya, data yang diperoleh dari diskusi kelompok terarah tidak digunakan dalam

analisa hasil mengingat sumber data hanya berasal dari dua informan dan tidak cukup kaya

untuk melihat ‘kesepakatan’ terhadap isu yang ditanyakan. Data primer yang dikumpulkan

melalui wawancara mendalam digunakan sebagai data utama dalam melakukan analisa.

Untuk memperkaya hasil, data sekunder terkait respon HIV turut dikumpulkan. Secara

keseluruhan, durasi waktu penelitian berlangsung sejak Januari – September 2014, yang

meliputi beberapa tahapan sebagai berikut: mempertajam perangkat penelitian, persiapan

lapangan, pengambilan data primer, pengumpulan data sekunder analisa dan penulisan

laporan.

C. Lokasi penelitian dan Informan

DKI Jakarta menjadi fokus lokasi pengambilan data dalam penelitian ini. Terdapat beberapa

kriteria informan yang digunakan dalam penelitian ini seperti: anggota KPAP, SKPD dengan

Page 19: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

17

tugas pokok dan fungsi yang bersinggungan dengan respon HIV, Organisasi Masyarakat Sipil

(OMS) yang terdaftar sebagai mitra kerja KPAP dan mempunya keterlibatan dalam respon

AIDS, dan perwakilan populasi kunci. Secara total, terdapat 18 informan yang melakukan

wawancara untuk penelitian ini (10 perempuan, 7 lelaki dan 1 waria) yang dikategorikan

dalam informan dari MPI, SKPD, OMS, Populasi Kunci, dan penyedia layanan terkait HIV

seperti terlihat dalam tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Informan Penelitian.

Kategori Gender Total

L P W

MPI 1 3 - 4

LSM 3 - 3

OMS 1 1 1 3

Jaringan

Ponci

- 2 - 2

SKPD 1 4 - 5

Layanan 1 - - 1

TOTAL 7 10 1 18 Sumber: hasil pengolahan data

D. Analisa data

Kerangka analisis yang digunakan adalah kerangka logik pendekatan induksi (Creswel, 2003)

dan prinsip grounded teori (Glaser & Strauss, 1967; Strauss & Corbin, 1998) yang

menitikberatkan pada pengembangan tema dan kategori-kategori yang muncul dalam

penelitian. Hasil-hasil verbatim dari wawancara mendalam diklasifikasikan, dikoding, dan

dianalisis sesuai dengan tema-tema yang muncul di sesuai dengan tujuh dimensi sub-sistem

kesehatan seperti; Manajemen, Informasi & Regulasi Kesehatan, Pembiayaan Kesehatan,

Sumber Daya Manusia (SDM), Informasi Strategis, dan Pemberdayaan Masyarakat. Setiap

data yang didapat diklasifikasikan sesuai kata kunci yang dipersiapkan sebelumnya dalam

setiap dimensi sub-sistem. Dalam mengukur integrasi beberapa pertanyaan reflektif

disiapkan untuk membantu peneliti dalam memberikan penilaian terhadap situasi

penanggulangan HIV dan AIDS yang terjadi di DKI Jakarta. Penentuan tingkat integrasi

mengacu pada prinsip-prinsip yang digunakan pada penelitian sebelumnya (Conseil et al.,

2010; Desai et al., 2010).

Page 20: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

18

E. Keterbatasan Penelitian

Terdapat beberapa keterbatasan dalam studi ini yang perlu dicermati dalam membaca hasil

penelitian. Pertama, metode diskusi kelompok terarah tidak dilakukan dalam studi ini sebagai

salah satu metode pengambilan data yang awalnya direncanakan. Hal ini menyebabkan hasil

studi tidak dapat melihat kesepakatan antar pemangku kepentingan di DKI Jakarta mengenai

sistem kesehatan yang berlaku dalam intervensi HIV. Kedua, beberapa informan yang turut

diambil datanya juga bekerja dalam lingkup nasional. Hal ini menyebabkan beberapa

informasi yang diberikan tidak bisa secara spesifik mengacu pada kondisi intervensi di DKI

Jakarta. Hal ini terjadi mengingat karakteristik DKI Jakarta yang selain sebagai sebuah provinsi

mandiri namun juga adalah ibukota negara di mana para penggiat HIV berkumpul dan bekerja

dalam lingkup nasional berdomisili di DKI Jakarta dan mengetahui situasi penanggulangan HIV

dan AIDS di provinsi ini. Ketiga, informasi dari kategori pemberi layanan berjumlah minim

sehingga gambaran lengkap dan konfirmasi mengenai situasi dalam pemberian layanan HIV

tidak dapat terkonfirmasi dari berbagai pihak. Keterbatasan yang ada sebisa mungkin

dilengkapi melalui data sekunder yang bersumber dari dokumen pencapaian program terkait

HIV di DKI Jakarta sehingga dapat memberikan gambaran yang utuh mengenai situasi

penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta.

Page 21: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

19

III. HASIL PENELITIAN

A. Konteks kebijakan dan penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta

Provinsi DKI Jakarta merupakan ibukota Indonesia yang terdiri dari enam struktur wilayah

administrasi yang terdiri dari lima kota administrasi (Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta

Timur, Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat) dan satu kabupaten yaitu Kepulauan Seribu. Secara

paralel DKI Jakarta memiliki 44 kecataman dan 267 kelurahan (BPS, 2014). Jumlah penduduk

pada 2014 10.075.300 dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.06. Jakarta merupakan

daerah padat penduduk dengan jumlah kepadatan 15.212 jiwa per km². Jumlah penduduk

miskin sebesar 393,900 atau sebesar 3.92% dari total populasi di DKI Jakarta. Jumlah

pendapatan DKI Jakarta pada 2013 terhitung besar, dengan kemampuan untuk mengelola

pendapatan daerah sebesar 39.5 trilyun. Dari jumlah tersebut 10% dialokasikan untuk

kesehatan, termasuk HIV dan AIDS. Tingkat pendidikan di DKI Jakarta terhitung tinggi bila

dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Rata-rata penduduk DKI Jakarta bersekolah

selama 11 tahun dengan angka melek huruf sebesar 99.22% (BPS, 2014).

Berdasarkan UU Nomor 29 tahun 2007, DKI Jakarta berstatus istimewa yang menyebabkan

seluruh kebijakan mengenai pemerintahan maupun anggaran ditentukan pada tingkat

provinsi1. Hal ini berdampak pada pengelolaan layanan kesehatan di DKI Jakarta. Dinas

Kesehatan Provinsi (Dinkes) memiliki kewenangan dan kewajiban dalam mengeluarkan

kebijakan dan mengatur penyediaan semua pelayanan dan bahan medis. Di tingkat

kotamadya, Dinkes bekerja melalui Suku Dinas Kesehatan (Sudinkes) dan Unit Pelayanan

Teknis (UPT) dalam menjalankan layanan kesehatan. Khusus untuk respon HIV dan AIDS, KPAP

memiliki tugas utama sebagai lembaga koordinasi yang menjadi poros komunikasi dan

perencanaan program terkait HIV dan AIDS dengan SKPD lain di DKI Jakarta. Serupa dengan

Dinkes, KPAP juga memiliki “kepanjangan tangan” di tingkat kotamadya, yaitu Komisi

Penanggulangan AIDS Kota (KPAK). Sudinkes dan KPAK bekerja sama dalam melakukan

implementasi program HIV dan AIDS di tingkat kotamadya.

Dalam konteks jaminan kesehatan, Provinsi DKI Jakarta memiliki jaminan kesehatan untuk

warganya melalui payung hukum Peraturan Gubernur DKI Jakarta No.123 tahun 2014 tentang

peserta dan pelayanan jaminan kesehatan menyebutkan di pasal 18 bahwa pelayanan tingkat

1 Lihat Pasal 9 UU no.29/2007 ttg Daerah Khusus Ibukota

Page 22: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

20

pertama termasuk pelayanan HIV dan AIDS dan pelayanan harm reduction (HR). Renstra

Dinkes 2013-2017 no.1324 tahun 2013 menyatakan bahwa prioritas urusan wajib yang

dilaksanakan Dinkes terkait program pencapaian penanggulangan penyakit menular secara

gamblang termasuk pengobatan, dukungan dan perawatan bagi orang yang hidup dengan HIV

dan AIDS (ODHA) serta monitoring jumlah kasus AIDS. Renstra juga menyebutkan bahwa salah

satu sasaran jangka menengah pemda DKI Jakarta adalah menurunnya angka kesakitan akibat

penyakit menular dengan terkendalinya prevalensi HIV pada populasi dewasa menjadi di

bawah 0.5%. Sebagai indikator dari RPJMD adalah persentase layanan kesehatan pada ODHA

baik akses layanan kesehatan ODHA dan proporsi jumlah penduduk usia 15 sampai 24 tahun

yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS, mengikuti Inpres No.3 tahun

2010 mengenai pembangunan yang berkeadilan yang pada saat itu ditetapkan untuk

menguatkan pencapaian Milennium Development Goals (MDGs) khususnya target nomor 6

tentang HIV dan AIDS.

B. Situasi epidemi dan perilaku berisiko terkait HIV dan AIDS di DKI

Jakarta

Prevalensi HIV di DKI Jakarta termasuk tinggi bila dibandingkan dengan provinsi lain, kecuali

Papua. Kemkes (2012) menyatakan prevalensi HIV adalah 1.03 persen sekitar 0.4 persen lebih

tinggi bila dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Tingkat prevalensi ini masih memiliki

kecenderungan untuk meningkat dalam beberapa tahun kedepan (Asia Epdemic Model - AEM

2012). Situasi epidemi HIV di DKI Jakarta digolongkan dalam kategori epidemik terkonsentasi.

Status ini didapat dari kasus penularan HIV yang tinggi pada sub-populasi tertentu yang

memiliki perilaku beresiko tertular HIV lebih tinggi bila dibandingkan dengan populasi umum

lainnya.

Tabel 2 menunjukan tingkat prevalensi HIV dan infeksi menular seksual (IMS) di DKI Jakarta

per populasi kunci yang diolah dari Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) tahun 2011.

Penasun memiliki tingkat prevalensi tertinggi di DKI Jakarta (56%) dengan Waria (31%) dan

LSL (17%) di urutan kedua dan ketiga. Namun dalam konteks penularan IMS situasi ini

berbeda dimana kelompok WPSL memiliki tingkat prevalensi tinggi terutama dalam gonorhoe

(GO) dan atau chlamidia (51%) dan WPSTL (45%). Untuk tingkat prevalensi sifilis, Waria (31%)

dan LSL (17%) tetap tinggi dibandingkan dengan kelompok populasi kunci lainnya. Dari

Page 23: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

21

ketujuh sub-populasi kunci yang ada, penasun memiliki pengetahun komprehensif yang

paling tinggi (30.8%) disusul dengan waria (29.2%), dengan kelompok lelaki beresiko tinggi

(LBT) dengan pengetahuan komprehensif terendah (3.3%). Dengan situasi ini tidak heran bila

prevalensi HIV pada ibu hamil jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan pekerja seks tidak

langsung (5.2% dan 5%). Sayangnya data mengenai tingkat pengetahuan komprehensif pada

ibu hamil tidak tersedia.

Tabel 2. Data Prevalensi HIV dan IMS DKI Jakarta

Populasi Kunci

Prevalensi HIV (%)

Prevalensi Sifilis (%)

Prevalensi GO (%)

Prevalensi GO dan/atau Chlamidia (%)

% Pengetahuan komprehensif

WPSL 11.0 5.0 n/a 51 8

WPSTL 5.0 2.0 36 45 15.6

LBT 0.3 5.0 18 3.3

Waria 31 31 n/a 38 29.2

LSL 17.0 17 25 28 22.8

Penasun 56.0 4.0 18 n/a 30.8

Ibu Hamil 5.2 0.4* n/a n/a n/a Sumber: STBP 2011

*data tahun 2008

Prevalensi HIV di DKI Jakarta memberikan dampak kesehatan yang cukup serius. Dari kasus

HIV yang terlaporkan, sebanyak 22.8% masuk ke dalam tahap AIDS dengan case rate kematian

akibat AIDS mencapai 59.7% (Kemkes, 2014). Hal ini terjadi karena diduga akibat dari tingkat

pengobatan ARV yang masih cukup rendah. Hanya 81% dari ODHA yang sudah memenuhi

syarat untuk memulai terapi ARV yang pernah menjalankan ARV. Itupun, hanya 58% yang

masih aktif menggunakan ARV sampai dengan periode data ini dikeluarkan. Angka loss to

follow up ARV di DKI Jakarta cukup tinggi dan mempengaruhi tingkat kesehatan ODHA.

C. Respon penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta

DKI Jakarta memiliki respon penanggulangan HIV yang cukup baik. Beberapa arahan program

yang tertuang dalam rencana strategi nasional baik di KPAN dan Kemkes diadaptasi oleh

provinsi. Hal ini turut berkontribusi dalam mendorong ketersediaan layanan terkait HIV di DKI

Jakarta. Sampai dengan tahun 2012, KPAP DKI Jakarta mendokumentasikan berbagai layanan

HIV yang tersedia di setiap kotamadya (lihat table 3). Berdasarkan data tersebut dapat dilihat

bahwa penyebaran layanan terkait HIV telah merata di setiap kotamadya. Selain itu, terlihat

Page 24: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

22

bahwa lingkup respon penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta meliputi tiga komponen

besar, yaitu: pecegahan, perawatan, dan pengobatan. Layanan yang tersedia dilakukan oleh

puskesmas dan rumah sakit.

Tabel 3. Layanan terkait HIV per kotamadya di DKI Jakarta

Layanan Jak-Pus Jak-Ut Jak-Bar Jak-Sel Jak-Tim

Jumlah (2012)

Layanan konseling dan tes HIV sukarela (VCT/HTC)

13 7 9 8 10 55

Layanan infeksi menular seksual (IMS)

8 6 8 7 10 39

Layanan program terapi rumatan metadon (PTRM)

5 2 3 2 6 18

Layanan program pertukaran jarum suntik steril (LASS)

8 6 8 8 8 38

Layanan pencegahan penularan dari ibu ke anak (PMTCT)

7 2 9 3 6 27

Layanan TB-HIV 43

Layanan PDP dan rumah sakit rujukan HIV dan AIDS*

9 5 7 4 11 24

satelit ARV di Puskesmas Kecamatan

19

Sumber: Renstra KPAP DKI Jakarta (2013) *) sumber Laporan Kasus HIV (Kemkes 2014)

Respon pencegahan terkait HIV di DKI Jakarta berfokus pada dua area, pencegahan HIV bagi

kelompok pengguna suntik melalui program pengurangan dampak buruk (LASS dan PTRM),

dan pencegahan melalui transmisi seksual. Program pengurangan dampak buruk awalnya

mengacu pada Peraturan Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat No.2/2007 yang

menyebutkan 12 komponen utama yang harus dilakukan bagi pencegahan HIV pada

kelompok penasun. Namun selanjutnya, pada tahun 2009, WHO, UNODC, dan UNAIDS

mengeluarkan pedoman baru yang mengabungkan 12 komponen tersebut menjadi 9

komponen yaitu: (1) program layanan alat suntik steril; (2) terapi substitusi opiat dan layanan

pemulihan adiksi lainnya; (3) konseling dan testing HIV; (4) terapi antiretroviral; (5)

pencegahan dan pengobatan infeksi menular seksual (IMS); (6) program kondom untuk

penasun dan pasangan seksualnya; (7) komunikasi informasi dan edukasi tersasar untuk

penasun dan pasangan seksualnya; (8) vaksinasi, diagnosis dan pengobatan hepatitis; (9)

pencegahan, diagnosis dan pengobatan tuberkulosis.

Page 25: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

23

Di DKI Jakarta, kesembilan komponen tersebut dilakukan bersama-sama antara LSM dan

Puskesmas. Peran penjangkauan lebih banyak dilakukan oleh LSM mengingat puskesmas yang

bersifat statis atau memberikan layanan lebih banyak di lokasi yang menetap. Sampai dengan

tahun 2012 tercatat 38 puskesmas yang memberikan layanan LASS dan 18 layanan PTRM yang

tersedia di DKI Jakarta. Bahkan dengan berlakukanya program proteksi sosial Jakarta Sehat,

maka penduduk Jakarta yang memiliki kartu Jakarta sehat dapat mengakses layanan

pencegahan seperti Metadon tanpa biaya. Sebelumnya, pasien metadon dibebankan biaya

sebesar Rp 5000 hingga Rp 15.000 sesuai dengan ketentuan unit pemberi layanannya

(Puskesmas atau Rumah Sakit). Pada tahun 2014 program pemulihan adiksi berbasis

masyarakat (PABM) secara resmi dilakukan di DKI Jakarta dengan diterbitkannya Pergub No.

182 tahun 2012 tentang Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat (PABM). Program PABM

adalah penatalaksanan yang bersifat medis, sosial, dan psikologis atas masalah yang

ditimbulkan akibat penggunaan NAPZA yang diselenggarakan atas inisiatif masyarakat. PABM

bertujuan meningkatkan akses layanan kesehatan dan sosial bagi penyalah guna napza,

memutus mata rantai penularan HIV yang berasal dari pengguna napza suntik, meningkatkan

kualitas hiudp pengguna NAPZA dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam

penanggulangan HIV ADIS serta penyalahgunaan NAPZA. Program ini dilengkapi dengan

Pergub No.614 tahun 2014 tentang tim pembina program pemulihan adiksi berbasis

masyarakat tingkat provinsi, untuk memastikan berjalannya program.

Sedangkan program pencegahan melalui transmisi seksual di DKI Jakarta mulai berkembang

sejak adanya hasil Kajian Paruh Waktu KPAN mengidentifikasi peningkatan penularan infeksi

melalui transmisi seksual terutama pada kelompok LSL serta Pekerja Seks2. Dengan

menggunakan intervensi struktural sebagai fondasi program PMTS yaitu Pencegahan Melalui

Transmisi Seksual sebagai pendekatan yang komprehensif dengan 4 komponen3: (1)

Peningkatan peran positif pemangku kepentingan lokal untuk lingkungan yang kondusif, (2)

Komunikasi perubahan perilaku yang berazaskan pemberdayaan, (3) Jaminan ketersediaan

dan akses kondom dan pelicin dan (4) Manajemen IMS yang komprehensif. Sumber-sumber

pembiayaan program HIV and AIDS termasuk PMTS masih didominasi donor internasional

dengan share-cost logistik untuk obat-obatan IMS menggunakan APBN/ABPD dengan

2 Laporan 5 tahun kpan 3 Pedoman Penerpan Layanan Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan, Kemkes, 2012

Page 26: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

24

proporsi 40% oleh pusat dan 60% daerah. Pada tahun 2012 tercatat 39 tempat layanan di DKI

Jakarta yang memberikan perawatan dan pengobatan IMS. Data Jakarta information system

milik KPAP DKI Jakarta mencatat terdapat 996 outlet kondom yang tersebar di DKI Jakarta.

Pada tahun 2012, Kemkes RI bersama KPA Nasional meluncurkan Layanan Komprehensif

Berkesinambungan (LKB) sebagai upaya yang meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan

rehabilitatif sebagai layanan terpadu dan berkesinambungan untuk memberikan dukungan

baik aspek manajerial, medis, psikologis maupun sosial bagi ODHA dan masyarakat yang

membutuhkan dengan melibatkan seluruh sektor terkait, masyarakat termasuk swasta,

kader, LSM, kelompok dampingan sebaya, ODHA, keluarga, PKK, tokoh adat, tokoh agama dan

tokoh masyarakat serta organisasi/kelompok yang ada di masyarakat. LKB/SUFA bertujuan

menurunkan jumlah kasus baru HIV, menurunkan angka kematian, dan menurunkan stigma

dan diskriminasi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup ODHA (three zeroes). Secara

implementatif pembagian antara LSM dan pemerintah adalah dimana LSM mendorong

masyarakat untuk bisa mengakses layanan sedangkan untuk penyediaan layanan adalah tugas

dinkes.

Program perawatan dan pengobatan terkait HIV mulai dilakukan secara intensif sejak 2013,

Kemkes meluncurkan inisiatif Strategic Use of ARV (SUFA) yang bertujuan meningkatkan

cakupan tes HIV, meningkatkan cakupan ART serta meningkatkan retensi terhadap ART.

Dalam implementasinya, SUFA menekankan pada TOP - Temukan, Obati, dan Pertahankan,

sebagai pendekatan dan slogan yang digunakan untuk meningkatkan pemahaman status HIV

serta pemberian pengobatan ARV sedini mungkin bagi semua populasi yang berisiko

terinfeksi. SRAP DKI Jakarta menyebutkan pengembangan jaminan kualitas layanan

perawatan dan pengobatan terkiat HIV melalui peningkatan ketersediaan tenaga kesehatan

yang berkualitas, menjamin ketersediaan dukungan logistik obat, dan peningkatan peran

layanan berbasis masyarakat sebagai pelengkap dari layanan yang disediakan oleh

pemerintah. Target SRAP 2013-2017 untuk perawatan dan pengobatan adalah 100% ODHA

yang membutuhkan pelayanan dan pengobatan ARV dapat terlayani. Sampai dengan 2012

terdapat 24 layanana PDP, 12 satelit ARV, 27 layanan PMTCT dan 55 layanan tes HIV yang

tersedia di seluruh kotamadya di DKI Jakarta.

Page 27: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

25

Pengobatan untuk warga DKI Jakarta dibantu oleh jaminan kesehatan dari pemerintah daerah

namun untuk pembayaran sangat tergantung dengan layanan yang diakses dan Puskesmas

yang bersangkutan, kadang kalau butuh pemeriksaan tambahan yang tidak masuk dalam

asuransi sehingga tetap harus bayar, inipun juga tergantung petugas, yang sudah biasa

dengan populasi kunci bisa membantu untuk gratis. Disamping itu, lembaga (LSM) pun bantu

membayar kekurangan biaya pengobatan. Dengan sistem BPJS yang sifatnya nasional ada

yang menerima bantuan iuran dan ada yang non iuran, selebihnya peserta askes, jamsostek

yang otomatis ada jaminan kesehatan. Namun JKN melalui BPJS belum menanggung semua

layanan HIV, contohnya untuk ARV tidak ditanggung, hasil perhitungan biaya yang diperlukan

untuk pengobatan sekitar Rp. 20 jt pertahun sedangkan BPJS hanya sanggup 16 juta per tahun

dan belum ada kesepakatan untuk meningkatkan tanggungan dari BPJS. Saat ini untuk ARV

masih ditanggung oleh APBN. Sedangkan semua fasilitas yang ada di lapas gratis, bila

membutuhkan rujukan bisa menggunakan BPJS dan di tanggung namun bisa juga ditawarkan

ke pasien bila memilih fasyankes yang lain mereka bisa bayar sendiri.

Gubernur DKI Jakarta menginginkan semua warga dapat mengetahui status HIV-nya sehingga

dipersiapkan layanan agar mencukupi, sejauh ini ada 28 puskesmas yang siap serta semakin

meningkat permintaan RS swasta untuk dapat membuka layanan HIV. Namun populasi kunci

masih menjadi fokus perhatian utama saat ini ditambah ibu hamil dan pasangan. Untuk

memfasilitasi terwujudnya target-target tersebut, di DKI Jakarta sudah hampir semua

Puskesmas kecamatan sudah ada staf yang terlatih. Yang menjadi persoalan adalah menjaga

kelanjutan dari program-program ini sebagaimana disebutkan salah satu informan bahwa

salah satu hambatan implementasi program adalah masih banyak populasi kunci atau

masyarakat yang sulit mendapatkan akses yang terjangkau. Contoh pada PPIA, banyak ibu

dengan anak yang sulit memeriksakan viral load karena kendala biaya, padahal dia juga harus

menyusui anaknya. Selain itu banyak masalah di masyarakat karena masih sangat minimnya

informasi yang tepat mengenai HIV dan AIDS.

Peraturan Menkes no.21 tahun 2013 tentang penanggulangan HIV dan AIDS menyebutkan

bahwa mitigas dampak merupakan upaya untuk mengurangi dampak kesehatan dan sosial

ekonomi. Ditambahkan bahwa tanggungjawab ini merupakan upaya bersama pemerintah

(Pusat dan daerah), swasta dan masyarakat untuk mendukung ODHA dan keluarga

menghadapi dampak-dampak akibat penularan HIV dengan memberikan jaminan kesehatan,

Page 28: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

26

program bantuan, menghilangkan stigma dan diskriminasi serta memberdayakan ODHA dan

keluarga melalui keterlibatan yang lebih bermakna di dalam penanggulangan. Sedangkan

SRAN 2015-2019 (masih menunggu penetapan) menetapkan target perluasan cakupan

mitigas dampak adalah agar orang terinfeksi atau terdampak HIV, termasuk anak, janda,

Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang membutuhkan, memiliki akses untuk mitigasi

dampak termasuk kesehatan, pendidikan, psikososial dan pemberdayaan ekonomi. Sebagai

warga (maupun bukan) mendapat hak akses layanan kesehatan yang sama. Bagi kelompok

yang rentan, pemerintah menyediakan bantuan berupa makanan tambahan, dimana pada

rencana APBD 2014 dinas sosial DKI Jakarta memberi santunan kepada 200 ODHA (beras,

vitamin, susu) dan 180 anak ODHA serta bimbingan dan pelatihan 20 ODHA4.

Kementerian sosial pun memiliki Rehabilitasi Sosial adalah proses refungsionalisasi dan

pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya

secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Integrasi sosial ODHA adalah adaptasi ODHA

dalam lingkungan keluarga dan masyarakat sehingga tidak mengalami diskriminasi dalam

kehidupan bermasyarakat5.

D. Analisa pemangku kepentingan penanggulangan HIV AIDS

Banyak pemangku kepentingan yang terlibat dalam respon penanggulangan HIV AIDS di DKI

Jakarta. Setiap aktor memiliki peran dan kepentingan yang spesifik, baik secara normatif

ataupun sesuai implementasi di lapangan, dengan kepentingan dan tingkat sumber daya yang

berbeda-beda. Pemangku kepentingan adalah bagian krusial dari sebuah sistem, dalam

konteks ini sistem kesehatan yang berkaitan dengan respon HIV dan AIDS. Dengan melakukan

analisa kepentingan dari setiap aktor, dapat membantu untuk memahami bagaimana

interaksi antara setiap pemangku kepentingan dalam respon HIV dan AIDS memengaruhi

suatu kebijakan atau sistem kesehatan di DKI Jakarta. Berdasarkan hasil pengolahan data,

terdapat beberapa pemangku kepentingan mulai dari perangkat daerah seperti Dinkes,

masyarakat sipil seperti LSM, jaringan populasi kunci, MPI termasuk lembaga PBB dan

lembaga donor, serta UPT seperti puskesmas dan lembaga pemasyarakatan. Dari hasil

pengolahan data yang terkumpul, ditambah dengan data sekunder, maka dapat dipetakan

4 http://kpap.jakarta.go.id/media/download/LI_arah-kebijakan-penanggulangan-hiv-aids-dki-jakarta-2015-_20150831175058.pdf 5 http://www.kemsos.go.id/unduh/artikel%20SAM%20INTEGRASI%20SOSIAL%20ODHA.pdf

Page 29: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

27

peran, kepentingan serta kekuasaan para pemangku kepentingan termasuk seberapa tinggi

atau rendah posisi setiap pemangku kepentingan.

Berdasarkan Perda No. 4 tahun 2009 tentang sistem kesehatan daerah, upaya kesehatan

masyarakat (UKM) adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah, masarakat, dan

swasta untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah dan menanggulangi

timbulnya masalah kesehatan di masyarakat. HIV dan AIDS masuk dalam target UKM sebagai

salah satu upaya untuk pencegahan dan pemberantasan penyakit menular. Puskesmas dan

masyarakat termasuk salah satu pelaksana UKM di strata pertama. Dalam kebijakan yang

lebih spesifik, Perda No.5 tahun 2008 tentang penanggulangan HIV dan AIDS dikatakan bahwa

upaya penanggulangan HIV dan AIDS diselenggarakan oleh masarakat dan pemerintah

dengan prinsip kemitraan. Masyarakat adalah pelaku utama dalam respon HIV yang berperan

untuk mendistribusikan informasi, menciptakan lingkungan kondusif, terlibat dalam

peningkatan kapasitas pencegahan dan PDP. Seluruh kegiatan tekait HIV dan AIDS di DKI

Jakarta harus dikordinasikan dengan KPAP/K. Peran KPAP/K sendiri diperjelas dalam Pergub

No 231 tahun 2015 sebagai pengganti Pergub No. 26 tahun 2012 yang menyakatakn bahwa

KPAP adalah lembaga nonstruktural yang berkedudukan di provinsi di bawah gubernur. Tugas

utama KPAP adalah menyusun strategi dan rencana aksi HIV, penyusun kebijakan dan

program, melaksanakan kerja sama dengan multi pihak, mengoordinasikan, memantau

mengevaluasi serta memberikan arahan terkait KPAK. Pada dasarnya KPAK adalah instansi

non-struktural yang bekerja khusus sesuai kewilayahan kotamadyanya dan bertugas sebagai

pelaksana SRAN dan kebijakan serta berkordinasi dengan pemangku kepentingan terkait HIV

di wilayahnya.

Berdasarkan Permenkes no 21 tahun 2013 tugas dan tanggung jawab Dinkes dalam

penanggulangan HIV AIDS meliputi melakukan kordinasi penyelenggaranan upaya

pengendalian dan penanggulangan, menetapkan situasi epidemik HIV, menyelenggarakan

sistem pencatatan, pelaporan, evalasi dan menjamin ketersediaan layanan di tingkat primer.

Selain itu KPAK bertugas untuk mengkordinasikan kerjasama dari seluruh kegiatan yang

dilakukan oleh LSM, jaringan populasi kunci dan MPI. Sumber dana HIV dan AIDS dapat

diberikan oleh MPI sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dinkes juga bertanggung jawab

untuk melakukan kompilasi dan analisis dari laporan kasus untuk pengambilan kebijakan.

Page 30: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

28

Bila dilihat lebih spesifik berdasarkan aturan normatif dan hasil pengolahan data di lapangan,

maka peran dari setiap pemanggu kepentingan dapat digambarkan sebagai berikut:

Dinkes memiliki kekuasaan dan kepentingan yang sangat tinggi di DKI Jakarta karena instansi

ini adalah regulator jaminan pemeliharaan kesehatan, penyelenggara perencanaan dan

penyediaan kebutuhan obat dan perbekalan, bertanggung jawab dalam melakukan

pengawasan tenaga kesehatan, tempat pelayanan kesehatan, mengelola dan pemanfaatan

biaya pelayanan kesehatan, dan penyelegaraan pelayanan kesehatan setiap UPT. Sebagai

intansi struktural, Dinkes dapat mengakses dana APBD sesuai dengan kebutuhannya,

berdasarkan rencana strategis dan analisa hasil pelaporan yang dilakukan. Dalam melakukan

tugasnya, Dinkes dibantu oleh Sudinkes yang bertugas sebagai pelaksana regulasi dari Dinkes

dan berfungsi sebagai pengawas masalah kesehatan di daerahnya. Kepentingan Sudinkes

dalam respon HIV AIDS dapat dikategorikan tinggi namun memiliki kekuasaan yang rendah

karena hanya sebagai pelaksana. Dalam melakukan tugasnya, Sudinkes memiliki Puskesmas

sebagai pelaksana teknis layanan kesehatan. Kegiatan supervisi dan bimbingan teknis menjadi

salah satu tugas Sudinkes. Puskesmas bertugas untuk memberikan pelayanan kesehatan,

melakukan perencanaan, pengawasan dan pengendalian pelaksanaan UKM di wilayahnya,

bekerjasama dengan lintas sector dan masyarakat, memberikan dukungan sistem informasi,

memberikan dukungan perencanaan obat. Sebagai pelaksana teknis, Puskesmas memiliki

kekuasaan untuk mengatur dana BLUD untuk manggulangi permasalahan kesehatan di

daerahnya. Dalam konteks ini, Puskesmas dapat dikagorikan memiliki kekuasan dan

kepentingan tinggi.

Sebagai lembaga non-struktural, KPAP memiliki kekuasaan dan kepentingan yang tinggi

dalam respon HIV AIDS di DKI Jakarta. Lembaga ini dapat mengakses dana hibah APBD untuk

melaksanakan mandatnya, seluruh instansi yang melakukan upaya penanggulangan HIV dan

AIDS harus melakukan kordinasi sebelumnya dengan KPAP. Selain itu, KPAP memiliki

kewenangan untuk menentukan arah dan strategi penanggulangan HIV dan AIDS di DKI

Jakarta melalui SRAP yang menjadi salah satu tanggungjawab utamanya. Karena KPAP

bertindak dalam lingkup provinsi, dalam melakukan tugas di tingkat kotamadya instansi ini

dibantu oleh KPAK yang bertindak sebagai pelaksana dari SRAP yang telah dibuat dan

membantu melakukan kordinasi dengan pemangku kepentingan lain di daerahnya. KPAK

mendapatkan dukungan pendanaan dari KPAP dalam menjalankan tugasnya. Sesuai dengan

Page 31: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

29

peran dan fungsinya KPAK dapat dikategorikan memiliki kepentingan yang tinggi namun

kekuasaan yang rendah dalam respon HIV di DKI Jakarta.

LSM sebagai bagian dari unsur masyarakat adalah pelaku utama dalam respon HIV dan AIDS.

Mandat organisasi yang tercantum dalam visi dan misi lembaga yang bekerja di bidang HIV

dan AIDS membuat LSM memiliki kepentingan yang tinggi dalam respon ini. Namun

kekuasaan yang dimiliki LSM masuk dalam kategori rendah mengingat pendanaan untuk

kegiatan yang dilakukannya bergantung dari sumber dana MPI. Walaupun LSM dinilai sebagai

mitra potensial dalam respon HIV namun keterlibatan dalam perencanan dan evaluasi

program masih terbatas memberikan masukan dan saran. Keputusan akhir tetap berada di

tangan instansi pemilik modal atau pemegang kekuasaan di daerah. Situasi ini serupa dengan

yang dialami oleh Jaringan Populasi Kunci yang memiliki kepentingan tinggi karena isu HIV

sangat dekat dengan kehidupannya namun kekuasaan jaringan populasi kunci dapat

dikatakan rendah. Peran populasi kunci adalah sebagai organisasi perwakilan penerima

manfaat yang diminta untuk memberikan masukan terkait program namum tetap dilihat

sebagai bagian dari penerima manfaat dan bukan pelaku utama. Berbeda dengan ODHA

sebagai penerima manfaat individu dari program HIV. Kekuasaan dan kepentingan mereka

dapat dikategorikan rendah. Peran yang dilakukan lebih untuk mengakses layanan demi

kepentingan individual dan sebatas menerima layanan yang tersedia. Sebagai individu,

kekuasaan mereka untuk bertindak sangat terbatas dan bergantung pada pemberi layanan

yang menyediakan akses.

MPI sebagai pemilik dana dapat dikategorikan memiliki kekuasan dan kepentingan yang tinggi

dalam respon penanggulangan HIV di DKI Jakarta. Keberadaan MPI sebagai salah satu mitra

dalam respon HIV sudah diakui dalam kebijakan terkait HIV di Indonesia. Dukungan

pendanaan dan teknis program yang diberikan MPI kepada pemerintah dan LSM

memposisikan organisasi ini dapat menentukan arah dan strategi program HIV di DKI Jakarta.

Berbeda dengan lembaga PBB yang memiliki kepentingan tinggi namun kekuasaan rendah.

Secara mandat organisasi ini berkepentingan untuk terlibat dalam respon HIV dan AIDS

namun sesuai dengan posisinya maka ranah kerja lebih berfokus pada upstream policy di

tingkat pusat. Kekuasaannya untuk menentukan arah respon pada tingkat provinsi dapat

dikatakan rendah. Sedangkan CSR perusahaan swasta memiliki posisi sebaliknya. Sebagai

pemilik modal mereka memiliki kekuasaan yang tinggi namun kepentingan yang rendah. Isu

Page 32: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

30

HIV bukanlah mandat utama yang dikerjakan hanya lebih berupa bagian dari kegiatan sosial

yang dilakukan perusahaan. CSR dapat dengan leluasa memilih isu mana yang akan didukung,

terutama yang bisa dikaitkan dengan produk perusahaan. Peta posisi kekuasaan dan

kepentingan setiap pemangku kepentingan dalam respon HIV dan AIDS di DKI Jakarta dapat

terlihat dalam gambar 2.

Gambar 2. peta analisa pemangku kepentingan

E. Peran Perguruan Tinggi

Keterlibatan perguruan tinggi (PT) dalam respon HIV dan AIDS masih dinilai terbatas oleh

informan dalam studi ini. Saat ini keterlibatan PT lebih banyak berfokus pada melakukan

penelitian, baik sebagai pihak yang diminta untuk membantu kebutuhan penelitian, misalnya

melakukan kajian, evaluasi program, dan/atau terlibat sebagai narasumber dalam pembuatan

Renstra HIV dan AIDS, ataupun sebagai pihak yang memiliki kebutuhan untuk melakukan

penelitian terkait isu HIV dan AIDS seperti skrispsi mahasiswa. Selain itu, pengetahuan yang

dihasilkan dari penelitian yang dilakukan masih dianggap sebagai “menara gading” mengingat

belum dapat tersosialisasikan dan termanfaatkan dengan baik untuk mendukung

pelaksanaan program HIV dan AIDS di DKI Jakarta.

“Hasil penelitian perguruan tinggi masih menara gading, belum implementatif merespon situasi lapangan…. Keterlibatan masih bersifat tokoh/personal seperti di Bali ada Prof Wirawan, tetapi sebagai institusi UNUD belum teruji” (R15)

Tinggi

Jaringan Ponci KPAP

LSM MPI

KPAK Dinkes

Sudinkes

Lembaga PBB Puskesmas

CSR perusahaan

ODHA

TinggiRendah

Ke

pe

nti

ng

an

Kekuasaan

1

3

2

4

Page 33: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

31

Informan melihat PT sebagai potensi yang dapat berkontribusi lebih dalam respon HIV dan

AIDS di DKI Jakarta. Pihak akademisi dinilai memiliki sumber pengetahuan yang kaya terkait

metodologi, hasil kajian dan pemikiran yang kritis. Maka, seharusnya peran PT bisa lebih

ditingkatkan lagi dari sekedar terlibat dalam penelitian. Bila digabungkan, terlihat dua pola

masukan untuk meningkatkan peran perguruan tinggi dalam isu HIV dan AIDS, pertama aktif

terlibat dalam pre-service education untuk memastikan terciptanya SDM medis yang

berkualitas untuk mendukung pelayanan HIV dan AIDS. Misalnya dengan memasukan

kurikulum terkait HIV di fakultas kedokteran atau menempatkan residen dalam pelayanan HIV

dan AIDS. Kedua, memberikan masukan strategis bagi respon HIV dari sisi akademis seperti

menjadikan hasil penelitian sebagai acuan dalam pengambilan keputusan yang dapat

menentukan arah respon penanggulangan HIV dan AIDS, terlibat dalam perencanaan

program, ataupun keterlibatan lebih bermakna pihak akademisi dalam Musrenbang.

“…seharusnya dalam hal mempersiapkan SDM bisa tapi yang menjadi masalah apakah sdm nya mau, sejauh ini belum banyak terlibat di program penanggulangan HIV kecuali penelitian” (R10)

“sebenarnya banyak penelitian yang dilakukan PT namun sejauh ini belum ada yang menunjukkan hasilnya dimanfaatkan atau dijadikan acuan dalam mengambil keputusan misalnya oleh KPA” (R16)

Beberapa hambatan yang dinyatakan oleh Informan sebagai kendala untuk melibatkan PT

lebih bermakna adalah pihak universitas memiliki kewenangan untuk menentukan prioritas

kurikulumnya sendiri. Bila isu HIV tidak menjadi prioritas maka kemungkinan untuk masuk

dalam kurikulum pendidikan menjadi sulit. Selain itu, pihak akademisi dinilai masih perlu

untuk memperdalam pemahaman dan memperbaharui keilmuan yang dimilki terutama

dalam konteks komponen implementasi program-program terkait HIV yang sedang dijalankan

di lapangan. Hal lain adalah keterbatasan dana untuk melakukan penelitian mandiri yang

dibiayai langsung PT berpotensi untuk mengurangi kualitas penelitian yang dilakukan.

Terdapat sedikit kekhawatiran untuk menjaga populasi kunci HIV terhindari dari objek

penelitian yang dilakukan oleh pihak akademisi.

Page 34: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

32

F. Pola Integrasi di DKI Jakarta

Bagian ini akan menggambarkan pola intergasi sistem kesehatan terkait dengan HIV yang ada

di DKI Jakarta. Pola integrasi akan dilihat dari beberapa sub-sistem yang masing-masing

memiliki beberapa dimensi yang menyertai, sebagai berikut:

1. Gambaran integrasi berdasarkan sub sistem kesehatan di DKI Jakarta

a. Manajemen, Informasi dan Regulasi Kesehatan Penanggulangan HIV

i. Regulasi

Dukungan landasan hukum dalam penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta sudah cukup

kuat. Provinsi ini memiliki dua regulasi utama, yaitu Perda No. 4 tahun 2009 tentang Sistem

Kesehatan Daerah (SKD) dan Perda No.8 tahun 2008 tentang penanggulangan HIV dan AIDS.

Tersedianya dua regulasi ini lantas membuahkan dua dokumen utama yang menjadi panduan

dalam memberikan respon penanggulangan HIV dan AIDS, yaitu Rencana Strategis (Renstra)

Dinas Kesehatan No 1234 tahun 2013 dan Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP)

Penanggulangan HIV dan AIDS Provinsi DKI Jakarta 2013-2017. Dokumen regulasi SKD dibuat

dengan tujuan untuk memberikan arah, pedoman, landasan dan kepastian hukum bagi setiap

pemangku kepentingan pembangunan kesehatan daerah sehingga seluruh pemangku

kepentingan dapat bekerja secara sinergis dan berdaya guna untuk mencapai derajat

kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.6 Pemberantasan penyakin menular, dalam konteks

ini HIV, sudah termasuk sebagai salah satu program prioritas di DKI Jakarta.

Sedangkan ruang lingkup penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta berdasarkan Perda

No.5 tahun 2008 mencakup umum, promosi, pencegahan, pengobatan dan perawatan dan

dukungan. Upaya pencegahan dilakukan melalui peningkatan pengetahuan tentang tata cara

pencegahan, penularan dan akibat yang ditimbulkan serta penyediaan layanan kesehatan

yang dapat mencegah penularan HIV7. Sedangkan pengobatan ditujukan untuk ODHA

didukung dengan pendekatan perawatan berbasis keluarga, masyarakat, serta dukungan

pembentukan persahabatan ODHA. Yang termasuk pengobatan adalah tindakan pengobatan,

tes HIV, yang wajib diberikan oleh setiap penyedia layanan kesehatan secara wajib dengan

6 Lihat Pasal 2 dan 3 Perda DKI Jakarta No. 4/2009 tentang Sistem Kesehatan Daerah. 7 Lihat pasal 13 Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 5/2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS

Page 35: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

33

azas kerahasiaan8. Sedangkan Perawatan dilakukan melalui pendekatan klinis, agama dan

pendekatan berbasis keluarga dan masyarakat tanpa diskriminasi. Bentuk dukungan dapat

dilakukan oleh masyaratak dan sector terkait memalui pemberdayaan ODHA9. Perda ini juga

melegitimasi peran KPAP sebagai leading sector dalam kordinasi seluruh program HIV dan

AIDS di DKI Jakarta10.

Tabel 4. Daftar Kebijakan terkait HIV di DKI Jakarta

Kategori Daftar Regulasi terkait HIV di DKI Jakarta

Kepemimpinan 1. SK Walikota Jakarta Utara No.15/2008 ttg Susunan Organisasi KPAK 2. Pergub No.162/2009 ttg KPAP DKI Jakarta 3. SU Walikota Jakarta Barat No.48.2009 ttg Organisasi dan Tata Kerja KPAK

Jakarta Barat 4. Surat Keputusan Walikota Jakarta Utara No. 175 Tahun 2009 tanggal 19

Mei 2009 Tentang Susunan Organisasi KPAK Jakarta Utara 5. Surat Keputusan Walikota Jakarta Utara No. 782 Tahun 2010 tanggal 1

November 2010 tentang Susunan Organisasi KPAK Jakarta Utara 6. Surat Keputusan Gubernur No. 954 tahun 2010 tentang Pelimpahan

Wewenang Ketua kepada Sekretaris KPAP 7. Surat Keputusan Gubernur No. 321 tahun 2010 tentang Penunjukan

Sekretaris KPAP 8. Peraturan Gubernur No. 26 tahun 2012 tentang Komisi Penanggulangan

AIDS Provinsi dan Komisi Penanggulangan AIDS Kota

Pencegahan Pengurangan Dampak Buruk 1. Surat Edaran Kepala Dinas Kesehatan tentang Kemandirian Penganggaran

Program Harm Reduction No 3884/1.778/2009 2. Peraturan Gubernur No. 183 tahun 2012 tentang Pemulihan Adiksi Berbasis

Masyarakat 3. Surat Edaran Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta No. 63/SE/2012

tentang Layanan Jarum dan Alat Suntik Steril di DKI Jakarta PMTS 1. Surat Keputusan Walikota Jakarta Barat No. 174 tahun 2003 tentang

Penetapan Kelurahan Maphar Sebagai Pilot Proyek Penggunaan Kondom 100%

2. Surat Keputusan Walikota Jakarta Barat No. 1 tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS di Jakarta Barat

3. Surat Edaran Kepala Sudin Kesehatan Jakarta Barat No. 2522/SE/2011 tanggal 16 Juni 2011 tentang Program Komprehensif Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual

4. Surat Edaran Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan No 19/SE/2011 tentang Program Komprehensif Pencegahan HIV dan AIDS Melalui Transmisi Seksual untuk Pimpinan Usaha Industri Pariwisata di DKI Jakarta

5. Surat edaran Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan No 983/1.858.25/2011 tentang Program Pencegahan Penanggulangan IMS dan HIV Pada Tempat Hiburan di wilayah DKI Jakarta

8 Lihat pasal 17 Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 5/2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS 99 Lihat pasal 19 bagain 6 Perda DKI Jakarta No. 5/2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS 10 Lihat pasal 22 Perda DKI Jakarta No.5/2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS

Page 36: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

34

Kategori Daftar Regulasi terkait HIV di DKI Jakarta

6. Surat edaran Kelapa Dinas Pariwisata dan Kebudayaan No 12/SE/2011 tentang Program Komprehensif Pencegahan HIV dan AIDS untuk Pimpinan Usaha Industri Pariwisata Wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Utara dan Jakarta Timur.

Perawatan, Dukungan dan Pengobatan

1. Surat Keputusan Gubernur No. 248 tahun 2011 tentang Biaya Pemeriksaan Darah Khusus (CD4) di Rumah Sakit Umum Daerah dan Rumah Sakit Khusus Daerah

2. Instruksi Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 6 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Program Komprehensif Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual (PMTS) di 3 wilayah (Jakarta Pusat, Jakarta Utara dan Jakarta Timur)

3. Surat Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Nomor 5109 tahun 2012 tentang puskesmas layanan satelit Anti Retroviral dan Rumah Sakit pengampu di DKI Jakarta

Mitigasi Dampak n/a

Situasi yang mendukung

1. Peraturan Daerah No. 5 tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta

2. MoU antara KPAP DKI Jakarta dengan 6 SKPD (POLDA Metro Jaya, Dinas Sosial, Satpol PP, Dinas Kesehatan, Dinas Pariwisata, Kanwil Kemenag) dan Forum LSM tentang Kesepakatan Operasional Kondom dan Alat Suntik Bukan Menjadi Barang Bukti

3. Renstra KPAP tahun 2013-2017 Sumber: Evaluasi Program Penanggulangan HIV dan AIDS DKI Jakarta, 2008 – 2012 (KPAP, 2013)

Rangkaian regulasi ini menjadi landasan bagi pemangku kepentingan terkait HIV dan AIDS di

DKI Jakarta dalam merencanakan dan mengimplementasikan programnya, termasuk

menjamin partisipasi masyarakat didalamnya. Dokumen Renstra dan SRAP dibuat sebagai

turunan dokumen nasional yang dikeluarkan oleh Kemkes dan KPAN. Sebanyak tiga informan

menyatakan bahwa SRAP DKI Jakarta sudah digunakan sebagai acuan dalam pengembangan

program, dibuat lengkap dengan baseline dan target serta mekanisme monitoring dan

evaluasi yang akan dilakukan. Dalam pembuatannya SRAP turut melibatkan berbagai pihak,

walaupun masih ada dua informan yang mengatakan LSM tempatnya bekerja tidak dilibatkan.

Terlepas dari proses dan isi dalam dokumen, enam informan merasa implementasi SRAP

masih dianggap belum maksimal. Hal ini diduga karena program yang dijalankan kurang

memaksimalkan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) setiap SKPD dan LSM dalam

penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta seperti yang dikatakan oleh dua informan. Satu

informan mengatakan bahwa kebijakan yang dibuat lebih untuk merespon proyek yang

sedang berjalan misalnya Global Fund. Selain itu, kebijakan yang menjadi rujukan belum

dievaluasi keberhasilannya sehingga tidak ada proses pembelajaran terhadap dokumen

setelahnya. Selain itu otonomi daerah harus dipertimbangkan saat mengadopsi dokumen

rujukan nasional.

Page 37: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

35

“Renstra terkait penanggulangan HIV ada tetapi dianggap belum maksimal dan belum menjangkau sampai ke bawah…renstra seharusnya dibuat juga berdasarkan tugas dan kewajiban masing-masing SKPD dalam penanggulangan HIV, hal ini yang belum bisa dikeluarkan dalam renstra” (R6)

“Kebijakan dirumuskan lebih condong merespon project. GF basisnya pada renstra nasional KPAN” (R14)

“Sudah menggambarkan usaha penanggulangan HIV namun yang jadi masalah adalah implementasinya, ada kesan renstra hanya formalitas” (R10)

Keberadaan payung hukum dan rencana kerja memberikan dampak langsung pada

penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta. Dokumen ini menjadi acuan dalam membuat

perencanaan anggaran. Komitmen pemerintah daerah otomatis terlihat dari adanya

anggaran APBD yang disediakan untuk respon HIV dan AIDS. Laporan NASA (2012) mencatat

APBD DKI Jakarta untuk HIV pada 2012 mencapai sekitar 16 milliar rupiah. Satu informan

mengatakan sebaiknya ketersediaan dana HIV yang besar harus diiringi dengan peningkatan

SDM untuk mengelola dana tersebut agar dapat digunakan secara efektif. Dua informan

mengatakan ketersediaan regulasi tidak serta-merta mengakui peran dan fungsi LSM dan

populasi kunci.

“Sebenarnya APBD di Jakarta untuk HIV sudah cukup besar, untuk kegiatan yang dibutuhkan masyarakat, namun untuk menunjang kegiatan itu diperlukan peningkatan SDM” (R6)

“Peran SKPD lebih pada regulasi dan kebijakan, perlu mengakui adanya LSM serta fungsi dan peran mereka” (R10)

ii. Formulasi Kebijakan

Terdapat dua pendapat yang berbeda terkait proses pemuatan kebijakan terkait HIV di DKI

Jakarta. Delapan informan mengatakan bahwa pembuatan kebijakan terkait HIV dan AIDS di

DKI Jakarta telah dibentuk melalui berbagai proses. Data terkait HIV yang digunakan untuk

memformulasikan kebijakan adalah asil surveillance terkait prevalensi HIV seperti STBP,

survei sentinel, dan modeling menjadi dasar pembuatan perencanaan. Ditambah dengan hasil

capaian implementasi program seperti laporan bulanan, pemetaan populasi kunci, dan data

kasus HIV juga turut dipakai dalam perhitungan target. Proses pembuatan kebijakan terkait

HIV dilakukan oleh KPAP dan Dinkes secara bersama dengan mengundang pemangku

kepentingan terkait seperti LSM dan MPI. Dalam konteks proses pembuatan kebijakan, MPI

memberikan masukan terutama terkait praktik berbasis bukti, sekaligus melihat dukungan

Page 38: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

36

program yang tertera dalam agenda organisasi mereka. Namun disisi lain, lima informan

mengatakan bahwa penggunaan data belum dioptimalkan dalam proses perencanaan

kebijakan. Pendapat ini dilontarkan mengingat beberapa data yang digunakan bukanlah yang

hasil terbaru atau tidak mempertibangkan hasil pemetaan dengan baik atau tidak dibuat

berdasarkan hasil capaian tahun sebelumnya. Beberapa berpendapat bahwa koordinasi

terkait hasil perencanaan tidak diinformasikan kembali dengan baik kepada pemangku

kepentingan.

“Saat ini formulasi kebijakan sudah dilakukan berdasarkan data epidemi yang ada di daerah” (R16)

“Sumber informasi data…laporan bulanan, surveilan, ibbs, sentinel” (R1)

“Kritik terhadap pemerintah yang tidak mengoptimalkan data hasil pemetaan untuk perencanaan program, lebih sebagai laporan” (R15)

“Perencanaan seharusnya disesuaikan dengan hasil assessment dan evaluasi dari tahun sebelumnya, namun system pendataan masih kurang sehingga belum optimal untuk mengubah situasi yang ada” (R6, R3)

iii. Akuntabilitas

Akses publik terhadap informasi program HIV dan AIDS di DKI Jakarta belum sepenuhnya

berjalan dengan baik. Empat informan mengatakan yang sudah dilakukan terkait pemberian

informasi sebatas pada peningkatan pengetahuan HIV saja. Hal ini dilakukan melalui berbagai

cara dalam mendistribusikan informasi seperti melalui pendampingan, menggunakan

teknologi berbasis SMS, siaran radio, media sosial, media dan KIE yang dikeluarkan oleh

Kemkes, KPAn ataupun MPI. Namun, informasi yang lebih dalam terkait perencanaan dan

penganggaran masih dinilai tertutup oleh lima informan. Mereka merasa bahwa keterlibatan

masyarakat dan populasi kunci baru sebatas formalitas dan belum sepenuhnya transparan.

Selain itu masalah birokrasi dan kurangnya kordinasi masih dianggap sebagai penghalang atas

distribusi informasi terkait HIV di DKI Jakarta.

“…dari LSM melalui informasi saat pendampingan atau ada juga sistem gateaway melalui sms yang mengirimkan informasi2 program apa saja yang sedang berjalan” (R10)

“Partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam perencanaan regulasi hanya formalitas” (R5)

“LSM sebagai salah satu aktor dalam penanggulangan HIV banyak yang tidak jelas dan tidak transparan misal dalam pengelolaan proggram GF, banyak nilai-

Page 39: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

37

nilai yang sudah hilang dan memanfaatkan komunitas hanya sebagai wadah pekerjaan saja” (R9)

Dua informan mengatakan bahwa seharusnya pemerintah lebih jeli dalam menggunakan dan

memanfaatkan data dan informasi dalam perencanaan. Penentuan intervensi seharusnya

melihat pada situasi epidemi di setiap daerah dan mempertimbangkan unsur desentralisasi

kebijakan. Kebijakan dari tingkat nasional seharusnya hanya dilihat sebagai panduan dan

harus disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan daerah.

“Desentralisasi kebijakan berpngaruh terhadap implementasi di daerah. Kebijakan di level nasional hanya ersifat pedoman saja” (R2)

b. Pembiayaan Kesehatan

i. Pengelolaan Sumber Pembiayaan

Sumber pembiayaan terkait respon HIV di DKI Jakarta dapat dipetakan menjadi empat

kelompok besar. Dana yang bersumber dari pusat (APBN) biasanya bersumber dari Kemkes

atau KPAN yang lantas diimplementasikan di tingkat daerah. Dana ini disediakan berdasarkan

hasil pemetaan Kemkes terkait kebutuhan perluasan layanan di seluruh provinsi di Indonesia.

Sedangkan dana yang bersumber lokal diambil dari APBD. Dana ini bersifat hibah sehingga

pengelolaannya kurang fleksible. Dana lain adalah yang bersumber dari MPI seperti Global

Fund, HCPI, FHI, Red Institute, Hivos, USAID, Asia Pacific Net Sex Workers, dan SUM. Dana

yang bersumber dari donor biasanya penggunaannya disesuaikan dengan mandat organisasi

yang diemban untuk dilaksanakan di Indonesia, selain itu terkadang dana sudah melekat di

pusat seperti dana Global Fund dan hanya hanya dijalankan saja di daerah. Sistem

pengelolaan dana dari luar negeri diatur oleh Kementerian Keuangan namun sampai saat ini

belum terkelola dengan baik. Terakhir, dana yang bersumber dari perusahaan swasta dalam

bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) namun hanya berjumlah sedikit dan lebih

memilih isu HIV dan AIDS. Program terkait pekerja seks misalnya, sulit didanai oleh CSR.

“Sumber pembiayaan untuk UPT dari APBN, selain itu ada dari LSM dan donor seperti GF, HCPI, red institute dan FHI” (R11)

“Pembiayaan untuk program HIV dan AIDS masih jauh dari yang diharapkan. Sistem pengelolaan dan dari luar negeri melalui kemeneterian keuangan, kecuali untuk dana non pemerintah. Negara pemberi bantuan yang semestinya memberikan informasi terkait dengan bantuan yang diberikan” (R2)

Page 40: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

38

Jumlah dana penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta sangat besar bila dibandingkan

dengan provinsi lain di Indonesia. Menurut laporan evaluasi KPAP (2013) pada tahun 2012

total dana penanggulangan HIV di DKI Jakarta mencapai 22.2 milyar rupiah (lihat tabel 5 untuk

informasi mengenai detil sumber anggaran). Dana ini bersumber dari APBD dan MPI yang

bekerja di wilayah DKI Jakarta dengan proporsi 68% dari total anggaran merupakan dana yang

bersumber APBD. Dua informan mengatakan bahwa dana HIV yang bersumber dari APBD

diajukan dengan menggunakan sistem yang belaku di DKI Jakarta yaitu e-cataloque, untuk

kemudian menunggu persetujuan. Sayangnya pengeluaran dana APBD masih terkendala

keterlambatan. Menurut satu informan proses pengalokasian dana HIV yang berkaitan

dengan sosialisasi kepada masyarakat sudah melibatkan unsur perwakilan masyarakat,

walaupun tidak dijelaskan lebih lanjut bagaimana bentuk dan sejauhmana ketterlibatannya.

“Ada dana dialokasikan dari APBD untuk sosialisasi HIV yang melibatkan LMK (Red: Lembaga Musyawarah Kota)” (R12)

Untuk dana yang bersumber dari APBD dan Global Fund, pengeluaran dana dapat

dikelompokan menjadi dana operasional dan dana program. Sebesar 28% dari total dana

APBD digunakan untuk biaya operasional dan sekitar 20% untuk dana Global Fund. Sisanya

diperuntukan untuk kepentingan biaya program. Hal ini terkonformasi pada pengeluaran

Global Fund pada periode selanjutnya. Sebesar 36 Milyar Rupiah digunakan untuk membiayai

operasional petugas pemberi layanan.

“Mulai Juli 2012 – Juni 2013 sekitar 36M, uang dari GF untuk running cost petugas di layanan” (R4)

Dana yang bersumber dari MPI digunakan sesuai dengan mandat kerja MPI di wilayah

tertentu. Penyumbang dana hibat terbesar di DKI Jakarta bersumber dari Global Fund. Dua

informan mengatakan MPI terkadang tidak melakukan kordinasi dan langsung memberikan

dana hibah kepada LSM. Duplikasi program dengan dana APBD sangat mungkin untuk

program HIV.

Page 41: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

39

Tabel 5. Proporsi Anggaran HIV di DKI Jakarta

**Sumber: Laporan Evaluasi Penanggulangan HIV dan AIDS DKI Jakarta (KPAP, 2013)

ii. Penganggaran, Proporsi, Distribusi dan Pengeluaran

Komitmen pemerintah DKI Jakarta dalam respon HIV juga dapat dilihat dari besaran dana

APBD yang dikeluarkan. Sumber dana dari pemerintah untuk HIV tidak hanya bersumber dari

APBD saja namun ada dukungan dana yang bersumber dari pemerintah pusat atau APBN.

Tren anggaran HIV cenderung terus meningkat di DKI Jakarta. Pada tahun 2013 Dinkes

mengelola dana untuk HIV sebesar 4.8 milyar. Dana yang dikelola oleh Dinkes diajukan sesuai

tupoksi instansi tersebut yaitu peningkatan kapasitas sumber daya manusia kesehatan

melalui pelatihan dan refreshing materi terkait IMS dan tes HIV, bimbingan teknis dan

monitoring dan evaluasi. Jumlah alokasi dana yang diajukan melalui APBD mengacu pada

serapan anggaran yang telah dilakukan pada tahun sebelumnya. Dua informan mengatakan

bahwa diperkirakan kedepannya dana HIV akan semakin meningkat. Saat ini dana HIV sudah

meningkat sekitar 50% dari sebelumnya, angka ini kemungkinan besar akan terus meningkat

mengingat proyeksi penurunan dukungan dari dari MPI akan bekurang. Peningkatan alokasi

dana untuk HIV diperkirakan akan disalurkan melalui BLUD. UPT mengelola anggaran yang

berumber baik dari APBD dan MPI. Satu informan mengungkapkan ketidaktahuannya

mengenai proses dan jumlah anggaran yang tersedia di DKI Jakarta. Selain itu informan yang

sama juga mengatakan masih ada tumpang tindih anggaran dan isu terkait serapan yang

kurang maksimal. Dua informan mengatakan bahwa keterlibatan LSM atau masyarakat sipil

15,100

1,9843,682.10

938 544.1

22,248

0

5,000

10,000

15,000

20,000

25,000

APBD GF HCPI ASA/SUM 1 SUM 2 TOTAL

Proporsi Angaran HIV DKI Jakarta (2012)(Dalam Miliar Rupiah)

Page 42: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

40

dalam perencanaan anggaran masih sangat terbatas. Hal ini menimbulkan biaya yang

dialokasikan masih bersifat normatif dan belum sesuai dengan kebutuhan di lapangan.

“Penganggaran di dinkes sesuai tupoksi termasuk monev, peningkatan kapasitas SDM seperti pelatihan dan refreshing untuk IMS, VCT dan Bimtek” (R4)

“Sepertinya akan ada rencana peningkatan anggaran APBD melalui BLUD karena dana MPI akan semakin berkurang” (R8)

“Penganggaran biaya yang dilakukan belum sesuai dengan kebutuhan, selama ini dibuat secara normatif general tidak melihat kebutuhan satu persatu dilapangan” (R16)

Dalam pengajuan dana HIV, DKI Jakarta memanfaatkan alat bantu untuk melihat kebutuhan

anggaran dan membantu perencanaan seperti yang dikatakan oleh dua informan. Perangkat

pertama adalah National AIDS Spending Assessment (NASA) digunakan untuk menghitung

pembiayaan HIV dan AIDS di daerah sehingga pemerintah dapat mengetahui secara jelas

berapa investasi domestik yang telah diberikan. Pada gambar 1 terlihat proporsi alokasi

anggaran yang digunakan untuk membiayai program terkait HIV di DKI Jakarta yang

bersumber dari laporan NASA (2012). Total keseluruhan dana adalah 22,248 milyar rupiah

yang bersumber baik dari APBD dan MPI. Terlihat bahwa tiga alokasi terbesar dari dana

digunakan untuk komponen pencegahan (41%), manajemen program (31%) dan PDP (12%).

Alokasi anggaran untuk mitigasi dampak masih sangat kecil (0.23%) bila dibandingkan dengan

program lain. Sedangkan perangkat kedua adalah budget tools yang dikembangkan oleh HCPI

yang diberguna untuk melakukan kajian dalam memilih kebutuhan anggaran yang lebih

strategis sesuai dengan kebutuhan daerah. Mengingat semua puskesmas di DKI Jakarta sudah

BLUD, rencana kebutuhan anggaran dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan spesifik

Puskesmas tersebut. Pada tahap akhir, Dinkes akan melakukan sinkronisasi dari seluruh

anggaran yang telah diajukan oleh UPT di bawahnya untuk menghindari pengajuan kegiatan

berulang.

Page 43: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

41

Gambar 3. proporsi angagran HIV DKI Jakarta (2012)

Sumber: Laporan NASA (2012)

iii. Mekanisme Pembayaran Layanan

Secara umum penduduk DKI Jakarta mendapatkan fasilitas jaminan kesehatan yang diberikan

oleh pemerintah daerah. Pada tahun 2012 pemerintah daerah mengeluarkan Kartu Jakarta

Sehat (KJS) untuk menjamin pemberian layanan kesehatan bagi yang membutuhkan.

Sembilan informan mengatakan bahwa saat ini jaminan kesehatan diberikan melalui BPJS

mengikuti dengan kebijakan nasioanal. BPJS dapat dimiliki dengan sistem iuran ataupun non-

iuran, yang diperuntukan untuk penduduk miskin. Bila tidak memiliki kartu JKN, beberapa

kartu lain seperti Jamkesmas, KJS dan KIS dapat digunakan untuk membayar layanan

kesehatan. Dua informan mengatakan bila layanan kesehatan tersebut tidak dapat

ditanggung oleh JKN maka masih ada Jaminan Kesehatan Daerah yang dapat digunakan untuk

membayar layanan. Dengan adanya jaminan kesehatan ini maka penduduk Jakarta dapat

berobat secara gratis di seluruh puskesmas dan 88 rumah sakit rujukan Pemprov DKI Jakarta.

Walaupun menurut pengakuan tiga informan bahwa dengan adakanya JKN tidak serta-merta

membuat seluruh biaya kesehatan menjadi gratis, namun bantuan dana kesehatan dirasa

cukup meringankan bebab biaya pengobatan.

Bila dibawa ke dalam konteks respon HIV dan AIDS, penggunaan jaminan kesehatan untuk

kebutuhan penyakit ini masih terdapat kebingungan. Secara ketentuan, pasien dengan HIV

tetap dapat dilayani dengan biaya perawatannya sesuai dengan Permenkes No. 28 tahun

41%

12%1%10%

4%1%

31%

0%

Proporsi Anggaran HIV DKI Jakarta 2012

Pencegahan

PDP

Penelitian

SDM

Lingkungan mendukung

Proteksi sosial

Manajemen program

mitigasi dampak

Page 44: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

42

2014 tentang pedoman pelaksanaan program jaminan kesehatan nasional. Biaya

pemeriksaan dan perawatan dapat dibebankan melalui skema Indonesian Case-Based Groups

(INA-CBGs) yang dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama, namun biaya obat yang

termasuk dalam obat program seperti ARV tidak dimasukan karena sudah ditanggung oleh

pemerintah pusat. Namun dua informan mengatakan bahwa ini masih berproses dan belum

ditanggung. Lima informan mengatakan bahwa tidak semua biaya ditanggung dan ada

pemeriksaan laboratorium yang masih harus ditanggung oleh pasien. Selain itu, lima informan

mengatakan masih ada beberapa masalah yang ditemui dalam pelaksanaan JKN, seperti

pengurusan administrasi yang mengandalkan KTP untuk mendaftar, keterlambatan

pembayaran dari BPJS ke fasilitas kesehatan, kesulitan administrasi dalam mendaftar, dan

perbedaan persepsi dalam memahami aturan JKN. Hal ini diduga dapat menghambat populasi

kunci untuk memiliki jaminan kesehatan.

“Ada jaminan kesehatan untuk warga Jakarta, namun untuk pembayaran sangat tergantung dengan layanan yang diakses dan PKM nya, kadang kalau butuh pemeriksaan tambahan yang tidak masuk dalam asuransi harus bayar, juga tergantung petugas, yang sudah biasa dengan populasi kunci bisa membantu untuk gratis” (R6)

“JKN melalui BPJS belum menanggung semua, untuk ARV tidak ditanggung, hasil perhitungan biaya yang diperlukan untuk pengobatan sekitar 20 jt pertahun sedangkan BPJS hanya sanggup 16 juta per tahun. Belum ada kesepakatan (R4)”

c. Sumber Daya Manusia Kesehatan

i. Kebijakan dan Sistem Manajemen

Secara umum tenaga kerja yang bekerja untuk penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta

berasal dari tenaga kesehatan, baik PNS dan non-PNS, serta LSM. Menurut enam informan,

saat ini belum ada kebijakan yang mengatur tenaga kerja dari luar dinas kesehatan yang di

kontrak oleh Dinkes untuk melakukan program penanggulangan HIV dan AIDS. Satu informan

mengatakan penyediaan tenaga non kesehatan tergantung Pemda setempat. Pertemuan

pembahasan mengenai kebutuhuan SDM pernah didiksusikan di DKI Jakarta, menurut satu

informan, namun belum terealisasi sampai saat ini. Beberapa program kesehatan lain di luar

HIV (i.e. posyandu, jumantik) memiliki kader kesehatan. Satu informan mengatakan bahwa

Subdit AIDS masih mempersiapkan pelibatan SDM untuk kesehatan secara utuh agar bisa

masuk dalam Badan Pengelola Sumber Daya Manusia (BPSDM). Sehingga saat ini menurut

Page 45: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

43

dua informan standar kompetensi yang ada hanya untuk tenaga kesehatan saja, dan belum

ada untuk pekerja yang berasal dari tenaga non-kesehatan.

“LSM merasa masih belum ada kebijakan dan aturan yang jelas sehingga merasa masih di lempar kesana-kemari” (R6)

“Standarisasi kompetensi untuk tenaga kesehatan, sementara non kesehatan belum ada (R2)

Ketersediaan tenaga untuk upaya penanggulangan HIV dan AIDS masih menjadi hambatan

besar di DKI Jakarta. Tujuh informan mengatakan bahwa SDM untuk mengejakan program

HIV masih sangat terbatas. Seorang staf kesehatan di UPT dapat bertanggung jawab untuk

beberapa program sehigga tidak bisa hanya berfokus untuk memberikan program HIV saja.

Hal ini juga dialami oleh Lapas. Keterbatasan tenaga kerja ini juga berdampak pada

pelaksanaan pelayanan, terlepas dari pelatihan yang sudah diberikan. Sembilan informan

mengatakan salah satu penyebab utama yang menjadi kendala dalam ketersediaan SDM yang

mencukupi adalah sistem rotasi bagi PNS yang ada di DKI Jakarta. Banyak staf yang

sebelumnya memberikan pelayanan di rotasi ke manajemen atau jabatan struktural sehingga

waktu untuk memberikan pelayanan menjadi terbatas karena jumlah staf fungsional jadi

berkurang. Walau bagaimanapun kebijakan rotasi sulit untuk dihindari mengingat ini adalah

konsekwensi dari pengembangan karir staf. Tabel 6 menunjukan jumlah staf yang tersedia di

DKI pada tahun 2012 sesuai dengan layanan HIV yang diberikan. Satu informan mengatakan

distribusi SDM antar kotamadya belum merata. Di satu daerah dapat memiliki jumlah SDM

yang banyak namun tidak di daerah lain. Kerawanan jumlah SDM menurut satu informan

dikarenakan Puskesmas tidak mengusulkan penambahan apabila dibutuhkan SDM lebih

banyak. Selain itu, satu informan mengatakan bahwa program HIV belum memiliki

mekanisme dan sistem SDM yang jelas, berbeda dengan program TB. Seharusnya peninjauan

ulang terhadap sistem mutasi diperlukan.

“Masih sangat terbatas, di dinkes cuma 2 orang, di sudin 5 orang masing2 1, di puskesmas masing-masing 7 kali 42 yang darat tambah P. seribu, tapi P seribu belum dikembangin pelatihannya (R4, R16)

Tabel 6. tenaga kesehatan tekait HIV sesuai dengan jenis layanan

Jenis Layanan Jumlah Layanan (2012) Ketersediaan SDM (2012)

1. PTRM 18 54

2. LASS 38 144

3. IMS 38 152

Page 46: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

44

Jenis Layanan Jumlah Layanan (2012) Ketersediaan SDM (2012)

4. PICT 55 275

5. PMTCT 18 90

6. TB HIV 43 -

7. ARV 24 120

8. Satelit ARV 19

9. KPAP/K 93

TOTAL 918 Sumber: Hasil Evaluasi KPAP (2013)

ii. Pembiayaan

Belum adanya mekanisme yang jelas mengenai SDM untuk program HIV juga berdampak

pada sumber pendanaan untuk staf yang menjalankan program. Satu informan mengatakan

bahwa sumber pendanaan untuk tenaga kesehatan yang menjalankan program HIV

terkadang melebihi ketersediaan dana yang ada. Untuk saat ini, honor untuk petugas dengan

status PNS ditanggung oleh APBD sedangkan tenaga kontrak dari BLUD.

iii. Kompetensi

Respon penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta juga mempertimbangkan kompetensi

SDM yang melaksanakan program melalui berbagai cara. Enam informan mengatakan

peningkatan kapasitas melalui pelatihan, penguatan berkala melalui penyegaran materi, dan

sertifikasi sudah dilakukan di DKI Jakarta. Selain untuk memberikan materi baru, pelatihan

yang dilakukan juga menjelaskan peran dan tanggung jawab tenaga kesehatan di DKI Jakarta.

Namun adanya pelatihan tidak serta merta memecahkan masalah terkait SDM yang ada.

Beberapa hal yang teridentifikasi dari pengolahan data adalah jumlah pelatihan yang

dilakukan tidak sesuai dengan jumlah tenaga kesehatan yang ada. Menurut satu informan

pelatihan yang dilakukan hanya dua kali dalam setahun dengan jumlah perserta yang

terbatas. Isu rotasi juga dikatakan oleh satu informan sebagai salah satu kendala dalam

menjamin kompetensi mengingat staf yang sudah terlatih dipindahkan dan harus

memberikan pelatihan lagi untuk staf pengganti. Menurut satu informan sebaiknya proses

pengembangan kapasitas berdasarkan gap assessement dan melibatkan semua pihak seperti

KPA dan Kemenkes. Pengembangan perangkat analisa untuk melihat gap kapasitas perlu

dilakukan. Untuk mengatasi hal ini, penguatan pada tataran manajemen juga perlu dilakukan

sehingga dapat melihat kebutuhan kompetensi dari staf yang ada untuk memaksimalkan

berjalannya respon penanggulangan HIV AIDS. Selain itu, satu informan mengatakan

Page 47: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

45

peningkatan kapasitas dalam bentuk menhadiri konferensi di luar negeri tidak terlalu

memberikan dampak yang signifikan dalam respon HIV.

“Ada pelatihan dan refreshing bagi yang sudah pernah dilatih, tapi kalau ada yang mutasi jadi pelatihan baru, selain itu ada penguatan secara berkala” (R8)

“Penguatan perlu dilakukan pada tataran management untuk mendapatkan kualitas pelatihan yang standar, karena saat ini pelatihan yang dilakukan juga masih banyak yang tidak mampu mengatasi atau memenuhi harapan” (R17)

Standarisasi kompetensi bagi tenaga penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta harus dapat

dilihat dari ketersediaan kebijakan yang mengaturnya. Lima informan mengatakan tidak ada

kebijakan yang mengatur standar kompetensi staf yang bekerja untuk penanggulangan HIV di

DKI Jakarta. Dua informan mengatakan standar kompetensi dapat dilihat dari pelatihan yang

sudah dilakukan karena pasti akan tertera standar kompetensi seperti apa yang menjadi

target pelatihan. Empat informan mengatakan rotasi pegawai menjadi kendalam utama

dalam standarisasi kompetensi dan belum ada kebijakan yang mengatur hal tersebut. Dua

informan mengatakan sebenarnya terdapat dua kebijakan yang dapat dijadikan rujukan untuk

standarisasi kompetensi yaitu (1) Standar Pelayanaan Minimal (SPM) bidang kesehatan sesuai

dengan Pergub No. 20 tahun 2014 tentang Penyusunan, Penetapan, Penerapan, dan Rencana

Pencapaian Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan dan (2) Permenkes No. 5 tahun

2014 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Layanan Kesehatan Primer. Namun

sayangnya dalam SPM DKI Jakarta bidang kesehatan tidak memasukan unsur target terkait

dengan HIV secara khusus, kecuali TB. Selain itu, walaupun Permenkes No. 5 tahun 2014

memasukan unsur kompetensi bila menemukan kasus HIV, namun anjuran tersebut hanya

berlaku untuk tenaga kesehatan dokter saja. Dapat dibilang tidak ada standar kompetensi

yang mengatur perawat, petugas sosial, dan LSM dalam menjalankan respon HIV dan AIDS di

DKI Jakarta.

d. Penyediaan Farmasi dan Alkes

i. Regulasi Penyediaan penyimpanan, diagnostik dan terapi

Dalam penyediaan farmasi dan Alkes, DKI Jakarta mengacu pada regulasi penyediaan,

penyimpanan, diagnosis dan terapi dari pusat. Walaupun empat informan mengatakan tidak

tahu secara pasti mengenai kebijakan terkait distribusi dan pengadaan obat, namun lima

informan mengatakan sudah ada regulasi terkait distribusi dan pengadan obat, khususnya

Page 48: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

46

ARV dan reagen, serta prosedur pemberiannya. Standar obat dan reagen yang dapat

digunakan sudah termasuk dalam regulasi tersebut. Penanggung jawab untuk distribusi dan

pengadaan obat adalah bagian farmasi. Proses implementasinya dimulai dari perencanaan

dengan siklus pertahun yang dibuat berdasarkan perhitungan kebutuhan untuk 16-18 bulan.

Kebutuhan obat dihitung berdasarkan angka kunjungan berobat dan kebutuhan obat apa

yang paling banyak digunakan. Infrastuktur pengadaan yang digunakan adalah Inventory and

Order Management System (IOMS). Sejalan dengan desentralisasi, obat yang diberi pusat

diserahkan kepada Dinkes untuk kemudian didistribusikan ke Puskesmas. Dengan sistem

BLUD yang ada di DKI Jakarta, Puskesmas dapat melakukan pengadaan kebutuhan obat dan

alat kesehatan sesuai situasi kesehatan di daerahnya melalui Daftar Isian Pelaksanaan

Anggaran (DIPA) setiap tahunnya. Untuk obat khusus seperti ARV distribusi dilakukan melalui

Sudinkes. Untuk penyimpanan dan pencatatan, satu informan mengatakan acuan yang

digunakan adalah Permenkes No. 87 tahun 2014 tentang pedoman pemberian ARV yang

mengatur register obat dan pencatata stok ARV di layanan.

“Sudah ada juga pedoman untuk pengadaan dan distribusi, termasuk untuk stock out, peminjaman ARV itu tidak boleh, tapi kita pernah melakukan…Obat dan alkes di berikan berdasarkan dipa, beda dengan puskesmas yang bisa mengadakan sendiri karena mereka sudah BLUD, untuk obat2 an khusus ada distribusi dari sudin, termasuk juga ARV semuanya sudah gratis” (R11)

Di pusat ada kebijakan desentralisasi ARV, obat memang dari pusat namun untuk pengelolaan semau melalui Dinkes tidak langsung ke RS. Dari dinkes distribusi ke RS dan Puskesmas yang sudah inisiasi. RS ada 30 an dan puskesmas ada 28 an (R4)

Terlepas dari mekanisme yang sudah ada, masih terdapat beberapa masalah yang ditemui di

lapangan. Situasi kehabisan stok ARV yang terjadi di DKI Jakarta disebutkan oleh tiga

informan. Situasi ini menyebabkan terjadinya ‘pinjam-meminjam’ obat antar UPT yang

seharusnya tidak boleh dilakukan. Terjadinya situasi tersebut dikatakan oleh dua informan

karena masih ada masalah dalam pendistribusian obat, seperti harus mengambil langsung ke

tempat penyimpanan/gudang obat, atau keterlambatan stok obat, keterlambatan dalam

proses perencanan dan hambatan dalam import obat. Hal ini menyebabkan dampak lebih

lanjut yaitu ditemukannya obat dan reagen yang kadaluarsa. Untuk alkes, dua informan

mengatakan ketersediaan kondom selalu ada dari KPA namun pelicin sudah tidak tersedia.

Page 49: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

47

“Untuk distribusi alkes dan farmasi sejauh ini baik-baik tapi kemarin sempat juga kehabisa stok ARV akhirnya pinjam ke ‘kios’ secara informal antar fasyankes dan tidak bisa memberikan untuk sebulan penuh buat pasien” (R8)

“Kadang ada permasalahan distribusi, biasanya menjemput bola mengambil ke tempat penyimpanan, atau kalau memang kehabisan dan masih bisa digantikan jenis obat lain ya diganti, tapi untuk ARV pernah hampir kehabisan kita sampai ambil ke Matraman” (R11)

“Kadang ada yang expired, belum ada koordinasi yang baik antar layanan kesehatan dan juga dengan PL untuk pemanfaatan farmasi dan alkes” (R6)

ii. Sumber Daya

Enam informan mengatakan bahwa sumber biaya pengadaan dari obat ARV dan alat

kesehatan diperoleh dari APBN/APBD dan dukungan dana donor. Terlepas dari tidak adanya

informasi mengenai proporsi secara spesifik mengenai berapa biaya yang ditanggung oleh

MPI, namun untuk logistik obat pembagian biaya adalah 40% masih diberikan oleh pusat dan

60% oleh pemerintah daerah. Pemerintah pusat memang mendorong adanya pembagian

beban pengadaan logistik dengan pemerintah daerah. MPI yang diketahui turut mendukung

pembelian obat-obatan adalah Global Fund, dan MPI lain mendukung alkes seperti jarum

suntik atau kondom. Satu informan mengatakan bahwa pembiayan AIDS sudah terbagi

bebannya antara pemerintah dan MPI, namun masih ada ketergantungan.

“Untuk ARV 100% dari APBN, untuk logistik ada share cost untuk obat2an IMS dll 40% oleh pusat dan 60% daerah” (R4)

e. Informasi Strategis

i. Sinkronisasi Sistem Informasi

DKI Jakarta menggunakan infrastruktur berbasis website untuk mengumpulkan data terkait

HIV. Delapan informan mengatakan sistem informasi yang dipakai adalah Sistem Informasi

HIV AIDS (SIHA) yang dikelola oleh Dinkes dan sudah terintergasi dengan sistem informasi

nasional. Selain itu, dua informan mengatakan ada Jakarta AIDS Information System (JAIS)

yang dikelola oleh KPAP. Tiga informan mengatakan setiap UPT melaporkan data setiap bulan

dengan menginput capaian seperti program methadone atau tes HIV langsung ke SIHA. Data

yang terkumpul dilaporkan berjenjang dari UPT ke Sudinkes, lalu ke Dinkes dan bermuara di

Kemenkes. Sedangkan menurut dua informan LSM mengumpulkan laporan sesuai dengan

sumber donor yang memberikan proyek. Khusus untuk program yang menggunakan dana dari

APBD, ada laporan yang diberikan kepada Pemda. Selain data cakupan program, lima

Page 50: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

48

informan mengatakan ada pengumpulan data lain yang dilakukan secara rutin seperti survey

sentinel, survei perilaku yang dilakukan Kemkes dan pemetaan yang dilakukan oleh KPA.

Dalam mengumpulkan data rutin ini pemerintah bekerja sama dengan LSM untuk memetakan

hotspot. Dua informan mengatakan dalam mengumpulkan sistem informasi dan data

pemerintah mendapatkan bantuan teknis dan dukungan dari MPI. Menurut dua informan,

bila dipetakan Kemkes dan jajarannya bertanggung jawab untuk data layanan dan supply

sedangkan KPA dan jajarannya bertanggung jawab terhadap data estimasi dan kebijakan.

Sangat disayangkan bahwa tidak ada yang mengetahui bagaimana mekanisme pengolahan

dan pemanfaatan data dengan jelas. Tiga informan mengatakan hanya mengetahui sebatas

proses pengumpulan informasi dan tidak tahu kelanjutan pengelolaannya. Walaupun

terdapat satu informan yang mengatakan secara umum bahwa data dikumpulkan untuk

mengetahui dengan segera bila ditemukan masalah dan ada satu informan yang mengatakan

data STBP digunakan untuk kepentingan pelaporan MDGs. Terlepas dari keterediaan platform

sistem informasi, beberapa kekurangan yang berhasil teridentifikasi adalah sistem tersebut

belum terkoneksi antar layanan, tidak dibuat terstruktur sesuai dengan indicator SRAN dan

tidak terperbaharui secara berkala. Kendala sumber daya manusia untuk pengelolaan data

juga masih ditemukan di tempat layanan.

“Yang diketahui ada system pengumpulan informasi, namun detail bagaimana pengelolaan dan pemanfaatannya ga tau” (R5)

“Sistem informasi AIDS tidak tersetruktur mulai dari penetapan indikator dalam renstra hingga pelaporannya” (R15)

“Awalnya ada petugas khusus tetapi tidak bisa full di HIV sehingga sekarang memanfaatkan kader muda tetapi juga sulit bila dilakukan setiap hari karena ada pelayanan” (R8)

ii. Diseminasi dan Pemanfaatan

Terlepas dari adanya laporan rutin terkait HIV yang dikumpulkan di DKI Jakarta, diseminasi

hasil analisa dan pemanfataan dari data yang terkumpul masih bervariasi antar tiap institusi.

Data yang bersumber dari LSM biasanya diserahkan kepada KPA dan juga Dinkes serta

Puskesmas. LSM dan organisasi masyarakat sipil biasanya memanfatan data pencapaian

untuk mengembangkan proposal dan menentukan arah strategi program ke depan seperti

yang diakui oleh empat informan. Tiga informan lainnya mengatakan bahwa data yang

terkumpul dijadikan acuan untuk membuat perencanaan program. Dua informan juga

Page 51: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

49

mengatakan bahwa data yang terkumpul dari SIHA telah didiseminasikan. Selain itu dua

informan juga mengatakan data yang dikumpulkan biasanya dibahas dalam pertemuan

kordinasi atau pada saat bimbingan teknis sebagai dasar untuk melihat pencapaian program.

“Di dalam lembaga, data yang ada dipakai sebagai database dan dasar membuat proposal, termasuk keputusan dan sikap lembaga” (R6)

“Hasil pemetaan atau data dari KPA atau dinkes itu biasanya dipakai sebagai dasar perencanaan dan pelayanan program di LSM” (R16)

Namun disisi lain, masih ada kendala untuk memanfaatkan data lebih maksimal. Dua

informan mengatakan menemukan kesulitan untuk meminta data untuk keperluan analisa

lebih lanjut, walaupun surat permintaan resmi telah dilayangkan. Sehingga pemanfaatan data

hanya mengandalkan dari publikasi hasil analisa data yang disediakan secara tersegmen.

Keenganan untuk memanfaatkan data lebih lanjut diduga terkait isu ketidakjelasakan

kepemilikan data. Hal ini disampaikan oleh tiga informan. Situasi ini timbul akibat data survei

dan SIHA biasanya dikelola oleh pusat dan daerah hanya berperan sebagai pengumpul data.

Selain itu masalah desentralisasi juga mempengaruhi keputusan daerah untuk memanfaatkan

data lebih lanjut. Isu kepemilikan data membuat daerah menjadi ambigu untuk

memanfaatkan dan menganalsia data lebih lanjut untuk kepentingan daerah. Data lain yang

belum diatur pemanfataannya adalah data yang bersumber dari hasil penelitian seperti yang

disampaikan oleh lima informan. Banyak hasil penelitian yang tidak tersosialisasikan dengan

baik, termasuk hasil dari penelitian yang dilakukan oleh universitas. Situasi ini diduga karena

belum ada mekanisme yang jelas untuk mendokumentasikan, memanfaatkan dan

mengintegrasikan data hasil penelitian untuk kepentingan pengembangan program.

“Sistem informasi AIDS selama ini seperti IBBS menjadi milik siapa dan belum dimanfaatkan secara optimal dalam perencanaan” (R15)

“Data tidak pernah di share, sampai bersurat minta share data tidak diberikan data SIHA, kalau ada pertemuan baru di share secara umum saja, dari situ kita baru bisa mengambil kesimpulan sendiri yang kita gunakan untuk dasar perencanaan” (R16)

“Hasil informasi dan penelitian sepertinya belum didiseminasikan termasuk data yang diminta untuk jadi laporan dari kami, tidak tahu dimanfaatkan untuk apa” (R10)

Page 52: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

50

f. Pemberdayan Masyarakat

i. Partisipasi Masyarakat

Beberapa upaya untuk melibatkan masyarakat dalam respon penanggulangan HIV dan AIDS

sudah dilakukan di DKI Jakarta. Dalam konteks ini masyarakat perlu dilihat sebagai masyarakat

umum, LSM dan penerima manfaat atau populasi kunci. Enam informan mengatakan bahwa

pelibatan masyarakat dan LSM sangat penting untuk dilakukan. LSM dapat berkontribusi

dalam melakukan penjangkauan, distribusi informasi ataupun penyambung komunikasi

antara pihak pemberi layanan dan penerima manfaat. Satu informan mengatakan bahwa ada

alokasi dana yang disediakan di puskesmas untuk kegiatan yang bersifat melibatkan

masyarakat. Selain itu ada sector swasta juga didorong untuk memiliki kegiatan yang

melibatkan masyarakat melalui CSR. Biasanya, bentuk pelibatan terlihat dari kerjasama atau

terlibat dalam pertemuan kordinasi atau perencanaan, implementasi, dan monitoring

program. Namun tampaknya pelibatan ini belum dirasakan secara merata. Satu informan

mengatakan bahwa desain program LKB/SUFA sudah dibuat untuk memastikan keterlibatan

masyarkat yang lebih aktif, namun terkadang ada kendala biaya untuk mengundang semua

orang. Tiga informan mengatakan bahwa pelibatan yang dilakukan masih bersifat artifisial

dan formalitas saja. Satu informan secara jelas mengatakan bahwa tidak pernah dilibatkan

sama sekali.

Empat informan mengatakan bahwa masyarakat memang tidak dilibatkan dalam

perencanaan program atau musrenbang, namun lebih ke hal yang bersifat teknis di lapangan,

baik di tingkat nasional ataupun di daerah. Satu informan mengatakan umumnya pada tahap

perencanaan, keterlibatan lebih berupa pertemuan konsultatif yang kemudian dikembangkan

oleh konsultan. Lima informan mengatakan bahwa pelibatan masyakarat yang terjadi

sekarang terkadang tidak berjalan efektif. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan

pengetahuan ataupun posisi tawar yang berbeda antara pemangku kepentingan dengan

pihak masyarakat. Situasi ini diduga terjadi karena pemberdayaan masyarakat masih kurang.

Pelibatan masyarakat dan populasi kunci yang lebih bermakna dapat dilakukan dengan

memberikan peningkatan kapasitas terlebih dahulu.

“Sejauh ini KDS bermitra dengan KPA dan pemerintah. LSM secara umum hanya dilihat sebagai suatu bentuk kecil partisipasi masyarakat” (R9)

Page 53: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

51

“untuk pertemuan perencanaan biasanya tidak melibatkan masyarakat, alasannya karena waktunya sempit” (R8)

Dana yang dialokasikan bagi masyarakat sipil untuk penanggulangan HIV dan AIDS masih

terbatas. Tiga informan mengatakan dana pemerintah yang disediakan lebih bertujuan untuk

pemberdayaan masyarakat umum dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam kesehatan.

Biasanya bentuk dana ini dikeluarkan untuk kader jumantik atau posyandu. Sedangkan dana

yang dialokasikan oleh KPAP lebih kepada untuk melibatkan partisipasi masyarakat yang

dapat dikeluarkan melalui pengajuan proposal. Dua informan mengatakan bahwa pemerintah

tidak mengalokasikan dana yang dapat diakses langsung oleh populasi kunci untuk

melaksanakan program HIV.

“Jaringan Populasi kunci tidak dapat mengkases dana dari APBD, tidak ada sosialisasi dana” (R12)

“Peran konkrit pemberdayaan dan keteribatan masyarakat adalah posyandu, sumber pembiayaan posyandu berasal dari pemda dati I diteruskan kepada pemda tk II” (R3)

Pengembangan kapasitas untuk mendukung pemberdayaan masyarakat juga belum

dilakukan dengan maksimal. Empat informan mengatakan sudah ada peningkatan kapasitas

berupa pelatihan yang diberikan kepada kader, pendidik sebaya ataupun staf lembaga

pemasyarkaatan, namun masih dirasa belum efektif karena terkendala berbagai isu seperti

status kerja kader yang bersifat sukarela ataupun hanya terfokus untuk memberikan

pemberdayan dalam lingkup kecil untuk periode tertentu seperti warga binaan. Satu

informan mengatakan terkadang masyarakat masih awam dan kurang informasi untuk mau

secara aktif terlibat dalam respon HIV.

ii. Akses dan Pemanfaatan Layanan

Berbagai upaya sudah dilakukan di DKI Jakarta untuk memastikan populasi kunci dapat

mengakses layanan terkait HIV dan AIDS. Hal ini disampaikan oleh tiga informan. Kartu

identitas biasanya tetap menjadi prasyarat utama untuk mendapatkan layanan, namun untuk

populasi kunci tenaga kesehatan di Puskesmas dapat membantu untuk tetap memberikan

layanan walau tanda ada KTP. Selain itu, terdapat kader yang dilatih dan disediakan untuk

membantu memudahkan akses layanan masyakarat ke fasilitas layanan kesehatan. Konsep

LKB yang memastikan keterlibatan LSM dan populasi kunci untuk meningkatkan cakupan

akses layanan. Data sekunder dari KPAP menunjukan pada tahun 2012 jumlah populasi

Page 54: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

52

terjangkau yang sudah terjangkau oleh intervensi adalah WPS (12.238 orang), LSL (8.705),

Waria (1.336 orang), Penasun aktif LASS (1.831 orang), penasun aktif PTRM (1.115 orang) dan

HRM (69.279 orang). Walaupun begitu, masih ada populasi terdampak HIV yang belum

banyak terpapar program. Satu informan mengatakan masalah di PPIA adalah kendala biaya

pemeriksaan Viral Load bagi ibu positif yang masih menyusui anaknya. Satu informan juga

menegaskan informasi terkait akses layanan kesehatan masih terkendala penyebarannya.

Upaya inovatif untuk melakukan distribusi informasi melalui SMS belum juga terlaksana.

“Masih banyak populasi kunci atau masyarakat yang sulit mendapatkan akses yang terjangkau, contoh pada PPIA, banyak ibu dengan anak yang sulit memeriksakan viral load karena kendala biaya, padahal dia juga harus menyusui anaknya…banyak masalah terutama di masyarakat karena nol info.” (R5)

Sedangkan akses populasi kunci terhadap jaminan kesehatan juga masih menemukan kendala

seperti yang disampaikan oleh tiga informan. Dua informan mengatakan bahwa akses

populasi kunci terhadap JKN sudah tersedia. Populasi kunci yang tidak bisa masuk dalam

tanggungan JKN beberapa diallihkan melalui KIS dan Jamkesda. Warga binaan

pemasyarkaatan juga sudah dapat mengakses JKN untuk kesehatannya. Terlepas dari

masuknya HIV sebagai penyakit yang ditanggung perawatannya oleh JKN, pada

pelaksanaannya akses kepesertaan populasi kunci masih mendapatkan kendala administrasi.

Pemahaman Puskesmas dalam JKN juga belum merata sehingga perbedaaan perlakukan

untuk membayar atau memberikan layanan gratis masih ditemukan di tingkat UPT. Dua

informan mengangkat isu terkait status pengguna napza untuk mendapatkan JKN. Masih

ditemukan perbedaan pemahaman mengenai bisa tidaknya JKN digunakan untuk pengguna

napza.

g. Penyediaan Layanan

i. Ketersediaan Layanan

Di DKI Jakarta, layanan HIV sudah tersedia baik di tingkatan primer dan sekunder dan sudah

terintegrasi antar berbagai pihak. Tempat pelayanan kesehatan seperti RS dan Puskesmas

menyediakan berbagai layanan kesehatan terkait HIV seperti pencegahan, pengobatan,

paliatif dan rehabilitatif. Hampir seluruh Puskesmas kecamatan di DKI Jakarta dapat

memberikan layanan HIV, bahkan jejaring dengan RS untuk memberikan rujukan sudah

terbentuk. Biasanya, layanan seperti tes HIV, pemeriksaan dan pengobatan IMS, Metadon,

Page 55: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

53

LASS, ARV, tes darah lengkap dan TB sudah dapat diakses melalui Puskesmas. Dalam

memberikan pelayanan kesehatan ini, RS dan Puskesmas juga bekerjasama dengan LSM.

Peran LSM dalam meningkatkan akses layanan terutama dalam mempromosikan, merujuk

dan mendorong dampingan populasi kunci agar mengunjungi layanan kesehatan terkait HIV

yang tersedia. perawatan berbasis masyarakat belum ada, hanya melalui LSM saja.

“layanan program HIV sudah terintegrasi dan sudah ada jejaring yang cukup baik antar fasyankes dan juga sistem informasinya” (R11)

“perlu kerjasama dengan LSM yang membantu mendorong populasi kunci untuk mengakses layanan” (R4)

Salah satu pemicu ketersediaan layanan HIV di DKI Jakarta adalah anjuran Gubernur DKI

Jakarta yang menginginkan semua warga DKI Jakarta dapat mengetahui status HIV, terutama

bagi kelompok populasi beresiko dan ibu hamil. Ditambah dengan inisiasi program LKB/SUFA

yang bertujuan untuk meningkatkan cakupan layanan dan pengobatan HIV. Akses terhadap

ketersediaan layanan terkait HIV ini juga dapat mencakup seluruh populasi kunci di DKI

Jakarta. Bahkan, pemantauan kebutuhan layanan untuk daerah terpencil seperti di Kepulauan

Seribu juga sudah dilakukan. Dapat dibilang layanan kesehatan dapat diakses oleh seluruh

masyarakat yang membutuhkan secara merata.

“Gubernur menginginkan semua warga dapat mengetahui status HIV nya, dari sisi layanan sudah cukup siap dan semakin bertambah, sejauh ini ada 28 puskesmas yang siap, RS swasta juga permintaan semakin tinggi untuk dapat membuka layanan HIV” (R4)

“sudah melakukan sesuai dengan fungsi nya untuk memberikan pelayanan yang bagus dan memenuhi standarnya. sudah bisa memenuhi kebutuhan populasi kunci” (R16)

Sayangnya, masih terdapat beberapa hal yang menjadi catatan untuk perbaikan ke depan.

Dalam konteks manajemen dan administrasi, rumitnya masalah administrasi, termasuk

pengurusan dan penggantian JKN di tempat layanan masih dinilai menghambat orang untuk

memanfaatkan layanan kesehatan terkait HIV lebih maksimal lagi. Kedisiplinan petugas

layanan dalam meneraplan universal precaution (UP) saat memberikan layanan HIV juga

dinilai masih perlu perbaikan. Waktu tunggu layanan yang lama dan faktor jarak juga dinilai

masih lama sering menjadi faktor penghambat untuk mengakses layanan yang tersedia. Dua

informan mengatakan bahwa jam layanan berubah-ubah di beberapa tempat. Hal ini

kemungkinan juga terkait dengan jumlah SDM yang terbatas membuat jam layanan berubah-

Page 56: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

54

ubah sesuai dengan ketersediaan dokter yang melayani. Perubahan fungsi beberapa

Puskesmas menjadi RSUK juga membuat beberapa layanan yang sudah tersedia harus

disesuaikan kembali dalam hal lokasi dan SDM.

“Di jakarta ada RSUK yang tadinya puskesmas kemudian menjadi RS, Puskesmas tetap ada pindah lokasi, layanan HIV tetap jalan staff nya untuk awal dibagi sebagian di RSUK dan sebagian di PKM” (R4)

Dalam konteks diversifikasi jenis layanan, terdapat beberapa layanan yang dibutuhkan namun

belum dapat berjalan maksimal di DKI Jakarta. Hal ini diakibatkan layanan tersebut memang

belum tersedia, belum berjalan, ataupun strategi implementasi yang kurang tepat. Misalnya,

layanan kesehatan swasta belum sepenuhnya memahami jejaring layanan HIV yang sudah

berjalan sampai saat ini. Layanan pendampingan untuk ODHA seperti kepatuhan berobat

masih sepenuhnya bergantung pada LSM dan belum tersedia di tempat layanan primer. Enam

informan mengangkat belum tersedianya program mitiasi dampak dan program nutrisi untuk

ODHA belum berjalan di tempat layanan. Beberapa program mitigasi dampak diberikan oleh

Dinas Sosial lebih kepada pelatihan membuat kue atau bantuan pangan. Beberapa program

seperti Layanan terkait HAM dan bantuan hukum, pemberdayan dan integasi KDRT masih

belum berjalan dengan baik atau belum termanfaatkan dengan maksimal. Sulitnya

mengembangkan program yang inovatif diduga karena terkendala persetujuan dari

Kemenkes dan jenis layanan yang diberikan masih dinilai “tebang-pilih” sesuai dengan

kenyamanan pemerintah.

“Mitigasi dampak yang secara khusus belum ada, ada dana untuk masyarakat umum namun kita dorong teman-teman ODHA untuk mengakses itu, seperti bantuan susu, dll” (R5)

“Penyediaan layanan berdasarkan hasil assessment sering tidak berjalan. Yang terjadi adalah kalau nyaman buat pemerintah akan dikerjakan tetapi kalau tidak akan dialihkan ke LSM supaya mereka kerjakan dan diminta cari dana sendiri” (R5)

“Pernah diundang dalam pembentukan panduan atau SOP untuk pemberian modal bagi WPS namun pada akhirnya kami kurang setuju dengan programnya karena kesannya tidak benar-benar melihat konisi di lapangan kesannya menyepelekan” (R10)

ii. Kordinasi dan Rujukan

Dalam menyediakan layanan terkait HIV, pemangku kepentingan di DKI Jakarta sudah

melakukan upaya kordinasi bersama yang diatur oleh KPAP sesuai dengan tupoksi lembaga

Page 57: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

55

tersebut. Pertemuan kordinasi melibatkan fasyankes, dinkes, CSR perubahaan swasta dan

LSM yang bergerak di bidang HIV di DKI Jakarta, melalui metode pertemuan rutin atau dalam

pertemuan rancangan rapat daerah. Hal yang dibicarakan dalam pertemuan kordinasi

termasuk kendala dan masalah yang ditemui dalam menjalankan program terkait HIV seperti

pelaporan dan situasi program antar wilayah administrasi. Namun tiga informan mengatakan

keraguannya terhadap peran KPAP yang seharusnya bertanggung jawab penuh dalam

melakukan fungsi koordinasi. Hal ini terjadi mengingat beberapa pekerjaan yang dilakukan

KPAP lebih bersifat implementasi daripada mengkordinasikan program yang ada di DKI

Jakarta.

“Banyak aktor yang tidak melakukan implementasi sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya seperti contoh KPA yang seharusnya peran koordinasi namun sekarang jadi implementor, sehingga banyak timbul masalah” (R9)

“Bahkan KPA dengan peran koordinasi juga berperan sebagai implementor dan kadang tidak tahu menempatkan diri kapan harus memerankan peran2 tersebut” (R17)

Dalam implementasinya, masih ditemukan banyak kendala dalam melakukan kordinasi untuk

program HIV di DKI Jakarta. Tiga informan mengatakan kurang maksimalnya kordinasi

mengakibatkan kerjasama antar berbagai lembaga dan bagian tidak berjalan dengan baik,

sehingga tumpang-tindih pelaksanaan program dan kegiatan masih terjadi. Selain itu,

pemanfaatan sumber daya dalam program belum maksimal, banyak lembaga implementor

yang belum memeiliki kapasitas dipaksa untuk melaksanakan tugas yang mereka belum

terlalu paham. Bahkan hasil dokumentasi mid-term review tidak dimanfaatkan sebagaimana

mestinya sebagai bahan pembelajaran. Pertemuan koordinasi juga belum dapat

memaksimalkan diskusi mengenai target capaian program. Capaian program belum dianalisa

lebih lanjut untuk kemudian dijadikan target program kedepannya. Satu informan

mengatakan bahwa target 100% kondom yang dicetuskan oleh Global Fund sudah bebasis

bukti, namun tidak dapat mengkomunikasihkan lebih lanjut mengenai ketersediaan bukti

yang ada.

“Koordinasi antar bagian belum baik sehingga sering tidak nyambung untuk pemenuhan layanan kesehatan” (R6)

“Midterm review dilakukan tetapi tidak pernah ada data resmi dokumentasi hasilya yang dapat dipublis” (R15)

Page 58: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

56

“Terkait dengan target belum berjalan, masalah banyak dan belum ada intervensi contoh untuk program PPIA, intervensi yang terintegrasi secara baik belum berjalan” (R5)

iii. Jaminan Kualitas Layanan

Dalam melihat jaminan kualitas layanan studi ini menggunakan tiga aspek kunci, yaitu

mekanisme monitoring dan evaluasi regular, bantuan teknis dan stigma serta diskriminasi

terkait HIV. Lima orang informan mengatakan DKI Jakarta sudah memiliki mekanisme

monitoring dan evaluasi yang secara rutin dilakukan. Mekanisme monitoring dan evaluasi

dilakukan dalam bentuk supervisi dan penilaian penerimaan manfaat program. Beberapa

perangkat penilaian digunakan dalam melakukan monitoring rutin yang dilakukan, seperti

Standar Pelayanan Minimal, ISO dan akreditasi untuk Puskesmas dan RS, dan survey kepuasan

pelanggan. Mekanisme supervisi dilakukan oleh pemangku kebijakan kepada pelaksana

program di lapangan dengan cara instansi yang lebih tinggi ke unit pelayanan dibawahnya,

seperti Dinkes atau Sudinkes ke Puskesmas, KPAP ke KPAK, ataupun MPI ke LSM mitranya.

Supervisi yang dilakukan bertujuan untuk perbaikan kualitas layanan.

“ada STM (standar tinggi minimal) untuk PKM, di DKI sudah 50%, juga ada ISO untuk PKM dan RS, ada akreditasi untuk fasyankes/RS” (R4)

Namun, mekanisme monitoring dan evaluasi yang dilakukan dinilai masih terdapat beberapa

kekurangan. Supervisi yang dilakukan dirasa masih belum mampun untuk menilai efektifitas

layanan dan belum dapat meningkatkan jaminan kualitas layanan agar lebih baik. Lima

informan mengatakan mekanisme yang ada belum mampu meningkatkan kualitas layanan

terkait HIV dan AIDS. Hal ini diduga karena belum ada sistem serta manajemen assessment

yang baik dan tidak terkontrol oleh Kementerian Kesehatan, survei kepuasan pelanggan di

puskesmas tidak mencakup layanan HIV, masih kurangnya pelibatan dari penerima manfaat

dalam melakukan evaluasi di layanan. Selain itu, dua informan mengatakan mekansime

monitoring yang ada belum menyentuk penyedia layanan swasta mengingat mereka tidak

termasuk dalam ranah monitoring dan ketentuan yang sudah ditentukan oleh pemerintah

daerah.

“Belum ada manajemen khusus untuk melakukan assessment atau supervise untuk melihat jaminan kulaitas layanan” (R2)

“Kualitas layanan Swasta beda dengan Pemerintah, swasta tidak terpaku, RS pemerintah SOP” (R12)

Page 59: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

57

Begitupun dengan bantuan teknis sudah tersedia bagi respon HIV dan AIDS di DKI Jakarta. Bila

dikagorikan, bantuan teknis ada yang diberikan oleh pemerintah ataupun yang berasal dari

mitra pembangunan internasional (MPI). Bantuan teknis dari pemerintah umumnya diberikan

sesuai dengan alur perintah dan tanggung jawab dari instansi yang terkait minimal satu tahun

sekali. Misalnya, dinkes memberikan bantuan kepada puskesmas sebagai unit pelaksana

teknis yang bertanggung jawab dalam kesehatan didaerahnya. Bantuan teknis terutama

diberikan bila ditemukan masalah yang diketahui saat supervisi lapangan. Sedangkan bantuan

teknis dari MPI lebih terstruktur dan rutin. Hal ini sangat mungkin berkaitan dengan mandat

organisasi yang bertugas untuk memberikan bantuan teknis kepada pemerintah. Bantuan

teknis dapat diberikan baik kepada penyedia layanan pemerintah seperti Puskesmas dan

Lembaga Pemasyarakatan, ataupun LSM, baik dalam bentuk bimbingan ataupun peningkatan

kapasitas.

“Bimtek diberikan dari dinkes ke fasyankes bila ada permasalahan yang ditemukan saat supervisi” (R4)

“FHI lebih pada memeberikan technical assistance kepada pemerintah, selain itu kita juga pernah support untuk CoC di beberapa Puskesmas, selain itu juga berpartner dengan LSM ada sekitar 80 LSM, bukan memberi dana untuk implementasi” (R17)

Selain itu beberapa upaya untuk mengurangi stigma dan diskriminasi terkait HIV telah

dilakukan oleh fasyankes di DKI Jakarta. Tiga informan mengatakan upaya pengurangan

stigma dan diskriminasi dilakukan melalui pemberian informasi yang benar kepada

masyarakat luas dan dua informan mengatakan terdapat pelatihan yang dilakukan. Namun

enam informan juga mengatakan bahwa stigma dan diskriminasi di tingkatan masyarakat

masih menghadapi tantangan, terlepas dari pelibatan masyarakat yang telah dilakukan.

Pelibatan kader masyarakat untuk mengurangi stigma dan diskriminasi di tataran masyarakat

dianggap sebagai salah satu cara yang cukup strategis oleh satu informan. Hal ini diperkirakan

karena isu HIV masih sering dikaitkan dengan masalah religius. Untuk stigma dan diskriminasi

pada tingkatan fasyankes, enam informan mengatakan hal tersebut masih terjadi. Empat

informan secara spesifik menyebutkan stigma dan diskriminasi masih dilakukan oleh tenaga

kesehatan. Hal tersebut terjadi diduga karena tingkat pengetahuan yang berbeda dan perlu

ditingkatkan dengan pelatihan kepada tenaga kesehatan di fasyankes.

Page 60: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

58

“Di masyarakat masih dikaitkan dengan masalah religius, masih tinggi stigma dan diskriminasinya” (R6)

“Masih ada di fasyankes oleh nakes, usaha untuk mengatasi juga masih dianggap kurang” (R10)

Untuk rujukan, DKI Jakarta banyak bergantung kepada LSM. Selain itu, setelah ada UPT satelit

ARV, jejaring rujukan antar puskesmas dan rumah sakit telah terbentuk.

2. Tingkat Integrasi

Dalam menilai tingkat integrasi respon HIV ke dalam sistem kesehatan, studi ini akan

menggunakan definisi tingkat integrasi menurut Conseil et al. (2010) dan Desai et al. (2010)

yang mengkategorikan tingkat integrasi menjadi tiga, Penuh, Terintegrasi secara parsial dan

Tidak terintegrasi. Sebuah sub-sistem kesehatan dikatakan terintegrasi penuh bila intervensi

dikelola secara penuh dan dikendalikan melalui sistem kesehatan yang berlaku. Sedangkan

penilaian integrasi sebagian bila intervensi ini dikelola sebagian oleh sistem kesehatan yang

ada dan sistem untuk intervensi tertentu. Hasil temuan studi di setiap dimensi dalam masing-

masing sub-sistem dalam sistem kesehatan akan diukur tingkat integrasinya untuk setiap

respon HIV, dalam konteks ini pencegahan, PDP, dan mitigasi dampak. Untuk membantu

tingkat pengukuran integrasi, pertanyaan kunci disiapkan untuk dimensi sebagai indikator

pengukur seperti terlihat dalam table 7.

Tabel 7. pertanyaan kunci tingkat integrasi di setiap dimensi

Dimensi Indikator pertanyaan kunci

Regulasi Apakah pemerintah daerah mengkoordinasikan dan mengelola sumber pembiayaan penanggulangan AIDS yang berasal dari berbagai sumber?

Formulasi kebijakan Apakah ada mata anggaran program HIV dan AIDS di dalam APBD? (dalam bentuk Anggaran di SKPD atau Bantuan Sosial)

Akuntabilitas Apakah JKN atau jamkesda bisa digunakan oleh masyarakat untuk memanfaatkan layanan perawatan dan pengobatan HIV?

Pengeloaan sumber pembiayaan

Apakah pemerintah daerah mengkoordinasikan dan mengelola sumber pembiayaan penanggulangan AIDS yang berasal dari berbagai sumber?

penganggaran, proporsi, distribusi dan pengeluaran

Apakah ada mata anggaran program HIV dan AIDS di dalam APBD? (dalam bentuk Anggaran di SKPD atau Bantuan Sosial)

Kebijakan dan sistem manajemen

Apakah ada regulasi yang mengatur tentang SDM yang digunakan dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah ini? (kompetensi, pengembangan kapasitas, penempatan/mutasi, hubungan kerja dengan non pemerintah)

Pembiayaan Apakah pembiayaan pengelolaan SDM penanggulangan HIV dan AIDS menggunakan pembiayaan di sektor kesehatan (pemerintah)?

Kompetensi Apakah standar kompetensi untuk SDM yang bekerja dalam program HIV dan AIDS mengacu dalam peraturan tentang SDM kesehatan yang berlaku?

Regulasi, penyediaan, diagnostic dan terapi

Apakah regulasi penyediaan, penyimpanan material, diagnostik, dan terapi terkait HIV dan AIDS di daerah tersebut seperti untuk permasalahan kesehatan lain di

Page 61: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

59

Dimensi Indikator pertanyaan kunci

daerah tersebut atau disediakan oleh JKN? (reagen, ARV, kondom, jarum suntik, mesin CD4 dan VL)

Sumber daya Apakah sumber pembiayaan untuk penyediaan, penyimpanan, dan distribusi obat dan perlengkapan medik untuk HIV dan AIDS masuk di dalam anggaran dinas kesehatan atau ditanggung oleh JKN?

Sinkronisasi sistem informasi

Apakah program HIV dan AIDS menggunakan sistem informasi yang digunakan oleh dinas kesehatan? (surveilans, survey, monitoring dan evaluasi program berdasarkan input, proses, output)

Diseminasi dan pemanfaatan

Apakah hasil pengolahan data sistem informasi program HIV dan AIDS yang ada saat ini digunakan untuk perencanaan dan pengembangan program HIV di daerah tersebut?

Partisipasi masyarakat Apakah ada bentuk-bentuk kemitraan antara pemerintah dengan masayarakat sipil atau swasta dalam proses perencanaan hingga evaluasi program HIV dan AIDS di daerah ini?

Akses dan pemanfaatan layanan

Apakah ada upaya dari program HIV dan AIDS untuk mendorong masyarakat khususnya populasi kunci untuk memanfaatkan JKN atau bantuan sosial dalam mengakses layanan HIV dan AIDS yang tersedia di wilayah tersebut?

Ketersediaan layanan Apakah tersedia layanan penanggulangan HIV dan AIDS di fasyankes primer dan sekunder di daerah ini?

Kordinasi dan rujukan Apakah layanan HIV dan AIDS yang ada di daerah ini dikoordinasi oleh Dinas Kesehatan melalui KPAD sebagai penanggung jawab pembangunan kesehatan termasuk penanggulangan HIV dan AIDS di daerah ini?

Jaminan kualitas layanan

Apakah ada mekanisme supervisi dan evaluasi untuk menjamin kualitas layanan penanggulangan HIV dan AIDS seperti halnya mekanisme dalam pelayanan kesehatan lainnya? (penerapan SOP layanan, ketaatan terhadap petunjuk pelaksanaan, akreditasi, survei kepuasan klien, dll)

Sub-sistem manajemen dan regulasi terdiri dari tiga dimesi yaitu regulasi, formulasi kebijakan

dan akuntabilitas. Untuk dimensi regulasi tingkat intergasi pencegahan dan PDP sudah terjadi

secara penuh, sedangkan mitigasi dampak tidak terinterintergasi sama sekali. Dalam respon

promosi dan pencegahan HIV dan AIDS sudah terdapat tiga kebijakan pendukung yang dapat

memastikan baik pencegahan penasun dan transmisi seksual dapat berjalan. Kebijakan krusial

untuk pencegahan melalui penasun adalah surat edaran Kadinkes No 3884/1.778/2009

tentang kemandirian penganggaran HR yang mengusulkan agar setiap puskesmas dapat

mengeluarkan anggaran untuk alkes jarum steril, pertemuan penasun dan kader muda

melalui BLUD. Sedangkan untuk pencegahan tranmisi seks, adanya kebijakan untuk program

PMTS yang memastikan distribusi kondom dan outlet kondom dapat dilakukan di setiap

kotamadya. Sayangnya tidak ada satupun regulasi terkait mitigasi dampak yang tersedia.

Sedangkan hasil pengolahan data untuk dimensi formulasi kebijakan tidak bisa secara detil

melihat sesuai masing-masing respon program karena keterbatasan data. Namun secara garis

besar sudah ada upaya untuk melakukan pengumpulan data melalui surveillance dan survei

perilaku dan data capaian bulanan, namun tidak ada informasi yang memastikan bahwa data

tersebut digunakan untuk perencanaan kebijakan. Ketidaktersediaan data untuk memilah

Page 62: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

60

pengukuran per respon HIV dan AIDS juga ditemukan dalam dimensi akuntabilitas. Secara

umum bentuk akutabilitas pemerintah dalam respon HIV dan AIDS lebih mengarah pada

pemberian informasi dan belum merujuk pada perencanaan dan penggunaan anggaran.

Terdapat tiga dimensi dalam sub-sistem pembiayaan, yaitu pengeloaan sumber pembiayaan,

penganggaran, proporsi, distribusi dan pengeluaran, serta mekanisme pembayaran layanan.

Bila dilihat secara umum, dimensi sumber pembiayaan dapat dikatakan sudah terintegrasi

secara penuh. Hal ini terlihat dari adanya dukungan APBD untuk program HIV sebesar 64%

dan penggunaan e-catalogue untuk mengajukan perencanaan anggaran, sesuai dengan

ketentukan pemerintah daerah DKI Jakarta. Namun, informasi terpilah sesuai dengan respon

intervensi (Pencegahan, PDP, mitigasi dampak) tidak tersedia untuk dinilai lebih lanjut.

Sedangkan dalam dimensi penganggaran, proporsi, distribusi dan pengeluaran, tingkat

integrasi untuk PDP dan pencegahan dapat dikategorikan sebagai terintegrasi penuh.

Penilaian ini didapat mengingat sudah ada mata anggaran untuk program HIV dan AIDS. Data

yang ada menunjukan bahwa anggaran untuk pencegahan yang berasal dari APBD berjumlah

41% dari total APBD 2012 dan 12% untuk PDP. Dana ini dapat dikeluarkan dari BLUD

puskesmas. Walaupun persentasi anggaran untuk PDP tergolong kecil namun hal ini

diasumsikan karena anggaran ARV sudah ditanggung oleh pemerintah pusat. Untuk respon

mitigasi dampak dinilai terintegrasi secara parsial mengingat jumlah anggaran yang

dikeluarkan dari APBD sangat kecil (0.23%). Kemungkinan dana yang dialokasikan untuk

mitigasi berupa bantuan gizi untuk ODHA dan belum dilakukan secara merata oleh setiap UPT.

Dimensi ketiga, yaitu mekanisme pembayaran memiliki penilaian yang berbeda-beda.

Pencegahan dinilai terintegrasi sebagaian mengingat dana JKN dapat digunakan untuk

membayar biaya PTRM namun tidak dapat digunkan untuk membeli jarum suntik dan

kondom. Sedangkan PDP dinilai sudah terintegrasi karena biaya perawatan terkait HIV dapat

dibayar menggunakan JKN. Walaupun hasil pengolahan data mengatakan bahwa masih ada

beberapa biaya yang tidak tercakup seperti biaya lab dan obat, namun hal ini juga ditemukan

bila masyarakat lain mengakses JKN untuk penyakit lain.

Sub-sistem ketiga adalah sumber daya manusia yang dikategorikan dengan dimensi kebijakan

dan sistem manajemen, pembiayaan serta kompetensi. Dalam dimensi kebijakan dan sistem

manajemen, tidak tersedia data yang memadai untuk menilai respon pencegahan, PDP dan

mitigasi dampak. Namun secara umum dimensi kebijakan dan sistem manajemen dapat

Page 63: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

61

dikatakan tidak terintegrasi mengingat DKI Jakarta belum memiliki aturan tertulis terkait

pengelolaan SDM untuk program HIV, baik yang PNS, non-PNS ataupun masyarakat sipil.

Dimensi pembiayaan juga tidak dapat dinilai sesuai respon penanggulangan HIV mengingat

keterbatasan data yang terkumpul. Walaupun secara umum petugas di UPT baik yang bersifat

PNS ataupun kontrak yang memberikan pelayanan HIV sudah dibayar melalui APBD. Untuk

dimensi kompetensi, hanya PDP yang dinilai sudah terintegrasi secara penuh. Permenkes

No.5 tahun 2014 mengatur standar pelayanan klinis yang harus diberikan oleh dokter terkait

HIV. Sayangnya tidak ada data yang tersedia untuk menilai kategori pencegahan dan mitigasi

dampak.

Sub-sistem keempat adalah Penyediaan farmasi dan alkes yang dikategorikan melalui dimensi

regulasi penyediaan penyimpanan diagnostik dan terapi, serta sumber daya. Dalam dimensi

penyediaan farmasi dan alkes, respon pencegahan dikategorikan tidak terintegrasi karena

masih dilakukan melalui KPAP dan KPAK, sedangkan respon PDP dinilai sudah terintegrasi

penuh mengingat pengadaan ARV sudah berada di bawah tanggung jawab bidang farmasi

Kemenkes dan sudah proses distribusinya sudah dilakukan melalui Dinkes untuk diteruskan

ke UPT yang memberikan pelayanan. Pencatatan ARV juga sudah mengacu pada pedoman

pemberian ARV yang tertera dalam Permenkes No. 87 tahun 2014. Respon mitigasi dampak

tidak dapat diukur lebih lanjut karena ketidaktersediaan data. Dalam dimensi sumber daya,

respon pencegahan dinilai terintegrasi sebagian karena masih ada alat kesehatan jarum suntik

untuk mendukung program pengurangan dampak buruk yang masih didukung oleh donor.

Namun dengan adanya surat edaran Ka. Dinkes No. 3884/1.778/2009, UPT dapat

menganggarkan jarum suntik melalui dana APBD. Respon PDP dinilai sudah terintegrasi penuh

karena pembelian ARV sudah menggunakan dana APBD dan sebagian besar beban logistik

sudah ditanggung oleh APBD. Tidak ada data yang dapat digunakan untuk mengukur respon

mitigasi dampak.

Sub-sistem kelima adalah informasi strategis yang dipilah berdasarkan dimensi sinkronisasi

sistem informasi, dan diseminasi dan pemanfaatan. Respon pencegahan dan PDP dinilai

sudah terintegrasi secara penuh dalam dimensi sinkronisasi sistem informasi karena sudah

ada survei perilaku dan biologis yang dilakukan untuk melihat prevalensi HIV pada populasi

kunci. Dalam dimensi diseminasi dan pemanfaatan, tidak ada data data yang dapat

digunakan untk menilai secara spesifik respon pencegahan, PDP dan mitigasi dampak. Namun

Page 64: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

62

secara umum, pemanfaatan dari laporan rutin yang terkumpul masih perlu dimaksimalkan

terutama untuk perencanaan dan desain program. Sedangkan respon mitigasi dampak tidak

memiliki informasi yang cukup untuk dapat dinilai.

Sub-sistem keenam adalah pemberdayaan masyarakat yang dilihat melalui dimensi

partisipasi masyarakat dan akses serta pemanfaatan layanan. Dari hasil pengolahan data,

tidak ada data yang dapat digunakan untuk menilai secara spesifik respon pencegahan, PDP

dan mitigasi dampak untuk kedua dimensi dalam sub-sistem pemberdayaan masyarakat.

Namun secara umum dimensi partisipasi masyarakat dapat dikategorikan sebagai

terintegrasi sebagian mengingat sudah ada pelibatan unsur masyarkaat sipil dalam

perencanaan dan evaluasi program walaupun belum merata. Sedangkan dalam dimensi

pemanfaatan layanan juga dapat dikatakan sudah terintegrasi sebagian karena UPT dan LSM

secara aktif berusaha untuk memastikan populasi kunci dan terdampak HIV untuk teregistrasi

dalam JKN, walaupun masih ada beberapa hambatan seperti kesulitan administrasi dan

perbedaan pemahaman antar UPT dalam memaknai kegunaan JKN bagi populasi kunci.

Dimensi ketujuh yaitu penyediaan layanan yang dinilai melalui dimensi ketersediaan layanan,

kordinasi dan rujukan serta jaminan kualitas layanan. Dalam dimensi ketersediaan layanan,

respon pencegahan dan PDP dinilai sudah terintegrasi secara penuh. Sekitar 38 puskesmas

kecamatan di DKI Jakarta sudah dapat melakukan tes HIV, 30 puskesmas melakukan program

LASS, 6 puskesmas menjadi satelit ARV dan 8 puskesmas menjalankan PTRM. Namun tidak

ada data yang tersedia untuk mengukur mitigasi dampak. Dalam dimensi kordinasi dan

rujukan, tidak ada data yang tersedia untuk mengukur secara spesifik respon pencegahan,

PDP dan mitigasi dampak. Namun secara umum sudah ada kordinasi antar lembaga yang

bergerak di bidang HIV yang dilakukan oleh KPAP dan Dinkes. Selain itu, alur rujukan sudah

tersedia untuk program HIV baik dari LSM ke UPT ataupun antar UPT. Begitupun dengan

dimensi jaminan kualitas layanan, hasil pengolahan data tidak dapat digunakan untuk

mengukur respon HIV secara spesifik dikarenakan keterbatasan data. Namun secara umum

dapat dikatakan bahwa dimensi jaminan kualitas layanan sudah terintegasi sebagian

mengingat mekanisme monitoring dan supervisi sudah menggunakan jalur yang sama dengan

penyakit lain yaitu dari Sudinkes ke puskesmas, untuk kemudian disampaikan kepada Dinkes.

Sayangnya program HIV belum masuk dalam daftar akreditasi Pukesmas. Rangkuman

penilaian setiap dimensi dalam tujuk kategori sub-sistem dapat dilihat dalam table 8.

Page 65: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

63

Tabel 8. Tingkat Integrasi sub-sistem dalam setiap dimensi sistem kesehatan

Sub-sistem Dimensi Pencegahan PDP Mitigasi Dampak

Manajemen & Regulasi

Regulasi ††† ††† †

Formulasi Kebijakan n/a n/a n/a

Akuntabilitas n/a n/a n/a

Pembiayaan Kesehatan

Pengelolaan sumber pembiayaan n/a n/a n/a

Penganggaran, proporsi, distribusi dan pengeluaran

††† ††† †

Mekanisme pembayaran layanan †† ††† †

SDM Kebijakan dan sistem manajamen n/a n/a n/a

Pembiayaan n/a n/a n/a

Kompetensi n/a ††† n/a

Penyediaan farmasi dan alkes

Regulasi penyediaan, penyimpanan, diagnostik dan terapi

† ††† n/a

Sumber daya †† ††† n/a

Sistem informasi Sinkronisasi sistem informasi ††† ††† n/a

Diseminasi dan pemanfaatan n/a n/a n/a

Pemberdayaan Masyarakat

Partisipasi Masyarakat n/a n/a n/a

Akses dan pemanfaatan layanan n/a n/a n/a

Penyediaan layanan Ketersedian Layanan ††† ††† n/a

Kordinasi dan Rujukan n/a n/a n/a

Jaminan Kualitas Layanan n/a n/a n/a

Keterangan: †††: Terintergasi penuh; ††: Terintergasi secara parsial; † Tidak terintegrasi; n/a tidak ada informasi tersedia

a. Hubungan tingkat integrasi dengan Kinerja Program HIV dan AIDS di DKI Jakarta

Bila merujuk pada table 8 dapat terlihat bahwa banyak data yang tidak tersedia untuk

mengukur setiap dimensi dalam sub-sistem kesehatan. Hasil pengukuran tingkat integrasi

dapat disimpulkan bahwa PDP adalah respon HIV AIDS terbanyak yang dimensinya sudah

terintegrasi. Sub-sistem penyediaan farmasi dan alkes sudah terintegrasi secara penuh di

kedua dimensinya. Sedangkan dalam sub-sistem lain ada beberapa dimensi yang sudah

teringrasi secara penuh seperti dimensi regulasi, penganggaran proporsi distribusi dan

pengeluaran dan mekanisme pembayaran layanan dalam sub-sistem pembayaran layanan,

kompetensi SDM, singkronisasi sistem informasi dan ketersediaan layanan. Sedangkan dalam

respon pencegahan dimensi dalam sub-sistem yang sudah teringrasi baru dalam tataran

regulasi, penganggaran proporsi distribusi dan pengeluaran, singkronisasi sistem informasi

dan ketersediaan layanan. Beberapa dimensi seperti mekanisme pembayaran dan sumber

daya baru terintegrasi secara parsial. Sayangnya, dari keseluruhan dimensi yang diukur dalam

respon mitigasi dampak hanya tiga dimensi yang tersedia datanya, yaitu regulasi,

penganggaran proporsi distribusi dan pengeluaran dan mekanisme pembayaran layanan

dengan hasil pengukuran bahwa dimensi tersebut tidak terintegrasi dengan sistem kesehatan

di DKI Jakarta.

Page 66: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

64

Dengan tingkat integrasi yang ada, hasil cakupan respon HIV dan AIDS di DKI Jakarta masih

sangat jauh dari capaian ideal. Pada table 9 dipetakan estimasi populasi beresiko tinggi yang

menjadi sasaran utama dalam respon HIV di DKI Jakarta. SRAP DKI Jakarta mensyarakatkan

agar 80% dari target setiap populasi kunci dapat terjangkau oleh respon HIV. Dari hasil kerja

pada 2012 terlihat bahwa populasi kunci yang terjangkau sesuai target hanya waria (81%).

Sedangkan populasi kunci lain hanya terjangkau kurang dari 45%. Untuk kelompok penasun

yang mendapatkan akses pencegahan hanya 47% menerima PTRM dan 13.8% menerima

program LASS. Bila dihubungkan dengan akses terhadap PDP, hanya kelompok penasun yang

memiliki cakupan tes HIV mendekati setengah dari target SRAP (46.4%), sisanya hanya

mendapatkan akses terhadap tes HIV kurang dari 25 persen.

Tabel 9. Capaian respon HIV di DKI Jakarta per populasi kunci

Populasi Kunci Estimasi (2012)

Target 80% (SRAP)

Terjangkau (2012)

% terjangkau

Tes HIV % Capaian

WPS 12,560 10,048 12,238 44.2% 1,845 15%

WPS TL 22,030 17,624

Pelanggan WPS 246,830 197,464 69,279 35% n/a n/a

LSL 46,900 37,520 8,705 23.2% 1,848 21.2%

Waria 2,050 1,640 1,336 81% 327 24.4%

Penasun 34,900 27,920 3,878 13.8% 12,973 46.4%

Aktif LASS 1,831 47.2% n/a -

Aktif PTRM 1,115 28.5% n/a - Sumber: SRAP KPAP DKI (2013)

Tentunya akses populasi kunci terhadap tes HIV berkontribusi terhadap capaian Dinkes terkait

target HIV AIDS. Dalam rencana strategis Dinkes 2013-2017 indikator kinerja program terkait

HIV adalah presentase akses layanan kesehatan pada ODHA dengan peningkatan 5% setiap

tahun sampai mencapai 60% pada tahun 2017. Data estimasi dari Kemkes (2012) menyatakan

bahwa estimasi ODHA di DKI Jakarta berjumlah sekitar 87 ribu orang. Bila mengacu pada

renstra Dinkes maka target cakupan layanan adalah 45% atau sekitar 39 ribu ODHA yang

mendapatkan akses layanan kesehatan. Dari data laporan twiwulan HIV Kemkes (2014)

tercatat bahwa Dinkes hanya bisa mencapai 82% dari target kinerja yang disyaratkan. Itupun

hanya 44% ODHA yang dalam perawatan ART dari 23 ribu ODHA yang memenuhi syarat untuk

ART. Angka loss to follow up dan kematian ODHA cukup tinggi di DKI Jakarta. Hal ini perlu

menjadi perhatian bila kinerja Dinkes diukur dari jumlah ODHA yang mendapatkan akses

layanan kesehatan. Dapat disimpulkan bahwa tingkat intergasi sub-sistem yang sekarangpun

belum mampu meningkatkan kualitas PDP dalam respon HIV AIDS di DKI Jakarta.

Page 67: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

65

Gambar 4. Cascade HIV di DKI Jakarta

Sumber: Laporan triwulan III Kemkes (2014)

Page 68: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

66

IV. DISKUSI

Terdapat beberapa temuan penting dalam studi ini yang layak untuk didiskusikan lebih lanjut.

Pertama, dalam analisa pemangku kepentingan terungkap bahwa terdapat banyak pemangku

kepentingan dalam HIV AIDS dengan posisi kekuasaan dan kepentigan yang berbeda-beda.

Hal ini sesuai dengan temuan dari Ancker dan Rechel (2015) yang menemukan tingkatan

kepentingan berbeda antara pemangku kepentingan dalam program HIV dan AIDS Di

Kyrgyzstan. Disebutkan bahwa lembaga pemerintahan dan lembaga donor memiliki

kepentingan dan kekuasaan yang tinggi, sesuai dengan temuan dalam studi ini dimana Dinkes,

KPAP, Puksesmas dan MPI masuk dalam kateori kepentingan dan kekuasaan tinggi. Tiga aktor

pertama berkaitan dengan unsur pemerintahan, walaupun Dinkes dan Puskesmas adalah

instansi struktural dari pemerintah daerah dan KPAP merupakan lembaga non-struktural.

Sedangkan MPI walaupun “lembaga luar” pemerintahan namun dapat masuk dalam kategori

ini. Menurut Peters, Paina & Schleimann (2013) hal ini dikarenakan MPI masuk melalui isu

inisiatif global untuk bekerja di dalam negeri. Kesamaan yang membuat keempat actor ini

memiliki kepentingan dan kekuasaan tinggi dalam respon HIV adalah adanya modal dan

legitimasi melalui payung hukum mengenai peran dan tanggungjawab dalam respon HIV AIDS

di DKI Jakarta. Menurut Gore dan rekan (2014), peran pemerintah sangat penting dalam

analisa politik program HIV mengingat pemerintah adalah peramu kebijakan, penyedia

sumber daya terbesar, dan seharusnya memiliki kapasitas untuk bernegosiasi atas

keterlibatan donor dalam respon HIV dan AIDS di dalam negeri.

Selain itu, data dan tingkat integrasi dalam respon mitigasi dampak sangat terbatas bila

dibandingkan dengan respon HIV dan AIDS di pencegahan dan PDP di DKI Jakarta. Menurut

Husain dan Badcock-Walters (2002) minimnya program mitigasi dampak umumnya terjadi

ketika respon HIV lebih berfokus pada masalah kesehatan masyarakat dan melupakan

tantangan pembangunan dan managerial yang melingkupi permasalah HIV dan AIDS.

Ketidaktersedianya data terkait dampak epidemi HIV terhadap ekonomi dalam jangka

panjang mengakibatkan ketidakpastian dalam merancang program terkait mitigasi dampak.

Hal ini biasanya terjadi bila respon HIV hanya dilihat sebagai masalah kesehatan saja sehingga

fokus solusi terhadap masalah tidak dapat keluar dari lingkup kesehatan, dan melihat aspek

sosial dan ekonomi. Situasi ini serupa dengan respon HIV yang terjadi di Jakarta di mana data

dan respon lebih banyak terlihat pada komponen program pencegahan dan PDP. Dalam

Page 69: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

67

respon mitigasi dampak yang berhasil diukur tingkat integrasinya menunjukan bahwa dimensi

regulasi, penganggaran proporsi distribusi dan pengeluaran serta mekanisme pembayaran

layanan menunjukan tidak terintegrasi dalam sistem kesehatan daerah.

Sedangkan tingkat integrasi sub-sistem pada respon pecegahan dan PDP berbeda-beda.

Dapat dikatakan hanya lima dari tujuh sub-sistem dimana terdapat dimensi yang dapat

terukur tingkat intergasinya. Sub-sistem pemberdaan masyarakat dan sumber daya manusia

(kecuali dimensi kompetensi) sama sekali tidak dapat terukur tingkat integrasinya. Menurut

Mugavero, Norton, & Saag (2011) level integrasi yang berbeda dalam pemberian layanan

umumnya terjadi berkaitan dengan ketersediaan anggaran, kurangnya kordinasi dan

pendekatan yang berbeda dalam monitoring/surveillance program. Tingkat integrasi penuh

dari kedua respon terlihat dalam dimensi regulasi, pengganggaran proprosi distribusi dan

pengeluaran, sinkronisasi sistem informasi dan ketersediaan layanan. Hal ini serupa dengan

temuan studi Desai et al (2010) di mana tingkat integrasi secara penuh ditemukan pada

infratstuktur layanan kesehatan dan proses procurement pada implementasi program

dukungan Global Fund di Indoensia. Pada sub-sistem sistem informasi dimensi pemanfaatan

dan diseminasi terhadap data yang sudah terkumpul belum dilakukan secara maksimal karena

masih adanya kebingungan kepemilikan data antara nasional atau daerah. Untuk respon

pencegahan, dimensi mekanisme pembayaran layanan dan sumber daya baru terintegrasi

sebagian, sedangkan dalam respon PDP dimensi tersebut sudah terintegrasi secara penuh.

Menurut Atun, Bennet & Duran (2008) adanya perbedaan tingkat integrasi dalam sub-sistem

kesehatan terjadi karena adanya dorongan program dari komitmen global yang menfokuskan

dukungan dana dan teknis untuk mengentaskan masalah kesehatan spesifik seperti AIDS,

malaria atau tuberculosis. Selanjutnya menurut Atun dan rekan (2010) hasil sistematik review

terhadap bukti integrasi intervensi kesehatan ke dalam sistem kesehatan menyimpulkan

bahwa program kesehatan yang efektif ada yang dihasilkan dari intervensi yang terintegrasi

penuh, sebagian dan tidak terintegrasi. Pada prakteknya sistem kesehatan

mengkombinasikan intervensi yang terintegasi penuh dan tidak terintegrasi. Hal yang penting

adalah apakah tingkat integrasi suatu intervensi kesehatan terhadap sistem kesehatan

tersebut seberapa berhasil mengatasi masalah kesehatan yang ada.

Page 70: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

68

Page 71: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

69

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari studi ini adalah, pertama DKI Jakarta telah

melakukan berbagai respon HIV dan AIDS yang dilakukan oleh beberapa pemangku

kepentingan. Untuk menghadapi permasalahan ini respon terkait HIV di DKI Jakarta

mencakup respon pencegahan yang berfokus pada pengguna napza suntik dan transmisi

seksual melalui PMTS, respon PDP termasuk LKB dan SUFA, dan mitigasi dampak. Layanan HIV

sudah tersedia merata di semua kotamadya. Beberapa pemangku kepentingan yang terlibat

memiliki tingkat kepentingan dan kekuasaan yang bervariasi. Besarnya kepentingan dan

kekuasan banyak dipengaruhi oleh kepemilikan modal dan legitimasi payung hukum untuk

melaksanakan program terkait HIV AIDS.

Kedua, respon penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta memiliki tingkat integrasi yang

berbeda-beda. PDP dan pencegahan adalah respon HIV dan AIDS terbanyak yang dimensinya

sudah terintegrasi, sedangkan mitigasi dampak adalah respon yang paling tidak terintegrasi.

Dimensi yang sudah terintegrasi secara penuh adalah regulasi, penganggaran proporsi

distribusi dan pengeluaran dan mekanisme pembayaran layanan dalam sub-sistem

pembayaran layanan, kompetensi SDM, singkronisasi sistem informasi dan ketersediaan

layanan. Sub-sistem yang tidak dapat diukur tingkat integrasinya adalah pemberdayaan

masyarakat dan Sumber Daya manusia. Dimensi kompetensi hanya terdapat dalam respon

PDP.

Ketiga, tingkat integrasi sub-sistem kesehatan dan respon HIV dan AIDS di Jakarta belum

mampu meningkatkan cakupan respon dalam menjangkau populasi kunci ataupun dalam

perawatan. Hasil cakupan program masih berada di bawah target yang ditentukan dalam

SRAP dan Renstra Dinkes.

Keempat, terdapat beberapa faktor yang pelu diperhatikan untuk meningkatkan tingkat

integrasi sistem kesehatan dan respon HIV seperti: aspek sosial dan ekonomi jangka panjang

harus diperhatikan untuk meningkatkan respon mitigasi dampak, ketersediaan anggaran,

meningkatkan kordinasi, dan pendekatan dalam monitoring/surveillance program agar dapat

lebih dimanfaatkan untuk perancangan respon HIV ke depan.

Page 72: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

70

B. Rekomendasi

Hasil penelitian ini bertujuan untuk memberikan perbaikan kinerja penanggulangan HIV dan

AIDS dalam jangka menengah sehingga rekomendasi yang diberikan berada pada tataran

operasional sehingga dapat digunakan secara langsung untuk memperbaiki layanan, sebagai

berikut:

1. Melakukan kajian sosial dan ekonomi terkait dampak HIV AIDS jangka panjang,

terutama dengan adanya program SUFA yang berdampak pada peningkatan kualitas

hidup ODHA secara bermakna. Hasil dari kajian dapat digunakan untuk melakukan

inovasi program mitigasi dampak, termasuk memperluas cakupan kerjasama seperti

dengan instansi terkait seperti dinas sosial, badan pemberdayaan masyarakat

perempuan dan keluarga berencana, badan pendidikan dan pelatihan provinsi;

2. Melakukan inovasi untuk mensiasati jumlah tenaga kesehatan yang terbatas dengan

melakukan task shifting atau perpindahan delegasi beberapa pekerjaan terkait HIV

yang dapat dilakukan oleh kader masyarakat, LSM atau populasi kunci seperti tes HIV

berbasis komunitas, konseling kepatuhan ARV, konseling dan assessment terkait

kesehatan reproduksi, PPIA dan Keluarga Berencana, registrasi dan data manajement

system;

3. Melakukan standarisasi kualitas layanan HIV sebagai jaminan mutu dalam konteks

kompetensi SDM, SOP, supervisi, dan dukungan teknis untuk mengimplementasi

program pencegagan, perawatan, dukungan, pengobatan, dan mitigasi dampak;

4. Melakukan upaya persiapan SDM sejak dini dengan memasukan kurikulum HIV&AIDS

dalam fakultas kedokteran atau fakultas kesehatan masyarakat untuk menjamin

keberlanjutan SDM yang bekualitas dan mengurangi beban pelatihan SDM;

5. Melakukan affirmative action agar lebih aktif bekerja sama dan melibatkan komunitas

terdampak HIV (LSM, komunitas populasi kunci) dalam perencanaan, monitoring, dan

evaluasi program;

6. Memperjelas kepemilikan data dari SIHA dan IBBS dan melakukan analisa yang lebih

spesifik untuk setiap komponen Pencegahan dan PDP untuk kepentingan

Page 73: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

71

pengembangan program di daerah, termasuk menyediakan data dan target capaian

untuk program terkait mitigasi dampak;

7. Memperhatikan dan mulai menginventarisir dampak desentralisasi terhadap respon

HIV seperti tidak meratanya jumlah staf dan kualitas layanan akibat komitmen

kotamadya, serta melakukan upaya perbaikan dan solusi;

8. Memanfaatkan peran CSR perusaan swasta untuk terlibat secara aktif dalam isu HIV

secara berkelanjutan dan memfasilitasi kerjasama dengan LSM sebagai solusi

keterbatasan dana yang dikelola oleh LSM untuk respon HIV;

Page 74: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

72

Daftar Pustaka

Ancker, S., & Rechel, B. (2015). HIV/AIDS policy-making in Kyrgyzstan: a stakeholder

analysis. Health policy and planning, 30(1), 8-18.

Atun, R. A., Bennett, S., & Duran, A. (2008). When do vertical (stand-alone) programmes have

a place in health systems. Geneva: World Health Organization.

Atun, R., de Jongh, T., Secci, F., Ohiri, K., Adeyi, O. 2010a. Integration of targeted health

interventions into health systems: A conceptual framework for analysis. Health Policy

and Planning, 25:104-111

Atun, Rifat, Thyra de Jongh, Federica Secci, Kelechi Ohiri, and Olusoji Adeyi. (2010) "A

systematic review of the evidence on integration of targeted health interventions into

health systems." Health policy and planning 25, no. 1 (2010): 1-14.

BPS (2014) “Jakarta Dalam Angka” http://www.jakarta.go.id/v2/jakarta_dalam_angka#/0

BPS (2014) “Statistik Daerah Provinsi DKI Jakarta 2014” BPS Jakarta. Retrieved on 2 March

2016 from http://jakarta.bps.go.id/backend/pdf_publikasi/Statistik-Daerah--

Provinsi-DKI-Jakarta-2014.pdf

Coker, R., Balen, J., Mounier-Jack, S., Shigayeva, A., Lazarus, JV., Rudge, J.W., Naik, N., Atun,

R. 2010. A conceptual and analytical approach to comparative analysis of country case

studies: HIV and TB control programmes and health systems integration. Health Policy

and Planning, 25 (suppl 1): i21-i31 doi:10.1093/heapol/czq054

Conseil, A., Mounier-jack, S., Coker, A. 2010. Integration of health systems and priority health

interventions: a case study of the integration of HIV and TB control programmes into

the general health system in Vietnam. Health Policy and Planning, 25:i32-i36.

Creswell, J.W. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods

Approaches. Thousand Oaks, CA: Sage Publications.

Desai, M., Rudge, J. W., Adisasmito, W., Mounier-Jack, S., & Coker, R. (2010). Critical

interactions between Global Fund-supported programmes and health systems: a case

study in Indonesia. Health Policy and Planning,25(suppl 1), i43-i47.

Dinas Kesehatan DKI Jakarta (2013) “Rencana Strategis Kesehatan 2013-2017”

Dongbao, Yu., Souteyrand, Y., Banda, M.A., Kaufman, J., Perriëns, J.H. 2008. Investment in

HIV/AIDS programs: Does it help strengthen health systems in developing countries?

Globalization and Health doi: 10.1186/1744-8603-4-8.

Page 75: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

73

Dudley, L. and Garner, P. (2011). Strategies for Integrating Primary Health Services in Low-

and Middle-income Countries at the Point of Delivery (Review). The Cochrane

Collaboration, 7.

Glaser, B. G., and A. L. Strauss. 1967. The Discovery of Grounded Theory: Strategies for

Qualitative Research. Mill Valley, CA: Sociology Press.

Godwin, P. and Dickinson, C. (2012). HIV in Asia – Transforming the agenda for 2012 and

beyond: Report of a Joint Strategic Assessment in ten countries. Canberra: AusAID

Health Resource Facility.

Gore, R. J., Fox, A. M., Goldberg, A. B., & Bärnighausen, T. (2014). Bringing the state back in:

Understanding and validating measures of governments' political commitment to

HIV. Global public health, 9(1-2), 98-120.

Husain, Ishrat Z., and Peter Badcock-Walters. "Economics of HIV/AIDS impact mitigation:

Responding to problems of systemic dysfunction and sectoral capacity." In State of the

Art: AIDS and Economics, Merck and Co Inc, for IAEN Barcelona Symposium, pp. 84-95.

2002.

Instruksi Presiden No 3 tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan

Kawonga, M., Blaauw, D., Fonn, S. 2012. Aligning vertical interventions to health systems: a

case study of the HIV monitoring and evaluation system in South Africa. Health

Research Policy and Systems, 10:2 (26 January 2012)

Kemenkes RI (2011) Laporan Integrated Biological and Behavioral Survey 2011

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2013) Laporan Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS

di Indonesia tahun 2011-2016 (Asean Epidemic Model).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2014) “Laporan Kasus HIV AIDS Triwulan III”

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia No: 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Jakarta:

Kemenkes RI Ditjen PP & PL.

Kemkes RI (2012) Laporan Pemetaan Populasi Kunci 2012

Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. 2011. Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di

Indonesia 2006-2011: Laporan 5 tahun pelaksanaan peraturan presiden No:75/2006

tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Jakarta: KPAN.

Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DKI Jakarta (KPAP) (2013) “Strategi dan Rencana Aksi

Provinsi (SRAP) Penaggulangan HIV dan AIDS 2013-2017”

Page 76: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

74

KPAN (2015) Rencana Strategis KPAN 2015-2019 (draft)

KPAP (2013) “Laporan evaluasi program Penanggulangan HIV dan AIDS DKI Jakarta 2008 –

2012

KPAP (2013). “Laporan Evaluasi Penanggulangan HIV dan AIDS DKI Jakarta”.

KPAP DKI Jakarta (2013) Rencana Strategis

Peraturan Daerah No. 4 tahun 2009 tentang Sistem Kesehatan Daerah Provinsi DKI Jakarta

Peraturan Daerah DKI Jakarta No 4 tahun 2009 tentang Sistem Kesehatan Daerah

Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 5 tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS

Provinsi DKI Jakarta

Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 231 tahun 2015 tentang Komisi Penanggulangan AIDS

Provinsi

Peraturan Gubernur DKI Jakarta No.182 tahun 2012 tentang Pemulihan Adiksi Berbasis

Masyarkaat (PABM)

Peraturan Gubernur DKI Jakrata No. 614 tahun 2014 tentang Tim Pembina Program

Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat di Tingkat Provinsi

Peraturan Gubernur No 20 tahun 2014 tentang Penyusunan Penetapan, Penerapan dan

Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan

Peraturan Guvernur DKI Jakarta No. 123 tahun 2014 tentang Peserta dan Pelayanan Jaminan

Kesehatan

Peraturan Menteri Kesehatan No 5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di

Layanan Kesehatan Primer

Peraturan Menteri Kesehatan No 87 tahun 2014 tentang Pedoman Pengobatan

Antriretroviral

Peraturan Menteri Kesehatan No. 28 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksaan Program

Jaminan Kesehatan Nasional

Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat No. 2 tahun 2007 tentang

Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS melalui Pengurangan Dampak

Buruk Penggunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik

Peraturan Presiden No 72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional

Peters, D. H., Paina, L., & Schleimann, F. (2013). Sector-wide approaches (SWAps) in health:

what have we learned?. Health policy and planning, 28(8), 884-890.

Rencana Strategis Dinas Kesehatan DKI Jakarta 2013-2017 No. 1324 tahun 2013

Page 77: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

75

Shakarishvili G, Atun R, Berman P et al. 2010. Converging health systems frameworks: towards

a concepts-to-actions roadmap for health systems strengthening in low and middle

income countries. Global Health Governance Spring III: 2.

Shigayeva, A., Atun, R., McKee, M., & Coker, R. (2010). Health systems, communicable

diseases and integration. Health Policy and Planning, 25(suppl 1), i4-i20.

Strauss, A., & Corbin, J. 1998. Basics of qualitative research: Grounded theory procedures and

techniques (2nd ed). Thousand Oaks, CA: Sage Publications.

Surat Edaran Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta No 3884/1.778/2009 tentang Kemandirian

Penganggaran Harm Reduction

UNAIDS, KPAN, Kemkes (2013) “Nasional AIDS Spending Assessment Report 2011-2012”

UU RI Nomor 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai

Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia

WHO, UNODC, UNAIDS technical guide for countries to set targets for universal access to HIV

prevention, treatment and care for injecting drug users – 2012 revision

World Health Organization. 2007. Everybody’s Business: Strengthening Health System to

Improve Health Outcomes: WHO’s Framework for Action. Geneva: WHO.

Page 78: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

76

Annex 1: Daftar Layanan HIV DKI Jakarta

NO Lokasi Tes HIV11

ARV/PDP LASS PTRM PPIA TB/HIV IMS†

JAKARTA BARAT

1 PKM Kec. Cengkareng

2 PKM Kec. Grogol Petamburan *

3 PKM Kec. Kalideres *

4 PKM Kec. Kebon Jeruk

5 PKM Kec. Kembangan

6 PKM Kec. Palmerah

7 PKM Kec. Taman Sari

8 PKM Kec. Tambora

9 PKM Kel. Mangga Besar

10 RS Pelni Petamburan

11 RS Kanker Dharmais

12 RSUD Cengkareng

13 RS Royal Taruma

14 RSAP Harapan Kita

15 Kios Atma Jaya *

JAKARTA PUSAT

16 PKM Kec. Cempaka Putih

17 PKM Kec. Gambir

18 PKM Kec. Johar Baru

19 PKM Kec. Kemayoran

20 PKM Kec. Menteng

21 PKM Kec. Senen

22 PKM Kec. Tanah Abang *

23 PKM Kel Kampung Bali *

24 RS AL Dr Mintoharjo

25 RSPAD Gatot Soebroto

26 RS St. Carolus

27 RS Husada

28 RS Kramat 128

29 RS Cipto Mangunkusumo

30 RS Islam Cempaka Putih

31 RSU Tarakan

32 Rutan Salemba

33 Klinik Angsa Merah *

34 Klinik PPTI Baladewa *

35 Lapas Salemba

JAKARTA SELATAN

36 PKM Kec. Cilandak

37 PKM Kec. Jagakarsa

38 PKM Kec. Kebayoran Baru

39 PKM Kec. Kebayoran Lama

40 PKM Kec. Mampang Prapatan

41 PKM Kec. Pancoran

42 PKM Kec. Pasar Minggu

43 PKM Kec. Pesanggrahan

44 PKM Kec. Setia Budi

45 PKM Kec. Tebet

46 RSU Fatmawati

47 RS Jakarta

48 RS Esnawan Antariksa

49 Klinik Angsa Merah

JAKARTA TIMUR

50 PKM Kec. Cakung

11 Sumber: Laporan Triwulan Kemkes TW 3 2014

Page 79: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

77

51 PKM Kec. Ciracas

52 PKM Kec. Duren Sawit

53 PKM Kec. Jatinegara

54 PKM Kec. Kramat Jati

55 PKM Kec. Makassar

56 PKM Kec. Matraman

57 PKM Kec. Pasar Rebo *

58 PKM Kec. Pulo Gadung *

59 RS UKI

60 RS Kepolisian

61 RSJ Duren Sawit

62 RS Pengayoman

63 RSUP Persahabatan

64 RS Said Sukanto

65 RSAU Esnawan Antariksa

66 RSKO

67 RSU Pasar Rebo

68 RS Budi Asih

69 Rutan Pondok Bambu

70 RSU Pengayoman Cipinang

71 Lapas Kls I Cipinang

72 Lapas Kls II Cipinang

73 Rutan Cipinang

74 Klinik PKBI

JAKARTA UTARA

75 PKM Kec. Cilincing

76 PKM Kec. Koja

77 PKM Kec. Klp Gading

78 PKM Kec. Tanjung Priok

79 PKM Kec. Penjaringan

80 RSPI Sulianti S

81 RSUD Koja

82 RS Pluit

83 Klinik Tanjung Priuk

Total

Sumber: Laporan Twiulan III 2014 Kemkes; †JAIS http://jakartaaids.org/lokasi-layanan-hiv-ims/

Page 80: Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...

Pusat Kebijakan dan Manajemen KesehatanFakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Gedung IKM Baru Sayap UtaraJl. Farmako Sekip Utara Yogyakarta 5528

email: [email protected]/Fax (hunting) (+62274) 549425

http://kebijakanaidsindonesia.netKebijakan AIDS Indonesia@KebijakanAIDS