Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...
Transcript of Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam ...
INTEGRASI UPAYAPENANGGULANGAN HIV &AIDSKE DALAM SISTEM KESEHATANLaporan Hasil Penelitian Tim Universitas Katholik Atma Jaya Jakarta
di Provinsi Jakarta
UNIVERSITAS KATHOLIKATMA JAYA JAKARTA
PUSAT KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN KESEHATANFAKULTAS KEDOKTERAN UGM
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke Dalam Sistem Kesehatan di DKI Jakarta
Laporan Penelitian
1
Daftar Istilah
ABPN Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional Alkes Alat Kesehatan APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Bappeda Badan Perencanaan Pembangunan Daerah BLUD Badan Layanan Umum Daerah BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial CSR Corporate Social Responsibility CST Care, Support, & Treatment Dinkes Dinas Kesehatan Provinsi FHI Family Health International GFATM Global Fund to Fight Aids, Tubercolosis, and Malaria HCPI HIV Cooperation Programme for Indonesia HR Harm Reduction (Pengurangan Dampak Buruk) Inpres Instruksi Presiden IPWL Institusi Penerima Wajib Lapor JAIS Jakarta AIDS Information System JKN Jaminan Kesehatan Nasional Kepmenkes Keputusan Menteri Kesehatan KPAK Komisi Penanggulangan AIDS tingkat Kota KPAP Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi LASS Layanan Alat Suntik Steril LKB Layanan Komprehensif dan berkesinambungan LSM Lembaga Swadaya Masyarakat MDGs Millenium Development Goals MPI Mitra Pembangunan Internasional Musrembang Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nakes Tenaga kesehatan NIK Nomor Induk Kependudukan ODHA Orang dengan HIV/AIDS PABM Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat PBI Penerima Bantuan Iuran PDP Perawatan Dukungan dan Pengobatan PMTST Perda Peraturan Daerah Pergub Peraturan Gubernur Renstra Rencana Strategi RKPD Rencana Kerja Pembangunan Daerah RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJP Rencana Pembangunan Jangka Panjang SDM Sumber Daya Manusia SIHA Sistem Informasi HIV-AIDS SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah SRAN Strategi Rencana Aksi Nasional SRAP Strategi Rencana Aksi Provinsi
2
Sudinkes Suku Dinas Kesehatan SUFA Strategic Use of Anti Retro Viral UPT Unit Pelayanan Teknis VCT Voluntary Counseling and Testing
3
Daftar Isi
DAFTAR ISTILAH 1
DAFTAR ISI 3
RINGKASAN EKSEKUTIF 4
I. PENDAHULUAN 8
A. SITUASI DAN UPAYA PENANGGULANGAN HIV AIDS DI DKI JAKARTA 8
B. PERTANYAAN PENELITIAN 12
C. TUJUAN 13
1. TUJUAN UMUM 13
2. TUJUAN KHUSUS 13
II. METODE 15
A. KERANGKA KONSEPTUAL 15
B. DESAIN DAN PROSEDUR PENELITIAN 16
C. LOKASI PENELITIAN DAN INFORMAN 16
D. ANALISA DATA 17
E. KETERBATASAN PENELITIAN 18
III. HASIL PENELITIAN 19
A. KONTEKS KEBIJAKAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA 19
B. SITUASI EPIDEMI DAN PERILAKU BERISIKO TERKAIT HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA 20
C. RESPON PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA 21
D. ANALISA PEMANGKU KEPENTINGAN PENANGGULANGAN HIV AIDS 26
E. PERAN PERGURUAN TINGGI 30
F. POLA INTEGRASI DI DKI JAKARTA 32
1. GAMBARAN INTEGRASI BERDASARKAN SUB SISTEM KESEHATAN DI DKI JAKARTA 32
2. TINGKAT INTEGRASI 58
IV. DISKUSI 66
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 69
A. KESIMPULAN 69
B. REKOMENDASI 70
DAFTAR PUSTAKA 72
4
Ringkasan Eksekutif
Studi ini bertujuan untuk menganalisis tingkat integrasi kebijakan penanggulangan HIV dan
AIDS dalam Sistem Kesehatan di DKI Jakarta sehingga dapat dikembangkan rekomendasi
perbaikan kinerja penanggulangan HIV dan AIDS dalam jangka menengah. Desain studi ini
menggunakan pendekatan kualitatif yang menggunakan mode kerangka konseptual dan
analitik yang dikembangkan oleh Atun et al (2010a) dan Coker (2010) untuk mengukur
integrasi respon pencegahan, perawatan dukungan dan pengobatan (PDP) dan mitigasi
dampak yang dikembangkan untuk merespon permasalahan kesehatan tertentu ke dalam
sistem kesehatan. Penelitian ini menggunakan baik data primer maupun sekunder yang
dikumpulkan secara kumulatif. Data primer terkumpul dari 18 informan (7 laki-laki dan 10
perempuan, dan 1 waria) yang berkompeten membahas isu sistem kesehatan, program HIV
dan AIDS serta kualitas layanan termasuk perkembangan integrasi ke sistem layanan
kesehatan terutama di tingkat DKI Jakarta.
Prevalensi HIV di DKI Jakarta termasuk tinggi bila dibandingkan dengan provinsi lain dengan
angka prevalensi HIV ditemukan di kalangan populasi yang terkonsentrasi seperti penasun,
pekerja seks, LSL, dan waria. Prevalensi HIV di DKI Jakarta memberikan dampak kesehatan
yang cukup serius. Dari kasus HIV yang terlaporkan, sebanyak 22.8% masuk ke dalam tahap
AIDS dengan case rate kematian akibat AIDS mencapai 59.7%. Untuk menghadapi
permasalahan ini respon terkait HIV di DKI Jakarta mencakup respon pencegahan yang
berfokus pada pengguna napza suntik dan transmisi seksual melalui PMTS, respon PDP
termasuk Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) dan Strategic Use of ARV (SUFA),
dan mitigasi dampak. Layanan HIV sudah tersedia merata di semua kotamadya.
Banyak pemangku kepentingan yang terlibat dalam respon penanggulangan HIV AIDS di DKI
Jakarta. Pemangku kepentingan yang memiliki kepentingan dan kekuasaan tinggi adalah
Dinkes, Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP), Puskesmas, dan Mitra Pembangunan
Indonesia (MPI). Coorporate Social Responsibility (CSR) perusahaan swasta memiliki
kekuasaan tinggi dengan kepentingan rendah, sebaliknya Orang dengan HIV AIDS (ODHA)
sebagai penerima manfaat memiliki kekuasaan dan kepentingan rendah. Pemangku
kepentingan yang memiliki kepentingan tinggi namun kekuasaan rendah adalah Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), Suku Dinas Kesehatan (Sudinkes), Komisi Penanggulangan AIDS
5
Kota (KPAK), jaringan populasi kunci, dan lembaga Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Besarnya
kepentingan dan kekuasan banyak dipengaruhi oleh kepemilikan modal dan legitimasi payung
hukum untuk melaksanakan program terkait HIV dan AIDS.
Dalam pengukuran tingkat integrasi banyak data yang tidak tersedia untuk mengukur setiap
dimensi dalam sub-sistem kesehatan, terutama untuk melihat respon mitigasi dampak. Dari
data yang tersedia dapat disimpulkan bahwa PDP adalah respon HIV AIDS terbanyak yang
dimensinya sudah terintegrasi. Sub-sistem penyediaan farmasi dan alkes sudah terintegrasi
secara penuh di kedua dimensinya. Sedangkan dalam sub-sistem lain ada beberapa dimensi
yang sudah teringrasi secara penuh seperti dimensi regulasi, penganggaran proporsi distribusi
dan pengeluaran dan mekanisme pembayaran layanan dalam sub-sistem pembayaran
layanan, kompetensi SDM, singkronisasi sistem informasi dan ketersediaan layanan.
Sedangkan dalam respon pencegahan dimensi dalam sub-sistem yang sudah teringrasi baru
dalam tataran regulasi, penganggaran proporsi distribusi dan pengeluaran, singkronisasi
sistem informasi dan ketersediaan layanan. Beberapa dimensi seperti mekanisme
pembayaran dan sumber daya baru terintegrasi secara parsial. Sayangnya, dari keseluruhan
dimensi yang diukur dalam respon mitigasi dampak hanya tiga dimensi yang tersedia datanya,
yaitu regulasi, penganggaran proporsi distribusi dan pengeluaran serta mekanisme
pembayaran layanan dengan hasil pengukuran menunjukkan bahwa dimensi tersebut tidak
terintegrasi dengan sistem kesehatan di DKI Jakarta. Dengan tingkat integrasi respon
pencegahan, PDP dan mitigasi dampak di DKI Jakarta, cakupan respon masih belum maksimal.
Dari seluruh populasi kunci hanya waria yang sudah terjangkau sesuai target, sedangkan
sisanya baru mencapai dibawah 45 persen. Begitupun dengan cakupan PDP yang baru
mencapai 82% dari target dalam Renstra Dinkes dengan angka ODHA dalam ARV hanya
mencapai 44%.
Tingkat integrasi intervensi kesehatan di suatu daerah dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Kurangnya tingkat integrasi dalam repson mitigasi dampak umumnya terjadi ketika
respon HIV lebih berfokus pada masalah kesehatan masyarakat dan melupakan tantangan
pembangunan dan manajerial yang melingkupi permasalah HIV dan AIDS. Selain itu respon
HIV dan AIDS hanya dilihat sebagai masalah kesehatan saja sehingga fokus solusi terhadap
masalah tidak dapat keluar dari lingkup kesehatan, dan seringkali mengabaikan aspek sosial
dan ekonomi. Level integrasi yang berbeda dalam pemberian layanan umumnya terjadi
6
berkaitan dengan ketersediaan anggaran, kurangnya kordinasi dan pendekatan yang berbeda
dalam monitoring/surveillance program. Pada prakteknya sistem kesehatan
mengkombinasikan intervensi yang terintegasi penuh dan tidak terintegrasi. Hal yang penting
adalah apakah tingkat integrasi suatu intervensi kesehatan terhadap sistem kesehatan
tersebut mampu memebrikan hasil dalam mengatasi masalah kesehatan yang ada. Untuk
meningkatkan kinerja respon HIV dan AIDS dalam kaitannya dengan sistem kesehatan maka
beberapa hal yang menjadi rekomendasi adalah sebagai berikut:
1. Melakukan kajian sosial dan ekonomi terkait dampak HIV dan AIDS jangka panjang,
terutama dengan adanya program SUFA yang berdampak pada peningkatan kualitas
hidup ODHA secara bermakna. Hasil dari kajian dapat digunakan untuk melakukan
inovasi program mitigasi dampak, termasuk memperluas cakupan kerjasama seperti
dengan instansi terkait seperti dinas sosial, badan pemberdayaan masyarkaat
perempuan dan keluarga berencana, badan pendidikan dan pelatihan provinsi;
2. Melakukan inovasi untuk mensiasati jumlah tenaga kesehatan yang terbatas dengan
melakukan task shifting atau perpindahan delegasi beberapa pekerjaan terkait HIV
yang dapat dilakukan oleh kader masyarakat, LSM atau populasi kunci seperti tes HIV
berbasis komunitas, konseling kepatuhan Anti Retro-Viral (ARV), konseling dan
assessment terkait kesehatan reproduksi, Program Pencegahan Penularan HIV Ibu ke
Anak (PPIA) dan Keluarga Berencana, registrasi dan sistem data manajemen;
3. Melakukan standarisasi kualitas layanan HIV dan AIDS sebagai jaminan mutu dalam
konteks kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM), Standard Operational Procedure
(SOP), supervisi, dan dukungan teknis untuk mengimplementasi program pencegahan,
perawatan, dukungan, pengobatan, dan mitigasi dampak;
4. Melakukan upaya persiapan SDM sejak dini dengan memasukan kurikulum HIV dan
AIDS dalam fakultas kedokteran atau fakultas kesehatan masyarakat untuk menjamin
keberlanjutan SDM yang bekualitas dan mengurangi beban pelatihan SDM;
5. Melakukan affirmative action agar lebih aktif bekerja sama dan melibatkan komunitas
terdampak HIV (LSM, komunitas populasi kunci) dalam perencanaan, monitoring, dan
evaluasi program;
6. Memperjelas kepemilikan data dari Sistem Informasi HIV AIDS (SIHA) dan Integrated
Behavioural and Biological Survey (IBBS) dan melakukan analisa yang lebih spesifik
7
untuk setiap komponen Promosi Pencegahan dan PDP untuk kepentingan
pengembangan program di daerah, termasuk menyediakan data dan target capaian
untuk program terkait mitigasi dampak;
7. Memperhatikan dan mulai melakukan inventaris dampak desentralisasi terhadap
respon HIV dan AIDS seperti tidak meratanya jumlah staf dan kualitas layanan akibat
kurangnya komitmen kotamadya, serta melakukan upaya perbaikan dan solusi;
8. Memanfaatkan peran CSR perusaan swasta untuk terlibat secara aktif dalam isu HIV
secara berkelanjutan dan memfasilitasi kerjasama dengan LSM sebagai solusi
keterbatasan dana yang dikelola oleh LSM untuk respon HIV.
8
I. PENDAHULUAN
A. Situasi dan upaya penanggulangan HIV AIDS di DKI Jakarta
Permasalahan HIV dan AIDS di DKI Jakarta cukup serius. Secara konsisten provinsi ini selalu
menduduki urutan lima kasus HIV dan AIDS tertinggi di Indonesia dalam lima tahun terakhir
(Kemkes, 2014). Sampai dengan September 2014 kasus HIV yang terlaporkan secara
kumulatif berjumlah 32.782 orang. Jumlah ini kebanyakan dikontribusikan dari populasi
beresiko tinggi seperti Wanita Pekerja Seks (WPS), Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL), Pengguna
Napza Suntik (Penasun), Lelaki Beresiko Tinggi (LBT), dan waria. Total estimasi populasi
beresiko tinggi terkena HIV di Jakarta adalah 854.340 orang (KPAP, 2013). Dengan situasi ini,
DKI Jakarta termasuk dalam kategori epidemi HIV terkonsentrasi. Bila tidak dikendalikan
dengan baik kemungkinan besar proporsi ODHA di DKI Jakarta akan meningkat di tahun
mendatang.
Untuk merespon situasi ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melakukan
serangkaian upaya penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta. Dengan mengacu pada
Strategi dan Rencana Aksi Penanggulangan HIV dan AIDS 2013-2017 (SRAP), Pemprov DKI
Jakarta bertujuan untuk mencegah dan mengurangi penularan HIV, meningkatkan kualitas
hidup ODHA serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV pada individu, keluarga
dan masyarakat. Empat program utama yang dilakukan di Pemprov DKI Jakarta adalah
pencegahan, perawatan, PDP), mitigasi dampak dan pengembangan kebijakan untuk
lingkungan yang kondusif. Melalui program yang dilakukan DKI Jakarta memiliki target SRAP
yang cukup ambisius yaitu (1) Menurunkan infeksi baru pada laki dan perempuan muda
sebanyak 50 persen; (2) Menurunkan infeksi baru pada bayi dan anak sebanyak 90 persen dan
menurunkan angka kematian terkait HIV sebesar 50%. Seluruh kegiatan terkait HIV dan AIDS
di DKI Jakartadikoordinir olehKPAP sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) No. 4 tahun 2008
tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Strategi dan arahan program yang terangkum dalam
SRAP diharapkan dapat memperluas cakupan dan pencapaian program HIV dan AIDS sehingga
berhasil mecapai target yang telah ditentukan.
Namun, perluasan program terkait HIV yang dilakukan juga dapat menimbulkan konsekuensi
lebih lanjut. Jumlah orang yang mengetahu status HIV akibat banyaknya jumlah tes HIV yang
dilakukan berdampak pada meningkatnya jumlah ODHA yang membutuhkan perawatan
9
kesehatan. Hal ini tentunya membutuhkan sumber daya baik dalam material dan fisik yang
banyak. Untuk menghindari overburden maka upaya pencegahan penularan HIV pada
populasi kunci dan populasi umum harus dilakukan dengan lebih efektif. Selain itu,
mempersiapkan perawatan dan dukungan bagi ODHA dalam jangka panjang akibat dari
efektifitas pengobatan dalam menekan angka kematian ODHA juga harus dilakukan. Agar
Pemprov DKI Jakarta dapat merespon tantangan ini dengan baik, diperlukan integrasi
kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan serta
pengembangan model penyediaan layanan kesehatan yang melibatkan sektor dan program
lain (continuum of care) yang dilihat dari aspek promosi pecegahan, PDP dan mitigasi dampak.
Tentunya tantangan ke depan terkait penanggulangan HIV dan AIDS yang akan dihadapi DKI
Jakarta memerlukan ketersediaan sumber daya baik dari sisi SDM, anggaran, pengobatan, dan
perlengkapan perawatan terkait HIV. Tidak dapat dipungkiri bahwa pembiayaan
penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, termasuk DKI Jakarta masih bergantung pada
hibah dari inisiatif global baik bilateral maupun multilateral sebesar 40% (Nadjib, 2013).
Peran inisiatif kesehatan global yang sedemikian besar dalam penanggulangan HIV dan AIDS
di negara-negara berkembang ini telah memunculkan berbagai konsekuensi terhadap sistem
kesehatan seperti berkembangnya sistem ganda yaitu sistem penanggulangan HIV dan AIDS
dan sistem kesehatan pada umumnya, serta lemahnya insentif dari sistem kesehatan untuk
mendukung upaya penanggulangan HIV dan AIDS dan terbatasnya integrasi layanan HIV dan
AIDS dengan layanan kesehatan yang lain (Atun et al., 2010a; b; Conseil et al., 2013; Desai et
al., 2010; Dongbao et al., 2008; Kawonga et al., 2012; Shakarishvili et al. 2010). Demikian pula,
koordinasi berbagai upaya kesehatan dengan mengembangkan sistem perencanaan,
koordinasi dan monitoring yang terpisah dari upaya kesehatan lain. Situasi ini dikhawatirkan
akan memperburuk sistem kesehatan karena akan menggerus sumber daya yang tersedia
untuk penanggulangan HIV dan AIDS. Sehingga upaya untuk memperkuat sistem kesehatan
untuk memaksimalkan integrasi penanggulangan HIV dan AIDS dan sistem kesehatan
dibutuhkan (Atun et al., 2010; Coker et al., 2010; Kawonga, 2012).
Integrasi secara umum dikaitkan dengan upaya untuk mengadopsi dan melakukan asimilasi
upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam fungsi-fungsi pokok sistem kesehatan. Pada
tingkat penyediaan layanan, integrasi ini misalnya bisa dilakukan dengan menggabungkan
layanan khusus AIDS ke dalam layanan kesehatan umum, melibatkan berbagai program
10
kesehatan dan sektor lain di dalam penanggulangan AIDS, menyatukan sistem pembiayaan
penanggulangan AIDS dalam pembiayaan kesehatan umum dan lain-lain. Sebuah kajian
tentang integrasi program AIDS dan TB di Indonesia, menunjukkan bahwa kedua program
tersebut cenderung belum terintegrasi dengan fungsi sistem kesehatan secara umum (e.g.
dari segi tata kelola, sistem Monitoring dan evaluasi (M&E), perencanaan, pembiayaan, dan
penyediaan layanan) (Desai et al., 2010; Coker et al., 2010). Lebih lanjut, penelitian PKMK
(2013) menunjukkan bahwa upaya penanggulangan HIV dan AIDS merupakan kebijakan yang
bersifat vertikal yang diinisiasi dan dikembangkan oleh pemerintah pusat dengan dukungan
penuh dari lembaga kesehatan global, tetapi lemah dalam integrasinya dengan sistem
kesehatan yang ada karena dibangun berdasarkan sistem yang berbeda dengan sistem
kesehatan nasional. Kedua, dalam era desentralisasi seperti saat ini, pemerintah daerah
dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS belum memiliki peran yang signifikan dalam
pengembangan kebijakan dan program baik pencegahan, PDP, dan mitigasi dampak.
Ditemukan bahwa; (a) dominasi peran pemerintah pusat dan lembaga mitra pembangunan
internasional (MPI) cenderung menempatkan pemerintah daerah sebagai pelaksana program
sehingga komitmen dan dukungan dana daerah terhadap upaya penanggulangan HIV dan
AIDS cenderung minimal; (b) pendanaan lokal (APBD) untuk program HIV dan AIDS cenderung
sangat terbatas dan biasanya digunakan untuk kepentingan pembiayaan kesekretariatan
KPAD; (c) masalah-masalah seputar akses layanan HIV dan AIDS oleh populasi kunci (e.g.
keterbatasan jam layanan, jumlah dan kualifikasi petugas kesehatan khusus AIDS, sistem
pembayaran, stigma & diskriminasi) masih terjadi baik di Puskesmas, RS dan klinik tes HIV
lainnya; dan (d) adanya overlapping fungsi antara KPAD dan Dinkes dalam program
penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat daerah.
Sebagai sebuah permasalahan kesehatan, upaya penanggulangan HIV dan AIDS tidak bisa
dilepaskan dari sistem kesehatan yang berlaku di sebuah negara. WHO (2007) mendefinisikan
sistem kesehatan adalah keseluruhan organisasi, kelembagaan dan sumberdaya yang
bertujuan utama untuk mewujudkan tercapainya derajat kesehatan masyarakat. Sistem
kesehatan ini mencakup berbagai upaya kesehatan yang dilakukan oleh sektor pemerintah
dan non pemerintah (organisasi masyarakat sipil dan sektor swasta) baik pada tingkat
nasional maupun sub nasional. Sistem kesehatan yang kuat akan memungkinkan respons
penanggulangan HIV dan AIDS yang berkelanjutan dan terintegrasi dengan upaya kesehatan
11
yang lain. Beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya menyatakan bahwa integrasi
penanggulangan penyakit tertentu ke dalam sistem kesehatan memberikan dampak positif
terhadap keberlanjutan dan efektivitas intervensi serta mampu memperkuat sistem
kesehatan yang ada (Kawonga, Blaauw, & Fonn, 2012, Shigayeva, Atun, McKee, & Coker,
2012; Shigayeva, Atun, Mckee, & Coker, 2010). Sebaliknya, pada negara dengan sistem
kesehatan yang kurang kuat, integrasi dengan sistem kesehatan justru akan membahayakan
karena keterbatasan sumber daya tersedia menyebabkan adanya persaingan pendanaan
antar penanggulangan penyakit. Menurut Dudley & Garner (2011) integrasi penanggulangan
HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan yang berimplikasi pada alokasi pendanaan untuk HIV
dan AIDS yang berasal dari pemerintah yang harus bersaing dengan pendanaan bagi penyakit
yang lain (Dudley & Garner, 2011).
Permasalahan integrasi program penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan
bukan merupakan hal yang mudah dilakukan karena melibatkan banyak pemain (dan
kepentingan), infrastruktur, kebijakan dan sumber daya. Integrasi penanggulangan HIV dan
AIDS ke dalam sistem kesehatan menuntut upaya untuk meningkatkan efektivitas dan
aksesibilitas layanan HIV dan AIDS dengan memaksimalkan sumber daya dan infrastruktur
yang tersedia (Dudley and Garner, 2011). Upaya untuk mengintegrasikan dua pendekatan ini
sebenarnya berisiko karena hasil-hasil yang telah dicapai melalui pendekatan vertikal bisa
tidak tampak atau bahkan hilang. Selain itu, kenyataan bahwa belum terbangunnya sistem
kesehatan di tingkat daerah cenderung akan mendorong pengambil kebijakan untuk
meneruskan pendekatan vertikal (Godwin and Dickinson, 2012).
Meskipun demikian, sejauh ini belum ada kesimpulan yang jelas tentang pengaruh integrasi
intervensi khusus ini ke dalam sistem kesehatan terhadap status kesehatan masyarakat
umum karena masih terbatasnya studi tentang integrasi dan belum tersedianya metodologi
yang dinilai memadai Kawonga et al., 2012 dan Coker at al., 2010). Oleh karena itu isu yang
lebih mendasar bukan pada memilih satu pendekatan dari pada pendekatan yang lain atau
integrasi kedua pendekatan tersebut karena variabilitas dari konteks kebijakan yang beragam,
tetapi lebih melihat bahwa kedua pendekatan tersebut saling melengkapi dan perlu
diintegrasikan dalam porsi yang sesuai dengan kompleksitas penyediaan layanan kesehatan
yang terintegrasi dan berkelanjutan berdasarkan perencanaan, koordinasi dan manajemen
yang efektif (Dudley and Garner, 2011; Atun et al., 2010). Melakukan integrasi dengan
12
komposisi yang tepat dan praktis merupakan tantangan terbesar dan memerlukan
pertimbangan yang sangat hati-hati.
Dengan demikian, permasalahan kebijakan yang perlu memperoleh perhatian dalam melihat
keterkaitan antara upaya penanggulangan HIV dan AIDS dan sistem kesehatan di Indonesia
adalah: (1) bagaimana mengembangkan respon kesehatan masyarakat agar bisa
mengakomodasi meningkatnya kompleksitas penanggulangan HIV dan AIDS dalam jangka
panjang; dan (2) bagaimana mengintegrasikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam
sistem kesehatan yang sudah ada untuk memastikan respon jangka panjang, meskipun sistem
kesehatan yang berlaku saat ini belum optimal karena adanya berbagai hambatan baik politik,
ekonomi dan sosial budaya. Pemahaman tentang dua isu kebijakan ini akan sangat membantu
dalam merancang sebuah program penanggulangan HIV dan AIDS yang berkelanjutan dan
efektif melalui berbagai upaya penyesuaian dari tingkat strategi dalam sistem kesehatan dan
penanggulangan HIV dan AIDS, penentuan prioritas dan mobilisasi sumber daya hingga
tingkat operasional dan layanan (Atun dan Bataringaya, 2011).
Untuk bisa menjawab dua isu kebijakan di atas, Pusat Penelitian HIV dan AIDS (PPH) Unika
Atma Jaya Jakarta bekerja sama dengan PKMK FK UGM melakukan penelitian tentang
bagaimana “Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS dalam Kerangka Sistem Kesehatan
di wilayah DKI Jakarta”. Penelitian ini dimaksudkan untuk memetakan berbagai kekuatan dan
kelemahan sistem kesehatan di DKI Jakarta dalam mendukung atau merespon permasalahan
HIV dan AIDS sehingga diharapkan bisa mengidentifikasi berbagai potensi dan peluang untuk
mengintegrasikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS ini ke dalam sistem kesehatan yang
ada.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian permasalahan di atas, pertanyaan penelitian utama dalam studi ini adalah
“Seberapa jauh integrasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan di
DKI Jakarta?”
Sedangkan pertanyaan khusus meliputi:
1. Bagaimana konteks, proses dan substansi kebijakan dan program penanggulangan HIV
dan AIDS dalam kerangka sistem kesehatan yang berlaku di DKI Jakarta?
13
2. Seberapa jauh konsistensi antara regulasi dan kebijakan HIV dan AIDS di tingkat
kotamadya dan provinsi di DKI Jakarta?
3. Seberapa jauh sinergi fungsi dan peran KPA, Dinkes, lintas sektoral, dan LSM dalam
penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta?
4. Seberapa besar proporsi, kesesuaian, distribusi dan keberlanjutan pendanaan yang ada
(e.g. Donor asing, APBN/D dan dana masyarakat) terhadap penanggulangan HIV dan
AIDS di DKI Jakarta?
5. Seberapa jauh hubungan kerja, ketenagaan dan pengembangan kapasitas antara
Sumber Daya Manusia (SDM) khusus AIDS non pemerintah dengan SDM kesehatan di
DKI Jakarta?
6. Seberapa jauh integrasi sistem pelaporan HIV dan AIDS dalam sistem informasi strategis
dan pemanfatan ‘I untuk pengembangan dan pelaksanaan kebijakan dan program di DKI
Jakarta?
7. Bagaimana pengadaan, rantai distribusi, dan portabilitas material pencegahan,
diagnostik dan terapi dalam kontek kebijakan jaminan kesehatan nasional di DKI
Jakarta?
8. Seberapa jauh partisipasi aktif masyarakat yang terdampak dalam penanggulangan HIV
dan AIDS di DKI Jakarta?
9. Bagaimana keterkaitan antara universitas dengan kebutuhan penanggulangan AIDS
dalam penyediaan sumber pengetahuan dan sumber daya manusia di DKI Jakarta?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Menganalisis tingkat integrasi kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS dalam Sistem
Kesehatan di DKI Jakarta sehingga dapat dikembangkan rekomendasi perbaikan kinerja
penanggulangan HIV dan AIDS dalam jangka menengah
2. Tujuan Khusus
1. Menganalisis konteks, proses dan substansi kebijakan dan program penanggulangan
HIV dan AIDS di DKI Jakarta dalam kerangka sistem kesehatan yang berlaku;
2. Mengukur konsistensi antara regulasi dan kebijakan HIV dan AIDS di DKI Jakarta, baik
di tingkat kotamadya maupun provinsi;
14
3. Mengidentifikasi dan mengukur sinergi fungsi dan peran KPA, Dinkes, lintas sektoral,
dan LSM dalam penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta;
4. Mengukur proporsi, kesesuaian, distribusi dan keberlanjutan pendanaan yang ada
(e.g. Donor asing, APBN/D dan dana masyarakat) terhadap penanggulangan HIV dan
AIDS di DKI Jakarta;
5. Mengidentifikasi hubungan kerja, ketenagaan dan pengembangan kapasitas antara
Sumber Daya Manusia (SDM) khusus AIDS non pemerintah dengan SDM kesehatan di
DKI Jakarta;
6. Mengukur integrasi sistem pelaporan HIV dan AIDS dalam sistem informasi strategis
di DKI Jakarta dan pemanfatan evidence/bukti untuk pengembangan dan pelaksanaan
kebijakan dan program;
7. Mengukur pengadaan, rantai distribusi, dan portabilitas material pencegahan,
diagnostik dan terapi di DKI Jakarta dalam kontek kebijakan jaminan kesehatan
nasional;
8. Mengukur partisipasi aktif masyarakat yang terdampak dalam penanggulangan HIV
dan AIDS di DKI Jakarta; dan
9. Mengukur keterkaitan antara universitas dengan kebutuhan penanggulangan HIV dan
AIDS di DKI Jakarta dalam penyediaan sumber pengetahuan dan sumber daya
manusia.
15
II. METODE
A. Kerangka Konseptual
Penelitian ini menggunakan model konseptual dan kerangka analitik yang dikembangkan oleh
Atun et al (2010a) dan Coker (2010) untuk mengukur integrasi respon pencegahan, PDP dan
mitigasi dampak yang dikembangkan untuk merespon permasalahan kesehatan tertentu ke
dalam sistem kesehatan. Integrasi dalam model konseptual ini didefinisikan sebagai tingkat
adopsi dan asimilasi intervensi kesehatan khusus ke dalam berbagai fungsi pokok dari sistem
kesehatan (Atun et al, 2010). Integrasi dalam sistem kesehatan melihat seberapa jauh
berbagai fungsi pokok dari sistem kesehatan didayagunakan secara bersama-sama
mendukung inovasi dalam penyelesaian permasalahan kesehatan tertentu dengan cara
membangun komitmen antar aktor dalam sektor kesehatan dan memanfaatkan teknologi dan
sumber daya yang tersedia (WHO, 2007). Dalam konteks di Indonesia, berbagai fungsi pokok
sistem kesehatan tersebut mencakup manajemen dan regulasi kesehatan; pembiayaan; SDM;
informasi strategis; penyediaan layanan, dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana
ditentukan dalam sistem kesehatan nasional di Indonesia (Perpres 72 tahun 2012).
Seberapa jauh integrasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan akan
dipengaruhi oleh (1) karakteristik permasalahan, kebijakan, dan program HIV dan AIDS
(pencegahan, PDP dan dampak mitigasi), (2) interaksi berbagai aktor-aktor yang
berkepentingan di dalam sistem kesehatan dan upaya penanggulangan HIV dan AIDS, (3)
karakteristik sistem kesehatan dan interakasi antar fungsi-fungsi pokok dalam sistem
kesehatan, dan (4) konteks politik, sosial, dan budaya dimana penanggulangan HIV dan AIDS
ini dilaksanakan termasuk desentralisasi (Atun et al, 2010, Coker et al, 2010). Beranjak dari
pemahaman ini, maka model konseptual untuk penelitian ini dikembangkan dengan
mengasumsikan bahwa keempat komponen saling berinteraksi secara bersama-sama
berpengaruh terhadap tingkat integrasi dan menentukan kinerja sistem kesehatan yang
meliputi cakupan, aksesiblitas, pemerataan, kualitas dan keberlanjutan dalam upaya
penanggulangan HIV dan AIDS. Model konseptual bisa dilihat pada gambar 1 di bawah ini.
16
Gambar 1. Kerangka Konseptual
B. Desain dan prosedur penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk menjawab pertanyaan penelitian
yang ditetapkan. Dalam desain awal, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan dua
metode yaitu diskusi kelompok terarah dan wawancara mendalam. Namun pada
pelaksanaannya, data yang diperoleh dari diskusi kelompok terarah tidak digunakan dalam
analisa hasil mengingat sumber data hanya berasal dari dua informan dan tidak cukup kaya
untuk melihat ‘kesepakatan’ terhadap isu yang ditanyakan. Data primer yang dikumpulkan
melalui wawancara mendalam digunakan sebagai data utama dalam melakukan analisa.
Untuk memperkaya hasil, data sekunder terkait respon HIV turut dikumpulkan. Secara
keseluruhan, durasi waktu penelitian berlangsung sejak Januari – September 2014, yang
meliputi beberapa tahapan sebagai berikut: mempertajam perangkat penelitian, persiapan
lapangan, pengambilan data primer, pengumpulan data sekunder analisa dan penulisan
laporan.
C. Lokasi penelitian dan Informan
DKI Jakarta menjadi fokus lokasi pengambilan data dalam penelitian ini. Terdapat beberapa
kriteria informan yang digunakan dalam penelitian ini seperti: anggota KPAP, SKPD dengan
17
tugas pokok dan fungsi yang bersinggungan dengan respon HIV, Organisasi Masyarakat Sipil
(OMS) yang terdaftar sebagai mitra kerja KPAP dan mempunya keterlibatan dalam respon
AIDS, dan perwakilan populasi kunci. Secara total, terdapat 18 informan yang melakukan
wawancara untuk penelitian ini (10 perempuan, 7 lelaki dan 1 waria) yang dikategorikan
dalam informan dari MPI, SKPD, OMS, Populasi Kunci, dan penyedia layanan terkait HIV
seperti terlihat dalam tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Informan Penelitian.
Kategori Gender Total
L P W
MPI 1 3 - 4
LSM 3 - 3
OMS 1 1 1 3
Jaringan
Ponci
- 2 - 2
SKPD 1 4 - 5
Layanan 1 - - 1
TOTAL 7 10 1 18 Sumber: hasil pengolahan data
D. Analisa data
Kerangka analisis yang digunakan adalah kerangka logik pendekatan induksi (Creswel, 2003)
dan prinsip grounded teori (Glaser & Strauss, 1967; Strauss & Corbin, 1998) yang
menitikberatkan pada pengembangan tema dan kategori-kategori yang muncul dalam
penelitian. Hasil-hasil verbatim dari wawancara mendalam diklasifikasikan, dikoding, dan
dianalisis sesuai dengan tema-tema yang muncul di sesuai dengan tujuh dimensi sub-sistem
kesehatan seperti; Manajemen, Informasi & Regulasi Kesehatan, Pembiayaan Kesehatan,
Sumber Daya Manusia (SDM), Informasi Strategis, dan Pemberdayaan Masyarakat. Setiap
data yang didapat diklasifikasikan sesuai kata kunci yang dipersiapkan sebelumnya dalam
setiap dimensi sub-sistem. Dalam mengukur integrasi beberapa pertanyaan reflektif
disiapkan untuk membantu peneliti dalam memberikan penilaian terhadap situasi
penanggulangan HIV dan AIDS yang terjadi di DKI Jakarta. Penentuan tingkat integrasi
mengacu pada prinsip-prinsip yang digunakan pada penelitian sebelumnya (Conseil et al.,
2010; Desai et al., 2010).
18
E. Keterbatasan Penelitian
Terdapat beberapa keterbatasan dalam studi ini yang perlu dicermati dalam membaca hasil
penelitian. Pertama, metode diskusi kelompok terarah tidak dilakukan dalam studi ini sebagai
salah satu metode pengambilan data yang awalnya direncanakan. Hal ini menyebabkan hasil
studi tidak dapat melihat kesepakatan antar pemangku kepentingan di DKI Jakarta mengenai
sistem kesehatan yang berlaku dalam intervensi HIV. Kedua, beberapa informan yang turut
diambil datanya juga bekerja dalam lingkup nasional. Hal ini menyebabkan beberapa
informasi yang diberikan tidak bisa secara spesifik mengacu pada kondisi intervensi di DKI
Jakarta. Hal ini terjadi mengingat karakteristik DKI Jakarta yang selain sebagai sebuah provinsi
mandiri namun juga adalah ibukota negara di mana para penggiat HIV berkumpul dan bekerja
dalam lingkup nasional berdomisili di DKI Jakarta dan mengetahui situasi penanggulangan HIV
dan AIDS di provinsi ini. Ketiga, informasi dari kategori pemberi layanan berjumlah minim
sehingga gambaran lengkap dan konfirmasi mengenai situasi dalam pemberian layanan HIV
tidak dapat terkonfirmasi dari berbagai pihak. Keterbatasan yang ada sebisa mungkin
dilengkapi melalui data sekunder yang bersumber dari dokumen pencapaian program terkait
HIV di DKI Jakarta sehingga dapat memberikan gambaran yang utuh mengenai situasi
penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta.
19
III. HASIL PENELITIAN
A. Konteks kebijakan dan penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta
Provinsi DKI Jakarta merupakan ibukota Indonesia yang terdiri dari enam struktur wilayah
administrasi yang terdiri dari lima kota administrasi (Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta
Timur, Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat) dan satu kabupaten yaitu Kepulauan Seribu. Secara
paralel DKI Jakarta memiliki 44 kecataman dan 267 kelurahan (BPS, 2014). Jumlah penduduk
pada 2014 10.075.300 dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.06. Jakarta merupakan
daerah padat penduduk dengan jumlah kepadatan 15.212 jiwa per km². Jumlah penduduk
miskin sebesar 393,900 atau sebesar 3.92% dari total populasi di DKI Jakarta. Jumlah
pendapatan DKI Jakarta pada 2013 terhitung besar, dengan kemampuan untuk mengelola
pendapatan daerah sebesar 39.5 trilyun. Dari jumlah tersebut 10% dialokasikan untuk
kesehatan, termasuk HIV dan AIDS. Tingkat pendidikan di DKI Jakarta terhitung tinggi bila
dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Rata-rata penduduk DKI Jakarta bersekolah
selama 11 tahun dengan angka melek huruf sebesar 99.22% (BPS, 2014).
Berdasarkan UU Nomor 29 tahun 2007, DKI Jakarta berstatus istimewa yang menyebabkan
seluruh kebijakan mengenai pemerintahan maupun anggaran ditentukan pada tingkat
provinsi1. Hal ini berdampak pada pengelolaan layanan kesehatan di DKI Jakarta. Dinas
Kesehatan Provinsi (Dinkes) memiliki kewenangan dan kewajiban dalam mengeluarkan
kebijakan dan mengatur penyediaan semua pelayanan dan bahan medis. Di tingkat
kotamadya, Dinkes bekerja melalui Suku Dinas Kesehatan (Sudinkes) dan Unit Pelayanan
Teknis (UPT) dalam menjalankan layanan kesehatan. Khusus untuk respon HIV dan AIDS, KPAP
memiliki tugas utama sebagai lembaga koordinasi yang menjadi poros komunikasi dan
perencanaan program terkait HIV dan AIDS dengan SKPD lain di DKI Jakarta. Serupa dengan
Dinkes, KPAP juga memiliki “kepanjangan tangan” di tingkat kotamadya, yaitu Komisi
Penanggulangan AIDS Kota (KPAK). Sudinkes dan KPAK bekerja sama dalam melakukan
implementasi program HIV dan AIDS di tingkat kotamadya.
Dalam konteks jaminan kesehatan, Provinsi DKI Jakarta memiliki jaminan kesehatan untuk
warganya melalui payung hukum Peraturan Gubernur DKI Jakarta No.123 tahun 2014 tentang
peserta dan pelayanan jaminan kesehatan menyebutkan di pasal 18 bahwa pelayanan tingkat
1 Lihat Pasal 9 UU no.29/2007 ttg Daerah Khusus Ibukota
20
pertama termasuk pelayanan HIV dan AIDS dan pelayanan harm reduction (HR). Renstra
Dinkes 2013-2017 no.1324 tahun 2013 menyatakan bahwa prioritas urusan wajib yang
dilaksanakan Dinkes terkait program pencapaian penanggulangan penyakit menular secara
gamblang termasuk pengobatan, dukungan dan perawatan bagi orang yang hidup dengan HIV
dan AIDS (ODHA) serta monitoring jumlah kasus AIDS. Renstra juga menyebutkan bahwa salah
satu sasaran jangka menengah pemda DKI Jakarta adalah menurunnya angka kesakitan akibat
penyakit menular dengan terkendalinya prevalensi HIV pada populasi dewasa menjadi di
bawah 0.5%. Sebagai indikator dari RPJMD adalah persentase layanan kesehatan pada ODHA
baik akses layanan kesehatan ODHA dan proporsi jumlah penduduk usia 15 sampai 24 tahun
yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS, mengikuti Inpres No.3 tahun
2010 mengenai pembangunan yang berkeadilan yang pada saat itu ditetapkan untuk
menguatkan pencapaian Milennium Development Goals (MDGs) khususnya target nomor 6
tentang HIV dan AIDS.
B. Situasi epidemi dan perilaku berisiko terkait HIV dan AIDS di DKI
Jakarta
Prevalensi HIV di DKI Jakarta termasuk tinggi bila dibandingkan dengan provinsi lain, kecuali
Papua. Kemkes (2012) menyatakan prevalensi HIV adalah 1.03 persen sekitar 0.4 persen lebih
tinggi bila dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Tingkat prevalensi ini masih memiliki
kecenderungan untuk meningkat dalam beberapa tahun kedepan (Asia Epdemic Model - AEM
2012). Situasi epidemi HIV di DKI Jakarta digolongkan dalam kategori epidemik terkonsentasi.
Status ini didapat dari kasus penularan HIV yang tinggi pada sub-populasi tertentu yang
memiliki perilaku beresiko tertular HIV lebih tinggi bila dibandingkan dengan populasi umum
lainnya.
Tabel 2 menunjukan tingkat prevalensi HIV dan infeksi menular seksual (IMS) di DKI Jakarta
per populasi kunci yang diolah dari Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) tahun 2011.
Penasun memiliki tingkat prevalensi tertinggi di DKI Jakarta (56%) dengan Waria (31%) dan
LSL (17%) di urutan kedua dan ketiga. Namun dalam konteks penularan IMS situasi ini
berbeda dimana kelompok WPSL memiliki tingkat prevalensi tinggi terutama dalam gonorhoe
(GO) dan atau chlamidia (51%) dan WPSTL (45%). Untuk tingkat prevalensi sifilis, Waria (31%)
dan LSL (17%) tetap tinggi dibandingkan dengan kelompok populasi kunci lainnya. Dari
21
ketujuh sub-populasi kunci yang ada, penasun memiliki pengetahun komprehensif yang
paling tinggi (30.8%) disusul dengan waria (29.2%), dengan kelompok lelaki beresiko tinggi
(LBT) dengan pengetahuan komprehensif terendah (3.3%). Dengan situasi ini tidak heran bila
prevalensi HIV pada ibu hamil jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan pekerja seks tidak
langsung (5.2% dan 5%). Sayangnya data mengenai tingkat pengetahuan komprehensif pada
ibu hamil tidak tersedia.
Tabel 2. Data Prevalensi HIV dan IMS DKI Jakarta
Populasi Kunci
Prevalensi HIV (%)
Prevalensi Sifilis (%)
Prevalensi GO (%)
Prevalensi GO dan/atau Chlamidia (%)
% Pengetahuan komprehensif
WPSL 11.0 5.0 n/a 51 8
WPSTL 5.0 2.0 36 45 15.6
LBT 0.3 5.0 18 3.3
Waria 31 31 n/a 38 29.2
LSL 17.0 17 25 28 22.8
Penasun 56.0 4.0 18 n/a 30.8
Ibu Hamil 5.2 0.4* n/a n/a n/a Sumber: STBP 2011
*data tahun 2008
Prevalensi HIV di DKI Jakarta memberikan dampak kesehatan yang cukup serius. Dari kasus
HIV yang terlaporkan, sebanyak 22.8% masuk ke dalam tahap AIDS dengan case rate kematian
akibat AIDS mencapai 59.7% (Kemkes, 2014). Hal ini terjadi karena diduga akibat dari tingkat
pengobatan ARV yang masih cukup rendah. Hanya 81% dari ODHA yang sudah memenuhi
syarat untuk memulai terapi ARV yang pernah menjalankan ARV. Itupun, hanya 58% yang
masih aktif menggunakan ARV sampai dengan periode data ini dikeluarkan. Angka loss to
follow up ARV di DKI Jakarta cukup tinggi dan mempengaruhi tingkat kesehatan ODHA.
C. Respon penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta
DKI Jakarta memiliki respon penanggulangan HIV yang cukup baik. Beberapa arahan program
yang tertuang dalam rencana strategi nasional baik di KPAN dan Kemkes diadaptasi oleh
provinsi. Hal ini turut berkontribusi dalam mendorong ketersediaan layanan terkait HIV di DKI
Jakarta. Sampai dengan tahun 2012, KPAP DKI Jakarta mendokumentasikan berbagai layanan
HIV yang tersedia di setiap kotamadya (lihat table 3). Berdasarkan data tersebut dapat dilihat
bahwa penyebaran layanan terkait HIV telah merata di setiap kotamadya. Selain itu, terlihat
22
bahwa lingkup respon penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta meliputi tiga komponen
besar, yaitu: pecegahan, perawatan, dan pengobatan. Layanan yang tersedia dilakukan oleh
puskesmas dan rumah sakit.
Tabel 3. Layanan terkait HIV per kotamadya di DKI Jakarta
Layanan Jak-Pus Jak-Ut Jak-Bar Jak-Sel Jak-Tim
Jumlah (2012)
Layanan konseling dan tes HIV sukarela (VCT/HTC)
13 7 9 8 10 55
Layanan infeksi menular seksual (IMS)
8 6 8 7 10 39
Layanan program terapi rumatan metadon (PTRM)
5 2 3 2 6 18
Layanan program pertukaran jarum suntik steril (LASS)
8 6 8 8 8 38
Layanan pencegahan penularan dari ibu ke anak (PMTCT)
7 2 9 3 6 27
Layanan TB-HIV 43
Layanan PDP dan rumah sakit rujukan HIV dan AIDS*
9 5 7 4 11 24
satelit ARV di Puskesmas Kecamatan
19
Sumber: Renstra KPAP DKI Jakarta (2013) *) sumber Laporan Kasus HIV (Kemkes 2014)
Respon pencegahan terkait HIV di DKI Jakarta berfokus pada dua area, pencegahan HIV bagi
kelompok pengguna suntik melalui program pengurangan dampak buruk (LASS dan PTRM),
dan pencegahan melalui transmisi seksual. Program pengurangan dampak buruk awalnya
mengacu pada Peraturan Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat No.2/2007 yang
menyebutkan 12 komponen utama yang harus dilakukan bagi pencegahan HIV pada
kelompok penasun. Namun selanjutnya, pada tahun 2009, WHO, UNODC, dan UNAIDS
mengeluarkan pedoman baru yang mengabungkan 12 komponen tersebut menjadi 9
komponen yaitu: (1) program layanan alat suntik steril; (2) terapi substitusi opiat dan layanan
pemulihan adiksi lainnya; (3) konseling dan testing HIV; (4) terapi antiretroviral; (5)
pencegahan dan pengobatan infeksi menular seksual (IMS); (6) program kondom untuk
penasun dan pasangan seksualnya; (7) komunikasi informasi dan edukasi tersasar untuk
penasun dan pasangan seksualnya; (8) vaksinasi, diagnosis dan pengobatan hepatitis; (9)
pencegahan, diagnosis dan pengobatan tuberkulosis.
23
Di DKI Jakarta, kesembilan komponen tersebut dilakukan bersama-sama antara LSM dan
Puskesmas. Peran penjangkauan lebih banyak dilakukan oleh LSM mengingat puskesmas yang
bersifat statis atau memberikan layanan lebih banyak di lokasi yang menetap. Sampai dengan
tahun 2012 tercatat 38 puskesmas yang memberikan layanan LASS dan 18 layanan PTRM yang
tersedia di DKI Jakarta. Bahkan dengan berlakukanya program proteksi sosial Jakarta Sehat,
maka penduduk Jakarta yang memiliki kartu Jakarta sehat dapat mengakses layanan
pencegahan seperti Metadon tanpa biaya. Sebelumnya, pasien metadon dibebankan biaya
sebesar Rp 5000 hingga Rp 15.000 sesuai dengan ketentuan unit pemberi layanannya
(Puskesmas atau Rumah Sakit). Pada tahun 2014 program pemulihan adiksi berbasis
masyarakat (PABM) secara resmi dilakukan di DKI Jakarta dengan diterbitkannya Pergub No.
182 tahun 2012 tentang Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat (PABM). Program PABM
adalah penatalaksanan yang bersifat medis, sosial, dan psikologis atas masalah yang
ditimbulkan akibat penggunaan NAPZA yang diselenggarakan atas inisiatif masyarakat. PABM
bertujuan meningkatkan akses layanan kesehatan dan sosial bagi penyalah guna napza,
memutus mata rantai penularan HIV yang berasal dari pengguna napza suntik, meningkatkan
kualitas hiudp pengguna NAPZA dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
penanggulangan HIV ADIS serta penyalahgunaan NAPZA. Program ini dilengkapi dengan
Pergub No.614 tahun 2014 tentang tim pembina program pemulihan adiksi berbasis
masyarakat tingkat provinsi, untuk memastikan berjalannya program.
Sedangkan program pencegahan melalui transmisi seksual di DKI Jakarta mulai berkembang
sejak adanya hasil Kajian Paruh Waktu KPAN mengidentifikasi peningkatan penularan infeksi
melalui transmisi seksual terutama pada kelompok LSL serta Pekerja Seks2. Dengan
menggunakan intervensi struktural sebagai fondasi program PMTS yaitu Pencegahan Melalui
Transmisi Seksual sebagai pendekatan yang komprehensif dengan 4 komponen3: (1)
Peningkatan peran positif pemangku kepentingan lokal untuk lingkungan yang kondusif, (2)
Komunikasi perubahan perilaku yang berazaskan pemberdayaan, (3) Jaminan ketersediaan
dan akses kondom dan pelicin dan (4) Manajemen IMS yang komprehensif. Sumber-sumber
pembiayaan program HIV and AIDS termasuk PMTS masih didominasi donor internasional
dengan share-cost logistik untuk obat-obatan IMS menggunakan APBN/ABPD dengan
2 Laporan 5 tahun kpan 3 Pedoman Penerpan Layanan Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan, Kemkes, 2012
24
proporsi 40% oleh pusat dan 60% daerah. Pada tahun 2012 tercatat 39 tempat layanan di DKI
Jakarta yang memberikan perawatan dan pengobatan IMS. Data Jakarta information system
milik KPAP DKI Jakarta mencatat terdapat 996 outlet kondom yang tersebar di DKI Jakarta.
Pada tahun 2012, Kemkes RI bersama KPA Nasional meluncurkan Layanan Komprehensif
Berkesinambungan (LKB) sebagai upaya yang meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif sebagai layanan terpadu dan berkesinambungan untuk memberikan dukungan
baik aspek manajerial, medis, psikologis maupun sosial bagi ODHA dan masyarakat yang
membutuhkan dengan melibatkan seluruh sektor terkait, masyarakat termasuk swasta,
kader, LSM, kelompok dampingan sebaya, ODHA, keluarga, PKK, tokoh adat, tokoh agama dan
tokoh masyarakat serta organisasi/kelompok yang ada di masyarakat. LKB/SUFA bertujuan
menurunkan jumlah kasus baru HIV, menurunkan angka kematian, dan menurunkan stigma
dan diskriminasi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup ODHA (three zeroes). Secara
implementatif pembagian antara LSM dan pemerintah adalah dimana LSM mendorong
masyarakat untuk bisa mengakses layanan sedangkan untuk penyediaan layanan adalah tugas
dinkes.
Program perawatan dan pengobatan terkait HIV mulai dilakukan secara intensif sejak 2013,
Kemkes meluncurkan inisiatif Strategic Use of ARV (SUFA) yang bertujuan meningkatkan
cakupan tes HIV, meningkatkan cakupan ART serta meningkatkan retensi terhadap ART.
Dalam implementasinya, SUFA menekankan pada TOP - Temukan, Obati, dan Pertahankan,
sebagai pendekatan dan slogan yang digunakan untuk meningkatkan pemahaman status HIV
serta pemberian pengobatan ARV sedini mungkin bagi semua populasi yang berisiko
terinfeksi. SRAP DKI Jakarta menyebutkan pengembangan jaminan kualitas layanan
perawatan dan pengobatan terkiat HIV melalui peningkatan ketersediaan tenaga kesehatan
yang berkualitas, menjamin ketersediaan dukungan logistik obat, dan peningkatan peran
layanan berbasis masyarakat sebagai pelengkap dari layanan yang disediakan oleh
pemerintah. Target SRAP 2013-2017 untuk perawatan dan pengobatan adalah 100% ODHA
yang membutuhkan pelayanan dan pengobatan ARV dapat terlayani. Sampai dengan 2012
terdapat 24 layanana PDP, 12 satelit ARV, 27 layanan PMTCT dan 55 layanan tes HIV yang
tersedia di seluruh kotamadya di DKI Jakarta.
25
Pengobatan untuk warga DKI Jakarta dibantu oleh jaminan kesehatan dari pemerintah daerah
namun untuk pembayaran sangat tergantung dengan layanan yang diakses dan Puskesmas
yang bersangkutan, kadang kalau butuh pemeriksaan tambahan yang tidak masuk dalam
asuransi sehingga tetap harus bayar, inipun juga tergantung petugas, yang sudah biasa
dengan populasi kunci bisa membantu untuk gratis. Disamping itu, lembaga (LSM) pun bantu
membayar kekurangan biaya pengobatan. Dengan sistem BPJS yang sifatnya nasional ada
yang menerima bantuan iuran dan ada yang non iuran, selebihnya peserta askes, jamsostek
yang otomatis ada jaminan kesehatan. Namun JKN melalui BPJS belum menanggung semua
layanan HIV, contohnya untuk ARV tidak ditanggung, hasil perhitungan biaya yang diperlukan
untuk pengobatan sekitar Rp. 20 jt pertahun sedangkan BPJS hanya sanggup 16 juta per tahun
dan belum ada kesepakatan untuk meningkatkan tanggungan dari BPJS. Saat ini untuk ARV
masih ditanggung oleh APBN. Sedangkan semua fasilitas yang ada di lapas gratis, bila
membutuhkan rujukan bisa menggunakan BPJS dan di tanggung namun bisa juga ditawarkan
ke pasien bila memilih fasyankes yang lain mereka bisa bayar sendiri.
Gubernur DKI Jakarta menginginkan semua warga dapat mengetahui status HIV-nya sehingga
dipersiapkan layanan agar mencukupi, sejauh ini ada 28 puskesmas yang siap serta semakin
meningkat permintaan RS swasta untuk dapat membuka layanan HIV. Namun populasi kunci
masih menjadi fokus perhatian utama saat ini ditambah ibu hamil dan pasangan. Untuk
memfasilitasi terwujudnya target-target tersebut, di DKI Jakarta sudah hampir semua
Puskesmas kecamatan sudah ada staf yang terlatih. Yang menjadi persoalan adalah menjaga
kelanjutan dari program-program ini sebagaimana disebutkan salah satu informan bahwa
salah satu hambatan implementasi program adalah masih banyak populasi kunci atau
masyarakat yang sulit mendapatkan akses yang terjangkau. Contoh pada PPIA, banyak ibu
dengan anak yang sulit memeriksakan viral load karena kendala biaya, padahal dia juga harus
menyusui anaknya. Selain itu banyak masalah di masyarakat karena masih sangat minimnya
informasi yang tepat mengenai HIV dan AIDS.
Peraturan Menkes no.21 tahun 2013 tentang penanggulangan HIV dan AIDS menyebutkan
bahwa mitigas dampak merupakan upaya untuk mengurangi dampak kesehatan dan sosial
ekonomi. Ditambahkan bahwa tanggungjawab ini merupakan upaya bersama pemerintah
(Pusat dan daerah), swasta dan masyarakat untuk mendukung ODHA dan keluarga
menghadapi dampak-dampak akibat penularan HIV dengan memberikan jaminan kesehatan,
26
program bantuan, menghilangkan stigma dan diskriminasi serta memberdayakan ODHA dan
keluarga melalui keterlibatan yang lebih bermakna di dalam penanggulangan. Sedangkan
SRAN 2015-2019 (masih menunggu penetapan) menetapkan target perluasan cakupan
mitigas dampak adalah agar orang terinfeksi atau terdampak HIV, termasuk anak, janda,
Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang membutuhkan, memiliki akses untuk mitigasi
dampak termasuk kesehatan, pendidikan, psikososial dan pemberdayaan ekonomi. Sebagai
warga (maupun bukan) mendapat hak akses layanan kesehatan yang sama. Bagi kelompok
yang rentan, pemerintah menyediakan bantuan berupa makanan tambahan, dimana pada
rencana APBD 2014 dinas sosial DKI Jakarta memberi santunan kepada 200 ODHA (beras,
vitamin, susu) dan 180 anak ODHA serta bimbingan dan pelatihan 20 ODHA4.
Kementerian sosial pun memiliki Rehabilitasi Sosial adalah proses refungsionalisasi dan
pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya
secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Integrasi sosial ODHA adalah adaptasi ODHA
dalam lingkungan keluarga dan masyarakat sehingga tidak mengalami diskriminasi dalam
kehidupan bermasyarakat5.
D. Analisa pemangku kepentingan penanggulangan HIV AIDS
Banyak pemangku kepentingan yang terlibat dalam respon penanggulangan HIV AIDS di DKI
Jakarta. Setiap aktor memiliki peran dan kepentingan yang spesifik, baik secara normatif
ataupun sesuai implementasi di lapangan, dengan kepentingan dan tingkat sumber daya yang
berbeda-beda. Pemangku kepentingan adalah bagian krusial dari sebuah sistem, dalam
konteks ini sistem kesehatan yang berkaitan dengan respon HIV dan AIDS. Dengan melakukan
analisa kepentingan dari setiap aktor, dapat membantu untuk memahami bagaimana
interaksi antara setiap pemangku kepentingan dalam respon HIV dan AIDS memengaruhi
suatu kebijakan atau sistem kesehatan di DKI Jakarta. Berdasarkan hasil pengolahan data,
terdapat beberapa pemangku kepentingan mulai dari perangkat daerah seperti Dinkes,
masyarakat sipil seperti LSM, jaringan populasi kunci, MPI termasuk lembaga PBB dan
lembaga donor, serta UPT seperti puskesmas dan lembaga pemasyarakatan. Dari hasil
pengolahan data yang terkumpul, ditambah dengan data sekunder, maka dapat dipetakan
4 http://kpap.jakarta.go.id/media/download/LI_arah-kebijakan-penanggulangan-hiv-aids-dki-jakarta-2015-_20150831175058.pdf 5 http://www.kemsos.go.id/unduh/artikel%20SAM%20INTEGRASI%20SOSIAL%20ODHA.pdf
27
peran, kepentingan serta kekuasaan para pemangku kepentingan termasuk seberapa tinggi
atau rendah posisi setiap pemangku kepentingan.
Berdasarkan Perda No. 4 tahun 2009 tentang sistem kesehatan daerah, upaya kesehatan
masyarakat (UKM) adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah, masarakat, dan
swasta untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah dan menanggulangi
timbulnya masalah kesehatan di masyarakat. HIV dan AIDS masuk dalam target UKM sebagai
salah satu upaya untuk pencegahan dan pemberantasan penyakit menular. Puskesmas dan
masyarakat termasuk salah satu pelaksana UKM di strata pertama. Dalam kebijakan yang
lebih spesifik, Perda No.5 tahun 2008 tentang penanggulangan HIV dan AIDS dikatakan bahwa
upaya penanggulangan HIV dan AIDS diselenggarakan oleh masarakat dan pemerintah
dengan prinsip kemitraan. Masyarakat adalah pelaku utama dalam respon HIV yang berperan
untuk mendistribusikan informasi, menciptakan lingkungan kondusif, terlibat dalam
peningkatan kapasitas pencegahan dan PDP. Seluruh kegiatan tekait HIV dan AIDS di DKI
Jakarta harus dikordinasikan dengan KPAP/K. Peran KPAP/K sendiri diperjelas dalam Pergub
No 231 tahun 2015 sebagai pengganti Pergub No. 26 tahun 2012 yang menyakatakn bahwa
KPAP adalah lembaga nonstruktural yang berkedudukan di provinsi di bawah gubernur. Tugas
utama KPAP adalah menyusun strategi dan rencana aksi HIV, penyusun kebijakan dan
program, melaksanakan kerja sama dengan multi pihak, mengoordinasikan, memantau
mengevaluasi serta memberikan arahan terkait KPAK. Pada dasarnya KPAK adalah instansi
non-struktural yang bekerja khusus sesuai kewilayahan kotamadyanya dan bertugas sebagai
pelaksana SRAN dan kebijakan serta berkordinasi dengan pemangku kepentingan terkait HIV
di wilayahnya.
Berdasarkan Permenkes no 21 tahun 2013 tugas dan tanggung jawab Dinkes dalam
penanggulangan HIV AIDS meliputi melakukan kordinasi penyelenggaranan upaya
pengendalian dan penanggulangan, menetapkan situasi epidemik HIV, menyelenggarakan
sistem pencatatan, pelaporan, evalasi dan menjamin ketersediaan layanan di tingkat primer.
Selain itu KPAK bertugas untuk mengkordinasikan kerjasama dari seluruh kegiatan yang
dilakukan oleh LSM, jaringan populasi kunci dan MPI. Sumber dana HIV dan AIDS dapat
diberikan oleh MPI sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dinkes juga bertanggung jawab
untuk melakukan kompilasi dan analisis dari laporan kasus untuk pengambilan kebijakan.
28
Bila dilihat lebih spesifik berdasarkan aturan normatif dan hasil pengolahan data di lapangan,
maka peran dari setiap pemanggu kepentingan dapat digambarkan sebagai berikut:
Dinkes memiliki kekuasaan dan kepentingan yang sangat tinggi di DKI Jakarta karena instansi
ini adalah regulator jaminan pemeliharaan kesehatan, penyelenggara perencanaan dan
penyediaan kebutuhan obat dan perbekalan, bertanggung jawab dalam melakukan
pengawasan tenaga kesehatan, tempat pelayanan kesehatan, mengelola dan pemanfaatan
biaya pelayanan kesehatan, dan penyelegaraan pelayanan kesehatan setiap UPT. Sebagai
intansi struktural, Dinkes dapat mengakses dana APBD sesuai dengan kebutuhannya,
berdasarkan rencana strategis dan analisa hasil pelaporan yang dilakukan. Dalam melakukan
tugasnya, Dinkes dibantu oleh Sudinkes yang bertugas sebagai pelaksana regulasi dari Dinkes
dan berfungsi sebagai pengawas masalah kesehatan di daerahnya. Kepentingan Sudinkes
dalam respon HIV AIDS dapat dikategorikan tinggi namun memiliki kekuasaan yang rendah
karena hanya sebagai pelaksana. Dalam melakukan tugasnya, Sudinkes memiliki Puskesmas
sebagai pelaksana teknis layanan kesehatan. Kegiatan supervisi dan bimbingan teknis menjadi
salah satu tugas Sudinkes. Puskesmas bertugas untuk memberikan pelayanan kesehatan,
melakukan perencanaan, pengawasan dan pengendalian pelaksanaan UKM di wilayahnya,
bekerjasama dengan lintas sector dan masyarakat, memberikan dukungan sistem informasi,
memberikan dukungan perencanaan obat. Sebagai pelaksana teknis, Puskesmas memiliki
kekuasaan untuk mengatur dana BLUD untuk manggulangi permasalahan kesehatan di
daerahnya. Dalam konteks ini, Puskesmas dapat dikagorikan memiliki kekuasan dan
kepentingan tinggi.
Sebagai lembaga non-struktural, KPAP memiliki kekuasaan dan kepentingan yang tinggi
dalam respon HIV AIDS di DKI Jakarta. Lembaga ini dapat mengakses dana hibah APBD untuk
melaksanakan mandatnya, seluruh instansi yang melakukan upaya penanggulangan HIV dan
AIDS harus melakukan kordinasi sebelumnya dengan KPAP. Selain itu, KPAP memiliki
kewenangan untuk menentukan arah dan strategi penanggulangan HIV dan AIDS di DKI
Jakarta melalui SRAP yang menjadi salah satu tanggungjawab utamanya. Karena KPAP
bertindak dalam lingkup provinsi, dalam melakukan tugas di tingkat kotamadya instansi ini
dibantu oleh KPAK yang bertindak sebagai pelaksana dari SRAP yang telah dibuat dan
membantu melakukan kordinasi dengan pemangku kepentingan lain di daerahnya. KPAK
mendapatkan dukungan pendanaan dari KPAP dalam menjalankan tugasnya. Sesuai dengan
29
peran dan fungsinya KPAK dapat dikategorikan memiliki kepentingan yang tinggi namun
kekuasaan yang rendah dalam respon HIV di DKI Jakarta.
LSM sebagai bagian dari unsur masyarakat adalah pelaku utama dalam respon HIV dan AIDS.
Mandat organisasi yang tercantum dalam visi dan misi lembaga yang bekerja di bidang HIV
dan AIDS membuat LSM memiliki kepentingan yang tinggi dalam respon ini. Namun
kekuasaan yang dimiliki LSM masuk dalam kategori rendah mengingat pendanaan untuk
kegiatan yang dilakukannya bergantung dari sumber dana MPI. Walaupun LSM dinilai sebagai
mitra potensial dalam respon HIV namun keterlibatan dalam perencanan dan evaluasi
program masih terbatas memberikan masukan dan saran. Keputusan akhir tetap berada di
tangan instansi pemilik modal atau pemegang kekuasaan di daerah. Situasi ini serupa dengan
yang dialami oleh Jaringan Populasi Kunci yang memiliki kepentingan tinggi karena isu HIV
sangat dekat dengan kehidupannya namun kekuasaan jaringan populasi kunci dapat
dikatakan rendah. Peran populasi kunci adalah sebagai organisasi perwakilan penerima
manfaat yang diminta untuk memberikan masukan terkait program namum tetap dilihat
sebagai bagian dari penerima manfaat dan bukan pelaku utama. Berbeda dengan ODHA
sebagai penerima manfaat individu dari program HIV. Kekuasaan dan kepentingan mereka
dapat dikategorikan rendah. Peran yang dilakukan lebih untuk mengakses layanan demi
kepentingan individual dan sebatas menerima layanan yang tersedia. Sebagai individu,
kekuasaan mereka untuk bertindak sangat terbatas dan bergantung pada pemberi layanan
yang menyediakan akses.
MPI sebagai pemilik dana dapat dikategorikan memiliki kekuasan dan kepentingan yang tinggi
dalam respon penanggulangan HIV di DKI Jakarta. Keberadaan MPI sebagai salah satu mitra
dalam respon HIV sudah diakui dalam kebijakan terkait HIV di Indonesia. Dukungan
pendanaan dan teknis program yang diberikan MPI kepada pemerintah dan LSM
memposisikan organisasi ini dapat menentukan arah dan strategi program HIV di DKI Jakarta.
Berbeda dengan lembaga PBB yang memiliki kepentingan tinggi namun kekuasaan rendah.
Secara mandat organisasi ini berkepentingan untuk terlibat dalam respon HIV dan AIDS
namun sesuai dengan posisinya maka ranah kerja lebih berfokus pada upstream policy di
tingkat pusat. Kekuasaannya untuk menentukan arah respon pada tingkat provinsi dapat
dikatakan rendah. Sedangkan CSR perusahaan swasta memiliki posisi sebaliknya. Sebagai
pemilik modal mereka memiliki kekuasaan yang tinggi namun kepentingan yang rendah. Isu
30
HIV bukanlah mandat utama yang dikerjakan hanya lebih berupa bagian dari kegiatan sosial
yang dilakukan perusahaan. CSR dapat dengan leluasa memilih isu mana yang akan didukung,
terutama yang bisa dikaitkan dengan produk perusahaan. Peta posisi kekuasaan dan
kepentingan setiap pemangku kepentingan dalam respon HIV dan AIDS di DKI Jakarta dapat
terlihat dalam gambar 2.
Gambar 2. peta analisa pemangku kepentingan
E. Peran Perguruan Tinggi
Keterlibatan perguruan tinggi (PT) dalam respon HIV dan AIDS masih dinilai terbatas oleh
informan dalam studi ini. Saat ini keterlibatan PT lebih banyak berfokus pada melakukan
penelitian, baik sebagai pihak yang diminta untuk membantu kebutuhan penelitian, misalnya
melakukan kajian, evaluasi program, dan/atau terlibat sebagai narasumber dalam pembuatan
Renstra HIV dan AIDS, ataupun sebagai pihak yang memiliki kebutuhan untuk melakukan
penelitian terkait isu HIV dan AIDS seperti skrispsi mahasiswa. Selain itu, pengetahuan yang
dihasilkan dari penelitian yang dilakukan masih dianggap sebagai “menara gading” mengingat
belum dapat tersosialisasikan dan termanfaatkan dengan baik untuk mendukung
pelaksanaan program HIV dan AIDS di DKI Jakarta.
“Hasil penelitian perguruan tinggi masih menara gading, belum implementatif merespon situasi lapangan…. Keterlibatan masih bersifat tokoh/personal seperti di Bali ada Prof Wirawan, tetapi sebagai institusi UNUD belum teruji” (R15)
Tinggi
Jaringan Ponci KPAP
LSM MPI
KPAK Dinkes
Sudinkes
Lembaga PBB Puskesmas
CSR perusahaan
ODHA
TinggiRendah
Ke
pe
nti
ng
an
Kekuasaan
1
3
2
4
31
Informan melihat PT sebagai potensi yang dapat berkontribusi lebih dalam respon HIV dan
AIDS di DKI Jakarta. Pihak akademisi dinilai memiliki sumber pengetahuan yang kaya terkait
metodologi, hasil kajian dan pemikiran yang kritis. Maka, seharusnya peran PT bisa lebih
ditingkatkan lagi dari sekedar terlibat dalam penelitian. Bila digabungkan, terlihat dua pola
masukan untuk meningkatkan peran perguruan tinggi dalam isu HIV dan AIDS, pertama aktif
terlibat dalam pre-service education untuk memastikan terciptanya SDM medis yang
berkualitas untuk mendukung pelayanan HIV dan AIDS. Misalnya dengan memasukan
kurikulum terkait HIV di fakultas kedokteran atau menempatkan residen dalam pelayanan HIV
dan AIDS. Kedua, memberikan masukan strategis bagi respon HIV dari sisi akademis seperti
menjadikan hasil penelitian sebagai acuan dalam pengambilan keputusan yang dapat
menentukan arah respon penanggulangan HIV dan AIDS, terlibat dalam perencanaan
program, ataupun keterlibatan lebih bermakna pihak akademisi dalam Musrenbang.
“…seharusnya dalam hal mempersiapkan SDM bisa tapi yang menjadi masalah apakah sdm nya mau, sejauh ini belum banyak terlibat di program penanggulangan HIV kecuali penelitian” (R10)
“sebenarnya banyak penelitian yang dilakukan PT namun sejauh ini belum ada yang menunjukkan hasilnya dimanfaatkan atau dijadikan acuan dalam mengambil keputusan misalnya oleh KPA” (R16)
Beberapa hambatan yang dinyatakan oleh Informan sebagai kendala untuk melibatkan PT
lebih bermakna adalah pihak universitas memiliki kewenangan untuk menentukan prioritas
kurikulumnya sendiri. Bila isu HIV tidak menjadi prioritas maka kemungkinan untuk masuk
dalam kurikulum pendidikan menjadi sulit. Selain itu, pihak akademisi dinilai masih perlu
untuk memperdalam pemahaman dan memperbaharui keilmuan yang dimilki terutama
dalam konteks komponen implementasi program-program terkait HIV yang sedang dijalankan
di lapangan. Hal lain adalah keterbatasan dana untuk melakukan penelitian mandiri yang
dibiayai langsung PT berpotensi untuk mengurangi kualitas penelitian yang dilakukan.
Terdapat sedikit kekhawatiran untuk menjaga populasi kunci HIV terhindari dari objek
penelitian yang dilakukan oleh pihak akademisi.
32
F. Pola Integrasi di DKI Jakarta
Bagian ini akan menggambarkan pola intergasi sistem kesehatan terkait dengan HIV yang ada
di DKI Jakarta. Pola integrasi akan dilihat dari beberapa sub-sistem yang masing-masing
memiliki beberapa dimensi yang menyertai, sebagai berikut:
1. Gambaran integrasi berdasarkan sub sistem kesehatan di DKI Jakarta
a. Manajemen, Informasi dan Regulasi Kesehatan Penanggulangan HIV
i. Regulasi
Dukungan landasan hukum dalam penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta sudah cukup
kuat. Provinsi ini memiliki dua regulasi utama, yaitu Perda No. 4 tahun 2009 tentang Sistem
Kesehatan Daerah (SKD) dan Perda No.8 tahun 2008 tentang penanggulangan HIV dan AIDS.
Tersedianya dua regulasi ini lantas membuahkan dua dokumen utama yang menjadi panduan
dalam memberikan respon penanggulangan HIV dan AIDS, yaitu Rencana Strategis (Renstra)
Dinas Kesehatan No 1234 tahun 2013 dan Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP)
Penanggulangan HIV dan AIDS Provinsi DKI Jakarta 2013-2017. Dokumen regulasi SKD dibuat
dengan tujuan untuk memberikan arah, pedoman, landasan dan kepastian hukum bagi setiap
pemangku kepentingan pembangunan kesehatan daerah sehingga seluruh pemangku
kepentingan dapat bekerja secara sinergis dan berdaya guna untuk mencapai derajat
kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.6 Pemberantasan penyakin menular, dalam konteks
ini HIV, sudah termasuk sebagai salah satu program prioritas di DKI Jakarta.
Sedangkan ruang lingkup penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta berdasarkan Perda
No.5 tahun 2008 mencakup umum, promosi, pencegahan, pengobatan dan perawatan dan
dukungan. Upaya pencegahan dilakukan melalui peningkatan pengetahuan tentang tata cara
pencegahan, penularan dan akibat yang ditimbulkan serta penyediaan layanan kesehatan
yang dapat mencegah penularan HIV7. Sedangkan pengobatan ditujukan untuk ODHA
didukung dengan pendekatan perawatan berbasis keluarga, masyarakat, serta dukungan
pembentukan persahabatan ODHA. Yang termasuk pengobatan adalah tindakan pengobatan,
tes HIV, yang wajib diberikan oleh setiap penyedia layanan kesehatan secara wajib dengan
6 Lihat Pasal 2 dan 3 Perda DKI Jakarta No. 4/2009 tentang Sistem Kesehatan Daerah. 7 Lihat pasal 13 Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 5/2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS
33
azas kerahasiaan8. Sedangkan Perawatan dilakukan melalui pendekatan klinis, agama dan
pendekatan berbasis keluarga dan masyarakat tanpa diskriminasi. Bentuk dukungan dapat
dilakukan oleh masyaratak dan sector terkait memalui pemberdayaan ODHA9. Perda ini juga
melegitimasi peran KPAP sebagai leading sector dalam kordinasi seluruh program HIV dan
AIDS di DKI Jakarta10.
Tabel 4. Daftar Kebijakan terkait HIV di DKI Jakarta
Kategori Daftar Regulasi terkait HIV di DKI Jakarta
Kepemimpinan 1. SK Walikota Jakarta Utara No.15/2008 ttg Susunan Organisasi KPAK 2. Pergub No.162/2009 ttg KPAP DKI Jakarta 3. SU Walikota Jakarta Barat No.48.2009 ttg Organisasi dan Tata Kerja KPAK
Jakarta Barat 4. Surat Keputusan Walikota Jakarta Utara No. 175 Tahun 2009 tanggal 19
Mei 2009 Tentang Susunan Organisasi KPAK Jakarta Utara 5. Surat Keputusan Walikota Jakarta Utara No. 782 Tahun 2010 tanggal 1
November 2010 tentang Susunan Organisasi KPAK Jakarta Utara 6. Surat Keputusan Gubernur No. 954 tahun 2010 tentang Pelimpahan
Wewenang Ketua kepada Sekretaris KPAP 7. Surat Keputusan Gubernur No. 321 tahun 2010 tentang Penunjukan
Sekretaris KPAP 8. Peraturan Gubernur No. 26 tahun 2012 tentang Komisi Penanggulangan
AIDS Provinsi dan Komisi Penanggulangan AIDS Kota
Pencegahan Pengurangan Dampak Buruk 1. Surat Edaran Kepala Dinas Kesehatan tentang Kemandirian Penganggaran
Program Harm Reduction No 3884/1.778/2009 2. Peraturan Gubernur No. 183 tahun 2012 tentang Pemulihan Adiksi Berbasis
Masyarakat 3. Surat Edaran Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta No. 63/SE/2012
tentang Layanan Jarum dan Alat Suntik Steril di DKI Jakarta PMTS 1. Surat Keputusan Walikota Jakarta Barat No. 174 tahun 2003 tentang
Penetapan Kelurahan Maphar Sebagai Pilot Proyek Penggunaan Kondom 100%
2. Surat Keputusan Walikota Jakarta Barat No. 1 tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS di Jakarta Barat
3. Surat Edaran Kepala Sudin Kesehatan Jakarta Barat No. 2522/SE/2011 tanggal 16 Juni 2011 tentang Program Komprehensif Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual
4. Surat Edaran Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan No 19/SE/2011 tentang Program Komprehensif Pencegahan HIV dan AIDS Melalui Transmisi Seksual untuk Pimpinan Usaha Industri Pariwisata di DKI Jakarta
5. Surat edaran Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan No 983/1.858.25/2011 tentang Program Pencegahan Penanggulangan IMS dan HIV Pada Tempat Hiburan di wilayah DKI Jakarta
8 Lihat pasal 17 Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 5/2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS 99 Lihat pasal 19 bagain 6 Perda DKI Jakarta No. 5/2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS 10 Lihat pasal 22 Perda DKI Jakarta No.5/2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS
34
Kategori Daftar Regulasi terkait HIV di DKI Jakarta
6. Surat edaran Kelapa Dinas Pariwisata dan Kebudayaan No 12/SE/2011 tentang Program Komprehensif Pencegahan HIV dan AIDS untuk Pimpinan Usaha Industri Pariwisata Wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Utara dan Jakarta Timur.
Perawatan, Dukungan dan Pengobatan
1. Surat Keputusan Gubernur No. 248 tahun 2011 tentang Biaya Pemeriksaan Darah Khusus (CD4) di Rumah Sakit Umum Daerah dan Rumah Sakit Khusus Daerah
2. Instruksi Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 6 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Program Komprehensif Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual (PMTS) di 3 wilayah (Jakarta Pusat, Jakarta Utara dan Jakarta Timur)
3. Surat Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Nomor 5109 tahun 2012 tentang puskesmas layanan satelit Anti Retroviral dan Rumah Sakit pengampu di DKI Jakarta
Mitigasi Dampak n/a
Situasi yang mendukung
1. Peraturan Daerah No. 5 tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta
2. MoU antara KPAP DKI Jakarta dengan 6 SKPD (POLDA Metro Jaya, Dinas Sosial, Satpol PP, Dinas Kesehatan, Dinas Pariwisata, Kanwil Kemenag) dan Forum LSM tentang Kesepakatan Operasional Kondom dan Alat Suntik Bukan Menjadi Barang Bukti
3. Renstra KPAP tahun 2013-2017 Sumber: Evaluasi Program Penanggulangan HIV dan AIDS DKI Jakarta, 2008 – 2012 (KPAP, 2013)
Rangkaian regulasi ini menjadi landasan bagi pemangku kepentingan terkait HIV dan AIDS di
DKI Jakarta dalam merencanakan dan mengimplementasikan programnya, termasuk
menjamin partisipasi masyarakat didalamnya. Dokumen Renstra dan SRAP dibuat sebagai
turunan dokumen nasional yang dikeluarkan oleh Kemkes dan KPAN. Sebanyak tiga informan
menyatakan bahwa SRAP DKI Jakarta sudah digunakan sebagai acuan dalam pengembangan
program, dibuat lengkap dengan baseline dan target serta mekanisme monitoring dan
evaluasi yang akan dilakukan. Dalam pembuatannya SRAP turut melibatkan berbagai pihak,
walaupun masih ada dua informan yang mengatakan LSM tempatnya bekerja tidak dilibatkan.
Terlepas dari proses dan isi dalam dokumen, enam informan merasa implementasi SRAP
masih dianggap belum maksimal. Hal ini diduga karena program yang dijalankan kurang
memaksimalkan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) setiap SKPD dan LSM dalam
penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta seperti yang dikatakan oleh dua informan. Satu
informan mengatakan bahwa kebijakan yang dibuat lebih untuk merespon proyek yang
sedang berjalan misalnya Global Fund. Selain itu, kebijakan yang menjadi rujukan belum
dievaluasi keberhasilannya sehingga tidak ada proses pembelajaran terhadap dokumen
setelahnya. Selain itu otonomi daerah harus dipertimbangkan saat mengadopsi dokumen
rujukan nasional.
35
“Renstra terkait penanggulangan HIV ada tetapi dianggap belum maksimal dan belum menjangkau sampai ke bawah…renstra seharusnya dibuat juga berdasarkan tugas dan kewajiban masing-masing SKPD dalam penanggulangan HIV, hal ini yang belum bisa dikeluarkan dalam renstra” (R6)
“Kebijakan dirumuskan lebih condong merespon project. GF basisnya pada renstra nasional KPAN” (R14)
“Sudah menggambarkan usaha penanggulangan HIV namun yang jadi masalah adalah implementasinya, ada kesan renstra hanya formalitas” (R10)
Keberadaan payung hukum dan rencana kerja memberikan dampak langsung pada
penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta. Dokumen ini menjadi acuan dalam membuat
perencanaan anggaran. Komitmen pemerintah daerah otomatis terlihat dari adanya
anggaran APBD yang disediakan untuk respon HIV dan AIDS. Laporan NASA (2012) mencatat
APBD DKI Jakarta untuk HIV pada 2012 mencapai sekitar 16 milliar rupiah. Satu informan
mengatakan sebaiknya ketersediaan dana HIV yang besar harus diiringi dengan peningkatan
SDM untuk mengelola dana tersebut agar dapat digunakan secara efektif. Dua informan
mengatakan ketersediaan regulasi tidak serta-merta mengakui peran dan fungsi LSM dan
populasi kunci.
“Sebenarnya APBD di Jakarta untuk HIV sudah cukup besar, untuk kegiatan yang dibutuhkan masyarakat, namun untuk menunjang kegiatan itu diperlukan peningkatan SDM” (R6)
“Peran SKPD lebih pada regulasi dan kebijakan, perlu mengakui adanya LSM serta fungsi dan peran mereka” (R10)
ii. Formulasi Kebijakan
Terdapat dua pendapat yang berbeda terkait proses pemuatan kebijakan terkait HIV di DKI
Jakarta. Delapan informan mengatakan bahwa pembuatan kebijakan terkait HIV dan AIDS di
DKI Jakarta telah dibentuk melalui berbagai proses. Data terkait HIV yang digunakan untuk
memformulasikan kebijakan adalah asil surveillance terkait prevalensi HIV seperti STBP,
survei sentinel, dan modeling menjadi dasar pembuatan perencanaan. Ditambah dengan hasil
capaian implementasi program seperti laporan bulanan, pemetaan populasi kunci, dan data
kasus HIV juga turut dipakai dalam perhitungan target. Proses pembuatan kebijakan terkait
HIV dilakukan oleh KPAP dan Dinkes secara bersama dengan mengundang pemangku
kepentingan terkait seperti LSM dan MPI. Dalam konteks proses pembuatan kebijakan, MPI
memberikan masukan terutama terkait praktik berbasis bukti, sekaligus melihat dukungan
36
program yang tertera dalam agenda organisasi mereka. Namun disisi lain, lima informan
mengatakan bahwa penggunaan data belum dioptimalkan dalam proses perencanaan
kebijakan. Pendapat ini dilontarkan mengingat beberapa data yang digunakan bukanlah yang
hasil terbaru atau tidak mempertibangkan hasil pemetaan dengan baik atau tidak dibuat
berdasarkan hasil capaian tahun sebelumnya. Beberapa berpendapat bahwa koordinasi
terkait hasil perencanaan tidak diinformasikan kembali dengan baik kepada pemangku
kepentingan.
“Saat ini formulasi kebijakan sudah dilakukan berdasarkan data epidemi yang ada di daerah” (R16)
“Sumber informasi data…laporan bulanan, surveilan, ibbs, sentinel” (R1)
“Kritik terhadap pemerintah yang tidak mengoptimalkan data hasil pemetaan untuk perencanaan program, lebih sebagai laporan” (R15)
“Perencanaan seharusnya disesuaikan dengan hasil assessment dan evaluasi dari tahun sebelumnya, namun system pendataan masih kurang sehingga belum optimal untuk mengubah situasi yang ada” (R6, R3)
iii. Akuntabilitas
Akses publik terhadap informasi program HIV dan AIDS di DKI Jakarta belum sepenuhnya
berjalan dengan baik. Empat informan mengatakan yang sudah dilakukan terkait pemberian
informasi sebatas pada peningkatan pengetahuan HIV saja. Hal ini dilakukan melalui berbagai
cara dalam mendistribusikan informasi seperti melalui pendampingan, menggunakan
teknologi berbasis SMS, siaran radio, media sosial, media dan KIE yang dikeluarkan oleh
Kemkes, KPAn ataupun MPI. Namun, informasi yang lebih dalam terkait perencanaan dan
penganggaran masih dinilai tertutup oleh lima informan. Mereka merasa bahwa keterlibatan
masyarakat dan populasi kunci baru sebatas formalitas dan belum sepenuhnya transparan.
Selain itu masalah birokrasi dan kurangnya kordinasi masih dianggap sebagai penghalang atas
distribusi informasi terkait HIV di DKI Jakarta.
“…dari LSM melalui informasi saat pendampingan atau ada juga sistem gateaway melalui sms yang mengirimkan informasi2 program apa saja yang sedang berjalan” (R10)
“Partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam perencanaan regulasi hanya formalitas” (R5)
“LSM sebagai salah satu aktor dalam penanggulangan HIV banyak yang tidak jelas dan tidak transparan misal dalam pengelolaan proggram GF, banyak nilai-
37
nilai yang sudah hilang dan memanfaatkan komunitas hanya sebagai wadah pekerjaan saja” (R9)
Dua informan mengatakan bahwa seharusnya pemerintah lebih jeli dalam menggunakan dan
memanfaatkan data dan informasi dalam perencanaan. Penentuan intervensi seharusnya
melihat pada situasi epidemi di setiap daerah dan mempertimbangkan unsur desentralisasi
kebijakan. Kebijakan dari tingkat nasional seharusnya hanya dilihat sebagai panduan dan
harus disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan daerah.
“Desentralisasi kebijakan berpngaruh terhadap implementasi di daerah. Kebijakan di level nasional hanya ersifat pedoman saja” (R2)
b. Pembiayaan Kesehatan
i. Pengelolaan Sumber Pembiayaan
Sumber pembiayaan terkait respon HIV di DKI Jakarta dapat dipetakan menjadi empat
kelompok besar. Dana yang bersumber dari pusat (APBN) biasanya bersumber dari Kemkes
atau KPAN yang lantas diimplementasikan di tingkat daerah. Dana ini disediakan berdasarkan
hasil pemetaan Kemkes terkait kebutuhan perluasan layanan di seluruh provinsi di Indonesia.
Sedangkan dana yang bersumber lokal diambil dari APBD. Dana ini bersifat hibah sehingga
pengelolaannya kurang fleksible. Dana lain adalah yang bersumber dari MPI seperti Global
Fund, HCPI, FHI, Red Institute, Hivos, USAID, Asia Pacific Net Sex Workers, dan SUM. Dana
yang bersumber dari donor biasanya penggunaannya disesuaikan dengan mandat organisasi
yang diemban untuk dilaksanakan di Indonesia, selain itu terkadang dana sudah melekat di
pusat seperti dana Global Fund dan hanya hanya dijalankan saja di daerah. Sistem
pengelolaan dana dari luar negeri diatur oleh Kementerian Keuangan namun sampai saat ini
belum terkelola dengan baik. Terakhir, dana yang bersumber dari perusahaan swasta dalam
bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) namun hanya berjumlah sedikit dan lebih
memilih isu HIV dan AIDS. Program terkait pekerja seks misalnya, sulit didanai oleh CSR.
“Sumber pembiayaan untuk UPT dari APBN, selain itu ada dari LSM dan donor seperti GF, HCPI, red institute dan FHI” (R11)
“Pembiayaan untuk program HIV dan AIDS masih jauh dari yang diharapkan. Sistem pengelolaan dan dari luar negeri melalui kemeneterian keuangan, kecuali untuk dana non pemerintah. Negara pemberi bantuan yang semestinya memberikan informasi terkait dengan bantuan yang diberikan” (R2)
38
Jumlah dana penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta sangat besar bila dibandingkan
dengan provinsi lain di Indonesia. Menurut laporan evaluasi KPAP (2013) pada tahun 2012
total dana penanggulangan HIV di DKI Jakarta mencapai 22.2 milyar rupiah (lihat tabel 5 untuk
informasi mengenai detil sumber anggaran). Dana ini bersumber dari APBD dan MPI yang
bekerja di wilayah DKI Jakarta dengan proporsi 68% dari total anggaran merupakan dana yang
bersumber APBD. Dua informan mengatakan bahwa dana HIV yang bersumber dari APBD
diajukan dengan menggunakan sistem yang belaku di DKI Jakarta yaitu e-cataloque, untuk
kemudian menunggu persetujuan. Sayangnya pengeluaran dana APBD masih terkendala
keterlambatan. Menurut satu informan proses pengalokasian dana HIV yang berkaitan
dengan sosialisasi kepada masyarakat sudah melibatkan unsur perwakilan masyarakat,
walaupun tidak dijelaskan lebih lanjut bagaimana bentuk dan sejauhmana ketterlibatannya.
“Ada dana dialokasikan dari APBD untuk sosialisasi HIV yang melibatkan LMK (Red: Lembaga Musyawarah Kota)” (R12)
Untuk dana yang bersumber dari APBD dan Global Fund, pengeluaran dana dapat
dikelompokan menjadi dana operasional dan dana program. Sebesar 28% dari total dana
APBD digunakan untuk biaya operasional dan sekitar 20% untuk dana Global Fund. Sisanya
diperuntukan untuk kepentingan biaya program. Hal ini terkonformasi pada pengeluaran
Global Fund pada periode selanjutnya. Sebesar 36 Milyar Rupiah digunakan untuk membiayai
operasional petugas pemberi layanan.
“Mulai Juli 2012 – Juni 2013 sekitar 36M, uang dari GF untuk running cost petugas di layanan” (R4)
Dana yang bersumber dari MPI digunakan sesuai dengan mandat kerja MPI di wilayah
tertentu. Penyumbang dana hibat terbesar di DKI Jakarta bersumber dari Global Fund. Dua
informan mengatakan MPI terkadang tidak melakukan kordinasi dan langsung memberikan
dana hibah kepada LSM. Duplikasi program dengan dana APBD sangat mungkin untuk
program HIV.
39
Tabel 5. Proporsi Anggaran HIV di DKI Jakarta
**Sumber: Laporan Evaluasi Penanggulangan HIV dan AIDS DKI Jakarta (KPAP, 2013)
ii. Penganggaran, Proporsi, Distribusi dan Pengeluaran
Komitmen pemerintah DKI Jakarta dalam respon HIV juga dapat dilihat dari besaran dana
APBD yang dikeluarkan. Sumber dana dari pemerintah untuk HIV tidak hanya bersumber dari
APBD saja namun ada dukungan dana yang bersumber dari pemerintah pusat atau APBN.
Tren anggaran HIV cenderung terus meningkat di DKI Jakarta. Pada tahun 2013 Dinkes
mengelola dana untuk HIV sebesar 4.8 milyar. Dana yang dikelola oleh Dinkes diajukan sesuai
tupoksi instansi tersebut yaitu peningkatan kapasitas sumber daya manusia kesehatan
melalui pelatihan dan refreshing materi terkait IMS dan tes HIV, bimbingan teknis dan
monitoring dan evaluasi. Jumlah alokasi dana yang diajukan melalui APBD mengacu pada
serapan anggaran yang telah dilakukan pada tahun sebelumnya. Dua informan mengatakan
bahwa diperkirakan kedepannya dana HIV akan semakin meningkat. Saat ini dana HIV sudah
meningkat sekitar 50% dari sebelumnya, angka ini kemungkinan besar akan terus meningkat
mengingat proyeksi penurunan dukungan dari dari MPI akan bekurang. Peningkatan alokasi
dana untuk HIV diperkirakan akan disalurkan melalui BLUD. UPT mengelola anggaran yang
berumber baik dari APBD dan MPI. Satu informan mengungkapkan ketidaktahuannya
mengenai proses dan jumlah anggaran yang tersedia di DKI Jakarta. Selain itu informan yang
sama juga mengatakan masih ada tumpang tindih anggaran dan isu terkait serapan yang
kurang maksimal. Dua informan mengatakan bahwa keterlibatan LSM atau masyarakat sipil
15,100
1,9843,682.10
938 544.1
22,248
0
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
APBD GF HCPI ASA/SUM 1 SUM 2 TOTAL
Proporsi Angaran HIV DKI Jakarta (2012)(Dalam Miliar Rupiah)
40
dalam perencanaan anggaran masih sangat terbatas. Hal ini menimbulkan biaya yang
dialokasikan masih bersifat normatif dan belum sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
“Penganggaran di dinkes sesuai tupoksi termasuk monev, peningkatan kapasitas SDM seperti pelatihan dan refreshing untuk IMS, VCT dan Bimtek” (R4)
“Sepertinya akan ada rencana peningkatan anggaran APBD melalui BLUD karena dana MPI akan semakin berkurang” (R8)
“Penganggaran biaya yang dilakukan belum sesuai dengan kebutuhan, selama ini dibuat secara normatif general tidak melihat kebutuhan satu persatu dilapangan” (R16)
Dalam pengajuan dana HIV, DKI Jakarta memanfaatkan alat bantu untuk melihat kebutuhan
anggaran dan membantu perencanaan seperti yang dikatakan oleh dua informan. Perangkat
pertama adalah National AIDS Spending Assessment (NASA) digunakan untuk menghitung
pembiayaan HIV dan AIDS di daerah sehingga pemerintah dapat mengetahui secara jelas
berapa investasi domestik yang telah diberikan. Pada gambar 1 terlihat proporsi alokasi
anggaran yang digunakan untuk membiayai program terkait HIV di DKI Jakarta yang
bersumber dari laporan NASA (2012). Total keseluruhan dana adalah 22,248 milyar rupiah
yang bersumber baik dari APBD dan MPI. Terlihat bahwa tiga alokasi terbesar dari dana
digunakan untuk komponen pencegahan (41%), manajemen program (31%) dan PDP (12%).
Alokasi anggaran untuk mitigasi dampak masih sangat kecil (0.23%) bila dibandingkan dengan
program lain. Sedangkan perangkat kedua adalah budget tools yang dikembangkan oleh HCPI
yang diberguna untuk melakukan kajian dalam memilih kebutuhan anggaran yang lebih
strategis sesuai dengan kebutuhan daerah. Mengingat semua puskesmas di DKI Jakarta sudah
BLUD, rencana kebutuhan anggaran dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan spesifik
Puskesmas tersebut. Pada tahap akhir, Dinkes akan melakukan sinkronisasi dari seluruh
anggaran yang telah diajukan oleh UPT di bawahnya untuk menghindari pengajuan kegiatan
berulang.
41
Gambar 3. proporsi angagran HIV DKI Jakarta (2012)
Sumber: Laporan NASA (2012)
iii. Mekanisme Pembayaran Layanan
Secara umum penduduk DKI Jakarta mendapatkan fasilitas jaminan kesehatan yang diberikan
oleh pemerintah daerah. Pada tahun 2012 pemerintah daerah mengeluarkan Kartu Jakarta
Sehat (KJS) untuk menjamin pemberian layanan kesehatan bagi yang membutuhkan.
Sembilan informan mengatakan bahwa saat ini jaminan kesehatan diberikan melalui BPJS
mengikuti dengan kebijakan nasioanal. BPJS dapat dimiliki dengan sistem iuran ataupun non-
iuran, yang diperuntukan untuk penduduk miskin. Bila tidak memiliki kartu JKN, beberapa
kartu lain seperti Jamkesmas, KJS dan KIS dapat digunakan untuk membayar layanan
kesehatan. Dua informan mengatakan bila layanan kesehatan tersebut tidak dapat
ditanggung oleh JKN maka masih ada Jaminan Kesehatan Daerah yang dapat digunakan untuk
membayar layanan. Dengan adanya jaminan kesehatan ini maka penduduk Jakarta dapat
berobat secara gratis di seluruh puskesmas dan 88 rumah sakit rujukan Pemprov DKI Jakarta.
Walaupun menurut pengakuan tiga informan bahwa dengan adakanya JKN tidak serta-merta
membuat seluruh biaya kesehatan menjadi gratis, namun bantuan dana kesehatan dirasa
cukup meringankan bebab biaya pengobatan.
Bila dibawa ke dalam konteks respon HIV dan AIDS, penggunaan jaminan kesehatan untuk
kebutuhan penyakit ini masih terdapat kebingungan. Secara ketentuan, pasien dengan HIV
tetap dapat dilayani dengan biaya perawatannya sesuai dengan Permenkes No. 28 tahun
41%
12%1%10%
4%1%
31%
0%
Proporsi Anggaran HIV DKI Jakarta 2012
Pencegahan
PDP
Penelitian
SDM
Lingkungan mendukung
Proteksi sosial
Manajemen program
mitigasi dampak
42
2014 tentang pedoman pelaksanaan program jaminan kesehatan nasional. Biaya
pemeriksaan dan perawatan dapat dibebankan melalui skema Indonesian Case-Based Groups
(INA-CBGs) yang dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama, namun biaya obat yang
termasuk dalam obat program seperti ARV tidak dimasukan karena sudah ditanggung oleh
pemerintah pusat. Namun dua informan mengatakan bahwa ini masih berproses dan belum
ditanggung. Lima informan mengatakan bahwa tidak semua biaya ditanggung dan ada
pemeriksaan laboratorium yang masih harus ditanggung oleh pasien. Selain itu, lima informan
mengatakan masih ada beberapa masalah yang ditemui dalam pelaksanaan JKN, seperti
pengurusan administrasi yang mengandalkan KTP untuk mendaftar, keterlambatan
pembayaran dari BPJS ke fasilitas kesehatan, kesulitan administrasi dalam mendaftar, dan
perbedaan persepsi dalam memahami aturan JKN. Hal ini diduga dapat menghambat populasi
kunci untuk memiliki jaminan kesehatan.
“Ada jaminan kesehatan untuk warga Jakarta, namun untuk pembayaran sangat tergantung dengan layanan yang diakses dan PKM nya, kadang kalau butuh pemeriksaan tambahan yang tidak masuk dalam asuransi harus bayar, juga tergantung petugas, yang sudah biasa dengan populasi kunci bisa membantu untuk gratis” (R6)
“JKN melalui BPJS belum menanggung semua, untuk ARV tidak ditanggung, hasil perhitungan biaya yang diperlukan untuk pengobatan sekitar 20 jt pertahun sedangkan BPJS hanya sanggup 16 juta per tahun. Belum ada kesepakatan (R4)”
c. Sumber Daya Manusia Kesehatan
i. Kebijakan dan Sistem Manajemen
Secara umum tenaga kerja yang bekerja untuk penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta
berasal dari tenaga kesehatan, baik PNS dan non-PNS, serta LSM. Menurut enam informan,
saat ini belum ada kebijakan yang mengatur tenaga kerja dari luar dinas kesehatan yang di
kontrak oleh Dinkes untuk melakukan program penanggulangan HIV dan AIDS. Satu informan
mengatakan penyediaan tenaga non kesehatan tergantung Pemda setempat. Pertemuan
pembahasan mengenai kebutuhuan SDM pernah didiksusikan di DKI Jakarta, menurut satu
informan, namun belum terealisasi sampai saat ini. Beberapa program kesehatan lain di luar
HIV (i.e. posyandu, jumantik) memiliki kader kesehatan. Satu informan mengatakan bahwa
Subdit AIDS masih mempersiapkan pelibatan SDM untuk kesehatan secara utuh agar bisa
masuk dalam Badan Pengelola Sumber Daya Manusia (BPSDM). Sehingga saat ini menurut
43
dua informan standar kompetensi yang ada hanya untuk tenaga kesehatan saja, dan belum
ada untuk pekerja yang berasal dari tenaga non-kesehatan.
“LSM merasa masih belum ada kebijakan dan aturan yang jelas sehingga merasa masih di lempar kesana-kemari” (R6)
“Standarisasi kompetensi untuk tenaga kesehatan, sementara non kesehatan belum ada (R2)
Ketersediaan tenaga untuk upaya penanggulangan HIV dan AIDS masih menjadi hambatan
besar di DKI Jakarta. Tujuh informan mengatakan bahwa SDM untuk mengejakan program
HIV masih sangat terbatas. Seorang staf kesehatan di UPT dapat bertanggung jawab untuk
beberapa program sehigga tidak bisa hanya berfokus untuk memberikan program HIV saja.
Hal ini juga dialami oleh Lapas. Keterbatasan tenaga kerja ini juga berdampak pada
pelaksanaan pelayanan, terlepas dari pelatihan yang sudah diberikan. Sembilan informan
mengatakan salah satu penyebab utama yang menjadi kendala dalam ketersediaan SDM yang
mencukupi adalah sistem rotasi bagi PNS yang ada di DKI Jakarta. Banyak staf yang
sebelumnya memberikan pelayanan di rotasi ke manajemen atau jabatan struktural sehingga
waktu untuk memberikan pelayanan menjadi terbatas karena jumlah staf fungsional jadi
berkurang. Walau bagaimanapun kebijakan rotasi sulit untuk dihindari mengingat ini adalah
konsekwensi dari pengembangan karir staf. Tabel 6 menunjukan jumlah staf yang tersedia di
DKI pada tahun 2012 sesuai dengan layanan HIV yang diberikan. Satu informan mengatakan
distribusi SDM antar kotamadya belum merata. Di satu daerah dapat memiliki jumlah SDM
yang banyak namun tidak di daerah lain. Kerawanan jumlah SDM menurut satu informan
dikarenakan Puskesmas tidak mengusulkan penambahan apabila dibutuhkan SDM lebih
banyak. Selain itu, satu informan mengatakan bahwa program HIV belum memiliki
mekanisme dan sistem SDM yang jelas, berbeda dengan program TB. Seharusnya peninjauan
ulang terhadap sistem mutasi diperlukan.
“Masih sangat terbatas, di dinkes cuma 2 orang, di sudin 5 orang masing2 1, di puskesmas masing-masing 7 kali 42 yang darat tambah P. seribu, tapi P seribu belum dikembangin pelatihannya (R4, R16)
Tabel 6. tenaga kesehatan tekait HIV sesuai dengan jenis layanan
Jenis Layanan Jumlah Layanan (2012) Ketersediaan SDM (2012)
1. PTRM 18 54
2. LASS 38 144
3. IMS 38 152
44
Jenis Layanan Jumlah Layanan (2012) Ketersediaan SDM (2012)
4. PICT 55 275
5. PMTCT 18 90
6. TB HIV 43 -
7. ARV 24 120
8. Satelit ARV 19
9. KPAP/K 93
TOTAL 918 Sumber: Hasil Evaluasi KPAP (2013)
ii. Pembiayaan
Belum adanya mekanisme yang jelas mengenai SDM untuk program HIV juga berdampak
pada sumber pendanaan untuk staf yang menjalankan program. Satu informan mengatakan
bahwa sumber pendanaan untuk tenaga kesehatan yang menjalankan program HIV
terkadang melebihi ketersediaan dana yang ada. Untuk saat ini, honor untuk petugas dengan
status PNS ditanggung oleh APBD sedangkan tenaga kontrak dari BLUD.
iii. Kompetensi
Respon penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta juga mempertimbangkan kompetensi
SDM yang melaksanakan program melalui berbagai cara. Enam informan mengatakan
peningkatan kapasitas melalui pelatihan, penguatan berkala melalui penyegaran materi, dan
sertifikasi sudah dilakukan di DKI Jakarta. Selain untuk memberikan materi baru, pelatihan
yang dilakukan juga menjelaskan peran dan tanggung jawab tenaga kesehatan di DKI Jakarta.
Namun adanya pelatihan tidak serta merta memecahkan masalah terkait SDM yang ada.
Beberapa hal yang teridentifikasi dari pengolahan data adalah jumlah pelatihan yang
dilakukan tidak sesuai dengan jumlah tenaga kesehatan yang ada. Menurut satu informan
pelatihan yang dilakukan hanya dua kali dalam setahun dengan jumlah perserta yang
terbatas. Isu rotasi juga dikatakan oleh satu informan sebagai salah satu kendala dalam
menjamin kompetensi mengingat staf yang sudah terlatih dipindahkan dan harus
memberikan pelatihan lagi untuk staf pengganti. Menurut satu informan sebaiknya proses
pengembangan kapasitas berdasarkan gap assessement dan melibatkan semua pihak seperti
KPA dan Kemenkes. Pengembangan perangkat analisa untuk melihat gap kapasitas perlu
dilakukan. Untuk mengatasi hal ini, penguatan pada tataran manajemen juga perlu dilakukan
sehingga dapat melihat kebutuhan kompetensi dari staf yang ada untuk memaksimalkan
berjalannya respon penanggulangan HIV AIDS. Selain itu, satu informan mengatakan
45
peningkatan kapasitas dalam bentuk menhadiri konferensi di luar negeri tidak terlalu
memberikan dampak yang signifikan dalam respon HIV.
“Ada pelatihan dan refreshing bagi yang sudah pernah dilatih, tapi kalau ada yang mutasi jadi pelatihan baru, selain itu ada penguatan secara berkala” (R8)
“Penguatan perlu dilakukan pada tataran management untuk mendapatkan kualitas pelatihan yang standar, karena saat ini pelatihan yang dilakukan juga masih banyak yang tidak mampu mengatasi atau memenuhi harapan” (R17)
Standarisasi kompetensi bagi tenaga penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta harus dapat
dilihat dari ketersediaan kebijakan yang mengaturnya. Lima informan mengatakan tidak ada
kebijakan yang mengatur standar kompetensi staf yang bekerja untuk penanggulangan HIV di
DKI Jakarta. Dua informan mengatakan standar kompetensi dapat dilihat dari pelatihan yang
sudah dilakukan karena pasti akan tertera standar kompetensi seperti apa yang menjadi
target pelatihan. Empat informan mengatakan rotasi pegawai menjadi kendalam utama
dalam standarisasi kompetensi dan belum ada kebijakan yang mengatur hal tersebut. Dua
informan mengatakan sebenarnya terdapat dua kebijakan yang dapat dijadikan rujukan untuk
standarisasi kompetensi yaitu (1) Standar Pelayanaan Minimal (SPM) bidang kesehatan sesuai
dengan Pergub No. 20 tahun 2014 tentang Penyusunan, Penetapan, Penerapan, dan Rencana
Pencapaian Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan dan (2) Permenkes No. 5 tahun
2014 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Layanan Kesehatan Primer. Namun
sayangnya dalam SPM DKI Jakarta bidang kesehatan tidak memasukan unsur target terkait
dengan HIV secara khusus, kecuali TB. Selain itu, walaupun Permenkes No. 5 tahun 2014
memasukan unsur kompetensi bila menemukan kasus HIV, namun anjuran tersebut hanya
berlaku untuk tenaga kesehatan dokter saja. Dapat dibilang tidak ada standar kompetensi
yang mengatur perawat, petugas sosial, dan LSM dalam menjalankan respon HIV dan AIDS di
DKI Jakarta.
d. Penyediaan Farmasi dan Alkes
i. Regulasi Penyediaan penyimpanan, diagnostik dan terapi
Dalam penyediaan farmasi dan Alkes, DKI Jakarta mengacu pada regulasi penyediaan,
penyimpanan, diagnosis dan terapi dari pusat. Walaupun empat informan mengatakan tidak
tahu secara pasti mengenai kebijakan terkait distribusi dan pengadaan obat, namun lima
informan mengatakan sudah ada regulasi terkait distribusi dan pengadan obat, khususnya
46
ARV dan reagen, serta prosedur pemberiannya. Standar obat dan reagen yang dapat
digunakan sudah termasuk dalam regulasi tersebut. Penanggung jawab untuk distribusi dan
pengadaan obat adalah bagian farmasi. Proses implementasinya dimulai dari perencanaan
dengan siklus pertahun yang dibuat berdasarkan perhitungan kebutuhan untuk 16-18 bulan.
Kebutuhan obat dihitung berdasarkan angka kunjungan berobat dan kebutuhan obat apa
yang paling banyak digunakan. Infrastuktur pengadaan yang digunakan adalah Inventory and
Order Management System (IOMS). Sejalan dengan desentralisasi, obat yang diberi pusat
diserahkan kepada Dinkes untuk kemudian didistribusikan ke Puskesmas. Dengan sistem
BLUD yang ada di DKI Jakarta, Puskesmas dapat melakukan pengadaan kebutuhan obat dan
alat kesehatan sesuai situasi kesehatan di daerahnya melalui Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran (DIPA) setiap tahunnya. Untuk obat khusus seperti ARV distribusi dilakukan melalui
Sudinkes. Untuk penyimpanan dan pencatatan, satu informan mengatakan acuan yang
digunakan adalah Permenkes No. 87 tahun 2014 tentang pedoman pemberian ARV yang
mengatur register obat dan pencatata stok ARV di layanan.
“Sudah ada juga pedoman untuk pengadaan dan distribusi, termasuk untuk stock out, peminjaman ARV itu tidak boleh, tapi kita pernah melakukan…Obat dan alkes di berikan berdasarkan dipa, beda dengan puskesmas yang bisa mengadakan sendiri karena mereka sudah BLUD, untuk obat2 an khusus ada distribusi dari sudin, termasuk juga ARV semuanya sudah gratis” (R11)
Di pusat ada kebijakan desentralisasi ARV, obat memang dari pusat namun untuk pengelolaan semau melalui Dinkes tidak langsung ke RS. Dari dinkes distribusi ke RS dan Puskesmas yang sudah inisiasi. RS ada 30 an dan puskesmas ada 28 an (R4)
Terlepas dari mekanisme yang sudah ada, masih terdapat beberapa masalah yang ditemui di
lapangan. Situasi kehabisan stok ARV yang terjadi di DKI Jakarta disebutkan oleh tiga
informan. Situasi ini menyebabkan terjadinya ‘pinjam-meminjam’ obat antar UPT yang
seharusnya tidak boleh dilakukan. Terjadinya situasi tersebut dikatakan oleh dua informan
karena masih ada masalah dalam pendistribusian obat, seperti harus mengambil langsung ke
tempat penyimpanan/gudang obat, atau keterlambatan stok obat, keterlambatan dalam
proses perencanan dan hambatan dalam import obat. Hal ini menyebabkan dampak lebih
lanjut yaitu ditemukannya obat dan reagen yang kadaluarsa. Untuk alkes, dua informan
mengatakan ketersediaan kondom selalu ada dari KPA namun pelicin sudah tidak tersedia.
47
“Untuk distribusi alkes dan farmasi sejauh ini baik-baik tapi kemarin sempat juga kehabisa stok ARV akhirnya pinjam ke ‘kios’ secara informal antar fasyankes dan tidak bisa memberikan untuk sebulan penuh buat pasien” (R8)
“Kadang ada permasalahan distribusi, biasanya menjemput bola mengambil ke tempat penyimpanan, atau kalau memang kehabisan dan masih bisa digantikan jenis obat lain ya diganti, tapi untuk ARV pernah hampir kehabisan kita sampai ambil ke Matraman” (R11)
“Kadang ada yang expired, belum ada koordinasi yang baik antar layanan kesehatan dan juga dengan PL untuk pemanfaatan farmasi dan alkes” (R6)
ii. Sumber Daya
Enam informan mengatakan bahwa sumber biaya pengadaan dari obat ARV dan alat
kesehatan diperoleh dari APBN/APBD dan dukungan dana donor. Terlepas dari tidak adanya
informasi mengenai proporsi secara spesifik mengenai berapa biaya yang ditanggung oleh
MPI, namun untuk logistik obat pembagian biaya adalah 40% masih diberikan oleh pusat dan
60% oleh pemerintah daerah. Pemerintah pusat memang mendorong adanya pembagian
beban pengadaan logistik dengan pemerintah daerah. MPI yang diketahui turut mendukung
pembelian obat-obatan adalah Global Fund, dan MPI lain mendukung alkes seperti jarum
suntik atau kondom. Satu informan mengatakan bahwa pembiayan AIDS sudah terbagi
bebannya antara pemerintah dan MPI, namun masih ada ketergantungan.
“Untuk ARV 100% dari APBN, untuk logistik ada share cost untuk obat2an IMS dll 40% oleh pusat dan 60% daerah” (R4)
e. Informasi Strategis
i. Sinkronisasi Sistem Informasi
DKI Jakarta menggunakan infrastruktur berbasis website untuk mengumpulkan data terkait
HIV. Delapan informan mengatakan sistem informasi yang dipakai adalah Sistem Informasi
HIV AIDS (SIHA) yang dikelola oleh Dinkes dan sudah terintergasi dengan sistem informasi
nasional. Selain itu, dua informan mengatakan ada Jakarta AIDS Information System (JAIS)
yang dikelola oleh KPAP. Tiga informan mengatakan setiap UPT melaporkan data setiap bulan
dengan menginput capaian seperti program methadone atau tes HIV langsung ke SIHA. Data
yang terkumpul dilaporkan berjenjang dari UPT ke Sudinkes, lalu ke Dinkes dan bermuara di
Kemenkes. Sedangkan menurut dua informan LSM mengumpulkan laporan sesuai dengan
sumber donor yang memberikan proyek. Khusus untuk program yang menggunakan dana dari
APBD, ada laporan yang diberikan kepada Pemda. Selain data cakupan program, lima
48
informan mengatakan ada pengumpulan data lain yang dilakukan secara rutin seperti survey
sentinel, survei perilaku yang dilakukan Kemkes dan pemetaan yang dilakukan oleh KPA.
Dalam mengumpulkan data rutin ini pemerintah bekerja sama dengan LSM untuk memetakan
hotspot. Dua informan mengatakan dalam mengumpulkan sistem informasi dan data
pemerintah mendapatkan bantuan teknis dan dukungan dari MPI. Menurut dua informan,
bila dipetakan Kemkes dan jajarannya bertanggung jawab untuk data layanan dan supply
sedangkan KPA dan jajarannya bertanggung jawab terhadap data estimasi dan kebijakan.
Sangat disayangkan bahwa tidak ada yang mengetahui bagaimana mekanisme pengolahan
dan pemanfaatan data dengan jelas. Tiga informan mengatakan hanya mengetahui sebatas
proses pengumpulan informasi dan tidak tahu kelanjutan pengelolaannya. Walaupun
terdapat satu informan yang mengatakan secara umum bahwa data dikumpulkan untuk
mengetahui dengan segera bila ditemukan masalah dan ada satu informan yang mengatakan
data STBP digunakan untuk kepentingan pelaporan MDGs. Terlepas dari keterediaan platform
sistem informasi, beberapa kekurangan yang berhasil teridentifikasi adalah sistem tersebut
belum terkoneksi antar layanan, tidak dibuat terstruktur sesuai dengan indicator SRAN dan
tidak terperbaharui secara berkala. Kendala sumber daya manusia untuk pengelolaan data
juga masih ditemukan di tempat layanan.
“Yang diketahui ada system pengumpulan informasi, namun detail bagaimana pengelolaan dan pemanfaatannya ga tau” (R5)
“Sistem informasi AIDS tidak tersetruktur mulai dari penetapan indikator dalam renstra hingga pelaporannya” (R15)
“Awalnya ada petugas khusus tetapi tidak bisa full di HIV sehingga sekarang memanfaatkan kader muda tetapi juga sulit bila dilakukan setiap hari karena ada pelayanan” (R8)
ii. Diseminasi dan Pemanfaatan
Terlepas dari adanya laporan rutin terkait HIV yang dikumpulkan di DKI Jakarta, diseminasi
hasil analisa dan pemanfataan dari data yang terkumpul masih bervariasi antar tiap institusi.
Data yang bersumber dari LSM biasanya diserahkan kepada KPA dan juga Dinkes serta
Puskesmas. LSM dan organisasi masyarakat sipil biasanya memanfatan data pencapaian
untuk mengembangkan proposal dan menentukan arah strategi program ke depan seperti
yang diakui oleh empat informan. Tiga informan lainnya mengatakan bahwa data yang
terkumpul dijadikan acuan untuk membuat perencanaan program. Dua informan juga
49
mengatakan bahwa data yang terkumpul dari SIHA telah didiseminasikan. Selain itu dua
informan juga mengatakan data yang dikumpulkan biasanya dibahas dalam pertemuan
kordinasi atau pada saat bimbingan teknis sebagai dasar untuk melihat pencapaian program.
“Di dalam lembaga, data yang ada dipakai sebagai database dan dasar membuat proposal, termasuk keputusan dan sikap lembaga” (R6)
“Hasil pemetaan atau data dari KPA atau dinkes itu biasanya dipakai sebagai dasar perencanaan dan pelayanan program di LSM” (R16)
Namun disisi lain, masih ada kendala untuk memanfaatkan data lebih maksimal. Dua
informan mengatakan menemukan kesulitan untuk meminta data untuk keperluan analisa
lebih lanjut, walaupun surat permintaan resmi telah dilayangkan. Sehingga pemanfaatan data
hanya mengandalkan dari publikasi hasil analisa data yang disediakan secara tersegmen.
Keenganan untuk memanfaatkan data lebih lanjut diduga terkait isu ketidakjelasakan
kepemilikan data. Hal ini disampaikan oleh tiga informan. Situasi ini timbul akibat data survei
dan SIHA biasanya dikelola oleh pusat dan daerah hanya berperan sebagai pengumpul data.
Selain itu masalah desentralisasi juga mempengaruhi keputusan daerah untuk memanfaatkan
data lebih lanjut. Isu kepemilikan data membuat daerah menjadi ambigu untuk
memanfaatkan dan menganalsia data lebih lanjut untuk kepentingan daerah. Data lain yang
belum diatur pemanfataannya adalah data yang bersumber dari hasil penelitian seperti yang
disampaikan oleh lima informan. Banyak hasil penelitian yang tidak tersosialisasikan dengan
baik, termasuk hasil dari penelitian yang dilakukan oleh universitas. Situasi ini diduga karena
belum ada mekanisme yang jelas untuk mendokumentasikan, memanfaatkan dan
mengintegrasikan data hasil penelitian untuk kepentingan pengembangan program.
“Sistem informasi AIDS selama ini seperti IBBS menjadi milik siapa dan belum dimanfaatkan secara optimal dalam perencanaan” (R15)
“Data tidak pernah di share, sampai bersurat minta share data tidak diberikan data SIHA, kalau ada pertemuan baru di share secara umum saja, dari situ kita baru bisa mengambil kesimpulan sendiri yang kita gunakan untuk dasar perencanaan” (R16)
“Hasil informasi dan penelitian sepertinya belum didiseminasikan termasuk data yang diminta untuk jadi laporan dari kami, tidak tahu dimanfaatkan untuk apa” (R10)
50
f. Pemberdayan Masyarakat
i. Partisipasi Masyarakat
Beberapa upaya untuk melibatkan masyarakat dalam respon penanggulangan HIV dan AIDS
sudah dilakukan di DKI Jakarta. Dalam konteks ini masyarakat perlu dilihat sebagai masyarakat
umum, LSM dan penerima manfaat atau populasi kunci. Enam informan mengatakan bahwa
pelibatan masyarakat dan LSM sangat penting untuk dilakukan. LSM dapat berkontribusi
dalam melakukan penjangkauan, distribusi informasi ataupun penyambung komunikasi
antara pihak pemberi layanan dan penerima manfaat. Satu informan mengatakan bahwa ada
alokasi dana yang disediakan di puskesmas untuk kegiatan yang bersifat melibatkan
masyarakat. Selain itu ada sector swasta juga didorong untuk memiliki kegiatan yang
melibatkan masyarakat melalui CSR. Biasanya, bentuk pelibatan terlihat dari kerjasama atau
terlibat dalam pertemuan kordinasi atau perencanaan, implementasi, dan monitoring
program. Namun tampaknya pelibatan ini belum dirasakan secara merata. Satu informan
mengatakan bahwa desain program LKB/SUFA sudah dibuat untuk memastikan keterlibatan
masyarkat yang lebih aktif, namun terkadang ada kendala biaya untuk mengundang semua
orang. Tiga informan mengatakan bahwa pelibatan yang dilakukan masih bersifat artifisial
dan formalitas saja. Satu informan secara jelas mengatakan bahwa tidak pernah dilibatkan
sama sekali.
Empat informan mengatakan bahwa masyarakat memang tidak dilibatkan dalam
perencanaan program atau musrenbang, namun lebih ke hal yang bersifat teknis di lapangan,
baik di tingkat nasional ataupun di daerah. Satu informan mengatakan umumnya pada tahap
perencanaan, keterlibatan lebih berupa pertemuan konsultatif yang kemudian dikembangkan
oleh konsultan. Lima informan mengatakan bahwa pelibatan masyakarat yang terjadi
sekarang terkadang tidak berjalan efektif. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan
pengetahuan ataupun posisi tawar yang berbeda antara pemangku kepentingan dengan
pihak masyarakat. Situasi ini diduga terjadi karena pemberdayaan masyarakat masih kurang.
Pelibatan masyarakat dan populasi kunci yang lebih bermakna dapat dilakukan dengan
memberikan peningkatan kapasitas terlebih dahulu.
“Sejauh ini KDS bermitra dengan KPA dan pemerintah. LSM secara umum hanya dilihat sebagai suatu bentuk kecil partisipasi masyarakat” (R9)
51
“untuk pertemuan perencanaan biasanya tidak melibatkan masyarakat, alasannya karena waktunya sempit” (R8)
Dana yang dialokasikan bagi masyarakat sipil untuk penanggulangan HIV dan AIDS masih
terbatas. Tiga informan mengatakan dana pemerintah yang disediakan lebih bertujuan untuk
pemberdayaan masyarakat umum dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam kesehatan.
Biasanya bentuk dana ini dikeluarkan untuk kader jumantik atau posyandu. Sedangkan dana
yang dialokasikan oleh KPAP lebih kepada untuk melibatkan partisipasi masyarakat yang
dapat dikeluarkan melalui pengajuan proposal. Dua informan mengatakan bahwa pemerintah
tidak mengalokasikan dana yang dapat diakses langsung oleh populasi kunci untuk
melaksanakan program HIV.
“Jaringan Populasi kunci tidak dapat mengkases dana dari APBD, tidak ada sosialisasi dana” (R12)
“Peran konkrit pemberdayaan dan keteribatan masyarakat adalah posyandu, sumber pembiayaan posyandu berasal dari pemda dati I diteruskan kepada pemda tk II” (R3)
Pengembangan kapasitas untuk mendukung pemberdayaan masyarakat juga belum
dilakukan dengan maksimal. Empat informan mengatakan sudah ada peningkatan kapasitas
berupa pelatihan yang diberikan kepada kader, pendidik sebaya ataupun staf lembaga
pemasyarkaatan, namun masih dirasa belum efektif karena terkendala berbagai isu seperti
status kerja kader yang bersifat sukarela ataupun hanya terfokus untuk memberikan
pemberdayan dalam lingkup kecil untuk periode tertentu seperti warga binaan. Satu
informan mengatakan terkadang masyarakat masih awam dan kurang informasi untuk mau
secara aktif terlibat dalam respon HIV.
ii. Akses dan Pemanfaatan Layanan
Berbagai upaya sudah dilakukan di DKI Jakarta untuk memastikan populasi kunci dapat
mengakses layanan terkait HIV dan AIDS. Hal ini disampaikan oleh tiga informan. Kartu
identitas biasanya tetap menjadi prasyarat utama untuk mendapatkan layanan, namun untuk
populasi kunci tenaga kesehatan di Puskesmas dapat membantu untuk tetap memberikan
layanan walau tanda ada KTP. Selain itu, terdapat kader yang dilatih dan disediakan untuk
membantu memudahkan akses layanan masyakarat ke fasilitas layanan kesehatan. Konsep
LKB yang memastikan keterlibatan LSM dan populasi kunci untuk meningkatkan cakupan
akses layanan. Data sekunder dari KPAP menunjukan pada tahun 2012 jumlah populasi
52
terjangkau yang sudah terjangkau oleh intervensi adalah WPS (12.238 orang), LSL (8.705),
Waria (1.336 orang), Penasun aktif LASS (1.831 orang), penasun aktif PTRM (1.115 orang) dan
HRM (69.279 orang). Walaupun begitu, masih ada populasi terdampak HIV yang belum
banyak terpapar program. Satu informan mengatakan masalah di PPIA adalah kendala biaya
pemeriksaan Viral Load bagi ibu positif yang masih menyusui anaknya. Satu informan juga
menegaskan informasi terkait akses layanan kesehatan masih terkendala penyebarannya.
Upaya inovatif untuk melakukan distribusi informasi melalui SMS belum juga terlaksana.
“Masih banyak populasi kunci atau masyarakat yang sulit mendapatkan akses yang terjangkau, contoh pada PPIA, banyak ibu dengan anak yang sulit memeriksakan viral load karena kendala biaya, padahal dia juga harus menyusui anaknya…banyak masalah terutama di masyarakat karena nol info.” (R5)
Sedangkan akses populasi kunci terhadap jaminan kesehatan juga masih menemukan kendala
seperti yang disampaikan oleh tiga informan. Dua informan mengatakan bahwa akses
populasi kunci terhadap JKN sudah tersedia. Populasi kunci yang tidak bisa masuk dalam
tanggungan JKN beberapa diallihkan melalui KIS dan Jamkesda. Warga binaan
pemasyarkaatan juga sudah dapat mengakses JKN untuk kesehatannya. Terlepas dari
masuknya HIV sebagai penyakit yang ditanggung perawatannya oleh JKN, pada
pelaksanaannya akses kepesertaan populasi kunci masih mendapatkan kendala administrasi.
Pemahaman Puskesmas dalam JKN juga belum merata sehingga perbedaaan perlakukan
untuk membayar atau memberikan layanan gratis masih ditemukan di tingkat UPT. Dua
informan mengangkat isu terkait status pengguna napza untuk mendapatkan JKN. Masih
ditemukan perbedaan pemahaman mengenai bisa tidaknya JKN digunakan untuk pengguna
napza.
g. Penyediaan Layanan
i. Ketersediaan Layanan
Di DKI Jakarta, layanan HIV sudah tersedia baik di tingkatan primer dan sekunder dan sudah
terintegrasi antar berbagai pihak. Tempat pelayanan kesehatan seperti RS dan Puskesmas
menyediakan berbagai layanan kesehatan terkait HIV seperti pencegahan, pengobatan,
paliatif dan rehabilitatif. Hampir seluruh Puskesmas kecamatan di DKI Jakarta dapat
memberikan layanan HIV, bahkan jejaring dengan RS untuk memberikan rujukan sudah
terbentuk. Biasanya, layanan seperti tes HIV, pemeriksaan dan pengobatan IMS, Metadon,
53
LASS, ARV, tes darah lengkap dan TB sudah dapat diakses melalui Puskesmas. Dalam
memberikan pelayanan kesehatan ini, RS dan Puskesmas juga bekerjasama dengan LSM.
Peran LSM dalam meningkatkan akses layanan terutama dalam mempromosikan, merujuk
dan mendorong dampingan populasi kunci agar mengunjungi layanan kesehatan terkait HIV
yang tersedia. perawatan berbasis masyarakat belum ada, hanya melalui LSM saja.
“layanan program HIV sudah terintegrasi dan sudah ada jejaring yang cukup baik antar fasyankes dan juga sistem informasinya” (R11)
“perlu kerjasama dengan LSM yang membantu mendorong populasi kunci untuk mengakses layanan” (R4)
Salah satu pemicu ketersediaan layanan HIV di DKI Jakarta adalah anjuran Gubernur DKI
Jakarta yang menginginkan semua warga DKI Jakarta dapat mengetahui status HIV, terutama
bagi kelompok populasi beresiko dan ibu hamil. Ditambah dengan inisiasi program LKB/SUFA
yang bertujuan untuk meningkatkan cakupan layanan dan pengobatan HIV. Akses terhadap
ketersediaan layanan terkait HIV ini juga dapat mencakup seluruh populasi kunci di DKI
Jakarta. Bahkan, pemantauan kebutuhan layanan untuk daerah terpencil seperti di Kepulauan
Seribu juga sudah dilakukan. Dapat dibilang layanan kesehatan dapat diakses oleh seluruh
masyarakat yang membutuhkan secara merata.
“Gubernur menginginkan semua warga dapat mengetahui status HIV nya, dari sisi layanan sudah cukup siap dan semakin bertambah, sejauh ini ada 28 puskesmas yang siap, RS swasta juga permintaan semakin tinggi untuk dapat membuka layanan HIV” (R4)
“sudah melakukan sesuai dengan fungsi nya untuk memberikan pelayanan yang bagus dan memenuhi standarnya. sudah bisa memenuhi kebutuhan populasi kunci” (R16)
Sayangnya, masih terdapat beberapa hal yang menjadi catatan untuk perbaikan ke depan.
Dalam konteks manajemen dan administrasi, rumitnya masalah administrasi, termasuk
pengurusan dan penggantian JKN di tempat layanan masih dinilai menghambat orang untuk
memanfaatkan layanan kesehatan terkait HIV lebih maksimal lagi. Kedisiplinan petugas
layanan dalam meneraplan universal precaution (UP) saat memberikan layanan HIV juga
dinilai masih perlu perbaikan. Waktu tunggu layanan yang lama dan faktor jarak juga dinilai
masih lama sering menjadi faktor penghambat untuk mengakses layanan yang tersedia. Dua
informan mengatakan bahwa jam layanan berubah-ubah di beberapa tempat. Hal ini
kemungkinan juga terkait dengan jumlah SDM yang terbatas membuat jam layanan berubah-
54
ubah sesuai dengan ketersediaan dokter yang melayani. Perubahan fungsi beberapa
Puskesmas menjadi RSUK juga membuat beberapa layanan yang sudah tersedia harus
disesuaikan kembali dalam hal lokasi dan SDM.
“Di jakarta ada RSUK yang tadinya puskesmas kemudian menjadi RS, Puskesmas tetap ada pindah lokasi, layanan HIV tetap jalan staff nya untuk awal dibagi sebagian di RSUK dan sebagian di PKM” (R4)
Dalam konteks diversifikasi jenis layanan, terdapat beberapa layanan yang dibutuhkan namun
belum dapat berjalan maksimal di DKI Jakarta. Hal ini diakibatkan layanan tersebut memang
belum tersedia, belum berjalan, ataupun strategi implementasi yang kurang tepat. Misalnya,
layanan kesehatan swasta belum sepenuhnya memahami jejaring layanan HIV yang sudah
berjalan sampai saat ini. Layanan pendampingan untuk ODHA seperti kepatuhan berobat
masih sepenuhnya bergantung pada LSM dan belum tersedia di tempat layanan primer. Enam
informan mengangkat belum tersedianya program mitiasi dampak dan program nutrisi untuk
ODHA belum berjalan di tempat layanan. Beberapa program mitigasi dampak diberikan oleh
Dinas Sosial lebih kepada pelatihan membuat kue atau bantuan pangan. Beberapa program
seperti Layanan terkait HAM dan bantuan hukum, pemberdayan dan integasi KDRT masih
belum berjalan dengan baik atau belum termanfaatkan dengan maksimal. Sulitnya
mengembangkan program yang inovatif diduga karena terkendala persetujuan dari
Kemenkes dan jenis layanan yang diberikan masih dinilai “tebang-pilih” sesuai dengan
kenyamanan pemerintah.
“Mitigasi dampak yang secara khusus belum ada, ada dana untuk masyarakat umum namun kita dorong teman-teman ODHA untuk mengakses itu, seperti bantuan susu, dll” (R5)
“Penyediaan layanan berdasarkan hasil assessment sering tidak berjalan. Yang terjadi adalah kalau nyaman buat pemerintah akan dikerjakan tetapi kalau tidak akan dialihkan ke LSM supaya mereka kerjakan dan diminta cari dana sendiri” (R5)
“Pernah diundang dalam pembentukan panduan atau SOP untuk pemberian modal bagi WPS namun pada akhirnya kami kurang setuju dengan programnya karena kesannya tidak benar-benar melihat konisi di lapangan kesannya menyepelekan” (R10)
ii. Kordinasi dan Rujukan
Dalam menyediakan layanan terkait HIV, pemangku kepentingan di DKI Jakarta sudah
melakukan upaya kordinasi bersama yang diatur oleh KPAP sesuai dengan tupoksi lembaga
55
tersebut. Pertemuan kordinasi melibatkan fasyankes, dinkes, CSR perubahaan swasta dan
LSM yang bergerak di bidang HIV di DKI Jakarta, melalui metode pertemuan rutin atau dalam
pertemuan rancangan rapat daerah. Hal yang dibicarakan dalam pertemuan kordinasi
termasuk kendala dan masalah yang ditemui dalam menjalankan program terkait HIV seperti
pelaporan dan situasi program antar wilayah administrasi. Namun tiga informan mengatakan
keraguannya terhadap peran KPAP yang seharusnya bertanggung jawab penuh dalam
melakukan fungsi koordinasi. Hal ini terjadi mengingat beberapa pekerjaan yang dilakukan
KPAP lebih bersifat implementasi daripada mengkordinasikan program yang ada di DKI
Jakarta.
“Banyak aktor yang tidak melakukan implementasi sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya seperti contoh KPA yang seharusnya peran koordinasi namun sekarang jadi implementor, sehingga banyak timbul masalah” (R9)
“Bahkan KPA dengan peran koordinasi juga berperan sebagai implementor dan kadang tidak tahu menempatkan diri kapan harus memerankan peran2 tersebut” (R17)
Dalam implementasinya, masih ditemukan banyak kendala dalam melakukan kordinasi untuk
program HIV di DKI Jakarta. Tiga informan mengatakan kurang maksimalnya kordinasi
mengakibatkan kerjasama antar berbagai lembaga dan bagian tidak berjalan dengan baik,
sehingga tumpang-tindih pelaksanaan program dan kegiatan masih terjadi. Selain itu,
pemanfaatan sumber daya dalam program belum maksimal, banyak lembaga implementor
yang belum memeiliki kapasitas dipaksa untuk melaksanakan tugas yang mereka belum
terlalu paham. Bahkan hasil dokumentasi mid-term review tidak dimanfaatkan sebagaimana
mestinya sebagai bahan pembelajaran. Pertemuan koordinasi juga belum dapat
memaksimalkan diskusi mengenai target capaian program. Capaian program belum dianalisa
lebih lanjut untuk kemudian dijadikan target program kedepannya. Satu informan
mengatakan bahwa target 100% kondom yang dicetuskan oleh Global Fund sudah bebasis
bukti, namun tidak dapat mengkomunikasihkan lebih lanjut mengenai ketersediaan bukti
yang ada.
“Koordinasi antar bagian belum baik sehingga sering tidak nyambung untuk pemenuhan layanan kesehatan” (R6)
“Midterm review dilakukan tetapi tidak pernah ada data resmi dokumentasi hasilya yang dapat dipublis” (R15)
56
“Terkait dengan target belum berjalan, masalah banyak dan belum ada intervensi contoh untuk program PPIA, intervensi yang terintegrasi secara baik belum berjalan” (R5)
iii. Jaminan Kualitas Layanan
Dalam melihat jaminan kualitas layanan studi ini menggunakan tiga aspek kunci, yaitu
mekanisme monitoring dan evaluasi regular, bantuan teknis dan stigma serta diskriminasi
terkait HIV. Lima orang informan mengatakan DKI Jakarta sudah memiliki mekanisme
monitoring dan evaluasi yang secara rutin dilakukan. Mekanisme monitoring dan evaluasi
dilakukan dalam bentuk supervisi dan penilaian penerimaan manfaat program. Beberapa
perangkat penilaian digunakan dalam melakukan monitoring rutin yang dilakukan, seperti
Standar Pelayanan Minimal, ISO dan akreditasi untuk Puskesmas dan RS, dan survey kepuasan
pelanggan. Mekanisme supervisi dilakukan oleh pemangku kebijakan kepada pelaksana
program di lapangan dengan cara instansi yang lebih tinggi ke unit pelayanan dibawahnya,
seperti Dinkes atau Sudinkes ke Puskesmas, KPAP ke KPAK, ataupun MPI ke LSM mitranya.
Supervisi yang dilakukan bertujuan untuk perbaikan kualitas layanan.
“ada STM (standar tinggi minimal) untuk PKM, di DKI sudah 50%, juga ada ISO untuk PKM dan RS, ada akreditasi untuk fasyankes/RS” (R4)
Namun, mekanisme monitoring dan evaluasi yang dilakukan dinilai masih terdapat beberapa
kekurangan. Supervisi yang dilakukan dirasa masih belum mampun untuk menilai efektifitas
layanan dan belum dapat meningkatkan jaminan kualitas layanan agar lebih baik. Lima
informan mengatakan mekanisme yang ada belum mampu meningkatkan kualitas layanan
terkait HIV dan AIDS. Hal ini diduga karena belum ada sistem serta manajemen assessment
yang baik dan tidak terkontrol oleh Kementerian Kesehatan, survei kepuasan pelanggan di
puskesmas tidak mencakup layanan HIV, masih kurangnya pelibatan dari penerima manfaat
dalam melakukan evaluasi di layanan. Selain itu, dua informan mengatakan mekansime
monitoring yang ada belum menyentuk penyedia layanan swasta mengingat mereka tidak
termasuk dalam ranah monitoring dan ketentuan yang sudah ditentukan oleh pemerintah
daerah.
“Belum ada manajemen khusus untuk melakukan assessment atau supervise untuk melihat jaminan kulaitas layanan” (R2)
“Kualitas layanan Swasta beda dengan Pemerintah, swasta tidak terpaku, RS pemerintah SOP” (R12)
57
Begitupun dengan bantuan teknis sudah tersedia bagi respon HIV dan AIDS di DKI Jakarta. Bila
dikagorikan, bantuan teknis ada yang diberikan oleh pemerintah ataupun yang berasal dari
mitra pembangunan internasional (MPI). Bantuan teknis dari pemerintah umumnya diberikan
sesuai dengan alur perintah dan tanggung jawab dari instansi yang terkait minimal satu tahun
sekali. Misalnya, dinkes memberikan bantuan kepada puskesmas sebagai unit pelaksana
teknis yang bertanggung jawab dalam kesehatan didaerahnya. Bantuan teknis terutama
diberikan bila ditemukan masalah yang diketahui saat supervisi lapangan. Sedangkan bantuan
teknis dari MPI lebih terstruktur dan rutin. Hal ini sangat mungkin berkaitan dengan mandat
organisasi yang bertugas untuk memberikan bantuan teknis kepada pemerintah. Bantuan
teknis dapat diberikan baik kepada penyedia layanan pemerintah seperti Puskesmas dan
Lembaga Pemasyarakatan, ataupun LSM, baik dalam bentuk bimbingan ataupun peningkatan
kapasitas.
“Bimtek diberikan dari dinkes ke fasyankes bila ada permasalahan yang ditemukan saat supervisi” (R4)
“FHI lebih pada memeberikan technical assistance kepada pemerintah, selain itu kita juga pernah support untuk CoC di beberapa Puskesmas, selain itu juga berpartner dengan LSM ada sekitar 80 LSM, bukan memberi dana untuk implementasi” (R17)
Selain itu beberapa upaya untuk mengurangi stigma dan diskriminasi terkait HIV telah
dilakukan oleh fasyankes di DKI Jakarta. Tiga informan mengatakan upaya pengurangan
stigma dan diskriminasi dilakukan melalui pemberian informasi yang benar kepada
masyarakat luas dan dua informan mengatakan terdapat pelatihan yang dilakukan. Namun
enam informan juga mengatakan bahwa stigma dan diskriminasi di tingkatan masyarakat
masih menghadapi tantangan, terlepas dari pelibatan masyarakat yang telah dilakukan.
Pelibatan kader masyarakat untuk mengurangi stigma dan diskriminasi di tataran masyarakat
dianggap sebagai salah satu cara yang cukup strategis oleh satu informan. Hal ini diperkirakan
karena isu HIV masih sering dikaitkan dengan masalah religius. Untuk stigma dan diskriminasi
pada tingkatan fasyankes, enam informan mengatakan hal tersebut masih terjadi. Empat
informan secara spesifik menyebutkan stigma dan diskriminasi masih dilakukan oleh tenaga
kesehatan. Hal tersebut terjadi diduga karena tingkat pengetahuan yang berbeda dan perlu
ditingkatkan dengan pelatihan kepada tenaga kesehatan di fasyankes.
58
“Di masyarakat masih dikaitkan dengan masalah religius, masih tinggi stigma dan diskriminasinya” (R6)
“Masih ada di fasyankes oleh nakes, usaha untuk mengatasi juga masih dianggap kurang” (R10)
Untuk rujukan, DKI Jakarta banyak bergantung kepada LSM. Selain itu, setelah ada UPT satelit
ARV, jejaring rujukan antar puskesmas dan rumah sakit telah terbentuk.
2. Tingkat Integrasi
Dalam menilai tingkat integrasi respon HIV ke dalam sistem kesehatan, studi ini akan
menggunakan definisi tingkat integrasi menurut Conseil et al. (2010) dan Desai et al. (2010)
yang mengkategorikan tingkat integrasi menjadi tiga, Penuh, Terintegrasi secara parsial dan
Tidak terintegrasi. Sebuah sub-sistem kesehatan dikatakan terintegrasi penuh bila intervensi
dikelola secara penuh dan dikendalikan melalui sistem kesehatan yang berlaku. Sedangkan
penilaian integrasi sebagian bila intervensi ini dikelola sebagian oleh sistem kesehatan yang
ada dan sistem untuk intervensi tertentu. Hasil temuan studi di setiap dimensi dalam masing-
masing sub-sistem dalam sistem kesehatan akan diukur tingkat integrasinya untuk setiap
respon HIV, dalam konteks ini pencegahan, PDP, dan mitigasi dampak. Untuk membantu
tingkat pengukuran integrasi, pertanyaan kunci disiapkan untuk dimensi sebagai indikator
pengukur seperti terlihat dalam table 7.
Tabel 7. pertanyaan kunci tingkat integrasi di setiap dimensi
Dimensi Indikator pertanyaan kunci
Regulasi Apakah pemerintah daerah mengkoordinasikan dan mengelola sumber pembiayaan penanggulangan AIDS yang berasal dari berbagai sumber?
Formulasi kebijakan Apakah ada mata anggaran program HIV dan AIDS di dalam APBD? (dalam bentuk Anggaran di SKPD atau Bantuan Sosial)
Akuntabilitas Apakah JKN atau jamkesda bisa digunakan oleh masyarakat untuk memanfaatkan layanan perawatan dan pengobatan HIV?
Pengeloaan sumber pembiayaan
Apakah pemerintah daerah mengkoordinasikan dan mengelola sumber pembiayaan penanggulangan AIDS yang berasal dari berbagai sumber?
penganggaran, proporsi, distribusi dan pengeluaran
Apakah ada mata anggaran program HIV dan AIDS di dalam APBD? (dalam bentuk Anggaran di SKPD atau Bantuan Sosial)
Kebijakan dan sistem manajemen
Apakah ada regulasi yang mengatur tentang SDM yang digunakan dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah ini? (kompetensi, pengembangan kapasitas, penempatan/mutasi, hubungan kerja dengan non pemerintah)
Pembiayaan Apakah pembiayaan pengelolaan SDM penanggulangan HIV dan AIDS menggunakan pembiayaan di sektor kesehatan (pemerintah)?
Kompetensi Apakah standar kompetensi untuk SDM yang bekerja dalam program HIV dan AIDS mengacu dalam peraturan tentang SDM kesehatan yang berlaku?
Regulasi, penyediaan, diagnostic dan terapi
Apakah regulasi penyediaan, penyimpanan material, diagnostik, dan terapi terkait HIV dan AIDS di daerah tersebut seperti untuk permasalahan kesehatan lain di
59
Dimensi Indikator pertanyaan kunci
daerah tersebut atau disediakan oleh JKN? (reagen, ARV, kondom, jarum suntik, mesin CD4 dan VL)
Sumber daya Apakah sumber pembiayaan untuk penyediaan, penyimpanan, dan distribusi obat dan perlengkapan medik untuk HIV dan AIDS masuk di dalam anggaran dinas kesehatan atau ditanggung oleh JKN?
Sinkronisasi sistem informasi
Apakah program HIV dan AIDS menggunakan sistem informasi yang digunakan oleh dinas kesehatan? (surveilans, survey, monitoring dan evaluasi program berdasarkan input, proses, output)
Diseminasi dan pemanfaatan
Apakah hasil pengolahan data sistem informasi program HIV dan AIDS yang ada saat ini digunakan untuk perencanaan dan pengembangan program HIV di daerah tersebut?
Partisipasi masyarakat Apakah ada bentuk-bentuk kemitraan antara pemerintah dengan masayarakat sipil atau swasta dalam proses perencanaan hingga evaluasi program HIV dan AIDS di daerah ini?
Akses dan pemanfaatan layanan
Apakah ada upaya dari program HIV dan AIDS untuk mendorong masyarakat khususnya populasi kunci untuk memanfaatkan JKN atau bantuan sosial dalam mengakses layanan HIV dan AIDS yang tersedia di wilayah tersebut?
Ketersediaan layanan Apakah tersedia layanan penanggulangan HIV dan AIDS di fasyankes primer dan sekunder di daerah ini?
Kordinasi dan rujukan Apakah layanan HIV dan AIDS yang ada di daerah ini dikoordinasi oleh Dinas Kesehatan melalui KPAD sebagai penanggung jawab pembangunan kesehatan termasuk penanggulangan HIV dan AIDS di daerah ini?
Jaminan kualitas layanan
Apakah ada mekanisme supervisi dan evaluasi untuk menjamin kualitas layanan penanggulangan HIV dan AIDS seperti halnya mekanisme dalam pelayanan kesehatan lainnya? (penerapan SOP layanan, ketaatan terhadap petunjuk pelaksanaan, akreditasi, survei kepuasan klien, dll)
Sub-sistem manajemen dan regulasi terdiri dari tiga dimesi yaitu regulasi, formulasi kebijakan
dan akuntabilitas. Untuk dimensi regulasi tingkat intergasi pencegahan dan PDP sudah terjadi
secara penuh, sedangkan mitigasi dampak tidak terinterintergasi sama sekali. Dalam respon
promosi dan pencegahan HIV dan AIDS sudah terdapat tiga kebijakan pendukung yang dapat
memastikan baik pencegahan penasun dan transmisi seksual dapat berjalan. Kebijakan krusial
untuk pencegahan melalui penasun adalah surat edaran Kadinkes No 3884/1.778/2009
tentang kemandirian penganggaran HR yang mengusulkan agar setiap puskesmas dapat
mengeluarkan anggaran untuk alkes jarum steril, pertemuan penasun dan kader muda
melalui BLUD. Sedangkan untuk pencegahan tranmisi seks, adanya kebijakan untuk program
PMTS yang memastikan distribusi kondom dan outlet kondom dapat dilakukan di setiap
kotamadya. Sayangnya tidak ada satupun regulasi terkait mitigasi dampak yang tersedia.
Sedangkan hasil pengolahan data untuk dimensi formulasi kebijakan tidak bisa secara detil
melihat sesuai masing-masing respon program karena keterbatasan data. Namun secara garis
besar sudah ada upaya untuk melakukan pengumpulan data melalui surveillance dan survei
perilaku dan data capaian bulanan, namun tidak ada informasi yang memastikan bahwa data
tersebut digunakan untuk perencanaan kebijakan. Ketidaktersediaan data untuk memilah
60
pengukuran per respon HIV dan AIDS juga ditemukan dalam dimensi akuntabilitas. Secara
umum bentuk akutabilitas pemerintah dalam respon HIV dan AIDS lebih mengarah pada
pemberian informasi dan belum merujuk pada perencanaan dan penggunaan anggaran.
Terdapat tiga dimensi dalam sub-sistem pembiayaan, yaitu pengeloaan sumber pembiayaan,
penganggaran, proporsi, distribusi dan pengeluaran, serta mekanisme pembayaran layanan.
Bila dilihat secara umum, dimensi sumber pembiayaan dapat dikatakan sudah terintegrasi
secara penuh. Hal ini terlihat dari adanya dukungan APBD untuk program HIV sebesar 64%
dan penggunaan e-catalogue untuk mengajukan perencanaan anggaran, sesuai dengan
ketentukan pemerintah daerah DKI Jakarta. Namun, informasi terpilah sesuai dengan respon
intervensi (Pencegahan, PDP, mitigasi dampak) tidak tersedia untuk dinilai lebih lanjut.
Sedangkan dalam dimensi penganggaran, proporsi, distribusi dan pengeluaran, tingkat
integrasi untuk PDP dan pencegahan dapat dikategorikan sebagai terintegrasi penuh.
Penilaian ini didapat mengingat sudah ada mata anggaran untuk program HIV dan AIDS. Data
yang ada menunjukan bahwa anggaran untuk pencegahan yang berasal dari APBD berjumlah
41% dari total APBD 2012 dan 12% untuk PDP. Dana ini dapat dikeluarkan dari BLUD
puskesmas. Walaupun persentasi anggaran untuk PDP tergolong kecil namun hal ini
diasumsikan karena anggaran ARV sudah ditanggung oleh pemerintah pusat. Untuk respon
mitigasi dampak dinilai terintegrasi secara parsial mengingat jumlah anggaran yang
dikeluarkan dari APBD sangat kecil (0.23%). Kemungkinan dana yang dialokasikan untuk
mitigasi berupa bantuan gizi untuk ODHA dan belum dilakukan secara merata oleh setiap UPT.
Dimensi ketiga, yaitu mekanisme pembayaran memiliki penilaian yang berbeda-beda.
Pencegahan dinilai terintegrasi sebagaian mengingat dana JKN dapat digunakan untuk
membayar biaya PTRM namun tidak dapat digunkan untuk membeli jarum suntik dan
kondom. Sedangkan PDP dinilai sudah terintegrasi karena biaya perawatan terkait HIV dapat
dibayar menggunakan JKN. Walaupun hasil pengolahan data mengatakan bahwa masih ada
beberapa biaya yang tidak tercakup seperti biaya lab dan obat, namun hal ini juga ditemukan
bila masyarakat lain mengakses JKN untuk penyakit lain.
Sub-sistem ketiga adalah sumber daya manusia yang dikategorikan dengan dimensi kebijakan
dan sistem manajemen, pembiayaan serta kompetensi. Dalam dimensi kebijakan dan sistem
manajemen, tidak tersedia data yang memadai untuk menilai respon pencegahan, PDP dan
mitigasi dampak. Namun secara umum dimensi kebijakan dan sistem manajemen dapat
61
dikatakan tidak terintegrasi mengingat DKI Jakarta belum memiliki aturan tertulis terkait
pengelolaan SDM untuk program HIV, baik yang PNS, non-PNS ataupun masyarakat sipil.
Dimensi pembiayaan juga tidak dapat dinilai sesuai respon penanggulangan HIV mengingat
keterbatasan data yang terkumpul. Walaupun secara umum petugas di UPT baik yang bersifat
PNS ataupun kontrak yang memberikan pelayanan HIV sudah dibayar melalui APBD. Untuk
dimensi kompetensi, hanya PDP yang dinilai sudah terintegrasi secara penuh. Permenkes
No.5 tahun 2014 mengatur standar pelayanan klinis yang harus diberikan oleh dokter terkait
HIV. Sayangnya tidak ada data yang tersedia untuk menilai kategori pencegahan dan mitigasi
dampak.
Sub-sistem keempat adalah Penyediaan farmasi dan alkes yang dikategorikan melalui dimensi
regulasi penyediaan penyimpanan diagnostik dan terapi, serta sumber daya. Dalam dimensi
penyediaan farmasi dan alkes, respon pencegahan dikategorikan tidak terintegrasi karena
masih dilakukan melalui KPAP dan KPAK, sedangkan respon PDP dinilai sudah terintegrasi
penuh mengingat pengadaan ARV sudah berada di bawah tanggung jawab bidang farmasi
Kemenkes dan sudah proses distribusinya sudah dilakukan melalui Dinkes untuk diteruskan
ke UPT yang memberikan pelayanan. Pencatatan ARV juga sudah mengacu pada pedoman
pemberian ARV yang tertera dalam Permenkes No. 87 tahun 2014. Respon mitigasi dampak
tidak dapat diukur lebih lanjut karena ketidaktersediaan data. Dalam dimensi sumber daya,
respon pencegahan dinilai terintegrasi sebagian karena masih ada alat kesehatan jarum suntik
untuk mendukung program pengurangan dampak buruk yang masih didukung oleh donor.
Namun dengan adanya surat edaran Ka. Dinkes No. 3884/1.778/2009, UPT dapat
menganggarkan jarum suntik melalui dana APBD. Respon PDP dinilai sudah terintegrasi penuh
karena pembelian ARV sudah menggunakan dana APBD dan sebagian besar beban logistik
sudah ditanggung oleh APBD. Tidak ada data yang dapat digunakan untuk mengukur respon
mitigasi dampak.
Sub-sistem kelima adalah informasi strategis yang dipilah berdasarkan dimensi sinkronisasi
sistem informasi, dan diseminasi dan pemanfaatan. Respon pencegahan dan PDP dinilai
sudah terintegrasi secara penuh dalam dimensi sinkronisasi sistem informasi karena sudah
ada survei perilaku dan biologis yang dilakukan untuk melihat prevalensi HIV pada populasi
kunci. Dalam dimensi diseminasi dan pemanfaatan, tidak ada data data yang dapat
digunakan untk menilai secara spesifik respon pencegahan, PDP dan mitigasi dampak. Namun
62
secara umum, pemanfaatan dari laporan rutin yang terkumpul masih perlu dimaksimalkan
terutama untuk perencanaan dan desain program. Sedangkan respon mitigasi dampak tidak
memiliki informasi yang cukup untuk dapat dinilai.
Sub-sistem keenam adalah pemberdayaan masyarakat yang dilihat melalui dimensi
partisipasi masyarakat dan akses serta pemanfaatan layanan. Dari hasil pengolahan data,
tidak ada data yang dapat digunakan untuk menilai secara spesifik respon pencegahan, PDP
dan mitigasi dampak untuk kedua dimensi dalam sub-sistem pemberdayaan masyarakat.
Namun secara umum dimensi partisipasi masyarakat dapat dikategorikan sebagai
terintegrasi sebagian mengingat sudah ada pelibatan unsur masyarkaat sipil dalam
perencanaan dan evaluasi program walaupun belum merata. Sedangkan dalam dimensi
pemanfaatan layanan juga dapat dikatakan sudah terintegrasi sebagian karena UPT dan LSM
secara aktif berusaha untuk memastikan populasi kunci dan terdampak HIV untuk teregistrasi
dalam JKN, walaupun masih ada beberapa hambatan seperti kesulitan administrasi dan
perbedaan pemahaman antar UPT dalam memaknai kegunaan JKN bagi populasi kunci.
Dimensi ketujuh yaitu penyediaan layanan yang dinilai melalui dimensi ketersediaan layanan,
kordinasi dan rujukan serta jaminan kualitas layanan. Dalam dimensi ketersediaan layanan,
respon pencegahan dan PDP dinilai sudah terintegrasi secara penuh. Sekitar 38 puskesmas
kecamatan di DKI Jakarta sudah dapat melakukan tes HIV, 30 puskesmas melakukan program
LASS, 6 puskesmas menjadi satelit ARV dan 8 puskesmas menjalankan PTRM. Namun tidak
ada data yang tersedia untuk mengukur mitigasi dampak. Dalam dimensi kordinasi dan
rujukan, tidak ada data yang tersedia untuk mengukur secara spesifik respon pencegahan,
PDP dan mitigasi dampak. Namun secara umum sudah ada kordinasi antar lembaga yang
bergerak di bidang HIV yang dilakukan oleh KPAP dan Dinkes. Selain itu, alur rujukan sudah
tersedia untuk program HIV baik dari LSM ke UPT ataupun antar UPT. Begitupun dengan
dimensi jaminan kualitas layanan, hasil pengolahan data tidak dapat digunakan untuk
mengukur respon HIV secara spesifik dikarenakan keterbatasan data. Namun secara umum
dapat dikatakan bahwa dimensi jaminan kualitas layanan sudah terintegasi sebagian
mengingat mekanisme monitoring dan supervisi sudah menggunakan jalur yang sama dengan
penyakit lain yaitu dari Sudinkes ke puskesmas, untuk kemudian disampaikan kepada Dinkes.
Sayangnya program HIV belum masuk dalam daftar akreditasi Pukesmas. Rangkuman
penilaian setiap dimensi dalam tujuk kategori sub-sistem dapat dilihat dalam table 8.
63
Tabel 8. Tingkat Integrasi sub-sistem dalam setiap dimensi sistem kesehatan
Sub-sistem Dimensi Pencegahan PDP Mitigasi Dampak
Manajemen & Regulasi
Regulasi ††† ††† †
Formulasi Kebijakan n/a n/a n/a
Akuntabilitas n/a n/a n/a
Pembiayaan Kesehatan
Pengelolaan sumber pembiayaan n/a n/a n/a
Penganggaran, proporsi, distribusi dan pengeluaran
††† ††† †
Mekanisme pembayaran layanan †† ††† †
SDM Kebijakan dan sistem manajamen n/a n/a n/a
Pembiayaan n/a n/a n/a
Kompetensi n/a ††† n/a
Penyediaan farmasi dan alkes
Regulasi penyediaan, penyimpanan, diagnostik dan terapi
† ††† n/a
Sumber daya †† ††† n/a
Sistem informasi Sinkronisasi sistem informasi ††† ††† n/a
Diseminasi dan pemanfaatan n/a n/a n/a
Pemberdayaan Masyarakat
Partisipasi Masyarakat n/a n/a n/a
Akses dan pemanfaatan layanan n/a n/a n/a
Penyediaan layanan Ketersedian Layanan ††† ††† n/a
Kordinasi dan Rujukan n/a n/a n/a
Jaminan Kualitas Layanan n/a n/a n/a
Keterangan: †††: Terintergasi penuh; ††: Terintergasi secara parsial; † Tidak terintegrasi; n/a tidak ada informasi tersedia
a. Hubungan tingkat integrasi dengan Kinerja Program HIV dan AIDS di DKI Jakarta
Bila merujuk pada table 8 dapat terlihat bahwa banyak data yang tidak tersedia untuk
mengukur setiap dimensi dalam sub-sistem kesehatan. Hasil pengukuran tingkat integrasi
dapat disimpulkan bahwa PDP adalah respon HIV AIDS terbanyak yang dimensinya sudah
terintegrasi. Sub-sistem penyediaan farmasi dan alkes sudah terintegrasi secara penuh di
kedua dimensinya. Sedangkan dalam sub-sistem lain ada beberapa dimensi yang sudah
teringrasi secara penuh seperti dimensi regulasi, penganggaran proporsi distribusi dan
pengeluaran dan mekanisme pembayaran layanan dalam sub-sistem pembayaran layanan,
kompetensi SDM, singkronisasi sistem informasi dan ketersediaan layanan. Sedangkan dalam
respon pencegahan dimensi dalam sub-sistem yang sudah teringrasi baru dalam tataran
regulasi, penganggaran proporsi distribusi dan pengeluaran, singkronisasi sistem informasi
dan ketersediaan layanan. Beberapa dimensi seperti mekanisme pembayaran dan sumber
daya baru terintegrasi secara parsial. Sayangnya, dari keseluruhan dimensi yang diukur dalam
respon mitigasi dampak hanya tiga dimensi yang tersedia datanya, yaitu regulasi,
penganggaran proporsi distribusi dan pengeluaran dan mekanisme pembayaran layanan
dengan hasil pengukuran bahwa dimensi tersebut tidak terintegrasi dengan sistem kesehatan
di DKI Jakarta.
64
Dengan tingkat integrasi yang ada, hasil cakupan respon HIV dan AIDS di DKI Jakarta masih
sangat jauh dari capaian ideal. Pada table 9 dipetakan estimasi populasi beresiko tinggi yang
menjadi sasaran utama dalam respon HIV di DKI Jakarta. SRAP DKI Jakarta mensyarakatkan
agar 80% dari target setiap populasi kunci dapat terjangkau oleh respon HIV. Dari hasil kerja
pada 2012 terlihat bahwa populasi kunci yang terjangkau sesuai target hanya waria (81%).
Sedangkan populasi kunci lain hanya terjangkau kurang dari 45%. Untuk kelompok penasun
yang mendapatkan akses pencegahan hanya 47% menerima PTRM dan 13.8% menerima
program LASS. Bila dihubungkan dengan akses terhadap PDP, hanya kelompok penasun yang
memiliki cakupan tes HIV mendekati setengah dari target SRAP (46.4%), sisanya hanya
mendapatkan akses terhadap tes HIV kurang dari 25 persen.
Tabel 9. Capaian respon HIV di DKI Jakarta per populasi kunci
Populasi Kunci Estimasi (2012)
Target 80% (SRAP)
Terjangkau (2012)
% terjangkau
Tes HIV % Capaian
WPS 12,560 10,048 12,238 44.2% 1,845 15%
WPS TL 22,030 17,624
Pelanggan WPS 246,830 197,464 69,279 35% n/a n/a
LSL 46,900 37,520 8,705 23.2% 1,848 21.2%
Waria 2,050 1,640 1,336 81% 327 24.4%
Penasun 34,900 27,920 3,878 13.8% 12,973 46.4%
Aktif LASS 1,831 47.2% n/a -
Aktif PTRM 1,115 28.5% n/a - Sumber: SRAP KPAP DKI (2013)
Tentunya akses populasi kunci terhadap tes HIV berkontribusi terhadap capaian Dinkes terkait
target HIV AIDS. Dalam rencana strategis Dinkes 2013-2017 indikator kinerja program terkait
HIV adalah presentase akses layanan kesehatan pada ODHA dengan peningkatan 5% setiap
tahun sampai mencapai 60% pada tahun 2017. Data estimasi dari Kemkes (2012) menyatakan
bahwa estimasi ODHA di DKI Jakarta berjumlah sekitar 87 ribu orang. Bila mengacu pada
renstra Dinkes maka target cakupan layanan adalah 45% atau sekitar 39 ribu ODHA yang
mendapatkan akses layanan kesehatan. Dari data laporan twiwulan HIV Kemkes (2014)
tercatat bahwa Dinkes hanya bisa mencapai 82% dari target kinerja yang disyaratkan. Itupun
hanya 44% ODHA yang dalam perawatan ART dari 23 ribu ODHA yang memenuhi syarat untuk
ART. Angka loss to follow up dan kematian ODHA cukup tinggi di DKI Jakarta. Hal ini perlu
menjadi perhatian bila kinerja Dinkes diukur dari jumlah ODHA yang mendapatkan akses
layanan kesehatan. Dapat disimpulkan bahwa tingkat intergasi sub-sistem yang sekarangpun
belum mampu meningkatkan kualitas PDP dalam respon HIV AIDS di DKI Jakarta.
65
Gambar 4. Cascade HIV di DKI Jakarta
Sumber: Laporan triwulan III Kemkes (2014)
66
IV. DISKUSI
Terdapat beberapa temuan penting dalam studi ini yang layak untuk didiskusikan lebih lanjut.
Pertama, dalam analisa pemangku kepentingan terungkap bahwa terdapat banyak pemangku
kepentingan dalam HIV AIDS dengan posisi kekuasaan dan kepentigan yang berbeda-beda.
Hal ini sesuai dengan temuan dari Ancker dan Rechel (2015) yang menemukan tingkatan
kepentingan berbeda antara pemangku kepentingan dalam program HIV dan AIDS Di
Kyrgyzstan. Disebutkan bahwa lembaga pemerintahan dan lembaga donor memiliki
kepentingan dan kekuasaan yang tinggi, sesuai dengan temuan dalam studi ini dimana Dinkes,
KPAP, Puksesmas dan MPI masuk dalam kateori kepentingan dan kekuasaan tinggi. Tiga aktor
pertama berkaitan dengan unsur pemerintahan, walaupun Dinkes dan Puskesmas adalah
instansi struktural dari pemerintah daerah dan KPAP merupakan lembaga non-struktural.
Sedangkan MPI walaupun “lembaga luar” pemerintahan namun dapat masuk dalam kategori
ini. Menurut Peters, Paina & Schleimann (2013) hal ini dikarenakan MPI masuk melalui isu
inisiatif global untuk bekerja di dalam negeri. Kesamaan yang membuat keempat actor ini
memiliki kepentingan dan kekuasaan tinggi dalam respon HIV adalah adanya modal dan
legitimasi melalui payung hukum mengenai peran dan tanggungjawab dalam respon HIV AIDS
di DKI Jakarta. Menurut Gore dan rekan (2014), peran pemerintah sangat penting dalam
analisa politik program HIV mengingat pemerintah adalah peramu kebijakan, penyedia
sumber daya terbesar, dan seharusnya memiliki kapasitas untuk bernegosiasi atas
keterlibatan donor dalam respon HIV dan AIDS di dalam negeri.
Selain itu, data dan tingkat integrasi dalam respon mitigasi dampak sangat terbatas bila
dibandingkan dengan respon HIV dan AIDS di pencegahan dan PDP di DKI Jakarta. Menurut
Husain dan Badcock-Walters (2002) minimnya program mitigasi dampak umumnya terjadi
ketika respon HIV lebih berfokus pada masalah kesehatan masyarakat dan melupakan
tantangan pembangunan dan managerial yang melingkupi permasalah HIV dan AIDS.
Ketidaktersedianya data terkait dampak epidemi HIV terhadap ekonomi dalam jangka
panjang mengakibatkan ketidakpastian dalam merancang program terkait mitigasi dampak.
Hal ini biasanya terjadi bila respon HIV hanya dilihat sebagai masalah kesehatan saja sehingga
fokus solusi terhadap masalah tidak dapat keluar dari lingkup kesehatan, dan melihat aspek
sosial dan ekonomi. Situasi ini serupa dengan respon HIV yang terjadi di Jakarta di mana data
dan respon lebih banyak terlihat pada komponen program pencegahan dan PDP. Dalam
67
respon mitigasi dampak yang berhasil diukur tingkat integrasinya menunjukan bahwa dimensi
regulasi, penganggaran proporsi distribusi dan pengeluaran serta mekanisme pembayaran
layanan menunjukan tidak terintegrasi dalam sistem kesehatan daerah.
Sedangkan tingkat integrasi sub-sistem pada respon pecegahan dan PDP berbeda-beda.
Dapat dikatakan hanya lima dari tujuh sub-sistem dimana terdapat dimensi yang dapat
terukur tingkat intergasinya. Sub-sistem pemberdaan masyarakat dan sumber daya manusia
(kecuali dimensi kompetensi) sama sekali tidak dapat terukur tingkat integrasinya. Menurut
Mugavero, Norton, & Saag (2011) level integrasi yang berbeda dalam pemberian layanan
umumnya terjadi berkaitan dengan ketersediaan anggaran, kurangnya kordinasi dan
pendekatan yang berbeda dalam monitoring/surveillance program. Tingkat integrasi penuh
dari kedua respon terlihat dalam dimensi regulasi, pengganggaran proprosi distribusi dan
pengeluaran, sinkronisasi sistem informasi dan ketersediaan layanan. Hal ini serupa dengan
temuan studi Desai et al (2010) di mana tingkat integrasi secara penuh ditemukan pada
infratstuktur layanan kesehatan dan proses procurement pada implementasi program
dukungan Global Fund di Indoensia. Pada sub-sistem sistem informasi dimensi pemanfaatan
dan diseminasi terhadap data yang sudah terkumpul belum dilakukan secara maksimal karena
masih adanya kebingungan kepemilikan data antara nasional atau daerah. Untuk respon
pencegahan, dimensi mekanisme pembayaran layanan dan sumber daya baru terintegrasi
sebagian, sedangkan dalam respon PDP dimensi tersebut sudah terintegrasi secara penuh.
Menurut Atun, Bennet & Duran (2008) adanya perbedaan tingkat integrasi dalam sub-sistem
kesehatan terjadi karena adanya dorongan program dari komitmen global yang menfokuskan
dukungan dana dan teknis untuk mengentaskan masalah kesehatan spesifik seperti AIDS,
malaria atau tuberculosis. Selanjutnya menurut Atun dan rekan (2010) hasil sistematik review
terhadap bukti integrasi intervensi kesehatan ke dalam sistem kesehatan menyimpulkan
bahwa program kesehatan yang efektif ada yang dihasilkan dari intervensi yang terintegrasi
penuh, sebagian dan tidak terintegrasi. Pada prakteknya sistem kesehatan
mengkombinasikan intervensi yang terintegasi penuh dan tidak terintegrasi. Hal yang penting
adalah apakah tingkat integrasi suatu intervensi kesehatan terhadap sistem kesehatan
tersebut seberapa berhasil mengatasi masalah kesehatan yang ada.
68
69
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari studi ini adalah, pertama DKI Jakarta telah
melakukan berbagai respon HIV dan AIDS yang dilakukan oleh beberapa pemangku
kepentingan. Untuk menghadapi permasalahan ini respon terkait HIV di DKI Jakarta
mencakup respon pencegahan yang berfokus pada pengguna napza suntik dan transmisi
seksual melalui PMTS, respon PDP termasuk LKB dan SUFA, dan mitigasi dampak. Layanan HIV
sudah tersedia merata di semua kotamadya. Beberapa pemangku kepentingan yang terlibat
memiliki tingkat kepentingan dan kekuasaan yang bervariasi. Besarnya kepentingan dan
kekuasan banyak dipengaruhi oleh kepemilikan modal dan legitimasi payung hukum untuk
melaksanakan program terkait HIV AIDS.
Kedua, respon penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta memiliki tingkat integrasi yang
berbeda-beda. PDP dan pencegahan adalah respon HIV dan AIDS terbanyak yang dimensinya
sudah terintegrasi, sedangkan mitigasi dampak adalah respon yang paling tidak terintegrasi.
Dimensi yang sudah terintegrasi secara penuh adalah regulasi, penganggaran proporsi
distribusi dan pengeluaran dan mekanisme pembayaran layanan dalam sub-sistem
pembayaran layanan, kompetensi SDM, singkronisasi sistem informasi dan ketersediaan
layanan. Sub-sistem yang tidak dapat diukur tingkat integrasinya adalah pemberdayaan
masyarakat dan Sumber Daya manusia. Dimensi kompetensi hanya terdapat dalam respon
PDP.
Ketiga, tingkat integrasi sub-sistem kesehatan dan respon HIV dan AIDS di Jakarta belum
mampu meningkatkan cakupan respon dalam menjangkau populasi kunci ataupun dalam
perawatan. Hasil cakupan program masih berada di bawah target yang ditentukan dalam
SRAP dan Renstra Dinkes.
Keempat, terdapat beberapa faktor yang pelu diperhatikan untuk meningkatkan tingkat
integrasi sistem kesehatan dan respon HIV seperti: aspek sosial dan ekonomi jangka panjang
harus diperhatikan untuk meningkatkan respon mitigasi dampak, ketersediaan anggaran,
meningkatkan kordinasi, dan pendekatan dalam monitoring/surveillance program agar dapat
lebih dimanfaatkan untuk perancangan respon HIV ke depan.
70
B. Rekomendasi
Hasil penelitian ini bertujuan untuk memberikan perbaikan kinerja penanggulangan HIV dan
AIDS dalam jangka menengah sehingga rekomendasi yang diberikan berada pada tataran
operasional sehingga dapat digunakan secara langsung untuk memperbaiki layanan, sebagai
berikut:
1. Melakukan kajian sosial dan ekonomi terkait dampak HIV AIDS jangka panjang,
terutama dengan adanya program SUFA yang berdampak pada peningkatan kualitas
hidup ODHA secara bermakna. Hasil dari kajian dapat digunakan untuk melakukan
inovasi program mitigasi dampak, termasuk memperluas cakupan kerjasama seperti
dengan instansi terkait seperti dinas sosial, badan pemberdayaan masyarakat
perempuan dan keluarga berencana, badan pendidikan dan pelatihan provinsi;
2. Melakukan inovasi untuk mensiasati jumlah tenaga kesehatan yang terbatas dengan
melakukan task shifting atau perpindahan delegasi beberapa pekerjaan terkait HIV
yang dapat dilakukan oleh kader masyarakat, LSM atau populasi kunci seperti tes HIV
berbasis komunitas, konseling kepatuhan ARV, konseling dan assessment terkait
kesehatan reproduksi, PPIA dan Keluarga Berencana, registrasi dan data manajement
system;
3. Melakukan standarisasi kualitas layanan HIV sebagai jaminan mutu dalam konteks
kompetensi SDM, SOP, supervisi, dan dukungan teknis untuk mengimplementasi
program pencegagan, perawatan, dukungan, pengobatan, dan mitigasi dampak;
4. Melakukan upaya persiapan SDM sejak dini dengan memasukan kurikulum HIV&AIDS
dalam fakultas kedokteran atau fakultas kesehatan masyarakat untuk menjamin
keberlanjutan SDM yang bekualitas dan mengurangi beban pelatihan SDM;
5. Melakukan affirmative action agar lebih aktif bekerja sama dan melibatkan komunitas
terdampak HIV (LSM, komunitas populasi kunci) dalam perencanaan, monitoring, dan
evaluasi program;
6. Memperjelas kepemilikan data dari SIHA dan IBBS dan melakukan analisa yang lebih
spesifik untuk setiap komponen Pencegahan dan PDP untuk kepentingan
71
pengembangan program di daerah, termasuk menyediakan data dan target capaian
untuk program terkait mitigasi dampak;
7. Memperhatikan dan mulai menginventarisir dampak desentralisasi terhadap respon
HIV seperti tidak meratanya jumlah staf dan kualitas layanan akibat komitmen
kotamadya, serta melakukan upaya perbaikan dan solusi;
8. Memanfaatkan peran CSR perusaan swasta untuk terlibat secara aktif dalam isu HIV
secara berkelanjutan dan memfasilitasi kerjasama dengan LSM sebagai solusi
keterbatasan dana yang dikelola oleh LSM untuk respon HIV;
72
Daftar Pustaka
Ancker, S., & Rechel, B. (2015). HIV/AIDS policy-making in Kyrgyzstan: a stakeholder
analysis. Health policy and planning, 30(1), 8-18.
Atun, R. A., Bennett, S., & Duran, A. (2008). When do vertical (stand-alone) programmes have
a place in health systems. Geneva: World Health Organization.
Atun, R., de Jongh, T., Secci, F., Ohiri, K., Adeyi, O. 2010a. Integration of targeted health
interventions into health systems: A conceptual framework for analysis. Health Policy
and Planning, 25:104-111
Atun, Rifat, Thyra de Jongh, Federica Secci, Kelechi Ohiri, and Olusoji Adeyi. (2010) "A
systematic review of the evidence on integration of targeted health interventions into
health systems." Health policy and planning 25, no. 1 (2010): 1-14.
BPS (2014) “Jakarta Dalam Angka” http://www.jakarta.go.id/v2/jakarta_dalam_angka#/0
BPS (2014) “Statistik Daerah Provinsi DKI Jakarta 2014” BPS Jakarta. Retrieved on 2 March
2016 from http://jakarta.bps.go.id/backend/pdf_publikasi/Statistik-Daerah--
Provinsi-DKI-Jakarta-2014.pdf
Coker, R., Balen, J., Mounier-Jack, S., Shigayeva, A., Lazarus, JV., Rudge, J.W., Naik, N., Atun,
R. 2010. A conceptual and analytical approach to comparative analysis of country case
studies: HIV and TB control programmes and health systems integration. Health Policy
and Planning, 25 (suppl 1): i21-i31 doi:10.1093/heapol/czq054
Conseil, A., Mounier-jack, S., Coker, A. 2010. Integration of health systems and priority health
interventions: a case study of the integration of HIV and TB control programmes into
the general health system in Vietnam. Health Policy and Planning, 25:i32-i36.
Creswell, J.W. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods
Approaches. Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
Desai, M., Rudge, J. W., Adisasmito, W., Mounier-Jack, S., & Coker, R. (2010). Critical
interactions between Global Fund-supported programmes and health systems: a case
study in Indonesia. Health Policy and Planning,25(suppl 1), i43-i47.
Dinas Kesehatan DKI Jakarta (2013) “Rencana Strategis Kesehatan 2013-2017”
Dongbao, Yu., Souteyrand, Y., Banda, M.A., Kaufman, J., Perriëns, J.H. 2008. Investment in
HIV/AIDS programs: Does it help strengthen health systems in developing countries?
Globalization and Health doi: 10.1186/1744-8603-4-8.
73
Dudley, L. and Garner, P. (2011). Strategies for Integrating Primary Health Services in Low-
and Middle-income Countries at the Point of Delivery (Review). The Cochrane
Collaboration, 7.
Glaser, B. G., and A. L. Strauss. 1967. The Discovery of Grounded Theory: Strategies for
Qualitative Research. Mill Valley, CA: Sociology Press.
Godwin, P. and Dickinson, C. (2012). HIV in Asia – Transforming the agenda for 2012 and
beyond: Report of a Joint Strategic Assessment in ten countries. Canberra: AusAID
Health Resource Facility.
Gore, R. J., Fox, A. M., Goldberg, A. B., & Bärnighausen, T. (2014). Bringing the state back in:
Understanding and validating measures of governments' political commitment to
HIV. Global public health, 9(1-2), 98-120.
Husain, Ishrat Z., and Peter Badcock-Walters. "Economics of HIV/AIDS impact mitigation:
Responding to problems of systemic dysfunction and sectoral capacity." In State of the
Art: AIDS and Economics, Merck and Co Inc, for IAEN Barcelona Symposium, pp. 84-95.
2002.
Instruksi Presiden No 3 tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan
Kawonga, M., Blaauw, D., Fonn, S. 2012. Aligning vertical interventions to health systems: a
case study of the HIV monitoring and evaluation system in South Africa. Health
Research Policy and Systems, 10:2 (26 January 2012)
Kemenkes RI (2011) Laporan Integrated Biological and Behavioral Survey 2011
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2013) Laporan Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS
di Indonesia tahun 2011-2016 (Asean Epidemic Model).
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2014) “Laporan Kasus HIV AIDS Triwulan III”
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No: 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Jakarta:
Kemenkes RI Ditjen PP & PL.
Kemkes RI (2012) Laporan Pemetaan Populasi Kunci 2012
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. 2011. Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di
Indonesia 2006-2011: Laporan 5 tahun pelaksanaan peraturan presiden No:75/2006
tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Jakarta: KPAN.
Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DKI Jakarta (KPAP) (2013) “Strategi dan Rencana Aksi
Provinsi (SRAP) Penaggulangan HIV dan AIDS 2013-2017”
74
KPAN (2015) Rencana Strategis KPAN 2015-2019 (draft)
KPAP (2013) “Laporan evaluasi program Penanggulangan HIV dan AIDS DKI Jakarta 2008 –
2012
KPAP (2013). “Laporan Evaluasi Penanggulangan HIV dan AIDS DKI Jakarta”.
KPAP DKI Jakarta (2013) Rencana Strategis
Peraturan Daerah No. 4 tahun 2009 tentang Sistem Kesehatan Daerah Provinsi DKI Jakarta
Peraturan Daerah DKI Jakarta No 4 tahun 2009 tentang Sistem Kesehatan Daerah
Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 5 tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS
Provinsi DKI Jakarta
Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 231 tahun 2015 tentang Komisi Penanggulangan AIDS
Provinsi
Peraturan Gubernur DKI Jakarta No.182 tahun 2012 tentang Pemulihan Adiksi Berbasis
Masyarkaat (PABM)
Peraturan Gubernur DKI Jakrata No. 614 tahun 2014 tentang Tim Pembina Program
Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat di Tingkat Provinsi
Peraturan Gubernur No 20 tahun 2014 tentang Penyusunan Penetapan, Penerapan dan
Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan
Peraturan Guvernur DKI Jakarta No. 123 tahun 2014 tentang Peserta dan Pelayanan Jaminan
Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan No 5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di
Layanan Kesehatan Primer
Peraturan Menteri Kesehatan No 87 tahun 2014 tentang Pedoman Pengobatan
Antriretroviral
Peraturan Menteri Kesehatan No. 28 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksaan Program
Jaminan Kesehatan Nasional
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat No. 2 tahun 2007 tentang
Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS melalui Pengurangan Dampak
Buruk Penggunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik
Peraturan Presiden No 72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional
Peters, D. H., Paina, L., & Schleimann, F. (2013). Sector-wide approaches (SWAps) in health:
what have we learned?. Health policy and planning, 28(8), 884-890.
Rencana Strategis Dinas Kesehatan DKI Jakarta 2013-2017 No. 1324 tahun 2013
75
Shakarishvili G, Atun R, Berman P et al. 2010. Converging health systems frameworks: towards
a concepts-to-actions roadmap for health systems strengthening in low and middle
income countries. Global Health Governance Spring III: 2.
Shigayeva, A., Atun, R., McKee, M., & Coker, R. (2010). Health systems, communicable
diseases and integration. Health Policy and Planning, 25(suppl 1), i4-i20.
Strauss, A., & Corbin, J. 1998. Basics of qualitative research: Grounded theory procedures and
techniques (2nd ed). Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
Surat Edaran Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta No 3884/1.778/2009 tentang Kemandirian
Penganggaran Harm Reduction
UNAIDS, KPAN, Kemkes (2013) “Nasional AIDS Spending Assessment Report 2011-2012”
UU RI Nomor 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai
Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia
WHO, UNODC, UNAIDS technical guide for countries to set targets for universal access to HIV
prevention, treatment and care for injecting drug users – 2012 revision
World Health Organization. 2007. Everybody’s Business: Strengthening Health System to
Improve Health Outcomes: WHO’s Framework for Action. Geneva: WHO.
76
Annex 1: Daftar Layanan HIV DKI Jakarta
NO Lokasi Tes HIV11
ARV/PDP LASS PTRM PPIA TB/HIV IMS†
JAKARTA BARAT
1 PKM Kec. Cengkareng
2 PKM Kec. Grogol Petamburan *
3 PKM Kec. Kalideres *
4 PKM Kec. Kebon Jeruk
5 PKM Kec. Kembangan
6 PKM Kec. Palmerah
7 PKM Kec. Taman Sari
8 PKM Kec. Tambora
9 PKM Kel. Mangga Besar
10 RS Pelni Petamburan
11 RS Kanker Dharmais
12 RSUD Cengkareng
13 RS Royal Taruma
14 RSAP Harapan Kita
15 Kios Atma Jaya *
JAKARTA PUSAT
16 PKM Kec. Cempaka Putih
17 PKM Kec. Gambir
18 PKM Kec. Johar Baru
19 PKM Kec. Kemayoran
20 PKM Kec. Menteng
21 PKM Kec. Senen
22 PKM Kec. Tanah Abang *
23 PKM Kel Kampung Bali *
24 RS AL Dr Mintoharjo
25 RSPAD Gatot Soebroto
26 RS St. Carolus
27 RS Husada
28 RS Kramat 128
29 RS Cipto Mangunkusumo
30 RS Islam Cempaka Putih
31 RSU Tarakan
32 Rutan Salemba
33 Klinik Angsa Merah *
34 Klinik PPTI Baladewa *
35 Lapas Salemba
JAKARTA SELATAN
36 PKM Kec. Cilandak
37 PKM Kec. Jagakarsa
38 PKM Kec. Kebayoran Baru
39 PKM Kec. Kebayoran Lama
40 PKM Kec. Mampang Prapatan
41 PKM Kec. Pancoran
42 PKM Kec. Pasar Minggu
43 PKM Kec. Pesanggrahan
44 PKM Kec. Setia Budi
45 PKM Kec. Tebet
46 RSU Fatmawati
47 RS Jakarta
48 RS Esnawan Antariksa
49 Klinik Angsa Merah
JAKARTA TIMUR
50 PKM Kec. Cakung
11 Sumber: Laporan Triwulan Kemkes TW 3 2014
77
51 PKM Kec. Ciracas
52 PKM Kec. Duren Sawit
53 PKM Kec. Jatinegara
54 PKM Kec. Kramat Jati
55 PKM Kec. Makassar
56 PKM Kec. Matraman
57 PKM Kec. Pasar Rebo *
58 PKM Kec. Pulo Gadung *
59 RS UKI
60 RS Kepolisian
61 RSJ Duren Sawit
62 RS Pengayoman
63 RSUP Persahabatan
64 RS Said Sukanto
65 RSAU Esnawan Antariksa
66 RSKO
67 RSU Pasar Rebo
68 RS Budi Asih
69 Rutan Pondok Bambu
70 RSU Pengayoman Cipinang
71 Lapas Kls I Cipinang
72 Lapas Kls II Cipinang
73 Rutan Cipinang
74 Klinik PKBI
JAKARTA UTARA
75 PKM Kec. Cilincing
76 PKM Kec. Koja
77 PKM Kec. Klp Gading
78 PKM Kec. Tanjung Priok
79 PKM Kec. Penjaringan
80 RSPI Sulianti S
81 RSUD Koja
82 RS Pluit
83 Klinik Tanjung Priuk
Total
Sumber: Laporan Twiulan III 2014 Kemkes; †JAIS http://jakartaaids.org/lokasi-layanan-hiv-ims/
Pusat Kebijakan dan Manajemen KesehatanFakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Gedung IKM Baru Sayap UtaraJl. Farmako Sekip Utara Yogyakarta 5528
email: [email protected]/Fax (hunting) (+62274) 549425
http://kebijakanaidsindonesia.netKebijakan AIDS Indonesia@KebijakanAIDS