INI NASKAH.doc

14
“INI NASKAH” Prusdianto Jalil 0

Transcript of INI NASKAH.doc

Page 1: INI NASKAH.doc

“INI NASKAH”Prusdianto Jalil

0

Page 2: INI NASKAH.doc

LAMPU PERLAHAN MENYALA DAN MENYINARI PANGGUNG PERTUNJUKAN, SEBUAH JAM TEPAT DI ATAS KOTAK SELEBAR PINTU YANG SILUET. SEMAKIN KELIHATAN BENDA-BENDA PADA RUANGAN TERSEBUT, SEBUAH BUFET DENGAN DERETAN DIARI, KALENDER, TEMPAT SAMPAH, DAN SEBUAH KURSI. DARI BALIK PINTU SESEORANG SEMENTARA MELAKUKAN AKTIFITAS. BAYANGAN SILUET MEMPERLIHATKAN KALAU SESEORANG INI MASIH DALAM UMUR ANAK KECIL ATAU LEBIH TEPATNYA MASIH DALAM SITUASI KEKANAK-KANAKAN.SESEORANG ITU TERUS ASYIK BERMAIN, DARI YANG TADINYA SILUET SAMPAI AKHIRNYA KELUAR DAN MEMPERLIHATKAN DIRINYA DI ATAS PANGGUNG.JAM BERDENTANG. SEORANG DEWASA YANG SEMENTARA MENGENDARAI SEPEDA MAINAN.

Begini saja lebih baik tanpa ada beban yang teramat memberatkan. Tak perlu terlalu rumit, sampai memikirkan hal-hal yang berlebihan, misal menyusun perencanaan dengan rapi agar masa depan lebih cemerlang, atau kemudian berpikir panjang karena segalanya punya konsekuensi, bahkan sampai harus berusaha memutar otak lebih keras untuk bisa bersaing dengan orang lain yang juga ternyata sementara sibuk memutar otaknya yang juga lebih keras.(Mengendarai sepedanya begitu santai). Aku juga tidak akan pernah pusing untuk pulang ke rumah menghadapai wanita yang sudah berlabel isteri, atau sampai membiarkan diri dilahap oleh kemarahan mereka karena pulang tanpa membawa uang. (Menghentikan sepedanya) Inilah aku yang tidak ingin menjadi dewasa, namun sudah dewasa, tapi aku menolaknya. Padahal aku tahu sendiri waktu semakin mendesak untuk mendewasakanku. (Melihat ke arah belakangnya). “Tidak!!!” “Jangan ikuti lagi!!!” “Sana, menjauh!!!” “Ya Ampunn!!!”

KEMBALI MENGAYUH SEPEDANYA SEPERTI MENJAUHI UMUR YANG TAK DISETUJUINYA UNTUK MENJADIKANNYA DEWASA. KEMBALI MELAJU JAM BERDENTANGTIBA-TIBA MENGHENTIKAN SEPEDANYA.

Waktu datang dengan tergesa, datang seperti genangan, berkumpul sedemikian rupa membentuk laku. Sudah berapa hari yang dilalui oleh tangan ini, sudah berapa jarak pula yang ditempuh kaki ini (memegang wajahnya dan kemudian tertawa) dan wajah ini?? Beat. (mengayuh kembali sepedanya dengan santai) Kita harus pahami dan mampu membedakan antara kesanggupan muda dengan keterpaksaan tua, tipe-tipe kategori seperti yang saya katakan tadi itu semua bersumber dari waktu yang harus berkompromi dengan keberterimaan diri. Ringkasnya seperti ini, Detik-detik waktu selalu mengucur dengan deras tanpa permisi mengikis logis, sementara bendungan rasa kian rapuh juga. Aku tak kenal henti dalam proses menciptakan diri, aku yang memberi sekaligus menerima.

SEORANG INI TURUN DARI SEPEDANYA DAN MENUNTUN MENUJU BUFET YANG BERISI BUKU-BUKU DIARI. MENGAMBIL SEBUAH BUKU, MEMBACA, SESEKALI MEMPERLIHATKAN RAUT PARAS BAHAGIA, HINGGA TIBA PADA SEBUAH DIARI LAINNYA. SUASANA BERUBAH SESUAI DENGAN KESEDIHAN SESEORANG INI KETIKA MEMBACA DIARI YANG SATU ITU. BEBERAPA LEMBARAN DIROBEK DARI DIARI DILEMPAR MASUK KE DALAM TEMPAT SAMPAH, KENANGAN YANG TAK SEMESTINYA.

1

Page 3: INI NASKAH.doc

Beat. “Aku mohon maaf, menghentikan sejenak adegan ini”, Beberapa detik saja kulanjutkan…, yakin dan percaya bahwa aku akan mencederai pengarang sandiwara ini. Sementara ini saja aku sudah bingung. Mau diarahkan ke mana suasana adegan ini. Tuntutan peristiwanya membawa laku menuju sifat adegan yang melankolis. Sementara pengarangnnya sangat muak menempatkan adegan melankolis di awal adegan. Maunya sih, pertunjukan ini harus komedi, satire-lah, sarkas-lah setelah itu seakan-akannya penonton akan dihujam dengan rasa haru dipertengahan adegan. Setelahnya itu disuapi dengan katarsis. Pengarang ini sok teoritis. Terlalu pencitraan. Tidak jujur dengan dirinya sendiri.Entah ini naskah yang keberapa aku dijadikan tokoh di dalamnya, tanpa dipentaskan. Boro-boro mau dipentaskan, beberapa naskahnya saja berakhir tanpa ending dan berujung di tempat sampah itu.

Aku masih ingat tentang naskahnya yang setengah matang ditulis dengan tema politik dengan maksud hati mengkritisi pemerintahan. “Cuiihhh…. Ada-ada saja, bagaimana mau jujur untuk mengkritik pemerintahan”. Sementara semasa hidupnya pengarang ini tidak pernah sekalipun ikhlas untuk turun ke jalan berdemonstrasi. “Tahu ilmu politik?” Tidak sama sekali. “Sejarah perjuangan kemerdekaan?” Apa lagi. Peristiwa-peristiwa sejarah dengan pengorbanan pahlawan, penderitaaan rakyat, stabilitas ekonomi, perjanjian-perjanjian perdamaian, semua itu hanya dibaca untuk kebutuhan ujian, dihafal setelahnya dijadikan jawaban untuk menjawab soal ujian agar bisa naik kelas, terakhir kemarin aku lihat si pengarang kembali sibuk menghafal untuk kebutuhan ujian masuk Pegawai Negeri Sipil.

“Pengarang Bodoh!!!” Aku dijadikan boneka untuk sekedar pencitraan, berkoar-koar dengan semangat yang berapi-api tanpa kejujuran, menyisipkan amanah-manah palsu di alur ceritanya, menggerakkan haru penonton untuk melihat penederitaan akibat ketimpangan pemerintahan padahal tak ada simpati sediktpun pada dirinya. Beat. Kurang lebih seperti ini adegannya

SESEORANG INI KEMUDIAN MENGUBAH DIRI MENJADI SEORANG DEMONSTRAN

“Kami tolak kenaikan harga BBM!” “Kami tolak segala kebijakan-kebijakan pemerintah.” “Presiden tidak tahu untung.” Tak punya rasa terima kasih. “Yang memilih kamu siapa?!” “Yang membuatmu sampai di kursi itu siapa??” “Yang membuatmu memegang jabatan itu siapa??” “Rakyat!!” “Sekali lagi Rakyat!!” Nah sekarang apa jadinya?! Sedikit berterima kasihlah kepada kami.. Rakyatmu ini. “Dasar Presiden tak tau diri, kualat kamu…” “Turun dari jabatamu.. turun.. turun.. turun.. ayo turun!!!!”

TERDENGAR SUARA LEDAKAN SENJATA, SIRINE, DEMONSTRAN-DEMONSTRAN MELARIKAN DIRI BERLINDUNG DI TEMPAT –TEMPAT YANG AMAN. SESORANG YANG JADI DEMONSTRAN MASUK DI BAWAH KURSI.

“Kawan-kawan jangan gentar, kita tak bisa terus menerus dibodohi dengan kebijakan-kebijakan palsu, maju terus.” “Hidup rakyat….” (perlahan-lahan keluar dari persembunyian) “Hidup rakyat…. Hidup rakyat….!!! “

Hidup rakyat (seseorang telah menjadi presiden) hidup rakyat… (berjalan mengambil kopiah, duduk dengan tenang di kursi) Harga BBM kita akan naikkan terus, tidak semua rakyat

2

Page 4: INI NASKAH.doc

menolak, hanya segelintir pastinya, jangan lupa kalau sebahagian penduduk di negeri ini menaruh simpati terhadap ku. Terhipnotis dengan kesederhanaanku, kemurahsenyumanku, ke-apaadaan-ku dan kepolosanku. (tertawa) “Sudah!!! Sapu rata semua demonstran, kita punya undang-undang demonstran dan menyatakan pendapat, gunakan itu!!”, pancing mereka mereka merusak fasilitas publik, biarkan saja. “Kita bisa semena-mena dengan mereka, lebih kejam lagi ketika mereka sudah melewati batas jam malam!!”, “Apa lagi?!” “Laksanakan tugas!!”.

PRESIDEN MENGAMBIL TELEPON, MEMENCET TOMBOL SAMBIL MENGGULUNG LENGAN BAJUNYA

Halo… tolong rencanakan jadwal blusukan hari ini.

TELEPON DITUTUP. MEMPERBAIKI EKSPRESI MENJADI LEBIH SEDERHANA

Frekuensi blusukan itu harus lebih banyak dibanding keberadaan di kantor, masyarakat tentunya akan mengatakan kalau aku sedang bekerja, penuh dengan empati. Mereka akan membayar harap-harapan mereka dengan pemakluman.

“presiden kita itu baik hati, merakyat, mana ada pejabat yang mau turun langsung ke masyarakat”, “kita bisa langsung memberitahukan keluhan kita”, “memberitahukan bobroknya pejabat-pejabat yang berada di lingkungan kita”.

Kalau sudah seperti ini… sekeras apapun lawan politik berkoar-koar tak ada gunanya. Negara kita ini Negara Demokratis, dari rakyat untuk rakyat, Negara kita ini adalah Negara yang melankolis… Negara yang menjujung tinggi hati nurani… sesederhana itu, buat mereka mencintaimu tanpa melukainya secara terang-terangan, sentuh nuraninya (kembali tertawa).

SESEORANG ITU MELEPAS SEGALA ATRIBUT PENANDA PRESIDENNYA

Tak jadi dipentaskan oleh pengarang, gara-gara katanya susah untuk menemukan ending yang tepat, pilihan endingnya apakah presidennya jadi diturunkan atau tidak. Beat, Sebulan saya menjadi tokoh di cerita itu hanya mendekam menunggu moment penulis menyelesaikan endingnya sambil terus mengamati politik, lebih tepatnya sih hanya menonton demonstran di TV tanpa ada analisis yang mendalam. Terakhir pada saat arus demonstran tidak mampu mematahkan kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM, seketika itu juga Naskah itu dibuang begitu saja tanpa ending. Tamatlah diriku sebelum dilahirkan.

Tak ada keberanian di dalam diri pengarang sandiwara ini, bagaimana tidak, naskah yang ditulisnya tidak semua dari hati nuraninya sendiri. Apa yang mau dia perjuangkan kalau seperti itu. Kecuali hanya untuk sensasi pencitraan sebagai upaya penyelamatan eksistensi kesenimanannya yang dirangkap sastrawan, yang ditakutkan kadaluarsa. Pernah suatu hari pengarang sibuk mencari jati diri kepenulisannya di laci-laci lemari kebudayaan. (tertawa) saat itu aku dihidupkan kembali dalam tulisannya, menjadi seorang tokoh yang sangat kental dengan nilai-nilai budaya. Tema sudah rapih, amanat disusun

3

Page 5: INI NASKAH.doc

dengan siasat rapuh namun empati, kesenian menjadi wadah pelestaian cagar kebudayaan. Asyiik sekali pokoknya.

TUNRUNG PANGKANJARA BERTABUH SUARA PUI-PUI MENGGILA1 SESEORANG MENGAMBIL SARUNG YANG ADA DI ATAS BUFET

“Olakku kuassukeki, olakmu muassukeki, takaranku kujadikan ukuran, takaranmu kamu jadikan ukuran. Manriwagau kita selesaikan siri’ ini sekarang juga!!!”Apa yang harus kulakukan, masalah yang kuhadapi ini ibarat sebuah sungai yang menderas begitu deras memojokkan aku ke muara, memaksaku bertemu dengan laut yang begitu asin. Demi leluhurku, demi cinta yang ada dalam raga ini kuharus menghadapinya. Beat.

Aku lahir sebagai seorang ata’, sebagai strata paling rendah dalam lingkungan Bugis Makassarku, aku juga tidak pernah meminta untuk dilahirkan sedemikian rupa seperti ini, menundukkan badan melihat dengan pandangan serendah-rendahnya ketika berpapasan dengan Karaeng-karaeng di kampungku ini. Tabe’, iye, lewat siniki, ucapku mengantar keluarga Karaeng Patiganna sore itu. Mengantarnya menuju sawah yang digarap oleh Ambokku. Sudah turun temurun keluargaku menjalin bisnis dengan keluarga Karaeng Patiganna, kerjasama saling menguntungkan. Moyangku menggarap sawah yang merupakan sawah milik dari leluhur keluarga Karaeng Patiganna. Ambokku adalah keturunan ke-6 sama halnya dengan Karaeng Patiganna, sementara aku adalah keturunan ke-7 yang tidak seharusnya jatuh cinta kepada anak gadis Karaeng Patiganna. Adalah Andi Tenri yang juga lebih dulu mencintaiku apa adanya.

Aga’? Apa yang dimiliki oleh pemuda itu, sampai-sampai berani melamarku anakku? Apa, ah, apa?? Kukatakan pada kalian!! Pantang bagiku untuk menikahkan Andi Tenri dengan anak seorang paggalung, apa kata leluhur kita nantinya, Seorang Kareang menikahkan anaknya dengan seorang petani dari sawahnya sendiri. Emosi karaeng begitu tinggi seolah ingin menegakkan perbedaaan strata kami. Emosinya belum sempat turun ketika putra sulungnya datang membawa berita.

Tabe’ Puang. Andi tenri tidak ada di kamarnya. Seluruh rumah aku telah jelajahi, seluruh daerah di kampung ini sudah kutelusuri, namun hasilnya sama, tak ada jejak dari Andi Tenri. Tabe’ Puang, besar kemungkinan Andi tenri Silariang dengan Manrigawau.Memerahlah muka Karaeng Patiganna. Mupakasiriki ka Nak. Muabbeangngi ade’ ta. Tidak akan ada maaf bagi mu, sebagai pihak ri’ pakasiriki, selesaikanlah secara adat!!!Sejauh kami berdua silariang, aku dan Andi Tenri akhirnya bertemu dengan kenyataan. Siang itu diterik matahari yang dikalahkan oleh panas kemarahan dari kakak Laki-laki Andi Tenri. Aku menyelesaikannya secara adat.Tabe’….

MANRIGAWAU BERSIAP UNTUK SIGAJANG LALENG LIPA, DILEPASKAN SARUNGNYA DIHUNUSKANNYA BADIK SIAP MENIKAN DALAM ISTIADAT YANG DIJUNJUNG OLEH MASING-MASING. TUNRUNG PAKANJARA DAN PUI’-PUI’ TERDENGAR BERSAMAAN DENGAN ERANGAN DARI MANRIGAWU.

1 Alat musik kesenian khas Sulawesi Selatan

4

Page 6: INI NASKAH.doc

MANRIGAWU TERSUNGKUR DALAM SARUNG YANG DIA KENAKANAN. LAMPU MENYOROT SECARA FOKUS PADA SATU TITIK.MANRIGAWU KEMBALI MENJADI SESEORANG, DUDUK.

(mengistirahatkan diri) capek…, sadis sekali menjadi tokoh Manrigawu. Entah karena latar suku budaya pengarang yang keras atau karena hanya akal-akalan pengarang saja yang ingin mencapai dramatika cerita yang ekstrem. Entalah. Yang jelas pengarang telah berhasil mencipta sebuah peristiwa budaya. Meskipun tanpa referensi yang jelas atau bahkan sampai kepada penelitian yang memakan waktu berbulan-bulan sebagai referensi peristiwa naskahnya.

(memperhatikan sekeliling) pengarang sandiwara ini hanya menjadikan budaya sebagai bahan komersil, berkedok pelestarian budaya sebagai landasan ide cipta. Tujuannya jelas, agar mendapat masyarakat penonton yang jelas dan tentunya aliran dana yang jelas pula. Beat. Maaf Pak, ini saya sodorkan proposal pertunjukan, mengangkat masalah kebudayaan, tentang budaya siri na pacce, tentang ritual sigajang laelng lipa, tentang silariang. Besar harapan kami agar Bapak peduli, sebab Bapak lihat sendiri bukan, budaya kita semakin terkikis oleh perkembangan zaman. Melalui pertunjukan ini, sekiranya budaya kita dapat terus lestari. Maka dari itu kami mengharapkan uluran bantuan Bapak agar dapat membiayayai pertunjukan ini. Sekalian juga kami akan perkenalkan Bapak ketika pertunjukan akan digelar, bahwa Bapak adalah satu-satunya pejabat yang peduli dengan kesenian, peduli dengan kebudayaan dan sangat mencintai warisan leluhur kita. Tabe’. Dana mengucur, pagelaran dipersiapkan, latihan dimulai.

Padahal mereka tidak tahu, nyambungnya dimana antar siri na pace, sigajang laleng lipa dengan Silariang. Dimana-mana dalam tradisi masyarakat Bugis Makassar jika anak mereka sudah silariang maka mereka telah menjadi pihak yang dipermalukan ri’ pakasiriki, mereka akan membuang anak mereka dan menyuruh untuk membunuh jika menemukan mereka dalam pelariannya. Sigajang laleng lipa itu hanya dilakukan jika dua pihak keluarga saling bertentangan dan tak menemukan penyelesaian, maka ritual tersebut dilakukan dengan harapan tidak ada dendam sesudahnya. Begitu mulia pesan-pesan leluhur kita. Tapi di tangan-tangan seniman nilai-nilai kebuadayaan tersebut dimodifikasi sedemikian rupa untuk tujuan komersialisasi.

Gila. Kesenian kita ini sudah sakit. Sesakit pelaku-pelaku keseniannya. Mereka melakukannya secara sadar dan terencana dengan tujuan utama sebagai konsumsi publik tanpa menghiraukan lagi kualitas yang seharusnya dipelihara. Woee…. Seniman-seniman elegant nan cerdas yang inovatif kalian tidak sadar kalian telah menggerus akar budaya. Perampok!!!! Beat. Pengarang juga.

SESEORANG BERSIMPUH DI DEPAN PANGGUNG

Duhai pengarangku yang cerdas, kenapa harus bergantung kepada pihak lain jika ingin berkarya. Kalau dana tidak ada ya… buatlah pertunjukan yang sederhana pula, yang jelas jujur dan berkualitas. Tidak usah muluk-muluk. Beat.

5

Page 7: INI NASKAH.doc

Pengaduanku ini mengingatkan aku tentang sebuah naskah yang dibuat oleh pengarang sandiwara ini untuk tujuan…, hmm… saya lupa… saya ingat-ingat dulu. Oh iya, kalau tidak salah apa tujuan Festival Teater, seleksi dana Hibah seni, atau gaya-gayaan supaya dikategorikan sebagai seniman yang inovatif. Kurang jelas saya mengingatnya, yang jelas seperti itu adanya tujuannya. Ceritanya seperti ini, beat. siap-siap menjadi yang lain lagi kalau begini, pengarang itu selalu jahat dengan tokoh-tokohnya.

LONCENG JAM BERDENTANG. SESEORANG INI MENJADI TUAN.DARI SISI KANAN DAN KIRI PANGGUNG MASUK PERWUJUDAN KENANGAN DAN MIMPI DARI TUAN. BEBERAPA ORANG ORANG-DENGAN SEGALA AKTIFITASNYA, SEORANG LAKI-LAKI YANG BELAJAR MENJADI WANITA, SEPASANG SUAMI ISTERI MUDA, SEORANG WANITA DAN BEBERAPA ORANG LAINNYA BERJALAN MENJAJAKI WAKTUSATU PERSATU BERJALAN SEIRING, HINGGA JAM BERDENTANG, TEMPO LANGKAH MEREKA TAK LAGI SEJALAN, MENINGGALKAN JARAK WAKTU KEPADA MASING-MASING KENANGAN DAN MIMPI. TIAP-TIAP MENUNGGU GILIRAN. HINGGA TEMPO TUAN YANG NORMAL SEDANG MIMPI DAN KENANGANNYA BERJALAN KELUAR DENGAN TEMPO YANG LAMBAT.

“Seorang laki-laki diumur tertentu wajib untuk bekerja”. Kata tuan yang lebih tua kepada Tuan yang lebih muda. “Iya, kenapa?”, “Saya hanya ingin mengetahui alasan kamu ingin bekerja. Ya paling sering terjawab alasan-alasan tersebut untuk masa depan, selebihnya karena kamu laki-laki. Bukan begitu?” Kita selalu bergerak dengan kodrat kita. “Pernah tidak kamu berfikir untuk tidak menjadi laki-laki?”. “Tidak”, dengan tegas tuan yang muda menjawab. “Lebih tepatnya belum. Tunggulah nanti jika sudah seusia saya. Menjadi laki laki itu berat”. Tuan yang Muda sedikit keberatan dengan pernyataan tersebut. “Mau diapa lagi? Saya tidak mungkin menuntut ke rahim saya untuk tidak menjadi laki-laki. Toh saya juga menerima keadaan seperti ini”. (Tuan memotong) “Keadaan sekarang?”, “Dimana segala halnya dimulai dari nol?”, “Berangkat kerja ke tempat yang belum tentu akan membuatmu betah?”. “Cobalah sesekali menengok wanita seusiamu. Kebanyakan mereka masih tidur saat ini. Saat bangun pun mereka tidak pernah segelisah seperti kamu. Sebahagian besar dari mereka tidak pernah berfikir untuk bekerja, cita-cita mereka mutlak lebih memilih dinikahi oleh laki-laki dibanding harus bekerja seperti laki-laki. Enak sekali menjadi wanita, hanya sibuk berdandan untuk mendapatkan laki-laki yang sudah bekerja. Merekapun dengan yakin menolak menikah dengan laki-laki yang belum bekerja”.

Laki-laki itu akhirnya berangkat tanpa tahu apakah dia mampu menafkahi dirinya sebagai laki-laki. Dia sama sekali kurang mengerti jika laki-laki mutlak akan menjadi laki-laki jika sudah disandingkan dengan yang namanya wanita. Saya sendiri sudah muak dengan laki-laki ini, seandainya saja laki-laki ini menguap dan tergantikan dengan wanita.

JAM BERDENTANG KEMBALI, MEMBAWA WAKTU-WAKTU YANG TAK LAZIM DAN KEADAAN YANG TAK LAZIM PULAMASUK PARA PELAYAN LAKI-LAKI YANG WANITA, MENAMBAHKAN ASESORIS KESUKAAN WANITA PADA RUANGAN TUAN, BANTAL KURSI YANG WANITA, TAPLAK MEJA YANG WANITA, SEPATU-SEPATU YANG WANITA BERJEJERAN, KESET KAKI YANG WANITA, JUGA TISSUE YANG WANITA VAS BUNGA YANG WANITA.JAM BERDENTANG KEMBALI, PARA PELAYAN LAKI-LAKI YANG WANITA KELUAR.

6

Page 8: INI NASKAH.doc

TUAN KEMBALI KE KURSINYA YANG SUDAH WANITA

Kalau demikian seperti ini (memberikan penekanan kepada ruangannya yang sudah wanita), saya kira dunia tidak akan membebani saya lagi. Laki-laki pun berubah menjadi cantik. Untuk yang terakhir kalinya saya putuskan untuk berhenti mencari pekerjaan.. Buat apa coba?! Seharian selalu siap siaga menunggu semua intruksi dari pimpinan. (memaki-maki) “Saya tahu kalau kamu pimpinan!! Tapi jangan seenaknya dong, menyuruh-nyuruh ke sana.. ke sini.., ini.. itu... Iya!! Iya!!”, “Saya tahu saya karyawan baru, tapi tidak semua pekerjaan itu dibebankan kepada saya..!!!” (kepada Tuan) “bayangkan Pak, saya bekerja di sana sebagai staff marketing, loh kenapa harus buat kopi.. memangnya saya melamar sebagai koki?” (pause), (Tuan mencoba menenangkan), “duduk dulu...” (menuntun Tuan yang Wanita untuk duduk) “Ada apa?, Kenapa tiba-tiba marah seperti itu.”

“Saya berhenti bekerja di hari pertama saya masuk kerja, sama sekali tidak ada niatan, awalnya saya hanya coba-coba saja mengikuti arus trend masa sekarang.. mengikutkan karir dibelakang kata wanita”. “Paham bagaimana maksud Tuan?, paham kalau saya sudah bangun dini hari, hanya untuk bersiap-siap berangkat kerja. Apa Tuan juga paham kalau baju yang saya pakai ini adalah pinjaman?” “Nah... kan...!! Tuan, saya ini wanita, dimana-mana hati wanita itu rapuh. Kalau Tuan tidak menuruti apa keinginan saya untuk sesegera mungkin Paham. Bisa-bisa saya terluka dan mungkin akan bunuh diri.”(Tuan ketakutan) “Jangan.... Iya.. iya... saya paham”.

Sudah kuduga... Laki-laki sangat lemah jika berhadapan dengan kesengsaraan wanita (pause). Pura-pura sengsara (diakhiri dengan ledakan tertawaaan, tuan akhirnya ikut tertawa). Kenapa tertawa (kepada Tuan)?? Terus apanya? Kelebihan Wanita dibanding Laki-laki? Kelamin. Kelamin Laki-laki selalu mencari kelamin wanita”. Tuan segera membalas, “Kelamin wanita juga seperti itu”. “Kelamin laki-laki punya kaki yang lebih panjang dibanding kelamin wanita. Itu sebabnya kelamin laki-laki mudah untuk berlari lebih jauh dan tentu saja juga akan mudah lelahnya. Di saat lelah seperti itulah, kelamin wanita mengambil kesempatan. Kesempatan untuk memperdaya dan begitu saja kelamin laki-laki dikuasai kelamin wanita”. “Iya, semudah itu. Kalau sudah menaklukkan kelamin laki-laki. Si punya kelaminpun akan dapat dengan mudah dikuasai”. (berlalu, meninggalkan Tuan begitu saja duduk di kursi untuk merokok). “Apanya yang disimpan? Rokok yang ada di tanganku ini? Ada yang salah? Seorang wanita merokok, itu adalah kesalahan? Apa bedanya dengan laki-laki?”

(Tuan menjelaskan) “Mulut laki-laki dan mulut wanita itu berbeda. Permainan awalan, di-cium dan men-cium. Mulut laki-laki adalah mulut yang men-cium. Matikan tidak rokok itu. Mulut-mulut wanita adalah sumber inspirasi, pemilik dari segala bau yang harum. Sangat tidak bagus jika wanginya dicampur dengan tembakau”.(Tuan yang Wanita sedikit menegaskan)Jangan terlalu percaya dengan bau harum mulut wanita. Aroma wanginya kadang menutupi campuran kebohongannya. (pause) Tuan, Pernah, Dibohongi, Sama, (pelan) Wanita??. Bagaimana baunya, dibanding dengan tembakau ini? (mengambil rokok dan siap untuk membakarnya) Sakit bukan? (membakar rokok dan mengisap dengan sepuasnya) Tuan... Menjadi wanita itu rumit dan membuat otot wajah pegal-pegal. Selalu dan harus tampil manis. Jika Tuan tidak percaya silahkan kupas

7

Page 9: INI NASKAH.doc

kulit wajah saya. Yang Tuan akan temukan hanya sebuah tengkorak. Menakutkan.. (menunjuk ke bufet yang berisi diari) Diari-diari yang ada di sana itu adalah diari Bapak yang juga adalah diari saya. (berjalan menuju bufet).

Jangan sentuh.. diari-diari itu (Tuan yang wanita berhenti sejenak, melihat Tuan dan melanjutkan langkahnya)... menjauh kataku. Menjauh!!! Apa yang Tuan sembunyikan? Ha? Ingin menyembunyikan hasrat Tuan yang begitu muak dengan segala rutinitas pekerjaan? Atau menyembunyikan hasrat Tuan yang begitu menyesal menjadi laki-laki? Tuan ingin menjadi wanita karena mendapati Isteri Tuan tidak perawan lagi di malam pertama? (Tuan berteriak sekeras-kerasnya) Hentikan.. hentikan.. kataku....!!!

JAM TIBA-TIBA KEMBALI BERDENTANG. TUAN KEMBALI MENJADI SESEORANG

Tidak sulit melakukan inovasi dalam karya seni tapi menciptakan satu atau serangkaian karya yang sesuai dengan publik adalah pekerjaan yang penuh dengan tantangan. Banyak seniman yang sukses menciptakan karya besar tapi gagal merebut perhatian publik. Resistensi terhadap karya-karya yang sarat inovasi ini terlalu besar. Untuk dapat diterima publik seniman harus menetralisir resistensi tersebut. Belum lagi untuk sebuah event kesenian. “Seni-kan bersifat selera, sangat subjektif”, sangking subjektifnya pengarang sandiwara ini, berkali-kali sakit hati karena karya-karyanya tidak terpilih menjadi inovatif untuk beberapa orang yang berlabel juri atau kurator. Nepotisme kesenian tepatnya.

(tertawa) kesenian kita ini seperti panggung politik saja yang penuh intrik dan keculasan. Tergantung siapa yang paling dekat dan lebih lama kenal tanpa pernah melakukan konfrontasi terhadap sang penilai seni yang maha sempurna. Maka dapat disimpulkan oleh penilai seni yang maha sempurna bahwa, karya yang dihasilkan akan penuh dengan inovasi-inovasi tak terduga, ini ceritanya seperti menjadi resistensi yang salah alamat. Seniman yang sama sekali tak dikenal, atau cuma kenal sekilas saja apalagi sampai pernah bentrok dalam ruang-ruang diskusi kesenian dengan sang penilai seni yang maha sempurna, maaf saja karya anda kering, miskin inovatif dan konsepnya ngawur. Beat. Sedih juga melihat beberapa seniman saat ini, tak ada naskah yang dicipta begitu saja, semua berlandas dengan kepentingan. Dia sibuk mencari ide-ide cipta yang jauh di luar dari dirinya, tanpa melihat apa yang ada dalam dirinya. Tak usah jauh-jauh menyentuh politik, menyinggung komersialisasi kebudayaan, ketimpangan kesenian atau berusaha membuat karya yang inofatif. Cukup mulailah dari diri anda, yang paling dekat. Seperti yang terakhir yang dilakukan oleh pengarang, aku sepakat dengannya. Menjadikan kisah cintanya sebagai ide cipta. Sesederhana mungkin namun jujur.

SESEORANG MENJADI AKU, DUDUK DI KURSI DENGAN TENANGNYA

Aku mencintai seorang wanita, Irsa Manaf Lusidna namanya, kupanggil dia Irsa; nama yang sebenarnya solmisasi dari nada yang ke-4. Aku menemukan sebuah konsep tentang apa yang harus dimiliki oleh seorang wanita, semua ada dalam dirinya. Jiwa dan ragaku semua menjadi positif ketika bersama dirinya. Seperti magnet saja katanya, kubaca pesan itu berkali-kali.

8

Page 10: INI NASKAH.doc

Kisahku ini berawal sejak pertama kali Irsa menyandang gelar mahasiswa, aku sudah mencintainya namun aku luput darinya. Aku jalan dengan yang lain sementara Irsa jalan pula dengan pria yang lain. Usiaku dengan yang lain itu hampir seusia dengan perjalanan Irsa dengan prianya yang lain itu, kami mengakhirinya hampir bersamaan. Alasannya pun hampir sama, sama-sama pasangan kami jenuh dan mencoba untuk mencari pasangan yang lain untuk mengusir kejenuhannya. Kami ditinggalkan untuk sementara oleh yang lain itu, kata mereka yang lain bahwa hanya sesaat saja, meski mereka tak sebenarnya pergi, sekali-kali datang hanya untuk melukai.

Pengakuan cintaku tadi tak dipercayai oleh Irsa. Meski pada akhirnya lambat laun berbalas dengan pengakuan cinta dari Irsa meski hanya berbalas tak sepenuhnya utuh. Katanya rasa yang dimiliki kepadaku timbul tenggelam, Beat. Dia masih memberikan kesempatan kedapadaku untuk mendekatinya sambil dirinya terus mencoba untuk menjadikan rasanya utuh padaku. Waktu terus membuntuti kami, hingga tiba pada sebuah pengakuan dari Irsa, bahwa rasa yang dicoba untuk utuh kepadaku lambat laun semakin tenggelam hingga kering sama sekali. Aku disarakan untuk mencari saja yang lain, waktupun katanya tak mampu mengabadikan rasanya padaku, hanya percuma, terbuang begitu saja.

Inilah ketakutan terbesarku, menjadi dewasa. Tentang tak adanya lagi landasan atas ketololanku yang jenius. Inilah aku yang tidak ingin menjadi dewasa, namun sudah dewasa, tapi aku menolaknya. Padahal aku tahu sendiri waktu semakin mendesak untuk mendewasakanku.Terlalu sakit untuk menjadi dewasa.

SESEORANG KEMBALI MENGAMBIL SEPEDANYA MENGAYUH DENGAN CERIA MENUTUPI KEDEWASAANNYA DENGAN KEKANAK-KANAKAN. KEMBALI KE SILUET. PANGGUNG MEREDUP, HANYA SILUET SEMENTARA BAYANG SESEORANG NAMPAK MEMBANTING SEPEDA.

Makassar, 28 Maret 2015

9