Info Pub Lik 20131028094042

60
Volume 30 No. 1, April 2013 ISSN : 1907 - 0284 Terakreditasi 484/AU3/P2MI-LIPI/08/2012 Berlaku : 7 Agustus 2012 - 7 Agustus 2015 J. Jalan - Jembatan Vol. 30 No. 1 Bandung April 2013 ISSN 1907 - 0284 Hal. 1 - 53

description

PUSLITBANG

Transcript of Info Pub Lik 20131028094042

Page 1: Info Pub Lik 20131028094042

Volume 30 No. 1, April 2013 ISSN : 1907 - 0284

Terakreditasi 484/AU3/P2MI-LIPI/08/2012Berlaku : 7 Agustus 2012 - 7 Agustus 2015

J. Jalan - Jembatan Vol. 30 No. 1Bandung

April 2013ISSN

1907 - 0284

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUMBADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

PUSAT LITBANG JALAN DAN JEMBATAN

Volume 30 N

o. 1, April 2013, Hal. 1 - 53

ISSN

771907 0284979

1907 0284-Hal. 1 - 53

Page 2: Info Pub Lik 20131028094042

PENGANTAR REDAKSI Redaksi mengucapkan selamat berjumpa kembali pada Jurnal Jalan - Jembatan edisi April 2013, yang merupakan edisi pertama pada volume ini. Ada lima tulisan yang disajikan, yaitu mengenai Analisa transportasi di perkotaan, Analisa temperatur perkerasan jalan untuk penentuan kelas kinerja aspal, Analisa diafragma pada dek baja jembatan ortotropik, Pengaruh beban impak kapal terhadap bangunan pengamanan pilar dan jembatan dan Pengembangan model keruntuhan lapis aspal. Tulisan analisa transportasi di perkotaan, menyampaikan evaluasi kondisi awal sistem jaringan jalan di perkotaan serta mengidentifikasi faktor – faktor kunci yang berpengaruh dalam menghasilkan arah kebijakan, pengembangan prasarana transportasi di perkotaan. Tulisan ke dua menyampaikan kajian temperatur perkerasan jalan untuk menentukan kelas kinerja aspal dengan membuat model untuk mendapatkan kelas kinerja aspal yang sesuai untuk suatu daerah, berdasarkan temperatur perkerasan dan temperatur udara. Tulisan analisa diafragma jembatan ortotropik membahas analisis statik elemen hingga 3D dalam memodelkan baja ortotropik dengan diafragma menerus dan diafragma coak. Tulisan beban impak kapal terhadap bangunan pilar jembatan, menyampaikan bahasan beberapa ketentuan dalam kriteria desain fender sesuai kondisi dan lokasi jembatan. Sajian berikutnya berkaitan dengan model keruntuhan lapis beraspal berdasarkan pendekatan respon dasar material seperti tegangan, regangan dan deformasi. Pada kesempatan ini, kami ucapkan terima kasih banyak khusus kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Sugeng DEA; Prof. Dr. Ir. Bambang Suryoatmono; Prof. Ir. Wimpy Santosa MSc. PhD, sebagai mitra bestari atas bantuan dan penilaiannya dalam penerbitan edisi ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan juga kepada Prof. Dr. Ir. Aziz Jayaputra dan Prof. Dr. Ir. Soegijanto atas segala bantuannya dan perkenannya menjadi anggota mitra bestari Jurnal Jalan - Jembatan. Mudah – mudahan semua tulisan yang kami sajikan memberi manfaat besar bagi kita semua, khususnya bagi para pengambil keputusan dan kebijakan di bidang jalan, pelaksana, konsultan, para mahasiswa serta pembaca pada umumnya. Selamat membaca.

Ketua Dewan Redaksi

Volume 30 No. 1, April 2013 ISSN : 1907 - 0284

Jurnal

JALAN - JEMBATAN

Jurnal Jalan-Jembatan adalah wadah informasi bidang Jalan dan Jembatan berupa hasil penelitian, studi kepustakaan maupun tulisan ilmiah terkait yang meliputi Bidang Bahan dan Perkerasan Jalan, Geoteknik Jalan, Transportasi Dan Teknik Lalu-Lintas serta Lingkungan Jalan, Jembatan dan Bangunan Pelengkap Jalan. Terbit pertama kali tahun 1984 dengan frekuensi terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember. Sesuai Surat Keputusan LIPI No.484/AU3/P2MI-LIPI/08/2012 Jurnal Jalan-Jembatan telah mendapat Akreditasi.

Pelindung

Kepala Pusat Litbang Jalan dan Jembatan Pembina

Ka. Balai Bahan dan Perkerasan Jalan Ka. Balai Geoteknik Jalan Ka. Balai Teknik Lalu Lintas dan Lingkungan Jalan Ka. Balai Jembatan dan Bangunan Pelengkap Jalan Ka. Bagian Tata Usaha Ka. Bidang Sumber Daya Kelitbangan Ka. Bidang Program dan Kerjasama Penangung Jawab

Ka. Bidang Standar dan Diseminasi Redaktur

Prof. (R) DR. Ir. Furqon Affandi, M.Sc Penyunting Editor

Ir. Benyamin Saptadi., M.Si Dulmanan, SAB Ir. Nono, M.Eng.Sc Dra. Yeyeh Kursiah, Dipl. TEFL Indira (Ira) Dwi Putri, S.Sos. Dewi Siti Bayduri, ST Roro Willis, S.Pd Desain Grafis/ Fotografer

Gelar Ermaya Nugraha Internal Editor

Prof (R) DR. Ir. Furqon Affandi, M.Sc (Peneliti Utama Bidang Bahan dan Perkerasan Jalan) DR. Djoko Widajat, M.Sc (Peneliti Madya Bidang Bahan dan Perkerasan Jalan) Ir. GJW Fernandez (Peneliti Utama Bidang Geoteknik Jalan) Dr. Ir. M. Eddie Sunaryo, M.Sc (Peneliti Utama Bidang Geoteknik Jalan) Drs. Gugun Gunawan, M.Si (Peneliti Madya Bidang Teknik Lingkungan Jalan) DR. Ir. Hikmat Iskandar, M.Sc (Peneliti Madya Bidang Lalu-Lintas Jalan) Prof. (R) Ir. Lanneke Tristanto (Ahli Peneliti Utama Bidang Jembatan & Bangunan Pelengkap Jalan) Mitra Bestari

Prof. Ir. Wimpy Santosa, M.Sc. PhD (Bidang Transportasi dan Teknik Lalu-Lintas Jalan; Universitas Katolik Parahyangan) Prof. Ir. Bambang Sugeng S, DEA (Bidang Teknik Perkerasan Jalan; Institut Teknologi Bandung) Prof. DR. Ir. Aziz Jayaputra, M.Sc (Bidang Geoteknik; Institut Teknologi Bandung) Prof. DR. Ir. Soegijanto, M.Si (Bidang Fisika Teknik/Lingkungan; Institut Teknologi Bandung) Prof. DR. Ir. Bambang Suryoatmono, M.Sc (Bidang Teknik Struktur; Universitas Katolik Parahyangan) Sekretariat Anne K. Panggabean, AMd Bernardus Respati Wibowo, SE Jurnal Jalan-Jembatan diterbitkan oleh Puslitbang Jalan dan Jembatan Badan Litbang, Kementerian Pekerjaan Umum.

Alamat Redaksi/Penerbit:

Puslitbang Jalan dan Jembatan, Badan Litbang, Kementerian Pekerjaan Umum Jl. A.H. Nasution No. 264, Kotak Pos 2 Ujungberung – Bandung 40294 Tlp. (022)7802251-7802252-7802253 e-mail : [email protected], [email protected] Fax. : (022)7802726-7811479

Page 3: Info Pub Lik 20131028094042

i

PENGANTAR REDAKSI Redaksi mengucapkan selamat berjumpa kembali pada Jurnal Jalan - Jembatan edisi April 2013, yang merupakan edisi pertama pada volume ini. Ada lima tulisan yang disajikan, yaitu mengenai Analisa transportasi di perkotaan, Analisa temperatur perkerasan jalan untuk penentuan kelas kinerja aspal, Analisa diafragma pada dek baja jembatan ortotropik, Pengaruh beban impak kapal terhadap bangunan pengamanan pilar dan jembatan dan Pengembangan model keruntuhan lapis aspal. Tulisan analisa transportasi di perkotaan, menyampaikan evaluasi kondisi awal sistem jaringan jalan di perkotaan serta mengidentifikasi faktor – faktor kunci yang berpengaruh dalam menghasilkan arah kebijakan, pengembangan prasarana transportasi di perkotaan. Tulisan ke dua menyampaikan kajian temperatur perkerasan jalan untuk menentukan kelas kinerja aspal dengan membuat model untuk mendapatkan kelas kinerja aspal yang sesuai untuk suatu daerah, berdasarkan temperatur perkerasan dan temperatur udara. Tulisan analisa diafragma jembatan ortotropik membahas analisis statik elemen hingga 3D dalam memodelkan baja ortotropik dengan diafragma menerus dan diafragma coak. Tulisan beban impak kapal terhadap bangunan pilar jembatan, menyampaikan bahasan beberapa ketentuan dalam kriteria desain fender sesuai kondisi dan lokasi jembatan. Sajian berikutnya berkaitan dengan model keruntuhan lapis beraspal berdasarkan pendekatan respon dasar material seperti tegangan, regangan dan deformasi. Pada kesempatan ini, kami ucapkan terima kasih banyak khusus kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Sugeng DEA; Prof. Dr. Ir. Bambang Suryoatmono; Prof. Ir. Wimpy Santosa MSc. PhD, sebagai mitra bestari atas bantuan dan penilaiannya dalam penerbitan edisi ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan juga kepada Prof. Dr. Ir. Aziz Jayaputra dan Prof. Dr. Ir. Soegijanto atas segala bantuannya dan perkenannya menjadi anggota mitra bestari Jurnal Jalan - Jembatan. Mudah – mudahan semua tulisan yang kami sajikan memberi manfaat besar bagi kita semua, khususnya bagi para pengambil keputusan dan kebijakan di bidang jalan, pelaksana, konsultan, para mahasiswa serta pembaca pada umumnya. Selamat membaca.

Ketua Dewan Redaksi

Volume 30 No. 1, April 2013 ISSN : 1907 - 0284

Jurnal

JALAN - JEMBATAN

Jurnal Jalan-Jembatan adalah wadah informasi bidang Jalan dan Jembatan berupa hasil penelitian, studi kepustakaan maupun tulisan ilmiah terkait yang meliputi Bidang Bahan dan Perkerasan Jalan, Geoteknik Jalan, Transportasi Dan Teknik Lalu-Lintas serta Lingkungan Jalan, Jembatan dan Bangunan Pelengkap Jalan. Terbit pertama kali tahun 1984 dengan frekuensi terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember. Sesuai Surat Keputusan LIPI No.484/AU3/P2MI-LIPI/08/2012 Jurnal Jalan-Jembatan telah mendapat Akreditasi.

Pelindung

Kepala Pusat Litbang Jalan dan Jembatan Pembina

Ka. Balai Bahan dan Perkerasan Jalan Ka. Balai Geoteknik Jalan Ka. Balai Teknik Lalu Lintas dan Lingkungan Jalan Ka. Balai Jembatan dan Bangunan Pelengkap Jalan Ka. Bagian Tata Usaha Ka. Bidang Sumber Daya Kelitbangan Ka. Bidang Program dan Kerjasama Penangung Jawab

Ka. Bidang Standar dan Diseminasi Redaktur

Prof. (R) DR. Ir. Furqon Affandi, M.Sc Penyunting Editor

Ir. Benyamin Saptadi., M.Si Dulmanan, SAB Ir. Nono, M.Eng.Sc Dra. Yeyeh Kursiah, Dipl. TEFL Indira (Ira) Dwi Putri, S.Sos. Dewi Siti Bayduri, ST Roro Willis, S.Pd Desain Grafis/ Fotografer

Gelar Ermaya Nugraha Internal Editor

Prof (R) DR. Ir. Furqon Affandi, M.Sc (Peneliti Utama Bidang Bahan dan Perkerasan Jalan) DR. Djoko Widajat, M.Sc (Peneliti Madya Bidang Bahan dan Perkerasan Jalan) Ir. GJW Fernandez (Peneliti Utama Bidang Geoteknik Jalan) Dr. Ir. M. Eddie Sunaryo, M.Sc (Peneliti Utama Bidang Geoteknik Jalan) Drs. Gugun Gunawan, M.Si (Peneliti Madya Bidang Teknik Lingkungan Jalan) DR. Ir. Hikmat Iskandar, M.Sc (Peneliti Madya Bidang Lalu-Lintas Jalan) Prof. (R) Ir. Lanneke Tristanto (Ahli Peneliti Utama Bidang Jembatan & Bangunan Pelengkap Jalan) Mitra Bestari

Prof. Ir. Wimpy Santosa, M.Sc. PhD (Bidang Transportasi dan Teknik Lalu-Lintas Jalan; Universitas Katolik Parahyangan) Prof. Ir. Bambang Sugeng S, DEA (Bidang Teknik Perkerasan Jalan; Institut Teknologi Bandung) Prof. DR. Ir. Aziz Jayaputra, M.Sc (Bidang Geoteknik; Institut Teknologi Bandung) Prof. DR. Ir. Soegijanto, M.Si (Bidang Fisika Teknik/Lingkungan; Institut Teknologi Bandung) Prof. DR. Ir. Bambang Suryoatmono, M.Sc (Bidang Teknik Struktur; Universitas Katolik Parahyangan) Sekretariat Anne K. Panggabean, AMd Bernardus Respati Wibowo, SE Jurnal Jalan-Jembatan diterbitkan oleh Puslitbang Jalan dan Jembatan Badan Litbang, Kementerian Pekerjaan Umum.

Alamat Redaksi/Penerbit:

Puslitbang Jalan dan Jembatan, Badan Litbang, Kementerian Pekerjaan Umum Jl. A.H. Nasution No. 264, Kotak Pos 2 Ujungberung – Bandung 40294 Tlp. (022)7802251-7802252-7802253 e-mail : [email protected], [email protected] Fax. : (022)7802726-7811479

Page 4: Info Pub Lik 20131028094042

ii

Volume 30 No. 1, April 2013 ISSN : 1907 - 0284

JURNAL JALAN-JEMBATAN

DAFTAR ISI Pengantar Redaksi i Daftar Isi ii Analisis Keberlanjutan Pengembangan Prasarana Transportasi Perkotaan di Metropolitan Mamminasata Provinsi Sulawesi Selatan (Analysis Of Sustainable Urban Development In Mamminasata Metropolitan Of South Sulawesi Transportation Infrastructure) Ignatius Wing Kusbimanto, Santun R.P. Sitorus, Machfud, I.F. Poernomosidhi Poerwo, Mohamad Yani

1 – 15

Pengembangan Model Analitis Perhitungan Temperatur Perkerasan Jalan untuk Penentuan Kelas Kinerja Aspal (Development Of Pavement Temperature Analytical Model For Determination Of Bituminous Performance Grade) Sri Yeni M, Djoko Widayat

16 – 21

Analisis Elemen Hingga Komponen Diafragma pada Dek Baja Tipe Ortotropik Melintang Jembatan (Finite Element Analysis Of Diaphragm Component Of A Transverse Orthotropic Steel Bridge Deck) Anton Surviyanto

22 – 33

Pengaruh Beban-Impak Kapal Terhadap Bangunan Pengaman Pilar Jembatan Fender (Impact Load Effect Of Barge To Bridge Pier Fender) N. Retno Setiati, Bagus Aditya. W

34 – 45

Pengembangan Model Keruntuhan Lapis Beraspal (Development Of Failure Model For Bituminous Layer) Nyoman Suaryana, Yohannes Ronny, Anita Jannatun Nissa

46 – 53

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGEMBANGAN PRASARANA TRANSPORTASI PERKOTAAN DI METROPOLITAN MAMMINASATA PROVINSI SULAWESI SELATAN

(ANALYSIS OF SUSTAINABLE URBAN DEVELOPMENT IN MAMMINASATA METROPOLITAN OF SOUTH SULAWESI

TRANSPORTATION INFRASTRUCTURE)

Ignatius Wing Kusbimanto1), Santun R.P. Sitorus2), Machfud3), I.F. Poernomosidhi Poerwo4), Mohamad Yani5)

1),2),3),4),5) Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB, 1),2),3),4),5) Sekolah Pasca Sarjana, Kampus Institut Pertanian Bogor Baranangsiang Bogor

1) e-mail: [email protected] 2) e-mail: [email protected]

3) e-mail: [email protected] 4) e-mail: [email protected] 5) e-mail: [email protected]

Diterima: 28 Desember 2012; disetujui: 01 April 2013

ABSTRAK Metropolitan Mamminasata yang terdiri dari Makassar, Maros, Sungguminasa dan Takalar merupakan salah satu dari delapan Kawasan Metropolitan di Indonesia. Permasalahan prasarana transportasi perkotaan saat ini adalah kemacetan pada waktu jam sibuk, kesemerawutan lalu-lintas, tingginya angka kecelakaan, kebisingan dan polusi udara akibat emisi kendaraan bermotor. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah transportasi namun belum efektif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kondisi eksisting sistem jaringan prasarana transportasi perkotaan dan status keberlanjutannya serta mengidentifikasi faktor-faktor kunci yang berpengaruh dalam rangka menghasilkan arah kebijakan pengembangan prasarana transportasi perkotaan berkelanjutan di Metropolitan Mamminasata. Ruang lingkup penelitian terbatas pada jaringan jalan nasional. Data primer diperoleh dari survei perhitungan lalu-lintas dan wawancara dengan responden secara purposive sampling. Berdasarkan data lalu-lintas tahun 2009 volume lalu-lintas rata-rata adalah 2.299 smp/jam dan pada tahun 2013 meningkat menjadi 3.520 smp/jam. Nilai derajat kejenuhan mengalami peningkatan dari 0,43 pada tahun 2009 menjadi 0,66 pada tahun 2013. Tingkat Layanan (LOS) kategori C dimana aliran jaringan jalan stabil mendekati tidak stabil dengan volume lalu-lintas tinggi. Multi Dimensional Scaling (MDS) digunakan untuk menganalisis empat dimensi yang terdiri dari 59 atribut. MDS menggunakan RAPTransport untuk mendapatkan Indeks Keberlanjutan. Nilai dimensi lingkungan adalah 51,87%, ekonomi dimensi 53,23%, dimensi sosial 49,19%, dan 51,68% dimensi keteknikan. Status keberlanjutan cukup berkelanjutan yang ditunjukkan dengan nilai indeks keberlanjutan multidimensi adalah 50,18. MDS, analisis kebutuhan dan ISM digunakan untuk untuk mendapatkan faktor kunci utama. Pemerintah dan pemerintah daerah dalam menetapkan arahan kebijakan dengan melakukan intervensi kebijakan dengan cara meningkatkan faktor-faktor kunci yang sensitif dalam upaya meningkatkan status keberlanjutannya.

Kata kunci: prasarana transportasi perkotaan, berkelanjutan, tingkat pelayanan, keteknikan dan faktor kunci

ABSTRACT The Mamminasata Metropolitan that consists of Makassar, Maros, Sungguminasa and Takalar is one of the eight Metropolitan Regions in Indonesia. The current issues of urban transport infrastructure are traffic congestion during rush hour, lack of road user discipline, the high number of accidents, noise and air pollution caused by motor vehicle emissions. The government has made a sufficient effort to overcome the transportation problems but has not effective. The purpose of the research is to evaluate the condition of existing urban transport infrastructure network systems and the sustainability status and identify the influenced key factors that influence in order to produce to produce a policy direction of sustainable urban transportation infrastructure development in the Mamminasata Metropolitan. The scope of the research limited to the national road networks. Primary data obtained from traffic counting surveys and interviews with respondents by purposive sampling.

Page 5: Info Pub Lik 20131028094042

Analisis Keberlanjutan Pengembangan Prasarana Transportasi Perkotaan di Metropolitan Mamminasata Provinsi Sulawesi Selatan, (Ignatius Wing Kusbimanto, Santun R.P. Sitorus, Machfud, I.F. Poernomosidhi Poerwo, Mohamad Yani)

1

Volume 30 No. 1, April 2013 ISSN : 1907 - 0284

JURNAL JALAN-JEMBATAN

DAFTAR ISI Pengantar Redaksi i Daftar Isi ii Analisis Keberlanjutan Pengembangan Prasarana Transportasi Perkotaan di Metropolitan Mamminasata Provinsi Sulawesi Selatan (Analysis Of Sustainable Urban Development In Mamminasata Metropolitan Of South Sulawesi Transportation Infrastructure) Ignatius Wing Kusbimanto, Santun R.P. Sitorus, Machfud, I.F. Poernomosidhi Poerwo, Mohamad Yani

1 – 15

Pengembangan Model Analitis Perhitungan Temperatur Perkerasan Jalan untuk Penentuan Kelas Kinerja Aspal (Development Of Pavement Temperature Analytical Model For Determination Of Bituminous Performance Grade) Sri Yeni M, Djoko Widayat

16 – 21

Analisis Elemen Hingga Komponen Diafragma pada Dek Baja Tipe Ortotropik Melintang Jembatan (Finite Element Analysis Of Diaphragm Component Of A Transverse Orthotropic Steel Bridge Deck) Anton Surviyanto

22 – 33

Pengaruh Beban-Impak Kapal Terhadap Bangunan Pengaman Pilar Jembatan Fender (Impact Load Effect Of Barge To Bridge Pier Fender) N. Retno Setiati, Bagus Aditya. W

34 – 45

Pengembangan Model Keruntuhan Lapis Beraspal (Development Of Failure Model For Bituminous Layer) Nyoman Suaryana, Yohannes Ronny, Anita Jannatun Nissa

46 – 53

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGEMBANGAN PRASARANA TRANSPORTASI PERKOTAAN DI METROPOLITAN MAMMINASATA PROVINSI SULAWESI SELATAN

(ANALYSIS OF SUSTAINABLE URBAN DEVELOPMENT IN MAMMINASATA METROPOLITAN OF SOUTH SULAWESI

TRANSPORTATION INFRASTRUCTURE)

Ignatius Wing Kusbimanto1), Santun R.P. Sitorus2), Machfud3), I.F. Poernomosidhi Poerwo4), Mohamad Yani5)

1),2),3),4),5) Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB, 1),2),3),4),5) Sekolah Pasca Sarjana, Kampus Institut Pertanian Bogor Baranangsiang Bogor

1) e-mail: [email protected] 2) e-mail: [email protected]

3) e-mail: [email protected] 4) e-mail: [email protected] 5) e-mail: [email protected]

Diterima: 28 Desember 2012; disetujui: 01 April 2013

ABSTRAK Metropolitan Mamminasata yang terdiri dari Makassar, Maros, Sungguminasa dan Takalar merupakan salah satu dari delapan Kawasan Metropolitan di Indonesia. Permasalahan prasarana transportasi perkotaan saat ini adalah kemacetan pada waktu jam sibuk, kesemerawutan lalu-lintas, tingginya angka kecelakaan, kebisingan dan polusi udara akibat emisi kendaraan bermotor. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah transportasi namun belum efektif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kondisi eksisting sistem jaringan prasarana transportasi perkotaan dan status keberlanjutannya serta mengidentifikasi faktor-faktor kunci yang berpengaruh dalam rangka menghasilkan arah kebijakan pengembangan prasarana transportasi perkotaan berkelanjutan di Metropolitan Mamminasata. Ruang lingkup penelitian terbatas pada jaringan jalan nasional. Data primer diperoleh dari survei perhitungan lalu-lintas dan wawancara dengan responden secara purposive sampling. Berdasarkan data lalu-lintas tahun 2009 volume lalu-lintas rata-rata adalah 2.299 smp/jam dan pada tahun 2013 meningkat menjadi 3.520 smp/jam. Nilai derajat kejenuhan mengalami peningkatan dari 0,43 pada tahun 2009 menjadi 0,66 pada tahun 2013. Tingkat Layanan (LOS) kategori C dimana aliran jaringan jalan stabil mendekati tidak stabil dengan volume lalu-lintas tinggi. Multi Dimensional Scaling (MDS) digunakan untuk menganalisis empat dimensi yang terdiri dari 59 atribut. MDS menggunakan RAPTransport untuk mendapatkan Indeks Keberlanjutan. Nilai dimensi lingkungan adalah 51,87%, ekonomi dimensi 53,23%, dimensi sosial 49,19%, dan 51,68% dimensi keteknikan. Status keberlanjutan cukup berkelanjutan yang ditunjukkan dengan nilai indeks keberlanjutan multidimensi adalah 50,18. MDS, analisis kebutuhan dan ISM digunakan untuk untuk mendapatkan faktor kunci utama. Pemerintah dan pemerintah daerah dalam menetapkan arahan kebijakan dengan melakukan intervensi kebijakan dengan cara meningkatkan faktor-faktor kunci yang sensitif dalam upaya meningkatkan status keberlanjutannya.

Kata kunci: prasarana transportasi perkotaan, berkelanjutan, tingkat pelayanan, keteknikan dan faktor kunci

ABSTRACT The Mamminasata Metropolitan that consists of Makassar, Maros, Sungguminasa and Takalar is one of the eight Metropolitan Regions in Indonesia. The current issues of urban transport infrastructure are traffic congestion during rush hour, lack of road user discipline, the high number of accidents, noise and air pollution caused by motor vehicle emissions. The government has made a sufficient effort to overcome the transportation problems but has not effective. The purpose of the research is to evaluate the condition of existing urban transport infrastructure network systems and the sustainability status and identify the influenced key factors that influence in order to produce to produce a policy direction of sustainable urban transportation infrastructure development in the Mamminasata Metropolitan. The scope of the research limited to the national road networks. Primary data obtained from traffic counting surveys and interviews with respondents by purposive sampling.

Page 6: Info Pub Lik 20131028094042

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 1 – 152

Based on traffic count survey in 2009the average traffic volume was 2.299 pcu/hour and in 2013 increased to 3.520 pcu/hour.The degree of saturation increased from 0.43 in 2009 to 0.66 in 2013. Level of Service (LOS) category was C where the roads network flow was stable but approaching unstable with high traffic volume. The Multi Dimensional Scaling (MDS) used to analyze of four dimensions and 59 attributes included. The MDS used RAPTransport to obtain Sustainability Index. The value of the Environmental dimension was 51.87%, economics dimension 53.23%, social dimension 49.19%, and engineering dimension 51.68%. Sustainability status was sufficient that showed with the value of the multidimensional index was 50.18. MDS, the stakeholder’s needs analysis and ISM used to obtain the main key factors. Government and local governments in establishing policy direction with policy intervention by improving sensitive key factors in order to increase its sustainability status.

Keywords: urban transportation infrastructure, sustainable, level of service, engineering and key factors

PENDAHULUAN

Metropolitan Mamminasata dengan Kota Makassar sebagai kota inti, Kota Maros dan Kota Sungguminasa sebagai kota satelit di kawasan transisi serta Kabupaten Takalar sebagai transisi hinterland di kawasan pinggiran Metropolitan termasuk salah satu dari delapan Kawasan Metropolitan di Indonesia (Gambar 1). Luas wilayahnya 2.500,3 Km2 dan jumlah penduduk 2,43 juta jiwa dengan pertumbuhan 1,7 persen per tahun dan diperkirakan pada tahun 2030 mencapai 3,4 juta jiwa. Semakin meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduk, berdampak pada semakin meningkatnya kebutuhan lahan untuk tempat kegiatan, serta sarana dan prasarana.

Gambar 1. Peta Metropolitan Mamminasata

Mamminasata termasuk Kawasan Strategis Nasional (KSN) dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). KSN adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan, karena secara nasional

berpengaruh sangat penting terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Pembangunan Metropolitan Mamminasata mengacu pada Peraturan Presiden nomor 55 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Mamminasata.

Dalam rangka mewujudkan Kawasan Mamminasata sebagai Kota Metropolitan yang berkelanjutan memerlukan pengembangan semua sektor, salah satu yang penting adalah pengembangan prasarana transportasi perkotaan. Permasalahan yang dihadapi pada saat ini adalah kemacetan lalu-lintas pada waktu jam sibuk, kesemerawutan dan ketidak-disiplinan pengguna jalan, tingginya angka kecelakaan, kebisingan dan polusi udara akibat emisi kendaraan bermotor.

Kemacetan pada beberapa ruas jalan utama akibat volume lalu-lintas terus meningkat seiring dengan semakin berkembangnya pembangunan. Kapasitas jaringan jalan tidak mudah untuk ditingkatkan karena terkendala pembebasan lahan. Berdasarkan data dari Sat/Korps lalu-lintas, jumlah pemilikan kendaraan bermotor meningkat sekitar 14% setiap tahun. Sedangkan data dari Ditjen Bina Marga menunjukkan panjang jalan 1.593,46 km terdiri dari jalan nasional 45,29 km dan jalan kota 1.548,17 km dan kondisi kerataan permukaan jalan rata-rata baik.

Pemerintah telah mencoba berbagai cara mengatasi kemacetan dengan telah dilakukan kegiatan penambahan lajur pada beberapa ruas jalan dengan pelebaran di kedua sisi badan jalan untuk meningkatkan kapasitas, membangun fly over, jalur alternatif dan rekayasa lalu-lintas. Kendala yang dihadapi adalah terbatasnya kemampuan pemerintah kota dalam pembebasan lahan dan kurang terkendalinya penggunaan lahan.

Beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan sistem transportasi perkotaan,

antara lain membahas tentang pertimbangan prinsip-prinsip ekonomis, ekologis dan sosial politis dalam pembangunan dan operasional jalan akan mendukung pembangunan berkelanjutan (Purwaamijaya 2005), model pengelolaan angkutan umum penumpang non bus berkelanjutan yang terintegrasi dengan rencana tata ruang kota, menganalisis sistem pentarifan dan layanan dengan standar operasional, mengidentifikasi emisi gas buang dan penataan kawasan di kota Makassar (Mansyur 2008), pencemaran udara akibat transportasi dan kebisingan lalu-lintas di lingkungan perumahan di kawasan pinggiran metropolitan Kota Bandung (Panjaitan 2010) dan model pengendalian emisi kendaraan bermotor di kota Makassar. (Mandra 2013)

Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengevaluasi kondisi eksisting sistem

jaringan prasarana transportasi perkotaan dan status keberlanjutannya.

2. Mengevaluasi faktor-faktor kunci yang berpengaruh dalam pengembangan prasarana transportasi perkotaan yang berkelanjutan.

KAJIAN PUSTAKA

Sistem transportasi perkotaan Masalah yang terjadi pada sektor

transportasi mempertegas betapa pentingnya mengkaji kebijakan publik secara lebih tepat. Langkah yang diambil oleh penentu kebijakan harus memperhatikan faktor-faktor: 1. Ketergantungan terhadap kendaraan

bermotor dan bagaimana pengaruhnya terhadap lokasi permukiman dan lokasi kerja.

2. Sistem transportasi publik harus mampu melayani seluruh wilayah secara efektif.

3. Kemampuan pemerintah dan kebijakannya dalam menyediakan sistem transportasi yang adil baik kepada yang memiliki kendaraan ataupun tidak.

4. Kombinasi antara teknologi baru dan usaha untuk menciptakan lingkungan kota yang lebih baik dalam jangka panjang. (Owen 1976).

Sistem transportasi yang berkelanjutan merupakan salah satu alat terpenting untuk

pemenuhan kebutuhan transportasi di perkotaan. Pemanfaatan teknologi baru, seperti interchanges, jalan layang (fly overs), jalan bebas hambatan (freeways), jalur kereta layang (elevated railways track), perambuan yang terkoordinasi, dilakukan dalam upaya meningkatkan kecepatan dan menampung kapasitas lalu-lintas yang lebih besar. Strategi penanganan kemacetan lalu-lintas berdasarkan multi-facet, dibagi dalam tiga bagian: 1. level makro didasarkan pada penataan ruang

berupa model compact city, transit oriented development, dan kawasan hunian kepadatan tinggi.

2. level mezzo yang didasarkan pada transport demand management berupa sarana angkutan cepat masal (mass rapid transit), interface antar moda, park and ride carpooling, ride sharing, High Occupancy Vehicle (HOV).

3. level mikro yang didasarkan pada street level, berupa perbaikan simpang, flyover, pelebaran bottleneck, marka dan perambuan serta road pricing termasuk tarif parker. (Dardak 2010)

Pembangunan berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan mempunyai

tiga tujuan utama yaitu ekonomi (economic objective), ekologi (ecological objective) dan sosial (social objective). Tujuan ekonomi terkait dengan masalah efisiensi (efficiency) dan pertumbuhan (growth); tujuan ekologi terkait dengan masalah konservasi sumber daya alam (natural resources conservation); dan tujuan sosial terkait dengan masalah pengurangan kemiskinan (poverty) dan pemerataan (equity). Tujuan pembangunan berkelanjutan pada dasarnya terletak pada adanya harmonisasi antara tujuan ekonomi, tujuan ekologi dan tujuan sosial. (Munasinghe 1993)

Sustainability issues merambah pada semua bidang kehidupan manusia, termasuk pada kebijakan pengembangan perkotaan harus aspiratif terhadap kebutuhan dan eksitensi masa depan dengan beberapa kata kunci seperti efisiensi, intensifikasi, konservasi, revitalisasi di dalam upaya menyelaraskan pembangunan kembali kota (sustainable urban redevelopment movement), (Gambar 2).

Page 7: Info Pub Lik 20131028094042

Analisis Keberlanjutan Pengembangan Prasarana Transportasi Perkotaan di Metropolitan Mamminasata Provinsi Sulawesi Selatan, (Ignatius Wing Kusbimanto, Santun R.P. Sitorus, Machfud, I.F. Poernomosidhi Poerwo, Mohamad Yani)

3

Based on traffic count survey in 2009the average traffic volume was 2.299 pcu/hour and in 2013 increased to 3.520 pcu/hour.The degree of saturation increased from 0.43 in 2009 to 0.66 in 2013. Level of Service (LOS) category was C where the roads network flow was stable but approaching unstable with high traffic volume. The Multi Dimensional Scaling (MDS) used to analyze of four dimensions and 59 attributes included. The MDS used RAPTransport to obtain Sustainability Index. The value of the Environmental dimension was 51.87%, economics dimension 53.23%, social dimension 49.19%, and engineering dimension 51.68%. Sustainability status was sufficient that showed with the value of the multidimensional index was 50.18. MDS, the stakeholder’s needs analysis and ISM used to obtain the main key factors. Government and local governments in establishing policy direction with policy intervention by improving sensitive key factors in order to increase its sustainability status.

Keywords: urban transportation infrastructure, sustainable, level of service, engineering and key factors

PENDAHULUAN

Metropolitan Mamminasata dengan Kota Makassar sebagai kota inti, Kota Maros dan Kota Sungguminasa sebagai kota satelit di kawasan transisi serta Kabupaten Takalar sebagai transisi hinterland di kawasan pinggiran Metropolitan termasuk salah satu dari delapan Kawasan Metropolitan di Indonesia (Gambar 1). Luas wilayahnya 2.500,3 Km2 dan jumlah penduduk 2,43 juta jiwa dengan pertumbuhan 1,7 persen per tahun dan diperkirakan pada tahun 2030 mencapai 3,4 juta jiwa. Semakin meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduk, berdampak pada semakin meningkatnya kebutuhan lahan untuk tempat kegiatan, serta sarana dan prasarana.

Gambar 1. Peta Metropolitan Mamminasata

Mamminasata termasuk Kawasan Strategis Nasional (KSN) dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). KSN adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan, karena secara nasional

berpengaruh sangat penting terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Pembangunan Metropolitan Mamminasata mengacu pada Peraturan Presiden nomor 55 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Mamminasata.

Dalam rangka mewujudkan Kawasan Mamminasata sebagai Kota Metropolitan yang berkelanjutan memerlukan pengembangan semua sektor, salah satu yang penting adalah pengembangan prasarana transportasi perkotaan. Permasalahan yang dihadapi pada saat ini adalah kemacetan lalu-lintas pada waktu jam sibuk, kesemerawutan dan ketidak-disiplinan pengguna jalan, tingginya angka kecelakaan, kebisingan dan polusi udara akibat emisi kendaraan bermotor.

Kemacetan pada beberapa ruas jalan utama akibat volume lalu-lintas terus meningkat seiring dengan semakin berkembangnya pembangunan. Kapasitas jaringan jalan tidak mudah untuk ditingkatkan karena terkendala pembebasan lahan. Berdasarkan data dari Sat/Korps lalu-lintas, jumlah pemilikan kendaraan bermotor meningkat sekitar 14% setiap tahun. Sedangkan data dari Ditjen Bina Marga menunjukkan panjang jalan 1.593,46 km terdiri dari jalan nasional 45,29 km dan jalan kota 1.548,17 km dan kondisi kerataan permukaan jalan rata-rata baik.

Pemerintah telah mencoba berbagai cara mengatasi kemacetan dengan telah dilakukan kegiatan penambahan lajur pada beberapa ruas jalan dengan pelebaran di kedua sisi badan jalan untuk meningkatkan kapasitas, membangun fly over, jalur alternatif dan rekayasa lalu-lintas. Kendala yang dihadapi adalah terbatasnya kemampuan pemerintah kota dalam pembebasan lahan dan kurang terkendalinya penggunaan lahan.

Beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan sistem transportasi perkotaan,

antara lain membahas tentang pertimbangan prinsip-prinsip ekonomis, ekologis dan sosial politis dalam pembangunan dan operasional jalan akan mendukung pembangunan berkelanjutan (Purwaamijaya 2005), model pengelolaan angkutan umum penumpang non bus berkelanjutan yang terintegrasi dengan rencana tata ruang kota, menganalisis sistem pentarifan dan layanan dengan standar operasional, mengidentifikasi emisi gas buang dan penataan kawasan di kota Makassar (Mansyur 2008), pencemaran udara akibat transportasi dan kebisingan lalu-lintas di lingkungan perumahan di kawasan pinggiran metropolitan Kota Bandung (Panjaitan 2010) dan model pengendalian emisi kendaraan bermotor di kota Makassar. (Mandra 2013)

Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengevaluasi kondisi eksisting sistem

jaringan prasarana transportasi perkotaan dan status keberlanjutannya.

2. Mengevaluasi faktor-faktor kunci yang berpengaruh dalam pengembangan prasarana transportasi perkotaan yang berkelanjutan.

KAJIAN PUSTAKA

Sistem transportasi perkotaan Masalah yang terjadi pada sektor

transportasi mempertegas betapa pentingnya mengkaji kebijakan publik secara lebih tepat. Langkah yang diambil oleh penentu kebijakan harus memperhatikan faktor-faktor: 1. Ketergantungan terhadap kendaraan

bermotor dan bagaimana pengaruhnya terhadap lokasi permukiman dan lokasi kerja.

2. Sistem transportasi publik harus mampu melayani seluruh wilayah secara efektif.

3. Kemampuan pemerintah dan kebijakannya dalam menyediakan sistem transportasi yang adil baik kepada yang memiliki kendaraan ataupun tidak.

4. Kombinasi antara teknologi baru dan usaha untuk menciptakan lingkungan kota yang lebih baik dalam jangka panjang. (Owen 1976).

Sistem transportasi yang berkelanjutan merupakan salah satu alat terpenting untuk

pemenuhan kebutuhan transportasi di perkotaan. Pemanfaatan teknologi baru, seperti interchanges, jalan layang (fly overs), jalan bebas hambatan (freeways), jalur kereta layang (elevated railways track), perambuan yang terkoordinasi, dilakukan dalam upaya meningkatkan kecepatan dan menampung kapasitas lalu-lintas yang lebih besar. Strategi penanganan kemacetan lalu-lintas berdasarkan multi-facet, dibagi dalam tiga bagian: 1. level makro didasarkan pada penataan ruang

berupa model compact city, transit oriented development, dan kawasan hunian kepadatan tinggi.

2. level mezzo yang didasarkan pada transport demand management berupa sarana angkutan cepat masal (mass rapid transit), interface antar moda, park and ride carpooling, ride sharing, High Occupancy Vehicle (HOV).

3. level mikro yang didasarkan pada street level, berupa perbaikan simpang, flyover, pelebaran bottleneck, marka dan perambuan serta road pricing termasuk tarif parker. (Dardak 2010)

Pembangunan berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan mempunyai

tiga tujuan utama yaitu ekonomi (economic objective), ekologi (ecological objective) dan sosial (social objective). Tujuan ekonomi terkait dengan masalah efisiensi (efficiency) dan pertumbuhan (growth); tujuan ekologi terkait dengan masalah konservasi sumber daya alam (natural resources conservation); dan tujuan sosial terkait dengan masalah pengurangan kemiskinan (poverty) dan pemerataan (equity). Tujuan pembangunan berkelanjutan pada dasarnya terletak pada adanya harmonisasi antara tujuan ekonomi, tujuan ekologi dan tujuan sosial. (Munasinghe 1993)

Sustainability issues merambah pada semua bidang kehidupan manusia, termasuk pada kebijakan pengembangan perkotaan harus aspiratif terhadap kebutuhan dan eksitensi masa depan dengan beberapa kata kunci seperti efisiensi, intensifikasi, konservasi, revitalisasi di dalam upaya menyelaraskan pembangunan kembali kota (sustainable urban redevelopment movement), (Gambar 2).

Page 8: Info Pub Lik 20131028094042

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 1 – 154

Ekonomi • Mendorong eksistensi

ekonomi lokal • Ketersediaan kesempatan

kerja

Sosial • Meningkatkan kualitas

hidup • Mendorong kesetaraan

sosial

Kota • Positif secara keruangan • Berwawasan lingkungan • Efisiensi bagi transport Bermanfaat dari sisi sosial

• Vital bagi pembangunan ekonomi

Lingkungan • Memaksimalkan efisiensi energi • Konsevasi sumber daya alam dan habitat • Minimalisasi kerusakan/bencana

Sumber: Roychansyah 2006

Gambar 2. Pembangunan kota berkelanjutan

Tingkat pelayanan jalan Analisis kondisi sistem jaringan jalan

yaitu analisis spesifik model kebutuhan transportasi kota berbasis spasial dan non-spasial dengan persamaan matematis regresi linier berganda (Miro 2005). Tingkat pelayanan jalan yaitu analisis kualitatif yang berkaitan dengan kecepatan dan waktu perjalanan, kebebasan, kenyamanan, dan bersifat kuantitatif dengan kapasitas, kecepatan nyata, dan rasio volume per kapasitas. Nilai kapasitas (C) dihitung dengan persamaan (1) (Ditjen Bina Marga 1997):

C = CO x FCW x FCSP x FCSF x FCCS……… (1)

Keterangan: C = kapasitas jalan (smp/jam) Co = kapasitas dasar (smp/jam) FCW = faktor penyusuaian lebar jalur lalu-lintas FCSP = faktor penyusuaian pemisahan arah FCSF = faktor penyusuaian hambatan samping FCCS = faktor penyusuaian ukuran kota

Analisis status keberlanjutan Status keberlanjutan pengembangan

prasarana transportasi perkotaan Metropolitan Mamminasata pada penelitian ini dianalisis dengan empat dimensi keberlanjutan, yaitu dimensi lingkungan, sosial, ekonomidan keteknikan. Status keberlanjutan setiap dimensi tersebut ditentukan berdasarkan hasil analisis menggunakan program analisis keberlanjutan Multi Dimensional Scaling (MDS) yang dinyatakan dalam bentuk nilai indeks keberlanjutan setelah diberi skor dari pendapat para pakar dan kajian pustaka.

Status berkelanjutan empat dimensi akan memudahkan dalam melakukan perbaikan terhadap atribut-atribut sensitif yang berpengaruh terhadap peningkatan status keberlanjutan prasarana transportasi perkotaan guna mendukung pengembangan sistem transportasi perkotaan di Kawasan Metropolitan Mamminasata.

Dengan menggunakan analisis ordinasi diperoleh posisi relatif keberlanjutan pengembangan prasarana transportasi yang dikaji terhadap dua titik acuan yaitu titik “baik” (good) dan titik “buruk” (bad). Proses ordinasi menggunakan RAPTransport yang merupakan perangkat lunak hasil modifikasi RAPFISH (Kavanagh 2004). Proses Algoritma RAPTransport juga pada dasarnya mengikuti proses algoritma RAPFISH.

Analisis keberlanjutan pengelolaan prasarana transportasi dilakukan melalui tiga tahapan yaitu: 1. Tahap penentuan atribut pengelolaan

prasarana transportasi berkelanjutan, yang mencakup dimensi lingkungan, ekonomi, sosial dan keteknikan. Secara keseluruhan, terdapat 59 atribut yang dianalisis yang terdiri dari 13 atribut lingkungan, 10 atribut ekonomi, 18 atribut sosial, dan 18 atribut keteknikan.

2. Tahap penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan untuk setiap dimensi. Pemberian skor dari hasil penyebaran kuesioner sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan. Rentang skor antara 1 – 4, dari sangat tidak setuju (buruk) sampai sangat setuju (baik).

3. Hasil skoring dianalisis menggunakan RAPTransport untuk menentukan posisi status keberlanjutan pengembangan prasarana transportasi pada masing-masing dimensi dan keterpaduan dimensi (multidimensi) yang dinyatakan dalam skala nilai indeks keberlanjutan. Skala indeks keberlanjutan antara 0 – 100 seperti tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Indeks dan status keberlanjutan Nilai Indeks Kategori 0,00 – 25,00 Buruk (tidak berkelanjutan) 25,01 – 50,00 Kurang (kurang berkelanjutan) 50,01 – 75,00 Cukup (cukup berkelanjutan) 75,01 – 100,00 Baik (Berkelanjutan)

Hasil dari analisis ordinasi akan mencerminkan status keberlanjutan dimensi tersebut. Jika analisis untuk masing-masing dimensi telah dilakukan maka analisis

perbandingan keberlanjutan antar dimensi dapat dilakukan dan divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-layang (kite diagram). Dalam analisis MDS sekaligus dilakukan analisis Leverage, analisis Monte Carlo, penentuan nilai stress, dan nilai koefisien determinasi (R2).

Analisis leverage untuk mengetahui atribut-atribut sensitif yang sangat berpengaruh dalam meningkatkan status keberlanjutan pengembangan prasarana transportasi perkotaan. Penentuan atribut yang sensitif dilakukan berdasarkan urutan prioritasnya pada hasil analisis leverage dengan melihat bentuk perubahan root mean square (RMS) ordinasi pada sumbu X. Semakin besar nilai RMS, maka semakin besar peranan atribut tersebut dalam peningkatan status keberlanjutan pengembangan prasarana transportasi perkotaan.

Analisis Monte Carlo digunakan untuk menduga pengaruh galat (error) dalam proses analisis yang dilakukan pada selang kepercayaan 95%. Hasil analisis dinyatakan dalam bentuk nilai indeks Monte Carlo, yang selanjutnya dibandingkan dengan nilai indeks analisis MDS. Apabila perbedaan kedua nilai indeks tersebut kecil mengindikasikan bahwa: 1. Kesalahan dalam pembuatan skor setiap

atribut relatif kecil. 2. Variasi pemberian skor akibat perbedaan

opini relatif kecil. 3. Proses analisis yang dilakukan secara

berulang-ulang stabil. 4. Kesalahan pemasukan data dan data yang

hilang dapat dihindari. Nilai stress dan koefisien determinasi

(R2) yang berfungsi untuk menentukan perlu tidaknya penambahan atribut untuk mencerminkan dimensi yang dikaji mendekati kondisi sebenarnya. Nilai ini diperoleh dari pemetaan terhadap dua titik yang berdekatan, di mana titik tersebut diupayakan sedekat mungkin terhadap titik asal dalam skala ordinasi. Teknik ordinasi (penentuan jarak) dalam MDS didasarkan pada Euclidian Distance. Dalam ruang dua dimensi, jarak euclidian dengan persamaan (2) sebagai berikut:

d = �⌈𝑥𝑥𝑥𝑥1 − 𝑥𝑥𝑥𝑥2⌉2 + ⌈𝑦𝑦𝑦𝑦1 − 𝑦𝑦𝑦𝑦2⌉2 ……….…… (2)

Sedangkan dalam n-dimensi, jarak Euclidian dengan persamaan (3) sebagai berikut:

𝑑𝑑𝑑𝑑 = �⌈𝑥𝑥𝑥𝑥1 − 𝑥𝑥𝑥𝑥2⌉2 + ⌈𝑦𝑦𝑦𝑦1 − 𝑦𝑦𝑦𝑦2⌉2 + ⌈𝑧𝑧𝑧𝑧1 − 𝑧𝑧𝑧𝑧2⌉2 + ⋯.(3)

Keterangan: d = jarak geometris (Euclidian Distance) xi = koordinat x ke-i yi = koordinat y ke-i

Titik tersebut kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak euclidian (dij) dari titik i ke j dengan titik asal (dij) dengan persamaan (4):

𝑑𝑑𝑑𝑑𝑖𝑖𝑖𝑖𝑗𝑗𝑗𝑗=𝑎𝑎𝑎𝑎+𝑏𝑏𝑏𝑏𝑑𝑑𝑑𝑑𝑖𝑖𝑖𝑖𝑗𝑗𝑗𝑗+𝑒𝑒𝑒𝑒 ….………………….…….….. (4)

Dalam meregresikan persamaan di atas digunakan teknik least squared bergantian yang didasarkan pada akar dari Euclidian Distance (squared distance) atau disebut metode algoritma ASCAL. Metode ini mengoptimalisasi jarak kuadrat (squared distance = dijk) terhadap data kuadrat (titik asal oijk) yang dalam tiga dimensi (i,j,k) yang disebut S-stress dengan persamaan (5) sebagai berikut:

𝑆𝑆𝑆𝑆 = 1𝑚𝑚𝑚𝑚∑∑∑(𝑑𝑑𝑑𝑑𝑖𝑖𝑖𝑖𝑗𝑗𝑗𝑗𝑖𝑖𝑖𝑖

2 −𝑜𝑜𝑜𝑜𝑖𝑖𝑖𝑖𝑗𝑗𝑗𝑗𝑖𝑖𝑖𝑖2 )

∑∑𝑜𝑜𝑜𝑜𝑖𝑖𝑖𝑖𝑗𝑗𝑗𝑗𝑖𝑖𝑖𝑖4

2 ……………..………(5)

Untuk mengetahui apakah atribut-atribut yang dikaji dalam analisis MDS dilakukan cukup akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dilihat dari nilai Stress dan nilai Koefisien Determinasi (R2). Hasil analisis dianggap cukup akurat dan dapat dipertanggungjawabkan apabila memiliki nilai stress lebih kecil dari 0,25 atau 25% seperti tertera pada Tabel 2 dan nilai koefisien determinasi (R2) mendekati nilai 1,0 atau 100%. (Kavanag dan Pitcher 2004)

Tabel 2. Nilai Stress

Nilai Stress Kesesuaian Lebih dari 20% Poor

10% - 20% Fair 5% - 10% Good 2.5% - 5% Excelent

Hukum Pareto Ekonom berkebangsaan Italia bernama

Vilfredo Pareto (1848-1923) adalah orang yang paling berjasa menemukan hukum Pareto menyatakan bahwa sebuah grup selalu memiliki persentase terkecil (20%) yang bernilai atau memiliki dampak terbesar (80%). Prinsip Pareto memiliki kesamaan makna dengan konsep Action Coach, yaitu daya ungkit (leverage). Prinsip 80/20 adalah 80 % hasil datang dari 20% usaha (Gambar 3). Prinsip ini bisa dikembangkan ke dalam banyak bahasa, namun intinya tetap sama,

Page 9: Info Pub Lik 20131028094042

Analisis Keberlanjutan Pengembangan Prasarana Transportasi Perkotaan di Metropolitan Mamminasata Provinsi Sulawesi Selatan, (Ignatius Wing Kusbimanto, Santun R.P. Sitorus, Machfud, I.F. Poernomosidhi Poerwo, Mohamad Yani)

5

Ekonomi • Mendorong eksistensi

ekonomi lokal • Ketersediaan kesempatan

kerja

Sosial • Meningkatkan kualitas

hidup • Mendorong kesetaraan

sosial

Kota • Positif secara keruangan • Berwawasan lingkungan • Efisiensi bagi transport Bermanfaat dari sisi sosial

• Vital bagi pembangunan ekonomi

Lingkungan • Memaksimalkan efisiensi energi • Konsevasi sumber daya alam dan habitat • Minimalisasi kerusakan/bencana

Sumber: Roychansyah 2006

Gambar 2. Pembangunan kota berkelanjutan

Tingkat pelayanan jalan Analisis kondisi sistem jaringan jalan

yaitu analisis spesifik model kebutuhan transportasi kota berbasis spasial dan non-spasial dengan persamaan matematis regresi linier berganda (Miro 2005). Tingkat pelayanan jalan yaitu analisis kualitatif yang berkaitan dengan kecepatan dan waktu perjalanan, kebebasan, kenyamanan, dan bersifat kuantitatif dengan kapasitas, kecepatan nyata, dan rasio volume per kapasitas. Nilai kapasitas (C) dihitung dengan persamaan (1) (Ditjen Bina Marga 1997):

C = CO x FCW x FCSP x FCSF x FCCS……… (1)

Keterangan: C = kapasitas jalan (smp/jam) Co = kapasitas dasar (smp/jam) FCW = faktor penyusuaian lebar jalur lalu-lintas FCSP = faktor penyusuaian pemisahan arah FCSF = faktor penyusuaian hambatan samping FCCS = faktor penyusuaian ukuran kota

Analisis status keberlanjutan Status keberlanjutan pengembangan

prasarana transportasi perkotaan Metropolitan Mamminasata pada penelitian ini dianalisis dengan empat dimensi keberlanjutan, yaitu dimensi lingkungan, sosial, ekonomidan keteknikan. Status keberlanjutan setiap dimensi tersebut ditentukan berdasarkan hasil analisis menggunakan program analisis keberlanjutan Multi Dimensional Scaling (MDS) yang dinyatakan dalam bentuk nilai indeks keberlanjutan setelah diberi skor dari pendapat para pakar dan kajian pustaka.

Status berkelanjutan empat dimensi akan memudahkan dalam melakukan perbaikan terhadap atribut-atribut sensitif yang berpengaruh terhadap peningkatan status keberlanjutan prasarana transportasi perkotaan guna mendukung pengembangan sistem transportasi perkotaan di Kawasan Metropolitan Mamminasata.

Dengan menggunakan analisis ordinasi diperoleh posisi relatif keberlanjutan pengembangan prasarana transportasi yang dikaji terhadap dua titik acuan yaitu titik “baik” (good) dan titik “buruk” (bad). Proses ordinasi menggunakan RAPTransport yang merupakan perangkat lunak hasil modifikasi RAPFISH (Kavanagh 2004). Proses Algoritma RAPTransport juga pada dasarnya mengikuti proses algoritma RAPFISH.

Analisis keberlanjutan pengelolaan prasarana transportasi dilakukan melalui tiga tahapan yaitu: 1. Tahap penentuan atribut pengelolaan

prasarana transportasi berkelanjutan, yang mencakup dimensi lingkungan, ekonomi, sosial dan keteknikan. Secara keseluruhan, terdapat 59 atribut yang dianalisis yang terdiri dari 13 atribut lingkungan, 10 atribut ekonomi, 18 atribut sosial, dan 18 atribut keteknikan.

2. Tahap penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan untuk setiap dimensi. Pemberian skor dari hasil penyebaran kuesioner sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan. Rentang skor antara 1 – 4, dari sangat tidak setuju (buruk) sampai sangat setuju (baik).

3. Hasil skoring dianalisis menggunakan RAPTransport untuk menentukan posisi status keberlanjutan pengembangan prasarana transportasi pada masing-masing dimensi dan keterpaduan dimensi (multidimensi) yang dinyatakan dalam skala nilai indeks keberlanjutan. Skala indeks keberlanjutan antara 0 – 100 seperti tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Indeks dan status keberlanjutan Nilai Indeks Kategori 0,00 – 25,00 Buruk (tidak berkelanjutan) 25,01 – 50,00 Kurang (kurang berkelanjutan) 50,01 – 75,00 Cukup (cukup berkelanjutan) 75,01 – 100,00 Baik (Berkelanjutan)

Hasil dari analisis ordinasi akan mencerminkan status keberlanjutan dimensi tersebut. Jika analisis untuk masing-masing dimensi telah dilakukan maka analisis

perbandingan keberlanjutan antar dimensi dapat dilakukan dan divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-layang (kite diagram). Dalam analisis MDS sekaligus dilakukan analisis Leverage, analisis Monte Carlo, penentuan nilai stress, dan nilai koefisien determinasi (R2).

Analisis leverage untuk mengetahui atribut-atribut sensitif yang sangat berpengaruh dalam meningkatkan status keberlanjutan pengembangan prasarana transportasi perkotaan. Penentuan atribut yang sensitif dilakukan berdasarkan urutan prioritasnya pada hasil analisis leverage dengan melihat bentuk perubahan root mean square (RMS) ordinasi pada sumbu X. Semakin besar nilai RMS, maka semakin besar peranan atribut tersebut dalam peningkatan status keberlanjutan pengembangan prasarana transportasi perkotaan.

Analisis Monte Carlo digunakan untuk menduga pengaruh galat (error) dalam proses analisis yang dilakukan pada selang kepercayaan 95%. Hasil analisis dinyatakan dalam bentuk nilai indeks Monte Carlo, yang selanjutnya dibandingkan dengan nilai indeks analisis MDS. Apabila perbedaan kedua nilai indeks tersebut kecil mengindikasikan bahwa: 1. Kesalahan dalam pembuatan skor setiap

atribut relatif kecil. 2. Variasi pemberian skor akibat perbedaan

opini relatif kecil. 3. Proses analisis yang dilakukan secara

berulang-ulang stabil. 4. Kesalahan pemasukan data dan data yang

hilang dapat dihindari. Nilai stress dan koefisien determinasi

(R2) yang berfungsi untuk menentukan perlu tidaknya penambahan atribut untuk mencerminkan dimensi yang dikaji mendekati kondisi sebenarnya. Nilai ini diperoleh dari pemetaan terhadap dua titik yang berdekatan, di mana titik tersebut diupayakan sedekat mungkin terhadap titik asal dalam skala ordinasi. Teknik ordinasi (penentuan jarak) dalam MDS didasarkan pada Euclidian Distance. Dalam ruang dua dimensi, jarak euclidian dengan persamaan (2) sebagai berikut:

d = �⌈𝑥𝑥𝑥𝑥1 − 𝑥𝑥𝑥𝑥2⌉2 + ⌈𝑦𝑦𝑦𝑦1 − 𝑦𝑦𝑦𝑦2⌉2 ……….…… (2)

Sedangkan dalam n-dimensi, jarak Euclidian dengan persamaan (3) sebagai berikut:

𝑑𝑑𝑑𝑑 = �⌈𝑥𝑥𝑥𝑥1 − 𝑥𝑥𝑥𝑥2⌉2 + ⌈𝑦𝑦𝑦𝑦1 − 𝑦𝑦𝑦𝑦2⌉2 + ⌈𝑧𝑧𝑧𝑧1 − 𝑧𝑧𝑧𝑧2⌉2 + ⋯.(3)

Keterangan: d = jarak geometris (Euclidian Distance) xi = koordinat x ke-i yi = koordinat y ke-i

Titik tersebut kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak euclidian (dij) dari titik i ke j dengan titik asal (dij) dengan persamaan (4):

𝑑𝑑𝑑𝑑𝑖𝑖𝑖𝑖𝑗𝑗𝑗𝑗=𝑎𝑎𝑎𝑎+𝑏𝑏𝑏𝑏𝑑𝑑𝑑𝑑𝑖𝑖𝑖𝑖𝑗𝑗𝑗𝑗+𝑒𝑒𝑒𝑒 ….………………….…….….. (4)

Dalam meregresikan persamaan di atas digunakan teknik least squared bergantian yang didasarkan pada akar dari Euclidian Distance (squared distance) atau disebut metode algoritma ASCAL. Metode ini mengoptimalisasi jarak kuadrat (squared distance = dijk) terhadap data kuadrat (titik asal oijk) yang dalam tiga dimensi (i,j,k) yang disebut S-stress dengan persamaan (5) sebagai berikut:

𝑆𝑆𝑆𝑆 = 1𝑚𝑚𝑚𝑚∑∑∑(𝑑𝑑𝑑𝑑𝑖𝑖𝑖𝑖𝑗𝑗𝑗𝑗𝑖𝑖𝑖𝑖

2 −𝑜𝑜𝑜𝑜𝑖𝑖𝑖𝑖𝑗𝑗𝑗𝑗𝑖𝑖𝑖𝑖2 )

∑∑𝑜𝑜𝑜𝑜𝑖𝑖𝑖𝑖𝑗𝑗𝑗𝑗𝑖𝑖𝑖𝑖4

2 ……………..………(5)

Untuk mengetahui apakah atribut-atribut yang dikaji dalam analisis MDS dilakukan cukup akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dilihat dari nilai Stress dan nilai Koefisien Determinasi (R2). Hasil analisis dianggap cukup akurat dan dapat dipertanggungjawabkan apabila memiliki nilai stress lebih kecil dari 0,25 atau 25% seperti tertera pada Tabel 2 dan nilai koefisien determinasi (R2) mendekati nilai 1,0 atau 100%. (Kavanag dan Pitcher 2004)

Tabel 2. Nilai Stress

Nilai Stress Kesesuaian Lebih dari 20% Poor

10% - 20% Fair 5% - 10% Good 2.5% - 5% Excelent

Hukum Pareto Ekonom berkebangsaan Italia bernama

Vilfredo Pareto (1848-1923) adalah orang yang paling berjasa menemukan hukum Pareto menyatakan bahwa sebuah grup selalu memiliki persentase terkecil (20%) yang bernilai atau memiliki dampak terbesar (80%). Prinsip Pareto memiliki kesamaan makna dengan konsep Action Coach, yaitu daya ungkit (leverage). Prinsip 80/20 adalah 80 % hasil datang dari 20% usaha (Gambar 3). Prinsip ini bisa dikembangkan ke dalam banyak bahasa, namun intinya tetap sama,

Page 10: Info Pub Lik 20131028094042

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 1 – 156

yaitu daya ungkit prioritas. (Wikipedia 2012)

Gambar 3. Hukum Pareto

Pareto dinilai kurang artikulatif dalam mengemukakan temuannya ini berdasarkan perkembangan metodologi dan konteks penelitian, akhirnya mendorong para pakar untuk ikut terjun melengkapi rumus atau temuan yang dinilai sangat berguna bagi pencerahan peradaban manusia ini. Tahun 1949, George K Zipf, seorang professor dari Harvard University, mengembangkan wilayah penelitian dengan menjadikan temuan Pareto sebagai referensi. Hasilnya bahwa manusia, benda-benda, waktu, keahlian, atau semua alat produksi telah memiliki aturan alamiah yang berkaitan antara hasil dan aktivitas dengan jumlah perbandingan mulai dari 80/20 atau 70/30.

Interpretive Structural Modelling (ISM) Salah satu permodelan yang

dikembangkan untuk perencanaan kebijakan strategis adalah teknik permodelan interpretasi struktural. ISM adalah proses pengkajian kelompok (group learning process) di mana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat. Menurut Saxena (1992) ISM bersangkut paut dengan interpretasi dari suatu obyek yang utuh atau perwakilan sistem melalui aplikasi teori grafis secara sistematis dan interative.

Metodologi dan teknik ISM terdiri dari dua bagian yaitu penyusunan hierarkhi dan klasifikasi sub-elemen serta memberikan basis analisis dimana informasi yang dihasilkan sangat berguna dalam formulasi kebijakan serta perencanaan strategis (Marimin 2004). ISM dapat digunakan untuk mengembangkan beberapa tipe struktur, termasuk struktur pengaruh. ISM merupakan sebuah metodologi yang interaktif dan diimplementasikan dalam sebuah wadah kelompok. Metodologi tersebut memberikan lingkungan yang sangat sempurna untuk memperkaya dan memperluas pandangan dalam struktur yang cukup kompleks.

ISM menganalisis elemen-elemen sistem dan memecahkannya dalam bentuk grafik dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki. Elemen-elemen dapat merupakan tujuan kebijakan, target organisasi, faktor-faktor penilaian, dan lain-lain. Hubungan langsung dapat dalam konteks-konteks yang beragam berkaitan dengan hubungan kontekstual.

HIPOTESIS

Dari uraian latar belakang dan permasalahan yang terjadi di atas sehingga dapat diduga kondisi eksisting prasarana transportasi perkotaan di Metropolitan Mamminasasta saat ini belum sesuai dengan fungsi jalan arteri, kolektor dan lokal seperti diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 38 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah nomor 34 tahun 2006 tentang jalan. Kemacetan yang terjadi dikarenakan peningkatan volume lalu-lintas sedangkan kapasitas jalan cendrung tetap sehingga derajat kejenuhan meningkat dan penurunan tingkat pelayanannya. Status keberlanjutan prasarana transportasi perkotaan diduga tidak berkelanjutan. Faktor kunci yang berpengaruh dalam penetapan arah kebijakan pengembangan prasarana transportasi perkotaan berkelanjutan adalah peningkatan kapasitas jalan.

METODOLOGI

Lingkup penelitian dibatasi pada jaringan jalan nasional di Metropolitan Maminasata.Waktu penelitian dilaksanakan pada tahun 2011-2013. Data sekunder yang digunakan adalah peraturan perundangan terkait dengan sistem transportasi dan tata ruang, data statistik, hasil survei dan studi dari instansi terkait. Data primer dari survei, pengamatan dan wawancara dengan responden di lokasi studi. Penentuan responden dilakukan dengan cara purposive sampling dengan responden. Responden yang dipilih adalah para pemangku kepentingan (stakeholder) terdiri dari pemerintah, swasta dan masyarakat. Survei perhitungan lalu-lintas dilaksanakan selama tiga hari yang terdiri dari dua hari kerja terpadat dan satu hari libur yaitu Senin, Jumat, dan Minggu pada jam tersibuk pagi (06.30-08.30), siang (12.00-14.00), dan sore (16.00-18.00) pada waktu kondisi cuaca cerah dan tidak menganggu pergerakan penduduk. Pos survei penghitungan lalu-lintas tertera seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Lokasi survei perhitungan lalu-lintas

Pos No & Nama Ruas Kota Durasi 1. 010.12 K Jl. Perintis

Kemerdekaan Makassar 6 jam

2. 010.11 KJl. Jend. Sudirman

Maros 6 jam

3. 011.16 KJl. Sultan Hanuddin

Sungguminasa 6 jam

4. 014.12 KJl. Jend. Sudirman

Takalar 6 jam

HASIL DAN ANALISIS

Kondisi eksisting jaringan jalan Kondisi eksisting jaringan prasarana jalan

perkotaan di Kawasan Metropolitan cenderung terjadi pengurangan kapasitas jalan disebabkan oleh meningkatnya hambatan samping di sepanjang koridor jalan arteri. Hambatan samping diakibatkan antara lain oleh kendaraan yang parkir di badan jalan, kegiatan perdagangan di rumija dan badan jalan, angkutan umum berhenti sesukanya, penempatan utilitas pada ruang milik jalan dan pemasangan papan iklan reklame pada ruang manfaat jalan, acara pesta perkawinan yang menggunakan badan jalan dan pedestrian.

Berdasarkan hasil pengolahan data sekunder tahun 2009-2010 dari hasil survei yang dilakukan oleh P2JJ Sulsel dan data primer hasil survei perhitungan lalu-lintas di empat pos tahun 2011-2013 didapatkan data volume tertinggi per jam dalam satuan mobil penumpang (smp) pada ruas jalan yang mewakili kawasan Mamminasata. Volume rata-rata kendaraan tertinggi pada tahun 2009 adalah 2.299 smp/jam menjadi 3.520 smp/jam pada tahun 2013. Pertumbuhan rata-rata volume kendaraan bermotor di lokasi penelitian dalam kurun waktu 5 tahun sebesar 11,23% pertahun (Gambar 4).

Gambar 4. Volume lalu-lintas

Hasil perhitungan kapasitas jalan tahun dari 2009 sampai dengan tahun 2013 cenderung tetap dengan kapasitas jalan rata-rata 5.326,5 smp/jam. Hal ini menggambarkan bahwa dalam kurun waktu limagt tahun tersebut belum ada kegiatan pelebaran jalan dalam upaya peningkatan kapasitas pada lokasi pengambilan sampel. Hasil perhitungan kapasitas seperti tertera pada Gambar 5.

Gambar 5. Kapasitas jalan

Berdasarkan hasil analisis pada keempat ruas jalan tersebut menggambarkan derajat kejenuhan pada semua ruas jalan mengalami peningkatan, setiap tahunnya terutama pada ruas 010.12 K Jalan Perintis Kemerdekaan dari 0,58 pada tahun 2009 menjadi 0,87 pada tahun 2013 cenderung mendekati nilai 1. Hasil analisis tersebut mengindikasikan bahwa selalu terjadi kemacetan terutama pada jam sibuk sore hari pada saat berakhirnya kegiatan perkantoran, bisnis maupun sekolah. Khusus pada ruas jalan perintis kemerdekan aktivitas angkutan bus antar kota mulai beroperasi. Derajat kejenuhan rata-rata keempat ruas jalan yang diteliti mengalami peningkatan dari 0,43 pada tahun 2009 menjadi 0,66 pada tahun 2013 (Gambar 6).

Gambar 6. Derajat kejenuhan ruas jalan

Page 11: Info Pub Lik 20131028094042

Analisis Keberlanjutan Pengembangan Prasarana Transportasi Perkotaan di Metropolitan Mamminasata Provinsi Sulawesi Selatan, (Ignatius Wing Kusbimanto, Santun R.P. Sitorus, Machfud, I.F. Poernomosidhi Poerwo, Mohamad Yani)

7

yaitu daya ungkit prioritas. (Wikipedia 2012)

Gambar 3. Hukum Pareto

Pareto dinilai kurang artikulatif dalam mengemukakan temuannya ini berdasarkan perkembangan metodologi dan konteks penelitian, akhirnya mendorong para pakar untuk ikut terjun melengkapi rumus atau temuan yang dinilai sangat berguna bagi pencerahan peradaban manusia ini. Tahun 1949, George K Zipf, seorang professor dari Harvard University, mengembangkan wilayah penelitian dengan menjadikan temuan Pareto sebagai referensi. Hasilnya bahwa manusia, benda-benda, waktu, keahlian, atau semua alat produksi telah memiliki aturan alamiah yang berkaitan antara hasil dan aktivitas dengan jumlah perbandingan mulai dari 80/20 atau 70/30.

Interpretive Structural Modelling (ISM) Salah satu permodelan yang

dikembangkan untuk perencanaan kebijakan strategis adalah teknik permodelan interpretasi struktural. ISM adalah proses pengkajian kelompok (group learning process) di mana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat. Menurut Saxena (1992) ISM bersangkut paut dengan interpretasi dari suatu obyek yang utuh atau perwakilan sistem melalui aplikasi teori grafis secara sistematis dan interative.

Metodologi dan teknik ISM terdiri dari dua bagian yaitu penyusunan hierarkhi dan klasifikasi sub-elemen serta memberikan basis analisis dimana informasi yang dihasilkan sangat berguna dalam formulasi kebijakan serta perencanaan strategis (Marimin 2004). ISM dapat digunakan untuk mengembangkan beberapa tipe struktur, termasuk struktur pengaruh. ISM merupakan sebuah metodologi yang interaktif dan diimplementasikan dalam sebuah wadah kelompok. Metodologi tersebut memberikan lingkungan yang sangat sempurna untuk memperkaya dan memperluas pandangan dalam struktur yang cukup kompleks.

ISM menganalisis elemen-elemen sistem dan memecahkannya dalam bentuk grafik dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki. Elemen-elemen dapat merupakan tujuan kebijakan, target organisasi, faktor-faktor penilaian, dan lain-lain. Hubungan langsung dapat dalam konteks-konteks yang beragam berkaitan dengan hubungan kontekstual.

HIPOTESIS

Dari uraian latar belakang dan permasalahan yang terjadi di atas sehingga dapat diduga kondisi eksisting prasarana transportasi perkotaan di Metropolitan Mamminasasta saat ini belum sesuai dengan fungsi jalan arteri, kolektor dan lokal seperti diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 38 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah nomor 34 tahun 2006 tentang jalan. Kemacetan yang terjadi dikarenakan peningkatan volume lalu-lintas sedangkan kapasitas jalan cendrung tetap sehingga derajat kejenuhan meningkat dan penurunan tingkat pelayanannya. Status keberlanjutan prasarana transportasi perkotaan diduga tidak berkelanjutan. Faktor kunci yang berpengaruh dalam penetapan arah kebijakan pengembangan prasarana transportasi perkotaan berkelanjutan adalah peningkatan kapasitas jalan.

METODOLOGI

Lingkup penelitian dibatasi pada jaringan jalan nasional di Metropolitan Maminasata.Waktu penelitian dilaksanakan pada tahun 2011-2013. Data sekunder yang digunakan adalah peraturan perundangan terkait dengan sistem transportasi dan tata ruang, data statistik, hasil survei dan studi dari instansi terkait. Data primer dari survei, pengamatan dan wawancara dengan responden di lokasi studi. Penentuan responden dilakukan dengan cara purposive sampling dengan responden. Responden yang dipilih adalah para pemangku kepentingan (stakeholder) terdiri dari pemerintah, swasta dan masyarakat. Survei perhitungan lalu-lintas dilaksanakan selama tiga hari yang terdiri dari dua hari kerja terpadat dan satu hari libur yaitu Senin, Jumat, dan Minggu pada jam tersibuk pagi (06.30-08.30), siang (12.00-14.00), dan sore (16.00-18.00) pada waktu kondisi cuaca cerah dan tidak menganggu pergerakan penduduk. Pos survei penghitungan lalu-lintas tertera seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Lokasi survei perhitungan lalu-lintas

Pos No & Nama Ruas Kota Durasi 1. 010.12 K Jl. Perintis

Kemerdekaan Makassar 6 jam

2. 010.11 KJl. Jend. Sudirman

Maros 6 jam

3. 011.16 KJl. Sultan Hanuddin

Sungguminasa 6 jam

4. 014.12 KJl. Jend. Sudirman

Takalar 6 jam

HASIL DAN ANALISIS

Kondisi eksisting jaringan jalan Kondisi eksisting jaringan prasarana jalan

perkotaan di Kawasan Metropolitan cenderung terjadi pengurangan kapasitas jalan disebabkan oleh meningkatnya hambatan samping di sepanjang koridor jalan arteri. Hambatan samping diakibatkan antara lain oleh kendaraan yang parkir di badan jalan, kegiatan perdagangan di rumija dan badan jalan, angkutan umum berhenti sesukanya, penempatan utilitas pada ruang milik jalan dan pemasangan papan iklan reklame pada ruang manfaat jalan, acara pesta perkawinan yang menggunakan badan jalan dan pedestrian.

Berdasarkan hasil pengolahan data sekunder tahun 2009-2010 dari hasil survei yang dilakukan oleh P2JJ Sulsel dan data primer hasil survei perhitungan lalu-lintas di empat pos tahun 2011-2013 didapatkan data volume tertinggi per jam dalam satuan mobil penumpang (smp) pada ruas jalan yang mewakili kawasan Mamminasata. Volume rata-rata kendaraan tertinggi pada tahun 2009 adalah 2.299 smp/jam menjadi 3.520 smp/jam pada tahun 2013. Pertumbuhan rata-rata volume kendaraan bermotor di lokasi penelitian dalam kurun waktu 5 tahun sebesar 11,23% pertahun (Gambar 4).

Gambar 4. Volume lalu-lintas

Hasil perhitungan kapasitas jalan tahun dari 2009 sampai dengan tahun 2013 cenderung tetap dengan kapasitas jalan rata-rata 5.326,5 smp/jam. Hal ini menggambarkan bahwa dalam kurun waktu limagt tahun tersebut belum ada kegiatan pelebaran jalan dalam upaya peningkatan kapasitas pada lokasi pengambilan sampel. Hasil perhitungan kapasitas seperti tertera pada Gambar 5.

Gambar 5. Kapasitas jalan

Berdasarkan hasil analisis pada keempat ruas jalan tersebut menggambarkan derajat kejenuhan pada semua ruas jalan mengalami peningkatan, setiap tahunnya terutama pada ruas 010.12 K Jalan Perintis Kemerdekaan dari 0,58 pada tahun 2009 menjadi 0,87 pada tahun 2013 cenderung mendekati nilai 1. Hasil analisis tersebut mengindikasikan bahwa selalu terjadi kemacetan terutama pada jam sibuk sore hari pada saat berakhirnya kegiatan perkantoran, bisnis maupun sekolah. Khusus pada ruas jalan perintis kemerdekan aktivitas angkutan bus antar kota mulai beroperasi. Derajat kejenuhan rata-rata keempat ruas jalan yang diteliti mengalami peningkatan dari 0,43 pada tahun 2009 menjadi 0,66 pada tahun 2013 (Gambar 6).

Gambar 6. Derajat kejenuhan ruas jalan

Page 12: Info Pub Lik 20131028094042

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 1 – 158

51.87%

Dow n

Up

Bad Good

-60

-40

-20

0

20

40

60

0 20 40 60 80 100 120

Environment Status

Oth

er D

istin

gish

ing

Feat

ures

Seiring dengan bertambahnya jumlah volume kendaraan namun di sisi lain kapasitas jalan cenderung tetap yang mengakibatkan meningkatkan derajat kejenuhan pada keempat ruas jalan tersebut, hal tersebut juga mengakibatkan kecepatan rata-rata kendaraan yang terjadi pada semua ruas jalan mengalami penurunan rata-rata yaitu dari 42,75 km/jam pada tahun 2009 menjadi 37,75 km/jam pada tahun 2013 (Gambar 7).

Gambar 7. Kecepatan rata-rata arus lalu-lintas

Penurunan kecepatan lalu-lintas akan menyebabkan peningkatan penundaan sehingga akan meningkatkan waktu tempuh perjalanan (Gambar 8).

Gambar 8. Waktu tempuh (Travel Time)

Status keberlanjutan Analisis keberlanjutan pengembangan

prasarana transportasi perkotaan di Mamminasata dilakukan melalui tiga tahapan yaitu: 1. Penentuan dari hasil kuesioner 59 atribut

yang dianalisis mencakup dimensi lingkungan 13 atribut, ekonomi 10 atribut, sosial 18 atribut, dan keteknikan 18 atribut.

2. Penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan.

3. Skor dianalisis dengan alat analisis RAPTransport untuk mendapatkan status keberlanjutan pada masing-masing dimensi sesuai dengan kategori indeks dan status keberlanjutan.

Tingkat keberlanjutan pada dimensi lingkungan (enviromental dimension) dipengaruhi oleh tiga belas atribut yaitu: 1. Kualitas udara ambient. 2. Tingkat emisi kendaraan bermotor. 3. Tingkat kebisingan lalu-lintas. 4. Luasan ruang terbuka hijau (rth). 5. Tingkat konversi lahan (kawasan

terbangun). 6. Pengendalian pemanfaatan ruang sepanjang

ruas jalan. 7. Penghijauan sepanjang ruas jalan. 8. Kebersihan disepanjang ruas jalan. 9. Kondisi lansekap jalan. 10. Pedagang kaki lima pada rumija. 11. Tingkat konsumsi BBM. 12. Degradasi lahan. 13. Sistem drainase.

Hasil MDS menggunakan RAPTransport menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi lingkungan sebesar 51,87%, yang tergolong pada status cukup berkelanjutan (Gambar 9).

Gambar 9. Keberlanjutan dimensi lingkungan

Hasil analisis Leverage diperoleh nilai Root Mean Square (RMS) masing-masing atribut dimensi lingkungan (Gambar 10). Analisis Pereto untuk mendapatkan faktor kunci

53.23%

Dow n

Up

Bad Good

-60

-40

-20

0

20

40

60

0 20 40 60 80 100 120

Economic Status

Oth

er D

istin

gish

ing

Feat

ures

yang sensitif dilakukan dengan mengurutkan nilai RMS hasil analisis leverage dari nilai terbesar sampai yang terkecil. Dilakukan pembobotan dalam persentase kemudian diakumulasikan. Selanjutnya diambil atribut sampai batas nilai kumulatif maksimum 70%, maka didapatkan tujuh atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi lingkungan yaitu: 1. Tingkat emisi kendaraan bermotor. 2. Tingkat kebisingan lalu-lintas. 3. Pengendalian pemanfaatan ruang sepanjang

ruas jalan. 4. Kualitas udara ambient. 5. Sistem drainase. 6. Degradasi lahan. 7. Tingkat konsumsi BBM.

Gambar 10. Nilai RMS dimensi lingkungan

Tingkat keberlanjutan pada dimensi ekonomi (economic dimension) dipengaruhi oleh sepuluh atribut yaitu: 1. Pertumbuhan ekonomi regional. 2. Produk domestik regional bruto (pdrb). 3. Anggaran penyelenggaraan jalan. 4. Penerimaan pemerintah daerah (pendapatan

asli daerah). 5. Biaya perjalanan (travel cost). 6. Pertumbuhan pusat kegiatan. 7. Kualitas angkutan umum. 8. Jarak perjalanan. 9. Peningkatan nilai lahan. 10. Luas kota.

Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi sebesar 53,23%, yang tergolong status cukup berkelanjutan (Gambar 11).

Gambar 11. Keberlanjutan dimensi ekonomi

Hasil analisis Leverage diperoleh nilai Root Mean Square (RMS) masing-masing atribut dimensi ekonomi (Gambar 12). Analisis Pereto untuk mendapatkan faktor kunci yang sensitif dilakukan mengurutkan nilai RMS hasil analisis leverage dari nilai terbesar sampai yang terkecil. Dilakukan pembobotan dalam persentase kemudian diakumulasikan. Selanjutnya dambil atribut sampai batas nilai kumulatif maksimum 70%, maka didapatkan empat atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi yaitu: 1. Biaya perjalanan (travel cost). 2. Pertumbuhan ekonomi regional. 3. Produk domestik regional bruto (PDRB). 4. Jarak perjalanan.

Gambar 12. Nilai RMS dimensi ekonomi

Tingkat keberlanjutan pada dimensi sosial (social dimension) dipengaruhi oleh delapan belas atribut yaitu: 1. Pertumbuhan penduduk. 2. Tingkat kecelakaan. 3. Pelanggaran lalu-lintas. 4. Prilaku berkendaraan. 5. Tingkat kesehatan.

Page 13: Info Pub Lik 20131028094042

Analisis Keberlanjutan Pengembangan Prasarana Transportasi Perkotaan di Metropolitan Mamminasata Provinsi Sulawesi Selatan, (Ignatius Wing Kusbimanto, Santun R.P. Sitorus, Machfud, I.F. Poernomosidhi Poerwo, Mohamad Yani)

9

51.87%

Dow n

Up

Bad Good

-60

-40

-20

0

20

40

60

0 20 40 60 80 100 120

Environment Status

Oth

er D

istin

gish

ing

Feat

ures

Seiring dengan bertambahnya jumlah volume kendaraan namun di sisi lain kapasitas jalan cenderung tetap yang mengakibatkan meningkatkan derajat kejenuhan pada keempat ruas jalan tersebut, hal tersebut juga mengakibatkan kecepatan rata-rata kendaraan yang terjadi pada semua ruas jalan mengalami penurunan rata-rata yaitu dari 42,75 km/jam pada tahun 2009 menjadi 37,75 km/jam pada tahun 2013 (Gambar 7).

Gambar 7. Kecepatan rata-rata arus lalu-lintas

Penurunan kecepatan lalu-lintas akan menyebabkan peningkatan penundaan sehingga akan meningkatkan waktu tempuh perjalanan (Gambar 8).

Gambar 8. Waktu tempuh (Travel Time)

Status keberlanjutan Analisis keberlanjutan pengembangan

prasarana transportasi perkotaan di Mamminasata dilakukan melalui tiga tahapan yaitu: 1. Penentuan dari hasil kuesioner 59 atribut

yang dianalisis mencakup dimensi lingkungan 13 atribut, ekonomi 10 atribut, sosial 18 atribut, dan keteknikan 18 atribut.

2. Penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan.

3. Skor dianalisis dengan alat analisis RAPTransport untuk mendapatkan status keberlanjutan pada masing-masing dimensi sesuai dengan kategori indeks dan status keberlanjutan.

Tingkat keberlanjutan pada dimensi lingkungan (enviromental dimension) dipengaruhi oleh tiga belas atribut yaitu: 1. Kualitas udara ambient. 2. Tingkat emisi kendaraan bermotor. 3. Tingkat kebisingan lalu-lintas. 4. Luasan ruang terbuka hijau (rth). 5. Tingkat konversi lahan (kawasan

terbangun). 6. Pengendalian pemanfaatan ruang sepanjang

ruas jalan. 7. Penghijauan sepanjang ruas jalan. 8. Kebersihan disepanjang ruas jalan. 9. Kondisi lansekap jalan. 10. Pedagang kaki lima pada rumija. 11. Tingkat konsumsi BBM. 12. Degradasi lahan. 13. Sistem drainase.

Hasil MDS menggunakan RAPTransport menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi lingkungan sebesar 51,87%, yang tergolong pada status cukup berkelanjutan (Gambar 9).

Gambar 9. Keberlanjutan dimensi lingkungan

Hasil analisis Leverage diperoleh nilai Root Mean Square (RMS) masing-masing atribut dimensi lingkungan (Gambar 10). Analisis Pereto untuk mendapatkan faktor kunci

53.23%

Dow n

Up

Bad Good

-60

-40

-20

0

20

40

60

0 20 40 60 80 100 120

Economic Status

Oth

er D

istin

gish

ing

Feat

ures

yang sensitif dilakukan dengan mengurutkan nilai RMS hasil analisis leverage dari nilai terbesar sampai yang terkecil. Dilakukan pembobotan dalam persentase kemudian diakumulasikan. Selanjutnya diambil atribut sampai batas nilai kumulatif maksimum 70%, maka didapatkan tujuh atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi lingkungan yaitu: 1. Tingkat emisi kendaraan bermotor. 2. Tingkat kebisingan lalu-lintas. 3. Pengendalian pemanfaatan ruang sepanjang

ruas jalan. 4. Kualitas udara ambient. 5. Sistem drainase. 6. Degradasi lahan. 7. Tingkat konsumsi BBM.

Gambar 10. Nilai RMS dimensi lingkungan

Tingkat keberlanjutan pada dimensi ekonomi (economic dimension) dipengaruhi oleh sepuluh atribut yaitu: 1. Pertumbuhan ekonomi regional. 2. Produk domestik regional bruto (pdrb). 3. Anggaran penyelenggaraan jalan. 4. Penerimaan pemerintah daerah (pendapatan

asli daerah). 5. Biaya perjalanan (travel cost). 6. Pertumbuhan pusat kegiatan. 7. Kualitas angkutan umum. 8. Jarak perjalanan. 9. Peningkatan nilai lahan. 10. Luas kota.

Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi sebesar 53,23%, yang tergolong status cukup berkelanjutan (Gambar 11).

Gambar 11. Keberlanjutan dimensi ekonomi

Hasil analisis Leverage diperoleh nilai Root Mean Square (RMS) masing-masing atribut dimensi ekonomi (Gambar 12). Analisis Pereto untuk mendapatkan faktor kunci yang sensitif dilakukan mengurutkan nilai RMS hasil analisis leverage dari nilai terbesar sampai yang terkecil. Dilakukan pembobotan dalam persentase kemudian diakumulasikan. Selanjutnya dambil atribut sampai batas nilai kumulatif maksimum 70%, maka didapatkan empat atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi yaitu: 1. Biaya perjalanan (travel cost). 2. Pertumbuhan ekonomi regional. 3. Produk domestik regional bruto (PDRB). 4. Jarak perjalanan.

Gambar 12. Nilai RMS dimensi ekonomi

Tingkat keberlanjutan pada dimensi sosial (social dimension) dipengaruhi oleh delapan belas atribut yaitu: 1. Pertumbuhan penduduk. 2. Tingkat kecelakaan. 3. Pelanggaran lalu-lintas. 4. Prilaku berkendaraan. 5. Tingkat kesehatan.

Page 14: Info Pub Lik 20131028094042

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 1 – 1510

49.19%

Down

Up

Bad Good

-60

-40

-20

0

20

40

60

0 20 40 60 80 100 120

Social Status

Oth

er D

istin

gish

ing

Feat

ures

0.440.73

0.650.220.22

0.100.26

0.020.02

0.370.34

0.450.06

0.130.300.32

0.470.30

0 0.2 0.4 0.6 0.8

Pertumbuhan Penduduk

Tingkat Kecelakaan

Pelanggaran lalu lintas

Prilaku berkendaraan

Tingkat kesehatan

Pertumbuhan kendaraan pribadi

Tingkat pendidikan

Kualitas Sumber daya manusia

Tingkat Kesejahteraan masyarakat

Kepadatan penduduk

Fasilitas bagi penyandang cacat

Keterpaduan stakeholder

Akses ke tempat layanan umum

Fasilitas jembatan penyeberangan

Fasilitas pejalan kaki

Fasilitas kendaraan non motor

Penegakan hukum

Kepuasan pengguna jalan

RMS Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100)

Attr

ibut

e

Leverage of Attributes

6. Pertumbuhan kendaraan pribadi. 7. Tingkat pendidikan. 8. Kualitas sumber daya manusia. 9. Tingkat kesejahteraan masyarakat. 10. Kepadatan penduduk. 11. Fasilitas bagi penyandang cacat. 12. Keterpaduan stakeholder penyelenggara

transportasi. 13. Akses ke tempat layanan umum. 14. Fasilitas jembatan penyeberangan. 15. Fasilitas pejalan kaki. 16. Fasilitas kendaraan non motor. 17. Penegakan hukum. 18. Kepuasan pengguna jalan.

Hasil MDS dimensi sosial sebesar 49,19%, yang tergolong pada status kurang berkelanjutan (Gambar 13).

Gambar 13. Keberlanjutan dimensi sosial

Hasil analisis Leverage diperoleh nilai Root Mean Square (RMS) masing-masing atribut dimensi ekonomi (Gambar 14). Analisis Pareto untuk mendapatkan faktor kunci yang sensitif dilakukan mengurutkan nilai RMS hasil analisis leverage dari nilai terbesar sampai yang terkecil. Dilakukan pembobotan dalam persentase kemudian dikumulatifkan. Selanjutnya ambil atribut sampai sampai batas nilai kumulatif maksimum 70%, maka didapatkan delapan atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial yaitu: 1. Tingkat kecelakaan. 2. Pelanggaran lalu-lintas. 3. Penegakan hukum. 4. Keterpaduan stakeholder penyelenggara

transportasi.

5. Pertumbuhan penduduk. 6. Kepadatan penduduk. 7. Fasilitas bagi penyandang cacat. 8. Fasilitas kendaraan non motor

Gambar 14. Nilai RMS dimensi sosial

Tingkat keberlanjutan pada dimensi keteknikan (Engineering Dimension) dipengaruhi oleh delapan belas atribut yaitu: 1. Kapasitas jalan. 2. Tingkat pelayanan jalan. 3. Panjang jalan. 4. Volume lalu-lintas. 5. Kecepatan rata-rata. 6. Kondisi permukaan jalan. 7. Geometrik jalan. 8. Pengelolaan persimpangan. 9. Jumlah lajur. 10. Lebar badan jalan. 11. Lebar bahu jalan. 12. Lebar trotoar. 13. Bangunan pelengkap. 14. Marka dan perambuan. 15. Pemeliharaan jalan. 16. Keterpaduan seluruh hirarki fungsi sistem

jaringan jalan. 17. Keterpaduan seluruh moda transportasi. 18. Pengembangan jaringan jalan.

Hasil MDS dengan RapTransport dimensi keteknikan sebesar 51,68%, dengan tergolong status cukup berkelanjutan (Gambar 15).

51.68%

Down

Up

Bad Good

-60

-40

-20

0

20

40

60

0 20 40 60 80 100 120

Engineering Status

Oth

er D

isti

ng

ish

ing

Fea

ture

s

Gambar 15. Keberlanjutan dimensi keteknikan

Hasil analisis Leverage diperoleh nilai Root Mean Square (RMS) masing-masing atribut dimensi ekonomi (Gambar 16). Analisis Pereto untuk mendapatkan faktor kunci yang sensitif dilakukan mengurutkan nilai RMS hasil analisis leverage dari nilai terbesar sampai yang terkecil. Dilakukan pembobotan dalam persentase kemudian diakumulasikan. Selanjutnya diambil atribut sampai batas nilai kumulatif maksimum 70%, maka didapatkan delapan atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi keteknikan yaitu: 1. Kapasitas jalan. 2. Keterpaduan seluruh hirarki fungsi sistem

jaringan jalan. 3. Panjang jalan. 4. Tingkat pelayanan jalan. 5. Pengembangan jaringan jalan. 6. Kecepatan rata-rata. 7. Volume lalu-lintas. 8. Pemeliharaan jalan.

Gambar 16. Nilai RMS dimensi keteknikan

Nilai indeks keberlanjutan multidimensi sebesar 50,18%, yang tergolong pada status cukup berkelanjutan (Gambar 17).

Gambar 17. Keberlanjutan multidimensi

Hasil analisis Leverage dari atribut multidimensi yang merupakan gabungan dari atribut yang sensitif dari keempat dimensi keberlanjutan (Gambar 18).

Gambar 18. Nilai RMS atribut multidimensi

Analisis Monte Carlo untuk melihat tingkat kesalahan hasil MDS dengan RapTransport dengan tingkat kepercayaan sekitar 95%. Hasil analisis Monte Carlo,

Leverage of Attributes

49.66%

53.26%

65.52%

49.54%

48.10%

41.98%

29.61%

29.61%

24.65%

7.10%

47.37%

38.15%

52.15%

42.63%

24.93%

24.93%

37.54%

51.36%

37.22%

50.44%

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7

Tingkat Pelayanan Jalan

Keterpaduan Stake Holder Penyelenggara

Kepuasan Pelanggan Jalan

Pengendalian Tata ruang

Keterpaduan hirarki fungsi sistem jaringan

Pengembangan Jaringan Jalan

Emisi

Kebisingan

Kualitas Udara

PDRB

Kecepatan Rata-rata

Kapasitas Jalan

Marka dan Perambuan

Tingkat Kecelakaan

Pertumbuhan Penduduk

Volume Lalu lintas

Fasilitas Kendaraan Non Motor

Pemeliharaan jalan

Kualitas Angkutan Umum

Panjang Jalan

Att

rib

ute

RMS Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100)

Page 15: Info Pub Lik 20131028094042

Analisis Keberlanjutan Pengembangan Prasarana Transportasi Perkotaan di Metropolitan Mamminasata Provinsi Sulawesi Selatan, (Ignatius Wing Kusbimanto, Santun R.P. Sitorus, Machfud, I.F. Poernomosidhi Poerwo, Mohamad Yani)

11

49.19%

Down

Up

Bad Good

-60

-40

-20

0

20

40

60

0 20 40 60 80 100 120

Social Status

Oth

er D

istin

gish

ing

Feat

ures

0.440.73

0.650.220.22

0.100.26

0.020.02

0.370.34

0.450.06

0.130.300.32

0.470.30

0 0.2 0.4 0.6 0.8

Pertumbuhan Penduduk

Tingkat Kecelakaan

Pelanggaran lalu lintas

Prilaku berkendaraan

Tingkat kesehatan

Pertumbuhan kendaraan pribadi

Tingkat pendidikan

Kualitas Sumber daya manusia

Tingkat Kesejahteraan masyarakat

Kepadatan penduduk

Fasilitas bagi penyandang cacat

Keterpaduan stakeholder

Akses ke tempat layanan umum

Fasilitas jembatan penyeberangan

Fasilitas pejalan kaki

Fasilitas kendaraan non motor

Penegakan hukum

Kepuasan pengguna jalan

RMS Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100)

Attr

ibut

e

Leverage of Attributes

6. Pertumbuhan kendaraan pribadi. 7. Tingkat pendidikan. 8. Kualitas sumber daya manusia. 9. Tingkat kesejahteraan masyarakat. 10. Kepadatan penduduk. 11. Fasilitas bagi penyandang cacat. 12. Keterpaduan stakeholder penyelenggara

transportasi. 13. Akses ke tempat layanan umum. 14. Fasilitas jembatan penyeberangan. 15. Fasilitas pejalan kaki. 16. Fasilitas kendaraan non motor. 17. Penegakan hukum. 18. Kepuasan pengguna jalan.

Hasil MDS dimensi sosial sebesar 49,19%, yang tergolong pada status kurang berkelanjutan (Gambar 13).

Gambar 13. Keberlanjutan dimensi sosial

Hasil analisis Leverage diperoleh nilai Root Mean Square (RMS) masing-masing atribut dimensi ekonomi (Gambar 14). Analisis Pareto untuk mendapatkan faktor kunci yang sensitif dilakukan mengurutkan nilai RMS hasil analisis leverage dari nilai terbesar sampai yang terkecil. Dilakukan pembobotan dalam persentase kemudian dikumulatifkan. Selanjutnya ambil atribut sampai sampai batas nilai kumulatif maksimum 70%, maka didapatkan delapan atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial yaitu: 1. Tingkat kecelakaan. 2. Pelanggaran lalu-lintas. 3. Penegakan hukum. 4. Keterpaduan stakeholder penyelenggara

transportasi.

5. Pertumbuhan penduduk. 6. Kepadatan penduduk. 7. Fasilitas bagi penyandang cacat. 8. Fasilitas kendaraan non motor

Gambar 14. Nilai RMS dimensi sosial

Tingkat keberlanjutan pada dimensi keteknikan (Engineering Dimension) dipengaruhi oleh delapan belas atribut yaitu: 1. Kapasitas jalan. 2. Tingkat pelayanan jalan. 3. Panjang jalan. 4. Volume lalu-lintas. 5. Kecepatan rata-rata. 6. Kondisi permukaan jalan. 7. Geometrik jalan. 8. Pengelolaan persimpangan. 9. Jumlah lajur. 10. Lebar badan jalan. 11. Lebar bahu jalan. 12. Lebar trotoar. 13. Bangunan pelengkap. 14. Marka dan perambuan. 15. Pemeliharaan jalan. 16. Keterpaduan seluruh hirarki fungsi sistem

jaringan jalan. 17. Keterpaduan seluruh moda transportasi. 18. Pengembangan jaringan jalan.

Hasil MDS dengan RapTransport dimensi keteknikan sebesar 51,68%, dengan tergolong status cukup berkelanjutan (Gambar 15).

51.68%

Down

Up

Bad Good

-60

-40

-20

0

20

40

60

0 20 40 60 80 100 120

Engineering Status

Oth

er D

isti

ng

ish

ing

Fea

ture

s

Gambar 15. Keberlanjutan dimensi keteknikan

Hasil analisis Leverage diperoleh nilai Root Mean Square (RMS) masing-masing atribut dimensi ekonomi (Gambar 16). Analisis Pereto untuk mendapatkan faktor kunci yang sensitif dilakukan mengurutkan nilai RMS hasil analisis leverage dari nilai terbesar sampai yang terkecil. Dilakukan pembobotan dalam persentase kemudian diakumulasikan. Selanjutnya diambil atribut sampai batas nilai kumulatif maksimum 70%, maka didapatkan delapan atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi keteknikan yaitu: 1. Kapasitas jalan. 2. Keterpaduan seluruh hirarki fungsi sistem

jaringan jalan. 3. Panjang jalan. 4. Tingkat pelayanan jalan. 5. Pengembangan jaringan jalan. 6. Kecepatan rata-rata. 7. Volume lalu-lintas. 8. Pemeliharaan jalan.

Gambar 16. Nilai RMS dimensi keteknikan

Nilai indeks keberlanjutan multidimensi sebesar 50,18%, yang tergolong pada status cukup berkelanjutan (Gambar 17).

Gambar 17. Keberlanjutan multidimensi

Hasil analisis Leverage dari atribut multidimensi yang merupakan gabungan dari atribut yang sensitif dari keempat dimensi keberlanjutan (Gambar 18).

Gambar 18. Nilai RMS atribut multidimensi

Analisis Monte Carlo untuk melihat tingkat kesalahan hasil MDS dengan RapTransport dengan tingkat kepercayaan sekitar 95%. Hasil analisis Monte Carlo,

Leverage of Attributes

49.66%

53.26%

65.52%

49.54%

48.10%

41.98%

29.61%

29.61%

24.65%

7.10%

47.37%

38.15%

52.15%

42.63%

24.93%

24.93%

37.54%

51.36%

37.22%

50.44%

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7

Tingkat Pelayanan Jalan

Keterpaduan Stake Holder Penyelenggara

Kepuasan Pelanggan Jalan

Pengendalian Tata ruang

Keterpaduan hirarki fungsi sistem jaringan

Pengembangan Jaringan Jalan

Emisi

Kebisingan

Kualitas Udara

PDRB

Kecepatan Rata-rata

Kapasitas Jalan

Marka dan Perambuan

Tingkat Kecelakaan

Pertumbuhan Penduduk

Volume Lalu lintas

Fasilitas Kendaraan Non Motor

Pemeliharaan jalan

Kualitas Angkutan Umum

Panjang Jalan

Att

rib

ute

RMS Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100)

Page 16: Info Pub Lik 20131028094042

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 1 – 1512

menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan hasil analisis MDS tidak banyak berbeda dengan nilai indeks hasil analisis Monte Carlo.

Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis MDS dan Monte Carlo (Tabel 4).

Tabel 4. Nilai indeks keberlanjutan MDS dan Monte Carlo

Dimensi

Nilai Indeks Keberlanjutan (%) Selisih

MDS Monte Carlo

Lingkungan (Enviroment) 51,87 51,90 0,03 Ekonomi (Economic) 53,23 53,15 -0,08 Sosial (Social) 49,19 49,46 0,27 Keteknikan (Engineering) 51,68 51,29 -0,39 Multidimensi 50,18 50,06 -0,12

Diagram layang-layang (kite diagram) menggambarkan perbandingan keberlanjutan antar dimensi nilai indeks keberlanjutan dimensi lingkungan, ekonomi, sosial dan keteknikan (Gambar 19).

Gambar 19. Perbandingan keberlanjutan antar dimensi

Dalam rangka mengetahui apakah atribut-atribut yang dikaji dalam analisis MDS cukup akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dilihat dari nilai stress dan nilai Koefisien Determinasi (R2). Nilai ini diperoleh dalam analisis MDS dengan menggunakan software Rapfish yang dimodifikasi menjadi RapTransport. Hasil analisis dianggap cukup akurat dan dapat dipertanggungjawabkan karena memiliki nilai stress lebih kecil dari 0,25 atau 25 persen dan nilai koefisien determinasi (R2) mendekati nilai 1,0 atau 100 persen (Kavanag dan Pitcher 2004).

Hasil analisis menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji cukup akurat dan dapat dipertanggungjawabkan, terlihat dari nilai stress sebesar 15% sampai 16% dan nilai koefisien

determinasi (R2) berkisar antara 0,94 sampai 0,95 (Tabel 5).

Tabel 5. Nilai Stress dan koefisien determinasi

Parameter Dimensi Keberlanjutan

Lingkungan

Ekonomi

Sosial

Keteknikan

Multi dimensi

Stress 0,15 0,15 0,15 0,16 0,15

R2 0,95 0,94 0,94 0,94 94

Iterasi 2,00 2,00 2,00 2,00 2

Faktor kunci utama didapatkan dari semua atribut yang sensitif dan kebutuhan stakeholder dilakukan analisis dengan menggunakan Interpretative Structural Modelling (ISM). ISM adalah satu metodologi berbasis komputer yang membantu kelompok mengidentifikasi hubungan antara ide dan struktur tetap pada isu yang kompleks. Faktor kunci pengembangan prasarana transportasi perkotaan adalah berdasarkan penggabungan faktor kunci hasil analisis keberlanjutan dengan MDS dengan kebutuhan stakeholder kemudian dianalisis menggunakan ISM.

Analisis kebutuhan merupakan tahap awal dari pengkajian suatu sistem. Dalam tahap ini, kebutuhan-kebutuhan dari pelaku sistem diidentifikasi. Fungsi stakeholders harus berjalan optimal agar kinerja sistem tidak terganggu. Hasil analisis mendapatkan sepuluh kebutuhan stakeholders yaitu: 1. Mengurangi kemacetan dengan terpenuhinya

kapasitas jaringan jalan. 2. Menurunnya tingkat fatalitas akibat

kecelakaan lalu-lintas dengan menerapkan jalan yang memaafkan (forgiveness road).

3. Keterpaduan pengelolaan jalan sesuai fungsinya.

4. Pengurangan tingkat polusi udara dan kebisingan dengan penghijauan.

5. Kemitraan pemerintah dan swasta dalam penyelenggaraan jalan.

6. Pengendalian pemanfaatan ruang sepanjang koridor ruas jalan.

7. Penghijauan sepanjang koridor ruas jalan. 8. Koordinasi perencanaan dan pembangunan

jaringan jalan. 9. Penegakan peraturan dan kedisiplinan di

jalan. 10. Penerapan teknologi yang ramah

lingkungan. Kriteria kebutuhan yang dipakai dalam

analisis ISM adalah hasil dari faktor kunci pengembangan prasarana transportasi perkotaan. Selanjutnya dilakukan pembobotan dalam persentase kemudian diakumulasikan sampai

maksimum 70%, maka didapatkan dua puluh satu kriteria kebutuhan seperti tertera pada Tabel 6.

Tabel 6. Kriteria kebutuhan Kriteria Kebutuhan

K1 Tingkat Pelayanan Jalan K2 Keterpaduan Stake Holder Penyelenggara K3 Kepuasan Pelanggan Jalan K4 Pengendalian Tata ruang K5 Keterpaduan hirarki fungsi sistem jaringan K6 Pengembangan Jaringan Jalan K7 Emisi K8 Kebisingan K9 Kualitas Udara

K10 PDRB K11 Kecepatan Rata-rata K12 Kapasitas Jalan K13 Marka dan Perambuan K14 Tingkat Kecelakaan K15 Volume Lalu-lintas K16 Pertumbuhan Penduduk K17 Fasilitas Kendaraan Non Motor K18 Pemeliharaan jalan K19 Kualitas Angkutan Umum K20 Panjang Jalan K21 Pelanggaran Lalu-lintas

Klasifikasi sub-elemen mengacu pada hasil Reachability Matrix (RM) yang telah memenuhi aturan transitivitas digolongkan dalam empat sektor yaitu: 1. Sektor 1: weak drive-weak dependent

variables (Autonomus). Sub-elemen yang masuk dalam sektor ini umumnya kurang berkaitan dengan sistem.

2. Sektor 2: weak drive-strongly dependent variables (Dependent). Umumnya sub-elemen yang masuk dalam sektor ini adalah sub-elemen yang tidak bebas.

3. Sektor 3: strong driver – strongly dependent variables linkage. Peubah yang harus dikaji secara seksama karena hubungan antar peubah yang tidak stabil dan dapat memberikan dampak terhadap peubah lainnya dan umpan balik pengaruhnya dapat memperbesar dampak;

4. Sektor 4: strong driver – weak dependent variables (Independent) adalah sub-elemen yang disebut peubah bebas.

Hasil analisis faktor kunci utama dengan menggunakan ISM terdapat enam sub-elemen yang mempengaruhi (independen) yaitu: 1. Keterpaduan stakeholder penyelenggara

(K2). 2. Pengendalian tata ruang (K4). 3. Pengembangan jaringan jalan (K6). 4. Keterpaduan hirarki fungsi sistem jaringan

(K5). 5. Panjang jalan (K20). 6. Pertumbuhan penduduk (K16).

Hasil analisis ISM juga mendapatkan delapan sub-elemen yang dipengaruhi (dependen) yaitu: 1. Kepuasan pengguna jalan (K3). 2. Tingkat pelayanan jalan (K1). 3. Kualitas udara (K9). 4. Emisi (K7). 5. Kebisingan (K8). 6. Tingkat kecelakaan (K14). 7. Volume lalu-lintas (K15). 8. Kecepatan rata-rata (K11) (Gambar 20).

Gambar 20. Interpretative Structural Modelling

PEMBAHASAN

Kondisi prasarana jalan perkotaan di Kawasan Metropolitan belum sesuai fungsinya sebagai jalan arteri, kolektor dan lokal seperti persyaratan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 38 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah nomor 34 tahun 2006 tentang jalan bahwa kecepatan tempuh kendaraan untuk jalan arteri primer kecepatan minimal 60 km/jam dan akses masuk dibatasi. Permasalahan kemacetan akibat adanya aktivitas kawasan perkotaan yang terus meningkat terjadi karena kapasitas pada ruas jalan sudah tidak dapat melayani arus kendaraan dengan optimal diakibatkan oleh hambatan samping. Kurang optimalnya kapasitas jalan terjadi akibat manajemen persimpangan yang kurang tepat, ditambah lagi tingginya aksesibilitas ke dan dari penggunaan lahan yang berkembang di sisi sepanjang koridor jalan.

Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisis lalu-lintas pada keempat ruas jalan yang merupakan representasi dari kota dan tiga kabupaten di kawasan Metropolitan Mamminasata didapatkan bahwa kondisi eksisting jalan pada ruas jalan nasional mengalami kemacetan pada jam sibuk pagi dan

Page 17: Info Pub Lik 20131028094042

Analisis Keberlanjutan Pengembangan Prasarana Transportasi Perkotaan di Metropolitan Mamminasata Provinsi Sulawesi Selatan, (Ignatius Wing Kusbimanto, Santun R.P. Sitorus, Machfud, I.F. Poernomosidhi Poerwo, Mohamad Yani)

13

menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan hasil analisis MDS tidak banyak berbeda dengan nilai indeks hasil analisis Monte Carlo.

Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis MDS dan Monte Carlo (Tabel 4).

Tabel 4. Nilai indeks keberlanjutan MDS dan Monte Carlo

Dimensi

Nilai Indeks Keberlanjutan (%) Selisih

MDS Monte Carlo

Lingkungan (Enviroment) 51,87 51,90 0,03 Ekonomi (Economic) 53,23 53,15 -0,08 Sosial (Social) 49,19 49,46 0,27 Keteknikan (Engineering) 51,68 51,29 -0,39 Multidimensi 50,18 50,06 -0,12

Diagram layang-layang (kite diagram) menggambarkan perbandingan keberlanjutan antar dimensi nilai indeks keberlanjutan dimensi lingkungan, ekonomi, sosial dan keteknikan (Gambar 19).

Gambar 19. Perbandingan keberlanjutan antar dimensi

Dalam rangka mengetahui apakah atribut-atribut yang dikaji dalam analisis MDS cukup akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dilihat dari nilai stress dan nilai Koefisien Determinasi (R2). Nilai ini diperoleh dalam analisis MDS dengan menggunakan software Rapfish yang dimodifikasi menjadi RapTransport. Hasil analisis dianggap cukup akurat dan dapat dipertanggungjawabkan karena memiliki nilai stress lebih kecil dari 0,25 atau 25 persen dan nilai koefisien determinasi (R2) mendekati nilai 1,0 atau 100 persen (Kavanag dan Pitcher 2004).

Hasil analisis menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji cukup akurat dan dapat dipertanggungjawabkan, terlihat dari nilai stress sebesar 15% sampai 16% dan nilai koefisien

determinasi (R2) berkisar antara 0,94 sampai 0,95 (Tabel 5).

Tabel 5. Nilai Stress dan koefisien determinasi

Parameter Dimensi Keberlanjutan

Lingkungan

Ekonomi

Sosial

Keteknikan

Multi dimensi

Stress 0,15 0,15 0,15 0,16 0,15

R2 0,95 0,94 0,94 0,94 94

Iterasi 2,00 2,00 2,00 2,00 2

Faktor kunci utama didapatkan dari semua atribut yang sensitif dan kebutuhan stakeholder dilakukan analisis dengan menggunakan Interpretative Structural Modelling (ISM). ISM adalah satu metodologi berbasis komputer yang membantu kelompok mengidentifikasi hubungan antara ide dan struktur tetap pada isu yang kompleks. Faktor kunci pengembangan prasarana transportasi perkotaan adalah berdasarkan penggabungan faktor kunci hasil analisis keberlanjutan dengan MDS dengan kebutuhan stakeholder kemudian dianalisis menggunakan ISM.

Analisis kebutuhan merupakan tahap awal dari pengkajian suatu sistem. Dalam tahap ini, kebutuhan-kebutuhan dari pelaku sistem diidentifikasi. Fungsi stakeholders harus berjalan optimal agar kinerja sistem tidak terganggu. Hasil analisis mendapatkan sepuluh kebutuhan stakeholders yaitu: 1. Mengurangi kemacetan dengan terpenuhinya

kapasitas jaringan jalan. 2. Menurunnya tingkat fatalitas akibat

kecelakaan lalu-lintas dengan menerapkan jalan yang memaafkan (forgiveness road).

3. Keterpaduan pengelolaan jalan sesuai fungsinya.

4. Pengurangan tingkat polusi udara dan kebisingan dengan penghijauan.

5. Kemitraan pemerintah dan swasta dalam penyelenggaraan jalan.

6. Pengendalian pemanfaatan ruang sepanjang koridor ruas jalan.

7. Penghijauan sepanjang koridor ruas jalan. 8. Koordinasi perencanaan dan pembangunan

jaringan jalan. 9. Penegakan peraturan dan kedisiplinan di

jalan. 10. Penerapan teknologi yang ramah

lingkungan. Kriteria kebutuhan yang dipakai dalam

analisis ISM adalah hasil dari faktor kunci pengembangan prasarana transportasi perkotaan. Selanjutnya dilakukan pembobotan dalam persentase kemudian diakumulasikan sampai

maksimum 70%, maka didapatkan dua puluh satu kriteria kebutuhan seperti tertera pada Tabel 6.

Tabel 6. Kriteria kebutuhan Kriteria Kebutuhan

K1 Tingkat Pelayanan Jalan K2 Keterpaduan Stake Holder Penyelenggara K3 Kepuasan Pelanggan Jalan K4 Pengendalian Tata ruang K5 Keterpaduan hirarki fungsi sistem jaringan K6 Pengembangan Jaringan Jalan K7 Emisi K8 Kebisingan K9 Kualitas Udara

K10 PDRB K11 Kecepatan Rata-rata K12 Kapasitas Jalan K13 Marka dan Perambuan K14 Tingkat Kecelakaan K15 Volume Lalu-lintas K16 Pertumbuhan Penduduk K17 Fasilitas Kendaraan Non Motor K18 Pemeliharaan jalan K19 Kualitas Angkutan Umum K20 Panjang Jalan K21 Pelanggaran Lalu-lintas

Klasifikasi sub-elemen mengacu pada hasil Reachability Matrix (RM) yang telah memenuhi aturan transitivitas digolongkan dalam empat sektor yaitu: 1. Sektor 1: weak drive-weak dependent

variables (Autonomus). Sub-elemen yang masuk dalam sektor ini umumnya kurang berkaitan dengan sistem.

2. Sektor 2: weak drive-strongly dependent variables (Dependent). Umumnya sub-elemen yang masuk dalam sektor ini adalah sub-elemen yang tidak bebas.

3. Sektor 3: strong driver – strongly dependent variables linkage. Peubah yang harus dikaji secara seksama karena hubungan antar peubah yang tidak stabil dan dapat memberikan dampak terhadap peubah lainnya dan umpan balik pengaruhnya dapat memperbesar dampak;

4. Sektor 4: strong driver – weak dependent variables (Independent) adalah sub-elemen yang disebut peubah bebas.

Hasil analisis faktor kunci utama dengan menggunakan ISM terdapat enam sub-elemen yang mempengaruhi (independen) yaitu: 1. Keterpaduan stakeholder penyelenggara

(K2). 2. Pengendalian tata ruang (K4). 3. Pengembangan jaringan jalan (K6). 4. Keterpaduan hirarki fungsi sistem jaringan

(K5). 5. Panjang jalan (K20). 6. Pertumbuhan penduduk (K16).

Hasil analisis ISM juga mendapatkan delapan sub-elemen yang dipengaruhi (dependen) yaitu: 1. Kepuasan pengguna jalan (K3). 2. Tingkat pelayanan jalan (K1). 3. Kualitas udara (K9). 4. Emisi (K7). 5. Kebisingan (K8). 6. Tingkat kecelakaan (K14). 7. Volume lalu-lintas (K15). 8. Kecepatan rata-rata (K11) (Gambar 20).

Gambar 20. Interpretative Structural Modelling

PEMBAHASAN

Kondisi prasarana jalan perkotaan di Kawasan Metropolitan belum sesuai fungsinya sebagai jalan arteri, kolektor dan lokal seperti persyaratan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 38 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah nomor 34 tahun 2006 tentang jalan bahwa kecepatan tempuh kendaraan untuk jalan arteri primer kecepatan minimal 60 km/jam dan akses masuk dibatasi. Permasalahan kemacetan akibat adanya aktivitas kawasan perkotaan yang terus meningkat terjadi karena kapasitas pada ruas jalan sudah tidak dapat melayani arus kendaraan dengan optimal diakibatkan oleh hambatan samping. Kurang optimalnya kapasitas jalan terjadi akibat manajemen persimpangan yang kurang tepat, ditambah lagi tingginya aksesibilitas ke dan dari penggunaan lahan yang berkembang di sisi sepanjang koridor jalan.

Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisis lalu-lintas pada keempat ruas jalan yang merupakan representasi dari kota dan tiga kabupaten di kawasan Metropolitan Mamminasata didapatkan bahwa kondisi eksisting jalan pada ruas jalan nasional mengalami kemacetan pada jam sibuk pagi dan

Page 18: Info Pub Lik 20131028094042

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 1 – 1514

sore hari dengan volume rata-rata kendaraan tertinggi 3.520 smp/jam dengan pertumbuhan 11,23% pertahun. Kapasitas jalan nasional saat ini rata-rata 5.285 smp/jam dengan pertumbuhan relatif sangat kecil. Derajat kejenuhan jalan pada ruas 010.12 K Jalan Perintis Kemerdekaan 0,86 dan pada ketiga ruas jalan lainnya rata-rata 0,59. Rata-rata derajat kejenuhan ruas jalan di Mamminasata adalah 0,66. Tingkat pelayanan jalan pada jalan nasional masih termasuk kategori C (0,45<DS<0,47) dimana sifat arus lalu-lintas stabil, volume tinggi, kecepatan 38,6 km/jam dengan kategori sedang dan dikendalikan oleh volume lalu-lintas, kepadatan sedang, hambatan internal lalu-lintas meningkat mulai mempengaruhi kecepatan dan kebebasan pengemudi terbatas untuk memilih kecepatan, pindah lajur dan atau mendahului.

Model pengembangan transportasi perkotaan berkelanjutan yang menggunakan pendekatan sistem untuk keterpaduan berbagai konsep transportasi, tata ruang, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Sistem transportasi merupakan suatu mekanisme operasional sedangkan sistem tata ruang merupakan suatu prosedur atau tata cara yang diharapkan dapat bersinergi, baik dalam aspek sosial dan ekonomi, maupun aspek lingkungan. Permasalahan transportasi perkotaan sangat kompleks dan saling terkait satu sama lain. Oleh karena itu, konsep penanganannya harus dilakukan dengan pendekatan sistem (system approach) yang berorientasi pada tujuan, secara utuh, menyeluruh, dan efektif.

Hasil analisis keberlanjutan dengan mempertimbangkan empat dimensi keberlanjutan, yaitu dimensi lingkungan, sosial, ekonomi dan keteknikan dengan bantuan program RAP Transport didapatkan nilai indeks Multi Dimensional Scaling (MDS) 50,18% dengan status keberlanjutan prasarana transportasi perkotaan Metropolitan Mamminasata cukup berkelanjutan (50,01%-75,00%). Dari keempat dimensi yang dianalisis, dimensi sosial masuk kategori kurang berkelanjutan dengan indeks MDS sebesar 49,19%, perlu intervensi dari para pemangku kebijakan untuk dapat meningkatkan status keberlanjutannya.

Hasil analisis faktor kunci utama dengan menggunakan MDS dan ISM didapatkan enam faktor yang sangat mempengaruhi yaitu:

1. Keterpaduan stakeholders penyelenggara transportasi.

2. Pengendalian tata ruang. 3. Pengembangan jaringan jalan. 4. Keterpaduan hirarki fungsi sistem jaringan. 5. Panjang jalan. 6. Pertumbuhan penduduk.

Pengambil keputusan dalam menetapkan kebijakan pengembangan pembangunan prasarana transportasi perlu mempertimbangkan dan melakukan intervensi baik peningkatan maupun pengendalian terhadap keenam faktor kunci tersebut dalam rangka meningkatkan status keberlanjutan subsistem prasarana transportasi perkotaan di Mamminasata.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat

dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: 1. Kondisi eksisting fungsi jaringan prasarana

transportasi di Metropolitan Maminasata belum dapat memenuhi persyaratan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 38 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah nomor 34 tahun 2006 tentang jalan yang mengatur jalan arteri sebagai jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna. Kondisi kerataan permukaan jalan baik dengan tingkat pelayanan jalan (LOS) berada pada kategori C dan kecenderungan menuju ke kategori D dimana arus lalu-lintas stabil dan mendekati tidak stabil dengan volume lalu-lintas tinggi dan kecepatan masih ditolerir namun sangat terpengaruh oleh perubahan kondisi arus lalu-lintas. Kepadatan lalu-lintas berada pada kondisi sedang namun fluktuasi volume lalu-lintas dan hambatan temporer dapat menyebabkan penurunan kecepatan yang besar. Pengemudi memiliki kebebasan yang sangat terbatas dalam menjalankan kendaraan, kenyamanan rendah.

2. Status keberlanjutan kondisi eksisting sistem jaringan jalan adalah cukup berkelanjutan dengan indeks keberlanjutan 50,18, namun pada dimensi sosial masuk ketegori kurang berkelanjutan.

3. Terdapat enam faktor kunci yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengembangan prasarana transportasi

perkotaan yaitu keterpaduan seluruh stakeholders penyelenggara sistem prasarana transportasi perkotaan, pengendalian penggunaan lahan (tata ruang), pengembangan sistem jaringan jalan, keterpaduan hirarki fungsi sistem jaringan jalan, panjang jalan (kapasitas jalan) dan pertumbuhan penduduk akibat pengembangan wilayah.

4. Sistem prasarana transportasi perkotaan berkelanjutan adalah perbaikan kinerja kapasitas jalan dengan tujuan mengurangi kemacetan dengan terpenuhinya kapasitas prasarana jaringan jalan yang dapat melayani kebutuhan lalu-lintas.

Saran

Saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Perlu adanya petunjuk operasional dari

perundangan dan peraturan yang berlaku saat ini untuk mengatur lebih rinci mengenai batasan jalan masuk dan jalan akses, batasan lalu-lintas lokal dan kegiatan lokal akibat pintu bangunan yang menghadap langsung ke jalan arteri dan batasan mengenai pemeliharaan rambu agar sesuai dengan fungsi masing-masing ruas jalan.

2. Pemerintah dan pemerintah daerah dalam menetapkan arahan kebijakan pengembangan prasarana transportasi perkotaan di Metropolitan Mamminasata dalam jangka waktu 20 tahun hendaknya mempertimbangkan untuk melakukan kebijakan intervensi peningkatan terhadap faktor-faktor kunci yang sensitif dalam upaya meningkatkan status.

3. Beberapa kegiatan yang dapat peningkatan status keberlanjutan diantaranya adalah mengefektifkan kinerja fungsi jaringan jalan, mengurangi kecelakaan dengan mendesain jalan yang berkeselamatan (safer road), mengurangi emisi kendaraan bermotor dengan penerapan metoda tanaman peredam bising dan penyerap polusi udara disepanjang koridor jaringan jalan.

DAFTAR PUSTAKA Dardak, H. 2010. “Kebijakan Pemerintah di dalam

Menciptakan Tata Ruang Perkotaan yang Berkelanjutan dan Keterkaitan dengan Infrastruktur Transportasi dan Drainase Perkotaan”. Seminar Nasional Infrastruktur. Tanggal 27 Juli 2010. Depok: Universitas Indonesia.

Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Marga. 1997. Manual Kapasitas Jalan Indonesia. SWEROAD dan PT. Bina Karya. Jakarta: Ditjen Bina Marga.

Kavanagh, P. and T.J. Pitcher. 2004. Implementing Microsoft Excel Software for Rapfish: A Technique for the Rapid Appraisal of Fisheries Status. Fisheries Centre Research Reports.12(2):35. Canada: The University of British Columbia.

Mandra, M. 2013. Model Dinamik Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor di Kota Makassar. PhD diss., Institut Pertanian Bogor.

Mansyur, U. 2008. Model Pengelolaan Transportasi Angkutan Umum Penumpang Non-Bus Berkelanjutan Kota Makassar. PhD Diss., Institut Pertanian Bogor.

Marimin. 2004. Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: Grasindo

Miro, F. 2005. Perencanaan Transportasi. Jakarta: Gelora Aksara Pratama.

Munasinghe, M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. Washington, D.C.: The World Bank.

Panjaitan, T.P. Model Pengelolaan Transportasi Berkelanjutan di Kawasan Pinggiran Metropolitan. PhD diss., Institut Pertanian Bogor.

Purwaamijaya, I. 2005. Analisis Kemampuan Lahan di Kecamatan-Kecamatan yang dilalui Jalan Soekarno-Hatta di Kota Bandung Jawa Barat PhD diss., Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Roychansyah, M. S. 2006. Paradigma Kota Kompak: Solusi Masa Depan Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Saxena, J. P. 1992. “Hierarchy and Classification of Program Plan Element Using Interpretive Structural Modelling”. Systems Practice, 12 (6): 651:670.

Wikipedia, 2013. Pareto Principle. http://en.wikipedia.org/wiki/Pareto_principle

Page 19: Info Pub Lik 20131028094042

Analisis Keberlanjutan Pengembangan Prasarana Transportasi Perkotaan di Metropolitan Mamminasata Provinsi Sulawesi Selatan, (Ignatius Wing Kusbimanto, Santun R.P. Sitorus, Machfud, I.F. Poernomosidhi Poerwo, Mohamad Yani)

15

sore hari dengan volume rata-rata kendaraan tertinggi 3.520 smp/jam dengan pertumbuhan 11,23% pertahun. Kapasitas jalan nasional saat ini rata-rata 5.285 smp/jam dengan pertumbuhan relatif sangat kecil. Derajat kejenuhan jalan pada ruas 010.12 K Jalan Perintis Kemerdekaan 0,86 dan pada ketiga ruas jalan lainnya rata-rata 0,59. Rata-rata derajat kejenuhan ruas jalan di Mamminasata adalah 0,66. Tingkat pelayanan jalan pada jalan nasional masih termasuk kategori C (0,45<DS<0,47) dimana sifat arus lalu-lintas stabil, volume tinggi, kecepatan 38,6 km/jam dengan kategori sedang dan dikendalikan oleh volume lalu-lintas, kepadatan sedang, hambatan internal lalu-lintas meningkat mulai mempengaruhi kecepatan dan kebebasan pengemudi terbatas untuk memilih kecepatan, pindah lajur dan atau mendahului.

Model pengembangan transportasi perkotaan berkelanjutan yang menggunakan pendekatan sistem untuk keterpaduan berbagai konsep transportasi, tata ruang, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Sistem transportasi merupakan suatu mekanisme operasional sedangkan sistem tata ruang merupakan suatu prosedur atau tata cara yang diharapkan dapat bersinergi, baik dalam aspek sosial dan ekonomi, maupun aspek lingkungan. Permasalahan transportasi perkotaan sangat kompleks dan saling terkait satu sama lain. Oleh karena itu, konsep penanganannya harus dilakukan dengan pendekatan sistem (system approach) yang berorientasi pada tujuan, secara utuh, menyeluruh, dan efektif.

Hasil analisis keberlanjutan dengan mempertimbangkan empat dimensi keberlanjutan, yaitu dimensi lingkungan, sosial, ekonomi dan keteknikan dengan bantuan program RAP Transport didapatkan nilai indeks Multi Dimensional Scaling (MDS) 50,18% dengan status keberlanjutan prasarana transportasi perkotaan Metropolitan Mamminasata cukup berkelanjutan (50,01%-75,00%). Dari keempat dimensi yang dianalisis, dimensi sosial masuk kategori kurang berkelanjutan dengan indeks MDS sebesar 49,19%, perlu intervensi dari para pemangku kebijakan untuk dapat meningkatkan status keberlanjutannya.

Hasil analisis faktor kunci utama dengan menggunakan MDS dan ISM didapatkan enam faktor yang sangat mempengaruhi yaitu:

1. Keterpaduan stakeholders penyelenggara transportasi.

2. Pengendalian tata ruang. 3. Pengembangan jaringan jalan. 4. Keterpaduan hirarki fungsi sistem jaringan. 5. Panjang jalan. 6. Pertumbuhan penduduk.

Pengambil keputusan dalam menetapkan kebijakan pengembangan pembangunan prasarana transportasi perlu mempertimbangkan dan melakukan intervensi baik peningkatan maupun pengendalian terhadap keenam faktor kunci tersebut dalam rangka meningkatkan status keberlanjutan subsistem prasarana transportasi perkotaan di Mamminasata.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat

dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: 1. Kondisi eksisting fungsi jaringan prasarana

transportasi di Metropolitan Maminasata belum dapat memenuhi persyaratan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 38 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah nomor 34 tahun 2006 tentang jalan yang mengatur jalan arteri sebagai jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna. Kondisi kerataan permukaan jalan baik dengan tingkat pelayanan jalan (LOS) berada pada kategori C dan kecenderungan menuju ke kategori D dimana arus lalu-lintas stabil dan mendekati tidak stabil dengan volume lalu-lintas tinggi dan kecepatan masih ditolerir namun sangat terpengaruh oleh perubahan kondisi arus lalu-lintas. Kepadatan lalu-lintas berada pada kondisi sedang namun fluktuasi volume lalu-lintas dan hambatan temporer dapat menyebabkan penurunan kecepatan yang besar. Pengemudi memiliki kebebasan yang sangat terbatas dalam menjalankan kendaraan, kenyamanan rendah.

2. Status keberlanjutan kondisi eksisting sistem jaringan jalan adalah cukup berkelanjutan dengan indeks keberlanjutan 50,18, namun pada dimensi sosial masuk ketegori kurang berkelanjutan.

3. Terdapat enam faktor kunci yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengembangan prasarana transportasi

perkotaan yaitu keterpaduan seluruh stakeholders penyelenggara sistem prasarana transportasi perkotaan, pengendalian penggunaan lahan (tata ruang), pengembangan sistem jaringan jalan, keterpaduan hirarki fungsi sistem jaringan jalan, panjang jalan (kapasitas jalan) dan pertumbuhan penduduk akibat pengembangan wilayah.

4. Sistem prasarana transportasi perkotaan berkelanjutan adalah perbaikan kinerja kapasitas jalan dengan tujuan mengurangi kemacetan dengan terpenuhinya kapasitas prasarana jaringan jalan yang dapat melayani kebutuhan lalu-lintas.

Saran

Saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Perlu adanya petunjuk operasional dari

perundangan dan peraturan yang berlaku saat ini untuk mengatur lebih rinci mengenai batasan jalan masuk dan jalan akses, batasan lalu-lintas lokal dan kegiatan lokal akibat pintu bangunan yang menghadap langsung ke jalan arteri dan batasan mengenai pemeliharaan rambu agar sesuai dengan fungsi masing-masing ruas jalan.

2. Pemerintah dan pemerintah daerah dalam menetapkan arahan kebijakan pengembangan prasarana transportasi perkotaan di Metropolitan Mamminasata dalam jangka waktu 20 tahun hendaknya mempertimbangkan untuk melakukan kebijakan intervensi peningkatan terhadap faktor-faktor kunci yang sensitif dalam upaya meningkatkan status.

3. Beberapa kegiatan yang dapat peningkatan status keberlanjutan diantaranya adalah mengefektifkan kinerja fungsi jaringan jalan, mengurangi kecelakaan dengan mendesain jalan yang berkeselamatan (safer road), mengurangi emisi kendaraan bermotor dengan penerapan metoda tanaman peredam bising dan penyerap polusi udara disepanjang koridor jaringan jalan.

DAFTAR PUSTAKA Dardak, H. 2010. “Kebijakan Pemerintah di dalam

Menciptakan Tata Ruang Perkotaan yang Berkelanjutan dan Keterkaitan dengan Infrastruktur Transportasi dan Drainase Perkotaan”. Seminar Nasional Infrastruktur. Tanggal 27 Juli 2010. Depok: Universitas Indonesia.

Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Marga. 1997. Manual Kapasitas Jalan Indonesia. SWEROAD dan PT. Bina Karya. Jakarta: Ditjen Bina Marga.

Kavanagh, P. and T.J. Pitcher. 2004. Implementing Microsoft Excel Software for Rapfish: A Technique for the Rapid Appraisal of Fisheries Status. Fisheries Centre Research Reports.12(2):35. Canada: The University of British Columbia.

Mandra, M. 2013. Model Dinamik Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor di Kota Makassar. PhD diss., Institut Pertanian Bogor.

Mansyur, U. 2008. Model Pengelolaan Transportasi Angkutan Umum Penumpang Non-Bus Berkelanjutan Kota Makassar. PhD Diss., Institut Pertanian Bogor.

Marimin. 2004. Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: Grasindo

Miro, F. 2005. Perencanaan Transportasi. Jakarta: Gelora Aksara Pratama.

Munasinghe, M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. Washington, D.C.: The World Bank.

Panjaitan, T.P. Model Pengelolaan Transportasi Berkelanjutan di Kawasan Pinggiran Metropolitan. PhD diss., Institut Pertanian Bogor.

Purwaamijaya, I. 2005. Analisis Kemampuan Lahan di Kecamatan-Kecamatan yang dilalui Jalan Soekarno-Hatta di Kota Bandung Jawa Barat PhD diss., Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Roychansyah, M. S. 2006. Paradigma Kota Kompak: Solusi Masa Depan Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Saxena, J. P. 1992. “Hierarchy and Classification of Program Plan Element Using Interpretive Structural Modelling”. Systems Practice, 12 (6): 651:670.

Wikipedia, 2013. Pareto Principle. http://en.wikipedia.org/wiki/Pareto_principle

Page 20: Info Pub Lik 20131028094042

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 16 – 2116

PENGEMBANGAN MODEL ANALITIS PERHITUNGAN TEMPERATUR PERKERASAN JALAN UNTUK PENENTUAN KELAS

KINERJA ASPAL (DEVELOPMENT OF PAVEMENT TEMPERATURE ANALYTICAL

MODEL FOR DETERMINATION OF BITUMINOUS PERFORMANCE GRADE)

Sri Yeni M1), Djoko Widayat2)

1), 2) Pusat Litbang Jalan dan Jembatan 1), 2) Jl. AH. Nasution 264 Bandung 40294

1) e-mail: [email protected]

2) e-mail: [email protected] Diterima: 03 Januari 2013; disetujui: 01 April 2013

ABSTRAK Pemilihan jenis aspal tergantung pada jenis konstruksi dan iklim wilayah suatu daerah. Konsistensi aspal sangat dipengaruhi oleh temperatur. Aspal akan keras dan rapuh pada temperatur rendah dan menjadi lunak pada temperatur tinggi, sehingga kelas dari aspal harus dipilih sesuai dengan wilayah suatu daerah. Saat ini penentuan jenis aspal tidak menggambarkan pengaruh temperatur. Metode yang dapat menggambarkan pengaruh ini adalah Performance Grade (PG). Salah satu pendekatan untuk menentukan kelas aspal ini menggunakan model perhitungan temperatur perkerasaan jalan. Model ini mengandung tiga parameter yaitu area geografis , temperatur perkerasan dan temperatur udara. Dari hasil studi menunjukkan bahwa temperatur perkerasan di Pulau Jawa maksimum berkisar 55oC. Data temperatur perkerasan ini kemudian dilakukan suatu pemodelan sehingga didapatkan model perhitungan temperatur. Model hasil studi ini bila dibandingkan dengan model Asphalt Institute terjadi perbedaan 1oC dan dapat dikatakan bahwa model tersebut tidak mempunyai perbedaan yang nyata dibanding model Asphalt Institute.

Kata kunci: kelas aspal, model analitis, area geografis, temperatur perkerasan, temperatur udara

ABSTRACT Grade of asphalt should be selected according to the construction type and regional climate. Asphalt consistency is greatly influenced by temperature. Asphalt will be hardened and brittle in low temperature, on the other hand, asphalt will be softened in high temperature so that asphalt grade should be selected according to the local condition. Unfortunately, so far the selection of asphalt grade has not considered the influence of temperature. The method which describes the temperature influence is Performance Grade (PG). One approach to determine the grade of asphalt is using the calculation of temperature models of road pavement. This model contains three parameters, namely geographical area, pavement temperature and air temperature. From the results of the study indicate that the pavement maximum temperatures is around 55oC for Java Island. Pavement temperature data is then performed to obtain a temperature calculation model. There is 1° C difference between the model of this study when compared to the model of Asphalt Institute and it can be said that the model does not have significant difference from the model of Asphalt Institute.

Keywords: asphalt grade, analytical model, geographic area, pavement temperature, air temperature

PENDAHULUAN

Faktor lain yang berpengaruh terhadap kondisi jalan adalah suhu lingkungan (Madi 2008). Suhu yang tinggi menurunkan Modulus Elastisitas lapisan aspal dan mengurangi kemampuannya untuk menahan beban tarik yang terjadi akibat beban kendaraan. Desain struktur perkerasan harus mampu untuk menahan beban lalu-lintas dalam kondisi lingkungan yang berubah-ubah. Dalam tahap desain, perubahan suhu harus diperhatikan dengan baik agar lapisan aspal yang terpasang bisa menahan beban lalu-lintas pada suhu aktual yang terjadi. Oleh karena itu, dalam tahap perencanaan, kondisi-kondisi yang berbeda tersebut harus diperhitungkan dan desain perkerasan harus memperhatikan perubahan elastisitas lapisan aspal dan perubahan kekuatan lapisan tanah dasar. (Asphalt Institute 1993) Pemilihan jenis aspal tergantung pada jenis konstruksi dan iklim wilayah suatu daerah. Konsistensi aspal sangat dipengaruhi oleh temperatur. Aspal akan keras dan rapuh pada temperatur rendah dan menjadi lunak pada temperatur tinggi. Akibatnya, kelas dari aspal harus dipilih sesuai dengan wilayah suatu daerah. Salah satu pendekatan untuk menentukan kelas aspal ini menggunakan Model Asphalt Institute (Asphalt Institute 1997). Model ini didapat dari data temperatur udara di daerah Cleveland, dimana daerah tersebut memiliki 4 musin (subtropis) berbeda dengan kondisi iklim di Indonesia. Model tersebut tidak bisa langsung kita pakai langsung di Indonesia dan perlu dilakukan penyesuain kondisi model di Indonesia. Data yang digunakan untuk melakukan model ini adalah temperatur perkerasaan dilapangan. Model ini mengandung tiga parameter yaitu area geografis, temperatur perkerasan dan temperatur udara.

Makalah ini menguraikan model perhitungan temperatur perkerasan jalan dengan mengembangkan model Asphalt Institute.

KAJIAN PUSTAKA

Pada perkerasan jalan beton aspal, baik-tidaknya kualitas aspal yang digunakan dapat mempengaruhi baik-tidaknya kualitas perkerasan tersebut (Broome 1975). Untuk mengetahui baik-tidaknya kualitas aspal, biasanya aspal harus memiliki sifat-sifat yang

memenuhi spesifikasi tertentu (AASHTO 2012). Pada beton aspal campuran panas, aspal yang digunakan adalah aspal keras untuk menjamin kesesuaian kualitasnya dengan yang diharapkan, harus memenuhi spesifikasi aspal keras untuk perkerasan jalan yang berlaku .

Selama ini ada tiga jenis spesifikasi aspal keras yang dapat digunakan sebagai acuan dalam mengontrol baik-tidaknya kualitas aspal keras yang akan digunakan. Ketiga spesifikasi aspal keras tersebut yaitu: 1. Spesifikasi aspal keras berdasarkan kelas

penetrasi RSNI 01-2003. (Indonesia 2003) 2. Spesifikasi aspal keras berdasarkan kelas

kekentalan RSNI 01-2004. (Indonesia 2004) 3. Spesifikasi aspal keras berdasarkan kelas

kinerja. (Asphalt Institute 1997) Perbedaan mendasar dari ketiga spesifikasi tersebut yaitu spesifikasi aspal keras kelas penetrasi dan kelas kekentalan menggunakan pendekatan empiris, sedangkan spesifikasi aspal keras kelas kinerja menggunakan pendekatan mekanis. (Madi 2008) Spesifikasi aspal keras kelas penetrasi disusun berdasarkan pendekatan empiris. Pada spesifikasi ini, jenis aspal dibagi-bagi berdasarkan nilai penetrasinya seperti misalnya pada AASHTO M 226-80 (AASHTO 2012a) terdapat Aspal pen 40-50, Aspal pen 60-70, Aspal pen 85-100, Aspal pen 120-150 dan Aspal pen 200-300. Makin tinggi nilai penetrasi maka makin lunak aspal tersebut. Adanya beberapa jenis aspal kelas penetrasi untuk perkerasan jalan ini pada prinsipnya adalah sebagai alternatif pilihan agar jenis aspal kelas penetrasi dapat diambil yang sesuai dengan kondisi dilapangan. Namun sampai sejauh ini tidak ada petunjuk atau kriteria mengenai pemilihan jenis aspal kelas penetrasi ini, khususnya yang mengakomodir kondisi iklim di lapangan. Akibatnya dapat terjadi dua daerah dengan kondisi iklim yang relatif sama tetapi ternyata menggunakan aspal keras dengan kelas penetrasi yang berbeda. Sebagai contoh, Indonesia dan Malaysia sama-sama termasuk ke dalam daerah tropis, tetapi untuk perkerasan jalan Indonesia umumnya menggunakan aspal pen 60 sedangkan Malaysia umumnya menggunakan aspal pen 80. (Madi 2008)

Penetrasi adalah suatu besaran yang menggambarkan konsistensi aspal. Penentuan nilai penetrasi pada prinsipnya dilakukan dengan cara melepas jarum penetrasi yang tegak lurus dan berada tepat di permukaan aspal

Page 21: Info Pub Lik 20131028094042

Pengembangan Model Analitis Perhitungan Temperatur Perkerasan Jalan untuk Penentuan Kelas Kinerja Aspal, (Sri Yeni M, Djoko Widayat)

17

PENGEMBANGAN MODEL ANALITIS PERHITUNGAN TEMPERATUR PERKERASAN JALAN UNTUK PENENTUAN KELAS

KINERJA ASPAL (DEVELOPMENT OF PAVEMENT TEMPERATURE ANALYTICAL

MODEL FOR DETERMINATION OF BITUMINOUS PERFORMANCE GRADE)

Sri Yeni M1), Djoko Widayat2)

1), 2) Pusat Litbang Jalan dan Jembatan 1), 2) Jl. AH. Nasution 264 Bandung 40294

1) e-mail: [email protected]

2) e-mail: [email protected] Diterima: 03 Januari 2013; disetujui: 01 April 2013

ABSTRAK Pemilihan jenis aspal tergantung pada jenis konstruksi dan iklim wilayah suatu daerah. Konsistensi aspal sangat dipengaruhi oleh temperatur. Aspal akan keras dan rapuh pada temperatur rendah dan menjadi lunak pada temperatur tinggi, sehingga kelas dari aspal harus dipilih sesuai dengan wilayah suatu daerah. Saat ini penentuan jenis aspal tidak menggambarkan pengaruh temperatur. Metode yang dapat menggambarkan pengaruh ini adalah Performance Grade (PG). Salah satu pendekatan untuk menentukan kelas aspal ini menggunakan model perhitungan temperatur perkerasaan jalan. Model ini mengandung tiga parameter yaitu area geografis , temperatur perkerasan dan temperatur udara. Dari hasil studi menunjukkan bahwa temperatur perkerasan di Pulau Jawa maksimum berkisar 55oC. Data temperatur perkerasan ini kemudian dilakukan suatu pemodelan sehingga didapatkan model perhitungan temperatur. Model hasil studi ini bila dibandingkan dengan model Asphalt Institute terjadi perbedaan 1oC dan dapat dikatakan bahwa model tersebut tidak mempunyai perbedaan yang nyata dibanding model Asphalt Institute.

Kata kunci: kelas aspal, model analitis, area geografis, temperatur perkerasan, temperatur udara

ABSTRACT Grade of asphalt should be selected according to the construction type and regional climate. Asphalt consistency is greatly influenced by temperature. Asphalt will be hardened and brittle in low temperature, on the other hand, asphalt will be softened in high temperature so that asphalt grade should be selected according to the local condition. Unfortunately, so far the selection of asphalt grade has not considered the influence of temperature. The method which describes the temperature influence is Performance Grade (PG). One approach to determine the grade of asphalt is using the calculation of temperature models of road pavement. This model contains three parameters, namely geographical area, pavement temperature and air temperature. From the results of the study indicate that the pavement maximum temperatures is around 55oC for Java Island. Pavement temperature data is then performed to obtain a temperature calculation model. There is 1° C difference between the model of this study when compared to the model of Asphalt Institute and it can be said that the model does not have significant difference from the model of Asphalt Institute.

Keywords: asphalt grade, analytical model, geographic area, pavement temperature, air temperature

PENDAHULUAN

Faktor lain yang berpengaruh terhadap kondisi jalan adalah suhu lingkungan (Madi 2008). Suhu yang tinggi menurunkan Modulus Elastisitas lapisan aspal dan mengurangi kemampuannya untuk menahan beban tarik yang terjadi akibat beban kendaraan. Desain struktur perkerasan harus mampu untuk menahan beban lalu-lintas dalam kondisi lingkungan yang berubah-ubah. Dalam tahap desain, perubahan suhu harus diperhatikan dengan baik agar lapisan aspal yang terpasang bisa menahan beban lalu-lintas pada suhu aktual yang terjadi. Oleh karena itu, dalam tahap perencanaan, kondisi-kondisi yang berbeda tersebut harus diperhitungkan dan desain perkerasan harus memperhatikan perubahan elastisitas lapisan aspal dan perubahan kekuatan lapisan tanah dasar. (Asphalt Institute 1993) Pemilihan jenis aspal tergantung pada jenis konstruksi dan iklim wilayah suatu daerah. Konsistensi aspal sangat dipengaruhi oleh temperatur. Aspal akan keras dan rapuh pada temperatur rendah dan menjadi lunak pada temperatur tinggi. Akibatnya, kelas dari aspal harus dipilih sesuai dengan wilayah suatu daerah. Salah satu pendekatan untuk menentukan kelas aspal ini menggunakan Model Asphalt Institute (Asphalt Institute 1997). Model ini didapat dari data temperatur udara di daerah Cleveland, dimana daerah tersebut memiliki 4 musin (subtropis) berbeda dengan kondisi iklim di Indonesia. Model tersebut tidak bisa langsung kita pakai langsung di Indonesia dan perlu dilakukan penyesuain kondisi model di Indonesia. Data yang digunakan untuk melakukan model ini adalah temperatur perkerasaan dilapangan. Model ini mengandung tiga parameter yaitu area geografis, temperatur perkerasan dan temperatur udara.

Makalah ini menguraikan model perhitungan temperatur perkerasan jalan dengan mengembangkan model Asphalt Institute.

KAJIAN PUSTAKA

Pada perkerasan jalan beton aspal, baik-tidaknya kualitas aspal yang digunakan dapat mempengaruhi baik-tidaknya kualitas perkerasan tersebut (Broome 1975). Untuk mengetahui baik-tidaknya kualitas aspal, biasanya aspal harus memiliki sifat-sifat yang

memenuhi spesifikasi tertentu (AASHTO 2012). Pada beton aspal campuran panas, aspal yang digunakan adalah aspal keras untuk menjamin kesesuaian kualitasnya dengan yang diharapkan, harus memenuhi spesifikasi aspal keras untuk perkerasan jalan yang berlaku .

Selama ini ada tiga jenis spesifikasi aspal keras yang dapat digunakan sebagai acuan dalam mengontrol baik-tidaknya kualitas aspal keras yang akan digunakan. Ketiga spesifikasi aspal keras tersebut yaitu: 1. Spesifikasi aspal keras berdasarkan kelas

penetrasi RSNI 01-2003. (Indonesia 2003) 2. Spesifikasi aspal keras berdasarkan kelas

kekentalan RSNI 01-2004. (Indonesia 2004) 3. Spesifikasi aspal keras berdasarkan kelas

kinerja. (Asphalt Institute 1997) Perbedaan mendasar dari ketiga spesifikasi tersebut yaitu spesifikasi aspal keras kelas penetrasi dan kelas kekentalan menggunakan pendekatan empiris, sedangkan spesifikasi aspal keras kelas kinerja menggunakan pendekatan mekanis. (Madi 2008) Spesifikasi aspal keras kelas penetrasi disusun berdasarkan pendekatan empiris. Pada spesifikasi ini, jenis aspal dibagi-bagi berdasarkan nilai penetrasinya seperti misalnya pada AASHTO M 226-80 (AASHTO 2012a) terdapat Aspal pen 40-50, Aspal pen 60-70, Aspal pen 85-100, Aspal pen 120-150 dan Aspal pen 200-300. Makin tinggi nilai penetrasi maka makin lunak aspal tersebut. Adanya beberapa jenis aspal kelas penetrasi untuk perkerasan jalan ini pada prinsipnya adalah sebagai alternatif pilihan agar jenis aspal kelas penetrasi dapat diambil yang sesuai dengan kondisi dilapangan. Namun sampai sejauh ini tidak ada petunjuk atau kriteria mengenai pemilihan jenis aspal kelas penetrasi ini, khususnya yang mengakomodir kondisi iklim di lapangan. Akibatnya dapat terjadi dua daerah dengan kondisi iklim yang relatif sama tetapi ternyata menggunakan aspal keras dengan kelas penetrasi yang berbeda. Sebagai contoh, Indonesia dan Malaysia sama-sama termasuk ke dalam daerah tropis, tetapi untuk perkerasan jalan Indonesia umumnya menggunakan aspal pen 60 sedangkan Malaysia umumnya menggunakan aspal pen 80. (Madi 2008)

Penetrasi adalah suatu besaran yang menggambarkan konsistensi aspal. Penentuan nilai penetrasi pada prinsipnya dilakukan dengan cara melepas jarum penetrasi yang tegak lurus dan berada tepat di permukaan aspal

Page 22: Info Pub Lik 20131028094042

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 16 – 2118

-34 -40 -46 -10 -16 -22 -28 -34 -40 -46 -16 -22 -28 -34 -40 -10 -16 -22 -28 -34 -40 -10 -16 -22 -28 -34 -40 -10 -16 -22 -28 -34 -10 -16 -22 -28 -34

Average 7 day maximum

PG 70 PG 76 PG 82

<70 <76 <82

PG 46 PG 52 PG 58 PG 64Performance Grade

<46 <52 <58 <64

selama lima detik sehingga jarum masuk ke dalam aspal. Jarum penetrasi yang digunakan harus memiliki ketajaman tertentu dan memiliki berat tertentu (100 gram). Sedangkan aspal yang diuji harus dikondisikan sedemikian rupa sehingga memiliki temperatur 25oC. Kedalaman masuknya jarum ke dalam aspal dalam satuan dmm (0,1 mm) inilah yang disebut nilai penetrasi aspal. Dengan demikian, makin tinggi nilai penetrasi maka makin dalam masuknnya jarum penetrasi ke dalam aspal dan berarti aspal makin lunak. Berdasarkan kekentalan (AASHTO 2012), berisi persyaratan aspal keras berdasarkan kekentalan aspal asli yang terdiri dari AC-2,5, AC-5, AC-10, AC-20 dan AC-40. Makin besar angka dibelakang kode AC, nilai kekentalan makin besar. Persyaratan tingkat kekentalan aspal setiap jenis aspal diukur pada temperatur 60oC. Berdasarkan standar tersebut untuk aspal keras yang mempunyai penetrasi 70 x 0,1 mm (AC-10), tingkat kekentalan pada temperatur 60oC adalah sebesar 1000±200 Poise. Sedangkan persyaratan tingkat kekentalan minimum pada temperatur 135oC adalah 150 cST.

Tingkat viskositas merupakan hal yang penting untuk mengetahui tingkat keenceran aspal, namun demikian informasi yang didapat adalah hanya pada perilaku viscous aspal pada temperatur tinggi, informasi tentang keelastikan aspal pada temperatur rendah atau sedang untuk memprediksi kinerja tidak tersedia, sedangkan penetrasi menggambarkan hanya pada temperatur sedang. Berdasarkan spesifikasi aspal keras kelas kinerja, aspal keras diklasifikasikan

berdasarkan temperatur maksimum rata-rata dari temperatur perkerasan jalan pada kedalaman 20 mm selama tujuh hari terpanas berturut-turut dalam setahun dan temperatur minimum (terendah) permukaan perkerasan jalan dalam setahun pada perkerasan jalan di lapangan tempat aspal keras tersebut akan diaplikasikan. Sebagai contoh, pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa pada spesifikasi aspal keras kelas kinerja terdapat kelas “PG 64-10”. Ini berarti aspal keras yang memenuhi persyaratan spesifikasi kelas “PG 64-10” dapat diaplikasikan pada lokasi perkerasan jalan yang memiliki temperatur rata-rata perkerasan jalan pada kedalaman 20 mm dari temperatur terpanas selama tujuh hari berturut-turut dalam setahun maksimum 64oC.

Temperatur rata-rata dari temperatur terpanas perkerasan jalan pada kedalaman 20 mm selama tujuh hari berturut-turut dalam setahun dan temperatur terendah permukaan perkerasan jalan dalam setahun dapat diketahui berdasarkan pengukuran terhadap perkerasan jalan yang sudah terhampar di lapangan. Alternatif lain dapat juga dihitung berdasarkan temperatur udara di lokasi perkerasan tersebut dengan menggunakan persamaan yang diberikan “Asphalt Institute SP-1 Performance Graded Asphalt Binder Specification and Testing”. Yang dimaksud dengan temperatur udara di sini adalah sama dengan temperatur udara pada laporan cuaca harian dari meteorologi. Persamaan yang dimaksud seperti yang ditunjukkan pada persamaan (1).

Tabel 1. Penentuan kelas kinerja aspal

T20mm = (Tair – 0,00618 Lat2 + 0,2289 Lat + 42,2) (0,9545) – 17,78………....(1)

Keterangan: T.20.mm = desain suhu perkerasan jalan pada

kedalaman 20mm Tair = rata-rata tujuh hari tinggi suhu

udara, ˚C Lat = posisi geografis (latitude) dari

project dalam derajat lintang

Pada spesifikasi aspal keras kelas kinerja terdapat beberapa persyaratan yaitu kekentalan untuk kemudahan pengerjaan, Dynamic Shear Rheometer (DSR) terhadap aspal original, aspal setelah Thin Film Oven Test (TFOT) dan aspal setelah Pressure Aging Vessel (PAV) untuk mencegah terjadinya deformasi permanen dan retak struktur, Bending Beam Rheometer (BBR) dan Direct Tension Tester untuk mencegah terjadinya retak pada temperatur dingin, dan titik nyala untuk keamaan dari bahaya kebakaran saat pemanasan. (AASHTO 2012 b)

HIPOTESIS

Model perhitungan perkerasaan jalan menurut Asphalt Institute tidak berbeda nyata dengan model hasil studi.

METODOLOGI

Metodologi ini pada dasarnya merupakan penerapan dari model yang telah dikenal untuk perhitungan temperatur perkerasan menurut superpave dan dikembangkan sesuai dengan kondisi di Indonesia. Lokasi penelitian adalah Jawa Barat (Lembang dan Indramayu), Jawa Timur (Surabaya dan Tretes) dan Jawa Tengah (Batang dan Temanggung). Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan pada daerah yang bersuhu sedang dan bersuhu tinggi untuk masing-masing di Jabar, Jateng dan Jatim. Data yang diperlukan adalah data sekunder dan primer. Data sekunder yang dikumpulkan secara instansional adalah data rata-rata temperatur udara selama lima tahun terakhir untuk lokasi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Data ini digunakan untuk mengetahui rata-rata temperatur udara terpanas selama tujuh hari berturut-turut dalam jangka waktu lima tahun terakhir. Adapun data primer

yang dikumpulkan adalah data temperatur perkerasaan pada kedalaman 20 mm dan data posisi geografis lokasi penelitian tersebut. Teknik pengukuran temperatur perkerasaan di lapangan dilakukan selama tujuh hari berturut-turut pada kondisi cuaca cerah dengan waktu pengamatan dari jam 10.00 s.d 15.00. Teknik pemodelan dengan cara sebagai berikut: 1. Melakukan pemilihan temperatur

perkerasaan maksimum dari hasil pengukuran temperatur perkerasaan untuk masing-masing lokasi.

2. Mencatat data latitude untuk masing masing lokasi.

3. Menentukan temperatur udara maksimum dari data BMKG selama lima tahun terakhir untuk masing masing lokasi.

4. Melakukan uji pemodelan dengan melakukan langkah – langkah sebagai berikut: a. Uji Normalitas b. Uji Autokorelasi c. Uji Multikolinieritas d. Uji Heteroskedastisitas

HASIL DAN ANALISIS

Gambar dibawah ini adalah data temperatur perkerasan pada kedalaman 20 mm yang merupakan hasil pengukuran di lapangan. Pengukuran di lapangan dilakukan selama tujuh hari berturut turut pada kondisi cuaca cerah. Lokasi pengukuran dilakukan pada daerah bersuhu panas dan sedang. Untuk lokasi bersuhu panas lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini. Gambar 1. Temperatur perkerasaan pada lokasidaerah panas di Pulau Jawa

Page 23: Info Pub Lik 20131028094042

Pengembangan Model Analitis Perhitungan Temperatur Perkerasan Jalan untuk Penentuan Kelas Kinerja Aspal, (Sri Yeni M, Djoko Widayat)

19

-34 -40 -46 -10 -16 -22 -28 -34 -40 -46 -16 -22 -28 -34 -40 -10 -16 -22 -28 -34 -40 -10 -16 -22 -28 -34 -40 -10 -16 -22 -28 -34 -10 -16 -22 -28 -34

Average 7 day maximum

PG 70 PG 76 PG 82

<70 <76 <82

PG 46 PG 52 PG 58 PG 64Performance Grade

<46 <52 <58 <64

selama lima detik sehingga jarum masuk ke dalam aspal. Jarum penetrasi yang digunakan harus memiliki ketajaman tertentu dan memiliki berat tertentu (100 gram). Sedangkan aspal yang diuji harus dikondisikan sedemikian rupa sehingga memiliki temperatur 25oC. Kedalaman masuknya jarum ke dalam aspal dalam satuan dmm (0,1 mm) inilah yang disebut nilai penetrasi aspal. Dengan demikian, makin tinggi nilai penetrasi maka makin dalam masuknnya jarum penetrasi ke dalam aspal dan berarti aspal makin lunak. Berdasarkan kekentalan (AASHTO 2012), berisi persyaratan aspal keras berdasarkan kekentalan aspal asli yang terdiri dari AC-2,5, AC-5, AC-10, AC-20 dan AC-40. Makin besar angka dibelakang kode AC, nilai kekentalan makin besar. Persyaratan tingkat kekentalan aspal setiap jenis aspal diukur pada temperatur 60oC. Berdasarkan standar tersebut untuk aspal keras yang mempunyai penetrasi 70 x 0,1 mm (AC-10), tingkat kekentalan pada temperatur 60oC adalah sebesar 1000±200 Poise. Sedangkan persyaratan tingkat kekentalan minimum pada temperatur 135oC adalah 150 cST.

Tingkat viskositas merupakan hal yang penting untuk mengetahui tingkat keenceran aspal, namun demikian informasi yang didapat adalah hanya pada perilaku viscous aspal pada temperatur tinggi, informasi tentang keelastikan aspal pada temperatur rendah atau sedang untuk memprediksi kinerja tidak tersedia, sedangkan penetrasi menggambarkan hanya pada temperatur sedang. Berdasarkan spesifikasi aspal keras kelas kinerja, aspal keras diklasifikasikan

berdasarkan temperatur maksimum rata-rata dari temperatur perkerasan jalan pada kedalaman 20 mm selama tujuh hari terpanas berturut-turut dalam setahun dan temperatur minimum (terendah) permukaan perkerasan jalan dalam setahun pada perkerasan jalan di lapangan tempat aspal keras tersebut akan diaplikasikan. Sebagai contoh, pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa pada spesifikasi aspal keras kelas kinerja terdapat kelas “PG 64-10”. Ini berarti aspal keras yang memenuhi persyaratan spesifikasi kelas “PG 64-10” dapat diaplikasikan pada lokasi perkerasan jalan yang memiliki temperatur rata-rata perkerasan jalan pada kedalaman 20 mm dari temperatur terpanas selama tujuh hari berturut-turut dalam setahun maksimum 64oC.

Temperatur rata-rata dari temperatur terpanas perkerasan jalan pada kedalaman 20 mm selama tujuh hari berturut-turut dalam setahun dan temperatur terendah permukaan perkerasan jalan dalam setahun dapat diketahui berdasarkan pengukuran terhadap perkerasan jalan yang sudah terhampar di lapangan. Alternatif lain dapat juga dihitung berdasarkan temperatur udara di lokasi perkerasan tersebut dengan menggunakan persamaan yang diberikan “Asphalt Institute SP-1 Performance Graded Asphalt Binder Specification and Testing”. Yang dimaksud dengan temperatur udara di sini adalah sama dengan temperatur udara pada laporan cuaca harian dari meteorologi. Persamaan yang dimaksud seperti yang ditunjukkan pada persamaan (1).

Tabel 1. Penentuan kelas kinerja aspal

T20mm = (Tair – 0,00618 Lat2 + 0,2289 Lat + 42,2) (0,9545) – 17,78………....(1)

Keterangan: T.20.mm = desain suhu perkerasan jalan pada

kedalaman 20mm Tair = rata-rata tujuh hari tinggi suhu

udara, ˚C Lat = posisi geografis (latitude) dari

project dalam derajat lintang

Pada spesifikasi aspal keras kelas kinerja terdapat beberapa persyaratan yaitu kekentalan untuk kemudahan pengerjaan, Dynamic Shear Rheometer (DSR) terhadap aspal original, aspal setelah Thin Film Oven Test (TFOT) dan aspal setelah Pressure Aging Vessel (PAV) untuk mencegah terjadinya deformasi permanen dan retak struktur, Bending Beam Rheometer (BBR) dan Direct Tension Tester untuk mencegah terjadinya retak pada temperatur dingin, dan titik nyala untuk keamaan dari bahaya kebakaran saat pemanasan. (AASHTO 2012 b)

HIPOTESIS

Model perhitungan perkerasaan jalan menurut Asphalt Institute tidak berbeda nyata dengan model hasil studi.

METODOLOGI

Metodologi ini pada dasarnya merupakan penerapan dari model yang telah dikenal untuk perhitungan temperatur perkerasan menurut superpave dan dikembangkan sesuai dengan kondisi di Indonesia. Lokasi penelitian adalah Jawa Barat (Lembang dan Indramayu), Jawa Timur (Surabaya dan Tretes) dan Jawa Tengah (Batang dan Temanggung). Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan pada daerah yang bersuhu sedang dan bersuhu tinggi untuk masing-masing di Jabar, Jateng dan Jatim. Data yang diperlukan adalah data sekunder dan primer. Data sekunder yang dikumpulkan secara instansional adalah data rata-rata temperatur udara selama lima tahun terakhir untuk lokasi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Data ini digunakan untuk mengetahui rata-rata temperatur udara terpanas selama tujuh hari berturut-turut dalam jangka waktu lima tahun terakhir. Adapun data primer

yang dikumpulkan adalah data temperatur perkerasaan pada kedalaman 20 mm dan data posisi geografis lokasi penelitian tersebut. Teknik pengukuran temperatur perkerasaan di lapangan dilakukan selama tujuh hari berturut-turut pada kondisi cuaca cerah dengan waktu pengamatan dari jam 10.00 s.d 15.00. Teknik pemodelan dengan cara sebagai berikut: 1. Melakukan pemilihan temperatur

perkerasaan maksimum dari hasil pengukuran temperatur perkerasaan untuk masing-masing lokasi.

2. Mencatat data latitude untuk masing masing lokasi.

3. Menentukan temperatur udara maksimum dari data BMKG selama lima tahun terakhir untuk masing masing lokasi.

4. Melakukan uji pemodelan dengan melakukan langkah – langkah sebagai berikut: a. Uji Normalitas b. Uji Autokorelasi c. Uji Multikolinieritas d. Uji Heteroskedastisitas

HASIL DAN ANALISIS

Gambar dibawah ini adalah data temperatur perkerasan pada kedalaman 20 mm yang merupakan hasil pengukuran di lapangan. Pengukuran di lapangan dilakukan selama tujuh hari berturut turut pada kondisi cuaca cerah. Lokasi pengukuran dilakukan pada daerah bersuhu panas dan sedang. Untuk lokasi bersuhu panas lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini. Gambar 1. Temperatur perkerasaan pada lokasidaerah panas di Pulau Jawa

Page 24: Info Pub Lik 20131028094042

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 16 – 2120

Dari Gambar 1 terlihat bahwa dari hasil pengukuran dilapangan untuk temperatur perkerasaan pada lokasi pantura km 73+650 memiliki suhu tertinggi sebesar 55oC. Untuk lokasi bersuhu sedang dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Temperatur perkerasaan pada lokasi daerah sedang di Pulau Jawa Untuk lokasi daerah sedang cenderung temperatur perkerasan relatif sama berkisar antara 47oC - 49oC. Dari Gambar 1 dan 2 tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa temperatur perkerasaan tertinggi untuk daerah panas adalah 55oC dan daerah sedang adalah 49oC.

PEMBAHASAN

Dari hasil data temperatur perkerasaan kemudian dilakukan pemodelan. Dengan melakukan pengujian pemodelan seperti di bawah ini: 1. Uji Normalitas berfungsi uji untuk

mengukur apakah data kita memiliki distribusi normal.

Pada Uji Normalitas yang menjadi variabel pengujian adalah nilai T20mm yang merupakan variabel dependent dan Tair, Latitude dan Latitude2 merupakan variabel independents. Dari hasil uji normalitas ini untuk data asumsi didapatkan R2 = 0,728 kemudian dilakukan pengujian untuk mendapatkan nilai skewness dan kurtosis dengan batasan normal -2 hingga +2. Didapatkan nilai skewness = -0,18 dan kurtosis = -1,48 dari hasil tersebut diketahui bahwa data asumsi tidak keluar dari batasan normal (lolos uji normalitas).

2. Uji Autokorelasi digunakan untuk melihat apakah ada hubungan linier antara error serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (data time series).

Pada uji autokorelasi ini dilakukan pengujian untuk mendapatkan nilai DW (Durbin Watson), dari data asumsi didapatkan nilai DW = 1,865. Pada uji autokorelasi menggunakan derajat kepercayaan 5%, sampel (n) yang dimiliki sebanyak < 200 observasi, dan variabel penjelas sebanyak 3 maka didapatkan nilai dL dan du sebesar 1,7990 dan 1,7382. Maka dapat disimpulkan bahwa model ini tidak ada autokorelasi.

3. Uji Multikolinieritas berfungsi mendapatkan hubungan linier atau korelasi yang tinggi antara masing-masing variabel independen dalam model regresi.

Pada uji multikolinieritas, untuk data asumsi ini Variance Inflation Factor (VIF) pada cllinearity statistics lebih besar dari 10, maka disimpulkan bahwa model regresi ini memiliki masalah multikolinieritas. Kemudian untuk menentukan hubungan antara dua variabel bebas memiliki masalah multikoliniaritas dilihat dari nilai signifikan (2-tailed). Dari seluruh nilai signifikan (2-tailed) hasil regresi ini seluruhnya lebih kecil dari 0,05 (5%) sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh variabel penjelas tidak terbebas dari masalah multikolinearitas.

4. Uji Heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi

4. ketidaksamaan variance dari residual dari suatu pengamatan ke pengamatan yang lain.

Pada uji ini, suatu variabel dikatakan mempengaruhi absresid bila p – value bernilai kurang dari 5%. Nilai t-statistik dari seluruh variabel penjelas tidak ada yang signifikan secara statististik, sehingga dapat disimpulkan bahwa model ini tidak mengalami masalah heterokedastisitas.

Jika pengujian statistik telah dilakukan dan hasilnya sesuai, maka model didapatkan dengan menggunakan konstanta untuk masing – masing variabel dan dapat dilihat pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Hasil analisa statistik

Model Unstandardized

Coefficients Standardized Coefficients

t Sig. B Std.

Error Beta (Constant) -103.997 13.575 1.1 -7.661 .000

Tair .727 .024 .793 30.902 .000

Lat 38.250 4.006 8.017 9.548 .000

Lat2 -2.725 .291 -7.903 -9.380 .000

Dependent Variable: T20mm

Sehingga didapatlah model studi sebagai berikut:

T20mm = 0,727Tair + 38,250Lat – 2,725 Lat2–

103,997 .……………..(2)

Untuk model Superpave sebagaimana telah ditunjukkan pada persamaan (1).

Dari model studi (2) dan model Asphalt Institute (1) dilakukan pembandingan dengan hasil dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perbandingan nilai T20mm menurut

model Asphalt Institute dan model hasil studi

Lokasi Survei Tair Latitude

T20mm

Asphalt Institute

Model hasil Studi

Perbedaan (oC)

Indramayu 30.9 6.22927 53.58 52.55 1.03 Batang 30.2 6.90495 53.12 52.15 0.97 Lembang 24.9 6.47549 47.93 47.53 0.4

Surabaya 31.3 7.15093 54.24 54.94

0.7

Temanggung 26.6 7.33674 49.81 49.29 0.52 Tretes 24.5 7.65871 47.90 46.92 0.98

Dari Tabel 3 dapat terlihat bahwa model Asphalt Institute dan model hasil studi terjadi perbedaan yang sangat kecil yaitu 0,4oC - 1,03oC atau dinyatakan tidak terjadi perbedaan yang nyata. Sehingga Model studi ini dapat digunakan untuk menentukan temperatur perkerasaan di Pulau Jawa.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 1. Temperatur perkerasan tertinggi untuk

daerah panas adalah 55oC dan daerah sedang adalah 49oC.

2. Model perhitungan temperatur perkerasan hasil studi dapat digunakan untuk

melakukan perhitungan temperatur perkerasan di Pulau Jawa.

Saran Perlu dilakukan pengambilan data temperatur perkerasan di luar Pulau Jawa sehingga didapat model temperatur perkerasan untuk wilayah Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

American Association of State Highway and Transportation Officials. 2012a. Standard Specificaion for Transportation Material and Methods of Sampling and Testing, Part I A: Specification. Washington: AASHTO.

American Association of State Highway and Transportation Officials. 2012b. Standard Specificaion for Transportation Material and Methods of Sampling and Testing, Part I B: Specification. Washington: AASHTO.

American Association of State Highway and Transportation Officials. 2012. “Viscosity grade Asphalt Cement”. AASHTO M 226-80 (2008). Standard Specifications for Transportation Materials and Methods of Sampling and

Testing . Part 1 A: Specification. 32nd edition. Washington, DC: AASHTO.

Asphalt Institute. 1993. Mix Design Methods for Asphalt Concrete and Other Hot-Mix Types MS-2 Asphal Institute. Lexington.

Asphalt Institute. 1997. Performance Graded Asphalt Binder Specification and Testing Superpave. Series No.1 (SP-1). Lexington: Asphalt Institute.

Broome, D.C. 1975. The Testing of Bituminuous Mixtures. London :Edward Arnold & CO.

Dirjen Bina Marga. 1973.Manual Aspal. Jakarta: Dirjen Bina Marga.

Hasan, M. Iqbal. 1999. Pokok-pokok Materi Statistik 1 .Jakarta: Bumi Aksara.

Indonesia. Departemen Pekerjaan Umum. 2003. Spesifikasi Aspal Keras Berdasarkan Penetrasi. RSNI S-01-2003. Jakarta: Dep. PU.

Indonesia. Departemen Pekerjaan Umum. 2004. Spesifikasi Aspal Keras Berdasarkan Kekentalan .RSNI S-01-2004. Jakarta: Dep. PU.

Madi. 2008. Pengkajian Spesifikasi Aspal Keras Dengan Temperatur dan Karakteristik Lalu-lintas Indonesia. Bandung: Puslitbang Prasarana Transportasi.

Petersen, J.C. 1994. Binder Characterization and Evaluation Volume 4: Test Methods. SHRP Washington : National Research Council.

Page 25: Info Pub Lik 20131028094042

Pengembangan Model Analitis Perhitungan Temperatur Perkerasan Jalan untuk Penentuan Kelas Kinerja Aspal, (Sri Yeni M, Djoko Widayat)

21

Dari Gambar 1 terlihat bahwa dari hasil pengukuran dilapangan untuk temperatur perkerasaan pada lokasi pantura km 73+650 memiliki suhu tertinggi sebesar 55oC. Untuk lokasi bersuhu sedang dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Temperatur perkerasaan pada lokasi daerah sedang di Pulau Jawa Untuk lokasi daerah sedang cenderung temperatur perkerasan relatif sama berkisar antara 47oC - 49oC. Dari Gambar 1 dan 2 tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa temperatur perkerasaan tertinggi untuk daerah panas adalah 55oC dan daerah sedang adalah 49oC.

PEMBAHASAN

Dari hasil data temperatur perkerasaan kemudian dilakukan pemodelan. Dengan melakukan pengujian pemodelan seperti di bawah ini: 1. Uji Normalitas berfungsi uji untuk

mengukur apakah data kita memiliki distribusi normal.

Pada Uji Normalitas yang menjadi variabel pengujian adalah nilai T20mm yang merupakan variabel dependent dan Tair, Latitude dan Latitude2 merupakan variabel independents. Dari hasil uji normalitas ini untuk data asumsi didapatkan R2 = 0,728 kemudian dilakukan pengujian untuk mendapatkan nilai skewness dan kurtosis dengan batasan normal -2 hingga +2. Didapatkan nilai skewness = -0,18 dan kurtosis = -1,48 dari hasil tersebut diketahui bahwa data asumsi tidak keluar dari batasan normal (lolos uji normalitas).

2. Uji Autokorelasi digunakan untuk melihat apakah ada hubungan linier antara error serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (data time series).

Pada uji autokorelasi ini dilakukan pengujian untuk mendapatkan nilai DW (Durbin Watson), dari data asumsi didapatkan nilai DW = 1,865. Pada uji autokorelasi menggunakan derajat kepercayaan 5%, sampel (n) yang dimiliki sebanyak < 200 observasi, dan variabel penjelas sebanyak 3 maka didapatkan nilai dL dan du sebesar 1,7990 dan 1,7382. Maka dapat disimpulkan bahwa model ini tidak ada autokorelasi.

3. Uji Multikolinieritas berfungsi mendapatkan hubungan linier atau korelasi yang tinggi antara masing-masing variabel independen dalam model regresi.

Pada uji multikolinieritas, untuk data asumsi ini Variance Inflation Factor (VIF) pada cllinearity statistics lebih besar dari 10, maka disimpulkan bahwa model regresi ini memiliki masalah multikolinieritas. Kemudian untuk menentukan hubungan antara dua variabel bebas memiliki masalah multikoliniaritas dilihat dari nilai signifikan (2-tailed). Dari seluruh nilai signifikan (2-tailed) hasil regresi ini seluruhnya lebih kecil dari 0,05 (5%) sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh variabel penjelas tidak terbebas dari masalah multikolinearitas.

4. Uji Heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi

4. ketidaksamaan variance dari residual dari suatu pengamatan ke pengamatan yang lain.

Pada uji ini, suatu variabel dikatakan mempengaruhi absresid bila p – value bernilai kurang dari 5%. Nilai t-statistik dari seluruh variabel penjelas tidak ada yang signifikan secara statististik, sehingga dapat disimpulkan bahwa model ini tidak mengalami masalah heterokedastisitas.

Jika pengujian statistik telah dilakukan dan hasilnya sesuai, maka model didapatkan dengan menggunakan konstanta untuk masing – masing variabel dan dapat dilihat pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Hasil analisa statistik

Model Unstandardized

Coefficients Standardized Coefficients

t Sig. B Std.

Error Beta (Constant) -103.997 13.575 1.1 -7.661 .000

Tair .727 .024 .793 30.902 .000

Lat 38.250 4.006 8.017 9.548 .000

Lat2 -2.725 .291 -7.903 -9.380 .000

Dependent Variable: T20mm

Sehingga didapatlah model studi sebagai berikut:

T20mm = 0,727Tair + 38,250Lat – 2,725 Lat2–

103,997 .……………..(2)

Untuk model Superpave sebagaimana telah ditunjukkan pada persamaan (1).

Dari model studi (2) dan model Asphalt Institute (1) dilakukan pembandingan dengan hasil dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perbandingan nilai T20mm menurut

model Asphalt Institute dan model hasil studi

Lokasi Survei Tair Latitude

T20mm

Asphalt Institute

Model hasil Studi

Perbedaan (oC)

Indramayu 30.9 6.22927 53.58 52.55 1.03 Batang 30.2 6.90495 53.12 52.15 0.97 Lembang 24.9 6.47549 47.93 47.53 0.4

Surabaya 31.3 7.15093 54.24 54.94

0.7

Temanggung 26.6 7.33674 49.81 49.29 0.52 Tretes 24.5 7.65871 47.90 46.92 0.98

Dari Tabel 3 dapat terlihat bahwa model Asphalt Institute dan model hasil studi terjadi perbedaan yang sangat kecil yaitu 0,4oC - 1,03oC atau dinyatakan tidak terjadi perbedaan yang nyata. Sehingga Model studi ini dapat digunakan untuk menentukan temperatur perkerasaan di Pulau Jawa.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 1. Temperatur perkerasan tertinggi untuk

daerah panas adalah 55oC dan daerah sedang adalah 49oC.

2. Model perhitungan temperatur perkerasan hasil studi dapat digunakan untuk

melakukan perhitungan temperatur perkerasan di Pulau Jawa.

Saran Perlu dilakukan pengambilan data temperatur perkerasan di luar Pulau Jawa sehingga didapat model temperatur perkerasan untuk wilayah Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

American Association of State Highway and Transportation Officials. 2012a. Standard Specificaion for Transportation Material and Methods of Sampling and Testing, Part I A: Specification. Washington: AASHTO.

American Association of State Highway and Transportation Officials. 2012b. Standard Specificaion for Transportation Material and Methods of Sampling and Testing, Part I B: Specification. Washington: AASHTO.

American Association of State Highway and Transportation Officials. 2012. “Viscosity grade Asphalt Cement”. AASHTO M 226-80 (2008). Standard Specifications for Transportation Materials and Methods of Sampling and

Testing . Part 1 A: Specification. 32nd edition. Washington, DC: AASHTO.

Asphalt Institute. 1993. Mix Design Methods for Asphalt Concrete and Other Hot-Mix Types MS-2 Asphal Institute. Lexington.

Asphalt Institute. 1997. Performance Graded Asphalt Binder Specification and Testing Superpave. Series No.1 (SP-1). Lexington: Asphalt Institute.

Broome, D.C. 1975. The Testing of Bituminuous Mixtures. London :Edward Arnold & CO.

Dirjen Bina Marga. 1973.Manual Aspal. Jakarta: Dirjen Bina Marga.

Hasan, M. Iqbal. 1999. Pokok-pokok Materi Statistik 1 .Jakarta: Bumi Aksara.

Indonesia. Departemen Pekerjaan Umum. 2003. Spesifikasi Aspal Keras Berdasarkan Penetrasi. RSNI S-01-2003. Jakarta: Dep. PU.

Indonesia. Departemen Pekerjaan Umum. 2004. Spesifikasi Aspal Keras Berdasarkan Kekentalan .RSNI S-01-2004. Jakarta: Dep. PU.

Madi. 2008. Pengkajian Spesifikasi Aspal Keras Dengan Temperatur dan Karakteristik Lalu-lintas Indonesia. Bandung: Puslitbang Prasarana Transportasi.

Petersen, J.C. 1994. Binder Characterization and Evaluation Volume 4: Test Methods. SHRP Washington : National Research Council.

Page 26: Info Pub Lik 20131028094042

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 22 – 3322

Awal-19-04-13

ANALISIS ELEMEN HINGGA KOMPONEN DIAFRAGMA PADA DEK BAJA TIPE ORTOTROPIK MELINTANG JEMBATAN

(FINITE ELEMENT ANALYSIS OF DIAPHRAGM COMPONENT OF A TRANSVERSE ORTHOTROPIC STEEL BRIDGE DECK)

Anton Surviyanto Puslitbang Jalan dan Jembatan

Jl. A.H. Nasution No.264, Bandung 40294 e-mail: [email protected]

Diterima: 27 Desember 2012; disetujui: 01 April 2013

ABSTRAK Pelat baja ortotropik telah banyak digunakan pada struktur jembatan modern untuk mendistribusikan beban lalu-lintas dalam dek dan sebagai pengaku elemen pelat langsing dalam tekan. Oleh karena sifat dari sistem struktur ortotropik ini memiliki karakteristik kekakuan dalam arah longitudinal dan transversal yang unik, maka diperlukan analisis yang lebih mendalam dalam hal detailing komponen-komponen strukturnya yang sesuai dengan persyaratan kekuatan dan layannya. Desain dengan analisis tiga dimensi (3D) merupakan persyaratan dalam desain yang penting untuk mengetahui konsentrasi tegangan lokal pada komponen pada dek baja ortotropik. Dalam makalah ini, analisis statik elemen hingga 3D dilakukan untuk memodelkan dek baja ortotropik dengan diafragma menerus dan diafragma coak. Hasil kedua model dibandingkan dalam perilaku sistem struktur lokal dengan membandingkan respon dan kinerja struktur akibat beban truk standar BMS. Dari analisis elemen hingga dapat disimpulkan bahwa tegangan tarik dan tekan pada panel ortotropik yang terjadi untuk kombinasi beban ultimit (Ultimate Limit States/ULS) ditengah rusuk dan antar rusuk panel ortotropik memenuhi kriteria batasan tegangan izin 0,9 tegangan leleh (Fy). Begitu juga untuk tegangan geser maksimum menenuhi kriteria batasan tegangan izin 0,58Fy. Konsentrasi tegangan ekivalen Von Mises lokal yang terjadi untuk diafragma menerus sebesar 328 MPa, sedangkan diafragma coak sebesar 142 MPa. Sehingga perbandingan tegangan Von Mises ini sebesar 2,31 dapat diturunkan nilainya dengan penggunaan tipe diafragma coak. Bentuk diafragma dengan tipe menerus akan menyebabkan konsentrasi tegangan. Sedangkan bentuk diafragma yang coak dengan kelengkungan tertentu akan mengurangi konsentrasi tegangan lokal pada diafragma.

Kata kunci: analisis elemen hingga, dek baja ortotropik melintang, komponen diafragma, tegangan Von Mises, konsentrasi tegangan

ABSTRACT

Many of the world’s most magnificent modern bridge structures utilize the orthotropic steel plate systems as one of the basic structural building blocks for distribution of traffic loads in decks and for the stiffening of slender plate elements in compression. Because of the properties of orthotropic structural system has unique characteristics of rigidity in the longitudinal and transversal directions, therefore it would require a more in-depth analysis in terms of detailing structural components in accordance with the requirements of strength and serviceability. Design with the three dimension (3D) analysis is an important requirement in the design to determine the local stress concentration at the components on orthotropic steel deck. In this paper, a 3D finite element static analysis performed to model orthotropic steel deck with direct diaphragm and the cut-out diaphragm. Results of both models are compared in the local structure of the system behavior by comparing the response and performance of the structure due to BMS standard truck load. From the finite element analysis, it can be concluded that the tensile and compression stress in the orthotropic panel that occured for Ultimate Limit States (ULS) load combination of middle-ribs and adjacent-rib orthotropic panel below the criteria of 0.9 Fy. While for the shear stress with the maximum shear stress limits below the criteria of 0.58Fy. Von Mises equivalent local stress for continous diaphragm is 328 MPa, while the diaphragm cut-out is 142 MPa. Thus, the Von Mises stress ratio of 2.31 can be lowered by the use of a diaphragm-type cut-out. The shape of diaphragm with continuous type will cause stress concentration. While the shape of the cut-out diaphragm with certain curvature will reduce the local stress concentration in the diaphragm.

Keywords: finite element analysis, transverse orthotropic steel deck, diaphragm component, Von Mises stress, stress concentration

Awal-19-04-13

PENDAHULUAN

Pelat baja ortotropik telah banyak digunakan pada struktur jembatan modern untuk mendistribusikan beban lalu-lintas dalam dek dan sebagai pengaku elemen pelat langsing dalam tekan. Dek baja ortotropik merupakan salah satu sistem lantai jembatan yang menggunakan pelat baja pra-cetak dengan kekakuan yang tidak sama dalam dua arah yang saling tegak lurus. Kekakuan yang lebih tinggi umumnya direncanakan pada suatu arah tertentu dengan penempatan profil pengaku dalam arah tersebut. Salah satu keunggulan utama dari sistem lantai jembatan menggunakan pelat baja ortotropik ini, yaitu beratnya yang lebih ringan, sehingga panjang bentang jembatan dapat ditingkatkan.

Rangkuman proyek sukses dek baja ortotropik di dunia dapat ditemukan dalam referensi oleh Troitsky (1985), Huang et. al. (2008), Hoorpah (2004), Korniyiv (2004), and Choi et. al. (2008). Meskipun terdapat perbedaan dalam desain dan detailing praktis, namun terdapat konsistensi sebagai sumber keilmuan yang telah dibagikan dalam berbagai cara.

Dalam proses desain dek baja ortotropik diperlukan verifikasi desain, sebuah pendekatan baru, yang memberikan solusi untuk desain dek jembatan biasa. Aspek-aspek yang menjadi kontrol dalam desain panel dek ortotropik lebih banyak pada kebutuhan lokal dibandingkan global. Panel dengan desain dan detailing yang baik memiliki potensi untuk menjadi modul standar yang dapat diterapkan kedepannya. Apabila panel dek dapat dikembangkan dan diverifikasi, maka kebutuhan desain akan menjadi berkurang untuk tipe jembatan ini. Namun apabila jembatan memiliki karakteristik unik, maka membutuhkan analisis yang tepat untuk masing-masing karakteristik.

Oleh karena sifat dari sistem struktur ortotropik ini memiliki karakteristik kekakuan dalam arah longitudinal dan transversal yang unik, maka diperlukan analisis yang lebih mendalam dalam hal detailing komponen-komponen strukturnya yang sesuai dengan persyaratan kekuatan dan layannya. Terdapat level desain yang ditentukan tergantung pada penerapan dan ketersediaan data bagi desainer.

Level 3 desain dengan analisis tiga dimensi (3D) merupakan persyaratan dalam desain yang penting untuk mengetahui konsentrasi tegangan lokal pada komponen pada dek baja ortotropik. Dengan demikian, maka perlu dilakukan penelitian detailing komponen-komponen struktur dek ortotropik dengan analisis elemen hingga.

Dalam makalah ini, analisis statik 3D elemen hingga dilakukan untuk memodelkan dek baja ortotropik dengan diafragma menerus dan diafragma coak. Hasil kedua model dibandingkan dalam perilaku sistem struktur lokal dengan membandingkan respon dan kinerja struktur akibat beban truk standar.

KAJIAN PUSTAKA

Pelat baja ortotropik telah banyak digunakan pada struktur jembatan modern untuk mendistribusikan beban lalu-lintas dalam dek dan sebagai pengaku elemen pelat langsing dalam tekan.

Umumnya, dek baja ortotropik terdiri dari pelat tebal, diperkaku oleh seri rusuk longitudinal dengan spasi yang dekat dan ditahan oleh balok transversal ortogonal (Gambar 1). Dek memiliki karakteristik kekakuan dalam arah longitudinal dan transversal, oleh karena itu dek ditinjau sebagai struktur anisotropik. Menurut Troitsky (1987), oleh karena rusuk dan balok saling tegak lurus dalam kedua arah, sifat elastik berbeda atau anisotropik, maka sistem secara keseluruhan dikenal sebagai anisotropik-ortogonal atau disingkat ortotropik.

Dek ortotropik ini efisien karena integral dengan perletakan rangka struktur atas jembatan, seperti flens atas menumpu pada stringer transversal dan gelagar longitudinal. Hal ini dapat meningkatkan kekakuan dan mengurangi material dalam desain komponennya.

Beban-beban umumnya ditransfer oleh stringer secara transversal ke sistem utama penahan beban, seperti gelagar longitudinal. Karakteristik utama dek ortotropik yaitu mempunyai potensi pemeliharaan yang minimal untuk memperpanjang masa layan dan desain modul yang standar, bila dibandingkan dengan konstruksi jembatan konvensional.

Page 27: Info Pub Lik 20131028094042

Analisis Elemen Hingga Komponen Diafragma pada Dek Baja Tipe Ortotropik Melintang Jembatan, (Anton Surviyanto) 23

Awal-19-04-13

ANALISIS ELEMEN HINGGA KOMPONEN DIAFRAGMA PADA DEK BAJA TIPE ORTOTROPIK MELINTANG JEMBATAN

(FINITE ELEMENT ANALYSIS OF DIAPHRAGM COMPONENT OF A TRANSVERSE ORTHOTROPIC STEEL BRIDGE DECK)

Anton Surviyanto Puslitbang Jalan dan Jembatan

Jl. A.H. Nasution No.264, Bandung 40294 e-mail: [email protected]

Diterima: 27 Desember 2012; disetujui: 01 April 2013

ABSTRAK Pelat baja ortotropik telah banyak digunakan pada struktur jembatan modern untuk mendistribusikan beban lalu-lintas dalam dek dan sebagai pengaku elemen pelat langsing dalam tekan. Oleh karena sifat dari sistem struktur ortotropik ini memiliki karakteristik kekakuan dalam arah longitudinal dan transversal yang unik, maka diperlukan analisis yang lebih mendalam dalam hal detailing komponen-komponen strukturnya yang sesuai dengan persyaratan kekuatan dan layannya. Desain dengan analisis tiga dimensi (3D) merupakan persyaratan dalam desain yang penting untuk mengetahui konsentrasi tegangan lokal pada komponen pada dek baja ortotropik. Dalam makalah ini, analisis statik elemen hingga 3D dilakukan untuk memodelkan dek baja ortotropik dengan diafragma menerus dan diafragma coak. Hasil kedua model dibandingkan dalam perilaku sistem struktur lokal dengan membandingkan respon dan kinerja struktur akibat beban truk standar BMS. Dari analisis elemen hingga dapat disimpulkan bahwa tegangan tarik dan tekan pada panel ortotropik yang terjadi untuk kombinasi beban ultimit (Ultimate Limit States/ULS) ditengah rusuk dan antar rusuk panel ortotropik memenuhi kriteria batasan tegangan izin 0,9 tegangan leleh (Fy). Begitu juga untuk tegangan geser maksimum menenuhi kriteria batasan tegangan izin 0,58Fy. Konsentrasi tegangan ekivalen Von Mises lokal yang terjadi untuk diafragma menerus sebesar 328 MPa, sedangkan diafragma coak sebesar 142 MPa. Sehingga perbandingan tegangan Von Mises ini sebesar 2,31 dapat diturunkan nilainya dengan penggunaan tipe diafragma coak. Bentuk diafragma dengan tipe menerus akan menyebabkan konsentrasi tegangan. Sedangkan bentuk diafragma yang coak dengan kelengkungan tertentu akan mengurangi konsentrasi tegangan lokal pada diafragma.

Kata kunci: analisis elemen hingga, dek baja ortotropik melintang, komponen diafragma, tegangan Von Mises, konsentrasi tegangan

ABSTRACT

Many of the world’s most magnificent modern bridge structures utilize the orthotropic steel plate systems as one of the basic structural building blocks for distribution of traffic loads in decks and for the stiffening of slender plate elements in compression. Because of the properties of orthotropic structural system has unique characteristics of rigidity in the longitudinal and transversal directions, therefore it would require a more in-depth analysis in terms of detailing structural components in accordance with the requirements of strength and serviceability. Design with the three dimension (3D) analysis is an important requirement in the design to determine the local stress concentration at the components on orthotropic steel deck. In this paper, a 3D finite element static analysis performed to model orthotropic steel deck with direct diaphragm and the cut-out diaphragm. Results of both models are compared in the local structure of the system behavior by comparing the response and performance of the structure due to BMS standard truck load. From the finite element analysis, it can be concluded that the tensile and compression stress in the orthotropic panel that occured for Ultimate Limit States (ULS) load combination of middle-ribs and adjacent-rib orthotropic panel below the criteria of 0.9 Fy. While for the shear stress with the maximum shear stress limits below the criteria of 0.58Fy. Von Mises equivalent local stress for continous diaphragm is 328 MPa, while the diaphragm cut-out is 142 MPa. Thus, the Von Mises stress ratio of 2.31 can be lowered by the use of a diaphragm-type cut-out. The shape of diaphragm with continuous type will cause stress concentration. While the shape of the cut-out diaphragm with certain curvature will reduce the local stress concentration in the diaphragm.

Keywords: finite element analysis, transverse orthotropic steel deck, diaphragm component, Von Mises stress, stress concentration

Awal-19-04-13

PENDAHULUAN

Pelat baja ortotropik telah banyak digunakan pada struktur jembatan modern untuk mendistribusikan beban lalu-lintas dalam dek dan sebagai pengaku elemen pelat langsing dalam tekan. Dek baja ortotropik merupakan salah satu sistem lantai jembatan yang menggunakan pelat baja pra-cetak dengan kekakuan yang tidak sama dalam dua arah yang saling tegak lurus. Kekakuan yang lebih tinggi umumnya direncanakan pada suatu arah tertentu dengan penempatan profil pengaku dalam arah tersebut. Salah satu keunggulan utama dari sistem lantai jembatan menggunakan pelat baja ortotropik ini, yaitu beratnya yang lebih ringan, sehingga panjang bentang jembatan dapat ditingkatkan.

Rangkuman proyek sukses dek baja ortotropik di dunia dapat ditemukan dalam referensi oleh Troitsky (1985), Huang et. al. (2008), Hoorpah (2004), Korniyiv (2004), and Choi et. al. (2008). Meskipun terdapat perbedaan dalam desain dan detailing praktis, namun terdapat konsistensi sebagai sumber keilmuan yang telah dibagikan dalam berbagai cara.

Dalam proses desain dek baja ortotropik diperlukan verifikasi desain, sebuah pendekatan baru, yang memberikan solusi untuk desain dek jembatan biasa. Aspek-aspek yang menjadi kontrol dalam desain panel dek ortotropik lebih banyak pada kebutuhan lokal dibandingkan global. Panel dengan desain dan detailing yang baik memiliki potensi untuk menjadi modul standar yang dapat diterapkan kedepannya. Apabila panel dek dapat dikembangkan dan diverifikasi, maka kebutuhan desain akan menjadi berkurang untuk tipe jembatan ini. Namun apabila jembatan memiliki karakteristik unik, maka membutuhkan analisis yang tepat untuk masing-masing karakteristik.

Oleh karena sifat dari sistem struktur ortotropik ini memiliki karakteristik kekakuan dalam arah longitudinal dan transversal yang unik, maka diperlukan analisis yang lebih mendalam dalam hal detailing komponen-komponen strukturnya yang sesuai dengan persyaratan kekuatan dan layannya. Terdapat level desain yang ditentukan tergantung pada penerapan dan ketersediaan data bagi desainer.

Level 3 desain dengan analisis tiga dimensi (3D) merupakan persyaratan dalam desain yang penting untuk mengetahui konsentrasi tegangan lokal pada komponen pada dek baja ortotropik. Dengan demikian, maka perlu dilakukan penelitian detailing komponen-komponen struktur dek ortotropik dengan analisis elemen hingga.

Dalam makalah ini, analisis statik 3D elemen hingga dilakukan untuk memodelkan dek baja ortotropik dengan diafragma menerus dan diafragma coak. Hasil kedua model dibandingkan dalam perilaku sistem struktur lokal dengan membandingkan respon dan kinerja struktur akibat beban truk standar.

KAJIAN PUSTAKA

Pelat baja ortotropik telah banyak digunakan pada struktur jembatan modern untuk mendistribusikan beban lalu-lintas dalam dek dan sebagai pengaku elemen pelat langsing dalam tekan.

Umumnya, dek baja ortotropik terdiri dari pelat tebal, diperkaku oleh seri rusuk longitudinal dengan spasi yang dekat dan ditahan oleh balok transversal ortogonal (Gambar 1). Dek memiliki karakteristik kekakuan dalam arah longitudinal dan transversal, oleh karena itu dek ditinjau sebagai struktur anisotropik. Menurut Troitsky (1987), oleh karena rusuk dan balok saling tegak lurus dalam kedua arah, sifat elastik berbeda atau anisotropik, maka sistem secara keseluruhan dikenal sebagai anisotropik-ortogonal atau disingkat ortotropik.

Dek ortotropik ini efisien karena integral dengan perletakan rangka struktur atas jembatan, seperti flens atas menumpu pada stringer transversal dan gelagar longitudinal. Hal ini dapat meningkatkan kekakuan dan mengurangi material dalam desain komponennya.

Beban-beban umumnya ditransfer oleh stringer secara transversal ke sistem utama penahan beban, seperti gelagar longitudinal. Karakteristik utama dek ortotropik yaitu mempunyai potensi pemeliharaan yang minimal untuk memperpanjang masa layan dan desain modul yang standar, bila dibandingkan dengan konstruksi jembatan konvensional.

Page 28: Info Pub Lik 20131028094042

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 22 – 3324

Awal-19-04-13

Gambar 1. Komponen dek baja ortotropik gelagar jembatan (a) Rusuk terbuka (b) Rusuk tertutup (AISC 1963)

Mekanisme perilaku dek ortotropik

Metode konvensional analisis jembatan mengasumsikan bahwa sistem struktur secara keseluruhan digabungkan dengan beberapa sub-elemen independen mendasar seperti dek, stringer, cross girder dan struktur utama. Pendekatan ini berdasarkan asumsi setiap elemen beraksi secara relatif independen dan transfer beban dari elemen tersebut ke elemen berikutnya tanpa pertimbangan interaksi diantara sub-elemen pada kenyataannya. Untuk penerapannya, hal ini menunjukkan desain konservatif dan dapat diimplementasikan dengan metodologi desain yang sederhana. Pada jembatan dengan dek ortotropik, pelat lantai, rusuk, stringer dan gelagar utama, kesemuanya terintegrasi dalam satu unit struktur. Panel dek harus berkinerja beberapa fungsi secara simultan, meliputi distribusi beban roda dan beraksi pada flens atas stringer dan gelagar utama, dek ortotropik berkinerja seperti fungsi tersebut membuat penggunaan material menjadi sangat efisien namun interaksinya tidak dapat diabaikan.

Deformasi pelat dek lokal Distribusi beban bermula dari transfer

beban roda lokal dari pelat dek ke perletakan dinding rusuk. Respon ini dipengaruhi oleh spasi dinding rusuk dan ketebalan relatif (kekakuan lentur), serta pelat dek dan rusuk (Gambar 2). Tegangan yang terjadi dari mekanisme ini bersifat lokal, maka tegangan ini sensitif terhadap ukuran permukaan beban roda dan dispersi beban yang dapat terjadi akibat lapisan aspal. Kebanyakan, sumbu depan truk desain dengan hanya satu ban yang dapat memaksimumkan respon dari mekanisme ini. Sistem ini penting dalam desain terutama untuk faktor fatik dan batas kekuatan.

Gambar 2. Aksi deformasi pelat dek lokal

Lapisan Aspal Lapisan Aspal Pelat Dek

Tipe Rusuk Tipe Rusuk Gelagar Gelagar

Gelagar anak

Gelagar anak

(a) (b)

Awal-19-04-13

Gambar 3. Deformasi panel Deformasi panel

Analisis untuk mengetahui deformasi ini membutuhkan pengertian perilaku distribusi beban dua arah dari panel ortotropik ketika dibebani di luar bidang, yang merupakan masalah kompleks (Gambar 3). Salah satu solusi menggunakan teori elastisitas pelat (pelat dibebani normal terhadap bidang pelat). Solusi ditemukan oleh persamaan Huber. (Robert Connor et. al. 2012)

Pendekatan desain umum Panel baja ortotropik diterapkan dengan

bermacam cara. Satu bentuk adalah dengan sistem dek secara terpisah, desain hanya membutuhkan pengaruh lokal yang ditinjau, seperti bentang dek antar titik tengah tumpuan dari struktur atas global. Bentuk kedua adalah panel yang beraksi integral pada flens atau badan dari pelat baja. Hal ini membutuhkan pertimbangan pengaruh lokal dan kebutuhan global dari struktur atas. Bentuk ketiga adalah dek integral kaku terpasang pada tumpuan sistem struktur atas jembatan. Untuk kasus bentuk ketiga ini, kebutuhan panel akibat respon global dari struktur eksisting harus ditinjau secara hati-hati untuk mengakomodasi interaksi yang kompleks. Level desain

Terdapat level desain yang ditentukan tergantung pada penerapan dan ketersediaan data bagi desainer. Berikut adalah rangkuman masing-masing level desain:

Level desain 1 – Level desain ini berdasarkan pada analisis struktur yang sedikit atau tidak sama sekali, namun dengan melakukan pemilihan desain yang diverifikasi memiliki kecukupan tahanan berdasarkan uji eksperimental (baru atau sebelumnya). Semua detail harus konsisten dengan spesifikasi AASTHO LRFD. Level 1 desain ini dapat digunakan sebagai basis untuk desain proyek baru tanpa harus menguji lagi dan harus disetuji oleh pemilik.

Level desain 2 – level desain ini berdasarkan analisis detail panel tertentu yang

dapat dievaluasi dengan teknik analisis satu dimensi (1D) atau dua dimensi (2D) yang sederhana dengan kecukupan akurasi yang dibutuhkan. Perhitungan hanya mempertimbangkan tegangan nominal dan tidak memperhitungkan konsentrasi lokal. Teknik analisis ini meliputi model strip, metode Pelikan/Esslinger, model Vierendeel, atau metode lainnya telah terkalibrasi terhadap data uji eksperimental. Tidak semua detail panel ortotropik dapat didesain dengan level 2.

Level desain 3 – level desain ini berdasarkan analisis 3D dari panel untuk mengkuantifikasi tegangan yang lebih akurat untuk semua komponen dan sambungan. Perhitungan mempertimbangkan konsentrasi tegangan lokal pada kombinasi beban. Hal ini membutuhkan sub-model panel dalam model global sistem struktur atas jembatan.

Prosedur desain berdasarkan AASTHO LRFD

Desain panel ortotropik meliputi kekuatan, layan, fatigue, dan konstruksi. Semua keadaan batas tersebut perlu ditinjau untuk desain lengkap, namun keadaan batas fatigue yang akan mengontrol mayoritas detail desain. Keadaan batas ultimit (ULS)

Keadaan batas kekuatan menahan beban-dukung ditentukan oleh geometri dan sifat material. Dengan demikian, kuat leleh dan/atau sifat geometris, seperti kehilangan stabilitas, harus ditinjau dalam desain panel ortotropik. Geometri global dan atau lokal dapat mengatur pertimbangan stabilitas.

Pengujian telah menunjukkan bahwa panel dek baja ortotropik dapat memiliki kekuatan cadangan yang luar biasa untuk beban lateral di luar kuat leleh, karena membran kaku. Cadangan ini tergantung pada kondisi perletakan. Pendekatan untuk desain kekuatan konservatif harus membatasi tegangan terhadap kuat leleh minimum yang ditentukan atau tegangan tekuk kritis.

Page 29: Info Pub Lik 20131028094042

Analisis Elemen Hingga Komponen Diafragma pada Dek Baja Tipe Ortotropik Melintang Jembatan, (Anton Surviyanto) 25

Awal-19-04-13

Gambar 1. Komponen dek baja ortotropik gelagar jembatan (a) Rusuk terbuka (b) Rusuk tertutup (AISC 1963)

Mekanisme perilaku dek ortotropik

Metode konvensional analisis jembatan mengasumsikan bahwa sistem struktur secara keseluruhan digabungkan dengan beberapa sub-elemen independen mendasar seperti dek, stringer, cross girder dan struktur utama. Pendekatan ini berdasarkan asumsi setiap elemen beraksi secara relatif independen dan transfer beban dari elemen tersebut ke elemen berikutnya tanpa pertimbangan interaksi diantara sub-elemen pada kenyataannya. Untuk penerapannya, hal ini menunjukkan desain konservatif dan dapat diimplementasikan dengan metodologi desain yang sederhana. Pada jembatan dengan dek ortotropik, pelat lantai, rusuk, stringer dan gelagar utama, kesemuanya terintegrasi dalam satu unit struktur. Panel dek harus berkinerja beberapa fungsi secara simultan, meliputi distribusi beban roda dan beraksi pada flens atas stringer dan gelagar utama, dek ortotropik berkinerja seperti fungsi tersebut membuat penggunaan material menjadi sangat efisien namun interaksinya tidak dapat diabaikan.

Deformasi pelat dek lokal Distribusi beban bermula dari transfer

beban roda lokal dari pelat dek ke perletakan dinding rusuk. Respon ini dipengaruhi oleh spasi dinding rusuk dan ketebalan relatif (kekakuan lentur), serta pelat dek dan rusuk (Gambar 2). Tegangan yang terjadi dari mekanisme ini bersifat lokal, maka tegangan ini sensitif terhadap ukuran permukaan beban roda dan dispersi beban yang dapat terjadi akibat lapisan aspal. Kebanyakan, sumbu depan truk desain dengan hanya satu ban yang dapat memaksimumkan respon dari mekanisme ini. Sistem ini penting dalam desain terutama untuk faktor fatik dan batas kekuatan.

Gambar 2. Aksi deformasi pelat dek lokal

Lapisan Aspal Lapisan Aspal Pelat Dek

Tipe Rusuk Tipe Rusuk Gelagar Gelagar

Gelagar anak

Gelagar anak

(a) (b)

Awal-19-04-13

Gambar 3. Deformasi panel Deformasi panel

Analisis untuk mengetahui deformasi ini membutuhkan pengertian perilaku distribusi beban dua arah dari panel ortotropik ketika dibebani di luar bidang, yang merupakan masalah kompleks (Gambar 3). Salah satu solusi menggunakan teori elastisitas pelat (pelat dibebani normal terhadap bidang pelat). Solusi ditemukan oleh persamaan Huber. (Robert Connor et. al. 2012)

Pendekatan desain umum Panel baja ortotropik diterapkan dengan

bermacam cara. Satu bentuk adalah dengan sistem dek secara terpisah, desain hanya membutuhkan pengaruh lokal yang ditinjau, seperti bentang dek antar titik tengah tumpuan dari struktur atas global. Bentuk kedua adalah panel yang beraksi integral pada flens atau badan dari pelat baja. Hal ini membutuhkan pertimbangan pengaruh lokal dan kebutuhan global dari struktur atas. Bentuk ketiga adalah dek integral kaku terpasang pada tumpuan sistem struktur atas jembatan. Untuk kasus bentuk ketiga ini, kebutuhan panel akibat respon global dari struktur eksisting harus ditinjau secara hati-hati untuk mengakomodasi interaksi yang kompleks. Level desain

Terdapat level desain yang ditentukan tergantung pada penerapan dan ketersediaan data bagi desainer. Berikut adalah rangkuman masing-masing level desain:

Level desain 1 – Level desain ini berdasarkan pada analisis struktur yang sedikit atau tidak sama sekali, namun dengan melakukan pemilihan desain yang diverifikasi memiliki kecukupan tahanan berdasarkan uji eksperimental (baru atau sebelumnya). Semua detail harus konsisten dengan spesifikasi AASTHO LRFD. Level 1 desain ini dapat digunakan sebagai basis untuk desain proyek baru tanpa harus menguji lagi dan harus disetuji oleh pemilik.

Level desain 2 – level desain ini berdasarkan analisis detail panel tertentu yang

dapat dievaluasi dengan teknik analisis satu dimensi (1D) atau dua dimensi (2D) yang sederhana dengan kecukupan akurasi yang dibutuhkan. Perhitungan hanya mempertimbangkan tegangan nominal dan tidak memperhitungkan konsentrasi lokal. Teknik analisis ini meliputi model strip, metode Pelikan/Esslinger, model Vierendeel, atau metode lainnya telah terkalibrasi terhadap data uji eksperimental. Tidak semua detail panel ortotropik dapat didesain dengan level 2.

Level desain 3 – level desain ini berdasarkan analisis 3D dari panel untuk mengkuantifikasi tegangan yang lebih akurat untuk semua komponen dan sambungan. Perhitungan mempertimbangkan konsentrasi tegangan lokal pada kombinasi beban. Hal ini membutuhkan sub-model panel dalam model global sistem struktur atas jembatan.

Prosedur desain berdasarkan AASTHO LRFD

Desain panel ortotropik meliputi kekuatan, layan, fatigue, dan konstruksi. Semua keadaan batas tersebut perlu ditinjau untuk desain lengkap, namun keadaan batas fatigue yang akan mengontrol mayoritas detail desain. Keadaan batas ultimit (ULS)

Keadaan batas kekuatan menahan beban-dukung ditentukan oleh geometri dan sifat material. Dengan demikian, kuat leleh dan/atau sifat geometris, seperti kehilangan stabilitas, harus ditinjau dalam desain panel ortotropik. Geometri global dan atau lokal dapat mengatur pertimbangan stabilitas.

Pengujian telah menunjukkan bahwa panel dek baja ortotropik dapat memiliki kekuatan cadangan yang luar biasa untuk beban lateral di luar kuat leleh, karena membran kaku. Cadangan ini tergantung pada kondisi perletakan. Pendekatan untuk desain kekuatan konservatif harus membatasi tegangan terhadap kuat leleh minimum yang ditentukan atau tegangan tekuk kritis.

Page 30: Info Pub Lik 20131028094042

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 22 – 3326

Awal-19-04-13

Desain kekuatan harus mempertimbangkan tuntutan berikut: lentur dan geser rusuk, lentur dan geser stringer, dan tekanan aksial. Rusuk, termasuk bagian efektif dari pelat dek, harus dievaluasi untuk kekuatan lentur dan geser untuk bentang antar stringer. Stringer, termasuk bagian efektif dari pelat dek, harus dievaluasi untuk kekuatan lentur dan geser untuk bentang antara girder utama atau badan. pengurangan penampang stringer karena pemotongan rusuk harus ditinjau dengan memeriksa lentur dan geser di bagian badan dihilangkan. Ketika panel adalah bagian dari flange gelagar utama, panel harus dievaluasi untuk kuat tekan dalam bidang (in-plane) berdasarkan pertimbangan stabilitas.

Pada kebanyakan kasus desain pelat ortotropik, keadaan batas kekuatan meliputi beban hidup dan beban mati sebagai beban utama dalam kombinasi beban. Dalam AASHTO LRFD, ini adalah keadaan batas Kekuatan I dan II dan harus memenuhi untuk tekuk dan leleh. Kombinasi beban Kekuatan I diterapkan dalam hubungannya dengan model beban hidup HL-93 mewakili lalu-lintas acak, sedangkan kombinasi beban Kekuatan II diterapkan dengan beban ijin yang ditentukan pemilik (misalnya, model beban izin Caltrans P-15). Seringkali, spesifikasi desain jembatan akan mencakup keadaan batas Kekuatan untuk situasi khusus.

Keadaan batas layan (SLS)

Service Limit States (SLS) ada untuk menyediakan pemeriksaan guna pemeliharaan selama masa layan jembatan. SLS juga harus ditinjau sebagai sarana untuk meminimalkan biaya pemeliharaan dan gangguan lalu-lintas untuk perbaikan. Selain itu, SLS ini dapat mencakup batas deformasi elastis dan plastis dan bentuk lain dari deteriorasi penurunan layan, seperti debonding atau retak pada permukaan yang mengenakan dek baja ortotropik.

Pada SLS berlaku faktor beban sama dengan 1,0 untuk setiap komponen beban signifikan. Dalam AASHTO LRFD, ini adalah SLS I. Untuk dek baja ortotropik, SLS I harus memenuhi semua batas lendutan: pelat lantai (bentang/300) dan rusuk (bentang /1000) dan lendutan relatif rusuk yang berdekatan (2 mm). Batas-batas lendutan dimaksudkan untuk mencegah kerusakan dini dari permukaan yang digunakan.

SLS II berlaku untuk desain sambungan baut terhadap gelincir pada kondisi beban berlebih. Hal ini harus ditinjau untuk desain rusuk dan sambungan stringer. SLS III dan IV adalah untuk tegangan tarik pada penampang beton prategang di bawah beban hidup kendaraan, dan tegangan tarik pada bangunan atas beton prategang di bawah beban angin. Dengan demikian, tak satu pun dari SLS ini berlaku untuk dek baja ortotropik.

Fatigue

Dua jenis desain yang mungkin dalam konteks Spesifikasi AASHTO LRFD untuk kelelahan: desain Fatigue I untuk infinite-life dan Fatigue II untuk finite-life. Dek baja ortotropik diatur oleh beban roda, mereka mengalami jutaan siklus berulang dari beban roda sehingga dibutuhkan desain Fatigue I. Sebagai perbandingan, kode lain mengakui konsep prediksi masa fatigue lain selain konsep infinite-life dalam AASHTO LRFD. Misalnya, Eurocode (ECS 1992) menentukan kurva resistensi kelelahan dengan kemiringan hanya menurun di bawah beberapa nilai ambang batas jangkauan tegangan, bukan ambang batas horisontal AASHTO (batas amplitudo konstan kelelahan) untuk variabel pembebanan amplitudo. Spesifikasi lainnya menggunakan konsep infinite-life untuk amplitudo kelelahan konstan, sementara mengandalkan kurva fatigue life bi-linear untuk kurva amplitudo variabel untuk estimasi masa tertentu. Fatigue II finite-life dapat lebih hemat biaya proporsi ketika volume lalu-lintas tidak terlalu tinggi. Konstruksi

Kekuatan dan stabilitas panel ortotropik dan integritas permukaan yang digunakan harus dipertahankan selama semua tahap konstruksi, termasuk penanganan, penyimpanan, pengiriman, dan ereksi. Seringnya, panel ortotropik dikirimkan oleh kapal laut, yang dapat mempengaruhi skenario pembebanan pada panel. Ada laporan dari kegagalan penggunaan permukaan akibat tegangan yang terjadi selama ereksi pra-panel berlapis.

Awal-19-04-13

HIPOTESIS Komponen diafragma pada dek baja

ortotropik dengan bentuk coak (cut-out) akan memberikan tegangan yang lebih kecil dan tidak terkonsentrasi secara lokal dibandingkan dengan difragma menerus pada dek baja ortotropik jembatan. METODOLOGI

Kasus jembatan adalah struktur jembatan standar Calender Hamilton dengan tipe struktur dengan dua perletakan sederhana tanpa skew. Jembatan terdiri dari dua bentang dengan 2 x 50 m dengan perletakan sederhana. Sistem lantai menggunakan pelat baja ortotropik arah melintang. Lebar jembatan adalah 2 x 0,7 m (pejalan kaki) + 7,6 m (lebar lalu-lintas). Lapisan permukaan adalah aspal dengan ketebalan 50 mm. Struktur dek ortotropik

Lantai ortotropik jembatan memiliki konfigurasi melintang dengan dimensi model ortotropik 2,4 m x 2,4 m. Hubungan antar ortotropik menggunakan sambungan las. Dua kasus detailing yang diteliti dapat dilihat pada Gambar 4 untuk diafragma menerus dan Gambar 5 untuk diafragma coak.

Kriteria dan beban desain Kriteria desain

Faktor tahanan berdasarkan peraturan Departemen PU: BMS (1992) dan AISC LRFD (2005) dan dibandingkan dengan hasil analisis elemen hingga, disajikan di sini. Faktor tahanan diberikan dalam kode untuk member yang mengalami lentur dan tarik didasarkan pada tegangan leleh 0,95 (0,95Fy). Untuk elemen yang mengalami tekan, tegangan terbatas pada 0,90Fy ketika tekuk tidak ditinjau. Lendutan akibat beban hidup untuk SLS dibatasi hingga 1/300 bentang.

Model elemen hingga

Model elemen hingga untuk struktur dek ortotropik jembatan, yang mencakup dua panel ortotropik yang menumpu pada stringer seperti yang diilustrasikan pada Gambar 6 untuk kasus beban A dan B, menyajikan kondisi batas, pilihan analisis dan pertimbangan beban untuk menentukan respon struktural dek ortotropik jembatan. Dimensi cetak ban, orientasi, jarak, dan beban untuk dua truk desain yang diterapkan pada model elemen hingga dirangkum dalam Tabel 1.

Gambar 7 merupakan meshing hingga ukuran halus dalam pemodelan metode elemen hingga. Selain itu, diasumsikan pula stringer ini terjepit pada ujung-ujung profil stringer serta jepit pada sambungan antar panel ortotropik.

Gambar 4. Penampang pelat ortotropik dengan diafragma menerus

Page 31: Info Pub Lik 20131028094042

Analisis Elemen Hingga Komponen Diafragma pada Dek Baja Tipe Ortotropik Melintang Jembatan, (Anton Surviyanto) 27

Awal-19-04-13

Desain kekuatan harus mempertimbangkan tuntutan berikut: lentur dan geser rusuk, lentur dan geser stringer, dan tekanan aksial. Rusuk, termasuk bagian efektif dari pelat dek, harus dievaluasi untuk kekuatan lentur dan geser untuk bentang antar stringer. Stringer, termasuk bagian efektif dari pelat dek, harus dievaluasi untuk kekuatan lentur dan geser untuk bentang antara girder utama atau badan. pengurangan penampang stringer karena pemotongan rusuk harus ditinjau dengan memeriksa lentur dan geser di bagian badan dihilangkan. Ketika panel adalah bagian dari flange gelagar utama, panel harus dievaluasi untuk kuat tekan dalam bidang (in-plane) berdasarkan pertimbangan stabilitas.

Pada kebanyakan kasus desain pelat ortotropik, keadaan batas kekuatan meliputi beban hidup dan beban mati sebagai beban utama dalam kombinasi beban. Dalam AASHTO LRFD, ini adalah keadaan batas Kekuatan I dan II dan harus memenuhi untuk tekuk dan leleh. Kombinasi beban Kekuatan I diterapkan dalam hubungannya dengan model beban hidup HL-93 mewakili lalu-lintas acak, sedangkan kombinasi beban Kekuatan II diterapkan dengan beban ijin yang ditentukan pemilik (misalnya, model beban izin Caltrans P-15). Seringkali, spesifikasi desain jembatan akan mencakup keadaan batas Kekuatan untuk situasi khusus.

Keadaan batas layan (SLS)

Service Limit States (SLS) ada untuk menyediakan pemeriksaan guna pemeliharaan selama masa layan jembatan. SLS juga harus ditinjau sebagai sarana untuk meminimalkan biaya pemeliharaan dan gangguan lalu-lintas untuk perbaikan. Selain itu, SLS ini dapat mencakup batas deformasi elastis dan plastis dan bentuk lain dari deteriorasi penurunan layan, seperti debonding atau retak pada permukaan yang mengenakan dek baja ortotropik.

Pada SLS berlaku faktor beban sama dengan 1,0 untuk setiap komponen beban signifikan. Dalam AASHTO LRFD, ini adalah SLS I. Untuk dek baja ortotropik, SLS I harus memenuhi semua batas lendutan: pelat lantai (bentang/300) dan rusuk (bentang /1000) dan lendutan relatif rusuk yang berdekatan (2 mm). Batas-batas lendutan dimaksudkan untuk mencegah kerusakan dini dari permukaan yang digunakan.

SLS II berlaku untuk desain sambungan baut terhadap gelincir pada kondisi beban berlebih. Hal ini harus ditinjau untuk desain rusuk dan sambungan stringer. SLS III dan IV adalah untuk tegangan tarik pada penampang beton prategang di bawah beban hidup kendaraan, dan tegangan tarik pada bangunan atas beton prategang di bawah beban angin. Dengan demikian, tak satu pun dari SLS ini berlaku untuk dek baja ortotropik.

Fatigue

Dua jenis desain yang mungkin dalam konteks Spesifikasi AASHTO LRFD untuk kelelahan: desain Fatigue I untuk infinite-life dan Fatigue II untuk finite-life. Dek baja ortotropik diatur oleh beban roda, mereka mengalami jutaan siklus berulang dari beban roda sehingga dibutuhkan desain Fatigue I. Sebagai perbandingan, kode lain mengakui konsep prediksi masa fatigue lain selain konsep infinite-life dalam AASHTO LRFD. Misalnya, Eurocode (ECS 1992) menentukan kurva resistensi kelelahan dengan kemiringan hanya menurun di bawah beberapa nilai ambang batas jangkauan tegangan, bukan ambang batas horisontal AASHTO (batas amplitudo konstan kelelahan) untuk variabel pembebanan amplitudo. Spesifikasi lainnya menggunakan konsep infinite-life untuk amplitudo kelelahan konstan, sementara mengandalkan kurva fatigue life bi-linear untuk kurva amplitudo variabel untuk estimasi masa tertentu. Fatigue II finite-life dapat lebih hemat biaya proporsi ketika volume lalu-lintas tidak terlalu tinggi. Konstruksi

Kekuatan dan stabilitas panel ortotropik dan integritas permukaan yang digunakan harus dipertahankan selama semua tahap konstruksi, termasuk penanganan, penyimpanan, pengiriman, dan ereksi. Seringnya, panel ortotropik dikirimkan oleh kapal laut, yang dapat mempengaruhi skenario pembebanan pada panel. Ada laporan dari kegagalan penggunaan permukaan akibat tegangan yang terjadi selama ereksi pra-panel berlapis.

Awal-19-04-13

HIPOTESIS Komponen diafragma pada dek baja

ortotropik dengan bentuk coak (cut-out) akan memberikan tegangan yang lebih kecil dan tidak terkonsentrasi secara lokal dibandingkan dengan difragma menerus pada dek baja ortotropik jembatan. METODOLOGI

Kasus jembatan adalah struktur jembatan standar Calender Hamilton dengan tipe struktur dengan dua perletakan sederhana tanpa skew. Jembatan terdiri dari dua bentang dengan 2 x 50 m dengan perletakan sederhana. Sistem lantai menggunakan pelat baja ortotropik arah melintang. Lebar jembatan adalah 2 x 0,7 m (pejalan kaki) + 7,6 m (lebar lalu-lintas). Lapisan permukaan adalah aspal dengan ketebalan 50 mm. Struktur dek ortotropik

Lantai ortotropik jembatan memiliki konfigurasi melintang dengan dimensi model ortotropik 2,4 m x 2,4 m. Hubungan antar ortotropik menggunakan sambungan las. Dua kasus detailing yang diteliti dapat dilihat pada Gambar 4 untuk diafragma menerus dan Gambar 5 untuk diafragma coak.

Kriteria dan beban desain Kriteria desain

Faktor tahanan berdasarkan peraturan Departemen PU: BMS (1992) dan AISC LRFD (2005) dan dibandingkan dengan hasil analisis elemen hingga, disajikan di sini. Faktor tahanan diberikan dalam kode untuk member yang mengalami lentur dan tarik didasarkan pada tegangan leleh 0,95 (0,95Fy). Untuk elemen yang mengalami tekan, tegangan terbatas pada 0,90Fy ketika tekuk tidak ditinjau. Lendutan akibat beban hidup untuk SLS dibatasi hingga 1/300 bentang.

Model elemen hingga

Model elemen hingga untuk struktur dek ortotropik jembatan, yang mencakup dua panel ortotropik yang menumpu pada stringer seperti yang diilustrasikan pada Gambar 6 untuk kasus beban A dan B, menyajikan kondisi batas, pilihan analisis dan pertimbangan beban untuk menentukan respon struktural dek ortotropik jembatan. Dimensi cetak ban, orientasi, jarak, dan beban untuk dua truk desain yang diterapkan pada model elemen hingga dirangkum dalam Tabel 1.

Gambar 7 merupakan meshing hingga ukuran halus dalam pemodelan metode elemen hingga. Selain itu, diasumsikan pula stringer ini terjepit pada ujung-ujung profil stringer serta jepit pada sambungan antar panel ortotropik.

Gambar 4. Penampang pelat ortotropik dengan diafragma menerus

Page 32: Info Pub Lik 20131028094042

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 22 – 3328

Awal-19-04-13

Gambar 5. Penampang pelat ortotropik dengan diafragma coak

Gambar 6. Pemodelan metode elemen hingga

Gambar 7. Meshing model metode elemen hingga

Tabel 1. Deskripsi model struktur dek ortotropik jembatan

Beban Material dan properties model

Spesifikasi beban truk T Baja (Solid Element – SOLID45)

- Beban sumbu 112,5 kN - Linier isotropik properties

- Faktor beban hidup = 1,8 - E = 200.000 MPa; v = 0.3; γ = 7850 kg/m3

- Faktor kejut, IF = 0.3 - Fy = 460 MPa; Fu = 550 MPa (SM-490)

Awal-19-04-13

Gambar 8. Pembebanan truk “T” (500 kN)

Beban desain untuk struktur dek ortotropik

Beban hidup desain digunakan untuk evaluasi struktur dek jembatan ortotropik berdasarkan beban truk T yang ditentukan dalam BMS.

Gambar 8 mengilustrasikan beban roda, beban gandar, jarak roda, jarak sumbu roda dan ukuran cetak ban untuk truk “T” 500 kN. Faktor beban hidup dan beban dinamis yang diizinkan, diterapkan pada beban hidup

tertentu untuk mengevaluasi respon struktur dari dek jembatan ortotropik pada keadaan batas ultimit, layan, dan fatigue sesuai dengan peraturan BMS. Faktor beban dan beban dinamis yang diizinkan diberikan dalam Peraturan BMS. Faktor beban dirangkum dalam Tabel 2 kenaikan beban dinamis yang diizinkan untuk struktur dek adalah 0,30 untuk keadaan batas ultimit dan servis serta untuk keadaan batas fatigue.

Tabel 2. Faktor beban BMS

Faktor Beban Kondisi batas Kondisi batas Kondisi batas

Ultimit Layan Fatigue

Beban Mati 1.3* 1 N/A Beban Hidup 1.8 1 1

Catatan : (*) faktor beban mati = 1,10 untuk komponen baja, 2,00 untuk lapis permukaan, dan 1,20 untuk kayu dan komponen non-struktural.

Gambar 9. Kasus beban truk ditengah rusuk

Page 33: Info Pub Lik 20131028094042

Analisis Elemen Hingga Komponen Diafragma pada Dek Baja Tipe Ortotropik Melintang Jembatan, (Anton Surviyanto) 29

Awal-19-04-13

Gambar 5. Penampang pelat ortotropik dengan diafragma coak

Gambar 6. Pemodelan metode elemen hingga

Gambar 7. Meshing model metode elemen hingga

Tabel 1. Deskripsi model struktur dek ortotropik jembatan

Beban Material dan properties model

Spesifikasi beban truk T Baja (Solid Element – SOLID45)

- Beban sumbu 112,5 kN - Linier isotropik properties

- Faktor beban hidup = 1,8 - E = 200.000 MPa; v = 0.3; γ = 7850 kg/m3

- Faktor kejut, IF = 0.3 - Fy = 460 MPa; Fu = 550 MPa (SM-490)

Awal-19-04-13

Gambar 8. Pembebanan truk “T” (500 kN)

Beban desain untuk struktur dek ortotropik

Beban hidup desain digunakan untuk evaluasi struktur dek jembatan ortotropik berdasarkan beban truk T yang ditentukan dalam BMS.

Gambar 8 mengilustrasikan beban roda, beban gandar, jarak roda, jarak sumbu roda dan ukuran cetak ban untuk truk “T” 500 kN. Faktor beban hidup dan beban dinamis yang diizinkan, diterapkan pada beban hidup

tertentu untuk mengevaluasi respon struktur dari dek jembatan ortotropik pada keadaan batas ultimit, layan, dan fatigue sesuai dengan peraturan BMS. Faktor beban dan beban dinamis yang diizinkan diberikan dalam Peraturan BMS. Faktor beban dirangkum dalam Tabel 2 kenaikan beban dinamis yang diizinkan untuk struktur dek adalah 0,30 untuk keadaan batas ultimit dan servis serta untuk keadaan batas fatigue.

Tabel 2. Faktor beban BMS

Faktor Beban Kondisi batas Kondisi batas Kondisi batas

Ultimit Layan Fatigue

Beban Mati 1.3* 1 N/A Beban Hidup 1.8 1 1

Catatan : (*) faktor beban mati = 1,10 untuk komponen baja, 2,00 untuk lapis permukaan, dan 1,20 untuk kayu dan komponen non-struktural.

Gambar 9. Kasus beban truk ditengah rusuk

Page 34: Info Pub Lik 20131028094042

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 22 – 3330

Awal-19-04-13

Gambar 10. Kasus beban truk antar rusuk

Untuk menentukan respon struktur pelat

dek ortotropik jembatan, satu buah truk yang telah didesain diposisikan untuk menghasilkan efek beban maksimum. Gambar 9 dan Gambar 10 mengilustrasikan dua kasus beban dengan mempertimbangkan ukuran cetak ban, lokasi dan orientasi. Dalam kasus beban A, truk “T” dua sumbu diposisikan menerus pada posisi ditengah rusuk pada dek. Dalam kasus beban B, truk “T” dua sumbu diposisikan menerus pada posisi diantara rusuk pada dek diletakkan didek jembatan untuk menghasilkan momen global maksimum. Adapun evaluasi dek ortotropik meliputi beberapa kasus: 1. Analisis struktur desain dek ortotropik

dengan diafragma menerus. 2. Analisis struktur desain dek ortotropik

dengan diafragma coak.

HASIL DAN ANALISIS

Hasil analisis elemen hingga diberikan pada Tabel 3 dan Tabel 4 berupa ringkasan lendutan dan tegangan pada pelat lantai jembatan untuk SLS dan ULS untuk masing-masing kasus analisis. Perlu dicatat bahwa tegangan dalam Tabel 3 dan Tabel 4 adalah tegangan puncak maksimum dari model elemen hingga dan belum merata di atas permukaan elemen. Lendutan dan tegangan untuk kasus beban 1 dan 2 ditentukan berdasarkan pada model elemen hingga yang diberikan pada Gambar 6 dari struktur lantai jembatan termasuk dua dan tiga buah stringer dengan truk diposisikan untuk menghasilkan momen global maksimum.

Tabel 3. Rangkuman lendutan dan tegangan pada dek ortotropik kasus 1

Parameter Kasus beban

Kriteria desain Tengah rusuk

Antar rusuk

Lendutan, mm Deformasi total 1.6 1.6 L/300 16.67

Deformasi direksional -0.18 -0.12 L/300 16.67

Tegangan maksimum, MPa

Tegangan ekivalen 325 328 0.9Fy 414.0

Tegangan utama maksimum 309 326 0.9Fy 414.0

Tegangan utama tengah -131 -174 0.9Fy 414.0

Tegangan utama minimum -281 -381 0.9Fy 414.0

Intensitas tegangan 342 376 0.9Fy 414.0

Tegangan normal 309 380 0.9Fy 414.0

Tegangan Geser, MPa

Tegangan geser maksimum 171 188 0.58Fy 266.8

Tegangan geser 55 76 0.58Fy 266.8

Awal-19-04-13 Tabel 4. Rangkuman lendutan dan tegangan pada dek ortotropik kasus 2

Parameter Kasus beban

Kriteria desain Tengah rusuk

Antar rusuk

Lendutan, mm Deformasi total 1.4 1.3 L/300 16.67

Deformasi direksional -1.4 -1.3 L/300 16.67 Tegangan maksimum, MPa

Tegangan ekivalen 142 147 0.9Fy 414.0

Tegangan utama maksimum 130 104 0.9Fy 414.0

Tegangan utama tengah -84 -79 0.9Fy 414.0

Tegangan utama minimum -144 -134 0.9Fy 414.0

Intensitas tegangan 163 169 0.9Fy 414.0

Tegangan normal 127 -112 0.9Fy 414.0 Tegangan Geser, MPa

Tegangan geser maksimum 81 85 0.58Fy 266.8

Tegangan geser 64 -63 0.58Fy 266.8

Gambar 11. Tegangan ekivalen pada pemodelan struktur kasus 1 kombinasi 2 ULS sebesar 328 MPa

Gambar 12. Tegangan ekivalen pada pemodelan struktur kasus 2 kombinasi 2 ULS sebesar 142 MPa

Gambar 13. Konsentrasi tegangan Von Mises pada rusuk dan diafragma akibat truk kasus

Page 35: Info Pub Lik 20131028094042

Analisis Elemen Hingga Komponen Diafragma pada Dek Baja Tipe Ortotropik Melintang Jembatan, (Anton Surviyanto) 31

Awal-19-04-13

Gambar 10. Kasus beban truk antar rusuk

Untuk menentukan respon struktur pelat

dek ortotropik jembatan, satu buah truk yang telah didesain diposisikan untuk menghasilkan efek beban maksimum. Gambar 9 dan Gambar 10 mengilustrasikan dua kasus beban dengan mempertimbangkan ukuran cetak ban, lokasi dan orientasi. Dalam kasus beban A, truk “T” dua sumbu diposisikan menerus pada posisi ditengah rusuk pada dek. Dalam kasus beban B, truk “T” dua sumbu diposisikan menerus pada posisi diantara rusuk pada dek diletakkan didek jembatan untuk menghasilkan momen global maksimum. Adapun evaluasi dek ortotropik meliputi beberapa kasus: 1. Analisis struktur desain dek ortotropik

dengan diafragma menerus. 2. Analisis struktur desain dek ortotropik

dengan diafragma coak.

HASIL DAN ANALISIS

Hasil analisis elemen hingga diberikan pada Tabel 3 dan Tabel 4 berupa ringkasan lendutan dan tegangan pada pelat lantai jembatan untuk SLS dan ULS untuk masing-masing kasus analisis. Perlu dicatat bahwa tegangan dalam Tabel 3 dan Tabel 4 adalah tegangan puncak maksimum dari model elemen hingga dan belum merata di atas permukaan elemen. Lendutan dan tegangan untuk kasus beban 1 dan 2 ditentukan berdasarkan pada model elemen hingga yang diberikan pada Gambar 6 dari struktur lantai jembatan termasuk dua dan tiga buah stringer dengan truk diposisikan untuk menghasilkan momen global maksimum.

Tabel 3. Rangkuman lendutan dan tegangan pada dek ortotropik kasus 1

Parameter Kasus beban

Kriteria desain Tengah rusuk

Antar rusuk

Lendutan, mm Deformasi total 1.6 1.6 L/300 16.67

Deformasi direksional -0.18 -0.12 L/300 16.67

Tegangan maksimum, MPa

Tegangan ekivalen 325 328 0.9Fy 414.0

Tegangan utama maksimum 309 326 0.9Fy 414.0

Tegangan utama tengah -131 -174 0.9Fy 414.0

Tegangan utama minimum -281 -381 0.9Fy 414.0

Intensitas tegangan 342 376 0.9Fy 414.0

Tegangan normal 309 380 0.9Fy 414.0

Tegangan Geser, MPa

Tegangan geser maksimum 171 188 0.58Fy 266.8

Tegangan geser 55 76 0.58Fy 266.8

Awal-19-04-13 Tabel 4. Rangkuman lendutan dan tegangan pada dek ortotropik kasus 2

Parameter Kasus beban

Kriteria desain Tengah rusuk

Antar rusuk

Lendutan, mm Deformasi total 1.4 1.3 L/300 16.67

Deformasi direksional -1.4 -1.3 L/300 16.67 Tegangan maksimum, MPa

Tegangan ekivalen 142 147 0.9Fy 414.0

Tegangan utama maksimum 130 104 0.9Fy 414.0

Tegangan utama tengah -84 -79 0.9Fy 414.0

Tegangan utama minimum -144 -134 0.9Fy 414.0

Intensitas tegangan 163 169 0.9Fy 414.0

Tegangan normal 127 -112 0.9Fy 414.0 Tegangan Geser, MPa

Tegangan geser maksimum 81 85 0.58Fy 266.8

Tegangan geser 64 -63 0.58Fy 266.8

Gambar 11. Tegangan ekivalen pada pemodelan struktur kasus 1 kombinasi 2 ULS sebesar 328 MPa

Gambar 12. Tegangan ekivalen pada pemodelan struktur kasus 2 kombinasi 2 ULS sebesar 142 MPa

Gambar 13. Konsentrasi tegangan Von Mises pada rusuk dan diafragma akibat truk kasus

Page 36: Info Pub Lik 20131028094042

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 22 – 3332

Awal-19-04-13

PEMBAHASAN

Lendutan vertikal, tegangan normal utama, tegangan Von Mises dan tegangan antarmuka geser diplot pada Gambar 11 dan Gambar 12 untuk kasus beban 1 dan 2, dimana nilai-nilai maksimum dan lokasinya diketahui. Gambar 11 dan Gambar 12 menunjukkan tegangan Von Mises dari analisis elemen hingga pada pelat dek atas dan rusuk ortotropik prefabrikasi maksimum memanjang dan melintang jembatan. Untuk ban diposisikan berdekatan dengan badan dari sudut memanjang dan melintang, tegangan normal dan Von Mises cenderung sangat terpusat pada pelat diatas badan dan menghilang dengan cepat. Untuk semua kasus beban tegangan memenuhi kriteria tahanan faktor dan tidak melebihi 0,9Fy. Kecuali untuk kasus 1, terjadi konsentrasi tegangan pada bagian antarmuka rusuk dan diafragma seperti Gambar 13. Geser antarmuka maksimum antara dek ortotropik baja dalam arah longitudinal dan transversal diilustrasikan dalam Gambar 11 dan Gambar 12 untuk masing-masing kasus beban 1 dan 2. Kriteria tahanan faktor mensyaratkan tegangan geser harus kurang dari 0,58Fy. Gambar 11 dan Gambar 12 menggambarkan tegangan normal dalam arah longitudinal untuk kedua bagian atas dan bawah flens dari balok utama pendukung. Tegangan tarik dan tekan rata-rata di seluruh lebar flens bawah dalam arah longitudinal panel ortotropik untuk kasus 1 dan kombinasi ULS memenuhi kriteria tahanan terfaktor.

Tegangan tarik dan tekan pada panel ortotropik yang terjadi untuk kombinasi beban ULS ditengah rusuk dan antar rusuk, terlihat bahwa tegangan tegangan ekivalen, tegangan utama maksimum, intensitas tegangan dan tegangan normal karena konsentrasi tegangan pada antarmuka rusuk dan diafragma panel ortotropik memenuhi kriteria batasan tegangan izin 0,9Fy. Begitu juga untuk tegangan geser maksimum menenuhi kriteria batasan tegangan izin 0,58Fy. Tegangan ekivalen Von Mises yang terjadi untuk diafragma menerus sebesar 328 MPa, sedangkan diafragma coak sebesar 142 MPa. Sehingga perbandingan tegangan Von Mises ini sebesar 2,31 dapat diturunkan nilainya dengan penggunaan tipe diafragma coak.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis struktur lantai

baja ortotropik dengan metode elemen hingga, dapat disimpulkan bahwa: 1. Lendutan ortotropik desain memenuhi

kriteria batas layan dimana lendutan yang terjadi lebih kecil dari kriteria L/300.

2. Tegangan tarik dan tekan pada panel ortotropik yang terjadi untuk kombinasi beban ultimit/ULS ditengah rusuk dan antar rusuk, terlihat bahwa tegangan tegangan ekivalen, tegangan utama maksimum, intensitas tegangan dan tegangan normal karena konsentrasi tegangan pada antarmuka rusuk dan diafragma panel ortotropik memenuhi kriteria batasan tegangan izin 0,9Fy. Begitu juga untuk tegangan geser maksimum menenuhi kriteria batasan tegangan izin 0,58Fy. Tegangan ekivalen Von Mises yang terjadi untuk diafragma menerus sebesar 328 MPa, sedangkan diafragma coak sebesar 142 MPa. Sehingga perbandingan tegangan Von Mises ini sebesar 2,31 dapat diturunkan nilainya dengan penggunaan tipe diafragma coak.

3. Bentuk diafragma dengan tipe menerus akan menyebabkan konsentrasi tegangan. Sedangkan bentuk diafragma bentuk coak dengan kelengkungan tertentu akan mengurangi konsentrasi tegangan lokal pada diafragma.

Saran

1. Detailing konfigurasi komponen rusuk pengaku harus lebih diperhatikan untuk mencegah terjadinya konsentrasi tegangan lokal, seperti menggunakan diafragma dengan tipe coak, dengan mutu yang sesuai dibutuhkan.

2. Perlu studi lanjutan tentang pengaruh fatigue pada dek ortotropik dan studi tentang komponen sambungan las maupun baut yang digunakan.

Awal-19-04-13

DAFTAR PUSTAKA American Association of State Highway and

Transportation Officials. 2010. AASHTO LRFD Bridge Design Specifications, 5th Ed. Washington D.C.: AASHTO.

American Institute of Steel Construction. 1963. Design Manual for Orthotropic Steel Plate Deck Bridges. Chicago: AISC.

American Institute of Steel Construction. 2005. “Specification for Structural Steel Buildings, American Institute of Steel Construction. Chicago: AISC.

California Departement of Transportation. 2004. “Bridge Design Specification”. Sacramento: Caltrans.

Choi, D. 2008. “Orthotropic steel deck bridge in Korea”. Proceedings of 2008 orthotropic bridge Conference. Korea: ASCE

Connor, R. et al. 2012. Manual for Design, Construction, and Maintenance of Orthotropic Steel Deck Bridges. FHWA-LF-12-027. Washington, D.C.: US Department Of Transportation Federal Highway Administration

Departemen Pekerjaan Umum. Direktorat Jenderal Bina Marga. 1992. Bridge Design Code (BMS). Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum.

European Committee for Standardization. 1992. Eurocode 3 “Design of Steel Structures”. Brussel: ECS

Hoorpah, W. 2004. “Orthotropic Decks for Small and Medium Span Bridges in France – Evolution and Recent Trends.” Proc. of 2004 Orthotropic Bridge Conference. Sacramento: ASCE, 25-27.

Huang, C., Mangus, A. 2008. “Redecking Existing Bridges with Orthotropic Steel Deck Panels.” Proc. of 2008 Orthotropic Bridge Conference.. Sacramento: ASCE, 25-27.

Huang, C., Mangus, A., Murphy, J., Socha, M.J. 2008. “Twenty Four Icons of Orthotropic Steel Deck Bridge Engineering,” ICONS

Project – An International Discussion; Professional Engineers in California Government. California: Professional Engineers.

Korniyiv, M. 2004. “Orthotropic Deck Bridges in Ukraine”. Proc. of 2004 Orthotropic Bridge Conference. Sacramento: ASCE, 25-27.

Troitsky, M.S. 1987. Orthotropic Bridges Theory and Design. 2nd Ed. Cleveland: The James F. Lincoln Arc Welding Foundation.

Page 37: Info Pub Lik 20131028094042

Analisis Elemen Hingga Komponen Diafragma pada Dek Baja Tipe Ortotropik Melintang Jembatan, (Anton Surviyanto) 33

Awal-19-04-13

PEMBAHASAN

Lendutan vertikal, tegangan normal utama, tegangan Von Mises dan tegangan antarmuka geser diplot pada Gambar 11 dan Gambar 12 untuk kasus beban 1 dan 2, dimana nilai-nilai maksimum dan lokasinya diketahui. Gambar 11 dan Gambar 12 menunjukkan tegangan Von Mises dari analisis elemen hingga pada pelat dek atas dan rusuk ortotropik prefabrikasi maksimum memanjang dan melintang jembatan. Untuk ban diposisikan berdekatan dengan badan dari sudut memanjang dan melintang, tegangan normal dan Von Mises cenderung sangat terpusat pada pelat diatas badan dan menghilang dengan cepat. Untuk semua kasus beban tegangan memenuhi kriteria tahanan faktor dan tidak melebihi 0,9Fy. Kecuali untuk kasus 1, terjadi konsentrasi tegangan pada bagian antarmuka rusuk dan diafragma seperti Gambar 13. Geser antarmuka maksimum antara dek ortotropik baja dalam arah longitudinal dan transversal diilustrasikan dalam Gambar 11 dan Gambar 12 untuk masing-masing kasus beban 1 dan 2. Kriteria tahanan faktor mensyaratkan tegangan geser harus kurang dari 0,58Fy. Gambar 11 dan Gambar 12 menggambarkan tegangan normal dalam arah longitudinal untuk kedua bagian atas dan bawah flens dari balok utama pendukung. Tegangan tarik dan tekan rata-rata di seluruh lebar flens bawah dalam arah longitudinal panel ortotropik untuk kasus 1 dan kombinasi ULS memenuhi kriteria tahanan terfaktor.

Tegangan tarik dan tekan pada panel ortotropik yang terjadi untuk kombinasi beban ULS ditengah rusuk dan antar rusuk, terlihat bahwa tegangan tegangan ekivalen, tegangan utama maksimum, intensitas tegangan dan tegangan normal karena konsentrasi tegangan pada antarmuka rusuk dan diafragma panel ortotropik memenuhi kriteria batasan tegangan izin 0,9Fy. Begitu juga untuk tegangan geser maksimum menenuhi kriteria batasan tegangan izin 0,58Fy. Tegangan ekivalen Von Mises yang terjadi untuk diafragma menerus sebesar 328 MPa, sedangkan diafragma coak sebesar 142 MPa. Sehingga perbandingan tegangan Von Mises ini sebesar 2,31 dapat diturunkan nilainya dengan penggunaan tipe diafragma coak.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis struktur lantai

baja ortotropik dengan metode elemen hingga, dapat disimpulkan bahwa: 1. Lendutan ortotropik desain memenuhi

kriteria batas layan dimana lendutan yang terjadi lebih kecil dari kriteria L/300.

2. Tegangan tarik dan tekan pada panel ortotropik yang terjadi untuk kombinasi beban ultimit/ULS ditengah rusuk dan antar rusuk, terlihat bahwa tegangan tegangan ekivalen, tegangan utama maksimum, intensitas tegangan dan tegangan normal karena konsentrasi tegangan pada antarmuka rusuk dan diafragma panel ortotropik memenuhi kriteria batasan tegangan izin 0,9Fy. Begitu juga untuk tegangan geser maksimum menenuhi kriteria batasan tegangan izin 0,58Fy. Tegangan ekivalen Von Mises yang terjadi untuk diafragma menerus sebesar 328 MPa, sedangkan diafragma coak sebesar 142 MPa. Sehingga perbandingan tegangan Von Mises ini sebesar 2,31 dapat diturunkan nilainya dengan penggunaan tipe diafragma coak.

3. Bentuk diafragma dengan tipe menerus akan menyebabkan konsentrasi tegangan. Sedangkan bentuk diafragma bentuk coak dengan kelengkungan tertentu akan mengurangi konsentrasi tegangan lokal pada diafragma.

Saran

1. Detailing konfigurasi komponen rusuk pengaku harus lebih diperhatikan untuk mencegah terjadinya konsentrasi tegangan lokal, seperti menggunakan diafragma dengan tipe coak, dengan mutu yang sesuai dibutuhkan.

2. Perlu studi lanjutan tentang pengaruh fatigue pada dek ortotropik dan studi tentang komponen sambungan las maupun baut yang digunakan.

Awal-19-04-13

DAFTAR PUSTAKA American Association of State Highway and

Transportation Officials. 2010. AASHTO LRFD Bridge Design Specifications, 5th Ed. Washington D.C.: AASHTO.

American Institute of Steel Construction. 1963. Design Manual for Orthotropic Steel Plate Deck Bridges. Chicago: AISC.

American Institute of Steel Construction. 2005. “Specification for Structural Steel Buildings, American Institute of Steel Construction. Chicago: AISC.

California Departement of Transportation. 2004. “Bridge Design Specification”. Sacramento: Caltrans.

Choi, D. 2008. “Orthotropic steel deck bridge in Korea”. Proceedings of 2008 orthotropic bridge Conference. Korea: ASCE

Connor, R. et al. 2012. Manual for Design, Construction, and Maintenance of Orthotropic Steel Deck Bridges. FHWA-LF-12-027. Washington, D.C.: US Department Of Transportation Federal Highway Administration

Departemen Pekerjaan Umum. Direktorat Jenderal Bina Marga. 1992. Bridge Design Code (BMS). Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum.

European Committee for Standardization. 1992. Eurocode 3 “Design of Steel Structures”. Brussel: ECS

Hoorpah, W. 2004. “Orthotropic Decks for Small and Medium Span Bridges in France – Evolution and Recent Trends.” Proc. of 2004 Orthotropic Bridge Conference. Sacramento: ASCE, 25-27.

Huang, C., Mangus, A. 2008. “Redecking Existing Bridges with Orthotropic Steel Deck Panels.” Proc. of 2008 Orthotropic Bridge Conference.. Sacramento: ASCE, 25-27.

Huang, C., Mangus, A., Murphy, J., Socha, M.J. 2008. “Twenty Four Icons of Orthotropic Steel Deck Bridge Engineering,” ICONS

Project – An International Discussion; Professional Engineers in California Government. California: Professional Engineers.

Korniyiv, M. 2004. “Orthotropic Deck Bridges in Ukraine”. Proc. of 2004 Orthotropic Bridge Conference. Sacramento: ASCE, 25-27.

Troitsky, M.S. 1987. Orthotropic Bridges Theory and Design. 2nd Ed. Cleveland: The James F. Lincoln Arc Welding Foundation.

Page 38: Info Pub Lik 20131028094042

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 34 – 4534

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

PENGARUH BEBAN-IMPAK KAPAL TERHADAP BANGUNAN PENGAMAN PILAR JEMBATAN FENDER

(IMPACT LOAD EFFECT OF BARGE TO BRIDGE PIER FENDER)

N. Retno Setiati1), Bagus Aditya W2)

1), 2) Puslitbang Jalan dan Jembatan 1), 2) Jalan A.H. Nasution No. 264 Ujungberung, Bandung

1) e-mail: [email protected] 2) e-mail: [email protected]

Diterima: 07 Januari 2013; disetujui: 01 April 2013

ABSTRAK Tumbukan kapal terhadap jembatan sering terjadi dan dapat mengakibatkan kerusakan maupun keruntuhan struktur jembatan. Runtuhnya jembatan dapat berakibat pada kerugian baik dari segi nilai ekonomis ataupun korban jiwa. Untuk mengurangi resiko terjadinya kerusakan tersebut diatas, perlu dirancang bangunan pengaman pilar jembatan terhadap lalu-lintas kapal. Sistem pelindung jembatan harus didesain tidak hanya melindungi struktur jembatan tetapi juga digunakan untuk melindungi kapal dan lingkungan yang dapat mengakibatkan kerusakan. Penulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi beberapa ketentuan dalam kriteria desain terkait fender sesuai dengan kondisi dan lokasi jembatan tersebut. Sistem pengamanan jembatan di lokasi sungai berbeda dengan sistem pengamanan di laut. Dalam penulisan ini dibahas contoh studi kasus bangunan pengaman pada Jembatan Kutai Kartanegara yang berupa pile supported system. Analisis dilakukan dari evaluasi lalu-lintas air dan analisis terhadap struktur bangunan. Metodologi yang digunakan terdiri dari menentukan karakteristik lalu-lintas sungai Mahakam, jalur pelayaran, kecepatan impak rencana, energi impak tongkang, dan analisis struktur dari bangunan pengamanan Jembatan Kutai Kartanegara. Dari analisis diperoleh bahwa dengan beban impak sebesar 682,59 kN akibat tongkang tipe 300 feet menghasilkan defleksi (pergerakan) maksimum pada fender sebesar 0,12 meter artinya bahwa fender yang tertumbuk tongkang tidak diperkenankan menyebabkan terjadinya defleksi lebih dari 12%. Kata kunci: tongkang, bangunan pengaman, pilar, impak, perpindahan, panjang keseluruhan kapal, bobot

mati kapal

ABSTRACT Lately frequent boat collision on bridges resulted in the collapse of the bridge structure. The collapse of the bridge can result in a loss of economic value or loss of life. To reduce the risk of damage a fender should be designed to protect pier of the bridge against boat traffic. The bridge protection system must be designed to protect the bridge structure and also to protect the ship and the environment that can cause severe damage. This paper aims to identify some of the provisions of the relevant design criteria in accordance with the conditions and fender bridge location. Protective systems in river bridge location are different from the protective system in the sea. In this paper a case study is discussed on river pier protections of Kutai Kartanegara Bridge pile supported system. Analysis of the evaluation of the traffic is included the analysis of the structure of the pier. The methodology used consists of determining the characteristics of the Mahakam River traffic, cruise lines, high-impact plans, energy collision ship (barge), to the analysis of the structure of the pier protection of Kutai Kartanegara Bridge. From the analysis is found that the impact load of 682.59 kN due to the vessel (barge) type 300 feet produce a deflection (movement) on the fender of a maximum 0.12 meters, that means that if the fender is crushed by barge, deflection of the fender shall not be more than 12%. Keywords: barge, fender, pier, impact, deflection, Length Over All (LOA), Dead Weight Tonnage (DWT)

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

PENDAHULUAN

Jembatan merupakan salah satu wujud terpenting dari sarana pelayanan publik dalam bentuk barang yang dipergunakan sebagai fasilitas umum. Keberadaan jembatan menjadi sangat penting, karena tercermin hubungan antar wilayah yang melancarkan akses ekonomi, sosial, dan budaya. Eksistensi sebuah jembatan mencerminkan sebuah komitmen penguasa mengenai perlindungan/jaminan keamanan yang diberikan kepada pengguna jembatan terhadap bahaya alam, terutama sungai besar. Maka, di balik ambruknya sebuah jembatan, sebenarnya tak hanya semata-mata runtuhnya sebuah bangunan fasilitas umum atau suatu konstruksi, namun juga terputusnya akses ekonomi, sosial, dan budaya, serta gagalnya perlindungan negara terhadap rakyat yang menggunakan jembatan tersebut. (Riawan, W 2011)

Pada era modern sungai masih memiliki peran penting dalam masyarakat. Transportasi sungai yang semakin berkembang meningkatkan daya angkut dan kapasitas kapal. Dengan semakin ramai angkutan sungai juga mengakibatkan sering terjadinya tumbukan antara kapal dengan jembatan terutama pada bagian pilar dan gelagar. Semakin tinggi kemampuan angkut suatu perahu maka meningkat pula tingkat kerusakan yang terjadi pada suatu jembatan. Terdapat banyak tumbukan kapal terhadap pilar jembatan yang mengakibatkan terjadinya kegagalan pada struktur jembatan. Runtuhnya pilar jembatan dapat berakibat pada kerugian baik dari segi nilai ekonomis ataupun korban jiwa.

sumber: Wikimedia Foundation, Inc., 2007

Gambar 1. Jembatan Jiujiang China ditabrak kapal bermuatan pasir

Gambar 1 memperlihatkan runtuhnya Jembatan Jiujiang China yang ditabrak kapal

bermuatan batubara. Peristiwa serupa terjadi pada Jembatan Ampera. Jembatan Ampera yang menghubungkan Palembang Ulu dan Palembang Ilir saat ini kondisinya memprihatinkan. karena sudah belasan kali jembatan tersebut ditabrak oleh kapal tongkang pengangkut batu bara. Jembatan ini juga pernah terpanggang kobaran api yang melahap bangunan liar di bawahnya pada Oktober 2010. Sebagai langkah pencegahan saat ini pada tiang utama Jembatan Ampera dipasang pelindung dari benturan kapal besar. (Riawan, W 2011)

Untuk mengurangi resiko terjadinya kerusakan tersebut di atas, maka perlu dikaji dan dirancang bangunan pengaman pilar jembatan (fender) yang sesuai dengan kondisi dan lokasi jembatan tersebut.

KAJIAN PUSTAKA

Runtuhnya suatu jembatan tidak hanya diakibatkan bahaya alam (bencana) atau penurunan kapasitas, akan tetapi dapat juga diakibatkan tertabrak kapal/tongkang yang melintas di bawahnya sehingga menimbulkan kerusakan pada pilar maupun gelagar. Sebagai salah satu contoh, berikut kronologis tertabraknya Jembatan Ampera oleh kapal yang berlayar di bawah melintasi jembatan (Wordpress Org 2008): 1. Bulan Februari 1996, tertabrak tongkang.

Akibatnya selubung beton Pier 3 (tower arah Palembang) rusak. Kerusakan tersebut telah diperbaiki pihak perusahaan Angkutan Batubara (PT. Grasindo Marine).

2. Pada tanggal 9 Februari 2000, pilar 4 tergores 1,5 m dengan lebar 25 cm dan kedalaman 3 cm (tower arah Plaju) tertabrak tongkang Metriko XVI berbendera Singapura yang mengangkut muatan 5.500 ton.

3. Pada tanggal 14 Desember 2001, kapal tongkang bermuatan pasir kembali menghantam Jembatan Ampera.

4. Pada tanggal 11 April 2005, kapal tongkang AP 3008 berukuran 90 x 18 m, bermuatan 7.400 ton batubara menabrak tiang Jembatan Ampera. Tongkang tersangkut di antara dua tiang jembatan.

5. Pada tanggal 18 Maret 2007, tongkang bermuatan menabrak Jembatan Ampera.

6. Pada tanggal 12 November 2007, pukul 19.00 WIB, fender arah hilir yang sedang dibangun tertabrak Tug Boat Marina XI

Page 39: Info Pub Lik 20131028094042

Pengaruh Beban Impak Kapal Terhadap Bangunan Pengaman Pilar Jembatan Fender, (N. Retno Setiati, Bagus Aditya W.) 35

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

PENGARUH BEBAN-IMPAK KAPAL TERHADAP BANGUNAN PENGAMAN PILAR JEMBATAN FENDER

(IMPACT LOAD EFFECT OF BARGE TO BRIDGE PIER FENDER)

N. Retno Setiati1), Bagus Aditya W2)

1), 2) Puslitbang Jalan dan Jembatan 1), 2) Jalan A.H. Nasution No. 264 Ujungberung, Bandung

1) e-mail: [email protected] 2) e-mail: [email protected]

Diterima: 07 Januari 2013; disetujui: 01 April 2013

ABSTRAK Tumbukan kapal terhadap jembatan sering terjadi dan dapat mengakibatkan kerusakan maupun keruntuhan struktur jembatan. Runtuhnya jembatan dapat berakibat pada kerugian baik dari segi nilai ekonomis ataupun korban jiwa. Untuk mengurangi resiko terjadinya kerusakan tersebut diatas, perlu dirancang bangunan pengaman pilar jembatan terhadap lalu-lintas kapal. Sistem pelindung jembatan harus didesain tidak hanya melindungi struktur jembatan tetapi juga digunakan untuk melindungi kapal dan lingkungan yang dapat mengakibatkan kerusakan. Penulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi beberapa ketentuan dalam kriteria desain terkait fender sesuai dengan kondisi dan lokasi jembatan tersebut. Sistem pengamanan jembatan di lokasi sungai berbeda dengan sistem pengamanan di laut. Dalam penulisan ini dibahas contoh studi kasus bangunan pengaman pada Jembatan Kutai Kartanegara yang berupa pile supported system. Analisis dilakukan dari evaluasi lalu-lintas air dan analisis terhadap struktur bangunan. Metodologi yang digunakan terdiri dari menentukan karakteristik lalu-lintas sungai Mahakam, jalur pelayaran, kecepatan impak rencana, energi impak tongkang, dan analisis struktur dari bangunan pengamanan Jembatan Kutai Kartanegara. Dari analisis diperoleh bahwa dengan beban impak sebesar 682,59 kN akibat tongkang tipe 300 feet menghasilkan defleksi (pergerakan) maksimum pada fender sebesar 0,12 meter artinya bahwa fender yang tertumbuk tongkang tidak diperkenankan menyebabkan terjadinya defleksi lebih dari 12%. Kata kunci: tongkang, bangunan pengaman, pilar, impak, perpindahan, panjang keseluruhan kapal, bobot

mati kapal

ABSTRACT Lately frequent boat collision on bridges resulted in the collapse of the bridge structure. The collapse of the bridge can result in a loss of economic value or loss of life. To reduce the risk of damage a fender should be designed to protect pier of the bridge against boat traffic. The bridge protection system must be designed to protect the bridge structure and also to protect the ship and the environment that can cause severe damage. This paper aims to identify some of the provisions of the relevant design criteria in accordance with the conditions and fender bridge location. Protective systems in river bridge location are different from the protective system in the sea. In this paper a case study is discussed on river pier protections of Kutai Kartanegara Bridge pile supported system. Analysis of the evaluation of the traffic is included the analysis of the structure of the pier. The methodology used consists of determining the characteristics of the Mahakam River traffic, cruise lines, high-impact plans, energy collision ship (barge), to the analysis of the structure of the pier protection of Kutai Kartanegara Bridge. From the analysis is found that the impact load of 682.59 kN due to the vessel (barge) type 300 feet produce a deflection (movement) on the fender of a maximum 0.12 meters, that means that if the fender is crushed by barge, deflection of the fender shall not be more than 12%. Keywords: barge, fender, pier, impact, deflection, Length Over All (LOA), Dead Weight Tonnage (DWT)

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

PENDAHULUAN

Jembatan merupakan salah satu wujud terpenting dari sarana pelayanan publik dalam bentuk barang yang dipergunakan sebagai fasilitas umum. Keberadaan jembatan menjadi sangat penting, karena tercermin hubungan antar wilayah yang melancarkan akses ekonomi, sosial, dan budaya. Eksistensi sebuah jembatan mencerminkan sebuah komitmen penguasa mengenai perlindungan/jaminan keamanan yang diberikan kepada pengguna jembatan terhadap bahaya alam, terutama sungai besar. Maka, di balik ambruknya sebuah jembatan, sebenarnya tak hanya semata-mata runtuhnya sebuah bangunan fasilitas umum atau suatu konstruksi, namun juga terputusnya akses ekonomi, sosial, dan budaya, serta gagalnya perlindungan negara terhadap rakyat yang menggunakan jembatan tersebut. (Riawan, W 2011)

Pada era modern sungai masih memiliki peran penting dalam masyarakat. Transportasi sungai yang semakin berkembang meningkatkan daya angkut dan kapasitas kapal. Dengan semakin ramai angkutan sungai juga mengakibatkan sering terjadinya tumbukan antara kapal dengan jembatan terutama pada bagian pilar dan gelagar. Semakin tinggi kemampuan angkut suatu perahu maka meningkat pula tingkat kerusakan yang terjadi pada suatu jembatan. Terdapat banyak tumbukan kapal terhadap pilar jembatan yang mengakibatkan terjadinya kegagalan pada struktur jembatan. Runtuhnya pilar jembatan dapat berakibat pada kerugian baik dari segi nilai ekonomis ataupun korban jiwa.

sumber: Wikimedia Foundation, Inc., 2007

Gambar 1. Jembatan Jiujiang China ditabrak kapal bermuatan pasir

Gambar 1 memperlihatkan runtuhnya Jembatan Jiujiang China yang ditabrak kapal

bermuatan batubara. Peristiwa serupa terjadi pada Jembatan Ampera. Jembatan Ampera yang menghubungkan Palembang Ulu dan Palembang Ilir saat ini kondisinya memprihatinkan. karena sudah belasan kali jembatan tersebut ditabrak oleh kapal tongkang pengangkut batu bara. Jembatan ini juga pernah terpanggang kobaran api yang melahap bangunan liar di bawahnya pada Oktober 2010. Sebagai langkah pencegahan saat ini pada tiang utama Jembatan Ampera dipasang pelindung dari benturan kapal besar. (Riawan, W 2011)

Untuk mengurangi resiko terjadinya kerusakan tersebut di atas, maka perlu dikaji dan dirancang bangunan pengaman pilar jembatan (fender) yang sesuai dengan kondisi dan lokasi jembatan tersebut.

KAJIAN PUSTAKA

Runtuhnya suatu jembatan tidak hanya diakibatkan bahaya alam (bencana) atau penurunan kapasitas, akan tetapi dapat juga diakibatkan tertabrak kapal/tongkang yang melintas di bawahnya sehingga menimbulkan kerusakan pada pilar maupun gelagar. Sebagai salah satu contoh, berikut kronologis tertabraknya Jembatan Ampera oleh kapal yang berlayar di bawah melintasi jembatan (Wordpress Org 2008): 1. Bulan Februari 1996, tertabrak tongkang.

Akibatnya selubung beton Pier 3 (tower arah Palembang) rusak. Kerusakan tersebut telah diperbaiki pihak perusahaan Angkutan Batubara (PT. Grasindo Marine).

2. Pada tanggal 9 Februari 2000, pilar 4 tergores 1,5 m dengan lebar 25 cm dan kedalaman 3 cm (tower arah Plaju) tertabrak tongkang Metriko XVI berbendera Singapura yang mengangkut muatan 5.500 ton.

3. Pada tanggal 14 Desember 2001, kapal tongkang bermuatan pasir kembali menghantam Jembatan Ampera.

4. Pada tanggal 11 April 2005, kapal tongkang AP 3008 berukuran 90 x 18 m, bermuatan 7.400 ton batubara menabrak tiang Jembatan Ampera. Tongkang tersangkut di antara dua tiang jembatan.

5. Pada tanggal 18 Maret 2007, tongkang bermuatan menabrak Jembatan Ampera.

6. Pada tanggal 12 November 2007, pukul 19.00 WIB, fender arah hilir yang sedang dibangun tertabrak Tug Boat Marina XI

Page 40: Info Pub Lik 20131028094042

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 34 – 4536

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

sehingga megakibatkan tiang baja bagian depan roboh dan bracing patah.

7. Pada tanggal 23 November 2007 pukul 08.00 WIB, fender arah hulu tertabrak Tug Boat Surya Wira dan Teratai yang mengakibatkan tiang baja dan bracing patah.

8. Pada tanggal 4 Januari 2008, pukul 11.30 WIB, fender arah hulu ditabrak Tug Boat Surya Wira dan Teratai mengakibatkan tiang dan bracing penyok.

9. Pada tanggal 13 Januari 2008, pukul 08.00 WIB, fender arah hilir ditabrak Tug Boat Mawar dan Equator mengakibatkan tiang 1 dan 3 serta bracing patah.

10. Pada tanggal 30 Januari 2008, pukul 08.30 WIB, fender arah hulu ditabrak Tug Boat King Fisher dan Teratai mengakibatkan tiang dan bracing patah.

11. Pada tanggal 1 Februari 2008, pukul 17.45 WIB, fender arah hilir ditabrak Tug Boat United dan Teratai mengakibatkan tiang dan bracing roboh dan patah.

Kasus lain terjadi pada Jembatan Jiujiang China dengan kerusakan akibat tertabrak tongkang batu bara pada tanggal 15 Juni 2007. Jembatan Jiujiang didukung oleh beberapa pier tambahan pada setiap jarak 50 meter. Setelah pier pertama ditabrak tongkang, bagian dari jembatan dengan bentang 100 meter juga ambruk, menyebabkan dua pier di sebelahnya secara beruntun runtuh, sehingga akhirnya menyebabkan 100 meter panjang bentang jembatan lainnya ikut runtuh. (Wikimedia Foundation, Inc. 2007)

Pembangunan struktur fender dimaksudkan untuk menjaga agar kapal/tongkang yang melintas di bawah jembatan tidak menumbuk secara langsung pilar jembatan yang berakibat kerusakan pada struktur jembatan tersebut. Menurut Supartono (Hidayatullah 2008), konsep perencanaan sangat didukung oleh beberapa faktor yaitu bathimetri (kedalaman dasar sungai), kecepatan arus sungai, penyelidikan tanah, konsep dan kriteria perencanaan, modelisasi struktur, analisis struktur, desain struktur fender, dan gambar rencana struktur. Perencanaan dilakukan berdasarkan suatu metode energi dimana energi kinetik dari kapal/tongkang yang menumbuk akan diserap sebagian oleh fender.

Prinsip perencanaan fender Perencanaan fender berdasarkan dua

prinsip sebagai berikut (RSNI T-02-2005, Pembebanan untuk Jembatan): 1. struktur fender sebagai peredam energi

impak kapal/tongkang sampai ke tingkat kekuatan ijin pilar jembatan;

2. struktur fender sebagai pelindung pilar jembatan terhadap energi impak kapal/tongkang.

Energi impak kapal dihitung berdasarkan perumusan gaya akselerasi (F=ma) yaitu:

∫= dxxFKE )( …………………..………. (1)

gVWxCKE H

2)(5,0= ……….…………… (2)

Keterangan: KE = energi kinetik kapal/tongkang desain (tm) F(x) = gaya pelindung struktur F(t) sebagai fungsi lendutan x(m) CH = koefisien hidrodinamis masa air yang bergerak bersama kapal, yang merupakan interpolasi dari:

a. 1,05 untuk jarak bebas dasar kapal/tongkang ke dasar perairan ≥ 0,5 x DL

b. 1,25 untuk jarak bebas dasar kapal/tongkang ke dasar perairan ≤ 0,1 x DL

DL = draft kedalaman kapal pada beban penuh (m) W = tonase perpindahan kapal (t), berat total kapal pada beban penuh V = kecepatan impak kapal (m/s) g = gravitasi (= 9,8m/s2)

Impak kapal/tongkang diperhitungkan ekuivalen dengan gaya impak statis pada obyek yang kaku dengan rumus berikut :

)5,12()( 2/1 xVDWTPS = ………………... (3)

Keterangan: PS = gaya impak kapal/tongkang sebagai gaya statis ekuivalen (t) DWT = tonase berat mati muatan

kapal/tongkang (t) = berat kargo, bahan bakar, dan persediaan air

V = kecepatan impak kapal (m/s)

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

Dalam keadaan khusus diperlukan analisis dinamis untuk menentukan energi dan gaya impak kapal.

Pengertian Dead Weight Tonnage (DWT) secara khusus adalah suatu unit kapasitas kapal untuk kargo, bahan bakar, barang dan awak kapal, yang diukur dalam satuan ton yang setara dengan 1.000 kg. Berat mati (DWT) kapal adalah total berat yang dapat dibawa oleh kapal saat proses pemuatan barang.

Klasifikasi kapal desain Tipe dan karakteristik kapal yang

digunakan dalam dunia transportasi air dibagi dalam dua kategori, yaitu kapal laut yang umum digunakan pada lalu-lintas laut dan tongkang yang digunakan pada lalu-lintas sungai. Klasifikasi kapal dan tongkang dapat dilihat pada Tabel 1.

Klasifikasi sistem fender Sehubungan dengan faktor risiko

dalam penentuan kapal/tongkang desain untuk perencanaan beban impak pada pilar. Berbagai tipe, bahan dan fungsi fender secara mendasar dijelaskan pada RSNI T-02-2005 (Indonesia,

2005) bahwa fender kayu, terdiri dari elemen vertikal dan horisontal dalam kerangka yang dipasang bersatu dengan pilar atau secara terpisah. Energi impak diredam oleh deformasi elastis dan kerusakan elemen kayu. Fender kayu digunakan untuk melindungi pilar terhadap gaya impak dari kapal kecil. 1. Fender karet, dibuat komersial dalam bentuk

aneka ragam. Energi impak diredam oleh deformasi elastis dari elemen karet dalam kombinasi tekanan, lenturan dan geser.

2. Fender beton, terdiri dari struktur boks berongga dan berdinding tipis yang dipasang pada pilar. Permukaan luar fender beton dapat dilindungi oleh fender kayu. Energi impak diredam oleh tekuk dan kerusakan dinding fender beton.

3. Fender baja, terdiri dari membran berdinding tipis dan elemen pengaku dalam kerangka boks pada pilar jembatan. Energi impak diredam oleh tekanan, lentur dan tekuk dari elemen baja dalam fender. Permukaan luar fender baja dapat dilindungi oleh fender kayu.

Tabel 1. Jenis, dimensi, dan tonase kapal

(Sumber: AASHTO 2010 dan Wikipedia.org 2008) Sistem penyangga tiang pancang (pile supported system)

Sistem yang didukung oleh tiang, dapat digunakan untuk meredam beban impak.

Kelompok tiang yang dihubungkan oleh cap yang kaku adalah suatu struktur pelindung dengan tahanan tinggi terhadap gaya impak kapal. Tiang individual dan tiang yang

Page 41: Info Pub Lik 20131028094042

Pengaruh Beban Impak Kapal Terhadap Bangunan Pengaman Pilar Jembatan Fender, (N. Retno Setiati, Bagus Aditya W.) 37

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

sehingga megakibatkan tiang baja bagian depan roboh dan bracing patah.

7. Pada tanggal 23 November 2007 pukul 08.00 WIB, fender arah hulu tertabrak Tug Boat Surya Wira dan Teratai yang mengakibatkan tiang baja dan bracing patah.

8. Pada tanggal 4 Januari 2008, pukul 11.30 WIB, fender arah hulu ditabrak Tug Boat Surya Wira dan Teratai mengakibatkan tiang dan bracing penyok.

9. Pada tanggal 13 Januari 2008, pukul 08.00 WIB, fender arah hilir ditabrak Tug Boat Mawar dan Equator mengakibatkan tiang 1 dan 3 serta bracing patah.

10. Pada tanggal 30 Januari 2008, pukul 08.30 WIB, fender arah hulu ditabrak Tug Boat King Fisher dan Teratai mengakibatkan tiang dan bracing patah.

11. Pada tanggal 1 Februari 2008, pukul 17.45 WIB, fender arah hilir ditabrak Tug Boat United dan Teratai mengakibatkan tiang dan bracing roboh dan patah.

Kasus lain terjadi pada Jembatan Jiujiang China dengan kerusakan akibat tertabrak tongkang batu bara pada tanggal 15 Juni 2007. Jembatan Jiujiang didukung oleh beberapa pier tambahan pada setiap jarak 50 meter. Setelah pier pertama ditabrak tongkang, bagian dari jembatan dengan bentang 100 meter juga ambruk, menyebabkan dua pier di sebelahnya secara beruntun runtuh, sehingga akhirnya menyebabkan 100 meter panjang bentang jembatan lainnya ikut runtuh. (Wikimedia Foundation, Inc. 2007)

Pembangunan struktur fender dimaksudkan untuk menjaga agar kapal/tongkang yang melintas di bawah jembatan tidak menumbuk secara langsung pilar jembatan yang berakibat kerusakan pada struktur jembatan tersebut. Menurut Supartono (Hidayatullah 2008), konsep perencanaan sangat didukung oleh beberapa faktor yaitu bathimetri (kedalaman dasar sungai), kecepatan arus sungai, penyelidikan tanah, konsep dan kriteria perencanaan, modelisasi struktur, analisis struktur, desain struktur fender, dan gambar rencana struktur. Perencanaan dilakukan berdasarkan suatu metode energi dimana energi kinetik dari kapal/tongkang yang menumbuk akan diserap sebagian oleh fender.

Prinsip perencanaan fender Perencanaan fender berdasarkan dua

prinsip sebagai berikut (RSNI T-02-2005, Pembebanan untuk Jembatan): 1. struktur fender sebagai peredam energi

impak kapal/tongkang sampai ke tingkat kekuatan ijin pilar jembatan;

2. struktur fender sebagai pelindung pilar jembatan terhadap energi impak kapal/tongkang.

Energi impak kapal dihitung berdasarkan perumusan gaya akselerasi (F=ma) yaitu:

∫= dxxFKE )( …………………..………. (1)

gVWxCKE H

2)(5,0= ……….…………… (2)

Keterangan: KE = energi kinetik kapal/tongkang desain (tm) F(x) = gaya pelindung struktur F(t) sebagai fungsi lendutan x(m) CH = koefisien hidrodinamis masa air yang bergerak bersama kapal, yang merupakan interpolasi dari:

a. 1,05 untuk jarak bebas dasar kapal/tongkang ke dasar perairan ≥ 0,5 x DL

b. 1,25 untuk jarak bebas dasar kapal/tongkang ke dasar perairan ≤ 0,1 x DL

DL = draft kedalaman kapal pada beban penuh (m) W = tonase perpindahan kapal (t), berat total kapal pada beban penuh V = kecepatan impak kapal (m/s) g = gravitasi (= 9,8m/s2)

Impak kapal/tongkang diperhitungkan ekuivalen dengan gaya impak statis pada obyek yang kaku dengan rumus berikut :

)5,12()( 2/1 xVDWTPS = ………………... (3)

Keterangan: PS = gaya impak kapal/tongkang sebagai gaya statis ekuivalen (t) DWT = tonase berat mati muatan

kapal/tongkang (t) = berat kargo, bahan bakar, dan persediaan air

V = kecepatan impak kapal (m/s)

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

Dalam keadaan khusus diperlukan analisis dinamis untuk menentukan energi dan gaya impak kapal.

Pengertian Dead Weight Tonnage (DWT) secara khusus adalah suatu unit kapasitas kapal untuk kargo, bahan bakar, barang dan awak kapal, yang diukur dalam satuan ton yang setara dengan 1.000 kg. Berat mati (DWT) kapal adalah total berat yang dapat dibawa oleh kapal saat proses pemuatan barang.

Klasifikasi kapal desain Tipe dan karakteristik kapal yang

digunakan dalam dunia transportasi air dibagi dalam dua kategori, yaitu kapal laut yang umum digunakan pada lalu-lintas laut dan tongkang yang digunakan pada lalu-lintas sungai. Klasifikasi kapal dan tongkang dapat dilihat pada Tabel 1.

Klasifikasi sistem fender Sehubungan dengan faktor risiko

dalam penentuan kapal/tongkang desain untuk perencanaan beban impak pada pilar. Berbagai tipe, bahan dan fungsi fender secara mendasar dijelaskan pada RSNI T-02-2005 (Indonesia,

2005) bahwa fender kayu, terdiri dari elemen vertikal dan horisontal dalam kerangka yang dipasang bersatu dengan pilar atau secara terpisah. Energi impak diredam oleh deformasi elastis dan kerusakan elemen kayu. Fender kayu digunakan untuk melindungi pilar terhadap gaya impak dari kapal kecil. 1. Fender karet, dibuat komersial dalam bentuk

aneka ragam. Energi impak diredam oleh deformasi elastis dari elemen karet dalam kombinasi tekanan, lenturan dan geser.

2. Fender beton, terdiri dari struktur boks berongga dan berdinding tipis yang dipasang pada pilar. Permukaan luar fender beton dapat dilindungi oleh fender kayu. Energi impak diredam oleh tekuk dan kerusakan dinding fender beton.

3. Fender baja, terdiri dari membran berdinding tipis dan elemen pengaku dalam kerangka boks pada pilar jembatan. Energi impak diredam oleh tekanan, lentur dan tekuk dari elemen baja dalam fender. Permukaan luar fender baja dapat dilindungi oleh fender kayu.

Tabel 1. Jenis, dimensi, dan tonase kapal

(Sumber: AASHTO 2010 dan Wikipedia.org 2008) Sistem penyangga tiang pancang (pile supported system)

Sistem yang didukung oleh tiang, dapat digunakan untuk meredam beban impak.

Kelompok tiang yang dihubungkan oleh cap yang kaku adalah suatu struktur pelindung dengan tahanan tinggi terhadap gaya impak kapal. Tiang individual dan tiang yang

Page 42: Info Pub Lik 20131028094042

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 34 – 4538

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

dihubungkan oleh cap yang fleksibel dapat digunakan juga sebagai pelindung pilar. Kelompok tiang dapat terdiri dari tiang vertikal yang menahan energi dengan lenturan, atau tiang miring yang menahan energi dengan tekanan dan lenturan. Deformasi plastis dan kerusakan tiang diijinkan dengan syarat kapal terhenti sebelum menabrak pilar, atau impak diredam sampai tingkat kekuatan pilar dan pondasi. Struktur tiang pelindung dapat dibuat secara berdiri sendiri, atau dipasang pada pilar. Tiang kayu, baja, atau beton dapat digunakan sesuai kondisi lapangan, beban impak dan pertimbangan ekonomis.

Dolphin (Hemming 1981)

Dolphin merupakan struktur sel sirkular dari turap baja yang dipancang, dan diisi beton serta ditutup dengan cap beton. Dolphin dapat dibuat dari komponen beton pracetak, atau di-pracetak secara keseluruhan di luar lapangan dan kemudian dibawa mengapung ke lokasi. Tiang pancang kadang-kadang digabung dalam desain sel. Prosedur perencanaan dolphin berdasarkan perubahan energi yang terjadi selama pembebanan impak rencana. Hubungan dan korelasi energi-simpangan dikembangkan untuk mekanisme peredaman berikut: 1. Kerusakan bagian depan kapal. 2. Terangkatnya bagian depan kapal. 3. Gesekan antara kapal dan dolphin. 4. Gesekan antara kapal dan dasar sungai. 5. Geseran dolphin. 6. Rotasi dolphin. 7. deformasi dolphin dibatasi kurang dari ½

diameter sel serta deformasi plastis dan runtuh parsial diperbolehkan terjadi pada sel.

Pulau buatan Fender pulau sekeliling pilar jembatan

adalah proteksi sangat efektif terhadap impak kapal. Pulau terdiri dari pasir atau batuan dengan permukaan luar dari batuan pelindung berat untuk menahan gelombang dan arus. Geometri pulau sesuai dengan kriteria berikut: 1. Impak kapal diredam melalui pulau sampai

ke tingkat kapasitas lateral pilar dan pondasi pilar;

2. Dimensi pulau sedemikian rupa agar penetrasi kapal ke dalam pulau tidak menyebabkan sentuhan kapal pada pilar.

Fender terapung Fender terapung terdapat dalam

berbagai system, yaitu: 1. Sistem jaringan kabel: kapal berhenti oleh

sistem kabel terjangkar dalam dasar perairan yang diberi pelampung di depan pilar;

2. Ponton terjangkar: ponton terapung yang terjangkar dalam dasar perairan di depan pilar untuk meredam impak kapal.

Model pembebanan (Knott 1990) Beberapa model pembebanan impak

kapal/tongkang terhadap struktur jembatan terdiri dari: a. Beban impak kapal terpusat. b. Beban impak kapal terbagi merata. c. Beban impak tongkang terpusat. d. Beban impak tongkang terbagi merata.

Gambar 2. Beban impak tongkang terpusat pada pilar (AASHTO 2010)

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

Gambar 3. Beban impak tongkang terbagi merata pada pilar (AASHTO 2010)

Gambar 2 dan 3 di atas adalah konsep

beban impak akibat tongkang yang menabrak pilar jembatan.

Berdasarkan data kecelakaan yang terjadi, kecepatan impak diluar wilayah jalur pelayaran berbentuk segitiga. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa kapal/tongkang yang berjalan menyimpang dan menabrak pilar yang jauh dari jalur pelayaran bergerak lebih lambat dari pada menabrak pilar yang lebih dekat dengan jalur pelayaran. Batas kecepatan rencana dengan nilai sama dengan kecepatan arus sejauh tiga kali panjang total kapal (3 LOA). Pemilihan kecepatan impak rencana merupakan salah satu parameter desain yang sangat penting. Kecepatan rencana harus mencerminkan tipikal kecepatan dari kapal rencana pada jalur pelayaran dengan kondisi lingkungan yang tipikal. Kecepatan rencana tidak boleh berdasarkan nilai ekstrim berdasarkan kejadian ekstrim seperti banjir dan kondisi alam yang ekstrim lainnya. Kapal yang berlayar pada kondisi tersebut tidak mencerminkan situasi rerata tahunan. Kecepatan impak rencana dapat ditentukan berdasarkan gambar 4 berikut: Kecepatan impak rencana (AASHTO 2010)

Gambar 4. Distribusi kecepatan impak rencana (AASHTO 2010)

Keterangan: V = kecepatan impak rencana (m/dt)

VT = tipikal kecepatan pelayaran pada jalur pelayaran dengan kondisi lingkungan normal tetapi digunakan lebih dari Vmin (m/dt).

VMIN = kecepatan impak rencana minimum, lebih besar dari kecepatan arus rerata tahunan pada lokasi jembatan (m/dt)

X = adalah jarak terhadap pilar dari garis tengah jalur pelayaran (mm)

XC = jarak terhadap tepi jalur pelayaran (mm)

XL = adalah jarak 3 kali panjang total kapal rencana (mm).

Energi impak kapal/tongkang (Maunsell 1978)

Energi kinetik yang diserap dari kapal/tongkang yang bergerak pada impak tidak eksentrik dengan memperhitungkan koefisien massa hidrodinamik dapat dilihat dalam persamaan (2).

Massa kapal harus berdasarkan kondisi kapal bermuatan dan termasuk massa kosong kapal dan memperhitungkan massa kargo untuk kapal bermuatan (DWT). Nilai koefisien massa hidrodinamik untuk jarak bersih sedang dapat diinterpolasi dari nilai dibawah ini: 1. Untuk jarak bersih dasar jalur pelayaran

terhadap bagian bawah kapal lebih dari 0,5 draft (≥ 0,5 x Draft), CH = 1,05.

2. Untuk jarak bersih dasar jalur pelayaran terhadap bagian bawah kapal lebih dari 0,5 draft (≤ 0,1 x Draft), CH = 1,25.

Draft adalah kedalaman alur pelayaran yang dilalui oleh kapal/tongkang, biasanya dalam satuan meter. Gaya impak kapal/tongkang

Gaya impak yang bekerja pada struktur pada umumnya digunakan sebagai berikut: 1. Beban desain 100 % apabila arah impak

sejajar dengan arah pergerakan kapal.

Page 43: Info Pub Lik 20131028094042

Pengaruh Beban Impak Kapal Terhadap Bangunan Pengaman Pilar Jembatan Fender, (N. Retno Setiati, Bagus Aditya W.) 39

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

dihubungkan oleh cap yang fleksibel dapat digunakan juga sebagai pelindung pilar. Kelompok tiang dapat terdiri dari tiang vertikal yang menahan energi dengan lenturan, atau tiang miring yang menahan energi dengan tekanan dan lenturan. Deformasi plastis dan kerusakan tiang diijinkan dengan syarat kapal terhenti sebelum menabrak pilar, atau impak diredam sampai tingkat kekuatan pilar dan pondasi. Struktur tiang pelindung dapat dibuat secara berdiri sendiri, atau dipasang pada pilar. Tiang kayu, baja, atau beton dapat digunakan sesuai kondisi lapangan, beban impak dan pertimbangan ekonomis.

Dolphin (Hemming 1981)

Dolphin merupakan struktur sel sirkular dari turap baja yang dipancang, dan diisi beton serta ditutup dengan cap beton. Dolphin dapat dibuat dari komponen beton pracetak, atau di-pracetak secara keseluruhan di luar lapangan dan kemudian dibawa mengapung ke lokasi. Tiang pancang kadang-kadang digabung dalam desain sel. Prosedur perencanaan dolphin berdasarkan perubahan energi yang terjadi selama pembebanan impak rencana. Hubungan dan korelasi energi-simpangan dikembangkan untuk mekanisme peredaman berikut: 1. Kerusakan bagian depan kapal. 2. Terangkatnya bagian depan kapal. 3. Gesekan antara kapal dan dolphin. 4. Gesekan antara kapal dan dasar sungai. 5. Geseran dolphin. 6. Rotasi dolphin. 7. deformasi dolphin dibatasi kurang dari ½

diameter sel serta deformasi plastis dan runtuh parsial diperbolehkan terjadi pada sel.

Pulau buatan Fender pulau sekeliling pilar jembatan

adalah proteksi sangat efektif terhadap impak kapal. Pulau terdiri dari pasir atau batuan dengan permukaan luar dari batuan pelindung berat untuk menahan gelombang dan arus. Geometri pulau sesuai dengan kriteria berikut: 1. Impak kapal diredam melalui pulau sampai

ke tingkat kapasitas lateral pilar dan pondasi pilar;

2. Dimensi pulau sedemikian rupa agar penetrasi kapal ke dalam pulau tidak menyebabkan sentuhan kapal pada pilar.

Fender terapung Fender terapung terdapat dalam

berbagai system, yaitu: 1. Sistem jaringan kabel: kapal berhenti oleh

sistem kabel terjangkar dalam dasar perairan yang diberi pelampung di depan pilar;

2. Ponton terjangkar: ponton terapung yang terjangkar dalam dasar perairan di depan pilar untuk meredam impak kapal.

Model pembebanan (Knott 1990) Beberapa model pembebanan impak

kapal/tongkang terhadap struktur jembatan terdiri dari: a. Beban impak kapal terpusat. b. Beban impak kapal terbagi merata. c. Beban impak tongkang terpusat. d. Beban impak tongkang terbagi merata.

Gambar 2. Beban impak tongkang terpusat pada pilar (AASHTO 2010)

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

Gambar 3. Beban impak tongkang terbagi merata pada pilar (AASHTO 2010)

Gambar 2 dan 3 di atas adalah konsep

beban impak akibat tongkang yang menabrak pilar jembatan.

Berdasarkan data kecelakaan yang terjadi, kecepatan impak diluar wilayah jalur pelayaran berbentuk segitiga. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa kapal/tongkang yang berjalan menyimpang dan menabrak pilar yang jauh dari jalur pelayaran bergerak lebih lambat dari pada menabrak pilar yang lebih dekat dengan jalur pelayaran. Batas kecepatan rencana dengan nilai sama dengan kecepatan arus sejauh tiga kali panjang total kapal (3 LOA). Pemilihan kecepatan impak rencana merupakan salah satu parameter desain yang sangat penting. Kecepatan rencana harus mencerminkan tipikal kecepatan dari kapal rencana pada jalur pelayaran dengan kondisi lingkungan yang tipikal. Kecepatan rencana tidak boleh berdasarkan nilai ekstrim berdasarkan kejadian ekstrim seperti banjir dan kondisi alam yang ekstrim lainnya. Kapal yang berlayar pada kondisi tersebut tidak mencerminkan situasi rerata tahunan. Kecepatan impak rencana dapat ditentukan berdasarkan gambar 4 berikut: Kecepatan impak rencana (AASHTO 2010)

Gambar 4. Distribusi kecepatan impak rencana (AASHTO 2010)

Keterangan: V = kecepatan impak rencana (m/dt)

VT = tipikal kecepatan pelayaran pada jalur pelayaran dengan kondisi lingkungan normal tetapi digunakan lebih dari Vmin (m/dt).

VMIN = kecepatan impak rencana minimum, lebih besar dari kecepatan arus rerata tahunan pada lokasi jembatan (m/dt)

X = adalah jarak terhadap pilar dari garis tengah jalur pelayaran (mm)

XC = jarak terhadap tepi jalur pelayaran (mm)

XL = adalah jarak 3 kali panjang total kapal rencana (mm).

Energi impak kapal/tongkang (Maunsell 1978)

Energi kinetik yang diserap dari kapal/tongkang yang bergerak pada impak tidak eksentrik dengan memperhitungkan koefisien massa hidrodinamik dapat dilihat dalam persamaan (2).

Massa kapal harus berdasarkan kondisi kapal bermuatan dan termasuk massa kosong kapal dan memperhitungkan massa kargo untuk kapal bermuatan (DWT). Nilai koefisien massa hidrodinamik untuk jarak bersih sedang dapat diinterpolasi dari nilai dibawah ini: 1. Untuk jarak bersih dasar jalur pelayaran

terhadap bagian bawah kapal lebih dari 0,5 draft (≥ 0,5 x Draft), CH = 1,05.

2. Untuk jarak bersih dasar jalur pelayaran terhadap bagian bawah kapal lebih dari 0,5 draft (≤ 0,1 x Draft), CH = 1,25.

Draft adalah kedalaman alur pelayaran yang dilalui oleh kapal/tongkang, biasanya dalam satuan meter. Gaya impak kapal/tongkang

Gaya impak yang bekerja pada struktur pada umumnya digunakan sebagai berikut: 1. Beban desain 100 % apabila arah impak

sejajar dengan arah pergerakan kapal.

Page 44: Info Pub Lik 20131028094042

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 34 – 4540

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

2. Beban desain 50 % apabila arah impak tegak lurus dengan arah pergerakan kapal.

3. Untuk kestabilan secara keseluruhan, beban impak yang digunakan berupa beban terpusat pada muka air tinggi rata-rata.

4. Untuk gaya impak lokal, beban impak yang digunakan berupa beban terbagi merata setinggi haluan kapal atau setinggi bidang kontak untuk tongkang.

Untuk desain bangunan atas, desain beban impak diterapkan secara transversal dengan arah sejajar arah kapal/tongkang. Gaya impak kapal/tongkang

Hubungan energi dengan gaya dapat diuraikan sebagai berikut: Gaya impak kapal pada pilar adalah seperti yang ditunjukkan pada persamaan (4).

𝑃𝑃𝑃𝑃𝑠𝑠𝑠𝑠 = 0,98(𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷)12 � 𝑉𝑉𝑉𝑉

16�……………….… (4)

Keterangan: Ps = gaya impak statik ekivalen kapal (MN)

DWT adalah bobot mati kapal (ton) V = kecepatan tumbukan kapal (knot)

Gaya impak tongkang pada pilar adalah sebagaimana ditunujukkan pada persamaan (5), (6), dan persamaan (7).

Untuk aB < 0,1 m

{ }{ }BBB RaP 60= ………………...………. (5) Untuk aB > 0,1 m

{ }{ }BBB Ra,P 616 += ………………...… (6) Keterangan: PB = gaya impak statik ekuivalen (MN) RB = rasio BB/10,67 (m) BB = lebar tongkang (m) aB = kerusakan lambung tongkang (m)

Hubungan antara kerusakan lambung tongkang dengan energi impak yang menyebabkan kerusakan dapat dilihat pada persamaan berikut:

[ ]

−××+= −

BB R

,KE,a 13110311 21

7

......(7) Keterangan: KE = energi kinetik akibat impak (J atau Nm)

HIPOTESIS

Perencanaan bangunan pengaman jembatan (fender) sangat dipengaruhi besarnya energi kinetik (beban impak) akibat kapal/tongkang yang melintas di bawah jembatan. METODOLOGI

Analisis struktur dilakukan dengan mengambil studi kasus terhadap bangunan pengaman (fender) pada Jembatan Kutai Kartanegara yang terletak di sungai Mahakam. Tipe fender yang terpasang berupa pile supported system. Metode analisis dilakukan dari evaluasi lalu-lintas air sampai dengan analisis terhadap struktur bangunan.

Berdasarkan teori (Greiner Engineering Sciences, Inc. 1983), pemilihan desain tongkang rencana dilakukan dengan dua metode yaitu: Metode I

Syarat yang harus dipenuhi adalah: 1. Jembatan kelas I atau jembatan penting.

Desain ukuran kapal harus sedemikian sehingga jumlah tahunan kapal yang lebih besar dari kapal desain maksimal 5% dari total jumlah tahunan seluruh kapal yang dapat menumbuk elemen jembatan, akan tetapi jumlah kapal yang lebih besar tidak boleh lebih dari 50 buah.

2. Jembatan kelas II atau jembatan biasa. Desain ukuran kapal harus sedemikian sehingga jumlah tahunan kapal yang lebih besar dari kapal desain maksimal 10% dari total jumlah tahunan seluruh kapal yang dapat menumbuk elemen jembatan, akan tetapi jumlah kapal yang lebih besar tidak boleh lebih dari 200 buah.

Metode II

Syarat yang harus dipenuhi dalam analisis dengan menggunakan metode II adalah: 1. Jembatan kelas I atau jembatan penting.

Frekuensi keruntuhan tahunan maksimum/maximum annual frequency (AFmax) harus sama dengan atau lebih kecil dari 0,01 dalam 100 tahun (AF = 0,0001).

2. Jembatan kelas II atau jembatan biasa. Frekuensi keruntuhan tahunan maksimum/maximum annual frequency

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

(AFmax) harus sama dengan atau lebih kecil dari 0,1 dalam 100 tahun (AF = 0,001).

HASIL DAN ANALISIS Penentuan analisis statistik tongkang rencana yang berlayar di Sungai Mahakam

Tabel 2 menunjukkan karakteristik lalu-lintas dari tongkang pada sungai Mahakam dalam satu tahun. Length Over All (LOA) adalah panjang keseluruhan kapal yang diukur dari ujung haluan kapal terdepan sampai pada ujung belakang buritan kapal.

Tabel 2. Ukuran dan jumlah tongkang yang melintasi Jembatan Kutai Kartanegara No Panjang total

meter LOA feet

Jumlah buah

1 100,58 330 96 2 91,44 300 251 3 82,30 270 486 4 70,10 230 187 5 54,86 180 120 Jumlah 1140 Sumber : Bina Marga (2010)

Berdasarkan metode I, untuk jembatan biasa desain tongkang sedemikian sehingga jumlah tahunan tongkang 10% dari total jumlah tongkang tahunan. 10% x 1140 = 114 buah < 200 bh

Karena kriteria 10% dari total jumlah tongkang tahunan lebih kecil dari jumlah maksimum 200 buah, maka tongkang yang digunakan adalah untuk ukuran 91,44 meter (300 feet). Ukuran tongkang ditentukan dari jumlah kumulatif tongkang yang ke 114.

Karakteristik jalur pelayaran Sungai Mahakam (Sumber: Bina Marga 2010)

Lebar total Sungai Mahakam 370 meter, dengan lebar jalur pelayaran 250 meter. Jarak antar pilar pada jalur pelayaran adalah 270 meter.

Penentuan kecepatan impak rencana

Kecepatan pelayaran untuk lalu-lintas dua jalur dengan kecepatan (5 – 8) m/dt memiliki lebar minimum 6,7 LOA. Dalam analisis digunakan tongkang terbesar yaitu panjang tongkang 100,58 meter (330 feet). 6,7 x 100,58 = 673,90 meter.

Karena lebar minimum tidak terpenuhi maka kecepatan yang melintasi diperkecil. Kecepatan pelayaran (3 – 4) m/dt untuk dua lajur pelayaran memiliki lebar minimum 3,5 LOA. 3,5 x 100,58 = 352,04 meter.

Karena lebar minimum jalur pelayaran untuk lalu-lintas dua lajur lebih besar dari lebar jalur pelayaran di sekitar jembatan, maka jalur pelayaran hanya dapat digunakan untuk satu lajur.

Kecepatan pelayaran (5 – 8) m/dt untuk satu lajur pelayaran memiliki lebar minimum 3,2 LOA. 3,2 x 100,58 = 321,86 meter.

Lebar minimum untuk kecepatan (5 – 8) m/dt > lebar jalur pelayaran (270 m), maka kecepatan kapal yang melintas diperkecil.

Kecepatan pelayaran (3 – 4) m/dt untuk satu lajur pelayaran memiliki lebar minimum 1,6 LOA. 1,6 x 100,58 = 160,93 meter.

Untuk lebar jalur pelayaran 270 m, maka kecepatan maksimum tongkang ukuran panjang 100,58 meter (330 feet) pada saat melalui jembatan adalah 4 m/dt.

Kecepatan arus sungai pada jalur pelayaran adalah 0,25 m/dt.

Untuk analisis kecepatan impak rencana sesuai dengan Gambar 4.

XC sesuai dengan lebar jalur pelayaran dari as jalur pelayaran yaitu 250/2 = 125 m

XL merupakan 3 kali LOA yaitu 3 x 100,58 = 301,75.

VT merupakan kecepatan maksimum pada jalur pelayaran yaitu 4 m/dt.

VMIN merupakan kecepatan arus sungai yaitu 0,25 m/dt. Untuk X< 175 m; V = VT = 4 m/dt Untuk 175 m ≤ X ≤ 301,75 m; V = 4 − �X − 125 � 4−0,25

301,75−125�� ……..(8)

Untuk X > 301,75 m ; V = VMIN = 0,25 m/dt Penentuan energi impak tongkang

Tongkang yang melalui jembatan selalu dalam kondisi penuh, total berat yang digunakan sebesar berat penuh tongkang. Berat penuh tongkang rencana 91,44 meter (300 feet) adalah 7500 ton. Kedalaman sungai 15 meter. Berdasarkan persamaan (3), diperoleh: Massa kapal (M) adalah dalam satuan Mg, sehingga massa kapal sebesar 7,5 Mg; CH adalah koefisien massa hidrodinamik. Jarak bersih dasar jalur pelayaran terhadap bagian bawah kapal adalah: 15 – 4,8 = 10,2 meter > 0,5 x 4,8 = 2,4 meter

Page 45: Info Pub Lik 20131028094042

Pengaruh Beban Impak Kapal Terhadap Bangunan Pengaman Pilar Jembatan Fender, (N. Retno Setiati, Bagus Aditya W.) 41

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

2. Beban desain 50 % apabila arah impak tegak lurus dengan arah pergerakan kapal.

3. Untuk kestabilan secara keseluruhan, beban impak yang digunakan berupa beban terpusat pada muka air tinggi rata-rata.

4. Untuk gaya impak lokal, beban impak yang digunakan berupa beban terbagi merata setinggi haluan kapal atau setinggi bidang kontak untuk tongkang.

Untuk desain bangunan atas, desain beban impak diterapkan secara transversal dengan arah sejajar arah kapal/tongkang. Gaya impak kapal/tongkang

Hubungan energi dengan gaya dapat diuraikan sebagai berikut: Gaya impak kapal pada pilar adalah seperti yang ditunjukkan pada persamaan (4).

𝑃𝑃𝑃𝑃𝑠𝑠𝑠𝑠 = 0,98(𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷)12 � 𝑉𝑉𝑉𝑉

16�……………….… (4)

Keterangan: Ps = gaya impak statik ekivalen kapal (MN)

DWT adalah bobot mati kapal (ton) V = kecepatan tumbukan kapal (knot)

Gaya impak tongkang pada pilar adalah sebagaimana ditunujukkan pada persamaan (5), (6), dan persamaan (7).

Untuk aB < 0,1 m

{ }{ }BBB RaP 60= ………………...………. (5) Untuk aB > 0,1 m

{ }{ }BBB Ra,P 616 += ………………...… (6) Keterangan: PB = gaya impak statik ekuivalen (MN) RB = rasio BB/10,67 (m) BB = lebar tongkang (m) aB = kerusakan lambung tongkang (m)

Hubungan antara kerusakan lambung tongkang dengan energi impak yang menyebabkan kerusakan dapat dilihat pada persamaan berikut:

[ ]

−××+= −

BB R

,KE,a 13110311 21

7

......(7) Keterangan: KE = energi kinetik akibat impak (J atau Nm)

HIPOTESIS

Perencanaan bangunan pengaman jembatan (fender) sangat dipengaruhi besarnya energi kinetik (beban impak) akibat kapal/tongkang yang melintas di bawah jembatan. METODOLOGI

Analisis struktur dilakukan dengan mengambil studi kasus terhadap bangunan pengaman (fender) pada Jembatan Kutai Kartanegara yang terletak di sungai Mahakam. Tipe fender yang terpasang berupa pile supported system. Metode analisis dilakukan dari evaluasi lalu-lintas air sampai dengan analisis terhadap struktur bangunan.

Berdasarkan teori (Greiner Engineering Sciences, Inc. 1983), pemilihan desain tongkang rencana dilakukan dengan dua metode yaitu: Metode I

Syarat yang harus dipenuhi adalah: 1. Jembatan kelas I atau jembatan penting.

Desain ukuran kapal harus sedemikian sehingga jumlah tahunan kapal yang lebih besar dari kapal desain maksimal 5% dari total jumlah tahunan seluruh kapal yang dapat menumbuk elemen jembatan, akan tetapi jumlah kapal yang lebih besar tidak boleh lebih dari 50 buah.

2. Jembatan kelas II atau jembatan biasa. Desain ukuran kapal harus sedemikian sehingga jumlah tahunan kapal yang lebih besar dari kapal desain maksimal 10% dari total jumlah tahunan seluruh kapal yang dapat menumbuk elemen jembatan, akan tetapi jumlah kapal yang lebih besar tidak boleh lebih dari 200 buah.

Metode II

Syarat yang harus dipenuhi dalam analisis dengan menggunakan metode II adalah: 1. Jembatan kelas I atau jembatan penting.

Frekuensi keruntuhan tahunan maksimum/maximum annual frequency (AFmax) harus sama dengan atau lebih kecil dari 0,01 dalam 100 tahun (AF = 0,0001).

2. Jembatan kelas II atau jembatan biasa. Frekuensi keruntuhan tahunan maksimum/maximum annual frequency

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

(AFmax) harus sama dengan atau lebih kecil dari 0,1 dalam 100 tahun (AF = 0,001).

HASIL DAN ANALISIS Penentuan analisis statistik tongkang rencana yang berlayar di Sungai Mahakam

Tabel 2 menunjukkan karakteristik lalu-lintas dari tongkang pada sungai Mahakam dalam satu tahun. Length Over All (LOA) adalah panjang keseluruhan kapal yang diukur dari ujung haluan kapal terdepan sampai pada ujung belakang buritan kapal.

Tabel 2. Ukuran dan jumlah tongkang yang melintasi Jembatan Kutai Kartanegara No Panjang total

meter LOA feet

Jumlah buah

1 100,58 330 96 2 91,44 300 251 3 82,30 270 486 4 70,10 230 187 5 54,86 180 120 Jumlah 1140 Sumber : Bina Marga (2010)

Berdasarkan metode I, untuk jembatan biasa desain tongkang sedemikian sehingga jumlah tahunan tongkang 10% dari total jumlah tongkang tahunan. 10% x 1140 = 114 buah < 200 bh

Karena kriteria 10% dari total jumlah tongkang tahunan lebih kecil dari jumlah maksimum 200 buah, maka tongkang yang digunakan adalah untuk ukuran 91,44 meter (300 feet). Ukuran tongkang ditentukan dari jumlah kumulatif tongkang yang ke 114.

Karakteristik jalur pelayaran Sungai Mahakam (Sumber: Bina Marga 2010)

Lebar total Sungai Mahakam 370 meter, dengan lebar jalur pelayaran 250 meter. Jarak antar pilar pada jalur pelayaran adalah 270 meter.

Penentuan kecepatan impak rencana

Kecepatan pelayaran untuk lalu-lintas dua jalur dengan kecepatan (5 – 8) m/dt memiliki lebar minimum 6,7 LOA. Dalam analisis digunakan tongkang terbesar yaitu panjang tongkang 100,58 meter (330 feet). 6,7 x 100,58 = 673,90 meter.

Karena lebar minimum tidak terpenuhi maka kecepatan yang melintasi diperkecil. Kecepatan pelayaran (3 – 4) m/dt untuk dua lajur pelayaran memiliki lebar minimum 3,5 LOA. 3,5 x 100,58 = 352,04 meter.

Karena lebar minimum jalur pelayaran untuk lalu-lintas dua lajur lebih besar dari lebar jalur pelayaran di sekitar jembatan, maka jalur pelayaran hanya dapat digunakan untuk satu lajur.

Kecepatan pelayaran (5 – 8) m/dt untuk satu lajur pelayaran memiliki lebar minimum 3,2 LOA. 3,2 x 100,58 = 321,86 meter.

Lebar minimum untuk kecepatan (5 – 8) m/dt > lebar jalur pelayaran (270 m), maka kecepatan kapal yang melintas diperkecil.

Kecepatan pelayaran (3 – 4) m/dt untuk satu lajur pelayaran memiliki lebar minimum 1,6 LOA. 1,6 x 100,58 = 160,93 meter.

Untuk lebar jalur pelayaran 270 m, maka kecepatan maksimum tongkang ukuran panjang 100,58 meter (330 feet) pada saat melalui jembatan adalah 4 m/dt.

Kecepatan arus sungai pada jalur pelayaran adalah 0,25 m/dt.

Untuk analisis kecepatan impak rencana sesuai dengan Gambar 4.

XC sesuai dengan lebar jalur pelayaran dari as jalur pelayaran yaitu 250/2 = 125 m

XL merupakan 3 kali LOA yaitu 3 x 100,58 = 301,75.

VT merupakan kecepatan maksimum pada jalur pelayaran yaitu 4 m/dt.

VMIN merupakan kecepatan arus sungai yaitu 0,25 m/dt. Untuk X< 175 m; V = VT = 4 m/dt Untuk 175 m ≤ X ≤ 301,75 m; V = 4 − �X − 125 � 4−0,25

301,75−125�� ……..(8)

Untuk X > 301,75 m ; V = VMIN = 0,25 m/dt Penentuan energi impak tongkang

Tongkang yang melalui jembatan selalu dalam kondisi penuh, total berat yang digunakan sebesar berat penuh tongkang. Berat penuh tongkang rencana 91,44 meter (300 feet) adalah 7500 ton. Kedalaman sungai 15 meter. Berdasarkan persamaan (3), diperoleh: Massa kapal (M) adalah dalam satuan Mg, sehingga massa kapal sebesar 7,5 Mg; CH adalah koefisien massa hidrodinamik. Jarak bersih dasar jalur pelayaran terhadap bagian bawah kapal adalah: 15 – 4,8 = 10,2 meter > 0,5 x 4,8 = 2,4 meter

Page 46: Info Pub Lik 20131028094042

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 34 – 4542

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

Untuk jarak bersih > 2,4 meter, maka CH = 1,05 Jarak pilar terhadap as jembatan adalah 270/2 = 135 meter.

Kecepatan tongkang pada jarak 135 meter adalah:

V = 4 − �(X − 125) � 4−0,25

301,75−125�� …….(9)

V = 4 − �(135 − 125) �4 − 0,25

301,75 − 125��

V = 3,79 m/dt

Energi impak tongkang pada pilar jembatan adalah:

{ } J,,,,KE 645655879357051500 2 =×××= Penentuan gaya impak tongkang

Kerusakan yang terjadi akibat impak tergantung dari energi kinetik (KE) dan lebar relatif tongkang rencana. Tongkang dengan panjang 91,44 meter (300 feet) memiliki lebar 24,38 meter (80 feet).

Kedalaman kerusakan pada tongkang akibat impak adalah dapat ditentukan berdasarkan persamaaan (7). RB adalah rasio lebar tongkang, BB/10,67 RB = 24,38/10,67 = 2,285 meter

aB = �[1 + 1,3. 10−7. KE]12 − 1� . �

3,1RB

�. (10)

aB = �[1 + 1,3. 10−7. 56558,64]

12 − 1� . � 3,1

2,285�.

aB = 0,00498 m Gaya impak yang terjadi pada tongkang

tergantung dari kedalaman kerusakan yang terjadi dan rasio lebar tongkang. Gaya impak untuk aB < 0,1 m berdasarkan persamaan (5) adalah: Pb = 60 (aB) (RB) Pb = 60 (0,00498) (2,285) PB = 0,6822758 MN = 682,28 kN

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil dan analisis diperoleh data sebagaimana tercantum dalam Tabel 3.

Tabel 3. Hasil analisis data

No Persamaan Besaran Satuan

1 Gaya impak 682,28 kN

2 Energi impak 56558,64 J

3 Kecepatan impak 0,25 m//det

Dari Tabel 3 diperoleh besar gaya

tumbukan yang diterima oleh struktur sebesar 682,28 kN. Gaya tumbukan yang bekerja pada struktur digunakan untuk menganalisis struktur. Struktur pelindung menggunakan sistem penyangga tiang pancang (pile supported system) sesuai dengan desain Jembatan Kutai Kartanegara.

Gaya tumbukan yang bekerja pada struktur digunakan untuk menganalisis struktur. Ditentukan dari data teknis bahwa: 1. Tebal pelat pegaku 2,0 m.

Diameter pipa 1,5 m. 2. Tulangan tiang pancang . 3. Berat volume beton bertulang 2,4 ton/m3. 4. Mutu beton pelat pengaku fc’ 30 MPa. 5. Mutu beton tiang pancang fc’ 30 MPa. 6. Jepit berada pada kedalaman 31 meter dari

pangkal tiang. 7. Jepit berada pada kedalaman 30 meter dari

muka air. Data teknis dan gaya impak tersebut

dianalisis dengan menggunakan program bantú (SAP = Structural Analysis Program).

Untuk penampang tiang pancang menggunakan beton mutu 30 MPa (K-350) dengan diameter 1,5 meter (lihat Gambar 5).

Gambar 5 : Dimensi tiang pancang (SAP 2000 v 14)

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

Gambar 6. Ukuran penampang pile supported system

Gambar 7. Output program SAP 2000 v 14 2013

Untuk struktur fender, pembuatan model dilakukan dengan menggunakan analisis shell dengan karakteristik sebagaimana dilihat dalam Gambar 6 di atas.

Dimensi penampang pile supported system dalam Gambar 6, bila kita validasikan dengan program SAP 2000 versi 14 akan diperoleh hasil output sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 7 di atas.

Untuk data teknis dari karakteristik material pile supported system berdasarkan hasil output

program SAP 2000 versi 14 ditunjukkan dalam Gambar 8 berikut.

Setelah dianalisis, diperoleh gaya-gaya dalam yang terjadi dari suatu sistem struktur tersebut, dimana defleksi maksimum sebesar 0,1189 m terjadi pada bangunan pengaman, artinya bahwa defleksi pada fender yang diakibatkan oleh gaya impak tongkang tidak boleh melebihi 0,1 meter (Gambar 9).

Page 47: Info Pub Lik 20131028094042

Pengaruh Beban Impak Kapal Terhadap Bangunan Pengaman Pilar Jembatan Fender, (N. Retno Setiati, Bagus Aditya W.) 43

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

Untuk jarak bersih > 2,4 meter, maka CH = 1,05 Jarak pilar terhadap as jembatan adalah 270/2 = 135 meter.

Kecepatan tongkang pada jarak 135 meter adalah:

V = 4 − �(X − 125) � 4−0,25

301,75−125�� …….(9)

V = 4 − �(135 − 125) �4 − 0,25

301,75 − 125��

V = 3,79 m/dt

Energi impak tongkang pada pilar jembatan adalah:

{ } J,,,,KE 645655879357051500 2 =×××= Penentuan gaya impak tongkang

Kerusakan yang terjadi akibat impak tergantung dari energi kinetik (KE) dan lebar relatif tongkang rencana. Tongkang dengan panjang 91,44 meter (300 feet) memiliki lebar 24,38 meter (80 feet).

Kedalaman kerusakan pada tongkang akibat impak adalah dapat ditentukan berdasarkan persamaaan (7). RB adalah rasio lebar tongkang, BB/10,67 RB = 24,38/10,67 = 2,285 meter

aB = �[1 + 1,3. 10−7. KE]12 − 1� . �

3,1RB

�. (10)

aB = �[1 + 1,3. 10−7. 56558,64]

12 − 1� . � 3,1

2,285�.

aB = 0,00498 m Gaya impak yang terjadi pada tongkang

tergantung dari kedalaman kerusakan yang terjadi dan rasio lebar tongkang. Gaya impak untuk aB < 0,1 m berdasarkan persamaan (5) adalah: Pb = 60 (aB) (RB) Pb = 60 (0,00498) (2,285) PB = 0,6822758 MN = 682,28 kN

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil dan analisis diperoleh data sebagaimana tercantum dalam Tabel 3.

Tabel 3. Hasil analisis data

No Persamaan Besaran Satuan

1 Gaya impak 682,28 kN

2 Energi impak 56558,64 J

3 Kecepatan impak 0,25 m//det

Dari Tabel 3 diperoleh besar gaya

tumbukan yang diterima oleh struktur sebesar 682,28 kN. Gaya tumbukan yang bekerja pada struktur digunakan untuk menganalisis struktur. Struktur pelindung menggunakan sistem penyangga tiang pancang (pile supported system) sesuai dengan desain Jembatan Kutai Kartanegara.

Gaya tumbukan yang bekerja pada struktur digunakan untuk menganalisis struktur. Ditentukan dari data teknis bahwa: 1. Tebal pelat pegaku 2,0 m.

Diameter pipa 1,5 m. 2. Tulangan tiang pancang . 3. Berat volume beton bertulang 2,4 ton/m3. 4. Mutu beton pelat pengaku fc’ 30 MPa. 5. Mutu beton tiang pancang fc’ 30 MPa. 6. Jepit berada pada kedalaman 31 meter dari

pangkal tiang. 7. Jepit berada pada kedalaman 30 meter dari

muka air. Data teknis dan gaya impak tersebut

dianalisis dengan menggunakan program bantú (SAP = Structural Analysis Program).

Untuk penampang tiang pancang menggunakan beton mutu 30 MPa (K-350) dengan diameter 1,5 meter (lihat Gambar 5).

Gambar 5 : Dimensi tiang pancang (SAP 2000 v 14)

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

Gambar 6. Ukuran penampang pile supported system

Gambar 7. Output program SAP 2000 v 14 2013

Untuk struktur fender, pembuatan model dilakukan dengan menggunakan analisis shell dengan karakteristik sebagaimana dilihat dalam Gambar 6 di atas.

Dimensi penampang pile supported system dalam Gambar 6, bila kita validasikan dengan program SAP 2000 versi 14 akan diperoleh hasil output sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 7 di atas.

Untuk data teknis dari karakteristik material pile supported system berdasarkan hasil output

program SAP 2000 versi 14 ditunjukkan dalam Gambar 8 berikut.

Setelah dianalisis, diperoleh gaya-gaya dalam yang terjadi dari suatu sistem struktur tersebut, dimana defleksi maksimum sebesar 0,1189 m terjadi pada bangunan pengaman, artinya bahwa defleksi pada fender yang diakibatkan oleh gaya impak tongkang tidak boleh melebihi 0,1 meter (Gambar 9).

Page 48: Info Pub Lik 20131028094042

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 34 – 4544

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

Gambar 8. Karakteristik beton (output program SAP 2000 v 14 2013 )

Gambar 9. Defleksi pada bangunan pengaman

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan arus lalu-lintas yang terjadi di sungai Mahakam, fender yang tertabrak tongkang tidak boleh melebihi defleksi maksimum sebesar 0,1 meter. Penentuan tipe fender dari suatu jembatan sangat dipengaruhi oleh karakteristik dari lalu-lintas sungai yang melewati jembatan tersebut.

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan sistem fender: 1. Fender harus memiliki kemampuan

penyerapan energi kinetis lebih besar dibanding energi kinetik yang terjadi akibat impak tongkang ke fender.

2. Tekanan yang timbul dari sistem fender tidak boleh melebihi kemampuan menahan tekanan dari lambung tongkang (badan tongkang).

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

Fender yang ideal adalah yang mampu mengabsorbsi energi kinetik yang sebesar– besarnya dan mengubah ke bentuk gaya reaksi sekecil–kecilnya ke konstruksi jembatan.

Saran

Dalam pemilihan fender harus diingat akan adanya energi impak yang diabsorbsi fender dan gaya reaksi yang harus ditahan oleh pilar jembatan.

DAFTAR PUSTAKA AASHTO. 2010. Guide Specifications for Vessel

Collision Design of Highway Bridges, 2nd Ed. AASHTO. Washington, DC.

Bina Marga. Kementerian Pekerjaan Umum. 2010. Laporan Hasil Survei Jembatan Kutai Kartanegara.

Greiner Engineering Sciences, Inc. 1983. Study of Pier Protection Systems for Bridges, prepared for Maryland Transportation Authority, Baltimore. Maryland. Amerika.

Hemming, W.C. Desember 1981. Fendering Problems in the Third Coast Guard District. Bridge and Pier Protective Systems and Devices Conference Proceedings. Stevens Institute of Technology. Amerika.

Hidayatullah Adronafis. 2008. Http://adronafis.blogspot.com/2008/11/14-tiang-untuk jembatan-ampera.html

Knott, M. A. and Larsen, O. Damgaard. 1990. Guide Specification and Commentary for Vessel Collision Design of Highway Bridges. Federal Highway Administration, US Department of Transportation. Publ. No. FHWA-RD-91-006. Amerika.

Maunsell and Partners and Brady, P.J.E. 1978. Second Hobart Bridge – Risk of Ship Collision and Methods of Protection. Technical Report prepared for Department of Main Roads. Tasmania. Australia.

Puslitbang Jalan dan Jembatan. Kementerian Pekerjaan Umum. RSNI T-02-2005. Pembebanan Untuk Jembatan.

SAP 2000 version 14.00. 2013. Integrated Solution for Structural Analysis and Design, CSI.

Wikimedia Foundation, Inc. 2007. Http://en.wikipedia.org/wiki/Collapse_of_Jiujiang_Bridge.

Wikipedia. org. 2008. http://en.wikipedia. org/wiki/Seawise_Giant.

Wordpress.org. 2008. Http://infokito.wordpress.com/2008/02/18/ peristiwa-tertabraknya-jembatan-ampera/#more-1333.

Riawan Tjandra. 2011. Http://www.tempo.co/ read/kolom/2011/12/15/496/Berkaca-pada-Runtuhnya-Jembatan.

Page 49: Info Pub Lik 20131028094042

Pengaruh Beban Impak Kapal Terhadap Bangunan Pengaman Pilar Jembatan Fender, (N. Retno Setiati, Bagus Aditya W.) 45

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

Gambar 8. Karakteristik beton (output program SAP 2000 v 14 2013 )

Gambar 9. Defleksi pada bangunan pengaman

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan arus lalu-lintas yang terjadi di sungai Mahakam, fender yang tertabrak tongkang tidak boleh melebihi defleksi maksimum sebesar 0,1 meter. Penentuan tipe fender dari suatu jembatan sangat dipengaruhi oleh karakteristik dari lalu-lintas sungai yang melewati jembatan tersebut.

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan sistem fender: 1. Fender harus memiliki kemampuan

penyerapan energi kinetis lebih besar dibanding energi kinetik yang terjadi akibat impak tongkang ke fender.

2. Tekanan yang timbul dari sistem fender tidak boleh melebihi kemampuan menahan tekanan dari lambung tongkang (badan tongkang).

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

Fender yang ideal adalah yang mampu mengabsorbsi energi kinetik yang sebesar– besarnya dan mengubah ke bentuk gaya reaksi sekecil–kecilnya ke konstruksi jembatan.

Saran

Dalam pemilihan fender harus diingat akan adanya energi impak yang diabsorbsi fender dan gaya reaksi yang harus ditahan oleh pilar jembatan.

DAFTAR PUSTAKA AASHTO. 2010. Guide Specifications for Vessel

Collision Design of Highway Bridges, 2nd Ed. AASHTO. Washington, DC.

Bina Marga. Kementerian Pekerjaan Umum. 2010. Laporan Hasil Survei Jembatan Kutai Kartanegara.

Greiner Engineering Sciences, Inc. 1983. Study of Pier Protection Systems for Bridges, prepared for Maryland Transportation Authority, Baltimore. Maryland. Amerika.

Hemming, W.C. Desember 1981. Fendering Problems in the Third Coast Guard District. Bridge and Pier Protective Systems and Devices Conference Proceedings. Stevens Institute of Technology. Amerika.

Hidayatullah Adronafis. 2008. Http://adronafis.blogspot.com/2008/11/14-tiang-untuk jembatan-ampera.html

Knott, M. A. and Larsen, O. Damgaard. 1990. Guide Specification and Commentary for Vessel Collision Design of Highway Bridges. Federal Highway Administration, US Department of Transportation. Publ. No. FHWA-RD-91-006. Amerika.

Maunsell and Partners and Brady, P.J.E. 1978. Second Hobart Bridge – Risk of Ship Collision and Methods of Protection. Technical Report prepared for Department of Main Roads. Tasmania. Australia.

Puslitbang Jalan dan Jembatan. Kementerian Pekerjaan Umum. RSNI T-02-2005. Pembebanan Untuk Jembatan.

SAP 2000 version 14.00. 2013. Integrated Solution for Structural Analysis and Design, CSI.

Wikimedia Foundation, Inc. 2007. Http://en.wikipedia.org/wiki/Collapse_of_Jiujiang_Bridge.

Wikipedia. org. 2008. http://en.wikipedia. org/wiki/Seawise_Giant.

Wordpress.org. 2008. Http://infokito.wordpress.com/2008/02/18/ peristiwa-tertabraknya-jembatan-ampera/#more-1333.

Riawan Tjandra. 2011. Http://www.tempo.co/ read/kolom/2011/12/15/496/Berkaca-pada-Runtuhnya-Jembatan.

Page 50: Info Pub Lik 20131028094042

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 46 – 5346

Revisi I 10/07/13

PENGEMBANGAN MODEL KERUNTUHAN LAPIS BERASPAL (DEVELOPMENT OF FAILURE MODEL FOR BITUMINOUS LAYER)

Nyoman Suaryana1), Yohannes Ronny2), Anita Jannatun Nissa3)

1), 2), 3) Puslitbang Jalan dan Jembatan 1), 2), 3) Jalan A.H. Nasution no.264, Bandung, 40294

1) e-mail: [email protected] 2) e-mail: [email protected] 3) e-mail: [email protected]

Diterima: 04 Januari 2013; disetujui:01 April 2013 ABSTRAK Metode perencanaan tebal perkerasan yang saat ini dikenal terdiri dari metode perencanaan perkerasan secara empiris dan secara mekanistik empiris. Pedoman perencanaan tebal perkerasan lentur yang resmi digunakan sebagai pedoman di Indonesia pada umumnya menggunakan pendekatan empiris yang dikembangkan berdasarkan analisis statistik kinerja perkerasan. Sedangkan metode lain untuk perencanaan tebal perkerasan adalah dengan metode mekanistik empiris. Metode ini menggunakan pendekatan respon dasar material perkerasan seperti tegangan, regangan, dan deformasi. Metodologi penelitian dilaksanakan dengan pengujian laboratorium serta pengujian lapangan yang dilakukan untuk mengetahui kinerja perkerasan akibat beban lalu-lintas dan pengaruh lingkungan. Salah satu model fatigue yang banyak diadopsi dalam pedoman perencanaan perkerasan dengan pendekatan mekanistik adalah Persamaan Shell. Untuk mengetahui kesesuaian model fatigue shell dengan tipikal campuran beraspal di Indonesia, dilakukan validasi model fatigue dengan cara membandingkan model fatigue tersebut dengan hasil pengujian fatigue dari laboratorium. Dari hasil analisis, umur fatigue hasil pengujian laboratorium cenderung lebih kecil dibandingkan umur fatigue metode Shell dengan perbandingan berkisar antara 0,8 sampai dengan 3 dengan rata-rata 1,8. Hal ini berdasarkan kondisi pengujian kontrol regangan, temperatur 20 °C dan frekuensi 10 Hz. Kata kunci: empiris, fatigue , mekanistik empiris, model keruntuhan, perkerasan lentur ABSTRACT There are two approaches known in pavement design principal, empirical pavement design and mechanistic-empirical pavement design. The official guideline for flexible pavement thickness design in Indonesia is generally developed using empirical method based on statistical analysis of pavement performance. While the other is the mechanistic-empirical method. The approach of this method is to identify the basic response of pavement materials such as stress, strain and deformation. The research methodology was performed by laboratory and field testing in order to determine pavement performance due to traffic loads and enviromental impact. One of the fatigue models widely adopted in the mechanistic-empirical guideline of pavement design is Shell Formula. In order to determine the compatibility of Shell fatigue models with a typical asphalt mix in Indonesia, a validation was conducted by comparing shell fatigue models and fatigue lab-test results. The fatigue life analysis of lab-test results showed the tendency of a shorther fatigue life compared to Shell method. Based on the testing condition at a temperature of 20 °C, a frequency of 10 Hz and a strain control, the comparison is ranging from 0,8 to 3 with an average of 1,8. Keywords: empiric, fatigue , mechanistic-empiric, deterioration model, flexible pavement

Revisi I 10/07/13

PENDAHULUAN

Panjang jaringan jalan di Indonesia tahun 2009 sudah mencapai 372.233 km. Dengan aset yang demikian besar maka diperlukan suatu metode perencanaan tebal perkerasan yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan beban lalu-lintas di lapangan serta dapat mengakomodasi perkembangan teknologi bahan perkerasan jalan, agar aset tersebut dapat terjaga dan berfungsi sesuai umur layan.

Metoda perencanaan tebal perkerasan terdiri dari metode perencanaan perkerasan secara empiris dan secara mekanistik empiris. Pedoman perencanaan tebal perkerasan lentur yang resmi digunakan sebagai pedoman di Indonesia pada umumnya menggunakan pendekatan empiris yang dikembangkan berdasarkan analisis statistik kinerja perkerasan.

Secara sederhana perencanaan tebal perkerasan empiris dikembangkan dengan melakukan observasi kinerja perkerasan pada beberapa kondisi kemudian dibuat suatu korelasi empiris antara tebal perkerasan dengan sifat bahan, beban lalu-lintas dan faktor lingkungan. Kelebihan dari metode ini adalah sifatnya yang sederhana dan mudah untuk digunakan namun demikian pendekatan empiris memiliki keterbatasan yaitu persamaan empiris yang digunakan hanya berlaku untuk kondisi yang serupa dengan kondisi dimana persamaan empiris tersebut dikembangkan. Metode lain untuk perencanaan tebal perkerasan adalah dengan metode mekanistik empiris. Metode ini menggunakan pendekatan respon dasar material perkerasan seperti tegangan, regangan dan deformasi. Beban lalu-lintas dimodelkan pada struktur beberapa lapisan perkerasan dan dihitung respon paling kritis yang terjadi. Respon perkerasan ini selanjutnya dikorelasikan dengan kinerja perkerasan dengan menggunakan model keruntuhan yang biasanya merupakan suatu persamaan empiris. Dari aspek akurasi dan reabilitas pendekatan yang digunakan pada

metode ini lebih baik dibandingkan dengan metode yang lain. Namun metode ini memerlukan pengujian dan perhitungan yang lebih komprehensif. Walaupun pada metode ini masih menggunakan model keruntuhan yang bersifat empiris, namun secara umum pendekatan empiris yang digunakan relatif lebih sedikit dan kecil dibandingkan dengan metode yang lain.

Tulisan ini bertujuan menyajikan hasil penelitian tentang model keruntuhan lapis beraspal dan lapis pondasi untuk mendukung perencanaan perkerasan lentur, terkait dengan isu bahan perkerasan jalan dan faktor pengaruh lingkungan terhadap perkerasan jalan. KAJIAN PUSTAKA Perancangan perkerasan berbasis mekanistik

Metode perencanaan perkerasan lentur telah berkembang dari waktu ke waktu mulai dari pendekatan yang sangat sederhana hingga pendekatan yang sangat kompleks. Pendekatan perencanaan perkerasan dapat dibagi menjadi empat kategori: 1. Metode perencanaan berdasarkan

pengalaman. 2. Metode perencanaan pengujian sederhana. 3. Metode perencanaan berdasarkan evaluasi

statistik kinerja perkerasan. 4. Metode perencanaan berdasarkan analisis

struktural sistem lapisan perkerasan. Salah satu metode perencanaan tebal

perkerasan yang menggunakan metode analisis struktural sistem lapis perkerasan adalah Austroad Pavement Structural Design. (Austroad 2010)

Prosedur perencanaan tersebut dikembangkan berdasarkan analisis struktural sistem perkerasan berlapis akibat beban normal lalu-lintas. Lokasi terjadinya regangan kritis dan model struktur perkerasan yang digunakan pada metode Austroad 2010 ditampilkan pada Gambar 1.

Page 51: Info Pub Lik 20131028094042

Pengembangan Model Keruntuhan Lapis Beraspal, (Nyoman Suaryana, Yohannes Ronny, Anita Jannatun Nissa) 47

Revisi I 10/07/13

PENGEMBANGAN MODEL KERUNTUHAN LAPIS BERASPAL (DEVELOPMENT OF FAILURE MODEL FOR BITUMINOUS LAYER)

Nyoman Suaryana1), Yohannes Ronny2), Anita Jannatun Nissa3)

1), 2), 3) Puslitbang Jalan dan Jembatan 1), 2), 3) Jalan A.H. Nasution no.264, Bandung, 40294

1) e-mail: [email protected] 2) e-mail: [email protected] 3) e-mail: [email protected]

Diterima: 04 Januari 2013; disetujui:01 April 2013 ABSTRAK Metode perencanaan tebal perkerasan yang saat ini dikenal terdiri dari metode perencanaan perkerasan secara empiris dan secara mekanistik empiris. Pedoman perencanaan tebal perkerasan lentur yang resmi digunakan sebagai pedoman di Indonesia pada umumnya menggunakan pendekatan empiris yang dikembangkan berdasarkan analisis statistik kinerja perkerasan. Sedangkan metode lain untuk perencanaan tebal perkerasan adalah dengan metode mekanistik empiris. Metode ini menggunakan pendekatan respon dasar material perkerasan seperti tegangan, regangan, dan deformasi. Metodologi penelitian dilaksanakan dengan pengujian laboratorium serta pengujian lapangan yang dilakukan untuk mengetahui kinerja perkerasan akibat beban lalu-lintas dan pengaruh lingkungan. Salah satu model fatigue yang banyak diadopsi dalam pedoman perencanaan perkerasan dengan pendekatan mekanistik adalah Persamaan Shell. Untuk mengetahui kesesuaian model fatigue shell dengan tipikal campuran beraspal di Indonesia, dilakukan validasi model fatigue dengan cara membandingkan model fatigue tersebut dengan hasil pengujian fatigue dari laboratorium. Dari hasil analisis, umur fatigue hasil pengujian laboratorium cenderung lebih kecil dibandingkan umur fatigue metode Shell dengan perbandingan berkisar antara 0,8 sampai dengan 3 dengan rata-rata 1,8. Hal ini berdasarkan kondisi pengujian kontrol regangan, temperatur 20 °C dan frekuensi 10 Hz. Kata kunci: empiris, fatigue , mekanistik empiris, model keruntuhan, perkerasan lentur ABSTRACT There are two approaches known in pavement design principal, empirical pavement design and mechanistic-empirical pavement design. The official guideline for flexible pavement thickness design in Indonesia is generally developed using empirical method based on statistical analysis of pavement performance. While the other is the mechanistic-empirical method. The approach of this method is to identify the basic response of pavement materials such as stress, strain and deformation. The research methodology was performed by laboratory and field testing in order to determine pavement performance due to traffic loads and enviromental impact. One of the fatigue models widely adopted in the mechanistic-empirical guideline of pavement design is Shell Formula. In order to determine the compatibility of Shell fatigue models with a typical asphalt mix in Indonesia, a validation was conducted by comparing shell fatigue models and fatigue lab-test results. The fatigue life analysis of lab-test results showed the tendency of a shorther fatigue life compared to Shell method. Based on the testing condition at a temperature of 20 °C, a frequency of 10 Hz and a strain control, the comparison is ranging from 0,8 to 3 with an average of 1,8. Keywords: empiric, fatigue , mechanistic-empiric, deterioration model, flexible pavement

Revisi I 10/07/13

PENDAHULUAN

Panjang jaringan jalan di Indonesia tahun 2009 sudah mencapai 372.233 km. Dengan aset yang demikian besar maka diperlukan suatu metode perencanaan tebal perkerasan yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan beban lalu-lintas di lapangan serta dapat mengakomodasi perkembangan teknologi bahan perkerasan jalan, agar aset tersebut dapat terjaga dan berfungsi sesuai umur layan.

Metoda perencanaan tebal perkerasan terdiri dari metode perencanaan perkerasan secara empiris dan secara mekanistik empiris. Pedoman perencanaan tebal perkerasan lentur yang resmi digunakan sebagai pedoman di Indonesia pada umumnya menggunakan pendekatan empiris yang dikembangkan berdasarkan analisis statistik kinerja perkerasan.

Secara sederhana perencanaan tebal perkerasan empiris dikembangkan dengan melakukan observasi kinerja perkerasan pada beberapa kondisi kemudian dibuat suatu korelasi empiris antara tebal perkerasan dengan sifat bahan, beban lalu-lintas dan faktor lingkungan. Kelebihan dari metode ini adalah sifatnya yang sederhana dan mudah untuk digunakan namun demikian pendekatan empiris memiliki keterbatasan yaitu persamaan empiris yang digunakan hanya berlaku untuk kondisi yang serupa dengan kondisi dimana persamaan empiris tersebut dikembangkan. Metode lain untuk perencanaan tebal perkerasan adalah dengan metode mekanistik empiris. Metode ini menggunakan pendekatan respon dasar material perkerasan seperti tegangan, regangan dan deformasi. Beban lalu-lintas dimodelkan pada struktur beberapa lapisan perkerasan dan dihitung respon paling kritis yang terjadi. Respon perkerasan ini selanjutnya dikorelasikan dengan kinerja perkerasan dengan menggunakan model keruntuhan yang biasanya merupakan suatu persamaan empiris. Dari aspek akurasi dan reabilitas pendekatan yang digunakan pada

metode ini lebih baik dibandingkan dengan metode yang lain. Namun metode ini memerlukan pengujian dan perhitungan yang lebih komprehensif. Walaupun pada metode ini masih menggunakan model keruntuhan yang bersifat empiris, namun secara umum pendekatan empiris yang digunakan relatif lebih sedikit dan kecil dibandingkan dengan metode yang lain.

Tulisan ini bertujuan menyajikan hasil penelitian tentang model keruntuhan lapis beraspal dan lapis pondasi untuk mendukung perencanaan perkerasan lentur, terkait dengan isu bahan perkerasan jalan dan faktor pengaruh lingkungan terhadap perkerasan jalan. KAJIAN PUSTAKA Perancangan perkerasan berbasis mekanistik

Metode perencanaan perkerasan lentur telah berkembang dari waktu ke waktu mulai dari pendekatan yang sangat sederhana hingga pendekatan yang sangat kompleks. Pendekatan perencanaan perkerasan dapat dibagi menjadi empat kategori: 1. Metode perencanaan berdasarkan

pengalaman. 2. Metode perencanaan pengujian sederhana. 3. Metode perencanaan berdasarkan evaluasi

statistik kinerja perkerasan. 4. Metode perencanaan berdasarkan analisis

struktural sistem lapisan perkerasan. Salah satu metode perencanaan tebal

perkerasan yang menggunakan metode analisis struktural sistem lapis perkerasan adalah Austroad Pavement Structural Design. (Austroad 2010)

Prosedur perencanaan tersebut dikembangkan berdasarkan analisis struktural sistem perkerasan berlapis akibat beban normal lalu-lintas. Lokasi terjadinya regangan kritis dan model struktur perkerasan yang digunakan pada metode Austroad 2010 ditampilkan pada Gambar 1.

Page 52: Info Pub Lik 20131028094042

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 46 – 5348

Revisi I 10/07/13

330 mm

165 mm

330 mm

1800 mm

1

2

3

Lapis Beraspal

Lapis Granular

Cemented Material

1. Regangan tarik pada bagian bawah lapis beraspal2. Regangan tarik pada bagian bawah cemented material3. Regangan tekan pada bagian atas tanah dasar

Gambar 1. Model perkerasan pada perencanaan

tebal mekanistik (Austroad 2010)

Pada metode Austroad 2010 dilakukan beberapa penyederhanaan dan asumsi perhitungan, yaitu: 1. Material perkerasan diasumsikan bersifat

homogen, elastis, dan isotropik (kecuali untuk unbound granular material dan tanah dasar yang diasumsikan anisotropik).

2. Respon perkerasan akibat beban dihitung dengan pendekatan model linier elastik, seperti model yang digunakan pada perangkat lunak Circly.

3. Kondisi respon perkerasan paling kritis, yang harus diperiksa adalah: a. Pada lapis beraspal: regangan horizontal

pada bagian bawah lapisan. b. Cemented material: regangan horizontal

pada bagian bawah lapisan. c. Tanah dasar dan selected material:

regangan tekan vertikal pada bagian atas lapisan.

4. Beban sumbu standar terdiri dari sumbu tunggal roda ganda (dual wheel) dengan beban 80 kN. Untuk perkerasan lentur, respon paling kritis kemungkinan terjadi pada sumbu vertikal dibawah roda perkerasan bagian dalam atau pada sumbu vertikal dibawah sumbu roda ganda seperti ditampilkan pada Gambar 1.

5. Beban sumbu standar dimodelkan oleh empat beban merata berbentuk lingkaran yang seragam. Dengan jarak antar titik tengah lingkaran beban 330 mm sedangkan

jarak antar sumbu roda ganda adalah 1470 mm.

6. Tegangan kontak diasumsikan seragam seluas tapak roda dimana pada perencanaan diasumsikan besarnya adalah 750 kPa. Sebenarnya tegangan kontak ini besarnya bergantung pada tekanan roda dimana besarnya berkisar antara 500 – 1000 kPa.

7. Asumsi dan pemodelan sesuai Gambar 1 berlaku untuk struktur perkerasan dengan ketebalan lapis beraspal lebih dari 40 mm, untuk tebal dibawah 40 mm perlu dikaji lebih lanjut karena ada kemungkinan regangan kritis tidak terjadi pada lokasi sebagaimana digambarkan pada Gambar 1.

Kelelahan (fatigue) pada perkerasan lentur

Ketahanan lelah campuran beraspal adalah salah satu faktor utama yang menyebabkan kegagalan pada struktur perkerasan jalan. Kelelahan (fatique) didifinisikan sebagai retak lelah yang terjadi pada bagian bawah lapisan perkerasan lentur akibat dari beban berulang. (Huang 2012)

SHRP (1990) telah melakukan uji lelah dengan menggunakan beberapa metoda uji dan menyimpulkan bahwa metode yang paling baik (rangking pertama) untuk memperkirakan ketahanan lelah campuran beraspal terhadap beban berulang dengan kondisi sebenarnya di lapangan adalah dengan metode pengujian lentur.

Pada metode pengujian lentur, pembebanan dapat dilakukan dengan tiga titik atau empat titik. Pengujian lentur dengan tiga atau empat titik dapat dilakukan pada kondisi kontrol beban (stress control) atau kontrol lendutan (strain control). Pada kondisi kontrol beban, beban yang diberikan adalah konstan, besarnya lendutan yang terjadi akibat beban tersebut yang diukur. Sedangkan pada kontrol lendutan, besarnya lendutan maksimum ditetapkan dan besarnya beban yang diperlukan untuk mencapai lendutan maksimum tersebut yang dicatat. (Mallick 2009)

Metode pembebanan yang digunakan tergantung pada tebal perkerasan beraspal di lapangan, untuk perkerasan beraspal yang tebal akan lebih sesuai menggunakan kontrol beban, sementara untuk tebal yang tipis kontrol lendutan akan lebih sesuai. (El-Basyouny et. al. 2005)

Revisi I 10/07/13

Banyak faktor yang mempengaruhi umur lelah campuran beraspal. Penggunaan bahan pembentuk campuran beraspal dengan sifat dan jumlah yang berbeda akan menghasilkan umur lelah yang berlainan pula. Selain itu, faktor pengujian juga sangat mempengaruhi umur lelah yang dihasilkan. Faktor pengujian ini antara lain adalah pola pembebanan yang digunakan, kondisi pengujian (kontrol tegangan atau regangan), tingkat tegangan, frekuensi, temperatur dan ukuran benda uji. (Yamin 2004)

Dalam pensimulasian umur kelelahan biasanya dihadapkan pada masalah bagaimana mengkorelasikan umur kelelahan laboratorium dengan kinerja aktualnya di lapangan. Umur kelelahan campuran beraspal yang didapat dari hasil pengujian laboratorium biasanya memberikan perkiraan umur kelelahan yang lebih konservatif. Hal ini mungkin disebabkan karena beban yang diberikan pada campuran beraspal di laboratorium hanya terfokus di satu tempat saja sampai campuran tersebut mencapai kondisi runtuh, sedangkan di lapangan beban lalu-lintas tersebar pada permukaan jalan dalam rentang area yang luas. Alasan lainnya adalah bahwa benda uji yang dipakai di laboratorium cukup kecil dan selain itu bila suatu retak muncul benda uji dinyatakan runtuh, sedangkan di lapangan suatu retak berkembang terlebih dahulu sebelum material beraspal tersebut dinyatakan telah mengalami kegagalan. SHRP 1994 menyebutkan bahwa perkembangan retak, dan simpangan beban lalu lintas (traffic wander) memberikan pengaruh yang cukup besar,

Untuk mengkorelasikan hubungan antara umur kelelahan laboratorium dengan lapangan, model umur kelelahan yang didapat dari laboratorium harus dikalibrasi dengan suatu faktor yang didapat dari pengamatan lapangan. Faktor korelasi yang sudah diusulkan oleh para peneliti sebelumnya bervariasi dalam rentang 1 - 400. Besarnya faktor korelasi ini sangat tergantung pada jenis, kondisi dan temperatur pengujian, sifat aspal, jenis pembebanan serta kondisi lapangan yang dijadikan acuan.

Kriteria fatigue untuk lapis beraspal yang dikembangkan oleh Shell (1978) adalah: 𝑁𝑁𝑁𝑁 = 𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅 �6918∗(0,856𝑉𝑉𝑉𝑉𝑏𝑏𝑏𝑏+1,08)

𝑆𝑆𝑆𝑆𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 0,36𝜇𝜇𝜇𝜇𝜇𝜇𝜇𝜇�

5…………………

Keterangan: N = jumlah repetisi beban yang diizinkan

µε = regangan tarik akibat beban (mikrostrain) Vb = persentase volume bitumen dalam aspal

(%) Smix = modulus aspal (MPa) RF = faktor reliabilitas

Persamaan tersebut dimodifikasi dalam metoda Austroad (2010) dengan menambahkan faktor reliabilitas (RF). Faktor reliabilitas ini merupakan transfer function yang mengkorelasikan umur fatigue dari pengujian laboratorium dengan prediksi umur fatigue lapangan.

Persamaan fatique yang juga umum digunakan adalah sebagai berikut:

…..……𝑁𝑁𝑁𝑁𝑓𝑓𝑓𝑓 = 𝑓𝑓𝑓𝑓1 (𝜇𝜇𝜇𝜇𝑡𝑡𝑡𝑡)−𝑓𝑓𝑓𝑓2 (𝐸𝐸𝐸𝐸)−𝑓𝑓𝑓𝑓3𝑁𝑁𝑁𝑁𝑓𝑓𝑓𝑓 =

𝑓𝑓𝑓𝑓1(𝜇𝜇𝜇𝜇𝑡𝑡𝑡𝑡)−𝑓𝑓𝑓𝑓2(𝐸𝐸𝐸𝐸)−𝑓𝑓𝑓𝑓3 …………......…..(1)

Keterangan: Nf = jumlah repetisi beban yang diijinkan E = modulus elastistas campuran beraspal εt = regangan tarik horisontal pada dasar perkerasan beraspal

Menurut Gedafa (2006), faktor f1, f2 dan f3 untuk masing-masing institusi adalah seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Konstanta f1, f2, f3 untuk model retak lelah

No. Distress Model f1 f2 f3

1. Asphalt Institute

0,0796 3,291 0,854

2. Shell 0,0685 5,671 2,363 3. Belgian RRC 4,92 x 10

-14 4,76 0

4. Indian 2,2 x 10 -4 3,89 0,854 Salim (2000) melakukan pengukuran

lendutan dengan Falling Weight Deflectometer pada Jalan Tol Tangerang – Merak Km 56.150 – 59.160 arah Tangerang disertai dengan survai kondisi visual dan survai volume lalu-lintas pada lokasi tersebut. Perhitungan modulus lapis beraspal dilakukan dengan melakukan perhitungan balik (backcalculation) menggunakan perangkat lunak ELMOD 3.1 dan perhitungan regangan dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak BISAR. Hasil yang diperoleh adalah:

Untuk retak yang dimulai dari permukaan jalan persamaan fatigue yang diperoleh adalah:

Page 53: Info Pub Lik 20131028094042

Pengembangan Model Keruntuhan Lapis Beraspal, (Nyoman Suaryana, Yohannes Ronny, Anita Jannatun Nissa) 49

Revisi I 10/07/13

330 mm

165 mm

330 mm

1800 mm

1

2

3

Lapis Beraspal

Lapis Granular

Cemented Material

1. Regangan tarik pada bagian bawah lapis beraspal2. Regangan tarik pada bagian bawah cemented material3. Regangan tekan pada bagian atas tanah dasar

Gambar 1. Model perkerasan pada perencanaan

tebal mekanistik (Austroad 2010)

Pada metode Austroad 2010 dilakukan beberapa penyederhanaan dan asumsi perhitungan, yaitu: 1. Material perkerasan diasumsikan bersifat

homogen, elastis, dan isotropik (kecuali untuk unbound granular material dan tanah dasar yang diasumsikan anisotropik).

2. Respon perkerasan akibat beban dihitung dengan pendekatan model linier elastik, seperti model yang digunakan pada perangkat lunak Circly.

3. Kondisi respon perkerasan paling kritis, yang harus diperiksa adalah: a. Pada lapis beraspal: regangan horizontal

pada bagian bawah lapisan. b. Cemented material: regangan horizontal

pada bagian bawah lapisan. c. Tanah dasar dan selected material:

regangan tekan vertikal pada bagian atas lapisan.

4. Beban sumbu standar terdiri dari sumbu tunggal roda ganda (dual wheel) dengan beban 80 kN. Untuk perkerasan lentur, respon paling kritis kemungkinan terjadi pada sumbu vertikal dibawah roda perkerasan bagian dalam atau pada sumbu vertikal dibawah sumbu roda ganda seperti ditampilkan pada Gambar 1.

5. Beban sumbu standar dimodelkan oleh empat beban merata berbentuk lingkaran yang seragam. Dengan jarak antar titik tengah lingkaran beban 330 mm sedangkan

jarak antar sumbu roda ganda adalah 1470 mm.

6. Tegangan kontak diasumsikan seragam seluas tapak roda dimana pada perencanaan diasumsikan besarnya adalah 750 kPa. Sebenarnya tegangan kontak ini besarnya bergantung pada tekanan roda dimana besarnya berkisar antara 500 – 1000 kPa.

7. Asumsi dan pemodelan sesuai Gambar 1 berlaku untuk struktur perkerasan dengan ketebalan lapis beraspal lebih dari 40 mm, untuk tebal dibawah 40 mm perlu dikaji lebih lanjut karena ada kemungkinan regangan kritis tidak terjadi pada lokasi sebagaimana digambarkan pada Gambar 1.

Kelelahan (fatigue) pada perkerasan lentur

Ketahanan lelah campuran beraspal adalah salah satu faktor utama yang menyebabkan kegagalan pada struktur perkerasan jalan. Kelelahan (fatique) didifinisikan sebagai retak lelah yang terjadi pada bagian bawah lapisan perkerasan lentur akibat dari beban berulang. (Huang 2012)

SHRP (1990) telah melakukan uji lelah dengan menggunakan beberapa metoda uji dan menyimpulkan bahwa metode yang paling baik (rangking pertama) untuk memperkirakan ketahanan lelah campuran beraspal terhadap beban berulang dengan kondisi sebenarnya di lapangan adalah dengan metode pengujian lentur.

Pada metode pengujian lentur, pembebanan dapat dilakukan dengan tiga titik atau empat titik. Pengujian lentur dengan tiga atau empat titik dapat dilakukan pada kondisi kontrol beban (stress control) atau kontrol lendutan (strain control). Pada kondisi kontrol beban, beban yang diberikan adalah konstan, besarnya lendutan yang terjadi akibat beban tersebut yang diukur. Sedangkan pada kontrol lendutan, besarnya lendutan maksimum ditetapkan dan besarnya beban yang diperlukan untuk mencapai lendutan maksimum tersebut yang dicatat. (Mallick 2009)

Metode pembebanan yang digunakan tergantung pada tebal perkerasan beraspal di lapangan, untuk perkerasan beraspal yang tebal akan lebih sesuai menggunakan kontrol beban, sementara untuk tebal yang tipis kontrol lendutan akan lebih sesuai. (El-Basyouny et. al. 2005)

Revisi I 10/07/13

Banyak faktor yang mempengaruhi umur lelah campuran beraspal. Penggunaan bahan pembentuk campuran beraspal dengan sifat dan jumlah yang berbeda akan menghasilkan umur lelah yang berlainan pula. Selain itu, faktor pengujian juga sangat mempengaruhi umur lelah yang dihasilkan. Faktor pengujian ini antara lain adalah pola pembebanan yang digunakan, kondisi pengujian (kontrol tegangan atau regangan), tingkat tegangan, frekuensi, temperatur dan ukuran benda uji. (Yamin 2004)

Dalam pensimulasian umur kelelahan biasanya dihadapkan pada masalah bagaimana mengkorelasikan umur kelelahan laboratorium dengan kinerja aktualnya di lapangan. Umur kelelahan campuran beraspal yang didapat dari hasil pengujian laboratorium biasanya memberikan perkiraan umur kelelahan yang lebih konservatif. Hal ini mungkin disebabkan karena beban yang diberikan pada campuran beraspal di laboratorium hanya terfokus di satu tempat saja sampai campuran tersebut mencapai kondisi runtuh, sedangkan di lapangan beban lalu-lintas tersebar pada permukaan jalan dalam rentang area yang luas. Alasan lainnya adalah bahwa benda uji yang dipakai di laboratorium cukup kecil dan selain itu bila suatu retak muncul benda uji dinyatakan runtuh, sedangkan di lapangan suatu retak berkembang terlebih dahulu sebelum material beraspal tersebut dinyatakan telah mengalami kegagalan. SHRP 1994 menyebutkan bahwa perkembangan retak, dan simpangan beban lalu lintas (traffic wander) memberikan pengaruh yang cukup besar,

Untuk mengkorelasikan hubungan antara umur kelelahan laboratorium dengan lapangan, model umur kelelahan yang didapat dari laboratorium harus dikalibrasi dengan suatu faktor yang didapat dari pengamatan lapangan. Faktor korelasi yang sudah diusulkan oleh para peneliti sebelumnya bervariasi dalam rentang 1 - 400. Besarnya faktor korelasi ini sangat tergantung pada jenis, kondisi dan temperatur pengujian, sifat aspal, jenis pembebanan serta kondisi lapangan yang dijadikan acuan.

Kriteria fatigue untuk lapis beraspal yang dikembangkan oleh Shell (1978) adalah: 𝑁𝑁𝑁𝑁 = 𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅 �6918∗(0,856𝑉𝑉𝑉𝑉𝑏𝑏𝑏𝑏+1,08)

𝑆𝑆𝑆𝑆𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 0,36𝜇𝜇𝜇𝜇𝜇𝜇𝜇𝜇�

5…………………

Keterangan: N = jumlah repetisi beban yang diizinkan

µε = regangan tarik akibat beban (mikrostrain) Vb = persentase volume bitumen dalam aspal

(%) Smix = modulus aspal (MPa) RF = faktor reliabilitas

Persamaan tersebut dimodifikasi dalam metoda Austroad (2010) dengan menambahkan faktor reliabilitas (RF). Faktor reliabilitas ini merupakan transfer function yang mengkorelasikan umur fatigue dari pengujian laboratorium dengan prediksi umur fatigue lapangan.

Persamaan fatique yang juga umum digunakan adalah sebagai berikut:

…..……𝑁𝑁𝑁𝑁𝑓𝑓𝑓𝑓 = 𝑓𝑓𝑓𝑓1 (𝜇𝜇𝜇𝜇𝑡𝑡𝑡𝑡)−𝑓𝑓𝑓𝑓2 (𝐸𝐸𝐸𝐸)−𝑓𝑓𝑓𝑓3𝑁𝑁𝑁𝑁𝑓𝑓𝑓𝑓 =

𝑓𝑓𝑓𝑓1(𝜇𝜇𝜇𝜇𝑡𝑡𝑡𝑡)−𝑓𝑓𝑓𝑓2(𝐸𝐸𝐸𝐸)−𝑓𝑓𝑓𝑓3 …………......…..(1)

Keterangan: Nf = jumlah repetisi beban yang diijinkan E = modulus elastistas campuran beraspal εt = regangan tarik horisontal pada dasar perkerasan beraspal

Menurut Gedafa (2006), faktor f1, f2 dan f3 untuk masing-masing institusi adalah seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Konstanta f1, f2, f3 untuk model retak lelah

No. Distress Model f1 f2 f3

1. Asphalt Institute

0,0796 3,291 0,854

2. Shell 0,0685 5,671 2,363 3. Belgian RRC 4,92 x 10

-14 4,76 0

4. Indian 2,2 x 10 -4 3,89 0,854 Salim (2000) melakukan pengukuran

lendutan dengan Falling Weight Deflectometer pada Jalan Tol Tangerang – Merak Km 56.150 – 59.160 arah Tangerang disertai dengan survai kondisi visual dan survai volume lalu-lintas pada lokasi tersebut. Perhitungan modulus lapis beraspal dilakukan dengan melakukan perhitungan balik (backcalculation) menggunakan perangkat lunak ELMOD 3.1 dan perhitungan regangan dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak BISAR. Hasil yang diperoleh adalah:

Untuk retak yang dimulai dari permukaan jalan persamaan fatigue yang diperoleh adalah:

Page 54: Info Pub Lik 20131028094042

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 46 – 5350

Revisi I 10/07/13

Log Nf = - 0,4345 logε + 5,0328 (2) (probabilitas 85% batas bawah)

Sedangkan untuk asumsi retak yang dimulai dari bawah lapis permukaan aspal persamaan fatigue yang diperoleh adalah:

Log Nf = -0,5672 logε + 4,8187 (3) (probabilitas 85% batas bawah)

Dengan koefisien determinasi (R2) berkisar antara 0,5 – 0,6.

Sjahdanulirwan (2010) mengembangkan model persamaan fatigue sebagai berikut: 1. Regangan ijin lapisan beraspal ( )

4,428

hεμ 0.36mixS

1.08BV 0.856630537,139fN

+=

𝑁𝑁𝑁𝑁𝑓𝑓𝑓𝑓 =

37.139 �� �� �6305 (0.856𝑉𝑉𝑉𝑉𝐵𝐵𝐵𝐵+1.08)𝑆𝑆𝑆𝑆𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 0.36𝜇𝜇𝜇𝜇𝜇𝜇𝜇𝜇 ℎ

�4.428

… (4)........

2. Regangan ijin tanah dasar

εv ijin = 4 x 107 (CESA)-0,664 ...........................(5) εv ijin dalam mikrostrains

Persamaan ini dikembangkan dengan

melakukan pengujian FWD pada beberapa ruas jalan di wilayah Jawa Barat.

HIPOTESIS

Model Fatigue Shell dengan pendekatan mekanistik dapat dikembangkan sebagai model keruntuhan lapis beraspal yang sesuai dengan kondisi Indonesia dengan melakukan evaluasi karakteristik material perkerasan yang ada.

METODOLOGI

Metodologi yang digunakan pada tahap awal dilakukan kajian pustaka. Kajian pustaka yang dilakukan difokuskan pada literatur mengenai perencanaan tebal lapis perkerasan dengan pendekatan mekanistik empiris. Selanjutnya dilaksanakan pengujian laboratorium mulai dari pengujian mutu bahan baik aspal maupun agregat kemudian dilanjutkan dengan pengujian campuran beraspal antara lain: Marshall Test, UMATTA, dan Pengujian Fatigue.

HASIL DAN ANALISIS Karakteristik Kelelahan Campuran

Untuk melihat karakteristik kelelahan campuran, dilakukan pengujian kelelahan (fatigue) dengan menggunakan four point flexural bending test. Benda uji yang digunakan berbentuk balok dengan dimensi 380±6 mm x 50±2 mm x 63±2 mm diuji frekuensi beban pengujian 10 Hz dan temperatur pengujian 20 °C. Rangkuman data pengujian ditampilkan pada Tabel 2 dan Gambar 2.

Tabel 2. Rangkuman hasil pengujian kelelahan

(fatigue)

Jenis Campur

an Tegangan Tarik

Regangan Tarik

Dissipated

Energy Jumlah Siklus

AC-WC

3050 701 4.739 6510

2522 600 3.331 24080 2015 500 2.214 25040

1590 399 1.412 65430

AC-BC

3650 697 5.751 8780

1959 599 2.551 13710

2083 499 2.285 39070

1814 400 1.584 52220

AC-BASE

2883 699 4.416 5980

2379 599 3.128 6910

2307 498 2.543 13630

1696 400 1.495

34120

Revisi I 10/07/13

Gambar 2. Grafik hubungan regangan dan jumlah siklus

Salah satu model fatigue yang banyak diadopsi dalam pedoman perencanaan perkerasan dengan pendekatan mekanistik adalah Persamaan Shell. Persamaan ini dikembangkan oleh Shell Laboratory pada tahun 1978 berdasarkan hasil pengujian berbagai tipe campuran beraspal dengan bahan pengikat aspal konvensional. Untuk mengetahui kesesuaian model fatigue shell dengan tipikal campuran beraspal di Indonesia maka perlu dilakukan validasi model fatigue. Validasi model fatigue ini dilakukan dengan membandingkan model fatigue tersebut dengan hasil pengujian fatigue dari laboratorium.

Perbandingan nilai repetisi beban model fatigue shell dan hasil pengujian laboratorium ditampilkan pada Tabel 3 dan Gambar 3 sampai dengan Gambar 5.

Tabel 3. Perbandingan repetisi beban model fatigue

shell dan pengujian laboratorium

No Campuran Nshell Npengujian Perbandingan Rata-rata

1 ACWC 9,178 6,510 1.4 1.6 2 ACWC 19,980 24,080 0.8

3 ACWC 49,716 25,040 2.0 4 ACWC 153,633 65,430 2.3 5 ACBC 9,878 8,780 1.1

1.8 6 ACBC 21,072 13,710 1.5 7 ACBC 52,522 39,070 1.3 8 ACBC 158,688 52,220 3.0 9 ACBase 5,705 5,980 1.0

1.9 10 ACBase 12,346 6,910 1.8 11 ACBase 31,082 13,630 2.3 12 ACBase 92,972 34,120 2.7

Min 0.8

Maks 3.0 Rata-rata 1.8

Gambar 3. Perbandingan repetisi beban model

fatigue shell dan hasil pengujian laboratorium untuk campuran ACWC

Gambar 4. Perbandingan repetisi beban model fatigue shell dan hasil pengujian laboratorium untuk campuran ACBC

Gambar 5. Perbandingan repetisi beban model fatigue shell dan hasil pengujian laboratorium untuk campuran ACBase

Gambar 3 sampai dengan Gambar 5

menunjukan bahwa hasil pengujian fatigue laboratorium Campuran ACBC, ACWC dan ACBase memberikan nilai yang lebih konservatif dibandingkan dengan Model Fatigue Shell. Hal ini terlihat dari grafik yang dihasilkan dari pengujian laboratorium berada di bawah grafik pada Model Fatigue Shell dengan rata-rata perbandingan sebesar 1.8 kali.

Dari data hasil pengujian fatigue dapat dilakukan prediksi model fatigue untuk tiap

Page 55: Info Pub Lik 20131028094042

Pengembangan Model Keruntuhan Lapis Beraspal, (Nyoman Suaryana, Yohannes Ronny, Anita Jannatun Nissa) 51

Revisi I 10/07/13

Log Nf = - 0,4345 logε + 5,0328 (2) (probabilitas 85% batas bawah)

Sedangkan untuk asumsi retak yang dimulai dari bawah lapis permukaan aspal persamaan fatigue yang diperoleh adalah:

Log Nf = -0,5672 logε + 4,8187 (3) (probabilitas 85% batas bawah)

Dengan koefisien determinasi (R2) berkisar antara 0,5 – 0,6.

Sjahdanulirwan (2010) mengembangkan model persamaan fatigue sebagai berikut: 1. Regangan ijin lapisan beraspal ( )

4,428

hεμ 0.36mixS

1.08BV 0.856630537,139fN

+=

𝑁𝑁𝑁𝑁𝑓𝑓𝑓𝑓 =

37.139 �� �� �6305 (0.856𝑉𝑉𝑉𝑉𝐵𝐵𝐵𝐵+1.08)𝑆𝑆𝑆𝑆𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 0.36𝜇𝜇𝜇𝜇𝜇𝜇𝜇𝜇 ℎ

�4.428

… (4)........

2. Regangan ijin tanah dasar

εv ijin = 4 x 107 (CESA)-0,664 ...........................(5) εv ijin dalam mikrostrains

Persamaan ini dikembangkan dengan

melakukan pengujian FWD pada beberapa ruas jalan di wilayah Jawa Barat.

HIPOTESIS

Model Fatigue Shell dengan pendekatan mekanistik dapat dikembangkan sebagai model keruntuhan lapis beraspal yang sesuai dengan kondisi Indonesia dengan melakukan evaluasi karakteristik material perkerasan yang ada.

METODOLOGI

Metodologi yang digunakan pada tahap awal dilakukan kajian pustaka. Kajian pustaka yang dilakukan difokuskan pada literatur mengenai perencanaan tebal lapis perkerasan dengan pendekatan mekanistik empiris. Selanjutnya dilaksanakan pengujian laboratorium mulai dari pengujian mutu bahan baik aspal maupun agregat kemudian dilanjutkan dengan pengujian campuran beraspal antara lain: Marshall Test, UMATTA, dan Pengujian Fatigue.

HASIL DAN ANALISIS Karakteristik Kelelahan Campuran

Untuk melihat karakteristik kelelahan campuran, dilakukan pengujian kelelahan (fatigue) dengan menggunakan four point flexural bending test. Benda uji yang digunakan berbentuk balok dengan dimensi 380±6 mm x 50±2 mm x 63±2 mm diuji frekuensi beban pengujian 10 Hz dan temperatur pengujian 20 °C. Rangkuman data pengujian ditampilkan pada Tabel 2 dan Gambar 2.

Tabel 2. Rangkuman hasil pengujian kelelahan

(fatigue)

Jenis Campur

an Tegangan Tarik

Regangan Tarik

Dissipated

Energy Jumlah Siklus

AC-WC

3050 701 4.739 6510

2522 600 3.331 24080 2015 500 2.214 25040

1590 399 1.412 65430

AC-BC

3650 697 5.751 8780

1959 599 2.551 13710

2083 499 2.285 39070

1814 400 1.584 52220

AC-BASE

2883 699 4.416 5980

2379 599 3.128 6910

2307 498 2.543 13630

1696 400 1.495

34120

Revisi I 10/07/13

Gambar 2. Grafik hubungan regangan dan jumlah siklus

Salah satu model fatigue yang banyak diadopsi dalam pedoman perencanaan perkerasan dengan pendekatan mekanistik adalah Persamaan Shell. Persamaan ini dikembangkan oleh Shell Laboratory pada tahun 1978 berdasarkan hasil pengujian berbagai tipe campuran beraspal dengan bahan pengikat aspal konvensional. Untuk mengetahui kesesuaian model fatigue shell dengan tipikal campuran beraspal di Indonesia maka perlu dilakukan validasi model fatigue. Validasi model fatigue ini dilakukan dengan membandingkan model fatigue tersebut dengan hasil pengujian fatigue dari laboratorium.

Perbandingan nilai repetisi beban model fatigue shell dan hasil pengujian laboratorium ditampilkan pada Tabel 3 dan Gambar 3 sampai dengan Gambar 5.

Tabel 3. Perbandingan repetisi beban model fatigue

shell dan pengujian laboratorium

No Campuran Nshell Npengujian Perbandingan Rata-rata

1 ACWC 9,178 6,510 1.4 1.6 2 ACWC 19,980 24,080 0.8

3 ACWC 49,716 25,040 2.0 4 ACWC 153,633 65,430 2.3 5 ACBC 9,878 8,780 1.1

1.8 6 ACBC 21,072 13,710 1.5 7 ACBC 52,522 39,070 1.3 8 ACBC 158,688 52,220 3.0 9 ACBase 5,705 5,980 1.0

1.9 10 ACBase 12,346 6,910 1.8 11 ACBase 31,082 13,630 2.3 12 ACBase 92,972 34,120 2.7

Min 0.8

Maks 3.0 Rata-rata 1.8

Gambar 3. Perbandingan repetisi beban model

fatigue shell dan hasil pengujian laboratorium untuk campuran ACWC

Gambar 4. Perbandingan repetisi beban model fatigue shell dan hasil pengujian laboratorium untuk campuran ACBC

Gambar 5. Perbandingan repetisi beban model fatigue shell dan hasil pengujian laboratorium untuk campuran ACBase

Gambar 3 sampai dengan Gambar 5

menunjukan bahwa hasil pengujian fatigue laboratorium Campuran ACBC, ACWC dan ACBase memberikan nilai yang lebih konservatif dibandingkan dengan Model Fatigue Shell. Hal ini terlihat dari grafik yang dihasilkan dari pengujian laboratorium berada di bawah grafik pada Model Fatigue Shell dengan rata-rata perbandingan sebesar 1.8 kali.

Dari data hasil pengujian fatigue dapat dilakukan prediksi model fatigue untuk tiap

Page 56: Info Pub Lik 20131028094042

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 46 – 5352

Revisi I 10/07/13

jenis campuran. Prediksi model dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak IBM SPSS 19. Hasil yang diperoleh untuk tiap jenis campuran adalah sebagai berikut: 1. Prediksi model kinerja fatigue ACWC

Nf = 1.191x1012 εt-2.843 dengan koefisien determinasi (R2) 0,93

2. Prediksi model kinerja fatigue ACBC Nf = 2,416x1011 εt-2.558 dengan koefisien determinasi (R2) 0,90

3. Prediksi model kinerja fatigue ACBase Nf = 2,163x1012 εt-3,012 dengan koefisien determinasi (R2) 0,96

Garis kesamaan prediksi model kinerja fatigue tiap jenis campuran beraspal ditampilkan pada Gambar 6 sampai dengan Gambar 8.

Gambar 6. Garis kesamaan prediksi model kinerja fatigue ACWC

Gambar 7. Garis kesamaan prediksi model kinerja fatigue ACBC

Gambar 8. Garis kesamaan prediksi model kinerja fatigue ACBase

PEMBAHASAN

Hasil pengujian kelelahan campuran ACWC dengan regangan tarik konstan bervariasi antara 399 sampai dengan 701 με menghasilkan jumlah siklus hingga mencapai failure 6510 – 65430, sedangkan untuk campuran ACBC nilai siklus bervariasi antara 8780 – 52220 dan untuk ACBase nilai siklus bervariasi antara 5980 – 34120. Campuran ACBase cenderung menghasilkan jumlah siklus yang lebih rendah dibandingkan dengan dua campuran lainnya hal ini kemungkinan karena campuran ini memiliki kadar aspal yang lebih rendah dibandingkan ACBC atau ACWC. Nilai umur lelah ACBase yang lebih rendah menunjukkan bahwa, akibat beban lalu lintas retak lelah akan terjadi terlebih dahulu pada lapis ACBase dibandingkan lapis ACBC atau ACWC.

Perbandingan nilai repetisi beban model fatigue shell dan hasil pengujian laboratorium menunjukkan bahwa hasil pengujian fatigue laboratorium cenderung lebih kecil daripada prediksi umur fatigue dari model Shell dengan perbandingan berkisar antara 0,8 sampai dengan 3 kali dengan rata-rata 1,8. Demikian juga pada Gambar 3 sampai dengan Gambar 5 menunjukkan kurva fatigue hasil pengujian dibawah kurva fatigue Shell terutama untuk nilai regangan rendah dan makin mendekati untuk nilai regangan yang lebih tinggi. Pola ini menunjukkan bahwa jika perancangan tebal perkerasan dilakukan dengan menggunakan model kurva fatigue shell maka hasilnya akan sedikit melebihi prediksi (over predicted). Model Shell dikembangkan dengan menggunakan banyak variasi gradasi campuran dan jenis aspal, hal ini lah kemungkinan yang

Revisi I 10/07/13

menyebabkan perbedaan kurva Shell dan hasil pengujian laboratorium.

Dari hasil garis kesamaan prediksi model kinerja fatigue yang ditampilkan pada Gambar 6 sampai dengan Gambar 8 terlihat bahwa ketiga model yang diperoleh tidak bias terhadap hasil pengujian fatigue laboratorium karena data prediksi tersebar didekat garis kesamaan.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Dari uraian di muka, dapat diambil beberapa kesimpulan: 1. Perbandingan hasil umur fatigue dari

pengujian fatigue laboratorium dan menggunakan pendekatan model fatigue Shell menunjukkan bahwa, umur fatigue dari hasil pengujian laboratorium cenderung lebih kecil dibandingkan umur fatigue metode Shell, dengan perbandingan berkisar antara 0,8 sampai dengan 3 dengan rata-rata 1,8. Hal ini berdasarkan kondisi pengujian kontrol regangan, temperatur 20°C dan frekuensi 10 Hz.

2. Prediksi model kinerja fatigue untuk ACWC, ACBC dan ACBase tidak bias terhadap hasil pengujian fatigue laboratorium hal ini terlihat dari data yang tersebar mendekati garis kesamaan. Model prediksi kinerja fatigue ACWC, ACBC dan ACBase menunjukkan akurasi yang relatif baik dengan koefisien determinasi lebih besar dari 0,9.

Saran Untuk menggambarkan kinerja fatigue lapangan perlu dilakukan kalibrasi antara model fatigue laboratorium dan kinerja fatigue lapangan, idealnya hal ini dilakukan dengan menggunakan fasilitas Accelerated Pavement Test atau Long Term Pavement Performance Monitoring.

DAFTAR PUSTAKA AUSTROAD. 2010. Guide to Pavement

Technology Part 2: Pavement Structural Design. Sydney: AUSTROAD Inc.

Gedafa, Deba S. 2006. “Comparison of Flexible Pavement Performance Using Kenlayer and HDM-4”

Fall Student Conference. Iowa: Midwest Transportation Consortium.

El-Basyouni M. and M. Witzak. 2005. Development of the fatigue Cracking Models for the 2002 Design

Guide. TRR 1919. Washington, DC.: TRB, pp. 77 – 86.

Huang, Yang H. 2012. Pavement analysis and design. 2nd edition. New Jersey: Prentice Hall.

Mallick, Rajib B. and Tahar El-Korchi. 2009. Pavement Engineerign, Principles and Practice. New York: CRC Press

Mahmud, Salim. 2000. Pengkajian Kinerja Perkerasan lentur Secara Analitis. Bandung: Pusjatan.

Shell. 1978. Shell Pavement Design Manual. London: Shell International Petroleum Co.Ltd.

Transportation Research Board. 1990. Fatigue Response of Asphalt Mixture. SHRP. Washington, DC: TRB.

Transportation Research Board.1994. Fatigue Response of Asphalt- Aggregate Mixture. SHRP –A- 404.

Washington, DC: TRB. Sjahdanulirwan M. 2010. Kaji ulang perencanaan

perkerasan lentur. Bandung: Pusjatan. Yamin, Anwar. 2004. Disertasi Model Konstitutif

Parameter mekanistik Cement Treated Asphalt Mixture dan Kinerjanya pada Iklim Tropis Indonesia. PhD. Diss. Institut Teknologi Bandung.

Page 57: Info Pub Lik 20131028094042

Pengembangan Model Keruntuhan Lapis Beraspal, (Nyoman Suaryana, Yohannes Ronny, Anita Jannatun Nissa) 53

Revisi I 10/07/13

jenis campuran. Prediksi model dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak IBM SPSS 19. Hasil yang diperoleh untuk tiap jenis campuran adalah sebagai berikut: 1. Prediksi model kinerja fatigue ACWC

Nf = 1.191x1012 εt-2.843 dengan koefisien determinasi (R2) 0,93

2. Prediksi model kinerja fatigue ACBC Nf = 2,416x1011 εt-2.558 dengan koefisien determinasi (R2) 0,90

3. Prediksi model kinerja fatigue ACBase Nf = 2,163x1012 εt-3,012 dengan koefisien determinasi (R2) 0,96

Garis kesamaan prediksi model kinerja fatigue tiap jenis campuran beraspal ditampilkan pada Gambar 6 sampai dengan Gambar 8.

Gambar 6. Garis kesamaan prediksi model kinerja fatigue ACWC

Gambar 7. Garis kesamaan prediksi model kinerja fatigue ACBC

Gambar 8. Garis kesamaan prediksi model kinerja fatigue ACBase

PEMBAHASAN

Hasil pengujian kelelahan campuran ACWC dengan regangan tarik konstan bervariasi antara 399 sampai dengan 701 με menghasilkan jumlah siklus hingga mencapai failure 6510 – 65430, sedangkan untuk campuran ACBC nilai siklus bervariasi antara 8780 – 52220 dan untuk ACBase nilai siklus bervariasi antara 5980 – 34120. Campuran ACBase cenderung menghasilkan jumlah siklus yang lebih rendah dibandingkan dengan dua campuran lainnya hal ini kemungkinan karena campuran ini memiliki kadar aspal yang lebih rendah dibandingkan ACBC atau ACWC. Nilai umur lelah ACBase yang lebih rendah menunjukkan bahwa, akibat beban lalu lintas retak lelah akan terjadi terlebih dahulu pada lapis ACBase dibandingkan lapis ACBC atau ACWC.

Perbandingan nilai repetisi beban model fatigue shell dan hasil pengujian laboratorium menunjukkan bahwa hasil pengujian fatigue laboratorium cenderung lebih kecil daripada prediksi umur fatigue dari model Shell dengan perbandingan berkisar antara 0,8 sampai dengan 3 kali dengan rata-rata 1,8. Demikian juga pada Gambar 3 sampai dengan Gambar 5 menunjukkan kurva fatigue hasil pengujian dibawah kurva fatigue Shell terutama untuk nilai regangan rendah dan makin mendekati untuk nilai regangan yang lebih tinggi. Pola ini menunjukkan bahwa jika perancangan tebal perkerasan dilakukan dengan menggunakan model kurva fatigue shell maka hasilnya akan sedikit melebihi prediksi (over predicted). Model Shell dikembangkan dengan menggunakan banyak variasi gradasi campuran dan jenis aspal, hal ini lah kemungkinan yang

Revisi I 10/07/13

menyebabkan perbedaan kurva Shell dan hasil pengujian laboratorium.

Dari hasil garis kesamaan prediksi model kinerja fatigue yang ditampilkan pada Gambar 6 sampai dengan Gambar 8 terlihat bahwa ketiga model yang diperoleh tidak bias terhadap hasil pengujian fatigue laboratorium karena data prediksi tersebar didekat garis kesamaan.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Dari uraian di muka, dapat diambil beberapa kesimpulan: 1. Perbandingan hasil umur fatigue dari

pengujian fatigue laboratorium dan menggunakan pendekatan model fatigue Shell menunjukkan bahwa, umur fatigue dari hasil pengujian laboratorium cenderung lebih kecil dibandingkan umur fatigue metode Shell, dengan perbandingan berkisar antara 0,8 sampai dengan 3 dengan rata-rata 1,8. Hal ini berdasarkan kondisi pengujian kontrol regangan, temperatur 20°C dan frekuensi 10 Hz.

2. Prediksi model kinerja fatigue untuk ACWC, ACBC dan ACBase tidak bias terhadap hasil pengujian fatigue laboratorium hal ini terlihat dari data yang tersebar mendekati garis kesamaan. Model prediksi kinerja fatigue ACWC, ACBC dan ACBase menunjukkan akurasi yang relatif baik dengan koefisien determinasi lebih besar dari 0,9.

Saran Untuk menggambarkan kinerja fatigue lapangan perlu dilakukan kalibrasi antara model fatigue laboratorium dan kinerja fatigue lapangan, idealnya hal ini dilakukan dengan menggunakan fasilitas Accelerated Pavement Test atau Long Term Pavement Performance Monitoring.

DAFTAR PUSTAKA AUSTROAD. 2010. Guide to Pavement

Technology Part 2: Pavement Structural Design. Sydney: AUSTROAD Inc.

Gedafa, Deba S. 2006. “Comparison of Flexible Pavement Performance Using Kenlayer and HDM-4”

Fall Student Conference. Iowa: Midwest Transportation Consortium.

El-Basyouni M. and M. Witzak. 2005. Development of the fatigue Cracking Models for the 2002 Design

Guide. TRR 1919. Washington, DC.: TRB, pp. 77 – 86.

Huang, Yang H. 2012. Pavement analysis and design. 2nd edition. New Jersey: Prentice Hall.

Mallick, Rajib B. and Tahar El-Korchi. 2009. Pavement Engineerign, Principles and Practice. New York: CRC Press

Mahmud, Salim. 2000. Pengkajian Kinerja Perkerasan lentur Secara Analitis. Bandung: Pusjatan.

Shell. 1978. Shell Pavement Design Manual. London: Shell International Petroleum Co.Ltd.

Transportation Research Board. 1990. Fatigue Response of Asphalt Mixture. SHRP. Washington, DC: TRB.

Transportation Research Board.1994. Fatigue Response of Asphalt- Aggregate Mixture. SHRP –A- 404.

Washington, DC: TRB. Sjahdanulirwan M. 2010. Kaji ulang perencanaan

perkerasan lentur. Bandung: Pusjatan. Yamin, Anwar. 2004. Disertasi Model Konstitutif

Parameter mekanistik Cement Treated Asphalt Mixture dan Kinerjanya pada Iklim Tropis Indonesia. PhD. Diss. Institut Teknologi Bandung.

Page 58: Info Pub Lik 20131028094042

PETUNJUK PENULISAN NASKAH 1. Redaksi menerima naskah/karya ilmiah bidang jalan dan jembatan dari dalam dan luar lingkungan Pusat Litbang Jalan dan Jembatan.

Dewan Redaksi dan Mitra Bestari akan memeriksa naskah yang masuk dan berhak menolak naskah yang dianggap tidak memenuhi ketentuan.

2. Naskah dapat berupa hasil penelitian atau kajian yang belum dan tidak akan dipublikasikan dalam media cetak lain.

3. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia, diserahkan dalam bentuk file elektronik dalam program MS Office disertai satu eksemplar cetakan. Jumlah naskah maksimum 15 halaman, termasuk abstrak, gambar, tabel dan daftar rujukan. Bila lebih dari 15 halaman, Redaksi berhak untuk menyunting ulang, dan apabila dianggap perlu akan berkonsultasi dengan penulis.

4. Sistematika penulisan disusun sebagai berikut : Bagian awal: nama penulis, abstrak (abstrak dan kata kunci ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris dengan huruf italic). Bagian utama: pendahuluan, kajian pustaka, hipotesis, Metodologi, hasil dan analisa, pembahasan, kesimpulan dan saran. Bagian akhir: keterangan simbol (bila perlu), ucapan terima kasih (bila perlu), daftar pustaka minimal 10 referensi (wajib) berupa buku teks atau jurnal terbaru dan lampiran (jika ada).

5. Judul naskah sesingkat mungkin dan harus mencerminkan isi tulisan serta tidak memberikan peluang penafsiran yang beraneka ragam, ditulis dengan huruf kapital posisi tengah.

6. Nama penulis ditulis : a) Di bawah judul tanpa gelar diawali huruf kapital ditulis posisi tengah dan tidak diawali kata “oleh”; apabila penulis lebih dari satu

orang, nama-nama tersebut ditulis pada satu baris. b) Nama lengkap disertai keterangan alamat instansi dan kotanya, apabila penulis lebih dari satu orang, semua nama penulis

dicantumkan secara lengkap.

7. Abstrak memuat permasalahan, tujuan, metodologi, hasil dan kesimpulan (antara 150-250 kata) ditulis dalam satu alinea, ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Hindari penggunaan singkatan dalam abstrak. Di bawah abstrak dicantumkan minimal 5 kata kunci.

8. Teknik penulisan : a) Naskah ditulis pada kertas ukuran A4, ketikan satu spasi dengan 2 kolom, jarak kolom pertama dan kedua 1 cm. b) Batas pengetikan : tepi atas dan tepi bawah 3 cm, sisi kiri dan sisi kanan 2,5 cm. Alinea baru pada satu cm batas tepi kiri, antara

alinea tidak diberi tambahan spasi. c) Penggunaan Font Times New Roman

- Judul, ditulis di tengah halaman, Kapital 14 pt, bold - Isi, 11 pt - Nama penulis, ditulis di tengah halaman, 11 pt, bold - Persamaan/rumus, 10 pt - Nama instansi, ditulis di tengah halaman, 10 pt - Keterangan Persamaan/Rumus, 10 pt - Alamat instansi dan email, ditulis di tengah halaman, 9 pt - Judul tabel dan gambar, 10 pt - Sub judul, ditulis di tepi kiri, Kapital 11 pt, bold - Tulisan tabel dan gambar, 10 pt, bold - Isi Abstrak, 10 pt, Italic - Sumber tabel dan gambar, 9 pt - Kata kunci, 10 pt, Italic - Isi daftar pustaka, 10 pt

d) Kata asing ditulis dengan huruf italic, apabila sudah ada bahasa Indonesia kata asing ditulis dalam kurung, untuk selanjutnya istilah yang sama cukup ditulis istilah Indonesianya. Bilangan ditulis dengan angka kecuali pada awal kalimat.

e) Ketentuan Tabel/Gambar : - Tabel dan gambar harus diberi keterangan yang jelas. Judul tabel diletakkan di bagian atas tabel (rata kiri dengan tabel),

sedangkan judul gambar di bagian bawah gambar (rata kiri dengan gambar), - Tabel dan Gambar tidak menggunakan garis pinggir, tabel menggunakan jenis “table simple 1”, - Gambar, foto dan grafik berwarna, - Sumber tabel dan gambar dicantumkan di bawah tabel dan gambar.

f) Sumber pustaka (sitasi dalam teks) terdiri dari nama penulis dan tahun penerbitan yang diacu, ditulis dalam kurung. Contoh: (Calvez 2004). Untuk kutipan langsung ditambah nomor halaman (Calvez 2004, 73).

g) Daftar pustaka dan sitasi bibliografis menggunakan Chicago Manual of Style (Author-Date System), ditulis dalam urutan abjad nama penulis dan disusun dengan urutan : a. Untuk buku : pengarang (nama keluarga diikuti nama pertama), tahun terbit, judul buku, kota dan nama penerbit b. Untuk jurnal : pengarang (nama keluarga diikuti nama pertama), tahun terbit, judul majalah (judul prosiding), judul artikel,

volume, nomor, bulan, halaman. c. Karya di internet: URL dan karya tersebut diakses Contoh: Buku (monograf) Okuda, Michael, dand Denis Okuda. 1993. Star Trek chronology: The history of the Future. New York: Pocket Books. Artikel Jurnal Wilcox, Rhonda V. “Shifting Roles and Synthetic Woman in Star Trek: The Next Generation. “ Studies in Popular Cultur 13 (April 1991):53-65. Terbitan Pemerintah Indonesia, Kementerian Pekerjaan Umum. Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan. 2010. Pedoman Perencanaan Perkerasan Lentur. Jakarta : Kementerian Pekerjaan Umum.

h) Jika dalam Daftar pustaka ada pencantuman nama seseorang lebih dari 1 kali, nama kedua tidak perlu ditulis kembali, cukup mengganti nama dengan titik putus-putus.

i) Contoh Daftar pustaka tanpa tahun dan tanpa penerbit a. Caltrans California Departement of Transportation. [s.n]. Highway Design Manual. California : D.O.T b. Caltrans California Departement of Transportation. 1996. Highway Design Manual. California: [s.n]

9. Dewan Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap isi naskah.

10. Penulis wajib menyertakan alamat korespondensi dengan jelas.

11. Dewan Redaksi dapat menyesuaikan bahasa dan/atau istilah tanpa mengubah isi dan pengertiannya dengan tidak memberitahukan kepada penulis, dan apabila dianggap perlu akan berkonsultasi dahulu dengan penulis.

12. Naskah yang dimuat dalam jurnal ini menjadi hak milik Pusat Litbang Jalan dan Jembatan, Badan Litbang Pekerjaan Umum.

Page 59: Info Pub Lik 20131028094042

PETUNJUK PENULISAN NASKAH 1. Redaksi menerima naskah/karya ilmiah bidang jalan dan jembatan dari dalam dan luar lingkungan Pusat Litbang Jalan dan Jembatan.

Dewan Redaksi dan Mitra Bestari akan memeriksa naskah yang masuk dan berhak menolak naskah yang dianggap tidak memenuhi ketentuan.

2. Naskah dapat berupa hasil penelitian atau kajian yang belum dan tidak akan dipublikasikan dalam media cetak lain.

3. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia, diserahkan dalam bentuk file elektronik dalam program MS Office disertai satu eksemplar cetakan. Jumlah naskah maksimum 15 halaman, termasuk abstrak, gambar, tabel dan daftar rujukan. Bila lebih dari 15 halaman, Redaksi berhak untuk menyunting ulang, dan apabila dianggap perlu akan berkonsultasi dengan penulis.

4. Sistematika penulisan disusun sebagai berikut : Bagian awal: nama penulis, abstrak (abstrak dan kata kunci ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris dengan huruf italic). Bagian utama: pendahuluan, kajian pustaka, hipotesis, Metodologi, hasil dan analisa, pembahasan, kesimpulan dan saran. Bagian akhir: keterangan simbol (bila perlu), ucapan terima kasih (bila perlu), daftar pustaka minimal 10 referensi (wajib) berupa buku teks atau jurnal terbaru dan lampiran (jika ada).

5. Judul naskah sesingkat mungkin dan harus mencerminkan isi tulisan serta tidak memberikan peluang penafsiran yang beraneka ragam, ditulis dengan huruf kapital posisi tengah.

6. Nama penulis ditulis : a) Di bawah judul tanpa gelar diawali huruf kapital ditulis posisi tengah dan tidak diawali kata “oleh”; apabila penulis lebih dari satu

orang, nama-nama tersebut ditulis pada satu baris. b) Nama lengkap disertai keterangan alamat instansi dan kotanya, apabila penulis lebih dari satu orang, semua nama penulis

dicantumkan secara lengkap.

7. Abstrak memuat permasalahan, tujuan, metodologi, hasil dan kesimpulan (antara 150-250 kata) ditulis dalam satu alinea, ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Hindari penggunaan singkatan dalam abstrak. Di bawah abstrak dicantumkan minimal 5 kata kunci.

8. Teknik penulisan : a) Naskah ditulis pada kertas ukuran A4, ketikan satu spasi dengan 2 kolom, jarak kolom pertama dan kedua 1 cm. b) Batas pengetikan : tepi atas dan tepi bawah 3 cm, sisi kiri dan sisi kanan 2,5 cm. Alinea baru pada satu cm batas tepi kiri, antara

alinea tidak diberi tambahan spasi. c) Penggunaan Font Times New Roman

- Judul, ditulis di tengah halaman, Kapital 14 pt, bold - Isi, 11 pt - Nama penulis, ditulis di tengah halaman, 11 pt, bold - Persamaan/rumus, 10 pt - Nama instansi, ditulis di tengah halaman, 10 pt - Keterangan Persamaan/Rumus, 10 pt - Alamat instansi dan email, ditulis di tengah halaman, 9 pt - Judul tabel dan gambar, 10 pt - Sub judul, ditulis di tepi kiri, Kapital 11 pt, bold - Tulisan tabel dan gambar, 10 pt, bold - Isi Abstrak, 10 pt, Italic - Sumber tabel dan gambar, 9 pt - Kata kunci, 10 pt, Italic - Isi daftar pustaka, 10 pt

d) Kata asing ditulis dengan huruf italic, apabila sudah ada bahasa Indonesia kata asing ditulis dalam kurung, untuk selanjutnya istilah yang sama cukup ditulis istilah Indonesianya. Bilangan ditulis dengan angka kecuali pada awal kalimat.

e) Ketentuan Tabel/Gambar : - Tabel dan gambar harus diberi keterangan yang jelas. Judul tabel diletakkan di bagian atas tabel (rata kiri dengan tabel),

sedangkan judul gambar di bagian bawah gambar (rata kiri dengan gambar), - Tabel dan Gambar tidak menggunakan garis pinggir, tabel menggunakan jenis “table simple 1”, - Gambar, foto dan grafik berwarna, - Sumber tabel dan gambar dicantumkan di bawah tabel dan gambar.

f) Sumber pustaka (sitasi dalam teks) terdiri dari nama penulis dan tahun penerbitan yang diacu, ditulis dalam kurung. Contoh: (Calvez 2004). Untuk kutipan langsung ditambah nomor halaman (Calvez 2004, 73).

g) Daftar pustaka dan sitasi bibliografis menggunakan Chicago Manual of Style (Author-Date System), ditulis dalam urutan abjad nama penulis dan disusun dengan urutan : a. Untuk buku : pengarang (nama keluarga diikuti nama pertama), tahun terbit, judul buku, kota dan nama penerbit b. Untuk jurnal : pengarang (nama keluarga diikuti nama pertama), tahun terbit, judul majalah (judul prosiding), judul artikel,

volume, nomor, bulan, halaman. c. Karya di internet: URL dan karya tersebut diakses Contoh: Buku (monograf) Okuda, Michael, dand Denis Okuda. 1993. Star Trek chronology: The history of the Future. New York: Pocket Books. Artikel Jurnal Wilcox, Rhonda V. “Shifting Roles and Synthetic Woman in Star Trek: The Next Generation. “ Studies in Popular Cultur 13 (April 1991):53-65. Terbitan Pemerintah Indonesia, Kementerian Pekerjaan Umum. Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan. 2010. Pedoman Perencanaan Perkerasan Lentur. Jakarta : Kementerian Pekerjaan Umum.

h) Jika dalam Daftar pustaka ada pencantuman nama seseorang lebih dari 1 kali, nama kedua tidak perlu ditulis kembali, cukup mengganti nama dengan titik putus-putus.

i) Contoh Daftar pustaka tanpa tahun dan tanpa penerbit a. Caltrans California Departement of Transportation. [s.n]. Highway Design Manual. California : D.O.T b. Caltrans California Departement of Transportation. 1996. Highway Design Manual. California: [s.n]

9. Dewan Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap isi naskah.

10. Penulis wajib menyertakan alamat korespondensi dengan jelas.

11. Dewan Redaksi dapat menyesuaikan bahasa dan/atau istilah tanpa mengubah isi dan pengertiannya dengan tidak memberitahukan kepada penulis, dan apabila dianggap perlu akan berkonsultasi dahulu dengan penulis.

12. Naskah yang dimuat dalam jurnal ini menjadi hak milik Pusat Litbang Jalan dan Jembatan, Badan Litbang Pekerjaan Umum.

Page 60: Info Pub Lik 20131028094042

Volume 30 No. 1, April 2013 ISSN : 1907 - 0284

Terakreditasi 484/AU3/P2MI-LIPI/08/2012Berlaku : 7 Agustus 2012 - 7 Agustus 2015

J. Jalan - Jembatan Vol. 30 No. 1Bandung

April 2013ISSN

1907 - 0284

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUMBADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

PUSAT LITBANG JALAN DAN JEMBATAN

Volume 30 N

o. 1, April 2013, Hal. 1 - 53

ISSN

771907 0284979

1907 0284-Hal. 1 - 53