Inflmasi

24
Imunologi Dasar : Reaksi Hipersensitivitas Widodo Judarwanto. Children Allergy Online Clinic, Jakarta Indonesia Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas. Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitifcell-mediated (hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut sentivitas tipe V atau stimulatory hipersensitivity. Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam keadaan sebenarnya seringkali keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu mekanisme akan mengaktifkan mekanisme yang lainnya.

description

inflamasi, mekanisme, fisiologis

Transcript of Inflmasi

Page 1: Inflmasi

Imunologi Dasar : Reaksi HipersensitivitasWidodo Judarwanto. Children Allergy Online Clinic, Jakarta Indonesia

Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.

Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitifcell-mediated (hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut sentivitas tipe V atau stimulatory hipersensitivity.

Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam keadaan sebenarnya seringkali keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu mekanisme akan mengaktifkan mekanisme yang lainnya.

Page 2: Inflmasi

REAKSI HIPERSENTIVITAS TIPE I Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100 tahun yang lalu.

Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada saat itu sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat peradangan lainnya.

Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.

Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen hapten-protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.

Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE. Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab mengenai komplemen).

Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I.

Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan fase lambat.Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat biasanya terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi. Setelah masa refrakter sel mast dan basofil yang berlangsung selama beberapa jam, dapat terjadi resintesis mediator farmakologik reaksi hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif lagi terhadap alergen.

Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat Mekanisme terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata sel mast masih merupakan sel yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti bahwa reaksi alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase cepat. Sel mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif dari sel mast tersebut akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel radang.

Limfosit mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi fase lambat dibandingkan dengan sel mast. Limfosit dapat melepaskan histamin releasing factor dan sitokin lainnya yang akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator dari sel mast dan sel lain.

Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein (MBP) afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas faktor kemotaktik, sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan di dalam peradangan. Neutrofil adalah sel yang pertama berada pada infiltrat peradangan setelah reaksi alergi fase cepat dalam keadaan teraktivasi yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan menarik sel lain, terutama eosinofil.

Mediators: Histamin Slow-reacting substance of anaphylaxis (SRS-A) Bradykinin. Serotonin (5-hydroxytryptamine) Eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis (ECF-A). Platelet activating factor (PAF). Prostaglandins hasil produksi metabolisme cyclooxygenase dari arachidonic acid. Prostaglandin

E1 (PGE1) dan PGE2 adalah bronchodilators dan vasodilators kuat. PGI2 atau prostacyclin adalah suatu disaggregates platelets.

Genetic factors: Hay fever, asthma, and food allergies, show familial tendency.Manifestasi Klinis

Page 3: Inflmasi

Anaphylaxis Atopy  immediate hypersensitivity response Terapi : Avoidance, Hyposensitization, pemberian modified allergens atau “allergoids”. Obat Diphenhydramine, Corticosteroids, Epinephrine. Sodium cromolyn, Theophylline Mediator penyakit alergi (hipersensitivitas tipe I) Seperti telah diuraikan di atas bahwa

mediator dibebaskan bila terjadi interaksi antara antigen dengan IgE spesifik yang terikat pada membran sel mast. Mediator ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (preformed mediator) dan mediator yang terbentuk kemudian (newly formed mediator). Menurut asalnya mediator ini juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator dari sel mast atau basofil (mediator primer), dan mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator primer (mediator sekunder).

Mediator yang sudah ada dalam granula sel mastTerdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF).1. HistaminHistamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik serta berada dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam plasma adalah kurang dari 1 ng/ L akan tetapi dapatμ meningkat sampai 1-2 ng/ L setelah uji provokasi dengan alergen. Gejala yang timbul akibat histaminμ dapat terjadi dalam beberapa menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos, serta peningkatan permeabilitas vaskular.Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal, hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah reaksi gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam lambung, kejang usus, dan diare. Histamin mempunyai peran kecil pada asma, karena itu antihistamin hanya dapat mencegah sebagian gejala alergi pada mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada bronkus.Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik berat (anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal setelah kontak dengan alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin membantu timbulnya reaksi inflamasi dengan cara memudahkan migrasi imunoglobulin dan sel peradangan ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi. Fungsi histamin dalam keadaan normal saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi pada sekresi lambung. Diduga histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus mikrovaskular. Melalui reseptor H2 diperkirakan histamin juga mempunyai efek modulasi respons beberapa sel termasuk limfosit.2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A)Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat reaksi radang yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah terbentuk dan tersedia dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada waktu degranulasi (pada basofil segera dibentuk setelah kontak dengan alergen).Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4 yang terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas pada penyakit alergi, tetapi tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil karena ECF-A dapat juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE.3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF)NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan fragmen paru manusia setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam beberapa menit dalam sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan alergen atau setelah timbulnya urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari). Oleh karena mediator ini terbentuk dengan cepat maka diduga ia merupakan mediator primer. Mediator tersebut mungkin pula berperan pada reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.Mediator yang terbentuk kemudianMediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat, faktor aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat terdiri dari jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masing-masing akan mengeluarkan produk yang berperan sebagai mediator bagi berbagai proses inflamasi (lihat Gambar 12-3).1. Produk siklooksigenase

Page 4: Inflmasi

Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi pembentukan satu atau lebih produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2) serta tromboksan A2 (TxA2).Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya membentuk PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan TxA2 juga dapat mengaktivasi trombosit. Prostaglandin juga dibentuk oleh sel yang berkumpul di mukosa bronkus selama reaksi alergi fase lambat (neutrofil, makrofag, dan limfosit).Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat bronkodilator karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus dan usus serta meningkatkan permeabilitas vaskular. Kecuali PGD2, prostaglandin serta TxA2 berperan terutama sebagai mediator sekunder yang mungkin menunjang terjadinya reaksi peradangan, akan tetapi peranan yang pasti dalam reaksi peradangan pada alergi belum diketahui.2. Produk lipoksigenaseLeukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat yang membentuk slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4 merupakan kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4 adalah zat yang dinamakan SRS-A. Sel mast manusia banyak menghasilkan produk lipoksigenase serta merupakan sumber hampir semua SRS-A yang dibebaskan dari jaringan paru yang tersensitisasi.‘Slow reacting substance of anaphylaxis’Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan masa kerja lebih lama dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya didapatkan sedikit perbedaan antara kedua jenis mediator tersebut. Mediator SRS-A dianggap mempunyai peran yang lebih penting dari histamin dalam terjadinya asma. Mediator ini mempunyai efek bronkokonstriksi 1000 kali dari histamin. Selain itu SRS-A juga meningkatkan permeabilitas kapiler serta merangsang sekresi mukus. Secara kimiawi, SRS-A ini terdiri dari 3 leukotrien hasil metabolisme asam arakidonat, yaitu LTC4, LTD4, serta LTE4.Faktor aktivasi trombosit (PAF = ‘Platelet activating factor’)Mediator ini pertama kali ditemukan pada kelinci dan selanjutnya pada manusia. PAF dapat menggumpalkan trombosit serta mengaktivasi pelepasan serotonin dari trombosit. Selain itu PAF juga menimbulkan kontraksi otot polos bronkus serta peningkatan permeabilitas vaskular. Aktivasi trombosit pada manusia terjadi pada reaksi yang diperan oleh IgE.SerotoninSekitar 90% serotonin tubuh (5-hidroksi triptamin) terdapat di mukosa saluran cerna. Serotonin ditemukan pada sel mast binatang tetapi tidak pada sel mast manusia. Dalam reaksi alergi pada manusia, serotonin merupakan mediator sekunder yang dilepaskan oleh trombosit melalui aktivasi produk sel mast yaitu PAF dan TxA2. Serotonin dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.SITOKIN DALAM REGULASI REAKSI ALERGISelain mediator yang telah disebutkan tadi, sel mast juga merupakan sumber beberapa sitokin yang mempengaruhi sel yang berperan pada reaksi alergi.Pada individu yang cenderung untuk alergi, paparan terhadap beberapa antigen menyebabkan aktivasi sel Th2 dan produksi IgE (lihat Gambar 12-4). Individu normal tidak mempunyai respons Th2 yang kuat terhadap sebagian besar antigen asing. Ketika beberapa individu terpapar antigen seperti protein pada serbuk sari (pollen), makanan tertentu, racun pada serangga, kutu binatang, atau obat tertentu misalnya penisilin, respons sel T yang dominan adalah pembentukan sel Th2. Individu yang atopik dapat alergi terhadap satu atau lebih antigen di atas. Hipersensitivitas tipe cepat terjadi sebagai akibat dari aktivasi sel Th2 yang berespons terhadap antigen protein atau zat kimia yang terikat pada protein. Antigen yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi alergik) sering disebut sebagai alergen.Interleukin (IL)-4 dan IL-13, yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh sel Th2, akan menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab itu, individu yang atopik akan memproduksi IgE dalam jumlah besar sebagai respons terhadap antigen yang tidak akan menimbulkan respons IgE pada sebagian besar orang. Kecenderungan ini mempunyai dasar genetika yang kuat dengan banyak gen yang berperan.Reaksi peradangan alergi telah diketahui dikoordinasi oleh subset limfosit T4 yaitu Th2. Limfosit ini memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, TNF , serta GM-CSF tetapi tidak memproduksi IL-2 atau INFα (diproduksi oleh sel Th1). Alergen diproses oleh makrofag (APC) yang mensintesis IL-1. Zat ini merangsang dan mengaktivasi sel limfosit T yang kemudian memproduksi IL-2 yang merangsang sel T4 untuk memproduksi interleukin lainnya. Ternyata sitokin yang sama juga diproduksi oleh sel mast sehingga dapat diduga bahwa sel mast juga mempunyai peran sentral yang sama dalam reaksi alergi. Produksi interleukin diperkirakan  dapat  langsung  dari  sel  mast  atau  dari  sel  lain akibat stimulasi oleh mediator sel mast. Interleukin-4 tampaknya merupakan stimulus utama dalam aktivasi sintesis IgE oleh sel limfosit B. Pada saat yang sama IL-4 meningkatkan ekspresi reseptor Fc (FcRII) pada sel limfositε

Page 5: Inflmasi

B. Interleukin-4 ini pertama kali disebut faktor stimulasi sel B (BSF = B cell stimulating factor). Aktivasi oleh IL4 ini diperkuat oleh IL-5, IL-6, dan TNF , tetapi dihambat oleh IFN , IFN , TGF , PGE2, dan IL-I0α α γ βDalam reaksi alergi fase cepat, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF dan INF terbukti dapat menginduksi atau meningkatkan pelepasan histamin melalui interaksi IgE- alergen pada sel basofil manusia (lihat Gambar 12-6).  Sitokin  lain  yang  mempunyai aktivitas sama pada sel mast ialah MCAF (monocyte chemotactic and activating factor) dan RANTES (regulated upon activation normal T expressed and presumably secreted). Demikian juga SCF (stem cell factor) yaitu suatu sitokin yang melekat pada reseptor di sel mast yang disebut C-kit, dapat menginduksi pembebebasan histamin dari sel mast baik dengan atau tanpa melalui stimulasi antigen (lihat Gambar 12-7).Pada reaksi alergi fase lambat, IL-3 dan GM-CSF tidak hanya menarik dan mengaktivasi eosinofil tetapi juga basofil dan efek kemotaktik sitokin ini lebih nyata dibandingkan dengan komplemen C5a, LTB4 dan PAF.Mekanisme lain sitokin berperan pula dalam menunjang terjadinya reaksi peradangan pada alergi. GM-CSF, IL-l, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IFN, TNF, NGF (nerve growth factor) serta SCF berperan dalam pertumbuhan, proliferasi, pertahanan hidup dan diferensiasi limfosit, eosinofil, basofil, sel mast, makrofag atau monosit. Pada saat aktivasi, sel-sel ini ditarik ke arah jaringan yang mengalami peradangan dalam reaksi antigen-antibodi yang ditingkatkan oleh IL-2, IL-5, GM-CSF, dan EAF (eosinophil activating factor). Keadaan ini lebih terlihat pada biakan eosinofil manusia dengan GM-CSF bersama fibroblast. Pada percobaan ini eosinofil menjadi hipodens dan dapat membebaskan lebih banyak LTC4 bila diaktivasi oleh stimulus seperti fMLP (formil metionil leukosil fenilalanin).PENYAKIT OLEH ANTIBODI DAN KOMPLEKS ANTIGEN-ANTIBODI(REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE II DAN III)

Antibodi, selain IgE, mungkin menyebabkan penyakit dengan berikatan pada target antigennya yang ada pada permukaan sel atau jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe II) atau dengan membentuk kompleks imun yang mengendap di pembuluh darah (reaksi hipersensitivitas tipe III)

Penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh antibodi (antibody-mediated)merupakan bentuk yang umum dari penyakit imun yang kronis pada manusia. Antibodi terhadap sel atau permukaan luar sel dapat mengendap pada berbagai jaringan yang sesuai dengan target antigen. Penyakit yang disebabkan reaksi antibodi ini biasanya spesifik untuk jaringan tertentu. Kompleks imun biasanya mengendap di pembuluh darah pada tempat turbulansi (cabang dari pembuluh darah) atau tekanan tinggi (glomerulus ginjal dan sinovium). Oleh karena itu, penyakit kompleks imun cenderung merupakan suatu penyakit sistemis yang bermanifestasi sebagai vaskulitis, artritis dan nefritis.

Sindrom klinik dan pengobatanBeberapa kelainan hipersensivitas kronik pada manusia disebabkan atau berhubungan dengan autoantibodi terhadap antigen jaringan kompleks imun. Tatalaksana dan pengobatan ditujukan terutama untuk mengurangi atau menghambat proses inflamasi dan kerusakan jaringan yang diakibatkannya dengan menggunakan kortikosteroid. Pada kasus yang berat, digunakan plasmapheresis untuk mengurangi  kadar autoantibodi atau kompleks imun yang beredar dalam darah.Penyakit oleh autoantibodi terhadap antigen jaringan

Penyakit Antigen target MekanismeManifestasi klinopatologi

Anemia hemolitik autoimun

Protein membran eritrosit (antigen golongan darah Rh)

Opsonisasi dan fagositosis eritrosit

Hemolisis, anemia

Purpura trombositopenia autoimun (idiopatik)

Protein membran platelet (gpIIb:integrin IIIa)

Opsonisasi dan fagositosis platelet Perdarahan

Pemfigus vulgaris

Protein pada hubungan interseluler pada sel epidermal(epidemal cadherin)

Aktivasi protease diperantarai antibodi, gangguan adhesi interseluler

Vesikel kulit (bula)

Page 6: Inflmasi

Sindrom Goodpasture

Protein non-kolagen pada membran dasar glomerulus ginjal dan alveolus paru

Inflamasi yang diperantarai komplemen dan reseptor Fc

Nefritis, perdarahan paru

Demam reumatik akut

Antigen dinding sel streptokokus, antibodi bereaksi silang dengan antigen miokardium

Inflamasi, aktivasi makrofag

Artritis, miokarditis

Miastenia gravis Reseptor asetilkolin

Antibodi menghambat ikatan asetilkolin, modulasi reseptor

Kelemahan otot, paralisis

Penyakit Graves Reseptor hormon TSHStimulasi reseptor TSH diperantarai antibodi Hipertiroidisme

Anemia pernisiosa

Faktor intrinsik dari sel parietal gaster

Netralisasi faktor intrinsik, penurunan absorpsi vitamin B12

Eritropoesis abnormal, anemia

(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)Penyakit oleh kompleks imun

Penyakit Spesifitas antibodi MekanismeManifestasi klinopatologi

Lupus eritematosus sistemik DNA, nukleoprotein

Inflamasi diperantarai komplemen dan reseptor Fc

Nefritis, vaskulitis, artritis

Poliarteritis nodosa

Antigen permukaan virus hepatitis B

Inflamasi diperantarai komplemen dan reseptor Fc Vaskulitis

Glomreulonefirtis post-streptokokus

Antigen dinding sel streptokokus

Inflamasi diperantarai komplemen dan reseptor Fc Nefritis

(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)Point of interest

Antibodi terhadap antigen sel dan jaringan dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan penyakit (reaksi hipersensitivitas tipe II).

Antibodi IgG dan IgM yang berikatan pada antigen sel atau jarinagn menstimulasi fagositosis sel-sel tersebut, menyebabkan reaksi inflamasi,  aktivasi komplemen menyebabkan sel lisis dan fragmen komplemen dapat menarik sel inflamasi ke tempat terjadinya reaksi, juga dapat mempengaruhi fungsi organ dengan berikatan pada reseptor sel organ tersebut.

Antibodi dapat berikatan dengan antigen yang bersirkulasi dan membentuk kompleks  imun, yang kemudian mengendap pada pembuluh darah dan menyebabkan kerusakan jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe III). Kerusakan jaringan terutama disebabkan oleh pengumpulan lekosit dan reaksi inflamasi.

PENYAKIT OLEH LIMFOSIT T (REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE IV)Peranan dari limfosit T pada penyakit imunologis pada manusia telah semakin dikenal dan diketahui. Patogenesis dan tatalaksana penyakit autoimun pada manusia pada saat ini lebih ditujukan pada kerusakan jaringan yang disebabkan terutama oleh sel limfosit T.

Hampir semua penyakit yang diperantarai T cell disebabkan oleh mekanisme autoimun. Reaksi autoimun biasanya ditujukan langsung terhadap antigen pada sel yang distribusinya terbatas pada jaringan organ tertentu. Oleh karena itu penyakit T cell mediated cenderung terbatas mengenai organ-organ tertentu dan biasanya tidak bersifat  sistemis. Kerusakan organ juga dapat

Page 7: Inflmasi

terjadi menyertai reaksi sel T terhadap reaksi mikroba, misalnya pada tuberculosis, terdapat reaksi T cell-mediatedterhadap M. tuberculosis, dan reaksi tersebut menjadi kronik oleh karena infeksinya sulit dieradikasi. Inflamasi granulomatous yang terjadi mengakibatkan kerusakan jaringan pada tempat infeksi. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak terlalu merusak jaringan, tetapi sel limfosit T sitolitik (CTL) yang bereaksi terhadap hepatosit yang terinfeksi menyebabkan kerusakan jaringan hepar.

Pada penyakit yang diperantarai oleh sel T (T cell-mediated), kerusakan jaringan dapat disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang diperantarai oleh sel T CD4+ atau sel lisis oleh CD8+ CTLs

Mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan mikroba. Sel T CD4+ bereaksi terhadap antigen pada sel atau jaringan, terjadi sekresi sitokin yang menginduksi inflamasi dan mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan disebabkan oleh sekresi sitokin dari makrofag dan sel-sel inflamasi yang lain. Sel T CD8+  dapat menghancurkan sel yang berikatan dengan antigen asing. Pada banyak penyakit autoimun yang diperantarai oleh sel T,  terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ yang spesifik untuk antigen diri, dan keduanya berperan pada kerusakan jaringan.

Sindrom klinik dan pengobatanBanyak penyakit autoimun yang organ spesifik pada manusia didasari oleh reaksi yang diperantarai oleh sel T .Penyakit yang diperantarai sel T

PenyakitSpesifitas sel T patogenik Penyakit pada manusia

Contoh pada hewan

Diabetes melitus tergantung insulin (tipe I)

Antigen sel islet (insulin, dekarboksilase asam glutamat)

Spesifisitas sel T belum ditegakkan

Tikus NOD, tikus BB, tikus transgenik

Artritis reumatoid

Antigen yang tidak diketahui di sinovium sendi

Spesifisitas sel T dan peran antibodi belum ditegakkan

Artritis diinduksi kolagen

Ensefalomielitis alergi eksperimental

Protein mielin dasar, protein proteolipid

Postulat : sklerosis multipel

Induksi oleh imunisasi dengan antigen mielin SSP; tikus transgenik

Penyakit inflamasi usus

Tidak diketahui, peran mikroba intestinal

Spesifisitas sel T belum ditegakkan

Induksi oleh rusaknya gen IL-2 atau IL-10 atau kurangnya regulator sel T

(Abbas AK, Lichtman AH, 2004)

Imunologi Dasar : Radang dan Respon Inflamasi

Page 8: Inflmasi

Respon inflamasi distimulasi oleh trauma atau infeksi, pusat pada inflamasi adalah menghambat inflamasi dan meningkatkan penyembuhan. Inflamasi dapatmenghasilkan nyeri setempat, bengkak, panas, merah, dan perubahan fungsi.Inflamasi adalah respon dari suatu organisme terhadap patogen dan alterasi mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan yang mengalami cedera, seperti karena terbakar, atau terinfeksi.Radang atau inflamasi adalah satu dari respon utama sistem kekebalan terhadap infeksi dan iritasi. Inflamasi distimulasi oleh faktor kimia (histamin, bradikinin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) yang dilepaskan oleh sel yang berperan sebagai mediator radang di dalam sistem kekebalan untuk melindungi jaringan sekitar dari penyebaran infeksi.Peradangan adalah sinyal-dimediasi menanggapi penghinaan seluler oleh agen infeksi, racun, dan tekanan fisik. Sementara peradangan akut adalah penting bagi respon kekebalan tubuh, peradangan kronis yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan jaringan ( autoimunitas , neurodegenerative, penyakit kardiovaskular).Gejala dan Tanda peradangan bervariasi disertai demam (pyrogenesis), kemerahan (rubor), nyeri bengkak (turgor), (dolor), dan jaringan / organ disfungsi (functio laesa).Urutan kejadian inflamasi adalah:■Stimulasi oleh trauma atau patogen → reaksi fase akut■trombosit adhesi, vasokonstriksi pembuluh eferen■ sitokin dilatasi vaskular diinduksi aferen (vasodilatasi menyebabkan peningkatan aliran darah (kemerahan, panas lokal) untuk terinfeksi / rusak daerah■aktivasi sistem komplemen , sistem pembekuan darah , sistem fibrinolitik , dan sistem kinin■ leukocyte adhesion cascade celah endotel meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan memungkinkan ekstravasasi protein serum (eksudat) dan leukosit (→ neutrofil → makrofag → limfosit ) dengan jaringan yang dihasilkan pembengkakan■fagositosis dari bahan asing dengan pembentukan nanahRespon inflamasi adalah bagian dari respon imun bawaan , dan mempekerjakan agen seluler dan plasma yang diturunkan ( jalur ):● complement system ● pelengkap sistem ● interferons (IFN) ● interferon (IFN) ● cytokines , lymphokines , monokines ● sitokin , limfokin , monokines● prostaglandins and leukotrienes – arachidonic acid derivatives ● prostaglandin dan leukotrien – asam arakidonat derivatif● platelet activating factor (PAF) ● faktor pengaktif trombosit (PAF)● histamine ● histamin ● kinins ( bradykinin → pain ) ● kinins ( bradikinin → nyeri )Nyeri membangkitkan mediator proinflamasi termasuk sitokin , kemokin , proton, faktor pertumbuhan saraf , dan prostaglandin , yang diproduksi dengan menyerang leukosit atau sel lokal.

Protein fase akut berfluktuasi sebagai respons terhadap cedera jaringan dan infeksi. Mereka disintesis (oleh hepatosit) menanggapi pro-inflamasi sitokin dan mencakup: ● C-reactive protein ( CRP ),  mannose-binding protein , complement factors , ● alpha-1 acid glycoprotein , ● alpha 1-antitrypsin ,  alpha 1-antichymotrypsin , ● alpha 2-macroglobulin , ● alfa 2-macroglobulin , ● serum amyloid P component ( SAP , amyloid ), haptoglobins (alpha-2-globulins),  ceruloplasmin ,  complement components C3 , C4 ,  faktor koagulasi (fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor von Willebrand, plasminogen) ● feritin

Pro-inflamasi sitokin termasuk IL-1 , IL-6 , IL-8 , TNF- (alfa nekrosisα  faktor tumor), dan TNF-β (α lymphotoxin, LT). Sebagai respon terhadap infeksi, makrofag mensekresi IL-1 dan TNFs , yang spektrum luas sitokin yang merangsang respon inflamasi dari neutrofil , fibroblas, dan sel endotel.  Fibroblast dan sel endotel menanggapi IL-1 dan TNF dengan merekrut lebih banyak sel kekebalan untuk situs peradangan.

Nyeri: Ketika jaringan hancur atau diserang oleh leukosit dalam peradangan, banyak mediator yang disampaikan oleh sirkulasi dan / atau dibebaskan dari penduduk dan berimigrasi sel pada situs. Mediator Proalgesic termasuk sitokin pro inflamasi, kemokin, proton, faktor pertumbuhan saraf, dan prostaglandin, yang diproduksi dengan menyerang leukosit atau sel penduduk.  Mediator analgesik, yang melawan rasa sakit, juga diproduksi di jaringan meradang.  Ini termasuk anti-inflamasi sitokin dan peptida opioid.  Interaksi antara leukosit yang diturunkan dari peptida opioid dan reseptor opioid dapat menyebabkan ampuh, penghambatan klinis yang relevan dari nyeri (analgesik).  Reseptor opioid yang hadir pada ujung perifer dari neuron sensorik. Peptida opioid disintesis dalam sirkulasi leukosit, yang bermigrasi ke jaringan meradang disutradarai oleh kemokin dan molekul adhesi. Dalam kondisi stres atau dalam menanggapi melepaskan agen (misalnya kortikotropin-releasing factor,

Page 9: Inflmasi

sitokin, noradrenalin), leukosit dapat mengeluarkan opioid.  Mereka mengaktifkan reseptor opioid perifer dan menghasilkan analgesia dengan menghambat rangsangan saraf sensorik dan / atau pelepasan neuropeptida rangsang.  Konsep generasi nyeri dengan mediator dikeluarkan dari leukosit dan analgesia oleh kekebalan tubuh yang diturunkan opioid.Radang mempunyai tiga peran penting dalam perlawanan terhadap infeksi:

memungkinkan penambahan molekul dan sel efektor ke lokasi infeksi untuk meningkatkan performa makrofaga

menyediakan rintangan untuk mencegah penyebaran infeksi mencetuskan proses perbaikan untuk jaringan yang rusak.

Respon peradangan dapat dikenali dari rasa sakit, kulit lebam, demam dll, yang disebabkan karena terjadi perubahan pada pembuluh darah di area infeksi:

pembesaran diameter pembuluh darah, disertai peningkatan aliran darah di daerah infeksi. Hal ini dapat menyebabkan kulit tampak lebam kemerahan dan penurunan tekanan darah terutama pada pembuluh kecil.

aktivasi molekul adhesi untuk merekatkan endotelia dengan pembuluh darah. kombinasi dari turunnya tekanan darah dan aktivasi molekul adhesi, akan memungkinkan sel

darah putih bermigrasi ke endotelium dan masuk ke dalam jaringan. Proses ini dikenal sebagai ekstravasasi.

Bagian tubuh yang mengalami peradangan memiliki tanda-tanda sebagai berikut Rubor    (kemerahan) terjadi karena banyak darah mengalir ke dalam mikrosomal lokal pada

tempat peradangan. Kalor  (panas)  dikarenakan  lebih  banyak  darah  yang  disalurkan  pada tempat peradangan dari

pada yang disalurkan ke daerah normal. Dolor  (Nyeri)  dikarenakan  pembengkakan  jaringan  mengakibatkan peningkatan tekanan lokal

dan juga karena ada pengeluaran zat histamin dan zat kimia bioaktif lainnya. Tumor (pembengkakan) pengeluaran ciran-cairan ke jaringan interstisial. Functio laesa (perubahan fungsi) adalah terganggunya fungsi organ tubuh

Mekanisme terjadinya Inflamasi dapat dibagi menjadi 2 fase yaitu: Perubahan vaskular

Respon vaskular pada tempat terjadinya cedera merupakan suatu yang mendasar untuk reaksi inflamasi akut. Perubahan ini meliputi perubahan aliran darah dan permeabilitas pembuluh darah. Perubahan aliran darah karena terjadi dilatasi arteri lokal sehingga terjadi pertambahan aliran darah (hypermia) yang disusul dengan perlambatan aliran darah. Akibatnya bagian tersebut menjadi merah dan panas. Sel darah putih akan berkumpul di sepanjang dinding pembuluh darah dengan cara menempel. Dinding pembuluh menjadi longgar susunannya sehingga memungkinkan sel darah putih keluar melalui dinding pembuluh. Sel darah putih bertindak sebagai sistem pertahanan untuk menghadapi serangan benda-benda asing.

Pembentukan cairan inflamasiPeningkatan permeabilitas pembuluh darah disertai dengan keluarnya sel darah putih dan protein plasma ke dalam jaringan disebut eksudasi. Cairan inilah yang menjadi dasar terjadinya pembengkakan. Pembengkakan menyebabkan terjadinya tegangan dan tekanan pada sel syaraf sehingga menimbulkan rasa sakit (Mansjoer, 1999).Penyebab inflamasi dapat disebabkan oleh mekanik (tusukan), Kimiawi (histamin menyebabkan alerti, asam lambung berlebih bisa menyebabkan iritasi), Termal (suhu), dan Mikroba (infeksi Penyakit.

Tahapan 3 fase inflamasi1. Perubahan dalam sel-sel dan sistem sirkulasi,

ada cedera pada bagian tubuh terjadi penyempitan pembuluh darah untuk mengendalikan perdarahan, sehingga terlepaslah histamin yang gunanya untuk meningkatkan aliran darah ke daerah yang cedera. Pada saat yang sama dikelurkan kinin untuk meningkatkan permeabilitas kapiler yang akan memudahkan masuknya protein, cairan, dan leukosit untuk suplai daerah yang cedera. Setelah cukup aliran darah setempat menurun untuk menjaga leukosit agar tetap di daerah yang cedera.

2. pelepasan eksudat, terjadi setelah leukosit memakan bakteri2 yang ada di daerah cedera, kemudian eksudat dikeluarkan.

3. regenerasi, yaitu fase pemulihan perbaikan jaringan atau pembentukan jaringan baru.Respon Inflamasi

Page 10: Inflmasi

Selama tahap awal dari infeksi virus, sitokin diproduksi ketika pertahanan kekebalan bawaandiaktifkan. Pelepasan sitokin yang cepat di tempat infeksi memulai tanggapan baru dengan konsekuensi yang luas yang meliputi peradangan.Salah satu yang paling awal sitokin yang dihasilkan tumor necrosis factor alpha (TNF- ), yangα disintesis oleh monosit dan makrofag teraktivasi.  Sitokin ini mengubah kapiler di dekatnya sehingga sirkulasi sel darah putih dapat dengan mudah dibawa ke tempat infeksi. TNF-α juga dapat mengikat reseptor pada sel yang terinfeksi dan merangsang respon antivirus. Dalam hitungan detik, serangkaian sinyal mulai ada yang menyebabkan kematian sel, sebuah usaha untuk mencegah penyebaran infeksi.Ada empat tanda-tanda khas peradangan: eritema (kemerahan), panas, bengkak, dan nyeri. Ini adalah konsekuensi dari meningkatnya aliran darah dan permeabilitas kapiler, masuknya sel-sel fagositik, dan kerusakan jaringan. Peningkatan aliran darah ini disebabkan oleh penyempitan kapiler yang membawa darah dari daerah yang terinfeksi, dan menyebabkan pembengkakan dari jaringan kapiler. Eritema dan peningkatan suhu jaringan menemani penyempitan kapiler.  Selain itu, permeabilitas kapiler meningkat, sel-sel dan cairan yang memungkinkan untuk pergi dan memasuki jaringan di sekitarnya.  Cairan ini memiliki kandungan protein lebih tinggi dari cairan biasanya ditemukan dalam jaringan, menyebabkan pembengkakan.Fitur lain dari peradangan adalah adanya sel-sel kekebalan tubuh, fagosit mononuklear sebagian besar, yang tertarik pada daerah yang terinfeksi oleh sitokin. Neutrofil adalah salah satu jenis yang paling awal dari sel-sel fagositik yang masuk ke situs infeksi, dan tanda klasik dari respon inflamasi (ilustrasi). Sel-sel ini berlimpah dalam darah, dan biasanya absen dari jaringan.  Bersama dengan sel yang terinfeksi, sel dendritik, dan makrofag, mereka menghasilkan sitokin yang dapat lebih membentuk respon terhadap infeksi, dan juga memodulasi respon adaptif yang dapat mengikuti.Sifat yang tepat dari respon inflamasi tergantung pada virus dan jaringan yang terinfeksi. Virus yang tidak membunuh sel – virus noncytopathic - tidak menyebabkan respon inflamasi yang kuat.  Karena sel-sel dan protein dari respon inflamasi berasal dari aliran darah, jaringan dengan akses pada darah tidak mengalami kehancuran yang terkait dengan peradangan.  Namun, hasil dari infeksi sedemikian ‘istimewa’ situs – otak, misalnya - mungkin sangat berbeda dibandingkan dengan jaringan lain.Salah satu komponen penting adalah ‘inflammasome’ – struktur sitoplasma yang sangat besar dengan sifat reseptor pola dan pemrakarsa sinyal (misalnya MDA-5 dan RIG-I ). Temuan eksperimental terakhir menunjukkan bahwa inflammasome sangat penting dalam respon imun bawaan terhadap infeksi virus influenza, dan moderator paru patologi pada pneumonia influenza.

Imunologi Dasar: Antigen Presenting Cell (APC)

Page 11: Inflmasi

Antigen-presenting Cel  (APC) atau sel aksesori adalah sel asing yang menampilkan antigen kompleks dengan major histocompatibility complex (MHC) pada permukaannya. T-sel dapat mengenali kompleks mereka menggunakan T-sel reseptor (TCRs). Sel ini memproses antigen dan menyajikan untuk T-sel.Fungsi utama sel sebagai sel penampil antigen (antigen-presenting cell) terdapat pada sifat fagositik yang mengikat antigen yang terlepas dari mekanisme pertahanan awal dan menampilkan fragmen protein dari antigen tersebut pada kompleks MHC bagi sel T dan sel B.Antigen yang diikat oleh sel dendritik akan ditelan ke dalam sitosol dan dipotong menjadi peptida untuk kemudian diekspresikan menuju ke permukaan sel sebagai antigen MHC.Antigen protein dari mikroba yang memasuki tubuh akan ditangkap oleh APC, kemudian terkumpul di organ limfoid perifer dan dimulailah respons imun (lihat Tabel 7-1). Mikroba masuk ke dalam tubuh terutama melalui kulit, saluran gastrointestinal, dan saluran napas. Epitel merupakan pertahanan fisik terhadap infeksi. Epitel mengandung sekumpulan APC yang tergolong dalam sel dendrit. Di kulit, sel dendrit epidermal disebut sebagai sel Langerhans. Sel dendrit di epitel ini masih imatur karena tidak efisien untuk menstimulasi sel T.Antigen mikroba yang memasuki epitel akan ditangkap oleh sel dendrit dengan cara fagositosis (untuk antigen partikel) atau pinositosis (untuk antigen terlarut). Sel dendrit memiliki reseptor untuk berikatan dengan mikroba. Reseptor tersebut mengenali residu manosa terminal (terminal mannose residue) yang terdapat pada glikoprotein mikroba namun tidak ada pada glikoprotein mamalia. Ketika makrofag dan sel epitel bertemu dengan mikroba, sel tersebut mengeluarkan sitokin tumor necrosis factor (TNF) dan interleukin-1 (IL-1). Sitokin tersebut bekerja pada sel dendrit yang telah menangkap antigen dan menyebabkan sel dendrit terlepas dari epitel.Sel dendrit mempunyai reseptor terhadap kemokin yang diproduksi di kelenjar getah bening yang penuh dengan sel T. Kemokin tersebut akan mengarahkan sel dendrit untuk masuk ke pembuluh limfe dan menuju ke kelenjar getah bening regional. Selama proses migrasi, sel dendrit bermaturasi dari sel yang berfungsi menangkap antigen menjadi APC yang dapat menstimulasi limfosit T. Bentuk dari maturasi ini yaitu molekul MHC dan ko-stimulatornya disintesis dan diekspresikan di permukaan APC.Jika suatu mikroba berhasil menembus epitel dan memasuki jaringan ikat/parenkim, mikroba tersebut akan ditangkap oleh sel dendrit imatur dan dibawa ke kelenjar getah bening. Antigen terlarut di saluran limfe diambil oleh sel dendrit yang berada di kelenjar getah bening, sedangkan antigen di dalam darah diambil oleh sel dendrit yang berada di limpa. Antigen protein dari mikroba yang masuk ke dalam tubuh akan dikumpulkan di kelenjar getah bening sehingga dapat bertemu dengan limfosit T. Sel T naif bersirkulasi terus-menerus dan melewati kelenjar getah bening paling tidak satu kali sehari. Proses pertemuan APC dan sel T naif di kelenjar getah bening sangat efisien. Jika suatu antigen mikroba masuk ke dalam tubuh, respons sel T terhadap antigen ini akan dimulai di kelenjar getah bening regional dalam 12-18 jam.Berbagai jenis APC mempunyai fungsi yang berbeda dalam respons imun tergantung sel T (T cell-dependent immune response). Interdigitating dendritic cells merupakan APC yang paling poten dalam mengaktivasi limfosit T naif. Sel dendrit tidak hanya menyebabkan dimulainya respons sel T namun juga mempengaruhi sifat respons tersebut. Misalnya, terdapat beberapa jenis sel dendrit yang dapat mengarahkan diferensiasi sel T CD4 naif menjadi suatu populasi yang berfungsi melawan suatu jenis mikroba. Sel APC yang lain yaitu makrofag yang tersebar di semua jaringan. Pada respons imun selular, makrofag memfagosit mikroba dan mempresentasikannya ke sel T efektor, yang kemudian mengaktivasi makrofag untuk membunuh mikroba. Limfosit B yang teraktivasi akan mencerna antigen protein dan mempresentasikannya ke sel T helper; proses ini berperan penting dalam perkembangan respons imun humoral. Selain itu, semua sel yang berinti dapat mempresentasikan antigen dari mikroba di dalam sitoplasma kepada sel T sitotoksik.Sel APC berperan penting dalam memulai respons sel T CD8 terhadap antigen mikroba intraselular. Sebagian mikroba (misalnya virus) dapat menginfeksi sel pejamu dengan cepat dan hanya dapat diatasi dengan cara penghancuran sel tersebut oleh sel T sitotoksik. Virus dapat menginfeksi semua jenis sel pejamu (tidak hanya APC saja), dan sel-sel ini tidak dapat memproduksi sinyal yang diperlukan untuk mengaktivasi sel T. Mekanisme yang terjadi pada keadaan ini adalah sel APC memakan sel yang terinfeksi dan mempresentasikan antigen ke limfosit T CD8. Hal ini disebut sebagai cross-presentation, artinya suatu jenis sel (yaitu APC) mempresentasikan antigen dari sel lain (yaitu sel yang terinfeksi) kemudian mengaktivasi limfosit T naif sehingga menjadi spesifik untuk antigen tersebut. Sel APC yang memakan sel terinfeksi juga dapat mempresentasikan antigen ke limfosit T CD4.Jenis APCProfessional APCsTerdapat 3 tipe utama  professional antigen-presenting cell:

Page 12: Inflmasi

Dendritic cells (DCs),  Sel dendritik (dendritic cell, DC) adalah monosit yang terdiferensiasi oleh stimulasi GM-CSF dan IL-4,dan menjadi bagian sistem kekebalan mamalia. Bentuk sel dendritik menyerupai bagian dendrita pada neuron, namun sel dendritik tidak bekerja pada sistem saraf, melainkan berperan sebagai perantara sistem kekebalan turunan menuju sistem kekebalan tiruan.

Macrophages, B-cells, Certain activated epithelial cells

Non-professionalA non-professional APC

Fibroblasts (kulit) Thymic epithelial cells Thyroid epithelial cells Glial cells (otak) Pancreatic beta cells Vascular endothelial cells

Jenis-jenis antigen presenting cell (APC)

No Jenis APC Lokasi MobilitasReseptor Fc/C3

MHC kelas II

Presentasi kepada

1.2.3.

Interdigitating dendritic   cellsSel LangerhansVeiled cells

Parakorteks KGBKulitSaluran limfe AktifAktifAktif +++ ++++++ Sel TSel TSel T

4.Follicular   dendritic cells Folikel KGB Statik + - Sel B

5. Makrofag

Medula KGBHati (sel Kupffer)Otak (astrosit) AktifStatikStatik +++ ++++++ Sel T dan B

6.Sel B (khususnya bila teraktivasi) Jaringan limfoid Aktif

Ig permukaan + Sel T

Keterangan: KGB = kelenjar getah bening, Ig = imunoglobulin.(sumber Chapel H, Haeney M, Misbah S, Snowden N, 2001)Sel APC mensintesis molekul MHC kelas II secara terus-menerus di retikulum endoplasma. Selama berada di dalam retikulum endoplasma, molekul MHC kelas II dicegah untuk berikatan dengan peptida di dalam lumen oleh suatu protein yang dinamakan MHC class II-associated invariant chain. Invariant chain ini mengandung suatu sekuens yaitu class II invariant chain peptide (CLIP) yang berikatan erat dengan peptide-binding cleft pada MHC kelas II. Invariant chain tersebut juga mengantarkan MHC kelas II ke endosom untuk berikatan dengan peptida antigen eksogen yang telah diproses. Endosom mengandung protein yang dinamakan DM, fungsinya untuk melepaskan CLIP dari molekul MHC kelas II, sehingga peptide-binding cleft akan terbuka untuk menerima peptida antigen. Jika MHC kelas II dapat berikatan dengan peptida, akan terbentuk kompleks yang stabil dan menuju ke permukaan sel. Namun jika molekul MHC tidak dapat berikatan dengan peptida tersebut, molekul ini menjadi tidak stabil dan dihancurkan oleh protease di dalam endosom. Suatu antigen protein akan dipecah menjadi banyak peptida, tetapi hanya sedikit (satu atau dua) peptida yang dapat berikatan dengan molekul MHC individu tersebut. Oleh sebab itu, hanya peptida ini yang dapat menimbulkan respons imun pada individu tersebut sehingga disebut immunodominant epitopes.Antigen endogen (termasuk antigen virus) akan diproses di retikulum endoplasma dan dipresentasikan oleh molekul MHC kelas I kepada sel T CD8+, sedangkan antigen eksogen diproses di lisosom (endosom) dan dipresentasikan oleh molekul MHC kelas II kepada sel T CD4+

Sel APC tidak hanya mempresentasikan peptida antigen kepada sel T, tetapi juga berfungsi sebagai ”sinyal kedua” untuk aktivasi sel T. Antigen merupakan sinyal pertama, sedangkan sinyal kedua adalah mikroba atau APC yang berespons terhadap mikroba. Peran penting dari sinyal kedua ini adalah untuk menjaga agar respons imun spesifik hanya timbul terhadap mikroba dan tidak terhadap bahan-bahan non infeksius yang tidak berbahaya. Berbagai produk dari mikroba dan respons imun non spesifik dapat mengaktifkan APC untuk mengekspresikan sinyal kedua bagi aktivasi limfosit. Sebagai contoh, berbagai bakteri menghasilkan lipopolisakarida (LPS). Pada saat bakteri ditangkap oleh APC, LPS akan menstimulasi APC tersebut. Sebagai respons, APC mengekspresikan protein permukaan yang disebut ko-stimulator. Ko-stimulator ini akan dikenali oleh reseptornya di sel T. Sel APC juga mensekresi sitokin yang akan dikenali oleh reseptor sitokin di sel T. Ko-stimulator dan sitokin bekerja bersama dengan

Page 13: Inflmasi

pengenalan antigen oleh T cell receptor (TCR) untuk merangsang proliferasi dan diferensiasi sel T. Dalam hal ini, antigen adalah sinyal pertama, sedangkan kostimulator dan sitokin merupakan sinyal kedua.

STRUKTUR IMUNOGLOBULIN

Imunoglobulin atau antibodi adalah sekelompok glikoprotein yang terdapat dalam serum atau cairan tubuh pada hampir semua mamalia. Imunoglobulin termasuk dalam famili glikoprotein yang mempunyai struktur dasar sama, terdiri dari 82-96% polipeptida dan 4-18% karbohidrat. Komponen polipeptida membawa sifat biologik molekul antibodi tersebut. Molekul antibodi mempunyai dua fungsi yaitu mengikat antigen secara spesifik dan memulai reaksi fiksasi komplemen serta pelepasan histamin dari sel mast. Pada manusia dikenal 5 kelas imunoglobulin. Tiap kelas mempunyai perbedaan sifat fisik, tetapi pada semua kelas terdapat tempat ikatan antigen spesifik dan aktivitas biologik berlainan. Struktur dasar imunoglobulin terdiri atas 2 macam rantai polipeptida yang tersusun dari rangkaian asam amino yang dikenal sebagai rantai H (rantai berat) dengan berat molekul 55.000 dan rantai L (rantai ringan) dengan berat molekul 22.000. Tiap rantai dasar imunoglobulin (satu unit) terdiri dari 2 rantai H dan 2 rantai L. Kedua rantai ini diikat oleh suatu ikatan disulfida sedemikian rupa sehingga membentuk struktur yang simetris. Yang menarik dari susunan imunoglobulin ini adalah penyusunan daerah simetris rangkaian asam amino yang dikenal sebagai daerah domain, yaitu bagian dari rantai H atau rantai L, yang terdiri dari hampir 110 asam amino yang diapit oleh ikatan disulfid interchain,sedangkan ikatan antara 2 rantai dihubungkan oleh ikatan disulfid interchain. Rantai L mempunyai 2 tipe yaitu kappa dan lambda, sedangkan rantai H terdiri dari 5 kelas, yaitu rantai G ( ), rantai A ( ), rantai M ( ), rantai E ( ) danγ α μ ε rantai D ( ). Setiap rantai mempunyai jumlah domain berbeda. Rantai pendek L mempunyai 2 domain;δ sedang rantai G, A dan D masing-masing 4 domain, dan rantai M dan E masing-masing 5 domain.Struktur dasar imunoglobulin terdiri atas 2 rantai berat (H-chain) yang identik dan 2 rantai rinngan (L-chain) yang juga identik. Setiap rantai ringan terikat pada rantai berat melalui ikatan disulfida (S-S), demikian pula rantai berat satu dengan yang lain diikat dengan ikatan S-S. Molekul ini oleh enzim proteolitik papain dapat dipecah menjadi tiga fragmen, yaitu 2 fragmen yang mempunyai susunan sama terdiri atas H-chain dan L-chain, disebut fragmen Fab yang dibentuk oleh domain terminal-N, dan 1 fragmen yang hanya terdiri atas H-chain saja disebut fragmen Fc yang dibentuk oleh domain terminal-C. Fragmen Fab denganantigen binding site, berfungsi mengikat antigen karena itu susunan asam amino di bagian ini berbeda antara molekul imunoglobulin yang satu dengan yang lain dan sangat variabel sesuai dengan variabilitas antigen yang merangsang pembentukannya. Sebaliknya fragmen Fc merupakan fragmen yang konstan. Fragmen ini tidak mempunyai kemampuan mengikat antigen tetapi dapat bersifat sebagai antigen (determinan antigen). Fragmen ini pulalah yang mempunyai fungsi efektor sekunder dan menentukan sifat biologik imunoglobulin bersangkutan, misalnya kemampuan imunoglobulin untuk melekat pada sel, fiksasi komplemen, kemampuan imunoglobulin menembus plasenta, distribusi imunoglobulin dalam tubuh dan lain-lain. Papain memecah imunoglobulin pada terminal asam amino di tempat iakatan S-S yang mengikat kedua rantai H satu dengan yang lain. Enzim proteolitik lain yaitu pepsin dapat memecah molekul imunoglobulin dibelakang ikatan S-S. Pemecahan ini mengakibatkan terbentuknya satu fragmen besar yang disebut F(ab’)2 yang mampu mengikat dan menggumpalkan antigen karena ia bersifat bivalen dan dapat membentuklattice. Pepsin selanjutnya dapat memecah fragmen Fc menjadi beberapa bagian kecil. Bagian molekul imunoglobulin yang peka terhadap pemecahan oleh kedua enzim diatas disebut bagian engsel (hinge region). Kedua bentuk imunoglobulin, yaitu sIg dan Ig yang disekresikan hanya berbeda pada domain terminal-C: sIg memiliki bagian transmembran dan bagian intrasitoplasmik yang pendek.Polimerisasi imunoglobulin terjadi pada IgM (pentamer atau heksamer) dan IgA (umumnya dimer). Polimerisasi kelas imunoglobulin ini bergantung pada rantai J (joining) dan banyaknya rantai J

Page 14: Inflmasi

menentukan proporsi molekul IgM pentamer dibanding IgM heksamer. Rantai J membantu polimerisasi IgM dan IgA dengan cara ikat-silang disulfida pada sesidu cysteine yang terdapat pada domain C-terminal molekul IgM dan IgA yang disekresiRantai dasar imunoglobulin dapat dipecah menjadi beberapa fragmen. Enzim papain memecah rantai dasar menjadi 3 bagian, yaitu 2 fragmen yang terdiri dari bagian H dan rantai L. Fragmen ini mempunyai susunan asam amino yang bervariasi sesuai dengan variabilitas antigen. Fab memiliki satu tempat tempat pengikatan antigen (antigen binding site) yang menentukan spesifisitas imunoglobulin. Fragmen lain disebut Fc yang hanya mengandung bagian rantai H saja dan mempunyai susunan asam amino yang tetap. Fragmen Fc tidak dapat mengikat antigen tetapi memiliki sifat antigenik dan menentukan aktivitas imunoglobulin yang bersangkutan, misalnya kemampuan fiksasi dengan komplemen, terikat pada permukaan sel makrofag, dan yang menempel pada sel mast dan basofil mengakibatkan degranulasi sel mast dan basofil, dan kemampuan menembus plasenta.Enzim pepsin memecah unit dasar imunoglobulin tersebut pada gugusan karboksil terminal sampai bagian sebelum ikatan disulfida (interchain) dengan akibat kehilangan sebagian besar susunan asam amino yang menentukan sifat antigenik determinan, namun demikian masih tetap mempunyai sifat antigenik. Fragmen Fab yang tersisa menjadi satu rangkaian fragmen yang dikenal sebagai F(ab2) yang mempunyai 2 tempat pengikatan antigen .

KLASIFIKASI IMUNOGLOBULINKlasifikasi imunoglobulin berdasarkan kelas rantai H. Tiap kelas mempunyai berat molekul, masa paruh, dan aktivitas biologik yang berbeda. Pada manusia dikenal 4 sub kelas IgG yang mempunyai rantai berat

l, 2, 3, dan 4. Perbedaan antar subkelas lebih sedikit dari pada perbedaan antar kelas.γ γ γ γ

Imunoglobulin GIgG mempunyai struktur dasar imunoglobulin yang terdiri dari 2 rantai berat H dan 2 rantai ringan L. IgG manusia mempunyai koefisien sedimentasi 7 S dengan berat molekul sekitar 150.000. Pada orang normal IgG merupakan 75% dari seluruh jumlah imunoglobulin.

Page 15: Inflmasi

Imunoglobulin G terdiri dari 4 subkelas, masing-masing mempunyai perbedaan yang tidak banyak, dengan perbandingan jumlahnya sebagai berikut: IgG1 40-70%, IgG2 4-20%, IgG3 4-8%, dan IgG4 2-6%. Masa paruh IgG adalah 3 minggu, kecuali subkelas IgG3 yang hanya mempunyai masa paruh l minggu. Kemampuan mengikat komplemen setiap subkelas IgG juga tidak sama, seperti IgG3 > IgGl > IgG2 > IgG4. Sedangkan IgG4 tidak dapat mengikat komplemen dari jalur klasik (ikatan C1q) tetapi melalui jalur alternatif. Lokasi ikatan C1q pada molekul IgG adalah pada domain CH2.Sel makrofag mempunyai reseptor untuk IgG1 dan IgG3 pada fragmen Fc. Ikatan antibodi dan makrofag secara pasif akan memungkinkan makrofag memfagosit antigen yang telah dibungkus antibodi (opsonisasi). Ikatan ini terjadi pada subkelas IgG1 dan IgG3 pada lokasi domain CH3.Bagian Fc dari IgG mempunyai bermacam proses biologik dimulai dengan kompleks imun yang hasil akhirnya pemusnahan antigen asing. Kompleks imun yang terdiri dari ikatan sel dan antibodi dengan reseptor Fc pada sel killer memulai respons sitolitik (antibody dependent cell-mediated cytotoxicity = ADCC) yang ditujukan pada antibodi yang diliputi sel. Kompleks imun yang berinteraksi dengan sel limfosit pada reseptor Fc pada trombosit akan menyebabkan reaksi dan agregasi trombosit. Reseptor Fc memegang peranan pada transport IgG melalui sel plasenta dari ibu ke sirkulasi janin.

Imunoglobulin MImunoglobulin M merupakan 10% dari seluruh jumlah imunoglobulin, dengan koefisien sedimen 19 S dan berat molekul 850.000-l.000.000. Molekul ini mempunyai 12% dari beratnya adalah karbohidrat. Antibodi IgM adalah antibodi yang pertama kali timbul pada respon imun terhadap antigen dan antibodi yang utama pada golongan darah secara alami. Gabungan antigen dengan satu molekul IgM cukup untuk memulai reaksi kaskade komplemen.IgM terdiri dari pentamer unit monomerik dengan rantai dan Cμ H. Molekul monomer dihubungkan satu dengan lainnya dengan ikatan disulfida pada domain CH4 menyerupai gelang dan tiap monomer dihubungkan satu dengan lain pada ujung permulaan dan akhirnya oleh protein J yang berfungsi sebagai kunci.Imunoglobulin AIgA terdiri dari 2 jenis, yakni IgA dalam serum dan IgA mukosa. IgA dalam serum terdapat sebanyak 20% dari total imunoglobulin, yang 80% terdiri dari molekul monomer dengan berat molekul 160.000, dan sisanya 20% berupa polimer dapat berupa dua, tiga, empat atau lima monomer yang dihubungkan satu dengan lainnya oleh jembatan disulfida dan rantai tunggal J (lihat Gambar 9-6). Polimer tersebut mempunyai koefisien sedimentasi 10,13,15 S.Sekretori IgA

Page 16: Inflmasi

Sekretori imunoglobulin A (sIgA) adalah imunoglobulin yang paling banyak terdapat pada sekret mukosa saliva, trakeobronkial, kolostrum/ASI, dan urogenital. IgA yang berada dalam sekret internal seperti cairan sinovial, amnion, pleura, atau serebrospinal adalah tipe IgA serum.SIgA terdiri dari 4 komponen yaitu dimer yang terdiri dari 2 molekul monomer, dan sebuah komponen sekretori serta sebuah rantai J. Komponen sekretori diproduksi oleh sel epitel dan dihubungkan pada bagian Fc imunoglobulin A oleh rantai J dimer yang memungkinkan melewati sel epitel mukosa. SIgA merupakan pertahanan pertama pada daerah mukosa dengan cara menghambat perkembangan antigen lokal, dan telah dibuktikan dapat menghambat virus menembus mukosa.Imunoglobulin DKonsentrasi IgD dalam serum sangat sedikit (0,03 mg/ml), sangat labil terhadap pemanasan dan sensitif terhadap proteolisis. Berat molekulnya adalah 180.000. Rantai mempunyai berat molekul 60.000 –δ 70.000 dan l2% terdiri dari karbohidrat. Fungsi utama IgD belum diketahui tetapi merupakan imunoglobulin permukaan sel limfosit B bersama IgM dan diduga berperan dalam diferensiasi sel ini.

Struktur Protein Antibodi Bermuka DuaDengan mengkombinasikan kristalografi sinar X dan prinsip – prinsip kinetik larutan, sebuah tim biokimia telah membuktikan bahwa sebuah antibodi dapat mengambil dua bentuk yang cukup berbeda satu sama lain, sehingga memungkinkan antibodi tersebut mengikat 2 antigen yang sama sekali berbeda. Kedua bentuk ini dapat ditemukan dalam larutan yang sama, fakta yang mungkin dapat menjelaskan pertanyaan yang sudah sekian lama tak terjawab mengenai bagaimana antibodi dapat mengenali begitu banyak macam antigen secara selektif.Penelitian ini dilaksanakan oleh rekan sejawat posdoktoral Leo C. James dari Centre for Protein Engineering of the Medical Research Council Centre, Cambridge, England; ilmuwan senior Dan S.Tawfik yang sekarang berada di Weizmann Institute of Science di Rehovot, Israel; dan rekan sekerja dari Cambridge , Pietro Roversi. Antibodi yang mereka pelajari adalah monoclonal immunoglobulin yang biasanya mengikat molekul kecil 2,4-dinitrophenol. Seperti yang ditampilkan di struktur berwarna merah muda, antigen diikat dalam sebuah lubang yang kecil dan dalam di dalam antibodi. Tapi antibodi yang sama dapat pula mengikat antigen yang ukuran molekulnya lebih besar seperti protein(hijau muda), seperti ditunjukkan pada struktur biru muda, di mana protein melekatkan diri pada bagian yang cukup luas dari lekukan yang dangkal pada permukaan antibodi.Para peneliti telah mengetahui bahwa antibodi yang sedang mengikat antigen kadang mengambil bentuk yang berbeda dari bentuk awalnya dalam larutan. Satu penjelasan yang memungkinkan ialah bahwa proses pengikatan itu sendirilah yang menyebabkan perubahan struktur. Kemungkinan lain ialah isomerasi struktur dari sebuah antibodi terjadi dalam larutan dan masing-masing dapat mengikat antigen yang berbeda.Dengan mengikat antigen, struktur baru antibodi itu sendiri menjadi stabil. Tim riset menemukan bahwa kedua efek ini dapat ditemukan dalam antibodi yang mereka teliti : antibodi tersebut mengambil dua bentuk yang berbeda secara bergantian, dan mengalami perubahan bentuk lebih lanjut segera setelah mengikat antigen.