INDUSTRI TELEVISI DAN DIGITALISASI PENGGUNAAN FREKUENSI: Telaah Kasus dengan Umbrella Perspective

10
INDUSTRI TELEVISI DAN DIGITALISASI PENGGUNAAN FREKUENSI Telah Kasus dengan Umbrella Perspective Oleh: Maybi Prabowo 1406518755 PASCASARJANA ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA

description

Makalah ini akan mencoba menjawab; (1) mengapa perlu digitalisasi di dalam penggunaan frekuensi oleh industri siaran televisi? (2) bagaimana manfaat digitalisasi televisi bagi masyarakat? (3) mengapa digitalisasi televisi terhambat? (4) mengapa digitalisasi televisi perlu undang-undang?

Transcript of INDUSTRI TELEVISI DAN DIGITALISASI PENGGUNAAN FREKUENSI: Telaah Kasus dengan Umbrella Perspective

INDUSTRI TELEVISI DAN DIGITALISASI PENGGUNAAN FREKUENSITelah Kasus dengan Umbrella PerspectiveOleh:

Maybi Prabowo 1406518755

PASCASARJANA ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK

UNIVERSITAS INDONESIA

2015INDUSTRI TELEVISI DAN DIGITALISASI PENGGUNAAN FREKUENSITelaah Kasus dengan Umbrella PerpectiveMenteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan belum memutuskan akan mengajukan permohonan banding atau tidak atas pembatalan Peraturan Menteri tentang Penyelenggaraan Televisi Digital oleh Pengadilan Tata Usaha Negara.

Rudi menilai putusan PTUN akan berimbas pada (perusahaan) multiplexing yang sudah berinvestasi. Namun ia mengaku belum tahu siapa saja dan berapa banyak kerugiannya.

Selain memikirkan upaya banding, menurut Rudi, langkah lain yang akan diambil pemerintah adalah mengajukan revisi Undang-Undang Penyiaran ke DPR RI agar digitalisasi televisi dapat berjalan. Revisi undang-undang itu akan mengatur digitalisasi TV sehingga dasar hukumnya kuat.

Dari kutipan berita terbaru tentang perkembangan digitalisasi televisi tersebut bisa kita tarik pertanyaan-pertanyaan:

1. Mengapa perlu digitalisasi di dalam penggunaan frekuensi oleh industri siaran televisi?

2. Bagaimana manfaat digitalisasi televisi bagi masyarakat?

3. Mengapa digitalisasi televisi terhambat?

4. Mengapa digitalisasi televisi perlu undang-undang?

Umbrella Perspective

Perubahan teknologi dari analog ke digital pada praktiknya membawa perubahan-perubahan yang cukup mendasar dan kompleks. Kita akan mencoba menggunakan umbrella perspective seperti diuraikan oleh August E Grant untuk menelaah masalah ini. Umbrella perspective melihat teknologi komunikasi seperti bentuk sebuah payung. Tudung melengkung merupakan gambaran besar teknologi komunikasi. Lapisan tudung paling bawah merupakan faktor teknologi perangkat keras dan lunak. Di atasnya adalah faktor pengelolaan infrastruktur yang berkaitan dengan pengelolaan produksi dan distribusi teknologi, kemudian di tingkat paling atas adalah faktor sistem politik, ekonomi dan media. Karena payung selalu mempunyai pegangan, maka pada bagian pegangan payung adalah pengguna media itu sendiri dalam konteks bagaimana ia menggunakan teknologi tersebut. Jadi semua bagian payung dari atas hingga ke gagangnya merupakan satu kesatuan yang di dalam penerapannya (pemakaiannya) tidak bisa dipisahkan.

Namun di dalam kenyataannya, seperti tersirat di dalam kutipan berita di atas, penerapan teknologi tidak selalu berjalan mulus. Untuk itu Grant menguraikan faktor-faktor yang melekat pada masing-masing tingkatan di dalam payung menjadi enabling, limiting, motivating, dan inhibiting factors. Enabling factors adalah faktor yang memungkinkan penerapan (teknologi) itu terjadi. Limiting factors adalah faktor-faktor lawan dari enabling yakni penghalang bagi penerapan teknologi. Motivating factors adalah alasan-alasan bagi penerapan teknologi. Teknologi tidak diadopsi semata-mata karena keberadaannya. Individu, organisasi, dan sistem sosial selalu memiliki alasan untuk mengambil kemanfaatan dari adanya teknologi. Inhibiting factors adalah faktor-faktor lawan dari motivating, yakni faktor yang mengakibatkan tidak diperolehnya kemanfaatan dalam mengadopsi teknologi komunikasi.

Frekuensi

Frekuensi adalah banyaknya sesuatu yang terjadi setiap detiknya. Dalam kajian getaran, frekuensi dapat diartikan sebagai banyaknya getaran yang terjadi dalam satu detik. Sedangkan dalam kajian gelombang, frekuensi dapat diartikan sebagai banyaknya gelombang yang terjadi setiap satu detik. Satuan yang digunakan untuk mengukur frekuensi adalah 1/s yang disebut juga Hertz disingkat Hz, yang diambil dari nama fisikawan Jerman Heinrich Rudolf Hertz (1857-1894). Satuan frekuensi sering juga dituliskan dengan cps (cycle per second).

Frekuensi berada di udara secara tak kasat mata. Ia berfungsi sebagai media penghantar sinyal atau pesan. Masyarakat menggunakan frekuensi untuk keperluan berbagai bidang, mulai dari siaran televisi dan radio, sambungan telepon, penerbangan, militer, hingga satelit. Karena berada di ruang terbuka (udara), maka frekuensi diklaim sebagai milik publik. Secara internasional, penggunaan frekuensi diatur oleh sebuah lembaga di bawah PBB bernama International Telecommunication Union (ITU). Lembaga ini yang membagi-bagi jatah alokasi frekuensi bagi setiap negara. Di Indonesia pengaturannya di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Spektrum Frekuensi Radio

Spektrum frekuensi Radio adalah susunan pita frekuensi radio yang mempunyai frekuensi lebih kecil dari 3000 GHz sebagai satuan getaran gelombang elektromagnetik yang merambat dan terdapat di ruang udara. Spektrum radio di Indonesia mengacu kepada alokasi frekuensi radio internasional untuk region 3 (wilayah 3) sesuai dengan peraturan radio yang ditetapkan oleh ITU. Penepatan Jalur atau spektrum frekuensi radio yang menentukan kegunaannya ini bertujuan untuk menghindari terjadinya gangguan (Interference) dan untuk menetapkan protokol demi keserasian antara pemancar dan penerima.

Berikut ini adalah tabel lengkap spektrum frekuensi radio Internasional yang ditetapkan berdasarkan penentuan penggunaanya:

Nama Band (Jalur)SingkatanFrekuensiPanjang GelombangPenggunaan

Tremendously low frequencyTLF< 3Hz>100.000 kmNatural Electromagnetic Noise

Extremely Low FrequencyELF3 30 Hz10.000 100.000 kmSubmarines

Super Low FrequencySLF30 300 Hz1.000 10.000 kmSubmarines

Ultra Low FrequencyULF300 3.000 Hz100 1.000 kmSubmarines, mines

Very Low FrequencyVLF3 30 kHz10 100 kmNavigation, time signal, Submarines, heart rate monitor

Low FrequencyLF30300 kHz1 10 kmNavigation, time signal, Radio AM (long wave), RFID

Medium frequencyMF300 3.000 kHz100 1.000 mRadio AM (medium wave)

High FrequencyHF3 30 MHz10 100 mShort wave Broadcast, RFID, radar, Marine and Mobile radio telephony

Very High FrequencyVHF30 300 MHz1 10 mRadio FM, Television, Mobile Communication, Weather Radio

Ultra High FrequencyUHF300 3.000 MHz10 100 cmTelevision, Microwave device / communications, mobile phones, wireless LAN, Bluetooth, GPS, FRS/GMRS

Super High FrequencySHF3 30 GHz1 10 cmMicrowave device / communications, wireless LAN, radars, Satellites, DBS

Extremely High FrequencyEHF30 300 GHz1 10 mmHigh Frequency Microwave, Radio relay, Microwave remote sensing

Tremendously High FrequencyTHF300 3.000 GHz0.1 1 mmTerahertz Imagin, Molecular dynamics, spectroscopy, computing/communications, sub-mm remote sensing.

Spektrum TelevisiKarakteristik spectrum frekuensi UHF untuk televisi (470-890MHz) di antaranya adalah sangat mudah untuk menembus gedung-gedung, tembok-tembok, dan pepohonan jauh lebih baik daripada sinyal telepon seluler atau wi-fi (yang menggunakan frekuensi 2.4 GHz). Spektrum televisi mampu menembus jarak lebih dari 10 km tanpa penguatan sama sekali. Ini artinya jumlah tiang pemancar dan penguat lebih sedikit dibandingkan dengan teknologi pengiriman data lain untuk mencakup suatu daerah yang sama luasnya. Sehingga, spectrum televisi sangat cocok untuk dipergunakan di pelosok daerah dan juga di dalam kota. Selain untuk siaran televisi, penggunaan yang ideal untuk spektrum ini misalnya untuk sistem darurat, sistem transportasi intelijen, dan Internet.

Perwakilan dari International Telecommunication Union (ITU) Suvi Linden mengungkapkan pentingnya proses harmonisasi frekuensi 700 MHz yang dapat membuka akses komunikasi untuk warga miskin di daerah pedesaan yang belum terjangkau peralatan seluler. Harmonisasi frekuensi itu adalah pemanfaatan frekuensi dari 698 MHz hingga 806 MHz di wilayah Asia Pasifik. Keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan frekuensi itu yaitu mengurangi gangguan sinyal di daerah-daerah yang berbatasan dengan negara lain, menghemat biaya peralatan karena spesifikasi teknis peralatan yang dipakai sama dengan negara lain di kawasan, serta membuka potensi bisnis baru dan lapangan pekerjaan baru.Contoh penerapan spectrum televisi untuk keperluan ini adalah di Cape Town, Afrika Selatan. Penerapan Spektrum televisi untuk keperluan internet bagi warga kebanyakan di wilayah tersebut tercatat membawa beberapa dampak positif:

1. Sebelum diterapkannya spektrum televisi di Cape Town, kebanyakan sekolah dengan 800 sampai 1300 pelajar hanya bisa menggunakan sebuah jalur internet berkecepatan 2 Mbps yang dipakai bersamaan. Jalur internet ini pelan sekali sehingga hanya bisa digunakan untuk mengirimkan email. Setelah UHF ini diterapkan, layanan video youtube dan video conferencing seperti Skype bisa dijalankan secara langsung dengan bandwidth yang tersedia

2. Biaya pemasangan spektrum televisi ini hanya sepersepuluh dari biaya yang dikeluarkan seandainya menggunakan jaringan telepon seluler 3G.Namun ternyata penerapan ini juga membawa efek negatif yaitu murid-murid sekolah mulai menyalahgunakan bandwidth yang ada untuk saling berbagi file (biasanya ilegal) melalui aplikasi peer to peer. Sehingga dalam waktu tiga bulan sekolah sudah harus memasang pembatasan untuk mematikan aplikasi tersebut selama jam sekolah.

Sumber Daya Spektrum Terbatas

Spektrum frekuensi merupakan sumber daya milik publik yang terbatas. Kominfo saat ini mengklaim bahwa sumber daya ini telah sesak terpakai sehingga perlu adanya migrasi di dalam penggunaannya dari analog ke digital. Digitalisasi pada penggunaan frekuensi mampu meningkatkan kapasitas frekuensi sebesar enam kali lipat (1:6). Jadi jika untuk sinyal analog satu pita frekuensi hanya bisa menampung satu saluran, maka untuk sinyal digital ia dapat menampung enam hingga delapan saluran. Inilah yang disebut multipleksing.

Kominfo mencoba membuat regulasi untuk mengantisipasi peningkatan kebutuhan spektrum untuk keperluan komunikasi nirkabel di Indonesia yang dianggap sudah mendesak. Kominfo memprediksi, tingginya ketergantungan masyarakat pada frekuensi untuk berkomunikasi melalui perangkat smartphone, mengakibatkan pada 2020 Indonesia akan mengalami defisit frekuensi sebanyak 500 MHz. Laju pertumbuhan pengguna dan aplikasi smartphone melonjak tinggi hingga 60 persen. Kominfo memprogramkan migrasi digital (multipleksing) di dalam penggunaan spektrum frekuensi 800 MHz yang selama ini digunakan untuk kegiatan industri siaran televisi swasta secara analog. Jika migrasi ini berhasil dan TV analog sudah tak ada lagi, maka bisa dikelola frekuensi tambahan 800 MHz, yang cukup untuk untuk kebutuhan broadband hingga 2025. Program migrasi ke digital yang diatur dengan peraturan menteri dan dibatalkan kemudian oleh pengadilan ini, sebenarnya juga merujuk kepada The Geneva Frequency Plan Agreement. Batas waktu digitalisasi dipatok 17 Juni 2015 bagi negara anggota International Telecommunication Union (ITU). Karena Indonesia luas, jatuh temponya diulur sampai 2018.

Namun di sisi lain, rencana penerapan ini, membuat para pengusaha penyelenggara industri televisi swasta, khususnya televisi lokal yang jumlahnya ratusan di seluruh Indonesia, keberatan dan menggugat peraturan menteri ini yang kemudian diterima oleh Mahkamah Agung dan kemudian PTUN. Mereka merasa tidak mampu untuk mengadakan infrastruktur pemecah frekuensi analog (multiplexer atau MUX) yang harganya mahal. Hanya stasiun TV swasta nasional yang mampu memilikinya. Meskipun televisi-televisi lokal bisa memanfaatkan Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LP3M) untuk memancarkan siarannya, namun harga sewa kanal di LP3M cukup mahal, berkisar Rp 80 juta sampai Rp 120 juta per bulan. Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) juga mengklaim beratnya beban yang akan ditanggung masyarakat sebagai konsumen. Mereka harus memiliki perangkat pendukung yang disebut set top box (STP). Harganya di pasaran mahal. Untuk keperluan rumah rumah tangga di seluruh Indonesia, kira-kira butuh Rp 15 triliun untuk belanja STP.

Digitalisasi Jangan Sampai Molor

Guru besar komunikasi, Alwi Dahlan menekankan bahwa spektrum harus dimanfaatkan dan diatur sesuai dengan konstitusi untuk kesejahteraan rakyat. Penguasaan spektrum frekuensi UHF oleh industri televisi swasta yang cenderung dimiliki oleh segelintir orang, berpotensi mereduksi manfaatnya bagi masyarakat luas. Ditambah lagi potensi pemanfaatan UHF yang bisa untuk mengurangi kesenjangan digital (digital divide) pada masyarakat Indonesia terhalangi oleh keengganan industri siaran televisi untuk bermigrasi.Digitalisasi memiliki dukungan besar dari faktor-faktor penerapan teknologi (enabling dan motivating factors) menurut cara pandang umbrella perspective sehingga penerapannya adalah sebuah keniscayaan. Untuk meniadakan atau setidaknya mengurangi limiting dan inhibiting factors yang paling penting perlu upaya politik lebih serius dari pemerintah untuk menggolkan undang-undang yang mengatur migrasi ini. Pemanfaatan sumber daya milik publik tidak cukup hanya dengan peraturan menteri. Pelaku industri seharusnya juga bisa memanfaatkan digitalisasi penggunaan frekuensi menjadi peluang, bukan ancaman. Tidak ada alasan untuk molor. Dikutip dari artikel berita tanggal 10 Maret 2015 berjudul Digitalisasi Televisi Terancam Molor di harian Koran Tempo dan diunggah di HYPERLINK "http://koran.tempo.co/konten/2015/03/10/367198/Digitalisasi-Televisi-Terancam-Molor"http://koran.tempo.co/konten/2015/03/10/367198/Digitalisasi-Televisi-Terancam-Molor

lihatGrant, August. E and Jennifer H. Meadows. 2008. Communication Technology Update and Fundamentals. 11th edition. USA: Focal Press.

Dikutip dari artikel berjudul Pengertian frekuensi diunggah di HYPERLINK "http://www.pengertianahli.com/2014/10/pengertian-frekuensi.html?m=1" \l "_"http://www.pengertianahli.com/2014/10/pengertian-frekuensi.html?m=1#_, diakses pada 10-3-2015

Dikutip dari artikel yang diunggah tanggal 24 Oktober 2014 berjudul Apa Hak Saya atas Penggunaan Frekuensi oleh Industri TV? dimuat di HYPERLINK "http://frekuensimilikpublik.org/content.php?id=1&title=Apa.Hak.Saya.atas.Penggunaan.Frekuensi.oleh.Industri.TV?"http://frekuensimilikpublik.org/content.php?id=1&title=Apa.Hak.Saya.atas.Penggunaan.Frekuensi.oleh.Industri.TV?

Kho Dickson, 11 Oktober 2014, Pengertian Spektrum Frekuensi Radio dan Pengalokasiannya, artikel dimuat di http://teknikelektronika.com/pengertian-spektrum-frekuensi-radio-pengalokasiannya/

ibid

lihatKermeliotis, Teo, 23 Desember 2013, Microsoft beams Internet into Africa -- using TV 'white spaces', artikel berita dimuat di http://edition.cnn.com/2013/09/23/tech/innovation/microsoft-beams-internet-into-africa/index.html

lihatPurwantono, Iwan,op. cit.

lihat Murph, Darren, 19 Agustus 2013, Connecting Cape Town: Inside South Africa's TV white spaces experiment, artikel berita dimuat di http://www.engadget.com/2013/08/19/connecting-cape-town-inside-south-africa-tv-white-spaces/

lihatTjahyono, Bambang Heru. 2006. Sistem Jaringan Penyiaran Radio dan Televisi Dimasa Mendatang. Kajian Teknologi Informasi Komunikasi. Jakarta : Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.

Dikutip dari artikel berita tanggal 10 Maret 2015 berjudul Digitalisasi Televisi Terancam Molor op. cit.

lihatPurwantono, Iwan, 22 Januari 2014, TV Lokal Terancam Digital, artikel berita diunggah di HYPERLINK "http://ekonomi.inilah.com/read/detail/2066980/tv-lokal-terancam-digital"http://ekonomi.inilah.com/read/detail/2066980/tv-lokal-terancam-digital

lihatPurwantono, Iwan, op. cit.

Dahlan, Alwi.. 2012. Masalah Penafsiran UU Penyiaran: Memahami Posisi Spektrum, Makalah Ahli pada Sidang Mahkamah Konstitusi Perkara No. 78/PUU-IX/2011, 5 April 2012