Indonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi Identitas
Click here to load reader
-
Upload
satrio-arismunandar -
Category
Education
-
view
383 -
download
4
description
Transcript of Indonesia dan Keindonesiaan: Teks dan Konstruksi Identitas
1
Indonesia dan Keindonesiaan:
Teks dan Konstruksi Identitas
Tugas mata kuliah Seminar dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Budaya
Semester Ganjil 2008/2009
Dosen: Prof. Melani Budianta, Ph.D
Oleh: Satrio Arismunandar
NPM: 0806401916
Program S3 Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Indonesia
Desember 2008
2
Pengantar
Sudah 63 tahun berlalu, sejak Soekarno-Hatta dan para founding fathers
memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, pada 17 Agustus 1945. Sekian
lama sesudahnya, terutama saat di bawah pemerintahan Orde Baru, apa yang kita
anggap sebagai identitas ―Indonesia‖ seolah-olah sudah final. Sesuatu yang sudah
selesai.
Namun, berbagai perkembangan terakhir, terutama yang muncul sejak
jatuhnya rezim Orde Baru di bawah Soeharto, seolah-olah menyentakkan kita kembali
ke realitas. Yaitu, bahwa apa yang kita sebut sebagai identitas ―Indonesia‖ dan
keindonesiaan ternyata adalah sesuatu yang masih harus terus kita perjuangkan. Ia
adalah sesuatu yang selalu dalam pembentukan, selalu dalam proses menjadi
(becoming).
Konflik berdarah bernuansa agama di Ambon dan Maluku; pembantaian etnis
di Kalimantan yang melibatkan suku Dayak dan Madura; gerakan separatis bersenjata
di Papua dan Aceh; kerusuhan Mei 1998 di Jakarta; dan banyak lagi yang tak bisa
disebut satu-persatu, telah memberi aksentuasi lebih kuat tentang ―kerapuhan‖ atau
perlunya dirumuskan kembali identitas keindonesiaan tersebut.
Terakhir, adalah munculnya tantangan globalisasi, yang terwujud pada
semakin tipisnya batas-batas teritorial antarnegara, serta semakin mudahnya
perpindahan uang, manusia, barang, jasa, ide, dan informasi, melintasi batas-batas
negara. Fenomena kontemporer ini terasa semakin intensif menghadapkan ―kekitaan‖
dan keindonesiaan, dengan sesuatu yang kita pandang sebagai pihak luar atau
―kelianan‖ (others).
Maksud dan Tujuan
Makalah singkat ini mencoba menunjukkan bagaimana hubungan antara teks
dan konstruksi identitas. Hubungan itu tidak dipaparkan secara teoritis semata dan
kering, melainkan coba digambarkan lewat perjalanan historis kontruksi identitas
keindonesiaan atau nasionalisme Indonesia, sebagai contoh kasus.
Teks dalam bahasan di sini dimaknai dalam arti luas, bukan semata-mata
kumpulan kata-kata lisan atau tertulis. Teks adalah bahasa dalam penggunaan
3
(language in use), dan bahasa itu sendiri adalah salah satu unsur kebudayaan manusia.
Teks berkaitan dengan konteks atau situasi tertentu, baik saat teks itu diproduksi,
maupun saat teks tersebut ditafsirkan.
Dengan membaca dan menganalisis teks, kita dapat melihat bagaimana suatu
realitas dikonstruksi secara sosial. Realitas sosial, dalam hal ini kebangsaan dan
nasionalisme Indonesia, bukanlah sesuatu yang ada begitu saja. Ia diciptakan,
dibentuk atau dikonstruksi dalam ruang dan waktu tertentu, melalui suatu proses
historis tertentu yang tidak linier, dan dengan demikian juga bisa mengalami masa
pasang dan masa surut.
Bangsa, Kebangsaan, dan Nasionalisme
Mendiang Presiden Soekarno sering bicara dengan lantang tentang penjajahan
Belanda selama 350 tahun terhadap ―Indonesia.‖ Meski ada suara-suara kritis, sampai
saat ini, dalam materi pelajaran sejarah nasional yang diajarkan di sekolah-sekolah,
kepada para siswa juga masih diajarkan tentang mitos penjajahan Belanda selama 350
tahun itu.1
Padahal pada waktu VOC Belanda bercokol di wilayah yang sekarang
bernama Indonesia ini, saat itu identitas ―Indonesia‖ belum dikenal. Yang ada
hanyalah sejumlah kerajaan di berbagai kepulauan. Seperti dikatakan Anderson,
―Indonesia‖ adalah hasil ciptaan abad ke-20. Sedangkan, sebagian besar wilayah yang
sekarang diakui sebagai wilayah Indonesia sebenarnya baru dikuasai Belanda antara
tahun 1850-1910.2 Jika konsep Indonesia saja baru ―diciptakan‖ pada abad ke-20,
jadi siapakah yang dapat disebut bangsa Indonesia tersebut?
Istilah bangsa (nation), kebangsaan (nationality), dan nasionalisme
(nationalism) bukanlah sesuatu yang mudah dirumuskan. Fenomena bangsa dan
nasionalisme ini nyata pengaruhnya dalam sejarah dunia, namun teori-teori
tentangnya justru tidak banyak. Tidak seperti isme-isme lain, nasionalisme tidak
pernah menghasilkan pemikir-pemikir besarnya sendiri.3
1 Saya pribadi mengalami sendiri pelajaran sejarah semacam ini, ketika masih jadi siswa SD dan SMP
di Jakarta Timur, tahun 1970-an. 2 Anderson, Benedict. 1983. Imagined Communities, Reflection on the Origin and Spread of
Nationalism. London: Verso 19. 3 Ibid, hlm. 14.
4
Anderson, dalam semangat antropologis, mengusulkan definisi bangsa sebagai
komunitas politik terbayangkan (imagined political community). Komunitas ini
dibayangkan secara inheren bersifat terbatas (limited) dan berdaulat (sovereign).
Komunitas ini disebut terbayangkan, karena bahkan anggota bangsa yang
terkecil sekalipun tak akan pernah tahu, bertemu, ataupun mendengar tentang
sebagian besar dari para anggota bangsanya. Meski begitu, dalam pikiran mereka,
hidup suatu gambaran atau citra tentang kesatuan (communion) mereka. Ernest
Gellner mengatakan, ―Nasionalisme bukanlah kebangkitan bangsa-bangsa ke arah
kesadaran diri (self-consciousness): ia menciptakan bangsa-bangsa di mana mereka
(awalnya) tidak ada.‖
Suatu bangsa dibayangkan bersifat terbatas karena bahkan bangsa yang
terbesar, yang jumlah anggotanya katakanlah melebihi satu milyar orang, memiliki
batas-batas yang tertentu, walaupun batas itu bersifat elastis. Di luar batas itu, terdapat
bangsa-bangsa lain.
Suatu bangsa dibayangkan berdaulat karena konsep bangsa ini lahir pada
zaman di mana Pencerahan (Enlightenment) dan Revolusi menghancurkan legitimasi
kekuasaan, yang bersandarkan pada dinasti hirarkial atau perintah-perintah keilahian.
Ukuran dan lambang dari kebebasan ini adalah negara berdaulat (sovereign state).
Terakhir, bangsa itu dibayangkan sebagai komunitas, karena --meskipun ada
ketidaksetaraan dan eksploitasi yang mungkin terjadi di dalamnya-- bangsa tersebut
selalu dipahami sebagai wujud persahabatan yang horizontal dan mendalam. Pada
akhirnya, rasa persaudaraan dan persahabatan inilah yang memungkinkan jutaan
orang, selama dua abad terakhir, bersedia berjuang atau mati untuk suatu bayangan
terbatas.
Dalam konteks semacam ini, nasionalisme harus dipahami dengan
mengaitkannya, bukan dengan ideologi-ideologi politik yang dianut secara sadar,
melainkan dengan sistem-sistem budaya besar yang mendahului nasionalisme
tersebut. Nasionalisme muncul dari sana, dan juga berhadapan dengannya.
Dua sistem budaya yang relevan dalam hal ini adalah komunitas religius dan
kerajaan dinastik. Pada masa kejayaannya, kedua sistem budaya ini diterima begitu
saja sebagai kerangka rujukan, seperti juga kebangsaan atau nasionalitas pada saat ini.
Nasionalisme bangkit pada zaman ketika cengkeraman aksiomatik konsepsi-konsepsi
budaya mendasar ini mulai kendur terhadap pikiran umat manusia.
5
Mengkonstruksi Identitas Keindonesiaan
Bicara tentang konstruksi identitas keindonesiaan, berarti bicara tentang
sejarah panjang, yang tak mungkin terpapar secara utuh dan memuaskan dalam
makalah yang pendek ini. Maka penulis di sini hanya akan mencuplik beberapa
fragmen sejarah, yang dianggap penting sebagai contoh, dalam proses
mengkonstruksi identitas keindonesiaan dan nasionalisme Indonesia.
Dalam kaitan tersebut, kita tidak bisa melewatkan peristiwa bersejarah pada
28 Oktober 1928, di mana wakil-wakil dari kalangan pemuda dari berbagai etnis dan
daerah, berkumpul dan mendeklarasikan Sumpah Pemuda. Dalam Sumpah Pemuda
itu, secara sadar mereka menyatakan komitmen untuk berbangsa, bertanah air, dan
berbahasa satu: Indonesia.
Pada masanya, Sumpah Pemuda 1928 ini patut dianggap suatu tindakan
revolusioner. Karena para pemuda ini secara sadar menciptakan sesuatu yang
sebelumnya tidak ada, yaitu identitas Indonesia. Padahal nama ―Indonesia‖ sendiri
adalah temuan seorang ilmuwan asal Skotlandia, yang kemudian diadopsi oleh para
tokoh pergerakan kebangsaan.4
Konstruksi identitas Indonesia yang dibangun tidak dilandaskan pada agama
tertentu ataupun etnis tertentu. Padahal, dari segi jumlah penduduk saat itu, etnis Jawa
4 Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia, dengan tercetak pada Journal of the Indian
Archipelago and Eastern Asia (JIAEA) tahun 1850, halaman 254, dalam tulisan ilmuwan asal
Skotlandia, James Richardson Logan (1819-1869). Tulisnya: Mr. Earl suggests the ethnographical
term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term
Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. Ketika
mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu
akan menjadi nama bangsa dan negara, yang jumlah penduduknya masuk peringkat keempat terbesar di
muka bumi. Lihat http://doeljoni.blogsome.com/2005/08/16/34/. Sejak saat itu Logan secara konsisten
menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini
menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884, guru besar
etnologi di Universitas Berlin, Adolf Bastian (1826-1905), menerbitkan buku Indonesien oder die
Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika
mengembara ke ―Nusantara‖ tahun 1864-1880. Buku Bastian inilah yang mempopulerkan istilah
"Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia"
itu ciptaan Bastian. Pendapat yang keliru itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van
Nederlandsch-Indie (1918). Padahal Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan
Logan.
6
adalah yang paling besar jumlahnya. Selain itu, meski belum ada sensus terinci,
agama yang terbanyak dianut saat itu tampaknya adalah Islam.
Tidak dipaksakannya bahasa Jawa sebagai bahasa nasional, adalah langkah
yang sangat progresif. Diadopsinya bahasa Melayu –yang merupakan bahasa
pengantar utama di kepulauan Nusantara saat itu—menjadi bahasa nasional Indonesia,
adalah langkah besar dalam mengkonstruksi identitas keindonesiaan. Bahasa
Indonesia terbukti bertahan dan digunakan secara meluas sampai saat ini.
Momen historis penting lain dalam konstruksi identitas keindonesiaan adalah
perumusan dasar negara Pancasila, yang tercantum dalam pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945. Dalam perumusan dasar negara ini sempat terjadi pergulatan
wacana atau tarik-menarik, antara kelompok yang memperjuangkan aspirasi
nasionalis sekuler dengan kelompok yang memperjuangkan aspirasi nasionalis
keislaman. Kedua pandangan ini mewarnai Sidang Pertama Dokuritsu Junbi Cosakai
(Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) yang berlangsung dari 29
Mei sampai 1 Juni 1945.
Terbentuklah Panitia Sembilan untuk menyusun Pembukaan UUD.
Dalam Pembukaan UUD yang mereka susun pada 22 Juni 1945, yang dikenal sebagai
Piagam Jakarta, Pancasila dirumuskan untuk pertama kalinya sebagai berikut: (1)
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari‘at Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan
(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam prosesnya kemudian, akibat penolakan wakil kelompok non-Muslim,
kalimat ―dengan kewajiban menjalankan syari‘at Islam bagi para pemeluk-
pemeluknya‖ itu dihapus, dan jadilah Pancasila dengan susunan seperti yang kita
kenal sekarang.5
5 Pembukaan UUD (Piagam Jakarta) ini diterima bulat oleh Badan Penyelidik dalam Sidang Kedua dari
tanggal 10 sampai 16 Juli 1945 setelah melalui perdebatan sengit. Sidang Kedua itu pun berhasil
menyusun batang tubuh UUD. Pada 7 Agustus 1945 terbentuklah Dokuritsu Junbi Iinkai (Panitia
Persiapan Kemerdekaan). Sehari sesudah proklamasi kemerdekaan, 18 Agustus 1945, mereka
bersidang untuk mengesahkan UUD hasil susunan Badan Penyelidik. Berdasarkan usul seorang
perwira angkatan laut Jepang kepada Bung Hatta (dalam buku Sekitar Proklamasi, Hatta mengatakan
perwira itu mengaku membawa suara umat Kristen di Indonesia Timur), ternyata sidang Panitia
Persiapan itu mencoret kalimat-kalimat dalam UUD yang berisi kata-kata ‗Islam‘. Sila pertama
Pancasila diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila kedua sampai kelima tidak mengalami
perubahan. Hari itu juga UUD disahkan, dan dikenal sebagai Undang-Undang Dasar 1945. Lihat:
http://irfananshory.blogspot.com/2007/07/piagam-jakarta.html.
7
Teks dan Identitas Keindonesiaan di Era Orde Baru
Sayangnya, pada era Orde Baru, identitas keindonesiaan itu dikonstruksi
dengan cara represi lewat kekuasaan. Dan, sebagai akibatnya, muncullah resistensi di
sana-sini, dengan berbagai wujud ekspresinya. Kalaupun di permukaan muncul
―keselarasan‖ dan ―harmoni,‖ hal itu bersifat semu karena bukan melalui proses
diskursus yang wajar.
Program penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila)
menjadi program pemerintah, yang wajib diikuti para pejabat di pusat maupun di
daerah. Penataran P4 menghadirkan tafsir tunggal terhadap teks dan realitas.
Sedangkan isi pemaknaan dan penafsiran itu sendiri dimonopoli oleh penguasa Orde
Baru. Bahkan para mahasiswa baru di Universitas Indonesia sendiri pada tahun 1980-
an itu juga wajib mengikuti penataran P4, sebagai ganti masa perploncoan.6
Rezim Orde Baru juga mengontrol ketat pemberitaan media dan pers, dan
dengan demikian rezim Soeharto mengontrol proses produksi teks dan wacana yang
dikembangkannya. Media yang mencoba membandel akan dibreidel tanpa ampun.
Pada era Orde Baru, sejumlah media nasional pernah dibreidel, dan yang terakhir
adalah pembreidelan DeTik, Editor, dan Tempo pada 21 Juni 1994.
Pembreidelan ini memicu lahirnya AJI (Aliansi Jurnalis Independen),
organisasi jurnalis muda yang idealis.7 AJI menjadi wujud konkret gerakan
perlawanan terhadap rezim. AJI menerbitkan buletin Independen yang dianggap
ilegal, karena terbit tanpa surat izin.
Dengan menerbitkan buletin yang bersifat kritis dan independen ini, AJI
menghadirkan wacana tandingan lewat produksi teks. Kontrol terhadap teks oleh
rezim Soeharto, ditandingi dengan produksi teks yang bernada kritis dan perlawanan
terhadap Soeharto.
Dalam Deklarasi Sirnagalih, yang menjadi landasan berdirinya AJI, para
jurnalis muda pendiri AJI juga mencantumkan teks yang terkait dengan konstruksi
keindonesiaan. Dikatakan, ―Dalam melaksanakan misi perjuangannya, pers Indonesia
6 Penataran P4 buat mahasiswa ini dimulai saat Rektor UI dijabat Prof. DR. Nugroho Notosusanto,
yang juga merangkap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). 7 Penulis yang pada 1994 menjadi wartawan Harian Kompas, ikut terlibat sebagai pendiri dan
penggerak AJI. Karena aktivitas itu dan tekanan rezim Soeharto, penulis dipaksa mundur dari Kompas
pada Maret 1995. Penulis lalu bekerja dengan nama samaran (karena nama penulis di-black list) di
Majalah D&R, yang menampung sejumlah wartawan korban pembreidelan dan pemecatan.
8
menempatkan kepentingan dan keutuhan bangsa di atas kepentingan pribadi maupun
golongan.‖ AJI juga menolak segala upaya mengaburkan semangat pers Indonesia
sebagai pers perjuangan, serta menolak produk-produk hukum yang bertentangan
dengan Pancasila dan UUD 1945.8
Tantangan bagi Identitas Keindonesiaan
Sesudah Soeharto jatuh lewat gerakan reformasi Mei 1998, kekuasaan rezim
melemah. Maka, segala represi, tekanan, dan penindasan yang diterapkan selama era
Orde Baru pun hilang. Kondisi kebebasan yang sebelumnya tak pernah dirasakan ini
membuka sekat-sekat yang selama ini menghambat. Pergulatan wacana pun
berlangsung lebih dinamis dan bebas.
Langkah simbolis sekaligus konkret dilakukan oleh Presiden baru, KH.
Abdurrahman Wahid, dengan membubarkan Departemen Penerangan, yang selama
era Soeharto telah menjadi alat penafsiran tunggal atas teks dan realitas. Ekspresi
budaya etnis tertentu, seperti barongsai dari etnis Tionghoa, kini bebas dipertunjukkan
di tempat umum.
Di era reformasi, konstruksi identitas keindonesiaan yang pada dasarnya
bersifat pluralistik, mendapat angin lebih besar. Masyarakat dan media juga lebih
terbuka dalam mendiskusikan isu-isu yang selama ini dianggap tabu, atau ditutupi dan
diredam di bawah label SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).
Namun, sisi lain dari kebebasan ini adalah munculnya konflik-konflik yang
bernuansa identitas (suku, agama, ras, dan kelas). Konflik-konflik ini seakan tak
terkontrol muncul di ruang publik. Ketika negara dalam kondisi lemah, akibat krisis
ekonomi dan politik yang berlarut-larut, kelompok-kelompok identitas tertentu seolah
bisa berbuat semaunya dan menyerang pihak lain, tanpa takut terhadap sanksi ataupun
hukuman.
Euforia desentralisasi dan otonomi daerah juga mengangkat dan memperkuat
lagi identitas kedaerahan, kesukuan, ras, atau tribalisme. Apa yang beridentitas
nasional atau Jakarta, akibat pengalaman represi yang pahit di masa Orde Baru, justru
dicurigai dan tidak dipercaya oleh orang di daerah.
8 Untuk teks lengkap Deklarasi Sirnagalih, lihat http://blogaji.wordpress.com/sejarah/deklarasi-
sirnagalih/.
9
Menjadi suatu tantangan tersendiri, bagaimana kita bisa merajut atau
mengkonstruksi kembali identitas keindonesiaan tersebut, menghadapi tarikan-tarikan
dari identitas agama, ras, suku, kedaerahan, kelas, dan sebagainya. Kita belum lagi
bicara tentang tantangan globalisasi, yang sudah hadir di depan mata.
Sebagai penutup, dapat dikatakan bahwa konstruksi identitas keindonesiaan
pada akhirnya merupakan upaya, yang harus diperjuangkan terus-menerus. Indonesia
adalah sesuatu yang terus menjadi, sesuatu yang terus berproses. Ia tak pernah
mencapai kata final atau tuntas.
Dengan segala kekurangan dan keterbatasannya, kita patut merasa optimistis
bahwa --sesudah menjalani berbagai pengalaman berat dalam wacana keindonesiaan--
bangsa ini akan mampu mengatasi cobaan-cobaan tersebut. ***
Referensi:
1. Materi kuliah Prof. Melani Budianta, Ph.D, di FIB-UI, 19 Desember 2008.
2. Materi kuliah Prof. Melani Budianta, Ph.D, di FIB-UI, 28 Desember 2008.
3. Materi kuliah Prof. DR. Benny Hoed, di FIB-UI, 15 Oktober 2008.
4. Anderson, Benedict. 1983. Imagined Communities, Reflection on the Origin
and Spread of Nationalism. London: Verso.
5. Budianta, Melani. 2000. ―Discourse of Cultural Identity in Indonesia During
the 1997-1998 Monetary Crisis,‖ Inter-Asia Cultural Studies, vol. 1 no. 1,
hlm. 110-127.
6. Christomy, T., dan Untung Yuwono (ed.). 2004. Semiotika Budaya. Depok:
Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan
Pengabdian Masyarakat UI.
7. Latif, Yudi. ―Merawat Bayangkan Kekitaan‖, dalam Kompas, 2 Desember
2008, hlm. 1.
8. http://doeljoni.blogsome.com/2005/08/16/34/ (didownload pada 3 Desember
2008).
9. http://zeus16.wordpress.com/2007/08/19/asal-nama-indonesia/ (didownload
pada 3 Desember 2008).
10. http://irfananshory.blogspot.com/2007/07/piagam-jakarta.html (didownload
pada 3 Desember 2008).
11. http://blogaji.wordpress.com/sejarah/deklarasi-sirnagalih/ (didownload pada 3
Desember 2008).
Depok, 3 Desember 2008