IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN

download IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN

of 19

Transcript of IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN

  • 8/10/2019 IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN

    1/19

    PERTEMUAN ILMIAH BERKALA XVIII

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

    MAKASAR, 24 JANUARI 2014

    IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NO 20TAHUN

    2013TENTANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN

    Oleh dr Ahmad Nizar Shihab, SpAnAnggota DPR RI Komisi IX Periode 2009-2014

    Anggota Panja RUU Pendidikan Kedokteran

  • 8/10/2019 IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN

    2/19

    1

    LATAR BELAKANG UU PENDIDIKAN KEDOKTERAN (UU DIKDOK)

    Indonesia mulai tahun 2010-2035 akan mempunyai penduduk dengan usia

    produktif yang jumlahnya luar biasa. Populasi tersebut akan menjadi bonus demografi

    apabila berkualitas, namun sebaliknya akan menjadi bencana demografi apabila tidak

    berkualitas. Disepakati bahwa Pendidikan dan Kesehatan menjadi kata kunci dalam

    menentukan kualitas tersebut.

    Pelayanan kesehatan bagi masyarakat seharusnya diselenggarakan secara

    menyeluruh, terpadu, merata, dan dengan mutu yang baik serta dapat diterima atau

    dirasakan masyarakat dengan harga yang terjangkau. Untuk memastikan layanan

    kesehatan yang baik tersebut diperlukan penataan mulai dari sisi hulu yakni pendidikan

    kedokteran.

    Pendidikan kedokteran yang sangat strategis tersebut dirasakan masih

    menghadapi banyak masalah, diantaranya masalah kompetensi lulusan dan disparitasmutu. Pendidikan kedokteran sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional

    seharusnya diselenggarakan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan untuk

    menumbuhkembangkan penguasaan, pemanfaatan, penelitian, serta pemajuan ilmu

    pengetahuan dan teknologi sehingga menghasilkan dokter yang bermutu, kompeten,

    profesional, bertanggung jawab, beretika, bermoral, humanistis, dan berjiwa sosial

    tinggi yang dilandasi dengan wawasan kesehatan untuk meningkatkan daya saing

    bangsa dalam menghadapi globalisasi di segala bidang.

    Upaya melakukan penataan pendidikan kedokteran untuk mencapai tujuan

    sebagaimana dimaksud diatas belum diatur secara komprehensif dalam peraturanperundang-undangan. Untuk itu, diperlukan adanya pembenahan sistem pendidikan

    kedokteran yang lebih baik melalui suatu Undang-Undang.

    Pada awalnya tujuan/latar belakang pembuatan UU Pendidikan Kedokteran

    (Dikdok) adalah antara lain karena adanya keprihatinan akan biaya pendidikan

    kedokteran yang sangat mahal sehingga memberatkan siswa-siswa yang cerdas namun

    kurang mampu untuk melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Kedokteran. Menurut

    Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh, ada dua persoalan utama yang

    menyebabkan biaya pendidikan dokter mahal, yaitu akses keterjangkauan untuk menjadi

    dokter dan faktor ketersediaan yang terkonsentrasi pada satu titik saja. Namun

    demikian, biaya yang mahal tersebut ternyata tidak menjamin kualitas dokter di

    Indonesia dapat memenuhi standar yang tinggi karena standar pendidikan kedokteran di

    Indonesia masih tetap di bawah standar internasional.

    Selain itu, UU Dikdok ini juga dibuat untuk memenuhi kebutuhan dokter di

    seluruh wilayah Indonesia karena persebarannya yang tidak merata. Pada intinya, UU

    Dikdok ini diharapkan dapat menjamin adanya kesempatan bagi calon dari daerah

    sesuai dengan kebutuhan daerahnya, masyarakat berpenghasilan rendah, dan

    menghasilkan lulusan dokter yang berkarakter.

    Pendidikan Kedokteran dianggap sebagai bentuk pendidikan tinggi yang bersifat

    khusus dimana pendidikan akademik dilaksanakan bersamaan dengan pendidikan

  • 8/10/2019 IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN

    3/19

    2

    keprofesian. Oleh karena itulah, Pemerintah setuju untuk mengaturnya dalam UU

    tersendiri sebagai Lex Specialis dari UU tentang Pendidikan Tinggi. Hal ini juga

    didorong dengan kenyataan kurang meratanya penyebaran dokter dan kesempatan untuk

    meraih pendidikan dokter. Dapat dikatakan UU Dikdok ini menjadi istimewa karena

    statusnya sebagai UU pertama yang membahas kependidikan keprofesian di Indonesia.

    SUBSTANSI UU PENDIDIKAN KEDOKTERAN (UU DIKDOK)

    UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran disahkan di Jakarta pada

    tanggal 6 Agustus 2013oleh Presiden RI, Dr.H. Susilo Bambang Yudhoyono. UU Dikdok

    ini diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 agustus 2013 oleh Menteri Hukum dan HAM RI,

    Amir Syamsudin. UU Dikdok ini terdiri dari 8 Bab dengan total keseluruhan 64 pasal,

    yakni mencakup: Bab I Ketentuan Umum

    Bab II Penyelenggaraan Pendidikan Kedokteran

    Bab III Pendanaan Dan Standar Satuan Biaya Pendidikan Kedokteran

    Bab IV Pemerintah Dan Pemerintah Daerah

    Bab V Peran Serta Masyarakat

    Bab VI Sanksi Administratif

    Bab VII Ketentuan Peralihan

    Bab VIII Ketentuan Penutup

    Dalam UU Dikdok tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan

    Pendidikan Kedokteran adalah usaha sadar dan terencana dalam pendidikan

    formal yang terdiri atas pendidikan akademik dan pendidikan profesi pada jenjang

    pendidikan tinggi yang program studinya terakreditasi untuk menghasilkan lulusan

    yang memiliki kompetensi di bidang kedokteran atau kedokteran gigi (Pasal 1).

    Pendidikan Akademikyang dimaksud tersebut terdiri atas (Pasal 7 ayat (3)):

    a. program Sarjana Kedokteran dan program Sarjana Kedokteran Gigi;

    b. program magister; dan

    c. program doktor.

    Sementara Pendidikan Profesiterdiri atas (Pasal 7 ayat (5)):

    a. program profesi dokter dan profesi dokter gigi; dan

    b. program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi

    spesialis-subspesialis.

    Yang dimaksud dengan Dokter adalah dokter, dokter layanan primer, dokter

    spesialis-subspesialis lulusan pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar negeri,

    yang diakui oleh Pemerintah (Pasal 1).

    Tujuan dari Pendidikan Kedokteran yang disebutkan pada Pasal 4 UU

    Dikdok adalah sebagai berikut:

  • 8/10/2019 IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN

    4/19

    3

    a. menghasilkan Dokter dan Dokter Gigi yang berbudi luhur, bermartabat, bermutu,

    berkompeten, berbudaya menolong, beretika, berdedikasi tinggi, profesional,

    berorientasi pada keselamatan pasien, bertanggung jawab, bermoral, humanistis,

    sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial,

    dan berjiwa sosial tinggi;

    b. memenuhi kebutuhan Dokter dan Dokter Gigi di seluruh wilayah Negara Kesatuan

    Republik Indonesia secara berkeadilan; dan

    c. meningkatkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran

    dan kedokteran gigi.

    IMPLIKASI UU DIKDOK TERHADAP PENDIDIKAN KEDOKTERAN DI

    INDONESIA

    Implikasi UU Dikdok terhadap pendidikan kedokteran di Indonesia diantaranya

    dapat dilihat dari ketersediaan jumlah tenaga dokter (dokter umum, dokter spesialis, dan

    dokter gigi), tiga pilar dasar pendidikan kedokteran, standar nasional pendidikan

    kedokteran, kompetensi profesi kedokteran, program dokter spesialis-subspesialis, dan

    pendanaan pendidikan kedokteran. Penjelasan mengenai implikasi UU Dikdok terhadap

    pendidikan kedokteran tersebut dapat dilihat pada uraian di bawah ini.

    A.Meningkatkan Jumlah Dokter

    Ketersediaan jumlah tenaga dokter di Indonesia mengalami pengingkatan daritahun ke tahun. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pengembangan dan

    Pemberdayaan SDM Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI (2013) jumlah dokter yang

    didayagunakan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) di Indonesia dapat

    dilihat pada tabel di bawah ini yang mencakup jumlah dokter spesialis, dokter umum,

    dan dokter gigi dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2013.

    Tabel 1. Jumlah Dokter yang Didayagunakan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan

    (Fasyankes) di Indonesia

    No. Medis

    Tahun

    2010 2011 2012 2013

    1. Dokter Spesialis 8.403 16.574 27.333 38.895

    2. Dokter Umum 25.333 33.172 37.364 42.398

    3. Dokter Gigi 8.731 10.575 11.826 13.114

    TOTAL 42.467 60.321 76.523 94.407

    Sumber: Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, 2013

    Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa terdapat perkembangan yang signifikan,

    baik dari jumlah dokter spesialis, dokter umum, dan dokter gigi. Namun demikian,

    dengan jumlah tersebut masih dijumpai adanya permasalahan. Pertama, belum

  • 8/10/2019 IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN

    5/19

    4

    terpenuhinya rasio ideal antara dokter dan masyarakat di Indonesia. Menurut data

    International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), rasio antara dokter dan

    masyarakat di Indonesia adalah 1:3500. Artinya, satu dokter melayani 3.500 warga.

    Hal tersebut masih jauh dari ketetapan World Health Organization (WHO) yang

    menentukan rasio ideal adalah 40 dokter umum per 100 ribu penduduk. Kurangnya

    tenaga medis ini berdampak besar, bahkan berkontribusi terhadap tingginya angka

    kematian akibat terlambatnya pertolongan medis (Metrotvnews.com, 2013). Untuk itu,

    dengan adanya UU Dikdok diharapkan dapat mencapai jumlah rasio antara dokter dan

    masyarakat yang ideal.

    Permasalahan kedua adalah tidak meratanya persebaran tenaga dokter di seluruh

    wilayah Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pengembangan dan Pemberdayaan

    SDM Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI (2013) tenaga dokter yang didayagunakan

    pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) di Indonesia masih terkonsentrasi di

    Pulau Jawa. Persentase persebaran tenaga dokter tersebut dapat dilihat pada grafik dibawah ini.

    Grafik 1. Persebaran Tenaga Dokter yang didayagunakan pada Fasilitas Pelayanan

    Kesehatan (Fasyankes) di Indonesia pada Tahun 2013

    Sumber: Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, 2013

    Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa persebaran tenaga dokter masihterkonsentrasi di Jawa dan Bali, yaitu 57.41% atau sebanyak 54.195 dokter dari total

    keseluruhan 94.407 dokter. Sementara itu, kawasan Indonesia timur yang meliputi Nusa

    Tenggara Timur, Maluku, dan Papua masih kekurangan tenaga medis sehingga

    pelayanan kesehatan menjadi tidak merata. Detail mengenai persebaran tersebut dapat

    dilihat pada tabel di bawah ini.

    24,42%

    57,41%

    2,42%

    5,17%

    7,89% 1,10% 1,59%

    Sumatera

    Jawa dan Bali

    Kep. Nusa Tenggara

    Kalimantan

    Sulawesi

    Kep. Maluku

    Papua

  • 8/10/2019 IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN

    6/19

    5

    Tabel 2. Persebaran Tenaga Dokter yang didayagunakan pada Fasilitas Pelayanan

    Kesehatan (Fasyankes) di Indonesia pada Tahun 2013

    WilayahDokter

    Spesialis

    Dokter

    UmumDokter Gigi Jumlah Persentase

    Sumatera 8.371 1.1681 3.001 23.053 24.42 %

    Jawa dan

    Bali25.643 20.899 7.653 54.195 57.41 %

    Kep. Nusa

    Tenggara648 1.318 323 2.289 2.42 %

    Kalimantan 1.235 2.883 767 4.885 5.17 %

    Sulawesi 2.482 3.921 1.043 7.446 7.89 %

    Kep. Maluku 198 664 172 1.034 1.10 %

    Papua 648 1.032 323 1.505 1.59 %TOTAL 38.895 42.398 13.114 94.407 100.00 %

    Sumber: Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, 2013

    Dengan tidak meratanya persebaran tenaga dokter ini, maka dalam UU Dikdok

    termuat kuota bagi calon mahasiswa yang berasal dari daerah tertentu di Indonesia.

    Pada Pasal 9 ayat (1) disebutkan bahwa program studi kedokteran dan program studi

    kedokteran gigi hanya dapat menerima Mahasiswa sesuai dengan kuota nasional.

    Kemudian Pasal 10 menyebutkan bahwa dalam hal adanya peningkatan kebutuhan

    pelayanan kesehatan, Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yangmenyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan dapat menugaskan

    Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi untuk meningkatkan kuota

    penerimaan mahasiswa program dokter layanan primer, dokter spesialis-

    subspesialis, dan/atau dokter gigi spesialis-subspesialis sepanjang memenuhi daya

    tampung dan daya dukung sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

    Pendidikan kedokteran hendaknya dilaksanakan dengan mengacau pada prinsip

    afirmatif agar dapat tercapai upaya pemerataan kesempatan memperoleh Pendidikan

    kedokteran dan nantinya meningkatkan pemerataan layanan kesehatan. Sebagaimana

    disebutkan dalam Pasal 29 ayat (1) UU Dikdok bahwa: Seleksi penerimaan mahasiswa

    program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi

    spesialis-subspesialis harus memperhatikan prinsip afirmatif, transparan, dan

    berkeadilan. Adapun, yang dimaksud dengan prinsip afirmatif adalah prinsip

    keberpihakan kepada calon mahasiswa yang berasal dari daerah terpencil,

    terdepan/terluar, tertinggal, perbatasan, atau kepulauan, kesetaraan gender, generasi

    penerus, masyarakat rentan, masyarakat secara ekonomi kurang mampu, masyarakat

    rendah status kesehatannya dan tinggi risiko kesehatannya akibat kondisi struktural

    ataupun akibat bencana.

    Untuk itu, UU Dikdok diharapkan dapat memastikan adanya integrasi antara

    Fakultas Kedokteran/Kedokteran Gigi dan juga kebutuhan kedokteran serta biaya

  • 8/10/2019 IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN

    7/19

    6

    pendidikan yang bisa terjangkau. Seiring dengan penerapan jaminan kesehatan oleh

    Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bidang kesehatan pada tahun 2014,

    ketersediaan tenaga kesehatan, salah satunya tenaga medis dokter menjadi keharusan.

    Seiring dengan membesarnya cakupan jaminan kesehatan yang diselenggarakan BPJS,

    ketersediaan tenaga kesehatan ini pun nantinya harus diperluas agar pelayanan

    kesehatan pada setiap fasilitas kesehatan di seluruh wilayah Indonesia dapat

    terselenggara dengan baik .

    B.Tiga Pilar Dasar Pendidikan Kedokteran

    Salah satu tujuan dalam UU Pendidikan Kedokteran adalah meningkatkan

    kompetensi dokter agar bisa melayani pasien di bidang pelayanan primer.

    Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan perhatian ekstra terhadap tiga pilar dasar

    yang terlibat dalam pendidikan kedokteran, yaitu institusi pendidikan melalui fakultas

    kedokteran, institusi rumah sakit tempat dokter berpraktek, dan organisasi profesiuntuk pembinaan anggotanya.

    Dalam UU Dikdok ini telah mengatur sinkroniasi pendidikan kedokteran, antara

    lain bahwa tidak hanya institusi pendidikan saja yang membuat kurikulum, namun

    organisasi profesi juga ikut terlibat yaitu dalam bentuk koordinasi seperti yang tertuang

    dalam ketentuan umum Pasal 5, yaitu:

    (1) Pendidikan Kedokteran diselenggarakan oleh perguruan tinggi.

    (2) Perguruan tinggi dalam menyelenggarakan Pendidikan Kedokteran sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1) bekerja sama dengan Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana

    Pendidikan Kedokteran serta berkoordinasi dengan Organisasi Profesi.

    Disini terlihat bahwa tiga komponen dasar tersebut sudah terakomodasi dengan

    baik di undang-undang ini. Walaupun sebenarnya banyak hal yang memang sudah

    berjalan selama ini, namun sekarang dikukuhkan dalam bentuk hukum yang mengikat

    yaitu undang-undang.

    C.Standar Nasional Pendidikan Kedokteran

    Standar Nasional Pendidikan Kedokteran adalah bagian dari standar nasional

    pendidikan tinggi yang merupakan kriteria minimal dan harus dipenuhi dalam

    penyelenggaraan Pendidikan Kedokteran (Pasal 1). Standar Nasional PendidikanKedokteran untuk Pendidikan Akademikterdiri atas: program Sarjana Kedokteran

    dan program Sarjana Kedokteran Gigi; program magister; dan program doctor (Pasal

    24 ayat (4)). Menurut Pasal 24 ayat (6) Standar Nasional Pendidikan Kedokteran

    sebagaimana untuk Pendidikan Akademik paling sedikit memuat:

    a) standar kompetensi lulusan, standar isi, proses, Rumah Sakit Pendidikan, Wahana

    Pendidikan Kedokteran, Dosen, Tenaga Kependidikan, sarana dan prasarana,

    pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian;

    b)standar penelitian;

    c) standar pengabdian kepada masyarakat;

  • 8/10/2019 IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN

    8/19

    7

    d)penilaian program pendidikan dokter dan dokter gigi yang harus ditingkatkan

    secara berencana dan berkala;

    e) standar kontrak kerja sama Rumah Sakit Pendidikan dan/atau Wahana

    Pendidikan Kedokteran dengan perguruan tinggi penyelenggara Pendidikan

    Kedokteran; dan

    f) standar pemantauan dan pelaporan pencapaian program profesi dokter dan dokter

    gigi dalam rangka penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan.

    Sementara itu, Standar Nasional Pendidikan Kedokteran untuk

    Pendidikan Profesiterdiri atas: program profesi dokter dan dokter gigi; dan program

    dokter layanan primer, program dokter spesialis-subspesialis, dan program dokter

    gigi spesialis-subspesialis (Pasal 24 ayat (5)). Menurut Pasal 24 ayat (7) Standar

    Nasional Pendidikan Kedokteran sebagaimana untuk Pendidikan Profesi paling sedikit

    memuat:a) standar kompetensi lulusan, standar isi, proses, Rumah Sakit Pendidikan, Dosen,

    Tenaga Kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan

    penilaian;

    b)penilaian program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan

    dokter gigi spesialis-subspesialis yang harus ditingkatkan secara berencana dan

    berkala;

    c) standar penelitian;

    d)standar pengabdian kepada masyarakat;

    e)

    standar kontrak kerja sama Rumah Sakit Pendidikan dan/atau WahanaPendidikan Kedokteran dengan perguruan tinggi penyelenggara Pendidikan

    Kedokteran; dan

    f) standar pola pemberian insentif untuk Mahasiswa program dokter layanan

    primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis atas

    kinerjanya sebagai pemberi pelayanan kesehatan.

    D.Kompetensi Profesi Kedokteran

    Dalam UU Dikdok disebutkan para mahasiswa kedokteran harus lebih dahulu

    lolos uji kompetensi dan baru diluluskan dari perguruan tinggi. Pada Pasal 36 UU

    Dikdok disebutkan bahwa untuk menyelesaikan program profesi dokter atau dokter

    gigi, Mahasiswa harus lulus uji kompetensi yang bersifat nasional sebelum

    mengangkat sumpah sebagai Dokter atau Dokter Gigi (ayat 1). Mahasiswa yang lulus

    uji kompetensi memperoleh sertifikat profesi yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi

    (ayat 2). Uji kompetensi Dokter atau Dokter Gigi dilaksanakan oleh Fakultas

    Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi

    pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan Organisasi

    Profesi (ayat 3).

    Kemudian pasal 39 ayat (1)menyebutkan bahwa Mahasiswa program dokter

    layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis

  • 8/10/2019 IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN

    9/19

    8

    harus mengikuti uji kompetensi dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis,

    dan dokter gigi spesialis-subspesialis yang bersifat nasional dalam rangka memberi

    pengakuan pencapaian kompetensi profesi dokter layanan primer, dokter spesialis-

    subspesialis dan dokter gigi spesialis-subspesialis.

    Uji kompetensi dilakukan untuk menciptakan jaminan mutu atau kualitas praktik

    kedokteran. Untuk Pendidikan Akademik, disebutkan dalam Pasal 17 ayat (1)bahwa

    untuk pencapaian kompetensi lulusan, Fakultas Kedokteran dan Fakultas

    Kedokteran Gigi menjamin kelangsungan Dosen yang memiliki keilmuan biomedis,

    kedokteran klinis, bioetika/humaniora kesehatan, ilmu pendidikan kedokteran, serta

    kedokteran komunitas dan kesehatan masyarakat. Sementara untuk Pendidikan Profesi,

    disebutkan dalam Pasal 18 bahwa untuk pembelajaran klinik dan pembelajaran

    komunitas, Mahasiswa diberi kesempatan terlibat dalam pelayanan kesehatan dengan

    bimbingan dan pengawasan Dosen. Mahasiswa tetap harus mematuhi kode etik Dokter

    atau Dokter Gigi, dan/atau ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang mengaturkeprofesian.

    Pada tahun 2013 standar minimal kelulusan minimal mencapai nilai

    62. Sebelumnya, standar kelulusan uji kompetensi hanya 48. Pada setiap uji kompetensi

    persentase hasil kelulusan biasanya mencapai sekitar 70 persen dan 30 persen gagal.

    Jumlah peserta uji kompetensi biasanya mencapai 3.000 hingga 4.000 dokter untuk

    sekali ujian. Adapun, dalam setahun ada sebanyak empat kali uji kompetensi dokter.

    Hingga akhir 2012 terdapat 2.000 dokter yang tidak lulus uji kompetensi yang

    dimulai sejak 2006 tersebut. Jumlah ini hanyalah lima persen dari total keseluruhan

    peserta ujian. Dari ribuan yang tidak lulus ini ada beberapa di antaranya yang sudahbeberapa kali mengikuti uji kompetensi namun gagal. Dari hasil identifikasi, mereka

    kebanyakan berasal dari Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang berjumlah sekitar delapan

    kampus (Republika Online, 2013). Tidak lulusnya uji kompetensi tersebut

    menggambarkan bahwa kualitas dokter di Indonesia masih tidak memenuhi standar.

    Menurut Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), pendidikan kedokteran di

    Indonesia dinilai masih kurang kontrol baik dari pemerintah maupun dari masyarakat.

    Hal ini menyebabkan kualitas dokter di Indonesia menurun dari tahun ke tahun. Selain

    itu ada beberapa hal juga yang membuat kualitas dokter di Indonesia semakin

    memburuk, seperti:

    1.

    Masih ada 2.500 lulusan dokter gagal ujian kompetensi sampai 2013.

    Lulusan dokter tersebut dinilai gagal lulus dalam Uji Kompetensi Dokter

    Indonesia (UKDI) sehingga IDI melakukan pendampingan bagi sekitar 2.500 lulusan

    dokter tersebut.

    2. Tingginya kuota melalui jalur undangan.

    Hal ini terkait dengan tingginya kuota penerimaan mahasiswa baru melalui jalur

    Undangan berdasarkan nilai Rapor. Menurut pengamat pendidikan, Dr.

    Dharmayuwati pane, MA, sesuai dengan Pasal 53 B Peraturan Pemerintah Nomor 66

    Tahun 2010 disebutkan bahwa satuan pendidikan tinggi wajib menjaring peserta

    didik baru program sarjana melalui pola penerimaam secara nasional (SNMPTN)

  • 8/10/2019 IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN

    10/19

    9

    paling sedikit 60 persen dari jumlah peserta didik baru yang diterima. Sementara

    mulai 2013 lalu, SNMPTN hanya menggunakan mekanisme jalur Undangan

    berdasarkan prestasi akademik selama di SMA. Jalur undangan ini membuat sekolah

    mengambil nilai terbaik. Hal ini membuat sekolah termotivasi untuk mengobral nilai.

    Sekolah bisa saja memanipulasi nilai demi meningkatkan keterserapan alumninya di

    perguruan tinggi favorit.

    3. Banyak Fakultas Kedokteran tidak imbang dosen dan peserta didiknya.

    Idealnya, Fakultas Kedokteran memiliki rasio dosen dan mahasiswa 1:10 untuk

    tahap preklinik dan pada tahap klinik 1:5.

    4. Masalah perizinan dan akreditasi

    Masih banyak Fakultas Kedokteran swasta yang berdiri atas izin Kemendiknas

    (Kementerian Pendidikan Nasional) saja, padahal belum memiliki fasilitas yang

    memadai. Menurut Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Menaldi Rasmin,

    tahun 2008 hanya ada 52 fakultas kedokteran. Namun, tahun 2010 jumlahnyamenjadi 72 Fakultas Kedokteran. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

    (Kemdikbud) tahun 2009 menyebut, ada 69 fakultas kedokteran. Sebanyak 31

    fakultas dikelola universitas negeri dan 38 fakultas dikelola swasta. Sementara pada

    tahun yang sama menurut data Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-

    PT) menunjukkan hanya 16 fakultas kedokteran terakreditasi A, 18 terakreditasi B,

    dan 10 terakreditasi C. Sisanya belum terakreditasi.

    Pada tahun 2013, dari 74 Fakultas Kedokteran di Indonesia sekitar 69 persen di

    antaranya memiliki akreditasi C ke bawah. Sementara Fakultas Kedokteran yang

    memiliki akreditasi A dan B jumlahnya lebih sedikit hanya sebesar 31 persen.Banyaknya Fakultas Kedokteran yang akreditasinya C berdampak pada kualitas

    lulusan yang belum baik.

    Mengingat masih adanya Fakultas Kedokteran yang belum terakreditasi dan

    berdampak pada kualitas lulusan dokter maka diperlukan adanya standarisasi kualitas

    pendidikan kedokteran institusi yang membuka fakultas kedokteran atau program

    studi kedokteran. UU Dikdok pun mengakomodir standarisasi ini melalui persyaratan

    Pembentukan FK maupun FKG yang disebutkan dalam Pasal 6 ayat (3) bahwa

    Pembentukan Fakultas Kedokteran dan/atau Fakultas Kedokteran Gigi paling sedikit

    harus memenuhi syarat dan ketentuan sebagai berikut:

    a. memiliki Dosen dan Tenaga Kependidikan sesuai dengan ketentuan Peraturan

    Perundang-undangan;

    b. memiliki gedung untuk penyelenggaraan pendidikan;

    c. memiliki laboratorium biomedis, laboratorium kedokteran klinis, laboratorium

    bioetika/humaniora kesehatan, serta laboratorium kedokteran komunitas dan

    kesehatan masyarakat; dan

    d. memiliki Rumah Sakit Pendidikan atau memiliki rumah sakit yang bekerja sama

    dengan Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana Pendidikan Kedokteran.

  • 8/10/2019 IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN

    11/19

    10

    Selain itu, untuk meningkatkan kualitas dokter dapat dilakukan melalui

    program internship. Internsip adalah proses pemantapan mutu profesi dokter untuk

    menerapkan kompetensi yang diperoleh selama pendidikan, secara terintegrasi,

    komprehensif, mandiri serta menggunakan pendekatan kedokteran keluarga dalam

    rangka pemahiran dan penyelarasan antara hasil pendidikan dengan praktik di lapangan

    (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

    Legal penyelenggaraan program internsip dokter di Indonesia adalah Peraturan

    Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.299/Menkes/Per/II/2010 tentang

    Penyelengaraan Program Internsip dan Penempatan Dokter Pasca Internsip. Konsil

    Kedokteran Indonesia telah menerbitkan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No.

    1/KKI/Per/2010 tentang Registasi Dokter Program Internsip. Komite Internsip Dokter

    Indonesia sebagai Pelaksana Program Internsip Dokter telah diangkat dan ditetapkan

    melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:

    138/Menkes/SK/I/2011 tentang Komite Internsip Dokter Indonesia. Kemudian, legalaspek pelaksanaan internsip ini diperkuat dengan ditetapkannya Undang-Undang No.20

    tentang Pendidikan Kedokteran.

    Dalam UU Dikdok disebutkan bahwa program profesi dokter dan profesi

    dokter gigi dilanjutkan dengan program internsip(Pasal 7 ayat (7)). Yang dimaksud

    dengan internsip adalah pemahiran dan pemandirian Dokter yang merupakan

    bagian dari program penempatan wajib sementara, paling lama 1 (satu) tahun. Di

    beberapa negara Eropa program internship berlangsung selama 2 sd 3 tahun setelah

    lulus pendidikan dokter. Di Indonesia secara resmi program ini telah dibahas dan

    disepakati oleh Kementerian Kesehatan, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), IkatanDokter Indonesia (IDI) dan Kementerian Pendidikan Nasional sejak tahun 2008.

    Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI) dilaksanakan selama 1 (satu) tahun, yaitu 8

    bulan di Rumah Sakit dan 4 bulan di Puskesmas.

    Sepanjang kurun waktu 2010 sampai dengan Agustus 2013 sebanyak 9.275

    dokter dari 39 Fakultas Kedokteran telah melaksanakan PIDI. Saat ini 4.774 dokter

    yang berasal dari 39 Fakultas Kedokteran baik pemerintah maupun swasta sedang

    melaksanakan PIDI dengan melibatkan 1.509 dokter pendamping di 429 Rumah Sakit

    dan 598 Puskesmas di 26 Propinsi yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau,

    Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI

    Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan,

    Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua.

    Pasal 38 ayat (2) UU Dikdok menyebutkan bahwa penempatan wajib sementara

    pada Program Internsip dihitung sebagai masa kerja merupakan dasar hukum Internsip.

    Karenanya, peserta PIDI dalam melaksanakan kinerja sebagaimana tugas dan fungsi

    dokter pada wahana RS dan Puskemas, memperoleh imbalalan sebagai penunjang

    kebutuhan hidupnya yang diberikan dalam bantuk bantuan Biaya Hidup (BBH) sebesar

    Rp. 1.200.000,-/bulan. Pada tanggal 23 Oktober 2013, Kementerian Keuangan atas

    persetujuan Komisi IX DPR RI telah menetapkan kenaikan BBH menjadi Rp.2.500.000

    per bulan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

  • 8/10/2019 IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN

    12/19

    11

    E. Program Dokter Spesialis-Subspesialis

    Pendidikan Kedokteran juga mengakomodasi mengenai ketersediaan dokter-

    dokter hingga ke perifer Indonesia. Hal ini dapat menyeimbangkan persebaran institusi

    pendidikan kedokteran yang belum merata dan terpusat di Pulau Jawa. Ketersediaan

    dokter di puskesmas-puskesmas hingga ke pelosok pada akhirnya akan menjamin

    terciptanya kualitas kesehatan primer yang baik di Indonesia.

    UU Dikdok ini mendukung terciptanya kualitas pendidikan kedokteran yang

    lebih baik dengan menunjang kebutuhan proses pembelajaran, seperti mengatur adanya

    dosen berlatar belakang klinis dan kejelasan status spesialis-subspesialis. Program

    dokter spesialis-subspesialis ini termasuk dalam Pendidikan Profesi sebagaimana yang

    disebutkan dalam Pasal 7 ayat (5). Adapun, pada Pasal 8 ayat (1) menyebutkan bahwa

    program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi

    spesialis-subspesialis dapat diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran dan Fakultas

    Kedokteran Gigi yang memiliki akreditasi kategori tertinggi untuk program studikedokteran dan program studi kedokteran gigi.

    Dokter yang akan mengikuti seleksi penerimaan Mahasiswa program dokter

    layanan primer dan dokter spesialis-subspesialis serta Dokter Gigi yang akan

    mengikuti seleksi penerimaan Mahasiswa program dokter gigi spesialis-subspesialis

    harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

    a. memiliki surat tanda registrasi; dan

    b. mempunyai pengalaman klinis di fasilitas pelayanan kesehatan terutama di daerah

    terpencil, terdepan/terluar, tertinggal, perbatasan, atau kepulauan (Pasal 28 ayat (2)).

    Dalam penyelenggaraan program dokter spesialis-subspesialis dan dokter gigispesialis-subspesialis, FK dan FKG dapat mendidik mahasiswa program tersebut di

    Rumah Sakit Pendidikan dan/atau di Wahana Pendidikan Kedokteran.

    Pada Pasal 19

    ayat (2) disebutkan bahwamahasiswa program dokter layanan primer, dokter spesialis-

    subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis dalam tahap mandiri pendidikan

    dapat ditempatkan di rumah sakit selain Rumah Sakit Pendidikan setelah dilakukan

    visitasi.

    Yang dimaksud dengan tahap mandiritersebut adalah tahap pendidikan setelah

    memperoleh kompetensi tertentu yang dibutuhkan. Sementara visitasi adalah

    kunjungan yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran ke rumah sakit selain Rumah Sakit

    Pendidikan untuk menilai kelaikan rumah sakit tersebut sebagai tempat pemahiran

    mahasiswa program dokter spesialis-subspesialis. Adapun. Rumah Sakit selain Rumah

    Sakit Pendidikan adalah rumah sakit yang tidak memiliki dokter spesialis dengan

    tujuan untuk keperluan afirmasi pemenuhan kebutuhan dokter spesialis. Penempatan

    mahasiswa program pendidikan dokter spesialis-subspesialis tahap mandiri untuk

    kompetensi tertentu, bertujuan meningkatkan pemahiran dan pemerataan pelayanan

    spesialistik.

  • 8/10/2019 IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN

    13/19

    12

    F. Pendanaan Pendidikan Kedokteran

    Pendanaan pendidikan kedokteran tidak hanya ditanggung oleh satu pihak saja,

    melainkan merupakan tanggung jawab beberapa pihak sebagaimana yang dicantumkan

    dalam Pasal 48UU Dikdok:

    (1)

    Pendanaan Pendidikan Kedokteran menjadi tanggung jawab bersama antara

    Pemerintah, Pemerintah Daerah, Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran Gigi,

    Rumah Sakit Pendidikan, dan masyarakat.

    (2) Pendanaan Pendidikan Kedokteran yang menjadi tanggung jawab Pemerintah dan

    Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam

    anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja

    daerah provinsi dan kabupaten/kota.

    (3) Pendanaan Pendidikan Kedokteran yang menjadi tanggung jawab Fakultas

    Kedokteran, Fakultas Kedokteran Gigi, dan Rumah Sakit Pendidikan sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1) dapat diperoleh dari kerja sama pendidikan, penelitian, danpelayanan kepada masyarakat.

    (4) Pendanaan Pendidikan Kedokteran yang diperoleh dari masyarakat sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk: hibah; zakat; wakaf; dan

    bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    KEBERPIHAKAN TERHADAP KELOMPOK KURANG MAMPU DAN

    DAERAH TERLUAR

    UU Dikdok ini menunjukan adanya keberpihakan, baik terhadap kelompok

    kurang mampu, maupun kepada calon mahasiswa yang berasal dari daerah terluar,

    terpencil, tertinggal, atau perbatasan/kepulauan. Misalnya saja dengan adanya prinsip

    afirmatif yang melandasi pendidikan kedokteran melalui UU Dikdok ini. Selain itu,

    biaya pendidikan kedokteran yang memberatkan bagi sebagian besar calon mahasiswa

    di Indonesia dapat diminimalisir dengan adanya beasiswa yang ditawarkan kepada

    mereka. Menurut Pasal 32, mahasiswa dapat memperoleh beasiswa dan/atau bantuan

    biaya pendidikan, yang dapat bersumber dari: Pemerintah; Pemerintah Daerah; Fakultas

    Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi; atau pihak lain.

    Berdasarkan Pasal 33, beasiswa yang bersumber dari Pemerintah diberikankepada mahasiswa dengan kewajiban ikatan dinas untuk ditempatkan di seluruh wilayah

    NKRI. Sementara yang bersumber dari Pemerintah Daerah diberikan kepada Mahasiswa

    dengan kewajiban ikatan dinas untuk daerahnya. Bantuan biaya pendidikan yang

    bersumber dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah diberikan kepada mahasiswa tanpa

    kewajiban mengikat dalam rangka memenuhi program afirmasi. Kemudian, diberikan

    dengan pertimbangan prestasi dan/atau potensi akademik.

    Selain itu, pada Pasal 56 juga disebutkan bahwa Pemerintah Daerah dapat

    memberikan beasiswa khusus dan bantuan biaya pendidikan kepada Mahasiswa yang

    berasal dari daerahnya dan/atau yang mendapat tugas belajar berdasarkan kuota nasional

    yang diberikan Fakultas Kedokteran dan/atau Fakultas Kedokteran Gigi. Beasiswa

  • 8/10/2019 IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN

    14/19

    13

    khusus tersebut adalah beasiswa yang diberikan kepada Mahasiswa yang lahir di daerah

    tertentu, menyelesaikan pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah di

    daerah kelahirannya, dan setelah lulus.

    IMPLIKASI UU DIKDOK TERHADAP UU BPJS DI INDONESIA

    Program Dokter Layanan Primer (DLP)

    Dalam Pasal 8UU Dikdok disebutkan bahwa:

    (1) Program dokter layanan primer, dokter spesialis- subspesialis, dan dokter gigi

    spesialis-subspesialis hanya dapat diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran dan

    Fakultas Kedokteran Gigi yang memiliki akreditasi kategori tertinggi.

    (2)

    Dalam hal mempercepat terpenuhinya kebutuhan dokter layanan primer, FakultasKedokteran dengan akreditas kategori tertinggi tersebut dapat bekerja sama dengan

    Fakultas Kedokteran yang akreditasinya setingkat lebih rendah dalam menjalankan

    program dokter layanan primer.

    (3) Program dokter layanan primer merupakan kelanjutan dari program profesi

    dokter dan program internship yang setara dengan program dokter spesialis.

    (4) Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi dalam menyelenggarakan

    program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi

    spesialis-subspesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan

    Organisasi Profesi.

    (5)

    Ketentuan lebih lanjut mengenai Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran

    Gigi yang menyelenggarakan program dokter layanan primer, dokter spesialis-

    subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis sebagaimana dimaksud pada

    ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Menteri.

    Dokter Layanan Primer (DLP) bukan berarti program studi khusus, tapi

    merupakan program lanjutan dari profesi dokter. Ide awal DLP adalah untuk menjamin

    dokter yang bekerja di layanan primer mampu menangani kasus. DLP adalah dokter

    yang ditambah kompetensi khusus, sehingga levelnya setara spesialis, namun bukan

    spesialis. Program DLP ditujukan untuk memenuhi kualifikasi sebagai pelaku awal padalayanan kesehatan tingkat pertama, melakukan penapisan rujukan tingkat pertama ke

    tingkat kedua, dan melakukan kendali mutu serta kendali biaya sesuai dengan standar

    kompetensi dokter dalam sistem jaminan kesehatan nasional. Secara aturan

    perundangan, konsep DLP sudah siap, namun belum tertulis dalam suatu peraturan

    khusus. Karenanya, perlu peraturan khusus untuk dokter yang memberikan layanan

    primer serta bagaimana keterlibatan mahasiswa dalam pelayanan primer tersebut. Akan

    ada aturan konversi terhadap dokter yang ada saat ini untuk melakukan layanan primer

    (Kesepakatan terkait mekanisme konversi perlu dibicarakan lebih lanjut antara

    organisasi profesi dan asosiasi institusi pendidikan).

  • 8/10/2019 IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN

    15/19

    14

    DLP harus mampu menangani hampir semua kasus di masyarakat. Waktu

    pendidikan untuk meghasilkan DLP lebih panjang. DLP tidak menghilangkan posisi

    DPU. Pada dasarnya pengembangan DLP merupakan tanggung jawab bersama. DLP

    dibutuhkan oleh pengguna (kemkes) untuk memberikan kualitas layanan terbaik kepada

    masyarakat. Amanah pengembangan DLP dalam UU Dikdok ini sejalan dengan UU

    Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional

    (JKN). Penerapan JKN menggunakan pola rujukan berjenjang yang dimulai dari sistem

    layanan primer hingga tersier. Layanan primer terdiri atas puskemas, klinik pratama,

    dan dokter praktek pribadi beserta jejaringnya. Sistem layanan primer ini mencakup 144

    macam diagnosis dengan alur klinis (clinical pathway) yang sudah disusun organisasi

    profesi terkait. Bila diagnosis ternyata di luar alur klinis yang dirancang, maka pasien

    akan dirujuk ke sistem layanan sekunder. Dengan diimplementasikannya JKN pada

    tahun 2014 ini, dokter layanan primer ini akan menjadi andalan bagi masyarakat.

    IMPLIKASI UU DIKDOK TERHADAP TENAGA PENGAJAR DAN

    MAHASISWA

    A. Implikasi UU Dikdok terhadap Tenaga Pengajar

    Dosen Kedokteran yang selanjutnya disebut Dosen adalahpendidik profesional

    dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan

    menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi, humaniora kesehatan, dan/atau

    keterampilan klinis melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat

    (Pasal 1). Dosen diangkat dan diberhentikan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 20)

    yang dilakukan dengan persetujuan pejabat berwenang dari kementerian yang

    menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan. Dosen sebagaimana

    dimaksud tersebut mengampu kelompok keilmuan biomedis, kedokteran klinis,

    bioetika/humaniora kesehatan, ilmu pendidikan kedokteran, serta kedokteran komunitas

    dan kesehatan masyarakat

    Berdasarkan Pasal 21 dosen dapat berasal dari perguruan tinggi, Rumah Sakit

    Pendidikan, dan Wahana Pendidikan Kedokteran. Dosen di Rumah Sakit Pendidikan

    dan Wahana Pendidikan Kedokteran melakukan pendidikan, penelitian, pengabdian

    kepada masyarakat, dan pelayanan kesehatan. Dengan adanya UU Dikdok, dosen di

    Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana Pendidikan Kedokteran memiliki kesetaraan,

    pengakuan, dan angka kredit yang memperhitungkan kegiatan pelayanan kesehatan.

    Peraturan pelaksanaan mengenai perubahan dokter pendidik klinis menjadi Dosen wajib

    disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lama 2 (dua) tahun sejak

    Undang-Undang ini diundangkan (Pasal 61).

    Untuk menjamin pemerataan kesempatan memperoleh peningkatan kualifikasi

    dan kompetensi dosen dan/atau tenaga kependidikan maka mereka juga berhak

    memperoleh beasiswa dan/atau bantuan biaya pendidikan sebagaimana yang disebutkan

    dalam Pasal 34. Adapun beasiswa dan/ atau bantuan biaya pendidikan tersebut

  • 8/10/2019 IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN

    16/19

    15

    diberikan dalam bentuk ikatan dinas yang dapat bersumber dari: Pemerintah;

    Pemerintah Daerah; Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi; atau pihak

    lain.

    B. Implikasi UU Dikdok terhadap Mahasiswa

    Implikasi UU Dikdok juga dirasakan bagi calon mahasiswa maupun mahasiwa.

    Bagi calon mahasiswa UU Dikdok ini mengatur mengenai seleksi penerimaan mereka

    mengingat pendidikan kedokteran yang berkualitas bergantung pada kualitas

    mahasiwanya juga. Pada Pasal 27 disebutkan bahwa Calon Mahasiswa harus lulus

    seleksi penerimaan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Selain itu,

    calon mahasiswa harus lulus tes bakat dan tes kepribadian. Dengan adanya seleksi

    pernerimaan calon mahasiswa ini diharapkan dapat menjamin adanya kesempatan bagi

    calon mahasiswa dari daerah sesuai dengan kebutuhan daerahnya, kesetaraan gender,dan kondisi masyarakat yang berpenghasilan rendah. Seleksi penerimaan ini juga

    dimungkinkan untuk dilakukan melalui jalur khusus guna menjamin pemerataan

    penyebaran lulusan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketentuan

    lebih lanjut mengenai seleksi penerimaan calon Mahasiswa ini diatur dalam Peraturan

    Menteri.

    Sementara itu implikasi bagi Mahasiwa adalah dalam menyelesaikan program

    studinya sampai menjadi dokter. Pasal 36 menyebutkan bahwa untuk menyelesaikan

    program profesi dokter atau dokter gigi, mahasiswa harus lulus uji kompetensi yang

    bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai Dokter atau Dokter Gigi.

    Kemudian Pasal 38 menyebutkan bahwa Mahasiswa yang telah lulus dan telah

    mengangkat sumpah sebagai Dokter atau Dokter Gigi harus mengikuti program

    internsip yang merupakan bagian dari penempatan wajib sementara. Sementara itu,

    mahasiswa program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter

    gigi spesialis-subspesialis harus mengikuti uji kompetensi dokter layanan primer, dokter

    spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis yang bersifat nasional

    dalam rangka memberi pengakuan pencapaian kompetensi profesi dokter layanan

    primer, dokter spesialis-subspesialis dan dokter gigi spesialis-subspesialis (Pasal 39).

    PENUTUP

    UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran menciptakan warna baru

    dalam dunia pendidikan kedokteran di Indonesia. Dengan adanya UU Dikdok ini

    diharapkan stigma pendidikan kedokteran yang mahal tidak ada lagi karena pendanaan

    pendidikan kedokteran menjadi tanggung jawab bersama, diantaranya oleh Pemerintah

    dan Pemerintah Daerah melalui alokasi dalam APBN dan APBD. Selain itu, adanya

    beasiswa/bantuan biaya pendidikan memberikan kesempatan bagi calon mahasiwa yang

    kurang mampu namun cerdas sehingga dapat menempuh pendidikan kedokteran.

  • 8/10/2019 IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN

    17/19

    16

    Kemudian, permasalahan menyangkut tidak meratanya persebaran jumlah

    tenaga dokter di seluruh wilayah Indonesia dapat diatasi melalui prinsip afirmatif dalam

    penyelenggaraan pendidikan kedokteran. Selain itu juga diharapkan dapat diatasi

    dengan adanya penetapan kuota penerimaan mahasiswa sebagaimana yang diatur

    dalam UU Dikdok. Kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang tentunya

    berkaitan dengan kualitas tenaga dokter di Indonesia masih dinilai kurang baik. Kualitas

    tenaga dokter ini dengan adanya UU Dikdok diharapkan dapat meningkat seiring

    dengan adanya legalisasi bagi seleksi penerimaan calon mahasiswa, pelaksanaan uji

    kompetensi bagi lulusan dokter, standarisasi kualitas pendidikan kedokteran, dan

    program internship. UU Dikdok ini tidak dapat dipungkiri berimplikasi pada tenaga

    pengajar maupun mahasiswa dalam pendidikan kedokteran.

    Implikasi lainnya adalah terhadap UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

    (BPJS) dimana pada awal tahun 2014 ini, Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

    sudah mulai diimplementasikan. Amanah pengembangan Dokter Layanan Prima (DLP)dalam UU Dikdok sejalan dengan UU BPJS dan JKN. Penerapan JKN yang

    menggunakan pola rujukan berjenjang dimulai dari sistem layanan primer hingga tersier

    akan menmbuat DLP menjadi garda terdepan dalam melakukan pelayanan kesehatan

    kepada masyarakat. Dengan demikian, kehadiran UU Dikdok ini diharapkan dapat

    membuat pelayanan kesehatan di Indonesia semakin berkualitas seiring dengan

    peningkatan kualitas tenaga dokter.

    BIOGRAFI

  • 8/10/2019 IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN

    18/19

    17

    dr Ahmad Nizar Shihab, Sp.An adalah seorang dokter

    spesialis anestesiologi. Beliau lahir pada tanggal 5

    Desember 1950 di Makassar. Setelah lulus di Fakultas

    Kedokteran Universitas Hasanuddin, beliau memulaipengabdiannya sebagai dokter Inpres (wajib kerja sarjana)

    di Puskesmas Panakkukang, Sulawesi Selatan. Selanjutnya

    melanjutkan Pendidikan Spesialis Anestesiology di

    Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan untuk

    kedua kalinya bertugas sebagai dokter Inpres (wajib kerja

    sarjana) di bagian Anestesiologi Rumah Sakit Doris

    Sylvanus, Palangkaraya (Kalimantan Tengah). Pengabdian

    selanjutnya, di RS Fatmawati. Kemudian beliau dipercaya

    sebagai Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Kebijakan Politik (2004 - 2009), Ketua

    Tim Percepatan Pembangunan Kesehatan Propinsi Papua dan Papua Barat dan menjadi

    Anggota DPR RI Periode 2009-2014 di Komisi IX yaitu komisi yang membidangiKesehatan, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi. Selain menempuh pendidikan dalam

    negeri, Beliau mendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan di luar negeri yaitu

    Training Pain Management, Department of Anesthesiology, Temple University,

    Philadelphia, USA dan Visiting Scholar, Department of Health Law & Policy, Faculty

    of Law, Loyola University, Chicago, USA.

    Beliau aktif dalam sejumlah organisasi. Saat ini beliau adalah Anggota Dewan

    Pembina Partai Demokrat. Beliau juga anggota dewan pakar dari Ikatan Dokter

    Indonesia (IDI). Selain itu, beliau juga aktif dalam kegiatan nasional dan internasional

    terkait dengan isu pembangunan dan kependudukan serta menjabat sebagai Ketua

    Forum Parlemen untuk Kependudukan dan Pembangunan (Indonesia Forum of

    Parliamentarians on Population and Development). Beliau juga aktif dalam kegiatan

    sosial untuk pencegahan kebutaan pada anak sebagai Ketua Yayasan Peduli

    Kemanusiaan (YPK) dengan menggandeng beberapa instansi dan bekerja sama dengan

    ikatan refraksionis optician Indonesia. Selama enam tahun ini telah memeriksa

    ketajaman penglihatan kurang lebih lima ratus ribu anak SD dan SMP dan memberi

    kacamata gratis pada anak-anak yang membutuhkan kurang lebih tujuh puluh ribu

    kacamata di seluruh Indonesia. Selain itu, saat ini Beliau aktif untuk menginisiasi

    Yayasan Clubfoot Ponsetti Indonesia untuk mengoreksi cacat bawaan pada kaki (club

    foot) dengan bekerja sama dengan dokter ahli bedah tulang.

    Dalam memenuhi tugas legislasi di DPR RI, dr. Ahmad Nizar Shihab, Sp.An,

    yang ketika waktu tersebut menjabat Wakil Ketua Komisi IX, dipercaya sebagai KetuaPansus RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Bersama dengan anggota

    pansus lainnya. Beliau berhasil mengantarkan RUU BPJS disahkan menjadi UU No 24

    Tahun 2011 tentang BPJS. Undang-Undang ini menjadi satu tahap dasar dalam

    implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional di Indonesia.

    Ayah penulis adalah Prof. Abdul Rahman Shihab, pendiri dan mantan Rektor

    Institut Agama Islam Negeri Alauddin Ujung Pandang (sekarang menjadi UIN Alauddin

    Ujung Pandang) dan Universitas Muslim Indonesia (UMI) Ujung Pandang. Penulis

    adalah anak kesembilan dari dua belas bersaudara yang umumnya adalah ulama, yaitu

    Ali Shihab, Prof. Dr. Umar Shihab, Prof. DR.Quraish Shihab, dan Prof. DR.Alwi

    Shihab, dan Abdul Muthalib Shihab, L.C.

  • 8/10/2019 IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN

    19/19

    18

    Penulis menikah dengan Soraya dan dikaruniai tiga orang anak yaitu Rifki

    Shihab, Msc (Lulus Bsc dan Msc Magna Cumlaude dari Temple University, USA dan

    sekarang aktif sebagai Dosen di Fakultas Ilmu Komputer UI), Raehana Shihab,

    Bsc.,M.Kom (Lulus Bsc Magna Cumlaude dari Brigham Young University USA dan

    Master Komunikasi di FISIP UI), Fachri Shihab (Mahasiswa di Jurusan ElectricalEngineering Brigham Young University). Ketiga putra penulis menempuh pendidikan di

    USA dengan mendapatkan beasiswa prestasi dari Universitas yang bersangkutan. Saat

    ini Penulis telah dikarunia seorang cucu bernama Aqila yang memiliki arti anak

    perempuan yang cerdas.