Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima
-
Upload
joko-jumadi -
Category
Documents
-
view
46 -
download
8
Transcript of Implementasi Restorative Justice Di Kota Bima
IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENANGANAN ANAK BERHADAPAN HUKUM
DI KOTA BIMA
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Selama tiga dasawarsa, masalah anak, baik sebagai pelaku
maupun korban kejahatan (kekerasan) dapat dikatakan kurang
mendapat perhatian dari pemerintah. Sebagai pelaku kejahatan
(kekerasan), melalui berbagai kegiatan ilmiah, sudah sering
diusulkan agar pemerintah menyusun kebijakan yang memberikan
perlindungan anak. Baru lima belas yang tahun yang lalu
pemerintah menetapkan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak. Di samping perlunya perlindungan hukum bagi anak pelaku
kejahatan (kekerasan), juga perlu adanya upaya perlindungan
hukum bagi anak korban kejahatan (kekerasan), pada tahun 2002
pemerintah telah mengesahkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dan yang paling baru adalah diundangkannya UU
No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)
mengantikan Undang-undang nomor 3 Tahun 1997 tentang
Peradilan Anak.
Salah satu hal baru yang diatur dalam Undang-undang 11
tahun 2012 adalah paradigma Restorative Justice. Restorative
Justice melalui diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara
Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan
pidana. Meskipun ketentuan tentang diversi merupakan hal yang
1
baru dan baru akan diberlakukan 2 (dua) tahun lagi seiring dengan
berlakunya UU no 11 Tahun 2012 sebagaimana diatur dalam pasal
108 UU No. 11 tahun 2012, namun sebenarnya pelaksanaan
Restorative Justice sudah lama dilaksanakan dan dikembangan oleh
berbagai pihak di Indonesia salah satunya adalah di Nusa Tenggara
Barat.
Model ini dikembangkan dengan harapan proses penyelesaian
kasus yang melibatkan anak, terutama anak sebagai pelaku tindak
pidana dapat melibatkan stakeholder dalam masyarakat (tokoh
masyarakat, tokoh agama, pendidik), aparat penegak hukum dan
korban serta keluarganya sehingga dapat dikatakan model yang
dikembangkan ini adalah penyelesaian kasus di luar pengadilan
dengan mengutamakan proses restorasi atau pemulihan bagi anak
baik korban maupun pelaku.
Fokus permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini
adalah Bagaimanakah implementasi program Restorative Justice
dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum di Kota
Bima Nusa Tenggara Barat
2. Metode Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi Kota Bima Propinsi Nusa
Tenggara Barat. Studi ini bertitik tolak pada ilmu hukum dengan
fokus kajian hukum sebagai hal empirik dan terekspresi dalam
tingkah laku. Suatu analisis hubungan antara hal-hal yang
normative dengan aktivitas-aktivitas social konkrit dengan
pendekatan “kasus” (trouble case method), bercorak kualitatif
2
(qualitative research). Penelitian kualitatif adalah dengan menunjuk
karakteritis dari data kualitatif yakni bersifat alamiah (sesuai
kodrat), variatif, memiliki kedalaman dan dalamnya informasi1.
Penelitian kualitatif mengunakan data berupa materi empiris
seperti kasus, pengalaman personal, wawancara, observasi,
catatan harian dan bigrafi yang semuanya menggambarkan
kejadian problematic dan bermakna dalam kehidupan. Materi
empiris penelitian ini adalah studi kasus. Menurut Yin studi kasus
merupakan : “…an empirical inquiry that investigates
accontemporary phenomenon within its real-life context, whe the
boundaries between phenomenon and contect are not clearly
evident, and in which multiple source of evidence are used..”2
Sedangkan Seltiz dkk menjelaskan bahwa yang dimaksud
studi kasus adalah : “…the intensive study of selected instance of
the phenomenon in which one is interested..”3
Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan studi kasus adalah penelitian yang dilakukan
untuk melihat kejadian yang dianggap menarik dalm konteks
kehidupan nyata. Focus untuk studi ini dapat berupa individu,
situasi atau kejadian, kelompok masyarakat.
Hasil akhir dari data yang dikumpulkan di lapangan,
merupakan temuan-temuan bersifat empiris, kesimpulan-
kesimpulan, argumentasi-argumentasi yang memberikan gambaran 1 Bencha Yoddumnem-attig, et.al. (ed), Field manual on selected qualitative research
methods, Thailand Institute for population and Social Research, Mehido University, 1991, hal. 11.2 RK. Yin, “Case Study Research”. Rev. ed. New Bury Park : CA Sage 1994. Page 123 C. Seltiz, et.al, “ Research Methods in Social Relation”, New York Harper and Row
Publisher, 1977 Page 60
3
secara utuh dari seluruh proses kajian yang menunjukan interelasi
antara berbagai fakta dengan konsep-konsep teoritik berkenaan
dengan obyek studi.
3. Kerangka Teori
Penelitian ini memfokuskan kepada masalah anak berhadapan
dengan hukum dan penangulangannya di masyarakat, untuk itu
segala sesuatunya dimulai dari permasalahan yang ada di
masyarakat yaitu Anak Berhadapan dengan hukum (ABH) yang
kemudian masyarakat akan menangapinya dengan usaha-usaha
rasional dan terorganisir yang sering disebut dengan kebijakan
kriminal.
Kebijakan kriminal dalam geraknya di masyarakat dapat
dilakukan dengan mengunakan sarana hukum pidana (Penal Policy)
dan kebijakan yang tidak mengunakan hukum pidana (non penal
policy). Dua kebijakan ini bersifat saling menunjang dalam rangka
penangulangan ABH di masyarakat. Kebijakan penal terwujud lewat
norma-norma hukum yang kini berlaku (Ius Constitutum) dan norma
hukum yang dicita-citakan (Ius Constituendum). Sedangkan kajian
terhadap berlakunya hukum pidana dalam masyarakat dilakukan
lewat pemahaman terhadap hukum pidana yang operasional
diterapkan di masyarakat (Ius Operatum). Sedangkan kebijakan
nonpenal dalam penangulangan ABH di masyarakat sangat luas
lingkupnya, namun dalam penelitian ini memfokuskan pada upaya
Restorative Justice di dalam penanganan ABH. Kajian-kajian
4
nonpenal menyangkut Restorative Justice ini diperlukan sebagai
salah satu masukan dalam rangka perumusan norma-norma hukum
yang dicita-citakan. (Ius Constituendum).
Dalam kajian Kriminologis dikenal adanya 3 (tiga) model
peradilan anak, yaitu :
a. Model retributif (retributive model);b. Model pembinaan perorangan (individual treatment
model);c. Model restoratif (restorative model).4
Masing-masing model menunjukkan karakteristiknya sendiri-
sendiri. Menurut Karl O. Christiansen ada lima ciri pokok dalam
model retributif, yaitu:
a. The purpose of punishment is just retribution b. Just retribution is the ultimate aim, and not in itself a
means to any other aim, as for instance social welfare which from this point of view is without any significance whats over
c. Moral guilt is the only qualification for punishmentd. The penalty shall be proportional to teh moral guilt of the
offender e. Punishment point in the past, it is pure reproach, and it
purpose is not to improve.. Correct, educate or resocialize the offender.5
Dalam model pembinaan perorangan, persidangan anak dili-
hat sebagai satu agensi quasi kesejahteraan dengan mandat peradi-
lan yang samar-samar, pembinaan dilaksanakan pada asumsi model
medik terapeutik, tentang sebab-sebab timbulnya delinkuensi anak.
4 Opcit, hlm. 265 Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Nusa Media, 2010,
hlm.811. Tujuan hukuman adalah pembalasan2. Sebagai tujuan akhirnya adalah pembalasan, dan tidak ada tujuan lainnya, seperti
untuk kesejahteraan sosial misalnya, dari sudut pandang ini tidaklah mempunyai arti 3. Adanya rasa bersalah adalah sebagai kualifikasi untuk menjatuhkan hukuman
4. Hukuman tersebut harus sebanding sebagai tanggungjawab moral bersalahnya pelaku5. Di masa lalu maksud hukuman adalah sebagai celaan, dan bertujuan bukan untuk
memperbaiki secara benar, mendidik atau sebagai resosialisasi pelaku
5
Atas dasar asumsi tersebut, delinkuensi anak dipandang sebagai
simptomatik dan gangguan, dan hakikat serta tingkat keseriusannya
dilihat tidak lebih sebagai persoalan yang membutuhkan pelayanan
terapeutik untuk mengoreksi gangguan-gangguan yang ada se-
belumnya.
Menurut Gordon Bazemore, model pembinaan pelaku per-
orangan di negara-negara Eropa dikenal sebagai “Model Kesejahter-
aan Anak”, berdasarkan cara pandang bahwa kejahatan atau
delinkuensi anak tidak dipertimbangkan atau dihadapkan pada
perangkat nilai, melainkan lebih diilihat sebagai tanda fungsional-
nya sosialisasi. Intervensi adalah sarana untuk mencoba meralat
perilaku penyimpangan sosial lewat pemberian sanksi terhadap
masalah personal seseorang dan kebutuhan pembinaan anak
pelaku delinkuen.6
Gordon Bazemore menyebutkan, pengaplikasian model
tersebut melahirkan sejumlah kritik yang berkenaan dengan :
a. Pemberian legitimasi baru pada pidana yang menjadi kepentingannya, kebijakan retributif memberikan sinyal pada penuntut umum dan pembuat keputusan lainnya bahwa itulah jalan terbaik dan tepat untuk memberikan reaksi pada pelaku delinkuensi anak;
b. Penempatan secara setingkat sanksi punitif dengan pemberian penderitaan bagi pelaku, legitimasi penghukuman retributif melahirkan semacam pembenaran penjatuhan pidana yang lebih berat lagi apabila ternyata tingkatan pidana yang ada tidak mencapai tujuan yang ingin dicapai.7
6 Ibid, hlm. 287 Gordon Bazemore, Three Paradigms for juvenile Justice”, dalam Restorative Justice :
International, Perspective, Burt Galaway & Joe Hudson (ed) , Amsterdam : Kluger Publications, 1997, p. 42
6
Selanjutnya Bazemore mengusulkan perlunya pergeseran
menuju pendekatan restoratif dalam peradilan anak. Para
profesional peradilan anak seyogyanya menyadari bahwa telah
terjadinya peningkatan dominasi paradigma retributif, semakin
melemahnya paradigma pembinaan pelaku. Pidana mungkin saja
dapat memuaskan kepentingan publik akan pengimbalan, namun
harus dipertimbangkan bahwa hal itu pun dapat bersifat “counter-
deterrent”.
Pidana dapat berakibat merosotnya pengendalian diri (self-
restraint), stigmatisasi atas diri anak pelaku delinkuen,
memperlemah ikatan konvensional dan hubungan kekeluargaan
dalam masyarakat, mencabik-cabik hubungan konvensional antar
kelompok sebaya (peer-group), serta mendorong pelaku delinkuen
hanya memikirkan diri sendiri daripada terhadap korbannya.
Sementara pembinaan pelaku disikapi sebagai program peradilan
anak yang hanya berorientasi pada pelaku, di dalamnya hanya
terkandung sedikit kesan sebagai upaya pengkomunikasian pada
pelaku bahwa perbuatannya telah melukai pihak lain, untuk itu ia
harus menyembuhkan luka itu dengan cara menerima “sanksi”
yang diperuntukkan baginya.8
Menurut Gordon Bazemore, pokok-pokok pemikiran dalam
paradigma peradilan anak Restoratif (restorative paradigm) sebagai
berikut:
(a) Tujuan Penjatuhan Sanksi :
8 Ibid
7
Ada asumsi bahwa dalam mencapai tujuan penjatuhan sanksi, maka korban diikutsertakan untuk berhak aktif terlibat dalam proses peradilan. Indikator pencapaian tujaun penjatuhan sanksi tercapai dengan dilihat pada apakah korban telah direstorasi, kepuasan korban, besarnya ganti rugi, kesadaran pelaku atas perbuatannya, jumlah kesepakataan perbaikan yang dibuat, kualitas pelayanan kerja dan keseluruhan proses yang terjadi. Bentuk-bentuk sanksi yaitu restitusi, mediasi pelaku, korban, pelayanan korban, resstorasi masyarakat, pelayanan langsung pada korban atau denda restoratif.Dalam penjatuhan sanksi mengikut sertakan pelaku, korban, masyarakat daan para penegak hukum secara aktif. Pelaku bekerja aktif untuk merestorasi kerugian korban, dan menghadapi korban/ wakil korban. Korban aktif dalam semua tahapan proses dan akan membantu dalam penentuan sanksi bagi si pelaku. Masyarakat terlibat sebagai mediator, membantu korban dan mendukung pemenuhan kewajiban pelaku. Penegak hukum memfaasilitasi berlangsungnya mediasi.
(b)Rehabilitasi Pelaku :Fokus utama peradilan restoratif untuk kepentingan dan membangun secara positif, maka anak dan keluarga merupakan sumber utama. Anak dianggap berkompeten dan mempunyai kemampuan positif, bersifat preventif dan proaktif. Untuk kepentingan rehabilitasi pelaku diperlukan perubahan sikap lembaga kemasyarakatan dan perilaku orang dewasa. Rehabilitasi pelaku dilakukan dengan pelaku yang bersifat learning by doing, konseling dan terapi untuk memotivasi keterlibatan aktif para pihak.
(c) Aspek Perlindungan Masyarakat :Asumsi dalam peradilan restoratif tentang tercapainya perlindunggan masyarakat dengan upaya kolaborasi sistem peradilan dan masyarakat untuk mengembangkan pencegahan. Penyekapan dibatasi hanya sebagai upaya terakhir. Masyarakat bertanggungjawab aktif mendukung terselenggaranya restorasi. Indikator tercapainya restorasi perlindungan masyarakat apabila angka residivis turun, dan pelaku berada di bawah pengawasan masyarakat, masyarakat merasa aman dan yakin atas peran sistem peradilan anak, melibatkan sekolah, keluarga dan lembaga kemasyarakatan untuk mencegah terjadinya kejahatan; ikatan sosial dan re-integrasi meningkat.9
Ciri pembeda model restoratif dengan model-model se-
belumnya terletak pada caranya memandang perilaku delinkuensi 9 Ibid
8
anak. Menurut model restoratif, perilaku delinkuensi anak adalah
perilaku yang merugikan korban dan masyarakat. Tanggapan
peradilan restoratif terhadap delinkuensi terarah pada masyarakat.
Peradilan Restoratif tidak bersifat punitif, juga tidak ringan sifatnya.
Tujuan utamanya adalah perbaikan luka yang diakibatkan perbu-
atannya, dan konsiliasi serta rekonsiliasi di kalangan korban, pelaku,
dan masyarakat. Peradilan Restoratif juga berkehendak merestorasi
kesejahteraan masyarakat melalui cara-cara menghadapkan peri-
laku anak pada pertanggungjawaban atas perilakunya. Korban
diberi kesempatan untuk berperan serta dalam proses. Menurut
Braithwaite mengungkapkan cara-cara seperti itu melahirkan
perasaan malu dan pertanggungjawaban personal dan keluarga
atas perbuatan salah mereka untuk diperbaiki secara memadai.10
Menurut Frank E. Hagan, peradilan restoratif telah berkem-
bang dari sebuah konsep yang begitu sedikit diketahui menjadi isti-
lah yang digunakan secara luas tapi dengan cara yang berbeda.
Tidak ada keraguan tentang daya tariknya, meskipun menggunakan
berbagai variasi istilah yang menyebabkan kebingungan. Istilah
payung "Keadilan Restoratif" telah diterapkan untuk berinisiatif di-
identifikasi sebagai restoratif oleh beberapa orang tapi tidak bagi
orang lain. Contohnya adalah pemberitahuan hukum bagi pelanggar
seks, dampak pernyataan korban, dan korban pembunuhan mem-
punyai "hak" untuk hadir dalam eksekusi. Sebagian besar pen-
10 John Braithwite, Restorative Justice : Assessing an Immodest Theory and a Pessimistic Theory Draft to be summited to Crime and Justice : Review of Research, University of Chicago, Press, p. 5
9
dukung keadilan restoratif setuju bahwa dalam proses tersebut
melibatkan lima prinsip dasar:
a. Kejahatan bukan sekedar dari pelanggaran hukum pidana dan penyimpangan terhadap kekuasaan pemerintah.
b. Kejahatan mengakibatkan gangguan dalam hubungan tiga dimensi antara korban, masyarakat, dan pelaku.
c. Karena kejahatan itu merugikan para korban dan masyarakat, tujuan utama seharusnya memperbaiki kerusakan dan menyembuhkan korban dan masyarakat.
d. Korban, masyarakat, dan pelaku semua harus berpartisi-pasi dalam menentukan respon terhadap kejahatan; pe-merintah harus menyerahkan kewenangan atas proses tersebut.
e. Disposisi kasus harus didasarkan terutama pada kebutuhan korban bukan semata-mata pada kebutuhan pelaku atau kesalahan, adanya bahaya, atau sejarahnya.11
Tujuan sebenarnya keadilan restoratif adalah untuk
mengembalikan keselarasan antara korban dan pelaku. Bagi
korban, hal ini berarti kerugian fisik dan kerugian psikhis . Bagi
pelaku, hal itu berarti mengambil tanggung jawab, menghadapi rasa
malu, dan mendapatkan kembali martabatnya. Gagasan ini telah
berkembang, dengan pesat.12 Gagasan ini telah berkembang,
dengan perkembangan konseptual besar yang baru yaitu
penggabungan peran masyarakat.
Banyak orang masih mengaitkan keadilan restoratif
terutama dengan mediasi korban-pelaku atau lebih luas lagi (tapi
keliru), dengan korban yang berorientasi pada pelayanan.
Konseptualisasi yang lebih baru pelanggaran terjadi dalam tiga
dimensi hubungan yang dapat mengubah gerakan. Ketiga pihak
11 Frank E. Hagan, Criminology Today, Amerika Latin , Wadsworth Group, Thomson Learning, 2002, hlm. 184
12 Ibid
10
harus dapat berpartisipasi dalam membangun kembali hubungan
dan dalam menentukan respon terhadap kejahatan. Ciri khas adalah
langsung, tatap muka dialog di antara korban, pelaku, dan terutama
masyarakat.
Peradilan anak model restoratif juga berdasarkan pada
asumsi bahwa tanggapan atau reaksi terhadap perilaku delinkuensi
anak tidak efektif tanpa adanya kerjasama dan keterlibatan korban,
pelaku, dan masyarakat. Prinsip yang menjadi dasar adalah bahwa
keadilan paling baik terlayani apabila setiap pihak menerima
perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses
peradilan, dan memperoleh keuntungan secara memadai dari
interaksi mereka dengan sistem peradilan anak.
Helen Cowie dan Dawn Jeniffer, mengidentifikasikan aspek-
aspek utama peradilan restoratif sebagai berikut ;
1) Perbaikan, bukanlah tentang memperoleh kemenangan atau menerima kekalahan, tudingan, atau pembalasan dendam, tetapi tentang keadilan.
2) Pemulihan hubungan, bukan bersifat hukuman para pelaku kriminal memikul tanggungjawab atas kekliruan dan memperbaikinya dengan sejumlah cara, tetapi melalui proses komunikasi yang terbuka dan langsung, antara korban dan pelaku kriminal, yang berpotensi men-gubah cara berhubungan satu sama lain.
3) Reintegrasi, pada tingkatnya yang terluas, memberikan arena tempat anak dan orang tua dapat memperoleh proses yang adil. Maksudnya agar mereka belajar tentang konsekuensi kekerasan dan kriminalitas serta memahami dampak perilaku mereka terhadap orang lain.13
Jeff Christian menjelaskan lebih sederhana tentang perbe-
daan Retributive Justice dan Restorative Justice tersebut. Pada Re-
tributive Justice pelaku melawan negara/ ratu/ pemerintah, sedan-13 Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, Jakarta: Gramedia, 2010, hlm.203.
11
gkan Restorative Justice pelaku melawan korban, atau perlawanan
antar individu. Pada model retributif yang dipersoalkan adalah
bagaimana menghukum orang yang salah sehingga yang terjadi
adalah perang antar pengacara. Namun pada model restoratif yang
dipersoalkan adalah bagaimana menyelesaikan masalah sehingga
yang dibutuhkan adalah dialog dan kerjasama. 14 Restorative Justice
lebih pada upaya mencegah hal yang sama atas kejahatan-keja-
hatan pada masa yang akan datang.
Dalam model keadilan retributif tidak menjamin bahwa
hukuman yang diberikan akan menjamin kesalahan yang sama
tidak akan terulang. Pada model retributif stigma pelaku akan sulit
dibuang, bahkan dapat terjadi pelaku akan mendapatkan stigma/la-
bel selamanya dengan segala konsekuensinya dalam kehidupan,
sedangkan pada model restoratif masyarakat akan mudah melu-
pakannya. Model ini berupaya melakukan pemulihan hubungan an-
tara pelaku dan korban.
Menurut Muladi, dalam peradilan restoratif korban diperhi-
tungkan martabatnya. Pelaku harus bertanggungjawab dan diinte-
grasikan kembali ke dalam komunitasnya. Pelaku dan korban berke-
dudukan seimbang dan saling membutuhkan karena itu harus
dirukunkan.15 Baqir Manan berpandangan, bahwa dalam peradilan
restoratif, perkara harus diubah, bukan lagi demi kepentingan
ketertiban, melainkan demi kepentingan korban beserta pemulihan
segi materi dan psikhisnya. Intinya bagaimana menghindarkan 14 Ibid, hlm. 204.15 Muladi, Opcit, hlm. 27 – 29.
12
pelaku dari pemenjaraan, tetapi tetap bertanggungjawab. Perlu diu-
payakan pemberdayaan “sanksi” terhadap anak melalui peradilan
anak yang di dalamnya terkandung keterpaduan kepentingan (yang
bersifat struktural) pengintegrasian pelaku ke dalam masyarakatnya
pada satu pihak, dan pada pihak lain, pengembangan kemampuan
dan tanggungjawab pelaku secara penuh makna pada korbannya
sekaligus masyarakatnya, seperti yang dikemukakan Wilkins, bahwa
“it’s now generally accepted that the problem of crime can not be
simplified to the problem of criminal”.16
Anak pelaku delinkuen cenderung berada dalam posisi pasif,
kecil kesempatan untuk mengambil langkah aktif atas perilaku
delinkuen yang diperbuatnya atau langkah-langkah lain yang
berorientasi pada upaya konsiliasi, rehabilitasi atau reintegrasi.
Pidana ataupun pembinaan tidak mampu mempertemukan
kepentingan pelaku, masyarakat, keluarga dan korban. Peradilan
restoratif yang dilandaskan pada asumsi bahwa reaksi atas perilaku
delinkuensi tak akan efektif tanpa kerjasama dan keterlibatan dari
korban, pelaku dan masyarakat, dapat dipertimbangkan sebagai
upaya pemberdayaan “sanksi” di atas.
Model peradilan restoratif merupakan pengembangan model
peradilan anak yang lebih manusiawi, yaitu model ini menggeser
nilai filsafati penanganan anak dari penghukuman menuju
rekonsiliasi, pembalasan terhadap pelaku menuju penyembuhan
korban, pengasingan dan kekerasan menuju keperansertaan dan
16 Wilkins, L., 1997, Punishment, Crime and Market Force, Brookfiels, VT, Dartmouth Publishing, p. 312
13
kekerabatan masyarakat keseluruhan, destruktif yang negatif
menuju perbaikan, pemberian maaf yang sarat dengan limpahan
kasih. Model peradilan ini berusaha untuk memperbaiki insan
manusia anggota masyarakat dengan cara menghadapkan pelaku
delinkuen pada tanggungjawabnya terhadap korban. Korban yang
biasanya terabaikan dalam proses peradilan, diberikan kesempatan
untuk ikut berperanserta dalam proses peradilan.
Model ini telah dikembangkan di Australia dan New Zealand,
yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam Sistem peradilan
Pidana (SPP). Tidak hanya melibatkan korban dan pelaku tindak
pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan warga masyarakat lainnya,
pejabat tertentu (seperti polisi dan hakim anak) dan para
pendukung korban. Pelaku dan keluarganya diharapkan
menghasilkan kesepakatan yang komprehensif dan memuaskan
korban serta dapat membantu untuk menjaga si pelaku keluar dari
kesusahan/ persoalan berikutnya.
Selain proses peradilan, negosiasi dan mediasi adalah
bagian dari cara yang sering digunakan oleh masyarakat untuk
menyelesaikan sengketa dan permasalahan mereka dengan orang
lain. Mediasi merupakan salah satu dari bentuk ADR (Alternative
Dispute Resolution) yang sering digunakan sebagai salah satu
pilihan dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Menurut John W Head mediasi adalah ”suatu prosedure
penengah dimana seseorang bertindak sebagai kendaraan untuk
berkomunikasi antar para pihak, sehingga pandangan mereka yang
14
berbeda atas sengketa tersebut dapat dipahami dan mungkin
didamaikan, tetapi tanggungjawab utama tercapainya suatu
perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri.”17
Christopher W. Moore memberikan definisi tentang mediasi :
...” the intervention in a negotiation or a conflict of an acceptable third party party who has limited or no authoritative decision-making power but who assist the involved parties in voluntary reaching a mutually acceptable settlement of issues in dispute” 18
Definisi tersebut menegaskan hubungan antara mediasi dan
negosiasi, yaitu mediasi adalah sebuah intervensi terhadap proses
negosiasi yang dilakukan oleh pihak ke tiga. Pihak ke tiga memiliki
kewenangan terbatas (limited) atau sama sekali tidak memiliki
kewenangan untuk mengambil keputusan, yang membantu para
pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian sengketa yang
diterima oleh ke dua belah pihak.
Dalam ”International Penal reform Conference” yang
diselenggarakan di Royal Holloway College, University of London
pada tanggal 13 – 17 April 1999 dikemukakan bahwa salah satu
unsur kunci dari agenda baru pembaharuan hukum pidana (the key
elements of a new agenda for penal reform) ialah perlunya
memperkaya sistem peradilan pidana formal dengan sistem atau
mekanisme informal dalam penyelesaian sengketa yang sesuai
dengan standar-standar hak asasi manusia (the need to anrich the
formal judicial system with informal, locally based, dispute
17 Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2006, hlm. 120
18 Ibid, hlm. 121
15
resolution mechanism swich meet human rights standard).
Konferensi ini juga mengidentifikasikan 9 strategi pengembangan
dalam melakukan pembaharuan hukum pidana, yaitu
mengembangkan/ membangun :
1. Restorative justice2. Alternative dispute resolution.3. Informal Justice4. Alternatives to Custody5. Alternative ways of dealing with Juvenile6. Dealing with Violent Crime7. Reducing the prison population8. The proper Management of prisons9. The Role of civil society in penal reform
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka sudah
selayaknya apabila penanggulangan bagi pelaku delinkuensi anak
lebih mengedepankan langkah-langkah yang bersifat non-penal.
Mengembangkan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana
diperlukan pemahaman yang luas secara komprehensif dan
terpadu. Perlunya kesamaan pemahaman tentang arti kepentingan
terbaik bagi anak, sebab pengembangan hak-hak anak dalam
proses peradilan pidana adalah suatu hasil interaksi antara berbagai
fenomena yang ada dalam masyarakat serta terkait satu dengan
lainnya, baik secara individual maupun kelompok. Wujud dari suatu
keadilan adalah adanya keseimbangan antara pelaksanaan hak dan
kewajiban. Perlu diingat ketika anak sebagai pelaku tindak pidana
melaksanakan kewajiban dan haknya, maka diperlukan bantuan dan
perlindungan agar ada keseimbangan dan perlakuan yang
manusiawi.
Menurut Tony F.Marshall :
16
“Restorative justice is a problem solving approach to crime which involves the parties themselves and the community generally in an active relationship with statutory agencies, 19(yaitu bahwa peradilan restoratif adalah suatu pendekatan untuk memecahkan masalah kejahatan di antara para pihak, yaitu korban, pelaku dan masyarakat dalam suatu relasi yang aktif dengan aparat penegak hukum).
Selanjutnya dirumuskan suatu definisi tentang Restorative
Justice yang sudah bisa diterima di kalangan internasional :
Restorative Justice is a process where by parties with a stake in a specific offence collectively resolve how to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future. 20(peradilan restoratif adalah proses dimana semua pihak yang memiliki kepentingan dan yang terlibat dalam pelanggaran tersebut datang bersama-sama untuk menyelesaikan secara bersama bagaimana menangani setelah pelanggaran dan implikasinya untuk masa depan).
Prinsip-prinsip yang terdapat dalam peradilan restoratif yaitu
sebagai berikut :
a. Making room for the personal involvement of those mainly concerned (particularly the offender and the victim, but also their families and communities).( Membuat ruang bagi para pihak yang terlibat terutama bagi mereka yang berkaitan (yaitu pelaku dan korban, tetapi juga keluarga mereka dan masyarakat)
b. Seeing crime problems in their social context a forward looking (or preventative) problem solving orientation.( Meli-hat masalah kejahatan dalam konteks sosial mereka yang mencari untuk yang akan datang (atau preventif) dalam orientasi pemecahan masalah)
c. Flexibility of practice (creativity). Menyesuaikan dalam praktek (dapat dilakukan dengan kreativitas )21 .
Peradilan Restoratif adalah proses dimana pihak-pihak
berkepentingan, memecahkan bersama cara mencapai kesepakatan
pasca terjadi suatu tindak pidana, termasuk implikasinya di
19 Allison Morris, Gabrielle Maxwell, 2001, Restorative Justice for Juveniles, Conference Mediation and Circles, USA: Hart Publisihing, Oxford and Portland, Oregon, p.5
20 Ibid21 Ibid
17
kemudian hari.22 Zimring memaparkan dua justifikasi didirikannya
pengadilan anak, yakni justifikasi intervensionis dan justifikasi
diversionaris. Justifikasi diversionaris merupakan argumen bahwa
pengadilan anak memberikan kebaikan bagi anak, karena
menimbulkan lebih sedikit kerugian dibandingkan proses pengadilan
biasa, sedangkan para pendukung justifikasi intervensionis
menekankan pada hal-hal baik yang dapat dicapai oleh program-
program yang dilaksanakan oleh para ahli kesejahteraan anak.
Berbagai definisi tentang peradilan restoratif dapat
diklasifikasikan ke dalam kelompok yang sempit dan yang luas.
Definisi-definisi yang menggabungkan keduanya, dan salah satu
diantaranya dirumuskan Van Ness dari Kanada sebagai berikut:
Restorative Justice is a theory of justice that emphasizes repairing the harm caused or revealed by criminal behaviour. It is best accomplished through inclusive and cooperative process. Peradilan restoratif adalah teori keadilan yang mengutamakan pemulihan kerugian akibat perilaku jahat, dimana pemulihannya tuntas melalui proses yang inklusif dan kooperatif.”23
Selanjutnya menurut Van Ness :
“... Not every constructive and progressive alternative to traditional interventions into crime and wrongdoing can be described as restorative justice. For such an alternative to be credibly described as restorative justice, it will usually have one or more of the following ingridients , which are presented in no particular order of importance :a. There will be some relatively informal process which aims to
involve victims , offenders and others closely connected to them or the crime in discussion of matters such as what happened, what harm has resulted and what should be done to repair that harm and, perhaps, to prevent further wrong doing or conflict.
22 Wahid, Eriyantow , Keadilan Restoratif, Dan Peradilan Konvensional Dalam Hukum Pidana, Jakarta, Universitas Trisakti, 2009, hlm.3
23 Ibid
18
b. There will be an emphasis on empowering (in a number of senses) ordinary people whose lives are affected by a crime or other wrongful act.
c. Some effort will be made by decision-makers or those facilitating decision-making processes to promote a response which is geared less towards stigmatizing and punishing the wrongdoer and more towards ensuring that wrongdoers recognize and meet a responsibility to make amends for the harm they have caused in a manner which directly benefits those harmed, as a first step towards their reintegration in to the community of law-abiding citizens.
d. Decision-makers or those facilitating decision-making will be concerned to ensure that the decision-making process and its outcome will be guided by certain principles or values which, in contemporary society, are widely regarded as desirable in any interaction between people, such as : respect should be shown for others; violence and coercion are to be avoided if possible and minimized if not; and inclusion is to be preferred to exclusion.
e. Decision-makers or those facilitating decision-making will devote significant attention to the injury done to the victims and to the needs that result from that, and to the victims and to the needs that result from that, and to tangible ways in which those needs can be addressed.
f. There will be some amphasis on strengthening or repairing relationships between people, and using the power of healthy relationships to resolve difficult situations. 24
24 Gerry Johnstone and Daniel W.Van Ness, Hand Book of Restorative Justice, Portland, Oregon, USA, Willan Publishing, 2007, p.7
Tidak setiap konstruktif dan alternatif progresif untuk intervensi secara tradisional terhadap kejahatan dan kesalahan yang dapat digambarkan sebagai keadilan restoratif. Untuk menjadi alternatif yang akan dipercaya digambarkan sebagai keadilan restoratif, biasanya akan memiliki satu atau lebih dari unsur berikut, disajikan dalam urutan tertentu yang penting :
1. Akan ada beberapa proses yang relatif informal yang bertujuan untuk melibatkan para korban, pelaku, dan lain-lain terkait erat dengan mereka atau kejahatan dalam diskusi tentang hal-hal seperti apa yang terjadi, apa salahnya telah menghasilkan dan apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki kerusakan itu dan, mungkin, untuk mencegah lebih melakukan salah atau konflik.2. Akan ada penekanan pada pemberdayaan (di sejumlah indra) orang-orang biasa yang hidupnya dipengaruhi oleh kejahatan atau tindakan yang salah lainnya.3. Beberapa upaya akan dilakukan oleh pengambil keputusan atau mereka memfasilitasi proses pengambilan keputusan untuk mempromosikan respon yang diarahkan kurang terhadap stigma dan menghukum pelaku kesalahan dan lebih untuk memastikan bahwa pelaku kesalahan mengenali dan memenuhi tanggung jawab untuk menebus kerugian yang mereka telah menyebabkan dengan cara yang secara langsung menguntungkan mereka dirugikan, sebagai langkah pertama menuju reintegrasi mereka ke dalam masyarakat yang taat hukum warga negara.4. Para pengambil keputusan atau mereka memfasilitasi pengambilan keputusan akan peduli untuk memastikan bahwa proses pengambilan keputusan dan hasilnya akan dipandu oleh prinsip-prinsip tertentu atau nilai-nilai yang, dalam masyarakat kontemporer, secara luas dianggap sebagai diinginkan dalam setiap interaksi antara orang-orang, seperti: rasa hormat harus ditampilkan untuk orang lain, kekerasan dan pemaksaan harus dihindari jika mungkin dan diminimalkan jika tidak, dan inklusi adalah lebih disukai untuk pengecualian.5. Para pengambil keputusan atau mereka memfasilitasi pengambilan keputusan akan mencurahkan perhatian yang signifikan terhadap cedera yang dilakukan kepada para korban dan kebutuhan yang merupakan hasil dari itu, dan kepada para korban dan kebutuhan yang merupakan hasil dari itu, dan cara-cara nyata di mana kebutuhan tersebut dapat diatasi.6. Akan ada beberapa penekanan pada penguatan atau memperbaiki hubungan antara orang-
19
Tujuan utama peradilan restoratif memberdayakan korban,
yaitu pelaku didorong agar memperhatikan pemulihan. Peradilan
restoratif mementingkan terpenuhinya kebutuhan material,
emosional dan sosial sang korban. Keberhasilan peradilan restoratif
bukan diukur oleh sebesar apa kerugian telah dipulihkan pelaku,
bukan diukur oleh seberat apa pidana yang dijatuhkan hakim.
Intinya sedapat mungkin pelaku dikeluarkan dari proses pidana dan
dari penjara.
Selanjutnya Kent Roach mengatakan, bahwa peradilan
restoratif bukan hanya memberikan alternatif bagi penuntutan dan
pemenjaraan melainkan juga meminta tanggungjawab pelaku,
karena itu harus dipahami beberapa perbedaan antara peradilan
restoratif dengan peradilan pidana yang konvensional.
Menurut Van Ness landasan Restorative Justice ada
beberapa karakteristik :
a. Crime is primarily conflict between individuals resulting in injuries to victims,communities and the offenders themself; only secondary is it lawbreaking.
b. The overarching aim of the criminal justice process should be to reconcile parties while repairing the injuries caused by crimes.
c. The criminal justice process should facilitate active participation by victims, offenders and their communities. It should not be dominated by government to the exclusion of others.25
Howard Zehr mengatakan bahwa :
orang, dan menggunakan kekuatan hubungan yang sehat untuk mengatasi situasi sulit.25 IbidAdalah kontras apabila keadilan retributif dibandingkan keadilan restoratif. Keadilan
retributif, menurutnya, dimulai dengan pemahaman tertentu kejahatan: hal itu adalah pelanggaran terhadap negara, didefinisikan oleh adanya melanggar hukum dan rasa bersalah. Keadilan menentukan menyalahkan dan mengelola rasa sakit di dalam proses antara pelaku dan negara yang diarahkan oleh aturan yang sistematis.
20
“contrast of retributive justice versus restorative justice. Retributive justice, he argues, begins with a particular understanding of crime: it is a violation of the state, defined by law breaking and guilt. Justice determines blame and administers pain in a contest between the offender and the state directed by systematic rules. 26
Selanjutnya dikatakan oleh Howard Zehr sebagai perintis
peradilan retoratif di Amerika Serikat memperkenalkan “lensa
restoratif”, yaitu bahwa :
“Restorative justice sees differently.. Crime is violation of people and relationships.. It creates obligations to make things right. Justice involve the victim, the offender and the community in a search for solutions which promote repair, reconciliation and reassurence”27
Paradigma peradilan restoratif telah menggeser pandangan
konvensional terhadap kejahatan, dari pelanggaran norma yang
menimbulkan kerugian, beralih ke individu yang terkena dampak
kejahatan; dari pemidanaan dan penjatuhan nestapa, beralih ke
perbaikan kerugian. Pemulihan kerugian merupakan komponen
utama paradigma peradilan restoratif. Dilihat dari aspek
penyelesaian pelbagai konflik, unsur penting definisi peradilan
restoratif adalah lebih mengutamakan rekonsiliasi dari pada
pembalasan.
Karakteristik Restorative Justice Theory menurut Van
Nes :
26 Ibid27 Ibid, p. 3Keadilan restoratif melihatnya secara berbeda. Kejahatan adalah pelanggaran yang
berhubungan dengan orang. Hal ini menciptakan kewajiban untuk membuat hal tentang kebenaran. Keadilan yang melibatkan korban, pelaku dan masyarakat dalam mencari solusi yang mempromosikan perbaikan, rekonsiliasi dan jaminan kembali seperti semula
21
a. Crime is primarily conflict between individuals resulting in injuries to victims, communities and the offenders themselves; only secondary is it lawbreaking.
b. The overarching aim of the criminal justice process should be to reconcile parties while repairing the injuries caused by crimes.
c. The Criminal justice process should facilitate active participation by victims, offenders and their communities. It should not be dominated by goverment to the exclusion or others.28
Susan Sharpe, seorang Kanada, telah mengusulkan lima
prinsip kunci yang membantu dalam proses keadilan restoratif
berdasarkan definisi Marshall. Berikut ini diambil berdasarkan cara
bekerjanya :
Pertama, keadilan restoratif mengharapkan partisipasi dan konsensus seluruh peserta, Kedua, keadilan restoratif berusaha untuk mengembalikan apa yang rusak. Ketiga, keadilan restoratif berusaha akuntabilitas penuh dan langsung, Keempat, keadilan Restorative berusaha untuk menyatukan kembali apa yang telah terlepas , Akhirnya, keadilan restoratif berusaha untuk memperkuat masyarakat dalam rangka untuk mencegah kerugian lebih lanjut.29
28 Dwidja Priyatna, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung : PT.Refika Aditama, 2006, hlm. 15
a. Kejahatan terutama konflik antara individu yang mengakibatkan luka-luka korban, masyarakat dan pelaku sendiri, hanya sekunder adalah pelanggaran hukum itu.b. Tujuan menyeluruh dari proses peradilan pidana harus mendamaikan pihak sementara memperbaiki luka yang disebabkan oleh kejahatan.c. Proses peradilan pidana harus memfasilitasi partisipasi aktif oleh para korban, pelaku dan masyarakat mereka. Ini tidak boleh didominasi oleh pemerintah dengan atau mengesampingkan orang lain .
29 Allison Morris, Gabrille Maxwell, p. 5,6... First,restorative justice invites full participation and consensus, This means that victims and offenders are involved, but it also opens the door to others who feel that their interests have been affected (for example, neighbours who have been indirectly harmed by the crime. The invitation to participate undercourses the benefits of voluntary involvement, although, of course, offenders may paticipate in order to avoid traditional criminal processes. Second, restorative justice seeks to heal what is broken, A central question asked in any restorative process is “What does the victimneed to heal to recover, to regain a sense of safety?” Victims may need information; they may need reparation. Offenders, too, may need healing; they may need release from guilt or fear; they may need resolution of underlyine conflicts or problems that led to tthe crime; and they may need an opportunity to make things right. Third,restorative justice seeks full and direct accountabilit., Accountability does not simply mean that offenders must face the fact that they have broken the law; they must also face the people they have harmed and see how their actions have damaged others. They should expect to explain their behaviour so that the victim and community can make sense of it. They should also expect to take steps to repair that harm. Fourth,Restorative justice seeks to reunite what hasbeen devided. Crime causes divisions between people and within communities. That is one of the most profound harms that is causes. Restorative processes work toward reconciliation of the victim and offender, and reintegration of both into the community. A restorative perspective holds that the “victim” and “offender” rolesshould be temporary, not permanent. Each should be drawn toward a future in
22
Menurut Muladi, karakteristik Restorative Justice ciri-
cirinya adalah :
a. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang terhadap orang lain.
b. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan.
c. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi.d. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi
dan restorasi sebagai tujuan utama.e. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak,
dinilai atas dasar hasil.f. Kejahatan diakui sebagai konflik.g. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial.h. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses
restoratif.i. Menggalakkan bantuan timbal balikj. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui baik dalam
permasalahan maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan si korban diakui; pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggungjawab
k. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan mana yang paling baik;
l. Tindak pidana difahami dalam konteks menyeluruh moral, sosial dan ekonomis.
m. Dosa atau hutang dan pertanggungjawaban terhadap korban diakui;
n. Reaksi dan tanggapan difokuskan pada konsekuensi yang dari perbuatan si pelaku tindak pidana;
o. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restorative.p. Ada kemungkinan (dorongan untuk bertobat dan
mengampuni) yang bersifat membantu.q. Perhatian ditujukan pertanggungjawaban terhadap akibat
perbuatan (bandingkan dengan Retributif justice, perhatian diarahkan pada debat antara kebebasan kehendak (free will) dan detirminisme sosial psikologis di dalam kausa kejahatan.30
which they are free of their past, no longer defined primarily by the harm they may have caused or suffered. Finally,restorative justice seeks to strenghten the community in order to prevent further harms.Crime causes harm, but crime may also reveal preexisting injustices. These can be as localised as a long term dispute between the “offender and the ‘vctim” that erupted into criminal behaviour. It can be as systemic as racial and economic inequities that, while not excusing the offender’s behaviour, must be addressed in order to strenghten the community and make it a just and safe place to live.
30 Muladi, Opcit, hlm. 27 – 29.
23
Ciri khas peradilan restoratif adalah mendudukkan korban
pada posisi sentral. Ciri khas yang lain adalah menjauhkan pelaku
dari pemenjaraan melalui diversi, akan tetapi tetap diminta
tanggungjawabnya. Penerapan peradilan restoratif akan lebih efektif
dalam sistem peradilan pidana yang mengenal banyak bentuk
diversi, dimana setiap komponennya memiliki diskresi yang luas.
Berbeda dengan penyelesaian perkara melalui proses peradilan
yang normal, diversi adalah opsi yang cocok dan proporsional dalam
penyelesaian perkara.
Diversi juga disebut sebagai proses penyelesaian perkara di
luar pengadilan (out-of-court settlement). Sehubungan dengan itu,
peradilan restoratif akan tercapai melalui diversi bila korban dengan
bebas berpartisipasi aktif dan pelaku menikmati kesempatan
meminta maaf tanpa paksaan diikuti rekonsiliasi di antara para
pihak yang berkepentingan sebagai proses penyembuhan luka dan
pemulihan ganti rugi.31
Menurut Richard J. Lundman dalam kaitannya dengan hal
tersebut memberikan pendapat, “persistent delinquent is the result
of treating first-offenders as if they were about to become
persistently delinquent. Juvenile Justice System processing therefore
does more harm than good.” Selanjutnya dikatakan oleh Lundman :
First, juvenile justice system processing provides juveniles with a delinquent self-image. Whereas prior to arrest and intake, most juvenile offenders see themselves as basically good kids who shoplift overpriced items from big stores that can easily afford the loss, or as one of many out for an innocent Friday night or group-based beer and fun, arrested juvenile sent to intake are treated as if
31 Eriyantouw Wahid, Opcit, hlm. 49
24
they are delinquent. Being treated as delinquent causes some adolescent to view themselves as delinquent and invites more rather than less delinquency.Second, juvenile justice system processing stigmatizes juvenile in the eyes of significant others. School teachers, police officers, and potential employers are understandably wary of juvenile with formal records of delinquency. So too, with potential friends, lovers, spouses. Although a formal record is not outomatically or uniformly stigmatizing, delinquent labels causes at least some of the important people around a juvenile to hesitate in assisting in the transition to adulthood and prolongs involvement in delinquency. Diversion away from formal juvenile justice system processing to the most effective method of preventing and controlling delinquency.32
Ide diversi merupakan bentuk pengalihan atau alternatif
penanganan terhadap delinkuensi anak dari proses peradilan pidana
anak yang konvensional, kearah penanganan delinkuensi anak yang
lebih bersifat pelayanan kemasyarakatan, dan ide diversi dilakukan
untuk menghindarkan pelaku delinkuensi anak dari dampak negatif
pelaksanaan proses peradilan pidana anak. Menurut jack E Bynum,
Diversion is an attempt to divert, or chanel out, youtfull offenders
from the juvenile justice system (diversi adalah sebuah tindakan
atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku
delinkuensi anak keluar dari sistem peradilan pidana).33
Diversi dilakukan dengan pertimbangan untuk memberikan
kesempatan kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang
baik kembali melalui jalur non formal dengan melibatkan sumber
daya masyarakat. Diversi berupaya memberikan keadilan kepada
kasus pelaku anak yang sudah melakukan tindak pidana dan
ditangani oleh aparat penegak hukum. Serta adanya kewenangan 32 Richard J. Lundman, Prevention and Control of Juvenile Delinquency, Oxford: Oxford
University Press, 1993, pp. 89 - 9033 Jack E Bynum, William E. Thompson, Juvenile Delinquency a Sosiological Approach,
Boston: Allyn and Bacon A Peason Education Company, 2002, hlm. 430.
25
bagi Pihak yang berwenang yang memiliki kekuasaan untuk
menghentikan proses yang sedang berlangsung setiap saat untuk
selanjutnya melakukan diversi. Ada tiga jenis pelaksanaan diversi
yaitu :
1. Pelaksanaan kontrol sosial (social control orientation), yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung-jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ke-taatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggungjawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat.
2. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social ser-vice orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan.
3. Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or restorative justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelaku bertanggungjawab langsung pada korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban, pelaku dan masyarakat. Pelaksanaan-nya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.34
Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan
persuasive atau pendekatan non penal dan memberikan
kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan.
Peradilan restoratif merupakan salah satu upaya diversi untuk
mencari penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan.
Munculnya ide peradilan restoratif sebagai kritik atas penerapan
sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak
efektif menyelesaikan konflik tersebut tidak dilibatkan dalam
penyelesaian konflik. Korban tetap saja menjadi korban, pelaku
34 Peter C.Kratcoski, Correctional Counseling and Treatment, USA: waveland Press Inc, 2004, hlm. 160
26
yang dipenjara juga memunculkan persoalan baru bagi keluarga
dan sebagainya.
Restorative Justice adalah sebuah teori yang menekankan
pada memulihkan kerugian yang disebabkan atau ditimbulkan oleh
perbuatan pidana. Memulihkan kerugian ini akan tercapai dengan
adanya proses-proses kooperatif yang mencakup semua
stakeholder (pihak yang berkepentingan).35 Tindakan-tindakan dan
program yang merefleksikan tujuan-tujuan restoratif akan dapat
menyelesaikan kejahatan dengan cara :
a. mengidentifikasi dan mengambil langkah-langkah untuk memulihkan kerugian,
b. melibatkan semua stakeholder, danc. merubah hubungan tradisional antara masyarakat dan
pemerintah mereka dalam mengatasi kejahatan.Mekanisme hukum dan aparat penegak hukum (criminal
justice system) beserta masyarakat menjadi faktor yang mesti
mendapat perhatian yang cukup untuk memberikan perlindungan
dan jaminan terpenuhinya hak-hak dasar seorang anak yang
berhadapan dengan hukum, maka aparat penegak hukum di
Indonesia dan masyarakat perlu mengalami penyegaran pandangan
terhadap isu anak yang berhadapan dengan hukum, agar dapat
terlibat dalam upaya menekan jumlah anak dan penanganan anak
yang berhadapan dengan hukum ke dalam saluran dan langkah
yang konstruktif dengan perkembangan fisik dan psikis anak, yakni
menghindari anak berada pada mekanisme hukum formal
(mengutamakan pendekatan informal) dan mengharapkan
35 Muladi, 1995, Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang :Badan penerbit Universitas Diponegoro, hlm .125
27
penyelesaian yang lebih bijak melalui penerapan konsepsi diversi
dan peradilan restoratif.
John Braitwhite berpandangan, bahwa Restorative Justice
adalah proses dimana semua pihak yang terlibat pelanggaran
tertentu bersama-sama memecahkan secara kolektif bagaimana
untuk menghadapi akibat pelanggaran dan implikasinya pada
waktu yang akan datang. Lebih lanjut dikatakan oleh John
Braithwaite, bahwa Restorative Justice bertujuan memulihkan
harmoni atau keseimbangan karena hukum telah ditegakkan.36
Memulihkan harmoni/ keseimbangan secara an sich saja tidak
cukup, oleh karena itu “memulihkan keseimbangan” hanya dapat
diterima sebagai gagasan mewujudkan keadilan jika
“keseimbangan” secara moral antara pelaku dan korban yang ada
sebelumnya adalah keseimbangan yang pantas.
Sebagai konsep pemidanaan tentunya tidak hanya terbatas
pada ketentuan hukum pidana (formil dan materiil). Restorative
Justice harus juga diamati dari sisi kriminologi dan sistem
pemasyarakatan karena konsep Restorative Justice terlahir oleh
keadaan sistem pemidanaan yang sekarang berlaku, ternyata
belum sepenuhnya menjamin keadilan terpadu (intergrated justice),
yaitu keadilan bagi pelaku, keadilan bagi korban dan keadilan bagi
masyarakat dalam mekanisme di luar peradilan pidana.
Model ini diharapkan dapat menyentuh 3 (tiga) aspek dalam
perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu (1) 36John Braithwaite, Restorative Justice : Assessing an Immodest Theory and a Pessimistic
Theory Draft to be summited to Crime and Justice : Review of Research, University of Chicago, Press, p. 5
28
pencegahan, (2) penanganan, (3) rehabilitasi dan reintregrasi.
Namun perlu diingat bahwa tidak semua pihak dapat melakukan 3
(tiga) aspek yang ada dengan pertimbangan bahwa semakin
banyak yang terlibat dalam penanganan langsung anak delinkuen
dapat memberikan imbas dan hambatan secara teknis mengenai
Restorative Justice, sehingga dalam proses penanganan, rehabilitasi
dan re-integrasi hanya membutuhkan komponen inti dan kompenen
lain sebagai pendukung dalam tahap pencegahan.
Sebagai sebuah pemikiran maka diperlukan suatu kajian
teori untuk menjelaskan fenomena yang ada. Perlu dipahami bahwa
anak sebagai pelaku delinkuensi terdapat tiga titik yang saling
berkaitan, yaitu :
pertama: sebagai pelaku ia kerap menjadi sarana pelampiasan kemarahan masyarakat yang merasa tercoreng rasa keadilannya, kedua: hukum beserta aparat penegak hukumnya berusaha unrtuk memenuhi rasa keadilan masyarakat dengan cara memproses kasus pidana yang dilakukan oleh seorang anak, dan ketiga: sebagai seorang anak, mekanisme hukum dan rasa keadilan masyarakat harus ditempatkan dalam kerangka mendorong secara konstruktif ke arah perkembangan fisik dan psikisnya”.37
Menurut Baqir Manan, substansi dalam Restorative Justice
berisi prinsip-prinsip, antara lain :
Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat menyeelsaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai “stakeholder” yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win solution).38
37 LSM Ketuk Nurani , browsing Internet, www.Google.Com , 2 Oktober 2007 38 Eva Achjani Zulfa, Ibid
29
Kondisi anak-anak delinkuen merupakan permasalahan yang
dihadapi oleh semua negara di dunia, termasuk Indonesia. Perilaku
anak-anak delinkuen pada hakekatnya merupakan gejala hukum
sekaligus gejala sosial, maka langkah-langkah yang akan diambil
dalam upaya pencegahan, penanganan maupun penanggulangan
sangat memerlukan pemahaman yang komprehensif dalam
berbagai kajian bidang ilmu, baik secara yuridis maupun empiris
(kriminologis). Peradilan restoratif dengan sarana non-penal sebagai
upaya dalam penanggulangan anak-anak delinkuen perlu dikaji
lebih lanjut dalam rangka kepentingan yang terbaik bagi anak.
Sasaran akhir konsep peradilan restoratif adalah
berkurangnya jumlah tahanan dalam penjara; menghapuskan
stigma/ cap dan dapat mengembalikan pelaku kejahatan menjadi
manusia normal; pelaku kejahatan dapat menyadari kesalahannya
sehingga tidak mengulangi perbuatannya serta mengurangi beban
kerja polisi, jaksa, rutan, pengadilan, danlapas; menghemat
keuangan negara tidak menimbulkan rasa dendam karena pelaku
telah dimaafkan oleh korban, korban cepat mendapatkan ganti
kerugian, memberdayakan masyarakat dalam mengatasi kejahatan
dan; pengintegrasian kembali pelaku kejahatan dalam masyarakat.
Pendekatan dalam peradilan restoratif merupakan suatu
paradigma yang dapat digunakan sebagai bingkai dalam strategi
penanganan perkara pidana yang bertujuan menjawab
ketidakpuasan bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada saat
ini. Peradilan Restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang
30
mersepon pengembangan sistem peradilan pidana dengan
menitikberatkan pada kebutuhan masyarakat dan korban yang
selama ini kurang dilibatkan dalam dan merasa tersisih dengan
mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada
pada saat ini. Dipihak lain keadilan restoratif juga merupakan suatu
kerangka berfikir yang baru, dapat digunakan dalam merespon
suatu tindak pidana bagi penegak dan pekerja hukum. Dalam
peradilan restoratif sangat peduli terhadap pemulihan kembali
hubungan setelah terjadinya tindak pidana daripada memperparah
keretakan antara pelaku, korban dan masyarakat yang merupakan
karakter sistem peradilan pidana modern saat ini.
Peradilan restoratif merupakan reaksi yang bersifat “victim
centered”, terhadap kejahatan yang memungkinkan korban, pelaku,
keluarhga dan wakil-wakil masyarakat untuk memperhatikan
kerugian akibat terjadinya tindak pidana.39 Pusat perhatian
diarahkan kepada reparasi, restorasi atas kerusakan, kerugian yang
diderita akibat kejahatan (kenakalan) dan memprakarsai serta
memfasilitasi perdamaian. Hal ini untuk menggantikan dan
menjauhi keputusan terhadap yang menang atau kalah melalui
system adversarial (permusuhan). Peradilan restoratif berusaha
memfasilitasi dialog antara berbagai pihak yang terlibat atau
dipengaruhi akibat kejahatan, termasuk korban, pelaku, keluarga
dan masyarakat secara keseluruhan.
39 Muladi, Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana, Makalah disampaikan dalam Seminar IKAHI, tgl 25 April 2012).
31
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia dalam menangani
tindak kejahatan maupun delinkuensi anak hampir seluruhnya
berakhir di penjara, sedangkan penjara bukanlah solusi terbaik
dalam menyelesaikan penanganan terhadap tindak kejahatan
maupun delinkuensi anak. Khususnya tentang delinkuensi yang
menimbulkan kerusakan dan masih dapat direstorasi, sehingga
kondisi yang rusak tersebut dapat dikembalikan ke kondisi semula.
Restorasi tersebut memungkinkan adanya penghilangan stigma
terhadap pelaku. Kata restorative dapat diartikan sebagai obat yang
menyembuhkan, sedangkan restorative justice dimaknai sebagai
penyelesaian suatu tindak pidana tertentu yangg melibatkan semua
pihak yang berkepentingan untuk bersama-sama mencari
pemecahan dan sekaligus mencari penyelesaian dalam menghadapi
kejadian setelah timbulnya tindak pidana tersebut serta bagaimana
mengatasi implikasinya dimasa datang.40
Berbagai definisi peradilan restoratif dapat diklasifikasikan
ke dalam kelompok yang sempit dan luas. Definisi yang sempit
mengutamakan makna pertemuan antarpihak berkepentingan
dalam kejahatan dan periode sesudahnya, sedangkan definisi –
definisi yang luas mengutamakan nilai-nilai peradilan restoratif.
Dilihat dari aspek penyelesaian pelbagai konflik, unsur penting
dalam definisi peradilan restoratif adalah lebih mengutamakan
rekonsiliasi dari pada pembalasan.41 Tujuan utama dalam peradilan
restoratif adalah memberdayakan korban, yaitu pelaku didorong 40 Abdillah Rifai, http://kompasiana.com/2012/04/02/penegakan-hukum-pidana-yang-
berorientasi-restorative-justice/ 41 Eriyantouw Wahid, Opcit, hlm. 3
32
agar memperhatikan pemulihan. Peradilan Restoratif mementingkan
terpenuhinya kebutuhan material , emosional dan sosial sang
korban.
Keberhasilan peradilan restoratif diukur oleh sebesar apa
kerugian telah dipulihkan pelaku, bukan diukur oleh seberat apa
pidana yang dijatuhkan hakim. Intinya sedapat mungkin pelaku
dikeluarkan dari proses pidana dan dari penjara. Tapi seperti
dikatakan oleh Kent Roach, peradilan restoratif bukan hanya
memberikan alternatif bagi penuntutan dan pemenjaraan melainkan
juga meminta tanggungjawab pelaku, karena itu harus dipahami
beberapa perbedaan antara peradilan restoratif dengan peradilan
pidana yang konvensional. Tindakan kriminal dalam peradilan
restoratif ditafsirkan sebagai tindakan yang merugikan korban dan
komunitas, bukan ditafsirkan sebagai pelanggaran terhadap hukum
dan negara; lagi pula yang dihadapi pelaku adalah korban dan
komunitasnya, bukan pemerintah. 42
Howard Zehr sebagai perintis peradilan restoratif di Amerika
Serikat memperkenalkan “lensa restoratif”, yaitu kejahatan dilihat
sebagai pelanggaran terhadap individu dan relasi antar individu,
sedangkan keadilan dimaknai sebagai pencarian bersama atas
solusi melalui penyembuhan dan rekonsiliasi. Dengan kata lain
paradigma peradilan restoratif telah menggeser pandangan
konvensional atas kejahatan dari pelanggaran norma yang
menimbulkan kerugian, beralih ke individu yang sangat terkena
42 Ibid
33
dampak kejahatan; dari pemidanaan dan penjatuhan nestapa,
beralih ke perbaikan kerugian. Elemen utama dalam paradigma
peradilan restoratif adalah pemulihan kerugian. 43
Howard Zehr selanjutnya mengingatkan bahwa peradilan
restoratif lebih tepat didefinisikan secara kontras dengan “sistem
perlawanan” (adversial system) dalam peradilan konvensional di
negara-negara Barat dimana kedua pihak (negara/ jaksa
berhadapan dengan pembela/ terdakwa) “ saling melakukan
perlawanan “ di depan “wasit”, yakni hakim yang memimpin
persidangan. Kejahatan dalam peradilan restoratif dipahami sebagai
kerugian yang ditimpakan kepada korban dan komunitasnya;
sedangkan dalam adversial dipahami sebagai pelanggaran terhadap
negara. Peradilan restoratif dijalankan secara aktif oleh
komunitasnya dimana korban dibantu berperan menjelaskan
bagaimana kerugian seharusnya diperbaiki dan pelaku didorong
bertanggungjawab, sedangkan sistem adversial diselenggarakan
dan dikendalikan oleh para profesional dimana korban umumnya
terhalang untuk menguraikan kerugiannya.44
Sarre memberikan pendapatnya sebagai berikut :
“A resstorative system of criminal justice endeavors to listen to, and appease, aggrieve parties to conflict and to restore, as far as possible, right relationship between antagonists. In restorative models crime is defined as a violation of one person by another, the focus is on problem solving, dialogue and restitution (where possible), mutuality, the repair of social injury and the possibilities of repentance and forgiveness.”45
43 Ibid44 Ibid, hlm. 545 Muladi, Ibid, 2012, hlm. 6
34
Beberapa sarjana percaya tujuan sebenarnya dari sistem
peradilan pidana adalah keadilan untuk mempromosikan kedamaian
dalam masyarakat, sebagai pendukung perdamaian , bukan
hukuman. Visi ini yang telah dikenal sebagai keadilan restoratif. 46Model keadilan restoratif menarik inspirasi dari agama dan ajaran
filosofis mulai dari aliran Quaker ke Zen. Para pendukung keadilan
restoratif mengatakan bahwa upaya negara untuk menghukum dan
mendorong untuk mengkontrol kejahatan. Kisah kekerasan
hukuman oleh negara, mereka menyatakan, tidak berbeda dengan
kisah kekerasan oleh individu, sedangkan para pendukung asosiasi
pengendalian kejahatan, dengan hukuman yang lebih rendah
tingkat kejahatan meningkat, pendukung keadilan restoratif
mengkritik bahwa hukuman adalah sebagai metode koreksi (seperti
penjara) tidak lebih efektif sebagai upaya yang lebih manusiawi
(Seperti percobaan dengan pembinaan), oleh karena itu daripada
memberikan hukuman coersive saling membantu adalah kunci
untuk menjadi masyarakat yang harmonis.
Tanpa kemampuan untuk memulihkan hubungan sosial yang
rusak, respon masyarakat terhadap kejahatan secara langsung
telah khusus menghukum. Pedoman dalam keadilan restoratif ada
tiga prinsip yang penting , yaitu :
a. Kelompok yang "memi-liki" konflik (termasuk kejahatan),
b. Adanya Materi dan pemulihan secara simbolis bagi korban kejahatan dan;
46 Ibid
35
c. Reintegrasi sosial bagi pelaku. 47
Mempertahankan kepemilikan, atau yurisdiksi, melebihi
konflik artinya bahwa konflik antara kejahatan dan korban harus
diselesaikan dalam kelompok di mana perkara tersebut berasal,
bukan di penjara yang sangat jauh. Korban harus diberi kesempatan
untuk memberikan suaranya atau menceritakan kasusnya, dan
pelaku harus membantu memberikan kompensasi kepada korban
secara finansial atau dengan memberikan beberapa pelayanan.
Tujuannya adalah untuk memungkinkan pelaku untuk menghargai
kerusakan yang disebabkan perbuatannya, untuk menebus
kesalahan, dan untuk melakukan reintegrasi ke dalam masyarakat.
Keadilan restoratif telah berkembang dari sebuah keyakinan
bahwa sistem peradilan tradisional telah melakukan dengan hanya
sedikit melibatkan masyarakat dalam proses yang berurusan
dengan kejahatan dan melakukan kesalahan. Apa yang telah
dikembangkan adalah sistem hukuman coersive , dikelola oleh
birokrat, bahwa hal tersebut berbahaya untuk pelanggar dan
kemungkinan mengurangi kemungkinan bahwa pelanggar tersebut
nantinya akan menjadi anggota masyarakat yang produktif. Sistem
ini mengandalkan pada hukuman, stigma dan aib.48
Penyelesaian perkara pidana dalam restorative justice
(peradilan restoratif) dapat dilakukan dalam bentuk mediasi penal,
karena dampak yang ditimbulkan dalam mediasi penal sangat
47 Ibid.48 Larry J.Siegel, Criminology, USA : Wadsworth, 2011, p.217
36
signifikan dalam proses penegakan hukum. Dalam proses peradilan
restoratif tidak dapat dilepaskan dari cita hukum yang didasarkan
pada landasan filsafat hukum yaitu keadilan (law is justice), dan
asas hukum dalam proses penyelesaian perkara yang berdasarkan
pada sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis.
Pola mediasi yang dilakukan dalam peradilan restoratif
adalah berdasarkan pada nilai-nilai keadilan, nilai kepastian dan
kemanfaatan, serta mempertimbangkan landasan filosofis, yuridis
dan sosiologis. Konsep dalam pendekatan dalam restorative justice
merupakan suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada
kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak
pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata cara dan peradilan
pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses
dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas
penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi
pihak korban dan pelaku.
Restorative justice memiliki makna keadilan yang
merestorasi, yaitu dalam proses peradilan pidana konvensional
dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan
restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi
pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan
hubungan ini dapat didasarkan atas kesepakatan bersama antara
korban dan pelaku.
Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang
dideritanya dan pelakupun diberi kesempatan untuk menebusnya,
37
melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun
kesepakatan-kesepakatan lainnya. Hal ini tidak ada dalam proses
peradilan pidana konvensional, karena para pihak yang berperkara
tidak diberi kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam
penyelesaian masalah mereka. Partisipasi aktif dari masyarakat
seakan tidak diberi ruang untuk aktif, karena semuanya akan
diselesaikan dengan putusan pidana atau punishment tanpa melihat
kepentingan para pihak.
Dalam peradilan restoratif kejahatan tidak dilihat sebagai
pelanggaran hak seseorang oleh orang lain, melainkan dianggap
pelanggaran hak seseorang oleh orang lain. Dalam hal ini restitusi
merupakan sarana perbaikan para pihak dan rekonsiliasi serta
restorasi merupakan tujuan utama. Para korban dan pelaku tindak
pidana diakui, baik dalam permasalahan maupun dalam
penyelesaian. Hak-hak dan kebutuhan si korban diakui; pelaku
tindak pidana didorong untuk bertanggungjawab. Baqir Manan
mengatakan, bahwa hambatan dalam melaksanakan perdamaian
antara korban dan pelaku seringkali bersumber pada sikap penegak
hukum yang sangat formalistik dengan mengatakan proses hukum
akan tetap berjalan walaupun telah terjadi perdamaian, sifat
melawan hukum tidak akan hapus karena perdamaian. Namun patut
dipertanyakan apakah masih ada tujuan pemidanaan yang belum
tercapai apabila para pihak telah berdamai satu sama lain. Tujuan
penegakan hukum bukanlah sekedar untuk menerapkan hukum,
38
melainkan untuk mencapai ketertiban, kedamaian, ketentraman,
dalam tatanan masyarakat yang harmonis dan adil.
Pada dasarnya penyelesaian perkara pidana dengan
peradilan restoratif terfokus pada upaya mentransformasikan
kesalahan yang dilakukan pelaku dengan upaya perbaikan.
Termasuk dalam upaya ini adalah perbaikan hubungan antara para
pihak yang terkait dengan perkara tersebut. Hal ini
diimplementasikan dengan adanya perbuatan yang merupakan
gambaran dari perubahan sikap para pihak dalam upaya mencapai
tujuan bersama yaitu perbaikan. Para pihak yang diistilahkan
sebagai stakeholder merupakan pihak-pihak yang berkaitan baik
langsung maupun tidak langsung dengan tindak pidana yang
terjadi. Stakeholder utama disini adalah pelaku (yang
menyebabkan terjadinya delinkuensi), korban adalah sebagai pihak
yang dirugikan dan masyarakat adalah tempat terjadinya
delinkuensi. Melalui identifikasi masalah secara bersama-sama dan
mencari akar permasalahannya, maka kebutuhan yang
dipersyaratkan sebagai upaya perbaikan serta kewajiban-kewajiban
yang timbul karenanya, upaya perbaikan timbul.49
Program peradilan restoratif adalah program yang
menggunakan konsep peradilan restoratif dan menghasilkan tujuan
dari konsep tersebut yaitu kesepakatan antara para pihak yang
terlibat. Kesepakatan disini adalah kesepakatan para pihak yang
didasarkan pada upaya pemenuhan kebutuhan korban dan
49 Eva Achjani, Indriyanto Seno Adji, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Bandung : Lubuk Agung, hlm. 74
39
masyarakat atas kerugian yang ditimbulkan akibat delinkuensi
(tindak pidana) yang terjadi. Kesepakatan disini juga dapat diartikan
sebagai suatu upaya memicu proses re-integrasi antara korban dan
pelaku, oleh karenanya kesepakatan tersebut dapat berbentuk
sejumlah program seperti reparasi (perbaikan), restitusi ataupun
community services.50
Dalam pelaksanaan program peradilan restoratif, kegiatan
yang dilakukan harus didasarkan pada sejumlah asumsi yaitu :
a. That the response to crime should repair as much a possi-ble the harm suffered by the victim;Tujuan utama dalam pendekatan keadilan restoratif adalah terbukanya akses korban untuk menjadi salah satu pihak yang menentukan penyelesaian akhir dari tindak pidana karena korban adalah pihak yang paling dirugikan dan yang paling menderita. Oleh karenanya pada tiap tahapan penyelesaian yang dilakukan harus tergambar bahwa proses yang terjadi merupakan respon positif bagi korban yang diarahkan pada adanya upaya perbaikan atau penggantian kerugian atas kerugian yang dirasakan korban
b. That offenders should be brought to understand that their behaviour is not acceptable and that it had some real consequences for the victim and community;Tujuan lain yang ditetapkan adalah kerelaan pelaku untuk bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukannya. Suatu proses penyelesaian perkara pidana diharapkan merupakan suatu program yang dalam setiap tahaapannya merupakan suatu proses yang dapat membawa pelaku dalam suasana yang dapat membangkitkan ruang kesadaran untuk pelaku mau melakukan evaluasi diri. Pelaku dapat digiring untuk untuk menyadari bahwa tindak pidana yang dilakukannya adalah suatu yang tidak dapat diterima dalam masyarakat, bahwa tindakan itu merugikan korban dan pelaku sehingga konsekuensi pertanggungjawaban yang dibebankan pada pelaku dianggap sebagai suatu yang memang seharusnya diterima dan dijalani.
50 Ibid.
40
c. That offenders can and should accept responsibility for their action;Berdasarkan pada asumsi bahwa program penanganan tindak pidana yang menggunakan pendekatan keadilan restoratif akan dapat membawa pelaku ke arah kesadaran atas kesalahannya. Tanpa adanya kesadaran atas kesalahan yang dibuat, dianggap sangat mustahil dapat membawa pelaku secara sukarela untuk bertanggungjawab atas tindak pidana yang telah dibuatnya.
d. That victims should have an opportunity to express their needs and to participate in determininig the best way for the offender to make reparation and Partisipasi korban bukan hanya dalam rangka menyampaikan tuntutan atas ganti kerugian, karena sesungguhnya korban juga memiliki posisi penting untuk mempengaruhi proses yang berjalan termasuk membangkitkan kesadaran pada pelaku sebagaimana dikemukakan dalam asumsi kedua. Konsep dialog yang diusung oleh pendekatan ini memberikan suatu tanda akan adanya kaitan yang saling mempengaruhi antara korban dan pelaku dalam memilih penyelesaian terbaik sebagai upaya pemulihan hubungan sosial antara keduanya.
e. That the community has a responsibility to contribute to this process.Dalam proses penanganan perkara pidana tergambar bahwa akses ke dalam penyelenggaraannya bukan hanya milik korban ataupun pelaku, akan tetapi masyarakatpun dianggap memiliki tanggung jawab baik dalam penyelenggaraan proses ini maupun dalam hal tahap pelaksanaan hasil proses, baik sebagai penyelengara, pengamat maupun fasilitator serta bagian dari korban yang juga harus mendapatkan keuntungan atas hasil proses yang berjalan.51
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk
terselenggaranya proses tersebut yaitu identifikasi korban,
kesukarelaan korban untuk berpartisipasi, adanya pelaku yang
berkeinginan untuk bertanggungjawab atas tindak pidana yang
dilakukannya dan tidak adanya paksaan pada pelaku. Mac Kay
51 Ibid
41
merumuskan beberapa prinsip yang harus ditaati dalam
penyelenggaraannya program yang meliputi prinsip yang melekat
pada para pihak yang berkepentingan, masyarakat lokal, aparat,
sistem peradilan serta lembaga yang menjalankan konsep keadilan
restoratif itu sendiri. Inti dari prinsip yang melekat pada para pihak
meliputi :
a. Voluntary participant and informed concent,b. Non discrimination, irrespective of the nature of the case;c. Accessibility to relevant helping agencies (including restora-
tive practice agencies);d. Protection of vulnerable parties in process;e. Maintaining accessbility to conventional methods of dispute/
case resolution (including court);f. Privelege should apply to information disclosed before trial
(subject to public interest qualification);g. Civil right and dignity of indivisual should be respected;h. Personal safety to be protected;
Bagi korban ada beberapa kebutuhan yang harus terpenuhi
antara lain :
a. Their need and feeling to be taken seriously;b. Their losses to be acknowledgedc. Their right to claim recompense to be vindicate
Pada dasarnya dalam konsep mediasi dan rekonsiliasi yang
merupakan salah satu bentuk lembaga musyawarah dalam hukum,
lebih umum dipakai untuk menyelesaikan suatu perkara perdata.52
Dasar pertimbangan filosofis dan moral dalam mekanisme ini adalah
untuk mengurangi dampak buruk dari stigmatisasi yang dilakukan
oleh masyarakat kepada seorang pelaku tindak pidana yang
kemudian diberi lebel narapidana. Disamping itu juga pertimbangan
pragmatis seperti penghematan anggaran negara dan mengurangi
52 Eva Achjani Zulfa, Indriyanto Seno Adji, 2011, Opcit, hlm. 86
42
beban pengadilan. Namun juga lembaga ini mempertimbangkan
sifat mengikat dari putusan yang disepakati dalam mediasi yang
merupakan hasil “out of court settlement”.
Penanggulangan delinkuensi anak menggunakan
pendekatan keadilan restoratif berdasarkan pada pertimbangan
bahwa terdapat hubungan interaktif yang spesifik dan dinamis
antara para pihak yang terlibat. Dalam hal ini diupayakan agar
proses dapat berjalan secara non adversarial, terlepas dari
kepentingan pihak-pihak tertentu dan memperhatikan kebutuhan
pelaku, korban, masyarakat dan lingkungannya secara keseluruhan.
Beberapa ciri dalam proses yang menggunakan pendekatan
restoratif yaitu ;
a. Fleksibilitas respon dari lingkungan baik terhadap tindak pi-dana yang terjadi, pelaku maupun korban, bersiat individ-ual, dan harus dilihat kasus perkasus.
b. Respon yang diberikan atas perkara yang terjadi mencer-minkan perhatian yang mendalam dan persamaan per-lakuan bagi setiap orang, membangun pengertian antar sesama anggota masyarakat dan mendorong hubungan yang harmonis antar warga masyarakat untuk menghi-langkan kerusakan akibat tindak pidana.
c. Merupakan alternatif penyelesaian perkara diluar maupun dengan menggunakan sistem peradilan pidana formal yang berlaku dan mencegah stigma negatif yang timbul pada diri pelaku akibat proses tersebut. Pendekatan restoratif ini da-pat menggunakan hukum pidana sebagai upaya penyelesa-iannya baik dalam proses maupun pada jenis sanksi yang dijatuhkan;
d. Pendekatan ini juga melingkupi usaha-usaha untuk memec-ahkan masalah yang terjadi dan menyelesaikan segala kon-flik yang timbul;
e. Pendekatan restoratif ini merupakan usaha yang ditujukan untuk menghilangkan rasa bersalah pelaku dan merupakan media bagi usaha memenuhi kebutuhan korban.
f. Pendekatan ini harus disertai usaha mendorong pelaku mendapat korensi dan masukan bagi perubahan peri-
43
lakunya dan mendorong pelaku bertanggungjawab melalui perbuatan-perbuatan yang berarti;
g. Fleksibilitas dan varable yang digunakan dalam pendekatan dengan menggunakan paradigma ini dapat diadopsi dari lingkungan, tradisi hukum yang hidup dalam masyarakat serta prinsip dan filosofi yang dianut dalam sistem hukum nasional.53
Dalam delinkuensi yang dilakukan anak-anak, maka
pendekatan restoratif sangat tepat sebagai media untuk
mengajarkan nilai-nilai baru bagi pelaku yang masih muda,
sehingga aturan tata tingkah laku dalam masyarakat menjadi hal
yang utama dan penting dalam masyarakat menjadi hal yang utama
dan penting dalam usaha mencegah dan merespon kejahatan serta
tingkah laku menyimpang dalam masyarakat. Model-model dalam
penerapan keadilan resoratif dapat dikualifikasikan dalam tiga
bentuk utama, yaitu sebagai berikut:
a. Victim Offender Mediation (mediasi antara pelaku dan kor-ban)
Dalam penerapan model ini dibuat suatu forum yang
mendorong adanya pertemuan antara pelaku dan korban
yang dibantu oleh mediator sebagai koordinator dan
fasilitator dalam pertemuan tersebut. Bentuk ini dirancang
untuk mencari kebutuhan yang menjadi prioritas korban
khususnya kebutuhan untuk didengar keinginan-keinginan
mengenai :
1. Bentuk tanggungjawab pelaku ;2. Kebutuhan akan pengobatan atau pendampingan bagi
pelaku;3. Keinginan korban untuk didengarkan oleh pelaku ter-
hadap dampak tindak pidana bagi kedua pihak dan 53 Eva Achjani Zulfa, Indrijanto Senoadji, Opcit, hlm. 89
44
berdikusi tentang penanganan , usaha perbaikan dari dampak yang diderita oleh keduanya.
Korban dalam pertemuan itu diminta menjelaskan
pengalamannya berkaitan dengan tindak pidana
(delinkuensi) yang dialaminya dan dampak yang
ditimbulkannya. Berdasarkan Resolusi PBB No. 40/ 34
tanggal 15 desember 1985, yakni tentang Declaration of
Basic Principles of Justice, for Victims of Crime and Abuse of
Power. Dalam Deklarasi tersebut yang dimaksud sebagai
korban (victims) adalah :
“Persons who individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economics loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts or ommisions that are in violation of criminal laws operative within member States, including those laws proscribeng abuse of power”54
Perhatian terhadap korban sangat penting, mengingat
sampai saat ini korban hanya berkedudukan sebagai saksi
korban dan kurang mendapatkan perlakuan yang memadai
dalam sistem peradilan pidana. Perlakuan yang adil
terhadap korban sesuai dengan Konsep solidaritas dan
kesetiakawanan sosial dalam masyarakat. Sepanjang
menyangkut korban PBB menganjurkan agar paling sedikit
diperhatikan adanya 4 (empat) hal sebagai berikut :
1. Jalan masuk untuk memperoleh keadilan dan diper-lakukan secara adil (Acces to justice and fair treat-ment);
2. Pembayaran ganti rugi (restitution) oleh pelaku tindak pidana kepada korban, keluarganya atau orang lain
54 Muladi, hlm. 26
45
yang kehidupannya tergantung pada korban; ganti rugi ini sebaiknya dirumuskan dalam bentuk sanksi pidana dalam perundang-undangan yang berlaku;
3. Apabila terpidana tidak mampu , negara diharapkan membayar santunan (compensation) finansial kepada korban, keluarganya atau mereka yang menjadi tang-gungan korban;
4. Bantuan meteriil, medis, psikologis dan sosial kepada korban, baik melalui negara, sukarelawan, masyarakat. 55
Selanjutnya pelaku akan menjelaskan tindak pidana
(delinkuensi) yang telah dilakukannya dan mengapa tindak
pidana (delinkuensi) tersebut dilakukannya, serta
menjelaskan segala pertanyaan korban berkaitan dengan hal
tersebut. Dalam dialog antara korban dan pelaku, mediator
memberikan berbagai masukan ubtuk tercapainya
penyelesaian terbaik yang mungkin dilakukan.Dibeberapa
negara di Eropa, mediasi yang dilakukan tidak mensyaratkan
adanya pertemuan langsung antara pelaku dengan korban.
Dimungkinkan mediator memainkan peranan yang lebih
serta bertemu secara langsung satu persatu dengan masing-
masing pihak, sehingga terjalin suatu kesepakatan atas
suatu restitusi yang akan dilakukan. Hal ini dilakukan dalam
rangka menjaga perasaan dan kenyamanan masing-masing
pihak selama proses terjadi.
b. ConferencingDalam model ini pendekatan keadilan restoratif yang
dikembangkan di New Zealand merupakan refleksi dari
proses penyelesaian perkara pidana secara tradisional
55 Ibid
46
dalam suku Maori, penduduk asli bangsa New Zealand. Di
beberapa negara telah mengadopsi pendekatan restoratif
ini, antara lain Australia, Afrika Selatan, Amerika Serikat dan
beberapa negara Eropah. Dalam bentuk “Conferencing” ini,
penyelesaian bukan hanya melibatkan pelaku daan korban
langsung (primary victim), tetapi juga korban tidak langsung
(secondary victim), seperti keluarga dan kawan dekat
korban serta keluarga dan kawan dekat pelaku. Alasan
melibatkan para pihak tersebut adalah dikarenakan:
1. Mereka mungkin terkena dampak baik langsung ataupun tidak langsung atas tindak pidana (delinkuensi) yang terjadi;
2. Mereka memiliki kepedulian yang tinggi dan kepentin-gan akan hasil dari “conferencing” ;
3. Mereka juga dapat berpartisipasi dalam mengupayakan keberhasilan proses dan tujuan akhirnya.
Berdasarkan beberapa model conferencing, model
Family Group Conferences atau FGC menjadi salah satu
model yang berkembang sehubungan dengan penanganan
tindak pidana yang pelakunya adalah anak. Dalam model ini
penyelesaian akhir difokuskan pada upaya pemberian
pelajaran atau pendidikan kepada pelaku atas apa yang
dilakukannya pada korban. Dalam hal ini fasilitator
mengupayakan agar para pihak diluar korban dan pelaku
berpartisipasi aktif, tetapi tidak memainkan peranan yang
terkait dengan substansi materi yang didiskusikan antara
kedua pihak utama itu.
47
Beberapa model “conferencing” dilakukan secara
tertulis, fasilitator yang mengungkapkan kemudian
memimpin diskusi. Model lain dilakukan tanpa tanpa suatu
aturan dan panduan yang harus diikuti. Berbagai model
dilakukan dengan cara yang disesuaikan dengan budaya ,
norma dan keinginan para pihak, termasuk di dalamnya
melibatkan para penegak hukum yang merupakan
representasi lembaga dalam sistem peradilan pidana.
Secara bersama-sama semua pihak kemudian
mengupayakan pemikiran tentang hal yang haruss dilakukan
pelaku dalam rangka memperbaiki kerusakan atau kerugian
yang timbul dan membantu pelaku untuk mewujudkan apa
yang dikehendaki oleh pertemuan tersebut. Kesepakatan
yang dihasilkan dituangkan dalam sebuah perjanjian tertulis,
ditandatangi para pihak dan dikirimkan kepada instansi
penegak hukum yang ditunjuk untuk menangani hal ini.
c. CirclesDalam penerapan pendekatan keadilan restoratif
dengan model ini, maka para pihak yang terlibat meliputi
pelaku, korban, keluarga dan pihak lain yang terlibat
termasuk di dalamnya para aparat penegak hukum. Tetapi
berbeda dengan model sebelumnya, setiap anggota
masyarakat yang merasa berkepentingan dengan perkara
tersebut dapat datang dan ikut berpartisipasi. Circles, dalam
48
hal ini didefinisikan sebagai pihak-pihak yang
berkepentingan dengan tindak pidana secara keseluruhan.
Model circles diadopsi dari praktek yang dilakukan di
Kanada yaitu semua pihak yang terlibat duduk dalam
sebuah lingkaran. Biasanya pelaku mendapat kesempatan
pertama untuk berbicara tentang kejadian sebenarnya dan
mereka yang ada dalam lingkaran diberikan kesempatan
untuk berbicara. Diskusi berpindah dari satu orang kelainnya
dalam tata urutan lingkaran, dan setiap pihak mengutarakan
keinginannya. Proses ini berlanjut hingga semua orang
berkesempatan untuk mengutarakan perasaannya dan
menghasilkan suatu resolusi. Tugas mediator dan fasilitator
adalah menjaga aturan main dalam proses diskusi tersebut.
Mereka juga menerangkan hal-hal yang perlu sehingga
semua pihak mendapatkan pemahaman yang sama.
Braithwaite mengemukakan beberapa nilai yang menjadi
ciri khas. Nilai-nilai ini dibedakan oleh Braithwaite menjadi tiga
kelompok :
1. Nilai-nilai yang terkait dengan penerapan peradilan restoratif dalam praktek yang disebut sebagai fundamental procedural safeguard yang terdiri dari:
a. Non dominationDalam penyelenggaraan penyelesaian perkara pidana (maupun delinkuensi anak) dengan menggunakan peradilan restoratif diharapkan semua pihak dalam posisi yang sama dan sederajat. Keputusan diambil secara bersama-sama oleh semua pihak yang terlibat, dominasi salah satu pihak dikhawatirkan akan mempengaruhi putusan yang dihasilkan. Dominasi salah satu pihak sama sekali tidak diharapkan karena akan merusak tujuan dari keadilan restoratif.
49
b. EmpowermentPemberdayaan terhadap pihak yang tidak dalam posisi yang menguntungkan menjadi suatu keharusan. Pemberdayaan bukan merupakan keberpihakan, akan tetapi upaya membangun keberanian untuk mengutarakan pemikiran, pandangan dan kehendaknya sehingga kebutuhan, pelaku, korban atau masyarakat dapat didengar dan diperhatikan dalam pengambilan keputusan.
c. Honouring legally specific upper limits on sanctionDalam pandangan Braitwaite posisi seorang pelaku tindak pidana bukanlah untuk menerima pembalasan, atau untuk dipermalukan (stigmatisasi) akan tetapi baginya dibangun rasa penyesalan, malu dan menyadari kesalahan yang dibuatnya sebagai bagian dari tujuan proses tersebut.
d. Respectful listeningTujuan restoratif membutuhkan rasa saling menghormati dan berempati antara satu pihak dengan pihak lainnya, maka yang dibutuhkan dalam pendekatan ini bukan hanya keberanian mengemukakan pendapat, perasaan atau keinginan, akan tetapi kemauan untuk mendengarkan keluhan, kemarahan dan keinginan orang lain merupakan bagian dari persyaratan yang dibutuhkan.
e. Equal concern for all stakeholdersPerlunya perhatian yang sama terhadap semua pihak yang berkepentingan dalam perkara tersebut, sehingga apabila korban hanya ditempatkan sebagai bagian dari pihak yang membantu pemulihan pelaku, maka pendekatan dalam program itu masih menggunakan paradigma rehabilitasi dan bukan restoratif. Apabila upaya perbaikan yang dilakukan atas kerusakan hanya semata-mata sebagai gantikerugian, tanpa adanya perbaikan hubunggan antara pihak-pihak tersebut (pelaku, korban, masyarakat), maka paradigma yang dipakai masih menggunakan paradigma reparasi atau restitutif, bukan restoratif.
f. Accountability, appealabilityDalam proses keadilan restoratif akuntabiliitas diartikan sebagai keleluasaan untuk memilih mekanisme penyelesaian harus merupakan pilihan dari semua pihak. Pilihan ini juga mencakup mekanisme penyelesaian
50
melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Makna akuntabilitas menurut Braithwaite bukan terkait dengan informasi berjalannya proses, akan tetapi pada kesepakatan yang dicapai dan bagaimana mengimplementasikannya. Masyarakat memiliki peran besar untuk mengontrak berjalannya kegiatan, utamanya terhadap kesepakatan diluar proses pengadilan.
g. Respect for the fundamental human rightsDalam penyelesaian suatu perkara, asas-asas yang diatur dan terkandung dalam berbagai instrument hak Asasi Manusia serta peraturan lain yang terkait hendaknya menjadi perhatian dan menjadi landasan dalam pengambilan kesepakatan secara bersama-sama.
2. Nilai yang terkait dengan kemampuan untuk melupakan keja-dian pada masa lalu;Kemauan untuk melupakan kejadian pada masa lalu bukan merupakan alasan untuk mentelantarkan atau mencegah proses penyelesaian yang sedang berlangsung. Diterimanya suatu kesepakatan mengandung arti dengan suatu tugas membawa dan menyebarkan nilai baru dan mengubah paradigma masyarakat sekitarnya terhadap tindak pidana yang terjadi.
3. Nilai yang terkandung dalam keadilan restoratif adalah mencegah ketidakadilan, maaf memaafkan, dan rasa terima kasih;Keadilan restoratif pada dasarnya merupakan suatu konsep yang berkembang, termasuk didalamnya pengembangan terhadap ide-ide potensial serta resiko-resiko negatif terhadap pelaksanaan konsep ini.56
Proses dalam Peradilan restoratif harus diaplikasikan
melalui proses nyata, maka untuk dapat menyatakan bahwa proses
tersebut merupakan proses restoratif, maka hal-hal di bawah ini
merupakan ciri dari proses yang menggunakan pendekatan
restoratif, yaitu :
a. Fleksibilitas respon dari lingkungan baik terhadap tindak pi-dana yang terjadi, pelaku maupun korban, bersifat individual dan harus dilihat kasus-perkasus. Respon yang diberikan atas perkara yang terjadi mencerminkan perhatian yang mendalam dan persamaan perlakuan bagi setiap orang ,
56 Eva Achjani, Indriyanto Seno Adji, Ibid. hlm 95
51
membangun pengertian antar sesama anggota masyarakat dan mendorong hubungan yang harmonis antar warga masyarakat untuk menghilangkan kerusakan akibat tindak pidana.
b. Merupakan alternatif penyelesaiannya baik dalam proses maupun pada jenis sanksi yang dijatuhkan;
c. Pendekatan ini juga melingkupi usaha-usaha untuk memec-ahkan masalah yang terjadi dan menyelesaikan segala ben-tuk konflik yang timbul;
d. Pendekatan ini juga melingkupi usaha-usaha untuk memec-ahkan masalah yang terjadi dan menyelesaikan segala kon-flik yang timbul;
e. Pendekatan restoratif ini merupakan usaha yang ditujukan untuk menghilangkan rasa bersalah pelaku dan merupakan media bagi usaha memenuhi kebutuhan korban;
f. Pendekatan ini harus disertai usaha mendorong pelaku mendapat koreksi dan masukan bagi perubahan perilakunya dan mendorong pelaku bertanggungjawab melalui perbu-atan-perbuatan yang berarti;
g. Fleksibilitas dan variabel yang digunakan dalam pendekatan dengan menggunakan paradigma ini dapat diadopsi dari lingkungan, tradisi hukum yang hidup dalam masyarakat serta prinsip dan filosofi yang dianut dalam sistem hukum nasional.57
Bagi pelaku anak-anak/ remaja maka pendekatan
restorative justice sangat tepat sebagai media untuk mengajarkan
nilai-nilai baru bagi pelaku yang masih muda, sehingga dalam
penanggulangan delinkuensi anak dengan pendekatan restorative
justice aturan tata tingkah laku dalam masyarakat menjadi hal
yang utama dan penting dalam usaha mencegah dan merespon
kejahatan serta tingkah laku menyimpang dalam masyarakat.
Dalam perkembangan falsafah proses peradilan restoratif,
maka peradilan adat merupakan bagian yang sangat penting . Hal
ini berdasarkan pada keyakinan bahwa keadilan restoratif
bersumber dari nilai-nilai dalam masyarakat adat yang telah ada
57 Eva Achjani Zulva, Opcit, hlm. 89
52
selama ini, yaitu dalam keadilan restoratif melihat suatu perkara
pidana sebagai:
“Viewed through a restorative justice lens, “crime is a violation of people and relationships. It creates obligations to make things right. Justice involves the victim, the offender, and the community in a search for solution which promote repair, reconciliation, and reassurance.”58
Menurut Howard Zehr, dalam definisi yang disampaikan
menggambarkan pandangan tentang peradilan restoratif tentang
makna tindak pidana yang pada dasarnya sama seperti pandangan
hukum pidana pada umumnya yaitu serangan terhadap individu dan
masyarakat serta hubungan kemasyarakatan. Namun dalam
pendekatan keadilan restoratif , korban utama atas terjadinya
suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana dalam sistem
peradilan pidana yang sekarang ada. Adanya kejahatan
menimbulkan suatu kewajiban untuk membenahi rusaknya
hubungan akibat terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan
keadilan dimaknai sebagai proses pencarian pemecahan masalah
yang terjadi pada perkara pidana dimana keterlibatan korban,
pelaku dan masyarakat menjadi penting dalam usaha perbaikan,
rekonsiliasi dan penjaminan keberlangsungan usaha perbaikan
tersebut. Pandangan ini juag didasarkan pada anggapan tentang
sumber dari nilai yang terkandung dalam peradilan restoratif yang
pada dasarnya bersumber pada nilai dalam hukum adat.
Pelanggaran terhadap hukum adat diterjemahkan sebagai
pelanggaran terhadap garis ketertiban kosmos tersebut.
58 Howard Zehr, Changing Lenses : New Focus for Crime and Justice, Scottdale, Pennsylvania, 1990, p. 181
53
Bagi setiap orang yang dianggap menjalani hukum adat,
garis ketertiban kosmos ini harus dijalani secara serta merta, jika
garis ini tidak dijalankan walaupun hanya oleh seorang individu
maka baik masyarakat maupun orang tersebut akan menderita
karena berada di luar garis tersebut. Perbuatan ini yang disebut
sebagai pelanggaran adat.59 Penyelesaiannya, dalam pandangan
adat tidak ada ketentuan keberlakuannya disertai dengan syarat
yang menjamin ketaatannya dengan jalan menggunakan paksaan.
Sanksi adat tidak sama pengertiannya dengan pemidanaan
sebagaimana yang dijabarkan dalam teori-teori pemidanaan klasik
karena tujuannya berbeda. Suatu penerapan sanksi adat adalah
suatu upaya untuk mengembalikan langkah yang berada di luar
garis kosmos demi tidak terganggunya ketertiban kosmos. Jadi
sanksi adat merupakan usaha mengembalikan keseimbangan yang
terganggu.60
Berkaitan dengan model peradilan pidana dalam sistem
peradilan pidana anak menurut muladi harus ada konsistensi
terhadap pandangan, sikap dan bahkan falsafah yang mendasari
sistem peradilan pidana. Ideologi yang sering disebut sebagai
“model”
Peradilan restoratif merupakan sarana dalam upaya untuk
menyelesaikan konflik secara damai yang dilakukan di luar proses
peradilan dalam suatu proses yang kooperatif dengan melibatkan
semua pihak yang berkepentingan untuk mencapai keadilan bagi 59 Widnyana, Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, Bandung : Eresco, 1995,
hlm. 2760 Eva Achjani Zulfa, Indriyanto Seno Adji, Opcit, hlm.141
54
semua pihak (baik bagi korban maupun pelaku) yaitu adanya
keterlibatan korban, pelaku dan masyarakat dalam usaha
perbaikan, rekonsiliasi dan penjaminan keberlangsungan usaha
perbaikan tersebut.
B. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Gambaran Umum Kota Bima
Bima atau yang disebut juga dengan Dana Mbojo telah men-
galami perjalanan panjang dan jauh mengakar ke dalam Sejarah.
Menurut Legenda sebagaimana termaktub dalam Kitab BO (Naskah
Kuno Kerajaan dan Kesultanan Bima), kedatangan salah seorang
musafir dan bangsawan Jawa bergelar Sang Bima di Pulau Satonda
merupakan cikal bakal keturunan Raja-Raja Bima dan menjadi per-
mulaan masa pembabakan Zaman pra sejarah di tanah ini. Pada
masa itu, wilayah Bima terbagi dalam kekuasaan pimpinan wilayah
yang disebut Ncuhi. Nama para Ncuhi terilhami dari nama wilayah
atau gugusan pegunungan yang dikuasainya.
Ada lima orang ncuhi yang tergabung dalam sebuah Federasi
Ncuhi yaitu, Ncuhi Dara yang menguasai wilayah Bima bagian ten-
gah atau di pusat Pemerintah. Ncuhi Parewa menguasai wilayah
Bima bagian selatan, Ncuhi Padolo menguasai wilayah Bima bagian
Barat, Ncuhi Banggapupa menguasai wilayah Bima bagian Timur,
dan Ncuhi Dorowuni menguasai wilayah Utara. Federasi tersebut
sepakat mengangkat Sang Bima sebagai pemimpin. Secara De Jure,
55
Sang Bima menerima pengangkatan tersebut, tetapi secara de
Facto ia menyerahkan kembali kekuasaannya kepada Ncuhi Dara
untuk memerintah atas namanya.
Pada perkembangan selanjutnya, putera Sang Bima yang
bernama Indra Zambrut dan Indra Komala datang ke tanah Bima. In-
dra Zamrutlah yang menjadi Raja Bima pertama. Sejak saat itu Bima
memasuki Zaman kerajaan. Pada perkembangan selanjutnya men-
jadi sebuah kerajaan besar yang sangat berpengaruh dalam percat-
uran sejarah dan budaya Nusantara. Secara turun temurun memer-
intah sebanyak 16 orang raja hingga akhir abad 16.
Fajar islam bersinar terang di seluruh Persada Nusantara an-
tara abad 16 hingga 17 Masehi. Pengaruhnya sagat luas hingga
mencakar tanah Bima. Tanggal 5 Juli 1640 Masehi menjadi saksi dan
tonggak sejarah peralihan sistem pemerintahan dari kerajaan
kepada kesultanan. Ditandai dengan dinobatkannya Putera Mahkota
La Ka’i yang bergelar Rumata Ma Bata Wadu menjadi Sultan Per-
tama dan berganti nama menjadi Sultan Abdul Kahir (kuburannya di
bukit Dana Taraha sekarang). Sejak saat itu Bima memasuki perad-
aban kesultanan dan memerintah pula 15 orang sultan secara turun
menurun hingga tahun 1951.
Masa kesultanan berlangsung lebih dari tiga abad lamanya.
Sebagaimana ombak dilautan, kadang pasang dan kadang pula su-
rut. Masa-masa kesultanan mengalami pasang dan surut dise-
babkan pengaruh imperialisme dan kolonialisme yang ada di Bumi
Nusantara. Pada tahun 1951 tepat setelah wafatnya sultan ke-14
56
yaitu sultan Muhammad Salahudin, Bima memasuki Zaman ke-
merdekaan dan status Kesultanan Bima pun berganti dengan pem-
bentukan Daerah Swapraja dan swatantra yang selanjutnya berubah
menjadi daerah Kabupaten.
Pada tahun 2002 wajah Bima kembali di mekarkan sesuai
amanat Undang-undang Nomor 13 tahun 2002 melaui pembentukan
wilayah Kota Bima. Hingga sekarang daerah yang terhampar di
ujung timur pulau sumbawa ini terbagi dalam dua wilayah adminis-
trasi dan politik yaitu Pemerintah kota Bima dan Kabupaten Bima.
Kota Bima saat ini telah memliki 5 kecamatan dan 38 kelurahan.
Secara geografis Kota Bima terletak di bagian timur Pulau
Sumbawa pada posisi 118°41'00"-118°48'00" Bujur Timur dan
8°20'00"-8°30'00" Lintang Selatan. Tingkat curah hujan rata-rata
132,58 mm dengan hari hujan: rata-rata 10.08 hari/bulan.
Sementara matahari bersinar terik sepanjang musim dengan rata-
rata intensitas penyinaran tertinggi pada Bulan Oktober, dengan
suhu 19,5 °C sampai 30,8 °C.
Kota Bima memiliki areal tanah berupa: persawahan seluas
1.923 hektare (94,90% merupakan sawah irigasi), hutan seluas
13.154 ha, tegalan dan kebun seluas 3.632 ha, ladang dan huma
seluas 1.225 ha dan wilayah pesisir pantai sepanjang 26 km
Kota Bima berdasarkan data tahun 2000 tercatat sebesar
116.295 jiwa yang terdiri dari 57.108 jiwa (49%) penduduk laki-laki
dan 59.187 jiwa (51%) penduduk perempuan. Sebaran penduduk
57
kurang merata, konsentrasi penduduk berada di pusat-pusat
kegiatan ekonomi dan pemerintahan. Penduduk terbanyak berada
di Kelurahan Paruga, yaitu berjumlah 12.275 jiwa (11%) dan paling
sedikit di Desa Kendo yang berjumlah 1.130 jiwa (1%). Selanjutnya
berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, penduduk Kota
Bima berjumlah 142.443 jiwa yang terdiri dari 69.8411 jiwa laki-laki
dan 72.602 jiwa perempuan.
Komposisi penduduk Kota Bima berdasarkan mata
pencaharian didominasi oleh petani/peternak dan
jasa/pedagang/pemerintahan yang besarnya masing-masing
45,84% dan 45,05%. Jenis pekerjaan yang digeluti penduduk Kota
Bima antara lain: petani 15.337 orang, nelayan 425 orang, peternak
13.489 orang, penggalian 435 orang, industri kecil 1.952 orang,
industri besar/sedang 76 orang, perdagangan 1.401 orang, ABRI
304 orang, guru 1.567 orang dan PNS berjumlah 2.443 orang
Mayoritas penduduk Kota Bima memeluk agama Islam yaitu
sekitar 97,38% dan selebihnya memeluk agama Kristen Protestan
0,89%, Kristen Katholik 0,62% dan Hindu/Budha sekitar 1,11%.
Sarana peribadatan di Kota Bima terdiri dari Masjid sebanyak 51
unit, Langgar/Mushola 89 unit dan Pura/Vihara 3 unit. Sedangkan
fasilitas sosial yang ada di Kota Bima meliputi Panti Sosial Jompo
dan Panti Asuhan sebanyak 6 Panti yang tersebar di 3 kecamatan.
Masyarakat Bima adalah masyarakat yang religius. Secara historis
Bima dulu merupakan salah satu pusat perkembangan Islam di
58
Nusantara yang di tandai oleh tegak kokohnya sebuah kesultanan,
yaitu kesultanan Bima. Islam tidak saja bersifat elitis, hanya
terdapat pada peraturan-peraturan formal-normatif serta pada
segelintir orang saja melainkan juga populis, menjadi urat nadi dan
darah daging masyarakat, artinya juga telah menjadi kultur
masyarakat Bima.
Berdasarkan potensi sumber daya yang ada, berbagai
peluang investasi cukup prospektif untuk dikembangkan di Kota
Bima, antara lain di bidang: jasa, termasuk pengangkutan,
kelistrikan dan telekomunikasi, perdagangan,
agrobisnis/agroindustri, industri air minum kemasan, industri kecil
dan kerajinan, pariwisata dan pendidikan. Peluang tersebut
didukung oleh ketersediaan sarana/prasarana yang cukup memadai
seperti transportasi dan telekomunikasi, pasar dan pertokoan,
maupun jasa perbankan. Di samping itu Pemerintah Kota Bima
memberikan berbagai insentif bagi investor yang menanamkan
modalnya berupa kemudahan perizinan dan penyediaan sarana
pendukung
2. Gambaran Anak Yang berhadapan dengan Hukum (ABH)
Masa anak-anak adalah masa dimana seseorang mengalami
periode penting hidupnya yaitu masa belajar dan bermain, pada
masa ini pula seseorang sangat peka terhadap pengaruh 59
lingkungannya. Selain itu anak merupakan individu yang belum
matang baik secara fisik, mental maupun sosial. Karena kondisinya
ini anak memiliki potensi terhadap segala kemungkinan positif
ketika mereka dilindungi dari resiko kekerasan, perlakuan salah dan
eksploitasi, dari resiko malnutrisi, berhenti sekolah dan lain-lain.
Namun anak juga beresiko untuk terlibat atau dilibatkan dalam
kenakalan dan kegiatan kriminal yang dapat membuat mereka
terpaksa berhadapan dengan hukum dan sistem peradilan.
Anak-anak yang menghadapi kelaparan dan kemiskinan,
menjadi korban kekerasan dalam keluarga, penelantaran,
eksploitasi, serta yang dihadapkan pada kekerasan, alkohol,
menjadi korban penyalahgunaan obat pada umumnya terpaksa
berhadapan dengan hukum.61 Mereka umumnya berhubungan
dengan teman-teman atau orang-orang yang memiliki tingkah laku
yang mengarah kepada kenakalan atau lebih jauh kepada kejahatan
atau tindak pidana.
Di Indonesia setiap tahunnya lebih dari 5.000 anak
dihadapkan di pengadilan. Sebagian besar pelanggaran yang
mereka lakukan adalah tergolong ringan, seperti pencurian dalam
jumlah yang kecil, namun hampir 90% anak-anak ini berakhir di
penjara atau rumah tahanan.62 Data dari Komnas Perlindungan Anak
pada tahun 2009, terdapat 5.308 anak yang berada di 16 lembaga
pemasyarakatan, dan mereka ditempatkan bersama pelaku kriminal
61 Apong Herlina, et.al. Perlindungan Terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, UNICEF, Jakarta, 2004. Hlm. 94
62 Tim ABH Propinsi Jawa Tengah-Unicef, 2007, Inisiatif RJ untuk Anak di Jawa Tengah, hlm.3
60
dewasa. Kondisi sel yang sesak dan ketiadaan akses pada layanan
kesehatan, pendidikan atau aktivitas rekreasi menyebabkan anak
yang ditempatkan dalam lembaga-lembaga penahanan dan penjara
sangat rentan serta berisiko mengalami kekerasan dan perlakuan
salah oleh sesama penghuni terutama yang dewasa dan bahkan
oleh para petugas yang ada. Lingkungan seperti itu tidak layak
untuk melaksanakan rehabilitasi dan reintegrasi anak ke dalam
masyarakat, serta untuk pendidikan mereka, bahkan dapat
menyebabkan mereka menjadi beban jangka panjang bagi
masyarakat. Data pelaku anak delinkuen adalah sebagai berikut:
Tabel 1DATA PELAKU ANAK DELINKUEN/ANDIKPAS
DI DALAM LPA DAN DILUAR LPAPER JULI 2009
DALAM LPA DI LUAR LPA
TOTAL Jumlah
JENIS KELAMI
N
L P L P L P
Anak Tahana
n
490(22,5
%)
4 (0,1%)
1.628(46,9%)
50(2,3%)
2.118(97,5%)
54(2,5%)
2.172(100%)
Anak Didik
1.315(37,9%
)
165(4,7%
)
1.916(55,2%)
70(2,0%)
3.231(93,2%)
235(6,7%)
3.466(100%)
Anak Negara
44(22,9%
)
3(1,9%
)
103(68,2
5)
1(0,6%)
147(97,3%)
4(2,6%)
151(100%)
Jumlah 1.849(31,9)
3.647(62,95)
5.496(94,9%)
5.789(100%)
Sumber : Ditjen Pemasyarakatan Depkumham, 6 November 2009.
ANDIKPAS : Anak Didik PemasyarakatanLPA : Lembaga Pemasyarakatan Anak.
61
Kondisi kehidupan anak di dalam lembaga pemasyarakatan
dapat digambarkan sebagai tempat yang sangat tidak ideal bagi
tumbuh kembangnya seorang anak, seperti yang disampaikan
Harold Maslow tentang Hierarchy of Needs, yang menjelaskan
bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan yang terdiri dari basic
needs (physiological), safety needs, belongingness and love needs,
esteem needs, self actualization.63 Bagi anak-anak khususnya
terkait dengan kebutuhan akan rasa aman (safety needs) diperoleh
dari kehadiran orang tua atau anggota keluarganya. Penempatan
anak di Lembaga Pemasyarakatan akan memutuskan hubungan
antara anak dan orang tua serta keluarga lainnya sehingga anak
kehilangan rasa aman dan muncul kecemasan. Kebutuhan anak-
anak untuk memiliki dan dicintai oleh teman sebaya selama di
dalam Lembaga Pemasyarakatan menjadi hilang.
Selama anak menjalani pembinaan seringkali memaksa anak
menjadi bagian dari kelompok-kelompok yang dikuasai orang
dewasa di dalam lembaga. Kehidupan di dalam lembaga memaksa
anak tidak punya pilihan dengan siapa mereka akan berteman dan
bergabung dalam kelompok. Maslow menjelaskan, bahwa menjadi
bagian dari kelompok dan diterima dalam kelompok merupakan hal
yang sangat penting bagi anak, namun jika hal ini tidak dipenuhi
akan muncul perasaan ditolak oleh kelompoknya, tidak berharga
yang pada akhirnya menurunkan harga diri seseorang.64
63 Analisis Situasi, Anak yang Berhadapan dengan Hukum di Indonesia, Unicef dan Pusat kajian Kriminologi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia 2006 – 2007, hlm. 117
64 Ibid
62
Berdasarkan laporan yang masuk ke Direktorat III Tindak
Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri tercatat 967 kasus anak yang
berhadapan dengan hukum pada tahun 2011, jumlah tersebut
hanya merangkum kedudukan anak sebagai pelaku tindak pidana.
Jumlah tersebut kemungkinan besar bertambah karena baru 23 dari
31 Polda yang menyampaikan laporan. Kepala Subdit III Direktorat
Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri Kombes Pol. Napoleon
Bonaparte, menjelaskan kemungkinan angka itu bertambah karena
belum semua Polres memiliki unit pelayanan perempuan dan anak
(PPA).65
Berdasarkan data tersebut, kasus yang paling banyak
dilakukan anak adalah penganiayaan (236 kasus), selanjutnya
pencurian 166 kasus, perbuatan cabul (KUHP 128 kasus), dan
pengeroyokan 64 kasus. Jumlah pencurian menjadi bertambah
apabila digabung dengan percobaaan pencurian 5 kasus, dan
pencurian dengan kekerasan 36 kasus. Kasus pencabulan juga
bertambah apabila digabung dengan pencabulan berdasarkan
Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu 9 kasus, percobaan
pemerkosaan 5 kasus dan pemerkosaan 15 kasus. Polda Sumbar
paling banyak melaporkan kasus anak yang berhadapan dengan
hukum (161 kasus), selanjutnya Bengkulu 114 kasus, Lampung
terdapat 108 kasus, dan Jawa Tengah 104.
Dewi Nastiti selaku Kasubdit Registrasi Anak dan Klien Dewasa
Ditjen Pemasyarakatan mencatat per Januari 2012 terdapat 2.178
65 www.hukumonline.com, Selasa , 14 Februari 2012.
63
tahanan anak di seluruh Indonesia. Berdasarkan data per Januari
2011 terdapat 5.451 anak yang berada di lembaga-lembaga
penahanan dan pemasyarakatan seluruh Indonesia.66 Sebanyak
1.971 diantaranya menunggu atau tengah menjalani proses
peradilan sebagai tahanan dan 3.480 telah dijatuhi pidana penjara.
Meskipun sebagian besar jenis pelanggaran hukum yang dilakukan
anak masih tergolong ringan (petty crimes), proses peradilan sejauh
ini masih melakukan penahanan dan pada akhirnya menjatuhkan
pidana penjara kepada anak.
Selama periode 2011 sampai dengan September 2013 jumlah
anak yang berhdapan dengan hokum sebagai pelaku tindak pidana
di NTB selalu meningkat baik kuantitas maupun kualitas
kejahatannya hal tersebut dapat dilihat dari grafik berikut :
Sumber : BAPAS Mataram dan BAPAS Sumbawa
Dari data tersebut nampak bahwa jumlah anak sebagai pelaku
tindak pidana di pulau Sumbawa mengalami peningkatan dari tahun 66 Pusat Kajian Perlindungan Anak, Mekanisme Pembinaan, Rehabilitasi dan Reintegrasi
Sosial bagi Anak Di Indonesia, 2011, hlm.v
64
ke tahun sedangkan di pulau Lombok mengalami tren penurunan.
Dari sisi tindak pidana yang dilakukan antara lain kejahatan asusila,
perjudian, penganiayaan, pencurian, pengrusakan, perkelahian,
kepemilikan sejata tajam dan narkotika.
Khusus untuk di kota dan kabupaten Bima jumlah anak yang
melakukan tindak pidana juga mengalami peningkatan di tahun
2011 terdapat 58 orang, kemudian tahun 2012 turun menjadi 53
orang dan tahun 2013 menglami peningkatan yang cukup signifikan
dimana pada periode Januari – Oktober 2013 sudah terdapat 63
orang anak yang ditangani oleh BAPAS Sumbawa.
Tingginya angka anak pelaku kejahatan memperlihatkan
adanya indikasi peningkatan jumlah penangkapan dan penahanan
anak oleh polisi, yang pada akhirnya membawa dampak bagi
semakin besarnya anak yang masuk dalam proses peradilan pidana.
Lebih jauh lagi kondisi ini membuka peluang bagi penempatan anak
di rumah tahanan maupun di lembaga pemasyarakatan. Hal ini juga
memperlihatkan bahwa dalam penanganan anak yang berhadapan
dengan hukum aparat penegak hukum lebih memilih proses hukum
formal daripada proses hukum non-fomal serta menghindarkan anak
dari penahanan sebelum pengadilan sebagaimana tercantum dalam
Konvensi Hak Anak Pasal 37 (b), The Beijing Rules (Butir 13.1 dan 2)
dan UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 66),
yang secara jelas dinyatakan bahwa penangkapan, penahanan
terhadap anak harus dilakukan sesuai hukum dan akan diterapkan
sebagai suatu upaya terakhir.
65
Dari data penanganan anak sebagai pelaku tindak pidana di
kota Bima berdasarkan hasil wawancara dengan Unit PPA Polres
Kota Bima diberikan sebuah gambaran bahwa dalam penanganan
anak sebagai pelaku tindak pidana sekitar 30% kasus diselesaikan
di luar pengadilan dengan melakukan proses diversi, namun jumlah
tersebut tidak tercatat secara khusus dikarenakan seringkali untuk
perkara-perkara yang ringan dan menurut penyidik hal tersebut
dimungkinkan dapat dilakukan proses Restorative Justice melalui
Diversi maka kasus tersebut tidak dimasukan dalam Laporan Polisi
sehingga kasus tersebut tidak tercatat secara khusus.
3. Mekanisme Restorative Justice dalam Penanganan ABH di
Kota Bima
Dalam tataran normatif UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (pasal 7) dan UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian,
polisi mempunyai kewenangan menghentikan penyidikan perkara.
Hal ini sejalan dengan Konvensi Hak Anak dan The Beijing Rules
yang memberikan peluang bagi dilakukannya Diversion (Diversi)
oleh Polisi dan Penuntut umum serta pejabat lain yang berwenang.
Diversi adalah suatu pembelokan atau penyimpangan penanganan
anak pelaku delinkuen di luar jalur yustisial konvensional.67 Diversi
dapat menghindarkan anak dari proses stigmatisasi yang lazimnya
terjadi dalam proses pemidanaan anak lewat Sistem Peradilan 67 Paulus Hadisuprapto,. Peradilan Restoratif : Model Peradilan Anak Indonesia Masa
Datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2006, Hlm. 16.
66
Pidana, selain itu keberadaan diversi diperlukan bagi perlindungan
kepentingan terbaik bagi anak karena melalui diversi kemungkinan
penuntutan pidana gugur, rekor anak sebagai bekas terdakwapun
tak ada dan dengan sendirinya stigmatisasi atas diri anakpun tak
terjadi.68
Undang-undang no 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak yang mengantikan Undang-undang No 3 tahun 1997
tentang Pengadilan anak secara khusus mengatur tentang Diversi
bahkan dalam undang-undang ini juga mengatur sanksi pidana
kepada Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim yang tidak melakukan
upaya diversi. Meskipun undang-undang ini baru akan berlaku 2
tahun lagi namun di Nusa Tenggara Barat khususnya di pulau
Lombok ternyata diversi telah dilakukan dengan berbagai model
atau cara.
Menurut I Gusti Lanang Bratasuta Kabag Binops
Ditreskrimum Polda NTB69, selain melaksanakan proses hukum
sebagaimana diatur dalam undang-undang dalam penanganan ABH
di lingkup Polda NTB juga banyak kasus yang diselesaikan melalui
jalur non hukum (non penal settlement) dalam berbagai cara antara
lain :
a. Perkara yang dilaporkan kepada polisi yang kemudian ditangani
oleh Unit PPA namun menurut polisi perkara tersebut tergolong
ringan seperti pencurian ringan, penganiayaan ringan dan
perkelahian siswa biasanya akan dicoba untuk dimediasi 68 Ibid. hlm. 17.69 Diolah dari wawancara dengan I Gusti Lanang Bratasuta tanggal 2 Nopember 2013 di
Mapolda Nusa Tenggara Barat
67
langsung oleh polisi sehingga apabila mediasi berhasil kasus
tersebut tidak diproses. Proses mediasi ini seringkali polisi juga
melibatkan stakeholder lain antara lain Lembaga Perlindungan
Anak dan Satuan Bhakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos) dari
kementerian Sosial.
b. Perkara yang dilaporkan merupakan perkara adat sehingga
penyelesaiannya dikembalikan kepada masyarakat adat untuk
menyelesaikan sebagai contoh adalah perkara Merariq. Dalam
masyarakat adat Sasak di pulau Lombok salah satu cara untuk
menikah adalah dengan cara membawa lari mempelai
perempuan, dalam proses ini seringkali perempuan yang dibawa
lari masih dibawah umur. Meskipun hal ini telah memenuhi unsur
dalam Undang-undang perlindungan anak maupun KUHP namun
berdasarkan kesepakatan dalam Gawe Beleq Masyarakat Adat
Sasak perkara ini diselesaikan melalui mekanisme adat.
c. Kepolisian saat ini sedang mengembangkan program 1 (satu)
Desa/Kalurahan 1 (satu) polisi (Bhabinkamtibmas), Tujuan dari
program ini antara lain adalah masyarakat dapat menyelesaikan
sendiri berbagai persoalan Kamtibmas yang terjadi dengan
difasilitasi oleh Bhabinkamtibmas sehingga beberapa perkara
tindak pidana ringan termasuk tindak pidana yang dilakukan oleh
anak-anak diselesaikan sendiri oleh masyarakat.
Kebijakan Diversi yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah Nusa
Tenggara Barat ini mengunakan kewenangan diskresional
sebagaimana diatur dalam UU no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian.
68
Lebih lanjut menurut Imam Purwadi dari Divisi Hukum dan
Advokasi Lembaga Perlindungan Anak NTB (LPA NTB)70, saat ini
Polda NTB bersama Badan Pemberdayaan, Perlindungan Perempuan
dan Anak Keluarga Berencana (BP3AKB), Dinas Sosial, BAPAS,
KEMENKUMHAM, Lembaga Perlindungan Anak, Dinas Pendidikan dan
beberapa LSM yang tergabung Komite Perlindungan dan Rehabilitasi
Sosial Anak Berhadapan Dengan Hukum (KPRS ABH NTB) telah
menyusun Standar Operasional Penanganan ABH di propinsi NTB
yang salah satu yang diatur adalah pelaksanaan Diversi, dalam hal
Unit PPA menerima kasus yang melibatkan anak maka kasus
tersebut akan dilimpahkan kepada tim analisis yang dibentuk dari
anggota KPRS ABH untuk ditelah dan direkomendasikan apakah
akan didiversi atau dilanjutkan proses hukum, apabila kasus
tersebut akan di diversi maka KPRS ABH akan menunjuk jejaring
yang akan menangani kasus tersebut sedangkan apabila kasus
tersebut akan dilanjutkan proses hukum maka KPRS ABH akan
menunjuk jejaring yang akan mendampingi anak dalam proses
hukum. Mekanisme penanganan ABH dapat digambarkan sebagai
berikut :
70 Diolah dari wawancara dengan Imam Purwadi tanggal 3 Nopember 2013 di Kantor LPA NTB.
69
4. Pelaksanaan Diversi
Proses pelaksanaan diversi di Kota Bima berdasarkan hasil
FGD dengan Para penyidik di Unit PPA Polres Kota Bima
dilaksanakan melalui 2 (dua) jalur yaitu melalui sekolah dan
masyarakat.
Sebelum dilakukan diversi ada beberapa prasyarat yang harus
dipenuhi yaitu :
a. Pengakuan atau pernyataan bersalah dari pelaku.
b. Persetujuan dari pihak korban untuk melaksanakan
penyelesaian di luar peradilan pidana anak yang berlaku.
c. Dukungan komunitas setempat (masyarakat/sekolah) untuk
melaksanaan penyelesaian di luar sistem peradilan pidana
anak.71
Sedangkan criteria kasus yang dapat dilakukan diversi adalah :
71 Hasil wawancara dan diskusi dengan penyidik di Unit PPA Polres Kota Bima.
70
a. Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara dibawah 7
tahun
b. Tidak menyebabkan luka berat atau cacat seumur hidup
c. Bukan merupakan kejahatan terhadap kesusilaan yang serius
yang menyangkut kehormatan
d. Bukan merupakan tindak pidana pelanggaran lalu lintas
e. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana
Proses pelaksanaan diversi dilakukan melalui musyawarah
sesuai dengan kebiasaan bermusyawarah yang telah melembaga di
dalam masyarakat dengan melibatkan keluarga pelaku dan
keluarga korban. Tujuan yang hendak dicapai dalam proses
musyawarah adalah untuk memulihkan segala kerugian dan “luka”
yang telah diakibatkan oleh peristiwa kenakalan anak tersebut.
Hasil dari musyawarah bisa berupa mufakat namun juga
dimungkinkan tidak ada kata mufakat dari kedua belah pihak.
Apabila terjadi kata mufakat dan pelaku dapat menyelesaikan
kewajiban sebagaimana yang disepakati dalam musyawarah maka
diversi dianggap berhasil namun apabila tidak dapat dicapai
mufakat maka diversi dianggap gagal dan perkara akan dilanjutkan
dalam proses hukum.
Pelaksanaan diversi melalui jalur pendidikan baik itu sekolah
maupun madrasah difasilitasi oleh Guru Bimbingan Konseling dan
wali kelas, meskipun belum sepenuhnya sekolah di Bima
mempunyai kepedulian dan pemahaman tentang pelaksanaan
diversi ini namun dibeberapa sekolah telah melaksanakan diversi
71
yang memberikan hukuman terhadap siswa yang melakukan tindak
pidana tersebut dengan hukuman peringatan, mengikuti pesantren
kilat bahkan apabila sudah beberapa kali diberikan hukuman yang
sifatnya mendidik masih kembali mengulangi perbuatannya maka
terpaksa siswa bersangkutan dikeluarkan dari sekolah.
Pelaksanaan diversi melalui jalur masyarakat selama ini
menurut dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu :
a. Mediasi penal, proses ini dilakukan dengan memediasi kedua
belah pihak yaitu pelaku dengan keluarganya dan korban dengan
keluarganya tanpa melibatkan masyarakat, kemudian hasil
kesepakatan mediasi tersebut dituangkan dalam kesepakatan
damai dan kemudian apabila korban telah lapor kepada polisi
maka korban akan mencabut laporan yang sudah dilaporkan.
b. Musyawarah Masyarakat, proses ini dilakukan dengan
mengunakan pranata social yang ada di masyarakat seperti RT,
RW, Lingkungan, Desa atau Kelurahan, hal ini berbeda dengan di
Pulau Lombok yang masih terdapat pranata adat seperti Krama
atau Banjar di Kota Bima pranata adat seperti itu hamper sudah
tidak ada sehingga pranata social yang ada di masyarakat yang
dominan adalah pranata resmi pemerintah dari tingkat RT.
Dalam implementasinya terdapat berbagai persolan yang
dihadapi antara lain :
a. Persetujuan dari korban atau keluarganya, salah satu prasyarat
dari pelaksanaan diversi adalah persetujuan korban atau
keluarganya, seringkali keluarga korban sangat ngotot untuk
72
melanjutkan proses hukum pelaku. Sebagai contoh kasus DM (14
tahun) pelajar salah satu SMP di kota Bima yang melakukan
pemukulan terhadap teman sekelasnya AR (14 tahun), orang tua
AR bersikukuh melanjutkan proses hukumnya meskipun antara
DM dan AR sebenarnya sudah berbaikan bahkan AR sering
mengantar DM untuk wajib lapor ke Unit PPA.
b. Seringkali persetujuan korban atau keluarganya baru terjadi
ketika polisi sudah melanjutkan kasus tersebut (telah dilakukan
SPDP) sehingga mau tidak mau meskipun korban dan pelaku
sudah berdamai proses tetap dilanjutkan.
c. Persetujuan korban/keluarganya seringkali bersifat transaksional
yang kadang memberatkan pelaku. Dalam beberapa kasus
korban/keluarganya bersedia berdamai dan memaafkan pelaku
disertai dengan permintaan ganti kerugian kepada korban
/keluarganya yang jumlahnya beberapa kali lipat dari kerugian
riil yang dialami oleh korban.
d. Pelaku mengulangi kembali perbuatan, pelaksanaan diversi
seringkali tidak membuat sadar pelaku dan malah sering
menganggap hal tersebut sebagai peluang untuk mengulangi
perbuatannya. Hal ini terjadi karena sering diversi bersifat hanya
mendamaikan keduabelah pihak belaka tanpa ada proses
pembinaan dan pemulihan bagi pelaku.
e. Diversi dianggap sebagai peluang untuk memanfaatkan anak
sebagai pelaku tindak pidana. Kasus MA (13 Tahun) seorang
anak SD yang beberapa kali tertangkap melakukan pencurian
73
dari pencurian alat-alat tulis di sekolah, tanaman hias sampai
perhiasan. Karena dianggap masih kecil maka beberapa kali
ditangkap kemudian dikembalikan kepada orang tuanya tapi
ternyata mengulangi kembali perbuatannya, Setelah dilakukan
pemeriksaan MA mengaku bahwa perbuatan yang dilakukannya
adalah atas perintah dari orang tuanya. Kasus MA bukan satu-
satunya kasus eksploitasi anak untuk melakukan tindak pidana,
beberapa kasus pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan
oleh anak selalu diotaki oleh orang dewasa.
Berbagai permasalahan yang terjadi menunjukan bahwa
selain diversi diperlukan sebagai “Klep Pengaman” untuk
menghindarkan anak dari stigmatisasi dan tekanan proses peradilan
pidana, namun diversi juga dapat menjadi pengancam bagi masa
depan anak khususnya anak yang berhadapan dengan hukum
apabila tidak dibarengi dengan tindakan pembinaan dan pemulihan.
Terkait dengan pelaksanaan Restorative Justice di Kota Bima
pelaksanaannya memang lebih banyak dilakukan di tingkat
penyidikan, namun berbeda dengan di pulau Lombok pelaksanaan
diversi di Kota Bima lebih banyak dilakukan sendiri oleh penyidik
dengan melibatkan masyarakat dan Sekolah tanpa adanya pihak
lain seperti LSM, LPA atau fasilitator lainnya hal ini disebabkan tidak
adanya pihak-pihak tersebut yang aktif di Kota Bima selain itu
seringkali proses Diversi juga tidak dibarengi dengan proses
Restorasi terhadap pelaku dikarenakan di Bima juga tidak terdapat
74
Panti Khusus yang bias melakukan pembinaan secara khusus
terhadap anak-anak yang melakukan tindak pidana.
Ketidakberadaan sarana dan personil Rehabilitasi social ini
dikhawatirkan akan menjadi masalah dalam penerapan Undang-
undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak yang akan berlaku tahun 2014 mendatang. Hal ini dikarenakan
Roh dari undang-undang tersebut adalah Restorative Justice yang
menekankan perlunya penanganan yang integral antara kebijakan
Penal dan Non Penal dalam penanganan Anak yang berhadapan
dengan hokum. Kebijakan non penal dimaksud salah satunya adalah
rehabilitasi psikis, fisik dan social bagi anak.
Apabila sebuah kasus hanya kemudian diselesaikan melalui
mediasi dan tercapai kata sepakat belum tentu hal tersebut sudah
sesuai dengan konsep restorative justice apabila kemudian tidak
dibarengi dengan tindakan-tindakan restorasi baik itu kepada
korban maupun pelaku. Tindakan-tindakan restorasi tidak akan bias
dilaksanakan melalui pendekatan penal dan dilakukan oleh aparat
penegak hokum namun pelaksanaan restorasi harus melibatkan
pihak lain dalam hal ini pemerintah atau LSM atau swasta yang
menjadi pemangku kepentingan dibidang kesehatan, pendidikan
dan social.
Pelaksanaan diversi tanpa didukung dengan tindakan restorasi
hanya akan menimbulkan keadilan-keadilan transaksional dimana
pelaku anak dibebankan sejumlah nominal tertentu agar kasusnya
tidak dilanjutkan dalam proses hokum pidana, tuntutan itu akan
75
diminta oleh korban bahkan dengan kondisi pemberian kewenangan
yang cukup besar pada aparat penegak hokum untuk melakukan
diversi juga dikhawatirkan akan menjadi lading korupsi baru bagi
penegak hokum dengan melakukan “transaksi-transaksi khusus”
agar kasus tersebut di diversi, sedangkan proses untuk melakukan
restorasi yang menjadi tujuan utama dari dilakukannya diversi
malah tidak dilaksanakan.
C. SIMPULAN DAN SARAN
1. Simpulan
Secara keseluruhan simpulan yang diperoleh dari penelitian
ini adalah sebagai berikut :
1. Pelaksanaan Restorative Justice melalui Diversi meskipun secara
normatif baru berlaku pada tahun 2014 sesuai dengan pasal 108
UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
namun secara faktual telah dilaksanakan di Kota Bima melalui
kewenangan diskresional kepolisian.
2. Pelaksanaan Restorative Justice melalui Diversi di Kota Bima
dilaksanakan melalui jalur pendidikan (sekolah/Madrasah) yaitu
dengan melibatkan guru Bimbingan Konseling dan melalui jalur
Masyarakat yaitu dengan melibatkan tokoh formal di masyarakat
dari tingkat RT/lingkungan sampai tingkat Desa/Kalurahan.
3. Pelaksanaan Restorative Justice melalui Diversi di kota Bima
belum sepenuhnya maksimal dikarenakan tidak didukung sarana
76
prasarana dan sumber daya dibidang Non Penal seperti
keberadaan panti rehabilitasi, Shelter (rumah aman) maupun
fasilitator-fasilitator restorative justice.
4. Dalam implementasinya meskipun Diversi ditujukan untuk
melindungi anak dari stigmatisasi dan tekanan proses peradilan
namun apabila diversi dilakukan secara serampangan (tidak
hati-hati) dan tidak diikuti dengan tindakan pembinaan dan
pemulihan maka diversi malah akan menjadi pengancam bagi
masa depan anak-anak khususnya Anak yang berhadapan
dengan hukum.
2. Saran
Sebagai saran dari hasil analisis terhadap implementasi
Diversi terhadap penanganan Anak Berhadapan dengan Hukum di
Kota Bima dapat disampaikan sebagai berikut :
a. Dalam rangka penanganan ABH diperlukan peran multipihak
yaitu : Keluarga, Masyarakat, Aparat Penegak Hukum, dinas atau
Instansi terkait, LSM dan Swasta.
b. Penanganan ABH seyogyanya tidak dilakukan parsial-parsial
namun harus dilakukan secara komprehensif dari preemptif,
preventif dan rehabilitatif.
c. Implementasi diversi harus dilakukan secara hati-hati dan tidak
serampangan yang harus diikuti tindakan pembinaan dan
77
pemulihan dengan melibatkan para pemangku kebijakan di
bidang kesehatan, pendidikan dan sosial.
78
DAFTAR PUSTAKA
Beck, Elizabeth, et.al, In the Shadow of Death Restorative Justice and
Death Row Families, Oxford University Press, New York, 2007.
Hadisuprapto, Paulus. Peradilan Restoratif : Model Peradilan Anak
Indonesia Masa Datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2006.
Herlina, Apong, et.al. Perlindungan Terhadap anak yang berkonflik dengan
hukum, UNICEF, Jakarta, 2004.
Marshall, Tony F., Restorative Justice an Overview, The Home Office
Research Development and Statistics Directorate, London, 1999
Medan, Karolus Kopong, PERADILAN REKONSILIATIF Konstruksi
Penyelesaian Kasus Kriminal Menurut Tradisi Masyarakat
Lamaholot di Flores - Nusa Tenggara Timur, Disertasi pada
Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, 2006.
Miers, David, An International Review of Restorative Justice Home Office
Policing and Reducing Crime Unit Research, Development and
Statistics Directorate, London, 2001
Reichel, Philip L., Comparative Criminal Justice System, Prentice Hall, New
Jersey, 2002.
79
Soetodjo, Wagiati,Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006.
United Nations, Handbook on Restorative Justice Programmes, New York,
2006.
Zulfa, Eva Achjani, Pergeseran Paradigma Pemidanaan di Indonesia, Jurnal
Hukum & Pembangunan Tahun ke-36 No 3 Juli-September 2006.
80