IMPLEMENTASI KEBIJAKAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH...

19
97 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN PADA DINAS PENDAPATAN DAN PENGELOLAAN KEUANGAN KABUPATEN BANDUNG ACHDIJAT SULAEMAN 1 & ASEP SAHRUDIN 2 1 Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Al-Ghifari 2 Alumni FISIP Universitas Al-Ghifari Email: [email protected] / [email protected] Abstrak Salah satu pajak yang telah diserahkan kepada daerah adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau yang disingkat dengan BPHTB, diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu dengan UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangun. Pajak BPHTB di Kabupaten Bandung diatur melalui Peraturan Bupati Bandung Nomor 9 tahun 2011 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kabupaten Bandung. Implementasi kebijakan BPHTB di Kabupaten Bandung telah dijalankan sebagaimana mestinya. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa dimensi yang belum dijalankan sebagaimana mestinya, yakni dimensi sumber daya dan struktur birokrasi. Hambatan-hambatan yang muncul diantaranya hambatan kualitas sumber daya, minimnya dukungan sarana dan prasaran, sistem perencanaan yang belum matang, serta aspek-aspek lainnya. Usaha yang dilakukan diantaranya dengan melakukan analisis kekuatan dan kelemahan DPPK melalui analisis SWOT. Kata Kunci: Implementasi Kebijakan, Pajak BPHTB A. Latar Belakang Penelitian Pelaksanaan otonomi daerah di beberapa daerah telah diwarnai dengan kecenderungan Pemda untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dengan cara membuat Perda yang berisi pembebanan pajak-pajak daerah. Hal ini telah mengakibatkan timbulnya ekonomi biaya tinggi (high cost economy) sehingga pengusaha merasa keberatan untuk menanggung berbagai pajak tersebut. Kebijakan pemda untuk menaikkan PAD bisa berakibat kontra produktif karena yang terjadi bukan PAD yang meningkat, akan tetapi justru mendorong para pengusaha memindahkan lokasi usahanya ke daerah lain yang lebih menjanjikan. Pemerintah daerah harus berhati-hati dalam mengeluarkan Perda tentang pajak daerah, sehingga pelarian modal ke daerah lain dapat dihindari, dan harus berusaha memberikan berbagai kemudahan dan pelayanan untuk menarik investor menanamkan modal di daerahnya. Organisasi publik memang berbeda dengan organisasi bisnis karena organisasi publik memiliki ciri-ciri bahwa organisasi publik tidak sepenuhnya otonomi tetapi dikuasai faktor-faktor eksternal. Selain itu organisasi publik secara resmi diadakan untuk pelayanan masyarakat. Organisasi publik tidak dimaksudkan

Transcript of IMPLEMENTASI KEBIJAKAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH...

97

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN PADA DINAS PENDAPATAN DAN PENGELOLAAN KEUANGAN

KABUPATEN BANDUNG

ACHDIJAT SULAEMAN1 & ASEP SAHRUDIN

2

1Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Al-Ghifari

2 Alumni FISIP Universitas Al-Ghifari

Email: [email protected] / [email protected]

Abstrak Salah satu pajak yang telah diserahkan kepada daerah adalah Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan atau yang disingkat dengan BPHTB, diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu dengan UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangun. Pajak BPHTB di Kabupaten Bandung diatur melalui Peraturan Bupati Bandung Nomor 9 tahun 2011 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kabupaten Bandung. Implementasi kebijakan BPHTB di Kabupaten Bandung telah dijalankan sebagaimana mestinya. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa dimensi yang belum dijalankan sebagaimana mestinya, yakni dimensi sumber daya dan struktur birokrasi. Hambatan-hambatan yang muncul diantaranya hambatan kualitas sumber daya, minimnya dukungan sarana dan prasaran, sistem perencanaan yang belum matang, serta aspek-aspek lainnya. Usaha yang dilakukan diantaranya dengan melakukan analisis kekuatan dan kelemahan DPPK melalui analisis SWOT.

Kata Kunci: Implementasi Kebijakan, Pajak BPHTB

A. Latar Belakang Penelitian

Pelaksanaan otonomi daerah di

beberapa daerah telah diwarnai dengan

kecenderungan Pemda untuk

meningkatkan pendapatan asli daerah

dengan cara membuat Perda yang berisi

pembebanan pajak-pajak daerah. Hal ini

telah mengakibatkan timbulnya ekonomi

biaya tinggi (high cost economy)

sehingga pengusaha merasa keberatan

untuk menanggung berbagai pajak

tersebut. Kebijakan pemda untuk

menaikkan PAD bisa berakibat kontra

produktif karena yang terjadi bukan PAD

yang meningkat, akan tetapi justru

mendorong para pengusaha

memindahkan lokasi usahanya ke

daerah lain yang lebih menjanjikan.

Pemerintah daerah harus

berhati-hati dalam mengeluarkan Perda

tentang pajak daerah, sehingga pelarian

modal ke daerah lain dapat dihindari, dan

harus berusaha memberikan berbagai

kemudahan dan pelayanan untuk

menarik investor menanamkan modal di

daerahnya. Organisasi publik memang

berbeda dengan organisasi bisnis karena

organisasi publik memiliki ciri-ciri bahwa

organisasi publik tidak sepenuhnya

otonomi tetapi dikuasai faktor-faktor

eksternal. Selain itu organisasi publik

secara resmi diadakan untuk pelayanan

masyarakat.

Organisasi publik tidak dimaksudkan

Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 98

ISSN: 873 – 3741-1

untuk berkembang menjadi besar

sehingga merugikan organisasi publik

lain. Kesehatan organisasi publik diukur

melalui kontribusinya terhadap tujuan

politik, kemampuan mencapai hasil

maksimum dengan sumber daya yang

tersedia, kualitas pelayanan masyarakat

yang buruk akan memberi pengaruh

politik yang negatif/merugikan. (Azhar

Kasim, 1993: 20).

Meskipun organisasi publik memiliki

ciri-ciri yang berbeda dengan organisasi

bisnis akan tetapi paradigma beru

Administrasi Publik yang dipelopori oleh

Ted Gabler dan David Osborne dengan

karyanya "Reinventing Government"

telah memberikan inspirasi bahwa

administrasi publik harus dapat

beroperasi layaknya organisasi bisnis,

efisien, efektif dan menempatkan

masyarakat sebagai stakeholder yang

harus dilayani dengan sebaik-baiknya.

Pembangunan daerah mustahil bisa

dilaksanakan dengan baik tanpa adanya

dana yang mencukupi. Dalam pasal 27

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

telah diatur bahwasanya dalam rangka

pembiayaan pelaksanaan desentralisasi,

daerah akan mengandalkan pada

sumber-sumber penerimaan yang terdiri

atas : (1) Pendapatan Asli Daerah – PAD;

(2) Dana Perimbangan; (3) Dana

Pinjaman; dan (4) lain-lain Penerimaan

yang sah. Pendapatan Asli Daerah

merupakan penerimaan yang dihasilkan

dari upaya daerah sendiri yang berasal

dari berbagai sumber, antara lain adalah

dari pajak daerah, retribusi, hasil

keuntungan perusahaan daerah, dan dari

berbagai hasil usaha lainnya yang sah

menurut peraturan. Kemampuan daerah

untuk memperoleh PAD rata-rata sangat

rendah, bahkan untuk menutupi biaya

rutin pun sangat kekurangan. Untuk

daerah otonomi Kabupaten dan Kota

dana yang diperoleh dari PAD hanya

sekitar 13% dari dana yang dimiliki,

sedangkan di daerah otonomi Propinsi

sebanyak 30%. (Deddy Supriadi B. ,

2002).

Dana Perimbangan adalah dana

yang diperoleh pemerintah Daerah dari

pemerintah Pusat, baik yang berasal dari

PBB, Bea Perolehan Hak atas tanah dan

Bangunan, Penerimaan Sumber Daya

Alam, Dana Alokasi Umum, dan Dana

Alokasi Khusus. Penerimaan dari PBB

dibagi dengan imbangan 10% untuk

Pemerintah Pusat dan 90% untuk Daerah;

penerimaan dari BPHTB dibagi dengan

imbangan 20% untuk Pusat, dan 80%

untuk Daerah; penerimaan dari Sumber

Daya Alam dibagi dengan imbangan 20%

bagi pemerintah Pusat dan 80% untuk

Daerah (Profil DPPK, 2011).

Satu hasil penelitian yang dilakukan

oleh SMERU dan hasilnya diseminarkan

di Bali pada bulan Juni 2002,

menunjukan bahwa dalam UU Nomor 25

Tahun 1999 tentang Perimbangan

Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 99

ISSN: 873 – 3741-1

Keuangan Pusat –Daerah tidak diatur

penerimaan dari sektor perkebunan,

sehingga daerah yang memiliki areal

perkebunan merasa dirugikan karena

daerah tidak memperoleh pendapatan

dari sektor tersebut. “ In addition, those

regions with established industries that

make a significant contribution to state

revenue, such as the tobacco industry in

Kabupaten Kudus, do not receive a share

of the profits despite the fact that the

natural resources upon which the

industries are based lies within their

territory. As a result, these regions feel

that they have been treated unfairly by

regional autonomy laws”. Perlu diketahui

yang diatur dalam undang-undang

tersebut hanya mencakup penerimaan

dari sektor minyak bumi, gas alam,

kehutanan, pertambangan umum, dan

perikanan.

Sebagian besar upaya yang

dilakukan daerah untuk bisa mengurangi

dana yang diperoleh dari pemerintah

pusat adalah dengan memacu uapaya

memperoleh Pendapatan Asli Daerah

sebesar mungkin. Metode yang paling

populer sampai dengan saat ini adalah

dengan mengesploitasi Sumber Daya

Alam daerah yang ada, dan melalui

Pajak dan Retribusi Daerah. Cara

pertama sangat mungkin dilakukan

apabila di daerah SDA nya memang

berlimpah, namun bagi daerah yang

miskin akan SDA umumnya mengambil

jalan lain yaitu meningkatkan penerimaan

dengan cara kedua . Terlepas dengan

cara daerah memperoleh PADnya, yang

menjadi pertanyaan “mampukah daerah

menggali dengan bermodalkan sumber

daya manusia yang ada di daerahnya

sendiri?”

Ada slogan yang cukup terkenal

dalam dunia industri “ Assets make

things possible, people make things

happen” . Artinya kekayaan alam, modal,

bahan baku, dan asset-aset lainnya

membuat sesuatu itu mungkin, namun

hanya melalui tangan-tangan manusialah

membuat semuanya itu terjadi. Indonesia

boleh mempunyai laut yang luas penuh

dengan ikan, namun tanpa nelayan yang

baik, ikan tersebut akan tetap menjadi

ikan yang ramai berenang-renang di

dalam lautan. Daerah bisa punya modal

sendiri atau modal asing, atau hasil

penarikan pajak dan retribusi, namun

tanpa manusia yang akhli dan bermoral

dalam mengelola uang tadi, dapat kita

bayangkan bagaimana jadinya.

Demikian pula, daerah boleh mempunyai

kekayaan alam yang berlimpah, namun

tanpa ada sumber daya manusia yang

mengolahnya secara benar, kekayaan

alam tersebut bukannya menjadi sumber

yang bermanfaat, melainkan lebih

banyak mudharatnya.

Mencermati permasalahan tersebut,

maka apa yang sekiranya harus

dilakukan oleh daerah dalam

Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 100

ISSN: 873 – 3741-1

menghadapi otonomi ini. Adhitya

Wardono dan Asep Mulyana dalam

makalah yang yang disampaikan di

Frankrut, berjudul “Sumberdaya Padat

Otak dan Otonomi Daerah” mengutip

buah pikiran seorang ekonom Friedrich

List yang mengemukakan konsep

Pendekatan Tenaga Produktif.

Rekomendasinya adalah kemakmuran

suatu daerah (bangsa) bukan

disebabkan oleh akumulasi harta dan

kekayaan, melainkan dengan cara

membangun lebih banyak tenaga yang

produktif. Dengan pendekatan ini akan

terjadi kekuatan swadaya setempat yang

mampu menunjang kemakmuran

ekonomi suatu daerah atau bangsa. Hal

yang dimaksud oleh Friedrich List

dengan Tenaga Produktif adalah karya

kreatif, inovatif, pemahaman atas

kekuasaan dan hokum, hak dan

kewajiban masyarakat, efektivitas

penyelenggaraan pemerintah, ilmu dan

kebudayaan, dan sikap terhadap hak

asasi manusia serta mentaati norma

agama. (Wardono dan Mulyana, 2001).

Berdasarkan apa yang dikemukakan

oleh Fredrich List tersebut di atas maka

uraian berikutnya berupaya menjelaskan

sejauh mana hubungan antara

kemakmuran daerah yang indkatornya

adalah kemakmuran ekonomi dengan

variabel sumber daya manusia. Dengan

mengetahui hubungan yang terjadi di

antara kedua variabel tersebut penulis

ingin lebih meyakinkan kepada pembaca

betapa pentingnya pemerintah

Daerah/Kota/Propinsi untuk

memfokuskan upayanya pada

peningkatan kualitas sumber daya

manusia di daerahnya masing-masing.

Salah satu pajak yang telah

diserahkan kepada daerah adalah Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan atau yang disingkat dengan

BPHTB, diatur dalam ketentuan

peraturan perundang-undangan di

Indonesia, yaitu dengan UU No. 21

Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak

Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana

telah diubah dengan UU No. 20 Tahun

2000 tentang Perubahan Atas UU No. 21

Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak

Atas Tanah dan Bangun. Dalam UU No.

21 Tahun 1997 sebagaimana telah

diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000

(disebut dengan UU BPHTB),

memberikan pengertian mengenai

BPHTB, yaitu Bea Perolehan Hak atas

Tanah dan Bangunan adalah pajak yang

dikenakan atas perolehan hak atas tanah

dan atau bangunan, yang selanjutnya

disebut pajak. Jadi BPHTB adalah sama

dengan Pajak Perolehan Hak atas

Tanah dan Bangunan. Yang dimaksud

dengan Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan, UU BPHTB menyebutkan

bahwa Perolehan Hak atas Tanah dan

atau bangunan adalah perbuatan atau

peristiwa hukum yang mengakibatkan

Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 101

ISSN: 873 – 3741-1

diperolehnya hak atas tanah dan atau

bangunan oleh orang pribadi atau badan.

Adapun Hak atas Tanah dan atau

Bangunan adalah hak atas tanah,

termasuk hak pengelolaan, beserta

bangunan di atasnya, sebagaimana

dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria, UU No. 16 Tahun 1985 tentang

Rumah Susun, dan ketentuan peraturan

perundang-undangan lainnya. Fenomena

tersebut terjadi pula pada Dinas

Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan

Kabupaten Bandung. Pajak BPHTB di

Kabupaten Bandung diatur melalui

Peraturan Bupati Bandung Nomor 9

tahun 2011 Tentang Bea Perolehan Hak

Atas Tanah dan Bangunan Kabupaten

Bandung.

Berdasarkan penelusuran awal

(penjajakan), peneliti menemukan

indikasi permasalahan belum optimalnya

implementasi kebijakan Peraturan Bupati

Nomor 9 tahun 2011 Tentang Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan Kabupaten Bandung. Belum

optimalnya implementasi kebijakan

tersebut diindikasikan oleh indikator

masalah rendahnya komunikasi antara

petugas pajak dengan wajib pajak

sehingga menimbulkan keterlambatan

wajib pajak dalam menyampaikan

pembayaran pajaknya. Untuk itu peneliti

tertarik meneliti lebih mendalam dengan

judul IMPLEMENTASI KEBIJAKAN BEA

PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN

BANGUNAN PADA DINAS

PENDAPATAN DAN PENGELOLAAN

KEUANGAN KABUPATEN BANDUNG.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian

tersebut, peneliti merumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana Implementasi Kebijakan

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan pada Dinas Pendapatan

dan Pengelolaan Keuangan

Kabupaten Bandung?

2. Hambatan apa saja yang dihadapi

dalam Implementasi Kebijakan Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan pada Dinas Pendapatan

dan Pengelolaan Keuangan

Kabupaten Bandung?

3. Upaya apa saja yang dilakukan

untuk menanggulangi hambatan

Implementasi Kebijakan Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan pada Dinas Pendapatan

dan Pengelolaan Keuangan

Kabupaten Bandung?

C. Kerangka Pemikiran

Implementasi merupakan bagian

dari proses suatu kebijakan. Suatu

kebijakan yang dirumuskan bukanlah

suatu proses yang sederhan dan mudah.

Hal tersebut disebabkan karena terdapat

banyak paktor yang berpengaruh

Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 102

ISSN: 873 – 3741-1

terhadap proses pembuatan kebijakan.

Adapun proses atau perumusan

kebijakan menurut Van Meter dan Van

Horn (dalam Wahab, 2008: 65) adalah

“Those action by public or private

individuals (orgroups) that are directed at

the achievement of objectives set forth in

prior policy decisions (Kebijakan adalah

suatu tindakan yang dilakukan baik oleh

individu-individu atau

kelompok-kelompok pemerintah atau

swasta yang diarahkan pada tercapainya

tujuan-tujuan yang telah digariskan

dalam keputusan kebijakan). Mazmanian

dan Sabatier dalam Wahab (2008: 65)

memberikan pendapat mengenai

pengertian implementasi kebijakan

sebagai berikut:

Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan-kebijakan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan dampak atau akibat nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.

Berikut adalah pengertian

implementasi kebijakan publik yang

dikemukakan oleh Sunggono (1994:

137):

Implementasi kebijakan merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu

dengan sarana-sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu. Dengan demikian, yang diperlukan dalam implementasi kebijakan ini adalah tindakan-tindakan yang sah atau implementasi suatu rencana sesuai tujuan.

Sedangkan Maarse dalam

Sunggono (1994: 137) memberikan

pengertian implementasi kebijakan publik,

yaitu bahwa “Implementasi kebijakan

merupakan suatu upaya untuk mencapai

tujuan-tujuan tertentu dengan

saran-saran tertentu dalam urutan waktu

tertentu”. Pendapat Maarse ini

menegaskan bahwa kebijakan dapat

diimplementasikan apabila tujuan-tujuan

kebijakan telah ditetapkan, dengan

didukung sarana dan waktu yang jelas.

Surianingrat dalam Sunggono (1994: 137)

memberikan pengertian Implementasi

kebijakan sebagai berikut:

Pelaksanaan kebijakan adalah upaya untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan dengan mempergunakan sarana dan waktu tertentu. Pelaksanaan kebijakan dapat pula dirumuskan sebagai penggunaan sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.

Berikut adalah variabel-variabel

proses implementasi kebijakan Van

Meter dan Van Horn dalam Prabukusumo

dan Pramusinto (1994: 19):

a. Standar dan Sasaran Kebijakan

b. Sumber daya

Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 103

ISSN: 873 – 3741-1

c. Komunikasi antar Organisasi dan pengukuhan aktivitas

d. Karakteristik birokrasi pelaksana

e. Kondisi sosial, ekonomi dan politik

f. Sikap pelaksana

Berikut adalah empat faktor yang

sangat menentukan implementasi

kebijakan publik yang dikemukakan oleh

Edwards III dalam Tangkilisan (2003:

12-14):

a. Komunikasi Sebagai syarat pertama agar implementasi kebijakan itu efektif, maka kebijakan harus diserahkan kepada orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk melaksanakannya dengan jelas, tentu saja hal ini memerlukan komunikasi yang tepat dan dilakukan dengan tepat pula oleh pelaksana kebijakan.

b. Sumber Daya Kurangnya sumber daya mengakibatkan tidak efektifnya penerapan kebijakan.Sumber daya yang dimaksud disini mencakup orang-orang yang memadai dari segi jumlah dan kemampuan, informasi yang jelas, sarana dan prasarana dan wewenang.

c. Disposisi/Sikap. Jika pelaksana ingin melaksanakan sebuah kebijakan maka mereka harus dapat melaksanakan apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan, tetapi ketika sikap dan pandangan para pelaksana berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses pelaksanaan sebuah kebijakan menjadi lebih rumit.

d. Struktur Birokrasi.

Para pelaksana kebijakan mungkin telah dapat mengetahui apa yang harus mereka lakukan dan memiliki sikap serta sumber daya yang cukup untuk melaksanakan sebuah kebijakan, tetapi dalam pelaksanaannya mereka mungkin akan terhambat oleh adanya struktur birokrasi dimana dua karakter utama dari birokrasi adalah standar prosedur pelaksanaan dan pembagian tugas.

Teori inilah yang peneliti jadikan

alat ukur untuk meneliti analisis

implementasi kebijakan Bea Perolehan

Hak Atas Tanah dan Bangunan pada

Dinas Pendapatan dan Pengelolaan

Keuangan Kabupaten Bandung. Alasan

pemilihan teori ini adalah didasarkan

pada kondisi dilapangan yang

mempunyai kesesuaian dengan teori

yang digunakan peneliti, sehingga

peneliti beranggapan teori inilah yang

relevan dengan permasalahan yang akan

diteliti.

D. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini adalah metode

kualitatif. Sugiyono (2009: 1)

mendefinisikan metode penelitian

kualitatif adalah “metode penelitian yang

digunakan untuk meneliti pada kondisi

objek alamiah (sebagai lawannya adalah

eksperimen) dimana peneliti adalah

instrumen kunci, teknik pengumpulan

Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 104

ISSN: 873 – 3741-1

data dilakukan secara trianggulasi

(gabungan), analisis data bersifat induktif,

dan hasil penelitian kualitatif lebih

menekankan makna daripada

generalisasi. Sejalan dengan pendapat

Moleong (2010: 6), “penelitian kualitatif

adalah penelitian penelitian yang

bermaksud untuk memahami tentang

apa yang dialami oleh subjek penelitian,

misalnya perilaku, persepsi, motivasi,

tindakan dan lain-lain dengan cara

deskripsi dalam bentuk kata-kata dan

bahasa, pada suatu konteks khusus yang

alamiah dan dengan memanfaatkan

berbagai metode alamiah.

E. Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Implementasi Kebijakan Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan pada Dinas

Pendapatan dan Pengelolaan

Keuangan Kabupaten Bandung.

Implementasi kebijakan dalam

penelitian ini diukur melalui dimensi

komunikasi, sumber daya, disposisi, dan

struktur birokrasi. Untuk membahasnya,

peneliti akan menyajikan pembahasan

masing-masing dimensi tersebut melalui

studi pustaka, wawancara dan observasi

lapangan. Hasil penelitian dan

pembahasan tersebut peneliti sajikan

sebagai berikut:

1. Dimensi Komunikasi

Dimensi komunikasi sebagai

syarat pertama agar implementasi

kebijakan itu efektif, maka kebijakan

harus diserahkan kepada orang-orang

yang diserahi tanggung jawab untuk

melaksanakannya dengan jelas, tentu

saja hal ini memerlukan komunikasi yang

tepat dan dilakukan dengan tepat pula

oleh pelaksana kebijakan. Dalam hal

Implementasi Kebijakan Bea Perolehan

Hak Atas Tanah dan Bangunan pada

Dinas Pendapatan dan Pengelolaan

Keuangan Kabupaten Bandung, peneliti

menemukan belum optimalnya dimensi

komunikasi yang dijalankan oleh para

petugas pajak sehingga pembayaran

pajak tersebut senantiasa mengalami

keterlambatan.

Suatu kebijakan yang telah

dirumuskan tentunya memiliki

tujuan-tujuan atau target tertentu yang

ingin dicapai. Pencapaian target baru

akan terealisasi jika kebijakan tersebut

telah diimplementasikan. Oleh karena itu

untuk dapat mengetahui apakah tujuan

kebijakan yang telah dirumuskan

tersebut dapat tercapai atau tidak, maka

kebijakan tersebut harus

diimplementasikan. Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa implementasi

kebijakan merupakan tahapan yang

sangat penting dalam proses kebijakan.

Implementasi suatu kebijakan tidak

selalu berjalan mulus, banyak faktor yang

dapat mempengaruhi keberhasilan suatu

implementasi kebijakan. Hal ini

disebabkan karena pada dasarnya

Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 105

ISSN: 873 – 3741-1

implementasi kebijakan tidak selalu

berada pada tempat yang vakum,

sehingga terdapat berbagai macam

faktor disekelilingnya yang turut

mempengaruhi implementasi kebijakan.

Keberhasilan suatu implementasi

kebijakan, membutuhkan adanya

pemahaman standar dan tujuan

kebijakan dari masing-masing individu

yang bertanggung jawab

melaksanakannya. Oleh karena itu

standard dan tujuan kebijakan harus

dikomunikasikan dengan jelas agar tidak

menimbulkan distorsi implementasi. Jika

standart dan tujuan tidak diketahui

dengan jelas oleh pihak-pihak yang

terlibat dalam implementasi kebijakan,

dapat menimbulkan salah pengertian

yang dapat menghambat implementasi

kebijakan. Komunikasi kebijakan

mencakup dimensi transmisi

(transmission), transformasi

(transformation) dan kejelasan (clarity).

Dimensi transformasi

menghendaki agar kebijakan publik

dapat ditransformasikan kepada para

pelaksana, kelompok sasaran dan pihak

lain yang terkait dengan kebijakan.

Dimensi kejelasan menghendaki agar

kebijakan yang ditransmisikan kepada

para pelakana, target group dan pihak

lain yang berpentingan baik secara

langsung maupun tidak langsung

terhadap kebijakan dapat diterima

dengan jelas, sehingga diantara mereka

mengetahui apa yang menjadi maksud,

tujuan dan sasaran serta substansi dari

kebijakan tersebut. Jika mereka tidak

jelas, maka mereka tidak akan tahu apa

yang seharusnya dipersiapkan dan

dilaksanakan agar apa yang menjadi

tujuan kebijakan dapat dicapai secara

efektif dan efisien.

Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan Bangunan (BPHTB) Kabupaten

Bandung pada 2012 mencapai Rp60

miliar atau meningkat 100% dibanding

tahun sebelumnya Rp30 miliar. Bupati

Bandung Dadang Naser mengatakan

capaian BPHTB bisa besar karena

pengalihan pengelolaan dari pemerintah

pusat ke daerah pada 2011 lalu

(bisnis.com, 2012). Bupati Bandung

menargetkan BPHTB pada 2013 naik

atau tetap di Rp60 miliar karena pajak

tersebut bermanfaat bagi serapan

anggaran publik. Menurutnya, pajak

merupakan salah satu sumber

pendapatan asli daerah (PAD) bagi

pemerintah.

Selain pajak, sumber lain bagi

PAD antara lain dana perimbangan,

pinjaman daerah, hasil pengelolaan

kekayaan daerah yang dipisahkan, serta

lainnya. Ditanya soal tunggakan pajak

sebesar Rp270 miliar di Kabupaten

Bandung, katanya, pihaknya akan

bekerja sama dengan kejaksaan dan

kepolisian. Hal itu terjadi dikarenakan

petugas kesulitan melacak pajak yang

Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 106

ISSN: 873 – 3741-1

ada di desa karena pemiliknya tidak ada

di wilayah Kabupaten Bandung.

berdasarkan data tersebut maka dapat

dikatakan bahwa dimensi komunikasi

telah dijalankan dengans semestinya

dalam implementasi kebijakan BPHTB di

Kabupaten Bandung.

2. Dimensi Sumber Daya

Kurangnya sumber daya

mengakibatkan tidak efektifnya

penerapan kebijakan.Sumber daya yang

dimaksud disini mencakup orang-orang

yang memadai dari segi jumlah dan

kemampuan, informasi yang jelas,

sarana dan prasarana dan wewenang.

Sumber daya yang ada di DPPK

Kabupaten Bandung terdiri dari sumber

daya manusia berdasarkan tingkat

pendidikan, jenis pendidikan yang diikuti

baik pendidikan formal maupun non

formal, sarana dan prasarana yang

mendukung penyelenggaraan kegiatan

pengelolan keuangan seperti gedung

beserta ruang rapat yang memadai,

Fasilitas komputer, meja kursi, peralatan

kantor dan lain-lain.

Sumber daya merupakan

variable yang sangat penting dalam

implementasi kebijakan. Meskipun

kebijakan sudah dikomunikasikan

dengan jelas kepada aparat pelaksana,

tetapi jika tidak didukung oleh

tersedianya sumber daya secara

memadai untuk pelaksanaan

kebijakan,maka efektivitas kebijakan

akan sulit dicapai. Sumber daya dalam

hal ini meliputi: dana, sumber daya

manusia (staf) dan fasilitas lainnya. Oleh

karena itu agar sumber daya yang ada

dapat menunjang keberhasilan

implentasi kebijakan, maka sumberdaya

harus dipersiapkan sedini mungkin

sehingga pada saat dibutuhkan sudah

tersedia sesuai kebutuhan.

a. Sumber Daya Manusia

Jumlah sumber daya manusia

yang ada di Dinas Pendapatan dan

Pengelolaan Keuangan sebanyak 228

orang dengan rincian sebagai berikut:

Tabel 4.1

Jumlah PNS berdasarkan golongan

No. Golongan Jumlah

1. IV 7 Orang

2. III 90 Orang

3. II 123 Orang

4 I 8 Orang

Jumlah 228 Orang Sumber: DPPK Kabupaten Bandung, 2012

Berdasarkan tabel tersebut

dapat diketahui bahwa SDM di DPPK

Kabupaten Bandung bervariasi ditinjau

dari aspek golongan. Meskipun demikian,

kerjasamanya semua golongan mampu

membangkitkan semangat untuk

merealisasikan kebijakan BPHTB

Kabupaten Bandung.

Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 107

ISSN: 873 – 3741-1

Tabel 4.2

Jumlah PNS berdasarkan Tingkat

Pendidikan

No. Tingkat

Pendidikan Jumlah

1. Sarjana Strata

2 10 orang

2. Sarjana Strata

1 47 orang

3. D3 17 orang

4 D2 1 orang

5. D1 1 orang

6. SLTA 134 orang

7. SLTP 10 orang

8. SD 8 orang

Jumlah 228 orang Sumber: DPPK Kabupaten Bandung, 2012

Berdasarkan tabel tersebut

dapat diketahui bahwa masih

dominannya SDM yang berpendidikan

SMA ke bawah. Untuk itu DPPK terus

berupaya untuk mendorong SDM

mekanjutkan studi ke jenjang yang lebih

tinggi.

Tabel 4.3

Jumlah PNS yang telah mengikuti

Diklat Struktural

No. Tingkat

Pendidikan & Latihan

Jumlah

1. Diklatpim III 15 orang

2. Diklatpim IV 6 orang

3. Adum 17 orang

Jumlah 38 orang Sumber: DPPK Kabupaten Bandung, 2012

Berdasarkan tabel tersebut

dapat diketahui bahwa masih

dominannya SDM yang belum mengikuti

diklat struktural. Untuk itu DPPK terus

berupaya untuk mendorong SDM

mengikuti diklat-diklat yang

diselenggarakan Pemda Kabupaten

Bandung..

Tabel 4.4

Jumlah pegawai yang menduduki

eselon

No. Eselon Jumlah

1. Eselon II b 1 orang

2. Eselon III a 1 orang

3. Eselon III b 5 orang

4. Eselon IV a 24 orang

5. Eselon IV b 9 orang

Jumlah 40 orang Sumber: DPPK Kabupaten Bandung, 2012

Berdasarkan tabel tersebut

dapat diketahui bahwa masih

dominannya SDM yang belum

menduduki eselon. Untuk itu DPPK terus

berupaya untuk mendorong SDM

meningkatkan kemampuan dengan

mengikuti diklat-diklat yang

diselenggarakan Pemda Kabupaten

Bandung..

Tabel 4.5

Jumlah Kontrak Kerja berdasarkan

tingkat pendidikan

No. Pendidikan Jumlah

1. Sarjana 2 Orang

2. SLTA 2

Orang

3. SD 1 Orang

Jumlah 5 Orang Sumber : Kepegawaian DPPK, 2012

Berdasarkan tabel tersebut

dapat diketahui bahwa masih adanya

pegawai dengan status kontrak.

Meskipun demikian, pegawai tersebut

turut berkontribusi bagi terselenggaranya

kebijakan BPHTB di Kabupaten

Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 108

ISSN: 873 – 3741-1

Bandung.

Dengan adanya penyerahan

pajak BPHTB dari pusat ke daerah, maka

pegawai pun merasakan kewalahan

dalam mengelola BPHTB tersebut. Hal ini

dikarenakan pajak yang tadinya dikelola

oleh dua KPP, saat ini dikelola satu atap

oleh DPPK, dengan demikian pekerjaan

pun tidak optimal dilaksanakan oleh

pegawai dikarenakan keterbatasan SDM

serta pekerjaan yang begitu menumpuk.

b. Sarana dan prasarana pada DPPK

Kabupaten Bandung

DPPK Kabupaten Bandung

memiliki gedung kantor berlantai 2 (dua)

dengan luas sebesar 2554,03.m2 dan 90

m2, Kendaraan dinas roda 4 sebanyak

12 unit dan roda 2 sebanyak 65. unit,

saluran telepon sebanyak 14 line,

fasilitas komputer terdiri dari PC 90 unit,

laptop 74 whiteboard electric 2 unit,

infocus 2 unit, aplikasi SIPKD wireless

yang dapat diakses dari seluruh ruangan,

Aplikasi Gaji, DPPK memiliki ruang rapat

yang refresentatif dengan kapasitas 100

orang, serta peralatan lainnya. 64 (enam

puluh empat) jenis barang inventaris aset

tetap.

c. Dimensi Disposisi

Jika pelaksana ingin

melaksanakan sebuah kebijakan maka

mereka harus dapat melaksanakan apa

yang diinginkan oleh pembuat kebijakan,

tetapi ketika sikap dan pandangan para

pelaksana berbeda dengan pembuat

kebijakan, maka proses pelaksanaan

sebuah kebijakan menjadi lebih rumit.

Dispositions atau sikap pelaksana juga

menjadi faktor yang mempengaruhi

implementasi kebijakan. Dispositions

dimaksudkan sebagai kecenderungan,

keinginan atau kesepakatan para

pelaksana (implementor) untuk

melaksanakan kebijakan.

Pelaksana kebijakan tidak

hanya dituntut kemampuan dan

kemauannya secara sungguh-sungguh

dalam melaksanakan kebijakan,

tetapi juga dituntut untuk mampu

membawa kebijakan tersebut kearah

yang diinginkan atau diharapkan. Semua

itu dapat terwujud jika

pelaksana mendukung tujuan kebijakan.

Sebaliknya sikap pelaksana yang

cenderung menolak kebijakan, akan

menyebabkan mereka gagal

melaksanakan kebijakan.

d. Dimensi Struktur Birokrasi

Para pelaksana kebijakan

mungkin telah dapat mengetahui apa

yang harus mereka lakukan dan memiliki

sikap serta sumber daya yang cukup

untuk melaksanakan sebuah kebijakan,

tetapi dalam pelaksanaannya mereka

mungkin akan terhambat oleh adanya

struktur birokrasi dimana dua karakter

utama dari birokrasi adalah standar

prosedur pelaksanaan dan pembagian

tugas. Adapun struktur birokrasi pada

Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 109

ISSN: 873 – 3741-1

Dinas Pendapatan dan Pengelolaan

Keuangan Kabupaten adalah sesuai

dengan Peraturan Daerah Kabupaten

Bandung No 20 tahun 2007 tentang

Pembentukan Organisasi Dinas Daerah

Kabupaten Bandung.

Struktur organisasi DPPK ini

perlu mendapat perhatian lebih, terkait

dengan Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan Bangunan (BPHTB) telah diserahkan

ke kabupaten Bandung menjadi pajak

daerah, selain itu Pajak Bumi dan

Bangunan akan diserahkan kepada

daerah menjadi pajak daerah pada tahun

2013. Sehubungan dengan hal tersebut,

maka perlu dipertimbangkan untuk

diadakan perubahan perda SOTK, untuk

mengakomodir bidang yang mengelola

BPHTB dan PBB.

Meskipun sumber-sumber

untuk mengimplementasikan suatu

kebijakan tersedia secara memadai, dan

para pelaksana (implementor)

mengetahui dan memahami apa yang

menjadi standar dan tujuan kebijakan

serta memiliki kemampuan

mengimplementasikannya secara

sungguh-sungguh, bisa jadi implementasi

masih belum bisa efektif disebabkan

ketidakefisienan struktur birokrasi.

Struktur birokrasi (bureaucratic structure)

mencakup dimensi fragmentasi

(fragmentation) dan standart prosedur

operasi (standart operating procedure).

Dimensi fragmentasi menegaskan

bahwa struktur birokrasi yang

terfragmentasi (terpecah-pecah) dapat

mengakibatkan gagalnya implementasi,

karena fragmentasi birokrasi akan

membatasi kemampuan para pejabat

puncak untuk mengkoordinasikan semua

sumber daya yang relevan dalam suatu

yuridiksi tertentu yang berakibat lebih

lanjut adalah ketidakefeisienan dan

pemborosan sumber daya langka.

Dimensi standart prosedur operasi akan

memudahkan dan menyeragamkan

tindakan dari pada pelaksana kebijakan

dalam melaksanakan apa yang menjadi

bidang tugasnya.

3. Hambatan yang dihadapi dalam

Implementasi Kebijakan Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan pada Dinas

Pendapatan dan Pengelolaan

Keuangan Kabupaten Bandung

Kebutuhan dana untuk

pembangunan di Kabupaten Bandung

setiap tahun terus meningkat dan masih

tingginya ketergantungan dana dari

Pemerintah Pusat, adalah suatu

tantangan bagi DPPK selaku SKPD

pemungut pendapatan untuk terus

meningkatkan pendapatan asli daerah

dan selaku PPKD terus berupaya untuk

mengoptimalkan pendapatan dana

perimbangan melalui koordinasi kepada

Pemerintah Pusat dan Provinsi.

Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 110

ISSN: 873 – 3741-1

Peningkatan kualitas pelayanan yang

akan dilaksanakan DPPK Kabupaten

Bandung lima tahun kedepan,

diidentifikasi dari

permasalahan-permasalahan yang

terjadi yaitu:

1. Belum optimalnya kualitas SDM,

yang sesuai standar kebutuhan unit

kerja dan belum optimalnya

penempatan SDM pada

masing-masing Unit kerja DPPK

sesuai dengan kualifikasi pendidikan

dan kompetensi;

2. Belum optimalnya dukungan sarana

dan prasarana, baik dari segi

kuantitas maupun kualitas;

3. Belum optimalnya kualitas

pelayanan pajak daerah dan

pelayanan administrasi

perbendaharaan;

4. Belum optimalnya perencanaan,

pengendalian, operasional pajak

daerah;

5. Belum optimalnya sistem

pengendalian intern pengelolaan

keuangan daerah;

6. Belum optimalnya kualitas laporan

keuangan;

7. Belum adanya Jabatan Fungsional

Pengelola Keuangan (Akuntan,

Penilai PBB P2, Juru Sita Pajak);

8. Belum optimalnya intensifikasi dan

ekstensifikasi sumber-sumber

pendapatan daerah;

9. Belum optimalnya penerimaan pajak

daerah ;

10. Belum optimalnya pengelolaan

TP/TGR sebagaimana peraturan

perundang-undangan.

4. Upaya yang dilakukan untuk

menanggulangi hambatan

Implementasi Kebijakan Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan pada Dinas

Pendapatan dan Pengelolaan

Keuangan Kabupaten Bandung

Walaupun terdapat berbagai

kekurangan, DPPK terus berupaya untuk

memperbaiki segenap kekuatan yang

merupakan suatu keharusan dan menjadi

perhatian yang besar. Dalam upaya

mencapai tujuan dan sasaran yang telah

ditetapkan, DPPK Kabupaten Bandung

menyusun strategi yang mengacu pada

faktor kekuatan dan kelemahan pada

lingkungan internal serta faktor peluang

dan ancaman pada lingkungan eksternal.

Faktor kekuatan yang ada pada

lingkungan internal sebagai berikut :

1. Jumlah SDM cukup memadai;

2. Sarana dan prasarana yang dimiliki

sekarang ;

3. Komitmen pimpinan dalam

meningkatkan kualitas SDM;

4. Adanya regulasi pengelolaan

keuangan daerah;

5. Adanya tugas pokok dan fungsi

yang jelas;

Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 111

ISSN: 873 – 3741-1

6. Tersedianya anggaran untuk

pelaksanaan tugas pokok dan

fungsi.

Faktor kelemahan merupakan

permasalahan-permasalahan pada

lingkungan internal yang perlu

ditingkatkan sebagai berikut:

1. Kualitas SDM belum sepenuhnya

sesuai dengan kebutuhan standar

kerja organisasi;

2. Masih adanya pegawai yang kurang

memiliki tanggung jawab terhadap

tugas pokok dan fungsinya;

3. Belum meratanya

pengetahuan/pemahaman aparat

terhadap pengelolaan keuangan

daerah;

4. Belum optimalnya dukungan sarana

dan prasarana, baik dari segi

kuantitas maupun kualitas.

Faktor peluang yang perlu

dimanfaatkan pada lingkungan eksternal

DPPK Kabupaten Bandung adalah

sebagai berikut :

1. Adanya potensi pendapatan yang

cukup besar di Kabupaten Bandung;

2. Adanya pengalihan beberapa jenis

pajak pusat dan provinsi menjadi

pajak daerah, yaitu BPHTB, PBB-P2

dan Pajak Air Tanah;

3. Pemanfaatan teknologi informasi

dalam pengelolaan, pelaporan dan

informasi keuangan daerah;

4. Adanya reformasi birokrasi disegala

bidang, termasuk pengelolaan

keuangan;

5. Terbukanya kesempatan mengikuti

pendidikan formal dan informal

untuk meningkatkan kualitas sumber

daya manusia;

6. Adanya perkembangan

pembangunan, dan pertumbuhan

ekonomi di Kabupaten Bandung.

Faktor ancaman yang perlu

ditekan pada lingkungan eksternal yaitu :

1. Pelanggaran terhadap ketentuan

perundang-undangan dibidang

pendapatan dan pengelolaan

keuangan;

2. Masih rendahnya kesadaran wajib

pajak dalam memenuhi

kewajibannya membayar pajak ;

3. Wajib pajak tidak memberikan

informasi pendapatannya secara

jujur.

Faktor-faktor tersebut dianalisis

dengan menggunakan pendekatan

SWOT (strengths, weaknesses,

opportunities, threats). Dari hasil analisis

SWOT kemudian disusun strategi

perencanaan, pengendalian dan evaluasi

pembangunan dalam lima tahun ke

depan sebagai berikut:

1. Peningkatan kualitas dan

profesionalisme SDM;

2. Peningkatan kapasitas SDM

aparatur sesuai peran dan

fungsinya;

Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 112

ISSN: 873 – 3741-1

3. Peningkatan ketaatan pada

peraturan dan

perundang-undangan;

4. Peningkatan kualitas pelayanan

dengan pola pendekatan pelayanan

Prima;

5. Peningkatan kesejahteraan

aparatur;

6. Peningkatan sarana dan prasarana

pengelolaan keuangan;

7. Peningkatan pemanfaatan teknologi

pengolahan data dan informasi;

8. Peningkatan Pemahaman bersama

tentang proses dan mekanisme

dalam pengelolaan keuangan;

9. Terjalinnya komunikasi dan

sinkronisasi dalam mensinergiskan

perencanaan pembangunan dengan

keuangan;

10. Meningkatnya sistem pengendalian

intern;

11. Meningkatkan pengawasan Melekat;

12. Penerapan sistem reward and

punishment yang berkeadilan.

13. Meningkatnya sosialisasi pajak

daerah kepada masyarakat.

Dari beberapa strategi di atas,

kemudian ditetapkan prioritas strategi

yang akan ditempuh dalam upaya

mencapai tujuan dan sasaran

menggunakan analisis tapisan

berdasarkan 8 (delapan) indikator, yaitu:

1. waktu pelaksanaan strategi;

2. Besar pengaruhnya dalam

mencapai tujuan dan sasaran;

3. Biaya yang diperlukan;

4. Pelaksanaan strategi

memerlukan pengembangan

baru, perubahan yang

konsekuen, dan komitmen;

5. Penyesuaian terhadap

perundang-undangan,

penambahan dan renovasi

sarana dan prasarana dan

peningkatan kualitas SDM;

6. Akibat yang ditimbulkan apabila

salah dalam melaksanakan

strategi;

7. Dampak yang timbul terhadap

SKPD lainnya;

8. Sensitivitas strategi terhadap

aspek sosial, ekonomi dan

politik

Berdasarkan hasil analisis

tapisan yang telah dilakukan,

menghasilkan rumusan 7 (tujuh) strategi

utama dari 13 alternatif rencana strategi

DPPK Tahun 2010-2015 yaitu :

1. Peningkatan kualitas dan

profesionalisme SDM;

2. Peningkatan kapasitas SDM

aparatur sesuai peran dan

fungsinya;

3. Peningkatan kualitas pelayanan

dengan pola pendekatan

pelayanan Prima;

4. Peningkatan kualitas

pengelolaan keuangan, baik

Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 113

ISSN: 873 – 3741-1

pendapatan, belanja dan

pembiayaan;

5. Penerapan sistem reward and

punishment yang berkeadilan,

baik bagi pegawai DPPK

maupun kepada Wajib Pajak;

6. Peningkatan pemanfaatan

teknologi data dan informasi ;

7. Peningkatan sarana dan

prasarana.

Dengan penjelasan, bahwa

sesuai visi dan misi DPPK Kabupaten

Bandung untuk 5 (lima) tahun kedepan,

perlunya memanfaatkan teknologi data

dan informasi yang sedang

dikembangkan seperti pengelolaan

keuangan dengan menggunakan

program aplikasi pengelolaan keuangan

yang terintegrasi dengan seluruh SKPD

berbasis web (internet) yang digunakan

sebagai sarana entri data dan

menghasilkan informasi keuangan yang

dihasilkan dari seluruh SKPD pada saat

penyusunan RKA/DPA dan rancangan

perda APBD, rancangan perda

perubahan APBD, pelaksanaan

(penatausahaan), akuntansi dan

pelaporannya yang memiliki karakteristik

kualitatif laporan keuangan yang relevan,

andal, dapat dibandingkan; dapat

dipahami, transparan, dan dapat

dipertangunggjawabkan.

Dalam meningkatkan kualitas

pelayanan DPPK, perlu dilakukan

pendekatan pelayanan prima yang

handal (reliability), tanggap (responsif),

dengan keyakinan (confidence), peduli

(empaty), dan berwujud (tangible). Untuk

mewujudkan itu semua, perlu ditunjang

dengan kapasitas sumber daya manusia

sesuai tugas dan fungsinya dan

profesionalitas serta penerapan sistem

penghargaan dan hukuman yang

berkeadilan.

F. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian

dan pembahasan, peneliti memberikan

simpulan sebagai berikut:

1. Implementasi kebijakan BPHTB

di Kabupaten Bandung telah

dijalankan sebagaimana

mestinya. Meskipun demikian,

masih terdapat beberapa

dimensi yang belum dijalankan

sebagaimana mestinya, yakni

dimensi sumber daya dan

struktur birokrasi.

2. Hambatan-hambatan yang

muncul diantaranya hambatan

kualitas sumber daya, minimnya

dukungan sarana dan prasaran,

sistem perencanaan yang belum

matang, serta aspek-aspek

lainnya.

3. Usaha yang dilakukan

diantaranya dengan melakukan

analisis kekuatan dan kelemahan

DPPK melalui analisis SWOT.

Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 114

ISSN: 873 – 3741-1

DAFTAR PUSTAKA

Amy Y.S. Rahayu, 1977, Fenomena

Sektor Publik dan Era Service

Quality, dalam Bisnis dan

Birokrasi No. 1/Vol.

III/April/1997.

Azhar Kasim 1993, Pengukuran

Efektifitas dalam Organisasi,

Lembaga Penerbit FEUI

bekerjasama dengan Pusat

antar universitas Ilmu-ilmu

Sosial UI.

Brotodihardjo, Santoso, 2003, Pengantar

Ilmu Hukum Pajak, Edisi

Keempat, Refika Aditama,

Bandung.

Edwards III, George C. 1980.

Implementing Public Policy.

Washington: Congressional

Quarterly Press.

Pantius D Soeling 1997, Pemberdayaan

SDM untuk peningkatan

pelayanan, dalam Bisnis

Birokrasi No. 2/Vol

III/Agustus/1997.

Martani Huseini, 1994 Penyusunan

Strategi Pelayanan Prima

dalam suatu perspektif

Reengineering, dalam Bisnis

dan Birokrasi. No. 3/Vol

IV/September 1994.

Penghargaan Abdi Satyabakti dalam

manajemen pembangunan, Info

Pan 1995 No. 13/IV /

Oktober/1995

Karim, Abdul Gaffar, (Amirudin, Mada

Sukmajati, Nur Azizah), 2003,

Kompleksitas Persoalan

Otonomi Daerah, Cetakan I,

Pustaka Pelajar.

Kelly, Roy, 1989, Keuangan

Pemerintah Daerah di

Indonesia (Keuangan

Pemerintah Daerah di

Indonesia), UI Press, Jakarta.

Islamy, M. Irfan. 1988. Prinsip-Prinsip

Perumusan Kebijaksanaan

Negara, Jakarta: Bina

Aksara

Mustopadidjaja, 1999, Pedoman

Penyusunan Pelaporan

Akuntabilitas Kinerja Instansi

Pemerintah, Jakarta. LAN.RI

Nugroho, Riant. 2008. Public Policy,

Jakarta: PT. Elek Media

Komputindo

Supriatna, Tjahya. 1996. Sistem

Administrasi Pemerintahan

di Daerah. Jakarta: Bina

Aksara

Sutopo dan Sugiyanto, 2001. Analisis

Kebijakan Publik. Jakarta :

LAN.RI

Wahab, Solichin Abdul. 1997. Analisis

Kebijakan, Edisi Kedua.

Malang: Bumi Aksara

-----------------------------. 2002. Analisis

Kebijakan Dari Formulasi ke

Implemetasi Kebijakan

Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 115

ISSN: 873 – 3741-1

Negara, Jakarta: Bumi

Aksara

Williams, W. and R. F. Elmore. 1971.

Social Program

Implementation. New York:

Academic

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985

tentang Rumah Susun

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintah Daerah

Peraturan Bupati Bandung Nomor 9

tahun 2011 Tentang Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan Kabupaten Bandung

Harian Umum Republika edisi 22

November 2000, 10 Januari

2001, 9 Maret 2001 dan 20

Maret 2001

LAKIP DPPK Kabupaten Bandung, 2012