Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan
-
Upload
vijaya-malar-ramamoorthi -
Category
Documents
-
view
313 -
download
2
description
Transcript of Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan
IMPLEMENTASI DUE PROSES OF LAW DALAM TATA HUKUM MODERN PERSPEKTIF PERLINDUNGAN KORBAN KEJAHATAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.A. Latar Belakang
Hukum Pidana dalam arti yang luas teori hukum pidana (subtantif atau
materiil) dari hukum acara pidana (hukum pidana formal). Kalau hukum acara
pidana dibagi atas hukum public dan hukum privat, maka masyarakat primitive
atau kuno, tidak terdapat batas antara hukum public dan hukum privat,
sehingga tidak ada pemisahan yang jelas antara acara perdata dan pidana.[1]
Dalam hal pemberlakuan hukum acara pidana, ada hal yang sangat
penting untuk dapat diikutsertakan dalam proses beracara pada saat
pemeriksaan sidang, yaitu adanya alat-alat bukti dan kekuatan pembuktian.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata, di sebutkan pada
pasal 184, yang menjadi alat bukti ialah: a) Keterangan Saksi, b) Keterangan
Ahli, c) Surat, d) Petunjuk, e) Keterangan Terdakwa.
Mengenai kedudukan saksi tak terlepas dari adanya suatu perbuatan
tindakan pidana yang di dalamnya terdapat korban kejahatan.
Perlindungan saksi dan korban dalam proses peradilan pidana di
Indonesia belum diatur secara khusus, pasal 50 sampai degan pasal 68 Undang-
undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur
perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan
dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia.[2]
Dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap
tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kodusif dengan cara memberikan
perlindungan atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap
tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak
hukum.
Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan
keamanan yang memadai atas laporannya sehingga ia tidak merasa terancam
atau terintimidasi baik hak maupun jiwa.
Berdasarkan asas kesamaan hukum (Equality Before The Law) yang
menjadi salah satu ciri Negara hukum, saksi dan korban dalam proses peradilan
pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum.[3]
Sebagai upaya penerapan Due Process Of Law, yang juga merupakan
salah satu ciri dalam Negara hukum di Indonesia, adanya upaya perlindungan
terhadap korban kejahatan harus dapat diterapkan dalam penyelesaian masalah
hukum pidana.
Hal ini sangatlah penting mengingat kedudukan saksi dan korrban
kejahatan sangat penting dalam hal hukum pidana.
Belum secara baiknya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
mengatur dalam pemberian perlindungan terhadap saksi dalam tindak
kejahatan. Tentunya harus mendapat perhatian yang baik dari sistem Negara
hukum di Indonesia terkait dengan upaya pengayoman terhadap masyarakat
dan kepentingan Negara.
Sehingga permasalahan Due Process Of Law ini menjadi bahan kajian kami
dalam penerapannya didalam hukum pidana, dengan memberikan judul
makalah “IMPLEMENTASI DUE PROSES OF LAW DALAM PENEGAKAN HUKUM
PIDANA DI INDONESIA PERSPEKTIF PERLINDUNGAN KORBAN KEJAHATAN,
PENGAYOMAN MASYARAKAT, DAN PERWUJUDAN KEPENTINGAN NEGARA
(TINJUAN TEORI HUKUM TERHADAP TEORI DUE PROSES OF LAW)”
1.B. Rumusan Masalah
Pada makalah ini, kami mencoba untuk melihat pada masalah
penerapanDue Process Of Law, terhadap hukum pidana, terkait dengan
perlindungan Korban Kejahatan, dalam upaya Pengaoman terhadap
masyarakat, dan kepentingan Negara.
Implementasi Due Process Of Law dalam hukum pidana, membuat kami
mencoba menggali dengan pendekatan terhadap teori hukum, sehingga kami
dapat berusaha menyajikan dengan meletakan sisi teori hukum mengenai
teoriDue Process Of Law.
Adapun permasalahan yang akan kami coba sajikan dengan berbagai
penjelasan, kami rumuskan sebagai berikut:
1.Apa yang menjadi Prinsip-prinsip dalam penerapan perlindungan Korban
Kejahatan?
2.Bagaimana Dampak penerapan Due Process Of Law terhadap upaya
Pengayoman Masyarakat dan upaya mewujudkan Kepentingan Negara?
3.C. Tujuan Penulisan
Setelah kami coba menjelaskan terhadap latar belakang, dan rumusan
masalah, sebelumnya, dalam makalah ini, kami coba sajikan untuk menemukan
beberapa manfaat dan tujuan penulisan sebagai berikut:
1.Mengetahui landasan teoritis terhadap teori Due Proses Of Law.
2.Mengetahui konsepsi penerapan Due Process Of Law dalam hukum Pidana
perspektif Perlindungan Korban Kejahatan.
3.Mengetahui dampak Due Process Of Law terhadap upaya pengayoman
masyarakat, dan kepentingan Negara.
4.D. Sistematika Penulisan
BAB Pertama Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Sistematika
Penulisan.
BAB Kedua Tinjauan Teoritis Tentang Due Process Of Law ,
berisikan PengertianDue Process Of Law, Due Process Of Law dalam Tata Hukum
Modern, Penegakan Hukum Sebagai Wujud Perlindungan Hukum bagi Korban
Kejahatan, Pengayoman Masyarakat dan Kepentingan Negara.
BAB Ketiga Implementasi Due Process Of Law , menjelaskan Korban Kejahatan,
Pengertian Korban Kejahatan, Tipologi Korban, Prinsip-Prinsip Dasar
Perlindungan Korban Kejahatan, Bentuk-Bentuk Perlindungan Korban Kejahatan,
Dampak Penerapan Perlindungan Korban Terhadap Upaya Pengayoman Dalam
Masyarakat.
BAB Empat Kesimpulan.
BAB Lima DAFTAR PUSTAKA.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TEORI DUE PROCESS OF LAW
1.A. Pengertian Due Process Of Law
Pengertian ‘due process of law’ secara etimologi atau bahasa terambil dari kata
Due yang artinya “Hak” sehingga memiliki arti ‘due process of law’
sebagai ,mendapat perlindungan atau pembelaan diri sebagai hak.[4]
Definisi ‘due process of law’ secara secara epistimologi atau istilah yaitu. (law)
the administration of justice according to established rules and principles; based
on the principle that a person cannot be deprived of life or liberty or property
without appropriate legal procedures and safeguards.[5]
Dalam istilah yang disebutkan dalam tata paham Negara hukum (due process
of law) diartikan penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan
hukum.
Istilah due process of law mempunyai konotasi bahwa segala sesuatu harus
dilakukan secara adil. Konsep due process of law sebenarnya terdapat dalam
konsep hak-hak fundamental (fundamental rights) dan konsep
kemerdekaan/kebebasaan yang tertib (ordered liberty)[6].
Konsep due process of law yang prosedural pada dasarnya didasari atas konsep
hukum tentang “keadilan yang fundamental” (fundamental
fairness).Perkembangan , due process of law yang prosedural merupakan suatu
proses atau prosedur formal yang adil, logis dan layak, yang harus dijalankan
oleh yang berwenang, misalnya dengan kewajiban membawa surat perintah
yang sah, memberikan pemberitahuan yang pantas, kesempatan yang layak
untuk membela diri termasuk memakai tenaga ahli seperti pengacara bila
diperlukan, menghadirkan saksi-saksi yang cukup, memberikan ganti rugi yang
layak dengan proses negosiasi atau musyawarah yang pantas, yang harus
dilakukan manakala berhadapan dengan hal-hal yang dapat mengakibatkan
pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia, seperti hak untuk hidup, hak
untuk kemerdekaan atau kebebasan (liberty), hak atas kepemilikan benda, hak
mengeluarkan pendapat, hak untuk beragama, hak untuk bekerja dan mencari
penghidupan yang layak, hak pilih, hak untuk berpergian kemana dia suka, hak
atas privasi, hak atas perlakuan yang sama (equal protection) dan hak-hak
fundamental lainnya.[7]
Sedangkan yang dimaksud dengan due process of law yang substansif adalah
suatu persyaratan yuridis yang menyatakan bahwa pembuatan suatu peraturan
hukum tidak boleh berisikan hal-hal yang dapat mengakibatkan perlakuan
manusia secara tidak adil, tidak logis dan sewenang-wenang.[8]
Due Process Model adalah model yang sarat dengan nilai-nilai kemanusian
dalam mekanismenya, misalnya saja model ini lebih mengutamakan kesusilaan
dan kegunaan sanksi pidana, model ini bertitik tolak dari nilai yang bersifat anti
terhadap kekuasaan. Artinya model ini mengandung sikap batin penghormatan
terhadap manusia, model ini tidak dapat dibatasi oleh batas-batas tertentu, dan
model ini melambangkan sikap yang sangat dalam tentang keadilan bagi
sesama manusia antara individu dengan pemerintah.
1.B. Due Process Of Law dalam Tata Hukum Modern
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945 menyebutkan, bahwa “Negara Indonesia negara hukum”. Negara
hukum dimaksud adalah negara yang menegakan supermasi hukum untuk
menegakan kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak
dipertanggungjawabkan.[9]
Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud dengan Negara Hukum ialah negara
yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya.
Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup untuk warga
negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila
kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula
peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu
mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya.[10]
Menurut Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia
sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya
hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan
menentukan baik tidaknya suatu Peraturan Undang-Undang dan membuat
Undang-Undang adalah sebagian dari kecakapan menjalankan pemerintahan
negara. Oleh karena itu, bahwa yang penting adalah mendidik manusia menjadi
warga negara yang baik, karena dari sikapnya yang adil akan terjamin
kebahagiaan hidup warga negaranya.[11]
Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum,
selalu berlakunya tiga prinsip dasar, yakni supermasi hukum (supremacy of
law),kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan
hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due process of law).
Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan
antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain
dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam
tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan
A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius Stahl, konsep
Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup
empat elemen penting, yaitu:[12]
1. Perlindungan hak asasi manusia.
2. Pembagian kekuasaan.
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
4. Peradilan tata usaha Negara.
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap
Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:[13]
1.Supremacy Of Law.
2.Equality Before The Law.
3.Due Process Of Law.
Dalam rangka merumuskan kembali ide-ide pokok konsepsi Negara Hukum itu
dan pula penerapannya dalam situasi Indonesia dewasa ini, menurut pendapat
saya, kita dapat merumuskan kembali adanya tiga-belas prinsip pokok Negara
Hukum (Rechtsstaat) yang berlaku di zaman sekarang. Ketiga-belas prinsip
pokok tersebut merupakan pilarpilar utama yang menyangga berdiri tegaknya
satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum (The Rule
of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yangsebenarnya, yaitu:[14]
1.Supremasi Hukum (Supremacy of Law):
Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu
bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi.
1.Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law):
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan,
yang diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik.
1.Asas Legalitas (Due Process of Law):
Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam
segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan
pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah
dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan
berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang
dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus
didasarkan atas aturan atau ‘rules and procedures’ (regels). Prinsip normative
demikian nampaknya seperti sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi
menjadi lamban. Oleh karena itu, untuk menjamin ruang gerak bagi para
pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai
pengimbang, diakui pula adanya prinsip ‘frijsermessen’ yang memungkinkan
para pejabat tata usaha negara atau administrasi negara mengembangkan dan
menetapkan sendiri ‘beleid-regels’ (‘policy rules’) ataupun peraturan-peraturan
yang dibuat untuk kebutuhan internal (internal regulation) secara bebas dan
mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh
peraturan yang sah.
1.Pembatasan Kekuasaan:
Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara
menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan
kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap
kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi
sewenangwenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to
corrupt, and absolute power corrupts absolutely”.
5.Organ-Organ Campuran Yang Bersifat Independen:
Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang berkembang pula
adanya pengaturan kelembagaan pemerintahan yang bersifat ‘independent’,
seperti bank sentral, organisasi tentara, dan organisasi kepolisian.
6.Peradilan Bebas dan Tidak Memihak:
Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial
judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam
setiap Negara Hukum.
7.Peradilan Tata Usaha Negara:
Meskipun Peradilan Tata Usaha Negara juga menyangkut prinsip peradilan
bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar
utama Negara Hukum tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap Negara
Hukum, harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk
menggugat keputusan pejabat administrasi Negara dan dijalankannya putusan
hakim tata usaha Negara (administrative court) oleh pejabat administrasi
negara.
8.Peradilan Tata Negara (Constitutional Court):
Di samping adanya Pengadilan Tata Usaha Negara yang diharapkan
memberikan jaminan tegaknya keadilan bagi tiap-tiap warga negara, Negara
Hukum modern juga lazim mengadopsikan gagasan mahkamah konstitusi dalam
sistem ketatanegaraannya, baik dengan pelembagaannya yang berdiri sendiri di
luar dan sederajat dengan Mahkamah Agung ataupun dengan
mengintegrasikannya ke dalam kewenangan Mahkamah Agung yang sudah ada
sebelumnya.
9.Perlindungan Hak Asasi Manusia:
Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan
jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil.
Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas
dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-
hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu Negara Hukum yang
demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi.
10.Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat):
Dianut dan dipraktekkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang
menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan
dan ditegakkan mencerminkan nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah
masyarakat.
11.Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare
Rechtsstaat):
Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama.
Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara
demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalui gagasan negara
hukum (nomocrasy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum.
12.Transparansi dan Kontrol Sosial:
Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap
proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan
kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat
dilengkapi secara komplementer oleh peran serta masyarakat secara langsung
(partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran.
13.Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa
Khusus mengenai cita Negara Hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila, ide
kenegaraan kita tidak dapat dilepaskan pula dari nilai Ketuhanan Yang Maha Esa
yang merupakan sila pertama dan utama Pancasila. Karena itu, di samping ke-
12 ciri atau unsur yang terkandung dalam gagasan Negara Hukum Modern
seperti tersebut di atas, unsur ciri yang ketigabelas adalah bahwa Negara
Hukum Indonesia itu menjunjung tinggi nilai-nilai ke-Maha Esaan dan ke-Maha
Kuasa-an Tuhan.
Artinya, diakuinya prinsip supremasi hukum tidak mengabaikan keyakinan
mengenai ke-Maha Kuasa-an Tuhan Yang Maha Esa yang diyakini sebagai sila
pertama dan utama dalam Pancasila. Karena itu, pengakuan segenap bangsa
Indonesia mengenai kekuasaan tertinggi yang terdapat dalam hukum konstitusi
di satu segi tidak boleh bertentangan dengan keyakinan segenap warga bangsa
mengenai prinsip dan nilai-nilai ke-Maha-Kuasa-an Tuhan Yang Maha Esa itu,
dan di pihak lain pengakuan akan prinsip supremasi hukum itu juga merupakan
pengejawantahan atau ekspresi kesadaran rasional kenegaraan atas keyakinan
pada Tuhan Yang Maha Esa yang menyebabkan setiap manusia Indonesia hanya
memutlakkan Yang Esa dan menisbikan kehidupan antar sesama warga yang
bersifat egaliter dan menjamin persamaan dan penghormatan atas
kemajemukan dalam kehidupan bersama dalam wadah Negara Pancasila.
1.C. Penegakan Hukum Sebagai Wujud Perlindungan Hukum
bagi Korban Kejahatan, Pengayoman Masyarakat dan Kepentingan
Negara.
Perlunya diberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan secara memadai
tidak saja merupakan isu nasional, tetapi juga internasional. Masalah keadilan
dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana
memang bukan merupakan pekerjaan yang sederhana untuk merealisasikan.
Banyak peristiwa dalam kehidupan masyarakat menunjukan bahwa kedua hal
tersebut kurang memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah, padahal
sangat jelas dalam Pancasila, sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, masalah
perikemanusiaan dan perikeadilan mendapat tempat sangat penting sebagai
perwujudan dari Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab serta Keadilan Sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam penyelesaian perkara pidana, sering kali hukum terlalu
mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa, sementara hak-hak korban
diabaikan, sebagaimana dikemukakan olah Andi Hamzah :”Dalam membahas
hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia,
ada kecenderungan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak
tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak para korban.”[15]
Dalam penyelesaian perkara pidana, banyak ditemukan korban kejahatan
kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan
yang sifatnya immaterial maupun materiil sebagaimana Geis berpendapat: “ to
much attention has been paid to offenders and their rights, to neglect of the
victims.” Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti yang memberikan
keterangan yaitu hanya sebagai saksi sehingga kemungkinan bagi korban untuk
memperoleh kelekuasaan dama memperjuangkan hak adalah kecil.[16]
Dalam kaitan pemeriksaan suatu tindak pidana, seringkali korban hanya
diposisikan sebagai pemberi kesaksian, sebagai pelapor dalam proses
penyidikan, dan sebagai sumber informasi atau sebagai salah satu kunci
penyelesaian perkara.[17]
Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formal (KUHAP) lebih menitik
beratkan perhatian pada pembuat korban (pelaku kejahatan) daripada korban,
seolah-olah suatu perbedaan atau pemisahan yang tajam antara si pembuat
korban dengan si korban, walaupun keduanya memiliki peranan yang fungsional
dalam terjadinya tindak pidana.[18]
Korban hanyalah pelengkap atau sebagian dari alat bukti, bukan pencari
keadlian. Bahkan Geis berpendapat:”Tend to be treated like pieces of evidence
than like human being.”[19]
Prosedur pemeriksaan sejak penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan dilalui
korban jika ingin memperjuangkan hak perlindungan hukum, yang proses
pemeriksaan tersebut justru menambah daftar penderitaannya.[20]
Dalam penegakan Hukum Pidana Nasional (baik KUHP maupun KUHAP) harus
dilaksanakan sesuai dengan isi ketentuan Hukum Pidana Nasional tersebut,
yang telah diatur secara tegas tanpa memperhatikan kedudukan dan
kepentingan korban ternyata hingga sekarang hanyalah sebuah regularitas
yang bersifat “rutin” namun “tanpa makna” ketika harus berhadapan dengan
pentingnya pelindungan hukum korban kejahatan.
Jika hukum Pidana Nasional berlaku secara umum untuk seluruh wilayah
Indonesia, baik KUHP maupun KUHAP seolah-olah layaknya sebuah hyperealitas
hukum, yaitu undang-undang menjadi pembenar sebuah kejahatan dan
pelaksana undang-undang berubah menjadi mayat hidup, robot, dan mesin
dengan remote control yang pada akhirnya realitas undang-undang menopengi
kebenaran dan undang-undang kejahatan.
Perlindungan hukum bagi masyarakat sangatlah penting karena masyarakat
baik kelompok maupun perorangan, dapat menjadi korban atau bahkan sebagai
pelaku kejahatan.
Perlindungan hukum kejahatan sebagai bagian dari perlindungan kepada
masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui
pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum.[21]
Dalam penanganan perkara pidana, kepentingan korban sudah saatnya untuk
diberikan perhatian khusus, selain sebagai saksi yang mengetahui terjadinya
suatu kejahatan juga karena kedudukan korban sebagai subjek hukum yang
memiliki kedudukan sederajat di depan hukum (equality before the
law).Perhatian korban dalam penanganan perkara pidana hendaknya dilakukan
atas dasar belas kasihan dan hormat atas martabat korban (compassion and
respect for their dignity.
BAB III
IMPLEMENTASI DUE PROCESS OF LAW
1.A. Korban dan Kejahatan
2.1. Pengertian Korban Kejahatan
Pentingnya pengertian korban diberikan dalam pembahasan ini adalah untuk
sekadar membantu dalam menentukan secara jelas batas-batas yang dimaksud
oleh pengertian tersebut sehingga diperoleh kesamaan cara padang.
Korban suatu kejahatan tidaklah selalu harus berupa individu atau orang
perorangan, tetapi bisa juga berupa kelompok orang, masyarakat, atau juga
badan hukum. Bahkan pada kejahatan tertentu, korbannya bias juga berasal
dari bentuk kehidupan lainnya seperti tumbuhan, hewan ataupun ekosistem.
Korban semacam ini lazimnya kita temui dalam kejahatan terhadap lingkungan.
Namun, dalam pembahasan ini, korban sebagaimana dimaksud terakhir tidak
termasuk di dalamnya.
Victimogy (istilah bahasa Inggris) berasal dari kata-kata latin Victima yang
berarti korban, logos yang berarti ilmu pengetahuan ilmiah, studi.[22]
Masalah korban ini sebetulnya bukanlah masalah yang baru, hanya karena hal-
hal tertentu kurang diperhatikan, bahkan diabaikan. Apabila kita mengamati
masalah kejahatan menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional,
maka mau tidak mau kita harus memperhatikan peranan si korban dalam
timbulnya suatu kejahatan. Korban mempunyai peranan yang fungsional dalam
terjadinya suatu kejahatan. Pada kenyataannya dapat dikatakan bahwa tidak
mungkin timbul suatu kejahatan kalau tidak ada si korban kejahatan, yang
merupakan peserta utama dari si penjahat dalam hal terjadinya suatu
kejahatan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa si korban mempunyai
tanggung jawab fungsional dalam terjadinya kejahatan.
Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan baik oleh para ahli maupun
bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang membahas mengenai
korban kejahatan, sebagian di antaranya adalah sebagai berikut :[23]
1.Arief Gosita
Menurutnya, korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah
sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuh kepentingan diri
sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak
dirugikan.
1. Ralph de Sola
Korban (victim) adalah “…person who has injured mental or physical suffering,
loss of property or death resulting from an actual or attempted criminal offense
committed by another….”.
1.Cohen
Kobar (victim) adalah “ …whose pain and suffering have been neglected by the
state while is spends immense resources to hunt down and punish the offender
who responsible for that pain and suffering.”
1.Z.P. Separovic
Korban (victim) adalah “…the person who are threatened, injured or destroyed
by an actor or omission of another (mean, structure, organization, or institution)
and consequently, a victim would be anyone who has suffered from or been
threatened by a punishabel act (not only criminal act but also other punishable
acts as misdemeanors, economic offences, non fulfillment of work duties) or an
accidents. Suffering may be caused by another man or another structure, where
people are also involved.
1.Menurut Muladi
Korban (victim) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif
telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional,
ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental,
melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing
negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.[24]
Pengertian saksi seperti yang tertuang di dalam Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana Pasal 1 angka 26 disebutkan “ Saksi adalah orang yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan
peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri
dan ia alami sendiri”.[25]
Sementara setalah munculnya Undang-undang No. 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, di dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka
1 mendefinisikan “saksi adalah orang yang dapat menberikan keterangan guna
kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri,
dan/atau ia alami sendiri”
Sementara pengertian Korban Kejahatan adalah seseorang yang mengalami
penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh
suatu tindak pidana. (Pasal 1 angka 2 UU No. 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban).
Undang-udang No.27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,
menyebutkan Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang
mengalami penderitaan, baik fisik, mental maupun emosional, kerugian
ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak
dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk
korban dan ahli warisnya.[26]
Dalam Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran hak Asasi Manusia yang berat,
menyebutkan pengertian Korban, yaitu orang perseorangan atau kelompok
orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi
manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari
ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan pihak manapun.
Berkembangannya hukum sebagai Law As A Tool Sosial Engenering, dan
penanaman nilai-nilai Equality Before The Law yang menjadi salah satu ciri
Negara hukum, saksi dan korban dalam proses peradilan pidana harus diberi
jaminan perlindungan hukum.
1.2. Tipologi Korban
Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk lebih
memperhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban hingga
kemudian munculah berbagai jenis korban, yaitu sebagai berikut[27]:
1.a. Nonparticipating, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya
penanggulangan kejahatan.
2.b. Letent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu
sehingga cenderung menjadi korban.
3.c. Procative, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadi
kejahatan.
4.d. Participacing victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya
memudahkan dirinya menjadi korban.
5.e. False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan
yang dibuatnya sendiri.
Pengelompokan korban Sellin dan Wolfgang, yaitu sebagai berikut[28];
1.Primary victimization, yaitu korban berupa individu atau perorangan
(bukan kelompok).
2.Secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum
3.Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas.
4.No victimization, yaitu korban yang tidak dapat diketahui, misalnya
konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu produksi.
1.B. Prinsip-Prinsip Dasar Perlindungan Korban Kejahatan
Demikian pentingnya hak asasi manusia bagi setiap individu sehingga
eksistensinya harus senantiasa diakui, dihargai, dan dilindungi, di antaranya
melalui berbagai produk perundang-undangan. Adanya pengakuan terhadap
eksistensinya hak asasi manusia tentu membawa konsekuensi pada perlunya
diupayakan perlindungan terhadap hak-hak tersebut dari kemungkinan
munculnya tindakah-tindakan yang dapat merugikan manusia itu sendiri, baik
dilakukan oleh manusia lainnya maupun oleh pemerintah.
Penjelasan Undang-Udang Dasar 1945 dengan tugas menyebutkan
bahwaIndonesia adalah negara hukum (rectstaat) dan bukan negara kekuasaan
(machtstaat). Dengan keberadaannya sebagai negara hukum (rechtstaat) ada
berbagai konsekuensi yang melekat padanya, sebagaimana dikemukakan oleh
Philipus M. Hadjon, bahwa konsepsi (rechstaat) maupun konsepsi the rule of
law, menempatkan hak asasi manusia sebagai salah satu ciri khas pada negara
yang disebut rechstaat atau menjunjung tinggi the rule of law, bagi suatu
negara demokrasi pengakuan dan perlindungan terhadap Hak-Hak Asasi
Manusia merupakan salah satu ukuran tentang baik buruknya suatu
pemerintahan.[29]
Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya
preventif maupun represif yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun
pemerintah (melaui aparat penegak hukumnya), seperti
perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan
nyawa korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum secara memadai,
proses pemeriksaan dan peradilan yang fair terhadap pelaku kejahatan, pada
dasarnya merupakan salah satu perwujudan dari perlindungan hak asasi
manusia serta instrumen penyeimbang.
Dengan mengacu pada penerapan perlindungan hak-hak korban kejahatan
sebagai akibat dari terlanggarnya hak asasi yang bersangkutan, maka dasar
dari perlindungan korban kejahatan dapat dipilih dari beberapa teori, di
antarnya sebagai berikut ;[30]
1.Teori ulititas
Teori ini menitik beratkan pada kemanfaatan yang tersebar bagi jumlah yang
terbesar. Konsep pemberian perlindungan pada korban kejahatan dapat
diterapkan sepanjang memberikan kemanfaatan yang lebih besar dibandingkan
dengan tidak diterapkannya konsep tersebut, tidak saja bagi korban kejahatan,
tetapi juga bagi sistem penegakan hukum pidana secara keseluruhan.
1.Teori Tanggung Jawab
Pada hakikatnya subjek hukum (orang maupun kelompok) bertanggung jawab
terhadap segala perbuatan hukum yang dilakukannya sehingga apabila
seseorang melakukan suatu tindak pidana yang mengakibatkan orang lain
menderita kerugian (dalam arti luas), orang tersebut harus bertanggung jawab
atas kerugian yang ditimbulkannya, kecuali ada alasan yang membebaskannya.
1.Teori Ganti Kerugian
Sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya terhadap orang lain,
pelaku tindak pidana dibebani kewajiban untuk memberikan ganti kerugian
pada korban atau ahli warisnya.
Dalam konsep perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, terkandung
pula beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian. Hal ini disebabkan
dalam konteks hukum pidana, sebenarnya asas hukum harus mewarnai baik
hukum pidana materiil, hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan
pidana.[31]
Adapun asas-asas dimaksud adalah sebagai berikut ;
1.Asas Manfaat
Artinya perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi tercapainya
kemanfaatan (baik materiil maupun spiritual) bagi korban kejahatan, tetapi juga
kemanfaatan bagi masyarakat secara luas, khususnya dalam upaya mengurangi
jumlah tindak pidana serta menciptakan ketertiban masyarakat.
1.Asas Keadilan
Artinya penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan
tidak bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang harus
juga diberikan pada pelaku kejahatan.
1.Asas Keseimbangan
Karena tujuan hukum di samping memberikan kepastian dan perlindungan
terhadap kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan
masyarakat yang terganggu menuju pada keadaan yang semula (restitutio in
interum), asas keseimbangan memperoleh tempat yang penting dalam upaya
pemulihan hak-hak korban.
1.Asas Kepastian Hukum
Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat
penegakan hukum pada saat melaksanakan tugasnya dalam upaya memberikan
perlindungan hukum pada korban kejahatan.
1.C. Bentuk-Bentuk Perlindungan Korban Kejahatan
Secara teoritis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dapat diberikan
dalam berbagai cara, bergantung pada penderitaan/kerugian yang diderita oleh
korban.
Oleh karena itu, dengan mengacu pada beberapa kasus kejahatan yang pernah
terjadi, ada beberapa bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan yang
lazim diberikan, antara lain.
1.Pemberian Restitusi dan Kompensasi
Pengertian Restitusi dan Kompensasi merupakan istilah yang dalam
penggunaannya sering dapat dipertukarkan (interchangeble). Namun menurut
Stephen Schafer, perbedaan antara kedua istilah itu adalah kompensasi lebih
bersifat keperdataan. Kompensasi timbul dari permintaan korban, dan dibayar
oleh masyarakat atau merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau
negara (the responsible of the society), sedangkan restitusi lebih bersifat
pidana, yang timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana,
yang timbul dari putusan pengadilan pidana dibayar oleh terpidana atau
merupakan wujud pertanggungjawaban terpidana (the responsibility of the
offender)[32].
Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, menyebutkan
pengertian kompensasi dan restitusi pada bab I yaitu[33]:
Kompensasi pada PP No.44 tahun 2008 pasal 1 angka 4, mendefinisikan,
“Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku
tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung
jawabnya.[34]
Restitusi pada pasal 1 angka 5, mendefinisikan “Restitusi adalah ganti kerugian
yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga,
dapat berupa pengambilan harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk
kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
[35]
1.Konseling
Pada umumnya perlindungan ini diberikan kepada korban sebagai akibat
munculnya dampak negatif sebagai psikis dari suatu tindak pidana. Pemberian
bantuan dalam bentuk konseling sangat cocok diberikan kepada korban
kejahatan yang menyisakan trauma berkepanjangan, seperti pada kasus-kasus
yang menyangkut kesusilaan.
Pada UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan korban disebutkan:
Korban dalam pelanggaran HAM yang berat berhak mendapatkan bantuan
rehabilitasi psiko-sosial, yaitu suatu bantuan yang diberikan oleh psikolog
kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk
memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban.[36]
1.Pelayanan/Bantuan Medis
Diberikan kepada korban yang menderita secara medis akibat suatu tindak
pidana. Pelayanan medis yang dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan
dan laporan tertulis (visum atau surat keterangan medis yang memiliki
kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti). Keterangan medis ini
diperlukan terutama apabila korban hendak melaporkan kejahatan yang
menimpanya ke aparat kepolisian untuk ditindaklanjuti.[37]
1.Bantuan Hukum
Bantuan hukum merupakan suatu bentuk pendampingan terhadap korban
kejahatan. Di Indonesia bentuan in lebih banyak diberikan oleh Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM).
Pemberi bantuan hukum terhadap korban kejahatan haruslah diberikan baik
diminta ataupun tidak diminta oleh korban. Hal ini penting, mengingat masih
rendahnya tingkat kesadaran hukum dari sebagian besar korban yang
menderita kejahatan ini.
1.Pemberian Informasi
Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan proses
penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami oleh korban.
Pemberian informasi ini memegang peranan yang sangat penting dalam upaya
menjadikan masyarakat sebagai mitra aparat kepolisian karena melaui
informasi inilah diharapkan fungsi kontrol masyarakat terhadap kinerja
kepolisian dapat berjalan dengan efektif.
1.D. Dampak Penerapan Perlindungan Korban Terhadap Upaya
Pengayoman dalam Masyarakat, dan Perwujudan Kepentingan
Negara.
Dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap
tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan
perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau
menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang
telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.[38]
Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan keamanan
yang memadai atas laporannya sehingga ia tidak merasa terancam atau
terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan hukum
dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang
memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu
tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir atau
takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.[39]
Di antara lembaga-lembaga hukum yang ada, barangkali polisi adalah yang
paling memperlihatkan sifat sosiologis dalam pekerjaannya. Sifat tersebut
disebabkan oleh keterlibatan pekerjaan polisi secara sangat intens dengan
masyarakat. Di dalam masyarakat terdapat dua kutub, yaitu individu dan
kehidupan bersama atau masyarakat.[40]
Penelitian-penelitian tentang bagaimana polisi bekerja merupan contoh yang
bagus mengenai mobilisasi hukum. Konsep mobilisasi hukum memberi tahu
kepada kita, bahwa peristiwa pidana yang diatur di dalam KUHP hanya menjadi
kenyataan apabila muncul kasus-kasus pidana dan kasus tersebut hanya dapat
muncul karena ada mobilisasi hukum.[41] Seperti dikatakan Donald Blak,
mobilisasi hukum adalah proses yang melalui itu hukum mendapatkan kasus-
kasusnya. Tanpa mobilisasi atau campur tangan manusia, kasus-kasus tersebut
tidak akan ada, sehingga hukum hanya akan menjadi huruf-huruf mati di atas
kertas belaka.[42]
Keterlibatan anggota masyarakat dalam penegakan hukum terjadi baik dalam
bidang pidana atau publik maupun perdata. Dalam hukum pidana, mobilisasi
hukum dapat dimulai dari inisiatif polisi maupun anggota masyarakat. Anggota
masyarakat dapat melaporkan terjadinya kejahatan, sehingga menggerakkan
roda hukum pidana.
Dalam hal ini masyarakat baik sebagai korban maupun pelapor atas adanya
suatu tindakan pidana, tentunya harus mendapatkan perlindungan agar hak-
haknya tetap terlindungi baik dari sisi korban ataupun pelapor.
Karna penegakan hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang
tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku pidana sering mengalami kesulitan
oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat
menghadirkan saksi dan/atau korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik
maupun psikis dari pihak tertantu.[43]
Peran serta masyarakat dalam mobilisasi hukum terkait mobilisasi hukum
pidana dapat pula terlihat pada UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, pada
Bab V pasal 15, disebutkan : “setiap orang yang mendengar, melihat, atau
mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-
upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk a) mencegah berlangsungnya
timdak pidana; b) memberikan perlindungan kepada korban; c) memberikan
pertolongan darurat; dan d) membantu proses pengajuan permohonan
penetapan perlindungan.[44]
Dalam rangka merumuskan kembali ide-ide pokok konsepsi Negara Hukum itu
dan pula penerapannya dalam situasi Indonesia dewasa ini, menurut pendapat
kami, kita dapat merumuskan kembali adanya tiga-belas prinsip pokok Negara
Hukum (Rechtsstaat) yang berlaku di zaman sekarang. Ketiga-belas prinsip
pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya
satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum (The Rule
of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya, yang salah satunya
menganut sistem Due Process of Law, Perlindungan Hak Asasi Manusia.
Maka dalam upaya pengayoman terhadap masyarakat serta mejaga nilai-nilai
persamaan hukum (equality before the law) yang juga menjadi salah satu ciri
negara hukum, yang nantinya akan berdampak pada konsep hukum negara
yang memililki kedudukan sebagai upaya melindungi Hak Asasi Manusia, dan
kredibelitas hukum. Sehingga negara perlu memberikan perlindungan terhadap
masyarakat baik masyarakat itu sebagai korban dan saksi.
BAB VI
KESIMPULAN
Sebagai upaya dalam melindungi hak-hak asasi manusia, dimana telah diatur di
Republik Indonesia ini dengan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia.
Serta dalam upaya memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan,
sesuai dengan nilai atau ciri-ciri negara hukum modern yang menganut
1) SupermasiHukum, 2) Equality Before The Law, 3) Due Process Of Law.
Sebagai wujud dukungan terhadap upaya penyelesaian kasus-kasus hukum
pidana yang melibatkan adanya alat bukti berupa saksi dan korban kejahatan,
untuk mengungkap penyelesaian kasus yang dihadapi.
Maka dalam hal penerapan Due Process Of Law negara Republik Indonesia
melalui Pemerintah dan Badan Legislatif, membuat Undang-undang RI Nomor
13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Prinsip-prinsip perlindungan korban kejahatan yang telah kami coba utarakan di
Bab III, ternyata sudah diterapkan kepada beberapa Produk Hukum yaitu
melalui Perundang-undang.
Adapun upaya memberikan perlindungan terhadap korban dan pengayoman
masyarakat, dapat terlihat dengan mengutamakan, beberapa hal yaitu:
1) Mengupayakan implementasi terhadap ciri-ciri hukum modern;
2) Memberikan perlindungan terhadap Hak-Hak Korban;
3) Menunjukan adanya peran masyarakat terhadap mobilisasi hukum;
Penerapan Due Process Of Law sangat diperlukan dalam hal menjaga hak-hak
asasi manusia dapat terlindungi, terkait dengan masalah hukum pidana,
perlindungan saksi dan korban kejahatan dan peran masyarakat terhadap
perlindungan korban, maka dapat dilihat masyarakat sebagai pelapor ataupun
korban kejahatan.
Munculnya peraturan-peraturan perudang-undangan yang mengangkat
perlindungan korban sangat diperlukan untuk saat ini, ditengah-tengah
perubahan dan kebutuhan hukum terhadap upaya penerapan “Due Process of
Law”.
DAFTAR PUSTAKA
John M. Echols dan Hassan Shadily “Kamus Isnggir Indonesia” PT. Gramedia,
Jakarta
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat) ,Refika Aditama,
Bandung 2009,
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia,Panduan Pemasyarakatan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai dengnan Urutan
Bab, Pasal dan ayat), Sekertaris Jendral MPR RI, Jakarta, 2010,
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti,
Jakarta 1988
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH “Gagasan Negara Hukum Indonesia
Andi Hamzah, Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana, Bandung: Binacipta, 1986
Chaerudi, Syarif Fadillah, “Korban Kejahatan dalam Perspektif Vikti-mologi dan
Hukum Pidana Islam, Ghalia Press, Jakarta, 2004
Drs. Dikdik M. Arief Mansur, S.H, M.H dan Elisatris Gultom S.H., M.H.”Urgensi
Perlindungan Korban Kejahatan-Antara Norma dan Realita” PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2007
Abdul Wahid, Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan
Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), PT. Refika Aditama, Bandung,
2001
Undang-Undang No. 16 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Muladi,”HAM dalam perspektif sistem Peradilan Pidana,”
Undang-undang No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Philipus M. Hadjono, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia,
Surabaya, 1987
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1993
Peraturan Pemerintah RI Nomor. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban
Undang-Undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan korban
Prof. Dr. Sartjipto rahardjo, SH, Sosiologi Hukum ‘Perkembangan Metode dan
Pilihan Masyarakat’, Genta publishing, Yogyakarta, 2010,
[1] Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H.”Hukum Acara Pidana Indonesia”. Sinar Grafika,
2006, hal: 9
[2] Lihat Konsideran UU. Nomor. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan
korban.
[3] Lihat Konsideran Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2008 Tentang
Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.
[4] John M. Echols dan Hassan Shadily “Kamus IsnggirIndonesia” PT.
Gramedia,Jakarta
[6] Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat) ,Refika Aditama,
Bandung 2009, hlm: 46
[7] Ibid, hal :47
[8] Ibid, hal : 48
[9] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia,Panduan
Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai
dengnan Urutan Bab, Pasal dan ayat), Sekertaris Jendral MPR RI,Jakarta, 2010,
hlm, 46
[10] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar
Bakti, Jakarta 1988, hlm., 153.
[11] Ibid., hlm,154
[12] Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH “Gagasan Negara Hukum Indonesia”
[13] Ibid, hal :
[14] Ibid, hal :
[15] Andi Hamzah, Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana, Bandung: Binacipta, 1986, hal. 33
[16] Chaerudi, Syarif Fadillah, “Korban Kejahatan dalam Perspektif Vikti-mologi
dan Hukum Pidana Islam, Ghalia Press, Jakarta, 2004, hal:47
[17] Ibid, hal. 1600
[18] Drs. Dikdik M. Arief Mansur, S.H, M.H dan Elisatris Gultom S.H.,
M.H.”Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara Norma dan Realita” PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal:135
[19] Andi Hamzah, Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana, Bandung: Binacipta, 1986,
[20] Abdul Wahid, Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan
Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), PT. Refika Aditama, Bandung,
2001, hal:75
[21] Lihat dalam UU No. 16 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
[22] Dr. H. Parman Soeparman, S.H.,M.H.”Hak Mengajukan Upaya Hukum
Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan”,hal. 56
[23] Drs. Dikdik M. Arief Mansur, S.H, M.H dan Elisatris Gultom S.H.,
M.H.”Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara Norma dan Realita” PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal: 46-47
[24] Muladi,”HAM dalam perspektif sistem Peradilan Pidana,”, hal. 108
[25] Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
[26] Undang-undang No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi
[27] Drs. Dikdik M. Arief Mansur, S.H, M.H dan Elisatris Gultom S.H.,
M.H.”Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara Norma dan Realita” PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal: 49
[28]Ibid, hal. 50
[29] Philipus M. Hadjono, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia,
Surabaya,1987, hal: 21
[30] Drs. Dikdik M. Arief Mansur, S.H, M.H dan Elisatris Gultom S.H.,
M.H.”Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara Norma dan Realita” PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal: 163
[31] Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1993,
hal:50
[32] Drs. Dikdik M. Arief Mansur, S.H, M.H dan Elisatris Gultom S.H.,
M.H.”Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara Norma dan Realita” PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal: 167
[33]Peraturan Pemerintah RI Nomor. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban
[34] Ibid
[35] Ibid
[36] UU No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan korban
[37] Drs. Dikdik M. Arief Mansur, S.H, M.H dan Elisatris Gultom S.H.,
M.H.”Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara Norma dan Realita” PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal: 167
[38] Dilihat pada Konsideran Undang-undang RI Nomor. 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban.
[39] Ibid
[40] Prof. Dr. Sartjipto rahardjo, SH, Sosiologi Hukum ‘Perkembangan Metode
dan Pilihan Masyarakat’, Genta publishing, Yogyakarta, 2010, hal.177
[41] Ibid, hal. 196
[42] Ibid,hal. 197
[43]Dilihat pada Konsideran Undang-undang RI No. 13 tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban.
"Due Process Of Law"
Dalam rangka melaksanakan fungsi “penyelidikan” dan “penyidikan”, undang-undang telah memberikan “hak istimewa” atau “hak privilese” kepada Polri untuk melakukan: “memanggil-memeriksa-menangkap-menahan-menggeledah-menyita” terhadap tersangka dan barang yang dianggap berkaitan dengan tindak pidana. Namun, dalam melaksanakan “hak” dan “kewenangan istimewa” tersebut, harus tetap taat dan tunduk kepada prinsip-prinsip: the right of due process. Setiap tersangka berhak diselidiki dan disidik di atas landasan “sesuai dengan hukum acara” yang ada, tidak boleh dilakukan undue process. Permasalahan ini perlu disinggung, karena masih banyak keluhan yang disuarakan oleh masyarakat tentang adanya berbagai tata cara “penyelidikan” dan “penyidikan” yang menyimpang dari ketentuan hukum acara, atau “diskresi” yang dilakukan oleh penyidik. hal ini sangat bertentangan dengan HAM yang harus ditegakkan dalam tahap pemeriksaan penyelidikan dan penyidikan. Oleh sebab itu, tujuan dikemukakannya persoalan ini, sebagai ajakan untuk meningkatkan “ketaatan” mematuhi penegakan the right of due process of law.
Hak due process dalam melaksanakan tindakan penegakan hukum, bersumber dari cita-cita “negara hukum” (rechtstaat) yang menjunjung tinggi “supremasi hukum” (the law is supreme), yang menegaskan bahwa dalam penegakan hukum: “kita diperintah oleh hukum” dan “bukan oleh orang” atau "atasan". Bertitik tolak dari asas ini, Polri dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan “penyidikan”, harus berpatokan dan berpegang pada “ketentuan khusus (special rule) yang diatur dalam “hukum acara pidana” (criminal procedure) dalam hal ini adalah KUHAP (Undang-undang No. 8 Tahun 1981). Konsep due process dikaitkan dengan landasan menjunjung tinggi “supremasi hukum”, dalam menangani tindak pidana: tidak seorang pun berada dan menempatkan diri di atas hukum, dan hukum harus diterapkan kepada siapa pun berdasar prinsip “perlakuan” dan dengan “cara yang jujur” (fair manner) dan "benar".
Esensi due process: setiap penegakan dan penerapan hukum pidana harus sesuai dengan “persyaratan konstitusional” serta harus “menaati hukum”. Oleh karena itu, due process tidak “memperbolehkan terjadinya pelanggaran” terhadap suatu bagian ketentuan hukum dengan dalih guna menegakkan bagian hukum yang lain. Agar konsep dan esensi due process dapat terjamin penegakan dan pelaksanaannya oleh aparat penegak hukum, harus “berpedoman” dan “mengakui” (recognized), “menghormati” (to respect for), dan melindungi (to protect) serta “menjamin” dengan baik “doktrin inkorporasi” (incorporation doctrin), yang memuat berbagai hak, antara lain (sebagian di antaranya telah dirumuskan dalam Bab IV KUHAP) :
1) The right of self incrimination. Tidak seorang pun dapat dipaksa menjadi saksi yang memberatkan dirinya dalam suatu tindak pidana.
1) “Dilarang mencabut” atau “menghilangkan” (deprive) “hak hidup” (life) “kemerdekaan” (liberty), atau “harta benda” (property) tanpa sesuai dengan ketentuan hukum acara (without due process of law).
2) Setiap orang harus “terjamin hak terhadap diri” (person), “kediaman, surat-surat” atas pemeriksaan dan penyitaan yang “tidak beralasan”.
3) “Hak konfrontasi” (the right to confront) dalam bentuk “ pemeriksaan silang” (cross examine) dengan orang yang menuduh (melaporkan).
4) “Hak memperoleh pemeriksaan (peradilan)” yang cepat (the right to a speedy trial).Pelanggaran atas hak ini pada tahap penyidikan sering muncul ke permukaan. Ada laporan pengaduan yang tidak pernah ditangani. Pemeriksaan penyidikan tersangka yang tidak jelas ujung pangkalnya. Tidak dihentikan dalam bentuk SP3 tetapi juga tidak dilimpahkan pada Jaksa Penuntut Umum (JPU). Atau pemeriksaan tambahan yang tidak pernah disempurnakan (perkara menjadi “mengantung”).
Dalam kasus-kasus yang seperti ini, sering menimbulkan benturan kepentingan antara pelapor dan tersangka “Pelapor” atau “korban” merasa dirinya “dizalimi” dan “diabaikan”. Sebaliknya tersangka juga terkatung-katung nasibnya dalam kegelisahan yang tidak menentu.
5) “Hak perlindungan yang sama” dan “pemeriksaan yang sama dalam hukum” (equal protection and equal treatment of the law). Terutama dalam menangani kasus yang sama (similar case), harus ditegakkan asas perlindungan dan perlakuan yang sama. Memberi perlindungan dan perlakuan yang berbeda adalah tindakan “diskriminatif”
6) “Hak mendapat bantuan penasihat hukum“ (the right to have assistance of counsil) dalam pembelaan diri. Hak ini merupakan prinsip yang diatur dalam Pasal 56 (1) KUHAP yang berbunyi:
Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau diancam pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.
Apa yang diatur dalam Pasal 56 ini merupakan bagian yang tidak terpisah dari asaspresumption of innocence serta berkaitan dengan pengembangan Miranda Rule yang juga telah diadaptasi dan diadopsi dalam KUHAP, seperti:
a. melarang penyidik melakukan praktek pemaksaan yang kejam untuk memperoleh “pengakuan” (brutality to coerce confession);
b. melarang penyidik melakukan intimidasi kejiwaan (psychological intimidation).
Seiringan dengan larangan dimaksud, kepada tersangka diberikan hak untuk “diperingati hak konstitusionalnya” (warning of his constitutional rights) atau disebutMiranda Warning (yang dikenal di
negara bagian Arizona, Amerika Serikat pada kasus “Miranda” pada tahun 1966 merupakan persamaan dari Pasal 56 KUHAP) yang harus disampaikan aparat penegak hukum kepadanya berupa:
- hak untuk tidak menjawab (a right to remain in silent).
- hak didampingi (menghadirkan) penasihat hukum (a right to the presense of an attorney or the right to counsil).
Kedua hak ini hanya dapat “dihapus” atau “dikesampingkan” berdasar “kemauan” dan “sukarela” (knowingly and voluntarely) dari tersangka. Kaitan antara kedua “hak” di atas dengan Miranda Warning adalah apabila tersangka secara tegas menyatakan dia “didampingi penasihat hukum” dalam pemeriksaan penyidikan, tersangka dapat mempergunakan the right to remain in silent (hak untuk tidak menjawab) sampai dia didampingi penasihat hukum sesuai dengan Miranda Rule yang diatur dalam Pasal 56 KUHAP, yang bersifat “imperatif”. Mengabaikan ketentuan ini, mengakibatkan: “tuntutan JPU tidak dapat diterima”. Sehubungan dengan semakin gencarnya tuntutan peningkatan HAM dalam penegakan hukum, dan salah satu di antara tuntutan itu berkenaan dengan kualitas penegakan Miranda Rule dan Miranda Principle, sudah selayaknya Polri menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang memahami dengan baik aspek-aspek pengertian dan penerapan Miranda Rule secara komprehensif dan Profesional. Masalah penerapan Miranda Rule sampai saat sekarang sangat riskan sekali dalam pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia. Hampir sebagian besar perkara yang termasuk kategori yang disyaratkan Pasal 56 KUHAP, tersangkanya “disidik tanpa didampingi penasihat hukum”. Sebagai suatu contoh dapat dilihat pada pemeriksaan penyidikan tindak pidana psikotropika. Pemeriksaan tersangka pada tahap penyidikan tanpa didampingi penasihat hukum seusai dengan asas within sight and within hearing berdasar sistem yang digariskan Pasal 115 KUHAP. Terjadinya pelanggaran seperti ini, pengadilan masih sering bersikap “toleran” atas alasan “demi melindungi kepentingan umum” (to protect public interest). Dengan mempergunakan landasan: the theory of the priority right (hak siapa yang lebih diutamakan, apakah hak individu terdakwa, dibandingkan dengan hak kepentingan umum). “Hakim” atau “Pengadilan”, sering menutup mata atas pelanggaran Pasal 56 KUHAP yang terjadi pada tahap pemeriksaan penyidikan. Namun, sikap masa bodoh pengadilan atas pelanggaran tersebut, barangkali tidak dapat dipertahankan lagi. Tuntutan “reformasi hukum” makin deras mendesak agar Pasal 56 atau Miranda Ruleditegakkan dengan “konsisten”. Suara kepedulian (concern) yang makin keras menuntut penegakan ketentuan dimaksud, membuat pengadilan mesti konsen atau peduli untuk menanggapinya. Masalah ini sudah beberapa kali menjadi bahan pembahasan. Arah dan sikap yang akan diambil, cenderung untuk menerapkan Pasal 56 KUHAP secara tegas dan konsisten. Apabila pada saat yang akan datang pengadilan benar-benar konsisten menerapkan Pasal 56, akan terjadi penyelesaian tindak pidana yang “fatal”. Semua perkara yang dilimpahkan ke pengadilan yang terdakwanya tidak didampingi penasihat hukum pada tahap penyidikan, akan diputus dengan amar: Tuntutan JPU “tidak dapat diterima”.