Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

36
IMPLEMENTASI DUE PROSES OF LAW DALAM TATA HUKUM MODERN PERSPEKTIF PERLINDUNGAN KORBAN KEJAHATAN BAB I PENDAHULUAN 1 . A. Latar Belakang Hukum Pidana dalam arti yang luas teori hukum pidana (subtantif atau materiil) dari hukum acara pidana (hukum pidana formal). Kalau hukum acara pidana dibagi atas hukum public dan hukum privat, maka masyarakat primitive atau kuno, tidak terdapat batas antara hukum public dan hukum privat, sehingga tidak ada pemisahan yang jelas antara acara perdata dan pidana.[1] Dalam hal pemberlakuan hukum acara pidana, ada hal yang sangat penting untuk dapat diikutsertakan dalam proses beracara pada saat pemeriksaan sidang, yaitu adanya alat-alat bukti dan kekuatan pembuktian. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata, di sebutkan pada pasal 184, yang menjadi alat bukti ialah: a) Keterangan Saksi, b) Keterangan Ahli, c) Surat, d) Petunjuk, e) Keterangan Terdakwa. Mengenai kedudukan saksi tak terlepas dari adanya suatu perbuatan tindakan pidana yang di dalamnya terdapat korban kejahatan. Perlindungan saksi dan korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus, pasal 50 sampai

description

b

Transcript of Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

Page 1: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

IMPLEMENTASI DUE PROSES OF LAW DALAM TATA HUKUM MODERN PERSPEKTIF PERLINDUNGAN KORBAN KEJAHATAN

BAB I

PENDAHULUAN

1.A.                Latar Belakang

            Hukum Pidana dalam arti yang luas teori hukum pidana (subtantif atau

materiil) dari hukum acara pidana (hukum pidana formal). Kalau hukum acara

pidana dibagi atas hukum public dan hukum privat, maka masyarakat primitive

atau kuno, tidak terdapat batas antara hukum public dan hukum privat,

sehingga tidak ada pemisahan yang jelas antara acara perdata dan pidana.[1] 

            Dalam hal pemberlakuan hukum acara pidana, ada hal yang sangat

penting untuk dapat diikutsertakan dalam proses beracara pada saat

pemeriksaan sidang, yaitu adanya alat-alat bukti dan kekuatan pembuktian.

            Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata, di sebutkan pada

pasal 184, yang menjadi alat bukti ialah: a) Keterangan Saksi, b) Keterangan

Ahli, c) Surat, d) Petunjuk, e) Keterangan Terdakwa.

            Mengenai kedudukan saksi tak terlepas dari adanya suatu perbuatan

tindakan pidana yang di dalamnya terdapat korban kejahatan.

            Perlindungan saksi dan korban dalam proses peradilan pidana di

Indonesia belum diatur secara khusus, pasal 50 sampai degan pasal 68 Undang-

undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur

perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan

dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia.[2]

Page 2: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

            Dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap

tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kodusif dengan cara memberikan

perlindungan atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap

tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak

hukum.

            Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan

keamanan yang memadai atas laporannya sehingga ia tidak merasa terancam

atau terintimidasi baik hak maupun jiwa.

            Berdasarkan asas kesamaan hukum (Equality Before The Law) yang

menjadi salah satu ciri Negara hukum, saksi dan korban dalam proses peradilan

pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum.[3]     

            Sebagai upaya penerapan Due Process Of Law, yang juga merupakan

salah satu ciri dalam Negara hukum di Indonesia, adanya upaya perlindungan

terhadap korban kejahatan harus dapat diterapkan dalam penyelesaian masalah

hukum pidana.

            Hal ini sangatlah penting mengingat kedudukan saksi dan korrban

kejahatan sangat penting dalam hal hukum pidana.

            Belum secara baiknya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

mengatur dalam pemberian perlindungan terhadap saksi dalam tindak

kejahatan. Tentunya harus mendapat perhatian yang baik dari sistem Negara

hukum di Indonesia terkait dengan upaya pengayoman terhadap masyarakat

dan kepentingan Negara.

Sehingga permasalahan Due Process Of Law ini menjadi bahan kajian kami

dalam penerapannya didalam hukum pidana, dengan memberikan judul

makalah “IMPLEMENTASI DUE PROSES OF LAW DALAM PENEGAKAN  HUKUM

PIDANA DI INDONESIA PERSPEKTIF PERLINDUNGAN KORBAN KEJAHATAN,

PENGAYOMAN MASYARAKAT, DAN PERWUJUDAN KEPENTINGAN NEGARA

(TINJUAN TEORI HUKUM TERHADAP TEORI DUE PROSES OF LAW)”

1.B.                Rumusan Masalah

Page 3: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

            Pada makalah ini, kami mencoba untuk melihat pada masalah

penerapanDue Process Of Law, terhadap hukum pidana, terkait dengan

perlindungan Korban Kejahatan, dalam upaya Pengaoman terhadap

masyarakat, dan kepentingan Negara.

            Implementasi Due Process Of Law dalam hukum pidana, membuat kami

mencoba menggali dengan pendekatan terhadap teori hukum, sehingga kami

dapat berusaha menyajikan dengan meletakan sisi teori hukum mengenai

teoriDue Process Of Law.

Adapun permasalahan yang akan kami coba sajikan dengan berbagai

penjelasan, kami rumuskan sebagai berikut:

1.Apa yang menjadi Prinsip-prinsip dalam penerapan perlindungan Korban

Kejahatan?

2.Bagaimana Dampak penerapan Due Process Of Law  terhadap upaya

Pengayoman Masyarakat dan upaya mewujudkan Kepentingan Negara?

3.C.                Tujuan Penulisan

            Setelah kami coba menjelaskan terhadap latar belakang, dan rumusan

masalah, sebelumnya, dalam makalah ini, kami coba sajikan untuk menemukan

beberapa manfaat dan tujuan penulisan sebagai berikut:

1.Mengetahui landasan teoritis terhadap teori Due Proses Of Law.

2.Mengetahui konsepsi penerapan Due Process Of Law dalam hukum Pidana

perspektif Perlindungan Korban Kejahatan.

3.Mengetahui dampak Due Process Of Law terhadap upaya pengayoman

masyarakat, dan kepentingan Negara.   

4.D.                Sistematika Penulisan

BAB Pertama Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Sistematika

Penulisan.

BAB Kedua Tinjauan Teoritis Tentang Due Process Of Law ,

berisikan PengertianDue Process Of Law, Due Process Of Law dalam Tata Hukum

Modern, Penegakan Hukum Sebagai Wujud Perlindungan Hukum bagi Korban

Kejahatan, Pengayoman Masyarakat dan Kepentingan Negara.

Page 4: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

BAB Ketiga  Implementasi Due Process Of Law , menjelaskan Korban Kejahatan,

Pengertian Korban Kejahatan, Tipologi Korban, Prinsip-Prinsip Dasar

Perlindungan Korban Kejahatan, Bentuk-Bentuk Perlindungan Korban Kejahatan,

Dampak Penerapan Perlindungan Korban Terhadap Upaya Pengayoman Dalam

Masyarakat.

BAB Empat  Kesimpulan.

BAB Lima  DAFTAR PUSTAKA.

 

 

BAB II

TINJAUAN TEORITIS TEORI DUE PROCESS OF LAW

1.A.                Pengertian Due Process Of Law

Pengertian ‘due process of law’ secara etimologi atau bahasa terambil dari kata

Due yang artinya “Hak” sehingga memiliki arti ‘due process of law’

sebagai ,mendapat perlindungan atau pembelaan diri sebagai hak.[4]

Definisi ‘due process of law’ secara secara epistimologi atau istilah  yaitu. (law)

the administration of justice according to established rules and principles; based

on the principle that a person cannot be deprived of life or liberty or property

without appropriate legal procedures and safeguards.[5]

Dalam istilah yang disebutkan dalam tata paham  Negara hukum  (due process

of law) diartikan   penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan

hukum.

Istilah due process of law mempunyai konotasi bahwa segala sesuatu harus

dilakukan secara adil. Konsep due process of law sebenarnya terdapat dalam

konsep hak-hak fundamental (fundamental rights) dan konsep

kemerdekaan/kebebasaan yang tertib (ordered liberty)[6].

Page 5: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

Konsep due process of law yang prosedural pada dasarnya didasari atas konsep

hukum tentang “keadilan yang fundamental” (fundamental

fairness).Perkembangan , due process of law yang prosedural merupakan suatu

proses atau prosedur formal yang adil, logis dan layak, yang harus dijalankan

oleh yang berwenang, misalnya dengan kewajiban membawa surat perintah

yang sah, memberikan pemberitahuan yang pantas,  kesempatan yang layak

untuk membela diri termasuk memakai tenaga ahli seperti pengacara bila

diperlukan, menghadirkan saksi-saksi yang cukup, memberikan ganti rugi yang

layak dengan proses negosiasi atau musyawarah yang pantas, yang harus

dilakukan manakala berhadapan dengan hal-hal yang dapat mengakibatkan

pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia, seperti hak untuk hidup, hak

untuk kemerdekaan atau kebebasan (liberty), hak atas kepemilikan benda, hak

mengeluarkan pendapat, hak untuk beragama, hak untuk bekerja dan mencari

penghidupan yang layak, hak pilih, hak untuk berpergian kemana dia suka, hak

atas privasi, hak atas perlakuan yang sama (equal protection) dan hak-hak

fundamental lainnya.[7]

Sedangkan yang dimaksud dengan due process of law yang substansif adalah

suatu persyaratan yuridis yang menyatakan bahwa pembuatan suatu peraturan

hukum tidak boleh berisikan hal-hal yang dapat mengakibatkan perlakuan

manusia secara tidak adil, tidak logis dan sewenang-wenang.[8]

Due Process Model  adalah model yang sarat dengan nilai-nilai kemanusian

dalam mekanismenya, misalnya saja model ini lebih mengutamakan kesusilaan

dan kegunaan sanksi pidana, model ini bertitik tolak dari nilai yang bersifat anti

terhadap kekuasaan. Artinya model ini mengandung sikap batin penghormatan

terhadap manusia, model ini tidak dapat dibatasi oleh batas-batas tertentu, dan

model ini melambangkan sikap yang sangat dalam tentang keadilan bagi

sesama manusia antara individu dengan pemerintah.

 

1.B.                Due Process Of Law dalam Tata Hukum Modern

Pasal  1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan  Republik Indonesia

Tahun 1945 menyebutkan, bahwa “Negara Indonesia negara hukum”. Negara

hukum dimaksud adalah negara yang menegakan supermasi hukum untuk

Page 6: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

menegakan kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak

dipertanggungjawabkan.[9]

Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud dengan Negara Hukum ialah negara

yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya.

Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup untuk warga

negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila

kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula

peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu

mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya.[10]

Menurut Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia

sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya

hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan

menentukan baik tidaknya suatu Peraturan Undang-Undang dan membuat

Undang-Undang adalah sebagian dari kecakapan menjalankan pemerintahan

negara. Oleh karena itu, bahwa yang penting adalah mendidik manusia menjadi

warga negara yang baik, karena dari sikapnya yang adil akan terjamin

kebahagiaan hidup warga negaranya.[11]

Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum,

selalu berlakunya tiga prinsip dasar, yakni supermasi hukum (supremacy of

law),kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan

hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due process of law).

Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan

antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain

dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam

tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan

A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius Stahl, konsep

Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup

empat elemen penting, yaitu:[12]

1. Perlindungan hak asasi manusia.

2. Pembagian kekuasaan.

Page 7: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.

4. Peradilan tata usaha Negara.

Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap

Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:[13]

1.Supremacy Of Law.

2.Equality Before The Law.

3.Due Process Of Law.

Dalam rangka merumuskan kembali ide-ide pokok konsepsi Negara Hukum itu

dan pula penerapannya dalam situasi Indonesia dewasa ini, menurut pendapat

saya, kita dapat merumuskan kembali adanya tiga-belas prinsip pokok Negara

Hukum (Rechtsstaat) yang berlaku di zaman sekarang. Ketiga-belas prinsip

pokok tersebut merupakan pilarpilar utama yang menyangga berdiri tegaknya

satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum (The Rule

of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yangsebenarnya, yaitu:[14]

1.Supremasi Hukum (Supremacy of Law):

Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu

bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi.

1.Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law):

Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan,

yang diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik.

1.Asas Legalitas (Due Process of Law):

Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam

segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan

pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah

dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan

berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang

dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus

didasarkan atas aturan atau ‘rules and procedures’ (regels). Prinsip normative

Page 8: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

demikian nampaknya seperti sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi

menjadi lamban. Oleh karena itu, untuk menjamin ruang gerak bagi para

pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai

pengimbang, diakui pula adanya prinsip ‘frijsermessen’ yang memungkinkan

para pejabat tata usaha negara atau administrasi negara mengembangkan dan

menetapkan sendiri ‘beleid-regels’ (‘policy rules’) ataupun peraturan-peraturan

yang dibuat untuk kebutuhan internal (internal regulation) secara bebas dan

mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh

peraturan yang sah.

1.Pembatasan Kekuasaan:

Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara

menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan

kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap

kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi

sewenangwenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to

corrupt, and absolute power corrupts absolutely”.

5.Organ-Organ Campuran Yang Bersifat Independen:

Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang berkembang pula

adanya pengaturan kelembagaan pemerintahan yang bersifat ‘independent’,

seperti bank sentral, organisasi tentara, dan organisasi kepolisian.

6.Peradilan Bebas dan Tidak Memihak:

Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial

judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam

setiap Negara Hukum.

7.Peradilan Tata Usaha Negara:

Meskipun Peradilan Tata Usaha Negara juga menyangkut prinsip peradilan

bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar

utama Negara Hukum tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap Negara

Hukum, harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk

Page 9: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

menggugat keputusan pejabat administrasi Negara dan dijalankannya putusan

hakim tata usaha Negara (administrative court) oleh pejabat administrasi

negara.

8.Peradilan Tata Negara (Constitutional Court):

Di samping adanya Pengadilan Tata Usaha Negara yang diharapkan

memberikan jaminan tegaknya keadilan bagi tiap-tiap warga negara, Negara

Hukum modern juga lazim mengadopsikan gagasan mahkamah konstitusi dalam

sistem ketatanegaraannya, baik dengan pelembagaannya yang berdiri sendiri di

luar dan sederajat dengan Mahkamah Agung ataupun dengan

mengintegrasikannya ke dalam kewenangan Mahkamah Agung yang sudah ada

sebelumnya.

9.Perlindungan Hak Asasi Manusia:

Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan

jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil.

Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas

dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-

hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu Negara Hukum yang

demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan

kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi.

10.Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat):

Dianut dan dipraktekkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang

menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan

kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan

dan ditegakkan mencerminkan nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah

masyarakat.

11.Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare

Rechtsstaat):

            Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama.

Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara

Page 10: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalui gagasan negara

hukum (nomocrasy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum.

12.Transparansi dan Kontrol Sosial:

            Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap

proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan

kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat

dilengkapi secara komplementer oleh peran serta masyarakat secara langsung

(partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran.

13.Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa

Khusus mengenai cita Negara Hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila, ide

kenegaraan kita tidak dapat dilepaskan pula dari nilai Ketuhanan Yang Maha Esa

yang merupakan sila pertama dan utama Pancasila. Karena itu, di samping ke-

12 ciri atau unsur yang terkandung dalam gagasan Negara Hukum Modern

seperti tersebut di atas, unsur ciri yang ketigabelas adalah bahwa Negara

Hukum Indonesia itu menjunjung tinggi nilai-nilai ke-Maha Esaan dan ke-Maha

Kuasa-an Tuhan.

Artinya, diakuinya prinsip supremasi hukum tidak mengabaikan keyakinan

mengenai ke-Maha Kuasa-an Tuhan Yang Maha Esa yang diyakini sebagai sila

pertama dan utama dalam Pancasila. Karena itu, pengakuan segenap bangsa

Indonesia mengenai kekuasaan tertinggi yang terdapat dalam hukum konstitusi

di satu segi tidak boleh bertentangan dengan keyakinan segenap warga bangsa

mengenai prinsip dan nilai-nilai ke-Maha-Kuasa-an Tuhan Yang Maha Esa itu,

dan di pihak lain pengakuan akan prinsip supremasi hukum itu juga merupakan

pengejawantahan atau ekspresi kesadaran rasional kenegaraan atas keyakinan

pada Tuhan Yang Maha Esa yang menyebabkan setiap manusia Indonesia hanya

memutlakkan Yang Esa dan menisbikan kehidupan antar sesama warga yang

bersifat egaliter dan menjamin persamaan dan penghormatan atas

kemajemukan dalam kehidupan bersama dalam wadah Negara Pancasila.

 

Page 11: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

1.C.                Penegakan Hukum Sebagai Wujud Perlindungan Hukum

bagi Korban Kejahatan, Pengayoman Masyarakat dan Kepentingan

Negara.

Perlunya diberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan secara memadai

tidak saja merupakan isu nasional, tetapi juga internasional. Masalah keadilan

dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana

memang bukan merupakan pekerjaan yang sederhana untuk merealisasikan.

Banyak peristiwa dalam kehidupan masyarakat menunjukan bahwa kedua hal

tersebut kurang memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah, padahal

sangat jelas dalam Pancasila, sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, masalah

perikemanusiaan dan perikeadilan mendapat tempat sangat penting sebagai

perwujudan dari Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab serta Keadilan Sosial

bagi seluruh rakyat Indonesia.

            Dalam penyelesaian perkara pidana, sering kali hukum terlalu

mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa, sementara hak-hak korban

diabaikan, sebagaimana dikemukakan olah Andi Hamzah :”Dalam membahas

hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia,

ada kecenderungan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak

tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak para korban.”[15]

Dalam penyelesaian perkara pidana, banyak ditemukan korban kejahatan

kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan

yang sifatnya immaterial maupun materiil sebagaimana Geis berpendapat: “ to

much attention has been paid to offenders and their rights, to neglect of the

victims.” Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti yang memberikan

keterangan yaitu hanya sebagai saksi sehingga kemungkinan bagi korban untuk

memperoleh kelekuasaan dama memperjuangkan hak adalah kecil.[16]

Dalam kaitan pemeriksaan suatu tindak pidana, seringkali korban hanya

diposisikan sebagai pemberi kesaksian, sebagai pelapor dalam proses

penyidikan, dan sebagai sumber informasi atau sebagai salah satu kunci

penyelesaian perkara.[17]

Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formal (KUHAP) lebih menitik

beratkan perhatian pada pembuat korban (pelaku kejahatan) daripada korban,

Page 12: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

seolah-olah suatu perbedaan atau pemisahan yang tajam antara si pembuat

korban dengan si korban, walaupun keduanya memiliki peranan yang fungsional

dalam terjadinya tindak pidana.[18]

Korban hanyalah pelengkap atau sebagian dari alat bukti, bukan pencari

keadlian. Bahkan Geis berpendapat:”Tend to be treated like pieces of evidence

than like human being.”[19]

Prosedur pemeriksaan sejak penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan dilalui

korban jika ingin memperjuangkan hak perlindungan hukum, yang proses

pemeriksaan tersebut justru menambah daftar penderitaannya.[20]

Dalam penegakan Hukum Pidana Nasional (baik KUHP maupun KUHAP) harus

dilaksanakan sesuai dengan isi ketentuan Hukum Pidana Nasional tersebut,

yang telah diatur secara tegas tanpa memperhatikan kedudukan dan

kepentingan korban ternyata hingga sekarang hanyalah sebuah regularitas

yang bersifat “rutin” namun “tanpa makna” ketika harus berhadapan dengan

pentingnya pelindungan hukum korban kejahatan.

Jika hukum Pidana Nasional berlaku secara umum untuk seluruh wilayah

Indonesia, baik KUHP maupun KUHAP seolah-olah layaknya sebuah hyperealitas

hukum, yaitu undang-undang menjadi pembenar sebuah kejahatan dan

pelaksana undang-undang berubah menjadi mayat  hidup, robot, dan mesin

dengan remote control yang pada akhirnya realitas undang-undang menopengi

kebenaran dan undang-undang kejahatan.

Perlindungan hukum bagi masyarakat sangatlah penting karena masyarakat

baik kelompok maupun perorangan, dapat menjadi korban atau bahkan sebagai

pelaku kejahatan.

Perlindungan hukum kejahatan sebagai bagian dari perlindungan kepada

masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui

pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum.[21]

Dalam penanganan perkara pidana, kepentingan korban sudah saatnya untuk

diberikan perhatian khusus, selain sebagai saksi yang mengetahui terjadinya

suatu kejahatan juga karena kedudukan korban sebagai subjek hukum yang

Page 13: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

memiliki kedudukan sederajat di depan hukum (equality before the

law).Perhatian korban dalam penanganan perkara pidana hendaknya dilakukan

atas dasar belas kasihan dan hormat atas martabat korban (compassion and

respect for their dignity.

BAB III

IMPLEMENTASI DUE PROCESS OF LAW

1.A.     Korban dan Kejahatan

2.1.      Pengertian Korban Kejahatan

Pentingnya pengertian korban diberikan dalam pembahasan ini adalah untuk

sekadar membantu dalam menentukan secara jelas batas-batas yang dimaksud

oleh pengertian tersebut sehingga diperoleh kesamaan cara padang.

Korban suatu kejahatan tidaklah selalu harus berupa individu  atau orang

perorangan, tetapi bisa juga berupa kelompok orang, masyarakat, atau juga

badan hukum. Bahkan pada kejahatan tertentu, korbannya bias juga berasal

dari bentuk kehidupan lainnya seperti tumbuhan, hewan ataupun ekosistem.

Korban semacam ini lazimnya kita temui dalam kejahatan terhadap lingkungan.

Namun, dalam pembahasan ini, korban sebagaimana dimaksud terakhir tidak

termasuk di dalamnya.

Victimogy (istilah bahasa Inggris) berasal dari kata-kata latin Victima yang

berarti korban, logos yang berarti ilmu pengetahuan ilmiah, studi.[22]

Masalah korban ini sebetulnya bukanlah masalah yang baru, hanya karena hal-

hal tertentu kurang diperhatikan, bahkan diabaikan. Apabila kita mengamati

masalah kejahatan menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional,

maka mau tidak mau kita harus memperhatikan peranan si korban dalam

timbulnya suatu kejahatan. Korban mempunyai peranan yang fungsional dalam

terjadinya suatu kejahatan. Pada kenyataannya dapat dikatakan bahwa tidak

mungkin timbul suatu kejahatan kalau tidak ada si korban kejahatan, yang

merupakan peserta utama dari si penjahat dalam hal terjadinya suatu

Page 14: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

kejahatan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa si korban mempunyai

tanggung jawab fungsional dalam terjadinya kejahatan.

Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan baik oleh para ahli maupun

bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang membahas mengenai

korban kejahatan, sebagian di antaranya adalah sebagai berikut :[23]

1.Arief Gosita

Menurutnya, korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah

sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuh kepentingan diri

sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak

dirugikan. 

1. Ralph de Sola

Korban (victim) adalah “…person who has injured mental or physical suffering,

loss of property or death resulting from an actual or attempted criminal offense

committed by another….”.

1.Cohen

Kobar (victim) adalah “ …whose pain and suffering have been neglected by the

state while is spends immense resources to hunt down and punish the offender

who responsible for that pain and suffering.”

1.Z.P. Separovic

Korban (victim) adalah “…the person who are threatened, injured or destroyed

by an actor or omission of another (mean, structure, organization, or institution)

and consequently, a victim would be anyone who has suffered from or been

threatened  by a punishabel act (not only criminal act but also other punishable

acts as misdemeanors, economic offences, non fulfillment of work duties) or an

accidents. Suffering may be caused by another man or another structure, where

people are also involved.

1.Menurut Muladi

Page 15: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

Korban (victim) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif

telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional,

ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental,

melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing

negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.[24]

Pengertian saksi seperti yang tertuang di dalam Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana Pasal 1 angka 26 disebutkan “ Saksi adalah orang yang dapat

memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan

peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri

dan ia alami sendiri”.[25]

Sementara setalah munculnya Undang-undang No. 13 Tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi dan Korban, di dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka

1 mendefinisikan “saksi adalah orang yang dapat menberikan keterangan guna

kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang

pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri,

dan/atau ia alami sendiri”

Sementara pengertian Korban Kejahatan adalah seseorang yang mengalami

penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh

suatu tindak pidana. (Pasal 1 angka 2 UU No. 13 Tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi dan Korban).

Undang-udang No.27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,

menyebutkan Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang

mengalami penderitaan, baik fisik, mental maupun emosional, kerugian

ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak

dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk

korban dan ahli warisnya.[26]

Dalam Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan

terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran hak Asasi Manusia yang berat,

menyebutkan pengertian Korban, yaitu orang perseorangan atau kelompok

orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi

manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari

ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan pihak manapun.

Page 16: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

Berkembangannya hukum sebagai Law As A Tool Sosial Engenering, dan

penanaman nilai-nilai Equality  Before The Law yang menjadi salah satu ciri

Negara hukum, saksi dan korban dalam proses peradilan pidana harus diberi

jaminan perlindungan hukum.

1.2.      Tipologi Korban

Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk lebih

memperhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban hingga

kemudian munculah berbagai jenis korban, yaitu sebagai berikut[27]:

1.a.      Nonparticipating, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya

penanggulangan kejahatan.

2.b.      Letent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu

sehingga cenderung menjadi korban.

3.c.       Procative, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadi

kejahatan.

4.d.      Participacing victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya

memudahkan dirinya menjadi korban.

5.e.       False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan

yang dibuatnya sendiri.

 

Pengelompokan korban Sellin dan Wolfgang, yaitu sebagai berikut[28];

1.Primary victimization, yaitu korban berupa individu atau perorangan

(bukan kelompok).

2.Secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum

3.Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas.

4.No victimization, yaitu korban yang tidak dapat diketahui, misalnya

konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu produksi.

 

1.B.                  Prinsip-Prinsip Dasar Perlindungan Korban Kejahatan

Page 17: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

Demikian pentingnya hak asasi manusia bagi setiap individu sehingga

eksistensinya harus senantiasa diakui, dihargai, dan dilindungi, di antaranya

melalui berbagai produk perundang-undangan. Adanya pengakuan terhadap

eksistensinya hak asasi manusia tentu membawa konsekuensi pada perlunya

diupayakan perlindungan terhadap hak-hak tersebut dari kemungkinan

munculnya tindakah-tindakan yang  dapat merugikan manusia itu sendiri, baik

dilakukan oleh manusia lainnya maupun oleh pemerintah.

Penjelasan Undang-Udang Dasar 1945 dengan tugas menyebutkan

bahwaIndonesia adalah negara hukum (rectstaat) dan bukan negara kekuasaan

(machtstaat). Dengan keberadaannya sebagai negara hukum (rechtstaat) ada

berbagai konsekuensi yang melekat padanya, sebagaimana dikemukakan oleh

Philipus  M. Hadjon, bahwa konsepsi (rechstaat) maupun konsepsi the rule of

law, menempatkan hak asasi manusia sebagai salah satu ciri khas pada negara

yang disebut rechstaat atau menjunjung tinggi the rule of law, bagi suatu

negara demokrasi pengakuan dan perlindungan terhadap Hak-Hak Asasi

Manusia merupakan salah satu ukuran tentang baik buruknya suatu

pemerintahan.[29]

Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya

preventif maupun represif yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun

pemerintah (melaui aparat penegak hukumnya), seperti

perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan

nyawa korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum secara memadai,

proses pemeriksaan dan peradilan yang fair terhadap pelaku kejahatan, pada

dasarnya merupakan salah satu perwujudan dari perlindungan hak asasi

manusia serta instrumen penyeimbang.

Dengan mengacu pada penerapan perlindungan hak-hak korban kejahatan

sebagai akibat dari terlanggarnya hak asasi yang bersangkutan, maka dasar

dari perlindungan korban kejahatan dapat dipilih dari beberapa teori, di

antarnya sebagai berikut ;[30]

1.Teori ulititas

Teori ini menitik beratkan pada kemanfaatan yang tersebar bagi jumlah yang

terbesar. Konsep pemberian perlindungan pada korban kejahatan dapat

Page 18: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

diterapkan sepanjang memberikan kemanfaatan yang lebih besar dibandingkan

dengan tidak diterapkannya konsep tersebut, tidak saja bagi korban kejahatan,

tetapi juga bagi sistem penegakan hukum pidana secara keseluruhan.

1.Teori Tanggung Jawab

Pada hakikatnya subjek hukum (orang maupun kelompok) bertanggung jawab

terhadap segala perbuatan hukum yang dilakukannya sehingga apabila

seseorang melakukan suatu tindak pidana yang mengakibatkan orang lain

menderita kerugian (dalam arti luas), orang tersebut harus bertanggung jawab

atas kerugian yang ditimbulkannya, kecuali ada alasan yang membebaskannya.

1.Teori Ganti Kerugian

Sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya terhadap orang lain,

pelaku tindak pidana dibebani kewajiban untuk memberikan ganti kerugian

pada korban atau ahli warisnya.

     Dalam konsep perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, terkandung

pula beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian. Hal ini disebabkan

dalam konteks hukum pidana, sebenarnya asas hukum harus mewarnai baik

hukum pidana materiil, hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan

pidana.[31]

 

 

Adapun asas-asas dimaksud adalah sebagai berikut ;

1.Asas Manfaat

Artinya perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi tercapainya

kemanfaatan (baik materiil maupun spiritual) bagi korban kejahatan, tetapi juga

kemanfaatan bagi masyarakat secara luas, khususnya dalam upaya mengurangi

jumlah tindak pidana serta menciptakan ketertiban masyarakat.

1.Asas Keadilan

Page 19: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

Artinya penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan

tidak bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang harus

juga diberikan pada pelaku kejahatan.

1.Asas Keseimbangan

Karena tujuan hukum di samping memberikan kepastian dan perlindungan

terhadap kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan

masyarakat yang terganggu menuju pada keadaan yang semula (restitutio in

interum), asas keseimbangan memperoleh tempat yang penting dalam upaya

pemulihan hak-hak korban.

1.Asas Kepastian Hukum

Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat

penegakan hukum pada saat melaksanakan tugasnya dalam upaya memberikan

perlindungan hukum pada korban kejahatan.

 

 

1.C.      Bentuk-Bentuk Perlindungan Korban Kejahatan

Secara teoritis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dapat diberikan

dalam berbagai cara, bergantung pada penderitaan/kerugian yang diderita oleh

korban.

Oleh karena itu, dengan mengacu pada beberapa kasus kejahatan yang pernah

terjadi, ada beberapa bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan yang

lazim diberikan, antara lain.

1.Pemberian Restitusi dan Kompensasi

Pengertian Restitusi dan Kompensasi merupakan istilah yang dalam

penggunaannya sering dapat dipertukarkan (interchangeble). Namun menurut

Stephen Schafer, perbedaan antara kedua istilah itu adalah kompensasi lebih

bersifat keperdataan. Kompensasi timbul dari permintaan korban, dan dibayar

Page 20: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

oleh masyarakat atau merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau

negara (the responsible of the society), sedangkan restitusi lebih bersifat

pidana, yang timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana,

yang timbul dari putusan pengadilan pidana dibayar oleh terpidana atau

merupakan wujud pertanggungjawaban terpidana (the responsibility of the

offender)[32].

Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian

Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, menyebutkan

pengertian kompensasi dan restitusi pada bab I yaitu[33]:

Kompensasi pada PP No.44 tahun 2008 pasal 1 angka 4, mendefinisikan,

“Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku

tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung

jawabnya.[34]

Restitusi pada pasal 1 angka 5, mendefinisikan “Restitusi adalah ganti kerugian

yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga,

dapat berupa pengambilan harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk

kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.

[35]

1.Konseling

Pada umumnya perlindungan ini diberikan kepada korban sebagai akibat

munculnya dampak negatif sebagai psikis dari suatu tindak pidana. Pemberian

bantuan dalam bentuk konseling sangat cocok diberikan kepada korban

kejahatan yang menyisakan trauma berkepanjangan, seperti pada kasus-kasus

yang menyangkut kesusilaan.

Pada UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan korban disebutkan:

Korban dalam pelanggaran HAM yang berat berhak mendapatkan bantuan

rehabilitasi psiko-sosial, yaitu suatu bantuan yang diberikan oleh psikolog

kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk

memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban.[36]

1.Pelayanan/Bantuan Medis

Page 21: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

Diberikan kepada korban yang menderita secara medis akibat suatu tindak

pidana. Pelayanan medis yang dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan

dan laporan tertulis (visum atau surat keterangan medis yang memiliki

kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti). Keterangan medis ini

diperlukan terutama apabila korban hendak melaporkan kejahatan yang

menimpanya ke aparat kepolisian untuk ditindaklanjuti.[37]

1.Bantuan Hukum

Bantuan hukum merupakan suatu bentuk pendampingan terhadap korban

kejahatan. Di Indonesia bentuan in lebih banyak diberikan oleh Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM).

Pemberi bantuan hukum terhadap korban kejahatan haruslah diberikan baik

diminta ataupun tidak diminta oleh korban. Hal ini penting, mengingat masih

rendahnya tingkat kesadaran hukum dari sebagian besar korban yang

menderita kejahatan ini.

1.Pemberian Informasi

Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan proses

penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami oleh korban.

Pemberian informasi ini memegang peranan yang sangat penting dalam upaya

menjadikan masyarakat sebagai mitra aparat kepolisian karena melaui

informasi inilah diharapkan fungsi kontrol masyarakat terhadap kinerja

kepolisian dapat berjalan dengan efektif.

 

1.D.     Dampak Penerapan Perlindungan Korban Terhadap Upaya

Pengayoman dalam Masyarakat, dan Perwujudan Kepentingan

Negara.

 

      Dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap

tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan

perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau

Page 22: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang

telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.[38]

      Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan keamanan

yang memadai atas laporannya sehingga ia tidak merasa terancam atau

terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan hukum

dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang

memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu

tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir atau

takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.[39]

      Di antara lembaga-lembaga hukum yang ada, barangkali polisi adalah yang

paling memperlihatkan sifat sosiologis dalam pekerjaannya. Sifat tersebut

disebabkan oleh keterlibatan pekerjaan polisi secara sangat intens dengan

masyarakat. Di dalam masyarakat terdapat dua kutub, yaitu individu dan

kehidupan bersama atau masyarakat.[40]

      Penelitian-penelitian tentang bagaimana polisi bekerja merupan contoh yang

bagus mengenai mobilisasi hukum. Konsep mobilisasi hukum memberi tahu

kepada kita, bahwa peristiwa pidana yang diatur di dalam KUHP hanya menjadi

kenyataan apabila muncul kasus-kasus pidana dan kasus tersebut hanya dapat

muncul karena ada mobilisasi hukum.[41] Seperti dikatakan Donald Blak,

mobilisasi hukum adalah proses yang melalui itu hukum mendapatkan kasus-

kasusnya. Tanpa mobilisasi atau campur tangan manusia, kasus-kasus tersebut

tidak akan ada, sehingga hukum hanya akan menjadi huruf-huruf mati di atas

kertas belaka.[42] 

Keterlibatan anggota masyarakat dalam penegakan hukum terjadi baik dalam

bidang pidana atau publik maupun perdata. Dalam hukum pidana, mobilisasi

hukum dapat dimulai dari inisiatif polisi maupun anggota masyarakat. Anggota

masyarakat dapat melaporkan terjadinya kejahatan, sehingga menggerakkan

roda hukum pidana.

Dalam hal ini masyarakat baik sebagai korban maupun pelapor atas adanya

suatu tindakan pidana, tentunya harus mendapatkan perlindungan agar hak-

haknya tetap terlindungi baik dari sisi korban ataupun pelapor.

Page 23: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

Karna penegakan hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang

tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku pidana sering mengalami kesulitan

oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat

menghadirkan saksi dan/atau korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik

maupun psikis dari pihak tertantu.[43]

Peran serta masyarakat dalam mobilisasi hukum terkait mobilisasi hukum

pidana dapat pula terlihat pada UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, pada

Bab V pasal 15, disebutkan : “setiap orang yang mendengar, melihat, atau

mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-

upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk a) mencegah berlangsungnya

timdak pidana; b) memberikan perlindungan kepada korban; c) memberikan

pertolongan darurat; dan d) membantu proses pengajuan permohonan

penetapan perlindungan.[44]

 Dalam rangka merumuskan kembali ide-ide pokok konsepsi Negara Hukum itu

dan pula penerapannya dalam situasi Indonesia dewasa ini, menurut pendapat

kami, kita dapat merumuskan kembali adanya tiga-belas prinsip pokok Negara

Hukum (Rechtsstaat) yang berlaku di zaman sekarang. Ketiga-belas prinsip

pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya

satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum (The Rule

of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya, yang salah satunya

menganut sistem Due Process of Law, Perlindungan Hak Asasi Manusia.

Maka dalam upaya pengayoman terhadap masyarakat serta mejaga nilai-nilai

persamaan hukum (equality before the law) yang juga menjadi salah satu ciri

negara hukum, yang nantinya akan berdampak pada konsep hukum negara

yang memililki kedudukan sebagai upaya melindungi Hak Asasi Manusia, dan

kredibelitas hukum. Sehingga negara perlu memberikan perlindungan terhadap

masyarakat baik masyarakat itu sebagai korban dan saksi.

 

 

BAB VI

Page 24: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

KESIMPULAN

Sebagai upaya dalam melindungi hak-hak asasi manusia, dimana telah diatur di

Republik Indonesia ini dengan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak

Asasi Manusia.

Serta dalam upaya memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan,

sesuai dengan nilai atau ciri-ciri negara hukum modern yang menganut

1) SupermasiHukum, 2) Equality Before The Law, 3) Due Process Of Law.

Sebagai wujud dukungan terhadap upaya penyelesaian kasus-kasus hukum

pidana yang melibatkan adanya alat bukti berupa saksi dan korban kejahatan,

untuk mengungkap penyelesaian kasus yang dihadapi.

Maka dalam hal penerapan Due Process Of Law negara Republik Indonesia

melalui Pemerintah dan Badan Legislatif, membuat  Undang-undang RI Nomor

13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Prinsip-prinsip perlindungan korban kejahatan yang telah  kami coba utarakan di

Bab III, ternyata sudah diterapkan kepada beberapa Produk Hukum yaitu

melalui Perundang-undang.

Adapun upaya memberikan perlindungan terhadap korban dan pengayoman

masyarakat, dapat terlihat dengan mengutamakan, beberapa hal yaitu:

1)      Mengupayakan implementasi terhadap ciri-ciri hukum modern;

2)      Memberikan perlindungan terhadap Hak-Hak Korban;

3)      Menunjukan adanya peran masyarakat terhadap mobilisasi hukum;

Penerapan Due Process Of Law sangat diperlukan dalam hal menjaga hak-hak

asasi manusia dapat terlindungi, terkait dengan masalah hukum pidana,

perlindungan saksi dan korban kejahatan dan peran masyarakat terhadap

perlindungan korban, maka dapat dilihat masyarakat sebagai pelapor ataupun

korban kejahatan.

Page 25: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

Munculnya peraturan-peraturan perudang-undangan yang mengangkat

perlindungan korban sangat diperlukan untuk saat ini, ditengah-tengah

perubahan dan kebutuhan hukum terhadap upaya penerapan “Due Process of 

Law”.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

John M. Echols dan Hassan Shadily “Kamus Isnggir Indonesia” PT. Gramedia,

Jakarta

Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat) ,Refika Aditama,

Bandung 2009,

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia,Panduan Pemasyarakatan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai dengnan Urutan

Bab, Pasal dan ayat), Sekertaris Jendral MPR RI, Jakarta, 2010,

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti,

Jakarta 1988

Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH “Gagasan Negara Hukum Indonesia

Andi Hamzah, Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana, Bandung: Binacipta, 1986

Chaerudi, Syarif Fadillah, “Korban Kejahatan dalam Perspektif Vikti-mologi dan

Hukum Pidana Islam, Ghalia Press, Jakarta, 2004

Page 26: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

Drs. Dikdik M. Arief Mansur, S.H, M.H dan Elisatris Gultom S.H., M.H.”Urgensi

Perlindungan Korban Kejahatan-Antara Norma dan Realita” PT. RajaGrafindo

Persada, Jakarta, 2007

Abdul Wahid, Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan

Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), PT. Refika Aditama, Bandung,

2001

Undang-Undang No. 16 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Muladi,”HAM dalam perspektif sistem Peradilan Pidana,”

Undang-undang No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Philipus M. Hadjono, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia,

Surabaya, 1987

Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1993

Peraturan Pemerintah RI Nomor. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian

Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban

Undang-Undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan korban

Prof. Dr. Sartjipto rahardjo, SH, Sosiologi Hukum ‘Perkembangan Metode dan

Pilihan Masyarakat’, Genta publishing, Yogyakarta, 2010,

 

[1] Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H.”Hukum Acara Pidana Indonesia”. Sinar Grafika,

2006, hal: 9

[2] Lihat Konsideran UU. Nomor. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan

korban.

[3] Lihat Konsideran Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2008 Tentang

Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.

Page 27: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

[4] John M. Echols dan Hassan Shadily “Kamus IsnggirIndonesia” PT.

Gramedia,Jakarta

 

[6] Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat) ,Refika Aditama,

Bandung 2009, hlm: 46

[7] Ibid, hal :47

[8] Ibid, hal : 48

[9] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia,Panduan

Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai

dengnan Urutan Bab, Pasal dan ayat), Sekertaris Jendral MPR RI,Jakarta, 2010,

hlm, 46

[10] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar

Bakti, Jakarta 1988, hlm., 153.

[11] Ibid., hlm,154

[12] Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH “Gagasan Negara Hukum Indonesia”

 

[13] Ibid, hal :

[14] Ibid, hal :

[15] Andi Hamzah, Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-

undang Hukum Acara Pidana, Bandung: Binacipta, 1986, hal. 33

[16] Chaerudi, Syarif Fadillah, “Korban Kejahatan dalam Perspektif Vikti-mologi

dan Hukum Pidana Islam, Ghalia Press, Jakarta, 2004, hal:47

[17] Ibid, hal. 1600

Page 28: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

[18] Drs. Dikdik M. Arief Mansur, S.H, M.H dan Elisatris Gultom S.H.,

M.H.”Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara Norma dan Realita” PT.

RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal:135

[19] Andi Hamzah, Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-

undang Hukum Acara Pidana, Bandung: Binacipta, 1986,

[20] Abdul Wahid, Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan

Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), PT. Refika Aditama, Bandung,

2001, hal:75

[21] Lihat dalam UU No. 16 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

[22] Dr. H. Parman Soeparman, S.H.,M.H.”Hak Mengajukan Upaya Hukum

Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan”,hal. 56

[23]  Drs. Dikdik M. Arief Mansur, S.H, M.H dan Elisatris Gultom S.H.,

M.H.”Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara Norma dan Realita” PT.

RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal: 46-47

[24] Muladi,”HAM dalam perspektif sistem Peradilan Pidana,”, hal. 108

[25] Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

[26] Undang-undang No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi

[27] Drs. Dikdik M. Arief Mansur, S.H, M.H dan Elisatris Gultom S.H.,

M.H.”Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara Norma dan Realita” PT.

RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal: 49

[28]Ibid, hal. 50

[29] Philipus M. Hadjono, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia,

Surabaya,1987, hal: 21

Page 29: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

                [30] Drs. Dikdik M. Arief Mansur, S.H, M.H dan Elisatris Gultom S.H.,

M.H.”Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara Norma dan Realita” PT.

RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal: 163

[31] Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1993,

hal:50

[32] Drs. Dikdik M. Arief Mansur, S.H, M.H dan Elisatris Gultom S.H.,

M.H.”Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara Norma dan Realita” PT.

RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal: 167

[33]Peraturan Pemerintah RI Nomor. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian

Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban

                [34] Ibid     

[35] Ibid

[36] UU No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan korban

[37] Drs. Dikdik M. Arief Mansur, S.H, M.H dan Elisatris Gultom S.H.,

M.H.”Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara Norma dan Realita” PT.

RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal: 167

 

[38] Dilihat pada Konsideran Undang-undang RI Nomor. 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban.

[39] Ibid

[40] Prof. Dr. Sartjipto rahardjo, SH, Sosiologi Hukum ‘Perkembangan Metode

dan Pilihan Masyarakat’, Genta publishing, Yogyakarta, 2010, hal.177

[41] Ibid, hal. 196

[42] Ibid,hal. 197

Page 30: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

[43]Dilihat pada Konsideran Undang-undang RI No. 13 tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban.

"Due Process Of Law"

                Dalam  rangka  melaksanakan   fungsi   “penyelidikan”  dan   “penyidikan”,  undang-undang   telah memberikan   “hak   istimewa”   atau “hak privilese” kepada   Polri   untuk   melakukan:   “memanggil-memeriksa-menangkap-menahan-menggeledah-menyita”   terhadap   tersangka   dan   barang   yang dianggap   berkaitan   dengan   tindak   pidana.   Namun,   dalam  melaksanakan   “hak”   dan   “kewenangan istimewa” tersebut, harus tetap taat dan tunduk kepada prinsip-prinsip: the right of due process. Setiap tersangka berhak diselidiki dan disidik di atas landasan “sesuai dengan hukum acara” yang ada, tidak boleh dilakukan undue process. Permasalahan ini perlu disinggung, karena masih banyak keluhan yang disuarakan  oleh masyarakat tentang adanya berbagai tata  cara “penyelidikan” dan “penyidikan” yang menyimpang dari ketentuan hukum acara, atau “diskresi” yang dilakukan oleh penyidik.  hal ini sangat bertentangan   dengan   HAM   yang   harus   ditegakkan   dalam   tahap   pemeriksaan   penyelidikan   dan penyidikan. Oleh sebab itu, tujuan dikemukakannya persoalan ini, sebagai ajakan untuk meningkatkan “ketaatan” mematuhi penegakan the right of due process of law.

                 Hak due process dalam melaksanakan  tindakan penegakan hukum,  bersumber  dari   cita-cita “negara hukum” (rechtstaat) yang menjunjung tinggi  “supremasi  hukum” (the law is supreme),  yang menegaskan bahwa dalam penegakan hukum: “kita diperintah oleh hukum” dan “bukan oleh orang” atau   "atasan".   Bertitik   tolak   dari   asas   ini,   Polri   dalam   melaksanakan   fungsi   dan   kewenangan “penyidikan”, harus berpatokan dan berpegang pada “ketentuan khusus (special rule) yang diatur dalam “hukum acara pidana” (criminal procedure) dalam hal ini adalah KUHAP (Undang-undang No. 8 Tahun 1981).   Konsep due process dikaitkan dengan landasan menjunjung tinggi “supremasi  hukum”, dalam menangani tindak pidana: tidak seorang pun berada dan menempatkan diri di atas hukum, dan hukum harus diterapkan kepada siapa pun berdasar  prinsip “perlakuan” dan dengan “cara yang  jujur” (fair manner) dan "benar".

                 Esensi due process:   setiap  penegakan  dan  penerapan  hukum  pidana  harus   sesuai   dengan “persyaratan   konstitusional”   serta   harus   “menaati   hukum”.   Oleh   karena   itu, due process tidak “memperbolehkan terjadinya pelanggaran” terhadap suatu bagian ketentuan hukum dengan dalih guna menegakkan bagian hukum yang lain.  Agar konsep dan esensi due process dapat terjamin penegakan dan pelaksanaannya oleh aparat penegak hukum, harus “berpedoman” dan “mengakui” (recognized), “menghormati” (to respect for),  dan melindungi  (to protect)  serta “menjamin” dengan baik “doktrin inkorporasi” (incorporation doctrin), yang memuat berbagai hak, antara lain (sebagian di antaranya telah dirumuskan dalam Bab IV KUHAP) :

1) The right of self incrimination. Tidak seorang pun dapat dipaksa menjadi saksi yang memberatkan dirinya dalam suatu tindak pidana.

Page 31: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

1)    “Dilarang mencabut” atau “menghilangkan” (deprive) “hak hidup” (life) “kemerdekaan” (liberty), atau “harta benda” (property) tanpa sesuai dengan ketentuan hukum acara (without due process of law).

2)    Setiap orang harus “terjamin hak terhadap diri” (person), “kediaman, surat-surat” atas pemeriksaan dan penyitaan yang “tidak beralasan”.

3)    “Hak konfrontasi” (the right to confront) dalam bentuk “ pemeriksaan silang”   (cross examine) dengan orang yang menuduh (melaporkan).

4)    “Hak memperoleh pemeriksaan (peradilan)” yang cepat (the right to a speedy trial).Pelanggaran atas hak ini pada tahap penyidikan sering muncul ke permukaan. Ada laporan pengaduan yang tidak pernah ditangani. Pemeriksaan penyidikan tersangka yang tidak jelas ujung pangkalnya. Tidak dihentikan dalam bentuk   SP3   tetapi   juga   tidak   dilimpahkan   pada   Jaksa   Penuntut   Umum   (JPU).   Atau   pemeriksaan tambahan yang tidak pernah disempurnakan (perkara menjadi “mengantung”).

       Dalam kasus-kasus  yang seperti  ini,   sering  menimbulkan benturan kepentingan antara  pelapor  dan tersangka “Pelapor” atau “korban” merasa dirinya “dizalimi” dan “diabaikan”. Sebaliknya tersangka juga terkatung-katung nasibnya dalam kegelisahan yang tidak menentu.

5)    “Hak perlindungan yang sama” dan “pemeriksaan yang sama dalam hukum” (equal protection and equal treatment of the law). Terutama dalam menangani kasus yang sama (similar case), harus ditegakkan asas   perlindungan  dan  perlakuan   yang   sama.  Memberi   perlindungan  dan   perlakuan   yang   berbeda adalah tindakan “diskriminatif”

6)    “Hak mendapat bantuan penasihat hukum“ (the right to have assistance of counsil) dalam pembelaan diri. Hak ini merupakan prinsip yang diatur dalam Pasal 56 (1) KUHAP yang berbunyi:

                 Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau diancam pidana  lima belas  tahun atau  lebih  atau bagi  mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri,  pejabat  yang  bersangkutan  pada  semua  tingkat  pemeriksaan  dalam proses  peradilan  wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.

Apa yang  diatur  dalam Pasal  56   ini  merupakan bagian  yang  tidak  terpisah  dari  asaspresumption of innocence serta berkaitan dengan pengembangan Miranda Rule yang juga telah diadaptasi dan diadopsi dalam KUHAP, seperti:

a.    melarang   penyidik   melakukan   praktek   pemaksaan   yang   kejam   untuk   memperoleh   “pengakuan”  (brutality to coerce confession);

b.  melarang penyidik melakukan intimidasi kejiwaan (psychological intimidation).

                 Seiringan dengan larangan dimaksud, kepada tersangka diberikan hak untuk “diperingati hak konstitusionalnya” (warning of his constitutional rights) atau disebutMiranda Warning (yang dikenal di 

Page 32: Implementasi Due Proses of Law Dalam Tata Hukum Modern Perspektif Perlindungan Korban Kejahatan

negara bagian Arizona, Amerika Serikat pada kasus “Miranda” pada tahun 1966 merupakan persamaan dari Pasal 56 KUHAP) yang harus disampaikan aparat penegak hukum kepadanya berupa:

-       hak untuk tidak menjawab (a right to remain in silent).

-       hak didampingi (menghadirkan) penasihat hukum (a right to the presense of an attorney or the right to counsil).

Kedua   hak   ini   hanya   dapat   “dihapus”   atau   “dikesampingkan”   berdasar   “kemauan”   dan “sukarela”   (knowingly and voluntarely)   dari   tersangka. Kaitan   antara   kedua   “hak”   di   atas dengan Miranda Warning adalah apabila tersangka secara tegas menyatakan dia “didampingi penasihat hukum”   dalam   pemeriksaan   penyidikan,   tersangka   dapat   mempergunakan the right to remain in silent (hak  untuk  tidak  menjawab)   sampai   dia  didampingi   penasihat  hukum sesuai   dengan Miranda Rule yang   diatur   dalam   Pasal   56   KUHAP,   yang   bersifat   “imperatif”.   Mengabaikan   ketentuan   ini, mengakibatkan: “tuntutan JPU tidak dapat diterima”. Sehubungan dengan semakin gencarnya tuntutan peningkatan HAM dalam penegakan hukum, dan salah satu di antara tuntutan itu berkenaan dengan kualitas  penegakan Miranda Rule dan Miranda Principle,   sudah selayaknya Polri  menyiapkan Sumber Daya Manusia   (SDM) yang memahami dengan baik  aspek-aspek pengertian dan penerapan Miranda Rule secara   komprehensif   dan   Profesional. Masalah   penerapan Miranda Rule sampai   saat   sekarang sangat riskan sekali dalam pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia. Hampir sebagian besar perkara yang   termasuk   kategori   yang  disyaratkan  Pasal   56  KUHAP,   tersangkanya   “disidik   tanpa  didampingi penasihat  hukum”.   Sebagai  suatu  contoh dapat  dilihat  pada pemeriksaan penyidikan tindak pidana psikotropika.  Pemeriksaan tersangka pada tahap penyidikan tanpa didampingi penasihat hukum seusai dengan   asas within sight and within hearing berdasar   sistem   yang   digariskan   Pasal   115   KUHAP.   Terjadinya   pelanggaran   seperti   ini,   pengadilan  masih   sering   bersikap   “toleran”   atas   alasan   “demi melindungi   kepentingan  umum”   (to protect public interest).  Dengan  mempergunakan   landasan: the theory of the priority right   (hak   siapa   yang   lebih   diutamakan,   apakah   hak   individu   terdakwa, dibandingkan dengan hak kepentingan umum). “Hakim” atau “Pengadilan”, sering menutup mata atas pelanggaran Pasal  56 KUHAP yang terjadi  pada tahap pemeriksaan penyidikan.   Namun, sikap masa bodoh   pengadilan   atas   pelanggaran   tersebut,   barangkali   tidak   dapat   dipertahankan   lagi.   Tuntutan “reformasi   hukum”   makin   deras   mendesak   agar   Pasal   56   atau Miranda Ruleditegakkan   dengan “konsisten”. Suara kepedulian (concern) yang makin keras menuntut penegakan ketentuan dimaksud, membuat pengadilan mesti konsen atau peduli untuk menanggapinya. Masalah ini sudah beberapa kali menjadi bahan pembahasan. Arah dan sikap yang akan diambil, cenderung untuk menerapkan Pasal 56 KUHAP   secara   tegas   dan   konsisten.   Apabila   pada   saat   yang   akan   datang   pengadilan   benar-benar konsisten menerapkan Pasal 56, akan terjadi penyelesaian tindak pidana yang “fatal”. Semua perkara yang  dilimpahkan   ke  pengadilan   yang   terdakwanya  tidak  didampingi   penasihat   hukum pada   tahap penyidikan, akan diputus dengan amar: Tuntutan JPU “tidak dapat diterima”.