Ilmu Pengetahuan Dan Etika

14
ILMU PENGETAHUAN DAN ETIKA (Soerjono S, 1995) Prolog Dalam keseharian, tanpa kita menyadari seringkali mengucapkan berbagai pernyataan, statement atau putusan (judgement), seperti: “gedung itu tinggi”. “rumah itu indah”, “perbuatan itu jahat”, dan seterusnya. (Hartoko, 1991). Ucapan-ucapan itu meliputi tiga sektor dalam pengetahuan kita, yakni: a. sektor gejala-gejala yang dapat diukur secara matematik b. sektor keindahan yang tak dapat diukur begitu saja dengan jalan menghitung atau menjumlahkan c. sektor moral yang tunduk kepada suatu ukuran dalam hati kita. Immanuel Kant, filsuf Jerman pada akhir abad 18 menyimpulkan, bahwa kategori pertama khusus digarap oleh ilmu pengetahuan alam dan terbatas pada kulit kenyataan atau gejala-gejala saja (fenomena), sedangkan lewat pengalaman tentang keindahan (pengalaman estetik) dan tentang baik-buruknya sesuatu (pengalaman moral) kita menerobos kulit gejala-gejala menuju hakekat kenyataan, biarpun mungkin belum meraihnya. Ontologi (hakikat apa yang dikaji?), Epistemologi (cara mendapatkan pengetahuan) dan aksiologi (nilai kegunaan ilmu) adalah tiga komponen dasar dalam telaah ilmu 7

description

Kuliah etika berprofesi arsitektur

Transcript of Ilmu Pengetahuan Dan Etika

Page 1: Ilmu Pengetahuan Dan Etika

ILMU PENGETAHUAN DAN ETIKA (Soerjono S, 1995)

Prolog

Dalam keseharian, tanpa kita menyadari seringkali mengucapkan berbagai

pernyataan, statement atau putusan (judgement), seperti: “gedung itu tinggi”. “rumah

itu indah”, “perbuatan itu jahat”, dan seterusnya. (Hartoko, 1991). Ucapan-ucapan itu

meliputi tiga sektor dalam pengetahuan kita, yakni:

a. sektor gejala-gejala yang dapat diukur secara matematik

b. sektor keindahan yang tak dapat diukur begitu saja dengan jalan menghitung

atau menjumlahkan

c. sektor moral yang tunduk kepada suatu ukuran dalam hati kita.

Immanuel Kant, filsuf Jerman pada akhir abad 18 menyimpulkan, bahwa kategori

pertama khusus digarap oleh ilmu pengetahuan alam dan terbatas pada kulit

kenyataan atau gejala-gejala saja (fenomena), sedangkan lewat pengalaman tentang

keindahan (pengalaman estetik) dan tentang baik-buruknya sesuatu (pengalaman

moral) kita menerobos kulit gejala-gejala menuju hakekat kenyataan, biarpun

mungkin belum meraihnya.

Ontologi (hakikat apa yang dikaji?), Epistemologi (cara mendapatkan pengetahuan)

dan aksiologi (nilai kegunaan ilmu) adalah tiga komponen dasar dalam telaah ilmu

(Jujun, 1988). Dalam komponen dasar itu kajian etika termasuk dalam aksiologi.

1. Apakah Ilmu Pengetahuan (Science)?

Manusia sebenarnya diciptakan oleh Tuhan YME sebagai mahluk yang sadar.

Kesadaran manusia itu dapat disimpulkan dari kemampuannya untuk berpikir,

berkehendak dan merasa. Dengan pikirannya manusia mendapatkan (ilmu)

pengetahuan; dengan kehendaknya manusia dapat mengarahkan perilakunya; dan

dengan perasaannya manusia dapat mencapai kesenangan. Sarana untuk

memelihara dan meningkatkan ilmu pengetahuan dinamakan Logika, sedangkan

sarana-sarana untuk memelihara serta meningkatkan pola perilaku dan mutu

kesenian, masing-masing disebut etika dan estetika. Apabila pembicaraan

7

Page 2: Ilmu Pengetahuan Dan Etika

dibatasi pada logika, maka hal itu merupakan ajaran yang menunjukkan

bagaimana manusia berpikir secara tepat dengan berpedoman pada ide

kebenaran.

Apakah etika benar-benar merupakan suatu ilmu pengetahuan? Sejak

mulakala, para pelopor etika menganggapnya demikian; akan tetapi apakah

anggapan tadi benar? Persoalan tersebut mungkin dapat diselesaikan dengan

terlebih dahulu berusaha untuk merumuskan apakah yang dimaksudkan dengan

ilmu pengetahuan (science). Secara pendek dapatlah dikatakan bahwa ilmu

pengetahuan adalah pengetahuan (knowledge) yang tersusun sistematis dengan

menggunakan kekuatan pemikiran, pengetahuan mana selalu dapat diperiksa dan

ditelaah (dikontrol) dengan kritis oleh setiap orang lain yang ingin

mengetahuinya. Perumusan tadi sebetulnya jauh dari sempurna, akan tetapi yang

terpenting adalah bahwa perumusan tersebut telah mencakup beberapa unsur

yang pokok. Unsur-unsur (elemen) yang merupakan bagian-bagian yang

tergabung dalam suatu kebulatan adalah:

a. pengetahuan (knowledge)

b. tersusun secara sistematis

c. menggunakan pemikiran

d. dapat dikontrol secara kritis oleh orang lain atau umum (obyektif)

a. pengetahuan (knowledge)

Yang dimaksud dengan pengetahuan adalah kesan didalam pikiran manusia

sebagai hasil penggunaan panca inderanya, yang berbeda sekali dengan

kepercayaan (belief) – mengenai fakta, kepercayaan, kebenaran dan

pengetahuan dapat dibaca karya Bertrand Russel dalam buku Ilmu dalam

Perspektif oleh Yuyun SS – takhyul (superstitions) dan penerangan-penerangan

yang keliru (misinformations). Misalnya, dikalangan orang-orang Marindanim di

Irian Barat ada suatu kepercayaan bahwa sebelum mereka berburu harus

diadakan upacara, didatangkan seorang dukun, dibacakan mantera-mantera dan

dikeluarkan pula jimat-jimat supaya perburuan mereka berhasil. Contoh lain

adalah adanya anggapan (dahulu kala) tentang ras kulit putih yang mempunyai

8

Page 3: Ilmu Pengetahuan Dan Etika

tingkat kepandaian yang melebihi tingkat kepandaian ras-ras dengan warna kulit

lain. Kepercayaan-kepercayaan tersebut. Yang tidak dapat dibuktikan

kebenarannya menimbulkan ketidakpastian, sedangkan pengetahuan bertujuan

untuk mendapatkan kepastian serta menghilangkan prasangka sebagai akibat

ketidakpastian tersebut.

Adalah sangat penting untuk diketahui bahwa pengetahuan berbeda dengan

buah pikiran (ideas), oleh karena tidak semua buah pikiran merupakan

pengetahuan. Pernah ada buah pikiran yang mengatakan bahwa suatu pemerintah

atau negara tunggal yang mencakup seluruh dunia akan mencegah terjadinya

perang, namun tidak pernah diketahui dengan pasti apakah buah pikiran tadi

benar. Adapula buah pikiran yang mengatakan bahwa usia lima tahun merupakan

patokan untuk dapat meramalkan apakah seseorang akan menjadi gila atau tidak

di kelak kemudian hari, halmana tentu belum pasti benar.

Tidak semua buah pikiran memerlukan pembuktian akan kebenarannya atau

ketidakbenarannya, oleh karena ada buah pikiran yang semata-mata merupakan

kelakar dan angan-angan belaka dari manusia. Namun buah pikiran dan angan-

angan juga merupakan bahan yang berharga bagi seorang ilmuwan untuk

melaksanakan kegiatan-kegiatannya.

b. Sistematis

Tidak semua pengetahuan merupakan suatu ilmu, hanya pengetahuan yang

tersusun secara sistematis saja yang merupakan ilmu pengetahuan. Sistematika

berarti urutan-urutan yang tertentu daripada unsur-unsur yang merupakan suatu

kebulatan, sehingga dengan adanya sistematika tersebut akan jelas tergambar apa

yang merupakan garis besar dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Sistem

tadi adalah suatu konstruksi yang abstrak dan teratur sehingga merupakan

keseluruhan yang terangkai. Artinya, setiap bagian dari suatu keseluruhan dapat

dihubungkan satu dengan yang lainnya. Abstrak berarti bahwa konstruksi

tersebut hanya ada dalam pikiran dan tidak dapat diraba ataupun dipegang.

Sistem di dalam ilmu pengetahuan harus bersifat dinamis, artinya, sistem tersebut

9

Page 4: Ilmu Pengetahuan Dan Etika

harus menggunakan cara-cara yang selalu disesuaikan dengan taraf

perkembangan ilmu pengetahuan pada suatu saat.

Ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang tersusun secara sistematis

dengan penggunaan kekuatan pemikiran, pengetahuan mana selalu dapat

diperiksa dan ditelaah dengan kritis. Tujuan ilmu pengetahuan adalah lebih

mengetahui dan mendalami segala segi kehidupan.

Pada hakekatnya ilmu pengetahuan timbul karena adanya hasrat ingin tahu

dalam diri manusia. Hasrat ingin tahu tadi timbul oleh karena banyak sekali

aspek-aspek kehidupan yang masih gelap bagi manusia, dan manusia ingin

mengetahui kebenaran dari kegelapan tersebut. Setelah manusia memperoleh

pengetahuan tentang sesuatu, maka kepuasannya tadi segera disusul lagi oleh

suatu keenderungan untuk lebih tahu lagi. Dalam usahanya untuk mencari

kebenaran tersebut, manusia dapat menempuh pelbagai cara yaitu antara lain:

a. penemuan secara kebetulan. Artinya adalah penemuan yang sifatnya

tanpa direncanakan dan diperhitungkan terlebih dahulu. Penemuan

semacam ini, walaupun kadang-kadang bermanfaat, tidak dapat

dipakai dalam suatu cara kerja yang ilmiah karena keadaannya yang

tidak pasti atau kurang mendekati kepastian. Dengan demikian hal

datangnya penemuan tidak dapat diperhitungkan secara berencana, dan

tidak selalu memberikan gambaran yang sesungguhnya.

b. Hal untung-untungan; artinya penemuan melalui cara percobaan-

percobaan dan kesalahan-kesalahan. Perbedaan dengan penemuan

secara kebetulan, adalah pada metode ini manusia lebih bersikap aktif

untuk mengadakan percobaan-percobaan, walaupun tidak ada

pengetahuan yang pasti tentang hasil-hasilnya. Biasanya apabila

percobaan pertama gagal, diadakan percobaan berikutnya yang

sifatnya memperbaiki kesalahan-kesalahan yang terjadi pada

percobaan terdahulu.

c. Kewibawaan, yaitu berdasarkan penghormatan terhadap pendapat

seseorang atau lembaga tertentu.

10

Page 5: Ilmu Pengetahuan Dan Etika

d. Usaha-usaha yang bersifat spekulatif, walaupun agak teratur. Artinya

dari sekian kemungkinan, dipilih salah satu kemungkinan walaupun

pilihan tersebut tidaklah didasarkan pada keyakinan apakah pilihan itu

merupakan cara yang setepat-tepatnya.

e. Pengalaman, artinya berdasarkan pikiran kritis. Akan tetapi

pengalaman belum tentu teratur dan bertujuan. Mungkin pengalaman

tersebut hanya untuk dicatat saja. Menurut Muhajir kebenaran ilmiah

dibangun dari sejumlah banyak kenyataan atau fakta. Kenyataan atau

fakta dalam telaah filosofik dapat dibedakan menjadi empat, yaitu

kenyataan empirik sensual, empirik logic, empirik etik, dan kenyataan

empirik transenden. Empirik sensual dapat diamati kebenarannya

berdasarkan empirik indriawi manusia; empirik logic dapat dihayati

kebenarannya karena ketajaman pikiran manusia dalam memberi

makna atas indikasi empirik (yang tidak perlu menjangkau empirik

secara tuntas); sedangkan empiri etik dapat dihayati kebenarannya

karena ketajaman akal budi manusia dalam memberi makna ideal atas

indikasi empiri. Edmund Husserl mengemukakan bahwa obyek ilmu

tidak terbatas pada yang empirik (sensual), melainkan mencakup

fenomena yang tidak lain daripada persepsi, pemikiran, kemauan, dan

keyakinan subyek tentang sesuatu diluar subyek, ada sesuatu yang

transenden, disamping yang aposteriorik.

f. Penelitian ilmiah, yaitu suatu metode yang bertujuan untuk

mempelajari satu atau beberapa gejala dengan jalan analisis dan

pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta-masalah yang disoroti,

untuk kemudian mengusahakan pemecahannya.

c. pemikiran

yang dimaksud dengan pemikiran adalah pemikiran dengan menggunakan otak.

Apakah artinya semua ini? Apabila pembicaraan dikembalikan pada pengetahuan

maka ternyata bahwa pengetahuan tersebut diperoleh melalui kenyataan (fakta)

dengan melihat dan mendengar sendiri, serta melalui alat-alat komunikasi. Hal-

11

Page 6: Ilmu Pengetahuan Dan Etika

hal demikian diterima pancaindra untuk kemudian diterima otak dan diolah oleh

otak berupa pengaruh atau pengalaman-pengalaman. Bila pengaruh atau

pengalaman tadi disusun secara sistematis oleh otak, maka hasilnya adalah ilmu

pengetahuan. Penyusunan secara sitematis tadi dilakukan oleh pemikiran bukan

oleh perasaan.

d. dapat dikontrol secara kritis oleh orang lain atau umum (obyektif)

Selanjutnya, ilmu pengetahun tersebut harus dapat dikemukakan, harus diketahui

oleh umum, sehingga dapat diperiksa dan ditelaah oleh umum yang mungkin

berbeda fahamnya dengan ilmu pengetahuan yang dikemukakan. Oleh karena

pada umumnya, ilmu pengetahuan dapat ditelaah oleh umum, ilmu pengetahuan

selalu berkembang. Kalau ilmu pengetahuan yang netral tersebut sudah diterima

oleh umum, maka ilmu pengetahuan tadi harus ditujukan pada suatu sasaran

tertentu, misalnya masyarakat manusia, gejala-gejala alam, perwujudan-

perwujudan kegiatan rohaniah dan seterusnya.

Disamping unsur-unsur tersebut, terdapat pula penegasan oleh Bahm bahwa

suatu kegiatan baru dapat dikatakan sebuah ilmu manakala mencakup enam

karakteristik (Rizal M & Misnal M, 2001):

1. Problem (problems);

2. Sikap (attitude);

3. Metode (method);

4. Aktivitas (activity);

5. Pemecahan (solutions);

6. Pengaruh (effect).

Lebih lanjut disampaikan bahwa ilmu pengetahuan mempunyai landasan

pengembangan yang dapat digambarkan sebagai berikut:

12

Page 7: Ilmu Pengetahuan Dan Etika

2. Etika : Ilmu tentang Moralitas (Bertens, 2001 – 15)

Etika adalah ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh

berkaitan dengan moralitas. Suatu cara lain untuk merumuskan hal yang sama adalah

bahwa etika merupakan ilmu yang menyelidiki tingkah laku moral. Ada tiga

pendekatan ilmiah tentang tingkah laku moral. Yaitu, etika deskriptif, etika normativ,

dan metaetika.

a. Etika Deskriptif

Etika deskriptif melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya adat

kebiasaan, anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang

diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Etika deskriptif mempelajari moralitas

yang terdapat pada individu-individu tertentu, dalam kebudayaan-kebudayaan atau

subkultur-subkultur yang tertentu, dalam suatu periode sejarah dan sebagainya.

Etika deskriptif hanya melukiskan keadaannya, tidak memberi penilaian.

b. Etika Normatif

Etika normatif merupakan bagian terpenting dari etika dan bidang dimana

berlangsung diskusi-diskusi yang paling menarik tentang masalah moral. Disini

ahli bersangkutan tidak bertindak sebagai penonton netral, seperti pada etika

deskriptif, tapi ia melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang perilaku

13

LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU

ONTOLOGIS EPISTEMOLOGIS AKSIOLOGIS

APA? BAGAIMANA MENGAPA/ UNTUK APA?

REALITAS METODOLOGI TUJUAN/NILAI

Page 8: Ilmu Pengetahuan Dan Etika

manusia. Penilaian ini dibentuk atas dasar norma-norma. Ia tidak lagi membatasi

diri dengan memandang fungsi prostitusi dalam suatu masyarakat, tapi menolak

prostitusi sebagai suatu lembaga yang bertentangan dengan martabat manusia.

“Martabat manusia harus dihormati” dapat dianggap sebagai contoh tentang norma

semacam itu. Pada etika deskriptif hanya melukiskan norma-norma itu. Ia tidak

memeriksa apakah norma-norma itu sendiri benar atau salah. Etika normatif

sebaliknya, ia meninggalkan sikap netral itu dengan mendasarkan pendiriannya

atas norma. Dan tentang norma-norma yang diterima dalam suatu masyarakat atau

diterima oleh seorang filsuf lain, ia berani bertanya apakah norma-norma itu benar

atau tidak.

Hal yang sama bisa dirumuskan bahwa etika normatif itu tidak deskriptif

melainkan preskriptif (=memerintah), tidak melukiskan melainkan menentukan

benar tidaknya suatu tingkah laku atau anggapan moral.

Etika normatif selanjutnya dapat dibagi dalam etika umum dan etika khusus.

1. Etika umum memandang tema-tema umum seperti: apa itu norma etis?

Jika ada banyak norma etis, bagaimana hubungannya satu sama lain?

Mengapa norma moral mengikat kita? Apa itu nilai dan apakah kekhususan

nilai moral? Bagaimana hubungan antara tanggungjawab manusia dan

kebebasannya? Dapatkah dipastikan bahwa manusia sungguh-sungguh

bebas? Apakah yang dimaksud dengan “hak” dan “kewajiban” dan

bagaimana perkaitannya? Syarat-syarat mana harus dipenuhi agar manusia

dapat dianggap sungguh-sungguh baik dari sudut moral? Tema-tema seperti

itulah yang menjadi obyek penyelidikan etika umum.

2. etika khusus berusaha menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum

atas wilayah perilaku manusia yang khusus. Dengan menggunakan suatu

istilah yang lazim dalam konteks logika, dapat dikatakan bahwa dalam etika

khusus itu premis normatif dikaitkan dengan premis factual untuk sampai

pada suatu kesimpulan etis yang bersifat normatif juga. Etika khusus

mempunyai tradisi panjang dalam sejarah filsafat moral. Kini tradisi ini kerap

kali dilanjutkan dengan memakai suatu nama baru, yaitu “etika terapan”

(applied ethics). Kode etik bisa dilihat sebagai produk etika terapan.

14

Page 9: Ilmu Pengetahuan Dan Etika

c. Metaetika

Cara lain untuk mempraktekkan etika sebagai ilmu adalah metaetika. Awalan meta

– (dari bahasa Yunani) mempunyai arti “melebihi”, “melampaui”. Istilah ini

diciptakan untuk menunjukkan bahwa yang dibahas disini bukanlah moraltas

secara langsung, melainkan ucapan-ucapan kita dibidang moralitas. Metaetika

seolah-olah bergerak pada taraf lebih tinggi daripada perilaku etis, yaitu pada taraf

“bahasa etis” atau bahasa yang kita pergunakan di bidang moral.

Daftar Bacaan:

Soerjono Soekanto, 1995. Sosiologi Suatu Pengantar. Cetakan keduapuluh PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Bertens K., 2001. Etika. Cetakan ke enam PT Gramedia Pustaka Umum , JakartaRizal M & Misnal M., 2001. Filsafat Ilmu. Cetakan I Pustaka Pelajar, Yogyakarta.Pandji Anoraga, SE, MM., 2001. Psikologi Kerja. Cetakan ketiga PT Asdi

Mahasatya Jakarta.Dick Hartoko, 1991. Manusia Dan Seni. Cetakan kelima Pen. Kanisius, Jakarta

15