Illegal logging

10

Click here to load reader

description

Pemanfaatan hutan secara tidak lestari, sebagaimana digambarkan oleh pakar ekonomi lingkungan Jose I. Dos dan R. Furtado merupakan ancaman yang dapat melenyapkan persediaan modal alam. Pada gilirannya kemudian merembet dengan merusak berbagai fungsi ekologis dan jasa penting yang disediakan oleh hutan. Di Indonesia sendiri, areal hutan semakin menipis karena pemanfaatan hutan secara berlebihan demi kelancaran pembangunan negara ini yang sebenarnya menimbulkan dampak kerusakan yang serius bagi lingkungan ter masuk efek pemanasan global yang kian terasa "memanaskan‟ negeri ini akibat menipisnya hutan-hutan yang seharusnya dapat melindungi negeri ini dari hal tersebut.

Transcript of Illegal logging

Page 1: Illegal logging

1 | P a g e

TUGAS KELOMPOK

(SOSIOLOGI KELAS A)

SOSIOLOGI LINGKUNGAN

“ILLEGAL LOGGING, PEMANFAATAN HUTAN YANG BERDAMPAK PEMANASAN

GLOBAL”

ANGGOTA KELOMPOK :

1. YULIANTI LESTARI NIM : GAA 112 062

2. AGUSTINE CAROLINA NIM : GAA 110 063

3. DWI INGGAR WATI NIM : GAA 112 065

4. YOSSY ASDIANTY PUTRI NIM : GAA 112 066

5. SITI ALMISBAH NIM : GAA 112 068

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS PALANGKA RAYA

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

TA. 2014/2015

Page 2: Illegal logging

2 | P a g e

BAB I

PENDAHULUAN

Suhu udara yang kian hari semakin panas akhir-akhir ini sepertinya memiliki kaitan erat

dengan adanya pemanasan global pada saat ini yang di sebabkan oleh menipisnya areal hutan

akibat adanya pemanfaatan hutan secara tidak lestari sekaligus pengalih-fungsian hutan demi

memenuhi tuntutan pembangunan secara besar-besaran yang dilakukan oleh negara-negara di

dunia tanpa memperhatikan konsep sustainable. Pembangunan merupakan salah satu aktivitas

manusia untuk mencapai kesejahteraan. Pembangunan selalu berkaitan dengan tiga faktor utama

yang saling terikat satu sama lain. Ketiga faktor itu yakni sumber daya alam (SDA), sumber daya

manusia (SDM), dan sumber daya kapital atau modal (SDK). Lingkungan (SDA) bergerak

karena faktor kebutuhan manusia (SDM), yang kemudian diproses menjadi modal (SDK)

sehingga terjadi sinergi pembangunan.

Ketika pembangunan sudah mencapai tahap sinergis, maka kebutuhan masyarakat akan

faktor-faktor seperti SDA, SDM, dan SDK akan semakin meningkat sesuai laju pembangunan.

Namun, ketika salah satu dari ketiga faktor tersebut ketersediannya mulai mengalami penurunan

maka pembangunan akan mengalami tahap kemunduran. Semakin tersedianya sumber-sumber

alam dalam pembangunan, semakin meningkat pula tingkat keberhasilan pembangunan itu,

demikian pula sebaliknya. Pada saat suatu negara sudah mencapai kesinergitasan dalam

pembangunannya, masalah lingkungan hidup pun menjadi sesuatu yang tak dapat dipungkiri lagi

keberadaannya. Untuk memenuhi semua tuntutan pembangunan tersebut, lingkungan hidup

harus bisa menjadi pensuplai akan hal tersebut. Dalam World Development Report tahun 1992

disebutkan bahwa “The development impacts through the world have destroyed the planet every

times by existing technology and development there, and it rarely considered by the most nations

in the world. (Dampak pembangunan pada dunia telah mulai „menghancurkan‟ planet ini secara

perlahan setiap kali munculnya teknologi disertai dengan pembangunan disana, dan biasanya hal

tersebut jarang untuk dipertimbangkan oleh kebanyakan negara-negara di dunia)”. Pemanasan

global terjadi karena seiring dengan perkembangan teknologi di dunia saat ini serta peningkatan

kebutuhan hidup manusia pada umumnya, tidak bisa dipungkiri bahwa tekanan terhadap

lingkungan juga meningkat secara global. Aktivitas pembangunan dengan memanfaatkan

berbagai potensi sumber daya alam juga tidak dapat dihindari maupun dihentikan. Dengan

Page 3: Illegal logging

3 | P a g e

demikian, adanya peningkatan penggunaan sumber daya alam yang tidak seimbang, ternyata

membawa dampak yang sangat besar bagi kelangsungan hidup manusia saat ini.

Selama ini pembangunan lebih condong untuk mengabaikan kondisi lingkungan hidup dan

lebih menfokuskan diri kepada ekonomi dan masyarakat saja sehingga lingkungan hidup

dibiarkan menjadi rusak. Artinya, para pakar ekonomi selama ini telah mengabaikan dimensi

penunjang pembangunan seperti lingkungan hidup, sumber daya alam (SDA), serta makhluk

hidup dan lebih memusatkan perhatian pada nilai keuntungan (profit value) dari pembangunan

tersebut. Pandangan seperti inilah yang membuat banyak negara mengasumsikan bahwa: “hutan,

benda-benda tambang, ikan di laut, dan sumber-sumber alam lainnya merupakan barang yang

harus dieksploitasi demi mengejar kesejahteraan manusia. Industri dipandang sebagai agent of

change dari tingkat kualitas, gaya hidup, dan modernisasi menjadi pokok penting ekonomi yang

selalu diutamakan.”

Asumsi inilah yang akhirnya membuat kerusakan lingkungan hidup menjadi hal yang tak

dapat dipisahkan dari pembangunan suatu negara. Hutan-hutan sebagai lingkungan biologi

manusia dieksploitasi secara besar-besaran untuk memenuhi tuntutan pembangunan tersebut

tanpa memikirkan keberlanjutannya ke masa depan (perpetuating forests afterward). Hutan

dengan fungsi ekonominya yang begitu besar, ternyata tidak dengan sendirinya dikelola

sedemikian dalam skala yang berimbang dengan berbagai fungsi penting lainnya dengan prinsip

sustainable. Faktanya tingkat penurunan cadangan hutan kian hari semakin pesat, dengan

sendirinya mengurangi kemampuan regenerasi hutan. Laju kerusakan hutan berjalan deras,

dimana kenyataan ini berjalan sejajar dengan laju permintaan atas produk-produk kayu di

pasaran dunia.

Pemanfaatan hutan secara tidak lestari, sebagaimana digambarkan oleh pakar ekonomi

lingkungan Jose I. Dos dan R. Furtado merupakan ancaman yang dapat melenyapkan persediaan

modal alam. Pada gilirannya kemudian merembet dengan merusak berbagai fungsi ekologis dan

jasa penting yang disediakan oleh hutan. Di Indonesia sendiri, areal hutan semakin menipis

karena pemanfaatan hutan secara berlebihan demi kelancaran pembangunan negara ini yang

sebenarnya menimbulkan dampak kerusakan yang serius bagi lingkungan termasuk efek

pemanasan global yang kian terasa „memanaskan‟ negeri ini akibat menipisnya hutan-hutan yang

seharusnya dapat melindungi negeri ini dari hal tersebut.

Page 4: Illegal logging

4 | P a g e

BAB II

PEMBAHASAN

Dalam kehidupan manusia, hutan memiliki peranan penting dalam keberlangsungan hidup

karena hutan menjadi tempat untuk persediaan segala kebutuhan hidup manusia. Hutan Indonesia

merupakan salah satu paru-paru dunia. Yang mana luas hutan di Indonesia menurut data

Departemen Kehutanan adalah 130 juta Ha atau sebanding dengan 70% luas Indonesia. Yang

memprihatinkan adalah kondisi saat ini 42 juta Ha hutan Indonesia sudah tidak berpohon lagi

alias gundul akibat pemanfaatan hutan secara berlebihan untuk pembangunan. Padahal hutan

memiliki fungsi yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup semua makhluk hidup di

negara ini, fungsi-fungsi tersebut yakni:

1. Sebagai penampung karbondioksida; dalam proses fotosintesis tumbuhan mengambil

karbondioksida (CO2) dari atmosfer dikombinasi dengan air dan dibantu dengan energi

cahaya untuk memproduksi materi organik bagi kelangsungan hidupnya.

2. Habitat Hewan; hewan-hewan penghuni hutan seperti orang utan, harimau, singa, ular, babi

hutan, gajah, dan lainnya merupakan penghuni asli hutan. Sehingga ketika habitat mereka

yaitu hutan menjadi gundul hewan-hewan tersebut akan keluar dari hutan dan mendatangi

pemukiman penduduk desa, serta memangsa hewan dan penduduk. Hal ini disebabkan

karena rantai makan mereka terputus dan menyebabkan hewan-hewan buas tersebut mencari

makan di luar hutan.

3. Modulator arus hidrologika; hutan sebagai penyeimbang arus hidrologika, sebagai tempat

penyerapan air, penahan air sehingga menghindari erosi tanah.

4. Pelestari tanah; tanah-tanah yang dibiarkan gundul maka akan kehilangan fungsinya sebagai

penyimpan unsur hara yang bermanfaat bagi kesuburan tanaman. Tanah akan kurang

berfungsi, sehingga tanah akan menjadi tanah yang tandus.

Illegal logging atau pembalakan liar adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan

penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Pembalakan liar

dilakukan oleh perusahaan-perusahaan atau pribadi-pribadi yang membutuhkan. Pohon-pohon

ditebang dengan seenaknya untuk keperluan pribadi dan tanpa ijin, membuka hutan dan

menguras habis isinya, dan tanpa menanam kembali hutan untuk kelestarian selanjutnya.

Page 5: Illegal logging

5 | P a g e

Pembalak-pembalak liar tidak peduli dengan penanaman kembali pohon. Sebanyak 42 juta Ha

hutan di Indonesia telah berkurang dari 130 juta Ha luas hutan Indonesia. Tentu saja penanaman

pohon-pohon itu memakan waktu yang tidak sedikit.

Secara praktek, illegal logging dilakukan terhadap areal hutan yang secara prinsip dilarang.

Di samping itu, praktek illegal logging dapat pula terjadi selama pengangkutan, termasuk proses

ekpor dengan memberikan informasi salah ke bea cukai, sampai sebelum kayu dijual di pasar

legal. Illegal logging dapat disebabkan oleh beberapa hal: pertama, tingginya permintaan

kebutuhan kayu yang berbanding terbalik dengan persediaannya. Dalam kontek demikian dapat

terjadi bahwa permintaan kebutuhan kayu sah (legal logging) tidak mampu mencukupi tingginya

permintaan kebutuhan kayu. Hal ini terkait dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar

internasional dan besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri/konsumsi lokal.

Tingginya permintaan terhadap kayu di dalam dan luar negeri ini tidak sebanding dengan

kemampuan penyediaan industri perkayuan (legal logging). Ketimpangan antara persediaan dan

permintaan kebutuhan kayu ini mendorong praktek illegal logging di taman nasional dan hutan

konservasi.

Kedua, tidak adanya kesinambungan antara Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1970 yang

mengatur tentang Hak Pengusahaan Hutan dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan

Perkebunan No. 309/Kpts-II/1999 yang mengatur tentang Sistem Silvikultur dan Daur Tanaman

Pokok Dalam Pengelolaan Hutan Produksi. Ketidaksinambungan kedua peraturan perundang-

undangan tersebut terletak pada ketentuan mengenai jangka waktu konsesi hutan, yaitu 20 tahun

dengan jangka waktu siklus Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), khususnya untuk hutan

produksi yangditetapkan 35 tahun. Hal demikian menyebabkan pemegang HPH tidak menaati

ketentuan TPTI. Pemegang HPH tetap melakukan penebangan meskipun usia pohon belum

mencapai batas usia yang telah ditetapkan dalam TPTI. Akibatnya, kelestarian hutan menjadi

tidak terjaga akibat illegal logging.

Ketiga, lemahnya penegakan dan pengawasan hukum bagi pelaku tindak pidana illegal

logging. Selama ini, praktek illegal logging dikaitkan dengan lemahnya penegakan hukum, di

mana penegak hukum hanya berurusan dengan masyarakat lokal atau pemilik alat transportasi

kayu. Sedangkan untuk para cukong kelas kakap yang beroperasi di dalam dan di luar daerah

Page 6: Illegal logging

6 | P a g e

tebangan, masih sulit untuk dijerat dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Bahkan

beberapa pihak menyatakan bahwa Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU

Kehutanan) dianggap tidak memiliki “taring” untuk menjerat pelaku utama illegal logging,

melainkan hanya menangkap pelaku lapangan. Di samping itu, disinyalir adanya pejabat

pemerintah yang korup yang justru memiliki peran penting dalam melegalisasi praktek illegal

logging.

Keempat, tumpang tindih kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hak

Pegusahaan Hutan selama ini berada di bawah wewenang pemerintah pusat, tetapi di sisi lain, -

sejak kebijakan otonomi daerah diberlakukan- pemerintah daerah harus mengupayakan

pemenuhan kebutuhan daerahnya secara mandiri. Kondisi ini menyebabkan pemerintah daerah

melirik untuk mengeksplorasi berbagai potensi daerah yang memiliki nilai ekonomis yang

tersedia di daerahnya, termasuk potensi ekonomis hutan. Dalam kontek inilah terjadi tumpang

tindih kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pemerintah pusat menguasai

kewenangan pemberian HPH, di sisi lain pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan untuk

mengeksplorasi kekayaan alam daerahnya, -termasuk hutan- guna memenuhi kebutuhan

daerahnya. Tumpang tindih kebijakan ini telah mendorong eksploitasi sumber daya alam

kehutanan. Tekanan hidup yang dialami masyarakat daerah yang tinggal di dalam dan sekitar

hutan mendorong mereka untuk menebang kayu, baik untuk kebutuhan sendiri maupun untuk

kebutuhan pasar melalui tangan para pemodal.

Praktek illegal logging sudah barang tentu memiliki ekses negatif yang sangat besar. Secara

kasat mata ekses negatif illegal logging dapat diketahui dari rusaknya ekosistem hutan.

Rusaknya ekosistem hutan ini berdampak pada menurunnya atau bahkan hilangnya fungsi hutan

sebagai penyimpan air, pengendali air yang dapat mencegah banjir juga tanah longsor. Sehingga

rentan terhadap bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Lahan-lahan hutan yang tidak

ditanami kembali menyebabkan bencana melanda. Hutan yang menggundul juga mengakibatkan

habitat hewan-hewan buas di hutan pun menjadi semakin punah, hal ini menyebabkan hewan-

hewan buas tersebut keluar dari hutan dan mencari makanan di kampung-kampung sekitar hutan.

Seperti kita ketahui banyak kejadian sawah-sawah penduduk yang rusak diterjang hewan-hewan

hutan dan bahkan penduduk kampung sendiri yang diterkam oleh hewan buas yang mencari

mangsa. Di samping itu, illegal logging juga menghilangkan keanekaragaman hayati,

Page 7: Illegal logging

7 | P a g e

berkurangnya kualitas dan kuantitas ekosistem dan biodiversity, dan bahkan illegal logging dapat

berperan dalam kepunahan satwa alam hutan Indonesia. Dari sisi ekonomis, illegal logging telah

menyebabkan hilangnya devisa negara. Menurut Walhi, hasil illegal logging di Indonesia

pertahunnya mencapai 67 juta meter kubik dengan nilai kerugian sebesar Rp 4 triliun bagi

negara. Di samping itu, data Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa dalam kurun waktu

1998 hingga 2004, kerugian Indonesia akibat illegal logging mencapai 180 triliun. Efeknya luas

bagi kehidupan masyarakat. Selain itu fungsi hutan sebagai paru-paru dunia menjadi rusak,

mengakibatkan iklim dunia (khususnya Indonesia) menjadi lebih panas berakibat pada efek

rumah kaca.

Menurut data Kementrian Negara Lingkungan Hidup menyebutkan selama kurun waktu lima

tahun (2003-2008) total emisi karbondioksida (CO2) setara dengan 638,975 gigaton CO2.

Sumber emisi tersebut terdiri atas konversi hutan dan lahan sebesar 36%, emisi penggunaan

energi sebesar 36%, emisi limbah 16%, emisi pertanian 8%, emisi dari proses dari industri 4%.

Kemudian data dari The Goergetown International Environtmental Law Review, 1999

menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1997-1998 tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan

terbakar di Sumatra dan Kalimantan. Ini mengakibatkan karbon Indonesia yang berasal dari

deforestasi setara dengan 333,483 gigaton. Oleh karenanya menjadikan Indonesia sebagai

peringkat 19 dari 210 negara (menurut data Carbon Dioxcide Information Analysis Center

(CDIAC) tahun 2006. Sehubungan dengan itu juga, menurut data Intergovermental Panel on

Climate Change (IPCC) menyatakan bahwa kenaikan suhu bumi pada periode 1990-2005 antara

0,15-0,31 derajat celcius. Jika kondisi ini dibiarkan maka diperkirakan pada periode 2050-2070

suhu bumi akan naik sebanyak 4,2 derajat celcius. Jika kondisi ini terjadi, maka sebagian

kehidupan bumi akan musnah. Begitupun dampak bagi Indonesia, jika tidak ada upaya

pencegahan, maka akan kehilangan 2200 pulau karena permukaan air laut naik sampai 90 cm.

Dengan asumsi kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad ke 21 lahan pesisir

yang hilang mencapai 202.500 hektar. Ini berarti wilayah kedaulatan RI akan semakin

menyempit. Menurut catatan Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas

PB) kejadian-kejadian bencana terkait iklim sejak tahun 1950-1960an telah meningkat sekitar

empat kali lipat. Tahun 2003-2005 telah terjadi 1429 bencana di tanah air. 53,3% diantaranya

berkaitan dengan iklim dan hidrologi, seperti banjir, longsor, kekeringan, dan angin topan.

Page 8: Illegal logging

8 | P a g e

Dampak dari pemanasan global mengakibatkan perubahan cuaca yang ekstrim seperti badai,

hujan lebat, kekeringan maupun mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub yang dapat

menimbulkan naiknya permukaan air laut.

Efek rumah kaca juga akan mengakibatkan meningkatnya suhu air laut sehingga air laut

mengembang dan terjadi kenaikan permukaan laut yang mengakibatkan negara kepulauan akan

mendapatkan pengaruh yang sangat besar. Salah satu dampak ekstrim terjadi bila suhu bumi

semakin meningkat adalah pencairan es di kutub yang terjadi baru-baru ini yakni sebuah

bongkahan es seluas 260 km persegi telah terlepas dari gletser Petermann dan mengapung di

barat laut Greenland. Bongkahan es ini adalah yang terbesar tercatat dalam sejarah memisahkan

diri dari Artik dan menjadi fenomena terbesar dalam 28 tahun terakhir. Menurut kepala Pusat

Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Dr. Edwin Aldrian, mencairnya pulau es di Kutub Utara

diakibatkan sirkulasi panas bumi. Es yang mencair ini menyebabkan kenaikan permukaan laut di

seluruh dunia, sebagai akibat dari ekspansi cuaca panas ke kawasan kutub.

Supaya lingkungan tetap berada di dalam sifat kelestarian dan keserasiannya, diperlukan aksi

nyata untuk mewujudkan hal tersebut yaitu dengan menerapkan pola aktivitas masyarakat yang

beriringan dengan alam; karena faktor hutan dan masyarakat adalah satu kesatuan maka

sebenarnya masyarakat patut dipandang sebagai komponen partisipan dalam mencegah

kerusakkan lingkungan pada hutan, dan pembangunan dalam masyarakat yang berbasiskan

kemampuan keberlanjutan lingkungan (sustainability environment); karena hutan dalam

fungsinya yang begitu bernilai, telah berkembang menjadi the common heritage of mankind

(warisan bagi umat manusia), dalam perspektif ekologi dan sistem biosferik (lingkungan).

Sehingga dengan demikian, negara harus membatasi setiap konversi hutan primer atau hutan

alami lain pada kegunaan yang berkelanjutan, dan langsung memenuhi kebutuhan nyata manusia

yang tak dapat dipenuhi dengan cara lain.

Page 9: Illegal logging

9 | P a g e

BAB III

PENUTUP

Jadi, dapat disimpulkan bahwa Hutan, khususnya yang berada di Indonesia, merupakan

sumber daya alam yang harus dijaga dan selalu dilestarikan. Semua kekayaan yang ada di bumi

ini, baik biotik maupun abiotik, yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia

merupakan sumber daya alam. Pemanfaatan sumber daya alam harus diikuti oleh pemeliharaan

dan pelestarian karena sumber daya alam bersifat terbatas. Keseimbangan bumi terletak pada

hutan yang sebagian besar berada di Indonesia yang mampu menjadi penyangga bumi.

Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini seharusnya membuat sadar masyarakat Indonesia pada

khususnya dan seluruh makhluk di muka bumi pada umumnya bahwa mereka telah

mengeksplorasi sumber daya alam hutan secara berlebihan dan tidak bertanggung jawab.

Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain

seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrem, serta

perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah

terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan. Segala

kegiatan pembangunan yang berlangsung diharapkan tidak hanya mampu meningkatkan

kesejahteraan masyarakat, tetapi juga harus mampu menjaga kelestarian sumber daya alam.

Sehingga alam tidak akan kehilangan fungsinya sebagai pengendali keseimbangan kehidupan.

Oleh karena itu setiap pembangunan yang dilakukan harus berwawasan lingkungan menganalisis

mengenai dampak lingkungan yang akan terjadi. Karena setiap pilihan pembangunan, pasti

menentukan masa depan negara ini. “Life’s about making choices; some will be good choices,

and some will be bad. But, every choices we make, shapes our future.”

Page 10: Illegal logging

10 | P a g e

DAFTAR PUSTAKA

Naess, A. 1993. Ecology, Community and Lifestyle. Cambridge, Inggris: Cambridge

University Press.

Rangkuti, Siti Sundari. 2000. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional.

Surabaya, Indonesia; Airlangga University Press.

Siahaan, N. H. T. 2007. Hutan, Lingkungan dan Paradigma Pembangunan. Jakarta, Indonesia:

Pancuran Alam.

Siahaan, N. H.T. 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta, Indonesia:

Erlangga.

Soemarwoto, Otto. 2001. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Jogjakarta, Indonesia:

Gadjah Mada University Press.

http://blawgerpoet.blogdetik.com/2011/02/14/pembalakan-liar-hutan-indonesia-Pembalakan-

Liar-Hutan-Indonesia

http://irineriskyana.blog.fisip.uns.ac.id/2011/01/01/dampak-pembangunan-terhadap-

lingkungan/

http://www.kapanlagi.com/h/0000063985.html

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/16/opini/563606.htm

http://mohkaris.blogspot.com/2009/01/dampak-eksploitasi-sumber-daya-alam.html

http://savegreenearth.wordpress.com/2010/11/07/global-warming-dampak-pemanasan-global-

bagi-manusia/