Ikonitas Visual

download Ikonitas Visual

of 6

Transcript of Ikonitas Visual

  • 8/3/2019 Ikonitas Visual

    1/6

    RELIGIUSITAS VISUAL

    Pencitraan Relegiusitas dalam Era Konsumerisme

    Oleh: Rudi Irawanto1

    Populerisme senantiasa menawarkan kedangkalan makna. Makna-makna

    mengalami reduksi, sehingga yang sanggup dicerna adalah sesuatu yang instan

    dan sesaat. Pada konteks tersebut ideologi yang diwujudkan dalam pilihan-pilihan

    keyakinan di atas kesadaran subjektif berada dalam wilayah temporal. Ideologi,

    termasuk di dalamnya keyakinan relegius, tidak lagi berada dalam wilayah sakral.

    Relegiusitas pada beberapa kasus menjadi citraan-citraan dan memasuki jejaring

    citra-citra visual. Fenomena yang lazim dijumpai pada siaran televisi pada bulan

    Ramadhan.

    Tema-tema relegius secara kolektif menjadi tema utama setiap acara. Kapitalisme

    senantiasa mengembangkan wacana identitas, termasuk di dalamnya wacana

    tentang kontradiksi. Televisi merupakan salah satu media kapital yang mampu

    menuangkan setiap kontradiksi menjadi komoditi. Kotradiksi diciptakan untuk

    mendorong mesin-mesin produksi, sehingga arus konsumsi tetap terjaga.

    Fenomena yang disebut Andorno sebagai industri budaya, industri yang

    direkatkan oleh oleh fenomena-fenomena kultural. Bagi Andorno, masyarakat

    kapitalis diciptakan secara sengaja dengan kemiskinan dan ketidakbahagiaan

    subjektif. Kebahagiaan hanya mampu diciptakan melalui ilusi di layar hiburan

    atau televisi. Komodifikasi adalam salah satu pintu menuju kebahagiaan tersebut.

    Relegiusitas dalam siaran televisi dikemas dalam bingkai komoditi, sehingga yang

    terpenting adalah menampilkan citra-citra. Konsumsi terhadap citra-citra tidak

    membutuhkan perenungan dan spiritualitas mendalam, termasuk di dalamnya

    citra-citra relegiusitas atau teologis. Konsumsi terhadap citra-citra dapat

    dilakukan kapanpun dan dalam situasi apapun, dalam arti dimensi waktu bukan

    suatu yang diutamakan.

    1

    Rudi Irawanto, S,Pd, M.Sn adalah dosen Jurusan Seni dan Desain Fakultas Sastra UniversitasNegeri Malang

  • 8/3/2019 Ikonitas Visual

    2/6

    Komodifikasi Relegius

    Pada kondisi ideal permenungan relegius membutuhkan aktivitas komtempelatif

    dan mensyaratkan loyalitas dogmatis. Kaum sufistik membutuhkan suasana

    keheningan untuk melakukan penghayatan ketuhanan. Tuhan tidak dapat

    dihadirkan dalam suasana yang tidak suci. Fenomena tersebut menyebabkan

    penghayatan ketuhanan senantiasa membutuhkan waktu dan suasana yang ideal.

    Komunikasi ketuhanan tidak dapat dilakukan secara serampangan dan sambil lalu.

    Agama apapun tidak pernah menganjurkan umatnya untuk melakukan aktivitas

    ritual dalam suasana tanpa kendali. Inti dari aktivitas keagamaan adalah

    pegendalian diri. Hukum-hukum agama selalu mengutarakan sesuatu yang

    dilarang dan dibolehkan serta konsekwensi dari tindakan-tindakan yang diambil.

    Agama dilahirkan lengkap dengan dogma-dogma teologis yang tidak memerlukan

    perbantahan.

    Dogma teologis bersifat mutlak. Para pengikut tasawuf memandang dogma

    sebagai rujukan tunggal kebenaran. Perbantahan sekitar dogma akan melahirkan

    sikap keraguan, situasi yang paling dihindari dalam penghayatan keagamaan.

    Pada intinya perbantaham keagamaan selalu bersifat subjektif, pada

    perkembangannya tafsir-tafsir yang subjektif dicoba direduksi dan dikaji ulang.

    Ruang yang lebih longgar terhadap tafsir-tafsir subjektif atas dogma-dogma

    keagmaan melahirkan sikap yan lebih permisif. Pada situasi tersebut perbincangan

    tentang tafsir-tafsir dogmatis lebih inklusif dan pluralistik. Fenomena yang telah

    lama diutarakan para pemikir liberalisme agama.

    Pada dunia Islam pemikir muslim asal mesir Nustafa Nagib Mahmud merinci 3

    sikap yang menyangkut tradisionalisme agama dan konsekwensi yang

    ditimbulkannya. Pertama kalangan konservatif melihat barat yang meragukan

    Islam sebagai kekuatan modernisme, kedua pandangan kaum konservatif yang

    berupaya menghidupkan kembali tradisionalisme agama dalam setting masa kini,

    dan ketiga upaya jalan tengah dengan menyaring konsep-konsep modern (Barat)

    dan disesuaikan dengan konteks keagamaan. Kecenderungan sikap yang

  • 8/3/2019 Ikonitas Visual

    3/6

    melahirkan lebih banyak ruang untuk berdialog bagi kalangan konservatif .

    Inklusifitas dakwah dan kecenderugan liberalisasi keagamaan merupakan salah

    satu sikap yang berorientasi pada jalan tengah keagamaan. Pada era 1980 an

    pertunjukan film-film dakwah dalam kemasan populis menunjukkan gejala awal

    perdamaian tersebut. Dakwah memasuki medan populer yang lebih inklusif,

    dakwah tidak lagi dilakukan dalam ruang sempit dengan homogenitas audiens.

    Film-film yang diklaim sebagai film dakwah tersebut, pada intinya merupakan

    gejala paradoksal agama ketika dihadapkan dengan arus budaya massa.

    Agama menjadi suatu yang rumit ketika dihadapkan dengan hukum-hukum

    komoditas. Hukum-hukum komoditas tidak mengenal penghayatan secara loyal.

    Loyalitas tidak akan menciptakan komodifikasi. Loyalitas tidak diletakkan pada

    produk tetapi pada citra-citra terhadap produk. Citra-citra akan menciptakan

    realitas. Realitas semu tersebut yang menjadi jantung dari komoditi. Tantangan

    besar keagamaan di era kapitalisme adalah munculnya budaya-budaya tandingan

    dalam memperebutkan identitas.

    Indentitas pada perkembangannya dapat dimaknai dalam 2 pandangan, pertama

    identitas dilihat sebagai sesuatu yang melampai sejarah yang terjadi secara dalam

    kontinuitas ruang dan waktu; dan kedua identitas dilihat sebagai proses menjadi

    dalam satu proses yang terus menerus. Pandangan pertama melihat identitas

    sebagai kode-kode budaya yang dimiliki bersama oleh sebuah masyarkat.

    Kerbermaknaannya telah terbentuk dan melepaskan diri dari pergeseran-

    pergeseran yang mungkin terjadi dalam masyarakat tersebut. Pandangan kedua

    seprti yang diutarakan Foucault, bahwa identitas dilahirkan dari keputusanketimbang oleh rantai masa lalu. Sikap yang memungkinkan identitas lahir dari

    tafsir terhadap masa lalu atau dilahirkan dari proyeksi terhadap masa depan.

    Agama dan kekuatan relegisitas merupakan jantung dari identitas ideologis.

    Kekuatan budaya-budaya tandingan atau gerakan-gerakansub culture pada

    hakekatnya adalah upaya memperebutkan identitas ideologis. Setiap gerakan yang

    ada berupaya membingkai posisinya dalam satu wacana ideologis tertentu.

  • 8/3/2019 Ikonitas Visual

    4/6

    Pertarungan identitas tersebut yang kerap melahirkan gesekan-gesekan, baik

    dalam tataran wacana maupun dalam bentuk konflik-konflik terbuka. Inti dari

    gerakan budaya adalah menciptakan ruang yang lebih banyak terhadap identitas-

    identitas baru. Atribut-atribut visual menjadi salah satu media efektif untuk

    membentuk ruang ideologis tersebut. Pertarungan identitas visual, sebagai

    diungkapkan Dick Hebdige (1999) merupakan bentuk perlawanan terselubung

    yang telah bermula semenjak tahun 1970 an. Gerakan-gerakansub culture yang

    menonjolkan ikon-ikon visual dalam bentuk satire dan cenderung kontroversial.

    Kekuatan relegiusitas yang tetap berpijak pada dogma-dogma teologis

    konservatif akan dipandang sebagai menjadi wacana yang teralinea dari arus

    utama masyarakat pendukungnya. Dogma-dogma teologis pada hakekatnya tidak

    menyediakan ruang terbuka untuk berdiskusi terhadap wacana yang berorientasi

    terhadap perubahan. Dogma teologis berada dalam wilayah yang tidak tersentuh.

    Kritikan atau upaya mempertanyakan nilai-nilai akan cenderung disikapi sebagai

    bentuk pemurtadan. Dialog teologis pada praktiknya tidak mungkin berada dalam

    posisi kesetaraan.

    Pada era kapitalisme, relegiusitas berhadapan dengan wacana dialog yang

    mengupaya kesetaraan. Kesetaraan dalam konteks pemahaman terhadap arus

    utama kebudayaan. Pada kondisi tersebut terlihat beberapa kaum relegius

    berupaya berdamai dengan arus kebudayaan utama. Agama diformulasikan dalam

    konteks pencitraan. Fenomena yang kerap menyeret atmosfir teologis dalam

    komodifikasi spiritual. Acara-acara televisi di bulan Ramadhan menjadi salah

    bukti yang ada. Nuansa relegiusitas yang selayaknya diselami dalam kekusyukankerap dirayakan dalam kemeriahan dan kejenakaan. Dimensi spiritual menjadi

    lemah ketika berhadapan dengan hukum komoditi yang mensyaratkan kontroversi

    dan penggayaan.

    Penggayaan merupakan upaya perayaan konsumerisme secara berbeda. Chaney

    (19996) mengungkapkan bahwa gaya hidup merupakan upaya keratif dalam

    merayakan konsumerisme. Kondisi yang diistilah Gidenns sebagai bentuk tatanan

  • 8/3/2019 Ikonitas Visual

    5/6

    masyarakan di era posttradisional. Perayaan gaya hidup menjadi prores refleksi

    serta konsumerisme menjadi proses metafora terhadap diri sendiri. Permainan

    simbolik digunakan dan dikonsumsi menjadi objek-objek yang tampak secara

    visual. Ikonitas visual merupakan cerminan dari identitas diri.

    Ikon Relegiusitas

    Komodifikasi tidak memberikan ruang penghayatan yang serius. Komodifikasi

    menawarkan kedangkalan makna yang dikemas dalam citra-citra tertentu.

    Komodifikasi merupakan pintu memasuki iklim konsumerisme. Pada ruang

    konsumerisme setiap pelaku budaya akan dikonstruksi menjadi sosok yang akan

    patuh terhadap arus perubahan tanda, makna, citra., dan identitas. Tanda-tanda

    semiotis merupakan atribut identitas. Fenomena yang akan melahirkan sosok yang

    lebih mengejar tanda-tanda daripada memahaminya. Penanda lebih penting

    daripada petanda.

    Tanda yang mudah dicerna adalah tanda-tanda visual. Visualisasi terhadap

    identitas diutamakan dari pada pamahaman terhadap identitas tersebut. Pada

    kondisi tersebut pencurian atribut-atribut visual menjadi sesuatu yang lazim,

    tidak terkecuali terhadap atribut-atribut relegiusitas. Penampilan sebagai figur

    relegius lebih dulu ditonjolkan dalan balutan tanda-tanda visual. Kalung salip,

    sorban, baju koko, tasbih, ataupun rosario menjadi penanda identitas. Kedudukan

    yang lebih ditonjolkan dari pada penghayatan teologis yang kontempelatif.

    Komodifikasi relegius lebih terasa pada wilayah media populer. Kapitalismemerupakan wahana yang memberi ruang untuk pencairan hasrat. Media massa

    pada praktiknya merupakan sarana murah meriah untuk merayakan hasrat-hasrat

    atau libido-libido. Pada kondisi tersebut ekspresi budaya cenderung dangkal dan

    berada dipermukaan. Pemahaman aktivitas budaya yang serius dan membutuhkan

    konsentrasi tinggi tidak mendapat tempat yang wajar. Kedangkalan makna dan

    pemahaman yang temporal merupakan tantangan terbesar kaum spiritualis ketika

    memasuki media kapitalis.

  • 8/3/2019 Ikonitas Visual

    6/6

    Penampilan diri dalam citra-citra visual, terlepas dari latar belakang ideologis,

    senantiasa bermuara pada penggayaan. Pada era konsumerisme citra visual

    menjadi kata kunci untuk memasuki komodifikasi identitas. Identitas diri,

    termasuk di dalamnya identitas relegius, ditampilan dalam citra-citra visual.

    Visualisasi identitas merupakan penanda dari ideologi atau keyakinan seseorang.

    Penampilan yang khas, ataupun sangat aneh, dapat dipandang sebagai bentuk

    pemenangan pertarungan visual.

    Daftar Pustaka

    Tester, Keith. 2003. Media, Budaya dan Moralitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana.Cavallaro, Dani. 2004. Critical and Cultural Theory. Yogyakarta: Niagara.

    Strinati, Dominic. 2004.Populer ulture Pengantar Menuju Teori Budaya Populer.Yogyakarta: Bentang Pustaka.

    Hebdick, Dick. 1999. Subculture; the Meaning of Style. London: Routledge.Chaney, David. 1996. Lifestyle. London: Routledge