ijaz

32
I’JAZ AL-QUR’AN MAKALAH Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Qur’an Dosen pengampu: Dr. Syaifuddin, M. Ag Disusun Oleh: Khaerul Anwar (1400018056) PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS AGAMA ISLAM NEGERI (UIN) WALISONGO 1

description

ulumul qur'an

Transcript of ijaz

I’JAZ AL-QUR’AN

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Studi Qur’an

Dosen pengampu: Dr. Syaifuddin, M. Ag

Disusun Oleh:

Khaerul Anwar

(1400018056)

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS AGAMA ISLAM NEGERI (UIN) WALISONGO

SEMARANG

2014

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latarbelakang

Ketika Allah mengakhiri kenabian dengan Nabi Muhammad SAW. Dia

menjamin untuk menjaga agamanya dan menguatkannya dengan bukti

terbesar yang selalu ada di antara manusia sampai hari kiamat, yaitu Al-

Qur’an. Al-Qur’anul karim adalah mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya

selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan1. Jika kita cermati pada

masa-masa ini bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin

membuktikan bahwa yang dikandung Al Qur’an itu benar-benar nyata.

Pengertian tersebut menunjukan bahwa al-qur’an pada hakikatnya adalah

sumber pedoman sekaligus petunjuk yang diberikan oleh Allah pada umat

manusia. Karena ilmu pengatuhan yang berkembang sangat maju pada

dasarnya sudah ada dalam al-qur’an, namun untuk mendapatkan ilmu tersebut

setiap manusia harus lebih mendalam dalam pengakajian al-qur’an itu sendiri.

Untuk itulah sangat penting bagi kita untuk lebih mendalami tentang mu’jizat

Al Qur’an, karena hal itu akan semakin memperkokoh iman kita kepada Allah

SWT.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengertian I’Jaz Al-Qur’an?

2. Bagaimana tujuan dari I’jaz Al-Qur’an?

3. Bagaimana macam-macam mukjizat?

4. Bagaimana syarat kemukjizatan?

5. Bagaimana segi kemu’jizatan dari Al-Qur’an?

1 Manna’ Khalil al Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, (Bogor:Pustaka Litera Antar Nusa, 2001), hlm. 1

2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pembahasan

1. Pengertian I’jaz Al-qur’an

Kata I’jaz adalah isim mashdar dari ‘ajaza-yu’jizu-i’jazan yang

mempunyai arti melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Pelakunya

( yang melemahkan) dinamai mu’jiz dan bila kemampuanya melemahkan

pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkamkan lawan, maka

dinamakan mukjizat2. Sedangkan untuk menurut istilah I’jaz ialah

menampakan kebenaran nabi dalam pengakuanya sebagai rasul dengan

menampakan kelemahan orang Arab untuk menghadapi mu’jizat yang

abadi yaitu Qur’an, dan kelemahan generasi-generasi sesudah mereka3.

Para pakar Al-Qur’an sepakat menyatakan adanya I’jaz Al-Qur’an

yang diartikan sebagai “Ilmu yang membahas tentang keistimewaan Al-

Qur’an yang menjadikan manusia tidak mampu menandinginya.” Panjang

uraian para pakar menyangkut sebab dan aspek apa saja dari Al-Qur’an

sehingga tidak dapat tertandingi. Salah satu di antaranya adalah aspek

kebahasaannya yang juga mengandung sekian banyak cabang bahasan4.

Dengan demikian, i’jaz (kemukjizatan) Al-Qur’an dapat didefinisikan

“sebagai suatu gejala Qura’ni yang membuat manusia tidak mampu

meniru Al-Qur’an atau bagian-bagiannya baik dari segi isi maupun dari

segi bentuknya5.

Mukjizat Alquran mengandung arti, bukti kebenaran yang terkandung

dalam Alquran yang bersifat internal bukan faktor eksternal, maka yang

akan dibahas di sini adalah Alquran dalam konteks kemukjizatannya yang

manusia tidak mampu untuk membuat semisal darinya baik secara

2 M. Quraish Shihab,Mukjizat Al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 2007), hlm. 233 Manna’ Khalil al Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, hlm. 3714 Issa J Boullata, Al-Qur’an Yang Menakjubkan: Bacaan Terpilih dalam Tafsir

KlasikHingga Modern dari Seorang Ilmuan Katolik (Cet. I; Ciputat: Lentera Hati, 2008), hal. vii.5 Mardan, Al-Qur’an Sebagai Pengantar Memahami Al-Qur’an Secara Utuh (Cet. I;

Jakarta: Pustaka Mapan, 2009), hal. 146

3

individual ataupun kolektif. Tapi yang dimaksud kemukjizatan Alquran

bukan semata-mata untuk melemahkan manusia atau menyadarkan mereka

atas kelemahannya untuk membuat semisal Alquran, akan tetapi

menjelaskan kebenaran Alquran dan Rasul yang membawanya6.

2. Tujuan Adanya Mukjizat Al-Qur’an

Dari pengertian yang telah diuraikan di atas,dapatlah diketahui bahwa

tujuan I’jazul qur’an itu banyak,diantaranya yaitu :

a. Membuktikan bahwa Nabi Muhammad yang membawa mukjizat kitab

al qur’an itu adalah benar-benar seorang nabi dan rasul Allah.Beliau

diutus untuk menyampaikan ajaran-ajaran Allah kepada umat manusia

dan untuk mencanangkan tantangan supaya menandingi al qur’an

kepada mereka yang ingkar. menyampaikan ajaran-ajaran Allah

kepada umat manusia dan untuk mencanangkan tantangan supaya

menandingi al qur’an kepada mereka yang ingkar.

b. Membuktikan bahwa kitab al qur’an itu adalah benar-benar wahyu

Allah,bukan buatan malaikat Jibril dan bukan tulisan nabi

Muhammad.Sebab pada kenyataannya mereka tidak bisa membuat

tandingan seperti Al Qur’an sehingga jelaslah bahwa al qur’an itu

bukan buatan manusia.

c. Menunjukkan kelemahan mutu sastra dan balaghahnya bahasa manusia

khususnya bangsa arab,karena terbukti pakar-pakar pujangga sastra

dan seni bahasa arab tidak ada yang mampu mendatangkan kitab

tandingan yang sama seperti al qur’an,yang telah ditantang kepada

mereka dalam berbagai tingkat dan bagian al qur’an.

d. Menunjukkan kelemahan daya upaya dan rekayasa umat manusia yang

tidak sebanding dengan keangkuhan dan kesombongannya.Mereka

ingkar tidak mau beriman dan sombong tidak mau menerima kitab suci

itu.

6 Muhammad Ali As-Shobuni. Attibyan fi Ulumil Qur'an. Bairut: Muassasah Manahililul Irfan. 1981. Hal 89

4

3. Macam-macam Mukjizat

Ketahui bahwa mukjizat adalah perkara yang keluar dari adat

kebiasaan, disertai tantangan dan terbebas dari aksi penyaingan. Mukjizat

adakalanya bersifat indrawi dan adakalanya bersifat aqli. Sebagian besar

mukjizat pada Bani  Israil bersifat indrawi karena kebodohan dan

tumpulnya mata hati mereka. Sementara sebagian besar mukjizat umat

Islam bersifat rasional karena kecerdasan dan kesempurnaan daya

pemahaman mereka. Selain itu, karena syariat yang terakhir ini berlaku

abadi sepanjang masa hingga hari kiamat, maka secara khusus didukung

dengan mukjizat yang bersifat rasional. Semua itu agar diperhatikan oleh

orang-orang yang bermata hati tajam7.

Menurut Munawar Khalil mukjizat Al-Qur’an juga terbagi dua

yaitu, indrawi danmaknawi. Mukjizat indarawi, yang dapat dilihat dengan

mata, didengar telingga, dicium dengan hidung, diraba dengan tangan,

dirasakan dengan lidah, atau dengan kata lain dapat dirasakan oleh kelima

indra perasa. Allah memberikan banyak mukjizat kepada para Nabi dan

Rasul-Nya, dan sebagian besar dari mukjizat-mukjizat tersebut adalah

yang inderawi. Mukjizat jenis ini diderivasikan pada kekuatan yang

muncul dari segi fisik yang mengisyaratkan adanya kesaktian seorang

nabi. Secara umum dapat diambil contoh adalah mukjizat nabi Musa dapat

membelah lautan, mukjizat nabi Daud dapat melunakkan besi serta

mukjizat nabi-nabi dari bani Israil yang lain. Bahkan secara umum bila

melihat komentar Imam Jalaludin as-Suyuthi, dimana beliau berpendapat

bahwa kebanyakan maukjizat yang ditanpakkan Allah pada diri para nabi

yang diutus kepada bani Israil adalah mukjizat jenis fisik. Beliau

menambahkan hal itu dikarenakan atas lemah dan keterbelakangan tingkat

intelegensi bani Israil8.

Mukjizat yang maknawi, di pihak lain, tidak melibatkan kelima indra,

melainkan harus ditempuh melalui kekuatan kecerdasan dan pikiran. Bagi

7 Issa J Boullata, op. cit., hal. 2248 Jalaludin as-Suyuthi, al-Itqon, juz II, hal 311

5

Munawar Khalil, Al-Qur’an merupakan suatu mukjizat maknawi dan

keindahan teksnya terlihat oleh setiap orang yang menganalisisnya.

Kemukjizatan tersebut terletak pada keindahan dan gaya bahasa Al-

Qur’an; keindahan dan gaya bahasa yang tidak mungkin bagi manusia

untuk menciptakan karya tulis yang sejajar dengan Al-Qur’an.

Kemukjizatan itu bahkan lebih jelas lagi ketika diingat kembali bahwa

Muhammad adalah seorang ummi9.

Penjelasan tersebuat menyatakan bahawa ada beberapa perbedaan

antara mukjizat Al-Quran dengan mukjizat para Nabi-nabi sebelumnya,

Umumnya mukjizat para nabi dan rasul itu berkaitan dengan masalah yang

dianggap mempunyai nilai tinggi dan diakui sebagai suatu keunggulan

oleh masing-masing umatnya pada masa itu.  Misalnya, zaman Nabi Musa

as. adalah zaman keunggulan tukang sihir, maka mukjizat utamanya

adalah untuk mengalahkan tukang-tukang sihir tersebut. Zaman Nabi Isa

as. adalah zaman kemajuan ilmu kedokteran, maka mukjizat utamanya

adalah menyembuhkan  penyakit yang tidak dapat disembuhkan

pengobatan biasa, yaitu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam

kandungan dan orang yang berpenyakit sopak, serta menghidupkan orang

yang sudah mati, dan zaman Nabi Muhammad adalah zaman keemasan

kesustraan Arab, maka mukjizat utamanya adalah Al-Qur’an, kitab suci

yang ayat-ayatnya mengandung nilai satra yang amat tinggi, sehingga

tidak ada seorang manusia pun dapat membuat serupa dengan Al-Qur’an

seperti yang berulang-ulang ditantang oleh Al-Qur’an sendiri. Mukjizat

Nabi Muhammad saw. memiliki kekhususan dibandingkan dengan

mukjizat nabi-nabi lainnya. Semua mukjizat sebelumnya dibatasi oleh

ruang dan waktu, artinya hanya diperlihatkan kepada umat tertentu dan

masa tertentu. Sedangkan mukjizat Al-Qur’an bersifat universal

dan eternal(abadi), yakni berlaku untuk semua umat sampai akhir zaman10.

9Howard Federspiiel, Kajian Al-Qu’an di Indonesia: Dari Mahmud Yunus hinggaQuraish Shihab (Cet. Bandung: Mizan, 1996),  hal. 115.

10 Said Agil Husin Al Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehn Hakiki(Cet. III; Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 30-31.

6

Perbedaan ini disebabkan dua hal pokok;

a. Pada masa nabi sebelum Nabi Muhammad saw ditugskan untuk

masyarakat dan masa tertentu. Oleh karena itu, mukjizat mereka

hanya berlaku untuk masa dan masyarakat tersebut, tidak untuk

sesudah mereka. Ini bedanya dengan Nabi Muhammad yang diutus

untuk seluruh umat manusia samapai akhir zaman, sehingga bukti

kebenaran ajarannya selalu ada, di mana dan kapan pun berada. Jika

demikian halnya, tentu mukjizat tersebut tidak mungkin bersifat

material, karena kematerialan membatasi ruang dan waktunya.

b. Manusia mengalami perkembangan dalam pemikirannya. Umat para

nabi khususnya sebelum Nabi Muhammad membutuhkan bukti

kebenaran  yang harus sesuai dengan tingkat pemikiran mereka. Bukti

tersebut harus demikian jelas dan langsung terjangkau oleh indera

mereka. Akan tetapi, setelah manusia mulai menanjak ke tahap

kedewasaan berpikir, bukti yang bersifat inderawi tidak dibutuhkan

lagi11.

4. Syarat-syarat Kemukjizatan

Manusia mempunyai dua macam kecenderungan dalam memandang

kebenaran.Pertama, manusia meyakini kebenaran berdasarkan

pengamatan empiris. Kedua, manusia meyakini kebenaran berdasarkan

rasional, atau mengabungkan keduanya. Sebagaimana suatu kebenaran,

risalah, yang dibawa para rasul tidaklah terlepas dari kedua macam

penerimaan tersebut; sekalipun terkadang cara pengamatan pertama lebih

diprioritaskan oleh golongan manusia sendiri12.

Yang menunjukkan kemukjizatan Al-Qur’an kepada kalangan non ahli

bahasa adalah, bahwa orang non-Arab sekarang ini tidak mengetahui

mukjizat Al-Qur’an kecuali berdasarkan hal-hal yang melebihi diri orang

non-Arab yang pada zaman tersebut menyaksikan mukjizatnya. Orang

11Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an: Disusun Berdasarkan Kurikulum Terbaru Nasional Perguruan Tinggi Agama Islam (Cet. II; Bandung: Pustaka setia, 2010), h. 192-193.

12 Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukumdalam Al-Qur’an (Cet. III; Jakarta: Penamadani, 2005), hal. 188.

7

yang hidup di zaman itu, pertama kali, harus tahu bahwa orang Arab

lemah menghadapinya. Sementara itu, dia tahu kelemahan orang Arab

melalui transmisi kabar bahwa Nabi saw. telah menantang bahwa bangsa

Arab kemudian mereka lemah menghadapinhya. Transmisi kabar tersebut

memerlukan syarat dan tidak begitu saja membenarkan Al-Qur’an sebagai

mukjizat. Juga tidak serta merta menjadi mukjizat karena orang Arab yang

bukan ahli bahasa mengetahui bahwa seluruh orang Arab tidak mampu

menandinginhya. Sebaliknya, Al-Qur’an itu sendiri dalah mukjizat. Hanya

saja harus diketahui dengan cara ketidakmampuan mereka untuk

membuatnya13.

Adanya suatu mukjizat yang dapat diakui kebenarannya, serta manusia

tunduk padanya, harus mengandung tiga syarat kemukjizatan.

Pertama, harus ada tantangan dengan mukjizat itu, sehingga mendorong

pihak musuh untuk menentang dan mencobanya. Tanpa adanya tantangan

itu, tidak ada orang yang mengacuhnya dalwah-dakwahnya, serta

kebesaran mukjizat itu.

Kedua, harus mengandung unsur yang dapat mendorong pihak musuh

untuk menentang, seperti mempertahankan kepercayaan-kepercayaan

mereka, budaya nenek moyang yang telah turun temurun mereka ikuti, apa

yang telah terbiasa menjadi sistem hidup mereka, dan tata cara ritus serta

pergaulan mereka. Siapa yang membawa dakwah yang menentang hal

tadi, dan mencela apa yang menjadi sistem kehidupan mereka, serta

menilai mereka sebagai seorang yang sesat, maka tentunya akan ada

timbul dorongan untuk menentang dakwahnya itu, terutama jika ada

tantangan yang dilontarkan.

Ketiga, tidak ada penghalang bagi orang lain untuk menentangnya. Jika

seandainya ada seorang manusia mengaku nabi di Australia, misalnya, dan

mengaku bahwa mukjizatnya adalah kitab berbahasa Arab yang

diturunkan kepadanya dari langit. Kemudian ia menentang sebagian orang

Arab untuk membuat kitab yang sama seperti kitabnya, dan tidak ada

13 Issa J Boullata, op. cit., hal. 128.

8

orang yang maju untuk menyambut kedatangannya itu, maka hal itu tidak

dapat menjadi bukti kemukjizatannya, karena adanya penghalang yang

menghalangi orang-orang yang mampu di dunia Arab untuk menjawab

tantangan itu, karena jauhnya tempat masing-masing14.

5. Segi Kemukjizatan Al-Qur’an

a. Bahasa dan Susunan Redaksinya

Sejarah telah menyaksikan bahwa bangsa Arab pada saat turunnya

al-Quran telah mencapai tingkat yang belum pernah dicapai oleh bangsa

satu pun yang ada didunia ini, baik sebelum dan sesudah mereka dalam

bidang kefashihan bahasa (balaghah). Mereka juga telah meramba jalan

yang belum pernah diinjak orang lain dalam kesempurnaan

menyampaikan penjelasan (al-bayan), keserasian dalam menyusun kata-

kata, serta kelancaran logika15.

Oleh karena bangsa Arab telah mencapai taraf yang begitu jauh

dalam bahasa dan seni sastra, karena sebab itulah al-Quran menantang

mereka. Padahal mereka memiliki kemampuan bahasa yang tidak bisa

dicapai orang lain seperti kemahiran dalam berpuaisi, syi’ir atau prosa

(natsar), memberikan penjelasan dalam langgam sastra yang tidak

sampai oleh selain mereka. Namun walaupun begitu mereka tetap

dalam ketidakberdayaan ketika dihadapkan dengan al-Quran16.

14 Yusuf Al-Qardhawi, Berinteraksi Dengan Al-Qur’an (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hal. 52-53.

15 At-Thbathaba’I, al-Mizan, juz I, halm. 6616 Manna’ al-Qathan, Mabahis fi Ulumil Quran, hal. 264-265. tantangan al-Quran pada

orang-orang Arab pada saat itu tidak hanya sekali. Pertama tantangan itu berupa undangan bagi orang-orang Arab beserta seluruh keuatan pendudkungnya baik dari jin atau manusia utnk membuat padanan al-Quran (QS. Al-Isro': 88). Kemudian tantangan itu ditingkatkan menjadi 10 surat (QS. Hud: 13). Pada khirnya tantangan terakhir hanya untuk meniru satu saurat dari al-Quran (QS. Al-Baqarah: 23). Lihat Abdul Qahir al-Jurjani, Dala’ilul I’jaz, hal. 385. dikatakan bahwa al-Quran itu adalah kalam tapi tidak seperti kalam manusia, sehingga para penyair Arab seperti Umrul Qais hanya ahli dalam hal ekspresi kegembiraan serta penggamabaran keelokan wanita, lalu an-Nabigho ahli dibidang syi’ir tentang ekspresi ketakutan, syi’ir al-A’sya paling demonstrative dalam hal penghibaan atau permohonan, sedangkan syi’ir-syi’ir Zuhair hanya piawai dalam penyusunan kata sebagai ungkapan cinta dan pengandaian. Lihat Ibn al-Khatib, al-Furqon, hal. 14

9

Dari sini bias disimpulkan bahwa setiap perbuatan yang tidak

mampu oleh seorang pun, sementara sarana-sarana yang diperlukan

secara berlimpah, sedang motivasi juga kuat, maka itu menandakan

adanya ketidak mampuan dikerjakannya pekerjaan itu. Dan apabila hal

itu telah terbukti, serta kita tahu bangsa Arab telah ditantang al-Quran

namun tak mampu menjawabnya, meskipun mereka sangat ingin

melakukannya dan memilki sarana yangkuat untuk itu. Maka tahulah

kita bahwa tantangan itu merupakan tantangan yang tidak mampu

mereka layani.

Selanjutnya apabila ketidakmampuan bangsa Arab telah terbukti

sedangkan mereka jago dalam bidang bahasa dan sastra, maka terbukti

pulalah kemukjizatan al-Quran dalam segi bahasa dan sastra dan itu

merupakan argumenatasi terhadap mereka maupun terhadap kaum-

kaum selain mereka. Sebab dipahami bahwa apabila sebuah pekerjaan

tidak bias dilakukan oleh mereka yang ahli dalam bidangnya tentunya

semakin jauh lagi kemustahilan itu bias dilakukan oleh mereka yang

tidak ahli dibidangnya17.

Berkaitan dengan masalah pembuktian akan ketidak mampuan

bangsa Arab untuk menyainngi al-Quran para ulama banyak

memberikan komentar yang mengisyaratkan adanya perbedaan tentang

ihwal ketidakmampuan itu bias terjadi. Secara umum pendapat ulama

dalam masalah sebab terjadinya fenomena ketidakmampuan orang Arab

untuk menandingi al-Quran ada dua pendapat, yaitu18:

1) Muncul dari factor i’jaz yang terkait dan inheren dalam al-Quran

2) Muncul dari luar al-Quran dengan adanya kesengajaan Allah untuk

melemahkan orang Arab secara intelektual (sharfah)

Bahasa Alquran adalah bahasa yang indah dengan susunan

dan gaya bahasanya yang khas yang tidak dapat ditiru para sastrawan

Arab yang dikenal dengan kemampuan bahasa dan sastra yang tinggi,

17 M. Abdul Adzim az-Zarqoni, Manahilul Irfan fi Ulumil Quran, Juz III, hal. 33218 Manna’ al-Qathan, Mabahis fi ulumil Quran, halm. 261

10

itu dikarenakan bahasa Alquran merupakan fenomena yang mampu

mengungkap sesuatu yang abstrak sehingga dapat dirasakan dalam

dinamika, dan kandungan maknanya dapat menggerakkan imajinasi dan

perasaan pembacanya. Selain itu bahasa Alquran mempunyai

keistimewaan tersendiri:

1)Kelembutan Alquran secara lafzhiah yang terdapat dalam suara dan

keindahan bahasanya.

2)Semua orang (awam atau cendikiawan) dapat merasakan keagungan

dan keindahan Alquran.

3)Sesuai dengan akal dan perasaan karena Alquran memberikan

doktrin pada akal dan hati.

4)Keindahan dan susunan bahasa Alquran dapat memukau akal.

5)Keindahan dalam aneka ragam bentuknya, dalam arti satu makna

yang diungkapkan dalam beberapa lafadz dan susunan yang

bermacam-macam yang semuanya indah dan halus.

6)Alquran mencakup dan memenuhi persyaratan antara bentuk global

(ijmal)  dan bentuk terperinci (tafshil).

7)Dapat dimengerti cukup dengan melihat segi yang tersurat (yang

dikemukakan)19.

Disadari, untuk memahami mukjizat keindahan dan ketelitian

bahasa Alquran, dibutuhkan kemampuan dan pengetahuan berbahasa

arab yang cukup tinggi. Meskipun demikian, kita dapat melihat sisi-sisi

lain dari mukjizat Alquran untuk aspek yang satu ini :

1) Nada dan Langgamnya. Ketika membaca Alquran, maka hal

pertama yang dirasakan adalah nada dan langgam dari tiap ayat

yang dibaca. Keunikannya dapat dilihat pada ritme dan irama

ketika diucapkan. Satu contoh, yang ada dalam surat an-nazi’at: Di

saat selesai pada ayat kelima, diteruskan pada ayat selanjutnya,

namun dengan nada lain, berbeda dengan lima ayat pertamanya,

19 Said Agil Husin Al-Munawwar. Alquran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarat: PT.Ciputat Press, 2005. Hal 35

11

sehingga tidak terasa adanya suasana bacaan yang monoton. Jika

kita membuka lembaran-lembaran Alquran pada halaman lainnya,

niscaya akan ditemukan pula irama-irama ayat dengan keindahan

lainnya. Simaklah juga rentetan al-asmaul husna dalam surat al-

Hasyr ayat 22-24, dan demikian seterusnya, “Alquran mempunyai

simfoni yang tidak ada taranya, di mana setiap nada-nadanya bisa

menggerakkan manusia untuk menangis dan bersuka cita”. Kalimat

terakhir ini merupakan ungkapan seorang cendekiawan Inggris,

Marmaduke Pickthall dalam The Meaning of Glorious Quran.

Penulis ini memeluk Islam sebelum menterjemahkan Alquran, dan

kita tidak dalam sebuah posisi untuk membuktikan apakah ia

menulis pengaruh nada al-Quran tersebut sebelum atau sesudah

keIslamannya20.

2) Keseimbangan Kata-Katanya, Tidak ada kata “kebetulan” untuk

perimbangan kata-kata yang ada dalam Alquran ini. Keseimbangan

kata-kata tersebut begitu pas dan sama sekali tidak dibuat-buat.

b. Segi Ilmiah

Pemaknaan kemukjizatan al-Quran dalam segi ilmiyyah adalah

dorongan serta stimulasi al-Quran kepada manusia untuk selalu berfikir

keras atas dirinya sendiri dan alam semesta yang mengitarinya 21.

Kemukjizatan ilmiah Alquran adalah dorongan Alquran untuk selalu

memikirkan dan mencermati alam dan penggunaan akal dalam aktifitas

berpikir, bukan dalam teori-teori ilmiah22, Kalau keilmiahan Alquran

bersifat teori, Alquran suatu ketika tidak akan aktual untuk dikaji,

karena teori akan selalu berubah, ada yang membaharui, dan identik

dengan penelitian dan hasil observasi manusia.Hakikat ilmiah yang

20Ahmed Deedat, The Choise, Dialog Islam-Kristen, Jakarta, Pustaka Alkautsar, 1999, hal. 184

21 Mansur Hasbunabi, al-Kaun wa al-I’jaz fi al-Quran, hlm. 19-2022 Manna’ al-Qathan, Opcit, Hal. 272

12

disinggung Alquran, di kemukakannya dalam redaksi yang singkat, dan

sarat makna23, dan tidak lepas dari sabtansi Alquran sebagai petunjuk.

Ilmu pengetahuan selalu berkaitan dengan teori-teori ilmiah yang

mana teori ilmiah itu sendiri harus dimulai dengan asumsi dan hipotesis

serta tunduk pada eksperimen samapai terbukti kebenaran atau malah

sebaliknya. Dengan demikian maka ilmu pengetahuan itu mengalami

perubahan sesuai dengan hukum kemajuan dan selalu berada dalam

kekurangan. Berkaitan dengan kemukjizatan ilmiah Qur’an bukanlah

pada ayat-ayat Qur’an yang selalu mengandung segala teori ilmiah yang

diinginkan, namun Qur’an adalah kitab akidah dan hidayah yang

menyeruh hati nurani untuk menghidupkan di dalamnya faktor-faktor

perekembangan dan kemajuan serata dorongan kemajuan dan

keutamaan24.

 Segi lain dari kemu’jizatan Al-Qur’an adalah isyarat-isyarat yang

rumit terhadap sebagian ilmu pengetahuan alam telah disinggung oleh

Al-Qur’an sebelum ilmu pengetahuan itu sendiri sanggup

menemukannya. Juga kemudian terbukti bahwa Al-Qur’an sama sekali

tidak bertentangan  dengan penemuan-penemuan baru yang didasarkan

penelitian ilmiah25. Hal ini telah diisyaratkan dalam QS.Fushshilat :53,

 “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan)

kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga

jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup

bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”

Ilmu-ilmu yang terdapat dalam Al-Qur’an ada yang

tersurat langsung melalui ayat-ayatnya dan ada pula yang hanya tersirat

dalam ayat-ayatnya. Untuk ilmu yang tersurat secara langsung, akan

mudah untuk kita pahami. Namun untuk ilmu yang hanya tersirat dalam

23 M. Quraish Shihab, Mukjizat Alquran Ditinjau dari Aspek Kebahasaan,Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib. Bandung: Mizan 2003 (Cet. Ke-13). Hal 166

24 Manna’ Khalil al Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, hlm. 38625 Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Terjemah At-Tibyan Fi Ulumil Qur’an (Ikhtisar

Ulumul Qur’an Praktis),(Jakarta: Pustaka Amani,2001)hlm.198

13

ayat-ayatnya, memerlukan penafsiran yang mendalam disertai

pemahaman berbagai disiplin ilmu yang mendukung ayat-ayat

tersebut26.

Al-Qur’an memuat isyarat-isyarat yang cukup mendalam tentang

ilmu pengetahuan, tergantung bagaimana kita dapat menguak rahasia-

rahasia yang tersimpan pada ayat-ayatnya. Hal tersebut merupakan satu

diantara beberapa bukti yang menunjukkan kemu’jizatan yang

dikandung Al-Qur’an. Membahas Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan

bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang

tersimpul di dalamnya, tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada

proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian Al-

Qur’an serta sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan. Dengan kata

lain, meletakkannya pada sisi “Social Psychology”(psikologi sosial),

bukan pada sisi “History of Scientific Progress” (sejarah

perkembangan ilmu Pengetahuan)27.

Walaupun pada hakikatnya Al-Qur’an mencakup segala aspek dari

ilmu pengetahuan, namun Al-Qur’an bukanlah kitab ilmu pengetahuan,

karena terdapat beberapa hal yang membedakan keduanya, :

1) Dari sisi metode penyusunan

Penyusunan Al-Qur’an (tartibul ayat wa assuwar) adalah tauqify

(berdasarkan petunjuk langsung dari Allah). sehinggga dalam

beberapa ayat kita akan menemukan ayat yang membahas tentang

persoalan akidah bergandengan dengan persoalan hukum dan

kritis dan sebagainya. Sepintas kita lihat hal tersebut merupakan

suatu korelasi yang kurang pas. Namun sekali lagi Al-Qur’an

adalah kitab Allah yang yang tidak ada keraguan dan

pertentangan.

26 Wisnu Arya Wardhana, melacak Teori Einstein dalam Al-Qur’an : Penjelasan Ilmiah tentang Teori Einstein dalam Al-Qur’an,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005)hlm.24

27 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan Peran wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan,1999) hlm.41

14

Penyusunan pada buku-buku ilmu pengetahuan, biasanya dalam

satu buku hanya membahas satu masalah tertentu, selalu

menggunakan metode tertentu pula dan dibagi dalam beberapa

bab dan pasal.

2)  Dari sisi kebenaran yang dikandung

Kebenaran yang dikandung Al-Qur’an bersifat kekal dan tak

terbantahkan. Jika mungkin ditemukan suatu peristiwa yang

bertentangan dengan Al-Qur’an, hal tersebut bukan berarti Al-

Qur’an perlu direvisi tapi lebih kepada akal manusia yang belum

mampu menjangkaunya atau belum disingkap tabir yang

melingkupi kebenaran itu oleh Allah. Sebagaimana dalam

QS.Shod :87-88

 “ Al Quran Ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta

alam.(87)  Dan Sesungguhnya kamu akan mengetahui

(kebenaran) berita Al Quran setelah beberapa waktu lagi (88)”

Kebenaran suatu teori ilmiah pada suatu masa bisa jadi pada masa

atau generasi selanjutnya akan di kritik habis-habisan atau bahkan

akan memunculkan teori ilmiah baru yang bertentangan dari

penemuan sebelumnya. Hal ini dapat dimaknai bahwa ilmu

pengetahuan (science) bersifat tidak kekal28.

c. Segi Pembentukan Syariat

Manusia sebagai mahluk sosial butuh interaksi antara sesama,

dalam artian antara satu orang dengan orang lain saling membutuhkan

dalam menjalankan roda kehidupan masing-masing. Oleh karena itu

perlu adanya undang-undang atau aturan yang berfungsi sebagai sistem

pengatur dalam perinteraksian sosial, agar tatanan kekidupan stabil,dan

28 Ibid. Hal. 41

15

keadilan antara individu terwujud, sehingga tidak ada tumpang tindih

dan ketidak selarasan dalam tatanan kemasyarakatan.sebab itulah Allah

menurunkan Alquran sebagai syariat bagi manusia.

 Syariat dalam Alquran tidak hanya mengacu pada pembentukan

hukum saja, tetapitasyri' yang dimaksud disini juga meliputi aqidah dan

norma (akhlak). Dalam hal ini29, mengemukakan prinsip-prinsip syariat

dalam Alquran sebagai petunjuk (hidayah) yang integral dan

konprehensip,

1) Memperbaiki aqidah manusia, dengan memberi petunjuk tentang

keimanan yang benar.

2) Memperbaiki ibadah manisia, agar dapat mensucikan diri dan

jiwanya.

3) Memperbaiki akhalak manusia menjadi lebih terpuji.

4) Memperbaiki norma-norma hubungan kemasyarakatan demi

kesejahteraan manusia.

5) Memperbaiki prinsip-prinsip politik dan tata negara, demi tegaknya

keadilan dan hak asasi manusia.

6) Menyerukan pendistribusian keuangan dan harta kekayaan dijalan

yang baik dan benar, hidup hemat dan tidak boros.

7) Memperbaiki dan mengangkat citra wanita.

8) Memperbaiki dan memberi petunjuk tentang etika perang.

9) Memberantas perbudakan secara bertahap.

10) Membuka kebebasan berpikir, dan melarang pemaksaan

dalam beragama.

Tak kalah menakjubkan lagi ketika al-Qur`an berbicara tentang

hukum (tasyri’) baik yang bersifat individu, sosial (pidana, perdata,

ekonomi serta politik) dan ibadah. Sepanjang sejarah peradaban umat,

manusia selalu berusaha membuat hukum-hukum yang mengatur

29 Muhammad Abdul Aziz Az-Zarqoni. Manahililul Irfan fi Ulumil Qur'an.Bairut: Darul-Fikr. 1988. Hal 351-352

16

sekaligus sebagai landasan hidup mereka dalam kehidupan mereka.

Namun demikian hukum-hukum tersebut selalu direkonstruksi

diamandement bahkan dihapuskan sesuai dengan tingkat kemajuan

intelekstualitas dan kebutuhan dalam kehidupan sosial yang semakin

kompleks. Perkara ini tak berlaku pada al-Qur`an. Hukum-hukum al-

Qur`an selalu kontekstual berlaku sepanjang hayat, dimanapun dan

kapanpun karena al-Qur`an datang dari Zat yang Maha Adil lagi

Bijaksana. Dalam menetapkan hukum al-Qur`an menggunakan cara-

cara sebagai berikut;

1) Secara mujmal. Cara ini digunakan dalam banyak urusan ibadah

yaitu dengan menerangkan pokok-pokok hukum saja. Demikian

pula tentang mu’amalat badaniyah al-Qur`an hanya

mengungkapkan kaidah-kaidah secara kuliyah. sedangkang

perinciannya diserahkan pada as-Sunah dan ijtihadpara mujtahid.

2) Hukum yang agak jelas dan terperinci. Misalnya hukum jihad,

undang-undang peranghubungan umat Islam dengan umat lain,

hukum tawanan dan rampasan perang. Seperti (QS. al-Taubah:41)

“Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun

berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan

Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu

mengetahui.”

3) jelas dan terpeinci. Diantara hukum-hukum ini adalah masalah

hutang-piutang QS. Al-Baqarah : 282. Tentang makanan yang halal

dan haram, QS. An-Nis` :29. Tentang sumpah, QS. An-Nahl :94.

Tentang perintah memelihara kehormatan wanita, diantara QS. Al-

Ahzab 33:59. dan perkawinan QS. An-Nisa` 4:22.

d. Pemberitahuan Masalah Gaib

Salah satu segi kemukjizatan Alquran adalah pemberitahuan

masalah gaib, yang dimaksud gaib adalah sesuatu yang tidak di ketahui.

17

tidak nyata atau tersembunyi30, adapun manusia tidak mampu membuka

tabir-tabir gaib, karena pengetahuan manusia terbatas pada

panca indera, sedangkan akal sebagai penyaring dari apa yang

ditangkap oleh panca indera. Pengungkapan masalah gaib dalam

Alquran merupakan bukti bahwa ia adalah kalam Allah bukan buatan

nabi Muhammad, seperti apa yang di tuduhkan oleh orang-orang

orentalis.

 yang di ungkapkan Alquran mengenai masalah gaib adalah ,

peristiwa yang lampau yang tidak di ketahui oleh manusia kecuali

dengan wahyu, peristiwa yang akan datang ,dan peristiwa masa

sekarang yang belum di ketahui oleh manusia31.

 Masalah gaib ini, ada yang sudah terbukti kebenarannya dan ada

yang belum terungkap, sekarang yang menjadi permasalahan yaitu cara

menyikapi berita  gaib dalam Alquran yang belum terungkap, sikap

yang seharusnya dilakukan oleh orang Islam adalah  tetap mempercayai

berita tersebut, karena bagaimanapun juga berita itu datang dari Allah

dan segala sesuatu yang bersumber dari Allah pasti benar, adapun tidak

terungkapnya berita gaib tersebut dikarenakan dua faktor, 1)

pengetahuan manusia yang terbatas, 2) belum waktunya untuk diketahui

atau terungkap.

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Al-qur’an adalah ketib suci umat islam yang merupakan hidayah baginya, dan

sebagai pedoaman hidup umat islam. Alquran  mempunyai keistimewaan dan

30 M. Quraish Shihab, Mukjizat Alquran Ditinjau dari Aspek Kebahasaan,Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib. Bandung: Mizan 2003 (Cet. Ke-13). Hal 193

31 Ibid, Hal. 194

18

keajaiban, ia akan selalu eksis bersama perkembangan sejarah manusia tidak

terkecuali sejalan dengan perkembangan sains. Alquran adalah hidayah yang

memberikan petunjuk kepada manusia  dalam persoalan akidah, tasyri' dan akhlak

agar berbahagia dunia dan akhirat, yang didalamnya menyisaratkan segala ilmu

pengetahuan ini menunjukakan Alquran tidak ada pertentagan dengan ilmu

pengetahuan dan menbuat takjub pembacanya dengan sajian bahasa yang

menawan. Alquran adalah kitab yang tidak bisa ditandingi oleh manusia, ia akan

tetap eksis sepanjang masa, dan selalu aktual untuk dikaji dan dipelajari. Ini

merupakan bukti kebesaran dan kekuasaan Allah, maka masih adakah yang

merangukanNya?.

B. Saran

Demikian seklumit pemaparan penulis tentang I’jazal-Qur’an. Tentunya

penulis hanyalah manusia biasa yang masih memiliki kekurangan sehingga dalam

peyajian makalah ini masih banyak kekurangan baik dari segi sistematis penulisan

maupun isi. Maka penulis berharap saran dan masukan dari pembaca sekalian.

Daftar Pustaka

 As-Shobuni, Muhammad Ali. Attibyan fi Ulumil Qur'an. Bairut: 1981

_______________, Terjemah At-Tibyan Fi Ulumil Qur’an (Ikhtisar Ulumul

Qur’an Praktis). Jakarta : Pustaka Amani. 2001

19

Al Munawar, Said Agil Husin, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehn Hakiki.

Cet. III; Jakarta: Ciputat Press, 2003

Al-Qardhawi, Yusuf, Berinteraksi Dengan Al-Qur’an. Cet. I; Jakarta: Gema

Insani Press, 1999.

Anwar, Rosihon, Ulum Al-Qur’an: Disusun Berdasarkan Kurikulum

Terbaru Nasional Perguruan tinggi Agama Islam. Cet. II; Bandung: Pustaka

setia, 2010.

Az-Zarqoni, Muhammad Abdul Aziz. 1988. Manahililul Irfan fi Ulumil

Qur'an. Bairut: Darul-Fikr

Boullata, Issa J, Al-Qur’an Yang Menakjubkan; Bacaan Terpilih dalam Tafsir

Klasik Hingga Modern dari Seorang Ilmuan Katolik. Cet. I; Ciputat: Lentera

Hati, 2008.

Deedat, Ahmed. 1999,The Choise, Dialog Islam-Kristen, Jakarta, Pustaka

Alkautsar

Federspiiel, Howard, Kajian Al-Qu’an di Indonesia; Dari Mahmud Yunus

hingga Quraish Shihab. Cet. Bandung: Mizan, 1996.

Jalaludin as-Suyuthi, al-Itqon fi ulumi al-Quran, juz II, Muassasah al-kutub as-

Saqofiyah, Mesir

Mansur Hasbunabi, al-Kaun wa al-I’jaz fi al-Quran, Dar el-Fikr al-Araby,

Libanon

Mardan, Al-Qur’an Sebagai Pengantar Memahami Al-Qur’an Secara Utuh. Cet.

I; Jakarta: Pustaka Mapan, 2009.

Qattan, Manna khalil. terjemahan Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, Bogor: Litera

Antarnusa, 2009.

Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan Peran wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat. Bandung : Mizan. 1999

_______________, Mukjizat Al-Qur’an; Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat

Ilmiah danPemberitaan Gaib. Cet. IV; Bandung: Mizan, 1998.

20

Shihab, Umar, Kontekstual Al-Qur’an; Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum

dalam Al-Qur’an. Cet. III; Jakarta: Penamadani, 2005.

Wardhana, Wisnu Arya, Melacak Teori Einstein Dalam Al-Qur’an : Penjelasan

Ilmiah Tentang Teori Einstein Dalam Al-Qur’an. Yogyakarta : Pustaka

Pelajar. 2005

21

22