II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Proses pembentukan curd dibutuhkan dalam proses...

15
3 II. TINJAUAN PUSTAKA 3.1 CURD DAN TAHU Curd adalah hasil penggumpalan protein melalui penambahan bahan penggumpal (koagulan). Proses pembentukan curd dibutuhkan dalam proses pembuatan beberapa produk pangan seperti dalam proses pembuatan tahu. Proses pembuatan tahu dimulai dengan pengekstrakkan protein dari kacang kedelai sehingga didapatkan sari kedelai (susu kedelai). Kemudian protein kedelai digumpalkan dengan penambahan koagulan. Pembentukan curd kedelai ini terjadi melalui pemanfaatan sifat fungsional yang terdapat pada protein, yaitu gelasi protein. Menurut Zayas (1997), gel dari protein kedelai ini memiliki kapasitas untuk bertindak sebagai matriks dan menahan air, lemak, polisakarida, flavor dan komponen lainnya. Kemampuan protein dalam membentuk gel serta proses pembentukan curd adalah proses penting untuk menghasilkan produk berbasis protein. 3.1.1 Gelasi Protein Menurut Zayas (1997), kapasitas pembentukan gel protein pangan adalah atribut fungsional penting dalam pembuatan pangan. Kapasitas pembentukan gel merupakan standar yang umum digunakan untuk mengevaluasi protein bahan pangan. Karakteristik mutu dari banyak pangan, khususnya sifat tekstur dan juiciness ditentukan melalui kapasitas pembentukan gel protein. Gel dapat bervariasi nyata dalam sifat reologinya seperti kekohesivitasan, kekerasan, kelengketan, dan daya adesif. Gel protein memiliki sifat yang unik yaitu bersifat seperti bahan padat, tapi pada saat yang sama memiliki banyak karakteristik dari cairan. Untuk menghasilkan sifat tekstur tertentu, protein melalui fenomena gelasi proteinsering digunakan. Menurut Schmidt (1981) yang dikutip oleh Zayas (1997), gelasi adalah fenomena agregasi protein di mana interaksi polimer-polimer dan polimer-solven sangat seimbang sehingga jaringan atau matriks tersier terbentuk. Gel terbentuk ketika sebagian protein unfolded membentuk segmen polipeptida yang berinteraksi pada titik tertentuk untuk membentuk jaringan cross-linked tiga dimensi. Gel dengan stabilitas dan kekuatan yang tinggi dapat terbentuk sebagai hasil dari cross-linking yang memberikan fluiditas, elastisitas dan sifat mengalir dari gel. Pengurangan jumlah cross-links akan menurunkan kekerasan gel. Pembentukan gel merupakan hasil dari ikatan hidrogen, interaksi ion dan hidrofobik, gaya Van der Walls, dan ikatan kovalen disulfida. Penurunan jumlah dari cross-link akan mengurangi kekerasan gel (Zayas, 1997). Wang dan Damodaran (1990) yang dikutip oleh Zayas (1997) melaporkan bahwa ukuran dan bentuk polipteptida dalam matriks gel juga akan mempengaruhi kekuatan dari gel. Menurut Kinsella (1979) yang dikutip oleh Zayas (1997), gelasi adalah sifat hidrasi, struktural, tekstural dan reologi dari protein. Foegeding (1989) yang dikutip oleh Zayas (1997) menggambarkan gel sebagai sesuatu yang mengandung struktur unit terhubung dengan fase liquid di seluruh matriks tiga dimensinya. Kemampuan pembentukan gel dari protein mempengaruhi funsional lainnya seperti daya ikat air dan pengikatan lemak (Zayas, 1997). Sifat protein untuk membentuk gel dan menahan sejumlah gula, flavor, dan bahan pangan lainnya secara signifikan dalam matriks tiga dimensi telah digunakan secara luas dalam proses pangan dan dalam pengembangan produk pangan baru (Kinsella, 1997 dikutip oleh Zayas, 1997).

Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Proses pembentukan curd dibutuhkan dalam proses...

Page 1: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Proses pembentukan curd dibutuhkan dalam proses pembuatan beberapa produk pangan seperti dalam ... pembentukan busa pada permukaan air

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

3.1 CURD DAN TAHU

Curd adalah hasil penggumpalan protein melalui penambahan bahan penggumpal (koagulan).

Proses pembentukan curd dibutuhkan dalam proses pembuatan beberapa produk pangan seperti dalam

proses pembuatan tahu. Proses pembuatan tahu dimulai dengan pengekstrakkan protein dari kacang

kedelai sehingga didapatkan sari kedelai (susu kedelai). Kemudian protein kedelai digumpalkan

dengan penambahan koagulan. Pembentukan curd kedelai ini terjadi melalui pemanfaatan sifat

fungsional yang terdapat pada protein, yaitu gelasi protein. Menurut Zayas (1997), gel dari protein

kedelai ini memiliki kapasitas untuk bertindak sebagai matriks dan menahan air, lemak, polisakarida,

flavor dan komponen lainnya. Kemampuan protein dalam membentuk gel serta proses pembentukan

curd adalah proses penting untuk menghasilkan produk berbasis protein.

3.1.1 Gelasi Protein

Menurut Zayas (1997), kapasitas pembentukan gel protein pangan adalah atribut fungsional

penting dalam pembuatan pangan. Kapasitas pembentukan gel merupakan standar yang umum

digunakan untuk mengevaluasi protein bahan pangan. Karakteristik mutu dari banyak pangan,

khususnya sifat tekstur dan juiciness ditentukan melalui kapasitas pembentukan gel protein. Gel dapat

bervariasi nyata dalam sifat reologinya seperti kekohesivitasan, kekerasan, kelengketan, dan daya

adesif. Gel protein memiliki sifat yang unik yaitu bersifat seperti bahan padat, tapi pada saat yang

sama memiliki banyak karakteristik dari cairan. Untuk menghasilkan sifat tekstur tertentu, protein—

melalui fenomena gelasi protein—sering digunakan.

Menurut Schmidt (1981) yang dikutip oleh Zayas (1997), gelasi adalah fenomena agregasi

protein di mana interaksi polimer-polimer dan polimer-solven sangat seimbang sehingga jaringan atau

matriks tersier terbentuk. Gel terbentuk ketika sebagian protein unfolded membentuk segmen

polipeptida yang berinteraksi pada titik tertentuk untuk membentuk jaringan cross-linked tiga dimensi.

Gel dengan stabilitas dan kekuatan yang tinggi dapat terbentuk sebagai hasil dari cross-linking yang

memberikan fluiditas, elastisitas dan sifat mengalir dari gel. Pengurangan jumlah cross-links akan

menurunkan kekerasan gel. Pembentukan gel merupakan hasil dari ikatan hidrogen, interaksi ion dan

hidrofobik, gaya Van der Walls, dan ikatan kovalen disulfida. Penurunan jumlah dari cross-link akan

mengurangi kekerasan gel (Zayas, 1997). Wang dan Damodaran (1990) yang dikutip oleh Zayas

(1997) melaporkan bahwa ukuran dan bentuk polipteptida dalam matriks gel juga akan mempengaruhi

kekuatan dari gel.

Menurut Kinsella (1979) yang dikutip oleh Zayas (1997), gelasi adalah sifat hidrasi, struktural,

tekstural dan reologi dari protein. Foegeding (1989) yang dikutip oleh Zayas (1997) menggambarkan

gel sebagai sesuatu yang mengandung struktur unit terhubung dengan fase liquid di seluruh matriks

tiga dimensinya. Kemampuan pembentukan gel dari protein mempengaruhi funsional lainnya seperti

daya ikat air dan pengikatan lemak (Zayas, 1997). Sifat protein untuk membentuk gel dan menahan

sejumlah gula, flavor, dan bahan pangan lainnya secara signifikan dalam matriks tiga dimensi telah

digunakan secara luas dalam proses pangan dan dalam pengembangan produk pangan baru (Kinsella,

1997 dikutip oleh Zayas, 1997).

Page 2: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Proses pembentukan curd dibutuhkan dalam proses pembuatan beberapa produk pangan seperti dalam ... pembentukan busa pada permukaan air

4

Protein berberat molekul tinggi dan persentase amino yang tinggi dengan gugus hidrofobik

cenderung membangun jaringan yang kuat dalam sistem gel. Keberadaan asam amino hidrofobik juga

mempengaruhi perubahan protein selama pemanasan. Peningkatan jumlah gugus -SH dan -SS- selama

denaturasi dapat memperkuat jaringan intermolekul. Berat molekul minimum kristis bagi

pembentukan gel adalah 23000 (Zayas, 1997).

Gambar 1. Mekanisme gelasi dari tahu yang terkoagulasi oleh CaSO4. (O) merupakan molekul

protein. (●) merupakan area hidrofobik. Diadaptasi dari Kohyama et al. (1995).

Dalam pembentukan gel, transisi dari bentuk asli menjadi bagian yang terdenaturasi merupakan

precursor penting terhadap interaksi-interaksi protein. Derajat denaturasi protein yang penting dalam

pembentukan gel masih merupakan perdebatan. Jaringan gel dapat terbentuk setelah denaturasi protein

parsial dan molekul protein di-fixed-kan dalam bagian terdenaturasi parsial (Zayas, 1997).

Felix (1988) menyatakan bahwa gelasi protein menyediakan integritas mekanis ke banyak

matriks pangan dengan membentuk jaringan molekular yang memberikan sifat-sifat seperti padatan.

Gelasi ini dapat mempengaruhi sifat kinestetik, struktural, tekstural, dan reologi. Pada konsentrasi

tinggi (20%), sebagian besar dispersi protein menunjukkan fenomena ini; juga konsentrasi rendah,

Protein alami (●) Area hidrofobik

tertanam dalam molekul protein

Langkah pertama: Pemanasan (97oC)

Permukaan hidrofobik

Protein terdenaturasi Area hidrofobik

terekspos di permukaan

Agregasi area hidrofobik

Agregat bermuatan negatif

Ion Ca2+ (Koagulan)

Langkah kedua Ion Ca

2+ menetralisir agregat

bermuatan negatif untuk memfasilitasi interaksi

hidrofobik

Gelasi

Jaringan gel

“String of beads”

Page 3: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Proses pembentukan curd dibutuhkan dalam proses pembuatan beberapa produk pangan seperti dalam ... pembentukan busa pada permukaan air

5

atau molekul protein yang merupakan dimensi molekular kecil dengan sedikit kecenderungan untuk

interaksi intermolekular, akan mengurangi sifat seperti bahan padat tersebut. Protein kedelai

mempunyai banyak sifat fungsional yang sudah dipelajari secara luas. Sifat-sifat fungsional protein

tersebut antara lain kemampuan untuk larut, kemudahan terdenaturasi oleh panas, pengemulsian,

kemampuan menghasilkan busa, kemampuan membentuk gel, kemampuan menahan air (Water

Holding Capacity), sifat reologi, kemampuan membentuk tekstur, dan kemampuan mempengaruhi

karakteristik tekstur (Liu et al., 2008).

Contoh mekanisme pembentukan gel oleh protein dapat dilihat pada Gambar 1, pembentukan

gel kedelai ini juga dibantu oleh adanya koagulan. Awalnya protein yang memiliki area hidrofobik

yang tertanam di dalam molekul protein dipanaskan hingga 97oC. Hal ini menyebabkan protein

terdenaturasi sehingga protein terbuka, dan area hidrofobik terekspos di permukaan. Protein-protein

terdenaturasi tersebut kemudian saling beragregasi diakibatkan area hidrofobik dari protein-protein

tersebut saling mendekat dan bergabung. Sebagai akibatnya agregat protein menjadi bermuatan

negatif. Koagulan kemudian ditambahkan, dalam hal ini koagulan CaSO4, sehingga ion Ca2+ dari

koagulan akan menetralisir muatan negatif dari agregat protein dan memfasilitasi terjadinya interaksi

hidrofobik. Akhirnya terjadilah gelasi yang ditunjukan dengan terbentuknya jaringan gel yang

tersusun dari string of beads.

Gambar 2. Pembentukan struktur jaringan protein dengan adanya perubahan konsentrasi, pH, atau

kekuatan ion protein. Diadaptasi dari Hegg (1982) dan Oakenfull et al. (1997).

Menurut Yasir (2005), pembentukan gel protein sangat dipengaruhi oleh kondisi dari

pembentukan itu sendiri. Gel dapat menjadi lebih kasar jika pH mendekati titik isoelektrik protein dan

juga ketika kekuatan ion protein ditingkatkan. Dalam kasus protein globular, perubahan konsentrasi,

pH, dan kekuatan ion protein, akan menyebabkan struktur jaringan berubah dan secara tidak langsung

akan berkontribusi terhadap kekuatan gel, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.

Banyak penelitian yang menghubungkan antara sifat gelasi protein dengan keberadaan 7S (β-

conglycinin) dan 11S (glycinin)—yang merupakan kandungan mayoritas dari protein globulin kedelai.

Kandungan protein 11S dan rasio protein 11S/7S telah dilaporkan memiliki korelasi positif dengan

kekerasan gel tahu pada basis sistem protein terpurifikasi (Kang et al., 1991; Murphy et al., 1997;

Saio et al., 1969 yang dikutip oleh Mujoo, 2003). Utsumi dan Kinsella (1985) yang dikutip oleh

Mujoo (2003) menemukan bahwa protein 7S membentuk gel yang jauh lebih keras dibandingkan

dengan protein 11S. Selain itu terdapat sedikit korelasi antara rasio protein 11S/7S dengan mutu tahu

Konsentrasi protein

Kekuatan ion

Tinggi

Dekat pI

Tinggi

Rendah

Jauh dari pI

Rendah

Larutan Larutan Gel opak Gel transparan Gel turbid (keruh)

Rendah Kekuatan gel (Tinggi)

Rendah

Page 4: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Proses pembentukan curd dibutuhkan dalam proses pembuatan beberapa produk pangan seperti dalam ... pembentukan busa pada permukaan air

6

(Skurray et al., 1980; Taira, 1990 yang dikutip oleh Mujoo, 2003). Berbeda dengan pendapat Utsumi

dan Kinsella (1985) sebelumnya, Corredig (2006) justru menemukan bahwa gel yang dihasilkan oleh

protein 11S (glycinin) yang sudah terisolasi jauh lebih keras dibandingkan dengan gel yang dihasilkan

oleh protein 7S (β-conglycinin), dan struktur jaringan yang terbentuk berbeda, tergantung dengan

komposisi proteinnya. Hal yang senada juga dinyatakan oleh Blazek (2008) yang menyatakan bahwa

glycinin berkontribusi besar terhadap peningkatan kekerasan, sementara itu β-conglycinin justru

memiliki pengaruh yang kuat terhadap keelastisitasan gel protein kedelai.

3.1.2 Tahu

Menurut Liu (2008), tahu merupakan produk berbasis kedelai yang airnya terekstrak dan garam

atau asamnya terendap dalam bentuk curd, menyerupai keju putih halus atau yogurt yang sangat keras.

Sederhananya, tahu merupakan protein kedelai yang digumpalkan melalui penambahan suatu bahan

penggumpal. Tahu merupakan pangan yang serbaguna dan bergizi yang terbuat dari curd kedelai

(Obatolu, 2007). Dibandingkan dengan daging atau keju, tahu memiliki kalori yang lebih rendah

karena rasio protein/lemaknya yang lebih tinggi. Tahu juga bebas kolesterol, bebas laktosa, dan

jumlah lemak jenuhnya lebih sedikit (Liu, 2008).

Pemanfaatan protein kedelai yang pertama kali adalah di Asia Timur, Protein tersebut

dimanfaatkan sebagai makanan dalam bentuk tahu gel. Gel dari kedelai atau yang biasa disebut

dengan tahu memiliki kapasitas untuk bertindak sebagai matriks dan menahan air, lemak,

polisakarida, flavor dan bahan komponen lainnya. Sifat karaktersitik dari gel protein kedelai ini

adalah kemampuan menahan proteinnya atau Water Holding Capacity (WHC) yang tinggi

dibandingkan dengan gel dari susu atau gel lainnya (Zayas, 1997).

Tahu merupakan pangan yang diproduksi melalui pemanfaatan sifat gelasi protein kedelai.

Kedelai yang akan dioleh diekstrak proteinnya menjadi susu kedelai lalu digumpalkan menggunakan

koagulan. Oboh (2006) menyatakan bahwa tahu dihasilkan dengan cara mengkoagulasikan susu

kedelai panas baik dengan garam (CaCl2 atau CaSO4) atau asam (glukono-δ-lakton). Pengkoagulasian

ini akan menghasilkan gel protein yang dapat menjerat air, lemak, dan komponen lainnya dalam

matriks curd yang terbentuk. Curd yang terbentuk kemudian ditekan hingga membentuk kubus padat

(Cao dan Chan, 1997; Cao dan Chang, 1999 yang dikutip oleh Oboh, 2006).

Hasil dan mutu dari tahu dipengaruhi oleh varietas kedelai, kualitas kedelai (tergantung dengan

pertumbuhan dan kondisis penyimpanan), dan kondisi proses. Proses koagulasi merupakan tahap yang

paling penting dalam pembuatan tahu dan paling sulit dikontrol karena ketergantungannya terhadap

kompleks hubungan intern dari variabel-variabel berikut: kimiawi kedelai; suhu pemasakan susu

kedelai; volume, kandungan padatan dan pH; tipe, jumlah, konsentrasi dan metode penambahan dan

pencampuran koagulan; serta suhu dan waktu koagulasi (Cai dan Chang, 1998).

Untuk tahu tradisional yang biasanya dijual di Indonesia, proses pembuatannya pada dasarnya

terdiri atas dua bagian, yaitu pembuatan susu kedelai dan penggumpalan proteinnya. Sebagai zat

penggumpal secara tradisional biasanya digunakan biang, yaitu cairan yang keluar pada waktu

pengepresan dan sudah diasamkan semalam. Sebagai pengganti, dapat digunakan air jeruk, cuka,

larutan asam laktat, larutan CaCl2 atau CaSO4. Pada pembuatan tahu cina biasanya digunakan sioko

yang mengandung CaSO4 dan garam. Selain protein, zat-zat lain yang terdapat dalam kedelai juga

terbawa ke dalam endapan. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi rendemen protein dan mutu

tahu, yaitu cara penggilingan, pemilihan bahan baku, bahan penggumpal, dan keadaan sanitasi proses

pengolahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstraksi secara panas menghasilkan rendemen

lebih banyak (Purwaningsih, 2007).

Page 5: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Proses pembentukan curd dibutuhkan dalam proses pembuatan beberapa produk pangan seperti dalam ... pembentukan busa pada permukaan air

7

Proses pembuatan tahu pada dapat dimulai dengan memilih kedelai yang berkualitas baik lalu

di bersihkan kotorannya. Setelah itu kedelai direndam dalam air bersih selama 8-12 jam (lebih baik

jika menggunakan air mengalir). Perendaman dimaksudkan untuk melunakkan struktrur selularnya

sehingga mudah digiling dan memberikan disperse dan suspense bahan padat kedelai yang lebih baik

pada waktu ekstraksi (penggilingan). Proses perendaman juga akan mengurangi oligosakarida

penyebab flatulensi menjadi sekitar 30%. Perendaman dapat mempermudah pengupasan kulit kedelai,

tetapi perendamannya yang terlalu lama dapat mengurangi total padatan (Purwaningsih, 2007).

Menurut Subardjo et al. (1987) perendaman yang terlalu lama akan menyebabkan terjadinya

pembentukan busa pada permukaan air rendaman akibat fermentasi kedelai, sedangkan perendaman

yang terlalu singkat akan membuat biji kedelai sulit pecah saat penggilingan.

Kedelai yang sudah direndam kemudian dikupas dan dilakukan penggilingan dengan

penambahan air antara 8-10 kali berat kedelai. Penggunaan air panas 80-100oC dapat menonaktifkan

enzim lipoksigenase penyebab bau langu serta memperbanyak rendemen. Bubur kedelai selanjutnya

disaring dan filtratnya dimasak. Pemasakan ini bertujuan untuk mengurangi bau langu, menonaktifkan

tripsin inhibitor (antitripsin), meningkatkan daya cerna, mempermudah ekstraksi, penggumpalan

protein, serta menambah keawetan produk (Purwaningsih, 2007). Menurut Liu et al. (2004),

pemanasan optimal dalam pembuatan susu kedelai dilakukan selama 3-10 menit setelah mendidih

yang tujuannya untuk mengekstrak protein kedelai dan mendenaturasi protein serta memudahkan

proses koagulasi. Penggumpalan selanjutnya dilakukan dengan penambahan batu tahu atau biang.

Dalam hal ini harus diperhatikan kecepatan penambahannya. Gumpalan (curd) protein kedelai

selanjutnya dicetak, diperas (dipres) dan dipotong (Purwaningsih, 2007).

Penambahan koagulan ke dalam filtrat dilakukan pada suhu yang tepat, sesuai dengan jenis

koagulan yang digunakan. Setelah curd terbentuk, curd dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam

wadah cetakan, kemudian ditekan perlahan untuk membuang kelebihan air dan terbentuk padatan

tahu. Menurut Shurtleff dan Aoyagi (2001), untuk mendapatkan hasil dengan jumlah yang tinggi

(misal untuk menghasilkan tahu soft) kebanyakan produsen melakukan penekanan ringan awal sekitar

2-4 gm/cm2 (0.026-0.052 psi) untuk kira-kira 5 menit, kemudian penekanan dan tutup dihilangkan dan

tarik kain ke seluruh sisi untuk meningkatkan pengurasan air, dan pada akhirnya dilakukan penekanan

kuat sekitar 20-100 gm/cm2 (0.26-1.32 psi) untuk kira-kira 20 hingga 30 menit.

Menurut Obatolu (2007), hasil dan kualitas tahu dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu mutu

dan varietas kedelai, jumlah pengadukan, koagulan yang digunakan, dan besar dan lama penekanan

curd. Selain itu, koagulasi susu kedelai sangat mengandalkan hubungan intern antara tipe kedelai,

suhu pemasakannya, volume, kandungan padatan, pH, tipe dan jumlah koagulan, serta waktu

koagulasi. Semua faktor itu akan mempengaruhi profil tekstur curd yang dihasilkan pada produk akhir

seperti kekerasan. Kekerasan tahu dapat bervariasi dari lunak ke keras dengan kandungan air sekitar

70-90% dan kandungan protein sekitar 5-16%, dan hal itu tergantung dari jenis dan jumlah koagulan,

pengadukan selama koagulasi serta penekanan yang diaplikasikan terhadap curd (DeMan et al, 1986

yang dikutip Blazek, 2008).

Obatolu (2007) menyatakan bahwa tahu lunak digolongkan melalui rasa yang lunak dan tekstur

yang halus dengan kadar air berkisar antara 84-90%. Kekerasan kemungkinan dikarenakan oleh

kepadatan dan kerapatan struktur dari tahu. Tahu yang keras memiliki struktur yang lebih padat

karena molekul proteinnya sangat dekat akibat hilangnya kandungan air selama tahap koagulasi.

Sehingga dapat diasosiasikan bahwa rendahnya kemampuan menahan air (Water Holding Capacity)

akan menyebabkan tahu memiliki kekerasan yang tinggi, sehingga tahu memiliki tekstur yang padat

dan penampakan yang kasar. Sebaliknya, tingginya kemampuan struktur tahu dalam menahan air akan

Page 6: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Proses pembentukan curd dibutuhkan dalam proses pembuatan beberapa produk pangan seperti dalam ... pembentukan busa pada permukaan air

8

menyebabkan tahu memiliki kekerasan yang rendah, sehingga tahu memiliki tekstur yang lembut dan

penampakan yang halus.

3.2 KOAGULASI DAN KOAGULAN

Tahap koagulasi protein (pengendapan protein) merupakan salah satu tahapan penting dalam

pembuatan produk pangan berbasis curd. Koagulasi adalah proses perubahan bentuk dari susu cair

menjadi padatan berbentuk gel. Menurut Meng et al. (2002), koagulasi adalah interaksi acak molekul-

molekul protein yang mengakibatkan terbentuknya agregat protein baik yang memiliki sifat larut

maupun yang tidak larut. Koagulasi protein dilakukan biasanya dilakukan dengan bantuan koagulan

sebagai penggumpal protein. Secara tidak langsung proses koagulasi protein yang mempengaruhi

struktur curd yang dihasilkan, dapat menentukan mutu tekstur produk akhir. Terdapat tiga jenis

koagulan yang biasa digunakan untuk menghasilkan curd, yaitu garam, asam, dan enzim.

Dalam pembuatan tahu, proses penggumpalan merupakan tahapan proses paling menentukan

bagi sifat-sifat fisik dan organoleptik tahu. Menurut Blazek (2008), proses koagulasi merupakan tahap

yang tersulit karena ketergantungannya terhadap hubungan intern yang rumit dari berbagai variabel.

Peningkatan suhu koagulasi akan meningkatkan kekerasan seiring dengan peningkatan tingkat

pengadukan langsung setelah penambahan koagulan (Saio, 1979 yang dikutip oleh Blazek, 2008).

Selain itu, menurut Johnson dan Wilson (1984), jumlah koagulan yang dibutuhkan dalam

pengkoagulasian tahu tergantung pada kadar padatan yang terdapat dalam susu kedelai yang

dihasilkan.

Poysa dan Woodrow (2004) melaporkan bahwa penggunaan koagulan yang berbeda akan

menghasilkan tahu dengan sifat tekstur dan flavor yang berbeda. Lebih jauh lagi, Beddows dan Wong

(1987) menyatakan bahwa kalsium sulfat yang merupakan koagulan yang biasanya dipakai dalam

pembuatan tahu, akan membantu memudahkan protein dalam susu kedelai untuk beragregasi. Kalsium

sulfat yang bereaksi dengan protein akan menciptakan ikatan silang antar polimer protein. Kombinasi

antara panas dengan mekanisme kerja kalsium tersebut akan membentuk struktur tahu. Mutu produk

akhir tahu dipengaruhi oleh pH, konsentrasi koagulan, dan kecepatan pengadukan selama proses.

Koagulasi protein susu kedelai terjadi pada pH 4.1-4.6, dan dari koagulasi tersebut akan

dihasilkan curd yang mengandung protein yang sebagian besar terdiri atas globulin (Karsono, 2010).

Menurut Shurtleff dan Aoyogi (1984), penambahan koagulan sebaiknya diaplikasikan saat susu

kedelai telah mencapai suhu antara 70-90oC, tapi hal ini tergantung dari jenis koagulan yang dipakai.

Koagulasi ini akan menghasilkan hasil samping yang umumnya mengandung albumin, protease,

pepton, nitrogen yang bukan dari protein, gula, antitrypsin, urease, lipoksidase, serta enzim-enzim lain

dan bahan lain yang ikut terlarut dalam air (Smith, 1958).

Shurtleff dan Aoyogi (2001) menyatakan bahwa di dunia terdapat empat tipe koagulan atau

penggumpal dasar yang digunakan untuk membuat tahu, yaitu: 1) koagulan tipe garam klorida atau

nigari; 2) koagulan tipe sulfat; 3) Glukono delta lakton (GDL atau lakton); dan 4) koagulan tipe

asam. Tipe koagulan atau bahan penggumpal untuk pembuatan tahu yang umum digunakan dapat

dilihat pada Tabel 1. Untuk penggumpal tahu tipe garam, kation metal (yang bermuatan positif) dalam

garam (seperti Mg2+ atau Ca2+) bereaksi dengan bermacam protein dalam susu kedelai dan mengendap

dengan minyak membentuk curd. Pemakaian koagulan tipe garam dapat menyebabkan terjadinya

koagulasi protein pada pH di atas titik isoelektrik protein globulin kedelai (Wolf dan Cowan, 1971).

Contoh-contoh koagulan yang biasa dipakai beserta tipe tahu dan suhu koagulasinya dapat dilihat

pada Tabel2.

Page 7: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Proses pembentukan curd dibutuhkan dalam proses pembuatan beberapa produk pangan seperti dalam ... pembentukan busa pada permukaan air

9

Tabel 1. Beberapa golongan bahan penggumpal tahu yang umum digunakan

Golongan Jenis yang umum digunakan

Garam klorida (nigari)

Garam sulfat

Lakton

Asam

nigari alami, MgCl2.6H2O, air laut, CaCl2,

CaCl2.2H2O

CaSO4.2H2O dan MgSO4.7H2O

C6H10O6 (glukono-δ-lakton)/GDL

Asam laktat, sari buah jeruk, asam asetat,

cuka (larutan asam asetat 4%)

Sumber : Shurtleff dan Aoyogi (1984)

Tabel 2. Jenis koagulan yang biasa dipakai untuk beberapa tipe tahu beserta suhu koagulasinya

Tipe Tahu Koagulan Suhu Koagulasi

Regular atau Firm Tipe Nigari1

Kalsium sulfat

Lakton (GDL)

Sari lemon

Vinegar

70-85oC

70-75oC

90oC

80-90oC

80-90oC

Tahu Silken

Tipe Nigari

Kalsium sulfat

65-68oC

70oC

Tahu silken dalam bungkus Lakton

Kalsium sulfat

85oC2

90oC2

Keterangan : (1) Termasuk nigari alami, magnesium klorida dan kalsium klorida. (2) Koagulan ditambahkan

pada susu kedelai dingin kemudian dipanaskan hingga 85oC atau 90oC.

Sumber : Shurtleff dan Aoyogi (2001)

Nigari alami atau juga dikenal dengan ―bittern‖, diekstrak dari air laut dengan menghilangkan

hampir atau semua garam meja (NaCl) dan air. Campuran mineral laut alami mengandung utamanya

magnesium klorida dan semua garam lain dan sisa-sisa mineral dalam air laut. Koagulan tipe nigari

mampu menghasilkan tahu yang paling enak, mengingat aroma dan flavor manisnya yang sangat

halus. Nigari dibandingkan dengan kalsium sulfat dan lakton memiliki kekurangan, yaitu nigari harus

ditambahkan perlahan, beberapa kali ke dalam susu kedelai. Penggumpalan menggunakan nigari

membutuhkan waktu yang lama. Selain itu dibutuhkan kemampuan dan pengetahuan dalam

menggunakan koagulan ini. Kekurangan lainnya adalah tahu yang dihasilkan tidaklah terlalu lembut

dan halus (Shurtleff dan Aoyogi, 2001).

Koagulan tipe sulfat merupakan koagulan yang sudah digunakan secara luas di dunia. Jenis

yang paling umum adalah kalsium sulfat (garam gypsum) dan magnesium sulfat (garam Epsom).

Koagulan-koagulan ini sangat tepat bagi metode produksi masal modern walaupun koagulan ini

terdispersi dengan lambat dalam air untuk membentuk larutan koloid yang memiliki waktu reaksi

koagulasi yang lambat. Namun penggunaan koagulan ini cukup mudah, bahkan bagi orang yang tidak

terlatih (Shurtleff dan Aoyogi, 2001). Selain itu menurut Obatolu (2007) semakin lambat aksi

pengkoagulasian oleh koagulan, semakin baik rendemen tahu yang dihasilkan dibandingkan dengan

koagulan yang cepat aksi pengkoagulasiannya.

Page 8: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Proses pembentukan curd dibutuhkan dalam proses pembuatan beberapa produk pangan seperti dalam ... pembentukan busa pada permukaan air

10

Koagulan tipe lakton atau GDL, merupakan koagulan nomor dua yang digunakan secara luas

sebagai koagulan tahu di Jepang. Hasil dari pengkoagulasian protein menggunakan koagulan ini

adalah tahu sutra (silken tofu). Ketika lakton dicampurkan dengan susu kedelai dan dipanaskan, lakton

akan memproduksi asam glukonat yang mengkoagulasi protein susu kedelai untuk membentuk tahu

sutra, dan proses ini hampir mirip dengan proses yang terjadi pada asam, yang diproduksi oleh

mikroba starter, yang digunakan pada saat pembuatan yogurt (Shurtleff dan Aoyogi, 2001).

Mekanisme gelasi protein oleh koagulan CaSO4 dan GDL dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Mekanisme gelasi protein oleh koagulan CaSO4 dan GDL. (Kohyama et al., 1995)

Koagulan tipe asam yang sering digunakan dalam pengendapan protein kedelai adalah asam

laktat (seperti yang dihasilkan secara alami oleh Lactobacillus). Asam laktat memberikan flavor yang

jauh lebih baik dibandingkan dengan lakton dan menghasilkan struktur molekul yang lebih kecil juga.

Asam asetat bahkan memberikan performa yang lebih baik dibandingkan dengan asam laktat, karena

dapat mengkoagulasikan protein sebanyak 67.8% dari total protein, ketika pH diturunkan menjadi 4.5,

di mana asam laktat hanya mampu mengkoagulasikan 55% dari total protein kedelai. Asam lainnya

yang aman untuk pangan seperti asam sulfurat, hidroklorat, fosforat, sitrat, malat atau tartarat dapat

juga digunakan secara komersial dalam pengendapan curd konsentrat protein kedelai (Shurtleff dan

Aoyogi, 2001).

Berbagai sari buah jeruk (khususnya sari lemon) dapat bekerja sama baiknya dengan koagulan

alami, dan koagulan ini mungkin merupakan yang terbaik bagi Negara tropis di mana harganya tidak

terlalu mahal dan tersedia secara local, walaupun dibandingkan dengan nigari dan kalsium sulfat

rendemen tahunya lebih rendah, tekstur sedikit rapuh, dan flavornya sedikit asam. Di Indonesia whey

tahu yang telah dibiarkan terfermentasi selama semalam (diinokulasikan dengan sedikit whey

terfermentasi dari hari sebelumnya) hingga menjadi asam juga dapat digunakan sebagai koagulan

yang gratis dan mudah dibuat lagi dan juga mampu menghasilkan tahu dengan mutu yang bagus. Di

Thailand dan Burma, sari buah beri yang pahit dari pohon tertentu dikatakan dapat digunakan juga

sebagai koagulan (Shurtleff dan Aoyogi, 2001).

Struktur awal

Protein

Protein

terdenaturasi

Pemanasan

(Tahap Pertama)

(Tahap Kedua) Agregasi

Struktur

Jaringan

Gel

Gel

Page 9: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Proses pembentukan curd dibutuhkan dalam proses pembuatan beberapa produk pangan seperti dalam ... pembentukan busa pada permukaan air

11

3.3 TEKNIK ELEKTROFORESIS DALAM ANALISIS PROTEIN

Elektroforesis merupakan suatu cara untuk memisahkan fraksi-fraksi suatu zat melalui migrasi

partikel bermuatan atau ion-ion makromolekul di bawah pengaruh medan listrik. Menurut Nielsen

(2010) elektroforesis adalah migrasi molekul bermuatan dalam suatu larutan melalui suatu medan

listrik. Migrasi partikel ini tergantung dengan viskositas larutan, ukuran dan muatan partikel, dan yang

paling penting adalah voltase yang digunakan (Pomeranz dan Meloan, 1994). Selain itu Rybicky dan

Purves (1996) juga menyatakan bahwa tingkat migrasi partikel bermuatan tergantung dari kekuatan

medan, muatan total, ukuran, bentuk dan kekuatan ion partikel, viskositas, dan suhu medium di mana

molekul bergerak.

Menurut Copeland (1994), metode elektroforesis telah digunakan secara luas dalam

penganalisisan protein untuk mencari tingkat kemurnian, berat molekul, dan terkadang titik

isoelektrik. Teknik elektroforesis juga sering digunakan untuk mengetahui komposisi produk pangan.

Sebagai contoh, perbedaan dalam komposisi protein dari konsentrat protein kedelai dan konsentrat

protein whey yang dihasilkan melalui teknik separasi yang berbeda, dapat dideteksi (Nielsen, 2010).

Banyak molekul biologis, seperti asam amino, peptida, protein, nukleotida dan asam nukleat,

yang memiliki grup yang dapat berionisasi pada pH berapapun yang digunakan, yang terdapat dalam

larutan baik sebagai kation (+) maupun anion (-). Di bawah pengaruh medan listrik, partikel

bermuatan ini akan bermigrasi baik ke katoda maupun ke anoda, tergantung dengan muatan alaminya

(Wilson dan Walker, 2000). Menurut Nielsen (2010), besarnya muatan dan voltase yang digunakan

akan menentukan berapa jauh sebuah protein akan bermigrasi dalam suatu medan listrik. Namun

terdapat juga gaya gesek yang menghambat pergerakan dari molekul bermuatan ini. Gaya gesek ini

ditimbulkan oleh ukuran hidrodinamik dari molekul, bentuk molekul, ukuran pori-pori medium di

mana elektroforesis dilakukan, dan viskositas dari buffer (Wilson dan Walker, 2000).

Tipe elektroforesis yang paling umum dilakukan untuk protein adalah elektroforesis zonal, di

mana protein dipisahkan dari campuran yang kompleks menjadi pita-pita melalui migrasi dalam buffer

encer dalam matriks polimer padat yang disebut gel. Gel poliakrilamid adalah matriks yang paling

umum digunakan untuk elektroforesis protein, walaupun matriks-matriks lainnya seperti pati dan

agarosa mungkin digunakan. Matriks gel dibentuk sebagai slab diantara dua papan gelas (Nielsen,

2010).

Matriks gel poliakrilamid dibentuk melalui polimerisasi akrilamid dan sejumlah kecil (biasanya

5% atau kurang) dari cross-linking reagent, N, N‘-metilenbisakrilamid, dengan kehadiran katalis,

tetrametiletilendiamin (TEMED), dan sebuah sumber radikal bebas, amonium persulfat (Nielsen,

2010). Mekanisme pembentukan gel adalah polimerisasi adisi vinil dan dikatalis oleh sistem radikal

bebas yang terbentuk dari ammonium persulfat (inisiator) dan TEMED (katalis). TEMED

menyebabkan pembentukkan radikal bebas dari persulfat dan berturut-turut mengkatalisis

polimerisasi. Oksigen, pengikat radikal,dapat mengganggu polimerisasi, sehingga penghilangan gas

yang tepat untuk menghilangkan oksigen terlarut dari larutan akrilamid sangatlah penting bagi

pembentukan gel. Setelah akrilamid aktif terbentuk, akrilamid aktif akan bereaksi dengan akrilamid

lain untuk membentuk rantai polimer panjang. Gel kemudian terbentuk sebagai hasil dari polimerisasi

ini dengan struktur berbentuk jala. Jumlah akrilamid dan ikatan silang dari akrilamid yang digunakan

akan menentukan ukuran pori serta ukuran jala dari gel (Garfin, 1990).

Pemisahan protein dapat dilakukan dengan cara elektroforesis native, yaitu protein dipisahkan

menurut bentuk alaminya berdasarkan muatan, ukuran, dan bentuk molekul. Namun pemisahan

protein yang biasanya digunakan adalah melalui elektroforesis denaturasi. Teknik ini dilakukan

dengan menggunakan media poliakrilamid dan protein yang akan dipisahkan terlebih dahulu

Page 10: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Proses pembentukan curd dibutuhkan dalam proses pembuatan beberapa produk pangan seperti dalam ... pembentukan busa pada permukaan air

12

didenaturasikan. Polyacrylamide gel electrophoresis (PAGE) dengan detergen anionik, sodium

dodecyl sulfate (SDS), digunakan untuk memisahkan subunit protein menurut ukurannya. Protein

disolubilisasi dan dipisahkan menjadi subunit-subunit dalam suatu buffer yang mengandung SDS dan

reducing agent. Reducing agent, seperti mercaptoethanol atau ditiotreitol, digunakan untuk

mengurangi ikatan disulfida yang terdapat pada suatu subunit protein atau di antara subunit-subunit

protein. Protein akan mengikat SDS, yang akan membuatnya menjadi bermuatan negatif, dan

kemudian dipisahkan berdasarkan ukurannya sendiri (Nielsen, 2010).

SDS akan melapisi protein yang telah terdenaturasi. Pada bentuk terdenaturasi, kebanyakan

protein mengikat SDS dalam rasio berat yang konstan, sehingga protein berakhir dengan memiliki

densitas bermuatan yang sama. Di bawah kondisi seperti ini, tingkat migrasi protein dalam medan

listrik tidak lagi tergantung pada muatan yang melekat pada molekul, tetap lebih ditentukan semata-

mata oleh ukuran molekul (sebagai contoh, protein yang lebih besar akan lebih sangat terhambat

dalam migrasi dalam gel polimer dibandingkan dengan protein yang lebih kecil). Skema dari alat

SDS-PAGE dapat dilihat pada Gambar 4. Sampel protein akan diinjeksikan melalui sumur pada ujung

atas gel yang kontak, melalui kolam buffer, dengan katoda. Bagian bawah gel juga terhubung dengan

anoda. Ketika arus listrik diaplikasikan, protein yang terlapis oleh SDS akan bermigrasi ke bagian

bawah gel, di bawah pengaruh medan listrik yang diberikan (Copeland, 1994). Kompleks SDS-protein

yang lebih besar akan memiliki mobilitas yang lebih kecil dibandingkan dengan kompleks SDS-

protein yang lebih kecil.

Gambar 4. Skema alat SDS-PAGE (Jage, 2008)

Menurut Boyer (1993), gel yang dibentuk dari polimerisasi akrilamid memiliki beberapa

kelebihan positif dalam elektroforesis: 1) memiliki kemampuan pemisahan yang tinggi bagi protein

dan asam nukleat yang berukuran kecil hingga sedang (kira-kira hingga 1 × 106 dalton); 2) dapat

menerima ukuran sampel yang relative besar; 3) memiliki interaksi yang minimal antara molekul yang

bermigrasi dengan matriks; 4) memiliki matriks yang fisiknya stabil. Elektroforesis melalui gel

poliakrilamid dapat meningkatkan resolusi komponen sampel disebabkan oleh separasinya yang

berdasarkan penyaringan molekul dan mobilitas elektroforesis.

Resolusi berat molekul yang dicapai melalui SDS-PAGE sebagian tergantung pada ukuran pori

dari gel polimer. Dengan demikian persentase akrilamid yang digunakan dalam preparasi gel perlu

untuk diperhatikan. Persentase akrilamid yang digunakan akan tergantung pada kisaran berat molekul

sesuai dengan sampel yang akan dipisahkan. Tabel 3 menunjukkan persentase akrilamid yang dapat

Page 11: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Proses pembentukan curd dibutuhkan dalam proses pembuatan beberapa produk pangan seperti dalam ... pembentukan busa pada permukaan air

13

digunakan untuk fraksinasi protein yang memiliki kisaran berat molekul yang berbeda-beda

(Copeland, 1994).

Tabel 3. Persentase akrilamid yang digunakan untuk pemisahan molekul protein dengan kisaran

berat molekul tertentu.

Kisaran Berat Molekul Protein Persentase Akrilamid

200,000-60,000

120,000-30,000

75,000-18,000

60,000-15,000

45,000-12,000

5.0%

7.5%

10.0%

12.5%

15.0%

Sumber : Copeland (1994)

Menurut Copeland (1994), gel elektroforesis atau sistem buffer dapat berupa homogen

(continous) atau multifase (discontinuous). Sistem homogen mengandung ion buffer dan pH dalam

preparasi sampel, buffer elektorda, dan gel yang sama. Dalam sistem buffer multiphase, stacking gel

yang berbeda komposisi pH dan/atau komposisi buffer, digunakan untuk mengkonsentrasi dan

menajamkan unsur pokok sampel sebelum masuk ke resolving gel (separating gel). Buffer yang

digunakan untuk menyiapkan dua lapisan gel tersebut memiliki pH dan kekuatan ion yang berbeda.

Stacking gel memiliki konsentrasi akrilamid yang lebih rendah, sehingga ukuran porinya jauh lebih

besar.

Pembuatan separating gel dan stacking gel menggunakan buffer dan konsentrasi akrilamid

yang berbeda. Pada separating gel atau resolving gel digunakan buffer dengan pH 8-9 dengan

konsentrasi akrilamid yang tinggi (7.5%) yang membuatnya memiliki ukuran pori yang kecil,

sedangkan pada stacking gel digunakan buffer dengan pH 6.9 dengan konsentrasi akrilamid yang lebih

rendah (2-3%) yang membuatnya memiliki ukuran pori yang besar. Dengan demikian, akan dihasilkan

pembentukkan pita-pita sampel yang sangat baik pada stacking gel dan resolusi komponen sampel

yang terbentuk pada resolving gel juga sangat tinggi (Boyer, 1993).

3.4 TEKSTUR

Tekstur adalah salah satu sifat yang sangat menentukan dalam produk pangan. Umumnya para

produsen pangan menghasilkan produk dengan tekstur, flavor, dan penampakan yang sesuai dengan

keinginan konsumen atau dapat diterima dengan baik oleh konsumen. Menurut deMan (1999), warna,

flavor, dan tekstur merupakan atribut-atribut penting dalam kualitas pangan. Hal ini membuat

pengetahuan mengenai penyebab terbentuknya tekstur tertentu menjadi sangat penting untuk diketahui

oleh para pelaku industri pangan.

Tekstur dipengaruhi oleh sifat fisik dan fisikokimia di antara produk-produk pangan. Bourne

(2002) menyatakan bahwa perbedaan tekstur yang disukai diturunkan dari kompleksitas organ-organ

pengunyahan manusia. Terdapat tiga tipe gigi yang berbeda, dan masing-masing memberikan fungsi

yang berbeda-beda. Rahang dapat digerakkan dalam tiga tingkatan tergantung dari sifat alami

makanan. Lidah memainkan peranan aktif dalam pengunyahan, dan untuk pangan lembut seperti es

krim dan yogurt, lidah merupakan alat utama dalam membentuk bentuk makanan yang mampu

Page 12: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Proses pembentukan curd dibutuhkan dalam proses pembuatan beberapa produk pangan seperti dalam ... pembentukan busa pada permukaan air

14

ditelan, di mana lidah hanya melakukan kerja yang sedikit. Saliva memainkan peranan utama dalam

penyiapan makanan sebelum penelanan.

Menurut deMan (1999), tekstur dapat didefinisikan sebagai cara di mana unsur pokok dan

elemen-elemen struktur yang bermacam-macam disusun dan digabung ke dalam mikro- dan

makrostruktur, dan manifestasi eksternal struktur ini berkenaan dengan aliran dan deformasi. Tekstur

juga didefinisikan sebagai manifestasi sensori dari struktur pangan dan cara di mana struktur ini

bereaksi untuk menerima gaya, indera spesifik termasuk penglihatan, kinestetik, dan pendengaran

(Szczesniak, 1990 yang dikutip oleh Bourne, 2002). Berdasarkan ISO tahun 1992 yang dikutip oleh

Bourne (2002), tekstur adalah semua atribut mekanis (permukaan dan geometris) dari produk pangan

yang dapat dijelaskan melalui alat mekanis, sentuhan, reseptor visual dan pendengaran.

Szczesniak (1963) yang dikutip oleh Rosenthal (1999), karakteristik tekstur dapat dibagi ke

dalam tiga kelas utama, yaitu: 1) karaktersitik mekanis, yaitu yang berhubungan dengan reaksi pangan

terhadap tekanan, yang meliputi parameter primer (kekerasan, kohesivitas, viskositas, elastisitas, daya

adesif) dan parameter sekunder (daya kunyah, gumminess); 2) karakteristik geometris, yaitu yang

berhubungan dengan ukuran, bentuk dan orientasi partikel dalam pangan—seperti, powdery, gritty,

lumpy, flaky, fibrous, cellular, aerated, dan crystalline; 3) karakteristik lainnya—yaitu yang

berhubungan dengan persepsi atas kadar air dan lemak dalam pangan seperti, kering, basah, dan

berminyak.

Menurut Scott-Blair (1958) yang dikutip oleh Rosenthal (1999), teknik instrumental untuk

mengukur tekstur pangan dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu: 1) pengukuran empiris,

yaitu metode untuk mengukur atribut mekanis produk dengan menggabungkan beberapa prinsip

percobaan seperti penetrasi, pemotongan, penekanan, dan lain-lain; 2) pengukuran imitative, yaitu

metode yang sengaja didesain dengan meniru proses pengunyahan dalam mulut manusia seperti

Texture Profile Analysis (TPA); 3) pengukuran fundamental, yaitu metode untuk mengukur atribut

reologi atau fisik.

Pengukuran imitatif dilakukan untuk meniru pengunyahan yang biasa terjadi dalam mulut

manusia. Alat ini dibuat khusus untuk mengukur stress dan/atau strain selama rangkaian pengujian.

Dulu pengujian seperti ini banyak sekali dilakukan, beberapa di antaranya menggunakan gigi-gigi

manusia palsu yang saling bergerak, untuk meniru pergerakan dari rahang manusia. Sementara itu ada

beberapa indra yang dibuat dengan alat yang memiliki geometri yang mirip dengan mulut manusia,

untuk mendapatkan data yang sangat tergantung pada faktor-faktor seperti tipe dan posisi sensori serta

gerakan rahang. Akan tetapi beberapa modifikasi kecil pada alat, seperti penggantian gigi-gigi palsu

dengan plunger pada area cross-section, sehingga stress yang tepat dapat diaplikasikan, dan hal ini

akan membuat alat menghasilkan data yang sangat berguna bagi aplikasi komparatif seperti quality

assurance (Rosenthal, 1999).

Pengukuran imitatif yang dapat mewakili semua imajinasi dari banyak ahli teknologi pangan

karena pengukurannya yang dapat menyediakan nilai tekstur pangan yang terstandarisasi adalah

Texture Profile Analysis (TPA), yang dalam General Foods di pertengahan tahun 1960. Dalam sebuah

paper, Szczesniak (1963) dan koleganya menegaskan bermacam-macam istilah yang berhubungan

dengan tekstur, yang dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan standar-standar sensori yang telah dibuat

oleh Szczesniak dan koleganya, alat dengan gaya deformasi yang kompresif dikembangkan.

Berdasarkan pada alat yang mendeformasi pangan melalui gerakan yang menyerupai rahang manusia,

General Foods Texturometer menggunakan alat semacam plunger yang berujung pipih yang akan

kontak langsung dengan sampel makanan guna mengukur tekstur pangan tersebut (Friedman,

Whitney, dan Szczesniak, 1963 yang dikutip oleh Rosenthal, 1999).

Page 13: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Proses pembentukan curd dibutuhkan dalam proses pembuatan beberapa produk pangan seperti dalam ... pembentukan busa pada permukaan air

15

Siklus dua gigitan digunakan, dan stress yang terdapat pada sampel makanan diukur ketika

sampel ditekan. Setelah ―gigitan pertama‖ beban dihilangkan dari sampel dan dibiarkan untuk istirahat

sebentar. Ketika plunger ditarik menjauh dari permukaan sampel, setiap ketenggangan yang

diakibatkan oleh stickiness (kelengketan) akan diobservasi. Alat kemudian menekan sampel untuk

kedua kalinya (Gigitan kedua) yang diikuti dengan pengistirahatan yang kedua. Ketahanan pangan

selama deformasi dimonitor melalui siklus dua gigitan ini (Rosenthal, 1999). Kurva TPA stress-strain

yang ideal ditunjukkan pada Gambar 5.

Dalam usaha untuk menghubungkan definisi tekstur sensorial telah dijelaskan pada Tabel 4,

sebuah fungsi matematika diatribusikan ke setiap hal dalam basis data kurva stress-strain yang

didapatkan dari teksturometer. Hal ini dicapai melalui ―eksperimen dan pertimbangan yang teliti atas

variabel dependen penting‖ (Friedman et al., 1963, p.393). Ilustrasi mengenai bagaimana pengukuran

instrumental ini ditentukan telah ditampilkan dalam Tabel 4. Sebagai contoh, kekohesivitasan

didefinisikan sebagai rasio dari tenaga yang dibutuhkan untuk menekan sampel pada gigitan kedua

dengan tenaga yang dibutuhkan untuk menekan sampel pada gigitan pertama.

Lebih jelasnya, kekohesivitasan ditentukan dengan cara menghitung rasio dari area di bawah

dua puncak kurva yang sama dengan dua kali gigitan dalam mulut manusia. Bukti bahwa alat yang

digunakan sesuai dengan panel sensori, dicapai dengan mengkorelasikan penilaian sensori yang telah

dilakukan dengan output dari teksturometer. Garis atau kurva yang paling tepat kemudian dicocokkan

dengan data (Szczesniak et al., 1963 yang dikutip oleh Rosenthal, 1999).

Sudah jelas bahwa pengembangan dari TPA telah memberikan kontribusi yang sangat berharga

bagi pengukuran nilai tekstur pangan. Bagaimanapun, kehati-hatian tetap harus dilakukan dalam

menerima hasil bagi tujuan-tujuan lain selain evaluasi komparatif. Tekniknya jelas sekali merupakan

tiruan dari apa yang terjadi di dalam mulut. Tapi harus dicatat bahwa cukup selain perbedaan-

perbedaan, yang teridentifikasi lebih awal, antara pengujian dengan alat dan oleh manusia (seperti

kontrol suhu, saliva), hubungan antara beberapa karakteristik sensori yang dimaksudkan untuk diukur

melalui TPA tidaklah linier (Rosenthal, 1999). Sebagai contoh, menurut Szczesniak et al (1963) yang

dikutip Rosenthal (1999), saat tingkat kekerasan sensori berada pada 1 dan 2 terdapat sekitar 10 unit

teksturometer, sedangkan saat tingkat kekerasan sensori berada pada 8 dan 9 terdapat sekitar 70 unit

teksturometer.

Gambar 5. Aspek-aspek kurva texture profile analysis (Rosenthal, 1999)

Gigitan pertama

Gigitan kedua

Waktu

Page 14: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Proses pembentukan curd dibutuhkan dalam proses pembuatan beberapa produk pangan seperti dalam ... pembentukan busa pada permukaan air

16

Kelebihan lain dari TPA sebagaimana diukur dengan teksturometer adalah bahwa alat tersebut

memiliki aksi berayun hasil dari konstruksi pivotal (analog dengan sendi temporomandibular).

Wilayah kontak antara bidang horizontal sampel dan plunger berujung pipih akan bervariasi, awalnya

menjadi kecil dulu dan kemudian dengan cepat meningkat hingga semuanya kontak dengan sampel

makanan.

Meskipun terdapat kekurangan-kekurangan seperti ini, besarnya ketersediaan mesin pengujian

kompresif gaya deformasi lainnya di pasar telah mendorong penggunaan metode TPA untuk

pengujian komparatif dibandingkan dengan menggunakan alat lainnya. Sebagai contoh, Bourne

(1996) mengganti mesin pengujian Instron Universal dan menggunakan TPA untuk membandingkan

tingkat kematangan buah pear yang berbeda-beda (Rosenthal, 1999).

Selama TPA terbatas pada pengujian komparatif, beberapa dari kekurangan ini tidaklah

menjadi masalah, tapi jika pekerja mengabaikan poin seperti ini dan memperlakukan analog

instrumental atas istilah-istilah sensori ini sebagai nilai absolut, maka basisnya dapat beresiko.

Szczesniak dan Hall (1975) mengenali potensi ini sebagai penyalahgunaan dan menyatakan bahwa

―penggunaan teksturometer yang tepat masih lebih seperti seni karena operatornya harus

menggunakan pemikiran yang tidak mampu dilakukan oleh alat tersebut‖ (Rosenthal, 1999).

Szczesniak (1975) menggunakan TPA untuk menguji gel gelatin dan gel karagenan. Sehingga

beberapa hal yang biasa terdapat di antara gel-gel percobaan, dapat dimasukkan ke dalam tingkat

kekuatan gel yang sama seperti yang telah diukur dengan menggunakan Bloom Gelometer. Ketika

kekuatan Bloom sama, perbedaan kekerasan dan daya adesif dalam TPA menjadi jelas. Aspek menarik

dari studi mereka adalah bahwa pengukuran TPA dilakukan pada kisaran suhu tertentu. Hasil dari

penganekaragam suhu pengujian dari 10oC hingga 20oC yaitu penurunan yang dramatis pada

kekerasan gel gelatin, agaknya disebabkan oleh pelelehan. Sebaliknya gel karagenan, yang tidak

meleleh, hanya menunjukkan pengurangan yang sedikit pada kekerasannya. Tingkat kekohesivan dari

gel karagenan dan gel gelatin tampak hampir tak dapat dibedakan satu sama lain dan susah berubah di

sepanjang gradien suhu (Rosenthal, 1999).

Henry, Katz, Pilgrim, dan May (1971) yang dikutip Rosenthal (1999) melakukan TPA pada

makanan berjenis semisolid (seperti gel gelatin). Di samping karakteristik yang diidentifikasikan di

Tabel 4, mereka menentukan lima variabel lagi, yang berhubungan dengan sifat material selama

upstroke ketika plunger ditarik menjauh dari sampel. Di samping pengujian instrumental, mereka juga

melakukan evaluasi sensori pada makanan.

Penggunaan analisis korelasi di setiap atribut memperkenankan identifikasi terhadap empat

faktor yang bertanggungjawab atas 95% perbedaan sensori. Masing-masing faktor berkolerasi baik

dengan atribut-atribut spesifik. Sebagai contoh, 33% dari perbedaan sensori dijelaskan oleh faktor

yang didasarkan pada ―stringy dan sticky‖. Regresi berlipat kemudian diimplementasikan kepada

keempat faktor sensori dan setiap pengukuran instrumental. Telah ditemukan bahwa faktor-faktor

sensori dapat dijelaskan hanya dengan menggunakan delapan pengukuran instrumental, dan menurut

mereka, dalam kasus pangan semisolid, banyak data yang didapat dari TPA yang justru berlebih

(Rosenthal, 1999).

Page 15: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Proses pembentukan curd dibutuhkan dalam proses pembuatan beberapa produk pangan seperti dalam ... pembentukan busa pada permukaan air

17

Tabel 4. Parameter-parameter yang diukur oleh analisis profil tekstur

Parameter Definisi Sensorial Definisi Instrumetal

Kekerasan

Gaya yang dibutuhkan untuk

menekan produk pangan di antara geraham

Elastisitas

Besaran di mana sebuah

produk pangan kembali ke

ukuran aslinya ketika beban

dihilangkan

Siklus= Kontak kedua – Kontak pertama

Elastisitas = Siklus untuk material inelastik

- Siklus untuk pangan

Daya adesif

Energi yang dibutuhkan untuk

menarik pangan menjauh dari permukaan

Daya kohesif

Kekuatan ikatan internal yang

membangun pangan

Kerapuhan

Gaya yang membuat material

remuk

Daya kunyah

Energi yang dibutuhkan untuk

mengunyah pangan padat

hingga siap untuk ditelan

= Kekerasan x Daya Kohesif x Elastisitas

Kelengketan

Energi yang dibutuhkan untuk

menghancurkan pangan semi

padat sehingga mudah untuk

ditelan

= Kekerasan x Daya Kohesif

Sumber : Rosenthal (1999)

Daya Kohesif = B/A

Kerapuhan

Kekerasan