II. TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46641/BAB...9...

14
7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Waduk Waduk adalah danau buatan manusia sebagai tempat menampung dan tangkapan air yang umumnya dibentuk dari sungai atau rawa dengan tujuan tertentu. Waduk dibangun dengan tujuan multi fungsi yaitu sebagai daerah tangkapan air yang akan dipergunakan untuk pembangkit listrik tenaga air , kegiatan pertanian, pengendali banjir, sarana olahraga air, budidaya perikanan dan untuk pariwisata. Indonesia mempunyai sekitar 800 danau dan 162 waduk buatan besar dan kecil untuk kepentingan irigasi pertanian, bahan baku air bersih, dan PLTA. Sekitar 500 danau dan waduk di Indonesia mulai terancam punah akibat pengelolaan yang tidak optimal, mulai dari hulu hingga hilir. Waduk Cirata merupakan salah satu waduk besar di Jawa Barat, waduk ini selesai di bangun pada tahun 1988. Waduk tersebut dibangun dengan fungsi utama sebagai PLTA untuk menghasilkan daya listrik terpasang sebesar 1008 MW atau energi per tahun 1.426 GW jam sebagai pemasok tenaga listrik Jawa dan Bali (BPWC,2004). Volume air pada waktu normal adalah sekitar 2.160.000.000 m 3 , dengan luas permukaan sekitar 6.200 ha, kedalaman rata-rata sekitar 34,9 m, dan kedalaman maksimum mencapai 106 m. Status kesuburan waduk Cirata adalah mesotropic hingga eutropic (BPWC, 2004). Waduk Cirata merupakan waduk yang mendapat sumber air utama dari daerah aliran sungai Citarum. Pada awal dibangun, luas Waduk Cirata mencapai 6.200 hektar, adapun daerah yang tergenang dan menjadi Waduk Cirata ini, berasal dari 28 desa yang berada dalam delapan kecamatan yang termasuk ke dalam daerah administrasi Kabupaten Cianjur, Purwakarta dan Bandung.

Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46641/BAB...9...

Page 1: II. TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46641/BAB...9 dioptimalkan pemanfaatannya untuk kegiatan perikanan budidaya dengan menggunakan

7

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Waduk

Waduk adalah danau buatan manusia sebagai tempat menampung dan

tangkapan air yang umumnya dibentuk dari sungai atau rawa dengan tujuan

tertentu. Waduk dibangun dengan tujuan multi fungsi yaitu sebagai daerah

tangkapan air yang akan dipergunakan untuk pembangkit listrik tenaga air ,

kegiatan pertanian, pengendali banjir, sarana olahraga air, budidaya perikanan dan

untuk pariwisata. Indonesia mempunyai sekitar 800 danau dan 162 waduk buatan

besar dan kecil untuk kepentingan irigasi pertanian, bahan baku air bersih, dan

PLTA. Sekitar 500 danau dan waduk di Indonesia mulai terancam punah akibat

pengelolaan yang tidak optimal, mulai dari hulu hingga hilir.

Waduk Cirata merupakan salah satu waduk besar di Jawa Barat, waduk ini

selesai di bangun pada tahun 1988. Waduk tersebut dibangun dengan fungsi

utama sebagai PLTA untuk menghasilkan daya listrik terpasang sebesar 1008

MW atau energi per tahun 1.426 GW jam sebagai pemasok tenaga listrik Jawa

dan Bali (BPWC,2004). Volume air pada waktu normal adalah sekitar

2.160.000.000 m3, dengan luas permukaan sekitar 6.200 ha, kedalaman rata-rata

sekitar 34,9 m, dan kedalaman maksimum mencapai 106 m. Status kesuburan

waduk Cirata adalah mesotropic hingga eutropic (BPWC, 2004). Waduk Cirata

merupakan waduk yang mendapat sumber air utama dari daerah aliran sungai

Citarum. Pada awal dibangun, luas Waduk Cirata mencapai 6.200 hektar, adapun

daerah yang tergenang dan menjadi Waduk Cirata ini, berasal dari 28 desa yang

berada dalam delapan kecamatan yang termasuk ke dalam daerah administrasi

Kabupaten Cianjur, Purwakarta dan Bandung.

Page 2: II. TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46641/BAB...9 dioptimalkan pemanfaatannya untuk kegiatan perikanan budidaya dengan menggunakan

8

Gambar 1. Lokasi Penelitian di Waduk Cirata

Waduk Cirata adalah salah satu waduk yang dibangun di Daerah Aliran

Sungai (DAS) Citarum. Citarum sendiri merupakan sungai terpanjang dan

terbesar di Jawa Barat, dengan luas 6.080 km2

Beberapa anak sungai yang masuk ke Waduk Cirata diantaranya Sungai

Cikundul, Cibalagung, Cisokan, Cihea, Cimeta dan Cilangkap (Pusat Penelitian

dan Pengembangan Perairan, 1999). Waduk Cirata termasuk dalam badan air yang

memiliki fungsi utama sebagai pembangkit tenaga listrik dengan kekuatan 1008

MW (Tjokrokusumo 2000). Namun dengan berjalannya waktu Waduk Cirata

memiliki manfaat lain yaitu sebagai media transportasi, rekreasi, dan perikanan.

Dalam bidang perikanan terutama perikanan budidaya, Waduk Cirata sangat

dan panjang 269 km. Karena

banyaknya debit air yang dialirkan oleh sungai yang bermuara di ujung Karawang,

pemerintah membangun tiga bendungan untuk pembangkit listrik, yakni PLTA

Saguling, Cirata, dan Jatiluhur.

Page 3: II. TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46641/BAB...9 dioptimalkan pemanfaatannya untuk kegiatan perikanan budidaya dengan menggunakan

9

dioptimalkan pemanfaatannya untuk kegiatan perikanan budidaya dengan

menggunakan sistem Karamba Jaring Apung (KJA).

Salah satu permasalahan yang dihadapi waduk di Indonesia saat ini adalah

tingginya sedimentasi sehingga sedimentasi telah menjadi faktor utama penyebab

penurunan daya dukung ekosistem waduk. Waduk Cirata telah mengalami

permasalahan seperti halnya waduk lainnya di Indonesia yaitu pendangkalan dan

penurunan luasan perairan akibat tingginya sedimentasi. Peningkatan beban

sedimentasi ini diduga disebabkan oleh peningkatan laju erosi akibat aktivitas-

aktivitas di daratan , buangan limbah industri dan rumahtangga di DAS , serta

aktivitas manusia di perairan seperti budidaya ikan dengan menggunakan keramba

jaring apung (KJA) di waduk dengan pemberian pakan buatan yang berlebihan.

Jumlah sedimen yang masuk ke waduk yang melebihi daya dukung akan

mengurangi daya tampung air waduk sehingga dapat memperpendek usia

fungsional waduk tersebut. Turunnya daya tampung air menyebabkan waduk

tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, baik untuk keperluan irigasi maupun

pembangkit tenaga listrik. Sebagai contoh Waduk Djuanda, Saguling, dan Cirata

di DAS Citarum volumenya tinggal 57,6 persen dari volume pada saat baru

dibangun.

Salah satu penyebab dari sedimentasi di Waduk Cirata adalah akibat

aktivitas budidaya perikanan yang meningkat dari tahun ke tahun. Dengan teknik

budidaya intensif di keramba jaring apung, petani memberikan pakan buatan

secara berlebihan (sistem pompa), sehingga sisa pakan dan feses ikan banyak

yang masuk ke perairan. Menurut BPWC (2004), pada awal pembangunan waduk

jumlah petakan KJA yang dianjurkan 12.000 petak dengan jumlah pemilik 2472 ,

pada kenyataannya sampai tahun 2003 tercatat 39.690 petak dari jumlah pemilik

3899. Perkembangan KJA di perairan waduk Cirata sudah tidak terkendali, mulai

tahun 1988--1994 meningkat 140% per tahun. Akibat dari pertambahan KJA

yang tidak terkendali tersebut menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan

perairan serta sedimentasi yang meningkat dari tahun ke tahun. Dampak negatif

dari aktivitas budidaya ikan di karamba jaring apung di waduk adalah adanya

buangan limbah budidaya selama operasional, limbah tersebut adalah sisa pakan

Page 4: II. TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46641/BAB...9 dioptimalkan pemanfaatannya untuk kegiatan perikanan budidaya dengan menggunakan

10

yang tidak termakan oleh ikan serta feses yang larut ke dalam perairan. Dalam

budidaya perikanan secara komersial 30% dari total pakan yang diberikan tidak

dikonsumsi oleh ikan dan sekitar 25-30% dari pakan yang dikonsumsi akan

dibuang dalam bentuk feses. Kartamiharja dan Krismono (1996) mengemukakan

bahwa pada budidaya KJA yang dilakukan petani ikan di Jawa Barat

menunjukkan jumlah pakan yang terbuang ke perairan berkisar antara 30-40%.

Bahan organik yang dihasilkan dari aktivitas budidaya ikan akan terakumulasi di

bawah KJA yang berasal dari pakan yang tidak dikonsumsi dan kotoran ikan.

2.2. Karamba Jaring Apung (KJA)

Karamba jaring apung merupakan salah satu bentuk usaha bidang

perikanan yang banyak diusahakan di Waduk Cirata (Gambar 2). KJA merupakan

tempat upaya pembesaran ikan dengan menggunakan wadah budidaya berupa

jaring yang diapungkan di permukaan air. Semua bagian sisinya diselubungi

material jaring sehingga memungkinkan terjadinya sirkulasi air dan

mempermudah pembuangan sisa pakan (Budiman et al 1991 dalam Prawita 2004).

Sistem KJA di Waduk Cirata merupakan sistem usaha budidaya yang menerapkan

pola intensif, yaitu menggunakan pakan buatan berupa pellet dengan kandungan

protein tinggi (Krismono dan Poernomo, 1992).

Dalam pemanfaatannya, KJA memiliki fungsi sebagai sumber pendapatan,

pemasok ikan, dan sarana yang menunjang perkembangan lokasi di sekitar waduk

(Prawita 2004). Pemanfaatan tersebut sesuai dengan tujuan awal pengembangan

jaring apung di Waduk Cirata yaitu memberikan lapangan kerja baru bagi

penduduk di sekitar Waduk Cirata yang terkena proyek pembangunan PLTA.

Berdasarkan data yang tercatat, jumlah KJA di Waduk Cirata pada tahun

2006 telah mencapai 50.000 kolam atau 12.500 unit dan dari seluruh jumlah KJA

tersebut, 60% KJA-nya atau 30 ribu kolam berada di wilayah Cianjur (Dadang

dan Selamet 2008). Padahal berdasarkan SK Gubernur Jawa Barat No. 41 tahun

2002, jumlah KJA yang diperbolehkan di perairan Waduk Cirata sebanyak 12.000

kolam (1% dari luas perairan Waduk).

Page 5: II. TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46641/BAB...9 dioptimalkan pemanfaatannya untuk kegiatan perikanan budidaya dengan menggunakan

11

Gambar 2. Karamba Jaring Apung (KJA) yang digunakan dalam penelitian

2.3. Ikan Nilem (Osteochillus hasselti)

2.3.1.Klasifikasi Ikan Nilem

Menurut Saanin (1968), ikan nilem di klasifikasikan sebagai berikut:

• Kingdom : Animalia

• Phylum : Chordata

• Subphylum : Craniata

• Class : Pisces

• Subclass : Actinopterygi

• Ordo : Ostariophysi

• Subordo : Cyprinoidae

• Famili : Cyprinidae

• Genus : Osteochillus

• Species : Osteochillus hasselti

Jaring dalam Jaring luar

Page 6: II. TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46641/BAB...9 dioptimalkan pemanfaatannya untuk kegiatan perikanan budidaya dengan menggunakan

12

Gambar 3. Ikan Nilem (Osteochillus hasselti)

2.3.2. Struktur Morfologis Ikan Nilem

Ikan nilem (Osteochillus hasselti) merupakan ikan endemik (asli)

Indonesia yang hidup di sungai – sungai dan rawa – rawa. Ciri ikan nilem hampir

serupa dengan ikan mas. Ciri – cirinya yaitu pada sudut mulutnya terdapat dua

pasang sungut peraba. Sirip punggung disokong oleh 3 jari – jari lemah mengeras

dan 12 – 18 jari – jari lemah. Sirip ekor bercagak dua bentuknya simetris, sirip

dubur disokong oleh 3 jari – jari lemah mengeras dan 5 jari – jari lunak. Sirip

perut disokong oleh 1 jari – jari lemah mengeras dan 13 – 15 jari – jari lemah.

Jumlah sisik gurat sisi ada 33 – 36 keping, bentuk tubuh ikan nilem agak

memanjang dan pipih, ujung mulut runcing dengan moncong (rostral) terlipat,

serta bintik hitam pada ekornya merupakan ciri utama ikan nilem. Ikan ini

termasuk kelompok omnivora, makanannya berupa ganggang penempel yang

disebut epifiton dan perifiton (Djuhanda dan Tatang, 1985).

2.3.3.Budidaya Ikan Nilem

Ikan Nilem (Osteochilus hasselti C.V), adalah salah satu komoditas

budidaya ikan air tawar yang terkonsentrasi di Pulau Jawa khususnya di Wilayah

Priangan, sementara sekarang pembudidayaan ikan tersebut hampir

dilupakan/ditinggalkan. Data Statistik Perikanan Budidaya 2002 menunjukkan

bahwa produksi ikan nilem terhadap produksi ikan budidaya lainnya dari tahun

1996 sampai 2000 persentasinya cenderung menurun berturut-turut 11,96; 7,28;

Page 7: II. TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46641/BAB...9 dioptimalkan pemanfaatannya untuk kegiatan perikanan budidaya dengan menggunakan

13

7,28; 6,78 dan 6,96%. Padahal ikan tersebut mempunyai potensi cukup besar

dalam pengembangannya dimasa yang akan datang karena memiliki keunggulan

komparatif.

Budidaya ikan nilem pada umumnya saat ini masih bersifat tradisional,

bahkan hanya berupa produk sampingan dari hasil budidaya ikan secara polikultur

dengan ikan mas, mujaer atau nila dan gurame. Dari kelompok Ciprinidae ikan

nilem termasuk ikan yang tahan terhadap serangan penyakit, diduga karena ikan

nilem termasuk dalam kelompok omnivora yang mengkonsumsi pakan alami dari

kelompok ganggang yang disinyalir banyak mengandung anti bodi. Dengan

mayoritas makanannya berupa perifiton dan tumbuhan penempel dengan

demikian ikan nilem dapat berfungsi sebagai pembersih jarring (Jangkaru, 1980).

2.4. Ikan Mas (Cyprinus carpio)

2.4.1.Klasifikasi Ikan Mas

Menurut Saanin (1968) ikan mas diklasifikasikan sebagai berikut :

Phylum : Chordata

Class : Pisces

Sub Class : Teleostei

Ordo : Ostariophysi

Sub Ordo : Cyprynoidea

Family : Cyprinidae

Sub Family : Cyprininae

Genus : Cyprinus

Species : Cyprinus carpio Linn

2.4.2. Struktur Morfologis Ikan Mas

Berdasarkan Djuhanda (1981), ikan mas memiliki ciri-ciri antara lain

ukuran panjang tubuh lebih panjang dari tinggi tubuhnya (perbandingan panjang

total dan tinggi badan 3,5 : 1), mulut di ujung kepala dan pada sudut mulutnya

terdapat dua pasang sungut peraba, badan ditutupi oleh sisik sikloid, ekor

bercagak dua dan simetris. Ikan mas merupakan ikan yang hampir memakan

Page 8: II. TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46641/BAB...9 dioptimalkan pemanfaatannya untuk kegiatan perikanan budidaya dengan menggunakan

14

berbagai jenis pakan termasuk plankton (Lagler, 1972). Sumantadinata (1983)

menyatakan bahwa ikan mas termasuk kelompok ikan omnivora yang lebih

mudah memakan makanan yang berasal dari hewani.

2.4.3. Budidaya Ikan Mas

Ikan mas (Cyprinus carpio, Linn) merupakan ikan air tawar yang sudah

dikenal di dunia, dibudidayakan mulai dari negara-negara tropis sampai dengan

negara sub tropis. Ikan mas memiliki beberapa sifat yang menguntungkan

sehingga merupakan salah satu ikan yang relatif banyak dibudidayakan oleh

pembudidaya. Sifat-sifat itu antara lain dapat mentolerir kisaran temperatur yang

luas (20-30 oC) dan mudah memijah serta memiliki adaptasi yang tinggi terhadap

lingkungan (Webb, 1981). Budidaya ikan mas di Indonesia sudah tersebar

diseluruh propinsi yang ada. Tingkat kesuksesan budidaya ikan mas berkaitan

dengan teknologi budidaya ikan mas yang sudah lama dikenal oleh masyarakat

serta ikan mas dikenal sebagai ikan yang mudah untuk memijah (Bardach et al.,

1972). Data Statistik Perikanan Budidaya 2002 menunjukkan bahwa produksi

ikan mas menunjukkan tren yang semakin meningkat. Di Wilayah Jawa Barat

ikan mas banyak dibudidayakan di keramba jaring apung, kolam air deras, dan

kolam tanah.

Sebagian besar usaha budidaya ikan mas menggunakan sistem budidaya

semiintensif dan intensif. Budidaya ikan mas secara intensif dilakukan di kolam

air deras dan keramba jaring apung (KJA). Usaha budidaya intensif ikan mas

umumnya berupa monokultur atau terkadang polikultur dengan beberapa jenis

ikan seperti ikan nila, tembakang, dan nilem (Sumantadinata, 1983). Usaha

pembesaran ikan mas di KJA yang menggunakan jaring ganda biasanya

menggunakan sistem polikultur dimana ikan mas berada di jaring dalam

sedangkan ikan nila berada di jaring luar.

Page 9: II. TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46641/BAB...9 dioptimalkan pemanfaatannya untuk kegiatan perikanan budidaya dengan menggunakan

15

2.5. Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Kandungan Bahan Organik di

Perairan

Limbah yang berasal dari budidaya intensif mengandung bahan organik

yang tinggi. Limbah organik ini berasal dari sisa pakan yang terlarut dan

tersuspensi dalam air , sisa metabolit, eksresi hewan budidaya berupa feses dan

urin, pupuk, obat-obatan dan bahan perlakuan lainnya. Penguraian bahan organik

melalui proses oksidasi aerobik, berlangsung sebagai bagian rantai makanan di

alam, sebagai bahan makanan yang berasal dari bahan organik akan digunakan

untuk membangun substansi vital dari jenis-jenis mikroba (Mara, 1976 dalam

Bachrianto, 1994)

Bahan organik total atau total organik matter (TOM) menggambarkan

kandungan bahan organik total di suatu perairan yang terdiri atas bahan organik

terlarut, tersuspensi (particulate) dan koloid (Hariyadi et al, 1992). Bahan

organik dalam suatu perairan budidaya dapat berasal dari sisa pakan, sisa

metabolisme, pupuk, plankton yang mati dan beberapa sumber lainnya. Dalam

perairan bahan organik secara tidak langsung berpengaruh pada organisme

budidaya karena keberadaannya dapat mempengaruhi parameter kimia air lainnya

sebagai bahan yang akan terdekomposisi baik secara aerob dan anaerob. Selain

itu bahan organik juga merupakan faktor pendukung akan timbulnya jamur dan

bakteri yang bersifat patogen.

Berdasarkan fungsinya, bahan organik menurut Goldman dan Horne

(1983) dapat dibagi menjadi lima macam, yaitu : 1) bahan organik yang dapat

mengalami proses dekomposisi, contohnya N-organik, P-organik dan humus; 2)

bahan organik yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroorganisme, contohnya

asetat, glukosa dan glikolat; 3) bahan organik yang dihasilkan oleh alga dan

beberapa hewan yang berperan penting dalam pigmentasi darah dan klorofil,

antara lain asam humik dan sitrat; 4) bahan organik yang dihasilkan oleh hewan

dan tumbuhan yang dapat mempercepat atau menghambat pertumbuhan dirinya

atau pesaingnya; 5) bahan organik yang dihasilkan oleh hewan atau tumbuhan

untuk mempertahankan dirinya, sering kali bahan organik ini merupakan racun

Page 10: II. TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46641/BAB...9 dioptimalkan pemanfaatannya untuk kegiatan perikanan budidaya dengan menggunakan

16

bagi organisme lain, contohnya lendir yang dihasilkan oleh alga biru-hijau (blue

green algae).

Berdasarkan sumbernya, Metcalf dan Eddy (1991) membedakan bahan

organik menjadi tiga macam, yaitu 1) bahan organik yang berasal dari limbah

domestik, yang terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, minyak dan surfaktan; 2)

bahan organik yang berasal dari limbah industri yang terdiri dari protein,

karbohidrat, lemak, minyak, fenol dan surfaktan lainnya; 3) bahan organik yang

berasal dari limbah pertanian, selain nutrien juga ada yang toksik seperti pestisida.

Lebih lanjut dikatakan bahwa , nilai kandungan bahan organik diperairan dapat

diukur sebagai karbon organik total (TOC, Total Organic Carbon), kebutuhan

oksigen untuk proses kimia (COD, Chemichal Oxygen Demand), kebutuhan

oksigen untuk proses biokimia (BOD, Biologychal Oxygen Demand).

Bahan organik dalam perairan berbentuk senyawa organik terlarut sampai

bahan organik partikulat dalam agregar besar atau organisme mati yang

bersumber baik dari dalam (autochtonous) maupun dari luar (allocthonous)

perairan. Secara umum bahan organik mengandung 40 – 60 % protein, 25 – 50 %

karbohidrat dan 10 % lemak dan minyak, serta urea (APHA, 1985). Menurut

Sladeck, 1979 dalam Taurusman, (1999), bahan organik dalam ekosistem perairan

akan terbentuk karena adanya proses anabolisme unsur hara oleh organisme

primer dengan bantuan sinar matahari, lalu diikuti proses kehidupan organisme

sekunder dan adanya masukan bahan organik dari ekosistem lainnya. Kandungan

bahan organik dalam perairan dapat diukur secara langsung dengan cara

mengukur kandungan bahan organik total (Total Organic Matter, TOM), (Wetzel

dan Likens, 1991).

Seiring dengan penambahan jumlah pakan dalam kegiatan budidaya,

beban bahan organik buangan yang harus dipikul oleh kolam budidaya semakin

meningkat sehingga berimplikasi pada semakin tingginya tingkat penurunan

kualitas media budidaya (Rosenbery, 2006). ).Peningkatan bahan organik dan

unsur hara pada batas-batas tertentu akan meningkatkan produktivitas organisme

akuatik, namun apabila masukan tersebut melebihi kemampuan organisme akuatik

utuk memanfaatkannya akan timbul permasalahan serius. Permasalahan yang

Page 11: II. TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46641/BAB...9 dioptimalkan pemanfaatannya untuk kegiatan perikanan budidaya dengan menggunakan

17

timbul antara lain : tingkat kekeruhan menjadi tinggi sehingga menurunkan

tingkat penetrasi sinar matahari dan proses fotosintesis di kolom air akan

terhambat; makin meningkatnya jumlah tanaman berakar pada bagian litoral dan

menghilangkan jenis plankton dan benthos tertentu serta jenis organisme akuatik

lainnya; serta munculnya jenis organisme baru yang biasanya merugikan

kepentingan perikanan (Jorgensen, 1980). Soeriatmaja (1981) menambahkan

bahwa peningkatan bahan organik berlebihan akan membawa akibat-akibat seperti

meningkatnya unsur kimia yang berlebihan, menurunkan pH dan oksigen terlarut,

serta peningkatan aktivitas biologi yaitu proses dekomposisi.

Menurut Huisman (1987) dalam Harris (1996) menyatakan bahwa bila

konversi pakan 1 : 1,5 ; maka setiap 1 kg pakan akan menghasilkan 514 gram

padatan tersuspensi. Jika produksi udang tambak intensif sebesar 5 ton, maka

pakan yang digunakan sebesar 7.500 kg, sehingga akan menghasilkan limbah

organik dalam bentuk padatan tersuspensi sebesar 3.855 kg, yang selanjutnya

akan terbuang ke perairan sekitarnya.

2.6. Perifiton

Perifiton adalah suatu komunitas kompleks dari mikrobiota yang menempel

pada substrat, baik substrat organik, an-organik, hidup atau pun mati (Wetzel,

1983 dalam Hany 2009). Menurut Welch (1980) perifiton merupakan asosiasi

organisme akuatik yang menempel pada batang dan daun tanaman berakar atau

permukaan substrat lainnya yang berada di bawah permukaan air. Sedangkan

menurut Odum (1971) perifiton adalah komunitas organisme yang hidup di atas

atau sekitar substrat yang tenggelam (Gambar 4).

Page 12: II. TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46641/BAB...9 dioptimalkan pemanfaatannya untuk kegiatan perikanan budidaya dengan menggunakan

18

Gambar 4. Posisi perifiton dalam suatu ekosistem perairan

Sumber : http://jmarcano.com/graficos/images/65.gif.

Perifiton selain berperan sebagai produsen primer di perairan eufotik, juga

dapat berperan sebagai biofilter dan akumulator senyawa-senyawa konsentrat

tinggi di perairan. Peran-peran ini menjadikan perifiton sebagai bioconditioner

atau penyeimbang sistem ekologis .

Proses pertumbuhan komunitas perifiton melalui empat tahap, yaitu

kolonisasi awal perifiton pada permukaan substrat, pertumbuhan diatom,

kolonisasi algae berfilamen hingga membentuk komunitas perifiton yang dapat

tumbuh hingga maksimal, dan pelepasan fragemen perifiton sehingga

menyebabkan adanya kolonisasi perifiton yang baru atau suksesi. Perkembanagan

perifiton dapat dipandang sebagai proses akumulasi hasil kolonisasi dengan

proses biologi yang menyertainya dan berinteraksi dengan faktor fisika dan kimia

perairan (Nuraiani 2005 dalam Hany 2009).

Pelepasan perifiton terjadi setelah perifiton mengalami kematian akibat

telah mencapai titik puncak pertumbuhan. Terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, kemampuan untuk memproses

nutrien, dan komposisi perifiton yaitu, ketersediaan cahaya, kualitas air, dan tipe

substrat. Pertumbuhan perifiton dipengaruhi oleh ketersediaan cahaya untuk

proses fotosintesis (Stokes et al. 1970; Weitzel 1979 dalam Hany 2009).

Page 13: II. TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46641/BAB...9 dioptimalkan pemanfaatannya untuk kegiatan perikanan budidaya dengan menggunakan

19

Gambar 5. Proses Pertumbuhan Perifiton

Jenis-jenis perifiton didominasi oleh golongan plankton, baik fitoplankton

maupun zooplankton. Beberapa jenis yang sering ditemui di perairan tawar adalah

Spirogyra, Cymbella, Zygnema, Navicula, Pinularia, Synedra, Oscillatoria,

Cosmarium, Merismopedia, Nitzschia, Spirulina, Diatom, dan sebagainya , contoh

gambar perifiton dapat dilihat pada gambar 6.

(A) (B) ©

Gambar 6. (A). Spyrogyra (B). Merismopedia (C). Zygnema (Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Periphyton

Struktur komunitas merupakan pola kelimpahan suatu jenis dan pola

keterikatan antar jenis dalam sebuah komunitas (Barnes dan Mann 1993). Pada

)

Dominansi perifiton pada suatu perairan sangat dipengaruhi oleh kondisi

perairan, kandungan nutrien perairan, dan musim. Tidak semua jenis perifiton

menempel secara permanen pada suatu substrat. Ada beberapa jenis perifiton yang

hanya menempel sementara, misalnya hanya pada saat bereproduksi atau terbawa

arus sehingga terjebak dalam koloni perifiton permanen.

Page 14: II. TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46641/BAB...9 dioptimalkan pemanfaatannya untuk kegiatan perikanan budidaya dengan menggunakan

20

perairan danau dan waduk, fitoplankton yang kodominan (dominan lebih dari

satu) biasanya meliputi kelas Bacillariophyceae, Chlorophyceae, dan

Cyanophyceae (Boney 1975 dalam Prasetiya 2007).

Pertumbuhan dan perkembangan perifiton biasanya didukung oleh faktor-

faktor lingkungan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan perifiton

diantaranya tipe perairan (sungai, waduk, atau laut), intensitas cahaya (lama

penyinaran) kecerahan, kekeruhan, tipe substrat (kondisi, lokasi, kedalaman,

ketersediaan dan lama perendaman), pergerakan air (arus dan kecepatan), pH,

alkalinitas, unsur hara, bahan terlarut, suhu, oksigen dan CO2

• Epipelik, mikroorganisme yang menempel pada permukaan sedimen.

.

Selain faktor-faktor diatas, perkembangan perifiton menuju kemantapan

komunitasnya tergantung pada kemantapan substratnya. Berdasarkan penelitian

Suparlina (2003) dengan menggunakan kolam berkonstruksi beton jumlah biota

perairan menjadi lebih banyak. Hal ini karena kolam berkonstruksi beton dapat

menahan air lebih baik, sehingga membuat kondisi perairan kolam lebih stabil dan

terkontrol.

Berdasarkan substrat tempat menempelnya Weitzel (1979) membedakan

perifiton menjadi beberapa jenis, yaitu:

• Epilitik, mikroorganisme yang menempel pada permukaan batuan.

• Epifitik, mikroorganisme yang menempel pada permukaan tumbuhan.

• Epizoik, mikroorganisme yang menempel pada permukaan hewan.

• Epipsamik, mikroorganisme yang hidup dan bergerak diantara butiran-

butiran pasir. • Epidendrik, mikroorganisme yang menempel pada batang kayu