II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Ciri-ciri air yang tercemar ini sangat bervariasi...
-
Upload
truongdung -
Category
Documents
-
view
232 -
download
0
Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Ciri-ciri air yang tercemar ini sangat bervariasi...
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS)
Sungai merupakan sumber air bagi kehidupan manusia. Sungai dicirikan
dengan arus yang searah dan relatif kencang dengan kecepatan berkisar antara
0,1-1,0 m/detik dan sangat dipengaruhi oleh waktu, iklim, dan pola drainase. Pada
perairan sungai terjadi percampuran massa air secara menyeluruh, kecepatan arus,
erosi dan sedimentasi adalah tiga faktor yang mempengaruhi kehidupan flora
fauna di dalamnya (Effendi 2003).
Umumnya aliran sungai dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian hulu,
bagian tengah dan bagian hilir. Bagian hulu adalah aliran yang melalui lembah-
lembah di daerah pegunungan, aliran tengah adalah bagian hilir setelah turun dari
daerah pegunungan ke daerah yang mulai datar sehingga alirannya mulai lambat
geraknya. Sedangkan bagian hilir adalah bagian dengan aliran air yang tidak deras
lagi dan volume air tergolong besar (Prawirodihardjo 2003).
Ekosistem sungai mencakup segala sesuatu komponen yang berkaitan
dengan sungai tersebut. Adanya daerah tangkapan air atau daerah aliran sungai
(DAS) sangat mempengaruhi ekosistem sungai dari kuantitas dan kualitasnya.
Menurut Suripin (2002) DAS merupakan suatu wilayah yang dibatasi oleh batas
alam seperti punggung, bukit atau gunung maupun batas buatan seperti jalan,
tanggul yang menerima hujan, menampung, menyimpan dan mengalirkan ke
sungai dan seterusnya ke laut, didalamnya terjadi interaksi antara faktor biotik,
abiotik dan manusia.
Secara sederhana Verbist et al. (2009) mendefenisikan DAS sebagai suatu
daerah yang bentuk dan sifat alaminya sedemikian rupa sehingga merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak sungai yang melaluinya. DAS sebagai suatu
wadas besar membentuk sistem yang kompleks untuk memproses input air dan
mengeluarkannya dalam bentuk air pula melalui muara sungai, mata air, sumur
arthesis dan lainnya (Suryanta 2007). Komponen masukan DAS adalah curah
hujan sedangkan komponen keluarannya adalah debit air dan muatan sedimen.
Wilayah DAS ini terbagi tiga yaitu DAS bagian hulu, bagian tengah dan hilir.
Kualitas dari masing-masing DAS tersebut tergantung dari interaksi berbagai
5
komponen di dalamnya yang mampu mendukung fungsi perlindungan terhadap
DAS tersebut. Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air (DKKSA
2004) menyatakan kondisi DAS dikatakan baik jika memenuhi beberapa kriteria :
a. Debit sungai konstan dari tahun ke tahun
b. Kualitas air baik dari tahun ke tahun
c. Fluktuasi debit antara debit maksimum dan minimum kecil.
d. Ketinggian muka air tanah konstan dari tahun ke tahun.
2.2 Pencemaran Air
Pencemaran air adalah penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal,
bukan dari kemurniannya (Fardiaz 1992). Pencemaran air menyebabkan
terjadinya gangguan pada kuantitas dan kualitas air tersebut. Pencemaran air dapat
juga didefenisikan sebagai suatu penyimpangan dari keadaan normal perairan
yang terutama disebabkan oleh hasil aktivitas manusia dalam bentuk limbah yang
masuk keperairan. Limbah ini dibedakan oleh Katz 1971 diacu dalam Warouw
(1986) menjadi 4 tipe yaitu:
1. Limbah domestik
2. Limbah industri
3. Limbah pertanian
4. Limbah radioaktif
Tingkat pencemaran dari limbah domestik dapat dikelompokkan
berdasarkan parameter kualitas air seperti tertera pada tabel berikut :
Tabel 1 Klasifikasi tingkat pencemaran dari limbah domestik berdasarkan
parameter kualitas air
No Parameter Tingkat pencemaran
Berat Sedang Ringan 1 Padatan total (mg/l) 1000 500 200
2 Bahan padatan terendapkan (mg/l) 12 8 4
3 BOD (mg/l) 300 200 100
4 COD (mg/l) 800 600 400
5 Nitrogen total (mg/l) 85 50 25
6 Amonia-nitrogen (mg/l) 30 30 15
7 Klorida (mg/l) 175 100 15
8 Alkalinitas(mg/l CaCO3) 200 100 50
9 Minyak dan lemak 40 20 0
Sumber: Rump dan Krist 1992, diacu dalam Effendi 2003
6
Keadaan normal air masih tergantung pada kegunaan air itu sendiri dan
asal sumber air. Ukuran air disebut bersih dan tidak tercemar tidak ditentukan
oleh kemurnian air (Wardhana 2001).
Pencemaran air menurut Darmono (2006) terdiri dari beberapa jenis,
antara lain pencemaran mikroorganisme dalam air, pencemaran air oleh bahan
inorganik nutrisi tanaman, pencemaran oleh limbah organik, pencemaran oleh
bahan kimia organik dan inorganik, pencemaran oleh sedimen, bahan tersuspensi
dan substansi radioaktif. Mulyanto (2007) menyatakan bahwa pencemaran air
dapat berasal dari sumber terpusat yang membawa pencemar dari lokasi-lokasi
khusus seperti pabrik-pabrik, instansi pengolah limbah dan tanker minyak dan
sumber tak terpusat yang ditimbulkan jika hujan dan salju cair mengalir melewati
lahan dan menghanyutkan pencemar-pencemar diatasnya, sumber ini berperan
utama menimbulkan pencemaran pada sungai-sungai.
Ciri-ciri air yang tercemar ini sangat bervariasi tergantung dari jenis air
dan polutannya atau komponen yang mengakibatkan pencemaran. Fardiaz (1992)
mengelompokkan polutan air atas 9 grup berdasarkan perbedaaan sifat-sifatnya,
polutan tersebut yaitu :
1. Padatan
2. Bahan buangan yang membutuhkan oksigen
3. Mikroorganisme
4. Komponen organik sintetik
5. Nutrien tanaman,
6. Minyak
7. Senyawa anorganik dan mineral
8. Bahan radioaktif
9. Panas.
2.3 Parameter Kualitas Air
Kelayakan suatu sumber air untuk digunakan dapat dilihat dan diuji dari
kualitas airnya. Kualitas air menyatakan tingkat kesesuaian air terhadap
penggunaan tertentu dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia (Suripin 2002).
Kualitas air juga dapat didefenisikan sebagai sifat air dan kandungan makhluk
7
hidup, zat,energi, atau komponen lain di dalam air yang dinyatakan dalam tiga
parameter yaitu parameter fisika, parameter kimia dan parameter biologi (Effendi,
2003).
Artiola et al. (2004) menyatakan kriteria yang bisa digunakan untuk ketiga
parameter tersebut adalah 1) parameter fisika terdiri dari parameter utama
(temperatur dan Total Suspensi Padatan/TSS) dan proses utama (aliran arus
berupa aliran limbah/buangan masuk dan infiltrasi, perubahan keadaan oleh
proses evapotranspirasi, kondensasi, solidfikasi dan sublimasi, serta campuran
dari beberapa proses tersebut), 2) parameter kimia terdiri dari parameter utama
{pH, total padatan terlarut (TDSs), kesadahan (total Ca+Mg), alkalinitas, total
oksigen terlarut, kation terlarut(Ca, Mg, Na, K, NH4), anion terlarut (Cl, So4,
HCO3, CO3, PO4, H2S, NO3), total karbon organik, dan BOD}, Bahan kimia
inorganik {anion (Se,As,Cr (VI),V,Mo,B), kation (Fe, Al,Cu, Zn, Mn, Ba, Be,
Co, Ni, Cd, Hg, Pb, Cr (III), Li, Sn, Th), netral (Si) dan radionuklida (U, Ra,
Rn)}, 3) Fraksi karbon organik terdiri dari substansi alami (lignin, asam humik,
klorofil, asam amino, asam lemak jenuh, fenol, poliaromatik dan hidrokarbon
alifatik), proses utama (oksidasi, reduksi, disolusi, presipitasi) dan substansi
antropogenik (hidrokarbon terklorisasi, Volatil organik hidrokarbon dan semi
volatil hidrokarbon), 3) Parameter biologi dilihat dari indikator berupa
mikrooganisme seperti bakteri, virus, protozoa, helmint, dan alga.
Fardiaz (1992) menyebutkan bahwa sifat-sifat air yang umum diuji dan
dapat digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran air antara lain : nilai pH,
keasaman, suhu, warna, bau dan rasa, total padatan, nilai BOD dan COD,
pencemaran mikroorganisme patogen, kandungan minyak, kandungan logam
berat, dan kandungan bahan radioaktif.
2.3.1 Parameter fisika
2.3.1.1 Suhu
Suhu air menentukan kelarutan oksigen dan secara tidak langsung
mempengaruhi komposisi dan produktivitas ekosistem budidaya air (Lee 1988).
Air buangan dari industri yang dibuang ke sungai dapat meningkatkan suhu air
sungai. Fardiaz (1992) menyatakan kenaikan suhu air akan menimbulkan:
8
1. Jumlah oksigen terlarut dalam air akan menurun
2. Kecepatan reaksi kimia meningkat
3. Kehidupan ikan dan hewan air lainnya akan terganggu
4. Jika batas suhu yang mematikan terlampaui, ikan dan hewan air lainnya akan
mati.
Suhu air sungai yang tinggi dapat ditandai dengan munculnya ikan dan
hewan air lainnya ke permukaan untuk mencari oksigen. Suripin (2002)
menyatakan suhu air tergantung dari sumbernya, untuk sistem air bersih suhu
ideal berkisar antara 5°C sampai 10°C.
2.3.1.2 Warna, bau, dan rasa air
Warna air yang tidak normal biasanya menunjukkan adanya pencemaran.
Warna air dibedakan menjadi dua yaitu warna sejati yang disebabkan oleh bahan-
bahan terlarut dan warna semu yang selain disebabkan oleh bahan terlarut juga
disebabkan oleh bahan tersuspensi (Fardiaz 1992). Wardhana (2001) menyatakan
bahan buangan dan limbah pabrik dapat memyebabkan perubahan warna air dan
menimbulkan bau yang menyengat pada hidung. Secara umum bau air ini
tergantung dari sumbernya. Air yang normal umumnya tidak mempunyai rasa.
Timbulnya rasa yang menyimpang sering dikaitkan dengan bau yang tidak normal
yang secara langsung menunjukkan adanya pencemaran.
2.3.1.3 Total padatan
Padatan total adalah bahan yang tersisa setelah air sampel mengalami
evaporasi dan pengeringan pada suhu tertentu (APHA 1976 diacu dalam Effendi
2003). Bahan padatan ini secara keseluruhan mempengaruhi kualitas air dalam
proses koagulasi dan filtrasi (Suripin 2002). Menurut Fardiaz (1992) air yang
tercemar selalu mengandung padatan dimana Fardiaz membedakannya atas empat
kelompok berdasarkan besar partikelnya dan sifat-sifat lainnya terutama
kelarutannya yaitu: padatan terendap (sedimen), padatan tersuspensi dan koloid
(TSS), padatan terlarut (TDS), minyak, dan lemak.
Padatan terendap (sedimen) terjadi akibat proses erosi yang mengangkut
tanah lapisan atas yang subur yang mengalami sedimentasi dibagian hilir badan
9
air sehingga mengakibatkan pendangkalan. Kebanyakan sungai dan DAS selalu
membawa endapan lumpur yang disebabkan oleh erosi alamiah dari pinggir
sungai. Namun untuk kandungan sedimen yang terlarut selalu terjadi peningkatan
pada sungai akibat erosi dari tanah pertanian, kehutanan, konstruksi dan
pertambangan (Darmono 2006). Hal ini mempengaruhi kualitas air berupa
penurunan nilai kecerahan serta peningkatan nilai kekeruhan.
Total Padatan Terlarut (TDS)
Zat padat terlarut (TDS) adalah zat organik dan anorganik serta ion-ion
terlarut dalam air (DTLH 2003). Rao (1992) diacu dalam Effendi (2003)
menambahkan bahwa TDS adalah bahan terlarut yang berdiameter < 10-6
mm dan
koloid yag berdiameter 10-6
mm-10-3
mm yang berupa senyawa-senyawa kimia
serta bahan lain yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter 0,45 μm. Nilai
TDS dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan tanah dan pengaruh
antropogenik. Baku mutu untuk nilai TDS pada suatu perairan berdasarkan SK.
Gub. KDH TK./Jabar No. 38/1991 diacu dalam DTLH (2003) adalah 1000 ppm.
Total Padatan Tersuspensi (TSS)
Jenis padatan lainnya adalah zat padat tersuspensi (TSS). Padatan
tersuspensi didefenisikan oleh Effendi (2003) sebagai bahan tersuspensi yang
berdiameter > 1μm yang terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik
yang disebabkan oleh kikisan tanah dan erosi yang terbawa oleh badan air.
Zamrin (2007) menambahkan bahwa padatan ini menyebabkan kekeruhan air,
tidak larut dan tidak dapat mengendap lansung, adanya peningkatan penggunaan
lahan untuk pemukiman, menurunnya luasan hutan dapat meningkatkan erosi
yang berdampak pada peningkatan padatan tersuspensi. Klein (1971) menyatakan
bahwa padatan tersuspensi mengandung bahan organik yang dapat mengalami
pemubusukan, mudah mengendap dan menutupi dasar sungai sehingga dapat
mengganggu tumbuhan dan kehidupan hewan aquatik seperti tidak sesuainya
dasar sungai untuk tempat bertelur ikan. Berdasarkan SK. Gub. KDH TK./Jabar
No. 38/1991 diacu dalam DTLH (2003) baku mutu untuk nilai TSS di perairan
adalah sebesar < 200 ppm.
10
2.3.2 Parameter kimia
2.3.2.1 pH
Nilai pH untuk air normal yang memenuhi syarat untuk kehidupan adalah
berkisar antara 6,5-7,5 (Wardhana 2001). Sedangkan nilai pH untuk air yang
tercemar menurut Fardiaz (1992) berbeda-beda tergantung dari jenis buangannya.
Umumnya bakteri tumbuh baik pada pH netral dan alkalis sedangkan jamur lebih
menyukai pH rendah (Effendi 2003). Selain itu Lee (1988) menyatakan sungai-
sungai yang mengalir dari kawasan dimana batuan-batuan tahan terhadap
pelapukan dan miskin akan ion penyebab alkalinitas maka penambahan asam
terhadap sungai tersebut akan mengakibatkan pengurangan pH secara serius.
2.3.2.2 BOD
William Dibdin (1882) diacu dalam Mayer (2001) menyatakan variabel
BOD (Biological Oxygen Demand) adalah jumlah mg oksigen yang dibutuhkan
untuk mengoksidasi bahan organik yang dinyatakan dalam satu liter sampel air.
Bahan organik tersebut adalah bahan biologis yang membusuk atau mengalami
dekomposisi menjadi substansi sederhana oleh dekomposer seperti bakteri dan
jamur.
Peningkatan jumlah bahan organik dalam lingkungan aquatik
menstimulasi pertumbuhan populasi dekomposer. Sejak dekomposer
membutuhkan oksigen untuk respirasi, tumbuh menjadi jumlah yang besar
sehingga meningkatkan permintaan untuk oksigen terlarut. Pengaruh dari BOD di
sungai berpengaruh terhadap tinggi rendahnya nilai DO dari nilai limbah yang
ditambahkan. Perairan alami memiliki nilai BOD antara 0,5-7,0 mg/l (Jeffries dan
mills 1996, diacu dalam Suripin 2002). Perairan yang memiliki nilai BOD lebih
dari 10 mg/liter dianggap telah mengalami pencemaran.
Sementara itu Hill (2004) menyatakan bahwa BOD yang sifatnya alami
seperti sisa tumbuhan dan kotoran satwa liar hampir selalu ada. Sedangkan
sekarang, tingginya nilai BOD sering diindikasikan dengan tingginya hasil
aktivitas manusia seperti kotoran ataupun limbah. Aktivitas manusia yang mudah
menimbulkan limbah dan berpengaruh terhadap BOD meliputi pengolahan limbah
11
di perkotaan, industri makanan, pengolahan kimia tumbuhan, industri pulp dan
kertas, penyamak kulit dan rumah pemotongan hewan.
Nilai BOD yang tinggi bisa mengurangi ketersediaan oksigen dalam air
yang secara umum dapat mempengaruhi ekosistem aquatik bahkan dapat
menyebabkan kematian pada organisme aquatik. Hasil penelitian Zamrin (2007)
tentang kualitas air sungai Cisadane juga menjelaskan bahwa penduduk dan
peternakan memiliki peranan yang cukup signifikan terhadap peningkatan nilai
BOD. Dengan asumsi bahwa semua penduduk di DAS Cisadane menggunakan
septic tank maka diduga penduduk menyumbangkan bahan buangan yang
meningkatkan BOD sebesar 9.442 ton/tahun, ternak sapi 3.939,2 ton/tahun, ternak
kambing 2.162,9 ton/tahun, ayam 5.164,7 ton/tahun.
2.3.2.3 COD
COD adalah jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi
bahan organik secara kimiawi baik yang terdegradasi secara biologis maupun
yang sukar terdegradasi secara biologis menjadi CO2 dan H2O (Effendi 2003).
Perairan yang memiliki nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan
perikanan dan pertanian. Nilai COD pada perairan tidak tercemar biasanya kurang
dari 20 mg/liter, sedangkan pada perairan tercemar dapat lebih dari 200 mg/liter
dan pada limbah industri dapat mencapai 60.000 mg/liter (UNESCO/WHO/UNEP
1992, diacu dalam Effendi 2003).
2.3.2.4 Oksigen terlarut (DO)
Oksigen terlarut merupakan parameter yang sangat penting sebagai
indikator dalam kemurnian air. Konsentrasi DO di air ini juga merupakan
kebutuhan dasar bagi organisme aquatik untuk keberlangsungan hidupnya.
Organisme air seperti ikan biasanya memerlukan DO sebesar 5,8 mg/l (Palmeri
2001, diacu dalam Kurniawan 2005). Menurut Klein (1971), faktor-faktor yang
mempengaruhi konsentrasi DO secara signifikan antara lain jumlah dan sifat
bahan organik, temperatur, aktivitas bakteri, pengenceran, fotosintesis dan
reaeration dari atmosphere. Klasifikasi kualitas air sungai berdasarkan konsentrasi
12
DO dalam % saturasi (tingkat kejenuhan oksigen dikaitkan dengan suhu) dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2 Klasifikasi kualitas air sungai berdasarkan konsentrasi DO
Sumber: Klein 1971
2.3.2.5 Fosfat
Fosfat merupakan senyawa yang mengandung unsur fosfor. Menurut
Mahida (1984) diacu dalam Pribadi (2005), fosfor merupakan komponen yang
sangat penting dalam permasalahan air, sumber-sumber fosfor berupa pencemaran
industri, hanyutan dari pupuk, limbah domestik, hancuran bahan organik dan
mineral-mineral fosfat. Keberadaan fosfor di perairan alami biasanya relatif kecil
dengan kadar lebih sedikit dari nitrogen karena sumber fosfor lebih sedikit
dibandingkan dengan sumber nitrogen di perairan. Berdasarkan kadar fosfat total,
perairan diklasifikasikan menjadi tiga yaitu perairan oligotrofik yang memiliki
kadar fosfat total berkisar antara 0-0,02 mg/l; perairan mesotrofik yang memiliki
kadar fosfat total 0,0021-0,005 mg/l; dan perairan eutrofik yang memiliki kadar
fosfat total 0,051-0,2 mg/l (Effendi 2003).
2.4 Kriteria dan Baku Mutu Air
Baku mutu air adalah batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi atau
komponen lain yang harus ada atau unsur pencemar yang masih diperbolehkan
dalam sumber air tertentu, sesuai dengan peruntukannya (Effendi 2003). Baku
mutu air dapat dilihat pada PP No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas
Air Dan Pengendalian Pencemaran Air. Mutu air diklasifikasikan menjadi 4 kelas,
yaitu
1. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum,
dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut;
2. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana
rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi
Tipe air sungai DO (% saturasi)
Bagus >90
Sedang 75-90
Agak tercemar 50-75
Jelek/tercemar <50
13
pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang
sama dengan kegunaan tersebut;
3. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan
air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain
yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
4. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi
pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang
sama dengan kegunaan tersebut.
2.5 Pemanfaatan Sumberdaya Air
Pemanfaatan sumberdaya air berkembang seiring dengan meningkatnya
jumlah dan pengetahuan penduduk. Dalam perkembangannya terjadi variasi
dalam penggunaan air berdasarkan jenis aktivitas manusia. Awalnya air hanya
digunakan untuk kebutuhan minum dan pertanian. Namun dewasa ini air juga
digunakan untuk keperluan perikanan, rekreasi, industri, pelayaran dan
sebagainya. Air permukaan digunakan di kawasan insitu untuk rekreasi,
perikanan, pelayaran, pembangkit listrik dan apresiasi estetika.
Pemanfaatan air untuk berbagai macam akivitas ini dapat menimbulkan
limbah/sumber pencemar yang mempengaruhi kualitas air. Berdasarkan penelitian
Pramesti (2007) juga dijelaskan bahwa menurunnya kualitas air disebabkan oleh
beberapa sumber pencemar diantaranya penduduk, ternak, industri, lahan kritis
yang berupa erosi dan zat organik dan pertanian, semakin tinggi jumlah penduduk
yang ada di suatu DAS maka semakin tinggi pula pencemar yang dihasilkan oleh
penduduk tersebut.
Wardhana (2001) menyatakan dalam pemanfaatan sumberdaya air
diperlukan adanya standar air bersih guna menentukan kualitas air yang layak
untuk berbagai keperluan. Namun hal ini tergantung pada faktor penentu berupa
kegunaan air dan asal sumber air sebagai berikut :
a. Kegunaan air
1. Air untuk minum
2. Air untuk keperluan rumah tangga
3. Air untuk industri
14
4. Air untuk mengairi sawah
5. Air untuk kolam perikanan, dan lain-lain
b. Asal sumber air
1. Air dari mata air di pegunungan
2. Air danau
3. Air sungai
4. Air sumur
5. Air hujan, dan lain-lain
Air bersih harus mempunyai kualitas tinggi secara fisik, kimiawi maupun
biologi.
2.6 Perubahan Tutupan Lahan
Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, kebutuhan akan
lahan juga meningkat. Hal ini mendorong terjadinya pemanfaatan lahan yang
berupa eksploitasi atau konversi lahan secara berlebihan di beberapa tempat tidak
terkecuali wilayah DAS. Arwindrasti (1997) menyatakan bahwa pemanfaatan
lahan di DAS Cisadane dapat dibedakan dalam tiga kelompok yaitu pertanian,
industri dan pemukiman. Kondisi ini menunjukkan terjadinya perubahan tutupan
lahan di wilayah DAS yang awalnya berupa hutan menjadi lahan dengan beragam
jenis tutupan sepeti lahan pertanian, perkebunan, pemukiman, industri, lahan
kosong dan lain-lain.
Kondisi tutupan lahan ini merupakan faktor penting yang mempengaruhi
kuantitas dan kualitas air di DAS tersebut. Marsono (2004) menyatakan bahwa air
yang dihasilkan oleh suatu DAS sangat ditentukan oleh karakteristik ekosistem
dan dipengaruhi oleh teknik pemanfaatan lahannya. Keberadan hutan dengan
beragam vegetasi adalah suatu jenis tutupan lahan yang terdapat di DAS yang
secara langsung mendukung fungsi suatu ekosistem DAS.
2.6.1 Pengaruh perubahan tutupan/penggunaan lahan terhadap kualitas air
Hasil penelitian (Rasyidin 1995) menjelaskan bahwa perubahan tata guna
lahan atau tanah mempengaruhi kualitas air pada musim hujan dan musim
kemarau. Berkurangnya hutan dan bertambahnya penggunaan lahan menyebabkan
15
peningkatan parameter kualitas air seperti TSS, BOD dan COD pada musim
penghujan dan musim kering. Hal yang serupa juga diperoleh Zamrin (2007)
bahwa perubahan tutupan lahan mengakibatkan terjadinya peningkatan laju erosi
yang berdampak pada nilai kekeruhan dan TSS air sungai.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Puspaningsih (1997) jenis
tutupan lahan memiliki laju erosi yang berbeda tergantung pada persen tutupan
tanah dan vegetasi. Laju erosi di tipe penggunaan lahan berupa kebun campuran
lebih kecil daripada tipe penggunaan lahan berupa pemukiman karena banyaknya
lahan pemukiman dengan tanah yang ditutupi bangunan dan jaringan jalan yang
menyebabkan aliran permukaan besar. Prediksi erosi di hutan lindung, sawah dan
kebun campuran dengan kerapatan tinggi lebih kecil daripada nilai erosi yang
masih diperbolehkan tetapi tingkat erosi di semak belukar, tegalan, hutan tanaman
dan pemukiman lebih besar daripada nilai erosi yang diperbolehkan.
Sementara itu Lee (1988) mengemukakan bahwa adanya kegiatan konversi
hutan berupa penggundulan, pemangkasan, pembalakan dan penebangan hutan
akan cenderung mengurangi produksi air, meningkatkan erosi, pemakaian bahan
kimia untuk kegiatan tersebut akan mempengaruhi kualitas air. Perubahan tutupan
lahan tersebut juga akan berakibat buruk pada pola hidrologi DAS Cisadane
(Arwindrasti 1997). Senada dengan hal tersebut, Marsono (2004) menyimpulkan
secara umum bahwa jika ekosistem DAS tidak mengalami kerusakan akibat
pemanfaatan yang berlebihan, maka jumlah, sebaran air dan kualitas airnya
sepanjang tahun akan berjalan normal dan optimal sesuai dengan karakteristik
DAS yang bersangkutan.