II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ginjal - digilib.unila.ac.iddigilib.unila.ac.id/9734/8/9. BAB II...
Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ginjal - digilib.unila.ac.iddigilib.unila.ac.id/9734/8/9. BAB II...
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Ginjal
1. Anatomi ginjal
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga
retroperitoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi
cekungnya menghadap ke medial. Pada sisi ini terdapat hilus ginjal yaitu
tempat struktur-struktur pembuluh darah, sistem limfatik, sistem saraf dan
ureter menuju dan meninggalkan ginjal. Di sebelah posterior, ginjal
dilindungi oleh otot-otot punggung yang tebal serta tulang rusuk ke XI dan
XII sedangkan di sebelah anterior dilindungi oleh organ-organ
intraperitoneal (Purnomo, 2009).
Ginjal mendapat aliran darah dari arteri renalis yang merupakan cabang
langsung dari aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan melalui
vena renalis yang bermuara ke dalam vena kava inferior. Sistem arteri
ginjal adalah end arteries yaitu arteri yang tidak mempunyai anastomosis
dengan cabang-cabang dari arteri lain, sehingga jika terdapat kerusakan
pada salah satu cabang arteri ini, berakibat timbulnya iskemia/nekrosis pada
daerah yang dilayaninya (Purnomo, 2009).
10
Gambar 3. Anatomi Ginjal (Snell, 2006).
2. Histologi Ginjal
Secara anatomis ginjal terbagi menjadi 2 bagian yaitu korteks dan medulla
ginjal. Di dalam korteks terdapat berjuta-juta nefron, dimana setiap ginjal
terdiri atas 1-4 juta nefron sedangkan di dalam medulla banyak terdapat
duktuli ginjal. Nefron adalah unit fungsional terkecil dari ginjal yang terdiri
atas, tubulus kontortus proksimalis, korpuskulus renal, tubulus kontortus
distalis, segmen tipis dan tebal ansa Henle, dan tubulus kolegens. Darah
yang membawa sisa-sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi di dalam
glomerulus kemudian di tubulus ginjal, beberapa zat yang masih diperlukan
tubuh mengalami reabsorbsi dan zat-zat hasil sisa metabolisme mengalami
sekresi bersama air membentuk urine. Setiap hari tidak kurang 180 liter
cairan tubuh difiltrasi di glomerulus dan menghasilkan urine 1-2 liter. Urin
yang terbentuk di dalam nefron disalurkan melalui piramida ke sistem
11
pelvikalises ginjal untuk kemudian disalurkan ke dalam ureter (Purnomo,
2009).
Setiap ginjal tersusun atas ± 100 juta nefron yang merupakan unit
fungsional ginjal terletak pada kortek ginjal yang pada dasarnya mempunyai
struktur dan fungsi yang sama yaitu, pembentukan urin dan memelihara
kekonstanan komposisi cairan ektraseluler tubuh (Soewolo, 2000). Nefron
terdiri dari kapsula bowman yang mengelilingi rumbai kapiler glomerulus,
tubulus kontraktus proksimal, segmen tipis dan tebal ansa (lengkung) henle
dan tubulus kontraktus distal. Nefron dan tubulus koligens (saluran
pengumpul) merupakan tubulus uriniferus yang merupakan satuan
fungsional ginjal, menampung urin yang dihasilkan oleh nefron dan
menghantarkannya ke pelvis renal (Marieb, 2005).
Gambar 4. Gambaran skematik nefron ginjal (Junqueira, 2007).
12
Gambar 5. Gambaran histologi korpuskel ginjal (Junqueira, 2007).
Gambar 6. Gambaran histologi korpuskel ginjal (Junqueira, 2007).
a. Glomerulus
Glomerulus merupakan anyaman pembuluh darah kapiler, yang
merupakan cabang dari arteriol aferen. Setelah memasuki badan ginjal
(korpus ginjal) korpuskula renalis, arteriol aferen biasanya bercabang
13
menjadi 2-5 cabang utama yang masing-masing bercabang lagi menjadi
jala jala kapiler. Tekanan hidrostatik darah arteri yang terdapat dalam
kapiler-kapiler ini. glomelurus diatur oleh arteriol eferen (Eroschenko,
2003).
Glomerulus dalam keadaan normal secara keseluruhan tertutup oleh
kapsula bowman yang berbentuk mangkok, kapiler glomerulus dilapisi
oleh sel-sel endotel, berlubang pori-pori dengan diameter kurang lebih
100 nm dan terletak pada membran basalis. Di bagian luar membran
basalis adalah epitel viseral (podosit) (Robbins and Kumar, 2002).
b. Kapsula Bowman
Berkas kapiler glomelurus dikelilingi oleh kapsula Bowman. Kapsula
bowman merupakan epitel berdinding ganda. Lapisan luar kapsula
bowman terdiri atas epitel selapis gepeng, dan lapisan dalam tersusun
atas sel-sel khusus yang disebut podosit (sel kaki) yang letaknya meliputi
kapiler glomerulus. Antara kedua lapisan tersebut terbentuk rongga
kapsul bowman. Sel-sel podosit, membran basalis dan sel-sel endotel
kapiler membentuk lapisan membran filtrasi yang berlubang-lubang yang
memisahkan darah yang terdapat dalam kapiler dengan ruang kapsuler.
Sel-sel endotel kapiler glomerulus mempunyai pori-pori sel lebih besar
dan lebih banyak daripada kapiler-kapiler pada organ lain. Hasil filtrasi
cairan darah pada glomerulus atau disebut cairan ultrafiltrat selanjutnya
ditampung pada rongga kapsul (Eroschenko, 2003).
14
c. Korpuskulum renal
Korpuskulum renal adalah segmen awal setiap nefron. Di sini, darah
disaring melalui kapiler-kapiler glomerulus dan filtratnya ditampung di
dalam rongga kapsular yang terletak di antara lapisan parietal dan viseral
kapsul bowman. Setiap korpuskulum renal mempunyai kutub vaskular
yang merupakan tempat keluar masuknya pembuluh darah dari
glomerulus (Eroschenko, 2003).
d. Tubulus Kontortus Proksimal (TKP)
Tubulus kontortus proksimal merupakan saluran panjang yang berkelok-
kelok mulai pada korpuskulum renalis kemudian menurun ke dalam
medulla dan menjadi lengkung Henle (loop of Henle). Tubulus kontortus
proksimal (TKP) biasa ditemukan pada potongan melintang korteks. TKP
dibatasi oleh epitel kubus selapis dengan apeks sel menghadap lumen
tubulus memiliki banyak mikrovili membentuk brush border
(Eroschenko, 2003). Tubulus kontraktus proksimal sebagai bagian
nefron yang paling panjang dan paling lebar membentuk isi kortek, di
dalamnya filtrat glomerulus mulai berubah menjadi kemih oleh absorbsi
beberapa zat dan penambahan sekresi zat-zat lain. Salah satu fungsi
utama dari tubulus kontraktus proksimal adalah menyekresi kreatinin,
albumin, protein, karbohidrat dan substansi asing bagi organisme seperti
penisilin. Hal tersebut merupakan proses aktif yang disebut sekresi
tubulus (Junqueira et al., 2007). Jumari (2007) menambahkan bagian
tubulus ginjal berfungsi memproses hasil filtrasi dari glomerulus untuk
direasorbsi atau dibuang dalam bentuk urin.
15
Gambar 7. Irisan Melintang Kortek ginjal P (tubulus proksimal);D (tubulus distal) (Junquera, 2007).
Sel epitel tubulus-tubulus ginjal terutama tubulus proksimal, sangat peka
terhadap suatu iskemia, maka jaringan ini akan mengalami kerusakan.
Salah satu gangguan pada ginjal akibat produksi radikal bebas yang
berlebih salah satunya adalah Acute Tubular Necrosis (ANT) yang
menyerang tubulus ginjal yang disebabkan oleh ketika sel tubular
mendapatkan pengaruh dari racun obat atau molekul (nephrotoxic ATN)
(Hanifah, 2008). Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan
struktur dan fungsi sel pada ginjal adalah adanya radikal bebas. Radikal
bebas merupakan salah satu produk reaksi kimia dalam tubuh yang
mempunyai reaktifitas tinggi sehingga menimbulkan perubahan kimiawi
dan merusak komponen sel hidup seperti protein, lipid, karbohidrat dan
asam nukleat (Rahmawati, 2003).
Kerusakan ginjal yang berupa nekrosis tubulus disebabkan oleh sejumlah
racun organik. Hal ini terjadi karena pada sel epitel tubulus terjadi
kontak langsung dengan bahan yang direabsorbsi, sehingga sel epitel
16
tubulus ginjal dapat mengalami kerusakan berupa degenerasi melemak
ataupun nekrosis pada inti sel ginjal (Robbins and Kumar, 2002).
Menurut Price & Wilson (2005), kematian sel yang disebabkan oleh
nekrosis tubulus dapat ditandai dengan menyusutnya inti sel atau
ketidakaktifan inti sel tubulus. Sel epitel tubulus proksimal sangat peka
terhadap anoksia dan rentan terhadap toksik. Banyak faktor yang
memudahkan tubulus mengalami toksik, seperti permukaan bermuatan
listrik yang luas untuk reabsorbsi tubulus, sistem transport aktif untuk ion
dan asam organik, kemampuan melakukan pemekatan secara efektif,
selain itu kadar sitokrom P450 yang tinggi untuk mendetoksifikasi atau
mengaktifkan toksikan (Cotran et al., 2003).
e. Loop of Henle
Lengkung Henle (LH) merupakan saluran panjang berbentuk seperti
huruf U dapat dibedakan menjadi segmen tipis dan segmen tebal.
Lengkung henle memiliki lubang lebih lebar daripada tubulus kontortus
distal karena dinding LH terdiri dari sel-sel gepeng dengan inti menonjok
ke dalam lumen. Bagian tipis lengkung Henle merupakan kelanjutan dari
tubulus kontortus proksimal, sebagian besar berjalan turun (descenden)
dan bagian tebal berjalan ke atas (ascenden). Bagian tipis menyerupai
kepiler darah sehingga sukar dibedakan (Eroschenko, 2003).
Lengkung Henle tebal strukturnya sama dengan tubulus kontortus distal.
Bagian descenden lengkung henle bersifat permeabel terhadap air dan
ion-ion, sehingga memungkinkan pergerakan bebas air, Na+ dan Cl-.
17
Sedangkan bagian ascenden tidak permeabel terhadap air dan sangat aktif
mentranspor klorida ke cairan insterstitial. Bertanggung jawab langsung
pada hipertonisitas cairan insterstitial daerah medula sebagai akibat
kehilangan natrium dan klorida. Oleh karena itu, cairan dalam tubulus
yang mencapai tubulus kontortus distal adalah hipotonik. Fungsi
lengkung henle adalah mengatur tingkat osmotik darah dan hipertonik
(Eroschenko, 2003).
f. Tubulus Kontortus Distal (TKD)
Tubulus kontraktus distal seperti halnya tubulus kontraktus proksimal
tempatnya terdapat di kortek perbedaannya didasarkan atas ciri-ciri
tertentu yaitu pada sel tubulus kontraktus proksimal lebih besar dari pada
sel tubulus distal, sel tubulus kontraktus proksimal memiliki brush
border, yang tidak terdapat pada tubulus distal. Lumen tubulus distal
lebih besar, dan karena sel-sel tubulus distal lebih gepeng dan lebih kecil
dari yang ada di tubulus proksimal, maka tampak lebih banyak sel dan
inti pada dinding tubulus distal (Junquera et al., 2007). Tubulus
kontortus distal lebih pendek dan tidak begitu berkelok dibandingkan
dengan tubulus kontortus proksimal. Sel-sel tubulus kontortus distal
secara aktif mereabsorpsi ion-ion Na dari filtrat glomerular dan
dimasukkan ke dalam interstitium. Aktivitas reabsorpsi ini berlangsung
bersamaan dengan ekskresi ion H+ atau K+ ke dalam filtrat atau urin
tubular (Junquera et al., 2007).
18
Reabsorpsi Na di tubuli di atur oleh hormon aldosteron yang di sekresi
korteks adrenal. Sebagai respon terhadap hormon ini, sel-sel tubulus
kontortus distal secara aktif mengabsorpsi Na dari filtrat. Fungsi tubulus
distal merupakan fungsi vital untuk mepertahankan keseimbangan asam-
basa yang sesuai pada cairan tubuh (Eroschenko, 2003).
g. Aparatus jukstaglomerulus
Di dekat korpuskulum renal dan tubulus kontortus distal terdapat
sekelompok sel khusus yang disebut aparatus jukstaglomerular. Aparatus
ini terdiri atas sel-sel jukstaglomerular dan makula densa. Sel-sel
jukstaglomerular adalah sekelompok sel otot polos yang telah
dimodifikasi, terletak di dinding arteriol aferen sebelum memasuki
kapsul glomerular membentuk glomerulus (Eroschenko, 2003). Sel
jukstaglomerulus berhubungan erat dengan makula dense, yaitu suatu
bagian khusus tubulus kontraktus distal yang terdapat diantara arteriol
aferen dan eferen,memiliki sel-sel tunika otot polos, inti berbentuk bulat
dan sitoplasma mengandung granula. Sel jukstaglomerulus berfungsi
menghasilkan enzim renin. Dalam darah renin mempengaruhi
angiotensinogen, suatu protein plasma, untuk menghasilkan angiotensin
(Junquera et al., 2007).
h. Tubulus koligens (tubulus collectivus)
Urin berjalan dari tubulus kontortus distal ke tubulus koligens yang
apabila bersatu membentuk saluran lurus yang lebih besar yang disebut
19
duktus papilaris Bellini. Tubulus koligens merupakan unsur utama
medulla berjalan lurus. Tubulus koligens yang lebih kecil dibatasi oleh
epitel kubus, sedangkan garis tengah duktus koligens terdiri atas sel-sel
berwarna muda. Tubulus yang besar dengan tubulus koligens yang lebih
kecil yang berasal masing-masing medullary ray ternyata saling
mengadakan hubungan tegak lurus mulai pada tubulus distal tetapi yang
penting pada tubulus koligens adalah mekanisme yang tergantung pada
hormon antidiuretik (ADH) untuk pemekatan atau pengenceran terakhir
urin. Dinding tubulus distal dan tubulus koligens sangat mudah ditembus
air bila terdapat ADH atau pengenceran terakhir urin (Eroschenko, 2003).
3. Fungsi Ginjal
Fungsi ginjal secara keseluruhan di bagi dalam dua golongan yaitu :
a. Fungsi ekskresi
Mengekskresi sisa metabolisme protein, yaitu ureum, kalium, fosfat,
sulfat anorganik, dan asam urat.
Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
Menjaga keseimbangan asam dan basa.
b. Fungsi Endokrin
Berperan dalam eritropoesis. Menghasilkan eritropoetin yang
berperan dalam pembentukan sel darah merah.
Menghasilan renin yang berperan penting dalam pengaturan tekanan
darah.
20
Merubah vitamin D menjadi metabolit yang aktif yang membantu
penyerapan kalsium.
Memproduksi hormon prostaglandin, yang mempengaruhi pengaturan
garam dan air serta mempengaruhi tekanan vaskuler.
B. Parasetamol
1. Definisi
Parasetamol (asetaminofen) merupakan metabolit aktif dari fenasetin yang
mempunyai efek analgesik dan antipiretik (Goodman and Gilman, 2008).
Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen (Katzung, 2002).
Obat ini tidak mempunyai efek antiinflamasi yang bermakna, tetapi banyak
digunakan sebagai analgesik ringan jika nyeri tidak memiliki komponen
inflamasi. Hal ini karena selain merupakan penghambat prostaglandin yang
lemah, parasetamol juga merupakan inhibitor siklooksigenase yang lemah
dengan adanya H2O2 (hidrogen peroksida) konsentrasi tinggi yang
dihasilkan neutrofil dan monosit pada lesi radang (Goodman and Gilman,
2008; Neal, 2006).
Parasetamol di Indonesia lebih dikenal dibandingkan dengan nama
asetaminofen, dan tersedia sebagai obat bebas (Wilmana and Gunawan,
2007). Obat ini pertama kali digunakan dalam kedokteran oleh von Mering
pada 1893, namun baru sejak 1949 obat ini populer setelah diketahui
merupakan metabolit aktif utama dari asetanilid dan fenasetin. Sifat
farmakologis yang ditoleransi dengan baik, sedikit efek samping, dan dapat
diperoleh tanpa resep membuat obat ini dikenal sebagai analgesik yang
21
umum di rumah tangga (Goodman and Gilman, 2008; Wishart dan Knox,
2006).
Pemberian parasetamol secara oral dengan penyerapan yang cepat dan
hampir sempurna di saluran pencernaan. Penyerapan dihubungkan dengan
tingkat pengosongan lambung, dan konsentrasi dalam plasma mencapai
puncak dalam 30 sampai 60 menit (Katzung, 2002). Waktu paruh dalam
plasma 1 sampai 3 jam setelah dosis terapeutik dengan 25% parasetamol
terikat protein plasma dan sebagian dimetabolisme enzim mikrosom hati
(Wilmana and Gunawan, 2007). Hati merupakan tempat metabolisme utama
parasetamol. Di dalam hati, 60% dikonjugasikan dengan asam glukuronat,
35% asam sulfat, dan 3% sistein; yang akhirnya menghasilkan konjugat
yang larut dalam air serta diekskresi bersama urin. Jalur konjugasi pertama
(terutama glukuronidasi dan sulfasi) tidak dapat digunakan lagi ketika
asupan parasetamol jauh melebihi dosis terapi dan sebagian kecil akan
beralih ke jalur sitokrom P450 (CYP2E1) (Defendi and Tucker, 2009;
Goodman and Gilman, 2008).
Metabolisme melalui sitokrom P450 membuat parasetamol mengalami N-
hidroksilasi membentuk senyawa antara, N-acetyl-para-benzoquinoneimine
(NAPQI), yang sangat elektrofilik dan reaktif. Pada keadaan normal,
senyawa antara ini dieliminasi melalui konjugasi dengan glutathione (GSH)
yang berikatan dengan gugus sulfhidril dan kemudian dimetabolisme lebih
lanjut menjadi suatu asam merkapturat yang selanjutnya diekskresi ke dalam
urin. Ketika terjadi overdosis, kadar GSH dalam sel hati menjadi sangat
22
berkurang yang berakibat kerentanan sel-sel hati terhadap cedera oleh
oksidan dan juga memungkinkan NAPQI berikatan secara kovalen pada
makromolekul sel, yang menyebabkan disfungsi berbagai sistem enzim
(Goodman and Gilman, 2008). Ikatan kovalen dengan makromolekul sel
terutama pada gugus tiol protein sel dan kerusakan oksidatif juga
merupakan patogenesis utama terjadinya nefropati analgesik (Cotran et al.,
2007; Neal, 2006).
Rangkaian metabolisme minor parasetamol ini dapat menyebabkan efek
merugikan. Pengurangan GSH secara tidak langsung dapat menimbulkan
terjadinya stres oksidatif akibat penurunan proteksi antioksidan endogen
(antioksidan enzimatik), yang juga dapat menyebabkan terjadinya
peroksidasi lipid (Maser et al., 2002). Peroksidasi lipid merupakan suatu
proses autokatalisis yang mengakibatkan kematian sel. Produk akhir
peroksidasi lipid di dalam tubuh adalah malondialdehid (MDA) yang dapat
menyebabkan kematian sel akibat proses oksidasi berlebihan dalam
membran sel (Mayes, 2008; Winarsi, 2007). Selain itu, reaksi pembentukan
NAPQI akibat detoksifikasi oleh sitokrom P450 memacu terbentuknya
radikal bebas superoksida (O2-) yang dinetralisir oleh superoksida
dismutase (SOD) menjadi H2O2, suatu Reactive Oxygen Species (ROS)
yang tidak begitu berbahaya (Ojo et al., 2006). Namun, melalui reaksi
Haber-Weiss dan Fenton, adanya logam transisi seperti Cu dan Fe akan
membentuk radikal hidroksil yang sangat berbahaya yang akan
menghancurkan struktur sel (Winarsi, 2007).
23
Indikasi pemberian parasetamol adalah sebagai analgesik dan antipiretik.
Nyeri akut dan demam dapat diatasi dengan 325-500 mg empat kali sehari
dan secara proporsional dikurangi untuk anak-anak (Katzung, 2002).
Parasetamol juga merupakan analgesik paling sesuai untuk pasca operasi
terutama pada pasien usia lanjut karena efek minimal penghambatan
prostaglandin (Koppert et al., 2006). Parasetamol merupakan salah satu obat
yang paling sering menyebabkan kematian akibat keracunan (self poisoning)
(Neal, 2006).
Toksisitas parasetamol terjadi pada penggunaan dosis tunggal 10 sampai 15
gr (150 sampai 250 mg/kg BB); dosis 20 sampai 25 gr atau lebih
kemungkinan menyebabkan kematian (Goodman and Gilman, 2008;
Wilmana and Gunawan, 2007). Sedangkan dosis toksik untuk mencit atau
LD50 mencit adalah 6,76 mg/20 gr BB mencit (Wishart and Knox, 2006).
Akibat dosis toksik yang paling serius adalah nekrosis hati, walaupun
nekrosis tubuli renalis dan koma hipoglikemik juga dapat terjadi. Sekitar
10% pasien yang mengalami keracunan yang tidak mendapatkan
penanganan khusus mengalami kerusakan hati yang parah; sebanyak 10-
20% di antaranya akhirnya meninggal karena kegagalan fungsi hati. Gagal
ginjal akut juga terjadi pada beberapa pasien (Goodman and Gilman, 2008).
2. Mikroskopis Kerusakan Ginjal Setelah Pemberian Parasetamol Dosis
Toksik
Nefrotoksisitas seperti akibat parasetamol dapat menyatukan beberapa jalur
molekuler apoptosis, termasuk menghilangkan molekul protektif intraseluler
24
dan aktivasi kaspase. Meskipun parasetamol tidak merubah ekspresi mRNA
(messenger-Ribose Nucleid Acid) pada gen antiapoptosis Bcl-xL, tetapi
dapat menurunkan kadar protein Bcl-xL, yang berarti dapat meningkatkan
aktivitas apoptosis (Lorz et al., 2005). Parasetamol juga menginduksi stres
retikulum endoplasma pada glomerulus ginjal, yang menyebabkan stres
oksidatif dan inflamasi pada sel-sel podosit serta mesangial glomerulus
(Inagi, 2009). Senyawa ROS, yang merupakan hasil metabolisme
parasetamol, juga dapat menyebabkan kerusakan glomerulus yang diawali
dengan infiltrasi leukosit (Singh et al., 2006). Salah satu efek merugikan
overdosis parasetamol adalah nekrosis tubulus ginjal (Goodman and
Gilman, 2008). Nekrosis terjadi setelah suplai darah hilang atau setelah
terpajan toksin dan ditandai dengan pembengkakan sel, denaturasi protein,
serta kerusakan organel sel. Perubahan nuklear nekrosis dapat dibagi
menjadi tiga pola, yaitu:
a. Piknosis, ditandai dengan melisutnya inti sel dan peningkatan basofil
kemudian DNA berkondensasi menjadi massa yang melisut padat.
b. Karioreksis, fragmen inti sel yang piknotik, yang selanjutnya dalam 1-2
hari inti dalam sel yang mati benar-benar menghilang.
c. Basofilia kromatin memudar (kariolisis), yang disebabkan oleh aktivitas
DNA (Diribose Nucleid Acid) (Mitchell and Cotran, 2007).
Secara histologis, nekrosis tubulus akut toksik paling mencolok di tubulus
proksimal, sedangkan membran basal tubulus umumnya tidak terkena.
Nekrosis biasanya berkaitan dengan ruptur membran basal (tubuloreksis).
Silinder berprotein di tubulus distal dan duktus koligentes tampak
mencolok. Silinder ini terdiri atas protein Tamm-Horsfall (secara normal
25
disekresi oleh epitel tubulus) bersama dengan hemoglobin dan protein
plasma lain. Gambaran histologis jaringan ginjal nekrosis yang bertahan
selama seminggu akan mulai tampak regenerasi epitel dalam bentuk lapisan
epitel kuboid rendah serta aktivitas mitotik di sel epitel tubulus yang tersisa.
Regenerasi ini bersifat total dan sempurna, kecuali pada membran basal
yang rusak (Mitchell and Cotran, 2007).
C. Tempe
Tempe adalah makanan yang dibuat dari fermentasi terhadap biji kedelai atau
bahan lain yang menggunakan berbagai jenis kapang Rhizopus, seperti
Rhizopus Oligosporus, Rhizopus Oryzae, dan Rhizopus arrhizus. Sediaan ini
secara umum dikenal dengan ragi tempe. Adapun gambar tempe sebagai
berikut :
Gambar 8. Tempe
1. Sejarah dan Perkembangan
Tidak seperti makanan kedelai tradisional lain yang biasanya berasal dari
Cina atau Jepang, tempe berasal dari Indonesia. Tidak jelas kapan
pembuatan tempe dimulai. Namun demikian, makanan tradisonal ini sudah
26
dikenal sejak berabad-abad lalu, terutama dalam tatanan budaya makan
masyarakat di Yogyakarta dan Surakarta (Huang, 2000).
2. Pembuatan Tempe
Teknik pembuatan tempe di Indonesia yang ditemukan oleh Chandra Dwi
Dhanarto. Secara umum terdiri dari tahapan perebusan, pengupasan,
perendaman dan pengasaman, pencucian, inokulasi dengan ragi,
pembungkusan, serta fermentasi. Pada tahap awal pembuatan tempe, biji
kedelai harus bersih, bebas dari campuran batu kerikil, atau bijian lain, tidak
rusak dan bentuknya seragam. Kulit biji kedelai harus dihilangkan untuk
memudahkan pertumbuhan jamur. Penghilangan kulit biji dapat dilakukan
secara kering atau basah. Cara kering lebih efisien, yaitu dikeringkan
terlebih dahulu pada suhu 104o C selama 10 menit atau dengan pengeringan
sinar matahari selama 1-2 jam. Selanjutnya penghilangan kulit dilakukan
dengan alat “Burr Mill”. Biji kedelai tanpa kulit dalam keadaan kering dapat
disimpan lama. Penghilangan biji secara basah dapat dilakukan setelah biji
mengalami hidrasi yaitu setelah perebusan atau perendaman. Biji yang telah
mengalami hidrasi lebih mudah dipisahkan dari bagian kulitnya, tetapi
dengan cara basah tidak dapat disimpan lama.
a. Perendaman atau pre fermentasi
Selama proses perendaman, biji mengalami proses hidrasi, sehingga
kadar air biji naik sebesar kira-kira dua kali kadar air semula, yaitu
mencapai 62-65 %. Proses perendaman memberi kesempatan
pertumbuhan bakteri-bakteri asam laktat sehingga terjadi penurunan pH
27
dalam biji menjadi sekitar 4,5 – 5,3. Penurunan biji kedelai tidak
menghambat pertumbuhan jamur tempe, tetapi dapat menghambat
pertumbuhan bakteri-bakteri kontaminan yang bersifat pembusuk. Proses
fermentasi selama perendaman yang dilakukan bakteri mempunyai arti
penting ditinjau dari aspek gizi, apabila asam yang dibentuk dari gula
stakhijosa dan rafinosa. Keuntungan lain dari kondisi asam dalam biji
adalah menghambat penaikan pH sampai di atas 7,0 karena adanya
aktivitas proteolitik jamur dapat membebaskan amonia sehingga dapat
meningkatkan pH dalam biji. Pada pH di atas 7,0 dapat menyebabkan
penghambatan pertumbuhan atau kematian jamur tempe.Hessseltine, et.al
(1963), mendapatkan bahwa dalam biji kedelai terdapat komponen yang
stabil terhadap pemanasan dan larut dalam air bersifat menghambat
pertumbuhan Rhizopus oligosporus, dan juga dapat menghambat
aktivitas enzim proteolitik dari jamur tersebut. Penemuan ini
menunjukkan bahwa perendaman dan pencucian sangat penting untuk
menghilangkan komponen tersebut. Proses hidrasi terjadi selama
perendaman dan perebusan biji. Makin tinggi suhu yang dipergunakan
makin cepat proses hidrasinya, tetapi bila perendaman dilakukan pada
suhu tinggi menyebabkan penghambatan pertumbuhan bakteri sehingga
tidak terbentuk asam.
b. Proses Perebusan
Proses pemanasan atau perebusan biji setelah perendaman bertujuan
untuk membunuh bakteri-bakteri kontaminan, mengaktifkan senyawa
28
tripsin inhibitor, membantu membebaskan senyawa-senyawa dalam biji
yang diperlukan untuk pertumbuhan jamur (Hidayat et al., 2006).
c. Penirisan dan Penggilingan
Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi kandungan air dalam biji,
mengeringkan permukaan biji dan menurunkan suhu biji sampai sesuai
dengan kondisi pertumbuhan jamur, air yang berlebihan dalam biji dapat
menyebabkan penghambatan pertumbuhan jamur dan menstimulasi
pertumbuhan bakteri-bakteri kontaminan, sehingga menyebabkan
pembusukan.
d. Inokulasi
Inokulasi pada pembuatan tempe dapat dilakukan dengan
mempergunakan beberapa bentuk inokulan (Hidayat et al., 2006) yaitu :
1). Usar, dibuat dari daun waru (Hibiscus tiliaceus) atau jati (Tectona
grandis) merupakan media pembawa spora jamur. Usar ini banyak
dipergunakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
2). Tempe yang telah dikeringkan secara penyinaran matahari atau kering
beku.
3). Sisa spora dan miselia dari wadah atau kemasan tempe.
4). Ragi tempe yang dibuat dari tepung beras yang dibuat bulat seperti
ragi roti.
5). Spora Rhizopus oligiosporus yang dicampurkan dengan air.
29
6). Isolat Rhizopus oligosporus dari agar miring untuk pembuatan tempe
skala laboratorium.
7). Ragi tempe yang dibuat dari tepung beras yang dicampurkan dengan
jamur tempe yang ditumbuhkan pada medium dan dikeringkan.
e. Pengemasan
Kemasan yang dipergunakan untuk fermentasi tempe secara tradisional
yaitu daun pisang, jati, waru atau bambu, selanjutnya dikembangkan
penggunaan kemasan plastik yang diberi lubang. Secara laboratorium
kemasan yang dipergunakan adalah nampan stainless stell dengan
berbagai ukuran yang dilengkapi dengan lubang-lubang kecil.
f. Inkubasi atau Fermentasi
Inkubasi dilakukan pada suhu 25o-37o C selama 36-48 jam. Selama
inkubasi terjadi proses fermentasi yang menyebabkan perubahan
komponen-komponen dalam biji kedelai. Persyaratan tempat yang
dipergunakan untuk inkubasi kedelai adalah kelembaban, kebutuhan
oksigen dan suhu yang sesuai dengan pertumbuhan jamur (Hidayat et al.,
2006).
g. Proses fermentasi tempe dapat dibedakan atas tiga fase yaitu :
1) Fase pertumbuhan cepat (0-30 jam fermentasi) terjadi penaikan
jumlah asam lemak bebas, penaikan suhu, pertumbuhan jamur cepat,
30
terlihat dengan terbentuknya miselia pada permukaan biji makin lama
makin lebat, sehingga menunjukkan masa yang lebih kompak.
2) Fase transisi (30-50 jam fermentasi) merupakan fase optimal
fermentasi tempe dan siap untuk dipasarkan. Pada fase ini terjadi
penurunan suhu, jumlah asam lemak yang dibebaskan dan
pertumbuhan jamur hampir tetap atau bertambah sedikit, flavor
spesifik tempe optimal, dan tekstur lebih kompak.
3) Fase pembusukan atau fermentasi lanjut (50-90 jam fermentasi) terjadi
penaikan jumlah bakteri dan jumlah asam lemak bebas, pertumbuhan
jamur menurun dan pada kadar air tertentu pertumbuhan jamur
terhenti, terjadi perubahan flavor karena degradasi protein lanjut
sehingga terbentuk amonia.
Dalam pertumbuhannya Rhizopus akan menggunakan Oksigen dan
menghasilkan CO2 yang akan menghambat beberapa organisme perusak.
Adanya spora dan hifa juga akan menghambat pertumbuhan kapang yang
lain. Jamur tempe juga menghasilkan antibiotikayang dapat menghambat
pertumbuhan banyak mikrobia.
3. Khasiat dan Kandungan Gizi Tempe
Menurut Prof. DR Ir. Made Astawan, MS, terdapat beberapa kandungan zat
pada tempe yaitu:
31
a. Asam Lemak
Selama proses fermentasi tempe, terdapat tendensi adanya peningkatan
derajat ketidakjenuhan terhadap lemak. Dengan demikian, asam lemak
tidak jenuh majemuk (polyunsaturated fatty acids, PUFA) meningkat
jumlahnya. Dalam proses itu asam palmitat dan asam linoleat sedikit
mengalami penurunan, sedangkan kenaikan terjadi pada asam oleat dan
linolenat (asam linolenat tidak terdapat pada kedelai). Asam lemak tidak
jenuh mempunyai efek penurunan terhadap kandungan kolesterol serum,
sehingga dapat menetralkan efek negatif sterol di dalam tubuh (Hermana,
1996).
b. Vitamin
Dua kelompok vitamin terdapat pada tempe, yaitu larut air (vitamin B
kompleks) dan larut lemak (vitamin A, D, E, dan K). Tempe merupakan
sumber vitamin B yang sangat potensial, dan menjadi satu-satunya
sumber vitamin yang potensial dari bahan pangan nabati. Jenis vitamin B
yang terkandung dalam tempe antara lain vitamin B1 (tiamin), B2
(riboflavin), asam pantotenat, asam nikotinat (niasin), vitamin B6
(piridoksin), dan B12 (sianokobalamin). Vitamin B12 diproduksi oleh
bakteri kontaminan seperti Klebsiella pneumoniae dan Citrobacter
freundii. Kadar vitamin B12 dalam tempe berkisar antara 1,5 sampai 6,3
mikrogram per 100 gram tempe kering. Jumlah ini telah dapat mencukupi
kebutuhan vitamin B12 seseorang per hari. Dengan adanya vitamin B12
pada tempe, para vegetarian tidak perlu merasa khawatir akan
32
kekurangan vitamin B12, sepanjang mereka melibatkan tempe dalam
menu hariannya (Hermana, 1996).
c. Mineral
Tempe mengandung mineral makro dan mikro dalam jumlah yang cukup.
Jumlah mineral besi 9,39 mg setiap 100 g tempe, tembaga 2,87 mg setiap
100 g tempe, dan zinc 8,05 mg setiap 100 g tempe. Kapang tempe dapat
menghasilkan enzim fitase yang akan menguraikan asam fitat (yang
mengikat beberapa mineral) menjadi fosfor dan inositol. Dengan
terurainya asam fitat, mineral-mineral tertentu (seperti besi, kalsium,
magnesium, dan zinc) menjadi lebih tersedia untuk dimanfaatkan tubuh
(Hermana, 1996).
d. Antioksidan
Di dalam tempe juga ditemukan suatu zat antioksidan dalam bentuk
isoflavon. Seperti halnya vitamin C, E, dan karotenoid, isoflavon juga
merupakan antioksidan yang sangat dibutuhkan tubuh untuk
menghentikan reaksi pembentukan radikal bebas. Dalam kedelai terdapat
tiga jenis isoflavon, yaitu daidzein, glisitein, dan genistein. Pada tempe,
di samping ketiga jenis isoflavon tersebut juga terdapat antioksidan faktor
II (6,7,4-trihidroksi isoflavon) yang mempunyai sifat antioksidan paling
kuat dibandingkan dengan isoflavon dalam kedelai. Antioksidan ini
disintesis pada saat terjadinya proses fermentasi kedelai menjadi tempe
oleh bakteri Micrococcus luteus dan Coreyne bacterium (Hermana,
1996). Kandungan zat gizi tempe dijelaskan pada tabel berikut :
33
Tabel 1. Kandungan zat gizi tempe (Widianarko, 2000)
Zat gizi Satuan Komposisi zat gizidalam 100 gram tempe
Energi Kal 201Protein Gram 20,8Lemak Gram 8,8
Hidrat Arang Gram 13,5Serat Gram 1,4Abu Gram 1,6
Kalsium Mg 155Fosfor Mg 326Besi Mg 9,39
Tembaga Mg 2,87Zinc Mg 8,05
Karotin Mkg 34Vitamin A SI 0Vitamin B1 Mg 0,19Vitamin B12 Mkg 6,3Vitamin C Mg 0
Air Gram 55,3
D. Mekanisme Perlindungan Ekstrak Tempe terhadap Kerusakan Ginjal
akibat Induksi Parasetamol
Kandungan utama tempe yang berperan dalam mencegah kerusakan ginjal
akibat pemberian parasetamol dosis toksik adalah antioksidan. Antioksidan
bekerja dengan cara mendonorkan satu elektron kepada senyawa oksidan,
dalam hal ini radikal bebas, sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut dapat
dihambat. Antioksidan sekunder (eksogen), yang diperankan oleh asupan
bahan makanan, bekerja dengan menangkap radikal bebas (free radical
scavanger), kemudian mencegah reaktivitas amplifikasinya. Antioksidan
primer (endogen), yang diperankan oleh enzim dalam tubuh, menghambat
pembentukan radikal bebas dengan cara memutus reaksi berantai (chain
34
breaking antioxidant), kemudian mengubahnya menjadi produk yang lebih
stabil (Winarsi, 2007).
Vitamin E dapat menghambat peroksidasi lipid oleh radikal bebas yang
dibentuk dari persenyawaan NAPQI melalui mekanisme penangkapan radikal
bebas dan metal chelation (Priya dan Vasudha, 2009). Selain itu, vitamin E
dapat mempertahankan integritas membran sel dengan menghambat aktivitas
NO (nitrit oxide) endotel dan menghambat adhesi leukosit pada sel yang
mengalami kerusakan. Inhibisi aktivitas NO juga diperankan vitamin C, selain
vitamin C juga merupakan penyetabil keberadaan vitamin E (Sukandar, 2006).
Antioksidan fitosterol dan fenol bermanfaat dalam menghambat radikal bebas.
Fitosterol dan komponennya (β-sitosterol, stigmasterol, dan campesterol) dapat
melawan peroksidasi lipid (Yoshida and Niki, 2003). Fenol mempunyai efek
antioksidan terhadap adanya stres oksidatif. Fenol juga mempunyai efek
antimikroba sehingga dapat melawan infeksi (Shetty et al., 2000).
Aktivitas antioksidan mineral berpengaruh sebagai kofaktor enzim antioksidan
endogen. Baik Fe, Cu, Zn, dan Mn merupakan kofaktor aktivasi SOD yang
dapat menghambat ROS, hasil persenyawaan NAPQI (Winarsi, 2007).
Selenium merupakan satu satunya unsur yang dapat mengaktivasi glutathione
peroxidase yang penting untuk mencegah kerusakan ginjal akibat adanya stres
oksidatif dan Tumor Growth Factor-β (TGF-β), serta dapat mengkatalisis
GSH, sehingga kadar GSH untuk konjugasi NAPQI dapat efektif (Singh et al.,
2006).