II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ginjal - digilib.unila.ac.iddigilib.unila.ac.id/9734/8/9. BAB II...

26
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ginjal 1. Anatomi ginjal Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga retroperitoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke medial. Pada sisi ini terdapat hilus ginjal yaitu tempat struktur-struktur pembuluh darah, sistem limfatik, sistem saraf dan ureter menuju dan meninggalkan ginjal. Di sebelah posterior, ginjal dilindungi oleh otot-otot punggung yang tebal serta tulang rusuk ke XI dan XII sedangkan di sebelah anterior dilindungi oleh organ-organ intraperitoneal (Purnomo, 2009). Ginjal mendapat aliran darah dari arteri renalis yang merupakan cabang langsung dari aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan melalui vena renalis yang bermuara ke dalam vena kava inferior. Sistem arteri ginjal adalah end arteries yaitu arteri yang tidak mempunyai anastomosis dengan cabang-cabang dari arteri lain, sehingga jika terdapat kerusakan pada salah satu cabang arteri ini, berakibat timbulnya iskemia/nekrosis pada daerah yang dilayaninya (Purnomo, 2009).

Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ginjal - digilib.unila.ac.iddigilib.unila.ac.id/9734/8/9. BAB II...

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ginjal

1. Anatomi ginjal

Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga

retroperitoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi

cekungnya menghadap ke medial. Pada sisi ini terdapat hilus ginjal yaitu

tempat struktur-struktur pembuluh darah, sistem limfatik, sistem saraf dan

ureter menuju dan meninggalkan ginjal. Di sebelah posterior, ginjal

dilindungi oleh otot-otot punggung yang tebal serta tulang rusuk ke XI dan

XII sedangkan di sebelah anterior dilindungi oleh organ-organ

intraperitoneal (Purnomo, 2009).

Ginjal mendapat aliran darah dari arteri renalis yang merupakan cabang

langsung dari aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan melalui

vena renalis yang bermuara ke dalam vena kava inferior. Sistem arteri

ginjal adalah end arteries yaitu arteri yang tidak mempunyai anastomosis

dengan cabang-cabang dari arteri lain, sehingga jika terdapat kerusakan

pada salah satu cabang arteri ini, berakibat timbulnya iskemia/nekrosis pada

daerah yang dilayaninya (Purnomo, 2009).

10

Gambar 3. Anatomi Ginjal (Snell, 2006).

2. Histologi Ginjal

Secara anatomis ginjal terbagi menjadi 2 bagian yaitu korteks dan medulla

ginjal. Di dalam korteks terdapat berjuta-juta nefron, dimana setiap ginjal

terdiri atas 1-4 juta nefron sedangkan di dalam medulla banyak terdapat

duktuli ginjal. Nefron adalah unit fungsional terkecil dari ginjal yang terdiri

atas, tubulus kontortus proksimalis, korpuskulus renal, tubulus kontortus

distalis, segmen tipis dan tebal ansa Henle, dan tubulus kolegens. Darah

yang membawa sisa-sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi di dalam

glomerulus kemudian di tubulus ginjal, beberapa zat yang masih diperlukan

tubuh mengalami reabsorbsi dan zat-zat hasil sisa metabolisme mengalami

sekresi bersama air membentuk urine. Setiap hari tidak kurang 180 liter

cairan tubuh difiltrasi di glomerulus dan menghasilkan urine 1-2 liter. Urin

yang terbentuk di dalam nefron disalurkan melalui piramida ke sistem

11

pelvikalises ginjal untuk kemudian disalurkan ke dalam ureter (Purnomo,

2009).

Setiap ginjal tersusun atas ± 100 juta nefron yang merupakan unit

fungsional ginjal terletak pada kortek ginjal yang pada dasarnya mempunyai

struktur dan fungsi yang sama yaitu, pembentukan urin dan memelihara

kekonstanan komposisi cairan ektraseluler tubuh (Soewolo, 2000). Nefron

terdiri dari kapsula bowman yang mengelilingi rumbai kapiler glomerulus,

tubulus kontraktus proksimal, segmen tipis dan tebal ansa (lengkung) henle

dan tubulus kontraktus distal. Nefron dan tubulus koligens (saluran

pengumpul) merupakan tubulus uriniferus yang merupakan satuan

fungsional ginjal, menampung urin yang dihasilkan oleh nefron dan

menghantarkannya ke pelvis renal (Marieb, 2005).

Gambar 4. Gambaran skematik nefron ginjal (Junqueira, 2007).

12

Gambar 5. Gambaran histologi korpuskel ginjal (Junqueira, 2007).

Gambar 6. Gambaran histologi korpuskel ginjal (Junqueira, 2007).

a. Glomerulus

Glomerulus merupakan anyaman pembuluh darah kapiler, yang

merupakan cabang dari arteriol aferen. Setelah memasuki badan ginjal

(korpus ginjal) korpuskula renalis, arteriol aferen biasanya bercabang

13

menjadi 2-5 cabang utama yang masing-masing bercabang lagi menjadi

jala jala kapiler. Tekanan hidrostatik darah arteri yang terdapat dalam

kapiler-kapiler ini. glomelurus diatur oleh arteriol eferen (Eroschenko,

2003).

Glomerulus dalam keadaan normal secara keseluruhan tertutup oleh

kapsula bowman yang berbentuk mangkok, kapiler glomerulus dilapisi

oleh sel-sel endotel, berlubang pori-pori dengan diameter kurang lebih

100 nm dan terletak pada membran basalis. Di bagian luar membran

basalis adalah epitel viseral (podosit) (Robbins and Kumar, 2002).

b. Kapsula Bowman

Berkas kapiler glomelurus dikelilingi oleh kapsula Bowman. Kapsula

bowman merupakan epitel berdinding ganda. Lapisan luar kapsula

bowman terdiri atas epitel selapis gepeng, dan lapisan dalam tersusun

atas sel-sel khusus yang disebut podosit (sel kaki) yang letaknya meliputi

kapiler glomerulus. Antara kedua lapisan tersebut terbentuk rongga

kapsul bowman. Sel-sel podosit, membran basalis dan sel-sel endotel

kapiler membentuk lapisan membran filtrasi yang berlubang-lubang yang

memisahkan darah yang terdapat dalam kapiler dengan ruang kapsuler.

Sel-sel endotel kapiler glomerulus mempunyai pori-pori sel lebih besar

dan lebih banyak daripada kapiler-kapiler pada organ lain. Hasil filtrasi

cairan darah pada glomerulus atau disebut cairan ultrafiltrat selanjutnya

ditampung pada rongga kapsul (Eroschenko, 2003).

14

c. Korpuskulum renal

Korpuskulum renal adalah segmen awal setiap nefron. Di sini, darah

disaring melalui kapiler-kapiler glomerulus dan filtratnya ditampung di

dalam rongga kapsular yang terletak di antara lapisan parietal dan viseral

kapsul bowman. Setiap korpuskulum renal mempunyai kutub vaskular

yang merupakan tempat keluar masuknya pembuluh darah dari

glomerulus (Eroschenko, 2003).

d. Tubulus Kontortus Proksimal (TKP)

Tubulus kontortus proksimal merupakan saluran panjang yang berkelok-

kelok mulai pada korpuskulum renalis kemudian menurun ke dalam

medulla dan menjadi lengkung Henle (loop of Henle). Tubulus kontortus

proksimal (TKP) biasa ditemukan pada potongan melintang korteks. TKP

dibatasi oleh epitel kubus selapis dengan apeks sel menghadap lumen

tubulus memiliki banyak mikrovili membentuk brush border

(Eroschenko, 2003). Tubulus kontraktus proksimal sebagai bagian

nefron yang paling panjang dan paling lebar membentuk isi kortek, di

dalamnya filtrat glomerulus mulai berubah menjadi kemih oleh absorbsi

beberapa zat dan penambahan sekresi zat-zat lain. Salah satu fungsi

utama dari tubulus kontraktus proksimal adalah menyekresi kreatinin,

albumin, protein, karbohidrat dan substansi asing bagi organisme seperti

penisilin. Hal tersebut merupakan proses aktif yang disebut sekresi

tubulus (Junqueira et al., 2007). Jumari (2007) menambahkan bagian

tubulus ginjal berfungsi memproses hasil filtrasi dari glomerulus untuk

direasorbsi atau dibuang dalam bentuk urin.

15

Gambar 7. Irisan Melintang Kortek ginjal P (tubulus proksimal);D (tubulus distal) (Junquera, 2007).

Sel epitel tubulus-tubulus ginjal terutama tubulus proksimal, sangat peka

terhadap suatu iskemia, maka jaringan ini akan mengalami kerusakan.

Salah satu gangguan pada ginjal akibat produksi radikal bebas yang

berlebih salah satunya adalah Acute Tubular Necrosis (ANT) yang

menyerang tubulus ginjal yang disebabkan oleh ketika sel tubular

mendapatkan pengaruh dari racun obat atau molekul (nephrotoxic ATN)

(Hanifah, 2008). Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan

struktur dan fungsi sel pada ginjal adalah adanya radikal bebas. Radikal

bebas merupakan salah satu produk reaksi kimia dalam tubuh yang

mempunyai reaktifitas tinggi sehingga menimbulkan perubahan kimiawi

dan merusak komponen sel hidup seperti protein, lipid, karbohidrat dan

asam nukleat (Rahmawati, 2003).

Kerusakan ginjal yang berupa nekrosis tubulus disebabkan oleh sejumlah

racun organik. Hal ini terjadi karena pada sel epitel tubulus terjadi

kontak langsung dengan bahan yang direabsorbsi, sehingga sel epitel

16

tubulus ginjal dapat mengalami kerusakan berupa degenerasi melemak

ataupun nekrosis pada inti sel ginjal (Robbins and Kumar, 2002).

Menurut Price & Wilson (2005), kematian sel yang disebabkan oleh

nekrosis tubulus dapat ditandai dengan menyusutnya inti sel atau

ketidakaktifan inti sel tubulus. Sel epitel tubulus proksimal sangat peka

terhadap anoksia dan rentan terhadap toksik. Banyak faktor yang

memudahkan tubulus mengalami toksik, seperti permukaan bermuatan

listrik yang luas untuk reabsorbsi tubulus, sistem transport aktif untuk ion

dan asam organik, kemampuan melakukan pemekatan secara efektif,

selain itu kadar sitokrom P450 yang tinggi untuk mendetoksifikasi atau

mengaktifkan toksikan (Cotran et al., 2003).

e. Loop of Henle

Lengkung Henle (LH) merupakan saluran panjang berbentuk seperti

huruf U dapat dibedakan menjadi segmen tipis dan segmen tebal.

Lengkung henle memiliki lubang lebih lebar daripada tubulus kontortus

distal karena dinding LH terdiri dari sel-sel gepeng dengan inti menonjok

ke dalam lumen. Bagian tipis lengkung Henle merupakan kelanjutan dari

tubulus kontortus proksimal, sebagian besar berjalan turun (descenden)

dan bagian tebal berjalan ke atas (ascenden). Bagian tipis menyerupai

kepiler darah sehingga sukar dibedakan (Eroschenko, 2003).

Lengkung Henle tebal strukturnya sama dengan tubulus kontortus distal.

Bagian descenden lengkung henle bersifat permeabel terhadap air dan

ion-ion, sehingga memungkinkan pergerakan bebas air, Na+ dan Cl-.

17

Sedangkan bagian ascenden tidak permeabel terhadap air dan sangat aktif

mentranspor klorida ke cairan insterstitial. Bertanggung jawab langsung

pada hipertonisitas cairan insterstitial daerah medula sebagai akibat

kehilangan natrium dan klorida. Oleh karena itu, cairan dalam tubulus

yang mencapai tubulus kontortus distal adalah hipotonik. Fungsi

lengkung henle adalah mengatur tingkat osmotik darah dan hipertonik

(Eroschenko, 2003).

f. Tubulus Kontortus Distal (TKD)

Tubulus kontraktus distal seperti halnya tubulus kontraktus proksimal

tempatnya terdapat di kortek perbedaannya didasarkan atas ciri-ciri

tertentu yaitu pada sel tubulus kontraktus proksimal lebih besar dari pada

sel tubulus distal, sel tubulus kontraktus proksimal memiliki brush

border, yang tidak terdapat pada tubulus distal. Lumen tubulus distal

lebih besar, dan karena sel-sel tubulus distal lebih gepeng dan lebih kecil

dari yang ada di tubulus proksimal, maka tampak lebih banyak sel dan

inti pada dinding tubulus distal (Junquera et al., 2007). Tubulus

kontortus distal lebih pendek dan tidak begitu berkelok dibandingkan

dengan tubulus kontortus proksimal. Sel-sel tubulus kontortus distal

secara aktif mereabsorpsi ion-ion Na dari filtrat glomerular dan

dimasukkan ke dalam interstitium. Aktivitas reabsorpsi ini berlangsung

bersamaan dengan ekskresi ion H+ atau K+ ke dalam filtrat atau urin

tubular (Junquera et al., 2007).

18

Reabsorpsi Na di tubuli di atur oleh hormon aldosteron yang di sekresi

korteks adrenal. Sebagai respon terhadap hormon ini, sel-sel tubulus

kontortus distal secara aktif mengabsorpsi Na dari filtrat. Fungsi tubulus

distal merupakan fungsi vital untuk mepertahankan keseimbangan asam-

basa yang sesuai pada cairan tubuh (Eroschenko, 2003).

g. Aparatus jukstaglomerulus

Di dekat korpuskulum renal dan tubulus kontortus distal terdapat

sekelompok sel khusus yang disebut aparatus jukstaglomerular. Aparatus

ini terdiri atas sel-sel jukstaglomerular dan makula densa. Sel-sel

jukstaglomerular adalah sekelompok sel otot polos yang telah

dimodifikasi, terletak di dinding arteriol aferen sebelum memasuki

kapsul glomerular membentuk glomerulus (Eroschenko, 2003). Sel

jukstaglomerulus berhubungan erat dengan makula dense, yaitu suatu

bagian khusus tubulus kontraktus distal yang terdapat diantara arteriol

aferen dan eferen,memiliki sel-sel tunika otot polos, inti berbentuk bulat

dan sitoplasma mengandung granula. Sel jukstaglomerulus berfungsi

menghasilkan enzim renin. Dalam darah renin mempengaruhi

angiotensinogen, suatu protein plasma, untuk menghasilkan angiotensin

(Junquera et al., 2007).

h. Tubulus koligens (tubulus collectivus)

Urin berjalan dari tubulus kontortus distal ke tubulus koligens yang

apabila bersatu membentuk saluran lurus yang lebih besar yang disebut

19

duktus papilaris Bellini. Tubulus koligens merupakan unsur utama

medulla berjalan lurus. Tubulus koligens yang lebih kecil dibatasi oleh

epitel kubus, sedangkan garis tengah duktus koligens terdiri atas sel-sel

berwarna muda. Tubulus yang besar dengan tubulus koligens yang lebih

kecil yang berasal masing-masing medullary ray ternyata saling

mengadakan hubungan tegak lurus mulai pada tubulus distal tetapi yang

penting pada tubulus koligens adalah mekanisme yang tergantung pada

hormon antidiuretik (ADH) untuk pemekatan atau pengenceran terakhir

urin. Dinding tubulus distal dan tubulus koligens sangat mudah ditembus

air bila terdapat ADH atau pengenceran terakhir urin (Eroschenko, 2003).

3. Fungsi Ginjal

Fungsi ginjal secara keseluruhan di bagi dalam dua golongan yaitu :

a. Fungsi ekskresi

Mengekskresi sisa metabolisme protein, yaitu ureum, kalium, fosfat,

sulfat anorganik, dan asam urat.

Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.

Menjaga keseimbangan asam dan basa.

b. Fungsi Endokrin

Berperan dalam eritropoesis. Menghasilkan eritropoetin yang

berperan dalam pembentukan sel darah merah.

Menghasilan renin yang berperan penting dalam pengaturan tekanan

darah.

20

Merubah vitamin D menjadi metabolit yang aktif yang membantu

penyerapan kalsium.

Memproduksi hormon prostaglandin, yang mempengaruhi pengaturan

garam dan air serta mempengaruhi tekanan vaskuler.

B. Parasetamol

1. Definisi

Parasetamol (asetaminofen) merupakan metabolit aktif dari fenasetin yang

mempunyai efek analgesik dan antipiretik (Goodman and Gilman, 2008).

Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen (Katzung, 2002).

Obat ini tidak mempunyai efek antiinflamasi yang bermakna, tetapi banyak

digunakan sebagai analgesik ringan jika nyeri tidak memiliki komponen

inflamasi. Hal ini karena selain merupakan penghambat prostaglandin yang

lemah, parasetamol juga merupakan inhibitor siklooksigenase yang lemah

dengan adanya H2O2 (hidrogen peroksida) konsentrasi tinggi yang

dihasilkan neutrofil dan monosit pada lesi radang (Goodman and Gilman,

2008; Neal, 2006).

Parasetamol di Indonesia lebih dikenal dibandingkan dengan nama

asetaminofen, dan tersedia sebagai obat bebas (Wilmana and Gunawan,

2007). Obat ini pertama kali digunakan dalam kedokteran oleh von Mering

pada 1893, namun baru sejak 1949 obat ini populer setelah diketahui

merupakan metabolit aktif utama dari asetanilid dan fenasetin. Sifat

farmakologis yang ditoleransi dengan baik, sedikit efek samping, dan dapat

diperoleh tanpa resep membuat obat ini dikenal sebagai analgesik yang

21

umum di rumah tangga (Goodman and Gilman, 2008; Wishart dan Knox,

2006).

Pemberian parasetamol secara oral dengan penyerapan yang cepat dan

hampir sempurna di saluran pencernaan. Penyerapan dihubungkan dengan

tingkat pengosongan lambung, dan konsentrasi dalam plasma mencapai

puncak dalam 30 sampai 60 menit (Katzung, 2002). Waktu paruh dalam

plasma 1 sampai 3 jam setelah dosis terapeutik dengan 25% parasetamol

terikat protein plasma dan sebagian dimetabolisme enzim mikrosom hati

(Wilmana and Gunawan, 2007). Hati merupakan tempat metabolisme utama

parasetamol. Di dalam hati, 60% dikonjugasikan dengan asam glukuronat,

35% asam sulfat, dan 3% sistein; yang akhirnya menghasilkan konjugat

yang larut dalam air serta diekskresi bersama urin. Jalur konjugasi pertama

(terutama glukuronidasi dan sulfasi) tidak dapat digunakan lagi ketika

asupan parasetamol jauh melebihi dosis terapi dan sebagian kecil akan

beralih ke jalur sitokrom P450 (CYP2E1) (Defendi and Tucker, 2009;

Goodman and Gilman, 2008).

Metabolisme melalui sitokrom P450 membuat parasetamol mengalami N-

hidroksilasi membentuk senyawa antara, N-acetyl-para-benzoquinoneimine

(NAPQI), yang sangat elektrofilik dan reaktif. Pada keadaan normal,

senyawa antara ini dieliminasi melalui konjugasi dengan glutathione (GSH)

yang berikatan dengan gugus sulfhidril dan kemudian dimetabolisme lebih

lanjut menjadi suatu asam merkapturat yang selanjutnya diekskresi ke dalam

urin. Ketika terjadi overdosis, kadar GSH dalam sel hati menjadi sangat

22

berkurang yang berakibat kerentanan sel-sel hati terhadap cedera oleh

oksidan dan juga memungkinkan NAPQI berikatan secara kovalen pada

makromolekul sel, yang menyebabkan disfungsi berbagai sistem enzim

(Goodman and Gilman, 2008). Ikatan kovalen dengan makromolekul sel

terutama pada gugus tiol protein sel dan kerusakan oksidatif juga

merupakan patogenesis utama terjadinya nefropati analgesik (Cotran et al.,

2007; Neal, 2006).

Rangkaian metabolisme minor parasetamol ini dapat menyebabkan efek

merugikan. Pengurangan GSH secara tidak langsung dapat menimbulkan

terjadinya stres oksidatif akibat penurunan proteksi antioksidan endogen

(antioksidan enzimatik), yang juga dapat menyebabkan terjadinya

peroksidasi lipid (Maser et al., 2002). Peroksidasi lipid merupakan suatu

proses autokatalisis yang mengakibatkan kematian sel. Produk akhir

peroksidasi lipid di dalam tubuh adalah malondialdehid (MDA) yang dapat

menyebabkan kematian sel akibat proses oksidasi berlebihan dalam

membran sel (Mayes, 2008; Winarsi, 2007). Selain itu, reaksi pembentukan

NAPQI akibat detoksifikasi oleh sitokrom P450 memacu terbentuknya

radikal bebas superoksida (O2-) yang dinetralisir oleh superoksida

dismutase (SOD) menjadi H2O2, suatu Reactive Oxygen Species (ROS)

yang tidak begitu berbahaya (Ojo et al., 2006). Namun, melalui reaksi

Haber-Weiss dan Fenton, adanya logam transisi seperti Cu dan Fe akan

membentuk radikal hidroksil yang sangat berbahaya yang akan

menghancurkan struktur sel (Winarsi, 2007).

23

Indikasi pemberian parasetamol adalah sebagai analgesik dan antipiretik.

Nyeri akut dan demam dapat diatasi dengan 325-500 mg empat kali sehari

dan secara proporsional dikurangi untuk anak-anak (Katzung, 2002).

Parasetamol juga merupakan analgesik paling sesuai untuk pasca operasi

terutama pada pasien usia lanjut karena efek minimal penghambatan

prostaglandin (Koppert et al., 2006). Parasetamol merupakan salah satu obat

yang paling sering menyebabkan kematian akibat keracunan (self poisoning)

(Neal, 2006).

Toksisitas parasetamol terjadi pada penggunaan dosis tunggal 10 sampai 15

gr (150 sampai 250 mg/kg BB); dosis 20 sampai 25 gr atau lebih

kemungkinan menyebabkan kematian (Goodman and Gilman, 2008;

Wilmana and Gunawan, 2007). Sedangkan dosis toksik untuk mencit atau

LD50 mencit adalah 6,76 mg/20 gr BB mencit (Wishart and Knox, 2006).

Akibat dosis toksik yang paling serius adalah nekrosis hati, walaupun

nekrosis tubuli renalis dan koma hipoglikemik juga dapat terjadi. Sekitar

10% pasien yang mengalami keracunan yang tidak mendapatkan

penanganan khusus mengalami kerusakan hati yang parah; sebanyak 10-

20% di antaranya akhirnya meninggal karena kegagalan fungsi hati. Gagal

ginjal akut juga terjadi pada beberapa pasien (Goodman and Gilman, 2008).

2. Mikroskopis Kerusakan Ginjal Setelah Pemberian Parasetamol Dosis

Toksik

Nefrotoksisitas seperti akibat parasetamol dapat menyatukan beberapa jalur

molekuler apoptosis, termasuk menghilangkan molekul protektif intraseluler

24

dan aktivasi kaspase. Meskipun parasetamol tidak merubah ekspresi mRNA

(messenger-Ribose Nucleid Acid) pada gen antiapoptosis Bcl-xL, tetapi

dapat menurunkan kadar protein Bcl-xL, yang berarti dapat meningkatkan

aktivitas apoptosis (Lorz et al., 2005). Parasetamol juga menginduksi stres

retikulum endoplasma pada glomerulus ginjal, yang menyebabkan stres

oksidatif dan inflamasi pada sel-sel podosit serta mesangial glomerulus

(Inagi, 2009). Senyawa ROS, yang merupakan hasil metabolisme

parasetamol, juga dapat menyebabkan kerusakan glomerulus yang diawali

dengan infiltrasi leukosit (Singh et al., 2006). Salah satu efek merugikan

overdosis parasetamol adalah nekrosis tubulus ginjal (Goodman and

Gilman, 2008). Nekrosis terjadi setelah suplai darah hilang atau setelah

terpajan toksin dan ditandai dengan pembengkakan sel, denaturasi protein,

serta kerusakan organel sel. Perubahan nuklear nekrosis dapat dibagi

menjadi tiga pola, yaitu:

a. Piknosis, ditandai dengan melisutnya inti sel dan peningkatan basofil

kemudian DNA berkondensasi menjadi massa yang melisut padat.

b. Karioreksis, fragmen inti sel yang piknotik, yang selanjutnya dalam 1-2

hari inti dalam sel yang mati benar-benar menghilang.

c. Basofilia kromatin memudar (kariolisis), yang disebabkan oleh aktivitas

DNA (Diribose Nucleid Acid) (Mitchell and Cotran, 2007).

Secara histologis, nekrosis tubulus akut toksik paling mencolok di tubulus

proksimal, sedangkan membran basal tubulus umumnya tidak terkena.

Nekrosis biasanya berkaitan dengan ruptur membran basal (tubuloreksis).

Silinder berprotein di tubulus distal dan duktus koligentes tampak

mencolok. Silinder ini terdiri atas protein Tamm-Horsfall (secara normal

25

disekresi oleh epitel tubulus) bersama dengan hemoglobin dan protein

plasma lain. Gambaran histologis jaringan ginjal nekrosis yang bertahan

selama seminggu akan mulai tampak regenerasi epitel dalam bentuk lapisan

epitel kuboid rendah serta aktivitas mitotik di sel epitel tubulus yang tersisa.

Regenerasi ini bersifat total dan sempurna, kecuali pada membran basal

yang rusak (Mitchell and Cotran, 2007).

C. Tempe

Tempe adalah makanan yang dibuat dari fermentasi terhadap biji kedelai atau

bahan lain yang menggunakan berbagai jenis kapang Rhizopus, seperti

Rhizopus Oligosporus, Rhizopus Oryzae, dan Rhizopus arrhizus. Sediaan ini

secara umum dikenal dengan ragi tempe. Adapun gambar tempe sebagai

berikut :

Gambar 8. Tempe

1. Sejarah dan Perkembangan

Tidak seperti makanan kedelai tradisional lain yang biasanya berasal dari

Cina atau Jepang, tempe berasal dari Indonesia. Tidak jelas kapan

pembuatan tempe dimulai. Namun demikian, makanan tradisonal ini sudah

26

dikenal sejak berabad-abad lalu, terutama dalam tatanan budaya makan

masyarakat di Yogyakarta dan Surakarta (Huang, 2000).

2. Pembuatan Tempe

Teknik pembuatan tempe di Indonesia yang ditemukan oleh Chandra Dwi

Dhanarto. Secara umum terdiri dari tahapan perebusan, pengupasan,

perendaman dan pengasaman, pencucian, inokulasi dengan ragi,

pembungkusan, serta fermentasi. Pada tahap awal pembuatan tempe, biji

kedelai harus bersih, bebas dari campuran batu kerikil, atau bijian lain, tidak

rusak dan bentuknya seragam. Kulit biji kedelai harus dihilangkan untuk

memudahkan pertumbuhan jamur. Penghilangan kulit biji dapat dilakukan

secara kering atau basah. Cara kering lebih efisien, yaitu dikeringkan

terlebih dahulu pada suhu 104o C selama 10 menit atau dengan pengeringan

sinar matahari selama 1-2 jam. Selanjutnya penghilangan kulit dilakukan

dengan alat “Burr Mill”. Biji kedelai tanpa kulit dalam keadaan kering dapat

disimpan lama. Penghilangan biji secara basah dapat dilakukan setelah biji

mengalami hidrasi yaitu setelah perebusan atau perendaman. Biji yang telah

mengalami hidrasi lebih mudah dipisahkan dari bagian kulitnya, tetapi

dengan cara basah tidak dapat disimpan lama.

a. Perendaman atau pre fermentasi

Selama proses perendaman, biji mengalami proses hidrasi, sehingga

kadar air biji naik sebesar kira-kira dua kali kadar air semula, yaitu

mencapai 62-65 %. Proses perendaman memberi kesempatan

pertumbuhan bakteri-bakteri asam laktat sehingga terjadi penurunan pH

27

dalam biji menjadi sekitar 4,5 – 5,3. Penurunan biji kedelai tidak

menghambat pertumbuhan jamur tempe, tetapi dapat menghambat

pertumbuhan bakteri-bakteri kontaminan yang bersifat pembusuk. Proses

fermentasi selama perendaman yang dilakukan bakteri mempunyai arti

penting ditinjau dari aspek gizi, apabila asam yang dibentuk dari gula

stakhijosa dan rafinosa. Keuntungan lain dari kondisi asam dalam biji

adalah menghambat penaikan pH sampai di atas 7,0 karena adanya

aktivitas proteolitik jamur dapat membebaskan amonia sehingga dapat

meningkatkan pH dalam biji. Pada pH di atas 7,0 dapat menyebabkan

penghambatan pertumbuhan atau kematian jamur tempe.Hessseltine, et.al

(1963), mendapatkan bahwa dalam biji kedelai terdapat komponen yang

stabil terhadap pemanasan dan larut dalam air bersifat menghambat

pertumbuhan Rhizopus oligosporus, dan juga dapat menghambat

aktivitas enzim proteolitik dari jamur tersebut. Penemuan ini

menunjukkan bahwa perendaman dan pencucian sangat penting untuk

menghilangkan komponen tersebut. Proses hidrasi terjadi selama

perendaman dan perebusan biji. Makin tinggi suhu yang dipergunakan

makin cepat proses hidrasinya, tetapi bila perendaman dilakukan pada

suhu tinggi menyebabkan penghambatan pertumbuhan bakteri sehingga

tidak terbentuk asam.

b. Proses Perebusan

Proses pemanasan atau perebusan biji setelah perendaman bertujuan

untuk membunuh bakteri-bakteri kontaminan, mengaktifkan senyawa

28

tripsin inhibitor, membantu membebaskan senyawa-senyawa dalam biji

yang diperlukan untuk pertumbuhan jamur (Hidayat et al., 2006).

c. Penirisan dan Penggilingan

Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi kandungan air dalam biji,

mengeringkan permukaan biji dan menurunkan suhu biji sampai sesuai

dengan kondisi pertumbuhan jamur, air yang berlebihan dalam biji dapat

menyebabkan penghambatan pertumbuhan jamur dan menstimulasi

pertumbuhan bakteri-bakteri kontaminan, sehingga menyebabkan

pembusukan.

d. Inokulasi

Inokulasi pada pembuatan tempe dapat dilakukan dengan

mempergunakan beberapa bentuk inokulan (Hidayat et al., 2006) yaitu :

1). Usar, dibuat dari daun waru (Hibiscus tiliaceus) atau jati (Tectona

grandis) merupakan media pembawa spora jamur. Usar ini banyak

dipergunakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

2). Tempe yang telah dikeringkan secara penyinaran matahari atau kering

beku.

3). Sisa spora dan miselia dari wadah atau kemasan tempe.

4). Ragi tempe yang dibuat dari tepung beras yang dibuat bulat seperti

ragi roti.

5). Spora Rhizopus oligiosporus yang dicampurkan dengan air.

29

6). Isolat Rhizopus oligosporus dari agar miring untuk pembuatan tempe

skala laboratorium.

7). Ragi tempe yang dibuat dari tepung beras yang dicampurkan dengan

jamur tempe yang ditumbuhkan pada medium dan dikeringkan.

e. Pengemasan

Kemasan yang dipergunakan untuk fermentasi tempe secara tradisional

yaitu daun pisang, jati, waru atau bambu, selanjutnya dikembangkan

penggunaan kemasan plastik yang diberi lubang. Secara laboratorium

kemasan yang dipergunakan adalah nampan stainless stell dengan

berbagai ukuran yang dilengkapi dengan lubang-lubang kecil.

f. Inkubasi atau Fermentasi

Inkubasi dilakukan pada suhu 25o-37o C selama 36-48 jam. Selama

inkubasi terjadi proses fermentasi yang menyebabkan perubahan

komponen-komponen dalam biji kedelai. Persyaratan tempat yang

dipergunakan untuk inkubasi kedelai adalah kelembaban, kebutuhan

oksigen dan suhu yang sesuai dengan pertumbuhan jamur (Hidayat et al.,

2006).

g. Proses fermentasi tempe dapat dibedakan atas tiga fase yaitu :

1) Fase pertumbuhan cepat (0-30 jam fermentasi) terjadi penaikan

jumlah asam lemak bebas, penaikan suhu, pertumbuhan jamur cepat,

30

terlihat dengan terbentuknya miselia pada permukaan biji makin lama

makin lebat, sehingga menunjukkan masa yang lebih kompak.

2) Fase transisi (30-50 jam fermentasi) merupakan fase optimal

fermentasi tempe dan siap untuk dipasarkan. Pada fase ini terjadi

penurunan suhu, jumlah asam lemak yang dibebaskan dan

pertumbuhan jamur hampir tetap atau bertambah sedikit, flavor

spesifik tempe optimal, dan tekstur lebih kompak.

3) Fase pembusukan atau fermentasi lanjut (50-90 jam fermentasi) terjadi

penaikan jumlah bakteri dan jumlah asam lemak bebas, pertumbuhan

jamur menurun dan pada kadar air tertentu pertumbuhan jamur

terhenti, terjadi perubahan flavor karena degradasi protein lanjut

sehingga terbentuk amonia.

Dalam pertumbuhannya Rhizopus akan menggunakan Oksigen dan

menghasilkan CO2 yang akan menghambat beberapa organisme perusak.

Adanya spora dan hifa juga akan menghambat pertumbuhan kapang yang

lain. Jamur tempe juga menghasilkan antibiotikayang dapat menghambat

pertumbuhan banyak mikrobia.

3. Khasiat dan Kandungan Gizi Tempe

Menurut Prof. DR Ir. Made Astawan, MS, terdapat beberapa kandungan zat

pada tempe yaitu:

31

a. Asam Lemak

Selama proses fermentasi tempe, terdapat tendensi adanya peningkatan

derajat ketidakjenuhan terhadap lemak. Dengan demikian, asam lemak

tidak jenuh majemuk (polyunsaturated fatty acids, PUFA) meningkat

jumlahnya. Dalam proses itu asam palmitat dan asam linoleat sedikit

mengalami penurunan, sedangkan kenaikan terjadi pada asam oleat dan

linolenat (asam linolenat tidak terdapat pada kedelai). Asam lemak tidak

jenuh mempunyai efek penurunan terhadap kandungan kolesterol serum,

sehingga dapat menetralkan efek negatif sterol di dalam tubuh (Hermana,

1996).

b. Vitamin

Dua kelompok vitamin terdapat pada tempe, yaitu larut air (vitamin B

kompleks) dan larut lemak (vitamin A, D, E, dan K). Tempe merupakan

sumber vitamin B yang sangat potensial, dan menjadi satu-satunya

sumber vitamin yang potensial dari bahan pangan nabati. Jenis vitamin B

yang terkandung dalam tempe antara lain vitamin B1 (tiamin), B2

(riboflavin), asam pantotenat, asam nikotinat (niasin), vitamin B6

(piridoksin), dan B12 (sianokobalamin). Vitamin B12 diproduksi oleh

bakteri kontaminan seperti Klebsiella pneumoniae dan Citrobacter

freundii. Kadar vitamin B12 dalam tempe berkisar antara 1,5 sampai 6,3

mikrogram per 100 gram tempe kering. Jumlah ini telah dapat mencukupi

kebutuhan vitamin B12 seseorang per hari. Dengan adanya vitamin B12

pada tempe, para vegetarian tidak perlu merasa khawatir akan

32

kekurangan vitamin B12, sepanjang mereka melibatkan tempe dalam

menu hariannya (Hermana, 1996).

c. Mineral

Tempe mengandung mineral makro dan mikro dalam jumlah yang cukup.

Jumlah mineral besi 9,39 mg setiap 100 g tempe, tembaga 2,87 mg setiap

100 g tempe, dan zinc 8,05 mg setiap 100 g tempe. Kapang tempe dapat

menghasilkan enzim fitase yang akan menguraikan asam fitat (yang

mengikat beberapa mineral) menjadi fosfor dan inositol. Dengan

terurainya asam fitat, mineral-mineral tertentu (seperti besi, kalsium,

magnesium, dan zinc) menjadi lebih tersedia untuk dimanfaatkan tubuh

(Hermana, 1996).

d. Antioksidan

Di dalam tempe juga ditemukan suatu zat antioksidan dalam bentuk

isoflavon. Seperti halnya vitamin C, E, dan karotenoid, isoflavon juga

merupakan antioksidan yang sangat dibutuhkan tubuh untuk

menghentikan reaksi pembentukan radikal bebas. Dalam kedelai terdapat

tiga jenis isoflavon, yaitu daidzein, glisitein, dan genistein. Pada tempe,

di samping ketiga jenis isoflavon tersebut juga terdapat antioksidan faktor

II (6,7,4-trihidroksi isoflavon) yang mempunyai sifat antioksidan paling

kuat dibandingkan dengan isoflavon dalam kedelai. Antioksidan ini

disintesis pada saat terjadinya proses fermentasi kedelai menjadi tempe

oleh bakteri Micrococcus luteus dan Coreyne bacterium (Hermana,

1996). Kandungan zat gizi tempe dijelaskan pada tabel berikut :

33

Tabel 1. Kandungan zat gizi tempe (Widianarko, 2000)

Zat gizi Satuan Komposisi zat gizidalam 100 gram tempe

Energi Kal 201Protein Gram 20,8Lemak Gram 8,8

Hidrat Arang Gram 13,5Serat Gram 1,4Abu Gram 1,6

Kalsium Mg 155Fosfor Mg 326Besi Mg 9,39

Tembaga Mg 2,87Zinc Mg 8,05

Karotin Mkg 34Vitamin A SI 0Vitamin B1 Mg 0,19Vitamin B12 Mkg 6,3Vitamin C Mg 0

Air Gram 55,3

D. Mekanisme Perlindungan Ekstrak Tempe terhadap Kerusakan Ginjal

akibat Induksi Parasetamol

Kandungan utama tempe yang berperan dalam mencegah kerusakan ginjal

akibat pemberian parasetamol dosis toksik adalah antioksidan. Antioksidan

bekerja dengan cara mendonorkan satu elektron kepada senyawa oksidan,

dalam hal ini radikal bebas, sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut dapat

dihambat. Antioksidan sekunder (eksogen), yang diperankan oleh asupan

bahan makanan, bekerja dengan menangkap radikal bebas (free radical

scavanger), kemudian mencegah reaktivitas amplifikasinya. Antioksidan

primer (endogen), yang diperankan oleh enzim dalam tubuh, menghambat

pembentukan radikal bebas dengan cara memutus reaksi berantai (chain

34

breaking antioxidant), kemudian mengubahnya menjadi produk yang lebih

stabil (Winarsi, 2007).

Vitamin E dapat menghambat peroksidasi lipid oleh radikal bebas yang

dibentuk dari persenyawaan NAPQI melalui mekanisme penangkapan radikal

bebas dan metal chelation (Priya dan Vasudha, 2009). Selain itu, vitamin E

dapat mempertahankan integritas membran sel dengan menghambat aktivitas

NO (nitrit oxide) endotel dan menghambat adhesi leukosit pada sel yang

mengalami kerusakan. Inhibisi aktivitas NO juga diperankan vitamin C, selain

vitamin C juga merupakan penyetabil keberadaan vitamin E (Sukandar, 2006).

Antioksidan fitosterol dan fenol bermanfaat dalam menghambat radikal bebas.

Fitosterol dan komponennya (β-sitosterol, stigmasterol, dan campesterol) dapat

melawan peroksidasi lipid (Yoshida and Niki, 2003). Fenol mempunyai efek

antioksidan terhadap adanya stres oksidatif. Fenol juga mempunyai efek

antimikroba sehingga dapat melawan infeksi (Shetty et al., 2000).

Aktivitas antioksidan mineral berpengaruh sebagai kofaktor enzim antioksidan

endogen. Baik Fe, Cu, Zn, dan Mn merupakan kofaktor aktivasi SOD yang

dapat menghambat ROS, hasil persenyawaan NAPQI (Winarsi, 2007).

Selenium merupakan satu satunya unsur yang dapat mengaktivasi glutathione

peroxidase yang penting untuk mencegah kerusakan ginjal akibat adanya stres

oksidatif dan Tumor Growth Factor-β (TGF-β), serta dapat mengkatalisis

GSH, sehingga kadar GSH untuk konjugasi NAPQI dapat efektif (Singh et al.,

2006).