II Tinjauan Pustaka

21
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Taksonomi Menurut Hirth (1971) dalam Prihanta (2007), taksonomi penyu hijau adalah: Kingdom : Animalia Sub kingdom : Metazoa Phyllum : Chordata Sub phyllum : Vertebrata Class : Reptilia Ordo : Testudinata Family : Cheloniidae Genus : Chelonia Species : Chelonia mydas Linnaeus C. mydas Linn merupakan nama ilmiah yang paling umum dipergunakan bagi penyu hijau. Salah satu anonimnya adalah Testudo mydas Linnaeus, dan dalam dunia Internasional spesies ini lebih dikenal sebagai green turtle berdasarkan warna lemak pada jaringan tubuhnya (Hirth, 1971) dalam Prihanta (2007). 2.2 Morfologi Penyu hijau memiliki tempurung punggung (karapas) yang terdiri dari sisik-sisik yang tidak saling tumpang tindih. Warna karapas pada bagian dorsal tukik penyu

Transcript of II Tinjauan Pustaka

Page 1: II Tinjauan Pustaka

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi

Menurut Hirth (1971) dalam Prihanta (2007), taksonomi penyu hijau

adalah:

Kingdom : AnimaliaSub kingdom : MetazoaPhyllum : ChordataSub phyllum : VertebrataClass : ReptiliaOrdo : Testudinata Family : CheloniidaeGenus : CheloniaSpecies : Chelonia mydas Linnaeus

C. mydas Linn merupakan nama ilmiah yang paling umum dipergunakan

bagi penyu hijau. Salah satu anonimnya adalah Testudo mydas Linnaeus, dan

dalam dunia Internasional spesies ini lebih dikenal sebagai green turtle

berdasarkan warna lemak pada jaringan tubuhnya (Hirth, 1971) dalam Prihanta

(2007).

2.2 Morfologi

Penyu hijau memiliki tempurung punggung (karapas) yang terdiri dari

sisik-sisik yang tidak saling tumpang tindih. Warna karapas pada bagian dorsal

tukik penyu hijau berwarna hitam, pada saat remaja warnanya menjadi coklat

dengan radiating streak (bercak kekuningan yang menyebar) dan warnanya

menjadi sangat bervariasi ketika sudah dewasa (Pritchard and Mortimer, 1999).

Warna pada bagian ventralnya (plastron) adalah putih pada tukik dan menjadi

Page 2: II Tinjauan Pustaka

6

kekuningan pada saat dewasa. Penyu hijau memiliki panjang lebih kurang 3 kaki

sampai 5 kaki dengan berat mencapai 871 pounds.

Ket :A = Flipper BelakangB = KarapasC = Flipper DepanD = VertebralE = Coastal

Gambar 1. Morfologi Penyu Hijau (WWF Indonesia, 2002)

Penyu hijau dapat dengan mudah dibedakan dengan penyu lain karena

memiliki sepasang sisik di depan matanya, yaitu sisik prefrontal sedangkan jenis

lain memiliki lebih dari dua pasang (Prihanta, 2007). Pada masing-masing flipper

penyu terdapat satu kuku dan flipper bagian depan lebih panjang dari pada bagian

belakang (Pritchard and Mortimer, 1999). Morfologi penyu hijau dapat dilihat

pada Gambar 1.

CA

B

D

E

Page 3: II Tinjauan Pustaka

7

2.3 Jenis Kelamin dan Status Kedewasaan Penyu

Jenis kelamin dan status kedewasaan penyu yang sudah mencapai dewasa

kelamin bervariasi di antara sesama individu di dalam populasi yang sama dan

juga diantara individu dari populasi yang berbeda (WWF Indonesia, 2002). Jenis

kelamin dan status kedewasaan ini ditentukan berdasarkan karakteristik eksternal

maupun internal. Penentuan jenis kelamin secara eksternal hanya bisa dilakukan

pada penyu dewasa, yaitu penyu dengan panjang lengkung karapas (PLK) lebih

dari 80 cm dan panjang ekor lebih dari 17 cm adalah penyu jantan. Sedangkan

penyu dewasa dengan panjang ekor kurang dari 14 cm umumnya adalah penyu

betina (Limpus, 1993). Perbedaan jenis kelamin penyu hijau dapat dilihat pada

Gambar 2.

Gambar 2. Perbedaan jenis kelamin penyu. Kiri: jantan; Kanan: betina(DKP RI, 2009)

Secara internal penentuan jenis kelamin penyu ditentukan dengan melihat

karakteristik gonad (Limpus, 1993). Gonad dengan permukaan halus (testis)

adalah penyu jantan, sedangkan gonad dengan permukaan granulum (ovarium)

adalah penyu betina. Penyu betina remaja mempunyai granula yang merupakan

calon sel telur. Oviduk penyu betina remaja memiliki lebar sekitar 2 mm,

berwarna putih, lurus dan sebagian berliku (party convoluted) dan diameter

Page 4: II Tinjauan Pustaka

8

kurang dari 15 mm serta berstroma compact. Pada masa pubertas oviduk akan

mengalami pelebaran. Oviduk akan terus membesar dan pada saat dewasa

panjangnya dapat mencapai 3 mm, berwarna merah muda, berlekuk-lekuk,

diameter lebih besar dari 15 mm dengan stroma meluas (Limpus, 1993). Makin

besar penyu betina, folikel semakin besar dan banyak (WWF Indonesia, 2002).

Pada saat folikelnya mulai masak, penyu betina siap untuk ke daerah kawin untuk

memijah dan kemudian bertelur. Selama masa kawin, betina tidak membuahi

telurnya (Miller, 1997 dalam Purwanasari, 2006). Penyu betina menyimpan

sperma di saluran oviduk. Sperma ini tetap hidup selama musim peneluran. Saat

penyu betina bergerak ke daerah peneluran, dia melepaskan folikelnya dari indung

telur. Folikel tersebut dibuahi sperma di oviduk. Setelah kurang lebih 2-4 minggu

kemudian, penyu betina naik ke pantai untuk bertelur.

2.4 Reproduksi Penyu Hijau

Pembiakan dimulai dari migrasi penyu jantan dewasa dan betina dewasa

dari daerah pencarian makanan ke daerah perkawinan (Hirth, 1971; Limpus et al.

1992; Prince, 1993 dalam Ariane, 1994). Perkawinan biasanya terjadi di

permukaan air yang jernih kurang lebih sepuluh kilometer dari daerah bertelur

(Frazier, 1971; Hirth, 1971; Balazs, 1983; Liew et al. 1992 dalam Ariane, 1994).

Penyu bereproduksi secara seksual dan pembuahannya terjadi di dalam

tubuh atau secara internal (WWF Indonesia, 2002). Perilaku kawin penyu hijau

yaitu penyu hijau jantan berada di punggung penyu betina dengan cakar yang

terdapat di flipper depan. Akibat perilaku kawin seperti ini, sering dijumpai induk

penyu hijau yang muncul di pantai peneluran dengan bekas goresan di bagian

antara leher dengan bahunya (Bustard, 1972 dalam Prihanta, 2007).

Page 5: II Tinjauan Pustaka

9

Selang beberapa minggu setelah bereproduksi, penyu hijau betina bergerak

menuju ke daerah peneluran untuk bertelur, sedangkan penyu hijau jantan kembali

ke tempat pencarian makan (Hirth, 1971; Lanyon et al, 1989 dalam Ariane, 1994).

Masa bertelur seekor penyu hijau berlangsung antara dua sampai empat tahun

sekali. Penyu hijau bertelur lebih dari satu kali dalam satu musim, berkisar antara

dua sampai tiga kali. Interval waktu mengeluarkan telur di pantai yaitu 2-3

minggu (Carr, 1975 dalam Priyono 1985).

Penyu hijau pada umumnya melakukan kegiatan bertelur dimulai naik ke

pantai antara selang waktu satu jam sebelum pasang naik sampai sekitar dua jam

sebelum pasang surut pada malam hari (Bustard, 1972 dalam Ariane, 1994). Lama

perilaku bertelur penyu hijau sekitar 2-3 jam (Ariane, 1994). Berdasarkan

pengamatan Priyono (1985) di Pantai Sukamade perilaku bertelur penyu hijau

dibedakan menjadi 6 tahap, secara terinci dapat dilihat pada Tabel 1. Penyu hijau

mulai muncul ke pantai pada sore hari setelah keadaan menjadi gelap, yaitu

berkisar pukul 18.00 WIB.

Tabel 1. Sebaran waktu (menit) setiap tahapan perilaku bertelur penyu hijau (Chelonia mydas) di pantai Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri.

Tahapan Perilaku Waktu (Menit)1. Naik ke pantai dan seleksi habitat 20,72. Penggalian lubang tubuh dan lubang telur 41,33. Bertelur 21,94. Penutupan lubang telur 11,05. Penimbunan lubang tubuh dan penggalian lubang palsu 27,26. Kembali ke pantai 17,8

Seluruh tahapan 139,9

Sumber: Priyono (1985)

2.5 Habitat Peneluran

Habitat peneluran sangat berpotensi dalam menghasilkan telur dalam

jumlah yang banyak dan memproduksi tukik dengan kondisi sehat, perbandingan

Page 6: II Tinjauan Pustaka

10

jenis kelamin yang seimbang dan jumlah produksi tukik dalam jumlah yang

maksimal (Purwanasari, 2006).

Menurut Purwanasari (2006) perilaku penyu dalam memilih habitat

penelurannya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor dalam dan faktor luar.

Faktor dalam yang mempengaruhi penyu untuk memilih tempat bertelur adalah

insting untuk kembali ke pantai tempat penyu itu ditetaskan yang meliputi :

a. nesting site philopatry (daerah yang masih satu genetic pole)

Penyu bermigrasi antara daerah ruaya pakan dan daerah penelurannya

dengan derajat keakuratan yang tinggi. Semua jenis penyu bermigrasi pada

daerah dengan derajat yang berbeda. Meskipun penyu yang akan bertelur

tidak selalu kembali ke pantai dimana penyu tersebut ditetaskan, studi

genetik memperlihatkan bahwa penyu laut yang akan bertelur akan

kembali ke daerah di sekitar penyu tersebut ditetaskan (Miller, 1997 dalam

Purwanasari, 2006).

b. nesting site fidelity (daerah di sekitar penyu ditetaskan)

Penyu hijau akan memperlihatkan derajat yang tinggi pada daerah nesting

side fidelity-nya. Penyu akan kembali bertelur pada daerah yang tidak

terlalu jauh dari tempat semula dia ditetaskan atau daerah yang masih satu

genetic pole (Miller, 1997 dalam Purwanasari, 2006).

Faktor luar yang mempengaruhi perilaku penyu dalam memilih habitat

penelurannya adalah kondisi lingkungan pantai (Miller, 1997 dalam Purwanasari,

2006). Umumnya penyu yang bertelur, berusaha untuk mencapai tempat bertelur

di bawah naungan pohon-pohon di tepi pantai atau bertelur di daerah vegetasi

pantai. Hal ini disebabkan pasir di daerah tersebut mempunyai kelembaban dan

Page 7: II Tinjauan Pustaka

11

suhu yang stabil. Suhu yang memberikan persentase keberhasilan penetasan yang

optimum berkisar antara 24-33oC (Miller, 1997 dalam Purwanasari, 2006). Lebih

lanjut Nuitja (1983) dalam Ariane (1994) mengemukakan bahwa setiap spesies

penyu laut mempunyai kesukaran yang berbeda terhadap tipe pasir, kemiringan

pantai dan latar belakang daerah peneluran. Penyu hijau menyukai pantai yang

landai dengan pasir putih berdiameter antara 0,28 – 0,31 mm, dengan latar

belakang hutan pantai lebat.

2.6 Perilaku Bertelur (Reproductive Behaviour)

Musim peneluran penyu hijau di suatu tempat berbeda dengan di tempat

lain. Di Indonesia, musim peneluran penyu hijau berlangsung sepanjang tahun

dengan puncak musim yang berbeda di setiap daerah. Interval bertelur penyu hijau

berkisar antara 12 – 15 hari dan sebagian besar penyu hijau bertelur antara 3 – 7

kali dalam setiap musim peneluran (Helmstetter dan Atencio, 1997).

Induk penyu tidak selalu kembali untuk bertelur pada tahun berikutnya.

Setelah beberapa bulan musim peneluran, induk penyu akan kembali ke daerah

pakan dan mulai mempersiapkan musim kawin selanjutnya. Durasi waktu antara

musim reproduksi dengan musim reproduksi selanjutnya didefinisikan sebagai

interval remigrasi (Purwanasari, 2006). Menurut Limpus et al. (1985) dalam

Ariane (1994) rata-rata interval remigrasi induk penyu bervariasi dari tiap spesies.

Induk penyu hijau, akan kembali untuk bertelur setelah 1 hingga 9 tahun dan

bahkan lebih lama lagi. Di Hawai, induk penyu hijau kembali ke pantai untuk

meletakkan telurnya setelah 2 hingga 4 tahun (Hirth, 1971 dalam Prihanta, 2007).

Penyu pada umumnya bertelur di pantai pada petang hari atau dalam

keadaan gelap. Proses peneluran penyu berlangsung pada pukul 18.00 – 06.00 hari

Page 8: II Tinjauan Pustaka

12

berikutnya (Nuitja, 1983 dalam Ariane, 1994). Lama proses peneluran berkisar

antara 2 – 3 jam. Ada kalanya penyu menuju ke pantai tidak untuk bertelur akan

tetapi hanya mensurvei tempat sebelum induk penyu meletakkan telurnya, kondisi

ini disebut non-nesting emergence. Miller (1997) dalam Purwanasari (2006)

mengemukakan bahwa aktivitas ketika penyu bertelur meliputi beberapa tahap,

yaitu:

1. Saat muncul dari laut (emergence), yaitu suatu keadaan ketika penyu baru

saja muncul dari laut dan melihat kondisi pantai apakah tempat tersebut aman

sebagai tempat bertelur.

2. Merangkak menuju pantai (crawling), yaitu kondisi dimana penyu merasa

aman untuk bertelur, penyu bergerak menuju pantai untuk mencari tempat

yang sesuai untuk bertelur.

3. Menggali lubang badan (digging body pit), yaitu keadaan dimana penyu telah

menemukan tempat aman untuk bertelur, kemudian penyu akan

membersihkan tempat tersebut dan membuat lubang badan.

4. Menggali lubang telur (digging eggs chamber), yaitu kondisi dimana penyu

telah selesai membuat lubang badan, induk penyu akan menggali lubang

telur.

5. Bertelur (laying eggs), yaitu kondisi dimana induk penyu akan meletakkan

telur pada lubang. Dalam satu kali oviposisi induk telur akan mengeluarkan

dua hingga tiga butir telur.

6. Menutup lubang telur (covering eggs chamber) dan lubang badan (covering

body pit), yaitu kondisi dimana induk penyu menutup lubang telur setelah

Page 9: II Tinjauan Pustaka

13

mengeluarkan telurnya kemudian dilanjutkan dengan menutup lubang badan

agar nampak seperti semula.

7. Penyamaran sarang (camuflase), yaitu keadaan dimana induk penyu

menghindari gangguan predator pada sarang dengan membuat sarang lain

untuk menyamarkan sarangnya.

8. Kembali ke pantai (back to the sea), yaitu tahapan terakhir dimana setelah

induk penyu menyelesaikan tugasnya, induk akan kembali ke pantai.

2.7 Masa Inkubasi Telur

Masa inkubasi pada penetasan telur penyu hijau diartikan sebagai selang

waktu antara oviposisi sampai dengan munculnya sebagian besar tukik hasil

penetasan di permukaan sarang (Hirth, 1971 dalam Prihanta, 2007).

Masa inkubasi telur penyu hijau dipengaruhi oleh suhu pasir. Semakin

rendah suhu pasir, maka semakin lama masa inkubasinya (Ackerman, 1980).

Miller (1999) dalam Hidayat (1999) mengemukakan bahwa perbedaan suhu 1OC

akan menambah lamanya masa inkubasi telur selama 5 (lima) hari. Hasil

penelitian Nuitja (1983) dalam Ariane (1994) menunjukkan bahwa kisaran masa

inkubasi telur 42 – 60 hari dengan suhu pasir berkisar 25,5O – 31,5OC. Masa

inkubasi telur penyu hijau yang ditetapkan secara alamiah adalah 54 – 61 hari,

sedangkan masa inkubasi di dalam sarang buatan (styrofoam box) selama 73 hari.

Perbedaan ini karena suhu sarang pada metode penetasan buatan (semi alami)

umumnya lebih rendah dari pada suhu sarang alami, yaitu antara 24,5OC – 26OC

(Schulz, 1975 dalam Nuitja, 1983). Suhu sarang dipengaruhi oleh kedalaman,

karena semakin dalam sarang, suhu di dalamnya makin stabil. Kestabilan suhu

Page 10: II Tinjauan Pustaka

14

pada pusat sarang merupakan faktor penentu terhadap keberhasilan penetasan

telur penyu (Hirth, 1971 dalam Ariane, 1994).

Selain suhu sarang, ketersediaan O2 di dalam sarang merupakan faktor

yang mempengaruhi laju pertumbuhan embrio penyu hijau. Terhambatnya

pertukaran udara dapat memperpanjang masa inkubasi. Komposisi dan tekstur

pasir dapat mempengaruhi ketersediaan O2 di dalam sarang (Stancyk dan Ross,

1978 dalam Ridyaningtias, 2007). Menurut Nybakken (1998) dalam Yustina dkk.

(2004) bahwa ukuran partikel pasir di pantai merupakan fungsi dari gelombang

ombak di pantai itu, jika ombak kecil partikel-partikel berukuran kecil, sedangkan

jika ombak besar dan kuat partikel-partikel akan menjadi kasar dan membentuk

kerikil serta kepentingannya terletak pada retensi air dan kesesuaian untuk digali.

Selanjutnya Anonimus (1999) dalam Yustina dkk. (2004) mengemukakan bahwa

penyu tidak jadi bertelur jika tipe pasir yang berada dalam sarang berupa pecahan

kerang yang kasar juga bercampur tanah liat atau kerikil, sehingga penyu tidak

mau meneruskan penggalian sarang dan berpindah mencari tempat yang lain.

Selanjutnya dikemukakan bahwa butiran pasir yang cocok dan disenangi oleh

induk penyu untuk bersarang adalah dalam ukuran sedang dan halus.

Masa inkubasi telur penyu hijau pada sarang alamiah juga dipengaruhi

oleh musim. Pada musim hujan di Mozambique masa inkubasi telur penyu selama

85 – 99 hari, dan pada musim kemarau masa inkubasinya 58 hari (Mrosovsky dan

Yntema, 1980 dalam Ridyaningtias, 2007). Hal ini disebabkan karena pada

musim hujan, kelembaban tanah akan semakin tinggi. Sarang hewan (kepiting dan

semut) dalam pasir pada lokasi penetasan telur penyu dapat menyebabkan

porositas lebih besar sehingga kestabilan suhu sarang akan terganggu, karena air

Page 11: II Tinjauan Pustaka

15

hujan akan lebih mudah meresap ke dalam pasir sehingga mengakibatkan

kelembaban meningkat. Kelembapan yang tinggi dapat membusukkan telur-telur

penyu (Stancyk dan Ross, 1978 dalam Yustina, dkk. 2004). Salah satu faktor yang

paling mempengaruhi kestabilan kelembaban pasir sarang adalah kelandaian atau

kemiringan pantai. Hubungan kemiringan sarang dengan kelembaban sarang,

yaitu pantai dengan kemiringan < 300 dengan kelembaban dalam sarang 30-40%.

Sedangkan sarang yang terletak pada kemiringan >300, maka kelembaban di

dalam sarang berkisar antara 20-28%. Kelembaban di dalam sarang cenderung

tinggi jika terletak pada kemiringan <300, hal ini disebabkan adanya interupsi air

laut kedalam sarang (Yustina, dkk. 2004).

2.8 Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hijau

Sarang telur penyu hijau biasanya mempunyai persentase keberhasilan

penetasan yang tinggi (80% atau lebih) kecuali apabila ada faktor-faktor dari luar

yang mempengaruhinya, seperti; perubahan lingkungan yang signifikan, infeksi

mikroba dan lain sebagainya (Miller, 1997 dalam Purwanasari, 2006).

Setelah masa inkubasi 55 hari atau lebih, sulit untuk menentukan keadaan

telur fertil dengan telur yang mengalami kematian embrio dini (mati dalam oviduk

atau pada awal masa inkubasi). Dari telur-telur yang tidak menetas dapat

diketahui sebab-sebab kematian embrio dini dengan pengambilan spesimen telur

(Purwanasari 2006).

Ariane (1994) menjelaskan bahwa periode hidup penyu laut secara umum

mengalami tiga fase kritis. Fase kritis pertama adalah periode penetasan yaitu

mulai telur keluar dari kloaka induknya (oviposisi) hingga tukik keluar sarang.

Kegagalan penetasan terjadi karena pemangsaan telur atau aspek ekologi yang

Page 12: II Tinjauan Pustaka

16

kurang menguntungkan. Fase kritis kedua adalah pada saat anak penyu (tukik)

baru menetas mulai bergerak mencapai tepi laut. Hewan predator di pantai

mempengaruhi pula kelangsungan hidup tukik. Sedangkan untuk fase krisis ketiga

adalah pada saat tukik di laut berhadapan dengan lingkungan baru dan ikan-ikan

buas.

2.9 Ekologi Daerah Pantai Sukamade

Pantai Sukamade merupakan bagian dari kawasan TNMB dengan panjang

pantai kurang lebih 3,5 km yang membentang dari Timur ke Barat. Kawasan ini

terletak pada posisi 113O 38’ 48” BT – 113O 58’ 30” BT dan 8O 20’ 48” – 8O 33’

48” LS dengan ketinggian 900 - 1.223 mdpl dan curah hujan rata-rata 2.300

mm/tahun. Luas secara keseluruhan TNMB adalah 57.139 ha daratan dan 845 ha

lautan yang secara administratif terletak di Kabupaten Jember seluas 37.610 ha

dan di Kabupaten Banyuwangi seluas 20.374 ha (Hidayat, 1999).

Kawasan TNMB memiliki lima tipe vegetasi, diantaranya; vegetasi pantai,

vegetasi payau, vegetasi rawa, vegetasi rheophyte, dan vegetasi hujan tropis. Jenis

flora yang teridentifikasi sebanyak 518 species, 239 diantaranya dikenal sebagai

tanaman obat, sedangkan 15 jenis tanaman lain dikenal sebagai tanaman yang

dilindungi, salah satunya adalah Padmosari/ Raflesia (Rafflesia zillingeriana).

Untuk fauna, terdapat 217 species hewan yang teridentifikasi, 25 jenis adalah

golongan mammalia, 8 jenis reptil, dan 184 jenis aves, serta 68 jenis burung yang

dilindungi (Ridyaningtias, 2007). Diantara beberapa fauna yang hidup di dalam

taman, terdapat sejumlah predator yang membahayakan populasi penyu, seperti;

babi hutan, anjing hutan, biawak karena predator ini memangsa telur penyu

(Ariane, 1994).

Page 13: II Tinjauan Pustaka

17

2.10 Konservasi Populasi Penyu di Pantai Sukamade

Berdasarkan Undang-undang RI nomor 5 tahun 1990, TNMB merupakan

kawasan pelestarian alam dengan ciri khas dan berekosistem asli, yang

mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan

keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari

sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Ariane, 1994).

Purwanasari (2006) menjelaskan bahwa upaya penyelamatan populasi

penyu di pantai Sukamade TNMB telah dilakukan sejak tahun 1974, bahkan mulai

tahun 1984 kegiatan pemantauan populasi penyu lebih baik dan terarah. Upaya-

upaya yang dilakukan dalam rangka pelestarian dan pembinaan populasi penyu di

Sukamade meliputi:

a. perlindungan habitat di laut dan di pantai dari gangguan manusia dan

predatornya,

b. pengamanan dari usaha pencurian dan pemburuan penyu dan telurnya,

c. pemasangan tag yaitu tanda register yang terbuat dari plat logam atau plastik

pada sirip depan sebelah kiri penyu yang bertelur atau memeti,

d. usaha penetasan telur semi alami, yaitu usaha pemindahan telur penyu baru

dari sarang aslinya ke tempat penetasan tertentu dan terpusat yang berpagar

kawat,

e. penutupan sebagian pantai Sukamade dari kunjungan wisatawan untuk

perlindungan dan penelitian,

f. melepaskan tukik (anak penyu) secara berkala.