II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah System of Rice ... fileMadagaskar diantaranya adalah Bangladesh,...
Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah System of Rice ... fileMadagaskar diantaranya adalah Bangladesh,...
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah System of Rice Intensfication (SRI)
System of Rice Intensification (SRI) pertama kali dikembangkan oleh
seorang pastur asal Perancis bernama Father Henri de Laulanie pada awal 1980-
an di Madagaskar. Beliau menghabiskan waktu selama 34 tahun bekerja bersama
petani, mengamati, dan bereksperimen mengenai metode hemat air ini, hingga
eksperimennya berhasil memperoleh kesuksesan pada tahun 1983 s/d 1984.2
Pada tahun 1990 dibentuk Asociation Tefy Saina (ATS), sebuah LSM
Malagasy untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian, Cornell
International Institution for Food, Agriculture and Development (CIIFAD), mulai
bekerja sama dengan Tefy Saina untuk memperkenalkan SRI di sekitar
Ranomafana National Park di Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for
International Development. SRI telah diuji di Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri
Langka, dan Bangladesh dengan hasil yang positif (Mutakin 2007). SRI menjadi
terkenal di dunia melalui upaya dari Norman Uphoff (Director CIIFAD). Pada
tahun 1987, Uphoff mengadakan persentasi SRI di Indonesia dan beberapa negara
lainnya yang merupakan kesempatan pertama SRI dilaksanakan di luar
Madagaskar diantaranya adalah Bangladesh, Benin, Kamboja, Kuba, Gambia,
Guinea, India,laos, Mali, Mozambique, Myanmar, Nepal, Pakistan, Peru,
Philipina, Senegal, Sierra Leone, Srilanka, Thailand, dan Vietnam. Berdasarkan
hasil pengembangan program SRI di beberapa negara, di peroleh hasil
2 http://en.wikipedia.org/wiki/System_of_Rice_Intensification (Diakses 04 April 2011)
9
produktivitas yang cukup signifikan, hasil produksi tanaman padi dapat dilihat
sebagai berikut:
1. China (2004), hasil naik dari 3 ton/ha menjadi 7,5 ton/ha dengan hasil
tertinggi 20,4 ton/ha dan penghematan air sebesar 42 %. Saat ini
produktivitas padi sekitar 13 ton/ha.
2. India (50 petani, 2003-2004), hasil meningkat dari 7,1 ton/ha menjadi 9,7
ton/ha dengan produktivitas tertingginya adalah sebesar 15 ton/ha.
3. Kamboja (5 propinsi, 2004), hasil naik sebesar 41 % dan pendapatan naik
sebesar 74 %.
4. Sri Langka, hasil naik sebesar 50 %, efisiensi air 90 %, pendapatan bersih
112 %, dan pengurangan biaya produksi sebesar 17 – 27 %.
5. Indonesia oleh Agency for Agricultural Research and Development (AARD,
2004), dengan hasil rata-rata 7 s/d 9 ton. Hasil uji coba petani terbaru SRI
memberikan hasil 10 s/d 18 ton/ha.
2.2 Metode System of Rice Intensification (SRI)
System of Rice Intensification (SRI) adalah suatu metode untuk
meningkatkan produktivitas padi dengan mengubah pengaturan tanaman, tanah,
air, dan nutrisinya. SRI merupakan cara atau sistem penanaman padi yang
intensif, yang memperhatikan dan mengutamakan pengelolaan sumber kekuatan
alam, daur aliran energi dan siklus nutrisi yang berawal dari tanah, potensi
tumbuh dan berkembangnya tanaman, serta pengelolaan peranan atau fungsi air
dalam mendukung dan memperkuat berjalannya kehidupan alamiah di ekosistem
pertanian (Rachmiyanti dalam Fitriadi, 2005).
10
Pada metode ini, produksi tanaman padi diharapkan dapat mencapai
hingga 8 ton per hektar, bahkan diantaranya ada yang mampu mencapai 10–15 ton
per hektar. SRI tidak mensyaratkan benih unggul atau pemupukan intensif, tetapi
lebih menekankan pada perlakuan bibit, jarak tanam, dan waktu pengairan yang
tepat berdasarkan pengamatan terhadap perilaku dan kehidupan tanaman padi
(Simarmata, 2006).
Melalui penerapan metode SRI diharapkan para petani memperoleh hasil
panen 30 % lebih banyak jika dibandingkan dengan pola konvensional. Hal
tersebut dikarenakan metode SRI mampu menghemat air hingga 60 % dari
kebutuhan padi sawah biasa. Pengaturan tata udara tanah melalui pemberian air
(lembab dan basah secara bergantian) akan meningkatkan keanekaragaman dan
peranan biota tanah dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Oleh karena itu, metode ini tidak mengenal krisis air pada kemarau seperti yang
terjadi pada akhir tahun 2006 hingga awal 2007. Melalui metode ini diharapkan
kesejahteraan petani dapat ditingkatkan, karena harga jual Gabah Kering Panen
(GKP) padi organik metode SRI ini berkisar antara Rp. 3.500,-/kg hingga Rp.
4.500,-/kg3.
2.3 Input-Input Produksi Pertanian
Dalam sistem pertanian membutuhkan faktor-faktor input untuk
berproduksi. Input produksi sering disebut sebagai faktor produksi. Faktor
produksi sangat berperan mulai dari pertumbuhan tanaman padi sampai dengan
perkembangan tanaman tersebut. Terdapat beberapa jenis faktor produksi yang
biasa digunakan oleh petani seperti benih,air, pupuk, pestisida dan tenaga kerja.
3 http://agribisnis-ganesha.com/?p=62 (Diakses 04 April 2011)
11
Pada penelitian ini akan dikaji bagaimana pengaruh metode SRI dalam
menghemat faktor-faktor produksi pada usaha tani padi sawah.
2.3.1 Pupuk
Pupuk merupakan salah satu komponen penting dalam perkembangan dan
pemeliharaan tanaman. Pada umumnya pupuk yang digunakan dalam budidaya
padi ada dua jenis, yaitu pupuk organik dan pupuk kimia. Definisi yang
dikemukakan oleh International Organization for Standardization (ISO) dalam
Sutanto (2002b) menyatakan bahwa pupuk organik merupakan bahan organik atau
bahan karbon, pada umumnya berasal dari tumbuhan dan atau hewan,
ditambahkan ke dalam tanah secara spesifik sebagai sumber hara, pada umumnya
mengandung nitrogen yang berasal dari tumbuhan dan atau hewan.
Asociation of American Plant Food Control Official (AAPFCO)
mendefinisikan pupuk organik sebagai pupuk yang mengandung karbon sebagai
komponen esensial (tetapi tidak dalam bentuk karbonat) dan istilah tersebut pada
dasarnya berasal dari senyawa karbon yang dikandung organisme, tetapi sekarang
termasuk senyawa karbon sintetik. AAPFCO mengartikan bahwa pupuk organik
sebagai bahan mengandung karbon dan satu atau lebih unsur yang lain selain
hidrogen dan oksigen yang penting bagi pertumbuhan tanaman (Sutanto, 2002b).
Pupuk kimia adalah pupuk yang berasal dari proses rekayasa secara kimia,
fisik atau biologis yang merupakan hasil industri atau hasil dari pabrik pembuat
pupuk.4
Pada umumnya jenis pupuk kimia yang digunakan dalam budidaya
meliputi :
4 http://www.deptan.go.id/pesantren/bsp/puk_pest/peraturan/lamp_sk_238.htm (diakses 8 September 2011)
12
a. pupuk hara makro primer yaitu pupuk yang mengandung unsur hara utama N,
P atau K baik tunggal maupun majemuk seperti Urea, TSP, SP-36, ZA, KCl,
Phospat Alam, NP, NK, PK dan NPK;
b. pupuk hara makro sekunder, yaitu pupuk yang mengandung unsur Calsium
(Ca), Magnesium (Mg) dan Belerang (S) seperti Dolomit, Kiserit;
c. pupuk hara makro campuran yaitu pupuk yang mempunyai kandungan hara
utama N, P dan K yang dilengkapi unsur-unsur hara mikro seperti Seng (Zn),
Boron (B), Tembaga (Cu), Cobalt (Co), Mangan (Mn), Molibdenum (Mo).
Pupuk hara campuran tersebut dapat berbentuk padat atau cair
d. pupuk hara mikro yaitu pupuk yang mempunyai kandungan hara mikro Zn, B,
Cu, Co, Mn dan Mo;
e. pupuk an-organik lainnya.
2.3.2 Benih
Dalam sistem usaha tani benih bermutu merupakan syarat untuk
mendapatkan hasil panen yang maksimal. Dalam pertanian organik juga
dibutuhkan kualitas benih yang baik. Akses terhadap benih menjadi salah satu
permasalahan petani di Indonesia. Petani terus dijauhkan dari sistem pertanian
yang mandiri dan berdaulat, termasuk dalam hal kemandirian untuk penggunaan
dan produksi benih. Sejak revolusi hijau bergulir, penguasaan benih beralih dari
tangan petani ke tangan perusahaan industri benih yang mengklaim atas nama
teknologi penghasil keunggulan dalam hal produktivitas dan ketahanan terhadap
penyakit.
Faktanya, kemajuan teknologi tersebut tidak dapat meningkatkan
kesejahteraan petani, namun sebaliknya membuat petani semakin menderita.
13
Teknologi yang seharusnya bermanfaat bagi petani sebagai subjek dari kegiatan
pertanian tersebut malah justru menjadi pundi penghasil kekayaan bagi para
pemilik modal. Petani semakin tergantung terhadap benih hibrida yang mahal..
Umumnya benih dikatakan bermutu jika jenisnya murni (lokal), beras
nasional (bernas), kering, sehat, bebas dari penyakit, bebas dari campuran biji
rerumputan yang tidak dikehendaki, dan daya kecambahnya paling tidak
mencapai 90 % (Andoko, 2002).
Menurut Boer (2009) ada beberapa klasifikasi benih yang bersertifikat
sesuai dengan keturunan dan mutunya :
1. Benih Penjenis (Breeder seed) adalah benih pembiak vegetatif yang
dihasilkan langsung oleh pemulia tanaman yang digunakan untuk
menghasilkan benih dasar.
2. Benih dasar (foundation seed) merupakan turunan pertama dari benih
penjenis, identitas genetif dan kemurniannya dijaga baik.
3. Benih pokok, merupakan turunan dasar dari benih dasar, identitas dan
kemurniannya dipertahankan sebaik mungkin.
4. Benih sebar, turunan dari benih pokok untuk memproduksi tanaman..
2.3.3 Air
Penggunaan air tawar dapat dikategorikan sebagai penggunaan konsumtif
dan non-konsumtif. Air dikatakan digunakan secara konsumtif jika air tidak
dengan segera tersedia lagi untuk penggunaan lainnya, misalnya irigasi (di mana
penguapan dan penyerapan ke dalam tanah serta penyerapan oleh tanaman dan
hewan ternak terjadi dalam jumlah yang cukup besar). Jika air yang digunakan
tidak mengalami kehilangan serta dapat dikembalikan ke dalam sistem perairan
14
permukaan (setelah diolah air berbentuk limbah), maka air dikatakan digunakan
secara non-konsumtif dan dapat digunakan kembali untuk keperluan lainnya, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Air sangat dibutuhkan oleh tanaman
untuk dapat hidup dan berkembang. Lahan pertanian memerlukan air dalam
jumlah yang sangat besar. Dalam skala global dari sekitar 3.600 km3 air yang
dikonsumsi manusia per tahun, sekitar 69 % diantaranya dipergunakan untuk
sektor pertanian. Bahkan di Asia konsumsi air untuk sektor pertanian mencapai
rata-rata sekitar 83 % dari total air yang dikonsumsi manusia.
Tabel 2. Perkiraan Kebutuhan Air Untuk Tanaman Pangan (Juta m3) Menurut Wilayah Tahun 2004 s/d 2009
No Wilayah Kebutuhan Air Pertahun dalam Juta m3 Tahun
2004 2005 2006 2007 2008
1 Sumatera 28.73 29.37 28.96 31.98 33.90
2 Jawa 52.93 53.94 53.34 53.58 56.85
3 Bali dan Nusa Tenggara
7.09 6.63 7.18 6.82 7.63
4 Kalimantan 6.32 6.30 6.60 7.50 7.75
5 Sulawesi 10.83 11.33 11.65 13.41 14.31
6 Maluku dan Papua 0.91 0.99 1.04 1.06 1.10
Indonesia 106.82 108.56 108.77 114.35 121.54
Sumber :Badan Pusat Statistika 2009
Berdasarkan data hasil panen tanaman pangan di Indonesia, dapat dikaji
bahwa pada tahun 2008 konsumsi air untuk tanaman pangan meningkat sebesar
37 juta m3 dibandingkan dengan konsumsi pada tahun 2004. Kenaikan terbesar
berasal dari tanaman padi yaitu sebesar 8 juta m3 seiring dengan pencapaian target
swasembada beras pada tahun 2007 - 2008. Pada tahun 2008, kebutuhan air
terbesar untuk tanaman pangan tersebut berada di Pulau Jawa, yaitu sebesar 57
juta m3 atau 47 % dari total kebutuhan air untuk tanaman pangan di Indonesia.
15
Pada tabel dibawah dapat dilihat kebutuhan air tanaman padi sesuai
pertumbuhannya.
Tabel 3. Kebutuhan Air Tanaman Padi Sesuai Pertumbuhannya
Tahap
Kegiatan/Pertumbuhan
Varietas Unggulan Varietas Non unggulan
mm/hari lt/det/Ha Periode (hari)
mm/hari lt/det/Ha Periode (hari)
Pengolahan tanah 12,70 1,50 - 12,7 1,50 -
Pembibitan 3,00 0,40 20 3,00 0,40 20
Tanam s.d. primordia 7,50 0,90 40 6,40 0,75 35
Primordia s.d. bunga 8,80 1,00 25 7,70 0,90 20
Bunga 10 % s.d. penuh 8,80 1,00 20 9,00 1,00 20
Bunga penuh s.d. panen 8,40 1,00 20 7,80 0,90 20
Sumber : Seri Modul Kebutuhan Air Irigasi (PT1), 2000
Berdasarkan Tabel 3 di atas dapat dikaji bahwa kebutuhan air untuk
tanaman padi sangat tinggi, hal ini dapat dilihat dari tahapan pertumbuhan
tanaman yang banyak dan membutuhkan air yang cukup banyak untuk setiap
tahapannya. Untuk varietas unggulan membutuhkan air sebanyak 49,2 mm/hari
dari tahap pengolahan tanah sampai tahap bunga penuh sampai dengan panen.
Sedangkan untuk varietas non unggulan membutuhkan air 46,6 mm/hari dari
tahap pengolahan tanah sampai dengan tahapan panen. Berdasarkan perbedaan
kebutuhan air dari kedua varietas diatas dapat diketahui bahwa varietas unggulan
membutuhkan air yang lebih sedikit dibandingkan dengan varietas non unggulan
2.3.4 Tenaga Kerja
Dalam sektor pertanian, tenaga kerja merupakan salah satu input produksi
yang sangat dibutuhkan dalam proses produksi pertanian. Pada prakteknya tenaga
16
kerja dibutuhkan dalam proses kegiatan produksi dari pengolahan tanah,
penanaman, perawatan sampai dengan proses panen. Tenaga kerja pertanian
(dalam arti luas) merupakan tenaga kerja terbesar dengan jumlahnya mencapai
42,3 juta jiwa pada tahun 2006. Jumlah ini merupakan 44,5 % dari jumlah tenaga
kerja Indonesia seluruhnya. Tenaga kerja pertanian tersebut tersebar ke dalam
lima sub sektor, dimana penyerapan tenaga kerja terbesar adalah di sub sektor
tanaman pangan, perkebunan dan hortikultura (sekitar 38,8 %) diikuti dengan sub
sektor peternakan (sekitar 2,5 %)5. Namun demikian, dengan jumlah tenaga kerja
yang besar tersebut, ternyata sektor pertanian hanya mampu memberikan
kontribusi PDB nasional sebesar 13,3 %. Kondisi ini menunjukkan bahwa
produktivitas tenaga kerja pertanian masih rendah. Rendahnya produktivitas
tersebut disebabkan masih rendahnya tingkat pendidikan dan kemampuan adopsi
teknologi. Pada zaman sekarang ini, tenaga kerja yang bekerja di bidang pertanian
juga semakin berkurang. Salah satu faktor yang menyebabkan adalah petani lebih
suka menyewa traktor, karena biaya lebih murah dan pekerjaan dapat selesai
dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini tentu memberi iklim segar kepada
pemilik traktor karena mempunyai daerah pasar yang luas, yakni di luar desa,
diluar kecamatan bahkan diluar kabupaten. Ini dapat dilihat pada saat musim
pengolahan tanah, maka mobilitas alat pengolahan tanah ini antar wilayah sangat
meningkat.
5 http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/542/ (Diakses 04 Agustus 2011)
17
2.3.5 Pestisida
Pestisida merupakan salah satu input produksi yang digunakan oleh para
petani untuk menjaga tanaman dari serangan hama penyakit. Namun pada
umumnya penggunaan pestisida digunakan pada pertanian konvensional,
sedangkan pada pertanian organik tidak menggunakan pestisida kimia. Pestisida
terdiri dari pestisida kimia dan pestisida alami. Pestisida kimia terdiri dari dua
jenis yaitu pestisida padat dan pestisida cair. Penggunaan pestisida tergantung dari
kondisi lingkungan dan hama yang menyehrang tanaman tersebut. Pada umumnya
pestisida yang digunakan oleh petani padi konvensional adalah pestisida cair.
Pada pertanian organik menggunakan pestisida alami yang dibuat oleh petani
dengan menggunakan bahan-bahan yang alami dan ramah lingkungan.
2.4 Ketersediaan Input-Input Produksi
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa saat ini kekayaan sumber daya alam
yang dimiliki Indonesia, ketersediaannya sudah semakin terbatas. Hal ini dapat
dilihat dengan semakin meningkatnya kerusakan lingkungan yang terjadi.
Keadaan ini akan berdampak terhadap ketersediaan input-input produksi yang
dibutuhkan sektor pertanian yang semakin terbatas. Semakin terbatasnya input-
input produksi akan berdampak terhadap peningkatan biaya produksi yang harus
dikeluarkan oleh petani. Pada pertanian konvensional umumnya output produksi
yang dihasilkan tidak sebanding dengan biaya yang sudah dikeluarkan petani. Hal
ini berdampak terhadap rata-rata pendapatan yang diperoleh petani. Input-input
produksi merupakan komponen yang sangat penting, supaya keberlangsungan
usaha tani tetap terjaga. Untuk mengatasi permasalahan ini dibutuhkan suatu
metode usaha tani yang dapat meningkatkan tingkat efisiensi penggunan input-
18
input produksi pertanian. Tujuan dari efsiensi penggunaan input-input produksi
adalah untuk menghemat biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani. Efisiensi
penggunaan input produksi juga sangat penting yang bertujuan agar stok sumber
daya yang semakin terbatas dapat dimanfaatkan dengan baik untuk peningkatan
kesejahteraan petani.
2.5 Biaya Produksi Air Baku
Air baku dalam pengertian ini merupakan air yang berasal dari air tanah
termasuk mata air yang diambil dari sumbernya dan telah siap untuk
dimanfaatkan. Harga air baku merupakan nilai rupiah dari biaya eksploitasi atau
investasi untuk mendapatkan air baku tersebut. Harga Air Baku (HAB) adalah
harga rata-rata air tanah per satuan volume di suatu daerah yang besarnya sama
dengan nilai investasi untuk mendapatkan air tanah tersebut dibagi dengan volume
produksinya (Sukanto, 1989). Harga air baku adalah sejumlah biaya dan upaya
yang dikeluarkan sekarang untuk mendapatkan atau mengeluarkan air tanah
sampai ke permukaan tanah yang meliputi biaya konstruksi, biaya tetap dan biaya
operasional selama umur ekonomis (Abidin, 2008).
2.6 Produksi Marginal
Dalam ekonomi, produk marjinal atau produk fisik marjinal adalah output
tambahan yang dihasilkan oleh satu unit atau lebih dari input yang digunakan.
Dengan asumsi bahwa tidak ada faktor lain yang dapat mengubah input produksi,
produk marjinal dari input yang diberikan X, dimana dapat dinyatakan sebagai :
19
Dimana ΔX adalah perubahan input produksi yang digunakan, sedangkan
ΔY adalah perubahan output yang dihasilkan (Soekartawi, 1990). Untuk
mengestimasi nilai air dapat digunakan dengan pendekatan marginal produksi
dimana dapat diketahui dengan menghitung berapa jumlah output tambahan
(GKP) yang dihasilkan dari setiap volume (m3) air yang digunakan untuk
berproduksi.
2.7 Prinsip Budidaya Padi Metode SRI
Secara umum dalam konsep SRI tanaman diperlakukan sebagai organisme
hidup sebagaimana mestinya, tidak diperlakukan seperti mesin yang dapat
dimanipulasi, tanaman padi dikembangkan dengan cara memberikan kondisi yang
sesuai dengan pertumbuhannya. Hal ini karena SRI menerapkan konsep sinergi,
dimana semua komponen teknologi SRI berinteraksi secara positif dan saling
menunjang sehingga hasil secara keseluruhan lebih banyak daripada jumlah
masing-masing bagian. Menurut Mutakin dalam Berkelaar (2001), Kuswara
(2003) dan Wardana et al, (2005) terdapat beberapa komponen penting dalam
penerapan SRI yaitu :
1. Bibit dipindah lapangan (Transplantasi) lebih awal (bibit muda).
2. Bibit ditanam satu batang per lubang tanam.
3. Jarak tanam lebar.
4. Kondisi tanah tetap lembab tapi tidak tergenang air (irigasi berselang)
5. Menggunakan pupuk dari bahan organik kompos dan mikro organisme lokal
(MOL)
6. Dilakukan Penyiangan/pendangiran.
20
Hal paling mendasar dalam budidaya SRI adalah menerapkan irigasi
intermiten artinya siklus basah kering bergantung pada kondisi lahan, tipe tanah
dan ketersediaan air. Selama kurun waktu penanaman lahan tidak tergenang
tetapi macak-macak (basah tapi tidak tergenang). Cara ini bisa menghemat air
46%. Selain itu sedikitnya air juga mencegah kerusakan akar tanaman. Menurut
Simarmata (2009) diacu dalam Trubus (2008), penggenangan air menyebabkan
kerusakan jaringan perakaran akibat terbatasnya suplai oksigen. Semakin tinggi
air semakin kecil oksigen terlarut, dampaknya akar tanaman tidak mampu
mengikat oksigen sehingga jaringan perakaran rusak. Selain itu jika air tergenang
menyebabkan musuh alami hama padi tidak dapat hidup sedangkan hama padi
dapat hidup dan dapat memunculkan hama padi baru yang berasal dari lingkungan
aquatik. Disamping menghemat air, budidaya intensif itu juga menghemat
penggunaan bibit, sebab satu lubang tanam hanya ditanam satu bibit. Menurut
Abdulrachman, (2008) diacu dalam Trubus (2008), bahwa dengan menanam satu
bibit per lubang berarti menghindari perebutan cahaya atau hara dalam tanah
sehingga sistem perakaran dan pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik.
Sebaliknya jika penanaman terdiri atas 9 bibit per lubang menyebabkan terjadinya
kompetisi hara pada tanaman.
Dalam pertanian dengan menggunakan metode SRI digunakan bibit muda
umurnya 7 hari pasca semai dan terdiri atas dua daun. Penggunaan bibit muda
berdampak positif karena lebih mudah beradaptasi dan tidak gampang stress, ini
dikarenakan perakaran belum panjang maka penanaman pun tidak perlu terlalu
dalam cukup 1-2 cm dari permukaan tanah. Untuk menghasilkan bibit muda yang
berkualitas petani mempersiapkan sejak penyemaian. Populasi di persemaian 50
21
gr/m2 dimaksudkan agar bibit cepat besar, karena tidak terjadi persaingan unsur
hara, dengan demikian bibit sudah siap tanam pada umur 7-10 hari. Transplantasi
saat bibit muda dapat mengurangi guncangan dan meningkatkan kemampuan
tanaman dalam memproduksi batang dan akar selama pertumbuhan vegetatif,
sehingga jumlah anakan/batang yang muncul lebih banyak dalam satu rumpun,
dan bulir padi yang dihasilkan oleh malai padi juga lebih banyak. Petani SRI
menanam bibit muda dengan jarak tanam 40 cm x 30 cm, total populasi dalam
satu hektar mencapai 83.000 tanaman, sementara pada sistem konvensional
berjarak tanam 20 cm x 20 cm terdiri atas 250 ribu tanaman. Pada jarak tanam
longgar sinar matahari dapat menembus sela-sela tanaman dengan baik. Tanaman
memerlukan sinar matahari untuk melakukan proses fotosintesis yang bertujuan
unutk menjaga pasokan makanan tercukupi. Dengan demikian dalam umur 30
hari, dari satu bibit sudah menghasilkan 65 anakan.
SRI menganjurkan pemakaian bahan organik (kompos) dan Mikro
Organisme Lokal (MOL) untuk memperbaiki struktur tanah agar padi dapat
tumbuh dengan baik dan hara tersuplai kepada tanaman secara baik tanpa
menimbulkan efek kimia. Keterlibatan kompos dan MOL (Mikro organisme
lokal) sangat membantu dalam pencapaian produktivitas yang berlipat ganda,
karena peran kompos lebih komplek dari pupuk dan selain sebagai penyuplai
nutrisi kompos juga berperan sebagai komponen bioreaktor yang bertugas
menjaga pertumbuhan tetap optimal. Konsep bioreaktor adalah kunci sukses SRI,
bioreaktor yang dibangun oleh MOL dan kompos, menjamin bahwa padi selama
pertumbuhan dari bibit sampai dewasa tidak mengalami hambatan. Fungsi
bioreaktor sangatlah komplek, fungsi yang telah diidentifikasi antara lain sebagai
22
penyuplai nutrisi melalui eksudat, kontrol mikroba sesuai kebutuhan padi,
menjaga stabilitas kondisi tanah menuju kondisi ideal bagi pertumbuhan padi
bahkan kontrol terhadap penyakit yang dapat menyerang padi (Uphoff, 2002).
Pendangiran/penyiangan dianjurkan sejak awal sekitar 10 hari dan diulang 2-3
kali dengan interval 10 hari menggunakan gasrok atau lalandak, selain untuk
membersihkan gulma juga dapat memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan
aerasi tanah. Penerapan SRI bisa diperuntukkan bagi berbagai varietas padi lain
yang pernah ditanam petani, hanya saja diperlukan pikiran yang terbuka untuk
menerima metode baru dan kemudian untuk bereksperimen. Oleh karena itu,
kajian SRI menggarisbawahi bagaimana pentingnya integrasi dan interdisiplin
yang menggabungkan aspek biofisik dan sosial ekonomi dalam usaha tani padi.
Kenyataan tersebut telah membuka stagnasi produksi padi di Madagaskar dan
beberapa negara lain di dunia melalui pengurangan biaya produksi dengan tetap
menjaga kelestarian lingkungan. Penerapan SRI di Indonesia terus berkembang
dan dipraktekkan para petani di beberapa kabupaten di pulau Jawa, Sumatera,
Bali, NTB, Kalimantan, Sulawesi serta di beberapa lokasi lainnya di tanah air,
sekalipun dengan menggunakan pengistilahan yang berbeda. Di Sumatera Barat
SRI berkembang sebagai model tanam padi sebatang, khususnya di Sawahlunto
penanaman padi sebatang sebagai teknologi SRI pada tahun 2006 mencapai 175
hektar, meningkat menjadi 280 hektar pada tahun 2007 dan pada tahun 2008
ditergetkan mencapai 450 hektar. Metode pertanaman padi sebatang
diperkenalkan melalui Universitas Andalas atas permintaan petani karena tingkat
produksinya tinggi, mencapai 8 - 8,5 ton/ha (Kompas 2008).
23
2.8 Teknik Usaha tani Padi Metode SRI
Pertanian padi metode SRI pada dasarnya tidak berbeda dengan padi
konvensional. Usaha tani padi metode SRI diberikan masukan bahan organik baik
pupuk dan pestisidanya. Sedangkan usaha tani padi konvensional masukannya
berupa bahan kimia sintetik. Namun dari pola tanam padi SRI sedikit berbeda
dengan padi konvensional, yaitu pada teknik persemaian, pengolahan tanah,
penanaman, dan pengaturan air (Mutakin, 2007)
2.8.1 Persiapan Benih
Benih sebelum disemai diuji dalam larutan air garam. Larutan air garam
yang cukup untuk menguji benih adalah larutan yang apabila dimasukkan telur,
maka telur akan terapung. Benih yang baik untuk dijadikan benih adalah benih
yang tenggelam dalam larutan tersebut. Kemudian benih telah diuji direndam
dalam air biasa selama 24 jam kemudian ditiriskan dan diperam 2 hari, kemudian
disemaikan pada media tanah dan pupuk organik (1:1) di dalam wadah segi empat
ukuran 20 x 20 cm (Nampan). Selama 7 hari. Setelah umur 7 - 10 hari benih padi
sudah siap ditanam (Mutakin, 2005)
2.8.2 Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah untuk tanaman padi metode SRI tidak berbeda dengan
cara pengolahan tanah untuk tanam padi cara konvesional yaitu dilakukan untuk
mendapatkan struktur tanah yang lebih baik bagi tanaman, terhindar dari gulma.
Pengolahan dilakukan dua minggu sebelum tanam dengan menggunakan traktor
tangan, sampai terbentuk struktur lumpur. Permukaan tanah diratakan untuk
mempermudah mengontrol dan mengendalikan air.
24
2.8.3 Perlakuan Pemupukan
Pemberian pupuk pada SRI diarahkan kepada perbaikan kesehatan tanah
dan penambahan unsur hara yang berkurang setelah dilakukan pemanenan.
Kebutuhan pupuk organik pertama setelah menggunakan sistem konvensional
adalah 10 ton per hektar dan dapat diberikan sampai 2 musim taman. Setelah
kelihatan kondisi tanah membaik maka pupuk organik bisa berkurang disesuaikan
dengan kebutuhan. Pemberian pupuk organik dilakukan pada tahap pengolahan
tanah kedua agar pupuk bisa menyatu dengan tanah.
2.8.4 Pemeliharaan
Sistem tanam metode SRI tidak membutuhkan genangan air yang terus
menerus, cukup dengan kondisi tanah yang basah. Penggenangan dilakukan hanya
untuk mempermudah pemeliharan. Pada prakteknya pengelolaan air pada sistem
padi SRI dapat dilakukan sebagai berikut; pada umur 1 - 10 hari tanaman padi
digenangi dengan ketinggian air rata-rata 1 cm, kemudian pada umur 10 hari
dilakukan penyiangan. Setelah dilakukan penyiangan tanaman tidak digenangi air.
Untuk perlakuan yang masih membutuhkan penyiangan berikutnya, maka dua hari
menjelang penyiangan tanaman digenang air. Pada saat tanaman berbunga,
tanaman digenangi air dan setelah padi matang susu tanaman tidak digenangi air
kembali sampai panen. Untuk mencegah hama dan penyakit pada SRI tidak
digunakan bahan kimia, tetapi dilakukan pencengahan dan apabila terjadi
gangguan hama/penyakit digunakan pestisida nabati dan atau digunakan
pengendalian secara fisik dan mekanik.
25
2.9 Penelitian Terdahulu
Berdasarkan hasil penelitian Yulia, et al. (2006) yang berjudul analisis
pendapatan usaha tani dan pemasaran wortel organik menunjukkan bahwa
analisis pendapatan terbesar, baik atas biaya tunai maupun atas biaya total
diterima oleh petani wortel organik sebesar Rp 8.577.806,08 per hektar dan Rp
6.715.338,37 per hektar. Besarnya nilai perbandingan R/C petani wortel organik
atas biaya total dan biaya tunai adalah 2,28 dan 3,53. Artinya setiap Rp 100 biaya
yang dikeluarkan oleh petani akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 288
untuk biaya total yang dikeluarkan dan Rp 353 untuk biaya tunai yang
dikeluarkan. Sedangkan nilai perbandingan R/C atas biaya total dan R/C atas
biaya tunai petani wortel konvensional adalah 1,70 dan 2,48. Dari nilai
perbandingan R/C atas biaya total dan biaya tunai petani responden wortel
organik memiliki nilai perbandingan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
petani wortel konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa usaha tani wortel organik
lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan usaha tani wortel konvensional.
Analisis pendapatan dan marjin pemasaran padi ramah lingkungan yang
dilakukan oleh Farid (2005) menunjukkan bahwa R/C rasio padi ramah
lingkungan yang diperoleh atas biaya total ternyata lebih besar dibandingkan
dengan petani konvensional, R/C rasio yang diperoleh oleh petani pemilik sebesar
3,39 sedangkan untuk petani penyakap R/C rasionya adalah 1,16. Untuk petani
konvensional R/C rasio yang diperoleh oleh petani pemilik sebesar 1,86
sedangkan R/C rasio yang diperoleh oleh petani penyakap adalah 1,23. R/C rasio
petani pemilik penggarap lebih besar dibandingkan dengan petani penyakap,
26
disebabkan oleh biaya total penggarapan lebih besar karena adanya bagi hasil
yang harus dilakukan kepada pemilik lahan.
Analisis perbandingan usaha tani padi organik Metode System Of Rice
Intensification (SRI) dengan Padi konvensional oleh Rachmiyanti (2009)
Berdasarkan hasil analisis pendapatan diketahui bahwa ternyata pendapatan atas
biaya tunai maupun pendapatan atas biaya total petani padi organik metode SRI
lebih rendah dari pendapatan atas biaya tunai maupun pendapatan atas biaya total
padi konvensional. Namun hasil uji t menyimpulkan bahwa perubahan sistem
usaha tani yang dilakukan oleh petani padi ternyata tidak berpengaruh nyata
terhadap pendapatan petani. Apabila dilihat dari imbangan penerimaan dan biaya
(R/C rasio) diketahui bahwa R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh petani padi
organik metode SRI ( Rp 1,98) lebih rendah dari R/C rasio yang diperoleh petani
padi konvensional, yaitu Rp 2,46. Hal ini berarti bahwa dari setiap satu rupiah
biaya yang dikeluarkan oleh petani padi organik metode SRI hanya akan
memberikan penerimaan sebesar Rp. 1,98 lebih rendah dari penerimaan yang
diperoleh petani padi konvensional. Begitu pula dengan R/C rasio atas biaya total,
untuk petani padi organik metode SRI R/C rasio yang diperoleh hanya sebesar Rp
1,54 sedangkan petani padi konvensional lebih besar dari petani padi organik
tersebut, yakni sebesar Rp 2,16. Hal ini bermakna bahwa penerimaan yang
diperoleh padi konvensional lebih besar dari petani padi organik metode SRI.
Berdasarkan hasil penelitian Miya Mardiyatuljanah, et al. (2009) yang
berjudul Studi Kelayakan Ekonomi Proyek Pompanisasi Desa Keboncau
Kecamatan Ujungjaya Kabupaten Sumedang menunjukan bahwa Biaya investasi
terdiri dari biaya investasi pompanisasi dan biaya investasiusaha tani. Rencana
27
biaya investasi pompanisasi adalah biaya yang dikeluarkan untuk membangun
sistem pompanisasi. Biaya investasi terdiri dari biaya persiapan, biaya pekerjaan
elektrikal dan mekanikal, pengadaan pipa, pekerjaan rumah panel, pekerjaan
rumah pompa, pengadaan dan pemasangan mesin generator set, dan pekerjaan
pembuatan bak penampung reservoar.
Biaya pengadaan dan pemasangan mesin generator set merupakan biaya
yang dikeluarkan untuk pembelian mesin generataor set yang sebelumnya terdapat
unsur pajak sebesar 10 %. Awalnya harga pasar dari mesin generator set adalah
Rp 109.013.714,00 , setelah pajak sebesar 10 % dikeluarkan maka harga
ekonominya menjadi Rp 99.103.376,00.
Biaya investasi pompanisasi total adalah sebesar Rp 790.912.485,00 yang
dikeluarkan hanya pada tahun ke 0. Persentase terbesar dikeluarkan untuk biaya
pengadaan pipa, mencapai 62,2 % dari biaya total. sedangkan biaya investasi
untuk kegiatan usaha tani meliputi biaya pembelian alat pertanian sebesar Rp
5.631.900,00 di awal tahun (tahun ke 0). Nilai ekonomi dari alat-alat pertanian
tersebut hanya bertahan selama dua tahun, sehingga terjadi reinvestasi pada tahun
kedua dan keempat. Spesisifkasi pompa yang digunakan adalah :
Spesifikasi Pompa Kapasitas (L/menit)
Waktu Pemakaian (Jam)
Volume yang dihasilkan (m3)
SHIMIZU PC- 250 BIT SPESIFIKASI : Daya Motor = 250 Watt Daya Hisap = 30 Total Head = 60m Pipa = 1 Inch / 1 1/ 4
60 4320 15.552