II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah System of Rice ... fileMadagaskar diantaranya adalah Bangladesh,...

20
8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah System of Rice Intensfication (SRI) System of Rice Intensification (SRI) pertama kali dikembangkan oleh seorang pastur asal Perancis bernama Father Henri de Laulanie pada awal 1980- an di Madagaskar. Beliau menghabiskan waktu selama 34 tahun bekerja bersama petani, mengamati, dan bereksperimen mengenai metode hemat air ini, hingga eksperimennya berhasil memperoleh kesuksesan pada tahun 1983 s/d 1984. 2 Pada tahun 1990 dibentuk Asociation Tefy Saina (ATS), sebuah LSM Malagasy untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian, Cornell International Institution for Food, Agriculture and Development (CIIFAD), mulai bekerja sama dengan Tefy Saina untuk memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafana National Park di Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for International Development. SRI telah diuji di Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri Langka, dan Bangladesh dengan hasil yang positif (Mutakin 2007). SRI menjadi terkenal di dunia melalui upaya dari Norman Uphoff (Director CIIFAD). Pada tahun 1987, Uphoff mengadakan persentasi SRI di Indonesia dan beberapa negara lainnya yang merupakan kesempatan pertama SRI dilaksanakan di luar Madagaskar diantaranya adalah Bangladesh, Benin, Kamboja, Kuba, Gambia, Guinea, India,laos, Mali, Mozambique, Myanmar, Nepal, Pakistan, Peru, Philipina, Senegal, Sierra Leone, Srilanka, Thailand, dan Vietnam. Berdasarkan hasil pengembangan program SRI di beberapa negara, di peroleh hasil 2 http://en.wikipedia.org/wiki/System_of_Rice_Intensification (Diakses 04 April 2011)

Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah System of Rice ... fileMadagaskar diantaranya adalah Bangladesh,...

 

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah System of Rice Intensfication (SRI)

System of Rice Intensification (SRI) pertama kali dikembangkan oleh

seorang pastur asal Perancis bernama Father Henri de Laulanie pada awal 1980-

an di Madagaskar. Beliau menghabiskan waktu selama 34 tahun bekerja bersama

petani, mengamati, dan bereksperimen mengenai metode hemat air ini, hingga

eksperimennya berhasil memperoleh kesuksesan pada tahun 1983 s/d 1984.2

Pada tahun 1990 dibentuk Asociation Tefy Saina (ATS), sebuah LSM

Malagasy untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian, Cornell

International Institution for Food, Agriculture and Development (CIIFAD), mulai

bekerja sama dengan Tefy Saina untuk memperkenalkan SRI di sekitar

Ranomafana National Park di Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for

International Development. SRI telah diuji di Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri

Langka, dan Bangladesh dengan hasil yang positif (Mutakin 2007). SRI menjadi

terkenal di dunia melalui upaya dari Norman Uphoff (Director CIIFAD). Pada

tahun 1987, Uphoff mengadakan persentasi SRI di Indonesia dan beberapa negara

lainnya yang merupakan kesempatan pertama SRI dilaksanakan di luar

Madagaskar diantaranya adalah Bangladesh, Benin, Kamboja, Kuba, Gambia,

Guinea, India,laos, Mali, Mozambique, Myanmar, Nepal, Pakistan, Peru,

Philipina, Senegal, Sierra Leone, Srilanka, Thailand, dan Vietnam. Berdasarkan

hasil pengembangan program SRI di beberapa negara, di peroleh hasil

                                                            2 http://en.wikipedia.org/wiki/System_of_Rice_Intensification (Diakses 04 April 2011)

 

 

produktivitas yang cukup signifikan, hasil produksi tanaman padi dapat dilihat

sebagai berikut:

1. China (2004), hasil naik dari 3 ton/ha menjadi 7,5 ton/ha dengan hasil

tertinggi 20,4 ton/ha dan penghematan air sebesar 42 %. Saat ini

produktivitas padi sekitar 13 ton/ha.

2. India (50 petani, 2003-2004), hasil meningkat dari 7,1 ton/ha menjadi 9,7

ton/ha dengan produktivitas tertingginya adalah sebesar 15 ton/ha.

3. Kamboja (5 propinsi, 2004), hasil naik sebesar 41 % dan pendapatan naik

sebesar 74 %.

4. Sri Langka, hasil naik sebesar 50 %, efisiensi air 90 %, pendapatan bersih

112 %, dan pengurangan biaya produksi sebesar 17 – 27 %.

5. Indonesia oleh Agency for Agricultural Research and Development (AARD,

2004), dengan hasil rata-rata 7 s/d 9 ton. Hasil uji coba petani terbaru SRI

memberikan hasil 10 s/d 18 ton/ha.

2.2 Metode System of Rice Intensification (SRI)

System of Rice Intensification (SRI) adalah suatu metode untuk

meningkatkan produktivitas padi dengan mengubah pengaturan tanaman, tanah,

air, dan nutrisinya. SRI merupakan cara atau sistem penanaman padi yang

intensif, yang memperhatikan dan mengutamakan pengelolaan sumber kekuatan

alam, daur aliran energi dan siklus nutrisi yang berawal dari tanah, potensi

tumbuh dan berkembangnya tanaman, serta pengelolaan peranan atau fungsi air

dalam mendukung dan memperkuat berjalannya kehidupan alamiah di ekosistem

pertanian (Rachmiyanti dalam Fitriadi, 2005).

10 

 

Pada metode ini, produksi tanaman padi diharapkan dapat mencapai

hingga 8 ton per hektar, bahkan diantaranya ada yang mampu mencapai 10–15 ton

per hektar. SRI tidak mensyaratkan benih unggul atau pemupukan intensif, tetapi

lebih menekankan pada perlakuan bibit, jarak tanam, dan waktu pengairan yang

tepat berdasarkan pengamatan terhadap perilaku dan kehidupan tanaman padi

(Simarmata, 2006).

Melalui penerapan metode SRI diharapkan para petani memperoleh hasil

panen 30 % lebih banyak jika dibandingkan dengan pola konvensional. Hal

tersebut dikarenakan metode SRI mampu menghemat air hingga 60 % dari

kebutuhan padi sawah biasa. Pengaturan tata udara tanah melalui pemberian air

(lembab dan basah secara bergantian) akan meningkatkan keanekaragaman dan

peranan biota tanah dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Oleh karena itu, metode ini tidak mengenal krisis air pada kemarau seperti yang

terjadi pada akhir tahun 2006 hingga awal 2007. Melalui metode ini diharapkan

kesejahteraan petani dapat ditingkatkan, karena harga jual Gabah Kering Panen

(GKP) padi organik metode SRI ini berkisar antara Rp. 3.500,-/kg hingga Rp.

4.500,-/kg3.

2.3 Input-Input Produksi Pertanian

Dalam sistem pertanian membutuhkan faktor-faktor input untuk

berproduksi. Input produksi sering disebut sebagai faktor produksi. Faktor

produksi sangat berperan mulai dari pertumbuhan tanaman padi sampai dengan

perkembangan tanaman tersebut. Terdapat beberapa jenis faktor produksi yang

biasa digunakan oleh petani seperti benih,air, pupuk, pestisida dan tenaga kerja.

                                                            3 http://agribisnis-ganesha.com/?p=62 (Diakses 04 April 2011) 

11 

 

Pada penelitian ini akan dikaji bagaimana pengaruh metode SRI dalam

menghemat faktor-faktor produksi pada usaha tani padi sawah.

2.3.1 Pupuk

Pupuk merupakan salah satu komponen penting dalam perkembangan dan

pemeliharaan tanaman. Pada umumnya pupuk yang digunakan dalam budidaya

padi ada dua jenis, yaitu pupuk organik dan pupuk kimia. Definisi yang

dikemukakan oleh International Organization for Standardization (ISO) dalam

Sutanto (2002b) menyatakan bahwa pupuk organik merupakan bahan organik atau

bahan karbon, pada umumnya berasal dari tumbuhan dan atau hewan,

ditambahkan ke dalam tanah secara spesifik sebagai sumber hara, pada umumnya

mengandung nitrogen yang berasal dari tumbuhan dan atau hewan.

Asociation of American Plant Food Control Official (AAPFCO)

mendefinisikan pupuk organik sebagai pupuk yang mengandung karbon sebagai

komponen esensial (tetapi tidak dalam bentuk karbonat) dan istilah tersebut pada

dasarnya berasal dari senyawa karbon yang dikandung organisme, tetapi sekarang

termasuk senyawa karbon sintetik. AAPFCO mengartikan bahwa pupuk organik

sebagai bahan mengandung karbon dan satu atau lebih unsur yang lain selain

hidrogen dan oksigen yang penting bagi pertumbuhan tanaman (Sutanto, 2002b).

Pupuk kimia adalah pupuk yang berasal dari proses rekayasa secara kimia,

fisik atau biologis yang merupakan hasil industri atau hasil dari pabrik pembuat

pupuk.4

Pada umumnya jenis pupuk kimia yang digunakan dalam budidaya

meliputi :

                                                            4 http://www.deptan.go.id/pesantren/bsp/puk_pest/peraturan/lamp_sk_238.htm (diakses 8 September 2011) 

12 

 

a. pupuk hara makro primer yaitu pupuk yang mengandung unsur hara utama N,

P atau K baik tunggal maupun majemuk seperti Urea, TSP, SP-36, ZA, KCl,

Phospat Alam, NP, NK, PK dan NPK;

b. pupuk hara makro sekunder, yaitu pupuk yang mengandung unsur Calsium

(Ca), Magnesium (Mg) dan Belerang (S) seperti Dolomit, Kiserit;

c. pupuk hara makro campuran yaitu pupuk yang mempunyai kandungan hara

utama N, P dan K yang dilengkapi unsur-unsur hara mikro seperti Seng (Zn),

Boron (B), Tembaga (Cu), Cobalt (Co), Mangan (Mn), Molibdenum (Mo).

Pupuk hara campuran tersebut dapat berbentuk padat atau cair

d. pupuk hara mikro yaitu pupuk yang mempunyai kandungan hara mikro Zn, B,

Cu, Co, Mn dan Mo;

e. pupuk an-organik lainnya.

2.3.2 Benih

Dalam sistem usaha tani benih bermutu merupakan syarat untuk

mendapatkan hasil panen yang maksimal. Dalam pertanian organik juga

dibutuhkan kualitas benih yang baik. Akses terhadap benih menjadi salah satu

permasalahan petani di Indonesia. Petani terus dijauhkan dari sistem pertanian

yang mandiri dan berdaulat, termasuk dalam hal kemandirian untuk penggunaan

dan produksi benih. Sejak revolusi hijau bergulir, penguasaan benih beralih dari

tangan petani ke tangan perusahaan industri benih yang mengklaim atas nama

teknologi penghasil keunggulan dalam hal produktivitas dan ketahanan terhadap

penyakit.

Faktanya, kemajuan teknologi tersebut tidak dapat meningkatkan

kesejahteraan petani, namun sebaliknya membuat petani semakin menderita.

13 

 

Teknologi yang seharusnya bermanfaat bagi petani sebagai subjek dari kegiatan

pertanian tersebut malah justru menjadi pundi penghasil kekayaan bagi para

pemilik modal. Petani semakin tergantung terhadap benih hibrida yang mahal..

Umumnya benih dikatakan bermutu jika jenisnya murni (lokal), beras

nasional (bernas), kering, sehat, bebas dari penyakit, bebas dari campuran biji

rerumputan yang tidak dikehendaki, dan daya kecambahnya paling tidak

mencapai 90 % (Andoko, 2002).

Menurut Boer (2009) ada beberapa klasifikasi benih yang bersertifikat

sesuai dengan keturunan dan mutunya :

1. Benih Penjenis (Breeder seed) adalah benih pembiak vegetatif yang

dihasilkan langsung oleh pemulia tanaman yang digunakan untuk

menghasilkan benih dasar.

2. Benih dasar (foundation seed) merupakan turunan pertama dari benih

penjenis, identitas genetif dan kemurniannya dijaga baik.

3. Benih pokok, merupakan turunan dasar dari benih dasar, identitas dan

kemurniannya dipertahankan sebaik mungkin.

4. Benih sebar, turunan dari benih pokok untuk memproduksi tanaman..

2.3.3 Air

Penggunaan air tawar dapat dikategorikan sebagai penggunaan konsumtif

dan non-konsumtif. Air dikatakan digunakan secara konsumtif jika air tidak

dengan segera tersedia lagi untuk penggunaan lainnya, misalnya irigasi (di mana

penguapan dan penyerapan ke dalam tanah serta penyerapan oleh tanaman dan

hewan ternak terjadi dalam jumlah yang cukup besar). Jika air yang digunakan

tidak mengalami kehilangan serta dapat dikembalikan ke dalam sistem perairan

14 

 

permukaan (setelah diolah air berbentuk limbah), maka air dikatakan digunakan

secara non-konsumtif dan dapat digunakan kembali untuk keperluan lainnya, baik

secara langsung maupun tidak langsung.  Air sangat dibutuhkan oleh tanaman

untuk dapat hidup dan berkembang. Lahan pertanian memerlukan air dalam

jumlah yang sangat besar. Dalam skala global dari sekitar 3.600 km3 air yang

dikonsumsi manusia per tahun, sekitar 69 % diantaranya dipergunakan untuk

sektor pertanian. Bahkan di Asia konsumsi air untuk sektor pertanian mencapai

rata-rata sekitar 83 % dari total air yang dikonsumsi manusia.

Tabel 2. Perkiraan Kebutuhan Air Untuk Tanaman Pangan (Juta m3) Menurut Wilayah Tahun 2004 s/d 2009

No Wilayah Kebutuhan Air Pertahun dalam Juta m3 Tahun

2004 2005 2006 2007 2008

1 Sumatera 28.73 29.37 28.96 31.98 33.90

2 Jawa 52.93 53.94 53.34 53.58 56.85

3 Bali dan Nusa Tenggara

7.09 6.63 7.18 6.82 7.63

4 Kalimantan 6.32 6.30 6.60 7.50 7.75

5 Sulawesi 10.83 11.33 11.65 13.41 14.31

6 Maluku dan Papua 0.91 0.99 1.04 1.06 1.10

Indonesia 106.82 108.56 108.77 114.35 121.54

Sumber :Badan Pusat Statistika 2009

Berdasarkan data hasil panen tanaman pangan di Indonesia, dapat dikaji

bahwa pada tahun 2008 konsumsi air untuk tanaman pangan meningkat sebesar

37 juta m3 dibandingkan dengan konsumsi pada tahun 2004. Kenaikan terbesar

berasal dari tanaman padi yaitu sebesar 8 juta m3 seiring dengan pencapaian target

swasembada beras pada tahun 2007 - 2008. Pada tahun 2008, kebutuhan air

terbesar untuk tanaman pangan tersebut berada di Pulau Jawa, yaitu sebesar 57

juta m3 atau 47 % dari total kebutuhan air untuk tanaman pangan di Indonesia.

15 

 

Pada tabel dibawah dapat dilihat kebutuhan air tanaman padi sesuai

pertumbuhannya.

Tabel 3. Kebutuhan Air Tanaman Padi Sesuai Pertumbuhannya

Tahap

Kegiatan/Pertumbuhan

Varietas Unggulan Varietas Non unggulan

mm/hari lt/det/Ha Periode (hari)

mm/hari lt/det/Ha Periode (hari)

Pengolahan tanah 12,70 1,50 - 12,7 1,50 -

Pembibitan 3,00 0,40 20 3,00 0,40 20

Tanam s.d. primordia 7,50 0,90 40 6,40 0,75 35

Primordia s.d. bunga 8,80 1,00 25 7,70 0,90 20

Bunga 10 % s.d. penuh 8,80 1,00 20 9,00 1,00 20

Bunga penuh s.d. panen 8,40 1,00 20 7,80 0,90 20

Sumber : Seri Modul Kebutuhan Air Irigasi (PT1), 2000

Berdasarkan Tabel 3 di atas dapat dikaji bahwa kebutuhan air untuk

tanaman padi sangat tinggi, hal ini dapat dilihat dari tahapan pertumbuhan

tanaman yang banyak dan membutuhkan air yang cukup banyak untuk setiap

tahapannya. Untuk varietas unggulan membutuhkan air sebanyak 49,2 mm/hari

dari tahap pengolahan tanah sampai tahap bunga penuh sampai dengan panen.

Sedangkan untuk varietas non unggulan membutuhkan air 46,6 mm/hari dari

tahap pengolahan tanah sampai dengan tahapan panen. Berdasarkan perbedaan

kebutuhan air dari kedua varietas diatas dapat diketahui bahwa varietas unggulan

membutuhkan air yang lebih sedikit dibandingkan dengan varietas non unggulan

2.3.4 Tenaga Kerja

Dalam sektor pertanian, tenaga kerja merupakan salah satu input produksi

yang sangat dibutuhkan dalam proses produksi pertanian. Pada prakteknya tenaga

16 

 

kerja dibutuhkan dalam proses kegiatan produksi dari pengolahan tanah,

penanaman, perawatan sampai dengan proses panen. Tenaga kerja pertanian

(dalam arti luas) merupakan tenaga kerja terbesar dengan jumlahnya mencapai

42,3 juta jiwa pada tahun 2006. Jumlah ini merupakan 44,5 % dari jumlah tenaga

kerja Indonesia seluruhnya. Tenaga kerja pertanian tersebut tersebar ke dalam

lima sub sektor, dimana penyerapan tenaga kerja terbesar adalah di sub sektor

tanaman pangan, perkebunan dan hortikultura (sekitar 38,8 %) diikuti dengan sub

sektor peternakan (sekitar 2,5 %)5. Namun demikian, dengan jumlah tenaga kerja

yang besar tersebut, ternyata sektor pertanian hanya mampu memberikan

kontribusi PDB nasional sebesar 13,3 %. Kondisi ini menunjukkan bahwa

produktivitas tenaga kerja pertanian masih rendah. Rendahnya produktivitas

tersebut disebabkan masih rendahnya tingkat pendidikan dan kemampuan adopsi

teknologi. Pada zaman sekarang ini, tenaga kerja yang bekerja di bidang pertanian

juga semakin berkurang. Salah satu faktor yang menyebabkan adalah petani lebih

suka menyewa traktor, karena biaya lebih murah dan pekerjaan dapat selesai

dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini tentu memberi iklim segar kepada

pemilik traktor karena mempunyai daerah pasar yang luas, yakni di luar desa,

diluar kecamatan bahkan diluar kabupaten. Ini dapat dilihat pada saat musim

pengolahan tanah, maka mobilitas alat pengolahan tanah ini antar wilayah sangat

meningkat.

                                                            5 http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/542/ (Diakses 04 Agustus 2011)  

17 

 

2.3.5 Pestisida

Pestisida merupakan salah satu input produksi yang digunakan oleh para

petani untuk menjaga tanaman dari serangan hama penyakit. Namun pada

umumnya penggunaan pestisida digunakan pada pertanian konvensional,

sedangkan pada pertanian organik tidak menggunakan pestisida kimia. Pestisida

terdiri dari pestisida kimia dan pestisida alami. Pestisida kimia terdiri dari dua

jenis yaitu pestisida padat dan pestisida cair. Penggunaan pestisida tergantung dari

kondisi lingkungan dan hama yang menyehrang tanaman tersebut. Pada umumnya

pestisida yang digunakan oleh petani padi konvensional adalah pestisida cair.

Pada pertanian organik menggunakan pestisida alami yang dibuat oleh petani

dengan menggunakan bahan-bahan yang alami dan ramah lingkungan.

2.4 Ketersediaan Input-Input Produksi

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa saat ini kekayaan sumber daya alam

yang dimiliki Indonesia, ketersediaannya sudah semakin terbatas. Hal ini dapat

dilihat dengan semakin meningkatnya kerusakan lingkungan yang terjadi.

Keadaan ini akan berdampak terhadap ketersediaan input-input produksi yang

dibutuhkan sektor pertanian yang semakin terbatas. Semakin terbatasnya input-

input produksi akan berdampak terhadap peningkatan biaya produksi yang harus

dikeluarkan oleh petani. Pada pertanian konvensional umumnya output produksi

yang dihasilkan tidak sebanding dengan biaya yang sudah dikeluarkan petani. Hal

ini berdampak terhadap rata-rata pendapatan yang diperoleh petani. Input-input

produksi merupakan komponen yang sangat penting, supaya keberlangsungan

usaha tani tetap terjaga. Untuk mengatasi permasalahan ini dibutuhkan suatu

metode usaha tani yang dapat meningkatkan tingkat efisiensi penggunan input-

18 

 

input produksi pertanian. Tujuan dari efsiensi penggunaan input-input produksi

adalah untuk menghemat biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani. Efisiensi

penggunaan input produksi juga sangat penting yang bertujuan agar stok sumber

daya yang semakin terbatas dapat dimanfaatkan dengan baik untuk peningkatan

kesejahteraan petani.

2.5 Biaya Produksi Air Baku

Air baku dalam pengertian ini merupakan air yang berasal dari air tanah

termasuk mata air yang diambil dari sumbernya dan telah siap untuk

dimanfaatkan. Harga air baku merupakan nilai rupiah dari biaya eksploitasi atau

investasi untuk mendapatkan air baku tersebut. Harga Air Baku (HAB) adalah

harga rata-rata air tanah per satuan volume di suatu daerah yang besarnya sama

dengan nilai investasi untuk mendapatkan air tanah tersebut dibagi dengan volume

produksinya (Sukanto, 1989). Harga air baku adalah sejumlah biaya dan upaya

yang dikeluarkan sekarang untuk mendapatkan atau mengeluarkan air tanah

sampai ke permukaan tanah yang meliputi biaya konstruksi, biaya tetap dan biaya

operasional selama umur ekonomis (Abidin, 2008).

2.6 Produksi Marginal

Dalam ekonomi, produk marjinal atau produk fisik marjinal adalah output

tambahan yang dihasilkan oleh satu unit atau lebih dari input yang digunakan.

Dengan asumsi bahwa tidak ada faktor lain yang dapat mengubah input produksi,

produk marjinal dari input yang diberikan X, dimana dapat dinyatakan sebagai :

19 

 

Dimana ΔX adalah perubahan input produksi yang digunakan, sedangkan

ΔY adalah perubahan output yang dihasilkan (Soekartawi, 1990). Untuk

mengestimasi nilai air dapat digunakan dengan pendekatan marginal produksi

dimana dapat diketahui dengan menghitung berapa jumlah output tambahan

(GKP) yang dihasilkan dari setiap volume (m3) air yang digunakan untuk

berproduksi.

2.7 Prinsip Budidaya Padi Metode SRI

Secara umum dalam konsep SRI tanaman diperlakukan sebagai organisme

hidup sebagaimana mestinya, tidak diperlakukan seperti mesin yang dapat

dimanipulasi, tanaman padi dikembangkan dengan cara memberikan kondisi yang

sesuai dengan pertumbuhannya. Hal ini karena SRI menerapkan konsep sinergi,

dimana semua komponen teknologi SRI berinteraksi secara positif dan saling

menunjang sehingga hasil secara keseluruhan lebih banyak daripada jumlah

masing-masing bagian. Menurut Mutakin dalam Berkelaar (2001), Kuswara

(2003) dan Wardana et al, (2005) terdapat beberapa komponen penting dalam

penerapan SRI yaitu :

1. Bibit dipindah lapangan (Transplantasi) lebih awal (bibit muda).

2. Bibit ditanam satu batang per lubang tanam.

3. Jarak tanam lebar.

4. Kondisi tanah tetap lembab tapi tidak tergenang air (irigasi berselang)

5. Menggunakan pupuk dari bahan organik kompos dan mikro organisme lokal

(MOL)

6. Dilakukan Penyiangan/pendangiran.

20 

 

Hal paling mendasar dalam budidaya SRI adalah menerapkan irigasi

intermiten artinya siklus basah kering bergantung pada kondisi lahan, tipe tanah

dan ketersediaan air. Selama kurun waktu penanaman lahan tidak tergenang

tetapi macak-macak (basah tapi tidak tergenang). Cara ini bisa menghemat air

46%. Selain itu sedikitnya air juga mencegah kerusakan akar tanaman. Menurut

Simarmata (2009) diacu dalam Trubus (2008), penggenangan air menyebabkan

kerusakan jaringan perakaran akibat terbatasnya suplai oksigen. Semakin tinggi

air semakin kecil oksigen terlarut, dampaknya akar tanaman tidak mampu

mengikat oksigen sehingga jaringan perakaran rusak. Selain itu jika air tergenang

menyebabkan musuh alami hama padi tidak dapat hidup sedangkan hama padi

dapat hidup dan dapat memunculkan hama padi baru yang berasal dari lingkungan

aquatik. Disamping menghemat air, budidaya intensif itu juga menghemat

penggunaan bibit, sebab satu lubang tanam hanya ditanam satu bibit. Menurut

Abdulrachman, (2008) diacu dalam Trubus (2008), bahwa dengan menanam satu

bibit per lubang berarti menghindari perebutan cahaya atau hara dalam tanah

sehingga sistem perakaran dan pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik.

Sebaliknya jika penanaman terdiri atas 9 bibit per lubang menyebabkan terjadinya

kompetisi hara pada tanaman.

Dalam pertanian dengan menggunakan metode SRI digunakan bibit muda

umurnya 7 hari pasca semai dan terdiri atas dua daun. Penggunaan bibit muda

berdampak positif karena lebih mudah beradaptasi dan tidak gampang stress, ini

dikarenakan perakaran belum panjang maka penanaman pun tidak perlu terlalu

dalam cukup 1-2 cm dari permukaan tanah. Untuk menghasilkan bibit muda yang

berkualitas petani mempersiapkan sejak penyemaian. Populasi di persemaian 50

21 

 

gr/m2 dimaksudkan agar bibit cepat besar, karena tidak terjadi persaingan unsur

hara, dengan demikian bibit sudah siap tanam pada umur 7-10 hari. Transplantasi

saat bibit muda dapat mengurangi guncangan dan meningkatkan kemampuan

tanaman dalam memproduksi batang dan akar selama pertumbuhan vegetatif,

sehingga jumlah anakan/batang yang muncul lebih banyak dalam satu rumpun,

dan bulir padi yang dihasilkan oleh malai padi juga lebih banyak. Petani SRI

menanam bibit muda dengan jarak tanam 40 cm x 30 cm, total populasi dalam

satu hektar mencapai 83.000 tanaman, sementara pada sistem konvensional

berjarak tanam 20 cm x 20 cm terdiri atas 250 ribu tanaman. Pada jarak tanam

longgar sinar matahari dapat menembus sela-sela tanaman dengan baik. Tanaman

memerlukan sinar matahari untuk melakukan proses fotosintesis yang bertujuan

unutk menjaga pasokan makanan tercukupi. Dengan demikian dalam umur 30

hari, dari satu bibit sudah menghasilkan 65 anakan.

SRI menganjurkan pemakaian bahan organik (kompos) dan Mikro

Organisme Lokal (MOL) untuk memperbaiki struktur tanah agar padi dapat

tumbuh dengan baik dan hara tersuplai kepada tanaman secara baik tanpa

menimbulkan efek kimia. Keterlibatan kompos dan MOL (Mikro organisme

lokal) sangat membantu dalam pencapaian produktivitas yang berlipat ganda,

karena peran kompos lebih komplek dari pupuk dan selain sebagai penyuplai

nutrisi kompos juga berperan sebagai komponen bioreaktor yang bertugas

menjaga pertumbuhan tetap optimal. Konsep bioreaktor adalah kunci sukses SRI,

bioreaktor yang dibangun oleh MOL dan kompos, menjamin bahwa padi selama

pertumbuhan dari bibit sampai dewasa tidak mengalami hambatan. Fungsi

bioreaktor sangatlah komplek, fungsi yang telah diidentifikasi antara lain sebagai

22 

 

penyuplai nutrisi melalui eksudat, kontrol mikroba sesuai kebutuhan padi,

menjaga stabilitas kondisi tanah menuju kondisi ideal bagi pertumbuhan padi

bahkan kontrol terhadap penyakit yang dapat menyerang padi (Uphoff, 2002).

Pendangiran/penyiangan dianjurkan sejak awal sekitar 10 hari dan diulang 2-3

kali dengan interval 10 hari menggunakan gasrok atau lalandak, selain untuk

membersihkan gulma juga dapat memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan

aerasi tanah. Penerapan SRI bisa diperuntukkan bagi berbagai varietas padi lain

yang pernah ditanam petani, hanya saja diperlukan pikiran yang terbuka untuk

menerima metode baru dan kemudian untuk bereksperimen. Oleh karena itu,

kajian SRI menggarisbawahi bagaimana pentingnya integrasi dan interdisiplin

yang menggabungkan aspek biofisik dan sosial ekonomi dalam usaha tani padi.

Kenyataan tersebut telah membuka stagnasi produksi padi di Madagaskar dan

beberapa negara lain di dunia melalui pengurangan biaya produksi dengan tetap

menjaga kelestarian lingkungan. Penerapan SRI di Indonesia terus berkembang

dan dipraktekkan para petani di beberapa kabupaten di pulau Jawa, Sumatera,

Bali, NTB, Kalimantan, Sulawesi serta di beberapa lokasi lainnya di tanah air,

sekalipun dengan menggunakan pengistilahan yang berbeda. Di Sumatera Barat

SRI berkembang sebagai model tanam padi sebatang, khususnya di Sawahlunto

penanaman padi sebatang sebagai teknologi SRI pada tahun 2006 mencapai 175

hektar, meningkat menjadi 280 hektar pada tahun 2007 dan pada tahun 2008

ditergetkan mencapai 450 hektar. Metode pertanaman padi sebatang

diperkenalkan melalui Universitas Andalas atas permintaan petani karena tingkat

produksinya tinggi, mencapai 8 - 8,5 ton/ha (Kompas 2008).

23 

 

2.8 Teknik Usaha tani Padi Metode SRI

Pertanian padi metode SRI pada dasarnya tidak berbeda dengan padi

konvensional. Usaha tani padi metode SRI diberikan masukan bahan organik baik

pupuk dan pestisidanya. Sedangkan usaha tani padi konvensional masukannya

berupa bahan kimia sintetik. Namun dari pola tanam padi SRI sedikit berbeda

dengan padi konvensional, yaitu pada teknik persemaian, pengolahan tanah,

penanaman, dan pengaturan air (Mutakin, 2007)

2.8.1 Persiapan Benih

Benih sebelum disemai diuji dalam larutan air garam. Larutan air garam

yang cukup untuk menguji benih adalah larutan yang apabila dimasukkan telur,

maka telur akan terapung. Benih yang baik untuk dijadikan benih adalah benih

yang tenggelam dalam larutan tersebut. Kemudian benih telah diuji direndam

dalam air biasa selama 24 jam kemudian ditiriskan dan diperam 2 hari, kemudian

disemaikan pada media tanah dan pupuk organik (1:1) di dalam wadah segi empat

ukuran 20 x 20 cm (Nampan). Selama 7 hari. Setelah umur 7 - 10 hari benih padi

sudah siap ditanam (Mutakin, 2005)

2.8.2 Pengolahan Tanah

Pengolahan tanah untuk tanaman padi metode SRI tidak berbeda dengan

cara pengolahan tanah untuk tanam padi cara konvesional yaitu dilakukan untuk

mendapatkan struktur tanah yang lebih baik bagi tanaman, terhindar dari gulma.

Pengolahan dilakukan dua minggu sebelum tanam dengan menggunakan traktor

tangan, sampai terbentuk struktur lumpur. Permukaan tanah diratakan untuk

mempermudah mengontrol dan mengendalikan air.

24 

 

2.8.3 Perlakuan Pemupukan

Pemberian pupuk pada SRI diarahkan kepada perbaikan kesehatan tanah

dan penambahan unsur hara yang berkurang setelah dilakukan pemanenan.

Kebutuhan pupuk organik pertama setelah menggunakan sistem konvensional

adalah 10 ton per hektar dan dapat diberikan sampai 2 musim taman. Setelah

kelihatan kondisi tanah membaik maka pupuk organik bisa berkurang disesuaikan

dengan kebutuhan. Pemberian pupuk organik dilakukan pada tahap pengolahan

tanah kedua agar pupuk bisa menyatu dengan tanah.

2.8.4 Pemeliharaan

Sistem tanam metode SRI tidak membutuhkan genangan air yang terus

menerus, cukup dengan kondisi tanah yang basah. Penggenangan dilakukan hanya

untuk mempermudah pemeliharan. Pada prakteknya pengelolaan air pada sistem

padi SRI dapat dilakukan sebagai berikut; pada umur 1 - 10 hari tanaman padi

digenangi dengan ketinggian air rata-rata 1 cm, kemudian pada umur 10 hari

dilakukan penyiangan. Setelah dilakukan penyiangan tanaman tidak digenangi air.

Untuk perlakuan yang masih membutuhkan penyiangan berikutnya, maka dua hari

menjelang penyiangan tanaman digenang air. Pada saat tanaman berbunga,

tanaman digenangi air dan setelah padi matang susu tanaman tidak digenangi air

kembali sampai panen. Untuk mencegah hama dan penyakit pada SRI tidak

digunakan bahan kimia, tetapi dilakukan pencengahan dan apabila terjadi

gangguan hama/penyakit digunakan pestisida nabati dan atau digunakan

pengendalian secara fisik dan mekanik.

25 

 

2.9 Penelitian Terdahulu

Berdasarkan hasil penelitian Yulia, et al. (2006) yang berjudul analisis

pendapatan usaha tani dan pemasaran wortel organik menunjukkan bahwa

analisis pendapatan terbesar, baik atas biaya tunai maupun atas biaya total

diterima oleh petani wortel organik sebesar Rp 8.577.806,08 per hektar dan Rp

6.715.338,37 per hektar. Besarnya nilai perbandingan R/C petani wortel organik

atas biaya total dan biaya tunai adalah 2,28 dan 3,53. Artinya setiap Rp 100 biaya

yang dikeluarkan oleh petani akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 288

untuk biaya total yang dikeluarkan dan Rp 353 untuk biaya tunai yang

dikeluarkan. Sedangkan nilai perbandingan R/C atas biaya total dan R/C atas

biaya tunai petani wortel konvensional adalah 1,70 dan 2,48. Dari nilai

perbandingan R/C atas biaya total dan biaya tunai petani responden wortel

organik memiliki nilai perbandingan yang lebih tinggi dibandingkan dengan

petani wortel konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa usaha tani wortel organik

lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan usaha tani wortel konvensional.

Analisis pendapatan dan marjin pemasaran padi ramah lingkungan yang

dilakukan oleh Farid (2005) menunjukkan bahwa R/C rasio padi ramah

lingkungan yang diperoleh atas biaya total ternyata lebih besar dibandingkan

dengan petani konvensional, R/C rasio yang diperoleh oleh petani pemilik sebesar

3,39 sedangkan untuk petani penyakap R/C rasionya adalah 1,16. Untuk petani

konvensional R/C rasio yang diperoleh oleh petani pemilik sebesar 1,86

sedangkan R/C rasio yang diperoleh oleh petani penyakap adalah 1,23. R/C rasio

petani pemilik penggarap lebih besar dibandingkan dengan petani penyakap,

26 

 

disebabkan oleh biaya total penggarapan lebih besar karena adanya bagi hasil

yang harus dilakukan kepada pemilik lahan.

Analisis perbandingan usaha tani padi organik Metode System Of Rice

Intensification (SRI) dengan Padi konvensional oleh Rachmiyanti (2009)

Berdasarkan hasil analisis pendapatan diketahui bahwa ternyata pendapatan atas

biaya tunai maupun pendapatan atas biaya total petani padi organik metode SRI

lebih rendah dari pendapatan atas biaya tunai maupun pendapatan atas biaya total

padi konvensional. Namun hasil uji t menyimpulkan bahwa perubahan sistem

usaha tani yang dilakukan oleh petani padi ternyata tidak berpengaruh nyata

terhadap pendapatan petani. Apabila dilihat dari imbangan penerimaan dan biaya

(R/C rasio) diketahui bahwa R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh petani padi

organik metode SRI ( Rp 1,98) lebih rendah dari R/C rasio yang diperoleh petani

padi konvensional, yaitu Rp 2,46. Hal ini berarti bahwa dari setiap satu rupiah

biaya yang dikeluarkan oleh petani padi organik metode SRI hanya akan

memberikan penerimaan sebesar Rp. 1,98 lebih rendah dari penerimaan yang

diperoleh petani padi konvensional. Begitu pula dengan R/C rasio atas biaya total,

untuk petani padi organik metode SRI R/C rasio yang diperoleh hanya sebesar Rp

1,54 sedangkan petani padi konvensional lebih besar dari petani padi organik

tersebut, yakni sebesar Rp 2,16. Hal ini bermakna bahwa penerimaan yang

diperoleh padi konvensional lebih besar dari petani padi organik metode SRI.

Berdasarkan hasil penelitian Miya Mardiyatuljanah, et al. (2009) yang

berjudul Studi Kelayakan Ekonomi Proyek Pompanisasi Desa Keboncau

Kecamatan Ujungjaya Kabupaten Sumedang menunjukan bahwa Biaya investasi

terdiri dari biaya investasi pompanisasi dan biaya investasiusaha tani. Rencana

27 

 

biaya investasi pompanisasi adalah biaya yang dikeluarkan untuk membangun

sistem pompanisasi. Biaya investasi terdiri dari biaya persiapan, biaya pekerjaan

elektrikal dan mekanikal, pengadaan pipa, pekerjaan rumah panel, pekerjaan

rumah pompa, pengadaan dan pemasangan mesin generator set, dan pekerjaan

pembuatan bak penampung reservoar.

Biaya pengadaan dan pemasangan mesin generator set merupakan biaya

yang dikeluarkan untuk pembelian mesin generataor set yang sebelumnya terdapat

unsur pajak sebesar 10 %. Awalnya harga pasar dari mesin generator set adalah

Rp 109.013.714,00 , setelah pajak sebesar 10 % dikeluarkan maka harga

ekonominya menjadi Rp 99.103.376,00.

Biaya investasi pompanisasi total adalah sebesar Rp 790.912.485,00 yang

dikeluarkan hanya pada tahun ke 0. Persentase terbesar dikeluarkan untuk biaya

pengadaan pipa, mencapai 62,2 % dari biaya total. sedangkan biaya investasi

untuk kegiatan usaha tani meliputi biaya pembelian alat pertanian sebesar Rp

5.631.900,00 di awal tahun (tahun ke 0). Nilai ekonomi dari alat-alat pertanian

tersebut hanya bertahan selama dua tahun, sehingga terjadi reinvestasi pada tahun

kedua dan keempat. Spesisifkasi pompa yang digunakan adalah :

Spesifikasi Pompa Kapasitas (L/menit)

Waktu Pemakaian (Jam)

Volume yang dihasilkan (m3)

SHIMIZU PC- 250 BIT SPESIFIKASI : Daya Motor = 250 Watt Daya Hisap = 30 Total Head = 60m Pipa = 1 Inch / 1 1/ 4

60 4320 15.552