II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Laut di Indonesia · 2.1 Perikanan Laut di Indonesia Secara...
Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Laut di Indonesia · 2.1 Perikanan Laut di Indonesia Secara...
10
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perikanan Laut di Indonesia
Secara garis besar, perikanan dibedakan menjadi dua jenis yaitu perikanan
tangkap dan perikanan budidaya baik di darat maupun di laut. Perikanan tangkap
adalah kegiatan ekonomi yang melalukan penangkapan terhadap hewan air dan
tumbuhan air. Perikanan budidaya adalah kegiatan ekonomi yang melibatkan
manusia dalam pengusahaankan hewan dan tumbuhan air.
Menurut DKP (2005), sumberdaya perikanan di Indonesia dibagi menjadi
dua wilayah perairan yaitu : (1) Perairan barat yang meliputi perairan : Selat
Malaka, Timur Sumatra, Laut Jawa, Laut Cina Selatan, dan Timur Kalimantan;
dan (2) Perairan timur yang meliputi perairan: Sulawesi, Irian, Maluku, Nusa
Tenggara, dan Lautan Banda.
Karakteristik perairan Barat Indonesia ditandai dengan perairan yang
subur (banyak terdapat fitoplankton), dangkal dan sumberdaya ikan yang dominan
adalah ikan domersal dan palagis kecil. Ikan palagis besar hanya terdapat di barat
Sumatra, Selatan Jawa, dan Selat Makasar. Di perairan Timur Indonesia, ikan
dominan adalah ikan palagis besar. Akibat dari over fishing, saat ini jumlah ikan
di perairan Barat Indonesia lebih rendah dibandingkan perairan Timur. Daerah
lain yang mengalami over fishing adalah perairan Utara Jawa, Selat Malaka, dan
Selat Bali. Pada perairan Timur Indonesia hanya udang saja yang telah
dieksplorasi dalam jumlah besar, seperti di perairan Laut Arafura dan Papua.
2.2 Gambaran Umum Komoditas Ikan Kerapu
Nama ikan kerapu dalam pergaulan internasional kerapu dikenal dengan
grouper atau trout, mempunyai sekitar 46 spesies yang tersebar di berbagai jenis
habitat. Spesies tersebut, dapat dikelompokkan ke dalam tujuh genus meskipun
hanya tiga genus yang sudah diusahakan dan menjadi jenis komersial yaitu genus
Chromileptes, Plectropomus, dan Epinephelus. Spesies kerapu komersial
Chromileptes altivelis termasuk jenis Serranidae, ordo Perciformes. Jenis kerapu
ini disebut juga polka dot grouper atau hump backed rocked atau dalam bahasa
lokal sering disebut ikan kerapu macan. Ciri-ciri tubuh adalah berwarna dasar
11
abu-abu dengan bintik hitam. Daerah habitatnya meliputi Kepulauan Seribu,
Kepulauan Riau, Bangka, Lampung dan kawasan perairan berterumbu karang.
Kerapu Sunu (coral trout) sering ditemukan hidup di perairan berkarang. Warna
tubuh merah atau kecoklatan sehingga disebut juga kerapu merah, yang warnanya
bisa berubah apabila dalam kondisi stres. Mempunyai bintik-bintik biru bertepi
warna lebih gelap. Daerah habitat tersebar di perairan Kepulauan Karimunjawa,
Kepulauan Seribu, Lampung Selatan, Kepulauan Riau, Bangka Selatan, dan
perairan terumbu karang. Kerapu Lumpur atau estuary grouper (Epinephelus spp)
mempunyai warna dasar hitam berbintik-bintik sehingga disebut juga kerapu
hitam. Spesies ini paling banyak diusahakan karena laju pertumbuhannya yang
cepat dan benih relatif lebih banyak ditemukan. Daerah habitat banyak ditemukan
di Teluk Banten, Segara Anakan, Kepulauan Seribu. Lampung, dan daerah muara
sungai. Ikan kerapu dapat diklasifikasikan secara taksonomi sebagai berikut
(Ghufran 2001)
Filum : Chordata
Klas : Pisces
Ordo : Perciformes
Famili : Serranidae
Genus : Cromileptes
Spesies : Cromileptes altivelis
Genus : Plectropoma
Spesies : Plectropoma maculatus, P. Leopardus, dan P.oligacanthus
Genus : Epinephelus
Spesies : Epinephelus suillus, E.malabaricus, E.fuscoguttatus,
E.merra, dan E.maculatus.
Ikan kerapu biasa disebut goropa atau kasai, semua spesies tersebut,
ternyata berasal dari tujuh genus, yaitu Aethaloperca, Anyperodon,
Cephalopholis, Cromileptes, Plectropoma, Epinephelus, dan Varicla. Dari tujuh
genus tersebut, genus Cromileptes, Plectropoma, dan Epinephelus merupakan
12
golongan kerapu komersial bernilai ekonomi tinggi, yang diusahakan melalui
penangkapan di alam maupun pengusahaan (Ghufran 2001).
Ikan kerapu merupakan jenis ikan demersal yang menyukai hidup di
perairan karang, di antaranya pada celah-celah karang atau di dalam gua di dasar
perairan (DKP 2004). Secara umum, ikan kerapu memiliki kepala yang besar,
mulut lebar, dan tubuhnya ditutupi sisik-sisik kecil. Bagian tepi operculum,
bergerigi dan terdapat duri-duri pada operculum. Letak dua sirip punggungnya
(yang pertama berbentuk duri-duri), terpisah. Semua jenis kerapu mempunyai
tiga duri pada sirip dubur dan tiga duri pada bagian tepi operculum (Ghufran
2001).
Ikan kerapu dikenal sebagai ikan pemangsa (predator) yang memangsa
jenis-jenis ikan kecil, zooplankton, dan udang-udang kecil lainnya. Ikan kerapu
bersifat hermaphrodit protogynous (hermaprodit protogini), yang berarti setelah
mencapai ukuran tertentu, akan berganti kelamin (changce sex) dari betina
menjadi jantan. Selain itu ikan kerapu tergolong jenis ikan yang bersifat
hermaphrodit synchroni, yaitu di dalam satu gonad satu individu ikan, terdapat sel
seks betina dan sel seks jantan yang dapat masak dalam waktu yang sama,
sehingga ikan dapat mengadakan pembuahan sendiri dan dapat pula tidak. Ikan
kerapu merupakan ikan berukuran besar, yang bobotnya dapat mencapai 450 kg
atau lebih. Jenis ikan kerapu ini terdapat di berbagai perairan antara lain di
Afrika, Taiwan, Filipina, Malaysia, Australia, Indonesia, dan Papua Nugini.
Sementara di Indonesia, kerapu ditemukan di Teluk Banten, Segara Anakan,
Kepulauan Seribu, Lampung, dan daerah muara sungai (Ghufran 2001).
2.2.1 Ciri-Ciri Morfologi Ikan Kerapu
Ciri-ciri morfologi ikan kerapu adalah sebagai berikut (Wardana 1994):
1) Bentuk tubuh pipih, yaitu lebar tubuh lebih kecil daripada panjang dan tinggi
tubuh.
2) Rahang atas dan bawah dilengkapi dengan gigi yang lancip dan kuat.
3) Mulut lebar, serong ke atas dengan bibit bawah yang sedikit menonjol
melibihi bibir atas.
13
4) Serip ekor berbentuk bundar, sirip punggung tunggal dan memanjang di mana
bagian yang berjari-jari keras kurang lebih sama dengan yang berjari-jari
lunak.
5) Posisi sirip perut berada di bawah sirip dada.
6) Badan ditutupi sirip kecil yang bersisik stenoid.
2.2.2 Jenis-Jenis Ikan Kerapu
1) Kerapu Bebek
Kerapu bebek sering disebut sebagai kerapu tikus, di pasaran Internasional
dikenal dengan nama polka-dot grouper, namun ada pula yang menyebutnya
hump-backed rocked. Ikan kerapu bebek ini berbentuk pipih dan warna dasar
kulit tubuhnya abu-abu dengan bintik-bintik hitam di seluruh permukaan tubuh.
Kepala berukuran kecil dengan moncong agak meruncing. Kepala yang kecil
mirip bebek menyebabkan jenis ikan ini populer disebut kerapu bebek, namun ada
yang menyebutnya sebagai kerapu tikus, karena bentuk moncongnya yang
meruncing menyerupai moncong tikus (Gambar 1).
Gambar 1. Ikan Kerapu Bebek
Ikan kerapu macan dikategorikan sebagai ikan konsumsi bila bobot
tubuhnya telah mencapai 0,5 kg–2 kg per ekor. Selain dijual sebagai ikan
konsumsi, ikan kerapu macan juga dapat dijual sebagai ikan hias dengan nama
grace kelly. Ikan kerapu macan memiliki bentuk sirip yang membulat. Sirip
punggung tersusun dari 10 jari-jari keras dan 19 jari-jari lunak. Pada sirip dubur,
terdapat 3 jari-jari keras dan 10 jari-jari lunak. Ikan ini bisa mencapai panjang
tubuh 70 cm atau lebih, namun yang dikonsumsi, umumnya berukuran 30 cm–50
14
cm. Ikan kerapu macan tergolong ikan buas yang memangsa ikan-ikan dan
hewan-hewan kecil lainnya. Ikan kerapu macan merupakan salah satu ikan laut
komersial yang mulai diusahakan baik dengan tujuan pembenihan maupun
pembesaran.
2) Kerapu Sunu
Ikan kerapu sunu biasa pula disebut sebagai ikan sunu atau ikan lodi. Ada
dua jenis kerapu sunu yang dikenal sebagai ikan laut komersial, yaitu jenis
Plectropoma maculatus atau populer dengan sebutan spotted coral trout dan jenis
Plectropoma leopardus atau populer dengan sebutan leopard coral trout. Kerapu
sunu memiliki tubuh agak bulat memanjang, dengan jari-jari keras pada sirip
punggungnya. Warna tubuh sering mengalami perubahan tergantung pada kondisi
lingkungan. Perubahan warna tubuh terjadi jika ikan dalam keadaan stres. Tubuh
sering berwarna merah atau kecokelatan, sehingga kadang juga disebut kerapu
merah atau kasai makot (Gambar 2).
Gambar 2. Ikan Kerapu Sunu
Tubuhnya terdapat bintik-bintik berwarna biru, dengan tepi gelap dan ada
enam pita berwarna gelap, kadang-kadang tidak nampak. Ikan kerapu sunu jenis
P.maculatus, mempunyai bintik yang tidak seragam, sedangkan jenis P.
Leopardus, mempunyai bintik-bintik yang seragam.
3) Kerapu Lumpur
Disebut sebagai kerapu lumpur, karena ikan ini betah hidup di dasar
perairan. Nama lain dari jenis ikan kerapu ini adalah kerapu balong, estuary
grouper, atau sering pula disebut kerapu hitam, walaupun sebenarnya memiliki
warna dasar abu-abu dan berbintik-bintik. Ikan kerapu lumpur ini terdiri atas
15
beberapa macam, namun yang bernilai ekonomis tinggi dan telah umum
diusahakan adalah Epinephelus suillus dan Epinephelus malabaricus. Jenis E.
suillus memiliki tubuh berwarna abu-abu gelap dengan kombinasi bintik cokelat
dan lima garis menyerupai pita gelap samar yang memanjang pada tubuhnya
(Gambar 3).
Gambar 3. Ikan Kerapu Lumpur
Ikan kerapu lumpur banyak diusahakan karena pertumbuhannya cepat dan
benihnya paling mudah diperoleh di laut, terutama pada musim-musim tertentu
sedangkan jenis E. Malabaricus, memiliki tubuh dengan warna dasar abu-abu
agak muda dengan bintik hitam kecil. Habitat ikan kerapu lumpur ada di kawasan
terumbu karang, perairan berpasir, dan bahkan hutan mangrove, serta muara-
muara sungai. Ikan kerapu lumpur ukuran konsumsi biasanya memiliki bobot
tubuh berkisar antara 400 g–1.200 g per ekor.
4) Kerapu Macan
Bentuk ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) mirip dengan
kerapu lumpur, tetapi dengan badan yang agak lebar. Masyarakat Internasional
menyebutnya dengan sebutan flower atau carpet cod (Ghufran M 2001). Ikan
kerapu macan memiliki mulut lebar serong ke atas dengan bibir bawah menonjol
ke atas dan sirip ekor yang umumnya membulat (rounded). Warna dasar sawo
matang, perut bagian bawah agak keputihan dan pada badannya terdapat titik
berwarna merah kecokelatan, serta tampak pula 4-6 baris warna gelap yang
melintang hingga ekornya. Badan ditutupi oleh sisik kecil, mengkilat dan
memiliki ciri-ciri loreng (Antoro 2004). Gambar ikan kerapu macan dapat dilihat
pada Gambar 4.
16
Gambar 4. Ikan Kerapu Macan
2.3 Prospek Pengusahaan Ikan Kerapu
Pengusahaan laut (Marine cultur) adalah suatu kegiatan pemeliharaan
organisme akuatik laut dalam wadah dan perairan yang terkontrol dalam rangka
mendapatkan keuntungan. Ada beberapa jenis sistem pengusahaan yang bisa
digunakan di laut, yaitu sistem kandang (Pen culture), sistem keramba (Cage
culture), dan tali panjang (Longline). Sistem pengusahaan yang paling banyak
digunakan di Indonesia adalah sistem kandang dan sistem keramba.
Sistem kandang adalah metode pengusahaan yang membatasi suatu
wilayah di laut dengan luasan tertentu dengan menggunakan kurungan tancap
(dikenal dengan keramba jaring tancap/KJT) atau kurungan apung (dikenal
dengan Keramba Jaring Apung/KJA). Sistem ini juga biasa pada pengusahaan
ikan air tawar dan air payau, tetapi tingkat keberhasilannya di laut masih belum
maksimal dibandingkan dengan di air tawar dan payau.
Sistem metode pengusahaan dengan cara membuat suatu bangunan semi
permanen di laut dan menempatkan jaring di laut dan menempatkan jaring di
tengahnya dengan kedalaman tertentu. Sistem ini yang paling banyak digunakan
pada pengusahaan laut di Indonesia.
Produksi ikan kerapu saat ini masih relatif rendah sehingga mengakibatkan
harga jual kerapu juga masih mahal dibandingkan dengan keadaan mati (segar).
Harga ikan kerapu bebek (Chmoreleptis altivelis) di tingkat produsen atau
pengusahaan KJA mencapi Rp 400.000 per kilogram, sedangkan kerapu macan
(Ephinephelus fuscoguttatus) Rp 130.000 Per kilogram. Rendahnya produksi
kerapu disebabkan oleh masih tingginya penangkapan langsung dari laut yang
bisa menggunakan alat tangkap kail, yaitu hand line dan longline. Alat tangkap ini
17
hanya bisa satu per satu sehingga dibutuhkan waktu yang lama untuk
mendapatkan kerapu dalam jumlah besar. Selain itu jumlah kerapu di laut juga
semakin berkurang karena terjadi over fishing di beberapa daerah dan penggunaan
bahan peledak serta potasium sianida yang mengakibatkan anak-anak kerapu yang
belum layak tangkap mati. Penangkapan dengan menggunakan cara di atas juga
mengakibatkan ikan yang didapat dalam keadaan mati, padahal permintaan pasar
luar negeri maupun dalam negeri lebih banyak menginginkan kerapu dalam
keadaan hidup.
Kegiatan pengusahaan kerapu macan relatif lebih mudah dan peluang
keberhasilannya juga tinggi dibandingkan ikan kerapu jenis lain, udang maupun
bandeng tambak. Ikan kerapu macan mudah untuk diusahakan karena tingkat
keberhasilan hidupnya (survival rate) tinggi serta pakan alami (ikan rucah) bisa
menggunakan ikan laut manapun. Kendala teknis yang paling banyak ditemukan
adalah ketersediaan benih kerapu, karena selama ini pengusahaan sangat
tergantung dari hasil tangkapan laut. Namun ketersediaan benih dari laut tidak
kontinyu dan semakin sedikit.
Sari (2006), tingkat pemanfaatan kerapu hasil tangkapan di Kepulauan
Seribu telah melampaui batas optimal yang disarankan. Produksi penangkapan
dan produksi pengusahaan kerapu pada operasi optimal sebesar 32.798 kilogram
per tahun. Permasalahan benih telah dapat teratasi dengan adanya BBL yang
menjual benih kerapu yang berkualitas tinggi dan harga yang lebih murah, serta
hatcheri yang ada di Bali dan Situbondo (Jawa Timur) sehingga pengusahaan ikan
kerapu tidak lagi sepenuhnya bergantung pada benih yang berasal dari laut.
Berdasarkan keadaan di atas dapat dilihat pengusahaan ikan kerapu macan
memiliki peluang untuk dikembangkan. Meskipun demikian analisis kelayakan
pengusahaan ikan kerapu macan tetap diperlukan untuk mencegah kerugian
investor atau pengusahaan ikan kerapu macan sebelum menanamkan modalnya.
Pengusahaan dengan sistem keramba yang dilakukan pemerintah beserta instansi
yang terkait menyebabkan peningkatan pengusahaan dengan sistem keramba
jaring apung.
18
2.4 Pengusahaan Ikan Kerapu
Pengusahaan ikan kerapu macan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua
kelompok yaitu pembenihan dan pembesaran ikan kerapu macan. Kegiatan
pembenihan adalah kegiatan produksi yang menghasilkan benih ikan ukuran 5-7
cm yang biasa disebut dengan fingerling. Kegiatan pembenihan sampai dengan
fingerling berkisar antara 3-4 bulan (tergantung dari jenis ikan kerapu). Kegiatan
pembenihan sampai dengan fingerling ini merupakan kegiatan yang cukup
menarik, terutama untuk menghasilkan benih dari berukuran 2-3 cm menjadi
berukuran 5-7 cm. Dalam jangka waktu yang tidak begitu lama sekitar 60 hari,
perbandingan harga benih yang berukuran 2-3 cm dengan yang berukuran 5-7 cm
meningkat sampai sekitar 100 persen yang memberikan keuntungan sekitar 70
persen. Kegiatan pembenihan ini dapat dilakukan di dalam tangki pengusahaan
berkapasitas 1-2 m3 atau dalam keramba jaring apung (dimensi 1,5 m x 1,5 m x
1,5 m dan mesh size 3-4 mm) dengan kepadatan 250-300 ekor per m3. Pakan
yang diberikan sebaiknya pelet kering dengan kadar protein sekitar 40 persen
(Nainggolan 2003).
Pembesaran jenis ikan kerapu sampai dengan berukuran konsumsi berkisar
antara 7-10 bulan, tergantung dari jenis ikan kerapu yang dibesarkan (untuk
kerapu macan dibutuhkan waktu sekitar 7 bulan dan untuk kerapu tikus sekitar 10
bulan). Pembesaran ikan kerapu untuk menjadi ikan kerapu muda ukuran 100 g
per ekor dari ukuran fingerling diperlukan waktu 3-4 bulan pada kerapu macan
dan 7-10 bulan pada kerapu tikus. Pembesaran ikan kerapu biasanya dilaksanakan
dengan menggunakan Keramba Jaring Apung (KJA) atau di dalam tangki
pembesaran dengan sistem air mengalir (Nainggolan 2003).
Pakan yang diberikan dapat berupa ikan rucah atau pelet. Usaha
pembesaran ikan kerapu di lapangan (yang dilakukan masyarakat) cukup
bervariasi. Ada yang membesarkan dari fingerling sampai dengan menjadi ukuran
konsumsi, ada pula yang membesarkan dari fingerling sampai dengan ukuran 100
g per ekor (ikan kerapu muda) dan dari ikan kerapu muda sampai ukuran
konsumsi (sekitar 500-1.200 g per ekor). Pemeliharaan dari ukuran 100 g per
ekor sampai dengan lebih besar dari 500 g per ekor memerlukan waktu 3-5 bulan
19
untuk ikan kerapu macan dan 8-10 bulan untuk ikan kerapu tikus (Nainggolan et
al. 2003).
2.5 Keramba Jaring Apung (KJA)
Keramba jaring apung (biasa disebut kejapung) biasa digunakan untuk
menamai wadah pemeliharaan ikan, terbuat dari jaring yang dibentuk segiempat
atau silindris dan diapungkan dalam air permukaan menggunakan pelampung dan
kerangka kayu, bambu atau besi, serta sistem penjangkaran. Sesuai dengan
sifatnya yang sangat dipengaruhi kondisi perairan, lingkungan bagi kegiatan
pengusahaan laut dalam bentuk keramba jaring apung sangat menentukan
keberhasilan usaha. Pemilihan lokasi merupakan hal yang sangat penting bagi
usaha pemeliharaan ikan dalam keramba jaring apung. Komoditas yang dapat
dipelihara dalam keramba jaring apung di laut tropis yaitu berbagai spesies ikan
kerapu seperti kerapu lumpur, kerapu macan, kerapu sunu, kerapu tikus, dan
kerapu lemak serta beberapa spesies lain seperti ikan beronang, kuwe, lobster,
kakap merah, kakap putih, bandeng dan nila merah (Achmad 1995). Pemilihan
komoditas yang akan diusahakan mempengaruhi kontruksi keramba jaring apung.
Keramba jaring apung dengan banyak sudut seperti segienam, segidelapan, atau
segiempat cocok untuk pemeliharaan ikan kerapu. Hal ini dikarenakan semua
spesies ikan kerapu cenderung hidup bersembunyi, berbaring di dasar perairan di
bawah naungan (Achmad 1995). Menurut Kiswaloejo (2004) berdasarkan letak
keramba dalam perairan, dikenal tiga jenis keramba, yaitu:
1) Keramba Jaring Apung
Keramba biasanya dipakai di sungai yang dalam, danau atau waduk atau
bendungan. Keramba ini terletak di permukaan air, di mana setiap pelampungnya
berada di permukaan air.
2) Keramba Tancap
Keramba tancap terletak di dasar perairan. Keramba ini terbagi dua, yaitu
keramba yang diletakkan di dasar perairan dan keramba yang ditanam di dasar
perairan. Keramba di dasar perairan umumnya digunakan pada perairan yang
sempit dan tidak begitu dalam, seperti pada sungai-sungai kecil atau saluran air
yang lebarnya tidak lebih dari 2 meter. Keramba ini tidak menggunakan alas,
20
karena alas keramba ini adalah dasar perairan itu sendiri. Oleh karena itu dipilih
dasar perairan yang agak keras untuk meletakkan keramba ini. Keramba yang
seluruhnya ditanam di dasar perairan umumnya di pasang pada sungai-sungai atau
saluran air yang dangkal dan mempunyai dasar perairan yang agak keras.
Keuntungan menggunakan keramba ini adalah tidak menimbulkan hambatan
terhadap kelancaran arus sungai, karena posisi keramba berada di bawah
permukaan dasar perairan dan memiliki daya tahan yang cukup lama, sehingga
akan terhindar dari benturan benda-benda keras.
3) Keramba Tenggelam
Keramba tenggelam dikembangkan di daerah perairan yang agak dalam.
Keramba ini dilengkapi dengan alas, pelampung, jangkar dan pemberat agar tidak
mudah hanyut oleh arus air. Keramba tenggelam dipakai di sungai yang dalam,
danau, waduk atau bendungan. Keramba tenggelam ini berada beberapa puluh
cm di bawah permukaan air, sehingga dalam proses pemberian pakan ikan kerapu
macan perlu diberi pipa pakan ikan.
Kontruksi keramba jaring apung selain dipengaruhi oleh spesies yang
dipelihara juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, metode pengusahaan, sifat
bahan, dan keterampilan tenaga setempat. Secara ideal bahan yang digunakan
untuk keramba jaring apung harus kuat, ringan, tahan cuaca dan korosi, mudah
dikerjakan dan diperbaiki, bebas gesekan, tekstur halus agar tidak melukai ikan.
Selain itu tata letak keramba jaring apung harus diperhitungkan berdasarkan arah
dan kekuatan arus karena bentuk keramba jaring apung di laut sangat dipengaruhi
oleh arus (Achmad 1995)
Menurut Kordi (2005), keramba atau kurungan berfungsi sebagai wadah
pemeliharaan dan pelindung ikan. Keramba yang telah dirakit dan siap untuk
dipasang belum tersedia di pasar. Bahan yang tersedia masih dalam bentuk jaring
polietilen (PE) yang digulung dan dijual berdasarkan bobot. Keramba dapat
dibedakan menjadi keramba pendederan, keramba penggelondongan, dan keramba
pembesaran.
Keramba pendederan terbuat dari jaring yang bermata jaring kecil (sekitar
4 mm) yang ditempatkan dalam keramba besar. Keramba penggelondongan
berukuran 3m x 3m x 3m dan terbuat dari jaring PE dengan mata jaring berukuran
21
1 inchi. Keramba pembesaran dibuat dengan ukuran 3m x 3m x 3m yang
menggunakan jaring PE bermata jaring 1,5 inchi – 2 inchi (Kordi K 2005).
2.6 Pengusahaan Ikan Kerapu dengan Sistem KJA
Keramba jaring apung (KJA) adalah sistem pengusahaan yang paling
banyak digunakan di Indonesia. KJA telah dilakukan di Jepang pada tahun 1954
dan kemudian menyebar ke Malaysia pada tahun 1973. Di Indonesia KJA mulai
dikenal pada tahun 1976 di Kepulauan Riau dan sekitarnya, sedangkan di Teluk
Banten dimulai pada tahun 1979. Salah satu kelebihan KJA adalah ikan dapat
dipelihara pada kepadatan yang tinggi tanpa kekurangan oksigen.
Sarana dan prasarana yang idealnya digunakan dalam usaha pengusahaan
ikan kerapu antara lain :
1) Rakit
Kontruksi wadah pengusahaan ikan kerapu macan merupakan kontruksi
berupa rakit. Rakit adalah kotak yang dilengkapi dengan pelampung yang
biasanya berupa tong plastik atau styrofoam. Rakit ini merupakan wadah untuk
melekatkan atau mengikat jaring. Rakit biasanya terbuat dari kayu dengan ukuran
bingkai 8 x 8 meter, di mana tiap rakit menjadi empat kotak berukuran 3,5 x 3,5
meter.
2) Waring
Waring adalah kantong yang terbuat dari jaring. Waring digunakan
sebagai wadah untuk memelihara ikan kerapu. Untuk pembesaran ikan kerapu,
jaring yang digunakan berukuran 3,5 x 3,5 x 3,5 meter dengan ukuran mata jaring
(mesh size) 1-2 inci.
3) Perahu
Perahu merupakan sarana transportasi petani keramba. Perahu ini juga
dapat digunakan untuk pencarian pakan alami ikan kerapu (rucah). Idealnya setiap
petani KJA memiliki minimal satu perahu.
22
2.7 Karakteristik Lokasi Pengusahaan
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar KJA dapat berjalan dengan
baik. Persyaratan tata letak yang umum harus dipenuhi dalam memilih lokasi
keramba adalah sebagai berikut :
1) Terlindung dari angin dan gelombang besar
Angin dan gelombang besar dapat merusak kontruksi sarana pengusahaan
(rakit) dan dapat menganggu aktivitas pengusahaan seperti pemberian pakan.
Tinggi gelombang yang disarankan untuk pengusahaan kerapu tidak lebih dari 0,5
meter.
2) Kedalaman perairan
Kedalaman perairan ideal untuk pengusahaan ikan kerapu macan dengan
menggunakan keramba jaring apung adalah 5-15 meter. Perairan yang selalu
dangkal (kurang dari lima meter) dapat mempengaruhi kualitas air karena banyak
sisa pakan yang membusuk. Pada perairan yang kedalamnnya lebih dari 15 meter
dibutuhkan tali yang panjang untuk mengikat jangkar sehingga dibutuhkan
tambahan biaya.
3) Jauh dari limbah pencemaran
Lokasi yang jauh dari buangan limbah industri, pertanian, rumah tangga,
dan tambak sangat dianjurkan untuk pengusahaan ikan kerapu macan dengan
sistem KJA. Limbah rumah tangga biasanya dapat menyebabkan tingginya bakteri
perairan. Limbah industri dapat membuat konsentrasi logam berat di perairan
tinggi. Sementara limbah tambak dapat meningkatkan kesuburan perairan
sehingga organisme penempel seperti teritip dan kerang kerangan perairan tumbuh
subur dan dapat menyebabkan jaring menjadi tertutup.
4) Dekat sumber pakan
Sumber pakan yang dekat dengan lokasi keramba sangat penting karena
pakan merupakan kunci keberhasilan pengusahaan ikan kerapu. Pakan yang akan
diberikan terbagi menjadi dua jenis, yaitu pakan rucah dan pakan buatan. Daerah
penangkapan ikan dengan menggunakan lift net merupakan lokasi terbaik karena
pakan merupakan ikan segar dapat diperoleh dengan mudah dan murah.
23
5) Sarana transportasi
Tersedianya sarana trasportasi yang baik dan mudah diakses adalah suatu
keuntungan tersendiri pada lokasi pengusahaan ikan kerapu macan karena
memberikan kemudahan dalam hal pengangkutan pakan dan hasil panen.
Khusus untuk pengusahaan ikan kerapu macan dengan sistem KJA,
kriteria-kriteria kesesuaian lahannya dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Matriks Kesesuaian untuk Cage Culture (Keramba Jaring Apung)
No Parameter Kriteria Kesesuaian 1 Keterlindungan Sangat terlindung
2 Kedalaman peraiaran 5-15 meter
3 Substrat dasar perairan Karang berpasir
4 Arus 0,15-0,35 m/detik
5 Kecerahan ≥ 60°C
6 Salinitas (ppt) 29-31 ppt
7 Suhu 28-32°C
8 DO (mg/l) ≥ 2
9 pH 6,5-8,5 Sumber : Soebagio 2004
Kondisi yang ditemukan di lapangan akan dibandingkan dengan kriteria-
kriteria yang terdapat pada literatur-literatur berupa hasil-hasil penelitian yang
terlibat dalam proyek pemerintah ini dari data yang dimiliki di instansi pemerintah
setempat.
2.8 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menganalisis kelayakan usaha
pengusahaan komoditas perikanan seperti pengusahaan ikan, lobster air tawar, dan
udang. Salah satunya adalah Atmoko (2006) yang melakukan penelitian dengan
judul Analisis Usahatani Pembesaran dan Pemasaran Ikan Mas. Penelitian yang
dilakukan bertujuan untuk menganalisis keragaan dan kelayakan usahatani
pembesaran ikan mas berdasarkan aspek pasar, aspek teknis, aspek finansial, dan
aspek lingkungan. Selain itu juga menganalisis tingkat sensitivitas kelayakan
24
usahatani terhadap perubahan harga pakan, benih, biaya tenaga kerja, penurunan
harga jual serta penurunan volume produksi. Marjin pemasaran dan saluran
pemasaran juga dianalisis untuk mengetahui tingkat efesiensi usahatani
pembesaran ikan mas. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis
pendapatan usahatani, analisis kelayakan investasi, analisis sensitivitas, dan
analisis biaya pemasaran. Hasil dari penelitian didapatkan kesimpulan bahwa dari
aspek pasar, aspek teknis, aspek lingkungan, dan aspek finansial usahatani
tersebut dapat dijalankan. Usaha di atas memiliki tingkat kepekaan yang rendah
terhadap perubahan yang telah diasumsikan. Secara keseluruhan saluran
pemasaran kurang efisien, hal ini disebabkan oleh tingginya biaya pemasaran dan
menyebabkan tingginya marjin pemasaran ikan mas.
Herlina (2006) juga melakukan penelitian yang berjudul Usaha
Pengusahaan Pendederan Ikan Kerapu Macan Di Pulau Semak Daun. Tujuan dari
penelitian ini adalah menganalisis kelayakan usaha pendederan ikan kerapu macan
ditinjau dari aspek finansial, aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen. Metode
yang digunakan adalah analisis deskiptif untuk menganalisis data yang tidak
termasuk dalam aspek finansial dan analisis kuantitatif untuk analisis data
finansial. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan usaha pengusahaan
tersebut dari aspek pasar, teknis, dan manajemen layak untuk diusahakan. Secara
finansial tidak layak di usahakan karena nilai jual benih yang dihasilkan di bawah
harga pasar, namun usaha tersebut dapat layak diusahakan apabila harga benih
yang dijual mengikuti harga pasar.
Beberapa penelitian lain yang terkait dengan kelayakan usaha
pengusahaan komoditas perikanan juga dilakukan oleh Riska (2008) yang
melakukan penelitian dengan Judul Analisis Ekonomi Pengusahaan Ikan Kerapu
Pada Kelompok Sea farming Dengan Sistem Keramba Jaring Apung Dan Jaring
Tancap di Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Kegiatan pengusahaan
dengan menggunakan keramba jaring apung dan keramba jaring tancap ini
memiliki lima tahap yaitu, tahap persiapan, dalam tahap persiapan dilakukan
pemilihan lokasi dan pembuatan keramba untuk pembesaran ikan kerapu. Tahap
penebaran benih, yaitu kegiatan penebaran benih ikan kerapu pada keramba jaring
apung dan tancap yang dilakukan pada pagi atau sore hari. Tahap pemeliharaan,
25
yaitu kegiatan pemeliharaan ikan kerapu seperti pemberian pakan, pencucian
jaring, dan pencucian ikan. Pemanenan, pemanenan dilakukan ketika ikan kerapu
berumur 8-12 bulan dengan ukuran berkisar antara 3-7 ons. Pemasaran,
pempengusahaan ikan kerapu di Kelompok Sea farming dalam memasarkan ikan
kerapu melalui pedagang pengumpul di Pulau Panggang.
Usaha pengusahaan ikan kerapu pada tahap awal dengan sistem Keramba
Jaring Apung belum memberikan manfat secara langsung bagi pempengusahaan.
Hal ini dapat dilihat dari identifikasi biaya dan manfaat langsung yang
menunjukkan nilai manfaat bersih sebesar Rp(378.239,20). Di sisi lain, manfaat
tidak langsung dari usaha pengusahaan ini telah dirasakan bagi masyarakat Pulau
Panggang yaitu dengan adanya nilai tambah bagi nelayan sebagai penjual ikan
rucah untuk pakan ikan kerapu sebesar Rp11.978.571,43 dan menghasilkan nilai
tambah bagi pedagang pengumpul sebesar Rp112.307.071,67. Usaha pengusahaan
pada tahap awal dengan sistem Keramba Jaring Tancap telah memberikan
manfaat langsung dan tak langsung. Hal ini dapat dilihat dari Net Present Value
(NPV) sebesar Rp41.772.562,85. Net B/C dari usaha pengusahaan dengan
Keramba Jaring Tancap adalah sebesar 3,24.
Menurut Wahyuni (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis
Skala Ekonomi Pengusahaan Kerapu Dalam Kerangka Sea farming Di Kelurahan
Pulau Panggang, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu belum optimal,
sehingga keutungan yang diperoleh belum maksimum. Keuntungan yang
diperoleh dari usaha pengusahaan ikan kerapu macan pada kondisi aktual sebesar
Rp 252.801,87 per musim tanam, sedangkan keuntungan yang diperoleh pada
kondisi optimal sebesar Rp 2.954,29 per musim tanam.
Menurut Amril (2008) yang melakukan penelitian yang berjudul
Efektivitas dan Strategi Pengembangan Sea farming Di Kabupaten Kepulauan
Seribu didapatkan hasil perhitungan ekonomi yang membandingkan tingkat
keuntungan pada kegiatan sebelum dengan sesudah kegiatan Sea farming maka
dihasilkan, keuntungan sebelum Sea farming Rp 96.043.333,33 dan setelah
kegiatan Sea farming Rp 14.113.333,33. Keuntungan berasal dari total
penerimaan dikurangi total biaya. Nilai tersebut merupakan akumulasi dari hasil
yang diterima 10 responden. Bila di rata-ratakan maka keuntungan sebelum Sea
26
farming Rp 9.694.333,33 sedangkan setelah Sea farming sebesar Rp 1.411.333,33.
Keutungan yang didapat merupakan keuntungan dalam satu tahun.
Analisis lain yang digunakan dalam perhitungan ekonomi ini dengan
menggunakan analisis R/C. Kondisi sebelum Sea farming memiliki R/C sebesar
1,76 sedangkan setelah Sea farming 1,11 dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa
kegiatan sebelum Sea farming belum dapat meningkatkan pendapatan nelayan.
R/C yang dimiliki lebih kecil dibandingkan dengan kegiatan sebelum Sea
farming, kondisi ini disebabkan karena kegiatan Sea farming masih baru berjalan
sehingga banyak masalah yang ditemukan diantaranya penyediaan bibit ikan dan
pakan yang masih sulit dan mahal.
Berdasarkan penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Atmoko
(2006), perbedaan yang ada dengan penelitian ini adalah jenis komoditas yang
akan dianalisis secara finansial dan non finansial. Sedangkan penelitian lain
memiliki perbedaan yang ada dengan penelitian ini adalah setiap penelitian
terdahulu dilakukan hanya dengan melihat aspek finansial dari masing-masing
usaha dan Amril (2008) yaitu dengan membandingkan antara pendapatan nelayan
budidaya dan sebelum menjadi nelayan budidaya. Selain itu penelitian ini juga
membuat alternatif model usaha yang akan dikembangkan oleh nelayan budidaya
ikan kerapu macan.
27
Perbedaan dan persamaan anatara penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Perbedaan dan Persamaan dengan Penelitian Terdahulu No Penelitian/Tahun Persamaan Perbedaan 1 Atmoko 2006 Menganalisis keragaan
dan kelayakan usahatani pembesaran ikan mas berdasarkan aspek pasar, aspek teknis, finansial, dan lingkungan.
Analisis marjin pemasaran dan saluran pemasaran untuk mengetahui tingkat efisiensi usahatani.
2 Herlina 2006 Menganalisis kelayakan usaha pendederan ikan kerapu macan ditinjau dari aspek finansial, aspek pasar, aspek teknis, dan aspek manajemen.
Dilakukan pada usaha pendederan ikan kerapu macan, tidak pada pembesaran.
3 Riska 2008 Menganalisis usaha pengusahaan ikan kerapu macan pada kelompok tani sea farming
Menganalisis usaha budidaya ikan kerapu macan dari segi ekonomi dan membandingkan antara sistem keramba jaring apung dan keramba jaring tancap yang dilihat dari sistem kelembagaan sea farming.
4 Wahyuni 2008 Menganalisis usaha pengusahaan ikan kerapu macan pada kelompok tani sea farming
Menganalisis usaha budidaya ikan kerapu macan dari segi ekonomi dan membandingkan antara sistem keramba jaring apung dan keramba jaring tancap.
5 Amril 2008 Menganalisis usaha pengusahaan ikan kerapu macan pada kelompok tani sea farming.
Membandingkan antara pendapatan petani sebelum sea farming dan setelah menjadi anggota sea farming sudah optimal dan efektif.