II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Krimer Nabati (Non-Dairy Creamer)eprints.umm.ac.id/50770/44/BAB II.pdf ·...
Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Krimer Nabati (Non-Dairy Creamer)eprints.umm.ac.id/50770/44/BAB II.pdf ·...
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Krimer Nabati (Non-Dairy Creamer)
Krimer nabati (non-dairy creamer) disebut sebagai krimer tiruan yang dibuat
berdasarkan bahan penyusun berupa minyak nabati, protein, penstabil, emulsifier
yang digabungkan menjadi suatu larutan dan kemudian di keringkan dengan
pengeringan semprot (Kelly, 1998). Produk ini disebut sebagai krimer non-susu atau
krimer nabati karena memanfaatkan minyak nabati sebagai bahan baku seperti halnya
pemanfaatan lemak susu dalam produk krimer susu.
Menurut Badan Standarisasi Nasional (1998), krimer nabati adalah produk
olahan dari lemak nabati ditambah karbohidrat yang sudah ditambahkan bahan
tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk bubuk, dan dipergunakan sebagai
padanan rasa untuk makanan dan minuman.
Terdapat tiga macam bentuk krimer non-susu yang beredar di pasaran dewasa
ini, yaitu serbuk, cair dan beku yang semuanya dibuat dalam bentuk konsentrat
emulsi. Diantara ketiga bentuk tersebut, krimer non-susu dalam bentuk serbuk paling
banyak diminati di pasaran karena kemudahan dalam penanganan dan penyimpanan.
Krimer berfungsi untuk mengembangkan perubahan warna yang dikehendaki dan
untuk memberikan body pada makanan atau minuman yang ditambahkan krimer ke
dalamnya. Formulasi yang tepat akan menghasilkan cream-like flavor dan tekstur
yang disukai oleh konsumen (Affandi dkk., 2003).
Krimer non susu telah dikembangkan sampai kepada titik dimana secara visual
mereka tidak dapat lagi dibedakan dari krim susu biasa. Selain itu, krimer non-susu
5
mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan krimer susu. Kelebihan krimer
non-susu antara lain umur produk yang lebih panjang, serta kemudahan dalam
penyimpanan, disribusi, dan penanganan. Selain keuntungan tersebut, krimer non-
susu juga dapat memenuhi kebutuhan segmentasi pasar dimana terdapat kondisi yang
memaksa seseorang tidak bisa mengkonsumsi krimer dari bahan susu. Penting untuk
diketahui bahwa krimer non-susu mengunakan asam lemak jenuh yang tinggi dengan
kandungan asam lemak trans. Krimer non-susu dengan asam lemak jenuh yang tinggi
diketahui mempunyai ketahanan dan stabil terhadap oksidasi dan ketengikan untuk
jangka waktu yang lama (Affandi dkk., 2003).
Secara fungsional, non-dairy creamer memiliki banyak kelebihan di banding
dengan produk susu pada umumnya, sehingga produk ini dipertimbangkan sebagai
pengganti krimer berbahan baku susu, susu evaporasi, maupun susu segar. Bahan
baku non-dairy creamer menggunakan minyak nabati sebagai sumber lemaknya.
Salah satu keunggulan lemak nabati adalah tidak mengandung laktosa, sehingga
penggunaan lemak nabati pada produk non-dairy creamer sangat aman terutama bagi
penderita lactose intolerance. Selain itu non-dairy creamer juga memiliki kelebihan
antara lain umur simpannya yang panjang dan kemudahan dalam penyimpanan,
distribusi, serta penanganannya. Krimer nabati (non-dairy creamer) disebut sebagai
krimer tiruan yang dibuat berdasarkan bahan penyusun berupa minyak nabati,
protein, stabilizer, emulsifier yang digabungkan menjadi suatu larutan dan kemudian
dikeringkan dengan pengeringan semprot (Putri dkk., 2016).
6
Syarat mutu untuk krimer nabati berdasarkan SNI Tahun 2009 disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Syarat Mutu Krimer Nabati
Kriteria Uji Satuan Persyaratan
Bau - Normal
Rasa - Normal
Warna - Putih sampai dengan putih
kekuningan (light cream)
Penampakan - Tidak boleh ada gumpalan
Kadar air (b/b) % Maksimal 4,0
Kadar abu (b/b) % Maksimal 4,0
Kadar lemak (b/b) % Minimal 30,0
Sumber: SNI 4444 (2009)
2.2 Bahan-bahan Penyusun Krimer Nabati (Non-Dairy Creamer)
2.2.1 Kacang Hijau ( Vigna radiata )
Kacang hijau dikenal dengan beberapa nama, seperti “mungo”, “mung bean”,
green bean” dan “mung”. Di Indonesia, kacang hijau juga memiliki beberapa nama
daerah, seperti artak (Madura), wilis (Bali), buwe (Flores), tibowang cadi (Makassar).
Buah kacang hijau merupakan polong bulat memanjang antara 6 – 15 cm. Di dalam
setiap buah terdapat 5 – 10 buji kacang hijau. Biji tersebut ada yang mengkilap dan
ada pula yang kusam, tergantung jenisnya (Made, 2008).
7
Gambar 1. Kacang Hijau
(Sumber:https://id.wikipedia.org/wiki/Kacang_hijau)
Taksonomi tanaman kacang hijau (Vigna radiata) menurut Mustakim (2014)
adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plant Kingdom
Divisio : Spermatophyta
Subdivision : Angiospermae
Class : Dycotyledonae
Ordo : Polypetalae
Famili : Papilionidae
Subfamili : Leguminosae
Genus : Vigna
Spesies : Vigna radiate
Tanaman kacang hijau merupakan tanaman semusim berupa semak yang tumbuh
tegak. Tanaman kacang hijau ini diduga berasal dari India. Tanaman kacang hijau
adalah tanaman semusim berumur pendek (60 hari). Panen kacang hijau dilakukan
beberapa kali dan berakhir pada hari ke-80 setelah tanam. Kacang hijau termasuk
dalam keluarga Leguminosae. Morfologi kacang hijau terdiri atas akar, batang, daun,
bunga, buah, dan biji (Mustakim, 2014).
Biji kacang hijau berbentuk bulat atau lonjong, umumnya berwarna hijau, tetapi
ada juga yang berwarna kuning, coklat atau berbintik-bintik hitam. Dua jenis kacang
hijau yang paling terkenal adalah golden gram dan green gram. Biji kacang hijau
8
terdiri atas tiga bagian utama, yaitu kulit biji (10%), kotiledon (88%) dan lembaga
(2%). Kotiledon banyak mengandung pati dan serat, sedangkan lembaga merupakan
sumber protein dan lemak. Dalam perdagangan kacang hijau di Indonesia hanya
dikenal dua macam mutu yaitu kacang hijau biji besar dan biji kecil. Kacang hijau
berbiji besar digunakan untuk bubur dan tepung, sedangkan kacang hijau berbiji kecil
digunakan untuk pembuatan tauge (Astawan, 2009).
Tabel 3. Kandungan Gizi Kacang Dalam 100 g Kacang Hijau
Zat Gizi Biji Kacang Hijau
Energi (kkal)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Serat (g)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Besi (mg)
Vitamin A (IU)
Vitamin B1 (mg)
Vitamin C (mg)
345
22,2
1,2
62,9
4,1
125
320
6,7
157
0,64
6
Sumber : Mustakim (2008)
Komposisi kimia kacang hijau sangat beragam, tergantung dari varietas, faktor
genetik, iklim, maupun lingkungan. Karbohidrat merupakan komponen terbesar biji
kacang hijau yaitu sebesar 55 persen, yang terdiri dari pati, gula, dan serat.
Berdasarkan jumlahnya, protein merupakan penyusun utama kedua setelah
karbohidrat. Kacang hijau mengandung 20-25 persen protein. Protein kacang hijau
kaya asam amino leusin, arginine, isoleusin, valin, dan lisin, meskipun proteinnya
dibatasi oleh asam amino bersulfur seperti metionin dan sistein (Mustakim, 2014).
Tabel 2 menunjukkan kandungan asam amino kacang hijau. Menurut Marzuki dan
9
Suprapto, 2005 dalam Setyaningtyas (2008), menyatakan bahwa kacang hijau
merupakan bahan yang cukup tinggi kandungan proteinnya. Beberapa asam amino
esensial terdapat dalam jumlah yang tinggi. Asam amino esensial adalah asam amino
yang hanya dapat diperoleh melalui asupan makanan. Kacang hijau tinggi kandungan
asam amino glutamat dan asam amino leusin tetapi rendah kandungan metioninnya.
Leusin dan metionin merupakan asam amino esensial. Namun dibanding jenis kacang
lainnya, kandungan metionin dan sistein pada kacang hijau relatif lebih tinggi.
Keseimbangan asam amino pada kacang hijau mirip dan sebanding dengan kedelai
(Astawan, 2009).
Menurut Astawan (2004) dalam Yuwono (2015), tepung kacang hijau
merupakan salah satu tepung yang bebas gluten yang berasal dari biji kacang hijau.
Tepung kacang hijau dapat digunakan sebagai produk mie yang kaya akan kandungan
kalsium, magnesium dan fosfor. Penambahan tepung kacang hijau dengan tepung
lainnya (serealia, beras, gandum) dapat digunakan sebagai bahan makanan bayi dan
balita yang bergizi dan bermutu tinggi. Penambahan ini memiliki manfaat untuk
meningkatkan kandungan gizi protein karena adanya efek saling melengkapi
kekurangan pada masing-masing bahan. Sedangkan menurut SNI (1995), tepung
kacang hijau adalah bahan makanan yang diperoleh dari biji tanaman kacang hijau
(Vigna radiata) yang sudah dihilangkan kulit arinya dan diolah menjadi tepung.
Pembuatan tepung kacang hijau dilakukan dengan merendam biji di dalam air
selama tujuh jam. Selanjutnya ditiriskan, dikeringkan dan disosoh. Penyosohan dapat
dilakukan dengan menggunakan mesin penyosoh beras, kacang hijau tanpa kulit
(dhal) selanjutnya digiling dan diayak untuk memperoleh tepung kacang hijau.
10
Tepung kacang hijau dapat digunakan untuk membuat aneka kue basah (cake),
cookies dan kue tradisional, produk bakery, kembang gula dan makaroni (Astawan,
2008).
Tabel 4. Komposisi Proksimat Tepung Kacang Hijau
Komposisi Konsentrasi
Kadar air
Kadar protein
Kadar Lemak
Kadar abu
Kadar karbohidrat
9,01
23,25
2,61
3,02
62,11
Sumber : Ekafitri dan Isworo (2014)
2.2.2 Kacang Mete (Anacardium Occidentale)
Jambu monyet atau sering dikenal jambu mete memiliki nama lain Anacardium
occidentale, yaitu sejenis tumbuhan dari suku anacardiaceae yang berasal dari Brasil
serta mempunyai buah yang bisa dimakan. Menurut ilmu botani, tumbuhan ini bukan
dari jenis jambu-jambuan (myrtaceae) ataupun kacang-kacangan (fabaceae), akan
tetapi kekerabatannya lebih dekat dengan mangga (anacardiaceae) (Saputra, 2013).
Gambar 2. Jambu Mete (Sumber: https://tanamanmart.com/jambu-mete/)
11
Menurut Saputra (2013), taksonomi jambu monyet (Anacardium occidentale)
adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Phylum : Eudicots
Class : Rosids
Ordo : Sapindales
Famili : anacardiaceae
Genus : Anacardium
Species : Anacardium occidentale
Buah mete terdiri atas dua bagian, yaitu buah semu dan buah sejati. Buah
yang selama ini dikenal sebagai buah jambu mete sebenarnya adalah buah semu,
terbentuk dari tangkai buah (pedunculus) yang membengkak atau mengembang dan
berdaging. Buah sejati jambu mete adalah yang dikenal sebagai biji mete. Buah
jambu mete termasuk kelompok buah batu, berbentuk seperti ginjal, tertanam pada
bagian ujung buah semu, dan berwarna hijau hingga cokelat keabu-abuan. Buah
jambu mete terdiri atas tiga lapisan, yaitu lapisan kulit keras, lapisan kulit ari, dan
lapisan kernel (Suprapti, 2004).
Kandungan energi per 100 gram kacang mete mentah adalah 566 kkal. Kadar
protien pada 100 gram kacang mete mentah sebesar 18 gram. Asam amino yang
paling potensial pada kacang mete adalah leusin, valin, arginin, asam aspartat, asam
glutamat dan serin. Asam glutamat dan asam aspartat sangat berkontribusi penting
akan timbulnya rasa gurih pada kacang mete (Astawan, 2009). Menurut Reza (2013),
kacang mete kaya akan zat besi, fosfor, selenium, magnesium dan seng, selain itu
mete merupakan sumber fitokimia, antioksidan dan protein.
Kadar lemak total pada 100 gram kacang mete mentah adalah 47 gram.
Tingginya kadar lemak pada biji mete sangat berperan penting dalam peningkatan
12
kadar energi dan cita rasa. Lemak pada kacang mete 78-80% merupakan asam lemak
tak jenuh dilihat dari minyak kacang mete. Senyawa bioaktif seperti asam lemak tak
jenuh MUFA (Mono Unsaturated Fatty Acid) dan PUFA (Polyunsaturated Fatty
Acid), fenol, dan tokoferol yang terkandung di dalam kacang mete cukup tinggi dan
sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia (Alasavar dan Shahidi, 2009). Berikut
kandungan gizi kacang mete mentah dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5. Kandungan Gizi Kacang Mete Mentah
Zat Gizi Kandungan/100 g
Energi
Protein (g)
Karbohidrat (g)
Lemak total (g)
Lemak Jenuh (g)
Lemak tidak jenuh tunggal (g)
Lemak tidak jenuh ganda (g)
Natrium (mg)
Kalium (mg)
566
18
27
47
8
25
8
12
650
Sumber : Astawan (2009)
2.2.3 Sirup Glukosa
Sirup glukosa (C6H12O6) yang mempunyai nama lain dextrose adalah suatu
larutan kental yang termasuk golongan monosakarida yang diperoleh dari pati dengan
cara hidrolisis lengkap dengan menggunakan katalis asam atau enzim selanjutnya
dimurnikan serta dikentalkan. Biasanya sirup glukosa ini dibuat dari tapioka, pati
umbi-umbian, sagu, dan juga pati jagung sirup glukosa atau sering juga disebut gula
cair terbuat dari campuran dari glukosa, maltose, dan dekstrin. Karakteristik dari
13
dextrose ini adalah bentuknya cairan, tidak berbau dan tidak berwarna. Selain itu
sirup glukosa memiliki pH yang cenderung asam dan juga cukup mudah larut dalam
air. Sirup glukosa dalam pembuatan non-dairy creamer berfungsi sebagai pemberi
rasa manis. Sirup glukosa lebih dipilih dari pada menggunakan sukrosa (gula pasir)
karena memiliki tingkat kemanisan yang lebih rendah, sehingga diharapkan produk
krimer yang dihasilkan tidak memiliki rasa yang terlalu manis (Richana, 2016).
Sirup glukosa dalam pembuatan krimer non-susu berfungsi sebagai pemberi rasa
manis. Sirup glukosa lebih dipilih daripada menggunakan sukrosa (gula pasir) karena
memiliki tingkat kemanisan yang lebih rendah, sehingga diharapkan produk krimer
yang dihasilkan tidak memiliki rasa yang terlalu manis. Disamping itu, sirup glukosa
juga memiliki keunggulan bila dibandingkan dengan pemanis lainnya, antara lain :
mencegah pembentukan kristal, tahan panas, serta memiliki cia rasa yang baik
(Abidin dkk., 2001).
2.2.4 Dekstrin
Definisi dekstrin menurut SNI 06-1451-1989 tenang Dekstrin Industri Non-
Pangan adalah produk hidrolisis zat pati, berbentuk amorf, dan berwarna putih sampai
kekuning-kuningan. Menurut Acton (1979), dekstrin merupakan produk degradasi
pati sebagai hidrolisis tidak sempurna antara pati dengan katalis asam atau enzim
pada kondisi yang terkontrol. Sedangkan menurut Satterwaite dan Iwinski (1973),
dekstrin merupakan hasil hidrolisa pati, sehingga dihasilkan zat dengan berat molekul
yang lebih kecil dan lebih larut air.
Dekstrin mempunyai rumus molekul (C6H10O5)n dan struktur molekulnya lebih
kecil dn bercabang jika dibandingkan dengan pati (Acton, 1979). Dalam pembuatan
14
deksrin, rantai Panjang pati mengalami pemutusan oleh suatu enzim atau hidrolisa
asam menjadi dekstrin dengan Panjang molekul yang lebih pendek, denagn jumlah
glukosa 6-10 unit. Dengan makin pendeknya rantai, akan menyebabkan terjadinya
perubahan sifat, dimana pati yang tidak larut dalam air menjadi dektrin yang mudah
larut dalam air (Somaatmadja, 1970).
Dektrinisasi adalah proses untuk mendapatkan dekstrin dan merupakan cara tertua
untuk memodifikasi pati. Molekul-molekul pati yang besar dan tidak larut dalam air
dingin dihidrolisa sehingga menjadi fraksi-fraksi yang lebih kecil, dalam hal ini
ukuran molekul dikurangi sampai tingkat dimana molekul tersebut menjadi mudah
larut dalam air dingin. Karena melibatkan panas, proses dekstrinisasi sering disebut
pula pyroconversions. Menurut Wurzburg (1989), ada tiga reaksi utama yang terjadi
selama proses pyroconversions, yaitu :
1. Hidrolisa
Merupakan pemutusan ikatan α-1,4 dan α-1,6 glukosidik antara unit-unit glukosa.
Reaksi ini akan menyebabkan pengurangan ukuran molekul serta penurunan
viskositas dan nilai reduksi.
2. Transglukosidasi
Merupakan pemecahan ikatan glukosidik dan pembentukan kembali pada titik
yang lain sehingga diperoleh polimer dengan cabang yang lebih banyak. Reaksi ini
tidk mengubah berat molekul ataupun nilai reduksi, tetapi meningkatkan stabilitas
dari larutan dekstrin karena dikurangi sejumlah komponen linear (amilosa).
3. Repolimerisasi
Pada suhu tinggi, glukosa mempunyai kemampuan untuk membentuk polimer
15
dengan bantuan asam sebagai katalisator sehingga terjadi penurunan nilai reduksi.
Menurut Wurzburg (1989), kelarutan dekstrin putih lebih rendah daripada kelarutan
British Gum, sedangkan kelarutan British Gum lebih rendah daripada kelarutan
dekstrin kuning.
Dekstrin putih dihasilkan pada temperatur rendah serta tingkat kelembaban dan
keasaman tinggi dengan reaksi utama adlah hidrolisa. Dekstrin kuning dihasilkan
dengan menggunakan suhu cukup tinggi dengan keasaman sedang dan kelembaban
rendah. Proses hidrolisa dominan pada tahap awal,tetapi pada tahap selanjutnya
proses transglukosodasi dan repolimerisasi menjadi lebih dominan. Sedangkan
British Gum dihasilkan dengan suhu yang tinggi dengan sedikit atau tanpa asam
dengan transglukosidasi menjadi reaksi yang paling dominan (Wurzburg,1989).
2.3 Proses Pembuatan Krimer Nabati
Menurut Putri, dkk (2016), proses produksi non-dairy creamer atau krimer
nabati secara umum terdiri dari beberapa tahapan proses. Pada proses pembuatan
krimer nabati terjadi perubahan fase dari cairan menjadi bubuk menggunakan alat
spray dryer. Beberapa bahan baku (raw material) dimasukkan dan dicampur dalam
keadaan fase cair, sehingga perlu adanya perubahan fase. Proses produksi krimer
nabati yaitu :
1. Proses Pencampuran Bahan
Proses ini merupakan tahapan awal dari pembuatan krimer nabati. Tahap pertama
yang dilakukan adalah membuat beberapa campuran larutan. Pertama,
mencampurkan emulsifier dengan lemak (palm oil) dengan menggunakan mesin
pengaduk, sehingga terbentuklah larutan A. Kedua, membuat larutan B dengan
16
mencampurkan sodium caseinate dengan sirup glukosa. Ketiga membuat larutan C
dari bahan stabilizer dan garam yang dilarutkan ke dalam air. Setelah ketiga
campuran tersebut jadi, barulah dilakukan pencampuran antara larutan C dan B
dengan menggunakan mesin pengaduk yang dilengkapi dengan paddle mixer dengan
kecepatan 500 rpm. Terakhir larutan C dan B disatukan, barulah dicampur dengan
larutan A, dimana dalam proses penambahan larutan A dilakukan dalam kondisi
pengadukan pelan.
2. Homogenisasi
Hasil dari proses mixing antara tiga jenis larutan akan menghasilkan suatu larutan
yang sudah tercampur. Namun, untuk memastikan ketiganya sudah tercampur dengan
baik, dilakukan proses homogenisasi menggunakan homogenizer dengan tekanan 170
bar pada suhu ruang. Proses ini akan mengubah partikel globula lemak menjadi lebih
kecil dan seragam sehingga tidak terjadi pemisahan saat krimer di diamkan.
3. Proses Pengeringan
Proses ini merupakan tahapan terpenting dalam pembuatan krimer nabati karena
akan mengubah fase krimer dari cair menjadi padat (bubuk) dimana hasil tersebut
harus memiliki karakteristik fisik yang sesuai dengan keinginan. Proses ini
menggunakan alat spray dryer.
17
Palm Oil
Pengaduk Pengaduk Pengaduk
Sodium
CaseinateAir
EmulsiSirup
Glukosa
Garam
Stabilizer
Larutan B Larutan C
Dilakukan
Pengadukan 500
rpm
Dilakukan
pengadukan pelan
Dihomogenisasi
dengan tekanan 170
bar pada suhu ruang
Dilakukan
pengeringan
menggunakan Spray
Dryer
Hasil
Larutan A
Gambar 3. Proses Produksi Krimer Nabati
(Sumber: Putri dkk., 2016)
2.4 Konsentrat Protein
Konsentrat merupakan suatu produk pekatan protein dengan kadar protein 50-
70%. Konsentrat dibuat dengan cara menghilangkan komponen selain protein, seperti
lemak, karbohidrat, mineral, vitamin dan air, sehingga diperoleh kadar protein yang
tinggi dibandingkan dengan bahan baku awal (Amoo, Adebayo dan Oyelele, 2006).
Sementara itu Tiwari dan Singh (2012) memberikan definisi yang hampir sama, yaitu
kemurnian konsentrat protein dapat mencapai lebih dari 70% dan komposisi dari
konsentrat akan dipengaruhi oleh setiap metode yang digunakan dalam ekstraksi.
18
Pada prinsipnya konsentrat protein dapat dibuat dengan cara menghilangkan
sebagian besar kandungan lemaknya dan komponen bukan protein yang tidak larut
dalam air (Sudarmanto dan Tranggono, 1987). Menurut Riaz (2004), kandungan gula
pada konsentrat protein telah dikurangi, sehingga produk yang menggunakan
konsentrat protein lebih mudah dicerna dan lebih sedikit menyebabkan flatulensi.
Konsentrat protein dapat dengan mudah dibentuk teksturnya, namun membutuhkan
jumlah air dan energi mekanik yang lebih besar daripada produk tepung rendah
lemak.
Pembuatan konsentrat protein dilakukan dengan ekstraksi mineral dan
karbohidrat yang larut air. Mineral dan karbohidrat larut air dapat diekstrak dengan
larutan asam, campuran air-etanol, atau air panas. Terdapat tiga cara yang umumnya
digunakan dalam proses produksi konsentrat protein, yaitu proses pencucian dengan
alkohol, proses pencucian dengan asam, proses denaturasi protein dengan panas.
Proses pembuatan konsentrat protein dengan pencucian alkohol didasarkan pada
kemampuan alkohol rantai pendek (metanol, etanol, atau isopropil alkohol) untuk
mengekstrak fraksi gula larut air tanpa melarutkan protein. Umumnya konsentrasi
alkohol optimum yang digunakan adalah 60%. Setelah proses ekstraksi gula, alkohol
dievaporasi dari protein dengan menggunakan prinsip destilasi dan protein
dikeringkan (FAO, 2009).
Konsentrat protein dapat ditambahkan dalam bahan pangan untuk
meningkatkan penampilan, mengontrol, tekstur, atau viskositas, menurunkan susut
masak, meningkatkan umur simpan, meningkatkan sifat penanganan adonan dan
kebutuhan nutrisi. Konsentrasi kedelai sering digunakan sebagai pengikat dan
19
pengkondisi pada sosis karena kemampuannya untuk mengikat air dan lemak
(Pomeranz, 1991).
2.5 Sifat Fungsional Konsentrat Protein
Sifat fungsional protein membantu sifat-sifat mutu, sifat organoleptik, dan hasil
pengolahan pangan. Seringkali dikehendaki untuk mengkarakterisasi sifat fungsional
protein pangan untuk mengoptimalkan penggunaannya dalam produk pangan
(Khotibul Umam, 2017).
1. Daya Serap Air
Daya serap air (water holding capacity) adalah jumlah air yang terperangkap
dalam matriks protein pada kondisi tertentu. Daya serap air berhubungan dengan
jumlah gugus asam amino polar yang terdapat dalm molekul protein. Gugus asam
amino polar yang terdapat dalam molekul protein. Gugus asam amino polar, seperti
hidroksil, amino, karboksil dan sulfihidril memberikan sifta hidrofilik bagi molekul
protein sehingga dapat menyerap air berperan dalam pembentukan tekstur produk
pangan. Semakin banyak air yang diserap, maka semakin baik tekstur dan mouthfeel
bahan pangan tersebut. Pengikatan air bergantung pada komposisi dan komformasi
antara molekul-molekul protein. Interaksi antara air dan gugus hidrofilik dari rantai
samping protein dapat terjadi melalui ikatan hidrogen. Jumlah air yang dapat ditahan
oleh protein bergantung pada komposisi asam amino, hidrofobisitas permukaan, dan
proses pengolahan. Jumlah air yang diikat akan meningkat jika kepolaran protein
meningkat (Suwarno, 2003).
Beberapa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi daya serap air adalah pH,
suu, dan kekuatan ion. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya perubahan
20
konformasi dan polaritas molekul protein (Hutton dan Campbell, 1981). Menurut
Zayas (1997), daya serap air oleh protein juga dipengaruhi oleh konsentrasi protein
dan adanya komponen lain, seperti polisakarida hidrofilik, lemak, garam, lamanya
pemanasan dan konsidi penyimpanan. Semakin tinggi konsentrasi protein dalm suatu
bahan pangan, maka daya serap airnya pun semakin baik.
Suhu tinggi dapat mengurangi daya serap air oleh protein. Adanya pemanasan,
pemekatan, pengeringan atau pembentukan tekstur ini dapat mengakibatkan
denaturasi protein dan transisi konformasi sehingga terjadi pembukaan rantai
polipeptida dan jumlah asam amino polar pada protein berkurang (Zayas, 1997).
Menurut Hutton dan Campbell (1981), pemanasan, agregasi dan denaturasi tersebut
dapat juga menyebabkan perubahan konformasi tertentu sehingga daya serap air
meningkat (Hutton dan Campbell, 1981).
2. Daya Serap Minyak
Daya serap minyak adalah kemampuan protein untuk menyerap dan menahan
lemak. Daya minyak suatu protein dipengaruhi oleh sumber protein, ukuran partikel
protein, kondisi proses pengolahan, zat aditif lain, suhu dan derajat denaturasi protein.
Ukuran dan tekstur protein yang lebih halus, lebih seragam, dan lebih porous
memudahkan penyerapan dan pengikatan minyak. Denaturasi protein dapat
meningkatkan daya serap minyak karena terbukanya struktur protein sehingga asam
amino non polarnya terpapar. Namun, denaturasi yang berlebihan dapat menurunkan
kemampuan protein mengikat lemak karena rusaknya rantai hidrofobik ptotein
(Suwarno, 2003).
21
Kemampuan protein untuk menahan lemak dipengaruhi oleh interaksi antar lipid.
Ikatan yang berperan dalam interaksi tersebut adalah ikatan hidrofobik, elektrostatik,
ikatan hidrogen, dan ikatan non kovalen. Ikatan hidrofobik penting untuk stabilitas
kompleks lipid-protein. Interaksi antara protein dengan anion asam lemak dapat
mengubah struktur protein dengan cara menurunkan ikatan hidrofobik intramolekul.
Daya serap minyak sutau protein tergantuk pada strukturnya. Struktur yang
bersifat lipolitik dengan kandungan cabang protein nonpolar yang lebih dominan,
berkontribusi terhadap peningkatan daya serap minyak (Lin dkk., 1974). Menurut
Suwarno (2003), daya serap minyak bermanfaat dalam aplikasi protein pada produk
daging sintesis dan berperan penting dalam memperbaiki karakteristik citarasa.
3. Aktivitas dan Stabilitas Emulsi
Emulsi adalah dispersi atau suspensi suatu cairan dalam cairan lain, dimana
molekul kedua cairan ini tidak saling berbaur, tetapi saling antagonis. Tiga bagian
utama dalam suatu sistem emulsi adalah bagian pendispersi juga dikenal sebagai
continous phase yang biasanya berupa air, bagian terdispersi yang biasanya terdiri
dari butiran-butiran lemak, serta bagian emulsifier yang berfungsi menjaga agar butir-
butir lemak tetap tersuspensi dalam air (Winarno, 1997).
Sifat emulsifikasi protein dipengaruhi oleh laju adsorbsi antarmuka minyak-air,
jumlah protein teradsorbsi, serta kemampuan untuk membentuk sebuah film yang
kental, kohesif, dan kontinyu melalui interaksi kovalen dan non kovalen (Widowati
dkk, 1998). Menurut Zayas (1997), selain itu, sifat emulsi suatu protein juga
dipengaruhi oleh desain peralatan yang digunakan, suhu minyak dan suhu larutan
protein.
22
Daya kerja emulsifier dipengaruhi oleh bentuk molekul yang dapat terikat, baik
pada air (polar) dan pada minyak (non polar). Emulsi minyak dalam air (𝑜 𝑤⁄ ) terjadi
bila emulsifier lebih terikat pada air (polar), sedangkan emulsi air dalam minyak
(𝑤 𝑜⁄ ) terjadi bila emulsifier lebih terikat pada minyak (non polar) (Winarno, 1997).
Sedangkan menurut Zayas (1997), daya emulsi bergantung pada bentuk, hidrasi grup
polar, hidrofobisitas molekul dan muatan. Emulsi yang stabil terbentuk karena protein
yang larut dan dapat teradsorbsi dalam lapisan.