II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelapa Sawit - repository.ipb.ac.id · kelapa sawit dalam menyerap unsur...
Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelapa Sawit - repository.ipb.ac.id · kelapa sawit dalam menyerap unsur...
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kelapa Sawit
Kelapa sawit menjadi populer setelah Revolusi Industri pada akhir abad
ke-19 yang menyebabkan permintaan minyak nabati untuk bahan pangan dan
industri sabun menjadi tinggi. Kelapa sawit termasuk tanaman keras (tahunan)
yang mulai menghasilkan pada umur 3 tahun dengan usia produktif hingga 25–30
tahun dan tingginya dapat mencapai 24 meter. Produk utama kelapa sawit adalah
CPO dan CPKO, yang selanjutnya menjadi bahan baku industri hilir pangan
maupun non pangan.
Kelapa sawit adalah tanaman penghasil minyak nabati yang dapat
diandalkan, karena minyak yang dihasilkan memiliki berbagai keunggulan
dibandingkan dengan minyak yang dihasilkan oleh tanaman lain. Keunggulan
tersebut diantaranya memiliki kadar kolesterol rendah, bahkan tanpa kolesterol.
Prospek pasar bagi olahan kelapa sawit cukup menjanjikan, karena permintaan
dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup besar (Sastrosayono,
2003).
2.1.1 Klasifikasi Kelapa Sawit
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Palmales
Famili : Palmaceae
Genus : Elaeis
Spesies : Elaeis Guineensis
Elaeis odora (tidak ditanam di Indonesia)
Elaeis melanococca
Varietas : Elaeis guineensis dura
Elaeis guineensis tenera
Elaeis guineensis pisifera
2.1.2 Morfologi Kelapa Sawit
a. Akar
Kecambah kelapa sawit yang baru tumbuh memiliki akar tunggang, tetapi
akar ini mudah mati dan segera diganti dengan akar serabut. Jika aerasi cukup
baik, akar tanaman kelapa sawit dapat menembus kedalaman 8 meter di dalam
tanah, sedangkan yang tumbuh kesamping bisa mencapai radius 16 meter.
Keadaan ini tergantung pada umur tanaman, sistem pemeliharaan, dan aerasi
tanah. Sistem perakaran seperti ini menyebabkan tanaman tidak mudah tumbang.
b. Batang
Pada tahun-tahun pertama, sejak kecambah tumbuh menjadi tanaman
kelapa sawit tidak tampak adanya pertumbuhan memanjang. Awalnya terbentuk
poros batang dan disekitar poros terbentuk daun-daun yang ukurannya semakin
bertambah besar.
Setelah tanaman berumur 4 tahun, batang mulai memperlihatkan
pertumbuhan memanjang. Ketebalan batang tergantung pada kekuatan
pertumbuhan daun-daunnya. Tanaman kelapa sawit secara alami bisa mencapai
umur 100 tahun. Namun, tanaman kelapa sawit yang ditanam di perkebunan harus
diremajakan sebelum mencapai umur tersebut, karena produksi buahnya sudah
menurun.
c. Daun
Daun dibentuk di dekat titik tumbuh. Setiap bulan biasanya akan tumbuh
dua lembar daun. Daun pupus yang tumbuh keluar masih melekat dengan daun
lainnya. Arah pertumbuhan daun pupus tegak lurus keatas dan bewarna kuning.
Anak daun (leaf let) pada daun normal berjumlah 80-120 lembar.
Kedudukan daun pada batang dapat dirumuskan dengan rumus daun
(phylotaxis) 3/8, pada setiap putaran terdapat 8 daun. Setiap tahun, tanaman
kelapa sawit bisa mengeluarkan 20-24 lembar daun.
d. Bunga
Susunan bunga terdiri dari karangan bunga yang terdiri dari bunga jantan
(tepung sari) dan bunga betina (putik). Namun, ada juga tanaman kelapa sawit
yang hanya memproduksi bunga jantan.
Umumnya bunga jantan dan bunga betina terdapat dalam dua tandan yang
terpisah. Namun, adakalanya bunga jantan dan bunga betina terdapat dalam
tandan yang sama. Masa reseptif (masa putik dapat menerima tepung sari) adalah
3x24 jam. Setelah itu, putik akan berwarna hitam dan mengering. Jika diawetkan,
tepung sari bisa mencapai umur 10 minggu. Pengawetan tepung sari bisa
dilakukan dengan cara mengeringkannya di dalam oven dengan suhu konstan
60°C selama 24 jam. Tepung sari awetan biasanya digunakan untuk bantuan
penyerbukan (assisted pollination). Pada tanaman kelapa sawit muda (sampai
umur 6 tahun), bunga betina lebih banyak daripada bunga jantan. Karena itu,
kelapa sawit muda membutuhkan bantuan penyerbukan oleh manusia.
e. Buah
Tandan buah tumbuh di ketiak daun. Daun kelapa sawit setiap tahun
tumbuh sekitar 20-24 helai. Semakin tua umur kelapa sawit, pertumbuhan
daunnya semakin sedikit, sehingga buah yang terbentuk semakin menurun.
Meskipun demikian, tidak berarti hasil produksi minyaknya menurun. Hal ini
disebabkan semakin tua umur tanaman, ukuran buah kelapa sawit akan semakin
besar. Kadar minyak yang dihasilkannya juga semakin tinggi. Berat tandan buah
kelapa sawit bervariasi, dari beberapa ons hingga 30 kg .
Tanaman kelapa sawit mulai berbuah saat berumur 18 bulan
setelah tanam, tetapi kadar minyaknya masih sedikit dan persentase limbah
(lumpur) banyak. Karenanya, di perkebunan kelapa sawit, bunga-bunga yang
tumbuh pada tanaman muda akan dibuang (kastrasi) agar tidak menjadi buah.
Buah muda Elaeis guineensis dura, Elaeis guineensis tenera, dan Elaeis
guineensis pisifera berwarna ungu tua sampai hitam. Warna ini disebabkan
adanya dominasi zat anthocyanin.
2.1.3 Syarat Tumbuh Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq)
Kelapa sawit memerlukan kondisi lingkungan yang baik agar mampu
tumbuh dan berproduksi secara optimal. Keadaan iklim dan tanah merupakan
faktor utama bagi pertumbuhan kelapa sawit, disamping faktor-faktor lainnya
seperti genetis, budidaya, dan penerapan teknologi lainnya.
a. Faktor Iklim
Curah Hujan
Jumlah dan curah hujan yang baik untuk kelapa sawit adalah 2000-2500
m/tahun, tidak memiliki defisit air, hujan agak merata sepanjang tahun (Rambey,
2010). Hujan yang merata sepanjang tahun kurang baik karena pertumbuhan
vegetatif akan lebih dominan daripada pertumbuhan generatif, sehingga buah atau
bunga yang terbentuk relatif lebih sedikit (Setyamidjaja, 2006). Sebaliknya, curah
hujan yang terlalu tinggi akan mengakibatkan timbulnya masalah terutama
sulitnya upaya peningkatan kualitas jalan, pembukaan lahan, pemeliharaan,
pemupukan, dan pencegahan erosi (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2006).
Suhu dan Elevasi
Temperatur yang optimal adalah 24-28°C dan tertinggi 32°C. Diatas atau
dibawah selang tersebut, produktivitas akan lebih rendah karena rendahnya
proses assimilasi, gagalnya perkembangan bunga dan pematangan buah (Yahya,
1990 dalam Nurmala, 2009). Suhu udara terutama suhu minimum, berhubungan
erat dengan elevasi. Di daerah beriklim tropis, secara umum suhu udara bukan
merupakan faktor pembatas pada elevasi di bawah 400 m dpl.
Sebaliknya, diatas 400 m dpl meskipun faktor iklim lainnya seperti curah
hujan sudah sesuai untuk pertumbuhan kelapa sawit, suhu udara minimum yang
terlalu rendah bisa menjadi faktor pembatas, tetapi masih berpotensi untuk
budidaya kelapa sawit. Elevasi juga berkaitan dengan penyinaran matahari dan
kelembaban udara.
Kelembaban dan Penyinaran Matahari
Kelembaban 80% dan penyinaran matahari 5-7 jam/hari, karena
kelembaban yang tinggi akan meransang perkembangan penyakit. Kecepatan
angin 5-6 km/jam untuk membantu proses penyerbukan. Angin yang terlalu
kencang akan menyebabkan tanaman baru menjadi miring (Lubis, 1992 dalam
Harahap, 1999).
b. Faktor Edafik
Tanah
Kelapa sawit dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah seperti podsolik,
latosol, hidromorfik kelabu, regosol, andosol, organosol, dan aluvial. Sifat-sifat
fisika dan kimia tanah yang harus dipenuhi untuk pertumbuhan kelapa sawit
secara optimal adalah sebagai berikut:
1. Solum cukup dalam (>80cm) dan tidak berbatu agar perkembangan akar
tidak terganggu.
2. Tekstur ringan dan yang terbaik memiliki pasir 20-60%, debu 10-40%, dan
liat 20-50%.
3. Struktur tanah baik, konsistensi gembur sampai agak teguh, dan
permeabilitas sedang.
4. Drainase baik dan permukaan air tanah cukup dalam. Tanah yang
berdrainase jelek dengan permukaan air tanah yang dangkal sebaiknya
dihindari. Tanah yang berdrainase jelek sebaiknya diberi saluran drainase.
5. Reaksi tanah (pH) 4,0-6,0 dan pH optimal 5,0-5,5. Tanah yang ber-pH
rendah seperti tanah gambut/organosol sebaiknya dilakukan pengapuran.
6. Tanah yang memiliki kandungan hara cukup tinggi (Setyamidjaja, 2006).
2.1.4 Pemelihara Kelapa Sawit
a. Pengendalian Gulma
Gulma di perkebunan kelapa sawit harus dikendalikan supaya secara
ekonomi tidak berpengaruh secara nyata terhadap hasil produksi. Adanya gulma
di perkebunan kelapa sawit akan sangat merugikan. Alasannya, gulma
mengganggu dan menghambat jalan para pekerja, gulma menjadi pesaing tanaman
kelapa sawit dalam menyerap unsur hara dan air, serta kemungkinan gulma
menjadi tanaman inang bagi hama atau penyakit yang menyerang tanaman kelapa
sawit.
Jenis-jenis gulma di perkebunan kelapa sawit adalah krisan, Mikania
scandes, eupathorium (babandotan), melastoma (harendong), pakis kawat, pakis
gajah, keladi dan alang-alang. Selain menggunakan herbisida, pengendalian
gulma bisa dilakukan dengan cara manual memakai cangkul dan garpu.
b. Pengendalian Hama dan Penyakit
Menurut Pahan (2008), pengendalian hama dan penyakit tanaman pada
hakikatnya merupakan upaya untuk mengendalikan suatu kehidupan. Upaya
mendeteksi hama dan penyakit pada waktu yang lebih dini mutlak harus
dilaksanakan. Selain akan memudahkan tindakan pencegahan dan pengendalian,
keuntungan deteksi dini juga bertujuan agar tidak terjadi ledakan serangan yang
tak terkendali atau terduga.
Hama yang sering menyerang tanaman kelapa sawit diantaranya
kumbang tanduk, ulat api, ulat kantong, tikus, rayap, Adoretus, dan Apogonia,
serta babi hutan. Penyakit utama kelapa sawit adalah penyakit busuk pangkal
batang kelapa sawit, penyakit antraknosa dan bercak daun. Konsep yang
digunakan dalam pengendalian hama, penyakit, dan gulma di perkebunan kelapa
sawit adalah Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Integrated Pest Management
(IPM) (PPKS, 2006).
Berbagai cara yang dilakukan dalam PHT diantaranya adalah:
1. Hama ulat (Tasea asigna, Stora nitens, dan Darnarima sp.) dikendalikan
dengan menyemprotkan Dipterex atau Bayrusil.
2. Hama kumbang (Apogania sp. dan Oryctes rhinoceros) dikendalikan
dengan menyemprotkan larutan Azodrin yang bersifat sistemik.
3. Hama tikus dikendalikan dengan racun Tomorin, Warfarin, atau Racumin.
Penyakit pada tanaman kelapa sawit hingga saat ini, belum ditemukan cara
pemberantasan yang efektif, sehingga hanya dapat dilakukan pembatasan
penyebaran penyakit. Caranya, menebang tanaman kelapa sawit yang terserang
penyakit ini, pangkal batang dan sisa-sisa akar dibakar di tempat tersebut
(Sastrosayono, 2003).
c. Pemupukan
Kemampuan lahan dalam penyediaan unsur hara secara terus-menerus
bagi pertumbuan dan perkembangan tanaman kelapa sawit yang berumur panjang
sangatlah terbatas. Keterbatasan daya dukung lahan dalam penyediaan hara ini
harus diimbangi dengan penambahan unsur hara melalui pemupukan. Manfaat
pemupukan memberikan kontribusi yang sangat luas dalam meningkatkan
produksi dan kualitas produk yang dihasilkan.
Salah satu efek pemupukan yang sangat bermanfaat adalah meningkatnya
kesuburan tanah yang menyebabkan tingkat produksi tanaman menjadi relatif
stabil serta meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan penyakit dan
pengaruh iklim yang kurang menguntungkan. Pupuk yang umum digunakan
dalam perkebunan kelapa sawit adalah pupuk anorganik (buatan) dan pupuk
organik.
Pemupukan kelapa sawit dilakukan pada 3 tahap perkembangan tanaman,
yaitu pada tahap pembibitan dan TBM yang mengacu pada dosis baku, tahap TM
yang ditentukan berdasarkan perhitungan faktor-faktor dasar, serta konsep neraca
hara (nutrient balance).
Tabel 1. Jenis dan Spesifikasi Pupuk Tunggal yang Direkomendasikan oleh PPKS
Hara Pupuk Spesifikasi
N Urea
Za
46% N
21% N, 23% S
K MOP (KCL) K2O : 60%
Mg Kieserit MgO : 26%, S :21%
MgO : min 18%
CaO : min 30%
Al2O3 + Fe2O3 : maks 3%
SiO2 : maks 5%
Kadar air : maks 5%
Ni : maks 5 ppm
Kehalusan (lolos saringan 100 mesh)
Sumber : Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 1997
2.1.5 Pemanenan pada Kelapa Sawit
Kelapa sawit dapat mulai dipanen pada umur 30 bulan. Dalam keadaan
normal, 90-100% dari seluruh pokok sudah matang panen. Tandan yang cukup
besar dan siap untuk diolah adalah yang padat isinya dan beratnya sekitar 3 kg.
Kriteria panen yang digunakan yaitu dua brondolan artinya sudah ada 2 buah
lepas dari tandannya atau jatuh kepiringan pohon. Untuk tandan yang beratnya
lebih dari 10 kg, dipakai 1 brondolan yang jatuh ketanah. Kapasitas pemanenan
tergantung pada produksi/ha yang dikaitkan dengan umur tanaman, topografi
areal, kerapatan pohon dan intensif.
2.1.6 Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis pada Perkebunan
Kelapa Sawit
Menurut Lillesand dan Kiefer (1990) penginderaan jauh adalah ilmu dan
seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena
melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung
dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji. Sedangkan, Sistem Informasi
Geografis (SIG) merupakan suatu perangkat yang memiliki kemampuan penuh
untuk pengumpulan, penyimpanan, pemanggilan, transformasi, dan penampilan
data digital keruangan dari suatu wilayah untuk kegunaan tertentu.
Produk teknologi penginderaan jauh adalah berupa citra satelit dengan
resolusi spasial yang tinggi, memberikan visual permukaan bumi sangat detail.
Citra satelit merupakan suatu gambaran permukaan bumi yang direkam oleh
sensor (kamera) pada satelit pengideraan jauh yang mengorbit bumi, dalam
bentuk image (gambar) secara digital.
Teknologi SIG dan RS telah dimanfaatkan oleh para ahli untuk studi
kelapa sawit (Morrow, 1995 dalam Sitoms, 2004). Kelapa sawit dalam
pertumbuhannya akan mengalami perubahan fisik sehingga dapat dipantau dengan
data inderaja, yaitu dengan mengamati pengaruh umur tanaman terhadap
reflektansi band spektral maupun indeks spektral yang dapat diturunkan dari data
Landsat-TM.
Umur tanaman kelapa sawit dapat diteliti dengan menggunakan
penginderaan jauh karena tanaman kelapa sawit memiliki pola penanaman yang
teratur, yaitu pengelompokan penanaman dalam setiap blok secara teratur
berdasarkan tahun tanam yang sama (Sitoms, 2004).
Selain itu, Lukman dan Poeloengan (1996) dalam Laju dan Chen (2011)
sukses memanfaatkan citra satelit Landsat TM (Tematic Mapper) dan SPOT
(Satellite Pour Observation de la Terre) untuk mengidentifikasi wilayah-wilayah
tumbuh kelapa sawit dan memetakan perbedaan usianya pada masa awal
pertumbuhan.
Haryani et al (2005) menggunakan data penginderaan jauh Landsat 7 ETM
Tahun 2005 dan SIG untuk kajian potensi dan pengembangan perkebunan kelapa
sawit di Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Dari hasil penelitian yang
dilakukan berdasarkan hasil analisis Sistem Informasi Geografi (SIG) dengan input
kesesuaian lahan, kerapatan vegetasi, dan penggunaan lahan diperoleh arahan
pengembangan tanaman komoditas kelapa sawit di Kabupaten Rokan Hilir.
Dalam penelitiannya Sinaga (2011), merancang SIG untuk areal
perkebunan kelapa sawit di Provinsi Sumatera Utara yang disajikan dalam bentuk
tulisan, tabel, dan peta. Tulisan disini berupa informasi umum mengenai
penjelasan Provinsi Sumatera Utara dan informasi tentang kelapa sawit sehingga
bermanfaat dan memberikan kemudahan bagi pihak manajemen perkebunan
dalam mendapatkan informasi dan mempercepat pengambilan keputusan. Tabel
menyajikan data luas lahan dan produksi perkebunan pada tahun 2009 dan 2010,
sedangkan peta memberikan gambaran mengenai letak lokasi perkebunan tiap
kabupaten.
Secara nasional Kementrian Pertanian sudah melakukan pemetaan kelapa
sawit dengan menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 dengan pemetaan di seluruh
wilayah Indonesia. Selain untuk pemetaan kelapa sawit, Kementrian Pertanian
bekerja sama dengan Sucofindo, P4W, dan LPPM IPB juga melakukan pemetaan
untuk komoditas tanaman perkebunan lain selain kelapa sawit yaitu karet dan
kakao dan industrinya di seluruh Indonesia (Barus et al, 2011).
Penggunaan Citra ALOS AVNIR-2 dalam pemetaan kelapa sawit karena
citra ALOS AVNIR-2 memiliki biaya yang lebih murah dalam operasional,
ataupun dapat digunakan untuk tujuan analisis lain khususnya jika digabungkan
dengan data lain baik yang ada dalam sistem data base maupun setelah dilakukan
penggabungan dengan data lain dari sumber berbeda. Secara lebih lengkap Satelit
ALOS AVNIR-2 dibahas dalam sub bab selanjutnya.
2.2. Satelit ALOS AVNIR-2
Satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite) merupakan satelit
generasi lanjutan dari JERS-1 dan ADEOS milik Jepang (Gambar 1). JAXA di
Tanagashima Space Center Jepang yang diluncurkan pada tanggal 24 Januari
2006 dengan menggunakan roket H-IIA. Satelit ini merupakan satelit
penginderaan jauh (inderaja) terbesar yang dibangun oleh Jepang untuk
pengamatan daratan. Satelit ini memiliki periode kunjungan ulang (revisiting
period) 46 hari. Akan tetapi, untuk kepentingan pemantauan bencana alam atau
kondisi darurat satelit ALOS ini mampu melakukan observasi dalam waktu dua
hari. ALOS dapat digunakan untuk kartografi, observasi regional, pemantauan
bencana dan peninjauan sumberdaya.
Gambar 1. Satelit ALOS (JAXA EORC,1997)
Satelit ALOS mempunyai 5 misi utama, yaitu:
1. Untuk memberikan kontribusi terhadap aplikasi kartografi.
2. Untuk memberikan kontribusi terhadap pengamatan regional.
3. Untuk memberikan kontribusi terhadap pemantauan bencana alam.
4. Untuk memberikan kontribusi terhadap penelitian sumberdaya alam.
5. Untuk meningkatkan teknologi pengamatan daratan (pengembangan
teknologi).
Tabel 2. Spesifikasi ALOS
No Tipe Karakteristik
1 Bobot 4 ton
2 Jangka Waktu 3-5 Tahun
3 Ketinggian Orbit 691, 65 Km (di khatulistiwa)
4 Periode Orbital 98,7 menit
5
6
7
8
Tipe Orbit
Inklinasi
Siklus kunjungan ulang
Power
Sun-synchronous Subrecurrent
98,16 deg
46 hari
Approx. 7 kW (pada akhir
operasional)
Sumber : http://www.eorc.jaxa.jp/ALOS (diakses 14 Agustus 2011)
Untuk pencapaian misi, satelit ALOS dilengkapi dengan tiga buah sensor
penginderaan jauh dengan kemampuan pandangan sisi (side looking). Tiga buah
sensor tersebut terdiri dari dua buah sensor optik yaitu sensor PRISM
(Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping) dan sensor
AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infared Radiometer Type-2), sebuah
sensor gelombang mikro atau radar yaitu PALSAR (Phased Array Type L-Band
Synthetic Aperture Radar) untuk pengamatan lahan sepanjang siang sampai
malam diseluruh kondisi cuaca. Satelit ALOS ditunjukkan pada Gambar 3 untuk
pemanfaatan data sepenuhnya yang diperoleh dari sensor, ALOS dirancang
dengan dua teknologi maju yaitu pertama adalah kecepatan tinggi dan kapasitas
data yang besar dalam menangani teknologi dan kedua adalah presisi posisi
pesawat ruang angkasa dan kemampuan penentuan ketinggian.
2.2.1 Sensor ALOS AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infared
Radiometer Type-2)
Tujuan utama dari satelit ALOS AVNIR-2 adalah untuk pemetaan penutup
lahan, pemantauan bencana alam dan untuk pemantauan lingkungan regional.
Sensor ALOS AVNIR-2 adalah suatu pencitraan multispektral dengan 4 kanal
spektral pada daerah tampak dan inframerah dekat untuk pengamatan daratan dan
zona garis pantai. Lebar liputan satuan citra sebesar 70 km dengan resolusi spasial
10 meter. Dengan kemampuan side looking dari sensor, dan kemampuan sensor
untuk melakukan pandangan menyilang jejak satelit (cross track) (+/- 44°),
pengamatan daerah-daerah bencana dalam waktu pengulangan 2 hari dapat
dilakukan, dan lebar liputan dapat mencapai 1500 Km.
Dengan karakteristik teknis ALOS AVNIR-2, maka tujuan utama
dari AVNIR-2 untuk pemetaan penutup lahan dan pemantauan bencana alam akan
dapat dicapai. Citra hasil pengamatan AVNIR-2 akan efektif digunakan untuk
menghasilkan peta-peta penutup lahan dan peta klasifikasi tata guna lahan untuk
pemantauan lingkungan regional.
Gambar 2. Sensor ALOS AVNIR-2 (JAXA EORC-1997)
Gambar 3. Prinsip Geometri ALOS AVNIR-2 (JAXA EORC-1997)
Karakteristik umum sensor ALOS AVNIR-2 disajikan pada Tabel 2,
namun demikian sensor ALOS AVNIR-2 tidak dapat mengamati daerah-daerah di
luar 88, 4° Lintang Utara dan 88, 5° Lintang Selatan.
Tabel 3. Karakteristik ALOS AVNIR-2
N Tipe Spesifikasi
1
2
3
4
5
6
7
Jumlah Band
Panjang Gelombang
Resolusi Spasial
Lebar Petak(Swath Width)
Jumlah Detektor
Pointing Angle
Bit Length
4
Band 1 : 0,42-0,50 mikrometer
Band 2 : 0,52-0,60 mikrometer
Band 3 : 0,61-0,69 mikrometer
Band 4 : 0,76-0,89 mikrometer
10 m (at Nadir)
70 km (at Nadir)
7000/Band
-44 +44
8 bit
Sumber : http://www.eorc.jaxa.jp/ALOS (diakses 14 Agustus 2011)
2.3 Karakteristik Lahan
Kualitas lahan adalah sifat-sifat pengenal atau attribute yang bersifat
kompleks dari sebidang lahan. Setiap kualitas lahan mempunyai keragaan
(performance) yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya bagi penggunaan
tertentu dan biasanya terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan (land
characteristics). Kualitas lahan ada yang bisa diestimasi atau diukur secara
langsung di lapangan, tetapi pada umumnya ditetapkan berdasarkan karakteristik
lahan.
Karakteristik lahan (land characteristics) mencakup faktor-faktor lahan
yang dapat diukur atau ditaksir besarnya seperti lereng, curah hujan, tekstur tanah,
air tersedia, dan sebagainya. Satu jenis karakteristik lahan dapat berpengaruh
terhadap lebih dari satu jenis kualitas lahan, misalnya tekstur tanah dapat
berpengaruh terhadap tersedianya air, mudah tidak tanahnya diolah, kepekaan
erosi, dan lain-lain. Bila karakteristik lahan digunakan secara langsung dalam
evaluasi lahan, maka kesulitan dapat timbul karena adanya interaksi dari beberapa
karakteristik lahan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
2.4 PT. Perkebunan Nusantara VIII
Dalam upaya mengkonsolidasi peran Perusahaan Negara (BUMN) sektor
perkebunan dalam kerangka pembangunan nasional dan pembangunan ekonomi
serta menyiapkan diri menghadapi gerakan ekonomi global, maka pihak
pemerintah bersama Departemen Pertanian melakukan program konsolidasi bagi
semua Perkebunan Negara.
PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII adalah salah satu diantara
perkebunan milik negara yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 13
tahun 1996, seperti yang dinyatakan dalam akta Notaris Harun Kamil, S.H., No.
41 tanggal 11 Maret 1996 dan telah memperoleh pengesahan dari Menteri
Kehakiman Republik Indonesia melalui Surat Keputusan C2-
8336.HT.01.01.TH.96 tanggal 8 Agustus 1996.
Akta pendirian ini selanjutnya mengalami perubahan sesuai dengan akta
Notaris Sri Rahayu Hadi Prasetyo, S.H., No.05 tanggal 17 September 2002 dan
telah mendapat persetujuan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia melalui Surat Keputusan No. C-20857 HT.01.04.TH.2002 tanggal 25
Oktober 2002.
Perusahaan ini didirikan dengan maksud dan tujuan untuk
menyelenggarakan usaha di bidang agro bisnis dan agro industri, serta
optimalisasi pemanfaatan sumber daya perseroan untuk menghasilkan barang dan
atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat, serta mengejar keuntungan
guna meningkatkan nilai perseroan dengan menerapkan prinsip-prinsip Perseroan
Terbatas.
Kegiatan usaha perusahaan meliputi pembudidayaan tanaman,
pengolahan/produksi, dan penjualan komoditi perkebunan teh, karet, kelapa sawit,
kina, dan kakao.
2.4.1. Sejarah PT. Perkebunan Nusantara VIII
Perusahaan perkebunan milik negara di Jawa Barat dan Banten berasal dari
perusahaan perkebunan milik pemerintah Belanda, yang ketika penyerahan
kedaulatan secara otomatis menjadi milik pemerintah Republik Indonesia, yang
kemudian dikenal dengan nama Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) Lama.
Antara tahun 1957 – 1960 dalam rangka nasionalisasi atas perusahaan-
perusahaan perkebunan eks milik swasta Belanda/Asing (antara lain : Inggris,
Perancis dan Belgia) dibentuk PPN-Baru cabang Jawa Barat.
Dalam periode 1960 – 1963 terjadi penggabungan perusahaan dalam
lingkup PPN-Lama dan PPN-Baru menjadi : PPN Kesatuan Jawa Barat I, PPN
Kesatuan Jawa Barat II, PPN Kesatuan Jawa Barat III, PPN Kesatuan Jawa Barat
IV dan PPN Kesatuan Jawa Barat V.
Selanjutnya selama periode 1963 – 1968 diadakan reorganisasi dengan
tujuan agar pengelolaan perkebunan lebih tepat guna, dibentuk PPN Aneka
Tanaman VII, PPN Aneka Tanaman VIII, PPN Aneka Tanaman IX dan PPN
Aneka Tanaman X, yang mengelola tanaman teh dan kina, serta PPN Aneka
Tanaman XI dan PPN Aneka Tanaman XII yang mengelola tanaman karet. Dalam
rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas perusahaan, pada periode 1968 –
1971, PPN yang ada di Jawa Barat diciutkan menjadi tiga Perusahaan Negara
Perkebunan (PNP) meliputi 68 kebun, yaitu :
PNP XI berkedudukan di Jakarta (24 perkebunan), meliputi perkebunan-
perkebunan eks PPN Aneka Tanaman X, dan PPN Aneka Tanaman XI;
PNP XII berkedudukan di Bandung (24 perkebunan), meliputi beberapa
perkebunan eks PPN Aneka Tanaman XI, PPN Aneka Tanaman XII,
sebagian eks PPN Aneka Tanaman VII, dan PPN Aneka Tanaman VIII;
PNP XIII berkedudukan di Bandung (20 perkebunan), meliputi beberapa
perkebunan eks PPN Aneka Tanaman XII, eks PPN Aneka Tanaman IX,
dan PPN Aneka Tanaman X.
Sejak tahun 1971, PNP XI, PNP XII dan PNP XIII berubah status menjadi
Perseroan Terbatas Perkebunan (Persero). Dalam rangka restrukturisasi BUMN
Perkebunan mulai 1 April 1994 sampai dengan tanggal 10 Maret 1996,
pengelolaan PT Perkebunan XI, PT Perkebunan XII, dan PT Perkebunan XIII
digabungkan di bawah manajemen PTP Group Jabar. Selanjutnya sejak tanggal 11
Maret 1996, PT Perkebunan XI, PT Perkebunan XII, dan PT Perkebunan XIII
dilebur menjadi PT Perkebunan Nusantara VIII (Persero).
2.4.2. Komoditi PT. Perkebunan Nusantara VIII
PT. Perkebunan Nusantara VIII merupakan BUMN yang bergerak pada
sektor perkebunan dengan kegiatan usaha meliputi pembudidayaan tanaman,
pengolahan, dan penjualan komoditi perkebunan seperti teh, karet, dan sawit
sebagai komoditi utamanya, serta kakao dan kina sebagai komoditi
pendukungnya. PTPN VIII mengusahakan komoditi teh, karet, kina, kakao, sawit
dan gutta percha dengan areal konsesi seluas 118.510,12 hektar.
Budidaya teh diusahakan pada areal seluas 25.981,67 ha, karet 27.245,06
ha, kina 4.305,18 ha, kakao 4.335,64 ha, sawit 5.056,69 ha. Selain penanaman
komoditi pada areal sendiri ditambah inti, PTPN VIII juga mengelola areal
Plasma milik petani seluas 8.479,28 ha untuk tanaman kelapa sawit seluas
6.033,28 ha dan karet 2.446 ha.
Jawa Barat menyumbang 60% dari produksi teh nasional dan 80% nya
berasal dari teh produksi PTPN VIII. Sampai saat ini, PT Perkebunan Nusantara
VIII mengelola 41 kebun dan 1 unit rumah sakit. yang tersebar di 11
kabupaten/kota di Jawa Barat dan 2 kabupaten di Propinsi Banten (PTPN VIII,
2011).