II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Curcuma sppeprints.umm.ac.id/58564/3/BAB II.pdf · heyneana (temu...
Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Curcuma sppeprints.umm.ac.id/58564/3/BAB II.pdf · heyneana (temu...
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Curcuma spp
Curcuma banyak dimanfaatkan sebagai antimikroba karena kandungan
senyawa aktifnya mampu mencegah pertumbuhan mikroba. Tanaman ini terdiri
dari beberapa spesies diantaranya Curcuma xanthorizza (temulawak), C.
domestica (kunyit), C. mangga (temu mangga), C. zedoaria (kunyit putih), C.
heyneana (temu giring), dan C. aeruginosa (temu hitam) (Tjitrosoepomo, 1994
dalam Adila dkk., 2013).
2.1.1. Curcuma zedoaria (Kunyit Putih)
Curcuma zedoaria Rosc. (kunyit putih) adalah salah satu jenis dari
keluarga Zingiberaceae yang sangat penting dalam pengobatan tradisional dan
industri obat. Aktivitas farmakologik menunjukkan adanya efek antimikroba,
antiradang, antikanker, hepatoprotektif, dan insektisida (Windono, dkk., 2002
dalam Saefudin, 2014).
Kunyit putih merupakan tanaman semusim dengan karakteristik daun
berbentuk bundar berwarna hijau muda, bunga tumbuh bergerombol di atas
batang semu setinggi 30–70 cm, akarnya berdaging membentuk umbi seukuran
telur puyuh, rimpang kunyit putih tumbuh pendek, berwarna pucat, banyak serat,
berbau khas, dan memiliki rasa pahit (Hutapea, 1993 dalam Putri, 2014).
Gambar 1. Curcuma zedoaria (Hutapea, 1993 dalam Putri, 2014)
5
Menurut Backer dan Van den Brink (1968) dalam Setyawan (2003), dalam
taksonomi tanaman kunyit putih dikelompokkan sebagai berikut :
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Bangsa : Zingiberales
Suku : Zingiberaceae
Marga : Curcuma
Jenis : Curcuma zedoaria (Berg.) Rosc.
Kunyit putih (Curcuma zedoaria) mengandung senyawa kimia seperti
kurkuminoid, minyak atsiri, astringensia, flavonoid, sulfur, gum, resin, tepung,
sedikit lemak (Lobo, dkk., 2009 dalam Putri, 2014). Curcuma zedoaria Rosc.,
mempunyai kandungan utama senyawa-senyawa arilheptanoid (kurkuminoid),
minyak atsiri dengan bermacam-macam monoterpen dan seskuiterpen, dan
polisakarida (Windono, dkk., dalam Saefudin, 2002).
2.1.2. Curcuma domestica (Kunyit Kuning)
Curcuma domestica (kunyit kuning) adalah salah satu jenis rempah-
rempah yang banyak digunakan sebagai bumbu dalam berbagai jenis masakan.
Kunyit memiliki nama latin Curcuma domestica Val. Kunyit termasuk salah satu
suku tanaman temu-temuan (Zingiberaceae). Khasiat kunyit diantaranya sebagai
antioksidan, anti karsinogen, anti alzeimer dan juga anti kanker. (Depkes RI,
1995). Kunyit dikenal sebagai penyedap, penetral bau anyir pada masakan, seperti
gulai opor dan soto, serta pewarna pada nasi kuning. Kunyit dimanfaatkan secara
6
luas oleh industri makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik dan tekstil
(Winarno, 2003 dalam Puspa, 2017).
Tanaman kunyit (Curcuma domestica) tumbuh bercabang dengan tinggi
40-100 cm. Batang merupakan batang semu, tegak, bulat, membentuk rimpang
dengan warna kekuningan dan tersusun dari pelepah daun (agak lunak). Daun
tunggal, bentuk bulat telur (lanset) memanjang hingga 10-40 cm, lebar 8-12,5 cm
dan pertulangan menyirip dengan warna hijau pucat (Winarno, 2003 dan Puspa,
2017).
Gambar 2. Curcuma domestica (Yuslianti, 2018)
Menurut Winarto (2004) dalam Kusbiantoro dan Purwaningrum (2018),
taksonomi tanaman kunyit dikelompokkan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub divisio : Angiospermae
Class : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Family : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Species : Curcuma domestica Val
7
Kandungan utama dalam rimpang kunyit (Curcuma domestica)
diantaranya adalah minyak atsiri, kurkumin, resin, oleoresin,
desmetoksikurkumin, bidesmetoksikurkumin, lemak, protein, kalsium, fosfor dan
besi (Shan dan Iskandar, 2018). Rimpang kunyit mengandung 28% glukosa, 12%
fruktosa, 8% protein, dan kandungan kalium dalam rimpang kunyit cukup tinggi,
1,3-5,5% minyak atsiri yang terdiri 60% keton seskuiterpen, 25% zingiberina dan
25% kurkumin berserta turunannya (Yuslianti, 2018).
2.1.3. Curcuma aeruginosa (Temu Hitam)
Curcuma aeruginosa atau temu hitam tersebar luas di Asia Tenggara
memiliki nama lokal temu rang (Sumatra), temu ireng (Jawa Tengah dan Jawa
Timur), temu ereng (Madura), koneng hideung (Jawa Barat), temu lotong
(Sulawesi dan Nusa Tenggara), merupakan salah satu tanaman obat yang tumbuh
di Indonesia (Djauharia dan Sufiani, 2007 dalam Setiadi dkk., 2017). Tanaman ini
sudah dikenal dan dibudidayakan secara massal di negara Asia lainnya seperti
Malaysia, Kamboja, dan Myanmar (Pribadi, 2009 dalam Setiadi dkk., 2017).
Temu hitam merupakan tanaman asli dari kawasan Asia Tenggara
berbatang semu dengan ketinggian mencapai 1,5 m. Tanaman ini mempunyai
rimpang berwarna gelap memiliki aroma khas. Daun tunggalnya berbentuk bulat
telur dengan helaian daun berwarna hijau, bertulang daun menyirip, dan
permukaan bagian atas terlihat garis-garis cokelat membujur. Pelepahnya melekat
satu dengan yang lain hingga membentuk batang. Sementara bunga majemuk
berwarna ungu merah dengan tangkai yang panjang mencapai 35 cm terutama di
Pulau Jawa dari ketinggian 400 - 1.750 meter di atas permukaan laut dan
tumbuhan ini menyukai tanah subur. Daunnya berbentuk lanset lebar dengan
8
helaian daun yang tipis, warna daun hijau sampai coklat keunguan agak gelap
(Mursito, 2003).
Gambar 3. Curcuma aeruginosa (Mursito, 2003)
Klasifikasi tanaman temu hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) menurut
Yuniarti (2008) dalam Putri (2016) adalah sebagai berikut:
Divisio : Spermatophyta
Sub divisio : Angiospermae
Kelas : Monocotyledona
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Species : Curcuma aeruginosa Roxb.
Rimpang temu hitam digunakan sebagai obat tradisional karena
mengandung senyawa-senyawa bioaktif seperti saponin, flavonoid, polifenol,
triterpenoid, dan glukan (Sweetymol dan Thomas, 2014; Kitamura et al., 2007
dalam Setiadi dkk., 2017). Rimpang temu hitam digunakan untuk ramuan galian
dan anti rematik atau inflamasi (Reanmongkol et al., 2006 dalam Setiadi dkk.,
2017), penyakit kulit (Djauharia dan Sufiani, 2007 dalam Setiadi dkk. 2017),
batuk dan asma (Nasrullah et al., 2010 dalam Setiadi dkk., 2017), anti mikroba
(Angel et al., 2012 dalam Setiadi dkk., 2017), anti cendawan (Srivastava et al.,
9
2006 dalam Setiadi dkk., 2017), dan anti oksidan (Nurcholis et al., 2015 dalam
Setiadi dkk., 2017).
2.2. Oleoresin
Menurut Susanto (1989) dan Sumangat et al.(1994) dalam Fajriyani
(2008), oleoresin adalah suatu produk dari rempah-rempah yang berbentuk
padatan, yang umumnya mengandung minyak atsiri, resin, dan komponen aktif
yang terdapat di dalam rempah. Oleoresin akan memberikan rasa dan aroma yang
khas dari bahan asalnya. Dalam oleoresin terdapat minyak atsiri dan bahan yang
tidak mudah menguap (resin). Oleoresin kunyit mengandung campuran minyak
atsiri, resin dan kurkumin. Minyak atsiri dan kurkumin terbukti memiliki sifat
antimikroba.
Menurut Uhl (2000) oleoresin merupakan bentuk ekstraktif rempah yang
didalamnya terkandung komponen-komponen utama pembentuk perisa yang
berupa zat-zat volatil (minyak atsiri) dan non-volatil (resin dan gum) yang
masing-masing berperan dalam menentukan aroma dan rasa.
Ekstraksi dengan pelarut guna menghasilkan oleoresin dipengaruhi oleh
jenis dan polaritas pelarut yang digunakan. Polaritas dan titik didih pelarut
merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut untuk
mengekstrak oleoresin. Menurut Moyler (1991) dalam Assagaf dkk. (2012)
pelarut nonpolar dapat mengekstrak beberapa komponen volatil dan pelarut polar
adalah pelarut yang baik dalam proses ekstraksi oleoresin. Metode ekstraksi
maserasi menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam karena dengan
perendaman simplisia tumbuhan akan terjadi pemecahan dinding dan membran
yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan ekstraksi
10
senyawa akan berlangsung dengan sempurna karena waktu perendaman dapat
diatur (Assagaf dkk., 2012).
Sensitivitas khamir terhadap ekstrak rempah (oleoresin) telah diteliti oleh
Arora dan Khaur (1999) dalam Dhanya dan Saleena (2014). Mereka menemukan
bahwa ekstrak bawang putih dan cengkeh dapat menghambat pertumbuhan
Candida acutus, C. albicans, C. apicola, C. catenulata, C. inconspicua, C.
tropicalis, Rhodotorula rubra, Saccharomyces cerevisae dan Trignopsis
variabilis. Grohs dan Kunz (2000) dalam Dhanya dan Saleena (2014)
mengobservasi bahwa campuran bubuk rempah (2% dan 5 % b/v) dapat
menghambat pertumbuhan Candida lipolytica secara efektif.
2.3. Khamir (Yeast)
2.3.1. Definisi Khamir (Yeast)
Khamir atau disebut yeast, merupakan jamur bersel satu yang
mikroskopik, tidak berflagela. Beberapa genera membentuk filamen
(pseudomiselium). Cara hidupnya sebagai saprofit dan parasit. Hidup di dalam
tanah atau debu di udara, tanah, daun-daun, nektar bunga, permukaan buah-
buahan, di tubuh serangga, dan cairan yang mengandung gula seperti sirup, madu
dan lain-lain. Khamir berbentuk bulat (speroid), elips, batang atau silindris,
seperti buah jeruk, sosis, dan lain-lain. Bentuknya yang tetap dapat digunakan
untuk identifikasi. Khamir dapat dimasukkan ke dalam klas Ascomycetes,
Basidiomycetes dan Deuteromycetes (Sumarsih, 2003).
2.3.2. Reproduksi Khamir
Khamir atau yeast adalah kategori non-takson yang mencakup semua
fungsi uniseluler yang berasal dari kingdom Zygomycota, Ascomycota dan
11
Basidiomycota. Khamir umumnya berkembang biak secara aseksual maupun
seksual (Waluyo, 2007). Menurut Syamsuri (2004) Khamir dapat melakukan
reproduksi atau perkembangbiakan dengan beberapa cara yaitu :
a. Pertunasan
b. Pembelahan
c. Pembelan tunas, yaitu kombinasi antara pertunasan dan pembelahan
d. Sporulasi atau pembetukan spora yang dapat dibedakan atas 2 macam yaitu :
- spora aseksual
- spora seksual
Perkembang biakan sel khamir dapat terjadi secara vegetatif maupun
secara generatif (seksual). Secara vegetatif (aseksual), (a) dengan cara bertunas
(Candida sp., dan khamir pada umumnya), (b) pembelahan sel
(Schizosaccharomyces sp.), dan (c) membentuk spora aseksual (klas
Ascomycetes). Secara generatif dengan cara konyugasi (reproduksi seksual).
Konyugasi khamir ada 3 macam, yaitu (a) konyugasi isogami
(Schizosaccharomyces octosporus), (b) konyugasi heterogami
(Zygosaccharomyces priorianus), dan konyugasi askospora pada
Zygosaccharomyces sp. dan Schizosaccharomyces sp. (sel vegetatif haploid), serta
pada Saccharomyces sp., dan Saccharomycodes sp. (sel vegetatif diploid)
(Sumarsih, 2003).
2.3.3. Morfologi Khamir
Khamir mempunyai ukuran yang bervariasi dengan panjang 1-5 µm
sampai 20-50 µm, dan lebar 1-10 µm. Sel khamir mempunyai bentuk yang
bermacam-macam seperti bulat, oval, silinder, ogival yaitu bulat. Bentuk-bentuk
12
dari sel khamir tersebut dapat membantu dalam indentifikasi dari khamir. Ada
beberapa khamir dalam keadaan tertentu dapat mengalami dimorfisme yaitu fase
khamir, bentuk sel tunggal dan filamen, bentuk benang (Pelczar, 2007).
Ukuran sel khamir berkisar antara 1-9 mikron kali 2-20 mikron,
tergantung spesiesnya. Khamir tidak mempunyai flagella sehingga tidak dapat
melakukan gerakan aktif (Natsir, 2008).
Gambar 4. Bentuk-bentuk yeast (Frazier dan Westhoff, 1988): (A) Saccharomyces
cerevisae dengan sel budding dan satu askus dengan empat askospora;
(B) Candida yeast dengan perpanjangan sel; (C) Candida yeast
dengan pseudomiselium; (D) Yeast berbentuk lemon; (E)
Schizosaccharomyces yeast dengan pembelahan tipe fission; (F)
Hansenula yeast dengan askospora berbentuk topi derby; (G)
Zygosaccharomyces yeast yang terkonjugasi dan askus dengan empat
askospora; (H) Yeast berbentuk botol.
Dinding sel khamir terdiri atas kitin. Sel yang masih muda dinding selnya
tipis dan lentur, sedangkan yang tua dinding selnya tebal dan kaku. Dibawah
dinding sel terdapat membran bersifat permiabel selektif. Tipe sel khamir adalah
eukariotik. Untuk identifikasi dan determinasi khamir, perlu dipelajari sifat-sifat
morfologi dan fisiologisnya. Sifat-sifat morfologi yang perlu dipelajari meliputi
13
bentuk, struktur sel dan jumlah spora, cara-cara perkembangbiakan,
pembentukkan pseudemycellium, ordian, giant colony, klamidospora, blastospora,
dan sebagainya. Sifat-sifat fisiologis meliputi pengujian amilasi C dan N,
fermentasi karbohidrat, kemampuan mencairkan gelatin, reduksi netral dan
sebagainya (Dwijoseputro, 2010).
Pengamatan sel khamir dapat dilakukan dengan cara pengecatan
sederhana, yaitu pemberian warna pada khamir dengan menggunakan larutan
tunggal suatu warna suatu warna pada lapisan tipis atau olesan yang sudah
difiksasi. Pewarnaan sederhana, yaitu pewarnaan menggunakan satu macam zat
warna dengan tujuan hanya untuk melihat bentuk sel khamir dan untuk
mengetahui morfologi dan susunan selnya serta membedakan sel yang mati dan
sel yang hidup (Balley, 2007).
2.3.4. Identifikasi Khamir
Menurut Sumarsih (2003), hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
mengidentifikasi khamir adalah:
1. Ada tidaknya askospora, kalau ada bagaimana pembentukannya (konyugasi
isogami, heterogami, atau konyugasi askospora), bentuk, warna, ukuran, dan
jumlah spora.
2. Bentuk, warna, dan ukuran sel vegetatifnya.
3. Cara reproduksi aseksual (bertunas, membelah, dsb)
4. Ada tidaknya filamen atau pseudomiselium.
5. Pertumbuhan dalam medium dan warna koloninya.
14
6. Sifat-sifat fisiologi, misalnya sumber karbon (C) dan nitrogen (N), kebutuhan
vitamin, bersifat oksidatif atau fermentatif, atau keduanya, lipolitik, uji
pembentukan asam, penggunaan pati, dan lain-lain.
2.3.5. Macam-macam Khamir
Macam – macam khamir menurut Coyne (1999) yakni :
a. Khamir Murni
Khamir yang dapat berkembang biak dengan cara seksual dengan
pembentukan askospora khamir ini diklasifikasikan sebagai Ascomycetes
(Saccharomyces cerevisae, Saccharomyces carlbergesis, Hansenula anomala,
Nadsonia sp).
b. Khamir Liar
Khamir murni yang biasanya terdapat pada kulit anggur. Khamir ini
mungkin digunakan dalam proses fermentasi, meskipun galur yang diperbaiki
telah dikembangkan yang menghasilkan anggur dengan rasa yang lebih enak
dengan bau yang lebih menyenangkan. Khamir liar yang ada dikulit anggur
dimatikan dengan penambahan dioksida belerang pada buah anggur yang telah
dihancurkan. Inokulum galur khamir yang dikehendaki ditambahkan kemudian
untuk memfermentasi air perasan anggur.
c. Khamir Atas
Khamir murni yang cenderung memproduksi gas sangat cepat sewaktu
fermentasi,sehingga khamir itu dibawa kepermukaan. Khamir atas mencakup
khamir yang digunakan dalam pembuatan roti,untuk kebanyakan anggur minuman
dan bir inggris (Saccharomyces cereviceae).
d. Khamir Dasar
15
Khamir murni yang memproduksi gas secara lebih lamban pada bagian
awal fermentasi. Jadi sel khamir cenderung untuk menetap pada dasar. Galur
terpilih digunakan dalam industri bir lager (Saccharomyces carlsbergensis).
e. Khamir Palsu atau Torulae
Khamir yang didalamnya tidak terdapat atau dikenal tahap pembentukan
spora seksual. Banyak diantaranya yang penting dari segi medis (Cryptococcus
neoformans, Pityrosporum ovale, Candida albicans).
2.4. Daging Sapi
2.4.1. Definisi Daging Sapi
Daging sapi merupakan bagian dari hewan potong yang digunakan
manusia untuk bahan makanan (Saptarini, 2009). Daging sapi merupakan produk
ternak yang merupakan sumber protein hewani. Daging sapi merupakan bahan
pangan yang mengandung gizi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia untuk
pertumbuhan dan kesehatan (Arifin et al., 2008 dalam Ilmi, 2016). Daging sapi
didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan
jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan
gangguan kesehatan bagi yang memakannya (Soeparno, 2009).
Daging sapi merupakan salah satu bahan pangan asal ternak yang
mengandung nutrisi berupa air, protein, lemak, mineral, dan sedikit karbohidrat
sehingga dengan kandungan tersebut menjadikan medium yang baik untuk
pertumbuhan bakteri dan menjadikan mudah mengalami kerusakan (Nurwantoro
et al., 2012 dalam Ilmi, 2016). Bahan pangan asal ternak menjadi berbahaya dan
tidak berguna apabila tidak aman, oleh karena itu, perlu penjagaan yang mutlak
16
dalam keamanan pangan supaya menjadikan berguna bagi tubuh (Bahri, 2008
dalam Ilmi, 2016).
Selain bakteri, khamir dan kapang juga dapat tumbuh pada daging. Salah
satu jenis mikroorganisme yang tidak diharapkan tumbuh pada daging segar
adalah khamir (yeast) karena selain dapat menjadi agen pembusuk, yeast juga
dapat bersifat patogen. Menurut Balia dkk. (2005) banyak juga yeast yang
berhubungan dengan penyakit pada manusia terutama yeast yang termasuk yeast
yang patogen misalnya: Candida albicans, C. glabrata, Cryptococcus
neoformans, Rhodotorula rubra, Trichosporon beigelii, dan Candida spp.
Menurut Pratama, dkk. (2017), keberadaan khamir (yeast) pada daging segar
sangat berbeda dalam daging olahan. Pada daging segar pertumbuhan khamir
tidak diharapkan karena bila pertumbuhannya melebihi 105 - 106 CFU/gram itu
akan cepat rusak. Sedangkan pada produk daging olahan, kehadiran khamir ini
dapat menambah rasa dan aroma pada produk tersebut seperti misalnya:
Debaryomyces hansenii pada italian salami yang memberikan kualitas pada
citarasa produk tersebut.
2.4.2. Kandungan Gizi Daging Sapi
Komposisi daging sapi terdiri dari 19% protein, 5% lemak, 70% air, 3,5%
zat-zat non protein, dan 2,5% mineral (Forrest et al., 1992). Sumber lain
menyatakan bahwa daging sapi terdiri dari 75% air, 19% protein, 3,5% substansi
non protein yang larut, dan 2,5% lemak (Lawrie, 2003).
Perbandingan komposisi daging dari sapi, kambing, ayam dan babi dapat
dilihat pada Tabel 1. Selain itu bila ditinjau dari asam aminonya, daging memiliki
17
komposisi asam amino yang lengkap dan seimbang hal ini dapat dilihat pada
Tabel 2 (Anjasari, 2010 dalam Ilmi, 2016).
Tabel 1. Komposisi Gizi Daging Ayam, Sapi, Kambing, dan Babi
Jenis
Daging
Komposisi (g)
Protein Air Lemak
Ayam 18,2 55,9 25,0
Domba 17,1 66,3 14,8
Sapi 18,8 66,0 14,0
Kambing 16,6 70,3 9,2
Babi 11,9 42,0 45,0
Sumber: Departemen Kesehatan RI (1995)
Tabel 2. Komposisi Asam Amino Essensial Daging Sapi
Jenis Asam Amino
Essensial
Kadar Protein (%) Berat Molekul (g/mol)
Arginin 6,9 174,2
Histidin 2,9 155,2
Isoleusin 5,1 131,2
Leusin 8,4 131,2
Lisin 8,4 146,2
Metionin 2,3 149,2
Phenilalanin 4,0 165,2
Threonin 4,0 119,1
Triptofan 1,1 204,2
Valin 5,7 117,1
Sumber: Anjasari (2010) dalam Ilmi (2016)
2.4.3. Khamir pada Daging Sapi
Menurut Deak dan Beuchat (1996), yeast atau khamir komponen
mikroflora asli yang terasosiasi dengan daging dan produk olahan daging.
Terdapat sekitar 30 spesies yeast yang ditemukan pada daging dapat dilihat pada
Tabel 3.
Yeast flora yang mendominasi dan ditemukan pada daging sapi terdiri dari
Cryptococcus laurentii, Candida sake, C. zeylanoides, dan C.parapsilosis, dan
terdapat sedikit jumlah Cry. albidus, Debaryomyces hansenii, dan Ya. lipolytica
18
(Johannsen et al., 1984 dalam Deak dan Beuchat, 1996). Setelah penyimpanan 14
hari pada suhu 4°C, tiga spesies pertama yang disebutkan muncul akan tetapi yang
paling mendominasi adalah spesies Debaryomyces hansenii. Baxter dan Illston
(1990) dalam Deak dan Beuchat (1996) mengidentifikasi bahwa Cry. laurentii,
Deb. hansenii, dan P. membranaefaciens merupakan yeast psikrotropik pada
daging, sedangkan Barnes et al. (1980) dalam Deak dan Beuchat (1996)
mendeskripsikan mikroflora yang sama pada karkas turkey; populasi psikrotropik
yeast (Cry. laurentii, C.zeylanoides, dan Trp. pullulans) meningkat selama masa
penyimpanan suhu rendah.
Peningkatan populasi yeast selama penyimpanan suhu rendah
mengindikasikan bahwa yeast berkontribusi terhadap perubahan komposisi
substrat yang dapat menyebabkan pembusukan, walaupun yeast jarang menjadi
penyebab utama atau faktor penentu dalam pembusukan daging dan produk
olahan daging (Deak dan Beuchat, 1996). Karakteristik yeast yang ditemukan
pada daging segar dan daging giling busuk adalah mirip (Hsieh dan Jay,1990
dalam Deak dan Beuchat, 1996). Daging giling busuk telah diketahui
mengandung spektrum luas yeast, tetapi spesies asli seperti Candida zeylanoides,
P. fermentans, dan Ya. lipolytica adalah dominan. Menurut Hocking (1999) yeast
jenis Rhodotorula glutinis juga dapat berkembang secara cepat pada daging yang
disimpan pada suhu rendah.
Menurut Balia (2005), yeast secara normal hidup di alam, juga berada
pada permukaan dan di dalam tubuh manusia. Seperti pada mikroorganisme yang
lain bakteri dan yeast dapat hidup pada rongga mulut yang sehat, usus dan kulit
baik manusia maupun hewan. Akan tetapi banyak juga yang berhubungan dengan
19
penyakit pada manusia terutama yeast yang termasuk yeast yang patogen
misalnya: Candida albicans, C. glabrata dan Cryptococcus neoformans.
Sedangkan yeast yang muncul sebagai patogen baru adalah Rhodotorula rubra,
Trichosporon beigelii, dan Candida spp.
Tabel 3. Spesies Yeast yang Paling Banyak Terisolasi dari Daging dan Olahan
Daging
Yeast Sumber Yeast
Candida albicans Daging sapi, kerang-kerangan
C. catenulata Daging sapi, sosis, unggas, kerang-kerangan
C. diddensiae Daging sapi, ikan, kerang-kerangan
C. glabrata Unggas, ikan, kerang-kerangan
C. incospicua Daging sapi, ikan
C. intermedia Daging sapi, sosis, unggas, ikan, kerang-kerangan
C. norvegica Daging sapi, kerang-kerangan
C. parapsilosis Daging sapi, sosis, unggas, ikan, kerang-kerangan
C. rugosa Daging sapi, sosis, unggas
C. sake Daging sapi
C. tropicalis Daging sapi, sosis, daging kambing, ikan
C. versatilis Daging sapi, sosis, seafoods
C. zeylanoides Daging sapi, seafoods
Cryptococcus albidus Daging sapi, daging kambing, daging babi, ikan,
kerang-kerangan
Cry. humicolus Daging sapi, seafoods
Cry. laurentii Daging sapi, daging kambing, daging babi,
seafoods
Cys. Informiniaum Daging sapi, daging kambing, seafoods
Debaryomyces hansenii Daging sapi, sosis, daging babi, ikan, kerang-
kerangan
Galactomyces geotrichum Sosis, daging babi
Pichia anomala Sosis, daging babi, ikan, kerang-kerangan
P. burtonii Daging sapi, daging babi, seafoods
P. guilliermondii Sosis, seafoods, kerang-kerangan
P. membranaefaciens Daging sapi, ikan
Rhodotorula glutinis Daging sapi, unggas, ikan, kerang-kerangan,
seafoods
Rho. Minuta Daging sapi, sosis, unggas, ikan
Rho. Mucilaginosa Daging sapi, sosis, daging babi, ikan, kerang-
kerangan
Saccharomyces exiguus Daging sapi, unggas, kerang-kerangan
Trichosporon monoliforme Daging sapi, sosis, unggas, ikan
Trp. pullulans Daging sapi, sosis, daging kambing, unggas, ikan
Yarrowia lipolytica Daging sapi, sosis, daging kambing, seafoods
Sumber: Deak dan Beuchat (1996)
20
Menurut Simanjuntak dan Rivai (2009), keberadaan khamir pada daging
menyebabkan permukaan daging menjadi berlendir dan berbau masam. Jay (1996)
dalam Putranto, dkk., (2010) menyatakan bahwa khamir genus Rhodotorula,
beberapa spesiesnya sering tumbuh dan menimbulkan bintik-bintik merah atau
merah muda pada acar (sauerkraut), daging dan juga pada daging olahan.
2.5. Minyak Atsiri
Minyak atsiri atau yang disebut juga dengan essential oils, etherial oils,
atau volatile oils adalah zat yang mudah menguap dan memiliki aroma yang khas,
tidak larut dalam air, terdiri dari senyawa-senyawa organik, merupakan ekstrak
alami dari jenis tumbuhan yang berasal dari daun, bunga, kayu, biji-bijian bahkan
putik bunga (Gunawan, 2009 dalam Sulaiman, 2012). Minyak atsiri merupakan
cairan lembut, bersifat aromatik, dan mudah menguap pada suhu kamar. Minyak
ini diperoleh dari ekstrak bunga, biji, daun, kulit batang, kayu, dan akar tumbuh-
tumbuhan. Tumbuhan tersebut dapat berupa semak, belukar, atau pohon. Minyak
atsiri merupakan formula obat dan kosmetik tertua yang diketahui manusia dan
diklaim lebih berharga daripada emas (Agusta, 2000).
Minyak atsiri awalnya dikenal sebagai minyak esensial. Minyak ini sudah
dikenal sejak tahun 3.000 SM oleh penduduk Mesir kuno dan digunakan untuk
tujuan keagamaan, pengobatan, atau sebagai balsam untuk mengawetkan jenazah.
Sejak zaman dahulu, penggunaan minyak esensial di Indonesia masih sangat
terbatas dan masih bersifat tradisional. Pemakaian minyak sari tumbuhan secara
tradisional dilakukan dengan cara merendam tanaman aromatik dengan air atau
dalam minyak kelapa (Yuliani dan Satuhu, 2012).
21
Untuk memperoleh minyak atsiri dari suatu bahan dapat dilakukan dengan
berbagai cara diantaranya penyulingan, pengepresan, ekstraksi pelarut mudah
menguap dan ekstraksi dengan lemak padat. Untuk bahan-bahan minyak atsiri
yang tidak tahan terhadap panas ataupun tekanan, proses ekstraksi dilakukan
dengan ekstraksi pelarut mudah menguap atau dengan ekstraksi lemak padat.
Ekstraksi dengan pelarut mudah menguap menggunakan prinsip kelarutan
senyawa-senyawa minyak atsiri terhadap beberapa jenis pelarut. Terdapat
beberapa jenis pelarut yang dapat melarutkan minyak atsiri, sebagian besar pelarut
tersebut bersifat semi polar atau non polar. Sedangkan ekstraksi dengan lemak
padat menggunakan prinsip penyerapan senyawa minyak atsiri dengan lemak
(Ketaren, 1985).
Sifat minyak atsiri yang menonjol antara lain mudah menguap pada suhu
kamar, mempunyai rasa getir, berbau wangi sesuai dengan aroma tanaman yang
menghasilkannya, dan umumnya larut dalam pelarut organik (Lutony dan
Rahmayati, 2002).
Kebanyakan minyak atsiri memiliki aroma sangat spesifik. Hal ini tidak
lain karena setiap minyak atsiri memiliki komponen kimia yang berbeda.
Komponen atau kandungan masing-masing komponen kimia tersebut adalah hal
yang paling mendasar dalam menentukan aroma maupun kegunaannya. Jadi,
penentuan komponen penyusun dan komposisi masing-masing komponen tersebut
di dalam minyak atsiri merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan
kegunaan, kualitas ataupun mutu dari suatu minyak atsiri (Agusta, 2000).
Minyak atsiri memiliki kandungan komponen aktif yang disebut terpenoid
atau terpena. Jika tanaman memiliki kandungan senyawa ini, berarti tanaman
22
tersebut memiliki potensi untuk dijadikan minyak atsiri. Zat inilah yang
mengeluarkan aroma atau bau khas yang terdapat pada banyak tanaman, misalnya
pada rempah-rempah atau yang dapat memberikan cita rasa di dalam industri
makanan dan minuman (Yuliani dan Satuhu, 2012).
Satu jenis minyak atsiri, pada umumnya memiliki beberapa khasiat yang
berbeda, misalnya sebagai antiseptik dan antibakteri. Penelitian klinik
memperlihatkan bahwa minyak atsiri sering membantu menciptakan lingkungan
sedemikian rupa sehingga penyakit, bakteri, virus, dan jamur tidak dapat hidup
(Agusta, 2000).
2.5.1. Komponen Minyak Atsiri Curcuma zedoaria (Kunyit Putih)
Minyak atsiri Curcuma zedoaria mengandung bermacam-macam
monoterpen dan seskuiterpen, dan polisakarida (Windono, dkk., 2002 dalam
Saefudin, 2014). Selanjutnya detail komponen senyawa penyusun minyak atsiri
Curcuma zedoaria dapat dilihat pada Tabel 4.
Data Tabel 4 diperoleh dari hasil penelitian Purkayastha dan Nath (2006)
tentang ekstraksi minyak atsiri dari Curcuma zedoaria. Analisa komponen
senyawa minyak atsiri pada penelitian tersebut menggunakan metode GC dan
GC/MS.
23
Tabel 4. Komponen Minyak Atsiri Curcuma zedoaria
Komponen RI Persentase
2-heptanol 883 0,2
α-pinene 928 3,7
Camphene 940 1,9
Sabinene 962 0,2
β-pinene 967 5,9
Myrcene 982 0,4
2-octanol 986 0,1
1,8- cineole 1016 15,9
Limonene 1019 1,2
(Z)-β-ocimene 1027 0,4
(E)-β-ocimene 1038 0,2
2-nonanone 1070 0,4
2-nonanol 1087 1
Camphor 1114 7,8
Camphene hydrate 1127 T
Isoborneol 1135 2,1
Borneol 1144 0,6
Terpinen-4-ol 1158 0,6
α-terpineol 1169 0,9
2-undecanone 1273 T
δ-elemene 1330 0,3
β-elemene 1384 1,5
β-caryophyllene 1411 0,4
γ-elemene 1425 0,3
α-humulene 1444 0,2
Germacrene D 1470 0,8
β-selinene 1476 T
Curzerene 1477 5
Zingiberene 1485 T
Germacrene B 1543 1,2
Curzerenone 1572 22,3
cis-β-elemenone 1577 1,5
epi-curzerenone 1584 0,3
γ-eudesmol 1612 0,6
T-cadinol and/or T-muurolol 1621 T
β-eudesmol 1628 0,8
Germacrone 1666 9
Sumber: Purkayastha dan Nath (2006)
Keterangan: RI: Retention Index (Indeks Retensi)
T : Trace element
24
2.5.2. Komponen Minyak Atsiri Curcuma domestica (Kunyit Kuning)
Kandungan minyak atsiri pada Curcuma domestica terdiri 60% keton
seskuiterpen, 25% zingiberina dan 25% kurkumin berserta turunannya (Winarti
dan Nurdjanah, 2005). Selanjutnya detail komponen senyawa penyusun minyak
atsiri Curcuma domestica dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Komponen Minyak Atsiri Curcuma domestica
Senyawa Indeks
retensi
Komposisi
(wt %)
α-pinene 937 0,1
Miercene 989 0,2
α-felandrene 1005 4,1
α-terpinene 1017 0,1
p-cimene 1024 1,5
Limonene 1029 0,4
1,8-cineole 1032 4,0
γ-terpinene 1060 0,2
Terpinolene 1087 1,3
p-cimonene 1088 0,04
4-terpineol 1180 0,2
8-p-cimenol 1184 0,2
α-terpineol 1191 0,4
Timol 1292 0,2
Carvacrol 1300 0,03
α-cis-bergatomene 1413 0,1
Cariofilene 1420 0,9
α-humulene 1457 0,6
γ-curcumene 1481 0,2
ar-curcumene 1485 3,6
α-zingiberene 1497 6,4
β-bisabolene 1510 1,7
β-sesquifelandrene 1523 7,7
β-germacene 1556 0,2
ar-turmerol 1581 1,5
ar-turmerone 1670 15,5
(Z)-γ-atlantona 1688 20,3
(E)-γ-atlantona 1706 15,6
(6S, 7 R)-bisabolene 1743 0,3
(E)-α-atlantona 1778 0,6
Sumber: Winarti dan Nurdjanah (2005)
25
Data Tabel 5 diperoleh dari hasil penelitian Winarti dan Nurdjanah (2005)
tentang ekstraksi minyak atsiri dari berbagai tanaman obat termasuk kunyit
(Curcuma domestica). Analisa komponen senyawa minyak atsiri pada penelitian
tersebut menggunakan metode GC dan GC/MS.
2.5.3. Komponen Minyak Atsiri Curcuma aeruginosa (Temu Hitam)
Curcuma aeruginosa mengandung sesquiterpenes dalam jumlah yang
banyak dengan curzerenone sebagai konstituen utama. Selanjutnya detail
komponen senyawa penyusun minyak atsiri Curcuma aeruginosa dapat dilihat
pada Tabel 6.
Tabel 6. Komponen Minyak Atsiri Curcuma aeruginosa
Komponen Senyawa Kadar (%)
α-pinene 0,1
Terpinen-4-ol 0,8
Furanodienone 2,3
Camphene 0,2
α-terpineol 2,2
Germacrone 2,7
β-pinene 0,4
Carvone 0,3
Curcumenol 5,6
Myrcene 0,1
β-elemene 2,2
Isocurcumenol 5,8
1,8-cineole 11,2
β-caryophyllene 0,6
Zedoarol 6,4
2-nonanone 0,2
(Z)-β-farnesene 1,0
Furanogennenone 5,5
Camphor 10,5
α-selinene 0,8
Isoborneol 3,2
β-selinene 0,6
Borneol 1,3
Curzerenone 24,6
Other compounds 10,4
Sumber: Sirat dan Jamil (1998)
26
Data Tabel 5 diperoleh dari hasil penelitian Sirat dan Jamil (1998) tentang
ekstraksi minyak atsiri dari Curcuma aeruginosa. Analisa komponen senyawa
minyak atsiri pada penelitian tersebut menggunakan metode GC dan GC/MS.
2.6. Kurkumin
Kurkumin adalah salah satu senyawa alam yang telah ditemukan dan
dilakukan pengembangan dengan modifikasi struktur melalui sintesis. Kurkumin
{1,7-bis-(4’-hidroksi-3’-metoksifenil)-1,6-heptadiena-3,5-dion} yang mempunyai
berat molekul 368,126 gram/mol, telah dikembangkan sintesisnya oleh Pabon
pada tahun 1964 dan merupakan senyawa yang diisolasi dari tanaman Curcuma sp
(Masuda et al., 1992 ; Van der Goot, 1997 dalam Lustiani 2009). Lampe dan
Milobedzka melakukan elusidasi struktur kimia kurkumin pada tahun 1910 dan
Daube melakukan pemurnian kurkumin dengan cara mengkristalkannya pada
tahun 1870 (Lustiani, 2009).
Kurkumin merupakan pigmen utama yang terdapat pada tanaman kunyit
Curcuma longa. Umumnya digunakan sebagai zat aditif (pewama) pada makanan,
Selain itu, kurkumin juga banyak digunakan secara tradisional untuk pengobatan
penyakit kulit, penyakit yang berhubungan dengan pernafasan seperti sinusitis,
asma, peluruh dahak, pengobatan yang berhubungan dengan saluran pencemaan,
nyeri perut, sembelit, infeksi saluran kencing, bengkak, rematik, hepatitis, sakit
mata dan pengobatan wanita setelah melahirkan (Achmad et al., 2007 dalam
Eryanti dkk., 2011). Selain itu berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
Sharma et al. (2010) dan Neelofar et al. (2011), kurkumin juga dapat menjadi
antifungal terutama fungi jenis genus Candida spp. yang mana bersifat patogen.
Aktivitas antifungal dari kurkumin disebabkan oleh kurkumin yang dapat memicu
27
pengubahan membrane-assosiated properties dari aktivitas ATP-ase, biosintesis
ergosterol, dan sekresi proteinase pada fungi.
Kurkumin terdapat pada berbagai jenis genus Curcuma dalam jumlah yang
relatif kecil yaitu sekitar 3-5% (Stankovic, 2004). Senyawa ini termasuk golongan
fenolik. Kelarutan kurkumin sangat rendah dalam air dan eter, namun larut dalam
pelarut organik seperti etanol dan asam asetat glasial. Kurkumin stabil pada
suasana asam, tidak stabil pada kondisi basa dan adanya cahaya. Pada kondisi
basa dengan pH diatas 7,45, 90% kurkumin terdegradasi membentuk produk
samping berupa trans-6- (4ˈ-hidroksi-3ˈ-metoksifenil) -2,4-diokso-5-heksenal
(mayoritas), vanilin, asam ferulat dan feruloil metan. Sementara dengan adanya
cahaya, kurkumin terdegradasi menjadi vanilin, asam vanilat, aldehid ferulat,
asam ferulat dan 4-vinilguaiakol (Brat et al., 2008 dalam Muffidah, 2015).
Struktur kimia kurkuminoid yang terdiri atas kurkumin, demetoksikurkumin dan
bis-demetoksikurkumin ditampilkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur kimia kurkumin, demetoksikurkumin dan bis-
demetoksikurkumin (Brat et al., 2008 dalam Muffidah, 2015)
28
Beberapa metode yang biasa diterapkan untuk analisis kuantitatif
kurkuminoid dalam temulawak dan kunyit antara lain metode spektrofotometri
uv-vis (Jayaprakasha dkk., 2005; Pothitirat & Gritsanapan, 2006 dalam Muffidah,
2015). Panjang gelombang maksimal kurkumin adalah pada 420-430 nm dalam
pelarut organik seperti metanol dan etanol, namun senyawa lain dalam ekstrak
rimpang temulawak dan kunyit yang memiliki gugus kromofor dapat menyerap
pada panjang gelombang tersebut, sehingga mengganggu analisis (Jayaprakasha
dkk, 2005 dalam Muffidah, 2015).
2.7. Total Fenol
Fenol (𝐶6𝐻6OH) merupakan senyawa organik yang mempunyai gugus
hidroksil yang terikat pada cincin benzena. Senyawa fenol memiliki beberapa
nama lain seperti asam karbolik, fenat monohidroksibenzena, asam fenat, asam
fenilat, fenil hidroksida, oksibenzena, benzenol, monofenol, fenil hidrat, fenilat
alkohol, dan fenol alkohol (Nair et al., 2008). Fenol memiliki rumus struktur
sebagai berikut.
Gambar 6. Rumus Struktur Gugus Fenol (Fessenden dan Fessenden, 1992 dalam
Kristiani dan Halim, 2014)
Fenol adalah zat kristal yang tidak berwarna dan memiliki bau yang khas.
Senyawa fenol dapat mengalami oksidasi sehingga dapat berperan sebagai
reduktor (Hoffman et al., 1997). Fenol bersifat lebih asam bila dibandingkan
29
dengan alkohol, tetapi lebih basa daripada asam karbonat karena fenol dapat
melepaskan ion H+ dari gugus hidroksilnya. Lepasnya ion H+ menjadikan anion
fenoksida C6 H5 O- dapat melarut dalam air. Fenol mempunyai titik leleh 41°C
dan titik didih 181°C. Fenol memiliki kelarutan yang terbatas dalam air yaitu 8,3
gram/100 mL (Fessenden dan Fessenden, 1992).
Fenol merupakan senyawa yang bersifat toksik dan korosif terhadap kulit
(iritasi) dan pada konsentrasi tertentu dapat menyebabkan gangguan kesehatan
manusia hingga kematian pada organisme. Tingkat toksisitas fenol beragam
tergantung dari jumlah atom atau molekul yang melekat pada rantai benzenanya
(Qadeer and Rehan, 2002).
Senyawa fenolik terdiri atas molekul-molekul besar dengan beragam
struktur dimana karakteristik utamanya berupa cincin aromatik yang memiliki
gugus hidroksil. Kelompok utama polifenol (fenolik) meliputi flavonoid, asam
fenolik, tanin (hidrolisis dan kondensasi), stilbena dan lignan (Soto-Vaca, et al.,
2012 dalam Kristiani dan Halim, 2014). Senyawa fenolik yang banyak ditemukan
adalah golongan flavonoid (Pratt, 1992 dalam Kristiani dan Halim, 2014).
Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa fenolik yang banyak
terdapat pada jaringan tanaman. Senyawa tersebut dapat berperan sebagai
antioksidan. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan Redha (2010)
dalam Kristiani dan Halim (2014), diyakini bahwa flavonoid memiliki sifat
antioksidatif serta mampu mencegah kerusakan sel dan komponen selularnya oleh
radikal bebas reaktif. Kerangka flavonoid terdiri atas satu cincin aromatik A, satu
cincin aromatik B, dan cincin tengah berupa heterosiklik yang mengandung
oksigen dan bentuk teroksidasi cincin ini dijadikan sebagai dasar pembagian
30
flavonoid ke dalam sub-sub kelompoknya. Pembagian senyawa yang termasuk
flavonoid adalah antosianin, flavon, isoflavon, flavanon, flavonol dan flavanol
(Ferreira dan Pinho, 2012 dalam Kristiani dan Halim, 2014). Sedangkan yang
termasuk non flavonoid adalah kumarin, kuinin, morfin dan masih banyak lagi
(Lenny, 2006 dalam Kristiani dan Halim, 2014).
Fenol memiliki potensi antijamur karena dapat mendenaturasi ikatan
protein pada membran sel sehingga membran sel menjadi lisis dan dapat
menembus ke dalam inti sel (Sulistyawati dan Mulyati, 2009 dalam Kurniawan,
2015). Flavonoid dapat membentuk senyawa kompleks terhadap protein
ekstraseluleryang mengganggu integritas membran dan dinding sel serta dapat
mengganggu metabolisme sel dengan cara menghambat transport nutrisi
(Nurfahani, 2012 dalam Kurniawan, 2015).
2.8. Pewarnaan Gram
Pewarnaan gram adalah tekhnik pewarnaan diferensial yang paling banyak
digunakan dalam bakteriologi, pewarnaan ini memisahkan bakteri menjadi 2
kelompok yaitu gram positif dan gram negatif. Larutan yang digunakan dalam
pewarnaan ini ada 4 yaitu gram A, B, C dan D (Harley dan Presscot, 2002).
Proses pewarnaan gram pada fungi dapat digunakan untuk mendeteksi
komposisi penyusun fungi berdasarkan reaksi gram yang terjadi dalam bentuk
perbedaan warna. Menurut pewarnaan gram, fungi yang termasuk dalam yeast
termasuk dalam gram positif, sementara fungi yang memiliki hifa atau mold
termasuk dalam gram negatif. Hal tersebut dapat terjadi akibat perbedaan
ketebalan dinding sel kedua jenis fungi. Dinding sel yeast yang tebal mengikat
erat pewarna crystal violet - iodine dan menahannya agar tidak dapat keluar pada
31
saat proses decolorization karena waktu yang digunakan decolorization tidak
cukup lama untuk memberikan crystal violet - iodine kesempatan keluar dari
dinding sel yang tebal. Hal tersebut menyebabkan yeast akan terwarnai menjadi
ungu setelah pewarnaan gram dan dapat dikatakan sebagai gram positif. Namun,
hal tersebut belum bisa dipastikan karena tidak ada peran reaksi kimiawi yang
terjadi di dalam sel yeast (Mohan, 2009).
Hifa pada mold memiliki dinding sel yang lebih tebal dibandingkan
dengan yeast, namun dalam pewarnaan gram, mold disebut sebagai gram negative
karena terwarnai oleh safranin. Hal tersebut disebabkan karena pewarna utama
gram yaitu crystal violet tidak dapat menembus dinding sel mold sehingga
pewarna yang masuk hanya iodine. Padahal, iodine tidak cukup kuat tanpa
pewarna crystal violet. Pada proses decolorization, larutan decolorization dapat
merusak dinding sel yang tebal pada mold sehingga safranin dapat masuk dan
hasilnya hifa akan berwarna merah muda dan disebut sebagai gram negatif
(Mohan, 2009).
2.9. Pewarnaan Sederhana
Pengamatan sel khamir dapat dilakukan dengan cara pengecatan
sederhana, yaitu pemberian warna pada khamir dengan menggunakan larutan
tunggal suatu warna suatu warna pada lapisan tipis atau olesan yang sudah
difiksasi. Pewarnaan sederhana, yaitu pewarnaan menggunakan satu macam zat
warna dengan tujuan hanya untuk melihat bentuk sel khamir dan untuk
mengetahui morfologi dan susunan selnya serta membedakan sel yang mati dan
sel yang hidup (Balley, 2007).
Pemberian pewarna methylene blue dilakukan untuk membedakan antara
sel khamir yang hidup dan yang mati. Methylene blue akan masuk melalui
32
membran sel khamir. Menurut Fugelsang & Edwards (2007) methylene blue akan
menghasilkan warna ketika terjadi reaksi reduksi oksidasi. Reduksi menyebabkan
warna memudar dan oksidasi menyebabkan munculnya warna biru. Sel khamir
yang hidup memiliki kemampuan untuk mereduksi pewarna methylene blue
sehingga warna memudar. Sel khamir yang mati tidak mampu mereduksi
methylene blue, sehingga methylene blue teroksidasi dan muncul warna biru
sampai hitam.
2.10. Uji Aktivitas Antifungi
Pengujian aktivitas bahan antifungi secara in vitro dapat dilakukan melalui
dua cara. Cara pertama yaitu metode dilusi, cara ini digunakan untuk menentukan
kadar hambat minimum dan kadar bunuh minimum dari bahan anti mikroba/
antifungi. Prinsip dari metode dilusi menggunakan satu seri tabung reaksi yang
diisi medium cair dan sejumlah tertentu sel mikroba (jamur) yang diuji.
Selanjutnya masing-masing tabung diisi dengan bahan antifungi yang telah
diencerkan secara serial, kemudia seri tabung diinkubasi pada suhu 37°C selama
18-24 jam dan diamati terjadinya kekeruhan konsentrasi terendah bahan
antimikroba padatabung ditunjukkan dengan hasil biakan yang mulai tampak
jernih (tidak ada pertumbuhan jamur merupakan konsentrasi hambat minimum).
Biakan dari semua tabung yang jernih ditumbuhkan pada medium agar padat
diinkubasi selama 24 jam dan diamati ada tidakya koloni jamur yang tumbuh
(Tortora et al., 2001).
Cara kedua yaitu metode difusi cakram (Uji Kirby-Baner). Prinsip dari
metode difusi cakram adalah menempatkan kertas cakram yang sudah
mengandung bahan antimikroba tertentu pada medium lempeng padat yang telah
33
dicampur dengan jamur yang akan diuji. Medium ini kemudian diinkubasi pads
suhu 37°C selama 18-24 jam, selanjutnya diamati adanya zona jernih disekitar
kertas cakram. Daerah jernih yang tampak di sekeliling kertas cakram
menunjukkan ada tidaknya pertumbuhan mikroba. Jamur yang sensitif terhadap
bahan antimikroba akan ditandai dengan adanya daerah hambatan disekitar
cakram, sedangkan jamur yang resisten terlihat tetap tumbuh pada tepi kertas
cakram (Tortora et al., 2001).
Penentuan daya antimikroba (anti jamur) didasarkan pada besarnya zona
hambat yang terbentuk, dinyatakan dalam tiga kategori (Lorian, 1980 dalam
Rosihan, 2015), yaitu:
1. Zona hambat total yaitu bila zona hambat yang terbentuk di sekitar silinder
terbentuk jernih.
2. Zona hambat parsial yaitu bila di dalam zona hambat yang terbentuk
masih terdapat adanya pertumbuhan beberapa koloni jamur.
3. Zona hambat nol yaitu bila tidak ada zona hambat yang terbentuk
disekeliling silinder.