Idris

download Idris

of 22

description

h

Transcript of Idris

SENGKETA DIPLOMATIK BRASIL-INDONESIA(STUDI KASUS PADA PENJATUHAN PIDANA MATI TINDAK PIDANA NARKOBA)BAB IPENDAHULUAN1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara yang menganut konsep negara hukum sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945), mengakui hak asasi manusia. Pengakuan terhadap hak asasi manusia dinyatakan dalam UUDNRI 1945 sebagai hukum dasar yang berlaku di Indonesia. Sebelum amandemen terhadap UUD 1945, pengakuan terhadap hak asasi manusia diatur dalam ketentuan Pasal 28 UUD 1945. Sedangkan pasca amandemen terhadap UUD 1945, pengaturan mengenai hak asasi manusia semakin dirinci sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 dan Pasal 28-28I UUDNRI 1945. Khusus mengenai hak untuk hidup diatur dalam Pasal 28A, yang dinyatakan sebagai berikut : Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Menurut Marjono Reksodiputro, hak asasi manusia adalah hak-hak yang sedemikian melekat pada sifat manusia sehingga tanpa hak-hak itu kita tidak mempunyai martabat sebagai manusia (inheirent dignity) dan oleh karena itu hak-hak tersebut tidak boleh dilanggar atau dicabut. Salah satu hak asasi manusia yang yang dijunjung tinggi adalah hak untuk hidup. Selain itu dalam ketentuan Pasal 4 dan Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM) juga mengatur mengenai hak untuk hidup yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Dalam instrumen hukum internasional, pengakuan terhadap hak untuk hidup diatur dalam ketentuan Pasal 6 International Convention on Civil and Politic Rights (ICCPR) atau Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik, diakui sebagai non-derogable rights yaitu hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara pihak, walau dalam keadaan darurat sekalipun. Oleh karena itu, dalam keadaan apapun hak untuk hidup seseorang tidak boleh dibatasi atau dikurangi. Hak untuk hidup merupakan hal yang bertentangan dengan keberadaan pidana mati. Hal ini karena pidana mati dianggap telah membatasi hak untuk hidup seseorang, sedangkan hak untuk hidup merupakan hak yang tidak boleh dibatasi dalam keadaan apapun. Penjatuhan pidana mati telah dianggap merampas hak hidup seseorang, sehingga keberadaan pidana mati merupakan hal yang kontroversial apabila dikaji berdasarkan perspektif HAM, ada pihak yang pro maupun kontra terhadap pidana mati.

Di Indonesia pidana mati masih ditempatkan sebagai pidana terberat dan merupakan salah satu bentuk pidana pokok yang diatur berdasarkan ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam Rancangan KUHP tahun 2012 pidana mati masih ditempatkan sebagai pidana terberat. Hal ini tercantum dalam Pasal 66 yang dinyatakan bahwa Pidana mati merupakan pidana yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Dalam Pasal 87 dinyatakan bahwa Pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Dalam Rancangan KUHP tahun 2012 terdapat pula ketentuan yang menyatakan bahwa Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun bukan karena terpidana melarikan diri, maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden, hal tersebut diatur dalam Pasal 90. Sementara dalam konsideran Rancangan KUHP tahun 2012 tersebut menyatakan bahwa rancangan KUHP ini merupakan perwujudan upaya pembaharuan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Berdasarkan kenyataan yang pernah terjadi khususnya dalam kasus tindak pidana narkoba, negara Indonesia menerapkan suatu aturan yang menjatuhkan pidana mati bagi pelakunya. Beberapa bulan ini Indonesia menjadi perhatian dunia internasional, karena akan melakukan eksekusi mati terhadap Andrew Chan (warga negara Australia), Myuran Sukumaran (Australia), Raheem Agbaje Salami (Nigeria), Zainal Abidin (Indonesia), Serge Areski Atlaoui (Prancis), Rodrigo Gularte (Brasil), Silvester Obiekwe Nwaolise alias Mustofa (Nigeria), Martin Anderson alias Belo (Ghana), Okwudili Oyatanze (Nigeria), dan Mary Jane Fiesta Veloso (Filipina). 10 orang akan dihukum mati karena terbukti melakukan tindak pidana narkotika yang diatur dalam UU No.35 tahun 2009 tentang Narkotika. Tekanan dunia internasional, khususnya Pemerintah Brasil meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk membatalkan pidana mati. Bahkan presiden Brasil sempat mengatakan, Keputusan (Jokowi) akan menghasilkan keributan di Brasil dan memiliki dampak negatif bagi hubungan bilateral, bunyi pernyataan Presiden Rousseff. Pada eksekusi gelombang pertama, Minggu, 18 Januari 2015, enam terpidana ditembak mati petugas. Lima di antaranya dieksekusi di lapangan tembak Limusbuntu yang berdampingan dengan Pos Polisi Pulau Nusakambangan, dan seorang lagi di Boyolali, Jateng. Semuanya adalah warga negara asing kecuali Rani Andriani atau Melisa Aprilia (38). Eksekusi gelombang kedua kali ini lebih bergaung karena reaksi dari luar negeri terdengar kencang. Penolakan terhadap eksekusi hukuman mati terus dilakukan dunia internasional. Eksekusi hukuman mati membuat ketegangan hubungan Indonesia dan Brasil. Presiden Brasil Dilma Rousseff, menunda dengan semena-mena penerimaan surat-surat kepercayaan Duta Besar Indonesia untuk negara itu. Sikap ini berkaitan dengan eksekusi seorang warga Brasil yang menyelundupkan 13,42 kilogram narkotika, Marco Archer Cardoso Mareira. Sedangkan rekan Marco yang juga warga Brasil, Rodrigo Gularte, akan menyusul diekseskusi. Reaksi keras dua kepala pemerintahan itu, Brasil dan Australia, sangat wajar. Sama saja ketika Indonesia memperjuangkan kebebasan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang terancam hukuman mati di luar negeri. Pemerintahan negara sahabat itu seharusnya memaklumi bahwa kedaulatan sebuah negara dan hukum setempat harus dihormati. Menurut data Badan Narkotika Nasional (BNN), setiap hari 33 orang meninggal karena penyalahgunaan narkoba. Berarti dalam setahun ada lebih dari 12.000 orang meninggal karena narkoba. Saat ini, jumlah pengguna narkoba mencapai 4 juta orang. Bisnis narkoba di Tanah Air juga menimbulkan kerugian yang diperkirakan mencapai Rp 63 triliun. Jumlah itu terdiri dari kerugian pribadi Rp 56 triliun, dan kerugian akibat dampak sosial mencapai hampir Rp 7 triliun. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dikaji lebih lanjut mengenai Sengketa Diplomatik Brasil-Indonesia (Studi Kasus Pada Penjatuhan Pidana Mati Tindak Pidana Narkoba).

1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah yaitu : 1. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana narkoba Bali Nine?

2. Apakah penjatuhan pidana mati dapat menjadi pemicu sengketa diplomatik Brasil-Indonesia?

1.3. Ruang Lingkup Masalah Ruang Lingkup penelitian menggambarkan batas penelitian, mempersempit permasalahan, dan membatasi areal penelitian. Untuk mencegah agar isi dan uraian tidak menyimpang dari pokok-pokok permasalahan, maka perlu diberikan batasan-batasan mengenai ruang lingkup masalah yang akan dibahas. Ruang lingkup dalam penulisan ini akan mengkaji mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana mati bagi pelaku tindak pidana narkoba, khususnya pada kasus narkoba Bali Nine yang berkaitan dengan rumusan masalah pertama. Dalam rumusan masalah kedua akan dikaji mengenai dapat atau tidaknya penjatuhan pidana mati menjadi pemicu sengketa diplomatik Brasil-Indonesia. 1.4.Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum

1. Untuk mengkaji dan menganalisis dampak penjatuhan pidana mati terhadap hubungan diplomatik Brasil-Indonesia. 2. Untuk memberikan kontribusi bagi ilmu hubungan internasional.

b. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui dan memahami mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana narkoba Bali Nine, serta alasan-alasan yuridis dan non yuridis penjatuhan pidana mati tersebut.

2. Untuk mengetahui dan memahami mengenai penjatuhan sengketa diplomatik Brasil-Indonesia akibat penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana narkoba Bali Nine.1.5.Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis adalah manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian sebuah karya ilmiah dengan pengembangan wawasan keilmuan peneliti, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengembangan ilmu hubungan internasional. Manfaat teoritis yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah dapat memberi masukan yang dianggap berguna dan bermanfaat untuk pengembangan studi ilmu hubungan internasional terkait dengan sengketa diplomatik Brasil-Indonesia akibat penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana narkoba Bali Nine.

b. Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini bukan hanya ditujukan bagi penulis sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi institusi serta bermanfaat bagi kalangan masyarakat termasuk mahasiswa. Bagi institusi, penelitian ini bermanfaat guna memberikan sumbangan pemikiran guna pengembangan studi di bidang hubungan internasional. Bagi penulis sendiri, penelitian ini bermanfaat untuk membantu penulis mengetahui, memahami serta mengkaji lebih dalam mengenai sengketa diplomatik Brasil-Indonesia akibat penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana narkoba Bali Nine. Sedangkan bagi masyarakat, penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan manfaat serta masukan pengetahuan.1.6.Orisinalitas Penelitian Usulan penelitian yang diajukan penulis merupakan hasil dari gagasan dan pemikian dari penulis sendiri, berdasarkan implementasi dari sengketa diplomatik Brasil-Indonesia akibat penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana narkoba Bali Nine. Dari informasi yang ada dan penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan dan informasi dari beberapa sumber lainnya maka penelitian yang penulis ajukan, belum pernah ada yang melakukan penelitian mengenai hal tersebut sebelumnya. Namun penulis menyadari bahwa terdapat beberapa tulisan ilmiah lain yang memiliki bahasan hampir sama dengan penelitian ini yaitu berkaitan dengan pidana mati, antara lain:

1. Judul Penelitian : HUKUMAN MATI DAN HAK ASASI MANUSIA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Penulis : Mohammad, S.H.,M.H.

Universitas : Universitas Madura

Hal yang dikaji :

- Pidana Mati Dalam Perundang-undangan Indonesia

- Efektifitas Penjatuhan Hukuman Mati Di Indonesia

- Hukuman Mati Ditinjau Dari Penegakan HAM Di Indonesia

2. Judul Penelitian : HAK ASASI MANUSIA DALAM HUKUMAN MATI

SERTA IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA

Penulis : Dwi Kuncahyo

Universitas : Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Hal yang dikaji :

- Hukuman mati terkait dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia.

- Implementasi pidana mati di Indonesia dalam bingkai Hak Asasi Manusia.

1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir 1.7.1. Landasan Teoritis Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasikan teori-teori, konsep-konsep dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan asas-asas hukum dan hubungan diplomatik Brasil-Indonesia.

1. Konsep Negara Hukum Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III menyebutkan bahwa perlindungan adalah tempat berlindung atau melindungi. Pemberian perlindungan hukum tidak terlepas dari negara hukum. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (Machstaat). Dalam hal ini hubungan hukum yang terjadi antara pemerintah dengan warga Negara tergantung dari sifat dan kedudukan pemerintah dalam melakukan suatu tindakan hukum tersebut. Pemerintah mempunyai dua kedudukan yaitu pemerintah sebagai wakil dari badan hukum publik (publiek recht person, public legal entility) dan pemerintah sebagai pejabat dari jabatan pemerintah. Ketika pemerintah melakukan tindakan hukum dalam kapasitasnya sebagai badan hukum, tindakan itu diatur dan tunduk pada administrasi negara. Baik tindakan hukum keperdataan maupun tindakan hukum publik dapat menjadi peluang munculnya suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan dapat melanggar hak-hak dari subyek hukum warga negara. Indonesia menganut konsep negara hukum yang secara konstitusional diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUDNRI 1945. Menurut Friedman, negara hukum mengandung arti pembatasan kekuasaan negara oleh hukum. Munir Fuady berdasarkan sejarah munculnya konsep negara hukum berpandangan bahwa negara hukum merupakan suatu sistem kenegaraan yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku yang berkeadilan yang tersusun dalam suatu konstitusi, dimana semua orang dalam negara tersebut, baik yang diperintah maupun yang memerintah, harus tunduk pada hukum yang sama, sehingga setiap orang yang sama diperlakukan sama dan setiap orang yang berbeda diperlakukan berbeda dengan dasar pembedaan yang rasional. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa dalam negara hukum kewenangan pemerintah dibatasi berdasarkan suatu prinsip distribusi kekuasaan, sehingga pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang dan tidak melanggar hak-hak rakyat dan karenanya kepada rakyat diberikan peran sesuai kemampuan dan perannya secara demokratis. Unsur-unsur Rechtstaat menurut Frederich Julius Stahl terdiri atas 4 (empat) unsur pokok, yaitu: 43

a. Asas legalitas (pemerintahan berdasarkan undang-undang);

b. Pembagian kekuasaan;

c. Perlindungan hak-hak asasi manusia; dan

d. Adanya peradilan administrasi.

Berbeda dengan unsur-unsur Rechtstaat yang dikemukakan di atas, konsep Rule of Law yang dikemukakan oleh A.V. Dicey meliputi 3 (tiga) unsur yaitu :

- Supremacy of law;

- Equality before the law; dan

- The constitution based on individual rights.

Selain unsur-unsur negara hukum yang dikemukakan di atas, beberapa prinsip yang harus ada dalam suatu negara hukum juga dirumuskan berdasarkan hasil konferensi South-East Asian and Pacific Confrence of Jurist di Bangkok. Adapun prinsip-prinsip tersebut yaitu:

1. Prinsip perlindungan konstitusional terhadap hak-hak individu secara prosedural dan substansial;

2. Prinsip badan pengadilan yang bebas dan tidak memihak;

3. Prinsip kebebasan menyatakan pendapat;

4. Prinsip pemilihan umum yang bebas;

5. Prinsip kebebasan untuk berorganisasi dan beroposisi; dan

6. Prinsip pendidikan kewarganegaraan (civic education).

Sebagai negara hukum (negara hukum formil), Immanuel Kant menyebutkan ada 4 (empat) unsur yang ditetapkan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan yaitu:

1. Perlindungan terhadap hak asasi manusia;

2. Pemisahan kekuasaan;

3. Setiap tindakan pemerintah berdasarkan atas undang-undang;

4. Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri.46

Sri Soemantri Martosoewignjo menyatakan pandangannya mengenai 4 (empat) unsur yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu:1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;

2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia;

3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;

4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechtsterlijke controle).

2. Teori Pidana dan Pemidanaan Pidana merupakan suatu akibat yang timbul dari suatu perbuatan tindak pidana yang dijatuhkan pada pelaku tindak pidana tersebut. Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (strafbaar feit). Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 terdapat stelsel KUHP yang membedakan pidana menjadi dua kelompok yaitu :

1. Pidana Pokok, yang terdiri dari

a. Pidana mati;

b. Pidana penjara;

c. Pidana tutupan; (ditambahkan berdasarkan UU No.20 Tahun 1946)

d. Pidana kurungan; dan

e. Pidana denda. 2. Pidana Tambahan, yang terdiri dari :

a. Pidana pencabutan hak-hak tertentu;

b. Pidana perampasan barang-barang tertentu;

c. Pidana pengumuman keputusan hakim.

Masalah penjatuhan pidana atau pemidanaan sangatlah penting dalam hukum pidana dan peradilan, karena merupakan konkretitasasi dari peraturan pidana dalam undang-undang yang bersifat abstrak. Penjatuhan beberapa macam sanksi pidana pada dasarnya merupakan otoritas negara, dimana negara berhak menjatuhkan pidana kepada warganya. Hal ini berkaitan erat dengan pengertian subjectief strafrecht (jus puniendi) sebagai hak atau wewenang untuk menentukan dan menjatuhkan pidana. 3. Kasus Bali Nine dan hubungannya dengan hubungan diplomatik Brasil-Indonesia

Narkoba adalah istilah dari penggunaan Narkotika, Psikotropika dan Obat Terlarang yang penggunaannya dilarang berdasarkan Undang Undang RI nomor 22 tahun 1997 mengenai NAPZA (Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya) yang isinya adalah narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tananaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Walaupun terdapat pelarangan dalam penggunaannya selain dalam pengawasan medis dan adanya tindakan hukum yang dilakukan oleh aparatur kepolisian, peredaran dan pengguna-nya tetap terjadi, bahkan tersistem. Dalam laporan yang dirilis oleh BNN (Badan Narkotika Nasional) jumlah kasus pengguna Narkoba cenderung meningkat pada tahun 2012 terdapat 19.081 kasus narkotika, 1.729 kasus psikotropika, dan 7.917 kasus bahan adiktif lainnya. Kasus - kasus tersebut melibatkan berbagai kalangan baik dari segi usia dan profesi. Dilihat dari segi usia, kasus narkoba yang melibatkan usia remaja-dewasa semakin meningkat dari tahun ke tahun yaitu pada tahun 2009 sebanyak 7.161 tersangka meningkat menjadi 7.584 tersangka pada tahun 2012, walaupun jumlah tersangka dari usia dewasa jauh lebih tinggi namun perkembangan ini cukup mengkhawatirkan publik di Indonesia. Masih berdasarkan laporan BNN mengenai asal tersangka yaitu sebanyak 90% merupakan warga negara Indonesia (WNI) dan 88% merupakan warga negara asing (WNA), walaupun dari sisi jumlah tersangka WNI lebih banyak dari WNA, hal ini mengindikasikan bahwa peredaran Narkoba melibatkan jaringan yang lebih besar baik pada tingkat nasional maupun internasional. Akibat dari peredaran yang meluas di berbagai kalangan, BNN dalam websitenya menyebutkan bahwa 40 orang meninggal dunia setiap harinya di Indonesia sebagai akibat penyalahgunaan narkoba.

Sebagaimana yang disebutkan dalam Undang Undang nomor 22 Tahun 1997 mengenai narkoba, bahwa ia merupakan bahan sintesis maupun semi sintesis yang dalam pengertiannya bahan-bahan untuk membuatnya bisa saja didapatkan dengan mudah di dalam negeri atau tumbuh-tumbuhan yang dapat dipergunakan sebagai bahan dasar pembuatan seperticannabisdancocaditanam sendiri secara tersembunyi atau didapatkan dari pemasok di luar negeri dengan cara diselundupkan. Menurut laporan UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime) bahwa peredaran obat-obatan terlarangmelibatkan jaringan yang luas secara terorganisir maupun individual yang disebut sebagai Kejahatan Lintas Batas Negara (trans national crime). UNODC(unodc, 2015)menyebutkan adanya negara-negara yang wilayahnya digunakan sebagai tempat untuk memproduksi atau merupakan lalu lintas dari obat-obatan terlarang seperti Heroin, Morphin, Opium, Kokain yaitu Myanmar, Laos, Afghanistan, Negara di Amerika Tengah seperti Meksiko, Kolombia untuk seterusnya di edarkan di Amerika Serikat, Kanada, Asia Tenggara: Indonesia merupakan salah satunya, Asia Tengah dan masih banyak lagi.

Hukuman Mati dan Negara SahabatDalam menangani peredaran narkoba yang semakin massif, pemerintah Indonesia melalui Badan Narkotika Nasional, Kepolisian Republik Indonesia, Bea Cukai dan instansi lain terkait melakukan operasi-operasi untuk menekan berkembangnya pengedaran dan penggunaan narkoba. Hal ini dimulai dengan melakukan sosialisasi dan kampanye mengenai bahayanya penggunaan obat-obatan terlarang, operasi penangkapan bandar dan pengguna narkoba, hingga pencegahan penyelundupan narkoba ke dalam dan ke luar negeri. Dalam upaya penegakan hukum ancaman pemidanaan merupakan hal yang seringkali dilakukan daripada upaya rehabilitasi(RI, 2014), walaupun demikian melalui Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengamanatkan pencegahan, perlindungan dan penyelamatan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika dan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika, hal ini bahkan sempat dikampanyekan Oleh BNN bersama dengan Kepolisian Republik Indonesia baik melalui Media Massa dan Spanduk. Namun hal ini belum cukup untuk menekan maraknya pengedaran dan penggunaan narkoba, hingga munculnya ancaman hukuman mati yang pada akhirnya di laksanakan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. tidak tanggung-tanggung sebanyak enam terpidana mati kasus narkoba di eksekusi pada Januari 2015 lalu. Empat dari enam terdakwa hukuman mati tersebut merupakan warga negara asing.

Pemberlakuan eksekusi hukuman mati tersebut utamanya bagi warga negara asing membuat hubungan diplomatik dengan Indonesia memanas diantaranya Brazil, Belanda dan Australia. Brazil bahkan menarik Duta Besar-nya dari Indonesia dan menolak menerima utusan diplomatik Indonesia sebagai Duta Besar Indonesia untuk Brazil. Australia pun bergejolak menerima kenyataan bahwa dua warga negaranya akan dieksekusi terkait dengan kasus narkoba di Indonesia. Perkembangan terakhir adalah disinggungnya bantuan pemerintah Australia untuk Bencana Alam Tsunami di Aceh oleh Tonny Abott yang tentu saja mendapatkan reaksi keras dari publik Indonesia yang kemudian menggalang pengembalian bantuan tersebut dengan Koin untuk Australia. Tidak cukup sampai disitu pemerintah Australia bahkan menawarkan barter tahanan dengan pemerintah Indonesia. hal yang dilakukan oleh Brazil dan Australia tentunya dianggap mencederai perasaan Bangsa Indonesia sebagai bangsa berdaulat dan negara hukum. Bagi bangsa Indonesia tindakan para pengedar Narkoba baik yang diselundupkan dari luar negeri maupun dalam negeri merupakan kejahatan yang tidak terbantahkan lagi sebagai kejahatan terhadap manusia utamanya rakyat Indonesia dengan fakta bahwa 4,5 juta jiwa rakyat Indonesia terjebak dalam kejahatan dan pengguna Narkoba.

Dalam koridor hubungan internasional terdapat beberapa hal yang menjadi pilar dalam hubungan yang dilakukan oleh dua negara atau lebih yaitu Kedaulatan secarade juredan Kedaulatan secarade facto. Dalam kedaulatan secarade jurenegara diakui kedaulatannya secara internasional untuk menjalin hubungan dengan negara lain dalam bentuk hubungan dagang atau politik lainnya. Dalam pengakuan kedaulatan secarade factosuatu negara diakui kedaulatannya untuk mengatur dan menjalankan pemerintahan dalam negerinya. Dalam hal adanya permasalahan hukum terhadap warga negaranya di wilayah kedaulatan negara lain, negara memiliki kewajiban untuk melindungi warga negaranya dengan memberikan bantuan hukum atau tindakan lain yang tidak bertentangan dengan koridor Hukum Internasional.

Dalam kasus yang dilakukan oleh Brazil tentunya tidak lazim, karena secara tidak langsung Brazil mencoba untuk mengatur Pemerintah Indonesia dalam menjalankan pemerintahan dan penegakan hukumnya, bila benarterbukti bahwa penolakan yang dilakukan sebagai bentuk ketidak setujuan Brazil mengenai hukuman mati yang dijatuhkan oleh pengadilan Indonesia terhadap warga negaranya.Dalam Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik pada Pasal 9 Ayat 1 mengenai diterima atau tidaknya Kepala Misi Diplomatik dan Anggota:

1.The receiving state may at any time and without having to explain its decisions, notify the sending state that the head of the mission or any member of the diplomatic staff of the mission is persona non grata or that any other member of the staff of the mission is not acceptable. In any such case, the sending state shall, as appropriate, either recall the person concerned or terminate his functions with the mission. A person may be declared non grata or not acceptable before arriving in the territory of the receiving state.(Vienna Convention on Diplomatic Relations, 1961)Dalam hal ini tentunya Brazil bisa menolak dan tanpa memberikan alasan yang jelas mengenai penolakannya. Namun yang patut dicermati adalah bahwa penolakan itu dilakukan setelah Duta Besar Indonesia untuk Brazil dijadwalkan pada waktu tertentu melalui Nota Diplomatik untuk menyerahkan Surat Kepercayaan (Credential Letter)(Suara Pembaruan, 2015). Bila dicermati lagi Pasal 9 ayat 1 di atas bahwa hal ini tidak sepatutnya dilakuan terhadap perwakilan misi diplomatik suatu negara karena negara yang bersangkutan dapat melakukan penolakan tanpa harus hadirnya perwakilan diplomatik tersebut di negara penerima.Hal ini bertentangan dengan Pasal 29 Konvensi Wina yaitu

The person of diplomatic agent shall be inviolable. He shall not be liable to any form of arrest or detention. The receiving state shall treat him with due respect and shall take all appropriate steps to prevent any attack on his person, freedom or dignity.(Vienna Convention on Diplomatic Relations, 1961).Pemerintah Brazil seharusnya memperlakukan Duta Besar dengan hormat dan mencegah adanya serangan terhadap kehormatannya yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berada dalam yursidiksinya, namun dalam hal ini justru pelakunya adalah negara. Hal ini tentunya mencederai hubungan antar negara yang telah berlangsung baik selama ini.

Reaksi Indonesia sebagai Negara BardaulatDalam menghadapi persoalan tersebut Indonesia sebagai negara berdaulat memiliki kewajiban dan hak untuk melindungi kepentingan nasionalnya. Bila Brazil dan Belanda menyatakan bahwa hukuman mati terhadap warga negaranya ,yang secara sah dibuktikan dalam suatu sistem peradilan yang adil tanpa adanya intervensi pihak manapun, adalah merupakan bentuk kekejaman dan pengingkaran terhadap martabat dan integritas manusia(BBC, 2015) lalu bagaimana dengan bentuk perlindungan terhadap keamanan manusia itu sendiri.Dengan adanya perkembangan peredaran dan penyalahgunaan obat-obaan terlarang yang meresahkan rakyat Indonesia merupakan prioritas suatu negara untuk melindungi warganya sebagai bentuk perlindungan terhadap Keamanan Manusia (Human Security). Rakyat Indonesia berhak untuk mendapatkan perlindungan dari negara sebagaimana yang diatur dalam Undang Undang Dasar 1945, negara wajib menyelenggarakan suatu bentuk sistem keamanan yang menjamin warga negaranya dari perihal yang merugikan. Selain itu adalah kewajiban negara juga untuk menyelenggarakan suatu bentuk sistem peradilan guna menjamin dan memastikan tegaknya keadilan dan adanya efek jera dan bila perlu dapat menghilangkan suatu bentuk tindakan yang bertentangan dengan hukum yang berlaku di wilayah Republik Indonesia. Hal ini sama seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat, hanya saja pengaruh Amerika Serikat yang kuat diwujudkan dalam bentuk suatu kebijakan luar negeri terhadap negara-negara di Amerika Latin yang diantaranya adalah pemberian bantuan keamanan untuk mengurangi dan menghilangkan kartel-kartel obat-obatan terlarang seperti Heroin dan Kokain di negara asalnya demi melindungi warga negara Amerika Serikat dari ketergantungan terhadap obat-obatan tersebut.Menghadapi adanya tekanan yang dilakukan oleh negara lain dalam kasus hukuman mati terhadap terdakwa narkoba, pemerintah Indonesia sudah selayaknya mengambil sikap yang tegas sebagai bentuk pernyataan bahwa yang dilakukan adalah semata untuk menegakkan hukum di Indonesia. tentunya hal ini diikuti dengan pembuktian bahwa mereka yang dihukum telah mendapatkan hak-haknya untuk mendapatkan pembelaan yang layak dan kedudukannya sama dimuka umum namun secara sah terbukti melakukan pelanggaran yang berat sehingga layak untuk dijatuhi hukuman mati. Dapat dibenarkan tindakan Indonesia untuk membatalkan suatu kesepakatan dengan negara lain, dalam hal ini pembatalan pembelian alutsista dari Brazil seperti yang diungkapkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla dan didukung oleh DPR serta penarikan Duta Besar Indonesia untuk Brazil yang penolakannya secara meyakinkan bertentangan dengan Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik.

Perlukah pemutusan hubungan diplomatik? Pertanyaan ini tentunya menjadi pernyataan yang cukup keras dari masyarakat Indonesia mengenai tingkat hubungan yang memanas. Pada tahap ini negara perlu mencermati dengan baik untung dan ruginya memutuskan suatu bentuk hubungan diplomatik. Yang perlu dipahami pada tingkatan ini apakah sepadan memutuskan hubungan diplomatik atas suatu permasalahan yang sebenarnya cukup lazim terjadi dalam hubungan internasional. Adalah kepentingan politik suatu negara untuk melindungi warga negaranya di wilayah hukum negara lain sebagai bentuk kepercayaan publik terhadap pemimpin politiknya. Menurut penulis, pemutusan hubungan diplomatik belum perlu dilakukan selama ketegangan tidak mengganggu hubungan Politik Internasional masing-masing negara utamanya Indonesia. Sebagai negara yang besar baik geografi dan penduduknya serta sumber daya alam yang dimiliki, Indonesia memiliki banyak keuntungan dalam negosiasi. Bisa saja Indonesia memutuskan untuk tidak mengimpor alutsista dari Brazil, membatalkan kesepakatan mengenai impor daging dari Brazil. Presiden Joko Widodo tidak tergoda oleh tekanan yang diberikan oleh negara-negara lain terkait hukuman mati bagi pengedar narkoba, namun akan sangat mencederai harga diri dan kepercayaan Bangsa Indonesia terhadap Presiden manakala keputusan tersebut berubah sebagai akibat tekanan politik yang dilakukanoleh negara-negara tersebut.1.8. Hipotesis Berdasarkan landasan teoritis yang telah diuraikan di atas, maka terhadap permasalahan-permasalahan yang diajukan dapat ditarik hipotesis sebagai berikut:

1. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana mati bagi para pelaku tindak pidana narkoba Bali Nine yaitu berdasarkan atas kerugian yang ditimbulkan yang bersifat materiil dan immateril sehingga menimbulkan dampak yang luas terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hubungan internasional. Dasar pertimbangan lainnya adalah tindak pidana narkoba merupakan kejahatan yang terorganisir dan tergolong kejahatan luar biasa. 2. Penjatuhan pidana mati dalam kasus Bali Nine tidak menjadikan hubungan diplomatik Brasil-Indonesia terganggu.1.9. Metode Penelitian Dalam rangka memperoleh, kemudian mengumpulkan, serta menganalisis setiap data atau informasi yang bersifat ilmiah, tentunya dibutuhkan suatu metode dengan tujuan agar suatu karya tulis ilmiah memiliki susunan yang sistematis, terarah, dan konsisten. Adapun metode penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.9.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan proposal penelitian ini adalah deskriptif. Menurut Moh. Nazir, penelitian deskriptif adalah penelitian yang mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari satu fenomena. Penelitian deskriptif juga bertujuan untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Terkait dengan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penjatuhan pidana mati dapat menjadi pemicu sengketa diplomatik Brasil-Indonesia. 1.9.2 Sumber Data Sumber data yang dipergunakan untuk menunjang pembahasan permasalahan di atas, adalah sumber data yang diperoleh dari dua sumber, yaitu :

1. Sumber Data Primer Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber pertama, melalui penelitian, baik berupa data menyangkut putusan Pengadilan.

2. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder yaitu memberikan penjelasan mengenai sumber data primer (buku, jurnal, laporan, dan media cetak atau elektronik). 1.9.3 Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu Studi dokumen. Terkait hal ini dengan mengumpulkan data yang bersumber dari kepustakaan yang relevan dengan permasalahan, dimana dengan membaca dan mencatat kembali data kemudian dikelompokkan secara sistematis. 1.9.4 Teknik Analisis Data

Proses analisis data merupakan pekerjaan untuk menemukan tema-tema dan merumuskan hipotesa-hipotesa, meskipun sebenarnya tidak ada formula yang pasti untuk dapat digunakan untuk merumuskan hipotesa, hanya saja analisis data tema dan hipotesa tersebut lebih diperdalam dengan menggabungkannya dengan sumber-sumber data yang ada. Adapun keseluruhan data yang telah didapat akan dianalisis secara kualitatif atau lebih dikenal dengan istilah analisis deskriptif kualitatif. Keseluruhan data yang terkumpul baik data primer maupun data sekunder akan diolah dan dianalisis secara sistematis yang dipaparkan dalam bentuk uraian-uraian yang berhubungan dengan teori sehingga memperoleh suatu kesimpulan dan gambaran yang jelas dalam pembahasan masalah.

DAFTAR PUSTAKABUKU

Abidin, Zainal, 2005, Position Paper Advokasi RUU KUHP Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP, Elsam, Jakarta

Araf, Al, dkk, 2010, Menggugat Hukuman Mati di Indonesia, Imparsial, Jakarta Marjono Reksodiputro, 1994, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, AZ, Yahya, 2007, Problematika Penerapan Pidana Mati dalam Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM), PUSHAM UII, Yogyakarta

Muhtaj, Majda El, 2009, Dimensi-Dimensi HAM, Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Rajawali Pers, Jakarta

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Website

http://www.voaindonesia.com/content/jokowi-berharap-belanda-brazil-hormati-ri-/2604339.htmlhttp://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150224_jusufkalla_brasil_eksekusihttp://www.cnnindonesia.com/nasional/20150223122040-12-34090/dubes-indonesia-untuk-brazil-resmi-ditarik-pulang/http://news.detik.com/read/2015/02/21/091712/2838876/10/perlakuan-brasil-tak-terpuji-penarikan-dubes-indonesia-dinilai-tepat22