Identifikasi Pepper vein yellows virus yang Berasosiasi ... · serupa ketika survei tanaman cabai...

39
Volume 12, Nomor 4, Juli 2016 Halaman 109–116 DOI: 10.14692/jfi.12.4.109 ISSN: 0215-7950 *Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Jalan Kamper, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 Tel: 0251-8629364, Faks: 0251-8629362, surel: [email protected] 109 Identifikasi Pepper vein yellows virus yang Berasosiasi dengan Penyakit Yellow Vein Banding pada Tanaman Mentimun di Bali Identification of Pepper vein yellows virus Associated with Yellow Vein Banding Disease on Cucumber Plant in Bali I Dewa Nyoman Nyana 1 , M. Tinny Lestariningsih. T 1 , Ni Nengah Putri Adnyani 1 , Gede Suastika 2 * 1 Universitas Udayana, Denpasar 80225 2 Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680 ABSTRAK Gejala menguning antara lamina daun (yellow vein banding) telah ditemukan pada tanaman mentimun di Bali sejak tahun 2014. Gejala pada tanaman mentimun tersebut memiliki kemiripan dengan gejala pada tanaman cabai yang disebabkan oleh infeksi Pepper vein yellow virus, anggota genus Polerovirus. Tujuan penelitian ialah membuktikan penyebab penyakit menguning antara lamina daun pada tanaman mentimun di Bali. Metode identifikasi menggunakan RT-PCR dan analisis sikuensing. Sepasang primer spesifik PeVYV-CP-F-BamH1/PeVYV-CP-R-Pst1 berhasil mengamplifikasi bagian protein selubung PeVYV dengan ukuran ± 650 pb. Analisis sikuen nukleotida menunjukkan bahwa isolat mentimun Bali memiliki kemiripan > 95% dengan isolat PeVYV asal Bali, dan Rembang (Indonesia), Jepang serta Yunani yang menginfeksi tanaman cabai. Kata kunci: Polerovirus, protein selubung, RT-PCR, sikuen nukleotida ABSTRACT Yellowing vein banding disease has been reported infecting cucurbit plants in Bali since 2014. Similar vein banding symptom on chilli pepper was observed previously, and early diagnosis indicated infection of Polerovirus. The objective of this research was to confirm the presence of Polerovirus infection on cucumber plant showing yellow vein banding symptom in Bali. Reverse transcription polymerase chain reaction – based detection method was conducted using specific primer pairs PeVYV-CP-F-BamH1/ PeVYV-CP-R-Pst1followed by sequencing and nucleotide sequence analysis. Specific DNA fragments of ± 650 bp was successfully amplified from field samples. Nucleotide sequence analysis showed that the sequence has the highest similarity > 95% with Pepper vein yellow virus (PeVYV) infecting chili pepper from Indonesia (Bali, and Rembang), Japan, and Greece. Key words: cucumber, nucleotide sequence, Polerovirus, RT-PCR

Transcript of Identifikasi Pepper vein yellows virus yang Berasosiasi ... · serupa ketika survei tanaman cabai...

  • Volume 12, Nomor 4, Juli 2016Halaman 109–116

    DOI: 10.14692/jfi.12.4.109ISSN: 0215-7950

    *Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Jalan Kamper, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680Tel: 0251-8629364, Faks: 0251-8629362, surel: [email protected]

    109

    Identifikasi Pepper vein yellows virus yang Berasosiasi dengan Penyakit Yellow Vein Banding pada Tanaman Mentimun di Bali

    Identification of Pepper vein yellows virus Associated with Yellow Vein Banding Disease on Cucumber Plant in Bali

    I Dewa Nyoman Nyana1, M. Tinny Lestariningsih. T1, Ni Nengah Putri Adnyani1, Gede Suastika2*

    1Universitas Udayana, Denpasar 802252Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680

    ABSTRAK

    Gejala menguning antara lamina daun (yellow vein banding) telah ditemukan pada tanaman mentimun di Bali sejak tahun 2014. Gejala pada tanaman mentimun tersebut memiliki kemiripan dengan gejala pada tanaman cabai yang disebabkan oleh infeksi Pepper vein yellow virus, anggota genus Polerovirus. Tujuan penelitian ialah membuktikan penyebab penyakit menguning antara lamina daun pada tanaman mentimun di Bali. Metode identifikasi menggunakan RT-PCR dan analisis sikuensing. Sepasang primer spesifik PeVYV-CP-F-BamH1/PeVYV-CP-R-Pst1 berhasil mengamplifikasi bagian protein selubung PeVYV dengan ukuran ± 650 pb. Analisis sikuen nukleotida menunjukkan bahwa isolat mentimun Bali memiliki kemiripan > 95% dengan isolat PeVYV asal Bali, dan Rembang (Indonesia), Jepang serta Yunani yang menginfeksi tanaman cabai.

    Kata kunci: Polerovirus, protein selubung, RT-PCR, sikuen nukleotida

    ABSTRACT

    Yellowing vein banding disease has been reported infecting cucurbit plants in Bali since 2014. Similar vein banding symptom on chilli pepper was observed previously, and early diagnosis indicated infection of Polerovirus. The objective of this research was to confirm the presence of Polerovirus infection on cucumber plant showing yellow vein banding symptom in Bali. Reverse transcription polymerase chain reaction – based detection method was conducted using specific primer pairs PeVYV-CP-F-BamH1/ PeVYV-CP-R-Pst1followed by sequencing and nucleotide sequence analysis. Specific DNA fragments of ± 650 bp was successfully amplified from field samples. Nucleotide sequence analysis showed that the sequence has the highest similarity > 95% with Pepper vein yellow virus (PeVYV) infecting chili pepper from Indonesia (Bali, and Rembang), Japan, and Greece.

    Key words: cucumber, nucleotide sequence, Polerovirus, RT-PCR

  • J Fitopatol Indones Nyana et al.

    110

    PENDAHULUAN

    Penyakit kuning dilaporkan mulai menginfeksi sejumlah pertanaman mentimun di daerah Bali sejak tahun 2014. Infeksi penyakit ini sebelumnya telah dilaporkan oleh Mizutani et al. (2011) dan Septariani et al. (2014). Penyakit kuning dilaporkan berasosiasi dengan Tomato leaf curl New Delhi virus (ToLCNDV). Penyakit kuning menyebabkan daun mengeriting, melepuh, dan menguning. Daerah sebaran ToLCNDV di Indonesia meliputi provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

    Penyakit kuning yang menginfeksi tanaman mentimun di Bali dilaporkan berasosiasi dengan spesies Begomovirus yang lain, yaitu Squash leaf curl China virus (SLCCNV) (Wiratama et al. 2015). Infeksi SLCCNV di Bali menunjukkan daun menguning, melepuh, mengeriting, dan malformasi yang hampir sama dengan infeksi ToLCNDV di Jawa, Indonesia (Mizutani et al. 2011; Septariani et al. 2014) dan di Thailand (Ito et al. 2008). Selain gejala tersebut, ditemukan juga gejala daun mentimun yang menguning, tetapi tidak mengalami malformasi maupun perubahan ukuran.

    Suastika et al. (2012) melaporkan gejala serupa ketika survei tanaman cabai di Bali pada tahun 2011. Tanaman cabai yang ditemukan menunjukkan gejala klorosis, menguning antara lamina daun, akan tetapi ukuran daun masih normal. Deteksi molekuler dengan PCR menunjukkan sampel negatif terinfeksi Begomovirus dan positif terinfeksi Pepper vein yellows virus (PeVYV) dari genus Polerovirus.

    PeVYV merupakan salah satu patogen penting dari genus Polerovirus famili Luteoviridae. Polerovirus ditularkan kutudaun secara persisten sirkulatif nonpropagatif, sedangkan Enamovirus hanya ditularkan secara mekanis. Bentuk partikel Polerovirus ialah bulat dengan diameter 25–30 nm (D’Arcy dan Domier 2005).

    Insidensi penyakit kuning pada tanaman mentimun di Bali diduga juga berasosiasi dengan PeVYV. Gejala khas infeksi kelompok

    Polerovirus ialah menguning tanpa ada perubahan ukuran daun. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan melaporkan infeksi Polerovirus pada tanaman mentimun di Bali.

    BAHAN DAN METODE

    Survei dan Pengumpulan Tanaman SakitSurvei penyakit dan pengambilan daun

    tanaman sakit dilakukan pada bulan April 2015 di dua lahan pertanaman mentimun di Banjar Titigalar, Desa Bangli, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Pengambilan sampel tanaman sakit dilakukan dengan metode purposive sampling. Sampel bergejala disimpan pada suhu -80 °C untuk kemudian dilakukan deteksi menggunakan metode reverse transcription polmarease chain reaction (RT-PCR).

    Deteksi dengan RT-PCRSampel yang digunakan ialah daun

    bergejala keriting dan menguning. Ekstraksi RNA total dilakukan sesuai dengan prosedur Doyle dan Doyle (1987) yang telah dimodifikasi. Sebanyak 0.1 g daun digerus dengan nitrogen cair dan ditambahkan 500 µLlarutan penyangga CTAB (10% Cetyl-trimethyl-ammonium bromida, 0.05 M EDTA, 0.1 M Tris HCl pH 8, 0.5 M NaCl) yang mengandung β-mercapto-ethanol 1%. Larutan tersebut diinkubasi pada suhu 56 °Cselama 30 menit, kemudian ditambah 500 µL klorofom:isoamilalkohol (C:I) (24:1). Campuran tersebut dikocok selama 15 menit dan disentrifugasi selama 15 menit pada kecepatan 12 000 rpm. Supernatan yang terbentuk (± 500 µL) dipindahkan ke tabung mikro baru dan ditambahi isopropanol dari 2/3 kali total volume. Campuran tersebut diinkubasi selama 16 jam pada suhu 4 °C dan disentrifugasi selama 15 menit pada kecepatan 12 000 rpm. Endapan yang terbentuk dicuci dalam 500 µL etanol 70% lalu disentrifugasi pada kecepatan 8000 rpm selama 5 menit. Endapan yang terbentuk dikeringanginkan, selanjutnya dilarutkan dalam 50 µL bufer TE pH 8 dan digunakan sebagai bahan cetakan untuk sintesis cDNA.

  • J Fitopatol Indones Nyana et al.

    111

    Sintesis cDNA dilakukan dengan menyiapkan kit reaksi (Thermo Scientific Inc., US) yang terdiri atas 3.2 µL H2O, 1 µL bufer reverse-transcription 10x, 0.35 µL DTT 50 mM, 2 µL dNTP 10 mM, 0.35 µL MMuLV, 0.35 µL RNAse inhibitor, 0.75 µL oligo d(T) 10 mM, dan 2 µL RNA total untuk setiap reaksi. Sintesis cDNA dilakukan pada suhu 65 °C selama 5 menit, 42 °C selama 60 menit, dan 70 °C selama 5 menit.

    Amplifikasi didahului dengan denaturasi awal pada 94 °C selama 5 menit, dilanjutkan 35 siklus dengan tahapan denaturasi pada 94 °C selama 30 detik, aneling pada 50 °C selama 1 menit, ekstensi pada 72 °C selama 1 menit, dilanjutkan pascaekstensi 72 °C selama 10 menit. Amplifikasi dilakukan dengan primer PeVYV-CP-F-BamH1(5′-AATTAGGATCCAATACGGGAGGGGTTAGGAGAAAT-3′)/ PeVYV-CP-R-Pst1(5′-AATTAACTGCAGTTTCGGGTTGTGCAATTGCACAGTA-3′) dengan ukuran target ± 650 pb (Suastika et al. 2012). Reaksi amplifikasi terdiri atas 12.5 µL PCR green master mix (Thermo Scientific, US), 9.5 µL dH2O, 1 µL primer PeVYV-CP-F-BamH1 10 µM, 1 µL primer PeVYV-CP-R-Pst1 10 µM, dan 1 µL DNA. Amplifikasi dilakukan pada automated thermal cycler (Gene Amp PCR System 9700; Applied Biosystem, US).

    Hasil amplifikasi cDNA dianalisis dengan elektroforesis pada gel agarosa 1%. Gel direndam dalam larutan etidium bromida selama 10 menit, dilanjutkan dalam air selama 5 menit. Visualisasi cDNA dilakukan di bawah sinar UV transiluminator dan didokumentasikan. Selanjutnya dilakukan perunutan nukleotidanya.

    Perunutan Nukleotida dan Analisis Filogenetika

    Perunutan nukleotida dilakukan dengan mengirimkan produk amplifikasi ke PT Genetika Science Indonesia. Hasil perunutan nukleotida dibandingkan dengan data pada GenBank. Data yang berasal dari GenBank kemudian digunakan untuk analisis kesamaan menggunakan perangkat lunak BioEdit v.7.0.5. Analisis filogenetika menggunakan

    program MEGA v.6.06 berdasarkan algoritma Neighbor Joining dengan bootstrap 1000 kali.

    HASIL

    Gejala penyakit di lapangan menunjukkan tanaman mentimun menguning dan klorosis dengan tulang daun masih berwarna hijau, ukuran daun terlihat normal dan tidak mengalami malformasi (Gambar 1).

    Deteksi Pepper vein yellow virus Menggunakan RT-PCR

    Amplifikasi menggunakan primer spesifik PeVYV-CP-F-BamH1/ PeVYV-CP-R-Pst1 menghasilkan fragmen DNA dari sampel tanaman bergejala pada ukuran ± 650 pb (Gambar 2). Dua sampel dari lahan 1, dan seluruh sampel dari lahan 2 terdeteksi positif mengandung PeVYV. Sampel nomor 7 dari lahan 1 menghasilkan intensitas pita DNA yang kuat. Oleh karena itu, sampel ini dipilih untuk dianalisis sikuen nukleotidanya.

    Analisis Sikuen PeVYV Asal Tanaman Mentimun

    Analisis sikuen nukleotida isolat asal mentimun Bali mempunyai homologi tertinggi

    Gambar 1 Gejala PeVYV pada tanaman mentimun di Bali. Daun mentimun menguning dan klorosis dengan tulang daun masih berwarna hijau.

  • J Fitopatol Indones Nyana et al.

    112

    dengan PeVYV asal Bali, Rembang, Jawa Tengah, dan Jepang yang menginfeksi tanaman cabai dengan nilai lebih dari 95%. Nilai homologi sikuen nukleotida isolat PeVYV Bali dari tanaman mentimun memiliki tingkat kemiripan sebesar 90.7% dengan Tobacco vein distorting polerovirus (TobVDV) asal Cina (Tabel 1).

    Analisis sikuen nukleotida menggunakan pohon filogenetika juga menunjukkan bahwa

    semua isolat PeVYV tergabung menjadi satu kelompok dan terpisah dengan TobVDV (Gambar 3). Isolat PeVYV Bali yang menginfeksi tanaman mentimun tergabung menjadi satu kelompok dengan isolat PeVYV Bali yang menginfeksi tanaman cabai. Semua isolat PeVYV tergabung dalam satu kelompok dan terpisah dengan PepYLCV dan TobVDV walaupun ketiganya merupakan anggota famili Luteoviridae.

    Isolat virus Inang No. aksesi HomologiPeVYV Bali Capsicum annuum KR233839 97.6PeVYV Rembang Capsicum annuum JX427532 95.5PeVYV Jepang Capsicum annuum AB594828 97.3PeVYV Yunani Capsicum annuum FN600344 94.6PepYLCV Israel Capsicum annuum HM439608 91.4TobVDV Cina Capsicum annuum AM411003 90.7

    Tabel 1 Tingkat homologi (%) gen selubung protein PeVYV isolat Bali dengan isolat Polerovirus lain

    Gambar 2 Hasil amplifikasi PeVYV menggunakan sepasang primer PeVYV-CP-F-BamH1/ PeVYV-CP-R-Pst1. M, penanda DNA 1 kb (Thermo Scientific, US); 1 – 4, sampel dari lahan 2; 5 – 7, sampel dari lahan 1; K-, kontrol negatif; K+, kontrol positif.

    M 1 6 7 K+K-4 52 3

    650 pb

    Gambar 3 Pohon filogenetika PeVYV isolat timun dari Bali dan beberapa isolat PeVYV lainnya berdasarkan sikuen nukleotida gen protein selubung menggunakan program MEGA V6.06 dengan pendekatan Neighbor Joining dan pengulangan 1000 kali.

    PeVYV_Timun

    PeVYV_Bali_KR233839

    PeVYV_Jepang_AB594828

    PeVYV_Rembang_JX427532

    PeVYV_Yunani_FN600344

    PepYLCV_Israel_HM439608

    TobVDV_Cina_AM411003

    79

    88

    75

    88

    75

    79

    PeVYV_Timun

    TobVDV_Cina_AM411003

    PepYLCV_Israel_HM439608

    PeVYV_Yunani_FN600344

    PeVYV_Rembang_JX427532PeVYV_Jepang_ AB594828PeVYV_Bali_KR233839

  • J Fitopatol Indones Nyana et al.

    113

    PEMBAHASAN

    Infeksi PeVYV pertama kali dilaporkan pada tanaman paprika di Jepang sejak 1981 dengan gejala daun menguning dan menggulung (Yonaha et al. 1995). Infeksi PeVYV pada tanaman cabai di Indonesia dengan gejala klorosis dan menguning di antara tulang daun (tampak menyirip) dilaporkan pertama kali oleh Suastika et al. (2012). Selanjutnya, infeksi PeVYV pada cabai di Spanyol juga dilaporkan menunjukkan gejala menguning pada bagian antartulang daun dan diskolorasi pada buah yang matang (Villanueva et al. 2013). Gejala yang hampir sama akibat infeksi PeVYV juga dilaporkan di Sudan (Alfaro-Fernández et al. 2014), Cina (Zhang et al. 2015), dan Amerika Serikat (Alabi et al. 2015). Insidensi penyakit berdasarkan pengamatan gejala luar akibat infeksi PeVYV pada tanaman cabai di Texas bagian selatan mencapai 75% (Alabi et al. 2015)

    Genom Polerovirus berutas tunggal dengan orientasi positif terdiri atas 6 ORF: (i) ORF0 mengode F-box, (ii) ORF1 mengode motif serin protease dan N-terminal genome-linked protein, (iii) ORF2 mengode RNA-dependent RNA polymerase (RdRp), (iv) ORF3 mengode gen protein selubung, (v) ORF4 mengode gen movement protein, dan (vi) ORF5 mengode readthrough domain dari ORF3 (D’Arcy dan Domier 2005; Dombrovsky et al. 2013). ORF3 dan ORF5 diketahui sebagai area paling konservatif untuk anggota famili Luteoviridae. PeVYV mempunyai kemiripan asam amino sebesar 76–92% pada bagian ORF 0–ORF 3 dan hanya 25% pada bagian ORF 5 dengan TobVDV (Murakami et al. 2011).

    Deteksi molekuler PeVYV dengan RT-PCR sebagian besar menggunakan primer yang mengamplifikasi ORF3. Sepasang primer spesifik Pol-G-F/Pol-G-R berhasil mengamplifikasi PeVYV dari Sudan dan Spanyol pada setengah bagian ORF2 hingga setengah bagian ORF 3 (Villanueva et al. 2013; Alfaro-Fernández et al. 2014). Sepasang primer spesifik PeF/PeR juga digunakan untuk mengamplifikasi PeVYV di Cina pada bagian ORF3 dengan produk sebesar 351 pb (Zhang

    et al. 2015). Alabi et al. (2015) melaporkan infeksi PeVYV pada tanaman cabai di Texas bagian selatan menggunakan 2 pasang primer spesifik yang mengamplifikasi bagian ORF1 dan ORF2. Pada penelitian ini, sepasang primer spesifik digunakan untuk anggota genus Polerovirus yang juga digunakan oleh Suastika et al. (2012) untuk mendeteksi PeVYV yang menginfeksi tanaman cabai di Bali.

    Nilai kemiripan di atas 90% antara isolat PeVYV Bali dari tanaman mentimun dan TobVDV tidak mengindikasikan keduanya tergabung dalam satu spesies. Demarkasi famili Luteoviridae didasarkan pada sikuen ORF-nya yang memiliki nilai homologi asam amino >90%. (D’Arcy dan Domier 2005; Murakami et al. 2011). Nilai homologi asam amino ORF 0–ORF 3 antara TobVDV dan PeVYV berkisar antara 75.9% dan 90.9%, akan tetapi homologi pada ORF 5 hanya 25.1% (Murakami et al. 2011).

    Infeksi PeVYV pada tanaman mentimun merupakan laporan pertama di Indonesia. Laporan ini sekaligus menambah informasi mengenai kisaran inang PeVYV. Sebelumnya PeVYV dilaporkan hanya menginfeksi tanaman cabai (Capsicum spp.) dan Solanum nigrum (Knierim et al. 2012). Beberapa kelompok Polerovirus yang telah dilaporkan menginfeksi Cucurbitaceae ialah Cucurbit aphid-borne yellows virus, Suakwa aphid-borne yellows virus, Pepo aphid-borne yellows virus, dan Luffa aphid-borne yellows virus (Knierim et al. 2014).

    DAFTAR PUSTAKA

    Alabi OJ, Al Rwahnih M, Jifon JL, Gregg L, Crosby KM, Mirkov TE. 2015. First report of Pepper vein yellows virus infecting pepper (Capsicum spp.) in the United States. Plant Dis. 99(11):1656. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PDIS-03-15-0329-PDN.

    Alfaro-Fernández A, ElShafie EE, Ali MA, El Bashir OOA, Córdoba-Sellés MC, Font MI. 2014. First report of Pepper vein yellows virus infecting hot pepper in Sudan.

  • J Fitopatol Indones Nyana et al.

    114

    Plant Dis. 98(10):1446. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PDIS-03-14-0251-PDN.

    D’Arcy CJ, Domier LL. 2005. Family Luteoviridae. Di dalam: Fauquet CM, Mayo MA, Maniloff J, Desselberger U, Ball LA, editor. Virus Taxonomy, Eighth Report of The International Committee of Taxonomy of Viruses. San Diego (US): Elsevier Academic Pr. hlm 891–900.

    Dombrovsky A, Glanz E, Pearlsman M, Lachman O, Doron-Faigenboim A, Antignus Y. 2013. The complete genomic sequence of Pepper yellow leaf curl virus (PYLCV) and its implications for our understanding of evolution dynamics in the genus Polerovirus. PLoS One. 8(7):1–11. DOI: http://dx.doi.org/10.1371/journal.pone.0070722.

    Doyle JJ, Doyle JJ. 1987. A rapid DNA isolation of procedure for small quantities of fresh leaf tissue. Phytochem Bull. 19:11–19.

    Ito T, Sharma P, Kittipakorn K, Ikegami M. 2008. Complete nucleotide sequence of a new isolate of Tomato leaf curl New Delhi virus infecting cucumber, bottle gourd, and muskmelon in Thailand. Arch. Virol. 153:611–613. DOI: http://dx.doi.org/10.1007/s00705-007-0029-y.

    Knierim D, Tsai WS, Maiss E, Kenyon L. 2014. Molecular diversity of Poleroviruses infecting cucurbit crops in four countries reveals the presence of members of six distinct species. Arch Virol. 159(6):1459–1465. DOI: http://dx.doi.org/10.1007/s00705-013-1939-5.

    Mizutani T, Daryono BS, Ikegami M, Natsuaki KT. 2011. First report of Tomato leaf curl New Delhi virus infecting cucumber in Central Java, Indonesia. Plant Dis. 95(11): 1485. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PDIS-03-11-0196.

    Murakami R, Nakashima N, Hinomoto N, Kawano S, Toyosato T. 2011. The genome sequence of pepper vein yellows virus (family Luteoviridae, genus Polerovirus). Arch Virol. 156:921–923. DOI: http://dx.doi.org/10.1007/s00705-011-0956-5.

    Septariani DN, Hidayat SH, Nurhayati E. 2014. Identifikasi penyebab penyakit daun keriting kuning pada tanaman mentimun. J HPT Tropika. 14(1): 80–86.

    Suastika G, Hartono S, Nyana IDN, Natsuaki T. 2012. Laporan pertama tentang infeksi Polerovirus pada tanaman cabai di Daerah Bali, Indonesia. J Fitopatol Indones. 8(5):151–154.

    Villanueva F, Castillo P, Font MI, Alfaro-Fernández A, Moriones E, Navas-Castillo J. 2013. First report of Pepper vein yellows virus infecting sweet pepper in Spain. Plant Dis. 97(9):1261. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PDIS-04-13-0369-PDN.

    Wiratama IDMP, Wirya GNAS, Adnyani NNP, Nyana IDN, Suastika G. 2015. Laporan pertama infeksi Begomovirus pada tanaman mentimun di Bali. J Fitopatol Indones. 11(5):175–178. DOI: http://dx.doi.org/10.14692/jfi.11.5.175.

    Yonaha T, Toyosato T, Kawano S, Osaki T. 1995. Pepper vein yellows virus, a novel Luteovirus from bell pepper plants in Japan. Ann Phytopathol Soc Jpn. 61:178–184. DOI: http://dx.doi.org/10.3186/jjphytopath.61.178

    Zhang SB, Zhao ZB, Zhang DY, Liu Y, Luo XW, Liu J. 2015. First report of Pepper vein yellows virus infecting red pepper in Mainland China. Plant Dis. 99(8):1190. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PDIS-01-15-0025-PDN.

    http://dx.doi.org/10.1094/PDIS-03-14-0251-PDNhttp://dx.doi.org/10.1094/PDIS-03-14-0251-PDNhttp://dx.doi.org/10.1094/PDIS-03-11-0196http://dx.doi.org/10.1094/PDIS-03-11-0196

  • Volume 12, Nomor 4, Juli 2016Halaman 115–123

    DOI: 10.14692/jfi.12.4.115ISSN: 0215-7950

    *Alamat penulis korespondensi: Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Jalan Meranti, Kampus IPB, Darmaga, Bogor 16680Tel: 0251-8629350, Faks: 0251-8629352, Surel: [email protected]

    115

    Pengendalian Colletotrichum spp. Terbawa Benih Cabai dengan Paparan Gelombang Mikro

    Control on Colletotrichum spp. seed borne pathogen of chili by Microwave Irradiation

    Lilih Naelun Najah, Mohamad Rahmad Suhartanto*, WidodoInstitut Pertanian Bogor, Bogor 16680

    ABSTRAK

    Perlakuan benih menggunakan gelombang mikro dapat menjadi alternatif pengendalian patogen terbawa benih yang efektif dan efisien. Tujuan penelitian ialah mengendalikan Colletotrichum spp. terbawa benih cabai dengan paparan gelombang mikro namun masih dapat mempertahankan mutu fisiologi benih. Percobaan disusun menggunakan rancangan acak lengkap dengan faktor yang diuji kadar air benih (4.31%, 6.33%, dan 8.25%) dan lama paparan gelombang mikro (0, 10, 20, 30, 40, 50 detik), berturut-turut untuk percobaan pertama dan kedua. Kadar air terbaik pada percobaan pertama digunakan untuk menentukan lama paparan gelombang mikro pada percobaan kedua. Perlakuan fungisida sistemik berbahan aktif benomil 0.5 g L-1 merupakan perlakuan pembanding. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Colletotrichum spp. yang ditemukan pada benih cabai terdiri atas 4 spesies, yaitu Colletotrichum acutatum, C. capsici, C. gloeosporioides, dan Colletotrichum sp. Cendawan C. acutatum merupakan spesies yang paling banyak menginfeksi benih cabai dibandingkan dengan spesies lainnya. Gelombang mikro dapat mengendalikan C. acutatum dengan tingkat efikasi sebesar 64.3% serta dapat mempertahankan viabilitas benih cabai pada kadar air rendah (4.31%) dan lama paparan gelombang mikro 40 detik.

    Kata kunci: Capsicum annum, Colletotrichum, kadar air, tular benih

    ABSTRACT

    Seed treatment using microwave has been reported as an effective and efficient method to control seed borne pathogens of chili pepper. The purpose of this research was to evaluate the effectiveness of microwave irradiation treatment to suppress seedborne Colletotrichum spp. while maintaining physiological quality of chili’s seed. First experiment was aimed to select the best condition for seed germination, and was done in completely randomized design with three levels of water content (4.31%, 6.33%, and 8.25%). The second experiment was aimed to determine the best condition for disease suppression, and was done in completely randomized design with different levels of microwave irradiation duration (0, 10, 20, 30, 40, and 50 seconds) using the best seed water content level from the first experiment. Application of systemic fungicide with benomyl as active ingredient (0.5 g L-1) was done as check treatment. Four major species of Colletotrichum was found from chili’s seed, i.e. C. acutatum, C. capsici, C. gloeosporioides, and Colletotrichum sp. with C. acutatum as the predominant species. The best water content level for microwave treatment was 4.31%. The most effective treatment was microwave irradiation duration for 40 seconds with efficacy rate of 64.5% for controlling seedborne C. acutatum on chili pepper.

    Key words: Capsicum annum, Colletotrichum, seedborne, water content

  • J Fitopatol Indones Najah et al.

    116

    PENDAHULUAN

    Cabai merah (Capsicum annuum) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang banyak dibudidayakan oleh petani Indonesia. Produktivitas cabai nasional pada tahun 2014 ialah sebesar 8.35 ton ha-1 (BPS 2015). Nilai tersebut masih rendah jika dibandingkan dengan potensi hasilnya yang dapat mencapai 20 ton ha-1 (Syukur et al. 2010). Salah satu penyebab rendahnya produktivitas cabai ialah penyakit antraknosa yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum spp. Penyakit ini dapat menurunkan hasil produksi cabai di Indonesia sebesar 10–80% pada musim hujan dan 2–35% pada musim kemarau. Colletotrichum yang paling banyak ditemukan ialah C. acutatum, C. capsici, dan C. gloeosporioides (Widodo 2007).

    Penyakit yang disebabkan oleh cendawanpatogen terbawa benih biasa dikendalikan dengan fungisida sistemik, namun penggunaannya mengakibatkan kerusakan lingkungan yang berpengaruh terhadap kesehatan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung (Zhang et al. 2011) dan menimbulkan resistensi cendawan patogen (Deising et al. 2008). Oleh karena itu pengendalian yang mudah, murah, dan cepat diperlukan. Penggunaan gelombang mikro (microwave) yang ramah lingkungan merupakan salah satu alternatif pengendaliannya.

    Gelombang mikro merupakan gelombang elektromagnet yang mempunyai frekuensi super tinggi, yaitu berkisar antara 300 MHz dan 300 GHz. Gelombang mikro dapat digunakan dalam komunikasi, navigasi, dan industri (Brodie 2012). Frekuensi yang biasa digunakan ialah 2450 MHz karena frekuensi tersebut mudah diserap oleh molekul air yang ada di setiap sel hidup. Gelombang mikro memiliki efek panas dan dapat meningkatkan suhu. Peningkatan suhu tersebut dihasilkan oleh energi yang diserap akibat pergerakan medan listrik (Iuliana et al. 2013).

    Pemanfaatan gelombang mikro telah dilaporkan dapat mengendalikan Penicillium spp. pada benih buncis (Tylkowska et al. 2010),

    Fusarium spp. dan Microdochium nivale pada benih gandum (Knox et al. 2013), Fusarium subglutinan dan Aspergillus niger pada benih jagung manis (Arengka 2014), dan Colletotrichum lindemuthianum pada benih buncis (Friesen et al. 2014). Tujuan penelitian ialah mendapatkan kombinasi efektif antara lama pemaparan gelombang mikro dan kadar air benih untuk mengendalikan Colletotrichum spp. terbawa benih cabai, namun tetap mempertahankan mutu fisiologi benih.

    BAHAN DAN METODE

    Benih yang digunakan ialah benih dari buah cabai varietas Royal Hot yang terinfeksi penyakit antraknosa dari pertanaman di Kebun Percobaan IPB Pasir Sarongge, Desa Ciputri, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur. Benih diambil dari buah yang telah masak fisiologi, yaitu secara morfologi buah berwarna merah dan terinfeksi penyakit yang ditandai dengan bercak cokelat kehitaman melingkar dan meluas menjadi busuk lunak. Infeksi berat mengakibatkan buah menjadi kering, keriput, dan warna menjadi seperti jerami. Perontokan benih dilakukan secara manual, kemudian benih dikeringanginkan selama 2–3 hari sampai mendapatkan kadar air yang diperlukan.

    Pengaruh Kadar Air dan Lama Paparan Gelombang Mikro terhadap Viabilitas Benih Cabai

    Percobaan ini bertujuan mendapatkan tingkat kadar air terbaik pada beberapa lama paparan gelombang mikro yang tidak memengaruhi mutu fisiologi benih. Benih yang digunakan ialah benih yang dirontokkan dari bagian buah cabai yang sehat. Percobaan disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor. Faktor pertama ialah kadar air benih dengan tiga taraf, yaitu kadar air rendah (4.31%), sedang (6.33%) dan tinggi (8.25%). Faktor kedua adalah lama paparan gelombang mikro dengan enam taraf, yaitu 0, 10, 20, 30, 40, dan 50 detik.

    Kadar air benih cabai yang digunakan sesuai dengan taraf perlakuan (4.31%, 6.33%,

  • J Fitopatol Indones Najah et al.

    117

    dan 8.25%) dilaksanakan dengan metode oven suhu konstan rendah 103 ± 2 °C selama 17 ± 1 jam berdasarkan pada ISTA (2014). Penurunan kadar air dilakukan dengan menimbang bobot benih awal kemudian diletakkan dalam wadah plastik tertutup yang di bawahnya berisi silika gel, setelah itu ditimbang sampai mencapai bobot benih yang diharapkan. Penurunan kadar air ± 2% diperlukan waktu selama ± 12 jam pada suhu ± 27 °C dan RH 54%. Peningkatan kadar air dilakukan dengan menimbang bobot benih awal kemudian diletakkan dalam wadah plastik tertutup yang di bawahnya berisi air, setelah itu ditimbang sampai mencapai bobot benih yang diharapkan. Peningkatan kadar air ± 2% memerlukan waktu ± 3 jam pada suhu ± 27 °C dan RH 54%. Kisaran bobot benih dengan kadar air yang diharapkan dihitung dengan rumus (ISTA 2014):

    100 – KA awal100 – KA yang diharapkan × B, denganA =

    A, bobot benih pada kadar air tertentu; KA, kadar air; B, bobot benih awal.

    Benih cabai dengan tiga macam kadar air diberi paparan gelombang mikro menggunakan oven microwave dengan frekuensi 2450 MHz dan daya 450 W (Aladjadjiyan 2010) dengan enam waktu perlakuan.

    Benih cabai diletakkan pada cawan petri terbuka kemudian dimasukkan ke dalam oven microwave dan diatur sesuai lama paparan, setelah itu dilakukan uji viabilitas dan kesehatan benih. Sebanyak 200 butir benih cabai (4 ulangan masing-masing 50 butir) ditanam pada cawan petri berisi 3 lapis kertas CD (Purbojati dan Suwarno 2006) yang dibasahi dengan akuades steril menggunakan metode di atas kertas (ISTA 2014). Pengamatan dilakukan terhadap peubah daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum, dengan rumus:

    DB (%) =Ʃ KN Hitungan I + Ʃ KN Hitungan II

    Ʃ benih yang ditanam × 100%, dan

    PTM (%) = Ʃ benih yang tumbuhƩ benih yang ditanam × 100%, dengan

    DB, daya berkecambah; KN Hitungan I, jumlah kecambah normal pada 7 hari setelah tanam (HST); KN Hitungan II, jumlah

    kecambah normal pada 14 HST; PTM, potensi tumbuh maksimum.

    Pengaruh Lama Paparan Gelombang Mikro terhadap Perkembangan Colletotrichum spp. Terbawa Benih Cabai

    Percobaan ini bertujuan mendapatkan lama paparan gelombang mikro yang dapat mengendalikan Colletotrichum spp. terbawa benih cabai dengan tetap mempertahankan mutu fisiologi. Benih yang digunakan ialah benih yang dirontokkan dari bagian buah cabai yang sakit. Percobaan disusun dalam RAL dengan lama paparan gelombang (0, 10, 20, 30, 40, dan 50 detik) dan perlakuan fungisida sistemik berbahan aktif benomil 0.5 g L-1.Perlakuan fungisida dilakukan dengan me-rendam benih selama 5 jam pada konsentrasi 0.5 g L-1 (Yulianty dan Tripeni 2007).

    Deteksi Cendawan Patogen Terbawa Benih Cabai

    Deteksi jenis dan jumlah cendawan yang menginfeksi benih dilakukan dengan metode agar-agar (Mathur dan Kongsdal 2003). Sebanyak 200 butir (4 ulangan masing-masing 50 butir) direndam larutan NaOCl 1% selama 1 menit, kemudian dibilas dengan akuades steril sebanyak 2 kali dan dikeringanginkan di atas tisu steril. Sebanyak 25 butir benih ditanam dalam cawan petri berisi medium agar-agar dekstrosa kentang (ADK), kemudian diinkubasi selama 7 hari pada suhu 25 °C dengan penyinaran near ultra violet (NUV) 12 jam terang dan 12 jam gelap secara bergantian di ruang inkubasi. Cendawan pada benih diamati menggunakan mikroskop.Pengamatan persentase tingkat infeksi dilakukan terhadap semua jenis cendawan Colletotrichum spp. terbawa benih. Tingkat infeksi (TI) cendawan terbawa benih dihitung menggunakan rumus :

    TI (%) = jumlah benih yang terinfeksijumlah benih yang ditanam × 100%

    Pemurnian cendawan asal benih dilakukan pada medium ADK. Identifikasi cendawan dilakukan terhadap koloni dan bentuk konidia berdasarkan Smith dan Black (1990), dan Than et al. (2008).

  • J Fitopatol Indones Najah et al.

    118

    Uji Kesehatan BenihUji kesehatan benih dilakukan terhadap

    benih dengan kadar air terbaik pada percobaan pengaruh kadar air. Sebanyak 200 butir benih (4 ulangan masing-masing 50 butir) yang telah dipapar dengan gelombang mikro dan perlakuan fungisida benomil diuji kesehatan benih dengan menumbuhkannya pada medium ADK, diamati persentase infeksi, dan diidentifikasi seperti pada metode deteksi cendawan patogen terbawa benih.

    Pengamatan persentase efikasi dilakukan terhadap cendawan C. acutatum yang dihitung dengan rumus (Ditjen PSP 2013):

    TE (%) =(TIK–TIP)

    TIP× 100%, dengan

    TE, tingkat efikasi; TIK, tingkat infeksi C. acutatum pada kontrol; TIP, tingkat infeksi C. acutatum pada perlakuan.

    Analisis DataHasil pengamatan dianalisis menggunakan

    uji F, apabila menunjukkan pengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut dengan uji duncan multiple range test pada taraf nyata 5%. Uji lethal dose (LD50) dilakukan pada benih yang mempunyai kadar air terbaik menggunakan curve-fit analysis.

    HASIL

    Viabilitas Benih CabaiInteraksi antara kadar air benih dan lama

    paparan gelombang mikro berpengaruh terhadap viabilitas benih, yaitu daya berkecambah (DB) dan potensi tumbuh maksimum (PTM). Lama paparan gelombang mikro 10 detik pada beberapa tingkat kadar air belum dapat menurunkan viabilitas benih. Benih berkadar air rendah (4.31%) memiliki viabilitas yang tetap tinggi meskipun dipapar gelombang mikro sampai 40 detik, sedangkan benih berkadar air sedang (6.33%) dan tinggi (8.25%) mengalami penurunan viabilitas setelah dipapar gelombang mikro mulai dari 20 detik (Tabel 1).

    Pengaruh gelombang mikro pada kadar air rendah (4.31%) berbeda antara tolok ukur DB dan PTM. Viabilitas pada tolok ukur

    DB dapat dipertahankan sampai paparan gelombang mikro 30 detik sedangkan viabilitas pada tolok ukur PTM dapat dipertahankan sampai 40 detik. Penentuan lama paparan gelombang mikro yang terbaik dilakukan dengan uji LD50. Uji tersebut dapat menentukan lama paparan gelombang mikro yang mengakibatkan kematian benih cabai mencapai 50%. Hasil analisis LD50 pada benih cabai yang dipapar dengan gelombang mikro pada 6 taraf pemaparan menghasilkan kurva polynomial fit dengan persamaan (y= 7.91 – 1.08x + 6.53x2 – 1.18x3). Nilai LD50 yang diperoleh dari persamaan tersebut, yaitu 50.19 detik (Gambar 1).

    Daya Berkecambah dan Infeksi Colletotrichum spp. pada Benih Cabai

    Koloni yang diduga sebagai C. acutatum tumbuh lambat dan konidiumnya berbentuk fusiform, salah satu atau kedua ujungnya meruncing berukuran panjang 14 µm dan lebar 3.5 µm (Smith dan Black 1990; Than et al. 2008). Koloni yang diduga sebagai C. capsici tumbuh lebih cepat dan bentuk konidiumnya falcate seperti bulan sabit berukuran panjang 21 µm dan lebar 3 µm (Than et al. 2008). Cendawan yang pertumbuhannya sangat cepat dan bentuk konidiumnya silinder, kedua ujungnya membulat berukuran panjang 13.5 µm dan lebar 4 µm diduga sebagai C. gloeosporioides (Smith dan Black 1990; Than et al. 2008). Cendawan yang memiliki pertumbuhan sangat cepat dan bentuk konidiumnya silinder yang berukuran lebih besar disebut Colletrotrichum sp. karena belum dapat ditetapkan specific epithet-nya (Gambar 2).

    Colletotrichum yang terbawa benih cabai ada 4 spesies, yaitu C. capsici, C. gloeosporioides, Colletotrichum sp., dan C. acutatum . C. acutatum merupakan cendawan yang paling banyak menginfeksi benih cabai , dengan tingkat infeksi mencapai 33% (Tabel 2).

    Benih dengan kadar air 4.36% memiliki viabilitas yang tetap stabil sampai paparan gelombang mikro 40 detik, sedangkan perlakuan fungisida benomil dapat me-ningkatkan viabilitas benih cabai (Tabel 3).

  • J Fitopatol Indones Najah et al.

    119

    Kadar air* Lama paparan gelombang mikro (detik)0 10 20 30 40 50Daya berkecambah (%)

    Rendah 79.0 a 74.0 ab 74.0 ab 73.0 ab 65.0 b 40.0 cSedang 73.5 ab 72.5 ab 36.0 cd 24.5 e 28.0 de 1.0 fTinggi 68.5 ab 69.0 ab 3.5 f 2.5 f 2.5 f 0.0 f

    Potensi tumbuh maksimum (%)Rendah 83.0 a 78.0 a 77.0 a 78.0 a 75.5 a 46.0 bSedang 76.5 a 74.0 a 54.0 b 33.0 c 31.0 c 2.0 dTinggi 73.0 a 71.5 a 8.5 d 7.5 d 6.0 d 0.0 d

    Tabel 1 Interaksi kadar air dan lama paparan gelombang mikro terhadap daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum

    *Tingkat kadar air rendah, sedang, tinggi berturut-turut ialah 4.31%, 6.33%, dan 8.25%.Angka-angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom dan baris pada masing-masing tolok ukur menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf nyata 5%

    Gambar 2 Koloni (atas) dan massa konidium (bawah) Colletotrichum spp. pada medium agar-agar dekstrosa kentang selama 14 hari. a, C. acutatum; b, C. capsici; c, C. gloeosporioides; d, Colletotrichum sp.

    a b c d10 µm 10 µm 10 µm 10 µm

    Gambar 1 Nilai LD50 berdasarkan persentase daya berkecambah benih cabai kadar air 4.31% selama paparan gelombang mikro

    Lama paparan gelombang mikro (detik)

    Day

    a be

    rkec

    amba

    h (%

    )

    0.0 9.2 18.3 27.5 36.7 45.8 55.036.1

    43.9

    51.7

    59.5

    67.3

    75.1

    82.9

    LD50 = 50.19

    S = 0.56343617r = 0.99968548

  • J Fitopatol Indones Najah et al.

    120

    Lama paparan (detik)

    Daya berkecambah (%)

    0 27.5 b10 23.0 bc20 26.5 b30 30.0 b40 28.5 b50 13.0 cBenomil 44.5 a

    Tabel 3 Pengaruh lama paparan gelombang mikro dan pemberian fungisida terhadap daya berkecambah benih cabai berkadar air 4.36%

    Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α 0.05

    Tabel 4 Pengaruh lama paparan gelombang mikro dan pemberian fungisida terhadap tingkat infeksi Colletotrichum spp.

    Patogen Tingkat infeksi benih pada paparan gelombang mikro .......detik0 10 20 30 40 50 BenomilC. acutatum 56.0 a 48.5 ab 44.0 b 33.0 c 20.0 de 17.0 e 28.5 cdC. capsici 2.0 abc 1.0 bc 0.5 bc 2.5 ab 3.0 a 0.0 c 0.5 bcC. gloeosporioides 6.0 a 2.5 ab 3.0 ab 2.5 ab 5.5 a 2.5 ab 0.0 bColletotrichum sp. 1.5 b 5.5 a 3.0 ab 3.5 ab 3.0 ab 1.0 ab 0.5 b

    Lama paparan (detik)

    Tingkat efikasi (%)

    0 0.010 13.420 21.430 41.140 64.350 69.6Benomil 49.1

    Tabel 5 Tingkat efikasi paparan gelombang mikro dan fungisida benomil terhadap tingkat infeksi Colletotrichum acutatum

    Patogen Tingkat infeksi Colletotrichum acutatumC. capsici C. gloeosporioidesColletotrichum sp.

    33132

    Tabel 2 Tingkat infeksi (%) Colletotrichum spp. pada benih cabai

    Semakin lama paparan gelombang mikro, tingkat infeksi C. acutatum semakin menurun. Berbeda halnya dengan tingkat infeksi cendawan Colletotrichum lainnya yang tidak terpengaruh nyata oleh durasi paparan gelombang mikro 40 detik karena tingkat infeksi awal yang sangat rendah (Tabel 4).

    Paparan gelombang mikro 40 detik efektif menurunkan tingkat infeksi C. acutatum dengan tingkat efikasi sebesar 64.3%. Perlakuan fungisida benomil juga dapat menurunkan tingkat infeksi C. acutatum dengan tingkat efikasi sebesar 49.1% (Tabel 5).

    PEMBAHASAN

    Benih berkadar air tinggi mengalami penurunan viabilitas lebih cepat ketika dipapar gelombang mikro dibandingkan dengan benih berkadar air rendah. Hal tersebut diduga karena benih mempunyai kadar air tinggi sehingga mengalami kenaikan suhu yang lebih tinggi saat diiradiasi. Gaurilcikiene et al. (2013) menyatakan bahwa air merupakan molekul polar bermuatan positif dan negatif sehingga ketika mendapat paparan gelombang mikro, molekul-molekul polar bergetar cepat saling bergesekan sehingga menimbulkan panas. Pemanasan tersebut dapat meningkatkan suhu benih sehingga menghambat perkecambahan benih hingga mengakibatkan kematian benih.

    Viabilitas benih gandum dapat di-pertahankan sampai lama paparan gelombang mikro 30 detik pada kadar air 10% (Knox et al. 2013). Sedangkan viabilitas benih jagung manis dapat dipertahankan sampai lama paparan gelombang mikro 30 detik pada kadar air 12.31% (Arengka 2014).

    Angka pada baris yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α 0.05

  • J Fitopatol Indones Najah et al.

    121

    Nilai LD50 menunjukkan bahwa pada lama paparan gelombang mikro 50.19 detik mengakibatkan daya berkecambah benih cabai mencapai 50%. Berdasarkan nilai LD50 tersebut maka lama paparan gelombang mikro 40 detik masih dapat mempertahankan viabilitas benih di atas 50%.

    Colletotrichum acutatum, C. capsici, C. gloeosporioides dan Colletotrichum sp. ditemukan pada benih cabai. Tiga spesies pada benih cabai ini sesuai dengan laporan Than et al. (2008). Selain itu, spesies Colletotrichum juga dapat menginfeksi beberapa tanaman inang seperti C. acutatum menginfeksi cabai (Than et al. 2008), strawberi (Peres et al. 2005; Than et al. 2008), almond, jeruk, blueberi, dan apel (Peres et al. 2005). Demikian juga, C. capsici dapat menginfeksi sawi (Mahmodi et al. 2013); C. gloeosporioides dapat menginfeksi mangga (Than et al. 2008). Cendawan C. acutatum merupakan cendawan yang paling banyak menginfeksi benih cabai. Syukur et al. (2007) melaporkan bahwa dari 13 isolat Colletotrichum yang diperoleh dari 6 daerah di Indonesia, 7 isolat merupakan C. acutatum.

    Paparan gelombang mikro selama 40 detik pada benih cabai efektif menurunkan tingkat infeksi C. acutatum dengan tingkat efikasi sebesar 64.3% dan tetap mempertahankan viabilitas benih. Nelson (2011) menyatakan bahwa benih yang terinfeksi penyakit ketika dipapar dengan gelombang mikro akan terjadi peningkatan suhu secara cepat yang mengakibatkan rusaknya dinding sel cendawan, degradasi protein, inaktivasi enzim, penurunan viabilitas konidia dan kematian sel-sel hifa cendawan.

    Tylkowska et al. (2010) melaporkan bahwa pemanasan gelombang mikro selama 45 dan 60 detik pada benih buncis dapat menghilang-kan infeksi Penicillium spp. sebesar 100% dengan tetap mempertahankan viabilitas benih. Sementara itu, Knox et al. (2013) melaporkan bahwa pemanasan gelombang mikro 15 detik pada benih gandum dapat menurunkan tingkat infeksi cendawan Fusarium spp. dan Microdochium nivale masing-masing sebesar 72% dan 77%.

    Arengka (2014) melaporkan bahwa pemanasan gelombang mikro 30 detik pada benih jagung manis dapat menurunkan tingkat infeksi Fusarium subglutinans dan A. niger sebesar 75.0% dan 54.8% dengan tetap mempertahankan viabilitas benih. Friesen et al. (2014) juga melaporkan bahwa pemanasan gelombang mikro 30 dan 40 detik pada benih buncis dapat menurunkan tingkat infeksi C. lindemuthianum masing-masing sebesar27.3% dan 33.3% dengan tetap mem-pertahankan viabilitas benih.

    Perlakuan fungisida benomil juga dapat menurunkan tingkat infeksi terutama C. acutatum dengan tingkat efikasi sebesar 49.1%. Hal ini sesuai dengan penelitian Peres et al. (2004) yang melaporkan bahwa benomil merupakan fungisida yang paling efektif mengendalikan penyakit antraknosa pada buah jeruk, terutama cendawan C. acutatum dan C. gloeosporioides.

    Gelombang mikro efektif mengendalikan C. acutatum pada benih cabai dengan kadar air 4.31% selama 40 detik tanpa merusak mutu fisiologi benih serta dapat digunakan secara cepat, mudah dan murah dibandingkan dengan penggunaan fungisida.

    UCAPAN TERIMA KASIH

    Penulis menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah Daerah Provinsi Maluku yang telah memberikan dana pendidikan dan penelitian melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri.

    DAFTAR PUSTAKA

    Aladjadjiyan A. 2010. Effect of microwave irradiation on seeds of lentils (Lens culinaris, MED). Roman J Biophys. 20(3):213–221.

    Arengka D. 2014. Pemanfaatan gelombang mikro untuk mengendalikan patogen terbawa benih jagung manis (Zea mays saccharata Sturt.) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

    [BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Produksi cabai besar, cabai rawit, dan bawang merah

  • J Fitopatol Indones Najah et al.

    122

    tahun 2014. http://www.bps.go.id/website/brs_ind [diakses 10 Feb 2016].

    Brodie G. 2012. Applications of microwave heating in agricultural and forestry related industries. Di dalam: Wenbin Cao, editor. The Development and Application of Microwave Heating. Rijeka (HR): In Tech. hlm 45–78.

    Deising HB, Reimann S, Pascholati SF. 2008. Mechanisms and significance of fungicide resistance. Brazil J Microbiol. 39:286–295. DOI: http://dx.doi.org/10.1590/S1517-83822008000200017.

    [Ditjen PSP]. Direktorat Jendral Prasarana dan Sarana Pertanian. 2013. Metode Standar Pengujian Efikasi Fungisida. Jakarta (ID): Ditjen PSP.

    Friesen AP, Conner RL, Robinson DE, Barton WR, Gillard CL. 2014. Effect of microwave radiation on dry bean seed infected with Colletotrichum lindemuthianum with and without the use of chemical seed treatment. Can J Plant Sci. 94:1373–1384. DOI: http://dx.doi.org/10.4141/cjps-2014-035.

    Gaurilcikiene I, Ramanauskiene J, Dagys M, Simniskis R, Dabkevicius Z, Suproniene S. 2013. The effect of strong microwave electric field radiation on: (2) wheat (Triticum aestivum L.) seed germination and sanitation. Zemdirb Agric. 100(2):185–190. DOI: http://dx.doi.org/10.13080/z-a.2013.100.024.

    [ISTA] International Seed Testing Association. 2014. International Rules for Seed Testing. Switzerland (CH): ISTA.

    Iuliana C, Caprita R, Giancarla V, Sorina R, Genoveva B. 2013. Response of barley seedling to microwave at 2.45 GHz. Animal Sci Biotech. 46(1):185–191.

    Knox OGG, McHugh MJ, Fountaine JM, Havis ND. 2013. Effects of microwave on fungal pathogens of wheat seed. Crop Prot. 50:12–16. DOI: http://dx.doi.org/10.1016/j.cropro.2013.03.009.

    Mahmodi F, Kadir JB, Wong MY, Nasehi A, Soleimani N, Puteh A. 2013. First report of anthracnose caused by Colletotrichum capsici on Bok choy (Brassica chinensis) in Malaysia. Plant Dis. 97:687. DOI:

    http://dx.doi.org/10.1094/PDIS-09-12-0843-PDN.

    Mathur SB, Kongsdal O. 2003. Common Laboratory Seed Health Testing Methods for Detecting Fungi. Ed ke-1. Denmark (DK): ISTA.

    Nelson S. 2011. A half century of research on agricultural applications for RF and microwave dielectric heating. ASABE Journal. Paper No. 1110849. DOI: http://dx.doi.org/10.13031/2013.37336.

    Peres NA, Souza NL, Peever TL, Timmer LW. 2004. Benomyl sensitivity of isolates of Colletotrichum acutatum and C. gloeosporioides from citrus. Plant Dis. 88(2):125–130. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PDIS.2004.88.2.125.

    Peres NA, Timmer LW, Adaskaveg JE, Correll JC. 2005. Lifestyles of Colletotrichum acutatum. Plant Dis. 89(8):784–796. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PD-89-0784.

    Purbojati L, Suwarno FC. 2006. Studi alternatif substrat kertas untuk pengujian viabilitas benih dengan metode uji diatas kertas. Bul Agron. 34(1):55–61.

    Smith BJ, Black LL. 1990. Morphological, cultural, and pathogenic variation among Colletotrichum species isolated from strawberry. Plant Dis. 74:69–76. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PD-74-0069.

    Syukur M, Sujiprihati S, Koswara J, Widodo. 2007. Pewarisan ketahanan cabai (Capsicum annuum L.) terhadap antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum acutatum. Bul Agron. 35(2):112–117.

    Syukur M, Sujiprihati S, Yunianti R, Kusumah DA. 2010. Evaluasi daya hasil cabai hibrida dan daya adaptasinya di empat lokasi dalam dua tahun. J Agron Indonesia. 38(1):43–51.

    Than PP, Jeewon R, Hyde KD, Pongsupasamit S, Mongkolporn O, Taylor PWJ. 2008. Characterization and pathogenicity of Colletotrichum species associated with anthracnose on chilli (Capsicum spp.) in Thailand. Plant Pathol. 57:562–572. DOI: http://dx.doi.org/10.1111/j.1365-3059.2007.01782.x.

    http://www.bps.go.id

  • J Fitopatol Indones Najah et al.

    123

    Tylkowska K, Turek M, Prieto RB. 2010. Health, germination and vigour of common bean seeds in relation to microwave irradiation. Phytopathology. 55:5–12.

    Yulianty, Tripeni TH. 2007. Pengaturan lama perendaman benih cabai (Capsicum annuum L.) dalam fungisida berbahan aktif benomyl untuk menekan perkembangan penyakit antraknosa (Colletotrichum capsici). J Sains MIPA. 13(1):49–54.

    Widodo. 2007. Status of chili anthracnose in Indonesia. Di dalam: First International Symposium on Chili Anthracnose; 2007 Sep 17–19; Seoul (KR): Seoul National University. hlm 17–19.

    Zhang WJ, Jiang FB, Ou JF. 2011. Global pesticide consumption and pollution: with China as a focus. Proceedings IAEES. 1(2):125–144.

  • Volume 12, Nomor 4, Juli 2016Halaman 124–132

    DOI: 10.14692/jfi.12.4.124ISSN: 0215-7950

    *Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Jalan Kamper, Kampus IPB, Darmaga, Bogor 16680Tel: 0251-8629364, Faks: 0251-862962, Surel: [email protected]

    124

    Komparasi Metode Isolasi DNA Patogen Antraknosa dan Bulai untuk Deteksi PCR

    Comparison of DNA Isolation Methods of Anthracnose and Downy Mildew Pathogens for PCR Detection

    Ade Syahputra, Kikin Hamzah Mutaqin*, Tri Asmira DamayantiInstitut Pertanian Bogor, Bogor 16680

    ABSTRAK

    Teknik polymerase chain reaction (PCR) sangat penting untuk kegiatan deteksi, identifikasi dan pemantauan organisme pengganggu tumbuhan karantina di wilayah Indonesia. Teknik ini perlu didukung dengan metode isolasi DNA yang memadai untuk menyiapkan DNA templat. Tujuan penelitian ialah mengevaluasi beberapa metode isolasi DNA, yaitu secara konvensional, FTA-card dan modifikasinya, serta kit komersial untuk digunakan dalam teknik deteksi PCR yang optimum terhadap Colletotrichum acutatum dan Peronosclerospora sorghi berturut-turut sebagai patogen pada buah cabai dan tanaman jagung. DNA hasil isolasi masing-masing metode tersebut diukur dengan UV-vis nanodrop-spektrofotometer dan selanjutnya untuk PCR digunakan konsentrasi DNA templat, yaitu 15 ng µL-1 dan konsentrasi primer, yaitu 0.4; 0.6; 0.8; dan 1.0 µM untuk setiap metode isolasi. Hasil penghitungan menunjukkan bahwa konsentrasi DNA tertinggi hasil isolasi diperoleh melalui metode konvensional pada C. acutatum asal buah cabai dan P. sorghi asal daun jagung. Kemurnian DNA yang baik dari hasil isolasi diperoleh pada C. acutatum asal buah dengan kit komersial (nilai 1.94) dan C. acutatum asal biakan murni secara konvensional (nilai 1.91). Jumlah DNA total tertinggi secara nyata untuk kedua patogen diperoleh melalui metode FTA-card yang dimodifikasi untuk C. acutatum asal biakan murni. PCR menggunakan keempat konsentrasi primer menunjukkan seluruh target berhasil diamplifikasi walaupun terdapat perbedaan ketebalan pita DNA. Lebih lanjut PCR menggunakan konsentrasi primer yang optimal pada ketiga metode isolasi menunjukkan bahwa semua contoh DNA menghasilkan pita DNA amplikon yang tebal dan merata.

    Kata kunci: Colletotrichum acutatum, karantina, Peronosclerospora sorghi

    ABSTRACT

    Polymerase chain reaction (PCR) is an important tool for detection, identification and monitoring of quarantine pests in Indonesia. DNA isolation method from target organism is an important step to provide adequate DNA template for performing PCR. Objective of the research was to compare conventional, commercial kit, FTA-card and its modification methods of DNA isolation to be used in PCR detection for Colletotrichum acutatum and Peronosclerospora sorghi from chili and maize, respectively. DNA obtained from various isolation methods were measured using UV-vis nanodrop-spectrophotometry. DNA amplification was performed using DNA concentration of 15 ng µL-1 from each isolation method with gradual primer concentrations of 0.4; 0.6; 0.8; and 1.0 mM. The highest concentration of DNA was achieved with conventional methods for C. acutatum from pure culture and P. sorghi from maize leaf. Best DNA purity was obtained from isolation method using commercial kit

  • J Fitopatol Indones Syahputra et al

    125

    for C. acutatum from infected fruit (1.94) and from conventional method for C. acutatum from pure culture (1.91). The highest total yield of isolated DNA was achieved by modified FTA-card for C. acutatum from pure culture. In general DNA amplification using various primer concentration gave positive results although DNA bands intensity was varied from faint to very bright. Furthermore PCR optimization using the best primer concentration from previous reaction showed that all DNA templates resulted in thick and bright DNA bands.

    Key words: Colletotrichum acutatum, Peronosclerospora sorghi, quarantine

    PENDAHULUAN

    Metode isolasi DNA untuk mendapatkan templat DNA yang akan digunakan dalam polymerase chain reaction (PCR) telah mengalami perkembangan mulai dari cara konvensional menggunakan larutan penyangga yang disiapkan sendiri hingga cara terkini menggunakan kit komersial. Penggunaan kit komersial berbasis formulasi larutan penyangga saat ini banyak dilakukan karena lebih efisien dan praktis. Teknik PCR mensyaratkan komponen templat DNA yang digunakan memiliki kemurnian dan konsentrasi tinggi sehingga amplifikasi dapat berlangsung optimum. Tingkat kemurnian,konsentrasi, dan kualitas DNA sangat di-tentukan oleh metode isolasi DNA. Perbedaan kandungan DNA kontaminan dan adanya DNA bukan target menyebabkan perbedaan metode isolasi DNA organisme. Pemilihan metode isolasi DNA yang tepat dan memadai berperan penting untuk keberhasilan teknik PCR (Tan dan Yiap 2009).

    Deteksi dan identifikasi patogen tumbuhan menggunakan teknik PCR, sudah banyak dilakukan petugas karantina tumbuhan. Hal ini terkait dengan tindakan pencegahan dan pemantauan terhadap pemasukan dan penyebaran organisme pengganggu tumbuhan karantina (OPTK) di wilayah Indonesia (BKP 2007).

    Penelitian ini bertujuan mengevaluasi tiga metode isolasi DNA untuk mendeteksi Colletotrichum acutatum penyebab penyakit antraknosa pada cabai dan Peronosclerospora sorghi penyebab penyakit bulai pada jagung dengan metode PCR.

    BAHAN DAN METODE

    Penyiapan Bahan Tanaman dan Isolat Patogen

    Penelitian ini menggunakan buah cabai bergejala antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum dan daun jagung bergejala bulai yang disebabkan oleh P. sorghi. Isolat C. acutatum diisolasi dari buah cabai bergejala antraknosa dan dibuat biakan murni. Selanjutnya miselium C. acutatum diperbanyak pada medium potato dextrose broth (PDB) digunakan sebagai material isolasi DNA. Isolasi DNA cendawan P. sorghi menggunakan daun bergejala karena patogen bulai tidak bisa ditumbuhkan pada medium buatan. Sampel tanaman uji diperoleh dari kebun petani di Kelurahan Situgede, Kota Bogor.

    Isolasi DNA Total C. acutatum dan P. sorghiIsolasi DNA total secara konvensional dari

    jaringan buah cabai dan daun jagung sakit dilakukan dengan metode Warburton dan Hoisington (2001). Sebanyak 0.1 g jaringan dipotong-potong kecil dan dikeringbekukan dengan nitrogen cair, lalu digerus menjadi tepung menggunakan mortar. Hasil gerusan diresuspensi dengan 400 µL bufer ekstraksi (1 M Tris pH 8, 5 M NaCl, 0.5 M EDTA, 2% CTAB, dan 1.25% β-merkaptoetanol) dan diinkubasi pada suhu 65 ºC selama 60 menit dalam penangas air. Suspensi dihomogenasi dengan dibolak-balik setiap 10 menit. Sebanyak 500 µL kloroform:isoamilalkohol (CI) [24:1, v/v] ditambahkan ke dalam suspensi dan disentrifugasi pada kecepatan 3500 rpm selama 20 menit pada suhu 4 °C. Supernatan dipindahkan ke tabung baru dan

    http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=Tan SC%5Bauth%5Dhttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=Yiap BC%5Bauth%5D

  • J Fitopatol Indones Syahputra et al

    126

    ditambahkan 1× volume isopropanol. Pelet DNA diendapkan dengan sentrifugasi pada kecepatan 12 000 rpm selama 20 menit. Supernatan dibuang, pelet dicuci dengan etanol 70% dengan sentrifugasi kecepatan 8000 rpm selama 5 menit. Pelet DNA dikeringanginkan, kemudian dilarutkan dalam 75 µL bufer TE 1× (10 mM Tris-HClpH 8,1 mM EDTA).

    Isolasi DNA miselium C. acutatum yang berumur 4 hari dilakukan menurut Abd-Elsalam et al. (2003) dengan modifikasi minor.Miselium dari biakan dalam medium cair dekstrosa kentang dipanen dengan penapisan menggunakan kertas saring.Sebanyak 0.1 gdikeringbekukan dengan nitrogen cair, lalu digerus menjadi tepung dengan mortar. Hasil gerusan dipindahkan ke tabung mikro 1.5 mL dan dicuci dengan 500 µL bufer TE 1×. Suspensi disentrifugasi pada kecepatan 13 000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang, sedangkan pelet ditambah 300 µL bufer ekstraksi (200 mM Tris-HCl pH 8.5, 250 mM NaCl, 25 mM EDTA, dan sodium dodecyl sulphate 0.5%) dan dikocok selama 5 menit.Sebanyak 150 µL natrium asetat (pH 5.2) ditambahkan ke suspensi dan diinkubasi pada suhu 20 °C selama 10 menit. Suspensi disentrifugasi pada kecepatan 13 000 rpm selama 5 menit pada suhu 4 °C. Supernatan dimasukkan ke tabung baru dan ditambahkan isopropanol dengan volume yang sama, lalu disentrifugasi pada kecepatan 13 000 rpm selama 10 menit. Pelet DNA diambil dan dicuci dengan 500 µL etanol 70% melalui sentrifugasi pada kecepatan 8000 rpm selama 5 menit, lalu dikeringanginkan pada suhu ruang. Selanjutnya pelet DNA dilarutkan dalam 75 µL bufer TE 1× kemudian simpan pada suhu -20 °C.

    Isolasi DNA total dari jaringan tanaman yang terinfeksi C. acutatum dan P. sorghi dilakukan dengan FTA-card standar sesuai protokol (Whatman 2000). Isolasi DNA C. acutatum dari buah cabai dan P. sorghi dari daun jagung juga dilakukan dengan metode FTA-card yang dimodifikasi, yaitu dengan penambahan 10 µL bufer TE 0.1 (10 mM Tris, 0.1 mM EDTA) ke dalam tabung PCR. Tabung PCR diletakkan dalam kondisi

    terbuka di dalam microwave dengan daya 1100 W selama 1 menit, selanjutnya bufer dan punch diaduk dengan menaikturunkan bufer menggunakan mikropipet sebanyak 2 kali. Pemanasan dengan microwave diulang sekali lagi. Punch dikeringanginkan pada suhu ruang selama 1 jam (dengan membuka penutup tabung PCR) atau dikeringkan di dalam oven bersuhu 56 °C selama 20 menit.

    Biakan murni C. acutatum berumur 4 hari pada medium agar-agar dekstrosa kentang dengan diameter 3 cm diambil menggunakan tusuk gigi, lalu dimasukkan ke dalam tabung PCR yang berisi 25 µL bufer TE 1×. Tabung PCR dengan posisi terbuka diletakkan didalam microwave dengan daya 1100 W selama 1 menit, selanjutnya contoh dan bufer diaduk dengan menaikturunkan bufer menggunakan mikropipet sebanyak 2 kali. Pemanasan dengan microwave diulang satu kali (Suzuki et al. 2006). Sebanyak 5 µL suspensi cendawan tersebut diambil, lalu diteteskan pada FTA-card dan dikeringkan pada suhu ruang selama 10 menit. FTA-card dipotong menggunakan Harris Micro Punch (diameter 2 mm). Isolasi DNA untuk kedua patogen menggunakan kit komersial (Philekorea Technology/PKT) dilakukan sesuai dengan protokol.

    Pengukuran Konsentrasi DNA Hasil Isolasi Konsentrasi DNA total pada metode

    kit dan konvensional langsung diukur dari hasil isolasi. DNA yang melekat pada potongan (punch) FTA-card diameter 2 mm diresuspensi dengan 10 µL bufer elusi yang sudah dipanaskan dengan suhu 65 °C selama 10 menit dalam tabung PCR. Setiap tabung PCR disentrifugasi pada kecepatan 13 000 rpm selama 3 menit agar DNA keluar dari punch FTA-card tersuspensi ke dalam bufer tersebut. DNA templat hasil isolasi berbagai metode tersebut diukur dengan meneteskan sebanyak 1 µL suspensi ke atas UV-Vis ®nanodrop-spektrofotometer yang diulang 3 kali.

    Jumlah DNA total yang berhasil diisolasi menggunakan metode FTA-card standar dan modifikasi dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

  • J Fitopatol Indones Syahputra et al

    127

    a × b × cdJumlah DNA total = , dengan

    a, konsentrasi DNA (ng µL-1); b, volume suspensi (10 µL); c, luas kertas FTA yang berisi contoh; d, luas satu punch (3.14 mm2).

    Jumlah DNA total yang diisolasi menggunakan metode konvensional dan kit dihitung berdasarkan hasil kali konsentrasi asam nukleat dengan volume larutan hasil resuspensi asam nukleat dari isolasi DNA(75 µL). Data pengamatan yang diperoleh ialah konsentrasi (ng µL-1), kemurnian (nisbah nilai absorbansi pada A260/280 untuk DNA protein), dan jumlah total DNA (mg).

    Data konsentrasi dan jumlah total DNA hasil isolasi disusun dalam rancangan acak lengkap dengan faktor perlakuan metode isolasi dengan masing-masing metode isolasi diulang sebanyak 3 kali. Analisis ragam dan uji perbandingan nilai tengah Tukey pada α 5% menggunakan peranti lunak Minitab 16.

    Amplifikasi PCRReaksi amplifikasi PCR untuk deteksi

    C. acutatum dan P. sorghi dilakukan menggunakan alat thermal cycler AB (Applied BiosystemTM) Veriti dengan total volume reaksi 25 µL. Pasangan primer yang digunakan dalam PCR ini adalah primer spesifik untuk masing-masing patogen yang dideteksi (Tabel 1). PCR dilakukan sebanyak 2 kali. PCR pertama (A), komponen reaksi PCR

    terdiri atas: Dream Taq Green PCR master mix (Thermo ScientificTM) 2× sebanyak 12.5 µL, primer forward dan reverse pada konsentrasi variabel untuk tujuan optimasi 0.4, 0.6, 0.8, dan 1 mM, masing-masing 1 µL, templat DNA sebanyak 15 ng µL-1, dan air bebas nuklease sebanyak 8.5–9.5 µL. Sebagai kontrol internal, pasangan primer ribulose biphosphate carboxylase/oxygenase gene (Rubisco L) dengan konsentrasi 0.2 µM masing-masing sebanyak 0.5 µL sebagai duplex PCR untuk C. acutatum pada buah, sedangkan PCR kedua (B) sebagai kontrol negatif untuk kedua patogen. PCR kedua (B) dilakukan persis seperti tahap pertama, namun konsentrasi primer yang digunakan ialah satu konsentrasi terbaik dari hasil PCR tahap pertama pada masing-masing metode isolasi.

    Semua amplikon hasil PCR dielektroforesis menggunakan agarosa 1.5 %, dalam larutan penyangga TAE 1×, pada daya 50 V, 70 mA, selama 50 menit dengan volume PCR produk 7.5 µL untuk tiap kolom. Gel agarosa diwarnai dengan larutan EtBr 10% selama 30 menit, divisualisasi dengan UV transilluminator dan didokumentasikan.

    HASIL

    Isolasi DNA C. acutatumKeberhasilan isolasi DNA dapat

    ditunjukkan oleh konsentrasi dan kemurnian

    Primer Urutan nukleotida (5’ 3’) dan siklus PCR Amplikon SumberC. acutatumCaInt2 GGGGAAGCCTCTCGCGG

    ±500 pb Brown et al. 1996ITS4 TCCTCCGCTTATTGATATGC

    [95 °C 5 mnt; 40X (95°C30 detik, 60 °C 30 detik, 72 °C 1 mnt); 72 °C 7 mnt, 4 °C~]

    P. sorghiPsUF CCAGCAACTCCAGTTATGGAA

    ±154 pb Rustiani et al. 2015PsUR CATGTACAATGGTRC TTGGAA

    [94 °C 2 mnt; 30X (94 °C 30 detik, 56 °C 1 mnt, 72 °C 1 mnt);72 °C5 mnt, 4 °C~]

    Kontrol internalRBCL-F535 CTTTCCAAGGCCCGCCTCA ±171 pb Nassuth et al. 2000RBCL-R705 CATCATCTTTGGTAAAATCAAGTCCA

    Tabel 1 Pasangan primer yang digunakan dalam PCR untuk deteksi Colletotrichum acutatum dan Peronosclerospora sorghi

  • J Fitopatol Indones Syahputra et al

    128

    DNA yang diperoleh dari masing-masing metode isolasi. Konsentrasi DNA total hasil C. acutatum dari buah tidak menunjukkan berbeda nyata antara ketiga metode uji (berkisar antara 7.1 dan 238.4 ng µL-1). Tingkat kemurnian DNA total hasil isolasi ketiga metode berkisar antara 1.52 dan 1.94. Tingkat kemurnian DNA dinyatakan memadai jika bernilai 1.8–2.0. Metode kit komersial merupakan metode yang memenuhi persyaratan tersebut, yaitu bernilai 1.94. Jumlah DNA total berkisar antara 0.53 dan 19.17 mg tidak menunjukkan perbedaan yang nyata di antara ketiga metode tersebut (Tabel 2).

    Konsentrasi DNA hasil isolasi C. acutatum dari biakan murni menunjukkan perbedaan yang nyata, yaitu metode konvensional menghasilkan konsentrasi tertinggi sebesar 45.8 ng µL-1 dari kedua metode isolasi lainnya yang berkisar antara 6.4 dan 20.2 ng µL-1.Kemurnian DNA total yang tergolong baik, yaitu 1.91 diperoleh dari metode konvensional. Jumlah DNA total menunjukkan perbedaan yang nyata, yaitu metode FTA-card modifikasi mencapai yang tertinggi (Tabel 2).

    Isolasi DNA P. sorghiKonsentrasi DNA total isolasi P. sorghi

    dari daun jagung juga menunjukkan perbedaan yang nyata dengan konsentrasi tertinggi sebesar 213.74 ng µL-1 diperoleh dari metode konvensional dibandingkan dengan kedua metode lainnya (6.1–23.9 ng µL-1). Kemurnian DNA total hasil isolasi P. sorghi pada ketiga metode berkisar 1.56–2.18, namun tidak ada yang tergolong baik yang masuk kisaran 1.8–2.0. Jumlah DNA total hasil isolasi P. sorghi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada ketiga metode tersebut (0.43-38.82 mg) (Tabel 2).

    Amplifikasi DNA C. acutatum Asal BuahPCR pertama C. acutatum dari buah

    menunjukkan hasil positif pada hampir semua metode isolasi yang ditunjukkan dengan terbentuknya pita DNA amplikon berukuran ± 500 pb. Namun kualitas pita DNA yang dihasilkan beragam untuk setiap metode dan konsentrasi primer. Pita DNA teramplifikasi cukup tebal diperoleh dari templat yang diisolasi dengan metode kit, sedangkan pita DNA lebih tipis diperoleh dari DNA templat yang diisolasi dengan metode FTA modifikasi.

    Metode isolasi Konsentrasi (ng µL-1) Kemurniana ∑ DNA total (mg)C. acutatum dari buah cabai sakit

    Kit 7.1 ± 3.3 a 1.94 0.53 ± 0.24 a FTA standar 9.7 ± 3.6 a 1.54 10.93 ± 4.40 a FTA modifikasi 17.3 ± 4.2 a 1.52 19.17 ± 3.79 a Konvensional 238.4 ± 197.4 a 1.57 17.88 ±14.81 a

    C. acutatum biakan murniKit komersial 20.2 ± 6.5 a 2.33 1.52 ± 0.48 a FTA standar 6.4 ± 2.9 a 1.55 7.50 ± 2.70 ab FTA modifikasi 10.7 ± 4.1 a 1.51 12.85 ± 5.24 b Konvensional 45.8 ± 8.4 b 1.91 3.43 ± 0.63 a

    P. sorghi dari daun jagung sakitKit komersial 6.1 ± 2.4 a 2.18 0.43 ± 0.21 a FTA standar 10.0 ± 2.2 a 1.60 14.80 ± 6.31 a FTA modifikasi 23.9 ± 10.0 a 1.56 38.82 ± 30.75 a Konvensional 213.7 ± 53.1 b 1.74 16.03 ± 3.99 a

    Tabel 2 Konsentrasi, kemurnian pada nilai absorbansi A260/280 dan jumlah total DNA hasil isolasi pada tiga metode untuk Colletotrichum acutatum dari buah cabai sakit dan biakan murni serta Peronosclerospora sorghi dari daun jagung sakit

    aTingkat kemurnian DNA dinyatakan memadai jika berada pada kisaran nilai 1.8–2.0 (Sambrook et al. 1989). Angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada Uji Tukey α 5%

  • J Fitopatol Indones Syahputra et al

    129

    Kontrol internal Rubisco L teramplifikasi PCR dengan produk ± 171 pb. PCR kedua menggunakan konsentrasi primer optimum untuk masing-masing metode, yaitu kit komersial 1.0 µM, FTA standar 0.8 µM, FTA modifikasi 0.8 µM, dan konvensional 0.8 µM. Semua hasil PCR menunjukkan pita DNA positif dengan ketebalan yang baik dan merata (Gambar 1).

    Amplifikasi DNA C. acutatum Asal Biakan Murni

    PCR pertama untuk C. acutatum asal biakan murni menunjukkan hasil positif berupa pita DNA amplikon berukuran ± 500 pb pada semua contoh DNA hasil isolasi keempat metode, namun kualitas pita DNA yang dihasilkan beragam pada setiap metode dan antar konsentrasi primer. Kontrol internal Rubisco L tidak teramplifikasi. PCR kedua untuk C. acutatum dari biakan murni diperbaiki dengan konsentrasi primer

    optimum terpilih, yaitu untuk metode kit komersial 1.0 µM, FTA standar 0.8 µM, FTA modifikasi 0.8 µM dan konvensional 0.8 µM, sehingga diperoleh hasil positif pada semua contoh dengan ketebalan pita DNA yang baik (Gambar 2).

    Amplifikasi DNA P. sorghi Asal DaunPCR pertama untuk P. sorghi dari daun

    jagung menunjukkan hasil positif untuk semua contoh DNA dari ketiga metode isolasi dengan kualitas pita DNA amplikon berukuran ± 154 pb yang baik dan merata ketebalannya. Walaupun PCR pertama sudah diperoleh hasil yang optimum dan memuaskan, PCR kedua pada patogen tersebut tetap dilakukan dengan menggunakan konsentrasi primer terpilih, yaitu untuk metode kit 0.8 µM, FTA standar 0.4 µM, FTA modifikasi 0.6 µM dan konvensional 0.4 µM yang juga diperoleh hasil positif untuk semua contoh dengan kualitas pita DNA yang baik dan merata (Gambar 3).

    Gambar 2 Amplifikasi DNA Colletotrichum acutatum hasil isolasi dari biakan murni menggunakan CaInt2/ITS4 dengan target produk ± 500 pb. a, PCR pertama dengan konsentrasi primer variabel 0.4, 0.6, 0.8 dan 1.0 µM; b, PCR kedua dengan konsentrasi primer optimum 0.8 atau 1.0 µM dengan masing-masing ulangan 1, 2 dan 3; K, metode kit komersial; Fs, FTA-card standar; Fi, modifikasi, Ko, konvensional; M, penanda 100 pb dan; (K[-]) kontrol negatif.

    500 pb

    K-0

    .4K

    -0.6

    K-0

    .8K

    -1.0

    Fs-0

    .4Fs

    -0.6

    Fs-0

    .8Fs

    -1.0

    M

    Fi-0

    .4Fi

    -0.6

    Fi-0

    .8Fi

    -1.0

    Ko-

    0.4

    Ko-

    0.6

    Ko-

    0.8

    Ko-

    1.0

    a171 pb

    K1-

    1.0

    K2-

    1.0

    K3-

    1.0

    Fs1-

    0.8

    Fs2-

    0.8

    Fs3-

    0.8

    M Fi1-

    0.8

    Fi2-

    0.8

    Fi3-

    0.8

    Ko1

    -0.8

    Ko2

    -0.8

    Ko3

    -0.8

    K[-

    ]

    b

    Gambar 1 Amplifikasi DNA Colletotrichum acutatum hasil isolasi dari buah cabai menggunakan CaInt2/ITS4 dengan target produk ± 500 pb. a, PCR pertama dengan konsentrasi primer variabel 0.4, 0.6, 0.8 dan 1.0 µM ; b, PCR kedua dengan konsentrasi primer optimum 0.8 atau 1.0 µM dengan masing-masing ulangan 1, 2 dan 3; K, metode kit komersial; Fs, FTA-card standar; Fi, modifikasi; Ko, konvensional;M, penanda 100 pb dan; (K[-]) kontrol negatif.

    500 pb

    171 pb

    K-0

    .4K

    -0.6

    K-0

    .8K

    -1.0

    Fs-0

    .4Fs

    -0.6

    Fs-0

    .8Fs

    -1.0

    M

    Fi-0

    .4Fi

    -0.6

    Fi-0

    .8Fi

    -1.0

    Ko-

    0.4

    Ko-

    0.6

    Ko-

    0.8

    Ko-

    1.0

    a171 pb

    K1-

    1.0

    K2-

    1.0

    K3-

    1.0

    Fs1-

    0.8

    Fs2-

    0.8

    Fs3-

    0.8

    M Fi1-

    0.8

    Fi2-

    0.8

    Fi3-

    0.8

    Ko1

    -0.8

    Ko2

    -0.8

    Ko3

    -0.8

    K[-

    ]

    b

  • J Fitopatol Indones Syahputra et al

    130

    PEMBAHASAN

    Metode isolasi DNA secara konvensional memiliki tahap yang panjang sehingga memerlukan alat dan bahan kimia atau bufer yang lebih banyak. Berbeda halnya dengan kit komersial atau FTA-card dan modifikasinya yang dikembangkan dengan tujuan lebih praktis, yakni melalui penggunaan kolom spin yang mengandung membran silika (Siddappa et al. 2007) dan kertas membran dengan hasil yang memadai. Kelebihan lain metode kit komersial ialah pemisahan metode berdasarkan target DNA atau RNA (Tan dan Yiap 2009).

    Isolasi DNA dengan FTA-card memiliki keuntungan pada waktu isolasi yang lebih singkat. Burgoyne (1996) sebagai penemu metode FTA-card mengatakan bahwa selain untuk isolasi di lapangan selanjutnya kertas yang berisi DNA/RNA tersebut dapat disimpan 1.5–11 tahun pada suhu ruang dan DNA/RNA masih dapat terdeteksi dengan baik (Whatman 2002). Keempat metode isolasi memiliki kemampuan mengisolasi DNA yang berbeda-beda. Konsentrasi DNA metode konvensional menunjukkan nilai tertinggi dibandingkan dengan FTA-card dan kit komersial. Menurut Tan dan Yiap (2009) metode konvensional adalah metode orisinal yang dikembangkan melalui tahap-tahap optimum dan lengkap dalam pemisahan asam nukleat, namun belum mempertimbangkan aspek kepraktisan.Rendahnya konsentrasi DNA pada metode kit komersial disebabkan adanya enzim RNase yang ditambahkan untuk mengeliminasi

    RNA. Begitu juga dengan metode FTA-card bahwa rendahnya konsentrasi asam nukleat kemungkinan terkontaminasi dengan bahan kimia yang terdapat dalam membran kertas FTA. Burgoyne (1996) melaporkan bahwa kertas FTA mengandung agens chaotropic seperti guanidine isothiocyanate yang berfungsi melisis dinding sel atau lemak.

    Nisbah kemurnian DNA yang diukur ialah nisbah nilai absorbansi DNA A260 dengan nilai absorbansi protein (kontaminan) A280.Menurut Sambrook et al. (1989) hasil isolasi DNA yang murni dengan nilai 1.8–2.0. Kemurnian DNA diatas nilai 2 dilaporkan mungkin terkontaminasi RNA dan dibawah nilai 1.8 karena terkontaminasi protein dan larutan fenol (Neil et al. 2011). Kemurnian DNA pada FTA standar selalu di bawah nilai 1.8, sedangkan metode kit cenderung lebih tinggi dari 2.0. Capote et al. (2012) melaporkan bahwa isolasi dengan metode kit menggunakan bahan-bahan tertentu dan kolom dapat menghasilkan asam nukleat dengan tingkat kemurnian yang tinggi. Tingkat nisbah kemurnian DNA yang relatif baik diperoleh pada metode konvensional yang menunjukkan kecenderungan mendekati nilai kemurnian ideal 1.8–2.0. Fitzgerald dan Burden (2014) melaporkan kisaran kemurnian DNA tanaman dari metode konvensional antara 1.72–1.90.

    Bobot DNA total dari hasil isolasi keempat metode dan kedua patogen tidak menunjukkan perbedaan yang sangat nyata. Kisaran bobot total DNA hasil isolasi yang diperoleh dari ketiga metode untuk kedua jenis patogen masih memadai untuk selanjutnya digunakan sebagai

    Gambar 3 Amplifikasi DNA Peronosclerospora sorghi hasil isolasi dari daun jagung menggunakan PsUF/PsUR dengan target produk ±154 pb. a, PCR pertama dengan konsentrasi primer variabel 0.4, 0.6, 0.8 dan 1.0 µM; b, PCR kedua dengan konsentrasi primer optimum 0.8 atau 1.0 µM dengan masing-masing ulangan 1, 2 dan 3; K, metode kit komersial; Fs, FTA-card standar ; Fi, modifikasi; Ko, konvensional; M, penanda 100 pb dan ; (K[-]) kontrol negatif.

    154 pb

    K-0

    .4K

    -0.6

    K-0

    .8K

    -1.0

    Fs-0

    .4Fs

    -0.6

    Fs-0

    .8Fs

    -1.0

    M

    Fi-0

    .4Fi

    -0.6

    Fi-0

    .8Fi

    -1.0

    Ko-

    0.4

    Ko-

    0.6

    Ko-

    0.8

    Ko-

    1.0

    a171pb

    K1-

    0.8

    K2-

    0.8

    K3-

    0.8

    Fs1-

    0.4

    Fs2-

    0.4

    Fs3-

    0.4

    M Fi1-

    0.6

    Fi2-

    0.6

    Fi3-

    0.6

    Ko1

    -0.4

    Ko2

    -0.4

    Ko3

    -0.4

    K[-

    ]

    b

    http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=Tan SC%5Bauth%5Dhttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=Yiap BC%5Bauth%5Dhttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=Tan SC%5Bauth%5Dhttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=Yiap BC%5Bauth%5D

  • J Fitopatol Indones Syahputra et al

    131

    templat DNA dalam PCR, yaitu berkisar antara 10 pg dan 1 mg (Thermo Scientific).

    Keberhasilan PCR untuk deteksi patogen tumbuhan salah satunya ditentukan oleh kualitas dan kuantitas templat DNA hasil isolasi dan komponen-komponen PCR lainnya termasuk konsentrasi primer. Menurut Sambrook et al. (1989) keberhasilan pengujian PCR tidak harus memiliki kemurnian DNA yang tinggi, tetapi dapat dipengaruhi oleh EDTA dan kloroform. Sharma et al. (2013)melaporkan bahwa perbedaan metode isolasi DNA pada patogen tanaman memberikan hasil yang berbeda terhadap konsentrasi dan kemurnian DNA.

    Konsentrasi primer optimum untuk uji PCR terhadap DNA dari tiap metode isolasi berbeda-beda. Hal ini disebabkan kualitas pita DNA untuk menentukan primer optimum dipengaruhi oleh konsentrasi primer itu sendiri selain konsentrasi templat DNA. Menurut Hoelzel dan Green (1992) kespesifikan dan kualitas PCR bergantung pada konsentrasi primer optimal, yaitu 0.1–2.0 µM.

    Duplex PCR menggunakan primer kontrol internal bertujuan memastikan proses pengujian PCR sudah benar, tidak terjadi kesalahan teknis preparasi/pengerjaan premix PCR. Kontrol internal menggunakan primer Rubisco L dapat mengamplifikasi dengan multiplex PCR Cassava mosaic Begomovirus pada singkong (Rajabu et al. 2013).

    Konsentrasi DNA paling tinggi diperoleh dari metode konvensional dan kemurnian DNA paling baik diperoleh dari metode kit dan konvensional. Templat DNA kedua patogen yang diperoleh dari metode FTA-card baik standar maupun modifikasi mampu teramplifikasi dengan PCR atau sebanding dengan templat DNA yang diisolasi dari metode kit dan konvensional. Metode isolasi ini dapat dimanfaatkan untuk koleksi dan penyimpanan sampel DNA patogen dari lapangan. Optimasi PCR terhadap konsentrasi primer dapat memberikan hasil terbaik serta penambahan volume amplikon pada saat elektroforesis untuk meningkatkan kualitas pita. Terdapat perbedaan pita DNA hasil PCR dari tiap konsentrasi primer (Loffert et

    al. 1999). Pita paling tebal diperoleh dengan konsentrasi primer paling tinggi.

    UCAPAN TERIMA KASIH

    Ucapan terima kasih disampaikan kepada Badan Karantina Pertanian, Balai Uji Terap Teknik dan Metode Karantina Pertanian dan Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian atas dukungan dana dan fasilitas penelitian.

    DAFTAR PUSTAKA

    Abd-Elsalam KA, Ibrahim N A, Abdel-Satar MA, Khalil MS, Verreet JA. 2003. PCR identification of Fusarium genus based on nuclear ribosomal-DNA sequence data. Afr J Biotech. 2(4):82–85. DOI: http://dx.doi.org/10.5897/AJB2003.000-1016.

    [BKP] Badan Karantina Pertanian. 2007. Pedoman Surveilensi Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina. Jakarta (ID): BKP.

    Brown AE, Sreenivasaprasad S, Timmer LW. 1996. Molecular characterization of slow-growing orange and key lime anthracnose strains of Colletotrichum from citrus as C. acutatum. Mol Plant Pathol. 86(5):523–527.

    Burgoyne LA, penemu; Flinders Technologies Pty. Ltd. 1999 Nov 16. Solid medium and method for DNA storage. Paten Amerika Serikat US 5985327.

    Capote N, Pastrana AM, Aguado A, Torres PS. 2012. Molecular tools for detection of plant pathogenic fungi and fungicide resistance. Di dalam: Cumagun CJ, editor. Plant Pathology. Slavka Krautzeka (HR): In Tech Europe. hlm 151–202.

    Fitzgerald FK, Burden DW. 2014. Evaluation of the synergy rapid plant DNA isolation Chemistry. Random Primers. 13:1–7.

    Hoelzel AR, Green A. 1992. Analysis of population-level variation by sequencing PCR-amplified DNA. Di dalam: Hoelzel AR, editor. Molecular Genetic Analysis of Populations: A Practical Approach. Oxford (UK): IRL Pr. Hhlm 159–187.

    Loffert D, Karger S, Twieling G, Ulber V, Kang J. 1999. Optimization of multiplex PCR.

  • J Fitopatol Indones Syahputra et al

    132

    Qiagen News. 2:5–8. http://download.b i o o n . c o m / v i e w / u p l o a d / 2 0 111 0 / 22223313_6772.pdf [diakses 14 Des 2015].

    Nassuth A, Pollari E, Helmeczy K, Stewart S, Kofalvi SA. 2000. Improved RNA extraction and one tube RT-PCR assay for simultaneous detection of control plant RNA plus several viruses in plant extract. J Virol Methods. 90(1):37–49. DOI: http://dx.doi.org/10.1016/S0166-0934(00)00211-1.

    Neil MO, McPartlin J, Arthure K, Riedel S, Mc Millan ND. 2011. Comparison of the TLDA with the nanodrop and the reference Qubit system. J Phys Conference Series. 307(1):1–6. DOI: http://dx.doi.org/10.1088/1742-6596/307/1/012047.

    Rajabu AC, Tairo F, Sseruwagi P, Rey ME, Ndunguru J. 2013. A single-tube duplex and multiplex PCR for simultaneous detection of four Cassava Mosaic Begomovirus species in cassava plants. J Virol Methods. 189(1):148–156. DOI: http://dx.doi.org/10.1016/j.jviromet.2012.10.007.

    Rustiani US, Sinaga MS, Hidayat SH, Wiyono S. 2015. Ecological characteristic of Peronosclerospora maydis in Java Indonesia. Int J Sci Basic Appl Res. 19(1):159–167.

    Sambrook J, Fritschi EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning: a Laboratory Manual Ed. Ke-2. New York (US): Cold Spring Harbor Laboratory Pr.

    Sharma K, Bhattacharjee R, Sartie A, Kumar PL. 2013. An improved method of DNA

    extraction from plants for pathogen detection and genotyping by polymerase chain reaction. Afr J Biotech. 12(15):1894–1901. DOI: 10.5897/AJB12.2096.

    Siddappa NB, Avinash A, Venkatramanan M, Ranga U. 2007. Regeneration of commercial nucleic acid extraction columns without the risk of carry over contamination. Bio Techniques. 42:186–192. DOI: http://dx.doi.org/10.2144/000112327.

    Suzuki S, Taketani H, Kusumoto KI, Kashiwagi Y. 2006. High-throughput genotyping of filamentous fungus Aspergillus oryzae based on colony direct polymerase chain reaction. J Bios Bioeng. 102(6):572–574. DOI: http://dx.doi.org/10.1263/jbb.102.572.

    Tan SC, Yiap BC. 2009. Review article DNA, RNA, and protein extraction: the past and the present. J Biomed Biotech. 2009:1–10. DOI: http://dx.doi.org/10.1155/2009/574398.

    Warburton ML, Hoisington D. 2001. Applications of molecular markers technique to the use of international germplasm collection. Di dalam: Henry RJ, editor. Plant Genotyping: the DNA Fingerprinting of Plants. Wallingford (UK): CABI Publishing. Hlm 89–93.

    Whatman Inc. 2002. FTA® Protocols: collect, transport, archiveand access nucleic acids – all at room temperature. WB120047. www.laboplus.pl/images/. . . /fta/fta_protocols.pdf[diakses 20 Okt 2015].

    http://download.bioon.com/view/upload/201110/ 22223313_6772.pdfhttp://download.bioon.com/view/upload/201110/ 22223313_6772.pdfhttp://download.bioon.com/view/upload/201110/ 22223313_6772.pdfhttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=Aloyce RC%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=23174160http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=Tairo F%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=23174160http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=Sseruwagi P%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=23174160http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=Rey ME%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=23174160http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=Rey ME%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=23174160http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=Ndunguru J%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=23174160http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23174160http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=Tan SC%5Bauth%5Dhttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=Yiap BC%5Bauth%5Dhttp://www.laboplus.pl/images/.../fta/fta_ protocols.pdfhttp://www.laboplus.pl/images/.../fta/fta_ protocols.pdf

  • Volume 12, Nomor 4, Juli 2016Halaman 133–141

    DOI: 10.14692/jfi.12.4.133ISSN: 0215-7950

    *Alamat penulis korespondensi: Program Studi Fitopatologi Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Jalan Kamper, Kampus Dramaga IPB, Bogor 16680Tel: 0251-8629364, Faks: 0251-8629362, Surel: [email protected]

    133

    Cendawan Endofit yang Potensial Meningkatkan Ketahanan Cabai Merah terhadap Penyakit Layu Bakteri

    Endophytic Fungi Potentially Increase Resistance of Chili Pepper Against Bacterial Wilt Disease

    Ana Feronika Cindra Irawati1, Yudi Sastro1, Sulastri2, Maggy Tenawidjaja Suhartono3, Kikin Hamzah Mutaqin3, Widodo3*

    1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta, Jakarta 125402Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta 10340

    3Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680

    ABSTRAK

    Penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum merupakan salah satu faktor pembatas dalam budi daya cabai merah. Pemanfaatan cendawan endofit dalam meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit layu bakteri pada cabai belum banyak dilaporkan. Penelitian ini bertujuan memperoleh cendawan endofit yang mampu meningkatkan ketahanan tanaman cabai terhadap penyakit layu bakteri. Seleksi galur cendawan endofit dilakukan secara in vivo dan in vitro. Galur cendawan yang dinilai paling potensial dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri pada cabai diidentifikasi. Sebanyak 62 galur cendawan endofit diseleksi kemampuannya dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri pada cabai secara in vivo dan uji antibiosis. Sebagian besar galur cendawan endofit mampu menekan perkembangan penyakit layu bakteri, namun tidak selalu berkorelasi positif terhadap pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman cabai. Berdasarkan tingkat intensitas penyakit dan pertumbuhan tanaman diperoleh tiga galur cendawan endofit yang dinilai berpotensi menekan insidensi penyakit layu bakteri. Galur tersebut diidentifikasi sebagai Fusarium solani f.sp. phaseoli galur AC-2.13 dan AC-4.4, serta Trichoderma asperellum galur AC-3.18. Meskipun ketiga galur tersebut mampu menekan penyakit layu bakteri, tetapi untuk F. solani f.sp. phaseoli perlu dipertimbangkan dalam pemanfaatan secara praktis karena sudah umum diketahui sebagai penyebab penyakit busuk akar pada tanaman kacang buncis.

    Kata kunci: Fusarium solani f. sp. phaseoli, nonpatogen, pengendalian hayati, Trichoderma asperellum

    ABSTRACT

    Ralstonia solanacearum has been known to cause bacterial wilt disease on chili pepper. Despite many reports on the potential use of endophytic fungi to induce plant resistance, its utilization to suppress bacterial wilt disease of chili has not been widely reported. The aims of this research was to screen potential endophytic fungi that may increase chili resistance against bacterial wilt disease. Selection of endophytic fungi was done using in vivo and antibiosis test. Strains of fungi were considered the most potent in suppressing the development of bacterial wilt in chilli were identified. Ten out of 62 isolates of endophytic fungi gave the highest suppression on chilli’s bacterial wilt disease. Most strains of endophytic fungi were able to suppress the development of bacterial wilt disease, but not always positively correlated to the vegetative and generative growth of chilli. Based on the level of disease

  • J Fitopatol Indones Irawati et al.

    134

    PENDAHULUAN

    Luas serangan penyakit layu pada cabai yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum di Indonesia cenderung meningkat sejak tahun 2004–2011, yaitu dari 216.90 ha menjadi 504.05 ha (Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura 2013). Pengendalian R. solanacerum tergolong sulit karena patogen tersebut mempunyai kisaran inang yang luas, dapat bertahan pada sisa jaringan inang, dapat bertahan di dalam tanah pada keadaan dorman meski tidak terdapat inang selama bertahun-tahun, mudah disebarkan oleh aliran air, dan dapat bergerak secara aktif saat terdapat lapisan air permukaan (CABI 2012).

    Teknik pengendalian yang direkomendasi-kan dan dinilai ramah lingkungan untuk penyakit ini ialah pengendalian hayati. Pengendalian hayati didasarkan pada pemanfaatan mikrob antagonis yang dapat bersifat langsung (kompetisi, predasi, dan antibiosis) atau secara tidak langsung melalui induksi ketahanan tanaman inang.

    Pemanfaatan mikrob endofit dalam meningkatkan ketahanan tanaman cabai terhadap beberapa jenis patogen mulai banyak dipelajari. Schulz dan Boyle (2006)menjelaskan bahwa secara umum kolonisasi endofit tanpa munculnya gejala penyakit pada tanaman terjadi karena adanya keseimbangan antagonis antara respons pertahanan tanaman dan tingkat virulensi endofit.

    Nantawanit et al. (2010) melaporkan bahwa Colletotrichum capsici yang merupakan penyebab penyakit antraknosa pada cabai, mampu ditekan perkembangannya oleh khamir endofit Pichia guilliermondii R13 yang diisolasi dari buah rambutan. Muthukumar et al. (2011) menginformasikan bahwa Pythium aphanidermatum yang merupakan penyebab

    penyakit rebah kecambah pada tanaman cabai ditekan perkembangannya dengan kombinasi penggunaan Trichoderma virideis TVA, yang diisolasi dari tanah di sekitar pertanaman cabai, dan bakteri endofit Pseudomonas fluorescens EBL 20-PF yang diisolasi dari daun cabai.

    Pemanfataan cendawan endofit dalam mengendalikan penyakit layu bakteri pada cabai belum banyak dilaporkan. Penelitian ini bertujuan menentukan cendawan endofit yang mampu meningkatkan ketahanan tanaman cabai terhadap penyakit layu bakteri.

    BAHAN DAN METODE

    Seleksi Awal Cendawan Endofit dengan Uji in Vivo

    Sebanyak 62 galur cendawan endofit—berasal dari akar cabai sehat—yang digunakan berasal dari Laboratorium Mikologi Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta. Pada tahap awal dilakukan seleksi in vivo terhadap cendawan endofit. Cabai yang digunakan ialah cabai var. Tanjung-2.

    Benih cabai disterilkan permukaannya, kemudian direndam selama 18 jam dalam suspensi cendawan endofit dengan kerapatan 1011 cfu mL-1. Setiap 50 butir benih direndam dalam 10 mL suspensi cendawan. Sebagai kontrol, benih direndam di dalam air steril tanpa menggunakan cendawan endofit. Benih cabai ditiriskan dan ditanam pada medium steril tanah dan pupuk kandang dengan rasio 1:1 v/v. Pemeliharaan dilakukan hingga bibit berumur 5–6 minggu. Bibit yang sehat dipindah pada medium nonsteril dalam pot plastik berdiameter 20 cm dengan komposisi tanah, pupuk kandang, sekam bakar dengan rasio 1:1:1 v/v/v.

    intensity and the growth of plants were obtained three strains of endophytic fungi that considered potentially suppress the incidence of bacterial wilt disease. The three isolates was identified as Fusarium solani f.sp. phaseoli (AC-2.13 and AC-4.4) and Trichoderma asperellum (AC-3.18) using morphology and molecular characters. Although all three selected isolates were able to suppress bacterial wilt disease in this study, but application of F. solani f.sp. phaseoli should be considered in practical use since it is generally known as the causal agent of root rot disease of beans

    Key words: biological control, Fusarium solani f.sp. phaseoli, nonpathogen, Trichoderma asperellum

  • J Fitopatol Indones Irawati et al.

    135

    Inokulasi bakteri patogen R. solanacearum dilakukan dua kali. Inokulasi pertama pada saat pindah tanam dilakukan dengan cara merendam akar bibit yang telah dilukai dalam suspensi bakteri 108 cfu mL-1 selama 1 jam. Sebanyak 150 mL suspensi bakteri digunakan untuk 12 tanaman. Inokulasi kedua dilakukan pada umur 12 minggu setelah pindah tanam dengan menyiramkan 100 mLsuspensi bakteri patogen (108 cfu mL-1) pada akar tanaman yang telah dilukai. Pengamatan perkembangan penyakit dilakukan setiap 2 hari sekali setelah inokulasi buatan. Peubah pengamatan meliputi keparahan dan insidensi penyakit serta tinggi bibit.

    Uji Lanjut Cendawan Endofit TerpilihPengujian ini terdiri atas pengujian secara

    in vivo dan uji antibiosis. Uji secara in vivo mengacu pada modifikasi metode yang dilakukan oleh Windriyati (2015). Bibit disiapkan dengan cara yang sama dengan uji pada seleksi awal, namun menggunakan menggunakan bibit yang diaplikasi dengan galur-galur terpilih. Kriteria galur cendawan endofit terpilih didasarkan pada kemampuannya menekan perkembangan penyakit dan memicu pertumbuhan tanaman. Berdasarkan hal tersebut dipilih galur-galur dengan 3 kriteria, yaitu (1) kemampuan menekan penyakit tinggi ( ≥ 68%) dan memicu pertumbuhan tanaman, (2) kemampuan menekan perkembangan penyakit tinggi namun tidak memicu atau kemampuan memicu pertumbuhan rendah (tinggi/ hasil/ tinggi dan hasil < kontrol), dan (3) kemampuan memicu pertumbuhan tinggi, namun kemampuan menekan perkembangan penyakit rendah (≤ 50%), serta memiliki warna koloni yang berbeda dengan galur-galur yang terdapat dalam kriteria 1 dan 2.

    Inokulasi suspensi bakteri patogen (108 cfu mL-1) dilakukan 1 kali. Setiap akar tanaman yang dilukai disiram dengan 10 mLsuspensi bakteri patogen. Pengamatan perkembangan penyakit dilakukan setiap 2 hari sekali terhadap peubah perkembangan penyakit dan pertumbuhan tanaman.

    Uji antibiosis menggunakan 2 metode, yaitu difusi agar filtrat cendawan endofit dan kultur ganda terhadap R. solanacearum. Pada

    uji difusi filtrat, filtrat cendawan diperoleh dengan cara menyaring filtrat biakan cendawan yang ditumbuhkan dalam medium cair dekstrosa kentang selama 1–2 minggumenggunakan milipori tipe GS 0.22 μm. Pada uji sistem kultur ganda, baik galur cendawan endofit maupun bakteri p