Identifikasi Penyebab Penyakit Hawar Daun Tanaman Buah ... · DNA. Selain identifikasi patogen, hal...
-
Upload
truongtuong -
Category
Documents
-
view
232 -
download
0
Transcript of Identifikasi Penyebab Penyakit Hawar Daun Tanaman Buah ... · DNA. Selain identifikasi patogen, hal...
IDENTIFIKASI PENYEBAB PENYAKIT HAWAR DAUN
TANAMAN BUAH MERAH (Pandanus conoideus Lamk.)
DAN PENGENDALIANNYA MENGGUNAKAN
BAKTERI RIZOSFER
ADELIN ELSINA TANATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Identifikasi Penyebab Penyakit
Hawar Daun Tanaman Buah Merah (Pandanus conoideus Lamk.) dan
Pengendaliannya Menggunakan Bakteri Rizosfer adalah karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2012
Adelin Elsina Tanati
NRP A352090011
ABSTRACT
ADELIN ELSINA TANATI. Identification of the Causal Agent of Red Fruit
(Pandanus conoideus Lamk.) Leaf Blight Disease and Its Control Using Bacterial
Rhizosphere. Under direction of ABDJAD ASIH NAWANGSIH and KIKIN
HAMZAH MUTAQIN.
Red Fruit (Pandanus conoideus Lamk.) is an endemic plant in Papua, which
is used for food and as pharmaceutical substance. A leaf blight disease of red fruit
is occurred in Manokwari District. The symptom begins with a small spot and
gradually enlarges into brown blight with dark brown at the center and surrounded
by a yellow “halo”. The causal agent of the disease was not yet identified. This
study was conducted to identify the pathogen of leaf blight based on morphology
and molecular characters, to observe the abundance of rhizosphere bacteria and its
ability as biocontrol agent. Based on Koch’s Postulates, morphological
characterization, PCR and sequencing of 28S rDNA, the causal agent of leaf
blight is identified as Fusarium sp. The fungal pathogen shows different
characters from that of other Fusarium isolated from watermelon, melon, tomato,
banana and jackfruit. Some heat tolerant bacteria isolates, chitinolytic bacteria
isolates and a fluorescence bacterium originated from the rhizosphere of red fruit
show ability to inhibit the growth of the pathogen.
Keywords: red fruit, Pandanus conoideus, leaf blight, Fusarium sp., rhizosphere
bacteria
ABSTRAK
ADELIN ELSINA TANATI. Identifikasi Penyebab Penyakit Hawar Daun
Tanaman Buah Merah (Pandanus conoideus Lamk.) dan Pengendaliannya
Menggunakan Bakteri Rizosfer. Dibimbing oleh ABDJAD ASIH NAWANGSIH
dan KIKIN HAMZAH MUTAQIN.
Buah merah (Pandanus conoideus Lamk.) merupakan tanaman endemik di
Papua, yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan dalam bidang farmasi.
Penyakit hawar daun tanaman buah merah ditemukan di Kabupaten Manokwari
dengan gejala berupa bercak kecil dan meluas berwarna coklat muda hingga
coklat tua kehitaman dan dikelilingi oleh “halo” berwarna kuning. Penyebab
penyakit tersebut belum teridentifikasi dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi patogen hawar daun secara morfologi dan molekuler serta untuk
mengetahui kelimpahan bakteri rizosfer dan kemampuannya sebagai agen
biokontrol. Berdasarkan uji Postulat Koch, karakter morfologi, PCR dan
sequensing terhadap gen 28S rDNA, penyebab hawar daun diidentifikasi sebagai
cendawan Fusarium sp. Cendawan patogen tersebut memiliki karakter yang
berbeda dengan Fusarium sp. yang diisolasi dari tanaman semangka, melon,
tomat, pisang dan nangka. Beberapa isolat bakteri tahan panas, beberapa isolat
bakteri kitinolitik dan satu isolat bakteri fluorescence yang diisolasi dari rizosfer
buah merah menunjukkan kemampuan menghambat pertumbuhan cendawan
patogen.
Kata kunci: buah merah, Pandanus conoideus, hawar daun, Fusarium sp.,
bakteri rizosfer.
RINGKASAN
ADELIN ELSINA TANATI. Identifikasi Penyebab Penyakit Hawar Daun
Tanaman Buah Merah (Pandanus conoideus Lamk.) dan Pengendaliannya
Menggunakan Bakteri Rizosfer. Dibimbing oleh ABDJAD ASIH NAWANGSIH
dan KIKIN HAMZAH MUTAQIN.
Buah merah (Pandanus conoideus Lamk.) yang termasuk famili
Pandanaceae adalah salah satu tanaman endemik di Papua. Tanaman ini
memiliki nilai ekonomis tinggi karena dimanfaatkan dalam kebutuhan sehari-hari
oleh masyarakat Papua, dan dalam bidang farmasi untuk mengobati beberapa
penyakit. Berdasarkan hasil survei, pertanaman buah merah di Manokwari
tersebar di Amban Pantai, Nuni, Anggi, Warkapi dan Warmare. Salah satu faktor
yang mungkin dapat menghambat produksi buah merah adalah adanya penyakit.
Salah satu penyakit yang ditemukan di lapangan adalah hawar daun. Gejala hawar
daun yang nampak di lapangan adalah berupa bercak kecil berwarna coklat muda
hingga coklat tua kehitaman yang kemudian meluas membentuk lingkaran besar
dan bagian tepinya dikelilingi “halo” berwarna kuning. Hingga saat ini
pengetahuan tentang penyakit tersebut masih sangat terbatas serta patogen
penyebabnya masih belum diketahui dengan pasti.
Identifikasi penyebab penyakit dilakukan berdasarkan karakter morfologi
dan molekuler dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) serta sequensing
DNA. Selain identifikasi patogen, hal yang harus dilakukan adalah upaya
pengendaliannya untuk mencegah penyebaran dan perkembangan penyakit
tersebut. Dalam rangka pengendalian yang ramah lingkungan, salah satu upaya
adalah dengan pemanfaatan bakteri rizosfer sebagai agen antagonis. Di daerah
rizosfer buah merah terdapat bakteri yang berpotensi dalam mengendalikan
patogen tanaman, termasuk patogen penyebab hawar daun. Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi cendawan patogen penyebab hawar daun
tanaman buah merah, membandingkannya secara molekuler dengan patogen yang
sama dari tanaman berbeda serta mengetahui kelimpahan bakteri rizosfer dan
potensinya dalam menghambat patogen penyebab hawar daun secara in vitro.
Penentuan penyebab penyakit hawar daun ini melalui tahap – tahap Postulat
Koch, identifikasi dengan teknik molekuler yaitu PCR dan sequensing gen 28S
rDNA terhadap cendawan penyebab hawar daun serta patogen dengan genus sama
tetapi dari tanaman berbeda; isolasi bakteri rizosfer dari tanah di sekitar perakaran
buah merah di Desa Madrad, Warkapi, Amban dan SP 8. Isolasi bakteri
menggunakan teknik pengenceran berseri serta pencawanan ke media Kings’B
Agar (KBA) untuk bakteri golongan fluorescence, Tryptic Soy Agar (TSA) untuk
bakteri tahan panas dan media kitin untuk bakteri kitinolitik. Selanjutnya
dilakukan perhitungan jumlah koloni bakteri yang tumbuh pada media tersebut.
Bakteri hasil isolasi diamati secara morfologi (warna dan bentuk koloni) dan
fisiologi (uji Gram dengan KOH 3%, uji endospora bagi bakteri tahan panas dan
uji hipersensitifitas pada tembakau untuk mengetahui bakteri bersifat patogenik
atau tidak). Uji antibiosis secara in vitro untuk melihat potensi bakteri rizosfer
dalam menghambat cendawan patogen penyebab hawar daun pada media Potato
Dextrose Agar (PDA). Perkembangan diameter koloni cendawan diukur dan
dibandingkan dengan kontrol dalam percobaan menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan perlakuan bakteri fluorescence, tahan panas, kitinolitik
dan kontrol yang diulang empat kali; dianalisis dengan ANOVA menggunakan
program SAS versi 9.1.3 dan diuji lanjut dengan uji Duncan taraf nyata 5%.
Uji Postulat Koch serta identifikasi secara morfologi dan mikrokopis
melalui kunci identifikasi, menunjukkan bahwa patogen penyebab hawar daun
tanaman buah merah adalah cendawan Fusarium sp. Cendawan ini menyebabkan
gejala hawar yang identik antara di lapangan dengan gejala hasil inokulasi pada
daun tanaman sehat. Koloni cendawan berwarna putih dan kuning muda
kecoklatan, miselia seperti kapas, cembung dan bentuk tidak teratur.
Makrokonidia berbentuk seperti kano (canoe), ujung meruncing, ramping, sel
basal sedikit membengkok, hialin, bersekat tiga. Mikrokonidia ovoid dengan satu
sel; hifa hialin dan bersekat. Gejala hawar daun ditemukan di Desa Warkapi,
Madrad dan Amban Pantai, yang lahan pertanamannya lembab, jarang
dibersihkan dan dipangkas.
Perbandingan Fusarium penyebab hawar daun dengan Fusarium asal
semangka, melon, tomat, pisang, nangka dan pepaya menunjukkan warna koloni
yang berbeda. Koloni isolat buah merah berbeda dengan koloni isolat asal
semangka, melon dan tomat yang berwarna ungu keputihan; berbeda dengan
koloni isolat pisang dan nangka yang berwarna putih bercampur salem; serta
berbeda juga dengan koloni isolat pepaya yang berwarna kuning pucat. Secara
mikroskopis, konidia dari isolat buah merah, semangka, melon dan tomat,
memiliki bentuk yang tidak berbeda, yaitu berbentuk seperti kano, ujung
meruncing, bersekat serta sel basal yang sedikit membengkok. Isolat Fusarium
dari pisang dan nangka memiliki bentuk konidia yang tidak berbeda, yaitu
berbentuk seperti kano, ujung meruncing, bersekat, sel basal menipis dan
melengkung. Isolat cendawan dari pepaya memiliki konidia yang tidak berbentuk
seperti kano dan tidak bersekat. Kecepatan pertumbuhan koloni isolat asal buah
merah relatif sama (12-15 hari) dengan isolat asal semangka, melon, tomat, pisang
dan nangka; tetapi berbeda dengan isolat asal pepaya yang pertumbuhan
koloninya paling cepat (6 hari).
PCR menggunakan primer spesifik genus Fusarium (ITS fu-F dan ITS fu-R)
berhasil mengamplifikasi DNA cendawan dari buah merah dengan pita DNA
berukuran 397 pb. Isolat dari melon, semangka, tomat, pisang dan nangka juga
terbukti positif sebagai Fusarium, sedangkan isolat dari pepaya adalah negatif.
Analisis data sequensing gen 28S rDNA hasil PCR menggunakan BLAST
menunjukkan adanya perbedaan antara enam isolat Fusarium. Sekuens isolat
Fusarium asal buah merah memiliki similaritas 100% dengan F. oxysporum (Acc.
# HQ379652.1). Berdasarkan uji kekerabatan melalui program PAUP 4.0,
Fusarium asal buah merah berbeda dengan isolat Fusarium yang lain.
Kelimpahan bakteri berbeda-beda di keempat desa yang diamati. Bakteri
yang diisolasi dari perakaran tanaman buah merah terdiri dari 22 isolat bakteri
fluorescence, 21 isolat bakteri tahan panas dan 15 isolat bakteri kitinolitik. Jumlah
koloni bakteri fluorescence paling banyak terdapat di Desa Warkapi; golongan
bakteri tahan panas paling banyak pada Desa Amban dan Madrad; bakteri
kitinolitik mendominasi di daerah SP 8. Selanjutnya, pada Desa Warkapi, bakteri
dengan jumlah jenis terbanyak adalah dari golongan fluorescence dan tahan panas,
di Desa Amban, Madrad dan SP 8 golongan bakteri tahan panas dan fluorescence
mendominasi. Secara umum, karakter morfologi bakteri rizosfer pada masing-
masing golongan menunjukkan warna dan bentuk koloni yang tidak berbeda. Pada
uji fisiologi, sebagian besar isolat fluorescence merupakan Gram negatif,
sebagian besar tidak merangsang hipersensitifitas pada tembakau, kecuali tiga
isolat. Untuk isolat tahan panas, sebagian besar Gram positif, sedikit yang
menghasilkan endospora dan semuanya tidak merangsang hipersensitifitas. Untuk
bakteri kitinolitik, sebagian besar merupakan Gram positif dan seluruhnya tidak
merangsang hipersensitif.
Dari seluruh isolat yang diuji dalam uji antibiosis in vitro terdapat beberapa
isolat yang berpotensi menghambat Fusarium sp. penyebab hawar daun. Tiga
isolat menghasilkan persentase daya hambat terbesar dan berbeda nyata dengan
kontrol serta beberapa isolat lainnya. Isolat tersebut adalah FSp3 (bakteri
fluorescence) dengan daya hambat 24,50%; isolat TA4 (bakteri tahan panas)
dengan 54,08% serta isolat KA1 (bakteri kitinolitik) dengan 35,69%. Isolat FSp3,
TA4 dan KA1 mampu menghambat pertumbuhan koloni cendawan Fusarium
yang mengindikasikan adanya senyawa antifungal yang dihasilkan ketiga isolat
tersebut. Penghambatan secara nyata oleh bakteri terjadi pada hari ke-2 dan 3
setelah inokulasi. Bakteri rizosfer dari kelompok fluorescence, seperti Bacillus
sp., golongan tahan panas dan bakteri kitinolitik menghasilkan senyawa yang
mampu menghambat patogen. Senyawa-senyawa tersebut antara lain asam silikat,
antibiotik dan enzim kitinase. Selain mempunyai sifat penghambatan, isolat
bakteri yang menjadi kandidat agens hayati yang akan diuji lanjut adalah yang
juga bersifat tidak merangsang hipersensitifitas.
Kata kunci: buah merah, Pandanus conoideus, hawar daun, Fusarium sp., bakteri
rizosfer
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
dan menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatau masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
IDENTIFIKASI PENYEBAB PENYAKIT HAWAR DAUN
TANAMAN BUAH MERAH (Pandanus conoideus Lamk.)
DAN PENGENDALIANNYA MENGGUNAKAN
BAKTERI RIZOSFER
ADELIN ELSINA TANATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Fitopatologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Widodo MS
Judul Tesis : Identifikasi Penyebab Penyakit Hawar Daun Tanaman Buah
Merah (Pandanus conoideus Lamk.) dan Pengendaliannya
Menggunakan Bakteri Rizosfer
Nama : Adelin Elsina Tanati
NRP : A352090011
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih MSi. Dr. Ir. Kikin Hamzah Mutaqin MSi.
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Fitopatologi Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat MSc. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr.
Tanggal Ujian : 12 Januari 2012 Tanggal Lulus : 10 Februari 2012
PRAKATA
Puji syukur penulis sembahkan kepada Tuhan Yesus Kristus, atas berkat dan
anugerahNya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan tesis yang berjudul
Identifikasi Penyebab Penyakit Hawar Daun Tanaman Buah Merah (Pandanus
conoideus Lamk.) dan Pengendaliannya Menggunakan Bakteri Rizosfer.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Abdjad Asih
Nawangsih, MSi., dan Bapak Dr. Ir. Kikin H. Mutaqin, MSi., selaku pembimbing
yang telah membimbing dan memberi saran kepada penulis; kepada ketua
program studi Fitopatologi yang memberi saran selama penulis menempuh
pendidikan; Ibu Dr. Ir. Tri Asmira Damayanti MSc. Agr., yang memberi bantuan
dan saran kepada penulis khususnya dalam uji molekuler serta Bapak Dr. Ir.
Widodo yang memberikan saran kepada penulis; selanjutnya kepada pemberi
dana pendidikan, yaitu Dirjen Pendidikan Tinggi; pimpinan Universitas Negeri
Papua serta Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian.
Disampaikan penghargaan kepada masyarakat di Desa Warkapi, Madrad,
Amban dan SP 8 yang membantu penulis di lapangan, serta kepada seluruh dosen
jurusan Hama dan Penyakit Tanaman Universitas Negeri Papua yang memberikan
ijin kepada penulis dalam melakukan penelitian di laboratorium. Kepada rekan-
rekan Pasca Fitopatologi IPB 2009 dan rekan – rekan di Laboratorium
Bakteriologi Tumbuhan, terima kasih atas kerjasamanya. Ucapan terima kasih
kepada Rionaldo Harold yang selalu memberi semangat kepada penulis.
Terima kasih serta hormat yang setulus-tulusnya diberikan kepada orang tua
tercinta : Bapak Agustinus Tanati dan Ibu Yohana Tandiroma; kepada saudara-
saudari terkasih Bernard Kristian Tanati, P.E. Billy Tanati, dan Rahel Randa, serta
keponakan tersayang Gabriella Faith Tanati, atas segala doa, kasih sayang,
nasehat, bimbingan, semangat dan motivasi yang tak ternilai dan tak tergantikan,
yang tak putus-putusnya diberikan kepada penulis.
Akhirnya semoga tesis ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2012
Adelin Elsina Tanati
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Manokwari, Papua Barat pada tanggal 6 Oktober 1985
sebagai anak dari Bapak Ir. Agustinus Tanati dan Ibu Yohana Tandiroma. Penulis
merupakan putri kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh penulis
di Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Papua pada tahun 2003 dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun
2008 penulis diterima sebagai staf pengajar di Jurusan Hama dan Penyakit
Tanaman, Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian, Universitas Negeri Papua.
Bidang pengajaran yang menjadi tanggung jawab penulis adalah Mikologi,
Mikrobiologi, Gulma Tanaman dan Biologi Dasar.
Pada tahun 2009, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor pada Program Pascasarjana IPB, Mayor
Fitopatologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian dan selesai pada
tahun 2012. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Pendidikan Tinggi.
Selama mengikuti program S2, penulis mengikuti berbagai seminar ilmiah dalam
lingkup IPB.
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiv
PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
Latar Belakang .......................................................................................... 1
Tujuan ........................................................................................................ 3
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 4
Taksonomi, Botani dan Ekologi Tanaman Buah Merah ............................ 4
Manfaat Buah Merah ................................................................................ 7
Morfologi Fusarium sp. ............................................................................. 8
Ekologi dan Patogenesis Fusarium sp. ....................................................... 13
Keragaman Mikroorganisme melalui Karakter Molekuler ........................ 15
Bakteri Rizosfer yang Berpotensi sebagai Agens Biokontrol .................... 17
BAHAN DAN METODE ................................................................................. 21
Tempat dan Waktu ..................................................................................... 21
Prosedur Penelitian .................................................................................... 21
Identifikasi Cendawan Patogen Penyebab Hawar pada
Daun Tanaman Buah Merah .............................................................
21
Analisis Genetika Antar Spesies Fusarium ...................................... 22
Isolasi Bakteri Rizosfer ..................................................................... 23
Karakterisasi Bakteri Rizosfer secara Morfologi dan Fisiologi .......... 24
Uji Mekanisme Antibiosis Bakteri Rizosfer terhadap cendawan
Patogen ..............................................................................................
25
Variabel Pengamatan ............................................................................... 26
Analisis Data ............................................................................................ 27
HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 28
Cendawan Penyebab Hawar Daun ............................................................ 28
Karakter Morfologi Fusarium Asal Beberapa Tanaman ........................... 33
Karakter Molekuler Fusarium Asal Beberapa Tanaman ............................ 39
Kelimpahan Bakteri Rizosfer Tanaman Buah Merah .............................. 44
Karakterisasi Isolat Bakteri Rizosfer ........................................................ 48
Deteksi Keberadaan Endospora ................................................................ 51
Hipersensitifitas pada Tembakau ............................................................... 52
Uji Antibiosis ............................................................................................ 54
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 63
Kesimpulan ................................................................................................. 63
Saran ........................................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 64
LAMPIRAN ...................................................................................................... 70
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Padanan sekuens 28s rDNA dengan DNA database ...........................
menggunakan program BLAST NCBI ..................................................
40
2. Karakterisasi fisiologi bakteri rizosfer yang diisolasi dari
perakaran tanaman buah merah ………..................................................
50
3. Persentase daya hambat bakteri rizosfer kelompok fluorescence
terhadap Fusarium sp. penyebab hawar daun buah merah secara
in vitro....................................................................................................
54
4. Persentase daya hambat bakteri rizosfer kelompok tahan panas
terhadap Fusarium sp. penyebab hawar daun buah merah secara
in vitro....................................................................................................
56
5. Persentase daya hambat bakteri rizosfer kelompok kitinolitik
terhadap Fusarium sp. penyebab hawar daun buah merah secara
in vitro....................................................................................................
57
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
Pertanaman buah merah di Kabupaten Manokwari ……………………
4
2.
Buah merah ……………………………… …………………………….
5
3.
Primer ITS Fu-f dan ITS Fu-r, spesifik untuk Fusarium yang
dibentuk dari daerah ITS ………………………………………………..
17
4.
Tata letak cendawan dan bakteri pada pengujian
mekanisme antibiosis …………………………………………………...
26
5.
Gejala hawar daun di lapangan ………………………………………….
28
6.
Gejala hasil inokulasi cendawan ke daun buah merah
yang sehat ……………………………………………………………….
29
7.
Karakter morfologi koloni cendawan asal buah merah ………………...
29
8.
Karakter konidia dan hifa cendawan asal buah merah ………………….
30
9.
Morfologi koloni Fusarium asal beberapa tanaman pada media PDA …
34
10.
Konidia Fusarium asal beberapa tanaman ………………………………
36
11.
Pertumbuhan koloni Fusarium asal beberapa tanaman …………………
38
12.
Amplifikasi gen 28S rDNA menggunakan primer
ITS Fu-f dan Fu-r ………………………………………………………
39
13.
Pohon filogenetik yang menggambarkan hubungan kekerabatan
antar isolat Fusarium asal beberapa tanaman pada gen 28s rDNA
yang dibuat dengan analisis Bootstrap Neighbor-joining
program PAUP 4.0 ……………………………………………………...
42
14.
Jumlah koloni bakteri rizosfer yang diisolasi dari perakaran
tanaman buah merah ……………………………………………………
45
15.
Jumlah jenis bakteri rizosfer yang diisolasi dari perakaran
tanaman buah merah ……………………………………………………
47
16.
Morfologi koloni bakteri rizosfer buah merah …………………………
49
17.
Endospora bakteri tahan panas yang diisolasi dari perakaran
tanaman buah merah …………………………………………………….
51
18. Uji hipersensitif pada tembakau ………………….…………………….. 52
19. Pertumbuhan koloni Fusarium sp. dalam uji antibiosis
menggunakan bakteri kelompok fluorescence ………………………….
55
20.
Pertumbuhan koloni Fusarium sp. dalam uji antibiosis
menggunakan bakteri kelompok tahan panas …………………………...
57
21.
Pertumbuhan koloni Fusarium sp. dalam uji antibiosis
menggunakan bakteri kelompok kitinolitik …………………………….
58
22.
Uji antibiosis antara bakteri rizosfer dengan Fusarium sp. …………….
59
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
Kelimpahan bakteri rizosfer buah merah ………………………………
70
2.
Karakteristik bakteri rizosfer kelompok fluorescence
yang diisolasi dari perakaran tanaman buah merah …………………….
71
3.
Karakteristik bakteri rizosfer kelompok tahan panas
yang diisolasi dari perakaran tanaman buah merah ……………………
73
4.
Karakteristik bakteri rizosfer kelompok kitinolitik
yang diisolasi dari perakaran tanaman buah merah ……………………
75
5.
Data sekuens isolat Fusarium asal beberapa tanaman …………………..
77
6.
Hasil analisis ragam (Anova) daya hambat bakteri rizosfer
kelompok fluorescence terhadap Fusarium sp. penyebab
hawar daun buah merah ………………………………………………...
79
7.
Hasil analisis ragam (Anova) daya hambat bakteri rizosfer
kelompok tahan panas terhadap Fusarium sp. penyebab
hawar daun buah merah …………………………………………………
80
8.
Hasil analisis ragam (Anova) daya hambat bakteri rizosfer
kelompok kitinolitik terhadap Fusarium sp. penyebab
hawar daun buah merah …………………………………………………
81
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Buah merah (Pandanus conoideus Lamk.) merupakan salah satu tanaman
endemik di Papua, tumbuh di daerah pegunungan, tetapi toleran terhadap daerah
berawa, berpasir dan keadaan air tanah dangkal atau dalam. Buah merah termasuk
dalam kelompok Pandanaceae yang saat ini dikenal karena manfaat yang
dimilikinya. Secara tradisional, masyarakat Papua memanfaatkan tanaman ini
sebagai sumber bahan pangan, pewarna alami, kosmetika dan bahan minyak,
dengan cara mengambil sari dan minyaknya (Sadsoeitoeboen 1999); serta sebagai
bahan tikar dan atap (Craven & de Fretes 1987). Seiring dengan kemajuan
teknologi, beberapa ahli telah berhasil menganalisis kandungan buah merah
seperti beta karoten, tokoferol, fenol, senyawa antioksidan serta vitamin dan
mineral esensial yang cukup lengkap (Budi et al. 2005). Dengan kandungan yang
dimiliki tersebut, buah merah dapat bermanfaat bagi kesehatan manusia. Beberapa
penyakit yang dapat disembuhkan dengan buah merah antara lain : tumor, kanker,
diabetes, hipertensi, stroke, jantung koroner, kolesterol, asam urat, hepatitis, paru-
paru. Harga buah merah di pasaran ± Rp. 20.000,00/kg, sedangkan harga sari atau
minyak buah merah dalam botol adalah Rp. 150.000,00/250 ml.
Berdasarkan manfaat tersebut di atas, maka buah merah bukan saja
bermanfaat bagi masyarakat Papua secara khusus, tetapi bermanfaat juga bagi
masyarakat lain secara luas, sehingga dapat dikatakan buah merah merupakan
tanaman bernilai ekonomis tinggi di Papua. Di Propinsi Papua, persebaran
tanaman buah merah berada di Kabupaten Jayawijaya, Nabire dan Timika;
sedangkan di Propinsi Papua Barat, persebarannya di Kabupaten Manokwari.
Masyarakat di Kabupaten Manokwari yang sejak lama memanfaatkan buah merah
adalah Suku Arfak. Berdasarkan hasil survei, buah merah yang ditanam di
Manokwari tersebar di beberapa wilayah, yaitu Desa Amban Pantai, Nuni, Anggi,
Warkapi dan Warmare.
Dalam pengembangan budidaya buah merah, banyak faktor yang
mempengaruhinya, seperti iklim, tanah, keadaan geografis, hama penyakit dan
lain-lain. Penyakit merupakan faktor yang sangat penting dalam budidaya buah
2
merah karena akan menurunkan kualitas serta produksinya. Pengetahuan tentang
penyakit pada buah merah saat ini masih sangat terbatas. Berdasarkan penelitian
dari Melinda & Hayu (2006), terdapat beberapa jenis cendawan yang berasosiasi
dengan gejala hawar pada daun tanaman buah merah, tetapi belum dipastikan
jenis yang merupakan penyebab gejala tersebut. Gejala hawar daun buah merah di
lapangan diawali dengan bercak kecil berwarna coklat muda hingga coklat tua
kehitaman yang kemudian meluas membentuk lingkaran besar dan bagian tepinya
dikelilingi “halo” berwarna kuning. Gejala seperti itu banyak dijumpai di
lapangan pada beberapa wilayah di Kabupaten Manokwari, yaitu Amban, Nuni,
Warmare dan Warkapi.
Meskipun sampai sekarang data mengenai tingkat keparahan dan penurunan
produksi buah merah akibat penyakit ini belum ada, tetapi penyakit tersebut
tentunya dapat menghambat pertumbuhan tanaman buah merah selanjutnya.
Untuk itu perlu diketahui penyebab penyakitnya sebagai upaya deteksi awal.
Identifikasi penyebab penyakit merupakan langkah awal yang sangat penting
dalam menyusun strategi pengendaliannya. Penelitian ini dilakukan untuk
memastikan penyebab gejala hawar daun pada buah merah yang dilakukan
berdasarkan karakter morfologi dan molekuler dengan teknik Polymerase Chain
Reaction (PCR) dan sequencing DNA.
Selain identifikasi patogen, hal yang harus dilakukan adalah upaya
pengendaliannya untuk mencegah penyebaran dan perkembangan penyakit
tersebut. Salah satu upaya pengendalian yang ramah lingkungan adalah dengan
pemanfaatan bakteri rizosfer sebagai agen antagonis. Pada daerah rizosfer buah
merah terdapat bakteri yang dapat berpotensi dalam mengendalikan patogen
tanaman, khususnya patogen penyebab hawar daun. Jenis bakteri tersebut adalah
Pseudomonads kelompok fluorescence, Bacillus, bakteri tahan panas, bakteri
penghasil siderofor dan bakteri pendegradasi kitin (Baker & Cook 1974). Hasil
yang diperoleh merupakan sumber keragaman bakteri potensial yang sangat
dibutuhkan oleh tanaman buah merah dalam pertumbuhannya serta dalam
mengendalikan patogen penyebab penyakit pada tanaman tersebut.
3
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi patogen penyebab penyakit hawar daun tanaman buah merah, membandingkannya secara molekuler dengan
patogen yang sama dari tanaman berbeda; mengetahui kelimpahan bakteri rizosfer
pada tanaman buah merah serta potensinya dalam menghambat patogen penyebab
hawar daun secara in vitro. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi dasar bagi petani dan instansi terkait sehingga dapat menjadi dasar
pertimbangan dalam melakukan pemeliharaan dan pengendalian.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi, Botani dan Ekologi Tanaman Buah Merah
Buah merah merupakan salah satu jenis tanaman Pandanaceae, dengan
taksonomi menurut Sadsoeitoeboen (1999), yaitu termasuk dalam divisi
Spermatophyta, kelas Angiospermae, sub kelas Monocotyledonae, ordo
Pandanales, famili Pandanaceae, genus Pandanus dan spesies conoideus. Menurut
Sadsoeitoeboen (1999), tanaman buah merah termasuk dalam kelompok pohon
dengan akar tunjang yang muncul dari bagian batang dekat permukaan tanah dan
cenderung akar tanaman masuk ke dalam tanah hingga kedalaman 100 cm.
Akar tanaman buah merah tergolong akar serabut dengan tipe perakaran
dangkal, dengan diameter 1,5 – 2,8 cm sampai 6 - 6,8 cm. Tinggi pohon mencapai
8 - 15 m dengan diameter batang semu 15 - 30 cm. Tinggi percabangan pertama 5
– 8 m di atas permukaan tanah. Berbatang semu, kasar, berserat serta berair dan,
tegak, bergetah dan berwarna coklat berbercak putih (Gambar 1).
a b
Gambar 1 Pertanaman buah merah di Kabupaten Manokwari; a. Morfologi tanaman buah merah; b. Akar tanaman buah merah (tanda lingkaran).
Tanaman buah merah memiliki daun tunggal, tersusun melingkar seperti
spiral dengan panjang 88 cm – 102 cm dan lebar 6 – 10 cm. Ujung daun
meruncing dengan duri di tepian yang berukuran 1 mm; tulang daun terletak di
permukaan bawah daun. Warna daun hijau tua dan daun memeluk batang.
Pembungaan muncul dari ujung batang yang langsung membentuk buah dengan
bunga majemuk, berbentuk tabung berlapisan gabus ditengah, berkelamin satu
5
atau tunggal setangkup, duduk di ketiak daun pelindung (bractea), berbentuk biji-
bijian dengan perhiasan bunga bersegmen kecil. Petal menyatu tidak terpisah dan
melingkar ke semua sisi dari pangkal hingga ujung dan panjang tangkai buah
antara 20 - 30 cm. Stamen satu dengan satu stamen semu. Bakal buah terbenam,
terdiri dari satu ruang dengan sejumlah atau banyak bakal biji di setiap ruang
(Budi et al. 2005).
Panjang tangkai sinkarp 7 - 17 cm dengan bentuk sinkarp silindris. Ujung
sinkarp tumpul, pangkal membentuk jantung. Panjang sinkarp 96 - 102 cm dan
berdiameter 14,5 – 20,5 cm. Daun pelindung sinkarp melancip dengan tulang
daun utama yang berduri. Sinkarp muda berwarna merah bata, setelah matang
berwarna merah cerah. Panjang buah sekitar 11 – 13,5 cm dengan lebar 4 - 6 cm
dan tebal 1,5 – 3 mm. Epikarp bersegi empat, dan bagian atas tempurung
meruncing (Sadsoeitoeboen 1999). Berat buah mencapai 10 kg dengan tinggi 50 –
150 cm (Gambar 2a). Perbanyakan umumnya melalui tunas ataupun stek yang
terdapat pada akar atau batang. Dapat dipanen setelah berumur awal tanam 2-3
tahun dan tahap berikutnya antara 1 - 2 tahun.
a b
Gambar 2 Buah merah; a. Buah merah dari tanaman berumur 4 tahun; b. Biji buah merah (Wiryanta 2005).
Wiryanta (2005) melaporkan bahwa tanaman buah merah merupakan
tanaman berkayu yang tumbuhnya bercabang mencapai 5 cabang dengan tinggi
dapat mencapai 15 meter. Daunnya berbentuk pita yang pinggirnya berduri kecil.
Akarnya berbentuk akar udara yang menggantung sampai ketinggian satu meter
C dan kelembaban udara antara 73 – 98 %. Untuk kebutuhan cahaya, tanaman
6
dari pangkal batang. Kulit buah bagian luar menyerupai buah nangka yang terdiri
dari kumpulan biji yang tersusun di empulur atau hati yang berada di dalam buah
(Gambar 2b). Di pedalaman Papua sendiri ditemukan paling sedikit 14 jenis atau
varietas tanaman buah merah. Buahnya berwarna merah marun terang, tetapi ada
juga jenis yang berwarna berwarna coklat, coklat-kekuningan dan kuning.
Buah merah termasuk tanaman endemik Papua dan secara umum habitat
asal tanaman ini adalah hutan sekunder dengan kondisi tanah lembab, berkadar
asam (pH sekitar 5,4-6,2) dan nilai kapasitas tukar kation (KTK) rendah.
Sementara kisaran suhu udara tempat tumbuh tanaman buah merah sekitar 23 - 33
º buah merah membutuhkan intensitas sekitar 1000-3000 lux (Budi et al. 2005). Marga Pandanus ini mempunyai kisaran toleran yang sangat tinggi terhadap
kondisi tanah dan salinitas, sehingga banyak dijumpai di daerah berawa/becek,
berpasir, keadaan air tanah dangkal sampai dalam (Ullo 2002). Buah merah dapat
dijumpai pada ketinggian 5 - 300 m di atas permukaan laut Budi et al. (2005).
Sadsoeitoeboen (1999) melaporkan bahwa pada daerah pegunungan Arfak
Kabupaten Manokwari, kultivar buah merah panjang tumbuh pada ketinggian 5-
110 m dan 2300 m diatas permukaan air laut.
Berdasarkan data dari Budi et al. (2005), buah merah tersebar di beberapa
wilayah di Papua. Di Propinsi Papua, tanaman ini tersebar di Kabupaten
Jayawijaya, Nabire, Timika, Jayapura; sedangkan di Papua Barat, tersebar di
Kabupaten Manokwari. Menurut Sadsoeitoeboen (1999), di Kabupaten
Manokwari tanaman buah merah ditanam pada berbagai ekosistem dan di
beberapa wilayah, yaitu di Desa Amban dan Nuni, Warkapi, Warmare, Testega,
Ransiki serta Prafi. Berdasarkan penelitian Melinda & Hayu (2006) tanaman buah
merah di Kabupaten Manokwari mengalami penyakit hawar daun. Gejala yang
nampak di lapang adalah daun menguning yang mengelilingi bercak; diawali
dengan bercak kecil sampai meluas membentuk lingkaran besar dengan warna
coklat muda, abu-abu hingga coklat tua kehitaman. Hasil penelitian Melinda &
Hayu (2006) menunjukkan beberapa jenis cendawan yang berasosiasi dengan
gejala hawar daun, yaitu Scopulariopsis sp., Aspergillus sp., Humicola sp.,
Fusarium sp., Oidium sp., Nigrospora sp. dan 2 cendawan yang tidak
7
teridentifikasi; namun belum dipastikan jenis cendawan yang merupakan patogen
penyebab hawar daun. Penentuan patogen yaitu cendawan yang berasosiasi
dengan penyakit hawar daun didasarkan pada saat inkubasi daun bergejala hawar
yang dilembabkan. Hasil yang diperoleh adalah hifa cendawan yang muncul dan
tidak ada mikroorganisme lain.
Gejala penyakit hawar pada daun tanaman buah merah banyak ditemukan di
beberapa daerah di Kabupaten manokwari, tetapi belum diketahui keparahan
penyakit serta kehilangan hasil yang disebabkan. Namun mengetahui dan
mengidentifikasi penyebab penyakit hawar daun sangat penting sebagai informasi
dasar dalam deteksi penyakit secara dini.
Manfaat Tanaman Buah Merah
Sejak dahulu, masyarakat daerah Papua khususnya di Manokwari memanfaatkan buah merah sebagai bahan pangan. Masyarakat mengambil minyak
dan sari buah merah dari hasil rebusan buahnya, dan dijadikan bahan campuran
dalam makanan. Selain itu juga buah merah digunakan sebagai sarana dalam
upacara ritual dan sebagai obat tradisional (Sadsoeitoeboen 1999). Wiryanta
(2005) melaporkan bahwa pasta dari buah merah dijadikan bahan pakan bagi
hewan peliharaan masyarakat. Selain itu, masyarakat Papua memanfaatkan buah
merah sebagai sumber minyak dengan memasaknya seperti membuat minyak
kelapa. Minyak tersebut kemudian disimpan dan dapat bertahan selama satu
tahun; dijadikan sebagai pengganti minyak goreng yang harganya relatif mahal
dan sulit dijangkau masyarakat. Pada kenyataannya, sebagian besar masyarakat
Papua yang mengkonsumsi buah merah jarang terkena penyakit, tubuhnya kuat
dan staminanya prima. Manfaat lain dari tanaman buah merah adalah daun serta
batangnya digunakan untuk membuat tikar dan atap (Craven & de Fretes 1987).
Buah merah mengandung zat gizi bermanfaat atau senyawa aktif dalam
kadar tinggi, diantaranya beta karoten, tokoferol, serta asam lemak seperti asam
oleat, asam linoleat, asam linolenat, asam dekanoat, senyawa antioksidan dan
antivirus dalam dosis tinggi, vitamin dan mineral esensial yang cukup lengkap.
Murningsih (1992) melaporkan bahwa buah merah memiliki kandungan minyak yang
cukup tinggi, yaitu sekitar 36,93% per 100 gram berat buah kering. Karena
8
kandungan senyawa penting itulah, maka buah merah dapat berperan sebagai
pencegah penyakit degeneratif seperti stroke, jantung koroner, dan kanker
(Jeffbagy 2004).
Berbagai sumber dari bidang kesehatan menyatakan bahwa senyawa yang
dikandung oleh buah merah ini bermanfaat dalam menyembuhkan berbagai
penyakit. Tokoferol, alfatokoferol dan beta karoten berfungsi sebagai antioksidan
yang mampu menangkal radikal bebas. Ketiga senyawa inilah yang membantu
proses penyembuhan penyakit kanker, tumor dan HIV/AIDS. Tokoferol juga
dapat berfungsi sebagai pengencer darah yang baik untuk penderita stroke.
Selanjutnya senyawa asam lemak tak jenuh berperan sebagai antioksidan dan
membantu sistem kerja otak. Berdasarkan laporan dari Wiryanta (2005), sejumlah
kesaksian menyatakan setelah mengkonsumsi sari buah merah secara teratur,
dapat membantu proses penyembuhan penyakit kanker, tumor, HIV/AIDS, darah
tinggi, asam urat, stroke, gangguan pada mata, herpes, diabetes melitus,
osteoporosis, ambeien, lupus, malaria akut serta meningkatkan kecerdasan otak.
Morfologi Fusarium sp.
Fusarium merupakan salah satu cendawan yang diperoleh pada penelitian
Hayu & Melinda (2006), tentang jenis cendawan yang berasosiasi dengan gejala
hawar daun tanaman buah merah. Sampai sekarang, cendawan ini belum diketahui
menyebabkan penyakit hawar pada tanaman kelompok pandanaceae. Tetapi
berdasarkan penelitian dari Goldberg (2006), Fusarium dapat menyebabkan
penyakit hawar daun atau bercak daun pada tanaman monokotil, yaitu rumput.
Bercak daun Fusarium (hawar Fusarium) terjadi secara keseluruhan pada area
atau luasan daun yang besar. Berbentuk tidak teratur, luka dengan sedikit
kebasahan dengan tepian berwarna coklat kehitaman yang terjadi pada sebagian
besar daun dewasa serta dikelilingi warna kuning. Bercak daun dimulai pada
ujung daun dan menghasilkan hawar. Dengan rujukan inilah, maka diduga
cendawan penyebab penyakit hawar daun tanaman buah merah dapat disebabkan
oleh Fusarium, karena gejala hawar daun yang nampak di lapangan relatif tidak
berbeda dengan gejala bercak atau hawar pada rumput serta ke dua tanaman ini
tergolong dalam subkelas yang sama, yaitu monokotil.
9
Fusarium sp. memiliki beberapa spesies (Agrios 2005) dan merupakan
patogen tular tanah yang termasuk Hyphomycetes (sub divisio Deuteromycotina)
dan family Tuberculariaceae. Fusarium sp., dapat tumbuh dengan baik pada
bermacam macam media agar yang mengandung ekstrak sayuran. Mula-mula
miselium tidak berwarna, semakin tua warnanya semakin krem, akhirnya koloni
tampak mempunyai benang. Pada miselium yang lebih tua terbentuk
klamidospora yang berdinding tebal. Miselia umumnya seperti kapas, seringkali
dengan warna ungu, merah muda atau kuning pada media (Barnett & Hunter
1999).
Menurut Leslie & Summerell (2006), cendawan ini memiliki konidia yang
bercabang dan disebut konidiofor yang merupakan alat perkembangbiakan, tempat
penyimpanan massa, sporodokia atau miselium. Konidiofor bervariasi, ramping
dan sederhana, gemuk, pendek, bercabang tidak teratur atau menghubungkan
fialid, tunggal atau berkelompok membentuk sporodokia. Sporodokia ini
membentuk makrokonidia dan mikrokonidia. Bentuk makrokonidia melengkung
panjang dengan ujung mengecil dan mempunyai sekat antara 1-10 atau lebih,
terdiri dari beberapa sel, berbentuk perahu; sedangkan mikrokonidium bentuknya
pendek, tidak bersekat atau bersekat satu, bersel satu, ovoid, tunggal atau berantai,
ada juga yang memiliki 2-3 sel, bujur atau ramping membengkok (Barnett &
Hunter 1999). Cendawan ini dapat bertahan di dalam tanah sebagai saprofit atau
parasit dalam bentuk klamidospora paling tidak selama lima tahun serta
menghasilkan mikrokonidia bening, silindris atau seperti perahu dan bersekat.
Surachmat & Mathur (1988); Gandjar et.al. (1999) dan C.M.I. (1968) yang
menyatakan bahwa koloni Fusarium berwarna putih, dengan merah muda sampai
violet, tepian koloni berwarna putih, berbentuk bundar, elevasi datar serta
pertumbuhan koloninya lambat. Memiliki mikrokonidia yang berseptat 0 - 5,
berbentuk elips, lurus dan sedikit membengkok. Beberapa spesies dari Fusarium
sp. antara lain : F. oxysporum, F. cilliatum, F. moniliforme, F. roseum, F. solani
dan F. venticosum (Watanabe 2002) serta F. equisetii (Nelson 2001). Konsep
umum dari Fusarium pertama kali dianalisis oleh Link pada tahun 1809 dengan
ciri dasar yaitu adanya konidia berbentuk perahu atau ”canoe” atau pisang yang
nampak pada semua genus. Perbedaan bentuk dari konidia adalah umum untuk
10
mengidentifikasi banyak spesies Fusarium, meskipun ciri tersebut berbeda antar
spesies. Akan tetapi Fusarium memiliki morfologi yang terbatas, yang diduga
karena seleksi alam dan ekspresinya yang peka terhadap lingkungan. Deskripsi
beberapa spesies Fusarium antara lain sebagai berikut :
1. F. oxysporum
Koloni biasanya berwarna merah muda sampai biru violet atau putih
dan kuning; bagian tengah koloni berwarna lebih gelap dibandingkan
dengan bagian tepi. Saat konidium terbentuk, tekstur koloni menjadi
seperti wol atau kapas (Fran & Cook 1998). Konidiofor hialin, sederhana,
dan pendek menghubungkan massa spora. Konidia hialin, terdiri dari
dengan 2 jenis yaitu : makrokonida berbentuk perahu atau bulan sabit yang
agak ramping pada ujung sel, dan sel basal yang bengkok, dengan 3- 5 sel.
Mikrokonidia elips dengan 1 sel; klamidospora berwarna coklat dan
berbentuk semi bulat. Panjang makrokonidia 17,5 – 29,1 – 45 µm dan
diameter 2,9–4,7 µm. Panjang mikrokonidia 6 – 15,8 µm dan diameter
1,9–3,7-5 µm. Klamidospora berdiameter 5,3-10,2–15 µm (Watanabe
2002). Lebih dari 54 forma spesialis F. oxysporum telah diketahui dan
dipublikasi.
2. F. ciliatum
Menurut Watanabe (2002), F. ciliatum memiliki konidiofor
sederhana (monofialid), mendatar, jarang bercabang di ujung, dengan
makrokonidia yang besar, membentuk sporodokia. Makrokonidia hialin,
sangat ramping, berbentuk sabit, 3-6 sekat. Tidak ada mikrokonida dan
klamidospora. Panjang konidiofor 10-20; 3,2-5 µm. Konidia berdiameter
40-56-2,2-3,2 µm. Cendawan ini berasal dari tanah, dengan koloni
homogen pada media Potato Dextrose Agar (PDA), coklat kekuningan
ditengah, sedikit putih dan miselia aerial datar.
3. F. moniliforme
F. moniliforme merupakan bentuk anamorf, sedangkan bentuk
teleomorf diberikan nama Gibberella fujikuroi. Cendawan ini memiliki
konidiofor hialin, sederhana atau bercabang yang menghubungkan massa
spora. Konidia hialin, terdiri dari 2 macam: makrokonidia berbentuk
11
perahu, dengan sel yang sedikit meramping di ujung, sel kaki
membengkok dengan 4-5 sel; mikrokonida hialin, ovoid, ujung meruncing.
Tidak ada klamidospora. Panjang makrokonidia 26,4-38,9 µm; diameter
2,4-3,7 µm. Panjang mikrokonidia panjang 7,2-12 µm; diameter 2,4-3,2
µm. Diketahui sebagai patogen pada padi, penyebab penyakit Bakanae
(Watanabe 2002).
4. F. roseum
Memiliki konidia berwarna kuning dan merah muda. Dengan
konidiofor hialin, sederhana dan menghubungkan massa spora. Konidia
hialin, terdiri dari 2 jenis : makrokonidia berbentuk bulan sabit atau perahu
dengan sel apikal dan sel kaki yang membengkok, 4-6 sel serta
mikrokonidia silinder dengan 1-2 sel. Klamidospora berwarna coklat dan
berbentuk bulat. Panjang makrokonidia panjang 24,5-45-105 µm; lebar 4-
5-7,5 µm dan mikrokonidia panjangnya 5-17,1 µm; diameter 1,7-6,1 µm;
klamidospora 6,2-10,2 -15 µm (Watanabe 2002).
5. F. ventricosum
F. ventricosum merupakan bentuk anamorf, sedangkan Nectria
ventricosa merupakan bentuk teleomorfnya. Koloni pada media PDA
tidak aerial, coklat kekuningan pucat atau coklat merah muda dan ber-
zonasi. Memiliki konidiofor hialin, tegak, panjang, bercabang dan
menghubungkan massa spora. Konidia ada 2, yaitu makrokonidia hialin,
berbentuk bulan sabit, elips panjang dengan 4-5 sel; serta mikrokonidia
hialin dengan 1 sel. Klamidospora coklat kekuningan, tunggal atau 2-4
rantai. Panjang koniofor 125-150 µm; panjang cabang 32,5-90 µm. Massa
spora 10-25 µm. Makrokonidia 23,7-47,5 dan 3,7-6,3 µm. Mikrokonidia
3,7-11,3 dan 1,5-5,0 µm; klamidospora 6,2-8,8 µm. (Watanabe 2002).
6. F. solani
F. solani merupakan bentuk anamorf, dan Nectria haemotococca
adalah bentuk teleomorfnya. Memiliki konidia yang hialin, sederhana dan
menghubungkan massa spora. Konidia terdiri dari 2 jenis, yaitu :
makrokonida dengan sel yang membengkok di ujung dan meramping, 2
sel silinder di tengah, selalu 3-5 sel dan mikrokonidia silinder dengan 1-2
12
sel. Klamidospora coklat, berbentuk bulat dan selalu soliter. Panjang
konidiofor 50-165 µm. Makrokonidia 7,2-15; 2,4-3,9 µm; diameter
klamidospora 6-7,3 µm. F. solani memiliki 28 forma spesialis dan
umumnya heterotalik, jarang yang homotalik (Watanabe 2002).
7. F. equisetii
Pada isolasi awal miselia berwarna putih dan salem (peach),
selanjutnya (7-10) hari berubah menjadi coklat (beige) dan akhirnya
berwarna kekuningaan mengkilap, dan dibawahnya diawali lagi dengan
warna salem yang berubah menjadi coklat tua. Hanya makrokonidia yang
dihasilkan, jarang berkembang tetapi dihasilkan dari kumpulan sel spora
pada konidiofor. Makrokonidia membengkok seperti sabit, dengan
perkembangan sel kaki dan sel apikal yang menipis dan melengkung
dengan 4-7 septa, berukuran 22-60 x 3,5-6 µm atau 50x4,5 µm.
Klamidospora interkalar, soliter, berbentuk bulat, 7-9 µm. Jarang memiliki
peritesia, jarang berkembang, ovoid dengan dinding sel yang kasar dengan
tebal 200-350 µm, dan diameter 180-240 µm. Askuspora 21-33 x 4,5-5
µm, hialin, berbentuk kumparan, 2-3 sekat (Nelson 2001).
Sampai sekarang, karakter fisik dan fisiologi masih digunakan secara luas
dan praktis sebagai karakter morfologi untuk membedakan spesies Fusarium.
Yang menjadi masalah utama adalah jumlah karakter yang ada untuk dideteksi
jauh lebih kecil daripada jumlah spesies yang perlu dibedakan. Bentuk konidia
sering memberikan deskripsi spesies yang baik, tetapi perbedaan bentuk dan
ukuran makrokonidia dapat membingungkan, subjektif dan bergantung pada
lingkungan makrokonidia dihasilkan (Leslie et al. 2001).
Menurut (Leslie et al. 2001), para ahli kebanyakan menggunakan sistem
genetik dan molekuler sebagai dasar mengidentifikasi spesies Fusarium dan
mendeskripsikan takson baru; karena sistem tersebut lebih luas tersedia dalam
aplikasinya dan kekerabatan dapat diperluas serta penentuan suatu spesies dan
batas-batasnya lebih jelas. Secara konvensional, konsep morfologi yang lebih
menguasai, tetapi baru-baru ini teknik biologi dan molekuler yang menjadi lebih
penting. Masing-masing dari konsep tersebut beserta dengan tekniknya yang
13
berbeda-beda saat ini digunakan untuk saling melengkapi dan memiliki kontribusi
yang mengarah pada identifikasi suatu spesies dalam genus Fusarium.
Ekologi dan Patogenesis Fusarium sp.
Fusarium termasuk patogen tanaman yang dapat menular melalui tanah (soil borne); bertahan dalam tanah (soil inhabitant) sebagai miselium atau spora tanpa
adanya inang (Nelson 2001). Jika terdapat inang maka akan menginfeksi akar,
masuk ke jaringan vaskular (xylem) menyebar dan memperbanyak diri, dan
menyebabkan inang mengalami kelayuan karena sistem pembuluh pada tanaman
inang tersebut tersumbat (Agrios 2005). Secara ekonomi Fusarium sp., adalah
patogen penting dalam pertanian hortikultura di dunia (Singleton et al. 1992).
Sebagai contoh, F. oxysporum menyerang pertanaman dan penyebarannya sangat
luas hampir di seluruh dunia. Cendawan ini menghasilkan tiga macam toksin yang
menyerang jaringan tanaman, yaitu: asam fusarat, asam dehidrofusarat dan
likomarasmin. Toksin-toksin tersebut akan mengubah permeabilitas membran
plasma dari sel tanaman inang sehingga mengakibatkan tanaman yang terinfeksi
lebih cepat kehilangan air daripada tanaman yang sehat (Nelson 2001).
Mendgen et al. (1996) berpendapat bahwa cara kerja dari toksin yang
dihasilkan Fusarium adalah mengubah struktur sel tanaman; toksin yang
dihasilkan adalah asam fusarat dan enzim pektinase. Enzim pektinase merupakan
enzim perombak dinding sel tanaman, sehingga patogen bisa masuk ke sel
tanaman dengan mudah, serta menyebabkan terjadinya perubahan warna pada
akar tanaman (Ching 2008). Asam fusarat bersifat racun pada jaringan parenkim
yang letaknya bersebelahan dengan jaringan pembuluh, sehingga menghambat
peran dari keduanya (Oku 1994). Mekanisme infeksi Fusarium adalah spora jatuh
ke sel tanaman (inokulasi) dibantu oleh angin, masuk ke lubang alami, yaitu
hidatoda (pada bagian tanaman), kemudian berkembang biak dan hifanya akan
mengkolonisasi jaringan (Tucker & Talbot 2001). Jaringan dipenuhi oleh massa
spora patogen, kemudian spora akan berkecambah dan menyumbat sistem
jaringan sehingga menimbulkan layu, hawar atau busuk akibat toksin yang
dikeluarkan.
14
Perkembangan Fusarium sp., dipengaruhi oleh keadaan pH yaitu dari tanah
asam memungkinkannya tumbuh dan berkembang. Selanjutnya suhu yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman berpengaruh juga terhadap
perkembangan penyakit. Fusarium sp., mampu hidup pada suhu tanah antara 10 -
24 ºC, meskipun hal ini tergantung pula pada isolatnya (Soesanto 2008). Fusarium
juga cepat berkembang pada tanah yang terlalu basah atau becek, kelembaban
udara yang tinggi, dan pH tanah yang rendah (Ching 2008). Populasi patogen
dapat bertahan secara alami di dalam tanah dan pada akar tanaman sakit serta
dapat menginfeksi tanaman lewat mulut kulit, lentisel, kutikula, luka. Fusarium
sp., membentuk spora yang berperan di dalam sebaran patogen yang luas secara
alami melalui hujan; dimana dengan adanya curah hujan yang tinggi akan
membantu pemencaran cendawan patogen tular tanah ke daerah lain yang lebih
jauh, baik karena percikan maupun terbawa aliran air. Faktor lain yang berperan
dalam penyebaran spora Fusarium adalah angin, bibit terinfeksi, pemindahan
bibit, tanah terinfestasi, permukaan air drainase, pembubunan, luka karena
serangga, alat pertanian, dan lain-lain (Nelson 2001).
Penyakit yang umumnya diakibatkan oleh patogen ini adalah penyakit layu
Fusarium yang menyerang akar dan menimbulkan kerugian yang cukup besar.
Tanaman yang menjadi layu akibat penyakit ini antara lain, semangka, melon,
tomat, kopi, pisang (Gordon & Martin 1997). Selain itu juga Fusarium dapat
menyebabkan busuk biji jagung dan damping off pada pesemaian kapas (Elsalam
et al. 2003). Untuk gejala hawar yang disebabkan oleh Fusarium masih sedikit
dijumpai. Tetapi beberapa spesies Fusarium dapat menyebabkan penyakit hawar
yang menyerang gandum di berbagai belahan Eropa, Amerika, dan Asia hingga
menjadi epidemik dan mengakibatkan kerugian akibat kegagalan panen (Zhuping
1994). Penyakit hawar yang disebabkan oleh Fusarium ini umumnya disebut
sebagai Fusarium head blight (FHB) atau “scab” atau kudis dan dipengaruhi oleh
kelembaban udara yang berlebihan pada musim tertentu. FBH dapat diatasi
dengan penggunaan benih tanaman gandum transgenik yang resisten terhadap
FBH (Zhuping 1994). Selain itu juga, Fusarium dapat menyebabkan hawar atau
bercak daun pada rumput (Goldberg 2006), yang disebut dengan fusarium leaf
spot atau fusarium blight.
15
Fusarium juga menyebabkan penyakit busuk akar dan crown, busuk
tongkol, hawar benih dan biji gandum serta malformasi pada mangga dan
penyakit bakane pada padi (Summerell et al. 2003). Berkaitan dengan tanaman
dari kelompok monokotil, tanaman tebu (Saccharum sp.) diserang oleh Fusarium
dan menimbulkan penyakit pokkah boeng yang berasal dari Jawa dan
menimbulkan kerugian besar. Penyakit ini menghasilkan gejala yang sangat luas,
teristimewa selama cuaca hujan. Umumnya ujung tanaman membelit dan berubah
bentuk. Daun klorotik di permukaan bawah, terbatas di dasarnya dan berkembang
dengan warna merah tua. Kultivar yang rentan dapat terus berkembang gejalanya,
termasuk nekrosis di bagian apikal, keriput, daun menjadi pendek dan gejala
berkembang ke batang yang menyerupai potongan dari pisau. Patogen ini tersebar
oleh aliran angin dan percikan hujan, menginfeksi potongan batang tebu,
serangga dalam stadia pupa dan dewasa yang membuat liang pada batang tebu.
Tebu menjadi rentan pada umur 3-8 bulan (Gordon & Martin 1997).
Keragaman Mikroorganisme melalui Karakter Molekuler
Keragaman mikroorganisme adalah variasi atau perbedaan bentuk-bentuk
mikroorganisme, materi genetik yang dikandungnya, serta bentuk-bentuk
ekosistem tempat hidup atau habitatnya (Campbell & Reece 2005). Keragaman
mikroorganisme ini dapat dibedakan secara morfologi, fisiologi dan genetika yang
digunakan untuk klasifikasi dan identifikasi secara tepat sehingga diperoleh ciri
khusus dari suatu mikroorganisme. Morfologi dan fisiologi suatu mikroorganisme
dapat diketahui dengan pewarnaan, uji endospora, menggunakan media spesifik,
melihat perkembangan hifa, warna miselium, bentuk konidia dan sebagainya.
Pengamatan tersebut cukup membantu dalam identifikasi, tetapi bila satu
kelompok mikroorganime mememiliki beberapa jenis atau strain, maka akan sulit
untuk dibedakan secara morfologi bahkan dapat terjadi kesalahan identifikasi
(Suryadi & Mahmud 2002). Sebagai contoh, hasil penelitian Saragih & Silalahi
(2006) menunjukkan bahwa terdapat beberapa spesies Fusarium yang terdeteksi
dan diidentifikasi sebagai penyebab penyakit layu pada tanaman markisa.
Merujuk pada Burgess et al. (1994) yang mengatakan bahwa F. oxysporum dan F.
16
equisetii memiliki keragaman yang tinggi yang diduga karena perbedaan ekologi
tempat asalnya sehingga antar spesies sulit dikendalikan dengan cara yang sama.
Pendekatan teknologi asam nukleat merupakan cara yang akurat dalam
untuk mencirikan keragaman genetik di antara beberapa spesies. Klasifikasi dan
identifikasi yang tepat dapat merujuk pada suatu upaya pengendalian yang tepat
sasaran. Teknik molekuler yang dapat digunakan untuk mengetahui keragaman
mikroorganisme adalah metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dan analisis
sequencing. PCR merupakan teknik untuk melipatgandakan sekuen nukleotida
tertentu secara eksponensial secara in vitro dengan melibatkan sepasang
oligonukleotida sebagai primer dan dengan bantuan enzim. Sekuen nukleotida
tertentu ini merupakan daerah yang bersifat konserve dan menjadi ciri khas
genetik suatu cendawan, yang dapat membedakan dengan organisme lain bahkan
cendawan lain yang berbeda jenis dan spesies (Muladno 2002).
Salah satu daerah yang biasa digunakan para ahli untuk mendeteksi
keberadaan cendawan patogen tanaman adalah internal transcribed spacer (ITS)
pada ribosomal DNA (rDNA) dengan data sekuen 28S rRNA. Daerah ini
memiliki variasi sekuens yang tinggi antar spesies serta memberikan kegunaan
bagi primer yang dihasilkan untuk deteksi spesies yang spesifik pada cendawan
dan membedakan kedekatan hubungan spesies cendawan (Bryan et al. 1995;
Elsalam et al. 2003). Gen RNA ribosom (rDNA) memiliki karakter yang cocok
untuk deteksi patogen pada tingkat spesies. rDNA ini sangat stabil dan
menunjukkan daerah yang conserve dan bervariasi di dalam genom dan dapat
digunakan untuk investigasi kekerabatan dalam tingkat spesies (Hibbert et al.
1995 dan Lee et al. 2000). Mereka memperbanyak diri secara ganda mencapai
200 copy per haploid genom (Bruns et al. 1991) dan mengandung gen 18S subunit
kecil (SSU), 5.8S dan 28S subunit besar (LSU) (Gambar 3). Perbedaan
komposisi nukleotida dari daerah ITS digunakan untuk mendesain primer spesifik
untuk mengamplifikasi DNA secara selektif antara spesies patogen tanaman
(Moricca et al. 1998). Analisis sekuen nukleotida dari daerah rDNA dapat secara
luas diterima untuk menghasilkan filogeni dan hubungannya dalam taksonomi
(Hibbert et al. 1995).
17
Gambar 3 Primer ITS-Fu-f dan ITS-Fu-r, spesifik untuk Fusarium yang dibentuk dari daerah ITS (internal transcribed spacer) (Elsalam et al. 2003).
Untuk analisis sequencing mengarah pada identifikasi isolat cendawan yang
mencerminkan hubungan filogeni. Data sekuen 28S rDNA saat ini digunakan
sebagai dasar identifikasi cendawan dalam sistem hirarki yang mencerminkan
hubungan kekerabatan (Shenoy et al 2007). Menurut Muladno (2002),
penggunaan data sekuens penting dalam membandingkan sekuens dari gen yang
sama pada spesies yang berbeda, yang memungkinkan dibuatnya diagram
filogenetik. Filogenetik dalam cendawan merupakan cara untuk membedakan
spesies yang satu dengan yang lain menjadi sub kelompok yang lebih kecil Leslie
et al. (2001). Dalam aplikasinya, banyak studi filogenetik cendawan
menggunakan sekuen DNA dari satu atau dua lokus dari isolat yang telah
terkarakterisasi dengan baik; contohnya di dalam filogeni Fusarium, dilakukan
berdasarkan sekuen ITS antara 2 sekuen Fusarium (Harrington & Potter 1997).
Bakteri Rizosfer yang Berpotensi sebagai Biokontrol
Rizosfer merupakan daerah ideal bagi tumbuh dan berkembangnya
mikroorganisme termasuk agensia pengendali hayati (Campbell & Reece 2005).
Salah satu mikroorganisme tersebut adalah bakteri rizosfer yang berpotensi
18
sebagai agens hayati dalam menghambat perkembangan patogen penyebab
penyakit serta meningkatkan pertumbuhan tanaman (Baker & Cook 1974).
Bakteri di daerah rizosfer lebih banyak yang berperan sebagai agen hayati.
Keberlangsungan hidupnya juga lebih stabil dibandingkan dengan bakteri yang
hidup di daerah permukaan daun (filoplan). Daerah perakaran banyak terdapat
mikroorganisme saprofit yang menyebabkan tahap perombakan dan kecepatan
perombakan bahan organik di dalam tanah, sehingga patogen mempunyai
kesempatan yang kecil untuk berkembang (Hutcheoson 1998; Weller et al. 2002).
Kelimpahan bakteri di daerah rizosfer sangat beragam dan antara satu
wilayah dengan wilayah lainnya berbeda – beda (Lynch 1990). Perbedaaan
kelimpahan bakteri dari wilayah yang berbeda dipengaruhi oleh adanya eksudat
akar dan didukung dengan lingkungan di dalam tanah yang akan mempengaruhi
interaksi organisme antara mikroba tanah, tanaman dan tanah (Soesanto 2008).
Makin banyak dan padat akar suatu tanaman di dalam tanah, makin kaya
kandungan senyawa organik pada rizosfer sehingga makin padat pula populasi
mikroba tanah, termasuk agen hayati. Seiring dengan pendapat dari Degens et al.
(2000) bahwa perubahan penggunaan lahan dapat mempengaruhi populasi dan
komunitas mikroba dalam tanah.
Loon et al. (1998) mengatakan bahwa bakteri merupakan salah satu
kelompok mikroorganisme yang relatif mudah dikembangkan sehingga menjadi
cepat melimpah jika dikembangkan dari biosfernya. Oleh karena itu dengan
mengetahui kelimpahan dan keragaman bakteri potensial tersebut yang nantinya
akan diperbanyak dan dilepas kembali ke daerah rizosfer pertanaman, dapat
merupakan usaha konservasi lingkungan rizosfer pada tanaman buah merah dan
berprospek dalam usaha pengendalian hayati penyakit tanaman.
Jenis – jenis bakteri rizosfer yang berpotensi sebagai agens biokontrol yang
adalah dari kelompok Pseudomonas fluorescens dan nonfluorescens, bakteri
tahan panas yang meliputi Bacillus, Clostridium, selanjutnya bakteri penghasil
siderofor dan bakteri pendegradasi kitin (Baker & Cook 1974). Bakteri kitinolitik
merupakan bakteri yang mampu menghasilkan enzim kitinase yang dimanfaatkan
untuk sumber karbon dan nitrogen melalui proses asimilasi kitin (Wang & Chang
1997). Enzim yang dihasilkan berfungsi untuk mendegradasi kitin yang
19
merupakan komponen penyusun dinding sel cendawan, kulit serangga, dan
kerangka luar kelompok arthopoda, moluska, nematoda, dan protozoa. Beberapa
genus bakteri yang menghasilkan kitinase antara lain Aeromonas, Alteromonas,
Chromobacterium, Enterobacter, Ewingella, Pseudoalteromonas, Vibrio,
Bacillus sp., Clostridium sp, Enterobacter liquefaciens, Flavobacterium
indolthecium, Klebsiella sp, Micrococcus colpogenes, Pseudomonas sp., Serratia
marcencens dan Pyrococcus. Hasil penelitian melapokan bakteri kitinolitik
Arthobacter sp., dan Hafnia sp., telah diketahui mampu mengendalikan Fusarium
sp. dan Sclerotinia sp pada tanaman tomat dan arbei (Wang & Chang 1997).
Bakteri tahan panas juga merupakan salah satu bakteri rizosfer yang
berpotensi sebagai agens hayati, yang meliputi Bacillus dan Clostridium. Saat ini
Bacillus lebih banyak dimanfaatkan sebagai agens pengendali hayati patogen
tanaman, karena menghasilkan antibiotik yang dapat membunuh mikroba lain
Antibiotik yang dihasilkan adalah subtilin, subtilosin, mycobacillin, subsporin,
surfactin, bacillomycin, bacilysin, asam sianida, fengycin dan bacilysocin
(Maurhofer et al.1994). Selain itu bakteri ini mampu menghasilkan enzim
degradatif makromolekul seperti protease dan kitinase yang dapat menghancurkan
dinding sel cendawan. Bacillus merupakan bakteri Gram postif yang membentuk
spora tahan panas yang berfungsi untuk bertahan hidup pada suhu ekstrim sekitar
700 sampai 1000 C dan sebagian besar bersifat saprofitik (Schaad et al. 2001). B.
subtilis, B. cereus, B. licheniformis, B. megaterium dan B. pumilus dapat berperan
sebagai agen biokontrol untuk mengendalikan Fusarium sp. (Nelson 2001).
Bakteri kelompok flourescence menghasilkan pigmen berwarna hijau, yang
merupakan senyawa flouresein atau pioverdin yang berpendar di bawah cahaya
ultraviolet (panjang gelombang 266 nm); dihasilkan pada media dengan
kandungan besi rendah yang berfungsi untuk mengikat zat besi dari
lingkungannya (Misagi et al. dalam Khaeruni 1998). P. fluorescens diketahui
memproduksi asam silikat yang mampu mengendalikan patogen tanaman
(Maurhofer et al.1994). P. fluorescens mengeluarkan senyawa antifungal,
siderofor, HCN dan metabolit sekunder lainnya yang sifatnya dapat menghambat
aktivitas F. oxysporum. Senyawa siderofor diproduksi pada kondisi lingkungan
tumbuh yang miskin ion Fe3+. Senyawa ini mengkelat ion Fe3+ sehingga tidak
20
tersedia bagi mikroorganisme lain. Ion Fe3+ sangat diperlukan oleh spora F.
oxysporum untuk berkecambah. Dengan tidak tersedianya ion Fe3+ maka infeksi
F. oxysporum ke tanaman berkurang (Ramamoorthy et al. 2002). Senyawa
antifungal dapat menyebabkan modifikasi struktur dinding sel dan perubahan
biokimia/fisiologis pada sintesa protein yang terlibat dalam pertahanan tanaman
(de Brito et al. 1995). Chrisnawati et al. (2009) membuktikan bahwa gabungan
Pseudomonas fluorosens Pf 101 dan Bacillus spp. Bc 26 memiliki kemampuan
antagonistik tertinggi dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri nilam.
Agensia organisme yang digunakan dalam pengendalian hayati sebagian
besar dari kelompok mikroba, mampu menekan dan memusnahkan perkembangan
mikroba lain, secara khusus yang bersifat fitopatogen (BPTH 2005).
Pengendalian secara hayati semakin berkembang karena cara ini lebih unggul
dibandingkan dengan pemakaian pestisida dan terbukti lebih aman bagi
lingkungan (Pal & Gardener 2006). Mekanisme mikroba menekan mikroba
patogen tanaman antara lain melalui antagonisme, antibiosis, hiperparasit,
mengeluarkan senyawa volatil, menginduksi ketahanan tanaman dan sebagainya
(Baker & Cook 1974). Mekanisme penekanan agens hayati terhadap patogen
tanaman nyata terlihat pada perkembangan patogen yang terhambat sehingga
penyakit yang ditimbulkan dapat ditekan. Liu et al. (2007) menyatakan bahwa
penghambatan yang kuat terhadap patogen dalam uji in vitro mengindikasikan
penekanan pertumbuhan cendawan tersebut disebabkan oleh adanya senyawa
antifungal yang dihasilkan oleh bakteri antagonis. Aktivitas antagonisme yang
utama disebabkan oleh kemampuan bakteri menghasilkan antibiotik; dengan
mekanisme antibiotik dan senyawa metabolik yang dihasilkan masuk ke dalam
sel patogen dan menghambat aktivitas patogen. Kelimpahan bakteri rizosfer yang
berpotensi sebagai agens pengendali hayati sangat penting sebagai informasi
dalam mengendalikan penyakit tanaman serta dapat memacu peningkatan
pertumbuhan tanaman yang pada akhirnya meningkatkan hasil tanaman sebagai
akibat dari pengendalian penyakit jangka panjang (Zhang et al. 2002). Bakteri
rizozfer berpotensi juga sebagai pelarut fosfat, membantu dalam asimilasi N2
serta menstabilkan stuktur tanah yang sangat mendukung pertumbuhan tanaman
(Mukerji et al. 2006).
21
BAHAN DAN METODE
Tempat Dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Manokwari (Desa Warkapi, Madrad,
SP 8 dan Kelurahan Amban Pantai), Laboratorium Fitopatologi Fakultas Pertanian
dan Teknologi Pertanian - Universitas Negeri Papua Manokwari dan
Laboratorium Bakteriologi, Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor. Untuk kegiatan isolasi cendawan dan bakteri serta uji
Postulat Koch dilakukan di Kabupaten Manokwari, sedangkan uji fisiologi,
molekuler dan antibiosis dilakukan di Institut Pertanian Bogor. Penelitian
berlangsung dari bulan Juli 2010 hingga Juli 2011.
Prosedur Penelitian
Identifikasi Cendawan Patogen Penyebab Hawar pada Daun Tanaman Buah
Merah.
Metode yang digunakan mengikuti kaidah Postulat Koch menurut Agrios (2005),
dengan beberapa tahapan seperti yang diuraikan di bawah ini :
Isolasi. Daun tanaman buah merah yang bergejala hawar di lapangan dipotong
kecil dengan ukuran 0,5 cm x 0,5 cm. Setiap potongan terdiri bagian yang sehat
dan yang sakit. Selanjutnya daun dibilas permukaannya menggunakan NaOCl 3%
selama 3 menit, kemudian disterilisasi dengan air steril, serta dikeringanginkan.
Daun ditanam pada cawan petri berisi media Potato Dextrose Agar (PDA) dan
diinkubasi sampai terlihat hifa yang tumbuh. Metode ini dilakukan secara aseptik
dan ketika hifa telah tumbuh, maka segera dimurnikan pada media PDA yang
baru.
Inokulasi. Isolat cendawan yang telah murni diinokulasi kembali pada daun
tanaman buah merah yang sehat melalui metode penempelan. Tahapannya adalah
daun tanaman buah merah yang sehat dilukai dengan jarum. Kemudian daun
tersebut ditempeli dengan isolat cendawan yang berumur 8 hari (potongan dari
media PDA) serta dibasahi dengan kapas steril dan diplakban. Setelah 2 hari,
kapas dilepas dan diamati perkembangan gejala yang terjadi. Setelah beberapa
22
hari masa inkubasi, diamati daun yang menunjukkan gejala yang identik dengan
gejala awal di lapangan.
Reisolasi. Daun yang menunjukkan gejala sakit diisolasi kembali pada media
PDA dan diidentifikasi secara makroskopis dan mikroskopis, dengan mengamati
warna dan pertumbuhan miselia, bentuk spora (konidia, klamidospora dan
sebagainya). Setelah diketahui jenis cendawan patogennya, maka dibandingkan
karakter morfologinya dengan 6 isolat cendawan dari genus yang sama tetapi
berasal dari tanaman yang berbeda. Cendawan patogen asal buah merah
dibandingkan dengan cendawan dengan genus yang sama dari tanaman berbeda
bertujuan untuk mengetahui apakah cendawan asal buah merah memiliki
kemiripan dengan cendawan yang sama asal tanaman lain.
Kepastian bahwa penyebab penyakit hawar daun buah merah oleh cendawan
didasarkan bahwa pada awalnya telah diperoleh informasi adanya beberapa jenis
cendawan yang berasosiasi dengan gejala hawar daun tersebut. Untuk
memastikannya kembali, kemudian diuji lagi dengan cara daun bergejala hawar
diinkubasi dan dilembabkan di dalam cawan petri. Dari hasil pengujian tersebut
menunjukkan adanya bagian patogen yaitu hifa cendawan dan tidak terdapat
mikroorganisme lainnya.
Analisis Genetika Antar Spesies Fusarium
Isolat cendawan penyebab hawar daun dikarakterisasi secara molekuler
melalui metode PCR dan sequencing serta dibandingkan dengan cendawan dari
genus dan spesies yang sama dari tanaman yang berbeda. Tahapannya adalah
sebagai berikut berdasarkan metode Cenis (1992) :
Ekstraksi DNA cendawan. Ekstraksi DNA cendawan dilakukan untuk
menyiapkan DNA templat dalam PCR. Mula-mula cendawan penyebab hawar
serta 6 isolat cendawan dengan genus yang sama dari tanaman yang berbeda
masing-masing diambil miselianya sebanyak 0,1 gram dari media Potato Dextrose
Broth (PDB) dan dimasukkan pada mortar steril. Selanjutnya nitrogen cair
dimasukkan dan digerus dengan cepat sampai miselia menjadi bubuk (halus).
Kemudian ditambahkan 500 µl bufer TE (pH 8,0) (10mM Tris-HCl pH 8; 1 mM
EDTA) serta bufer ekstraksi (200 mM Tris HCl pH 8,5; 250 mM NaCl, 25 mM
23
EDTA dan 0,5% SDS) sebanyak 300 µl dan digerus selama 5 menit, selanjutnya
dimasukkan ke tube 2 ml. Kemudian ditambahkan 150 µl sodium asetat (pH 5,2)
dan diinkubasi pada suhu 20 ºC selama 10 menit. Selanjutnya disentrifuse pada
13.000 rpm selama 5 menit; 300 µl supernatan diambil dan dimasukkan ke tube
1,5 ml serta ditambahkan isopropanol dengan volume yang sama. DNA
dipresipitasi dengan sentrifuse 13.000 rpm selama 10 menit, kemudian dicuci
dengan 500 µl 70% etanol dingin dan disentrifugasi selama 1 menit 6000 rpm.
Pada tahap akhir, DNA dikeringkan ± 2 jam dan dilarutkan dalam 50 µl TE (10
mM Tris HCl pH 8; 1 mM EDTA).
Amplifikasi DNA menggunakan PCR. Amplifikasi DNA cendawan
dilakukan menggunakan primer ITS-Fu-f dan ITS-Fu-r (5`-
CAACTCCCAAACCCCTGTGA-3` dan 5`-GCGACGATTACCAGTAACGA-
3`) dalam total volume 25 µl/reaksi. Masing-masing primer dimasukkan sebanyak
1 µl, selanjutnya dicampurkan dengan 9,5 µl ddH2O. 1 µl tempelat DNA yang
telah dilarutkan dalam bufer TE dimasukkan serta 12,5 µl Kit PCR (Kappa Ready
Mix), kemudian dilakukan pencampuran. Selanjutnya PCR dilakukan untuk 30
siklus dengan mengatur suhu denaturasi 95 ºC selama 2 menit; 94 ºC selama 1
menit; suhu annealing 58 ºC selama 30 detik; suhu ekstensi 72 ºC selama 1 menit
dan suhu ekstensi akhir 72 ºC selama 10 menit.
Elektroforesis hasil PCR. Elektroforesis DNA digunakan untuk membaca
hasil amplifikasi PCR. Produk hasil PCR dianalisis dengan gel agarosa 1,5%
dalam bufer TAE 1x dan 10 µl etidium bromida. Elektroforesis dilakukan selama
40 menit pada tegangan 120 V. Hasil elektroforesis diamati di bawah UV
transilluminator dan pita DNA yang terbentuk dipotret menggunakan kamera.
Analisis sequencing. DNA hasil PCR digunakan untuk sequencing. Hasil
sequencing digunakan untuk mencari padanan sekuen 28s rDNA yang homolog
pada DNA database (GenBank) dengan menggunakan program BLAST dari
NCBI (http://www.ncbi.nlm.nih.org).
Isolasi Bakteri Rizosfer
Bakteri rizosfer diisolasi dari tanah perakaran tanaman buah merah yang
diambil di 4 wilayah di Kabupaten Manokwari, yaitu Desa Warkapi, Warmare, SP
24
8 dan Amban Pantai. Sampel tanah dari masing masing daerah tersebut diambil
pada kedalaman 20 - 30 cm dari tanah sebanyak 5 plot dan 5 ulangan. Tanah
ditempatkan pada plastik sampel dan diuji di laboratorium. Uji di laboratorium
dengan tahapan sebagai berikut :
Sebagai persiapan, media spesifik yaitu Tryptic Soy Agar (TSA), King’s B
Agar (KBA) dan media kitin, masing-masing dituang pada cawan petri steril dan
dibiarkan hingga padat. Media tersebut merupakan media spesifik untuk
mendeteksi kelompok bakteri rizosfer yang bermanfaat. Media TSA untuk
mengisolasi bakteri kelompok tahan panas, media KBA untuk mengisolasi bakteri
kelompok fluorescence dan media kitin untuk mengisolasi bakteri yang bersifat
kitinolitik (menghasilkan kitinase).
Sampel tanah dari daerah yang berbeda masing-masing ditimbang sebanyak
10 g kemudian dimasukkan ke dalam akuades steril 50 ml dan dikocok
menggunakan shaker dengan kecepatan 300 rpm selama 5 menit. Setelah
dilakukan pengenceran berseri hingga 10-10, dari masing-masing pengenceran (10-
1 , 10-3, 10-5, 10-7, 10-9 ) diambil 0,2 ml dan disebarkan pada permukaan media
KBA dan media kitin dengan menggunakan glass bead. Suspensi yang tersisa
dalam erlenmeyer selanjutnya dipanaskan menggunakan hot plate pada suhu 80
ºC selama 10 menit. Dilakukan pengenceran berseri dan pencawanan (platting)
seperti di atas pada permukaan media TSA. Kemudian diinkubasi selama 2 hari
dan dihitung jumlah koloni pada masing-masing pengenceran menggunakan
colony counter. Untuk biakan bakteri yang tumbuh pada media KBA, diletakkan
di bawah sinar UV dan dihitung jumlah koloni yang berpendar.
Karakterisasi Bakteri secara Morfologi dan Fisiologi Karakter bakteri secara morfologi diamati dari bentuk dan warna koloni.
Karakter secara fisiolologi dilakukan menggunakan beberapa metode menurut
Schaad et al. (2001) dan Dhingra & James (2000) :
Pengujian Gram dengan KOH 3%. Uji Gram dilakukan untuk
membedakan bakteri kelompok Gram positif dan negatif yang merujuk pada
kandungan dinding sel bakteri. Koloni bakteri diambil menggunakan jarum ose
dan dimasukkan pada gelas objek yang berisi 1 tetes larutan KOH 3%. Setelah itu
25
diaduk perlahan sampai koloni bakteri menyatu dengan larutan KOH sambil
sesekali jarum ose diangkat-angkat. Bakteri Gram negatif ditunjukkan dengan
adanya lendir yang muncul ketika jarum ose diangkat perlahan dan terlihat seperti
benang-benang, sedangkan bakteri Gram positif tidak.
Uji endospora. Uji endospora dilakukan untuk mengetahui spora yang
dihasilkan oleh bakteri dari kelompok tahan panas. Tahapan yang dilakukan
adalah bakteri dari kelompok tahan panas dibuat dalam bentuk preparat, kemudian
ditetesi dengan malachit green dan dilakukan fiksasi selama 1 menit. Preparat
didinginkan selama 1 menit dan dicuci menggunakan air mengalir. Safranin
ditetes dan dibiarkan selama 60 detik, kemudian dicuci dengan air serta
dikeringkan. Selanjutnya preparat diamati menggunakan mikroskop, tanpa
memakai penutup gelas objek. Endospora akan tampak berwarna hijau, sedangkan
sel vegetatif berwarna merah muda.
Uji hipersensitif. Uji hipersensitif dilakukan untuk mengetahui reaksi
pertahanan tanaman yang inkompatibel terhadap mikroorganisme. Mula-mula 1
ose koloni isolat bakteri yang diuji ditumbuhkan pada 5 ml media LBB di dalam
tabung reaksi dan digojok menggunakan shaker dengan kecepatan 80 rpm selama
48 jam. Suspensi bakteri tersebut diambil dengan menggunakan jarum suntik
steril dan diinjeksikan ke bagian bawah daun tembakau; diinjeksikan pula media
LBB tanpa isolat bakteri sebagai kontrol. Perkembangan yang terjadi pada 1 – 3
hari diamati. Reaksi positif (kompatibel) yang berarti bakteri tersebut bersifat
patogenik ditunjukkan dengan adanya bercak nekrosis pada bagian yang
diinokulasikan dengan suspensi bakteri, sebaliknya reaksi negatif (inkompatibel)
terjadi bila warna daun tetap hijau.
Uji Mekanisme Antibiosis Bakteri Rizosfer terhadap Cendawan Patogen
Kemampuan bakteri rizosfer dalam menghambat patogen dideteksi
berdasarkan mekanisme antibiosis secara in vitro melalui metode dual culture.
Tahapan yang dilakukan adalah sebagai berikut : isolat bakteri dan cendawan
patogen disiapkan, media PDA dituang dan dibiarkan hingga padat. Isolat bakteri
dan isolat cendawan ditumbuhkan di dalam satu media PDA yang dilakukan
dengan cara isolat patogen diambil menggunakan cork borer dan diletakkan pada
26
kedua sisi cawan petri yng berisi media PDA. Selanjutnya di bagian tengah dari
cawan petri tersebut digores biakan bakteri menggunakan metode streak (gambar
6). Perlakuan-perlakuan tersebut kemudian diinkubasi pada suhu ruang, diamati
dan diukur setiap hari. Pengamatan dan pengukuran dilakukan terhadap diameter
koloni cendawan dan zona hambatan yang terbentuk. Sebagai kontrol, cendawan
ditumbuhkan dengan akuades steril.
Isolat bakteri
Isolat cendawan patogen
Gambar 4 Tata letak cendawan dan bakteri pada pengujian mekanisme antibiosis.
Variabel Pengamatan
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah : 1. Karakter makroskopis dan mikroskopis patogen, antara lain : warna dan
bentuk koloni, pertumbuhan koloni serta bentuk konidia.
2. Identifikasi dan keragaman patogen dengan patogen yang sama dari inang
lain berdasarkan analisis sequencing.
3. Perbedaan morfologi koloni dan karakter lain patogen buah merah dengan
patogen sejenis dari tanaman lain.
4. Kelimpahan bakteri kelompok fluorescence, bakteri kelompok tahan panas
dan bakteri kelompok kitinolitik.
5. Karakter morfologi dan fisiologi bakteri tersebut yang meliputi warna,
bentuk dan tepi koloni serta uji Gram, endospora dan hipersensitif.
6. Zona hambatan yang terbentuk dari uji antibiosis antara bakteri rizosfer
dan cendawan penyebab hawar daun secara in vitro.
Jumlah koloni per ml Jumlah koloni x=
27
Analisis Data
Data hasil pengamatan dianalisis secara deskriptif. Selanjutnya untuk
jumlah koloni bakteri dihitung dengan rumus :
1
atau per g tanah per cawan faktor pengenceran
Uji kemampuan antibiosis dilakukan berdasarkan Baker & Cook (1974), sebagai
berikut :
dK – dP
I= X 100% dK
I = persentase daya hambat (%)
dK = diameter cendawan pada kontrol
dP = diameter cendawan pada perlakuan
Percobaan dilakukan dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktor tunggal
dengan tiga taraf perlakuan, yaitu : bakteri kelompok tahan panas, bakteri
kelompok kitinolitik dan bakteri kelompok fluorescence yang diulang empat kali.
Data diolah dengan program Statistical Analysis System (SAS) versi 9.1.3, yang
diuji lanjut dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
28
HASIL DAN PEMBAHASAN
Cendawan Penyebab Hawar Daun Tanaman Buah Merah
Gejala penyakit hawar daun tanaman buah merah (P. conoideus) di Kabupaten Manokwari banyak dijumpai di beberapa daerah yang banyak terdapat
pertanaman tersebut, yaitu Desa Warkapi, Amban dan SP 8. Gejala hawar daun
buah merah di lapangan berupa bercak kecil hingga meluas membentuk lingkaran
besar tidak teratur, dengan warna coklat muda hingga coklat tua kehitaman dan
bagian tepinya dikelilingi “halo” berwarna kuning (Gambar 5). Agrios (2005)
menyatakan bahwa gejala hawar terjadi pada daun, cabang, ranting dan bunga
yang menjadi coklat dengan sangat cepat serta menyeluruh dan menyebabkan
kematian jaringan.
Gambar 5 Gejala hawar pada daun buah merah di lapangan.
Berdasarkan hasil isolasi cendawan dari daun bergejala, diperoleh 22 jenis
cendawan yang berasosiasi dengan gejala hawar. Cendawan – cendawan tersebut
sebagian memiliki pertumbuhan koloni yang mirip dengan Fusarium dan sebagian
lagi merupakan kapang kelabu, yaitu cendawan dengan miselia yang berwarna
gelap. Hasil inokulasi isolat M2 (Madrad) pada tanaman sehat, diperoleh gejala
hawar yang identik dengan gejala awal di lapangan (Gambar 6) yaitu terbentuk
bercak yang berwarna berwarna coklat dan dikelilingi oleh “halo” berwarna
kuning. Gejala tersebut muncul pada 6 hari setelah inokulasi (hsi) dan kemudian
semakin meluas.
29
a b c
Gambar 6 Gejala hasil inokulasi cendawan ke daun buah merah yang sehat; a. Gejala pada 6 hsi; b. Gejala pada 8 hsi; c. Gejala 14 hsi.
Reisolasi dari daun bergejala hasil inokulasi pada daun sehat diperoleh satu
jenis cendawan yang selanjutnya diidentifikasi secara morfologi. Berdasarkan
hasil identifikasi morfologi koloni dan konidia, isolat tersebut merupakan
cendawan Fusarium sp. Karakter morfologi dan cendawan tersebut identik dengan
cendawan hasil isolasi awal pada daun bergejala hawar di lapangan (Gambar 7).
a
b
c d
Gambar 7 Karakter morfologi koloni cendawan asal buah merah; cendawan
berasal dari hasil isolasi daun bergejala di lapangan berturut-turut koloni tampak depan (a) dan tampak belakang (b); cendawan hasil reisolasi dari inokulasi pada daun sehat berturut-turut koloni tampak depan (c) dan tampak belakang (d).
Berdasarkan gambar di atas, cendawan pada Gambar 7a dan Gambar 7b
merupakan hasil isolasi daun bergejala di lapangan; dengan ciri morfologi koloni
30
depan berwarna putih, koloni belakang berwarna putih dan kuning muda,
berbentuk : miselia tidak teratur dengan aerial timbul. Selanjutnya cendawan pada
Gambar 7c dan Gambar 7d merupakan cendawan yang diperoleh dari daun
bergejala hasil inokulasi ke daun sehat. Cendawan ini memiliki koloni depan yang
berwarna putih, koloni belakang berwarna putih dan kuning muda, berbentuk
tidak teratur dan miselianya agak timbul. Setelah diamati morfologi koloni,
selanjutnya diamati konidia dan hifa yang dihasilkan oleh kedua cendawan
tersebut yang ditampilkan pada Gambar 8.
makrokonidia
klamidospora
mikrokonidia
a makrokonidia c
mikrokonidia
b d
klamidospora
Gambar 8 Karakter konidia dan hifa cendawan asal buah merah; cendawan berasal dari hasil isolasi daun bergejala di lapangan berturut-turut konidia (a) dan hifa (b); cendawan hasil reisolasi dari inokulasi pada daun sehat berturut-turut konidia (c) dan hifa (d).
31
Berdasarkan gambar diatas, karakter mikroskopis cendawan pada Gambar
8a adalah makrokonidia berbentuk seperti kano (canoe) atau perahu, dengan ujung
meramping dan sel basal membengkok, berwarna hialin, bersekat 3 dan bersel 4.
Mikrokonidia berbentuk ovoid, berwarna hialin, ada yang bersekat dan ada yang
belum membentuk sekat. Pada hifa terdapat sekat dan berwarna hialin serta
klamidospora berbentuk semi bulat (Gambar 8b). Cendawan hasil reisolasi
memiliki makrokonidia yang berbentuk seperti kano dengan ujung meramping, sel
basal membengkok dan bersel 4 serta bersekat 3 (Gambar 8c); hifa berwarna
hialin serta bersekat dan klamidospora berbentuk semi bulat (Gambar 8d). Dalam
hasil penelitian, kecepatan pertumbuhan koloni Fusarium cukup lambat yaitu
pada hari ke 12 memenuhi cawan petri.
Cendawan hasil isolasi, inokulasi dan reisolasi diidentifikasi dengan kunci
identifikasi Watanabe (2002) dan Barnett & Hunter (1999), diperoleh cendawan
penyebab hawar daun pada buah merah adalah Fusarium sp. Hal ini diperkuat
oleh (Barnett & Hunter 1999), yang menyatakan bahwa Fusarium memiliki
konidiofor yang bervariasi, ramping dan sederhana, gemuk, pendek, bercabang
tidak teratur atau menghubungkan fialid, tunggal atau berkelompok membentuk
sporodokia. Sporodokia ini membentuk makrokonidia dan mikrokonidia. Bentuk
makrokonidia melengkung panjang dengan ujung mengecil dan mempunyai sekat
antara lebih dari 1, terdiri dari beberapa sel, berbentuk perahu; sedangkan
mikrokonidium bentuknya pendek, tidak bersekat atau bersekat satu, bersel satu,
ovoid dan tunggal bujur atau ramping membengkok. Fusarium dapat sebagai
parasit tanaman tingkat tinggi atau saprofit pada sisa-sisa tanaman.
Secara umum, koloni Fusarium berwarna putih, dengan merah muda sampai
violet dengan tepian berwarna putih, atau kuning muda pada media dengan
miselia yang umumnya seperti kapas, berbentuk bundar, dengan elevasi datar
(Barnett & Hunter 1999). Klasifikasi Fusarium menurut Barnett & Hunter (1999)
yaitu termasuk dalam sub divisi Fungi, kelas Deuteromycetes, bangsa Moniliales,
famili Tuberculariaceae dan genus Fusarium.
Lahan pertanaman buah merah di Kabupaten Manokwari sebagian besar
merupakan hak ulayat masyarakat lokal yang belum dibudidayakan secara baik.
Di daerah Amban, buah merah ditanam di lahan kebun percobaan, dimana umur
32
tanaman mencapai ± 10 tahun. Tajuk dan percabangan saling menutup, tanaman
relatif tinggi dan tidak dipupuk, sehingga pertumbuhannya kurang bagus. Lokasi
lahan juga jarang dibersihkan, sehingga tampak lembab. Di daerah Warkapi dan
Madrad, tanaman tumbuh di hutan di antara pepohonan lain, dengan jarak yang
tidak teratur. Tanaman tidak terpelihara, umur relatif tua, sekeliling tanaman
jarang dibersihkan dan sebagian besar tumbuh di tepi air sehingga lokasi lahan
menjadi lembab. Di daerah SP 8 tidak dijumpai gejala hawar. Tanaman ditanam
dengan jarak yang teratur, umur tanaman masih lebih muda yaitu 5 tahun, tajuk
tidak saling menutupi dan lokasi lahan lebih terbuka, memperoleh cahaya
matahari yang cukup.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Fusarium sp. penyebab
hawar daun di lahan pertanaman buah merah antara lain adalah kelembaban lahan
yang cukup tinggi, lahan yang tidak dibersihkan, tajuk yang tidak dipangkas
sehingga menghalangi masuknya cahaya, tanaman yang umurnya sudah tua serta
bahan perbanyakan tanaman yang telah terinfeksi. Ketika lahan tidak dibersihkan
dengan teratur dan keadaannya lembab dapat memacu perkembangan patogen
dengan cepat. Didukung juga dengan adanya aliran air disekeliling pertanaman
yang dapat menyebarkan spora patogen; demikian juga bantuan angin yang
menyebarkan spora melalui tajuk yang saling menutupi. Selain itu juga diduga
lahan pertanaman yang sebelumnya telah terinfeksi patogen, menyebabkan tanah
lahan pertanaman telah terinfestasi Fusarium dan bertahan dalam tanah tersebut.
Hal ini didukung oleh pernyataan Ching (2008) yang berpendapat bahwa penyakit
akibat Fusarium akan cepat berkembang jika kondisi lingkungan mendukung,
dengan kondisi lahan pertanaman yang lembab. Penelitian Damicon & Manning
(1985) dalam Nelson (2001) menyebutkan bahwa ketika tanah difumigasi dan
ditanami dengan asparagus, setahun kemudian tanaman tersebut 100% diinfeksi
oleh F. oxysporum.
Mekanisme Fusarium dalam menginfeksi tanaman yaitu mengeluarkan
toksin seperti asam dehidrofusarik, likomarasmin, asam fusarik dan enzim
pektinase yang akan mengubah struktur sel tanaman dan permeabilitasnya
(Mendgen et al. 1996). Umumnya patogen ini mengawali infeksinya dari akar,
karena merupakan patogen tular tanah (soilborne). Tetapi selanjutnya dapat
33
menyebar dalam beberapa cara, yaitu percikan dan aliran air, angin, bibit
terinfeksi, pemindahan bibit, tanah terinfestasi, permukaan air drainase,
pembubunan, luka karena serangga, alat pertanian, dan lain-lain (Nelson 2001).
Faktor-faktor tersebut dapat membantu sebaran Fusarium sebagai patogen tular
tanah mencapai organ tanaman selain akar (seperti daun, buah, bunga) serta
mencapai daerah lain yang lebih jauh. Mekanisme infeksi Fusarium dalam
menyebabkan hawar daun adalah spora jatuh ke sel tanaman (inokulasi) melalui
perantara angin, masuk ke lubang alami, yaitu hidatoda di daun, kemudian
berkembang biak dan hifanya akan mengkolonisasi jaringan daun. Jaringan akan
dipenuhi oleh massa spora patogen; spora ini akan berkecambah dan menyumbat
sistem jaringan, sehingga menimbulkan hawar dengan munculnya warna coklat
kekuningan pada daun.
Penyakit terbanyak yang dihasilkan oleh patogen ini adalah penyakit layu
Fusarium yang menyerang akar dan menimbulkan kerugian yang cukup besar;
dapat menyebabkan busuk biji jagung dan damping off pada pesemaian kapas
(Elsalam et al. 2003). Gejala hawar yang disebabkan oleh Fusarium masih sedikit
dijumpai. Tetapi beberapa spesies Fusarium dapat menyebabkan hawar daun atau
bercak daun pada rumput dan hawar pada biji gandum (Goldberg 2006 dan
Zhuping 1994).
Karakter Morfologi Fusarium Asal Beberapa Tanaman
Isolat Fusarium sp. asal buah merah dibandingkan dengan 6 isolat Fusarium
asal tomat, semangka, melon, pisang, nangka dan pepaya untuk mengetahui
keragamannya. Tujuh jenis isolat dari tanaman yang berbeda ini memiliki
perbedaan secara morfologi, mikroskopis dan molekuler. Untuk morfologi warna
koloni ditampilkan pada Gambar 9. Isolat Fusarium asal melon merupakan a
penyebab penyakit layu pada melon, isolat Fusarium asal semangka menyebabkan
layu pada semangka, isolat Fusarium asal tomat merupakan penyebab penyakit
layu pada tomat, Fusarium asal pisang menyebabkan busuk buah pisang,
Fusarium asal nangka menyebabkan busuk buah nangka serta isolat asal pepaya
yang diduga Fusarium menyebabkan busuk pada buah pepaya. Isolat asal melon,
semangka dan tomat merupakan koleksi dari Laboratorium Klinik Tanaman dan
34
Laboratorium Mikologi Departemen Proteksi Tanaman IPB; sedangkan isolat asal
pisang, nangka dan pepaya merupakan isolat yang diisolasi langsung dari tanaman
sakit.
a b
c d
e
f
D
g
Gambar 9 Morfologi koloni Fusarium asal beberapa tanaman pada media PDA; a. Buah merah; b. Semangka; c. Melon; d. Tomat; e. Pisang; f. Nangka; g. Pepaya; dari permukaan atas cawan petri (kiri); dari permukaan bawah cawan petri (kanan).
Koloni isolat buah merah berwarna putih, koloni belakang berwarna kuning
muda kecoklatan, berbentuk tidak teratur seperti kerang, miselia cembung, tepian
berserabut serta pertumbuhan koloni di dalam cawan petri adalah 12 hsi (Gambar
9a). Isolat asal semangka memiliki warna koloni putih dan bagian tengah
berwarna ungu, koloni belakang berwarna putih keruh, berbentuk tidak teratur.
35
Miselia berciri aerial datar, tepian koloni berserabut. Pertumbuhan koloni di
dalam cawan petri adalah 15 hsi (Gambar 9b). Isolat asal melon berwarna putih
dan bagian tengah koloni berwarna ungu; koloni belakang berwarna putih keruh,
miselia agak cembung, tepian berserabut, pertumbuhan koloni mencapai 15 hsi
pada cawan petri; koloni yang tua akan berbentuk konsentris (Gambar 9c). Pada
isolat tomat, warna koloni putih, koloni belakang berwarna putih keunguan,
berbentuk tidak teratur, miselia datar dan tipis, dengan tepian berserabut serta
pertumbuhan koloni 12 hsi pada cawan petri (Gambar 9d).
Selanjutnya isolat asal pisang berwarna putih salem (peach), koloni
belakang berwarna krem salem; berbentuk tidak teratur, aerial datar dan agak
tebal, tepian berserabut, pertumbuhan di cawan petri mencapai 12 hsi (Gambar
9e). Koloni yang dimiliki isolat nangka berwarna putih dan koloni belakang
berwarna krem salem, berbentuk tidak teratur, miselia agak tebal, tepian
berserabut dengan pertumbuhan di cawan petri mencapai 14 hsi (Gambar 9f).
Isolat pepaya memiliki koloni berwarna kuning pucat dengan tepian putih keruh.
Koloni belakang berwarna kuning muda dengan tepian transparan; berbentuk
tidak teratur, aerial cembung dan lebat, tepian berserabut, pertumbuhan di cawan
petri mencapai 6 hsi (Gambar 9g).
Secara morfologi koloni, isolat asal buah merah memiliki warna yang
berbeda dengan isolat yang lain. Dari segi tipe miselia, isolat asal buah merah
memiliki tipe miselia yang relatif tidak berbeda dengan isolat asal semangka,
melon, tomat, pisang, nangka, yaitu agak cembung tetapi tidak lebat dan
berbentuk seperti serabut. Isolat asal buah merah dan lainnya berbeda dengan
isolat asal pepaya karena memiliki tipe miselia seperti rambut yang lebat dan
cepat memenuhi cawan petri. Selanjutnya, setelah dilakukan perbandingan secara
morfologi koloni, beberapa isolat Fusarium dari beberapa tanaman ini selanjutnya
dibandingkan secara mikroskopis dengan melihat bentuk makrokonidia dan
mikrokonidia (Gambar 10).
36
a b
c
d
f
e g
Gambar 10 Konidia Fusarium asal beberapa tanaman; a. Buah merah;
b. Semangka; c. Melon; d. Tomat; e. Pisang; f. Nangka; g. Pepaya; perbedaan pada ujung sel basal konidia (tanda lingkaran); pengamatan dilakukan secara mikroskopis dengan perbesaran 1000x.
Konidia Fusarium asal buah merah ditunjukkan pada Gambar 10a, dengan
makrokonidia berbentuk seperti kano, ujung meramping, sel basal membengkok,
memiliki 3 sekat dengan 4 sel dan berwarna hialin. Mikrokonidia berbentuk
ovoid dan bersekat 1 dan ada yang belum bersekat, berwarna hialin. Makrokonidia
isolat asal semangka berbentuk seperti kano, ujung meramping dan meruncing, sel
basal membengkok, memiliki 1-4 sekat dan hialin. Mikrokonidia berbentuk ovoid
dan hialin (Gambar 10b). Isolat asal melon memiliki makrokonidia yang
berbentuk seperti kano, ujung meruncing dan sel basal melengkung, bersekat 3-6
37
dan hialin. Mikrokonidia berbentuk ovoid, ujung melengkung bersekat 1-2 dan
hialin (Gambar 10c).
Berikutnya, makrokonidia yang dihasilkan isolat tomat berbentuk seperti
kano, ujung meruncing, sel basal membengkok, bersekat 1-3 dan hialin.
Mikrokonidia berbentuk ovoid dan hialin (Gambar 10d). Isolat asal pisang
memiliki makrokonidia berbentuk seperti kano, ujung meruncing, sel basal
menipis dan melengkung bersekat 3-6 dan hialin. Mikrokonidia yang dihasilkan
berbentuk ovoid, bersekat 1-2 dan hialin (Gambar 10e). Isolat asal nangka
menghasilkan makrokonidia yang berbentuk seperti kano, ujung meruncing, sel
basal menipis dan melengkung bersekat 1-4 dan hialin. Menghasilkan
mikrokonidia yang berbentuk ovoid dan hialin (Gambar 10f). Isolat asal pepaya
memiliki makrokonidia berbentuk ovoid, ujung menumpul, tidak bersekat dan
hialin. Mikrokonidia yang dihasikan berbentuk semi bulat, tidak bersekat dan
hialin (Gambar 10g). Secara keseluruhan, makrokonidia yang dihasilkan
Fusarium asal buah merah relatif tidak berbeda dengan isolat dari semangka,
melon dan tomat, yaitu makrokonidia berbentuk seperti kano dengan sel basal
sedikit membengkok. Isolat asal buah merah berbeda dengan isolat asal pisang
dan nangka; walaupun berbentuk seperti kano, tetapi sel basal makrokonidia yang
dihasilkan isolat asal pisang dan nangka berbentuk melengkung dan menipis.
Isolat buah merah dan isolat lainnya berbeda dengan isolat asal pepaya, dimana
konidia yang dihasilkan tidak bersekat dan tidak berbentuk seperti kano.
Setelah dilakukan pengamatan pada morfologi koloni dan konidia beberapa
Fusarium diamati lagi pertumbuhan koloni masing-masing isolat ketika
ditumbuhkan pada media PDA. Pertumbuhan koloni isolat tersebut dapat dilihat
pada gambar 12.
Uku
rank
olon
i(cm
)
38
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
Buah Merah Pisang Pepaya Nangka Semangka Melon Tomat
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Pertumbuhan pada hari ke -
Gambar 11 Pertumbuhan koloni Fusarium asal beberapa tanaman.
Dari segi kecepatan pertumbuhan koloni, isolat buah merah memiliki
pertumbuhan yang relatif sama dengan isolat semangka, melon, tomat, pisang dan
nangka, yaitu pertumbuhan yang mencapai 12 – 15 hari. Isolat buah merah
berbeda dengan isolat asal pepaya dimana pertumbuhan koloninya sangat cepat
dibandingkan dengan isolat lain, yaitu 6 hari telah memenuhi cawan petri
(Gambar 11). Dengan morfologi dan pertumbuhan koloni seperti itu, diduga isolat
asal pepaya ini bukan merupakan Fusarium.
Pada dasarnya, perbedaan bentuk dari konidia adalah ciri umum untuk
mengidentifikasi banyak spesies Fusarium, karena ciri tersebut berbeda antar
spesies, dari segi panjang dan lebar konida, jumlah sekat, jumlah sel serta bentuk
konidia yang seperti perahu atau bulan sabit tetapi sangat bervariasi antar spesies
(Watanabe 2002). Konsep umum dari Fusarium pertama kali dianalisis dari
adanya konidia berbentuk perahu (kano) atau pisang atau bulan sabit yang nampak
pada semua genus; memiliki sedikit perbedaan yang membedakan antar spesies.
39
Karakter Molekuler Fusarium Asal Beberapa Tanaman
Karakterisasi molekuler dilakukan dengan teknik PCR dan sequencing
menggunakan primer spesifik untuk genus Fusarium, yaitu ITS Fu-f dan ITS-
Fu-r (Elsalam et al. 2003). Karakterisasi molekuler dilakukan untuk
mengidentifikasi cendawan Fusarium penyebab hawar daun buah merah pada
tingkat spesies, serta mendukung data morfologi dan mikroskopis yang telah
diperoleh. Hasil amplifikasi DNA melalui elektroforesis ditampilkan pada
Gambar 12. A B C D E F G H M
4000 bp A B C D E F G HM
1500 bp 1000 bp 500 bp ± 390 bp
Gambar 12 Amplifikasi gen 28S rDNA menggunakan primer ITS Fu-f dan Fu-r; A. Fusarium Buah Merah; B. Fusarium Buah Merah; C. Fusarium Semangka; D. Fusarium Melon; E. Fusarium Pisang; F. Fusarium Nangka; G. Fusarium Pepaya; H. Fusarium Tomat; G. Marker.
Berdasarkan hasil elektroforesis hasil PCR pada Gambar 12, terlihat bahwa isolat asal buah merah merupakan genus Fusarium karena terdapat pita
DNA saat amplifikasi; demikian juga isolat semangka, melon, nangka, pisang dan
tomat. Ukuran DNA yang teramplifikasi adalah ± 390 bp; hal ini sesuai dengan
penelitian Elsalam et al. (2003), yang menggunakan primer yang sama dan
menghasilkan pita DNA dari Fusarium dengan ukuran 398 bp. Isolat asal pepaya
(G) bukan merupakan Fusarium karena tidak terdapat pita DNA seteleh
amplifikasi. Dengan demikian, melalui PCR dan sequencing, hasil yang diperoleh
40
dalam uji molekuler mempertegas hasil sebelumnya yaitu morfologi dan
mikroskpois bahwa isolat asal buah merah merupakan Fusarium.
Primer ITS Fu-f dan Fu-r yang digunakan didesain dari oligonukleotida
pada daerah sekuen ITS (Internal Transcribed Spacer) mengandung data sekuen
atau gen 18S subunit kecil (SSU), 5,8S dan 28S subunit besar (LSU) (Elsalam et
al. 2003). Daerah ini memiliki variasi sekuens yang tinggi antar spesies;
memberikan kegunaan bagi primer yang dihasilkan untuk deteksi spesies yang
spesifik pada cendawan patogen jaringan tanaman yang telah terinfeksi secara
alami; serta membedakan kedekatan hubungan spesies cendawan (Bryan et al.
1995; Elsalam et al. 2003). Primer ini mengamplifikasi daerah target spesifik
antara ITS1 dan ITS2 yang mengandung 5,8S rRNA pada Fusarium. Munculnya
pita DNA pada ukuran tertentu menandakan adanya amplifikasi fragmen spesifik
DNA target sesuai dengan primer yang digunakan. Gen RNA ribosom (rDNA)
memiliki karakter yang cocok untuk deteksi patogen pada tingkat spesies, karena
rDNA ini sangat stabil, menunjukkan daerah yang conserve dan bermacam-
macam di dalam genom (Hibbert et al. 1995).
Setelah diperoleh hasil elektroforesis PCR, dilanjutkan dengan sequencing
untuk memperoleh padanan sekuen 28S rDNA dengan DNA database atau
genbank melalui program BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) NCBI
(http//:www.ncbi.nlm.nih.org). Untuk hasil padanan sekuen tersebut dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1 Padanan sekuen 28S rDNA dengan DNA database menggunakan program BLAST NCBI
Hasil Penelitian Hasil Padanan dengan DNA Database Asal Isolat Ukuran
(bp) No Aksesi Kerabat Dekat Nilai
similaritas (%) Buah Merah
Semangka
Melon
Pisang
Nangka
Tomat
397
393
393
393
393
391
HQ148102
EU588397
FR852562
FR872726
FR872728
FR851229
F. oxysporum
F. oxysporum
F. oxysporum
F. equisetii
F. equisetii
F. oxysporum
100
99
99
99
99
98
41
Berdasarkan hasil padanan sekuen 28S rDNA dengan DNA database yang
diketahui isolat Fusarium dari buah merah adalah Fusarium oxysporum. Isolat
asal buah merah memiliki nilai homologi 100% dengan F. oxysporum yang
diisolasi dari tanaman Echinacea purpurea dari nomor aksesi HQ148102.
Selanjutnya isolat asal semangka memiliki nilai homologi 99% dengan F.
oxysporum yang diisolasi dari tanaman semangka dengan nomor aksesi
EU588397. Isolat asal melon memiliki nilai homologi 99% dengan F. oxysporum
yang diisolasi dari tanaman melon dengan nomor aksesi FR852562. Isolat asal
tomat memiliki nilai homologi 98% dengan F. oxysporum yang diisolasi dari
tanaman tomat dengan nomor aksesi FR851229. Isolat asal pisang memiliki nilai
homologi 99% dengan F. equisetii yang diisolasi dari tanaman tomat dengan
nomor aksesi FR872726. Isolat asal nangka memiliki nilai homologi 99% dengan
F. equisetii yang diisolasi dari tanaman pepaya dengan nomor aksesi FR872728.
Koloni F. oxysporum umumnya berwarna merah muda sampai biru violet
atau putih dan kuning dengan bagian tengah koloni berwarna lebih gelap
dibandingkan dengan bagian tepi. Saat konidia terbentuk, tekstur koloni menjadi
seperti wol atau kapas (Fran & Cook, 1998). Memiliki konidiofor hialin,
sederhana, pendek atau tidak terdifensiasi dari hifa, terhubung dengan massa
spora di ujung. Konidia hialin, terdiri dari dengan 2 jenis yaitu : makrokonidia
berbentuk perahu lonjong yang agak ramping pada ujung sel, dan sel basal yang
bengkok, dengan 4 sel; mikrokonidia elips dengan 1 sel. Klamidospora coklat,
berbentuk semi bulat. Panjang makrokonidia 17,5- 29.1–45 µm dan diameter 2.9–
4.7 µm. Panjang mikrokonidia 6–15.8 µm dan diameter 1.9–3.7-5 µm.
Klamidospora berdiameter 5.3-10.2–15 µm (Watanabe 2002). F. oxysporum
memiliki 54 lebih forma spesialis yang telah diketahui dan dipublikasi.
Dari morfologi koloni yang diperoleh dalam penelitian, Fusarium asal buah
merah memiliki morfologi koloni yang relatif tidak berbeda dengan deskripsi
seperti di atas, yaitu koloni berwarna putih dan kuning. Tetapi hasil ini belum
dapat menentukan nama spesies tersebut, karena belum dilakukan uji lanjut
terhadap pengamatan konidiogen serta pengukuran konidia yang dapat
mendukung penentuan nama spesies Fusarium tersebut. Meskipun pada hasil
padanan sequencing DNA melalui program BLAST seperti pada Tabel 1 di atas
42
diperoleh hasil bahwa isolat asal buah merah merupakan F. oxysporum, namun hal
ini belum bisa dijadikan dasar karena bisa terjadi hasil amplifikasi DNA tidak ter-
sequencing seluruhnya. Untuk memperoleh hasil yang lebih akurat, perlu
dilakukan pengujian terhadap ciri mikroskopis Fusarium secara lengkap, seperti
konidia, klamidospora serta konidiogen serta ukuran panjang dan lebarnya.
Berdasarkan data sekuens yang dicocokkan dengan data dari genbank,
menunjukkan adanya isolat yang spesiesnya sama, yaitu F. oxysporum dan F.
equisetii. Untuk mengetahui seberapa besar hubungan kekerabatan antar isolat
tersebut dilakukan uji filogenetik melalui program PAUP 4.0 (Gambar 14).
Fusarium asal buah merah
61
64
100
Fusarium asal melon
Fusarium asal semangka
Fusarium asal nangka
Fusarium asal pisang
Fusarium asal tomat
Gambar 13 Pohon filogenetik yang menggambarkan hubungan kekerabatan antar isolat Fusarium asal beberapa tanaman pada gen 28S rDNA yang dibuat dengan analisis Bootstrap Neighbor-joining program PAUP4.0.
Berdasarkan gambar diatas, dapat terlihat bahwa isolat Fusarium asal buah
merah diduga merupakan cendawan primitif dan sangat berbeda dibandingkan
dengan isolat yang lain. Isolat tersebut diduga memiliki kedekatan dengan isolat
asal semangka, melon, tomat; sedangkan dibandingkan dengan isolat pisang dan
nangka berkerabat jauh. Hasil penelitian menunjukkan isolat Fusarium penyebab
hawar daun tanaman buah merah berbeda spesies dengan isolat Fusarium pada
inang lain. Perbedaan ini dapat diamati pada morfologi koloni, konidia yang
dihasilkan serta data sekuens yang diperoleh dari uji molekuler. Hal ini
menunjukkan bahwa meskipun genus dan bahkan spesiesnya sama, tetapi jika
memiliki kisaran inang yang berbeda, maka isolat tersebut berbeda pula. Ini
didukung pula dengan data sekuens dari masing-masing isolat yang diperoleh
43
melalui uji sequencing (Lampiran 5). Perlu dilakukan karakterisasi secara lebih
lengkap dan terinci bagi Fusarium penyebab hawar daun buah merah, agar dapat
diketahui spesiesnya secara tepat dan dapat diketahui perbandingannya dengan
Fusarium asal tanaman lain.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian, cendawan dari genus Fusarium
banyak menjadi patogen tanaman, antara lain F. oxysporum f.sp niveum penyebab
layu semangka, F. oxysporum f.sp lycopersici penyebab layu tomat, F. oxysporum
f.sp cubense penyebab layu pisang dan sebagainya (Nelson 2001). Fusarium
merupakan kelompok cendawan terbesar sebagai patogen tanaman. Cendawan ini
memiliki kisaran inang yang luas dan banyak menginfeksi tanaman. Satu spesies
Fusarium mampu menginfeksi beberapa tanaman atau satu tanaman bisa diinfeksi
oleh beberapa spesies Fusarium. Contohnya, F. oxysporum dan F. equisetii
memiliki keragaman yang sangat tinggi dalam morfologi kultur dan karakterisik
fisiologi. Keragaman ini memungkinkan spesies tersebut berbeda (beragam) satu
dengan lainnya karena perbedaan ekologi tempat, struktur genetik serta populasi
yang berubah.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka perlu dilakukan perbandingan
beberapa isolat Fusarium asal beberapa tanaman sehingga diketahui isolat tersebut
sama atau berbeda. Kemungkinan Fusarium yang berasal dari melon, semangka
dan tomat itu adalah cendawan yang sama dengan cendawan yang menginfeksi
tanaman buah merah. Begitu juga sebaliknya, bisa terjadi Fusarium yang
menginfeksi melon merupakan isolat yang berbeda dengan Fusarium yang
menginfeksi buah merah, semangka dan tomat. Jika Fusarium asal melon,
semangka dan tomat sama persis atau memiliki kekerabatan yang dekat dengan
Fusarium asal buah merah, maka isolat tersebut dapat menginfeksi tanaman buah
merah.
Analisis sequencing pada dasarnya mengarah pada identifikasi isolat
cendawan yang mencerminkan hubungan filogeni, berdasarkan data sekuen
rDNA dari gen yang sama tetapi berbeda spesies. Leslie et al. (2001) menjelaskan
filogenetik dalam cendawan merupakan cara untuk membedakan spesies yang
satu dengan yang lain menjadi sub kelompok yang lebih kecil dalam filogenetik.
Dalam aplikasinya, banyak studi filogenetik cendawan menggunakan sekuen
44
DNA dari satu atau dua lokus dari isolat yang telah terkarakterisasi dengam baik.
Sebagai contoh di dalam filogeni Fusarium, dilakukan berdasarkan sekuen ITS
antara 2 sekuen Fusarium (Harrington & Potter 1997).
Karakter morfologi seperti warna koloni dan bentuk konidia saat ini yang
umum digunakan untuk membedakan spesies Fusarium karena praktis
diaplikasikan (Nelson et al. 2001). Walaupun bentuk makrokonidia sering
memberikan deskripsi spesies yang baik, tetapi perbedaan bentuk dan ukuran
makrokonidia dapat membingungkan, subjektif dan bergantung pada lingkungan
makrokonidia dihasilkan (Leslie et al. 2001). Para ahli saat sekarang ini lebih
cenderung menggunakan sistem genetik dan molekuler sebagai dasar
mengidentifikasi spesies Fusarium dan mendeskripsikan takson baru. Sistem
tersebut dianggap lebih akurat, lebih luas tersedia dalam aplikasinya dan
kekerabatan dapat diperluas serta penentuan suatu spesies dan batas-batasnya
lebih jelas. Akan tetapi karakter morfologi juga tetap digunakan, yang karakternya
akan melengkapi dengan karakter yang diperoleh melalui teknik molekuler.
Kelimpahan Bakteri pada Rizosfer Tanaman Buah Merah
Pada pertanaman buah merah di Kabupaten Manokwari, yaitu di Desa
Madrad, Warkapi, SP 8, dan Amban diperoleh jumlah koloni bakteri rizosfer yang
berbeda antar satu daerah dengan yang lainnya. Bakteri rizosfer dari tiap daerah
dihitung jumlah koloninya yang ditampilkan melalui diagram pada Gambar 14.
Bakteri yang diisolasi dan dihitung adalah dari kelompok fluorescence, kelompok
tahan panas dan kelompok kitinolitik.
Jum
lahk
olon
i (L
ogcf
u/gt
anah
)
45
12 10
8 6 4
Kelompok Fluorescence
Kelompok Tahan panas
Kelompok Kitinolitik
2 0
Warkapi Madrad Amban SP 8
Lahan pengambilan sampel
Gambar 14 Jumlah koloni bakteri rizosfer yang diisolasi dari perakaran tanaman buah merah.
Berdasarkan diagram di atas, di Desa Warkapi jumlah koloni bakteri kelompok fluorescence paling banyak, diikuti oleh kelompok bakteri tahan panas
dan bakteri kitinolitik. Di Desa Amban, jumlah koloni bakteri tahan panas yang
mendominasi, diikuti oleh bakteri kitinolitik dan bakteri fluorescence. Di Desa
Madrad, kelompok bakteri tahan panas mendominasi kemudian diikuti bakteri
kitinolitik dan bakteri fluorescence. Sedangkan di daerah SP 8, yang paling
dominan adalah kelompok bakteri kitinolitik, diikuti oleh bakteri fluorescence
dan bakteri tahan panas.
Dari empat daerah yang diteliti kelimpahan bakteri rizosfer buah merah,
Desa Amban memiliki kelimpahan bakteri kelompok fluorescence dan bakteri
kitin yang jumlahnya paling sedikit diantara wilayah lainnya. Hal ini diduga
disebabkan oleh umur tanaman yang sudah tua, sehingga kepadatan akarnya tidak
terlalu bagus dan kandungan organik pada rizosfer menurun, sehingga kelimpahan
bakteri juga berkurang. Dugaan lain yaitu terjadi persaingan antar mikroba tanah,
sehingga salah satu kelompok bakteri tidak mampu memperbanyak dirinya.
Secara keseluruhan, bakteri rizosfer yang jumlahnya paling banyak terdapat di
Desa Warkapi, diikuti oleh jumlah bakteri di Desa Madrad, SP 8 dan Amban. Di
Desa Warkapi, pertanaman buah merah terdapat di hutan di antara pepohonan
lain, dan belum ada campur tangan manusia secara intensif dalam hal pengolahan
tanah. Tanah di daerah Warkapi merupakan tanah dengan tipe aluvial dan
46
memiliki genangan air yang cukup dalam dari endapan sungai. Di Desa Madrad,
pertanaman buah merah berada di hutan dan berdampingan dengan tanaman lain
yang juga dimanfaatkan masyarakat lokal. Diduga karena belum ada campur
tangan manusia yang besar dalam budidayanya, sehingga jumlah bakteri rizosfer
pada daerah ini masih cukup banyak. Tipe tanah di Desa Madrad adalah latosol
dan kering. Pada Desa SP 8 dan Amban, jumlah koloni bakteri lebih sedikit; hal
ini diduga karena adanya campur tangan manusia yang menyebabkan perubahan
ekosistem dari rizosfer tersebut. Tipe tanah di Desa SP 8 adalah aluvial dan
kering, sedangkan di Desa Amban adalah latosol dan kering. Pada ke dua desa
tersebut, lahan pertanaman buah merah merupakan lahan yang telah
dibudidayakan oleh masyarakat dan diduga tidak dilakukan pengolahan tanah
yang baik sebelum penanaman. Heywood (1995) menyatakan bahwa perubahan
atau perusakan ekosistem pada daerah rizosfer akan menyebabkan spesies
mikroba pecah atau musnah.
Kelimpahan bakteri di daerah rizosfer sangat beragam dan antara satu
wilayah dengan wilayah lainnya berbeda – beda (Lynch 1990). Adanya eksudat
akar dan didukung dengan lingkungan di dalam tanah, akan mempengaruhi
pertumbuhan dan interaksi organisme, khususnya mikroba tanah dengan tanaman
dan tanah (Soesanto 2008). Bakteri di daerah rizosfer umumnya bersifat
menguntungkan dan lebih banyak yang berperan sebagai agen hayati (Bustaman
2006). Keberlangsungan hidupnya juga lebih stabil dibandingkan dengan bakteri
yang hidup di daerah filoplan. Hal ini disebabkan karena daerah rizosfer memiliki
eksudat akar yang menjadi sumber nutrisi bagi organisme tanah, khususnya
bakteri sehingga dapat berkembang dan mempertahankan diri pada daerah
rizosfer. Menurut Campbell & Reece (2005), rizosfer merupakan daerah yang
ideal bagi tumbuh dan berkembangnya mikroba tanah, termasuk agensia
pengendali hayati. Bakteri rizosfer paling banyak dimanfaatkan karena
kemampuannya dalam mendukung pertumbuhan tanaman serta menghambat
patogen tanaman.
Komunitas lingkungan biotik dan abiotik di dalam tanah saling
berpengaruh terhadap keberadaan mikroorganisme tanah, khususnya bakteri.
Faktor tersebut berpengaruh sangat besar terhadap mikroba antagonis di dalam
Jum
lahj
enis
bakt
eri
47
tanah (Soesanto 2008). Makin banyak dan padat akar suatu tanaman di dalam
tanah, makin kaya kandungan organik pada rizosfer sehingga makin padat pula
populasi mikroba tanah, termasuk agen hayati. Loon et al. (1998) mengatakan
bahwa bakteri merupakan salah satu kelompok mikroorganisme yang relatif
mudah dikembangkan sehingga menjadi cepat melimpah jika dikembangkan dari
biosfernya. Oleh karena itu dengan mengetahui kelimpahan dan keragaman
bakteri potensial tersebut dapat berprospek dalam usaha pengendalian hayati
penyakit tanaman. Bakteri rizosfer yang berpotensi sebagai agens biokontrol yang
adalah dari Pseudomonads kelompok fluorescence dan nonfluorescence, bakteri
tahan panas yang meliputi Bacillus, Clostridium, selanjutnya bakteri penghasil
siderofor dan bakteri pendegradasi kitin (Baker & Cook 1974).
Selain menganalisis jumlah koloni bakteri rizosfer buah merah, dianalisis
juga jumlah jenis bakteri tiap daerah yang didasarkan pada keragaman bentuk dan
warna bakteri dari masing – masing kelompok. Jumlah jenis bakteri fluorescence,
bakteri tahan panas dan kitinolitik pada tiap daerah ditunjukkan pada Gambar 15.
8 7 6 5 4 3
Kelompok Fluorescence
Kelompok Tahan Panas
Kelompok Kitinolitik 2 1 0
Warkapi Madrad Amban SP 8
Lahan pengambilan sampel
Gambar 15 Jumlah jenis bakteri rizosfer yang diisolasi dari perakaran tanaman
buah merah.
Berdasarkan Gambar 15, di Desa Warkapi bakteri dengan jumlah jenis
terbanyak adalah dari kelompok fluorescence dan tahan panas, di Desa Amban
jumlah jenis terbanyak adalah bakteri kelompok tahan panas dan fluorescence; di
48
Desa Madrad, kelompok fluorescence paling banyak jumlah jenisnya; sedangkan
di daerah SP 8, yang jumlah jenisnya mendominasi adalah kelompok fluorescence
dan bakteri tahan panas. Bakteri kitinolitik pada empat daerah tersebut paling
kecil jumlah jenisnya. Secara keseluruhan, jumlah jenis bakteri yang paling
banyak keragamannya terdapat di Desa Warkapi, kemudian diikuti oleh Desa
Madrad, SP 8 dan Amban. Coleman et al. (2004) menyatakan bahwa tiap –tiap
tanah karena perbedaan fisiko-kimianya, memiliki kekhasan penghuni
mikrobanya. Pada 1 g tanah bisa tercipta habitat unik yang dapat dihuni oleh
beragam mikroba.
Dari hasil isolasi bakteri rizosfer buah merah pada empat daerah diperoleh
58 isolat, dengan rincian, kelompok bakteri fluorescence diperoleh 22 isolat,
bakteri tahan panas diperoleh 21 isolat dan bakteri kitinolitik diperoleh 15 isolat.
Perbedaan jumlah jenis bakteri pada tiap daerah mengarah pada perbedaan
populasi satu jenis bakteri, yang disebabkan oleh keadaan tanah dan tanaman
yang mempengaruhi rizosfer. Degens et al. (2000) menyatakan bahwa perubahan
penggunaan lahan dapat mempengaruhi populasi dan komunitas mikroba dalam
tanah.
Karakterisasi Isolat Bakteri Rizosfer
Berdasarkan hasil isolasi bakteri rizosfer, diperoleh 58 isolat bakteri yang
termasuk dalam tiga kelompok bakteri, yaitu fluorescence, bakteri tahan panas
dan bakteri kitinolitik. Isolat tersebut dikarakterisasi berdasarkan ciri morfologi
dan fisiologi berdasarkan Schaad et al.(2001). Karakterisasi isolat bakteri yang
mewakili berdasarkan morfologi koloni ditampilkan pada Gambar 16.
49
a b
c d
Gambar 16 Morfologi koloni bakteri rizosfer buah merah; a dan b. Bakteri kelompok fluorescence; b. Bakteri kelompok tahan panas; c. Bakteri kelompok kitinolitik.
Morfologi koloni dari masing masing kelompok memiliki warna dan bentuk
yang relatif tidak berbeda. Bakteri kelompok fluorescence ditunjukkan pada
Gambar 16a dan Gambar 16b, dimana bakteri ini memiliki koloni berwarna krem
kekuningan, berbentuk bulat, elevasi timbul, tepian tidak beraturan dan sebagian
besar dari bakteri ini menghasilkan perpendaran berwarna violet jika diamati
dibawah sinar UV (Lampiran 2); tetapi ada isolat yang tidak menghasilkan
perpendaran tersebut yaitu isolat FW1 dan FM3. Bakteri tahan panas memiliki
koloni berwarna krem, berbentuk bundar, elevasi timbul dan tepian licin (Gambar
16c). Bakteri kitinolitik menghasilkan zona bening yang ukurannya bervariasi;
koloni berwarna putih serta ada yang membentuk struktur seperti rantai (Gambar
16d). Secara keseluruhan deskripsi morfologi koloni dapat dilihat pada Lampiran
2, Lampiran 3 dan Lampiran 4.
Setelah diamati ciri morfologi koloni bakteri rizosfer buah merah,
selanjutnya diamati ciri fisiologis bakteri tersebut berdasarkan uji Gram, uji
hipersensitif serta uji endospora. Ciri fisiologi bakteri ditampilkan pada Tabel 2.
50
Tabel 2 Karakter fisiologi bakteri rizosfer yang diisolasi dari perakaran tanaman buah merah
Jenis Bakteri Uji Gram Uji Hipersensitif/HR Uji Endospora
Kelompok Tahan Panas Kelompok Fluorescence Kelompok Kitinolitik
Gram positif/negatif Gram negatif/positif Gram positif/negatif
Negatif
Negatif/Positif
Negatif
Ada endospora/ tidak ada endospora
Tidak ada endospora
Tidak ada endospora
Dalam uji fisiologis, karakter yang diperoleh dari masing-masing kelompok
bakteri berbeda-beda antar isolat. Secara umum dan sebagian besar menghasilkan
karakter seperti pada Tabel 2 diatas; tetapi terdapat beberapa perbedaan antar
isolat. Untuk bakteri kelompok tahan panas, yang merupakan Gram positif adalah
isolat TA2, TA3, TA4, TA5, TW1, TW2, TW3, TW5, TW6, TW7, TM1, TM2,
TM4, TSp1, TSp2, TSp3 dan TSp5; sedangkan isolat TA1, TW4, TM3 dan TSp4
merupakan Gram negatif. Untuk uji HR seluruh isolat bakteri tahan panas
menghasilkan reaksi negatif. Selanjutnya isolat TA3, TA4, TA5, TW5, TW6,
TW7, TM1, TM3, TM4, TSp1, TSp3, TSp4 dan TSp5 menghasilkan endospora;
sedangkan isolat yang lainnya tidak menghasilkan endospora.
Untuk bakteri kelompok fluorescence yang termasuk bakteri Gram negatif
adalah isolat FA1, FA2, FA3, FA4, FA5, FW1, FW2, FW3, FW4, FW5, FW6,
FW7, FM1, FM2, FM3, FM4, FSp1, FSp3, FSp4 dan FSp5; sedangkan isolat
FSp2 dan FM5 merupakan Gram positif. Untuk uji HR sebagian besar isolat
menghasilkan reaksi negatif; tetapi isolat FW5, FM5 dan FSp1 menimbulkan
respon hipersensitif pada tembakau. Untuk bakteri kelompok kitinolitik, isolat
yang termasuk bakteri Gram positif adalah isolat KA1, KA2, KA3, KW1, KW2,
KW3, KW5, KW6, KM1, KM2, KM3, KSp1, KSp2 dan KSp3; sedangkan isolat
KW4 merupakan bakteri Gram negatif. Seluruh isolat bakteri kelompok ini tidak
menimbulkan reaksi hipersensitif. Secara keseluruhan karakter fisiologi bakteri
dapat dilihat pada Lampiran 2, Lampiran 3 dan Lampiran 4.
51
Deteksi Keberadaan Endospora
Endospora dihasilkan oleh bakteri dari kelompok tahan panas. Hasil isolasi bakteri rizosfer buah merah pada kelompok tahan panas, terdapat beberapa isolat
yang menghasilkan endospora. Struktur endospora bakteri yang diperoleh
ditunjukkan pada Gambar 17.
Gambar 17 Endospora bakteri tahan panas yang diisolasi dari perakaran tanaman
buah merah.
Hasil penelitian menunjukkan struktur yang berwarna merah muda
merupakan sel vegetatif, sedangkan struktur yang berwarna biru merupakan
endospora (Gambar 17). Tipe endospora yang dihasilkan dalam penelitian adalah
tipe sentral. Spora tipe sentral adalah spora yang terbentuk di tengah - tengah
sel vegetatif (Nicholson 2002). Dari 21 isolat bakteri yang berhasil diisolasi
dari rizosfer buah merah menggunakan media spesifik tahan panas, yaitu
media TSA, terdapat 13 isolat yang menghasilkan endospora yaitu isolat TA3,
TA4, TA5, TW5, TW6, TW7, TM1, TM3, TM4, TSp1, TSp3, TSp4, TSp5;
sedangkan isolat TA1, TA2, TW1, TW2, TW3, TW4, TM2, TSp2 tidak
menghasilkan endospora. Ini berarti tidak semua bakteri yang diisolasi merupakan
kelompok bakteri penghasil endospora.
Bakteri tahan panas memiliki struktur sel vegetatif dan endospora (Errington
2003). Bakteri rizosfer yang menghasilkan endospora yaitu dari kelompok bakteri
gram positif seperti Bacillus dan Clostridium. Spora yang dihasilkan merupakan
struktur untuk bertahan hidup dalam waktu yang lama dan dalam kondisi
lingkungan yang tidak menguntungkan seperti suhu yang tinggi (mencapai 100
52
ºC), kekeringan, senyawa kimia beracun, radiasi UV, radiasi ionisasi, dan
enzim hidrolitik. Spora yang dihasilkan bakteri ini tidak berfungsi sebagai struktur
reproduksi seperti cendawan, melainkan hanya sebagai struktur bertahan hidup.
Bacillus sp. merupakan salah satu bakteri rizosfer penghasil endospora yang
berpotensi sebagai agens biokontrol serta meningkatkan pertumbuhan tanaman
tertentu.
Dalam lingkungan yang menguntungkan, spora bergerminasi menjadi sel
vegetatif dan bila lingkungan tidak menguntungkan sel vegetatif berubah menjadi
spora. Sel vegetatif memiliki mRNA dan di dalam sel ini terjadi aktivitas
enzimatik, metabolisme (pengambilan O2) dan sintesis makromolekul. Sedangkan
pada endospora tidak terjadi aktivitas tersebut dan tidak memiliki mRNA. Setiap
kali endospora terbentuk, sel vegetatif bakteri terhenti dan fase “tidur/dorman”
dimulai dalam waktu yang panjang, sekitar 2,3 juta tahun (Errington 2003). Proses
pembentukan spora (sporulasi) berlangsung selama 15 jam (Nicholson 2002).
Uji Hipersensitif pada Tembakau
Salah satu syarat utama bakteri untuk dijadikan sebagai agens biokontrol adalah tidak menimbulkan pengaruh negatif atau fitotoksisitas. Hal ini dapat diuji
dengan uji hipersensitif yang merupakan reaksi yang ditemukan pada tanaman
indikator dan tanaman bukan inang. Uji hipersensitif menggunakan bakteri
rizosfer buah merah dan daun tanaman tembakau ditampilkan pada Gambar 18.
a b c Nekrosis
Gambar 18 Uji hipersensitif pada tembakau; a. Kontrol; b. Hipersensitif negatif; c. Hipersensitif positif.
Berdasarkan gambar diatas, semua isolat bakteri rizosfer yang menghasilkan
reaksi hipersensitif positif berarti bersifat patogenik sehingga tidak dapat
53
digunakan sebagai agens biokontrol. Isolat yang bukan patogen tidak akan
memberikan bercak nekrosis walaupun suspensi bakteri telah dimasukkan pada sel
atau jaringan daun tembakau (Gambar 18b). Reaksi hipersensitif positif
ditunjukkan dengan kematian cepat, kekeringan dan nekrosis kecoklatan pada
jaringan daun tembakau setelah 24 jam (Gambar 18c). Isolat yang bereaksi positif
dalam uji hipersensitif pada kelompok fluorescence adalah dari isolat FW5, FM5,
FSp1; sedangkan isolat yang negatif hipersensitif adalah FA1, FA2, FA3, FA4,
FA5, FW1, FW2, FW3, FW4, FW6, FW7, FM1, FM2, FM3, FM4, FSp2, FSp3,
FSp4, FSp5. Untuk kelompok bakteri tahan panas dan bakteri kitinolitik, semua
isolat bersifat negatif dalam uji hipersensitif (Lampiran 2, Lampiran 3 dan
Lampiran 4). Bakteri yang bereaksi negatif dalam uji ini dapat diuji lanjut sebagai
kandidat agens pengendali hayati. Hal ini dirujuk pada Soesanto (2008), yang
mengatakan bahwa salah satu ciri mikroba pengendali hayati adalah diharapkan
tidak menjadi kontaminan bagi organisme tak-sasaran, baik tanaman atau mikroba
berguna bukan sasaran.
Isolat yang mempunyai respon hipersensitif positif diduga karena isolatnya
merupakan galur virulen sehingga tanaman menghasilkan senyawa antimikroba.
Ketidakcocokan antara tanaman dan bakteri patogen menyebabkan tanaman
memiliki reaksi pertahanan, sehingga tanaman bisa menangkal serangan patogen
dan patogen tidak dapat berkembang. Menurut Campbell & Reece (2005), setelah
sel-sel pada tempat infeksi mengeluarkan senyawa kimia pertahanannya dan
menutup daerah infeksi, sel-sel tersebut merusakkan dirinya sendiri sehingga
terbentuk lesio atau luka pada daerah yang terinfeksi yang akan bertahan hidup
dan pertahanannya akan membantu melindungi bagian tumbuhan yang lain.
Respon hipersensitif menurut Klement et al. (1990) diartikan sebagai reaksi
pertahanan yang cepat dari tanaman menghadapi patogen yang disertai kematian
sel yang cepat atau nekrosis jaringan di daerah yang diinjeksi dengan suspensi
bakteri. Gejala hipersensitif menyebabkan kematian sel yang sangat cepat yang
membentuk satu kesatuan sebagai penghalang berkembangnya patogen ke sel
inang yang lain dan akumulasi komponen zat fenolik berwarna cokelat sebagai
hasil oksidasi. Uji ini menggunakan daun tanaman tembakau karena merupakan
tanaman model yang telah diketahui sekuen gennya secara lengkap termasuk gen
54
yang mengkode resisitensi tanaman, selain itu juga ruang antar pembuluh daun
lebar sehingga mudah untuk menginjeksikan suspensi isolat.
Uji Antibiosis
Uji antibiosis untuk mengetahui potensi bakteri rizosfer buah merah dalam
menghambat Fusarium sp. penyebab hawar daun tanaman buah merah dilakukan
dengan metode dual culture. Perhitungan daya hambat bakteri rizosfer terhadap
Fusarium sp. ditampilkan pada Tabel 3, Tabel 4 dan Tabel 5 dari masing-masing
kelompok bakteri fluorescence, bakteri tahan panas dan bakteri kitinolitik. Nilai
persentase daya hambat tiap isolat digunakan untuk melihat kemampuan bakteri
rizosfer buah merah yang terisolasi sebagai kandidat agens pengendali hayati
Fusarium sp. penyebab hawar daun. Perlakuan, pengukuran daya antibiosis serta
analisis statistik dilakukan terhadap masing-masing kelompok bakteri.
Tabel 3 Persentase daya hambat bakteri rizosfer kelompok fluorescence terhadap Fusarium sp. penyebab hawar daun buah merah secara in vitro
Isolat 1) DayaHambat (%) 2) Isolat 1) Daya Hambat (%)2)
FW1
FW2
FW3
FW4
FW5
FW6
FW7
FM1
FM2
FM3
FM4
FM5
-14,37 bcde 3)
-20,22 bcdefg
-19,50 bcdef
-5,64 bc
-1,55 b
-4,20 bc
-3,64 b
26,39 cdefgh
-10,50 bc
-13,41 bcd
-15,16 bcde
-34,60 defgh
FA1
FA2
FA3
FA4
FA5
FSp1
FSp2
FSp3
FSp4
FSp5
Kontrol
-40,81 fgh
-41,72 gh
-11,89 bc
-16,93 bcde
-16,93 bcde
-36,16 efgh
-39,00 fgh
27,31 a
-43,81 h
-38,64 fgh
0,00 b
1) . W = Warkapi, M = Madrad, A= Amban Pantai, Sp = SP 8 2) . Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5% 3) . Tanda negatif (-) menunjukkan pemacuan pertumbuhan miselia Fusarium sp.
Dia
met
erko
loni
Fusa
rium
sp.(c
m)
FW1
FW2
FW3
FW4
FW5
FW6
FW7
FM1
FM2
FM3
FM4
FM5
FA1
FA2
FA3
FA4
FA5
FSp1
FS
p2
FSp3
FS
p4
FSp5
K
ontro
l
55
Pada Tabel 3, isolat FSp3 menghasilkan persentase daya hambat terbesar
dibanding dengan isolat lain. Isolat FSp3 berbeda nyata dengan 21 isolat yang lain
beserta dengan kontrol. Isolat ini menghasilkan hambatan tertinggi yang jauh
diatas kontrol, yaitu sebesar 27,313. Hal ini menunjukkan bahwa isolat tersebut
memiliki kemampuan menghambat Fusarium sp. Zona bening yang dibentuk oleh
isolat ini mengakibatkan media tidak dapat ditumbuhi oleh cendawan. Untuk
mengetahui perkembangan hifa cendawan dalam uji ini dapat dilihat dalam
Gambar 19.
Tanda negatif pada Tabel 3 diatas menunjukkan miselia Fusarium sp. yang
diberi perlakuan bakteri rizosfer makin berkembang. Hal ini berarti bahwa semua
isolat bakteri rizosfer dari kelompok fluorescence (kecuali isolat FSp3) tidak
mampu menghambat perkembangan miselia Fusarium sp., sehingga tidak dapat
digunakan sebagai kandidat agens pengendali hayati patogen tanaman.
2
1.8
1.6
1.4
1.2
1
0.8
0.6
0.4
3 Hsi 4 Hsi
5 Hsi
0.2
0
Isolat bakteri fluorescence
Gambar 19 Pertumbuhan koloni Fusarium sp. dalam uji antibiosis menggunakan bakteri kelompok fluorescence.
Berdasarkan Gambar 19, tampak jelas bahwa isolat FSp3 menyebabkan
pertumbuhan miselia cendawan menjadi terhambat dan penghambatan tersebut
nyata pada hari ke-3 masa inkubasi.
Selanjutnya, nilai persentase daya hambat kelompok bakteri tahan panas
terhadap Fusarium sp., penyebab hawar daun ditampilkan pada Tabel 4. Pada
56
tersebut, isolat TA4 menghasilkan persentase daya hambat terbesar dibandingkan
dengan isolat lain. Isolat A4 berbeda nyata dengan TW1, TW2, TW3, TW4, TM1,
TM2, TM3, TM4, TA1, TA2, TA3, TA5, TSp1, TSp2, TSp4, TSp5 dan kontrol.
Pertumbuhan miselia yang dihambat oleh isolat TA4 tampak tertekan
dibandingkan dengan isolat yang lain. Dari kelompok bakteri tahan panas, isolat
TA4 menghasilkan hambatan tertinggi sebesar 54,08; sangat berbeda dengan
kontrol. Tabel 4 Persentase daya hambat bakteri rizosfer kelompok tahan panas terhadap
Fusarium sp. penyebab hawar daun buah merah secara in vitro
Isolat 1) Daya Hambat (%)2) Isolat 1) Daya Hambat (%)2)
TW1
TW2
TW3
TW4
TW5
TW6
TW7
TM1
TM2
TM3
TM4
5,81 gh
10,76 fgh
15,36 efgh
20,13 defg
42,62 abc
47,83 ab
42,96 abc
27,69 cdef
26,12 cdef
32,03 bcde
15,71 defgh
TA1
TA2
TA3
TA4
TA5
TSp1
TSp2
TSp3
TSp4
TSp5
Kontrol
34,72 bcde
45,22 abc
29,77 bcdef
54,08 a
32,20 bcde
20,74 defg
21,18 defg
35,67 abcd
25,95 cdef
18,57 defgh
0,00 h
1) . W = Warkapi, M = Madrad, A= Amban Pantai, Sp = SP 8 2) . Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%
Kemampuan penghambatan yang dihasilkan oleh bakteri kelompok tahan
panas ini dapat dilihat pada Gambar 20, sedangkan persentase daya hambat
bakteri kelompok kitinolitik dan kemampuan penghambatan bakteri kitinolitik
dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 21. Pada gambar 20, tampak jelas bahwa
isolat TA4 menyebabkan pertumbuhan miselia cendawan menjadi terhambat dan
penghambatan tersebut nyata pada hari ke-2 masa inkubasi.
Dia
met
erko
loni
Fusa
rium
sp.
(cm
)
TW1
TW2
TW3
TW4
TW5
TW6
TW7
TM1
TM2
TM3
TM4
TA1
TA2
TA3
TA4
TA5
TSp1
TS
p2
TSp3
TS
p4
TSp5
K
ontro
l
57
1.8
1.6 1.4 1.2
1 0.8 0.6 0.4 0.2
1 His
2 His
3 His
0
Isolat bakteri tahan panas
Gambar 20 Pertumbuhan koloni Fusarium sp. dalam uji antibiosis menggunakan bakteri kelompok tahan panas.
Tabel 5 Persentase daya hambat bakteri rizosfer kelompok kitinolitik terhadap Fusarium sp. penyebab hawar daun buah merah secara in vitro
Isolat 1) Daya Hambat (%)2) Isolat 1) Daya Hambat (%)2)
KW1
KW2
KW3
KW4
KW5
KW6
KM1
KM2
5,00 bc 3)
1,42 bc
-9,55 c
-8,25 c
14,04 b
2,92 bc
2,14 bc
11,89 b
KM3
KA1
KA2
KA3
KSp1
KSp2
KSp3
Kontrol
2,27 bc
35,69 a
8,77 b
13,32 b
35,04 a
6,83 b
35,04 a
0,00 bc
1) . W = Warkapi, M = Madrad, A= Amban Pantai, Sp = SP 8 2) . Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5% 3) . Tanda negatif (-) menunjukkan pemacuan pertumbuhan miselia Fusarium sp.
Pada Tabel 5, isolat A1 menghasilkan nilai persentase daya hambat terbesar
dibandingkan dengan isolat lain. Isolat A1 berbeda nyata dengan KW1, KW2,
KW3, KW4, KW5, KW6, KM1, KM2, KM3, KA2, KA3, KSp2 dan kontrol.
Isolat KA1 dari kelompok kitinolitik merupakan isolat yang memiliki daya
hambat tertinggi dibandingkan dengan kontrol, yaitu sebesar 35,692. Kemampuan
Dia
met
erko
loni
Fusa
rium
sp.(c
m)
58
penghambatannya dapat dilihat pada Gambar 21, dimana penghambatan yang
dihasilkan oleh isolat KA1 terlihat pada hari ke-3 masa inkubasi.
2 1.8 1.6 1.4 1.2
1 0.8 0.6 0.4 0.2
1 His
2 His
3 His
4 His 0
Isolat bakteri kitinolitik
Gambar 21 Pertumbuhan koloni Fusarium sp. dalam uji antibiosis menggunakan bakteri kelompok kitinolitik.
Berdasarkan Tabel 3, Tabel 4 dan Tabel 5 serta Gambar 19, Gambar 20 dan
Gambar 21, bakteri rizosfer buah merah yang paling berpotensi menghambat
pertumbuhan miselia Fusarium sp. penyebab hawar daun buah merah adalah
isolat FSp3 dari kelompok fluorescence, isolat TA4 dari kelompok tahan panas
serta isolat KA1 dari kelompok kitinolitik. Potensi penghambatan didasarkan pada
nilai persentase daya hambat yang dihasilkan. Ketiga bakteri tersebut
menghasilkan persentase penghambatan yang paling besar dan mampu
menghambat perkembangan cendawan. Kemampuan penghambatannya
dibuktikan dengan pertumbuhan miselia yang tidak mengarah pada koloni bakteri
dan terdapat zona bening atau zona kosong antara bakteri dan cendawan (Gambar
22). Dari hasil isolasi dan uji potensi antagonis, hanya sedikit bakteri rizosfer
yang berpotensi menghambat perkembangan Fusarium sp. secara in vitro. Pada
Gambar 22 terlihat bahwa isolat FSp3, TA4 dan KA1 mampu menghambat
cendawan patogen, sehingga pertumbuhan miselia cendawan berhenti atau
tertekan. Semakin besar zona penghambatan yang dihasilkan oleh antagonis, maka
semakin besar daya antibiosisnya.
59
a b c
Gambar 22 Uji antibiosis antara bakteri rizosfer dengan Fusarium sp. asal buah merah; a. Bakteri fluorescence; isolat FSp3 (kiri);kontrol (kanan); b. Bakteri tahan panas; isolat TA4 (kiri);kontrol (kanan); c. Bakteri kitinolitik; isolat KA1 (kiri); kontrol (kanan).
Bakteri dari kelompok fluorescence, kitinolitik dan tahan panas merupakan
kelompok bakteri yang berpotensi sebagai agen hayati. Selain sebagai agen
pengendali hayati, bakteri rizosfer juga berpotensi dalam mendukung
pertumbuhan tanaman, sehingga dapat diduga bahwa diduga besar bakteri rizosfer
yang berhasil diisolasi lebih berpotensi sebagai bakteri pendukung pertumbuhan
tanaman. Bakteri yang berpotensi sebagai agens hayati menghasilkan senyawa
60
metabolit sehingga dapat menghambat pertumbuhan cendawan atau mikroba
lainnya. Semakin besar daya hambat yang dihasilkan dari pengukuran antibiosis
maka semakin besar potensi senyawa metabolit dari bakteri sebagai agen hayati
fitopatogen.
Antibiosis merupakan salah satu mekanisme interaksi mikroba dan mikroba
patogen lainnya dengan mengeluarkan senyawa metabolik yang umumnya berupa
antibiotik, enzim dan senyawa toksin lainnya; yang efektif dalam menekan
patogen tanaman (Pal & Gardener 2006). Hal ini seiring dengan laporan dari
Djatnika & Wakiah (1995) bahwa mekanisme penghambatan bakteri rizosfer
terhadap F. oxysporum f.sp. cubense dengan cara antibiosis dan lisis. Liu et al.
(2007) menyatakan bahwa penghambatan yang kuat terhadap patogen dalam uji in
vitro mengindikasikan penekanan pertumbuhan cendawan tersebut disebabkan
oleh adanya senyawa antifungal yang dihasilkan oleh bakteri antagonis.
Mekanisme penghambatan oleh mikroba antagonis adalah antibiotik dan senyawa
metabolik yang dimilikinya masuk ke dalam sel patogen dan menghambat
aktivitas patogen.
Bakteri kitinolitik merupakan bakteri yang mampu menghasilkan enzim
kitinase yang dimanfaatkan untuk sumber karbon dan nitrogen melalui proses
asimilasi kitin (Wang & Chang 1997). Enzim yang dihasilkan berfungsi untuk
mendegradasi kitin yang merupakan komponen penyusun dinding sel cendawan.
Bakteri kelompok flourescence memiliki ciri menghasilkan pigmen berwarna
hijau yang berpendar di bawah cahaya ultraviolet. P. fluorescence mengeluarkan
senyawa antibiotik, siderofor, HCN, asam silikat, kitinase dan metabolit sekunder
lainnya yang sifatnya dapat menghambat aktivitas patogen tanaman seperti F.
oxysporum (Maurhofer et al. 1994). Senyawa tersebut dapat menyebabkan
modifikasi struktur dinding sel dan perubahan fisiologis pada sintesa protein yang
terlibat dalam pertahanan tanaman (de Brito et al. 1995). Senyawa siderofor yang
diproduksi oleh bakteri ini dapat mengkelat ion Fe3+ sehingga tidak tersedia bagi
F. oxysporum untuk sporanya berkecambah sehingga kemampuannya dalam
menginfeksi tanaman menjadi berkurang (Ramamoorthy et al. 2002).
Bakteri kelompok tahan panas memiliki ketahanan menghadapi kondisi
lingkungan ekstrim, terutama panas, sehingga mampu bertahan hidup dengan
61
menghasilkan endospora, bersifat saprofit dan dijadikan sebagai agen pengendali
hayati. Yang tergolong kelompok tahan panas adalah Bacillus spp., dan
Clostridium sp. Genus Bacillus menghasilkan antibiotik seperti subtilin,
subtilosin, mycobacillin, subsporin, surfactin, bacillomycin, bacilysin, asam
sianida, fengycin dan bacilysocin yang dapat merusak membran sel mikroba lain
(Maurhofer et al. 1994). Selain itu bakteri ini mampu menghasilkan enzim
degradatif makromolekul seperti protease dan kitinase yang dapat menghancurkan
dinding sel cendawan Fusarium.
Bakteri rizosfer atau bakteri pengkoloni akar memiliki kemampuan dalam
menghambat pertumbuhan mikroba lainnya termasuk patogen tanaman serta
mendukung pertumbuhan tanaman. Penggunaan bakteri rizosfer sebagai agen
pengendali hayati untuk beberapa penyakit layu Fusarium sudah banyak
digunakan diantaranya Bacillus spp., Paenibacillus sp., Pseudomonas sp., dan
Stenotrophomonas spp., dalam mengendalikan F. oxysporum f.sp ciceris pada
tanaman kacang buncis (Landa et al. 2004). Pseudomonads fluorescence mampu
menekan penyakit layu pada melon (Larkin et al. 1996). Hasil penelitian
melapokan bakteri kitinolitik Arthobacter sp. dan Hafnia sp., diketahui mampu
mengendalikan Fusarium sp. dan Sclerotinia sp pada tanaman tomat dan arbei
(Wang & Chang 1997). B. subtilis, B. cereus, B. licheniformis, B. megaterium dan
B. pumilus dapat berperan sebagai agen biokontrol untuk mengendalikan
pertumbuhan Fusarium sp. (Nelson 2001).
Mekanisme mikroba menekan mikroba patogen tanaman antara lain melalui
antagonisme, antibiosis, hiperparasit, mengeluarkan senyawa volatil, menginduksi
ketahanan tanaman dan sebagainya (Baker & Cook 1974). Pengendalian secara
hayati semakin berkembang karena lebih unggul dibandingkan dengan pemakaian
pestisida dan terbukti lebih aman bagi lingkungan (Pal & Gardener 2006). Dalam
aplikasinya secara in vivo bakteri rizosfer tidak secara langsung menekan
Fusarium sp. penyebab hawar daun tanaman buah merah, karena habitat dari
bakteri sebagai agen antagonis ini adalah di tanah. Mekanisme penghambatan
yang dilakukan oleh bakteri rizosfer kelompok fluorescence, kelompok tahan
panas dan kelompok kitinolitik sebagai agen hayati terhadap Fusarium sp.
penyebab hawar daun buah merah adalah secara tidak langsung yaitu dengan
62
meningkatkan ketahanan tanaman buah merah terhadap serangan Fusarium sp.
Menurut Baker & Cook (1974), mekanisme penghambatan bakteri rizosfer
sebagai agen hayati antara lain antagonis, persaingan, penginduksi ketahanan
tanaman serta meningkatkan pertumbuhan tanaman. Defago (1990) menyatakan
bahwa P. fluorescens dari rizosfer dapat merangsang akumulasi fitoaleksin
sehingga tanaman menjadi lebih resisten.
63
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penyebab hawar daun tanaman buah merah (P. conoideus. Lamk.) di
Kabupaten Manokwari adalah Fusarium sp. Hasil pengamatan secara morfologi,
mikroskopis dan molekuler menunjukkan adanya perbedaan isolat Fusarium asal
buah merah dengan isolat Fusarium dari semangka, melon, tomat, pisang dan
nangka. Isolat bakteri rizosfer yang mampu menghambat perkembangan Fusarium
sp. penyebab hawar daun buah merah secara in vitro adalah isolat FSp3 (bakteri
kelompok fluorescence), TA4 (bakteri kelompok tahan panas) dan KA1 (bakteri
kelompok kitinolitik). Jumlah koloni bakteri kelompok fluorescence paling
banyak terdapat di Desa Warkapi, sedangkan bakteri kelompok tahan panas paling
banyak di Desa Amban dan Madrad serta bakteri kelompok kitinolitik paling
banyak di Desa SP 8.
Saran
Perlu adanya pengujian bakteri rizosfer secara in vivo pada tanaman buah
merah, sehingga dapat diketahui pengaruhnya secara langsung dalam menekan
Fusarium sp. penyebab hawar daun serta meningkatkan pertumbuhan tanaman.
Selanjutnya perlu adanya perhatian dari pemerintah, khususnya di Kabupaten
Manokwari dalam membudidayakan tanaman buah merah secara baik dan
berkelanjutan.
64
DAFTAR PUSTAKA
Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Ed ke-5. New York: Academic Press.
Baker KF, Cook RJ. 1974. Biological Control of Plant Pathogen. San Fransisco: Freeman dan Co.
Barnett HL, Hunter BB. 1999. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Ed ke-2. Minnesota: APS Press.
[BPTH] Balai Penelitian Tanaman Hias. 2005. Mikroba antagonis sebagai agen pengendali hayati tanaman. http://www.bpth-miktobaantagonis.html. (25 Juni 2010).
Bruns TD, White TJ, Taylor JW. 1991. Fungal molecular systematics. Annu Rev Ecol Syst 22: 525–564.
Bryan GT, Daniels MJ, Osbourne AE. 1995. Comparison of fungi within the Gaeumannomyces–Phialophora complex by analysis of ribosomal DNA sequences. Appl Environ Microbiol 61: 681–689.
Budi, Made I, Paimin, Fendy R. 2005. Buah Merah. Jakarta: Penebar Swadaya.
Burgess LW, Summerell BA, Bullock S, Gott KP, Backhouse D. 1994. Fusarium Research Laboratory. Ed ke-3. Departement of Crop Sciences. Sydney: University of Sidney and Royal Botanic Garden.
Campbell N, Reece J. 2005. Biology. Ed ke-7. Canada: Pearson Education Inc.
Cenis JL. 1992. Rapid extraction of fungal DNA for PCR amplification. Nucl Acids Res. 20: 2380.
Ching LW. 2008. Kajian awal pengawalan penyakit layu yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum f.sp. pada pisang. Pengkajian Sains Malaysia. http://pengkajiansainsmalaysia.html. [4 Juli 2010].
Chrisnawati, Nasrun, Triwidodo A. 2009. Pengendalian layu bakteri nilam menggunakan Bacillus spp. dan Pseudomonas fluoresence. J Littri 15(3): 116-123.
Commonwealth Mycological Institute. 1968. Descriptions of Pathogenic Fungi and Bacteria. England: Kew Surrey Press.
Coleman DC, Crossley DA, Hendrix PF. 2004. Fundamental of Soil Ecology. Ed ke-2.USA: Elsevier Acad Press.
Craven I, de Fretes Y. 1987. Arfak mountains nature conservations area Irian Jaya. Bogor: A World Wildlife Fund Report for the Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation Bogor.
de Brito-Alvarez MA, Gaugne S, Antoun H. 1995. Effect of compost on rhizosphere microflora of the tomato and on the incidence of plant growth- promoting rhizobacteria. Appl Environ Microbiol 61:194–199.
65
Defago G. 1990. Suppresion of black root of tobacco and other root disease by strain of Pseudomonas fluorescens. Potential applications and mechanism In D Hornby (ed.). Biological Control of Soil Borne Plant Pathogens. C.A.B. International. Netherlands. Pp. 93:108.
Degens BP, Schipper LA, Spaling LP, Vojvodicvukovic. 2000. Decrease inorganic C reserves in soils can reduce the catabolic diversity of soil microbial communities. Soil Biol Biochem 25: 25-31.
Dhingra OD, James BS. 2000. Basic Plant Pathology Methods. Florida: CRC Press Inc.
Djatnika I, Wakiah N. 1995. Pengendalian biologi penyakit layu Fusarium pada pisang dengan beberapa isolat Pseudomonas fluorescens: 422 – 425. Kong Nas XII dan Seminar Ilmiah PFI, Mataram. 27-29 September 1995.
Elsalam KAA, Ibrahim NA, Mohmed AAS, Joseph AV. 2003. PCR identification
of Fusarium genus based on nuclear ribosomal DNA sequence data. Afr J Biotech 2(4): 82-85.
Errington J. 2003. Regulation of endospore formation in Bacillus subtilis. Nature Review Microbio 1: 117-126.
Fran F, Cook NB. 1998. Fundamental of Diagnostic Mycology. Philadelphia: WB Sanders Company.
Gandjar I, Samson SA, Twell-Vermeulen K, Oetari A, Santoso A. 1999. Pengenalan Kapang Tropik Umum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Goldberg NP. 2006. Fusarium leaf spot, crown and root rot. College of Agriculture and Home Economics. Las Cruces, NM State University Press.
Gordon TR, Martyn RD. 1997. The evolutionary biology of Fusarium oxysporum. Annu Rev Phytopathol 35: 111-128.
Harrington FA, Potter D. 1997. Phylogenetic relationships within Sarcoscypha based upon nucleotide sequences of the internal transcribed spacer of nuclear ribosomal DNA. Mycologia 89 : 258–267.
Heywood VH. 1995. Global Biodiversity Assesment. Cambridge UK: Cambridge
University Press. Hibbert DS, Nakai YF, Tsuneda A, Donoghue MJ. 1995. Phylogenic diversity in
shiitake inferred from nuclear DNA sequences. Mycologia 87:618–638. Hutcheoson SW. 1998. Current concepts of active defense in plants. Ann Rev
Phytopathol 36:59-90. Jeffbagy. 2004. Khasiat buah merah. http://www.geocities.com. [1 Juni 2010 ].
Khaeruni AR. 1998. Pengaruh Bakteri Kitinolitik dan Fotosintetik Anoksigenik terhadap Kemampuan Pseudomonas flourescens B29 sebagai Biokontrol Penyakit Bisul Bakteri pada Kedelai [Tesis]. Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor; Bogor.
Klement Z, Rudolph K, Sands DC. 1990. Methods in Phytobacteriology. Budapest: Academi Kiodo Press.
66
Landa BB, Navas-Cortes JA, Jimenez-Diaz RM. 2004. Influence of temperature on plant-rhizobacteria interactions related to biocontrol potential for suppression of fusarium wilt chickpea [abstract]. Plant Pathol 53:342-352. http://www.ingenta.com/isis/searching/Expand/ingenta?pub=infoke. (24 Agustus 2011).
Larkin R, Hopkins DL, Martin FN. 1996. Suppression of fusarium wilt of watermelon by nonpathogenic Fusarium oxysporum and other microorganisms recovered from a disease-suppresive soil. Phytopathology 86: 812-819.
Lee, Young M, Choi YK, Min BR. 2000. PCR-RFLP and sequence snalysis of the rDNA ITS region in the Fusarium spp. J Microbio 38(2): 66-73.
Leslie JF, Zeller KA, Summerell BA. 2001. Icebergs and species in populations of Fusarium. Physiol and Plant Pathol 59:107-117.
Leslie JF, Summerell BA. 2006. The Fusarium Laboratory Manual. USA: Blackwell Publishing.
Liu CH, Chen X, Liu TT, Lian B, Yucheng G, Caer V, Xue YR, Wang BT. 2007. Study of antifungal activity of Actinobacter baumannii and its antifungal components. Appl Microbial Biotechnol 76: 459-466.
Lynch JM. 1990. Soil Biotechnology: Microbial Factors in Crop Productivity. Oxford: Blackwell Scientific Publications.
Loon LC, Baker PAHM, Plieterse CMJ. 1998. Systemic resistance induced by
rhizosphere. Ann Rev Phytopathol 36:453-483. Maurhofer M,Hase C, Meuwly D, Metraux JP, Defago G.1994. Introduction of
systemic resistance of tobacco to tobacco necrosis virus by root-colonizing Pseudomonas fluorescens strain CHAO: Influence of the gacA gene and of pyoverdine production. Phytopathology 84:139-146.
Melinda, Hayu SP. 2006. Identifikasi jenis-jenis penyakit pada tanaman buah
merah (Pandanus conoideus Lam.) pada beberapa tempat di Kabupaten Manokwari. Penelitian Dosen Muda. Manokwari: Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian Universitas Negeri Papua.
Mendgen K, Hahn M, Deising H. 1996. Morphogenesis and mechanisms of penetration by plant pathogenic fungi. Annu Rev Phytopathol 34: 367-386.
Moricca S, Ragazzi A, Kasuga T, Mitchelson KR. 1998. Detection of Fusarium oxysporum f. sp. vasinfectum in cotton tissue by polymerase chain reaction. Plant Pathol 47: 486-494.
Mukerji KG, Manoharachary C, Singh J. 2006. Soil Biology: Microbioal Activity in the Rhizosphere. Ed ke-7. New York: Springer Berlin Heidelberg.
Muladno. 2002. Seputar Teknologi Rekayasa Genetika. Bogor: Pustaka Wirausaha Muda.
Murningsih T. 1992. Kandungan Minyak dan Komposisi Asam Lemak pada Pandanus conoideus L. dan P. julianetti M. Proseding Seminar dan Lokakarya Etnobotani. Hal: 373 – 378.
67
Nelson PE. 2001. Fusarium. Minnesota: American Phytopathological Society. Nicholson WL. 2002. Roles of Bacillus endospores in the environment. Cell Mol
Life Sci 59: 410–416. Oku H. 1994. Plant Pathogenesis and Disease Control. Tokyo: Lewis
Publisher. Pal KK, Gardener MS. 2006. Biological control of pathogens. Plant Health
Instructor DOI 10: 1-25. Ramamoorthy V, Raguchander T, Samiyappan R. 2002. Induction of defense
related proteins in tomato roots treated with Pseudomonas fluorescens Pf1 and Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici. Plant Soil 239:55-68.
Sadsoeitoeboen MJ. 1999. Pandanaceae : Aspek botani dan etnobotani dalam kehidupan Suku Arfak di Irian Jaya [tesis]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Saragih YS, Silalahi FH. 2006. Isolasi dan identifikasi spesies Fusarium penyebab penyakit layu pada tanaman markisa asam. J Hort 16(4): 336-344.
Schaad NW, Jones JB, Chun W. 2001. Plant Pathogenic Bacteria. Ed ke-3. Minnesota: APS Press.
Shenoy BD, Jeewon R, Hyde KD. 2007. Impact of DNA-sequence data on taxonomy of anamorphic fungal. Fungal Divers 26: 1-54.
Singleton LL, Mihail D, Rush CM. 1992. Methods for Research on Soil Borne Phytopathogenic Fungi. Minnesota: APS Press.
Soesanto L. 2008. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Summerell BA, Salleh B, Leslie JF. 2003. A utilitarian approach to Fusarium identification. Plant Disease 87(2): 117 - 128.
Surachmat, Mathur SB. 1988. A Pictorial Guide for Testing Seed-Borne Fungi in Seeds of Cabbage, Carrot, Maize, Rice and Soybean. Denmark: The Danish Government Institute.
Suryadi Y, Machmud M. 2002. Keragaman genetik strain Ralstonia solanacearum
berdasarkan karakterisasi menggunakan teknik berbasis asam nukleat. Agro Bio 5(2):59-66.
Tucker SL, Talbot NJ. 2001. Surface attachment and pre-penetration stage development by plant pathogenic fungi. Annu Rev Phytopathol 39: 385- 417.
Ullo L. 2002. Pengelompokkan buah merah (Pandanus conoideus Lam.) oleh Suku Hattam di Desa Watariri Kecamatan Oransbari Kabupaten Manokwari [laporan akhir program diploma]. Manokwari: Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian Universitas Negeri Papua.
68
Wang SL, Chang WT. 1997. Purification and characterization of two Bifunctional chitinases/lisozymes extracellularly produced by P. aeruginosa K-187 in shrimp and scrab shell powder medium. Appl Environ Microbiol 63: 380– 386.
Waluyo L. 2008. Teknik dan Metode Dasar dalam Mikrobiologi. Malang: Universitas Muhamadiyah Malang Press.
Watanabe T. 2002. Pictorial Atlas of Soil dan Seed Fungi. Morphologies of Cultured Fungi and Key to Species. Ed ke-II. Boca Raton: CRC Press
Weller DM, Raaijmakers JM, Gardener BBM, Thomashow LS. 2002. Microbial populations responsible for specific soil suppressiveness the plant pathogens. Ann Rev Phytopathol 40: 309-348.
Wiryanta BTW. 2005. Keajaiban Buah Merah. Jakarta: AgroMedia Pustaka.
Zhang S, Reddy MS, Klopper JW. 2002. Development of assay for assessing
induced systemic resistance by plant growth-promoting rhizobacteria against blue mold of tobacco. Biol Control 23:79-86
Zhuping Y. 1994. Breeding for resistance to Fusarium Head Blight of wheat in the mid-to lower Yangtze River Valley of China. http://www.wheatspecialreport27.html.(27 Agustus 2011).
69
LAMPIRAN
70
Lampiran 1 Kelimpahan bakteri rizosfer buah merah Sampel ke
Jumlah koloni bakteri TSA KB Kitin
cfu/g Log cfu/g Log cfu/g Log
W1 2,0625x10 8 8,31 1,6x10 10 10,20 8,5x109 9,92
W2 1,525x1010 10,18 1,6x1012 12,20 1,075x108 8,03
W3 1,15x1012 12,06 1,062x1012 12,02 8,125x109 9,90
W4 1,375x10 10 10,13 1,312x10 10 10,11 1,6x10 8 8,20
W5 1,487x1010 10,17 1,175x1010 10,07 9,875x107 7,99
Rerata 10,2 10,9 8,8
A1 9,75x1011 11,98 1,062x108 8,02 9,125x105 5,96
A2 1,462x1010 10,16 8,875x107 7,94 1,087x106 6,03
A3 1,2x1011 11,84 7,75x105 5,88 1.162x106 6,06
A4 7x10 11 11,84 9,875x10 5 5,99 1,062x10 8 8,02
A5 1,65x108 8,21 5,125x103 3,70 8,625x105 5,93
Rerata 10,8 6,3 6,4
M1 9,5x1011 11,97 8,625 x107 7,93 2,05 x108 8,31
M2 1,2x1012 12,07 1,15 x108 8,06 1,487 x108 8,17
M3 6,875x10 11 11,83 1,425 x10
M4 1,8x10 8 8,25 5,875 x10
8 8,15 1,837 x10
7 7,76 1,175 x10
8 8,26
8 8,07
M5 7 x1011 11,84 7,5 x107 7,87 1,662 x108 8,22
Rerata 11,2 8,0 8,2
Sp.1 5,625 x107 7,75 1,337x108 8,12 8,875 x109 9,94
Sp.2 1,8 x106 6,25 1,375 x108 8,13 1,437 x108 8,15
Sp.3 2,4 x10 6 6,38 5,875 x10 9 9,76 1,075 x10 10 10,03
Sp.4 1,987 x106 6,29 5,625 x109 9,75 8,625 x107 7,93
Sp.5 2 x106 6,30 8,375 x109 9,92 9,25 x109 9,96
Rerata 6,6 9,1 9,2 Ket : W = Warkapi; A = Amban; M = Madrad; SP = satuan pemukiam Prafi (SP 8)
71
Lampiran 2 Karakteristik bakteri rizosfer kelompok fluorescence yang diisolasi dari perakaran tanaman buah merah
Pada media King’s B, diperoleh 22 jenis bakteri fluorescence. Deskripsi
morfologi serta beberapa uji fisiologisnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :
NO ISOLAT MORFOLOGI KOLONI GRAM HIPERSENSITIF
1. FA1 Berwarna kuning pucat, berbentuk bulat, tepian licin, agak cembung, fluorescence.
2. FA2 Berwarna kuning pucat, berbentuk bulat, tepian licin, agak cembung, fluorescence.
3. FA3 Berwarna kuning, berbentuk tidak teratur, tepian licin, datar dan fluorescence.
4. FA4 Berwarna krem kekuningan, berbentuk bulat, tepian licin, datar dan fluorescence.
5. FA5 Berwarna kuning, berbentuk tidak teratur, tepian halus, datar dan fluorescence.
6. FW1 Berwarna kuning, bentuk tidak teratur, tepian halus, datar dan non fluorescence.
7. FW2 Berwarna kuning, bentuk tidak teratur, tepian licin, datar dan fluorescence.
8. FW3 Berwarna kuning, bentuk tidak teratur, tepian berlekuk, datar, dan fluorescence.
9. FW4 Berwarna kuning, bentuk tidak teratur, tepian licin datar dan fluorescence.
10. FW5 Berwarna kuning, bentuk tidak teratur, tepian berlekuk, datar dan fluorescence.
11. FW6 Berwarna kuning, bentuk tidak teratur, tepian berlekuk, datar dan fluorescence.
12. FW7 Berwarna kuning krem, berbentuk tidak teratur, tepian berlekuk, datar, fluorescence.
- -
- -
- -
- -
- -
- -
- -
- -
- -
- +
- -
- -
72
Lampiran 2 Karakteristik bakteri rizosfer kelompok fluorescence yang diisolasi dari perakaran tanaman buah merah (Lanjutan)
13. FM1 Berwarna kuning krem, berbentuk bulat, tepian licin cembung dan fluorescence.
14. FM2 Berwarna kuning, bentuk tidak teratur, tepian licin datar dan fluorescence.
15. FM3 Berwarna krem, bentuk tidak teratur, tepian licin, datar, non fluorescence.
16. FM4 Berwarna kuning, bentuk tidak teratur, tepian licin, cembung, fluorescence.
17. FM5 Berwarna kuning, berbentuk tidak teratur, tepian licin, agak cembung, fluorescence.
18. FSp1 Berwarna krem keruh, berbentuk bulat, tepian berlekuk, agak cembung, fluorescence.
19. FSp2 Berwarna krem keruh, berbentuk bulat, tepian berlekuk, agak cembung, fluorescence.
20. FSp3 Berwarna kuning, berbentuk bulat, tepian tidak beraturan, agak cembung, fluorescence.
21. FSp4 Berwarna kuning pucat, berbentuk bulat, tepian licin, datar, fluorescence.
22. FSp5 Berwarna kuning pucat, bentuk tidak teratur, tepian berlekuk, datar, fluorescence.
Ket : Uji Gram : (-) = Gram negatif
(+) = Gram positif
Uji hipersensitif : (-) = bereaksi negatif
- -
- -
- -
- -
- +
- +
- -
- -
- -
- -
73
Lampiran 3 Karakteristik bakteri rizosfer kelompok tahan panas yang diisolasi dari perakaran tanaman buah merah
Pada media TSA, diperoleh 21 jenis bakteri tahan panas. Deskripsi
morfologi serta beberapa uji fisiologisnya dapat dilihat pada tabel berikut ini : NO ISOLAT MORFOLOGI KOLONI GRAM HR Endospora
1. TA1 Berwarna krem, berbentuk
bulat, tepian licin, cembung. 2. TA2 Berwarna krem, berbentuk
bulat, tepian licin, cembung. 3. TA3 Berwarna krem, berbentuk
bulat, tepian licin dan datar. 4. TA4 Berwarna krem, berbentuk
bulat, tepian licin, datar. 5. TA5 Berwarna krem kekuningan,
berbentuk bulat, tepian licin dan cembung.
6. TW1 Berwarna krem, berbentuk bulat, tepian licin, datar.
7. TW2 Berwarna kuning, bentuk bulat, tepian licin, cembung.
8. TW3 Berwarna kuning muda, berbentuk bulat, tepian licin, cembung.
9. TW4 Berwarna krem, berbentuk bulat, tepian licin, datar.
10. TW5 Berwarna krem, berbentuk bulat, tepian licin, datar.
11. TW6 Berwarna krem, berbentuk bulat, tepian licin, datar.
12. TW7 Berwarna krem, berbentuk bulat, tepian licin, datar.
13. TM1 Berwarna krem, berbentuk bulat, tepian licin, datar.
14. TM2 Berwarna krem, berbentuk bulat, tepian licin, datar.
15. TM3 Berwarna krem, kekuningan, berbentuk bulat, tepian licin, cembung.
16. TM4 Berwarna krem kekuningan, berbentuk bulat, tepian licin, cembung.
- - - + - - + - + + - + + - +
+ - - + - - + - -
- - - + - + + - + + - + + - + + - - - - +
+ - +
74
Lampiran 3 Karakteristik bakteri rizosfer kelompok tahan panas yang diisolasi dari perakaran tanaman buah merah (Lanjutan)
17. TSp1 Berwarna krem, berbentuk bulat, tepian licin, agak cembung.
18. TSp2 Berwarna krem kekuningan, berbentuk bulat, tepian licin, cembung.
19. TSp3 Berwarna krem, berbentuk bulat, tepian licin dan datar.
20. TSp4 Berwarna krem, berbentuk bulat, tepian licin, datar.
21. TSp5 Berwarna krem kekuningan,
+ - +
+ - -
+ - + - - + + - +
berbentuk bulat, tepian licin dan cembung.
Ket : Uji Gram : (-) = Gram negatif
(+) = Gram positif
Uji hipersensitif : (-) = bereaksi negatif Endospora : (-) = tidak menghasilkan endospora
(+) = menghasilkan endospora
75
Lampiran 4 Karakteristik bakteri rizosfer kelompok kitinolitik yang diisolasi dari perakaran tanaman buah merah
Pada media kitin, diperoleh 15 jenis bakteri tahan panas. Deskripsi
morfologi serta beberapa uji fisiologisnya dapat dilihat pada tabel berikut ini : NO ISOLAT MORFOLOGI KOLONI GRAM HIPERSENSITIF
1. KA1 Berwarna krem, permukaan
datar. 2. KA2 Berwarna putih, keruh,
permukaan datar. 3. KA3 Berwarna putih keruh,
permukaan datar dan membentuk zona bening di sekelilingnya.
4. KW1 Berwarna putih susu, seperti rantai, permukaan datar.
5. KW2 Koloni membentuk zona bening dengan ukuran ± 0,3 cm.
6. KW3 Koloni membentuk zona bening dengan ukuran ± 0,1 cm.
7. KW4 Berwarna putih keruh, berbentuk rantai, permukaan datar.
8. KW5 Koloni membentuk zona bening dengan ukuran yang meluas.
9. KW6 Koloni membentuk zona bening dengan ukuran ± 0,5 cm.
10. KM1 Koloni berwarna putih keruh dan disekelilingnya terdapat zona bening, permukaan datar.
11. KM2 Koloni membentuk zona bening.
12. KM3 Koloni membentuk zona bening.
13. KSp1 Koloni membentuk zona bening.
+ - + - + -
+ - + -
+ -
- -
+ -
+ -
+ -
+ - + - + -
76
Lampiran 4 Karakteristik bakteri rizosfer kelompok kitinolitik yang diisolasi dari perakaran tanaman buah merah (Lanjutan)
14. KSp2 Berwarna putih keruh, permukaan datar dan membentuk zona bening di sekeliling.
15. KSp3 Koloni membentuk zona bening yang meluas.
Ket : Uji Gram : (-) = Gram negatif
(+) = Gram positif
Uji hipersensitif : (-) = bereaksi negatif
+ -
+ -
77
Lampiran 5 Data sekuens isolat Fusarium asal beberapa tanaman
Asal Isolat Data Sekuens
Buah Merah
Semangka
Melon
CTATGGAAGCTCGACGTGACCGCCAATCAATTTGAGGG
CGAATTAACGCGAGTCCCAACACCAAGCTGTGCTTAGG
GTTGAAATGACGCTCGAACAGGCATGCCCGCCAGAATA
CTGGCGGGCGCAATGTGCGTTCAAAGATTCGATGATACT
GAATTCTGCAATTCACATTACTTATCGCATTTTGCTGCGT
TCTTCATCGATGCCAGAACCAAGAGATCCGTTGTTGAAA
GTTTTGATTTATTTATGGTTTTACTCAGAAGTTACATATA
GAAACAGAGTTTTAGGGGTCCTCTGGCGGGCCGTCCCGT
TTTACCGGGAGCGGGCTGATCCGCCGAGGCAACAGTGG
TATGTTCACAGGGGTTTGGGAGTTG
CCCCATTGGTTGCTCGGCGGACAGCCCGCTCCCGGTAAA
ACGGGACGGCCCGCCAGAGGACCCCTAAAACTCTGTTT
ATATGTAACTTCTGAGTAAAACCATAAATAAATCAAAA
CTTTCAACAACGGATCTCTTGGTTCTGGCATCGATGAAG
AACGCAGCAAAATGCGATAAGTAATGTGAATTGCAGAA
TTCAGTGAATCATCGAATCTTTGAACGCACATTGCGCCC
GCCAGTATTCTGGCGGGCATGCCTGTTCGAGCGTCATTT
CAACCCTCAAGCACAGCTTGGTGTTGGGACTCGCGTTAA
TTCGCGTTCCTCAAATTGATTGGCGGTCACGTCGAGCTT
CCATAGCGAAACCCTCGTTACTGGTAATCGTCGCAAAA
CCCCTTGGTTGCCTCGGCGGACAGCCCGCTCCCGGTAAA
ACGGGACGGCCCGCCAGAGGACCCCTAAAACTCTGTTA
TATGTAACTTCTGAGTAAAACCATAAATAAATCAAAACT
TTCAACAACGGATCTCTTGGTTCTGGCATCGATGAAGAA
CGCAGCAAAATGCGATAAGTAATGTGAATTGCAGAATC
AGTGAATCATCGAATCTTTGAACGCACATTGCGCCCGCC
AGTATTCTGGCGGGCATGCCTGTTCGAGCGTCATTTCAA
CCCTCAAGCACAGCTTGGTGTTGGGACTCGCGTTATTCG
CGTTCCTCAAATTGATTGGCGGTCACGTCGAGCTTCCAT
AGCGTAGTAGTAAAACCCTCGTTACTGGTAATCGTGCAA
78
Lampiran 5 Data sekuens isolat Fusarium asal beberapa tanaman (Lanjutan)
Pisang
Nangka
Tomat
CCCAAAAAGTTGCCTCGGCGGACAGCCCGCGCCCTGTA
AACGGGACGGCCCGCCCGAGGACCCTAAACTCTGTTTTT
AGTGGAACTTCTGAGTAAAACAAACAAATAAATCAAAA
CTTTCAACAACGGATCTCTTGGTTCTGGCATCGATGAAG
AACGCAGCAAAATGCGATAAGTAATGTGAATTGCAGAA
TTCAGTGAATCATCGAATCTTTGAACGCACATTGCGCCC
GCCAGTATTCTGGCGGGCATGCCTGTTCGAGCGTCATTT
CAACCCTCAAGCTCAGCTTGGTGTTGGGACTCGCGGTAA
CCCGCGTTCCCCAAATCGATTGGCGGTCACGTCGAGCTT
CCATAGCGTAGTAATCATACACCTCGTTACTGGTAATCG
TCG
CCAAAAAAGTGGCTCGGCGGACAGCCCGCGCCCCGTAA
ACGGGACGGCCCGCCCGAGGACCCCTAAACTCTGTTTTT
AGTGGAACTTCTGAGTAAAACAAACAAATAAATCAAAA
CTTTCAACAACGGATCTCTTGGTTCTGGCATCGATGAAG
AACGCAGCAAAATGCGATAAGTAATGTGAATTGCAGAA
TTCAGTGAATCATCGAATCTTTGAACGCACATTGCGCCC
GCCAGTATTCTGGCGGGCATGCCTGTTCGAGCGTCATTT
CAACCCTCAAGCTCAGCTTGGTGTTGGGACTCGCGGTAA
CCCGCGTTCCCCAAATCGATTGGCGGTCACGTCGAGCTT
CCATAGCGTAGTAATCATACACCTCGTTACTGGTAATCG
TCGCAA
ACCCTTGGTTGCTCGGCGGACAGCCCGCTCCCGGTAAAA CGGGACGGCCCGCCAGAGGACCCCTAAACTCTGTTTCTA TATGTAACTTCTGAGTAAAACCATAAATAAATCAAAACT TTCAACAACGGATCTCTTGGTTCTGGCATCGATGAAGAA CGCAGCAAAATGCGATAAGTAATGTGAATTGCAGAATG TGAATCATCGAATCTTTGAACGCACATTGCGCCCGCCAG TATTCTGGCGGGCATGCCTGTTCGAGCGTCATTTCAACC TCAAGCACAGCTTGGTGTTGGGACTCGCGTTAATTCGCG TTCCTCAAATTGATTGGCGGTCACGTCGAGCTTCCATGC GTAGTAGTAAAACCCTCGTTACTGGTAATCGTCGCAAAA
79
Lampiran 6 Hasil analisis ragam (Anova) daya hambat bakteri rizosfer kelompok fluorescence terhadap Fusarium sp. penyebab hawar daun buah merah
Sumber Keragaman
Db Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F Hitung Nilai P
Perlakuan bakteri 22 26506,61496 1204,84613 6,87 <0.0001 fluorescens
Error 69 12098,88558 175,34617
Total Koreksi 91 38605,50054
80
Lampiran 7 Hasil analisis ragam (Anova) daya hambat bakteri rizosfer kelompok tahan panas terhadap Fusarium sp. penyebab hawar daun buah merah
Sumber Keragaman
Db Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F Hitung Nilai P
Perlakuan 21 16340,97308 778,14158 5,51 <.0001 bakteri
tahan panas
Error 66 9327,40079 141,32425
Total Koreksi 87 25668,37388
81
Lampiran 8 Hasil analisis ragam (Anova) daya hambat bakteri rizosfer kelompok kitinolitik terhadap Fusarium sp. penyebab hawar daun buah merah
Sumber Keragaman
Db Jumlah
kuadrat
Kuadrat tengah
F Hitung Nilai P
Perlakuan 15 12168,01388 811,20093 9,95 <.0001 bakteri
kitinolitik
Error 48 3915,10527 81,56469
Total Koreksi 63 16083,11915