I. PENDAHULUAN.doc

11
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Paradigma pembangunan ekonomi Indonesia berganti arah pada paruh akhir dekade 1990-an. Sejak munculnya rezim Orde Baru hingga tahun 1997, sistem ekonomi dan politik Indonesia bersifat sentralistik. Ambruknya pondasi struktur ekonomi Indonesia saat krisis ekonomi dunia tahun 1997 sekaligus menandai kebangkitan Orde Reformasi yang paradigma ekonomi politiknya cenderung desentralistik dan memberikan ruang otonomi yang luas kepada daerah. Sejarah mencatat berbagai dampak buruk pola pembangunan sentralistik Orde Baru. Dalam implementasinya, segala kebijakan harus dilaksanakan sesuai arahan pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya sebatas kepanjangan tangan dari pemerintah pusat, tanpa memiliki kewenangan mendasar untuk mengambil kebijakan. Selama masa ekonomi sentralistik tersebut aparat pemerintah daerah cenderung hanya ditugasi untuk mengambil kebijakan pada hal-hal yang bersifat teknis dan sebagai pelaksana dari kebijakan pemerintah pusat. Orde Reformasi tampil sebagai antitesa Orde Baru dan mengambil pilihan yang berbeda dalam paradigma pembangunannya: desentralisasi ekonomi, pembagian kewenangan yang lebih berimbang dan otonomi luas kepada

Transcript of I. PENDAHULUAN.doc

6

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Paradigma pembangunan ekonomi Indonesia berganti arah pada paruh akhir dekade 1990-an. Sejak munculnya rezim Orde Baru hingga tahun 1997, sistem ekonomi dan politik Indonesia bersifat sentralistik. Ambruknya pondasi struktur ekonomi Indonesia saat krisis ekonomi dunia tahun 1997 sekaligus menandai kebangkitan Orde Reformasi yang paradigma ekonomi politiknya cenderung desentralistik dan memberikan ruang otonomi yang luas kepada daerah.

Sejarah mencatat berbagai dampak buruk pola pembangunan sentralistik Orde Baru. Dalam implementasinya, segala kebijakan harus dilaksanakan sesuai arahan pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya sebatas kepanjangan tangan dari pemerintah pusat, tanpa memiliki kewenangan mendasar untuk mengambil kebijakan. Selama masa ekonomi sentralistik tersebut aparat pemerintah daerah cenderung hanya ditugasi untuk mengambil kebijakan pada hal-hal yang bersifat teknis dan sebagai pelaksana dari kebijakan pemerintah pusat.

Orde Reformasi tampil sebagai antitesa Orde Baru dan mengambil pilihan yang berbeda dalam paradigma pembangunannya: desentralisasi ekonomi, pembagian kewenangan yang lebih berimbang dan otonomi luas kepada daerah. Reformasi menawarkan sikap keterbukaan dan fleksibilitas sistem politik dan kelembagaan sosial sehingga mempermudah proses pembangunan dan modernisasi lingkungan legal dan regulasi pembaruan paradigma di berbagai bidang kehidupan.

Otonomi daerah menjadi ruang pemerintah mengembangkan inisiatif dan inovasi berdasarkan potensi spesifik lokal. Argumen ini didukung alasan bahwa permasalahan yang terjadi di daerah sedemikian kompleks dan multidimensional sehingga tidak mungkin diatasi dengan suatu terapi yang bersifat terpusat dan tentu daerahlah yang lebih memahami potensi, permasalahan dan solusi yang paling tepat bagi diri mereka sendiri. Selain itu disadari pula bahwa rentang kendali (span of control) pemerintah pusat sangat terbatas, sehingga kebijakan tersebut tidak lupa pula sangat ditentukan oleh pendanaan di tingkat daerah.

Akibat dari reformasi tersebut pemerintah mengeluarkan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang diatur dalam UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang kemudian diperbaharui dengan UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kebijakan tersebut mendorong pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk terus merencanakan dan mengimplementasikan program-program yang terkait dengan pemantapan perwujudan otonomi daerah.

Kebijakan desentralisasi melalui pemberian otonomi seluas-luasnya memiliki dua tujuan utama. Pertama adalah tujuan kesejahteraan, yaitu menjadikan pemerintah daerah sebagai instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan di tingkat lokal melalui pemberian pelayanan publik dan menciptakan daya saing daerah yang pada gilirannya akan menyumbang kepada kesejahteraan nasional. Kedua adalah tujuan politik, yaitu pemerintah daerah akan menjadi instrumen pendidikan politik di tingkat lokal yang kalau berhasil akan menyumbang kepada pendidikan politik nasional, untuk mendukung proses demokratisasi dalam mewujudkan masyarakat madani.Otonomi daerah menuntut setiap daerah meningkatkan kualitas pelayanan publik, terutama pada bidang-bidang yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat, seperti pendidikan dan kesehatan. Hal ini menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan pemerintah daerah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Otonomi yang diberikan kepada daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara proporsional. Artinya, pelimpahan tanggung jawab akan diikuti oleh pengaturan pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Tujuannya antara lain adalah untuk mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk memantau dan mengontrol pengelolaan anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam rangka menciptakan persaingan yang sehat antar daerah dan mendorong timbulnya inovasi.

Dalam konteks ini, APBD memiliki peran penting dalam perekonomian daerah. APBD menjadi urat nadi pergerakan ekonomi daerah. Perencanaan dan penyusunan program-program pembangunan yang tercermin dalam kebijakan umum anggaran dan penentuan prioritas kegiatan sangat menentukan arah pembangunan daerah. Atas dasar itu, struktur APBD perlu dianalisis untuk melihat kemampuan keuangan daerah dalam melakukan pembiayaan pembangunan daerah.

Menurut catatan FITRA, sampai saat ini dana perimbangan yang merupakan transfer keuangan oleh pusat kepada daerah jumlahnya sekitar 30% dari total belanja negara dalam APBN. Penerimaan daerah dari dana perimbangan merupakan sumber penerimaan daerah yang paling dominan sekitar 80% dari pendapatan total daerah.

Dana perimbangan tidak bisa digunakan dengan leluasa oleh daerah disebabkan sebagian dana perimbangan tersebut telah memiliki menu atau peruntukan yang telah ditentukan oleh pusat, seperti penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang arahan penggunaannya sepenuhnya ditentukan oleh pusat, Dana Alokasi Umum (DAU) untuk belanja gaji PNS, penggunaan Dana Penyesuaian untuk pembayaran Tunjangan Profesi Guru dan Tambahan Penghasilan Guru PNSD. Hal ini menyebabkan meskipun jumlah dana perimbangan yang diterima daerah sangat besar, namun daerah tidak bisa mengalokasikannya sesuai kebutuhan dan prioritas daerah secara leluasa.

Oleh karena itu, daerah tetap harus melakukan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber pendapatan asli daerah yang pemanfaatannya sepenuhnya merupakan otoritas pemerintah daerah. Sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial harus digali secara maksimal, namun tentu saja di dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk diantaranya adalah pajak daerah yang memang telah sejak lama menjadi unsur PAD yang utama.

Pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan tersebut harus dilakukan secara cermat dengan mempertimbangkan aspek prioritas khususnya terhadap bidang-bidang yang dianggap strategis dan menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Bagi daerah yang memiliki keterbatasan anggaran hal ini perlu dilakukan di tengah besarnya tuntutan masyarakat terhadap peningkatan pelayanan publik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Peningkatan pelayanan publik merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan pemerintah daerah. Hal ini disebabkan beberapa jenis pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan selama ini masih dirasakan kurang memadai. Rata-rata proporsi anggaran pemerintah daerah untuk membiayai kebutuhan dasar masyarakat tersebut relatif kecil.

Kecilnya tingkat penerimaan daerah menjadi penyebab rendahnya alokasi anggaran untuk pelayanan publik. Kabupaten Sumbawa Barat termasuk kabupaten yang memiliki APBD relatif kecil. Kondisi ini tentu berdampak terhadap pembiayaan pembangunan sektor pelayanan publik yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Sementara itu struktur penerimaan Kabupaten Sumbawa Barat masih sangat tergantung dari penerimaan dana perimbangan. Sedangkan PAD sendiri pada periode yang sama hanya memberikan kontribusi sekitar 7,5 persen. Meskipun kontribusi PAD terhadap penerimaan daerah terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, namun kontribusinya sangat kecil sehingga tingkat kemandirian pembiayaan pembangunan masih sangat rendah.

Berdasarkan paparan di atas terlihat bahwa dalam struktur APBD Kabupaten Sumbawa Barat memiliki ketergantungan yang besar pada penerimaan daerah yang bersumber dari dana perimbangan. Sumber-sumber pembiayaan asli daerah masih relatif kecil. Sementara di sisi lain, pemerintah daerah saat ini dituntut untuk lebih meningkatkan pembangunan pelayanan publiknya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dalam konteks ini, Kabupaten Sumbawa Barat sebagai salah satu daerah otonom yang tengah berupaya membangun pelayanan publiknya, perlu untuk menata pengelolaan keuangan daerahnya dengan baik melalui pengaturan sistem pengelolaan keuangan daerah yang efektif dan efisien serta mekanisme pelaksanaan yang transparan dan akuntabel disamping menciptakan prinsip keadilan anggaran yang lebih proporsional terutama pada bidang-bidang pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan.

Oleh sebab itu, agar pengelolaan keuangan daerah dapat terlaksana secara optimal dan pelaksanaan otonomi daerah dapat berjalan dengan baik, perlu adanya strategi khusus dalam manajemen keuangan daerah di Kabupaten Sumbawa Barat. Strategi dan perancangan program peningkatan kapasitas fiskal diperlukan dalam rangka peningkatan kemampuan pembiayaan pembangunan khususnya di sektor pendidikan dan kesehatan.

1.2 Perumusan Masalah

APBD memiliki peran penting dalam perekonomian daerah, terutama menjadi input dalam penyusunan perencanaan program-program pembangunan. Oleh karena itu, perencanaan anggaran dan pembangunan daerah perlu disusun dengan pendekatan berbasis kinerja (performance budget), yang menekankan pada efisiensi dan efektifitas anggaran.

Besarnya ketergantungan pembiayaan yang berasal dari dana perimbangan disertai terbatasnya keleluasan peruntukannya menjadi kendala bagi Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat dalam melaksanakan program-program pembangunan prioritas. Informasi ini tidak simetris dengan persepsi yang berkembang di masyarakat. Publik umumnya beranggapan bahwa pemerintah daerah gagal menentukan skala prioritas di tengah berlimpahnya anggaran APBD. Oleh karena itu penelitian ini akan mengkaji struktur APBD Kabupaten Sumbawa Barat selama periode 2008-2014. Dari sisi penerimaan akan dicermati jenis dan besaran sumber-sumber penerimaan daerah. Dari sisi pengeluaran akan jenis-jenis belanja dan alokasinya terhadap masing-masing sektor pembangunan.

Keberhasilan program-program pembangunan di daerah sangat bergantung pada besar kecilnya kapasitas fiskal yang dimiliki suatu daerah, yang juga mencerminkan besar kecilnya kapasitas APBD. Oleh karena itu, APBD memiliki implikasi terhadap pembiayaan pembangunan. Dengan desentralisasi fiskal, APBD diharapkan dapat menjadi stimulus bagi kelancaran pelaksanaan program-program pembangunan, terutama untuk dialokasikan pada sektor atau bidang yang menjadi prioritas, yaitu pendidikan dan kesehatan. Hal tersebut didasarkan pada amanat Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang menyatakan bahwa belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang layak, serta mengembangkan sistem jaminan sosial.Pembangunan bidang pendidikan dapat dilihat dari beberapa indikator, seperti jumlah sekolah, rasio murid dan guru, rasio murid dan sekolah dan angka partisipasi sekolah. Sementara itu pembangunan kesehatan dilihat dari indikator jumlah tenaga medis dan ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan. Oleh karena itu penelitian ini akan membedah secara khusus pengaruh APBD Kabupaten Sumbawa Barat terhadap pembangunan sektor pendidikan dan kesehatan berdasarkan indikator-indikator yang relevan. Hasil analisis tersebut dapat dihasilkan gambaran seberapa jauh peningkatan layanan publik tersebut dapat ditingkatkan kualitas maupun kuantitasnya dengan kapasitas anggaran yang tersedia.

Hingga saat ini upaya Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat dalam meningkatkan pelayanan publik tersebut dihadapkan pada banyak kendala, terutama keterbatasan anggaran. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penelitian ini akan mengkaji strategi dan kebijakan yang tepat untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah untuk menguatkan kemampuan pembiayaan pembangunan terutama sektor-sektor prioritas, seperti pendidikan dan kesehatan.

1.3 Tujuan

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, tujuan utama dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis APBD Kabupaten Sumbawa Barat dari sisi penerimaan dan pengeluaran;

2. Mengkaji APBD terhadap pembangunan ekonomi daerah Kabupaten Sumbawa Barat terutama di bidang pendidikan dan kesehatan;

3. Merumuskan strategi dan perancangan program pemanfaatan APBD dalam rangka melakukan pembiayaan pembangunan terutama sektor prioritas, yaitu pendidikan dan kesehatan di Kabupaten Sumbawa Barat.

1.4 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan informasi dan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat dalam rangka merumuskan strategi kebijakan dan perancangan program pemanfaatan APBD dalam rangka melakukan pembiayaan pembangunan khsususnya di sektor pelayanan publik di Kabupaten Sumbawa Barat. Diharapkan laporan penelitian ini dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.