I PENDAHULUAN - IPB University
Transcript of I PENDAHULUAN - IPB University
1
1.1 Latar Belakang
Matoa merupakan tanaman pohon dan kayu yang berasal dari keluarga
Sapindaceae yang banyak ditemukan sepanjang wilayah Kepulauan Andaman,
Srilanka, China bagian selatan, Vietnam, Malaysia, Indonesia, Filipina, Papua
Nugini dan sebagian wilayah Kepulauan Pasifik Selatan. Pohon matoa tersebar di
daerah subtropis dan tropis dengan letak geografis 140LU sampai 200LS (Lim
2013). Pohon matoa telah dijadikan identitas flora di Indonesia khususnya daerah
Papua. Perbedaan warna kulit buah saat masak dijadikan dasar umum dalam
membedakan jenis matoa yaitu matoa kulit buah merah, kuning dan hijau. Tekstur
aril buah matoa juga dapat dibedakan sebagai matoa kelapa dengan ciri daging
buah yang kenyal dan lepas dan buah berdiameter 2,2-2,9 cm. Matoa papeda
bertekstur aril buah sedikit lembek dan lengket dan buah berdiameter lebih kecil
1,4-2,0 cm. Daging buah matoa memiliki aroma dan rasa khas rambutan, lengkeng
dan durian (BPTP Papua 2014).
Pemanfaatan pohon matoa oleh masyarakat telah digunakan untuk
berbagai keperluan seperti bahan bangunan, kerajinan tangan, bahan pangan segar
untuk buah, obat-obatan, tanaman hias, mengobati luka bakar dan cacar (Sada dan
Rosye 2010; Thomson dan Thaman 2006). Hasil penelitian Fitri (2015)
menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan (pembersihan radikal DPPH,
penghambatan peroksidasi lipid dan total konten fenolik) kulit buah matoa lebih
tinggi sebagai sumber antioksidan dibandingkan kulit buah sirsak dan salak. Hasil
penelitian Zanuary (2014) menunjukkan bahwa daya antibakteri dari ekstrak daun
matoa sebagai obat kumur terbukti efektif terhadap bakteri Streptococcus mutans.
Penelitian Suedee et al. (2013) yang mengekstrak daun matoa telah berhasil
mengisolasi senyawa-senyawa kimia yang memiliki aktivitas sebagai anti HIV-1
IN. Hasil penelitian Haeruddin dan Farida (2017) menunjukkan bahwa limbah
hasil serutan dari kayu matoa dapat digunakan sebagai zat pewarna untuk kain
batik katun.
Pohon matoa memiliki potensi dan manfaat yang besar tetapi informasi
tentang produksi buah matoa masih terbatas dalam beberapa hal antara lain:
keterbatasan informasi terkait musim berbunga, buah, distribusi geografis serta
karakteristik kultivar yang sulit dibedakan (Wambrauw 2011). Surat Keputusan
Menteri Pertanian Republik Indonesia No. 160 tahun 2006 telah menetapkan
tumbuhan matoa sebagai varietas buah unggul yang harus dibudidayakan. Potensi
tumbuhan matoa sebagai panganan buah segar yang kaya manfaat perlu didukung
beberapa studi untuk memperoleh informasi budidaya dan usaha diversifikasinya,
salah satunya yaitu studi fenofisiologi perkembangan malai bunga dan buah
tanaman matoa.
Pengamatan fenologi yang sering dilakukan yaitu pengamatan perubahan
tanaman dari siklus fase vegetatif ke fase generatif serta lama periode generatif
tumbuhan. Metode yang dilakukan yaitu melaui pendekatan pengamatan umur
bunga, pembentuakan biji dan waktu panen (Sitompul dan Guritno 1995).
Faktor lingkungan yang berpengaruh dalam fruitset bunga menjadi buah
yaitu suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan intensitas cahaya (Ogaya
I PENDAHULUAN
2
dan Paneulas 2007). Faktor internal seperti genetik dan fitohormon (Gardner et al.
1991), status karbohidrat (Luis et al. 2009), status hara (Saleem et al. 2005) dan
ketersediaan air (Balta et al. 2007).
1.2 Tujuan
Mengetahui informasi fenologi dan fisiologi hara pada daun selama
perkembangan bunga dan buah matoa dalam satu siklus berbunga sesuai
perubahan morfologinya.
1.3 Manfaat Penelitian
Informasi fenofisiologi mulai dari inisiasi generatif dengan munculnya
trubus bunga, perkembangan pembungaan sampai anthesis, perkembangan buah,
fruitset, mutu fisik dan kimia buah matoa sebagai pengetahuan dasar dalam
pengelolaan kebun, dan budidaya tanaman matoa.
3
2.1 Botani dan Agroekologi Matoa
Genus Pometia dalam famili Sapindaceae memiliki dua spesies yaitu
Pometia pinnata dan Pometia ridleyi. Pometia ridleyi tersebar diseluruh Malesia
kecuali untuk Singapura dan Pometia pinnata ditemukan di Ceylon, kepulauan
Andaman, seluruh Malesia hingga Samoa di kepulauan Pasifik Selatan. Pometia
pinnata di Papua Nugini secara umum dapat ditemukan diseluruh dataran rendah
pada berbagai vegetasi dan jenis tanah (Piskaut et al. 2006). Keragaman karakter
morfologi tanaman matoa tidak stabil karena kemiripan tanaman secara visual.
Perbedaan yang paling menonjol yaitu dari perbedaan warna kulit buah saat sudah
matang sehingga dikelompokkan dengan nama tunggal Pometia pinnata JR. & G.
Forst yang sinonim dengan forma (Lim 2013).
Matoa berakar tunggang dengan warna coklat yang dapat dapat naik
kepermukaan tanah apabila tanaman telah berumur puluhan tahun. Batangnya bisa
mencapai ketinggian 20-40 meter dengan diameter batang dapat mencapai 1,8
meter berbentuk silindris berwarna coklat keputih-putihan dengan permukaan
kasar. Pertumbuhan cabang simpodial sehingga membentuk pohon yang rindang.
Daun matoa berdaun majemuk yang berseling 4 sampai 12 pasang anak daun,
daun muda berwarna merah cerah dan akan berubah hijau saat dewasa. Helaian
daun berbentuk jorong tebal yang kaku dengan ujung meruncing (acuminatus),
berpangkal daun tumpul (obtusus) dengan tepi yang rata, tulang daun menyirip
(pinnate) serta berlekuk. Buah matoa berbentuk bulat dan lonjong dengan panjang
5-6 sentimeter dengan daging buah putih kekuningan. Biji matoa berbentuk bulat
dengan warna coklat muda atau kehitaman. Perbanyakan secara generatif pohon
pertama kali akan berbuah pada umur 4-5 tahun dan perbanyakan secara vegetatif
(cangkok, stek, sambung) yang dapat mulai berbuah umur 2-3 tahun (BPTP Papua
2014).
Bunga matoa termasuk kedalam bunga majemuk (monoecious unisexual)
yaitu bunga jantan dan bunga betina di pohon dan malai yang sama. Bunga betina
tampak biseksual dengan kepala sari yang lebih pendek tetapi steril. Bunga
memiliki calyx cupulate dengan lima kelopak kecil yang berwarna putih kehijauan
dan lima benang sari yang filamennya berwarna keputihan serta kepala sari
berwarna kuning atau merah. Ovarium pada bunga betina memiliki dua lobed
(belum sempurna pada bunga jantan) padat berwarna coklat muda dengan style
merah lurus. Panjang buah 3-5 cm berbentuk bulat hingga ellipsoid. Daging buah
atau pulpa arillode membungkus sebagian besar biji dengan embrionya yang
melengkung (Thomson dan Thaman 2006). Masyarakat umum lebih mengenal
tanaman matoa dari kekhasan citarasa buahnya seperti campuran rasa buah
kelengkeng, rambutan dan durian (Faustina dan Santoso 2014). Perbanyakan
tanaman matoa dapat dilakukan secara generatif dan secara vegetatif dengan stek
batang (Hanson et al. 2005). Perkecambahan biji matoa akan menurun selama
penyimpanan, mulai dari 100% tanpa penyimpanan menjadi 86,67% setelah
disimpan selama empat hari sesuai dengan penurunan kadar air (Effira et al.
2018).
II TINJAUAN PUSTAKA
4
2.2 Fenofisiologi
Pengamatan fenologi pada anggrek Phapiopedillum glaucophyllum untuk
mendukung informasi dan identifikasi karakter tanaman, dilakukan dengan
mengikuti perubahan morfologinya (Yulia 2007). Fenologi pembungaan
merupakan karakter penting dalam siklus hidup tumbuhan sebagai proses awal
tumbuhan dalam berkembang biak dan mempertahankan kelangsungan jenisnya.
Setiap tumbuhan memiliki perilaku dan karakter yang berbeda-beda pada tahap
pembungaan dan pembentukan buah. Siklus keberlangsungan anggrek
Myrmecophila cgristinae umumnya diawali oleh munculnya bakal bunga (inisiasi)
dan diakhiri pematangan atau pembusukan buah (Tabla dan Vargas 2004).
Perbedaan ketinggian tempat tumbuh tanaman dapat mempengaruhi fenologi
pembungaan seperti waktu inisiasi bunga, jumlah bunga betina serta keberhasilan
bunga menjadi buah pada tanaman pinang yaki (Areca vesitaria giseke) (Hanum
dan Lestari 2017).
Kehilangan bunga merupakan proses fisiologis yang umum pada tanaman
yang dapat disebabkan dari faktor luar dan dalam tanaman (Saroj 2014).
Pembungaan merupakan proses fisiologis kompleks dan terspesialisasi yang
dipengaruhi oleh faktor metabolisme dalam tanaman (genetik) dan faktor
lingkungan di luar tanaman (Taiz dan Zeiger 2002). Pasokan fotosintat dan
kecukupan nutrisi pada tanaman buah-buahan dapat mempengaruhi gugurnya
bunga dan buah dalam proses fisiologi tumbuhan (Parvathi et al. 2014).
2.3 Perkembangan Bunga dan Perkembangan Buah
Proses pembungaan membutuhkan energi yang cukup banyak. Proses
dimulai dari tahap transisi fase vegetatif menuju inisiasi pembungaan yang
dicirikan dengan induksi dan perkembangan inflorensia meristem menjadi
inflorensia pembungaan. Proses induksi dan inisiasi pembungaan sangat
dipengaruhi faktor genetik dan faktor lingkungan tumbuh tanaman. Interaksi
antara kedua faktor menghasilkan proses molekular dan biokimia yang menandai
proses transisi dari siklus vegetatif menuju fase reproduktif (Bernier et al. 1993).
Proses transisi dari inflorensia meristem menuju inflorensia pembungaan
merupakan fase utama dalam siklus pertumbuhan tanaman yang akan
menyebabkan perubahan morfologi pada jaringan meristem. Meristem pucuk
(shoot apical meristem/ SAM) tersusun dari sejumlah sel totipotensi yang
mengalami prolifersi secara independen dan akan membentuk inflorensia
pembungaan ketika menerima sinyal terjadinya induksi pembungaan untuk
berdiferensiasi (Mcsteen et al. 2000).
Faktor lingkungan yang mempengaruhi pembungaan di daerah subtropis
umumnya adalah suhu lingkungan yang rendah sementara di daerah tropis
sebagian besar pemicu pembungaan adalah suhu yang tinggi yang ditandai dengan
adanya cekaman kekeringan kepada tanaman (Fauzi et al. 2017). Tanaman yang
tidak mendapatkan air yang cukup karena curah hujan rendah dapat
mempengaruhi persentase fruitset sehingga dapat mengurangi jumlah buah dan
berat buah yang dihasilkan pertanaman pada tanaman salak gula pasir (Rai et al.
2010).
5
Pohon matoa umumnya akan memulai inisiasi pembungaan pada bulan
Juli sampai bulan Oktober dan buah akan masak atau dapat dipanen pada bulan
Februari sampai bulan Maret. Inisiasi pembungaan pohon matoa diawali dengan
pertumbuhan malai bunga dan anak malai tempat tumbuhnya bunga bunga jantan
dan bunga betina yang terdapat pada satu rangkaian malai dalam satu individu
pohon (Gambar 1). Bunga betina fertil dengan benang dan kepala sari semu dan
tidak segera membuka hingga akhirnya gugur atau diserbuki oleh bunga jantan
melalui penyerbukan sendiri maupun dengan bantuan pollinator (Wambrauw
2011).
Hasil penelitian Vemmos (1995) pada buah apel menunjukkan bahwa
perubahan nilai karbohidrat dalam organ tumbuhan menunjukkan peran penting
dalam masa berbunga dan pengaturan buah. Hasil penelitian Rai et al. (2006) pada
pohon manggis menunjukkan bahwa gula total daun dipucuk akan meningkat
pada saat induksi bunga tetapi pada mata tunas yang tidak terinduksi berbunga
kandungan gula totalnya tidak meningkat. Hasil penelitian Ardie et al. (2014)
pada bunga Hoya diversifolia menunjukkan bahwa kandungan gula terlarut total
dan kandungan gula sukrosa tidak berbeda pada pucuk daun yang terinduksi
dengan pucuk daun yang tidak terinduksi, tetapi kandungan gula pereduksi di
pucuk daun yang tidak terinduksi nilainya lebih tinggi. Penelitian Liu et al. (2020)
pada tanaman Camelia sinensis membuktikan bahwa photoperiode, hormon GA
dan jalur gula berperan penting dalam induksi bunga, juga memiliki respon yang
sama pada induksi bunga yang mendapatkan stress abiotik. Menurut
Tjitrosoepomo (2003) fenomena fertilisasi terjadi setelah proses polinasi ovary
bunga betina yang akan berlanjut ketahap perkembangan buah, proses tersebut
berkaitan dengan penyesuaian proses fisiologis tanaman yang menunjukkan
proses pembentukan buah. Penelitian Chauhan et al. (2006) pada tanaman apel
A ♀
2
b a
C
1 ♀
B
D E F
1 mm
♀
♂
6 mm
♂
1 2
3
4
6
5 2
3
a
b
Gambar 1 Bunga matoa dan skematisnya: A kuncup bunga. B malai bunga (a)
cabang malai (b) anak malai. C bunga jantan dan betina. D 1= sumbu
lobus, 2 = lokul (sebelum (a) dan setelah mekar (b)). E. diagram
bunga betina (1= sepal, 2= petal, 3= stamen , 4= anther, 5= ovarium,
6= stigma) F. diagram skematis bunga matoa. (sumber: Wambrauw
(2011))
6
membuktikan bahwa kandungan air memegang peran yang sangat penting dalam
proses keberhasilan bunga untuk berkembang menjadi buah.
Penelitian Santoso et al. (2011) pada buah merah (Pandanus conoideus)
membuktikan bahwa pemanenan buah saat matang, secara fisiologis menunjukkan
jumlah berbagai senyawa didalamnya yang sudah lengkap serta berada dalam
jumlah maksimal. Hasil penelitian Tagliavini et al. (2007) pada apel menunjukkan
bahwa daging buah sebagian besar mengandung air, kalium dan karbohidrat yang
tinggi tetapi nilai protein dan nitrogen rendah. Kandungan protein ditemukan
memiliki nilai tinggi pada biji. Hasil penelitian Ribeiro dan deFreitas (2019)
dengan mengikuti pola nilai asam askorbat menunjukkan bahwa total asam
tertitrasi akan terus turun selama pemasakan buah pada kultivar acerola.
Menurut Kartasapoetra (1994) peningkatan proses respirasi, produksi
etilen dan akumulasi kadar gula yang naik secara signifikan pada buah dapat
digunakan sebagai indeks kemasakan buah sebagai indikator dari padatan terlarut
total (PTT). Total padatan terlarut akan terus berkurang yang menjadi indikasi
kelayuan (kebusukan buah) yang terlewat matang atau disimpan tanpa perlakuan
karena senyawa-senyawa dalam buah akan diuraikan menjadi air selama proses
respirasi.
Buah matoa belum memiliki standar mutu SNI, sehingga untuk penentuan
mutu buah dapat digolongkan berdasarkan berat (gram) dan hasil pengolahan citra
digital area (piksel) yaitu kelas A jika berat buah diatas 12 gram dan luas area
9318 piksel, kelas B jika berat buah antara 9,5 sampai 12,5 dan memiliki luas area
1584 sampai 9318 piksel, kelas C jika berat buah dibawah 9,5 gram dan luas area
dibawah 1584 piksel dengan akurasi keberhasilan pencitraan sebesar 73,89%
(Furray 2019).
2.4 Hara
Analisis tanah merupakan refleksi dari potensi hara yang tersedia untuk
diserap tanaman dari tanah, tetapi hal tersebut tidak dapat menjadi gambaran
jumlah hara atau mineral yang dapat diserap oleh tanaman (Taiz dan Zeiger
2002). Hasil penelitian Schroth et al. (2002) menunjukkan bahwa analisis jaringan
daun dapat digunakan untuk mengetahui status hara tanaman tahunan buah-
buahan maupun tanaman agroforestry yang berkorelasi terhadap produksi
tanaman. Hasil penelitian Storey dan Treeby (2000) pada tanaman jeruk
menunjukkan bahwa produksi yang dihasilkan tanaman tidak ditentukan oleh
jumlah hara N, P, dan K saja, tetapi juga dipengaruhi oleh keseimbangan hara
makro dan mikro secara keseluruhan. Hasil penelitian Roccuzzo et al. (2012) pada
tanaman jeruk menunjukkan terjadi dinamika antara kebutuhan dan penyerapan
hara pada setiap fase pertumbuhan, perkembangan bunga dan buah. Penelitian
Storey dan Treeby (2000) pada tanaman jeruk membuktikan bahwa terjadi
peningkatan nutrisi kecuali Na dua minggu setelah tanaman berbunga diawal
pembentukan buah kemudian nilai nutrisi menurun dengan laju yang bervariasi.
Ketersediaan Nitrogen (N) yang cukup selama proses pembungaan mulai
tahap inisiasi sampai anthesis sangat penting untuk mencapai hasil yang optimal
dan kualitas buah yang baik (Alva et al. 2006). Tanaman yang kekurangan
Phospor (P) dapat menyebabkan peningkatan antosianin dan pematangan buah
serta pembesaran biji yang kurang sempurna dengan produksi buah yang rendah
7
(Susila 2004). Kalium (K) berperan dalam pembentukan gula, pati, karbohidrat
dan sintesis protein yang akan mempengaruhi warana dan rasa buah (Zeng dan
Brown 2001). Kalsium (Ca) dapat mengikat calmodulin yaitu protein yang
ditemukan dalam sel sitosol tanaman yang berfungsi sebagai second messenger.
Kompleks calmodulin-kalsium mengatur banyak proses metabolisme (Taiz dan
Zeiger 2002). Hasil penelitian Aref (2012) pada pohon mangga menunjukkan
bahwa Boron (B) mempengaruhi peningkatan konsentrasi gula dalam nektar
tanaman yang secara tidak langsung memiliki peran pada penyerbukan bunga.
Hasil penelitian Gogi et al. (2012) pada tanaman Gossypium hirsutum
menunjukkan Zinc (Zn) menjadi kofaktor untuk lebih dari 300 jenis enzim yang
berperan dalam proses metabolisme asam nukleat, pembelahan sel serta sintesis
protein.
2.5 Manfaat dan Kandungan Metabolik
Metabolomik adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari proses
terjadinya senyawa yang dihasilkan oleh mahluk hidup dari proses metabolit
primer yang diperlukan untuk keberlangsungan mahluk hidup dan metabolit
sekunder yang menghasilkan senyawa khas saat mahluk hidup mengalami
cekaman, pertahanan diri, penyerbukan maupun karakter khasnya sendiri (Putri et
al. 2013). Senyawa metabolit sekunder kulit batang matoa dapat dimanfaatkan
sebagai inhibitor α glukosidase penyakit diabetes (Matuputun et al. 2013) dan
antibakteri Eschericia coli dan Staphylococcus aureus (Damayanti 2002). Hasil
evaluasi antioksidan dengan 1.1-difenil-2picrylhydrazyl (DPPH) pada tanaman
matoa di Malaysia menunjukkan kandungan antioksidan tertinggi terdapat pada
kayu dengan nilai EC50 > 30 ug/ml dan total fenol 39,53% dibandingkan dengan
kulit dan kambium tengah (Kawamura et al. 2010)
Daun, kulit buah dan ekstrak biji matoa yang diberikan secara oral dapat
meningkatkan ekskresi urin (Purwidyaningrum et al. 2016). Daun matoa
berpotensi dijadikan bahan dan diolah menjadi antioksidan dan antibakteri alami
(Kuspradini et al. 2016; Lely et al. 2016; Trimedona et al. 2017) dan antivirus
HIV-1 IN (Suedee et al. 2013). Ekstrak aseton IC50 menunjukkan nilai antitoksik
pada daun matoa sebesar 15,323 ppm dan skrining fitokimia menunjukkan bahwa
ekstrak etanol daun matoa mengandung senyawa flavonoid dan tannin
(Martiningsih et al. 2016).
Hasil penelitian Rahimah et al. (2013) menunjukkan bahwa karakter
senyawa phenol pada daun matoa adalah senyawa golongan flavonoid. Menurut
Vickery dan Vickery (1981) menjelaskan bahwa flavonoid memiliki potensi
sebagai antioksidan alami karena memiliki gugus hidroksil yang terikat pada
cincin aromatik sehingga dapat menangkap radikal bebas yang dihasilkan dari
reaksi peroksidasi lemak. Hasil penelitian Kikuzaki et al. (2002) menunjukkan
bahwa radikal bebas merupakan atom yang tidak stabil karena kehilangan
pasangan elektronnya. Reaksi kehilangan pasangan elektron yang berlangsung
secara terus-menerus dapat memicu munculnya penyakit degeneratif seperti
kanker, serangan jantung, katarak dan penuaan dini. Penelitian Hamid et al.
(2010) membuktikan bahwa flavonoid dapat menurunkan sistem pertahanan
bakteri dengan menghambat sistem DNA dan RNA pada membran sitoplasma
bakteri sehingga terjadi kebocoran sel.
8
3.1 Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Taman Buah Mekarsari Cileungsi Bogor
dengan letak geografis garis lintang -6.50000 dan garis bujur 106.75000 dengan
ketinggian +/- 70 mdpl. Pengamatan morfologi kualitas buah di Laboratorium
Pascapanen Departemen Agronomi dan Hortikultura. Analisa status hara tanah
dan analisa status hara daun di Laboratorium Tanah Departemen Ilmu Tanah Dan
Sumberdaya Lahan Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan mulai Juni
2019 sampai dengan Juli 2020.
3.2 Bahan dan Alat
Pohon matoa berkulit buah warna merah dengan tahun tanam 1995 yaitu
pohon yang berusia 24 tahun di kebun buah PT. Mekar Unggul Sari Cileungsi
Bogor (Tabel 1).
Tabel 1. Deskipsi pohon matoa di Taman Buah Mekarsari
Deskripsi Informasia
Tahun tanam 1995
Asal tanaman Bibit Dari Deptan
Populasi 68
Panen (kali) 13
Luas area penanaman 4352 m2
Frekuensi panen pertahun 1
Perawatan Penyiangan, Penyiraman, pemupukan
Frekuensi pemupukan 2 Kali Setahun
Jenis pupuk Pupuk Anorganik dan Organik
Pestisida Kuratif
Pemangkasan Ringan
Rata rata produksi per panen (Kg) 136
Species 1
Kultivar 3 (kulit buah hijau, merah, kuning)
Waktu berbunga Juli
Waktu panen Oktober
Letak buah Ujung (apikal) a Divisi penelitian dan pengembangan Taman Buah Mekarsari
III METODE
9
Bahan untuk analisis laboratorium ATT (asam tertitrasi total) dan PTT
(padatan terlarut total). Alat yang digunakan yaitu kamera, tangga, cool box,
freezer, hand refraktometer digital, penetrometer dan pendukung analisa titrasi.
3.3 Metode Penelitian
Pengamatan perkembangan bunga dilaksanakan secara deskriptif non
destruktif sesuai perubahan morfologi bunga. Pohon yang diamati yaitu 4 pohon
matoa kulit buah merah yang sedang berbunga. Pengamatan dilakukan kepada
malai dengan panjang trubus kurang dari 1 cm pada tanggal yang sama sebagai
sampel. Jumlah sampel pengamatan perkembangan bunga sebanyak 8 malai
bunga. Label diberikan kepada bakal malai bunga yang akan diamati setiap enam
hari.
Pengamatan perkembangan buah secara deskriptif pada empat pohon
matoa kulit buah merah. Setiap pohon diamati tiga malai bunga secara destruktif
untuk mengamati mutu fisik buah (pengukuran panjang, diameter, tebal daging
buah, bobot, kelunakan kulit) dan mutu kimia buah (asam tertitrasi total dan
padatan terlarut total). Pengamatan fruitset dan perkembangan buah mulai bunga
anthesis sampai buah overipe (Tabel 2).
Pengamatan perkembangan buah dari empat pohon menjadi satu pohon
karena sampel pada pohon yang lain bunga rontok dan mati setelah bunga mekar.
Pengamatan pada satu sampel pohon yang sama dengan mengamati 3 malai bunga
dari cabang yang berbeda mulai dari bunga mekar sampai buah lewat masak.
Pengamatan perkembangan buah dilakukan terhadap malai bunga dengan waktu
antesis yang sama. Pengamatan fruitset diamati secara deskriptif dengan
mengamati tiga malai bunga dari pohon yang sama.
Hasil pengamatan merupakan nilai rata-rata dari pengamatan sampel
perkembangan bunga dan perkembangan buah.
Tabel 2. Tahap perkembangan bunga dan buaha
Fase Simbol Deskripsi
Trubus malai bunga IM Inisiasi generatif yang ditandai dengan
munculnya bakal malai bunga dari apikal/
lateral cabang ranting
Trubus anak malai AM anak malai bunga yang tumbuh melebar dari
batang utama malai sebagai ciri bunga
inflorescence
Kuncup besar KB Mahkota bunga yang sudah terbentuk tetapi
masih terbungkus dalam seludang
Antesis AN Mahkota bunga mekar yang menandai persiapan
polinasi bunga sebagai awal dari pembentukan
buah.
Buah kecil BK Polinasi sudah terjadi yang ditandai gugurnya
mahkota dan ovarium yang membesar /buah
kecil
Buah muda BM Buah sudah mempunyai daging buah (aril) yang
tebal
10
Buah masak M Kulit buah berwarna merah
Buah lewat masak BL Buah sudah lewat masak dengan warna kulit
buah berwarna gelap dan keras a Dafni (1993) dalam Jamsari et al. (2007)
Tahap perkembangan bunga berdasarkan kriteria yang digunakan oleh
Dafni (1993) dengan beberapa penambahan pada perkembangan buah untuk
memudahkan dalam pengamatan. Perbedaan tahap perkembangan bunga dan
perkembangan buah diamati sesuai dengan perubahan morfologi secara visual dari
karakteristik bentuk, warna dan ukuran secara deskriptif dari malai bunga atau
malai buah yang sama pada pohon yang sama. Menurut Jamsari et al. (2007) pada
penelitian buah Uncaria gambir menjelaskan bahwa perkembangan bunga dan
buah pada umumnya melewati fase inisiasi, kuncup kecil, kuncup besar, anthesis
dan perkembangan buah.
3.3.1 Fenologi
Pengamatan periode perkembangan bunga dan perkembangan buah diikuti
dengan mengamati perubahan cuaca harian dan iklim lingkungan tumbuh pohon
matoa. Pengamatan dengan data iklim harian dari BMKG sesuai titik geografis
kebun matoa. Pengamatan iklim mikro dengan alat data logger yang diletakkan
dikebun matoa. Data iklim yang diamati yaitu suhu, kelembaban, curah hujan dan
lama penyinaran matahari. Penelitian fenologi Yulia (2007) pada bunga anggrek
Paphiopedillum menjelaskan bahwa pengamatan fenologi tanaman harus
mengikuti perubahan morfologi untuk mengidentifikasi informasi periodik dan
karakter tanaman yang disebabkan karena pengaruh lingkungannya.
3.3.2 Fisiologi
Pengamatan fisiologi yang dilakukan yaitu analisis status hara pada daun
pohon matoa. Pengamatan status hara daun akan menunjukkan dinamika hara
pada daun selama perkembangan bunga dan perkembangan buah. Pengambilan
sampel daun untuk mengamati status hara daun dilaksanakan setiap 30 hari sekali.
Status hara yang dianalisis yaitu unsur hara makro dan unsur hara mikro Boron
(B), Zinc (Zn) dan Calsium (Ca). Menurut penelitian Liferdi (2007) pada tanaman
manngis menjelaskan bahwa daun sampel untuk uji status hara daun yaitu daun
yang telah berkembang penuh, sehat dan tidak cacat sejumlah 16 lembar daun,
masing-masing dari 4 arah mata angin.
3.4 Prosedur Penelitian
3.4.1 Status Hara Tanah
Sampel tanah diambil dari daerah perakaran dibawah naungan 1-2 meter
dari ujung tajuk tanaman matoa dengan kedalaman lebih dari 50 cm. Tanah
dikeringanginkan dan diayak dengan mesh ukuran 2 mm untuk mendapatkan
ukuran tanah yang relatif sama (Liferdi 2007). Pengamatan sampel tanah
11
dilakukan saat pohon matoa memasuki musim berbunga untuk menganalisis status
hara makro dan hara mikro tanah tempat tumbuh pohon matoa.
3.4.2 Iklim Mikro Lingkungan Tumbuh
Pengamatan iklim lingkungan tumbuh diamati dengan alat data logger
real-time Encomotion dan data iklim harian dari BMKG Stasiun Klimatologi
Bogor ID WMO 96753. Pengambilan data iklim minor lingkungan tumbuh
dimulai dari bulan Juni 2019 ketika tanaman matoa memasuki musim berbunga
pada bulan Juli sampai bulan September dan perkembangan buah sampai bulan
Januari atau Februari sesuai dengan penelitian matoa oleh Wambrauw (2011).
3.4.3 Satuan Panas (heat unit)
Metode kuantitatif hubungan antara suhu udara terhadap perkembangan
bunga dan buah matoa dengan persamaan:
AHU = 𝛴(𝑇𝑚𝑎𝑘𝑠 + 𝑇𝑚𝑖𝑛 /2) – Tb
Keterangan:
AHU = akumulasi heat unit (0C hari)
Tmaks = suhu maksimum harian (0C)
Tmin = suhu minimum harian (0C)
Tb = suhu dasar (0C);
= 10 0C (pada lychee)
(Batten dan Lahav 1994)
3.4.4 Perkembangan Bunga
Pengamatan pohon matoa yg sudah memasuki fase inisiasi bunga ditandai
dengan munculnya trubus malai bunga pada ujung cabang (apikal) atau pada
ketiak daun (lateral). Pertumbuhan malai dengan mengamati perkembangan tunas
malai pada empat pohon sampel ranting produktif yang berbeda cabang. Trubus
bunga dipilih seragam dengan panjang tunas kurang dari 1 cm pada tanggal yang
sama. Pengamatan pembungaan dilakukan setiap enam hari dan setiap tiga hari
pada fase bunga anthesis.
Pengamatan mencatat pertumbuhan tinggi malai, lebar malai, jumlah anak
malai, waktu anthesis dan jumlah bunga anthesis. Pertumbuhan tinggi malai
diukur dari pangkal malai sampai ke ujung vertikal malai bunga. Lebar malai
diukur dari titik terjauh dua anak malai bunga yang tumbuh secara horizontal dan
berlawanan arah. Jumlah anak malai dengan menghitung anak malai yang tumbuh
sampai bunga anthesis dan dihitung jumlah bunga mekar dalam satu kompleks
malai bunga.
3.4.5 Perkembangan Buah
Pengamatan diamati setiap dua minggu sekali. Pengamatan buah dengan
mengamati mutu fisik (panjang, diameter, tebal aril, bobot buah, kelunakan kulit
12
buah) dan mutu kimia (asam tertitrasi total, padatan total terlarut) dari tiga malai
buah yang berbeda. Pengamatan fruitset bunga dengan menghitung jumlah bunga
antesis (mekar) dalam satu malai pada sampel ranting produktif sampai buah
masak sebagai finalset. Perhitungan persentase fruitset dihitung dengan
menggunakan persamaan (Kumar et al. 2014)
Fruitset (%) = Jumlah buah x 100
Jumlah total bunga
3.4.5.1 Mutu Fisik Buah
Pengamatan deskriptif kualitas buah matoa secara kuantitatif yaitu:
a. Pengukuran panjang, diameter dan ketebalan menggunakan jangka sorong.
b. Menimbang bobot (gr) buah, kulit, biji dan aril dengan timbangan elektrik.
c. Pengujian kekerasan (kg/cm2) menggunakan penetrometer pada tiga titik yang
berbeda yaitu pangkal buah, tengah buah dan ujung buah.
3.4.5.2 Mutu Kimia Buah
Pengamatan kualitas kimia buah sesuai umur buah matoa yang
dilaksanakan di laboratorium, yaitu:
a. Asam titrasi total (ATT)
Pengamatan asam tertitrasi total (Chen et al. 2017) dengan bahan NaOH
0,01 N, indikator fenolftalein (pp) dan aquadest. Sampel seberat 1 gram pure buah
ditambahkan aqudest sebagai faktor pengencer sampai 50 ml dan saring dengan
kertas saring. Ambil 10 ml filtrat dan titrasi dengan NaOH 0,01N menggunakan
indikator fenolftalein (pp) sampai muncul warna merah jambu.
ATT (%) = ml NaOH x N NaOH x fp x Be x 100
Bobot sampel (gram)
Keterangan:
ATT = Asam tertitrasi total (%)
ml NaOH = Volume NaOH
N NaOH = Normalitas larutan NaOH
Be = Berat molekul asam sitrat sebagai standard (192/3 = 64)
fp = faktor pengenceran sampel yang dititrasi
b. Padatan terlarut total (PTT)
Padatan terlarut total daging buah/ aril matoa diukur menggunakan pocket
refraktometer PAL-1 Atago, nilai padatan terlarut total disajikan dalam ◦Brix.
Cairan juice dari matoa diperas dan diteteskan pada lensa baca refractometer
(Chen et al. 2017).
13
4.1 Iklim dan Lingkungan Tumbuh
4.1.1 Status Hara Tanah
Kebun matoa di Taman buah Mekarsari Blok D dengan luas area
penanaman sekitar 4352 m2. Populasi pohon matoa sebanyak 60 pohon matoa
kulit buah hijau, 7 pohon matoa kulit buah merah dan 1 pohon kulit buah matoa
kuning. Penelitian awal dilaksanakan dengan menganalisis status hara tanah pada
bulan juli saat pohon matoa kulit buah merah sedang berbunga sesuai data dari
Taman Buah Mekarsari. Menurut Bernier et al. (1993) selain faktor genetik,
proses inisiasi dan pembungaan juga dipengaruhi faktor lingkungan seperti
cahaya, suhu, kelembaban dan status hara tanah.
Tabel 3 Status hara tanah lingkungan tumbuh tanaman mato di Blok D Taman
Buah Mekarsari Cileungsi Bogor
Unsur pengamatan Nilaia Sifat tanahb
(PPT 1983)
Status kesuburan
(PPT 1983)
pH H20 4,51 4,5-5,5 masam
C organik (%) 1,36 1,00-2,00 rendah
N total (%) 0,16 0,10-0,20 rendah
P (ppm) 9,53 < 10 sangat rendah
Ca (cmol/kg) 2,26 2,0-5,0 rendah
Mg (cmol/kg) 0,13 < 0,3 sangat rendah
K (cmol/kg) 0,08 < 0,1 sangat rendah
Na (cmol/kg) 0,07 <0,1 sangat rendah
KTK (cmol/kg) 16,3 5-17 rendah
KB (%) 15,62 < 20 sangat rendah
a analisis hara di Laboratorium Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian, IPB b berdasarkan Pusat Penelitian Tanah 1983
Hasil analisis kimia tanah (Tabel 3) menunjukkan status hara tanah kebun
matoa yaitu sangat rendah dan rendah. Status hara yang sangat rendah dapat
menghambat perkembangan dan proses metabolisme tanaman karena fungsinya
untuk tanaman. Menurut Poerwanto (2003) ketersediaan hara dalam tanah sangat
menentukan pertumbuhan dan produktivitas tanah karena struktur jaringan
tanaman terbentuk dari unsur-unsur yang diserap dari tanah.
Nilai pH tanah 4,51 mengindikasikan tanah dalam kondisi masam.
Menurut Sumner dan Yamada (2002) tanah masam (pH <5,0) dapat bersifat racun
terhadap tanaman yang mengakibatkan kerusakan akar sehingga terjadi deffisiensi
hara. Penelitian Koppitke et al. (2016) menjelaskan bahwa tanaman yang tumbuh
ditanah masam dapat mengalami stress karena toksisitas aluminium (Al),
hidrogen (H) dan mangan (Mn) sama seperti kekurangan kalsium dan magnesium.
Anak daun IV HASIL DAN PEMBAHASAN
14
Menurut Hardjowigeno (2007) menjelaskan bahwa pH tanah rendah
menyebabkan unsur aluminium (Al) yang bersifat racun mengikat phospor (P)
sehingga phospor sebagai unsur hara makro tidak dapat diserap tanaman.
Kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB) pada blok kebun
matoa menunjukkan status rendah (16,3) dan sangat rendah (15,62). Kapasitas
tukar kation merupakan kapasitas lempung untuk menjerap dan menukar kation
yang dijadikan sebagai indikator kesuburan tanah yang dipengaruhi kandungan
liat, tipe liat dan bahan organik tanah. Menurut Herawati (2015) KTK tanah
menggambarkan kation tanah seperti Ca, Mg dan Na yang dapat ditukar dan
diserap perakaran tanaman. Menurut Bohnet (2009) kejenuhan basa (KB) tanah
merupakan jumlah anion pada kompleks koloid tanah yang biasanya berbanding
lurus dengan KTK tanah.
4.1.2 Status Hara Daun
Hasil analisis jaringan pada daun matoa (Tabel 4) menunjukkan C/N rasio
mencapai puncak pada fase anthesis dibulan September kemudian turun pada fase
buah matang sampai lewat matang. Nilai Phospor (P) dan Zincum (Zn) meningkat
pada fase pemasakan buah. Nilai Boron (B) meningkat pada fase buah masak dan
lewat masak kemudian menurun pada tahap revegetatif.
Tabel 4 Status hara makro dan hara mikro daun matoa dalam satu siklus berbuah
Pengambilan sampel daun pada bulan Juli 2019 untuk menjelaskan status
hara tanaman selama periode fase perkembangan bunga (Tabel 5). Pengambilan
sampel daun pada bulan Agustus untuk menunjukkan status hara pada fase
pertumbuhan anak malai. Sampel daun yang diambil pada bulan September 2019
untuk menunjukkan status hara tanaman pada saat bunga mekar. Sampel daun
matoa pada bulan November menunjukkan status hara tanaman matoa ketika buah
masak. Penentuan standard status hara tanaman matoa secara umum ditunjukkan
Bulanb Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari
Tahapc M BL Vegetatif
55,11 54,49 54,65 55,11 54,56 54,67 54,22 55,41
0,88 0,87 0,79 0,94 0,83 1,77 1,61 1,96
62,63 62,63 69,18 58,62 65,73 30,89 33,68 28,27
0,18 0,18 0,16 0,15 0,12 0,39 0,35 0,57
0,69 0,67 0,65 0,74 0,62 0,54 0,62 0,75
0,89 1,17 1,27 1,02 1,23 1,68 2,01 1,46
0,19 0,22 0,21 0,17 0,2 0,26 0,27 0,27
0,2 0,13 0,15 0,15 0,14 0,59 0,67 0,47
35,02 31,00 28,47 29,19 26,46 30,65 34,54 34,46
16,55 18,32 20,08 11,25 13,90 118,83 127,67 97,59aanalisis di Laboratorium Tanah dan Sumberdaya lahan, Fakultas Pertanian, IPB
b sampel daun pada tanggal 20 Juli 2019 dan diulangi setiap 30 hari
c IM: inisiasi malai, AM: anak malai, KB: kuncup besar, AN: antesis, BK: buah kecil, BM: buah muda, M: buah masak, BL: buah lewat masak
B (ppm)
IM AM KB AN BK BM
K (%)
Ca (%)
Mg (%)
S (%)
Zn (ppm)
Pengamatana
C (%)
N (%)
C/N Rasio
P (%)
15
dalam Salisbury dan Ross (1992) yang menjelaskan kebutuhan unsur hara dalam
jaringan tumbuhan tingkat tinggi agar dapat tumbuh dengan baik.
Tabel 5 Status kecukupan hara pada jaringan daun matoa mulai fase inisisasi
bunga sampai buah masak secara umum menurut (Brown et al. 1987)b
Hara Juli
(IM)a
September
(AN)
November
(M)
Standard hara daun
(Brown et al. 1987)b
C-Organik (%)
Nitrogen (%)
C/N
Phospor (%)
Kalium (%)
Calsium (%)
Magnesium (%)
Sulfur (%)
Zincum (ppm)
Boron (ppm)
55,11
0,88
62,63
0,18
0,69
0,89
0,19
0,20
35,02
16,55
54,65
0,79
69,18
0,16
0,65
1,27
0,21
0,15
28,47
20,08
54,56
0,83
65,73
0,12
0,62
1,23
0,20
0,14
26,46
13,90
45
1,5
30
0,2
1,0
0,5
0,2
0,1
20
20
a IM: Inisiasi malai, AN: Anthesis, M: Buah masak b dalam Salisbury dan Ross (1992)
Hasil analisis jaringan daun menunjukkan kandungan Nitrogen, Phospor,
Kalium dan Boron relatif lebih rendah dari kebutuhan hara yang diperlukan
tanaman. Kandungan C-Organik, C/N, Calsium, Magnesium, Sulfur dan Zincum
relatif lebih tinggi dari standard kebutuhan hara yang diperlukan tanaman.
Serapan hara Kalsium (Ca) dan Boron (B) pada tahap inisiasi malai bunga (IM)
sampai bunga mekar (AN) cenderung meningkat. Serapan unsur hara C organik,
Nitrogen (N), Zincum (Zn), Kalium (K) dan Phospor (P) turun mulai fase tunas
malai bunga sampai bunga mekar. Serapan unsur hara Magnesium (Mg) masih
cukup stabil dalam setiap perkembangan bunga dan buah. Serapan unsur hara
Sulfur (S) turun dari inisiasi bunga sampai buah masak (M).
Penelitian lanjutan yang berbasis kualitas dan produksi tanaman
dibutuhkan untuk mendapatkan nilai status kecukupan hara dan batas kritis hara
yang lebih akurat. Menurut Schroth et al. (2002) analisis jaringan daun dapat
dimanfaatkan untuk mengetahui status hara tanaman dengan dibandingkan pada
produksi buah yang dihasilkan.
4.1.3 Iklim Mikro Lingkungan Tumbuh
Data iklim mikro lingkungan tumbuh diamati dari bulan Juni 2019 ketika
tanaman matoa akan memasuki musim berbunga pada bulan Juli. Hal ini sesuai
dengan data dari Taman Buah Mekarsari dan penelitian Wambrauw (2011).
Data iklim harian lingkungan tumbuh matoa (Gambar 2) menunjukkan
hari hujan mengalami penurunan dari bulan Juni ke bulan Juli. Tunas generatif
matoa mulai terlihat ketika tidak ada hujan turun mulai pertengahan Juli sampai
Agustus . Kelembaban udara relatif stabil pada kisaran 75-90%. Lama penyinaran
16
matahari mengalami penurunan mulai bulan September sampai bulan Januari yang
dapat disebabkan karena peningkatan curah hujan.
Gambar 2 Iklim harian di Taman buah Mekarsari (a) curah hujan, (b) suhu harian,
(c) kelembaban udara, dan (d) lama penyinaran sinar matahari
(Sumber: BMKG (a, b dan c); Encomotion (d))
Intensitas curah hujan rata-rata dapat diakumulasikan perbulannya,
sehingga dapat diketahui status intensitasnya. Klasifikasi curah hujan menurut
Oldemann dapat terbagi kepada bulan basah (> 200 mm), bulan lembab (100-200
mm) dan bulan kering (<100 mm). BMKG membuat empat kategori intensitas
hujan harian yaitu: 1. Ringan (5-20 mm/hari), 2. Sedang (20-50 mm/hari), 3.
Lebat (50-100 mm/hari) dan 4. Ekstrim (>100 mm/hari). Awal bulan juli hujan
turun dengan intensitas tertinggi 35,4 mm pada tanggal 9 Juli, setelah tanggal 11
Juli curah hujan 0 mm/hari. Hujan turun pada tanggal 16 Agustus sampai akhir
bulan September. Kondisi tanpa hujan mulai tanggal 11 Juli sampai dengan 15
Agustus menunjukkan suhu maksimum 33,70C, suhu minimum 180C dengan suhu
rata-rata 25,79 0C.
Suhu selama hari tanpa hujan tidak berbeda jauh dengan suhu sebelumnya
bahkan cenderung lebih rendah pada suhu maksimum dan suhu minimum.
Kelembaban udara rata-rata sebesar 73,97%, nilai ini lebih rendah dari
kelembaban udara pada bulan Juni. Suhu udara maksimum dan lama penyinaran
matahari menunjukkan kecendrungan turun sampai bulan Januari 2020, hal ini
berbanding terbalik dengan kelembaban udara dan curah hujan yang menunjukkan
peningkatan sampai bulan Januari 2020. Menurut Reed et al. (1994) bahwa setiap
0
10
20
30
40
7/1/19 8/1/19 9/1/19 10/1/19 11/1/19 12/1/19 1/1/20 2/1/20
suhu ud
ara (
0C
)
waktu pengamatan (bulan/tanggal/tahun)
suhu minimum suhu maksimum suhu rata-rata
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
120
130
140
150
6/1/19 7/1/19 8/1/19 9/1/19 10/1/19 11/1/19 12/1/19 1/1/20 2/1/20
curah
huja
n (
mm
/hari)
waktu pengamatan (bulan/tanggal/tahun)
IM AM
KB
AN
BK
BM
M
BL
IM AM KB
AN
BK
BM
M BL
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
7/1/19 8/1/19 9/1/19 10/1/19 11/1/19 12/1/19 1/1/20 2/1/20
kele
mbaban (
%)
waktu pengamatan (bulan/tanggal/tahun)
IM AM
KB
AN
BK
BM
M
BL
0
5
10
15
20
7/1/19 8/1/19 9/1/19 10/1/19 11/1/19 12/1/19 1/1/20 2/1/20
lam
a penyin
aran
SM
(ja
m)
waktu pengamatan (bulan/tanggal/tahun)
IM AM
KB
AN
BK
BM
M
BL
a b
c d
17
tanaman bisa menunjukkan respon yang berbeda terhadap perubahan suhu,
kelembaban, intensitas sinar matahari dan curah hujan. Hasil penelitian Rai et al.
(2010) menyimpulkan bahwa kekurangan air internal dalam tubuh tanaman karena
rendahnya curah hujan dapat berpengaruh terhadap kuantitas fruitset buah.
4.1.4 Satuan Panas (heat unit)
Perhitungan heat unit dimulai ketika inisiasi malai pada tanggal 15 Juli
2019 sampai buah matang pada bulan Desember 2019 (Tabel 6).
Tabel 6 Akumulasi satuan panas terhadap perkembangan bunga dan buah matoa
Pengamatan Tahapa Durasi
(hari) HSIb
Akumulasi
Satuan panas (0C)c
Perkembangan
bunga IM 0 0 16,2 0C hari
IM - AM 30 30 518,4 0C hari
AM - KB 20 50 894,25 0C hari
KB - AN 6 56 1014,15 0C hari
Perkembangan buah AN - BK 14 70 1297,65 0C hari
BK - BM 28 98 1816,1 0C hari
BM - M 42 140 2585,9 0C hari a IM: inisiasi malai, AM: anak malai, KB: kuncup besar, AN: antesis, BK: buah kecil, BM: buah
masak, BL: buah lewat masak b hari setelah inisiasi c sumber: suhu harian BMKG
Perhitungan satuan panas suhu lingkungan perkembangan bunga dan buah
matoa menyerap energi dari panas matahari merupakan pendekatan dalam
memprediksi waktu panen buah matoa setiap musim berbuah. Pendekatan dengan
satuan panas atau heat unit perkembangan buah matao masih perlu diuji dengan
iklim yang berbeda. Koesmaryono et al. (2002) menjelaskan bahwa suhu bisa
mempengaruhi tersedianya energi untuk pertumbuhan dan perkembangan buah
sehingga perhitungan heat unit yang tidak dipengaruhi perbedaan lokasi dan
waktu tanam menjadi pendekatan dalam pengamatan fenologi.
4.2 Perkembangan Bunga
4.2.1 Periode
Pengamatan sampel malai bunga pada tanggal 15 Juli 2019 dengan
panjang tunas sampel yang seragam kurang dari 1 cm menunjukkan periode
perkembangan pada setiap tahap (Tabel 7). Menurut Yulia (2007) pengamatan
fenologi tanaman dengan mengikuti perubahan morfologi dan mencatat informasi
periodik dan iklim lingkungannya.
18
Tabel 7 Periode perkembangan bunga matoa
Tahap Perkembangan Bunga Simbol Durasi (hari) HSIa
Inisiasi malai IM 0 0
Trubus anak malai IM-AM 30 30
Kuncup besar AM-KB 20 50
Anthesis KB-AN 6 56 a hari setelah inisiasi
Pengamatan morfologi perkembangan bunga diamati terhadap trubus
generatif bunga matoa dengan panjang <1 cm (Gambar 3). Perkembangan bakal
malai bunga mulai terlihat menonjol secara visual pada ujung cabang ranting
pohon (IM). Batang malai bunga muda yang berwarna merah keunguan, tumbuh
memanjang setelah satu minggu dengan menunjukkan bakal bunga dan bakal anak
malai sepanjang batang malai. Anak malai tumbuh secara horizontal sekitar 30
hari setelah trubus disekeliling batang malai bunga yang terus tumbuh vertikal
(AM). Anak malai bunga matoa ditandai dengan kuncup bunga disekeliling
cabang anak malai dan apikal induk malai. Kuncup bunga membesar dan
memperlihatkan seludang bunga yang membungkus mahkota (KB). Seludang
bunga kemudian terbuka, menampilkan bunga betina serta beberapa bunga jantan
dalam satu kluster yang menunjukkan bahwa bunga sudah mekar/ anthesis (AN).
Bunga matoa yang mekar akan mengeluarkan aroma khas buah durian
Gambar 3 Tahap perkembangan bunga; inisiasi malai (IM), anak malai (AM),
kuncup besar (KB), anthesis (AN).
Perkembangan bunga pada tahap pertumbuhan tunas anak malai (AM)
berlangsung selama 30 hari setelah inisiasi malai, yaitu berkisar antara 24 sampai
42 hari setelah inisiasi pada pohon yang berbeda. Kuncup bunga besar (KB) yang
ditandai dengan membesarnya seludang bunga berlangsung selama 49,5 atau 50
hari setelah inisiasi. Bunga mekar (AN) berlangsung selama 56 hari setelah
inisiasi malai yaitu enam hari setelah kuncup bunga besar (KB) dengan kisaran 48
sampai 60 hari setelah inisiasi.
4.2.2 Perkembangan Malai Bunga
Perkembangan bunga yang berbeda periode pada setiap tahap
perkembangan bunga dikelompokkan dimulai dari tahap inisiasi malai.
Pertumbuhan dan perkembangan malai sampai bunga anthesis merupakan nilai
rata-rata dari pohon sampel dan malai bunga yang berbeda dengan waktu inisiasi
19
malai yang sama. Jumlah bunga dalam klaster malai tergantung kepada
pertumbuhan malai bunga, semakin baik pertumbuhan malai maka akan semakin
banyak pula bunga pada malai (Gambar 4). Perkembangan malai bunga
dipengaruhi oleh kondisi tumbuh dan lingkungan tanaman matoa.
Gambar 4 Perkembangan bunga (a) panjang dan lebar malai (b) anak malai dan
rasio; PM: panjang malai, LM: lebar malai, AM: anak malai.
Perkembangan panjang dan lebar malai bunga (Gambar 4a) menunjukkan
petumbuhan malai yang dimulai setelah inisiasi dilanjutkan dengan pertumbuhan
anak malai 24 HSI atau sekitar satu bulan. Pertumbuhan malai dan anak malai
berjalan searah sampai umur 60 HSI atau sekitar 2 bulan. Rasio pertumbuhan
panjang malai dan anak malai (Gambar 4b) menunjukkan rasio berbalik nilai,
yaitu pertumbuhan panjang malai mengalami penurunan pada akhir pertumbuhan
sementara pertumbuhan anak malai mengalami peningkatan pertambahan panjang
yang lebih cepat. Jumlah anak malai (Gambar 4b) menunjukkan pertambahan
anak malai meningkat sampai umur 48 HSI dari 4 cabang anak malai menjadi
sekitar 8 anak malai dalam interval waktu 24 hari. Pertambahan anak malai terus
bertambah sesuai dengan pertumbuhan panjang dan lebar malai sampai umur
bunga sampai 2 bulan ketika bunga anthesis (AN).
Fase inisiasi panjang tunas seluruh sampel kurang dari 1 cm. Pertumbuhan
panjang malai sekitar 4 cm dengan lebar kurang dari 1 cm dan 3 anak malai pada
fase pertumbuhan anak malai. Pertambahan panjang malai sekiatar 17 cm dengan
lebar lebih dari 10 cm dan 9 anak malai pada saat bunga mekar. Pertumbuhan
malai utama dan anak malai tumbuh fase anthesis menunjukkan tipe bunga matoa
sebagai inflorescence monopodial (tunas bunga terus tumbuh dan membentuk
bunga lateral sampai antesis seperti yang dijelaskan oleh Desmond et al. (1997).
Menurut Dambreville et al. (2013) menjelaskan bahwa perkembangan
pembungaan tergantung dari faktor lingkungan tumbuh dan faktor internal
tanaman.
20
4.3 Perkembangan Buah
4.3.1 Periode
Pengamatan deskriptif perkembangan buah matoa pada tanggal 18
September dengan dua sampel malai bunga dan malai bunga yang mekar pada
tanggal 2 Oktober dengan satu malai.
Tabel 8 Periode perkembangan buah matoa
Perkembangan Buah Simbol Durasi (hari) HSIa MSAb
Anthesis AN 0 0 0
Buah kecil AN - BK 14 14 2
Buah muda BK – BM 28 42 6
Buah masak BM - M 42 84 12
Buah lewat masak M - BL 14 98 14 a hari setelah inisiasi b minggu setelah anthesis
Pengamatan terhadap perkembangan buah pada tiga malai bunga tersebut
merupakan pengamatan yang tetap, dimulai ketika bunga mekar atau anthesis
sampai buah mencapai umur lewat matang. Tanggal anthesis yang berbeda antara
sampel bunga atau bakal buah tidak mempengaruhi periode tahap perkembangan
buah matoa (Tabel 8).
Pengamatan perkembangan buah setelah bunga anthesis (AN) sampai kulit
buah berubah menjadi berwarna merah diseluruh permukaan luar kulit buah
terjadi selama 84 hari setelah insiasi atau 12 MSA (minggu setelah anthesis) yaitu
sekitar 3 bulan. Perubahan dari bunga menjadi buah bisa terlihat dengan lengkap
setelah buah berumur 14 hari setelah inisiasi atau sekitar 2 minggu setelah bunga
anthesis.
Durasi (interval waktu) perubahan morfologi bunga dari setiap tahap
berbeda-beda. Perubahan dari bunga anthesis sampai buah kecil (BK) berlangsung
selama 14 hari atau sekitar 2 minggu. Perubahan buah buah kecil sampai buah
muda (BM) berlangsung selama 28 hari atau sekitar satu bulan. Perubahan buah
masak (M) berlangsung selama 42 hari setelah buah muda yaitu lebih dari satu
bulan. Perubahan kulit buah yang berwarna merah segar sampai kulit buah
menjadi lebih keras kusam terjadi sekitar 14 hari atau 2 minggu.
Perubahan perkembangan bunga matoa mekar menjadi bakal buah dan
terlihat secara visual bentuk deskriptif buah matoa terjadi pada tahap buah kecil
(Gambar 5). Buah kecil (BK) matoa berwarna hijau muda yang diiris
menunjukkan bakal biji kecil berwarna lebih terang didalam buah matoa. Buah
kecil akan megalami peningkatan massa buah yang cepat sampai kepada tahap
buah muda. Buah muda (BM) matoa yang sudah lebih besar dengan warna kulit
berwarna hijau terang. Buah muda yang diiris menunjukkan daging kulit buah
matoa yang tebal dengan biji matoa berwarna hijau terang yang diselimuti oleh
selaput tipis transparan. Buah muda matoa menunjukkan biji matoa yang memiliki
bentuk seperti biji buah durian.
21
Gambar 5 Tahap perkembangan buah matoa; anthesis (AN), buah kecil (BK),
buah muda (BM), buah masak (M), buah lewat masak (BL).
Kulit hijau buah matoa secara perlahan menjadi merah dan kemerahan
diseluruh permukaan kulit buah yang menjadi penciri bahwa daging buah matoa
sudah masak. Hal ini sesuai dengan kebiasaan konsumtif dari penikmat buah
matoa. Irisan pada buah matoa masak (M) menunjukkan daging buah transparan
kekuningan yang semakin tebal dengan kulit buah yang semakin tipis. Biji buah
matoa sudah berubah berwarna coklat menyerupai biji buah durian yang sudah
masak. Buah matoa masak memiliki aroma khas durian.
Kulit buah matoa secara perlahan berubah menjadi berwarna gelap, keras
dan kusam. Daging buah tidak terlihat tebal dan kenyal tetapi sudah lebih lembek
dan lebih banyak air. Aroma buah sudah tidak terasa segar dan kulit biji berwarna
coklat tua. Tahap perkembangan ini menunjukkan bahwa buah matoa sudah lewat
matang atau overipe.
4.3.2 Fruitset
Kluster bunga matoa termasuk bunga inflorescence sehingga malai bunga
memiliki cabang anak malai. Setiap cabang anak malai memiliki sub anak malai.
AN
BM
BK
M
BL
22
Ujung malai bunga serta ujung anak malai dan sub anak malai ditumbuhi oleh
banyak bunga dengan ukuran kecil. Perkembangan bunga dari anthesis sampai
menjadi buah dan dipanen akan mengalami perubahan dan penurunan. Buah yang
dapat dipanen dari satu kluster malai bunga sekitar 13 buah dari sekitar 500
kuntum bunga matoa yang mekar (Tabel 9).
Tabel 9 Perkembangan fruitset bunga matoa
Pengamatan Lama (HSI)a Jumlah SD
Bunga anthesis (A) 56 517.67 97,01
Buah panen (B) 140 13 3,61
Rasio A/B 2,51% a HSI: hari setelah inisiasi
Pertumbuhan bunga pada setiap malai membuat matoa memiliki banyak
bunga pada setiap malainya, sampai bunga mekar malai matoa memiliki sekitar
+/- 500 bunga. Rasio bunga matoa yang menjadi buah dalam satu rangkaian malai
bunga pada umur 12 minggu setelah anthesis atau sekitar 140 hari setelah inisiasi
(HSI) yaitu sebesar 2,51%. Nilai rasio ini masih perlu dilakukan penelitian lagi
dengan kondisi tanaman dan lingkungan iklim yang berbeda. Penelitian yang
berkelanjutan akan memperoleh data yang lebih komprehensif dan signifikan.
Menurut Ogaya dan Paneulas (2007) nilai fruitset dapat dipengaruhi oleh
faktor lingkungan seperti suhu udara, kelembaban udara, curah hujan serta
intensitas cahaya. Pendapat ini ditambahkan lagi oleh (Rai et al. 2006) yang
menjelaskan faktor internal tumbuhan seperti genetik, fitohormon, air internal,
status karbohidrat dan nutrisi hara juga mempengaruhi nilai fruitset.
4.3.3 Mutu Fisik
Pengamatan mutu fisik dan kimia secara destruktif (Gambar 6) dengan
memetik buah untuk diamati di laboratorium. Pengamatan buah pada umur 2
minggu setelah anthesis (MSA) ketika bentuk deskriptif buah matoa sudah
terbentuk. Pengamatan daging buah (arilloide) dapat diamati saat umur buah 6
MSA saat selaput buah tipis transparan membungkus biji. Pengamatan biji
diamati saat umur buah 4 MSA karena biji matoa kecil sudah terpisah dari dinding
buah. Kelunakan kulit buah diamati ketika umur buah mencapai umur 4 MSA
karena pada umur ini kulit buah sudah cukup keras untuk menahan beban alat
penetrometer. Perubahan kulit buah matoa yang berwarna merah yang menjadi
ciri kematangan buah secara konsumtif.
Pengamatan panjang buah dan diameter buah (Gambar 6a) meunjukkan
pertambahan fisik buah yang meingkat mulai umur buah 2 MSA sampai 8 MSA.
Memasuki tahap pemasakan buah sampai umur 12 MSA pertambahan morfologi
fisik buah berlangsung konstan. Setelah melewati tahap masak buah secara
perlahan terjadi penurunan tampilan fisik buah yang telihat kusam dan mengkerut.
Pengamatan aril atau daging buah (Gambar 6b) menunjukkan peningkata diameter
aril. Peningkatan diameter ini karena daging buah semakin bertambah tebal mulai
23
umur 6 MSA sampai umur buah 12 MSA, yaitu ketika buah mencapai tahap
pemasakan buah.
Gambar 6 Perkembangan buah (a) buah, (b) aril, (c) bobot, (d) kelunakanan kulit
buah, (e) rasio DB/DA, (f) rasio bobot; PB: panjang buah, DB:
diameter buah, TA: tebal aril, DA: diameter aril, BB: bobot buah,
BA: bobot aril, BBj: bobot biji.
Pertambahan ketebalan daging buah menurun setelah umur buah
memasuki tahap lewat masak setelah 12 MSA. Penurunan ketebalan daging buah
disebabkan karena daging buah yang tidak lagi kenyal, tetapi sudah mulai lembek
0
1
2
3
4
5
6
0
1
2
3
4
1 2 4 6 8 10 12 14 16
dia
me
ter
bu
ah
(c
m)
pa
nja
ng
bu
ah
(cm
)
minggu setelah anthesis (MSA))
a
PB DB
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
0
0.4
0.8
1.2
1.6
2
2.4
2.8
1 2 4 6 8 10 12 14 16
dia
me
ter
ari
l(cm
)
teb
al
ari
l (c
m)
minggu setelah anthesis (MSA))
b
TA DA
BM
BK AN
M
BL
BL
M
BM
BK AN
0
3
6
9
12
15
18
21
1 2 4 6 8 10 12 14 16
bo
bo
t (
gr)
minggu setelah anthesis (MSA)
c
BB BA BBj
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
1 2 4 6 8 10 12 14 16
kelu
na
ka
n*
10
-3 (
mm
/g/s
)
minggu setelah anthesis (MSA)
d
kelunakan kulit buah
AN BK
BM
AN BK
BM
M
M
BL BL
0
0.4
0.8
1.2
1.6
2
2.4
2.8
1 2 4 6 8 10 12 14 16
dia
me
ter
(cm
)
minggu setelah anthesis (MSA)
e
rasio DB/DA
0
3
6
9
12
15
18
1 2 4 6 8 10 12 14 16
bo
bo
t (
gr)
minggu setelah anthesis (MSA)
f
rasio BB/BA rasio BB/BBj rasio BBj/BA
24
dan berair. Bobot buah matoa meningkat selama 10 minggu mulai dari buah kecil
(BK) pada umur 2 MSA sampai buah masak (M) pada umur buah 12 MSA.
Penurunan bobot buah terjadi setelah umur buah 12 MSA yaitu ketika penampilan
buah juga mengalami penurunan. Pengamatan bobot pada buah, aril dan biji
(Gambar 6c) menunjukkan peningkatan bobot sampai umur buah 12 MSA. Bobot
mengalami penurunan setelah 12 MSA. Nilai bobot yang turun pada buah sejalan
dengan peurunan bobot aril. Penuruna bobot buah dan aril tidak diikuti oleh bobot
biji karena bobot biji meningkat setelah 14 MSA. Bobot buah mengalami
penurunan pada umur 12 MSA dari sekitar 19 gram menjadi 11 gram pada umur
14 MSA. Perubahan morfologi buah diikuti oleh perubahan kualitatif dan
kuantitatif.
Tingkat kelunakan daging buah (Gambar 6d) mengalami penurunan
sampai buah matang dan lewat matang. Penurunan kelunakan kulit buah ini
menunjukkan bahwa semakin bertambah umur buah, maka kulit buah matoa akan
semakin bertambah keras. Buah matoa yang lewat matang mengalami perubahan
fisik kulit buah yang kusam dan mengeras. Menurut Khandaker dan Boyce (2016)
menjelaskan bahwa secara umum indikator kematangan dapat ditentukan dengan
melihat perubahan bentuk buah, warna kulit buah, kekerasan kulit buah dan bobot
buah.
Rasio diameter pertumbuhan buah terhadap diameter pertumbuhan aril
buah (Gambar 6e) menunjukkan garis grafik turun sampai umur buah 12 MSA,
kemudian naik setelah buah lewat masak. Garis grafik turun menunjukkan nilai
rasio berbalik nilai yaitu diameter aril buah yang mengalami peningkatan lebih
besar dibandingkan penambahan diameter buah yang mulai konstan. Garis grafik
mulai naik setelah umur buah 12 MSA. Grafik naik menunjukkan rasio senilai
yaitu diameter buah (Gambar 6a) dan diameter aril (Gambar 6b) mengalami
perubahan fisik yang sama.
Perbandingan pertambahan dan perkembangan bobot antara buah, aril dan
biji ditampilkan pada rasio perkembangan bobot (Gambar 6f) yang menunjukkan
rasio antara bobot buah terhadap bobot aril (BB/BA), bobot buah terhadap bobot
biji (BB/BBj) dan bobot biji terhadap bobot aril (BBj/BA). Rasio bobot buah
terhadap bobot aril (BB/BA) menunjukkan grafik rasio berbalik nilai sampai umur
buah 12 MSA, hal ini sama seperti grafik diameter buah terhadap diameter aril
(Gambar 6e). Peningkatan bobot aril yang naik lebih cepat dibandingkan bobot
buah yang mulai kostan sampai umur buah 12 MSA. Setelah umur buah 12 MSA
garis grafik menunjukkan garis rasio senilai yang artinya pertambahan bobot buah
(BB) diikuti bobot aril (BA).
Rasio bobot buah terhadap bobot biji (BB/BBj) menunjukkan rasio senilai
sampai umur buah 8 MSA, yang artinya penambahan bobot buah diikuti oleh
penambahan bobot biji. Grafik rasio berbalik nilai terjadi setelah umur buah 8
MSA, artinya bobot biji tetap mengalami peningkatan dibandingkan bobot buah.
Peningkatan bobot biji terus terjadi sampai umur buah lewat matang (16 MSA).
Rasio bobot biji terhadap bobot aril (BBj/BA) meunjukkan rasio berbalik nilai
sampai umur 12 MSA, hal ini menunjukkan bobot aril mengalami peningkatan
sampai umur buah 12 MSA. Grafik rasio senilai terjadi setelah 12 MSA yang
artinya bobot biji tetap mengalami peningkatan dibandingkan bobot aril buah
yang mengalami penurunan setelah 12 MSA.
25
4.3.4 Mutu Kimia
Pengamatan dilaksanakan secara destruktif dengan memetik buah dan
dilaksanakan berkelanjutan dari malai bunga dan waktu anthesis yang sama.
Pengamatan asam tertitrasi total dan padatan terlarut total dengan menggunakan
daging buah (arilloide) sebagai sampel segar matoa dapat dilihat pada grafik
(Gambar 7).
Gambar 7 Mutu kimia buah (a) kandungan ATT, (b) kandungan PTT, ATT: asam
tertitrasi total, PTT: padatan terlarut total.
Nilai asam tertitrasi total (ATT) meningkat pada umur buah 8 MSA
kemudian turun pada umur 16 MSA, yaitu pada tahap buah muda (BM) sampai
buah lewat matang (BL). Nilai padatan terlarut total (PTT) daging buah matoa
mengalami peningkatan sampai umur buah 12 MSA, kemudian mengalami
penurunan setelahnya. Peningkatan PTT diikuti oleh perubahan kulit buah
menjadi merah sebagai penciri buah matoa masak (M). Rasio PTT terhadap ATT
menunjukkan kecendrungan PTT yang lebih dominan daripada kandungan asam
pada daging buah matoa. Menurut Ribeiro dan deFreitas (2019) dengan mengikuti
pola nilai asam askorbat pada kultivar acerola menyimpulkan bahwa asam
tertitrasi total cenderung turun selama proses pematangan buah.
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
2 4 6 8 10 12 14 16
AT
T (
%)
minggu setelah anthesis
a
ATT
M
14
16
18
20
22
24
26
2 4 6 8 10 12 14 16P
TT
(0
Bri
x)
minggu setelah anthesis
b
PTT
BM BK BL BK BM
M
BL
26
5.1 Simpulan
Perkembangan bunga sampai anthesis terjadi sekitar 56 hari setelah inisiasi
dengan panjang malai sekitar 17 cm dengan lebar 19 cm dan anak malai dapat
mencapai 16 cabang. Tipikal perkembangan kompleks bunga matoa termasuk
inflorescence monopodial. Fruitset bunga matoa pada umur 12 minggu setelah
anthesis sebesar 2,51%. Inisiasi dimulai pada bulan Juli 2019 ketika intensitas
curah hujan lebih rendah dibandingakan curah hujan sebelumnya. Akumulasi heat
unit dari suhu harian mulai inisiasi sampai buah matang selama 140 hari sebesar
2620,05oC.
5.2 Saran
Penelitian yang berkelanjutan dengan iklim, elevasi tumbuh serta jenis
tanaman matoa dengan warna kulit buah yang berbeda dibutuhakan untuk
mendapatkan data fenologi dan fisiologi perkembangan bunga dan buah matoa
yang lebih spesifik.
V SIMPULAN DAN SARAN
27
DAFTAR PUSTAKA
Alva AK, Paramasivamb S, Obreza TA, Schumann AW. 2006. Nitrogen best
management practice for citruss trees, I. fruit yield, quality and leaf
nutritional status. Science Horticulture. 107: 233-244.
Ardie SW, Rahayu S, Susila AD, Sopandie D. 2014. Fase perkembangan bunga
dan kandungan gula endogen pada pembungaan Hoya diversifolia Blume.
Jurnal Agrotek Tropical. 3(1): 1-5.
Aref F. 2012. Manganese, iron and copper contents in leaves of maize plant (Zea
mays L.) grown with different boron and zinc micronutrients. African
Journal of Biotechnology. 11 (4): 896-903.
Balta MF, Muragdoglu F, Askin MA, Kaya T. 2007. Fruitset and fruit drop in
turkish africot (Prunus armeniaca L.) varieties grown under ecological
condition of van. Turkey Asian Journal of Plant Science. 6 (2): 298-303.
Batten DJ, Lahav E. 1994. Base temperatures for growth processes of lychee, a
recurrently flushing tree, are similar but optima differ. Australian Journal
Plant Physiology. 21: 589-602. http://doi.org/10.1071/PP9940589
Bernier G, Havelange A, Houssa C, Petitjean A, Lejeune P. 1993. Physiologycal
signals that induce flowering. Plant Cell. 5: 1147-1155.
[BMKG] Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika. 2019. Buletin Informasi
Iklim Provinsi Jawa Barat. Stasiun Klimatologi Bogor. Tahun XIX: 9.
Bohnet B. 2009. Efficient parsing of syntactic and sematic dependency structures.
Proceeding of CoNLL-09.
[BPTP] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua. 2014. Buku Seri Tanaman
Khas Papua: Matoa. Jayapura (ID). Papua.
Chauhan H, Sharma G, Jindall KK. 2006. Studies on flowering, pollination and
fruitset in some apple cultivars. Indian Journal Agriculture Science. 75(10):
667-669.
Chen S, Hsu M, Fang H, Tsai S, Liang Y. 2017. Effect of harvest season, maturity
and storage temperature on storability of carambola ‘honglong’. Fruit
Science Horticulture. Amsterdam. 220: 42-51.
Dafni A. 1993. Pollination Biology: Practical Approach. Oxford. University
press.
Damayanti NLD. 2002. Daya antibakteri ekstrak etanol kulit batang matoa
(Pometia pinnata JR. G. Forst.) terhadap staphylococcus aureus dan
Eschericia coli. [skripsi]. Yogyakarta (ID): Universitas Sanata Dharma.
Dambreville AP, Lauri C, Trottier Y, Guedon F, Normand. 2013. Dechipering
structural and temporal interplays during the architectural development of
mango trees. Journal of Experiment Botany. 64 (8): 2467-2480.
Desmond B, Oliver R, Coral V, Rosemary C, Enrico C. 1997. Inflorescence
commitment and architecture in Arabidopsis. Science. 275: 80-83.
doi:10.1126/science.275.5296.80.
Effira N, Anwar A, Yusniwati. 2018. Seed physiological changes matoa (Pometia
pinnata) during storage. International Journal of Environment, Agriculture
and Biotechnology (IJEAB). 3(6). doi:10.22161/ijeab/3.6.31.
28
Faustina F, Santoso F. 2014. Extraction of fruit peels of Pometia pinnata and its
antioxidant and antimicrobial activities. Journal Penelitian Pascapanen
Pertanian. 11 (2): 80-88.
Fauzi AA, Sutari W, Nursuhud, Mubarok S. 2017. Faktor yang mempengaruhi
pembungaan pada mangga (Mangifera indica L.). Jurnal Kultivasi. 16 (3).
Fitri A. 2015. Identification of phytochemical and antioxidant activity in peel and
seed of tropical fruits from Indonesia. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Furray A. 2019. Kajian parameter mutu buah matoa jenis kuning (Pometia
pinnata) menggunakan pengolahan citra digital. [tesis]. Bogor(ID): Institut
Pertanian Bogor.
Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1991. Physiology of Crop. Herawati S:
Penerjemah. Fisiologi Tanaman Budidaya. Jakarta (ID). UI Press.
Gogi MD, Arif JM, Asif M, Abdin Z, Bashir MH, Ashad M, Khan MA, Abbas Q,
Shahid MR, Anwar A. 2012. Impact of nutrient management schedules on
investation of Bemisia tabaci in yield of non-BT cotton (Gossypium hirsu-
tum) under unsprayed condition. Fakultas Entomology. 34(1): 87-92.
Haeruddin A, Farida. 2017. Limbah serutan kayu matoa (Pometia pinnata)
sebagai zat warna alam pada kain batik katun. Jurnal Kemenperin. 34(1):
43-45.
Hamid AA, Aiyelaagbe OO, Usman LA. 2010. Antioxidant: its medical and
pharmalogical applications. African Journal of Pure and Applied Chemistry.
4(8): 142-151.
Hanson DE, Nichols JD, Steele OC. 2005. Methods of propagation for some
important Samoan timber tree species. Journal of Tropical Forest Science.
17(2): 315-318,
Hanum SF dan Lestari D. 2017. Fenologi pembungaan Areca vestiaria giseke di
Kebun Raya Eka Karya Bali. Buletin Kebun Raya. Vol. 20: 2.
Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Pusaka Utama.
Herawati MS. 2015. Kajian status kesuburan tanah di lahan kakao Kampung
Klain Distrik Mayamuk Kabupaten Sorong. Jurnal Agroforestry. 10: 201-
208.
Jamsari, Yaswendri, Kasim M. 2007. Fenologi perkembangan bunga dan buah
spesies Uncaria gambir. Biodiversitas. 8 (2): 141-146.
Kartasapoetra AG. 1994. Teknologi Penanganan Pascapanen. Rineka Cipta.
Jakarta.
Kawamura F, Shaharuddin NA, Sulaiman O, Hashim R, Ohara S. 2010.
Evaluation on antioxidant activity, antifungal activity and total phenol of
eleven selected commercial Malaysian timber species. JARQ. 44 (3): 319-
324.
Khandaker MM, Boyce AN. 2016. Growth, distribution and physiochemical
properties of wax apple (Syzigium samarangense). Australian Journal of
Crop Science. 10(12): 1640-1648. doi: 10.21475/ajcs.2016.10.12.PNE306.
Kikuzaki H, Hisamoto M, Hirose K, Akiyama K, Taniguchi H. 2002. Antioxidant
properties of ferulic acid and its related compound. Journal Agriculture
Food Chemistry. 50: 2161-2168.
29
Koesmaryono Y, Sangaji S, June T. 2002. Akumulasi panas tanaman soba
(Fagopyrum esculentum) cv. Kitaware pada dua ketinggian di iklim tropika
basah. Jurnal Agromet Indonesia. 15(1): 8-13.
Koppitke PM, Menzies NW, Wang P, Blamey F, Pax C. 2016. Kinetics and
nature of aluminium rhizotoxic effects. Journal of Experimental Botany. 67
(15): 4451-4467. doi:10.1093./jxb/erw/223.
Kumar M, Ponnuswami V, Kumar PJ, Saraswathy S. 2014. Influence of season
affecting flowering and physiology parameters in mango. SRE. 9 (1): 1-6.
doi: 10.5897./SRE2013.5775
Kuspradini H, Pasedan WF, Kusuma IW. 2016. Aktivitas antioksidan dan
antibakteri ekstrak daun Pometia pinnata. Jurnal Jamu Indonesia. 1(1): 26-
34.
Lely N, Ayu AM, Adrimas. 2016. Efektivitas beberapa fraksi daun matoa
(Pometia pinnata JR. Forst & G. Forst) sebagai antimikroba. Jurnal Ilmiah
Bakti Farmasi. 1(1): 51-60.
Liferdi. 2007. Diagnosis status hara menggunakan analisis daun untuk menyusun
rekomendasi pemupukan pada tanaman manggis (Garcinia mangostana L.).
[tesis]. Bogor (ID). Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Lim TK. 2013. Edible Medicinal and Non-medicinal Plants. Vol 6. Springer
Dordrecht Heidelberg. London (UK). doi:10.1007/978-94-007-5628-1.
Liu Y, Hao X, Lu Q, Zhang W, Zhang H, Wang L, Yang Y, Xiao B, Wang X.
2020. Genome-wide identification and expressioan analysis of flowering-
related genes reveal putative floral induction and differentiation mechanisms
in tea plant (Camelia sinensis). Genomics.
Luis AG, Fornes F, Guardiola JL. 2009. Leaf carbohydrate and flower information
in citrus. Journal America Society Horticulture Science. 129 (2): 222-227.
Martiningsih NW, Widana G, Kristiyanti P. 2016. Skrining fitokimia dan uji
aktivitas antioksidan ekstrak etanol daun matoa (Pometia pinnata) dengan
metode DPPH. Prosiding Seminar Nasional MIPA. Singaraja:Undiksha.
332-338.
Matuputun SP, Rorong JA, Pontoh J. 2013. Aktivitas inhibitor α-glukosidase
ekstrak kulit batang matoa (Pometia pinnata Spp.) sebagai agen
antihiperglikemik. Jurnal Unsrat. 2 (2): 119-123.
Mcsteen P, Laudencia-chingcuanco D, Colasanti J. 2000. A floret by any other
name: control of meristem identity in maize. Trends in Plant Science. 5: 61-
66.
Ogaya R, Paneulas J. 2007. Drought effects on flower and fruit production in a
mediterranian holm oak forest. Forestry: An International Journal of Forest
Research. 80 (3): 351-357. doi:10.1093/forestry/cpm009.
Parvathi MS, Salimath M, Ramu SV, Udayakumar M. 2014. Current status of
flowering control: will it provide options for chemical regulation of
flowering?. The Society for Development of Subtropical Horticultures
(SDSH). Rehmankhera Lucknow UttarPradesh. 226(1).
Piskaut P, Damas K, Daur P. 2006. The status of the timber tree: Pometia pinnata
and its trade in Papua New Guinea. University of Papua New Guinea. Papua
New Guinea.
Poerwanto R. 2003. Pengelolaan Tanah dan Pemupukan Kebun Buah-buahan.
Bahan ajar. Program Studi Hortikultura. Institut Pertanian Bogor.
30
Pusat Penelitian Tanah. 1983. Kriteria Penilaian Data Analisis Sifat Kimia
Tanah. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Departemen Pertanian.
Putri SP, Yamamoto S, Tsugawa H, Fukusaki E. 2013. Review current
metabolomics: Technology advances. Journal Bioscience. 1:1-8.
Purwidyaningrum I, Elin YS, Irda F. 2016. Diuretic activity of different organs of
matoa (Pometia pinnata) extracts and its influence on potassium and sodium
levels. International Journal Pharmacognosy and Phytochemical Research.
8 (2): 244-247.
Rahimah E, Sayekti A, Jayuska. 2013. Karakterisasi senyawa flavonoid hasil
isolate dari fraksi etil asetat daun matoa (Pometia pinnata JR. Forst & G.
Forst). Jurnal Kimia Khatulistiwa. 2 (2): 84-89.
Rai N, Poerwanto R, Darusman LK, Purwoko BS. 2006. Perubahan kandungan
giberelin dan gula total pada fase-fase perkembangan bunga manggis.
Hayati. 101-106.
Rai N, Semarajaya CGA, Wiraatmaja IW. 2010. Studi fenofisiologi pembungaan
salak gula pasir sebagai upaya mengatasi kegagalan fruitset. Jurnal
Hortikultura. 20 (3): 216-222.
Ribeiro BS, deFreitas ST. 2019. Maturity stage at harvest and storage temperature
to maintain postharvest quality of acerola fruit. Scientia Horticulturae. 260.
doi:10.1016/j.scienta.2019.108901.
Rocuzzo G, Zanotelib D, Allegra M, Giuffrida A, Torrisia BF, Leonardi A,
Qui~nonesc A, Intriglio F, Tagliavini M. 2012. Assesing nutrient uptake by
field-grown orange trees. Europan Journal Agronomy. 41:73-80.
doi:10.1016/j.eja.2012.03.011.
Sada TJ, Rosye THR. 2010. Keragaman tumbuhan obat tradisional di kampong
Nansfori Dsitrik Supiori Utara Kabupaten Supiori-Papua. Jurnal Biologi
Papua. 2(2).
Saleem BA, Ziaf K, Farooq M, Ahmed W. 2005. Fruitset and drop patterns as
affected by type and dose of fertilizer application in mandarin cultivars
(Citrus reticulata Blanco). International Journal of Agriculture and
Biology. 7(6): 962-965.
Salisbury FB dan Ross CW. 1992. Plant Physiology. Lukman DR dan
Sumaryono: penerjemah. Fisiologi Tumbuhan. 1: 241p. Bandung: ITB
Press.
Santoso B, Murtiningrum, Sarungallo ZL. 2011. Morfologi buah selama tahap
perkembangan buah merah (Pandanus conoideus). Jurnal Agrotek. 2(6): 23-
29.
Saroj. 2014. Diagnostic accuracy of provocative test in Lateral epicondylitis.
International Journal of Physiotherapy and Research.2(6): 815-823.
Schroth G, Elias MEA, Macedo JLV, Mota MSS, Lieberei R. 2002. Mineral
nutrition of peach palm (Bactris gasipes) in Amazonian agroforestry and
recommendations for foliar analysis. European Journal of Agronomy.
17:81-92.
Sitompul SM, Guritno B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta
(ID). Universitas Gajah Mada Press.
Storey R, Treeby MT. 2000. Seasonal change in nutrient concentrations of navel
orange fruit. Scientia Horticulture. 84: 67-82.
31
Storey R, Treeby MT. 2002. Nutrient uptake into navel oranges during fruit
development. The Journal of Horticultural Science and Biotechnology.
77(1): 91-99. DOI: 10.1080/14620316.2002.11511463.
Suedee A, Tewtrakul S, Panichayupakaranant P. 2013. Anti-HIV-1 integrase
compound from Pometia pinnata leaves. Pharmaceutical Biology. 51(10):
1256-1261. DOI:10.3109/138802092013.786098.
Sumner ME dan Yamada T. 2002. Farming with acidity. Communications in Soil
Science and Plant Analysis. 33(15-18): 2467-2496. doi: 10.1081/CSS-
120014461.
Susila AD. 2004. Fungsi Hara. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Institut
Pertanian Bogor.
Tabla VP, Vargas CF. 2004. Phenology and phenotypic natural selection on the
flowering time of deceit-pollinated tropical orchid Myrmecophila christinae.
Annals of Botany. 94(2): 243-250.
Tagliavini M, Zavalloni C, Rombola AD, Quartieri M, Malaguti D, Mazzanti F,
Millard P, Marangoni B. 2007. Nutrient release during the decomposition of
abscised leaves and mowed grasses in an apple (Malus domestica) orchard.
Agriculture Ecosystems and Environment. 118: 191-200.
Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. 3rd ed. England (GB). Sinauer
Associates.
Thomson LAJ, Thaman RR. 2006. Pometia pinnata JR. Forst & G. Forst (tava).
Elevitch CR (ed.). Permanent Agriculture Resource Publishers. Holualoa-
Hawai (US). 1-17.
Tjitrosoepomo G. 2003. Morfologi Tumbuhan. Yogyakarta (ID): Universitas
Gajah Mada Press.
Trimedona N, Nurdin H, Darwis D, Efdi M, 2017. Matoa (Pometia pinnata JR.
Forst. & G. Forst.) sebagai sumber senyawa antibakteri potensial. Prosiding:
Inovasi teknologi dalam mewujudkan kemandirian pangan nasional
berkelanjutan. Payakumbuh: Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh.
Vemmos SN. 1995. Carbohydrate changes in flowers, leaves, shoots and spurs of
Cox’s orange pippin apple during flowering and fruit setting periods.
Journal Horticultural Science. 70: 889-900.
Vickery B, Vickery L. 1981. Secondary Metabolism. The Mcmillan Press Ltd.
London and Basingstoke. doi:10.1007/978-1-349-86109-5.
Wambrauw HL. 2011. Karakterisasi morfologi dan isozim matoa (Pometia
pinnata Forst.). [tesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Yulia ND. 2007. Kajian fenologi fase pembungaan dan pembuahan
Paphiopedilum glaucophyllum JJ. Sm. Var. glaucophyllum. Biodiversitas.
8(1): 8-62.
Zanuary AR. 2014. Efektivitas daya antibakteri ekstrak daun matoa (Pometia
pinnata JR. Forst & G. Forst.) dalam berbagai konsentrasi terhadap
pertumbuhan Streptococcus mutans (in vitro). [skripsi]. Semarang
:Universitas Islam Sultan Agung.
Zeng Q, Brown PH. 2001. Potassium fertilization affect soil K, leaf K
concentration and nut yield and quality of mature Pistachio trees.
Horticultural Science. 36(1): 85-89.
44
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Medan pada tanggal 19 Agustus 1980 sebagai
anak ke 2 (dua) dari pasangan bapak Amri dan ibu Asmaniar. Pendidikan sarjana
ditempuh di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara dan lulus pada tahun 2004. Pada
tahun 2018, penulis diterima sebagai mahasiswa program magister (S-2) di
Program Studi Agronomi dan Hortikultura pada Sekolah Pascasarjana Universitas
Institut Pertanian Bogor (IPB) dan menamatkannya pada tahun 2021 (untuk
mahasiswa S-2).
Penulis bekerja sebagai Surveyor di PT. Sarbi Moerhani Lestari pada tahun
2020 di Bogor. Assisten Manejer di PT. Amaryllis Wijaya Kususma pada tahun
2017 s/d 2019 di Cisarua, Bogor. Chief Staff di PT. Wijaya Perdana pada tahun
2010 s/d 2017 di Jakarta. Supervisor Agronomy di PT. SUCACO Tbk pada tahun
2007 s/d 2010 di Balaraja, Banten. Field Assisten di PT. Agro Indomas pada
tahun 2007 di Sampit, Kalimantan Tengah. Conductor di PT. Multigambut
Industri pada tahun 2005 s/d 2006 di Tembilahan, Riau. Foreman di PT.
Agrowiyana Bakrie Plantation pada tahun 2004 s/d 2005 di Tebing Tinggi, Jambi.
Apprenticer di pabrik PTPN III pada tahun 2004 di Tebing Tinggi, Sumatera
Utara.
Karya ilmiah berjudul Studi Fenofisiologi Perkembangan Bunga dan
Perkembangan Buah Matoa (Pometia pinnata) telah disajikan pada Seminar Hasil
dan publikasi di Journal Applied of Horticulture (JAH). Karya ilmiah tersebut
merupakan bagian dari program S-2 penulis.