I PENDAHULUAN - IPB University

32
1 1.1 Latar Belakang Matoa merupakan tanaman pohon dan kayu yang berasal dari keluarga Sapindaceae yang banyak ditemukan sepanjang wilayah Kepulauan Andaman, Srilanka, China bagian selatan, Vietnam, Malaysia, Indonesia, Filipina, Papua Nugini dan sebagian wilayah Kepulauan Pasifik Selatan. Pohon matoa tersebar di daerah subtropis dan tropis dengan letak geografis 14 0 LU sampai 20 0 LS (Lim 2013). Pohon matoa telah dijadikan identitas flora di Indonesia khususnya daerah Papua. Perbedaan warna kulit buah saat masak dijadikan dasar umum dalam membedakan jenis matoa yaitu matoa kulit buah merah, kuning dan hijau. Tekstur aril buah matoa juga dapat dibedakan sebagai matoa kelapa dengan ciri daging buah yang kenyal dan lepas dan buah berdiameter 2,2-2,9 cm. Matoa papeda bertekstur aril buah sedikit lembek dan lengket dan buah berdiameter lebih kecil 1,4-2,0 cm. Daging buah matoa memiliki aroma dan rasa khas rambutan, lengkeng dan durian (BPTP Papua 2014). Pemanfaatan pohon matoa oleh masyarakat telah digunakan untuk berbagai keperluan seperti bahan bangunan, kerajinan tangan, bahan pangan segar untuk buah, obat-obatan, tanaman hias, mengobati luka bakar dan cacar (Sada dan Rosye 2010; Thomson dan Thaman 2006). Hasil penelitian Fitri (2015) menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan (pembersihan radikal DPPH, penghambatan peroksidasi lipid dan total konten fenolik) kulit buah matoa lebih tinggi sebagai sumber antioksidan dibandingkan kulit buah sirsak dan salak. Hasil penelitian Zanuary (2014) menunjukkan bahwa daya antibakteri dari ekstrak daun matoa sebagai obat kumur terbukti efektif terhadap bakteri Streptococcus mutans. Penelitian Suedee et al. (2013) yang mengekstrak daun matoa telah berhasil mengisolasi senyawa-senyawa kimia yang memiliki aktivitas sebagai anti HIV-1 IN. Hasil penelitian Haeruddin dan Farida (2017) menunjukkan bahwa limbah hasil serutan dari kayu matoa dapat digunakan sebagai zat pewarna untuk kain batik katun. Pohon matoa memiliki potensi dan manfaat yang besar tetapi informasi tentang produksi buah matoa masih terbatas dalam beberapa hal antara lain: keterbatasan informasi terkait musim berbunga, buah, distribusi geografis serta karakteristik kultivar yang sulit dibedakan (Wambrauw 2011). Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia No. 160 tahun 2006 telah menetapkan tumbuhan matoa sebagai varietas buah unggul yang harus dibudidayakan. Potensi tumbuhan matoa sebagai panganan buah segar yang kaya manfaat perlu didukung beberapa studi untuk memperoleh informasi budidaya dan usaha diversifikasinya, salah satunya yaitu studi fenofisiologi perkembangan malai bunga dan buah tanaman matoa. Pengamatan fenologi yang sering dilakukan yaitu pengamatan perubahan tanaman dari siklus fase vegetatif ke fase generatif serta lama periode generatif tumbuhan. Metode yang dilakukan yaitu melaui pendekatan pengamatan umur bunga, pembentuakan biji dan waktu panen (Sitompul dan Guritno 1995). Faktor lingkungan yang berpengaruh dalam fruitset bunga menjadi buah yaitu suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan intensitas cahaya (Ogaya I PENDAHULUAN

Transcript of I PENDAHULUAN - IPB University

Page 1: I PENDAHULUAN - IPB University

1

1.1 Latar Belakang

Matoa merupakan tanaman pohon dan kayu yang berasal dari keluarga

Sapindaceae yang banyak ditemukan sepanjang wilayah Kepulauan Andaman,

Srilanka, China bagian selatan, Vietnam, Malaysia, Indonesia, Filipina, Papua

Nugini dan sebagian wilayah Kepulauan Pasifik Selatan. Pohon matoa tersebar di

daerah subtropis dan tropis dengan letak geografis 140LU sampai 200LS (Lim

2013). Pohon matoa telah dijadikan identitas flora di Indonesia khususnya daerah

Papua. Perbedaan warna kulit buah saat masak dijadikan dasar umum dalam

membedakan jenis matoa yaitu matoa kulit buah merah, kuning dan hijau. Tekstur

aril buah matoa juga dapat dibedakan sebagai matoa kelapa dengan ciri daging

buah yang kenyal dan lepas dan buah berdiameter 2,2-2,9 cm. Matoa papeda

bertekstur aril buah sedikit lembek dan lengket dan buah berdiameter lebih kecil

1,4-2,0 cm. Daging buah matoa memiliki aroma dan rasa khas rambutan, lengkeng

dan durian (BPTP Papua 2014).

Pemanfaatan pohon matoa oleh masyarakat telah digunakan untuk

berbagai keperluan seperti bahan bangunan, kerajinan tangan, bahan pangan segar

untuk buah, obat-obatan, tanaman hias, mengobati luka bakar dan cacar (Sada dan

Rosye 2010; Thomson dan Thaman 2006). Hasil penelitian Fitri (2015)

menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan (pembersihan radikal DPPH,

penghambatan peroksidasi lipid dan total konten fenolik) kulit buah matoa lebih

tinggi sebagai sumber antioksidan dibandingkan kulit buah sirsak dan salak. Hasil

penelitian Zanuary (2014) menunjukkan bahwa daya antibakteri dari ekstrak daun

matoa sebagai obat kumur terbukti efektif terhadap bakteri Streptococcus mutans.

Penelitian Suedee et al. (2013) yang mengekstrak daun matoa telah berhasil

mengisolasi senyawa-senyawa kimia yang memiliki aktivitas sebagai anti HIV-1

IN. Hasil penelitian Haeruddin dan Farida (2017) menunjukkan bahwa limbah

hasil serutan dari kayu matoa dapat digunakan sebagai zat pewarna untuk kain

batik katun.

Pohon matoa memiliki potensi dan manfaat yang besar tetapi informasi

tentang produksi buah matoa masih terbatas dalam beberapa hal antara lain:

keterbatasan informasi terkait musim berbunga, buah, distribusi geografis serta

karakteristik kultivar yang sulit dibedakan (Wambrauw 2011). Surat Keputusan

Menteri Pertanian Republik Indonesia No. 160 tahun 2006 telah menetapkan

tumbuhan matoa sebagai varietas buah unggul yang harus dibudidayakan. Potensi

tumbuhan matoa sebagai panganan buah segar yang kaya manfaat perlu didukung

beberapa studi untuk memperoleh informasi budidaya dan usaha diversifikasinya,

salah satunya yaitu studi fenofisiologi perkembangan malai bunga dan buah

tanaman matoa.

Pengamatan fenologi yang sering dilakukan yaitu pengamatan perubahan

tanaman dari siklus fase vegetatif ke fase generatif serta lama periode generatif

tumbuhan. Metode yang dilakukan yaitu melaui pendekatan pengamatan umur

bunga, pembentuakan biji dan waktu panen (Sitompul dan Guritno 1995).

Faktor lingkungan yang berpengaruh dalam fruitset bunga menjadi buah

yaitu suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan intensitas cahaya (Ogaya

I PENDAHULUAN

Page 2: I PENDAHULUAN - IPB University

2

dan Paneulas 2007). Faktor internal seperti genetik dan fitohormon (Gardner et al.

1991), status karbohidrat (Luis et al. 2009), status hara (Saleem et al. 2005) dan

ketersediaan air (Balta et al. 2007).

1.2 Tujuan

Mengetahui informasi fenologi dan fisiologi hara pada daun selama

perkembangan bunga dan buah matoa dalam satu siklus berbunga sesuai

perubahan morfologinya.

1.3 Manfaat Penelitian

Informasi fenofisiologi mulai dari inisiasi generatif dengan munculnya

trubus bunga, perkembangan pembungaan sampai anthesis, perkembangan buah,

fruitset, mutu fisik dan kimia buah matoa sebagai pengetahuan dasar dalam

pengelolaan kebun, dan budidaya tanaman matoa.

Page 3: I PENDAHULUAN - IPB University

3

2.1 Botani dan Agroekologi Matoa

Genus Pometia dalam famili Sapindaceae memiliki dua spesies yaitu

Pometia pinnata dan Pometia ridleyi. Pometia ridleyi tersebar diseluruh Malesia

kecuali untuk Singapura dan Pometia pinnata ditemukan di Ceylon, kepulauan

Andaman, seluruh Malesia hingga Samoa di kepulauan Pasifik Selatan. Pometia

pinnata di Papua Nugini secara umum dapat ditemukan diseluruh dataran rendah

pada berbagai vegetasi dan jenis tanah (Piskaut et al. 2006). Keragaman karakter

morfologi tanaman matoa tidak stabil karena kemiripan tanaman secara visual.

Perbedaan yang paling menonjol yaitu dari perbedaan warna kulit buah saat sudah

matang sehingga dikelompokkan dengan nama tunggal Pometia pinnata JR. & G.

Forst yang sinonim dengan forma (Lim 2013).

Matoa berakar tunggang dengan warna coklat yang dapat dapat naik

kepermukaan tanah apabila tanaman telah berumur puluhan tahun. Batangnya bisa

mencapai ketinggian 20-40 meter dengan diameter batang dapat mencapai 1,8

meter berbentuk silindris berwarna coklat keputih-putihan dengan permukaan

kasar. Pertumbuhan cabang simpodial sehingga membentuk pohon yang rindang.

Daun matoa berdaun majemuk yang berseling 4 sampai 12 pasang anak daun,

daun muda berwarna merah cerah dan akan berubah hijau saat dewasa. Helaian

daun berbentuk jorong tebal yang kaku dengan ujung meruncing (acuminatus),

berpangkal daun tumpul (obtusus) dengan tepi yang rata, tulang daun menyirip

(pinnate) serta berlekuk. Buah matoa berbentuk bulat dan lonjong dengan panjang

5-6 sentimeter dengan daging buah putih kekuningan. Biji matoa berbentuk bulat

dengan warna coklat muda atau kehitaman. Perbanyakan secara generatif pohon

pertama kali akan berbuah pada umur 4-5 tahun dan perbanyakan secara vegetatif

(cangkok, stek, sambung) yang dapat mulai berbuah umur 2-3 tahun (BPTP Papua

2014).

Bunga matoa termasuk kedalam bunga majemuk (monoecious unisexual)

yaitu bunga jantan dan bunga betina di pohon dan malai yang sama. Bunga betina

tampak biseksual dengan kepala sari yang lebih pendek tetapi steril. Bunga

memiliki calyx cupulate dengan lima kelopak kecil yang berwarna putih kehijauan

dan lima benang sari yang filamennya berwarna keputihan serta kepala sari

berwarna kuning atau merah. Ovarium pada bunga betina memiliki dua lobed

(belum sempurna pada bunga jantan) padat berwarna coklat muda dengan style

merah lurus. Panjang buah 3-5 cm berbentuk bulat hingga ellipsoid. Daging buah

atau pulpa arillode membungkus sebagian besar biji dengan embrionya yang

melengkung (Thomson dan Thaman 2006). Masyarakat umum lebih mengenal

tanaman matoa dari kekhasan citarasa buahnya seperti campuran rasa buah

kelengkeng, rambutan dan durian (Faustina dan Santoso 2014). Perbanyakan

tanaman matoa dapat dilakukan secara generatif dan secara vegetatif dengan stek

batang (Hanson et al. 2005). Perkecambahan biji matoa akan menurun selama

penyimpanan, mulai dari 100% tanpa penyimpanan menjadi 86,67% setelah

disimpan selama empat hari sesuai dengan penurunan kadar air (Effira et al.

2018).

II TINJAUAN PUSTAKA

Page 4: I PENDAHULUAN - IPB University

4

2.2 Fenofisiologi

Pengamatan fenologi pada anggrek Phapiopedillum glaucophyllum untuk

mendukung informasi dan identifikasi karakter tanaman, dilakukan dengan

mengikuti perubahan morfologinya (Yulia 2007). Fenologi pembungaan

merupakan karakter penting dalam siklus hidup tumbuhan sebagai proses awal

tumbuhan dalam berkembang biak dan mempertahankan kelangsungan jenisnya.

Setiap tumbuhan memiliki perilaku dan karakter yang berbeda-beda pada tahap

pembungaan dan pembentukan buah. Siklus keberlangsungan anggrek

Myrmecophila cgristinae umumnya diawali oleh munculnya bakal bunga (inisiasi)

dan diakhiri pematangan atau pembusukan buah (Tabla dan Vargas 2004).

Perbedaan ketinggian tempat tumbuh tanaman dapat mempengaruhi fenologi

pembungaan seperti waktu inisiasi bunga, jumlah bunga betina serta keberhasilan

bunga menjadi buah pada tanaman pinang yaki (Areca vesitaria giseke) (Hanum

dan Lestari 2017).

Kehilangan bunga merupakan proses fisiologis yang umum pada tanaman

yang dapat disebabkan dari faktor luar dan dalam tanaman (Saroj 2014).

Pembungaan merupakan proses fisiologis kompleks dan terspesialisasi yang

dipengaruhi oleh faktor metabolisme dalam tanaman (genetik) dan faktor

lingkungan di luar tanaman (Taiz dan Zeiger 2002). Pasokan fotosintat dan

kecukupan nutrisi pada tanaman buah-buahan dapat mempengaruhi gugurnya

bunga dan buah dalam proses fisiologi tumbuhan (Parvathi et al. 2014).

2.3 Perkembangan Bunga dan Perkembangan Buah

Proses pembungaan membutuhkan energi yang cukup banyak. Proses

dimulai dari tahap transisi fase vegetatif menuju inisiasi pembungaan yang

dicirikan dengan induksi dan perkembangan inflorensia meristem menjadi

inflorensia pembungaan. Proses induksi dan inisiasi pembungaan sangat

dipengaruhi faktor genetik dan faktor lingkungan tumbuh tanaman. Interaksi

antara kedua faktor menghasilkan proses molekular dan biokimia yang menandai

proses transisi dari siklus vegetatif menuju fase reproduktif (Bernier et al. 1993).

Proses transisi dari inflorensia meristem menuju inflorensia pembungaan

merupakan fase utama dalam siklus pertumbuhan tanaman yang akan

menyebabkan perubahan morfologi pada jaringan meristem. Meristem pucuk

(shoot apical meristem/ SAM) tersusun dari sejumlah sel totipotensi yang

mengalami prolifersi secara independen dan akan membentuk inflorensia

pembungaan ketika menerima sinyal terjadinya induksi pembungaan untuk

berdiferensiasi (Mcsteen et al. 2000).

Faktor lingkungan yang mempengaruhi pembungaan di daerah subtropis

umumnya adalah suhu lingkungan yang rendah sementara di daerah tropis

sebagian besar pemicu pembungaan adalah suhu yang tinggi yang ditandai dengan

adanya cekaman kekeringan kepada tanaman (Fauzi et al. 2017). Tanaman yang

tidak mendapatkan air yang cukup karena curah hujan rendah dapat

mempengaruhi persentase fruitset sehingga dapat mengurangi jumlah buah dan

berat buah yang dihasilkan pertanaman pada tanaman salak gula pasir (Rai et al.

2010).

Page 5: I PENDAHULUAN - IPB University

5

Pohon matoa umumnya akan memulai inisiasi pembungaan pada bulan

Juli sampai bulan Oktober dan buah akan masak atau dapat dipanen pada bulan

Februari sampai bulan Maret. Inisiasi pembungaan pohon matoa diawali dengan

pertumbuhan malai bunga dan anak malai tempat tumbuhnya bunga bunga jantan

dan bunga betina yang terdapat pada satu rangkaian malai dalam satu individu

pohon (Gambar 1). Bunga betina fertil dengan benang dan kepala sari semu dan

tidak segera membuka hingga akhirnya gugur atau diserbuki oleh bunga jantan

melalui penyerbukan sendiri maupun dengan bantuan pollinator (Wambrauw

2011).

Hasil penelitian Vemmos (1995) pada buah apel menunjukkan bahwa

perubahan nilai karbohidrat dalam organ tumbuhan menunjukkan peran penting

dalam masa berbunga dan pengaturan buah. Hasil penelitian Rai et al. (2006) pada

pohon manggis menunjukkan bahwa gula total daun dipucuk akan meningkat

pada saat induksi bunga tetapi pada mata tunas yang tidak terinduksi berbunga

kandungan gula totalnya tidak meningkat. Hasil penelitian Ardie et al. (2014)

pada bunga Hoya diversifolia menunjukkan bahwa kandungan gula terlarut total

dan kandungan gula sukrosa tidak berbeda pada pucuk daun yang terinduksi

dengan pucuk daun yang tidak terinduksi, tetapi kandungan gula pereduksi di

pucuk daun yang tidak terinduksi nilainya lebih tinggi. Penelitian Liu et al. (2020)

pada tanaman Camelia sinensis membuktikan bahwa photoperiode, hormon GA

dan jalur gula berperan penting dalam induksi bunga, juga memiliki respon yang

sama pada induksi bunga yang mendapatkan stress abiotik. Menurut

Tjitrosoepomo (2003) fenomena fertilisasi terjadi setelah proses polinasi ovary

bunga betina yang akan berlanjut ketahap perkembangan buah, proses tersebut

berkaitan dengan penyesuaian proses fisiologis tanaman yang menunjukkan

proses pembentukan buah. Penelitian Chauhan et al. (2006) pada tanaman apel

A ♀

2

b a

C

1 ♀

B

D E F

1 mm

6 mm

1 2

3

4

6

5 2

3

a

b

Gambar 1 Bunga matoa dan skematisnya: A kuncup bunga. B malai bunga (a)

cabang malai (b) anak malai. C bunga jantan dan betina. D 1= sumbu

lobus, 2 = lokul (sebelum (a) dan setelah mekar (b)). E. diagram

bunga betina (1= sepal, 2= petal, 3= stamen , 4= anther, 5= ovarium,

6= stigma) F. diagram skematis bunga matoa. (sumber: Wambrauw

(2011))

Page 6: I PENDAHULUAN - IPB University

6

membuktikan bahwa kandungan air memegang peran yang sangat penting dalam

proses keberhasilan bunga untuk berkembang menjadi buah.

Penelitian Santoso et al. (2011) pada buah merah (Pandanus conoideus)

membuktikan bahwa pemanenan buah saat matang, secara fisiologis menunjukkan

jumlah berbagai senyawa didalamnya yang sudah lengkap serta berada dalam

jumlah maksimal. Hasil penelitian Tagliavini et al. (2007) pada apel menunjukkan

bahwa daging buah sebagian besar mengandung air, kalium dan karbohidrat yang

tinggi tetapi nilai protein dan nitrogen rendah. Kandungan protein ditemukan

memiliki nilai tinggi pada biji. Hasil penelitian Ribeiro dan deFreitas (2019)

dengan mengikuti pola nilai asam askorbat menunjukkan bahwa total asam

tertitrasi akan terus turun selama pemasakan buah pada kultivar acerola.

Menurut Kartasapoetra (1994) peningkatan proses respirasi, produksi

etilen dan akumulasi kadar gula yang naik secara signifikan pada buah dapat

digunakan sebagai indeks kemasakan buah sebagai indikator dari padatan terlarut

total (PTT). Total padatan terlarut akan terus berkurang yang menjadi indikasi

kelayuan (kebusukan buah) yang terlewat matang atau disimpan tanpa perlakuan

karena senyawa-senyawa dalam buah akan diuraikan menjadi air selama proses

respirasi.

Buah matoa belum memiliki standar mutu SNI, sehingga untuk penentuan

mutu buah dapat digolongkan berdasarkan berat (gram) dan hasil pengolahan citra

digital area (piksel) yaitu kelas A jika berat buah diatas 12 gram dan luas area

9318 piksel, kelas B jika berat buah antara 9,5 sampai 12,5 dan memiliki luas area

1584 sampai 9318 piksel, kelas C jika berat buah dibawah 9,5 gram dan luas area

dibawah 1584 piksel dengan akurasi keberhasilan pencitraan sebesar 73,89%

(Furray 2019).

2.4 Hara

Analisis tanah merupakan refleksi dari potensi hara yang tersedia untuk

diserap tanaman dari tanah, tetapi hal tersebut tidak dapat menjadi gambaran

jumlah hara atau mineral yang dapat diserap oleh tanaman (Taiz dan Zeiger

2002). Hasil penelitian Schroth et al. (2002) menunjukkan bahwa analisis jaringan

daun dapat digunakan untuk mengetahui status hara tanaman tahunan buah-

buahan maupun tanaman agroforestry yang berkorelasi terhadap produksi

tanaman. Hasil penelitian Storey dan Treeby (2000) pada tanaman jeruk

menunjukkan bahwa produksi yang dihasilkan tanaman tidak ditentukan oleh

jumlah hara N, P, dan K saja, tetapi juga dipengaruhi oleh keseimbangan hara

makro dan mikro secara keseluruhan. Hasil penelitian Roccuzzo et al. (2012) pada

tanaman jeruk menunjukkan terjadi dinamika antara kebutuhan dan penyerapan

hara pada setiap fase pertumbuhan, perkembangan bunga dan buah. Penelitian

Storey dan Treeby (2000) pada tanaman jeruk membuktikan bahwa terjadi

peningkatan nutrisi kecuali Na dua minggu setelah tanaman berbunga diawal

pembentukan buah kemudian nilai nutrisi menurun dengan laju yang bervariasi.

Ketersediaan Nitrogen (N) yang cukup selama proses pembungaan mulai

tahap inisiasi sampai anthesis sangat penting untuk mencapai hasil yang optimal

dan kualitas buah yang baik (Alva et al. 2006). Tanaman yang kekurangan

Phospor (P) dapat menyebabkan peningkatan antosianin dan pematangan buah

serta pembesaran biji yang kurang sempurna dengan produksi buah yang rendah

Page 7: I PENDAHULUAN - IPB University

7

(Susila 2004). Kalium (K) berperan dalam pembentukan gula, pati, karbohidrat

dan sintesis protein yang akan mempengaruhi warana dan rasa buah (Zeng dan

Brown 2001). Kalsium (Ca) dapat mengikat calmodulin yaitu protein yang

ditemukan dalam sel sitosol tanaman yang berfungsi sebagai second messenger.

Kompleks calmodulin-kalsium mengatur banyak proses metabolisme (Taiz dan

Zeiger 2002). Hasil penelitian Aref (2012) pada pohon mangga menunjukkan

bahwa Boron (B) mempengaruhi peningkatan konsentrasi gula dalam nektar

tanaman yang secara tidak langsung memiliki peran pada penyerbukan bunga.

Hasil penelitian Gogi et al. (2012) pada tanaman Gossypium hirsutum

menunjukkan Zinc (Zn) menjadi kofaktor untuk lebih dari 300 jenis enzim yang

berperan dalam proses metabolisme asam nukleat, pembelahan sel serta sintesis

protein.

2.5 Manfaat dan Kandungan Metabolik

Metabolomik adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari proses

terjadinya senyawa yang dihasilkan oleh mahluk hidup dari proses metabolit

primer yang diperlukan untuk keberlangsungan mahluk hidup dan metabolit

sekunder yang menghasilkan senyawa khas saat mahluk hidup mengalami

cekaman, pertahanan diri, penyerbukan maupun karakter khasnya sendiri (Putri et

al. 2013). Senyawa metabolit sekunder kulit batang matoa dapat dimanfaatkan

sebagai inhibitor α glukosidase penyakit diabetes (Matuputun et al. 2013) dan

antibakteri Eschericia coli dan Staphylococcus aureus (Damayanti 2002). Hasil

evaluasi antioksidan dengan 1.1-difenil-2picrylhydrazyl (DPPH) pada tanaman

matoa di Malaysia menunjukkan kandungan antioksidan tertinggi terdapat pada

kayu dengan nilai EC50 > 30 ug/ml dan total fenol 39,53% dibandingkan dengan

kulit dan kambium tengah (Kawamura et al. 2010)

Daun, kulit buah dan ekstrak biji matoa yang diberikan secara oral dapat

meningkatkan ekskresi urin (Purwidyaningrum et al. 2016). Daun matoa

berpotensi dijadikan bahan dan diolah menjadi antioksidan dan antibakteri alami

(Kuspradini et al. 2016; Lely et al. 2016; Trimedona et al. 2017) dan antivirus

HIV-1 IN (Suedee et al. 2013). Ekstrak aseton IC50 menunjukkan nilai antitoksik

pada daun matoa sebesar 15,323 ppm dan skrining fitokimia menunjukkan bahwa

ekstrak etanol daun matoa mengandung senyawa flavonoid dan tannin

(Martiningsih et al. 2016).

Hasil penelitian Rahimah et al. (2013) menunjukkan bahwa karakter

senyawa phenol pada daun matoa adalah senyawa golongan flavonoid. Menurut

Vickery dan Vickery (1981) menjelaskan bahwa flavonoid memiliki potensi

sebagai antioksidan alami karena memiliki gugus hidroksil yang terikat pada

cincin aromatik sehingga dapat menangkap radikal bebas yang dihasilkan dari

reaksi peroksidasi lemak. Hasil penelitian Kikuzaki et al. (2002) menunjukkan

bahwa radikal bebas merupakan atom yang tidak stabil karena kehilangan

pasangan elektronnya. Reaksi kehilangan pasangan elektron yang berlangsung

secara terus-menerus dapat memicu munculnya penyakit degeneratif seperti

kanker, serangan jantung, katarak dan penuaan dini. Penelitian Hamid et al.

(2010) membuktikan bahwa flavonoid dapat menurunkan sistem pertahanan

bakteri dengan menghambat sistem DNA dan RNA pada membran sitoplasma

bakteri sehingga terjadi kebocoran sel.

Page 8: I PENDAHULUAN - IPB University

8

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Taman Buah Mekarsari Cileungsi Bogor

dengan letak geografis garis lintang -6.50000 dan garis bujur 106.75000 dengan

ketinggian +/- 70 mdpl. Pengamatan morfologi kualitas buah di Laboratorium

Pascapanen Departemen Agronomi dan Hortikultura. Analisa status hara tanah

dan analisa status hara daun di Laboratorium Tanah Departemen Ilmu Tanah Dan

Sumberdaya Lahan Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan mulai Juni

2019 sampai dengan Juli 2020.

3.2 Bahan dan Alat

Pohon matoa berkulit buah warna merah dengan tahun tanam 1995 yaitu

pohon yang berusia 24 tahun di kebun buah PT. Mekar Unggul Sari Cileungsi

Bogor (Tabel 1).

Tabel 1. Deskipsi pohon matoa di Taman Buah Mekarsari

Deskripsi Informasia

Tahun tanam 1995

Asal tanaman Bibit Dari Deptan

Populasi 68

Panen (kali) 13

Luas area penanaman 4352 m2

Frekuensi panen pertahun 1

Perawatan Penyiangan, Penyiraman, pemupukan

Frekuensi pemupukan 2 Kali Setahun

Jenis pupuk Pupuk Anorganik dan Organik

Pestisida Kuratif

Pemangkasan Ringan

Rata rata produksi per panen (Kg) 136

Species 1

Kultivar 3 (kulit buah hijau, merah, kuning)

Waktu berbunga Juli

Waktu panen Oktober

Letak buah Ujung (apikal) a Divisi penelitian dan pengembangan Taman Buah Mekarsari

III METODE

Page 9: I PENDAHULUAN - IPB University

9

Bahan untuk analisis laboratorium ATT (asam tertitrasi total) dan PTT

(padatan terlarut total). Alat yang digunakan yaitu kamera, tangga, cool box,

freezer, hand refraktometer digital, penetrometer dan pendukung analisa titrasi.

3.3 Metode Penelitian

Pengamatan perkembangan bunga dilaksanakan secara deskriptif non

destruktif sesuai perubahan morfologi bunga. Pohon yang diamati yaitu 4 pohon

matoa kulit buah merah yang sedang berbunga. Pengamatan dilakukan kepada

malai dengan panjang trubus kurang dari 1 cm pada tanggal yang sama sebagai

sampel. Jumlah sampel pengamatan perkembangan bunga sebanyak 8 malai

bunga. Label diberikan kepada bakal malai bunga yang akan diamati setiap enam

hari.

Pengamatan perkembangan buah secara deskriptif pada empat pohon

matoa kulit buah merah. Setiap pohon diamati tiga malai bunga secara destruktif

untuk mengamati mutu fisik buah (pengukuran panjang, diameter, tebal daging

buah, bobot, kelunakan kulit) dan mutu kimia buah (asam tertitrasi total dan

padatan terlarut total). Pengamatan fruitset dan perkembangan buah mulai bunga

anthesis sampai buah overipe (Tabel 2).

Pengamatan perkembangan buah dari empat pohon menjadi satu pohon

karena sampel pada pohon yang lain bunga rontok dan mati setelah bunga mekar.

Pengamatan pada satu sampel pohon yang sama dengan mengamati 3 malai bunga

dari cabang yang berbeda mulai dari bunga mekar sampai buah lewat masak.

Pengamatan perkembangan buah dilakukan terhadap malai bunga dengan waktu

antesis yang sama. Pengamatan fruitset diamati secara deskriptif dengan

mengamati tiga malai bunga dari pohon yang sama.

Hasil pengamatan merupakan nilai rata-rata dari pengamatan sampel

perkembangan bunga dan perkembangan buah.

Tabel 2. Tahap perkembangan bunga dan buaha

Fase Simbol Deskripsi

Trubus malai bunga IM Inisiasi generatif yang ditandai dengan

munculnya bakal malai bunga dari apikal/

lateral cabang ranting

Trubus anak malai AM anak malai bunga yang tumbuh melebar dari

batang utama malai sebagai ciri bunga

inflorescence

Kuncup besar KB Mahkota bunga yang sudah terbentuk tetapi

masih terbungkus dalam seludang

Antesis AN Mahkota bunga mekar yang menandai persiapan

polinasi bunga sebagai awal dari pembentukan

buah.

Buah kecil BK Polinasi sudah terjadi yang ditandai gugurnya

mahkota dan ovarium yang membesar /buah

kecil

Buah muda BM Buah sudah mempunyai daging buah (aril) yang

tebal

Page 10: I PENDAHULUAN - IPB University

10

Buah masak M Kulit buah berwarna merah

Buah lewat masak BL Buah sudah lewat masak dengan warna kulit

buah berwarna gelap dan keras a Dafni (1993) dalam Jamsari et al. (2007)

Tahap perkembangan bunga berdasarkan kriteria yang digunakan oleh

Dafni (1993) dengan beberapa penambahan pada perkembangan buah untuk

memudahkan dalam pengamatan. Perbedaan tahap perkembangan bunga dan

perkembangan buah diamati sesuai dengan perubahan morfologi secara visual dari

karakteristik bentuk, warna dan ukuran secara deskriptif dari malai bunga atau

malai buah yang sama pada pohon yang sama. Menurut Jamsari et al. (2007) pada

penelitian buah Uncaria gambir menjelaskan bahwa perkembangan bunga dan

buah pada umumnya melewati fase inisiasi, kuncup kecil, kuncup besar, anthesis

dan perkembangan buah.

3.3.1 Fenologi

Pengamatan periode perkembangan bunga dan perkembangan buah diikuti

dengan mengamati perubahan cuaca harian dan iklim lingkungan tumbuh pohon

matoa. Pengamatan dengan data iklim harian dari BMKG sesuai titik geografis

kebun matoa. Pengamatan iklim mikro dengan alat data logger yang diletakkan

dikebun matoa. Data iklim yang diamati yaitu suhu, kelembaban, curah hujan dan

lama penyinaran matahari. Penelitian fenologi Yulia (2007) pada bunga anggrek

Paphiopedillum menjelaskan bahwa pengamatan fenologi tanaman harus

mengikuti perubahan morfologi untuk mengidentifikasi informasi periodik dan

karakter tanaman yang disebabkan karena pengaruh lingkungannya.

3.3.2 Fisiologi

Pengamatan fisiologi yang dilakukan yaitu analisis status hara pada daun

pohon matoa. Pengamatan status hara daun akan menunjukkan dinamika hara

pada daun selama perkembangan bunga dan perkembangan buah. Pengambilan

sampel daun untuk mengamati status hara daun dilaksanakan setiap 30 hari sekali.

Status hara yang dianalisis yaitu unsur hara makro dan unsur hara mikro Boron

(B), Zinc (Zn) dan Calsium (Ca). Menurut penelitian Liferdi (2007) pada tanaman

manngis menjelaskan bahwa daun sampel untuk uji status hara daun yaitu daun

yang telah berkembang penuh, sehat dan tidak cacat sejumlah 16 lembar daun,

masing-masing dari 4 arah mata angin.

3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Status Hara Tanah

Sampel tanah diambil dari daerah perakaran dibawah naungan 1-2 meter

dari ujung tajuk tanaman matoa dengan kedalaman lebih dari 50 cm. Tanah

dikeringanginkan dan diayak dengan mesh ukuran 2 mm untuk mendapatkan

ukuran tanah yang relatif sama (Liferdi 2007). Pengamatan sampel tanah

Page 11: I PENDAHULUAN - IPB University

11

dilakukan saat pohon matoa memasuki musim berbunga untuk menganalisis status

hara makro dan hara mikro tanah tempat tumbuh pohon matoa.

3.4.2 Iklim Mikro Lingkungan Tumbuh

Pengamatan iklim lingkungan tumbuh diamati dengan alat data logger

real-time Encomotion dan data iklim harian dari BMKG Stasiun Klimatologi

Bogor ID WMO 96753. Pengambilan data iklim minor lingkungan tumbuh

dimulai dari bulan Juni 2019 ketika tanaman matoa memasuki musim berbunga

pada bulan Juli sampai bulan September dan perkembangan buah sampai bulan

Januari atau Februari sesuai dengan penelitian matoa oleh Wambrauw (2011).

3.4.3 Satuan Panas (heat unit)

Metode kuantitatif hubungan antara suhu udara terhadap perkembangan

bunga dan buah matoa dengan persamaan:

AHU = 𝛴(𝑇𝑚𝑎𝑘𝑠 + 𝑇𝑚𝑖𝑛 /2) – Tb

Keterangan:

AHU = akumulasi heat unit (0C hari)

Tmaks = suhu maksimum harian (0C)

Tmin = suhu minimum harian (0C)

Tb = suhu dasar (0C);

= 10 0C (pada lychee)

(Batten dan Lahav 1994)

3.4.4 Perkembangan Bunga

Pengamatan pohon matoa yg sudah memasuki fase inisiasi bunga ditandai

dengan munculnya trubus malai bunga pada ujung cabang (apikal) atau pada

ketiak daun (lateral). Pertumbuhan malai dengan mengamati perkembangan tunas

malai pada empat pohon sampel ranting produktif yang berbeda cabang. Trubus

bunga dipilih seragam dengan panjang tunas kurang dari 1 cm pada tanggal yang

sama. Pengamatan pembungaan dilakukan setiap enam hari dan setiap tiga hari

pada fase bunga anthesis.

Pengamatan mencatat pertumbuhan tinggi malai, lebar malai, jumlah anak

malai, waktu anthesis dan jumlah bunga anthesis. Pertumbuhan tinggi malai

diukur dari pangkal malai sampai ke ujung vertikal malai bunga. Lebar malai

diukur dari titik terjauh dua anak malai bunga yang tumbuh secara horizontal dan

berlawanan arah. Jumlah anak malai dengan menghitung anak malai yang tumbuh

sampai bunga anthesis dan dihitung jumlah bunga mekar dalam satu kompleks

malai bunga.

3.4.5 Perkembangan Buah

Pengamatan diamati setiap dua minggu sekali. Pengamatan buah dengan

mengamati mutu fisik (panjang, diameter, tebal aril, bobot buah, kelunakan kulit

Page 12: I PENDAHULUAN - IPB University

12

buah) dan mutu kimia (asam tertitrasi total, padatan total terlarut) dari tiga malai

buah yang berbeda. Pengamatan fruitset bunga dengan menghitung jumlah bunga

antesis (mekar) dalam satu malai pada sampel ranting produktif sampai buah

masak sebagai finalset. Perhitungan persentase fruitset dihitung dengan

menggunakan persamaan (Kumar et al. 2014)

Fruitset (%) = Jumlah buah x 100

Jumlah total bunga

3.4.5.1 Mutu Fisik Buah

Pengamatan deskriptif kualitas buah matoa secara kuantitatif yaitu:

a. Pengukuran panjang, diameter dan ketebalan menggunakan jangka sorong.

b. Menimbang bobot (gr) buah, kulit, biji dan aril dengan timbangan elektrik.

c. Pengujian kekerasan (kg/cm2) menggunakan penetrometer pada tiga titik yang

berbeda yaitu pangkal buah, tengah buah dan ujung buah.

3.4.5.2 Mutu Kimia Buah

Pengamatan kualitas kimia buah sesuai umur buah matoa yang

dilaksanakan di laboratorium, yaitu:

a. Asam titrasi total (ATT)

Pengamatan asam tertitrasi total (Chen et al. 2017) dengan bahan NaOH

0,01 N, indikator fenolftalein (pp) dan aquadest. Sampel seberat 1 gram pure buah

ditambahkan aqudest sebagai faktor pengencer sampai 50 ml dan saring dengan

kertas saring. Ambil 10 ml filtrat dan titrasi dengan NaOH 0,01N menggunakan

indikator fenolftalein (pp) sampai muncul warna merah jambu.

ATT (%) = ml NaOH x N NaOH x fp x Be x 100

Bobot sampel (gram)

Keterangan:

ATT = Asam tertitrasi total (%)

ml NaOH = Volume NaOH

N NaOH = Normalitas larutan NaOH

Be = Berat molekul asam sitrat sebagai standard (192/3 = 64)

fp = faktor pengenceran sampel yang dititrasi

b. Padatan terlarut total (PTT)

Padatan terlarut total daging buah/ aril matoa diukur menggunakan pocket

refraktometer PAL-1 Atago, nilai padatan terlarut total disajikan dalam ◦Brix.

Cairan juice dari matoa diperas dan diteteskan pada lensa baca refractometer

(Chen et al. 2017).

Page 13: I PENDAHULUAN - IPB University

13

4.1 Iklim dan Lingkungan Tumbuh

4.1.1 Status Hara Tanah

Kebun matoa di Taman buah Mekarsari Blok D dengan luas area

penanaman sekitar 4352 m2. Populasi pohon matoa sebanyak 60 pohon matoa

kulit buah hijau, 7 pohon matoa kulit buah merah dan 1 pohon kulit buah matoa

kuning. Penelitian awal dilaksanakan dengan menganalisis status hara tanah pada

bulan juli saat pohon matoa kulit buah merah sedang berbunga sesuai data dari

Taman Buah Mekarsari. Menurut Bernier et al. (1993) selain faktor genetik,

proses inisiasi dan pembungaan juga dipengaruhi faktor lingkungan seperti

cahaya, suhu, kelembaban dan status hara tanah.

Tabel 3 Status hara tanah lingkungan tumbuh tanaman mato di Blok D Taman

Buah Mekarsari Cileungsi Bogor

Unsur pengamatan Nilaia Sifat tanahb

(PPT 1983)

Status kesuburan

(PPT 1983)

pH H20 4,51 4,5-5,5 masam

C organik (%) 1,36 1,00-2,00 rendah

N total (%) 0,16 0,10-0,20 rendah

P (ppm) 9,53 < 10 sangat rendah

Ca (cmol/kg) 2,26 2,0-5,0 rendah

Mg (cmol/kg) 0,13 < 0,3 sangat rendah

K (cmol/kg) 0,08 < 0,1 sangat rendah

Na (cmol/kg) 0,07 <0,1 sangat rendah

KTK (cmol/kg) 16,3 5-17 rendah

KB (%) 15,62 < 20 sangat rendah

a analisis hara di Laboratorium Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian, IPB b berdasarkan Pusat Penelitian Tanah 1983

Hasil analisis kimia tanah (Tabel 3) menunjukkan status hara tanah kebun

matoa yaitu sangat rendah dan rendah. Status hara yang sangat rendah dapat

menghambat perkembangan dan proses metabolisme tanaman karena fungsinya

untuk tanaman. Menurut Poerwanto (2003) ketersediaan hara dalam tanah sangat

menentukan pertumbuhan dan produktivitas tanah karena struktur jaringan

tanaman terbentuk dari unsur-unsur yang diserap dari tanah.

Nilai pH tanah 4,51 mengindikasikan tanah dalam kondisi masam.

Menurut Sumner dan Yamada (2002) tanah masam (pH <5,0) dapat bersifat racun

terhadap tanaman yang mengakibatkan kerusakan akar sehingga terjadi deffisiensi

hara. Penelitian Koppitke et al. (2016) menjelaskan bahwa tanaman yang tumbuh

ditanah masam dapat mengalami stress karena toksisitas aluminium (Al),

hidrogen (H) dan mangan (Mn) sama seperti kekurangan kalsium dan magnesium.

Anak daun IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Page 14: I PENDAHULUAN - IPB University

14

Menurut Hardjowigeno (2007) menjelaskan bahwa pH tanah rendah

menyebabkan unsur aluminium (Al) yang bersifat racun mengikat phospor (P)

sehingga phospor sebagai unsur hara makro tidak dapat diserap tanaman.

Kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB) pada blok kebun

matoa menunjukkan status rendah (16,3) dan sangat rendah (15,62). Kapasitas

tukar kation merupakan kapasitas lempung untuk menjerap dan menukar kation

yang dijadikan sebagai indikator kesuburan tanah yang dipengaruhi kandungan

liat, tipe liat dan bahan organik tanah. Menurut Herawati (2015) KTK tanah

menggambarkan kation tanah seperti Ca, Mg dan Na yang dapat ditukar dan

diserap perakaran tanaman. Menurut Bohnet (2009) kejenuhan basa (KB) tanah

merupakan jumlah anion pada kompleks koloid tanah yang biasanya berbanding

lurus dengan KTK tanah.

4.1.2 Status Hara Daun

Hasil analisis jaringan pada daun matoa (Tabel 4) menunjukkan C/N rasio

mencapai puncak pada fase anthesis dibulan September kemudian turun pada fase

buah matang sampai lewat matang. Nilai Phospor (P) dan Zincum (Zn) meningkat

pada fase pemasakan buah. Nilai Boron (B) meningkat pada fase buah masak dan

lewat masak kemudian menurun pada tahap revegetatif.

Tabel 4 Status hara makro dan hara mikro daun matoa dalam satu siklus berbuah

Pengambilan sampel daun pada bulan Juli 2019 untuk menjelaskan status

hara tanaman selama periode fase perkembangan bunga (Tabel 5). Pengambilan

sampel daun pada bulan Agustus untuk menunjukkan status hara pada fase

pertumbuhan anak malai. Sampel daun yang diambil pada bulan September 2019

untuk menunjukkan status hara tanaman pada saat bunga mekar. Sampel daun

matoa pada bulan November menunjukkan status hara tanaman matoa ketika buah

masak. Penentuan standard status hara tanaman matoa secara umum ditunjukkan

Bulanb Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari

Tahapc M BL Vegetatif

55,11 54,49 54,65 55,11 54,56 54,67 54,22 55,41

0,88 0,87 0,79 0,94 0,83 1,77 1,61 1,96

62,63 62,63 69,18 58,62 65,73 30,89 33,68 28,27

0,18 0,18 0,16 0,15 0,12 0,39 0,35 0,57

0,69 0,67 0,65 0,74 0,62 0,54 0,62 0,75

0,89 1,17 1,27 1,02 1,23 1,68 2,01 1,46

0,19 0,22 0,21 0,17 0,2 0,26 0,27 0,27

0,2 0,13 0,15 0,15 0,14 0,59 0,67 0,47

35,02 31,00 28,47 29,19 26,46 30,65 34,54 34,46

16,55 18,32 20,08 11,25 13,90 118,83 127,67 97,59aanalisis di Laboratorium Tanah dan Sumberdaya lahan, Fakultas Pertanian, IPB

b sampel daun pada tanggal 20 Juli 2019 dan diulangi setiap 30 hari

c IM: inisiasi malai, AM: anak malai, KB: kuncup besar, AN: antesis, BK: buah kecil, BM: buah muda, M: buah masak, BL: buah lewat masak

B (ppm)

IM AM KB AN BK BM

K (%)

Ca (%)

Mg (%)

S (%)

Zn (ppm)

Pengamatana

C (%)

N (%)

C/N Rasio

P (%)

Page 15: I PENDAHULUAN - IPB University

15

dalam Salisbury dan Ross (1992) yang menjelaskan kebutuhan unsur hara dalam

jaringan tumbuhan tingkat tinggi agar dapat tumbuh dengan baik.

Tabel 5 Status kecukupan hara pada jaringan daun matoa mulai fase inisisasi

bunga sampai buah masak secara umum menurut (Brown et al. 1987)b

Hara Juli

(IM)a

September

(AN)

November

(M)

Standard hara daun

(Brown et al. 1987)b

C-Organik (%)

Nitrogen (%)

C/N

Phospor (%)

Kalium (%)

Calsium (%)

Magnesium (%)

Sulfur (%)

Zincum (ppm)

Boron (ppm)

55,11

0,88

62,63

0,18

0,69

0,89

0,19

0,20

35,02

16,55

54,65

0,79

69,18

0,16

0,65

1,27

0,21

0,15

28,47

20,08

54,56

0,83

65,73

0,12

0,62

1,23

0,20

0,14

26,46

13,90

45

1,5

30

0,2

1,0

0,5

0,2

0,1

20

20

a IM: Inisiasi malai, AN: Anthesis, M: Buah masak b dalam Salisbury dan Ross (1992)

Hasil analisis jaringan daun menunjukkan kandungan Nitrogen, Phospor,

Kalium dan Boron relatif lebih rendah dari kebutuhan hara yang diperlukan

tanaman. Kandungan C-Organik, C/N, Calsium, Magnesium, Sulfur dan Zincum

relatif lebih tinggi dari standard kebutuhan hara yang diperlukan tanaman.

Serapan hara Kalsium (Ca) dan Boron (B) pada tahap inisiasi malai bunga (IM)

sampai bunga mekar (AN) cenderung meningkat. Serapan unsur hara C organik,

Nitrogen (N), Zincum (Zn), Kalium (K) dan Phospor (P) turun mulai fase tunas

malai bunga sampai bunga mekar. Serapan unsur hara Magnesium (Mg) masih

cukup stabil dalam setiap perkembangan bunga dan buah. Serapan unsur hara

Sulfur (S) turun dari inisiasi bunga sampai buah masak (M).

Penelitian lanjutan yang berbasis kualitas dan produksi tanaman

dibutuhkan untuk mendapatkan nilai status kecukupan hara dan batas kritis hara

yang lebih akurat. Menurut Schroth et al. (2002) analisis jaringan daun dapat

dimanfaatkan untuk mengetahui status hara tanaman dengan dibandingkan pada

produksi buah yang dihasilkan.

4.1.3 Iklim Mikro Lingkungan Tumbuh

Data iklim mikro lingkungan tumbuh diamati dari bulan Juni 2019 ketika

tanaman matoa akan memasuki musim berbunga pada bulan Juli. Hal ini sesuai

dengan data dari Taman Buah Mekarsari dan penelitian Wambrauw (2011).

Data iklim harian lingkungan tumbuh matoa (Gambar 2) menunjukkan

hari hujan mengalami penurunan dari bulan Juni ke bulan Juli. Tunas generatif

matoa mulai terlihat ketika tidak ada hujan turun mulai pertengahan Juli sampai

Agustus . Kelembaban udara relatif stabil pada kisaran 75-90%. Lama penyinaran

Page 16: I PENDAHULUAN - IPB University

16

matahari mengalami penurunan mulai bulan September sampai bulan Januari yang

dapat disebabkan karena peningkatan curah hujan.

Gambar 2 Iklim harian di Taman buah Mekarsari (a) curah hujan, (b) suhu harian,

(c) kelembaban udara, dan (d) lama penyinaran sinar matahari

(Sumber: BMKG (a, b dan c); Encomotion (d))

Intensitas curah hujan rata-rata dapat diakumulasikan perbulannya,

sehingga dapat diketahui status intensitasnya. Klasifikasi curah hujan menurut

Oldemann dapat terbagi kepada bulan basah (> 200 mm), bulan lembab (100-200

mm) dan bulan kering (<100 mm). BMKG membuat empat kategori intensitas

hujan harian yaitu: 1. Ringan (5-20 mm/hari), 2. Sedang (20-50 mm/hari), 3.

Lebat (50-100 mm/hari) dan 4. Ekstrim (>100 mm/hari). Awal bulan juli hujan

turun dengan intensitas tertinggi 35,4 mm pada tanggal 9 Juli, setelah tanggal 11

Juli curah hujan 0 mm/hari. Hujan turun pada tanggal 16 Agustus sampai akhir

bulan September. Kondisi tanpa hujan mulai tanggal 11 Juli sampai dengan 15

Agustus menunjukkan suhu maksimum 33,70C, suhu minimum 180C dengan suhu

rata-rata 25,79 0C.

Suhu selama hari tanpa hujan tidak berbeda jauh dengan suhu sebelumnya

bahkan cenderung lebih rendah pada suhu maksimum dan suhu minimum.

Kelembaban udara rata-rata sebesar 73,97%, nilai ini lebih rendah dari

kelembaban udara pada bulan Juni. Suhu udara maksimum dan lama penyinaran

matahari menunjukkan kecendrungan turun sampai bulan Januari 2020, hal ini

berbanding terbalik dengan kelembaban udara dan curah hujan yang menunjukkan

peningkatan sampai bulan Januari 2020. Menurut Reed et al. (1994) bahwa setiap

0

10

20

30

40

7/1/19 8/1/19 9/1/19 10/1/19 11/1/19 12/1/19 1/1/20 2/1/20

suhu ud

ara (

0C

)

waktu pengamatan (bulan/tanggal/tahun)

suhu minimum suhu maksimum suhu rata-rata

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

110

120

130

140

150

6/1/19 7/1/19 8/1/19 9/1/19 10/1/19 11/1/19 12/1/19 1/1/20 2/1/20

curah

huja

n (

mm

/hari)

waktu pengamatan (bulan/tanggal/tahun)

IM AM

KB

AN

BK

BM

M

BL

IM AM KB

AN

BK

BM

M BL

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

110

7/1/19 8/1/19 9/1/19 10/1/19 11/1/19 12/1/19 1/1/20 2/1/20

kele

mbaban (

%)

waktu pengamatan (bulan/tanggal/tahun)

IM AM

KB

AN

BK

BM

M

BL

0

5

10

15

20

7/1/19 8/1/19 9/1/19 10/1/19 11/1/19 12/1/19 1/1/20 2/1/20

lam

a penyin

aran

SM

(ja

m)

waktu pengamatan (bulan/tanggal/tahun)

IM AM

KB

AN

BK

BM

M

BL

a b

c d

Page 17: I PENDAHULUAN - IPB University

17

tanaman bisa menunjukkan respon yang berbeda terhadap perubahan suhu,

kelembaban, intensitas sinar matahari dan curah hujan. Hasil penelitian Rai et al.

(2010) menyimpulkan bahwa kekurangan air internal dalam tubuh tanaman karena

rendahnya curah hujan dapat berpengaruh terhadap kuantitas fruitset buah.

4.1.4 Satuan Panas (heat unit)

Perhitungan heat unit dimulai ketika inisiasi malai pada tanggal 15 Juli

2019 sampai buah matang pada bulan Desember 2019 (Tabel 6).

Tabel 6 Akumulasi satuan panas terhadap perkembangan bunga dan buah matoa

Pengamatan Tahapa Durasi

(hari) HSIb

Akumulasi

Satuan panas (0C)c

Perkembangan

bunga IM 0 0 16,2 0C hari

IM - AM 30 30 518,4 0C hari

AM - KB 20 50 894,25 0C hari

KB - AN 6 56 1014,15 0C hari

Perkembangan buah AN - BK 14 70 1297,65 0C hari

BK - BM 28 98 1816,1 0C hari

BM - M 42 140 2585,9 0C hari a IM: inisiasi malai, AM: anak malai, KB: kuncup besar, AN: antesis, BK: buah kecil, BM: buah

masak, BL: buah lewat masak b hari setelah inisiasi c sumber: suhu harian BMKG

Perhitungan satuan panas suhu lingkungan perkembangan bunga dan buah

matoa menyerap energi dari panas matahari merupakan pendekatan dalam

memprediksi waktu panen buah matoa setiap musim berbuah. Pendekatan dengan

satuan panas atau heat unit perkembangan buah matao masih perlu diuji dengan

iklim yang berbeda. Koesmaryono et al. (2002) menjelaskan bahwa suhu bisa

mempengaruhi tersedianya energi untuk pertumbuhan dan perkembangan buah

sehingga perhitungan heat unit yang tidak dipengaruhi perbedaan lokasi dan

waktu tanam menjadi pendekatan dalam pengamatan fenologi.

4.2 Perkembangan Bunga

4.2.1 Periode

Pengamatan sampel malai bunga pada tanggal 15 Juli 2019 dengan

panjang tunas sampel yang seragam kurang dari 1 cm menunjukkan periode

perkembangan pada setiap tahap (Tabel 7). Menurut Yulia (2007) pengamatan

fenologi tanaman dengan mengikuti perubahan morfologi dan mencatat informasi

periodik dan iklim lingkungannya.

Page 18: I PENDAHULUAN - IPB University

18

Tabel 7 Periode perkembangan bunga matoa

Tahap Perkembangan Bunga Simbol Durasi (hari) HSIa

Inisiasi malai IM 0 0

Trubus anak malai IM-AM 30 30

Kuncup besar AM-KB 20 50

Anthesis KB-AN 6 56 a hari setelah inisiasi

Pengamatan morfologi perkembangan bunga diamati terhadap trubus

generatif bunga matoa dengan panjang <1 cm (Gambar 3). Perkembangan bakal

malai bunga mulai terlihat menonjol secara visual pada ujung cabang ranting

pohon (IM). Batang malai bunga muda yang berwarna merah keunguan, tumbuh

memanjang setelah satu minggu dengan menunjukkan bakal bunga dan bakal anak

malai sepanjang batang malai. Anak malai tumbuh secara horizontal sekitar 30

hari setelah trubus disekeliling batang malai bunga yang terus tumbuh vertikal

(AM). Anak malai bunga matoa ditandai dengan kuncup bunga disekeliling

cabang anak malai dan apikal induk malai. Kuncup bunga membesar dan

memperlihatkan seludang bunga yang membungkus mahkota (KB). Seludang

bunga kemudian terbuka, menampilkan bunga betina serta beberapa bunga jantan

dalam satu kluster yang menunjukkan bahwa bunga sudah mekar/ anthesis (AN).

Bunga matoa yang mekar akan mengeluarkan aroma khas buah durian

Gambar 3 Tahap perkembangan bunga; inisiasi malai (IM), anak malai (AM),

kuncup besar (KB), anthesis (AN).

Perkembangan bunga pada tahap pertumbuhan tunas anak malai (AM)

berlangsung selama 30 hari setelah inisiasi malai, yaitu berkisar antara 24 sampai

42 hari setelah inisiasi pada pohon yang berbeda. Kuncup bunga besar (KB) yang

ditandai dengan membesarnya seludang bunga berlangsung selama 49,5 atau 50

hari setelah inisiasi. Bunga mekar (AN) berlangsung selama 56 hari setelah

inisiasi malai yaitu enam hari setelah kuncup bunga besar (KB) dengan kisaran 48

sampai 60 hari setelah inisiasi.

4.2.2 Perkembangan Malai Bunga

Perkembangan bunga yang berbeda periode pada setiap tahap

perkembangan bunga dikelompokkan dimulai dari tahap inisiasi malai.

Pertumbuhan dan perkembangan malai sampai bunga anthesis merupakan nilai

rata-rata dari pohon sampel dan malai bunga yang berbeda dengan waktu inisiasi

Page 19: I PENDAHULUAN - IPB University

19

malai yang sama. Jumlah bunga dalam klaster malai tergantung kepada

pertumbuhan malai bunga, semakin baik pertumbuhan malai maka akan semakin

banyak pula bunga pada malai (Gambar 4). Perkembangan malai bunga

dipengaruhi oleh kondisi tumbuh dan lingkungan tanaman matoa.

Gambar 4 Perkembangan bunga (a) panjang dan lebar malai (b) anak malai dan

rasio; PM: panjang malai, LM: lebar malai, AM: anak malai.

Perkembangan panjang dan lebar malai bunga (Gambar 4a) menunjukkan

petumbuhan malai yang dimulai setelah inisiasi dilanjutkan dengan pertumbuhan

anak malai 24 HSI atau sekitar satu bulan. Pertumbuhan malai dan anak malai

berjalan searah sampai umur 60 HSI atau sekitar 2 bulan. Rasio pertumbuhan

panjang malai dan anak malai (Gambar 4b) menunjukkan rasio berbalik nilai,

yaitu pertumbuhan panjang malai mengalami penurunan pada akhir pertumbuhan

sementara pertumbuhan anak malai mengalami peningkatan pertambahan panjang

yang lebih cepat. Jumlah anak malai (Gambar 4b) menunjukkan pertambahan

anak malai meningkat sampai umur 48 HSI dari 4 cabang anak malai menjadi

sekitar 8 anak malai dalam interval waktu 24 hari. Pertambahan anak malai terus

bertambah sesuai dengan pertumbuhan panjang dan lebar malai sampai umur

bunga sampai 2 bulan ketika bunga anthesis (AN).

Fase inisiasi panjang tunas seluruh sampel kurang dari 1 cm. Pertumbuhan

panjang malai sekitar 4 cm dengan lebar kurang dari 1 cm dan 3 anak malai pada

fase pertumbuhan anak malai. Pertambahan panjang malai sekiatar 17 cm dengan

lebar lebih dari 10 cm dan 9 anak malai pada saat bunga mekar. Pertumbuhan

malai utama dan anak malai tumbuh fase anthesis menunjukkan tipe bunga matoa

sebagai inflorescence monopodial (tunas bunga terus tumbuh dan membentuk

bunga lateral sampai antesis seperti yang dijelaskan oleh Desmond et al. (1997).

Menurut Dambreville et al. (2013) menjelaskan bahwa perkembangan

pembungaan tergantung dari faktor lingkungan tumbuh dan faktor internal

tanaman.

Page 20: I PENDAHULUAN - IPB University

20

4.3 Perkembangan Buah

4.3.1 Periode

Pengamatan deskriptif perkembangan buah matoa pada tanggal 18

September dengan dua sampel malai bunga dan malai bunga yang mekar pada

tanggal 2 Oktober dengan satu malai.

Tabel 8 Periode perkembangan buah matoa

Perkembangan Buah Simbol Durasi (hari) HSIa MSAb

Anthesis AN 0 0 0

Buah kecil AN - BK 14 14 2

Buah muda BK – BM 28 42 6

Buah masak BM - M 42 84 12

Buah lewat masak M - BL 14 98 14 a hari setelah inisiasi b minggu setelah anthesis

Pengamatan terhadap perkembangan buah pada tiga malai bunga tersebut

merupakan pengamatan yang tetap, dimulai ketika bunga mekar atau anthesis

sampai buah mencapai umur lewat matang. Tanggal anthesis yang berbeda antara

sampel bunga atau bakal buah tidak mempengaruhi periode tahap perkembangan

buah matoa (Tabel 8).

Pengamatan perkembangan buah setelah bunga anthesis (AN) sampai kulit

buah berubah menjadi berwarna merah diseluruh permukaan luar kulit buah

terjadi selama 84 hari setelah insiasi atau 12 MSA (minggu setelah anthesis) yaitu

sekitar 3 bulan. Perubahan dari bunga menjadi buah bisa terlihat dengan lengkap

setelah buah berumur 14 hari setelah inisiasi atau sekitar 2 minggu setelah bunga

anthesis.

Durasi (interval waktu) perubahan morfologi bunga dari setiap tahap

berbeda-beda. Perubahan dari bunga anthesis sampai buah kecil (BK) berlangsung

selama 14 hari atau sekitar 2 minggu. Perubahan buah buah kecil sampai buah

muda (BM) berlangsung selama 28 hari atau sekitar satu bulan. Perubahan buah

masak (M) berlangsung selama 42 hari setelah buah muda yaitu lebih dari satu

bulan. Perubahan kulit buah yang berwarna merah segar sampai kulit buah

menjadi lebih keras kusam terjadi sekitar 14 hari atau 2 minggu.

Perubahan perkembangan bunga matoa mekar menjadi bakal buah dan

terlihat secara visual bentuk deskriptif buah matoa terjadi pada tahap buah kecil

(Gambar 5). Buah kecil (BK) matoa berwarna hijau muda yang diiris

menunjukkan bakal biji kecil berwarna lebih terang didalam buah matoa. Buah

kecil akan megalami peningkatan massa buah yang cepat sampai kepada tahap

buah muda. Buah muda (BM) matoa yang sudah lebih besar dengan warna kulit

berwarna hijau terang. Buah muda yang diiris menunjukkan daging kulit buah

matoa yang tebal dengan biji matoa berwarna hijau terang yang diselimuti oleh

selaput tipis transparan. Buah muda matoa menunjukkan biji matoa yang memiliki

bentuk seperti biji buah durian.

Page 21: I PENDAHULUAN - IPB University

21

Gambar 5 Tahap perkembangan buah matoa; anthesis (AN), buah kecil (BK),

buah muda (BM), buah masak (M), buah lewat masak (BL).

Kulit hijau buah matoa secara perlahan menjadi merah dan kemerahan

diseluruh permukaan kulit buah yang menjadi penciri bahwa daging buah matoa

sudah masak. Hal ini sesuai dengan kebiasaan konsumtif dari penikmat buah

matoa. Irisan pada buah matoa masak (M) menunjukkan daging buah transparan

kekuningan yang semakin tebal dengan kulit buah yang semakin tipis. Biji buah

matoa sudah berubah berwarna coklat menyerupai biji buah durian yang sudah

masak. Buah matoa masak memiliki aroma khas durian.

Kulit buah matoa secara perlahan berubah menjadi berwarna gelap, keras

dan kusam. Daging buah tidak terlihat tebal dan kenyal tetapi sudah lebih lembek

dan lebih banyak air. Aroma buah sudah tidak terasa segar dan kulit biji berwarna

coklat tua. Tahap perkembangan ini menunjukkan bahwa buah matoa sudah lewat

matang atau overipe.

4.3.2 Fruitset

Kluster bunga matoa termasuk bunga inflorescence sehingga malai bunga

memiliki cabang anak malai. Setiap cabang anak malai memiliki sub anak malai.

AN

BM

BK

M

BL

Page 22: I PENDAHULUAN - IPB University

22

Ujung malai bunga serta ujung anak malai dan sub anak malai ditumbuhi oleh

banyak bunga dengan ukuran kecil. Perkembangan bunga dari anthesis sampai

menjadi buah dan dipanen akan mengalami perubahan dan penurunan. Buah yang

dapat dipanen dari satu kluster malai bunga sekitar 13 buah dari sekitar 500

kuntum bunga matoa yang mekar (Tabel 9).

Tabel 9 Perkembangan fruitset bunga matoa

Pengamatan Lama (HSI)a Jumlah SD

Bunga anthesis (A) 56 517.67 97,01

Buah panen (B) 140 13 3,61

Rasio A/B 2,51% a HSI: hari setelah inisiasi

Pertumbuhan bunga pada setiap malai membuat matoa memiliki banyak

bunga pada setiap malainya, sampai bunga mekar malai matoa memiliki sekitar

+/- 500 bunga. Rasio bunga matoa yang menjadi buah dalam satu rangkaian malai

bunga pada umur 12 minggu setelah anthesis atau sekitar 140 hari setelah inisiasi

(HSI) yaitu sebesar 2,51%. Nilai rasio ini masih perlu dilakukan penelitian lagi

dengan kondisi tanaman dan lingkungan iklim yang berbeda. Penelitian yang

berkelanjutan akan memperoleh data yang lebih komprehensif dan signifikan.

Menurut Ogaya dan Paneulas (2007) nilai fruitset dapat dipengaruhi oleh

faktor lingkungan seperti suhu udara, kelembaban udara, curah hujan serta

intensitas cahaya. Pendapat ini ditambahkan lagi oleh (Rai et al. 2006) yang

menjelaskan faktor internal tumbuhan seperti genetik, fitohormon, air internal,

status karbohidrat dan nutrisi hara juga mempengaruhi nilai fruitset.

4.3.3 Mutu Fisik

Pengamatan mutu fisik dan kimia secara destruktif (Gambar 6) dengan

memetik buah untuk diamati di laboratorium. Pengamatan buah pada umur 2

minggu setelah anthesis (MSA) ketika bentuk deskriptif buah matoa sudah

terbentuk. Pengamatan daging buah (arilloide) dapat diamati saat umur buah 6

MSA saat selaput buah tipis transparan membungkus biji. Pengamatan biji

diamati saat umur buah 4 MSA karena biji matoa kecil sudah terpisah dari dinding

buah. Kelunakan kulit buah diamati ketika umur buah mencapai umur 4 MSA

karena pada umur ini kulit buah sudah cukup keras untuk menahan beban alat

penetrometer. Perubahan kulit buah matoa yang berwarna merah yang menjadi

ciri kematangan buah secara konsumtif.

Pengamatan panjang buah dan diameter buah (Gambar 6a) meunjukkan

pertambahan fisik buah yang meingkat mulai umur buah 2 MSA sampai 8 MSA.

Memasuki tahap pemasakan buah sampai umur 12 MSA pertambahan morfologi

fisik buah berlangsung konstan. Setelah melewati tahap masak buah secara

perlahan terjadi penurunan tampilan fisik buah yang telihat kusam dan mengkerut.

Pengamatan aril atau daging buah (Gambar 6b) menunjukkan peningkata diameter

aril. Peningkatan diameter ini karena daging buah semakin bertambah tebal mulai

Page 23: I PENDAHULUAN - IPB University

23

umur 6 MSA sampai umur buah 12 MSA, yaitu ketika buah mencapai tahap

pemasakan buah.

Gambar 6 Perkembangan buah (a) buah, (b) aril, (c) bobot, (d) kelunakanan kulit

buah, (e) rasio DB/DA, (f) rasio bobot; PB: panjang buah, DB:

diameter buah, TA: tebal aril, DA: diameter aril, BB: bobot buah,

BA: bobot aril, BBj: bobot biji.

Pertambahan ketebalan daging buah menurun setelah umur buah

memasuki tahap lewat masak setelah 12 MSA. Penurunan ketebalan daging buah

disebabkan karena daging buah yang tidak lagi kenyal, tetapi sudah mulai lembek

0

1

2

3

4

5

6

0

1

2

3

4

1 2 4 6 8 10 12 14 16

dia

me

ter

bu

ah

(c

m)

pa

nja

ng

bu

ah

(cm

)

minggu setelah anthesis (MSA))

a

PB DB

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

0

0.4

0.8

1.2

1.6

2

2.4

2.8

1 2 4 6 8 10 12 14 16

dia

me

ter

ari

l(cm

)

teb

al

ari

l (c

m)

minggu setelah anthesis (MSA))

b

TA DA

BM

BK AN

M

BL

BL

M

BM

BK AN

0

3

6

9

12

15

18

21

1 2 4 6 8 10 12 14 16

bo

bo

t (

gr)

minggu setelah anthesis (MSA)

c

BB BA BBj

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

0.35

0.4

1 2 4 6 8 10 12 14 16

kelu

na

ka

n*

10

-3 (

mm

/g/s

)

minggu setelah anthesis (MSA)

d

kelunakan kulit buah

AN BK

BM

AN BK

BM

M

M

BL BL

0

0.4

0.8

1.2

1.6

2

2.4

2.8

1 2 4 6 8 10 12 14 16

dia

me

ter

(cm

)

minggu setelah anthesis (MSA)

e

rasio DB/DA

0

3

6

9

12

15

18

1 2 4 6 8 10 12 14 16

bo

bo

t (

gr)

minggu setelah anthesis (MSA)

f

rasio BB/BA rasio BB/BBj rasio BBj/BA

Page 24: I PENDAHULUAN - IPB University

24

dan berair. Bobot buah matoa meningkat selama 10 minggu mulai dari buah kecil

(BK) pada umur 2 MSA sampai buah masak (M) pada umur buah 12 MSA.

Penurunan bobot buah terjadi setelah umur buah 12 MSA yaitu ketika penampilan

buah juga mengalami penurunan. Pengamatan bobot pada buah, aril dan biji

(Gambar 6c) menunjukkan peningkatan bobot sampai umur buah 12 MSA. Bobot

mengalami penurunan setelah 12 MSA. Nilai bobot yang turun pada buah sejalan

dengan peurunan bobot aril. Penuruna bobot buah dan aril tidak diikuti oleh bobot

biji karena bobot biji meningkat setelah 14 MSA. Bobot buah mengalami

penurunan pada umur 12 MSA dari sekitar 19 gram menjadi 11 gram pada umur

14 MSA. Perubahan morfologi buah diikuti oleh perubahan kualitatif dan

kuantitatif.

Tingkat kelunakan daging buah (Gambar 6d) mengalami penurunan

sampai buah matang dan lewat matang. Penurunan kelunakan kulit buah ini

menunjukkan bahwa semakin bertambah umur buah, maka kulit buah matoa akan

semakin bertambah keras. Buah matoa yang lewat matang mengalami perubahan

fisik kulit buah yang kusam dan mengeras. Menurut Khandaker dan Boyce (2016)

menjelaskan bahwa secara umum indikator kematangan dapat ditentukan dengan

melihat perubahan bentuk buah, warna kulit buah, kekerasan kulit buah dan bobot

buah.

Rasio diameter pertumbuhan buah terhadap diameter pertumbuhan aril

buah (Gambar 6e) menunjukkan garis grafik turun sampai umur buah 12 MSA,

kemudian naik setelah buah lewat masak. Garis grafik turun menunjukkan nilai

rasio berbalik nilai yaitu diameter aril buah yang mengalami peningkatan lebih

besar dibandingkan penambahan diameter buah yang mulai konstan. Garis grafik

mulai naik setelah umur buah 12 MSA. Grafik naik menunjukkan rasio senilai

yaitu diameter buah (Gambar 6a) dan diameter aril (Gambar 6b) mengalami

perubahan fisik yang sama.

Perbandingan pertambahan dan perkembangan bobot antara buah, aril dan

biji ditampilkan pada rasio perkembangan bobot (Gambar 6f) yang menunjukkan

rasio antara bobot buah terhadap bobot aril (BB/BA), bobot buah terhadap bobot

biji (BB/BBj) dan bobot biji terhadap bobot aril (BBj/BA). Rasio bobot buah

terhadap bobot aril (BB/BA) menunjukkan grafik rasio berbalik nilai sampai umur

buah 12 MSA, hal ini sama seperti grafik diameter buah terhadap diameter aril

(Gambar 6e). Peningkatan bobot aril yang naik lebih cepat dibandingkan bobot

buah yang mulai kostan sampai umur buah 12 MSA. Setelah umur buah 12 MSA

garis grafik menunjukkan garis rasio senilai yang artinya pertambahan bobot buah

(BB) diikuti bobot aril (BA).

Rasio bobot buah terhadap bobot biji (BB/BBj) menunjukkan rasio senilai

sampai umur buah 8 MSA, yang artinya penambahan bobot buah diikuti oleh

penambahan bobot biji. Grafik rasio berbalik nilai terjadi setelah umur buah 8

MSA, artinya bobot biji tetap mengalami peningkatan dibandingkan bobot buah.

Peningkatan bobot biji terus terjadi sampai umur buah lewat matang (16 MSA).

Rasio bobot biji terhadap bobot aril (BBj/BA) meunjukkan rasio berbalik nilai

sampai umur 12 MSA, hal ini menunjukkan bobot aril mengalami peningkatan

sampai umur buah 12 MSA. Grafik rasio senilai terjadi setelah 12 MSA yang

artinya bobot biji tetap mengalami peningkatan dibandingkan bobot aril buah

yang mengalami penurunan setelah 12 MSA.

Page 25: I PENDAHULUAN - IPB University

25

4.3.4 Mutu Kimia

Pengamatan dilaksanakan secara destruktif dengan memetik buah dan

dilaksanakan berkelanjutan dari malai bunga dan waktu anthesis yang sama.

Pengamatan asam tertitrasi total dan padatan terlarut total dengan menggunakan

daging buah (arilloide) sebagai sampel segar matoa dapat dilihat pada grafik

(Gambar 7).

Gambar 7 Mutu kimia buah (a) kandungan ATT, (b) kandungan PTT, ATT: asam

tertitrasi total, PTT: padatan terlarut total.

Nilai asam tertitrasi total (ATT) meningkat pada umur buah 8 MSA

kemudian turun pada umur 16 MSA, yaitu pada tahap buah muda (BM) sampai

buah lewat matang (BL). Nilai padatan terlarut total (PTT) daging buah matoa

mengalami peningkatan sampai umur buah 12 MSA, kemudian mengalami

penurunan setelahnya. Peningkatan PTT diikuti oleh perubahan kulit buah

menjadi merah sebagai penciri buah matoa masak (M). Rasio PTT terhadap ATT

menunjukkan kecendrungan PTT yang lebih dominan daripada kandungan asam

pada daging buah matoa. Menurut Ribeiro dan deFreitas (2019) dengan mengikuti

pola nilai asam askorbat pada kultivar acerola menyimpulkan bahwa asam

tertitrasi total cenderung turun selama proses pematangan buah.

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

2 4 6 8 10 12 14 16

AT

T (

%)

minggu setelah anthesis

a

ATT

M

14

16

18

20

22

24

26

2 4 6 8 10 12 14 16P

TT

(0

Bri

x)

minggu setelah anthesis

b

PTT

BM BK BL BK BM

M

BL

Page 26: I PENDAHULUAN - IPB University

26

5.1 Simpulan

Perkembangan bunga sampai anthesis terjadi sekitar 56 hari setelah inisiasi

dengan panjang malai sekitar 17 cm dengan lebar 19 cm dan anak malai dapat

mencapai 16 cabang. Tipikal perkembangan kompleks bunga matoa termasuk

inflorescence monopodial. Fruitset bunga matoa pada umur 12 minggu setelah

anthesis sebesar 2,51%. Inisiasi dimulai pada bulan Juli 2019 ketika intensitas

curah hujan lebih rendah dibandingakan curah hujan sebelumnya. Akumulasi heat

unit dari suhu harian mulai inisiasi sampai buah matang selama 140 hari sebesar

2620,05oC.

5.2 Saran

Penelitian yang berkelanjutan dengan iklim, elevasi tumbuh serta jenis

tanaman matoa dengan warna kulit buah yang berbeda dibutuhakan untuk

mendapatkan data fenologi dan fisiologi perkembangan bunga dan buah matoa

yang lebih spesifik.

V SIMPULAN DAN SARAN

Page 27: I PENDAHULUAN - IPB University

27

DAFTAR PUSTAKA

Alva AK, Paramasivamb S, Obreza TA, Schumann AW. 2006. Nitrogen best

management practice for citruss trees, I. fruit yield, quality and leaf

nutritional status. Science Horticulture. 107: 233-244.

Ardie SW, Rahayu S, Susila AD, Sopandie D. 2014. Fase perkembangan bunga

dan kandungan gula endogen pada pembungaan Hoya diversifolia Blume.

Jurnal Agrotek Tropical. 3(1): 1-5.

Aref F. 2012. Manganese, iron and copper contents in leaves of maize plant (Zea

mays L.) grown with different boron and zinc micronutrients. African

Journal of Biotechnology. 11 (4): 896-903.

Balta MF, Muragdoglu F, Askin MA, Kaya T. 2007. Fruitset and fruit drop in

turkish africot (Prunus armeniaca L.) varieties grown under ecological

condition of van. Turkey Asian Journal of Plant Science. 6 (2): 298-303.

Batten DJ, Lahav E. 1994. Base temperatures for growth processes of lychee, a

recurrently flushing tree, are similar but optima differ. Australian Journal

Plant Physiology. 21: 589-602. http://doi.org/10.1071/PP9940589

Bernier G, Havelange A, Houssa C, Petitjean A, Lejeune P. 1993. Physiologycal

signals that induce flowering. Plant Cell. 5: 1147-1155.

[BMKG] Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika. 2019. Buletin Informasi

Iklim Provinsi Jawa Barat. Stasiun Klimatologi Bogor. Tahun XIX: 9.

Bohnet B. 2009. Efficient parsing of syntactic and sematic dependency structures.

Proceeding of CoNLL-09.

[BPTP] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua. 2014. Buku Seri Tanaman

Khas Papua: Matoa. Jayapura (ID). Papua.

Chauhan H, Sharma G, Jindall KK. 2006. Studies on flowering, pollination and

fruitset in some apple cultivars. Indian Journal Agriculture Science. 75(10):

667-669.

Chen S, Hsu M, Fang H, Tsai S, Liang Y. 2017. Effect of harvest season, maturity

and storage temperature on storability of carambola ‘honglong’. Fruit

Science Horticulture. Amsterdam. 220: 42-51.

Dafni A. 1993. Pollination Biology: Practical Approach. Oxford. University

press.

Damayanti NLD. 2002. Daya antibakteri ekstrak etanol kulit batang matoa

(Pometia pinnata JR. G. Forst.) terhadap staphylococcus aureus dan

Eschericia coli. [skripsi]. Yogyakarta (ID): Universitas Sanata Dharma.

Dambreville AP, Lauri C, Trottier Y, Guedon F, Normand. 2013. Dechipering

structural and temporal interplays during the architectural development of

mango trees. Journal of Experiment Botany. 64 (8): 2467-2480.

Desmond B, Oliver R, Coral V, Rosemary C, Enrico C. 1997. Inflorescence

commitment and architecture in Arabidopsis. Science. 275: 80-83.

doi:10.1126/science.275.5296.80.

Effira N, Anwar A, Yusniwati. 2018. Seed physiological changes matoa (Pometia

pinnata) during storage. International Journal of Environment, Agriculture

and Biotechnology (IJEAB). 3(6). doi:10.22161/ijeab/3.6.31.

Page 28: I PENDAHULUAN - IPB University

28

Faustina F, Santoso F. 2014. Extraction of fruit peels of Pometia pinnata and its

antioxidant and antimicrobial activities. Journal Penelitian Pascapanen

Pertanian. 11 (2): 80-88.

Fauzi AA, Sutari W, Nursuhud, Mubarok S. 2017. Faktor yang mempengaruhi

pembungaan pada mangga (Mangifera indica L.). Jurnal Kultivasi. 16 (3).

Fitri A. 2015. Identification of phytochemical and antioxidant activity in peel and

seed of tropical fruits from Indonesia. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian

Bogor.

Furray A. 2019. Kajian parameter mutu buah matoa jenis kuning (Pometia

pinnata) menggunakan pengolahan citra digital. [tesis]. Bogor(ID): Institut

Pertanian Bogor.

Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1991. Physiology of Crop. Herawati S:

Penerjemah. Fisiologi Tanaman Budidaya. Jakarta (ID). UI Press.

Gogi MD, Arif JM, Asif M, Abdin Z, Bashir MH, Ashad M, Khan MA, Abbas Q,

Shahid MR, Anwar A. 2012. Impact of nutrient management schedules on

investation of Bemisia tabaci in yield of non-BT cotton (Gossypium hirsu-

tum) under unsprayed condition. Fakultas Entomology. 34(1): 87-92.

Haeruddin A, Farida. 2017. Limbah serutan kayu matoa (Pometia pinnata)

sebagai zat warna alam pada kain batik katun. Jurnal Kemenperin. 34(1):

43-45.

Hamid AA, Aiyelaagbe OO, Usman LA. 2010. Antioxidant: its medical and

pharmalogical applications. African Journal of Pure and Applied Chemistry.

4(8): 142-151.

Hanson DE, Nichols JD, Steele OC. 2005. Methods of propagation for some

important Samoan timber tree species. Journal of Tropical Forest Science.

17(2): 315-318,

Hanum SF dan Lestari D. 2017. Fenologi pembungaan Areca vestiaria giseke di

Kebun Raya Eka Karya Bali. Buletin Kebun Raya. Vol. 20: 2.

Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Pusaka Utama.

Herawati MS. 2015. Kajian status kesuburan tanah di lahan kakao Kampung

Klain Distrik Mayamuk Kabupaten Sorong. Jurnal Agroforestry. 10: 201-

208.

Jamsari, Yaswendri, Kasim M. 2007. Fenologi perkembangan bunga dan buah

spesies Uncaria gambir. Biodiversitas. 8 (2): 141-146.

Kartasapoetra AG. 1994. Teknologi Penanganan Pascapanen. Rineka Cipta.

Jakarta.

Kawamura F, Shaharuddin NA, Sulaiman O, Hashim R, Ohara S. 2010.

Evaluation on antioxidant activity, antifungal activity and total phenol of

eleven selected commercial Malaysian timber species. JARQ. 44 (3): 319-

324.

Khandaker MM, Boyce AN. 2016. Growth, distribution and physiochemical

properties of wax apple (Syzigium samarangense). Australian Journal of

Crop Science. 10(12): 1640-1648. doi: 10.21475/ajcs.2016.10.12.PNE306.

Kikuzaki H, Hisamoto M, Hirose K, Akiyama K, Taniguchi H. 2002. Antioxidant

properties of ferulic acid and its related compound. Journal Agriculture

Food Chemistry. 50: 2161-2168.

Page 29: I PENDAHULUAN - IPB University

29

Koesmaryono Y, Sangaji S, June T. 2002. Akumulasi panas tanaman soba

(Fagopyrum esculentum) cv. Kitaware pada dua ketinggian di iklim tropika

basah. Jurnal Agromet Indonesia. 15(1): 8-13.

Koppitke PM, Menzies NW, Wang P, Blamey F, Pax C. 2016. Kinetics and

nature of aluminium rhizotoxic effects. Journal of Experimental Botany. 67

(15): 4451-4467. doi:10.1093./jxb/erw/223.

Kumar M, Ponnuswami V, Kumar PJ, Saraswathy S. 2014. Influence of season

affecting flowering and physiology parameters in mango. SRE. 9 (1): 1-6.

doi: 10.5897./SRE2013.5775

Kuspradini H, Pasedan WF, Kusuma IW. 2016. Aktivitas antioksidan dan

antibakteri ekstrak daun Pometia pinnata. Jurnal Jamu Indonesia. 1(1): 26-

34.

Lely N, Ayu AM, Adrimas. 2016. Efektivitas beberapa fraksi daun matoa

(Pometia pinnata JR. Forst & G. Forst) sebagai antimikroba. Jurnal Ilmiah

Bakti Farmasi. 1(1): 51-60.

Liferdi. 2007. Diagnosis status hara menggunakan analisis daun untuk menyusun

rekomendasi pemupukan pada tanaman manggis (Garcinia mangostana L.).

[tesis]. Bogor (ID). Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Lim TK. 2013. Edible Medicinal and Non-medicinal Plants. Vol 6. Springer

Dordrecht Heidelberg. London (UK). doi:10.1007/978-94-007-5628-1.

Liu Y, Hao X, Lu Q, Zhang W, Zhang H, Wang L, Yang Y, Xiao B, Wang X.

2020. Genome-wide identification and expressioan analysis of flowering-

related genes reveal putative floral induction and differentiation mechanisms

in tea plant (Camelia sinensis). Genomics.

Luis AG, Fornes F, Guardiola JL. 2009. Leaf carbohydrate and flower information

in citrus. Journal America Society Horticulture Science. 129 (2): 222-227.

Martiningsih NW, Widana G, Kristiyanti P. 2016. Skrining fitokimia dan uji

aktivitas antioksidan ekstrak etanol daun matoa (Pometia pinnata) dengan

metode DPPH. Prosiding Seminar Nasional MIPA. Singaraja:Undiksha.

332-338.

Matuputun SP, Rorong JA, Pontoh J. 2013. Aktivitas inhibitor α-glukosidase

ekstrak kulit batang matoa (Pometia pinnata Spp.) sebagai agen

antihiperglikemik. Jurnal Unsrat. 2 (2): 119-123.

Mcsteen P, Laudencia-chingcuanco D, Colasanti J. 2000. A floret by any other

name: control of meristem identity in maize. Trends in Plant Science. 5: 61-

66.

Ogaya R, Paneulas J. 2007. Drought effects on flower and fruit production in a

mediterranian holm oak forest. Forestry: An International Journal of Forest

Research. 80 (3): 351-357. doi:10.1093/forestry/cpm009.

Parvathi MS, Salimath M, Ramu SV, Udayakumar M. 2014. Current status of

flowering control: will it provide options for chemical regulation of

flowering?. The Society for Development of Subtropical Horticultures

(SDSH). Rehmankhera Lucknow UttarPradesh. 226(1).

Piskaut P, Damas K, Daur P. 2006. The status of the timber tree: Pometia pinnata

and its trade in Papua New Guinea. University of Papua New Guinea. Papua

New Guinea.

Poerwanto R. 2003. Pengelolaan Tanah dan Pemupukan Kebun Buah-buahan.

Bahan ajar. Program Studi Hortikultura. Institut Pertanian Bogor.

Page 30: I PENDAHULUAN - IPB University

30

Pusat Penelitian Tanah. 1983. Kriteria Penilaian Data Analisis Sifat Kimia

Tanah. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Departemen Pertanian.

Putri SP, Yamamoto S, Tsugawa H, Fukusaki E. 2013. Review current

metabolomics: Technology advances. Journal Bioscience. 1:1-8.

Purwidyaningrum I, Elin YS, Irda F. 2016. Diuretic activity of different organs of

matoa (Pometia pinnata) extracts and its influence on potassium and sodium

levels. International Journal Pharmacognosy and Phytochemical Research.

8 (2): 244-247.

Rahimah E, Sayekti A, Jayuska. 2013. Karakterisasi senyawa flavonoid hasil

isolate dari fraksi etil asetat daun matoa (Pometia pinnata JR. Forst & G.

Forst). Jurnal Kimia Khatulistiwa. 2 (2): 84-89.

Rai N, Poerwanto R, Darusman LK, Purwoko BS. 2006. Perubahan kandungan

giberelin dan gula total pada fase-fase perkembangan bunga manggis.

Hayati. 101-106.

Rai N, Semarajaya CGA, Wiraatmaja IW. 2010. Studi fenofisiologi pembungaan

salak gula pasir sebagai upaya mengatasi kegagalan fruitset. Jurnal

Hortikultura. 20 (3): 216-222.

Ribeiro BS, deFreitas ST. 2019. Maturity stage at harvest and storage temperature

to maintain postharvest quality of acerola fruit. Scientia Horticulturae. 260.

doi:10.1016/j.scienta.2019.108901.

Rocuzzo G, Zanotelib D, Allegra M, Giuffrida A, Torrisia BF, Leonardi A,

Qui~nonesc A, Intriglio F, Tagliavini M. 2012. Assesing nutrient uptake by

field-grown orange trees. Europan Journal Agronomy. 41:73-80.

doi:10.1016/j.eja.2012.03.011.

Sada TJ, Rosye THR. 2010. Keragaman tumbuhan obat tradisional di kampong

Nansfori Dsitrik Supiori Utara Kabupaten Supiori-Papua. Jurnal Biologi

Papua. 2(2).

Saleem BA, Ziaf K, Farooq M, Ahmed W. 2005. Fruitset and drop patterns as

affected by type and dose of fertilizer application in mandarin cultivars

(Citrus reticulata Blanco). International Journal of Agriculture and

Biology. 7(6): 962-965.

Salisbury FB dan Ross CW. 1992. Plant Physiology. Lukman DR dan

Sumaryono: penerjemah. Fisiologi Tumbuhan. 1: 241p. Bandung: ITB

Press.

Santoso B, Murtiningrum, Sarungallo ZL. 2011. Morfologi buah selama tahap

perkembangan buah merah (Pandanus conoideus). Jurnal Agrotek. 2(6): 23-

29.

Saroj. 2014. Diagnostic accuracy of provocative test in Lateral epicondylitis.

International Journal of Physiotherapy and Research.2(6): 815-823.

Schroth G, Elias MEA, Macedo JLV, Mota MSS, Lieberei R. 2002. Mineral

nutrition of peach palm (Bactris gasipes) in Amazonian agroforestry and

recommendations for foliar analysis. European Journal of Agronomy.

17:81-92.

Sitompul SM, Guritno B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta

(ID). Universitas Gajah Mada Press.

Storey R, Treeby MT. 2000. Seasonal change in nutrient concentrations of navel

orange fruit. Scientia Horticulture. 84: 67-82.

Page 31: I PENDAHULUAN - IPB University

31

Storey R, Treeby MT. 2002. Nutrient uptake into navel oranges during fruit

development. The Journal of Horticultural Science and Biotechnology.

77(1): 91-99. DOI: 10.1080/14620316.2002.11511463.

Suedee A, Tewtrakul S, Panichayupakaranant P. 2013. Anti-HIV-1 integrase

compound from Pometia pinnata leaves. Pharmaceutical Biology. 51(10):

1256-1261. DOI:10.3109/138802092013.786098.

Sumner ME dan Yamada T. 2002. Farming with acidity. Communications in Soil

Science and Plant Analysis. 33(15-18): 2467-2496. doi: 10.1081/CSS-

120014461.

Susila AD. 2004. Fungsi Hara. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Institut

Pertanian Bogor.

Tabla VP, Vargas CF. 2004. Phenology and phenotypic natural selection on the

flowering time of deceit-pollinated tropical orchid Myrmecophila christinae.

Annals of Botany. 94(2): 243-250.

Tagliavini M, Zavalloni C, Rombola AD, Quartieri M, Malaguti D, Mazzanti F,

Millard P, Marangoni B. 2007. Nutrient release during the decomposition of

abscised leaves and mowed grasses in an apple (Malus domestica) orchard.

Agriculture Ecosystems and Environment. 118: 191-200.

Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. 3rd ed. England (GB). Sinauer

Associates.

Thomson LAJ, Thaman RR. 2006. Pometia pinnata JR. Forst & G. Forst (tava).

Elevitch CR (ed.). Permanent Agriculture Resource Publishers. Holualoa-

Hawai (US). 1-17.

Tjitrosoepomo G. 2003. Morfologi Tumbuhan. Yogyakarta (ID): Universitas

Gajah Mada Press.

Trimedona N, Nurdin H, Darwis D, Efdi M, 2017. Matoa (Pometia pinnata JR.

Forst. & G. Forst.) sebagai sumber senyawa antibakteri potensial. Prosiding:

Inovasi teknologi dalam mewujudkan kemandirian pangan nasional

berkelanjutan. Payakumbuh: Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh.

Vemmos SN. 1995. Carbohydrate changes in flowers, leaves, shoots and spurs of

Cox’s orange pippin apple during flowering and fruit setting periods.

Journal Horticultural Science. 70: 889-900.

Vickery B, Vickery L. 1981. Secondary Metabolism. The Mcmillan Press Ltd.

London and Basingstoke. doi:10.1007/978-1-349-86109-5.

Wambrauw HL. 2011. Karakterisasi morfologi dan isozim matoa (Pometia

pinnata Forst.). [tesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Yulia ND. 2007. Kajian fenologi fase pembungaan dan pembuahan

Paphiopedilum glaucophyllum JJ. Sm. Var. glaucophyllum. Biodiversitas.

8(1): 8-62.

Zanuary AR. 2014. Efektivitas daya antibakteri ekstrak daun matoa (Pometia

pinnata JR. Forst & G. Forst.) dalam berbagai konsentrasi terhadap

pertumbuhan Streptococcus mutans (in vitro). [skripsi]. Semarang

:Universitas Islam Sultan Agung.

Zeng Q, Brown PH. 2001. Potassium fertilization affect soil K, leaf K

concentration and nut yield and quality of mature Pistachio trees.

Horticultural Science. 36(1): 85-89.

Page 32: I PENDAHULUAN - IPB University

44

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Medan pada tanggal 19 Agustus 1980 sebagai

anak ke 2 (dua) dari pasangan bapak Amri dan ibu Asmaniar. Pendidikan sarjana

ditempuh di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian

Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara dan lulus pada tahun 2004. Pada

tahun 2018, penulis diterima sebagai mahasiswa program magister (S-2) di

Program Studi Agronomi dan Hortikultura pada Sekolah Pascasarjana Universitas

Institut Pertanian Bogor (IPB) dan menamatkannya pada tahun 2021 (untuk

mahasiswa S-2).

Penulis bekerja sebagai Surveyor di PT. Sarbi Moerhani Lestari pada tahun

2020 di Bogor. Assisten Manejer di PT. Amaryllis Wijaya Kususma pada tahun

2017 s/d 2019 di Cisarua, Bogor. Chief Staff di PT. Wijaya Perdana pada tahun

2010 s/d 2017 di Jakarta. Supervisor Agronomy di PT. SUCACO Tbk pada tahun

2007 s/d 2010 di Balaraja, Banten. Field Assisten di PT. Agro Indomas pada

tahun 2007 di Sampit, Kalimantan Tengah. Conductor di PT. Multigambut

Industri pada tahun 2005 s/d 2006 di Tembilahan, Riau. Foreman di PT.

Agrowiyana Bakrie Plantation pada tahun 2004 s/d 2005 di Tebing Tinggi, Jambi.

Apprenticer di pabrik PTPN III pada tahun 2004 di Tebing Tinggi, Sumatera

Utara.

Karya ilmiah berjudul Studi Fenofisiologi Perkembangan Bunga dan

Perkembangan Buah Matoa (Pometia pinnata) telah disajikan pada Seminar Hasil

dan publikasi di Journal Applied of Horticulture (JAH). Karya ilmiah tersebut

merupakan bagian dari program S-2 penulis.