I. PENDAHULUAN -...

30
1 I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pisang merupakan tanaman hortikultura penting yang menjadikan Indonesia negara dengan produktivitas pisang terbesar di dunia semenjak sepuluh tahun terakhir, dengan rerata mencapai 55 ton/Ha. Dalam lima negara dengan produktivitas pisang terbesar di dunia, seperti ditunjukkan gambar 1.1, Indonesia merupakan satu- satunya negara dari kawasan Asia Tenggara. Padahal kawasan Asia Tenggara merupakan kawasan pusat asal (center of origin) tanaman pisang, yang menyimpan kekayaan biodiversitas yang besar, sehingga potensi kawasan ini lebih baik dibandingkan kawasan lainnya. Sumber: FAO, 2014 Gambar 1.1 Lima negara dengan produktivitas tertinggi di dunia menurut FAO Oleh Ploetz (2006) dinyatakan bahwa semenjak tahun 1990-an, berkembang penyakit layu pada pisang yang berdampak pada penurunan produksi pisang di kawasan Asia Tenggara hingga mempengaruhi perdagangan pisang di negara-negara barat dan negara dengan pisang sebagai bahan pangan pokok. Begitu pula dengan Indonesia, yang mengalami penurunan kuantitas ekspor pisang semenjak tahun 1997

Transcript of I. PENDAHULUAN -...

Page 1: I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76745/potongan/S1-2014... · pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

1

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pisang merupakan tanaman hortikultura penting yang menjadikan Indonesia

negara dengan produktivitas pisang terbesar di dunia semenjak sepuluh tahun

terakhir, dengan rerata mencapai 55 ton/Ha. Dalam lima negara dengan produktivitas

pisang terbesar di dunia, seperti ditunjukkan gambar 1.1, Indonesia merupakan satu-

satunya negara dari kawasan Asia Tenggara. Padahal kawasan Asia Tenggara

merupakan kawasan pusat asal (center of origin) tanaman pisang, yang menyimpan

kekayaan biodiversitas yang besar, sehingga potensi kawasan ini lebih baik

dibandingkan kawasan lainnya.

Sumber: FAO, 2014

Gambar 1.1 Lima negara dengan produktivitas tertinggi di dunia menurut FAO

Oleh Ploetz (2006) dinyatakan bahwa semenjak tahun 1990-an, berkembang

penyakit layu pada pisang yang berdampak pada penurunan produksi pisang di

kawasan Asia Tenggara hingga mempengaruhi perdagangan pisang di negara-negara

barat dan negara dengan pisang sebagai bahan pangan pokok. Begitu pula dengan

Indonesia, yang mengalami penurunan kuantitas ekspor pisang semenjak tahun 1997

Page 2: I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76745/potongan/S1-2014... · pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

2

dan semakin turun drastis pada tahun 2000, sebagaimana ditunjukkan gambar 1.2.

Semenjak itu, ekspor pisang Indonesia memasuki masa kelam karena beberapa tahun

tercatat tidak ada ekspor sama sekali (Anonim, 2014).

Sumber: FAO, 2014

Gambar 1.2 Ekspor pisang Indonesia tahun 1992-2011 menurut FAO

Penyakit layu pada pisang salah satunya disebabkan oleh jamur Fusarium

oxysporum Schlecht f.sp. cubense. Infeksi jamur ini mengakibatkan kelayuan pada

tanaman pisang bahkan hingga mengakibatkan kematian. Infeksi fatal pada

pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

dan bertahan di dalam tanah hingga 30 tahun (Moore et al., 1995), sehingga langsung

berpengaruh terhadap produktivitas lahan. Dinyatakan oleh Dale (2012) bahwa

penyakit ini lebih lambat menyebar dibandingkan dengan penyakit darah. Namun

faktor penentu persebaran adalah mobilitas tanaman pisang yang sudah terinfeksi

sehingga prediksi kecepatan sebar yang lambat dapat berubah seketika mengingat

kondisi Indonesia yang berpulau-pulau meningkatkan resiko perpindahan bahan

tanam tanpa pengawasan yang ketat. Ditambah dengan kemampuan patogen bertahan

Page 3: I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76745/potongan/S1-2014... · pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

3

di tanah hingga puluhan tahun mengakibatkan kesulitan dalam menangani lahan

yang telah terinfestasi.

Pengendalian penyakit layu Fusarium pada pisang banyak diusahakan baik

dengan menggunakan pestisida kimia maupun pengendalian secara kultur teknis.

Penggunaan pestisida kimia melalui fumigasi tanah menggunakan metil bromida

diketahui berbahaya dan tidak efektif karena infestasi patogen dapat berulang setelah

dua hingga tiga tahun setelah aplikasi. Pengendalian secara kultur teknis dilakukan

dengan menanam varietas tahan, menjaga sanitasi lahan tanam, penggunaan saprodi

bebas patogen, dan lain-lain. Sejauh ini pengendalian secara kultur teknis dengan

prinsip pencegahan hanya efektif pada lahan yang masih bebas dari infeksi patogen

(Vicente, 2004).

Pengembangan usaha pengendalian dengan memanfaatkan dukungan alami

lingkungan kemudian banyak diusahakan. Salah satunya yaitu dengan menggunakan

tanah supresif. Tanah supresif didefinisikan sebagai tanah dengan insidensi penyakit

tular tanah yang tetap rendah meskipun terdapat inokulum patogen dan kondisi

lingkungan sesuai bagi ekspresi penyakit di tanaman inang (Cook dan Baker, 1983,

cit. Alabouvette, 2001). Mekanisme penekanan penyakit di tanah supresif masih

memerlukan pengkajian lebih dalam karena keberadaan tanah ini masih sedikit yang

diketahui. Untuk itu diperlukan eksplorasi keberadaan tanah supresif dan

pengkajiannya dalam penekanan penyakit, terutama penyakit layu Fusarium pisang.

Salah satu teknik pengkajian yang bisa dilakukan yaitu melalui pengujian

dengan menggunakan makhluk hidup (bioassay). Teknik bioassay dikenal sebagai

teknik yang murah dan mudah diaplikasikan untuk mengetahui respon tanah terhadap

suatu perlakuan (Pfeiffer, 2004). Teknik ini dapat menunjukkan hasil interaksi faktor

dan proses dalam tanah sehingga dapat memberikan gambaran mengenai dukungan

tanah terhadap tanaman. Dalam studi tanah supresif, teknik bioassay diterapkan

untuk mengetahui respon tanah terhadap keberadaan patogen penyebab penyakit

yang diamati melalui performa tanaman uji.

Page 4: I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76745/potongan/S1-2014... · pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

4

2. Tujuan

2.1 Mengetahui tingkat keparahan penyakit layu Fusarium pada pisang yang ditanam

pada tanah supresif.

2.2 Mengetahui populasi patogen penyebab layu Fusarium pisang di tanah supresif.

3. Kegunaan

3.1 Memberikan data keberadaan tanah supresif dan kondusif terhadap layu

Fusarium pisang.

3.2 Memberikan informasi teknik bioassay untuk mengetahui kemampuan tanah

supresif dalam menekan penyakit layu fusarium pisang.

Page 5: I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76745/potongan/S1-2014... · pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Tanaman Pisang (Musa sp.)

Pisang merupakan buah yang umum dikenal oleh masyarakat Indonesia dan

menjadi bahan pangan utama nomor empat di dunia setelah padi, gandum dan jagung

(Frison dan Sharrock, 1999 cit. Anonim, 2007). Heslop-Harrison dan Schwarzacher

(2007) menyatakan asal tanaman pisang berada di kawasan Indonesia dan Malaysia

dan tersebar di kawasan Asia Tenggara. Namun menurut CGIAR (2012c), bentangan

asal tanaman pisang adalah dari India hingga Papua Nugini, termasuk di dalamnya

Indonesia dan Malaysia. Selain kawasan tersebut, Afrika diduga merupakan pusat

asal pisang yang kedua karena ditemukan jenis East African Highland Bananas yang

tidak tumbuh di kawasan lain serta banyaknya variasi spesies pisang olahan di benua

ini (Ploetz et al., 2007)

Masyarakat Indonesia tidak membedakan antara penyebutan pisang buah segar

maupun buah olahan tetapi dalam dunia internasional ada perbedaan penyebutan

antara keduanya. Banana merujuk pada pisang sebagai buah segar yang dapat

dikonsumsi langsung sedangkan plantain merujuk pada pisang yang harus diolah

sebelum dapat dikonsumsi, meskipun dalam keadaan benar-benar masak dapat

dikonsumsi langsung. Deskripsi plantain menurut CGIAR (2012c) mempunyai

karakter buah yang lebih panjang, kulit lebih tebal dan kandungan pati yang lebih

tinggi. Berdasarkan kegunaannya, buah pisang dibagi menjadi 4 yaitu (Anonim,

2011):

a. Dessert banana: dapat dikonsumsi langsung sebagai buah meja, jenisnya meliputi

Cavendish, Red Banana, Apple Banana, Gros Michel, dan lain-lain.

b. Cooking banana: konsumsi melalui pengolahan terlebih dahulu, jenis yang

familiar misalnya East African Highland Banana.

c. Beer banana: kultivar yang khusus digunakan untuk jus, bir, maupun wine,

kebanyakan merupakan anggota East African Highland Banana, seperti jenis Beer,

Musakala, Nakabululu dan sebagainya.

d. Multipurpose banana: misalnya hibrid hasil pemuliaan Fundación Hondureña de

Investigación Agricola (FHIA).

Page 6: I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76745/potongan/S1-2014... · pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

6

Tanaman pisang tergolong dalam family Musacea bersama satu genus lain

yaitu Ensete (Ploetz et al., 2007). Tanaman pisang umum disebut “pohon” meskipun

karakter fisiknya adalah herba monokotil dengan batang semu (Tomlinson, 1969 cit.

Heslop-Harrison dan Schwarzacher, 2007). Batang yang sesungguhnya pada

tanaman pisang yaitu bagian bonggol, yang ditandai dengan adanya buku-buku

(nodes dan internodes). Tunas yang tumbuh dari bonggol banyak dipergunakan

sebagai bahan tanam secara vegetatif. Meskipun begitu, secara alami dapat terjadi

perkawinan sehingga memungkinkan terbentuk hibrid. Kebanyakan pisang yang

dapat dikonsumsi merupakan hasil perkawinan dalam spesies Musa acuminata dan

persilangan alami antara M. acuminata dengan M. balbisiana. M. acuminata berasal

dari kawasan hutan tropis di Asia Tenggara sedangkan M. balbisiana berasal dari

kawasan Asia Tenggara bagian utara dan Asia Selatan. Karena ada kesamaan

kawasan persebaran, banyak ditemukan jenis pisang hasil hibridisasi alami dari

keduanya di kawasan overlapping tersebut (Ploetz et al., 2007).

Tetua M. acuminata dan M. balbisiana bergenom diploid masing-masing AA

dan BB. Anggota subgrup diploid yang dibudidayakan merupakan klon bergenom

AA, seperti pisang Barangan dan pisang Mas, dan AB yang banyak ditemukan di

kawasan India dan Afrika. Kelompok genom BB (M. balbisiana) tidak mengalami

evolusi partenokarpi sehingga buahnya berbiji banyak dengan pati yang sedikit

(Heslop-Harrison dan Schwarzacher, 2007). Akibatnya pisang bergenom BB tidak

dapat dikonsumsi tetapi lebih tahan terhadap penyakit, sehingga berpotensi sebagai

tetua untuk pemuliaan tanaman tahan (Morton, 1987). Kultivar Tani adalah salah

satu pisang bergenom BB yang dibudiayakan di Thailand untuk diambil daunnya dan

sebagai pakan ternak. Hibrid triploid terdiri atas genom AAA, misalnya kelompok

Cavendish dan Gros Michel, AAB, seperti kelompok pisang raja dan ABB, yang

termasuk kelompok Bluggoe, pisang Awak/ Klotok dan pisang Saba/ Kepok. Pisang

bergenom tetraploid kebanyakan merupakan hasil persilangan buatan dengan genom

AAAA, AAAB, AABB dan ABBB (Ploetz et al., 2007).

2. Penyakit Layu Fusarium Pisang

Penyakit layu Fusarium pisang diduga berasal dari kawasan Asia Tenggara

dengan kasus pertama dilaporkan di Australia pada tahun 1876. Saat ini penyakit

Page 7: I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76745/potongan/S1-2014... · pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

7

yang juga dikenal sebagai Panama diseases ini sudah menyebar ke seluruh daerah

produsen pisang. Kultivar pertama pisang yang mengalami kerusakan total karena

penyakit ini adalah Gros Michel di Panama pada tahun 1890 (Daly dan Walduck,

2006). Akan tetapi sekarang semua kultivar pisang diketahui rentan, bahkan kultivar

Cavendish yang semula merupakan kultivar tahan (Ploetz, 2000; Agrios 2005).

Penyakit layu Fusarium pada pisang disebabkan oleh jamur dari spesies

Fusarium oxysporum, yakni F. oxysporum f.sp. cubense (Foc) (Moore et al., 1995;

Koenig et al., 1997; Agrios 2005). Spesies Fusarium oxysporum sebagian besar

didominasi oleh tipe saprofit, akan tetapi diketahui lebih dari 150 forma speciales

menjadi patogen di komoditas tertentu. Secara morfologis, patogen ini mampu

membentuk miselium aerial yang berwarna putih hingga ungu, sporodokhia yang

berwarna kecoklatan hingga jingga dan sklerotia berwarna biru. Mikro dan

makrokonidia dibentuk di monofialid yang bercabang dan tidak bercabang. Ukuran

mikrokonidia lebih kecil daripada makrokonidia, bersel satu atau dua, berbentuk oval

sampai menyerupai ginjal. Makrokonidia terdiri atas empat hingga delapan sel

dengan bentuk menyerupai sabit dengan sel di bagian ujung menyerupai bentuk kaki.

Klamidospora biasanya berbentuk bulat dan dibentuk tunggal atau berpasangan di

hifa atau konidia. Patogen ini belum diketahui teleomorf-nya (Ploetz, 2006).

Teknik identifikasi yang sudah digunakan untuk jamur ini ada 6, yang meliputi

teknik Vegetative Compatibility Group (VCG), berdasarkan kelompok senyawa

volatil, RAPD-PCR, electrophoretic karyotype (EK), analisis enzim pektat serta

pengelompokan berdasarkan ras (Pegg et al., 1994 cit. Hermanto dan Setyawati,

2002). Jamur Foc diketahui membentuk 4 ras patogen yang masing-masing

mempunyai karakter patogenisitas yang berbeda. Ras 1 diketahui menyerang

tanaman pisang kultivar Gros Michel yang bergenome AAA dan Manzano yang

bergenome AAB. Sedangkan ras 2 diketahui menyerang kultivar Bluggoe (ABB).

Ras 3 diisolasi dari kelompok pisang hias Heliconia sp. dan masih diragukan

mengenai kedudukan forma spesialisnya karena secara genetik Musa dan Heliconia

berbeda. Ras 4 diketahui merupakan ras paling berbahaya karena menyerang kultivar

yang rentan terhadap ras 1 dan 2. Cavendish sebagai kultivar yang dikenal tahan

dapat pula diinfeksi oleh Foc ras 4 jika ditanam di wilayah subtropis yang musim

dinginnya menjadi faktor predisposisi bagi Cavendish. Akan tetapi semenjak awal

Page 8: I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76745/potongan/S1-2014... · pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

8

1990-an kultivar Cavendish yang ditanam di daerah tropis seperti Indonesia dan

Malaysia juga dapat terinfeksi (Ploetz, 2006). Penelitian mengenai keberadaan Foc

ras tropis 4 di Indonesia dilaporkan oleh Masanto et al., (2010) yang mendapatkan

isolat Bnt2 yang diisolasi dari tanaman pisang Awak (AAB) di Bantul dan isolat

Kjg1 dari tanaman pisang Ambon (AAA) di area Kalimantan Timur yang dideteksi

secara molekuler dengan ukuran DNA sekitar 1400 pasang basa.

Penyakit layu Fusarium pada pisang karena infeksi Foc ras 4 menunjukkan

gejala yang sama dengan penyakit layu Fusarium pada umumnya. Gejala eksternal

ditunjukkan dengan menguningnya daun dimulai dari bagian tepi daun dan tanaman

yang tua. Daun yang sudah menguning menggelantung pada sisi-sisi batang semu,

kemudian diikuti dengan kematian daun muda. Gejala internal terjadi pada bagian

jaringan pengangkut yang berubah warna menjadi coklat kemerahan hingga merah

marun sebagai akibat pertumbuhan patogen di dalam jaringan. Kolonisasi patogen ini

dapat dibuktikan dengan cara memotong bagian pangkal batang atau rizoma secara

melintang. Warna coklat kemerahan yang menunjukkan kolonisasi patogen akan

membentuk lingkaran mengikuti keberadaan jaringan pembuluh tapis (Agrios, 2005).

Apabila irisan dilakukan membujur maka tampak kolonisasi bergerak naik

ditunjukkan oleh warna kecoklatan yang memudar pada bagian batang yang lebih

muda. Meskipun begitu gejala infeksi ini tidak nampak pada buah (Daly dan

Walduck, 2006).

3. Tanah Supresif dan Kondusif

Tanah merupakan substansi penting dalam dunia pertanian. Meskipun dewasa

ini banyak dilakukan penelitian mengenai medium tanam alternatif, namun pada

realisasinya tanah masih tetap dibutuhkan sebagai medium pertumbuhan tanaman,

tak terkecuali tanaman pisang. Statistik FAO menunjukkan bahwa pada tahun 2011,

5,1 juta hektar lahan pertanian dari 4,9 milyar hektar dunia menghasilkan pisang.

Lahan pertanian Indonesia tercatat seluas 54,5 juta hektar dengan luas panen pisang

sebesar 104.156 hektar (Anonim, 2013a).

Pentingnya tanah bagi pertanian selain sebagai pendukung akar juga berfungsi

sebagai penyedia hara bagi pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu kualitas tanah

sangat berpengaruh terhadap kesehatan tanaman (Janvier et al., 2007). Kualitas tanah

Page 9: I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76745/potongan/S1-2014... · pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

9

yang baik yaitu tanah yang sehat sehingga mampu mendukung pertumbuhan

tanaman secara berkelanjutan. Tanah sehat tergantung pada proses-proses fisik,

kimia dan biologis yang berlangsung di dalam ekosistem. Dalam kaitannya dengan

penyakit tanaman, proses fisik, kimia dan biologi tertentu dapat membentuk karakter

tanah supresif (Cepeda, 2006).

Menurut Baker dan Cook (1974) cit. Janvier et al. (2007), tanah supresif yaitu

tanah dengan insidensi penyakit yang tetap rendah meskipun populasi patogen,

tanaman inang dan kondisi lingkungan sesuai untuk perkembangan penyakit. Hal-hal

yang dapat mendorong supresifitas tanah, yaitu (1) patogen tidak terus menerus

berada di tanah, (2) patogen dijumpai terus menerus namun hanya mengakibatkan

sedikit kerusakan atau bahkan tidak menyebabkan kerusakan sama sekali atau (3)

patogen berada di tanah secara terus menerus dan mengakibatkan penyakit selama

beberapa saat namun selang beberapa waktu patogen tersebut menjadi kurang

penting meskipun tetap berada di tanah.

Berdasarkan definisi di atas, maka tanah supresif dapat dikenali melalui

insidensi penyakit yang tetap rendah meskipun tanaman inang merupakan tanaman

rentan dan keadaan lingkungan mendukung berkembangnya penyakit. Tanah supresif

terhadap penyakit dibedakan dengan tanah supresif terhadap patogen karena

inokulum tetap dijumpai pada tanah supresif terhadap penyakit namun tidak mampu

menginduksi terjadinya penyakit. Sementara itu pada tanah supresif terhadap

patogen, inokulum patogen tidak ditemukan, karena rusak atau tidak mampu

bertahan di tanah (Baker dan Cook, 1983 cit. Alabouvette, 1999).

Alabouvette (1999) menyampaikan bahwa setiap tanah mempunyai potensi

menekan perkembangan penyakit sehingga tanah dengan kemampuan penekanan

yang rendah dapat ditingkatkan level supresifitasnya melalui modifikasi. Modifikasi

yang disarankan merupakan upaya membentuk karakter tanah semirip mungkin

dengan karakter tanah supresif dengan titik berat pada peran mikroorganisme, flora

yang ditanam dan kandungan nutrisi tanah. Beberapa jenis bakteri antagonis dan

Fusarium non-patogenik dinyatakan mampu mempengaruhi perkembangan penyakit

layu Fusarium pada beberapa tanaman inang. Kombinasi dengan tanaman penutup

tanah tertentu memberikan efek yang berbeda terhadap insidensi penyakit sedangkan

dalam kaitannya dengan nutrisi, disebutkan bahwa pemupukan bisa memberikan

Page 10: I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76745/potongan/S1-2014... · pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

10

dukungan terhadap supresifitas tanah namun mekanisme yang terjadi tidak lepas dari

biodiversitas tanah dan kandungan mineral tanah sehingga korelasi pemupukan

dengan supresifitas tidak dapat disama-ratakan pada tiap jenis tanah.

Toussoun (1975) cit. Fravel et al. (2003) menyatakan bahwa tanah supresif

terhadap layu Fusarium didukung oleh tingginya populasi Fusarium spp. Hal ini

dibuktikan oleh Fravel et al. (2003) pada tanah supresif dari Chateaurenard yang

mengandung F. oxysporum dan F. solani dalam populasi yang tinggi. Menurut

Larkin et al. (1993), banyak mikroorganisme yang dilaporkan berkontribusi dalam

supresifitas tanah, akan tetapi yang paling menonjol adalah strain Fusarium spp. non-

patogen dan kelompok bakteri pendar fluor Pseudomonas spp. Oleh karena

pendukung terbesar supresifitas tanah adalah keragaman mikroflora, maka

supresifitas ini dapat hilang karena perlakuan panas di atas suhu 55°C (Fravel et al.,

2003) seperti perlakuan moist heat dengan suhu 60°C selama 30 menit (Lin dan

Cook, 1979). Restorasi terhadap tanah supresif yang rusak tersebut hanya dapat

dilakukan dengan re-introduksi Fusarium spp. non patogen (Fravel et al., 2003) atau

dengan menambahkan tanah supresif murni (tidak diperlakukan) pada tanah supresif

yang sudah rusak tersebut (Lin dan Cook, 1979).

Puspitasari (2011) melaporkan hasil analisis keragaman bakteri di tanah

Cianjur dan Salaman, Magelang, dengan teknik PCR-RISA (Polymerase Chain

Reaction – Ribosomal Intergenic Spacer Analysis) terhadap bakteri yang dikulturkan

pada medium TSA (Tryptone Soya Agar). Keragaman bakteri dari tanah risosfer

pisang sehat di Cianjur lebih rendah daripada keragaman bakteri di risosfer pisang

sehat Salaman, Magelang. Untuk hasil keragaman bakteri di risosfer pisang sakit,

baik Cianjur maupun Salaman, Magelang, menunjukkan keragaman yang hampir

sama. Hal itu dibuktikan dengan hasil visualisasi PCR-RISA yang menunjukkan

bahwa sampel tanah sehat Salaman, Magelang membentuk 3 band sedangkan sampel

tanah sehat dari Cianjur membentuk 1 band sementara sampel tanah sakit dari

Cianjur dan Salaman, Magelang, menunjukkan 1 band saja. Puspitasari (2011) juga

melaporkan bahwa kadar karbon bebas di tanah sehat baik Cianjur dan Magelang

lebih rendah daripada kadar karbon bebas di tanah sakit baik di kawasan Cianjur

maupun Magelang. Wiraswati (2013) melaporkan adanya isolat antagonis yang

berupa aktinomisetes dari sampel tanah Sarampad, Cianjur dengan kemampuan

Page 11: I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76745/potongan/S1-2014... · pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

11

penghambatan pertumbuhan Foc secara in vitro mencapai 55,56%. Berdasarkan hasil

sekuensing, diketahui isolat aktinomisetes tersebut berkerabat dekat dengan

Streptomyces sp.

Berkaitan dengan faktor fisik tanah, kandungan lempung diduga berpengaruh

terhadap supresifitas tanah (Persson dan Olsson, 2000), namun belum diketahui

mekanisme peranannya dalam menekan perkembangan penyakit (Alabouvette,

1999). Pada sampel tanah Sarampad, Cianjur, Somala (2012) melaporkan bahwa

kandungan lempung lebih tinggi (26,948) daripada tanah Salaman, Magelang (6,35).

4. Teknik Bioassay

Bioassay merupakan singkatan dari biological assay yang secara harfiah dapat

diterjemahkan sebagai pengujian (assay) dengan melibatkan organisme (hewan atau

tumbuhan) atau bagian dari organisme (sel atau jaringan). Teknik ini biasa

dipergunakan untuk mengukur pengaruh suatu substansi, misalnya senyawa tertentu,

terhadap organisme uji. Dalam studi mengenai tanah, teknik bioassay bisa

dipergunakan untuk mengetahui kadar residu herbisida (Pfeiffer, 2004; Brinton et al.,

2005), identifikasi tanah supresif (Miyan et al., 2012) hingga menguji kapasitas

tanah dalam menekan aktivitas organisme tanah (Pankhurst et al., 2003).

Indikator yang dipergunakan untuk bioassay tidak ditentukan secara mutlak

melainkan bergantung pada substansi yang hendak diuji. Oyarzun (1993)

menggunakan tanaman indikator kacang polong untuk pengujian penyakit busuk akar

karena tanaman tersebut secara umum dikenal rentan terhadap penyakit busuk akar

serta telah dipakai sebagai tanaman uji sebelumnya. Miyan et al. (2012)

menggunakan kecambah gandum sebagai indikator untuk identifikasi tanah supresif

terhadap penyakit akar tanaman serealia. Pankhurst et al. (2003) menggunakan

tanaman tebu sebagai indikator untuk menguji kapasistas tanah dalam menekan

aktivitas organisme tanah yang berdampak pada penurunan hasil tebu. Bioassay

terhadap herbisida disarankan menggunakan tanaman yang sensitif terhadap paparan

herbisida jumlah kecil, seperti mentimun, sorghum, oat, kedelai dan sebagainya

(Anonim, 2011). Pengamatan dalam bioassay dapat dilakukan melalui beberapa

parameter, seperti (1) kemampuan berkecambah; (2) berat segar dan berat kering

Page 12: I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76745/potongan/S1-2014... · pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

12

tanaman; (3) perubahan fisiologi dan morfologi tanaman uji; dan atau (4) gejala yang

diekspresikan tanaman uji.

Page 13: I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76745/potongan/S1-2014... · pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

13

III. HIPOTESIS

1. Tanah yang diduga supresif terhadap layu Fusarium pisang mampu menekan

perkembangan penyakit layu Fusarium pisang.

2. Populasi Fusarium oxysporum f.sp. cubense tertekan di tanah diduga supresif.

Page 14: I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76745/potongan/S1-2014... · pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

14

IV. METODE PENELITIAN

1. Bahan dan Alat

Bahan yang diperlukan untuk penelitian ini yaitu medium PDA, medium PDB,

medium PPA (Pepton PCNB Agar), isolat Fusarium oxysporum f. sp. cubense BNT2

dari koleksi Laboratorium Ilmu Penyakit Tumbuhan Klinik, akuades, alkohol 96%,

sampel tanah yang diduga bersifat supresif dan kondusif, tanaman pisang kultivar

Ambon Kuning (AAA) hasil kultur jaringan berumur 2 bulan, fungisida berbahan

aktif Karbendasim® 50WP, spirtus dan beras.

Alat yang dipergunakan yaitu gelas ukur, cawan petri, erlenmeyer, tabung

reaksi, tabung eppendorf, polybag, lampu bunsen, jarum ent, jarum ose, skalpel,

gelas drigalski, timbangan, mesin autoclave, mesin PCR, peralatan elektroforesis dan

mesin UV-trans iluminator.

2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari – September 2014 di

Laboratorium Ilmu Penyakit Tumbuhan Klinik dan Rumah Kaca Jurusan Hama dan

Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada.

3. Tata Laksana Penelitian

3.1 Penyiapan inokulum Fusarium oxysporum f. sp. cubense (Foc) resisten

terhadap karbendasim

3.1.1 Pembuatan isolat Foc resisten terhadap karbendasim

Isolat BNT 2 koleksi laboratorium IPT Klinik Fakultas Pertanian UGM

diperbanyak pada medium PDA kemudian diinkubasi selama 7-14 hari pada suhu

ruang. Setelah masa inkubasi, 10 ml air steril dituang ke petridish untuk memanen

spora. Suspensi yang terbentuk kemudian disaring dengan menggunakan kain kasa

steril. Suspensi spora yang diperoleh digoreskan pada medium PDA yang

mengandung fungisida berbahan aktif karbendasim konsentrasi 5, 10, 50, 100, 500

dan 1000 ppm dilanjutkan inkubasi selama 7 hari pada suhu ruang. Masing-masing

level konsentrasi dibuat 3 petridish sebagai ulangan dan diacak secara lengkap.

Setelah masa inkubasi, diamati konsentrasi tertinggi yg masih dijumpai Foc tumbuh.

Page 15: I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76745/potongan/S1-2014... · pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

15

Spora tunggal Foc yang tumbuh menjadi koloni tunggal dipindahkan ke medium

PDA dan disimpan sebagai Foc resisten.

3.1.2 Konfirmasi karakter Foc-TR4 pada Foc resisten dengan metode PCR

a. Ekstraksi DNA

Foc TR4 dan Foc resisten ditumbuhkan dalam medium potato dextrose broth

(PDB) dan diinkubasi di mesin penggojog selama 5 hari. Setelah masa inkubasi,

dilakukan ekstraksi DNA Foc TR4 dan Foc resisten dengan metode CTAB 2%

(Subandiyah, 2003). PDB disaring menggunakan kertas saring steril untuk

memisahkan miselium dengan suspensi spora. Miselium yang tertinggal di kertas

saring ditimbang sebanyak 0,5 gram. Miselium digerus menggunakan mortar dengan

ditambah larutan CTAB 2% sebanyak 700µl dan pasir kuarsa steril untuk

mempermudah penggerusan. Larutan CTAB 2% dibuat dari CTAB 2%, Tris-HCl

50mM, EDTA 100mM, PVP 1%, NaCl 1,5% dan β-mercaptoethanol 1%. Setelah

miselium halus dipindahkan ke tabung eppendorf ukuran 1,5 ml untuk diinkubasi

dalam suhu 60°C dalam waterbath selama 30 menit, dengan setiap 10 menit

dilakukan penggojogan manual.

Setelah 3 kali penggojogan, gerusan miselium tersebut disentrifugasi selama 5

menit dengan kecepatan 5000 rpm hingga diperoleh lapisan supernatan yang bening.

Supernatan dipindah ke tabung eppendorf baru dengan ditambahkan larutan CIAA

24:1 hingga sepenuh tabung. Selanjutnya dilakukan homogenisasi manual untuk

mencampur larutan CIAA dan supernatan selama 1-3 menit. Setelah dihomogenkan,

dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit sehingga

diperoleh lapisan supernatan yang dipindah ke tabung baru. Etanol absolut dingin

ditambahkan ke dalam tabung berisi supernatan hingga tabung penuh kemudian

diinkubasi pada suhu -20°C selama 1 malam.

Setelah 1 malam, dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama

10 menit untuk memisahkan etanol yang selanjutnya dituang perlahan-lahan agar

endapan tidak terbawa. Selanjutnya ke dalam tabung ditambahkan alkohol 70%

hingga penuh dan secara manual dihomogenkan selama 1-3 menit. Langkah

berikutnya dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit

hingga alkohol terpisah. Alkohol kembali dituang perlahan kemudian tabung berisi

Page 16: I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76745/potongan/S1-2014... · pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

16

DNA dikeringanginkan. Setelah kering ditambahkan TE buffer sebanyak 50µl.

Untuk penyimpanan DNA dapat dilakukan di suhu -20°C.

b. Amplifikasi PCR

Amplifikasi PCR dilakukan menggunakan primer FocTR4-F (5’-

CACGTTTAAGGTGCCATGAGAG-3’) dan FocTR4-R (5’-CGCACGCCAGGA

CTGCCTCGTGA-3’) yang mengamplifikasi daerah intergenic spacer (IGS) dengan

target berukuran 463 base pair (bp) (Dita et al., 2010). Program amplifikasi yang

dipakai adalah sebagai berikut:

95°C selama 5 menit

30 siklus yang terdiri atas 1 menit 95°C, 60°C selama 1 menit dan 72°C selama

3 menit

additional extension selama 10 menit pada suhu 72°C.

DNA yang sudah diamplifikasi kemudian dielektroforesis sebanyak 5 µL pada

gel agarose 2%. Selanjutnya dilakukan pengecatan dengan ethidium bromide dengan

cara perendaman selama 15 menit dan visualisasi hasil elektroforesis menggunakan

UV transiluminator (Li dan Hartman, 2003).

3.2 Perkembangan penyakit layu fusarium di tanah supresif dan kondusif

terhadap layu Fusarium pisang

3.2.1 Pengambilan sampel tanah diduga supresif dan kondusif

Sampel tanah diduga supresif berasal dari Dusun Jamaras, Desa Sarampad,

Kecamatan Cigenang, Kabupaten Cianjur sedangkan sampel tanah diduga kondusif

berasal dari lahan Kebun Benih Hortikultura di Dusun Margorejo, Desa Menoreh,

Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Tanah dari Jamaras, Cianjur,

dikategorikan sebagai tanah supresif karena gejala infeksi layu Fusarium di lahan ini

tidak nampak selama 3 tahun terakhir sementara di lahan sekelilingnya teramati

gejala layu Fusarium yang parah. Sampel tanah Margorejo, Magelang, dikategorikan

sebagai tanah kondusif karena gejala layu Fusarium di pertanaman ini selalu teramati

semenjak penanaman pertama kali (Wibowo, komunikasi pribadi). Pada saat

pengambilan sampel, tanaman yang bergejala di lahan ini mencapai 40% dari total

luasan lahan.

Page 17: I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76745/potongan/S1-2014... · pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

17

Pengambilan tanah diduga supresif dilakukan di risosfer tanaman pisang sehat

sedangkan sampel tanah kondusif diambil di area risosfer tanaman pisang sakit

dengan kedalaman masing-masing tidak lebih dari 30 cm. Tanah dari satu lahan

kemudian dikompositkan agar tercampur merata. Banyak sampel tanah yang diambil

lebih kurang 50 kg per lokasi. Tanah sampel dimasukkan dalam karung plastik untuk

kemudian dibawa ke rumah kaca Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas

Pertanian, Universitas Gadjah Mada.

3.2.2 Inokulasi Foc resisten di tanah supresif dan kondusif terhadap layu

Fusarium pisang

Medium inokulasi disiapkan dari beras sebanyak ±2,5 kg yang dicuci bersih

dan direndam dalam air bersih selama 5 jam. Beras kemudian ditiriskan dan

dibungkus dalam kantong plastik dengan massa masing-masing 12 gram. Kantong

plastik diikat dengan karet agar menghindari kontaminasi namun masih

memungkinkan ada aerasi. Kantong plastik berisi beras kemudian disterilisasi selama

30 menit pada suhu 121°C bertekanan 1 atm. Setelah cukup dingin, beras yang sudah

steril dihancurkan hingga menjadi remah-remah beras. Potongan agar Foc resisten

dimasukkan dalam medium beras steril secara aseptis dan diinkubasi selama 1

minggu hingga miselium terlihat menutupi permukaan beras.

Inokulasi ke tanah diduga supresif dan kondusif dilakukan dengan

mencampurkan medium beras ke tanah diduga supresif dan kondusif terhadap layu

Fusarium pisang dengan perbandingan 12,5 gram inokulum Foc resisten dalam 2

kilogram tanah sampel per polybag. Selanjutnya masing-masing polybag ditanami

tanaman pisang hasil kultur jaringan kultivar Ambon Kuning yang berumur 2 bulan.

Masing-masing tanah sampel ditanami dengan 10 batang tanaman pisang sebagai

ulangan. Sebagai kontrol digunakan 10 polybag dari setiap sampel tanah yang tidak

diinokulasi Foc resisten kemudian ditanami dengan 10 batang tanaman pisang

sebagai ulangan. Semua polybag diacak lengkap dan diletakkan di serambi rumah

kaca agar mendapat cukup sinar matahari. Pengamatan dilakukan pada minggu ke-10

setelah inokulasi dengan cara membelah bonggol tanaman pisang dan dilakukan

skoring perubahan warna bonggol berdasarkan Mak et. al. (2004) seperti ditampilkan

dalam tabel 4.1.

Page 18: I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76745/potongan/S1-2014... · pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

18

Tabel 4.1 Skor indeks keparahan penyakit berdasarkan perubahan warna bonggol

pisang (Mak et al., 2004)

Skor Keterangan

1 Tidak ada perubahan warna di bagian bonggol maupun jaringan di sekitarnya

2 Tidak ada perubahan warna di bonggol; perubahan warna di bagian

percabangan bonggol-akar

3 Teramati 5% diskolorisasi pada bagian bonggol

4 Teramati 6-20% diskolorisasi pada bagain bonggol

5 Teramati 20-50% diskolorisasi pada bagian bonggol

6 Lebih dari 50% bagian bonggol mengalami diskolorisasi

7 Diskolorisasi di seluruh bonggol

8 Tanaman mati

Hasil skoring dikalkulasi dengan rumus:

Indeks Keparahan Penyakit (IKP) =

Ʃ(nilai skor x banyak tanaman dalam skor tersebut)

Ʃ tanaman yang diperlakukan

Hasil kalkulasi tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam 4 kelas yang dimodifikasi

sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 4.2.

Tabel 4.2 Penerjemahan indeks keparahan penyakit berdasarkan Mak et al. (2004)

yang dimodifikasi

Rerata Indeks Keparahan Translasi

1 Supresifitas tinggi

1.1 – 3 Toleran

3.1 – 5 Kondusif

5.1 – 8 Sangat Kondusif

Page 19: I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76745/potongan/S1-2014... · pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

19

Rancangan penelitian yang dipergunakan adalah Rancangan Acak Lengkap

(RAL) faktorial dengan faktor berupa supresifitas tanah dan inokulasi Foc resisten.

Selain kedua faktor tersebut, kondisi lingkungan dianggap homogen. Tata letak

tanaman uji disajikan dalam gambar 4.1, dengan pemisahan antara perlakuan

inokulasi dan tidak diinokulasi untuk menghindari bias karena penyebaran inokulum

melalui percikan air siraman.

Gambar 4.1 Tata letak perlakuan di rumah kaca

Keterangan: SAL-T = Tanah Margorejo tanpa inokulasi

SAL-I = Tanah Margorejo dengan inokulasi

CIA-T = Tanah Jamaras tanpa inokulasi

CIA-I = Tanah Jamaras dengan inokulasi

3.2.3 Pengamatan populasi Foc resisten di tanah supresif dan kondusif terhadap

layu Fusarium pisang

Inokulum Foc resisten disiapkan dengan cara membuat suspensi spora dari

biakan Foc resisten berumur 7 hari. Biakan dalam cawan petri dituangi dengan 20 ml

akuades steril kemudian digosok permukaannya menggunakan gelas drigalski steril.

Suspensi yang terbentuk disaring menggunakan kertas saring steril hingga diperoleh

filtrat suspensi spora. Kerapatan spora dalam suspensi tersebut dihitung

menggunakan haemocytometer dan ditentukan dalam kisaran 106 spora/ml.

Page 20: I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76745/potongan/S1-2014... · pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

20

Sampel tanah diduga supresif dan kondusif terhadap layu Fusarium pisang

ditimbang sebanyak 50 gram dan dimasukkan dalam cawan petri. Sebagai tambahan

nutrisi, ditambahkan 5 ml larutan glukosa 1% ke dalam tanah dilanjutkan inokulasi

suspensi spora Foc resisten yang sudah disiapkan sebelumnya dengan volume 5 ml.

Untuk kontrol, suspensi spora digantikan dengan akuades steril. Sampel tanah

diinkubasi pada suhu ruang dan dijaga kelembabannya dengan cara menyemprotkan

akuades steril setiap ±2 hari sekali hingga tanah cukup basah.

Isolasi terhadap Foc resisten dilakukan pada minggu kedua, keempat dan

keenam setelah inokulasi. Isolasi dilakukan dengan membuat seri pengenceran

bertingkat dalam air steril hingga pengenceran ketiga. Seri pengenceran pertama

diambil sampel tanah sebanyak 5 gram dalam 45 ml akuades steril yang

dihomogenkan dengan mesin pengaduk. Seri pengenceran kedua dibuat dengan

mengambil 0,5 ml pengenceran pertama dan dihomogenkan dalam 4,5 ml akuades

steril. Pengenceran ketiga dibuat dengan mengambil 0,5 ml pengenceran kedua yang

dihomogenkan dalam 4,5 ml akuades steril. Masing-masing seri pengenceran diambil

0,05 ml untuk disebar (spread) di permukaan PPA (Pepton PCNB Agar) dengan

bantuan gelas drigalski steril dalam keadaan aseptis. Selanjutnya dilakukan inkubasi

di suhu ruang dalam keadaan gelap selama 7 hari.

Pengamatan dilakukan setelah masa inkubasi usai dilanjutkan dengan

memindah koloni yang diduga Foc ke medium PDA. Setelah regenerasi di medium

PDA selama 5 hari, koloni yang menunjukkan morfologi Foc dipindahkan ke

medium PDA+50 ppm karbendasim dilanjutkan dengan inkubasi selama 7 hari.

Setelah masa inkubasi usai, dilakukan pengamatan terhadap isolat yang mampu

tumbuh di medium PDA+50 ppm karbendasim.

4. Analisis data

Rancangan percobaan yang dipergunakan adalah Rancangan Acak Lengkap

(RAL) faktorial. Data keparahan penyakit dianalisis menggunakan program SAS 9.1.

Uji yang dipakai adalah analisis varian (ANOVA) dengan tingkat kepercayaan 95% .

Apabila antar perlakuan menunjukkan hasil yang berbeda nyata, maka dilanjutkan

dengan uji HSD Tukey dengan α = 5%.

Page 21: I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76745/potongan/S1-2014... · pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

21

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Penyiapan inokulum Foc resisten terhadap karbendasim

1.1 Pembuatan isolat Foc resisten terhadap karbendasim

Teknik penyiapan isolat Foc resisten menggunakan teknik peracunan makanan

(poisoned food technique) dengan konsentrasi fungisida yang dipakai adalah 5, 10,

50, 100, 500 dan 1000 ppm. Bahan aktif fungisida yang digunakan adalah

Karbendasim® 50 WP. Hasil yang diperoleh ditunjukkan oleh tabel 5.1 dengan

kenampakan hasil tertera di lampiran 1.

Tabel 5.1 Pengujian in vitro pengaruh fungisida karbendasim terhadap pembentukan

koloni isolat BNT2

Konsentrasi Karbendasim Koloni tunggal

5 ppm

10 ppm

50 ppm

+

+

+

100 ppm -

500 ppm -

1000 ppm -

keterangan: + = terbentuk koloni

- = tidak terbentuk koloni

Berdasarkan tabel 5.1, konsentrasi karbendasim 5, 10 dan 50 ppm mampu

ditolerir oleh spora Foc BNT2 sehingga masih mampu berkecambah dan membentuk

koloni. Namun pada konsentrasi 100 ppm hingga 1000 ppm tidak teramati adanya

perkecambahan Foc BNT2. Dengan demikian, konsentrasi tertinggi Foc BNT2 masih

dapat tumbuh adalah 50 ppm, sehingga Foc resisten diambil dari koloni tunggal yang

tumbuh pada konsentrasi tersebut.

Pemilihan level konsentrasi dirujuk pada penelitian Sultana dan Ghaffar (2010)

yang menggunakan karbendazim sebagai salah satu fungisida uji. Pada penelitian

tersebut, potongan agar yang ditumbuhi F. solani mampu tumbuh hingga konsentrasi

50 ppm karbendasim. Penggunaan inokulum dimodifikasi pada penelitian ini yaitu

Page 22: I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76745/potongan/S1-2014... · pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

22

dengan menggunakan suspensi spora, menunjukkan kemampuan toleransi yang sama

antara F. solani dan Foc terhadap senyawa karbendasim.

Berdasarkan klasifikasi yang dilakukan oleh Anonim (2013b), Fusarium spp.

termasuk dalam kelompok rendah resiko resistensi (low risk of resistance). Artinya

patogen ini tidak mudah mengalami resistensi terhadap paparan fungisida atau untuk

terjadinya resistensi diperlukan paparan dalam jangka waktu yang lama. Hasil

pengujian ini menunjukkan hal yang sama dengan pernyataan tersebut yaitu bahwa

isolat BNT2 hanya mampu mentolerir paparan fungisida hingga 50 ppm dari 4 level

konsentrasi yang disiapkan.

Teknik pemilihan isolat resisten seperti ini didasarkan pada prinsip seleksi

alam, yaitu dengan memberikan cekaman antifungal yang hasilnya dikenal sebagai

resistensi spontan (spontaneous resistance). Beberapa antimikrobia yang dipakai

diantaranya griseofulvin yang digunakan terhadap Microsporon gypseum (Lenhart,

1967), higromisin B yang digunakan pada Monilinia fructicola (Dai et al., 2003)

serta amfoterisin B yang digunakan terhadap Candida albicans (Mao dan Alley,

2006). Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan penelitian

lebih mendalam mengenai mekanisme resistensi jamur terhadap senyawa antifungal

dalam aras molekuler. Dai et al. (2003) membuktikan bahwa M. fructicola yang

resisten melalui teknik peracunan medium memiliki sifat resistensi yang stabil

terhadap higromisin B. Pada penelitian tersebut, isolat dari koloni yang resisten

terhadap higromisin B dibandingkan karakternya dengan isolat yang dimutasi dengan

penyisipan gen resisten higromisin B (gen hph) menggunakan perantara

Agrobacterium tumefaciens (strain AGL-1) yang hasilnya menunjukkan bahwa isolat

hasil resistensi spontan mengalami perubahan secara fenotip yaitu penurunan

kemampuan tumbuh, kehilangan kemampuan sporulasi dan melanisasi. Meskipun

begitu kedua tipikal isolat masih menunjukkan karakter yang sama dengan M.

fructicola yang tidak resisten ketika diamplifikasi pada situs ITS1 dan ITS2.

Pemilihan senyawa aktif karbendasim didasarkan pada karakter senyawa ini

yang bersifat single-site inhibitor. Dengan sifat tersebut maka jamur yang mengalami

resistensi hanya terpengaruh pada satu situs khusus sehingga tidak mengakibatkan

perubahan besar di struktur genom-nya. Pada beberapa penelitian disebutkan bahwa

karbendasim sebagai kelompok fungisida bensimidasol mempengaruhi situs β-

Page 23: I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76745/potongan/S1-2014... · pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

23

tubulin yang berperan dalam pembelahan sel. Di sisi lain, sifat single-site inhibitor

ini mengakibatkan tingginya resiko resistensi dalam jangka waktu paparan yang

relatif pendek. Oleh karenanya beberapa negara telah melarang penggunaan senyawa

aktif ini, seperti Australia, Amerika Setikat dan negara Uni Eropa.

1.2 Konfirmasi karakter Foc-TR4 pada Foc resisten dengan metode PCR

Karakter Foc-TR4 pada Foc resisten dikonfirmasi menggunakan primer yang

disusun oleh Dita et al. (2010) yang dikembangkan dari situs intergenic spacer (IGS)

Fusarium oxysporum f.sp. cubense yang menghasilkan amplifikasi pita DNA

berukuran 463 bp. Hasil amplifikasi Foc resisten ditunjukkan pada gambar 5.1,

terbentuk band yang sama dengan Foc BNT2 yang telah diuji positif sebagai

Fusarium oxysporum f.sp. cubense tropical race 4 (Foc TR4). Berdasarkan hasil

tersebut, maka Foc resisten dinyatakan masih membawa karakter Foc tropical race 4

(Foc TR4).

Gambar 5.1 Visualisasi hasil PCR isolat BNT2 dan Foc Resisten

Hasil amplifikasi tersebut menunjukkan bahwa resistensi isolat BNT2 terhadap

senyawa karbendasim tidak mengubah situs target primer FocTR4-F dan FocTR4-R

yaitu kawasan intergenic spacer (IGS). IGS merupakan situs yang heterogenitasnya

lebih tinggi daripada situs ITS (internal transcribed spacer) sehingga variasi

463 bp

Page 24: I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76745/potongan/S1-2014... · pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

24

rangkaian pada kawasan IGS dapat terjadi hingga di tingkat sel (Gorokhova et al.,

2002). IGS merupakan kawasan yang tidak ditranskripsi, yang memisahkan unit

repetitif dalam DNA ribosom. Oleh karenanya peran langsung dari susunan basa IGS

belum diketahui secara pasti.

Pengujian karakter jamur patogen yang resisten terhadap kelompok fungisida

bensimidasol secara molekuler juga dapat dilakukan dengan menganalisis gen β-

tubulin yang berperan dalam proses mitosis sel. Chen et al. (2014) melaporkan

bahwa resistensi pada F. fujikuroi terhadap karbendasim (kelompok fungisida MBC)

terjadi akibat adanya mutasi pada 3 kodon di gen β2tub. Perubahan terjadi di kodon

ke-198 yaitu penggantian GAG (glutamin) dengan GTG (Valin), di kodon 200 terjadi

penggantian TTC (Fenilalanin) menjadi TAC (Tirosin) dan di kodon 235 terjadi

penggantian GGC (Glisin) menjadi GGT (Glisin) sedangkan laporan mengenai

Fusarium oxysporum f.sp. gladioli dan F. oxysporum f.sp. lilii oleh Chung et. al.

(2009) menyatakan bahwa resistensi keduanya terhadap senyawa Methyl

Benzimidazole Carbamate (MBC) tidak mengakibatkan perubahan di kodon 198

maupun 200. Resistensi yang terbentuk diduga dipengaruhi oleh mekanisme yang

lain.

2. Penekanan perkembangan penyakit layu fusarium di tanah diduga supresif

dan kondusif terhadap layu Fusarium pisang

2.1 Pengambilan sampel tanah diduga supresif dan kondusif

Tanah yang berasal dari Kebun Benih Hortikultura di Dusun Margorejo, Desa

Menoreh, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang diduga merupakan tanah

kondusif terhadap layu Fusarium pisang berdasarkan kenampakan pertanaman pisang

yang menunjukkan gejala layu Fusarium sekitar 40% dari total tanaman. Informasi

dari wawancara langsung mendukung pendugaan ini, yaitu bahwasanya semenjak

ditanami pisang, dengan bibit bukan hasil kultur jaringan, nampak gejala layu pada

pertanaman pisang. Budidaya pisang di Kebun Benih Hortikultura Salaman

dilakukan secara monokultur dengan lahan di sekitarnya ditanami dengan berbagai

jenis tanaman. Sebaran infeksi Fusarium di lahan ini terlihat sporadis, sebagaimana

infeksi yang tertular melalui tanah.

Page 25: I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76745/potongan/S1-2014... · pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

25

Tanah diduga supresif berasal dari Dusun Jamaras, Desa Sarampad, Kecamatan

Cigenang, Kabupaten Cianjur. Kawasan desa ini merupakan kawasan produsen

pisang di Kabupaten Cianjur. Kebanyakan lahan di desa ini ditanami pisang dengan

kendala layu yang cukup meresahkan. Namun di lahan yang diambil sampel yakni

lahan Bapak Haji Harun dinyatakan tidak pernah teramati gejala layu Fusarium

selama ±3 tahun penanaman pisang kultivar Raja Bulu. Pertanaman pisang di kebun

Bapak Haji Harun tersebut memang berbeda dengan kebun lainnya karena

menerapkan sistem budidaya multiple cropping. Sistem budidaya ini menjadi

penyangga ekosistem karena memungkinkan keragaman mikroorganisme yang lebih

tinggi di dalam tanah dan penyerapan hara yang lebih seimbang. Selain itu, petani

penggarap lahan ini juga rutin mengaplikasikan agen hayati Trichoderma sp. setiap 6

bulan sekali.

Secara geografis, kedua lokasi pengambilan sampel memiliki karakteristik yang

berbeda. Dusun Margorejo berada pada ketinggian ± 400 m di atas permukaan laut

sedangkan Dusun Jamaras berada di 750-1.200m di atas permukaan laut. Jamaras,

Cianjur berhawa lebih sejuk dengan curah hujan yang lebih tinggi dibandingkan

Margorejo, Magelang. Jawa Barat secara umum sudah dikenal sebagai sentra

produksi pisang Indonesia, dengan produksi pada tahun 2013 mencapai 1 juta ton

sedangkan produksi pisang di Jawa Tengah pada tahun 2013 tercatat 500.000 ton,

separuh dari jumlah produksi Jawa Barat (Anonim, 2014).

2.2 Inokulasi Foc resisten di tanah supresif dan kondusif terhadap layu

Fusarium pisang

Hasil pengujian molekuler yang menunjukkan bahwa isolat Foc resisten

membawa karakter Foc-TR4 perlu diuji lebih dalam untuk mengetahui apakah isolat

ini masih mampu mengakibatkan penyakit layu pada tanaman pisang. Untuk itu

dilakukan inokulasi Foc resisten di tanah yang diduga supresif dan kondusif yang

ditanami dengan pisang kultivar Ambon Kuning berumur ±2 bulan hasil kultur

jaringan. Perubahan warna di bonggol tanaman uji mengindikasikan bahwa isolat

Foc resisten terhadap karbendasim masih mampu menginfeksi jaringan tanaman

inang, sebagaimana ditunjukkan pada lampiran 2.

Page 26: I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76745/potongan/S1-2014... · pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

26

Analisis perlakuan yang diberikan terhadap tanaman uji menunjukkan bahwa

baik faktor supresifitas tanah, inokulasi Foc resisten maupun interaksi kedua faktor

tersebut berpengaruh nyata terhadap tanaman uji. Oleh karenanya perlu dilakukan

analisis lanjut menggunakan HSD Tukey dengan α=5%. Hasilnya analisis variansi

dan HSD Tukey secara berturutan ditunjukkan oleh tabel 5.2 dan tabel 5.3.

Tabel 5.2 Hasil analisis variansi

Faktor perlakuan Skor perubahan warna bonggol

pisang

Supresifitas *

Inokulasi *

Supresifitas*Inokulasi *

Keterangan:

* = Perlakuan menunjukkan beda nyata

* = Perlakuan menunjukkan beda nyata dan dianalisis lebih lanjut dengan HSD

Tukey

Tabel 5.3 Hasil skoring indeks keparahan penyakit, analisis HSD Tukey dan

translasi indeks keparahan penyakit menurut Mak et al. (2004) yang

dimodifikasi

Perlakuan Indeks Keparahan

Penyakit

Hasil Uji HSD

Tukey Translasi

Supresif Inokulasi (CIA-I) 5 5a Kondusif

Tanpa Inokulasi (CIA-T) 1.3 1.3b Toleran

Kondusif Inokulasi (SAL-I) 3 2.8b Toleran

Tanpa Inokulasi (SAL-T) 1.4 1.4b Toleran

Keterangan:

CIA-I = Tanah dari Jamaras, Cianjur, diinokulasi Foc resisten

CIA-T = Tanah dari Jamaras, Cianjur, tanpa inokulasi Foc resisten

SAL-I = Tanah dari Margorejo, Magelang, diinokulasi Foc resisten

SAL-T = Tanah dari Margorejo, Magelang, tanpa inokulasi Foc resisten

Data di atas menunjukkan bahwa kedua sampel tanah membawa inokulum Foc,

yaitu dengan adanya gejala penyakit pada perlakuan yang tidak diinokulasi Foc

resisten. Kemungkinan jumlah inokulum yang terbawa tidak berbeda jauh apabila

dilihat dari indeks keparahan penyakit yang hanya terpaut 0,1 poin. Dengan hasil ini

maka dapat disimpulkan bahwa kedua sampel tanah bukan bertipe supresif terhadap

Page 27: I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76745/potongan/S1-2014... · pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

27

patogen, karena inokulum mampu bertahan di kedua sampel tanah tersebut.

Berdasarkan hasil penerjemahan indeks keparahan penyakit tersebut maka diketahui

bahwa tanah yang diduga supresif tidak menunjukkan kemampuan menekan

perkembangan penyakit layu Fusarium ketika diinokulasi dengan Foc resisten,

bahkan kondisinya menjadi kondusif bagi perkembangan penyakit layu Fusarium

pisang. Tren yang sama terlihat pada tanah yang diduga kondusif, namun dengan

kelas yang berbeda yaitu toleran. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa

perlakuan inokulasi pada tanah dari Jamaras, Cianjur, berbeda nyata dengan

perlakuan lainnya, yaitu perlakuan tanpa inokulasi pada tanah dari Jamaras, Cianjur,

dan Margorejo, Magelang, serta perlakuan inokulasi pada tanah dari Margorejo,

Magelang. Hal ini menunjukkan baik tanah yang diduga supresif maupun kondusif

tidak mampu menekan perkembangan penyakit layu Fusarium.

Banyak faktor yang mempengaruhi supresifitas tanah baik faktor fisik, kimia

maupun biologi serta interaksi dari ketiganya (Sudarma, 2010). Interaksi faktor-

faktor tersebut membentuk peran lingkungan yang prosesnya dapat diamati berupa:

(1) kelengasan tanah; tekstur tanah; suhu tanah; dan sifat fisik lainnya (2) kandungan

unsur hara dalam tanah; kandungan pestisida dan bahan kimia lainnya serta (3)

keberadaan mikroorganisme pendukung pertumbuhan tanaman dan bersifat antagonis

dan atau kompetitif terhadap patogen Fusarium oxysporum f.sp. cubense.

Menurut laporan Somala (2011), pengujian terhadap kadar karbon bebas,

aktivitas enzim fluoresin diasetat serta β-glukosidae menunjukkan nilai yang lebih

tinggi pada tanah Sarampad, Cianjur daripada tanah dari Margorejo, Magelang. Hal

ini menunjukkan bahwa aktivitas mikroorganisme tanah dari Sarampad, Cianjur

lebih tinggi daripada Margorejo, Magelang. Namun aktivitas mikroorganisme yang

terpantau tersebut tidak cukup membuktikan bahwa keragaman mikroorganisme di

kawasan ini lebih tinggi. Keragaman mikroorganisme bakteri di kawasan Sarampad,

Cianjur, diketahui justru lebih rendah daripada Salaman, Magelang (Puspitasari,

2011). Di sisi lain, keberadaan mikroorganisme antagonis berupa aktinomisetes dari

sampel tanah Sarampad, Cianjur, telah diketahui berupa Streptomyces sp. Isolat

tersebut mampu menghambat perkembangan Foc secara in vitro hingga 55,56%.

Sayangnya belum ada data pembanding untuk sampel tanah dari Margorejo,

Page 28: I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76745/potongan/S1-2014... · pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

28

Salaman, Magelang, sehingga belum diketahui ada atau tidaknya mikroorganisme

antagonis dari kawasan tersebut.

Pemindahan tanah dari lokasi asal serta proses komposit diduga menjadi sebab

perubahan karakter tanah, sehingga tanah Jamaras, Cianjur, menunjukkan performa

yang berbeda dengan performa di lahan asal. Penggalian tanah serta pengangkutan

dengan menggunakan karung plastik diduga merusak karakter fisik tanah seperti

perubahan tekstur, struktur dan porositas tanah. Dampaknya ialah gangguan terhadap

karakter biologi tanah yang tergantung pada kelangsungan hidup mikroorganisme di

dalamnya. Pemindahan tanah ke dalam polybag tidak mampu mengembalikan

karakter tanah asal sehingga performa tanah supresif tidak nampak pada pengujian di

rumah kaca ini.

2.3 Populasi Foc resisten di tanah supresif dan kondusif terhadap layu

Fusarium pisang

Medium PPA (Pepton PCNB Agar) merupakan medium semi selektif bagi

jamur Fusarium sp. Medium ini mengandung fungisida dan antibiotik, sebagaimana

tercantum di lampiran 3, sehingga mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan

jamur, namun memungkinkan bagi spesies Fusarium sp. untuk tumbuh. Koloni

Fusarium sp. yang tumbuh di medium PPA tidak menunjukkan karakter yang

spesifik sehingga diperlukan subkultur dalam medium lain untuk keperluan

identifikasi. Medium ini dapat meracuni koloni jika dibiarkan lebih dari 2 minggu

akibat pemecahan pepton menjadi senyawa amonia (Leslie dan Summerell, 2006).

Isolasi Foc resisten dalam tanah diduga supresif dan kondusif menggunakan

medium PPA tidak berhasil dilakukan. Pengamatan terhadap koloni yang dipindah ke

medium PDA tidak menunjukkan morfologi Foc. Penggantian medium sudah dicoba

dengan menggunakan medium K2 tetapi menunjukkan hasil yang sama. Medium K2

adalah medium selektif yang dimodifikasi dari medium Komada (Sun et al., 1978).

Kegagalan Foc untuk berregenerasi dimungkinkan karena inokulum yang

digunakan bukanlah struktur tahan ditambah dengan tidak adanya tanaman inang.

Suspensi spora yang diperoleh melalui pemanenan isolat di medium PDA didominasi

oleh mikrokonidia yang merupakan salah satu organ perbanyakan Foc namun

bukanlah merupakan struktur tahan. Untuk mampu bertahan di tanah dan diisolasi

Page 29: I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76745/potongan/S1-2014... · pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

29

melalui teknik pengenceran tanah, Foc harus membentuk struktur klamidospora.

Semakin banyak klamidospora yang diproduksi, semakin mudah dilakukan isolasi

menggunakan teknik pengenceran tanah (Leslie dan Summerell, 2006).

Apabila ditinjau dari pengujian pada tanaman, sampel tanah yang tidak

diinokulasi Foc resisten menunjukkan gejala layu Fusarium pada tanaman uji. Dari

pengamatan tersebut dapat ditarik 2 kemungkinan yaitu: (1) keberadaan

klamidospora di dalam tanah tidak cukup banyak untuk diisolasi melalui teknik

pengenceran tanah; dan atau (2) Foc memerlukan tanaman inang untuk perbanyakan

diri sehingga populasinya cukup tinggi untuk dapat diamati. Menghadapi kondisi

tersebut, diperlukan teknik lain untuk mengamati populasi Foc di tanah diduga

supresif dan kondusif yang memungkinkan masih adanya inang atau sisa-sisa

tanaman inang.

Smith dan Snyder (1971) menggunakan teknik inokulasi yang berbeda untuk

mengamati perkembangan beberapa jenis Fusarium di tanah diduga supresif dan

kondusif tanpa tanaman inang. Suspensi mikrokonidia yang diinokulasikan ke tanah

tidak langsung direisolasi melainkan diinkubasi hingga tanah kering selama 2-4

minggu. Selanjutnya tanah kembali dilembabkan dan ditunggu mengering selama 2-4

minggu berikutnya. Metode tersebut memberikan cekaman lingkungan bagi

Fusarium sp. untuk membentuk struktur tahan atau mati. Meskipun demikian tidak

ada penanda bagi klamidospora yang diinokulasikan sehingga tidak bisa dibedakan

dengan klamidospora yang sudah terinfestasi di tanah.

Israel dan Lodha (2004) melakukan inokulasi dengan memastikan inokulum

berupa klamidospora sehingga inokulum bisa bertahan di tanah, baik pada lahan

dengan ataupun tanpa tanaman inang. Teknik yang dterapkan yaitu dengan

memperbanyak isolat F.oxysporum f.sp. cumini pada medium pasir:corn meal 5%

yang diinkubasi selama 15 hari pada suhu 30±2°C. Inokulasi klamidospora dilakukan

dengan mencampurkan sisa tanaman terinfeksi yang mengandung klamidospora

dengan tanah uji.

Perbedaan hasil antara ekspresi tanah yang diuji dengan dan tanpa tanaman

pisang diduga dipengaruhi oleh tipikal inokulum yang digunakan. Berdasarkan

rujukan, jenis inokulum yang baik untuk inokulasi ke tanah ialah klamidospora yang

banyak dibentuk ketika patogen Foc berada pada keadaan minim nutrisi sehingga

Page 30: I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76745/potongan/S1-2014... · pertanaman yang luas sangat merugikan karena jamur patogen ini mudah tersebar

30

memaksa patogen untuk bertahan. Cara inokulasi dengan menggunakan inokulum

dalam medium beras steril terbukti mampu menginduksi ekspresi gejala penyakit

yang berarti patogen mampu bertahan dan berkembang di tanah uji. Sebaiknya

inokulasi di tanah tanpa tanaman inang juga dicoba menggunakan inokulum dalam

medium beras steril yang diblender dan disaring untuk mendapatkan klamidospora

yang lebih banyak.