I. PENDAHULUAN -...

29
1 I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pada tahun 2007 World Energy Council (WEC) menyepakati kriteria 3A (Availability, Accessibility, Acceptability) untuk menjamin terselenggaranya pelayanan energi yang berbasis pada energy security yang berkelanjutan. Istilah energy security menunjukkan adanya relasi antara jaminan ketersediaan energi dan keamanan nasional secara berkelanjutan. Energy security merupakan kondisi terjaminnya pemenuhan kebutuhan energi untuk mendukung berlangsungnya kemajuan perekonomian dan keamanan suatu negara. Kriteria 3A merupakan indikator energy security dari sisi pengguna energi (end users) yang mencakup aspek ketersediaan (availability), keterjangkauan (accessibility), dan akseptabilitas (acceptability) dalam pelayanan energi bagi seluruh masyarakat, baik di sektor industri dan jasa, rumah tangga, dan transportasi. Kriteria 3A merupakan indikator dalam mencapai sasaran pembangunan sektor energi dengan tetap memenuhi persyaratan sosial, lingkungan dan keamanan nasional dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan (lihat Gambar 1.1). Pihak yang terkait dengan kepentingan penyediaan dan pelayanan energi dapat dibagi ke dalam tiga kelompok kepentingan ( interest group), yaitu: (1) kelompok pemasok energi primer ( security of energy resources); (2) kelompok yang mengkonversi energi primer menjadi energi final dan mendistribusikannya (security of energy conversion and distribution); dan (3) kelompok pengguna energi final (energy security).

Transcript of I. PENDAHULUAN -...

1

I. PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pada tahun 2007 World Energy Council (WEC) menyepakati kriteria 3A

(Availability, Accessibility, Acceptability) untuk menjamin terselenggaranya

pelayanan energi yang berbasis pada energy security yang berkelanjutan. Istilah

energy security menunjukkan adanya relasi antara jaminan ketersediaan energi

dan keamanan nasional secara berkelanjutan. Energy security merupakan kondisi

terjaminnya pemenuhan kebutuhan energi untuk mendukung berlangsungnya

kemajuan perekonomian dan keamanan suatu negara.

Kriteria 3A merupakan indikator energy security dari sisi pengguna energi

(end users) yang mencakup aspek ketersediaan (availability), keterjangkauan

(accessibility), dan akseptabilitas (acceptability) dalam pelayanan energi bagi

seluruh masyarakat, baik di sektor industri dan jasa, rumah tangga, dan

transportasi. Kriteria 3A merupakan indikator dalam mencapai sasaran

pembangunan sektor energi dengan tetap memenuhi persyaratan sosial,

lingkungan dan keamanan nasional dalam rangka pembangunan yang

berkelanjutan (lihat Gambar 1.1).

Pihak yang terkait dengan kepentingan penyediaan dan pelayanan energi

dapat dibagi ke dalam tiga kelompok kepentingan (interest group), yaitu: (1)

kelompok pemasok energi primer (security of energy resources); (2) kelompok

yang mengkonversi energi primer menjadi energi final dan mendistribusikannya

(security of energy conversion and distribution); dan (3) kelompok pengguna

energi final (energy security).

2

Gambar 1.1 Integrasi Kebijakan Energi Nasional Sumber: Harsono (2008)

Dalam konteks energy security, keterjaminan suplai daya listrik untuk

memenuhi permintaan aktual membutuhkan dukungan sumber daya energi

primer secara berkelanjutan, sistem konversi dan jaringan distribusi yang handal.

Konversi energi primer menjadi energi listrik membutuhkan keberadaan

pembangkit listrik yang handal (security of energy conversion), sedangkan sistem

transmisi dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan sistem distribusi listrik

(security of electricity distribution) sehingga pelayanan listrik kepada masyarakat

dapat dilakukan secara terjamin, efisien, dan berkelanjutan (lihat Gambar 1.2).

Sebagaimana diketahui bahwa sistem ketenagalistrikan merupakan salah

satu infrastruktur utama nasional yang mutlak diperlukan terutama untuk

mendukung peningkatan kinerja sektor riil. Peningkatan kinerja sektor riil

memerlukan dukungan sinkronisasi program dan rencana aksi (action plan) serta

terselenggaranya pelayanan listrik yang efisien dan handal guna mendukung

pengembangan sektor industri dan jasa, transportasi, dan perumahan. Pelayanan

3

listrik yang berorientasi pada permintaan aktual (actual demand) dan kualitas

pelayanan akan mendorong peningkatan produktivitas nasional, dan selanjutnya

akan meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi.

Gambar 1.2 Integrasi Kebijakan Kelistrikan Sumber: Harsono (2009)

Pasal 33 ayat 1-3 UUD 1945 mengamanatkan agar sumber kekayaan alam,

khususnya yang bersifat langka dan tak terbarukan dikuasai dan dikelola secara

maksimal untuk kepentingan publik. UUD 1945 yang telah diamandemen

mengadopsi prinsip efisiensi sebagai salah satu landasan operasional dalam

pengelolaan sumber kekayaan alam. Implikasinya, energi tak terbarukan

(termasuk listrik yang sekitar 90% berasal dari energi fosil) seharusnya

diperlakukan sebagai public goods dan dikelola secara efisien. Dalam praktiknya

listrik dikelola sebagai quasi-public goods oleh PLN.

Mengingat pentingnya peran listrik untuk meningkatkan kesejahteraan dan

mendukung pencapaian sasaran pembangunan ekonomi, maka peran PLN sebagai

4

operator tunggal menjadi sangat krusial. Peran PLN sebagai operator tunggal juga

dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah sebagai regulator. Kebijakan tarif listrik

tentunya mempengaruhi pola konsumsi listrik yang berimplikasi terhadap

pertumbuhan ekonomi. Selama ini pemerintah menerapkan kebijakan tarif

universal, sedangkan ekonomi regional memiliki karakteristik yang berbeda-beda

baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Penerapan tarif listrik universal tersebut

sesungguhnya mengabaikan dimensi spasial sehingga perbedaan karakteristik di

masing-masing wilayah selama ini belum dijadikan dasar pertimbangan untuk

membentuk pola konsumsi yang dapat secara efektif mendorong pemerataan dan

pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.

Konsumsi listrik (electricity consumption) semakin meningkat seiring

dengan laju pertumbuhan ekonomi global. Peningkatan konsumsi listrik dunia

dan beberapa negara besar dapat dilihat pada Tabel 1.1. Pada tahun 1990

konsumsi listrik dunia yang hanya 11.862 terawatt-jam, dan pada tahun 2011

telah meningkat menjadi 21.018,1 terrawatt-jam.

Tabel 1.1 Konsumsi Listrik Beberapa Negara, 1990-2011

(% terhadap konsumsi Dunia)

*dalam terawatt-hours

Sumber: British Petroleum (2012)

5

Konsumsi listrik di Indonesia pada periode yang sama telah meningkat dari

35,54 terawatt-jam (0,3%) menjadi 160,77 terawatt-jam (0,8%). Konsumsi listrik

dunia dalam 20 tahun terakhir meningkat 70%, sedangkan konsumsi listrik di

Indonesia pada periode yang sama meningkat sebesar 352%. Data Bank Dunia

(2011) menunjukkan bahwa pada periode tersebut, Produk Domestik Bruto per

kapita dunia (PDB PPP) meningkat dari US$24,82 trilyun menjadi US$69,62

trilyun (meningkat 180%), sedangkan PDB per kapita Indonesia meningkat dari

US$0,27 trilyun menjadi US$0,39 trilyun (meningkat 44%). Data di atas

mengindikasikan bahwa daya dorong konsumsi listrik terhadap pertumbuhan

ekonomi di Indonesia cenderung lemah.

Gambar 1.3 Persentase Pelanggan Listrik Menurut Sektor, 2007-2011 Sumber: Kementerian ESDM (2011)

Gambar 1.3 dan 1.4 menunjukkan jumlah pangsa pelanggan dan konsumsi

listrik menurut sektor di Indonesia pada tahun 2011. Konsumsi listrik terbesar

adalah dari sektor rumah tangga di mana permintaan kebutuhan energi listrik oleh

kelompok ini mencapai 40,8%. Berdasarkan jumlah pelanggannya, listrik di

Indonesia didominasi oleh sektor rumah tangga dengan total pelanggan

0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00

2007

2008

2009

2010

2011

Publik Komersial Industri Rumah Tangga

6

42.557.542 orang (92%), diikuti oleh sektor komersial dengan jumlah pelanggan

2.049.361 orang (4,5%). Sementara, jumlah pelanggan sektor industri merupakan

yang terkecil yakni sebanyak 50.365 orang (0,11%). Kendati angka pelanggan

sektor industri merupakan yang terkecil, namun nilai konsumsi listrik pada sektor

ini yang terbesar kedua setelah sektor rumah tangga dengan pangsa 34,3%.

Berdasarkan data Natural Resources Accounting Energi Primer (2009),

cadangan dari sumber daya energi primer di Indonesia relatif masih besar.

Cadangan minyak dan gas bumi cadangan (Jawa dan luar Jawa) masing-masing

7,99 milyar barel dan 159,64 trilyun standard cubic feet (TSCF), cadangan

batubara sebesar 20,98 milyar ton (di luar Jawa), potensi energi panas bumi

(geothermal) mencapai 16.035 mega watt (Jawa dan luar Jawa), dan potensi air

sebesar 15.804 mega watt (Jawa dan luar Jawa). Sedangkan cadangan energi

matahari belum banyak dimanfaatkan. Khusus untuk kebutuhan energi listrik di

Jawa dan Bali diperlukan kapasitas listrik terpasang pada tahun 2015 sebesar

35.000 mega watt yang terdiri atas 14.000 mega watt dari Pusat Listrik Tenaga

Uap dengan bahan bakar batubara (PLTU batubara), 13.000 mega watt dari

Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan gas, serta sekitar 8.000 mega watt

berasal dari pembangkit energi alternatif lainnya.

Gambar 1.4 Konsumsi Listrik Menurut Sektor di Indonesia, 2001 dan 2011 Sumber: Kementerian ESDM (2010)

7

Cadangan energi terbarukan seperti air, panas bumi, surya dan angin relatif

besar jumlahnya dan ramah lingkungan, namun belum banyak dimanfaatkan

(4,6%) karena masih kurang ekonomis bila dibandingkan dengan energi tak

terbarukan bebasis fosil, khususnya batubara. Sementara pembangkit tenaga listrik

yang menggunakan batubara menimbulkan masalah pencemaran lingkungan

sehingga perlu dipikirkan pemanfaatan sumber energi alternatif nonfosil yang

didukung teknologi ramah lingkungan. Salah satu sumber energi listrik

nonminyak adalah energi nuklir, namun pembangunannya membutuhkan

persiapan yang matang dan lama karena memerlukan sistem keselamatan dan

keamanan yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi untuk mencegah

timbulnya masalah saat praoperasi, operasi, dan pascaoperasi (decommisioning).

Tabel 1.2 Energi Primer PLN Berdasarkan Jenis Bahan Bakar, 1999-2008 Tahun BBM (juta kilo liter) Gas (billion cubic feet) Batubara (juta ton)

1999 4,70 237 11,41

2000 5,02 229 13,14

2001 5,40 222 14,03

2002 7,00 193 14,06

2003 7,61 184 15,26

2004 8,51 176 15,41

2005 9,91 143 16,90

2006 9,98 158 19,09

2007 10,69 171 21,47

2008 11,32 182 21,00

Sumber: PLN (2010)

Ahimsa (2005) menjelaskan bahwa sistem interkoneksi Jawa dan Bali

memberikan kontribusi 80% dari konsumsi energi listrik seluruh Indonesia.

Proyeksi kebutuhan energi listrik di Jawa dan Bali telah disesuaikan untuk

memenuhi pertumbuhan permintaan energi listrik yang cenderung semakin

meningkat, seperti terlihat pada Gambar 1.5. Sebagai catatan, perkiraan kapasitas

energi listrik terpasang untuk tahun 2010/2011 sebesar 31,8 giga watt (GW),

dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya yang hanya 25,5 GW untuk tahun

8

2003/2004. Tabel 1.2 menunjukkan pemakaian energi primer oleh PLN dalam

sepuluh tahun terakhir. Konsumsi batubara terus meningkat, namun pemakaian

gas alam cenderung menurun akibat kelangkaan pasokan gas dan keterbatasan

jaringan infrastruktur untuk menyalurkan gas ke pembangkit listrik.

Gambar 1.5 Bauran Energi Primer Indonesia Tahun 2010 Sumber: Kementerian ESDM (2011)

Tabel 1.3 Pemakaian Energi Primer

Menurut Jenis Energi, 2003-2009 (dalam SBM*) Tahun Minyak Bumi Gas Bumi Batubara Tenaga Air Panas Bumi Biomasa Jumlah

2003 456.647.707 204.142.054 164.950.173 22.937.538 10.375.200 272.005.374 1.131.058.046

2004 498.117.696 187.553.776 151.543.284 24.385.647 11.077.000 271.806.233 1.144.483.636

2005 493.636.985 191.189.376 173.673.093 27.034.841 10.910.460 270.042.895 1.166.487.650

2006 459.333.373 196.599.386 205.779.290 24.256.796 11.182.742 276.335.944 1.173.487.531

2007 474.042.813 183.623.636 258.174.000 28.450.964 11.421.759 275.199.938 1.230.913.110

2008 463.913.946 193.352.098 205.492.060 29.060.413 13.423.610 277.962.458 1.183.204.585

2009 490.470.209 220.929.902 234.318.000 28.688.314 14.973.198 279.251.225 1.268.630.848

*SBM = setara barel minyak

Sumber: Kementerian ESDM (2009)

Dapat dilihat bahwa sumber inefisiensi PLN yang utama beberapa tahun

terakhir ini adalah fuel-mix yang terjebak pada pemakaian minyak yang terlalu

banyak. Kendati demikian, produksi listrik tetap harus dilakukan agar

pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik dapat dipenuhi. Pada tahun 2008 komposisi

produksi kWh berdasarkan bahan bakar adalah BBM 36%, batubara 35%, gas

alam 17%, panas bumi 3% dan hidro 9% (lihat Tabel 1.3).

Restrukturisasi sektor energi di Indonesia dilakukan berdasarkan hasil

berbagai studi (awal 1990-an) ditandai dengan diberlakukannya kebijakan

9

restrukturisasi sektor kelistrikan yang dirancang dalam program untuk meletakkan

fondasi yang lebih kokoh bagi pengembangan ketenagalistrikan. Krisis ekonomi

1998 telah mempercepat lahirnya Undang-Undang (UU) baru berisi pengaturan

ulang sektor energi. Hal inilah yang mendorong terjadinya perubahan mendasar

pada sektor energi dan berimplikasi terhadap perkembangannya di masa depan.

Sampai saat ini telah diterbitkan beberapa peraturan perundangan-undangan

terkait ketenagalistrikan yaitu UU 30/2009 dan beberapa UU lainnya yang terkait

sektor energi. Pengesahan UU ketenagalistrikan 2009 ini mewajibkan pemerintah

sebagai regulator untuk menjalankan misi sosialnya yaitu menyediakan

kebutuhan listrik untuk seluruh wilayah di Indonesia. Dalam melaksanakan misi

tersebut, pemerintah mendelegasikan kepada PLN sebagai operator tunggal untuk

melaksanakan pengelolaan dan pelayanan sektor ketenagalistrikan. Undang-

undang ini adalah pengganti UU 20/2002 yang ditolak oleh Mahkamah Konstitusi

karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

Perbedaan mendasar dari UU No. 30 Tahun 2009 tentang ketenagalistrikan

dengan Undang-Undang yang sebelumnya, UU No. 15 Tahun 1985, adalah pelaku

usaha yang terlibat dalam penyediaan tenaga listrik. Menurut pasal 11 ayat (1) UU

No. 30 Tahun 2009, tidak hanya PLN saja yang berhak untuk melakukan usaha

penyediaan tenaga listrik, namun BUMD, badan usaha swasta, koperasi, dan

swadaya masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik juga

berhak melakukan usaha penyediaan tenaga listrik. Kendati demikian, PLN

sebagai operator tunggal yang ditunjuk oleh pemerintah dan pelaksana utama

usaha penyediaan tenaga listrik akan tetap memegang hak prioritas (memiliki first

10

right of refusal) sebagai penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.

Pengaturan ini dimaksudkan untuk mencapai tujuan UU No. 30 Tahun 2009, yaitu

untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahterakan

masayarakat (lihat Tabel 1.4).

Tabel 1.4 Transformasi UU Ketenagalistrikan di Indonesia, 1985-2009 No UU No. 15 Tahun 1985 UU No. 20 Tahun 2002 UU No. 30 Tahun 2009

1 Hanya BUMN (PLN)

saja yang mempunyai

hak dalam hal

melakukan usaha

penyediaan tenaga

listrik. Ditolak oleh Mahkamah Konstitusi

karena bertentangan dengan UUD

1945. UU ini dianggap sudah tidak

tepat lagi untuk diimplementasikan

dan tidak sesuai lagi dengan

tuntutan perkembangan keadaan dan

perubahan dalam kehidupan

masyarakat.

Pelaku yang terlibat dalam

penyediaan tenaga listrik menurut

pasal 11 ayat (1) UU 30 Tahun

2009, tidak hanya BUMN (PLN)

saja yang berhak untuk melakukan

usaha penyediaan tenaga listrik,

namun BUMD, badan usaha

swasta, koperasi, dan swadaya

masyarakat yang berusaha di

bidang penyediaan tenaga listrik

juga punya hak yang sama dalam

hal melakukan usaha penyediaan

tenaga listrik.

2 Tidak mengatur

regionalisasi tarif listrik.

Memungkinkan penetapan tarif

listrik regional (pasal 34) dan jual

beli listrik dengan negara lain

(pasal 37-41).

Sumber: Disarikan dari berbagai UU Ketenagalistrikan (berbagai tahun)

Sejak 1 Januari 2001, Indonesia telah melakukan transformasi dari negara

yang sentralistik menjadi desentralistik dengan menerapkan kebijakan Otonomi

Daerah. Kebijakan ini dipicu oleh adanya krisis moneter 1998 yang mendorong

terjadinya reformasi dan transisi politik. Sejak itu Indonesia mulai menerapkan

desentralisasi yang didasarkan pada UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat

dan Daerah. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mengatur penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi

di mana kota dan kabupaten diberikan kewenangan yang lebih besar untuk

membangun wilayahnya sendiri, sedangkan pemerintah provinsi berfungsi sebagai

koodinator. Pada tahun 2004, kebijakan pelaksanaan Otonomi Daerah ini

11

disempurnakan melalui UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan

UU No. 33 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Salah satu tujuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk

menjadikan pemerintah lebih dekat dengan rakyatnya, sehingga pelayanan

pemerintah dapat dilakukan dengan lebih efisien dan efektif. Hal ini berdasarkan

asumsi bahwa pemerintah kabupaten dan kota sesungguhnya lebih memahami

aspirasi dan kebutuhan masyarakatnya. Dimensi ekonomi politik dan spasial

konsumsi listrik di 6 koridor ekonomi perlu dianalisis secara lebih mendalam

karena temuan-temuan yang dihasilkan dapat mendukung tujuan undang-undang

Otonomi Daerah untuk mempercepat pembangunan wilayah dan mengurangi

kesenjangan antardaerah.

Dewasa ini kebutuhan tenaga listrik semakin meningkat. Keberlangsungan

berbagai aktivitas swasta baik sektor rumah tangga maupun industri sangat

tergantung pada ketersediaan tenaga listrik. Untuk melaksanakan amanat UU No.

30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, Kementerian Energi dan Sumber Daya

Mineral (ESDM) telah membuat roadmap 2010-2014 yang memposisikan sektor

ketenagalistrikan untuk berperan meningkatkan kesejahteraan rakyat dan

mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk itu pemerintah melalui PLN

diharapkan mampu menyediakan tenaga listrik sesuai dengan kebutuhan

masyarakat, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.

Konsumsi listrik setiap tahun terus mengalami peningkatan seiring dengan

pertumbuhan ekonomi nasional dan perkembangan pola hidup masyarakat dalam

memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, khususnya sektor rumah tangga dan

12

sektor industri. Permintaan energi listrik selama 2006-2010 mengalami

peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata 6,3% per tahun (lihat Tabel 1.5).

Sementara PLN hanya mampu meningkatkan kapasitas pembangkit listrik pada

tahun 2004-2008 rata-rata 4,4% per tahun.

Konsumsi listrik menarik untuk diteliti karena beberapa alasan mendasar.

Pertama, adanya ketidakseimbangan antara permintaan listrik aktual dengan

penyediaan tenaga listrik mengakibatkan kekurangan suplai tenaga listrik di

beberapa wilayah tertentu terutama di luar sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali.

Permintaan energi listrik terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan rata-

rata 6,3% per tahun selama 2006-2010, sementara pembangunan infrastruktur

ketenagalistrikan hanya mampu menambah kapasitas pembangkit listrik rata-rata

4,4% per tahun.

Ketidakseimbangan antara permintaan listrik aktual dengan penyediaan

tenaga listrik mengakibatkan kekurangan suplai tenaga listrik di beberapa wilayah

tertentu terutama di luar sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali (JAMALI).

Lambatnya pertumbuhan penyediaan tenaga listrik merupakan dampak krisis

ekonomi 1998, di mana pada saat itu kapasitas pembangkit terpasang hanya

tumbuh sebesar 1,13% (Kementerian ESDM, 2010).

Konsumsi listrik Indonesia pada tahun 2006 sebesar 112.609 giga watt hour

(Gwh) meningkat menjadi 147.297 GWh pada tahun 2010, dengan peningkatan

rata-rata per tahun 6,6%. Peningkatan konsumsi listrik tersebut terutama didorong

oleh meningkatnya konsumsi pada sektor rumah tangga dan industri. Tabel 1.5

menunjukkan perkembangan jumlah konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi

13

di Indonesia selama 2000-2010 di mana pola konsumsi listrik yang cenderung

terus meningkat tidak selalu diikuti dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Kondisi ini nampaknya sejalan dengan temuan Yoo (2006) yang menjelaskan

bahwa konsumsi listrik tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan

ekonomi di Indonesia.

Tabel 1.5 Konsumsi Listrik dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, 2000-2010

Sumber: Diolah dari Data Badan Pusat Statistik dan Kementerian ESDM (2010)

Pola konsumsi listrik terutama dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah,

Produk Domestik Bruto (PDB), struktur ekonomi dan jumlah penduduk.

Meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk pada umumnya

mendorong terjadinya peningkatan aktivitas penggunaan tenaga listrik.

Pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk merupakan faktor utama yang

mendorong pertumbuhan konsumsi listrik pada sektor rumah tangga, industri,

komersial (usaha), dan publik (umum). Konsumsi listrik di sektor rumah tangga

dipengaruhi oleh jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, sedangkan konsumsi

listrik di sektor industri dan usaha seharusnya memiliki keterkaitan dengan

pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data Kementerian ESDM, masih ada wilayah

di Indonesia yang belum teraliri listrik.

14

Gambar 1.6 Rasio Elektrifikasi Setiap Provinsi di Indonesia Tahun 2010 Sumber: Kementerian ESDM (2011)

Tabel 1.6 Rasio Elektrifikasi di Masing-Masing Koridor dan Provinsi, 2010

Sumber: Kementerian ESDM (2011)

Kedua, rasio elektrifikasi, yang menunjukkan rasio antara jumlah penduduk

yang teraliri listrik dengan jumlah penduduk di suatu wilayah, terus mengalami

peningkatan dari 65,1% (2008) menjadi 67,2% (2011). Rasio elektrifikasi

antarprovinsi dan antarkoridor ekonomi sangat bervariasi. Gambar 1.6

memperlihatkan tingkat rasio elektrifikasi di DKI Jakarta telah mencapai 100%,

namun di NTT baru 29,1%, Papua 31,61%. NTB 31,2%. Rasio elektrifikasi

15

merupakan ukuran ketersediaan listrik di setiap wilayah. Persebaran rasio

elektrifikasi di berbagai wilayah Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.6 dan

Tabel 1.6. Dalam beberapa tahun terakhir, rasio elektrifikasi nasional terus

mengalami peningkatan, dari 65,1% (2008) menjadi 67,2% (2010) (Kementerian

ESDM, 2011). Sasaran pembangunan ketenagalistrikan di Indonesia diarahkan

untuk mencapai rasio elektrifikasi 74,03% pada tahun 2012.

Upaya untuk mempercepat peningkatan rasio elektrifikasi menghadapi

banyak hambatan, di antaranya adalah peraturan perundang-undangan, kebijakan

sektoral termasuk masalah kelembagaan dan tata kelola, kelayakan ekonomi dan

finansial, serta kondisi geografis. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk,

pertumbuhan perekonomian, perkembangan industri, kemajuan teknologi, dan

meningkatnya standar hidup masyarakat, maka permintaan listrik pun menjadi

semakin meningkat.

Ketiga, jumlah konsumsi listrik cenderung terus meningkat selama 2000-

2010 ternyata tidak selalu diikuti dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Dalam penelitian yang menggunakan data periode 1947-1974 di Amerika Serikat

(AS) yang dilakukan oleh Kraft & Kraft (1978), menunjukkan adanya temuan

hubungan kausal antara Gross National Product (GNP) dan konsumsi energi.

Temuan tersebut membuktikan adanya hubungan kausal searah di mana

pertumbuhan GNP mempengaruhi konsumsi energi di AS.

Dalam konteks perdebatan literatur, beberapa studi telah dilakukan untuk

mempelajari hubungan kausal antara konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi.

Penelitian-penelitian tersebut memberikan hasil yang saling bertentangan. Jumbe

16

(2004) menyatakan bahwa para ekonom dan analis kebijakan memberikan

perhatian pada hubungan kausal antara konsumsi listrik dan pertumbuhan

ekonomi, karena arah hubungan kausal memiliki implikasi kebijakan bagi

pemerintah terutama pada rancangan dan implementasi kebijakan

ketenagalistrikan. Arah hubungan kausal antara konsumsi listrik dan pertumbuhan

ekonomi dapat dibagi menjadi 4 macam hubungan, yang masing-masing memiliki

implikasi pada kebijakan ketenagalistrikan: Pertama, hubungan kausal searah dari

konsumsi listrik ke pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa pembatasan

terhadap penggunaan listrik dapat berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan

ekonomi, dan sebaliknya, peningkatan penggunaan listrik dapat memberikan

kontribusi pada pertumbuhan ekonomi (Altinay & Karagol, 2005; Shiu & Lam,

2004). Kedua, hubungan kausal searah dari pertumbuhan ekonomi ke konsumsi

listrik menunjukkan bahwa penerapan kebijakan konservasi akan menekan

konsumsi listrik pengaruhnya kecil terhadap pertumbuhan ekonomi, khususnya

pada perekonomian yang tidak begitu bergantung pada listrik. Dalam hal ini,

peningkatan pertumbuhan ekonomi secara permanen akan dapat meningkatkan

konsumsi listrik secara permanen pula. Ketiga, adanya hubungan kausal dua arah

antara konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa konsumsi

listrik dan pertumbuhan ekonomi secara kesatuan saling menentukan dan

mempengaruhi pada saat yang sama. Keempat, ketiadaan hubungan kausal

menunjukkan bahwa kebijakan yang bersifat konservatif ataupun ekspansif dalam

hubungannya dengan konsumsi listrik tidak memiliki pengaruh terhadap

pertumbuhan ekonomi.

17

Studi empirik tentang hubungan konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi

di Indonesia mencoba membuktikan apakah ada hubungan antara keduanya.

Beberapa penelitian terdahulu telah dilakukan oleh Murry & Nan (1996), Yoo

(2006), dan Chen, et al. (2006). Penelitian yang dilakukan Yoo (2006) menemu-

kan bahwa hubungan kausal antara konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi di

Indonesia (1971-2002) hanya bersifat searah yakni dari pertumbuhan ekonomi ke

konsumsi listrik dan tidak berlaku bagi arah yang sebaliknya. Tiadanya hubungan

kausal searah dari konsumsi listrik ke pertumbuhan ekonomi, menurut Yoo (2006)

diakibatkan oleh kecilnya proporsi pemakaian listrik untuk aktivitas-aktivitas

ekonomi yang berkaitan langsung dengan pembentukan PDB. Temuan Yoo

tersebut memperkuat hasil temuan Murry & Nan (1996) yang menjelaskan bahwa

arah hubungan kausal antara konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi di

Indonesia adalah dari pertumbuhan ekonomi ke konsumsi listrik.

Chen, et al. (2006), dengan periode penelitian yang hampir sama yakni

1971-2001, melakukan uji kausalitas tersebut di samping dengan menggunakan

teknik runtut waktu (a single country data set) juga dengan prosedur data panel

(panel data procedures). Hasil dengan teknik runtut waktu menunjukkan bahwa

hubungan kausalitas hanya terjadi dalam jangka panjang, tidak jangka pendek dan

arah hubungannya bergerak dari konsumsi listrik ke pertumbuhan ekonomi.

Sementara itu, hasil dengan prosedur data panel untuk sepuluh negara industri

baru Asia (termasuk Indonesia) menunjukkan bahwa hubungan kausalitas yang

bersifat dua arah (bi-directional) hanya terjadi dalam jangka panjang, sedangkan

18

hubungan kausalitas dalam jangka pendek hanya bergerak dari pertumbuhan

ekonomi ke konsumsi listrik, dan tidak sebaliknya.

Keempat, selama ini pemerintah menerapkan kebijakan tarif secara seragam,

sedangkan karakteristik berbagai wilayah di Indonesia berbeda-beda. Penerapan

tarif listrik universal tersebut sesungguhnya mengabaikan dimensi spasial

sehingga perbedaan karakteristik di masing-masing wilayah selama ini belum

dijadikan dasar pertimbangan untuk membentuk pola konsumsi yang secara

efektif dapat mendorong pemerataan dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.

Struktur perekonomian Indonesia secara spasial sampai dengan akhir 2010 masih

didominasi oleh kelompok provinsi di Pulau Jawa yang memberikan kontribusi

terhadap PDB sebesar 57,8%, kemudian diikuti oleh koridor Sumatera sebesar

23,2%. Sedangkan konsumsi listrik per kapita tertinggi berada di Jawa (874,70

Kwh per kapita), diikuti oleh Sumatera (388,64 Kwh per kapita), Kalimantan

(372,13 Kwh per kapita), Bali-Nusa Tenggara (325,90 Kwh per kapita), Sulawesi

(313,12 Kwh per kapita), dan Papua-Kepulauan Maluku (195,93 Kwh per kapita)

(lihat Tabel 5.4).

Dalam konteks perdebatan literatur ekonomi geografi, teori lokasi

menjelaskan dimensi spasial dengan dua perspektif, yaitu perspektif klasik dan

moderen (Kuncoro, 2012: 19-23). Perspektif klasik percaya bahwa aglomerasi

merupakan suatu bentuk spasial dan diasosiasikan dengan konsep “penghematan

akibat aglomerasi” (economies of agglomeration) melalui konsep eksternalitas.

Perspektif moderen menunjukkan beberapa kelemahan teori Klasik mengenai

aglomerasi. Singkatnya, sejak dasawarsa 1980-an, semakin banyak ekonom yang

19

tertarik untuk mengkaji masalah lokasi (Krugman, 1995; Lucas, 1988; Fujita dan

Thisse, 1996). Sejumlah penelitian dari bidang restrukturisasi sosial ekonomi dan

perubahan struktural baru-baru ini menekankan tentang semakin pentingnya arti

sebuah wilayah dan perannya sebagai salah satu aktor ekonomi mendasar dalam

konfigurasi dari pola spasial pembangunan ekonomi (Rodriguez-Pose, 1998:

chap.3). Ohmae menyatakan bahwa dalam dunia tanpa batas, region state

mungkin dapat menggantikan nation states sebagai gerbang masuk ekonomi

global (Ohmae, 1995). Porter (1990, 2003) mempertanyakan peran negara sebagai

unit analisa yang relevan. Walaupun telah banyak literatur yang menyajikan teori

tentang ekonomi wilayah dan geografi ekonomi, namun konsep dan teori tersebut

masih belum banyak diuji secara empirik, kecuali studi Kuncoro (2012).

Tiadanya hubungan kausalitas antara konsumsi listrik dan pertumbuhan

ekonomi si suatu wilayah diperkirakan karena konsumsi listrik cenderung lebih

banyak untuk memenuhi kebutuhan dasar (sektor rumah tangga), sementara

sisanya baru digunakan untuk mendukung aktivitas-aktivitas ekonomi yang

berdampak langsung pada peningkatan PDB (lihat Tabel 1.7). Mekanisme dan

aktor utama di balik kebijakan tarif listrik dan hubungan dengan subsidi listrik

belum banyak diteliti dari perspektif ekonomi politik dan kebijakan kelistrikan,

mulai dari era Soeharto hingga SBY.

Tabel 1.7 Komposisi Konsumsi Tenaga Listrik (Gwh): Indonesia, 2006-2010

Kelompok Pelanggan Konsumsi Tenaga Listrik (Gwh)

2006 2007 2008 2009 2010

Rumah Tangga 43.754 47.324 50.184 54.945 59.825

Usaha/Bisnis 18.415 20.608 22.926 24.638 27.157

Industri 43.615 45.802 47.969 46.017 50.985

Umum 6.825 7.510 7.940 8.607 9.330

Jumlah 112.609 121.246 129.019 134.207 147.297

Gwh = giga watt hour

Sumber: Kementerian ESDM (2010)

20

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah mendasar yang

dihadapi oleh Indonesia adalah: kondisi wilayah di Indonesia sangat beragam

dilihat dari sisi konsumsi listrik, PDRB per kapita, pertumbuhan ekonomi, dan

rasio elektrifikasi, namun pemerintah selama ini menerapkan kebijakan tarif listrik

yang seragam untuk seluruh wilayah di Indonesia.

Sayangnya, penelitian empirik yang telah dilakukan selama ini belum

banyak yang mengintegrasikan dimensi ekonomi, spasial, dan politik kebijakan

tarif listrik. Dari perspektif ekonomi, studi ini akan membuktikan arah hubungan

antara konsumsi listrik dan PDRB per kapita. Dari perspektif spasial, studi ini

akan menjawab “di mana” (where) dan “mengapa” (why) aktivitas ekonomi dan

konsumsi listrik cenderung berlokasi di provinsi/wilayah/koridor tertentu dan

tidak tersebar merata di seluruh Indonesia. Dari perspektif ekonomi politik, studi

ini akan menganalisis politik kebijakan tarif listrik, terutama kebijakan kelistrikan

mulai dari era Soeharto hingga SBY, hubungan antara kebijakan tarif dan subsidi

listrik, mekanisme dan aktor utama di balik kebijakan tarif listrik.

Mengingat peran listrik yang sangat strategik dan mempengaruhi berbagai

aspek kehidupan masyarakat, serta melihat kondisi kelistrikan nasional yang

mengindikasikan masih adanya berbagai kelemahan, pertanyaan penelitian yang

akan dijawab oleh studi ini adalah:

a. Bagaimana pola hubungan (satu arah, dua arah, atau tidak ada hubungan)

antara konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi di enam koridor ekonomi

Indonesia?

21

b. Bagaimana tipologi provinsi berdasarkan konsumsi listrik dan PDRB per

kapita mampu dijelaskan oleh sejumlah faktor dominan?

c. Mengapa kebijakan tarif listrik selama ini diberlakukan seragam di seluruh

wilayah Indonesia?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika konsumsi listrik

dan permasalahannya dari dimensi ekonomi, spasial, dan politik kebijakan.

Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu:

a. Untuk mengidentifikasi pola hubungan antara konsumsi listrik dan

pertumbuhan ekonomi di provinsi/wilayah/koridor ekonomi Indonesia.

b. Untuk menganalisis sejumlah faktor dominan yang mempengaruhi tipologi

provinsi berdasarkan konsumsi listrik dan PDRB per kapita.

c. Untuk mengevaluasi kebijakan tarif listrik yang selama ini diberlakukan

seragam di seluruh Indonesia meskipun kondisi antarwilayah bervariasi dari

konsumsi listrik dan PDRB per kapita.

Bilamana pertanyaan-pertanyaan penelitian di atas dapat terjawab, maka

diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang pola hubungan antara

konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi, faktor-faktor dominan tertentu yang

mempengaruhi tipologi provinsi berdasarkan konsumsi listrik dan PDRB per

kapita. Temuan-temuan tersebut diperlukan untuk mengetahui lebih lanjut tentang

implikasinya terhadap kebijakan yang terkait dengan ketenagalistrikan yang

mempengaruhi pola konsumsi listrik. Selanjutnya, temuan-temuan dan hasil

22

analisis tersebut dapat digunakan sebagai dasar pembuatan rekomendasi

kebijakan, khususnya kebijakan penetapan tarif agar berimplikasi positif terhadap

pola konsumsi listrik yang berorientasi pada pembangunan ekonomi nasional

yang berkelanjutan.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Beberapa manfaat yang diharapkan dari penelitian ini setidaknya adalah:

Pertama, memberikan penjelasan tentang pola hubungan antara konsumsi listrik

dan pertumbuhan ekonomi di setiap provinsi. Pola hubungan konsumsi listrik dan

pertumbuhan ekonomi setiap provinsi/wilayah PLN/koridor ekonomi berkaitan

dan berimplikasi pada kebijakan regional dan sektoral yang terkait dengan

ketenagalistrikan. Kedua, memberikan pemahaman secara komprehensif tentang

faktor-faktor yang mempengaruhi tipologi provinsi berdasarkan konsumsi listrik

dan PDRB per kapita. Pemahaman ini diperlukan sebagai dasar untuk

menyempurnakan kebijakan regional dan sektoral di bidang ketenagalistrikan

yang selama ini cenderung aspasial sehingga peran PLN dapat dioptimalkan

dalam upayanya memenuhi permintaan listrik aktual. Ketiga, memberikan

gambaran tentang hal-hal di luar kebijakan (beyond policy) yang mempengaruhi

kebijakan tarif dan dampak kebijakan tarif terhadap konsumsi listrik dan

pertumbuhan ekonomi. Implikasi kebijakan tersebut penting untuk diketahui agar

dapat digunakan sebagai dasar rekomendasi kebijakan kepada pemerintah dan

para stakeholders terkait, mulai dari kelompok yang berkepentingan dengan suplai

energi primer, konversi energi dan distribusi listrik serta kelompok pengguna

energi listrik.

23

1.5 KEASLIAN PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan tiga dimensi yang saling terkait yakni geografi,

ekonomika, dan studi kebijakan. Pendekatan ini penting untuk memahami secara

komprehensif fenomena konsumsi listrik di setiap provinsi yang memiliki

karakteristik yang berbeda-beda. Dengan dimasukkannya dimensi spasial,

ekonomika, dan kebijakan, maka analisis dalam penelitian dapat lebih difokuskan

pada hasil sintesa ketiga dimensi tersebut, yaitu pada domain geografi ekonomi,

ekonomika politik, dan geo-strategi (lihat Gambar 1.7).

Gambar 1.7 Keaslian Penelitian

Perspektif Ekonomi. Ilmu ekonomi arus utama (mainstream economics)

ternyata tidak banyak menjelaskan dari dimensi spasial, atau cenderung spaceless

(aspasial). Pertanyaan “mengapa” (why) dan “di mana” (where) aktivitas ekonomi

cenderung memilih berlokasi belum terjawab dengan memuaskan. Akhirnya

lahirlah bidang kajian geografi ekonomi (misal: Krugman, 1998), studi-studi

spasial dan regional (misal: Hayter, 1997; Kuncoro, 2002a). Selain mazhab Neo-

Penelitian ini meliputi 26 provinsi dan

6 koridor ekonomi di Indonesia karena

studi-studi empirik sebelumnya hanya

memfokuskan pada analisis makro

(misal: Yoo, 2006; Chen, et al. 2006).

24

Klasik, dua teori utama yang menjawab pertanyaan di atas adalah New Economic

Geography (NEG) dan New Trade Theory (NTT) (Kuncoro, 2001).

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, akan dibuktikan bagaimana

hubungan kausal antara konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi. Pembuktian

kembali atas hubungan kausal antara konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi

di Indonesia perlu dilakukan dikarenakan adanya keterbatasan dan perbedaan hasil

penelitian mengenai arah hubungan kausal antara kedua variabel tersebut di

Indonesia pada penelitian-penelitian sebelumnya. Pembuktian ulang hubungan

kausal antara konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi baik pada tingkat

nasional maupun tingkat provinsi dilakukan dengan menggunakan model

ekonometrika. Model ekonometrika yang akan dipakai dalam penelitian ini

mengacu pada model penelitian yang digunakan oleh Chen, et al. (2006) dalam

mengetahui hubungan antara konsumsi listrik dengan PDB di 10 negara Asia.

Perspektif Geografi. Penelitian-penelitian terdahulu tentang hubungan

kausalitas antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi listrik Indonesia dilakukan

dengan menggunakan data agregat nasional, baik data PDB maupun konsumsi

listrik. Istilah regionalisasi pada umumnya dimaksudkan untuk menunjukkan

pengelompokan beberapa wilayah yang berdekatan, sedangkan istilah wilayah

dalam birokrasi pemerintahan di Indonesia lebih sering merujuk pada pengertian

subnasional atau provinsi. Unit analisis dalam penelitian ini adalah provinsi,

bukan negara. Studi atas Indonesia dalam penelitian ini tidak sebagai satu

kesatuan, tetapi sebagai suatu negara yang terdiri dari 26 provinsi. Penelitian

terhadap masing-masing provinsi perlu dilakukan karena adanya perbedaan

25

karakteristik di antara masing-masing provinsi tersebut, seperti perbedaan faktor

endowment energi, perbedaan sejarah baik ekonomi maupun politik, perbedaan

hierarki baik yang terkait politik maupun kelembagaan, perbedaan jumlah

penduduk, perbedaan budaya, perbedaan letak geografis, dan lain-lain. Pemilihan

26 provinsi tersebut didasarkan pada beberapa pertimbangan: (1) ketersedian data

konsumsi listrik dan PDRB menurut provinsi di PLN dan BPS dimulai dari

periode 1980-2010; dan (2) sejarah pemekaran wilayah di Indonesia khususnya

untuk lingkup provinsi. Provinsi-provinsi hasil pemekaran wilayah tahun 1999

dalam penelitian ini diagregasi ke provinsi semula.

Di samping itu, peranan wilayah subnasional (kabupaten, kota, atau

provinsi), yang mempengaruhi lokasi aktivitas ekonomi, nampaknya semakin

penting dalam studi geografi ekonomi. Beberapa pernyataan menarik dari pakar

geografi ekonomi mengenai semakin pentingnya peranan wilayah subnasional

adalah (Kuncoro, 2001):

“Pertama, Rodriguez-Pose (1998) menyatakan bahwa berbagai studi dalam

bidang sosial-ekonomi dan perubahan sosial menekankan semakin pentingnya

peran wilayah sebagai pelaku ekonomi dalam konfigurasi baru pola pembangunan

spasial. Kedua, Ohmae (1995) menegaskan bahwa dalam dunia tanpa batas

(borderless), region state akan menggantikan negara bangsa (nation states)

sebagai pintu gerbang memasuki perekonomian global. Ketiga, Porter (1990)

mempertanyakan peran negara sebagai unit analisis yang relevan dengan

mengatakan bahwa “para pesaing di banyak industri, dan bahkan seluruh kluster

26

industri, yang sukses pada skala internasional, ternyata seringkali berlokasi di

suatu kota atau beberapa wilayah dalam suatu negara.”

Perspektif Kebijakan. Penelitian ini juga berbeda dengan penelitian-

penelitian terdahulu karena analisis kebijakan dilakukan dalam dimensi ekonomi

politik dan spasial. Hal ini merupakan dampak dari penggunaan wilayah (dalam

hal ini provinsi) sebagai unit analisis. Dengan menggunakan dimensi ekonomi

politik dan spasial, diharapkan rekomendasi kebijakan yang bersifat sektoral

maupun regional mampu dihasilkan dalam penelitian ini dapat diterapkan di

seluruh provinsi sesuai dengan karakteristik masing-masing provinsi.

Geografi Ekonomi. Geografi ekonomi merupakan hasil sintesis antara

perspektif ekonomika dan spasial. Munculnya ilmu ekonomi geografi (geography

economics) telah melengkapi jawaban bagi masalah ekonomi yang sebelumnya

hanya mampu menjawab barang apa yang akan diproduksi (what), bagaimana

memproduksinya (how), dan untuk siapa barang tersebut dibuat (for whom)

dengan mengabaikan “mengapa” dan “di mana” aktivitas ekonomi cenderung

memilih berlokasi. Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu

ekonomi arus utama sebelum munculnya ilmu ekonomi geografi hampir tidak ada

kata “lokasi” atau “spatial economics” (Krugman, 1998). Pendekatan geografi

ekonomi fokus pada upaya untuk menganalisis tipologi provinsi berdasarkan

konsumsi listrik dan PDRB per kapita. Tipologi provinsi berdasarkan konsumsi

listrik dan PDRB per kapita tersebut akan dikaitkan dengan sejumlah faktor

dominan tertentu menggunakan analisis diskriminan.

27

Geo-strategi. Geo-strategi merupakan hasil sintesis antara perspektif

kebijakan dan spasial. Pendekatan geo-strategi fokus pada analisis pola hubungan

kausal antara konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi di setiap provinsi serta

sekaligus mengevaluasi strategi kelistrikan nasional yang cenderung aspasial

(spaceless). Aspek spasial merupakan unsur yang sangat penting dalam formulasi

maupun implementasi suatu kebijakan tarif listrik, khususnya untuk diterapkan di

negara kepulauan seperti Indonesia yang memiliki wilayah luas, sebaran

penduduk dan sumberdaya alam yang tidak merata.

Analisis Ekonomi Politik. Analisis ekonomi politik merupakan hasil

sintesis antara ekonomika dan analisis kebijakan. Pendekatan ini difokuskan pada

upaya untuk mengetahui dampak kebijakan penetapan tarif listrik terhadap

konsumsi istrik dan pertumbuhan ekonomi di setiap provinsi di Indonesia.

Analisis ekonomi politik juga mencakup analisis terhadap hal-hal di luar

kebijakan (beyond policy) dan berbagai pihak yang memiliki kewenangan dan

kepentingan terkait pengelolaan energi, khususnya penetapan tarif listrik.

1.6 SISTEMATIKA PENELITIAN

Penelitian ini disusun dengan sistematika penulisan sebagaimana pada

Gambar 1.8. Penulisan laporan penelitian ini secara keseluruhan terdiri dari

delapan bab, masing-masing bab dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut:

Bab 1 memuat uraian tentang latar belakang dan permasalahan konsumsi

listrik di Indonesia yang dianalisis dari dimensi ekonomi politik dan spasial.

Permasalahan yang terkait konsumsi listrik dan implikasinya terhadap kebijakan

ketenaga listrikan dirumuskan dalam bab ini.

28

Bab 2 membahas survei literatur yang terdiri dari dua bagian utama, yaitu

landasan teoritik dan studi empirik. Landasan teoritik membahas berbagai teori

yang mendasari penelitian ini. Sedangkan studi empirik membahas hasil kajian

dan penelitian lain sebelumnya yang relevan untuk diuraikan dalam penelitian ini.

Bab 3 menguraikan metodologi yang digunakan dalam penelitian ini, yang

terdiri dari penentuan jenis data, metode pengumpulan data, model, dan analisis

yang digunakan. Metodologi dalam penelitian ini dipilih berdasarkan masalah

penelitian dan survei literatur yang sudah diuraikan di Bab 1 dan Bab 2.

Gambar 1.8 Sistematika Penelitian

Bab 4 akan menganalisis pola hubungan kausal antara konsumsi listrik dan

pertumbuhan ekonomi di setiap provinsi. Hubungan konsumsi listrik dan

pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada kebijakan yang terkait dengan

ketenaglistrikan. Oleh karena itu, pola hubungan tersebut akan dievaluasi dalam

bab ini dengan memperhatikan aspek ekonomi dan spasial (geografi).

Pada Bab 5 akan dilakukan analisis spasial untuk mengetahui pola konsumsi

listrik dan bagaimana tipologi berdasarkan konsumsi listrik dan PDRB per kapita

mampu dijelaskan oleh sejumlah faktor dominan yang mempengaruhinya.

BAB III METODOLOGI

PENELITIAN

BAB VII KESIMPULAN

DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

BAB IV HUBUNGAN KAUSAL ANTARA KONSUMSI LISTRIK DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA

BAB II SURVEI LITERATUR

BAB I PENDAHULUAN

BAB V DIMENSI SPASIAL KONSUMSI LISTRIK

BAB VI POLITIK KEBIJAKAN TARIF LISTRIK

29

Analisis ini dimaksudkan untuk menghasilkan tipologi masing-masing provinsi

berdasarkan tingkat konsumsi listrik dan PDRB per kapita. Faktor-faktor dominan

yang mempengaruhi tipologi wilayah akan dianalisis dengan menggunakan

metode analisis diskriminan.

Analisis politik kebijakan akan dilakukan pada Bab 6 berdasarkan temuan-

temuan pada Bab-bab sebelumnya untuk mengevaluasi kebijakan tarif listrik

selama ini guna mencari temuan “dibalik” kebijakan yang diberlakukan (beyond

the policy). Untuk itu analisis ekonomi politik akan dilakukan terhadap

stakeholders yang terkait dengan PLN, proses penetapan tarif, dan subsidi listrik

untuk mengetahui mengapa kebijakan tarif listrik (TDL) cenderung seragam untuk

semua wilayah.

Bab 7 akan menyajikan kesimpulan yang memuat rangkuman temuan-

temuan penting yang dihasilkan dari penelitian ini. Pada bab ini akan disampaikan

pula implikasi kebijakan berdasarkan temuan-temuan yang berkaitan dengan

tujuan penelitian ini.